View
212
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
II. TINJUAN PUSTAKA
1. Pendinginan dan Pembekuan Hasil Pertanian Pangan
Pendinginan pada dasarnya merupakan salah satu usaha untuk melepaskan
panas dari suatu bahan yang bersuhu lebih rendah ke lingkungan yang bersuhu
lebih tinggi. Heldman (1975) menyatakan bahwa pendinginan berarti menurunkan
suhu bahan sesuai dengan kebutuhan sehingga kandungan air dalam bahan tidak
sampai beku. Sedangkan pembekuan adalah proses penurunan suhu dari suatu
bahan sampai mencapai suhu dibawah titik bekunya. Proses pembekuan ditandai
dengan terjadinya perubahan fase air menjadi padat.
Tujuan dari proses pendinginan adalah untuk menciptakan kondisi produk,
dalam hal ini temperatur rendah, agar dapat disimpan dalam waktu yang lebih
lama sebelum dikonsumsi, diolah lebih lanjut, maupun diperdagangkan
(Abdullah, 1996). Untuk mendinginkan suatu bahan, bahan tersebut harus
didekatkan kepada fluida yang lebih dingin dari suhu bahan itu sendiri. Fluida
tersebut disirkulasikan dengan cara yang memungkinkan untuk memindahkan
energi yang diambil dari bahan yang didinginkan (Syaiful, 1993).
Pendinginan maupun pembekuan tidak dapat meningkatkan mutu bahan
pangan. Hasil terbaik yang dapat diharapkan hanyalah mempertahankan mutu
tersebut pada kondisi terdekat dengan saat akan memulai proses pendinginan. Hal
ini berarti mutu hasil pendinginan sangat dipengaruhi oleh mutu bahan pada saat
awal proses pendinginan (Tambunan, 2001). Produk-produk yang biasanya
mengalami penyimpanan sesudah pendinginan adalah buah-buahan, sayuran,
susu, dan telur. Penyimpanan dibawah kondisi beku adalah untuk
mempertahankan nilai bahan pangan dan juga untuk melindungi produk dari
kerusakan dalam jangka waktu yang lama (Syarief dan Kumendong, 1992).
Menurut Tambunan untuk setiap bahan pangan yang akan didinginkan
mempunyai suhu-suhu tertentu agar bahan tersebut dapat disimpan lebih lama,
seperti yang ditampilkan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Suhu Pendinginan Bahan Pangan
Jenis Produk Suhu penyimpanan (ºC)
Lama penyimpanan (hari)
Daging Sapi * 1.75 – 4.5 - Daging Ikan * 1 - 3.25 - Alpukat ** 7 - 13 14 s/d 28 Durian ** 10 7 s/d 21 Jambu Taiwan ** 5 21 s/d 28 Mangga ** 15 21 Manggis ** 5 35 Nenas ** 10 21 Pepaya ** 14 - 15 21 s/d 28 Pisang ** 14 14 s/d 21 Rambutan ** 10 7 s/d 14 Semangka ** 10 21 s/d 28 Sumber * (Tambunan, 2001) ** (Othman et al, 2000)
2. Perkembangan Refrigeran
Salah satu bahan terpenting dalam sistem refrigerasi adalah refrigeran.
Menurut Dossat (1961), refrigeran merupakan fluida kerja yang vital dalam sistem
refrigerasi, pengkondisian udara dan sistem pemompaan panas. Tambunan (2003)
juga mengatakan bahwa refrigeran adalah zat yang bertindak sebagai agen
pendingin dengan cara menyerap panas dari zat atau benda lain. Pada sistem
pendinginan kompresi uap, refrigeran bersikulasi dalam siklus dan secara
berulang mengalami penguapan dan pengembunan pada saat menyerap dan
melepaskan panas.
Dengan ditemukannya mesin pendingin sistem kompresi uap, terjadi
perkembangan yang cepat dalam penemuan refrigeran. Charles Tellier (1828-
1913), seorang Perancis, memperkenalkan penggunaan dimethyl ehter sebagai
refigeran pada mesin kompresi uap. Disamping itu Tellier juga meneliti
penggunaan amonia (NH3) sebagai refrigeran pada tahun 1962, meskipun
penggunaannya secara luas pada skala industrial baru dapat dilakukan oleh
seorang Jerman Carl von Linde (1842-1934).
Thaddeus Lowe (1832-1913) mulai menggunakan karbon-dioksida (CO2)
sebagai refrigeran. Meskipun sempat ditinggalkan, penggunaan CO2 belakangan
ini kembali dikembangkan sebagai refrigeran yang ramah lingkungan. Sulfur-
dioksida (SO2) pertama kali digunakan sebagai refrigeran oleh ahli fisika Swiss
Raoul Pierre Pictet (1846-1929), tetapi akhirnya tidak digunakan lagi sesaat
sebelum perang dunia II. Metil-klorida (Ch3Cl) juga digunakan oleh orang
Perancis C. Vincent sebagai refrigeran pada tahun 1878, meskipun akhirnya
hilang dari peredaran pada tahun 1960-an.
Pada tahun 1930, Thomas Midgley et al berhasil mengembangkan
refrigeran fluoro-carbon. Refrigeran fluoro-carbon dianggap sebagai refrigeran
yang aman karena tidak beracun dan tidak mudah terbakar. Refrigeran CFC yang
pertama yaitu R12 (CF2Cl2) mulai dipasarkan pada tahun 1931, diikuti dengan
refrigeran HCFC yang pertama yaitu R22 (CHF2Cl) pada tahun 1934. Pada tahun
1961, campuran azeotropik pertama, yaitu R502 (R22 / R115), diperkenalkan ke
pasar sebagai refrigeran.
Refrigeran CFC, khususnya R12, dianggap sebagai zat yang sangat
istimewa sebagai fluida kerja mesin pendingin sistem kompresi uap, hingga
pemenang Nobel dari Amerika (F.S. Rowland dan M.J. Molina) mempublikasikan
hasil penelitiannya pada tahun 1974. Rowland dan Molina menyimpulkan bahwa
klorin yang dilepaskannya menyebabkan terjadinya perusakan lapisan ozon di
angkasa. Untuk menanggapi temuan ini, pada tahun 1987 telah disepakati
Protokol Montreal mengenai pelarangan penggunaan zat-zat yang bersifat
merusak lapisan ozon.
Refrigeran CFC dan HCFC termasuk pada kategori zat perusak ozon,
sehingga penggunaannya sebagai refrigeran juga dilarang. Sebagai gantinya,
disarankan penggunaan HFC dimana refrigeran tersebut dihalogenasi tapi tidak
diklorinasi. Akan tetapi, refrigeran HFC, baik yang murni (R134a) maupun
campurannya (R410A, R407A, R404A, dan lain-lain), juga menimbulkan efek
yang negatif terhadap lingkungan yaitu pemanasan global. oleh karena itu
dicarilah alternatif refrigeran lain yang lebih ramah terhadap lingkungan.
Beberapa penelitian telah mencoba mengembangkan refrigeran alternatif
lainnya, diantaranya dengan mengganti refrigeran halokarbon dengan refrigeran
hidrokarbon. Menurut Sihaloho dan Tambunan (2005) refrigeran tersebut
mempunyai potensi yang cukup besar sebagai refrigeran pengganti halokarbon.
Pendapat ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh La Rocca et.al
(1999) dan Tadros et.al (2006), dimana La Rocca mencoba mengganti R-12
dengan refrigeran hidrokarbon khususnya propana (R600) dan butana (R290).
Dari hasil yang didapatkan menjelaskan bahwa penggantian refrigeran dari R-12
ke refrigeran tersebut dapat menghemat energi. Disamping itu penggantian
halokarbon ke hidrokarbon dapat meningkatkan COP. Pernyataan ini juga
diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Domanski et.al (2006)
tetapi dengan menggunakan refrigeran yang berbeda, seperti isobutan (R600a),
Propana, yang dibandingkan dengan R134a, R22, R410A, dan R32.
Pada umumnya analisis tersebut lebih berlandaskan pada ke hukum
termodinamika I. Tetapi beberapa peneliti telah mencoba melihar performa dari
beberapa refrigeran dengan menggunakan hukum termodinamika II melalui
analisa eksergi. Somasundaram et.al (2004) mencoba menganalisis campuran
beberapa refrigeran halokarbon dengan R600 dan R290 dengan menggunakan
analisis eksergi. Campuran yang diteliti diantaranya R23 dengan R290, R23
dengan R600, dan R125 dengan R600. Dari hasil penelitian yang didapatkan
menyatakan bahwa campuran R23 dengan R290 memiliki nilai efektifitas
tertinggi baik dari segi efisiensi eksergi maupun COP. Tetapi disini tidak diteliti
seberapa besar perbedaan performa yang terjadi jika dibandingkan antara
refrigeran hidrokarbon dengan refrigeran halokarbon.
Yumrutas et.al (2002) juga mencoba mengembangkan suatu model
komputasi analisis eksergi untuk menyelidiki sistem refrigerasi kompresi uap
dengan menggunakan amonia sebagai refrigerannya. Software EES (Engineering
Equation Solver) digunakan sebagai alat perhitungan dan simulasi. Asumsi yang
digunakan adalah aliran steady state, serta kerugian tekanan pada kompresor dan
katup ekspansi diabaikan. Hasil yang diperoleh ditampilkan dalam Gambar 1 dan
dapat dinyatakan bahwa efisiensi eksergi lebih baik jika suhu evaporasi lebih
tinggi dan suhu kondensasi lebih rendah.
Gambar 1. Persentase Eksergi dan Kerugian Eksergi Total sebagai Fungsi Suhu
Evaporator dan Suhu Kondensor (Yumrutas et.al, 2002)
Pada tahun 2006, Silalahi juga melakukan analisis dengan simulasi eksergi
terhadap beberapa refrigeran konvensional. Model perhitungan tesebut dilakukan
untuk menyelidiki pengaruh suhu evaporasi dan kondensasi pada kehilangan
tekanan, kehilangan eksergi, efisiensi eksergi, dan COP pada siklus refrigerasi
kompresi uap dengan menggunakan refrigeran R717, refrigeran R12, refrigeran
R22 dan refrigeran R134a. Dari hasil tersebut suhu evaporasi dan kondensasi
memiliki pengaruh besar pada kehilangan eksergi di evaporator, kondensor, dan
kompresor. Exergy loss di kondensor dan di evaporator menurun seiring dengan
meningkatnya suhu kondensasi. Berikut ditampilkan nilai efisiensi eksergi dari
beberapa refrigeran.
6%
8%
10%
12%
14%
-20 -16 -12 -8 -4Suhu Evaporasi (oC)
Efis
iens
i Eks
ergi
R717 R12R22 R134a
6%
8%
10%
12%
14%
16%
24 28 32 36 40Suhu Kondensasi (oC)
Efis
iens
i Eks
ergi
R717 R12 R22 R134a
Gambar 2 Perbandingan Efisiensi Eksergi Berdasarkan Suhu evaporasi dan
Kondensasi pada Beberapa Refrigeran (Silalahi, 2006)
3
4
5
6
7
8
9
-20 -16 -12 -8 -4Suhu Evaporasi (oC)
CO
P
R717 R12 R22 R134a
2
3
4
5
6
24 28 32 36 40Suhu Kondensasi (oC)
CO
P
R717 R12 R22 R134a
Gambar 3 Perbandingan COP Berdasarkan Suhu evaporasi dan Kondensasi pada
Beberapa Refrigeran (Silalahi, 2006)
3. Kriteria Pemilihan Refrigeran
Jenis refrigeran yang digunakan dalam sistem refrigerasi mempengaruhi
suhu udara yang dihembuskan dalam ruang pendingin. Menurut Arismunandar et
al (1981) untuk pemakaian mesin Kompresi Uap sebaiknya dipilih jenis refrigeran
yang paling sesuai dengan jenis kompresor yang dipakai. Beberapa persyaratan
refrigeran yang baik dipakai diantaranya adalah :
1. Tekanan penguapan yang tinggi, sehingga dapat dihindari kemungkinan
terjadinya vacum pada evaporator dan turunnya efisiensi volumetrik
karena naiknya perbandingan kompresi.
2. Tekanan pengembunan yang tidak terlalu tinggi. Apabila tekanan
pengembunan rendah, maka perbandingan kompresinya menjadi lebih
rendah sehingga penurunan prestasi kompresor dapat dihindarkan. Selain
itu mesin dapat bekerja lebih aman karena kemungkinan terjadinya
kobocoran, kerusakan, ledakan, dan sebagainya menjadi lebih kecil.
3. Kalor laten penguapan harus tinggi. Refrigeran yang memiliki kalor laten
penguapan yang tinggi lebih menguntungkan kerena untuk kapasitas
refirgerasi yang sama jumlah refrigeran yang bersikulasi menjadi lebih
kecil.
4. Volume spesifik yang cukup kecil. Refrigeran dengan volume spesifik gas
yang kecil akan memungkinkan penggunaan kompresor dengan volume
langkah torak yang kecil.
5. COP yang tinggi.
6. Konduktivitas termal yang tinggi.
7. Viskositas yang rendah. Dengan turunnya tahanan aliran refirgeran dalam
pipa, kerugian tekanan akan berkurang.
8. Tidak menyebabkan korosi pada material.
9. Tidak beracun, berbau merangsang, dan tidak mudah terbakar.
Tambunan (2003) juga mengatakan bahwa kriteria evaluasi terhadap
refrigeran harus meliputi sifat kimiawi, kesehatan, keamanan, dampak
lingkungan, serta termofisiknya. Kriteria untuk kerja fisik meliputi kapasitas
pendinginan, kapasitas pemanasan, dan efisiensi energi dalam unit pendinginan
tersebut. Berikut ditampilkan tabel perbandingan dari beberapa refrigeran
halokarbon (R-12 dan R-22) dengan refrigeran hidrokarbon (MC-12 dan MC-22).
Tabel 2 Pebandingan Sifat-sifat Refrigeran Halokarbon dengan Hidrokarbon (Sumber : Pertamina) Properties Halocarbon Hydrocarbon
R-12 R-22 MC-12 MC-22 Parameter Kerja : 1. Entalpi cair (kJ/kg) 2. Entalpi gas (kJ/kg) 3. Densitas (kg/m3) 4. CP cair (kJ/kg.K) 5. CP gas (kJ/kg.K) 6. Tekanan Jenuh (bar) 7. Potensial korosi 8. Boiling Point ( f ) 9. Kompresion Rasio 10. Glide Temperature
261 602 533 2.53 1.88 5.5 Iya -21 3.1 0
224 363
1311 0.99 0.7 6.5 Iya
Unknown 3.02
0
265 601 492 2.73 2.07 9.5
Tidak -30.4 3.11 7.6
230 413
1191 1.26 0.87 10.4 Tidak -42.1 2.84
0 Aspek Lingkungan : 1. Atmospheric Lifetime 2. GWP 3. ODP
130 8100
1
Unknown
1500 0.055
Lass than 1
4 0
Lass than 1
3 0
Refrigeran R-12 merupakan refrigeran golongan CFC
(chlorofluorocarbon) yang dapat menyebabkan kerusakan lapisan ozon (ODP = 1)
dan pemanasan global (GWP = 8100). Refrigeran ini termasuk jenis refrigeran
yang bersifat kurang aman untuk digunakan dalam proses refrigerasi.
Karakteristik dari refrigeran ini yaitu sifat kemudahan mengalirnya yang tinggi
(keadaan cair). Selain itu, refrigeran R12 tidak menyebabkan ledakan, tidak
membawa aliran listrik dan berubah wujud di air (Sumber : Pertamina)
Berbeda dengan R-12, R-22 merupakan refrigeran yang termasuk ke
dalam golongan HCFC (hydrochlorofluorocarbon), dengan nilai ODP sebesar
0.055 dan menyebabkan pemanasan global yang tinggi dengan nilai GWP sebesar
1500. Jika dibandingkan dengan R-12, refrigeran R-22 tidak bagus bila bercampur
dengan oli. Koefisien pindah panas refrigeran ini selama pendidihan dan
pengembunan sebesar 25 – 30 % lebih tinggi daripada R12. Refrigeran R-22
memiliki tekanan kondensasi dan suhu keluar yang lebih tinggi dalam mesin
refrigerasi (Sumber : Pertamina)
Refrigeran MC-12 termasuk ke dalam golongan hidrokarbon, dimana
refrigeran ini merupakan campuran (blend) dari beberapa senyawa hidrokarbon
yang diantaranya propana, isobutana, butana. Karena refrigeran ini merupakan
campuran dari beberapa senyawa hidrokarbon, maka refrigeran ini memiliki suhu
layang (temperature glide) yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan MC-22
(7.6°C). Temperature glide merupakan perbedaan antara suhu uap jenuh dan suhu
cair jenuh yang dialami refrigeran pada saat berada dalam tekanan konstan.
Refrigeran ini memiliki karakteristik termodinamika yang lebih baik serta
memiliki sifat kerapatan yang rendah. Disamping itu produk ini dapat
menggantikan refrigeran R-12 tanpa harus mengubah atau mengganti komponen.
Dan keunggulan lain dari produk ini adalah memenuhi persyaratan internasional
karena memenuhi baku mutu internasional dalam pemakaiannya (Sumber :
Pertamina)
MC-22 merupakan refrigeran yang dibuat sebagai penganti refrigeran R-
22. Refrigeran ini juga termasuk ke dalam golongan hidrokarbon dengan propana
sebagai kandungan utamanya ( 99.7% ). Refrigeran ini memiliki temperature
glide yang paling rendah jika dibandingkan dengan MC-12 (0 oC). Disamping itu
refrigeran ini juga memiliki rasio kompresi dan laju aliran massa yang relatif lebih
kecil, dan efek refrigerasi dan COP yang relatif lebih besar dibanding refrigeran-
refrigeran halokarbon. Hal ini mengindikasikan bahwa refrigerant MC-22 lebih
efisien (efisiensi termal) dan lebih hemat energi dibanding refrigerant Halokarbon
yang digantikannya (Sumber : Pertamina)
Kelemahan refrigeran hidrokarbon adalah sifatnya yang mudah terbakar
(flammable), oleh karena itu diperlukan tingkat keamanan yang tinggi (McMulan,
2002). Menurut Sihaloho dan Tambunan (2005) bahaya flammibility hidrokarbon
dapat dikurangi dengan mencampurkan flame retardant pada hidrokarbon.
Pencampuran ini telah dilakukan oleh Stevenson (1994) dengan menggunakan gas
CO2 sebanyak 5-35 % dari total refrigeran yang digunakan. Disamping itu
penggunaan zat pembau seperti tetrahyrothiophene yang dicampurkan ke dalam
hidrokarbon dapat dijadikan sebagai bahan pendeteksi kebocoran karena cairan ini
merupakan substansi berbau keras dan cocok digunakan pada mesin pendingin
tanpa menimbulkan penyumbatan pada saluran pipa refrigeran (Komatsubara
et.al, 2002).
4. Siklus Refrigerasi Kompresi Uap
Prinsip dasar dari refrigerasi yaitu menyerap panas dari suatu ruangan
berisolasi atau tertutup, kemudian memindahkan dan mengeluarkan panas ke luar
ruangan. Akibatnya ruangan yang berisolasi tersebut menjadi dingin atau
dikatakan direfrigerasi, sedangkan panas yang diserap dari ruang tersebut dibuang
ke lingkungan. Untuk merefrigerasi ruangan diperlukan tenaga atau energi.
Tenaga yang paling mudah dan sering dimanfaatkan adalah tenaga listrik (Illyas,
1993).
Mesin pendingin dengan kompresi uap merupakan salah satu jenis mesin
pendingin yang umumnya digunakan pada zaman sekarang. Mesin pendingin ini
bekerja secara mekanik dan perpindahan panas berlangsung dengan
memanfaatkan sifat refrigeran yang berubah dari fase cair ke fase gas (uap)
kemudian ke fase cair kembali berulang (Tambunan, 2001).
Sistem kerja dari mesin pendingin adalah mengikuti daur Carnot terbalik.
Secara skematis daur Carnot pada mesin kompresi uap digambarkan seperti pada
Gambar 4.
Gambar 4 Sistem Refrigerasi dalam Daur Kompresi Uap
Siklus refrigersi kompresi uap tersebut terdiri dari rangkaian proses
diantaraya proses kompresi, kondensasi, ekspansi, dan evaporasi. Proses tersebut
dapat digambarkan dalam diagram tekanan entalpi seperti pada Gambar 5.
Gambar 5 Diagram Tekanan - Entalpi
Proses kompresi terjadi di titik 1-2, dimana refrigeran yang keluar dari
evaporator masuk dan dikempa oleh kompresor sehingga menghasilkan gas
refrigeran dengan tekanan dan suhu yang lebih tinggi. Fungsi dari kompresor itu
sendiri adalah untuk menggerakkan sistem refrigerasi agar dapat mempertahankan
perbedaan tekanan rendah dan tekanan tinggi pada sistem. Ada dua hal yang
dilakukan kompresor dalam melaksanakan fungsinya. Yang pertama adalah
evaporator Katup ekspansi
kompresor
4
Penyerapan panas (QO)
Gas jenuh P1 = P4 T1 = T4
Cair – gas P4 < P3 T4 < T3
Daerah tekanan rendah
Pipa isap (suction) Garis ekspansi
kondensor
1
2 3
Pelepasan panas (QK)
Gas P2 > P1 T2 > T1
Cair jenuh P3 = P2 T3 < T2
Daerah tekanan tinggi
Garis cairan Garis cairan
menghisap uap refrigeran dari evaporator. Dengan demikian memungkinkan
cairan refrigeran mendidih dan menguap pada suhu rendah. Yang kedua yaitu
memampatkan uap refrigeran yang diisap dari evaporator, sehingga tekanan dan
suhu refrigeran meningkat.
Proses kondensasi terjadi di titik 2-3 didalam kondensor. Kondensor
merupakan bagian mesin pendingin yang menerima uap panas bertekanan tinggi
dari kompresor. Komponen tersebut berfungsi untuk mengubah wujud refrigeran
uap panas bertekanan tinggi menjadi refrigeran cair bertekanan tinggi. Prinsipnya
adalah dengan menghilangkan panas sensibelnya yang diikuti oleh penghilangan
panas laten. Pada awal proses, suhu refrigeran sedikit mengalami penurunan,
selanjutnya berubah fase dari gas ke cair pada suhu tetap.
Pada proses ekspansi (3-4) tekanan cairan refrigeran diturunkan dengan
menggunakan katup cekik (expansion valve). Saat terjadi penurunan tekanan, juga
terjadi penurunan suhu dan peningkatan mutu gas refrigeran. Dengan penurunan
tekanan dan suhu, sebagian refrigeran cair berubah menjadi gas. Menurut
Arismunandar et al (1981), katup ekspansi digunakan untuk mengekspansikan
secara adiabatik cairan refrigeran yang bertekanan dan bertemperatur tinggi
sampai mencapai tingkat keadaan tekanan dan temperatur rendah. Selain itu katup
ekspansi berfungsi untuk mengatur pemasukan refrigeran sesuai dengan beban
pendinginan yang diterima oleh evaporator
Didalam evaporator terjadi proses evaporasi (4-1). Evaporator merupakan
suatu media penyerap kalor yang diberikan oleh beban sehingga fluida refrigeran
yang masuk berbentuk cair-gas berubah menjadi gas jenuh. Pada proses ini terjadi
terjadi perubahan fase dari cair ke gas dengan cara menyerap panas laten
penguapan diambil dari lingkungan atau dari load sehingga terjadi pendinginan
diruang evaporator. Besarnya pendinginan dinyatakan dalam efek pendinginan
(ton refrigerasi).
5. Analisis Eksergi Sistem Refrigerasi Kompresi Uap
Pendingin (refrigerasi) adalah proses termodinamika, sehingga analisis
terhadap terhadap pendinginan harus dilakukan dengan analisis termodinamika.
Proses termodinamik reversible adalah proses yang dapat berbalik ke keadaan
semula tanpa merubah sedikitpun kondisi lingkungan. Sehingga pada akhir dari
proses, sistem dan lingkungannya dapat kembali ke keadaan awalnya. Jika ini
terjadi maka pertukaran panas bersih dan kerja bersih antara sistem dengan
lingkungannya dapat dikatakan tidak ada (Silalahi, 2006). Proses tersebut
mengikuti kaidah prinsip hukum thermodinamika I, yaitu energi tidak dapat
diciptakan maupun dihilangkan, tetapi dapat diubah menjadi bentuk energi yang
lain.
Dari hukum thermodinamika I, pengukuran kinerja siklus refrigerasi
dinyatakan dalam Coefficient of Performance (COP). COP merupakan
perbandingan tingkat panas yang diterima oleh refrigeran dari beban (load) yang
diberikan terhadap panas atau kerja kompresi yang dibutuhkan. Perkin dan
Reynolds (1983) juga menyatakan bahwa performansi mesin pendingin tidak
dinyatakan dengan efisiensi, tetapi dinyatakan dalam koefisien performansi atau
COP.
Pada siklus kompresi uap, COP didefinisikan sebagai perbandingan dari
efek pendingin yang dilakukan pada refrigeran dengan kerja yang dilakukan pada
refrigeran. COP juga merupakan rasio perbandingan antara selisih entalpi di
kompresor dengan selisih entalpi di evaporator, sehingga dapat dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut :
12
41
hhhhCOP
−−
= ........................................................................... (2.1)
KompresiKerjanPendinginaEfekCOP = ............................................................... (2.2)
Dalam analisis eksergi berlaku hukum Thermodinamika II, dimana pada
suatu sistem terjadi suatu proses nyata tidak dapat balik ke keadaan semula
(ireversibelitas). Proses tersebut merupakan proses aktual (Burghardt dan
Harbach, 1993). Beberapa faktor yang menyebabkan irreversibelitas diantaranya
gesekan dan perpindahan panas. Analisis ini juga digunakan untuk mengetahui
efisien tidaknya suatu proses dalam penggunaan energi. Analisis eksergi juga
dapat digunakan untuk mencari lokasi dalam proses yang bekerja secara tidak
efisien.
Energi yang memasuki sistem refrigerasi bersumber dari kerja kompresor.
Tetapi pada kenyataannya tidak seluruhnya digunakan untuk proses pindah panas
pada sistem refrigerasi, melainkan terdapat banyak kehilangan energi di setiap
komponen mesin pendingin. Ahern (1980), menyatakan bahwa irreversibelitas
yang terjadi pada sistem kompresi uap disebabkan oleh (1) adanya gesekan piston
dalam kompresor, (2) adanya perbedaan suhu batas pada evaporator, (3) kerugian
di kondensor dan pipa-pipa refrigeran, (4) kerugian pada kondisi subcooling dan
superheating, (5) kehilangan panas pada pipa-pipa saluran refrigeran.
Asumsi yang dibuat dalam analisis ini adalah:
1) Refirigeran berupa gas ideal
2) Katup ekspansi dan kompresor adiabatik.
3) Evaporator dan kondensor isotermis.
4) Penurunan dan kenaikan tekanan diabaikan.
5) Keadaan jenuh pada saat pengeluaran kondensor.
Gambar 6. Diagram Aktual Suhu - Entropi Siklus Pendinginan (Yumrutas, 2002)
Garis a-b-c-d-a pada Gambar 4, menunjukkan siklus pendinginan dapat
balik dan garis 1-2-3-4-1 menunjukkan diagram T-s untuk siklus pendinginan
aktual. Garis 1-2S merepresentasikan proses kompresi isentropik. Untuk kondisi
ideal, refrigeran diasumsikan meninggalkan kondenser sebagai cairan saturasi di
kondisi 3’ pada tekanan luaran kompresor. Untuk kondisi aktual, jatuh tekanan di
kondensor menyebabkan luaran kondenser berada di kondisi 3 sebelum masuk
katup ekspansi. Jatuh tekanan juga menyebabkan yang keluar dari evaporator
seharusnya di kondisi 1 menjadi di kondisi 1’ (Yumrutas, 2002).
Kerja yang digunakan pada siklus aktual selalu lebih besar daripada yang
reversible dan perbedaan ini merupakan kerja yang hilang (loss work), yang
disebut juga exergy loss atau irreversibilitas. Exergy loss dapat diperoleh dari
perhitungan pertumbuhan entropi, dimana entropi didefinisikan sebagai derajat
keacakan yang merupakan ukuran penting dari suatu proses yang irreversibel.
Pertumbuhan entropi untuk aliran yang steady dinyatakan dalam persamaan (2.3).
∑∑∑ ≥−−=i i
ii
inie
outegen T
QsmsmS 0 ..................................... (2.3)
Pertumbuhan entropi adalah jumlah eksergi output dikurangi eksergi input
dan dikurangi laju perpindahan entropi melalui permukaan kendali dimana suhu
mutlak yang terjadi adalah Ti. Eksergi yang hilang (exergy loss) digambarkan
sebagai ukuran ketidakmampubalikan suatu proses termodinamika. Eksergi yang
hilang dapat dihitung dengan rumus:
genoL STW = ................................................................................ (2.4)
Efisiensi hukum II termodinamika yang dikenal dengan efisiensi eksergi
atau effectiveness dapat didefinisikan sebagai perbandingan kerja minimum yang
dibutuhkan terhadap input kerja aktual, yaitu:
Lrev
rev
ac
revII WW
WWW
+==η ...................................................... (2.5)
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛−−= 1)( 31
evap
kndrev T
ThhW ........................................................... (2.6)
Recommended