View
24
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
Implementasi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian Penambangan Liar Di Resort Srumbung Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang.
Citation preview
1
Kata pengantar
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT karena
dengan rahmat dan karunia-Nya, penelitian dengan judul “Implementasi Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Sebagai Upaya Pengendalian
Penambangan Liar Di Resort Srumbung Kecamatan Srumbung Kabupaten
Magelang” telah selesai. Diawali dari sebuah fenomena dalam masyarakat saat ini
yaitu adanya fenomena penambangan pasir ilegal, penulis tertarik untuk semakin
menggali tentang pengendalian penambang ilegal. Selain itu, rasa simpati atas
semakin meningkatnya jumlah penambang liar dan mengingat betapa besarnya
bahaya dari penambangan liar maka penulis menganggap perlu untuk melakukan
sebuah penilitian tentang pengendalian penambang liar.
Penelitian ini dilakukan dalam waktu yang cukup lama dan dengan segala
jerih payah penulis atas segala aktivitas yang dilakukan. Semoga penelitian ini
bisa menambah khazanah ilmu pengetahuan pada umumnya serta memberikan
pelajaran yang lebih bagi penulis.
Ucapan terima kasih :
1. Prof. M. Hawin,S.H.,LL.M.,Ph.D. selaku dekan fakultas hukum UGM
yang senantiasa menyemangati para mahasiswa untuk terus belajar dan
membuahkan karya hasil pemikiran termasuk mengadakan penelitian.
2. Ibu Rimawati, S.H., M.Hum selaku dosen pembimbing penelitian yang
telah menyediakan waktunya untuk menerima konsultasi selama
penelitian.
3. Dr.Jur., M.Jur. Any Andjarwati, S.H selaku reviewer kami yang telah
banyak memberikan masukan-masukan cerdas.
4. Para Bapak dan Ibu dosen reviewer lainnya yang juga telah memberikan
banyak masukan kepada peneliti.
2
5. Bapak Ir. Tri Prasetyo, selaku Kepala Balai Taman Nasional Gunung
Merapi, selaku narasumber, yang telah memberikan banyak masukan dan
informasi yang dibutuhkan peneliti untuk menggali pembahasan dalam
penelitin ini.
6. Bapak Nuryadi, S.Hut, MP, selaku Kepala Seksi Pengelolaan Taman
Nasional Wilayah I, Sleman & Magelang, yang telah meluangkan
waktunya untuk menemani peneliti ke lokasi penelitian yaitu di Resort
Desa Srumbung Magelang.
7. Bapak Suyatno, selaku koordinator para penambang desa sebagai
narasumber, yang telah bersedia membantu penulis dalam mencari data-
data yang diperlukan untuk penelitian.
8. Serta semua pihak yang telah membantu kami selama penelitian.
Peneliti I Peneliti II
Eka Nanda Ravizki Bintang Pratama
3
Abstraksi
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
praktek, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisatadan
rekreasi alam (UU No. 5 Tahun 1990). Taman Nasional Gunung Merapi,
khususnya pada Resort Srumbung, merupakan salah satu lokasi penambangan
pasir yang sudah dilakukan masyarakat sejak tahun 1930 pada saat awal Merapi
mengalami erupsi. Kegiatan penambangan pasir yang dilakukan sudah sangat
intensif dan masif, hal ini didukung dengan sumber daya yang melimpah akibat
erupsi merapi yang terjadi secara periodik. Adanya aktivitas masyarakat yang
tinggal di dalam dan turut memanfaatkan kawasan berdampak dan berpengaruh
pada kondisi serta keberadaan kawasan konservasi. Salah satu kegiatan
masyarakat di sekitar kawasan yang menjadi kendala dalam usaha pengelolaan
adalah penambangan pasir yang terjadi secara intensif dan masif.
Aktivitas penambangan di lereng Gunung Merapi sudah dimulai sejak Gunung
ini mengeluarkan lava pada tahun 1930an. Lava yang turun dari puncak merapi
membawa jutaan meter kubik material pasir. Material pasir tersebut ikut mengalir
dan tertinggal di sungai – sungai yang menjadi jalur lava. Bagi masyarakat di
sekitar lokasi ini, kegiatan penambangan pasir merupakan pekerjaan turun-
temurun dan hasilnya sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup
keluarga mereka. Padahal sebenarnya kegiatan yang terjadi sejak dulu ini
berdampak negatif pada lingkungan hidup dan ekosistem di Kawasan Taman
Nasional Gunung Merapi. Pertambangan pasir di kawasan Gunung Merapi banyak
menimbulkan dampak lingkungan seperti munculnya kerusakan lingkungan,
kerusakan hutan, kerusakan daerah aliran sungai (DAS), kerusakan jalan,
jembatan, dan fasilitas pengendali banjir (sabo dam).
Proses penambangan di Merapi, beralih dari aktivitas penambangan sederhana
ke cara modern dengan menggunakan back hoe memberikan tekanan besar bagi
perubahan kondisi alam di kawasan ini. Berbeda dari aktivitas penambangan yang
4
hanya mengandalkan tenaga manusia, yang relatif lambat, mengunakan peralatan
seadanya dan memanfaatkan sebagian besar material letusan Merapi, maka
penambangan dengan menggunakan back hoe lebih cepat mengeruk, menggali
dan mengubah bentang alam
Kata kunci : Penambang liar, implementasi peraturan presiden, pelestarian
lingkungan
Abstraction
The National Park is an area of nature conservation that has the original
ecosystem, managed by the zoning system used for the purpose of the practice,
science, education, support agriculture, recreation, nature pariwisatadan (Act 5 of
1990). Mount Merapi, particularly Resort Srumbung National Park is one of the
sand extraction sites has been published since 1930, when the initial eruption of
Merapi experienced. Mining of sand are carried out has been very intense and
massive, which is supported by abundant resources due to the eruption of Merapi
that occurs periodically. The activities of the people living in and co-utilizing the
impact and effect on the region as well as the conditions of conservation areas.
One community activities around the area that become obstacles in business is the
management of sand mining that produces intense and massively.
Mining activities on the slopes of Mount Merapi started in this mountain washes
published in the 1930s Lava flowing down from the peak of Merapi out millions
of cubic meters of sand material. The sand material and time required in the river
flows - which is the main river of lava. To the community around here, the sand
mining activities is the work of the hereditary and the result was very helpful to
meet the needs of their family life. When in fact, the events that have occurred
since this had a negative impact on the environment and ecosystems in the area of
Mount Merapi National Park. Sand mining in the area of Mount Merapi many
5
environmental impacts such as increased environmental damage, deforestation,
destruction of watersheds (DAS), damage to roads, bridges and flood control
facilities (sabo dams) .
Mining process at Merapi, changing simple mining activities to the modern way
by using a backhoe gives a lot of pressure for changes in natural conditions in the
region. It is different from the mining activities that rely on human power, which
is relatively slow, the use of sophisticated tools and take advantage of most of the
eruption of Merapi material, then the mine using a hoe fastest lap dredge, excavate
and alter the landscap.
Keyword : Illegal miners , the implementation of the presidential decree , environmental sustainability
6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................1
INTISARI.................................................................................................................3
ABSTRAKSI............................................................................................................4
ABSTRACT...............................................................................................................5
DAFTAR ISI............................................................................................................7
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................9
A. Latar Belakang.............................................................................................9B. Rumusan Masalah......................................................................................12C. TujuanPenelitian........................................................................................13D. Keaslian Penelitian.....................................................................................13E. Manfaat Penelitian.....................................................................................15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................17
BAB IIIMETODE PENELITIAN.......................................................................................29
A. Jenis Penelitian...........................................................................................29B. Bahan penelitian.........................................................................................29 C. Lokasi Penelitian........................................................................................32D. Subjek Penelitian........................................................................................32E. Teknik Pengumpulan Data dan Alat Pengumpulan Data...........................33F. Analisis Data..............................................................................................33
BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBHASAN........................................................35
1. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penambangan liar di
Kabupaten Magelang?................................................................................35
2. Pengaturan mengenai penambangan liar di Kabupaten Magelang saat
ini?..............................................................................................................44
7
3. Bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Magelang
berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014
Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi
untuk menekan jumlah penambang liar di Kabupaten
Magelang?..................................................................................................47
BAB V PENUTUP..............................................................................................................58
A. Kesimpulan................................................................................................58B. Saran...........................................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................60
8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
praktek, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisatadan
rekreasi alam (UU No. 5 Tahun 1990). Taman Nasional Gunung Merapi
merupakan perwakilan ekosistem hutan yang spesifik Kawasan Taman
Nasional Gunung Merapi memiliki berbagai variasi ekosistem, mulai dari
ekosistem montana, tropical montain forest, hutan sekunder, hingga hutan
tanaman. Sehingga kawasan Taman Nasional Gunung Merapi mempunyai
keunikan dan kekhasan geosistem, biosistem dan sociosistem. Kawasan ini
mempunyai peranan yang sangat penting bagi wilayah Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai sumber air bersih, sumber udara bersih
dan kenyamanan lingkungan.
Taman Nasional yang ada di Indonesia terdiri dari Taman Nasional Hutan
dan Taman Nasional Gunung. Salah satu Taman Nasional Gunung
(selanjutnya disebut dengan TNGM) yang ada di Indonesia adalah Taman
Nasional Gunung Merapi yang terletak di 2 Provinsi yaitu Jawa Tengah dan
D.I Yogyakarta dan juga secara administratif terletak pada 4 kabupaten yaitu
Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten.
Seperti halnya Taman Nasional lain di Indonesia, Taman Nasional Gunung
Merapi juga berdampingan dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya yang
sangat menggantungkan hidupnya baik secara langsung maupun tidak pada
kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.
Pada dasarnya sebelum terbentuknya balai pengelola taman nasional,
TNGM di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Adanya
Hutan-hutan di Gunung Merapi, telah ditetapkan sebagai kawasan
lindung sejak tahun 1931 untuk perlindungan sumber air, sungai dan
penyangga sistem kehidupan kabupaten/kota Sleman, Yogyakarta, Klaten,
Boyolali, dan Magelang. Sebelum ditunjuk menjadi Taman Nasional Gunung
9
Merapi, kawasan hutan di wilayah yang termasuk propinsi DI Yogyakarta
terdiri dari fungsi-fungsi hutan lindung seluas 1.041,38 ha, cagar alam (CA)
Plawangan Turgo 146,16 ha; dan taman wisata alam (TWA) PlawanganTurgo
96,45 ha. Kawasan hutan di wilayah Jateng yang masuk dalam wilayah TN ini
merupakan hutan lindung seluas 5.126 ha.1
Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi berbasis resort dengan 2
Seksi Pengelolaan Taman Nasional (STPN) yaitu STPN Wilayah I Sleman
dan Magelang yang terdiri atas Resort Wilayah Cangkringan, Resort Wilayah
Turi Pakem, Resort Wilayah Dukun dan Resort Wilayah Srumbung,
sedangkan SPTN Wilayah II Boyolali dan Klaten terdiri atas Resort Wilayah
Kemalang, Resort Wilayah Selo, Resort Wilayah Musuk-Cepogo. Keberadaan
Taman Nasional Gunung Merapi berkaitan erat dengan keberadaan
masyarakat. Taman Nasional Gunung Merapi, khususnya pada Resort
Srumbung, merupakan salah satu lokasi penambangan pasir yang sudah
dilakukan masyarakat sejak tahun 1930 pada saat awal Merapi mengalami
erupsi. Kegiatan penambangan pasir yang dilakukan sudah sangat intensif dan
masif, hal ini didukung dengan sumber daya yang melimpah akibat erupsi
merapi yang terjadi secara periodik.2
Adanya aktivitas masyarakat yang tinggal di dalam dan turut
memanfaatkan kawasan berdampak dan berpengaruh pada kondisi serta
keberadaan kawasan konservasi. Salah satu kegiatan masyarakat di sekitar
kawasan yang menjadi kendala dalam usaha pengelolaan adalah penambangan
pasir yang terjadi secara intensif dan masif.
Manusia memegang peranan yang sangat penting dalam pelestarian
lingkungan baik perorangan, kelompok masyarakat ataupun dalam segala
upayanya yang dapat berhubungan langsung dengan alam. Untuk Kawasan
Taman Nasional Gunung Merapi terjadi kegiatan manusia yang sangat
1 Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Magelang., 2007, Status Lingkungan Hidup DaerahKabupaten Magelang 2007, Pemerintah Kabupaten Magelang, hlm 27.2 Ibid.
10
mempengaruhi ekosistem hutan yaitu kegiatan penambangan pasir yang
terjadi secara intensif dan masif.
Aktivitas penambangan di lereng Gunung Merapi sudah dimulai sejak
Gunung ini mengeluarkan lava pada tahun 1930an. Lava yang turun dari
puncak merapi membawa jutaan meter kubik material pasir. Material pasir
tersebut ikut mengalir dan tertinggal di sungai – sungai yang menjadi jalur
lava. Bagi masyarakat di sekitar lokasi ini, kegiatan penambangan pasir
merupakan pekerjaan turun-temurun dan hasilnya sangat membantu dalam
memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Padahal sebenarnya kegiatan
yang terjadi sejak dulu ini berdampak negatif pada lingkungan hidup dan
ekosistem di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Pertambangan pasir
di kawasan Gunung Merapi banyak menimbulkan dampak lingkungan seperti
munculnya kerusakan lingkungan, kerusakan hutan, kerusakan daerah aliran
sungai (DAS), kerusakan jalan, jembatan, dan fasilitas pengendali banjir (sabo
dam).3
Menurut Dinas Pengairan, Pertambangan, dan Penanggulangan Bencana
Alam (P3BA), kerusakan yang terjadi akibat penambangan pasir meliputi
perubahan kondisi alam, hilangnya kesuburan tanah dan perubahan tata air.
Pasca penambangan, kondisi alam berubah dan meninggalkan kerusakan
dengan pemandangan yang buruk. Bersamaan dengan berubahnya kondisi
alam, permukaan tanah yang merupakan lapisan tanah paling subur yang
memiliki kandungan humus akan hilang disebabkan penggalian atau
pengerukan pasir. Akibatnya tanah disekitar lokasi penambangan pasir rata-
rata merupakan area perbukitan gundul dan tanah gersang.
Proses penambangan di Merapi, beralih dari aktivitas penambangan
sederhana ke cara modern dengan menggunakan back hoe memberikan
tekanan besar bagi perubahan kondisi alam di kawasan ini. Berbeda dari
aktivitas penambangan yang hanya mengandalkan tenaga manusia, yang
3 Ari Nurlitawati, 2011, “Penambangan Pasir Lereng Merapi : Antara Berkah Dan Musibah”, https://anurlita.wordpress.com/artikel-ku/penambangan-pasir-lereng-merapi/, diakses pada tanggal 29 April 2015 pukul 19.05
11
relatif lambat, mengunakan peralatan seadanya dan memanfaatkan sebagian
besar material letusan Merapi, maka penambangan dengan menggunakan back
hoe lebih cepat mengeruk, menggali dan mengubah bentang alam. Apalagi
tingkat permintaan pembeli akan pasir Merapi terus meningkat (rata-rata 6-9
juta M 3 /tahun), tidak lagi sebanding dengan supply material dari letusan
Merapi rata-rata hanya mampu memberikan daya dukung kebutuhan pasir
sebesar 2,5 juta M 3 / tahun.4
Berdasarkan uraian di atas peneliti berpandangan perlu untuk membahas
lebih dalam lagi tentang bagaimana prospek dari upaya pengendalian
penambang liar ini ke depannya oleh Pemerintah sehingga bisa diketahui apa
saja hambatan-hambatan yang mungkin dialami dalam pelaksanaan upaya
tersebut. Sehingga pada akhirnya didapatkan solusi yang mampu memecahkan
masalah dari hambatan-hambatan yang ada demi mewujudkan perlindungan
kelestarian kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
penambangan liar di Kabupaten Magelang?
2. Bagaimana pengaturan mengenai penambangan liar di Kabupaten
Magelang saat ini?
3. Bagaimana bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Magelang berdasarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi untuk menekan jumlah
penambang liar di Kabupaten Magelang?
4 Ibid.
12
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti dapat dibagi
menjadi dua yaitu:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
penambangan liar di Kabupaten Magelang.
2. Untuk mengetahui pengaturan penambangan liar di Kabupaten
Magelang saat ini.
3. Untuk menggambarkan upaya yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Magelang untuk menekan jumlah penambang liar di
Kabupaten Magelang saat ini dan memberikan solusi ke depan agar
pengendalian terhadap penambang liar menjadi lebih baik.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai “Implementasi Presiden Republik Indonesia
Nomor 70 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman
Nasional Gunung Merapi Dalam Kaitannya Dengan Pengendalian
Penambangan Liar di Kabupaten Magelang“ ini belum pernah diangkat
sebelumnya menjadi sebuah penelitian baik itu berupa skripsi, tesis,
disertasi, jurnal hukum, ataupun penelitian-penelitian lainnya, mengingat
Peraturan Presiden ini baru diundangkan pada akhir tahun 2014.
Namun demikian sebelumnya telah ada beberapa penelitian yang
serupa dengan tema yang diangkat peneliti, yaitu :
1. Miftakhurochman, 2012, Analisis Implementasi Kebijakan
Pertambangan Terhadap Lingkungan Sosial Ekonomi Di
Kabupaten Magelang Tahun 2011 (Studi Kasus Di Wilayah
Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang), Tesis, Hukum
Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kesimpulan
dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis dampak implementasi kebijakan bidang
pertambangan pasca erupsi Merapi 2010 di Kabupaten Magelang
terhadap pendapatan penambang manual dan penyerapan tenaga
13
kerja pertambangan. Selain ini juga bertujuan mengetahui
kontribusi, tingkat efektif dan efisiensi pemungutan pajak bahan
mineral bukan logam dan batuan terhadap APDB Kabupaten
Magelang.
2. Yudhistira, 2011, Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat
Kegiatan Penambangan Pasir Di Desa Keningar Daerah Kawasan
Gunung Merapi, Penelitian, Ilmu Lingkungan, Universitas
Diponegoro, Semarang. Penelitian ini dilaksanakan di Desa
Keningar kecamatan Dukun Kabupaten Magelang. Metode
penelitian yang digunakan metode analisis kuantitatif. Untuk
penghitungan tingkat erosi dilakukan dengan rumus USLE
sedangkan aspek sosial melakukan wawancara dengan pertanyaan
terstruktur yang didukung kuesioner terhadap responden untuk
mengetahui pendapat tentang lingkungan sekitar. Hasil penelitian
menunjukkan tingkat erosi di lokasi penambangan pasir adalah
moderat dan ringan dan menimbulkan dampak fisik lingkungan
seperti tanah longsor, berkurangnya debit air permukaan (mata air),
tingginya lalu lintas kendaraan membuat mudah rusaknya jalan,
polusi udara, dan dampak sosial ekonomi. Dampak sosial ekonomi
penyerapan tenaga kerja karena sebagian masyarakat bekerja
menjadi tenaga kerja di penambangan pasir, adanya pemasukan
bagi pemilik tanah yang dijual atau disewakan untuk diambil
pasirnya dengan harga tinggi, banyaknya pendatang yang ikut
menambang sehingga dapat menimbulkan konflik, adanya
ketakutan sebagian masyarakat karena penambangan pasir yang
berpotensi longsor. Berdasarkan analisis SWOT maka langkah-
langkah yang perlu dilakukan untuk menghindari dampak
lingkungan adalah dengan memanfaatkan teknologi konservasi
lahan dan penegakan hukum melalui peraturan perundangan yang
jelas, transparan dan akuntabel serta pelibatan peran aktif
masyarakat.
14
Berdasarkan judul maupun kesimpulan dari penelitian-penelitian
tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penelitian-penelitian tersebut
berbeda dengan penelitian yang peneliti angkat. Penelitian-penelitian
tersebut fokus mendalami tentang kebijakan pertambangan pasca erupsi
merapi dan dampak kerusakan lingkungan dari penambangan sedangkan
penelitian yang peneliti angkat lebih fokus mendalami tentang
pengendalian penambang liar.
E. Manfaat Penelitian
A. Manfaat secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih
pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
hukum, khususnya dalam pertambangan dan perlindungan kawasan
Taman Nasional, khususnya terkait perkembangan upaya-upaya
pemerintah dalam menekan jumlah penambang liar di Kabupaten
Magelang. Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan
gagasan yang progresif untuk dijadikan dasar peningkatan peran
Pemerintah Kabupaten Magelang agar dapat efektif dan optimal dalam
melakukan pengendalian penambangan liar.
B. Manfaat secara Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan Penelitian ini
diharapkan mampu menyelesaikan kesulitan-kesulitan penegakan
hukum dalam penanganan penambang liar. Dalam jangka panjang
penulisan ini diharapkan menjadi solusi bagi Pemerintah Kabupaten
Magelang dalam mewujudkan pelestarian lingkungan Taman Nasional
Gunung Merapi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat
membantu masyarakat dalam memahami dan mengakses informasi
15
mengenai perlindungan terhadap kawasan Taman Nasional dan peran
Pemerintah dalam menekan jumlah penambang liar.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Mengenai Kawasan Hutan, Kawasan Konservasi dan Taman
Nasional
Berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Kawasan, hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau
ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap. Pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok atas Hutan
konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.
Kawasan konservasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya adalah
kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan suaka alam yaitu
cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam yaitu taman
nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya, dan taman buru. Taman
Nasional menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56
/Menhut-Ii/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional adalah kawasan
pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem
asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan praktek,
ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan
rekreasi.
B. Tinjauan Umum Mengenai Pertambangan
1. Pengertian Hukum Pertambangan
Menurut Ensiklopedia Indonesia, Hukum pertambangan adalah :
“Hukum yang mengatur tentang penggalian atau pertambangan
bijih – bijih dan mineral – mineral dalam tanah”
17
Salim HS mengatakan bahwa : 5
“hukum pertambangan adalah keseluruhan kaidah yang mengatur
kewenangan Negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) dan
mengatur hubungan hukum antara dengan Negara dengan orang dan atau
badan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian (tambang)”.
Dari uraian di atas, ada tiga unsur yang tercantum dalam definisi
tersebut, yaitu adanya kaidah hukum, adanya kewenangan negara dalam
pengelolaan bahan galian, dan adanya hubungan hukum antara negara dengan
orang dan/atau badan hukum dalam pengusahaan bahan galian.
2. Asas-asas Hukum Pertambangan
Asas-asas yang berlaku dalam penambangan mineral dan batu bara telah
ditetapkan dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 ada 4 (empat) macam,
yaitu 6:
a. Manfaat, Keadilan, dan Kesinambungan
Yang dimaksud dengan asas manfaat dalam pertambangan
adalah asas yang menunjukkan bahwa dalam melakukan
penambangan harus mampu memberikan keuntungan dan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi peningkatan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat.
b. Keberpihakan kepada Kepentingan Negara
Asas ini mengatakan bahwa di dalam melakukan kegiatan
penambangan berorientasi kepada kepentingan negara.
c. Partisipatif, Transparansi, dan Akuntabilitas
Asas partisipasif adalah asas yang menghendaki bahwa
dalam melakukan kegiatan pertambangan dibutuhkan peran serta
masyarakat untuk penyusunan kebijakan, pengelolaan,
pemantauan, dan pengawasan terhadap pelaksanaannya.
5 Salim HS, 2006, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 08.6 Gatot Supramono, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. hlm 07.
18
d. Berkelanjutan dan Berwawasan lingkungan
Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan adalah asas yang secara terencana mengintegrasikan
dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam
keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batu bara untuk
mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang.
3. Pertambangan Pasir
Pemanfaatan lahan untuk penambangan pasir selalu dilakukan
pada tanah yang telah dilindungi oleh UUPA, sedangkan penggalian
itu sendiri sejak bergulirnya era otonomi daerah diatur dengan izin dari
pemerintah daerah melalui PERDA sesuai dengan asas disentralisasi.
Dengan Pasal 14 UUPA telah ditegaskan tentang rencana umum
kebijakan pemerintah dalam hal pengaturan pendayagunaan bumi, air,
dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya.
Adapun pengertian pertambangan dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 adalah:
“Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batu bara yang
meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan
penjualan, serta kegiatan pasca tambang.”
Pengertian tersebut dalam arti luas karena meliputi berbagai
kegiatan penambangan yang ruang lingkupnya dapat dilakukan
sebelum penambangan, proses penambangan, dan sesudah proses
penambangan.
Penggolongan bahan galian diatur dalam Pasal 3 Undang-
Undang No. 11 Tahun 1967, Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 27
19
Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan Galian. Bahan galian dapat
dibagi menjadi tiga golongan, yaitu7:
a. Bahan galian strategis
b. Bahan galian vital,
c. Bahan galian yang tidak termasuk bahan galian strategis dan vital.
Berdasarkan penggolongan bahan galian diatas, dapat diketahui
bahwa penambangan pasir termasuk bahan galian golongan C yakni
bahan galian yang tidak termasuk golongan A (strategis) atau B (vital).
Pasir adalah contoh bahan material butiran. Butiran pasir umumnya
berukuran antara 0,0625 sampai 2 milimeter. Materi pembentuk pasir
adalah silikon dioksida, tetapi di beberapa pantai tropis dan subtropis
umumnya dibentuk dari batu kapur. Pasir tidak dapat ditumbuhi oleh
tanaman, karena rongga-rongganya yang besar-besar.
4. Penambang Liar
Salah satu kriteria utama yang digunakan untuk mendefinisikan
penambangan liar adalah tidak dimilikinya hak atas tanah, lisensi
pertambangan, izin eksplorasi atau transportasi mineral atau dokumen
apapun yang sah untuk operasi pertambangan.
Pertambangan liar/ilegal dapat dioperasikan baik di permukaan atau
bawah tanah. Pertambangan tanpa izin adalah ilegal karena di sebagian
besar negara, sumber daya mineral bawah tanah adalah milik negara.
Sumber daya mineral hanya bisa ditambang oleh operator berlisensi
menurut hukum dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah.
7 Salim HS, Op.cit., hlm. 44.
20
C. Tinjauan mengenai Zonasi dalam Taman Nasional
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006
Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Menteri Kehutanan, Zonasi taman
nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi
zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis
data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata
batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek
ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Kriteria penetapan zonasi
dilakukan berdasarkan derajat tingkat kepekaan ekologis (sensitivitas ekologi),
urutan spektrum sensitivitas ekologi dari yang paling peka sampai yang tidak peka
terhadap intervensi pemanfaatan, berturut-turut adalah zona: inti, perlindungan,
rimba, pemanfaatan, koleksi, dan lain-lain. Selain hal tersebut juga
mempertimbangkan faktor-faktor: keperwakilan (representation), keaslian
(originality) atau kealamian (naturalness), keunikan (uniqueness), kelangkaan
(raritiness), laju kepunahan (rate of exhaution), keutuhan satuan ekosistem
(ecosystem integrity), keutuhan sumberdaya/kawasan (intacness), luasan kawasan
(area/size), keindahan alam (natural beauty), kenyamanan (amenity), kemudahan
pencapaian (accessibility), nilai sejarah/arkeologi/ keagamaan (historical/
archeological/religeus value), dan ancaman manusia (threat of human
interference), sehingga memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian secara
ketat atas populasi flora fauna serta habitat terpenting.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006
Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional Menteri Kehutanan terdapat
beberapa zonasi yaitu:
1. Zona Inti
Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi
alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu
oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan
keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.
21
Peruntukan Zona inti : untuk perlindungan ekosistem, pengawetan
flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan
perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar,
untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,
pendidikan, penunjang budidaya.
2. Zona Rimba
Peruntukkan Zona rimba adalah untuk kegiatan pengawetan dan
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan
penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran
dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona rimba
meliputi:
1. Perlindungan dan pengamanan;
2. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan
ekosistemnya;
3. Pengembangan penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas,
pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya;
4. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan
keberadaan populasi hidupan liar;
5. Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan
penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas.
3. Zona Pemanfaatan
Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak,
kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan untuk
kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
Peruntukkan Zona pemanfaatan adalah untuk pengembangan
pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan
22
pengembangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang
budidaya.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan
meliputi:
1. Perlindungan dan pengamanan;
2. Inventarisasi dan monitoring sumberdaya alam hayati dengan
ekosistemnya;
3. Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang
budidaya;
4. Pengembangan potensi dan daya tarik wisata alam;
5. Pembinaan habitat dan populasi;
6. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa
lingkungan;
7. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian,
pendidikan, wisata alam dan pemanfatan kondisi/jasa lingkungan.
4. Zona Tradisional
Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan
untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena
kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam.
Peruntukkan Zona tradisional adalah untuk pemanfaatan potensi
tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui
pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
5. Zona Rehabilitasi
Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena
mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan
komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
Peruntukkan Zona rehabilitasi adalah untuk mengembalikan ekosistem
kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem
alamiahnya.
23
6. Zona Religi
Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional
yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan
atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan
nilai-nilai budaya atau sejarah. Peruntukkan Zona religi, budaya dan
sejarah adalah untuk memperlihatkan dan melindungi nilai-nilai hasil
karya budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan, sebagai wahana
penelitian, pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius.
7. Zona Khusus
Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi
yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan
sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut
ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi,
fasilitas transportasi dan listrik.
Peruntukkan Zona khusus adalah untuk kepentingan aktivitas
kelompok masyarakat yang tinggal diwilayah tersebut sebelum
ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang
kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana
telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
D. Tinjauan Umum tentang Tata Ruang
Konsep dasar hukum penataan ruang tertuang di dalam pembukaan UUD
945 alinea ke-4 yang berbunyi :
“Melindungi segeap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia”
Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen keempat,
berbunyi :
24
“Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.”
Ketentuan tersebut memberikan hak penguasaan kepada Negara atas
seluruh sumber daya alam Indonesia dan memberikan kewajiban kepada
Negara untuk menggunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kalimat
tersebut mengandung makna, Negara mempunyai kewenangan untuk
melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam
guna terlaksanaanya kesejhteraan yang dikehendaki.8
Ruang wilayah nasional sebagai wadah atau tempat bagi mansia dan
makhuk lainnya hidup dan melakuka kegiatannya merupakan karunia Tuhan
Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia yang perlu disyukri, dilindungi dan
dikelola. Ruang wajib dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara
optimal dan berkelanjutan dami kelangsungan hidup yang berkualias.9
Berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
diketahui bahwa ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara
beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Kegiatan manusia
dan makhluk hidup lainnya membutuhkan ruang sebagaimana lokasi berbagai
pemnfaatan ruang, atau sebaliknya, suatu ruang dapat mewadahi berbagai
kegiatan sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan.
Meskipun suatu ruang tidak dihuni manusia seperti ruang hampa udara,
lapisan dibawah kerak bumi, kawah gunung berapi, tetapi ruang tersebut
mempunyai pengaruh terhadap kehidupan dan dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan dan kelangsungan hidup.
Dengan demikian, ruang wilayah nasional merupakan asset besar bangsa
Indonesia yang harus dimanfaatkan secara terkoordinasi, terpadu dan sefektif
8 Juniarso Ridwan, 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan Otonomi Daerah, Nuansa, Bandung, hlm 28.9 Muchsin, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 44.
25
mungkin dengan memperhatikan factor-faktor politik,eonomi, social, budaya,
pertahanan dan keamanan, serta kelestarian lingkungan untuk menopang
pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur.
Dengan kata lain, wawasan penataan ruang wilayah nasional adalah Wawasan
Nusantara.
Untuk dapat mewujudkan tujuan Negara, khususnya meningkatkan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti Negara
harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya
tujuan tadi dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah. Apabila kita
cermati dengan seksama, kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh Negara
yang kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka dalam
pemanfaatannya juga harus diatur dan dikembangkan dalam peta tata ruang
yng terkoordinasi sehingga tidak akan adanya perusakan terhadap lingkungan
hidup.
E. Tinjauan tentang Dampak Penambangan Liar
Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan
lingkungan, pengrusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan
perubahan langsung/ tidaklangsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya
yang mengakibatkan lingkungan hidup tidakdapat berfungsi lagi dalam
menunjang pembangunan berkelanjutan.Salah satu indikator kerusakan
lingkungan adalah erosi. Erosi adalah proses berpindahnya tanah atau batuan
dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah akibat
dorongan air, angin, atau gaya gravitasi. Proses tersebut melalui tiga tahapan,
yaitu pelepasan, pengangkutan atau pergerakan, dan pengendapan.
Penambangan Pasir tidak hanya memberikan keuntungan dan manfaat
tetapi juga menimbulkan permasalahan. Kegiatan penambangan pasir yang
menggunakan alat berat yang berfungsi untuk mengeruk material yang berada
di dataran maupun di dinding tebingmenimbulkan permasalahan ekologis dan
sosial bagi lingkungan sekitar. Dampak lingkunga ndari kegiatan
26
penambangan pasir di bedakan menjadi dampak fisik dan dampak sosial
ekonomi.10
Dampak fisik lingkungan dengan adanya kegiatan penambangan pasir
adalah sebagai berikut:
1. Tingginya tingkat erosi di daerah penambangan pasir dan juga
didaerah sekitarnya.
2. Adanya tebing-tebing bukit yang rawan longsor karena penambangan
yang tidak memakai sistem berteras sehinggaa sudut lereng menjadi
terjal dan mudah longsor
3. Berkurangnya debit air permukaan/ mataair
4. Tingginya lalu lintas kendaraan di jalan desa membuat mudah
rusaknya jalan.
5. Terjadinya polusi udara.
Dampak sosial dengan adanya kegiatan penambangan pasir adalah sebagai
berikut :11
1. ekonomi yang terjadi dengan adanya kegiatan penambangan pasir
2. Pengurangan jumlah pengangguran karena sebagian masyarakat
bekerja menjadi
3. tenaga kerja di penambangan pasir, baik sebagai pengawas, buruh
tambang, penjual
4. makanan dan minuman .
5. Adanya pemasukan bagi pemilik tanah yang dijual atau disewakan
untuk diambil
6. pasirnya dengan harga tinggi. Tanah yang semula tidak
menghasilkan menjadi
10 Boniska Fitri Almaida, 2008, Kajian Dampak Lingkungan Kegiatan PenambanganBahan Galian Golongann C ( Studi Kasus daerah Sendangmulyo), Tesis Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro, Semarang.11 Ibid.
27
F. Tinjauan tentang Peran Masyarakat dalam Pemeliharaan Lingkungan
Peran serta masyarakat merupakan factor terpenting sebagai bagian dari
instrument dalam hukum lingkungan, karena melalui masyarakat inilah
berbagai indikasi perusakan lingkungan dn pecemaran lingkungan dapat
diketahui. Di lain pihak, masyarakat juga sebagai factor utama terpelihara atau
rusaknya lingkungan karena masyarakat yang langsung berinteraksi dengan
lingungan tempat mereka menetap.12
Peran dan kontrol masyarakat dalam pemeliharaan fungsi lingkungan
hidup dalam tataban implementasi secara yuridis dapat diakomodasikan ke
dalam sebuah lembaga swadaya masyarakat sebagai representasi masyarakat
dalam mengupayakan perlndungan hukum akibat perusakan lingkungan
dengan wujud peran masyarakat yang diatur dalam undang-undang no. 23
tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang menyatakan lembaga
swadaya masyarakat berperan serta sebagai penunjng bagi pengelolaa
lingkungn hidup.13
12 Juniarso Ridwa, Op.Cit, hlm 7713 Ibid
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian
Jenis Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum
yuridis-empiris. Yuridis yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dan
ketentuan hukum positif, serta penerapannya di masyarakat. Karena
dalam penelitian ini akan mencari tahu dan menganalisa apakah
peraturan perundang-undangan yang ada sudah mengatur
permasalahan yang akan diteliti secara komprehensif atau belum.
Empiris yaitu meneliti gejala-gejala dan juga fakta-fakta yang terjadi di
masyarakat. Penelitian ini bertujuan menganalisa fakta-fakta yang ada
dalam masyarakat setelah itu untuk dikomparasikan dengan
pengaturan yang ada. Sehingga pada akhirnya kami dapat menganalisa
apakah terjadi kesesuaian antara das sollen dengan das sein.
Sedangkan sifat penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum
deskriptif menurut Soerjono Soekanto, yaitu Penelitian yang
dilakukan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan gejala-gejala di
lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan
yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif.
B. Bahan Penelitian
1. Penelitian Kepustakaan
Dalam penelitian kepustakaan maka data yang digunakan adalah
data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti
dari sumber yang sudah ada atau yang diperoleh dari bahan-bahan
pustaka lazimnya.
29
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto,
studi dalam penelitian hukum pustaka (library research)14 dimana
penulisan ini dilakukan dengan mengkaji bahan-bahan kepustakaan
seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah,
artikel, jurnal, majalah, dan bahan-bahan hukum lainnya yang
terkait dengan obyek penelitian.
a. Bahan-bahan hukum primer, merupakan bahan hukum
yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum
seperti peraturan perundang–undangan, dan putusan hakim.
Bahan hukum primer yang penulis gunakan di dalam
penulisan ini yakni: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3209), antara lain bahan-bahan hukum yang
terkait dengan pengaturan mengenai Penambangan Liar :
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945;
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
Dan Ekosistemnya, Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1990 Nomor 49
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
Dan Ekosistemnya, Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1990 Nomor 49
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
2007 Tentang Tata Ruang, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4725
14 Soerjono Soekanto dan Sri Marmudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali, Jakarta, hlm. 23.
30
5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral Dan Batubara, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5111
6) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70
Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Taman Nasional Gunung Merapi, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 160
7) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman
Nasional Menteri Kehutanan, Zonasi taman nasional
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat
membantu menganalisa dan memahami bahan hukum
primer meliputi karya yang ada hubungannya dengan
pokok bahasan yang akan diteliti baik dalam bentuk baku,
skripsi, makalah, jurnal hukum, dan sebagainya.
Bahan hukum sekunder itu diartikan sebagai bahan hukum
yang tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan
hukum primer yang merupakan hasil olahan pendapat atau
pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang
tertentu secara khusus yang akan memberikan petunjuk ke
mana peneliti akan mengarah. Yang dimaksud dengan
bahan sekunder disini oleh penulis adalah doktrin–doktrin
yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi
petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
31
hukum primer dan sekunder seperti Kamus dan
Ensiklopedia.
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan
memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum
lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis
adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum
1) Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum
yang digunakan untuk menginteprestasikan pasal-pasal
dalam ketentuan hukum positif.
2) Ensiklopdia digunakan dalam mengetahui pemahaman-
pemahaman mengenai hal-hal yang terkait bahaya
penambangan liar.
2. Penelitian Lapangan
Dalam penelitian lapangan maka peneliti menggunakan data
primer. Data primer adalah Data primer adalah data yang
diperoleh peneliti secara langsung (dari tangan pertama) atau
data yang diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data
primer (atau dasar).
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Resort Srumbung, Kecamatan
Srumbung, Kabupaten Magelang. Alasan peneliti memilih Resort
Srumbung, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang sebagai lokasi
penelitian karena di lokasi tersebut tercatat sebagai salah satu
kabupaten yang memiliki kasus penambangan liar cukup tinggi.
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian pada penulisan ini terdiri dari
32
1. Responden
Responden adalah orang atau pihak yang terkait secara langsung
atau memahami terhadap permasalahan yang akan diteliti.
Responden yang dimaksud dalam penelitian ini terdiri dari
penambang dan masyarakat sekitar daerah penambangan Resort
Srumbung Taman Nasional Gunung Merapi SPTN I Wilayah
Magelang. Peneliti memilih responden tersebut untuk mengetahui
secara langsung dan memastikan hal-hal terkait yang akan kami
teliti.
2. Narasumber
Narasumber adalah orang atau pihak yang tidak terkait secara
langsung dengan topik atau rumusan masalah yang akan diteliti.
Narasumber yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Kepala
Divisi Resort Srumbung Taman Nasional Gunung Merapi ketua
rt/rw/kecamatan/desa, Dinas Kehutanan, BAPEDA, Dinas
Perijinan, dan Dinas Kimpaswil Pemerintah Kabupaten Magelang
E. Teknik Pengumpulan Data dan Alat Pengumpul Data
a. Penelitian yuridis yang akan peneliti lakukan, yaitu menggunakan
teknik studi kepustakaan, yaitu menggunakan bahan-bahan
kepustakaan yang berupa buku, hasil penelitian, skripsi, jurnal,
majalah, dan internet.
b. Penelitian empiris yang peneliti lakukan, yaitu mengumpulkan
data penelitian lapangan yaitu teknik wawancara dengan
menggunakan alat berupa pedoman wawancara.
F. Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah melalui pendekatan
kualitatif. Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan
jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
33
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang
lain (Bogdan & Biklen, 1982). Penelitian kualitatif merupakan salah
satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
ucapan atau tulisan dan prilaku orang orang yang diamati. Penelitian
kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian tentang
kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi
organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain.
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penambangan liar di
Kabupaten Magelang.
Faktor-faktor diketahui dapat mengetahui apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi masyarakat di Kabupaten Magelang untuk melakukan
penambangan liar kami melakukan survey terhadap masyarakat sekitar lokasi
penambangan di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang. Berikut adalah
hasil survey yang telah kami lakukan terhadap 98 penambang.
Grafik 1. Asal Penambang.
Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator
Penambang Desa
10,2%
89,8%
Asal Penambang
luar Srumbungdalam Srumbung
Pada grafik 1 dijelaskan mengenai persentasi asal penambang yang berasal
dari dalam dan luar kecamatan Srumbung. Berdasarkan wawancara dengan
penambang secara langsung, sebagian penambang pasir berasal dari kecamatan
Srumbung (masyarakat lokal) itu sendiri yaitu 88 orang (89,8 %). Nilai 89,8 %
35
tersebut mendeskripsikan bahwa masyarakat lokal sangat menggantungkan
ekonominya pada kawasan taman nasional, dan 10 orang (10,2 % penambang
yang berasal dari luar kecamatan Srumbung juga berasal dari daerah yang tidak
jauh dengan kecamatan Srumbung yaitu sepert kecamatan Dukun dan kecamatan
Tempel.
Grafik 2. Persentase Lama Menjadi Penambang.
Sumber: Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator
Penambang Desa.
48,98%
36,73%
12,24%1,01% 1,02%
Lama Menjadi Penambang
1 - 10 tahun11-20 tahun21-30 tahun31-40 tahun41-50 tahun
Gambar di atas menunjukkan bahwa sebagian besar penambang pasir
bekerja sebagai penambang selama 1-10 tahun yaitu dengan jumlah 48 orang
(48,98 %) dan 11-20 tahun dengan jumlah 36 orang (36,73%). Sementara itu yang
lainnya selama 21-30 tahun dengan jumlah (12,24%), sedangkan yang selama 31-
40 tahun dan 41-50 tahun hanya berjumlah masing-masing 1 orang (1,02%). Hal
tersebut berhubungan dengan umur produktif kerja sebagai kuli yaitu berkisar 20
– 40 tahun. Grafik tersebut juga menggambarakan kisaran umur para pekerja
penambang pasir yang ada.
36
Grafik 3. Persentase Penghasilan dari Menambang.
Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator
Penambang Desa.
41,84%
9,18%
32,65%
16,33%
Penghasilan Penambang/hari
30 ribu40 ribu50 ribu60 ribu up
Pada gambar 3. dijelaskan bahwa penghasilan dari menambang pasir
berkisar 30-60 ribu, dengan penghasilan 30 ribu/hari memiliki jumlah 41 orang
(41,84%), penghasilan 40 ribu/hari dengan jumlah 9 orang (9,18%), penghasilan
50 ribu/hari dengan jumlah 32 orang (32,65%) , sedangkan penghasilan lebih dari
60 ribu dengan jumlah 16 orang (16,33%). Sebagian besar penghasilan dengan
sistem upah kuli bongkar muat penambangan pasir yaitu 30 ribu/hari. Penghasilan
dengan sejumlah uang tersebut menjadi penhasilan utama setiap harinya.
37
Grafik 4. Persentase Alasan Menambang.
Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator
Penambang Desa.
58,16%32,65%
4,08%5,10%Alasan Menambang
kebutuhantidak ada pekerjaan lainpaling mudah dikerjakanpaling cepat dapat uang
Berdasarkan grafik tersebut dapat kita ketahui menambang pasir dengan
alasan kebutuhan memiliki jumlah 57 orang (58,16%), kemudian menambang
pasir dengan alasan tidak ada pekerjaan lain adalah berjumlah 32 orang (32,65%),
selanjutnya yang menambang pasir dengan alasan karena paling mudah dikerjakan
hanya berjumlah 4 orang (4,08%), dan yang menambang karena alasan bahwa
dengan menambang maka paling cepat dapat uang hanya dengan jumlah 5 orang
(5,10%).
Memilih suatu pekerjaan, seseorang tentu mempunyai alasan tertentu.
Akan tetapi dengan masyarakat yang memiliki ekonomi kelas bawah, memilih
pekerjaan tentu karena terdesak akan kebutuhan hidupnya. Begitu juga juga
dengan para penambang pasir, mereka lebih memilih jadi kuli bongkar muat pasir
karena memang kebutuhan menuntut mereka. Berdasarkan hasil survey dapat
diketahui bahwa menambang pasir manual menyebut alasan tidak ada pekerjaan
lain karena mereka merasa kesulitan mencari pekerjaan lain. Karena menurut
mereka, untuk bekerja selain menjadi penambang, petani atau peternak mereka
harus berpendidikan tinggi atau mempunyai modal besar untuk membangun
38
usaha. Sehingga mereka memilih jadi penambang meskipun hanya jadi kuli
bongkar muat pasir.
Grafik 5. Persentase Pekerjaan Sampingan.
Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator
Penambang Desa
30,61%
69,39%
Pekerjaan Sampingan
adatidak ada
Berdasarkan 98 orang penambang, yang memiliki pekerjaan sampingan
hanya 30 orang (30,61%) dan 68 orang (68,39%) tidak memiliki pekerjaan
sampingan. Pekerjaaan sampingan para penambang pasir sebagian besar adalah
petani dan peternak (sapi, kambing maupun ayam). Mereka menjadikan
menambang pasir sebagai pekerjaan utama karena hasil uang yang di dapat
dibayar secara langsung meskipun bergantung dengan permintaan pasir dari luar
kawasan, namun permintaan pasir dari luar kawasan cukup tinggi.
39
Grafik 6. Persentase Pengetahuan Dampak dari Penambangan.
Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator
Penambang Desa sil Wawancara Peneliti.
33,67%
66,33%
Pengetahuan Dampak dari Penambangan
tahutidak tahu
Pengetahuan para penambang pasir mengenai dampak penambangan
terhadap lingkungan masih cukup rendah, hanya ada 33 orang (33,67%) yang
mengetahui dampak penambangan terhadap lingkungan. Sementara yang tidak
mengetahui dampak penambangan terhadap lingkungan lebih dari 50% yaitu 65
orang (66,33%). Hal tersebut terjadi karena faktor pendididkan dari mereka yang
masih rendah atau karena memang mereka kurang perduli akan dampak
penambangan tersebut pada lingkungan sekitar.
40
Grafik 7. Presentase Pengetahuan Masyarakat Sekitar Area Penambangan.
Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator
Penambang Desa.
83,33%
16,67%
Pengetahuan Dampak dari Penambangan
tahu
tidak
Desa Kemiren merupakan desa yang dijadikan jalur akses para penambang
untuk melakukan aktivitas penambangan, meskipun desa Kemiren lokasinya jauh
dari kawasan akan tetapi berdekatan dengan aktivitas penambangan yang di luar
kawasan. Masyarakat sekitar penambangan pasir tentu merasakan dampak dari
aktivitas penambangan yang sudah beroperasi sejak dari dahulu , dalam hal ini
masyarakat dianggap memiliki peran penting dalam upaya mengendalikan
aktivitas penambangan pasir. Berdasarkan 30 responden yang berpartisipasi,
sebanyak 83,33% mengetahui dampak dan sebanyak 16,67% dari mereka tidak
mengetahui dari aktivitas penambangan pasir. Hal tersebut menggambarkan
bahwa masyarakat desa Kemiren memiliki pengetahuan dan keperdulian
lingkungan yang cukup tinggi jika dilihat dari sebagian besar mata pencaharian
masyarakat yang ada di desa Kemiren. Mata pencaharian masyarakat desa
kemiren sebagian besar adalah petani salak dan sangat sedikit yang bekerja
sebagai penambang pasir, meskipun menurut sejarahnya masyarakat desa
41
Kemiren dahulunya sebagian besar adalah penambang pasir. Hal ini menjadi
contoh yang baik dan patut dijadikan contoh oleh masyarakat desa yang lainnya.
Grafik 8. Presentase Jenis Dampak yang Diketahui Masyarakat.
Sumber : Hasil Wawancara Peneliti dengan Bapak Suyatno selaku Koordinator
Penambang Desa.
52,63%
7,89%
39,47%
Jenis Dampak yang Diketahui
kurang airlongsorhutan/ekosistem rusak
Jika suatu masyarakat sudah merasakan dampak yang diakbatkan oleh
aktivitas penambangan, tentu mereka juga akan mengetahui berbagai dampak
yang sudah terjadi maupun akan terjadi jika aktivitas penambangan tersebut terus
dilakukan. Jenis dampak yang mereka sebut adalah berkurangnya ketersediaan air
dengan nilai presentase 52,63%, sedangkan dampal lainnya yang mereka ketahui
yaitu hutan / ekosistem menjadi rusak dengan nilai presentase 39,47%, dan
berdampak longsor dengan nilai presentase 7,89%. Pengetahuan masyarakat desa
Kemiren mengenai jenis dampak sudah cukup baik, hal yang paling sering mereka
sebut adalah berkurangnya ketersediaan air yaitu 52,63%, menurut mereka dari
tahun ke tahun ketersediaan air semakin menurun dan sulit didapatkan.
Hasil survey dan uraian diatas kami memperoleh informasi mengenai
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penambangan liar, yaitu faktor
kondisi sosial ekonomi, kurangnya pengetahuan mengenai dampak dari
penambangan liar, dan minimnya pengawasan dari Pemerintah.
42
1. Faktor Kondisi Sosial Ekonomi
Data survey yang telah dijabarkan sebelumnya mendeskripsikan
secara tidak langsung bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
bekerja sebagai penambang pasir. Dari data terlihat bahwa penambangan
telah dilakukan sejak lama, bahkan turun-menurun. Hal tersebut
ditunjukkan dari data lamanya menjadi penambang yang rata-rata
penambang sudah melakukan penambangan selama kurang-lebih sepuluh
tahun. Selain itu alasan penambang yang sebagian besar mengatakan
bahwa menambang adalah sebuah kebutuhan hidup dan tidak ada
pekerjaan lain membuat penambang terus terjebak untuk melakukan
penambangan liar
Kondisi ekonomi penambang pasir masih sangat menggantungkan
penghasilan dari penambangan pasir yang ada dalam kawasan, hal inilah
yang menjadikan alasan mereka untuk tetap melakukan penambangan
secara liar walaupun penambangan pasir dalam kawasan tersebut dilarang
oleh pemerintah.
2. Kurangnya pengetahuan mengenai dampak dari penambangan
Berdasarkan survey diketahui bahwa persepsi penambang terhadap
bahaya akibat melakukan penambangan liar adalah cukup minim. Dalam
melakukan pekerjaannya penambang hanya mementingkan kepentingan
ekonomi saja yaitu untuk memperoleh keuntungan. Penambang sering kali
tidak memperhatikan kondisi alam sekitar yang rusak. Penambang percaya
bahwa nanti ketika merapi meletus lagi maka pasir akan kembali penuh.
Persepsi inilah yang sangat mempengaruhi penambang untuk selalu
mengindahkan peringatan bahayanya melakukan penambangan liar.
Padahal penambangan pasir tidak hanya memberikan keuntungan
dan manfaat tetapi juga menimbulkan permasalahan. Kegiatan
penambangan pasir yang menggunakan alat berat yang berfungsi untuk
43
mengeruk material yang berada di dataran maupun di dinding tebing
menimbulkan permasalahan ekologis dan sosial bagi lingkungan sekitar.
3. Minimnya upaya penegakan dari aparat terkait
Secara hukum, penambangan pasir dalam kawasan adalah ilegal,
namun pada kenyataannya dengan berbagai faktor, pihak pemerintah
mengizinkan dengan syarat kegiatan penambangan. Menurut penambang
syarat yang diberikan pemerintah adalah dengan hanya menambang di
sepanjang alur sungai dan apabila melanggar yaitu menambang di luar alur
sungai maka akan dikenai sanksi dan hukuman penjara. Mungkin syarat
terebut memang ditujukan agar pihak pemerintah dan pengelola dapat
untuk tetap mengendalikan aktivitas penambangan agar tidak meluas,
namun pengaturan resmi mengenai syarat ini masih belum dapat penulis
temukan.
B. Pengaturan mengenai penambangan liar di Kabupaten Magelang saat ini
Untuk dapat menentukan pengaturan apa saja yang digunakan untuk
menanggulangi penambangan liar di Kabupaten Magelang maka pertama kita
harus merujuk pada aturan yang dijadikan dasar dalam penelitian ini, yaitu
Peraturan Presiden nomor 70 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Taman Nasional Gunung Merapi. Perpres tersebut menyatakan bahwa kecamatan
Srumbung telah masuk dalam Taman Nasional Gunug Merapi, sesuai yang
dikatakan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a nomor 1, yang berbunyi :
“Taman Nasional Gunung Merapi, terdiri atas sebagian wilayah
Kecamatan Dukun dan sebagian wilayah Kecamatan Srumbung di
Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah”.
Tujuan dari Perpres tersebut selain untuk menetapkan kawasan Penataan
Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi adalah untuk mewujudkan Tata
Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang berkualitas dalam rangka
44
menjamin kelestarian lingkungan dan kesejahteraan Masyarakat Kawasan Taman
Nasional Gunung Merapi yang berbasis Mitigasi Bencana. Sehingga secara tidak
langsung apabila terjadi penambangan liar di wilayah Taman Nasional Gunung
Merapi dapat mengganggu tujuan dari diterbitkannya Perpres ini karena
penambangan liar memiliki dampak yang dapat mengganggu kelestarian Kawasan
Taman.
Dalam Pasal 45 Perpres juga memberikan pengaturan mengenai arahan
dalam melakukan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi yang salah satunya adalah mengenai pemberian sanksi. Sanksi
merupakan hal yang sangat penting untuk diatur karena sanksi merupakan wujud
penindakan secara langsung dan tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi di Wilayah Taman Nasional. Sanksi merupakan acuan yang logis untuk
menilai upaya penegakan dalam pengendalian penambangan liar di Kawasan
Taman Nasional Gunung Merapi. Sanksi dalam Perpres diatur dalam Pasal 71
ayat (1) Perpres yang berbunyi :
“Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf d
diberikan dalam bentuk sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang Penataan
Ruang.”
Dengan demikian berarti Perpres tidak mengatur secara khusus mengenai sanksi.
Sanksi baik administrasi dan/atau pidana dikenakan sesuai dengan peraturan
perundangan di bidang Penataan Ruang. Peraturan yang dimaksud dalam Perpres
adalah Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Sanksi yang dimaksud dalam UU Penataan Ruang Tertera pada pasal 69
sampai Pasal 75. Sanksi tersebut berlau dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Tidak mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan
2. Memanfaatkan ruang tidak tidak sesuai dengan izin pemanfaatannya
3. Tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin
pemanfaatan ruang
45
4. Tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum
5. Pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai
dengan rencana tata ruang
Penambangan liar dapat dimasukkan dalam kategori hal yang dilarang dalam UU
Penataan Ruang. Sehingga, penambangan liar seharusnya dapat ditanggulangi
dengan melakukan penegakkan terhadap sanksi yang telah diatur dalam UU
Penataan Ruang. Sanksi yang diberikan juga cukup tegas yaitu pidana penjara
hingga maksimal lima belas tahun dan denda maksimal hingga lima miliar rupiah.
Dalam UU Penataan Ruang dikatakan bahwa salah satu tujuan penataan
ruang adalah untuk mewujudkan perlindugan fungsi ruang dan pencegahan
dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaat ruang yang tidak
semestinya. Dengan demikian maka sebenarnya telah terjadi sinkronisasi tujuan
antara Perpres dengan UU Penataan Ruang. Keduanya menekankan bahwa
kawasan tertentu dalam hal ini kawasan Taman Nasional Gunung Merapi harus
dijaga dari kerusakan alam akibat salah penggunaan yang tidak semestinya
Walaupun sudah ada Perpres terbaru yang mengatur mengenai rencana tata
ruang di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi, namun Pemerintah Kabupaten
Magelang sendiri belum punya aturan lebih lanjut atau aturan pelaksana ynag
mengejawantahkan lebih rinci mengenai penataan dan pelestarian kawasan Taman
Nasional Gunung Merapi. Begitu pula mengenai penanggulangan penambangan
liar di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Pemerintah Kabupaten
Magelang dalam menanggulangi penambangan liar di kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi masih berpegang pada aturan-aturan terdahulu, yang diterbitkan
sebelum Perpres nomor 70 tahun 2014 tentang Rancangan Tata Ruang Kawaasan
Taman Nasional Gunung Merapi.
Aturan yang dipakai Pemerintah Kabupaten Magelang sebagai acuan
adalah Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang
Usaha Pertambangan. Peraturan Daerah tersebut dapat dikatakan dapat
bersinggungan langsung dengan upaya pengendalian penambangan liar.
Alasannya adalah bahwa Perda ditujukan untuk mencegah dampak kerusakan dan
46
pencemaran lingkungan akibat usaha pertambangan baik untuk usaha
pertambangan yang legal maupun yang ilegal. Wujud pengendaliannya adalah
melalui pemberian sanksi atas pelanggaran terhadap Perda. Dalam pasal 27 ayat
(1) Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 1 tahun 2008 dikatakan
bahwa :
“Setiap orang atau badan yang menyelenggarakan kegiatan di bidang
pertambangan tanpa izin dan melanggar ketentuanketentuan yang diatur
dalam Peraturan Daerah ini, diancam
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling
banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).”
Selain menggunakan Peraturan Daerah tersebut, Pemerintah Kabupaten Magelang
sebelumnya juga telah menerbitkan Surat Keputusan Bupati yang berkaiatan
dengan pengendalian penambangan liar yaitu Surat Keputusan Bupati Nomor 19
Tahun 2004 tentang Pedoman dan Tata Cara Penataan dan Penertiban
Pertambangan Bahan Galian Golongan C.
C. Bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Magelang
berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun
2014 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung
Merapi untuk menekan jumlah penambang liar di Kabupaten Magelang
1. Kebijakan Yang Telah Dilakukan Pemerintah Kabupaten Magelang
Terhadap Kegiatan Penambangan Pasir Di Kawasan Gunung Merapi
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa Pemerintah
Kabupaten Magelang sebelum Perpres Nomor 70 Tahun 2014
diundangkan telah mengundangkan aturan yang memiliki tujuan untuk
menanggulangi penambangan pasir liar yaitu dengan menetapkan Perda
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Usaha Pertambangan menggantikan Perda
Nomor 23 Tahun 2001 tentang Izin Usaha Pertambangan. Selain itu pada
tanggal 24 Agustus 2004 Pemerintah kabupaten Magelang mengeluarkan
47
dua kebijakan yaitu Penataan dan Penertiban Kegiatan dan Pengaturan
Rute dan Tonase Angkutan Bahan Galian Golongan C di Kawasan Merapi
Kabupaten Magelang.
Kebijakan Penataan dan Penertiban Kegiatan Pertambangan
tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Bupati Nomor 19 Tahun 2004
tentang Pedoman dan Tata Cara Penataan dan Penertiban Pertambangan
Bahan Galian Golongan C. Disebutkan dalam salah satu pasal pada Surat
Keputusan tersebut bahwa kegiatan Penataan hanya mencakup dua
Wilayah Pertambangan yang berada di lereng Gunung Merapi yaitu
Kecamatan Srumbung dan Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang,
karena kegiatan penambangan terkonsentrasi di dua kecamatan tersebut.
Kebijakan Penataan sebagaimana disebutkan dalam surat
Keputusan Bupati Nomor 19 Tahun 2004 tersebut antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Penutupan beberapa lokasi untuk kegiatan Penambangan yaitu :
a) Alur alur sungai : Sungai Putih, Sungai Bebeng, Sungai
Blonkeng dan Sungai Batang
b) Di tanah milik penduduk /badan hukum yang meliputi wilayah
bekas desa Ngori dan bekas desa Gimbal. Kedua desa ini
dikosongkan karena terjadi letusan Gunung Merapi tahun 1960-an
dan seluruh warganya ditransmigrasikan ke Propinsi Lampung
c) Kawasan Hutan / Hutan Lindung
d) Penutupan lokasi penambangan disebabkan karena deposit
bahan tambang sudah habis, kerusakan lingkungan dan untuk
pengamanan dan pengendalian lahar Gunung Merapi. Lokasi ini
dapat dibuka kembali setelah dinyatakan secara resmi oleh Bupati
Magelang.
48
2. Ketentuan- ketentuan teknis penataan lokasi pasca penambangan
seperti:
a) Daerah alur sungai, batuan sisa penambangan pasir ditempatkan
pada sisi tebing sungai dengan lebar dan ketinggian penempatan
ditentukan, menutup bekas penambangan di dasar sungai dengan
blantak sehingga permukaannya menjadi rata kembali, untuk
menutup bekas galian penambangan di hulu chekdam sejauh 50
meter dan ke hilir 100 meter dengan ketinggian 3 meter sampai
menutup dasar pondasi chekdam.
b) Lahan milik penduduk atau badan hukum , misal lahan bekas
penambangan yang berada ditebing agar dibuat terasiring disertai
tanaman penghijauan, pada bagian bawah tebing agar ditutup
dengan blantak/ tanah dan ditanami tanaman penghijauan yang
jenisnya disesuaikan dengan kondisi lingkungan.
c) Untuk penataan lokasi penambangan di kawasan hutan/hutan
lindung dilakukan rekonstruksi, rehabilitasi dan reboisasi di bawah
pembinaan dan pengawasan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa
Tengah dan Perum Perhutani KPH Kedu Utara.Pelaksanaan semua
kegiatan penataan lokasi bekas penambangan tersebut menjadi
kewajiban penambang dan pengusaha.
3. Dalam Surat Keputusan ini juga dinyatakan peninjauan kembali
terhadap pungutan liar yang ada di sepanjang jalur pengangkutan bahan
galian golongan C dari Gunung Merapi.
4. Penertiban kegiatan penambangan yaitu penindakan terhadap para
penambang/ pengusaha yang melakukan pelanggaran-pelanggaran
dilakukan secara bersama oleh Tim Penataan dan Penindakan Pelanggaran
Penambangan yang ditetapkan oleh Bupati Magelang berdasarkan SK
Bupati Nomor 47 Tahun 2005.
49
2. Analisis Kebijakan Pertambangan Yang Telah Dilakukan Pemerintah
Kabupaten Magelang
Sejumlah peraturan perundang-undangan tersebut sudah cukup
baik dan memadai sebagai landasan dalam upaya penanggulangan
penambang liar. Setiap kegiatan operasional penambangan pasir di
Kabupaten Magelang wajib mengacu kepada peraturan tersebut diatas,
akan tetapi dalam penerapannya sulit dilakukan karena terdapat berbagai
tantangan dalam upaya penegakkannya
Tantangan yang terjadi di lapangan terjadi karena 2 pokok sisi
permasalahan yaitu sisi internal pemerintah daerah itu sendiri serta sisi
eksternal pemerintah daerah. Permasalahan internal yang terjadi
diantaranya adalah antar kelembagaan pemerintah kurang koordinasi,
sehingga dalam melakukan penegakkan masih terjadi saling lempar
tanggung jawab mengenai instansi atau lembaga pemerintah mana yang
berkewajiban untuk menegakkan. Selain itu dari sisi aparatur pemerintah
kurang profesional, dimana di lapangan sering kali aparatur melakukan
pendiaman terhadap penambang liar dikarenakan alasan kekerabatan dan
faktor-faktor lainnya. Selain itu alasan anggaran operasional terbatas dan
sarana dan prasarana operasional yang terbatas juga membuat
terhambatnya penanggulangan penambang pasir liar.
Permasalahan eksternal berasal dari luar lingkup pemerintah
daerah, misalnya permasalahan yang berasal dari masyarakat, penambang,
serta organisasi atau lembaga swadaya masyarakat. Permasalahan
eksternal ini dapat menjadi tantangan bagi pemerintah dalam
penanggulangan penambangan pasir liar, diantaranya adalah kesadaran
masyarakat penambang yang kurang terhadap kelestarian alam dan
dampak akibat melakukan penambangan liar, kurangnya sosialisasi
terhadap masyarakat baik mengenai perundang-undangan maupun
sosialisasi mengenasi dampak penambangan liar dan kritikan dari lembaga
50
swadaya masyarakat yang pada umumnya kurang peduli terhadap usaha
pertambangan pasir. Oleh karena itu pemerintah harus aktif mengawasi
terhadap setiap kegiatan penambangan pasir. Kegiatan sosialisasi
peraturan perundangundangan disertai pengawasan dan pengendalian
bersama antar berbagai pihak yang terkait diharapkan dapat terpadu dan
berkelanjutan.
Strategi pengaturan kebijakan pemerintah terhadap
penanggulangan penambangan pasir yang utama adalah penerapan
peraturan perundang-undangan yang berlaku secara tegas dan
memberdayakan masyarakat. Pada prinsipnya pengaturan kebijakan
pemerintah dalam penambangan pasir adalah mengupayakan suatu sistem
pengelolaan penambangan yang berwawasan lingkungan dan menjaga
keseimbangan kelestarian ekosistem kawasan Taman Nasional Gunung
Merapi
3. Perencanaan Pengelolaan Lingkungan Kegiatan Penambangan Pasir
Menurut Friedman, perencanaan merupakan suatu strategi dalam
pengambilan keputusan sebelumnya sebagai suatu aktifitas tentang
keputusan dan implementasinya. Lebih lanjut, Boothroyd merumuskan
perencanaan melalui tujuh tahapan mulai dari perumusan masalah,
penetapan tujuan, analisis kondisi, identifikasi alternatif kebijakan, dan
keputusan.15
Strategi pengelolaan penambangan pasir diperlukan karena
munculnya permasalahan – permasalahan dalam kehidupan manusia yang
berkaitan dengan hajat hidup masyarakat luas permasalahan tersebut
apabila tidak segera ditangani akan berdampak rusaknya ekosistem
Gunung Merapi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, termasuk
didalamnya interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Ekosistem
Gunung Merapi merupakan kawasan konservasi yang memiliki cadangan
15 Hadi. S.P ., 2006, Resolusi Konflik Lingkungan, Badan penerbit Universitas Diponegoro,Semarang
51
sumberdaya alam yang sangat potensial, baik tingkat keanekaragaman
hayati jenis flora dan fauna maupun sumberdaya pasir dan batu dari hasil
erupsi Gunung Merapi.
Pengelolaan potensi sumberdaya alam kawasan konservasi harus
dikelola dengan hati-hati dan bijaksana dengan mempergunakan strategi
yang terencana secara matang, ekonompis, terpadu dan berkelanjutan.
Keberpihakan kepada masyarakat dalam menerapkan strategi pengelolaan
pasir diperlukan agar tercipta kondisi iklim sosial masyarakat yang
tenteram merupakan kunci keberhasilan dan penerapan strategi
pengelolaan penambangan pasir yang berkelanjutan. Beberapa fenomena
yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan kawasan konservasi
adalah sebagai berikut:16
1. Ragam jenis ekositem sumberdaya alam di Indonesia sangat tinggi.
Setiap ekositem yang tebentuk mempunyai karakteristik yang spesifik,
sehingga diperlukan frame work konservasi yang komprehensif yang
berbeda dengan ekositem sumberdaya di tempat lain.
2. Untuk menjaga kepunahan jenis sebelum dikenali dan dimanfaatkan
perlu dilakukan pelestarian dan pengawetan keanekaragaman hayati.
3. Suatu ekositem sumberdaya alam adalah penyangga kehidupan umat
manusia yang perlu dipertahankan berproses ekologis sesuai dengan
kondisinya.
4. Upaya mengenali pemanfaatan sumberdaya alam yang seoptimal
mungkin perlu dilakukan terus menerus untuk kesejahteraan umat
manusia.
5. Pemanfaatan sumberdaya alam dalam bentuk apapun perlu dilakukan
dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat setempat yang bersifat
kerakyatan.
Strategi pengelolaan sumber daya alam di kawasan konservasi
diperlukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul sebagai 16 Ibid.
52
akibat penambangan pasir . Permasalahan tersebut dikelompokkan menjadi 2
hal (Lahar Flood Control Project of Mt Merapi, 2001), yaitu:17
1. Masalah kritis, yaitu suatu masalah yang sangat mendesak untuk segera
ditangani karena mempunyai dampak secara langsung, memerlukan
penanganan secara jangka pendek, serta biasanya bersifat lokal.
2. Masalah mendasar yaitu permasalahan yang tidak mempunyai dampak
secara langsung, penanganannya memerlukan pola penanganan jangka
panjang dan makro, biasanya menyagkut area yang sangat luas.
Ada dua hal yang menyangkut permasalahan kritis masyarakat
penambang yang harus segera ditangani yaitu permasalahan penambangan
yang tidak memperhatikan aspek lingkungan serta tidak adanya pegangan
untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari. Persoalan ini selalu terjadi dan
menjadi dilema bagi pengambil kebijakan dalam mencarikan penyelesaian
permasalahan. Melarang penambangan sangat merugikan masyarakat kecil.
Sulitnya penambang mendapatkan uang tunai dari pekerjaan
sebelumnya membuat para penambang tetap bertahan melakukan
penambangan pasir. Dengan terlibat dalam kegiatan penambangan mereka
akan langsung merasakan jerih payah mereka seharian dibandingkan dengan
memelihara ternak atau bertani yang memerlukan waktu yang lebih lama. Hal
tersebut menjadikan pemikiran dalam strategi pengelolaan penambangan pasir
untuk para pengambil kebijakan atau pemerintah agar tidak asal melarang
penambangan tetapi perlu kajian dan arahan kepada masyarakat penambang
agar penambangan tetap terus dilaksanakan, tetapi tetap berprinsip menjaga
situasi dan kondisi lingkungan yang ada di sekitar penambangan.18
17 Lahar Flood Control Project of Mt Merapi., 2001, Study on Supported InfrastructureDevelopment for Sand Mining Management in Mt Merapi Directorate General of Water Resources. Ministry of Settlements and Regional Infrastructure. Republic Indonesia18 Yudhistira, 2011, Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir Di Desa Keningar Daerah Kawasan Gunung Merapi, dalam Penelitian Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro, Semarang.
53
Pengelolaan penambangan pasir Merapi pada prinsipnya merupakan
suatu usaha menjadikan sistem penambangan pasir yang harus berwawasan
lingkungan. Selain itu peran masyarakat juga sangat penting dalam upaya
melakukan pengendalian penambang liar. Prinsip penting pegembangan
masyarakat dalam pengelolaan penambangan pasir (Lahar Flood Control
Project of Mt Merapi, 2001 )sebagai berikut :
1. Pengembangan masyarakat bersifat partisipatif dan koloboratif.
2. Transparansi dalam operasional pelaksanaan kebijakan dan peraturan
perundanundangan.
3. Akuntabilitas dalam peraturan penambangan bagi semua
stakeholders.Pengembangan masyarakat merupakan bagian dari
responsibilitas
Prinsip dasar tersebut merupakan landasan dasar terlaksananya
pemberdayaan masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan pada setiap
tahapan strategi pengelolaan pasir dan batu yang berwawasan lingkungan.
Pendekatan strategi pengelolaan penambangan pasir yang berwawasan
lingkungan secara garis besar dapat dibagi menjadi beberapa kegiatan yaitu
penentuan lokasi penambangan pasir, reklamasi/ rehabilitasi lahan pasca
penambangan, pengendalian erosi. Secara lebih terinci dapat dijelaskan
sebagai berikut :19
1. Penentuan Lokasi Penambangan pasir.
Untuk mengetahui lokasi mana yang prospek untuk penambangan
pasir diperlukan langkah identifikasi dan investarisasi cadangan pasir di
Daerah penelitian. Hal ini dapat dilaksanakan dengan melakukan pemetaan
cadangan bahan galian pasir di wilayah Desa Keningar. Hasil pemetaan
cadangan tersebut kemudian dinilai secara ekonomi dan lingkungannya, hal
ini penting dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat penambangan
pasir apabila diusahakan. Selain itu untuk mengetahui seberapa besar
19 Ibid.
54
kemungkinan dampak lingkungan akibat penambangan pasir Menentukan
potensi bahan galian pasir di lahan yang prospek untuk dieksploitasi,
memerlukan perencanaan tata ruang yang benar-benar matang. Mengingat
lahan-lahan di lereng Merapi baik yang berupa tanah kering ( pekarangan,
perladangan, tegalan, perkebunan dan tempat rekreasi) tanah sawah dan hutan
sangat efektif sebagai zona resapan air hujan atau catchment area. Fungsi ini
harus tetap dipertahankan untuk menjaga ketersediaan air bawah tanah yang
sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia.
2. Reklamasi Lahan
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 1 Tahun
2008 Tentang Usaha Pertambangan Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan
untuk memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai
akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna
sesuai dengan peruntukannya.
3. Konservasi Secara Vegetatif
Konservasi tanah dan air secara vegetatif adalah penggunaan tanaman
atau tumbuhan dan sisa tanaman dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat
mengurangi laju erosi dengan cara mengurangi daya rusak hujan yang jatuh
dan jumlah daya rusak aliran permukaan20. Konservasi tanah dan air secara
vegetatif ini menjalankan fungsinya melalui :
a. Pengurangan daya perusak butiran hujan yang jatuh akibat
intersepsi butiran oleh dedaunan tanaman atau tajuk tanaman.
b. Pengurangan volume aliran permukaan akibat meningkatnya
kapasitas infiltrasi oleh aktifitas perakran tanaman dan
penambahan bahan organik.
c. Peningkatan kehilangan air tanah akibat meningkatnya
evatranspirasi sehingga tanah cepat lapar air.
20 Suripin, 2002, Pelestarian Sumber Daya Tanag dan Air, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 42.
55
d. Memperlambat aliran permukaan akibat meningkatnya panjang
lintasan aliran air permukaan oleh keberadaan batang- batang
tanaman.
e. Pengurangan daya rusak aliran permukaan sebagai akibat
pengurangan volume aliran permukaan dan kecepatan aliran
permukaan akibat meningkatnya panjang lintasan dan kekasaran
permukaan.
Konservasi tanah dan air secara vegetatif dapat dilakukan dengan
berbagai cara yaitu:
a. Penanaman tanaman atau tumbuhan atau penutup tanah secara
terus menerus.
b. Penanaman dalam strip ( Cara bercocok tanam dengan beberapa
jenis tanaman ditanam berselang seling dalam strip-strip pada
sebidang tanah dan disusun memotong lereng atau garis kontur )
c. Penanaman berganda .
d. Pemanfaatan mulsa ( Penebaran sisa- sisa tanaman yang
ditebarkan/ ditanam di dalam tanah sebagai pupuk ).
e. Reboisasi ( Usaha untuk memulihkan dan menghutankan kembali
tanah yang mengalami kerusakan fisik, kimia maupun biologi baik
secara alami maupun oleh ulah manusia)
4. Konservasi Secara Mekanis
Prinsip dasar konservasi tanah adalah mengurangi banyaknya tanah
yang hilang akibat erosi, sedangkan prinsip konservasi air adalah
memanfaatkan air hujan yang jatuh ke tanah seefisien mungkin,
mengendalikan kelebihan air dimusim hujan dan menyediakan air yang
cukup di musim kemarau. Dalam hal ini konservasi secara mekanis
mempunyai fungsi :
a. Memperlambat aliran permukaan.
56
b. Menampung dan mengalirkan aliran permukaan sehingga tidak
merusak.
c. Memperbesar kapasitas infiltrasi air kedalam tanah dan memperbaiki
aerasi tanah.
d. Menyediakan air bagi tanaman.
Adapun usaha konservasi tanah dan air yang termasuk dalam
metode mekanis antara lain meliputi :
a. Pengolahan tanah (Setiap manipulasi mekanik terhadap tanah yang
ditujukan untuk menciptakan kondisi tanah yang baik bagi
pertumbuhan tanaman ).
b. Pengolahan tanah menurut garis kontur ( Pengolahan tanah
menurut garis kontur dapat mengurangi laju erosi sampai 50 %
dibandingkan dengan pengolahan tanah menurut lereng).
c. Pembuatan terras ( Pembuatan timbunan tanah yang dibuat
melintang dan memotong kemiringan lahan yang berfungsi untuk
menangkap aliran permukaan, serta mengarahkannya ke outlet
yang mantap stabil dengan kecepatan yang tidak erosif, dengan
demikian memungkinkan terjadinya penyerapan air dan
berkurangnya laju erosi).
d. Pembuatan saluran air (Untuk mengarahkan dan menyalurkan
aliran permukaan dengan kecepatan yang tidak erosif ke lokasi
pembuangan air yang sesuai )
e. Pembuatan sumur resapan ( sumur resapan adalah suatu sistem
drainase dimana air hujan yang jatuh di atap atau lahan kedap air
ditampung dalam sumur kosong yang dibuat di halaman rumah).
f. Pembuatan dam pengendali
57
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kondisi sosial ekonomi penambang pasir yang ada dalam kawasan yang
dapat di deskripsikan yaitu sebagian besar masyarakat yang bekerja
sebagai penambang pasir adalah masyarakat dalam kecamatan Srumbung,
mayoritas mereka lama menjadi penambang pasir adalah 1-20 tahun,
penghasilan penambang setiap harinya rata-rata 30-60 ribu, alasan mereka
menjadi penambang pasir sebagian besar adalah karena untuk kebutuhan
hidup dan tidak ada pekerjaan lain, sebagian besar dari mereka tidak
memiliki pekerjaan sampingan, dan sebagian besar dari mereka sudah
banyak mengetahui tentang dampak aktivitas penambangan pasir terhadap
lingkungan. Persepsi masyarakat sekitar penambangan mengenai dampak
dari aktivitas penambangan pasir yaitu sebagian besar masyarakat desa
Kemiren dan Ngargosoko sudah mengetahui dampak akibat penambangan
pasir tersebut, jenis dampak yang mereka ketahui adalah berkurangnya
ketersediaan air, rusaknya ekosistem/hutan, terjadi longsor, hutan menjadi
gersang/gundul dan udara menjadi panas. Selain itu faktor lemahnya
penegakan juga membuat masyarakat terdorong untuk melakukan
menambangan liar
2. Walaupun Perpres Nomor 70 Tahun 2014 telah ditetapkan namun hinggga
saat ini belum ada aturan lebih khusus ataupun aturan pelaksana dari
Perpres yang mengatur mengenai pengendalian penambangan liar. Dalam
melakukan penanggulangan penambangan liar, Pemerintah kabupaten
Magelang masih mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2008
Tentang Usaha Pertambangan. Dan jauh sebelumnya sebenarnya
Pemerintah kabupaten Magelang telah melakukan upaya penanggulangan
penambangan liar melalui Surat Keputusan Bupati Nomor 19 Tahun 2004
58
tentang Pedoman dan Tata Cara Penataan dan Penertiban Pertambangan
Bahan Galian Golongan C
3. Pengelolaan potensi sumberdaya alam kawasan konservasi harus dikelola
dengan hati-hati dan bijaksana dengan mempergunakan strategi yang
terencana secara matang, ekonompis, terpadu dan berkelanjutan.
Keberpihakan kepada masyarakat dalam menerapkan strategi pengelolaan
pasir diperlukan agar tercipta kondisi iklim sosial masyarakat yang
tenteram merupakan kunci keberhasilan dan penerapan strategi
pengelolaan penambangan pasir yang berkelanjutan. Alternatif pemecahan
masalah mengenai penambangan pasir yang statusnya ilegal ini tentu perlu
banyak strategi yang perlu diterapkan, kita tidak bisa mengusir para
penambang pasir secara langsung.
B. Saran
Membangun kerjasama dan komunikasi yang baik dengan pemerintah dalam
menangani aktvitas penambangan pasir dalam kawasan termasuk dalam kegiatan
operasional.
Membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar penambangan
dengan mengadakan beberapa penyuluhan mengenai pentingnya ekosistem dan
sumber air sebagai penyangga kehidupan masyarakat sekitar, menanamkan
kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan dengan mengupayakan secara
bersama membangun hutan kembali yang berperan sebagai penyangga
kehidupan.
59
Daftar Pustaka
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Magelang, 2007, Status Lingkungan
Hidup Daerah Kabupaten Magelang 2007. Pemerintah Kabupaten
Magelang, Magelang.
HS, Salim, 2006, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Hadi. S.P ., 2006, Resolusi Konflik Lingkungan, Badan penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
Muchsin, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan Tanah dan
Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakarta.
Ridwan, Juniarso, 2008, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan
Otonomi Daerah. Nuansa, Bandung.
Supramono, Gatot, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara di
Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
Suripin, 2002, Pelestarian Sumber Daya Tanag dan Air, Andi Yogyakarta,
Yogyakarta.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1990 Nomor 49
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-
Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960
tahun 104; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2043
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Tata
Ruang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara,
60
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2014 Tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 160
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 Tentang Pedoman
Zonasi Taman Nasional Menteri Kehutanan, Zonasi Taman Nasional
Situs Internet:
Nurlitawati, Ari. “Penambangan Pasir Lereng Merapi : Antara Berkah Dan
Musibah”, https://anurlita.wordpress.com/artikel-ku/penambangan-
pasir-lereng-merapi/, diakses pada tanggal 29 April 2015
Lain-lain
Fitri Almaida, Boniska., 2008 Kajian Dampak Lingkungan Kegiatan
Penambangan Bahan Galian Golongann C ( Studi Kasus daerah
Sendangmulyo) Tesis MIL UNDIP
Yudhistira, 2011, Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan
Penambangan Pasir Di Desa Keningar Daerah Kawasan Gunung Merapi,
dalam Penelitian Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro, Semarang.
Recommended