View
29
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
umkm
Citation preview
SKRIPSI
STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT
KESUKSESAN
(Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)
Oleh
ENDAR SUTRISNO
F24101055
2006
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Endar Sutrisno. F24101055. Studi Profil Industri Tempe Berdasarkan Tingkat Kesuksesan (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor). Di bawah bimbingan Ir. Darwin Kadarisman, MS dan Tjahja Muhandri, STP, MT. 2006
RINGKASAN
Industri tempe merupakan industri kecil yang mampu menyerap sejumlah besar tenaga kerja baik yang terkait langsung dalam proses produksi maupun yang terkait dengan perdagangan bahan yang merupakan masukan maupun produk hasil olahannya. Prospek industri tempe sangat baik dimana pertumbuhan permintaan tempe setelah tahun 1998 dperkirakan mencapai 4 persen per tahun. Industri tempe memiliki peran yang sangat besar didalam usaha pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha dan peningkatan pendapatan.
Industri tempe pada umumnya dikelola dalam bentuk industri rumah tangga, sehingga perkembangannya selalu dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut bahan baku yaitu kedelai, ketersediaan dan kualitas faktor produksi, tingkat keuntungan, pemasaran serta permodalan.
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengelompokan industri tempe berdasarkan tingkat kesuksesannya di lokasi penelitian, mengetahui profil industri tempe di lokasi penelitian (Kecamatan parung) ditinjau dari beberapa aspek yaitu ketersediaan bahan baku, teknis maupun manajemen dan mengidentifikasi faktor-faktor kunci sukses industri tempe.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian survei, pengamatan langsung dan wawancara terhadap responden. Masalah yang diteliti adalah profil dan faktor-faktor kunci sukses dari industri tempe yang berada di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Proses pengkajian masalah khusus ini terdiri dari kegiatan-kegiatan yang dimulai dengan penentuan tujuan penelitian, studi pustaka, pemilihan lokasi dan waktu penelitian, pengambilan sampel, pembuatan kuesioner, pengumpulan data, tabulasi data, analisis data, dan pembuatan laporan.
Untuk mendapatkan faktor kunci sukses dari wirausaha tempe maka perlu diketahui tingkat kesuksesannya. Dalam mengidentifikasi kesuksesan industri kecil tempe indikator yang digunakan adalah perkembangan pemakaian bahan baku. Setelah diketahui rata-rata pemakaian bahan baku dan rata-rata kenaikan bahan baku dari setiap responden maka selanjutnya menentukan posisi industri kecil tempe. Salah satu cara yang digunakan dalam menentukan posisi industri kecil tempe adalah dengan menggunakan diagram cartesius perkembangan pemakaian bahan baku.
Industri kecil tempe yang berada pada kuadran I (berpeluang sukses) adalah Casmani, Mito, Kartubi, Warniah, Karsiban, dan Sarwo. Industri yang berada pada kuadran II (sangat sukses) adalah Tambar. Industri yang berada pada kuadran III (sukses) adalah Rutaji, Carsian, Rayubi, H. Abdul Karim, Udi Susanto, Sumitro, dan Sukarnen. Industri kecil yang berada pada kuadran I (kurang sukses) adalah Caridi, Tasheri, Sigit, Suheri, Syawal, dan H. Munaji.
Dari Dari 22 faktor yang diidentifikasi, dianalisa dan dilakukan
verifikasi di lapangan maka faktor-faktor yang diduga menjadi faktor kunci sukses dalam berwirausaha tempe di lokasi penelitian adalah target Pemasaran, lama usaha, pencatatan keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia, anggaran dana khusus pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara menentukan harga. Sedangkan faktor lain yang tidak berpengaruh terhadap kesuksesan industri kecil tempe adalah tingkat pendidikan pengusaha, keikutsertaan dalam pelatihan kewirausahaan keanggotaan KOPTI, asal kedelai, sumber modal, pembinaan terhadap karyawan, Penambahan modal dari keuntungan, anggaran biaya pemeliharaan peralatan, alat transportasi pemasaran, evaluasi kegiatan pemasaran, cara pembayaran bahan baku, jarak tempat membeli kedelai dengan lokasi usaha, pemisahan uang pribadi dan uang usaha, modal awal, dan persyaratan kedelai.
Dari penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 kelompok industri kecil tempe di lokasi penelitian, dimana dari 20 responden yang dijadikan sampel, 30% responden tergolong industri berpeluang sukses, 5% responden tergolong industri sangat sukses, 35% responden tergolong industri sukses dan 30% responden tergolong industri kurang sukses. Industri kecil tempe sukses dan sangat sukses memiliki profil yang relatif sama, diantaranya dalam hal pencatatan keuangan usaha, target pemasaran, pembagian peran sumberdaya manusia, cara menentuan harga tempe , dan sudah terdapat tenaga pemasar khusus yang tetap, sedangkan hal yang membedakan adalah dalam hal jumlah dan perkembangan pemakaian bahan baku kedelai, lama usaha dan aktivitas penambahan modal. Hal-hal yang diduga menjadi faktor kunci sukses dari industri tempe di lokasi penelitan adalah target Pemasaran, lama usaha, pencatatan keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia, anggaran dana khusus pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara menentukan harga.
STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT
KESUKSESAN
(Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
ENDAR SUTRISNO
F24101055
2006
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
STUDI PROFIL INDUSTRI TEMPE BERDASARKAN TINGKAT
KESUKSESAN
(Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor)
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
ENDAR SUTRISNO
F24101055
Dilahirkan Di Sragen pada tanggal 25 Maret 1982
Tanggal lulus : Juni 2006
Menyetujui,
Bogor, Juni 2006
Tjahja Muhandri, STP, MT Ir. H. Darwin Kadarisman, MS
Dosen Pembimbing II Dosen Pembimbing I
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sragen pada tanggal 25 maret 1982
sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan
Supardi dan Rusmini. Pada tahun 1989 penulis memulai
Pendidikannya di SDN Pringanom III Masaran hingga tahun
1995. Pada tahun 1995 1998 penulis menempuh
pendidikan lanjutan pertama di SMP Negeri 1 Sidoharjo. Pada tahun 1998 2001
penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 2 Sragen. Pada tahun 2001
penulis diterima di Institut Pertanian Bogor jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kuliah penulis
pernah aktif di beberapa organisasi diantaranya di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan
Teknologi Pangan (HIMITEPA) dan Forum Bina Islami Fateta (FBI-F). Selain itu
penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Pendidikan Agama Islam (PAI)
dan beberapa kegiatan seperti Lepas Landas Sarjana Fateta, Baur HIMITEPA, dan
Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan HIMITEPA. Untuk menyelesaikan studi di
Depertemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA-IPB penulis melaksanakan
penelitian survei dengan judul: Studi Profil Industri Tempe Berdasarkan Tingkat
Kesuksesan (Studi Kasus Industri Tempe di Kecamatan Parung, Kabupaten
Bogor).
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sektor perindustrian merupakan sektor yang cukup diandalkan dalam
perekonomian di Indonesia, karena sektor ini mampu menjadi salah satu
penyumbang devisa negara yang cukup besar nilainya. Sejak tahun 1991
sektor perindustrian telah mampu melewati sektor pertanian dalam
menyumbang pembentukan PDB Indonesia (Sarah, 2001). Sektor industri
memiliki peran yang penting dalam memperluas kesempatan kerja,
meningkatkan pendapatan perkapita, menumbuhkan keahlian, menunjang
pembangunan daerah, serta memanfaatkan sumber daya alam (SDA), energi
dan sumber daya manusia (SDM).
Keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor perindustrian perlu
terus ditingkatkan dengan mengembangkan agroindustri. Pengembangan
agroindustri diharapkan mampu meningkatkan pertumbuhan industri kecil
sekaligus untuk mengentaskan kemiskinan. Sejarah membuktikan bahwa
keberhasilan ekonomi sebuah negara tidak hanya tertumpu pada industri
manufaktur dan jasanya tetapi juga tangguh dalam agroindustrinya seperti
Amerika Serikat dan Australia, sedangkan negara yang menomorduakan
sektor pertanian mengalami kekurangan pangan yang cukup besar sehingga
mengalami kemunduran perekonomian seperti yang dialami oleh Rusia.
Menurut Darwis et al (1983), agroindustri adalah kegiatan industri yang
memanfaatkan hasil-hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan
menyediakan peralatan seperti mesin dan alat-alat pertanian serta menciptakan
jasa untuk kegiatan tersebut dalam hal ini kegiatan pemasarannya. Dengan
demikian agroindustri meliputi industri pengolahan hasil pertanian, industri
peralatan dan mesin pertanian serta industri jasa.
Salah satu agroindustri yang cukup potensial adalah industri tempe.
Umumnya tempe digunakan sebagai lauk-pauk dan sebagai makanan
tambahan atau jajanan. Potensi tempe dalam meningkatkan kesehatan dan
harganya relatif murah memberikan alternatif pilihan dalam pengadaan
makanan bergizi yang dapat dijangkau oleh segala lapisan masyarakat.
Industri tempe merupakan industri kecil yang mampu menyerap
sejumlah besar tenaga kerja baik yang terkait langsung dalam proses produksi
maupun yang terkait dengan perdagangan bahan yang merupakan masukan
maupun produk hasil olahannya. Prospek industri tempe sangat baik dimana
pertumbuhan permintaan tempe setelah tahun 1998 dperkirakan mencapai 4
persen per tahun (Solahudin, 1998). Industri tempe memiliki peran yang
sangat besar didalam usaha pemerataan kesempatan kerja, kesempatan usaha
dan peningkatan pendapatan.
Menurut Ambarwati (1994), industri tempe pada umumnya dikelola
dalam bentuk industri rumah tangga, sehingga perkembangannya selalu
dihadapkan dengan permasalahan yang menyangkut bahan baku yaitu kedelai,
ketersediaan dan kualitas faktor produksi, tingkat keuntungan, pemasaran serta
permodalan.
Pendapatan para pengrajin tempe sangat tergantung dari penjualan dan
biaya yang dikeluarkan. Penjualan yang dilakukan pengrajin tempe belum
mampu mendatangkan keuntungan yang optimal karena harganya yang murah,
dan disisi lain biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku semakin besar dengan
adanya krisis ekonomi. Keberadaan ini sangat mempengaruhi efisiensi usaha
pengrajin tempe, sehingga banyak pengrajin tempe yang tidak mampu
berproduksi lagi (Sari, 2002).
Penelitian yang dilakukan Sebayang (1994) di Bogor menunjukkan
bahwa kondisi tempe cenderung bersifat statis artinya pengusaha industri
tempe merasa cukup dengan kondisi yang ada, serta berusaha dengan
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari keluarga maupun
kenalannya. Meskipun demikian, kesimpulan ini belum tentu tepat, karena ada
kemungkinan bahwa sifat statis lebih disebabkan oleh karakteristik usaha itu
sendiri.
Posisi industri tempe kian terpuruk akibat sistem penjualan secara
tradisional dengan kemasan yang kurang menarik dan tempat penjualan yang
kurang bersih dan kurang strategis. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap
penjualan tempe sehingga kegiatan usaha tempe belum mampu memberikan
keuntungan yang optimal.
Usaha tempe sangat tergantung pada kedelai impor. Ketergantungan
dari kedelai impor ini terjadi karena tempe yang dihasilkan dari kedelai impor
memiliki penampilan dan rasa yang lebih unggul, tidak menghasilkan bau
langu atau bau khas yang terdapat pada tempe yang menggunakan kedelai
lokal dan tidak menghasilkan rasa pahit (Nurhayati, 2001).
Peningkatan harga kedelai impor memberikan dampak yang besar
terhadap industri tempe dimana biaya bahan baku ini mengambil porsi
sebanyak 82,99 persen dari total biaya produksi (Dermawan, 1999).
Peningkatan harga kedelai impor mengakibatkan pengrajin tempe di beberapa
wilayah tidak berproduksi lagi dan pindah ke usaha lain. Hal ini diduga terjadi
karena modal yang dimiliki terbatas untuk membeli kedelai akibat fluktuasi
harga kedelai. Namun kondisi seperti ini ternyata masih dapat disiasati oleh
beberapa pengrajin tempe di beberapa tempat di Indonesia. Beberapa
pengrajin masih dapat bertahan dan bahkan berkembang. Berdasarkan hasil
penelitian dibeberapa daerah memang telah dijumpai pengusaha tempe yang
memiliki kapasitas produksi riel jauh berada di atas rata-rata industri tempe
yaitu diatas 2.000 kilogram bahan baku kedelai untuk setiap harinya,
sementara sebagian besar pengrajin masih berada dibawah 100 kilogram
perhari (Soetrisno dan Sapuan, 1996).
Dari uraian di atas, masalah yang akan diteliti adalah kondisi usaha
tempe sekarang ini di lokasi penelitian, kunci sukses dari pengrajin tempe
yang masih dapat bertahan dan bahkan berkembang ditengah kondisi sekarang
ini.
B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Melakukan pengelompokan industri tempe berdasarkan tingkat
kesuksesannya di lokasi penelitian
2. Mengetahui profil industri tempe di lokasi penelitian (Kecamatan parung)
ditinjau dari beberapa aspek yaitu ketersediaan bahan baku, teknis maupun
manajemen.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor kunci sukses industri tempe.
C. Manfaat Penelitian
1. Bagi para pengrajin tempe merupakan bahan masukan dalam mengelola
dan mengembangkan usahanya.
2. Bagi pembuat kebijakan (lembaga/instansi) merupakan bahan masukan
dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengembangan industri
kecil tempe.
3. Bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, dosen dan peneliti merupakan
bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut dalam rangka pengembangan
sektor industri kecil tempe.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. KEADAAN INDUSTRI KECIL DI INDONESIA
1. Definisi dan Kriteria
Perusahaan atau usaha industri adalah suatu unit usaha yang
melakukan kegiatan ekonomi, yang bertujuan menghasilkan barang atau
jasa (BPS, 1995). Sedangkan kegiatan ekonomi adalah kegiatan yang
bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian industri kecil
merupakan perusahaan atau unit usaha industri yang melakukan kegiatan
ekonomi dalam skala kecil.
Menurut surat keputusan Menteri Perindustrian Nomor :
13/M/SK/3/1990 dinyatakan bahwa industri kecil adalah industri yang
memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam kriteria bidang usaha yaitu
kelompok industri yang mempunyai investasi tidak lebih dari 600 juta
rupiah (mencakup bangunan, mesin dan peralatan) dan pemiliknya adalah
warga negara Indonesia.
Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri mendefinisikan
perusahaan kecil adalah badan usaha yang karena terbatasnya kemampuan
mengelola dan berorganisasi, modal serta keterampilan, hanya mampu
melakukan kegiatan usaha di bidang tertentu yang kecil dan terbatas.
Selanjutnya dikatakan ciri umum dari industri kecil adalah modal usaha
terbatas, manajemen dan administrasi yang belum baik, sarana dalam
mengelola pemasaran masih terbatas, dan pengetahuan pemasaran yang
masih kurang
Menurut Departemen Koperasi dan Usaha kecil Menengah usaha
kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat beskala kecil dengan kriteria sebagai
berikut : 1) kekayaan bersih maksimal Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta
rupiah) tidak temasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau 2) penjualan
tahunan maksimal Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) 3) milik warga
negara Indonesia 4) berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan
atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik
langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah maupun usaha
besar.
Dilihat dari sistem manajemen kelompok ini biasanya masih
berbentuk organisasi tradisional yang didasarkan pada sistem
kekeluargaan, efisiensi produk sangat rendah, sistem administrasi
keuangan kurang tertata baik. Dari segi pemasaran, pengusaha belum
mengembangkan produknya pada mutu dan standar yang baku,
kemampuan mendesain produk yang masih rendah, pengiriman kurang
tepat, serta belum dapat memenuhi kuantitas produk yang diinginkan oleh
konsumen. Kendala teknologi juga menjadi faktor yang menyebabkan
produk yang dihasilkan bersifat monoton dan sulit berkembang (Susidarto,
1995).
2. Jumlah Industri Kecil
Data Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah pada tahun
2003 memperlihatkan bahwa jumlah industri kecil di Indonesia sebanyak
42.326.519 unit yang terdiri dari 24.735.693 unit pada sektor pertanian,
perikanan dan peternakan, 379.141 unit pada sektor pertambangan dan
penggalian, 2.560.846 unit pada sektor industri pengolahan, 9.185 unit
pada sektor listrik, gas dan air bersih, 170.359 unit pada sektor bangunan,
8.456 unit pada sektor perdagangan, hotel dan restoran, 2.963.768 unit
pada sektor pengangkutan dan komunikasi, 29.508 unit pada sektor
keuangan, persewaan jasa perusahaan, dan 3.021.955 unit pada sektor jasa-
jasa. Industri tempe termasuk dalam kategori industri pengolahan non migas. Data jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Jumlah industri kecil berdasarkan sektor ekonomi tahun 1999 s/d Tahun
2003
Sektor Tahun 1999 Tahun 2000
Tahun 2001
Tahun 2002
Tahun 2003
Pertanian, peternakan dan
perikanan 23.174.579 23.516.865 24.012.534 24.619.874 24.735.693
Pertambangan dan panggalian 132.617 150.495 199.382 285.752 379.141
Industri pengolahan 2.526.163 2.536.886 2.551.347 2.556.693 2.560.846
Listrik,gas dan air bersih 4.492 3.868 4.372 8.099 9.185
Bangunan 102.332 120.750 111.033 187.360 170.359
Perdagangan,hotel dan restoran 8.688.215 8.675.045 8.477.380 8.466.650 8.456.064
Pengangkutan dan komunikasi 1.707.762 1.868.081 1.779.150 2.295.984 2.963.768
Keuangan, perseroan, jasa
perusahaan 24.143 25.034 25.667 27.392 29.508
Jasa-jasa 1.499.206 1.699.416 1.692.876 2.258.472 3.021.955
Jumlah 37.859.509 38.669.355 38..853.741 40.705.676 42.326.519
Sumber : Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah tahun 2004 (diolah)
3. Permasalahan Yang Dihadapi
Permasalahan yang timbul dalam pengembangan industri kecil dan
rumah tangga (khususnya agroindustri) adalah pengadaan bahan baku,
modal, manajemen dan pemasaran. Menurut Apretty (2000), permasalahan
dalam pengadaan bahan baku disebabkan karena berbagai hal, antara lain
sifat produk pertanian yang musiman, tingkat keragaman yang tinggi,
jumlah produksi yang melimpah pada suatu waktu, mudah rusak dan tidak
tahan lama.
Permasalahan lain yang sering dihadapi oleh usaha kecil dan rumah
tangga adalah rendahnya kemampuan dalam mengakses kepada sumber-
sumber permodalan, baik yang berbentuk lembaga keuangan bank maupun
bukan-bank. Ketidakseimbangan akses bagi usaha kecil dan rumah tangga
dalam mendapatkan sumber-sumber permodalan untuk mengembangkan
usahanya menyebabkan produk usaha kecil dan rumah tangga kurang
mampu bersaing di pasar. Sistem perbankan dengan persyaratan-
persyaratan teknis yang diberlakukan bagi calon peminjam tidak
berkesesuaian dengan kondisi sebagian besar usaha kecil dan rumah
tangga yang ada.
Pemasaran pada industri kecil umumnya kurang atau tidak
mengetahui jenis produk yang sedang gencar di pasaran. Terkadang
pengusaha tidak menghasilkan produk dengan mutu yang sesuai dengan
tuntutan pasar dan selera konsumen dan juga kurang mampu untuk
memproduksi dalam jumlah yang besar dalam waktu yang cepat sehingga
permintaan pasar tidak dapat dipenuhi. Selain itu strategi pemasaran yang
dijalankan relatif sangat sederhana serta wilayah pemasaran yang terbatas
pada daerah yang dekat dengan lokasi usaha (Apretty, 2000).
Masalah manajemen usaha bagi industri kecil merupakan unsur
penting bagi pengembangan usaha. Menurut Sarah (2001), pengelolaan
industri kecil umumnya masih bersifat tradisional dan belum berorentasi
pada manajemen usaha yang profesional. Pola manajemen tradisional
biasanya ditandai dengan masih sulitnya memisahkan antara aktivitas
keluarga dengan aktivitas perusahaan. Selain itu manajemen usaha pada
industri kecil umumnya juga belum bisa mengembangkan manajemen
keuangan dan personalia dengan baik.
B. KEADAAN INDUSTRI KECIL PANGAN DI INDONESIA
1. Jumlah Industri Kecil Pangan
Industri pangan berskala kecil dan rumah tangga terus berguguran
dan gulung tikar karena tidak mampu meningkatkan daya saing.
Ketidakmampuan usaha berskala kecil dan rumah tangga meningkatkan
daya saing itu lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang belum
sepenuhnya memihak kepada pengusaha kecil (Anonim, 2004).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, jumlah
industri pangan, khususnya yang berskala kecil dan rumah tangga, turun
sejak tahun 2000 sampai 2002, kata Direktur Eksekutif Gabungan
Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Thomas
Darmawan di Jakarta, akhir pekan lalu (Anonim, 2004).
Thomas menjelaskan, jumlah industri pangan berskala kecil tahun
2002 sebanyak 49.530 industri. Jumlah ini menurun dari tahun 2001 yang
mencapai 60.020 industri dan tahun 2000 berjumlah 63.613 industri.
Sementara jumlah industri pangan berskala rumah tangga tahun 2002
sebanyak 789.251. Tahun 2001 jumlah industri tersebut sebanyak 798.201
dan tahun 2000 sebanyak 814.037 (Anonim, 2004).
2. Permasalahan Yang Dihadapi
Penurunan jumlah industri pangan berskala kecil dan rumah tangga
disebabkan beberapa faktor, diantaranya kebijakan pemerintah untuk
melindungi komoditas pertanian melalui penerapan tarif yang tinggi dan
tata niaga, beredarnya produk pangan impor ilegal, dan masuknya
perusahaan multinasional dalam industri pangan (Anonim, 2004).
Selain itu juga biaya yang tinggi seperti untuk listrik, bahan bakar
minyak (BBM), serta penerapan standar produk yang kurang dapat
dipenuhi industri kecil. Sebagai contoh ketentuan tata niaga impor gula.
Dengan ketentuan itu, industri besar dapat mengimpor gula dengan
volume yang besar. Dengan demikian, harga pun menjadi lebih murah.
Sementara itu, industri kecil yang tidak mampu mengimpor tetap harus
membeli gula dari pasar dalam negeri dengan harga yang lebih tinggi
(Anonim, 2004).
Selain itu, dengan masuknya investasi asing, beberapa industri
kecil semakin terjepit. Misalnya, kehadiran hipermarket yang menjual
banyak produk termasuk produk pangan dari luar negeri. Ada juga
perusahaan multinasional yang mengakuisisi perusahaan lokal sehingga
industri lokal tidak tumbuh.
Dengan penurunan jumlah industri pangan berskala kecil, jumlah
tenaga kerja pun berkurang. Jumlah tenaga kerja industri pangan berskala
kecil pada tahun 2002 sebanyak 391.450 orang dan tahun 2001 sebanyak
474.356 orang. Sementara jumlah tenaga kerja industri pangan berskala
rumah tangga pada tahun 2002 sebanyak 1.623.568 orang dan pada tahun
2001 sebanyak 1.641.979 orang (Anonim, 2004).
C. KRITERIA KEBERHASILAN INDUSTRI KECIL
Keberhasilan perusahaan dapat dinilai dari analisis keuangan dalam
bentuk rasio keuangan. Data keuangan yang digunakan adalah dari laporan
neraca keuangan, laporan laba rugi serta laporan pendapatan (Riyanto,
1990).
Menurut Departemen Perindustrian (1990) di dalam Asri (1994),
keberhasilan usaha dapat dilihat dari perkembangan usaha. Usaha yang
berkembang dapat diketahui melalui beberapa elemen yang mendukung
pada aktivitas perkembangan usaha, yaitu perkembangan pemasaran,
perkembangan pembeli, perkembangan tenaga kerja, perkembangan modal
kerja, perkembangan keuntungan, perkembangan pemakaian bahan dan
perkembangan hasil produksi. Hal ini didasarkan pada sifat industri kecil
tersebut yakni bersifat padat karya. Menurut Nurhayati (1984) di dalam
Diano (1990), kriteria keberhasilan suatu perusahaan dapat diartikan secara
kuantitatif dan kualitatif. Perkembangan kuantitatif diantaranya adalah
perkembangan omset dan jumlah tenaga kerja pada periode tertentu.
Perkembangan kualitatif diantaranya adalah peningkatan dari mutu produk,
peningkatan kualitas moral pimpinan atau buruh. Peningkatan mutu produk
yang dihasilkan industri kecil dapat diketahui melalui persentase pemenuhan
standar produk menurut permintaan konsumen. Dalam pengertian semakin
besar tingkat persentase pemenuhan standar produk, maka mutu produk
industri kecil meningkat.
Menurut Asri (1994), sikap kewiraswastaan memiliki hubungan
positif dengan tingkat keberhasilan pengusaha kecil. Indikator keberhasilan
usaha yang biasa ditinjau dari nilai penjualan, sangat dipengaruhi oleh sikap
kewiraswastaan pengusaha. Sikap kewiraswastaan pengusaha itu meliputi
pembinaan modal, faktor manajemen, faktor kesediaan dalam mengambil
resiko dan faktor inovasi. Dalam pembinaan modal ditandai dengan
pemanfaatan keuntungan untuk mengembangkan usaha seperti pembelian
alat dan peningkatan pemasaran, sedangkan dari faktor manajemen ditandai
dengan adanya sikap mengkoordinir, merencanakan, dan menyusun jadwal
dari berbagai kegiatan produksi. Sikap kepemimpinan dapat juga dilihat dari
sikap pengusaha dalam kegiatan kemasyarakatan. Dari faktor kesediaan
dalam mengambil resiko dicirikan oleh keinginan pengusaha untuk
berprestasi tinggi dan keberanian dalam mengambil resiko dalam
berwiraswasta, tetapi tidak menyukai kegiatan yang hasilnya sama sekali
diluar kemampuan atau kegiatan yang mengandung resiko sangat tinggi.
Dari faktor inovasi dicirikan oleh sikap pengusaha yang bersedia menerima
perubahan, dan selalu mencoba berbagai alternatif serta mengembangkan
inovasi untuk barang dan jasa dalam bidang usaha lain.
D. KEADAAN INDUSTRI TEMPE DI BOGOR
1. Jumlah dan Sebaran Industri Tempe
Industri tempe umumnya merupakan sektor informal yang
jumlahnya sulit diketahui secara pasti. Hanya sedikit industri tempe yang
mendaftarkan usahanya ke Departemen Perindustrian. Akan tetapi
kebanyakan industri tempe tercatat dalam keanggotaan KOPTI ( Koperasi
Tahu Tempe Indonesia). Berdasarkan data yang diperoleh dari KOPTI,
sampai saat ini di Kabupaten Bogor terdapat 786 penggrajin tempe dengan
persentase peningkatan 10% pertahun sampai dengan tahun 1999.
Sedangkan di wilayah kotamadya terdapat 165 pengrajin tempe. Berbeda
dengan Kabupaten Bogor, kotamadya Bogor mengalami penurunan jumlah
pengrajin tempe sebesar 50%. Penurunan ini terjadi karena beberapa
wilayah pelayanan yang dulu tergabung dalam KOPTI kotamadya Bogor
sekarang berpindah ke KOPTI daerah masing-masing seperti Kabupaten
Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Industri tempe yang tergabung dalam
keanggotaan KOPTI Kotamadya Bogor tersebar dalam 17 wilayah
pelayanan yang terdapat dalam 5 kecamatan yaitu Bogor barat, Bogor
timur, Bogor tengah, Bogor selatan dan Bogor utara, sedangkan di
Kabupaten Bogor tersebar kedalam 19 wilayah pelayanan. Setiap wilayah
pelayanan dikepalai oleh seorang kepala wilayah pelayanan kedelai (KWP)
yang ditetapkan dari KOPTI. Wilayah pelayanan kedelai di Kabupaten
Bogor meliputi Cimanggis, Citeureup, Cibinong, Sawangan 1 dan 2, Parung
1 dan 2, Depok 1 dan 2, Semplak, Kedung Halang, Cimanggu 1 dan 2,
Ciawi, Caringin, Pancasan, Cikreteg, Leuwiliang, dan Ciampea. Jumlah
industri tempe yang terdapat pada Kabupaten bogor dapat dilihat pada tabel
2.
Tabel 2. Rekapitulasi jumlah Anggota KOPTI Kabupaten Bogor No Wilayah pelayanan Jumlah anggota 1 Cimanggis 65 2 Citeureup 107 3 Cibinong 56 4 Sawangan 1 63 5 Sawangan 2 17 6 Parung 1 62 7 Parung 2 42 8 Depok 1 69 9 Depok 2 120 10 Semplak 28 11 Kedung Halang 21 12 Cimanggu 1 18 13 Cimanggu 2 22 14 Ciawi 8 15 Caringin 2 16 Pancasan 7 17 Cikreteg 16 18 Leuwiliang 30 19 Ciampea 33
Jumlah 786 Sumber : KOPTI Kabupaten Bogor tahun 1999 (diolah)
2. Skala Pemakaian Bahan Baku
Sebelum monopoli BULOG atas kedelai impor dicabut para
pengrajin tempe mendapatkan kedelai dari KOPTI. Setiap anggota KOPTI
berhak memperoleh jatah yang telah ditetapkan. Untuk mempermudah
pengambilan jatah, setiap wilayah memiliki seorang kepala wilayah
pelayanan yang akan mendistribusikan kedelai dari KOPTI. Akan tetapi
setelah monopoli BULOG dicabut para pengrajin tempe mendapatkan
kedelai dari luar KOPTI yaitu di toko-toko Cina. Dari semua anggota
KOPTI, 70% pengrajin tempe membeli kedelai dari pedagang Cina dan
30% pengrajin tempe memperoleh kedelai dari KOPTI. Pada akhir tahun
2005 KOPTI melakukan pendataan pemakain bahan baku ke wilayah-
wilayah pelayanan. Dari hasil pendataan diperoleh skala kebutuhan kedelai
di Kabupaten Bogor antara 50-800 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75
kg/hari. Dalam sebulan kedelai yang dipakai untuk produksi tempe sekitar
875 ton. Sedangkan di Kotamadaya Bogor skala kebutuhan bahan baku
antara 10-150 kg/hari dengan rata-rata pemakaian 75 kg/hari. Dalam
sebulan kebutuhan bahan baku kedelai di Kotamadya Bogor sebesar 300
ton. Hampir sama dengan di Kabupaten sumber perolehan bahan baku
kedelai pengrajim berasal dari pedagang Cina, hanya 10% pengrajin tempe
yang mengambil bahan baku kedelai dari KOPTI.
3. Permasalahan Industri Tempe di Bogor
Masalah utama yang dihadapi para pengrajin tempe adalah biaya
produksi yang semakin tinggi. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
menjadikan harga kedelai dan harga bahan-bahan seperti kemasan baik
plastik maupun daun, ragi dan minyak tanah menjadi naik. Kenaikan harga
barang-barang tersebut telah menyebabkan biaya produksi yang dikeluarkan
juga semakin besar. Kondisi ini sangat dirasakan oleh para pengrajin tempe
yang mempunyai modal pas-pasan sehingga jalan keluar yang terbaik untuk
bertahan dalam industri tempe adalah dengan mengurangi volume produksi.
Pemasaran untuk menyalurkan tempe dari produsen ke konsumen
pada industri tempe masih merupakan masalah. Hal ini dikarenakan kurang
dikuasainya informasi pasar yang berkaitan dengan pola permintaan
konsumen baik jenis, jumlah, mutu dan harga produk. Selain itu kurangnya
kemampuan dalam strategi pemasaran serta terbatasnya wilayah pemasaran
juga menjadi masalah di industri tempe.
Masalah lain dari industri tempe adalah kurangnya rasa memiliki
anggota terhadap KOPTI. Padahal dengan partisipasi anggota terhadap
KOPTI maka peran-peran KOPTI seperti pembinaan, penyuluhan, adanya
simpanan kesejahteraan, dan tunjangan kesejahteraan akan sangat
membantu kesejahteraan pengrajin tempe.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
I : industri kecil tempe berpeluang sukses II : industri kecil tempe sangat sukses III : industri kecil tempe sukses IV : industri tempe kurang sukses
Gambar 1 . Kerangka berfikir penelitian
Kelompok industri
II
Kelompok industri
IV
Pengelompokan Industri
Diagram cartesius Perkembangan
pemakaian bahan baku
Industri tempe
Kelompok industri
III
Kelompok industri
I
Eksplorasi 6 aspek pendukung sukses
Pembandingan
Faktor kunci sukses
Verifikasi di lapangan
Industri tempe merupakan salah satu agroindustri rumah tangga yang
sangat potensial untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan industri tempe
telah mampu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan, dan
meningkatkan perekonomian masyarakat pedesaan. Ditengah-tengah
persaingan dengan industri rumah tangga lain baik yang dalam bidang pangan
maupun non pangan serta iklim usaha yang semakin sulit menuntut industri
tempe untuk lebih kreaktif dalam menjalankan usaha. Agar dapat bertahan dan
berkembang industri tempe perlu mengetahui faktor kunci sukses dalam
berwiraswasta tempe. Pengetahuan faktor kunci sukses berwirausaha tempe
akan membantu para pengrajin tempe dalam menjalankan usaha. Selain itu
pengetahuan faktor kunci sukses dalam berwirausaha tempe juga akan
membantu pihak-pihak yang terkait dalam pembinaan untuk membina para
pengrajin tempe secara efektif dan efisien.
Untuk mengetahui informasi tentang faktor kunci sukses dalam
berwirausaha tempe perlu diadakan suatu penelitian survei. Faktor kunci
sukses diperoleh dengan mengeksplorasi enam faktor pendukung kesuksesan
yang meliputi aspek umum, pengadaan bahan baku, SDM, finansial, produksi
dan pemasaran. Dari eksplorasi akan diketahui kondisi umum industri tempe
di lokasi penelitian. Setelah diketahui kondisi umum industri tempe, kemudian
industri tempe dikelompokkan kedalam empat kelompok industri yaitu
industri berpeluang sukses, industri sangat sukses, industri sukses dan industri
kurang sukses. Pengelompokan menggunakan diagram cartesius
perkembangan pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir. Alasan
pemakaian bahan baku digunakan sebagai parameter adalah karena bahan
baku merupakan faktor yang sangat kritis dalam industri tempe. Ketersediaan
kedelai impor sangat berpengaruh terhadap kelangsungan usaha tempe. Dari
kelompok-kelompok industri tempe tersebut kemudian akan dibandingkan
faktor pendukung kesuksesan usaha. Untuk memperkuat dugaan terhadap hal-
hal yang menjadi faktor kunci sukses, maka dilakukan verifikasi di lapangan.
B. Langkah-langkah Penelitian
Gambar 2. Langkah-langkah penelitian
Penentuan tujuan penelitian
Studi pustaka ( metode penelitian survei, cara
penyusunan kuesioner, penyebaran industri tempe)
Pengumpulan data
Pembuatan kuesioner
Tabulasi data
Pemilihan lokasi dan waktu penelitian
Pengambilan sampel
Analisa data
Pembuatan laporan
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian
survei, pengamatan langsung dan wawancara terhadap responden. Masalah
yang diteliti adalah profil dan faktor-faktor kunci sukses dari industri tempe
yang berada di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor.
Proses pengkajian masalah khusus ini terdiri dari kegiatan-kegiatan
yang dimulai dengan penentuan tujuan penelitian, studi pustaka, pemilihan
lokasi dan waktu penelitian, pengambilan sampel, pembuatan kuesioner,
pengumpulan data, tabulasi data, analisis data, dan pembuatan laporan.
Langkah-langkah penelitian secara terperinci ialah :
1. Penentuan tujuan penelitian
Tujuan penelitian merupakan hal yang mendasari landasan berfikir
untuk menentukan langkah-langkah penelitian dan pemecahan masalah yang
ingin dicapai sehingga penelitian akan menjadi terarah.
2. Studi pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan dan
wawasan mengenai topik yang dikaji dalam hal ini berkaitan dengan profil
industri tempe berdasarkan tingkat kesuksesannya. Selain itu studi pustaka
juga digunakan untuk mendapatkan informasi tentang metode penelitian,
yaitu metode survei. Studi pustaka diperoleh dari buku-buku, internet,
skripsi maupun laporan-laporan lain yang berhubungan dengan topik
penelitian.
3. Pemilihan lokasi dan waktu penelitian
Pemilihan lokasi pada penelitian ini dilakukan secara sengaja
(purposive) yaitu di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa
Barat. Dalam penentuan lokasi ini berdasarkan pada pertimbangan : (1)
daerah tersebut merupakan salah satu daerah sentra produksi tempe di
Kabupaten Bogor ; (2) daerah tersebut relatif dekat dengan tempat tinggal
peneliti sehingga dapat menekan biaya penelitian.
Waktu penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama
mengumpulkan data sekunder yang diperlukan dan dilaksanakan pada bulan
Juni-Juli 2005, sedangkan tahap kedua mengumpulkan data primer di
lapang yang dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2005. Tahap akhir
yaitu pengolahan dan analisa data, serta pembuatan laporan.
4. Pengambilan sampel
Industri kecil tempe yang dijadikan sampel dalam penelitian
adalah industri tempe yang berada di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor
yang terdaftar di Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTI) Kabupaten
Bogor maupun yang tidak terdaftar pada instansi tersebut. Industri yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah industri yang memenuhi kriteria
Undang-Undang no 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang menyatakan
bahwa industri kecil merupakan kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki
kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta tidak termasuk bangunan tempat
usaha dan memiliki omset tahunan paling banyak Rp 1 milyar.
Jumlah sampel yang diambil sebanyak 20 responden dari 104
responden pengrajin tempe yang ada di Kecamatan Parung (19 persen dari
populasi). Cara pengambilan sampel ini didasarkan pada pendapat Gay
(1981) di dalam Ruseffendi (1994) yang menyatakan bahwa ukuran sampel
minimum yang dapat diterima dalam penelitian survei atau deskriptif adalah
10 persen dari jumlah populasi yang besar (lebih dari 50) sedangkan untuk
populasi kecil (kurang dari 50) minimum 20 persen dari jumlah populasi.
Pengambilan sampel tersebut dilakukan secara acak sederhana,
yaitu sebuah sampe yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit
penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang
sama untuk dipilih sebagai sampel (Singarimbun dan Effendi, 1989). Namun
dari penelitian ini juka suatu industri kecil tempe tidak berhasil
diwawancarai, baik karena industri sudah tutup, pindah maupun tidak
bersedia, maka diganti dengan industri lain sebagai sampel.
5. Pembuatan kuesioner
Kuesioner merupakan salah satu instrumen dalam penelitian,
terutama penelitian survei. Pembuatan kuesioner disesuaikan dengan tujuan
dari penelitian yakni untuk mengkaji profil industri tempe berdasarkan
tingkat kesuksesan, (dilihat dari enam aspek yang telah disebutkan diatas).
Keenam aspek tersebut dijabarkan menjadi 22 faktor pendukung sukses,
sehingga kuesioner yang disusun memuat pertanyaan-pertanyaan :
a. Kondisi umum meliputi lama usaha, investasi, sumber modal, dan
legalitas dari pemerintah.
b. Pengadaan bahan baku meliputi jenis kedelai, sistem pembayaran, asal
kedelai, jarak lokasi usaha dengan tempat pembelian, cara pembayaran
bahan baku, dan persyaratan kedelai.
c. Sumber daya manusia meliputi perkembangan jumlah tenaga kerja,
pendidikan tenaga kerja, sistem pengupahan, dan pembagian peran.
d. Finansial meliputi pencatatan keuangan , pemisahan uang pribadi dan
uang usaha, penambahan modal dari setiap keuntungan, dana khusus
untuk pemilik, dan penentuan harga produk.
e. Produksi meliputi kapasitas produksi, penanganan terhadap limbah,
perhatian terhadap peralatan dan penanganan terhadap produk yang
tidak terjual ataupun produk rijek.
f. Pemasaran meliputi wilayah pemasaran, sasaran pasar, tenaga pemasar,
alat transportasi, dan evaluasi kegiatan pemasaran.
Pertanyaan yang disusun terdiri dari pertanyaan yang bersifat semi
terbuka (jawaban sudah tersusun tetapi masih ada kemungkinan tambahan
jawaban).
6. Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam
terhadap responden dengan menggunakan kuesioner serta pengamatan
langsung ke industri. Wawancara dilakukan dengan mendatangi satu persatu
ke responden pengrajin tempe.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari Kantor Kecamatan Parung,
Dinas Perindustrian, Dinas Kesatuan Bangsa serta Koperasi Tahu Tempe
Indonesia (KOPTI) Kotamadya dan Kabupaten Bogor.
7. Tabulasi data
Data yang diperoleh dari hasil survei, diskusi dan pengamatan
langsung akan ditabulasikan dengan menggunakan perangkat komputer
(program microsoft office word) sehingga diharapkan akan mempermudah
dalam melakukan analisa data.
8. Analisa data
Analisis data terdiri dari :
a. Pengelompokan industri tempe berdasarkan tingkat kesuksesan
Dalam menentukan tingkat kesuksesan dari industri tempe,
masing-masing industri tempe dipetakan ke dalam diagram cartesius
perkembangan pemakaian bahan baku, dimana sumbu mendatar (X)
menunjukkan rata-rata jumlah pemakaian bahan baku responden,
sedangkan sumbu tegak (Y) menunjukkan rata-rata kenaikan jumlah
pemakaian bahan baku responden.
Y
tinggi berpeluang sukses sangat sukses
(I) (II)
Y
rendah kurang sukses sukses
(IV) (III)
rendah X tinggi X
Rata-rata jumlah pemakaian bahan baku per hari selama empat tahun terakhir (kg/hari)
Gambar 3. Diagram cartesius perkembangan pemakaian
bahan baku
Rat
a-ra
ta k
enai
kan/
penu
runa
n pe
mak
aian
bah
an b
aku
sela
ma
empa
t tah
un te
rakh
ir (k
g/4
tahu
n)
Keterangan :
X = Rata-rata pemakaian bahan baku seluruh responden pengrajin tempe
selama empat tahun terakhir
Y = Rata-rata kenaikan atau penurunan pemakaian bahan baku seluruh
responden selama empat tahun terakhir.
Rumus X dan Y adalah sebagai berikut :
n = jumlah responden
X = n
Xin
i=1 Y =
n
Yin
i=1
Dari gambar 3 tersebut dapat dijelaskan pengelompokkan industri tempe
berdasarkan tingkat keberhasilannya sebagai berikut :
I. Industri berpeluang sukses
Industri yang berada pada kuadran ini dapat dikatakan
berpeluang sukses karena walaupun rata-rata jumlah pemakaian
bahan baku yang rendah, namun memiliki rata-rata kenaikan
pemakaian bahan baku yang tinggi.
II. Industri sangat sukses
Industri kecil yang berada pada kuadran ini merupakan
industri kecil yang sangat sukses. Hal ini ditandai dengan rata-rata
jumlah pemakaian bahan baku yang tinggi dan rata-rata kenaikan
pemakaian bahan baku yang juga tinggi.
III. Industri sukses
Industri kecil yang berada pada kuadran ini dapat
dikatakan sukses, karena memiliki rata-rata jumlah pemakaian
bahan baku yang tinggi, walaupun tidak ada peningkatan
pemakaian bahan baku.
IV. Industri kurang sukses
Industri kecil yang berada pada kuadran ini dapat dikatakan
kurang sukses. Hal ini ditandai dengan rendahnya rata-rata jumlah
pemakaian bahan baku dan rendahnya rata-rata kenaikan
pemakaian bahan baku. Pada kelompok ini juga ditandai dengan
penurunan pemakaian bahan baku.
b. Penentuan faktor kunci sukses dari industri kecil tempe
Faktor kunci sukses diperoleh dengan cara membandingkan
antara industri kecil tempe yang tergolong sangat sukses dan sukses
dengan industri kecil tempe yang lainnya. Pembandingan dilakukan
dengan melihat hal yang membedakan antar kelompok industri, dari
enam aspek yang dijabarkan menjadi 22 faktor. Hal-hal yang dilakukan
oleh industri yang sangat sukses dan sukses, yang umumnya tidak
dilakukan industri yang kurang sukses ditentukan sebagai faktor kunci
sukses industri kecil tempe.
9. Pembuatan laporan
Hasil penelitian ini akan didokumentasikan dalam bentuk laporan
tertulis yakni laporan skripsi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. IDENTIFIKASI TINGKAT KESUKSESAN INDUSTRI KECIL TEMPE
Dalam mengidentifikasi kesuksesan industri kecil tempe indikator
yang digunakan adalah perkembangan pemakaian bahan baku. Penentuan
kriteria ini mengambil asumsi bahwa perkembangan pemakaian bahan akan
berpengaruh terhadap perkembangan omset dan juga keuntungan dari indsutri
kecil tempe. Berdasarkan kriteria Departemen Perindsutrian perkembangan
pemakaian bahan juga merupakan salah satu indikator keberhasilan industri
kecil. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya bahwa para pengrajin tempe sangat tergantung
kepada kedelai impor yang harganya semakin naik setelah terjadinya krisis
ekonomi dan subsidi dari pemerintah dicabut sejak September 1998.
Peningkatan harga kedelai impor mengakibatkan beberapa pengrajin tempe di
lokasi penelitian tidak berproduksi lagi. Berdasarkan hal tersebut maka
kemampuan mengakses dan menggunakan bahan baku kedelai impor
merupakan salah satu indikator kesuksesan industri kecil tempe.
Perkembangan pemakaian bahan baku kedelai impor selama empat
tahun dari setiap responden dapat dilihat pada tabel 3 .
Tabel 3. Perkembangan pemakain bahan baku
No Nama
responden
Pemakaian bahan baku (kg/hari) pada tahun
2002 2003 2004 2005 1 Rutaji 150 150 150 150 2 Carsian 300 300 300 300 3 Casmani 25 25 35 100 4 Caridi 50 50 50 50 5 Mito 15 30 40 100 6 Tasheri 80 100 80 75 7 Rayubi 125 125 125 125 8 Kartubi 80 100 80 100 9 Sigit 40 55 40 40
10 H. Abdul Karim 200 200 200 200
11 Warniah 20 40 90 70 12 Suheri 100 100 100 100 13 Karsiban 60 60 80 75 14 Syawal 100 100 100 100 15 H. Munaji 80 60 80 20 16 Sarwo 40 50 60 80 17 Udi Susanto 150 150 100 100 18 Tambar 170 180 190 200 19 Sumitro 250 250 250 250 20 Sukarnen 150 150 150 150
Untuk mengetahui tingkat kesuksesan dari setiap responden pengrajin
tempe, terlebih dahulu harus diketahui rata-rata pemakaian bahan baku dan
rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku. Sedangkan kecenderungan
pemakain bahan baku diperoleh dengan cara regresi linier. Rata-rata
pemakaian bahan baku dan rata-rata kenaikan bahan baku dari setiap
responden dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata pemakaian bahan baku dan kenaikan pemakaian bahan baku
dari setiap responden
No Nama
responden
X
(kg/hari)
Y
(kg / 4 tahun) Kecenderungan
1 Rutaji 150 0 tetap 2 Carsian 300 0 tetap 3 Casmani 46.25 17.63 naik 4 Caridi 50 0 tetap 5 Mito 46.25 19.88 naik 6 Tasheri 83.75 -2.63 turun 7 Rayubi 125 0 tetap 8 Kartubi 90 3 naik 9 Sigit 43.75 -1.13 turun 10 H. Abdul Karim 200 0 tetap 11 Warniah 55 15 naik 12 Suheri 100 0 tetap 13 Karsiban 68.75 4.88 naik 14 Syawal 100 0 tetap 15 H. Munaji 60 -12 turun 16 Sarwo 57.5 9.75 naik 17 Udi Susanto 125 -15 turun 18 Tambar 185 7.5 naik 19 Sumitro 250 0 tetap 20 Sukarnen 150 0 tetap
Rata-rata 114 ( X ) 2.19 (Y )
Keterangan :
X = Rata-rata pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir setiap
responden pengrajin tempe.
Y = Rata-rata kenaikan atau penurunan pemakaian bahan baku selama
empat tahun terakhir dari setiap responden pengrajin tempe.
X = Rata-rata pemakaian bahan baku seluruh responden pengrajin tempe
selama 4 tahun terakhir.
Y = Rata-rata kenaikan atau penurunan pemakaian bahan baku seluruh
responden selama 4 tahun terakhir.
Setelah diketahui rata-rata pemakaian bahan baku dan rata-rata
kenaikan bahan baku dari setiap responden maka selanjutnya menentukan
posisi industri kecil tempe. Salah satu cara yang digunakan dalam menentukan
posisi industri kecil tempe adalah dengan menggunakan diagram cartesius
perkembangan pemakaian bahan baku. Pada sumbu vertikal yang menjadi
ukuran adalah rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku selama empat tahun
terakhir, sedangkan sumbu horizontal yang menjadi ukuran adalah rata-rata
pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir.
Industri kecil yang berada pada kuadran I adalah Casmani, Mito,
Kartubi, Warniah, Karsiban, dan Sarwo. Responden pada posisi ini dapat
dikatakan berpeluang sukses, karena walaupun rata-rata pemakaian bahan
baku rendah tetapi memiliki rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku yang
tinggi. Industri kecil tempe yang berada pada kuadran ini jika dapat terus
mengoptimalkan pemakaian bahan bakunya pada waktu-waktu mendatang
tentu akan sukses.
Industri yang berada pada kuadran II adalah Tambar. Responden di
posisi ini dikatakan sangat sukses karena dengan rata-rata pemakaian bahan
baku yang tinggi juga disertai rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku yang
tinggi juga atau diatas rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku yaitu diatas
2.19. Pada waktu mendatang jika kenaikan pemakain bahan baku terus
bertambah dan dapat memperluas pasar serta konsumen maka industri akan
berkembang semakin pesat.
Industri kecil yang berada pada kuadran III adalah Rutaji, Carsian,
Rayubi, H. Abdul Karim, Udi Susanto, Sumitro, dan Sukarnen. Industri tempe
yang berada pada posisi ini tergolong sukses karena memiliki rata-rata
pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir yang tinggi atau diatas
rata-rata responden industri kecil tempe yaitu diatas 114 kg/hari, walaupun
tidak ada kenaikan pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir atau
jika ada rata-rata kenaikan pemakaian bahan baku berada dibawah rata-rata
kenaikan pemakaian bahan baku responden di lokasi penelitian. Kondisi
pemakaian bahan baku yang tetap yang ini dikarenakan konsumen dan pasar
yang tidak berubah. Para pengrajin pada kuadran ini umumnya takut tidak
terjual produknya ketika pemakaian bahan baku dinaikkan.
Industri kecil yang berada pada kuadran IV ditandai dengan jumlah
pemakaian bahan baku selama empat tahun terakhir yang rendah atau dibawah
rata-rata pemakaian bahan baku responden industri kecil tempe di lokasi
penelitian, serta tidak ada kenaikan pemakaian bahan baku atau pun jika ada
rendah dan bahkan mengalami penurunan. Pada kuadran ini yang menempati
adalah Caridi, Tasheri, Sigit, Suheri, Syawal, dan H. Munaji. Pada kondisi ini
industri kecil dikatakan kurang sukses. Hal ini dikarenakan selama kurun
empat tahun terakhir tidak dapat menaikan pemakaian bahan baku dan rata-
rata pemakaian bahan baku juga rendah. Kondisi ini selain disebabkan pasar
yang tetap, juga karena kalah bersaing dengan industri kecil tempe yang
sukses.
Hasil pemetaaan responden ke dalam diagram cartesius perkembangan
pemakaian bahan baku dapat dilihat pada gambar 4.
-18
-16
-14
-12
-10
-8
-6-4-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
22
20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 3206
III
II I
IV
Gambar 4. Posisi kesuksesan industri kecil tempe
Keterangan : 1. Rutaji 10. H. Abdul karim 19. Sumitro 2. Carsian 11. Warniah 20. Sukarnen 3. Casmani 12. Suheri 4. Caridi 13. Karsiban 5. Mito 14. Syawal 6. Tasheri 15. H. Munaji 7. Rayubi 16. Sarwo 8. Kartubi 17. Udi susanto 9. Sigit 18. Tambar
I. Industri kecil tempe berpeluang sukses II. Industri kecil tempe sangat sukses III. Industri kecil tempe sukses IV. Industri kecil tempe kurang sukses
1/20 2 12/14
5
9 4
3
7 8
10
11
13
15
16
17
18
19
Rata-rata pemakaian bahan baku (kg/hari) selama 4 tahun terakhir
Rat
a-ra
ta p
erke
mbn
agan
pem
akai
an b
ahan
bak
u (k
g/4
tahu
n) se
lam
a 4
tahu
n te
rakh
ir
Y
X
B. PROFIL INDUSTRI TEMPE DAN IDENTIFIKASI FAKTOR YANG
DIDUGA MENJADI KUNCI SUKSES
Deskripsi profil industri tempe diperoleh berdasarkan hasil wawancara
dan diskusi yang dibantu dengan kuesioner, yang dilakukan pada pengrajin
tempe, baik yang terdaftar sebagai anggota KOPTI maupun bukan anggota
KOPTI di Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Dalam mendiskripsikan
profil, industri tempe yang tergolong sukses dan sangat sukses dikelompokan
menjadi satu kedalam kelompok industri tempe sukses sedangkan industri
tempe berpeluang sukses dan kurang sukses dikelompokan menjadi industri
tempe kurang sukses. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam
mengidentifikasi faktor kunci sukses. Profil industri tempe yang didentifikasi
meliputi 22 faktor seperti yang tertera pada tabel 5.
Tabel 5. Profil masing-masing kelompok industri kecil tempe No Faktor
pendukung sukses
Industri berpeluang
Industri sangat sukses
Industri sukses
Industri kurang sukses
1 Tingkat pendidikan pengusaha
tidak tamat SD (2) SD (3) SLTP (1)
SD (1) tidak tamat SD (1) SD (5) SLTA (1)
tidak tamat SD ( 2) SD (3) SLTP (1)
2 Keikutsertaan dalam pelatihan kewirausahaan
ya (1) tidak (6)
ya (1) ya (3) tidak (4)
ya (1) tidak (5)
3 Keanggotaan KOPTI
ya (2) tidak (4)
ya (1) ya (7) ya (4) tidak (2)
4 Asal kedelai importir Cina (4) pedagang kedelai (2)
pedagang kedelai (1)
importir Cina (7)
importr Cina (3) koperasi (1) pedagang kedelai (2)
5 Sumber modal sendiri (5) pinjaman (1)
sendiri dan pinjaman (1)
sendiri (5) sendiri dan pinjaman (2)
sendiri (6)
Lanjutan tabel 5. Profil masing-masing kelompok industri kecil tempe No Faktor
pendukung sukses
Industri berpeluang
Industri sangat sukses
Industri sukses
Industrikurang sukses
6 Pembinaan terhadap karyawan
ya (3) tidak (3)
ya (1) ya (6) tidak (1)
ya (3) tidak (3)
7 Penambahan modal dari keuntungan
ya (2) tidak (4)
ya (1) ya (2) tidak (5)
ya (1) tidak (5)
8 Anggaran biaya pemeliharaan peralatan
ya (3) tidak (3)
tidak (1) ya (2) tidak (5)
ya (2) tidak (4)
9 Target pemasaran
Pedagang sayur dan konsumen akhir (1) Pedagang sayur (5)
Pedagang sayur, warteg, perumahan, konsumen akhir(1)
Pedagang sayur, warteg, perumahan, konsumen akhir (4) Pedang sayur dan konsumen akhir(3)
Konsumen akhir (1) Pedagang sayur dan konsumen akhir (1) dititipkan ke warung (2) pedagang sayur (2)
10 Alat transportasi pemasaran
gerobak (3), motor (1), motor dan gerobak (1), mobil pick up (1)
motor (1) gerobak (4) motor (1) mobil pick up (2)
sepeda (1) gerobak (4) motor (1)
11 Evaluasi kegiatan pemasaran
ya (5) tidak (1)
ya (1) ya (6) tidak (1)
ya (4) tidak (2)
12 Cara pembayaran bahan baku
kredit(5) tunai (1)
kredit (1) kredit (5) tunai (2)
kredit (5) tunai (1)
13 Jarak tempat beli kedelai dengan lokasi usaha
> 10 km (3) < 1 km (2) 1-5 km (1)
1-5 km (1) > 10 km (2) 5-10 km (1) < 1 km (1) 1-5 km (3)
< 1 km (2) 1-5 km (1) > 10 km (3)
14 Pemisahan uang pribadi dan uang usaha
ya (4) tidak (2)
ya (1) ya (6) tidak (1)
ya (5) tidak (1)
15 Lama usaha < 10 tahun (4) 10-15 tahun (1) > 20 tahun (1)
15-20 tahun (1)
15-20 tahun (1) >20 tahun (6)
5-10 tahun (2) 15-20 tahun (1) > 20 tahun (3)
Lanjutan tabel 5. Profil masing-masing kelompok industri kecil tempe No Faktor
pendukung sukses
Industri berpeluang
Industri sangat sukses
Industri sukses
Industri kurang sukses
16 Modal awal < 1 juta (5) 1-2 juta (1)
< 1 juta (1)
< 1 juta (3) 1-2 juta (3) > 2 juta (1)
1-2 juta (4) < 1 juta (2)
17 Pencatatan keuangan
belum ada (6)
sudah ada (1)
sudah ada (6) belum ada (1)
sudah ada (4) belum ada (2)
18 Pembagian peran SDM
belum ada (3) sudah ada (3), tetapi masih sering bergantian
sudah ada , sudah bersifat kontinyu terutama bagian pemasaran dan produksi (1)
sudah ada (7), sudah bersifat kontinyu terutama bagian pemasaran dan produksi
belum ada (3) sudah ada (3), tetapi masih sering bergantian
19 Persyaratan kedelai
tidak meminta syarat mutu khusus (5) meminta syarat mutu khususu (1)
meminta syarat mutu khusus seperti kedelai utuh, besar dan tidak banyak kotoran (1)
meminta syarat mutu khusus (6) tidak meminta syarat mutu khusus (1)
meminta syarat mutu khusus (3) tidak meminta syarat mutu khusus (3)
20 Anggaran dana khusus pemilik
belum ada (5) sudah ada (1)
sudah ada (1)
belum ada (4) sudah ada (3)
belum ada (6)
21 Tenaga pemasar khusus
sudah ada (4), tetapi masih sering bergantian dengan bagian produksi belum ada (2)
sudah ada dan bersifat kontinyu (1)
sudah ada dan bersifat kontinyu (7)
sudah ada (4), tetapi masih bergantian dengan bagian produksi belum ada (2)
22 Cara penentuan harga
tergantung harga pasar (5) berdasarkan biaya produksi (1)
berdasarkan biaya produksi (1)
berdasarkan biaya produksi (7)
tergantung harga pasar (6)
1. Tingkat Pendidikan Pengusaha
Tingkat pendidikan yang telah dicapai oleh seseorang dapat
mempengaruhi tingkat pengetahuan, pola pikir, sikap dan cara pengambilan
keputusan. Namun demikian, di lokasi penelitian pendidikan tidak memiliki
pengaruh signifikan terhadap kesuksesan industri kecil tempe. Dari data
diketahui bahwa baik industri tempe sukses maupun kurang sukses umumnya
berpendidikan SD.
2. Keikutsertaan Dalam Pelatihan Kewirausahaan
Dilihat dari segi keikutsertaan dalam pelatihan kewirausahaan, 50 %
responden pengrajin tempe sukses pernah mengikuti pelatihan kewirausahaan
sedangkan responden pengrajin tempe yang kurang sukses, hanya 16.67%
yang pernah mengikuti pelatihan kewirausahaan. Walaupun demikian,
pelatihan tidak begitu berpengaruh terhadap kesuksesan usaha. Hal ini
dikarenakan pelatihan yang diikuti biasanya ketika diselenggarakan oleh
KOPTI saja. Padahal semenjak tahun 1998 pelatihan sudah jarang
diselenggarakan karena banyak anggota KOPTI yang sudah tidak aktif lagi.
Selain itu keahlian yang dimiliki oleh para pengrajin umumnya berasal dari
orang tua, teman atau magang di pengrajin tempe yang lain.
3. Keanggotaan KOPTI
Dari hasil wawancara diketahui semua responden pengrajin tempe
yang sukses terdaftar sebagai anggota KOPTI, sedangkan responden pengrajin
tempe yang kurang sukses hanya 50% yang mendaftarkan diri sebagai anggota
KOPTI. Alasan yang dikemukakan ketika mereka mendaftarkan diri sebagai
anggota KOPTI adalah mudah mendapatkan bahan baku, mendapatkan
pinjaman modal, pembinaan, mendapatkan bonus sembako tiap akhir bulan
dan mendapatkan simpanan uang setiap membeli bahan baku.
Kondisi KOPTI berubah dan cenderung menurun perannya terhadap
anggota ketika pemerintah mencabut subsidi kedelai impor sejak 1 September
1998. Hal ini menyebabkan KOPTI tidak mampu lagi menjual kedelai impor
dengan harga seperti ketika mendapatkan subsidi dari pemerintah. Ditambah
lagi dengan maraknya pedagang kedelai impor di pasar. Para pedagang kedelai
impor tersebut dapat menjual kedelai impor dengan harga yang lebih murah
dari KOPTI. Sehingga beberapa responden yang memulai usahaya setelah
pemerintah mencabut subsidi, tidak ada yang mendaftar sebagai anggota
KOPTI. Alasan mereka adalah mahalnya harga kedelai yang ada di KOPTI
bila dibandingkan di luar KOPTI. Sejak tahun 2000 hampir sebagian besar
anggota KOPTI tidak aktif lagi, sehingga keanggotaan KOPTI tidak
berpengaruh terhadap kesuksesan usaha tempe.
4. Asal Kedelai
Para pengrajin tempe membeli kedelai dari berbagai tempat.
Berdasarkan hasil wawancara, ada tiga tempat pembelian kedelai yang
dilakukan oleh responden. Ada yag berasal dari importir Cina, pedagang
kedelai non Cina dan koperasi. Responden pengrajin tempe sukses maupun
yang kurang sukses umumnya membeli kedelai dari importir Cina. Hal ini
sangat berbeda ketika koperasi masih mendapatkan subsidi kedelai impor dari
pemerintah, hampir semua pengrajin membeli kedelai dari KOPTI. Alasan
para pengrajin membeli kedelai di luar KOPTI adalah karena harga kedelai di
luar KOPTI lebih murah. Selain itu mereka mendapatkan kemudahan dalam
pelayanan dan tidak jarang mereka mendapatkan bonus pada waktu-waktu
tertentu misalnya pada hari raya. Dari temuan di lapangan ini maka asal
kedelai diduga bukan merupakan faktor kunci sukses dalam berwirausaha
tempe.
5. Sumber Modal
Modal merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi industri
kecil. Modal usaha tempe diperoleh pengrajin dengan berbagai macam cara.
Sebagian pengrajin memodali usahanya dengan modal milik sendiri dan
sebagian lagi menggunakan modal pinjaman baik dari tetangga, teman,
saudara dan beberapa dari KOPTI. Kelompok industri tempe yang sukses
maupun kelompok kurang sukses umumnya menggunakan modal yang berasal
dari milik sendiri, sehingga sumber modal tidak berpengaruh terhadap
kesuksesan industri kecil tempe dan diduga bukan merupakan faktor kunci
sukses.
6. Pembinaan terhadap Karyawan
Pembinaan atau pelatihan diberikan secara tidak langsung kepada para
pekerja yang mayoritas dari anggota keluarga. Para pekerja diajari bagaimana
cara membuat tempe dan bisnis tempe secara umum. Hal ini dengan harapan
kelak mereka dapat mandiri. Terhadap karyawan yang sering absent atau
malas biasanya pemilik hanya akan menegur dan hal ini jarang terjadi, karena
pekerja mayoritas berasal dari anggota keluarga dan tinggal satu rumah
sehingga mudah dalam melakukan pengontrolan. Dari data didapatkan ada
beda antara industri kecil tempe yang sukses dan kurang sukses berkenaan
dengan pembinaan terhadap karyawan. Perbedaan yang terjadi antara industri
sukses dan kurang sukses disebabkan karena terdapat beberapa industri kurang
sukses yang tidak mempekerjakan karyawan atau usaha tempe ditangani
sendiri. Pembinaan yang dilakukan industri tempe cukup sederhana seperti
yang disebutkan diatas dan tidak ada program khusus dari pemilik usaha untuk
pekerjanya , sehingga pembinaan terhadap karyawan diduga bukan merupakan
faktor kunci sukses usaha tempe.
7. Penambahan Modal dari Keuntungan
Dari segi penambahan modal, para responden pengrajin tempe, baik
yang sukses maupun kurang sukses umumnya tidak melakukan penambahan
modal dari keuntungan yang didapatkan. Hanya 37.5% responden pengrajin
tempe sukses yang melakukan penambahan modal, sedangkan industi tempe
kurang sukses sebesar 25% yang melakukan penambahan modal. Tidak
dilakukannya penambahan modal ini terkait dengan konsumen dan pasar yang
relatif sama/tetap. Para pengrajin takut ketika produknya tidak terjual jika
modal mereka ditambah, yang berarti juga meningkatkan skala produksi. Dari
data ini maka aktivitas penambahan modal dari keuntungan yang diperoleh
diduga bukan merupakan faktor kunci sukses.
8. Anggaran Biaya Pemeliharaan Peralatan
Dalam pembuatan tempe peralatan sebagian besar diperoleh dengan
membeli di pasar atau di toko. Alat-alat yang dipakai adalah drum besar untuk
merebus, bak untuk merendam, ayakan untuk mengeringkan, sipatan untuk
mencetak, kompor atau tungku, mesin pengupas kedelai, rak fermentasi,
plastik dan daun pisang sebagai pembungkus. Para pengrajin tempe masih
lemah dalam manajemen pengalokasian dana pemeliharaan atau penggantian
peralatan. Dari hasil wawancara diketahui 62.5% responden pengrajin tempe
sukses tidak menganggarkan biaya pemeliharaan atau penggantian peralatan
dan hanya 35% responden pengrajin tempe yang menganggarkan dana untuk
pemeliharan atau penggantian peralatan. Sedangkan 58.33% responden
industri tempe kurang sukses juga tidak menganggarkan dana untuk
pemeliharaan atau pergantian peralatan. Seacara umum baik industri tempe
yang sukses maupun kurang sukses tidak menganggarkan dana untuk biaya
pemeliharaan atau penggantian peralatan. Jika terjadi kerusakan alat biasanya
akan diganti dengan yang baru atau diperbaiki tapi tidak ada anggaran dana
khusus untuk penggantian. Sehingga dari data ini diduga angggaran dana
untuk pemeliharaan atau penggantian peralatan bukan merupakan faktor kunci
sukses dari wiarausaha tempe.
9. Target Pemasaran
Pemasaran merupakan merupakan aspek yang sangat penting dalam
industri kecil tempe. Hal ini dikarenakan karakteristik industri tempe yang
hampir sama yaitu yang berkaitan dengan bahan baku kedelai yang umumnya
berasal dari Amerika Serikat, produk yang dihasilkan adalah tempe segar, dan
pengetahuan dan ketrampilan yang hampir sama. Karakteristik dari industri
tempe yang sama ini menyebabkan para pengrajin tempe harus bersaing
dalam pemasaran. Wilayah pemasaran dari industri tempe umumnya tidak
jauh dari lokasi usaha atau berada di pasar dalam satu wilayah Kecamatan.
Tetapi terdapat terdapat juga beberapa pengrajin yang menjual tempe di
pasar-pasar wilayah Kecamatan lain. Terdapat perbedaan target pemasaran
antara industri tempe yang tergolong sukses dengan yang kurang sukses.
Industri tempe sukses memiliki target pemasaran yang lebih banyak dari
industri tempe yang kurang sukses. Industri tempe yang sukses umumnya
memiliki target pemasaran para pedagang sayur, warteg, perumahan, dan
konsumen akhir. Dari data ini diduga target pemasaran merupakan salah satu
faktor kunci sukses dalam wirausaha tempe.
10. Alat Transportasi Pemasaran
Alat transportasi pemasaran industri tempe di lokasi penelitian terdiri
dari gerobak, sepeda, sepeda motor dan mobil pick up. Alat transortasi
pemasaran diduga bukan merupakan faktor kunci sukses wirausaha tempe.
Karena pada umumnya baik industri tempe yang sukses maupun kurang
sukses memakai gerobak sebagai alat tarnsportasi pemasaran. Hal ini
dikarenakan lokasi pasar yang dekat dengan lokasi usaha sehingga akan
menghemat biaya.
11. Evaluasi Kegiatan Pemasaran
Sebagian besar responden pengrajin tempe baik yang tergolong
sukses maupu kurang sukses umumnya sudah melakukan evaluasi kegiatan
pemasaran, walaupun tidak secara rutin. Evaluasi dilakukan ketika ada gejolak
di pasar saja., misalnya pada musim panen jengkol, buah-buahan atau terjadi
peristiwa khusus seperti ketika terjadi krisis moneter atau kenaikan harga
BBM. Sehingga dari data ini, evaluasi kegiatan pemasaran diduga bukan
merupakan faktor kunci sukses industri tempe.
12. Cara Pembayaran Bahan Baku
Sistem pembayaran kedelai dilakukan dengan berbagai cara, antara
lain dengan cara tunai dan kredit. Sistem kredit yang dilakukan di industri
tempe adalah dengan Pembayaran dibelakang setelah tempe terjual. Mayoritas
pengrajin tempe, baik yang tergolong sukses maupun kurang sukses
membayar kedelai dengan cara yang kedua yaitu membayar setelah tempe
terjual. Sehingga cara pembayaran kedelai diduga bukan merupakan faktor
kunci sukses, karena semua kelompok industri umumnya melakukan hal yang
sama.
13. Jarak Tempat Membeli Kedelai dengan Lokasi Usaha.
Jarak lokasi penjual kedelai atau importir kedelai dengan lokasi usaha
dari setiap responden bervariasi. Jarak tempat pembelian kedelai dengan
lokasi usaha mayoritas kelompok industri tempe sukses adalah 1-5 km,
sedangkan kelompok industri tempe kurang sukses jarak tempat pembelian
kedelai dengan lokasi usaha umumnnya adalah > 10 km. Dari data ini terdapat
perbedaan antara industri tempe sukses dan kurang sukses, namun demikian
jarak tempat pembelian dengan lokasi usaha diduga bukan merupakan faktor
kunci sukses. Hal ini dikarenakan untuk jarak yang jauh para pedagang
kedelai bersedia mengantar sampai ke tempat pengrajin tempe. Jarak tidak
berpengaruh terhadap kelancaran proses produksi, walaupun terdapat
pengrajin yang mengambil kedelainya dari Ciputat atau Jakarta. Selain itu
sistem pembayaran dibelakang yang dilakukan kebanyakan pengrajin juga
cukup memudahkan mereka dalam memproduksi tempe.
14. Pemisahan Uang Pribadi dan Uang Usaha
Dari segi pemisahan uang pribadi dan uang usaha mayoritas
resonden pengrajin tempe sudah memisahkan antara uang pribadi dan uang
usaha walaupun sangat sederhana. Biasanya pemisahan dilakukan pada dana
untuk modal dan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Namun terkadang ketika
kebutuhan mendesak uang modal terpaksa dipakai dahulu untuk menutupinya.
Dari temuan data ini aktivitas pemisahan uang pribadi dan usaha diduga bukan
merupakan faktor kunci sukses.
15. Lama Usaha
Dari hasil wawancara dan diskusi diketahui bahwa 75% responden
pengrajin tempe sukses sudah memulai usahanya > 20 tahun, sedangkan
responden industri tempe kurang sukses umumnya (50%) < 10 tahun. Dari
data ini terlihat perbedaan antar dua kelompok industri. Menurut Ningsih
(2004) Pengalaman berusaha di suatu bidang akan memberikan tambahan
pengetahuan yang akan mempengaruhi sikap pengusaha dalam menjalankan
usahanya. Pengalaman ini diperoleh langsung saat menjalankan usaha.
Wilayah pemasaran industri tempe di lokasi penelitian relatif sama antar
kelompok industri yaitu di pasar Parung atau pasar yang dekat dengan lokai
usaha, hal ini menjadikan kelompok industri tempe sukses yang umumnya
sudah memulai usaha lebih dahulu dapat menguasai pasar dan pelanggan,
sehingga diduga lama usaha menjadi salah satu faktor kunci sukses.
16. Modal Awal
Ketika memulai usaha, 50% responden pengrajin tempe sukses
menyatakan bahwa modal awal mereka < 1 juta, sedangkan responden
pengrajin tempe kurang sukses sebanyak 58% juga menggunakan modal < 1
juta ketika memulai usaha. Data ini menunjukkan bahwa antar kedua
kelompok industri tempe relatif sama dalam menggunakan modal awal,
sehingga dari data ini diduga bahwa penggunaan modal awal bukan
merupakan faktor kunci sukses usaha tempe. Selain itu modal utama bagi
usaha tempe adalah bahan baku, dan umumnya dibeli dengan sistem kredit.
Banyak sedikit modal terutama untuk memproduksi kedelai sangat tergantung
dari banyaknya pelanggan dan luasan pasar yang dimiliki.
17. Pencatatan Keuangan
Dari segi pencatatan keuangan, 87.5% responden pengrajin tempe
sukses sudah melakukan pencatatan keuangan dalam usahanya, sedangkan
responden pengrajin tempe yang kurang sukses hanya 33.33% yang
melakukan pencatatan keuangan. Industri sukses memiliki pembukuan
keuangan terutama untuk bahan baku kedelai, modal, omset, keuntungan serta
pengeluaran setiap hari, sedangkan industri tempe kurang sukses umumnya
belum melakukan pembukuan keuangan. Pengelolaan keuangan usaha hanya
berdasarkan perkiraan saja. Dari data ini terlihat perbedaan antar kedua
kelompok industri, sehigga pencatatan keuangan diduga menjadi faktor kunci
sukses dalam berwirausaha tempe.
18. Pembagian Peran Sumberdaya Manusia
Pembagian peran tenaga kerja di industri tempe tergolong sangat
sederhana. Sumberdaya manusia umumnya terbagi menjadi sumberdaya
manusia bagian produksi dan pemasaran. Di bidang produksi biasanya
dikerjakan secara bersama-sama dan kadang-kadang juga bergantian. Dari
data terlihat perbedaan antara industri yang tergolong sukses dan kurang
sukses. Kelompok industri sukses semua melakukan pembagian peran
sumberdaya manusia sedangkan kelompok industri kurang sukses hanya 50%
yang melakukan pembagian peran sumberdaya manusia. Aktivitas usaha
tempe sangat padat dari mulai produks sampai dengan pemasaran. Aktivitas
yang padat ini membutuhkan sumberdaya manusia yang memedahi dan bisa
lebih fokus. Sehingga pembagian peran sumberdaya manusia diduga menjadi
faktor kunci sukses usaha tempe.
19. Persyaratan Kedelai
Dalam hal persyaratan bahan baku kedelai, 87.5% responden pengrajin
tempe mensyaratkan adanya persyaratan-persyaratan tertentu seperti besar dan
utuh, sedangkan responden pengrajin tempe yang kurang sukses hanya
33.33% yang meminta persyaratan mutu kedelai. Dari data ini terlihat
perbedaan antara kelompok industri sukses dan kurang sukses. Namun
demikian setelah dilakukan verifikasi kembali di lapangan ternyata walaupun
tidak meminta persyaratan mutu kedelai, hal ini tidak begitu berpengaruh
terhadap mutu dari tempe. Hal ini disebabkan antara kelompok industri tempe
yang sukses dan kurang sukses sama-sama memakai kedelai impor dari
Amerika Serikat. Mutu tempe sangat tergantung dari kemampuan pengrajin
dalam proses pembuatan tempe, sehingga persyaratan kedelai diduga bukan
merupakan faktor kunci sukses dalam berwirausaha tempe.
20. Anggaran Dana Khusus Pemilik
Anggaran dana khusus pemilik diduga menjadi faktor kunci sukses
wirausaha tempe. Hal ini dikarenakan, terdapat perbedaan antara industri
tempe yang sukses dan kurang sukses. Responden pengrajin tempe sukses
sudah ada anggaran dana khusus pemilik sebanyak 50%, sedangkan responden
pengrajin tempe yang kurang sukses hanya 8.33% yang menganggarkan dana
khusus pemilik. Anggaran dana khusus pemilik berkaitan dengan pencatatan
keuangan usaha, yang juga diduga menjadi salah satu faktor kunci sukses
usaha tempe. Selain itu anggaran dana khusus pemilik juga merupakan wujud
penghargaan terhadap pekerjaan pemilik usaha yang umumnya jarang
mendapatkan perhatian dari pengrajin tempe yang kurang sukses.
21. Tenaga Pemasar Tetap
Pemasaran merupakan faktor yang paling penting dari wirausaha
tempe di lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan karakteristik usaha yang sama
yaitu produk yang dijual adalah tempe segar, ruang lingkup pasar yang sama
dan target pemasaran yang hampir sama juga. Dengan karakteristik yang
hampir sama tersebut menuntut sistem pemasaran yang baik, dan sumberdaya
manusia memegang peranan cukup penting dalam pemasaran di industri kecil
tempe. Tenaga pemasar biasanya langsung dipegang oleh pemilik usaha,
karena berhubungan dengan keuangan dan kepercayaan dari konsumen. Dari
hasil wawancara diketahui bahwa semua responden pengrajin tempe sukses
sudah memakai tenaga pemasar khusus dan bersifat kontinyu. Hal ini berbeda
dengan responden pengrajin tempe yang belum semua memakai tenaga
pemasar khusus, dimana hanya sebesar 66.67% yang memakai tenaga
pemasar khusus dan itu pun masih sering bergantian dengan yang lain. Di
kelompok industri tempe sukses, tenaga pemasar bertanggung jawab terhadap
penjualan tempe yang ada di pasar, merespon terhadap kondisi pasar dan
permintaan konsumen. Jika pemasar yang tetap berhalangan, maka pemasar
tersebut akan memberitahu kepada pelanggan agar tetap percaya terhadap
tempe yang dijual..
22. Cara Penentuan Harga
Pendapatan para pengrajin tempe sangat tergantung dari penjualan
dan biaya yang dikeluarkan. Penentuan harga jual dari setiap produk tempe
sangat berpengaruh terhadap keuntungan yang diperoleh para pengrajin tempe.
Dalam wirausaha tempe persaingan harga antar pengrajin cukup ketat dan
tidak terdapat standar harga. Dari hasil wawancara diketahui semua responden
pengrajin tempe sukses mendasarkan harga tempe pada biaya produksi yang
dikeluarkan dan bahkan terkadang berani menjual dengan harga yang lebih
miring, Sedangkan responden pengrajin tempe yang kurang sukses umumnya
(91.67%) menentukan harga tempe hanya berdasarkan pada tren pasar yang
ada. Para pengarajin tempe yang sukses umumnya memiliki skala produksi
yang besar, sehingga walaupun menjual tempe dengan harga yang miring para
pengrajin masih mendapatkan keuntungan. Disamping itu para pengrajin
tempe yang sukses umumnya juga memiliki usaha sampingan seperti menjaul
kedelai, plastik dan ragi yang dapat menambah keuntungan usaha. Dari
perbedaan ini diduga cara menentukan harga tempe merupakan salah satu
faktor kunci sukses.
Dari 22 faktor yang diidentifikasi, dianalisa dan dilakukan verifikasi di
lapangan maka faktor-faktor yang diduga menjadi faktor kunci sukses dalam
berwirausaha tempe di lokasi penelitian adalah target Pemasaran, lama usaha,
pencatatan keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia, anggaran dana
khusus pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara menentukan harga.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Terdapat 4 kelompok industri kecil tempe di lokasi penelitian, dimana dari
20 responden yang dijadikan sampel, 30% responden tergolong industri
berpeluang sukses, 5% responden tergolong industri sangat sukses, 35%
responden tergolong industri sukses dan 30% responden tergolong industri
kurang sukses.
2. Industri kecil tempe sukses dan sangat sukses memiliki profil yang relatif
sama, diantaranya dalam hal pencatatan keuangan usaha, target pemasaran,
pembagian peran sumberdaya manusia, cara menentuan harga tempe , dan
sudah terdapat tenaga pemasar khusus yang tetap, sedangkan hal yang
membedakan adalah dalam hal jumlah dan perkembangan pemakaian
bahan baku kedelai, lama usaha dan aktivitas penambahan modal.
3. Hal-hal yang diduga menjadi faktor kunci sukses dari industri tempe di
lokasi penelitan adalah target Pemasaran, lama usaha, pencatatan
keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia, anggaran dana khusus
pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara menentukan harga.
B. SARAN
Berdasarkan penelitian, maka beberapa hal yang dapat disarankan adalah :
1. Melakukan penelitian lanjutan dari masing-masing faktor kunci sukses
secara mendalam dan spesifik, baik di lokasi yang sama atau berbeda.
2. Melakukan penelitian lanjutan tentang strategi pengembangan industri
tempe dilihat dari beberapa aspek secara komprehensif serta
memperhatikan karakteristik khusus dari industri kecil tempe.
3. Melakukan penelitian lanjutan tentang pemasaran industri tempe serta
strategi pengembangannya.
4. Industri tempe perlu memperhatikan dan menerapkan faktor-faktor kunci
sukses dalam berwirausaha tempe agar dapat terus berkembang dan
mampu bersaing.
5. Pemerintah sebaiknya memfokuskan pembinaan pada hal-hal yang menjadi
faktor kunci sukses dalam wirausaha tempe seperti target Pemasaran, lama
usaha, pencatatan keuangan, pembagian peran sumberdaya manusia,
anggaran dana khusus pemilik, tenaga pemasar yang tetap, dan cara
menentukan harga.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, S. R. R. 1994. Beberapa Aspek Ekonomi pada Industri Tahu dan Tempe, Studi Kasus Industri Tahu dan Tempe di Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anonim. 2004. Semakin Banyak Industri Pangan Skala Kecil Gulung Tikar
www.kompas.com. (Senin 1 maret 2004). Apretty, J. B. 2000. Analisis Dampak Krisis Ekonomi Pada Industri Tempe Skala
Kecil (Studi Kasus : Di desa Citereup, Kecamatan Citereup, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Asri, P. 1994. Studi Porfil dan Pola Pengembangan Pembinaan Kewiraswastaan
Pengusaha Kecil (Studi Kasus Industri Tahu Tempe di Kotamadya Bogor). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Badan Pusat Statistik. 1995. Statistika Pertanian. Jakarta. Darwis A. A., B. Djatmiko, Eriyatno, D. Somaatmadja, A. T. Tajib, Soedarmo, S.
Harjo, S. Widjandi, Kuswandi dan E. G. Said. 1983. Pengembangan Agroindustri Indonesia, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Departemen Perindustrian. 1990. Undang-Undang dan Peraturan di bidang
Perindustrian. Biro Perencanaan Departemen Perindustrian, Jakarta. Di dalam Asri, P. 1994. Studi Profil dan Pola Pengembangan Pembinaan Kewiraswastaan Pengusaha Kecil (Studi Kasus Industri Tahu Tempe di kotamadya Bogor). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dermawan, Ahmad. 1999. Analisa Pendapatan Usaha Tani Kedelai Serta Nilai
Tambah Industri Tahu danTempe. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gay. 1981. Di dalam Ruseffendi. 1994. Dasar-Dasar Penelitian Penididikan dan
Bidang Non-Eksakta Lainnya. IKIP Semarang Press. Semarang. Ningsih, E. 2004. Mempelajari Strategi Pemasaran industri Kecil Keripik di
Wilayah Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nurhayati. 1984. Mencari Variabel Struktur Organisasi Yang Mempengaruhi Keberhasilan Dengan Analisa Komponen Utama. Skripsi. Fakultas Teknik Industri. ITB, Bandung. Di dalam : Candra, D. 1990. Analisa Faktor Eksternal dan Internal yang berpengaruh pada Keberhasilan Industri Kecil Rotan (Studi Kasus Di Sentra Industri Kecil Rotan Tegalwangi). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Nurhayati, W. 2001. Identifikasi dan Karakterisasi Komponen Pahit Pada Tempe
Kedelai. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Riyanto, B. 1990. Dasar-dasar Pembelanjaan. Gajah Mada Press. Yogyakarta. Sarah, N. 2001. Studi Profil Industri (Studi Kasus Industri Tahu Di Jakarta
Timur). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Sari, Y. P. 2002. Analisis Efisiensi dan Pendapatan Pengrajin Tempe Anggota
KOPTI Kotamadya Bogor Propinsi Jawa Barat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sebayang, B. N. 1994. Keragaan Ekonomi Industri Kecil Pengolahan Kedelai Di
Kabupaten Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Singarimbun, M dan S. Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Edisi Revisi.
LP3ES. Jakarta. Soetrisno, N dan Sapuan. Bunga Rampai Tempe Indonesia. 1996. Yayasan Tempe
Indonesia. Jakarta. 151-168. Solahudin, S. 1998. Visi Pembangunan Pertanian. IPB Press. Bogor. Susidarto, 1995. Mencari Bentuk Keterkaitan Dalam Pembiayaan Industri Kecil.
Harian Bisnis Indonesia. No 2996 Tahun X. 16 Januari 1995.
Lampiran 1. Daftar pertanyaan wawancara
BAGIAN I
Informasi tentang diri responden dan informasi umum dari industri tempe.
A. Latar Belakang responden
1. Nama industri :..................................................... .....
2. Nama pemilik :...........................................................
3. Alamat :...........................................................
:.............................................................
4.
Recommended