View
226
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
45
INTEGRITAS PEMILU: PROSES VERIFIKASI PESERTA PEMILU
DI KPUD PADA PEMILU LEGISLATIF 2014
Gandha Widyo Prabowo*
Abstrak
Pelaksanaan verifikasi peserta pemilu pada pemilu legislatif 2014 banyak
memunculkan gugatan akibat metode verifikasi yang dipedomani oleh KPUD lemah. Padahal
verifikasi merupakan tahapan yang sangat penting, mengingat ditahap inilah partai politik
ditetapkan sebagai peserta pemilu. Dengan metode kualitatif-deskriptif, studi ini hendak
menunjukan kelemahan-kelemahan dan dampak-dampaknya dalam proses verifikasi oleh
KPUD pada pemilu legislatif 2014. Mengikuti Sarah Birch tentang malapraktik pemilu
adalah tindakan pelanggaran terhadap integritas pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara
pemilu baik sengaja maupun tidak sengaja, legal maupun ilegal. Penelitian ini menunjukan
praktik-praktik transaksional antara penyelenggara pemilu dan partai politik peserta pemilu
masih terjadi dengan tujuan mempermudah proses verifikasi, prosedur verifikasi yang
dijalankan KPUD masih rentan terhadap gugatan dari peserta pemilu, dan fungsi pengawasan
oleh lembaga pengawasan pemilu dalam proses verifikasi tidak maksimal karena lembaga ini
baru terbentuk disaat proses sudah berjalan. Studi ini menemukan bahwa aktor dari
malapraktik tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara pemilu seperti diungkapkan oleh
Sarah Birch tetapi juga partai peserta pemilu di daerah. Ikatan sosial (kekerabatan, kinship,
dan kedekatan personal lainnya) turut memungkinkan terjadinya praktik transaksional antara
penyelenggara dan peserta pemilu.
Kata Kunci: Integritas Pemilu, Verifikasi Partai Politik, Metode Verifikasi Peserta Pemilu,
Transaksional, Malapraktik Pemilu.
* Mahasiswa Program Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
46 Jurnal Politik Indonesia, Vol. 2, No. 1, Juli-September 2017, hal 45-56
Pendahuluan
Pemilu merupakan sarana suksesi
elite pemerintahan yang dilakukan di
negara demokratis. Pemilu yang sejati
(genuine) diselenggarakan berdasarkan
asas-asas pemilu yang demokratik, yaitu
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
adil, dan dilakukan secara periodik. Pemilu
tidak mungkin terselenggara jika tidak ada
pemilih dan peserta pemilu. Undang-
Undang Dasar 1945 yang menjadi
landasan konstitusi Negara Indonesia telah
mengatur tentang pemilu dan peserta
pemilu. UUD 1945 hasil Amandemen ke-4
Pasal 22 E Ayat 3 menyebutkan bahwa
peserta pemilu anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah
partai politik. Partai politik inilah yang
berkontestasi memperebutkan suara
pemilih melalui visi, misi, dan program
kebijakan yang ditawarkan. Mereka saling
berlomba mempersuasi pemilih agar
memilih partai atau calonnya. Dampak
dari kontestasi merebutkan jabatan publik
yang terbatas memunculkan konflik pada
prosesnya. Oleh karenanya,
penyelenggaraan pemilu membutuhkan
kerangka hukum (rule of law) yang jelas
untuk memberikan kepastian hukum dalam
pelaksanaan pemilu.
Keberadaan partai politik dalam
sistem demokrasi perwakilan merupakan
sebuah keniscayaan. Sistem politik
demokrasi tidak akan berjalan tanpa
adanya sistem kepartaian. Tetapi sistem
kepartaian saja tidak cukup untuk
menghasilkan demokrasi (party system is
necessary but not sufficient for
democracy). Sistem politik demokrasi
yang kuat memerlukan partai politik yang
fungsional dan demokratis. Selain itu,
partai politik juga harus terlembaga
dengan baik dan kompetitif. Partai politik
tidak hanya menjadi saluran partisipasi
politik warga negara. Mereka juga
berperan mengintegrasikan individu dan
kelompok yang ada di masyarakat ke
dalam sistem politik. Partai memiliki
kewajiban untuk mempersiapkan kader
pemimpin bangsa untuk dicalonkan
menduduki berbagai jabatan dalam
lembaga legislatif dan eksekutif melalui
pemilu (Surbakti, dkk, 2011:2-3).
Giovanni Sartori berpendapat
bahwa partai politik adalah suatu
kelompok politik yang mengikuti pemilu
dan melalui pemilu itu mampu
menempatkan calon-calonnya untuk
menduduki jabatan-jabatan publik (a party
is any political group that present at
elections, and is capable of placing
through elections candidates for public
office) (Budiarjo, 2012: 404-405). Senada
dengan Sartori, Ramlan Surbakti
menyebutkan salah satu fungsi utama
partai politik ialah mencari dan
mempertahankan kekuasaan guna
mewujudkan program-program yang
disusun berdasarkan ideologi tertentu.
Cara yang digunakan oleh suatu partai
politik dalam sistem politik demokrasi
dalam kaitannya mendapatkan dan
mempertahankan kekuasan ialah ikut serta
dalam pemilu (Surbakti, 2012).
Partai politik tidak serta-merta
dapat mengikuti kontestasi pemilu
meskipun mereka sudah berbadan hukum.
Sebelumnya, partai politik harus melewati
sebuah tahapan pendaftaran dan verifikasi
peserta pemilu. Tahapan ini merupakan
salah satu tahapan yang krusial dalam
siklus pemilu. Sebab, lolos tidaknya
menjadi peserta pemilu ditentukan oleh
hasil verifikasi yang dilakukan oleh KPU.
Verifikasi merupakan proses pemeriksaan
yang terkait dengan keterpenuhan syarat
sebuah partai politik untuk mengikuti
pemilu. Kegiatan ini adalah upaya untuk
membuktikan kebenaran dan keterpenuhan
berbagai syarat dalam kepesertaan pada
pemilu. Proses tersebut dimaksudkan
untuk mendorong partai politik
membuktikan kemampuannya menjadi
peserta pemilu (Isra, 2017).
Pada UU Nomor 15 Tahun 2011
Tentang Penyelenggara Pemilu
menyebutkan bahwa pelaksanaan
verifikasi peserta pemilu menjadi domain
dari penyelenggara pemilu. Salah satu
Gandha Widyo: Integritas Pemilu ‘Proses Verifikasi Peserta Pemilu di KPUD Pada Pemilu Legislatif 2014 47
tugas dan wewenang yang diberikan
undang-undang kepada KPU dalam
pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD
adalah menetapkan peserta pemilu.
Kewenangan ini diperkuat melalui UU
Nomor 8 Tahun 2012, yang menyatakan
bahwa KPU diberikan tugas untuk
melaksanakan penelitian administrasi dan
penetapan keabsahan persyaratan peserta
pemilu. KPU juga diberikan kewenangan
untuk mengatur ketentuan tentang tata cara
penelitian administrasi dan penetapan
keabsahan persyaratan peserta pemilu.
Melihat dari sejarah pemilu
legislatif di Indonesia, dapat diamati
bahwa jumlah peserta pemilu mengalami
pasang surut. Penetapan peserta pemilu
Tahun 2014 oleh KPU memunculkan
banyak persoalan dan dinamika politik
yang prosesnya berjalan sangat cepat. Pada
pemilu 2014, sejumlah 46 partai politik
mendaftar sebagai peserta pemilu ke KPU.
Dari jumlah itu, 12 partai politik
dinyatakan tidak memenuhi 17 item
persyaratan yang ditentukan. Hanya
terdapat 34 partai politik yang dinyatakan
terdaftar dan dapat melengkapi dokumen
persyaratan hingga batas akhir pendaftaran
tanggal 29 September 2012 (KPU,
2014:32).
Saat KPU menjalankan proses
verifikasi, muncul beberapa gugatan yang
dilayangkan oleh beberapa partai politik.
18 partai politik yang tidak lolos tahap
verifikasi administrasi menggugat KPU ke
Bawaslu dan melaporkan dugaan
pelanggaran kode etik ke Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP). Hasil sidang DKPP, berdasarkan
pertimbangan dari rekomendasi Bawaslu,
mengeluarkan putusan Nomor: 25-
26/DKPP-KPE-I/2012. Keputusan DKPP
menetapkan agar KPU mengikutsertakan
18 partai politik dalam proses verifikasi
faktual (baca: proses yang harus dilalui
setelah verifikasi administrasi).
Tahapan verifikasi peserta pemilu
ini kerap kali memunculkan persoalan
dalam prosesnya. Partai politik
menginginkan agar lolos menjadi peserta
pemilu dengan menggunakan segala daya
dan upaya. Bahkan, seringkali segala cara
yang dilakukan partai politik kemudian
memunculkan malapraktik pemilu. Di sisi
lain, KPU sebagai pihak yang memiliki
kewenangan verifikasi menghadapi
beragam varian permasalahan, baik saat
melakukan verifikasi administrasi maupun
verifikasi faktual di lapangan.
Kisruh pelaksanaan verifikasi
peserta pemilu hampir sebagian besar
terjadi di seluruh wilayah. Verifikasi
peserta pemilu yang dilakukan oleh KPU
pada pemilu 2014 menjadi kajian yang
menarik untuk diteliti. Hal ini disebabkan
munculnya banyak gugatan oleh partai
politik terhadap kinerja KPU saat
verifikasi. Lolosnya Partai Bulan Bintang
(PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia (PKPI) menjadi peserta pemilu
menguatkan asumsi bahwa proses
verifikasi yang dilakukan oleh KPU masih
memiliki kelemahan. Kelemahan yang ada
mengakibatkan tidak terwujudnya pemilu
yang berintegritas.
PKPI dalam materi gugatannya di
Bawaslu mempersoalkan prosedur kerja
verifikasi yang dilakukan oleh KPU di
tingkat Kabupaten/Kota. Tidak itu saja,
PKPI juga mempertanyakan etika
penyelenggara pemilu. PKPI menuding
KPU tidak profesional, tidak imparsial,
dan tidak transparan pada saat pelaksanaan
kegiatan verifikasi peserta pemilu. Pada
akhirnya, keputusan Bawaslu RI
memenangkan gugatan PKPI. Begitu pun
dengan DKPP yang putusannya
mempertegas kemenangan gugatan PKPI
terhadap KPU.
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif untuk
menjelaskan pelaksanaan verifikasi peserta
pemilu oleh KPU. Kabupaten
‘Hastinapura’ (lokasi penelitian
disamarkan menjadi Kabupaten
Hastinapura guna menghindari persoalan
hukum yang berpotensi muncul), yang
merupakan Kabupaten di Indonesia, dipilih
sebagai lokasi penelitian karena PKPI
mengajukan gugatan sengketa administrasi
48 Jurnal Politik Indonesia, Vol. 2, No. 1, Juli-September 2017, hal 45-56
terhadap KPU Kabupaten Hastinapura atas
kinerjanya dalam menyelenggarakan
verifikasi peserta pemilu. Informasi dan
data yang diperoleh tidak hanya berasal
dari wawancara, tetapi juga berdasarkan
dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
lembaga yang berwenang. Fenomena PKPI
di Kabupaten Hastinapura menjadi bahan
kajian penelitian yang relevan untuk
menghasilkan temuan penting mengenai
persoalan apa sajakah yang terjadi pada
pelaksanaan verifikasi dalam kaitannya
dengan perwujudan pemilu yang
berintegritas.
Pokok permasalahannya diawali
dari Keputusan KPU Kabupaten
Hastinapura yang menyatakan bahwa
PKPI di wilayah Hastinapura tidak
memenuhi syarat verifikasi peserta pemilu.
Ketidaklolosan PKPI di wilayah ini turut
menyumbang ketidaklolosan PKPI secara
nasional. Sebab, salah satu syaratnya
adalah partai politik harus memenuhi
persyaratan kepengurusan dan
keanggotaan di minimal 75% jumlah
Kabupaten/Kota di tiap Provinsi. Gagalnya
PKPI di Kabupaten Hastinapura
menyebabkan syarat 75% itu tidak
terpenuhi. PKPI kemudian menggugat
KPU Kabupaten Hastinapura ke Bawaslu
Propinsi. Bawaslu Propinsi berdasarkan
analisanya menemukan celah pelanggaran
prosedur, mekanisme, dan tata cara yang
dilakukan oleh KPU Kabupaten
Hastinapura dalam proses verifikasi PKPI
sebagai peserta pemilu.
Malapraktik Pemilu pada Verifikasi
PKPI di Kabupaten Hastinapura
Terminologi malapraktik pemilu
dicetuskan pertama kali oleh Sarah Birch,
seorang profesor ilmu politik dari King’s
College London University of London.
Sarah Birch mendefinisikan malapraktik
pemilu sebagai tindakan pelanggaran
terhadap integritas pemilu, baik tindakan
yang dilakukan secara sengaja maupun
tidak disengaja dan legal maupun ilegal.
Sarah Birch menggunakan empat
pendekatan untuk memahami malapraktik
pemilu. Pertama, ditinjau dari pendekatan
hukum, malapraktik pemilu merupakan
tindakan yang melanggar konstitusi atau
peraturan pemilu. Kedua, ditinjau dari
pendekatan sosiologi, malapraktik pemilu
merupakan pelanggaran terhadap norma
yang ditaati secara luas. Ketiga, ditinjau
dari pendekatan best practices,
malapraktik pemilu merupakan tindakan
yang melanggar konsensus internasional
mengenai nilai-nilai pemilu. Keempat,
ditinjau dari pendekatan normatif yang
berbasis pada teori demokrasi, malapraktik
pemilu merupakan tindakan yang
menyimpang dari nilai-nilai demokrasi
(Surbakti, 2014:55).
Masih adanya kelemahan dalam
metode verifikasi inilah yang
menimbulkan celah dalam tata cara,
prosedur, dan mekanismenya. PKPI
Hastinapura yang awalnya dinyatakan
Tidak Memenuhi Syarat sebagai peserta
pemilu (karena tidak berhasil memenuhi
syarat keanggotaan), berhasil menggugat
KPU Kabupaten Hastinapura dan
memenangkan gugatannya. PKPI
menggugat kinerja KPU Kabupaten
Hastinapura yang dianggapnya tidak
profesional dalam melaksanakan proses
verifikasi partai politik sebagai peserta
pemilu. Meski pada kenyataannya, PKPI
Hastinapura juga menempuh beragam cara
agar bisa lolos sebagai peserta pemilu,
baik lewat lobi-lobi politik maupun
manuver-manuver politik lainnya.
Ada beberapa hal yang
menyebabkan proses verifikasi peserta
pemilu memunculkan malapraktik pemilu.
Di antaranya adalah mengenai etika
penyelenggara pemilu dan peserta pemilu,
transparansi data anggota partai politik,
akurasi dan akuntabilitas penyelenggara
pemilu, dan lemahnya pengawasan yang
dilakukan oleh panitai pengawas pemilu.
Pelanggaran etika yang dilakukan
oleh penyelenggara pemilu dan peserta
pemilu pada metode verifikasi partai
politik ini merupakan bentuk dari
malapraktik pemilu sehingga
menyebabkan tidak terjaminnya integritas
Gandha Widyo: Integritas Pemilu ‘Proses Verifikasi Peserta Pemilu di KPUD Pada Pemilu Legislatif 2014 49
pemilu dalam proses verifikasi peserta
pemilu. Proses verifikasi bisa dikatakan
berintegritas apabila keempat asasnya
terlaksana dengan baik, yakni; jujur,
transparan, akuntabel, dan akurat. Asas
jujur berkaitan dengan penyelenggara
pemilu saat melaksanakan tugasnya
berdasarkan peraturan yang ada.
Penyelenggara pemilu tidak melakukan
kecurangan untuk menguntungkan pihak
tertentu atau dirinya sendiri. Seperti
misalnya tidak menerima uang suap dari
pengurus partai politik agar meloloskan
partainya. Atau bertindak tidak impartial
pada partai politik tertentu sehingga
memberikan perlakukan yang berbeda
(memberikan keistimewaan perlakuan)
dibandingkan dengan partai politik yang
lain.
Persoalan etika tidak saja ditujukan
kepada KPU sebagai penyelenggara
pemilu. Partai politik sebagai peserta
pemilu juga berperan besar untuk menjaga
integritas pemilu melalui perilaku etisnya.
Partai politik diharapkan tidak melakukan
segala cara, termasuk tindakan yang
melanggar etis, agar lolos menjadi peserta
pemilu. Seperti misalnya, melakukan
penyuapan kepada penyelenggara pemilu,
memanipulasi data administratif terkait
syarat yang harus dipenuhi, dan perilaku
lainnya yang melanggar etika.
Pelaksanaan metode verifikasi
dilihat dari persoalan etika penyelenggara
pemilu dan peserta pemilu bersentuhan
dengan persoalan perilakunya. Seperti
yang telah disebutkan bahwa
penyelenggara pemilu harus melaksanakan
tugasnya berdasarkan peraturan yang ada.
Mereka tidak boleh melakukan kecurangan
demi tujuan menguntungkan dirinya
sendiri atau pihak yang lain. Pada kasus
verifikasi PKPI Hastinapura,
penyelenggara pemilu terindikasi
menyalahi etika penyelenggara pemilu.
Berdasarkan keterangan pengurus PKPI,
saat itu PKPI merasa diberikan janji oleh
Komisioner KPU Hastinapura bahwa
proses verifikasi partainya telah
dinyatakan beres. Bahkan, pengurus PKPI
mengaku telah melakukan upaya
transaksional kepada salah satu
Komisioner KPU Kabupaten Hastinapura
agar PKPI Hastinapura bisa dibantu pada
saat verifikasi.
Pelanggaran etika lainnya terjadi
ketika salah seorang komisioner menemui
pengurus PKPI Hastinapura di rumahnya
pada saat tengah malam. Pertemuan
tersebut membicarakan persoalan
verifikasi partai politik dan pada muaranya
Komisioner KPU memberikan daftar nama
anggota partai politik yang harus
dihadirkan ke kantor KPU Kabupaten
Hastinapura kepada pengurus PKPI. Daftar
nama tersebut merupakan bagian dari
nama-nama sampel yang telah dilakukan
verifikasi faktual di lapangan tetapi
petugas verifikator tidak berhasil menemui
nama tersebut.
Semestinya, daftar nama tersebut
akan diberikan secara resmi melalui surat
pengumuman resmi dari KPU Kabupaten
Hastinapura. Akan tetapi, salah satu
komisioner tersebut memberikannya
kepada pengurus PKPI Hastinapura,
mendahului pengumuman resmi dari
lembaga. Peristiwa ini menunjukkan fakta
bahwa penyelenggara pemilu memberikan
perlakukan khusus kepada PKPI dengan
memberikan daftar nama anggota PKPI
yang harus dihadirkan ke kantor KPU
untuk dilakukan verifikasi. Meskipun
komisioner berdalih jika inisiatif
pertemuan itu bukan berasal dari dirinya
tetapi dikarenakan desakan pengurus PKPI
kepadanya. Komisioner tersebut sungkan
jika harus menolak tamu yang datang ke
rumahnya. Dalam dokumen Berita Acara
Klarifikasi yang ditulis oleh Bawaslu
Propinsi, pengurus PKPI membeberkan
fakta adanya pertemuan tersebut sehingga
Bawaslu cukup memiliki keyakinan
adanya celah dalam pelaksanaan prosedur
dan mekanisme verifikasi. Bawaslu
kemudian merekomendasikan untuk
dilakukan verifikasi ulang syarat
keanggotaan PKPI oleh KPU Hastinapura.
Pelanggaran etika tidak hanya
dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
50 Jurnal Politik Indonesia, Vol. 2, No. 1, Juli-September 2017, hal 45-56
PKPI Hastinapura pun melakukan hal yang
sama. PKPI Hastinapura melakukan lobi-
lobi kepada komisioner Bawaslu Propinsi
agar proses verifikasi faktual ulang
keanggotaan yang dilakukan tidak perlu
menyertakan identitas kependudukan
(KTP) sebagai data pembanding KTA
yang diserahkan. Komisioner Bawaslu
Propinsi mencium gelagat tidak baik dari
lobi-lobi yang dilakukan pengurus PKPI.
Bawaslu Propinsi memahami tujuan PKPI
agar tidak menyertakan identitas
kependudukan saat dilakukan proses
verifikasi faktual ulang. PKPI pasti akan
mendatangkan orang sembarangan (yang
tidak sesuai dengan data KTP) ke kantor
KPU Hastinapura untuk diikutkan dalam
proses verifikasi faktual. Bawaslu Propinsi
memahami tujuan ini dan lansgung
menolak upaya yang dilakukan oleh
pengurus PKPI. Bawaslu Propinsi dengan
tegas menyatakan bahwa proses verifikasi
faktual ulang keanggotaan di kantor KPU
harus disertai dengan data KTP untuk
dicocokan kebenaran identitasnya dengan
data KTA. PKPI Hastinapura pada
akhirnya tidak mendatangkan anggotanya
yang tertera dalam daftar nama yang harus
dilakukan verifikasi faktual ulang ke
kantor KPU Hastinapura.
Pada fakta ini dapat dianalisa
bahwa telah terjadi malapraktek pemilu
yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu
dan peserta pemilu. Chad Vikery dan Erica
Shein merumuskan bahwa malapraktek
pemilu dilakukan oleh aktor/person, baik
penyelenggara maupun peserta pemilu,
yang dilakukan secara sengaja maupun
tidak sengaja. Malapraktik pemilu yang
muncul ini membuat integritas pemilu
berada di tingkat yang rendah.
Penyelenggara pemilu yang diharapkan
bekerja secara imparsial dan profesional
dalam menyelanggarakan setiap tahapan
pemilu tidak mampu untuk
mewujudkannya.
Kedua, persoalan transparansi
diawali dari validitas data KTA yang
diberikan oleh PKPI untuk memenuhi
syarat keanggotaan. Disebutkan di dalam
peraturan bahwa partai politik harus
menyerahkan minimal sejumlah 1.000
nama anggota partai politik atau 1/1.000
anggota partai politik dari jumlah
penduduk di wilayah tersebut. Sejumlah
1.000 nama anggota ini dalam ketentuan
yang disusun oleh KPU RI, ternyata tidak
diatur ketentuan untuk mengumumkan
kepada publik sehingga tidak ada
kesempatan bagi publik maupun
stakeholder pemilu yang lain untuk
memberikan tanggapan terhadap data
keanggotaan partai politik. Padahal
kebijakan untuk mempublikasikan data
keanggotaan juga merupakan upaya
transparansi penyelenggara pemilu dalam
pelaksanaan pemilu.
Publikasi data keanggotaan partai
politik, termasuk sampel 10%, kepada
masyarakat merupakan upaya
penyelenggara pemilu dalam hal
transparansi dan akuntabilitas.
Keanggotaan partai politik adalah hak
konstitusi masyarakat. Publik harus
mengetahui apakah namanya dicatut
begitu saja oleh partai politik sebagai
anggotanya. Selain itu, manfaat
pengumuman ini adalah untuk mendeteksi
nama-nama yang tercantum agar
diwaspadai atau tidak diperbolehkan
menjadi penyelenggara pemilu, baik
menjadi PPK, Panwascam, PPS, PPL,
PPDP, KPPS. Deteksi awal ini untuk
memudahkan penyelenggara pemilu dalam
memilih dan memilah seseorang yang akan
dijadikan sebagai penyelenggara pemilu di
tingkat bawah. Agar di kemudian hari
tidak muncul persoalan bahwa
penyelenggara pemilu yang sudah dilantik
ternyata merupakan anggota partai politik
tertentu.
Persoalan transparansi ini menjadi
salah satu parameter untuk mewujudkan
integritas pemilu. Masyarakat memiliki
hak untuk mengetahui segala hal terkait
dengan proses penyelenggaraan pemilu
yang dilakukan oleh KPU. Hanya saja,
kerangka hukum yang menjadi dasar untuk
melakukan proses transparansi terhadap
data KTA partai politik belum diatur.
Gandha Widyo: Integritas Pemilu ‘Proses Verifikasi Peserta Pemilu di KPUD Pada Pemilu Legislatif 2014 51
Menurut Sarah Birch, malapraktek pemilu
lahir dari ketidakmampuan kerangka
hukum pemilu memberikan kepastian
hukum terhadap prosedur pemilu yang
dijalankan. Ketidakadanya transparansi
pada data KTA kepada publik menjadikan
integritas pemilunya rendah.
Ketiga, persoalan akurasi mengenai
prosedur dan tata cara saat verifikasi
faktual keanggotaan di lapangan.
Utamanya terkait dengan perlakuan ketika
petugas verifikator tidak bertemu dengan
sampel anggota partai politik di lapangan.
Petugas verifikator dilengkapi dengan
lembaran verifikasi faktual anggota partai
politik tingat kabupaten/kota (Formulir
Lampiran 2 Model F-8 Parpol) dan surat
pernyataan penolakan sebagai anggota
partai politik (Formulir Model F12-
Parpol). Lembar verifikasi merupakan
kertas kerja yang menerangkan bahwa
anggota partai politik yang diverifikasi
telah memenuhi syarat, tidak memenuhi
syarat, dan tidak bertemu. Jika telah
memenuhi syarat maka, anggota partai
politik cukup membubuhkan
tandatangannya di kolom keterangan dan
petugas verifikator menuliskan kode ‘MS’.
Tetapi, jika tidak memenuhi syarat, maka
anggota partai politik diminta untuk
membuat surat pernyataan (Formulir
Model F12-Parpol) yang telah disediakan
petugas verifikator dan membubuhkan
tandatangannya di formulir tersebut.
Kemudian petugas verifikator memberikan
kode ‘TMS’ pada lembar verifikasi.
Sementara itu, bagi petugas
verifikator yang tidak berhasil menemui
anggota partai politik, maka petugas
harusnya meminta tandatangan
keluarganya/RT di lembar verifikasi.
Ditulis nama lengkap, statusnya (anak,
istri, saudara,dll atau jabatan di pengurus
RT), dan alasan tidak berhasil ditemui.
Kemudian, petugas menulis kode’TB’ di
lembar pengesahan. Sayangnya, kolom
keterangan yang disediakan di lembar
pengesahan berukuran kecil sehingga tidak
mampu untuk mengakomodasi hal
tersebut. Selain itu, Tidak ada formulir
yang disediakan secara khusus untuk
menerangkan kondisi Tidak Bertemu ini.
Agak sulit untuk membuktikan
petugas verifikator telah datang ke anggota
partai politik yang disampel dan pada
faktanya tidak bertemu dengan yang
bersangkutan. Tidak ada prosedur yang
baku untuk memperlakukan kondisi seperti
ini. Anggota PKPI yang tidak ditemukan
petugas verifikator di lapangan, baik pada
tahap I maupun tahap perbaikan verifikasi
faktual, jumlahnya cukup banyak yakni 61
orang. Pada lembar verifikasi hanya
tertulis kode ‘TB’ pada kolom keterangan
dan tidak ada keterangan lainnya.
Persoalannya, status anggota yang tidak
bertemu ini dipertanyakan oleh PKPI
Hastinapura. Mereka mempertanyakan
metode verifikasi faktual yang dilakukan
oleh KPU Kabupaten Hastinapura dan juga
mempertanyakan profesionalisme
kinerjanya. Sebab, status ‘TB’ tidak
terdokumentasi dengan baik dalam sebuah
formulir tersendiri. Maka, akibatnya KPU
Kabupaten Hastinapura tidak bisa
menjelaskan kepada partai politik alasan
petugas verifikator tidak bertemu dengan
anggota partai politik di lapangan. Apakah
pergi, meninggal dunia, kerja, pindah
domisili, dan yang lainnya. Persoalan tidak
bertemu ini juga menjadi bahan kajian
Bawaslu Provinsi dalam menangani sidang
sengketa PKPI Hastinapura.
Fakta pada persoalan akurasi dan
akuntabilitas yang ditemukan dalam
verifikasi peserta pemilu menunjukkan
bahwa penyelenggara pemilu masih
memiliki celah dalam melaksanakan
prosedur pemilu. Pemilu merupakan
sebuah prosedur yang dapat diprediksikan
(predictable procedure). Ketidakakuratan
penyelenggara pemilu berdampak pada
turunnya tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap hasil pemilu yang dihasilkan.
Begitupun dengan persoalan akuntabilitas.
KPU harus mampu memberikan jawaban
kepada stakeholder tentang apa yang
dikerjakan dalam proses tahapan pemilu
dan apa yang tidak dikerjakannya. Akurasi
dan akuntabilitas merupakan salah satu
52 Jurnal Politik Indonesia, Vol. 2, No. 1, Juli-September 2017, hal 45-56
ukuran untuk menjamin integritas pemilu
dan metode verifikasi partai politik peserta
pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara
pemilu belum mampu untuk mewujudkan
integritas pemilu.
Pada saat tahapan verifikasi peserta
pemilu dilaksanakan di Kabupaten
Hastinapura, Komisoner Panwaslu
Hastinapura baru saja dilantik. Mereka
tidak bisa melaksanakan tugas pengawasan
secara menyeluruh terhadap kegiatan
verifikasi yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu. Praktis, hanya tiga
orang komisioner Panwaslu Hastinapura
saja yang menjalankan tugas pengawasan.
Struktur organisasi dibawahnya seperti
sekretariat panwaslu, panwascam, dan PPL
belum terbentuk hingga selesainya tahapan
verifikasi peserta pemilu. Panwaslu hanya
melakukan pengawasan acak terhadap
sampel keanggotaan partai politik dan
jumlahnya pun terbatas.
Dalam suatu penyelenggaraan
pemilu, diperlukan adanya suatu kegiatan
pengawasan untuk menjamin agar pemilu
benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas
pemilihan umum dan peraturan
perundang-undangan. Panwaslu
mempunyai peranan yang penting dalam
rangka mengawal pelaksanaan pemilu
sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Unsur
pengawasan Panwaslu sangat dibutuhkan
untuk menjamin integritas pelaksanaan
pemilu. Pengawasan oleh panwaslu
berfungsi untuk meminimalisir
pelanggaran pemilu yang muncul di setiap
tahapan pemilu. Praktis, pelaksanaan
tahapan verifikasi peserta pemilu di
Kabupaten Hastinapura hanya diawasi
sebagian saja prosesnya oleh Panwaslu dan
itupun tidak dilakukan secara menyeluruh
karena keterbatasan personel dan hal
administratif lainnya.
Fakta yang ada menunjukkan
bahwa pengawasan tahapan verifikasi
partai politik peserta pemilu masih lemah.
Padahal, proses tahapan verifikasi partai
politik peserta pemilu bisa disebut
berintegritas apabila mendapatkan
pengawasan dari stakeholder pemilu, baik
peserta pemilu, lembaga pemantau pemilu,
pemilih, media massa, dan pemangku
kepentingan lainnya. Panwaslu sebagai
ujung tombak pengawasan pemilu tidak
berfungsi maksimal karena persoalan
administratif, yakni struktur lembaganya
belum terbentuk sampai di tingkat bawah.
Pengawasan dalam pemilu dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya malapraktik
pemilu pada saat prosedur pemilu
dijalankan. Terbatasnya fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh panwaslu
ini menjadikan proses tahapan verifikasi
peserta pemilu bisa dikategorikan
memiliki integritas pemilu yang rendah.
Kesimpulan
Verifikasi partai politik peserta
pemilu yang dilakukan KPU Hastinapura
terhadap PKPI Hastinapura memiliki
beberapa kelemahan-kelemahan dalam
metodenya. Persoalan pertama muncul
sebagai akibat dari sikap penyelenggara
pemilu, dalam hal ini komisoner KPU
Hastinapura yang bertindak menyalahi
kode etik penyelenggara pemilu.
Penyelenggara pemilu diduga melakukan
pratik transaksional dan bertindak tidak
imparsial dalam pelaksanaan verifikasi.
Tetapi, tidak hanya penyelenggara pemilu
saja yang menyalahi etika. PKPI sebagai
peserta pemilu pun bisa dikatakan telah
melanggar etika. Beragam lobi dan
manuver politik dilakukan oleh pengurus
PKPI Hastinapura dalam tahapan
verifikasi peserta pemilu agar bisa lolos.
Persoalan kedua terkait dengan
transparansi data anggota partai politik.
Kelemahan ini muncul karena tidak ada
ketentuan, baik dari undang-undang
maupun peraturan KPU, untuk
mengumumkan data anggota partai politik
yang diserahkan sebagai syarat pemenuhan
keanggotaan. Publik tidak memiliki
kesempatan untuk memberikan tanggapan
atas data anggota partai politik. Publik
tidak diberikan hak untuk menyampaikan
keberatan atas data anggota partai yang
diserahkan partai politik ke KPU.
Gandha Widyo: Integritas Pemilu ‘Proses Verifikasi Peserta Pemilu di KPUD Pada Pemilu Legislatif 2014 53
Akibatnya, partai politik bisa secara
serampangan menyerahkan data anggota
partai ke KPU meski nama-nama tersebut
pada faktanya bukanlah anggota PKPI.
Tidak ada sanksi apapun yang diberikan
kepada partai politik atas perilakunya.
Persoalan ketiga terkait dengan
persoalan akurasi dan akuntabilitas
penyelenggara pemilu. Ketidakakuratan
yang dilakukan oleh KPU Sidaorjo muncul
pada saat verifikasi faktual keanggotaan di
lapangan. Utamanya berhubungan dengan
prosedur ketika petugas verifikator tidak
bertemu dengan sampel anggota partai
politik di lapangan. KPU Hastinapura
tidak bisa menjelaskan kepada stakeholder
terkait dengan status tidak bertemunya
petugas verifikator dengan nama anggota
partai politik yang disampel.
Persoalan keempat terkait dengan
lemahnya pengawasan yang dilakukan
Panwaslu dalam tahapan verifikasi peserta
pemilu. Kinerja pengawasan Panwaslu
Hastinapura tidak bisa berjalan optimal.
Sebab, saat kegiatan verifikasi peserta
pemilu berlangsung, komisioner Panwaslu
Hastinapura baru saja terbentuk. Praktis,
Panwaslu Hastinapura hanya melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan tahapan
verifikasi peserta pemilu di separuh jadwal
tahapan.
Kelemahan-kelemahan dalam
metode verifikasi peserta pemilu yang
dijalankan oleh KPU Kabupaten
Hastinapura pada akhirnya dapat
disimpulkan bahwa pelaksanaan verifikasi
tidak menjamin integritas pemilu.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian,
peneliti merumuskan beberapa
rekomendasi untuk mengatasi kelemahan-
kelemahan yang muncul selama
pelaksanaan verifikasi partai politik
peserta pemilu, utamanya yang dilakukan
oleh KPU di tingkat Daerah
(Kabupaten/Kota). Rekomendasinya antara
lain:
1. KPU RI perlu untuk membuat
ketentuan kode etik yang lebih
operasional bagi seluruh
penyelenggara pemilu pada
tahapan verifikasi peserta pemilu.
Kode etik tersebut mengatur
tentang ketentuan mengenai apa
yang tidak boleh dilakukan oleh
penyelenggara pemilu selama
proses verfikasi berlangsung.
2. KPU RI perlu membuat
seperangkat aturan untuk
mempublikasikan atau
mengumumkan data Kartu Tanda
Anggota (KTA) partai politik yang
diserahkan kepada KPU
Kabupaten/Kota kepada
masyarakat (publik). Baik terkait
dengan data yang diserahkan
seluruhnya maupun data yang
terkena sampel (rekap nama) untuk
diverifikasi faktual oleh KPU.
Tujuannya agar masyarakat dapat
memberikan tanggapan atas data
keanggotaan tersebut. Masyarakat
harus diberikan hak untuk
menyampaikan keberatannya
terhadap data anggota partai
politik.
3. KPU RI perlu membuat formulir
berita acara untuk mengakomodasi
persoalan verifikasi faktual
keanggotaan di lapangan mengenai
status ‘Tidak Bertemu’ dengan
anggota partai yang disampel.
Formulir tersebut berfungsi untuk
menjelaskan keberadaan verifikator
KPU pada saat tidak bertemu
dengan anggota partai. Formulir
tersebut bisa dijadikan dokumen
pembuktian bahwasanya
verifikator KPU telah hadir di
tempat (alamat) anggota partai
tersebut. KPU dengan berbekal
formulir itu dapat menjelaskan
kepada stakeholder pemilu
mengenai status ‘Tidak Bertemu’.
Formulir ini diisi oleh verifikator
KPU pada saat melakukan
verifikasi faktual di lapangan
dengan ditandatangani oleh saksi.
54 Jurnal Politik Indonesia, Vol. 2, No. 1, Juli-September 2017, hal 45-56
4. Pembuat undang-undang perlu
mengatur tentang jadwal
pembentukan anggota Panwaslu di
tingkat Kabupaten/Kota.
Pembentukan Panwaslu beserta
struktur di bawahnya harus
dilakukan sebelum tahapan pemilu
dilaksanakan. Panwaslu tingkat
Kabupaten/Kota berikut jajarannya
di bawah bersifat Adhoc (hanya
dibentuk ketika pemilu akan
dilaksanakan). Panwaslu beserta
jajaran di bawahnya harus sudah
terbentuk paling lambat sebelum
tahapan pendaftaran dan verifikasi
partai politik peserta pemilu
dilakukan. Hal ini agar proses
pengawasan tahapan pemilu dari
awal bisa berjalan dengan
maksimal.
Gambar 1.
Rekomendasi Lembar Berita Acara
BERITA ACARA
HASIL KUNJUNGAN PETUGAS KPU (..... Ditulis Nama Kabupaten/Kota)
DALAM VERIFIKASI FAKTUAL KEANGGOTAAN PARTAI POLITIK
Pada hari ini : ......................................... Tanggal : .................................
Bulan : ......................................... Tahun : .................................
Pukul : .........................................
Petugas verifikasi faktual keanggotaan telah mendatangi anggota partai politik yang beridentitas sebagai berikut;
1. Nama : .............................................................................................................
2. No. KTP : .............................................................................................................
3. Tanggal Lahir : ............................. 5. Partai Politik : ....................................
4. Umur : ............................. 6. No. KTA : ....................................
5. Jenis Kelamin : ............................. 7. Pekerjaan : ....................................
6. Alamat : .............................................................................................................
.............................................................................................................
Dari hasil kunjungan, Petugas menerangkan bahwa Tidak Bertemu dengan yang bersangkutan. Keterangan
Tidak Bertemu dikarenakan:**
.....................................................................................................................................................
Kunjungan Petugas disaksikan oleh:
1. Nama : .............................................................................................................
2. No. KTP/KK : .............................................................................................................
3. Tanggal Lahir : ............................. 5. Status*** : ....................................
4. Umur : ............................. 6. No. Telepon : ....................................
5. Jenis Kelamin : ............................. 7. Pekerjaan : ....................................
6. Alamat : .............................................................................................................
.............................................................................................................
Saksi
(Nama Terang)
Petugas Verifikator
(Nama Terang)
-----------------------------------------------
* = Coret yang tidak perlu
** = (1) Pindah alamat; (2) Meninggal; (3) Alamat tidak ditemukan; (4) Tidak berada di rumah; (5)
Lainnya... (ditulis)
*** = Status saksi dengan yang bersangkutan (Ayah/Ibu/Suami/Istri/Anak/Saudara/Tetangga/Pengurus
RT/Pengurus RW/Asisten Rumah Tangga)
Gandha Widyo: Integritas Pemilu ‘Proses Verifikasi Peserta Pemilu di KPUD Pada Pemilu Legislatif 2014 55
Daftar Pustaka
Aceproject. 2013. The ACE
Encyclopaedia: Electoral Integrity.
Materi diambil pada laman
www.aceproject.org, diakses tanggal
20 Februari 2017.
Budiarjo, Miriam. 2012. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Badan Pengawas Pemilu. 2013. Keputusan
Sengketa Bawaslu RI terhadap
Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia (PKPI) Nomor
Permohonan 012/SP-
2/Set.Bawaslu/I/2013. Bawaslu RI.
Jakarta.
Badan Pengawas Pemilu Provinsi Wirata.
2012. Kajian Laporan Bawaslu
Propinsi Wirata Nomor:
001/LP/PILEG/XII/2012. Bawaslu
Provinsi Wirata. Surabaya.
Badan Pengawas Pemilu Provinsi Wirata.
2012. Surat rekomendasi Nomor
99/BAWASLU-PROV/JTM/XII/2012.
Bawaslu Provinsi Wirata. Surabaya.
Harrison, Lisa. 2009. Metodologi
Penelitian Ilmu Politik. Jakarta:
Kencana.
Isra, Saldi. 2012. Keharusan Verifikasi
Partai Politik [online],
www.unisosdem.org, diakses tanggal
2 Februari 2017
Komisi Pemilihan Umum. 2012. Surat
Edaran No. 481/KPU/X/2012
tentang Juknis Verifikasi Parpol
Calon Peserta Pemilu Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota. KPU RI.
Jakarta.
Komisi Pemilihan Umum. 2013.
Keputusan KPU Nomor
08/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang
Jumlah Penduduk Provinsi dan
Kabupaten/Kota, Serta Jumlah Kursi
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota Pemilihan Umum
Tahun 2014. KPU RI. Jakarta.
Komisi Pemilihan Umum. 2013.
Keputusan KPU Nomor
107/Kpts/KPU/TAHUN 2013
Tentang Penetapan Daerah
Pemilihan dan Jumlah Kursi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota dalam
Pemilihan Umum Tahun 2014. KPU
RI. Jakarta.
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Hastinapura. 2012. Berita Acara
Hasil Verifikasi Faktual
Keanggotaan Partai Politik Tingkat
KPU Kabupaten Hastinapura
Nomor 621/BA/XI/2012. KPU
Kabupaten Hastinapura.
Hastinapura.
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
Hastinapura. 2012. Berita Acara
Hasil Verifikasi Faktual
Keanggotaan Partai Politik Tingkat
KPU Kabupaten Hastinapura
Nomor 715/BA/XII/2012. KPU
Kabupaten Hastinapura.
Hastinapura.
Pramono, Sidik (ed). 2017. Inovasi
Pemilu: Mengatasi Tantangan,
Memanfaatkan Peluang. Jakarta:
KPU RI.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Jakarta. 2013. Dokumen Keputusan
Sengketa PBB Nomor:
12/G/2013/PT.TUN.JKT. PTTUN
Jakarta.
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Jakarta. 2013. Dokumen Keputusan
Sengketa PKPI Nomor:
25/G/2013/PT.TUN.JKT. PTTUN
Jakarta.
Rohendi, Tjetjep (Penterjemah). 1992.
Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-
Pres.
Republik Indonesia. 2011. Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilu.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Republik Indonesia. 2012. Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
56 Jurnal Politik Indonesia, Vol. 2, No. 1, Juli-September 2017, hal 45-56
Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Sekretariat Negara. Jakarta.
S. Katz, Richard dan William Crotty.
2014. Handbook Partai Politik
(terjemahan dari Handbook of Party
Politics). Bandung: Nusa Media.
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu
Politik. Jakarta: PT. Grasindo.
Surbakti, Ramlan dan Didik Supriyanto.
2011. Pengendalian Keuangan
Partai Politik. Jakarta: Kemitraan.
Surbakti, Ramlan, Didik Supriyanto dan
Hasyim Asy'ari. 2011. Menjaga
Integritas Pemungutan dan
Penghitungan Suara. Jakarta:
Kemitraan.
Surbakti, Ramlan, dkk. 2014. Integritas
Pemilu 2014: Kajian Pelanggaran,
Kekerasan, dan Penyalahgunaan
Uang pada Pemilu 2014. Jakarta:
Kemitraan.
Surbakti, Ramlan. 2015. Naskah Akademik
Draft RUU Tentang Kitab Hukum
Pemilu (Usulan Masyarakat Sipil).
Jakarta: Kemitraan.
Surbakti, Ramlan. 2017. Tata Kelola
Pemilu Sebagai Subkajian Pemilu
Terapan (Pidato Inagurasi Anggota
Baru Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia di Universitas Airlangga
Surabaya). Surabaya: Universitas
Airlangga.
Recommended