View
436
Download
20
Category
Preview:
DESCRIPTION
pengobatan jerawat, swamedikasi, pengobatan sendiri
Citation preview
TUGAS PELAYANAN KEFARMASIAN
“Swamedikasi untuk Obat Acne”
Disusun oleh:
Desylva Fauziyatul Ula 260112150007
Yeni Nur Cahyani 260112150008
Rahmah Pravitasari 260112150009
Arwa 260112150059
Annisa Noor Insany 260112150060
Terry Terrawati 260112150061
Lia Lestari 260112150062
Susanti 260112150063
Ivo Ovia Airin 260112150064
Maretha Vien Hapsari 260112150065
PROGRAM PROFESI APOTEKER
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis persembahkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa karena berkat dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah Pelayanan Farmasi yang berjudul “Swamedikasi untuk
Obat Acne”.
Makalah ini disusun berdasarkan hasil diskusi yang telah dilaksanakan
dan merupakan salah satu tugas pada mata kuliah Pelayanan Farmasi. Makalah
ini disusun dengan maksud menambah wawasan dan pengetahuan mengenai
swamedikasi untuk obat acne, meliputi patofisiologi, gejala, pengobatan, contoh
kasus swamedikasi dan peran apoteker dalam pengobatan acne.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan
makalah dan kemajuan penulis. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.
Jatinangor, September 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan........................................................................ 3
1.4 Kegunaan Penulisan................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 4
2.1 Pendahuluan............................................................................... 4
2.2 Definisi....................................................................................... 4
2.3 Epidemiologi.............................................................................. 4
2.4 Faktor Risiko dan Penyebab...................................................... 5
2.5 Patogenesis................................................................................. 7
2.6 Manifestasi Klinis...................................................................... 8
2.7 Klasifikasi Acne......................................................................... 8
2.8 Diagnosis.................................................................................... 10
2.9 Pengobatan................................................................................. 10
2.9.1 Terapi Farmakologi Acne................................................ 10
2.9.2 Terapi Herbal Acne.......................................................... 15
2.9.3 Terapi Nonfarmakologi Acne.......................................... 15
2.9.4 Swamedikasi untuk Acne................................................. 17
BAB III STUDI KASUS.............................................................................. 20
BAB IV KESIMPULAN............................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 32
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengetahuan tentang obat yang benar merupakan suatu hal yang penting.
Obat merupakan komponen penting dalam pelayanan kesehatan karena obat
diperlukan dalam sebagian besar upaya kesehatan baik upaya preventif, promotif,
kuratif dan rehabilitatif, dengan pengetahuan yang benar, masyarakat akan dapat
memperolah manfaat maksimal dari obat dan dapat meminimalkan segala hal
yang tidak diinginkan dari pemakaian suatu obat (BPOM RI, 2008).
Masyarakat mutlak memerlukan informasi obat yang jelas dan dapat
dipercaya agar penentuan jenis dan jumlah obat yang diperlukan berdasarkan
kerasionalan karena jarang sekali masyarakat yang mengetahui tentang gejala
penyakit serta obat yang cocok. Masyarakat seringkali mendapatkan informasi
obat melalui iklan, baik dari media cetak maupun media elektronik, dan itu
merupakan jenis informasi yang paling berkesan, mudah dimengerti serta bersifat
komersial. Akan tetapi, tidak semua informasi tentang obat yang dibutuhkan
masyarakat tersampaikan melalui iklan, ketidaksempurnaan ini salah satunya
adalah ketiadaan informasi mengenai kandungan bahan aktif sehingga masyarakat
akan kehilangan informasi yang sangat penting yaitu jenis obat yang dibutuhkan
untuk mengatasi gejala penyakitnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2008).
Salah satu penyakit kulit yang sering dijumpai secara global pada remaja
dan dewasa muda adalah acne vulgaris atau dengan kata lain yang lebih sering
dikenal sebagai jerawat. Survei dikawasan asia tenggara terdapat 40-80% kasus
jerawat (acne vulgaris), sedangkan di Indonesia catatan kelompok dermatologi
kosmetika Indonesia, menunjukkan 60% penderita acne vulgaris pada tahun 2006,
dan 80% pada tahun 2007. Berdasarkan kasus di tahun 2007, penderita yang
terbanyak adalah remaja dan dewasa yang berusia antara 11-30 tahun sehingga
beberapa tahun belakangan ini para ahli dermatologi di Indonesia mempelajari
patogenesis terjadinya penyakit tersebut (Herawati, 2011).
1
Penelitian yang dilakukan oleh Febryeri (2012) menunjukkan bahwa hasil
survei pendahuluan dari 25 mahasiswa perempuan, sebanyak 19 orang mengalami
acne vulgaris dan melakukan tindakan swamedikasi acne vulgaris. Menurut
Kartajaya (2011), swamedikasi dapat diartikan secara sederhana sebagai upaya
seseorang untuk mengobati dirinya sendiri. Swamedikasi adalah pengobatan
untuk masalah kesehatan yang secara umum terjadi meggunakan obat yang dapat
digunakan tanpa pengawasan dari tenaga kesehatan, serta aman dan efektif untuk
penggunaan sendiri.
Untuk melakukan swamedikasi dengan benar, masyarakat perlu
mengetahui informasi yang jelas dan terpecaya mengenai obat-obat yang
digunakan. Apabila swamedikasi tidak dilakukan dengan benar maka dapat
berisiko munculnya keluhan lain karena penggunaan obat yang tidak tepat.
Swamedikasi yang tidak tepat diantaranya ditimbulkan oleh salah mengenali
gejala yang muncul, salah memilih obat, salah cara penggunaan, salah dosis, dan
keterlambatan dalam mencari nasihat/saran tenaga kesehatan bila keluhan
berlanjut. Selain itu, juga ada potensi risiko melakukan swamedikasi misal efek
samping yang jarang muncul namun parah, interaksi obat yang berbahaya, dosis
tidak tepat, dan pilihan terapi yang salah (BPOM RI, 2014).
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan, dapat diidentifikasi beberapa
masalah, yaitu:
1. Bagaimana patofisiologi dan gejala penyakit acne vulgaris?
2. Pengobatan apa saja yang bisa diberikan untuk penyakit acne vulgaris?
3. Obat-obatan apa saja yang sering digunakan oleh masyarakat untuk
penyakit acne vulgaris?
4. Bagaimana peran serta apoteker sebagai tenaga kesehatan dalam rangka
pengobatan penyakit acne vulgaris yang baik dan benar?
2
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui patofisiologi dan gejala penyakit acne vulgaris
2. Mengetahui pengobatan yang bisa diberikan untuk penyakit acne vulgaris
3. Mengidentifikasi obat-obatan yang sering digunakan oleh masyarakat
untuk penyakit acne vulgaris
4. Mengetahui peran serta apoteker sebagai tenaga kesehatan dalam rangka
pengobatan penyakit acne vulgaris yang baik dan benar
1.4 Kegunaan Penulisan
Hasil dari diskusi yang dirangkum dalam makalah ini diharapkan dapat
menjadi masukan dan tambahan wawasan bagi masyarakat pada umumnya
sebagai konsumen produk farmasi agar mengetahui bagaimana pengobatan
swamedikasi penyakit jerawat yang baik dan benar. Serta bagi apoteker khususnya
sebagai tenaga kesehatan agar dapat memberikan pelayanan kefarmasian yang
paripurna terutama dalam hal swamedikasi beberapa penyakit ringan yang sering
terjadi di masyarakat.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
Acne merupakan salah satu masalah kulit yang sering dijumpai di
masyarakat dan bersifat kronis serta kambuh–kambuhan. Walaupun bukan
merupakan suatu penyakit yang mengancam nyawa, namun acne dapat
menyebabkan masalah psikologi yang berbeda-beda, mulai dari perasaan
rendah diri hingga stress. Selain itu tidak jarang pula dapat terjadi scar
pada wajah yang permanen. Tidak kurang dari 15- 30% penderita acne
memerlukan perawatan medis karena keparahan dan kondisi klinisnya, 2-
7% di antaranya mengalami scar post acne yang bertahan lama (Zouboulis
dkk., 2005).
2.2 Definisi
Acne vulgaris merupakan suatu peradangan kronis dari folikel
pilosebasea yang ditandai dengan adanya komedo, papul, kista dan pustul
pada daerah-daerah predileksi yaitu muka, bahu, lengan bagian atas, dada,
dan punggung (Zaenglein dkk., 2008).
2.3 Epidemiologi
Kligman mengatakan bahwa tidak ada seorangpun (artinya 100%)
yang sama sekali tidak pernah menderita acne (Wasitaatmadja, 2007). Di
Amerika Serikat saja, tercatat lebih dari 17 juta penduduk yang menderita
acne setiap tahunnya, di mana 75 hingga 95% di antaranya adalah usia
remaja (Baumann dan Keri, 2009). Pada suatu studi prevalensi acne yang
dilakukan di kota Palembang, dari 5204 sampel berusia 14-21 tahun,
didapatkan bahwa usia terbanyak adalah 15-16 tahun (Suryadi, 2008).
Sedangkan berdasarkan sebuah penelitian retrospektif di Taiwan,
didapatkan data kejadian acne sebesar 83 % pada laki-laki dan 87 % pada
perempuan. Acne derajat ringan seringkali dijumpai saat lahir, yang
4
kemungkinan disebabkan karena stimulasi folikuler oleh androgen adrenal,
dan dapat berlanjut hingga periode neonatal. Namun, pada mayoritas
kasus, acne menjadi masalah yang signifikan sejak usia pubertas. Kasus
terbanyak dijumpai pada pertengahan hingga akhir remaja. Setelah itu,
insidennya menurun perlahan. Namun, pada wanita, acne dapat menetap
hingga dekade ketiga bahkan lebih (Zaenglein dkk., 2008).
2.4 Faktor Risiko dan Penyebab
Faktor risiko dan penyebab acne sangat banyak yaitu multifaktorial
antara lain:
1. Sebum
Merupakan faktor utama penyebab timbulnya acne.
2. Genetik
Faktor herediter yang sangat berpengaruh pada besar dan aktivitas kelenjar
glandula sebasea. Apabila kedua orang tua mempunyai parut bekas acne,
kemungkinan besar anaknya akan menderita acne.
3. Usia
Umumnya insiden terjadi pada sekitar umur 14 – 17 tahun pada wanita, 16 – 19
tahun pada pria dan pada masa itu lesi yang predominan adalah komedo dan
papul dan jarang terlihat lesi beradang penderita (Djuanda, Hamzah dan
Aisyah, 1999).
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan acne vulgaris
(Nami, 2009).
5. Kebersihan wajah
Meningkatkan perilaku kebersihan diri dapat mengurangi kejadian acne vulgaris
pada remaja (Nami, 2009).
6. Psikis
Pada beberapa penderita, stres dan gangguan emosi dapat menyebabkan
eksaserbasi acne. Kecemasan menyebabkan penderita memanipulasi acne nya
5
secara mekanis, sehingga terjadi kerusakan pada dinding folikel dan timbul
lesi yang beradang yang baru (Goggin et al, 1999).
7. Hormon endokrin:
a) Androgen. Konsentrasi testosteron dalam plasma penderita acne pria tidak
berbeda dengan yang tidak menderita acne. Berbeda dengan wanita, pada
testosteron plasma sangat meningkat pada penderita acne (Pochi,
Frorstrom & Lim James, 2006).
b) Estrogen. Pada keadaan fisiologi, estrogen tidak berpengaruh terhadap
produksi sebum. Estrogen dapat menurunkan kadar gonadotropin yang
berasal dari kelenjar hipofisis. Hormon gonadotropin mempunyai efek
menurunkan produksi sebum.
c) Progesteron. Progesteron, dalam jumlah fisiologis tidak mempunyai efek
terhadap efektivitas terhadap kelenjar lemak. Produksi sebum tetap selama
siklus menstruasi, akan tetapi kadang-kadang progesteron dapat
menyebabkan acne premenstrual.
8. Diet
Pada penderita yang makan banyak karbohidrat dan zat lemak, tidak dapat
dipastikan akan terjadi perubahan pada pengeluaran sebum atau komposisinya
karena kelenjar lemak bukan alat pengeluaran lemak yang kita makan.
9. Iklim
Di daerah yang mempunyai empat musim, biasanya acne bertambah hebat pada
musim dingin, sebaliknya kebanyakan membaik pada musim panas.
Bertambah hebatnya acne pada musim panas tidak disebabkan oleh sinar UV
melainkan oleh banyaknya keringat pada keadaan yang sangat lembab dan
panas tersebut.
10. Bakteri
Mikroba yang terlibat pada terbentuknya acne adalah Corynebacterium acnes,
Staphilococcus epidermidis, dan Pityrosporum ovale.
11. Kosmetika
Pemakaian bahan-bahan kosmetika tertentu seperti, bedak dasar (foundation),
pelembab (moisturiser), krem penahan sinar matahari (sunscreen), dan krem
6
malam secara terus menerus dalam waktu lama dapat menyebabkan suatu
bentuk acne ringan yang terutama terdiri dari komedo tertutup dan beberapa
lesi papulopustular pada pipi dan dagu.
2.5 Patogenesis
Patogenesis acne vulgaris sangat kompleks dipengaruhi banyak
faktor dan kadang-kadang masih kontroversial. Ada empat hal penting
yang berhubungan dengan terjadinya acne:
1. Kelenjar minyak menjadi besar yaitu hipertropi dengan peningkatan
penghasilan sebum.
2. Hiperkeratosis (kulit menjadi tebal) menyebabkan pertumbuhan sel-sel yang
cepat dan mengisi ruang folikel polisebaceous dan membentuk plug (epitelium
folikular).
3. Pertumbuhan kuman, Propionibacterium acnes yang cepat (folikel
polisebaceous) yang tersumbat akan memerangkap nutrien dan sebum serta
menggalakkan pertumbuhan kuman.
4. Inflamasi (radang) akibat hasil sampingan kuman Propionibacterium acnes.
Propionibacteria merupakan bakteri gram positif, non motil, sel
berbentuk batang yang pleomorfik, yang memfermentasi gula untuk
menghasilkan asam propionat sebagai produk akhir pada proses
metabolismenya. Propionibacteria acnes merupakan mikroorganisme penghuni
predominan pada area kulit orang dewasa yang kaya akan kelenjar sebasea.
Patogenisitas Propionibacteria diduga disebabkan karena adanya dua hal, yaitu
:
1. Produksi enzim eksoseluler dan produk ekstraseluler bioaktif lainnya,
seperti protease, lipase, lecithinase, hyaluronat lipase, neuramidase,
phospatase, phospolipase, proteinase, dan RNase.
2. Interaksi mikroorganisme dengan sistem imun manusia.
Pada saat pubertas, jumlah P. acnes pada wajah dan pipi penderita acne
meningkat drastis, dan saat dewasa akan menunjukkan jumlah yang
konstan. Penelitian tentang DNA P.acnes yang dilakukan oleh Miura dkk.,
7
menemukan bahwa pada penderita acne berusia 10-14 tahun didapatkan
jumlah P.acnes di hidung dan dahi yang lebih tinggi secara signifikan
daripada non acne. Namun pada penderita acne berusia lebih dari 15
tahun, tidak didapatkan perbedaan jumlah P.acnes yang signifikan (Miura
dkk., 2010). Berdasarkan observasi yang dilakukan selama ini, diduga P.
acnes berperan secara tidak langsung dalam patogenesis acne dengan
merangsang komedo dan menghasilkan substansi–substansi yang
menyebabkan terjadinya ruptur komedo, sehingga memulai respon
inflamasi.
2.6 Manifestasi klinis
Lesi utama acne adalah mikrokomedo, atau mikrokomedone, yaitu
pelebaran folikel rambut yang mengandung sebum dan P. acnes.
Sedangkan lesi acne lainnya dapat berupa papul, pustul, nodul, dan kista
pada daerah predileksi acne yaitu pada wajah, bahu, dada, punggung, dan
lengan atas. Komedo yang tetap berada di bawah permukaan kulit tampak
sebagai komedo white head, sedangkan komedo yang bagian ujungnya
terbuka pada permukaan kulit disebut komedo black head karena secara
klinis tampak berwarna hitam pada epidermis (Baumann dan Keri, 2009 ;
Sukanto dkk., 2005).
Scar dapat merupakan komplikasi dari acne, baik acne non-
inflamasi maupun inflamasi. Ada empat tipe scar karena acne, yaitu : scar
icepick, rolling, boxcar, dan hipertropik. Scar icepick adalah scar yang
dalam dan sempit, dengan bagian terluasnya berada pada permukaan kulit
dan semakin meruncing menuju satu titik ke dalam dermis. Scar rolling
adalah scar yang dangkal, luas, dan tampak memiliki undulasi. Scar
boxcar adalah scar yang luas dan berbatas tegas. Tidak seperti scar
icepick, lebar permukaan dan dasar scar boxcar adalah sama. Pada
beberapa kejadian yang jarang, terutama pada truncus, scar yang terbentuk
dapat berupa scar hipertropik (Zaenglein dkk., 2008).
8
2.7 Klasifikasi acne
Selama ini, tidak terdapat standar internasional untuk
pengelompokan dan sistem grading acne. Hal ini tidak jarang
menimbulkan kesulitan dalam pengelompokan acne. Saat ini, terdapat
lebih dari 20 metode berbeda yang digunakan untuk mengklasifikasikan
tingkat keparahan acne.
Klasifikasi acne yang paling ‘tua’ adalah klasifikasi oleh Pillsburry
pada tahun 1956, yang mengelompokkan acne menjadi 4 skala
berdasarkan perkiraan jumlah dan tipe lesi, serta luas keterlibatan kulit
(Barratt dkk., 2009). Klasifikasi lainnya oleh Plewig dan Kligman, yang
mengelompokkan acne vulgaris menjadi :
1. Acne komedonal
a. Grade 1 : Kurang dari 10 komedo pada tiap sisi wajah
b. Grade 2 : 10-25 komedo pada tiap sisi wajah
c. Grade 3 : 25-50 komedo pada tiap sisi wajah
d. Grade 4 : Lebih dari 50 komedo pada tiap sisi wajah
2. Acne papulopustul
a. Grade 1 : Kurang dari 10 lesi pada tiap sisi wajah
b. Grade 2 : 10-20 lesi pada tiap sisi wajah
c. Grade 3 : 20-30 lesi pada tiap sisi wajah
d. Grade 4 : Lebih dari 30 lesi pada tiap sisi wajah
3. Acne konglobata
Klasifikasi ASEAN grading Lehmann 2003 yang mengelompokkan
acne menjadi tiga kategori, yaitu ringan, sedang, dan berat sebagai berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi ASEAN grading Lehmann 2003 (Wasitaatmadja, 2010)
Selain itu, di bawah ini juga termasuk dalam perbedaan jenis jerawat:
9
1. Jerawat pada bayi yang baru lahir (newborn acne): Jerawat jenis ini menyerang
sekitar 20 persen bayi yang baru lahir dan tergolong jerawat ringan.
2. Jerawat pada bayi (infantile acne): Bayi berumur 3–6 bulan juga ditumbuhi
jerawat, dan akan tumbuh kembali pada saat ia beranjak remaja.
3. Jerawat vulgaris (acne vulgaris): Jerawat jenis ini adalah yang paling umum
terjadi pada remaja dan kaum muda yang beranjak dewasa, sekitar 12 – 24
tahun.
4. Jerawat konglobata (cystic acne): Jerawat jenis ini terjadi pada kaum pria muda,
tergolong serius namun jarang terjadi.
2.8 Diagnosis
Diagnosis acne vulgaris ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan klinis. Keluhan penderita dapat berupa gatal atau sakit, tetapi
pada umumnya keluhan penderita lebih bersifat kosmetik. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan komedo, baik komedo terbuka maupun
komedo tertutup. Adanya komedo diperlukan untuk menegakkan diagnosis
acne vulgaris. Selain itu, dapat pula ditemukan papul, pustul, nodul, dan
kista pada daerah – daerah predileksi yang mempunyai banyak kelenjar
lemak. Secara umum, pemeriksaan laboratorium bukan merupakan
indikasi untuk penderita acne vulgaris, kecuali jika dicurigai adanya
hiperandrogenism (Zaenglein dkk., 2008).
2.9 Pengobatan
2.9.1 Terapi farmakologi acne
Penanganan untuk jerawat bergantung pada tipe luka dan tingkat
keparahan.
Mild Acne biasanya ditangani dengan retinoid topikal saja atau antimikroba
topikal, asam salisilat, dan asam azalea
Moderate acne dapat ditangani dengan retinoid topikal dengan kombinasi
dengan antibiotik oral dan jika diperlukan menggunakan benzoil peroksida.
Severe acne ditangani oleh isotretinoin oral.
10
Berikut adalah alogaritma untuk penanganan acne:
(Wells et al., 2009)
Farmakoterapi Topikal (Wells et al., 2009):
1. Benzoil Peroksida
Benzoil peroksida dapat digunakan untuk menangani inflamasi akibat jerawat
yang merupakan antibakteri non-antibiotik dengan bekerja secara bakteriostatik
melawan P.acnes. Benzoil peroksida bekerja dengan membebaskan radikal
bebas oksigen yang akan mengoksidasi protein bakteri. Sediaan benzoil
peroksida dapat berupa losion, krim, sabun gel dengan berbagai macam
11
konsentrasi mulai dari 1 hingga 10%. Konsentrasi 10% tidak lebih efektif
namun lebih mengiritasi. Untuk mengurangi iritasi formulasi yang dibuat
biasanya sekitar 2,5% kadar rendah dan ditingkatkan baik kadar ataupun
frekuensi pemakaian. Pasien sebaiknya diberikan edukasi terkait penggunaan,
sebagai contoh, untuk kulit kering penggunaannya tidak boleh lebih dari dua
kali sehari untuk meminimalisir iritasi, sementara untuk kulit yang lembab dan
lebih sensitif digunakan 30 menit sebelum mandi. Efek samping pemakaian
obat ini adalah kering, iritasi, kontak alergi.
2. Tretinoin
Tretinoin (retinoid: vitamin A topikal) adalah agen komedolitik yang
meningkatkan permeabilitas sel dan dinding folikel serta menurunkan
tegangan permukaan sel sehingga menghilangkan komedo dan menghambat
pembentukan komedo yang baru. Tretinoin tersedia dalam 0,05% larutan
(mengiritasi), 0,01 % dan 0,025% gel, serta 0,025% 0,05% dan 0,1% krim
(sedikit mengiritasi). Krim 0,025% direkomendasikan untuk mild acne pada
kulit sensitif dan tidak berminyak. Gel 0,01% juga direkomendasikan untuk
moderate acne pada kulit yang mudah teriritasi dan berminyak, serta gel
0,025% untuk moderate acne pada kulit non sensitif dan berminyak. Pasien
harus diedukasi terkait pemakaian seperti untuk kulit kering digunakan 30
menit setelah mandi untuk meminimalisir timbulnya iritasi. Efek samping yang
dapat ditimbulkan adalah iritasi kulit, eritema, peningkatan sensitifitas terhadap
paparan matahari, angin dan berbagai iritan lain.
3. Adapalene
Adapalene adalah generasi ketiga dari retinoid dengan aktifitas sebagai
komedolitik, keratolitik, dan aktivitas antiinflamasi. Tersedia sebagai gel 0,1%,
krim, dan larutan alkohol serta gel 0.3%. Adapalene diindikasikan untuk mild
acne hingga moderate acne.
4. Tazarotene
Tazarotene adalah retinoid asetalenik sintetis yang diubah menjadi bentuk aktif
asam tazarotenik setelah pemakaian topikal. Biasanya digunakan untuk
menangani mild acne hingga moderate acne dan memiliki sifat komedolitik,
12
keratolitik, dan aktivtas antiinflamasi. Tersedia dalam gel atau krim 0.05% dan
0.1%.
5. Eritromisin
Eritomisisn pada konsentrasi 1% hinga 4% dengan atau tanpa zink efektif
melawan inflamasi jerawat. Produk kombinasi zink dapat meningkatkan
penetrasi dari eritromisin kedalam unit pilosebaseous. Formulasi topikal
eritromisin tersedia dalam bentuk gel, losion, larutan, dan disposable pads
yang biasanya digunakan dua kali sehari. Untuk mengurangi resistensi P.acnes
digunakan terapi kombinasi dengan benzoil peroksida.
6. Klindamisin
Klindamisin menghambat P.acnes dan merupakan komedolitik serta memiliki
aktivitas antiinflamasi. sediaan tersedia gel, larutan, losion, dan foam dengan
konsentrasi 1% hingga 2% dan biasanya digunakan dua kali sehari. Kombinasi
dengan benzoil peroksida akan meningkatkan efikasi.
7. Asam azalea
Asam azalea memiliki aktivitas antiinflamasi, antibakteri serta agen
komedolitik. Asam azalea digunakan pada mild acne hingga moderate acne.
Asam azalea juga digunakan untuk post inflamasi hiperpegmentasi karena
memiliki sifat mencerahkan kulit. Tersedia dalam krim 20% dan gel 15% yang
sering digunakan sebanyak dua kali sehari pada kulit kering.
8. Asam salisilat, sulfur, dan Resorsinol
Asam salisilat, sulfur, dan Resorsinol adalah second-line terapi topikal yang
memiliki sifat keratolitik dan agen antibakteri yang ringan. Asam salisilat
bersifat sebagai komedolitik dan antiinflamasi. Keratolitik lebih tidak
mengiritasi dibandingkan dengan benzoil peroksida dan tretinoin . Namun
aktivitasnya tidak lebih baik sebagai komedolitik.
Farmakoterpai Sistemik (Wells et al., 2009):
1. Isotretinoin
Isotretinoin (Accutane) menurunkan produksi kelenjar sebasea, merubah
komposisi sebum dan menghambat pertumbuhan bakeri P.acnes di folikel serta
menghambat inflamasi dan merubah pola keratinisasi di dalam folikel.
13
Pengobatan ini dilakukan untuk severe acne atau jerawat yang cukup parah,
dan dapat digunakan pada pasien yang gagal dalam terapi konvensional atau
pada penderita jerawat kambuh kronik.
Dosis yang dianjurkan adalah 0,5-1 mg/kg BB/ hari. Obat ini termasuk
teratogenik sehingga kontrasepsi harus diberikan satu bulan sebelum terapi
pada pasien wanita dan dilanjutkan selama terapi sampai 3 bulan setelah terapi
selesai.
Antibakteri Oral (Wells et al., 2009):
1. Eritromisin
Eritromisin memiliki efikasi yang sama dengan tetrasiklin, tetapi menginduksi
resistensi bakteri lebih besar dibandingkan dengan tetrasiklin. Eritromisin
dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan antibiotik sistemik, tetapi
tidak memiliki toleransi terhadap tetrasiklin. Dosis lazimnya adalah 1 g/hari
diminum saat makan untuk menghindari intoleransi gastrointestinal
2. Azitromisin
Merupakan antibiotik yang aman dan merupakan alternatif untuk mengatasi
moderate acne hingga severe acne.
3. Tetrasiklin
Tetrasiklin menghambat pertumbuhan P.acnes dengan mengurangi jumlah
keratin pada kelenjar sebasea dan memiliki aktivitas antiinflamasi dengan
menghambat kemotaksis, fagositosis, aktifasi komplemen, dan imunitas yang
dimediai oleh sel. Efek samping yang dapat timbul yaitu hepatotoksis, infeksi
silang oleh kandidiasis serta gigi kecoklatan pada bayi serta menghambat
pertumbuhan skeletal pada fetus.
4. Trimethoprim-Sulfamethoxazole
Trimethoprim-Sulfamethoxazole merupakan second-line terapi yang digunakan
pada pasien yang tidak toleran terhadap tetrasiklin dan eritromisin atau apabila
kedua antibitotik tersebut resisten. Dosis lazim Trimethoprim-
Sulfamethoxazole adalah 800mg sulfomethoxazole dan 160 mg trimethoprim
dua kali sehari.
5. Klindamisin
14
Klindamisin jarang digunakan akibat efek samping berupa diare dan risiko
pseudomembran mukolitis
Kontraseptif oral (Wells et al., 2009)
Kontraseptif oral mengandung estrogen dan progestin yang digunakan sebagai
terapi alternatif untuk moderate acne pada wanita. Kontraseptif oral yang kini
disetujui FDA untuk indikasi ini meliputi, norgestimat dengan etinil estradiol, dan
noretindron asetat dengan etinil estradiol.
2.9.2 Terapi Herbal Acne
Dibawah ini merupakan tanaman-tanaman yang dapat digunakan
sebagai pengobatan herbal untuk jerawat:
15
2.9.3 Terapi Nonfarmakologi Acne
Adapun terapi non farmakologi yang dapat disarankan kepada
pasien adalah sebagai berikut:
1. Pasien harus diyakinkan bahwa jerawat bukanlah merupakan penyakit karena
kebersihan yang buruk.
2. Direkomendasikan untuk membersihkan daerah yang terkena jerawat dua
sampai tiga kali sehari. Dapat menggunakan sabun antibakteri atau pembersih
ringan untuk mengurangi keparahan kondisi kulit. Tidak membiarkan
keringat terlalu lama kontak dengan kulit, tetapi harus dicuci sesegera
mungkin.
3. Mencuci wajah secara berlebihan tidak perlu dilakukan sebab tidak membuka
atau membersihkan pori dan mungkin berdampak pada iritasi kulit.
4. Pasien harus disarankan untuk menghindari gaya rambut yang rambut
tersebut terus menyentuh wajah, dan untuk keramas secara teratur.
5. Jangan menggosok jerawat dengan kuat karena akan memperburuk jerawat
dan hindari "picking" yang dapat menyebabkan trauma, infeksi sekunder dan
jaringan parut. Expressors komedo (blackhead removers) dapat digunakan
untuk membersihan jerawat dan komedo dengan memaparkan kulit dengan
uap terlebih dahulu.
6. Sinar matahari alami dianggap membantu dalam mengurangi jerawat, tetapi
over exposure harus dihindari.
7. Meskipun bakteri jerawat dapat dibunuh oleh cahaya, dan jerawat membaik
setelah paparan sinar matahari, pasien harus diberitahu bahwa penggunaan
lampu matahari harus dihindari karena risiko karsinogenesis.
8. Hindari paparan bahan kimia minyak bumi dan debu batubara.
9. Pasien harus menghindari kosmetik berminyak dan menggunakan pelembab
berbasis air. Mereka juga harus menghindari menggunakan hairspray.
Disarankan untuk menghindari penggunaan make-up yang berat dan
16
menggunakan make-up yang diberi label "non-comedogenic", "bebas minyak"
atau "acne-friendly ".
10. Pembatasan diet (baik makanan tertentu atau kelas makanan) belum terbukti
bermanfaat dalam pengobatan jerawat.
11. Tidak ada bukti bahwa makanan berlemak dan cokelat menyebabkan jerawat.
12. Hindari makanan manis, kopi, dan minuman berkarbonasi dan hentikan
merokok.
13. Tubuh yang sehat, diet seimbang dengan konsumsi banyak air, dan olahraga
teratur serta tidur yang cukup.
14. Memakai pakaian katun lembut untuk mengurangi rasa gatal dan iritasi
jerawat di punggung dan pundak. Juga, mandi segera setelah latihan.
15. Gunakan sarung bantal yang bersih setiap malam sampai kondisi membaik.
16. Terapi herbal telah digunakan untuk mengobati jerawat. Meskipun produk ini
tampaknya ditoleransi dengan baik, namun data masih terbatas mengenai
keamanan dan kemanjuran.
2.9.4 Swamedikasi untuk acne
Berikut ini adalah tips untuk menangani dan menghindari
munculnya jerawat:
1. Bersihkan wajah dengan produk kulit alami setiap pagi dan malam untuk
menghilangkan sel-sel mati dan membuka pori-pori yang tersumbat.
2. Jangan menyentuh jerawat dengan menggunakan tangan.
3. Jangan menggunakan make-up berbasis minyak. Gunakan produk berbasis air
untuk menghindari penyumbatan pori-pori.
4. Makan makanan yang sehat dengan memperbanyak konsumsi buah dan
sayur, serta banyak minum air putih.
5. Olahraga teratur dan tidur yang cukup sangat penting untuk kulit yang sehat.
6. Mengurangi tingkat stres jika mungkin, karena stres dapat menyebabkan
peningkatan jerawat.
7. Hindari konsumsi makanan manis, makanan beryodium, kopi, minuman
berkarbonasi.
17
8. Kenakan pakaian katun lembut agar menghindari terjadinya gatal dan iritasi
jerawat di punggung dan bahu.
9. Gunakan sarung bantal bersih.
10. Jika menggunakan terapi farmakologi, maka dapat menggunakan algoritma
penanganan acne untuk memilih pengobatan yang tepat.
11. Selain terapi farmakologi menggunakan obat konvensional, bisa juga
dilakukan pengobatan acne melalui pengobatan herbal. Berikut ini adalah
beberapa contoh cara pengobatan dan penanganan acne menggunakan herbal:
a. Belimbing Wuluh ( Averhoa bilimbi)
Cara 1:
Bahan: 3 buah belimbing wuluh dan garam secukupnya.
Cara membuat: Buah belimbing diparut kemudian kedua bahan tersebut
dicampur secara merata
Cara menggunakan: Digunakan sebagai bedak pada bagian wajah yang
berjerawat
Cara 2:
Buah belimbing wuluh secukupnya dicuci lalu ditumbuk halus, diremas
dengan air garam seperlunya, untuk menggosok muka yang berjerawat.
Lakukan 3 kali sehari (Nadra, 2011).
b. Bawang Putih
- Untuk mengatasi jerawat yang sedang memerah
Parut atau haluskan satu siung bawang putih dan campur dengan madu
secukupnya. Sebelum berangkat tidur, oleskan dan diamkan beberapa
menit pada daerah wajah yang berjerawat. Lakukan secara rutin hingga
terbebas dari jerawat.
- Perawatan untuk mempercepat keringnya jerawat
Caranya, kupas dan cucilah bawang putih, kemudian potonglah menjadi
dua bagian. Olesi jerawat dengan potongan bawang putih tersebut
(Surtiningsih, 2005).
c. Mentimun
18
Siapkan mentimun segar, iris tipis. Tempelkan irisan mentimun di bagian
kulit wajah yang berjerawat selama 15-20 menit. Basuh wajah dengan air
mineral dan ulangi 3-4 kali sehari sampai jerawat menghilang
(Surtiningsih, 2005).
d. Masker untuk menghilangkan jerawat
Bahan: - ½ buah apel
- ½ buah jeruk lemon yang diperas airnya
- Beberapa tangkai seledri
Cara membuat masker: Blender apel dan beberapa tangkai seledri, lalu
tambahkan perasan air jeruk lemon. Oleskan masker tersebut pada jerawat.
Diamkan hingga mengering. Lalu bilas bersih. Seledri bermanfaat untuk
membantu mengurangi pembengkakan jerawat (Surtiningsih, 2005).
e. Perawatan untuk mengatasi bekas jerawat
Cuka apel (Apple cider vinegar) dapat digunakan untuk mengatasi bekas
jerawat lama. Karena kondisi kulit setiap orang berbeda, sebelum
mencobanya ke wajah, coba dulu sedikit pada bagian leher untuk
mengetahui reaksi kulit anda. Jika kulit anda tidak menunjukan reaksi
alergi, lakukan perawatan dengan cara berikut: Celupkan kapas ke dalam
cuka apel lalu oleskan ke wajah. Hindari daerah sekitar mata. Diamkan
selama 30 menit. Bilas dengan air dingin (Surtiningsih, 2005).
19
BAB III
STUDI KASUS
S.R adalah remaja berusia 16 tahun yang masih duduk di bangku SMA dan ingin
bekerja sebagai penasihat kemah musim panas namun memiliki masalah pada
persyaratan fisik pekerjaan tersebut sehingga ia berobat ke klinik. Perawat
menemukan jerawat dan menanyakan apakah itu mengganggu bagi dirinya. S.R
menjawab bahwa jerawat tersebut sangat mengganggu sejak 3 tahun yang lalu.
Dia menceritakan bahwa jerawat tersebut tumbuh bertahap, memiliki bermacam-
macam tingkat keparahan, memburuk ketika menstruasi dan tidak pernah berhasil
dihilangkan. Dia mengatakan bahwa foto dirinya pada buku tahunan
mengecewakan (karena ada jerawat) dan merasa rendah diri karena hal tersebut.
Dia mencoba obat (yang dijual bebas; OTC) yakni benzoil peroksida (BP) 5%
dalam bentuk gel dan ia gunakan sebanyak ia mencuci muka dengan produk
pembersih (pencuci muka) namun tidak ada perkembangan. S.R kemudian
mengikuti saran ibunya untuk mengurangi kunsumsi coklat dan gorengan namun
hasilnya tetap nihil. Dia memiliki nilai PAP yang normal dan tes well-woman 3
bulan terakhir. Dia diberi obat norgestimate/etinil estradiol namun tidak
dikonsumsi karena takut akan menambah keparahan jerawatnya dan menaikkan
berat badannya. Berhubungan dengan tes yang diikuti, siklus menstruasi hasilnya
normal dan review sistem endokrin hasilnya negatif. Dia tidak mengonsumsi obat
apapun dan mengaku tidak memiliki alergi. Hasil fisik menunjukkan bahwa dia
memiliki 15 komedo yang terbuka dan tertutup, 10 papula, dan 5 pustula pada
setengah bagian wajah termasuk dahi, pipi dan dagu. Tidak ada nodul atau kista.
ANALISIS
SUBJECTIVE :
Jerawat mengganggu S.R sejak 3 tahun yang lalu. Jerawat tersebut tumbuh
bertahap, memiliki bermacam-macam tingkat keparahan, memburuk ketika
menstruasi dan tidak pernah berhasil dihilangkan. Jerawat membuat ia menjadi
rendah diri dan kurang percaya diri. Pernah mencoba obat BP gel 5% namun tidak
20
berhasil. Sudah mengurangi konsumsi coklat dan gorengan juga tidak berhasil.
Mengaku tidak memiliki alergi.
OBJECTIVE :
Nilai PAP normal dan tes well-woman juga normal. Siklus menstruasi normal.
Hasil fisik menunjukkan pada setengah bagian wajah termasuk dahi, pipi dan
dagu terdapat 15 komedo yang terbuka dan tertutup, 10 papula, dan 5 pustula.
Tidak ada nodul atau kista.
ASSESSMENT :
S.R diberi obat norgestimate/etinil estradiol sebagai obat kontrasepsi oral
mengobati indikasi jerawat (acne), namun tidak dikonsumsi karena ketakutan
akan kenaikan berat badan dan memperparah acne.
PLAN :
Pilihan Pengobatan
Kunci untuk kesuksesan pengobatan jerawat adalah rencana yang
efektif, pengelolaan, dan terjangkau dengan pasien. Hal ini sangat penting
untuk praremaja dan remaja, yang memiliki kesulitan memenuhi rencana
jangka panjang. Pilihan pengobatan yang dapat dilakukan untuk acne
vulgaris termasuk agen topikal, antibiotik sistemik, agen hormonal, dan
isotretinoin (Strauss et al., 2007).
1. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal menargetkan jerawat ringan sampai sedang, yang
mencakup bentuk inflamasi dan non inflamasi. Menurut Pedoman
American Academy of Dermatology, pengobatan topikal yang efektif,
antara lain:
a. Retinoid
b. BP
c. Kombinasi BP dengan klindamisin atau eritromisin.
21
Antibiotik topikal merupakan pengobatan yang efektif tetapi seperti
antibiotik sistemik yang berhubungan dengan terjadinya resistensi. Pilihan
yang kurang efektif termasuk asam salisilat, azelaic acid, sulfur,
resorsinol, sodium sulfacetamide, aluminium klorida, dan zinc. Aplikasi
bersama dari beberapa agen topikal bisa efektif, namun beberapa agen
topikal tidak bisa diterapkan secara bersamaan kecuali kompatibel.
Beberapa penjelasan mengenai pengobatan topikal dapat dilihat di bawah
ini.
BP oxidizes dan sinar matahari merusak retinoid topikal. Namun, hal ini tidak
benar untuk adapalene (retinoid topikal generasi kedua) atau formulasi
mikrosfer tretinoin.
Produk dengan klindamisin topikal atau oral kontraindikasi pada pasien dengan
riwayat enteritis regional, kolitis ulserativa, atau kolitis terkait antibiotik.
Retinoid topikal (tretinoin, adapalene, dan tazarotene) mengembalikan
deskuamasi abnormal dan mengganggu pembentukan microcomedone.
Retinoid topikal saja diindikasikan untuk jerawat non inflamasi.
Adapalene merupakan alternatif yang kurang mengiritasi untuk tretinoin
topikal.
Tazarotene, retinoid lini kedua teratogen (kehamilan kategori x) dan dilarang
untuk digunakan pada wanita yang berpotensial child-bearing (Bershad, 2008).
Benzoil peroksida, agen bakterisida topikal tersedia dalam berbagai formulasi
dan konsentrasi merupakan inhibitor poten dari P. acnes dan keratolitik lemah.
Sifat oksidatornya dapat memutihkan rambut dan kain berwarna.
Antibakteri topikal lain adalah dapsone (Aczone®).
Antibiotik topikal memberikan manfaat efek samping yang minimal. Namun,
karena potensi resisten untuk P. acnes, mereka lebih berguna bila digunakan
dalam kombinasi dengan BP, karena BP telah terbukti untuk meminimalkan
resistensi antibiotik.
2. Pengobatan Sistemik
22
Antibiotik sistemik diindikasikan untuk kasus sedang sampai berat
dan bentuk pengobatan resisten jerawat inflamasi. Antibiotik yang paling
sering diresepkan untuk jerawat antara lain :
a. Tetrasiklin
b. Eritromisin
c. Klindamisin
d. Doksisiklin
e. Minosiklin
Antibiotik sistemik semakin terkait dengan resistensi bakteri.
Pedoman pengobatan menunjukkan bahwa minosiklin lebih efektif
daripada doksisiklin. Keduanya lebih mujarab dibandingkan tetrasiklin.
Eritromisin oral harus digunakan hanya ketika tetrasiklin tidak dapat
digunakan, seperti pada kehamilan atau dengan alergi. Ketika antibiotik
lainnya tidak dapat digunakan, trimethoprim-sulfamethoxazole bisa
menjadi alternatif yang efektif. Penggunaan antibiotik oral (misalnya,
tetrasiklin, doksisiklin, eritromisin, azitromisin) biasanya terkait dengan
iritasi gastrointestinal. Penggunaan jangka panjang antibiotik oral juga
dapat menyebabkan kandidiasis vaginal pada wanita. Doksisiklin
cenderung lebih menginduksi reaksi fotosensitivitas daripada antibiotik
lainnya yang diresepkan pada umumnya. Minosiklin lebih menginduksi
reaksi hipersensitivitas daripada doksisiklin, walaupun ini jarang terjadi.
Penggunaan jangka panjang dari minosiklin dapat menyebabkan
hiperpigmentasi kulit.
3. Agen Hormonal
Agen hormonal merupakan alternatif untuk wanita dengan jerawat
dan termasuk kontrasepsi oral yang mengandung estrogen dan
spironolactone anti-androgen dan cyproterone asetat oral. Terapi
hormonal mengurangi produksi sebum yang disebabkan oleh stimulasi
berlebih androgenik dan penurunan respon androgen kelenjar sebaceous.
Jangka pendek dosis rendah terapi kortikosteroid oral dapat memberikan
23
manfaat sementara untuk jerawat inflamasi parah dan adrenal
hyperandrogenism.
4. Isotretinoin
Isotretinoin diindikasikan untuk reserve recalcitrant nodular acne
dan pada beberapa pasien dengan treatment-resistant acne yang dihasilkan
dalam physical scarring. Isotretinoin adalah satu-satunya agen sistemik
yang memiliki aksi anti-inflamasi, menghambat produksi sebum, dan
dampak deskuamasi folikular. Seseorang yang menggunakan pengobatan
isotretinoin telah dilaporkan mengalami gangguan mood, depresi,
keinginan bunuh diri, dan upaya bunuh diri, tapi tidak ada penyebab yang
telah ditetapkan. Karena isotretinoin adalah teratogen, pasien wanita
potensial child-bearing dapat diobati dengan isotretinoin hanya jika
mereka berpartisipasi dalam program pencegahan dan manajemen
kehamilan yang disetujui yang dikenal sebagai iPLEDGETM. Pasien pria
dan wanita yang keduanya menerima isotretinoin harus mendaftar dengan
program ini. Program iPLEDGE adalah program manajemen risiko
berbasis komputer yang dirancang untuk menghilangkan paparan janin
untuk isotretinoin melalui program distribusi khusus yang disetujui oleh
US Food and Drug Administration (FDA). Tujuan program ini adalah
untuk memastikan bahwa tidak ada pasien wanita mulai terapi isotretinoin
jika hamil atau menjadi hamil saat menerima terapi isotretinoin (Jones,
2007).
Pengobatan lain meliputi suntikan kortikosteroid intralesional. Data
terbatas mengenai penggunaan chemical peels, penghilangan komedo, dan
agen herbal, dan pembatasan diet.
Decision Point: Apa Rencana Pengobatan yang tepat untuk pasien tersebut?
Karena pasien memiliki lesi inflamasi dan non inflamasi, pendekatan
lini pertama yang bijaksana akan menargetkan kedua jenis. Pasien sudah
mencoba BP over-the-counter tanpa perbaikan, meningkatkan BP dari 5%
24
sampai 10% ternyata tidak dapat mengobati jerawat inflamasi dan dapat
mengeringkan kulit serta mengiritasi kulit. Beberapa penjelasan mengenai
rencana pengobatan antara lain :
a. Retinoid topikal memainkan peran penting dalam pengobatan jerawat ringan
sampai sedang dengan mencegah pembentukan microcomedone dan
menghambat inflamasi. Namun, salah satu kelemahan dari retinoid topikal
adalah eksaserbasi jerawat dalam minggu pertama administrasi yang mungkin
tidak bisa diterima seorang gadis 16 tahun.
b. Antibiotik topikal klindamisin dan eritromisin diindikasikan untuk jerawat
inflamasi dan bekerja dengan menghambat sintesis protein bakteri. Keduanya
tersedia sebagai agen tunggal atau dalam produk kombinasi. Klindamisin
tersedia dalam kombinasi tetap dengan tretinoin atau BP (0,25% tretinoin /
1,2% klindamisin, 5% BP / 1% klindamisin, 2,5% BP / 1,2% klindamisin).
Eritromisin tersedia dalam kombinasi tetap dengan 5% BP. Antibiotik topikal
tersebut lebih efektif sebagai produk kombinasi daripada sebagai agen tunggal.
Hal terpenting, penambahan BP meminimalkan resistensi antibiotik.
c. Rekomendasi Global Alliance to Improve Outcomes in Acne menganjurkan
serangan bersama pada lebih dari satu faktor patogen. Tidak ada agen topikal
tunggal yang menargetkan beberapa mekanisme patogen.
d. Retinoid topikal adalah pengobatan pilihan untuk jerawat comedonal ringan.
Untuk jerawat sedang, menambahkan retinoid topikal untuk produk kombinasi
BP/antibiotik topikal mempercepat clearance lesi inflamasi. Antibiotik oral
dikombinasikan dengan retinoid topikal yang sesuai untuk jerawat sedang
sampai berat.
e. Perawatan sistemik seperti antibiotik oral akan mengurangi papulopustular
acne tapi mungkin bukan terapi lini pertama yang paling tepat untuk
dipertimbangkan dengan tidak adanya nodul, cysts, atau scarring. Tetrasiklin
oral tidak ideal untuk pasien karena jika dia menerima kontrasepsi oral, terapi
antibiotik oral yang kemungkinan dapat mengganggu efektivitas kontrasepsi.
Efek samping yang berhubungan dengan penggunaan antibiotik oral, terutama
potensi kandidiasis vaginal, dapat menjadi masalah pada wanita.
25
Seleksi Pengobatan
Mengingat keparahan jerawat pasien adalah sedang, pengobatan
farmakologi yang paling tepat baginya yaitu retinoid topikal dengan
produk kombinasi BP dengan klindamisin atau eritromisin topikal. Produk
kombinasi gel BP / eritromisin harus dilarutkan dengan 70% etil alkohol
sebelum dikeluarkan, disimpan dalam lemari es, dan dibuang setelah 3
bulan. Akses pendingin akan menjadi masalah bagi pasien ini selama
musim panas dan kemungkinan akan memiliki efek negatif pada
kepatuhan. Sebagai hasilnya, gel BP / eritromisin tidak ideal untuknya.
Efek samping yang paling umum dari retinoid dan BP topikal adalah iritasi
kulit, eritema, pengelupasan, dan kekeringan. Pilihan yang tepat dari
retinoid dan BP yang mengandung pengobatan dapat membantu untuk
meminimalkan efek ini. Adapalene gel 0,1% dalam kombinasi dengan
BP / klindamisin dilaporkan memiliki iritasi kumulatif terendah. Oleh
karena itu, rejimen farmakologis yang ideal yaitu :
a. Adapalene gel 0,1% setiap hari saat tidur yang diaplikasikan seukuran
kacang.
b. Produk kombinasi tetap BP 5% dan klindamisin 1%.
Produk kombinasi ini dapat disimpan pada suhu kamar dan kombinasi
tersebut tidak memerlukan rekonstitusi. Rejimen ini memperlakukan
beberapa faktor patogen acne vulgaris secara bersamaan, dapat menurunkan
insiden resisten P. acnes, dan sangat efektif untuk jerawat ringan sampai
sedang. Kombinasi BP 5% dan 1% klindamisin dapat digunakan pagi hari dan
saat tidur. Pada pagi hari, pasien harus mencuci muka dan menerapkan
kombinasi BP 5% dan klindamisin 1% setelah kulit dibilas dengan air hangat
dan dikeringkan. Kosmetik nonmedicated dapat diterapkan 1 jam kemudian.
Awalnya, BP / klindamisin harus digunakan dua kali sehari namun dapat
dikurangi menjadi satu kali sehari jika terjadi iritasi kulit. Selain itu,
menyederhanakan rejimen juga meningkatkan kepatuhan dari pasien. Dalam
uji klinis dari jerawat ringan sampai sedang, efektivitas topikal 5% BP dan
26
1% klindamisin sekali atau dua kali sehari dalam pengurangan jumlah lesi
inflamasi melampaui BP dan klindamisin yang diaplikasikan sendiri atau
tretinoin yang ditambah klindamisin.
c. Pasien juga memiliki kandidat pengobatan yaitu terapi hormonal.
FDA telah menyetujui dua kontrasepsi oral untuk pengobatan jerawat
yaitu norgestimat-etinil estradiol, dan noretindron asetat-etinil estradiol. Ini
mengatur androgen dengan mencegah kenaikan progesteron cyclical.
Kontrasepsi oral ini dapat diadministrasikan malam hari pada waktu tidur.
Dengan izin pasien, alasan untuk menggunakan kontrasepsi oral dapat
dijelaskan kepada orang tua. Menulis indikasi medis tertentu pada resep dapat
meminimalkan potensi ketidaknyamanan pasien di apotek.
d. Penggunaan pembersih kulit yang lembut dengan pH sedikit asam dan
surfaktan nonionik (misalnya, Neutrogena® atau mirip cairan pembersih
wajah) dan menghindari sabun alkali karena dapat meningkatkan tingkat P.
Acnes.
e. Direkomendasikan penggunaan pelembab
Penggunaan pelembab direkomendasikan karena peningkatan hidrasi
kulit dapat meningkatkan penetrasi agen topikal. Paparan sinar matahari harus
diminimalkan, pasien harus disarankan untuk menghindari tanning bed, untuk
menggunakan produk tabir surya dengan rating SPF 15 atau lebih tinggi, dan
memakai topi bertepi lebar.
f. Merekomendasikan untuk menghilangkan prasangka mitos tentang jerawat.
Beberapa mitos mungkin menyalahkan remaja dan memperburuk
dampak psikososial. Dampak psikososial jerawat tidak boleh diabaikan
karena adanya dampak psikososial jerawat yang ringan bisa jadi parah.
KOMUNIKASI, INFORMASI, DAN EDUKASI
Sebelum seorang Apoteker memberikan informasi obat untuk pasien yang
melakukan pengobatan secara swamedikasi atau pengobatan melalui resep dokter,
maka apoteker harus bertanya dan memastikan beberapa informasi terkait dengan
pasien:
27
a. Pasien yang akan mendapatkan obat adalah benar pasien perempuan berinisial
S.R berumur 16 tahun.
b. Gejala yang dialami pasien adalah jerawat yang mengganggu pada wajah
selama 3 tahun ke belakang, yang akan memburuk saat menstruasi. Apoteker
dapat melihat pada setengah bagian wajah pasien (termasuk dahi, pipi, dagu)
terdapat 15 komedo yang tebuka atau tertutup, 10 papula, dan 5 pustula. Tidak
ada nodula atau kista pada wajah.
c. Apoteker harus mengetahui tindakan yang sudah dilakukan pasien. Pasien telah
melakukan swamedikasi dengan menggunakan gel yang mengandung 5%
benzoil peroksida (BP), serta menggunakan berbagai produk pembersih muka.
d. Apoteker harus mengetahui efek yang terjadi setelah pasien melakukan
tindakan untuk mengatasi jerawatnya. Tindakan yang sudah dilakukan pasien
ternyata tidak dapat membersihkan jerawat secara sempurna.
Selanjutnya, informasi obat yang harus diberikan kepada pasien
terkait swamedikasi yang baru untuk mengatasi jerawatnya adalah:
a. Nama obat dan kekuatannya.
1. Adapalene gel 0,1% (retinoid topikal).
2. Krim yang mengandung kombinasi Benzoil Peroksida (BP) 5% dan
Klindamisin 1%.
b. Indikasi dan aturan pakai.
1. Adapalene gel 0,1%: untuk mengatasi komedo. Digunakan 1 kali sehari
sebelum tidur.
2. Krim yang mengandung kombinasi Benzoil Peroksida (BP) 5% dan
Klindamisin 1%: untuk membunuh bakteri penyebab jerawat
(Propionibacterium acnes) dan mengurangi inflamasi/pembengkakan pada
jerawat. Digunakan 2 kali sehari (saat pagi hari sebelum beraktivitas dan
saat sebelum tidur).
c. Cara penggunaan.
Setelah pasien mencuci muka di pagi hari dengan menggunakan air hangat,
wajah dikeringkan, kemudian digunakan krim kombinasi BP 5% dan
klindamisin 1%. Kosmetik dapat digunakan 1 jam setelah penggunaan krim.
28
Kemudian sebelum pasien tidur, pasien perlu menggunakan gel adapelen 0,1%
dan krim BP/klindamisin. Penggunaan gel adapelene tidak melebihi ukuran
kacang (hanya digunakan pada bagian jerawat).
d. Lama penggunaan obat.
Obat dapat digunakan selama 2 minggu hingga 8 minggu (McKeage &
Keating, 2008).
e. Hal yang harus dilakukan jika lupa menggunakan obat.
Pasien tidak perlu menggunakan obat jika waktu penggunaan obat yang kedua
sudah dekat. Pasien dapat menggunakan obatnya dalam keadaan wajah bersih
dari debu dan kosmetik.
f. Mekanisme kerja obat.
1. Gel adapelen 0,1%: mencegah pembentukan mikrokomedo dengan cara
menormalisasi pori-pori yang tersumbat, sehingga menghindari
terbentuknya lesi baru. Gel ini juga dapat menghambat terjadinya inflamasi
(Baldwin, 2006).
2. Krim BP/klindamisin: menghambat inflamasi jerawat, serta menghambat
sintesis protein bakteri sehingga bakteri akan terbunuh sempurna.
Kombinasi BP dan klindamisin dapat menghindari terjadinya resistensi
antibiotik (Berson et al., 2003).
g. Efek pada gaya hidup.
Pasien tetap diperbolehkan mengkonsumsi coklat, makanan yang digoreng, dan
makanan dengan kadar gula tinggi, karena makanan-makanan tersebut tidak
memiliki bukti hubungan yang jelas dengan munculnya jerawat.
h. Cara Penyimpanan obat.
Kedua obat dapat disimpan pada suhu ruangan.
i. Efek samping yang akan dialami.
Efek samping yang dapat timbul saat menggunakan obat retinoid topikal (gel
adapelene 0,1%) adalah iritasi kulit, kemerah-merahan, kulit kering dan
mengelupas (Roebuck, 2006). Namun karena penggunaannya dikombinasikan
dengan krim BP/klindamisin, maka efek iritasi yang terjadi lebih rendah
(Dosik, Gilbert, and Arsonnaud, 2006). Jika pasien mengalami iritasi yang
29
sangat mengganggu akibat penggunaan krim BP/klindmisin, maka pasien dapat
menggunakan krim tersebut 1 kali sehari.
j. Interaksi antara obat dan makanan.
Gel dan krim yang digunakan pasien dapat berinteraksi secara moderate
dengan isotretinoin (obat jerawat yang digunakan secara sistemik). Interaksi
yang terjadi berupa meningkatnya risiko iritasi kulit.
k. Informasi tambahan lainnya.
1. Pasien dianjurkan untuk membersihkan wajahnya 2 kali sehari dengan
pembersih yang ringan. Pasien tidak boleh menggosok wajahnya dengan
kuat atau menggunakan pencuci muka yang mengandung scrub. Pembersih
muka yang dianjurkan adalah pembersih muka dengan pH sedikit asam dan
mengandung surfaktan nonionik (pembersih muka cair seperti
Neutrogena®). Sabun yang bersifat basa dianjurkan untuk dihindari
penggunaannya karena dapat meningkatkan jumlah bakteri penyebab
jerawat (Roebuck, 2006).
2. Pasien diperbolehkan menggunakan pelembab untuk meningkatkan
penetrasi gel adepelen 0,1% seiring dengan peningkatan hidrasi kulit
(Roebuck, 2006).
3. Pasien disarankan untuk menghindari paparan sinar matahari secara
langsung. Pasien dapat menggunakan tabir surya dengan SPF 15 atau lebih,
atau dapat memakai topi yang lebar untuk menghalangi paparan sinar
matahari. Hal ini dilakukan untuk menghindari peningkatan munculnya efek
samping obat akibat paparan sinar matahari.
4. Pada minggu pertama pemakaian, jerawat pasien akan memburuk atau tejadi
eksaserbasi, namun jerawat akan membaik setelah 2 minggu penggunaan
obat.
5. Pengobatan jerawat akan semakin efektif dengan meningkatnya
kepercayaan diri pasien (Tan, 2004).
6. Pasien dapat menggunakan terapi hormon (norgestimate-etinil estradiol)
untuk mengurangi produksi sebum (minyak) pada muka dengan cara
30
meregulasi hormon androgen. Namun penggunaan ini harus dikonsultasikan
terlebih dahulu dengan dokter (Poulin, 2005).
31
BAB IV
KESIMPULAN
Acne vulgaris dapat disebabkan oleh hipertropi kelenjar minyak,
hiperkeratosis, pertumbuhan kuman, dan inflamasi (radang) akibat hasil
sampingan kuman Propionibacterium acnes. Gejala acne vulgaris dapat
berupa gatal atau sakit, ditemukan komedo, papul, pustul, nodul, dan kista
pada daerah-daerah predileksi yang mempunyai banyak kelenjar minyak.
Pengobatan yang dapat diberikan untuk penyakit acne vulgaris
meliputi terapi farmakologi, herbal, dan nonfarmakologi. Obat-obatan
yang sering digunakan oleh masyarakat untuk mengobati penyakit acne
vulgaris, antara lain menggunakan obat topikal, sistemik, antibakteri oral,
dan kontrasepsi oral, serta pengobatan herbal, seperti menggunakan
belimbing wuluh (Averhoa bilimbi), bawang putih, mentimun, masker
apel, perasan jeruk lemon, dan seledri, serta cuka apel. Peran serta
apoteker sebagai tenaga kesehatan dalam rangka pengobatan penyakit
acne vulgaris yang baik dan benar dapat dilakukan dengan melakukan
seleksi pengobatan yang tepat, serta komunikasi, informasi, dan edukasi
mengenai pengobatan penyakit acne vulgaris yang baik dan benar.
32
33
DAFTAR PUSTAKA
Archer, Pamela. 2006. The Complete Guide to Acne Prevention, Treatment, and
Remedies. Another eBookWholesaler Publication.
Baldwin, H.E. 2006. Tricks for improving compliance with acne
therapy. Dermatologic Therap.19: 224–236.
Barratt, H., Hamilton, F., Car, J., Lyons, C., Layton, A., Majeed, A. 2009.
Outcome measures in acne vulgaris: systematic review. British Journal of
Dermatology, 160:132-6.
Baumann L., Keri, J. 2009. Acne (Type 1 sensitive skin). In: Baumann, L.
Cosmetic Dermatology. 2nd Ed. New York: McGraw-Hill. p. 121-7.
Berson, D.S., Chalker, D.K., Harper, J.C., Leyden, J.J., Shalita, A.R., & Webster,
G.F. 2003. Current concepts in the treatment of acne: Report from a clinical
roundtable. Cutis, 72 (1 Suppl.), 5–13.
BPOM RI. 2008. Pengetahuan Tentang Obat: Perlunya Pendekatan dari Perspektif
Masyarakat, Infopom, Vol.9, 4. Hal 1, http.//perpustakaan.pom.go.id/
Koleksi lainnya/ Buletin InfoPOM/ 0604.pdf .
BPOM RI. 2014. Menuju swamedikasi yang aman. Info-POM.Vol.15 No.1.
Depkes. 2007. Kompendia Obat Bebas, Edisi 2, Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan, Jakarta. Hal: 93-96.
Dosik, J.S., Gilbert, R.D., & Arsonnaud, S. 2006. Cumulative irritancy
comparison of topical retinoid and antimicrobial combination
therapies. SKINmed. 5: 219–223.
Herawati, F. & Presley. 2011. Obat jerawat (Acne). Tersedia online di
http://piolk.ubaya.ac.id/index2.php?
menu=services&a=detail&id=36&year=2012&judul=Siaran%20Radio
[diakses pada tanggal 25 September 2015].
Kapoor, Shweta and Saraf, Swarnlata. 2011. Topical Herbal Therapies an
Alternative and Complementary Choice to Combat Acne. Research Journal
of Medicine Plant.
Kartajaya, H. 2011. Self Medication. PT MarkPlus Indonesia. Jakarta Selatan.
34
Lela Cahya Febryery. 2012. Skripsi. Evaluasi Hubungan Tingkat Pengetahuan
Mahasiswa Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta Terhadap
Tindakan Swamedikasi Acne Vulgaris. Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
McKeage, K., & Keating, G.M. 2008. Clindamycin/benzoyl peroxide gel
(BenzaClin®): A review of its use in the management of acne. American
Journal of Clinical Dermatology. 9: 193–204.
Ministry of Health Malaysia. 2012. Clinical Practice Guidelines Management of
Acne.
Miura, Y., Ishige, I., Soejima, N., Suzuki, Y., Uchida, K., Kawana, S., Eishi, Y.
2010. Quantitative PCR of Propionibacterium acnes DNA in samples
aspirated from sebaceous follicles on the normal skin of subjects with or
without acne. J Mes Dent Sci, 57:65-74.
Nadra, Djamaludin. 2011. 1001 Pengobatan Tradisional Herbal. JAL publishing,
Jakarta.
Nelson Mandela Metropolitan University. Evidence-based Pharmacy Practice
(EBPP). Drug Utilization Research Unit, Department of Pharmacy.
Poulin, Y. 2005. Practical approach to the hormonal treatment of acne. Journal of
Cutaneous Medicine and Surgery. 8(Suppl. 4): 16–21.
Roebuck, H.L. 2006. Acne: Intervene early. The Nurse Practitioner. 31: 24–43.
Selway, J. 2010. Case Review in Adolescent Acne: Multifactorial Considerations
to Optimizing Management. Dermatology Nursing. 22 (1).
ST James’s Hospital. 2008. Management of Acne Vulgaris. National Medicines
Information Centre. 14(1).
Sukanto, H., Martodihardjo, S., Zulkarnain, I. 2005. Akne Vulgaris. Dalam:
Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi 3. Surabaya: Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo. p.115-8.
Surtiningsih. 2005. Cantik dengan Bahan Alami. PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta.
Suryadi, R.M. 2008. Kejadian dan faktor resiko acne vulgaris. Tersedia online di
http://www.mediamedika.net/modules.php?
35
name=Jurnal&file=index&a1=jurnal&a2 =338&sort=&recstart [diakses
pada tanggal 26 September 2015].
Tan, J.K. 2004. Psychosocial impact of acne vulgaris: Evaluating the
evidence. Skin Therapy Letter. 9: 1–3, 9.
Wasitaatmadja, S.M. 2007. Akne, erupsi akneiformis, rosasea, rinofima. Dalam:
Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S., editor. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.
253-63.
Wasitaatmadja, S.M. 2010. Acne: Clinical sign, classification and grading.
Dalam : Makalah National Symposium and workshop in cosmetoc
dermatology: Acne new concepts and challenges. Jakarta.
Wells, Barbara G., J. T. DiPiro, T.L. Schwinghammer, C.V. DiPiro. 2009.
Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. New York: McGraw Hill.
Zaenglein, A.L., Graber, E.M., Thiboutot, D.M., Strauss, J.S. 2008. Acne Vulgaris
and Acneiform Eruptions. In : Wolff, K., Goldsmith, L.A., Katz, S.I.,
Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell D.J., editors. Fitzpatrick’s Dermatology
In General Medicine. 7th. Ed. New York: McGraw-Hill. P. 690-702.
Zouboulis, C.C., Eady, A., Philpott, M., Goldsmith, L.A., Orfanos, C., Cunlife,
W.C., Rosenfield, R. 2005. What is the pathogenesis of acne?. Exp
Dermatol 14: 143-52.
36
Recommended