View
8
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Kematian dalam Pandangan Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī dalam
Kitab Garā’ib al-Qur’ān wa Ragā’ib al-Furqān
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Achmad Rifai
NIM. 1111034000115
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M/ 1439 H
iv
ABSTRAK
Achmad Rifai
Kematian dalam Pandangan Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī dalam Gharâib al
Qur’an wa Raghaib al-Furqan
Dalam Muqqadimah tafsir Garā’ib Al-Qur’ān Wa Ragā’ib Al-Furqān,
Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī mengatakan bahwa kitab yang dikarangnya
merupakan ringkasan dari kitab tafsir Mafātīh al-Gayb karya Fakhr al-Dīn ar-
Rāzī. Dari penelitian sebelumnya, hakikat kematian menurut Fakhr al-Dīn ar-Rāzī
bahwa kematian adalah terpisahnya jasad dan ruh sebagaimana penafsiran surat
az-Zumar ayat 42 Sedangkan dalam penafsirannya Naisaburi menafsirkan ayat
tersebut bukan hanya tentang berpisahnya jasad dari ruh akan tetapi juga
membicarakan tentang hubungan jiwa dan kematian. Pada dasarnya suatu
ringkasan tidaklah akan lepas dari apa yang diringkasnya. Hal ini menjadi penting
bagi penulis untuk melakukan penelitian mengenai Kematian dalam Pandangan
Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī dalam Garā’ib Al-Qur’ān Wa Ragā’ib Al-Furqān.
Penelitian ini berjenis kualitatif, dengan menggunakan metode maudhu’i.
Sebagai rujukan utama penulis menggunakan kitab tafsir Garā’ib Al-Qur’ān Wa
Ragā’ib Al-Furqān karya Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī.
Menurut Naisābūrī kematian tidak hanya berupa jasad dan ruh, melainkan
kamatian juga bisa berupa perbuatan buruk. Seseorang yang berbuat keburukan
maka ia bisa dikatakan pula mati. Hal ini senada dengan istilah yang mengatakan
bahwa adanya itu seperti tidak ada.
Kata Kunci: Tafsir, Kematian, Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī, Gharâib al Qur’an wa
Raghaib al-Furqan.
v
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم للا الر
Segala puji penulis haturkan kepada Allah Swt. atas segala nikmat dan
pertolongan yang telah, sedang, dan yang akan selalu Ia berikan kepada penulis.
Dialah Tuhan dimana tempat penulis mengadu dan bercurhat ketika penulis sudah
merasa lelah dan frustasi dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada-Nya penulis
meminta kekuatan agar selalu dikuatkan dalam menyelesaikan skripsi ini. Atas
petunjuk dan rahmat dari-Nya penulis dapat mengolah data menjadi kata,
mengolah kata menjadi kalimat, mengolah kalimat menjadi paragraf-paragraf
yang berisi ide, kemudian dari kumpulan paragraf menjadi bab-bab dan akhirnya
jadilah skripsi ini.
Shalawat dan salam seiring kecintaan, akan senantiasa tercurah limpahkan
pada baginda Nabi Muḥammad saw, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Seseungguhnya Ia dan merekalah yang sangat berjasa dalam menyampaikan
pesan-pesan Allah Swt., sampai akhirnya pesan itu sampai kepada kita semua saat
ini.
Dalam perjalanan penelitian ini, penulis menyadari betul bahwa skripsi
yang berjudul “Kematian dalam Pandangan Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī dalam
Garā’ib al-Qur’ān wa Ragā’ib al-Furqān” ini tidak akan selesai dengan daya
dan upaya penulis sendiri. Melainkan, ada banyak sosok, kerabat, dan orang-orang
spesial dari berbagai pihak yang secara langsung maupun tidak langung telah
banyak membantu penulis, sehingga akhirnya tulisan ini selesai. Maka, pada
vi
kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya, yaitu kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Quran
dan Tafsir dan Ibu Banun Binaningrum, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan
Ilmu al-Quran dan Tafsir.
4. Bapak Muhammad Rifqi Fatkhi MA, selaku Dosen pembimbing
akademik yang banyak memberi masukan kepada penulis selama studi di
kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Muslih, M.Ag, selaku pembimbing skripsi, yang dengan ikhlas
dan sabar dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, beliaulah yang telah meluangkan waktu di
tengah kesibukannya untuk mengoreksi, memberikan arahan serta
memberikan nasihat-nasihat yang bermanfaat bagi penulis.
6. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, dan Bapak Eva Nugraha, M.Ag,
selaku penguji skripsi, sehingga skripsi ini menjadi lebih baik atas
pertimbangan dan masukannya sehingga skripsi ini lebih terarah.
7. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya dosen Jurusan Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir yang dengan sabar dan ikhlas telah mengajarkan dan
membagikan berbagai wawasan, ilmu, serta pengalaman kepada penulis
selama penulis kuliah di kampus tercinta ini.
vii
8. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Pusat
Studi al-Qur’an (PSQ) Ciputat yang telah memberikan fasilitas serta
rujukan-rujukan sebagai sumber referensi.
9. Kepada keluarga, Ayahanda Edi Alhamidi dan ibunda Nining, serta adik-
adik Sofyana Aldi, Qonita, dan Muhammad Iqbal, kemudian teh Amelia
Hidayat yang selalu mensuport dalam semua hal, dan juga Siti Karisma
yang tak kenal lelah mensuport penulis.
10. Teman-teman satu Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir yang senantiasa
menemani penulis dalam menimba ilmu pengetahuan di kampus UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Di antara mereka adalah Asep, Arif, Saiful,
Fuad, Ulil, Jamil, Iyan, Saiful, Subhan, Kuya, Seman, Ilham, Hilman,
Gandi, Bazit, Eka, Ijal, Akrom, dkk. Perjumpaan dengan kalian semua
adalah sesuatu yang akan selalu terkenang. Terima kasih dan semoga
tuhan selalu menemani kita semua dalam segala hal.
Akhirnya, penulis berharap kepada Allah swt., Semoga karya ini dapat
menambah wawasan mengenai Qur’an, Ulum al-Qur’ān, dan bermanfaat bagi
semua yang mau membacanya, terkhusus bagi penulis. Semoga tulisan ini
menjadi tulisan pertama penulis dan dicatat sebagai amal baik bagi penulis.
Jakarta, 11 juli 2018
Achmad Rifai
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................................... 7
D. Kajian Pustaka ................................................................................... 7
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan .......................................... 9
F. Sistematika Penulisan........................................................................ 11
BAB II GAMBARAN SEPUTAR KEMATIAN
A. Definisi Kematian ............................................................................ 12
B. Mati Secara Teoritis .......................................................................... 17
C. Proses Kematian ................................................................................ 20
D. Perbedaan Kematian Manusia dan Hewan ........................................ 24
BAB III SEKILAS TENTANG NIẒĀM AD-DĪN AL-NAISĀBŪRĪ
A. Riwayat Hidup Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī ..................................... 27
B. Karya-karya Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī .......................................... 28
C. Karakteristik Tafsir Garā’ib al-Qur’ān wa Ragā’ib al-Furqān ....... 29
BAB IV PENAFSIRAN AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG
KEMATIAN DALAM TAFSIR GARĀ’IB AL-QUR’ĀN WA
RAGĀ’IB AL-FURQĀN
A. Gambaran Seputar Kematian ............................................................41
B. Kematian Awal Kehidupan ...............................................................46
C. Mati dalam Keadaan Kafir ................................................................49
D. Mati dalam Keadaan Beriman ...........................................................57
ix
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................63
B. Saran-saran ........................................................................................64
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................65
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P dan K
No. 158 Tahun 1987-Nomor: 0543 b/u/1987.
1. Konsonan
No Arab Latin
No Arab Latin
Tidak dilambangkan ا .1
Ṭ ط .16
B ة .2
Ẓ ظ .17
T ت .3
‘ ع .18
Ṡ ث .4
G غ .19
J ج .5
F ف .20
Ḥ ح .6
Q ق .21
Kh خ .7
K ك .22
D د .8
L ل .23
Ż ذ .9
M م .24
R ر .10
N ن .25
Z ز .11
W و .26
S س .12
H ه .27
Sy ش .13
′ ء .28
Ṣ ص .14
Y ي .29
Ḍ ض .15
2. Vokal Pendek
= a ت ت Kataba ك
= i سئ ل Su′ila
= u ي ذه ت Yażhabu
3. Vokal Panjang
ا = ā ق بل Qāla
Qīla ق يل ī = ا ى
Yaqūlu يقول ū = أو
4. Diftong
يف ia = أ ي Kaifa ك
ول au = أ و Ḥaula ح
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kematian di dalam al-Qur’an, memberikan informasi bahwa manusia
selama menjadi mahluk setidaknya mengalami sebanyak dua kali kematian,
sedang dalam hal kehidupan manusia mengalami minimal dua bahkan bisa tiga
kali. Hal ini bisa dilihat di dalam sūrāh Gafir/40: 11 sebagai berikut:
Artinya : Mereka menjawab: "Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan
kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami
mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk
keluar (dari neraka)?" (QS. Gafir 40:11)1
Fakhr al-Dīn al-Rāzī menjelaskan di dalam kitab tafsirnya Mafātīh al-Gayb
bahwa kematian itu terjadi dua kali, kematian pertama dialami manusia sesaat
manusia dalam keadaan belum ditiupkanya ruh, yakni dalam masa kandungan.
Kemudian kematian kedua dialami ketika manusia menghembuskan nafas
terakhir, yakni ketika manusia meninggalkan dunia yang fana ini. Begitupun
dengan kehidupan manusia, kehidupan terjadi dua kali, kehidupan pertama
dialami ketika manusia terlahir di dunia, kemudian kehidupan kedua dialami
manusia, ketika di hari pembangkitan.2
Memahami mati sebagai ketiadaan hidup dapat diterima jika yang dimaksud
adalah kematian yang pertama sebagaimana dalam ayat di atas. Tapi jika yang
dimaksud kematian kedua setelah nyawa meninggalkan badan, maka mati tidaklah
1 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro, 2006).
2 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Mafātīh al-Gayb, (Beirut: Darul Fikr, 2005). h. 260-261.
2
mengakibatkan ketiadaan hidup. Rasa ingin tahu masih tetap menyertai salah satu
unsur diri manusia yang meninggalkan dunia, yakni unsur nafs-nya. Bukankah
manusia, seperti dikemukakan di atas, adalah makhluk yang terdiri dari fisik dan
non-fisik.3
Akan tetapi manusia terkadang tidak sadar setelah menghembuskan nafas,
akan mengalami suatu proses yaitu kematian, yang mana proses itu terkadang
tidak diperhatikan oleh manusia dan terkadang bahkan dilupakan.4
Tidakkah manusia menganggap hidup di dunia itu lebih baik dibanding
nanti setelah manusia mati dan sebaliknya, bukankah kematian itu adalah hanya
ketiadaan hidup di dunia saja, dan kehidupan yang sesungguhnya adalah
kehidupan ketika kita meninggalkan dunia yang fana ini. Kematian memang
kelihatannya sebagai kepunahan akan tetapi pada hakikatnya kematian adalah
kelahiran baru bagi mahluknya.5
Tidak luput dari pandangan mufasir modern, dalam surah al-Zumar (39)
ayat 42, al-Marāghi juga menjelaskan bahwa Allah Swt., yang menggenggam
rūh-rūh ketika ajal manusia telah tiba dan memutuskan hubungan dengan tubuh
ketika itu, lahir maupun batin, dan memutuskan hubungan manusia dengan Allah
Swt., secara lahir saja ketika tidur. Pertama, Allah Swt., menggenggam rūh dan
tidak mengembalikannya lagi. Kedua, yakni dalam keadaan tidur, Allah Swt.,
melepaskannya kembali ke dalam tubuh ketika bangun tidur. Hal ini memuat
3 M. Quraish Shihab, Kematian adalah Nikmat, (Tanggerang: Lentera Hati, 2013), h. 56
4 M. Quraish Shihab, Menjemput Maut Bekal Perjalanan menuju Allah Swt., (Tanggerang:
Lentera Hati, 2005), h. 19 5 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. VI. h. 23
3
dalil-dalil yang menunjukan atas kekuasaan Allah Swt., bagi mereka yang mau
berpikir dan memperhatikan.6
Pengertian kematian sendiri, Sayyid Qūtb berpendapat dalam kitab tafsir
“kematian adalah suatu kepastian yang sudah ditentukan waktunya, dan tidak ada
hubunganya dengan perlindungan tempat yang dapat melindungi seseorang atau
tidak dapat melindungi. Jikalau demikian kematian juga tidak dapat ditunda
dengan ditundanya tugas perang, dan tidak dapat pula dimajukan dengan
dimajukannya tugas jihad sebelum waktunya”7.
Kemudian definisi kematian juga dijelaskan oleh Choiruddin Hadiri8 dan
Komaruddin hidayat9 yang berpendapat kematian adalah sesuatu yang pasti,
sedangkan di sisi lain pengertian kematian adalah proses, hal ini seperti yang
dikemukakan oleh al-Rāghib al-Isfāhāni.10
Maka memperbincangkan kematian
seperti melihat kepunahan akan tetapi pada hakikatnya kematian adalah kelahiran
baru bagi mahluknya.11
6Ahmad Mustāfa al-Marāghi, Terjemah tafsir al-Marâghi, Jilid 24, (Semarang: Toha
Putera, 1992) h. 15. 7 Sayyīd Qūtb Tafsir Fi Zilal al-Qur’an, juz IV, terj. As’ad Yasin, (Jakarta Gema Insani,
2008), h.32 8 Kematian adalah sesuatu yang pasti kedatanganya bagi setiap individu, dalam al-Qur’an
sūrâh Ali-Imran 185, menjelaskan “setiap yang bernyawa akan merasakan kematian”. Mati itu
bukan berarti lenyap atau hilang, melainkan perpindahan dari satu alam ke alam yang lain. Al-
Qur’an mengajarkan, bahwa kematian itu tidak dapat dihindari, walaupun dengan bertahan dalam
benteng yang kuat, kematian tidak dapat dipercepat atau diperlambat sebelum waktunya.
Lihat.Choirudin Hadiri SP, Klasifikasi Kandungan al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994).
h. 135. 9 Kematian adalah suatu keniscayaan yang tak terelakan dalam kehidupan manusia. Lihat.
Komarudin hidayat. Psikologi Kematian: Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme (Jakarta:
Noura Books, 2012), h. x. 10
Al-Rāgib al-Isfāhāny berpendapat bahwa “kematian merupakan tangga menuju
kebahagian abadi. Ia merupakan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, sehingga dengan
demikian kematian merupakan kelahiran baru bagi umat manusia”.lihat. M. Quraish Shihab,
membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung:
Mizan, 1994). Cet. VI. h.23 11
M. Quraish Shihab, membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994). Cet. VI. h.23
4
Imam al-Gāzāli berpendapat bahwa “kematian adalah hal yang sangat
dahsyat dan menakutkan. Sikap lalai yang dilakukan orang banyak terhadap
kematian adalah akibat kurangnya perenungan dan ingatan terhadapnya. Bahkan
orang yang mengingat kematian pun tidak mengingatnya dengan hati yang penuh,
tetapi dengan hati yang galau oleh hawa nafsu duniawi sehingga ingatan akan
maut itu tidak menimbulkan efek yang kuat pada hatinya. Dengan demikian, cara
untuk menghindarkan hal itu adalah bahwa si hamba hendaknya mengosongkan
hatinya dari segala sesuatu kecuali ingatan kepada mati yang berada dihadapannya
seperti orang yang berniat melakukan perjalanan berbahaya ke padang pasir atau
berlayar ke tengah lautan yang tentunya tidak akan memikirkan sesuatu yang lain.
Manakala ingatan akan maut menggugah hatinya dan telah menimbulkan bekas
padanya, maka ketenangan dan kesenangan duniawi akan memudar dan hatinya
akan hancur”.
Di dalam kitab Imam al-Gāzāli juga memaparkan beberapa pendapat ulama
yang berbicara tentang maut diantaranya ialah; Pertama, al-Hasan yang
berpendapat Maut telah menunjukan kesalahan-kesalahan dunia dan tidak
menyisakan kegembiraan bagi orang yang mau berpikir. Kedua, al-Rabi’ bin
Khutsaim tidak ada suatu hal tersembunyi yang ditunggu-tunggu oleh seorang
beriman, yang lebih baik dari kematian. Dia juga pernah mengatakan, jangan
sampai ada orang yang mengenalku dan mengantarkanku kepada tuhanku. Ketiga,
Ibrahim al-Taimi berkata “Dua hal telah memisahkan aku dari kesenangan
duniawi: ingatan kepada maut dan saat berdiri di hadapan Allah Swt.12
12
Imam Al-Gāzāli, Dibalik Tabir Kematian, Terj, (Jakarta:Khatulistiwa Press, 2009) , h.
139
5
Pandangan masyarakat luas saat ini banyak yang menganggap kematian
sebagai kelenyapan atau akhir dari segalanya, akibat pandangan demikian, tak
sedikit dari sebagian mereka menebarkan kerusakan dimuka bumi ini. Sebaliknya,
tak jarang pula yang frustasi, fatalistik, dan hampa makna. Karena mati begitu
menakutkan. Kematian dipandang kekuatan Maha dahsyat yang siap merenggut
eksistensi kapan dan di mana saja. Sesungguhnya masa yang lekang oleh detik
pastilah berakhir bagaimanapun lamanya. Andaikata manusia dapat melihat apa
yang telah dilihat nyawanya direnggut oleh maut, pasti sikap dan keadaan semua
bukan seperti sekarang. Tetapi yakinlah, bahwa dalam waktu dekat tabir maut
pasti mencabik-cabik sehingga manusiapun dapat melihatnya, kekhawatiran atau
rasa takut, hadir bagi siapa saja yang menduga atau menantikan datangnya sesuatu
yang buruk. Ini berarti menyangkut sesuatu yang akan datang.13
Penulis tertarik memilih mengambil kitab tafsir Garā’ib Al-Qur’ān Wa
Ragā’ib Al-Furqān untuk dijadikan referensi utama sebagai penafsiran ayat-ayat
tentang kematian dengan beberapa alasan. Pertama, penulis mencoba
menghadirkan profil mufasir yang hidup di era abad pertengahan penafsiran.
Kedua, karena pengarang dari kitab tafsir tersebut merupakan profil mufasir yang
banyak menguasai dalam bidang keilmuan. Ketiga, penulis memilih kitab Garā’ib
al-Qur’ān wa Ragā’ib al-Furqān karena melihat berdasarkan penamaan kitab
tersebut “Ragāib al-Furqān” yang berarti “asing”, dari penamaan tersebut penulis
berharap dapat mengetahui jawaban yang mendalam terhadap tafsiran yang
menjadi tema dalam pembuatan skripsi ini, serta dengan karakteristik
13
Mathin Kusuma Wijaya, Makna Kematian Dalam Pandangan Jalaluddin Rahmat, skripsi
(Yogyakarta: Fakultas Ushuludin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009), h. 12
6
pengemasannya pula dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi daya
tarik mengapa penulis lebih memilih kitab tafsir tersebut.
Judul skripsi yang hendak penulis bahas adalah “Kematian dalam
pandanagn Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī dalam kitab tafsir Garā’ib Al-Qur’ān Wa
Ragā’ib Al-Furqān”. Mengapa penulis mengambil judul demikian, letak
ketertarikan terkait kematian adalah karena ayat-ayat tentang kematian di dalam
al-Qur’an berjumlah 127 ayat.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan masalah di atas, penulis mendapatkan rumusan
masalah sebagai berikut: Bagaimana penafsiran Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī dalam
kitab tafsirnya Garā’ib al-Qur’ān wa Ragā’ib al-Furqān mengenai ayat-ayat al-
Qur’an yang berbicara tentang kematian?
Melihat banyaknya ayat al-Qur’an yang membahas tentang kematian,
kurang lebih terdapat seratus tujuh puluh dua ayat dengan berbagai pembahasan,
maka penulis perlu membatasi pembahasan pemillihan ayat-ayat di lakukan
menggunakan metode maudhu’i kemudian penulis batasi hanya pada surat al-
Baqarah 28, ali-Imran 182, an-Nisa 78 dan az-Zumar 42. Karena menurut penulis
Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī lebih terfokus kepada ayat-ayat di atas, meskipun
tetap menggunakan ayat kematian yang lain dalam penafsirannya
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penulisan
Tujuan dari Penulisan antara lain adalah:
a. Mengetahui definisi dan makna kematian.
7
b. Mengetahui penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tentang kematian
menurut Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī dalam Kitab tafsir Garā’ib al-
Qur’ān wa Ragā’ib al-Furqān
2. Manfaat penulisan
a. Secara akademik
Penelitian ini bermanfaat untuk lebih memperkenalkan tafsir
Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī
b. Secara praktis
Untuk menjadi salah satu rujukan mengenai kitab tafsir klasik.
C. Kajian Pustaka
Penelitian terhadap Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī sendiri sudah banyak
dilakukan diantaranya terdapat dalam skripsi Siti Rohmah14
fokus penelitian ini
hanya pada ayat-ayat yang di Nasikh dan Mansukh. Kemudian juga dalam skripsi
ahmad taher15
yang lebih terfokus kepada metode dan corak tafsir sufi dan lebih
khusus lagi terhadap metode penafsiran isyari.
Dan yang terakhir skripsi yang di tulis oleh ahmad jaeni16
Skripsi ini
meneliti tentang tafsir sufistik Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī melalui pendekatan
simbolik dan hermeneutika al-Qur’an. Didalamnya dibahas tentang prinsip dasar
penafsiran simbolik Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī, aplikasi penafsiran, dan posisi
penafsiran simbolik Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī. Melalui pendekatan simbolik
14
Siti Rohmah. Al-Nasikh wa Al-Mansukh dalam Pandangan Al Naisâbûri (Telaah
Pemikiran Al-Naisâbûri dalam Garā’ib al-Qur’ān wa Ragā’ib al-Furqān) (Skripsi: S1, Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Kalijaga, Yogyakarta, 2008), h. xi. 15
Ahmad Taher. Tafsir Sufi Isyari al-Naisābūrī (Studi Garā’ib al-Qur’ān wa Ragā’ib al-
Furqān) (Skripsi: S1, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Kalijaga, Yogyakarta,
2014), 16
Ahmad Jaeni. Tafsir Simbolik al-Naisābūrī dalam Garā’ib al-Qur’ān wa Ragā’ib al-
Furqān (Skripsi: S1, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, UIN Kalijaga, Yogyakarta, 2006)
8
tersebut, ahmad jaeni berpendapat bahwa tafsir esoteris Niẓām ad-Dīn al-
Naisābūrī adalah tafsir yang (condong) kepada tafsir sufi nazari.
Kemudian untuk penelitian terhadap tema kematian banyak dibahas dan
diteliti sebelumnya diantaranya oleh Mathin Kusuma wijaya, skripsi tersebut
menjelaskan bahwa makna dari kematian adalah proses penyucian diri, proses
manusia menyucikan diri dari aktivitas atau perbuatannya di dunia. Sebelum
melakukan penyucian tersebut manusia diharapakan melakukan taubat.Dijelaskan
pula penyucian itu terjadi tiga kali, pertama, di alam dunia, kedua, di alam barzah,
dan ketiga, di alam akhirat. Jadi kematian adalah proses menyucikan diri dari hal
yang bersifat bathil ketika di dunia.17
Kemudian skripsi karya Jazilatul Mu’ati yang menjelaskan tentang istilah
yang digunakan al-Qur’an tentang kematian,anjuran mengingat kematian dalam
al-Qur’an, dan persiapan apa saja yang harus dilakukan dalam menghadapi
kematian. Kesimpulan yang di dapat dari penelitian skripsi ini adalah bahwa
kematian bukanlah berarti suatu kesudahan, kepunahan, tapi merupakan langkah
awal utnutk kehidupan selanjutnya, karena pada hakikatnya kematian adalah masa
berpindahnya manusia dari alam dunia ke alam akhirat. Kematian bukanlah hal
yang menakutkan dan bukan pula beban yang harus dilupakan. Tetapi sebaliknya
dengan melihat adanya kematian justru dapat menjadikan kehidupan didunia agar
mendapatan keridhoan Allah Swt., sehingga dunia merupakan jembatan
penyebrangan menuju Allah Swt.
17
Mathin Kususma Wijaya, Makna Kematian dalam Pandangan Jalaludin Rakhmat,
(Skripsi S1 : Fakultas Ushuluddin , Uin Sunan Kalijaga, 2009), h. 60
9
Dalam skripsi ini penulis meneliti menggunakan metode maudhu’i atau
yang lebih dikenal dengan metode tematik dengan menghimpun ayat-ayat yang
berkaitan dengan persoalan dan tema yang dibahas.18
Kemudian yang terakhir karya skripsi yang disusun oleh Ipah Syaripah
Anwar yang berjudul “Efektifitas Mengingat Kematian berdasarkan pemikiran Al-
Ghazali Dalam Menurunkan Agresi”.19
Untuk judul yang penulis ajukan tidak membahas kematian dalam perspektif
tasawwuf maupun filsafat, tetapi lebih memusatkan pada kajian ilmu tafsir,
terutama tafsirnya Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī Tafsir Garā’ib al-Qur’ān wa
Ragā’ib al-Furqān. Dalam hal ini Penulis belum menemukan judul dan
pembahasan yang sama.
D. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat kepustakaan
(library research). Penelitian kepustakaan merupakan sebuah penelitian yang
fokus penelitiannya menggnakan data dan informasi dengan berbagai macam
literatur yang terdapat di perpustakaan seperti: kitab, buku naskah, catatan kisah
sejarah, dokumen dan lain-lain.20
Sumber data pada penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sekunder.
Sebagai rujukan utama penulis menggunakan data primer berupa kitab tafsir
Garā’ib Al-Qur’ān Wa Ragā’ib Al-Furqān, dari kitab tafsir inilah dapat diketahui
makna-makna ayat al-Qur’an tentang kematian, karena memang yang penulis kaji
18
Jazilatul Mu’ati, Kematian Menurut al-Qur’an, (Skripsi S1 : Fakultas Ushuluddin IAIN
Sunan Ampel Surabaya, 1999), h. 20 19
Efektifitas Mengingat Kematian Berdasarkan Pemikiran al-Ghazali Dalam Menurunkan
Agresi, skripsi (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, 2013), h. 16 20
Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Bandung: Mandarmaju, 1996, h. 33.
10
dalam hal ini adalah mengungkapkan pandangan Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī
mengenai ayat-ayat kematian. Sedangkan sumber skunder berasal dari literatur
lain yang mempunyai relevansi dengan penelitian yang penulis lakukan.
Penelitian ini adalah kajian al-Qur’an maka penulis menggunakan metode
penafsiran al-Qur’an, dalam hal ini adalah metode maudhu’i. Sebuah metode yang
berusaha mencari jawaban al-Qur’an atas masalah tertentu dengan cara
menghimpun seluruh ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah tertentu,
untuk mengetahui pandangan al-Qur’an atas masalah tersebut.21
Dengan demikian
diharapkan mendapatkan pandangan utuh mengenai kematian dalam tafsir
Garā’ib Al-Qur’ān Wa Ragā’ib Al-Furqān.
Proses analisis data, penulis menggunakan pendekatan interpretasi,22
artinya, penulis menyelami maksud yang tersirat di balik teks tentang penjelasan
ayat-ayat yang berkaitan dengan penelitian penulis. Pada prakteknya penulis akan
mengacu pada langkah-langkah metode maudhu’i.23
Adapun langkah-langkah penelitian yang akan ditempuh penulis adalah
sebagai berikut: Pertama, menentukan tema, dalam hal ini tema yang dipilih
adalah kematian. Kedua, menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan kematian
dan ayat-ayat yang terkait kriteria kematian. Dalam hal ini penulis menggunakan
kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim yang karya
21 Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-tafsir al-mawdhu’i, Mesir: Maktabah al-
jumhuriyah, 1997, h. 52. 22 Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi al-tafsir al-mawdhu’i, Mesir: Maktabah al-
jumhuriyah, 1997, h. 52. 23 Menurut al-farmawi langkah-langkahmetode maudhu’i terdiri dari: 1). Menetapkan
masalah yang akan dibahas (topik), 2). Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut, 3). Menyusun runtutan ayat yang sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan
asbab nuzulnya, 4). Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing, 5).
Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline), 6). Melengkapi pembahasan
dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan, 7). Mengkaji ayat-ayat yang dihimpun
secara komprehensif. Al-Farmawi, al-Bidayah fi al-tafsir al-mawdhu’i, h. 52.
11
Muhammad Fuad Abd al-Baqi,24
dengan mengacu kata kunci tematik berupa
lafazh “maut”.
Ketiga, mengklasifikasikan ayat-ayat yang telah dikumpulkan berdasarkan
temanya. Keempat, melakukan kajian dan analisa terhadap ayat-ayat yang telah
dikumpulkan dengan merujuk penafsiran para mufasir, asbab al-nuzul, hadits-
hadits yang relevan dan mengungkapkan makna-makna yang tersirat dari data-
data tersebut untuk kemudian menuju pada proses kesimpulan.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada skripsi ini menguraikan dari Bab I hingga Bab V.
Bab I pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan
pustaka dan sistematika penulisan.
Bab II membahas mengenai Gambaran umum Tentang Kematian yang
meliputi definisi kematian, mati secara teoritis, proses kematian dan perbedaan
kematian manusia dan hewan.
Bab III penulis menjelaskan mengenai Riwayat Hidup Niẓām ad-Dīn al-
Naisābūrī, karya-karya Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī Dan karakteristik kitab
Garā’ib al-Qur’ān wa Ragā’ib al-Furqān.
Bab IV penulisan inti mengenai hasil penelitian terhadap Penafsiran ayat al-
Qur’an tentang kematian dalam kitab Garā’ib al-Qur’ān wa Ragā’ib al-Furqān
yang terbagi menjadi 4 bagian yaitu: gambaran seputar kematian, kematian awal
kehidupan, mati dalam keadaan kafir dan mati dalam keadaan beriman.
24
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al-Karim,
Kairo: Daral-Fikr, 1981.
12
Bab V Penutup berupa kesimpulan, yakni memaparkan intisari dari
pembahasan beserta saran-saran terkait pembahasan.
12
BAB II
GAMBARAN UMUM SEPUTAR KEMATIAN
A. Definisi Kematian
Di dalam al-Qur’an pembicaraan mengenai kematian bukan hanya disampaikan
dengan kata maut dan ayat yang menjelaskan tentang maut ada 177 ayat dan ratusan
hadis Nabi saw.
Kata maut secara tata bahasa arab adalah bentuk mashdar dari kata kerja تما-
موتا -يموت yang berarti mati,1 atau lawan dari hidup.
2 Sedangkan dalam bahasa
Indonesia, kata mati merupakan kata serapan yang diambil dari bahasa arab “maut”,
yang berarti sudah hilang nyawanya atau tidak hidup lagi.3 Dalam kalam Arab maut
berarti diam atau tidak bergerak dan berhentinya nafas.4
Kata maut di dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak lima puluh (50) kali dalam
bentuk mufrad, dan enam kali dalam bentuk jama‟ (al-amwat).5 Ahmad Idris Ibn
Zakariyya mengartikan kata al-maut secara bahasa sebagai “hilangnya kekuatan dari
sesuatu, dan hilang itu berarti mati; lawan katanya adalah hidup (hayy). Al-Jurjani
memberikan pengertian al-maut dalam ta‟rifat karangan beliau: “memaksa dan
memalingkan hawa nafsu dari semua keinginannya, maka barangsiapa yang
mematikan hawa nafsunya maka sungguh ia telah hidup dengan petunjuk Allah Swt.
1 M. Quraish Shihab, “Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2010), h. 372. 2 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 1365. 3 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Kairo: Darul Hadits, 2003), Vol.8, h. 396
4 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 724.
5 Abdul al-Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Ii Alfaz al-Qur‟an al-Karim, (Istanbul: al-Maktabah
al-Islamiyyah, 1982), h.679
13
Menurut beliau maut dibagi menjadi 4 macam, sebagai berikut:
a. Al-maut al-abyad : adalah lapar, karena lapar menerangi batin dan
memutihkan wajah hati, barangsiapa mati perutnya maka hidup
kecerdasannya
b. Al-maut al-ahmar : adalah memalingkan keinginan nafsu.
c. Al-maut al-ahdar : adalah berpakaian dengan baju tambalan yang tak
berharga, karena hidupnya penuh dengan sifat qana’ah (merasa cukup
dengan apa yang dikaruniakan Allah Swt).
d. Al-maut al-aswad : sabar menghadapi perlakuan makhluk, dan lebur ke
dalam kekuasaan Allah Swt karena menyaksikan siksaan darinya, dan
melihat leburnya af‟al dalam af‟al kekasihnya Allah Swt.6
Berbeda dari Muhammad Ismail Ibrahim, ia mengartikan kata al-maut sebagai
“terpisahnya kehidupan dari sesuatu, lalu menjadi mati. Bumi dapat dikatakan mati
jika sunyi dari kehidupan.7
Secara istilah, al-Qur’an tidak mendefinisikan kata maut dalam arti kematian
secara biologis. Dari sudut ini kematian manusia tidak ada perbedaannya dengan
kematian makhluk lain. Jadi kata maut, sebagaimana dikemukakan oleh Raghib al-
Isfahani dikhususkan kepada manusia, karena dikaitkan dengan kehidupan yang abadi
di akhirat kelak. Menurutnya, kematian merupakan akhir dari kehidupan di dunia dan
merupakan tanda menuju kebahagiaan yang abadi. Mati berarti perpindahan dari satu
tempat ke tempat yang lain, sehingga merupakan awal kehidupan bagi yang baru bagi
6 Sudirman Tebba, Kiat Sukses Menjemput Maut, (Ciputat: Pustaka Irvan, 2006), h. 33
7 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ar-Ruh, (Pustaka Al-Kautsar, 1999), h. 60
14
manusia. Manusia dalam kehidupannya di dunia dan dalam kematiannya mirip
dengan telur dan anak ayam. Kesempurnaan anak ayam meninggalkan tempatnya
selama di dalam telur. Demikian juga manusia, kesempurnaan hidupnya hanya dapat
dicapai melalui perpindahannya dari tempat ia hidup di dunia menuju kehidupan yang
abadi di akhirat, maka terlebih dahulu ia akan menempuh kematian.8 Sedangkan
pandangan Ibnu Kathir, kematian menurutnya adalah segala sesuatu yang ada di bumi
itu binasa dan zat yang kekal hanyalah Allah swt yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan.9
Selain lafadz ( موت), al-maut juga disebutkan dalam al-Qur‟an dengan bentuk
lain, yakni dengan menggunakan lafadz (توفي), ( الوفاة) yang berarti wafat, atau
mati.10
Wafat atau mati adakalanya disebut dengan wafat besar (kubra) dan wafat
kecil (sughra‟).Para ulama mendasarkan mati itu disamakan dengan tidur, tidur
adalah wafat, sedangkan bangun tidur adalah kebangkitanya.11
Allah Swt berfirman
dalam Q.S. al-An’âm ayat 60, yang artinya, “Dan Dialah yang mewafatkan kalian
pada malam hari dan mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari, kemudian
Ia membangunkan kalian padanya (siang itu)”. Dan pada kesempatan lainya Allah
Swt berfirman dalam Q.S. al-Zumar ayat 42, yang artinya, “Allah memegang jiwa
(orang) ketika matinya, dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu
tidurnya; maka tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematianya, dan
8 M. Quraish Shihab, Kematian adalah Nikmat. (Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 54
9 M. Quraish Shihab, Kematian adalah Nikmat, h. 60
10Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir. h. 1572.
11Umar Sulaiman al-Asyqar, Ensiklopedia Kiamat. (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2005). h. 27.
15
melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang telah ditentukan. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir”.
Wafat kecil (sughra) yang dimaksud adalah tidurnya seseorang, tidurnya
seseorang diidentikan dengan mati, karena ketika seseorang sedang tidur
digenggamlah nyawa seseorang oleh Allah Swt, kemudianIa melepaskannya kembali
seketika seseorang itu terbangun dari tidurnya. Tidur serupa dengan mati, yang
sedang tidur diibaratkan sebagai layang-layang yang terbang jauh ke angkasa, akan
tetapi talinya tetap dipegang oleh pemain, sedang (seseorang) yang telah mati
bagaikan layang-layang yang telah putus talinya, sehingga ia diterbangkan ke arah
yang dikehendaki angin dan tidak kembali.12
Itulah yang dimaksud dengan wafat
besar (kubra) adalah ketika Allah Swt mengambil nyawa seseorang dan tidak
melepaskanya kembali hingga waktu yang telah ditentukan, dan kesemuanya itu
merupakan urusan Allah Swt.13
Meskipun mati serupa dengan tidur, akan tetapi ada
faktor eksternal yang mempengaruhi seseorang, yang dalam hal ini adalah amal
ibadah seseorang tersebut. Bisa jadi dengan amalan ibadahnya yang baik akan
menjadikan kematian itu lebih nyaman daripada tidur, atau menjadikanya sakit
melebihi aneka sakit.14
Manusia hidup karena adanya ruh dalam jasadnya. Menurut Imam al-Ghazali
ruh adalah substansi murni yang terbebas dari unsur materi. Ruh juga disebut dengan
jisim halus yang berasal dari rongga jantung yang menyebar ke seluruh tubuh melalui
pembuluh nadi. Ruh terkait dengan jasad dalam fungsinya mengatur dan
12
M. Quraish Shihab, al-Lubâb. (Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 438. 13
Umar Sulaiman al-Asyqar, Ensiklopedia Kiamat. h. 28. 14
M. Quraish Shihab, al-Lubâb, h. 438.
16
mendayagunakan jasad tersebut, karena ruh menjadi penengah antara akal dan materi.
Sehingga apabila ruh telah lepas dari jasad, maka alat-alat yang ada dalam jasad
tersebut tidak berfungsi lagi, dan jasad tersebut dinyatakan mati.
Kematian merupakan segala sesuatu yang pasti akan terjadi pada manusia,
Tidak ada manusia satupun yang dapat berpaling darinya. Allah Swt telah
memberitahukan pada seluruh mahluk-Nya bahwa setiap diri akan merasakan
kematian, yang berarti semua yang ada di bumi ini akan binasa atas kehendaknya,
kecuali dia yang maha kekal.15
Ayat-ayat tersebut merupakan takziyah bagi seluruh
manusia bahwa tidak akan ada seorang pun yang terus berada di muka bumi ini. Bila
sifat penciftaan berakhir, maka allah mendirikan kiamat dan menghisab seluruh
makhluk.
Kematian adalah salah satu syarat untuk memasuki alam akhirat, karena
kehidupan di dunia dan akhirat sangat berbeda. Manusia adalah mahluk yang dapat
hidup dengan perantara ruh yang sifatnya hanya sementara, dan jika waktu telah tiba
kembali, maka ruh akan kembali pada alam asalnya, yakni alam akhirat. Seperti yang
dikatakan oleh Ibnu Sina yang dikutip oleh Quraish Shihab,16
ruh ketika berada pada
alam yang tinggi (bukan alam dunia), ia tidak mengenal sifat-sifat terpuji dan positif.
Namun, ketika ruh berada dalam jasad manusai yang memiliki indera, ia dapat
mencapai budi pekerti yang luhur serta pengetahuan yang dalam. Dia merasa bahwa
jasad adalah tempat atau alat yang digunakannya untuk melahirkan kebajikan dan
keutamaan. Dengan demikian, ruh sangat membutuhkan keadaan jasad yang masih
15
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ar-Ruh, h. 60 16
M. Quraish Shihab, Kematian adalah Nikmat. (Jakarta: Lentera Hati, 2013), h. 54
17
sehat atau berfungsi, jika jasad tersebut telah rusak dan tidak berfungsi, maka ruh
akan kembali pada alam asalnya. Sehingga manusia yang memasuki alam akhirat
harus berpisah dahulu dengan alam dunia, yakni dengan melalui kematian. Hal ini
dijelaskan dalam Qs. al-Baqarah 94.17
B. Mati Secara Teoritis dan Proses Kematian menurut ilmu kedokteran
Kematian dalam ilmu kedokteran atau medis di pelajari dalam suatu disiplin
ilmu yang di sebut dengan ilmu thanatologi. Ilmu thanatologi merupakan cabang
dari ilmu kedokteran forensik yang mempelajari kepentingan peradilan dan
penegakan hukum.18
Thanatologi berasal dari dua buah kata, yaitu “thanatos” yang
berarti mati dan “logos” yang berarti ilmu. Jadi, thanatologi adalah ilmu yang
mempelajari segala macam aspek yang berkaitan dengan mati. 19
Sebelum membahas definisi mati, perlu dipahami bahwa menurut ilmu
kedokteran, manusia memiliki dua dimensi, yaitu sebagai individu dan sebagai
kumpulan dari berbagai macam sel. Oleh karena itu, kematian manusia juga
dapat dilihat dari kedua dimensi tersebut, dengan catatan bahwa kematian sel
(celluler death) akibat ketiadaan oksigen baru akan terjadi setelah kematian
manusia sebagai individu (somatic death).20
Dari keterangan tersebut, maka definisi mati atau kematian dalam ilmu
kedokteran ialah hilangnya secara permanen semua tanda-tanda kehidupan pada
17
M. Quraish Shihab, Kematian adalah Nikmat, h. 59 18
Abdul Mun’im Idris dan Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran
Forensik Dalam Proses Penyidikan ( Jakarta: Sagung Seto, 2008), h. 1. 19
Sofwan Dahlan, Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman Bagi Dokter dan Penegak
Hukum (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007), h. 47. 20
Sofwan Dahlan, Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman Bagi Dokter dan Penegak
Hukum (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2007), h. 47
18
setiap waktu setelah kelahiran hidup, yakni lenyapnya fungsi- fungsi hidup sesudah
dilahirkan, tanpa kemungkinan resusitasi21 (death is the permanent dissaperance of
all evidence of life of any time after live birth has taken place, post natal cessation of
vital function without capability of resuscitation).22
Adapun tanda-tanda kehidupan yang dimaksud dalam definisi tersebut ialah
tanda kehidupan manusia sejak pertama kali dikeluarkan secara sempurna oleh
ibunya, yaitu: jantung berbunyi, tali pusat berdenyut, atau otot serat lintang nyata
bergerak. Selain pengertian tersebut, para ahli berpendapat bahwa hidup
didefinisikan sebagai berfungsinya berbagai organ vital, yakni paru-paru, jantung
dan otak sebagai satu kesatuan yang utuh, yang ditandai oleh adanya konsumsi
oksigen.23 Dengan definisi tanda-tanda kehidupan tersebut, maka definisi mati atau
kematian dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen fungsi berbagai
organ vital (jantung, paru-paru dan otak) sebagai satu kesatuan yang utuh yang
ditandai oleh berhentinya konsumsi oksigen.24
Selain kematian individu dan kematian sel, ada juga istilah kematian yang
perlu dipahami, yaitu mati suri (apparent death). Adapun pengertian yang
sebenarnya dari mati suri adalah suatu keadaan di mana proses vital turun ke tingkat
yang paling minimal untuk mempertahankan kehidupan, sehingga tanda-tanda
kliniknya tampak seperti sudah mati. Keadaan seperti ini sering ditemukan pada
21
Resusitasi adalah usaha menghidupkan kembali dengan pernapasan buatan atau pijat
dan rangsangan jantung. Lihat: Ahmad A.K. Muda, Kamus Lengkap Kedokteran (Surabaya: Gitamedia
Press, 2003), h. 231. 22
Arjatmo Tjokronegoro dan Sumedi Sudarsono, Metodologi Penelitian Bidang
Kedokteran (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999), h. 111. 23
Arjatmo Tjokronegoro dan Sumedi Sudarsono, Metodologi Penelitian Bidang
Kedokteran (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999), 111. 24
Dahlan, Ilmu Kedokteran Forensik , h. 47.
19
orang yang mengalami acute heart failure, tenggelam, kedinginan, anestesi25
yang
terlalu dalam, sengatan listrik atau sambaran petir.26
Jadi, mati suri bukanlah mati
yang sebenarnya, karena alat- alat vitalnya tidak berhenti secara permanen, hanya
turun pada tingkat yang paling rendah. Sehingga, masih dimungkinkan untuk hidup
kembali.
Berdasarkan dalil dan penafsiran para ulama bahwasanya kematian adalah
lawan kehidupan. Sehingga apabila tanda-tanda kehidupan dalam jasad manusia
telah hilang, maka jasad tersebut dinyatakan mati. Manusia adalah mahluk yang
terbentuk dari jasadd dan ruh. Ruh tersebut yang dapat memberikat tanda-tanda
kehidupan pada setiap diri manusia, sedangkan jasadd adalah alat-alat ruh yang
digunakan untuk mengaplikasikan perintahnya. Apabila ruh keluar dari jasad akibat
kerusakan yang dialami oleh jasad, maka jasad sudah tidak mampu dan tidak efektif
untuk melakukan perintha-perintah dari ruh, dan manusia tersebut dinyatakan mati.
Sedangkan dalam ilmu kedokteran menyatkan bahwasanya, kematian adalah
hilangnya secara permanen tanda-tanda kehidupan pada setiap diri manusia. Tanda-
tanda kehidupan tersebut, dapat diperjelas lagi menjadi berhentinya secara permanen
fungsi berbagai organ vital (jantung, paru-paru dan otak). Dalam kedokteran dikenal
kematian biologis dan kematian klinis.
Dari konsep tersebut terdapat perkembangan istilah kematian dalam ilmu
kedokteran, yakni:
1. Mati Somatis (Somatich death/Clinical Death)
25
Anestesi adalah hilangnya rasa pada tubuh yang disebabkan oleh pengaruh obat bius;
keadaan mati rasa. Lihat: Muda, Kamus Lengkap Kedokteran, h. 22. 26
Dahlan, Ilmu Kedokteran Forensik , h. 48.
20
2. Mati Seluler (Celluler Death)
3. Mati Suri (Apparenth Death)
4. Mati Serebral (Cerebral Death)
5. Mati Otak (Brain Steam Death)
Melalui proses kematian manusia diingatkan akan keberadaannya di alam
dunia. Ternyata jika direnungkan, kehidupan ini hanyalah sebatas persinggahan.
Dikatakan persinggahan karena waktu kesempatan hidup yang tersedia untuk mereka
hanya sementara. Tiap-tiap manusia tidak akan pernah tahu kapankah waktu
kesempatan hidup ini akan berakhir. Tidak ada satu pun manusia di alam dunia ini
yang dapat hidup kekal abadi. Karena yang hidup kekal abadi hanyalah Allah swt,
dan semua yang bernama makhluk apapun itu pasti akan rusak binasa (menghadapi
kematian).27
C. Proses Kematian
Ketika seseorang telah berbicara terkait kematian maka tak luput dari proses-
prosesnya, Hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas ra bahwa
Rasulullah saw bersabda: "Bahwa malaikat maut memperhatikan wajah manusia
dimuka bumi ini 70 kali dalam sehari. Ketika Izrail datang merenung wajah
seseorang, ditemukan orang itu ada yang tertawa-tawa.” Lalu Malaikat izrail
berkata: 'Alangkah herannya aku melihat orang ini, sedangkan aku diutus oleh Allah
untuk mencabut nyawanya, tetapi dia masih bersantai dan bergelak tawa.' Jika dibuat
survey, dari 100 orang di dunia ini barangkali hanya 1 yang selalu ingat mati. Dalam
27
Imam la-Qurtubi, Al-tadhlirahAhwal al-Mauta wa „Umur al-Akhirah, (Beirut Lebanon:
Dar Le-Marefah, 19960) h. 14.
21
arti bahwa orang itu selalu menyiapkan dirinya untuk menghadapi maut yang bisa
datang kapan saja. Orang yang ingat mati akan selalu berusaha mengumpulkan
bekal untuk menghadapi dua tahap berikutnya yaitu alam barzah dan alam akhirat.28
Peristiwa kematian itu sangat menakutkan, orang hanya bisa berdoa dan
berusaha untuk menunda kedatangannya, tetapi tidak mampu mengalahkannya.
Karena ketakutannya itu sehingga manusia berusaha untuk melupakan dan
menghibur dirinya. Dari sudut psikologi banyak pertanyaan muncul mengapa
seseorang enggan mati, absurd dan paradoks, memang. Sekali lagi, bahwa kematian
itu adalah sebuah kemestian yang tidak dapat terelakan. Karena kematian sudah
merupakan kepastian, dan suatu yang menakutkan, maka orang lebih memilih untuk
tidak memikirkannya dan berusaha menghindarinya agar bisa merasakan
kebahagiaan setiap saat yang dilaluinya. Seperti halnya burung unta, cara yang
praktis ketika menghindari bahaya adalah dengan memasukan kepalanya ke dalam
pasir sehingga musuh yang ditakuti tidak kelihatan, sekalipun sangat bisa jadi dalam
hatinya ia merasa takut, begitu pula manusia. Ia melupakan kematian dengan
berbagai cara, namun selalu dibayangi oleh sosok kematian.29
Dalam sebuah hadis Rasulullah saw menjelaskan bahwa kesakitan ketika
hampir mati itu seperti dipukul 100 kali dengan pedang tajam atau seperti dikoyak
kulitnya dari daging ketika masih hidup. Bayangkanlah betapa sakit dan dahsyatnya
saat menghadapi kematian. Bahkan Nabi Idris yang minta cara terhalus dalam
mencabut nyawa-Nya pun masih merasakan sakit luar biasa. Maka sangat
28 M. Quraish Shihab, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT, h. 25. 29
Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian, h. 138-144.
22
beruntunglah siapa yang matinya dalam keadaan khusnul khatimah. Salman Al-
Farisi meriwayatkan hadis Nabi saw yang artinya: "Perhatikanlah tiga hal kepada
orang yang sudah hampir mati itu. Pertama: berkeringat pada pelipis pipinya;
kedua: berlinang air matanya dan ketiga: lubang hidungnya kembang
kempis."Sedangkan jika ia mengeruh seperti tercekik, air mukanya nampak
gelap dan keruh, dan mulutnya berbuih, menandakan bahwa azab Allah
sedang menimpa dia." (HR. Abdullah, al-Hakim dan at-Tarmizi) Kematian
'mengundang' manusia secara perlahan-lahan atau bertahap mulai dari jasad, ujung
kaki kemudian ke paha.30
Untuk orang kafir, ketika nyawanya hendak dicabut Izrail, wajahnya akan
menjadi gelap dan keruh dan dia mengeruh seperti binatang yang disembelih. Itu
pula tanda azab yang diterimanya karena dosa dan kekafiran mereka. Al-Qamah bin
Abdullah meriwayatkan hadis Rasulullah saw yang artinya: "Bahwa ruh orang
mukmin akan ditarik oleh Izrail dari jasadnya dengan perlahan-lahan dan halus,
sementara roh orang kafir akan direntap dengan kasar oleh malaikat maut bagaikan
mencabut nyawa seekor khimar." Mungkin ada juga orang kafir yang mati dalam
ketenangan karena ketika hidupnya dia berbuat kebajikan dan itu adalah
balasan terhadapnya karena setiap kebajikan pasti akan dibalas. Tetapi karena tidak
beriman, maka itu tidak menjadi pahala baginya dan kekafirannya tetap diazab di
akhirat.31
Rasulullah saw pernah bersabda bahwa hidup di dunia ini bagaikan masa
30
Umar Sulaiman al-Asyqar, Ensiklopedia Kiamat, h. 33. 31
Umar Sulaiman al-Asyqar, Ensiklopedia Kiamat, h. 33
23
tanam, dan hasil panennya nanti dinikmati setelah meninggal. Karena kematian
adalah suatu kemutlakan dan pasti kedatangannya, maka sikap terbaik kita adalah
bersiap untuk menyambutnya, sebagaimana kita menyambut datangnya pesta
ulang tahun, lebaran, atau peristiwa lain yang kita yakini pasti, padahal tingkat
kepastiannya tidak sebanding dengan kepastian datangnya peristiwa kematian.
Dunia bagaikan masa tanam, dan panennya adalah ketika setelah meninggal
nanti. Ibarat seorang petani yang begitu bergairah menanam dan mengurusi
tanamannya dengan penuh kasih dan antusiasme, baik karena kecintaan pada
pekerjaannya maupun karena membayangkan datangnya hari panen. Jika harapan
dan ramalan petani tentang hasil panennya meleset dan mengecewakan, mungkin
dikarenakan hama wereng maupun akibat banjir, yakni masih banyak
kemungkinan dalam hasil panennya meskipun dalam prosesnya dilakukan dengan
sebaik mungkin.32
Lain halnya dengan hukum sebab-akibat dari perilaku manusia, siapa
yang menanam kebaikan di dunia, maka akan memanen kebaikan pula di akhirat
kelak, dan barang siapa yang menanam keburukan di dunia, maka ia
akan memanen kesengsaraan kelak. Hukum sebab-akibat yang ditimbulkannya
bersifat mutlak.33
Telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, perihal definisi umum dan seputar
kematian, dan gambaran beberapa golongan dalam menghadapi atau menyikapi
problema kematian. Banyak hal yang harus dipersiapkan oleh seseorang dalam
32 M. Quraish Shihab, wawasan al-Qur‟an, h. 76 33
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, h. 57
24
menghadapi kematiannya, sejauh mana seseorang menyiapkan dirinya dalam
menghadapi kematiannya, langkah apa saja yang sudah mereka tempuh sejauh
ini. Pertanyaan tersebut secara tidak langsung mengajak kita agar senantiasa
tergerak hatinya untuk mempersiapkannya sedini mungkin. Salah satu
upaya untuk mempersiapkannya adalah dengan cara mengingatnya, mengapa
mengingat kematian itu begitu penting? dijelaskan dalam sebuah hadis Nabi
Muhammad: “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang memotong beberapa kelezatan
dengan cepat”.34
Maksudnya adalah manusia sebisa mungkin mengurangi kelezatan duniawi
dengan mengingat kematian. Hidup di dunia hanyalah sementara, dan akhirnya kita
akan kembali kepada-Nya. Dalam hadis lain juga disebutkan “Persembahan mukmin
adalah maut”.35
D. Perbedaan Kematian pada Hewan dan Manusia
Kematian bagi manusia itu bukanlah suatu kepunahan, melainkan perpindahan
alam semata. Dalam konteks kematian, tidak hanya ditemukan dalam ajaran agama,
melainkan keyakinan sebagian besar para filosof, ilmuwan, bahkan masyarakat
umum meyakini akan adanya konsep keabadian jiwa. Bahwa manusia itu sendiri
terdiri dari dua element, yakni badan yang berupa materi dan jiwa yang bersifat non-
materi, sudah dijelaskan dalam bab sebelumnya kehancuran itu berlaku pada benda-
benda yang terstuktur, seperti halnya badan manusia, sedangkan jiwa karena sifatnya
34
HR. Tirmidzi yang menganggapnya hasan, al-Nasai dan Ibnu Majah hadits ini termasuk
hadits riwayat Abu Hurairah r.a 35
HR. Tirmidzi yang menganggapnya hasan, al-Nasai dan Ibnu Majah hadits ini termasuk
hadits riwayat Abu Hurairah r.a
25
non- materi sehingga tidak mengenal istilah kehancuran pada dirinya. Sekalipun
ilmu pengetahuan belum mampu mengungkapkan secara ilmiah mengenai
keberadaan dan hakikat jiwa, namun hamper semua masyarakat, suku,
bangsa, dan agama mengajarkan sebuah keyakinan yang sangat kuat akan gagasan
keabadian jiwa. Salah satu contoh sederhananya adalah orang Mesir kuno lebih
senang membangun kuburan ketimbang istana, itu menandakan bahwa ada
kehidupan lain setelah kematian, boleh saja jasad akan hancur, namun keyakinan
keabadian jiwa Nampak tercermin dari salah satu contoh di atas.36
Dengan berbagai pandangan, baik yang menilai kematian adalah sebuah suatu
yang menakutkan, maupun sesuatu yang dinantikan kedatanganya. Sejatinya,
merenungkan makna kematian, tidak berarti lalu kita pasif. Sebaliknya, justru lebih
serius menjalani hidup, mengingat fasilitas umur yang teramat singkat dan pendek.
Ibarat orang sedang lomba lari, maka seseorang tersebut akan berpacu karena
adanya batas waktu dan garis finish.37
Peristiwa kematian itu sangat menakutkan, orang hanya bisa berdoa dan
berusaha untuk menunda kedatanganya, tetapi tidak mampu mengalahkanya. Karena
kengerianya itu sehingga orang berusaha untuk melupakan dan menghibur dirinya.
Dari sudut psikologi banyak pertanyaan muncul mengapa seseorang enggan mati,
absurd dan paradoks, memang. Sekali lagi, bahwa kematian itu adalah sebuah
kemestian yang tidak dapat terelakan. Karena kematian sudah merupakan kepastian,
dan suatu yang menakutkan, maka orang lebih memilih untuk tidak
36
Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian, h. 100-103 37
Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian, h.84
26
memikirkanya dan berusaha menghindarinya agar bisa merasakan kebahagiaan
setiap saat yang dilaluinya. Seperti halnya burung unta, cara yang praktis ketika
menghindari bahaya adalah dengan memasukan kepalanya ke dalam pasir sehingga
musuh yang ditakuti tidak kelihatan, sekalipun sangat bisa jadi dalam hatinya ia
merasa takut, begitu pula manusia. Ia melupakan kematian dengan berbagai cara,
namun selalu dibayangi oleh sosok kematian.38
Setiap makhluk hidup pasti akan mengalami kematian, termasuk hewan.
Namun, satu hal yang masih menjadi misteri adalah apakah ada kehidupan
selanjutnya bagi hewan setelah mereka mati? Apakah ada surga dan neraka untuk
mereka? Berdasarkan al-Qur’an surah al-Takwir 1-5, telah dijelaskan bahwa pada
hari kiamat, hewan (setidaknya beberapa dari mereka) akan dikumpulkan seperti
halnya pada manusia. Adapun bukti lainnya yang menjelaskan fenomena kehidupan
hewan pasca kematian juga terdapat pada al-Qur’an surat al-An'am ayat 38 yang
isinya sebagai berikut: "Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan
burung- burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti
kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada
Tuhanlah mereka dihimpunkan.39
38
Komarudin Hidayat, Psikologi Kematianh. 138-144. 39
Abdul Qadir Abu Faris, Tazkiyatun Nafs (Jakarta: Gema Insani, 2005) h. 68.
27
BAB III
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri dan Tafsir Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-
Furqan
A. Riwayat Hidup Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri
Nama lengkapnya adalah Nizhâm al-Dîn al-Hasan bin Muhammad al-
Husain al-Qumi al-Khurasani al-Naisâbûri. Beliau dikenal juga dengan nama
hasan bin Muhammad bin hasan al-khurasani, juga di kenal dengan nama Nizham
al-A’raj al-Naisaburi. Beliau dan keluarganya berasal dari kota Qum sehingga
nama al-Qum dimasukkan pula dalam nama beliau.1
Beliau adalah seorang ulama yang sangat terkenal dengan kecerdasannya,
keahliannya dalam bahasa arab, juga sangat terkenal dengan sifat wara’, zuhud
dan sifat tasawufnya. Al-Naisaburi merupakan ulama pada abad ke 9 hijriyah
yang setingkat dengan Jalaludin al-Dawani dan Ibnu Hajar al-Asqalani.2
Al-Naisaburi merupakan salah satu ulama Syiah yang begitu kental dengan
ajaran syiah dalam menafsirkan al-Qur’an. Sehingga ada ulama yang mengatakan
bahwa al-Naisaburi di bunuh karena ketaatannya pada Mazhab Syiah.
Beberapa ulama berbeda pendapat mengenai tahun wafatnya al-Naisaburi.
Menurut Ismail Basa’ al-Bagdadi al-Naisaburi wafat pada tahun 728 H. Menurut
al-Tohroni bahwa al-Naisaburi wafat pada akhir tahun 900 H. Menurut Dr.
Hasyim Toha Salas, Dr. Solah Mahdi al-Furtusi, Dr. Abdul Jalil Husain Abid
bahwa al-Naisaburi wafat pada tahun 710 H. Adapun pendapat yang lebih unggul
ialah pendapat yang diungkapkan oleh al-Tohroni dan Sayyid Muhsin al-Amin
1 Husain al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun (Kairo: Maktabah Wahbah, 2004), h. 560
2 Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 1, h. 25
28
yang mengatakan bahwa al-Nasaburi wafat pada tahun 900 H. Dikarenakan al-
Naisaburi wafat karena di bunuh maka tahun wafatnya belum jelas.3
Persamaan ulama-ulama yang berbeda pendapat mengenai tahun wafat al-
Naisaburi, bahwa al-Naisaburi hidup dari abad ke 8 hingga abad ke 9 H.
B. Karya-karya Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri
Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan atau yang lebih dikenal dengan
tafsir Naisaburi adalah sebuah kitab tafsir yang bercorak sufi isyari. Salah satu hal
yang menarik dari tafsir Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan adalah
kelihaian al-Naisaburi dalam mengawinkan atau menyesuaikan antara tafsir
eksoteris dan tafsir esoteric suatu ayat tanpa ada pertentangan antara satu sama
lain. Hal inilah yang menurut penulis menyebabkan tafsir tersebut diterima
dengan baik oleh para ulama lainnya. Salah satu cara al-Naisaburi dalam
menyesuaikan tafsir eksotris dan esoteric adalah dengan media simbolik. Artinya,
beliau menafsirkan suatu ayat tertentu dengan simbol-simbol dalam kajian
tasawwuf seperti hati, ruh, nafsu, dan sebagainya. Dengan begitu, tafsir
esoterisnya (isyari) tetap dalam koridor ayat atau syari’ah.
Kitab ini dikarang oleh al-Naisaburi karena terinspirasi dari para sahabat
dan tabiin yang mengarang kitab-kitab tafsir yang berkaitan dengan garaib al-
Qur’an (kata-kata yang asing dalam al-Qur’an), dengan tujuan meneruskan jejak-
jejak para sahabat dan tabiin yang mengkaji hal tersebut. Hal ini terjadi karena
banyaknya dorongan dari sahabat-sahabat terdekat al-Naisaburi. Mereka percaya
bahwa al-Naisaburi mampu mengarang sebuah kitab tafsir yang berkaitan dengan
3 Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 1, h. 25
29
garaib al-Qur’an, karena kemampuan al-Naisaburi sendiri yang sudah terlihat
sejak kecil dalam menghapal dan memahami makna al-Qur’an.4
Adapun karya-karya al-Naisaburi adalah sebagai berikut:5
1. Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan (828 H)
2. Aqof al-Qur’an
3. Lub al-ta’wil
4. Syarh al-syafiyyah (646 H)
5. Ta’bir al-tahrir
6. Taudih al-tazkirah al-nasiriyyah
Dari beberapa karya al-Naisaburi, karya yang paling terkenal ialah Tafsir
Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan. Kitab ini di namai dengan garaib al-
Qur’an karena di dalam kitab tersebut banyak menjelaskan tentang garaib (kata-
kata yang asing dalam al-Qur’an).6
C. Karakeristik Tafsir Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan
Kitab tafsir garaib al-Qur’an merupakan sebuah kitab tafsir yang di nukil
dari beberapa kitab tafsir yang masyhur, diantaranya ialah tafsir al-kasyf. Bahkan
kitab ini merupakan ringkasan kitab tafsir mafatih al-gaib karangan Fakhruddin
ar-Razi dan syarah dari kitab miftahul ulum karya As-Sakaki.
Karakteristik yang paling menonjol dalam kitab tafsir ini ialah banyaknya
ta’wil-ta’wil yang tidak ditemukan dalam kitab tafsir para sahabat nabi.
Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab tafsir garaib al-Qur’an kebanyakan
bersumber dari kitab jami al-ushul dan al-Masobih. Kemudian dalam pembahasan
asbabun nuzul kitab tafsir ini banyak merujuk kepada kitab jami al-ushul dan
4 Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 1, h. 25
5 Al-a’lam
6 Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 6, h. 650
30
tafsir al-wahidi. Sedangkan untuk corak bahasa banyak di ambil dari kitab shohah
al-jauhari. Adapun untuk kajian sastra di ambil dari kitab tafsir mafatih al-gaib.
Dan untuk permasalahan mengenai hukum-hukum fiqih banyak di nukil dari kitab
syarah al-wajiz.7
7 Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 6, h. 650
31
BAB IV
PENAFSIRAN AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG KEMATIAN
DALAM TAFSIR GHARẤIB AL-QUR’AN WA RAGHAIB AL-FURQON
A. Gambaran seputar Kematian
Dalam kategori ini menjelaskan gambaran seputar kematian, antara lain
meliputi datanganya waktu kematian, proses pencabutan nyawa, konteks
kematian.
Allah Swt menciptakan kematian sebagai akhir yang pasti bagi kehidupan.
Sebagaimana diketahui sejauh ini tidak ada seorangpun yang mampu menghindari
kematian. Tidak ada harta benda, kesehatan, jabatan atau kawan yang dapat
menjamin keselamatan seseorang dari maut. Setiap orang pasti mati. Abu
Hurairah mengingatkan untuk memperbanyak mengingat kematian, karena Allah
Swt membuka hati orang yang banyak mengingat mati dengan memudahkan
kematian baginya.1 Hasan Basri berkata “Barang siapa mengetahui bahwa
kematian itu urat nadinya, kiamat itu hari pertemuannya dan menghadap Allah
Swt itu tempat tinggalnya maka yang harus ia lakukan adalah bersedia apabila
hidup berlama-lama di dunia. Maksudnya adalah pikirannya terfokus pada
kehidupan akhiratnya dan tempat tinggalnya adalah di hadapan Allah Swt.2
QS. al-Anbiyâ‟: 34-35
1 Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, h. 327.
2 Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, h. 339.
32
Artinya: Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun
sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, apakah mereka
akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan. (QS.
Al-Anbiyâ 21: 34-35).3
Surah al-Anbiya menurut Manna al-Qathan tergolong dalam surah
Makkiyyah periode kedua atau pertengahan.4 Adapun ayat ini menjelaskan
tentang sebuah penegasan Allah Swt terhadap eksistensi manusia atas pertanyaan
orang kafir apakah Nabi Muhammad Saw itu kekal sebagai manusia mengingat
dia adalah Nabi akhir zaman. Sehingga turunlah ayat ini, Nizhâm al-Dîn al-
Naisâbûri menjelaskan ayat ini dalam kitab tafsirnya dengan menyajikan
beberapa permasalahan, pertama pertanyaan orang kafir akankah Nabi
Muhammad Saw itu kekal? kedua, jika memang Nabi Muhammad Saw mati,
mereka akan mengolok-olok keberadaan Nabi, mereka beranggapan apa
keistimewaan Nabi Muhammad Saw sebagai nabi terakhir, padahal dia juga mati
seperti nabi-nabi terdahulu. Permasalahan yang ketiga, mengingat Nabi
Muhammad Saw adalah Nabi terakhir dan sekaligus pembawa Syari‛at kemudian
mati, pastilah syari‛atnya pun akan terhenti pula.5
Menanggapi pernyataan tersebut kemudian dijelaskan oleh Ar-Razi pula
pada kitab Asrâr al- Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, menegaskan bahwa setiap yang
berjiwa pasti merasakan yang namanya kematian, tanpa terkecuali, dijelaskan
pula dalam ayat ini sesungguhnya ruh manusia itu mati, kematian itu adalah
dzauq, dalam artian sebuah penemuan, sebuah pencicipan indrawi yang terjadi
pada saat seseorang mengalami sakaratul maut. Namun sebelum itu manusia akan
3 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV Diponogoro, 2006).
4 Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, bogor, Pustaka Litera Nusa, 2009, h. 74
5Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, (Lebanon: Darr
al-Kutub Ilmiah, 1996), Jilid 5, hal. 20
33
diuji dengan ujian demi ujian, baik merupa kenikmatan ataupun musibah, karena
ujian bukan hanya digambarkan berupa musibah saja, karena kenikmatan juga
adalah sebuah ujian yang Allah Swt berikan kepada hambanya. Setelah ujian
demi ujian diberikan, maka hanya kepada Nya-lah semuanya akan kembali.6
Menurut analisa penulis bahwa penafsiran Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri dan
pendapat Ar-Razi dalam kitab Asrâr al- Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl secara garis
besar dapat ditarik kesimpulan bahwasanya kematian adalah suatu hal yang pasti
kedatangannya kepada semua makhluk dan kepastian yang mutlak ini tidak bisa di
bantah atau di ingkari akan di jumpai dan di rasakan oleh semua makhluk.
Dari pemaparan di atas penulis menarik kesimpulan bahwa kematian itu haq
atau pasti dan tidak ada manusia yang luput darinya, bahkan kepada seorang nabi
atau rasul, baik sebelum nabi Muhammad Saw bahkan kepada nabi Muhammad
Saw sendiri. Oleh sebab itu kematian merupakan sebuah ujian yang harus disikapi
dengan penuh kesabaran ayat tersebut di sejalan dengan firman Allah Swt sebagai
berikut: QS.Al-Baqarah 1: 155
Dalam ayat ini allah Saw menjelaskan bahwa manusia akan diuji, salah
satunya dengan kekurangan jiwa, dengan kata lain yaitu kematian. Di akhir ayat
tersebut allah menyampaikan bahwa “berikanlah kabar gembira kepada orang-
orang yang bersabar yaitu apabila di timpa musibah selalu mengucapkan kalimat
istirja QS. Al-Baqarah 156
(sesungguhnya kami milik allah dan kepada-Nyalah kami kembali).
6 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl (Beirut: Dar el-Fikr, 2003), h.
205
34
QS. Ali-Imran
Artinya: Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti
(penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah
berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia.(QS.
Ali-Imran 3:59).7
Surah Ali-Imran menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Madaniyyah,8 ayat ini menjelaskan tentang proses penciptaan manusia hingga
kematianya, menurut Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri dalam tafsiran ayat ini
menjelaskan manusia itu diciptakan dari mani dan darah haid, sedangkan air mani
itu sendiri diciptakan dari darah, yang mana darah itu dihasilkan dari makanan
baik dari tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Penciptaan manusia sama halnya
dengan penciptaan hewan, ujung dari penciptaan keduanya adalah manusia
dihasilkan dari mani, mani dihasilkan dari darah, darah dihasilkan dari
makanan, makanan dari tumbuh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan dihasilkan
dihasilkan dari tanah dan air. Jadi manusia itu diciptakan dari tanah.9
Adapun fase-fase pertumbuhan manusia itu dibagi ke dalam tiga tahap:
pertama, masa kanak-kanak, kedua, masa baligh (remaja), dan ketiga, masa tua.
Dimasa tua inilah kehidupan seseorang mulai melemah, baik kekuatan badan
maupun ingatanya. Dari rantaian fase di atas menunjukan bahwa kelemahan fisik
dan melemahnya daya ingat seseorang secara alamiah mendekatkan seseorang
7 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 8 Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, bogor, Pustaka Litera Nusa, 2009, h. 74
9 Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 2, h. 174
35
pada kematianya, namun diantara dari sebagian mereka ada yang diwafatkan
sebelum fase yang telah ditetapkan tadi, inilah merupakan kebesaran Allah Swt.
Dari penjelasan di atas, singkatnya adalah naisaburi menjelaskan dua hal
pertama penciptaan manusia, kedua kematian manusia, akan tetapi sebelum masuk
ke dalam fase yang kedua yaitu kematian, naisaburi menegaskan bahwa sebelum
datang kematian ada tanda kematian yang harus diketahui yaitu waktu atau usia,
akan tetapi, menurut hemat penulis hal itu tidak bisa menjadi ukuran bahwa waktu
dan usia merupakan tanda kematian yang paling mendasar, karena kematian
merupakan rahasia Allah Swt yang tidak bisa ditebak atau diukur oleh sesuatu
apapun baik dari segi waktu maupun usia. Oleh sebab itu kematian akan
mendatangi siapa saja baik itu tua, muda, laki-laki atau perempuan, dan tidak ada
yang bisa berpaling dari kematian dimanapun tempat atau waktunya.
QS. Al-Zumar
Artinya: Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang)
jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka dia tahanlah
jiwa (orang) yang Telah dia tetapkan kematiannya dan dia melepaskan jiwa
yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berpikir. (Q.S. al-Zumar 39: 42).10
Surah al-Zumar menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Makkiyyah bagian ketiga atau bagian akhir.11
Ayat ini menjelaskan sesungguhnya
kematian itu ditangan Allah Swt, Allah Swt memegang jiwa seseorang ketika
10
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 11
Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, h. 74
36
dalam keadaan mati dan tidurnya. Ketika dalam keadaan tidur Allah swt menahan
ruh seseorang tersebut hingga seseorang terbangun dari tidurnya dan
dikembalikanya ruh tersebut, adapun ketika dalam kematianya, Allah menahan
ruh seseorang tetap disisinya.
Dijelaskan oleh Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, antara tidur dan mati adalah
satu jenis yang sama, hanya saja apabila tidur itu terputusnya ruh secara tidak
sempurna, sedangkan mati terputusnya ruh secara sempurna. Beliau juga
menjelaskan rûh itu ibarat jauhar (intan) yang bercahaya, ketika dalam keadaan
tidur putuslah cahaya tersebut, dan cahaya tersebut akan bersinar ketika
seseorang terbangun dari tidurnya. Dalam ayat ini dijelaskan tiga hubungan
antara ruh dengan badan. Pertama, rûh bercahaya ketika menyatu dengan badan,
kedua, meskipun antara tidur dan mati adalah satu jenis yang sama akan tetapi
keadaan tidur tidak sepenuhnya mati, masih memiliki sifat kehidupan seperti
bernafas dan sebagainya, ketiga, kematian adalah terputusnya ruh secara
sempurna. Yang demikian itu adalah salah satu keagungan Allah Swt, bahwa
Allah Swt berhak atas semuanya, dan agar kalian semua berpikir.12
Seperti yang sudah dijelaskan dalam penafsiran di atas bahwa tidur
adalah bagian dari kematian. Maka ketika seseorang tidur dan terbangun dari
tidur di wajibkan membaca do‟a, karena ketika manusia bangun berarti Allah
Swt masih memberikan rahmat dan umur yang panjang kepadanya.
QS. al-Ankabût
Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah
12
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 6, h. 6
37
kepada kami kamu dikembalikan. (QS. al-Ankabût 29: 57).13
Surah al-Ankabut menurut Manna al-Qathan tergolong dalam surah
Makkiyyah bagian ketiga atau bagian akhir.14
Ayat ini menjelaskan tentang
gambaran sebuah kematian, yakni kematian itu pasti akan menghampiri semua
mahluk yang bernyawa. Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri menggambarkan kematian
sebagai sesuatu yang tidak enak, dan sesuatu itu mau tidak mau pasti terjadi,
pasti menghampiri kita. Namun di balik itu semua Allah Swt memberikan
jawaban dari kematian ini, yakni hanya kepada-Nya lah semuanya akan kembali
dan dikembalikan. Pada hakikatnya kematian itu terjadi hanya bersifat sementara,
kematian ini hanyalah sebuah transisi, perpindahan dari satu alam ke alam lain,
dan di alam tersebut mereka tidak lagi mati, melainkan mereka akan hidup disisi
Allah Swt.15
Dari pemaparan ayat dan penafsiran Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri di atas
bisa di lihat bahwa kematian bukanlah ketiadaan atau akhir dari segala sesuatu,
akan tetapi merupakan sebuah permulaan atau sebuah pintu gerbang menuju
kehidupan yang kekal, baik itu kebaikan atau keburukan, dan dari penjelasan ayat
ini juga bisa dilihat bahwa masih banyak kehidupan yang akan dilalui setelah
kematian di dunia.
QS. Luqman
13
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 14
Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, h. 74 15
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 5, h. 394
38
Artinya: Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui
(dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Luqman 31: 34).
16
Surah Luqman menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Makkiyyah bagian ketiga atau akhir.17
Adapun ayat ini menjelaskan tentang
misteri kematian dan sesuatu yang belum terjadi yang tidak diketahui oleh
manusia, manusia tidak tahu peristiwa apa yang terjadi esok hari, di tempat mana
seseorang itu akan mati, dan kapan terjadinya hari kiamat, semua itu adalah
rahasia Allah Swt, Allah Swt Maha mengetahui segalanya.
Dalam ayat ini Naisaburi menjelaskan tentang ketakutan manusia akan hari
kiamat, dalam ayat ini pula ditegaskan, seseorang tidak perlu ketakutan akan hal
itu, sebab itu adalah sesuatu yang pasti terjadi. Ibarat kata untuk apa memikirkan
sesuatu yang pasti terjadi, sedangkan untuk esok harinya saja kita tidak tahu apa
yang bakal terjadi, Jadi tidak serta merta Allah Swt menyimpan rahasia itu tanpa
makna, di balik itu semua ada hikmah tersendiri, dengan adanya kepastian seperti
halnya kiamat dan kematian, pertama manusia dituntut harus mengimani, kedua
manusia dituntut untuk selalu berpikir, berusaha sebaik mungkin, dan
merenungi. Pada akhirnya semuanya akan kembali pada Allah Swt.18
Pengetahuan tentang hal gaib yang akan terjadi, salah satunya tentang
16
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 17
Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, h. 74 18
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 5, h.
431.
39
kematian dan kiamat hanya diketahui oleh yang maha tahu yaitu Allah Swt,
sebagai seorang hamba diwajibkan untuk mengimani dan mengetahi tanda-tanda
tentang hal-hal tersebut, jangankan kematian dan hari kiamat, tentang hari esok
saja, karena sebagai manusia tidak mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.
QS. Yûnus
Artinya: Ingatlah, Sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit
dan di bumi. Ingatlah, Sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui(nya). Dia-lah yang menghidupkan
dan mematikan dan Hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (QS.
Yûnus 10: 55-56).19
Surah Yunus menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surat
Makkiyyah bagian ketiga atau bagian akhir.20
Ayat ini menjelaskan tentang
kekuasaan Allah, sebuah penegasan bahwa semua, segala sesuatu yang ada di
bumi dan di langit adalah milik Allah Swt. Akan tetapi kebanyakan dari mereka
tidak mengetahuinya. Menurut Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri segala sesuatu yang
ada di bumi maupun di langit ini adalah dalil atau bukti untuk memantapkan
keimanan hambanya, dan bukan hanya itu saja, dengan kuasanya Allah Swt
mampu menciptakan sesuatu dari sesuatu yang mati kemudian mematikan
sesuatu itu dan menghidupkanya kembali, itu merupakan sebuah perkara yang
sangat mudah bagi Allah Swt, seperti yang telah disebutkan dalam ayat-ayat
sebelumnya.
19
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 20
Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an, h. 74
40
Perlu diketahui juga, di balik kekuasaan Allah S w t dalam berkehendak
atau menciptakan sesuatu, terdapat sebuah pelajaran sekaligus menjadi peringatan
bagi hamba Nya, yakni hanya sesuatu yang “mungkin” terjadi, itulah kuasa Allah
Swt dalam menciptakan segala sesuatunya, dalam artian selagi dalil-dalil
kekuasaan Allah Swt tidak bersebrangan dengan logika manusia.21
Untuk
memahaminya, ada sebuah perumpamaan kecil yang terkadang seseorang terjebak
dalam sebuah pertanyaan tersebut.22
Mampukah Allah Swt menciptakan batu yang sangat besar sehingga
Allah Swt sendiri tidak bisa mengangkatnya? Jawabannya adalah jelas, itu
adalah sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada Allah Swt. Karena dalam
menciptakan segala sesuatunya Allah Swt menghubungkanya dengan segala
sesuatu yang “mungkin” terjadi, diluar itu Allah Swt tidak akan menjadikannya
sesuatu itu.23
Tanda kekuasaan Allah Swt adalah sebagaiman yang dijelaskan di atas,
apabila Allah Swt sudah berkehendak apa pun bisa terjadi, dan hal itu juga
berlaku untuk permasalahan tentang kematian, tidak ada yang bisa menghindar
atau menjauh dari kematian ketika Allah Swt sudah berkehendak.
QS. al-An‛âm
Artinya: Dan dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua
21
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 3, h. 593 22
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 23
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan
41
hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga,
sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia
diwafatkan oleh malaikat-malaikat kami, dan malaikat- malaikat kami
itu tidak melalaikan kewajibannya. (Q.S. al-An‛âm 6: 60-61).24
Surah al-An‛âm menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam
surah Makkiyyah bagian ketiga,25
adapun ayat ini menjelaskan bahwa Allah Swt
menunjukan salah satu ke maha kuasaan terhadap makhluknya. Allah Swt
mampu memindahkan keadaan seseorang dari tidur menjadi terbangun, dari yang
hidup menjadi mati, dan Allah Swt mengatur semua itu dengan sebaik-baiknya.
Menurut Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, dalam lafazh Alladzî
yatawaffâkum billaili, yakni atas kehendak dan kuasanya Allah Swt dzat yang
menggenggam kematian seseorang di malam hari. Seperti yang terdapat dalam
Qs. al-Zumar: 42, Allah Swt memegang jiwa seseorang dalam keadaan mati
maupun sebelum kematiannya. Allah Swt menggenggam nyawa seseorang pada
saat kematianya dan nyawa seseorang yang belum mati di waktu tidurnya. Pada
hakikatnya antara kematian dan tidur itu merupakan satu jenis, namun yang
membedakan antara keduanya adalah jika mati itu terputusnya ruh dari jasad
secara sempurna, sedangkan jikalau tidur terputusnya ruh dengan jasad secara
tidak sempurna, Allah Swt akan mengembalikan nyawa seseorang hingga
seseorang tersebut terbangun dari tidurnya sampai batas waktu yang telah
ditentukan (kematianya). Wa ya‛lamumâ jarahtum binnahâr, seseorang tersebut
dibangunkan lagi di waktu siang hari berupa kesadaran dan sesungguhnya
Allah Swt maha mengetahui atas segalanya. Dari semua penjelasan di atas,
bahwa Allah Swt adalah dzat yang maha kuasa, Allah Swt menjadikan sesuatu
24
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 25
Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, h. 74
42
yang belum ada menjadi ada dan meniadakan sesuatu yang ada menjadi tidak
ada, dan hanya kepada-Nya lah kita dikembalikan.26
Dijelaskan pula dalam Q.S. al-Zumar ayat 42, bahwa Nizhâm al-Dîn al-
Naisâbûri menyebut tidur adalah satu jenis yang sama dengan mati. Hanya saja
yang membedakan antara keduanya adalah jikalau tidur itu terputusnya ruh yang
tidak sempurna, masih memiliki sifat hidup pada umumnya, seperti halnya
bernafas dan lainya, sedangkan mati itu terputusnya ruh secara sempurna, tidak
adanya tanda-tanda kehidupan.27
Diteruskan dalam ayat selanjutnya, yang dimana lagi-lagi berbicara
tentang begitu sempurnanya Allah Swt, Allah itu Maha kuasa. Bahwa Allah
Swt itu berkuasa di atas hambanya, seperti halnya dalam lafadz yadullah
fauqa aydîhim bukan dimaknai secara harfiah bahwa Allah Swt itu ada di atas
tangan mereka, bahwa Allah Swt mempunyai tangan dan sebagainya,
melainkan yang dimaksud adalah kekuasaan yang Allah Swt miliki. Dalam
kaitanya dengan kematian, kematian adalah sepenuhnya hak Allah Swt,
kapanpun dan di manapun Allah Swt berhak atas semua yang telah
ditetapkanya sesuatu itu.28
Menurut Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Di samping itu Allah Swt juga
mempunyai mahluk yang bernama malaikat, di mana para malaikat ini
mempunyai kewajiban masing-masing, yakni menjalankan tugas yang telah
diperintahkan Allah Swt untuknya. Salah satunya adalah malaikat pencabut
nyawa, perlu ditegaskan bahwa Allah Swt menugaskan para malaikat bukan
26
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 3, h. 95 27 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 198 28
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 3, h. 95
43
berarti Allah Swt sendiri tidak mampu melakukanya, jelas-jelas jika itu terjadi
maka itu adalah sifat muhal yang dimiliki Allah yang berarti Allah itu batal,
bukan begitu, melainkan itu adalah sunnatullah yang sudah Allah Swt tetapkan.
Disamping itu para malaikat dalam menjalankan tugasnya tidak lain atas izin
Allah Swt. Karena Allah Swt sudah menetapkan segala sesuatunya.
Dijelaskan juga bahwasanya pada setiap mahluk (manusia) itu terdapat
malaikat yang ditugaskan Allah untuk menjaganya, yang disebut malaikat
hafadzoh. Ada beberapa pendapat mengenai malaikat tersebut. Pertama, ada yang
menyebutkan bahwa malaikat hafadhoh itu adalah malaikat maut, yang kedua
menyebutkan bahwa malaikat hafadzoh itu bukan malaikat maut, namun dari
perbedaan pendapat itu, para ulama lebih condong bahwa yang disebut malaikat
hafadzoh itu berbeda dengan malaikat maut, bukan jenisnya. Dijelaskan bahwa
tugas dari malaikat hafadzoh ini adalah menjaga rûh dan jiwa agar tetap bersatu
dan tetap terjaga, sebab sifat jasad dan rûh itu sangat bertolak belakang. Sifat
jasad yang cenderung bersifat kotor, bau, gelap, penuh dengan nafsu,
sedangkan sifat dari rûh itu cenderung suci, bersih bahkan bercahaya. Secara
logika jika kedua sifat tersebut disatukan, tidak mustahil lagi akan saling
bertolak, namun berkat para malaikat tersebut, keduanya dapat tetap bersatu
sampai batas waktu yang telah ditentukan.29
QS. Ali-Imran
29
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 185
44
Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia Telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (Q.S. ali-Imran 3: 185).
30
Surah Ali-Imran menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Madaniyyah.31
Adapun ayat ini menjelaskan sebagian sikap dari orang
munafik dalam perang Uhûd, mereka mengklaim dapat menghindar dari
kematian, sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat sebelumnya. Ayat ini juga
bertujuan untuk menghibur Nabi Muhammad Saw dari respon negatif dari
orang-orang Yahudi, bahwa siapapun ia, baik golongan orang yang beriman
maupun orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah Swt, pasti akan
merasakan kematian. kemudian setelah kematianya ia akan mendapat balasan
yang baik maupun yang buruk sejak kematianya, namun ketika itu belum
semua ganjaran yang diterima oleh mereka melainkan pada hari kiamat sajalah
pahala akan disempurnakan, berbahagialah bagi mereka yang ketika di dunianya
beramal baik, dan sebaliknya merugilah bagi mereka yang mendustakan ayat-
ayatnya. Untuk itu, gunakanlah masa hidup ini dengan sebaik-baiknya,
sesungguhnya kehidupan bagi orang yang tidak beriman itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan, sedangkan kehidupan bagi orang yang
beriman kehidupan adalah kesenangan sekaligus menjadikanya sebagai
kesenangan duniawi dan mengantarkanya ke akhirat nanti.32
Menurut Naisaburi, kematian juga disifati dengan sebuah proses
sebelum mengalaminya, yang menandakan sebagai sebuah proses dari kematian
30
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 31
Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, h. 74 32
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 2, h. 322
45
itu sendiri, rasa sakit dan kenikmatan saat kematian merupakan sebagian kecil
saja kepedihan dan kenikmatan yang akan dirasakan. Masih ada kenikmatan
dan kepedihan yang melebihi, yakni setelah proses kematian itu. Kematian bagi
orang yang beriman adalah sebuah kenikmatan, yakni sebelum kematian
menjemput, Malaikat datang dengan menunjukan tempatnya di surga, sebaliknya,
bagi orang kafir sesaat sebelum kematianya tiba, malaikat datang dengan wajah
yang menakutkan dengan menunjukan tempatnya di neraka. Jadi jelas, bahwa
setiap sesuatu yang bernyawa, siapapun itu baik orang yang beriman maupun
orang kafir, nabi sekalipun pasti akan mengalami, mencicipi sebuah kematian,
dan setelah itu hanya kepada-Nya lah semua akan kembali.33
Setiap perbuatan yang dilakukan di dunia entah itu kebaikan atau
keburukan akan mendapatkan balasan, seperti yang di jelaskan di atas bahwa
keiman dan kebaikan akan mendapatkan kenikmatan tetapi sebaliknya kekafiran
dan perbuatan yang buruk akan mendapatkan balasan yang setimpal.
QS. An-Nisa
Artinya: Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka
memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan
kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini
(datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang)
33
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 2, h. 322
46
dari sisi Allah". Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-
hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? (Q.S. al-Nisa 4: 78).34
Surah al-Nisa‟ menurut al-Qathan tergolong ke dalam surat Madaniyyah.35
Adapun ayat ini, berdasarkan analisis penulis, mengasumsikan pendapat Nizhâm
al-Dîn al-Naisâbûri menjelaskan tentang sebuah kekhawatiran akan tertimpa
kematian. Adapun tujuan dari ayat ini adalah seakan diwajibkanya sebuah perang,
dimana dengan peperangan tersebut seseorang merasa takut akan kematian dengan
peperangan tersebut, rasa kekhawatiran maupun ketakutanya melebihi rasa
takutnya kepada Allah Swt. Tidak lain sasaran dari ayat ini adalah orang-orang
kafir. Padahal jelas, meskipun berlindung dalam tembok yang kokoh sekalipun
kematian pasti akan menjemput, kapanpun waktunya dan di manapun
tempatnya kematian pasti akan menjemput setiap makhluk yang bernyawa.36
Lebih jelas tentang penjelasan ayat ini menurut penulis melihat dari
penafsiran Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri bahwa kemunafikan orang-orang kafir
dalam menghadapi segala ujian yang Allah Swt berikan merupakan hal yang
sia-sia, karena kematian tidak dapat dihindari.
B. Kematian awal kehidupan
Dalam kategori ini menjelaskan tentang awal kehidupan setelah dunia
menurut Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri. Dalam perjalanan hidup manusia akan
melalui 7 tahap perjalanan hingga akhirnya mendapat kemenangan bertemu
dengan Allah di surga atau terpuruk dilembah neraka. Tiap tahap ditempuh
34
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 35
Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, h. 74 36
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 2, h. 451
47
dalam waktu yang berbeda mulai dari hitungan beberapa bulan hingga ribuan
tahun. Inilah ke empat alam yang akan dilalui oleh setiap manusia.37
Manusia merupakan makhluk terakhir yang diciptakan Allah Swt. setelah
sebelumnya Allah Swt telah menciptakan makhluk lain seperti malaikat, jin,
bumi, langit dan seisinya. Allah Swt menciptakan manusia dengan dipersiapkan
untuk menjadi makhluk yang paling sempurna. Karena manusia diciptakan untuk
menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi dan memakmurkannya.38
Menurut Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri persiapan pertama, Allah Swt mengambil
perjanjian dan kesaksian dari calon manusia, yaitu ruh-ruh manusia yang berada di
alam arwah.39
Allah Swt mengambil sumpah kepada mereka sebagaimana disebutkan dalam
Al- Qur‟an surat Al-A‟raf sebagai berikut:
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-
anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS. Al-a‟raf 7:172).40
Setelah mati, manusia memasuki alam barzah atau alam kubur. Alam kubur
merupakan tempat penantian arwah orang-orang yang sudah meninggal sebelum
37
Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, h. 344. 38
M. Quraish Shihab, Menjemput Maut, h. 98 39
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 551 40
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006).
48
dibangkitkan kembali oleh Tuhan dalam bentuk baru. Di situ, roh menunggu
alam baru yang dimulai dengan Kiamat.41
Di alam kubur, arwah orang-orang yang telah meninggal dunia menunggu
datangnya hari kiamat, hari di mana semua ruh akan dibangkitkan dan
dikumpulkan di Padang Mahsyar, untuk selanjutnya di hisab. Dari Hisab inilah
akan diketahui apakah seseorang masuk surga atau neraka. Surga dan neraka
adalah alam akhirat, alam akhirat manusia. Di alam kubur manusia menunggu
untuk dibangkitkan pada hari kiamat. Waktu penantian ini bisa berlangsung jutaan
tahun bahkan milyaran tahun.42
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri menyebutkan bahwa orang yang sudah
meninggal dunia akan menemui suatu perbatasan antara dunia dan akhirat, antara
kematian dan kebangkitan di kemudian hari, masa itu disebut alam barzah. Allah
Swt menjelaskan dalam al-Qur‟an surat Al-Mu‟minun sebagai berikut:
(Demikianlah Keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang
kematian kepada seseorang dari mereka, Dia berkata: "Ya Tuhanku
kembalikanlah aku (ke dunia). agar aku berbuat amal yang saleh
terhadap yang telah aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu
adalah Perkataan yang diucapkannya saja. dan di hadapan mereka ada
dinding sampal hari mereka dibangkitkan (QS. Al-Mu‟minun 23: 99-100)43
Setelah mati, manusia akan menuju kehidupan alam kubur. Inilah tempat
manusia menanti datangnya kiamat dan hari kebangkitan. Di dalam kubur,
keturunan, pangkat martabat dan kekayaan seseorang tidaklah berarti. Setiap
41
Rosihon Anwar, Akidah Akhlak, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 180 42
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 3, h. 343 43
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006).
49
orang akan diperlakukan berdasarkan amal perbuatan selama di dunia. Ketika
masuk ke dalam kubur, segala hal yang duniawi ditinggalkan.44
Di dalam kubur juga akan diperihatkan tempat yang kelak dihuni
seseorang setelah dia dibangkitkan. Jika orang itu membawa amal saleh. Dia
akan melihat tempatnya di surga. Sedangkan yang dibawanya adalah dosa dan
amal buruk, dia akan melihat tempatnya di neraka.45
Singkatnya adalah bahwa ketika seorang hamba sudah mencapai batas
kehidupan yang diakhiri dengan kematian, mereka akan ditanya kembali oleh
Allah Swt sebagaimana manusia ditanya ketika berada dialam Rahim. Dan
pertanya Allah Swt kepada manusia ketika dialam barzah akan menghantarkan
manusia kepada dua pilihan, pertama nikmat kedua laknat/siksaan. Yang dimaksud
nikmat disini manusia akan diberikan rasa aman dan dimasukan kedalam surga
setelah melalui proses pertanyaan dan pertanggung jawaban, adapaun siksa adalah
manusia akan dimasukan ke neraka apabila dia tidak menjawab pertanyaan ketika
di alam kubur, dengan istilah lain ketika manuisa sudah ditimbang amal
perbuataannya dan amal tersebut lebih banyak salahnya ketimbang benarnya maka
manusia akan dimasukan kedalam neraka.
C. Mati dalam keadaan kafir
Dalam kategori ini menjelaskan tentang kematian dan orang kafir, selama
ini kematian identik diartikan sebagai ketiadaan, akan tetapi disisi lain kematian
juga diartikan untuk menggambarkan sebuah perumpamaan, yakni tertutupnya
hati seseorang, yang biasa dikenal dengan sebutan kafir.46
Dalam kategori
ini juga menjelaskan bagaimana keadaan orang-orang kafir ketika datang
44
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 577 45
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 5, h. 135 46
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Asrâr al-Tanzîl wa Anwâr al-Tanwîl, h. 756
50
kematian yang menimpanya. Adapun ayat-ayat al-Qur‟an yang termasuk dalam
kategori ini adalah:
QS. Al-baqarah
Artinya: mengapa kamu kafir kepada Allah, Padahal kamu tadinya mati, lalu
Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya
kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? (QS. Al-Baqarah
1: 28).47
Adapun ayat ini Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri menjelaskan tentang ketidak
percayaan orang kafir terhadap kabar dari nabi Muhammad Saw yang
mengabarkan berita kepastian akan datangnya kematian, yang tidak di percayai
oleh oarang-orang kafir, yang meskipun dalam hati mereka mempercayai akan
datangnya kematian itu, akan tetapi mereka mengingkari perasaaan itu karena
kebodohan mereka sendiri.48
Juga di jelaskan lebih lanjut bahwa manusia itu di ciptakan di dalam rahim
dan di hidupkan di dunia kemudian dimatikan menuju alam kubur dan
dihidupkan kembali ketika di tiup sangkakala atau ketika di tanya di alam kubu,.
Ketika mereka di tanya di alam kubur mereka akan diberikan 2 perkara pahala
atau siksaan. Kemudian lebih lanjut Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri menjelaskan
bahwa manusia akan di bangkitkan dari kematian sebagaimana firman Allah SWT
dalam ayat:
47
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 48
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 1, h. 208
51
Artinya: Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian
menghidupkannya kembali.(QS. Al-Baqarah 1: 259).49
Artinya: Maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu”(QS: Al-
Baqarah 1: 243).50
Artinya: setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya
kamu bersyukur (QS. Al-Baqarah 1: 56).51
Artinya: dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling
bertanya di antara mereka sendiri.(QS.Al-Kahfi 18: 19)52
Artinya: Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat
gandakan bilangan mereka.(QS. Al-Anbiya 21: 84)53
Penjelasan mengenai penafsiran di atas, penulis dapat mengambil analisis
bahwa kebodohan dan ketidaktahuan orang kafir terhadap permasalah kematian
dengan cara tidak mempercayai, sehingga Allah Swt mempertanyakan hal itu
kepada mereka, dan Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri menjelaskan bahwa sebenarnya
dalam hati orang-orang kafir itu ada kalanya mereka mempercayai tapi karrena
keegoisan mereka, maka siksaaan adalah ganjaran yang di dapatkan.
49
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 50
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 51
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 52
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 53
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006).
52
QS. al-An‛âm:
Artinya: Hanya mereka yang mendengar sajalah yang mematuhi (seruan
Allah), dan orang-orang yang mati (hatinya) ,akan dibangkitkan oleh Allah,
Kemudian kepadaNyalah mereka dikembalikan. (Q.S. al-An‛âm 6: 36).54
Surah al-An‛âm menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Makkiyyah bagian ketiga atau bagian akhir.55
Ayat ini menjelaskan tentang
orang- orang yang tertutup hatinya (kafir) akan seruan Allah Swt, lebih tegas
lagi, menurut Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri orang-orang ini tergolong ibarat orang
mati, seyogyanya ia mendengar tapi tidak bisa mendengar, ia melihat tapi tidak
bisa melihat (kekuasaan Allah Swt). Dan hanya orang yang berimanlah yang
dapat mendengar melihat dan menerima seruan- seruan Allah Swt. Namun dalam
tafsir ini, Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri menjelaskan makna yang berbunyi “dan
hanya orang yang mati (hatinya), akan dibangkitkan Allah” yang dimaksud
adalah Allah Maha kuasa, Dzat yang Maha membolak-balikan hati, Allah Swt
memberikan sebuah perumpamaan sederhana, Allah Swt mampu menghidupkan
sesuatu yang telah mati, membangkitkan kembali semua yang telah mati,
begitupun hati seseorang, Allah Swt mampu membuka hati seeorang yang
telah tertutup atau mati hatinya sehingga dapat menerima atau mendengar seruan
Allah Swt. Begitupun sebaliknya, Allah Swt mampu menutup hati orang yang
beriman, itu semua tidak lain karena sifat kuasa yang dimiliki Allah Swt.56
Dari penjelasan di atas, singkatnya adalah penulis berkesimpulan bahwa
kondisi orang kafir ketika sudah diberikan pertanyaan di alam kubur mereka akan
54
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 55 Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 75 56
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 3, h. 72
53
kekal didalam neraka, salah satu sebabnya adalah mereka mengingkari berita
yang di bawa oleh nabi Muhammad Swt sehingga apapun berita yang datang
kepada mereka akan mereka ditolak dan itu yang menjadikan mereka dberikan
siksa.
QS. al-Baqarah: 161.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan
kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia
seluruhnya.(Q.S. al-Baqarah 2: 161).57
Adapun ayat ini menjelaskan tentang balasan orang-orang yang
mengingkari ayat-ayat Allah Swt dan kehinaanya hingga akhir hayatnya dan
setelah kematianya tiba, penyebutan kata “kafir” dalam ayat ini bersifat umum,
yakni ditunjukan kepada semua orang kafir yang hidup di zaman Nabi. Abu
Muslim berpendapat, yang dimaksudkan dengan kafir adalah orang-orang yang
menyembunyikan ayat-ayat Allah (bangsa Yahudi). Dijelaskan bahwa mereka
yang termasuk dalam golongan kafir akan dilaknat semasa hidupnya, tidak
sampai disitu merekapun akan dilaknat setelah kematianya tiba. Namun itu
semua dikhususkan bagi mereka yang tergolong kafir semasa hidup hingga
akhir hayatnya, tidak terkecuali bagi mereka yang sebelum kematiannya tiba
mereka bertaubat, beriman kepada Allah Swt.58
Menurut Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, ancaman yang diserukan kepada
orang kafir juga diberlakukan kepada malaikat dan seluruh manusia, bahwa
57
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 58
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 1, h. 448
54
mereka pun akan melaknat orang kafir tersebut ketika di akhirat nanti. Bahkan di
dalam rombongan kafir sekalipun mereka saling mengingkari, pendapat sebagian
ulama lain mengatakan khusus semua orang mukminlah yang berhak melaknat
orang kafir tersebut. Dalam akhir ayat ini di jelaskan laknat yang ditunjukan
adalah untuk orang yang benar-benar kafir, dan laknat tersebut bersifat wajib,
dalam artian memang benar-benar terjadi setelah kematianya tiba, yakni siksa
akhirat.59
Secara garis besar ayat tersebut di atas dan komentar Nizhâm al-Dîn al-
Naisâbûri menjelaskan bahwa laknat atau siksaan yang pedih hingga kiamat tiba
hanya dikhususkan kepada orang-orang kafir yang sama sekali tidak beriman
kepada Allah Swt dan Rasulnya, sehingga para malaikat pun melaknat mereka
bahwa orang-orang kafir disiksa hingga hari kiamat.
QS. Ali-Imran
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka
tetap dalam kekafirannya, Maka tidaklah akan diterima dari seseorang
diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan
emas (yang sebanyak) itu. bagi mereka Itulah siksa yang pedih dan sekali-
kali mereka tidak memperoleh penolong. (Q.S. ali-Imran 3: 91).60
Surah Ali-Imran menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Madaniyyah,61
Adapun ayat ini menjelaskan tentang permohonan pertaubatan
yang dilakukan oleh orang-orang kafir yang menyesali perbuatanya selama di
59
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 1, h. 448 60
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 61
Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, h. 74
55
dunia. Adapun sebelum membahas tentang penyesalan orang kafir, menurut
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri menggolongkan kafir dan pertaubatanya dalam tiga
macam, pertama, kafir yang bertaubat secara serius, bersungguh-sungguh
sehingga pertaubatanya itu diterima oleh Allah Swt, yang dimaksud pertaubatan
disini adalah keluar dari kekafirannya, lalu masuk agama islam. seperti yang
disebutkan pula dalam Q.S. Ali-Imran (Q.S. 3:89. kedua, adalah orang kafir
bertaubat tidak dengan sungguh-sungguh atau tidak secara serius, dalam artian
mereka sepakat dengan adanya tuhan, namun mereka tetap tidak mengakui Allah
yang Esa itu adalah tuhannya, masih mentuhankan yang lain selain Allah Swt,
sehingga pertaubatanya itu tidak diterima oleh Allah Swt. Dan yang ketiga adalah
orang kafir yang telah mati kemudian mencoba bertaubat dan menyesali
perbuatanya. Baginya adalah suatu perbuatan yang sia-sia dimata Allah Swt.62
Adapun pembahasan yang lebih spesifik dari ayat ini adalah permohonan
ampunan atau pertaubatan seorang kafir yang terlambat, mereka merasa
menyesal dikemudian hari atas perbuatanya selama di dunia, dengan tegas
mereka menyekutukan Allah Swt. Sebagai gambaran atau perumpamaan,
meskipun dengan emas yang jumlahnya seisi duniapun tidaklah mampu menebus
atas kesalahan mereka. Jadi sia-sialah permohonan ampun atau pertaubatan
seorang kafir ketika sudah berhadapan dengan Allah Swt yang maha adil.
Andaikata orang kafir tersebut mempunyai harta seperti apa yang diibaratkan
di atas, sia-sialah upaya mereka, dan memang tidak akan seperti itu, karena harta
benda adalah sesuatu yang tidak bisa menolong ketika seseorang sudah
62
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 2, h. 205
56
meninggal, hanya amal kebaikan yang senantiasa memberikan pertolongan
terhadap orang tersebut.63
Dengan demikian jelaslah bahwa orang-orang kafir ketika mereka sudah
mendapati kematian maka yang tersisa dalam diri mereka adalah penyesalan, dan
penyesalan mereka sudah tidak ada artinya lagi, sekalipun mereka menyesali
perbuatannya ketika di dunia dan mereka meminta ampun dan memohon untuk
dikembalikan atau di hidupkan kembali ke dunia agar bisa bertaubat, beriman
kepada Allah Swt, maka permohonan mereka sia-sia.
Q.S. al-Taubah
Artinya: Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan(jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri
(mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka Telah kafir kepada
Allah dan rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (Q.S. al-
Taubah 9: 84).64
Surah al-Taubah menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Madaniyyah,65
Adapun dalam ayat ini Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri menjelaskan
tentang salah satu kehinaan orang-orang dalam keadaan kafir, salah satunya
adalah dengan tidak untuk memandikan mayit, mensholati bahkan untuknya
menziarahi kuburan dikarenakan kekafirannya. Diceritakan oleh Ibn ‛Abbas
Sesungguhnya ayat ini turun ketika Abdullah Ibn Abi Salûl datang kepada Nabi
Muhammad saw untuk meminta beliau agar mensholatkan ayahnya yang
bernama Abi Salûl, kemudian Sayyidina ‛Umar r.a melarang Nabi Muhammad
63
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 2, h. 205 64
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 65
Manna al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, h. 75
57
Saw mensholatkanya dikarenakan dia adalah seorang yang kafir, dan mati dalam
keadaan kekafiranya sehingga dengan tegas Sayyidina ‛Umar r.a melarang Nabi
Muhammad saw, diceritakan pula ketika Nabi Muhammad saw hendak
mensholatkanya Sayidina ‛Umar r.a menghalang- halanginya, akan tetapi dengan
keluasan hati Nabi Muhammad saw, Nabi pun tetap mensholatkanya, dengan
alasan, Nabi Muhammad saw bersabda “aku mensholati bukan karena
menghormati orangnya, biarlah dia mati dalam keadaan seorang yang kafir, akan
tetapi dengan aku mensholatkanya tidak menutup kemungkinan banyak dari
golonganya yang kafir dapat ikut memeluk Islam”.66
Dari urian di atas, keadaan orang-orang kafir yang sudah mati mereka
tidak boleh diperlakukan seperti orang-orang yang beriman kepada allah dan
rasulnya ketika mereka sudah mati, yaitu dari mulai disholatkan sampai
dijiarahi kuburnya dan di doakan.
D. Mati dalam keadaan beriman
Dalam kategori ini menjelaskan keadaan orang beriman ketika menghadapi
kematian dan ketika mengalami kematianya. Bagi mereka kematian itu ibarat
sebuah kenikmatan, karena kematian itulah dapat mengantarkan mereka kepada
kehidupan yang sesungguhnya. Adapun ayat-ayat al-Qur‟an yang termasuk dalam
kategori ini adalah:
QS. al-Nahl
66
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 3, h. 560
58
Artinya: Yaitu orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam
keadaan baik, mereka (para malaikat) mengatakan (kepaada mereka),
“Salamun „alaikum, masuklah ke dalam surga karena apa yang telah
kamu kerjakan.”(QS. An-Nahl 16: 32).67
Ayat ini menjelaskan tentang balasan bagi orang yang bertaqwa diakhir
hidupnya, dijelaskan oleh Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri dalam kitab ini,
sesungguhnya orang yang bertaqwa ketika meninggal dunia mereka akan
diwafatkan dengan keadaan baik, adapun yang dimaksudkan dengan orang yang
bertaqwa adalah orang yang senantiasa mentaati perintah Allah Swt dan menjauhi
segala larangan-larangannya, juga disertai ahlak yang tinggi, dan terbebas ddari
akhlak yang tercela.68
Sesungguhnya tidak akan dicabut nyawa orang-orang yang bertaqwa kecuali
disertai dengan kabar gembira, yakni surga. Sehingga seolah-olah orang yang
bertaqwa melihat surga, dan dengan hal ini mereka tidak akan mengalami
kesakitan ketika dicabut nyawanya. Ketika malaikat mencabut nyawa mereka,
malaikat memperlihatkan surga dihadapan mereka, karena sesungguhnya Inilah
janji Allah Swt, Allah Swt menjanjikan surga bagi golongan hamba-Nya yang
bertaqwa.69
Gambaran dari ayat di atas memberikan pemamahan bahwa orang-orang
yang beriman ketika mereka menjumpai kematian mereka mendapat
penghormatan dari para malaikat yaitu kabar gemberi dan doa keselamatan
dengan ucapan “keselamatan bagi kalian”. Penghormatan ini diberikan oleh para
malaikat hanya untuk orang-orang yang beriman kedapa Allah swt. Jelasnya
mereka mengerjakan apa-apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah swt.
67
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 68
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 3, h. 560 69
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 3, h. 560
59
QS. al-Baqarah
Artinya: Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya,
demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya
Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali
dalam memeluk agama Islam" (QS. al-Baqarah 2: 132).70
Adapun ayat ini Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri menjelaskan tentang sebuah
wasiat Nabi Ibrahim a.s kepada anak-anaknya untuk berpegang teguh pada
agama Islam, dan janganlah mati dalam keadaan selain berpegang teguh pada
agama Islam. Kisah ini sesungguhnya diceritakan dengan bahasa yang sangat
dalam dan bersifat profokatif dengan gaya bahasa yang mengindikasikan sebuah
seruan. Kisah ini dikemas semenarik mungkin agar seseorang secara suka ria dan
tanpa paksaan untuk mengikuti sebuah pesan-pesan, yang dalam hal ini adalah
ajakan untuk tetap dalam keadaan Islam. itu semua tidak lain adalah salah satu
keindahan yang dimiliki oleh al-Qur‟an itu sendiri, dibuktikan dengan
penggunaan kata wasiat bukan menggunakan kata perintah, sebab wasiat
mengisyaratkan sebuah kehalusan makna, wasiat bersifat tidak memaksa dan
tidak ada paksaan, maka dari itu dalam Islam tidak ada suatu paksaan, lain
halnya dengan sebuah perintah, perintah cenderung memaksa dan ada sebuah
penekanan untuk terjadinya sesuatu. Untuk itu ayat ini menggunakan kata
wasiat bukan perintah untuk anak-anak Nabi Ibrahim a.s.71
70
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006).
71 Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 1, h. 400
60
Dijelaskan pula di dalam wasiat tersebut agar tetap mati dalam keadaan
Islam, sebab kematian itu bersifat gaib, di manapun dan kapanpun, tidak ada
seorangpun yang mengetahuinya. Karena kematian yang sifatnya gaib, maka
upaya untuk tetap terus dalam keadaan Islam terus ditingkatkan lagi, sebab
beruntunglah seseorang yang mati dalam berpegang teguh agama Islam,
sebaliknya orang yang mati dalam keadaan selain Islam, maka hilanglah sudah
kebahagiannya.72
QS. Ali-Imran:
Artinya: Ya Tuhan kami, Sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang
menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", Maka
kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami
dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah
kami beserta orang-orang yang banyak berbakti (QS. Ali-Imran 3: 193).73
Surah Ali-Imran menurut Manna al-Qathan tergolong ke dalam surah
Madaniyyah,74
Ayat ini menjelaskan sebuah doa atau permohonan seorang
mukmin yang memohon agar dirinya diampuni dari segala dosa-dosanya dan
diwafatkan bersama orang-orang yang baik. Dalam pandangan Nizhâm al-Dîn al-
Naisâbûri, dalam ayat ini ada tiga permohonan seorang mukmin. Pertama,
memohon pengampunan dosa, kedua, penghapusan dosa, dan yang ketiga
adalah memohon untuk diwafatkan bersama orang-orang yang baik. Dilihat
secara lafadz anatara permohonan yang pertama dan yang kedua itu memiliki arti
72
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 73
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006). 74
Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, h. 74
61
yang sama, yakni memohon pengampunan dosa. Namun menurut Nizhâm al-Dîn
al-Naisâbûri menambahkan lagi, untuk lafadz ghafara itu berfaidah memohon
ampunan secara sungguh-sungguh, adapun lafadz takfir/ kaffara berfaidah
memohon ampunan atas dosa yang cenderung sering terjadi dan secara tidak
langsung terulang dan terulang kembali.75
Wafatkanlah bersama orang-orang yang baik, maksud dari penjelasan
ungkapan tadi adalah sebuah permohonan untuk diwafatkan bersama orang-orang
yang baik, yakni ikut disertakan, ikut dikumpulkan kelak dihari kiamat bersama
golongan orang- orang yang baik, orang yang beriman. Meskipun derajat berbeda
akan tetapi diikut sertakan dalam golongan mereka (orang baik) adalah suatu
keberuntungan bagi orang mukmin.76
QS. An-Nisa.
Artinya: Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di
muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa
keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-
Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat
yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. An-Nisa 4:
100).77
75
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 2, h. 240 76
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 2, h. 240 77
Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: CV, Diponogoro,
2006).
62
Surah al-Nisa‟ menurut al-Qathan tergolong ke dalam surat
Madaniyyah,78
Adapun ayat ini menjelaskan tentang salah satu penguraian
nikmat bagi orang mukmin yang melakukan hijrah ke jalan Allah Swt. Hijrah
merupakan salah satu seruan Allah Swt untuk hambanya. Dalam ayat ini
dijelaskan oleh mufassir Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, bahwa hijrah yang
dimaksud disini adalah keluar dari rumah untuk berjihad. Dijelaskan pula,
maksud dari seruan Allah Swtuntuk hijrah keluar dari rumahnya sendiri
adalah seseorang mukmin yang berhijrah dijalan Allah Swt akan menemukan
suatu kebatilan, sesuatu yang hina diluar sana, yakni orang-orang kafir. Allah
Swt menegaskan kembali, bahwa berhijrah adalah suatu keberuntungan,
barangsiapa yang melakukanya dengan sungguh-sungguh adalah pahala baginya,
kenikmatan baginya. Adapun jika dalam perjalanan hijrah tersebut mengalami
kekalahan dikarenakan orang kafir bahkan mengalami kematian, baginya
adalah suatu kenikmatan, surga baginya.79
78
Manna al-Qathan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, h. 74 79
Nizhâm al-Dîn al-Naisâbûri, Gharâib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan, Jilid 2, h. 470
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī menggunakan pembahasan yang lebih rinci dengan
menafsirkan ayat-ayat kematian lebih banyak pada surah al-Baqarah dan al-Imran, yang dimana
lebih menjelaskan secara mendalam semua aspek tentang kematian baik bagi orang kafir
maupun bagi orang yang beriman.
Dari yang sudah dijelaskan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan;
1. Yang dimaksud hidup adalah ketika ditiupkannya ruh ke dalam jasad.
2. Kematian merupakan pintu gerbang menuju kehidupan selanjutnya.
3. Urusan mati hanya Allah Swt yang tahu, seperti halnya hari esok dan kiamat.
4. Allah Swt memberikan tanda bagi sesuatu yang di luar nalar manusia, tidak terkecuali
rahasia kematian.
5. Menurut Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī kematian dapat diartikan sebagai jiwa yang pasif
karena tidak bisa melakukan apa-apa.
6. Kematian juga dapat dikatakan layaknya wujuduhu ka „adamihi (adanya seperti tidak
adanya). Jadi jika seseorang hidup karena untuk ibadah kepada Allah Swt, dan orang
kafir tidak beribadah, maka dapat dikatakan orang kafir sudah mati sebelum
merasakan kematian dalam arti sesungguhnya.
7. Nikmat dan siksa dapat dirasakan manusia sebelum datangnya mati.
8. Kematian dapat dibagi menjadi dua, yaitu kematian bagi orang kafir dan mukmin.
9. Orang kafir sudah merasakan siksa sebelum mati karena perbuatannya.
10. Sedangkan orang mukmin sudah merasakan nikmat sebelum mati karena
perbuatannya.
64
B. Saran-saran
Setelah melalui proses dan penelitian terhadap kitab tafsir Garā‟ib al-Qur‟ān wa Ragā‟ib
al-Furqān karya Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī, sebagai upaya pengembangan di bidang tafsir,
maka penulis mengemukakan saran sebagai berikut:
1. Untuk melakukan penelitian lebih dalam mengenai corak dan metode penafsiran Garā‟ib
al-Qur‟ān wa Ragā‟ib al-Furqān dari sudut pandang bahasa, dan tema-tema mengenai
masalah hokum.
2. Dan untuk mencari lebih lanjut mengenai biografi Niẓām ad-Dīn al-Naisābūrī, karena
hal itu merupakan hal yang termasuk susah dalam pencariannya.
65
DAFTAR PUSTAKA
Anwar. Ipah Syaripah, Efektifitas Mengingat Kematian Berdasarkan Pemikiran al-Ghazali
Dalam Menurunkan Agresi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2013.
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia. 2005.
Arifin. Bey, Hidup Sesudah Mati. Jakarta: CV. Kinta. 1994.
Arikunto. Suharsimi, Prosedur Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2002.
Al-Asyqar. Sulaiman, Ensiklopedia Kiamat, Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta. 2007.
Azra, Azyumardi.. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Angkasa. 2008 .
-------, Ensiklopedi Islam Jilid 1. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. 2001
Baraja. Abbas Affan, Ayat-Ayat Kauniyah Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam al-Qusyairi
terhadap Ayat Kauniyah dalam al-Qur‟an, Malang: UIN Malang Press, 2009
Chalil. Komarudin,. Sense of Death “Kepekaan terhadap kematian”. Bandung: Pustaka Madani.
2006
Departemen Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Bandung : C.V. Diponegoro. 2006.
Fachruddin. Ensiklopedi al-Qur‟an. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2000
Fauzi, Achmad. : CV. Pustaka Setia. 2009.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. Mu‛jam Mufahrâs li al-fadz al-Qur‟an al- Karim. Kairo: Dar al-
Hadis. 2007
Al-Ghazali. Ba‛da al-Maut “Konsep Hidup Sesudah Mati”. Bandung: Husaini 2001
Ghofur. Syaiful Amin, Mozaik Mufassir al-Qur‟an: Dari klasik hingga kontemporer.
Yogyakarta: Kaukaba Dipantara. 2013.
Hadiri. Choiruddin, Klasifikasi Kandungan al-Qur‟an. Jakarta: Gema InsaniPress. 1994.
Siddiqie. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Studi al-Qur‟an. Jakarta: Bulan Bintang 1980.
Hidayat. Komarudin, Psikologi Kematian: Mengubah kematian menjadi optimisme. Jakarta:
Hikmah, PT. Mizan Publika. 2006.
Huda. Muhammad Syamsul, Pandangan al-Ghazali Tentang Kebangkitan Jasmani Dalam
Kitab Tahafudz al-Falasifah. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2013.
Al-Dzahabi. Husaiyn Muhammad, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Dar al-Fikr: Beirut.
Ilmi. Fahrul, Hadis Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bagi Orang Meninggal (Studi Kritik
Sanad dan Matan Hadis). Yogyakarta. 2008.
66
-------, Mabahits fî Ulumil Qur‟an: Pembahasan ilmu-ilmu al-Qur‟an 2. Jakarta: PT. Rineka
Cipta. 1994
Jaeni, Ahmad, Tafsir Simbolik al-Naisâbûri dalam Garaib al-Qur‟an wa Ragaib al-Furqan, UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 2006,
Mahmud. Mani” Abdul Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komperhensif Metode Para Ahli
Tafsir. Jakarta: Raja Graffindo Persada. 2006.
Mu‟ati. Jazilatul, Kematian Menurut al-Qur‟an, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel
Surabaya, 1999.
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur‟an. Yogyakarta: LSQ ar-Rahmah. 2012
Mandzur. Ibnu, Lisânul ‛Arab. Lebanon: Dar al-Khotb al-Ilmiyyah, 2009.
Mansyur. Yusuf, Kado Ingat Mati. Bandung: PT. Karya Kita. 2008.
Al-Marâghi. Musthafa,. Terjemah Tafsir al-Marâghi, Jilid 24. Semarang: Toha Putra. Pusat
Studi al-Qur‟an (PSQ) & Ikatan Alumni al-Azhar International (IAAI) Indonesia,
Modul “Langkah Menjadi Awal Mufasir”. Jakarta. 1992
Muhammad. Ahmad Ibnu, Tabaqāt al-Mufassirī, Madinah: Maktabah al-„Ulum wa al-Hikam.
1997
Munawir. Ahmad Warson,. Kamus Al-Munawir. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Nashruddin. Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.
Al-Naisâbûri, Nizhâm al-Dîn. Garā‟ib al-Qur‟ān wa Ragā‟ib al-Furqān, Dar al-Kutub Ilmiyah:
Beirut. 1996.
Rohmah, Siti, Al-Nasikh wa Al-Mansukh dalam Pandangan Al Naisâbûri (Telaah Pemikiran Al-
Naisâbûri dalam Garā‟ib al-Qur‟ān wa Ragā‟ib al-Furqān), Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Islam, UIN Kalijaga, Yogyakarta, 2008
Al- Qattan. Mana Khalil, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an. Terj. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
2011.
Al-Râzi. Fakhruddin, Tafsîr Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut. 2005.
Rusmana. Dadan, Al-Qur‟an dan Hegemoni Wacana Islamologi Barat, Bandung: Pustaka
Setia. 2006
Syahin. Abdul Shabur, Saat al-Qur‟an Butuh Pembelaan, Jakarta: Erlangga. Sirajuddin. 1993.
-------, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve. 2006.
Shihab. Quraish, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan peran Wahyu Dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan 1994.
-------, Wawasan al-Qur‟an. Bandung: Mizan. 2010.
67
-------, Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan, dan keselerasan al-Qur‟an, jilid 12. Ciputat Jakarta:
Lentera hati. 2005.
-------, Al-Lubâb. Jakarta: Lentera Hati. 2013
-------, Menjemput Maut: Bekal perjalanan menuju Allah SWT, Jakarta: Lentera
Hati. 2004.
Sudarto, Metodologi Penelitian filsafat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta2013.
As-Syufi. Mahir Ahmad, Ensiklopedia Akhirat, Misteri Kematian dan Alam Barzakh (al-Maut
wa alam al-Barzakh Jilid 3). Solo: Tiga Serangkai. 2007
Taher. Ahmad, Tafsir Sufi Isyari Al-Naisâbûri (Studi Gharâib al-Qur‟an wa Raghaib al
Furqan), UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 2014.
Wijaya. Mathin Kusuma, Makna Kematian Dalam Pandangan Jalaluddin Rahmat, Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga. 2009.
Recommended