View
297
Download
6
Category
Preview:
DESCRIPTION
Tugas Penelitian
Citation preview
KERAPATAN POPULASI Tubifex sp DI KAWASAN SUNGAI
UNLAM BANJARMASIN
(Oleh: Hadi Siswanto, 23 hal, 2012)
ABSTRAK
Kehadiran dan kemelimpahan organisme pada suatu ekosistem dapat memberikan gambaran mengenai perubahan kondisi fisik dan kimia lingkungan. Odum (1998) menyatakan bahwa indeks diversitas organisme dapat digunakan sebagai indikator pencemaran lingkungan perairan. Tubifex sp merupakan hewan air yang mampu hidup dengan baik di bawah kondisi defisiensi oksigen dan juga merupakan petunjuk biologis (bioindikator) parahnya pencemaran oleh bahan anorganik. Sungai yang berada di kawasan unlam memiliki aliran yang lambat karena terjadinya pendangkalan yang disebabkan oleh sampah organik maupun anorganik yang dibuang sembarangan. Sampel diambil dari 3 stasiun penelitian dan dilakukan 4 titik pengambilan pada setiap stasiun. Sampel diambil dengan menggunakan Ekman Grab, kemudian diidentifikasi di Laboratorium Biologi Pendidikan Matematika dan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Dari hasil penelitian didapatkan kerapatan populasi Tubifex sp di kawasan sungai Unlam Banjarmasin adalah 2,58 – 3,5 Parameter fisikokimia perairan yang diukur yaitu kecepatan arus, suhu air, kedalaman sungai dan pH air.
Kata Kunci: Kerapatan Populasi, Tubifex sp
BAB I
PENDAHULUAN
Kehadiran dan kemelimpahan organisme pada suatu ekosistem dapat
memberikan gambaran mengenai perubahan kondisi fisik dan kimia lingkungan.
Odum (1998) menyatakan bahwa indeks diversitas organisme dapat digunakan
sebagai indikator pencemaran lingkungan perairan.
Di dalam perairan selalu terdapat kehidupan fauna dan flora yang
memiliki pengaruh timbal balik terhadap kualitas air (Slamet, 1994). Makhluk
hidup tersebut dapat hidup dalam tipe habitat yang berbeda tergantung bagaimana
respon dan adaptasinya terhadap kondisi dan sumber daya dalam habitat itu
sendiri sehingga menyebabkan keanekaragaman makhluk hidup di dalam suatu
ekosistem (Manurung, 1995).
Menurut Soetjipta (1993), berdasarkan bentuk dan kebiasaan hidupnya,
organisme perairan digolongkan menjadi: perifiton, plankton, nekton, neuston,
dan bentos (makrozoobentos). Penelitian oleh Moch. Affandi (Sastrawijaya,
2000), hewan bentos makro yaitu spesies Tubifex sp dan Melanoides tuberculata
merupakan spesies indikator adanya oksigen terlarut (DO) rendah dan partikel
tersuspensi tinggi pada ekosistem perairan sungai.
Dengan demikian, jika persediaan oksigen dalam perairan tersebut
semakin berkurang serta bahan organik yang larut dalam air mengalami
penguraian dan pembusukan, maka pencemaran bahan organik pun akan
meningkat, sehingga Tubifex sp juga akan meningkat. Tubifex sp merupakan
hewan air yang mampu hidup dengan baik di bawah kondisi defisiensi oksigen
dan juga merupakan petunjuk biologis (bioindikator) parahnya pencemaran oleh
bahan organik (Anonim, 2009).
Arhipova (1996) dalam Johan (2009) menyatakan bahwa kelimpahan
Tubifex sp akan berkurang dimana keanekaragaman jenis organisme perairan yang
lain tinggi. Kelimpahannya akan semakin tinggi bila tegakan rendah sekali. Maka
predator pemakan cacing akan banyak dalam kondisi perairan seperti di atas. Dan
jika semua jenis cacing tak ditemui dalam perairan maka dapat dikatakan perairan
tersebut dalam keadaan tercemar logam berat.
Universitas Lambung Mangkurat adalah universitas tertua di Kalimantan.
Universitas ini di lewati sebuah sungai, sungai ini merupakan salah satu sungai
yang terdapat di Kecamatan Banjarmasin Utara. Aliran sungai ini melewati
kawasan pemukiman masyarakat dan area pedagang. Aktivitas masyarakat di
pinggiran sungai ini antara lain memancing, tempat membuang sampah baik
organik maupun yang anorganik dan juga bagi para pedagang yang berada di
pinggiran sungai ini airnya digunakan untuk mencuci peralatan makan dan
minum. Tidak ketinggalan juga para mahasiswa yang masih belum sadar dengan
masalah sampah juga sering terlihat membuang sampah ke sungai ini. Dengan
adanya beberapa aktivitas yang merugikan dikhawatirkan akan menimbulkan
dampak negatif terhadap kualitas perairan sungai di kawasan Unlam. Pemanfaatan
sungai sebagai tempat pembuangan sampah dapat menyebabkan perubahan faktor
lingkungan sehingga akan berakibat buruk bagi kehidupan organisme yang berada
di dalamnya.
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah bagaimana kerapatan populasi Tubifex sp di kawasan sungai
Unlam Banjarmasin.
Masalah yang akan dibahas hanya menyangkut kerapatan populasi
Tubifex sp yang diperoleh dengan menggunakan alat pengeruk (Ekman Grab).
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui kerapatan populasi
Tubifex sp di kawasan sungai Unlam Banjarmasin.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kerapatan populasi
Tubifex sp dan nilai H’ atau indeks diversitas sehingga dapat diketahui tingkat
pencemaran sungai Unlam Banjarmasin.
Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini yaitu:
1. Sebagai bahan informasi bagi mahasiswa program studi Pendidikan Biologi
FKIP UNLAM Banjarmasin khususnya pengikut mata kuliah Ekologi Hewan
dan Zoologi Inverebrata.
2. Sebagai sumber pustaka dalam pengajaran di SMP Kelas VII semester II
tentang sub pokok bahasan Keanekaragaman dan Pencemaran Air dan di SMA
Kelas X Semester I tentang Pokok Bahasan Keanekaragaman Hayati.
3. Sebagai sumber informasi untuk penulisan/penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Kerapatan Populasi
Populasi seringkali didefinisikan sebagai himpunan dari individu-
individu dari spesies tertentu pada suatu tempat dan waktu yang tertentu
(Manurung, 1995). Pengaruh populasi terhadap komunitas dan ekosistem tidak
hanya tergantung kepada jenis apa dari organisme yang terlibat, tetapi juga
tergantung kepada jumlahnya dengan perkataan lain adalah kerapatan populasinya
(Odum, 1998).
Menurut Manurung (1995), kerapatan populasi ialah ukuran besar
populasi yang berhubungan dengan satuan ruang (area), yang umumnya diteliti
dan dinyatakan sebagai jumlah (cacah) individu atau biomassa persatuan isi
(volume) atau persatuan berat medium lingkungan yang ditempati.
Menurut Soetjipta (1993), kerapatan populasi ialah ukuran besar populasi
yang berhubungan dengan satuan ruang yang umumnya diteliti dan dinyatakan
sebagai cacah individu atau biomassa per satuan luas atau persatuan isi.
Selanjutnya menurut Manurung (1995), kerapatan populasi suatu hewan
dapat dinyatakan dalam bentuk kerapatan mutlak (absolut) dan kerapatan nisbi
(relatif). Pada penaksiran kerapatan mutlak diperoleh jumlah hewan per satuan
area, sedangkan pada penaksiran kerapatan nisbi hal itu tidak diperoleh melainkan
hanya akan menghasilkan suatu indeks kelimpahan (lebih banyak atau lebih
sedikit, lebih berlimpah atau kurang berlimpah).
Lee et al (Saidah, 2002) mengatakan bahwa indeks diversitas suatu
organisme dalam komunitas dapat dipergunakan untuk mengetahui tingkat
perubahan lingkungan perairan akibat pencemaran. Jika H’<1,0 maka pada
perairan tersebut telah tercemar berat.
1.2. Tinjauan Umum tentang Tubifex sp
Tubifex sp merupakan organisme dasar (bentos) yang suka
membenamkan diri dalam lumpur seperti benang kusut dan kepala terkubur serta
ekornya melambai-lambai dalam air kemudian bergerak dan berputar-putar.
Tubifex sp mempunyai ciri-ciri sebagai berikut yaitu: 1). Berwarna merah
kecoklatan dengan panjang berkisar antara 10-30 mm, yang terdiri dari 30-60
segmen, 2). Memiliki dinding yang tebal yang terdiri dari dua lapis otot yang
membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya, 3). Perkembangannya dapat
dilakukan secara pemutusan ruas tubuh dan pembuahan diri (hermaprodit).
Gambar 1. Tubifex sp( Sumber : http://www.tuempeln.de/futter/futtertiere/tubifex.jpg )
Tubifex sp banyak hidup di perairan tawar yang airnya jernih dan
mengalir. Dasar perairan yang disukainya adalah berlumpur dan mengadung
bahan organik yang telah terurai dan mengendap di dasar perairan sebagai
makanan utamanya. Tubifex sp hidupnya berkoloni, yang akan membenamkan
kepalanya ke dalam lumpur untuk mencari makanan. Sementara ujung ekornya
akan disembulkan di atas permukaan dasar untuk bernapas dengan cara difusi
langsung dari udara (Johan, 2009).
Menurut Vincentius (1992) dalam Johan (2009) menyatakan bahwa
ketinggian air pada lingkungan Tubifex sp berpengaruh terhadap ketahanan hidup
dan perkembangannya. Jika air terlalu tinggi, maka koloni atau populasi Tubifex
sp tidak akan berkembang bahkan akan mengalami kematian karena Tubifex sp ini
membutuhkan oksigen dari luar untuk bernapas. Sedangkan apabila air terlalu
rendah atau sedikit, maka lingkungannya akan cepat panas sehingga Tubifex sp ini
tidak akan dapat bertahan hidup lebih lama.
Tubifex sp banyak hidup di perairan tawar yang airnya jernih dan
mengalir (Johan, 2009). Hal ini memungkinkan cahaya matahari dapat menembus
air sampai dasar perairan, sehingga dapat digunakan oleh organisme seperti
fitoplankton dan tumbuhan air lainnya yang mempunyai klorofil untuk melakukan
fotosintesis. Tubifex berkembang biak pada tempat yang mempunyai kandungan
Oksigen terlarut berkisar antara 2,75 – 5, kandungan amonia < 1 ppm, suhu air
berkisar antara 28 – 30 oC dan pH air antara 6 – 8 (Departemen perikanan dan
kelautan).
Tubifex sp merupakan cacing yang tahan hidup bahkan berkembang baik
di lingkungan yang kaya bahan organik, meskipun spesies hewan yang lain telah
mati (Anonim, 2009). Tingginya bahan organik yang mengendap di dasar sungai
menjadi habitat yang sangat menguntungkan bagi Tubifex sp seiring dengan
semakin banyaknya jumlah limbah yang dikeluarkan pertumbuhan cacing ini
semakin berkembang pesat dan kemudian menggusur jenis-jenis biota asli seperti
kijing dan remis (Anonim, 2009). Begitu juga oleh Cartwright (2004) dalam
Johan (2009), dua faktor yang mendukung habitat hidup Tubifex sp ialah endapan
lumpur dan tumpukan bahan organik yang banyak. Menurut Pennak (1978) dalam
Johan (2009) yang menyatakan bahwa populasi Tubifex sp tak bisa diperbaiki
pada kondisi yang tanpa oksigen. Secara umum konsentrasi oksigen yang lebih
rendah membuat gerakan bagian ekor Tubifex sp semakin giat untuk melambai
menghasilkan aerasi. Tetapi jika kadar oksigen mulai punah, maka Tubifex sp
menjadi diam pergerakannya.
1.3. Ekosistem Perairan
Tipe-tipe perairan menurut Nirarita et al (1996) membaginya menjadi 3
kelompok, yaitu: perairan tawar, perairan payau dan perairan asin. Perairan tawar
terbentuk karena adanya pergerakan atau aliran air permukaan atau air tanah dari
tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, sehingga air terkumpul di suatu tempat
membentuk badan air yang terbuka. Soetjipta (1993) membedakan perairan tawar
menjadi 2, yaitu perairan yang tidak mengalir, contohnya: danau, kolam dan rawa,
dan perairan yang mengalir, contohnya: mata air dan sungai.
Habitat perairan tawar secara nisbi hanya bagian kecil permukaan bumi
dibandingkan dengan habitat daratan dan habitat perairan lautan, tetapi
kepentingannya bagi kehidupan makhluk terutama bagi manusia jauh lebih besar.
Lingkungan perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kedalaman,
kecepatan arus, kecerahan, bahan organik, dan kadar oksigen terlarut.
Kedalaman perairan mempengaruhi besarnya intensitas cahaya yang
masuk dalam air untuk proses asimilasi (Soeseno, 1974). Penghuni air sungai atau
selokan tergantung kepada deras lambatnya arus air (Dwijoseputro, 1994).
Semakin deras kecepatan arus pada suatu perairan maka akan semakin sedikit
jumlah makrozoobentos yang ditemukan.
Menurut Asmawi (1994) hewan air yang kemampuan renangnya terbatas
atau tidak memiliki alat tertentu (misalnya kemampuan untuk melekat pada
substrat) jarang ditemukan pada perairan yang berarus deras. Sedangkan menurut
Soemarwoto (1994) mengatakan bahwa arus air dan gelombang dapat
memasukkan oksigen ke dalam air. Oksigen dapat membantu proses pemurnian
air yang tercemar. Kemampuan cahaya matahari untuk menembus dasar perairan
dipengaruhi oleh kekeruhan air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya partikel-
partikel kecil dan koloid yang berukuran 10 nm sampai 10 µm (Alaerts et al,
1984).
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan jenis penelitian deskriptif
dan metode observasi untuk mengumpulkan data. Sedangkan teknik yang
digunakan yaitu teknik pengambilan data menggunakan Teknik Plot.
Penelitian ini dilakukan di sungai kawasan Unlam Banjarmasin pada
hari Minggu, tanggal 8 April 2012. Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium
Biologi PMIPA FKIP UNLAM Banjarmasin.
Pengambilan sampel dilakukan di tiga stasiun yang berbeda dan tiap stasiun
terdapat 4 titik pengambilan sampel dengan ukuran 1m x 1m (Lampiran 1, denah
lokasi penelitian), yaitu:
Stasiun I : di
belakang wisma Pendikan Guru Sekolah Dasar Unlam.
Stasiun II : di
samping Kantin Kopma Unlam.
Stasiun III : di
belakang Gedung Serba Guna Unlam
Gambar 2. Stasiun I (belakang wisma Pendikan Guru Sekolah Dasar Unlam)
Gambar 3. Stasiun II (samping Kantin Kopma Unlam)
Gambar 4. Stasiun III (belakang Gedung Serba Guna Unlam)
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
(1) Sechi disk untuk mengukur kecerahan air (cm).
(2) pH meter digunakan untuk mengukur pH air.
(3) Termometer, digunakan untuk mengukur suhu air di lingkungan
kawasan penelitian (0C).
(4) Bola pimpong dan tali (metode apung), digunakan untuk mengukur
kecepatan arus dengan memperhitungkan waktu yang diperlukan oleh
alat bantu dalam menempuh jarak tertentu (m/detik).
(5) Tali atau pita dan pemberat, digunakan untuk mengukur kedalaman
perairan (m).
(6) Ekman Grab ukuran 25 x 15 cm untuk mengambil sampel.
(7) Rol meter digunakan untuk mengukur jarak antar tiap stasiun
pengambilan sampel (m).
(8) Saringan bentos untuk menyaring hewan bentos.
(9) Plastik gula, digunakan untuk menyimpan sampel yang ditemukan.
(10) Kertas label untuk memberikan label pada sampel hasil penelitian yang
didapatkan.
(11) Lup, digunakan untuk mengamati morfologi sampel hasil penangkapan.
(12) Kertas milimeter blok, digunakan sebagai alas untuk meletakkan
sampel yang ditemukan agar mudah didokumentasikan.
(13) Kamera digital, digunakan untuk membuat dokumentasi penelitian.
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
(1) Sampel Tubifex sp yang ditemukan.
Pelaksanaan penelitian dengan langkah sebagai berikut:
(1) Menyiapkan alat yang diperlukan sebelum ke lapangan (sungai).
(2) Menentukan lokasi titk pengambilan sample tersebut.
(3) Pada titik sampel, menancapkan alat penggeruk Ekcmen ke dasar
sungai kemudian menurunkan pemberat hingga Ekcmen tertutup,
mengangkatnya ke tepi sungai.
(4) Membuka alat penutup Ekcmen dan menegluarkan hasil kerukan ke
dalam wadah (ember/baskom).
(5) Menyaring hasil kerukan ke wadah lainnya.
(6) Mengambil cacing Tubifex sp yang tersaring dan memasukkannya ke
dalam plastik gula.
(7) melakukan langkah 3-6 pada titik sampel berikutnya.
(8) Mengukur pH air, kecepatan arus, kecerahan air, kelembaban air dan
suhu air pada masing-masing titik.
(9) Menghitung kerapatan spesies Tubifex sp.
Perhitungan Kerapatan Populasi Tubifex sp menggunakan rumus
sebagai Michael (1994) yaitu:
Kerapatan = jumlahtotal individu spesies
jumlah luas areatotal
Untuk pengujian menghitung indeks keanekaragaman digunakan
rumus yang dikemukakan oleh Shannon – Wiener dalam Odum (1993)
sebagai berikut :
H’ = - Σ Pi ln Pi
Dimana Pi = ni/N
ni = Jumlah individu jenis ke-i, N = Jumlah individu keseluruhan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.1. Hasil Penelitian
1.1.1. Kerapatan populasi Tubifex sp di kawasan sungai Unlam
Banjarmasin
Hasil perhitungan kerapatan Tubifex sp yang telah dilakukan di
kawasan sungai Unlam Banjarmasin didapatkan nilai kerapatan yang
berbeda-beda pada tiap stasiun. Hasil perhitungan kerapatan (K) dari
pengambilan sampel di kawasan sungai Unlam Banjarmasin adalah
sebagai berikut :
Tabel 1. Kerapatan populasi Tubifex sp di kawasan sungai Unlam Banjarmasin.
No.Tempat
penelitian
∑ individu pada
tiap titik JumlahK
(Ind/m2)
-pi
Log
pi1 2 3 4
1. Stasiun I 8 5 8 10 31 2,58 0,15
2. Stasiun II 10 8 9 11 38 3,16 0,16
3. Stasiun III 12 10 14 6 42 3,5 0,16
111H’=
0,47
Menurut Pennak (1978) sistematika Tubifex sp adalah sebagai
berikut.
filum :
Annelida
kelas :
Oligochaeta
ordo
:
Haplotaxida
famili :
Tubificdae
genus :
Tubifex
spesies :
Tubifex sp
Cacing ini termasuk kelompok Nematoda. Tubuhnya beruas-
ruas, cacing ini memiliki saluran pencernaan. Mulutnya berupa celah
kecil, terletak di daerah terminal. Saluran pencernaannya berujung pada
anus yang terletak di bagian sub terminal (Pennak, 1978). Di dalam
budidaya perairan secara umum Tubifex sp sering kali disebut cacing
rambut atau cacing sutra karena bentuk dan ukurannya seperti rambut.
Panjang tubuh dari dari tubifex ini antara 10–30 mm berwarna merah
coklat kekuningan terdiri dari 30–60 segmen. Dinding tebal yang
terdiri dari dua lapis otot yang membujur dan melingkar sepanjang
tubuhnya. Dari setiap segmen bagian punggung dan perut keluar seta
dan ujung seta bercabang dua tanpa rambut.
5.a. Gambar hasil pengamatan Gambar 5.b. Gambar LiteraturSumber: http://www.sfu.ca/~fankbone/v/tubifex.jpg
1.1.2. Parameter Fisik – Kimia Lingkungan Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Sungai Unlam
Banjarmasin diperoleh nilai rata-rata faktor fisik-kimia pada setiap
stasiun, seperti tertera pada tabel 3 berikut ini
Tabel 2. Parameter lingkungan di kawasan sungai Unlam Banjarmasin
No Parameter Stasiun I Stasiun II Stasiun III
1 Suhu Air (C0) 26 26 26
2 Kecepatan Arus (m/s) 0,4 0,62 0,5
3 Kedalaman Air (cm) 58 46 43
4 Kecerahan Air (cm) 25 23 28
5 pH Air 7,1 7 6,7
1.2. Pembahasan
Berdasarkan tabel di atas, di stasiun I (di belakang wisma Pendikan Guru
Sekolah Dasar Unlam) ditemukan 31 ekor Tubifex sp dengan kerapatan 2,58.
Pada stasiun II (di samping Kantin Kopma Unlam) ditemukan jumlah dan
kerapatan populasi Tubifex sp yaitu berjumlah 38 ekor, sedangkan nilai
kerapatannya adalah 3,16. Di stasiun III (di belakang gedung serbaguna
Unlam) ditemukan Tubifex sp sebanyak 42 ekor dan nilai kerapatannya
adalah 3,5.
Dari ketiga stasiun tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan
kerapatan populasi Tubifex sp. Hal ini terjadi diduga karena adanya beberapa
faktor yang mempengaruhi masing-masing lingkungan perairan tawar
tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain seperti suhu, kecepatan arus,
kedalaman air, kecerahan air dan pH air.
Suhu dapat menjadi faktor penentu atau pengendali kehidupan flora dan
fauna akuatis, terutama suhu di dalam air yang telah melampaui ambang batas
(terlalu hangat atau dingin). Jenis, jumlah, dan keberadaan flora dan fauna
akuatis seringkali berubah dengan adanya perubahan suhu air, terutama oleh
adanya kenaikan suhu dalam air. Dari tabel parameter lingkungan di dapatkan
suhu pada ketiga stasiun sama yaitu 26oC, suhu ini tidak sesuai dengan suhu
habitatnya Tubifex sp yaitu 28oC - 30oC. Mungkin hal ini lah yang
menyebabkan kenapa nilai kerapatan populasi Tubifex sp pada ketiga stasiun
sangat rendah.
Kecepatan arus juga mempengaruhi kerapatan populasi Tubifex sp di
perairan. Nilai arus sungai pada ketiga stasiun penelitian berkisar 0,4 – 0,62
m/s. Kecepatan arus yang lebih tinggi adalah stasiun II (di samping kantin
Kopma Unlam) sedangkan paling rendah adalah stasiun I (di belakang wisma
PGSD Unlam). Perbedaan arus sungai ini disebabkan karena sungai tersebut
memiliki kemiringan ataupun ketinggian yang berbeda dimana stasiun II (di
samping kantin Kopma Unlam) itu merupakan daerah hulu yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ketiga stasiun lainnya sedangkan stasiun I (di belakang
wisma PGSD Unlam) memiliki kedalaman yang lebih rendah sehingga air
mengalir lebih cepat dibandingkan dengan ketiga stasiun lainnya. Hal ini
sesuai dengan Asmawi (1994) yang menyatakan bahwa hewan air yang
kemampuan renangnya terbatas atau tidak memiliki alat tertentu (misalnya
kemampuan untuk melekat pada substrat) jarang ditemukan pada perairan
yang berarus deras.
Kedalaman air di kawasan sungai Unlam Banjarmasin ideal untuk
habitat Tubifex sp, yaitu tidak terlalu dalam dan juga tidak terlalu dangkal,
pada stasiun III, dengan kedalaman sungai 43 cm mempunyai nilai kerapatan
populasi Tubifex sp yang tertinggi. Vincentius (1992) dalam Johan (2009)
menyatakan bahwa ketinggian air pada lingkungan Tubifex sp berpengaruh
terhadap ketahanan hidup dan perkembangannya. Jika air terlalu tinggi, maka
koloni atau populasi Tubifex sp tidak akan berkembang bahkan akan
mengalami kematian karena Tubifex sp ini membutuhkan oksigen dari luar
untuk bernapas. Sedangkan apabila air terlalu rendah atau sedikit, maka
lingkungannya akan cepat panas sehingga Tubifex sp ini tidak akan dapat
bertahan hidup lebih lama. Oleh karena itulah, kerapatan populasi Tubifex sp
yang terendah terdapat di stasiun I.
Kecerahan air di kawasan sungai Unlam Banjarmasin, yaitu 25-28 cm.
Tubifex sp banyak hidup di perairan tawar yang airnya jernih dan mengalir
(Johan, 2009). Hal ini memungkinkan cahaya matahari dapat menembus air
sampai dasar perairan, sehingga dapat digunakan oleh organisme seperti
fitoplankton dan tumbuhan air lainnya yang mempunyai klorofil untuk
melakukan fotosintesis. Dengan adanya fotosintesis yang dilakukan
fitoplankton dan tumbuhan air maka akan memberikan oksigen terlarut yang
cukup untuk mendukung kehidupan tubifex sp.
Menurut Alaerts et al (1984) kemampuan cahaya matahari untuk
menembus dasar perairan dipengaruhi oleh kekeruhan air. Kekeruhan
disebabkan oleh adanya partikel-partikel kecil dan koloid yang berukuran 10
mm sampai 10 µm. Kekeruhan dapat menurunkan penetrasi cahaya matahari
yang masuk ke dalam badan air, sehingga menggangu proses fotosintesis
tumbuhan air seperti Hydrilla, ganggang air dan alga (Arisandi, 2009).
Sedangkan pengamatan parameter kimia yaitu pengamatan pH air untuk
mengetahui tingkat keasaman air di kawasan sungai Unlam Banjarmasin
didapatkan nilai 7,1 pada stasiun I, 7 pada stasiun II dan 6,7 pada stasiun III.
Menurut Anonim (2012) Tubifex sp berkembang biak pada pH air antara 6-8.
Dari ketiga stasiun yang berada di kawasan sungai Unlam Banjarmasin,
maka dapat diketahui bahwa nilai H’ atau indeks diversitasnya adalah 0,47.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kemelimpahan populasi Tubifex sp di
kawasan sungai Unlam Banjarmasin rendah karena H’<1. Dengan demikian,
rendahnya kemelimpahan Tubifex sp ini berarti telah terjadi pencemaran
dengan tingkatan berat pada ketiga stasiun tersebut. Seperti yang dikatakan
oleh Lee et al (Saidah, 2002) bahwa jika H’<1,0 maka pada perairan tersebut
tercemar berat. Oleh sebab itulah, Tubifex sp dikatakan sebagai petunjuk
biologis (bioindikator) parahnya pencemaran oleh bahan anorganik di suatu
perairan tertentu yang juga dapat menyebabkan matinya organisme-
organisme perairan lainnya karena tidak mampu untuk bertahan hidup pada
kondisi tersebut.
BAB V
PENUTUP
1.3. Kesimpulan
1. Kerapatan populasi Tubifex sp tertinggi terdapat pada stasiun III (di
belakang Gedung Serba Guna Unlam), dengan nilai kerapatan 3,5.
2. Kerapatan populasi Tubifex sp terendah terdapat pada stasiun I (di
belakang wisma Pendikan Guru Sekolah Dasar Unlam.), dengan nilai
kerapatan 2,58.
3. Nilai H’ atau indeks diversitas pada ke tiga stasiun di kawasan sungai
Unlam Banjarmasin adalah 0,47 yang menunjukkan bahwa
kemelimpahan populasi Tubifex sp di di kawasan sungai Unlam rendah.
1.4. Saran
1. Perlu dilanjutkan lagi penelitian tentang kemelimpahan serta pola
distribusi Tubifex sp di tempat yang sama.
2. Perlu diadakan pengamatan serupa pada beberapa perairan yang berada
di kawasan Unlam Banjarmasin.
Recommended