View
6
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Susut pascapanen dan gizi (susut hasil) perikanan di Indonesia
diduga sangat �nggi dan berpotensi menyebabkan kerugian sosial
dan ekonomi. Dalam lima tahun ke depan, susut hasil perikanan bisa
mencapai 3,8-5 juta ton/tahun, senilai Rp 63-83 triliun, atau setara
dengan 840 ribu–1 juta ton protein. Susut hasil terjadi di sepanjang
rantai pasok dari produksi hingga ke �ngkat konsumen.
Penyebabnya cukup kompleks dengan karakter yang berbeda di
�ap-�ap tahapan rantai pasok dan daerah.
Namun demikian, penerapan sistem rantai dingin yang �dak
sempurna menjadi penyebab utama. Selain itu, ketersediaan sarana
dan prasarana, serta teknologi dan prosedur dalam penanganan dan
pengolahan ikan adalah faktor penyumbang susut hasil perikanan
yang �dak dapat diabaikan. Faktor lain yang berkontribusi adalah
sumber daya manusia terkait penguasaan teknologi, kepatuhan pada
prosedur, dan pemahaman tentang nilai ikan sebagai bahan pangan
dan sumber gizi.
Upaya pengurangan susut hasil perikanan bisa dilakukan melalui
pendekatan kebijakan dan teknis. Dari sisi kebijakan, diperlukan Visi,
Misi, dan Strategi pengurangan susut hasil pangan (termasuk
perikanan) disertai pencanangan Gerakan Nasional Pengurangan
Susut Pascapanen dan Gizi Pangan. Sedangkan dari sisi teknis,
diperlukan pengadaan sarana dan prasarana, serta teknologi dan
prosedur dalam penanganan dan pengolahan ikan, disertai
peningkatan kapasitas sumber daya manusia berdasarkan hasil
kajian dan buk� (evidence-based). Keterlibatan berbagai sektor dan
masyarakat menjadi suatu keharusan dalam melaksanakan upaya-
upaya tersebut.
Ringkasan
Pendahuluan
Susut pascapanen dan gizi perikanan (susut hasil perikanan)
adalah masalah yang telah dihadapi cukup lama. Meskipun
�dak ada data valid yang dapat diandalkan, �ngkat susut
tersebut (fisik) diperkirakan berkisar antara 20-29%, baik
untuk perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.
Es�masi dalam lima tahun ke depan, susut hasil perikanan
mencapai 3,8-5 juta ton per tahun dari total produksi 15,5-
20,5 juta ton per tahun, atau senilai Rp63,3-82,8 triliun per 1tahun .
Selain menyebabkan kerugian ekonomi, susut hasil
perikanan juga menyebabkan hilangnya zat gizi yang berasal
dari ikan yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan status gizi masyarakat. Protein ikan yang
hilang diperkirakan mencapai 840 ribu – 1 juta ton per tahun,
yang bila diselamatkan dapat dimanfaatkan untuk
mencukupi kebutuhan protein anak dan ibu hamil (6-7
kg/kapita/tahun). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2018, 17,7% anak di bawah usia lima tahun
(balita) mengalami gizi buruk dan gizi kurang, 30,8% anak
balita mengalami stun�ng, dan 48,9% ibu hamil mengalami
anemia. Stun�ng dan masalah gizi lain diperkirakan
menyebabkan kerugian sekitar 3% dari Produk Domes�k
Bruto (PDB) atau senilai Rp400 triliun per tahun (World
Bank, 2014 dalam Kemendagri, Bappenas, dan TNP2K,
2018). Penyebab stun�ng antara lain adalah kekurangan
asupan makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan
mineral, serta buruknya keragaman pangan dan sumber
protein hewani
INTERVENSI KEBIJAKAN UNTUK MENGURANGI SUSUT PASCAPANEN DAN GIZI PERIKANAN
1
1. Poernomo, A. (2020). Susut Panen dan Gizi Bidang Perikanan. Jakarta: Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia.
1
Kertas Kerja Seri 3 Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia
"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”
"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”
( h � p : // s e h a t n e g e r i k u . k e m k e s . g o . i d / b a c a / r i l i s -
media/20180524/4125980/penyebab-stun�ng-anak/, 2018).
Di sisi lain, anemia pada ibu hamil umumnya disebabkan oleh
kekurangan zat gizi mikro pembentuk hemoglobin, yakni zat besi,
protein berkualitas �nggi, asam folat, dan vitamin B12. Walaupun
sumber terbaik zat-zat gizi tersebut ada pada daging merah,
sumber protein hewani lain, seper� ikan pun menjadi pilihan.
Konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada 2019 berada pada
angka 54,5 kg/kapita/tahun dan ditargetkan menjadi
62,5/kapita/tahun pada 2024. Dengan susut hasil perikanan
sekitar 20-29%, maka target konsumsi ikan baru akan tercapai
pada 2023. Itu pun masih dibarengi dengan berbagai kehilangan
atau kerugian seper� disebutkan di atas. Oleh karena itu, perlu
diambil langkah-langkah untuk meminimalkan susut hasil, apalagi
mengingat target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals-SDGs) poin 12.3 yaitu mengurangi susut
pangan per kapita sebesar 50% pada tahun 2030. Risalah ini
diharapkan dapat memberikan masukan untuk mengurangi susut
hasil perikanan di�njau dari berbagai penyebab yang dapat
diiden�fikasi berdasarkan pengamatan lapangan dan dari pustaka
yang tersedia. Di dalam risalah ini �dak dibahas mengenai susut
yang disebabkan pembuangan ikan di laut (discards) dan ghost 2fishing .
Lokus dan penyebab susut hasil perikanan Ifood and Agriculture Organiza�on (FAO) membagi susut
pascapanen menjadi dua bagian besar yaitu loss dan waste (FAO,
2019). Susut hasil (loss) adalah berkurangnya kuan�tas atau kualitas
pangan dari rantai pasok yang disebabkan oleh ak�vitas pelaku
sepanjang rantai pasok, tetapi �dak termasuk penyedia jasa pangan,
pengecer, dan konsumen. Sedangkan limbah pangan (waste) adalah
berkurangnya kuan�tas atau kualitas pangan yang disebabkan oleh
ak�vitas pengecer, penyedia jasa pangan (restoran/kafe/kan�n dan
katering), dan konsumen. Untuk memudahkan pembahasan dalam
risalah ini, susut pascapanen (susut hasil) adalah gabungan
keduanya, yaitu hilangnya pangan secara kuan�tas dan kualitas dari
rantai pasok, sejak produksi sampai konsumsi. Susut pascapanen
(susut hasil) dalam risalah ini juga �dak dirinci berdasarkan jenisnya,
yaitu fisik, mutu, nutrisi, dan pasar (market loss) sebagaimana
diklasifikasikan dalam berbagai literatur (Kruijssen et al., 2020).
Susut hasil perikanan terjadi di sepanjang rantai pasok sejak ikan
ditangkap atau dipanen, sampai dengan konsumen dengan besaran
dan karakteris�k berbeda-beda (Gustavsson et al., 2011; Kruijssen
et al., 2020). Secara ringkas Gambar 1 menampilkan penyebab susut
hasil perikanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa susut hasil
perikanan terjadi saat ikan hasil tangkapan dan budidaya �dak
mendapat perlakuan semes�nya pada saat penanganan,
pengolahan, penyimpanan, transportasi, dan distribusi, termasuk
ke�ka memasuki tahap konsumsi. Apabila lebih dikerucutkan lagi,
penyebab utama susut hasil pascapanen perikanan adalah �dak
diterapkannya Sistem Rantai Dingin (cold chain system) secara
op�mal di sepanjang rantai pasok sejak penangkapan dan
pemanenan. Beberapa kendala yang menyebabkannya telah dicatat
oleh Huss (1995). Khususnya yang terjadi di negara berkembang,
bahkan beberapa kasus masih terjadi di Indonesia, antara lain:
1. Es harus diproduksi dengan energi yang cukup �nggi. Di negara
tropis dibutuhkan 55-85 kWh/ton es, sedangkan di negara
bersuhu sedang sampai rendah, hanya dibutuhkan 40-60
kWh/ton es. Penyediaan es ini �dak murah, apalagi dengan
adanya peningkatan harga bahan bakar selama dekade terakhir
ini. Selain itu, penyediaan es juga membutuhkan sarana dan
prasarana pendukung seper� air bersih, gudang dingin, dsb.
2. Es harus diproduksi dan digunakan dalam skala ekonomi.
Penambahan es sudah pas� akan menaikkan ongkos produksi
yang pada gilirannya akan menaikkan harga ikan. Oleh karena itu,
pelaku usaha memilih-milih jenis ikan yang akan didinginkan
dengan memper�mbangkan harga.
3. Kendala prak�s. Penggunaan es dalam penanganan hasil
tangkapan akan menimbulkan beberapa masalah prak�s,
misalnya berkurangnya ruang dalam palka, serta bertambahnya
berat dalam penanganan dan pengangkutan. Semuanya itu
mempunyai implikasi ekonomi.
4. Persepsi yang salah tentang kesegaran ikan. Di banyak negara
berkembang, bahkan di Indonesia, masih banyak konsumen yang
berpendapat bahwa ikan yang didinginkan dengan es adalah ikan
�dak segar, bahkan memiliki rasa dan aroma yang berbeda. Hal ini
menyebabkan preferensi konsumen terhadap ikan yang
didinginkan dengan es turun, meskipun sebenarnya konsumen
mengetahui bahwa ikan yang �dak didinginkan �dak sesegar
ikan yang didinginkan dengan es. Is�lah ikan segar dan ikan yang
didinginkan dengan es sering dipertentangkan, akibatnya
penjual lebih sering memajang ikan yang �dak didinginkan
dengan es.
5. Perlunya teknologi penanganan yang tepat. Mendinginkan ikan
dengan es sebenarnya �dak memerlukan teknik yang rumit,
namun prak�k pemberian es ternyata berbeda jika dibandingkan
antara negara maju dan negara berkembang. Di negara maju,
teknologi dikembangkan untuk mengurangi ongkos kerja dengan
tetap mengutamakan es dan kualitas ikan, misalnya dengan
otoma�sasi. Sementara itu di negara berkembang, pengurangan
ongkos produksi lebih banyak dilakukan dengan mengurangi
penggunaan es.
Prak�k-prak�k penanganan pascapanen perikanan yang �dak baik
(poor handling prac�ce) tersebut telah memicu terjadinya susut hasil
perikanan di hulu, terutama dari sisi kualitas yang pada gilirannya
akan menyebabkan susut ikutan di tahap selanjutnya. Di tahap
pengolahan, penguasaan teknologi masih belum memadai,
terutama oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal ini
diperberat dengan prak�k sanitasi dan higiene yang sering
diabaikan oleh pengolah maupun pemasar/pengecer. Pada tahap
selanjutnya, konsumen termasuk hotel, restoran, dan katering
(horeka) berkontribusi pada susut hasil perikanan (dalam hal ini
waste), melalui perilaku berlebihan dalam belanja, dalam penyediaan
porsi dan konsumsi, serta faktor-faktor terkait preferensi sosial
budaya masing-masing konsumen.
Sistem Rantai Dingin dapat didefinisikan sebagai penerapan teknik
pendinginan (0-4°C) terhadap ikan secara terus menerus dan �dak
terputus sejak penangkapan, pemanenan, penanganan, pengolahan,
distribusi, sampai konsumsi (Poernomo, 2017).
Definisi di atas mengisyaratkan beberapa hal:
1. Suhu ikan sepanjang rantai penanganan sampai dengan
konsumsi �dak boleh melebihi 4°C.
2. Diperlukan teknologi dan peralatan yang dapat menjaga suhu
ikan �dak melebihi 4°C.
3. Diperlukan suatu prosedur baku yang harus ditaa� agar suhu
ikan �dak melebihi 4°C.
4. Diperlukan sumber daya manusia yang dapat menerapkan
teknologi, mengoperasikan peralatan, dan mematuhi prosedur.
Permasalahan �dak diterapkannya sistem rantai dingin ada di bu�r
2, 3, dan 4, dan dapat dikelompokkan menjadi a) Sarana dan
prasarana (infrastruktur); b) Teknologi dan prosedur standar, dan c)
Sumber daya manusia.
Sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana yang memengaruhi
�ngkat susut hasil perikanan yang dominan adalah ketersediaan es
dan air bersih, alat tangkap dan panen ikan, penanganan di atas
kapal, fasilitas tempat pendaratan ikan yang memadai, serta gudang
dingin/beku. Keterbatasan sarana dan prasarana telah
menyebabkan ikan mengalami susut hasil semenjak didaratkan
(Wibowo et al., 2014; Markenih, 2016; Wibowo et al., 2017).
Ketersediaan teknologi. Ketersediaan teknologi adalah faktor
pen�ng lainnya yang berperan dalam �mbulnya susut hasil
perikanan. Kebutuhan akan teknologi di sepanjang rantai pasok
sangat beragam, dari yang sederhana sampai yang canggih, sesuai
dengan skala usaha. Permasalahan lain adalah ke�adaan prosedur
d a n s u m b e r d a y a m a n u s i a y a n g m e m a d a i u n t u k
mengimplementasikan teknologi.
Sumber daya manusia. Belum semua pelaku usaha di sepanjang
rantai pasok, maupun konsumen menganggap pen�ng penerapan
sistem rantai dingin. Masih banyak konsumen yang menganggap
bahwa ikan yang didinginkan dengan es adalah ikan yang �dak segar.
Di Indonesia �mur, is�lah “sudah ma� 7 kali” sering dialamatkan
kepada ikan yang didinginkan dengan es.
Langkah-langkah intervensi untuk mengurangi susut hasil perikananMengurangi susut hasil perikanan memerlukan pendekatan
mul�sektor dan mul�dimensi dari sisi kebijakan, legislasi,
peningkatan kapasitas, jasa dan infrastruktur, serta sosial-ekonomi
(Pink, 2016; FAO, 2018; Kruijssen et al., 2020). Bahkan, menurut
Ca�aneo et al. (2020) terdapat lima tantangan bagi pembuat
kebijakan di dalam upaya mengurangi susut hasil, yaitu:
1. Menges�masi susut hasil perikanan (FLW) �dak mudah, bahkan
cenderung sangat sulit.
2. Mengukur manfaat sosial-ekonomi, biaya pengurangan susut, 3dan tarik-ulur keputusan (trade off ) yang harus diambil
memerlukan banyak data dan kapasitas untuk menganalisisnya.
3. Keterbatasan informasi dalam menyusun kebijakan dan
intervensi.
4. Interaksi antar-tahapan dalam rantai pasok dan antar-wilayah
�dak sepenuhnya dipahami dalam pengurangan susut hasil.
5. Kenaikan pendapatan dapat mengubah pola pemborosan
pangan/ikan (FLW), dan memerlukan an�sipasi tersendiri.
Dengan memperha�kan hal-hal di atas dan menyesuaikan kondisi
indonesia, maka untuk mengatasi susut hasil, Indonesia perlu
menetapkan satu kebijakan umum yang diinisiasi oleh Bappenas.
Kebijakan umum tersebut bisa melipu�, namun �dak terbatas pada:
1. Pernyataan visi dan misi untuk mengurangi susut hasil pangan
(food loss and waste) sebesar 50%/kapita pada 2030.
2. Peta jalan dan strategi mencapai visi dan misi untuk menurunkan
susut hasil pangan (food loss and waste) sebesar 50%/kapita pada
2030.
2
2 3
Data sta�s�k Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
produksi perikanan Indonesia tahun 2018
dikonsumsi segar
konsumsi ikan olahan
ekspor &non konsumsi
(tepung, dll.)
Berasal dari perikanan tangkap dan budidaya
12,8 juta ton
5,4 5,6 1,8 juta ton juta ton juta ton
1. h�ps://blog.winnowsolu�ons.com/what-a-waste-indonesias-struggle-with-food-waste-na�onwide2. h�ps://mediaindonesia.com/read/detail/282977-wow-1-orang-indonesia-hasilkan-sampah-makanan-300-kg-per-tahun3. h�p://www.fao.org/flw-in-fish-value-chains/overview/food-loss-and-waste-in-fish-value-chains/en/4. h�ps://sta�s�k.kkp.go.id/home.php?m=total&i=2
2 Ghost fishing adalah terperangkapnya ikan oleh alat penangkap ikan yang terlepas dari /atau dibuang oleh kapal penangkap ikan.3 Trade-off adalah keputusan situasional yang melibatkan pengurangan atau kehilangan satu kualitas, kuan�tas atau proper� dari satu set atau desain dengan imbalan keuntungan dalam aspek
lain. Secara sederhana, trade-off adalah di mana satu hal meningkat dan yang lain harus menurun.
Konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada 2019
54.5 kgkapita/tahun pada
dan ditargetkan menjadi
62.5 kgkapita/tahun pada 2024
3
Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia
http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20180524/4125980/penyebab-stunting-anak/http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20180524/4125980/penyebab-stunting-anak/https://mediaindonesia.com/read/detail/282977-wow-1-orang-indonesia-hasilkan-sampah-makanan-300-kg-per-tahunhttp://www.fao.org/flw-in-fish-value-chains/overview/food-loss-and-waste-in-fish-value-chains/en/https://statistik.kkp.go.id/home.php?m=total&i=2Caprina R.H SianturiCross-Out
Caprina R.H SianturiInserted TextFood
"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”
( h � p : // s e h a t n e g e r i k u . k e m k e s . g o . i d / b a c a / r i l i s -
media/20180524/4125980/penyebab-stun�ng-anak/, 2018).
Di sisi lain, anemia pada ibu hamil umumnya disebabkan oleh
kekurangan zat gizi mikro pembentuk hemoglobin, yakni zat besi,
protein berkualitas �nggi, asam folat, dan vitamin B12. Walaupun
sumber terbaik zat-zat gizi tersebut ada pada daging merah,
sumber protein hewani lain, seper� ikan pun menjadi pilihan.
Konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada 2019 berada pada
angka 54,5 kg/kapita/tahun dan ditargetkan menjadi
62,5/kapita/tahun pada 2024. Dengan susut hasil perikanan
sekitar 20-29%, maka target konsumsi ikan baru akan tercapai
pada 2023. Itu pun masih dibarengi dengan berbagai kehilangan
atau kerugian seper� disebutkan di atas. Oleh karena itu, perlu
diambil langkah-langkah untuk meminimalkan susut hasil, apalagi
mengingat target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals-SDGs) poin 12.3 yaitu mengurangi susut
pangan per kapita sebesar 50% pada tahun 2030. Risalah ini
diharapkan dapat memberikan masukan untuk mengurangi susut
hasil perikanan di�njau dari berbagai penyebab yang dapat
diiden�fikasi berdasarkan pengamatan lapangan dan dari pustaka
yang tersedia. Di dalam risalah ini �dak dibahas mengenai susut
yang disebabkan pembuangan ikan di laut (discards) dan ghost 2fishing .
Lokus dan penyebab susut hasil perikanan Ifood and Agriculture Organiza�on (FAO) membagi susut
pascapanen menjadi dua bagian besar yaitu loss dan waste (FAO,
2019). Susut hasil (loss) adalah berkurangnya kuan�tas atau kualitas
pangan dari rantai pasok yang disebabkan oleh ak�vitas pelaku
sepanjang rantai pasok, tetapi �dak termasuk penyedia jasa pangan,
pengecer, dan konsumen. Sedangkan limbah pangan (waste) adalah
berkurangnya kuan�tas atau kualitas pangan yang disebabkan oleh
ak�vitas pengecer, penyedia jasa pangan (restoran/kafe/kan�n dan
katering), dan konsumen. Untuk memudahkan pembahasan dalam
risalah ini, susut pascapanen (susut hasil) adalah gabungan
keduanya, yaitu hilangnya pangan secara kuan�tas dan kualitas dari
rantai pasok, sejak produksi sampai konsumsi. Susut pascapanen
(susut hasil) dalam risalah ini juga �dak dirinci berdasarkan jenisnya,
yaitu fisik, mutu, nutrisi, dan pasar (market loss) sebagaimana
diklasifikasikan dalam berbagai literatur (Kruijssen et al., 2020).
Susut hasil perikanan terjadi di sepanjang rantai pasok sejak ikan
ditangkap atau dipanen, sampai dengan konsumen dengan besaran
dan karakteris�k berbeda-beda (Gustavsson et al., 2011; Kruijssen
et al., 2020). Secara ringkas Gambar 1 menampilkan penyebab susut
hasil perikanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa susut hasil
perikanan terjadi saat ikan hasil tangkapan dan budidaya �dak
mendapat perlakuan semes�nya pada saat penanganan,
pengolahan, penyimpanan, transportasi, dan distribusi, termasuk
ke�ka memasuki tahap konsumsi. Apabila lebih dikerucutkan lagi,
penyebab utama susut hasil pascapanen perikanan adalah �dak
diterapkannya Sistem Rantai Dingin (cold chain system) secara
op�mal di sepanjang rantai pasok sejak penangkapan dan
pemanenan. Beberapa kendala yang menyebabkannya telah dicatat
oleh Huss (1995). Khususnya yang terjadi di negara berkembang,
bahkan beberapa kasus masih terjadi di Indonesia, antara lain:
1. Es harus diproduksi dengan energi yang cukup �nggi. Di negara
tropis dibutuhkan 55-85 kWh/ton es, sedangkan di negara
bersuhu sedang sampai rendah, hanya dibutuhkan 40-60
kWh/ton es. Penyediaan es ini �dak murah, apalagi dengan
adanya peningkatan harga bahan bakar selama dekade terakhir
ini. Selain itu, penyediaan es juga membutuhkan sarana dan
prasarana pendukung seper� air bersih, gudang dingin, dsb.
2. Es harus diproduksi dan digunakan dalam skala ekonomi.
Penambahan es sudah pas� akan menaikkan ongkos produksi
yang pada gilirannya akan menaikkan harga ikan. Oleh karena itu,
pelaku usaha memilih-milih jenis ikan yang akan didinginkan
dengan memper�mbangkan harga.
3. Kendala prak�s. Penggunaan es dalam penanganan hasil
tangkapan akan menimbulkan beberapa masalah prak�s,
misalnya berkurangnya ruang dalam palka, serta bertambahnya
berat dalam penanganan dan pengangkutan. Semuanya itu
mempunyai implikasi ekonomi.
4. Persepsi yang salah tentang kesegaran ikan. Di banyak negara
berkembang, bahkan di Indonesia, masih banyak konsumen yang
berpendapat bahwa ikan yang didinginkan dengan es adalah ikan
�dak segar, bahkan memiliki rasa dan aroma yang berbeda. Hal ini
menyebabkan preferensi konsumen terhadap ikan yang
didinginkan dengan es turun, meskipun sebenarnya konsumen
mengetahui bahwa ikan yang �dak didinginkan �dak sesegar
ikan yang didinginkan dengan es. Is�lah ikan segar dan ikan yang
didinginkan dengan es sering dipertentangkan, akibatnya
penjual lebih sering memajang ikan yang �dak didinginkan
dengan es.
5. Perlunya teknologi penanganan yang tepat. Mendinginkan ikan
dengan es sebenarnya �dak memerlukan teknik yang rumit,
namun prak�k pemberian es ternyata berbeda jika dibandingkan
antara negara maju dan negara berkembang. Di negara maju,
teknologi dikembangkan untuk mengurangi ongkos kerja dengan
tetap mengutamakan es dan kualitas ikan, misalnya dengan
otoma�sasi. Sementara itu di negara berkembang, pengurangan
ongkos produksi lebih banyak dilakukan dengan mengurangi
penggunaan es.
Prak�k-prak�k penanganan pascapanen perikanan yang �dak baik
(poor handling prac�ce) tersebut telah memicu terjadinya susut hasil
perikanan di hulu, terutama dari sisi kualitas yang pada gilirannya
akan menyebabkan susut ikutan di tahap selanjutnya. Di tahap
pengolahan, penguasaan teknologi masih belum memadai,
terutama oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal ini
diperberat dengan prak�k sanitasi dan higiene yang sering
diabaikan oleh pengolah maupun pemasar/pengecer. Pada tahap
selanjutnya, konsumen termasuk hotel, restoran, dan katering
(horeka) berkontribusi pada susut hasil perikanan (dalam hal ini
waste), melalui perilaku berlebihan dalam belanja, dalam penyediaan
porsi dan konsumsi, serta faktor-faktor terkait preferensi sosial
budaya masing-masing konsumen.
Sistem Rantai Dingin dapat didefinisikan sebagai penerapan teknik
pendinginan (0-4°C) terhadap ikan secara terus menerus dan �dak
terputus sejak penangkapan, pemanenan, penanganan, pengolahan,
distribusi, sampai konsumsi (Poernomo, 2017).
Definisi di atas mengisyaratkan beberapa hal:
1. Suhu ikan sepanjang rantai penanganan sampai dengan
konsumsi �dak boleh melebihi 4°C.
2. Diperlukan teknologi dan peralatan yang dapat menjaga suhu
ikan �dak melebihi 4°C.
3. Diperlukan suatu prosedur baku yang harus ditaa� agar suhu
ikan �dak melebihi 4°C.
4. Diperlukan sumber daya manusia yang dapat menerapkan
teknologi, mengoperasikan peralatan, dan mematuhi prosedur.
Permasalahan �dak diterapkannya sistem rantai dingin ada di bu�r
2, 3, dan 4, dan dapat dikelompokkan menjadi a) Sarana dan
prasarana (infrastruktur); b) Teknologi dan prosedur standar, dan c)
Sumber daya manusia.
Sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana yang memengaruhi
�ngkat susut hasil perikanan yang dominan adalah ketersediaan es
dan air bersih, alat tangkap dan panen ikan, penanganan di atas
kapal, fasilitas tempat pendaratan ikan yang memadai, serta gudang
dingin/beku. Keterbatasan sarana dan prasarana telah
menyebabkan ikan mengalami susut hasil semenjak didaratkan
(Wibowo et al., 2014; Markenih, 2016; Wibowo et al., 2017).
Ketersediaan teknologi. Ketersediaan teknologi adalah faktor
pen�ng lainnya yang berperan dalam �mbulnya susut hasil
perikanan. Kebutuhan akan teknologi di sepanjang rantai pasok
sangat beragam, dari yang sederhana sampai yang canggih, sesuai
dengan skala usaha. Permasalahan lain adalah ke�adaan prosedur
d a n s u m b e r d a y a m a n u s i a y a n g m e m a d a i u n t u k
mengimplementasikan teknologi.
Sumber daya manusia. Belum semua pelaku usaha di sepanjang
rantai pasok, maupun konsumen menganggap pen�ng penerapan
sistem rantai dingin. Masih banyak konsumen yang menganggap
bahwa ikan yang didinginkan dengan es adalah ikan yang �dak segar.
Di Indonesia �mur, is�lah “sudah ma� 7 kali” sering dialamatkan
kepada ikan yang didinginkan dengan es.
Langkah-langkah intervensi untuk mengurangi susut hasil perikananMengurangi susut hasil perikanan memerlukan pendekatan
mul�sektor dan mul�dimensi dari sisi kebijakan, legislasi,
peningkatan kapasitas, jasa dan infrastruktur, serta sosial-ekonomi
(Pink, 2016; FAO, 2018; Kruijssen et al., 2020). Bahkan, menurut
Ca�aneo et al. (2020) terdapat lima tantangan bagi pembuat
kebijakan di dalam upaya mengurangi susut hasil, yaitu:
1. Menges�masi susut hasil perikanan (FLW) �dak mudah, bahkan
cenderung sangat sulit.
2. Mengukur manfaat sosial-ekonomi, biaya pengurangan susut, 3dan tarik-ulur keputusan (trade off ) yang harus diambil
memerlukan banyak data dan kapasitas untuk menganalisisnya.
3. Keterbatasan informasi dalam menyusun kebijakan dan
intervensi.
4. Interaksi antar-tahapan dalam rantai pasok dan antar-wilayah
�dak sepenuhnya dipahami dalam pengurangan susut hasil.
5. Kenaikan pendapatan dapat mengubah pola pemborosan
pangan/ikan (FLW), dan memerlukan an�sipasi tersendiri.
Dengan memperha�kan hal-hal di atas dan menyesuaikan kondisi
indonesia, maka untuk mengatasi susut hasil, Indonesia perlu
menetapkan satu kebijakan umum yang diinisiasi oleh Bappenas.
Kebijakan umum tersebut bisa melipu�, namun �dak terbatas pada:
1. Pernyataan visi dan misi untuk mengurangi susut hasil pangan
(food loss and waste) sebesar 50%/kapita pada 2030.
2. Peta jalan dan strategi mencapai visi dan misi untuk menurunkan
susut hasil pangan (food loss and waste) sebesar 50%/kapita pada
2030.
2
2 3
Data sta�s�k Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),
produksi perikanan Indonesia tahun 2018
dikonsumsi segar
konsumsi ikan olahan
ekspor &non konsumsi
(tepung, dll.)
Berasal dari perikanan tangkap dan budidaya
12,8 juta ton
5,4 5,6 1,8 juta ton juta ton juta ton
1. h�ps://blog.winnowsolu�ons.com/what-a-waste-indonesias-struggle-with-food-waste-na�onwide2. h�ps://mediaindonesia.com/read/detail/282977-wow-1-orang-indonesia-hasilkan-sampah-makanan-300-kg-per-tahun3. h�p://www.fao.org/flw-in-fish-value-chains/overview/food-loss-and-waste-in-fish-value-chains/en/4. h�ps://sta�s�k.kkp.go.id/home.php?m=total&i=2
2 Ghost fishing adalah terperangkapnya ikan oleh alat penangkap ikan yang terlepas dari /atau dibuang oleh kapal penangkap ikan.3 Trade-off adalah keputusan situasional yang melibatkan pengurangan atau kehilangan satu kualitas, kuan�tas atau proper� dari satu set atau desain dengan imbalan keuntungan dalam aspek
lain. Secara sederhana, trade-off adalah di mana satu hal meningkat dan yang lain harus menurun.
Konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada 2019
54.5 kgkapita/tahun pada
dan ditargetkan menjadi
62.5 kgkapita/tahun pada 2024
3
Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia
http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20180524/4125980/penyebab-stunting-anak/http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20180524/4125980/penyebab-stunting-anak/https://mediaindonesia.com/read/detail/282977-wow-1-orang-indonesia-hasilkan-sampah-makanan-300-kg-per-tahunhttp://www.fao.org/flw-in-fish-value-chains/overview/food-loss-and-waste-in-fish-value-chains/en/https://statistik.kkp.go.id/home.php?m=total&i=2Caprina R.H SianturiCross-Out
Caprina R.H SianturiInserted TextIndonesia
"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”
3. Penentuan prioritas pengurangan susut hasil, baik dari sisi
jenis bahan pangan atau tahapan rantai pasok (loss atau waste
atau keduanya).
4. Mengkonsolidasikan kegiatan dan pendanaan dari
Kementerian/Lembaga, Swasta, dan kelompok masyarakat
lainnya, melalui berbagai skema antara lain Kemitraan
Pemerintah dan Swasta (KPS).
5. Membentuk Gerakan Nasional Pengurangan Susut Pasca
Panen dan Gizi Pangan.
Untuk menyederhanakan pembahasan, dalam risalah ini digunakan
pendekatan dengan mengacu kepada penyebab susut sebagaimana
diuraikan dalam sub bab sebelumnya dan mengacu kepada Gambar
1. Secara ringkas langkah-langkah yang dapat diambil pada se�ap
tahapan rantai pasok ditampilkan di Tabel 1.
3.1. Sarana dan prasarana
Penyediaan dan penggunaan es adalah salah satu langkah utama
dalam penerapan sistem rantai dingin di Indonesia dan dapat
berperan mengurangi susut hasil perikanan. Meskipun demikian,
harganya �dak murah dan sebagian pelaku perikanan masih belum
memanfaatkannya dengan sempurna. Es�masi kebutuhan es untuk
daerah tropis yang disusun oleh Graham et al. (1992) sebagaimana
terlihat pada Tabel 2 dapat digunakan untuk merencanakan
pengadaan pabrik es, termasuk air bersih. Perhitungan kasar
pengadaan pabrik es (kapasitas 30 ton/hari) untuk penanganan ikan
laut ditampilkan pada Tabel 3, yaitu sekitar Rp 13,9 triliun. Karena
sebagian besar ikan budidaya diperdagangkan hidup atau �dak
dalam kondisi beku (didinginkan dengan es), maka kebutuhan es
untuk ikan budidaya diperkirakan hanya 25% dari kebutuhan untuk
ikan laut, sehingga jumlah pabrik es yang diperlukan adalah 681 unit
(kapasitas 30 ton/hari) senilai Rp 17,5 triliun. Apabila ditambah
dengan pengadaan (bantuan) palka berinsulasi dan/atau kotak
pendingin untuk nelayan skala kecil, pembudidaya, dan pemasar
ikan, maka dana yang dibutuhkan akan bertambah besar.
Sarana dan prasarana lain yang juga harus diadakan adalah unit
gudang dingin/beku (cold storage) untuk menyimpan ikan. Sarana ini
sangat diperlukan untuk menyelamatkan kelebihan produksi pada
waktu panen (glut) atau menyimpan sisa penjualan agar �dak
menyebabkan susut hasil. Gudang beku juga berperan pen�ng
dalam implementasi Sistem Logis�k Ikan Nasional (SLIN) dan sistem
resi gudang.
Pengadaan sarana dan prasarana di atas banyak dilakukan oleh
berbagai Kementerian/Lembaga (K/L). Selain Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP), K/L lain yang mengadakannya adalah
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Dalam Negeri (melalui pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota), Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Urusan
Logis�k (Bulog), bahkan BUMN, dan tentu saja pelaku usaha.
Banyaknya penyedia sarana dan prasarana ini malah berpotensi
menimbulkan pemborosan yang �dak perlu.
Mencerma� hal di atas, maka intervensi kebijakan yang disarankan
adalah Bappenas bersama K/L terkait menyusun rencana
pengadaan sarana dan prasarana sistem rantai dingin, termasuk air
bersih. Termasuk dalam perencanaan ini adalah pemilihan lokasi,
pendanaan, dan K/L maupun pihak yang akan melaksanakan.
Kementerian Koordinator Perekonomian diharapkan dapat
memberikan dukungan penuh. Pemetaan sarana dan prasarana yang
sudah ada merupakan kegiatan awal yang dapat dilakukan oleh KKP.
3.2. Teknologi dan prosedur standar
Teknologi penanganan dan pengolahan hasil perikanan, termasuk
untuk penyimpanan dan distribusi, terkadang �dak terlalu mudah
untuk dilaksanakan, terutama di daerah-daerah yang jauh dari kota.
Sementara itu, teknologi yang dikenalkan untuk diadopsi belum
disesuaikan dengan kondisi setempat, bahkan �dak sesuai dengan
kebutuhan, bahkan sering kali mengabaikan �ngkat pemahaman
dan penerimaan masyarakat terhadap teknologi tersebut. Karena
pemberian sarana dan prasarana sering �dak dibarengi dengan
prosedur yang mudah diterapkan, maka sebagai akibatnya banyak
sarana dan prasarana yang dibangun menjadi terbengkalai dan
mangkrak sehingga tujuannya menjadi �dak tercapai. Di sisi lain,
teknologi yang tersedia di pasar terkadang terlalu mahal atau terlalu
rumit untuk diterapkan.
Intervensi kebijakan yang dapat diambil adalah penyediaan
teknologi penanganan dan pengolahan ikan yang memenuhi
kebutuhan pelaku usaha, skala ekonomi dengan harga terjangkau,
melalui
1. Penyusunan kebutuhan teknologi dengan melibatkan calon
pengguna.
2. Pengembangan teknologi tepat guna dengan melibatkan badan
4 5
peneli�an dan pengembangan K/L, BPPT, dan Perguruan Tinggi.
3. Pembuatan prosedur standar penerapan teknologi bagi
pengguna.
4. Menyusun kriteria keberhasilan penerapan teknologi di pelaku
usaha,
5. Pembuatan dan penyediaan berbagai good prac�ces (GHP, GMP,
GRP, dll) untuk berbagai skala usaha di bidang penanganan,
pengolahan, penyimpanan, dan distribusi hasil perikanan.
6. Penyiapan skema insen�f dan disinsen�f untuk pengembangan
dan penerapan teknologi tepat guna.
1.3. Sumber daya manusia
Sumber daya manusia berperan pen�ng dalam pengurangan susut
hasil perikanan, terutama mereka yang terlibat di sepanjang rantai
pasok, termasuk konsumen (horeka maupun rumah tangga).
Ketersediaan sarana-prasarana dan teknologi �dak selalu menjadi
jaminan keberhasilan upaya penurunan susut hasil perikanan
apabila �dak dioperasikan oleh sumber daya manusia yang
mumpuni. Selain karena kapasitas dan pengetahuan terhadap cara-
cara penanganan dan pengolahan ikan sangat bervariasi, sikap
masyarakat terhadap teknologi baru, dan kepatuhan kepada
prosedur yang telah ditetapkan menjadi faktor penentu. Kesadaran
akan pen�ngnya nilai ekonomi dan nilai gizi makanan juga sangat
beragam di sepanjang rantai pasok, bahkan di tahap ritel dan
konsumsi.
Sementara itu, aspek gender juga perlu mendapat perha�an,
mengingat ternyata perempuan mempunyai peran yang cukup
pen�ng dalam usaha perikanan, bahkan terkadang perannya lebih
�nggi dari pada pria. World Bank (2012) mencatat bahwa 47%
tenaga kerja di perikanan adalah perempuan, sedangkan Phillips et
al. (2016) menyatakan bahwa 40-80% pekerja di akuakultur adalah
perempuan. Di Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(Kiara) pada 2015 melaporkan bahwa 70% pekerjaan di perikanan
dilaksanakan oleh perempuan dengan waktu kerja sampai 17 jam 4per hari . Sementara itu, sebagaimana kebiasaan di negara dengan
kultur agraris seper� Indonesia, selain berperan pen�ng dalam
memproduksi pangan, perempuan juga memegang peran utama di
dalam penyiapan hidangan di rumah tangga (atau usaha katering di
perkotaan). Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa kontribusi
perempuan juga besar dalam menghasilkan susut hasil bahkan bisa
lebih besar, sebagaimana dilaporkan oleh Kaminski & Cole (2018).
Jadi, upaya pengurangan susut hasil perikanan dapat dipas�kan
akan memerlukan dukungan dari kaum perempuan.
Intervensi kebijakan yang diperlukan adalah peningkatan kapasitas
pelaku usaha perikanan dalam penanganan dan pengolahan ikan,
serta peningkatan pemahaman pelaku usaha dan konsumen tentang
susut hasil perikanan serta pencegahannya. Peningkatan kapasitas
tersebut dapat dilakukan melalui berbagai pela�han terstruktur dari
pusat sampai daerah, melibatkan Unit Pelaksana Teknis/UPT (pusat
dan daerah), serta perguruan �nggi setempat. Sedangkan
peningkatan pemahaman dapat dilakukan melalui sekolah dan
madrasah serta komunitas (keagamaan, perempuan, hobi, dll).
Organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dapat menjadi mitra
strategis yang sangat efek�f dalam gerakan peningkatan
pemahaman. Kementerian/Lembaga yang berperan dalam hal ini
antara lain adalah KKP, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sementara itu,
dua Kementerian Koordinator, yaitu Kementerian Koordinator
Perekonomian dan Kementerian Koordinator Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan, dapat memberikan dukungan melalui
perannya masing-masing.
KesimpulanSusut hasil perikanan adalah masalah serius yang dihadapi oleh
Indonesia serta sangat berpotensi mengakibatkan kerugian
ekonomi dan kehilangan zat gizi yang sangat pen�ng, yaitu protein
ikan dan beberapa zat gizi mikro. Susut hasil perikanan terjadi di
semua tahap sepanjang rantai pasok, bahkan sampai konsumsi.
Penyebab susut hasil perikanan sangat beragam. Namun, penyebab
utama adalah ikan yang �dak ditangani sebagaimana mes�nya
dengan sistem rantai dingin op�mal di sepanjang rantai pasok. Selain
itu, terbatasnya teknologi tepat guna dan perilaku pelaku usaha dan
konsumen yang kurang cermat dalam melakukan penanganan dan
pengolahan ikan ikut berkontribusi terhadap �ngginya susut hasil
perikanan.
4
4 https://www.kemenkopmk.go.id/optimalisasi-peran-perempuan-dalam-pembangunan
Pendahuluan
Lokus dan penyebab
susut hasil perikanan
Langkah-langkah intervensi untuk mengurangi
susut hasil perikanan
Kesimpulan
Saran kebijakan
Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia
Caprina R.H SianturiCross-Out
Caprina R.H SianturiInserted TextK/L lain (spasi)
"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”
3. Penentuan prioritas pengurangan susut hasil, baik dari sisi
jenis bahan pangan atau tahapan rantai pasok (loss atau waste
atau keduanya).
4. Mengkonsolidasikan kegiatan dan pendanaan dari
Kementerian/Lembaga, Swasta, dan kelompok masyarakat
lainnya, melalui berbagai skema antara lain Kemitraan
Pemerintah dan Swasta (KPS).
5. Membentuk Gerakan Nasional Pengurangan Susut Pasca
Panen dan Gizi Pangan.
Untuk menyederhanakan pembahasan, dalam risalah ini digunakan
pendekatan dengan mengacu kepada penyebab susut sebagaimana
diuraikan dalam sub bab sebelumnya dan mengacu kepada Gambar
1. Secara ringkas langkah-langkah yang dapat diambil pada se�ap
tahapan rantai pasok ditampilkan di Tabel 1.
3.1. Sarana dan prasarana
Penyediaan dan penggunaan es adalah salah satu langkah utama
dalam penerapan sistem rantai dingin di Indonesia dan dapat
berperan mengurangi susut hasil perikanan. Meskipun demikian,
harganya �dak murah dan sebagian pelaku perikanan masih belum
memanfaatkannya dengan sempurna. Es�masi kebutuhan es untuk
daerah tropis yang disusun oleh Graham et al. (1992) sebagaimana
terlihat pada Tabel 2 dapat digunakan untuk merencanakan
pengadaan pabrik es, termasuk air bersih. Perhitungan kasar
pengadaan pabrik es (kapasitas 30 ton/hari) untuk penanganan ikan
laut ditampilkan pada Tabel 3, yaitu sekitar Rp 13,9 triliun. Karena
sebagian besar ikan budidaya diperdagangkan hidup atau �dak
dalam kondisi beku (didinginkan dengan es), maka kebutuhan es
untuk ikan budidaya diperkirakan hanya 25% dari kebutuhan untuk
ikan laut, sehingga jumlah pabrik es yang diperlukan adalah 681 unit
(kapasitas 30 ton/hari) senilai Rp 17,5 triliun. Apabila ditambah
dengan pengadaan (bantuan) palka berinsulasi dan/atau kotak
pendingin untuk nelayan skala kecil, pembudidaya, dan pemasar
ikan, maka dana yang dibutuhkan akan bertambah besar.
Sarana dan prasarana lain yang juga harus diadakan adalah unit
gudang dingin/beku (cold storage) untuk menyimpan ikan. Sarana ini
sangat diperlukan untuk menyelamatkan kelebihan produksi pada
waktu panen (glut) atau menyimpan sisa penjualan agar �dak
menyebabkan susut hasil. Gudang beku juga berperan pen�ng
dalam implementasi Sistem Logis�k Ikan Nasional (SLIN) dan sistem
resi gudang.
Pengadaan sarana dan prasarana di atas banyak dilakukan oleh
berbagai Kementerian/Lembaga (K/L). Selain Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP), K/L lain yang mengadakannya adalah
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan,
Kementerian Dalam Negeri (melalui pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota), Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Urusan
Logis�k (Bulog), bahkan BUMN, dan tentu saja pelaku usaha.
Banyaknya penyedia sarana dan prasarana ini malah berpotensi
menimbulkan pemborosan yang �dak perlu.
Mencerma� hal di atas, maka intervensi kebijakan yang disarankan
adalah Bappenas bersama K/L terkait menyusun rencana
pengadaan sarana dan prasarana sistem rantai dingin, termasuk air
bersih. Termasuk dalam perencanaan ini adalah pemilihan lokasi,
pendanaan, dan K/L maupun pihak yang akan melaksanakan.
Kementerian Koordinator Perekonomian diharapkan dapat
memberikan dukungan penuh. Pemetaan sarana dan prasarana yang
sudah ada merupakan kegiatan awal yang dapat dilakukan oleh KKP.
3.2. Teknologi dan prosedur standar
Teknologi penanganan dan pengolahan hasil perikanan, termasuk
untuk penyimpanan dan distribusi, terkadang �dak terlalu mudah
untuk dilaksanakan, terutama di daerah-daerah yang jauh dari kota.
Sementara itu, teknologi yang dikenalkan untuk diadopsi belum
disesuaikan dengan kondisi setempat, bahkan �dak sesuai dengan
kebutuhan, bahkan sering kali mengabaikan �ngkat pemahaman
dan penerimaan masyarakat terhadap teknologi tersebut. Karena
pemberian sarana dan prasarana sering �dak dibarengi dengan
prosedur yang mudah diterapkan, maka sebagai akibatnya banyak
sarana dan prasarana yang dibangun menjadi terbengkalai dan
mangkrak sehingga tujuannya menjadi �dak tercapai. Di sisi lain,
teknologi yang tersedia di pasar terkadang terlalu mahal atau terlalu
rumit untuk diterapkan.
Intervensi kebijakan yang dapat diambil adalah penyediaan
teknologi penanganan dan pengolahan ikan yang memenuhi
kebutuhan pelaku usaha, skala ekonomi dengan harga terjangkau,
melalui
1. Penyusunan kebutuhan teknologi dengan melibatkan calon
pengguna.
2. Pengembangan teknologi tepat guna dengan melibatkan badan
4 5
peneli�an dan pengembangan K/L, BPPT, dan Perguruan Tinggi.
3. Pembuatan prosedur standar penerapan teknologi bagi
pengguna.
4. Menyusun kriteria keberhasilan penerapan teknologi di pelaku
usaha,
5. Pembuatan dan penyediaan berbagai good prac�ces (GHP, GMP,
GRP, dll) untuk berbagai skala usaha di bidang penanganan,
pengolahan, penyimpanan, dan distribusi hasil perikanan.
6. Penyiapan skema insen�f dan disinsen�f untuk pengembangan
dan penerapan teknologi tepat guna.
1.3. Sumber daya manusia
Sumber daya manusia berperan pen�ng dalam pengurangan susut
hasil perikanan, terutama mereka yang terlibat di sepanjang rantai
pasok, termasuk konsumen (horeka maupun rumah tangga).
Ketersediaan sarana-prasarana dan teknologi �dak selalu menjadi
jaminan keberhasilan upaya penurunan susut hasil perikanan
apabila �dak dioperasikan oleh sumber daya manusia yang
mumpuni. Selain karena kapasitas dan pengetahuan terhadap cara-
cara penanganan dan pengolahan ikan sangat bervariasi, sikap
masyarakat terhadap teknologi baru, dan kepatuhan kepada
prosedur yang telah ditetapkan menjadi faktor penentu. Kesadaran
akan pen�ngnya nilai ekonomi dan nilai gizi makanan juga sangat
beragam di sepanjang rantai pasok, bahkan di tahap ritel dan
konsumsi.
Sementara itu, aspek gender juga perlu mendapat perha�an,
mengingat ternyata perempuan mempunyai peran yang cukup
pen�ng dalam usaha perikanan, bahkan terkadang perannya lebih
�nggi dari pada pria. World Bank (2012) mencatat bahwa 47%
tenaga kerja di perikanan adalah perempuan, sedangkan Phillips et
al. (2016) menyatakan bahwa 40-80% pekerja di akuakultur adalah
perempuan. Di Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(Kiara) pada 2015 melaporkan bahwa 70% pekerjaan di perikanan
dilaksanakan oleh perempuan dengan waktu kerja sampai 17 jam 4per hari . Sementara itu, sebagaimana kebiasaan di negara dengan
kultur agraris seper� Indonesia, selain berperan pen�ng dalam
memproduksi pangan, perempuan juga memegang peran utama di
dalam penyiapan hidangan di rumah tangga (atau usaha katering di
perkotaan). Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa kontribusi
perempuan juga besar dalam menghasilkan susut hasil bahkan bisa
lebih besar, sebagaimana dilaporkan oleh Kaminski & Cole (2018).
Jadi, upaya pengurangan susut hasil perikanan dapat dipas�kan
akan memerlukan dukungan dari kaum perempuan.
Intervensi kebijakan yang diperlukan adalah peningkatan kapasitas
pelaku usaha perikanan dalam penanganan dan pengolahan ikan,
serta peningkatan pemahaman pelaku usaha dan konsumen tentang
susut hasil perikanan serta pencegahannya. Peningkatan kapasitas
tersebut dapat dilakukan melalui berbagai pela�han terstruktur dari
pusat sampai daerah, melibatkan Unit Pelaksana Teknis/UPT (pusat
dan daerah), serta perguruan �nggi setempat. Sedangkan
peningkatan pemahaman dapat dilakukan melalui sekolah dan
madrasah serta komunitas (keagamaan, perempuan, hobi, dll).
Organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dapat menjadi mitra
strategis yang sangat efek�f dalam gerakan peningkatan
pemahaman. Kementerian/Lembaga yang berperan dalam hal ini
antara lain adalah KKP, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam
Negeri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sementara itu,
dua Kementerian Koordinator, yaitu Kementerian Koordinator
Perekonomian dan Kementerian Koordinator Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan, dapat memberikan dukungan melalui
perannya masing-masing.
KesimpulanSusut hasil perikanan adalah masalah serius yang dihadapi oleh
Indonesia serta sangat berpotensi mengakibatkan kerugian
ekonomi dan kehilangan zat gizi yang sangat pen�ng, yaitu protein
ikan dan beberapa zat gizi mikro. Susut hasil perikanan terjadi di
semua tahap sepanjang rantai pasok, bahkan sampai konsumsi.
Penyebab susut hasil perikanan sangat beragam. Namun, penyebab
utama adalah ikan yang �dak ditangani sebagaimana mes�nya
dengan sistem rantai dingin op�mal di sepanjang rantai pasok. Selain
itu, terbatasnya teknologi tepat guna dan perilaku pelaku usaha dan
konsumen yang kurang cermat dalam melakukan penanganan dan
pengolahan ikan ikut berkontribusi terhadap �ngginya susut hasil
perikanan.
4
4 https://www.kemenkopmk.go.id/optimalisasi-peran-perempuan-dalam-pembangunan
Pendahuluan
Lokus dan penyebab
susut hasil perikanan
Langkah-langkah intervensi untuk mengurangi
susut hasil perikanan
Kesimpulan
Saran kebijakan
Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia
"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”6 7
Referensi: 1. BPS. (2019). Konsumsi Protein dan Kalori Penduduk Indonesia dan Propinsi. Buku 2 (Vol. 2). Biro Pusat Sta�s�kCharles, A. T. (2001).
Sustainable fishery systems. Blackwell Science.
2. Cohrane, K., De Young, C., Soto, D., & Bahri, T. (2009). Climate Change Implica�on for Fisheries and Aquaculture: Overview of Current Scien�fic Knowledge. (No. 530; FAO Fisheries Tecnical Paper, p. 212). FAO.
3. Ditjen Kesmas. (2018). Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2017. Kementerian Kesehatan RI.
4. Direktorat Pemasaran, Dit.Jen PDSKP, KKP, 2018. Peta Kebutuhan Ikan Berdasarkan Preferensi Konsumen Rumah Tangga Tahun 2017.
5. Ditjen PDSPKP (2020). Pedoman Penghitungan Angka Konsumsi Ikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan
6. Gordon, D. T. (1988). Minerals in seafoods: Their bioavailability and interac�ons. Food Technology, 42(5), 156–160.
7. Habibie, Y., Fahmi, I., Kusuma, B., Wulandari.E. (2020). Studi Kualita�f: Peneli�an Forma�f Prak�k Penanganan Ikan dan Persepsi Konsumsi Ikan di Rumah Tangga dalam Rangka Intervensi Perubahan Perilaku untuk Perbaikan Status Gizi di Kota Probolinggo. Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya.
8. Mut (2015), Susut Hasil Panen Perikanan Capai Rp. 30 Triliun. Selasa, 3 November 2015. Berita Satu. h�ps://www.beritasatu.com/ekonomi/319331-susut-hasil-panen-perikanan-capai-rp-30-triliun
9. Nurhasan, M and Purnama, R.C. (2019). Poor Fishery Management Costs Indonesia $7 Billion per Year. The Conversa�on, May 13, 2019. h�ps://theconversa�on.com/poor-fishery-management-costs-indonesia-7-billion-per-year-heres-how-to-stop-it-109671
10. Sikorski, Z. E., Kolakowska, A., & Pan, B. S. (1990). The nutri�ve composi�on of the major groups of marine food organisms. In Z. E. Sikorski (Ed.), Seafood: Resources, Nutri�onal Composi�on and Preserva�on (pp. 29–54). CRC Press, Inc.
11. Wibowo, S., Utomo, B. S. B., Syamdidi, & Kusumawa�, R. (2014). Evaluasi Susut Hasil Pasca Panen Perikanan (PB-01-4-04-2014; Policy Brief, p. 4). Balai Besar Peneli�an dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. h�p://kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdf
Ca�aneo, A., Sánchez, M. V., Torero, M., & Vos, R. (2020). Reducing food loss and waste: Five challenges for policy and research. Food Policy,
101974. h�ps://doi.org/10.1016/j.foodpol.2020.101974
FAO. (2017, September 15). Food Loss and Waste in Fisheries and Aquaculture [Powerpoint]. Global Fishery Forum & Seafood Expo, St. Petersburg,
Russia.
FAO. (2018). Food loss and waste and the right to adequate food: Making the connec�on. FAO.
FAO. (2019). The State of Food and Agriculture 2019. Moving forward on food loss and waste reduc�on. Food and Agriculture Organiza�on of the United
Na�ons.
Graham, J., Johnston, W. A., & Nicholson, F. J. (1992). Ice in Fisheries (No. 331; FAO Fisheries Technical Paper, p. 75). FAO.
Gustavsson, J., Cederberg, C., & Sonesson, U. (2011). Global food losses and food waste: Extent, causes and preven�on ; study conducted for the
Interna�onal Congress Save Food! at Interpack 2011, [16 - 17 May], Düsseldorf, Germany. Food and Agriculture Organiza�on of the United
Na�ons.
Huss, H. H. (1995). Quality and quality changes in fresh fish. FAO.
Kaminski, A. M., & Cole, S. M. (2018). Building a case for using par�cipatory and gender-aware approaches in post-harvest fish loss assessments and
fishery value chain development interven�ons. In FAO, Report and Papers Presented at the Fourth Mee�ng of Professionals/Experts in Support
of Fish Safety, Technology, and Marke�ng in Africa. Elmina, Ghana, 14–16 November 2017. (pp. 48–57). FAO.
Kruijssen, F., Tedesco, I., Ward, A., Pincus, L., Love, D., & Thorne-Lyman, A. L. (2020). Loss and waste in fish value chains: A review of the evidence from
low and middle-income countries. Global Food Security, 26, 100434. h�ps://doi.org/10.1016/j.gfs.2020.100434
Markenih, E. (2016). Sanitasi dan Higiena serta Pengaruhnya terhadap kualitas ikan yang Didaratkan di Pelabuhan Blanakan, Subang. Ins�tut Pertanian
Bogor.
Phillips, M., Subasinghe, R., Tran, N., Kassam, L., & Chan, C. Y. (2016). Aquaculture Big Numbers (No. 601; FAO Fisheries and Aquaculture Technical
Paper, p. 60). FAO.
Pink, P. (2016). Report of the '2015 Series of Interna�onal Conferences on Food Loss and Waste Reduc�on': Recommenda�ons on Improving Policies and
Strategies for Food Loss and Waste Reduc�on (p. 49). FAO.
Poernomo, A. (2017). Es Adalah Peradaban, Cetakan 3 dan Edisi Revisi.
Wibowo, S, Ward, A. R., Diei-Ouadi, Y., Susana, S., & Suuronen, P. (2017). Case studies on fish loss assessment of small-scale fisheries in Indonesia. (FAO
Fisheries and Aquaculture Circular No. 1129). FAO.
Wibowo, Singgih, Utomo, B. S. B., Syamdidi, & Kusumawa�, R. (2014). Evaluasi Susut Hasil Pasca Panen Perikanan (PB-01-4-04-2014; Policy Brief, p.
4). Balai Besar Peneli�an dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. h�p://kkp.go.id/an-
component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdf
World Bank. (2012). Hidden Harvest: The Global Contribu�on of Capture Fisheries. World Bank, FAO, World Fish Center.
World Bank, 2014. Be�er Growth Through Improved Sanita�on and Hygiene Prac�ces dalam Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil
(Stun�ng) Periode 2018-2024. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, dan TNP2K
6
15%
9%
2%
6%
8,2%
#Ca�aneo, A., Sánchez, M. V., Torero, M., & Vos, R. (2020). Reducing food loss and waste: Five challenges for policy and research. Food Policy, 101974. h�ps://doi.org/10.1016/j.foodpol.2020.101974
FAO. (2017, September 15). Food Loss and Waste in Fisheries and Aquaculture [Powerpoint]. Global Fishery Forum & Seafood Expo, St.
Petersburg, Russia.
FAO. (2018). Food loss and waste and the right to adequate food: Making the connec�on. FAO.
FAO. (2019). The State of Food and Agriculture 2019. Moving forward on food loss and waste reduc�on. Food and Agriculture
Organiza�on of the United Na�ons.
Graham, J., Johnston, W. A., & Nicholson, F. J. (1992). Ice in Fisheries (No. 331; FAO Fisheries Technical Paper, p. 75). FAO.
Gustavsson, J., Cederberg, C., & Sonesson, U. (2011). Global food losses and food waste: Extent, causes and preven�on ; study conducted
for the Interna�onal Congress Save Food! at Interpack 2011, [16 - 17 May], Düsseldorf, Germany. Food and Agriculture
Organiza�on of the United Na�ons.
Huss, H. H. (1995). Quality and quality changes in fresh fish. FAO.
Kaminski, A. M., & Cole, S. M. (2018). Building a case for using par�cipatory and gender-aware approaches in post-harvest fish loss
assessments and fishery value chain development interven�ons. In FAO, Report and Papers Presented at the Fourth Mee�ng
of Professionals/Experts in Support of Fish Safety, Technology, and Marke�ng in Africa. Elmina, Ghana, 14–16 November 2017.
(pp. 48–57). FAO.
Kruijssen, F., Tedesco, I., Ward, A., Pincus, L., Love, D., & Thorne-Lyman, A. L. (2020). Loss and waste in fish value chains: A review of
t h e e v i d e n c e f r o m l o w a n d m i d d l e - i n c o m e c o u n t r i e s . G l o b a l Fo o d S e c u r i t y , 2 6 , 1 0 0 4 3 4 .
h�ps://doi.org/10.1016/j.gfs.2020.100434
Markenih, E. (2016). Sanitasi dan Higiena serta Pengaruhnya terhadap kualitas ikan yang Didaratkan di Pelabuhan Blanakan, Subang.
Ins�tut Pertanian Bogor.
Phillips, M., Subasinghe, R., Tran, N., Kassam, L., & Chan, C. Y. (2016). Aquaculture Big Numbers (No. 601; FAO Fisheries and
Aquaculture Technical Paper, p. 60). FAO.
Pink, P. (2016). Report of the '2015 Series of Interna�onal Conferences on Food Loss and Waste Reduc�on': Recommenda�ons on
Improving Policies and Strategies for Food Loss and Waste Reduc�on (p. 49). FAO.
Poernomo, A. (2017). Es Adalah Peradaban, Cetakan 3 dan Edisi Revisi.
Daftar Rujukan
Saran kebijakanSelain upaya secara teknis sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1, pengurangan susut hasil perikanan perlu dilakukan
melalui langkah-langkah yang bersifat kebijakan. Karena kompleksnya permasalahan di lapangan, upaya tersebut
seyogyanya dilakukan secara mul�sektor dengan melibatkan Kementerian/Lembaga terkait dan pemangku kepen�ngan
lainnya. Langkah-langkah tersebut antara lain:
1.1. Penyusunan dan pencanangan Visi, Misi, dan Strategi pengurangan susut hasil pangan yang diinisiasi oleh
Bappenas.
1.2. Pencanangan Gerakan Nasional Pengurangan Susut Pasca-Panen Pangan dan Gizi.
1.3. Penguatan perencanaan pengadaan sarana dan prasarana pendinginan dan pengolahan ikan.
1.4. Penguatan perencanaan penyediaan teknologi tepat guna serta prosedur pendinginan dan pengolahan ikan.
1.5. Peningkatan kapasitas pelaku usaha perikanan di bidang penanganan dan pengolahan.
1.6. Peningkatan pemahaman konsumen dan masyarakat tentang pen�ngnya mengurangi susut hasil perikanan.
Tabel 3. Es�masi kebutuhan pabrik es untuk penanganan ikan laut
1https://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo -dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebak
5 https://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo-dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebak
1.5 : 1 1.5 : 1 2.0 : 1 5.0 : 1
Penangkapan dan pengumpulan
Penanganan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pengolahan Total Kegiatan
Es : ikan (bobot)
Sumatera
1,671
2,507
279
3,482
Jawa-Bali
1,433
2,149
239
2,985
NTT, NTB, Papua, Maluku Islands
1,679
2,518
280
3,497
Kalimantan
588
882
98
1,225
Sulawesi
1,326
1,989
221
2,762
TOTAL
6,696
10,045
1,116
13,951
Gambar 1. Diagram fishbone penyebab susut hasil perikanan (diolah dari (FAO, 2017; Gustavsson et al., 2011; Kruijssen et al., 2020; Wibowo et al., 2014; Wibowo et al., 2017)
Tabel 2. Es�masi kebutuhan es untuk penanganan dan ikan di daerah tropis (Graham et al., 1992)
KonsumsiPenyimpanandistribusi dan retailPemanenan
Penangkapan Postharvest handlingand transportPengolahan
SUSUT PASCAPANEN DAN GIZI
5
Pulau/Kelompok PulauProduksi 2018 (juta ton)
Kebutuhan es (juta ton)
Kebutuhan pabrik es(unit)
Investasi (Rp miliar)
Asumsi● Perikanan laut, sumber: h�ps://sta�s�k.kkp.go.id/home.php?m=total&i=2#panel-footer● Kebutuhan es dies�masi dari 75% produksi dikalikan 2 (es:ikan = 2:1)● Hari produksi dalam setahun 300
5● Harga pabrik es (kapasitas 30 ton/hari) berdasar nilai yang dibangun oleh PT Perindo di Lebak pada 2017
Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia
https://www.beritasatu.com/ekonomi/319331-susut-hasil-panen-perikanan-capai-rp-30-triliunhttps://theconversation.com/poor-fishery-management-costs-indonesia-7-billion-per-year-heres-how-to-stop-it-109671http://kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdfhttp://kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdfhttps://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo-dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebakhttps://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo-dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebakhttps://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo-dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebak
"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”"Dokumen ini di dukung oleh Global Alliance for Improved Nutri�on (GAIN)”6 7
Referensi: 1. BPS. (2019). Konsumsi Protein dan Kalori Penduduk Indonesia dan Propinsi. Buku 2 (Vol. 2). Biro Pusat Sta�s�kCharles, A. T. (2001).
Sustainable fishery systems. Blackwell Science.
2. Cohrane, K., De Young, C., Soto, D., & Bahri, T. (2009). Climate Change Implica�on for Fisheries and Aquaculture: Overview of Current Scien�fic Knowledge. (No. 530; FAO Fisheries Tecnical Paper, p. 212). FAO.
3. Ditjen Kesmas. (2018). Tabel Komposisi Pangan Indonesia 2017. Kementerian Kesehatan RI.
4. Direktorat Pemasaran, Dit.Jen PDSKP, KKP, 2018. Peta Kebutuhan Ikan Berdasarkan Preferensi Konsumen Rumah Tangga Tahun 2017.
5. Ditjen PDSPKP (2020). Pedoman Penghitungan Angka Konsumsi Ikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan
6. Gordon, D. T. (1988). Minerals in seafoods: Their bioavailability and interac�ons. Food Technology, 42(5), 156–160.
7. Habibie, Y., Fahmi, I., Kusuma, B., Wulandari.E. (2020). Studi Kualita�f: Peneli�an Forma�f Prak�k Penanganan Ikan dan Persepsi Konsumsi Ikan di Rumah Tangga dalam Rangka Intervensi Perubahan Perilaku untuk Perbaikan Status Gizi di Kota Probolinggo. Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya.
8. Mut (2015), Susut Hasil Panen Perikanan Capai Rp. 30 Triliun. Selasa, 3 November 2015. Berita Satu. h�ps://www.beritasatu.com/ekonomi/319331-susut-hasil-panen-perikanan-capai-rp-30-triliun
9. Nurhasan, M and Purnama, R.C. (2019). Poor Fishery Management Costs Indonesia $7 Billion per Year. The Conversa�on, May 13, 2019. h�ps://theconversa�on.com/poor-fishery-management-costs-indonesia-7-billion-per-year-heres-how-to-stop-it-109671
10. Sikorski, Z. E., Kolakowska, A., & Pan, B. S. (1990). The nutri�ve composi�on of the major groups of marine food organisms. In Z. E. Sikorski (Ed.), Seafood: Resources, Nutri�onal Composi�on and Preserva�on (pp. 29–54). CRC Press, Inc.
11. Wibowo, S., Utomo, B. S. B., Syamdidi, & Kusumawa�, R. (2014). Evaluasi Susut Hasil Pasca Panen Perikanan (PB-01-4-04-2014; Policy Brief, p. 4). Balai Besar Peneli�an dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. h�p://kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdf
Ca�aneo, A., Sánchez, M. V., Torero, M., & Vos, R. (2020). Reducing food loss and waste: Five challenges for policy and research. Food Policy,
101974. h�ps://doi.org/10.1016/j.foodpol.2020.101974
FAO. (2017, September 15). Food Loss and Waste in Fisheries and Aquaculture [Powerpoint]. Global Fishery Forum & Seafood Expo, St. Petersburg,
Russia.
FAO. (2018). Food loss and waste and the right to adequate food: Making the connec�on. FAO.
FAO. (2019). The State of Food and Agriculture 2019. Moving forward on food loss and waste reduc�on. Food and Agriculture Organiza�on of the United
Na�ons.
Graham, J., Johnston, W. A., & Nicholson, F. J. (1992). Ice in Fisheries (No. 331; FAO Fisheries Technical Paper, p. 75). FAO.
Gustavsson, J., Cederberg, C., & Sonesson, U. (2011). Global food losses and food waste: Extent, causes and preven�on ; study conducted for the
Interna�onal Congress Save Food! at Interpack 2011, [16 - 17 May], Düsseldorf, Germany. Food and Agriculture Organiza�on of the United
Na�ons.
Huss, H. H. (1995). Quality and quality changes in fresh fish. FAO.
Kaminski, A. M., & Cole, S. M. (2018). Building a case for using par�cipatory and gender-aware approaches in post-harvest fish loss assessments and
fishery value chain development interven�ons. In FAO, Report and Papers Presented at the Fourth Mee�ng of Professionals/Experts in Support
of Fish Safety, Technology, and Marke�ng in Africa. Elmina, Ghana, 14–16 November 2017. (pp. 48–57). FAO.
Kruijssen, F., Tedesco, I., Ward, A., Pincus, L., Love, D., & Thorne-Lyman, A. L. (2020). Loss and waste in fish value chains: A review of the evidence from
low and middle-income countries. Global Food Security, 26, 100434. h�ps://doi.org/10.1016/j.gfs.2020.100434
Markenih, E. (2016). Sanitasi dan Higiena serta Pengaruhnya terhadap kualitas ikan yang Didaratkan di Pelabuhan Blanakan, Subang. Ins�tut Pertanian
Bogor.
Phillips, M., Subasinghe, R., Tran, N., Kassam, L., & Chan, C. Y. (2016). Aquaculture Big Numbers (No. 601; FAO Fisheries and Aquaculture Technical
Paper, p. 60). FAO.
Pink, P. (2016). Report of the '2015 Series of Interna�onal Conferences on Food Loss and Waste Reduc�on': Recommenda�ons on Improving Policies and
Strategies for Food Loss and Waste Reduc�on (p. 49). FAO.
Poernomo, A. (2017). Es Adalah Peradaban, Cetakan 3 dan Edisi Revisi.
Wibowo, S, Ward, A. R., Diei-Ouadi, Y., Susana, S., & Suuronen, P. (2017). Case studies on fish loss assessment of small-scale fisheries in Indonesia. (FAO
Fisheries and Aquaculture Circular No. 1129). FAO.
Wibowo, Singgih, Utomo, B. S. B., Syamdidi, & Kusumawa�, R. (2014). Evaluasi Susut Hasil Pasca Panen Perikanan (PB-01-4-04-2014; Policy Brief, p.
4). Balai Besar Peneli�an dan Pengembangan Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. h�p://kkp.go.id/an-
component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdf
World Bank. (2012). Hidden Harvest: The Global Contribu�on of Capture Fisheries. World Bank, FAO, World Fish Center.
World Bank, 2014. Be�er Growth Through Improved Sanita�on and Hygiene Prac�ces dalam Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil
(Stun�ng) Periode 2018-2024. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, dan TNP2K
6
15%
9%
2%
6%
8,2%
#Ca�aneo, A., Sánchez, M. V., Torero, M., & Vos, R. (2020). Reducing food loss and waste: Five challenges for policy and research. Food Policy, 101974. h�ps://doi.org/10.1016/j.foodpol.2020.101974
FAO. (2017, September 15). Food Loss and Waste in Fisheries and Aquaculture [Powerpoint]. Global Fishery Forum & Seafood Expo, St.
Petersburg, Russia.
FAO. (2018). Food loss and waste and the right to adequate food: Making the connec�on. FAO.
FAO. (2019). The State of Food and Agriculture 2019. Moving forward on food loss and waste reduc�on. Food and Agriculture
Organiza�on of the United Na�ons.
Graham, J., Johnston, W. A., & Nicholson, F. J. (1992). Ice in Fisheries (No. 331; FAO Fisheries Technical Paper, p. 75). FAO.
Gustavsson, J., Cederberg, C., & Sonesson, U. (2011). Global food losses and food waste: Extent, causes and preven�on ; study conducted
for the Interna�onal Congress Save Food! at Interpack 2011, [16 - 17 May], Düsseldorf, Germany. Food and Agriculture
Organiza�on of the United Na�ons.
Huss, H. H. (1995). Quality and quality changes in fresh fish. FAO.
Kaminski, A. M., & Cole, S. M. (2018). Building a case for using par�cipatory and gender-aware approaches in post-harvest fish loss
assessments and fishery value chain development interven�ons. In FAO, Report and Papers Presented at the Fourth Mee�ng
of Professionals/Experts in Support of Fish Safety, Technology, and Marke�ng in Africa. Elmina, Ghana, 14–16 November 2017.
(pp. 48–57). FAO.
Kruijssen, F., Tedesco, I., Ward, A., Pincus, L., Love, D., & Thorne-Lyman, A. L. (2020). Loss and waste in fish value chains: A review of
t h e e v i d e n c e f r o m l o w a n d m i d d l e - i n c o m e c o u n t r i e s . G l o b a l Fo o d S e c u r i t y , 2 6 , 1 0 0 4 3 4 .
h�ps://doi.org/10.1016/j.gfs.2020.100434
Markenih, E. (2016). Sanitasi dan Higiena serta Pengaruhnya terhadap kualitas ikan yang Didaratkan di Pelabuhan Blanakan, Subang.
Ins�tut Pertanian Bogor.
Phillips, M., Subasinghe, R., Tran, N., Kassam, L., & Chan, C. Y. (2016). Aquaculture Big Numbers (No. 601; FAO Fisheries and
Aquaculture Technical Paper, p. 60). FAO.
Pink, P. (2016). Report of the '2015 Series of Interna�onal Conferences on Food Loss and Waste Reduc�on': Recommenda�ons on
Improving Policies and Strategies for Food Loss and Waste Reduc�on (p. 49). FAO.
Poernomo, A. (2017). Es Adalah Peradaban, Cetakan 3 dan Edisi Revisi.
Daftar Rujukan
Saran kebijakanSelain upaya secara teknis sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1, pengurangan susut hasil perikanan perlu dilakukan
melalui langkah-langkah yang bersifat kebijakan. Karena kompleksnya permasalahan di lapangan, upaya tersebut
seyogyanya dilakukan secara mul�sektor dengan melibatkan Kementerian/Lembaga terkait dan pemangku kepen�ngan
lainnya. Langkah-langkah tersebut antara lain:
1.1. Penyusunan dan pencanangan Visi, Misi, dan Strategi pengurangan susut hasil pangan yang diinisiasi oleh
Bappenas.
1.2. Pencanangan Gerakan Nasional Pengurangan Susut Pasca-Panen Pangan dan Gizi.
1.3. Penguatan perencanaan pengadaan sarana dan prasarana pendinginan dan pengolahan ikan.
1.4. Penguatan perencanaan penyediaan teknologi tepat guna serta prosedur pendinginan dan pengolahan ikan.
1.5. Peningkatan kapasitas pelaku usaha perikanan di bidang penanganan dan pengolahan.
1.6. Peningkatan pemahaman konsumen dan masyarakat tentang pen�ngnya mengurangi susut hasil perikanan.
Tabel 3. Es�masi kebutuhan pabrik es untuk penanganan ikan laut
1https://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo -dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebak
5 https://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo-dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebak
1.5 : 1 1.5 : 1 2.0 : 1 5.0 : 1
Penangkapan dan pengumpulan
Penanganan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pengolahan Total Kegiatan
Es : ikan (bobot)
Sumatera
1,671
2,507
279
3,482
Jawa-Bali
1,433
2,149
239
2,985
NTT, NTB, Papua, Maluku Islands
1,679
2,518
280
3,497
Kalimantan
588
882
98
1,225
Sulawesi
1,326
1,989
221
2,762
TOTAL
6,696
10,045
1,116
13,951
Gambar 1. Diagram fishbone penyebab susut hasil perikanan (diolah dari (FAO, 2017; Gustavsson et al., 2011; Kruijssen et al., 2020; Wibowo et al., 2014; Wibowo et al., 2017)
Tabel 2. Es�masi kebutuhan es untuk penanganan dan ikan di daerah tropis (Graham et al., 1992)
KonsumsiPenyimpanandistribusi dan retailPemanenan
Penangkapan Postharvest handlingand transportPengolahan
SUSUT PASCAPANEN DAN GIZI
5
Pulau/Kelompok PulauProduksi 2018 (juta ton)
Kebutuhan es (juta ton)
Kebutuhan pabrik es(unit)
Investasi (Rp miliar)
Asumsi● Perikanan laut, sumber: h�ps://sta�s�k.kkp.go.id/home.php?m=total&i=2#panel-footer● Kebutuhan es dies�masi dari 75% produksi dikalikan 2 (es:ikan = 2:1)● Hari produksi dalam setahun 300
5● Harga pabrik es (kapasitas 30 ton/hari) berdasar nilai yang dibangun oleh PT Perindo di Lebak pada 2017
Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia
https://www.beritasatu.com/ekonomi/319331-susut-hasil-panen-perikanan-capai-rp-30-triliunhttps://theconversation.com/poor-fishery-management-costs-indonesia-7-billion-per-year-heres-how-to-stop-it-109671http://kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdfhttp://kkp.go.id/an-component/media/upload-gambar-pendukung/brsdm/pdf/files28897Evaluasi%20Susut%20Hasil%20Pasca%20Panen.pdfhttps://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo-dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebakhttps://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo-dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebakhttps://ekonomi.bisnis.com/read/20170620/99/664665/perindo-dan-pt-barata-bangun-pabrik-es-di-lebak
Tabel 1. Upaya teknis untuk mengurangi susut hasil perikanan
Penangkapan
Pemanenan
Penanganan pascapanen dan transportasi
Pengolahan
Tahap rantai pasok Upaya
● Penggunaan alat tangkap legal (Sarpras, Teknologi)● Penerapan sistem rantai dingin di kapal dan pendaratan (Sarpras, Teknologi, Prosedur,
SDM)● Perbaikan fasilitas sanitasi dan higiene di atas kapal (Sarpras, Teknologi, SDM, Prosedur)● Penyediaan air bersih● Penerapan Cara Penanganan Ikan yang Baik/GHP (Prosedur, SDM)● Percepatan pembongkaran (Teknologi, SDM)● Pela�han anak buah kapal untuk hauling dan penanganan ikan (SDM)
● Penyediaan alat panen dan “handling space” di tambak (Sarpras)● Penerapan sistem rantai dingin (Sarpras, Teknologi, Prosedur, SDM)● Penerapan Cara Penanganan Ikan yang Baik/GHP (Prosedur, SDM)● Penyediaan air bersih (Sarpras)● Pela�han tenaga kerja (SDM, Prosedur)
● Penerapan sistem rantai dingin (Sarpas, Teknologi, Prosedur, SDM)● Penerapan Cara Penanganan Ikan yang Baik/GHP (Prosedur, DM) ● Penyediaan transportasi skala kecil dan besar (Sarpas, Teknologi, Prosedur, SDM)● Penyediaan gudang beku/cold storage (Sarpras, Teknologi)
● Penerapan teknik pengolahan “bersih”/cleaner technology (Teknologi, Prosedur, SDM) ● Penyediaan alterna�f pemanfaatan limbah/zero waste products (Teknologi, Prosedur, SDM)● Penerapan sistem rantai dingin (Sarpas, Teknologi, Prosedur, SDM)● Penerapan GMP/SSOP (Prosedur, SDM)● Penggunaan bahan baku yang sesuai dan penanganannya (Teknologi, Prosedur)● Pengemasan dan penyimpanan yang sesuai (Sarpras, Teknologi, Prosedur)● Pela�han tenaga kerja (SDM)
● Penerapan sistem rantai dingin (Sarpas, Teknologi, Prosedur, SDM)● Penerapan Cara Penanganan Ikan yang Baik/GHP (Prosedur, SDM) ● Penerapan Good Retailing Prac�ces (GHP, Prosedur)● Pembenahan lapak ikan dalam pasar tradisional dan fasilitas pengecer lainnya (Sarpras)
● Fasilitasi kemudahan akses pasar bagi pelaku usaha/pemasar (Prosedur)● Promosi Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan, melipu�
o Edukasi konsumen mengenai manfaat makan ikan (SDM)o Edukasi konsumen tentang cara-cara penanganan dan pengolahan ikan (SDM)o Edukasi konsumen tentang berbagai alterna�f pengolahan limbah ikan
● Promosi Gerakan Memasyarakatkan Hidup Sehat (Germas) dengan meningkatkan asupan makanan bergizi dari ikan dan olahan ikan.
● Edukasi konsumen untuk mengubah pola belanja dan konsumsi● Memasukkan muatan manfaat ikan dan pencegahan pemborosan makanan (ikan) di
kurikulum pendidikan sekolah umum dan madrasah.● Bekerja sama dengan hotel, restoran dan katering (Horeka) untuk sosialisasi alterna�f
menghemat sumber daya ikan sebagai bahan baku masakan melalui berbagai resep
Konsumsi
Penyimpanan, distribusi dan retail
Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia(JP2GI)
Gedung Wisma Abadi Jl. Balikpapan no.31 Petojo Selatan, Kec. Gambir, Jakarta Pusat 10160
sekretariat@jp2gi.org
+6221 3844306
h�p://www.jp2gi.org
TIM PENYUSUN1. Achmad Poernomo – Dewan Pakar JP2GI2. Soen'an HP – Ketua JP2GI
DESAIN & LAYOUT1. Arifin Fino
TIM REDAKSI
Kertas Kerja - Jejaring Pasca-Panen untuk Gizi Indonesia
Page 1Page 2Page 3Page 4Page 5Page 6Page 7Page 8
Recommended