View
22
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
KONFLIK JEMAAT AHMADIYAH DAN NON AHMADIYAH
DI KELURAHAN SERUA KECAMATAN CIPUTAT
KOTA TANGERANG SELATAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun oleh:
Hidayatulloh
NIM: 1112032100043
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
iv
ABSTRAK
“Konflik Jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Kelurahan Serua
Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan”
Hidayatulloh
Skripsi ini akan mendeskripsikan tentang konflik jemaat Ahmadiyah dan
non Ahmadiyah di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan.
Ahmadiyah masih menjadi perbincangan yang cukup menarik baik yang pro
maupun yang kontra. Adapun fakta di Indonesia Ahmadiyah banyak dibenci,
dihina, dan dikafirkan. Tidak terkecuali Ahmadiyah di Kelurahan Serua,
Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan, telah terjadi konflik antara jemaat
Ahmadiyah dan non Ahmadiyah sejak tahun 2004 sampai dengan saat ini.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis ingin mengetahui bagaimana
bentuk konflik yang terjadi di antara mereka?.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis akan melakukan penelitian
dengan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan historis,
dengan menjelaskan sejarah, perkembangan dan eksistensi Ahmadiyah di
Kelurahan Serua. Kemudian pendekatan sosiologis, dengan cara mendeskripsikan
konflik yang terjadi antara Jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Serua.
Untuk menperkuat penelitian penulis mendapatkan data dari hasil kepustakaan,
serta melakukan wawancara terhadap pengurus Ahmadiyah, tokoh masyarakat dan
tokoh Agama. Selain itu penulis juga melakukan observasi langsung kelapangan
untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Berdasarkan hasil analisis, konflik yang terjadi antara jemaat Ahmadiyah
dan non Ahmadiyah di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
Selatan dilatar belakangi oleh sejumlah faktor. Diantara faktor tersebut adalah
Faktor Lembaga Sosial (Keluarga, Agama dan Pemerintah), Faktor Ekonomi dan
Faktor Pendidikan. Selain itu beberpa elemen telah melakukan mediasi diantara
kedua belah pihak yaitu; pemerintah, masyarakat dan kepolisian.
Kata Kunci: Konflik, Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah, Kelurahan Serua.
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan
iman, islam, dan ihsan, serta kesehatan yang tidak terhingga akhirnya penulis
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Konflik Jemaat Ahmadiyah dan Non
Ahmadiyah di Kelurahan Serua Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan.”
Shalawat serta salam tidak lupa dihaturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW
yang telah membawa manusia dari zaman kegelapan sampai zaman terang
benderang seperti ini, kelak semoga mendapatkan syafaat darinya.
Penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari kata sempurna ini tidak
akan dapat selesai tanpa adanya dukungan dari banyak pihak baik seacara materil
maupun moril. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini,
terutama kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Ikhsan Tanggok, M.A selaku Penasehat Akademik yang
memberikan arahan dan persetujuan dalam penulisan skripsi ini.
2. Zainal Muttaqin, MA selaku dosen pembimbing skripsi yang memberikan
arahan, motivasi, serta bimbingan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr. Media Zainul Bahri, M.A selaku Ketua Jurusan Studi Agama-agama
dan Dra. Halimah Mahmudy, M.A selaku Sektretaris Jurusan Studi
Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
selalu memberikan pelayanan kepada mahasiswanya dengan baik.
vi
4. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A
atas kesempatan belajar dan fasilitas yang diberikan pada Fakultas
Ushuluddin. Tidak lupa kepada Dr. Yusuf Rahman, M.A selaku Dekan
Fakultas Ushuluddin.
5. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin, para staff Akademik Fakultas
Ushuluddin khususnya sahabat Jamil, serta para staff Perpustakaan
Fakultas Ushuluddin dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak Muhajir dan Ibu Musrifah yang telah
memberikan Do’a dan Ridlonya hingga akhir masa studi dan tidak lupa
kepada adik yang memberikan dukungan sampai saat ini, Ridho Hasani,
Hikmatur Rizqi, Bintan Pangestu dan Ahmad Nasukha.
7. Bapak H. Mubasar, Ibu Anis Setianti dan seluruh keluarga besarnya yang
telah menerima, mendidik, serta mendoakan kami. Tidak lupa Mbak Nur
Faizah, Restu, Mella, Melly, Dek Vinka, Dek Ammar dan Dek Alizar
Mufid Musaid yang telah menjadi keluarga baru kami.
8. Murni Khasbiyati, sahabat sekaligus kekasih yang istiqomah memberi
motivasi dan membantu penulisan sampai dengan selesai.
9. Bapak Lurah, Bapak Asep, serta masyarakat Kelurahan Serua khususnya
para informan yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian
skripsi ini.
10. Bapak Muhammad Purwadi senior yang telah membawa sampai ke
Fakultas Ushuluddin dan Mas Daud kang Fahmi membantu dalam
perjuangan awal masuk kuliah.
vii
11. Sahabat sehidup seperjuangan, Jarkasih, Rizky Subagia, Ahmad Fauzi dan
M. Mubasyir yang telah melewati masa pendidikan bersama-sama baik
suka maupun duka.
12. Keluarga besar KKN Jemari yang telah memberikan warna baru dalam
proses kehidupan.
13. Keluarga besar Nahdlatul Ulama dan Nu Care-Lazisnu Kota Tangerang
Selatan, KH. Mohammad Thohir, KH. Himam Muzzahir, MA, Bapak M.
Suhud dan seluruh jajaran pengurus NU yang telah memberikan berkah,
do’a, serta dukungan.
Ciputat, 13 Mei 2019
Hidayatulloh
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 7
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7
E. Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 8
F. Kerangka Teori.......................................................................................... 10
G. Metodologi Penetitian ............................................................................... 14
H. Sistematika Penelitian ............................................................................... 20
BAB II : EKSISTENSI AHMADIYAH ............................................................ 21
A. Sejarah Ahmadiyah di Indonesia .............................................................. 21
B. Ajaran-Ajaran Ahmadiyah ........................................................................ 33
a. Kenabian ............................................................................................ 34
b. Pewahyuan ......................................................................................... 37
c. Khalifah .............................................................................................. 38
d. Jihad ................................................................................................... 41
BAB III : AHMADIYAH DI KELURAHAN SERUA .................................... 43
A. Kelurahan Serua ........................................................................................ 43
a. Sejarah ................................................................................................ 43
b. Kondisi Geografis ............................................................................... 44
c. Kependudukan..................................................................................... 45
d. Keadaan Agama dan Budaya .............................................................. 45
B. Perkembangan Ahmadiyah di Kelurahan Serua ....................................... 46
C. Eksistensi Ahmadiyah di Kelurahan Serua ............................................... 55
ix
BAB IV : ANALISIS KONFLIK JEMAAT AHMADIYAH DAN NON
AHMADIYAH DI KELURAHAN SERUA ..................................................... 60
A. Relasi Jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Kelurahan Serua ....... 60
1. Kekerabatan......................................................................................... 61
2. Kegiatan Keagamaan .......................................................................... 63
3. Kegiatan Sosial dan Budaya................................................................ 65
4. Sistem Ekonomi .................................................................................. 67
B. Faktor penyebab Konflik Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Kelurahan
Serua .......................................................................................................... 69
1. Faktor Lembaga Sosial ........................................................................ 69
a. Keluarga ........................................................................................ 71
b. Agama ........................................................................................... 72
c. Pemerintah..................................................................................... 75
2. Faktor ekonomi ................................................................................... 77
3. Faktor pendidikan................................................................................ 78
C. Mediasi Konflik Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Kelurahan Serua ... 81
1. Pemerintah........................................................................................... 81
2. Masyarakat Serua ................................................................................ 84
3. Kepolisian ........................................................................................... 85
BAB V : PENUTUP ............................................................................................ 87
A. Kesimpulan ............................................................................................... 87
B. Saran .......................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku, bahasa,
adat istiadat dan agama, sehingga bangsa Indonesia adalah masyarakat yang
majemuk. Keragaman tersebut adalah salah satu struktur yang membentuk pola
pikir masyarakat Indonesia baik itu masyarakat yang baru tumbuh atau
berkembang. Bagi masyarakat yang baru tumbuh corak tersebut akan mewarnai
pertumbuhan mereka untuk mencari jati diri mereka dan menyesuaikan diri
dengan lingkungannya.
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.
Mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya untuk tumbuh dan
mempertahankan diri. Dalam hidup bermasyarakat manusia akan selalu
dihadapkan pada kelompok masyarakat lain yang mempunyai masalah-masalah
ataupun kepentingan kelompok mereka. Dalam menghadapi persoalan ini,
manusia membutuhkan sarana penunjang dalam perkembangan hidupnya untuk
mempertahankan eksistensinya. Dengan kata lain, manusia membutuhkan
kekuatan yang berada di luar kuasanya baik itu di dalam kehidupan sosial atau
spiritualnya. Dalam hal spiritual yaitu agama adalah bagian dari struktur sosial
yang mempunyai peranan penting dalam masyarakat.1
Agama mempengaruhi sikap-sikap praktis manusia terhadap berbagai
aktifitas kehidupan sehari-hari manusia. Dalam salah satu teori sosiologi yakni
teori fungsional memandang agama terkait dengan aspek pengalaman yang
1Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2004), h. 68.
2
mentransendenkan sejumlah peristiwa eksistensi sehari-hari yakni melibatkan
kepercayaan dan tanggapan kepada sesuatu yang berada di luar jangkauan
manusia. Oleh karena itu secara sosiologis, agama menjadi penting dalam
kehidupan manusia ketika pengetahuan dan keahlian tidak berhasil memberikan
sarana untuk melakukan adaptasi atau mekanisme yang dibutuhkan.2
Seperti apa yang telah diuraikan di atas bahwa dalam kehidupan
bermasyarakat manusia berinteraksi dan saling membutuhkan satu sama lain.
Mereka saling berhadapan dengan berbagai kelompok masyarakat yang beragama
dan memiliki berbagai kepentingan masing-masing. Dalam keadaan yang seperti
itulah nantinya yang akan menyebabkan integrasi dan konflik. Salah satu konflik
yang menarik untuk dikaji adalah Ahmadiyah.3 Berbagai konflik antara jemaat
Ahmadiyah dan non Ahmadiyah tampak di berbagai wilayah indonesia, beberapa
diantaranya seperti konflik Ahmadiyah di Lombok, konflik Ahmadiyah di
Cikeusik, konflik Ahmadiyah di Madura.
Salah satu penyebab konflik tersebut disebabkan oleh Ahmadiyah yang
menafsirkan sebagian ajaran-ajaran Islam secara tidak lazim dan tidak sedikit
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang sudah umum. Seperti
penafsiran Ahmadiyah terhadap QS. Al-Ahzab ayat 40.4 dimana ayat itu terdapat
kata Khataman Nabiyyin, jika pada umumnya menyatakan bahwa ayat tersebut
2Thomas F.O’Dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 25. 3 Ahmadiyah terbagi menjadi dua yaitu: Ahmadiyah Qodiani dan Ahmadiyah Lahore.
Perbedaan yang mendasar dari keduanya bisa dilihat dari keyakinan terhadap Mirza Ghulam
Ahmad, pertama berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan yang kedua
berpendapat bahwa status Mirza Ghulam Ahmad adalah sebagai orang suci atau orang yang sudah
mencapai kesempurnaan rohaniah. Lihat Masykur Hakim, Kenapa Ahmadiyah Dihujat? (Jakarta:
SDM Bina Utama, 2005), h. 2. 4Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu. tetapi
Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
(terjemahan QS. Al-Ahzab ayat: 40).
3
mengandung arti “tidak akan ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW.” Namun
bagi Jemaat Ahmadiyah ayat tersebut bukan berarti “penutup nabi-nabi”
melainkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang termulia diantara
semua nabi. Khataman tidak selalu mempunyai arti “penutup” tetapi boleh juga
diartikan yang termulia atau memiliki derajat yang paling tinggi.5 Seperti
keterangan di atas bahwa Jemaat Ahmadiyah Indonesia mempercayai bahwa
Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi Buruzi (nabi yang tidak membawa
syari’at/nabi bayangan) dan menjadi Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu.
Pada umumnya penyebaran Ahmadiyah di negara-negara lain, itu dimulai
ketika kantor pusat Ahmadiyah mengirimkan mubaligh/missionaris ke negara atau
daerah tersebut, namun kehadiran Ahmadiyah di Indonesia berkat inisiatif orang
Indonesia yang datang ke Qadian, yaitu tiga serangkai pelajar Indonesia dari
Padang yang belajar di Qadian yaitu Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan
Zaini Dahlan.6 Baru setelah ada permintaan tersebut, khalifah lantas mengirim
mubaligh ke Indonesia.7
Pada tahun 1925 Mubaligh Maulana Rahmat Ali yang secara khusus
diutus oleh pimpinan Ahmadiyah Internasioanal untuk menyebarkan ajaran
Ahamdiyah ke wilayah Indonesia melalui kota Tapaktuan, Aceh.8 Kemudian pada
5Kunto Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Malaysia: Nertja Press,
2014), Cet. 1, h. 106. 6Inilah diantaranya yang menurut seorang juru bicara Ahmadiyah, membuat jamaah
Ahmadiyah dari Indonesia mendapat tempat istimewa di hati khalifah. Makanya, ketika
berkunjung ke Indonesia tahun 2000, khalifah memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi pusat
dari Ahmadiyah pada tahun-tahun mendatang. Lihat Ahmad Najib Burhani, Melintasi Batas
Identitas dan Kesarjanaan: Studi Tentang Ahmadiyah di Indonesia (Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Singapura: ISEAS – Yusof Ishak Institute, 2008), h. 258. 7Burhani, Melintasi Batas Identitas dan Kesarjanaan: Studi Tentang Ahmadiyah di
Indonesia, h. 261. 8Munasir Sidik, Dasar-dasar Hukum & Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Jakarta:
Neratja Press, 2014), Cet. III, h. 20.
4
tahun 1931 M. Rahmat Ali datang ke Jakarta dan Bogor untuk menyebarkan
ajaran Ahmadiyah, sehingga berkat jasanya berhasil merekrut mubaligh lokal
untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah di berbagai tempat, diantaranya Garut,
Tasikmalaya, Kuningan, Ciamis, dan Bandung. Para anggotanya setiap tahun
bertambah, yang pada awalnya hanya ratusan jemaat, kini sudah mencapai ratusan
ribu jemaat.9
Respon atas kedatangan Ahmadiyah di Indonesia khususnya di Serua,
sebagian masyarakat yang dipelopori oleh para ulama sekitar menentang
Ahmadiyah karena sudah dianggap sesat dan keluar dari agama Islam. Ahmadiyah
sering mendapatkan perlakuan seperti difitnah, tindakan pidana, bahkan
pembunuhan yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang membenci terhadap
Ahmadiyah.
Beberapa contoh penentangan terhadap Ahmadiyah, di Tangerang Banten,
Gomar dikenakan hukuman penjara selama satu bulan karena dianggap
mengumpulkan orang tanpa izin dari pemerintah pada 1937, yaitu pada saat ia
mengadakan pengajian Al-Qur’an di rumahnya yang dihadiri oleh kurang lebih
300 orang. Kejadian lain di Rangkasbitung Banten, Sastra Subrata pada 1972
dilempar asbak oleh seorang anggota Polisi Pamong Praja bernama Djupriana
pada saat berdiskusi hingga wajahnya mengalami pendarahan. Kemudian orang-
orang yang anti terhadap Ahmadiyah berusaha untuk menghilangkan Ahmadiyah
di Cianjur, dimana pada masa pendudukan Tentara Jepang orang-orang yang anti
Ahmadiyah memfitnah para anggota Ahmadiyah sebagai pembuat kekacauan.
Terjadi pula di daerah Talaga Cianjur yaitu pemboikotan dalam berbagai hal,
9Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia , h. 106.
5
diantaranya tidak boleh ada kegiatan jual-beli dengan para anggota Jemaat
Ahmadiyah dan tidak boleh mengambil pekerjaan dari Jemaat Ahmadiyah.
Mereka melakukan tindakan anarkis dengan merusak masjid Ahmadiyah.10
Fenomena terkait konflik jemaat Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah saat
ini juga terdapat di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan.
Sebenarnya Kota Tangerang Selatan baru terbentuk pada tanggal 9 November
2008, kota hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Susahnya pelayanan
administrasi masyarakat yang menjadi salah satu alasan pemekaran wilayah ini,
mengingat daerah ini cukup jauh dari pusat pemerintahan. Sedangkan Ahmadiyah
sudah ada sejak tahun 2000 dibawa oleh seseorang dari Tasikmalaya yang
bernama bapak Kusna Abdul Rokhim di daerah Kelurahan Parigi Kecamatan
Pondok Aren dengan membawa Jemaat sejumlah 50 orang. Kemudia melakukan
pemekaran di Kelurahan Serua Kecamatan Ciputat pada tahun yang sama yang di
pelopori oleh bapak Yusuf Sairan.11
Pasca keluarnya fatwa MUI tahun 2005 dan keluarnya SKB 3 Menteri
pada tahun 2008, Jemaat Ahmadiyah di Serua mendapat penolakan dari warga
masyarakat. Walapun adanya penolakan dari masyarakan mereka masih tetap
bertahan hidup sebagai masyarakat yang minoritas di Serua. Bahkan jemaat
Ahmadiyah di Serua ini tetap menjalankan program yang sudah di canangkan oleh
pengurus pusat. Misalnya saja, kegiatan sosial bagi-bagi sembako, menyantuni
anak yatim, donor darah, donor mata dan lain sebagainya.12
10
Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 163-165. 11
Wawancara dengan, bapak Mohammad Soleh, wakil ketua JAI cabang Serua, Pada 1
Mei 2019. 12
Wawancara dengan, Javid Attaurrahman, ketua pemuda JAI Cabang Serua, Kelurahan
Serua, Pada 23 April 2019.
6
Setelah aksi penolakan tersebut, Jemaat Ahmadiyah lebih menutup diri.
hubungan yang terjadi antara kedua kelompok menjadi kurang harmonis. Sebelum
adanya aksi penolakan pembangunan masjid Ahmadiyah ini hubungan mereka
baik-baik saja, mereka masih biasa bertegur sapa dan saling berinteraksi. Setelah
adanya aksi penolakan, hubungan keduanya ini tidak harmonis.
Sebagaimana pada umumnya bahwa jemaat Ahmadiyah menjadi
masyarakat minoritas, namun di Serua Ahmadiyah lebih mayoritas dibanding
dengan Ahmadiyah diwilayah lain. Hal ini menjadi kekuatan dan perkembangan
Ahmadiyah Serua, dimana setiap Jemaat Ahmadiyah harus memiliki kesadaran
bahwa mereka harus bekerja keras untuk Ahmadiyah, mereka harus sanggup
berkorban demi Islam dan Ahmadiyah. Kekuatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia
adalah komitmen untuk menghidupi organisasi melalui kesadaran bekerja keras
dan kerelaan berkorban.13
Nisin Setiadi selaku Sekretaris Kelurahan Serua menyampaikan bahwa
berdasarkan Fatwa MUI tahun 2005 Ahmadiyah merupakan gerakan atau
organisasi yang sesat, dan berbeda pandangan tentang Islam pada umumnya. Hal
ini yang menjadi dasar penolakan warga, supaya Ahmadiyah tidak lagi ada di
Serua. Masyarakat masih tetap merasa khawatir jika masjid Ahmadiyah yang
menjadi pusat kegiatan akan digunakan untuk syiar (menyebarkan) ajaran
Ahmadiyah.14
Berkaitan dengan kasus tersebut, peneliti tertarik untuk menganalisis
tentang Konflik Jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Kelurahan Serua,
Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini akan mengkaji lebih
13
Wawancara dengan bapak Mohammad Soleh, wakil ketua JAI cabang Serua, Pada 1
Mei 2019. 14
Wawancara dengan Nisin Setiadi, Sekretaris Kelurahan Serua, Pada 23 April 2019.
7
dalam mengenai bentuk konflik antara jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di
wilayah tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini dirumuskan
pada pertanyaan bagaimana konflik jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di
Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Memenuhi persyaratan akhir memperoleh gelar Sarjana Agama pada Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Mengetahui konflik jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Kelurahan
Serua, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua kalangan baik
penulis sendiri maupun pembaca. Sehingga manfaat yang dapat diambil dari
penelitian sebagai berikut.
a. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan ilmu,
memperluas pengetahuan, memberikan referensi lanjutan, khususnya dibidang
studi agama-agama.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk mengembalikan Islam kejalan yang benar.
8
E. Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan penelitian, penulis mencari informasi tentang judul
terkait. Untuk itu maka perlu dikemukakan tulisan yang terkait dengan judul
penelitian yang akan dilaksanakan. Tulisan yang serupa dengan judul penelitian
tersebut diantaranya adalah:
Jurnal yang ditulis Rofiqoh Zuchairiyah dengan judul “Kekersan
Terhadap Aliran yang Dinilai Sesat Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi
Terhadap Ahmadiyah di Indonesia)” membahas mengenai konflik jemaat
Ahmadiyah dan non Ahmadiyah yang dilakukan dengan kekerasan di beberapa
daerah di Indonesia. Kemudian direspon oleh para tokoh Islam seperti Dawam
Rahardjo, Din Samsyuddin, Hasim Muzadi, mereka tidak sepakat penolakan
dilakukan dengan tindakan anarkisme.15
Kemudian literatur kedua adalah skripsi yang di tulis oleh Fauziyah
Gustapo, mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul Pola Relasi
Sosial Komunikasi Ahmadiyyah dan Non Ahmadiyyah di Desa Tenjowaringin
Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya Pembahasan dalam penulisan ini
adalah menggambarkan pola relasi sosial yang dibangun serta faktor-faktor yang
mendorong adanya relasi antara Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Desa
Tenjowiringin sehingga masyarakatnya rukun, aman, dan saling menghargai
antara satu dengan yang lainnya di samping adanya perbedaan yang mendasar dari
segi keyakinan.16
15
Rofiqoh Zuchairiyah, Kekersan Terhadap Aliran yang Dinilai Sesat Dalam Perspektif
Hukum Islam, Studi Terhadap Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Fak.
Syaria’ah dan Hukum, 2012). 16
Fauziyah Gustapo, Pola Relasi Sosial Komunikasi Ahmadiyyah dan Non Ahmadiyyah di
Desa Tenjowaringin Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Fak. Ushuluddin, 2018).
9
Literatur ketiga adalah skripsi yang ditulis oleh Siswo Mulyantono
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Kekerasan Anti
Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang (Pendekatan Mobilisasi)” Pembahasan dalam
penulisan ini adalah gerakan masyarakat untuk menuntut pembubaran Aliran
Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang. Poin penting pada tulisan ini lebih pada cara
bagaimana pola mobilisasi masa untuk menolak keberadaan Ahmadiyah disana.17
Literatur keempat adalah Disertasi tentang Tinjauan Kritis Jemaat
Ahmadiyah Indonesia karya Kunto Sofianto, Ph.D. Tinjauan kritis ini lebih
mengungkap masa-masa kritis malaise yang menyebabkan parahnya kondisi
sosial ekonomi masyarakat Indonesia khususnya Jawa Barat pada dekade abad ke
20, Pada saat itu masyarakat sangat mendambakan adanya perubahan yang
membawa keadilan bagi mereka. Kemudian tersebar berita bahwa Mirza Ghulam
Ahmad adalah Imam Mahdi, maka dengan perasaan gembira mereka
menyambutnya. Kunto Sofianto menjelaskan secara rinci gerakan Ahmadiyah
mulai masuk, tumbuh dan berkembang di wilayah Jawa Barat.
Pembahasan yang berbeda dalam penulisan ini adalah hubungan sosial
seperti apa yang dibangun serta faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya
konflik sosial antara Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di kelurahan Serua
sehingga tidak terjalin kerukunan, keamamanan, dan saling menghargai antara
satu dengan yang lainnya bahkan terjadi penolakan dari masyarakat di samping
adanya perbedaan yang mendasar dari segi keyakinan.
17
Siswo Mulyantono, Kekerasan Anti Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Pendekatan
Mobilisasi (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Fak. Ilmu Sosial dan Politik, 2014).
10
F. Kerangka Teori
Dalam menelaah permasalahan diatas tidak hanya diselesaikan dengan
pemikiran saja, melainkan harus dianalisis dengan landasan teori, sehingga dapat
terwujud karya ilmiah yang memiliki bobot keilmuan. Dalam penelitian ini
fokusnya adalah: konflik antara jemaat Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah di
Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Inti dari teori
tersebut dapat dipakai untuk memahami dan mengungkapkan secara sistematis
mengenai obyek yang akan diteliti. Penjabaran teori dari tema tersebut adalah
sebagai berikut:
Istilah konflik berasal dari bahasa Inggris, yaitu “conflict” yang artinya
pertentangan atau perselisihan.18
Dalam kata kerja Latin, yatitu “configere” yang
berarti saling memukul. Sedangkan konflik dalam bahasa Indonesia berarti
percekcokan atau ketegangan. Secara sosiologis, konflik diartikan pertentangan
antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan sehari-
hari.19
Menurut Clifford Gertz, bahwa konflik berakar pada sikap masyarakat
tertutup, tidak terbuka terhadap realitas sosialnya. Ketertutupan inilah yang
membuat pribadi ataupun kelompok, merasa eksklusif dalam diri atau
kelompoknya sendiri dan tidak menerima dan terbuka terhadap pihak lainnya
yang berbeda dengan diri atau kelompok mereka.20
Hal ini berbeda dengan
pendapat Gillin dan Gillind mengenai pengertian konflik. Ia berpendapat bahwa
konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
18
http://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-konflik.html. 19
https://kbbi.web.id/konflik.html. 20
Deni Haryanto dan Edwi Nugrohadi, Pengantar Sosiologi Dasar (Jakarta: Prestasi
Pustaka Karya, 2011), h. 169.
11
kelompok) untuk mencapai tujuan mereka secara langsung menantang pihak lain
dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan, dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak
berdaya.21
Sedangkan menurut Lewis Coser konflik sosial adalah perselisihan
mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan
sumber-sumber kekayaan yang persediaannya terbatas. Pihak-pihak yang
berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh sumber-sumber yang
diinginkan, tetapi mereka juga menonjolkan, merugikan bahwan menghancurkan
lawan mereka.22
Coser membedakan bahwa konflik itu ada dua kategori yaitu konflik
realistik dan konflik nonrealistik. Konflik realistik adalah sebuah pertentangan
yang bersumber pada sesuatu yang kongkrit dan material, seperti perebutan
ekonomi atau wilayah. Sedangkan konflik nonrealistik adalah sebuah
pertentangan yang didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung
bersifat ideologis, seperti konflik antar agama, antar etnis dan antar kepercayaan
lainya.23
Pada dasarnya penyebab konflik dibagi menjadi dua macam, yaitu
Kemajemukan Horisontal dan Kemajemukan Vertikal:
a. Kemajemukan Horisontal adalah setruktur masyarakat yang majemuk
secara kultural, seperti bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti
perbedaan pekerjaan dan profesi, seperti petani, buruh, pedagang, pegawai
21
Deni Haryanto dan Edwi Nugrohadi, Pengantar Sosiologi Dasar, h. 163. 22
Margaret M. Polome, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: Raja Wali Persada, 1945), h.
107-108. 23
Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009), h. 46-
47.
12
negeri, wartawan, militer, dan cendekiawan. Kemajemukan ini
menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut
mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya
tersebut ingin mempertahankan karakteristik budaya tersebut.
b. Kemajemukan Vertikal adalah setruktur masyarakat yang terpolarisasi
berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan ini
dapat menimbulkan konflik karena ada sekelompok kecil masyarakat yang
memilii kekayaan, pendidikan yang mapan kekuasaan dan kewenangan
yang besar, sementara sebagian yang ada tidak/kurang memilikinya.
Polarisasi masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya
konflik sosial.24
Selanjutnya dijabarkan kembali faktor penyebab konflik secara lebih luas
dan terperinci dari beberapa hal yang lebih mempertegas akar terjadnya konflik
diantaranya:
1. Perbedaan antar individu; diantaranya perbedaan pendapat, tujuan,
keinginan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan.
2. Banturan antar kepentingan baik secara ekonomi maupun politik. Benturan
kepentingan ekonomi dipicu oleh makin bebasnya beruasah, sehingga
banyak diantara kelompok usaha saling merebutkan wilayah pasar dan
perluasan wilayah untuk mengembangkan usahanya.
3. Perubahan sosial konflik ini dipicu oleh keadaan perubahan yang terlalu
mendadak. Keadaan demikian ini memicu banyak orang yang bertingkah
24
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011), cet.2., h. 360-361.
13
semaunya sendiri yang berakibat pada benturan antar kepentingan baik
secara individual ataupun kelompok.
4. Perbedaan kebudayaan yang mengakibatkan adanya perasaan in group dan
Out Group yang biasanya diikuti oleh sikap etnosentrisme25
kelompok
yaitu sikap yang ditunjukan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya
adalah paling baik, ideal, beradap diantara kelompok lain.
Sedangkan menurut Turner ada beberapa faktor yang menuju terjadinya
konflik sosial diantaranya:
1. Tidak meratanya distribusi sumber daya yang akan terbatas di dalam
masyarakat.
2. Ditariknya kembali legitimasi penguasa politik oleh masyarakat kelas
bawah.
3. Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara untuk mewujudkan
kepentingan.
4. Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas
bawah serta lambatnya mobilitas sosial ke atas.
5. Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideologi radikal.
Dalam buku Pengantar Sosiologi Konflik, Coser menjelaskan bahwa
konflik tidak hanya berwajah negatif, namun konflik juga memiliki fungsi positif
terhadap masyarakat melalui perubahan sosial yang diakibatkanya. Coser melihat
konflik sebagai mekanisme perubahan sosial dan penyesuaian dapat memberi
peran atau fungsi positif dalam masyarakat. Sehingga dalam hubungan sosial
25
Sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri,
biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain.
Lihat: https://kbbi.web.id/etnosentrisme.html
14
tertentu, konflik yang disembunyikan tidak akan memberikan efek positif.26
Adapun akibat atau hasil dari konflik antara lain:
1. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok yang mengalami
konflik dengan kelompok lain.
2. Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
3. Perubahan kepribadian dari dalam individu atau kelompok. Misalnya
timbul rasa dendam, benci, saling curiga dan lain-lain.
4. Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
5. Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat konflik.27
Melihat pengertian konflik di atas, penulis berpendapat bahwa konflik
adalah perselisihan yang terjadi antara dua individu atau kelompok karena
mempunyai pengertian, pemahaman dan tujuan yang berbeda. Hal ini terjadi
karena menganggap diri atau kelompoknya paling benar, sedangkan yang lainya
adalah salah.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan atau studi kasus dengan
tema konflik jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Kelurahan Serua,
Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan.
2. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian kualitatif
yaitu penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau
kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau
26
Susan, Pengantar Sosiologi Konflik, h. 45-46. 27
Haryanto dan Nugrohadi, Pengantar Sosiologi Dasar, h. 173.
15
daerah tertentu.28
Penelitian kualitatif ini juga bertujuan untuk menjelaskan
fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data. Penelitian ini
tidak mengutamakan besarnya populasi bahkan sangat terbatas. Pendekatan ini
lebih mengutamakan kedalaman (kualitas) bukan banyaknya (kuantitas) data.29
3. Pendekatan Penelitian
Ada beberapa Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini, pendekatan-
pendekatan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan Historis
Dalam melakukan kajian ini penulis menggunakan pendekatan historis.30
Dengan pendekatan ini, penulis berusaha menelaah sejarah Ahmadiyah di
Indonesia, menelusuri masuknya Ahmadiyah di Serua, perkembangan Ahmadiyah
di Serua dan eksistensi Ahmadiyah di Kelurahan Serua.
b. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis31
terhadap agama bermaksud mencari relevansi dan
pengaruh agama terhadap fenomena sosial. Pendekatan sosiologis yang penulis
coba paparkan adalah mengamati secara langsung bagaimana pola hubungan
sosial jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Kelurahan Serua. Kemudian
mencari fakta akar konflik yang terjadi antara kedua kelompok tersebut.
28
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan (Jakarta: PT. Bumi
Aksara,2009), h. 47. 29
M. Hariwijaya, Metodologi dan Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi untuk Ilmu
Sosial dan Humaniora (Yogyakarta: Parama Ilmu, 2015), h. 85-86 30
Pendekatan historis merupakan suatu studi berusaha menelusuri asal-usul dan
pertumbuhan ide-ide dan pranata-pranata keagamaan melalui periode-periode perkembangan
historis tertentu dan menilai peranan kekuatan-kekuatan yang dimiliki agama untuk
memperjuangkan (mempertahankan) dirinya selama periode-periode itu. Lihat Media Zainul
Bahri, Wajah Studi Agama-agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan pertama, 2015), h. 15. 31
Pendekatan ini berfokus pada masyarakat yang memahami dan mempraktikan agama,
bagaimana pengaruh masyarakat terhadap agama dan pengaruh agama terhadap masyarakat.
(Bahri, Wajah Studi Agama-agama, h. 43-44.)
16
4. Sumber dan Tekhnik Pengumpukan Data
a. Sumber Data
Untuk melakukan penelitian tersebut penulis mengumpulkan data primer
dan sekunder yang sesuai dengan tema penelitian.
1. Sumber Primer artinya data yang didapat dari sumber pertama, seperti
wawancara kepada seseorang atau pengamatan peneliti langsung pada
obyek penelitian. Atau segala sesuatu yang sudah diolah menjadi buku,
artikel, jurnal, ceramah, arsip, dokumen, majalah, dan surat kabar yang
terkait langsung dengan topik penelitian ini, diantaranya sebagai berikut:
a) Wawancara dengan Mohammad Soleh (wakil ketua bidang tabligh JAI
Cabang Serua).
b) Wawancara dengan Malik Achmad (wakil ketua JAI Cabang Serua).
c) Wawancara dengan Asep Ahmad Husaini (Ketua bidang ta’lim JAI
Cabang Serua).
d) Wawancara dengan Javid Attaurrahman (ketua pemuda Ahmadiyah
Serua).
e) Wawancara dengan Nisin Setiadi, (Sekretaris Kel. Serua).
f) Wawancara dengan Ibrahim (Staf Kelurahan Serua).
g) Wawancara dengan Himam Muzzahir, MA (tokoh agama Kel. Serua).
h) Profil Kelurah Serua Kecamatan Ciputat tahun 2018
i) Masjid dan Sekretariat Ahmadiyah (Masjid Baitul Qoyyum Jl. Ciater
Raya Ruko Cams Corner No.9 Rt 01/10 Komplek Serua Makmur,
Serua, Ciputat).
17
2. Sumber Sekunder artinya data-data yang diperoleh dari hasil penelitian
orang lain yang sudah diolah menjadi data-data, buku, koran, majalah dan
lain-lain, diantaranya sebagai berikut:
a) Ahmad Najib Burhani, Melintasi Batas Identitas dan Kesarjanaan:
Studi Tentang Ahmadiyah di Indonesia (Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Singapura: ISEAS – Yusof Ishak
Institute, 2008).
b) Kunto Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(Malaysia: Nertja Press, 2014, Cet. 1).
c) Tohayudin, Paham Keagamaan dan Hak Sipil Jemaat Ahmadiyah
Indonesia Prespektif Hukum Islam dan Hukum Nasional (Tesis: IAIN
Syeh Nurjati Cirebon, 2012).
d) Fauziyah Gustapo, Pola Relasi Sosial Komunikasi Ahmadiyyah dan
Non Ahmadiyyah di Desa Tenjowaringin Kecamatan Salawu
Kabupaten Tasikmalaya (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fak. Ushuluddin, 2018).
e) Nadia Wasta Utami, “Upaya Komunikasi Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) dalam Resolusi Konflik Ahmadiyah,” (Jurnal Ilmu
Komunikasi, Vol. 13, No. 1, Juni 2016).
f) Rofiqoh Zuchairiyah, Kekersan Terhadap Aliran yang Dinilai Sesat
Dalam Perspektif Hukum Islam, Studi Terhadap Ahmadiyah di
Indonesia (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Fak. Syaria’ah dan
Hukum, 2012).
18
g) Surat Edaran Bersama Sekretaris Jendral Departemen Agama, Jaksa
Agung Muda Intelejen, dan Direktur Jendral Kesatuan Bangsa dan
Politik Departemen Dalam Negeri, Agustus Tahun 2008.
h) Munasir Sidik, Dasar-dasar hukum & Legalitas Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (Jakarta: Neratja Press, 2014, Cet. III).
i) Siswo Mulyantono, Kekerasan Anti Ahmadiyah di Cikeusik
Pandeglang Pendekatan Mobilisasi (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
Fak. Ilmu Sosial dan Politik, 2014).
j) Zulkarnain Iskandar, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta:
LkiS Yogyakarta, Cet. II. 2011).
b. Tekhnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini ada beberapa teknik yang akan digunakan untuk
mengumpulkan data, diataranya yaitu:
a) Wawancara
Metode pengumpulan data dengan cara bertanya langsung pada responden
untuk mendapatkan informasi.32
Peneliti melakukan wawancara dengan responden
ditempat penelitian yakni kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang
Selatan sejumlah 7 orang. Diantaranya; wawancara dengan bapak Mohammad
Soleh (wakil ketua JAI Cabang Serua), wawancara dengan bapak Malik Achmad
(wakil ketua JAI Cabang Serua), Wawancara dengan bapak Asep Ahmad Husaini
(Ketua bidang ta’lim JAI Cabang Serua), wawancara dengan Javid Attaurrahman
(ketua pemuda Ahmadiyah Serua), wawancara dengan bapak Nisin Setiadi,
32
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 333.
19
Sekretaris Kel. Serua), wawancara dengan bapak Ibrahim (Staf Kelurahan Serua),
wawancara dengan Uztadz Himam Muzzahir, MA (tokoh agama Kel. Serua).
b) Observasi
Observasi merupakan salah satu tekhnik pengumpulan data yang
menggunakan pertolongan indra mata.33
Penulis mengamati setiap kegiatan yang
diadakan oleh jemaat Ahmadiyah Serua dalam kegiatan bakti sosial, pendidikan
keagamaan dan pelayanan kemanusiaan. Ada beberapa lokasi yang menjadi lokasi
pengamatan peneliti, diantaranya; Sekretariat Ahmadiyah, Masjid Baitul Qoyyum
Jalan Ciater Raya, Ruko Cams Corner No.9, Serua, Ciputat; Kegiatan bakti sosial
yaitu bagi sembako, dan bagi takjil di depan masjid Baitul Qoyyum; Kantor
Kelurahan Serua, jalan Bukit Serua Raya, Serua, Ciputat; Komplek Serua
Makmur, jalan Serua Raya, Serua, Ciputat.
c) Dokumentasi
Tehknik dokumentasi dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-
dokumen yang bisa memberikan informasi dan bukti tentang judul terkait. Teknik
dokumen mencakup buku, laporan, surat-surat antar kelompok, foto dan lain
sebagainya.34
c. Tekhnik Analisis Data
Berdasarkan jenis data yang dikumpulkan maka penulis akan berusaha
menggabungkan data-data primer dan sekunder serta menafsirkan data,
menjelaskan data dan mengklasifikasi data yang diperoleh dari hubungan Jemaat
Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota
Tangerang Selatan.
33
Sutrisno Hadi, Metodologi Riset II (Yogyakarta: Andi Ofset, 1982), h. 159 34
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2003), Cet. 2, h. 163.
20
H. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penulisan pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari lima
bab, dengan uraian sebagai berikut:
BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian dan diakhiri dengan sistematika
penulisan.
BAB II : Bab ini penulis akan menjelaskan tentang sejarah kelahirah
Ahmadiyah, munculnya Ahmadiyah di Indonesia dan pelarangan Ahmadiyah di
Indonesia. Dalam bab ini juga menyajikan pokok-pokok ajaran Ahmadiyah yang
meliputi; kenabiyan, pewahyuan, khilafah dan jihad.
BAB III : Bab ini menjelaskan mengenai gambaran umum tempat
penelitian yang meliputi sejarah kota Tangerang Selatan, letak geografis,
kependudukan, keadaan Agama dan budaya. Kemudian bab ini juga menjelaskan
perkembangan Ahmadiyah di Serua dan eksistensi Ahmadiyah di Serua.
BAB IV : Bab ini menyajikan deskripsi tentang relasi jemaat Ahmadiyah
dan non Ahmadiyah yang meliputi aspek kekerabatan, kegiatan keagamaan,
kegiatan sosial budaya dan sistem ekonomi. Pada masing-masing bentuk relasi ini
penulis juga menyajikan dinamika konflik diantara mereka, diantaranya adalah
faktor lembaga sosial (keluarga, agama, dan pemerintah), faktor ekonomi dan
faktor pendidikan. Kemudian menyajikan deskripsi tentang mediasi yang
dilakukan oleh pemerintah, kementrian Agama dan FKUB Kota Tangsel..
BAB V : Bab ini adalah penutup yang berisi kesimpulan, saran dan
harapan.
21
BAB II
EKSISTENSI AHMADIYAH DI INDONESIA
A. Sejarah Ahmadiyah
Ahmadiyah muncul menjelang akhir abad ke-19 di tengah huru-hara
runtuhnya masyarakat Islam lama dengan sikap yang baru karena infiltrasi
budaya, serangan kaum misionaris Kristen, dan berdirinya Universitas Aligarh.
Ahmadiyah lahir sebagai protes terhadap keberhasilan kaum misionaris Kristen
memperoleh pengikut-pengikut baru. Selain itu juga, sebagai protes terhadap
paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan. Di
samping itu, lahirnya Ahmadiyah juga sebagai protes atas kemerosotan Islam pada
umumnya.1
Sejarah berdirinya Ahmadiyah tidak terlepas dari peran pendiri gerakan ini
yaitu Mirza Ghulam Ahmad. Ia lahir pada tanggal 13 Februari 1835 di desa
Qadian Punjab, India. Ayahnya bernama Mirza Ghulam Ahmad Murtada. MGA
adalah keturunan Haji Barlas, raja kawasan Qesh yang merupakan paman Amir
Tughlak Temur. Ketika Amir Temur menyerang Qesh, Haji Barlas sekeluarga
terpaksa melarikan diri ke Khorasan dan Samarkand serta menetap di sana. Pada
abad ke-16, seorang keturunan Haji Barlas bernama Mirza Hadi Baig-keturunan
dinasti Mughal beserta 200 orang pengikutnya meninggalkan Samarkand, dan
pindah ke daerah Gurdaspur di Punjab, sekitar kawasan sungai Bias. Disana ia
mendirikan sebuah perkampungan bernama Islampur. Dia ini yang menjadikan
kota Qadian sebagai tempat lahirnya pendiri gerakan Ahmadiyah karena keluarga
1Muslih Fatoni, Faham Mahdi Syi‟ah dan Ahmadiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1994),
h. 53.
22
Mirza Ghulam Ahmad Murtadha masih keturunan Haji Barlas. Atas dasar itu pula
di depan nama keturunan keluarga ini terdapat sebutan Mirza.2
Pembai’atan terhadap para pengikutnya dilakukan setelah MGA menerima
wahyu pada akhir tahun 1890. Wahyu itu menegaskan bahwa Nabi Isa as telah
wafat dan MGA adalah al-Masih yang dijanjikan. Wahyu yang ia terima berbunyi:
“Masih Ibnu Maryam, Rasul Allah SWT telah meninggal. Sesuai dengan janji,
engkau menyandang dengan warnanya”. Sejak menerima wahyu, MGA
menyatakan bahwa dirinya sebagai al-Masih yang dijanjikan sekaligus sebagai al-
Mahdi. Menurut Ahmadiyah Qadian, setelah diadakan pembai’atan tahun 1889,
MGA mengorganisasi para pengikutnya menjadi suatu paham baru dalam gerakan
Islam dengan nama gerakan Ahmadiyah, sehingga tahun tersebut dinyatakan
sebagai tahun resmi berdirinya Ahmadiyah. Kesimpulannya, ada perbedaan tahun
berdirinya Ahmadiyah antara Ahmadiyah Lahore dan Ahmadiyah Qadian.
Ahmadiyah Lahore berdasarkan wahyu yang diterima Mirza Ghulam Ahmad
tahun 1888, sedangkan Ahmadiyah Qadian berdasarkan pelaksanaan pembai’atan
tahun 1889.3
Awal masuknya Ahmadiyah di Indonesia bermula dari tiga pemuda yang
menuntut ilmu di Pusat Gerakan Ahmadiyah yang bertempat di Qadian, India
yaitu Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Pada tahun 1922,
para pemuda Indonesia ini pergi keluar negeri untuk menuntut ilmu khusunya
fokus pada ilmu agama Islam, kebanyakan dari para pemuda pada umumnya
2Basyruddin Mahmud Ahmad, Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, terj. Malik Aziz
Ahmad Khan (Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1995), h. 1-2. 3Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia (Yogyakarta : LKiS Pelangi
Aksara, 2005), h. 65.
23
melanjutkan pendidikannya ke Mesir, yaitu tempat perguruan bernama Al-Azhar,
akan tetapi tiga pemuda dari Sumatra ini pergi ke Hindustan (India).4
Tujuan pertama mereka itu adalah pergi ke kota Lucknow, India. Di kota
tersebut mereka tinggal selama kurang lebih tiga bulan. Karena tidak dapat
kepuasan belajar di kota tersebut, akhirnya mereka memutuskan untuk
meninggalkan kota Lucknow menuju ke Lahore, disini lah awal mula beberapa
pemuda terebut berkenalan dengan Ahmadiyah. Mereka bertiga pergi ke Lahore
karena mereka pernah mendengar nama Kwaja Kamaludin salah satu seorang
pemimpin Ahmadiyah building, yaitu pusat Gerakan Ahmadiyah Lahore. Namun
tetap saja mereka bertiga tidak mendadapat kepuasan dalam menuntut ilmu. Pada
suatu ketika timbul keinginan mereka untuk mengunjungi sekaligus berziarah ke
makam Mirza Ghulam Ahmad di Qadian.5
Pada bulan Agustus tahun 1923, berangkatlah ketiga pemuda ini menuju
Qadian. Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad adalah orang yang mereka temui di
Qadian, beliau adalah putera dari Mirza Ghulam Ahmad, yakni khalifah II.
Mereka diperbolehkan masuk di Madrasah Ahmadiyah.6 Setelah beberapa lama
mereka tinggal di dalam asrama dan belajar secara giat dan rutin, kemudian
mereka menulis surat kepada keluarga dan teman-teman yang berada di tanah air
dan menceritakan tentang sekolah tempat mereka belajar sehingga menarik minat
teman-teman mereka agar datang ke Qadian untuk belajar dan menuntut ilmu
disana. Maka datanglah pemuda-pemuda lainnya dari Indonesia ke Qadian untuk
menuntut pelajaran agama, pemuda-pemuda tersebut semuanya kurang lebih
4Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan dan Gerhana
Matahari Ramadhan 1894-1994 (Parung : JAI, 1994), h. 64. 5Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 65.
6Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 173.
24
berjumlah 19 orang dan akhirnya semuanya masuk sebagai anggota Jemaat
Ahmadiyah.7
Pada bulan November tahun 1924, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad
diundang oleh pemuda Indonesia dalam jamuan teh, beserta beberapa para tokoh
Jemaat Ahmadiyah lainnya. Dalam pertemuan tersebut dari pihak pelajar
membacakan pidatonya dalam Bahasa arab yang diwakili oleh Haji Mahmud. Inti
dari pidato yang telah disampaikan oleh Haji Mahmud ialah menyampaikan
permohonan atas nama seluruh pemuda Indonesia agar Mirza Basyiruddin
Mahmud Ahmad berkenan untuk mengunjungi Indonesia.8 Pada tanggal 15
Agustus 1925 diadakan acara pelepasan mujahid pertama untuk Indonesia,
sebelum datang ke Indonesia Khalifah II memberi nasehat kepada Rahmat Ali,
antara lain berikut:
a. Janganlah memakai cara-cara debat.
b. Bicaralah dengan para ulama yang mencintai ilmu.
c. Berbicaralah secara terpisah dengan para ulama yang menentang
d. Bertabligh dengan para tokoh masyarakat. Di zaman Hazrat Masih Ma’ud
a.s. diantara ulama besar adalah Hazrat Maulwi Hakim Nuruddin, dan
kalangan pembesar masyarakat ialah Nawab Muhammad Ali Khan, kedua-
duanya masuk Ahmadi.
e. Bertablighlah secara bertahap dan teratur.
f. Pertama kepada golongan orang baik-baik,
g. Kemudian kepada golongan orang yang tidak baik.
h. Setialah dan taatlah kepada kebijaksanaan pemerintah.
7Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 66.
8Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 67.
25
i. Jangan mengambil muka kepada pemerintah, tetapi mintalah apa yang jadi
hakmu.
j. Dimana ada orang-orang Ahmadi bentuklah badan pengurus.
k. Sibuklah berdoa setiap waktu.
l. Kirimlah laporan secara teratur kepadaku (Hazrat Khalifatul Masih)
supaya situasi dapat dipantau.
m. Ciptakanlah kebiasaan bertabligh pada orang-orang Ahmadi baru, dan
jadikanlah mereka contoh yang baik supaya orang-orang mengerti hakikat
Ahmadiyah. Ciptakanlah perdamaian untuk keamanan umum dan
pemerintah.
n. Jauhilah politik, supaya dapat berhubungan dengan masyarakat secara
bebas.
o. Bertablighlah dengan korespondensi (surat-menyurat). Tentukanlah
tempat-tempat bertablighan. Jangan lalai dalam menjalankan tugas.
p. Tiga perempat dari iuran (chandah)9 belanjakanlah disana dengan ikhlas
dan jujur, sisanya kirim ke pusat.
q. Jagalah kewibawaan dan kehormatan diri sendiri dengan keagungan iman.
r. Orang-orang akan masuk Ahmadiyah setelah melihat contoh yang baik.
s. Majukanlah Jemaat dengan penuh keikhlasan.10
Maulana Rahmat Ali tiba di Tapaktuan pulau Sumatra pada tanggal 2
Oktober 1925. Sebelum itu ia mengalami ujian, ia sempat ditahan kurang lebih
selama 15 hari di Sabang, karena diduga membawa buku atau pemikiran komunis,
9Chandah berarti sumbangan yang diberikan oleh seorang Ahmadi kepada Jemaat
Ahmadiyah Qadian atau kontribusi yang diberikan seorang Ahmadi kepada Jemaat. Lihat: Abdul
Mukhlis Ahmad, Ketentuan dan Peraturan Tahrik Jadid Anjuman Ahmadiyah (Jakarta: Pengurus
Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2010), h. 27. 10
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 66.
26
karena dapat membahayakan Belanda yang saat itu masih menguasai Indonesia.
Di Tapaktuan, ia tinggal di rumah seorang temannya yaitu Muhammad Samin,
orang yang pernah belajar di Qadian juga.
Pada saat itu Maulana Rahmat Ali memulai aktivitasnya bertabligh di
Tapaktuan, dan dalam kurun waktu yang tidak lama langsung ada beberapa orang
yang telah mengaku secara terang-terangan bahwa dirinya telah mengikuti
Ahmadiyah. Rumah yang digunakan untuk berkumpul ialah rumah Mamak
Gemuk, salah seorang pegikut Ahmadiyah. Dengan demikian, di Tapaktuan telah
berdiri Jemaat Ahmadiyah.
Pada tahun 1926, Maulana Rahmat Ali meninggalkan Tapaktuan menuju
Padang untuk berdakwah. Setibanya di Padang, Maulana Rahmat Ali mulai
melakukan tabligh seperti pada waktu apa yang ia lakukan di Tapaktuan sehingga
secara langsung membuat resah warga Padang karena adanya suatu pemahaman
yang baru mereka dengar, bahkan sampai ke daerah-daerah seperti Padang
Panjang, dan Bukittingi. Materi dari tabligh Maulana Rahmat Ali antara lain
adalah; masalah Mirzha Ghulam Ahmad sebagai seorang al-Mahdi yang
dijanjikan Tuhan, al-Masih, kematian Isa Ibnu Maryam, dan terakhir adalah Mirza
Ghulam Ahmad adalah seorang nabi yang tidak membawa Syari’at setelah Nabi
Muhammad SAW.11
Tentunya hal ini membuat reaksi dan pertentangan yang
dilakukan oleh warga Padang kepada Maulana Rahmat Ali, Sampai-sampai
Maulana Rahmat Ali dan para pengikutnya selalu dapat beberapa penghinaan-
penghinaan, bahkan sampai penganiyaan. Meski demikian, Maulana Rahmat Ali
dan pengikutnya tidak pernah membalasnya dengan kekerasan juga, Maulana
11
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 177.
27
Rahmat Ali tetap sabar dan ikhlas, ia kemudian tetap melanjutkan tabligh ke
daerah-daerah selain Padang Panjang, seperti Bukit Tinggi, Payakumbuh, dan
beberapa daerah lainnya.
Dua tahun berikutnya Maulana Rahmat Ali meninggalkan Sumatra dan
pergi menuju pulau Jawa. Maulana Rahmat Ali meninggalkan Sumatra
disebabkan oleh banyaknya tekanan-tekanan yang ia terima baik dari ulama
Sumatra Barat dan datangnya organisasi Muhammadiyah yang mengubah dan
meluruskan pemikiran kaum muslim dengan pemikiran pembaharuannya.
Maulana Rahmat Ali pindah dari Sumatra pindah ke Jawa untuk kepentingan
misinya dan melanjutkan tablighnya. Daerah pertama yang dituju Maulana
Rahmat Ali di pulau Jawa adalah Jakarta. Sesampai di Jakarta, ia tinggal disebuah
rumah keluarga asal Padang di daerah Bungur dan ia menyewa rumah di
Defensielijn van den Bosch nomor 139.12
Mengenai paham yang disebarkan oleh Maulana Rahmat Ali sendiri,
terjadilah debat yang berlangsung dua kali, pertama terjadi melalui bidang
keagamaan di Bandung, pada tanggal 14, 15, dan 16 April debat ini berlangsung
selama tiga hari berturut-turut. Perdebatan ini diselengarakan debat terbuka antara
organisasi PERSIS (persatuan islam) dan Ahmadiyah Qadian, wakil dari pihak
Ahmadiyah Qadian adalah Maulana Rahmat Ali sendiri, dan Maulana Abu Bakar
Ayyub. Sedangkan dari PERSIS diwakili oleh A. Hassan dengan pimpinan
Mohammad Syafi’i dari PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), perdebatan
tersebut dihadiri oleh utusan-utusan dari beberapa organisasi-organisasi Islam dan
kalangan pers.
12
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 221.
28
Perdebatan kedua terjadi di Jakarta dan dilaksanakan tiga hari berturut
turut juga seperti pada debat pertama kali di Bandung, debat kedua ini terjadi pada
tanggal 28, 29, dan 30 September 1933, bertempat di Gedung Permufakatann
Nasional, Gang Kenari, Jakarta. Dengan mengambil tema : Hidup-matinya Nabi
Isa a.s. dan Masalah Kenabian, Kebenaran Dakwah Mirza Ghulam Ahmad.
Perwakilan dari Ahmadiyah Qadian adalah Maulana Rahmat Ali, Maulana Abu
Bakar Ayyub H.A, sedangkan dari pihak PERSIS diwakili oleh A. Hassan dkk.13
Meskipun dengan terjadinya debat yang berlangsung dua kali dengan hari, tanggal
dan tempat yang berbeda dan tidak ada penyelesaian dalil, mereka tetap pada
pendirian masing-masing dan debat ini berakhir dengan mubahalah.14
Setelah sepuluh tahun Ahmadiyah menampakan kakinya di Indonesia,
maka pada tanggal 25-26 Desember 1935 ada tiga belas tokoh Ahmadiyah yang
berkumpul untuk membentuk pengurus besar pertama di Batavia dengan susunan
sebagai berikut:
Ketua : R. Mohammad Muhyiddin
Sekretaris I : Sirati Kohongia
Sekretaris II : Mohammad Usman Kartawijaya
Anggota :
1. R. Markas Atmasasmita
2. R. Hidayath
3. R. Sumadi Gandakusuma
4. R. Kaartatmaja15
13
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 70. 14
Mubahalah adalah memohon keputusan Ilahi supaya yang palsu dan dusta dikutuk oleh
Tuhan dengan mati terkutuk, selama yang benar masih hidup. 15
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 71.
29
Nama resmi organisasi ini adalah Anjuman Ahmadiyah Qadian
Departemen Indonesia (AAQDI).16
Setelah bangsa Indonesia memperoleh
kemerdekaan, pada tahun 1949 organisasi AAQDI mengalami perubahan nama
menjadi JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) setelah menyetujui Anggaran Dasar
(AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) pada muktamar pertama tanggal 11
Desember 1949.17
Pada tahun 1953, tanggal 13 Maret Ahmadiyah telah mendapat
pengesahan dari pemerintahan Republik Indonesia. Menteri Kehakiman R.I
dengan SK. No. J. A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 mengesahkan JAI (Jemaat
Ahmadiyah Indonesia) sebagai badan hukum.18
Surat keputusan tersebut dimuat
dalam tambahan Berita Negara Republik Indonesia pada tanggal 31 Maret 1953
No. 26.19
Selama 25 tahun lamanya Maulana Rahmat Ali bertabligh di Indonesia
dan menyebarkan ajaran Ahmadiyah yang dicetuskan oleh Mirza Ghulam Ahmad
(India), pada bulan April 1950, ia ditugaskan sebagai mubaligh di Pakistan
Timur.20
Maulana Rahmat Ali adalah mubaligh yang pertama kali diutus langsung
oleh khalifah II Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad untuk menyebarkan ajaran
ajaran Ahmadiyah di Indonesia sampai aliran tersebut bisa menjadi organisasi
resmi dan diakui badan hukum di Indonesia.
Pengakuan Badan Hukum Jamaah Ahmadiyah Indonesia dipertegas lagi
oleh pernyataan Surat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 0628/KET/1978
tanggal 19 Juni 1978 yang menyatakan bahwa Jamaah Ahmadiyah Indonesia telah
16
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 75. 17
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 195. 18
Munasir Sidik, Dasar-Dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(Jakarta : Jemaat Ahmadiyah, 2008), h. 21. 19
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan, h. 74. 20
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 179.
30
diakui sebagai badan hukum berdasarkan Statsblaad 1870 nomor 64. Selanjutnya,
kelengkapan organisasi Jamaah Ahmadiyah Indonesia juga diakui telah memenuhi
persyaraatan ketentuan Undang-Undang nomor 8 tahun 1985 tentang organisasi
kemasyarakatan sehingga keberadaan Jamaah Ahmadiyah Indonesia dinyatakan
telah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku oleh Direktorat Jenderal
Sosial Politik Departemen Dalam Negeri dengan surat nomor 363.A/DPM/503/93.
Jamaah Ahmadiyah Indonesia telah diakui keberadaanya oleh Departemen Dalam
Negeri Republik Indonesia Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dengan nomor
inventarisasi di DEPDAGRI dengan sifat kekhususan Kesamaan Agama Islam
tanggal 5 Juni 2003 dengan nomor 75/D.I/VI/2003.21
Penyebaran paham Ahmadiyah di Indonesia sejak awal masuk memang
sudah mengalami penolakan dari berbagai lapisan masyarakat. Beberapa contoh,
penentangan Ahmadiyah di Tangerang Banten, Gomar dikenakan hukuman
penjara selama satu bulan karena dianggap mengumpulkan orang tanpa izin dari
pemerintah pada 1937, yaitu pada saat ia mengadakan pengajian Al-Qur’an di
rumahnya yang dihadiri oleh kurang lebih 300 orang. Kejadian lain di
Rangkasbitung Banten, Sastra Subrata pada 1972 dilempar asbak oleh seorang
anggota Polisi Pamong Praja bernama Djupriana pada saat berdiskusi hingga
wajahnya mengalami pendarahan. Kemudian orang-orang yang anti terhadap
Ahmadiyah berusaha untuk menghilangkan Ahmadiyah di Cianjur, dimana pada
masa pendudukan Tentara Jepang orang-orang yang anti Ahmadiyah memfitnah
para anggota Ahmadiyah sebagai pembuat kekacauan. Terjadi pula di daerah
Talaga Cianjur yaitu pemboikotan dalam berbagai hal, diantaranya tidak boleh ada
21
Sidik, Dasar-Dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 22.
31
kegiatan jual-beli dengan para anggota Jemaat Ahmadiyah dan tidak boleh
mengambil pekerjaan dari Jemaat Ahmadiyah. Mereka melakukan tindakan
anarkis dengan merusak masjid Ahmadiyah.22
Kemudian pada tahun 2005 keluarlah fatwa MUI,23
yang berisi tiga poin
yaitu:
1. Menegaskan fatwa MUI dalam Munas II tahun 1980 yang menetapkan
bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan,
serta orang yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera
kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju „ila al-haq), yang sejalan
dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis.
3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah
diseluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua
tempat kegiatan.24
Menyikapi banyaknya konflik yang terjadi terkait Ahmadiyah pemerintah
berupaya mengeluarkan kebijakan yaitu dengan mengeluarkan Surat Keputusan
Bersama (SKB) 3 Menteri pada tahun 2008 mengenai peringatan dan perintah
kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) dan warga masyarakat. Memutuskan dan menetapkan:
1. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat
untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan
22
Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, h. 163-165. 23
MUI adalah lembaga swadaya masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama dan
cendekiawan Islam di Indonesia utuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di
seluruh Indonesia. 24
Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), Nomor:11/MUNAS VII/15/2005,1/tentang aliran
Ahmadiyah pada tahun 2005.
32
dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang
dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama itu.
2. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota,
dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI),
sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran
penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi
dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad Saw.
3. Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indoseia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah
sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA
dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, termasuk orgnaisasi dan badan hukumnya.
4. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat
untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta
ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak
melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI).
5. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah
sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum
33
KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
6. Memerintahkan kepada aparat pemerintah dan pemerintah daerah
untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka
pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.
7. Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.25
Peraturan SKB 3 Menteri dikeluarkan untuk meredam konflik yang sering
terjadi. Kemauan pemerintah dalam menerbitkan peraturan yang mengatur
kehidupan beragama yang bertujuan untuk menumbuhkan sikap hidup beragama
yang harmonis dan saling hormat menghormati. Namun demikian kemauan positif
pemerintah itu tidak selalu mampu menumbuhkan kerukunan dalam kehidupan
keagamaan masyarakat.
B. Ajaran-ajaran Ahmadiyah
Pada sejumlah aspek ajaran Ahmadiyah dengan Islam pada umumnya
sama yaitu sama-sama menggunakan dan mengimani Al-Qur’an sebagai kitab
sucinya, menjalani dan mengimani rukun islam dan juga rukun iman.26
Namun
terdapat perbedaan yang mendasar misalnya, pandangan Ahmadiyah mengenai
kenabian, pewahyuan, khalifah, dan juga tentang jihad. Terjadi perbedaan
pemahaman antara Ahmadiyah Qadian dan Ahmadyah Lahore keduanya
mengalami perpecahan yang disebabkan oleh masalah Khalifah, iman kepada
Mirzha Ghulam Ahmad dan kenabian dari Mirzha Ghulam Ahmad. Berikut
25
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam Negeri Republik
Indonesia, Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 tahun 2008,
tentang: Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. 26
Wawancara dengan Bapak Mohamad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Pada 1
Mei 2019.
34
merupakan beberapa paham dari Ahmadiyah baik Ahmadiyah Qadian dan
Ahmadiyah Lahore.
a. Kenabian
Mengenai pemahaman tentang kenabian, terdapat perbedaan pandangan
antara Ahmadiyah dengan kaum Muslim pada umumnya. Ahmadiyah
memunculkan tiga klasifikasi terkait mengenai ajaran kenabian;
1. Nabi Shahib Asy–Syari‟ah dan Mustaqil
Nabi shahib asy-syari‟ah adalah nabi dengan pembawa syari’at dan
hukum-hukum untuk manusia. Sementara nabi mustaqil merupakan hamba Allah
yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti nabi-nabi sebelumnya, seperti
contohnya adalah nabi Musa a.s beliau menjadi nabi bukan atas dasar mengikuti
nabi atau syari’at sebelumnya, ia langsung menjadi nabi dan membawa ajaran
yang diutus oleh Allah berupa kitab Taurat. Begitu pula seperti nabi Muhammad
SAW, nabi semacam ini dapat juga dikatakan sebagai nabi tasyri‟i dan mustaqil
sekaligus.27
2. Nabi Mustaqil Ghair At –Tasyri‟i
Yakni hamba Allah yang menjadi nabi dengan tidak mengikuti para nabi
sebelumnya. Nabi Harun, Daud, Sulaiman, Zakariya, yahya, dan nabi Isa a.s.
beberapa nabi tersebut adalah nabi yang tergolong atau masuk kedalam nabi
mustaqil ghair at-tasyri‟i. Semuanya menjadi nabi secara langsung, tidak karena
mengikuti para nabi sebelumnya, tetapi mereka secara langsung diutus dan
27
Menurut paham Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang membawa syari’at saja yang sudah
berakhir karena lembaga kenabian telah tertutup, sedangkan nabi-nabi yang tidak membawa
syari’at akan terus berlangsung. Ahmadiyah menyatakan bahwa Nabi Zhili Ghair at-Tasyri‟i
hanya muncul dari seorang ummati, yakni seorang pengikut Nabi Muhammad SAW. Lihat:
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 104.
35
diangkat oleh Allah SWT menjadi nabi dan ditugaskan menjalankan syari’at Nabi
Musa yang ada dalam kitab Taurat.
3. Nabi Zhilli Ghair at-Tasri‟i
Yakni hamba Tuhan yang mendapat anugerah dari Allah SWT menjadi
nabi semata-mata karena hasil dari kepatuhan dan ketaatan kepada nabi
sebelumnya dan juga karena mengikuti sunnah-sunnahnya dan juga syari’atnya.
Karena itu, tingkatannya berada dibawah kenabian sebelumnya dan ia juga tidak
membawa syari’at baru. Hamba Tuhan yang masuk kedalam golongan nabi zhilli
ghair at-tasri‟i adalah Mirza Ghulam Ahmad yang mengikuti syari’at nabi
Muhammad SAW.28
Pandangan Ahmadiyah tentang Khatam an-Anabiyyin bahwa menurut
mereka, berita akan datangnya kembali Nabi Isa a.s. sebagaimana diriwayatkan
dari hadis-hadis shahih adalah jelas, sekalipun Nabi Isa a.s.tidak membawa
syari’at baru, dan bahkan ia harus mengikuti syari’at Nabi Muhammad SAW.
Namun dia tetap sebagai nabi zhilli atau buruzi. Oleh karena itu, kata Khatam an-
Anabiyyin menurut Ahmadiyah diartikan sebagai nabi yang paling mulia dari
sekalian para nabi, tetapi bukan sebagai penutup para nabi. Argumen yang mereka
gunakan bahwa kata khatam, menurut ahli bahasa Arab, apabila disambung
dengan suatu kaum atau golongan maka kata itu mempunyai makna pujian. Dari
hal tersebut, maka ungkapan Khatam an-Anabiyyin hanya memiliki satu makna,
yaitu semulia-mulia orang dari kaum atau golongan itu.29
Jadi, kenabian menurut Ahmadiyah itu berlangsung terus menerus hingga
hari kiamat. Nabi Muhammad SAW merupakan nabi penutup yang membawa
28
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 104. 29
Muhammad Shadiq H.A., Analisa Tentang Khatam an-Nabiyyin (Jakarta: Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, 1996), h. 15-16.
36
syari’at, tetapi bukan penutup nabi-nabi yang tidak membawa syari’at. Dengan
demikian tetap terbuka diutusnya nabi yang tidak membawa syari’at setelah Nabi
Muhammad SAW atau dengan perkataan lain sesudah pengangkatan Nabi
Muhammad SAW sebagai nabi, Tuhan tetap mengangkat terus nabi-nabi. Bagi
Ahmadiyah masalah kenabian itu tidak terbatas waktu kedatangannya karena akan
berlangsung terus menerus sesudah Nabi Muhammad SAW.30
Ahmadiyah Lahore mempunyai pendapat yang berbeda dengan membagi
kategori kenabian tersebut menjadi dua; pertama, Nabi Haqiqi, yaitu Nabi yang
ditunjuk langsung oleh Allah SWT sebagai seorang nabi dan membawa syariat.
Kedua, Nabi Lughawi yaitu seorang manusia biasa, tetapi ada beberapa persamaan
yang cukup signifikan dengan para Nabi yang lain, dalam arti ia juga menerima
wahyu. Wahyu yang diterima oleh Nabi bukanlah yang dapat berfungsi sebagai
syari’at dan sifat wahyu tersebut tidak dapat disampaikan kepada umat. Seperti
para Rasul pada umumnya, mereka menerima wahyu dan menyampaikannya
kepada umatnya. Nabi dengan kategori ini sering juga disebut dengan Nabi bukan
haqiqi.31
Al-Mahdi bukanlah sebagai Nabi Shahib Asy Syariah (seorang nabi yang
membawa syariat) seperti pada keterangan pertama, dia adalah seorang mujaddid
(pembaharu) pada abad ke-14 H. Akan tetapi ia mempunyai persamaan dengan
Nabi dalam hal ia adalah al-Mahdi yakni menerima wahyu atau berita samawi
(langit). Oleh sebab itu dalam akidah Ahmadiyah Lahore secara tegas menyatakan
bahwa percaya kepada Ghulam Ahmad sebagai al-Mahdi dan al-Masih adalah
30
Syafi’i R. Batuah, Ahmadiyah, Apa dan Mengapa (Jakarta: Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, 1985), h. 7. 31
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 113.
37
bukan termasuk rukun iman, maka orang yang mengikarinya atau tidak
mengimaninya tidak dapat dikatakan sebagai seorang yang kafir.32
b. Pewahyuan
Pembahasan tentang wahyu33
dikalangan Ahmadiyah penting untuk
dilakukan karena wahyu merupakan salah satu ajaran pokok Ahmadiyah dan tidak
dapat dipisahkan dengan kemahdian Ahmadiyah. Menurut pengikut Ahmadiyah,
al-Mahdi Ahmadiyah tidak dapat dipisahkan dengan al-Masih karena al-Mahdi
dan al-Masih adalah satu tokoh dan satu pribadi, dimana wahyu yang disampaikan
kepada al-Mahdi adalah untuk menginterpretasikan Al-Qur’an sesuai dengan ide
pembaharuannya.34
Menurut pengikut Ahmadiyah, wahyu yang terputus sesudah Rasulullah
adalah wahyu tasyri‟i atau wahyu syari‟at, bukan wahyu mutlak. Selanjutnya yang
dimaksud dengan wahyu terakhir tidak dikhususkan hanya untuk para nabi saja,
akan tetapi diberikan juga kepada selain mereka. Wahyu itu masih tetap terbuka
dan akan tetap terbuka terus untuk selama-lamanya. Meskipun tidak ada lagi
syari’at yang akan diturunkan, namun nabi-nabi yang diutus mengungkapkan
kekayaan yang tersembunyi dalam Al-Qur’an.35
Dengan demikian, Ahmadiyah
mempercayai bahwa bukan hanya wahyu yang akan datang terus-menerus setelah
32
A. Fajar Kurnia, Teologi Kenabian Ahmadiyah (Jakarta: PT. Wahana Semesta
Intermedia, 2008), h. 85. 33
Kata Al-Wahy adalah kata Arab yang merupakan kata asli dari wahyu. Kata itu berarti
suara, api, dan kecepatan. Selain itu, ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab.
Al-Wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat. Tetapi kata
itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada para nabi”. Dengan demikian,
dalam kata wahyu terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar
diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Sabda Tuhan itu mengandung
ajaran, petunjuk, dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya, baik di
dunia maupun akhirat nanti. Lihat: Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta: UI
Press, 1986), h. 16. 34
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 113. 35
Hamka Haq al-Badry, Koreksi Total Terhadap Ahmadiyah (Jakarta: Yayasan Nurul
Islam, 1980), h. 57-58
38
Nabi Muhammad SAW, melainkan nabi pun juga akan berlangsung terus
menerus.36
Pengakuan pengikut Ahmadiyah terhadap kenabian Mirza Ghulam
Ahmad karena meyakini sebagai duplikat Nabi Isa a.s. yang berstatus nabi dan
menerima wahyu. Di samping itu, berita kehadiran al-Masih juga disebutkan
dalam hadis-hadis shahih, kemudian Ahmadiyah mencoba menguatkan keyakinan
tersebut dengan menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan.37
c. Khalifah
Menurut Bashiruddin Mahmud Ahmad (Khalifah II Ahmadiyah Qadian)
menurutnya, bahwa kata khalifah (penganti) yang ada dalam Al-Qur’an dapat
dipahami dan dipergunakan dalam dua pengertian, pertama, kata khalifah
dipergunakan untuk nabi-nabi yang disinyalir sebagai penganti Allah SWT di
dunia (bukan dalam artian sebagai pengganti yang mutlak) , seperti Nabi Adam
disebut sebagai khalifah (Q.S. Al Baqarah : 31-32):
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-
orang yang benar!" (31). Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang
Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana(32).”38
Khalifah pada pengertian ini adalah para pengganti Nabi yang dipilih oleh
kaum dan umatnya sendiri, seperti pada contoh Abu Bakar yang mengantikan
Nabi Muhammad SAW. Kedua, kata khalifah dipergunakan untuk menjelaskan
36
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 117. 37
Muslih Fatoni, Faham Mahdi Syi‟ah dan Ahmadiyah Dalam Perspektif (Jakarta: PT.
RajaGrafindo, 1994), h. 71. 38
Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh Ayat 31-32 dan Terjemah.
39
para pengganti Nabi. Khalifah dengan pangkat Nabi ini berkedudukan sebagai
pengganti bagi nabi yang sebelumnya atau pada masanya saat itu.
Golongan Ahmadiyah Qadian menjelaskan bahwa tidak semua nabi dan
rasul yang disebutkan didalam Al-Qur’an menjabat sebagai seseorang pemimpin
rohani, juga sekaligus pemimpin dalam pemerintahan. Para rasul dan nabi yang
dimaksudkan tersebut antara lain ialah Nabi Yahya, Isa, Zakariya, dan Harun.
Sementara itu, Nabi Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan Rasul yang
sekaligus pemegang kepemimpinan dalam suatu pemerintahan. Para khalifah yang
menggantikan beliau, adalah sahabat yang mengikuti jejak beliau semasa nabi
Muhammad masih hidup yakni, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,
dan Ali bin Abi Thalib mereka adalah khalifah setelah masa Rasulullah dan juga
pemimpin pemerintahan pada masa itu, tetapi sistem khalifah ini berakhir sejak
masa Mu’awiyah mengambil alih kekuasaan, karena penguasa yang datang
berikutnya hanya berdasarkan keturunan nasab dari pemimpin sebelumnya atau
pengangkatan diri sendiri. Hal ini berbeda dengan makna khalifah sebagaimana
yang disebut dalam Al-Qur’an.39
Sementara menurut golongan Ahmadiyah Lahore Khalifah itu ada dua
macam. Pertama, Khalifah yang sesuai dengan makna Khalifah dalam makna
Alquran (Q.S. An Nur ayat 55):40
39
A. Fajar Kurnia, Teologi Kenabian Ahmadiyah (Jakarta : PT. Wahana Semesta
Intermedia, 2008), h. 76. 40
Al-Qur’an Surat An Nur Ayat 55 dan Terjemah.
40
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan
menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman
sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu
apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka
mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (55).
Dalam ayat diatas menjelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang suatu
saat akan memimpin peradaban di muka bumi ini seperti kejayaannya pada masa
dahulu, karena itu dibutuhkan sistem kekhalifahan untuk membangun suatu
pemerintahan yang dapat memajukan peradaban dan kejayaan Islam kembali.
Nabi Muhammad SAW adalah khalifah pertama yang kemudian dilanjutkan oleh
para sahabatnya Khulafaur Rasyidin. Kedua, khalifah dimaknai sebagai mujaddid
dan para tokoh spiritual yang mendirikan sebuah organisasi atau suatu komunitas
yang mempunyai system dan terstruktur yang kemudian akan meneruskan syariat.
Dalam suatu hadis dinyatakan bahwa akan muncul setiap satu abad sekali para
mujaddid baru yang akan memperbaharui agamanya.41
Di kalangan Ahmadiyah pun terjadi perbedaan pendapat tentang siapa
yang akan menggantikan dan meneruskan Mirza Ghulam Ahmad setelah ia
meninggal. Maka kemudian berdirilah sistem khalifah dalam kelompok ini, yang
dikenal dengan khalifah al-Masih. Doktrin khalifah al-Masih tersebut didasari
oleh wasiat dari Mirza Ghulam Ahmad mengenai keharusan adanya khalifah yang
akan mengantikannya, tetapi system khalifah ini hanya ada pada golongan
Ahmadiyah Qadian sedangkan di kalangan Ahmadiyah Lahore tidak
menggunakan system khalifah ini. Menurut aliran Ahmadiyah Lahore bahwa
41
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 120.
41
setelah Khalifah Rasyidah atau Khulafaaur Rasyidin termasuk setelah itu Mirza
Ghulam Ahmad tidak akan ada lagi khalifah setelah itu, yang ada hanyalah
mujaddid dan beberapa yang muncul setiap satu abad sekali.42
d. Jihad
Menurut Ahmadiyah, jihad didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk
mencurahkan segala macam kesanggupan, kemampuan, dan juga kekuatan, yang
dimiliki pada diri individu dalam menghadapi sebuah pertempuran maupun
pertarungan, dan menyampaikan suatu pesan kebenaran, atau lebih singkatnya
jihad adalah tidak menahan apapun. Tindakan mengangkat senjata untuk membela
diri juga dinamakan jihad, dalam Al-Qur’an istilah yang tepat sering disebut
dengan qital.43
Ahmadiyah membagi pengertian jihad menjadi tiga kategori, yaitu
pertama, jihad Shagir adalah perjuangan dalam membela agama, nusa, dan juga
bangsa dengan mempergunakan senjata sebagai alat perlindungan terhadap
musuh-musuh yang memulai mengunakan kekerasan. Kedua, jihad kabir adalah
jihad dengan mempergunakan dalil-dalil atau keterangan, baik berupa lisan
maupun tulisan untuk menebarluaskan ajaran Islam kepada kaum kafir dan
musyrik. Jihad dalam bentuk ini adalah jihad yang kini sedang dilakukan oleh
Ahmadiyah pada saat ini. Ketiga, adalah jihad akbar yakni jihad melawan godaan
setan dan hawa nafsu yang ada pada setiap individu, jihad yang ketiga ini
merupakan bentuk jihad yang paling berat untuk dilaksanakan, karena
42
Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, h. 79. 43
Asep Burhanudin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan (PT. LKis Pelangi Aksara,
2005), h. 105.
42
menghadapi setan dan terutama hawa nafsu akan terus dilakukan setiap saat dan
setiap waktu.44
Dalam pandangan Ahmadiyah, penjajahan Inggris pada waktu menjajah
India tidak menuntut kepada masyarakat yang dijajah untuk menukar agama atau
berpindah agama yang menjadi keyakinan masyarakat India. Jika seandainya
Inggris menuntut untuk melepas atau bahkan menukar agama, maka Ahmadiyah
akan mewajibkan pengikutnya untuk berjihad, tetapi pada situasi itu hal tersebut
tidak terjadi. Ada dua hal yang menjadi alasan utama bagi khalifah kedua
mengapa Ahmadiyah tidak melakukan perlawanan terhadap Inggris? Yang
pertama, karena dibawah pemerintahan Inggris kebebasan agama menjadi
terjamin, tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Kedua adalah Mirza Ghulam
Ahmad bukanlah seorang politikus duniawi, tetapi ia hanyalah tidak lebih lebih
dari sekedar pemimpin rohani.45
44
Burhanudin, Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan, h. 107. 45
Muslih Fathoni, Faham Mahdi Syi‟ah dan Ahmadiyah Dalam Presfektif (Jakarta : PT
Raja Grafindo, 2002), h. 53.
43
BAB III
AHMADIYAH DI KELURAHAN SERUA KECAMATAN CIPUTAT
KOTA TANGERANG SELATAN
A. Kelurahan Serua
a. Sejarah
Kota Tangerang Selatan merupakan salah satu daerah hasil pemekaran
Kabupaten Tangerang. Kota Tangerang Selatan atau yang disingkat dengan
Tangsel, terletak dibagian timur Provinsi Banten yaitu pada titik koordinat
106’38’ - 106’47’ Bujur Timur dan 06’13’30’ - 06’22’30’ Lintang Selatan.
Tangsel merupakan kota terbesar kedua di wilayah Provinsi Banten, dan juga
menjadi wilayah terbesar kelima di kawasan Jabodetabek.1
Pada akhirnya tanggal 29 Oktober 2008, Kota Tangerang Selatan
diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, dengan tujuh
kecamatan (Kec. Setu, Kec. Serpong, Kec. Serpong Utara, Kec. Pondok Aren,
Kec. Pamulang, Kec. Ciputat, dan Kec. Ciputat Timur) hasil pemekaran dari
Kabupaten Tangerang yang telah disetujui oleh DPRD Kabupaten Tangerang pada
27 Desember 2006.2
Serua merupakan nama dari salah satu Kelurahan di Kecamatan Ciputat,
Kota Tangerang Selatan. Konon nama Serua berasal dari kata Sarua yang dalam
bahasa Sunda artinya sama. Kelurahan Serua kini dipimpin oleh Bapak Cecep,
beliau menjabat sampai Juni 2023. Kehidupan Masyarakat di Kelurahan Serua
dalam kaitan aktifitas sosial di antara mereka tidak berbeda jauh dan berjalan
1Sejarah Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, diakses dari
http://bpkad.tangerangselatankota.go.id/web/web/pages/23/sejarah. 2Profil Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, diakses dari
http://berita.tangerangselatankota.go.id/main/content/index/sejarah_tangsel/6.
44
dengan lancar. Pembangunan desa pun sangat lancar, contoh pembangunan fisik
sarana prasarana desa seperti lapangan, perbaikan jalan kemudian gotong-royong
bersih-bersih rutin yang diadakan di desa tersebut selalu diikuti setiap kepala
keluarga tanpa memandang agama. Mereka semua menempatkan diri mereka
sebagai warga yang memang harus menaati peraturan dan kebijakan pemerintah
desa tanpa memandang perbedaan agama.3
b. Kondisi Geografis
Berdasarkan letak geografis, kelurahan Serua merupakan bagaian dari
pemerintah Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan dengan Luas Wilayah
393.953 Ha, yang terdiri dari Pemukiman 379.153 ha, prasarana umum 2 ha,
pertanian 2 ha, perkantoran 3 ha, pertamanan 1.7 ha dan tanah makam 5.8 ha.
Kelurahan Serua ini merupakan salah satu dari 7 Kelurahan di Kecamatan Ciputat
Kota Tangerang Selatan. Berikut ini batas-batas yang ada di Kelurahan Serua,
yaitu:
Tabel Batas Wilayah Kelurahan Serua
NO BATAS KELURAHAN KECAMATAN
1 Utara Jombang Ciputat
2 Selatan Pondok benda Pamulang
3 Timur Serua indah Ciputat
4 Barat Ciater Serpong
Sumber: Profil Keluraha Serua Kecamatan Ciputat tahun 2017
Jarak tempuh Kelurahan Serua ke Ibu Kota Kecamatan Ciputat sejauh 2
Km, ke Ibu Kota Kabupaten/Kota Tangerang Selatan 1 Km, ke Ibu Kota Provinsi
Banten 45 Km, ke Ibu Kota Negara Indonesia sejauh 8 Km. Sedangkan sarana
jalan yang melewati Kelurahan Serua yaitu Jalan Provinsi sepanjang 500 M2,
3Wawancara dengan bapak Ibrahim, Staf Kelurahan Serua, Pada 23 April 2019
45
Jalan Kabupaten/Kota sepanjamg 1 Km, Jalan Kota sepanjang 2 Km, Jalan Desa
sejauh 2 Km dan jalan Swasta sepanjang 3 Km.4
c. Kependudukan
Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2017, jumlah
penduduk Kelurahan Serua adalah 35,774 jiwa yang terdiri dari 18.134 jiwa laki-
laki dan 17.968 jiwa perempuan. Besarnya usia produktif (15 th-55 th) yang
mencapai 23.002 jiwa merupakan potensi berharga bagi pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Di Serua terdapat lembaga pemerintahan desa dengan 24 Rukun
Warga (RW), 159 Rukun Tetangga (RT), 7 Karang Taruna, 22 Posyandu,
puskesmas, 1 MUI, 1 LPM, 1BKM dan 1 PKK.5
Menyangkut semangat kerukunan di desa tersebut sebenarnya tidak ada
perbedaan antara masyarakat sejahtera dan pra sejahtera, mereka saling
menghormati dan menjalankan aktfitas sosial sebagaimana mestinya. Di desa
tersebut kerukunan tidak dibangun berdasar stratifikasi sosial namun atas
dorongan kesadaran masyarakat yang memang ingin hidup rukun.
d. Agama dan Budaya
Kelurahan Serua merupakan salah satu daerah yang masyarakatnya
bersifat heterogen, dimana terdapat unsur yang berbeda antara satu dengan lainya,
baik suku, agama dan budaya. Berdasarkan Profil Keluraha Serua tahun 2017,
terdapat 6 agama yang dianut oleh penduduk setempat yaitu agama Islam dengan
mayoritas amalan Ahlusunnah Waljamaah jumlah penganut 34.800 jiwa, Katholik
dengan jumlah penganut 577 jiwa, Protestan dengan jumlah penganut 361 jiwa,
4Profil Keluraha Serua Kecamatan Ciputat tahun 2017. (diambil dari profil kelurahan
serua kecamatan ciputat tahub 2017). 5Profil Keluraha Serua Kecamatan Ciputat tahun 2017. (diambil dari profil kelurahan
serua kecamatan ciputat tahub 2017).
46
Agama Hindu dengan jumlah penganut 19 jiwa, Agama Budha dengan jumlah
penganut 7 Jiwa dan Agama Konghuchu dengan jumlah penganut 10 Jiwa.
Dari jumlah besaran penganut agama diatas terdapat sarana ibadah di
Kelurahan Serua. Untuk Agama Islam terdapat 24 Masjid dan 28 Mushola, untuk
Agama Kristen terdapat 11 Gereja, sedangkan untuk Agama Budha, Hindu dan
Konghuchu di Kelurahan Serua tidak memiliki sarana ibadah, hal ini karena
jumlah penganut yang tidak terlalu banyak.6 Biasanya untuk penganut Agama
Hindu dan Budha mereka melakukan sembahyang di Kecamatan Serpong.
B. Perkembangan Ahmadiyah di Kelurahan Serua
Ahmadiyah masuk Tangerang Selatan baru pada tahun 2000-an dan
berhasil medirikan cabang JAI Kelurahan Parigi Kecamatan Pondok Aren yang
dipelopori oleh bapak Khusna Abdul Rokhim dengan jumlah awal beranggota 50
orang. Parigi ini masih masuk daerah kabupaten Tangerang pada waktu itu, karena
Kota Tangerang Selatan baru terbentuk pada tanggal 9 November 2008, kota hasil
pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Susahnya pelayanan administrasi
masyarakat yang menjadi salah satu alasan pemekaran wilayah ini, mengingat
daerah ini cukup jauh dari pusat pemerintahan.7
Kemudian berkat Bapak Yusuf Sairan pada tahun yang sama Ahmadiyah
mendirikan cabang JAI di Serua yaitu di Jalan Raya Bukit Serua RT 02 RW 09,
Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat. Masuknya Ahmadiyah Serua merupakan
hasil pemekaran JAI Parigi. Disitu juga Ahmadiyah berhasil mendirikan Masjid
Ahmadiyah yang di beri nama Masjid Baitul Qoyyum. Hal ini menjadi energi baik
6Profil Keluraha Serua Kecamatan Ciputat tahun 2017. (diambil dari profil kelurahan
serua kecamatan ciputat tahub 2017). 7Wawancara dengan, Javid Attaurrahman, ketua pemuda JAI Cabang Serua, Kelurahan
Serua, Pada 23 April 2019.
47
untuk jemaat, karena Masjid ini lah yang akan menjadi pusat kegiatan
Ahmadiyah.8
Pada awalnya keberadaan Ahmadiyah di Serua tidak ada penolakan dari
warga, hanya beberapa orang saja yang menanyakan keberadaan Masjid Baitul
Qoyyum yang selalu tertutup. Warga sekitar juga tidak mengetahui kalau itu
merupakan masjid sekaligus kesekretariatan Ahmadiyah. Pasca kejadian Cikeusik
Pandeglang baru warga mengetahui Masjid tersebut merupakan kesekretariatan
Ahmadiyah. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, pihak yang berwajib
langsung berjaga-jaga di sekitar masjid dengan mengerahkan 20 petugas secara
bergantian.9
Dalam hubungan bermasyarakat yang terdiri dari beragam pemeluk agama
pemahaman yang bersifat inklusif ini sangat diperlukan untuk tetap menjaga
kerkunan umat beragama. Selain wujud akidah secara eksklusif perlu juga
diterangkan mengenai pemahaman beragama secara inklusif. Pemikiran inklusif
atau bisa juga dikatakan pemikiran beragama yang toleran adalah sebuah
pemikiran yang merambah segala budaya, sensitif terhadap keragaman, mengakui
keragaman, tidak bersifat mengadili dan tidak bersifat menekan pada hal-hal yang
dianggap berbeda termasuk dalam agama.10
Sederet kasus seperti munculnya pemberontakan-pemberontakan atas
nama agama, penghancuran rumah ibadah yang masih sering terjadi, sulitnya
membangun tempat ibadah tertentu dan banyak ketegangan-ketegangan yang
8Wawancara dengan Malik Achmad, wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,
Pada 1 Mei 2019. 9Di akses oleh Republika pada, 7 Februari 2011. https://m.republika.co.id/berita/breaking-
news/metropolitan/11/02/07/162889-puluhan-polisi-jaga-masjid-ahmadiyah-di-ciputat. 10
Departemen Agama RI, Riuh Beranda Satu Peta Kerukunan Umat Beraga di Indonesia,
Seri II, (Jakarta : Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003), h. 37.
48
terjadi antar umat beragama adalah bukti bahwa pemahaman terhadap agama bisa
berpotensi menimbulkan konflik.11
Kejadian dibeberapa tempat misalnya, kejadian yang berkaitan dengan
Ahmadiyah di Rangkasbitung Banten, Sastra Subrata pada 1972 dilempar asbak
oleh seorang anggota Polisi Pamong Praja bernama Djupriana pada saat
berdiskusi hingga wajahnya mengalami pendarahan. Kemudian orang-orang yang
anti terhadap Ahmadiyah berusaha untuk menghilangkan Ahmadiyah di Cianjur,
dimana pada masa pendudukan tentara Jepang orang-orang yang anti Ahmadiyah
memfitnah para anggota Ahmadiyah sebagai pembuat kekacauan. Terjadi pula di
daerah Talaga Cianjur yaitu pemboikotan dalam berbagai hal, di antaranya tidak
boleh ada kegiatan jual-beli dengan para anggota Jemaat Ahmadiyah dan tidak
boleh mengambil pekerja dari Jemaat Ahmadiyah. Mereka melakukan tindakan
anarkis dengan merusak masjid Ahmadiyah.12
Sekitar awal tahun 2018 kasus Ahmadiyah di Serua kembali mencuat
dengan adanya rencana pemindahan Masjid Baitul Qoyyum yang merupakan
Masjid Ahmadiyah sekaligus kantor sekretariat Ahmadiyah terkena proyek
pembangunan jalan tol. Warga masyarakat Serua, organisasi Keagamaan (FUI),
dan organisasi kepemudaan (Pemuda Pancasila) menolak dibangunnya masjid
Ahmadiyah di Kelurahan Serua dengan cara memasang sepanduk dan baliho
disepanjang Jalan Raya Bukit Serua.13
Dengan adanya penolakan itu membuat
11
Seperti kasus Surga Adn, Millah Ibrahim, Ahmadiyah Cikeusik, Ahmadiyah Kuningan,
Tasikmalaya, dan kekerasan atas nama agama lainnya yang terus bermunculan. 12
Kunto Sofianto, Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Malaysia: Nertja Press,
2014), Cet. 1, h. 163-165. 13
Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan
Serua, Pada 1 Mei 2019.
49
Ahmadiyah di Serua merasa terintimidasi dan akhirnya hanya bisa menyewa ruko
berukuran kecil.
Gambar 1
Spanduk Penolakan
Sumber: shorturl.at/axDTV
Gambar 2
Spanduk Penolakan
Sumber: shorturl.at/axDTV
50
Gambar 3
Spanduk Penolakan
Sumber: shorturl.at/axDTV
Sebenarnya pemerintah telah merumuskan betapa pentingnya agama
dalam kehidupan masyarakat, maka agama di Indonesia mempunyai kedudukan
yang sangat jelas dan konstitusional dengan dicantumkannya sebagai salah satu
bab dalam UUD-1945, yaitu Bab XI. Tentang Agama yaitu pasal 29 ayat : (1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.14
Selanjutnya di dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pacasila
(P4) yang merupakan penetapan MPR No. II/MPR/1978, pada sila pertama
dijelaskan: “Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa Indonesia
menyatakan kepercayaannya dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan
14
Mubarok, Kompendium Regulasi Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta: Pusat
Kerukunan Umat Beragama Kementrian Agama RI), h. 33.
51
oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadapa Tuhan Yang
Maha Esa sesuai dengan agama da kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab”.15
Dengan demikian itu jemaat Ahmadiyah di Serua berharap selalu menjaga
kerukunan dengan warga sekitar dengan cara berfikir positif, duduk bersama,
musyawarah, saling menghormati, dan yang paling penting selalu tabayyun dalam
setiap persoalan yang ada. Hal ini supaya terjalin suasana yang baik dalam
bertetangga maupun beragama.16
Salah satu upaya pemerintah yang lainya yaitu dengan mengeluarkan Surat
Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri pada tahun 2008 mengenai peringatan dan
perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat. Peraturan SKB 3 Menteri ini
dikeluarkan untuk meredam konflik yang sering terjadi, salah satu caranya dengan
mengeluarkan fatwa untuk tidak menyebarkan ajaran agama kepada non
Ahmadiyah dan kepada non Ahmadiyah untuk tidak melakukan penyerang-
penyerangan terhadap Ahmadiyah. Kemauan pemerintah dalam menerbitkan
banyak peraturan yang mengatur kehidupan beragama yang bertujuan untuk
menumbuhkan sikap hidup beragama yang harmonis dan saling hormat
menghormati. Namun demikian kemauan positif pemerintah itu tidak selalu
mampu menumbuhkan kerukunan dalam kehidupan keagamaan masyarakat.17
15
Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran (Jakarta: Sinar Harapan,
1982), h. 7. 16
Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan
Serua, Pada 1 Mei 2019. 17
Wawancara dengan, Asep Ahmad Husaini, ketua bidang pengajaran JAI Cabang Serua,
Kelurahan serua Rt 01/011, Pada 23 April 2019.
52
Gambar 4
Spanduk Penolakan
Sumber: shorturl.at/axDTV
Banyaknya penolakan warga, menjadikan efek untuk perkembangan
Ahmadiyah di Kelurahan Serua. Terlihat dari jumlah jemaat yang tercantum
dalam kartu anggota hanya 320 orang sampai dengan jumlah awalnya berjumlah
50 orang. Menurut hasil wawancara berkaitan dengan perkembangan Ahmadiyah
di Kelurahan Serua ini 80 % dihasilkan dari keturunan.18
Perkembangan Ahmadiyah di Kelurahan Serua tidak begitu pesat salah
satu faktornya adalah ketika seseorang menikah dan memiliki anak maka anaknya
akan masuk Ahmadiyah. Dari sini perkembangan akan lama, karena jumlah
perkembangan jumlah hanya dari keluarnya anak dari jemaah Ahmadiyah saja.
Adapun penduduk Kelurahan Serua mayoritas orang asli, namun ada beberapa
pendatang yang masuk Ahmadiyah di Kelurahan Serua karena melihat ajaran dan
18
Wawancara dengan, Javid Attaurrahman, Ketua Pemuda Ahmadiyah Serua, Kelurahan
Serua, Pada 23 April 2019.
53
mengikuti kegitan sehari-hari. Misalnya, ada orang bai’at dari Bogor, namanya
bapak Syarif dulu ketika di desa susah ketika saudara memerintahnya salat.
Setelah mempelajari dan mengikuti kegiatan-kegiatan Ahmadiyah menjadi rajin
beribadah.19
Adapun ajaran-ajaran Ahmadiyah tertera dalam 10 syarat bai’at di
antaranya:
1. Orang yang bai’at, berjanji dengan hati jujur bahwa di masa yang akan
mendatang sampai masuk ke dalam kubur, akan senantiasa menjauhi
syirik.
2. Akan senantiasa menghindari diri dari dusta, zina, pandangan birahi,
perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, hura-hara, pemberontakan,
serta tidak akan dikalahkan oleh gejolak-gejolak hawa nafsu tatkala
bergejolak, meskipun sangat hebat dorongan yang timbul.
3. Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu tanpa putus, sesuai perintah
Allah dan Rasul-Nya. dan sedapat mungkin akan berusaha dawam
mengerjakan shalat Tahajjud, mengirimkan shalawat kepada Nabi
KarimNya, Shallallaahu ’Alaihi Wasallam, dan setiap hari memohon
ampunan atas dosa-dosanya serta melakukan istigfar, dan dengan hati yang
penuh kecintaan mengingat kebaikan-kebaikan Allah Ta’ala, lalu
menjadikan pujian serta sanjungan terhadap-Nya sebagai ucapan wiridnya
setiap hari.
4. Tidak akan mendatangkan kesushahan apa pun yang tidak pada tempatnya,
karena gejolak-gejolak nafsunya terhadap makhluk Allah umumnya dan
19
Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan
Serua, Pada 1 Mei 2019.
54
kaum Muslimin khususnya, melalui lidah, tangan,atau melalui cara
lainnya.
5. Dalam segala keadaan sedih dan gembira, suka duka, nikmat dan musibah
akan tetap setia kepada Allah Ta’ala. Dan dalam setiap kondisi akan rela
atas putusan Allah. Dan akan senantiasa siap menanggung segala kehinaan
serta kepedihan di jalan-Nya. dan tidak akan memalingkan wajahnya dari
Allah Ta’ala ketika ditimpa suatu musibah melainkan akan terus
melangkah maju.
6. Akan berhenti dari adat kebiasaan buruk dan dari menuruti hawa nafsu.
Dan akan menjunjung tinggi perintah Alquran Suci di atas dirinya. Dan
menjadikan firman Allah dan sabda Rasul-Nya sebagai pedoman dalam
setiap langkahnya.
7. Akan meninggalkan takabur dan kesombongan sepenuhnya. Dan akan
menjalani hidup dengan merendahkan diri, dengan kerendahan hati, budi
pekerti yang baik, lemah lembut, dan sederhana.
8. Agama dan kehormatan agama serta solidaritas Islam akan dianggap lebih
mulia daripada nyawanya, hartanya, kehormatan dirinya, anak
keturunannya, dan dari segala yang dicintainya.
9. Semata-mata demi Allah, senantiasa sibuk dalam solidaritas terhadap
makhluk Allah umumnya, dan dengan kekuatan-kekuatan serta
nikmatnikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadnya, sedpat mungkin
akan mendatangkan manfaat bagi umat manusia.
10. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini, semata-mata demi
Allah dengan ikrar taat dalam hal ma’ruf dan akan senantiasa berdiri teguh
55
di atasnya sampai akhir hayat. Tali persaudaraan ini begitu tinggi
derajatnya sehingga tidak akan diperoleh bandingannya dalam ikatan
persaudaraan maupun hubungan-hubungan duniawi atau dalam segala
bentuk pengkhidmatan/penghambaan.
Kalimat ini ditulis oleh calon jamaah Ahmadiyah yang mau dibai’at,
kemudian dilampirkan data diri, seperti nama lengkap, alamat, nomor hp, Email
dan keluarga yang akan dibawa untuk bai’at. Setelah itu akan dibacakan sewaktu
pengejian berlangsung.20
Setelah penulis melihat langsung kelapangan bahwa perkembangan
Ahmadiyah di Serua tidak berkembang pesat. Paling tidak ada dua faktor
penyebabnya, yaitu faktor eksternal dan internal. Yang pertama faktor eksternal
yaitu karena adanya penolakan dari warga Serua yang mengacu pada fatwa MUI
tahun 2005. Selain itu keluarnya SKB 3 Menteri masih banyak yang mensalah
artikan, hal ini disebabkan tidak tuntasnya sosialisasi pemerintah untuk
menciptakan kerukunan hingga akar rumput. Yang kedua faktor internal, yaitu
dari pengurus Ahmadiyah sendiri yang tidak membuka diri baik kepada warga
maupun setruktur pemerintah di Serua. hal ini menjadikan secara kualitas maupun
kuantintas Ahmadiyah di serua tidak bisa berkembang dengan pesat.
C. Eksistensi Ahmadiyah di Kelurahan Serua
Eksistensi berkaitan dengan strategi atau cara bertahan para penganut
Ahmadiyah dalam menghadapi tekanan yang luar biasa. Konsep pertahanan diri
tersebut sesuatu yang penting untuk melihat bagaimana proses sosial yang terjalin
20
Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan
Serua, Pada 1 Mei 2019.
56
antara Jemaat Ahmadiyah dengan sesama anggotanya atau bahkan Ahmadiyah
dengan non Ahmadiyah.
Jika melihat arti dari eksistensi seperti itu, maka sebenarnya bagaimana
Ahmadiyah di Kelurahan Serua setelah menghadapi serangan-serangan atau
konflik seperti adanya pengrusakan Masjid, lemparan batu yang memnyebabkan
pecah kaca, penolakan dari masyarakat, ormas Islam, ormas kepemudaan dan
interfensi-interfensi lain dari masyarakat. Hal ini tidak dapat dipungkiri
menyisakan trauma yang cukup dalam, tetapi tidak menjadikan Ahmadiyah di
Kelurahan Serua menjauh dan pindah ke tempat lain, atau bahkan menjadi pindah
keyakinan karena adanya tekanan dari luar.
Fenomena konflik dipandang sebagai proses sosiasi, dimana sosiasi
tersebut dapat menciptakan asosiasi, yaitu para individu yang berkumpul sebagai
kesatuan kelompok masyarakat. Sebaliknya sosiasi juga bisa melahirkan
disasosiasi, yaitu para individu mengalami interaksi saling bermusuhan karena
adanya feeling of hostility secara alamiyah.21
Dalam upaya menjaga eksistensi Ahmadiyah di Serua maka pengurus JAI
mengadakan program kerja organisasi, diantaranya:
1. Program Sosial
a. Donor darah, jemaat Ahmadiyah rutin melakukan kegiatan donor darah
yang dilakukan pada hari jumat terahir setiap bulan.
b. Donor mata, pengurus JAI cabang Serua membuka layanan donor mata.
Bagi anggota yang bersedia mendonorkan matanya akan bertanda tangan
21
Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik (Jakarta: Prenadamedia Group, 2009), h. 33.
57
dalam surat wasiat, bahwa ia akan mendonorkan matanya setelah
meninggal dunia.
c. Makanan murah, setiap hari jumat anggota Ahmadiyah Serua menjual
makanan murah. Harga pasaran Rp.12000-15000 mereka jual dengan
harga Rp.3000,00. Kegiatan ini dilakukan dengan berpindah-pindah lokasi
di kawasan Kota Tangerang Selatan.
d. Bagi takjil, kegiatan ini dilakukan setiap bulan Ramadhan oleh remaja
Ahmadiyah.22
Eksistensi Ahmadiyah di Kelurahan Serua untuk sampai saat ini tidak akan
sepenuhnya benar-benar bebas dari ancaman dan tekanan, karena tidak dapat
dipungkiri masyarakat meskipun menerima baik dalam hubungan sosial, tetapi
dalam hal aqidah ada yang berbeda sehingga masih ada saja masyarakat di
manapun yang kontra terhadap Ahmadiyah. Maka salah satu cara untuk bertahan
dan tetap eksis hingga saat ini adalah dengan adanya kekuatan organisasi yang
terstruktur dan mengatur semua kegiatan. Ahmadiyah sendiri merupakan
organisasi secara internasional diberbagai belahan dunia, maka organisasi di
Kelurahan Serua merupakan cabang-cabangnya.
Setruktur organisasi jemaat Ahmadiya di klasifikasikan berdasarkan jenis
dan umur, untuk umur 0-15 tahun disebut Atfal, umur 15-39 tahun di sebut
Khuddam, untuk umur 39 - meningga disebut Ansorulloh. Sedangkan untuk
wanita umur 1-15 di sebut Nasirot, umur 15-meninggal disebut Lajnah Illah.23
22
Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan
Serua, Pada 1 Mei 2019. 23
Wawancara dengan Malik Achmad, wakil ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,
Pada 1 Mei 2019.
58
Klasifikasi setruktur organisasi berdasarkan umur ini sangat baik nantinya untuk
menciptakan kader-kader yang mempunyai militansi kedepanya.
Eksistensi Ahmadiyah di Kelurahan Serua dalam seluruh aspek kehidupan
ada yang mengatur dan mengelola sehingga para anggota Ahmadiyah semakain
kuat dan solid. Berikut struktur kepengurusan Ahmadiyah di Cabang Kelurahan
Serua:
Tabel IX
Susunan Pengurus JAI Serua Ciputat
Mubaligh : - Pembina
Ketua Cabang : Ridwan Abdurahman, ME.
Wakil Ketua : M. Soleh
Sekretaris Umum : M. Rizki Sulistiono, S.Pi Administrasi Umum
Sekretaris Maal : Omar Tobias Bendahara Umum
Amin : M. Syakirullah, S.Psi Bendahara Pengeluaran
Muhasib : Ahmad Syarifudin Penghitung
Sekretaris Jaidad : Muhtar Kamil Aset
Sekretaris Tabligh : M. Soleh Syiar
Sekretaris Tarbiyat : Ir. Asep Ahmad Husaeni Pendidikan Akhlak
Sekretaris Ta'lim : Ir. Asep Ahmad Husaeni Pengajaran
Sekretaris Ta'limul Quran : Javid Attaurahman, SE Pengkajian Al Quran
Sekretaris Umur Ammah : M. Soleh Kesejahteraan Anggota
Sekretaris Umur Kharijiah : Abdul Mughni Hubungan Masyarakat
Sekretaris Pembinaan
Mubayin Baru : M. Soleh
Pembinaan Anggota
Baru
Sekretaris Rishtanata : Dendi Ahmad Daud, M.Ag Perjodohan
Sekretaris Isyaat : - Literasi
Sekretaris Ziroat : Saiful Nuryadin Pertanian, Peternakan
Sekretaris Sanat Wa Tijarot : Heri Kuswanto Perdagangan
Sekretaris Dhiafat : Husen Mubarak, S.Sos Jamuan Tamu
Sekretaris Tahrik Jadid : Abdussalam Bentuk Waqf Jemaat
59
Sekretaris Waqfi Jadid : Javid Attaurahman, SE Bentuk Waqf Jemaat
Sekretaris Waqf E Nou : Hafiz Ahmad Bentuk Waqf Jemaat
Sekretaris Al Wasiyat : Bahtiar Husen Bentuk Waqf Jemaat
Sekretaris Audio Video : Husen Mubarak, S.Sos Audio Video
Sekretaris Maal Tambahan : Bahtiar Husen Membantu Sekr Maal
Internal Auditor : Indra Agung, Sl Audit Internal Cabang
Zaim Anshar : Abdul Mughni Ketua Badan Laki-Laki
40 Tahun Keatas
Qaid Khuddam : Athaurahman Khan, SE Ketua Badan Lak-Laki
15 - 40 Tahun
Ketua Lajnah : Ami Ketua Badan Perempuan
Sumber: Hasil Wawancara Penulis
Berdasarkan observasi penulis bahwa setruktur pengurus Ahmadiyah ini
mempunyai peran dan fungsi masing-masing yang tidak bisa diwakilkan. Seperti
kegiatan pengambilan data wawancara, langkah pertama penulis harus
mengajukan permohonan ke Pengurus Besar JAI. Kemudian setelah mendapat
izin, PB JAI memberikan surat tugas kepada pengurus JAI cabang Serua untuk
mengutus narasumber yang sesuai dengan bidang yang diperlukan.
60
BAB IV
ANALISIS KONFLIK JEMAAT AHMADIYAH DAN NON AHMADIYAH
DI KELURAHAN SERUA
A. Relasi Jemaat Ahadiyah dan Non Ahmadiyah
Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai etnis dan
keyakinan yang beragam. Keberagaman tersebut akan mampu menciptakan suatu
kekuatan besar sekaligus kekayaan budaya apabila terjalin dengan baik. Namun
terkadang, perbedaan pandangan dalam memahami suatu keyakinan menjadi salah
satu pemicu adanya gesekan antar kelompok yang berbeda.
Dalam beberapa kajian keagamaan dijelaskan bahwa ketika berbicara
mengenai suatu agama, terlebih dalam masalah aliran, berhadapan dengan
kelompok yang berbeda akan menggugah emosional setiap diri pengikut masing-
masing. Hal ini membawa orang menentukan sikap dan perilakunya dalam
kehidupan sosial. Secara sosiologis, interaksi sosial dalam pergaulan di
masyarakat akan ditentukan seberapa jauh emosi keagamaan (religious affective)
mempengaruhinya. Dalam realitas kehidupan seringkali terjadi konflik di berbagai
wilayah yang diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan seputar pemahaman agama.1
Meletakan konflik agama sebagai realitas sosial berarti memandang bahwa
konflik tersebut pada dasarnya tidak lahir dari doktrin atau normativitas ajaran
agama, namun lebih pada unsur atau variable di luar dirinya. Sebab agama sebagai
realitas sosial tidak hanya mengandung aspek normatif-doktrinal, melainkan juga
aspek-aspek lahiriah yang menjadi faktor utama pemicu konflik. Hal inilah yang
1Eroh, Konflik Sosial-Keagamaan Di Banten Tahun 2011 (Banten: Fakultas Ushuluddin
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten 2016), h. 31.
61
menunjukkan bahwa penyebab konflik bukan pada aspek doktrinal normatif yang
merupakan inti agama, melainkan pada akar serabut non teologis.2
Jemaat Ahmadiyah sebagai bagian dari bentuk keberagaman tersebut, turut
serta mewarnai kehidupan masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk
Serua. Kelompok ini sudah ada di Serua sejak tahun 2000-an. Sejak pertama kali
kedatangannya, beragam tanggapan muncul dari masyarakat setempat Namun
begitu, sebagai salah satu kelompok masyarakat yang hidup dalam skala sosial,
terdapat pola hubungan yang terjadi antara jemaat Ahmadiyah dengan non
Ahmadiyah di Serua.
Hubungan sosial harus dilandasi oleh saling percaya dan kesepakatan
bersama untuk hidup berdampingan secara damai, menjamin terhindarnya
masalah baru antara korban bencana sosial dan komunitas, terselesaikan berbagai
masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama dan memantapkan sistem
kerukunan dan perdamaian sosial yang abadi di lingkungan masyarakat.3
1. Kekerabatan
Kekerabatan merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia.
Hubungan kekerabatan merupakan modal penting bagi manusia untuk
mengembangkan kehidupan sosial kemasyarakatan. Adanya hubungan
kekerabatan ini menjadikan manusia semakin erat berhubungan dengan orang lain
dan menjadikan hidup mereka menjadi lebih baik.
2Komaruddin Hidayat, Pluralitas Agama: Kerukunan dan Keragaman (Jakarta: Kompas,
2001). h. 46. 3Bambang Rustanto, Masyarakat Multikultural di Indonesia (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2015), Cet. I, h. 73.
62
Dalam suatu bentuk kelompok kekerabatan salah satunya yang disebut
keluarga inti yaitu merupakan bentuk kelompok kekerabatan yang ada dan dikenal
seluruh masyarakat didunia. Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami,
seorang isteri, dan anak-anak mereka yang belum kawin. Anak tiri dan anak
angkat yang secara resmi mempunyai hak wewenang yang kurang lebih sama
dengan anak kandungnya dapat pula dianggap sebagai anggota suatu keluarga inti.
Bentuk keluarga inti seperti ini adalah bentuk keluarga inti yang sederhana atau
biasa disebut keluarga batih yang berdasarkan monogamy. Dalam hal ini ada
seorang suami dan seorang isteri sebagai ayah-ibu dari anak. Sebaliknya ada
keluarga batih yang bentuknya lebih kompleks, ialah apabila ada lebih dari
seorang suami atau isteri. Keluarga inti serupa ini disebut juga keluarga inti yang
berdasarkan poligami. Sebagian besar jumlah penduduk dunia hidup dalam
keluarga inti yang berdasarkan monogami.4
Kekerabatan bisa terjalin jika proses interaksi diaplikasikan. Salah satu
proses interaksi adalah kerja sama, beberapa sosiolog menganggap bahwa kerja
sama merupakan bentuk interaksi sosial yang pokok. Kerja sama yaitu sebagai
suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk
mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk dan polapola kerja sama
dapat dijumpai pada semua kelompok manusia, seperti kebiasaan-kebiasaan dan
sikap-sikap demikian dimulai sejak masa kanak-kanak di dalam kehidupan
keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan.5
4Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1981), Cet.
ke-V, h. 105. 5Soejono Soekanto, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2011), Cet. 3, h. 65.
63
Hubungan sosial yang sangat erat dan akrab biasanya terjadi karena
adanya hubungan darah atau bisa disebut keluarga di mana masih ada hubungan
kekerabatan yang sangat dekat, misal saudara istri seorang non Ahmadiyah yang
istrinya itu memiliki keluarga Ahmadiyah. Namun dalam kasus di Serua tidak
semuanya demikian, beberapa anggota jamaah ada yang keluarga tidak suka ada
keluarganya yang lain masuk Jemaat Ahmadiyah Namun secara umum pola
hubungan sosial yang dibangun antara Ahmadiyah dan kerabat non Ahmadiyah
menjalin persahabatan yang baik. Bahkan kerabat yang sebelumnya bukan
anggota Ahmadiyah bisa menerima dan akhirnya menjadi anggota Ahmadiyah.6
2. Kegiatan Keagamaan
Interaksi dalam bidang keagamaan merupakan hal yang paling sensitif
antara jemaat Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah di Serua. Hal ini bermula dari
perbedaan cara pandang antara dua kelompok tersebut dalam mengkaji ajaran
agama sehingga berdampak pada klaim kebenaran pada masing-masing kelompok
tersebut sehingga melahirkan stigma negatif antar kelompok.
Sebagaimana yang terjadi di daerah Serua, Ciputat, sejak pertama kali
kehadirannya tahun 2000-an, Ahmadiyah di daerah tersebut mendapat penolakan
dari para pemuka agama setempat karena jemaat Ahmadiyah awalnya dianggap
enggan bermasyarakat dengan warga setempat terutama dalam praktik ibadah,
mereka enggan bergabung dengan masyarakat. Kendati demikian mereka
mendirikan Masjid untuk golongan sendiri.7 Seperti yang disampaikan bapak
Nisin Setiadi Sekretaris Kelurahan Serua:
6Wawancara dengan Malik Achmad,, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,
Pada 1 Mei 2019. 7Wawancara dengan Nisin Setiadi, Sekretaris Kelurahan Serua, Pada 23 April 2019.
64
“Sebelum terkena pembangunan jalan tol Masjid Ahmadiyah kondisinya
sangat tertutup, gerbang selalu ditutup setiap waktu, ketika ada kegiatan
tidak pernah melapor atau memberitahu kepada RT/RW setempat. Ketika
kegiatan selesai baru kelihatan orang banyak keluar dari dalam masjid.
Secara domisili, Ahmadiyah tidak mengurus surat-suratnya kekelurahan
Serua. Untuk saat ini pasca kena proyek jalan tol kami dari pihak
kelurahan juga tidak tahu Masjid mereka pindah kemana.”
Secara umum, masyarakat di berbagai daerah beribadah bersama dalam
satu tempat ibadah yang ada di lingkungan dimana mereka tinggal. Namun ketika
masyarakat melihat kelompok Ahmadiyah yang terpisah dengan mereka,
menimbulkan berbagai macam kecurigaan yang mereka tujukan terhadap
kelompok tersebut. Kecurigaan itu kemudian semakin bertambah ketika beberapa
kalangan masyarakat, seperti para ulama atau kyai turut memberi pandangan
terhadap mereka sehingga berujung pada ketegangan bahkan konflik.8
Dalam pandangan Ahmadiyah, pemisahan tempat ibadah tersebut
perpatokan pada fatwa yang dibangun oleh pendiri jemaat Ahmadiyah, Mirza
Ghulam Ahmad. Hal ini bermula dari tuduhan para ulama di masa Mirza Ghulam
Ahmad yang menganggap kelompok ini keluar dari Islam, sehingga kemudian
fatwa tersebut menjadi landasan dalam praktek peribadatan mereka.9
Setelah penulis observasi dilapangan bahwa memang benar adanya bahwa
jemaat Ahmadiyah melakukan kegiatan keagamaan dengan kelompok Ahmadiyah
sendiri. Misalnya salat jum’at, jemaat Ahmadiyah memilih melakukan salat
dengan sesama jemaat Ahmadiyah yang lain. Istilah yang digunakan, seperti yang
disampaikan bapak mohamad soleh “sudah ada jalurnya sendiri-sendiri”. Setiap
8Wawancara dengan Nisin Setiadi, Sekretaris Kelurahan Serua, Pada 23 April 2019.
9Tohayudin, Paham Keagamaan dan Hak Sipil Jemaat Ahmadiyah Indonesia Prespektif
Hukum Islam dan Hukum Nasional (Tesis: IAIN Syeh Nurjati Cirebon, 2012), h. 97.
65
hari jum’at terlihat sekitar 20 sampai 30 jemaat yang melakukan salat jum’at serta
ada satu orang yang menjaga parkiran, biasanya mereka datang dengan istri dan
anak-anaknya.
Dengan hal tersebut daerah Serua ini menjadi bukti dari ketidak
harmonisan hubungan antara jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah. Berbagai
pihak masyarakat di daerah itu menginginkan agar kelompok Ahmadiyah tidak
berada di daerah mereka. Hal ini dibuktikan dengan kelompok yang menolak
mereka dari berbagai lapisan masyarakat.
3. Kegiatan Sosial dan Budaya
Dalam masalah sosial, jemaat Ahmadiyah berpegang pada prinsip yang
mereka bangun, yaitu meningkatkan rasa kepedulian dengan sesama manusia
lainnya (khablun minannas).. Dalam praktiknya, jemaat Ahmadiyah berusaha
menjalin hubungan baik dengan berbagai kelompok masyarakat sebagai bagian
dari upaya membangun interaksi yang harmonis dan menghapus kecurigaan
mereka terhadap jemaat Ahmadiyah.
Dari prinsip tersebut, jemaat Ahmadiyah kemudian membentuk berbagai
program dalam bidang sosial, misalnya saja kegiatan berbagi sembako, bazar
sembako murah, donor darah, donor mata, dan lain sebagainya. Kegiatan sosial
yang sampai saat ini masih rutin dilaksanakan setiap tiga bulan sekali oleh Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) di seluruh Indonesia yakni donor darah. Kegiatan ini
dilaksanakan secara rutin di seluruh Indonesia dan dikomando langsung PB JAI.
Kegiatan ini juga bertujuan untuk membantu Palang Merah Indonesia (PMI) dan
masyarakat umum lainnya yang membutuhkan.10
10
Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan
Serua, Pada 1 Mei 2019.
66
Salah satu kegiatan sosial lain yang rutin dilaksanakan oleh Jemaat
Ahmadiyah yakni menjalin silaturahmi secara bersama ke organisasi masyarakat
lainnya, misalnya HTI, Muhammadiyah, dan lain sebagainya. Kegiatan ini
dijadwalkan dan menjadi wujud bahwa hubungan jemaat Ahmadiyah dengan
organisasi masyarakat lainnya terjalin dengan baik.
Namun begitu, keberadaan kelompok Ahmadiyah yang berada di
perumahan masih membentuk pagar pembatas meskipun tidak secara jelas
ditampakkan. Diungkapkan oleh Himam Muzzahir bahwa ketidaksukaan
masyarakat terhadap Ahmadiyah cenderung diam, dalam arti tidak menunjukkan
ekspresi ketidak sukaannya.11
Hal berbeda justru terjadi di daerah perkampungan beberapa pihak
masyarakat, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan pihak
kelurahan Serua secara terus terang menginginkan Ahmadiyah tidak ada di daerah
mereka. Hal ini bermula dari kurangnya penerimaan masyarakat terhadap
Ahmadiyah sehingga segala bentuk interaksi yang dilakukan selalu menimbulkan
kecurigaan dimata masyarakat.12
Di lain sisi, gerakan pemurnian ajaran agama yang diusung oleh jemaat
Ahmadiyah berpengaruh pula pada penerimaan kelompok tersebut terhadap
budaya yang berkembang di masyarakat Serua. Mereka menolak segala hal yang
menjurus kepada tradisi dan kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat
serta turut andil di dalamnya. Jemaat Ahmadiyah memandang bahwa tradisi yang
dijalankan oleh kelompok masyarakat di banyak tempat tidak berakar dari tradisi
11
Wawancara dengan Himam Muzzahir, Tokoh Agama, Komplek Serua Makmur, Pada 2
Mei 2019. 12
Wawancara dengan Nisin Setiadi, Sekretaris Kelurahan Serua, Pada 23 April 2019.
67
Islam, seperti tahlilan dan perayaan maulid nabi.13
Seperti tertuang dalam syarat
baiat anggota pada poin ke 1 yaitu, Orang yang bai’at, berjanji dengan hati jujur
bahwa dimasa yang akan mendatang sampai masuk ke dalam kubur, akan
senantiasa menjauhi syirik.
Ketidak ikut sertaan jemaat Ahmadiyah di tengah gejolak budaya
masyarakat menjadi pandangan tersendiri di mata masyarakat yang hidup dalam
satu lingkungan dengan mereka. Adanya stigma yang dipandang negatif terhadap
budaya dan tradisi yang dianut oleh masyarakat menjadi jembatan pemisah antara
dua kelompok masyarakat tersebut untuk bisa merayakannya bersama-sama. Hal
ini menjadi salah satu sebab jemaat Ahmadiyah kurang mendapat simpati dari
masyarakat, sebab kehidupan sosial masyarakat Islam di Serua umumnya berbasis
pada tradisi-tradisi dan budaya yang kuat di mana kesamaan budaya mampu
menjadi perekat kebersaman antar kelompok masyarakat tersebut.
4. Sistem Ekonomi
Bidang ekonomi menjadi salah satu hal penting dalam kehidupan
masyarakat yang berhubungan dengan aktivitas sehari-hari, baik di bidang bisnis
maupun transaksi jual beli untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai bagian
dari kelompok sosial, jemaat Ahmadiyah turut membangun hubungan ekonomi
dengan masyarakat setempat sebagai salah satu bentuk interaksi mereka.
Menurut Malik anggota Ahmadiyah diberi kebebasan untuk menjalankan
kegiatan ekonomi dalam bentuk apapun dengan masyarakat. Beberapa anggota
Ahmadiyah ada yang bekerja di pemerintahan, di antaranya bekerja menjadi
Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, POLRI dan lain-lain. Namun mereka tidak
13
Wawancara dengan Himam Muzzahir, Tokoh Agama, Komplek Serua Makmur, Pada 2
Mei 2019.
68
menyatakan diri sebagai anggota Ahmadiyah, di mana ketika berbicara mengenai
Ahmadiyah menjadi hal yang sensitif.14
Dalam bidang politik, menurut Malik jemaat Ahmadiyah secara
keorganisasian tidak melibatkan diri dalam percaturan politik. Organisasi ini sejak
pertama kali dibentuk pada tahun 1889 hanya memusatkan diri pada pemurnian
ajaran Islam. Organisasi ini memandang bahwa aktivitas politik sarat dengan
kepentingan yang dapat menjauhkan manusia dari prilaku jujur dan mampu
memecah belah kebersamaan. Namun begitu, jemaat Ahmadiyah memberikan
kebebasan bagi para anggotanya untuk menjalankan kegiatan politik apabila
mereka menginginkannya, seperti menjadi kader partai tertentu atau menjadi
anggota dewan di suatu daerah.15
Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa sebenarnya ada jarak yang
terbentuk di tengah interaksi dua kelompok ini sekalipun perihal ekonomi di mana
terdapat kekhawatiran yang muncul dari pihak Ahmadiyah ketika masyarakat
mengetahui bahwa mereka dari kalangan Ahmadiyah, maka akan ada penolakan
dari masyarakat terhadap mereka sehingga hal tersebut berdampak pada kegiatan
dan kebutuhan ekonomi mereka. Meskipun beberapa kelompok masyarakat telah
menerima kehadiran mereka, namun keengganan untuk bersinggungan dengan
jemaat Ahmadiyah tampaknya lebih banyak dari berbagai kalangan masyarakat di
Serua sehingga ruang mereka untuk bisa menjalin kerja sama dengan masyarakat
terhambat.
14
Wawancara dengan Malik Achmad, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,
Pada 1 Mei 2019. 15
Wawancara dengan Malik Achmad, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,
Pada 1 Mei 2019.
69
B. Faktor Penyebab Konflik Jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di
Kelurahan Serua
Riset yang dilakukan penulis tentang hubungan sosial Ahmadiyah dan non
Ahmadiyah di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan
menyimpulkan bahwa hubungan kedua belah pihak diwarnai dengan konflik.
Salah satu bentuknya adalah penolakan keberadaan aktifitas Ahamdiyah di
Kelurahan Serua. Penolakan ini dilatar belakangi oleh sejumlah faktor yaitu
Faktor Lembaga Sosial (Keluarga, Agama dan Pemerintah), Faktor Ekonomi dan
Faktor Pendidikan.
1. Faktor Lembaga Sosial
Lembaga sosial yang keberadaannya disadari dengan baik oleh anggota
masyarakat dan bahkan diharapkan kehadirannya akan berfungsi secara nyata
dalam masyarakat.16
Adapun tipe-tipe dari lembaga sosial adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan perkembangannya dapat dibedakan menjadi crescive
institution dan enaced institution. Lembaga yang tumbuh dari adat istiadat
satu mayarakat secara tidak didasari maka lembaga sosial seperti itu
tergolong kepada tipe crescive institution seperti keluarga dan agama.
Adapun yang tergolong kepada tipe enaced institution seperti sekolah,
rumah sakit di mana lembaga sosial itu sengaja dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan tertentu dengan tujuan sendiri.
b. Dari segi sistem nilai yang menjadi sumber awal terciptanya lembaga
sosial dapat dibedakan menjadi basic institution dan subsidiary institution.
Lembaga sosial yang tergolong basic institution apabila diperlukan untuk
16
Yusran Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif
Islam (Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008), Cet. I, h. 69.
70
memelihara dan mempertahankan keteraturan secara mendasar dalam
masyarakat, seperti lembaga-lembaga negara pada konteks yang paling
kecil termasuk keluarga. Subsidiary institution adalah lembaga sosial yang
oleh masyarakat dianggap kurang penting tapi ada, seperti lembaga-
lembaga yang bersifat menghibur yaitu bioskop dan lembaga pariwisata.
c. Dari sisi penerimaan masyarakat terhadap lembaga, lembaga sosial dapat
dibedakan sanction institution (dapat diterima) seperti rumah sakit atau
sekolah dan unsanction institution (tidak dapat diterima) seperti tempat
perjudian atau tempat pelacuran.
d. Berdasarkan penyebarannya lembaga sosial terbagi menjadi dua yang
general institution dan ungeneral institution. Apabila lembaga sosial
tersebut dikenal dan disadari oleh mayoritas anggota masyarakat maka
lembaga tersebut tergolong general institution, seperti agama. Sedangkan
ungeneral institution adalah lembaga sosial yang hanya disadari dan
dikenal oleh kelompok tertentu saja dalam satu masyarakat, seperti
lembaga tarekat dalam agama Islam.
e. Dilihat dari peran dan fungsi lembaga sosial dalam masyarakat, ada bentuk
lembaga sosial yang disebut operative institution dan regulative
institution. Operative institution berfungsi menghimpun pola-pola yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan lembaga tersbut seperti lembaga
perindustrian. Sedangkan bentuk regulative institution bertujuan dan
berfungsi untuk mengawasi perilaku masyarakat secara keseluruhan.17
17
Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar, Cet. I, h. 70-71.
71
Secara mendasar bentuk-bentuk lembaga sosial yang nyata adalah
keluarga, agama, dan pemerintahan.
a. Keluarga
Keluarga adalah lembaga sosial yang sangat fundamental dan utama. Pada
masyarakat-masyarakat lama keluarga menjadi pusat kehidupan sosial untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok. Sebagai sebuah lembaga
sosial, keluarga adalah unit dasar terbentuknya satu kekerabatan, hubungan darah
atau ketutunan, hubungan perkawinan, dan adopsi yang di dalamnya ada
seperangkat nilai, norma, dan kesepakatan yang menggambarkan struktur
kekerabatan dan hubungan-hubungan.18
Keluarga adalah wadah yang sangat penting di antara individu dan group,
serta merupakan kelompok sosial yang pertama di mana anak-anak menjadi
anggotanya. Dan keluargalah yang pertama-tama menjadi tempat untuk
mengadakan sosialisasi kehidupan anak-anak. Ibu, ayah, dan saudara-saudara
serta keluarga-keluarga yang lain adalah orang-orang yang pertama di mana anak-
anak mengadakan kontak dan yang pertama pula untuk megajarkan pada anak-
anak itu sebagaimana dia hidup dengan orang lain.19
Keluarga berfungsi untuk memperkuat solidaritas sosial, penanaman nilai
budaya, kerja sama ekonomi, pengisian kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan
kepada cinta kasih, saling perhatian, perlindungan, dan untuk mengusir rasa
kesepian 20
18
Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar, Cet. I, h. 74. 19
Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), Cet. II, h. 108. 20
Bustanuddin Agus, Agama dan Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 206.
72
Pentingnya faktor keluarga bagi setiap pribadi manusia, menjadi unsur
penting dalam berlangsungnya kehidupan bersosial. Banyak anggota Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang dikucilkan oleh keluarganya sendiri.
Problematika seperti ini hampir dialami oleh semua jemaat Ahmadiyah yang baru
masuk menjadi anggota baru. Sebagai contoh, Bapak Muhammad Soleh berlatar
belakang keluarga yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah (Nahdlatul
Ulama), Ia berpindah ideologi menjadi Ahmadiyah setelah mendapat penjelasan
dari salah satu Mubaligh Jemaat Ahmadiyah. Keluarga besarnya menganggap
bahwa dia memilih ajaran agama yang sesat. Hal ini, mengakibatkan Bapak
Mohammad Soleh dikucilkan oleh keluarganya sendiri.21
Menurut Javid Attaurrahman problem yang dirasakan bapak Mohammad
Soleh hampir dirasakan oleh semua jemaat Ahmadiyah di Serua yang mempunyai
permasalahan yang sama. Misalnya bapak Naryo, karena ia menikah dengan salah
satu anak dari anggota Ahmadiyah, maka bapak Naryo juga ikut bergabung
menjadi anggota Ahmadiyah. Hal ini menjadikan ia mendapatkan perlakuan
kurang baik dari keluarga dan kerabatnya.22
Dari hasil pembahasan yang sudah dijelaskan oleh penulis di atas,
bahwasanya keluarga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya konflik
Ahmadiyah di Serua Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan.
b. Agama
Agama menurut Emile Durkheim mengutip dalam buku Pengantar
Sosiologi karya Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, bahwa agama dapat mengantar
21
Wawancara dengan Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan
Serua, Pada 1 Mei 2019. 22
Wawancara dengan, Javid Attaurrahman, Ketua Pemuda JAI cabang Serua, Kelurahan
Serua, Pada 23 April 2019.
73
individu-individu anggota masyarakat menjadi makhluk sosial. Agama
melestarikan masyarakat, memeliharanya di hadapan manusia dalam arti memberi
nilai bagi manusia, menanamkan sifat dasar manusia untuk-Nya.23
Secara fungsional lembaga agama berperan secara fundamental dalam
menggerakan kehidupan manusia secara personal atau kolektif. Agama dipandang
oleh Durkheim sebagai basis moral dari masyarakat, di mana anggota-anggota
masyarakat secara bersama berpegang dan berpedoman kepada keyakinan, nilai-
nilai, dan norma-norma suci. Di samping fungsinya secara umum dapat
mempersatukan dan menyatukan orang-orang dalam satu komunitas yang sama
seiman, agama juga dapat menimbulkan konflik karena fakta fanatisme yang
berlebihan.24
Satu pendapat dengan Durkheim, bahwa agama dipandang dapat
menimbulkan konflik akibat dari pikiran fanatisme yang berlebihan. Pada salah
satu lafadz bai’at Jemaat Ahmadiyah point pertama yang berbunyi “berjanji
dengan hati jujur bahwa di masa yang akan mendatang sampai masuk ke dalam
kubur, akan senantiasa menjauhi syirik.”. Lafadz tersebut harus mereka yakini
sepenuh hati dan harus diamalkan dalam kehidupan sehari-harinya. Bunyi bai’at
tersbut memunculkan pandangan baru oleh Jemaat Ahmadiyah. Mereka
menganggap kegiatan-kegiatan jemaat lain khususnya Ahlussunnah wal Jama’ah
adalah kegiatan musyrik, sepertihalnya rutinitas maulidan, tahlilan, ziarah kubur,
dan kegiatan lainnya.
Sedangkan masyarakat Serua berpendapat sebaliknya. Mereka
menyalahkan ajaran jemaat Ahmadiyah. Bahwa ajaran atau paham yang mereka
23
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiolog: Pemahaman Fakta dan Gejala
Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya (Jakarta: Kencana, 2011), h. 331. 24
Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar, Cet. I, h. 75.
74
anut adalah salah. Bahkan, Himam Muzzahir mengatakan bahwa jemaat
Ahmadiyah adalah sesat, karena tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah
bukanlah Khotamun Nabiyyin (Nabi yang terakhir).25
Hal ini mengacu pada fatwa
MUI tahun 2005 yang menyatakan pada tiga poin yaitu:
1. Menegaskan fatwa MUI dalam Munas II tahun 1980 yang menetapkan
bahwa aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan,
serta orang yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).
2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti aliran Ahmadiyah supaya segera
kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju „ila al-haq), yang sejalan
dengan Al-Qur’an dan Al-Hadis.
3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah
diseluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua
tempat kegiatan.26
Dalam hal ini penulis melihat bahwa penolakan-penolakan warga terhadap
Ahmadiyah di Serua lebih didasari oleh kepatuhan kepada Ulama dalam hal ini
adalah MUI. Sehingga apa yang mereka kerjakan baginya adalah bertujuan
berjuang dijalan Allah. Seperti apa yang disampaikan bapak Ibrahim “penolakan
terhadap kesesatan Ahmadiyah ini, kami hanya ingin berjuang dijalan Allah”.
Mengatasi berbagai gejala negatif tersebut membutuhkan kerja sama dan
konsolidasi yang masif antara lembaga-lembaga agama, pemuka agama, dan umat
beragama. Kerja sama seperti ini dapat dibangun apabila masyarakatnya sudah
memiliki modal sosial. Unsur-unsur yang merupakan terbentuknya modal sosial
25
Wawancara dengan Himam Muzzahir, Tokoh Agama, Komplek Serua Makmur, Pada 2
Mei 2019. 26
Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), Nomor:11/MUNAS VII/15/2005,1/tentang aliran
Ahmadiyah pada tahun 2005.
75
dalam bentuk kerja sama adalah membangun kepedulian pada semua kelompok
umat beragama dan menetapkan tekad guna mengatasi ketidakadilan sosial dan
umat beragama hendaknya tidak larut dalam mempertentangkan perbedaan antara
doktrin ajaran agama-agama karena perbedaan itu sudah melekat dalam ajaran
masing-masing.27
Ajaran agama sudah menegaskan bahwa kesuksesan dari wujud
keberagaaan tidak hanya bersifat ritual, melainkan dalam bentuk kepedulian
sosial. Tugas dari pemuka agama dengan menjelaskan bahwa pada umumnya
agama harus bisa membangun nilai-nilai yang universal, nilai-nilai yang diterima
secara rasional yang dapat melintas batas-batas perbedaan teologis karena setiap
agama datang adalah membawa kesejahteraan hidup umat manusia.28
Dari penjelasan tersebut, bisa kita simpulkan bahwa pemahaman agama
yang berbeda dapat menjadi pemicu munculnya konflik sosial. Seperti yang
dikatakan Durkheim, bahwa konflik ini berawal dari rasa fanatisme yang
berlebihan yang dimiliki oleh setiap manusia.
c. Pemerintah
Kekuasaan adalah konsep para ahli ilmu-ilmu sosial yang sebenarnya
sama dengan energi dalam konsep ahli-ahli fisika. Sebagaimana halnya energi,
kekuasaan memiliki beberapa bentuk seperti kekayaan, peralatan atau perangkat-
perangkat, wewenang pemerintahan, mempengaruhi opini, dan sebagainya.
Pemerintah adalah salah satu lembaga politik yang nyata. 29
27
M. Ridwan Lubis, Agama dan Perdamaian Landasan, Tujuan, dan Realitas Kehidupan
Beragama di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017), h. 65. 28
Lubis, Agama dan Perdamaian, h. 66-67. 29
Razak, Sosiologi Sebuah Pengantar, Cet. I, h. 76.
76
Berbicara masalah pemerintah, setelah adanya SKB 3 Menteri dan
ditindak lanjuti dengan adanya SEB, maka konflik yang terjadi sedikitnya bisa
diredam dengan adanya aktor/tokoh yang cukup berpengaruh dalam meredam
konflik. Salah satunya ada peran FKUB yang dibentuk oleh masyarakat dan
difasilitasi oleh pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan
memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.30
Upaya FKUB untuk menengarai konflik antara jemaat Ahmadiyah dan
non Ahmadiyah di Serua sudah dilakukan. Misalmya pada bulan Maret 2019
FKUB Kota Tangerang Selatan mengundang pengurus JAI cabang Serua untuk
mengklarifikasi dan menjelaskan duduk masalah yang terjadi, namun hal ini tidak
menghasilkan sikap apapun setelahnya.31
Peraturan SKB 3 Menteri dikeluarkan untuk meredam konflik yang sering
terjadi, salah satu caranya dengan mengeluarkan fatwa untuk tidak menyebarkan
ajaran agama kepada non Ahmadiyah dan kepada non Ahmadiyah untuk tidak
melakukan penyerang-penyerangan terhadap Ahmadiyah. Kemauan pemerintah
dalam menerbitkan banyak peraturan yang mengatur kehidupan beragama yang
bertujuan untuk menumbuhkan sikap hidup beragama yang harmonis dan saling
hormat menghormati. Namun demikian kemauan positif pemerintah itu tidak
selalu mampu menumbuhkan kerukunan dalam kehidupan keagamaan
masyarakat.32
30
Nadia Wasta Utami, “Upaya Komunikasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
dalam Resolusi Konflik Ahmadiyah,” (Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 13, No. 1,1/Juni 2016), h. 62. 31
Menjadi catatan bersama bahwa FKUB sendiri terdiri dari berbagai komponen
masyarakat yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, sehingga sebagai mediator akan
mendapatkan kesulitan dalam memproses sebuah konflik Agama. 32
Wawancara dengan, Asep Ahmad Husaini, Ketua JAI cabang Serua bidang Ta’lim,
Kelurahan serua, Pada 23 April 2019.
77
Dari hasil penelitian tersebut, maka pemerintah menjadi salah satu faktor
penyebab konflik sosial. Pemerintah belum berhasil mensosialisasikan peraturan
yang dibuat dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat
beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.
2. Faktor Ekonomi
Ekonomi sebagai suatu usaha dalam pembuatan keputusan dan
pelaksanaannya yang berhubungan dengan pengalokasian sumberdaya masyarakat
(rumah tangga dan pembisnis/perusahaan) yang terbatas di antara anggotanya
dengan mempertimbangkan kemampuan, usaha, dan keinginan masing-masing.
Jadi kegiatan ekonomi merupakan gejala bagaimana cara orang atau masyarakat
memenuhi kebutuhan hidup mereka terhadap barang dan jasa.33
Titik tolak analisis ekonomi adalah individu. Di mana individu merupakan
makhluk yang rasional, senantiasa menghitung pribadi atau keuntungan pribadi,
dan bagaimana mengurangi penderitaan atau menekan biaya untuk
keberlangsungan hidup. Sebagai contoh, untuk bertahan hidup setiap individu
perlu bekerja dan individu sendirilah yang lebih mengetahui dibandingkan dengan
orang lain, dia harus bekerja apa. Hal ini dikarenakan individu lebih mengetahui
tentang dirinya sendiri dari sisi.34
Perekonomian di Kelurahan Serua tidak ada yang dominan dalam satu
jenis pekerjaan dikehidupan masyarakat. Kemudian kenapa faktor ekonomi
menjadi salah satu pendorong adanya suatu hubungan antara Ahmadiyah dan non
Ahmadiyah? Maka sedikitnya jawaban dari wawancara yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
33
Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi (Jakarta: Kencana, 2011), Cet. II, h. 35-36. 34
Damsar, Pengantar Sosiologi Ekonomi, h. 36.
78
Bapak Muhammad Soleh mengungkapkan, masyarakat menganggap
Ahmadiyah bekerja sama dengan pihak luar (Inggris), sehingga mereka yang
masuk dalam anggota Ahmadiyah mendapatkan bayaran darinya. Padalah jemaat
Ahmadiyah bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya, diantaranya
ada yang bekerja menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, POLRI, Pedagang,
driver online dan lain-lain.35
Namun mereka tidak menyatakan diri sebagai
anggota Ahmadiyah, di mana ketika berbicara mengenai Ahmadiyah menjadi hal
yang sensitif.36
Setelah melakukan wawancara tersebut penulis bisa melihat adanya
hubungan yang tidak baik antara Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah
Kelurahan Serua. Kelompok non Ahmadiyah masih menunjukan rasa curiga yang
mendalam terhadap kelompok jamaat Ahmadiyah. Terlihat juga dengan ketidak
beranian menunjukan identitas Anggota Ahmadiyah ditingkatan profesi yang di
jalani.
3. Faktor Pendidikan
Pengertian pendidikan sendiri secara sederhana dapat merujuk pada
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usahan mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dari pengertian tersebut dalap dilihat
melalui pendidikan yaitu orang mengalami pengubahan sikap dan tata laku, orang
35
Wawancara dengan Malik Achmad, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,
Pada 1 Mei 2019. 36
Wawancara dengan, Javid Attaurrahman, Ketua Pemuda JAI cabang Serua, Kelurahan
Serua, Pada 23 April 2019.
79
berproses menjadi lebih dewasa, matang dalam sikap dan tata laku, proses
pendewasaan ini dilakukan melalui upaya pengajaran dan pelatihan.37
Tujuan pendidikan sebagaimana diungkapkan oleh A. Tresna Sastrawijaya
(1991) dalam bukunya Abdullah Idi adalah mancakup kesiapan jabatan,
keterampilan, memecahkan maslah, penggunaan waktu senggang secara
membangun, dan sebagainya karena setiap siswa/anak mempunyai harapan yang
berbeda. Sementara itu tujuan pendidikan yang berkaitan dengan bidang studi
dapat dinyatakan lebih spesifik, misalnya dalam pelajaran bahasa yang digunakan
untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi mahir secara lisan dan tulisan.
Adapaun tujuan pendidikan secara umum menyangkut kemampuan luas yang
akan membantu siswa untuk berpartisipasi dalam masyarakat.38
Dari adanya pemaparan tentang pendidikan di atas, hal ini dikarenakan
pendidikan menjadi salah satu faktor dari konflik antara Ahmadiyah dengan non
Ahmadiyah yang terjadi di Kelurahan Serua. Sebagaimana dipaparkan pada awal
pembahasan bahwa Ahmadiyah mengklasifikasi organisasi dengan segmen usia
dan jenis. Pada setiap klasifikasi mendapatkan pendidikan keagamaan yang rutin
dilakukan oleh mubaligh Ahmadiyah di Serua.39
Apabila pendidikan keagamaan
ini dilaksanakan untuk internal Jemaat Ahmadiyah mungkin tidak menjadi
masalah, namun sebaliknya bahwa pendidikan ini terbuka untuk siapa saja yang
ingin belajar Agama (umum).
37
Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012), Cet. II, h. 8. 38
Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2011), Cet. I, h. 59. 39
Wawancara dengan Malik Achmad, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, Kelurahan Serua,
Pada 1 Mei 2019.
80
Hal ini yang memicu penolakan dari berbagai kalangan dengan alasan
masih menyebarkan ajaran Ahmadiyah. Selain itu mereka juga dianggap telah
melakukan pelanggaran terhadap surat edaran yang diterbitkan oleh Sekretaris
Jendral Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelejen, dan Direktur Jendral
Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri.40
Surat Edara Bersama berisi mengenai sosialisasi kepada penganut,
anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk
tidak melakukan usaha, upaya, kegiatan atau perbuatan penyebaran kepada orang
lain. Kemudian sosialisasi terhadap warga masyarakat untuk menjaga dan
memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban
kehidupan masyarakat dengan tidak melakukan perbuatan melawan hukup
terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Surat Edaran Bersama memuat juga
mengenai pembinaan bagi pemerintah daerah dan pemerintah.
Pemerintah daerah diminta secara proaktif mengadakan pertemuan dengan
Jemaat Ahmadiyah dan warga masyarakat untuk melakukan pembinaan
pembinaan dalam rangka mewujudkan kerukunan dan persatuan nasional.
Kemudia pemerintah diarahkan untuk memantapkan kesadaran kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta menjamin persatuan dan kesatuan
nasional. Dalam surat edaran ini memuat arahan untuk melaksanakan pengamanan
dan pengawasan terhadap ketaatan Jemaat Ahmadiyah dan warga masyarakat
dalam melaksanakan SKB, pemerintah melakukan monitoring, evaluasi, dan
40
Wawancara dengan Nisin Setiadi, Sekretaris Kelurahan Serua, Pada 23 April 2019.
81
supervisi atas pengamanan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah
daerah serta koordinasi dan pelaporan.41
Setelah melakukan wawancara mengenai faktor pendidikan selanjutnya
penulis melakukan observasi dilapangan. Masyarakat khawatir tentang
penyebaran paham Ahmadiyah secara umum di Serua yang dilakukan dengan
kegiatan belajar mengajar. Hal ini benar adanya, bahwa jemaat Ahmadiyah
melakukan kegiatan dakwah dengan membuka kegiatan belajar mengajar yang
ditujukan kepada siapa saja yang mau belajar Agama. Proses pendidikan agama
ini dibagi berdasarkan klasifikasi jenis dan umur, untuk umur 0-15 tahun disebut
Atfal, umur 15-39 tahun di sebut Khuddam, untuk umur 39 - meningga disebut
Ansorulloh. Sedangkan untuk wanita umur 1-15 di sebut Nasirot, umur 15-
meninggal disebut Lajnah Illah. Sehingga pendidikan menjadi faktor yang
menyebabkan konflik antara jamaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah.
C. Mediasi Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Serua
a. Pemerintah
Menyikapi konflik antara Jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di
Serua, pemerintah Kota Tangerang Selatan secara tegas mengacu pada Surat
Keputusan Bersama (SKB) 3 Mentri dan Peraturan Gubernur (Pergub) No.5 tahun
2011 tentang larangan aktivitas penganut, anggota dan/atau anggota pengurus JAI
di Wilayah Banten. Sebagaimana dijelaskan pada BAB I pasal 1 ayat ke 6,
menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran dan/atau faham yang menyimpang
41
Surat Edaran Bersama Sekretaris Jendral Departemen Agama, Jaksa Agung Muda
Intelejen, dan Direktur Jendral Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri, Agustus
Tahun 2008. Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 tahun 2008,
tentang: Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
82
dari pokok-pokok ajaran agama Islam yang mengakui adanya Nabi dengan segala
ajaran setelah Nabi Muhammad SAW.42
Kemudian juga dijelaskan pada BAB II pasal 3 ayat 1 dan 2 yaitu Setiap
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI, sepanjang mengaku beragama
Islam dilarang melakukan aktivitas/kegiatan yang bertentangan dengan pokok-
pokok ajaran agama Islam di Provinsi Banten. Aktivitas atau kegiatan yang
dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi;
1. Menyebarkan ajaran Ahmadiyah secara lisan dan/atau tulisan baik
langsung maupun melaluimediacetak ataupun elektronik.
2. Memasang papan nama atau identitas lain Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI)yang dapat diketahui umum.
3. Memasang papan nama pada masjid, mushola, lembaga pendidikan dan
lain-lain dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
4. Menggunakan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam segala
bentuknya.
5. Menyebarkan penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokokpokok
ajaran agama Islam.
Dengan adanya peraturan ini pemerintah daerah juga wajib melakukan
pembinaan dan pengawasan. Hal ini sebagaimana dijelaskan pada BAB III pasal 5
yang berbunyi; Pembinaan dan pengawasan terhadap keberadaan Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, Aparat
Penegak Hukum dan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan
Masyarakat (PAKEM) Provinsi Banten dan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran
42
Peraturan Gubernur (Pergub) No.5 tahun 2011 tentang larangan aktivitas penganut,
anggota dan/atau anggota pengurus JAI di Wilayah Banten.
83
Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) Kabupaten atau Kota di Wilayah Provinsi
Banten.
Terkait dengan konflik Ahmadiyah di Serua Abdul Rojak selaku Kepala
Kementrian Agama Kota Tangerang Selatan, menyatakan setuju bahwa
pemerintah kota Tangsel tidak mengizinkan penerapan Ahmadiyah sesuai dengan
penegasan yang tertera pada Pergub tersebut. Abdul rojak juga mengatakan,
terkait isu pembangunan Masjid Ahmadiyah, bahwa pemerintah Kota Tangsel
tegas tidak akan mengeluarkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Dalam sebuah
wawancara pada media masa ia menyatakan:
“Pemerintah Kota Tangsel, tentu saja dalam hal ini akan setujui
pada SKB tiga mentri itu, apalagi untuk Banten memiliki Pergub, sehingga
pemerintah juga akan menegaskan terhadap penegakan peraturan tersebut.
Soal pembangunan masjid, kami juga tegaskan tidak akan memberi ijin
untuk pembangunan masjid Ahmadiyah, karena sudah jelas aturanya
dipergub.”43
Dalam PBM itu dijelaskan bahwa syarat pendirian rumah ibadah harus
memenuhi persyaratan, yaitu pertama, daftar nama pengguna rumah ibadah
sebanyak 90 orang berikut photo copy KTP nya yang diketahui oleh Lurah dan
Camat. Kedua, daftar persetujuan warga sekitar di lokasi rumah ibadah yang akan
dibangun sebanyak 60 orang berikut photo copy KTP nya yang diketahui oleh RT,
RW, Lurah dan Camat. Ketiga, rekomendasi FKUB Kabupaten/Kota. Keempat,
rekomendasi Kementrian Agama Kabupaten atau Kota, dan kelima, pendirian
rumah ibadah harus memenuhi persyaratan teknis bangunan.44
43
Diakses oleh Tangseloke pada 07 Maret 2018. https://tangseloke.com/2018/03/07/tolak-
ahmadiyah-fuib-gelar-audensi-dengan-pemkot-tangsel/. 44
Diakses pada 06 September 2017. http://banten.kemenag.go.id/rapat-pleno-fkub/kota-
tangsel/.
84
b. Masyrakat Serua
Konflik jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di kelurahan Serua, sudah
berlangsung sejak tahun 2000. Konflik diantara mereka ini mengalami pasang
surut, pada tahun 2011 pasca konflik Cikeusik Pandeglang dan muncul
kepermukaan kembali pada tahun 2018 saat ada rencana pemindahan Masjid
Ahmadiyah yang terkena pembangunan jalan tol.
Jemaat Ahmadiyah di Serua tidak hanya ditolak bangunan fisiknya, namun
warga juga faham Ahmadiyah. Penolakan ini dilakukan oleh sejumlah elemen
masyarakat antara lain ormas keagamaan, tokoh masyarakat dan ormas pemuda.
Menurut Abdul Aziz selaku ketua Pemuda Pancasila Cabang Ciputat dan Budi
Iswanto dari pihak FUIB sepakat menolak Ahmadiyah di Serua berdasarkan
Fatwa MUI tahun 2005.
Berdasarkan penolakan tersebut, Boy Sartana ketua Rt 02/09 Kelurahan
Serua Indah berharap dari perwakilan pihak Ahmadiyah untuk berkomunikasi,
namun upaya itu belum terjadi. Hal ini juga disampaikan oleh oramas Pemuda
Pancasila, bahwa persoalan ini harus dibicarakan agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan. Ia pun berharap pihak Ahmadiyah bermusyawarah dengan
warga untuk mencari jalan terbaik.45
45
Diakses oleh Lokanews, pada 22 Januari 2018. https://lokanews.co/2018/01/warga-
tolak-rencana-pembangunan-rumah-iabadah-ahmadiyah/.
85
c. Kepolisian
Pasca tragedi cekeusik pada tahun 2011, Pemerintah Daerah Banten
merespon dengan mengeluarkan pergub yang mengatur keberadaan jemaat
Ahmadiyah di Banten. Peraturan Gubernur ini bertujuan untuk mewujudkan
ketentraman dan ketertiban masyarakat serta memelihara kerukunan umat
beragama di Provinsi Banten.
Hal ini tertuang pada BAB III pasal 4 yaitu; setiap warga masyarakat agar
menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan
ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan atau
tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Selanjutnya pada BAB IV pasal 6 yang
berbunyi; Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bersama aparat
keamanan atau penegak hukum lainnya akan menghentikan aktivitas atau kegiatan
dimaksud dan mengambil tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.46
Berdasarkan peraturan ini lah kepolisian terus melakukan tindakan dan
pengamanan terhadap kegiatan-kegiatan yang berpotensi terjadi konflik antara
kedua belah pihak. Misalnya konflik Cikeusik antara jemaat Ahmadiah dan non
Ahmadiyah, polisi berhasil menindak 12 terdakwa.47
Selain itu, polisi juga
46
Peraturan Gubernur (Pergub) No.5 tahun 2011 tentang larangan aktivitas penganut,
anggota dan/atau anggota pengurus JAI di Wilayah Banten. 47
Diakses oleh Voaindonesia, pada 15/08/2011. http://www.voaindonesia.
86
mengamankan masjid Ahmadiyah di Serua pasca kejadian konflik tersebut
walaupun tidak ada kegiatan jemaat Ahmadiyah.48
Selanjutnya, AKBP Fadli Widiyanto selaku Kapolres kota Tangerang
Selatan menyatakan bahwa pihaknya menjamin melakukan pengamanan di
wilayahnya, agar tidak ada tindakan anarkis. Selain itu, ia juga berharap bahwa
ada mediasi dan masyarakat terus menjaga kondisifitas dilapangan.
“Saya akan tetap memberi imbauan agar menempuh jalur-jalur
yang benar seperti audensi adalah jalur yang tepat. Sehingga yang
berwenang dalam hal ini bisa bersikap atas keresahan atas Ahmadiyah di
Serua ini, dan kami akan tetap menjaga kondisifitas dilapangan”.49
Penulis melihat tindakan kepolisian sudah tepat dalam penindakan kasus
konflik jemaat Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Serua. Sehingga problem ini
tidak sampai terjadi gesekan fisik antara kedua belah pihak.
48
Diakses oleh Republika, pada 07 Februari 2011. http://republika.co.id/berita/breaking-
news/metropolitan/11/02/07/162889-puluhan-polisi-jaga-masjid-ciputat. 49
Diakses oleh Lokanews, pada 7 maret 2018. https://lokanews.co/2018/03/07/tolak-
ahmadiyah-fuib-gelar-audensi-dengan-pemkot-tangsel/.
87
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Riset yang dilakukan penulis tentang konflik Jemaat Ahmadiyah dan non
Ahmadiyah di Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan
menyimpulkan bahwa hubungan kedua belah pihak diwarnai dengan konflik. Hal
ini dilatar belakangi oleh sejumlah faktor, diantara faktor tersebut adalah Faktor
Lembaga Sosial (Keluarga, Agama dan Pemerintah), Faktor Ekonomi dan Faktor
Pendidikan.
Faktor keluarga, banyak anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang
dikucilkan oleh keluarganya sendiri. Problematika seperti ini banyak dialami oleh
jemaat Ahmadiyah yang baru masuk menjadi anggota JAI di Serua. Sebagai
contoh, Bapak Muhammad Soleh yang berlatar belakang keluarga yang menganut
paham Ahlussunnah Wal Jama’ah (Nahdlatul Ulama), Ia berpindah faham
menjadi Ahmadiyah setelah mendapat penjelasan dari salah satu Mubaligh Jemaat
Ahmadiyah. Keluarga besarnya menganggap bahwa ia memilih ajaran agama
yang sesat. Kejadian seperti ini hampir dialami semua anggota Ahmadiyah di
Kelurahan Serua.
Faktor Agama, Ahmadiyah ditolak di Serua salah satunya pada gerakan
pemurnian ajaraNya yaitu menganggap kegiatan-kegiatan tradisi keagamaan
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kegiatan musyrik, seperti halnya rutinitas
maulidan, tahlilan, ziarah kubur, dan kegiatan lainnya. Hal ini tertuang dalam
88
salah satu lafadz bai’at Ahmadiyah poin pertama yaitu, “Berjanji dengan hati
jujur bahwa dimasa yang akan mendatang sampai masuk ke dalam kubur, akan
senantiasa menjauhi syirik”.
Pemerintahan, menjadi faktor konflik sosial Ahmadiyah dan non
Ahmadiyah karena keluarnya surat edaran yang diterbitkan oleh Sekretaris Jendral
Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelejen, dan Direktur Jendral Kesatuan
Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri yang dijadikan salah satu dasar
penolakan sekaligus dasar persekusi yang dilakukan warga masyarakat Kelurahan
Serua.
Faktor ekonomi, Kelompok non Ahmadiyah masih menunjukan rasa
curiga yang mendalam terhadap kelompok jamaat Ahmadiyah. Mereka
menganggap Ahmadiyah bekerja sama dengan pihak luar (Inggris), sehingga
mereka yang masuk dalam anggota Ahmadiyah mendapatkan bayaran darinya.
Padalah jemaat Ahmadiyah bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan sehari-
harinya, diantaranya ada yang bekerja menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI,
POLRI, Pedagang, driver online dan lain-lain.
Terakhir adalah Faktor Pendidikan Agama, menjadi salah satu faktor dari
konflik antara Ahmadiyah dengan non Ahmadiyah yang terjadi di Kelurahan
Serua. Sebagaimana dipaparkan pada awal pembahasan bahwa Ahmadiyah
mengklasifikasi organisasi berdasarkan segmen usia dan jenis. Pada setiap
klasifikasi mendapatkan pendidikan keagamaan yang rutin dilakukan oleh
mubaligh Ahmadiyah di Serua. Pendidikan Agama yang dilakukan oleh
Ahmadiyah di Serua ini juga dibuka untuk umum. Hal ini yang memicu
penolakan dari berbagai kalangan dengan alasan masih menyebarkan ajaran
89
Ahmadiyah dan tidak mau ada warga yang ikut dengan anggota Ahmadiyah
karena adanya pendidikan tersebut.
Kemudian, terkait konflik Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Serua
beberapa elemen telah melakukan mediasi, diantaranya; Pemerintah, Masyarakat
Serua, dan Kepolisian. Pertama Pemerintah, Menyikapi konflik antara Jemaat
Ahmadiyah dan non Ahmadiyah di Serua, Pemkot Tangerang Selatan secara tegas
mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Mentri dan Peraturan Gubernur
(Pergub) No.5 tahun 2011 tentang larangan aktivitas penganut, anggota dan atau
anggota pengurus JAI di Wilayah Banten. Sebagaimana dijelaskan pada BAB I
pasal 1 ayat ke 6, menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran dan/atau faham
yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam yang mengakui adanya
Nabi dengan segala ajaran setelah Nabi Muhammad SAW.
Kedua masyarakat Serua, Berdasarkan konflik tersebut, Boy Sartana ketua
Rt 02/09 Kelurahan Serua Indah berharap dari perwakilan pihak Ahmadiyah
untuk berkomunikasi, namun upaya itu tidak terjadi. Hal ini juga disampaikan
oleh oramas Pemuda Pancasila, bahwa persoalan ini harus dibicarakan agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ia pun berharap pihak Ahmadiyah
bermusyawarah dengan warga untuk mencari jalan terbaik. Hal ini kemudian yang
menjadikan konflik keduanya terus berlarut.
Ketiga kepolisian, pada Peraturan Gubernur (Pergub) No.5 tahun 2011
tentang larangan aktivitas penganut, anggota dan/atau anggota pengurus JAI di
Wilayah Banten. BAB IV pasal 6 yang berbunyi; Apabila terjadi pelanggaran
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya bersama aparat keamanan atau penegak hukum
90
lainnya akan menghentikan aktivitas atau kegiatan dimaksud dan mengambil
tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini
kepolisian akan menjalankan segala tindakan yang sesuai dengan peraturan
tersebut.
B. Saran
Melihat adanya konflik antara jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di
Serua, penulis menyarankan supaya ada mediasi diantara kedua belah pihak.
Pemerintah harus menjadi mediator untuk menyelesaikan konflik tersebut supaya
kerukunan tetap terjaga dengan baik dan tetap harmoni dalam keberagaman.
Selain itu kedua belah pihak harus mematuhi peraturan-peraturan yang telah
dibuat pemerintah.
Selanjutnya pemerintah harus mendorong kepada para ulama supaya lebih
proaktif memberikan pemahaman keislaman kepada pihak terkait. Hal ini
bertujuan agar pihak terkait kembali kepada ajaran Islam yang benar.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. Agama dan Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi
Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Ahmad, Abdul Mukhlis. Ketentuan dan Peraturan Tahrik Jadid Anjuman
Ahmadiyah, Jakarta: Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2010.
Ahmad, Basyruddin Mahmud. Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad, terj. Malik
Aziz Ahmad Khan, Bogor: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1995.
Ahmadi, Abu. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. II, 2007.
Al-Badry, Hamka Haq. Koreksi Total Terhadap Ahmadiyah, Jakarta: Yayasan
Nurul Islam, 1980.
Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh Ayat 31-32 dan Terjemah.
Batuah, Syafi’i R. Ahmadiyah, Apa dan Mengapa, Jakarta: Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, 1985.
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
cetakan pertama, 2015.
Burhani, Ahmad Najib. Melintasi Batas Identitas dan Kesarjanaan: Studi Tentang
Ahmadiyah di Indonesia, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) dan Singapura: ISEAS – Yusof Ishak Institute, 2008.
Burhanudin, Asep. Ghulam Ahmad: Jihad Tanpa Kekerasan, PT. LKis Pelangi
Aksara, 2005.
Damsar. Pengantar Sosiologi Ekonomi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
Cet. II, 2011.
Damsar. Pengantar Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, Cet. II, 2012.
Departemen Agama RI, Riuh Beranda Satu Peta Kerukunan Umat Beraga di
Indonesia, Seri II, Jakarta : Puslitbang Kehidupan Beragama, 2003.
Eroh, Konflik Sosial-Keagamaan Di Banten Tahun 2011, Banten: Fakultas
Ushuluddin IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten 2016
Fathoni, Muslih. Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah Dalam Presfektif, Jakarta :
PT Raja Grafindo, 2002.
Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), Nomor:11/MUNAS VII/15/2005,1/tentang
aliran Ahmadiyah pada tahun 2005.
F.O’Dea, Thomas. Sosiologi Agama Suatu Pengantar Awal, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995.
Gustapo, Fauziyah. Pola Relasi Sosial Komunikasi Ahmadiyyah dan Non
Ahmadiyyah di Desa Tenjowaringin Kecamatan Salawu Kabupaten
Tasikmalaya, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fak. Ushuluddin,
2018.
H.A., Muhammad Shadiq. Analisa Tentang Khatam an-Nabiyyin, Jakarta: Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, 1996.
Hadi, Sutrisno. Metodologi Riset II, Yogyakarta: Andi Ofset, 1982.
Hakim, Masykur. Kenapa Ahmadiyah Dihujat?, Jakarta: SDM Bina Utama, 2005.
Hariwijaya, M. Metodologi dan Penulisan Skripsi, Tesis dan Desertasi untuk Ilmu
Sosial dan Humaniora, Yogyakarta: Parama Ilmu, 2015.
Haryanto, Deni dan Nugrohadi, Edwi. Pengantar Sosiologi Dasar, Jakarta:
Prestasi Pustaka Karya, 2011.
Hidayat, Komaruddin. Pluralitas Agama: Kerukunan dan Keragaman, Jakarta:
Kompas, 2001.
http://berita.tangerangselatankota.go.id/main/content/index/sejarah_tangsel/6.
http://bpkad.tangerangselatankota.go.id/web/web/pages/23/sejarah.
https://kbbi.web.id/etnosentrisme.html.
https://m.republika.co.id/berita/breaking-news/metropolitan/11/02/07/162889-
puluhan-polisi-jaga-masjid-ahmadiyah-di-ciputat.
Idi, Abdullah. Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2011.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Suvenir Peringatan Seabad Gerhana Bulan dan
Gerhana Matahari Ramadhan 1894-1994, Parung : JAI, 1994.
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam Negeri
Republik Indonesia, Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-
033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 tahun 2008, tentang: Peringatan dan
Perintah Kepada Penganut, dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
Kurnia, A. Fajar. Teologi Kenabian Ahmadiyah, Jakarta: PT. Wahana Semesta
Intermedia, 2008.
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta: Dian Rakyat, Cet.
ke-V, 1981.
Lubis, M. Ridwan. Agama dan Perdamaian Landasan, Tujuan, dan Realitas
Kehidupan Beragama di Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2017.
Mubarok, Kompendium Regulasi Kerukunan Umat Beragama, Jakarta: Pusat
Kerukunan Umat Beragama Kementrian Agama RI.
Mulyantono, Siswo. Kekerasan Anti Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang
Pendekatan Mobilisasi, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Fak. Ilmu Sosial
dan Politik, 2014.
Nasution, Harun. Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986.
Polome, Margaret M. Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Wali Persada, 1945.
Profil Keluraha Serua Kecamatan Ciputat tahun 2017. (diambil dari profil
kelurahan serua kecamatan ciputat tahub 2017).
Razak, Yusran. Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Perspektif Islam, Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, Cet. I, 2008.
Rustanto, Bambang. Masyarakat Multikultural di Indonesia, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, Cet. I , 2015.
Setiadi, Elly M. dan Kolip, Usman. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi dan Pemecahan, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, cet.2, 2011.
Sidik, Munasir. Dasar-dasar Hukum & Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia,
Jakarta: Neratja Press, Cet. III, 2014.
Soekanto, Soejono. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, Cet. 3, 2011.
Sofianto, Kunto. Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Malaysia: Nertja
Press, Cet. 1, 2014.
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010.
Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.
Sumardi, Mulyanto. Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar
Harapan, 1982.
Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, Cet. 2, 2003.
Surat Edaran Bersama Sekretaris Jendral Departemen Agama, Jaksa Agung Muda
Intelejen, dan Direktur Jendral Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen
Dalam Negeri, Agustus Tahun 2008. Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor:
KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 tahun 2008, tentang: Peringatan dan
Perintah Kepada Penganut, dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
Susan, Novri. Pengantar Sosiologi Konflik, Jakarta: Prenadamedia Group, 2009.
Tohayudin, Paham Keagamaan dan Hak Sipil Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Prespektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, Tesis: IAIN Syeh Nurjati
Cirebon, 2012.
Utami, Nadia Wasta. “Upaya Komunikasi Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) dalam Resolusi Konflik Ahmadiyah,”, Jurnal Ilmu Komunikasi,
Vol. 13, No. 1,1/Juni 2016.
Zuchairiyah, Rofiqoh. Kekersan Terhadap Aliran yang Dinilai Sesat Dalam
Perspektif Hukum Islam, Studi Terhadap Ahmadiyah di Indonesia,
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Fak. Syaria’ah dan Hukum, 2012.
Zulkarnain, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta : LKiS
Pelangi Aksara, 2005.
Zuriah, Nurul. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, Jakarta: PT. Bumi
Aksara,2009.
Wawancara:
Wawancara dengan Javid Attaurrahman, ketua Pemuda JAI Cabang Serua, Pada
23 April 2019.
Wawancara dengan Bapak Mohammad Soleh, Wakil Ketua JAI Ciputat, pada 1
Mei 2019.
Wawancara dengan Bapak Malik Achmad, Wakil Ketua JAI Cabang Serua, pada
1 Mei 2019.
Wawancara dengan Bapak Nisin Setiadi, Sekretaris Kelurahan Serua, Pada 23
April 2019.
Wawancara dengan Bapak Himam Muzzahir, Tokoh Agama Kelurahan Serua,
Pada 2 Mei 2019.
Wawancara dengan Bapak Asep Ahmad Husaini, Ketua Bidang Ta’lim JAI
Cabang SeruaKelurahan Serua, Pada 23 April 2019.
Wawancara dengan Bapak Ibrahim, Staf Kantor Kelurahan Serua, Pada 23 April
2019.
LAMPIRAN II
HASIL WAWANCARA
A. Wawancara dengan Javid Attaurrahman, ketua Pemuda JAI Cabang
Serua, Pada 23 April 2019
1. Bagaimana sejarah masuknya Ahmadiyah di Serua ?
Pada awalnya, jemaat ahmadiyah yang berada di Desa Serua berasal dari
jemaat Ahmadiyah yang berada di Kota Tangerang Selatan. Pada tahun 2000, kota
Tangerang Selatan mengalami pemekaran wilayah menjadi beberapa wilayah,
salah satunya1/Serua (Lama) dan Serua Indah. Pada saat itu jemaat yang ada
masuk di kelurahan Serua (lama).
2. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Serua ?
Perkembangan keanggotaan Jemaat Ahmadiyah di Serua yang
padamulanya hanya beranggotakan -+ 50 jemaat saja, kini sudah memiliki -+ 320
jemaat. Faktor yang banyak mempengaruhi tumbuh pesatnya perkembangan
keanggotaan dengan memperbanyak keturunan dan perkawinan dari setiap
keluarga jemaat Ahmadiyah. Faktor lain yang mempengaruhi berkembangnya
keanggotaan jemaat Ahmadiyah di Serua yaitu adanya pendatang baru jemaat
Ahmadiyah dari wilayah lain, adapula jemaat baru yang sengaja masuk dari
ideologi lain.
Secara struktural, orang yang akan masuk ke jemaat Ahmadiyah akan
diberikan penjelasan secara lengkap oleh seorang mubaligh. Metode dakwah
jemaat Ahmadiyah berbeda dengan metode dakwah umat non Ahmadiyah. Salah
satu cara mubaligh untuk memberikan dakwah kepada calon jemaat baru, yakni
dengan cara mendatangi rumah orang yang bersangkutan kemudian memberikan
penjelasan secara lengkap dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh orang
tersebut.
Mubaligh yang ternama di Serua bernama Muhammad Dawud, tapi kini
sedang ditugaskan di Malaysia. Untuk saat ini koordinator mubaligh jemaat
Ahmadiyah bernama Lili Sadili.
3. Bagaimana Eksistensi Ahmadiyah di Serua ?
Latar belakang eksistensi jemaat Ahmadiyah berlandaskan dari keterkaitan
yang cukup erat antara pengurus Ahmadiyah di Desa, Kecamatan, Kabupaten
sampai dengan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah. Selain itu, eksistensi Jemaat
Ahmadiyah didukung oleh adanya yayasan pendidikan Ahmadiyah yang
terstruktur dengan baik. Nantinya, yayasan tersebut akan mencetak generasi-
generasi Ahmadiyah yang berkualitas. Puncak dari jenjang pendidikan non formal
Jemaat Ahmadiyah ini yakni mencetak mubaligh-mubaligh besar yang nantinya
ditugaskan untuk menyebarluaskan ajaran Ahmadiyah di wilayah lain.
B. Wawancara dengan Bapak Mohammad Soleh, wakil ketua JAI Ciputat,
pada 1 Mei 2019
1. Pola hubungan sosial seperti apa yang dilakukan jemaat Ahmadiyah dan Non
Ahmadiyah di Kelurahan Serua ?
Pada dasarnya hubungan sosial yang terjalian antar umat Ahmadiyah
dengan non Ahmadiyah di Kelurahan Serua terjalin secara baik. Khususnya
kegiatan sosial yang sering diadakan oleh Jemaat Ahmadiyah, misalnya saja
kegiatan berbagi sembako, bazar sembako murah,1/donor darah, donor mata, dan
lain sebagainya. Kegiatan sosial yang sampai saat ini masih rutin dilaksanakan
setiap tiga bulan sekali oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di seluruh
Indonesia yakni donor darah. Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin di seluruh
Indonesia dan dikomando langsung PB JAI. Kegiatan ini juga bertujuan untuk
membantu Palang Merah Indonesia (PMI) dan masyarakat umum lainnya yang
membutuhkan.
Salah satukegiatan sosial lain yang rutin dilaksanakan oleh Jemaat
Ahmadiyah yakni menjalin silaturahmi secara bersama ke organisasi masyarakat
lainnya, misalnya HTI, Muhammadiyah, dan lain sebagainya. Kegiatan ini
menjadi wujud bahwa hubungan jemaat Ahmadiyah dengan organisasi
masyarakat lainnya terjalin dengan baik.
Sekitar awal tahun 2018 kasus Ahmadiyah di Serua kembali mencuat
dengan adanya rencana pemindahan Masjid Baitul Qoyyum yang merupakan
Masjid Ahmadiyah sekaligus kantor sekretariat Ahmadiyah terkena proyek
pembangunan jalan tol. Warga masyarakat Serua, organisasi Keagamaan (FUI),
dan organisasi kepemudaan (Pemuda Pancasila) menolak dibangunnya masjid
Ahmadiyah di Kelurahan Serua dengan cara memasang sepanduk dan baliho
disepanjang Jalan Raya Bukit Serua. Dengan adanya penolakan itu membuat
Ahmadiyah di Serua merasa terintimidasi dan akhirnya hanya bisa menyewa ruko
berukuran kecil seperti ini.
Jemaat Ahmadiyah di Serua berharap selalu menjaga kerukunan dengan
warga sekitar dengan cara berfikir positif, duduk bersama, musyawarah, saling
menghormati, dan yang paling penting selalu tabayyun dalam setiap persoalan
yang ada. Hal ini supaya terjalin suasana yang baik dalam bertetangga maupun
beragama.
2. Faktor apa saja yang mendorong terjadinya relasi atau perselisihan antara
jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Serua ?
Faktor Pertama yang menjadi penyebab munculnya reaksi negative dari
jemaat Ahmadiyah yakni adanya Fatwa MUI dan SKB 3 Mentri. Munculnya
ketetapan tersebut menjadikan jemaat Ahmadiyah merasa dibedakan.
Faktor kedua adanya kecemburuan sosial dari individu lain, Maksudnya,
Secara ekonomi mayoritas Jemaat Ahmadiyah bisa dikatakan mapan. Hal tersebut
dikaitkan dengan permasalahan ideologi yang berbeda.
Faktor ketiga sudut pandang masing-masing individu yang berfikiran
negative terhadap ideologi lainnya. Misalnya keluarga saya, yang berlatar
belakang keluarga yang menganut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah (Nahdlatul
Ulama), sekarang dengan Ahmadiyah setelah mendapat penjelasan dari salah satu
Mubaligh Jemaat Ahmadiyah. Keluarga besarnya menganggap bahwa dia memilih
ajaran agama yang sesat.
Faktor keempat dikaitkannya idiologi Ahmadiyah dengan problematika
politik yang ada.
Sebenernya pemerintah sudah berupaya baik atas terbitnya Peraturan SKB
3 Menteri dikeluarkan untuk meredam konflik yang sering terjadi, tapi ya
kemauan pemerintah dalam menerbitkan banyak peraturan yang mengatur
kehidupan beragama yang bertujuan untuk menumbuhkan sikap hidup beragama
yang harmonis dan saling hormat menghormati. Namun demikian kemauan positif
pemerintah itu tidak selalu mampu menumbuhkan kerukunan dalam kehidupan
keagamaan masyarakat.
3. Berapa jumlah Anggota anggota jemaat Ahmadiyah ?
Jumlah Anggota Ahmadiyah di Kelurahan Serua -+ 320 anggota
4. Apa saja syarat untuk menjadi jemaat Ahmadiyah ?
Untuk menjadi anggota Ahmadiyah perlu dilakukan pembai’atan terlebih
dahulu. Berikut ini syarat bai’at yangharus ditulis dan diyakini sepenuh hati :
a. Orang yang bai’at, berjanji dengan hati jujur bahwa di masa yang akan
mendatang sampai masuk ke dalam kubur, akan senantiasa menjauhi
syirik.
b. Akan senantiasa menghindari diri dari dusta, zina, pandangan birahi,
perbuatan fasiq, kejahatan, aniaya, khianat, hura-hara, pemberontakan,
serta tidak akan dikalahkan oleh gejolak-gejolak hawa nafsu tatkala
bergejolak, meskipun sangat hebat dorongan yang timbul.
c. Akan senantiasa mendirikan shalat lima waktu tanpa putus,
sesuai1/perintah Allah dan Rasul-Nya. dan sedapat mungkin akan
berusaha1/dawam mengerjakan shalat Tahajjud, mengirimkan shalawat
kepada Nabi KarimNya, shallallaahu’alaihi wasallam, dan setiap hari
memohon ampunan atas dosa-dosanya serta melakukan istigfar, dan
dengan hati yang penuh kecintaan mengingat kebaikan-kebaikan Allah
Ta’ala, lalu menjadikan pujian serta sanjungan terhadap-Nya sebagai
ucapan wiridnya setiap hari.
d. Tidak akan mendatangkan kesushahan apa pun yang tidak pada
tempatnya- karena gejolak-gejolak nafsunya terhadap makhluk Allah
umumnya dan kaum Muslimin khususnya, melalui lidah, tangan,atau
melalui cara lainnya.
e. Dalam segala keadaan sedih dan gembira, suka duka, nikmat dan musibah
akan tetap setia kepada Allah Ta’ala. Dan dalam setiap kondisi akan rela
atas putusan Allah. Dan akan senantiasa siap menanggung segala kehinaan
serta kepedihan di jalan-Nya. dan tidak akan memalingkan wajahnya dari
Allah Ta’ala ketika ditimpa suatu musibah melainkan akan terus
melangkah maju
f. Akan berhenti dari adat kebiasaan buruk dan dari menuruti hawa nafsu.
Dan akan menjunjung tinggi perintah Alquran Suci di atas dirinya. Dan
menjadikan firman Allah dan sabda Rasul-Nya sebagai pedoman dalam
setiap langkahnya
g. Akan meninggalkan takabur dan kesombongan sepenuhnya. Dan akan
menjalani hidup dengan merendahkan diri, dengan kerendahan hati, budi
pekerti yang baik, lemah lembut, dan sederhana.
h. Agama dan kehormatan agama serta solidaritas Islam akan dianggap lebih
mulia daripada nyawanya, hartanya, kehormatan dirinya, anak
keturunannya, dan dari segala yang dicintainya.
i. Semata-mata demi Allah, senantiasa sibuk dalam solidaritas terhadap
makhluk Allah umumnya, dan dengan kekuatan-kekuatan serta nikmat-
nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepadnya, sedpat mungkin akan
mendatangkan manfaat bagi umat manusia.
j. Akan mengikat tali persaudaraan dengan hamba ini, semata-mata demi
Allah dengan ikrar taat dalam hal ma’ruf dan akan senantiasa berdiri teguh
di atasnya sampai akhir hayat. Tali persaudaraan ini begitu tinggi
derajatnya sehingga tidak akan diperoleh bandingannya dalam ikatan
persaudaraan maupun hubungan-hubungan duniawi atau dalam segala
bentuk pengkhidmatan/penghambaan.
C. Wawancara dengan bapak Malik Achmad, wakil ketua JAI Cabang
Serua, pada 1 Mei 2019.
1. Bagaimana sejarah masuknya Ahmadiyah di Serua ?
Awalnya pada tahun 2000 medirikan cabang JAI Kelurahan Parigi
Kecamatan Pondok Aren yang di ketuai bapak Khusna Abdul Rokhim dengan
jumlah awal beranggota 50 orang. Saat itu Parigi Pondok Aren ini masih masuk
daerah kabupaten Tangerang.
Kemudian pada tahun yang sama Ahmadiyah mendirikan cabang JAI di
Serua yaitu di Jalan Raya Bukit Serua RT 02 RW 09, Kelurahan Serua,
Kecamatan Ciputat ketuanya pada waktu itu Bapak Yusuf Sairan Alm.
2. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah di Serua ?
Ahmadiyah berhasil mendirikan Masjid Ahmadiyah yang di beri nama
Masjid Baitul Qoyyum yang menjadi pusat kegiatan sekaligus sekretariat
Ahmadiyah di Kelurahan Serua.
Secara sosial kita ya melakukan aktivitas pada umunya. Anggota
ahmadiyah juga bebas untuk bekerja dimana saja, ada yang bekerja di
pemerintahan misalnya, di antaranya bekerja menjadi Aparatur Sipil Negara
(ASN), TNI, POLRI dan lain-lain. Demikian juga dengan politik, anggota bebas
memilih gabung dengan partai manapun.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Kelurahan Serua memiliki badan atau
kepengurusan berdasarkan klasifikasi usia dan jenis.
a. Jemaat yang usianya <15 tahun dinamakan athfal,
b. Usia 15 – 39 tahun dinamakan Khudam,
c. Usia >40 tahun keatas disebut Anshorulloh.
d. Sedangkan untuk wanita umur <15 di sebut Nasirot
e. untuk wanita umur >15 sampai meninggal disebut Lajnah Illah
Masing-badan pada setiap wilayah memiliki kegiatan sosial yang berbeda-
beda. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan rasa kepedulian dengan manusia
lainnya (khablun minannas).
3. Bagaimana eksistensi Ahmadiyah di Serua
Awalnya memang sangat berat, beberapa anggota jamaah ada yang
keluarga tidak suka ada keluarganya yang lain masuk Jemaat Ahmadiyah Namun
secara umum pola hubungan sosial yang dibangun antara Ahmadiyah dan kerabat
non Ahmadiyah menjalin persahabatan yang baik. Bahkan kerabat yang
sebelumnya bukan anggota Ahmadiyah bisa menerima dan akhirnya menjadi
anggota Ahmadiyah
Untuk mempertahankan eksistensi Ahmadiyah di Kelurahan Serua
Kecamatan Ciputat JAI memperkuat struktur kepengurusan. Dengan struktur
sebagai berikut:
Mubaligh : - Pembina
Ketua Cabang : Ridwan Abdurahman, SE,
ME
Wakil Ketua : M. Soleh
Sekretaris Umum : M. Rizki Sulistiono, S.Pi Administrasi Umum
Sekretaris Maal : Omar Tobias Bendahara Umum
Amin : M. Syakirullah, S.Psi Bendahara Pengeluaran
Muhasib : Ahmad Syarifudin Penghitung (Akunting)
Sekretaris Jaidad : Muhtar Kamil Aset
Sekretaris Tabligh : M. Soleh Penyampaian (Syiar)
Sekretaris Tarbiyat : Ir. Asep Ahmad Husaeni Pendidikan Akhlak
Anggota
Sekretaris Ta'lim : Ir. Asep Ahmad Husaeni Pengajaran
Sekretaris Ta'limul
Quran : Javid Attaurahman, SE Pengkajian Al Quran
Sekretaris Umur : M. Soleh Kesejahteraan Anggota
Ammah
Sekretaris Umur
Kharijiah : Abdul Mughni Hubungan Masyarakat
Sekretaris Pembinaan
Mubayin Baru : M. Soleh Pembinaan Anggota Baru
Sekretaris Rishtanata : Dendi Ahmad Daud, M.Ag Perjodohan
Sekretaris Isyaat : - Literasi
Sekretaris Ziroat : Saiful Nuryadin Pertanian, Peternakan
Sekretaris Sanat Wa
Tijarot : Heri Kuswanto Perdagangan
Sekretaris Dhiafat : Husen Mubarak, S.Sos Jamuan Tamu
Sekretaris Tahrik Jadid : Abdussalam Salah Satu Bentuk Waqf
Di Jemaat
Sekretaris Waqfi Jadid : Javid Attaurahman, SE Salah Satu Bentuk Waqf
Di Jemaat
Sekretaris Waqf E Nou : Hafiz Ahmad Salah Satu Bentuk Waqf
Di Jemaat
Sekretaris Al Wasiyat : Bahtiar Husen Salah Satu Bentuk Waqf
Di Jemaat
Sekretaris Audio Video : Husen Mubarak, S.Sos Membantu Kelancaran
Audio Video
Sekretaris Maal
Tambahan : Bahtiar Husen Membantu Sekr Maal
Internal Auditor : Indra Agung, Sl Audit Internal Cabang
Zaim Anshar : Abdul Mughni Ketua Badan Laki-Laki
40 Tahun Keatas
Qaid Khuddam : Athaurahman Khan, SE Ketua Badan Lak-Laki 15
- 40 Tahun
Ketua Lajnah : Ami Ketua Badan Perempuan
D. Wawancara dengan Bapak Nisin Setiadi, sekretaris kelurahan Serua,
Pada 23 April 2019.
1. Bagaimana sejarah ahmadiyah di Kelurahan Serua
Saya tidak begitu tahu kapan awal masuknya Ahmadiyah di Serua, yang
pasti 2004-an mereka sudah ada disini dan sudah membangun Masjid. Sebelum
terkena pembangunan jalan tol Masjid Ahmadiyah kondisinya sangat tertutup,
gerbang selalu ditutup setiap waktu, ketika ada kegiatan tidak pernah melapor atau
memberitahu kepada RT/RW setempat. Ketika kegiatan selesai baru kelihatan
orang banyak keluar dari dalam masjid. Secara domisili, Ahmadiyah tidak
mengurus surat-suratnya kekelurahan Serua. Untuk saat ini pasca kena proyek
jalan tol kami dari pihak kelurahan juga tidak tahu Masjid mereka pindah kemana.
2. Bagaimana sih perkembangan ahmadiyah di Serua ?
Sejauh ini tidak namapak ada perkembangan, malahan banyak penolakan
yang terjadi dari berbagai kalangan, seperti MUI, tokoh masyarakat, tokoh
pemuda, dan tokoh Agama di sekitar Serua dan Serua Indah. Biasanya kan masjid
digunakan untu siapa saja yang mau beribadah, tapi kalau mereka tidak demikian,
sehingga orang-orang disekitar kan jadi curiga. Ditambah1/adanya respon yang
menolak keberadaanya dari berbagai kalangan warga, ini seolah menjawab rasa
kecurigaan masyarakat selama ini.
3. Bagaimana Pola Hubungan Antara Jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah?
Sebelum terkena pembangunan jalan tol Masjid Ahmadiyah kondisinya
sangat tertutup, gerbang selalu ditutup setiap waktu, ketika ada kegiatan tidak
pernah melapor atau memberitahu kepada RT/RW setempat. Ketika kegiatan
selesai baru kelihatan orang banyak keluar dari dalam masjid. Secara domisili,
Ahmadiyah tidak mengurus surat-suratnya kekelurahan Serua. Untuk saat ini
pasca kena proyek jalan tol kami dari pihak kelurahan juga tidak tahu Masjid
mereka pindah kemana.
E. Wawancara dengan Bapak Himam Muzzahir, Tokoh Agama Kelurahan
Serua, Pada 2 Mei 2019.
1. Bagaimana Sejarah Ahmadiyah di Serua?
Saya kurang tahu kapan tepatnya ada Ahmaiyah di Serua tapi tahu kalau di
Jl. Raya Bukit Serua ada masjid Ahmadiyah. Masjidnya sepi dan selalu ditutup
gerbangnya.
2. Bagaimana perkembangan Ahmadiyah?
Sepengetahuan saya Ahmadiyah di Serua tidak pernah nampak ada
kegiatan yang sifatnya terbuka. Tapi masyarakat juga tidak begitu pedui dengan
keberadaanya terutama daerah-daerah komplek dan prumahan karena memang
masyarakatnya bermacam-macam agamanya.
Pernah lihat ada sepanduk penolakan yang berjejer dipinggir jalan raya,
tapi setahu saya tidak sampai terjadi bentrok. Yang jelas tidak terlihat ada
perkembangan bahkan malah dapat penolakan selama berada di Serua.
3. Bagaimana pola hubungan antara Ahmadiyah dan warga?
Belum ada kegiatan yang sifatnya bersama, mereka selalu menutup diri
misalnya pas solat saja pintu masjid tidak di buka, suasana didalamnya juga gelam
atau remang-remang, jadi sama sekali warga tidak tahu apa yang di kerjakan. Saya
yakin kalau masih demikian susah untuk menciptakan suasana yang baik dan tidak
saling curiga satu dengan yang lain.
Recommended