View
2
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
LAPORAN AKHIR KELOMPOK KERJA
ANALISIS EVALUASI HUKUM MENGENAI PEMENUHAN HAK KESEHATAN
PUSAT ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM NASIONAL BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM TAHUN 2017
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, bahwa atas
rahmatNya Kelompok Kerja (pokja) Analisis dan Evaluasi mengenai
Pemenuhan Hak Kesehatan, dapat diselesaikan sesuai waktu yang telah
ditentukan. Tim ini bekerja berdasarkan SK Menteri Hukum dan HAM RI
Nomor : PHN-02.HN.01.01 Tahun 2017 Tentang Pembentukan Kelompok Kerja
Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Pemenuhan Hak Kesehatan.
Analisis dan evaluasi mengenai Pemenuhan Hak Kesehatan ini
dilatarbelakangi oleh isu bahwa belum meratanya empat unsur prinsip
pemenuhan hak kesehatan diseluruh wilayah Indonesia, serta belum adanya
mekanisme yang dapat menjamin keselarasan dan keterpaduan peraturan
perundang-undangan terkait pemenuhan hak kesehatan. empat unsur prinsip
pemenuhan hak kesehatan, yakni ketersediaan, aksesibilitas, kualitas, dan
kesetaraan. Ketersediaan dapat diartikan sebagai ketersediaan sejumlah
pelayanan kesehatan seperti fasilitas berupa sarana (rumah sakit, puskesmas
dan klinik) dan prasarana kesehatan (obat-obatan, tenaga kesehatan dan
pembiayaan kesehatan) yang mencukupi untuk penduduk secara keseluruhan.
Aksesibilitas mensyaratkan agar pelayanan kesehatan dapat terjangkau baik
secara ekonomi maupun geografis bagi setiap orang, dan secara budaya, agar
menghormati tradisi budaya masyarakat. Kualitas mensyaratkan agar
pelayanan kesehatan memenuhi standar yang layak. Terakhir kesetaraan
mensyaratkan agar pelayanan kesehatan dapat diakses secara setara oleh
setiap orang, khususnya bagi kelompok rentan di masyarakat1
Hakekat dari pemenuhan hak kesehatan masyarakat dilaksanakan
berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan. Hak atas
1 Kesehatan dalam Prespektif HAM, Buletin KontraS.
ii
kesehatan dijamin Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 Pasal 28 H
ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan dan negara wajib untuk menyediakannya.
Pemenuhan hak kesehatan masyarakat menjadi prioritas Nawacita
kelima RPJMN 2015-2019 yaitu meningkatkan kualitas hidup sumber daya
manusia dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan, dalam bidang kesehatan
yang tercermin dari meningkatnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan,
terutama kepada para ibu, anak, remaja dan lansia, meningkatnya pelayanan
gizi masyarakat yang berkualitas, meningkatnya efektivitas pencegahan dan
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, serta berkembangnya
jaminan kesehatan. Reformasi bidang kesehatan fokus pada penguatan upaya
kesehatan dasar (primary health care) yang berkualitas terutama melalui
peningkatan jaminan kesehatan, peningkatan akses dan mutu pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan yang didukung dengan penguatan sistem
kesehatan dan peningkatan pembiayaan kesehatan.
Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum ditugaskan untuk menginventarisir
dan mengidentifikasi permasalahan hukum peraturan perundang-undangan,
menganalisis dan mengevaluasi permasalahan hukum peraturan perundang-
undangan, yang selanjutnya menyiapkan rekomendasi terhadap hasil analisis
dan evaluasi peraturan perundang-undangan, apakah peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan perlu perbaikan, penggantian atau
dipertahankan.
Pokja berharap semoga laporan ini dapat berguna bagi perencanaan
pembangunan hukum nasional dan khususnya dapat menjadi landasan bagi
para pembuat kebijakan, meskipun disadari laporan ini masih jauh dari
sempurna. Pokja mengucapkan banyak terima kasih kepada Kepala Badan
Pembinaan Hukum Nasional yang telah memberikan kepercayaan kepada
iii
Pokja untuk melakukan analisis dan evaluasi, dan terima kasih Pokja
sampaikan pula kepada semua pihak yang telah membantu sehingga Laporan
ini selesai tepat pada waktunya.
Jakarta, Desember 2017
Pokja Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Pemenuhan Hak Kesehatan Penangung Jawab,
Pocut Eliza, S.Sos., S.H., M.H.
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1 BAB II KESESUAIAN ANTARA JENIS, HIERARKI, DAN MATERI
MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN................. 24 BAB III KEJELASAN RUMUSAN KETENTUAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN......................................................... 95 BAB IV PENILAIAN TERHADAP MATERI MUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN................................... 127 BAB V POTENSI DISHARMONI KETENTUAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN................................... 173 BAB VI EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN......................................................... 185 BAB VII PENUTUP.................................................................................... 202
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Isu strategis yang marak dewasa ini terkait dengan Bidang Kesehatan
adalah Badan Penyelenggara Kesehatan Sosial (BPJS). BPJS memegang
peranan penting dalam memperbaiki performa pelayanan kesehatan. Sengaja
isu ini dipilih agar diketahui bagaimana pola penyempurnaan ketentuan
peraturan perundang-undangan dalam penyelenggaraan sistem jaminan sosial
nasional (SJSN) diupayakan. SJSN adalah suatu tata cara penyelenggaraan
program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial,
sistem ini berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
menanggulangi kemiskinan melalui penjaminan layanan kesehatan dan
ketenagakerjaan. BPJS sendiri lahir dari Undang - Undang nomor 40 Tahun
2004 tentang SJSN yang mengamanahkan penyelenggaraan BPJS. Indonesia
adalah negara kesejahteraan. Hal ini nampak dari cita-cita yang terkandung
dalam UUD NRI Tahun 1945. Ciri negara kesejahteraan Indonesia terlihat pada
UUD NRI Tahun 1945 paska perubahan (tahun 2002) Bab XIV berjudul
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial khususnya pada Pasal 33 dan
34. Jika Pasal 33 lebih cenderung pada perekonomian nasional, maka Pasal 34
lebih mengedepankan kesejahteraan sosial. Sementara itu cita-cita
pengembangan sistem jaminan sosial sebagai konsekuensi dari dianutnya
negara kesejahteraan baru muncul pada perubahan Pasal 34 ayat (2) UUD NRI
Tahun 1945 yang secara eksplisit menyatakan bahwa Negara mengembangkan
Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat
yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Selanjutnya ketentuan lebih lanjut mengenai SJSN diatur dalam Undang -
Undang nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN.
Selain terkait dengan kesejahteraan sosial, BPJS juga hadir untuk
meningkatkan kualitas kesehatan melalui perbaikan layanan. Kesehatan
2
adalah salah satu aspek yang digunakan untuk mengukur kemajuan suatu
negara bersama dengan pendidikan dan peningkatan daya beli (income).
Ketiga aspek tersebut dijadikan oleh UNDP sebagai indikator untuk mengukur
kemajuan negara, yang dikenal dengan Indeks Pembangunan Manusia
(Human Development Indeks). Bidang kesehatandalam konstitusi Indonesia
diatur pada Pasal 28 H dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan
dan negara wajib untuk menyediakannya.
SJSN adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial
oleh sejumlah badan penyelenggara jaminan sosial. SJSN adalah program
negara yang bertujuan memberikan perlindungan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai cita-cita keadilan sosial sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945. Melalui SJSN setiap penduduk diharapkan
mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak apabila terjadi peristiwa yang
dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan karena
menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia
lanjut atau pensiun.
Pembentukan BPJS, selain diperintahkan oleh UU no 40 Tahun 2004
juga merupakan realisasi dari amanah Pasal 28 H ayat (3) UUD 1945 yang
mengatakan bahwa setiap orang memiliki hak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan diri manusia secara utuh sebagai manusia
bermartabat. Sedangkan kewajiban negara untuk mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia diatur oleh Pasal 34 ayat (2), yang
diwujudkan dengan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial
dalam bentuk jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan. Kedua
jaminan tersebut merupakan bagian pokok dalam jaminan sosial.
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan telah berdiri sejak 1 Januari
2014. Namun BPJS Ketenagakerjaan baru beroperasi pada Bulan Juli 2015, atau
1 tahun lebih lama ketimbang beroperasinya BPJS Kesehatan. Sebagai Badan
3
penyelenggara jaminan sosial, BPJS kesehatan telah berumur 3 tahun. Banyak
potensi yang perlu dikembangkan dan banyak permasalahan yang perlu
dibenahi, baik dari sisi pelaksanaan maupun dari sisi regulasinya. Dalam
pelaksanaannya BPJS menuai banyak kritik dan keluhan. Hal ini diakibatkan
oleh implementasi yang belum sesuai ketentuan, atau bisa jadi regulasinya
kurang tegas.Tulisan ini hendak mengupas bagaimana konsistensi peraturan-
perundang-undangan mengawal pelaksanaan BPJS dalam melindungi
masyarakat kurang beruntung, memperbaiki layanan kesehatan dan
memegang teguh prinsip tata kelola yang baik (good governance).
Terkait agenda pembangunan nasional dalam Nawa Cita yang termaktub
dalam Buku I Lampiran Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 Tentang
RPJMN 2015-2019, bahwa sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan
kesehatan dan gizi masyarakat adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan
dan gizi masyarakat pada seluruh siklus kehidupan baik pada tingkat individu,
keluarga, maupun masyarakat. Reformasi terutama difokuskan pada
penguatan upaya kesehatan dasar (primary health care) yang berkualitas
terutama melalui peningkatan jaminan kesehatan, peningkatan akses dan
mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang didukung dengan
penguatan sistem kesehatan dan peningkatan pembiayaan kesehatan. Kartu
Indonesia Sehat menjadi salah satu sarana utama dalam mendorong reformasi
sektor kesehatan dalam mencapai pelayanan kesehatan yang optimal,
termasuk penguatan upaya promotif dan preventif.
Berdasarkan isu strategis sasaran yang ingin dicapai dalam Program
Indonesia Sehat pada RPJMN tahun 2015-2019 adalah meningkatkan derajad
kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan
4
pemberdayaan perelayanan kesehatan, maka disusun arah kebijakan dan
strategi sebagai berikut :2
1. Akselerasi Pemenuhan Akses Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Remaja,
dan Lanjut Usia yang Berkualitas melalui :
a. Peningkatan akses dan mutu continuum of care pelayanan ibu dan
anak yang meliputi kunjungan ibu hamil, dan pertolongan persalinan
oleh tenaga kesehatan terlatih di fasilitas kesehatan serta
penurunan kasus kematian ibu di rumah sakit;
b. Peningkatan pelayanan kesehatan reproduksi para remaja;
c. Penguatan Upaya Kesehatan Sekolah (UKS);
d. Penguatan Pelayanan Kesehatan Kerja dan Olahraga;
e. Peningkatan pelayanan kesehatan penduduk usia produktif dan
lanjut usia;
f. Peningkatan cakupan imunisasi tepat waktu pada bayi dan balita;
dan
g. Peningkatan peran dan upaya kesehatan berbasis masyarakat
termasuk posyandu dan pelayanan terintegrasi lainnya dalam
pendidikan kesehatan dan pelayanan kesehatan ibu, anak, remaja,
dan lansia.
2. Mempercepat Perbaikan Gizi Masyarakat melalui :
a. Peningkatan surveilans gizi termasuk pemantauan pertumbuhan;
b. Peningkatan akses dan mutu paket pelayanan kesehatan dan gizi
dengan fokus utama pada 1.000 hari pertama kehidupan, remaja
calon pengantin, dan ibu hamil termasuk pemberian makanan
tambahan terutama untuk keluarga kelompok termiskin dan wilayah
Daerah Terpencil, Perbatasan, dan Kepulauan (DTPK);
2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, hal 166-171
5
c. Peningkatan peran masyarakat dalam perbaikan kesehatan, gizi,
sanitasi, hygiene, dan pengasuhan;
d. Peningkatan peran masyarakat dalam perbaikan gizi terutama
untuk ibu hamil, wanita usia subur, anak, dan balita di daerah DTPK
termasuk melalui upaya kesehatan berbasis masyarakat dan
Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif (Posyandu dan
Pos PAUD);
e. Penguatan pelaksanaan, dan pengawasan regulasi dan standar gizi;
serta
f. Penguatan peran lintas sektor dalam rangka intervensi sensitif dan
spesifik yang didukung oleh peningkatan kapisatas pemerintah
pusat, provinsi dan kabupaten/ kotadalam pelaksanaan rencana
aksi pangan dan gizi.
3. Meningkatkan Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
melalui :
a. Peningkatan surveilans epidemiologi faktor resiko dan penyakti;
b. Peningkatan upaya preventif dan promotif termasuk pencegahan
kasus baru penyakit dalam pengendalian penyakit menular
terutama TB, HIV dan malaria dan tidak menular;
c. Pelayanan kesehatan jiwa;
d. Pencegahan dan penanggulangan kejadian luar biasa/ wabah;
e. Peningkatan mutu kesehatan lingkungan;
f. Penatalaksanaan kasus dan pemutusan rantai penularan;
g. Peningkatan pengendalian dan promosi penurunan faktor risiko
biologi (khususnya darah tinggi, diabetes, obesitas), perilaku
(khususnya konsumsi buah dan sayur, aktifitas fisik, merokok,
alkohol) dan lingkungan;
6
h. Peningkatan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan;
i. Peningkatan kesehatan lingkungan dan akses terhadap air minum
dan sanitasi yang layak dan perilaku hygiene; dan
j. Pemberdayaan dan peningkatan peran swasta dan masyarakat
dalam pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
4. Memantapkan Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
Bidang Kesehatan melalui :
a. Peningkatan cakupan kepesertaan melalui Kartu Indonesia Sehat;
b. Peningkatan jumlah fasilitas pelayanan kesehatan yang menjadi
penyedia layanan sesuai standar antara lain melalui kerjasama
anatara pemerintah dengan penyedia layanan swasta;
c. Peningkatan pengelolaan jaminan kesehatan dalam bentuk
penyempurnaan dan koordinasi paket manfaat, insentif penyedia
layanan, pengendalian mutu dan biaya pelayanan, peningkatan
akuntabilitas sistem pembiayaan, pengembangan health technolgy
assesment, serta pengembangan sistem monitoring dan evaluasi
terpaadu;
d. Penyempurnaan sistem pembayaran untuk penguatan pelayanan
kesehatan dasar, kesehatan ibu dan anak, insentif tenaga
kesehatan di DTPK dan peningkatan upaya promotif dan preventif
perorangan;
e. Pengembanngan berbagai regulasi termasuk standar guideline
pelayanan kesehatan;
f. Peningkatan kapasitas kelembagaan untuk mendukung mutu
pelayanan; serta
g. Pengembangan pembiayaan pelayanan kesehatan kerjasama
pemerintah swasta.
7
5. Meningkatkan Akses Pelayanan Kesehatan Dasar yang berkualitas
melalui:
a. Pengembangan fasilitas pelayanan kesehatan dasar sesuai standar
mencakup puskesmas (rawat inap/ perawatan) dan jaringannya
termasuk meningkatkan jangkauan pelayanan terutama di daerah
terpencil, perbatasan dan kepulauan;
b. Peningkatan kerjasama Puskesmas dengan unit transfusi darah
khususnya dalam rangka penurunan kematian ibu;
c. Pengembangan dan penerapan sistem akreditasi fasilitas pelayanan
kesehatan dasar milik pemerintah dan swasta;
d. Peningkatan pelayanan kesehatan promotif dan preventif di fasilitas
pelayanan kesehatan dasar dengan dukungan bantuan operasional
kesehatan;
e. Penyusunan, penetapan dan pelaksanaan berbagai standar guideline
pelayanan kesehatan diikuti dengan pengembangan sistem
monitoring dan evaluasinya;
f. Peningkatan pengawasan dan kerjasama pelayanan kesehatan dasar
dengan fasilitas swasta;
g. Pengembangan kesehatan tradisional dan komplementer; serta
h. Pengembangan inovasi pelayanan kesehatan dasar melalui
pelayanan kesehatan bergerak, pelayanan primer dan pelayanan
keperawatan kesehatan masyarakat.
6. Meningkatkan Akses Pelayanan Kesehatan Rujukan yang Berkualitas
melalui :
a. Pengembangan fasilitas pelayanan kesehatan rujukan terutama
rumash sakir rujukan nasional, rumah sakit rujukan regional, rumah
sakit di setiap kabupaten/ kota, termasuk rumah sakit pratama di
daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan;
8
b. Penguatan dan pengembangan sistem rujukan nasional, rujukan
regional dan sistem rujukan gugus kepulauan dan pengembangan
sistem informasi dan rujukan di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan
online;
c. Peningkatan mutu fasilitas pelayanan kesehatan rujukan melalui
akreditasi rumah sakit dan pengembangan standar guideline
pelayanan kesehatan;
d. Pengembangan sistem pengendalian mutu internal fasilitas
kesehatan;
e. Peningkatan pelayanan kesehatan promotif dan preventif di fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan;
f. Peningkatan efektivitas pengelolaan rumah sakit terutama dalam
regulasi pengelolaan dana kesehatan di rumah sakit umum daerah
dan pemerintah daerah; serta
g. Pengembangan inovasi pelayanan kesehatan melalui rumah sakit
pratama, telemedicine, dan pelayanan kesehatan tradisional,
alternatif dan komplementer;
7. Meningkatkan ketersediaan, Penyebaran dan Mutu Sumber Daya
Manusia Kesehatan melalui;
a. Pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan dengan prioritas di Daerah Terpencil, Perbatasan, dan
Kepulauan (DTPK) melalui penempatan tenaga kesehatan termasuk
tenaga pegawai tidak tetap kesehatan/ PPPK (Pegawai Pemerintah
dengan Perjanjian Kerja), penempatan tenaga kesehatan baru lulus/
penugasan khusus (affirmative policy) dan pengembangan model
penempatan tenaga kesehatan;
b. Peningkatan mutu tenaga kesehatan melalui peningkatan
kompetensi, pendidikan, pelatihan dan sertifikasi seluruh jenis
tenaga kesehatan;
9
c. Peningkatan kualifikasi tenaga kesehatan termasuk pengembangan
dokter spesialis dan dokter layanan primer;
d. Pengembangan insentif finansial dan non-finansial bagi tenaga
kesehatan terutama untuk meningkatkan retensi tenaga kesehatan
di Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan Daerah Terpencil
Perbatasan dan Kepulauan (DTPK); serta
e. Pengembangan sistem pendataan tenaga kesehatan dan upaya
pengendalian dan pengawasan tenaga kesehatan.
8. Meningkatkan Ketersediaan, Keterjangkauan, Pemerataan, dan
Kualitas Farmasi dan Alat Kesehatan melalui:
a. Peningkatan ketersediaan dan keterjangkauan obat, terutama obat
esensial generik;
b. Peningkatan pengendalian, monitoring dan evaluasi harga obat,
penyempurnaan, penyelarasan dan evaluasi reguler berbabagi daftar
dan formularium obat;
c. Peningkatan kapasitas institusi dalam management supplychain obat,
vaksin dan alat kesehatan;
d. Peningkatan daya saing industri farmasi dan alkes melalui
pemenuhan standar dan persyaratan;
e. Peningkatan pengawasan pre- dan post-market alat kesehatan dan
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT);
f. Penguatan upaya kemandirian di bidang Bahan Baku Obat (BBO)
termasuk Bahan Baku Obat Tradisional (BBOT) dan alat kesehatan
dengan pengembangan riset, penguatan sinergitas perguruan
tinggi, dunia usaha/ swasta, pemerintah dan masyarakat;
g. Peningkatan mutu pelayanan kefarmasian termasuk tenaga
kefarmasian; serta
h. Peningkatan promosi penggunaan dan teknologi rasional oleh
provider dan konsumen.
10
9. Meningkatkan Pengawasan Obat dan Makanan melalui :
a. Penguatan sistem pengawasan obat dan makanan berbasis risiko:
b. Peningkatan sumber daya manusia pengawas obat dan makanan;
c. Penguatan Kemitraan pengawasan obat dan makanan dengan
pemangku kepentingan;
d. Peningkatan kemandirian pengawasan obat dan makanan berbasis
risiko oleh masyarakat dan pelaku usaha;
e. Peningkatan kapasitas dan inovasi pelaku usaha dalam rangka
mendorong peningkatan daya saing produk obat dan makanan; serta
f. Penguatan kapasitas dan kapabilitas pengujian obat dan makanan.
10. Meningkatkan Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
melaui:
a. Peningkatan advokasi kebijakan pembangunan berwawasan
kesehatan;
b. Pengembangan regulasi dalam rangka promosi kesehatan;
c. Penguatan gerakan masyarakat dalam promosi kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan antara lembaga
pemerintah dengan swasta dan masyarakat madani; serta
d. Peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan kesehatan
masyarakat melalui pendidikan kesehatan masyarakat, Komunikasi,
Informasi dan Edukasi (KIE) serta upaya kesehatan berbasis masyarakat
(UKBM) termasuk pengembangan rumah sakit.
Untuk menjawab isu-isu strategis dibidang kesehatan adalah dengan
melakukan analisis dan evaluasi peraturan perundang terkait bidang
kesehatan, diantaranya melakukan analisis dan evaluasi peraturan tentang
Badan Penyelenggara Kesehatan Sosial yang dianggap memegang peranan
penting dalam memperbaiki performa pelayanan kesehatan, apakah terdapat
pertentangan dalam ketentuan hukum BPJS sehingga terjadi inkonsistensi,
juga apakah ada keterkaitan ketentuan peraturan perundang-undangan
11
tersebut perlu dilakukan analisis dan evaluasi baik dari dimensi asas, potensi
disharmoni maupun efektifitasnya, sehingga terhadap peraturan perundang-
undangan tersebut mana yang perlu dicabut dan ketentuan mana yang harus
dipertahanakan agar ketentuan peraturan perundang-undangan tentang
kesehatan dan BPJS kembali konsisten.
Analisis dan evaluasi hukum ini merupakan bagian dari konsep pengujian
peraturan perundang-undangan (executive review) yang selama ini belum
begitu dikenal dalam praktek ketatanegaraan dibandingkan konsep
judicialreview, atau legislativereview. Analisis dan evaluasi hukum ditujukan
untuk menilai: (1) kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan
peraturan perundang-undangan; (2) kejelasan rumusan ketentuan peraturan
perundang-undangan; (3) keterpenuhan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan dengan materi muatan; (4) potensi disharmoni
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (5) efektivitas implementasi
peraturan perundang-undangan. Dari berbagai latar belakang di atas Pada
Tahun 2017, Badan Pembinaan Hukum Nasional melaksanakan kegiatan
analisis dan evaluasi hukum menilai peraturan perundang-undangan terkait
sistem hukum acara perdata.
Hasil analisis evaluasi ini adalah berupa rekomendasi terhadap status
peraturan perundang-undangan yang ada, apakah perlu: (1) diubah; (2)
dicabut; atau (3) dipertahankan. Secara tersistem, rekomendasi hasil analisis
evaluasi hukum menjadi dasar penyusunan Dokumen Pembangunan Hukum
Nasional (DPHN) untuk penentuan Kerangka Regulasi dalam RPJMN, dan juga
merupakan masukan terhadap perencanaan pembentukan peraturan
perundang-undangan yang tertuang dalam Program Legislasi Nasional.
B. Permasalahan
Beberapa permasalahan yang hendak dijawab melalui kegaiatan analisis
dan evaluasi hukum ini adalah sebagai berikut:
12
1. Apakah materi muatan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan masalah Sistem Jaminan Kesehatan, sudah sesuai dengan
jenis, hierarkinya ?
2. Apakah norma dalam peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan sistem jaminan kesehatan telah dirumuskan secara jelas?
3. Apakah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sistem
jaminan kesehatan telah memenuhi asas Pengayoman, Kemanusiaan,
Kebangsaan, Kekeluargaan, Kenusantaraan, Bhineka Tunggal Ika,
Keadilan, Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan,
Ketertiban dan Kepastian Hukum, Keseimbangan, Keserasian, dan
Keselarasan serta indikatornya?
4. Apakah ada potensi tumpang tindih kewenangan, hak dan kewajiban,
perlindungan dan penegakan hukum yang terkait dengan sistem
jaminan kesehatan ?
5. Bagaimana efektivitas implementasi peraturan perundang-undangan
yang terkait dengan sistem jaminan kesehatan ?
C. Ruang Lingkup
Hasil inventarisasi PUU yang terkait dengan bidang kesehatan, ditemukan
sebanyak 28 (dua puluh delapan) PUU, yang terdiri dari: 9 (sembilan) Undang-
Undang, 12 (enam belas) Peraturan Pemerintah, 7 (tujuh) Peraturan Presiden.
Hasil inventarisasri PUU tersebut adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional ;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit;
13
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang
Keterbukaan Informasi Publik;
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan;
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran;
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia;
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika;
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Jiwa;
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012
Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;
11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2013
Tentang Modal Awal Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan;
12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2013
Tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial;
13. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013
Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi
Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi
Kerja, Pekerja dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan
Jaminan Sosial;
14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2013
Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan;
15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2013
Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Bagi Anggota
14
Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggaraan
Jaminan Sosial;
16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018
Tentang Standar Pelayanan Minimal;
17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2014
Tentang Sistem Informasi Kesehatan;
18. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2016
Tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
19. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014
Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional;
20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Lingkungan;
21. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998
Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
22. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang
Jaminan Kesehatan;
23. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2013 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang
Jaminan Kesehatan;
24. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2013 Tentang
Pelayanan Kesehatan Tertentu Berkaitan Dengan Kegiatan Operasional
Kementerian Pertahanan, TNI dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
25. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2013 Tentang
Bentuk dan Isi Laporan Program Jaminan Sosial;
26. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2013 Tentang
Gaji atau Upah dan Manfaat Tambahan Lainnya Serta Insentif Bagi
Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial;
15
27. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang
Pengelolan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan
Nasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah
Daerah;
28. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 Tentang
Sistem Kesehatan Nasional.
No. Judul PUU Dasar Hukum
1. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2004
Tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dan
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2011
Tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23A, Pasal
28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3),
dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
3. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H
ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
4. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2008
Tentang Keterbukaan Informasi
Publik
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 F, dan
Pasal 28J Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun
1945
5. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan
Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan
Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
16
6. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran
Pasal 20 dan pasal 21 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
7. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1),
Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal29,
Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 34
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
8. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20
Undang-Undang DasarNegara
Republik Indonesia Tahun 1945
9. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Jiwa
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1),
dan Pasal 34 ayat (3)Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun
1945
10. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 101 Tahun 2012
Tentang Penerima Bantuan Iuran
Jaminan Kesehatan
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
11. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 82 Tahun 2013
Tentang Modal Awal Untuk
Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
12. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 85 Tahun 2013
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Dasar NegaraRepublik Indonesia
17
Tentang Tata Cara Hubungan
Antar Lembaga Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
Tahun 1945
13. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 86 Tahun 2013
Tentang Tata Cara Pengenaan
Sanksi Administratif Kepada
Pemberi Kerja Selain
Penyelenggara Negara dan
Setiap Orang, Selain Pemberi
Kerja, Pekerja dan Penerima
Bantuan Iuran Dalam
Penyelenggaraan Jaminan Sosial
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
14. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 87 Tahun 2013
Tentang Pengelolaan Aset
Jaminan Sosial Kesehatan
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
15. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 88 Tahun 2013
Tentang Tata Cara Pengenaan
Sanksi Administratif Bagi
Anggota Dewan Pengawas dan
Anggota Direksi Badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
16. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2018
Tentang Standar Pelayanan
Minimal
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
17. Peraturan Pemerintah Republik Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
18
Indonesia Nomor 46 Tahun 2014
Tentang Sistem Informasi
Kesehatan
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
18. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 47 Tahun 2016
Tentang Fasilitas Pelayanan
Kesehatan
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
19. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 103 Tahun 2014
Tentang Pelayanan Kesehatan
Tradisional
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
20. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 66 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Lingkungan
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
21. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 72 Tahun 1998
Tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
22. Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2013
Tentang Jaminan Kesehatan
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Dasar NegaraRepublik Indonesia
Tahun 1945
23. Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 111 Tahun 2013
Tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2013 Tentang Jaminan
Kesehatan
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Dasar NegaraRepublik Indonesia
Tahun 1945
24. Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 107 Tahun 2013
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Dasar NegaraRepublik Indonesia
19
Tentang Pelayanan Kesehatan
Tertentu Berkaitan Dengan
Kegiatan Operasional
Kementerian Pertahanan, TNI
dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia
Tahun 1945
25. Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 108 Tahun 2013
Tentang Bentuk dan Isi Laporan
Program Jaminan Sosial
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Dasar NegaraRepublik Indonesia
Tahun 1945
26. Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 110 Tahun 2013
Tentang Gaji atau Upah dan
Manfaat Tambahan Lainnya
Serta Insentif Bagi Anggota
Dewan Pengawas dan Anggota
Direksi Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Dasar NegaraRepublik Indonesia
Tahun 1945
27. Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2014
Tentang Pengelolan dan
Pemanfaatan Dana Kapitasi
Jaminan Kesehatan Nasional
Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama Milik Pemerintah
Daerah
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Dasar NegaraRepublik Indonesia
Tahun 1945
28. Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 72 Tahun 2012
Tentang Sistem Kesehatan
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Dasar NegaraRepublik Indonesia
Tahun 1945
20
Nasional
E. Metode Analisis dan Evaluasi Hukum
Analisis dan evaluasi hukum yang dilakukan oleh Pokja mengacu pada
Pedoman Analisis dan Evaluasi Hukum yang dirumuskan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional tahun 2016. Analisis dan evaluasi hukum dilakukan
dalam beberapa tahap kerja sebagai berikut:
1. Inventarisasi.
Analisis dan evaluasi hukum diawali dengan menginventarisasi
Peraturan Perundang-undangan, termasuk juga peraturan perundang-
undangan yang berasal dari zaman Hindia Belanda yang terkait
dengan Hukum Acara Perdata
2. Penilaian.
Setelah diinventarisasi seluruh peraturan perundang-undangan serta
data dukungnya, langkah berikutnya adalah melakukan penilaian
dengan menggunakan lima dimensi yang meliputi:
a. Dimensi Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan.
Penilaian terhadap dimensi ini dilakukan untuk memastikan
bahwa peraturan perundang-undangan dimaksud sudah sesuai
dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Norma hukum
itu berjenjang dalam suatu hierarki tata susunan, sehingga
norma yang lebih rendah bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih
lanjut yang berupa norma dasar (grundnorm).
21
b. Dimensi Kejelasan Rumusan.
Setiap peraturan perundang-undangan harus disusun sesuai
dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan,
yang memperhatikan:
- sistematika,
- pilihan kata atau istilah,
- teknik penulisan,
- penggunaan bahasa peraturan perundang-undangan
yang lugas dan pasti, hemat kata, objektif dan
menekan rasa subjektif,
- pembakuan makna kata, ungkapan atau istilah yang
digunakan secara konsisten,
- pemberian definisi atau batasan artian secara cermat,
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya
c. Dimensi Materi Muatan.
Penilaian ini dilakukan untuk memastikan peraturan
perundang-undangan dimaksud sudah sesuai dengan asas
materi muatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
d. Dimensi Potensi disharmoni pengaturan
Penilaian ini dilakukan dengan pendekatan normatif,
terutama untuk mengetahui adanya disharmoni pengaturan
mengenai: 1) kewenangan, 2) hak dan kewajiban, 3)
perlindungan, dan 4) penegakan hukum.
e. Dimensi efektivitas implementasi peraturan perundang-
undangan.
22
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai
kejelasan tujuan yang hendak dicapai serta berdayaguna dan berhasilguna
sebagaimana dimaksud dalam asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik yang tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011. Penilaian ini perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana manfaat
dari pembentukan suatu peraturan perundang-undangan sesuai dengan yang
diharapkan.
3. Perumusan Simpulan
Pada tahap ini, pokja akan mengolah setiap hasil temuan, baik yang
berasal dari kerja mandiri maupun masukan dari masyarakat dan
pemangku kepentingan
4. Perumusan Rekomendasi
Rekomendasi terdiri atas umum dan khusus. Rekomendasi umum berisi
saran terkait dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya
hukum. Rekomendasi khusus berisi saran terhadap ketentuan yang
bermasalah berdasarkan hasil analisis dan evaluasi hukum.
F. Personalia Pokja
1. Penanggung Jawab : Pocut Eliza, S.Sos., S.H., M.H.
2. Ketua : Eko Suparmiyati, S.H., M.H.
3. Sekretaris : Alice Angelica, S.H., M.H.
4. Anggota : 1. Fabian Adiasta Nusabakti Broto, S.H.
2. Danang Risdianto, S.H
3. Sakti Maulana Alkausar, S.H.
23
G. Jadwal Kegiatan
Kegiatan ini dilaksanakan dengan agenda sebagai dalam tabel berikut:
No Agenda 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 Rapat Umum Pokja
2 Rapat 1 Presentasi
Anggota Pokja
3 Rapat 1 Review
Presentasi Anggota
Pokja oleh
Narasumber
4 Diskusi Publik
5 Rapat 2 Presentasi
Anggota Pokja
6 Rapat 2 Review
Presentasi Anggota
Pokja oleh
Narasumber
7 Rapat 3 Presentasi
Anggota Pokja
8 Rapat 3 Review
Presentasi Anggota
Pokja oleh
Narasumber
9 FGD
10 Rapat pembahasan
laporan akhir
24
BAB II
KESESUAIAN ANTARA JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bab ini berisi narasi, data, dan hasil analisis dan evaluasi hukum dalam
dimensi kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan
perundang-undangan. Dalam penyususnan peraturan perundang-undangan
harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Penilaian terhadap dimensi
ini dilakukan untuk memastikan bahwa peraturan perundang-undangan
dimaksud sudah sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan.
Norma hukum itu berjenjang dalam suatu hierarki tata susunan, sehingga
norma yang lebih rendah bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi, norma yang tinggi bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat
ditelusuri lagi lebih lanjut yang berupa norma dasar (grundnorm). Peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (lex
superiori derogat legi inferior). Dalam sistem hukum Indonesia peraturan
perundang-undangan juga disusun berjenjang sebagaimana diatur dalam
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dimensi penilaian ini hendak menegaskan bahwa materi muatan yang
terdapat di dalam masing-masing jenis peraturan perundang-undangan
seharusnya dapat dibedakan. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari cara
perumusan normanya pada masing-masing jenis peraturan perundang-
undangan. Norma dalam peraturan perundang-undangan pada jenjang yang
semakin ke atas, seharusnya semakin abstrak. Norma dalam peraturan
perundang-undangan pada jenjang yang semakin ke bawah bersifat aplikatif
untuk langsung dilaksanakan.
25
Dimensi penilaian ini ingin mereduksi peraturan perundang-undangan
yang norma aturannya tidak sesuai dengan jenis dan hierarkinya. Dengan kata
lain, dimensi penilaian ini ingin mengevaluasi kelayakan suatu pengaturan
yang dituangkan dalam suatu jenis peraturan perundang-undangan tertentu.
Dimensi penilaian ini dilakukan terhadap undang-undang :
1. Peraturan Perundangan-undangan: (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional)
Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 34 ayat (2) menyebutkan
bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Penyebutan pasal
mengandung makna bahwa pemerintah atau negara berkewajiban
membuat sebuah program yang dapat digunakan untuk membantu
masyarakat miskin untuk berobat, memperoleh penghasilan dan
pekerjaan yang layak, menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi
seluruh penduduk Indonesia. Undang-undang SJSN mengatur
kepesertaan wajib secara nasional, program jaminan sosial, penerima
bantuan iuran. Undang-undang Sitem Jaminan Sosial Nasional
menetapkan 5 (lima) program jaminan sosial yaitu jaminan kesehatan,
jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun.
Jaminan pensiun merupakan salah satu program jaminan sosial yang
diselenggarakan secara nasional dengan tujuan untuk mempertahankan
derajad kehidupan yang layak pada saat peserta mengalami kehilangan
atau berkurangnya penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau
mengalami cacat tetap total. Oleh karena itu pengaturan mengenai
sistem jaminan sosial nasional sudah tepat dituangkan dalam undang-
undang
26
NO INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Perundangan-undangan: Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
1 Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yang meliputi:
A. Analisis terhadap “Nama” Undang-Undang: Dalam petunjujk no. 3 lampiran II UU no.12 tahun 2011, dinyatakan bahwa nama PUU dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa yang secara esensial maknanya telah mencerminkan isi PUU itu sendiri. Ditinjau dari namanya “Sistem Jaminan Sosial Nasioanl” dapat diasumsikan bahwa UU ini berisi tentang perlindungan kepada masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Maka berdasarkan analisis terhadap nama PUU ini , sudah tepat dijadikan UU.
B. Anallisis terhadap dasar
hukum mengingat: Dalam bagian dasar hukum mengingat UU 40 tahun 2004 tentang SJSN, disebutkan 4 (empat) pasal UUD 1945, yaitu: Pasal 5 ayat
√
27
NO INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
(1), Pasal 20, Pasal 28 H ayat (1), (2),(3), Pasal 34 : - Pasal 5
Penyebutan pasal ini adalah untuk menunjukan bahwa pembentukan UU ini dibentuk oleh kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat,sebagaimana Pasal 5 huruf b UU No. 12 Tahun 2011), dalam hal ini Presiden sebagai kepala pemerintahan. (landasan formil)
- Pasal 20
Penyebutan pasal ini adalah untuk menunjukkan bahwa pembentukan UU ini dibentuk oleh kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat pasal 5 huruf b UU 12 tahun 2011). Namun seharusnya Pasal 20 tidak disebutkan secara utuh, melainkan hanya ayat (1) yang terkait
28
NO INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
dengan ketepatan kelembagaan pembentuk. (landasan formil)
- Pasal 28H ayat (1), (2), (3) : (1) Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin,bertempat tinggal,dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
29
NO INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
manusia yang bermartabat.
Penyebutan pasal ini adalah menunjukan bahwa pemerintah sungguh-sungguh akan menjamin hak asasi setiap manusia untuk dapat memenuhi hak dasarnya yang layak seperti hak hidup, dan hak untuk mendapatkan perlindungan.
- Pasal 34 : (1) Fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Penyebutan pasal ini menunjukan bahwa negara berkewajiban meningkatkan di bidang kesejahteraan sosial. Ada-nya ketentuan mengenai
30
NO INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
kesejahteraan sosial upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state) sehingga rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan, berarti terdapat tanggung jawab negara untuk mengembangkan kebijakan negara di berbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public services) yang baik melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat.
C. Analisis terhadap Politik Hukum (arah pengaturan: Politik hukum Nomor
40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial
Nasional dapat ditinjau
dari konsiderans
menimbang dan/atau
penjelasan umumnya.
Dalam penjelasan umumnya menyebutkan bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasioanl pada dasarnya merupakan program Negara yang bertujuan
31
NO INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini diharapkan setiap orang dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.
Kesimpulan analisis :
UU 40/2004 sudah tepat dituangkan dalam undang-undang. Mengingat pentingnya memberikan perlindungan terhadap setiap manusia untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
1. HAM √ Dalam konsideran huruf a Undang-undang ini menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya. Semangat perlindungan
32
NO INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
HAM dalam UU ini juga diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.
2. Hak dan kewajiban warga Negara
√ Kewajiban negara dan warga negara dalam UU ini diatur pada Pasal 13 sampai dengan Pasal 17menyatakan bahwa : keikutsertaan pekerja sebagai peserta BPJS merupakan tanggungjawab pemerintah. Selanjutnya hak dan kewajiban pemberi kerja dan penerima kerja diatur pada Pasal 14 sampai Pasal 17.
3. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagian kekuasaan Negara
√ -
4. Wilayah Negara dan pembagian daerah
√ -
5. Kewarganegaraan dan kependudukan
√ Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat, diharapkan
33
NO INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
melalui program ini setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.
6. Keuangan Negara
√
2 Perintah Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang
√
3 Pengaturan mengenai kewenangan absolut Pemerintah Pusat
√ -
4 Tindak lanjut Putusan MK
√
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Kesehatan
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011tentang Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan
1 Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yang meliputi:
A. Analisis terhadap “Nama” Undang-Undang:
Dalam petunjujk no. 3 lampiran II UU no.12 tahun 2011, dinyatakan bahwa nama PUU dibuat
√
34
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa yang secara esensial maknanya telah mencerminkan isi PUU itu sendiri. Ditinjau dari namanya “Badan Penyelenggara Jaminian Kesehatan” dapat diasumsikan bahwa UU ini berisi tentang perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan program jaminan sosial. Maka berdasarkan analisis terhadap nama PUU ini , sudah tepat dijadikan UU.
B. Anallisis terhadap dasar hukum mengingat:
Dalam bagian dasar hukum mengingat UU 24 Tahun 2011 tentang BPJS, disebutkan 5 (lima) pasal UUD 1945, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23A, Pasal 28H ayat (1), (2), (3), dan Pasal 34 ayat (1),(2) yaitu: - Pasal 20
Penyebutan pasal ini adalah untuk menunjukkan bahwa
35
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
pembentukan UU ini dibentuk oleh kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat pasal 5 huruf b UU 12 tahun 2011). Namun seharusnya pasal 20 tidak disebutkan secara utuh yang disebutkan secara utuh, melainkan hanya ayat (1) yang terkait dengan ketepatan kelembagaan pembentuk. (landasan formil)
- Pasal 21 Penyebutan pasal ini adalah untuk menunjukkan bahwa DPR berhak mengajukan usul rancangan UU (rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden pasal 43 ayat (1) UU 12/2011).
- Pasal 23A Pasal 23A berbunyi : “Pajak dan pungutan lain
36
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.” Pasal ini mengamanatkan bahwa segala ketentuan pemungutan yang bersifat memaksa, harus berdasarkan undang-undang. Dasar filosofis karena tidak ada perpindahan kekayaan tanpa persetujuan pemilik, dan ini menunjukkan bahwa masyarakat (pemilik) memberikan izin atas perpindahan sebagian kekayaannya kepada negara melalui proses pembuatan undang-undang dimana wakil rakyat memberi persetujuan. Pajak asalnya dari rakyat yang pemungutannya dikoordinir oleh negara untuk membiayai pengeluaran negara baik rutin maupun
37
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
pembangunan yang hasilnya dinikmati oleh rakyat. Disinilah nampak kesatuan antara rakyat dan pemerintah untuk pencapaian tujuan bersama.
- Pasal 28H ayat (1),(2),(3) Penyebutan pasal ini mengamanatkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan sejahtera lahir dan batin. Pada dasarnya tidak akan ada orang yang mau hidup dengan telantar dan melarat. Untuk itu harus ada pasal yang mengatur dan melindungi kesejahteraan warga negaranya, mereka juga berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak bagi dirinya beserta keluarganya, memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dan pasal inilah melindungi warga negara di Indonesia untuk mendapatkan kehidupan yang
38
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
layak dan sejahtera tersebut.
- Pasal 34 ayat (1),(2) Penyebutan pasal ini menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Hal ini membuktikan jaminan konstitusional yang mengatur kewajiban negara di bidang kesejahteraan sosial. Di dalam rumusan tersebut terkandung maksud bahwa tidak boleh ada seorangpun rakyat yang penghidupannya tidak layak atau berada digaris kemiskinan. Kalaupun ada rakyat yang miskin maka kewajiban negara untuk meliharanya serta berusaha untuk membuatnya kembali menjadi sejahtera. Selanjutnya untuk bidang kesehatan,
39
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
pada dasarnya semua orang termasuk masyarakaat kurang mampu berhak atas hak dasar salah satunya adalah hak memperoleh kesehatan, untuk itu pemerintahpun seharusnya mampu menjamin kesehatan bagi setiap warganya tanpa memandang status dari masyarakat yang mampu atau tidak bila dilihat dari bidang ekonominya. Fakta menunjukan bahwa pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin sangat terasa perbedaannya dengan pelayanan bagi masyarakat yang berkecukupan dalam bidang ekonominya.
1. HAM √ - UU ini mengatur tentang Hak Asasi Manusia (sebagaimana diatur pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM) pada
40
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
konsideran menimbang menyatakan bahwa sistem jaminan sosial nasional merupakan program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat.
- Pada Pasal 28H ayat (1),(2),(3) pasal ini mengamanatkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan sejahtera lahir dan batin.
2. Hak dan kewajiban warga Negara
√ Hak dan kewajiban warga negara dalam UU ini diatur pada Pasal 13 yang menyatakan bahwa mendapat informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya. Juga pengaturan tentang hak dan kewajian peserta yang dinyatakan pada Pasal 10 sampai dengan Pasal 19.
3. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagia
√
41
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
n kekuasaan Negara
4. Wilayah Negara dan pembagian daerah
√
5. Kewarganegaraan dan kependudukan
√
6. Keuangan Negara
√
2 Perintah Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang
√ Pasal 52 UU No 40/2004 ttg SJSN mengamanatkan untuk membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan Undang-undang, yang merupakan transformasi BUMN untuk mempercepat terselenggaranya sistem jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat Indonesia.
3 Pengaturan mengenai kewenangan absolut Pemerintah Pusat
√ -
4 Tindak lanjut Putusan MK
√ Pembentukan UU BPJS merupakan pelaksanaan UU No 40/2004 Ttg SJSN, setelah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 007/PUU-III/2005, guna memberikan kepastian hukum bagi pembentukan BPJS untuk melaksanakan program Jaminan Sosial di seluruh Indonesia.
42
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit
1 Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yang meliputi:
A. Analisis terhadap “Nama” Undang-Undang: Dalam petunjuk no. 3 lampiran II UU No.12 tahun 2011, dinyatakan bahwa nama PUU dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa yang secara esensial maknanya telah mencerminkan isi PUU itu sendiri. Ditinjau dari namanya “Rumah Sakit” dapat diasumsikan bahwa UU ini berisi tentang pengelolaan dan penyelenggaraan Rumah Sakit. Maka berdasarkan analisis terhadap nama PUU ini, sudah tepat dijadikan UU.
B. Anallisis terhadap
dasar hukum mengingat : Dalam bagian dasar hukum mengingat UU 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, disebutkan 4
√
43
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
(empat) pasal UUD 1945, yaitu Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28 H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3).
- Pasal 5
Penyebutan pasal ini adalah untuk menunjukan bahwa pembentukan UU ini dibentuk oleh kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat,sebagaimana Pasal 5 huruf b UU No. 12 Tahun 2011), dalam hal ini Presiden sebagai kepala pemerintahan. (landasan formil).
- Pasal 20
Penyebutan pasal ini adalah untuk menunjukkan bahwa pembentukan UU ini dibentuk oleh kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat pasal 5
44
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
huruf b UU 12 tahun 2011). Namun seharusnya pasal 20 tidak disebutkan secara utuh yang disebutkan secara utuh, melainkan hanya ayat (1) yang terkait dengan ketepatan kelembagaan pembentuk. (landasan formil)
- Pasal 28 H ayat (1) : setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal ini jelas mengamanatkan bahwa sejak lahir kedunia, setiap orang mempunyai hak asasi antara lain setiap orang berhak merasakan fasilitas yang diberikan oleh
45
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Negara agar masyarakatnya sejahtera lahir batin. Warga negara juga berhak mendapatkan tempat tinggal serta lingkungan hidup yang baik dan sehat untuk ditinggali bersama keluarganya, walaupun beberapa kelompok masyarakat belum bisa merasakan atau memiliki tempat tinggal dan lingkungan hidup yang baik.
- Pasal 34 ayat (3) Pasal 34 ayat (3) berbunyi : Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Pasal ini mengamanatkan bahwa negara berkewajiban membuat sarana dan prasarana
46
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
umum yang memadai dan berkualitas dalam pemberian pelayanannya, misalnya rumah sakit, pelayanan administrasi di kelurahan dan kecamatan, maupun penyediaan alat transportasi yang memadai dan layak beserta kelengkapannya.
7. HAM √ UU ini mengatur tentang Hak Asasi Manusia (sebagaimana diatur pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM) pada Pasaln29 huruf b menyatakan bahwa rumah sakit memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.
8. Hak dan kewajiban warga Negara
√ Hak dan kewajiban warga negara dalam UU ini diatur pada Pasal 32 yang menyatakan bahwa setiap pasien mempunyai hak antara lain memperoleh informasi mengenai tata tertib dan yang berlaku di Rumah Sakit, memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien, memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan
47
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
tanpa diskriminasi, juga memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan prosedur operasional.
9. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagian kekuasaan Negara
√
10. Wilayah Negara dan pembagian daerah
√
11. Kewarganegaraan dan kependudukan
√
12. Keuangan Negara
√
2 Perintah Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang
√
3 Pengaturan mengenai kewenangan absolut Pemerintah Pusat
√ Penyelenggaraan urusan penyediaan Rumah Sakit dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini dijelaskan pada Pasal 6 ayat (1). Ini menjelaskan bahwa urusan pemerintahan yang dimaksud diklasifikasikan sebagai urusan
48
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
pemerintahan konkuren (Ps. 9 ayat (3) UU Pemda). Yang mana urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
4 Tindak lanjut Putusan MK
√
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik
1 Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yang meliputi:
A. Analisis terhadap “Nama” Undang-Undang:
Dalam petunjuk no. 3 lampiran II UU No.12 tahun 2011, dinyatakan bahwa nama PUU dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa yang secara esensial maknanya telah mencerminkan isi PUU itu sendiri. Ditinjau dari namanya “Keterbukaan Informasi Publik” dapat diasumsikan bahwa UU ini berisi tentang perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan program
√
49
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
jaminan sosial. Maka berdasarkan analisis terhadap nama PUU ini, sudah tepat dijadikan UU.
B. Anallisis terhadap dasar hukum mengingat: Dalam bagian dasar hukum mengingat UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, disebutkan 4 (empat) pasal UUD 1945, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 F, Pasal 28 J yaitu: - Pasal 20
Penyebutan pasal ini adalah untuk menunjukkan bahwa pembentukan UU ini dibentuk oleh kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat pasal 5 huruf b UU 12 tahun 2011). Namun seharusnya pasal 20 tidak disebutkan secara utuh yang disebutkan secara utuh, melainkan hanya ayat (1)
50
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
yang terkait dengan ketepatan kelembagaan pembentuk. (landasan formil)
- Pasal 21 Penyebutan pasal ini adalah untuk menunjukkan bahwa DPR berhak mengajukan usul rancangan UU (rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden pasal 43 ayat (1) UU 12/2011).
- Pasal 28 F Pasal 28 F berbunyi : Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh Informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan Informasi dengan menggunakan segala jenis saluran saluran yang tersedia. Pasal ini mengamanatkan
51
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
bahwa negara memberikan jaminan terhadap semua orang dalam memperoleh informasi. Mengingat hak untuk memperoleh Informasi merupakan hak asasi manusia sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.
- Pasal 28 J Pasal 28 J berbunyi (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-
52
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Penyebutan pasal ini mengamanatkan bahwa negara memberikan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
53
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
masyarakat demokratis.
13. HAM √ - UU ini mengatur tentang Hak Asasi Manusia (sebagaimana diatur pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM) pada penjelasan umum dinyatakan untuk memberikan jaminan terhadap semua orang dalam memperoleh informasi perlu dibentuk undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, fungsi ini penting mengingat hak untuk memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia sebagai salah satu wujud dihidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.
- Pasal 28F Pasal ini mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial, serta berhak untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
54
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan penyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluaran yang tersedia.
- Keberadaan Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan hak setiap orang untuk memperoleh informasi, kewajiban negara menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proposional, dan cara sederhana.
14. Hak dan kewajiban warga Negara
√ Hak dan kewajiban warga negara dalam UU ini diatur pada Bab III tentang Hak dan Kewajiban Pemohon dan Pengguna Informasi Serta Hak dan Kewajiban Badan Publik, dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan Ketentuan Undang-undang ini.
55
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
15. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagian kekuasaan Negara
√
16. Wilayah Negara dan pembagian daerah
√
17. Kewarganegaraan dan kependudukan
√
18. Keuangan Negara
√
2 Perintah Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang
√
3 Pengaturan mengenai kewenangan absolut Pemerintah Pusat
√
4 Tindak lanjut Putusan MK
√
5. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
NO INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
56
. YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
1 Melaksanakan ketentuan Undang-undang (diperintahkan secara tegas)
√ Pelaksanaan dari ketentuan pasal 14 ayat (3), pasal 17 ayat (6), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
√
2 Melaksanakan ketentuan Undang-Undang sepanjang diperlukan (tidak diperintahkan secara tegas)
3 Tindak lanjut Putusan MA
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2013 tentang Modal Awal
Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2013 tentang Modal
Awal Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
1 Melaksanakan ketentuan Undang-undang (diperintahkan secara tegas)
√
2 Melaksanakan ketentuan Undang-Undang sepanjang diperlukan
√ Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbenhaharaan Negara, dan UU 19 tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
57
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
(tidak diperintahkan secara tegas)
Negara Tahun 2013 sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013.
3 Tindak lanjut Putusan MA
7. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2013 tentang Tata
Cara Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial
1 Melaksanakan ketentuan Undang-undang (diperintahkan secara tegas)
Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
√
2 Melaksanakan ketentuan Undang-Undang sepanjang diperlukan (tidak diperintahkan secara tegas)
√
3 Tindak lanjut
58
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Putusan MA
8. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain
Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja,
Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan
Jaminan Sosial
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata
CaraPengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja
Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi
Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam
Penyelenggaraan Jaminan Sosial
1 Melaksanakan ketentuan Undang-undang (diperintahkan secara tegas)
√ Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
√
2 Melaksanakan ketentuan Undang-Undang sepanjang diperlukan (tidak diperintahkan secara tegas)
3 Tindak lanjut Putusan MA
59
9. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset
Jaminan Sosial Kesehatan
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang
Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan
1 Melaksanakan ketentuan Undang-undang (diperintahkan secara tegas)
√ Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
√
2 Melaksanakan ketentuan Undang-Undang sepanjang diperlukan (tidak diperintahkan secara tegas)
3 Tindak lanjut Putusan MA
10. Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif Bagi Anggota Dewan Pengawas dan
Anggota Direksi Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif Bagi Anggota Dewan
Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggaraan
Jaminan Sosial
1 Melaksanakan ketentuan
√ Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan
√
60
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Undang-undang (diperintahkan secara tegas)
dari ketentuan pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
2 Melaksanakan ketentuan Undang-Undang sepanjang diperlukan (tidak diperintahkan secara tegas)
3 Tindak lanjut Putusan MA
11. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
1 Melaksanakan lebih lanjut perintah Undang-undang
√ Menurut Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan Pemerintahan.
√
2 Melaksanakan lebih lanjut perintah Peraturan
√ Perpres ini melaksanakan perintah Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
61
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Sosial.
3 Untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
√ Pada dasar hukum mengingat Perpres ini terdapat Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaaan pemerintahan adalah Presiden. Dalam konsep negara Republik, Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan
4 Tindak lanjut Putusan MA
√
12. Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan
1 Melaksanakan lebih lanjut perintah Undang-undang
√ Menurut Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan Pemerintahan.
√
2 Melaksanakan lebih lanjut perintah Peraturan
√ Perpres ini melaksanakan perintah Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan
62
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Penyelenggaran Jaminan Sosial, dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.
3 Untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
√ Pada dasar hukum mengingat Perpres ini terdapat Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaaan pemerintahan adalah Presiden. Dalam konsep negara Republik, Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan.
4 Tindak lanjut Putusan MA
√
13. Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan Tertentu Berkaitan dengan Kegiatan Operasional Kementerian
Pertahanan, TNI, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan Tertentu Berkaitan dengan Kegiatan Operasional
Kementerian Pertahanan, TNI, dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia
1 Melaksanakan lebih lanjut perintah Undang-undang
√ Menurut Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan
√
63
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
kekuasaan Pemerintahan.
2 Melaksanakan lebih lanjut perintah Peraturan
√ Perpres ini melaksanakan perintah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan sosial Nasional dan Undang-undang nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
3 Untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
√ Pada dasar hukum mengingat Perpres ini terdapat Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaaan pemerintahan adalah Presiden. Dalam konsep negara Republik, Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan.
4 Tindak lanjut Putusan MA
√
14. Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Isi
Laporan Program Jaminan Sosial)
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Isi
Laporan Program Jaminan Sosial)
1 Melaksanakan lebih lanjut perintah Undang-undang
√ Menurut Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan
√
64
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Pemerintahan.
2 Melaksanakan lebih lanjut perintah Peraturan
√ Perpres ini melaksanakan Perpres ini melaksanakan perintah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan sosial Nasional dan Undang-undang nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
3 Untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
√ Pada dasar hukum mengingat Perpres ini terdapat Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaaan pemerintahan adalah Presiden. Dalam konsep negara Republik, Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan.
4 Tindak lanjut Putusan MA
√
15. Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2013 tentang Gaji atau Upah dan
Manfaat Tambahan Lainnya serta Intensif Bagi Anggoa Dewan Pengawas
dan Anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan sosial
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2013 tentang Gaji atau Upah dan
Manfaat Tambahan Lainnya serta Intensif Bagi Anggoa Dewan
Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
1 Melaksanakan lebih lanjut perintah Undang-undang
√ Menurut Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan
√
65
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
PP, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan Pemerintahan.
2 Melaksanakan lebih lanjut perintah Peraturan
√ Perpres ini melaksanakan perintah Pasal Perpres ini melaksanakan perintah Undang-undang nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
3 Untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
√ Pada dasar hukum mengingat Perpres ini terdapat Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaaan pemerintahan adalah Presiden. Dalam konsep negara Republik, Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan.
4 Tindak lanjut Putusan MA
√
16. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan
Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah
1 Melaksanakan lebih lanjut perintah Undang-undang
√ Menurut Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa Perpres berisi materi yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan PP, atau materi untuk
√
66
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
melaksanakan kekuasaan Pemerintahan.
2 Melaksanakan lebih lanjut perintah Peraturan
√ Perpres ini melaksanakan perintah Perpres ini melaksanakan perintah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan sosial Nasional dan Undang-undang nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
3 Untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan
√ Pada dasar hukum mengingat Perpres ini terdapat Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pemegang kekuasaaan pemerintahan adalah Presiden. Dalam konsep negara Republik, Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan.
4 Tindak lanjut Putusan MA
√
17. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
1 Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yang meliputi:
Judul Undang-Undang No.36 Tahun 2009 (UU) Dalam penjelasan lampiran II UU 12/2011, judul peraturan perundangan – undangan (PUU) selain memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan, nama PUU dibuat menggunakan suatu kata atau frasa yang maknanya
√
67
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
mencerminkan essensial dari isi PUU tersebut, dalam hal ini UU No. 36 Tahun 2009 menggunakan kata “Kesehatan” sebagai nama UU, pada pasal 1 ketentuan umum UU ini yang dimaksud dengan “Kesehatan” adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. namun ditinjau dari analisis materi muatan akan lebih tepat bila menggunakan judul “Sistem Kesehatan Nasional” karena didalamnya memuat induk dari unsur-unsur upaya kesehatan. Sedangkan dalam pasal 1 ketentuan umum menjelaskan bahwa Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam Pasal 167 ayat (4) mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden mengenai pengelolaan kesehatan, berdasarkan pasal tersebut telah dibentuk Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang “Sistem Kesehatan Nasional”, yang didalam pasal 1 ketentuan umum menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Sistem Kesehatan Nasional adalah Sistem Kesehatan
68
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Nasional, yang selanjutnya disingkat SKN adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, maknanya sesuai dengan dasar sosiologis konsideran menimbang UU Nomor 36 Tahun 2009 bahwa upaya peningkatan kesehatan menjadi tanggung jawab semua pihak dan sebagai investasi pembangunan negara. Konsideran UU Dalam penjelasan lampiran II UU 12/2011, bahwa konsideran UU diawali dengan kata menimbang, memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan PUU, berurutan memuat unsur filosofis, sosiologis, yuridis. Unsur filisofis menggambarkan cita hukum meliputi suasana kebatinan falsafah bangsa yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, dalam UU ini tersirat pada konsideran menimbang huruf a bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan, unsur sosiologis menggambarkan kebutuhan masyarakat dalam aspek kesehatan
69
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
tersirat pada konsideran menimbang huruf b, c, dan d bahwa upaya peningkatan kesehatan menjadi tanggung jawab semua pihak dan sebagai investasi pembangunan negara, unsur yuridis menggambarkan solusi permasalahan hukum atau untuk mengisi kekosongan hukum, dalam UU ini tersirat pada konsideran menimbang huruf e bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu dicabut dan diganti dengan yang baru. Dasar Hukum UU Dalam penjelasan lampiran II UU 12/2011, bahwa dasar hukum UU diawali dengan kata mengingat memuat dasar kewenangan pembentukan PUU dan dasar hukum dalam PUU yang memerintahkan pembentukan UU ini. Dasar Hukum mengingat UU ini terdiri atas tiga pasal yaitu pasal 20, pasal 28H ayat (1), pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 20 Pasal ini merupakan landasan formil untuk memenuhi asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (Pasal 5 huruf b UU 12/2011).
70
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Pasal 28H ayat (1) Ditinjau dari aspek kesehatan dalam pasal ini memberikan hak kepada setiap orang untuk hidup dilingkungan yang sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan Pasal 34 ayat (3) Ditinjau dari aspek kesehatan dalam pasal ini menyebutkan bahwa negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, dan pada pasal 34 ayat (4) menyebutkan bahwa pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Politik Hukum UU Untuk mencapai tujuan nasional dilakukan melalui upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk diantaranya pembangunan kesehatan. Upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya memiliki arti penting guna pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa, serta pembangunan nasional. Kesimpulan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tepat dituangkan dalam jenis UU
71
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
dengan perubahan judul tersebut diatas.
19. HAM √ UU ini mengambil dasar tentang hak asasi manusia dalam konsideran menimbang huruf a bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
20. Hak dan kewajiban warga Negara
√ UU ini mengatur mengenai Hak dan Kewajiban warga negara dalam Bab III tentang Hak dan Kewajiban Pasal 4 hingga pasal 13
21. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagian kekuasaan Negara
√
22. Wilayah Negara dan pembagian daerah
√
23. Kewarganegaraan dan kependudukan
√
24. Keuangan Negara
√ Dalam pasal 171 diatur pembagian dan prioritas anggaran kesehatan pemerintah pusat dan pemerintah daerah
72
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
2 Perintah Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang
√
3 Pengaturan mengenai kewenangan absolut Pemerintah Pusat
√ Bidang kesehatan tidak termasuk dalam urusan pemerintahan absolut, tapi termasuk kedalam urusan konkuren yang menjadi kewenangan daerah dalam urusan pemerintah wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar (berdasarkan pasal 12 UU 23/2014 ttg Pemda)
4 Tindak lanjut Putusan MK
√
18. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
1 Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yang meliputi:
A. Analisis terhadap “nama” UU: Dalam petunjuk No.3 Lampiran II UU 12/2011, dinyatakan bahwa nama PUU menggunakan kata atau frasa, yang secara esensial maknanya telah mencerminkan isi dari PUU itu sendiri. Ditinjau dari namanya, “Hak Asasi manusia”
√
73
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
dapat diasumsikan bahwa UU ini berisi tentang ketentuan mengenai perilndungan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia.
B. Analisis terhadap dasar hukum mengingat:
Dalam bagian dasar hukum mengingat UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, disebutkan 11(sebelas ) pasal UUD 1945, yaitu: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945.
- Pasal 5 ayat (1) Penyebutan pasal ini adalah untuk menunjukkan bahwa pembentgukan UU ini dibentuk oleh kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat. Sebagaimana dimaksud asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat dalam Pasal 5 huruf b UU 12 Tahun 2011, dalam hal ini Presiden sebagai kepala pemerintahan (landasan formil);
- Pasal 20 ayat (1) Pada dasarnya penyebutan pasal 20
74
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
adalah sama maknanya dengan penyebutan Pasal 5 ayat(1), yaitu untuk memenuhi asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat (Pasal 5 huruf b UU 12 Tahun 2011).
- Pasal 26 Pasal ini mencantumkan bahwa warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan sebagai warga negara. Selain itu disebutkan pula bahwa penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Pencantuman pasal ini dalam UU No.39/1999 ingin menegaskan bahwa seluruh warga negara dan penduduk Indonesia mendapat perlindungan HAM
- Pasal 28 Pasal ini menegaskan bahwa pelindungan HAM bagi warga negara dan penduduk Indonesia meliputi kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
75
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Pasal 28 UUD 1945 ini merupakan pasal yang secara khusus mengenai HAM, hal ini tercantum dalam Pasal 28A hingga Pasal 28 J yang secara terperinci mengatur hak dan kewajiban warga negara dalam usaha pemenuhan HAM
- Pasal 29 Pasal ini mengatur tentang perlindungan HAM dari segi agama. Dalam hal ini negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
- Pasal 30 Pasal ini secara umum mengatur tentang Pertahanan dan keamanan negara serta usaha pertahanan dan keamanan semesta oleh TNI, Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Terkait masalah HAM memang tidak secara khusus tersurat dalam Pasal ini,namun dalam ayat (4) dicantumkan
76
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
mengenai tugas Polri adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Mengenai tugas Polri tersebut cukup penting dalam perlindungan HAM di Indonesia, khususnya fungsi penegakan hukum jika terjadi pelanggaran HAM terhadap warga negara Indonesia. Disarankan sebaiknya dalam UU No.39 Tahun 1999 ini untuk mencantumkan secara khusus Pasal 30 ayat (4) dalam ketentuan mengingat, hal ini karena terkait masalah HAM yang disebutkan dalam Pasal 30 tidak secara langsung menyebutkan kewenangan TNI dalam pemenuhan HAM. Kewenangan TNI yang disebutkan dalam pasal ini lebih kearah pertahanan negara.
- Pasal 31 Pasal ini mengatur tentang pendidikan dan kebudayaan. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan
77
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
pengajaran adalah salah satu hak asasi yang paling mendasar, oleh sebab itu setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Selain itu pemerintah wajib membiayai pendidikan serta mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.
- Pasal 32 Pasal 32 ini mengatur tentang kebudayaan nasioanl dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
- Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3) Pasal 33 ayat (1) menyebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan sedangkan Pasal 33 ayat (2) mengatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Baik dari segi isi, sejarah pencantuman
78
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
maupun penafsiran MK, menunjukan bahwa Pasal 33 merupakan satu kesatuan yang utuh, ayat yang satu berkaitan dengan ayat yang lain. Makna Pasal 33 UUD 1945 ini berintikan bahwa perekonomian nasional dilaksanakan dengan asas kekeluargaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan oleh karenanya cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak perlu dikuasai oleh Negara. Oleh karena Pasal 33 ini harus dilihat secara utuh, maka tidak tepat jika hanya sebagian ayat saja yang dijadikan sebagai dasar hukum membentuk suatu UU. (lihat contoh kasus JR UU 7/2004 tentang SDAir, Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 hlm. 131-145) juga membahas dan menafsirkan ayat (1) dan (2) dan (4), walaupun UU ini hanya menggunakan ayat (3) dan (5) sebagai landasan hukumnya). Berdasarkan dari pertimbangan tigas
79
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
aspek (isi, sejarah dan pendapat MK) tersebut, maka dapat dipahami makna pasal 33 ini adalah bahwa dalam menerapkan roda perekonomian nasional dan pemanfaatan SDA harus dalam rangka menjamin kepentingan masyarakat secara kolektif dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, serta adanya penguasaan Negara atas cabang-cabang produksi strategis (menguasai hajat hidup orang banyak). Jika tidak menjiwai ketiga kriteria tersebut, maka suatu UU tidak dapat melegitimasi Pasal 33 UUD 1945 sebagai dasar hukum pembentukannya. Beberapa unsur yang harus ada ketika suatu UU yang menyatakan dirinya sebagai pengaturan lebih lanjut Pasal 33 UUD 1945 dapat disebutkan sbb:
- Adanya cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai oleh Negara;
- Adanya
80
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
pembatasan hak-hak individu/swasta untuk kepentingan kolektif dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
- Pasal 34 Pasal ini mengatur tentang kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar. Selain itu negara wajib menyediakan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Selain itu Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
C. Analisis terhadap Politik Hukum (arah pengaturan):
Politik hukum UU No.39 Tahun 1999 tentan HAM dapat
81
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
ditinjau dari konsideran menimbang dan/atau penjelasan umum nya.
Dalam konsideran menimbang, dikatakan bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya; hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan
82
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
Dalam ketentuan umum disebutkan bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Di samping itu, untuk mengimbangi kebebasan tersebut manusia memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut hak asasi manusia yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugerah Tuhan Yang, Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat diingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, negara,
83
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
pemerintah, atau organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa kecuali. Ini berarti bahwa hak asasi manusia harus selalu menjadi titik tolak, dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kesimpulan analisis:
UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM ini sudah tepat dituangkan dalam jenis UU. Hal ini mengingat bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng.
25. HAM √ Undang-undang ini secara khusus mengatur mengenai masalah HAM
26. Hak dan kewajiban warga Negara
√ Bab III Pasal 9-Pasal 66 mengatur tentang HAM dan Kebebasan Dasar Manusia Bab IV Pasal 67-Pasal 70 mengatur mengenai Kewajiban Dasar Manusia
27. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara
√
84
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
serta pembagian kekuasaan Negara
28. Wilayah Negara dan pembagian daerah
√
29. Kewarganegaraan dan kependudukan
√
30. Keuangan Negara
√
2 Perintah Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang
√
3 Pengaturan mengenai kewenangan absolut Pemerintah Pusat
√
4 Tindak lanjut Putusan MK
√
19. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
1 Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI
Analisis terhadap “nama” UU: Dalam petunjuk No.3
√
85
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Tahun 1945, yang meliputi:
Lampiran II UU 12/2011,
dinyatakan bahwa nama
PUU menggunakan kata
atau frasa, yang secara
esensial maknanya telah
mencerminkan isi dari
PUU itu sendiri. Ditinjau
dari namanya, “Praktik
Kedokteran
” dapat diasumsikan bahwa UU ini berisi tentang ketentuan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran
Analisis terhadap dasar hukum mengingat: Pasal 20 dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; tidak mencantumkan Pasal 28H ayat (1) Ditinjau dari aspek kesehatan dalam pasal ini memberikan hak kepada setiap orang untuk hidup dilingkungan yang sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan Pasal 34 ayat (3)
Ditinjau dari aspek kesehatan dalam pasal ini menyebutkan bahwa negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, dan pada pasal 34 ayat (4) menyebutkan bahwa pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-
86
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
undang. Kesimpulan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran tidak tepat dituangkan dalam jenis UU sebab secara substansi tidak dalam rangka mengatur lebih lanjut dari Pasal tertentu dalam UUD NRI Tahun 1945. Jenis peraturan perundang-undangan yang direkomendasikan adalah dalam bentuk Peraturan Presiden.
31. HAM √
32. Hak dan kewajiban warga Negara
√
33. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagian kekuasaan Negara
√
34. Wilayah Negara dan pembagian daerah
√
35. Kewarganegaraan dan kependudukan
√
36. Keuangan √
87
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Negara 2 Perintah
Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang
√
3 Pengaturan mengenai kewenangan absolut Pemerintah Pusat
√
4 Tindak lanjut Putusan MK
√
20. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
1 Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yang meliputi:
Analisis terhadap “nama” UU: Dalam petunjuk No.3 Lampiran II UU 12/2011, dinyatakan bahwa nama PUU menggunakan kata atau frasa, yang secara esensial maknanya telah mencerminkan isi dari PUU itu sendiri. Ditinjau dari namanya, “Kesehatan Jiwa” dapat diasumsikan bahwa UU ini berisi tentang ketentuan mengenai pelayanan kesehatan jiwa.
Analisis terhadap dasar hukum mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal
√
88
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dasar hukum tersebut sama dengan dasar hukum mengingat dari undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam konsideran menimbang huruf d menerangkan bahwa pengaturan penyelenggaraan upaya kesehatan jiwa dalam peraturan perundang-undangan saat ini belum diatur secara komprehensif sehingga perlu diatur secara khusus dalam satu Undang-Undang; Kesehatan Jiwa merupakan sub bagian dari upaya kesehatan dalam undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Kesimpulan UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa tidak tepat dituangkan dalam jenis UU sebab secara substansi merupakan sub bagian dari upaya kesehatan. Jenis peraturan perundang-undangan yang direkomendasikan adalah dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
37. HAM √
38. Hak dan kewajiban warga
√
89
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Negara
39. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagian kekuasaan Negara
√
40. Wilayah Negara dan pembagian daerah
√
41. Kewarganegaraan dan kependudukan
√
42. Keuangan Negara
√
2 Perintah Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang
√
3 Pengaturan mengenai kewenangan absolut Pemerintah Pusat
√
4 Tindak lanjut Putusan MK
√
90
21. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
1 Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI Tahun 1945, yang meliputi:
Analisis terhadap “nama” UU: Dalam petunjuk No.3 Lampiran II UU 12/2011, dinyatakan bahwa nama PUU menggunakan kata atau frasa, yang secara esensial maknanya telah mencerminkan isi dari PUU itu sendiri. Ditinjau dari namanya, “Narkotika” dapat diasumsikan bahwa UU ini berisi tentang ketentuan mengenai pengendalian dan pengawasan Narkotika Analisis terhadap dasar hukum mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 Dalam dasar hukum tersebut ada dua dasar hukum mengenai konvensi internasional terkait peredaran gelap narkotika. Konsideran menimbang secara menyeluruh mendasarkan pada pengendalian dan pengawasan bahaya penyalahgunaan dan
√
91
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, ini merupakan kekhususan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan. Kesimpulan UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini sudah tepat dituangkan dalam jenis UU. Hal ini mengingat bahwa Narkotika, ini memiliki sifat kekhususan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.
43. HAM √
44. Hak dan kewajiban warga Negara
√
45. Pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagian kekuasaan Negara
√
46. Wilayah Negara dan pembagian daerah
√
47. Kewarganegaraan dan kependudukan
√
48. Keuangan Negara
√
2 Perintah √
92
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang
3 Pengaturan mengenai kewenangan absolut Pemerintah Pusat
√
4 Tindak lanjut Putusan MK
√
22. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 46 Tahun 2014 tentang
Sistem Informasi Kesehatan
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 46 Tahun 2014
tentang Sistem Informasi Kesehatan
1 Melaksanakan ketentuan Undang-undang (diperintahkan secara tegas)
√ melaksanakan ketentuan
Pasal 168 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
√
2 Melaksanakan ketentuan Undang-Undang sepanjang diperlukan (tidak diperintahkan secara tegas)
93
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
3 Tindak lanjut Putusan MA
23. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 47 Tahun 2016 tentang
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 47 Tahun 2016
tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan
1 Melaksanakan ketentuan Undang-undang (diperintahkan secara tegas)
√ melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat (5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2OO9 tentang Kesehatan
√
2 Melaksanakan ketentuan Undang-Undang sepanjang diperlukan (tidak diperintahkan secara tegas)
3 Tindak lanjut Putusan MA
24. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 Tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
94
NO. INDIKATOR KESESUAIAN ANALISIS REKOMENDASI
YA TIDAK TETAP
UBAH CABUT
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998
Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan
1 Melaksanakan ketentuan Undang-undang (diperintahkan secara tegas)
√ melaksanakan ketentuan
Pasal 43 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan
perlu disesuaikan dengan
Undang-Undang kesehatan
terbaru Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan
√
2 Melaksanakan ketentuan Undang-Undang sepanjang diperlukan (tidak diperintahkan secara tegas)
3 Tindak lanjut Putusan MA
95
BAB III
KEJELASAN RUMUSAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bab ini berisi narasi, data, dan hasil analisis dan evaluasi hukum dalam
dimensi kejelasan rumusan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap
peraturan perundang-undangan harus disusun sesuai dengan teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan, yang memperhatikan :
- Sistimatika,
- Pilihan kata atau istilah,
- Teknik penulisan,
- Penggunaan bahasa peraturan perundang-undangan yang lugas dan
pasti, hemat kata, obyektif dan menekan rasa subjektif,
- Pembakuan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara
konsisten,
- Pemberian definisi atau batasan artian secara cermat, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interprestasi dalam pelaksanaannya.
Analisis Dimensi 2 terhadap :
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional dapat dilihat pada tabel dibawah ini. UU SJSN ini terdiri
dari IX bab dan 53 pasal, mengatur bahwa Negara memberikan jaminan
terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta
dan/atau anggota keluarganya, dengan sistimatika sebagai berikut :
1. Ketentuan Umum,
2. Asas, Tujuan, dan Prinsip Penyelenggaraan
3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
4. Dewan Jaminan Sosial Nasional
5. Kepesertaan dan Iuran
6. Program Jaminan Sosial
96
7. Pengelolaan Dana Jaminan Sosial
8. Ketentuan Peralihan
9. Ketentuan Penutup
2. Status pasal :
Masih berlaku;
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 2 Dalam teknik penulisan norma,
penyebutan asas tidak diperlukan,
karena tidak akan operasional (tidak
memiliki operator norma). Asas
adalah nilai-nilai yang menjiwai
seluruh norma yang berisi
pengaturan. Hal ini sejalan dengan
petunjuk Lampiran II Nomor 98 huruf
c Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Sehingga
sebaiknya tidak dicantumkan dalam
bunyi norma tersendiri yang
menyebutkan asas-asas, cukup
elaborasi asas ada dalam naskah
akademik.
√
2 Pasal 3 Penyebutan tujuan SJSN untuk
memberikan jaminan terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup tidak
diperlukan, karena tidak akan
operasional (tidak memiliki operator
norma). Tujuan memberikan jaminan
terpenuhinya kebutuhan dasar hidup
dapat dituangkan dalam penjelasan
umum dalam lampiran undang-
undang dan dalam naskah
akademiknya. Jika ketetentuan
mengenai tujuan ini dibutuhkan dalam
suatu PUU, maka dirumuskan dalam
salah satu butir pasa1 ttg ketentuan
√
97
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
umum, hal ini sesuai dengan petunjuk
no. 98 huruf c, Lampiran II UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan).
3 Pasal 7 Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa Dewan Jaminan Sosial Nasional berfungsi Nasional berfungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Analisis :
Apa yang dimaksud dengan
merumuskan kebijakan umum, dan
dalam format apa dituangkan
kebijakan umum tersebut, hal ini tidak
dijelaskan dalam UU SJSN. Demikian
juga dengan frase “sinkronisasi
penyelenggaraan Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Apa itu
penyelenggaraan Sistem Jaminan
Sosial Nasional, bagaiman ruang
lingkup sinkronisasi dan cara
melakukan sinkronisasi tidak jelas
maksudnya, sehingga anggota DJSN
memberikan penafsiran yang
beragam tentang hal tersebut.
Akibatnya kedua fungsi tersebut tidak
jelas pelaksanaannya.
√
4 Pasal 7
ayat (3)
Pasal 7 ayat (3) menyebutkan bahwa Dewan Jaminan Sosial Nasional bertugas : a. melakukan kajian dan penelitian yang
berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial;
b. mengusulkan kebijakan investasi Dana Jaminan sosial Nasional; dan
c. mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan tersedianya anggaran operasinal kepada Pemerintah.
Analisis : Pasal 7 ayat (3) huruf b UU SJSN tidak jelas menentukan kepada siapa atau
√
98
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
instansi mana usul kebijakan investasi Dana Jaminan Sosial ditujukan. Kemudian apakah kebijakan investasi aset BPJS tidak tercakup dalam ketentuan Pasal 7 ayat (3) huruf b tersebut.
5 Pasal 8
ayat (2)
Pasal 8 ayat (2) menyebutkan bahwa : Dewan Jaminan Sosial Nasional dipimpin oleh seorang Ketua merangkap anggota dan anggota lainnya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Analisis : siapakan yang memimpin DJSN menurut ketentuan ini pasal ini, ketua DJSN kah atau Ketua DJSN dan anggota lainnya sesuai dengan prinsip kepemimpinan kolekti kolegial.
√
6 Pasal 11 Pasal 11 menyebutkan bahwa: anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional dapat berhenti atau diberhentikan sebelum berakhir masa jabatan karena: a. meninggal dunia; b. berhalangan tetap; c. mengundurkan diri; d. tidak memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud Pasal 8 ayat (6). Analisis : Ketentuan pasal ini tidak secara tegas memisahka alasan berhenti dan alasan diberhentikan. Alasan berhenti pada umumnya adalah alasan yang bersifat wajar, sedangkan alasan untuk diberhentikan pada umumnya ialah dalam hal anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional melakukan pelanggaran terhadap persyaratan atau larangan yang ditentukan dalam Undang-undang.
√
7 Pasal 15
ayat (1)
Pasal 15 ayat (1) menentukan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan nomor identitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya. Analisis : Apa yang dimaksud dengan nomor identitas tunggal ? Tidak ada
√
99
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
penjelasannya. Apakah nomor identitas tunggal tersebut berlaku untuk semua program yang diikuti dan untuk kedua BPJS? Apakah hanya dalam bentuk nomor saja atau berbentuk kartu peserta yang memuat nomor identitas tunggal.
8 Pasal 23
ayat (4)
Pasal 23 ayat (4) menyebutkan bahwa : Dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, maka kelas pelayanan di rumah sakit diberikan berdasarkan kelas standar. Analisis : Undang-undang Sisitem Jaminan Sosial Nasional ini tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kelas standar sehingga dalam praktek peserta yang membutuhkan rawat inap di rumah sakit mendapat pelayanan rawat inap di rumah sakit di Kelas I, Kelas II, atau Kelas III sesuai dengan kategori kepesertaannya.
√
9 Pasal 24 ayat (1)
Pasal 24 ayat (1) menyebutkan bahwa : Besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah tersebut. Analisis : Undang-undang ini tidak secara jelas menentukan bentuk “kesepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan dan asosiasi fasilityas kesehatan di wilayah tersebut” untuk menentukan besarnya pembayaran kepada fasilitas kesehatan untuk setiap wilayah. Apakah dalam bentuk perjanjian notoriilatau di bawah tangan atau cukup Nota Kesepahaman.
√
10 Pasal 24 ayat (2)
Pasal 24 ayat (2) menyebutkan : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membayar fasilitas kesehatanatas pelayanan yang diberikan kepada peserta
√
100
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
paling lambat 15 (lima belas) hari sejak permintaan pembayaran diterima. Analisis : Frasa “sejak permintaan pembayaran diterima”, penjelasan Pasal 24 ayat (2) tidak menjelaskan frasa tersebut, tetapi menjelaskan hal lain seperti bahwa ketentuan tersebut menghendaki agar BPJS membayar fasilitas kesehatan secara efektif dan efisien, kapitasi, dan cakupan anggaran kapitasi.
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial
1. UU BPJS ini terdiri dari 18 Bab, 71 Pasal, mengatur untuk mewujudkan
terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar
hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya,
dengan sistimatika sbb :
1. Ketentuan umum
2. Pembentukan dan rauang lingkup
3. Status dan tempat kedudukan
4. Fungsi, tugas, wewenang, hak dan kewajiban
5. Pendaftaran peserta dan pembayaran iuran
6. Organ BPJS
7. Persyaratan, tata cara pemilihan dan penempatan, dan
pemberhentiananggota dewan pengawas dan anggota direksi
8. Pertanggungjawaban
9. Pengawasan
10. Aset
11. Pembubarab BPJS
12. Penyelesaian sengketa
13. Hubungan dengan lembaga lain
14. Larangan
15. Ketentuan pidana
16. Ketentuan lain-lain
101
17. Ketentuan peralihan
18. Ketentuan penutup
2. Status pasal :
Masih berlaku;
Pasal 15 ayat (1), bertentangan dengan UUD 1945 berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 82/PUU-X/2012.
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Pasal 1 Penyebutan batasn pengertian atau
definisi dapat dituangkan dalam salah
satu butir pasa1 tentang ketentuan
umum dapat dilihat dalam petunjuk no.
98 huruf c, Lampiran II UU No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
√
2 Pasal 2 Penyebutan Dasar ketentuan yang
dipakai dapat dituangkan dalam dasar
hukum dimana materi yang diatur
dalam undang-undang yang akan
dibentuk merupakan penjabaran dari
pasal atau beberapa pasal Undang-
Undang Dasar Negera RI Tahun 1945,
pasal tersebut dicantumkan sebagai
dasar hukum (petunujuk no.98
Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
√
3 Pasal 16
ayat (1)
Pasal 16 ayat (1) menyebutkan bahwa : setiap orang selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memnuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. Analisis :
√
102
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
Dalam UU BPJS tidak menentukan apa saja “persyaratan kepesertaan” bagi setiap orang selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan PBI, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal tersebut.
4 Pasal 21
ayat (5)
Pasal 21 ayat (5) menyebutkan bahwa : Anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diusulkan untuk diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Analisis : Pasal ini ambigu, tidak jela maksudnya. Apakah pengusulan kembali tersebut tetap mengikuti proses seleksi atau tidak ? Apakah pengusulan kembali tersebut berarti kembali pada posisi atau jabatan sebelumnya.
√
5 Pasal 34
huruf c
dan
huruf e
Pasal 34 huruf c dan huruf e menyebutkan bahwa : Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi diberhentikan dari jabatannya karena : c. Merugikan BPJS dan kepentingan Peserta Jaminan Sosial karena kesalahan kebijakan yang diambil; e. Melakukan perbuatan tercela. Analisis : Hal ini dapat digunakan sebagai alasan untuk menjatuhkan anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi dengan alasan yang tidak terukur.
√
6 Pasal 38
ayat (1)
Pasal 38 ayat (1) menyebutkan bahwa Direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian finansial yang ditimbulkan atas kesalahan pengelola Dana Jaminan Sosial. Analisis :
√
103
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
Dalam UU BPJS tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “kerugian finansial” dan lembaga mana yang berwenang untuk menentukan ada atau tidak adanya kesalahan pengelolaan Dana Jaminan Sosial yang menimbulkan kerugian finansial.
7 Pasal 38
ayat (2)
Pasal 38 ayat (2) menyebutkan bahwa Pada akhir masa jabatan, Dewan Pengawas dan Direksi wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN. Analisis : Dalam UU BPJS tidak jelas menentukan lembaga mana yang berwenang untuk menyatakan penerimaan dan pembebasan terhadap pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas Dewan Pengawas dan Direksi.
√
8 Pasal 56
ayat (2)
Pasal 56 ayat (2) menyatakan bahwa Dalam hal terdapat kebijakan fiskal dan moneter yang mempengaruhi tingkat solvabilitas BPJS, Pemerintah dapat mengambil kebijakan khusus untuk menjamin kelangsungan program Jaminan Sosial. Analisis : Frasa “Pemerintah dapat mengambil kebijakan khusus”, tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan pemerintah dapat mengambil kebijakan khusus tersebut. Berbeda halnya dengan Pasal 56 ayat (3) UU BPJS khususnya frase “Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus”, frasa tersebut dijelaskan dalam penjelasannya yang menyatakan bahwa “tindakan khusus” tersebut antara lain berupa penyesuaian manfaat, iuran, dan/atau
√
104
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
usia pensiun sebagai upaya terakhir. Apakah “kebijakan khusus” pada ayat (2) dapat dimaknai sama dengan “tindakan khusus” pada ayat (3)? UU tidak secara jelas menyatakan demikian.
3. UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit ini terdiri dari
15 Bab, 66 Pasal, dibentuk dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat
jalan, dan gawat darurat, dengan karateristik tersendiri yang harus tetap
mampu meningkatkan pelayananan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat secara menyeluruh, diberikan melalui institusi. Sistimatika sebagai
berikut :
1. ketentuan umum;
2. asas dan tujuan;
3. tujuan dan fungsi;
4. tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah;
5. persyaratan;
6. jenis dan klasifikasi;
105
7. perizinan;
8. kewajiban dan hak;
9. penyelenggaraan;
10. pembiayaan;
11. pencatatan dan pelaporan;
12. pembinaan dan pengawasan;
13. ketentuan pidana;
14. ketentuan peralihan;
15. ketentuan penutup.
2. Status pasal :
Masih berlaku;
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Pasal 2 Sesuai petunjuk No. 98 Lampiran II UU No.12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
PUU. Dalam petunjuk huruf c dikatakan
bahwa ketentuan yang mencerminkan asas,
maksud dan tujuan seharusnya masuk dalam
ketentuan umum dan tidak dirumuskan
tersendiri dalam pasal atau bab.
√
2 Pasal 3
Tujuan UU pada dasarnya telah tercermin
dalam konsiderans menimbang dan lebih
rincci tercantum dalam penjelasan umum
pada lampiran undang-undang. dan lebih rinci
lagi terdapat dalam naskah akademiknya.
Jika ketetentuan mengenai tujuan ini
dibutuhkan dalam suatu peraturan
perundang-undangan maka dirumuskan
dalam salah satu butir pasal tentang
ketentuan umum. Hal ini sbgmn dimaksud
√
106
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
dalam petunjuk no. 98 huruf c, Lampiran II
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
3 Pasal 7 ayat (3)
Pasal 7 Ayat (3) UU RS 44/2009 menyebutkan
bahwa Rumah Sakit yang didirikan oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus
berbentuk Unit Pelaksana Teknis dari Instansi
yang bertugas di bidang kesehatan, Instansi
tertentu atau Lembaga Teknis Daerah dengan
pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan
Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Analisis :
Secara lugas pada pasal ini terdapat pilihan ATAU
menjadi Lembaga Teknis Daerah (LTD) dengan
pengelolaan secara BLU atau BLUD. Sehingga
tafsiran atas Pasal 7 Ayat (3) UU RS Nomor 44
Tahun 2009 tersebut adalah jika rumah sakit milik
Pemerintah Pusat maka HARUS dalam bentuk
UPT yang berada dibawah Ditjen BUK Kemenkes
dengan pengelolaan secara Badan Layanan
Umum (BLU), sedangkan jika rumah sakit milik
Pemerintah Daerah maka HARUS dalam bentuk
Lembaga Teknis Daerah dengan pengelolaan
secara Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
Dapat disimpulkan juga bahwa pilihan menjadi
Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari instansi yang
bertugas di bidang kesehatan adalah Rumah Sakit
vertikal milik Pemerintah melalui Kementerian
Kesehatan.
√
4 Pasal 16 Pasal 16 mengatur tentang persyaratan peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) meliputi peralatan medis dan nonmedisharus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan laik pakai. Analisis : Ketentuan pasal 16 ini bersifat administratif, namun dalam pasal-pasal Selanjutnya yang menjadi masalah adalah ketentuan pasal 16 ini bersifat administratif.
√
107
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
Namun, dalam pasal-pasal selanjutnya yang menjelaskan tentang sanksi, dikatakan bahwa sanksi yang diberikan untuk pelanggaran pasal ini adalah sanksi pidana. Sehingga, yang turut menjadi permasalahan kemudian adalah bagaimana kita dapat mencantumkan sanksi pidana terhadap pasal ini, apabila ketentuannya bersifat administratif dan pengaturan lebih lanjut terhadap pasal-pasal tersebut dilimpahkan kepada Peraturan Perundang-undangan (lainnya), Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Menteri.
5 Pasal 17 Pasal 17 menyatakan bahwa : Rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak diperpanjang izin operasionalnya. Analisis : Ketika akan dibenturkan dengan pasal 17 tentang pencabutan izin operasional atau tidak diberikannya izin mendirikan rumah sakit, maka masalah lain yang muncul adalah kemungkinan akan “pemakluman” dan “pembijaksanaan-pembijaksanaan” yang sifatnya negatif dari pihak-pihak yang ingin mencari keuntungan sendiri tanpa mempertimbangkan dampak negatif dari “pemakluman” dan “pembijaksanaan-pembijaksanaan” ini terhadap keselamatan dan kepuasan pasien yang menjadi isu utama diusungnya kebijakan tentang rumah sakit ini.
√
6 Pasal 21 Dalam Pasal 21 disebutkan bahwa Rumah Sakit privat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Analisis : Hal ini juga bertentangan dengan tujuan dari UU
RS dimana dalam pasal 2 dijelaskan bahwa Rumah
Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan
didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan
profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan
hak dan anti diskriminasi, pemerataan,
perlindungan dan keselamatan pasien, serta
√
108
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
mempunyai fungsi sosial.
7 Pasal 34 ayat (1)
Pasal 34 ayat 1 dalam UU rumah sakit menyatakan bahwa keharusan kepala rumah sakit adalah seorang tenaga medis. Bunyi lengkap ayat
tersebut adalah “Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian dibidang perumahsakitan”. Analisis : Pasal tersebut sebenarnya merugikan semua tenaga kesehatan lainnya ataupun profesi lain yang mampu secara kepemimpinan dan manajerial untuk memimpin rumah sakit. UU rumah sakit pasal 34 memutuskan harapan profesi lain yang secara kepemimpinan dan manajerial mampu memimpin rumah sakit, bahkan jika kembali pada UUD 1945 pasal 27, pasal tersebut telah melanggar UUD yaitu hak asasi seseorang untuk layak mendapatkan pekerjaan maupun kedudukan.
√
4. UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
1. UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ini terdiri dari
14 Bab, 64 Pasal, mengatur bahwa negara memberikan jaminan
terhadap semua orang untuk memperoleh informasi dari badan publik,
masyarakat dapat memantau setiap kebijakan, aktivitas maupun
anggaran badan-badan publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan
negara maupun yang berkaitan dengan kepentingan publik lainnya, hal
109
ini merupakan pemenuhan hak asasi manusia sebagai salah satu wujud
dari kehidupan berbangsa dan bernegara., dengan sistimatika sbb :
1. ketentuan umum;
2. asas dan tujuan;
3. hak dan kewajiban pemohon dan pengguna informasi publik
serta hak dan kewajiban badan publik;
4. informasi yang wajib disediakan dan diumumkan;
5. informasi yang dikecualikan;
6. mekanisme memperoleh informasi;
7. komisi informasi
8. keberatan dan penyelesaian sengketa melalui komisi
informasi;
9. hukum acara komisi;
10. gugatan ke pengadilan dan kasasi;
11. ketentuan pidana;
12. ketentuan lain-lain;
13. ketentuan peralihan;
14. ketentuan penutup.
2. Status pasal :
Masih berlaku;
Pasal 5 ayat (2), (3), (4) tidak berlaku berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005, tanggal 31
Agustus 2005;
Pasal 13 ayat (1)
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Pasal 2 Sesuai petunjuk No. 98
Lampiran II UU No.12 Tahun 2011
tentang Pembentukan
√
110
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
Peraturan PUU. Dalam petunjuk
huruf c dikatakan bahwa
ketentuan yang mencerminkan
asas, maksud dan tujuan
seharusnya masuk dalam
ketentuan umum dan tidak
dirumuskan tersendiri dalam
pasal atau bab.
2 Pasal 3 Tujuan UU pada dasarnya telah
tercermin dalam konsiderans
menimbang dan lebih rincci
tercantum dalam penjelasan
umum pada lampiran undang-
undang. dan lebih rinci lagi
terdapat dalam naskah
akademiknya. Jika ketetentuan
mengenai tujuan ini dibutuhkan
dalam suatu peraturan
perundang-undangan maka
dirumuskan dalam salah satu
butir pasal tentang ketentuan
umum. Hal ini sbgmn dimaksud
dalam petunjuk no. 98 huruf c,
Lampiran II UU No. 12 Tahun
2011 tentang Peraturan
Perundang-Undangan
√
3 Pasal 3 Pasal 3 huruf :
b. mendorong partisipasi
masyarakat dalam proses
pengambilankebijakan publik;
c. meningkatkan peran aktif
masyarakat dalam
pengambilankebijakan publik dan
pengelolaan Badan Publik yang
baik;
Analisis :
BPJS adalah salah satu Badan
Publik yang pengelolaannya
harus open management,
√
111
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
sehingga mutlak harus
melibatkan masyarakat tidak
hanya sebagai penerima
manfaat, tetapi juga memberi
masukan dalam pengambilan
keputusan agar kebijakan yang
dihasilkan relevan dengan
kebutuhan masyarakat.
Kewajiban BPJS jika dikaitkan
dengan Pasal ini adalah harus
meningkatkan peran aktif
masyarakat. Hak masyarakat
untuk berperanserta secara
terorganisasi adalah bagian dari
penyelenggaraan pemerintahan
yang baik. Sehingga pelayanan
kesehatan sebagai bagian dari
pembangunan akan lebih
berjalan efektif, efisien dan
terlembaga. Pelibatan
masyarakat melalui partisipasi
yang melembaga dibutuhkan
untuk keberlanjutan BPJS.
4 Pasal 7 ayat (3)
Pasal 7 ayat (3) menyatakan bahwa untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik harus membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola Informasi publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah. Analisis : Masyarakat atau pihak yang
memerlukan informasi , karena
tidak jelas rumusan frase bahwa
Badan Publik harus membangun
dan mengembangkan sistem
informasi dan dokumentasi, dalam
bentuk ada hal tersebut.
√
112
5. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Pasal 2 Pada pasal 2 ayat (1) “Kriteria Fakir
Miskin dan Orang Tidak Mampu
ditetapkan oleh Menteri setelah
berkoordinasi dengan menteri
dan/atau pimpinan lembaga terkait”
tidak ditemukan keterangan
mengenai menteri dan lembaga
terkait didalam ketentuan umum
maupun pasal-pasal setelahnya
√
2 Pasal 4
Pasal 4 berada dalam bab baru namun
rumusan pasal 4 menjelaskan
prosedur yang dilakukan sebelum
pasal 3, maka seharusnya pasal 4
dimasukkan dalam bab II bukan bab III
√
3 Pasal 10 ayat (2)
Pasal 10 ayat (2) berbunyi “ Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang kesehatan menyampaikan
usulan anggaran Jaminan Kesehatan bagi
PBI Jaminan Kesehatan kepada menteri
yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan
berdasarkan usulan DJSN” pada akhir
kalimat yang menyebutkan “berdasarkan
usulan dari DJSN” merupakan
pengulangan dan sudah dijelaskan dalam
pasal 10 ayat (1) dan awal kalimat pasal 10
ayat (2)
√
4 Pasal 11 Pasal 11 ayat (1) penggunaan kata “dan”
hendaknya diganti dengan kata “atau”.
Karena huruf a dan huruf b tidak
dimaksudkan secara kumulatif, melainkan
alternatif.
√
113
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2013 Tentang Modal Awal
Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Pasal 2 Pasal 2 ayat (2) mengenai “anggaran
negara yang dipisah” memiliki definisi
yang sama seperti pada pasal 2 ayat
(3) seharusnya pasal 2 ayat (2)
dihilangkan sehingga pasal 2 hanya
memiliki 2 ayat.
√
2 Pasal 3
Rumusan pada pasal 3 menjelaskan
mengenai menteri yang melaksanakan
pemberian modal awal kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan seharusnya berada pada
pasal 1
√
7. Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Pasal 2 Pasal 2 ayat (2) mengenai “anggaran
negara yang dipisah” memiliki definisi
yang sama seperti pada pasal 2 ayat
(3) seharusnya pasal 2 ayat (2)
dihilangkan sehingga pasal 2 hanya
memiliki 2 ayat.
√
114
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
2 Pasal 4
Hal-hal lain yang bersifat umum yang
berlaku bagi pasal atau beberapa
pasal berikutnya antara lain ketentuan
yang mencerminkan asas, maksud,
dan tujuan tanpa dirumuskan
tersendiri dalam pasal atau bab
seharusnya dimuat dalam ketentuan
umum. Merujuk pada petunjuk no.98
Lampiran II UU No.12 Tahun 2011
√
8. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain
Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja,
Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan
Jaminan Sosial.
Terdiri dari 16 Pasal dengan status pasal masih berlaku seluruhnya.
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1
Nama
PP
Sesuai dengan Penjelasan Nomor 3
Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, bahwa Nama
Peraturan Perundang–undangan dibuat
secara singkat dengan hanya menggunakan
1 (satu) kata atau frasa tetapi secara
esensial maknanya telah dan
mencerminkan isi Peraturan Perundang–
undangan.
Maka sebaiknya nama PP ini haruslah
dibuat lebih singkat namun dapat
mencerminkan isinya.
√
115
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
Sesuai dengan Penjelasan Nomor 90
Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, bahwa Jika rincian
dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian
kumulatif dan alternatif, ditambahkan kata
dan/atau yang diletakkan dibelakang rincian
kedua dari rincian terakhir.
Maka dalam angka 5 dapat
ditambahkan salah satu kata dari “dan,
atau, dan/atau” dalam rincian huruf b
2 Pasal 10
Dalam penjelasannya, tidak memberikan
penjelasan lengkap setelah berakhirnya
sanksi teguran tertulis satu atau bagaimana
tata cara pemberian sanksi teguran tertulis
2.
Karena dalam ayat (3) langsung
menjelaskan pemberian sanksi denda
setelah sanksi teguran kedua berakhir, tapi
tidak menyebutkan bagaimana pemberian
sanksi teguran kedua.
√
116
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
Ayat (6) :
Apabila sanksi berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak
disetor lunas, Pemberi Kerja Selain
Penyelenggara Negara dikenai sanksi tidak
mendapat pelayanan publik tertentu.
Dalam penjelasannya tidak memberikan
keterangan lebih lanjut mengenai
pelayanan publik apa sajakah yang akan
dicabut.
Maka dari itu perlu dijelaskan kembali agar
menjadi lebih lengkap dan dapat
dimengerti pelayanan publik apa yang akan
dicabut apabila tidak segera membayar
sanksi denda. Hal ini akan dapat menjadi
pertimbangan agar segera membayarkan
sanksi denda.
√
9. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset
Jaminan Sosial Kesehatan
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Pasal 15 Ayat (1) : Sumber aset Dana Jaminan
Sosial Kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 huruf b terdiri
atas:
a. iuran Jaminan Kesehatan termasuk
bantuan iuran;
b. hasil pengembangan Dana Jaminan
Sosial Kesehatan;
√
117
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
c. aset program Jaminan Kesehatan
yang menjadi hak peserta dari BUMN
yang menjalankan program Jaminan
Kesehatan; dan
d. sumber lain yang sah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Tidak dijelaskan sumber peraturan
perundang-undangan mana yang
terkait.
2 Pasal 20,
Pasal 21,
Pasal 35,
Pasal 38,
Pasal 40,
Pasal 46
Tidak dijelaskan sumber peraturan
perundang-undangan mana yang
terkait.
√
10. Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2013 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif Bagi Anggota Dewan Pengawas dan
Anggota Direksi Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Pasal 3 - Ketentuan mengenai sanksi administrative dalam pasal ini mengacu pada larangan yang dilakukan oleh anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi dalam Pasal 2
√
118
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
- Pasal ini tidak sesuai dengan teknik penyusunan PUU
Dalam Lampiran II Nomor 64 UU
Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, dikatakan bahwa
substansi yang berupa sanksi
administrative atau sanksi
keperdataan atas pelanggaran
norma dirumuskan menjadi satu
bagian (pasal) dengan norma yang
memberikan sanksia dministratif
atau sanksi keperdataan.
2 Pasal 11
- Pasal ini mengatur mengenai penjatuhan sanksi peringatan tertulis kepada anggota Dewan Pengawaas atau anggota Direksi yang melakukan tindakan yang dilarang yang diatur pada Pasal 2, yang mana sanksi peringatan tertulis termasuk dalam sanksi administrasi
- Pasal ini tidak sesuai dengan teknik penyusunan PUU
Dalam Lampiran II Nomor 64 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikatakan bahwa substansi yang berupa sanksi administrative atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administrative atau sanksi keperdataan.
√
11. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
Catatan: Perubahan pada PerPres No.12 Tahun 2013 terdiri dari 47 pasal, 18
Pasal sisipan Ps1A, Ps6A, Ps16, Ps16A, Ps16B, Ps16C, Ps16D, Ps16E, Ps16F,
Ps16G, Ps16H, Ps16I, Ps17A, Ps17B, Ps18, Ps27A,P s27B, Ps43A, 16 Pasal diubah
119
(diubah, ditambahkan, dihapus ayat/hurufnya), yaitu Ps4, Ps5, Ps6, Ps11, Ps16,
Ps17, Ps19, Ps22, Ps23, Ps25, Ps28, Ps32, Ps38, Ps43, Ps44
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Pasal 4 Penjelasan pasal huruf g yang
berbunyi “ Pekerja yang tidak
termasuk huruf a sampai dengan
huruf f yang menerima Upah”
merupakan kaliamat yang tidak
sesuai, seharusnya setelah kata
“huruf f” ditambahkan kata
“adalah” sehingga kalimat menjadi
lebih efektif dengan “ Pekerja yang
tidak termasuk huruf a sampai
dengan huruf f adalah yang
menerima Upah”
√
2 Pasal 15
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai
prosedur pendaftaran, verifikasi
kepesertaan, perubahan data
kepesertaan, dan identitas Peserta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 diatur
dengan Peraturan BPJS Kesehatan
setelah berkoordinasi dengan
kementerian/lembaga terkait.
Tidak ditemukan kenjelasan dalam
rumusan pasal mengenai peraturan
BPJS kesehatan setelah
berkoordinasi dengan
kementrian/lembaga terkait
√
3 Pasal 21
Pada penjelasan pasal 21 ayat (7) yang
berbunyi “ Ketentuan mengenai tata
cara pemberian pelayanan skrining
kesehatan jenis penyakit, dan waktu
pelayanan skrining kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
diatur dengan Peraturan Menteri” tidak
ditemukan penjelasan mengenai
√
120
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
peraturan menteri tentang apa dan
nomor berapa. Seharusnya dijelaskan
mengenai peraturna menteri yang mana
yang merupakan rujukan dari pasal ini.
4 Pasal 22 Pada penjelasan pasal 22 ayat (2) yang
berbunyi “ Dalam hal pelayanan
kesehatan lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c telah ditanggung
dalam program pemerintah, maka tidak
termasuk dalam pelayanan kesehatan
yang dijamin” tidak diketahui jenis
“program pemerintah” yang
dimaksudkan dalam pasal tersebut.
Seharusnya dijelaskna mengenai
program pemerintah ang berkaitan
dengan “ tindakan medis spesialistik
sesuai dengan indikasi medis” sesuai
dengan isi pasal.
√
5 Pasal 25 Penggunaan kata “dan” hendaknya diganti dengan kata “atau”. Karena huruf a sampai dengan huruf o tidak dimaksudkan secara kumulatif, melainkan alternatif.
√
6 Pasal 29 Pada penjelasan pasal 29 ayat (5) dan ayat (6) tidak dijelaskan mengenai peraturna perundang-undangan dan peraturan menteri yang dimaksud.
√
7 Pasal 34 idem √
8 Pasal 45 idem √
9 Pasal 46 idem √
12. Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan
Status pasal berlaku seluruhnya
Catatan: Perubahan pada PerPres No.12 Tahun 2013 terdiri dari 47 pasal,18
Pasal sisipan Ps1A,Ps6A,Ps16,Ps16A,Ps16B,Ps16C, Ps16D, Ps16E, Ps16F, Ps16G,
121
Ps16H, Ps16I,Ps17A,Ps17B,Ps18,Ps27A,Ps27B,Ps43A, 16 Pasal diubah
(diubah,ditambahkan,dihapus ayat/hurufnya), yaitu Ps4, Ps5, Ps6, Ps11, Ps16,
Ps17, Ps19, Ps22, Ps23, Ps25, Ps28, Ps32, Ps38, Ps43, Ps44
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Pasal 4 Pada penjelasan pasal 4 ayat (5)
penggunaan kata “dan” hendaknya
diganti dengan kata “atau”. Karena
huruf a sampai dengan huruf f tidak
dimaksudkan secara kumulatif,
melainkan alternaitf.
√
2 Pasal 16F
Pada penjelasan pasal 4 ayat (5)
penggunaan kata “dan” hendaknya
diganti dengan kata “atau”. Karena
huruf a sampai dengan huruf f tidak
dimaksudkan secara kumulatif,
melainkan alternaitf.
√
13. Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan Tertentu Berkaitan dengan Kegiatan Operasional Kementerian
Pertahanan, TNI, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Nama
Perpres
Merujuk pada petunjuk no. 3 Lampiram
II UU no.12 tahun 2011, bahwa, Nama
Peraturan Perundang–undangan dibuat
secara singkat dengan hanya
menggunakan 1 (satu) kata atau frasa
tetapi secara esensial maknanya telah
dan mencerminkan isi Peraturan
Perundang– undangan.
√
122
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
- Penulisan judul Perpres tersebut terlalu
panjang dan dapat menimbulkan
kerancuan
- Maka seharusnya judul PerPres
menjadi, PERATURAN PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107
TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN
KESEHATAN KEMENTRIAN
PERTAHANAN, TENTARA NASIONAL
INDONESIA DAN KEPOLISIAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
2 Pasal 27
pada penjelasan pasal 27 yang
berbunyi “Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan pelayanan
kesehatan tertentu bagi Pegawai
Negeri pada Polri dalam rangka
melaksanakan tugas operasional dan
pelayanan kesehatan dalam rangka
mendukung tugas pokok dan fungsi
Polri diatur dengan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik
Indonesia” pada bagian akhir “diatur
dengan Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia” tidak
dijelaskan peraturan nomor berapa
yang dimaksud sehingga dapat
menimbulkan kerancuan.
√
3 Pasal 28
Pada penjelasan pasal 27 bagian akhir
berbunyi “sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan” tidak
ada penjelasan mengenai ketentuan
perundang-undangan tentang dan
nomor berapa sehingga perlu diperjelas
agar tidak menimbulkan kerancuan
√
4 Pasal 29 idem
√
123
14. Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Isi
Laporan Program Jaminan Sosial)
Terdiri dari 9 Pasal dengan status pasal masih berlaku seluruhnya.
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Judul
Perpres
Sesuai dengan aturan dalam nomor 3
Lampiran II UU No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, bahwa Nama
Peraturan Perundang–undangan dibuat
secara singkat dengan hanya
menggunakan 1 (satu) kata atau frasa
tetapi secara esensial maknanya telah
dan mencerminkan isi Peraturan
Perundang–
undangan.
Maka dalam penulisannya dapat diubah
agar menjadi lebih singkat menjadi
“Laporan Pengelolaan Program Jaminan
Sosial”
Karena telah meliputi langsung mengenai isi dan bentuk dari laporan tersebut tanpa harus dijelaskan lagi dalam judul.
√
15. Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2013 tentang Gaji atau Upah dan
Manfaat Tambahan Lainnya serta Intensif Bagi Anggoa Dewan Pengawas
dan Anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan sosial
Terdiri dari 15 Pasal dengan status pasal masih berlaku seluruhnya.
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
124
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1
Judul Perpres Sesuai dengan aturan dalam nomor 3
Lampiran II UU No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, bahwa Nama
Peraturan Perundang–undangan dibuat
secara singkat dengan hanya
menggunakan 1 (satu) kata atau frasa
tetapi secara esensial maknanya telah
dan mencerminkan isi Peraturan
Perundang–
undangan.
Dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menggunakan kata upah ketimbang gaji. Kemudian dalam penghematan kata maka dapat diubah menjadi “Upah Anggota Dewan Pengawas Dan Anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
√
16. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan
Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.
Terdiri dari 14 Pasal dengan status pasal masih berlaku seluruhnya.
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Judul
Perpres
Sesuai dengan aturan dalam nomor 3
Lampiran II UU No 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, bahwa Nama
Peraturan Perundang–undangan dibuat
secara singkat dengan hanya
menggunakan 1 (satu) kata atau frasa
tetapi secara esensial maknanya telah
dan mencerminkan isi Peraturan
Perundang–undangan.
√
125
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
Kemudian dalam penghematan kata dam agar dapat menjadi satu frasa maka dapat diubah menjadi “Pengelolaan Dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Milik Pemerintah Daerah”
17. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Terdiri dari 205 Pasal dengan status pasal masih berlaku seluruhnya.
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
1 Judul
Undang-
Undang No.
36 Tahun
2009
tentang
Kesehatan
Dalam penjelasan lampiran II UU 12/2011, judul peraturan perundangan – undangan (PUU) selain memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan, nama PUU dibuat menggunakan suatu kata atau frasa yang maknanya mencerminkan essensial dari isi PUU tersebut, dalam hal ini UU No. 36 Tahun 2009 menggunakan kata “Kesehatan” sebagai nama UU, pada pasal 1 ketentuan umum UU ini yang dimaksud dengan “Kesehatan” adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam Pasal 167 ayat (4) mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden mengenai pengelolaan kesehatan, berdasarkan pasal tersebut telah dibentuk Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang “Sistem Kesehatan Nasional”, yang didalam pasal 1 ketentuan umumnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Sistem Kesehatan Nasional adalah Sistem Kesehatan Nasional, yang selanjutnya disingkat SKN adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin
√
126
No Pasal Analisis Rekomendasi
tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6
tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, maknanya sesuai dengan dasar konsideran menimbang UU Nomor 36 Tahun 2009 bahwa bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara danmeningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutandan upaya peningkatan kesehatan ini menjadi tanggung jawab semua pihak dan sebagai investasi pembangunan negara. Berdasarkan analisis tersebut akan lebih tepat UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menggunakan judul “Sistem Kesehatan Nasional” karena didalamnya mengandung pengertian induk dari unsur-unsur upaya kesehatan sebagai suatu sistem dan sesuai dengan makna konsideran menimbang UU Nomor 36 Tahun 2009.
127
BAB IV
PENILAIAN TERHADAP MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Penilaian kesesuaian norma dimaksudkan untuk memastikan bahwa
ketentuan norma sudah sesuai dengan asas materiil umum peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun
2011 dan asas materiil khusus yang harus menjiwai suatu peraturan perundang-
undangan (PUU). Asas materiil umum peraturan perundang undangan yang
disebutkan dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011, yaitu:
1) Asas Pengayoman
Bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus
berfungsi memberikan perlindungan untuk ketentraman masyarakat.
2) Asas Kemanusiaan
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia
serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
3) Asas Kebangsaan
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk
dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4) Asas Kekeluargaan
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap
pengambilan keputusan.
5) Asas Kenusantaraan
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia
dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di
128
daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
6) Asas Bhineka Tunggal Ika
Bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan,
kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
7) Asas Keadilan
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara.
8) Asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum Dan Pemerintahan
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak
boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar
belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau
status sosial.
9) Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum.
10) Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara
kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan
negara.
Kesepuluh asas materiil umum dan asas materiil khusus dari suatu
Peraturan Perundang-undangan menjadi variabel penilaian terhadap
ketentuan pasal-pasal yang ada masing-masing PUU terkait dengtan
129
masalah kesehatan. Dari variabel tersebut diturunkan lagi menjadi
indikator penilaian sehingga dapat dihasilkan rekiomendasi terhadap
ketentuan pasal-pasal yang dievaluasi.
Dari 28 PUU peraturan perundang-undangan terkait Pemenuhan
Hak Kesehatan yang dianalisis, masih terdapat ketentuan pasal yang
tidak sesuai dengan asas materiil. Berikut data hasil penilaian PUU
terkait masalah Pemenuhann Kesehatan, yang ditinjau dari dimensi
kesesuaian norm dengan asa dan indikator yang sudah ditentukan.
1. Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan sosial Nasional
No Pasal Keterkaiatan dengan Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Pasal 2 Keadilan Peluang yang sama bagi setiap warga negara terhadap akses pemanfaatan sumber daya
Pasal 2 menentukan bahwa : Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam penjelasannya dikemukakan, asas kemanusiaan berkaitan dengan penghargaan terhadap martabat manusia. Asas manfaat merupakan asas yang bersifat operasional menggambarkan pengelolaan yang efisien dan efektif. Asas keadilan merupakan asas yang bersifat adil. Ketiga asas tersebut
√
130
No Pasal Keterkaiatan dengan Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan program dan hak peserta. Ketiga asas tersebut belum sepenuhnya tercermin dalam materi muatan UU SJSN. Di bidang jaminan kesehatan misalnya ada perbedaan perlakuan terhadap peserta yang memerlukan rawat inap. Ada beberapa peserta yang berhak atas perawatan di kelas I, kelas II, atau kelas III, tergantung pada katagori peserta berdasarkan iuran yang dibayar. Seharusnya setiap peserta berhak atas perawatan di kelas standar. Efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan jaminan kesehatan belum tercermin dalam tata kelola program jaminan kesehatan, sehingga setiap tahun BPJS kesehatan harus disubsidi oleh pemerintah dalam jumlah yang cukup besar. Asas keadilan masih jauh dari harapan. Peraturan pelaksanaan UU SJSN dan UU BPJS masih mencari format yang cocok untuk menerapkan asas-asas
131
No Pasal Keterkaiatan dengan Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
penyelenggaraan SJSN.
2 Pasal 5 Kenusantaraan
Pembagian kewenangan Pusat dan Daerah
Dalam ketentuan Pasal 5 ayati (1) disebutkan bahwa “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang.” Kemudian dalam ayat (2) nya disebutkan bahwa “Sejak berlakunya Undang-Undang ini , badan penyelenggara jaminan sosial yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut Undang-Undang ini.” Selanjutnya dalam ketentuan ayat (3) disebutkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang dimaksud adalah JAMSOSTEK, TASPEN, ASABRI, dan ASKES. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 5 tersebut maka dapat diketahui bahwa keempat badan penyelenggara jaminan sosial tersebut merupakan badan yang pelaksanaannya dikelola oleh Pemerintah Pusat. Tidak ada pembagian kewenangan antara
√
132
No Pasal Keterkaiatan dengan Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
Pemerintah Pusat dan Daerah. Padahal, terkait dengan penyelenggaraan jaminan sosial khususnya dibidang kesehatan seharusnya juga dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi. Sebagaimana dengan tegas disebutkan dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Kemudian untuk penyelenggaraan kesehatan untuk keluarga miskin, Menteri Kesehatan lewat SK No. 1241/2004 menugaskan PT ASKES sebagai pelaksana. Penunjukkan PT ASKES sebagai pelaksana ini menimbulkan anggapan bahwa UU SJSN disusun dengan pemikiran anti otonomi daerah. Karena jaminan kesehatan seharusnya diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi. Oleh karena itu, dibutuhkan tambahan ketentuan yang mengatur mengenai pembagian
133
No Pasal Keterkaiatan dengan Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
kewenangan terkait penyelenggaraan jaminan sosial khususnya dibidang kesehatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
3 Pasal 19
Keadilan Pasal 19 : (1) Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. (2)Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Analisis : prinsip asuransi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan penjelasan UU SJSN mengamanahkan gotong royong antara si kaya dengan si miskin, tua-muda, sehat-sakit dan beresiko tinggi-rendah dapat ditempuh dengan pelibatan Pemda serta masyarakat sehingga memungkinkan kepesertaan wajib
√
134
No Pasal Keterkaiatan dengan Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
tidak selektif, iuran berdasar upah dan lembaga makin nirlaba dengan gotong royong. Outputnya adalah memperoleh kesamaan pelayanan (asas ekuitas) yang tidak terkait dengar besarnya iuran yang dibayarkan.
4
Pasal 47
Kemanusiaan
Jaminan terhadap ke ikutsertaan masyarakat lokal
Pasal 47 : (1) Dana Jaminan Sosial Wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatia, keamanan dana, dan hail yang memadai. (2) Tata cara pengelolaan dan pengembangan Dana Jaminan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Analisis : Pengelolaan BPJS terpusat, tidak didesentralisaikan ke Pemda. Hal ini bertentangan dengan prinsip kegotongroyongan yang dianut Pasal 4 UU SJSN. Kegotongroyongan
√
135
No Pasal Keterkaiatan dengan Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
dapat dimaknai partisipatif dan pengelolaan yang inklusif, melibatkan Pemda dan Masyarakat (secara perorangan maupun terorganisir melalui Civil Society Organization). Sehingga Kesejahteraan sosial yang hendak dicapaipun dapat dirancang dan dikontrol bersama seperti diatur dalam Pasal 174 UU no 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.Dalam era sekarang Pemerintah akan mampu mencegah penyalahgunaan wewenang apabila pengelolaan badan publik dilaksanakan melibatkan 3 pihak, Pemerintah, masyarakat dan dunia usaha sebagaimana diamanahkan dalam Pasal 3 UU no 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggar Jaminan Sosial
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
136
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Pasal 39
Kenusantaraan
Pembagian kewenangan Pusat dan Daerah
Dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) disebutkan bahwa “Pengawasan terhadap BPJS dilakukan secara eksternal dan internal”. Kemudian dalam ketentuan ayat (3) disebutkan bahwa “Pengawasan eksternal BPJS dilakukan oleh DJSN dan lembaga pengawas independen”. Pengawasan secara internal yang dilakukan oleh dewan pengawas terkait dengan tugas, fungsi dan wewenang dewan pengawas telah diatur dalam UU ini. Namun terkait dengan tugas, fungsi dan wewenang pengawasan internal yang dilakukan oleh DJSN dan lembaga pengawas independen UU ini belum mengatur ketentuan mengenai hal-hal tersebut. Sehingga area pengawasan untuk pengawasan yang dilakukan secara eksternal oleh DJSN dan lembaga pengawas independen menjadi belum jelas. Oleh karena itu, dibutuhkan pengaturan yang lebih lanjut mengenai area pengawasan yang dilakukan oleh DJSN dan lembaga pengawas
√
137
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
independen agar dalam pelaksanaannya bisa menjadi lebih maksimal.
2 Ketentuan mengenai sanksi
Ketertiban dan Kepastian Hukum
Kejelasan aturan mengenai koordinasi
UU BPJS dan PP No. 86 Tahun 2013 yang merupakan peraturan pelaksana dari UU BPJS belum memberikan aturan yang jelas mengenai penerapan sanksi administrative kepada pemberi kerja selain penyelenggara Negara dan setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran dalam penyelenggaraan jaminan sosial yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam kedua Peraturan Perundang-Undangan tersebut. Dalam ketentuan Pasal 9 PP tersebut diatur bahwa unit pelayanan publik pada instansi pemerintah, pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota yang menjadi penegak hukumnya. Namun, dalam pelaksanaannya pihak BPJS yang paling tahu mengenai siapa saja yang mendapatkan sanksi. Belum adanya aturan yang lebih khusus untuk mengatur alur koordinasi atau tatacara pengenaan
138
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
sanksi, maka dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih kewenangan terkait penerapan sanksi tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai alur koordinasi penerapan sanksi bagi pemberi kerja selain penyelenggara Negara dan setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja, dan penerima bantuan iuran dalam penyelenggaraan jaminan sosial yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam kedua Peraturan Perundang-Undangan tersebut.
3 Pasal 14
Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum dan Pemerintahan
Dalam ketentuan Pasal 14 tersebut diatur bahwa “Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial”. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa Pemerintah juga mengakui hak-hak warga Negara asing yang sedang bekerja di Indonesia, terutama hak yang berkaitan dengan kesehatan.
139
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
Pemerintah tidak membatasi bahwa yang berhak untuk menjadi peserta BPJS dan mendapatkan manfaat dari pelayanan BPJS adalah hanya Warga Negara Indonesia saja. Karena, Warga Negara Asing yang sedang bekerja di Indonesia pun perlu untuk menadapatkan manfaat dari pelayanan BPJS karena dengan melakukan pekerjaan di Indonesia, ia pun juga turut membayar pajak atas penghasilan yang diterima dari pekerjaannya tersebut. Selain itu hak untuk mendapatkan kesehatan merupakan salah satu dari hak asasi yang melekat pada manusia, sehingga pemenuhan atas kebutuhan hak tersebut dalam pelaksanaannya tidak perlu dibedakan antara WNI maupun WNA.
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
140
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Pasal 3 ayat huruf b
Kemanusiaan
Pengakuan kepada hak minoritas
“Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit” Pasal 3 ayat b dalam memberikan perlindungan perlu menambahkan frasa kaum minoritas yaitu masyarakat tidak mampu sehingga bersesuain dengan pasal 6 ayat b. Rumusan yang diusulkan adalah: “ Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat mampu dan tidak mampu, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit ”
√
2 Pasal 14 ayat 2
Kebangsaan
Pembatasan keikut sertaan pihak asing
“Pendayagunaan tenaga kesehatan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan alih teknologi dan ilmu pengetahuan serta ketersediaan tenaga kesehatan setempat.”
Pasal 14 ayat 2 ini ini memang memberikan batasan kepada pihak asing namun harus ada makna yang jelas mengenai “ketersediaan tenaga kesehatan setempat” karena dapat memiliki makna asing dapat hadir ketika
√
141
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
ketersediaan tenaga kesehatan setempat cukup/tidak ataupun pihak asing tidak dapat hadir apabila ketersediaan tenaga kesehatan setempat cukup/tidak.
3 Pasal 29
Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
Mengedepankan fungsi kepentingan umum
Seperti yang kita ketahui belakang ini di media cetak atau elektronik terdapat rumah sakit yang menolak mengobati pasien sehingga menyebabkan hilangnya nyawa. Maka perlu ditambahan point tambahan di pasal 29 mengenai kewajiban rumah sakit yaitu “rumah sakit wajib menerima masyarakat untuk berobat dan dilarang menolak untuk mengobati dalam keadaan darurat”
√
4 Pasal 38
Ketertiban dan Kepastian Hukum
Tindakan atas peraturan-peraturan yang bertentangan atau tumpang tindih
Dalam pasal 38 ayat 1: “setiap rumah sakit harus menyimpan rahasia kedokteran”. Pasal 38 ayat 2: “Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Seperti yang kita ketahui
√
142
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
dalam pasal tersebut rumah sakit harus menyimpan rahasia kedokteran dan ayat selanjutnya mengatur apa saja yang dapat membuka rahasia tersebut, akan tetapi di pasal 44 ayat 2: “Pasien dan/atau keluarga yang menuntut rumah sakit dan menginformasikannya melalui media massa, dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum. Pasal 44 ayat 3: “Penginformasian kepada media massa Sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan kewenangan kepada rumah sakit untuk mengungkapkan rahasia kedokteran pasien sebagai hak jawab rumah sakit Hal ini merupakan tumpah tindih antara pasal 38 ayat 1 dan 2 dengan pasal 44 ayat 22 dan 23 dimana rumah sakit harus menyimpan rahasia kedokteran menurut pasal 38 ayat 1 dan pasal 44 ayat 3 bukan merupakan pengecualian dibukanya rahasia kedokteran yang terdapat dalam pasal 38 ayat 2.
5 Pasal Keter Kejelasan “Dalam upaya √
143
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
40 tiban dan Kepastian Hukum
sanksi terhadap pelanggaran
peningkatan mutu pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali”. Tidak adanya sanksi yang diatur di uu apabila rumah sakit tidak melakukan akreditasi minimal 3 (tiga) tahun sekali. Sehingga perlu diatur mengenai sanksinya di uu
4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Pasal 6 ayat (3) huruf e
Ketertiban dan Kepastian Hukum
Transparasi/keterbukaan
Pasal 6 ayat 3 huruf e Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) ini menyatakan bahwa “informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: ..... e. Informasi Publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan”. Ketentuan ini secara implisit memberikan kelonggaran kepada Badan Publik untuk tidak menyampaikan informasi publik dengan alasan belum menguasai atau mendokumentasikan
√
144
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
informasi publik tersebut. Ketentuan ini juga dapat menyebabkan moral hazard Badan publik, yakni dengan secara sengaja tidak menguasai dan mendokumentasikan informasi publik yang berada di bawah kewenanganya dengan maksud untuk menghindari transparansi (keterbukaan), yang pada akhirnya dapat menyebabkan tidak terjaminnya transparansi (keterbukaan) informasi publik. Padahal sesuai dengan Pasal 7 ayat 1, Badan Publik justru diwajibkan untuk menyediakan informasi publik yang berada di bawah kewenanganya. Kata “diwajibkan untuk menyediakan” pada ketentuan Pasal 7 ayat 1 tersebut seharusnya dimaknai juga sebagai kewajiban untuk menguasai dan mendokumentasikan informasi publik yang berada di bawah kewenanganya sehingga dapat disediakan kepada publik. Dengan demikian ketentuan Pasal 6 ayat 3 huruf e tersebut sebaiknya dicabut.
2 Pasal 52
Ketertiban
Kejelasan sanksi
Pasal 52 UU KIP ini menyatakan bahwa
√
145
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
dan Kepastian Hukum
terhadap pelanggaran
“Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara sertamerta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan UndangUndang KIP ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)”. Pasal 52 tersebut memang sudah mengatur mengenai pengenaan sanksi terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud di atas, namun sebagaimana dijelaskan pada penjelasan Pasal 52 tersebut diketahui bahwa sanksi tersebut hanya mencakup pada Badan Publik bukan Negara (dalam hal ini; badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau yayasan, dan orang yang memberikan perintah atau pimpinan Badan Publik bukan Negara), sedangkan
146
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Badan Publik negara atau pejabat Badan Publik Negara belum diatur secara jelas. Bahwa semakin terbuka penyelenggaraan suatu Badan Publik untuk diawasi oleh masyarakat, penyelenggaraan Badan Publik tersebut semakin dapat dipertanggungjawabkan, oleh karena itu sanksi terhadap Badan Publik Negara atau pejabat Badan Publik Negara yang melanggar ketentuan dalam Pasal 52 perlu diatur secara jelas agar Badan Publik Negara ataupun Pejabat Badan Publik Negara tidak dengan mudah mengabaikan pentingnya penyediaan informasi publik, terutama terkait pelaksanaan putusan Komisi Informasi ataupun putusan pengadilan yang memerintahkan Badan Publik Negara atau pejabat Badan Publik Negara untuk memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik. Dengan demikian Pasal 52 tersebut seharusnya diubah dengan menambahkan
147
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
ketentuan sanksi terhadap Badan Publik Negara atau pejabat Badan Publik Negara, yakni dalam hal ini sanksi berupa pidana denda dan pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim. Rekomendasi: Pasal 52 ayat 1 Badan Publik bukan negara yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara sertamerta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan UndangUndang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 52 ayat 2 Badan Publik Negara dan/atau Pejabat Badan Publik Negara yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan
148
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara sertamerta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan UndangUndang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan pidana tambahan berupa penggumuman putusan hakim
3 Pasal 48 ayat (1)
Ketertiban dan Kepastian Hukum
Kejelasan aturan mengenai koordinasi
Pasal 48 ayat 1 UU KIP ini menyatakan bahwa “Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat ditempuh apabila salah satu atau para pihak yang bersengketa secara tertulis menyatakan tidak menerima putusan Ajudikasi dari Komisi Informasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya putusan tersebut”. Ketentuan ini secara implisit menyatakan bahwa putusan komisi informasi yang tidak digugat hingga jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya putusan tersebut maka putusan
149
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Namun ketentuan ini belum memberikan prosedur yang jelas kepada pemohon informasi publik apabila pihak termohon tidak melaksanakan putusan komisi informasi yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut. Hal ini diperlukan agar terdapat prosedur yang jelas atas upaya yang dapat dilakukan oleh pemohon informasi publik apabila pihak termohon tidak melaksanakan putusan komisi informasi publik yan telah berkekuatan hukum tetap secara sukarela. Adapun rekomendasi prosedur sebagaimana dimaksud dapat mengadopsi ketentuan Pasal 12 ayat 1 Peraturan Mahkamah Nomor 2 tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan Rekomendasi: Pasal 48 ayat 1 huruf a “Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat ditempuh apabila salah satu atau para pihak yang bersengketa secara tertulis menyatakan tidak menerima putusan Ajudikasi dari Komisi
150
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
Informasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya putusan tersebut” Pasal 48 ayat 1 huruf b Apabila salah satu atau para pihak yang bersengketa tidak mengajukan gugatan hingga jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya putusan tersebut, maka putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan dapat dimintakan penetapan eksekusi kepada ketua pengadilan yang berwenang oleh pemohon informasi.
4 Pasal 11 ayat 1 huruf d
Kekeluargaan
Jaminan terhadap akses informasi ppublik dalam r4angka pengambilan keputusan
Pasal 11 ayat 1 huruf d UU KIP menyatakan bahwa salah satu Informasi Publik yang harus disediakan setiap kepada publik adalah rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan Badan Publik. Ketentuan ini memberikan akses informasi kepada publik untuk dapat mengetahui rencana kerja atau rencana pengeluaran pemerintah sehingga masyarakat dapat mengawasi hal tersebut secara langsung serta diharapkan dapat memicu partisipasi aktif
151
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
masyarakat dalam memberikan pendapat terkait dengan rencana kerja atau rencana pengeluaran pemerintah tersebut.
5 Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf i, dan huruf j
Kenusantaraan
Pengedepanan kepentingan nasional
Pasal Pasal 17 huruf a, b, c, d, e, f, i, dan j UU KIP ini memberikan batasan mengenai informasi yang dikecualikan, yakni mencakup Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik: 1. dapat menghambat
proses penegakan hukum
2. dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat
3. dapat membahayakan pertahanan dan keamanan Negara
4. dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia
5. dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional
6. dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri
7. Merupakan informasi yang sifatnya dirahasiakan
8. tidak boleh diungkapkan berdasarkan
152
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
UndangUndang Artinya ketentuan ini memberikan jaminan agar pengungkapan informasi publik wajib mengedepankan kepentingan nasional.
6 Pasal 17 huruf g dan huruf h
Penganyoman
Jaminan terhadap ketentraman masyarakat
Pasal 17 huruf g dan huruf h UU KIP ini memberikan batasan mengenai informasi yang dikecualikan, yakni mencakup Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang dan dapat mengungkap rahasia pribadi. Artinya ketentuan ini memberikan jaminan agar setiap pengungkapan informasi publik memperhatikan perlindungan terhadap privasi masyarakat.
7 Pasal 1 ayat 7
Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Megedepankan fungsi kepentingan umum
Pasal 1 ayat 7 UU KIP ini menyatakan bahwa “dengan mempertimbangkan kepentingan pertahanan dan keamanan negara dan kepentingan umum Presiden dapat menolak permintaan informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Ketentuan ini mengatur bahwa pengungkapan informasi publik wajib mengedepankan fungsi
153
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
kepentingan umum.
PP Nomor 101 Tahun 2012 jo. PP Nomor 76 Tahun 2015 tentang Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
Status Pasal :
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Pasal 3 Keadilan
Tidak ditemukannya kebijakan yang menyebabkan tidak terjaminnya kepentingan masyarakat daerah terpencil.
Pasal 3: Hasil pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang dilakukan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik diverifikasi dan divalidasi oleh Menteri untuk dijadikan data terpadu. Penjelasan Pasal 3: Verifikasi dan validasi dilakukan dengan mencocokkan dan mengesahkan data. Permasalahan/Analisa: Terkait dengan pendataan fakir miskin dan orang tidak mampu, perlu dipertimbangkan mekanisme bagi fakir miskin dan orang tidak mampu untuk secara aktif melapor/mendaftarkan diri kepada pihak yang memiliki wewenang pertama kali melakukan
√
154
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
pendataan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengatasi bilamana ada yang terlewat ketika proses pendataan. Rekomendasi: Dapat ditambahkan dua Pasal yang secara detil mengatur peluang bagi fakir miskin dan orang tidak mampu untuk secara aktif melapor/mendaftar. Usulan rumusan pasal, kurang lebih berbunyi: “Pasal X: Dalam hal hasil pendataan fakir dan orang tidak mampu sebagaimana Pasal 3, lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang statistik dapat menerima data fakir miskin dan orang tidak mampu tambahan susulan yang disampaikan lembaga yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan.” “Pasal Y: (1) Seorang fakir miskin yang belum terdata dapat secara aktif mendaftarkan diri kepada lurah atau kepala desa atau nama lain yang sejenis di tempat tinggalnya. (2) Kepala keluarga yang telah terdaftar sebagai fakir miskin wajib melaporkan setiap
155
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
perubahan data anggota keluarganya kepada lurah atau kepala desa atau nama lain yang sejenis di tempat tinggalnya. (3) Lurah atau kepala desa atau nama lain yang sejenis wajib menyampaikan pendaftaran atau perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada bupati/walikota melalui camat. (4) Bupati/walikota menyampaikan pendaftaran atau perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada gubernur untuk diteruskan kepada Menteri. (5) Dalam hal diperlukan, bupati/walikota dapat melakukan verifikasi dan validasi terhadap pendaftaran dan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).”
2 Pasal 8 Ketertiban Dan Kepastian Hukum
Adanya ketentuan yang jelas mengenai koordinasi
Pasal 8: BPJS kesehatan wajib memberikan nomor identitas tunggal kepada peserta Jaminan Kesehatan yang telah didaftarkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Permasalahan/Analisa: Nomor identitas
√
156
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
menjadi kunci dari kesuksesan pelaksanaan jaminan kesehatan nasional. Nomor identitas tunggal akan sangat memudahkan pendataan secara administrasi terhadap fakir miskin dan orang tidak mampu. Ketentuan Pasal 8 PP Nomor 101 Tahun 2012 mengatur, BPJS sebagai pihak yang wajib memberikan nomor identitas tunggal. Namun, terkait penomoran identitas tunggal khususnya fakir miskin sebelumnya telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Dalam undang-undang tersebut, Menteri Sosial diminta untuk memiliki data terpadu fakir miskin dengan menerbitkan kartu identitas. (Pasal 10 ayat (5) UU Nomor 13/2011) Rekomendasi: Demi menghindari duplikasi data fakir miskin sebagaimana telah dilakukan Kementerian Sosial, sebaiknya ditambahkan satu ayat yang mengatur mengenai integrasi data fakir miskin dari berbagai kementerian/lembaga menganani fakir miskin
157
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
dan orang tidak mampu yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Usulan tambahan ayat: (2) BPJS kesehatan dapat berkoordiinasi dengan kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang soslal dalam hal integrasi data fakir miskin dan orang tidak mampu. (3) koordinasi dan integrasi data sebagaimana ayat (2), dapat dilakukan secara business to business (B to B) antara BPJS kesehatan dengan kementerian/lembaga yang diberikan wewenang melalui peraturan perundang-undangan.
3 Pasal 11 ayat (7) PP Nomor 76 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2012
Keadilan
Tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya keterlibatan masyarakat marjinal.
Pasal 11: (7) Penggantian dan penambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) dapat berasal dari Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yaitu: a. pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan belum bekerja setelah lebih dari 6 (enam) bulan; b. korban bencana pascabencana; c. pekerja yang memasuki masa pensiun;
√
158
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
Tentang penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
d. anggota keluarga dari pekerja yang meninggal dunia; e. bayi yang dilahirkan oleh ibu kandung dari keluarga yang terdaftar sebagai PBI Jaminan Kesehatan; f. tahanan/warga binaan pada rumah tahanan negara/lembaga pemasyarakatan; dan/atau g. penyandang masalah kesejahteraan sosial. Permasalahan/Analisa: Tujuh kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu dirasa kurang begitu mengakomodir golongan lain yang memenuhi kriteria sebagai fakir miskin dan orang tidak mampu. Rekomendasi: Perlu diperluas kriteria-kriteria di atas dengan menyebutkan secara tegas dan rinci. Usulan penambahan kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu, yakni: “(7) Penggantian dan penambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) dapat berasal dari Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yaitu: a. pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja dan belum bekerja setelah lebih dari 6 (enam) bulan;
159
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
b. korban bencana pascabencana; c. pekerja yang memasuki masa pensiun; d. anggota keluarga dari pekerja yang meninggal dunia; e. bayi yang dilahirkan oleh ibu kandung dari keluarga yang terdaftar sebagai PBI Jaminan Kesehatan; f. tahanan/warga binaan pada rumah tahanan negara/lembaga pemasyarakatan; g. penyandang masalah kesejahteraan sosial; h. gelandangan; i. pengemis; j. perseorangan dari Komunitas Adat Terpencil; k. perempuan rawan sosial ekonomi; l. korban tindak kekerasan; m. pekerja migran bermasalah sosial; n. penderita Thalassaemia Mayor; dan/atau 0. penderita Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI).” Penjelasan Pasal 7 ayat (7): Khusus penderita “Thalassaemia Mayor”, dapat dibuktikan dengan kartu penderita Thalassaemia yang diterbitkan oleh Yayasan Thalassaemia Indonesia dan bagi penderita baru dengan menunjukkan surat keterangan dari
160
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
Ketua Yayasan Thalassaemia Indonesia cabang, direktur rumah sakit, dan/atau kepala Puskesmas dengan keterangan bahwa yang bersangkutan menderita Thalassaemia Mayor. Selanjutnya, khusus penderita Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI), dapat memperoleh pelayanan kesehatan dengan menunjukkan kartu identitas seperti KTP, kartu keluarga dan lain-lain.
4 Pasal 13
Ketertiban dan Kepastian Hukum
Adanya ketentuan yang jelas mengenai sanksi terhadap pelanggaran
Pasal 13 Peran serta masyarakat dapat dilakukan dengan cara memberikan data yang benar dan akurat tentang PBI Jaminan Kesehatan, baik diminta maupun tidak diminta. Permasalahan/Analisa: Sebagai upaya menjamin kebenaran maupun keabsahan serta akurasi data Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, dirasa perlu mengatur soal sanksi berkenaan dengan pelaksanaan Pasal 13. Pasal mengenai sanksi perlu diatur tegas sebagai pintu masuk bagi penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Namun, usulan pencantuman
√
161
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
pasal sanksi tidak sampai mengatur subsansi sanksi secara spesifik mengingat kedudukan aturan ini sebatas Peraturan Pemerintah (PP). Rekomendasi: Dapat ditambahkan satu ayat yang mengatur soal peluang diberlakukannya sanksi dalam pelaksanaan peran serta masyarakat. Usulannya kurang lebih: “(2) Setiap orang yang memalsukan data verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diproses secara hukum sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tindak pidana pemalsuan.”
PP Nomor 82 Tahun 2013 tentang Modal Awal Untuk Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial Kesehatan
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
Pasal 1 dan Pasal 2
Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
Tidak ditemukannya ketentuan yang mengedepankan fungsi kepentingan umum.
Pasal 1: Negara Republik Indonesia memberikan modal awal kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
√
162
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Pasal 2: (1) Nilai modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah). (2) Modal awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk tunai dan merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan. (3) Modal awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013. Permasalahan/Analisa: UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial memberikan hak kepada BPJS berupa modal awal pemerintah maksimal Rp 2 triliun rupiah. Modal tersebut diperlakukan sebagai aset BPJS yang peruntukkan penggunaannya telah diatur rinci dalam undang-undang serta aturan pelaksanannya. Hingga saat ini,
163
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
pemerintah baru merealisasikan modalnya sebesar 25% pada 2014. Menteri Keuangan mengalokasikan modal awal kepada BPJS Kesehatan Rp 500 milyar rupiah yang bersumber dari APBN 2013. Yang menjadi catatan, aset BPJS Kesehatan yang bersumber dari modal awal pemerintah tidak dapat diperlakukan sebagai aset yang digunakan dalam penyaluran Dana Jaminan Sosial, misalnya pembayaran Manfaat (pembiayaan) layanan jaminan sosial ataupun dana operasional program Jaminan Sosial. UU Nomor 24 Tahun 2011 mengatur aset Dana Jaminan Sosial yang bersumber dari iuran Jaminan Sosial atau hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial, itu yang dapat digunakan untuk pembayaran manfaat kepada masyarakat. Dalam praktiknya, BPJS diperbolehkan menerima aset berupa penambahan penyertaan modal
164
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
negara, sekira tahun 2015. Berdasarkan PP Nomor 124 Tahun 2015 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara ke dalam Modal BPJS, negara mengucurkan dana Rp 1,54triliun rupiah. Mesti dicatat, penambahan penyertaan modal negara tersebut diperuntukan hanya menambah aset bersih Dana Jaminan Sosial Kesehatan. Penambahan dana tersebut sangat berpengaruh terhadap kelangsungan program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS karena kucuran dana segar itu masuk sebagai aset bersih Dana Jaminan Sosial. Berbeda cerita jika penambahan penyertaan modal negara tersebut, masuk sebagai aset BPJS yang manfaatnya terbatas pada biaya operasional personel BPJS, salah satunya upah Dewan Pengawas, Direksi, dan karyawan BPJS. Rekomendasi: Ubah ketentuan pasal 1, menjadi:
165
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
“Pasal 1: Ayat (1): Negara Republik Indonesia memberikan modal awal kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Ayat (2): Modal awal sebagaimana ayat (1) baru dapat diberikan kembali sepanjang Dewar Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan atas usulan Perubahan Cadangan Pembiayaan kepada BPJS Kesehatan untuk program Dana Jaminan Sosial Kesejatan menjadi pembiayaan PMN. Ayat (3): Besaran modal awal yang dapat diberikan sebagaimana ayat (1), maksimal berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
166
PP Nomor 85 Tahun 2013 tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Pasal 6 Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
Tidak adanya ketentuan yang mengedepankan prinsip kehatihatian
Pasal 6: (1) BPJS dalam melaksanakan tugasnya, dapat melakukan kerja sama dengan organisasi atau lembaga lain dalam negeri dan luar negeri. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas BPJS atau meningkatkan kualitas pelayanannya kepada peserta. (3) Tugas BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta; b. memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta\ dan pemberi kerja; c. menerima bantuan iuran dari Pemerintah; d. mengelola dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta; e. mengumpulkan dan mengelola data peserta program Jaminan Sosial; f. membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program Jaminan
√
167
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
Sosial; dan g. memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada peserta dan masyarakat. Permasalahan/Analisa: Upaya menjalin kerjasama dengan pihak lain dalam rangka peningkatan kualitas BPJS atau kualitas pelayanan kepada peserta mesti didukung. Hanya saja, ketentuan di atas terlalu membuka luas ruang kerjasama yang semestinya secara terbatas hanya dapat dilakukan oleh BPJS. Rekomendasi: Sebaiknya, beberapa poin (dalam huruf) pada ketentuan Pasal 6 ayat (3) direvisi atau dihapus dari daftar tugas-tugas BPJS yang dapat dikerjasamakan. Kurang lebih bunyi pasalnya menjadi: “Pasal 6: Ayat (3): Tugas BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta; b. memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta\ dan pemberi kerja;
168
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
c. dihapus; d. dihapus; e. dihapus; f. dihapus; g.memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada peserta dan masyarakat.”
2
Pasal 8 Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan
Tidak adanya ketentuan yang mengedepankan prinsip kehatihatian
Pasal 8: (1) Hubungan kerja sama BPJS dengan organisasi atau lembaga lain dalam negeri dilaksanakan di bidang: a. pendaftaran Peserta; b. pemungutan dan pengumpulan Iuran dari Peserta dan/atau Pemberi Kerja; c. pengumpulan dan pemutakhiran data Peserta program Jaminan Sosial; d. pembayaran manfaat dan/atau pembiayaan pelayanan kesehatan sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti dan pemberian informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada masyarakat; dan/atau e. kerja sama lain yang disepakati bersama. (2) Hubungan kerja sama BPJS dengan organisasi atau lembaga lain dalam
√
169
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
negeri dilaksanakan sesuai dengan ruang lingkup tugas dan fungsi BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan organisasi atau lembaga lain dalam negeri yang bersangkutan Permasalahan/Analisa: Revisi ketentuan pasal 8 merupakan konsekuensi dari beberapa perubahan dalam Pasal 6 ayat (3). Rekomendasi: Ubah rumusan Pasal 8 ayat (1) menjadi: “Pasal 8: Ayat (1): Hubungan kerja sama BPJS dengan organisasi atau lembaga lain dalam negeri dilaksanakan di bidang: a. pendaftaran Peserta; dan/atau b. pemungutan dan pengumpulan Iuran dari Peserta dan/atau Pemberi Kerja; c. dihapus; d. dihapus; e. dihapus.”
Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2013 tentang Cara Pengenaan Sanksi
Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap
Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja dan Penerima Bantuan Iuran Dalam
Penyelenggaraan Jaminan Sosial
170
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
1
Pasal 1 - 16
kekeluargaan
Jaminan Terhadapemberian peluang kepda masyarakat dalam memberikan pendapat terhadap pengambilan keputusan
Materi muatan pada Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2013 tentang Cara Pengenaan Sanksi Administratif kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial sudah sesuai dengan sudah sesuai dengan asas-asas yang terdapat pada Pasal 6 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
√
Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan
Sosial Kesehatan
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
1
Pasal 1 -49
kekeluargaan
Materi muatan pada Peraturan Pemerintah No. 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan sudah sesuai dengan sudah sesuai dengan asas-asas yang terdapat pada Pasal 6 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
√
171
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
Peraturan Perundang-undangan.
Undang –Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
1
Pasal 47
kepastian Hukum
Adanya ketentuan yang jelas mengenai koordinasi
Pasal 47 Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promoti f , preventi f , kurati f , dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu,menyeluruh, dan berkesinambungan. Upaya kesehatan dalam pasal ini tidak menyebutkan frase “ terintegrasi” sesuai makna upaya kesehatan dalam ketentuan umum pasal 1 angka 11, selain kementerian kesehatan terdapat lembaga lain dibidang kesehatan yang melakukan upaya kesehatan, ini akan berimpilkasi terhadap koordinasi horisontal antar lembaga, misalnya antara lembaga Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan dengan
√
172
No Pasal Keterkaiatan dengan
Analisis Rekomendasi
asas indikator tetap ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7 8
Kementerian Kesehatan, dan akan berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan ataupun program dalam pemenuhan hak kesehatan.
2 Pasal 55
kepastian Hukum
Tidak ditemukannya ketentuan mengenai prosedur yang jelas dan efisien.
Pasal 55 (1) Pemerintah waj ib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan. (2) Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. kewaj iban menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan belum terlaksana, hingga saat ini Peraturan Pemerintah tersebut belum terbentuk, secara teknis opersional ini akan berimplikasi pada efsiensi penyelenggaraan upaya kesehatan, perlu ketegasan dan kepastian terbentuknya Peraturan Pemerintah tersebut.
√
173
BAB V
POTENSI DISHARMONI KETENTUAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Penilaian ini dilakukan dengan pendekatan normatif, terutama untuk
mengetahui adanya disharmoni pengaturan mengenai : 1. Kewenangan, 2. Hak
dan kewajiban, 3. Perlindungan, dan 4. Penegakan hukum. Untuk
mempermudah pelaksanaannya, pengujian ini menggunakan alat bantu
(instrumen) yaitu pedoman analisis dan evaluasi hukum yang disususn BPHN
dalam bentuk tabel-tabel pada dimensi 4 terkait disharmoni materi muatan
peraturan perundang-undanagan terkait pemenuhan hak kesehatan.
Sebelum membahas beberapa ketentuan pasal yang berpotensi
disharmoni, terlebih dahulu perlu dibahas konsep sasaran yang ingin dicapai
dalam Bidang Kesehatan pada RPJMN 2015-2019 adalah adalah meningkatkan
derajad kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan
pemerataan pelayanan kesehatan. Sasaran pokok RPJMN 2015-2019 adalah :
1. Meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak;
2. Meningkatnya pengendalian penyakit;
3. Meningkatnya akses dan mutu pelayanan dasar dan rujukan terutama
di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan;
4. Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal melalui Kartu
Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan SJSN Kesehatan;
5. Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan vaksin; serta
6. Meningkatkan responsivitas sistem kesehatan.
Dalam rangka mewujudkan sasaranh pokok tersebut pembangunan
bidang kesehatan diarahkan salah satunya pada tersedianya akses yang sama
bagi masyarakat terhadap pelayanan sosial, pemenuhanan hak-hak rakyat
akan pelayanan sosial dasar dilaksanakan dengan penyediaan penataan dan
pengembangan Sistem Perlindungan Sosial Nasional (SPSN) yang didukung
174
oleh peraturan perundang-undangan akan dapat memberikan perlindungan
penuh kepada masyarakat luas.
Berikut hasil analisis mengenai potensi disharmoni terhadap beberapa
ketentuan pasal yang ditemukan :
Dari hasil analisis terhadap 26 PUU terkait bidang Kesehatan, ditemukan
beberapa ketentuan pasal yang berpotnesi disharmoni, yaitu yang terdapat
pada:
- Pasal 1 angka 7, Pasal 4 huruf h Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
- Pasal 19 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional;
- Pasal 8 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Kesehatan;
- Pasal 13 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Kesehatan;
- Pasal.. Perpres no 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan;
- Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Kesehatan;
- Pasal 30 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Kesehatan;
- Pasal 12 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
- Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit;
- Pasal 16 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
- Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Penilaian berdasarkan potensi disharmoni terhadap PUU yang
terkait dengan masalah Pemenuhan Hak Kesehatan, ditinjau antara
pasal ketentuan dalam satu PUU atau antar ketentuan pasal dari satu
175
atau dua PUU, baik antara PUU yang setingkat maupun yang
bertingkat secara vertikal.
No Ketentuan Pasal PUU
Variabel Temuan Analisis Rekomendasi
ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7
Pasal 1 angka 7, Pasal 4 huruf h Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Kewenangan
Pasal 39 ayat (3) huruf b UU BPJS yang memposisikan OJK sebagai pengawas eksternal BPJS tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 7, Pasal 4 huruf h UU SJSN jis. Pasal 1 angka 3, Pasal 4 huruf h UU BPJS mengenai prinsip dana amanat milik peserta yang dikelola oleh BPJS untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial. BPJS lembaga nirlaba, bukan badan usaha yang melaksanakan kegiatan di bidang jasa keuangan. Menurut Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, jaminan sosial merupakan salah satu ruang lingkup pelayanan Publik.
√
2 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Kewenangan
Keterlibatan Pemda dan Masyarakat dalam pengelolaan dana jaminan sosial tidak disebutkan dalam Pasal 47 UU SJSN, padahal Prinsip asuransi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 (dan penjelasan) UU SJSN yang mengamanahkan gotong royong antara si kaya dengan si miskin,
√
176
No Ketentuan Pasal PUU
Variabel Temuan Analisis Rekomendasi
ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7
tua-muda, sehat-sakit dan beresiko tinggi-rendah dapat ditempuh dengan pelibatan Pemda serta masyarakat.
3 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan
Kewenangan
UU no 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pengelolaan Kesehatan dilaksanakan bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat mulai dari administrasi, informasi, sumberdaya, pembiayaan, peran serta dan pembiayaan kesehatan. Artinya BPJS Kesehatan mestinya mengacu ke Pasal 167 ini dalam pengelolaannya. Tidak meninggalkan Pemda dan masyarakat
4 Pasal 13 UU BPJS Kewenangan
Pasal 3 UU no 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
Posisi masyarakat dalam UU SJSN dan UU BPJS masih hanya berperan sebagai penerima informasi dan penerima manfaat (resipien)saja (Pasal 13 UU BPJS). Bukan sebagai partner dalam pengambilan keputusan publik. Bahkan Laporan pertanggungjawaban BPJS hanya disampaikan kepada Presiden (Pasal 5) ditembuskan kepada Direksi (DJSN) sebagaimana disebut dalam Pasal 13 dan 37 UU BPJS. Masyarakat tidak dapat mengaksesnya. Ketentuan ini juga tidak sinkron dengan amanah Pasal 3 UU no 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
√
177
No Ketentuan Pasal PUU
Variabel Temuan Analisis Rekomendasi
ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7
Publik yang justru mengajak masyarakat memperbaiki tata kelola melalui pelibatan dalam pengambilan keputusan di badan-badan publik, termasuk pengawasannya. Pasal 39 UU BPJS juga hanya memberikan kewenangan pengawasan kepada Badan Resmi yakni DJSN dan Lembaga Independen (Pasal 39 UU BPJS). Peran serta masyarakat diatur juga dalam Pasal 354 UU no 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang bahkan mendorong kelompok, organisasi masyarakat dan pelembagaan masyarakat yang memungkinkan masyarakat turut terlibat dalam pengambilan keputusan secara efektif.
5 UU SJSN dan BPJS tidak didesentralisasikan kepada Pemda dan masyarakat.
Kewenangan
Pasal 10 Perpres no 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
Ketentuan ini membuat Pengelolaan BPJS terpusat dan tidak ada peluang pengambilan kebijakan secara bottom up mulai dari perencanaan. Sebagai contoh dapat kita cermati mengenai penentuan data peserta BPJS yang iurannya dibayari oleh Pemerintah, yakni PBI (Penerima bantuan Iuran) sebagaimana diatur dalam Perpres no 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam ketentuan
√
178
No Ketentuan Pasal PUU
Variabel Temuan Analisis Rekomendasi
ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7
tersebut mestinya terdapat klausul yang mengatur peran serta masyarakat. Mengapa peran serta masyarakat penting? Sebab Program BPJS adalah program rakyat yang nantinya diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat termasuk warga miskin, anak terlantar dan kelompok marginal lainnya. Kriteria kemiskinan ditentukan oleh Permensos no 146 tahun 2013. Dalam penentuan kriteria dapat dilakukan bersama masyarakat sehingga diperoleh data yang lebih obyektif dan valid.
6 Pasal 17 ayat (1) Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.
Pasal 17 ayat (1) UU BPJS mengenai saksi administratif bagi Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif. Sedangkan Pemberi Kerja penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU BPJS tidak dikenai sanksi administratif. Ketentuan seperti ini berpotensi untuk diuji di Mahkamah Konstitusi
√
179
No Ketentuan Pasal PUU
Variabel Temuan Analisis Rekomendasi
ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7
karena dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 yang menjamin prinsip persamaan di hadapan hukum.
7 Pasal 30 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan;
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.
Pasal 30 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) yang menentukan pemilihan nama calon anggota Dewan pengawas yang berasal dari unsur Pekerja, unsur Pemberi Kerja, dan Tokoh Masyarakat melalui DPR, berbeda dengan nama calon yang berasal dari unsur pemerintah yang cukup dipilih oleh Panitia Seleksi yang dibentuk oleh Presiden. Ketentuan ini bersifat diskriminatif, berpotensi diuji ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.
√
180
No Ketentuan Pasal PUU
Variabel Temuan Analisis Rekomendasi
ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7
8 Pasal 12 UU Rumah Sakit
Kewenangan
Pasal 1UU 36 / 2014
Berdasarkan definisi Pasal 1 UU 36 / 2014 maka tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan semua bidang keahliannya, namun dalam penyelenggaraan setiap tenaga kesehatan wajib syarakat sebmingga memiliki izin dari pemerintah, sehingga masyarakat sebagai pengguna jasa akan mendapatkan pelayanan yang aman, terjamin serta masyarakat maupun tenaga kesehatan sendiri juga terlindungi dari hukum.
√
181
No Ketentuan Pasal PUU
Variabel Temuan Analisis Rekomendasi
ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7
9 Pasal 29 ayat (1) huruf c UU Rumah Sakit
Kewenangan
Dalam Pasal 59 ayat (1) UU Tenaga Kesehatan
Pasal 29 ayat (1) huruf c UU Rumah Sakit, rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya. Jadi, seharusnya korban kecelakaan yang mengalami keadaan gawat darurat tersebut harus langsung ditangani oleh pihak rumah sakit untuk menyelamatkan nyawanya.
Apabila rumah sakit melanggar kewajiban yang disebut dalam Pasal 29 UU Rumah Sakit, maka rumah sakit tersebut dikenakan sanksi admisnistratif berupa (Pasal 29 ayat (2) UU Rumah Sakit):
a. teguran; b. teguran
tertulis; atau c. denda dan
pencabutan izin Rumah Sakit.
10 Pasal 16 Kewenangan
Undang-undang yang sama
Pasal 16 menjelaskan tentang persyaratan peralatan yang dijadikan sebagai acuan agar sebuah rumah sakit dapat diberikan izin untuk mendirikan atau memperpanjang izin operasionalnya sebagaimana termuat di dalam pasal 17. Persyaratan peralatan yang dimaksud meliputi
√
182
No Ketentuan Pasal PUU
Variabel Temuan Analisis Rekomendasi
ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7
peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan layak pakai melalui pengujian kalibrasi; pengawasan, penggunaan peralatan sesuai indikasi; serta pengoperasian dan pemeliharaan oleh tenaga yang kompeten dan didokumentasikan agar izin mendirikan rumah sakit diberikan atau tidak adanya pencabutan izin operasional rumah sakit.
11 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
Pasal 1 angka 4 dan Pasal 14 Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Terdapat potensi disharmoni antara UU KIP dengan UU Penanaman Modal mengenai ketentuan yang membedakan pemberian akses informasi bagi warga negara/badan hukum Indonesia dan bagi warga negara/badan hokum asing. Ketentuan pada Pasal 1 angka 12 UU KIP menyatakan bahwa Pemohon Informasi Publik adalah warga Negara dan/atau badanh ukum Indonesia yang mengajukan permintaan informasi public sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, sedangkan dalam Pasal 14 UU Penanaman Modal menyatakan bahwa
√
183
No Ketentuan Pasal PUU
Variabel Temuan Analisis Rekomendasi
ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7
setiap penanam modal berhak mendapat informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankan. Penanam modal pada Pasal 1 angka 4 UU Penanaman Modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.
12 Pasal 177 ayat 2 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disharmoni dengan Pasal 39 angka 3 Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS
Kewenangan
Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi memberikan kewenangan yang berbeda
Pasal 177 angka 2 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional selanjutnya disingkat BPKN dan Badan pertimbangan kesehatan daerah selanjutnya disingkat
BPKD
(2) BPKN dan BPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang antara lain:
e. melakukan advokasi tentang alokasi dan penggunaan dana dari semua sumber agar pemanfaatannya efektif, efisien, dan sesuai dengan strategi yang ditetapkan; f. memantau dan mengevaluasi pelaksanaan
√
184
No Ketentuan Pasal PUU
Variabel Temuan Analisis Rekomendasi
ubah cabut
1 2 3 4 5 6 7
pembangunan
kesehatan;
Sedangkan dalam Pasal 39 angka 3 Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menyatakan Pengawasan eksternal BPJS dilakukan oleh: a. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) ; dan
b. lembaga pengawas independen. dalam penjelasan yang dimaksud pengawasan disini adalah DJSN melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial dan yang dimaksud dengan “lembaga pengawas independen” adalah Otoritas Jasa Keuangan. Dalam hal tertentu sesuai dengan kewenangannya Badan Pemeriksa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan. BPJS dalam rangka jaminan kesehatan nasional merupakan bagian dari pembangunan kesehatan, dengan demikian fungsi DJSN mendekati sama dengan dengan fungsi dari BPKN.
185
BAB VI
EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bab ini berisi narasi, data, dan hasil analisis dan evaluasi hukum dalam
dimensi efektifitas implementasi peraturan perundang-undangan. Dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai kejelasan
tujuan yang hendak dicapai serta berdayaguna dan berhasilguna sebagaimana
dimaksud dalam asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
yang tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Penilaian
ini perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana manfaat dari pembentukan
suatu peraturan perundang-undangan sesuai dengan yang diharapkan.
Pengujian ini perlu didukung data empiris yang terkait dengan implementasi
peraturan perundang-undangan dimaksud.
Beberapa ketentuan masih ditemukan ketidakefektifan dalam
implementasinya, di antaranya:
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
1 Pasal 47 UU Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, mengatur Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara jaminan Sosial secara optimal
Kewenangan
Peran serta masyrakat
Keterlibatan Pemda dan Masyarakat dalam pengelolaan dana jaminan sosial tidak disebutkan dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, padahal Prinsip asuransi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 (dan penjelasan) UU SJSN yang mengamanahkan gotong royong antara si kaya dengan si miskin, tua-muda, sehat-sakit dan beresiko tinggi-rendah
Sebaiknya kewajiban Pemda diatur klausul ini bersama dengan kewenangannya (atau di Pasal lain) agar turut mengelola dan mengontrol BPJS bersama masyarakat. Sehingga Peraturan Pemerintah akan mengatur hal yang relevan
186
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
dapat ditempuh dengan pelibatan Pemda serta masyarakat
2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Aspek penegakan hukum
dilihat dari rumusan sanksinya
Dalam
pembentukan
surat
keputusan
atau
peraturan
hendaknya
menggunaka
n cara
pandang
konstitusional
, berdasarkan
Pasal 28 H
ayat (3) dan
Pasal 34 ayat
(2) UUD 1945
serta merujuk
pada Pasal 4
UU SJSN dan
Pasal 40
tahun 2011
dan Pasal 24
tahun 2011.
Harus
dilakukan
kajian
lebih
lanjut
untuk
merevisi
regulasi
turunan
BPJS
seperti
dalam
penetapa
n cost BPJ
S dan
pengatura
n
penyalura
n dana ke
fasilitas
kesehatan
penyeleng
gara,
jumlah
tenaga
kesehatan
yang
tersedia
(dokter,
perawat,
administra
si rumah
sakit dan
lain-lain)
sehingga
memudah
kan dan
meningkat
kan mutu
pelayanan
187
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
kesehatan
, serta
fasilitas
kesehatan
yang
dimiliki
dapat
menunjan
g
pelaksana
an secara
efisien
dan
efektif.
3 Pasal 6 Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyeleng gara Jaminan Kesehatan
Kelembagaan
Tata organisasi
Kerjasama
BPJS dengan
berbagai
lembaga
adalah upaya
untuk
memperlanca
r upaya
perlindungan
kepada para
peserta.
Secara
tidak
langsung
kerjasama
dengan
berbagai
lembaga
akan
menunjan
g kualitas
pelayanan
BPJS
karena
BPJS
sebagai
lembaga
pertanggu
ngan
sosial
nasional
ditanggun
g
bersama-
sama
antara
Pemerinta
h,
pemberi
188
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
kerja,
pekerja
untuk
memberik
an :
persamaa
n
pelayanan
untuk
semua
(equality),
pemberia
n iuran
kepada
yang tidak
mampu
dan
menjamin
ketaatan
pembayar
an demi
keberlanju
tan
(sustainabi
lity)
4 Pasal 8 Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyeleng gara Jaminan Kesehatan,
Kelembagaan
Kewenangan
BPJS berkedudukan di Pusat dan dapat mempunyai kantor perwakilan di provinsi dan kantor cabang di kabupaten/kota
Pasal ini hanya mengatur kemungkinan membuka kantor cabang dan justru menegaskan bahwa pengelolaan BPJS tidak didesentralisasikan kepada Pemda, padahal amanah Pasal 18 UUD 1945 dan Pasal 12 UU Pemda adalah mendesentralisasikan urusan pelayanan kesehatan sebagai urusan wajib
189
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
pelayanan dasar yang harus dibagi dengan Pemda. Sebaiknya pasal ini dilengkapi dengan peran Pemda.
5 Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Kelembagaan
Peran serta masyarakat
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan yang bersifat top down menjadi tidak relevan, Padahal UU no 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang lahir terlebih dulu juga mengamanahkan paradigma serupa. Terjadi inkonsistensi mengenai peran Pemda dalam era desentralisasi dan otonomi daerah untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sebagai urusan wajib.
Kewenangan Pemda tingkat provinsi di bidang kesehatan jelas disebutkan pada pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Namun dalam implementasinya, kewenangan itu mungkin saja dikebiri oleh Pemerintah Pusat.
6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyeleng gara Jaminan
Aspek operasional atau tidaknya PUU
Pengaturan dalam PUU masih belum dilaksanakan secara efektif
Pelaksanaan
di lapangan,
pelayanan
kesehatan
yang
diselenggarak
an oleh PPK I
Penolakan
pasien
tidak
mampu di
fasilitas
pelayanan
kesehatan
190
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
Kesehatan
(Puskesmas
klinik)
maupun PPK
II (Rumah
Sakit) sampai
saat ini masih
bermasalah.
Pasien harus
mencari-cari
kamar dari
satu RS ke RS
lainnya
karena
dibilang
penuh oleh
RS, bukanlah
hal yang baru
dan baru
sekali terjadi.
hal ini
dikarenak
an PP No.
101/2012
tentang
PBI jo.
Perpres
111/2013
tentang
Jaminan
kesehatan
hanya
mengako
modasi
86,4 juta
rakyat
miskin
sebagai
PBI
padahal
menurut
BPS (2011)
orang
miskin ada
96,7
juta.Pelak
sanaan
BPJS
tahun
2014
didukung
pendanaa
n dari
pemerinta
h sebesar
Rp. 26
trliun yang
dianggark
an di
RAPBN
2014.
Anggaran
tersebut
191
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
diperguna
kan untuk
Penerima
Bantuan
Iuran
(PBI)
sebesar
Rp. 16.07
trliun bagi
86,4 juta
masyaraka
t miskin
sedangka
n sisanya
bagi PNS,
TNI dan
Polri.
Pemerinta
h harus
secepatny
a
mengangg
arkan
biaya
kesehatan
Rp. 400
milyar
untuk
gelandang
an, anak
jalanan,
penghuni
panti
asuhan,
panti
jompo dan
penghuni
lapas
(jumlahny
a sekitar
1,7 juta
orang).
Dan
192
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
tentunya
jumlah
orang
miskin
yang
discover
BPJS
kesehatan
harus
dinaikkan
menjadi
96,7 juta
dengan
konsekue
nsi
menamba
h
anggaran
dari APBN.
7 Pasal 12 UU no 23 Tahun 2014 tentang Pemda
Aspek materi hukumnya
Pembagian kewenangan dan tugas masih belum tegas
Pemda tidak
bisa terlibat
dalam turut
mengelola
BPJS,
sehingga
tidak dapat
turut
memantau,
menggerakka
n partisipasi
masyarakat
dan
mendekatkan
pelayanan
serta kontrol
program
dengan
masyarakat/p
emanfaat
Urusan Kesehatan, baik dalam bentuk pelayanan maupun jaminan sosialnya, adalah urusan wajib pelayanan dasar yang pelaksanaannya dibagi (konkuren) dengan Pemerintah Daerah. Artinya tidak ada alasan bagi pemda untuk menolak menjalankannya. Sebaliknya urusan ini juga jangan direalisasikan secara sentralistik.
193
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
8 Pasal 167 UU no 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Aspek materi hukumnya
Peran serta masyarakat
Pengelolaan
kesehatan
yang
diselenggarak
an oleh
Pemerintah,
pemerintah
daerah
dan/atau
masyarakat
melalui
pengelolaan
administrasi
kesehatan,
informasi
kesehatan,
sumber daya
kesehatan,
upaya
kesehatan,
pembiayaan
kesehatan,
peran serta
dan
pemberdayaa
n masyarakat,
ilmu
pengetahuan
dan teknologi
di bidang
kesehatan,
serta
pengaturan
hukum
kesehatan
secara
terpadu dan
saling
mendukung
guna
menjamin
tercapainya
derajat
Kewajiban Pemda untuk berperan dalam pengelolaan Kesehatan merupakan amanah konstitusi yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan mesti didesentralisasikan ke Pemda sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 bahwa NKRI terbagi-bagi dalam daerah Provinsi dan Kab/Kota, sehingga penyelenggaraan pembangunanpun dibagi antara pemerintah pusat dan Pemda. Pelayanan kesehatan dilaksanakan bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat mulai dari administrasi, informasi, sumberdaya, pembiayaan, peran serta dan pembiayaan kesehatan sebagaimana diamanahkan UU no 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Artinya BPJS Kesehatan mestinya mengacu ke Pasal 167 dalam pengelolaannya.
194
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
kesehatan
yang setinggi-
tingginya.
Tidak meninggalkan Pemda dan masyarakat. Pasal ini perlu dipertahankan sebagai landasan
195
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
9 Pasal 167 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Aspek organisasi
Pembagian kewenangan dan tugas masih belum tegas
Pengelolaan
kesehatan
dilakukan
secara
berjenjang di
pusat dan
daerah
Satu-satunya Klausul yang mengatur hubungan Pusat dengan daerah dalam Pelaksanaan BPJS ini ada di Pasal 51 UU BPJS ini. Namun demikian hubungan yang terbentuk bukan desentralistik sebagaimana amanah Pasal 12 UU Pemda. Padahal urusan kesehatan yang dibungkus dalam sistem jaminan sosial kesehatan adalah urusan yang sifatnya wajib –pelayanan dasar yang dibagi dengan daerah. Pasal ini harus diganti dan disesuaikan.
196
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
10 Pasal 174 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Penegakan hukum
Peran serta masyarakat
Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalamsegala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Peran serta
tersebut
mencakup
keikutsertaan
secara aktif
dan kreatif.
Kesejahteraan sosial yang hendak dicapai dapat dirancang dan dikontrol bersama oleh Pemerintah dan masyarakat termasuk Pemda seperti diatur dalam Pasal 174 UU no 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; hal ini perwujudan konsep perlindungan sosial dalam negara kesejahteraan yang memperkuat relasi antara pemerintah (Pusat dan Pemda), masyarakat dan swasta.
11 Pasal 19, pasal 20 dan pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Kelembagaan
Tata organisasi
Pasal ini menjadi acuan dan faktor pendorong agar sebuah rumah sakit dapat memberikan jaminan mutu, keselamatan dan profesionalitas dengan memperhatikan jenis pelayanan yang diberikan dan kejelasan pengelolanya.
Walaupun Undang-undang ini sudah lama diterapkan mulai dari 2009, tapi kenyataan masih banyak pihak dalam rumah sakit, misalnya pegawai tak mengetahui hal ini. Solusi dengan mensosialisasi Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 ini kepada masyarakat bisa dilakukan dengan berbagai cara agar
197
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
efektif dan terinformasikan baik oleh praktisi rumah sakit pemerintah maupun swasta dilakukan melalui, depkes, organisasi perumahsakitan, organisasi profesi
12 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada
Kelembagaan
Kewenangan
Pengelolaan BPJS tertutup, tidak open manajemen dan terpusat sesuai perintah Pasal 8 UU BPJS. Disebutkan disana BPJS berkedudukan di Pusat. Sebagai instrumen perlindungan sosial, yang diperuntukkan bagi semua orang mestinya BPJS dikelola secara gotong royong sesuai prinsip yang dianutnya. Gotong royong tidak hanya pada pertanggungan asuransi sosial saat pemanfaatan, tetapi juga pada saat pengelolaan. Pengelolaan yang tidak didesentralisasikan adalah akibat UU no 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU no 24 Tahun 2011 tentang BPJS tidak memerintahkannya. Tentu saja hal ini inkonsisten dengan UU no 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU no 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang justru
Hak masyarakat untuk berperanserta secara terorganisasi adalah bagian dari penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) sehingga pelayanan kesehatan sebagai bagian dari pembangunan akan lebih berjalan efektif, efisien dan terlembaga. Pelibatan masyarakat melalui partisipasi yang melembaga dibutuhkan untuk keberlanjutan BPJS. Pasal 354 UU Pemda dan pasal 3 UU KIP harus menjadi rujukan.
198
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
mengamanahkan pelaksanaan BPJS yang didesentralisasikan secara hierarkis dalam sebuah sistem nasional seperti diatur dalam Pasal 167 UU SJSN dan Pasal 12 UU Pemda, termasuk keterlibatan masyarakat dalam Pasal 354 UU Pemda serta Pasal 174 UU Kesehatan.
13 Pasal 9 UU Keterbukaan Informasi Publik
Kelembagaan
Kewenangan
UU KIP dibuat karena hak asasi manusia yang berupa hak untuk mendapatkan informasi masih sulit terpenuhi. Budaya aparat yang masih menutup-nutupi informasi sehingga masyarakat tidak tahu apa saja yang terjadi di pemerintahan
Undang-Undang KIP menginginkan adanya keterbukaan meskipun tetap dimungkinkan adanya informasi yang boleh ditutup namun pengecualian tersebut bersifat ketat dan terbatas. Hal tersebut telah mengubah budaya organisasi di pemerintahan yang selama ini cenderung tertutup. Pelayanan publik dalam hal layanan informasi masih sangat banyak permasalahan, salah satunya dalam mengakses informasi publik. Ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan sebagai badan publik Pemerintah yang diantaranya adalah: mengumumkan
199
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
dan menyediakan informasi publik; membentuk PPID; dan membuat standar pelayanan oprasional.
14 Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan
Budaya Hukum
Peran serta masyarakat
Adanya kekuatan modal sosial dan gotong royong masyarakat merupakan aset yang harus dimanfaatkan dalam pembangunan. Namun selama ini pemanfaatan itu belum optimal. Ditinjau dari aspek pelayanan dan pengambilan keputusan, masyarakat telah memiliki mekanisme sendiri untuk menyaring informasi dan meng up date data, terutama data tentang keluarga miskin Penerima bantuan Iuran (PBI). Untuk menunjang ini, Kemensos telah mengaturnya dalam Permensos no xx Tahun 2014 tentang Pedoman Sistem Data Kependudukan Nasional (Sisdumas) yang memungkinkan data PBI penerima BPJS dupdate melalui rembug warga. Permensos tersebut adalah amanah dari Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan.
Budaya rembug warga mulai dari level RT hingga level desa/kelurahan belum digunakan secara masif dalam turut menentukan kualitas dan ketepatan sasaran pelayanan BPJS. Padahal melalui media rembug warga, masyarakat berpotensi dibiasakan berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan mengenai penentuan data penerima sasaran, terutama para peserta PBI. Proses verifikasi data publik oleh masyarakat melalui rembug warga ini harus dibudayakan dan dipantau kualitasnya. Peraturan Menteri Sosial no xx Tahun 2014 telah disiapkan untuk mengawal perbaikan kualitas pelayanan BPJS, sehingga harus digunakan agar regulasi tersebut berlaku efektif mengawal
200
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses up dating data dan monitoring program.
15 Pasal 9 PP no 85 Tahun 2013 tentang Tata Hubungan antar lembaga BPJS
Kelembagaan
Tata organisasi
Hubungan kerja sama BPJS dengan organisasi atau lembaga lain dalam negeri dilaksanakan melaluiperjanjian kerja sama. (2) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan dapat dituangkan dalam bentuk nota kesepahaman, kerja samaoperasional, atau bentuk lain yang disepakati bersama.
Hubungan Kerjasama antara Pemerintah Pusat dan Pemda dalam klausul ini seperti hubungan kontraktual, bukan hierarkies sebagaimana amanah UU Pemda. Semangat pembagian urusan wajib pelayanan dasar semestinya langsung dilaksanakan tanpa harus disertai MOU. Jika tujuan MOU adalah untuk mengalokasikan APBD atau menugaskan Pemda dalam memperlancar pelaksanaan BPJS. Pasal ini harus disesuaikan.
16 Pasal 55 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Kelembagaan
Aspek Sarana Prasarana
kewaj iban menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan belum terlaksana, hingga saat ini Peraturan Pemerintah tersebut belum terbentuk, secara teknis opersional minimnya standar dan prosedur yang menjamin hak atas ketersediaan pelayanan kesehatan yang terstandarisasi
Segera membentuk Peraturan Pemerintah tersebut
201
No Pasal / Pengaturan
Variabel Indikator Analisis Rekomendasi
dan bermutu ini akan berimplikasi pada efektifitas penyelenggaraan upaya kesehatan, perlu ketegasan dan kepastian terbentuknya Peraturan Pemerintah tersebut.
202
BAB VII
PENUTUP
A. Simpulan
1. Dari hasil analisis berdasarkan ketepatan jenis PUU, terhadap 23 (dua
puluh tiga) PUU, terdapat 3 (tiga) PUU yang memiliki catatan penting
dalam rangka pemenuhan hak kesehatan, dan beberapa catatan
penting terhadap PUU terkait yang perlu dievaluasi.
Sedangkan PUU yang memiliki catatan penting yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional.
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Dari hasil analisis berdasarkan kejelasan rumusan, terdapat 17 (tujuh belas) PUU terkait Pemenuhan Hak Kesehatan yang dievaluasi, masih belum memenuhi kejelasan rumusannya. Berikut data hasil penilainnya:
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
1. UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7, Pasal 7 ayat (3), Pasal 8 ayat (2), Pasal 11, Pasal 15 ayat (1), Pasal 23 ayat (4), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (2)
2. UU No. 24 Tahun 2011 tentang
- Kesesuaian Pasal 1, Pasal 2, Pasal 34 huruf c
203
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
dan huruf e, Pasal 38 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 56 ayat (2)
3. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (3), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 21, Pasal 34 ayat (1)
4. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 3 huruf b dan c, Pasal 7 ayat (3),
204
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
5. PP No. 101 Tahun 2012 tentang Penerimaan Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 2, Pasal 4, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11
6. PP No. 82 Tahun 2013 tentang Modal Awal Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 2, Pasal 3
7. PP No. 85 Tahun 2013 tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggaraan
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan
Pasal 2, Pasal 4
205
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
Jaminan Sosial Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
8. PP No. 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Nama PP, Pasal 1, Pasal 10
9. PP No. 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-
Pasal 15, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 35, Pasal 38, Pasal 40, Pasal 46
206
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
undangan
10. PP No. 88 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 3, Pasal 11
11. Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 4, Pasal 15, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 25, Pasal 29, Pasal 34, Pasal 45, Pasal 46
12. Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar
Pasal 4, Pasal 16F
207
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
ketentuan) - Kesesuaian
dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
13. Perpres No. 107 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Tertentu Berkaitan dengan Kegiatan Operasional Kementerian Pertahanan, TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29
14. Perpres No. 108 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Isi Laporan Program Jaminan Sosial
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Judul Perpres
15. Perpres No. 110 Tahun 2013 tentang Gaji atau Upah dan
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik
Judul Perpres
208
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
Manfaat Tambahan Lainnya serta Intensif Bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial
penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
16. Perpres No. 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Judul Perpres
17. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan) Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan
Judul Undang-Undang
209
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
Perundang-undangan
3. Dari hasil analisis berdasarkan penilaian terhadap materi muatan,
terdapat 8 (delapan) PUU terkait Pemenuhan Hak Kesehatan yang
dievaluasi, masih belum memenuhi kejelasan rumuasannya. Berikut
data hasil penilaiannya:
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan sosial Nasional
Asas :
- Keadilan; - Kenusantaraan; - Kemanusiaan;
Indikator
- Peluang yang sama bagi setiap warga negara terhadap akses pemanfaatan;
- Jaminan terhadap ke ikutsertaan masyarakat lokal
Pasal 2; Pasal 5; Pasal 47;
2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggar Jaminan Sosial
Asas :
- Kenusantaraan; - Kesamaan
Kedudukan Dalam Hukum dan Pemerintahan;
Indikator :
- Pembagian kewenangan Pusat dan Daerah;
- Tidak ada diskriminasi, baik
Pasal 39; Pasal 14
210
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
secara eksplisit, maupun implisit
3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit
Asas :
- Kemanusiaan; - Kebangsaan; - Keseimbangan,
Keserasian, dan Keselarasan;
- Ketertiban dan Kepastian Hukum;
- Ketertiban dan Kepastian Hukum
Indikator :
- Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan ataut pemenuhan HAM
- Pembatasan keikut sertaan pihak asing;
- Mengedepankan fungsi kepentingan umum;
- Tindakan atas peraturan-peraturan yang bertentangan atau tumpang tindih;
- Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran.
Pasal 3 ayat huruf b; Pasal 14 ayat (2); Pasal 29; Pasal 38;
4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
Asas :
- Ketertiban dan Kepastian Hukum;
- Kekeluargaan; - Kenusantaraan
Indikator :
Pasal 6 ayat (3) huruf e; Pasal 52; Pasal 48 ayat (1); Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf
211
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
- Transparasi/keterbukaan;
- Kejelasan sanksi terhadap pelanggaran;
- Kejelasan aturan mengenai koordinasi;
- Jaminan terhadap akses informasi ppublik dalam r4angka pengambilan keputusan
- Pengedepanan kepentingan nasional;
d, huruf e, huruf f, huruf i, dan huruf j
5 PP Nomor 101 Tahun 2012 jo. PP Nomor 76 Tahun 2015 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
Asas :
- Keadilan; - Ketertiban Dan
Kepastian Hukum
Indikator :
- Tidak ditemukannya kebijakan yang menyebabkan tidak terjaminnya kepentingan masyarakat daerah terpencil;
- Adanya ketentuan yang jelas mengenai koordinasi;
- Tidak ditemukannya ketentuan yang menyebabkan tidak terjaminnya keterlibatan masyarakat marjinal;
Pasal 3; Pasal 8; Pasal 11 ayat (7); Pasal 13;
212
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
- Adanya ketentuan yang jelas mengenai sanksi terhadap pelanggaran.
6 PP Nomor 82 Tahun 2013 tentang Modal Awal Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Asas :
- Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan;
Indikator :
- Tidak ditemukannya ketentuan yang mengedepankan fungsi kepentingan umum.
-
Pasal 1 dan Pasal 2
7 PP Nomor 85 Tahun 2013 tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Asas :
- Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan;
Indikator :
- Tidak adanya ketentuan yang mengedepankan prinsip kehatihatian
pasal 6, pasal 8
8 Undang –Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Asas - kepastian Hukum
Indikator - Adanya ketentuan
yang jelas mengenai koordinasi
Pasal 47
4. Dari hasil analisis berdasarkan penilaian terhadap potensi disharmoni
ketentuan peraturan perundang-undangan, terdapat 5 (lima) PUU
213
terkait Pemenuhan Hak Kesehatan yang dievaluasi, masih belum
memenuhi kejelasan rumuasannya. Berikut data hasil penilaiannya:
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
1 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
- Kewenangan Pasal 1 angka 7, Pasal 4 huruf h, Pasal 19
2 UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
- Kewenangan Pasal 8, Pasal 13, Pasal 17 ayat (1), Pasal 30,
3 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
- Kewenangan Pasal 12, Pasal 29 ayat (1) huruf c, Pasal 16
4 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
- Kesesuaian dengan sistematika dan Teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan
- Konsisten (antar ketentuan)
- Kesesuaian dengan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 1 angka 12
5 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
- Kewenangan Adanya pengaturan mengenai hal yang sama pada 2 (dua) atau lebih PUU setingkat, tetapi
Pasal 177 angka 2 huruf e dan f Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan
214
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
Kesehatan memberikan kewenangan yang berbeda
Pasal 39 angka 3 Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS
5. Dari hasil analisis berdasarkan penilaian terhadap efektifitas
implementasi peraturan perundang-undangan, terdapat 9 (sembilan)
PUU terkait Pemenuhan Hak Kesehatan yang dievaluasi, masih belum
memenuhi kejelasan rumuasannya. Berikut data hasil penilaiannya:
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional,
Variabel :
- Kewenangan; Indikator :
- Peran serta masyarakat;
Pasal 47
2 Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyeleng gara Jaminan Kesehatan
Variabel :
- Kelembagaan;
Indikator :
- Tata organisasi;
- Kewenangan; - Peran serta
masyarakat
Pasal 6; Pasal 8
3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Variabel :
- Kelembagaan;
- Aspek materi hukumnya
Indikator :
- Peran serta masyarakat;
- Pembagian kewenangan dan tugas masih belum tegas
Pasal 12; Pasal 13
4 Pasal 167 UU no 36 Tahun 2009
Variabel :
- KelembagaaPasal 167, Pasal 167 ayat (2), Pasal 174
215
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
tentang Kesehatan
n; - Aspek
materi hukumnya;
- Aspek organisasi;
- Penegakan hukum.
Indikator :
- Peran serta masyarakat;
- Pembagian kewenangan dan tugas masih belum tegas
5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Variabel :
- Kelembagaan;
- Aspek materi hukumnya;
Indikator :
- Tata organisasi;
- Peran serta masyarakat;
Pasal 19, pasal 20 dan pasal 21
6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada
Variabel :
- Kelembagaan;
- Aspek materi hukumnya;
Indikator :
- Kewenangan;
Pasal 3; Pasal 9
7 Pasal 13 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan
Variabel :
- Budaya hukum;
- Aspek materi hukumnya;
Indikator :
- Peran serta masyarakat
Pasal 13 dan Pasal 14
8 PP no 85 Tahun 2013 tentang Tata Hubungan antar
Variabel :
- Kelembagaan Pasal 9
216
No PUU Indikator variabel penilaian
Pasal yang perlu diubah
Pasal yang perlu dicabut
lembaga BPJS Indikator :
- Tata organisasi
9 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Variabel :
- Kelembagaan Indikator : Aspek Sarana Prasarana
Pasal 55
B. Rekomendasi
Pemerintah bertanggung jawab dalam pelaksanaan pelayanan
kesehatan sebagai bagian dari pelaksanaan good governance dan amanah
Pasal 28 H dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 untuk menjamin hidup yang layak di
lingkungan hidup yang sehat dan memperoleh layanan kesehatan sebagai
konsekuensi pencapaian kemajuan dan kesejahteraan sosial yang diukur
menggunakan 3 pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan dan
peningkatan pendapatan (income). Terpenuhinya 3 kebutuhan dan pelayanan
dasar tersebut menjadi tolok ukur kesejahteraan sosial negara. Orientasi ini
akan tercapai jika seluruh perangkat peraturan perundang-undangan
mendukung. Urusan Kesehatan, baik dalam bentuk pelayanan maupun
jaminan sosialnya, adalah urusan wajib pelayanan dasar yang pelaksanaannya
dibagi (konkuren) dengan Pemerintah Daerah. Artinya tidak ada alasan bagi
pemda untuk menolak menjalankannya. Sebaliknya urusan ini juga jangan
direalisasikan secara sentralistik. Oleh sebab itu terkait sejumlah ketentuan
terkait di SJSN dan BPJS sebaiknya :
a. Pada Pasal 47 UU no 40 Tahun 2004 tentang SJSN ditambahkan
kewenangan Pemda sehingga Pemda bersama masyarakat memiliki
payung hukum dalam turut mengelola dan mengawasi PJS.Keterlibatan
Pemda dan Masyarakat dalam pengelolaan dana jaminan sosial tidak
disebutkan dalam Pasal 47 UU SJSN, padahal Prinsip asuransi sosial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 (dan penjelasan) UU no 40 Tahun
217
2004 tentang SJSN yang mengamanahkan gotong royong antara si kaya
dengan si miskin, tua-muda, sehat-sakit dan beresiko tinggi-rendah
membutuhkan peran terbuka Pemda dan masyarakat dalam
pengelolaannya. Gotong royong dalam pemaknaan asuransi sosial dapat
ditempuh dengan melibatkan Pemda serta masyarakat sehingga
menunjang pencapaian target-target SJSN dan BPJS. Beberapa peran
diantaranya adalah penegakan kepesertaan wajib yang tidak selektif, iuran
berdasar upah yang diterima, pengelolaan makin kredibel dan
mengakomodasi peranserta semua pihak secara partisipatif. Alhasil
lembaga BPJS akan menjadikan seluruh pesertanya memperoleh
kesamaan pelayanan (azas ekuitas) yang tidak terikat dengan besarnya
iuran yang dibayarkan. Kecuali tentunya pelayanan terhadap PBI yang
notabene adalah warga miskin, yang iurannya ditanggung oleh negara.
b. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyenggara Jaminan Sosial yang mengatur kedudukan BPJS di Pusat
diubah sebab pasal ini hanya mengatur kemungkinan membuka kantor
cabang dan justru menegaskan bahwa pengelolaan BPJS tidak
didesentralisasikan kepada Pemda, padahal amanah Pasal 18 UUD 1945
dan Pasal 12 UU Pemda adalah mendesentralisasikan urusan pelayanan
kesehatan sebagai urusan wajib pelayanan dasar yang harus dibagi
dengan Pemda. Sebaliknya pasal ini dilengkapi dengan peran Pemda,
dalam prakteknyaKIS yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan di Pemda
tidak terkait langsung dengan BPJS diurus oleh Pemda dengan sasaran
perluasan 254 juta jiwa di tahun 2017.
c. Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS tentang
Hubungan antar lembaga diubah agar menyesuaikan dengan paradigma
pola hubungan desentralisasi antara Pusat-Pemda sebagaimana diatur
dalam UU No 23Tahun 2914 tentang Pemda dan UU No 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan.
218
d. Pasal 37 UU no 24 tahun 2011 tentang BPJS sebaiknya ditambahkan
pertanggungjawaban pengelolaan BPJS kepada publik karena dalam
klausul tersebut Pengelolaan tidak melibatkan Pemda dan Masyarakat.
Pertanggungjawaban juga hanya kepada Presiden, Pengawasan juga
hanya oleh DJSN dan Lembaga Pengawas Independen (Pasal 39) Hal ini
bertentangan dengan azas kegotongroyongan dan keterbukaan yg
dianutnya sendiri(Pasal 4), dan bertentangan dengan Pasal 174 UU no
36/2009 tentang Kesehatan.
e. Pasal 13 dan 16 UU 24 Tahun 2011 tentang BPJS harus diusesuaikan atau
diubah karena hanya memposisikan masyarakat sebagai penerima
informasi, dan pemenfaat program BPJS. Padahal partisipasi masyarakat
yang hakiki adalah partisipasi dalam pengambilan keputusan dan kontrol
program, sehingga Pasal ini bertentangan dengan
1) UU no 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
pada Pasal 3 huruf :
i Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses
pengambilan kebijakan publik;
ii Untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam
pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan
Publik yang baik;
2) Pasal 354 UU no 23 Tahun 2014 tentang Pemda mengatur
Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan secara
terorganisir dalam pelayanan publik
3) Pasal 174 UU no 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, bahwa (1)
Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun
terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan
kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. (2) Peran
serta tersebut mencakup keikutsertaan secara aktif dan kreatif.
219
f. Penerjemahan makna Perlindungan Sosial di dalam Perpres no 2 Tahun
2015 tentang RPJMN2015-2019 harus diubah karena perlindungan sosial
hanyadikaitkanuntuk melindungi kaum disabilitas dan lansia. Padahal
Penyelenggaraan sistem jaminan sosial di Indonesia mengacu pada
Konsep social security sebagai upaya untuk mewujudkan kesejahteraan
Rakyat. Program jaminan sosial dilakukan dengan memberi jaminan
kesehatan kepada kelompok tenaga kerja (dalam perkembangannya
mencakup sektor formal maupun sektor informal) sesuai dengan
kebutuhan.
g. Terkait Pelibatan masyarakat,budaya rembug warga harus dijadikan media
pengambilan keputusan untuk melaksanakan prinsip gotong-royong
sebagaimana prinsip BPJS. Terbitnya Panduan Teknis Pengaduan
Masyarakat Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan oleh
Kemensos melalui Permensos no xx Tahun 2014 patut diapresiasi karena
melembagakan rembug warga sebagai media pengambilan keputusan
dan pengelolaan pengaduan PBI. Panduan tersebut menerjemahkan
dengan baik peran serta masyarakat sebagaimana diatur dalam pasal 174
UU no 36 Tahun 2009, yang mengatur tentang mekanisme rembug warga
untuk keperluan up dating data PBI sebagai pelaksanaan dari Pasal 13 dan
Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima
Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Sosial tentang Petunjuk Teknis Sistem Pengaduan Masyarakat
tentang PBI Jaminan Kesehatan. Pasal 1 Permensos no xx Tahun
2014tersebut mengatur 4 hal penting dalam pelibatan dan
pengorganisasian masyarakat dalam pengambilan keputusan sesuai
amanah UU no Tahun 2011 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yaitu :
1. Sistem pengaduan masyarakat tentang PBI Jaminan Kesehatan
dilakukan dalam upaya untuk mendapatkan data yang benar dan
akurat tentang fakir miskin atau orang tidak mampu;
220
2. Sistem pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk meminimalisir terjadinya inclusion error(bukan fakir miskin
atau orang tidak mampu tetapi menerima bantuan iuran jaminan
kesehatan) maupun exclusion error(fakir miskin atau orang tidak
mampu tetapi tidak menerima bantuan iuran jaminan kesehatan)
serta untuk mencatat adanya perubahan status sosial ekonomi fakir
miskin dan orang tidak mampu;
3. Pengaduan masyarakat merupakanbentuk partisipasi masyarakat
dalam melakukan verifikasi dan validasi data fakir miskin atau orang
tidak mampu peserta PBI jaminan kesehatan baik diminta maupun
tidak diminta.
4. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas orang
perorangan, organisasi kemasyarakatan, dan aparat pemerintahan
setempat.
h. Menata ulang Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
dengan mengubah judul menjadi Sistem Kesehatan Nasional (SKN) sebagai
peraturan tertinggi di bidang kesehatan.
Mengatur kembali peraturan perundang-undangan bidang kesehatan untuk
disesuaikan dengan hirarki/jenisnya yang sesuai sebagai subsitem SKN serta
simplifikasi peraturan dengan mengatur secara koheren dan efektif.
221
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional ;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit;
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang
Keterbukaan Informasi Publik;
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan;
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran;
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia;
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika;
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang
Kesehatan Jiwa;
11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012
Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;
12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2013
Tentang Modal Awal Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan;
13. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun 2013
Tentang Tata Cara Hubungan Antar Lembaga Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial;
222
14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013
Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi
Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi
Kerja, Pekerja dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan
Jaminan Sosial;
15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2013
Tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan;
16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2013
Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Bagi Anggota
Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggaraan
Jaminan Sosial;
17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2018
Tentang Standar Pelayanan Minimal;
18. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2014
Tentang Sistem Informasi Kesehatan;
19. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2016
Tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014
Tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional;
21. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2014
Tentang Kesehatan Lingkungan;
22. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998
Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
23. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang
Jaminan Kesehatan;
24. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2013 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang
Jaminan Kesehatan;
223
25. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2013 Tentang
Pelayanan Kesehatan Tertentu Berkaitan Dengan Kegiatan Operasional
Kementerian Pertahanan, TNI dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
26. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2013 Tentang
Bentuk dan Isi Laporan Program Jaminan Sosial;
27. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2013 Tentang
Gaji atau Upah dan Manfaat Tambahan Lainnya Serta Insentif Bagi
Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial;
28. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2014 Tentang
Pengelolan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan
Nasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah
Daerah;
29. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 Tentang
Sistem Kesehatan Nasional.
30. Kesehatan dalam Prespektif HAM, Buletin KontraS.
31. Supriyanto, Formulasi Kebijakan Integrasi jaminan kesehatan Daerah ke
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional menuju Universal Health Coverage,
Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Fakultas kedokteran
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2014.
Recommended