View
24
Download
8
Category
Preview:
DESCRIPTION
laporan kasus kelompok
Citation preview
1
PRESENTASI KASUS
“KISTA OVARIUM, ”
Oleh:
Harmas Yulia Fara Hylda
Happy Indra P
Herika Yulisa
Pembimbing:
dr. Niken WS A Sp OG
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2011
2
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL................................................................................................. 1
DAFTAR ISI......................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 3
BAB 2 LAPORAN KASUS.................................................................................. 5
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 14
BAB 4 KESIMPULAN......................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Prevalensi kejadian hipertensi dalam kehamilan di Indonesia merupakan
peringkat tertinggi di negara ASEAN. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2005 menyebutkan diperkirakan sedikitnya 18.000 ibu hamil menderita
hipertensi setiap tahun (Subramanian, 2008). Dari hasil survei (SKRT 2001)
diketahui bahwa komplikasi penyebab kematian ibu yang terbanyak adalah
perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (preeklampsia dan eklampsia), infeksi,
partus lama, dan komplikasi keguguran.
Dalam perjalanannya, berkat kemajuan dalam bidang anestesia, teknik
operasi, pemberian cairan infus dan transfusi, serta peranan antibiotik yang
semakin meningkat, maka penyebab kematian ibu karena perdarahan dan infeksi
dapat diturunkan dengan nyata. Sebaliknya pada penderita preeklampsia, karena
ketidaktahuan dan sering terlambat mencari pertolongan setelah gejala klinis
berkembang menjadi preeklampsia berat dengan segala komplikasinya, angka
kematian ibu bersalin belum dapat diturunkan. Bahkan menurut laporan
dibeberapa rumah sakit di Indonesia, angka ini telah menggeser pendarahan dan
infeksi sebagai penyebab utama kematian maternal (Sofoewan, 2003).
Jika kita berbicara tentang persalinan sudah pasti berhubungan dengan
perdarahan, karena semua persalinan baik pervaginam ataupun perabdominal
(sectio cesarea ) selalu disertai perdarahan. Pada persalinan pervaginam
perdarahan dapat terjadi sebelum, selama ataupun sesudah persalinan. Perdarahan
bersama-sama infeksi dan gestosis merupakan tiga besar penyebab utama
langsung dari kematian maternal. Kematian maternal adalah kematian seorang
wanita waktu hamil atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab
apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk
4
mengakhiri kehamilan. Sebab-sebab kematian ini dapat dibagi dalam 2 golongan,
yakni yang langsung disebabkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan,
persalinan dan nifas, dan sebab-sebab lain seperti penyakit jantung, kanker, dan
lain sebagainya. Suatu perdarahan dikatakan fisiologis apabila hilangnya darah
tidak melebihi 500 cc pada persalinan pervaginam dan tidak lebih dari 1000 cc
pada sectio cesarea. Perlu diingat bahwa perdarahan yang terlihat pada waktu
persalinan sebenarnya hanyalah setengah dari perdarahan yang sebenarnya.
Seringkali sectio cesarea menyebabkan perdarahan yang lebih banyak, harus
diingat kalau narkotik akan mengurangi efek vasokonstriksi dari pembuluh darah.
Perdarahan pascapersalinan adalah sebab penting kematian ibu; ¼ kematian
ibu yang disebabkan oleh perdarahan (perdarahan pascapersalinan, placenta
previa, solutio plasenta, kehamilan ektopik, abortus, dan ruptura uteri). Selain itu,
pada keadaan dimana perdarahan pascapersalinan tidak mengakibatkan kematian,
kejadian ini sangat mempengaruhi morbiditas nifas karena anemia dapat
menurunkan daya tahan tubuh. Perdarahan pascapersalinan lebih sering terjadi
pada ibu-ibu di Indonesia dibandingkan dengan ibu-ibu di luar negeri.
Pada makalah ini akan disajikan salah satu contoh kasus pre eklampsia berat
dan perdarahan post partum pada ibu yang menitik beratkan pada cara
menegakkan diagnosis, penatalaksanaaan serta mencegah komplikasi lebih lanjut
5
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas :
Nama : Ny.Inna Mas’ulah
Nomor RM : 10.78.52
Tanggal MRS : 17 Januari 2012
Umur : 13 tahun
Alamat : Karang Agung RT 08 RW 02 Palang Tuban
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Nama Suami : Tn. Bahrul Ulum
Umur : 31 tahun
Alamat : Karang Agung RT 08 RW 02 Palang Tuban
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Lama menikah : 6 tahun
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Keluhan Utama : Nyeri perut
Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang wanita datang ke RSML pada tanggal 17 Januari 2012 jam 10.00
dengan keluhan nyeri perut, nyeri perut sudah dirasakan sejak hari kamis (5 hari
yang lalu), nyeri perut dirasakan sakit sekali nyeri perut terus menerus seperti
mules-mules dan kemeng, nyeri awalnya dirasakan hanya perut bawah dan mulai
tiga hari ini sakit semakin memberat dan nyeri dirasakan di semua lapang perut,
tembus sampai ke belakang. Awalnya pasien juga mengeluh mual-mual dan
muntah terus dan sekarang sudah berlangsung 5 hari. Selama 5 hari nyeri perut
pasien 2x pingsan karena nyeri sekali, yang pertama hari kamis pasien pingsan dan
terjatuh posisi terduduk di kamar mandi, yang ke dua hari senin malam pasien
6
pingsan karena rasa sakit yg semakin memberat. Pasien juga sudah melakukan
pemriksaan kehamilan dan ternyata positif (+), sudah diperiksa 2x. Pasien sudah
pergi ke dokter dan diberikan obat yeri dan penguat kandungan, tetapi keluhan
tidak berkurang. Mulai hari sabtu sampai hari ini (selasa) pasien mengeluh keluar
flek-flek darah berwarna merah kecoklatan banyak, dan disertai nyeri perut. Pasien
selama satu bulan ini sering mengeluhkan BAK terasa panas, nyeri dan BAK
sering, dan mulai senin malam pasien sudah tidak BAB dan sulit kentut sampai
selasa siang.
Riwayat Persalinan
Anak I/ umur 5 tahun/ perempuan/ lahir spontan/ oleh dokter/ BB 3000 gram/
hidup
Riwayat menstruasi hari pertama haid terakhir (HPHT) awal desember 2011.
Tes kehamilan hari jumat (+)
Riwayat menstruasi pertama (Menarch) saat umur 13 tahun
Siklus 28 hari dan biasanya berlangsung sekitar 6-7 hari.
Nyeri sewaktu awal menstruasi
Riwayat Pernikahan
Menikah umur 25 tahun
Menikah 6 tahun
Riwayat KB
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Sebelumnya pasien tidak mempunyai riwayat hipertensi, asma, maupun
kencing manis. Pasien juga tidak mempunyai riwayat penyakit kuning
sebelumnya. Batuk lama kambuh-kambuhan dan pengobatan selama 6 bulan
disangkal oleh pasien. Pasien tidak pernah masuk RS.
Pemeriksaan Fisik
Saat datang ke RSML pasien dalam keadaan lemah, GCS 456. Pada
pemeriksaaan tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah 166/113 mmHg, nadi
7
86x/menit, nafas 24x/menit, suhu 36.5˚C aksila. Pada pemeriksaan kepala pasien
tampak anemis, tapi tidak didapatkan ikterik maupun sianosis maupun dispnea.
Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening (KGB) dan kelenjar tiroid
pada pemeriksaan leher. Pada pemeriksaan paru didapatkan bentuk simetris, tidak
tampak adanya retraksi intercostalis, pergerakan dinding dada simetris, tidak
terdapat pembesaran kelenjar aksila, perkusi sonor pada kedua lapangan paru, dan
terdapat bunyi nafas vesikuler, tidak terdengar wheezing maupun ronkhi.
Sedangkan pada pemeriksaan jantung tidak didapatkan voussore cardiaque, iktus
cordis tak teraba, tidak didapatkan thrill atau fremissement, pada saat perkusi
didapatkan batas kiri redup ICS VII line axillaris anterior sinistra, batas kanan
kanan redup ICS IV para sternal line dextra, dan batas atas redup ICS III sternal
line sinistra. Padaa saat auskultasi terdengar S1 S2 tunggal, tidak terdengar bunyi
murmur maupaun gallop. Pada pemeriksaan abdomen tidak tampak caput meduse
mapupun grey sign dan cullen sign. Pada saat palpasi didapatkan nyeri tekan,
hepar dan lien sulit dievaluasi. Perkusi timpani, tidak didapatkan shifting dullnes
maupun meteorismus. Saat aukultasi bising usus normal, tidak terdengar bruit
maupun metalic sound. Pada ekstremitas didapatkan akral hangat kering merah,
didapatkan edema di kedua kaki.
Pemeriksaan Obstetri
Pemeriksaan luar
Leopold I : Di atas bulat, besar, lunak, kurang lenting
Tinggi fundus uteri : 32cm 2 jari dibawah procesus
xiphoideus
Bagian teratas dari janin : bokong
Leopold II : Tahanan memanjang disebelah kanan
Punggung janin : sebelah kanan Tunggal/gemelli : tunggal
Leopold III : Di bagian bawah teraba bulat, besar, keras
Bagian terendah dari janin : kepala
Leopold IV : Di bagian bawah teraba bulat, besar, keras
Bagian terendah janin masuk ke PAP : +
8
Bunyi jantung janin : 126x/menit, regular
Pemeriksaan Dalam
Pengeluaran pervaginam : -
Vulva / vagina : -
Pembukaan waktu his : -
Penipisan portio : -
Ketuban : -
Bagian terdahulu : -
Bagian tersamping terdahulu: -
Bagian terendah : -
Hodge : -
Molase : -
Pemeriksaan Laboratorium
1.Pemeriksaan Darah Lengkap
Diffcount : (1-2/0-1/49-67/25-33/3-7)
Hematokrit : 34,9 % (L 40-54%, P 35-47%)
Hemoglobin : 11,0g/dl (P=12,0-16,0 mg/dl, L=13,0-18,0 mg/dl)
Leukosit : 6100 (4000-10.000)
Trombosit : 110.000 (150.000- 450.000)
LED : 40/70 (L 0-5/jam, P 0-7/jam)
2. Pemeriksaan serologi/imunologi
Hbs-Ag : negatif (indeks 0,01)
3. Pemeriksaan kadar glukosa darah
GDA : 131 (<200 mg/dl)
4. Pemeriksaan Faal Homeostasis
Bleeding time : 1’00” (1-5 menit)
Clothing time : 10’33” (5-11 menit)
5. Pemeriksaan urin lengkap
Bakteri negative (-)
Bilirubine urine negative (-)
9
Cast negative (-)
Cylinder eritrosit negative (-)
Cylinder leukosit negative (-)
Epitel urine positif (+ +)
Eritrosit urine negative (-)
Hyaline negative (-)
Jamur urine negative (-)
Keton urine negative (-)
Kristal amorfp negative (-)
Kristal uric acid negative (-)
Kristal Ca Ox negative (-)
Leukosit urine positif (1-2)
Parasit urine negative (-)
Protein urine positif 3 (+ + +)
Reduksi urine negative (-)
Urobiline urine positif 1 (+)
Assesment: GI P0000 Ab000 umur kehamilan 38-39 minggu ATH PEB
Rencana tindakan :
1. O2 Nasal 3 lpm
2. Infus RD 5 30 tpm
3. Pasang DC
4. SM full dose
5. Inj.cefotaxim 3x1
6. p.o : Nifedipine 3x5mg
7. Observasi tanda vital dan NST
8. Terminasi kehamilan dengan SC
Laporan Operasi
Nama operator : dr. WUR Tgl : 13-12-2011
Asisten 1 : Ich mulai jam: 07.30
Asisten 2 : DM Harmas selesai jam: 08.30
10
Persiapan operasi : inform consent, pasang infus + DK, antibiotik pre OP
Posisi pasien : Telentang dalam pengaruh SAB
Desinfeksi : Betadine + Alkohol
Insisi kulit dan pembukaan lapangan OP: Pfanensteil
Pendapatan pada explorasi : Uterus gravida aterm, tidak terdapat perlengketan,
ovarium dan Tuba dalam batas normal
Apa yang dikerjakan : - LSCS bladder vlap, VU disisihkan ke
caudolateral, incisi SBR diperlebar secara tumpul ke
arah lateral.
- B Lynch prosedur
Penutupan lapangan OP & kulit: lapis demi lapis
Komplikasi OP : Perdarahan + 500 cc
Hasil OP : Bayi dilahirkan dengan meluksir kepala. Lahir bayi
laki-laki dengan BB 3800 gr PB 49 cm A-S 8-9 ketuban
jernih
Deskripsi jaringan/organ yg : kontraksi uterus ↓↓ massase uterus inj.
dieksisi/dipakai jaringan/organ itu Ergomethrin i.v inj oksitosin i.m 10 UI
inj. Ergomethrin intramural B Lynch
prosedur
Kesimpulan : GI P0000 Ab000 umur kehamilan 38-39
minggu PEB + Atonia Uteri + Post B Lynch
prosedur
Terapi post Op :
Puasa
Infus RD 5 1000 cc/24 jam
Drip oksitosin 2 amp/RL 500 cc s.d 12 jam post SC
Cefotaxim 3x1 gr (3 hari) hari pertama
SM dosis lanjutan
Inj. Alinamin 3x1
Inj. Vitamin C 3x1
11
Inj. Teranol 3x1
Inj. Lasix (Furosemide) 3x1 amp tap of
Jika TD ≥ 140/90 mmHg Nifedipine 3x5mg
Evaluasi perdarahan, TTV
Hasil laboratorium tanggal 13 Desember post op
o Hb 10,7 gr/dl
o GDA 167 mg/dl
SOAP hari ke-1 post SC (14 Desember 2011)
Pada tanggal 14 desember 2011 jam 13.00, pasien kembali masuk ruangan,
pasien kondisi membaik, sudah tidak mengeluhkan sesak maupun pusing.
Kondisi pasien masih nampak lemah, GCS 456, dari pemeriksaan tanda-tanda
vital didapatkan tekanan darah 135/85 mmHg, nadi 90 x/menit, RR
20x/menit, suhu 37 C aksila. Pada pemeriksaan kepala tampak anemis, tapi
tidak didapatkan ikterus, sianosis maupun dispnea. Pada pemeriksaan dada
didapatkan bentuk simetris, retraksi intercostalis, nafas vesikuler, tidak
didapatkan suara ronchi maupun wheezing, S1 S2 tunggal, tidak didapatkan
suara murmur maupun gallop. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising
usus menurun. Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat kering
merah. Pada pemeriksaan status obstetrik didapatkan kontraksi uterus (+),
lochea (+), tidak berbau, TFU 2 jari dibawah pusat. Diagnosa kerja dari pasien
ini adalah P1001 post SC hari ke-1 + Post PEB+ post HPP et causa atonia
uteri + post B Lynch prosedur. Planning terapi adalah inj. Cefotaxime 3x1
(hari ke-2), inj. Lasix (furosemide) 2x1 tapp off, laktafit 3x1, Inj. Alinamin
3x, Inj. Vitamin C 3x, Inj. Teranol 3x1, Chromalux 3x1, minum maksimal
1000cc/hari, aff infuse ganti plug, aff chateter.
SOAP hari ke-II post SC (15 Desember 2011)
Pada tanggal 15 desember 2011 jam 06.30, pasien kondisi membaik, sudah
tidak mengeluhkan sesak maupun pusing. Kondisi pasien cukup, GCS 456, dari
pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah 130/95 mmHg, nadi 110
x/menit, RR 22x/menit, suhu 6 C aksila. Pada pemeriksaan kepala tidak tampak
12
anemis, tidak didapatkan ikterus, sianosis maupun dispnea. Pada pemeriksaan dada
didapatkan bentuk simetris, retraksi intercostalis, nafas vesikuler, tidak didapatkan
suara ronchi maupun wheezing, S1 S2 tunggal, tidak didapatkan suara murmur
maupun gallop. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus menurun. Pada
pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat kering merah. Pada pemeriksaan
status obstetrik didapatkan kontraksi uterus (+), lochea (-), tidak berbau, TFU 2
jari dibawah pusat. Diagnosa kerja dari pasien ini adalah P1001 post SC hari ke-1
+ Post PEB+ post HPP et causa atonia uteri + post B Lynch prosedur. Planning
terapi adalah inj. Cefatxime 3x1 (hari ke-3), inj. Lasix (furosemide) 1x1 amp
bila KRS Lasix 3x1 tab, laktafit 3x1, Inj. Alinamin 3x, Inj. Vitamin C 3x, Inj.
Teranol 3x1, Chromalux 3x1, minum maksimal 1000cc/hari.
SOAP hari ke-III post SC (16 Desember 2011)
Pada tanggal 16 desember 2011 jam 06.30, pasien kondisi membaik, sudah
tidak mengeluhkan sesak maupun pusing. Kondisi pasien cukup, GCS 456, dari
pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah 130/95 mmHg, nadi 110
x/menit, RR 22x/menit, suhu 6 C aksila. Pada pemeriksaan kepala tidak tampak
anemis, tidak didapatkan ikterus, sianosis maupun dispnea. Pada pemeriksaan dada
didapatkan bentuk simetris, retraksi intercostalis, nafas vesikuler, tidak didapatkan
suara ronchi maupun wheezing, S1 S2 tunggal, tidak didapatkan suara murmur
maupun gallop. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus menurun. Pada
pemeriksaan ekstremitas didapatkan akral hangat kering merah. Pada pemeriksaan
status obstetrik didapatkan kontraksi uterus (+), lochea (-), tidak berbau, TFU 2
jari dibawah pusat. Diagnosa kerja dari pasien ini adalah P1001 post SC hari ke-1
+ Post PEB+ post HPP et causa atonia uteri + post B Lynch prosedur. Planning
terapi adalah kalau pasien tidak ada keluhan pasien boleh pulang.
Kata kunci I Kata kunci II
GI P0000 Ab000
Wanita
19 tahun
P1001
Wanita
19 tahun
13
HPHT 10 Maret 2011
UK 38-39 minggu
Sesak napas
Kepala pusing
TD : 166/113 mmHg
Proteinuria +3
Edema kaki
Riwayat HT sebelumnya (-)
Post SC e.c PEB
Uterus lembek
Perdarahan banyak
His (-)
Daftar masalah
- PEB
- HPP e.c atonia uteri
Initial diagnosa
- G1 P0000 Ab000 UK 38-39 ATH PEB
- P1001 Ab000 post SC e.c PEB + HPP et causa atonia uteri + post B Lynch
prosedur
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Hipertensi dalam Kehamilan
3.1.1 Definisi Hipertensi dalam kehamilan
Hipertensi dalam kehamilan terjadi bila tekanan darah lebih dari 140/90
mmHg pada posisi duduk. Pengukuran dilakukan 2 kali dengan interval 6 jam dan
hasilnya tetap tinggi. Pengukuran tekanan darah perlu dilakukan secara teratur,
terutama saat menjelang persalinan (Smeltzer, 2009).
Hipertensi karena kehamilan adalah kenaikan tekanan diastolik 15 mmHg atau
> 90 mmHg dalam 2 pengukuran berjarak 1 jam atau tekanan diastolik sampai 110
mmHg dan terjadi pertama kali sesudah kehamilan 20 minggu, selama persalinan, dan
atau dalam 48 jam pascapersalinan (Manuaba, 2008).
Manuaba (2008) mengemukakan beberapa kriteria yang dapat digunakan
sebagai dasar diagnosis yaitu :
15
1. Kenaikan tekanan darah 30 mmHg untuk sistolik atau 15 mmHg untuk
diastolik.
2. Tekanan darah absolut 140/90 sesaat dengan interval 6 jam.
3. Terdapat edema atau kenaikan berat badan lebih dari ¾ kg setiap minggu.
4. Terdapat proteinuria.
5. Terdapat atau disertai konvulasi atau koma.
3.1.2. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan
Menurut Report of The National High Blood Pressure Education Program
Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy (2000), hipertensi dalam
kehamilan diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Hipertensi Gestational
Pada kehamilan dijumpai tekanan darah ≥ 140/90 mmHg, tanpa disertai
proteinuria dan biasanya tekanan darah akan kembali normal setelah 12 minggu
pasca-persalinan.
2. Preeklampsia
Apabila dijumpai tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu
disertai dengan proteinuria ≥ 300 mg/ 24 jam atau pemeriksaan dengan dipstick >
1 +.
3. Eklampsia
Ditemukan kejang-kejang pada preeklampsia, dapat disertai koma.
4. Hipertensi Kronik
Dari sebelum hamil, atau sebelum kehamilan 20 minggu, ditemukan tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan.
5. Hipertensi Kronis dengan Super Imposed Preeklampsia
16
Pada wanita hamil dengan hipertensi kronis, muncul proteinuria ≥ 300 mg/24 jam
setelah kehamilan 20 minggu, dapat disertai gejala dan tanda preeklampsia
lainnya.
3.1.3 Etiologi Hipertensi dalam Kehamilan
Sampai sekarang penyebab penyakit belum diketahui. Preeklampsia
berhubungan dengan implantasi abnormal plasenta dan invasi dangkal tromboplastik
yang mengakibatkan berkurangnya perfusi plasenta. Arteri spiralis maternal (arteri
uterin) gagal mengalami vasodilatasi fisiologis sehingga aliran darah mengalami
hambatan. Gangguan aliran darah intervilosa berakibat iskemia dan hipoksia. Tanda
dan gejala muncul selama kehamilan trimester ke 2 (Wiknjosastro, 2007).
Terdapat banyak factor risiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan,
yang dapat dikelompokkan dalam factor risiko sebagai berikut :
Primigravida, primipaternitas
Hiperplasentosis, misalnya : molahidatidosa, kehamilan multiple, diabetes
mellitus, hidrops fetalis, bayi besar.
Umur ekstrim
Riwayat keluarga pernah preeclampsia/eklampsia
Penyakit ginjal dan hipertensi yang ada sebelum hamil
Obesitas
3.1.4 Patofisiologi Hipertensi dalam Kehamilan
Menurut Prof.dr.I.B.G Manuaba (2008) terdapat beberapa landasan teori
tentang bagaimana patofisiologi terjadinya hipertensi pada kehamilan diantaranya
sebagai berikut :
1. Teori genetik
17
Berdasarkan teori ini, komplikasi hipertensi pada kehamilan dapat diturunkan
pada anak perempuannya sehingga sering terjadi hipertensi sebagai komplikasi
kehamilannya. Sifat herediternya adalah resesif sehigga tidak atau jarang terjadi pada
menantunya. Kejadian hipertensi pada kehamilan berikutnya atau ketiga akan makin
berkurang.
2. Teori imunologis
Karena kegagalan invasi-migrasi, sel trofoblas masuk jauh ke dalam
pembuluh arterioli yang berada dalam miometrium. Hal ini menyebabkan arterioli
tidak dipengaruhi oleh sistem hormonal plasenta untuk dapat mendukung tumbuh
kembang janin dalam rahim sehingga ada kemungkinan terjadi kegagalan dalam
nutrisi yang menimbulkan IUGR dan bila terjadi iskemia regio uteroplasenter, dapat
menimbulkan hipertensi dalam kehamilan.
3. Teori iskemia regio uteroplasenter
pada kehamilan normal, arteria spiralis yang terdapat pada desidua mengalami
pergantian sel dengan trofoblas endovaskular yang akan menjamin lumennya tetap
terbuka untuk memberikan aliran darah tetap, nutrisi cukup dan O2 seimbang.
Destruksi pergantian ini seharusnya pada trimester pertama, yaitu minggu ke-16
dengan perkiraan pembentukan plasenta telah berakhir. Invasi endovaskular trofoblas
terus berlangsung pada trimester kedua dan masuk kedalam arteria miometrium
sehingga kelangsungan aliran darah, nutrisi, dan O2 terjamin. Invasi pada trimester
kedua pada preeklampsia dan eklampsia tidak terjadi sehingga terjadi hambatan pada
saat memerlukan tambahan aliran darah untuk memberikan nutrisi dan O2 dan
menimbulkan situasi “iskemia regio uteroplasenter”.
Pada kehamilan normal juga terdapat autoregulasi aliran darah menuju
sirkulasi retroplasenter yang dikendalikan oleh perimbangan prostasiklin
(vasodilatasi) dan tromboksan A2 (vasokonstriksi) sehingga aliran relatif konstan
serta kontraksi Braxton Hiks. Jika ada ketidakseimbangan antara prostasiklin dan
18
tromboksan A2 serta ketidakseimbangan kontraksi Braxton Hiks dapat terjadi
hipertensi dalam kehamilan.
4. Teori kerusakan endotel pembuluh darah
Konstriksi vaskular menyebabkan resistensi terhadap aliran darah dan
menjadi penyebab hipertensi arterial. Besar kemungkinan bahwa vasospasme itu
sendiri menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah. Selain itu, angiotensin II,
menyebabkan sel endotel berkontraksi. Perubahan – perubahan ini menyebabkan
kerusakan sel endotel dan kebocoran dicelah antara sel – sel endotel
Akibat sel endotel terpapar dengan peroksida lemak, maka terjadi kerusakan
sel endotel, yang kerusakannya mulai dari membrane sel endotel. Kerusakan
membrane sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya
seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut “disfungsi endotel”. Pada waktu
terjadinya kerusakan sel endotel yang mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka
akan terjadi :
Gangguan metabolism prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel
adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin
(PGE2) : suatu vasodilator yang kuat
Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat lapisan
endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trmbosit memproduksi
tromboxan (TXA2) : suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal
perbandingan kadar protasiklin atau tromboksan lebih tinggi kadar protasiklin
(lebih tinggi vasodilator) . pada preeclampsia kadar tromboksan lebih tinggi
dari kadar protasiklin sehingga terjadi vasokontriksi, dengan terjadi kenaikan
tekanan darah.
Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular
endotheliosis)
19
Peningkatan permeabilitas kapilar
Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotein. Kadar NO
(vasodilator) menurun, sedangkan endotelin (vasokontriktor) meningkat.
Peningkatan factor koagulasi.
5. Teori radikal bebas
Teori radikal bebas ikut berperan dalam teori iskemi regio uteroplasenter.
Dengan adanya faktor – faktor resiko yang telah dijelaskan sebelumnya ditambahkan
adanya suatu radikal bebas baik yang berasal dari luar ataupun yang berasal dari
proses iskemi itu sendiri menyebabkan kelangsungan aliran darah, nutrisi dan O2
terhambat dan menimbulkan situasi “iskemi regio uteroplasenter”.
6. Teori Trombosit
Teori trombosit ikut berperan dalam teori iskemi regio uteroplasenter. Dengan
adanya faktor – faktor resiko yang telah dijelaskan sebelumnya menyebabkan
terjadinya agregasi trombosit sehingga semakin mempersempit pembuluh darah.
Selanjutnya, kelangsungan aliran darah, nutrisi dan O2 terhambat dan menimbulkan
situasi “iskemia regio uteroplasenter”.
7. Teori diet
Peranan kalsium dalam hipertensi kehamilan sangat penting diperhatikan
karena kekurangan kalsium dalam diet dapat memicu terjadinya hipertensi. Ibu hamil
memerlukan sekitar 2-2,5 gram kalsium setiap hari. Hal itu bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan kalsium. Kalsium berfungsi untuk membantu pertumbuhan
tulang janin, mempertahankan konsentrasi dalam darah pada aktivitas kontraksi otot.
Kontraksi otot pembuluh darah sangat penting karena dapat mempertahankan tekanan
darah sehingga jika terdapat gangguan dalam proses tersebut dapat menyebabkan
hipertensi.
20
Selain itu pada kehamilan normal terjadi keseimbangan aktivitas biologis.
Sedangkan pada preeklampsia terjadi penurunan aktivitas prostasiklin dan
peningkatan aktivitas tromboksan. Hal ini bisa dilihat pada gambar dibawah ini
Manuaba,2008)
Gambar : Keseimbangan aktivitas biologis pada kehamilan normal. Penurunan aktivitas prostasiklin dan peningkatan aktivitas tromboksan pada preeklamsia
Penyakit vaskular ibu Gangguan Plasentasi Trofoblas berlebihan
Faktor genetik, imunologik, inflamasi
Penurunan Perfusi Uteroplasenta
Zat vasoaktif
Vasospasme Kebocoran kapiler Aktivasi Koagulasi
Aktivasi endotel Zat perusak
21
(William, 2006)
Gambar 2.2
Patofisiologi Terjadinya Gangguan Hipertensi Akibat Kehamilan
3.1.5. Dampak Terhadap Ibu dan Janin
Pada wanita hamil yang mengalami hipertensi kronik terjadi peningkatan
angka kejadian stroke. Selain itu komplikasi yang sangat mengkhawatirkan yaitu
terjadinya superimposed preeklampsia dimana hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
disfungsi hepar, gagal ginjal, serta tendensi timbulnya perdarahan yang meningkat
dan perburukan kearah eklampsia (PTP VII POGI, 1999).
Pada janin sendiri dapat terjadi bermacam – macam gangguan sampai
kematian janin dimana efek kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah wanita
hamil akan merusak sistem vaskularisasi darah, sehingga mengganggu pertukaran
oksigen dan nutrisi melalui plasenta dari ibu ke janin akibatnya pertumbuhan janin
terhambat bahkan kematian janin (Syamsuri K, 2005).
Hipertensi pada kehamilan mempunyai dua dampak yaitu dampak primer dan
dampak sekunder. Dampak primer dari hipertensi kehamilan adalah kurangnya
infiltrasi trophoblas dari dinding arteri plasenta sehingga terjadi kegagalan dilatasi
arteri dan atherosis akut dengan agregasi fibrin dan platelet yang memblok arteri.
Dampak sekunder hipertensi kehamilan antara lain pada sistem kardiovaskular,
meningkatnya tahanan perifer, menurunnya plasma maternal dan meningkatnya
permeabilitas vaskular; pada Ginjal, kerusakan glomerular, hipoproteinemia,
mengurangi tekanan onkotik plasma dan dapat berkembang menjadi gagal ginjal;
pada fetus, menyebabkan gangguan sirkulasi uteroplasental dan dapat menjadi IUGR
serta meningkatkan mortalitas perinatal (Pitkin, 2006).
Hipertensi Kejang Oliguri Iskemi hepar Solusio
Edema Hemokonsentrasi Proteinuria
Trombositopeni
22
3.2. Preeklampsia
3.2.1. Definisi Preeklampsia
Preeklampsia merupakan suatu kelainan multiorgan spesifik pada kehamilan
yang ditandai dengan terjadinya hipertensi dan proteinuria setelah usia kehamilan 20
minggu. Preeklampsia merupakan salah satu dari bentuk kelainan hipertensi dalam
kehamilan, yang menyumbangkan morbiditas dan mortalitas maternal terbesar
bersama perdarahan dan infeksi (Cunningham, 2005).
Preeklampsia adalah sindroma yang spesifik dalam kehamilan yang
menyebabkan perfusi darah ke organ berkurang karena adanya vasospasmus dan
menurunnya fungsi sel endotel. Proteinuria merupakan tanda yang penting dari
preeklampsia, tanpa proteinuria bukan preeklampsia. Disebut proteinuria jika dalam
24 jam ditemukan 300 mg atau lebih protein dalam urine, atau menetap 30 mg atau
1+ dengan dipstick pada contoh urine yang diambil secara acak (Duley, 2006).
3.2.2. Etiologi
Menurut Sibai (2005) pada saat ini ada 4 hipotesa yang mendasari patogenesa
dari preeklampsia sebagai berikut :
1. Iskemia Plasenta
Peningkatan deportasi sel tropoblast yang akan menyebabkan kegagalan invasi ke
arteri spiralis dan akan menyebabkan iskemia pada plasenta.
2. Mal Adaptasi Imun
Terjadinya mal adaptasi imun yang dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel
tropoblast pada arteri spiralis. Dan terjadinya disfungsi endothel dipicu oleh
pembentukan sitokin, enzim proteolitik, dan radikal bebas.
23
3. Genetik Inprenting
Terjadinya preeklampsia mungkin didasarkan pada gen resesif tunggal atau gen
dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi mungkin tergantung
pada genotip janin.
4. Perbandingan Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan Toxicity Preventing
Activity (TxPA)
Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam lemak
non-esterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar albumin yang
rendah, pengangkatan kelebihan asam lemak non-esterifikasi dari jaringan lemak
ke dalam hepar akan menurunkan aktivitas antitoksik albumin sampai pada titik di
mana VLDL terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi TxPA maka efek toksik
dari VLDL akan muncul.
Dalam perjalanannya keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi kadang saling
berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan terjadinya iskemia
plasenta.
3.2.3. Faktor Resiko
Faktor yang meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia :
1. Nullipara, terutama usia ≤ 20 tahun, dan kehamilan yang langsung terjadi
setelah perkawinan.
2. Sejarah pernah menderita preeklampsia pada kehamilan terdahulu.
3. Sejarah penderita preeklampsia dalam keluarga.
4. Kehamilan ganda, diabetes mellitus, hydrops fetalis, mola hidatidosa, dan
anti phospolipid antibodies, infeksi saluran kemih.
24
5. Riwayat penderita hipertensi dan penyakit ginjal.
6. Multipara dengan umur lebih dari 35 tahun. (Brooks, 2005).
3.2.4. Epidemiologi
Angka kejadian preeklampsia menurut Norwitz dkk. (adalah 6% - 8% di
antara seluruh wanita hamil. Di beberapa rumah sakit di Indonesia angka ini sangat
bervariasi seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Angka Kejadian Preeklampsia dan Eklampsia di Beberapa Rumah Sakit di Indonesia
Tahun Rumah Sakit Persen (%) Penulis
1993 – 1997 RSPM 5,75 Simanjuntak J.
1996 – 1997 12 Rumah Sakit 0,8 – 14 Tribawono A.
1995 – 1998 RSHS 13,0 Maizia
2000 – 2002 RSHAM – RSPM 7,0 Girsang E.
2002 RSCM 9,17 Priyatini
(Girsang, 2004)
3.2.5. Klasifikasi Preeklampsia
Dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1 Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut :
a. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi
berbaring terlentang; atau kenaikan tekanan diastolik 15 mmHg atau
lebih; atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara
pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan
jarak periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
25
b. Edema umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat badan
1 kg atau lebih per minggu.
c. Proteinuria kwantitatif 300mg/24 jam atau lebih per liter; kwalitatif
+1 atau +2 pada urin kateter atau midstream.
2. Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut :
a. Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
b. Proteinuria 5 gram atau lebih per liter.
c. Oliguria yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam.
d. Adanya gangguan serebral, ganguan visus, dan rasa nyeri di
epigastrium.
e. Terdapat edema paru dan sianosis.
3.2.6. Patogenesis Preeklampsia
Pada preeklampsia ada dua tahap perubahan yang mendasari patogenesanya.
Tahap pertama adalah : hipoksia plasenta yang terjadi karena berkurangnya aliran
darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel tropoblast pada
dinding arteri spiralis pada awal kehamilan dan awal trimester kedua kehamilan
sehingga arteri spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dan akibatnya
penurunan aliran darah dalam ruangan intervilus diplasenta sehingga terjadilah
hipoksia plasenta (Jaffe dkk, 1995).
Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksik
seperti sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah
ibu, dan akan menyebabkan terjadinya oxidatif stress yaitu suatu keadaan dimana
radikal bebas jumlahnya lebih dominan dibandingkan antioksidan (Robert, 2004)
Oxidatif stress pada tahap berikutnya bersama dengan zat toksik yang beredar
dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endothel pembuluh darah yang
26
disebut disfungsi endothel yang dapat terjadi pada seluruh permukaan endothel
pembuluh darah pada organ-organ penderita preeklampsia (Robert, 2004).
Pada disfungsi endothel terjadi ketidakseimbangan produksi zat-zat yang
bertindak sebagai vasodilator seperti prostasiklin dan nitrat oksida, dibandingkan
dengan vasokonstriktor seperti endothelium I, tromboxan, dan angiotensin II
sehingga akan terjadi vasokonstriksi yang luas dan terjadilah hipertensi (Manuaba,
2008).
Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi,
sehingga terjadi agregasi trombosit dan pembentukan thrombus. Secara keseluruhan
setelah terjadi disfungsi endothel di dalam tubuh penderita preeclampsia, jika
prosesnya berlanjut dapat terjadi disfungsi dan kegagalan organ seperti yang
dijelaskan William (2006) yaitu :
1. Pada ginjal : hiperuricemia, proteinuria, dan gagal ginjal.
2. Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi.
3. Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru dan
oedema menyeluruh.
4. Pada darah dapat terjadi trombositopenia dan koagulopathi.
5. Pada hepar dapat terjadi perdarahan dan gangguan fungsi hati.
6. Pada susunan saraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan,
pelepasan retina, dan perdarahan.
7. Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia
janin, dan solusio plasenta.
3.2.7 Gejala dan Tanda Preeklampsia
Menurut Duley (2006) Gejala dan tanda pada preeklampsia yaitu :
1. Hipertensi dan proteinuria
2. Menetapnya sakit kepala
3. Nyeri epigastrik
27
4. Gangguan penglihatan (skotoma, diplopia)
5. Mual, muntah
6. Hiperrefleksia, dengan reflex tendon yang cepat
7. Edema pada tangan, muka, atau kaki
8. Meningkatnya konsentrasi kreatinin serum
9. Meningkatnya aktivitas enzim hepar
Preeklampsia dianggap berat bila terdapat gejala berikut :
1. Tekanan darah pasien dalam keadaan istirahat : sistolik ≥ 160 mmHg
dan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun
meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani
tirah baring.
2. Proteinuria ≥ 5 gr/24 jam atau dipstick ≥ 2 +
3. Oligurie < 500 ml/24 jam
4. Serum kreatinin meningkat
5. Oedema paru atau sianosis
6. Menetapnya sakit kepala atau nyeri epigastrik.
7. Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala,
skotoma, dan pandangan kabur.
8. Hemolisis mikroangiopatik
9. Trombositopenia berat : < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit
dengan cepat
10. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoseluler) : peningkatan kadar
alanin dan aspartate aminotransferase
11. Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat
12. Syndrome HELLP
3.2.8 Penatalaksanaan Preeklampsia
Pada dasarnya penanganan penderita preeklampsia dan eklampsia yang
difinitif adalah segera melahirkan bayi dan seluruh hasil konsepsi, tetapi dalam
penatalaksanaanya kita harus mempertimbangkan keadaan ibu dan janinnya, antara
28
lain umur kehamilan, proses perjalanan penyakit, dan seberapa jauh keterlibatan
organ. Tujuan penatalaksanaan preeklampsia menurut Sibai (2005) adalah :
1. Melahirkan bayi yang cukup bulan dan dapat hidup di luar, di samping itu
mencegah komplikasi yang dapat terjadi pada ibu.
2. Mencegah untuk terjadinya kejang/eklampsia yang akan memperburuk
keadaan ibu hamil.
Pada dasarnya pada pengelolaan preeklampsia berat, kita sedapat mungkin
harus berusaha mempertahankan kehamilan sampai aterm. Pada kehamilan aterm
persalinan pervaginam adalah yang terbaik bila dibandingkan dengan seksio sesarea.
Jika perjalanan penyakitnya memburuk dan dijumpai tanda-tanda impending
eklampsia, kehamilan harus segera diakhiri tanpa memandang umur kehamilan. Di
samping itu pemeriksaan terhadap kesejahteraan janin harus dilakukan secara ketat.
Biometri janin, biophysical profile janin harus dievaluasi 2 x seminggu, bila keadaan
janin memburuk terminasi kehamilan harus segera dilakukan, tergantung dari
keadaan janinnya apakah persalinan dapat dilakukan pervaginam atau perabdominal.
Pada kehamilan preterm ≤ 34 minggu yang akan dilakukan terminasi, pemberian
kortikosteroid seperti dexamethasone atau betamethasone untuk pematangan paru
harus dilakukan (Sibai, 2005).
Penderita preeclampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring ke satu sisi kiri. perawatan yang paling penting terapi
suportif untuk stabilisasi fungsi vital yang harus diingat airway, breathing, circulation
(ABC), mengatasi dan mencegah kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya
pada waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan cara
yang tepat.
Pada preeclampsia berat perawatan yang penting lainnya adalah pengelolaan
cairan karena penderita preeclampsia dan eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk
terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum
jelas, tetapi factor yang sangat menentukkan terjadinya edema paru dan oliguria
29
adalah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan
onkotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring input
cairan (melalui oral maupun infuse) dan output cairan melalui urine dengan
pemasangan foley chateter. Cairan yang diberikan boleh berupa 5% Ringer-Dekstrose
atau cairan faali jumlah tetesan : < 125 cc/jam atau Infus Dekstrose 5% yang setiap
liternya diselingi dengan infuse ringer laktat (60-125cc/jam) dalam 500 cc.
Menurut himpunan kedokteran Feto Maternal POGI (2005) dalam pedoman
pengelolaan hipertensi dalam kehamilan di Indonesia. Pada penderita preeklampsia
berat obat-obat yang dapat diberi untuk memperbaiki keadaan ibu dan janinnya
adalah :
a. Magnesium sulfat, tujuannya adalah untuk mencegah dan mengurangi
terjadinya kejang. Di samping itu juga untuk mengurangi komplikasi yang
terjadi pada ibu dan janin. Cara kerja magnesium sulfat sampai saat ini tidak
seluruhnya diketahui, diduga ia bekerja sebagai N-methyl D Aspartate
(NMDA) reseptor inhibitor, untuk menghambat masuknya kalsium ke dalam
neuron pada sambungan neuro muskuler junction ataupun pada SSP. Dengan
menurunya kalsium yang masuk maka penghantaran impul akan menurun dan
kontraksi otot yang berupa kejang dapat dicegah. MgSO4 dapat diberikan
menurut Regim Prichart. Awalnya diberikan 4 gram secara intravena selama
4-5 menit dan 10 gram secara intra-muskuler. Selanjutnya diberikan 5 gram
setiap 4 jam secara intramuskuler. Sedangkan menurut Regim Zuspan, MgSO4
seluruhnya diberikan secara intra-vena dengan dosis awalnya 6 gram secara
intra-vena selama 5-10 menit, kemudian dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 1-2 gram/jam melalui infus. Pada pemberian MgSO4 kita harus
berhati-hati terhadap gejala keracunan yang dapat ditandai dengan munculnya
reflek patella yang menurun ataupun hilang, pernafasan < 16 x per menit, rasa
panas dimuka, bicara sulit, kesadaran menurun dan cardiac arrest. Antidotum
pada keracunan MgSO4 adalah kalsium gluconat 10% dalam 10 cc diberikan
secara intravena.
30
Menurut Walker pemberian magnesium sulfat sebagai berikut :
Loading dose : initial dose
4 gram MgSO4 intravena (40% dalam 10cc) selama 15 menit
Maintenance dose
Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer laktat/6jam atau
diberikan 4/5 gram i.m. selanjutnya maintenance dose
diberikan 4 gr i.m tiap 4-6 jam.
Syarat-syarat pemberian MgSO4
o Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intiksikasi
yaitu kalsium glukonas 10%=1gr (10% dalam 10cc) diberikan
iv 3 menit
o Refleks patella (+) kuat
o Freuensi pernapasan > 16x/menit tidak ada distress
pernapasan
Magnesium sulfat dihentikan bila
o Ada tanda-tanda intoksikasi
o Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang
terakhir
Dosis terapeutik dan toksik MgSO4
o Dosis terapeutik 4-7 mEq/liter 4,8-8,4 mg/dl
o Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter 12 mg/dl
o Terhentinya pernapasan 15 mEq/liter 18mg/dl
o Terhentinya jantung >30 mEq/liter >36 mg/dl
Bila terjadi refrater terhadap pemberian MgSO4 maka diberikan salah
satu obat berikut : thiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam,
fenitoin.
b. Anti hipertensi, pada preeklampsia berat anti hipertensi diberikan jika tekanan
darah 180/110 mmHg. Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya
cardiovaskuler atau cerebrovaskuler accident.
31
i. hydralazine, mekanisme kerjanya adalah dengan merelaksasi otot
pada arteriol sehingga terjadi penurunan tahanan perifer. Hydralazine
dapat diberikan peroral atau parentral. Kerjanya cepat, bila diberikan
intravena sudah dapat dilihat efeknya dalam 5-15 menit. Efek samping
hydralazine adalah sakit kepala, tachycardia, dan perasaan gelisah
(Zhang, 2003).
ii. Labetalol, termasuk beta-bloker yang dapat diberikan melalui peroral
atau intravena. Kalau diberi intravena efeknya sudah terlihat dalam 2-5
menit dan mencapai puncaknya setelah 15 menit. Kerja obat ini dapat
berlangsung 4 jam. Bekerja menurunkan tahanan perifer dan tidak
menurunkan aliran darah ke otak, jantung, dan ginjal (Zhang, 2003).
iii. Nifedipine, adalah satu-satunya pilihan obat untuk hipertensi dalam
kehamilan yang terdapat di Indonesia. Obat ini mudah didapat,
harganya murah dan mudah penggunaannya. Nifedipine termasuk
calcium channel antagonist, hanya diberikan peroral dengan dosis 10-
20 mg, dapat diulang setiap 30 menit sesuai kebutuhan. Efek samping
obat ini adalah sakit kepala, rasa panas, sesak nafas, dan sakit di dada.
Tidak mengganggu aliran darah utero plasenta. Kalau diberi peroral,
efek kerjanya sudah terlihat dalam 5-10 menit dan mencapai
puncaknya setelah 60 menit dan dapat bekerja sampai 6 jam.
Mekanisme kerja nifedipine adalah dengan vasodilatasi arteriol
(Brown, 2002).
c. Kortikosteroid, pada preeklampsia berat hanya diberikan pada kehamilan
preterm < 34 minggu dengan tujuan untuk mematangkan paru janin. Semua
kehamilan ≤ 34 minggu yang akan diakhiri diberikan kortikosteroid dalam
bentuk dexamethasone atau betamethasone. Menurut National Institute of
Health (2000) menganjurkan pemberian kortikosteroid pada semua wanita
dengan usia kehamilan 24-34 minggu yang berisiko melahirkan preterm,
termasuk penderita preeklampsia berat. Pemberian betamethasone 12 mg
intra-muskuler dua dosis dengan interval 24 jam, atau pemberian
32
dexamethasone 6 mg intravena empat dosis dengan interval 12 jam (Magan,
1993).
d. Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecusli bila ada edema paru-paru,
payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah
furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi utero plasenta, meningkatkan
hemokosentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat
janin.
Berdasarkan Williams Obstetric ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeklampsi berat selama perawatan: maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi :
Aktif (aggressive management) : berarti kehamilan segera
diakhiri/diterminasi bersamaan dengan pemberian pengobatan
medikamnetosa
Konservatif (ekspektative) berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan
dengan pemberian pegobatan medika mentosa
Perawatan aktif (agersif) : sambil member pengobatan, kehamilan diakhiri.
Indikasi perawatan aktif ialah bila didapatkan satu/lebih keadaan dibawah ini
oIbu
o Umur kehamilan ≥ 37 minggu. Lockwood dan Paidas mengambil
batasan umur kehamilan >37 minggu untuk preeclampsia ringan dan
kehamilan ≥ 37 minggu untuk preeclampsia berat
o Adanya tanda-tanda impending eclampsia
o Kegagalan terapi pada perwatan konservatif yaitu : keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
o Diduga terjadi solusio plasenta
o Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
33
oJanin
o Adanya tanda-tanda fetal distress
o Adanya tanda-tanda IUGR
o NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
o Terjadinya oligohidroamnion
oHasil Laboratorium
o Adanya tanda-tanda sindroma HELLP khusunya menurunnya
trombosit dengan cepat
Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan) dilakukan berdasarkan
keadaan obstetric pada waktu itu apakah sudaah inpartu atau belum.
Perawatan konservatif
Indikasi perawatan suportif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu tana
disertai tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa dan
pengelolaan secara aktif. Di bagian kebidanan RSU dr. Soetomo Surabaya, pada
perawatan konservatif preeclampsia, loading dose tidak diberikan secara IV cukup im
saja. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap kehamilannya adalahobservasi
dan evaluasi sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak diakhiri.
Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda
preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam
tidak ada perbaikan, keadaan ini dianggap sebagai kegagaln pengobatan
medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan bila pederita
kembali ke gejala-gejala atau tanda-tanda preeclampsia ringan.
3.2.9 Prognosis
Morbiditas dan mortalitas penderita preeklampsia sangat ditentukan umur
kehamilan saat ditemukan, beratnya penyakit, kualitas penanganan, dan adanya
penyakit penyerta lainnya. Preeklampsia ringan yang ditemukan pada kehamilan > 36
minggu biasanya tidak bermasalah dan prognosenya baik, sebaliknya preeklampsia
34
berat yang ditemukan pada kehamilan < 34 minggu akan meningkatkan morbiditas
dan mortalitas ibu, apalagi jika dijumpai penyakit penyerta lainnya (Sibai, 2005).
3.3. Perdarahan Pascapersalinan
3.4. 3.2.1 Definisi
Perdarahan pascapersalinan adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml melalui
jalan lahir yang terjadi selama atau setelah persalinan kala III. Perkiraan kehilangan
darah biasanya tidak sebanyak yang sebenarnya, kadang-kadang hanya setengah dari
yang sebenarnya. Darah tersebut tercampur dengan cairan amnion atau dengan urin.
Darah juga tersebar pada spons, handuk, dan kain, di dalam ember dan di lantai.
Volume darah yang hilang juga bervariasi akibatnya sesuai dengan kadar hemoglobin
ibu. Seseorang ibu dengan kadar hemoglobin normal akan dapat menyesuaikan diri
terhadap kehilangan darah yang akan berakibat fatal pada yang anemia.
Menurut Prawirohardjo perdarahan pascapersalinan adalah perdarahan yang
melebihi 500 ml setelah bayi lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah
perdarahan sampai sebanyak itu sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan
memberikan prognosis yang lebih baik. Pada umumnya bila terdapat perdarahan yang
lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti
kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi <90
mmHg dan nadi > 100x/menit), maka penanganan harus segera dilakukan.
Perdarahan pascapersalinan adalah sebab penting kematian ibu; ¼ kematian ibu
yang disebabkan oleh perdarahan (perdarahan pascapersalinan, placenta previa,
solutio plasenta, kehamilan ektopik, abortus, dan ruptura uteri) disebabkan oleh
perdarahan pascapersalinan. Selain itu, pada keadaan dimana perdarahan
pascapersalinan tidak mengakibatkan kematian, kejadian ini sangat mempengaruhi
morbiditas nifas karena anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh. Perdarahan
35
pascapersalinan lebih sering terjadi pada ibu-ibu di Indonesia dibandingkan dengan
ibu-ibu di luar negeri.
3.2 Klasifikasi Klinis
Perdarahan pascapersalinan di bagi menjadi perdarahan pascapersalinan primer dan
sekunder.
1. Perdarahan pascapersalinan primer (Early Postpartum Haemorrhage, atau
perdarahan pascapersalinan segera).
Perdarahan pascapersalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama
Perdarahan pascapersalinan primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa
plasenta, dan robekan jalan lahir. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2. Perdarahan pascapersalinan sekunder (Late Postpartum Haemorrhage, atau
perdarahan masa nifas, atau perdarahan pascapersalinan lambat, atau PPP kasep)
Perdarahan pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Penyebab utama
Perdarahan pascapersalinan sekunder adalah robekan jalan lahir dan sisa plasenta atau
membran.
3.3. Epidemiologi
Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam yaitu 5-
8 %. Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang
berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan
untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.
Peningkatan angka kematian di Negara berkembang. Di negara kurang
berkembang merupakan penyebab utama dari kematian maternal hal ini disebabkan
kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan transfusi, kurangnya
layanan operasi
3.4 Etiologi
Penyebab perdarahan pascapersalinan dibedakan atas :
Perdarahan dari tempat implantasi plasenta
o Hipotoni sampai atonia uteri
Akibat anastesi
Distensi berlebihan (gemeli, anak besar, hidroamnion)
36
Partus lama/ partus kassep
Partus presipitatus/ partus terlalu cepat
Persalinan karena induksi oksitosin
Multiparitas
Korioamnionitis
Pernah atonia sebelumnya
o Sisa plasenta
Kotiledon atau selaput ketuban tersisa
Plasenta susenturiata
Plasenta akreta, inkreta, perkreta
Perdarahan karena robekan
o Episiotomy yang melebar
o Robekan pada perineum, vagina dan serviks
o Rupture uteri
Gangguan koagulasi
o Jarang terjadi tetapi bisa memperburuk keadaan diatas, misalnya
pada kasus trombofilia, sindroma HELPP, preeclampsia, solusio
plasenta, kematian janin dalam kandungan, dan emboli air ketuban
Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan penyebab utama terjadinya Perdarahan pascapersalinan.
Pada atonia uteri, uterus gagal berkontraksi dengan baik setelah persalinan. Atonia
uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksidan mengecil
sesudah janin keluar dari rahim. Atonia uteri adalah keadaan lemahnya
tonus/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan
terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Perdarahan
postpartum secara fisiologis di control oleh kontraksi serat-serat myometrium
terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat
37
perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi ketika myometrium tidak dapat
berkontraksi. Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada
palpusi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan,
dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan
plasenta, sedang sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan
penyebab utama perdarahan postpartum.
Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar
kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan
yang banyak bisa menyebabkan “ Sindroma Sheehan “ sebagai akibat nekrosis pada
hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufiensi bagian tersebut dengan gejala :
astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan
kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut
pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan
fungsi laktasi
Perdarahan karena atonia uteri dapat dicegah dengan melakukan secara rutin
manajemen aktifkala III pada semua wanita yang bersali karena hal ini dapat
menurunkan insiden perdarahan pascapersalinan akibat atonia uteri. Pemberian
misoprostol peroral 2-3 tablet segera setelah bayi lahir.
Predisposisi atonia uteri :
Grandemultipara
Uterus yang terlalu regang (hidramnion, hamil ganda, anak besar (BB > 4000
gr)
Kelainan uterus (uterus bicornis, mioma uteri, bekas operasi)
Plasenta previa dan solutio plasenta (perdarahan anteparturn)
Partus lama (exhausted mother)
Partus precipitatus
Hipertensi dalam kehamilan (Gestosis)
Infeksi uterus
Anemi berat dan ada penyakit menahun
Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim
38
Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus)
Riwayat perdarahan pascapersalinan sebelumnya atau riwayat plasenta
manual
Pimpinan kala III yang salah, dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong
uterus sebelum plasenta terlepas
IUFD yang sudah lama, penyakit hati, emboli air ketuban (koagulopati)
Tindakan operatif dengan anestesi umum yang terlalu dalam.
Gambar 3.1 Atonia uteri
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan
masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih
setiggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek, perlu diperhatikan bahwa
pada saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyk
500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi maish terperangkap
dalam uterus dan harus diperhitugkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.
Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan pasien. Pasien
masih bisa dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik.
Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada kliniknya. Pada umumnya
dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut :
Sikap Trendelenbrug, memasang venous line dan memberikan oksigen
39
Sekaligus merangsang kontraksi uterus dengan cara :
o Masase fundus uteri dan meragsang uting susu
o Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara i.m,
s.c, i.v
o Memberika derivate prostaglandin F2α (carboprost tromethamine)
yang kadang memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual
muntah, febris, dan takikardi
o Pemberian misoprostol 800-1000 μg per-rektal
o Kompresi bimanual eksternal dan atau internal
o Kompresi aorta abdominalis
o Pemasangan “tampon kondom”, kondom dalam kavum uteri
disambung dengan kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi
cairan infuse 200ml yang akan mengurangi perdarahn dan mengurangi
tindakan operatif.
Bila semua tindakan itu gagal maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan
operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atau
melakukan histerektomi. Alternatifnya berupa :
Ligasi arteri uterine atau arteria ovarika
Operasi ransel B Lynch
Histerektmi supravaginal
Histerektomi total abdominal
40
Gambar : Operasi ransel B Lynch
Tissue
a. Retensio plasenta
b. Sisa plasenta
c. Plasenta acreta dan variasinya.
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu
dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena plasenta belum lepas
dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan. Jika
plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perarahan, tapi apabila terlepas
sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk
mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena :
- kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasentaadhesiva )
- Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalis menembus
desidva sampai miometrium – sampai dibawah peritoneum( plasenta akreta perkreta)
41
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan
kala III. Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang
menghalangi keluarnya plasenta ( inkarserasio plasenta ). Sisa plasenta yang
tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan postpartum.
Penemuan Ultrasonografi adanya masa uterus yang echogenic mendukung diagnosa
retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah
persalinan ataupun pada late postpartum hemorraghe. Apabila didapatkan cavum uteri
kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dan
curettage.
Trauma
Sekitar 20% kasus hemorraghe postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir:
a. Ruptur uterus
b. Inversi uterus
c. Perlukaan jalan lahir
d. Vaginal hematom
Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan
antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan
persalinan dengan induksi oxytosin. Ruptur uterus sering terjadi akibat jaringan parut
section secarea sebelumnya. Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau
vulva, dan biasanya terjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan
pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vacuum atau forcep,
walau begitu laserasi bisa terjadi pada sembarang persalinan. Laserasi pembuluh
darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom, perdarahan
akan tersamarkan dan dapat menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama
beberapa jam dan bisa menyebabkan terjadinya syok. Episiotomi dapat menyebabkan
perdarahan yang berlebihan jika mengenai arteri atau vena yang besar, jika episitomi
luas, jika ada penundaan antara episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan
antara persalinan danperbaikan episitomi.
Perdarahan yang terus terjadi ( terutama merah menyala ) dan kontraksi
42
uterus baik akan mengarah pada perdarahan dari laserasi ataupun episitomi. Ketika
laserasi cervix atau vagina diketahui sebagai penyebab perdarahan maka repair adalah
solusi terbaik.
Pada inversion uteri bagian atas uterus memasuki kovum uteri,
sehinggafundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa ini
terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar.
Inversio uteri dapat dibagi :
- Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari ruang tersebut.
- Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina.
- Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak diluar
vagina.
Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat crede pada
korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta
yang belum lepas dari dinding uterus. Pada penderita dengan syok perdarahan dan
fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah
persalinan selesai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas
servix uteri atau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keadaan gawat
dengan angka kematian tinggi ( 15 – 70 % ). Reposisi secepat mungkin memberi
harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.
Gangguan Koagulasi
Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun
didapat, kelainan pembekuan darah bisa berupa :
o Hipofibrinogenemia,
o Trombocitopeni,
o Idiopathic thrombocytopenic purpura,
o HELLP syndrome (hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count)
o Disseminated Intravaskuler Coagulation,
43
o Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit
karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan
trombosit sudah rusak.
3.5. Faktor risiko
Riwayat hemorraghe postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan
faktor resiko paling besar untuk terjadinya hemorraghe postpartum sehingga segala
upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya. Beberapa
faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapat menyebabkan terjadinya hemorraghe
postpartum:
1. Grande multipara
2. Perpanjangan persalinan
3. Chorioamnionitis
4. Kehamilan multiple
5. Injeksi Magnesium sulfat
6. Perpanjangan pemberian oxytocin
3.6. Gejala klinis
1. Atonia uteri
Gejala dan tanda yang selalu ada:
a. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
b. Perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan pascapersalinan primer)
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada:
a. Syok (tekanan darah rendah,denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin,
gelisah, mual,dan lain-lain).
2. Tissue
o Retensio plasenta
Gejala dan tanda yang selalu ada:
a. Plasenta belum lahir setelah 30 menit
44
b. Perdarahan segera
c. Uterus kontraksi baik
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada:
a. Tali pusat putus akibat traksi berlebihan
b. Inversio uteri akibat tarikan
c. Perdarahan lanjutan
o Tertinggalnya sebagian plasenta (sisa plasenta)
Gejala dan tanda yang selalu ada:
a. Plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak
lengkap
b. Perdarahan segera
Gejala dan tanda kadang-kadang ada:
a. Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus tidak berkurang
o Inversio uterus
Gejala dan tanda yang selalu ada:
a. Uterus tidak teraba
b. Lumen vagina terisi massa
c. Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir)
d. Perdarahan segera
e. Nyeri sedikit atau berat
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada:
a. Syok neurogenik
b. Pucat dan limbung
3. Trauma
Gejala dan tanda yang selalu ada:
a. Perdarahan segera
b. Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
c. Uterus kontraksi baik
d. Plasenta baik
45
Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada:
a. Pucat
b. Lemah
c. Menggigil
Tetapi kematian tidak data terlalu dihindarkan, terutama apabila penderita
masuk rumah sakit dalam keadaan syok karena sudah kehilangan banyak darah.
Karena persalinan di Indonesia sebagian besar terjadi di luar rumah sakit, perdarahan
post partum merupakan sebab utama kematian dalam persalinan.
3.7 Diagnosis
Hemorraghe postpartum digunakan untuk persalinan dengan umur kehamilan
lebih dari 20 minggu, karena apabila umur kehamilan kurang dari 20 minggu disebut
sebagai aborsi spontan. Beberapa gejala yang bisa menunjukkan hemorraghe
postpartum :
1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol
2. Penurunan tekanan darah
3. Peningkatan detak jantung
4. Penurunan hitung sel darah merah ( hematocrit )
5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum
Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan
ditatalaksana sesuai penyebabnya. Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan
yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam
keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi
terjadi terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas
ataupun jatuh kedalam syok.
Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan
darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi syok. Pada
perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta atau laserasi
jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan akan berhenti setelah
plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah plasenta lahir perlu dibedakan
sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan
46
obstretik kontraksi uterus akan lembek dan membesar jika ada atonia uteri. Bila
kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta
atau laserasi jalan lahir. Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa
perdarahan postpartum:
1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari :
a. Sisa plasenta dan ketuban
b. Robekan rahim
c. Plasenta succenturiata
4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises yang pecah.
5. Pemeriksaan laboratorium : bleeding time, Hb, Clot Observation test dan lain-lain.
Tabel Diagnosis Perdarahan pascapersalinan
Gejala dan tanda yang selalu ada Gejala dan tanda yang kadang-
kadang ada
Diagnosis
a. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
b. Perdarahan segera setelah anak lahir
(perdarahan pascapersalinan primer)
Syok (tekanan darah
rendah,denyut nadi cepat dan
kecil, ekstremitas dingin,
gelisah, mual,dan lain-lain).
Atonia Uteri
a. Perdarahan segera
b. Darah segar yang mengalir segera
setelah bayi lahir
c. Uterus kontraksi baik
d. Plasenta baik
a. Pucat
b. Lemah
c. Menggigil
Robekan Jalan
lahir
a. Plasenta belum lahir setelah 30 menit . Tali pusat putus akibat traksi Retensio
47
b. Perdarahan segera
c. Uterus kontraksi baik
berlebihan
b. Inversio uteri akibat tarikan
c. Perdarahan lanjutan
Plasenta
a. Plasenta atau sebagian selaput
(mengandung pembuluh darah) tidak
lengkap
b. Perdarahan segera
a. Uterus berkontraksi tetapi
tinggi fundus tidak berkurang
Tertinggalnya
sebagian
plasenta
a. Uterus tidak teraba
b. Lumen vagina terisi massa
c. Tampak tali pusat (jika plasenta
belum lahir)
d. Perdarahan segera
e. Nyeri sedikit atau berat
a. Syok neurogenik
b. Pucat dan limbung
Inversio Uteri
a. Sub-involsi uterus
b. Nyeri tekan perut bawah
c. Perdarahan >24 jam setelah
persalinan. Perdarahan sekunder atau
perdarahan bervariasi (ringan atau
berat, terus menerus atau tidak
teratur) dan berbau jika disertai
infekksi
Anemia
demam
Perdarahan
terlambat
Endometritis
atau sisa
plasenta
(terinfeksi atau
tidak)
a. Perdarahan segera (perdarahan
intraabdominal dan atau vagina)
b. Nyeri perut berat
Syok
Nyeri tekan
Denyut nadi ibu cepat
Robekan
dinding uterus
(rupture uteri)
3.8 Pencegahan Dan Manajemen
1. Pencegahan Perdarahan Postpartum
Perawatan masa kehamilan
Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus
yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan
tidak saja dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil
48
dengan melakukan antenatal care yang baik. Menangani anemia dalam
kehamilan adalah penting, ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat
perdarahan postpartum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit.
Persiapan persalinan
Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb,
golongan darah, dan bila memungkinkan sediakan donor darah dan dititipkan
di bank darah. Pemasangan cateter intravena dengan lobang yang besar untuk
persiapan apabila diperlukan transfusi. Untuk pasien dengan anemia berat
sebaiknya langsung dilakukan transfusi. Sangat dianjurkan pada pasien
dengan resiko perdarahan postpartum untuk menabung darahnya sendiri dan
digunakan saat persalinan.
Persalinan
Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan circular
atau maju mundur sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik.
Massae yang berlebihan atau terlalu keras terhadap uterus sebelum, selama
ataupun sesudah lahirnya plasenta bisa mengganggu kontraksi normal
myometrium dan bahkan mempercepat kontraksi akan menyebabkan
kehilangan darah yang berlebihan dan memicu terjadinya perdarahan
postpartum.
Kala tiga dan Kala empat
Uterotonica dapat diberikan segera sesudah bahu depan dilahirkan. Study
memperlihatkan penurunan insiden perdarahan postpartum pada pasien yang
mendapat oxytocin setelah bahu depan dilahirkan, tidak didapatkan
peningkatan insiden terjadinya retensio plasenta. Hanya saja lebih baik
berhati-hati pada pasien dengan kecurigaan hamil kembar apabila tidak ada
USG untuk memastikan. Pemberian oxytocin selama kala tiga terbukti
mengurangi volume darah yang hilang dan kejadian perdarahan postpartum
sebesar 40%.
Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5 menit
setelah bayi lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan tidak ada untungnya
49
justru dapat menyebabkan kerugian. Pelepasan plasenta akan terjadi ketika uterus
mulai mengecil dan mengeras, tampak aliran darah yang keluar mendadak dari
vagina, uterus terlihat menonjol ke abdomen, dan tali plasenta terlihat bergerak
keluar dari vagina. Selanjutnya plasenta dapat dikeluarkan dengan cara menarik
tali pusat secra hati-hati.
Segera sesudah lahir plasenta diperiksa apakah lengkap atau tidak. Untuk
“ manual plasenta “ ada perbedaan pendapat waktu dilakukannya manual
plasenta. Apabila sekarang didapatkan perdarahan adalah tidak ada alas an untuk
menunggu pelepasan plasenta secara spontan dan manual plasenta harus
dilakukan tanpa ditunda lagi. Jika tidak didapatkan perdarahan, banyak yang
menganjurkan dilakukan manual plasenta 30 menit setelah bayi lahir. Apabila
dalam pemeriksaan plasenta kesan tidak lengkap, uterus terus di eksplorasi untuk
mencari bagian-bagian kecil dari sisa plasenta.
Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya perlukaan jalan
lahir yang dapat menyebabkan perdarahan dengan penerangan yang cukup. Luka
trauma ataupun episiotomi segera dijahit sesudah didapatkan uterus yang
mengeras dan berkontraksi dengan baik.
2. Manajemen Perdarahan Postpartum
Tujuan utama pertolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum
adalah menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat mungkin.
Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum mempunyai 2 bagian pokok :
o Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan Pasien dengan
hemorraghe postpartum memerlukan penggantian cairan dan pemeliharaan
volume sirkulasi darah ke organ – organ penting. Pantau terus perdarahan,
kesadaran dan tanda-tanda vital pasien. Pastikan dua kateler intravena ukuran
besar untuk memudahkan pemberian cairan dan darah secara bersamaan
apabila diperlukan resusitasi cairan cepat.
- Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate
- Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell
50
- Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine (dikatakan
perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin dalam 1jam 30 cc atau
lebih)
o Manajemen penyebab hemorraghe postpartum
Tentukan penyebab hemorraghe postpartum :
o Atonia uteri
Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di
fundus uteri dan lakukan massase untuk mengeluarkan bekuan darah di uterus
dan vagina. Apabila terus teraba lembek dan tidak berkontraksi dengan baik
perlu dilakukan massase yang lebih keras dan pemberian oxytocin.
Pengosongan kandung kemih bisa mempermudah kontraksi uterus dan
memudahkan tindakan selanjutnya. Lakukan kompres bimanual apabila
perdarahan masih berlanjut, letakkan satu tangan di belakang fundus uteri dan
tangan yang satunya dimasukkan lewat jalan lahir dan ditekankan pada fornix
anterior. Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan apabila setelah
pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal menghentikan perdarahan,
pilihan berikutnya adalah ergotamine.
o Sisa plasenta
Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah kompresi
bimanual ataupun massase dihentikan, bersamaan pemberian uterotonica
lakukan eksplorasi. Beberapa ahli menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan
tetapi hal ini sulit dilakukan tanpa general anestesi kecuali pasien jatuh dalam
syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan eksplorasi.
Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi bimanual ulang tanpa
menghentikan pemberian uterotonica. Pemberian antibiotic spectrum luas
setelah tindakan ekslorasi dan manual removal. Apabila perdarahan masih
berlanjut dan kontraksi uterus tidak baik bisa dipertimbangkan untuk
dilakukan laparatomi. Pemasangan tamponade uterrovaginal juga cukup
berguna untuk menghentikan perdarahan selama persiapan operasi
51
o Trauma jalan lahir
Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus sudah
berkontraksi dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut. Lakukan eksplorasi
jalan lahir untuk mencari perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang
cukup. Lakukan reparasi penjahitan setelah diketahui sumber perdarahan,
pastikan penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir dibawah dasar
luka. Lakukan evaluasi perdarahan setelah penjahitan selesai. Hematom jalan
lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila terjadi laserasi pembuluh darah
dibawah mukosa, penatalaksanaannya bisa dilakukan incise dan drainase.
Apabila hematom sangat besar curigai sumber hematom karena pecahnya
arteri, cari dan lakukan ligasi untuk menghentikan perdarahan.
o Gangguan pembekuan darah
Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri, sisa
plasenta dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang baik mak
kecurigaan penyebab perdarahan adalah gangguan pembekuan darah.
Lanjutkan dengan pemberian product darah pengganti ( trombosit,fibrinogen).
o Terapi pembedahan
o Laparatomi
Pemilihan jenis irisan vertical ataupun horizontal (Pfannenstiel) adalah
tergantung operator. Begitu masuk bersihkan darah bebas untuk memudahkan
mengeksplorasiuterus dan jaringan sekitarnya untuk mencari tempat rupture
uteri ataupun hematom. Reparasi tergantung tebal tipisnya rupture. Pastikan
reparasi benar-benar menghentikan perdarahan dan tidak ada perdarahan
dalam karena hanya akan menyebabkan perdarahan keluar lewat vagina.
Pemasangan drainase apabila perlu. Apabila setelah pembedahan ditemukan
uterus intact dan tidak ada perlukaan ataupun rupture lakukan kompresi
bimanual disertai pemberian uterotonica.
52
o Ligasi arteri
Ligasi uteri uterine
Prosedur sederhana dan efektif menghentikan perdarahan yang berasal
dari uterus karena uteri ini mensuplai 90% darah yang mengalir ke uterus.
Tidak ada gangguan aliran menstruasi dan kesuburan.
Ligasi arteri ovarii
Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan hasil yang diberikan
Ligasi arteri iliaca interna
Efektif mengurangi perdarahan yang bersumber dari semua traktus
genetalia dengan mengurangi tekanan darah dan circulasi darah sekitar pelvis.
Apabila tidak berhasil menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya adalah
histerektomi
o Histerektomi
Merupakan tindakan curative dalam menghentikan perdarahan yang
berasal dari uterus. Total histerektomi dianggap lebih baik dalam kasus ini
walaupun subtotal histerektomi lebih mudah dilakukan, hal ini disebabkan
subtotal histerektomi tidak begitu efektif menghentikan perdarahan apabila
berasal dari segmen bawah rahim, servix,fornix vagina.
Referensi pemberian uterotonica :
1. Pitocin
a. Onset in 3 to 5 minutes
b. Intramuscular : 10-20 units
c. Intravenous : 40 units/liter at 250 cc/hour
2. Ergotamine ( Methergine )
a. Dosing : 0.2 mg IM or PO every 6-8 hour
b. Onset in 2 to 5 minutes
c. Kontraindikasi
o Hypertensi (Pregnancy Induced hypertntion)
o hypersensitivity
53
3. Prostaglandin ( Hemabate )
a. Dosing : 0.25 mg Intramuscular or intra – myometrium
b. Onset < 5 minutes
c. Administer every 15 minutes to maximum of 2 mg
4. Misoprostol 600 mcg PO or PR
jenis Uterotonika dan cara pemberiannya
Jenis dan cara Oksitosin Ergometrin Misoprostol
Dosis dan cara
pemberian awal
i.v : infuse 20 unit
dalam 1 liter
larutan garam
fisiologis denga 60
tetesan permenit
i.m : 10 unit
i.m atau i.v (secara
perlahan): 0,2 mg
Oral 600 mcg atau
rectal 400 mcg
Dosis lanjutan i.v : infuse 20 unit
dalam 1 liter
larutan garam
fisiologis dengan
40 tetes/menit
Ulangi 0,2 mg i.m
setelah 15 menit.
Jika masih
diperlukan beri
i.m/i.v setiap 2-4
jam
400 mcg 2-4 jam
setelah dosis awal
Dosis maksimal
perharui
Tidak lebih dari 3
liter larutan denga
oksitosin
Total 1 mg atau 5
dosis
Total 1200 mcg
atau 3 dosis
Indikasi kontra
atau hati-hati
Tidak boleh
member i.v secara
cepat atau bolus
Preeclampsia,
hipertensi
Nyeri kontraksi,
asma
54
BAB IV
KESIMPULAN
Preeklampsia merupakan suatu penyebab yang bermakna dari penyebab
kematian maternal dan perinatal serta komplikasinya. Sekali diagnosis dari
preeklampsia dibuat, pilihan dari terapi adalah terbatas. Karena itu, perhatian lebih
difokuskan pada pencegahan terjadinya preeklampsia. Walaupun penelitian secara
ekstensif telah dilakukan, tidak ada strategi tunggal yang telah menunjukkan
kelebihan dalam mencegah perkembangan preeklampsia baik pada populasi dengan
risiko tinggi atau rendah. Kelahiran dari janin dan plasenta menjadi satu-satunya
terapi kuratif.
Perdarahan adalah salah satu penyebab utama langsung kematian maternal,
terutama di Negara yang kurang berkenbang perdarahan merupakan penyebab
terbesar kematian maternal. Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan 500 cc
atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi secar massif dan
cepat, atau secara perlahan – lahan tapi secara terus menerus. Perdarahan hanyalah
gejala, harus dicari tahu penyebabnya untuk memberikan pertolongan sesuai
penyebabnya.
55
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, 2005, Pregnancy, Preeclampsia, Available from URL : http://cpmcnet.columbia.edu/texts/gcps/gcps0047.html diakses 25 Agustus 2010.
Brown MA, et al. 2002. Efficacy and Safety of Nifedipine Tablets for Acute Treatment of Severe Hypertension Pregnancy. AJOG.
Cunningham FG, Gant NF, et al, 2005. Obstetri Williams edisi 21 Vol 2, EGC, Jakarta.
Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, Leveno KJ, et al, 2006. Obstetri Williams edisi 21, EGC, Jakarta.
Girsang E, 2004, Analisa Tekanan Darah dan Proteinuria Sebagai Faktor Prognosa, Kematian Maternal dan Perinatal pada Preeklampsia Berat dan Eklampsia, Tesis Bagian Obgyn, FK USU, Medan.
Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF, 2007, Pengantar Kuliah Obstetri, EGC, Jakarta.
Manuaba IBG, 2008, Hipertensi kehamilan, Dalam : Gawat Darurat Obstetri Ginekologi, EGC, Jakarta.
Pitkin Joan, Alison B Peattie, Brian A Magowan, et al, 2006, Obstetric and Ginecology, EGC, Jakarta. Pp 564-615.
Prawirohardjo, Sarwono, 2008, Ilmu Kebidanan Edisi IV cetakan I, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Sibai BM, 2005, Diagnosis, Prevention, and Management Preeclampsia, Obstetrics and Gynekologi, vol 105, number 2
Syamsuri K, 2005, Pertumbuhan Janin Terhambat, EGC, Jakarta.
Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, 2007, Ilmu Kebidanan edisi ke – 3, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirharjo, Jakarta.
Recommended