View
431
Download
15
Category
Preview:
Citation preview
LEARNING OBJECTIVE
Jenis-jenis Anemia dan Leukimia
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Definisi
Anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena
cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang.
Etiologi
Rendahnya masukan besi
Kurangnya bahan makanan yang mengandung besi
Gangguan absorbsi besi
Kurangnya asupan daging & vit. C dan kelebihan serat
Gastrektomi
Pendarahan menahun
Metrorhagia, hematuria, hemoptoe, kanker lambung, kanker kolon.
Gejala klinis
Gejala umum anemia
Lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang & telinga mendenging
Gejala defisiensi besi
Koilonychia (kuku sendok), atrofi papil lidah, disfagia
Gejala penyakit dasar (penyebab)
Cacing tambang : dyspepsia, parotitis, tangan kuning
Kanker kolon : perubahan kebiasaan BAB
Pathogenesis
Kehilangan besi menyebabkan cadangan besi menurun. Jika cadangan besi
menurun keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan
ini ditandai oleh penurunan kadar ferritin serum. Peningkatan absorbsi besi dalam
usus. Apabila kekurangan besi terus-menerus maka cadangan besi akan menjadi
kosong sama sekali. Penyediaan besi untuk eritropoiesis berkurang sehingga
menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum
terjadi keadaan ini disebut iron deficient eritropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama
yang dapat dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyn atau zinc
protophorphyn dalam eritrosit. Apabila jumlah besi menurun terus maka eritropoiesis
semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun akhirnya timbul
anemia hipokromik mikrositik disebut iron deficieny anemia. Pada saat ini juga
terjadi kekurangan besi pada epitel serta beberapa enzim yang dapat menimbulkan
gejala pada kuku, epitel mulut, faring serta berbagai gejala lainnya.
Pemeriksaan laboratorium
Eritrosit hipokrom mikrositik, anisopoikilositoisi, pencil cell, cigar cell,
elliptocytosis
Indeks eritrosit : MCV, MCH, MCHC menurun
Serum ferritin : menurun
Serum iron : menurun
Total iron binding capacity : naik
Hempsiderin (cadangan besi) : menurun
Free erythrocyteprotophorphyrin (FEP) : naik
Terapi
Terapi kausal : terapi terhadap etiologi misalnya pengobatan cacing tambang,
pengobatan hemoroid.
Terapi preparat besi
Terapi besi oral : ferrous sulphat 2 x 300 mg.
Terapi besi parenteral : iron dextran complex, iron ferric gluconate acid
complex, iron sucrose
Terapi lain
Diet : makanan bergizi tinggi protein hewani
Vitamin C : diberikan 3 x 100 mg, untuk meningkatkan absorbsi besi
Transfusi darah
Prognosis
Prognosis baik apabila penyebab anemianya diketahui hanya karena
kekurangan besi saja serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat.
Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan
pemberian preparat besi.
Pada kasus anemia defisiensi besi karena perdarahan, apabila sumber
perdarahan dapat diatasi, maka prognosis anemia defisiensi besi adalah baik
terutama apabila diberikan terapi Fe yang adekuat. Tentunya penyakit dasar
sebagai sumber perdarahan kronisnya pun menentukan prognosis dari pasien.
ANEMIA HEMOLITIK
Definisi:
Memendeknya masa hidup sel darah merah, baik oleh karena cacat inheren
pada eritrosit (anemia hemolitik intrakorpuskular) yang biasanya diturunkan atau
yang disebabkan oleh pengaruh luar (anemia hemolitik ekstrakorpuskular) yang
biasanya didapat.
Klasifikasi:
Pencetusnya:
Intrinsic:
- kelainan membran sel : sferositosis, ovalositosis, eliptositosis dll
- hemoglobinopati : thalassemia, hemoglobin patologis
- defisiensi enzim : defisiensi G6PD,dll
Ekstrinsic:
- anemia hemolitik imun :
Isoimun : reaksi transfuse darah, penyakit hemolitik bayi baru lahir
Autoimun : Leukimia, SLE, dll.
anemia hemolitik non-imun : obat kimia, toksik/racun.
Kejadiannya:
- Herediter = intrinsic
- Didapat = ekstrinsic
Lokasi penghancuran
- Intravaskular = penghancuran disirkulasi
- Ekstravaskular = penghancuran di lien, hati dan sum-sum tulang
Gejala klinis anemia hemolitik ditandai dengan 3 proses yaitu:
1. Peningkatan laju pengrusakan sel darah merah.
2. Katabolisme Hb meningkat.
3. Peningkatan hematopoiesis, terutama eritropoiesis.
Gejala – Gejala
Berdasarkan 3 proses diatas:
- Kerusakan Eritrosit : Fragmentasi dan kontraksi sel darah merah
menyebabkan aktifitas RES meningkat sehingga terjadi hepatomegaly dan
splenomegaly
- Katabolisme Hb meningkat :
Hiperbilirubinemia menyebabkan ikterus
Urobilinuri, Hemoglobinemia
- Regenerasi / kompensasi
Darah tepi :
Retikulositosis
Normoblastemia
Sum-sum tulang
Hiperpasia eritroid
Hiperplasia sum-sum tulang belakang
Eritropoesis ekstramedular sehingga terjadi splenomegali,
hepatomegali
Diagnosis Anemia Hemolitik
1) Membuktikan hemolisis: kerusakan eritrosit, katabolisme Hb, regenerasi atau
kompensasi
2) Penentuan etiologi: hemolisis didapat atau hemolisis herediter (kongenital).
Penatalaksanaan:
- Tranfusi darah periodik.
- Bila sudah berat sebaiknya dilakukan spleenoktomi, dengan indikasi penderita yang
sudah dewasa muda.
- Dilanjutkan dengan imunisasi dan pemberian “anafilaksis penicillin” untuk
pemberian jangka panjang.
ANEMIA DEFISIENSI SIANOCOBALAMIN
Defenisi
Anemia defisiensi sianocobalamin (vitamin B12) merupakan anemia
megaloblastik yang disebabkan oleh gangguan sintesis DNA akibat adanya defisiensi
vitamin B12
Etiologi
1. Asupan tidak cukup
2. Malabsorbsi :
a. Gastrektomi
b. Obat-obat yang menghalangi sekresi asam
c. Produksi faktor intrinsik menurun : anemia pernisiosa, gastrektomi total
d. Gangguan dari ileum terminalis : spure tropical,spure mnon tropical,
enteritis regional, reseksi intestinum, noeplasma dan gangguan
granulomatos, sindrom imerslund (malabsorbsi kobalamin selektif)
3. Defesiensi Transcobalamin II, defect enzim congenital
Gejala Klinik
Gambaran klinis defisiensi B12 melibatkan darah, traktus gastrointestinal, dan
sistem nervorum.
1. Manifestasi hematologik
Manifestasi ini sepenuhnya selalu berakibat anemia, meskipun sangat jarang
purpura, dapat pula tampak karena trombositopeni. Keluhan anemia seperti rasa
lelah, nyeri kepala ringan, vertigo, tinitus, palpitasi, angina dan keluhan yang
berkaitan dengan kegagalan jantung kongestif. Tanda fisik dari defisiensi
kobalamin yaitu pucat, dengan kulit sedikit kekuningan begitu juga mata.
Peningkatan bilirubin berkaitan dengan tingginya pelipatan ganda sel-sel eritroid
dalam sumsum tulang. Denyut nadi cepat dan jantung mungkin membesar, pada
auskultasi biasanya terdengar bising sistolik.
2. Manifestasi gastrointestinal
Keluhan nyeri lidah, yang pada inspeksi tampak papil lidah halus dan
kemerahan. Keluhan lain yaitu anorexia dan disertai turunnya berat badan,
kemungkinan bersamaan dengan diare dan lain-lain.
3. Manifestasi gangguan neurologis
Perubahan patologi yang awal yaitu demielinasi, kemudian diikuti oleh
degenerasi aksonal dan akhirnya kematian neural. Tempat yang menderita
gangguan termasuk syaraf perifer; medulla spinalis, dimana kolumna posterior dan
lateral mengalami demielinas; dan juga serebrum sendiri. Keluhan dan gejala
termasuk mati rasa dan parestesi pada ekstremitas, kelemahan dan ataksia.
Kemungkinan terjadi gangguan dari sfingter.
Patogenesis
Patogenesis tergantung dari etiologi;
1. Gastrektomi : luas dari penghasil faktor intrinsik berkurang sehingga
kemungkinan untuk absorpsi dari B12 kurang
2. Infeksi cacing pita : menyebabkan absorpsi B12 kurang sehingga terjadi
defisiensi vitamin B12
3. Defisiensi Transcobalamin II : hal ini menyebabkan B12 yang akan dibaa ke
sel-sel oleh transcobalamin II berkurang.
Keadaan-keadaan diatas kemudian berakibat pada Absorbsi serta transpor dari
B12 yang kemudian dapat menyebabkan anemia defisiensi sianocobalamin
(B12)
Diagnosis
Untuk menentukan diagnosis dari anemia defisiensi sianocobalamin ini perlu
dilakukan beberapa pemeriksaan termasuk pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi nampak kulit dan mata ikterus, wajah tampak pucat, lelah, pada lidah
nampak papil merah dan halus
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium :
Anemia megaloblastik, MCV meningkat,
Hapusan darah tepi : khas makroovalosit
Hiperpigmentasi, retikulosit meningkat, leukopenia, trombositopenia
Aspirasi sumsum tulang : hiperplasia eritroid, sel-sel megaloblast abnormal
(maturasi inti lambat, sitoplasma normal
Terapi
Setelah diagnosis defisiensi kobaamin ditegakkan maka perlu memberikan
terapi spesifik berkaitan dengan penyakit dasar yang melatar belakangi misalnya
adanya pertumbuhan bakteri yang berlebihan dalam intestinum perlu diberi antibiotik,
sedangkan terapi utama untuk defisiensi kobalamin adalah terapi pengganti. Sebab
defek yang ada, biasanya selalu malabsorbsi, maka pasien diberi pengobatan
parenteral, terutama dalam bentuk suntikan kobalamin intramuskuler.
Awal pemberian terapi parenteral dengan kobalamin 1000 ug i.m, tiap minggu
selama delapan minggu, kemudian dilanjutkan suntikan i.m kobalamin 1000 ug tiap
bulan dari sisa hidupnya. Dapat pula diberikan terapi oral dengan kristalin B12
sejumlah 2mg perhari.
LEUKIMIA
Definisi
Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi
leukosit abnormal dalam sumsum tulang dan darah.Sel-sel abnormal ini
menyebabkan timbulnya gejala karena kegagalan sumsum tulang (yaitu anemia,
neutropenia, trombositopenia) dan infiltrasi organ (misalnya hati,limpa, kelenjar
getah bening, meningens, otak, kulit, atau testis)(5).
Leukemia merupakan suatu penyakit yang dikenal dengan adanya proliferasi
neoplastik dari sel-sel organ hemopoetik, yang terjadi sebagai akibat mutasi somatik
sel bakal (stem cell) yang akan membentuk suatu klon sel leukemia (1,2,3,4).
Leukemia atau kanker darah juga didefinisikan sekelompok
penyakit neoplastik yang beragam, ditandai oleh perbanyakan secara tak normal atau
transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan jaringan
limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau
abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam darah
perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses
pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita.
Sel darah normal
Kebanyakan sel-sel darah berkembang di dalam sumsum tulang yang disebut
stem sel. Sumsum tulang adalah bagian jaringan lunak yang terletak di setiap pusat
tulang. Stem sel berkembang menjadi berbagai macam sel darah yang memiliki
fungsi yang berbeda-beda:
Sel darah putih: membantu melawan
infeksi. Sel darah putih memiliki beberapa
jenis yaitu
limfosit,monosit,basofil,neutrofil batang,
neutrofil segmen, dan eosinofil.
Sel darah merah: membantu membawa
oksigen ke seluruh tubuh
Platelet: membantu pembekuan darah
sehingga tidak terjadi perdarahan
Sel darah putih, sel darah merah, dan platelet terbentu dari sel stem dimana
mereka sangat dibutuhkan oleh tubuh. Saat sel-sel tersebut menua dan rusak, sel
tersebut akan mati, dan sel baru akan menggantikan tempat mereka.
Gambar di bawah menunjukkan bagaimana sel stem berkembang menjadi
beberapa tipe sel darah putih.
Pertama, sel stem akan berkembang menjadi sel stem myeloid atau sel stem
limfosit:
Sel stem myeloid berkembang menjadi myeloid blast. Myeloid blast ini dapat
berkembang menjadi seld darah merah, platelet, atau menjadi beberapa jenis
dari sel darah putih.
Sel stem limfoid akan berkembang menjadi limfoid blast. Limfoid blast ini
dapat berkembang menjadi beberapa tipe sel darah putih seperti sel B atau sel
T
Sel darah putih yang dihasilkan dari myeloid blast berbeda dari sel darah putih yang
dihasilkan limfoid blast ini.
Sel Leukemia
Pada orang dengan leukemia, sumsum tulang membuat sel darah putih yang
abnormal.Sel yang abnormal tersebut adalah sel leukemia.
Tidak seperti sel darah normal, sel leukemia tidak mati saat waktunya tiba.
Mereka malah memadati dan mendesak sel darah putih normal, sel darah merah, dan
platelet. Hal ini membuat sel darah normal kesulitan dalam menjalankan fungsi
normal mereka.
Epidemiologi
Leukemia menurut usia didapatkan data yaitu, Leukemia Limfoblastik Akut
(LLA) terbanyak pada anak-anak dan dewasa, Leukemia Granulositik Kronik
(LGK) pada semua usia, lebih sering pada orang dewasa, Leukemia Granulositik
Kronik pada semua usia tersering usia 40-60 tahun, Leukemia Limfositik Kronik
(LLK) terbanyak pada orang tua. Leukemia Mieoloblastik Akut lebih sering
ditemukan pada usia dewasa (85%) daripada anak-anak (15%). Walaupun leukemia
menyerang kedua jenis kelamin, tetapi pria terserang sedikit lebih banyak
dibandingkan wanita dengan perbandingan 2 : 1
Etiologi
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti. Diperkirakan leukemi tidak
disebabkan oleh penyebab tunggal, tetapi gabungan dari faktor resiko antara lain:
Terinfeksi virus.
Agen virus sudah lama diidentifikasi sebagai penyebab leukemia pada hewan.
Pada tahun 1980, diisolasi virus HTLV-1( human T–cell lymphotropic virus type
1) yang menyerupai virus penyebab AIDS dari leukemia sel T manusia pada
limfosit seorang penderita limfoma kulit dan sejak saat itu diisolasi dari sampel
serum penderita leukemia sel T.
Faktor Genetik.
Pengaruh genetik maupun faktor-faktor lingkungan kelihatannya memainkan
peranan , namun jarang terdapat leukemia familial, tetapi insidensi leukemia
lebih tinggi dari saudara kandung anak-anak yang terserang , dengan insidensi
yang meningkat sampai 20% pada kembar monozigot (identik).
Kelainan Herediter.
Individu dengan kelainan kromosom, seperti Sindrom Down, kelihatannya
mempunyai insidensi leukemia akut 20 puluh kali lipat.
Faktor lingkungan.
- Radiasi. Kontak dengan radiasi ionisasi disertai manifestasi leukemia
yang timbul bertahun-tahun kemudian.
-Zat Kimia. Zat kimia misalnya : benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon,
dan agen antineoplastik dikaitkan dengan frekuensi yang meningkat khusus
nya agen-agen alkil. Kemungkinan leukemia meningkat pada penderita
yang diobati baik dengan radiasi maupun kemoterapi.
Radiasi
Orang yang terekspos radiasi yang sangat tinggi lebih memiliki kecenderungan
untuk mengidap leukemia mieloblastik akut, leukemia mielositik kronik,atau
leukemia limfoblastik akut.
→ Ledakan bom atom: telah menyebabkan radiasi yang sangat tinggi (contohnya
seperti ledakan di jepang pada perang dunia kedua). Terjadi peningkatan resiko
mengidap leukemia pada orang-orang, terutama anak-anak, yang selamat dari
ledakan bom tersebut.
→ Radioterapi: radioterapi untuk kanker dan kondisi lainnya adalah sumber
eksposur radiasi tinggi lainnya. Radioterapi meningkatkan resiko leukemia.
→ X-rays: dental x-rays dan x-rays diagnostik lainnya (seperti CT-Scan)
mengekspos orang-orang terhadap level radiasi yang lebih rendah. Belum
diketahui apakah radiasi level rendah ini dapat menghubungkan leukemia dengan
anak-anak maupun orang dewasa. Peneliti sedang mempelajari apakah
melakukan banyak foto x-rays dapat meningkatkan resiko leukemia. Mereka juga
mempelajari apakah menjalani CT-Scan ketika anak-anak dapat meningkatkan
resiko leukemia.
Benzene
Terekspose benzene di tempat kerjadapat menyebabkan leukemia mieloblastik
akut. Selain itu benzene juga dapat menyebabkan leukemia mielositik kronik atau
leukemia limfoblastik akut. Benzene banyak digunakan pada industri kimia.
Benzene juga ditemukan pada asap rokok dan gasoline.
Merokok
Merokok dapat meningkatkan resiko leukemia mieloblastik akut.
Kemoterapi
Pasien kanker yang diterapi dengan beberapa tipe obat pelawan kanker kadang
akan mengidap leukemia mieloblastik akut atau leukemia limfoblastik akut.
Contohnya, diterapi dengan obat bernama alkylating agen atau topoisomerase
inhibitor dapat dihubungkan dengan kemungkinan kecil berkembangnya
leukemia akut.
Memiliki satu atau lebih faktor resiko tidak berarti seseorang akan mengidap
leukemia. Kebanyakan orang yang memiliki faktor resiko tidak pernah berkembang
menjadi leukemia.
Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan kita dengan
infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai dengan perintah, dapat dikontrol
sesuai dengan kebutuhan tubuh kita. Leukemia meningkatkan produksi sel darah
putih pada sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan
sel darah normal dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemia memblok
produksi sel darah putih yang normal , merusak kemampuan tubuh terhadap
infeksi. Sel leukemia juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang
termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen
pada jaringan.
Menurut Smeltzer dan Bare (2001) analisa sitogenik menghasilkan banyak
pengetahuan mengenai aberasi kromosomal yang terdapat pada pasien dengan
leukemia,. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan angka, yang
menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur,
yang termasuk translokasi ini, dua atau lebih kromosom mengubah bahan genetik,
dengan perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya
proliferasi sel abnormal.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih
mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan
tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan
genetik sel yang kompleks). Penyusunan kembali kromosom (translokasi
kromosom) mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel
membelah tak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai
sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel
darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya,
termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal dan otak.
Jika penyebab leukemia virus, virus tersebut akan masuk ke dalam tubuh
manusia jika struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen manusia. Bila
struktur antigen individu tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus
tersebut ditolaknya seperti pada benda asing lain. Struktur antigen manusia
terbentuk oleh struktur antigen dari berbagai alat tubuh, terutama kulit dan selaput
lendir yang terletak di permukaan tubuh (kulit disebut juga antigen jaringan ). Oleh
WHO terhadap antigen jaringan telah ditetapkan istilah HL-A (Human Leucocyte
Lucos A). Sistem HL-A individu ini diturunkan menurut hukum genetika sehingga
adanya peranan faktor ras dan keluarga dalam etiologi leukemia tidak dapat
diabaikan.
Leukemia merupakan proliferasi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik
dan biasanya berakhir fatal. Leukemia dikatakan penyakit darah yang disebabkan
karena terjadinya kerusakan pada pabrik pembuat sel darah yaitu sumsum tulang.
Penyakit ini sering disebut kanker darah. Keadaan yang sebenarnya sumsum tulang
bekerja aktif membuat sel-sel darah tetapi yang dihasilkan adalah sel darah yang
tidak normal dan sel ini mendesak pertumbuhan sel darah normal.
Proses patofisiologi leukemia dimulai dari transformasi ganas sel induk
hematologis dan turunannya. Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel
leukemia dan mengakibatkan penekanan hematopoesis normal, sehingga terjadi
bone marrow hipoaktivasi, infiltrasi sel leukemia ke dalam organ, sehingga
menimbulkan organomegali, katabolisme sel meningkat, sehingga terjadi keadaan
hiperkatabolisme.
Klasifikasi
Leukemia dapat diklafikasikan ke dalam :
1. Maturitas sel:
Leukemia Akut
Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif,
dengan transformasi ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi
progenitor sumsum tulang dini, disebut sel blast. Gambaran klinis dominan
penyakit-penyakit ini biasanya adalah kegagalan sumsum tulang yang
disebabkan akumulasi sel blas walaupun juga terjadi infiltrasi jaringan.
Apabila tidak diobati, penyakit ini biasanya cepat bersifat fatal, tetapi, secara
paradoks, lebih mudah diobati dibandingkan leukemia kronik.
Leukemia Kronik
Leukemia kronik dibedakan dari leukemia akut berdasarkan progresinya
yang lebih lambat. Sebaliknya, leukemia kronik lebih sulit diobati.
2. Tipe-tipe sel asal
Mieloblastik (Mieloblast yang dihasilkan sumsum tulang)
Limfoblastik (limfoblast yang dihasilkan sistem limfatik)
Normalnya, sel asal (mieloblast dan limfoblast) tak ada pada darah perifer.
Maturitas sel dan tipe sel dikombinasikan untuk membentuk empat tipe utama
leukemia :
1. LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA)
Leukemia Mieloblastik Akut (LMA) atau dapat juga disebut leukemia
granulositik akut (LGA), mengenai sel stem hematopetik yang kelak berdiferensiasi
ke semua sel mieloid, monosit, granulosit (basofil, netrofil, eosinofil), eritrosit, dan
trombosit. Dikarakteristikan oleh produksi berlebihan dari mieloblast. Semua
kelompok usia dapat terkena insidensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.
Merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi.
Gambaran klinis LMA, antara lain yaitu terdapat peningkatan leukosit
immature, pembesaran pada limfe, rasa lelah, pucat, nafsu makan menurun, anemia,
ptekie, perdarahan , nyeri tulang, Infeksi,pembesaran kelenjer getah bening,limpa,hati
dan kelenjer mediastinum. Kadang-kadang juga ditemukan hipertrofi gusi ,khususnya
pada leukemia akut monoblastik dan mielomonositik.
Pada tahun 1976 tujuh ahli hematologi dari Amerika,Perancis,dan Ingris
melakukan kerjasama dan mereka mengusulkan klasifikasi baru untuk leukemia akut.
Klasifikasi itu kemudian diterima dan dikenal sebagai klasifikasi FAB ( French
American British). FAB membagi LMA menjadi 6 jenis:
M-1: Diferensiasi granulositik tanpa pematangan
M-2: Diferensiasi granulositik disertai pematangan menjadi stadium
promielositik
M-3: Diferensiasi granulositik disertai promielosit hipergranular yang
dikaitkan dengan pembekuan intra vaskular tersebar (Disseminated
intravascular coagulation).
M-4: Leukemia mielomonoblastik akut: kedua garis sel granulosit dan
monosit.
M-5a: Leukemia monoblastik akut : kurang berdiferesiasi
M-5b: Leukemia monoblastik akut : berdiferensiasi baik
M-6: Eritroblast predominan disertai diseritropoiesis berat
M-7: Leukemia megakariositik.
2. LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIK (LMK)
Leukemia granulositik kronis (LGK), juga termasuk dalam keganasan sel stem
mieloid. Namun, lebih banyak terdapat sel normal di banding pada bentuk akut,
sehingga penyakit ini lebih ringan. Abnormalitas genetika yang dinamakan
kromosom Philadelpia ditemukan 90% sampai 95% pasien dengan LMK. LMK
jarang menyerang individu di bawah 20 tahun, namun insidensinya meningkat sesuai
pertambahan usia.
Gambaran menonjoladalah :
Adanya kromosom Philadelphia pada sel – sel darah. Ini adalah kromosom
abnormal yang ditemukan pada sel – sel sumsum tulang.
Krisis Blast. Fase yang dikarakteristik oleh proliferasi tiba-tiba dari jumlah
besar mieloblast. Temuan ini menandakan pengubahan LMK menjadi LMA.
Kematian sering terjadi dalam beberapa bulan saat sel – sel leukemia menjadi
resisten terhadap kemoterapi selama krisis blast.
3. LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA)
Leukemia Limfositik Akut (LLA) dianggap sebagai suatu proliferasi ganas
limfoblas. Paling sering terjadi pada anak-anak, dengan laki-laki lebih banyak
dibanding perempuan,dengan puncak insidensi pada usia 4 tahun. Setelah usia 15
tahun , LLA jarang terjadi. Manifestasi dari LLA adalah berupa proliferasi limfoblas
abnormal dalam sum-sum tulang dan tempat-tempat ekstramedular.
Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel
darah merah dalam jumlah yang memadai, yaitu berupa lemah dan sesak nafas,
karena anemia (sel darah merah terlalu sedikit), infeksi dan demam karena
berkurangnya jumlah sel darah putih, perdarahan karena jumlah trombosit yang
terlalu sedikit.
Manifestasi klinis :
Hematopoesis normal terhambat
Penurunan jumlah leukosit
Penurunan sel darah merah
Penurunan trombosit
4. LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK (LLK)
Leukemia Limfositik Kronik (LLK) ditandai dengan adanya sejumlah besar
limfosit (salah satu jenis sel darah putih) matang yang bersifat ganas dan pembesaran
kelenjar getah bening. Lebih dari 3/4 penderita berumur lebih dari 60 tahun, dan 2-3
kali lebih sering menyerang pria. Pada awalnya penambahan jumlah limfosit matang
yang ganas terjadi di kelenjar getah bening. Kemudian menyebar ke hati dan limpa,
dan kedua nya mulai membesar. Masuknya limfosit ini ke dalam sumsum tulang akan
menggeser sel-sel yang normal, sehingga terjadi anemia dan penurunan jumlah sel
darah putih dan trombosit di dalam darah. Kadar dan aktivitas antibodi (protein untuk
melawan infeksi) juga berkurang. Sistem kekebalan yang biasanya melindungi tubuh
terhadap serangan dari luar, seringkali menjadi salah arah dan menghancurkan
jaringan tubuh yang normal.
Manifestasinya adalah :
Adanya anemia
Pembesaran nodus limfa
Pembesaran organ abdomen
Jumlah eritrosi dan trombosit mungkin normal atau menurun
Terjadi penurunan jumlah limfosit (limfositopenia)
Manifestasi Klinis
Seperti semua sel darah lainnya, sel leukemia beredar di seluruh tubuh. Gejala
leukemia bergantung pada jumlah sel leukemia dan dimana sel leukemia tersebut
terkumpul dalam tubuh. Orang dengan leukemia kronik dapat tidak memiliki gejala.
Seorang dokter sering menemukan penyakit tersebut dalam pemeriksaan darah rutin
secara tidak sengaja.
Seseorang dengan leukemia akut biasanya pergi ke dokter saat mereka merasa
sakit. Jika otak telah terkena, mereka mungkin mengalami sakit kepala, muntah,
kehilangan kontrol otot, atau kejang. Leukemia juga dapat mempengaruhi bagian
tubuh seperti saluran cerna, ginjal, paru, jantung, atau testis.
Gejala leukemia yang ditimbulkan umumnya berbeda diantara penderita,
namun demikian secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Anemia.
Penderita akan menampakkan cepat lelah, pucat dan bernafas cepat (sel darah
merah dibawah normal menyebabkan oxygen dalam tubuh kurang, akibatnya
penderita bernafas cepat sebagai kompensasi pemenuhan kekurangan oxygen dalam
tubuh).
2. Perdarahan.
Ketika Platelet (sel pembeku darah) tidak terproduksi dengan wajar karena
didominasi oleh sel darah putih, maka penderita akan mengalami perdarahan salah
satunya di jaringan kulit (banyaknya bintik merah lebar/kecil dijaringan kulit).
3. Terserang Infeksi.
Sel darah putih berperan sebagai pelindung daya tahan tubuh, terutama
melawan penyakit infeksi. Pada Penderita Leukemia, sel darah putih yang dibentuk
tidak normal (abnormal) sehingga tidak berfungsi semestinya. Akibatnya tubuh si
penderita rentan terkena infeksi virus/bakteri, bahkan dengan sendirinya akan
menampakkan keluhan adanya demam, keluar cairan putih dari hidung (meler) dan
batuk.
4. Nyeri Tulang dan Persendian.
Hal ini disebabkan sebagai akibat dari sumsum tulang (bone marrow) didesak
padat oleh sel darah putih.
5. Nyeri Perut.
Nyeri perut juga merupakan salah satu indikasi gejala leukemia, dimana sel
leukemia dapat terkumpul pada organ ginjal, hati dan empedu yang menyebabkan
pembesaran pada organ-organ tubuh ini dan timbulah nyeri. Nyeri perut ini dapat
berdampak hilangnya nafsu makan penderita leukemia.
6. Pembengkakan Kelenjar Limfe.
Penderita kemungkinan besar mengalami pembengkakan pada kelenjar limfe,
baik itu yang dibawah lengan, leher, dada dan lainnya. Kelenjar limfe bertugas
menyaring darah, sel leukemia dapat terkumpul disini dan menyebabkan
pembengkakan.
7. Kesulitan Bernafas (Dyspnea).
Penderita mungkin menampakkan gejala kesulitan bernafas dan nyeri dada,
apabila terjadi hal ini maka harus segera mendapatkan pertolongan medis.
Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis leukemia dilakukan secara terperinci melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sehingga dapat diperoleh data-data
yang maksimal untuk mendukung diagnosis. Terkadang diagnosis leukemia
ditemukan secara tidak sengaja saat pasien menjalani pemeriksaan kesehatan
rutin.Pemeriksaan riwayat penyakit yang lebih teliti dilakukan dan pasien dapat
melaporkan riwayat leukemia atau gejala dan faktor resiko yang ada.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan gumpalan, atau abnormalitas lain dan
gejala dari leukemia. Pada pemeriksaan fisik biasanya akan diperiksa ada tidaknya
pembengkakan pada kelenjar getah bening, limfe, dan hati.
Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah perifer pada leukemia dapat diketenukan:
Jumlah Leukosit Differential Leukosit
Akut Rendah,normal,atau tinggi Jika tinggi, maka sel blas
akan predominan, Jika
normal atau rendah
mungkin sel blast sangat
sedikit
Konik Tinggi Sel blast <10%
Penyakit Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa pemeriksaan penunjang,
diantaranya adalah Biopsi, Pemeriksaan darah {complete blood count (CBC)}, CT
or CAT scan, magnetic resonance imaging (MRI), X-ray, Ultrasound, Spinal
tap/lumbar puncture.
Tes darah: laboratorium akan memeriksa jumlah sel-sel darah. Leukemia
menyebabkan jumlah sel-sel darah putih meningkat sangat tinggi, dan jumlah
trombosit dan hemoglobin dalam sel-sel darah merah menurun. Pemeriksaan
laboratorium juga akan meneliti darah untuk mencari ada tidaknya tanda-tanda
kelainan pada hati dan/atau ginjal.
Biopsi: dokter akan mengambil sedikit jaringan sumsum tulang dari tulang
pinggul atau tulang besar lainnya. Ahli patologi kemudian akan memeriksa
sampel di bawah mikroskop, untuk mencari sel-sel kanker. Cara ini disebut
biopsi, yang merupakan cara terbaik untuk mengetahui apakah ada sel-sel
leukemia di dalam sumsum tulang.
Sitogenetik: laboratorium akan memeriksa kromosom sel dari sampel darah
tepi, sumsum tulang (bone marrow sample), atau kelenjar getah bening.
Lumbal puncture: dengan menggunakan jarum yang panjang dan tipis, dokter
perlahan-lahan akan mengambil cairan cerebrospinal (cairan yang mengisi
ruang di otak dan sumsum tulang belakang). Prosedur ini berlangsung sekitar
30 menit dan dilakukan dengan anestesi lokal. Pasien harus berbaring selama
beberapa jam setelahnya, agar tidak pusing. Laboratorium akan memeriksa
cairan apakah ada sel-sel leukemia atau tanda-tanda penyakit lainnya.
Sinar X pada dada: sinar X ini dapat menguak tanda-tanda penyakit di dada.
Tata Laksana
Leukemia Granulositik Kronik
Sebagian besar pengobatan tidak menyembuhkan penyakit, tetapi hanya
memperlambat perkembangan penyakit. Pengobatan dianggap berhasil apabila
jumlah sel darah putih dapat diturunkan sampai kurang dari 50.000/mikroliter
darah. Pengobatan yang terbaik sekalipun tidak bisa menghancurkan semua sel
leukemik.Satu-satunya kesempatan penyembuhan adalah dengan pencangkokan
sumsum tulang. Pencangkokan paling efektif jika dilakukan pada stadium awal
dan kurang efektif jika dilakukan pada fase akselerasi atau krisis blast. Obat
interferon alfa bisa menormalkan kembali sumsum tulang dan menyebabkan
remisi. Hidroksiurea per-oral (ditelan) merupakan kemoterapi yang paling
banyak digunakan untuk penyakit ini. Busulfan juga efektif, tetapi karena
memiliki efek samping yang serius, maka pemakaiannya tidak boleh terlalu lama.
Terapi penyinaran untuk limpa kadang membantu mengurangi jumlah sel
leukemik. Kadang limpa harus diangkat melalui pembedahan (splenektomi)
untuk: mengurangi rasa tidak nyaman di perut, meningkatkan jumlah trombosit,
mengurangi kemungkinan dilakukannya tranfusi.
Leukemia Limfoblastik Akut :
Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan
menghancurkan sel-sel leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh kembali di
dalam sumsum tulang. Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat di
rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada
respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang.
Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin
memerlukan: transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi
trombosit untuk mengatasi perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi.
Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering digunakan dan dosisnya diulang
selama beberapa hari atau beberapa minggu. Suatu kombinasi terdiri dari
prednison per-oral (ditelan) dan dosis mingguan dari vinkristin dengan
antrasiklin atau asparaginase intravena. Untuk mengatasi sel leukemik di otak,
biasanya diberikan suntikan metotreksat langsung ke dalam cairan spinal dan
terapi penyinaran ke otak. Beberapa minggu atau beberapa bulan setelah
pengobatan awal yang intensif untuk menghancurkan sel leukemik, diberikan
pengobatan tambahan (kemoterapi konsolidasi) untuk menghancurkan sisa-sisa
sel leukemik. Pengobatan bisa berlangsung selama 2-3 tahun.
Sel-sel leukemik bisa kembali muncul, seringkali di sumsum tulang, otak
atau buah zakar. Pemunculan kembali sel leukemik di sumsum tulang merupakan
masalah yang sangat serius. Penderita harus kembali menjalani kemoterapi.
Pencangkokan sumsum tulang menjanjikan kesempatan untuk sembuh pada
penderita ini. Jika sel leukemik kembali muncul di otak, maka obat kemoterapi
disuntikkan ke dalam cairan spinal sebanyak 1-2 kali/minggu. Pemunculan
kembali sel leukemik di buah zakar, biasanya diatasi dengan kemoterapi dan
terapi penyinaran.
Pengobatan Leukeumia Limfositik Kronik
Leukemia limfositik kronik berkembang dengan lambat, sehingga banyak
penderita yang tidak memerlukan pengobatan selama bertahun-tahun sampai
jumlah limfosit sangat banyak, kelenjar getah bening membesar atau terjadi
penurunan jumlah eritrosit atau trombosit. Anemia diatasi dengan transfusi darah
dan suntikan eritropoietin (obat yang merangsang pembentukan sel-sel darah
merah). Jika jumlah trombosit sangat menurun, diberikan transfusi trombosit.
Obat antikanker saja atau ditambah kortikosteroid diberikan jika jumlah
limfositnya sangat banyak. Prednison dan kortikosteroid lainnya bisa
menyebabkan perbaikan pada penderita leukemia yang sudah menyebar. Tetapi
respon ini biasanya berlangsung singkat dan setelah pemakaian jangka panjang,
kortikosteroid menyebabkan beberapa efek samping. Leukemia sel B diobati
dengan alkylating agent, yang membunuh sel kanker dengan mempengaruhi
DNAnya. Leukemia sel berambut diobati dengan interferon alfa dan pentostatin.
Pengobatan
Kemoterapi
Sebagian besar pasien leukemia menjalani kemoterapi. Jenis pengobatan
kanker ini menggunakan obat-obatan untuk membunuh sel-sel leukemia.
Tergantung pada jenis leukemia, pasien bisa mendapatkan satu jenis obat atau
kombinasi dari dua obat atau lebih.
Terapi Biologi
Orang dengan jenis penyakit leukemia tertentu menjalani terapi biologi
untuk meningkatkan daya tahan alami tubuh terhadap kanker. Terapi ini
diberikan melalui suntikan di dalam pembuluh darah balik.
Bagi pasien dengan leukemia limfositik kronis, jenis terapi biologi yang
digunakan adalah antibodi monoklonal yang akan mengikatkan diri pada sel-sel
leukemia. Terapi ini memungkinkan sistem kekebalan untuk membunuh sel-sel
leukemia di dalam darah dan sumsum tulang. Bagi penderita dengan leukemia
myeloid kronis, terapi biologi yang digunakan adalah bahan alami bernama
interferon untuk memperlambat pertumbuhan sel-sel leukemia.
Terapi Radiasi
Terapi Radiasi (juga disebut sebagai radioterapi) menggunakan sinar
berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Bagi sebagian besar pasien,
sebuah mesin yang besar akan mengarahkan radiasi pada limpa, otak, atau bagian
lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel-sel leukemia ini. Beberapa pasien
mendapatkan radiasi yang diarahkan ke seluruh tubuh. (Iradiasi seluruh tubuh
biasanya diberikan sebelum transplantasi sumsum tulang.)
Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)
Beberapa pasien leukemia menjalani transplantasi sel induk (stem cell).
Transplantasi sel induk memungkinkan pasien diobati dengan dosis obat yang
tinggi, radiasi, atau keduanya. Dosis tinggi ini akan menghancurkan sel-sel
leukemia sekaligus sel-sel darah normal dalam sumsum tulang. Kemudian,
pasien akan mendapatkan sel-sel induk (stem cell) yang sehat melalui tabung
fleksibel yang dipasang di pembuluh darah balik besar di daerah dada atau leher.
Sel-sel darah yang baru akan tumbuh dari sel-sel induk (stem cell) hasil
transplantasi ini.
Setelah transplantasi sel induk (stem cell), pasien biasanya harus menginap
di rumah sakit selama beberapa minggu. Tim kesehatan akan melindungi pasien
dari infeksi sampai sel-sel induk (stem cell) hasil transplantasi mulai
menghasilkan sel-sel darah putih dalam jumlah yang memadai.
Prognosis
Ad vitam : dubia
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
KASUS
Skenario 3:
Seorang wanita, 51 tahun MRS dengan keluhan nyeri tulang belakang serta paha
sebelah kanan. Nyeri terus menerus dan bertambah keras, lemah badan, sering pusing,
jantung berdebar dan demam. Mulai 1 minggu terakhir kalau bangun tidur muka
bengkak. Penderita sudah sering ke dokter dengan keluhan yang sama dan sudah
minum obat anti nyeri tapi tidak ada perubahan.
A. Kata Sulit
Nyeri adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial yang
akan menyebabkan kerusakan jaringan.
B. Kata Kunci
1. Perempuan 51 tahun
2. Nyeri tulang belakang serta paha sebelah kanan
3. Nyeri terus menerus dan bertambah keras
4. Lemah badan, sering pusing, jantung berdebar, dan demam
5. 1 minggu terakhir, bangun tidur muka bengkak
6. Minum obat anti nyeri tapi tidak ada perubahan
C. Pertanyaan
1. Jelaskan dan gambarkan morfologi sel darah !
2. Jelaskan proses hematopoiesis !
3. Jelaskan proses metabolisme sel darah !
4. Jelaskan patomekanisme masing-masing gejala pada skenario !
5. Mengapa obat anti nyeri yang dikonsumsi tidak memberi efek / perubahan ?
6. Jelaskan langkah-langkah diagnosis !
7. Jelaskan Differential Diagnosis (DD) dan penatalaksanaannya ?
D. Jawaban
1. Morfologi sel darah:
1. Eritrosit
Bentuk : bikonkaf , tidak berinti
Volume : 9 femtoliter
Diameter : 6-8 mikrometer’
Tebal : 2 mikrometer
Fungsi : membawa o2 ke jaringan
2. Leukosit
Tidak berwarna, ada inti, bergerak secara amoebeid , dapat menembus dinding
kapiler
Jenis :
A. Granulosit
- Basofil
Jumlah : 0,01 – 0,3 %
Warna : Berwarna biru
Banyak granula sitoplasmik dengan 2 lobus
- Eosinophil
Jumlah: 1-6%
Ukuran : 12-17 mikrometer
- Neutrophil
Jumlah: 50-60%
Terdapat gambaran 3 inti aneh
Warna: Merah kebiruan
B. Agranulosit
- Limfosit
25%
- Monosit
6%
Inti 1, berbentuk ginjal\
3. Trombosit
Tidak berinti, bentuk tidak teratur, tidak berwarna, mudah pecah bila benda
kasar
Ukuran : 2-3 mikrometer
2. Proses hemapoiesis :
Hemapoiesis adalah proses pembuatan darah . sebagaimana dketahui,
darah terbagi atas : Bagian yang terbentuk (formed elements). Terdiri atas sel-sel
darah merh (eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit) dan keeping-keping darah
(trombosit) yang bentuknya dapat dilihat dengan mikoskop.
Bagian yang tidak berbentuk. Plasma yang terdiri atas molekul-molekul
air, protein-protein, lemak, karbohidrat, vitamin-vitamin , enzim-enzim dan
sebagainya yang larut dalam plasma.
Hemopoiesis adalah suatuproses kompleks yang melibatkan banyak
komponen-komponen yang saling terkait antara lain :
1. Komponen atau kompartemen yang terdiri atas sel-sel darah baik sel-sel
induk, sel-sel bakal dan sel-sel mature.
2. Komponen atau kompartemen yang disebut stroma atau lingkungan
mikrohemopoetik (LMH) atau hemopoetic micro environment.
3. Kompartemen ke 3 terdiri atas zat-zat yang dapat menstimulasi sel-sel darah
untuk berproliferasi, berdiferensiasi dan berfungsi sesuai denga tugas yang
sudah direncanakan. Komponen ini disebut hemopoetic growth factors (HGF)
atau factor pertumbuhan hemopoetic (FPH).
Kompartemen sel-sel darah
Kompartemen sel darah terdir atas:
A. Sel Induk Pluriotent (PSC/ISP)
Sel-sel darah berasal dari satu sel induk pluripotent (Plurypotent Stem Cell).
Sel-sel ini jumlahnya sedikit, namun mempunyai kemampuan besar
berproliferasi berkali-kali sesuai kebutuhan. SIP dinamakan sebagai CFU-S
(colony forming unit spleen). Selanjutnya dikembangkn suatu media
pembiakan yang baik untuk in vitro dari SIP ini (Dexter Culture). Media ini
mengaitkan pentingnya LMH sehigga CFU-S dapat hidup lam dan dnamakan
Long Term Culture Initiating Cells (LTC-IC). Dalam media dexter ini
terdapat sel-sel lingkungan mikro yang menghasilkan stimulator-stimulator
pertumbuhan hemopoiesis yang disebut Hemopoietic Growth Factors (HGF)
atau juga Colony Stimulating Factors (CSF) yang dapat menstimulasi koloni-
koloni sel bakal darah untuk terus berdiferensiasi sesuai jalur turunannya.
B. Sel Bakal Terkait Tugas (SBTT) atau Comitted Progenitor Hemopoetic Cells.
Dengan stimulasi factor pertumbuhan yang berasal dari LMH yang dinamkan
factor sel induk (Stem Cell Factor = SCF), SIP dapat berdiferensiasi menjadi
sel-sel bakal darah yang terkait tugas (SBTT) yang terkait pada tugas
menurunkan turunan-turunan sel-sel darah , yaitu jalur-jalur turunan myeloid
dan makrofag disebut colony forming unit granulocyte, erythrocyte,
megakaryocyte, monocyte (CFU-GEMM) dan jalur turunan Limfosit
(Lymphoid Progenitor Cells=LPC)
SBTT yang bertugas menurunkan system granulosit, eritrosit,
monosit/makrofag dan megakariosit dalam teori perkemabangan tikus disebut
CFU-GEMM. CFU-GEMM ini distimulasi oleh GEMM-CSF untuk
berdiferensiasi menjadi CFU-G, CFU-M, CFU-Meg dan CFU-E (melalui
BFU-E =Burst Forming Unit Erythrocyte). Seterusnya CFU-G distimulasi G-
CSF , GM-CSF dapat menstimulasi CFU-G dan CFU-MK menjadi sel-sel
yang lebih tua (sel-sel matur).
C. Sel Bakal Darah Dewasa
Subkompartemen ini terdiri atas golongan granulosit (eosiofil, basophil,
neutrophil) golongan-golongan monosit.makrofag, trombosit, eritrosit dan
limfosit B dan T.
3. Metabolisme sel darah :
a. Eritrosit
Untuk mengangkut hemoglobin agar berkontak erat dengan jaringan
dan agar pertukaran gas berhasil, eritrosit yang berdiameter 8 µm harus dapat
secara berulang melalui mikrosirkulasi yang diameter minimumnya 3,5 µm,
untuk mempertahankan hemoglobin dalam keadaan tereduksi (ferro) dan
untuk mempertahankan keseimbangan osmotik walaupun konsentrasi protein
(hemoglobin) tinggi di dalam sel. Perjalanan secara keseluruhan selama masa
hidupnya yang 120 hari diperkirakan sepanjang 480 km (300 mil). Untuk
memenuhi fungsinya ini, eritrosit adalah cakram bikonkaf yang fleksibel
dengan kemampuan menghasilkan energi sebagai adenosin trifosfat (ATP)
melalui jalur glikolisis anaerob (Embden-Meyerhof) dan menghasilkan
kekuatan pereduksi sebagai NADH melalui jalur ini serta sebagai
nikotinamida adenin dinukleotida fosfat tereduksi (NADPH) melalui jalur
pintas heksosa monofosfat (hexose monophosphate shunt). Metabolisme
eritrosit dapat melalui dua jalur, yaitu :
a) Jalur Embden-Meyerhof
Dalam rangkaian reaksi biokimia ini, glukosa di metabolisme menjadi
laktat. Untuk tiap molekul glukosa yang dipakai, dihasilkan dua molekul ATP
dan dengan demikian dihasilkan dua ikatan fosfat energi tinggi. ATP
menyediakan energi tinggi untuk mempertahankan volume, bentuk, dan
kelenturan eritrosit. Eritrosit mempunyai tekanan osmotik lima kali lipat
plasma dan adanya kelemahan intrinsik membran menyebabkan pergerakan
Na+ dan K+ yang terjadi terus menerus. Diperlukan pompa natrium ATPase
membran dan pompa ini menggunakan satu molekul ATP untuk
mengeluarkan 3 ion natrium dari sel dan memasukkan dua ion kalium ke
dalam sel.
Jalur Embden-Meyerhof juga menghasilkan NADH yang diperlukan
oleh enzim methemoglobin reduktase untuk mereduksi methemoglobin
(hemoglobin teroksidasi) yang tidak berfungsi, yang mengandung besi ferri
(dihasilkan oleh oksidasi sekitar 3% hemoglobin tiap hari) menjadi
hemoglobin tereduksi yang atif berfungsi 2,3-DPG yang dihasilkan pada
pintas Luebering-Rapoport (Luebering-Rapoport shunt), atau jalur samping
pada jalur ini membentuk suatu kompleks 1:1 dengan hemoglobin yang
penting dalam regulasi afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
b) Jalur heksosa monofosfat (pentosa fosfat)
Sekitar 5% glikolisis terjadi melalui jalur oksidatif ini, dengan
perubahan glukosa-6-fosfat menjadi 6-fosfoglukonat dan kemudian menjadi
ribulosa-5-fosfat. NADPH dihasilkan dan berkaitan dengan glutation yang
mempertahankan gugus sulfhidril (SH) tetap utuh dalam sel, termasuk SH
dalam hemoglobin dan membran eritrosit. NADPH juga digunakan oleh
methemoglobin reduktase lain untuk mempertahankan besi hemoglobin dalam
keadaan Fe2+ yang aktif secara fungsional. Pada salah satu kelainan eritriosit
diturunkan yang sering ditemukan (yaitu defisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenase/G6PD), eritrosit sangat rentan terhadap stres oksidasi.
b. Hemoglobin
Fungsi utama eritrosit adalah membawa O2 ke jaringan dan
mengembalikan karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru. Untuk mencapai
pertukaran gas ini, eritrosit mengandung protein khusus yaitu hemoglobin.
Tiap eritrosit mengandung sekitar 640 juta molekul hemoglobin. Tiap molekul
hemoglobin (Hb) A pada orang dewasa normal (hemoglobin yang dominan
dalam darah setelah usia 3-6 bulan) terdiri atas empat rantai polipeptida α2β2,
masing-masing dengan gugus hemenya sendiri. Berat molekul HbA adalah
68.000. Darah orang dewasa normal juga mengandung dua hemoglobin lain
dalam jumlah kecil, yaitu HbF dan HbA2. Keduanya juga mengandung rantai
α, tetapi secara berurutan, dengan rantai γ dan δ, selain rantai β. Perubahan
utama dari hemoglobin fetus ke hemoglobin dewasa terjadi 3-6 bulan setelah
lahir.
Sintesis heme erutama terjadi di mitokondria melalui suatu rangkaian
reaksi biokimia yang bermula dengan kondensasi glisin dan suksinil koenzim
A oleh kerja enzim kunci yang bersifat membatasi kecepatan reaksi yaitu
asam δ-aminolevulinat (ALA) sintase. Piridoksal fosfat (vitamin B6) adalah
suatu koenzim untuk reaksi ini, yang dirangsang oleh eritropoietin. Akhirnya,
protoporfirin bergabung dengan besi dalam bentuk ferro (Fe2+) untuk
membentuk heme, masing-masing molekul heme bergabung dengan satu
rantai globin yang dibuat pada poliribosom. Suatu tetramer yang terdiri dari
empat rantai globin masing-masing dengan gugus hemenya sendiri dalam
suatu ”kantung” kemudian dibentuk untuk menyusun suatu molekul
hemoglobin.
Struktur dan fungsi membran sel darah merah:
Seperti halnya sel-sel yang lain, eritrosit pun dibatasi oleh membran
plasma yang bersifat semi permeable dan berfungsi untuk mencegah agar
koloid yang dikandungnya tetap didalam
Zat-zat gizi esensial yang berhubungan dengan anemia.
Beberapa zat gizi diperlukan dalam pembentukan sel darah merah,
yang paling penting adalah zat besi, vitamin B12 dan asam folat; tetapi tubuh
juga memerlukan sejumlah kecil vitamin C, riboflavin dan tembaga serta
keseimbangan hormon, terutama eritropoietin (hormon yang merangsang
pembentukan sel darah merah). Tanpa zat gizi dan hormon tersebut,
pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak mencukupi, dan
selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut oksigen
sebagaimana mestinya.
a. Besi (Fe)
Besi merupakan salah satu elemen penting dalam metabolisme tubuh,
terutama dalam pembentukan sel darah merah (eritripoiesis). Selain itu
juga terlibat dalam berbagai proses di dalam sel (intraseluler) pada
semua jaringan tubuh. Mitokondria mengandung suatu system
pengangkutan electron dari susbstrat dalam sel ke mol O2 bersamaan
dengan pembentukan ATP. Dalam system ini turut serta sejumlah
komponen besi yang memindahkan atom. Kegagalan system ini dapat
terjadi bila pemasokan (suplai) O2 ke jaringan kurang dan
mengakibatkan produksi energi berkurang. Dalam proses pembentukan
energi ini terlibat enzim sitokrom.
Hemoglobin mempunyai berat molekul 64.500 terdiri dari 4 golongan
heme yang masing-masing mengikat 1 atom besi dan dihubungkan
dengan 4 rantai polipeptid dan dapat mengikat 4 mol oksigen.
Konfigurasi ini memungkinkan pertukaran gas yang sangat sempurna.
Besi juga terlibat dalam bermacam-macam tingkatan proses metabolic
seperti reaksi hidrolisasi yang berhubungan dengan detoksifikasi obat,
sintesis steroid, DNA, metabolisme katekolamin dan pembentukan
kolagen. Bila sel mengambil besi lebih dari yang diperlukan untuk
kebutuhan metabolisme khusus maka keleebihan ini akan merangsang
sintesis feritiin dan sejumlah kecil disimpan dalam sel. Komponen besi
yang disimpan dalam feritin dan hemosiderin terutama ditemukan
dalam system retikuloendotelial (RES) ;hati, limpa dan sum-sum
tulang, tapi juga ditemukan dalam sel parenkim. Inilah sebabnya
mengapa besi di dalam serum meningkat pada penyakit hepatitis.
Jumlah besi di dalam tubuh seorang normal berkisar antara 3-5 g
tergantung dari jenis kelamin, berat badan dan hemoglobin. Besi di
dalam tubuh terdapat dalam hemoglobin sebanyak 1,5-3,0 g dan sisa
lainnya terdapat dalam plasma dan jaringan. Di dalam plasma besi
terikat dengan protein yang disebut transferin sebanyak 3-4 g.
Sedangkan dalam jaringan berada dalam suatu status esensial (non-
available) dan bukan esensial (available). Disebut esensial karena tidak
dapat dipakai untuk pembentukan hemoglobin maupun keperluan
lainnya. Dalam mioglobin terdapat enzim sitokrom, katalase, dan
peroksidase dalam jumlah lebih kurang 0,3 g sedangkan yang esensial
ditemukan dalam bentuk feritin dan hemosiderin siap untuk dipakai
baik untuk pembentukan sel darah merah maupun keperluan lainnya
dalm sel retikuloendotelial hati dan sumsum tulang.
Besi diabsorbsi terutama di dalam duodenum dalam bentuk fero dan
dalam suasana asam. Absorbsi besi ini dipengaruhi oleh factor
endogen, eksogen dan usus sendiri. Faktor endogen mengatur jumlah
besi yang akan diabsorbsi dan tergantung dari jumlah cadangan besi di
dalam tubuh, aktivitas eritopoiesis dan kadar Hb. Bila cadangan besi
berkurang atau aktivitas eritropoiesis meningkat, atau kadar Hb rendah,
maka jumlah besi yang diabsorbsi akan meningkat dan sebaliknya bila
cadangan besi cukup, aktivitas eritropoiesis kurang atau Hb normal
akan mengurangi absorbsi besi.
Faktor eksogen ditentukan oleh komposisi, sumber, sifat kimia dan cara
proses makanan. Sumber hwani lebih mudah diabsorbsi daripada
sumber nabati dan vit C mempermudah absorbsi karena mereduksi besi
dari bentuk feri menjadi bentuk fero yang lebih mudah diabsorbsi.
Sebaliknya kasium, fosfor, dan asam fitat menghambat absorbsi karena
dengan besi membentuk suatu persenyawaan yang tidak larut. Faktor
usus juga berpengaruh karena asam klorida lambung mempermudah
absorbsi untuk melepaskan besi dari kompleks feri sedang secret
pancreas menghambat absorbsi besi. Pada pankreatitis dan sirosis
hepatic, absorbsi besi bertambah karena sekresi pankreas berkurang.
Jumlah besi yang dibutuhkan setiap hari tergantung dari umur, jenis
kelamin dan berat badan. Laki-laki dewasa normal memerlukan 1-2 mg
besi setiap hari, sedangkan anak dalam masa pertumbuhan dan wanita
dalam masa menstruasi perlu penambahan 0,5-1 mg dari kebutuhan
normal lelaki dewasa. Wanita hamil dan yang menyusui memerlukan
rata-rata 3-4 mg besi setiap hari. Berbeda dengan mineral lainnya,
tubuh tidak dapat mengatur keseimbangan besi melalui ekskresi. Besi
dikeluarkan dari tubuh relative konstan berkisar antara 0,5-1,0 mg
setiap hari melalui rambut, kuku, keringat, air kemih, dan terbanyak
melalui deskuamasi sel epitel saluran pencernaan. Lain halnya dengan
wanita yang sedang meenstruasi setiap hari kehilangan besi 0,5-1,0 mg
atau 40-80 ml darah dan wanita yang sedang menyusui sebanyak 1,0
mg sehari. Wanita yang melahirkan dengan perdarahan normal akan
kehilangan besi 500-550mg.
b. Vitamin B12
Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur cincin yang kompleks
(cincin corrin) dan serupa dengan cincin porfirin, yang pada cincin ini
ditambahkan ion kobalt di bagian tengahnya. Vitamin B12 disintesis
secara eksklusif oleh mikroorganisme. Dengan demikian, vitamin B12
tidak terdapat dalam tanaman kecuali bila tanaman tersebut
terkontaminasi vitamin B12 tetapi tersimpan pada binatang di dalam
hati temapat vitamin B12 ditemukan dalam bentuk metilkobalamin,
adenosilkobalamin, dan hidroksikobalamin.
Absorbsi intestinal vitamin B12 terjadi dengan perantaraan tempat-
tempat reseptor dalam ileum yang memerlukan pengikatan vitamin
B12, suatu glikoprotein yang sangat spesifik yaitu faktor intrinsik yang
disekresi sel-sel parietal pada mukosa lambung. Setelah diserap
vitamin B12 terikat dengan protein plasma, transkobalamin II untuk
pengangkutan ke dalam jaringan. Vitamin B12 disimpan dalam hati
terikat dengan transkobalamin I.
Koenzim vitamin B12 yang aktif adalah metilkobalamin dan
deoksiadenosilkobalamin. Metilkobalamin merupakan koenzim dalam
konversi Homosistein menjadi metionin dan juga konversi Metil
tetrahidro folat menjadi tetrafidrofolat. Deoksiadenosilkobalamin
adalah koenzim untuk konversi metilmalonil Ko A menjadi suksinil
Ko A.
Kekurangan atau defisiensi vitamin B12 menyebabkan anemia
megaloblastik. Karena defisiensi vitamin B12 akan mengganggu
reaksi metionin sintase . anemia terjadi akibat terganggunya sintesis
DNA yang mempengaruhi pembentukan nukleus pada ertrosit yang
baru . Keadaan ini disebabkan oleh gangguan sintesis purin dan
pirimidin yang terjadi akibat defisiensi tetrahidrofolat. Homosistinuria
dan metilmalonat asiduria juga terjadi .Kelainan neurologik yang
berhubungan dengan defisiensi vitamin B12 dapat terjadi sekunder
akibat defisiensi relatif metionin.
c. Asam folat
Nama generiknya adalah folasin . Asam folat ini terdiri dari basa
pteridin yang terikat dengan satu molekul masing-masing asam P-
aminobenzoat acid (PABA ) dan asam glutamat. Tetrahidrofolat
merupakan bentuk asam folat yang aktif. Makanan yang mengandung
asam folat akan dipecah oleh enzim-enzim usus spesifik menjadi
monoglutamil folat agar bisa diabsorbsi . kemudian oleh adanya enzim
folat reduktase sebagian besar derivat folat akan direduksi menjadi
tetrahidrofolat dala sel intestinal yang menggunakan NADPH sebagai
donor ekuivalen pereduksi.
Tetrahidrofolat ini merupakan pembawa unit-unit satu karbon yang
aktif dalam berbagai reaksi oksidasi yaitu metil, metilen, metenil,
formil dan formimino.Semuanya bisa dikonversikan.
Serin merupakan sumber utama unit satu karbon dalam bentuk gugus
metilen yang secara reversible beralih kepada tetrahidrofolat hingga
terbentuk glisin dan N5, N10–metilen–H4folat yang mempunyai
peranan sentral dalam metabolisme unit satu karbon. Senyawa di atas
dapat direduksi menjadi N5–metil–H4folat yang memiliki peranan
penting dalam metilasi homosistein menjadi metionin dengan
melibatkan metilkobalamin sebagai kofaktor. Defisiensi atau
kekurangan asam folat dapat menyebabkan anemia megaloblastik
karena terganggunya sintesis DNA dan pembentukan eritrosit.
4. Patomekanisme gejala
Terjadi peningkatan osteoklas dalam tubuh sehingga meneyebabkan
proliferasi sel sel plasma yang berlebih. Hal ini menyebabkan terjadi gangguan
hematopoeisis sehingga produksi eritrosit menurun. Pasokan oksigen kejaring
(otot dan otak) menurun sehingga menyebabkan pasien merasa lemah, pucat dan
pusing.
Terjadi peningkatan osteoklas dalam tubuh sehingga meneyebabkan proliferasi
sel sel plasma yang berlebih. Sel plasma yang berlebih ini akhirnya mengaktifkan
osteoklas activating factor yang mengakibatkan terjadi destruksi tulang sehingga
pasien merasa nyeri pada tulang belakang dan paha .
Kelainan dari pada sumsum tulang menyebabkan terjadi neutropeni sehingga
pasien mudah mengalami infeksi dan terjadi demam
Terjadi peningkatan osteoklas dalam tubuh sehingga meneyebabkan proliferasi
sel sel plasma yang berlebih. Hal ini menyebabkan terjadi gangguan
hematopoeisis sehingga produksi eritrosit menurun. Pasokan oksigen kejaring
(otot dan otak) menurun, terjadilah proses kompensasi dari dalam tubuh berupa
peningkatan cardiac output yang menyebabkan jantung pasien berdebar-debar
(palpitasi)
Terjadi penurunan kadar protein dalam darah menyebabakan gangguan
permeabilitas lalu terjadi ekstravasasi cairan dan cairan terperangkap di dalam
ruang intertisiel sehingga terjadi bengkak.
5. Mengapa obat anti nyeri yang dikonsumsi tidak memberikan perubahan?
Hal ini didasarkan pada mekanisme kerja obat anti nyeri (analgetik) yaitu
menghambat kerja Asetilkolin, yaitu senyawa yang mencetus timbulnya rasa
nyeri, mengakibatkan penghambatan pada saraf pusat dan saraf tepi. Namun obat
analgetik hanya menghentikan rasa nyeri tidak menghentikan penyebab nyeri
yang mengakibatkan nyeri timbul kembali dan pasien mengeluh tidak ada
perubahan.
6. Langkah-langkah diagnosis :
1. Anamnesis
Seperti anamnesis pada umumnya, anamnesis pada kasus-kasus hematology
ditujukan untuk mengeksplorasi:
a. Riwayat penyakit sekarang
b. Riwayat penyakit terdahulu
c. Riwayat gizi
d. Anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia dan fisik serta
riwayat pemakaian obat.
e. Riwayat keluarga
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematik dan menyeluruh.
Perhatian khusus diberikan pada berikut:
a. Warna kulit: pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning
seperti jerami.
b. Purpura: petechi dan echymosis
c. Kuku: koilonychia (kuku sendok)
d. Mata: ikterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus
e. Mulut: ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis dan
stomatitis angularis.
f. Limfadenopati
g. Hepatomegali
h. Splenomegali
i. Nyeri tulang dan nyeri sternum
j. Hemarthrosis atau ankilosis sendi
k. Pembengkakan testis
l. Pembengkakan parotis
m. Kelainan sistem saraf.
3. Pemeriksaan Hematologik
Pemeriksaan hematologik dilakukan secara bertahap. Pemeriksaan
berikutnya dilakukan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan terdahulu sehingga
lebih terarah dan efisien. Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan meliputi :
a. Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal pada setiap kasus anemia.
Dengan pemeriksaan ini maka dapat dipastikan adanya anemi dan bentuk
morfologi anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi :
i. Kadar hemoglobin
ii. Indeks eritrosit (MCV, MCH dan MCHC). Dengan perkembangan
electronic counting dibidang hematologi maka hasil Hb, WBC (darah
putih) dan Plt (trombosit) serta indeks eritrosit dapat dikeahui sekaligus.
Dengan pemeriksaan yang baru ini maka juga diketahui RDW ( red cell
distribution width) yang menunjukkan tingkat anisositosis sel darah
merah.
iii. Apusan darah tepi.
b. Pemeriksaan rutin: pemeriksaan ini juga dikerjakan pada semua kasus anemia,
untuk mengetahui kelainan pada system leukosit dan trombosit. Pemeriksaan
yang harus dikerjakan adalah:
i. Laju endap darah;
ii. Hitung diferensial;
iii. Hitung retikulosit.
c. Pemeriksaan sumsum tulang; pemeriksaan ini harus dikerjakan pada sebagian
besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitive meskipun ada
beberapa kasus yang diagnosisny tidak perlu memelukan pemeriksaan sumsum
tulang.
d. Pemeriksaan atas indikasi khusus: pemeriksaan ini baru dikerjakan jika kita
telah mempunyai dugaan diagnosis awal sehingga fungsinya adalah untuk
mengkonfirmasi dugaan diagnosis tersebut. Pemeriksaan tersebut antara lain:
i. Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC, saturasi transferrin, dan ferritin
serum:
ii. Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12.
iii. Anemia hemolitik: hitug retikulosit, tes Coombs, elektroforesis Hb;
iv. Anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia.
4. Pemeriksaan laboratorium nonhematologik: pemeriksaan-pemeriksaan yang perlu
dikerjakan antara lain:
a. faal ginjal
b. faal endokrin
c. asam urat
d. faal hati
e. biakan kuman
f. dan lain-lain
Berbagai jenis anemia dapat disebabkan oleh penyakit sitemik, seperti gagal
ginjal kronik, penyakit hati kronik, dan hipotiroidisme. Ada juga kasus anemia yang
disebabkan oleh penyakit dasar yang disertai hiperurisemia, seperti myeloma
multiple. Pada kasus anemia yang disertai sepsis, seperti pada anemia aplastic
diperlukan kultur darah.
5. Pemeriksaan Penunjang lain
Pada beberapa kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang seperti:
a. Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
b. Radiologi: torak, bone survey, USG, scanning, limfangiografi
c. Pemeriksaan sitogenetik
d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR = polymerase chain reaction, FISH =
fluorescence in situ hybridization, dan lain-lain)
Strategi Diagnosis Kasus Anemia
Untuk menegakkan diagnosis anemia harusditempuh 3 langkah, yaitu:
1. Langkah pertama: membuktikan adanya anemia
2. Langkah kedua: menetapkan jenis anemia yang dijumpai
3. Langkah ketiga: menentukan penyebab anemia tersebut.
Untuk dapat melaksanakan ketiga langkah tersebut dilakukan.
1. Pendekatan klinik;
2. Pendekatan laboratorik;
3. Pendekatan epidemiologic.
Pendekatan klinik bergantung pada anmnesia dan pemeriksaan fisik yang baik
untuk dapat mencari adanya sindroma anemia, tanda-tanda khsa masing-masing
anemia, srta gejala penyakit dasar. Sementara itu, pendekatan laboratorik dilakukan
dengan menganalisis hasil pemeriksaan laboratorium menurut tahapan-tahapannya:
pemeriksaan penyaring, pemeriksaan rutin dan pemeriksaan khusus. Pendekatan
epidemiologic sangat penting dalam tahap penentuan etiologi. Dengan mengetahui
pola etiologi anemia di suatu daerah maka petunjuk menuju diagnosis etiologic lebih
mudah dikerjakan.
7. Differential diagnostik :
ANEMIA APLASTIK
Definisi
Anemia aplastik adalah anemia yang disertai oleh pansitopenia (atau
basitopenia) pada darah tepi yang disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum
tulang dalam bentuk aplasia atau hipoplasia tanpa adanya infiltrasi, supresi atau
pendesakan sumsum tulang. Karena sumsum tulang pada sebagian besar kasus
bersifat hipoplastik, bukan aplastik total, maka anemia ini disebut juga anemia
hipoplastik.
Klasifikasi
Anemia aplastik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Anemia aplastik didapat (acquired aplastic anemia)
1. Karena bahan kimia atau fisik
- Bahan-bahan yang “dose dependent”
- Bahan-bahan yang “dose independent”
2. Anemia aplastik/hipoplastik karena sebab-sebab lain : infeksi virus
(dengue, hepatitis), infeksi mikrobakterial, kehamilan, penyakit Simmond,
sklerosis tiroid.
3. Idiopatik
b. Familial antara lain :
- Pansitopenia konstitusional Fanconi
- Defisiensi pancreas pada anak
- Gangguan herediter pemasukan asam folat dalam sel
Epidemiologi
Anemia aplastik tergolong penyakit yang jarang dengan insiden di Negara
maju : 3-6 kasus/1 juta penduduk/tahun. Epidemiologi anemia aplastik di timur
jauh mempunyai pola yang berbeda dengan di Negara barat.
a. Di Negara Timur (Asia Tenggara dan Cina) insidensinya 2-3 kali lebih
tinggi dibandingkan dengan di Negara barat
b. Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan dengan wanita
c. Faktor lingkungan, mungkin infeksi virus, antara lain virus hepatitis,
diduga memegang peranan penting
Etiologi
Penyebab anemia aplastik sebagian besar (50-70%) tidak di ketahui, atau
bersifat idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan
oleh proses penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Disamping itu juga
disebabkan oleh belum tersedianya model binatang percobaan yang tepat.
Sebagian besar penelususran etiologi dilakukan melalui penelitian epidemiologik.
Penyebab anemia aplastik adalah :
1. Primer
Kelainan congenital :
- Fanconi
- nonFanconi
- dyskeratosis congenital
2. Sekunder
a. Akibat radiasi, bahan kimia atau obat
b. Akibat obat-obat idiosinkratik
c. Karena penyebab lain :
- Infeksi virus : hepatitis virus/virus lain
- Akibat kehamilan
Bahan kimia atau obat penyebab anemia aplastik
1. Bahan kimia
a. Hidrokarbon siklik : benzene dan trinitrotoluene
b. Insektisida : chlordane atau DDT
c. Arsen organic
2. Obat-obatan
a. Obat-obat yang “dose dependent”
- Obat sitostatika
- Preparat emas
b. Obat yang “dose independent” (idiosinkratik):
1) Khloramfenikol : 1/60.000-1/20.000 pemakaian
2) Frekuensi relative obat penyebab anemia aplastik terdiri atas :
- Khloramfenikol (61%)
- Fenilbutason (19%)
- Antikonvulsan (4%)
- Sulfonamide (3%)
- Preparat emas (3%)
- Benzene (3%)
- Insektisida (4%)
- Bahan pelarut (4%)
Patofisiologi
Mekanisme terjadinya anemia aplastik diperkirakan melalui :
a. Kerusakan sel induk (seed theory)
b. Kerusakan lingkungan mikro (soil theory)
c. Mekanisme imunologik
Kerusakan induk dapat dibuktikan secara tida langsung melalui
keberhasilan trasplantasi sumsum tulang pada penderita anema aplastik, yang
berarti bahwa penggantian sel induk dapat memperbaiki proses patologik yang
terjadi. Teori kerusakan lingkungan mikro dibuktikan melalui tikus percobaan
yang diberikan radiasi, sedangkan teori imunologik ini dibuktikan secara tidak
langsung melalui keberhasilan pengobatan imunosupresif. Kelainan imunologik
diperkirakan menjadi penyebab dasar dari kerusakan sel induk atau lingkungan
mikro sumsum tulang.
Gejala Klinik
Gejala klinik anemia aplastik timbul akibat adanya anemia, leukopeia dan
trombositopenia. Gejala ini dapat berupa:
a. Sindrom anemia : gejala anemia bervariasi mulai dari ringan sampai berat
b. Gejala perdarahan : paling sering timbul dalam bentuk perdarahan kulit
petechie dan echymosis. Perdarahan mukosa dapat berupa epistaxis,
perdarahan subkonjungtiva, perdarahan gusi hematemesis/melena dan
pada wanita dapat berupa menorhagia. Perdarahan organ dalam lebih
jarang dijumpai, tetapi jika terjadi perdarahan otak sering bersifat fatal.
Tergolong anemia aplastik sangat berat bila netrofil <0,2x109/L. Anemia
aplastik yang lebih ringan dari anemia aplastik berat disebut anemia
apastik tidak berat (nonsevere aplastic anemia).
Terapi
Secara garis besarnya terapi untuk anemia aplastik terdiri atas :
a. Terapi kausal
b. Terapi supertif
c. Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang : terapi untuk
merangsang pertumbuhan sumsum tulang
d. Terapi definitif yang terdiri atas :
- Pemakaian anti-lymphocyte globuline
- Transplantasi sumsum tulang
Prognosis dan perjalanan penyakit
Prognosis dan perjalanan penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi
tanpa pengobatan pada umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis dapat
dibagi tiga, yaitu :
a. Kasus berat dan progresif, rata-rata mati dalam 3 bulan : merupakan 10-
15% kasus
b. Penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan relapse.
Meninggal dalam 1 tahun, merupakan 50% kasus
c. Penderita yang mengalami remisi sempurn atau parsial, hanya merupakan
bagian kecil penderita
MULTIPEL MYELOMA
Definisi
Multipel mieloma adalah suatu kanker sel plasma dimana sel plasma imatur
dan matur yang abnormal berkembangbiak, membentuk tumor di sumsum tulang dan
menghasilkan sejumlah besar antibodi yang abnormal, yang terkumpul di dalam
darah atau air kemih.
Etiologi
Belum diketahui penyebab pasti dari multiple myeloma. Ada beberapa
penelitian yang menunjukan bahwa faktor-faktor risiko tertentu meningkatkan
kesempatan seseorang akan mengembangkan penyakit multiple myeloma,
diantaranya :
Umur diatas 65 tahun : Tumbuh menjadi lebih tua meningkatkan kesempatan
mengembangkan multiple myeloma. Kebanyakan orang-orang dengan myeloma
terdiagnosa setelah umur 65 tahun. Penyakit ini jarang pada orang-orang yang lebih
muda dari umur 35 tahun.
Ras (Bangsa) : Risiko dari multiple myeloma adalah paling tinggi diantara orang-
orang Amerika keturunan Afrika dan paling rendah diantara orang-orang Amerika
keturunan Asia. Sebab untuk perbedaan antara kelompok-kelompok ras belum
diketahui.
Jenis Kelamin : Setiap tahun di Amerika, kira-kira 11.200 pria dan 8.700 wanita
terdiagnosa dengan multiple myeloma. Tidak diketahui mengapa lebih banyak pria-
pria terdiagnosa dengan penyakit ini.
Sejarah perorangan dari monoclonal gammopathy of undetermined significance
(MGUS) : MGUS adalah kondisi yang tidak membahayakan dimana sel-sel plasma
abnormal membuat protein-protein M. Biasanya, tidak ada gejala-gejala, dan tingkat
yang abnormal dari protein M ditemukan dengan tes darah. Adakalanya, orang-orang
dengan MGUS mengembangkan kanker-kanker tertentu, seperti multiple myeloma.
Tidak ada perawatan, namun orang-orang dengan MGUS memperoleh tes-tes laborat
regular (setiap 1 atau 2 tahun) untuk memeriksa peningkatan lebih lanjut pada tingkat
protein M.
Sejarah multiple myeloma keluarga : Studi-studi telah menemukan bahwa risiko
multiple myeloma seseorang mungkin lebih tinggi jika saudara dekatnya mempunyai
penyakit ini.
Banyak faktor-faktor risiko lain yang dicurigai sedang dipelajari. Para peneliti
telah mempelajari apakah terpapar pada kimia-kimia atau kuman-kuman tertentu
(terutama virus-virus), yang mempunyai perubahan-perubahan pada gen-gen tertentu,
memakan makanan-makanan tertentu, atau menjadi kegemukan (obesitas)
meningkatkan risiko mengembangkan multiple myeloma.
Patofisiologi
Limfosit B mulai di sumsum tulang dan pindah ke kelenjar getah bening. Saat
limfosit B dewasa dan menampilkan protein yang berbeda pada permukaan sel.
Ketika limfosit B diaktifkan untuk mengeluarkan antibodi, dikenal sebagai sel
plasma.
Multiple myeloma berkembang di limfosit B setelah meninggalkan bagian
dari kelenjar getah bening yang dikenal sebagai pusat germinal. Garis sel normal
paling erat hubungannya dengan sel Multipel mieloma umumnya dianggap baik
sebagai sel memori diaktifkan B atau para pendahulu untuk sel plasma, plasmablast
tersebut.
Sistim kekebalan menjaga proliferasi sel B dan sekresi antibodi di bawah
kontrol ketat. Ketika kromosom dan gen yang rusak, seringkali melalui penataan
ulang, kontrol ini hilang. Seringkali, bergerak gen promotor (atau translocates) untuk
kromosom yang merangsang gen antibodi terhadap overproduksi.
Sebuah translokasi kromosom antara gen imunoglobulin rantai berat (pada
kromosom keempat belas, 14q32 lokus) dan suatu onkogen (sering 11q13, 4p16.3,
6p21, 16q23 dan 20q11) sering diamati pada pasien dengan multiple myeloma. Hal
ini menyebabkan mutasi diregulasi dari onkogen yang dianggap peristiwa awal yang
penting dalam patogenesis myeloma. Hasilnya adalah proliferasi klon sel plasma dan
ketidakstabilan genomik yang mengarah ke mutasi lebih lanjut dan translokasi. 14
kelainan kromosom yang diamati pada sekitar 50% dari semua kasus myeloma.
Penghapusan (bagian dari) ketiga belas kromosom juga diamati pada sekitar 50%
kasus. Produksi sitokin (terutama IL-6) oleh sel plasma menyebabkan banyak
kerusakan lokal mereka, seperti osteoporosis, dan menciptakan lingkungan mikro di
mana sel-sel ganas berkembang. Angiogenesis (daya tarik pembuluh darah baru)
meningkat. Antibodi yang dihasilkan disimpan dalam berbagai organ, yang
menyebabkan gagal ginjal, polineuropati dan berbagai gejala myeloma terkait
lainnya.
Manifestasi Klinis
Multipel mieloma seringkali menyebabkan nyeri tulang (terutama pada tulang
belakang atau tulang rusuk) dan pengeroposan tulang sehingga tulang mudah patah.
Nyeri tulang biasanya merupakan gejala awal, tetapi kadang penyakit ini terdiagnosis
setelah penderita mengalami :
1. Anemia, karena sel plasma menggeser sel-sel normal yang menghasilkan sel
darah merah di sumsum tulang.
2. Infeksi bakteri berulang, karena antibodi yang abnormal tidak efektif melawan
infeksi.
3. Gagal ginjal, karena pecahan antibodi yang abnormal (protein Bence-Jones)
merusak ginjal.
Terkadang multipel mieloma mempengaruhi aliran darah ke kulit, jari tangan,
jari kaki dan hidung karena terjadi pengentalan darah (sindroma hiperviskositas).
Berkurangnya aliran darah ke otak bisa menyebabkan gejala neurologis berupa
kebingungan, gangguan penglihatan dan sakit kepala.
Diagnosis
Beberapa pemeriksaan darah bisa membantu dalam mendiagnosis penyakit ini:
1. Hitung jenis darah komplit, bisa menemukan adanya anmeia dan sel darah
merah yang abnormal.
2. Laju endap sel darah merah (eritrosit) biasanya tinggi.
3. Kadar kalsium tinggi, karena perubahan dalam tulang menyebabkan kalsium
masuk ke dalam aliran darah.
Tetapi kunci dari pemeriksaan diagnostik untuk penyakit ini adalah
elektroforesis protein serum dan imunoelektroforesis, yang merupakan pemeriksaan
darah untuk menemukan dan menentukan antibodi abnormal yang merupakan tanda
khas dari mieloma multipel. Antibodi ini ditemukan pada sekitar 85% penderita.
Elektroforesisi air kemih dan imunoelektroforesis juga bisa menemukan adanya
protein Bence-Jones, pada sekitar 30-40% penderita. Rontgen seringkali
menunjukkan pengeroposan tulang (osteoporosis). Biopsi sumsum tulang
menunjukkan sejumlah besar sel plasma yang secara abnormal tersusun dalam
barisan dan gerombolan, sel-sel juga tampak abnormal.
Pengobatan
Pengobatan ditujukan untuk :
1. Mencegah atau mengurangi gejala dan komplikasi
2. Menghancurkan sel plasma yang abnormal
3. Memperlambat perkembangan penyakit.
Penatalaksanaan
1. Obat pereda nyeri (analgetik) yang kuat dan terapi penyinaran pada tulang
yang terkena, bisa mengurangi nyeri tulang.
2. Penderita yang memiliki protein Bence-Jones di dalam air kemihnya harus bayak
minum untuk mengencerkan air kemih dan membantu mencegah dehidrasi, yang
bisa menyebabkan terjadinya gagal ginjal.
3. Penderita harus tetap aktif karena tirah baring yang berkepanjangan bisa
mempercepat terjadinya osteoporosis dan menyebabkan tulang mudah patah.
Tetapi tidak boleh lari atau mengangkat beban berat karena tulang-tulangnya
rapuh.
4. Pada penderita yang memiliki tanda-tanda infeksi (demam, menggigil,
daerah kemerahan di kulit) diberikan antibiotik.
5. Penderita dengan anemia berat bisa menjalani transfusi darah atau mendapatkan
eritropoetin (obat untuk merangsang pembentukan sel darah merah). Kadar
kalsium darah yang tinggi bisa diobati dengan prednison dan cairan intravena, dan
kadang dengan difosfonat (obat untuk menurunkan kadar kalsium). Allopurinol
diberikan kepada penderita yang memiliki kadar asam urat tinggi.
6. Kemoterapi memperlambat perkembangan penyakit dengan membunuh sel
plasma yang abnormal. Yang paling sering digunakan adalah melfalan dan
siklofosfamid. Kemoterapi juga membunuh sel yang normal, karena itu sel darah
dipantau dan dosisnya disesuaikan jika jumlah sel darah putih dan trombosit
terlalu banyak berkurang. Kortikosteroid (misalnya prednison atau deksametason)
juga diberikan sebagai bagian dari kemoterapi.
7. Kemoterapi dosis tinggi dikombinasikan dengan terapi penyinaran masih dalam
penelitian. Pengobatan kombinasi ini sangat beracun, sehingga sebelum
pengobatan sel stem harus diangkat dari darah atau sumsum tulang penderita dan
dikembalikan lagi setelah pengobatan selesai. Biasanya prosedur ini dilakukan
pada penderita yang berusia dibawah 50 tahun. Pada 60% penderita, pengobatan
dapat memperlambat perkembangan penyakit. Penderita yang memberikan respon
terhadap kemoterapi bisa bertahan sampai 2-3 tahun setelah penyakitnya
terdiagnosis. Kadang penderita yang bertahan setelah menjalani pengobatan, bisa
menderita leukemia atau jaringan fibrosa (jaringan parut) di sumsum tulang.
Komplikasi lanjut ini mungkin merupakan akibat dari kemoterapi dan seringkali
menyebabkan anemia berat dan meningkatkan kepekaan penderita terhadap
infeksi.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 70% kasus. Jumlah
leukosit umumnya normal. Trombositopenia ditemukan pada sekitar 15% pasien yang
terdiagnosis. Adanya sel plasma pada apusan darah tepi jarang mencapai 5%, kecuali
pada pasien dengan leukemia sel plasma. Formasi Rouleaux ditemukan pada 60%
pasien. Hiperkalsemiadite mukan pada 30% pasien saat didiagnosis. Sekitar
seperempat hingga setengah yang didiagnosis akan mengalami gangguan fungsi
ginjal dan 80% pasien menunjukkan proteinuria, sekitar 50% proteinuria Bence Jones
yang dikonfirmasi dengan imunoelektroforesis atau imunofiksasi.
Radiologi
1. Foto Polos X-Ray
Gambaran foto x-ray dari multipel mieloma berupa lesi multipel, berbatas
tegas, litik, punch out, dan bulat pada tengkorak, tulang belakang, dan pelvis. Lesi
terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal di rongga
medulla , mengikis tulang cancellous, dan secara progresif menghancurkan tulang
kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien mieloma, dengan sedikit
pengecualian, mengalami demineralisasi difus. Pada beberapa pasien, ditemukan
gambaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi. Saat timbul gejala sekitar 80-
90% di antaranya telah mengalami kelainan tulang. Film polos memperlihatkan:
Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang, terutama
tulang belakang yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada jaringan mieloma.
Hilangnya densitas tulang belakang mungkin merupakan tanda radiologis satu-
satunya pada mieloma multiple. Fraktur patologis sering dijumpai.
1. Fraktur kompresi pada badan vertebra, tidak dapat dibedakan dengan
osteoprosis senilis.
2. Lesi-lesi litik “punch out” yang menyebar dengan batas yang jelas, lesi yang
berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.
3. Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks , menghasilkan massa
jaringan lunak.
Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada suatu
penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna vertebra 66%, iga 44%,
tengkorak 41%, panggul 28%, femur 24%, klavicula 10% dan scapula 10%.
CT-Scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada mieloma. Namun,
kegunaan modalitas ini belum banyak diteliti, dan umumnya CT Scan tidak
dibutuhkan lagi karena gambaran pada foto tulang konvensional menggambarkan
kebanyakan lesi yang CT scan dapat deteksi.
MRI
MRI potensial digunakan pada multiple mieloma karena modalitas ini baik
untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit mieloma
berupa suatu intensitas bulat, sinyal rendah yang fokus di gambaran T1, yang menjadi
intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2.
Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola
menyerupai mieloma. MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun tidak
spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple mieloma seperti
pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk
menilai plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna
untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi tulang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof.Dr. I Made Bakta. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
2. Robbins,dkk. 2012. Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
3. Hoffbrand,dkk. 2002. Leukimia dalam: Buku Hematologi Edisi 4. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
4. Kurnianda J, dkk. 2007. Hematologi dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
2 Edisi 4. Jakarta: FK UI
Recommended