View
248
Download
9
Category
Preview:
Citation preview
LAPORAN TAHUNAN 2015
Deteksi Dini Hipertensi Untuk Pencegahan Stroke
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
BADAN LITBANG KESEHATAN
PUSAT TEKNOLOGI TERAPAN KESEHATAN DAN EPIDEMIOLOGI
KLINIK
2015
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Pageii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga Buku Laporan Tahunan Pusat Teknologi Terapan
Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (Pusat TTK EK)Tahun 2015 ini terselesaikan.
Buku Laporan Tahunan ini merupakan salah satu evaluasi setiap tahun dari
pelaksanaan kegiatan yang memuat gambaran ringkas tentang kinerja Pusat TTK EK dengan
menggunakan pendekatan sistem, yakni meliputi masukan (input), proses, keluaran (output),
outcome dan impact. Outputdiukur dengan capaian indikator kinerja kegiatan. Sedangkan
outcome dan impact hasil penelitian dan pengembangan tidak dapat diukur di tingkat
masyarakat, karena penelitian dan pengembangan adalah kegiatan penunjang program, maka
parameternya adalah seberapa jauh hasil penelitian dan pengembangan dapat dipakai oleh
penentu kebijakan atau pemegang program untuk perbaikan kebijakan maupun perbaikan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Terbitnya Buku Laporan ini diharapkan akan bermanfaat dan dapat memberikan
informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Informasi yang terdapat pada Buku
Laporan Tahunan ini diharapkan dapat dipakai sebagai alat untuk mawas diri sekaligus
masukan untuk perbaikan perencanaan tahun berikutnya.
Kepada Tim Penyusun yang telah menyelesaikan buku ini kami sampaikan
penghargaan yang sebesar-besarnya.Kami menyadari masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, untuk itu saran dan usulan yang membangun dan bermanfaat akan kami
terima.
Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan
Epidemiologi Klinik
(Dr. Siswanto MHP, DTM)
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Pageiii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..…………………………………………………………..…… i
DAFTAR ISI ……………………………………………………….……….……..… ii
DAFTAR TABEL ….……………………………………………………….……..… iii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….……..… iv
DAFTAR SINGKATAN ..………………………………………………...….…..… v
BAB I. ANALISA AWAL TAHUN ….……………………………..…………………
1
A. HAMBATAN TAHUN LALU ………………………….………………….. 1
B. KELEMBAGAAN ..........................................................………………. 2
C. SUMBER DAYA ………………………………………………………….. 4
BAB II. TUJUAN DAN SASARAN KERJA ……………………………………….
13
A. DASAR HUKUM ……………………………..…………………………. 13
B. TUJUAN, SASARAN DAN INDIKATOR ..……………………………… 14
BAB III. STRATEGI PELAKSANAAN …….………………………………………
17
A. STRATEGI PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN ……………… 17
B. HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN STRATEGI ….……………….. 17
C. TEROBOSAN YANG DILAKUKAN …………………………………… 18
BAB IV. HASIL KERJA …………………….………………………………………
19
A. PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN ……………………………… 19
B. PENCAPAIAN KINERJA …………………………..…………………….. 21
C. REALISASI ANGGARAN .................................................................... 34
D. PELAKSANAAN REFORMASI BIROKRASI ................................... 35
BAB V. PENUTUP ……………………………………………………………………
36
Lampiran:
Rekomendasi Kebijakan
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Pageiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. : Sarana dan Prasarana, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan
Epidemiologi Klinik Tahun 2015
Tabel 1.2. : Alokasi Anggaran Berdasarkan Belanja, Pusat Teknologi Terapan
Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Tahun 2015
Tabel 1.3. : Alokasi Anggaran Berdasarkan Output Pusat Teknologi Terapan
Kesehatan dan Epidemiologi Klinik,Tahun 2015
Tabel 2.1.
: Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Pusat Teknologi Terapan
Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2015
Tabel 4.1.
: Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Pusat Teknologi Terapan
Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2015
Tabel 4.2.
: Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan, Jumlah rekomendasi kebijakan, Pusat
Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Tahun 2015
Tabel 4.3.
: Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Jumlah Produk / Informasi/ Data di
bidang Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik Tahun 2015
Tabel 4.4.
: Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Publikasi ilmiah yang dimuat pada
media cetak dan elektronik nasional Pusat Teknologi Terapan Kesehatan
dan Epidemiologi Klinik
Tahun 2015
Tabel 4.5.
: Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Publikasi ilmiah yang dimuat pada
media cetak dan elektronik internasional Pusat Teknologi Terapan
Kesehatan dan Epidemiologi KlinikTahun 2015
Tabel 4.6.
: Kegiatan Panitia Pembina Ilmiah, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan
Epidemiologi Klinik, Tahun 2015
Tabel 4.7.
: Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan Belanja, Pusat Teknologi
Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Tahun 2015
Tabel 4.8.
: Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan IKK, Pusat Teknologi
Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Tahun 2015
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Pagev
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. : Struktur Organisasi Pusat TTK EK
Gambar 1.2. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenjang Jabatan
Gambar 1.3. :
Jumlah Pegawai Pegawai Berdasarkan Jenjang Jabatan Fungsional
Gambar 1.4. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenjang Fungsional Peneliti
Gambar 1.5. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Umur
Gambar 1.6. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin
Gambar 1.7. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Golongan
Gambar 1.8. :
Jumlah Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Gambar 4.1. :
Sertifikat Akreditasi Majalah Ilmiah
Gambar 4.2. :
Sertifikat Akreditasi Laboratorium Penguji
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Pagevi
DAFTAR SINGKATAN
ACKM : Analisis Cemaran Kimia Makanan
ACT : Artemisinin-based combination therapy
AIDS : Aqquaired Imunodefeciency Syndrom
AKE : Angka Kecukupan Energi
AKP : Angka Kecukupan Protein
AN : Artemisinin-naphthoquine
ARV : Anti Retroviral
BPJS : Badan Pengelola Jaminan Sosial
BS : Blok Sensus
BTA : Bakteri Tahan Asam
BUKR : Bina Upaya Kesehatan Rujukan
CAPD : Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
CT Scan : Computerized Tomography Scan
D1, D2, D3 : Diploma 1, Diploma 2, Diploma 3
DHP : Dihidroartemisinin piperaquine
DIPA : Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
DKI : Daerah Khusus Ibukot
DM : Diabetes melitus
DMF-T : Decay Missing Filled Teeth
DP : Dihydroartemisinin-piperaquine
EK : Epidemiologi Klinik
EK PM : Epidemiologi Klinik Penyakit Menular
EK PTM : Epidemiologi Klinik Penyakit Tidak Menular
ESRD : End Stage Renal Disesasses
Fasyankes : Fasilitas Pelayanan Kesehatan
HbA1C : Hemoglobine A1C
HD : Hemodialisis
HIV : Human Imunodeficiency Virus
IKK : Indikator Kinerja Kegiatan
ILSI : Institute Life Science International
INA : Indonesian
INA CBGs : Indonesian Case Based Groups
INA RESPOND : Indonesia Research Partnership on Infectious Disease
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Pagevii
IPKM : Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat
ISO : International for Standardization Organization
Jamkesmas : Jaminan Kesehatan Masyarakat
JKN : Jaminan Kesehatan Nasional
KDIGO : Kidney Disease Improving Global Outcome
KUA : Kantor Urusan Agama
KKU : Keuangan, Kepegawaian dan Umum
LDL : Low Density Lipoprotein
LFG : Laju Fitrasi Glomerulus
LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MRA : Mutual Recognition Arrangement
OR : Ods Ration
PBI : Penerima Bantuan Iuran
PCR : Polimerase Chain Reaction
Permenkes : Peranturan Menteri Kesehatan
Permensos : Peraturan Menteri Sosial
PERNEFRI : Perhimpunan Nefrologi Indonesia
PKM : Pusat Kesehatan Masyarakat
PKS : Program dan Kerjasama
PP : Peraturan Pemerintah
PPI : Panitia Pembina Ilmiah
PGK : Penyakit Ginjal Kronik
PPK 1 : Pemberi Pelayanan Kesahatan Tingkat 1
QoL : Quality of Life
Raker : Rapat Kerja
RPJMN : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
RS : Rumah Sakit
RSJ : Rumah Sakit Jiwa
RSU : Rumah Sakit Umum
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
RSUPN : Rumah Sakit Umum Pusat Nasional
SD : Sekolah Dasar
SDM : Sumber Daya Manusia
SEAICRN : South East Asia Infectious disease Clinical Research Network
SLTP : Sekolah Lanjutan Pertama
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Pageviii
SLTA : Sekolah Lanjutan Atas
SPPD : Surat Perintah Perjalanan Dinas
STR : Surat Tanda Registrasi
S1, S2, S3 : Strata 1, Strata 2, Strata 3
TB : Tuberkulosis
TK : Taman Kanan Kanan
TP2U : Tim Penilai Peneliti Unit
TTK : Teknologi Terapan Kesehatan
TTK FK : Teknologi Terapan Kesehatan Farmasi dan Kedokteran
TTK GM : Teknologi Terapan Kesehatan Gizi dan Makanan
TU : Tata Usaha
UGM : Universitas Gadjah Mada
UU : Undang Undang
UNILA : Universitas Lampung
WHO : World Health Organization
XDR TB : Extensively drug resistant tuberculosis
YANKESTRAD : Pelayanan Kesehatan Tradisional
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page1
BAB I
ANALISA SITUASI AWAL TAHUN 2015
A. HAMBATAN TAHUN 2014
Pencapaian pembangunan jangka menengah sektor kesehatan ditandai dengan
membaiknya beberapa indikator kesehatan, baik penyakit menular maupun tidak menular.
Namun demikian, kondisi sekarang berbagai penyakit menular, terutama penyakit infeksi
menjadi masalah bagi masyarakat Indonesia, dan menjadi ancaman bagi negara lain.
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (Pusat TTK EK), Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, harus ikut berperan dalam upaya perbaikan
indikator kesehatan dan upaya pemecahan masalah dan penanggulangan penyakit, melalui
penelitian dan pengembanganbidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik.
Selama pelaksanaan Tahun 2015, terdapat beberapa hal yang menghambat dalam
pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan bidang teknologi terapan kesehatan dan
epidemiologi klinik, yakni:
1. belum adanya rumah sakit penelitian dan laboratorium penunjang,
2. terbaginya kantor Jakarta Bogor menyebabkan terhambatnya rentang kendali
bidang manajemen dan administrasi,
3. masih rendahnya kemampuan untuk melaksanakan penelitian klinik,
4. masih sedikitnya peneliti yang berlatar belakang klinisis.
5. Masih kurangnya kemampuan untuk menyusun rekomendasi kebijakan, serta,
kurangnya waktu dikarenakan pengusul juga terlibat untuk kegiatan lain,
6. kendala teknis operasional, perlunya etik dilokasi penelitian, belum adanya
persiapan lapangan yang lebih intens sehingga ada beberapa kegiatan dan
komponen pembiayaan yang perlu penyesuaian, kekhawatiran ketidakcukupan
jumlah sampel.
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page2
B. KELEMBAGAAN
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/VII/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Pusat TTK EK mempunyai tugas
mengelola, melaksanakan penelitian dan pengembangan kesehatan, serta menapis teknologi
di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik.
Dalam melaksanakan tugas dimaksud, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan
Epidemiologi Klinik menyelenggarakan fungsi :
1. penyiapan penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program penelitian dan
pengembangan kesehatan di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi
klinik;
2. pelaksanaan penelitian dan pengembangan kesehatan di bidang teknologi terapan
kesehatan dan epidemiologi klinik;
3. pelaksanaan pembinaan, koordinasi, dan fasilitasi teknis pelaksanaan penelitian dan
pengembangan kesehatan bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi
klinik;
4. pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan penelitian dan pengembangan di
bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik; dan
5. pelaksanaan tata usaha dan rumah tangga Pusat
Penjabaran dari tugas dan fungsi tersebut, maka dalam susunan organisasi Pusat TTK
EK yang terdiri dari:
1. Bagian Tata Usaha (Bagian TU)
2. Bidang Teknologi Terapan Kesehatan (Bidang TTK)
3. Bidang Epidemiologi Klinik (Bidang EK)
4. Sub Bagian Program dan Kerjasama (Sub-bagian PKS)
5. Sub Bagian Keuangan, Kepegawaian dan Umum (Sub-bagian KKU)
6. Sub Bidang Teknologi Terapan Farmasi dan Kedokteran (Sub-bidang TT FK)
7. Sub Bidang Teknologi Terapan Gizi dan Makanan (Sub-bidang TTGM)
8. Sub Bidang Epidemiologi Klinik Penyakit Menular (Sub-bidang EKPM)
9. Sub Bidang Epidemiologi Klinik Penyakit Tidak Menular (Sub-bidang EKPTM)
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page3
Gambar 1.1.
Struktur Organisasi Pusat TTKEK
Di samping itu, Pusat TTKEK, sebagai lembaga penelitian dan pengembangan, juga
mempunyai struktur ad-hoc yakni:
1. Panitia Pembina Ilmiah (PPI)
Tugas Panitia Pembina Ilmiah Pusat TTK EK adalah sebagai berikut:
a) Memberikan masukan kepada Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan
Epidemiologi Klinik tentang prioritas dan kualitas penelitian pengembangan bidang
teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik
b) Memberikan saran dalam penyusunan rencana program dan kerjasama penelitian dan
pengembangan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik serta
pengembangan kemampuan institusi
c) Melakukan seleksi dan menilai usulan penelitian sesuai dengan kriteria pedoman yang
telah ditentukan dan memberikan saran perbaikan sebagai masukan untuk Kepala
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
d) Melakukan pembinaan penelitian dari proposal, pelaksanaan penelitian, hingga
penyusunan laporan akhir
e) Memberikan saran-saran perbaikan terhadap laporan hasil penelitian, penyebarluasan
hasil penelitian termasuk dalam seminar hasil penelitian dan publikasi
Kepala
Dr. Siswanto, MHP, DTM
Sub-bag PKS Junediyono, SKM, MKM
Sub-bag KKU Dra. Excalanti P
Bagian Tata Usaha
Drs. M Gozali, MM
Bidang TTK DR. Fitrah Ernawati
Bidang EK DR. Sri Idaiani
Sub-bidang TT FK Ully Adhi, Apt, M.Si
Sub-bidang TT GM DR. Nelis Imaningsih
Sub-bidang EK PM Dr. Karyana, M.Kes
Sub-bidang EK PTM Drg. Lelly A, M.Kes
KF Peneliti
Panitia Pembina Ilmiah
(PPI) Pusat TTKEK TP2U
Pusat TTKEK
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page4
f) Membina peneliti melalui seminar, diskusi ilmiah, kursus, perumusan pedoman dan
lain sebagainya.
g) Memupuk lingkungan kehidupan ilmiah
2. Tim Penilai Peneliti Unit (TP2U)
Tugas Tim Penilai Peneliti Unit Pusat TTK EK adalah sebagai berikut:
a) Membantu para peneliti dalam proses penilaian dan perhitungan angka kredit jabatan
fungsional
b) Memberikan saran perbaikan kepada para peneliti dalam proses penilaian dan
perhitungan angka kredit jabatan fungsional
c) Memberikan penjelasan kepada para peneliti tentang Angka Kredit Jabatan
Fungsional Peneliti
d) Melaporkan hasil kerjanya kepada Kepala Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan
Epidemiologi Klinik
e) Mengecek kebenaran artikel/tulisan yang diajukan
f) Mengingatkan/memberi peringatan pada peneliti yang angka kreditnya akan habis
sesuai batas waktu yang ditentukan
C. SUMBER DAYA
Sumber daya yang dipunyai Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
meliputi sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta dana. Jabaran tentang sumber
daya dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu aset utama dalam organisasi
penelitian. Berdasarkan data kepegawaian sampai dengan 31 Desember 2015, Pusat
TTK EK memiliki 178 orang pegawai. Berikut adalah penjabaran jumlah pegawai
berdasarkan jabatan struktural dan fungsional, kelompok umur, jenis kelamin,
golongan, pendidikan.
Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1974 jabatan pegawai negeri sipil
dikelompokkan menjadi 2 yakni jabatan fungsional dan jabatan struktural. Berikut
gambaran pegawai berdasarkan jenjang jabatan tersebut:
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page5
Berdasarkan jenjang jabatan, fungsional tertentu merupakan jumlah pegawai
terbanyak. pegawai. Struktural sebanyak 10 pegawai, dan dalam jenjang struktural
terdapat pegawai yang merangkap jabatan, sebagai pejabat struktural dan yang
bersangkutan juga memiliki jenjang fungsional.
Apabila dipilah, maka jenjang jabatan fungsional, dapat dibagi menjadi peneliti,
teknisi litkayasa dan analisis kepegawaian. Berikut adalah gambaran pegawai
berdasarkan jenjang jabatan fungsional.
Berdasarkan jenjang jabatan fungsional tertentu maka peneliti merupakan jenjang
jabatan fungsional dengan jumlah pegawai terbanyak.
Jenjang fungsional penelitipun bila dilihat lebih detil dapat dibagi lagi berdasarkan
ketentuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yakni peneliti utama, peneliti
madya, peneliti muda, dan peneliti pertama. Berikut gambaran jenjang fungsional
peneliti berdasarkan kriteria LIPI.
0102030405060708090
100
Fungsional
Tertentu
Struktural Fungsional
Umum
Gambar 1.2.
Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenjang Jabatan
Jumlah Pegawai
87
10
82
0
10
20
30
40
50
60
70
Peneliti Litkayasa Analis
Kepegawaian
Gambar 1.3.
Jumlah Pegawai Pegawai Berdasarkan Jenjang Jabatan Fungsional
Jumlah Pegawai
62
22
3
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page6
Berdasarkan jenjang jabatan fungsional peneliti maka peneliti madya merupakan
jenjang jabatan fungsional peneliti dengan jumlah pegawai terbanyak.
Menurut kelompok umur pegawai dikelompokkan menjadi 5 kelompok umur, yakni
1) ≤ 30 tahun, 2) 31- 40 tahun, 3) 41-50 tahun, 4) 51-55 tahun, dan 5) ≥ 56 tahun.
Berikut jumlah pegawai berdasarkan umur.
Menurut jenis kelamin, pegawai dibagi berdasarkan jenis kelamin laki laki dan
perempuan. Berikut jumlah pegawai berdasarkan jenis kelamin ;
0
5
10
15
20
25
Pertama Muda Madya Utama
Gambar 1.4.
Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenjang Fungsional Peneliti
Jumlah Pegawai
20
15
23
4
0
10
20
30
40
50
60
≤ 30 31 - 40 41 - 50 51 - 55 ≥ 56
Gambar 1.5.
Jumlah Pegawai Berdasarkan Umur
Jumlah Pegawai
16
53
45
28
37
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page7
Menurut golongan, pegawai dibagi berdasarkan golongan I, II, III, dan IV. Berikut
jumlah pegawai berdasarkan golongan;
Berdasarkan golongan, dari 178 pegawai banyak didominasi oleh pegawai dengan
golongan III.
Menurut tingkat pendidikan, pegawai dibagi berdasarkan tingkat pendidikan SD,
SLTP, SLTA/D1, D2/D3, S1, S2, dan S3. Berikut jumlah pegawai berdasarkan
tingkat pendidikan;
0
20
40
60
80
100
120
Laki-laki Perempuan
Gambar 1.6.
Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah Pegawai
77
102
0
20
40
60
80
100
120
I II III IV
Gambar 1.7.
Jumlah Pegawai Berdasarkan Golongan
Jumlah Pegawai
1
43
102
33
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page8
Berdasarkan tingkat pendidikan, dari 178 pegawai banyak didominasi oleh pegawai
dengan tingkat pendidikan S2.
2. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang ada di Pusat TTK EK meliputi yang bergerak maupun
tidak bergerak. Secara umum sarana yang tidak begerak meliputi: gedung
perkantoran, gedung pelatihan, gedung peneliti, gedung laboratorium, gedung
perpustakaan.
Tabel 1.1.
Sarana dan Prasarana
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
Tahun 2015
No Sarana dan Prasarana Jumlah Kondisi
(Baik/Rusak)
I Tanah
1 Tanah persil 21.442 m²
II Peralatan dan Mesin
1 Alat bantu 1 unit Baik
2 Alat angkutan darat bermotor 5 unit Baik
3 Alat angkutan darat tak bermotor 14 unit Baik
4 Alat bengkel bermesin 1 buah Baik
5 Alat bengkel tak bermesin 3 buah Baik
6 Alat ukur 115 buah Baik
7 Alat kantor 940 Baik
8 Alat rumah tangga 2.951 buah Baik
9 Alat studio 64 buah Baik
0
10
20
30
40
50
60
Gambar 1.8.Jumlah Pegawai Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Jumlah Pegawai
2
11
49
14
42
57
10
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page9
10 Alat komunikasi 48 buah Baik
11 Alat kedokteran 204 buah Baik
12 Alat kesehatan umum 6 buah Baik
13 Unit alat laboratorium 602 buah Baik
14 Unit alat laboratorium kimia nuklir 363 buah Baik
15 Alat laboratorium fisika nuklir elektronika 31 buah Baik
16 Alat proteksi radiasi/ proteksi lingkungan 2 buah Baik
17 Alat laboratorium lingkungan hidup 15 buah Baik
18 Alat laboratorium standarisasi kalibrasi dan
instrumentasi
1 buah Baik
19 Komputer unit 121 buah Baik
20 Peralatan komputer 41 buah Baik
III Gedung dan bangunan
1 Bangunan gedung tempat kerja 14 unit Baik
2 Bangunan gedung tempat tinggal 15 unit Baik
IV Jalan dan jembatan
1 Jalan 4.500 m² Baik
2 Jembatan 105 m² Baik
V Irigasi
1 Bangunan air irigasi 1 unit Baik
VI Jaringan
1 Instalasi gardu listrik 1 unit Baik
2 Instalasi gas 2 unit Baik
3 Jaringan listrik 1 unit Baik
VII Aset tetap lainnya
1 Eksakta 1 buah Baik
2 Non eksakta 1 buah Baik
3 Koleksi barang-barang perpustakaan/non
buku
1 buah Baik
VIII Laboratorium
1 Gizi Klinis/Klinik Gizi 1 Baik
2 Laboratorium Terpadu 1 Baik
3 Gedung pelatihan 1 Baik
4 Laboratorium hewan coba 1 Baik
3. Dana
Pada tahun 2015 Pusat TTK EK mendapat anggaran sebesar sebanyak Rp.
27.676.200,00(Dua puluh tujuh milyar enam ratus tujuh puluh enam juta dua ratus
ribu rupiah) yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan belanja modal.
Besaran alokasi masing-masing belanja sebagai berikut:
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page10
Tabel 1.2.
Alokasi Anggaran Berdasarkan Belanja
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
Tahun 2015
No Alokasi Jumlah
1 Belanja Pegawai Rp. 13.149.276.000
2 Belanja Barang Rp. 10.241.325.000
3 Belanja Modal Rp. 4.285.599.000
Jumlah Rp. 27.676.200.000
Diluar belanja pegawai, alokasi anggaran terbanyak adalah alokasi untuk belanja barang.
Apabila dipilah berdasarkan output maka alokasi anggaran tersebut sebagai berikut:
Tabel 1.3.
Alokasi Anggaran Berdasarkan Output
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
Tahun 2015
No Output Jumlah
1. Layanan Perkantoran Rp. 16.270.472.000
2. Penelitian Bidang Teknologi Terapan
Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
4.625.045.000
3. Dokumen perencanaan program dan anggaran 290.860.000
4. Laporan Kinerja 102.031.000
5. Dokumen Keuangan, kekayaan negara dan tata
usaha
236.395.000
6. Sarana dan prasarana lingkungan kantor 2.275.700.000
7. Manajemen Laboratorium 121.660.000
8. Dokumen informasi, publikasi dan diseminasi 435.949.000
9. Peralatan Fasilitas Perkantoran 34.800.000
10. Dokumen hukum, organisasi dan kepegawaian 133.665.000
11. Dokumen bidang ilmiah dan etik 1.026.156.000
12. Alat Pengolah Data 590.002.000
Fasilitas Laboratoium 1.419.897.000
Jumlah Rp. 27.676.200.000
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page11
BAB II
TUJUAN DAN SASARAN KERJA
A. DASAR HUKUM
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Pusat TTK EK mengacu pada dasar
hukum sebagai berikut:
1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4219);
2) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4431);
3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
4) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3609);
5) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menegah Nasional Tahun 2010-2015
6) Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi 2012
7) Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Prioritas Pembangunan Nasional
8) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 29 Tahun 2010 Tentang
Pedoman Penyusunan Penetapan Kinerja Dan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah
9) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1179A/Menkes/SK/X/1999 tentang Kebijakan
Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan;
10) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/X/2002 tentang Persetujuan
Penelitian Kesehatan Terhadap Manusia;
11) Keputusan Menteri Kesehatan No. 375 Tahun 2009 Tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Bidang Kesehatan Tahun 2005-2025
12) Peraturan Menteri Kesehatan No. 1144/Menkes/Per/VII/2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan
13) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 021/Menkes/SK/I/2011 tentang Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010 – 2015
14) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1099/Menkes/SK/VI/2011 tentang Indikator
Kinerja Utama Tingkat Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2015
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page12
15) DR. Dr. Trihono, MSc. (2011): Rencana Besar Pengembangan Badan Litbangkes,
Jakarta.
16) Rencana Aksi Kegiatan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan Tahun 2010 – 2015.
B. TUJUAN, SASARAN DAN INDIKATOR
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.1144 Tahun 2010 Tentang Organisasi
danTata Kerja Kementerian Kesehatan, Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan
Epidemiologi Klinik mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan
kesehatan, serta menapis teknologi di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi
klinik. Dan untuk mencapai tugas pokok fungsi tersebut telah ditetapkan, visi, misi, tujuan,
sasaran, dan indikator.
1. Visi
Visi yang ingin dicapai adalah menjadi institusi unggulan penelitian dan pengembangan
kesehatan di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik
2. Misi
Untuk mencapai visi tersebut telah ditetapkan beberapa misi, yang dilaksanakan oleh
segenap jajaran dilingkungan Pusat TTK EK. Adapun misi yang telah ditetapkan meliputi:
a. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui penelitian teknologi terapan
kesehatan dalam bidang kedokteran dan farmasi.
b. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui penelitian teknologi terapan
kesehatan dalam bidang gizi dan makanan.
c. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui penelitian dan epidemiologi klinis
penyakit menular dan penyakit tidak menular.
d. Menjadikan Badan Litbangkesmenjadi koordinator jejaring penelitian klinis di
Indonesia melalui Pusat TTKEK.
e. Menjadikan Indonesia sebagai salah satu simpul (hub) penelitian klinis di Asia
Tenggara
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page13
3. Tujuan
Tujuan organisasi ditetapkan berdasarkan yang ingin dicapai dalam jangka panjang selam
5 tahun dan jangka pendek selama satu tahun. Untuk tahun 2015, tujuan yang ingin dicapai
meliputi:
a. Melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang teknologi terapan kesehatan
dan epidemiologi klinik
b. Melaksanakan publikasi hasil penelitian dan pengembangan di bidang teknologi
terapan kesehatan dan epidemiologi klinik
4. Sasaran
Untuk mencapai tujuan telah ditetapkan beberapa sasaran. Sasaran ini merupakan hasil
nyata yang akan dicapai dengan rumusan yang spesifik, terarah. Adapun sasaran yang telah
ditetapkan meliputi:
a. Terlaksananya penelitian dan pengembangan di bidang teknologi terapan kesehatan
dan epidemiologi klinik yang ditandai dengan jumlah produk/model
intervensi/prototipe/ standar/formula di bidang teknologi terapan kesehatan dan
epidemiologi klinik
b. Terlaksanakan publikasi hasil penelitian dan pengembangan di bidang teknologi
terapan kesehatan dan epidemiologi klinik yang ditandai dengan publikasi ilmiah di
bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik yang dimuat pada media
cetak dan elektronik, baik nasional maupun internasional
5. Indikator Kinerja Kegiatan
Kegiatan yang telah ditetapkan akan diukur setiap akhir tahun anggaran, dan selama
tahun tersebut dilakukan monitoring dan evaluasi dan pencapaiannya. Indikator kinerja
kegiatan yang ditetapkan tahun 2015, adalah:
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page14
Tabel 2.1.
Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
Tahun 2015
No Sasaran
Strategis Indikator Target Realisasi
1 Meningkatnya
penelitian dan
pengembangan
di bidang
teknologi
terapan
kesehatan dan
epidemiologi
klinik.
Jumlah rekomendasi
kebijakan yang dihasilkan di
bidang teknologi terapan
kesehatan dan epidemiologi
klinik
7 8
Jumlah Publikasi ilmiah di
bidang klinik terapan dan
epidemiologi klinik yang
dimuat pada media cetak dan
elektronik:
a. Nasional
b. Internasional
13
5
13
5
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page15
BAB III
STRATEGI PELAKSANAAN
A. STRATEGI PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN
Strategi pencapaian sasaran dilakukan dengan menyusun program tahun 2015, dengan
mengacu pada RPJMN, Rencana Strategis Kementerian Kesehatan, dan Rencana Aksi
Kegiatan Pusat TTK EK Tahun 2010 - 2015. Secara umum strategi pencapaian tujuan dan
sasaran dilakukan dengan 3 kegiatan, yakni;
1. Melaksanakan penelitian dan pengembangan
2. Melaksanakan penyebarluasan dan pemanfaatan hasil litbang
3. Melaksanakan riset kesehatan nasional berupa Riset Kesehatan Dasar
B. HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN STRATEGI
Dalam melaksanakan strategi pencapaian tujuan dan sasaran, dirasakan adanya
beberapa hambatan. Hambatan tersebut berasal dari internal maupun eksternal Pusat TTK
EK. Adapaun hambatan yang dirasakan meliputi:
1. Adanya pembagian kantor Jakarta Bogor, dimana manajemen administrasi berada di
Bogor, memberikan kesulitan dalam rentang kendali manajemen dan administrasi
2. Tidak adanya rumah sakit dan laboratorium penunjang penelitian
3. Kurangnya peneliti yang mempunyai kepakaran dibidang penelitian klinik
4. Sarana dan prasarana untuk mendukung penelitian klinik juga sangat minim
5. Belum terakreditasinya laboratorium terpadu
6. Penelitian klinik yang dilakukan disetiap fasilitas pelayanan kesehatan masih belum
terkoordinasi.
C. TEROBOSAN YANG DILAKUKAN
Terobosan telah dilakukan untuk meminimalisasi hambatan yang ada agar tidak
menganggu dalam pencapaian tujuan. Terobosan yang dilakukan berupa:
1. Adanya pembagian kantor Jakarta Bogor, dimana manajemen administrasi berada di
Bogor, terobosan yang dilakukan agar tidak kesulitan dalam rentang kendali
manajemen dan administrasi, adalah dengan melaksanakan komunikasi melalui
internet, short massage service, black berry massanger. Semua komunikasi dilakukan
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page16
secara elektronik, termasuk adanya disposisi, dilakukan pengarsipan secara elektornik
selanjutnya dikirimkan kepada yang bersangkutan.
2. Tidak adanya rumah sakit dan laboratorium penunjang penelitian dilakukan diansipasi
dengan melaksanakan jejaring penelitian dengan institusi yang mempunyai rumah
sakit dan laboratorium penunjang.
3. Kurangnya peneliti yang mempunyai kepakaran dibidang penelitian klinik dilakukan
antisipasi dengan mengirimkan peneliti dalam sebuah forum ilmiah, mengirimkan
penelitian melalui jenjang pendidikan, dan membuat workshop terkait penelitian
klinik, serta dengan mentandemkan peneliti menjadi bagian dari sebuah tim penelitian
institusi lain yang sudah ahli di bidang penelitian klinik.
4. Sarana dan prasarana untuk mendukung penelitian klinik juga sangat minim
dilaksanakan dengan membuat kerjasama dengan institusi penelitian lain.
5. Melaksanakan akreditasi laboratorium pemeriksaan .
6. Membuat panduan registri penelitian klinik
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page17
BAB IV
HASIL KERJA
A. PENCAPAIAN TUJUAN DAN SASARAN
Pencapaian tujuan dan sasaran dilakukan dengan kegiatan berupa input dan output.
Detil capaian dari masing-masing kegiatan adalah:
1. Masukan (Input)
Untuk melaksanakan kegiatan agar diperoleh output maka telah dilakukan dengan
masukan berupa:
a. Sumber daya manusia sebanyak 178 sangat mendukung untuk pelaksanaan kegiatan.
Sumber daya manusia yang terbagi antara struktural dan fungsional, fungsional yang
terbagi penelitian dan litkayasa serta analis kepegawaian, jenjang pendidikan yang
lebih banyak S2, jenjang peneliti yang lebih didominasi peneliti madya, umur
pegawai yang lebih didominasi usia produksi 31-40 tahun.
b. Sarana dan Prasarana yang dimiliki meliputi tanah, peralatan dan mesin, gedung dan
bangunan, irigasi, dan jaringan. Sarana berupa kantor, ruang peneliti, laboratorium,
gedung pelatihan, alat laboratorium dll.
c. Biaya yang teralokasi sebesar Rp 27.676.200.000,- sangat membantu untuk
kelancaran kegiatan.
d. Komunikasi dengan menggunaan internet, short massage service. Semua komunikasi
dilakukan secara elektronik, termasuk adanya disposisi, dilakukan pengarsipan secara
elektornik selanjutnya dikirimkan kepada yang bersangkutan.
e. Melaksanakan jejaring penelitian dengan institusi yang mempunyai rumah sakit dan
laboratorium penunjang
f. Mengirimkan peneliti dalam sebuah forum ilmiah, mengirimkan penelitian melalui
jenjang pendidikan, dan membuat workshop terkait penelitian klinik, serta dengan
mentandemkan peneliti menjadi bagian dari sebuah tim penelitian institusi lain yang
sudah ahli di bidang penelitian klinik.
g. Membuat kerjasama dengan institusi penelitian lain.
h. Melaksanakan pelatihan penulisan publikasi.
i. Mengoptimalkan fungsi Panitia Pembina Ilmiah
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page18
2. Keluaran (Output)
Output yang dicapai setelah dilakukan upaya dengan memberikan masukan baik berupan
sumber daya manusia, dana, saran dan prasarana, teknologi meliputi:
a. Pelaksanaan jejaring penelitian klinik dengan fasilitas pelayanan kesehayan sebagai
antisipasi ketiadaan rumah sakit dan laboratorium penunjang. Jejaring dilakukan
dengan wadah Indonesia Research Partnership on Infectious Disease = INA
RESPOND, yang terdiri dari 8 rumah sakit dan 7 fakultas kedokteran. Fakultas
Kedokteran (FK) Universitas Indonesia/RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, RS
Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, FK Universitas Padjadjaran/RSUP Dr Hasan
Sadikin, FK Universitas Diponegoro/RSUP Dr Kariadi, FK Universitas Gadjah
Mada/RSUP Dr Sardjito, FK Universitas Airlangga/RSUD Dr Soetomo, FK
Universitas Udayana/RSUP Sanglah dan FK Universitas Hasanuddin/RSUP Dr
Wahidin Sudirohusodo.
b. Mengirimkan peneliti dalam sebuah forum ilmiah, mengirimkan penelitian melalui
jenjang pendidikan,
c. Mentandemkan peneliti menjadi bagian dari sebuah tim penelitian institusi lain yang
sudah ahli di bidang penelitian klinik.
d. Membuat kerjasama dengan institusi penelitian lain.
e. Panitia Pembina Ilmiah melakukan monitoring setiap pelaksanaan penelitian, dan
dengan bersama tim manajemen melakukan supervisi penelitian
f. Melaksanakan workshop sebagai operasionalisasi dari Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 66 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Registri Penelitian Klinik. Peraturan
ini dimaksudkan mengatur penyelenggaraan penelitian klinik, bahwa setiap
pelaksanaan penelitian klinik harus diregistrasi oleh pihak yang ditunjukan Menteri
Kesehatan dalam hal ini Badan Litbangkes sebagai pengelola registri penelitian klinik.
Ketentuan WHO menyebutkan bahwa setiap penelitian klinik yang akan dipubliksi
dalam jurnal ilmiah harus diregistrasi, jadi dengan terbitnya Permenkes ini lebih
memudahkan kepada pelaksana penelitian klinik, dalam hal ini Ketua Pelaksana untuk
melakukan registrasi. Sebagai tahap awal registrasi diwajibkan bagi penelitian klinik
yang bersumber dana dan lokasi penelitian di institusi penelitian atau sarana
pelayanan kesehatan dibawah Kementerian Kesehatan. Salah satu syarat dalam
registrasi adalah bahwa penelitian tersebut sudah dilolos secara etik, sehingga waktu
melakukan registrasi secara elektornik harus mencantumkan nomor surat persetujuan
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page19
etik. Dan nantinya setiap penelitian klinik akan mendapatkan satu nomor registrasi.
Registri dilakukan melalui web: www.ina-registry.org (Indonesia Diseases Registry
Web Portal).
B. PENCAPAIAN KINERJA
Berbagai upaya yang dilakukan untuk pencapaian tujuan dan sasaran baik berupa
masukan maupun keluaran berujung pada pencapaian indikator kinerja kegiatan. Dan berikut
capaian kinerja tersebut:
Tabel 4.1.
Target dan Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
Tahun 2015
No Indikator Target Realisasi Realisasi
1. Jumlah rekomendasi kebijakan yang
dihasilkan di bidang klinik terapan dan
epidemiologi klinik
8 8 >100
2. Jumlah produk/Informasi/ Data di
bidang Teknologi Terapan Gizi dan
Makanan, Farmasi dan Kedokteran,
Epidemiologi Klinik Penyakit Menular
dan Epidemiologi Klinik Penyakit
Tidak Menular
12 31
>100
3. Jumlah Publikasi ilmiah di bidang
klinik terapan dan epidemiologi klinik
yang dimuat pada media cetak dan
elektronik:
a. Nasional
b. Internasional
13
2
13
5
>100
>100
Dari target sebanyak 8 dokumen, telah dapat dipenuhi pencapaian sebesar 8 dokumen
terkait dengan jumlah rekomendasi kebijakan dibidang teknologi terapan kesehatan dan
epidemiologi klinik.
Ke delapan capaian indikator Jumlah rekomendasi kebijakan di bidang klinik terapan dan
epidemiologi klinik adalah sebagai barikut:
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page20
Tabel 4.2.
Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan Rekomendasi Kebijakan
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
Tahun 2015
No Judul Rekomendasi Kebijakan Ketua Penelitian
1 Penataan Pengaturan Minuman Bersoda dan Berenergi
untuk Mencegah Penyakit Ginjal Kronik
Dr. Delima, M.Kes
2 Peningkatan Pemanfaatan Terapi Continues Ambulatory
Peritoneal Dialisis (CAPD) pada Penyakit Ginjal Kronis
Stadium Akhir
Drg. Lelly Andayasari,
M.Kes
3 Mempersiapkan Calon Pengantin untuk Melahirkan Anak
yang Sehat dan Cerdas
Ir. Erna Lucisari, M.Si
4 Penatalaksanaan Terintegrasi TB-DM Dr. Hadjar Siswantoro,
MPH
5 Deteksi Dini Hipertensi untuk Pencegahan Stroke Dr. Dona Arlinda
6 Membangun Sistem Kesiapsiagaan dalam Penanganan
Kecelakaan Lalu Lintas di Daerah Rawan Kecelakaan
Dr. Frans Suharyanto,
SpOP
7 Kajian Tata Laksana HIV/AIDS dalam konteks
asuransi.
Dr. Armedy Hasugian,
M.Biomed
8 Kajian Pelayanan Kesehatan Tradisional (akupunktur
dan jamu) dihubungkan dengan program JKN.
Dr. Hadi Siswoyo,
M.Epid
Dari target sebanyak 12 dokumen, telah dilakukan pencapaian sebesar 31 dokumen terkait
dengan jumlah produk informasi dibidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi
klinik
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page21
Tabel 4.3. Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Jumlah Produk / Informasi/ Data di bidang Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi
Klinik Tahun 2015
No Output
Judul Penelitian Ketua
Pelaksana
Satker
1 Data validasi
pembacaan dengan
sistem pencatatan dan
pembacaan Rontgen
Validasi penilaian dengan
sistem pencatatan dan
pembacaan Rontgen
Dr. Hadjar
Siswantoro,
MPH
Pusat TTK
EK
2 Data validasi Riset
berbasis penyakit
Validasi metode Riset
Berbasis Penyakit
Dr. Eva
Sulistiowati,
M.Biomed
Pusat TTK
EK
3 Data Penggunaan
Teknik Isotop Untuk
Pemantauan Situasi
dan Intervensi Gizi
Dalam Rangka
Promosi Gizi Bayi
Penggunaan Teknik
Isotop Untuk Pemantauan
Situasi dan Intervensi Gizi
Dalam Rangka Promosi
Gizi Bayi
Dr. Tetra
Fadjarwati, MGz
Pusat TTK
EK
4 Informasi Mengenai
Hubungan Status Gizi
Lahir Terhadap
Perkembangan Anak
Usia 4-5 Tahun
Hubungan status gizi lahir
terhadap perkembangan
anak usia 4-5 tahun
DR. Fitrah
Ernawati, M.Sc
Pusat TTK
EK
5 Informasi Mengenai
Infeksi Rumah Sakit
Terkait Penggunaan
Alat Medis Invasif
Pengembangan algoritma
diagnosis dini
tuberkulosis pada
HIV/AIDS.
Dr. Armedy R
Hasugian,
M.Biomed
Pusat TTK
EK
6 Informasi Mengenai
Upaya
Penanggulangan
Hipertensi di Tingkat
Posbindu, Puskesmas,
dan RS di Dua
Provinsi di Indonesia
Upaya penanggulangan
hipertensi di tingkat
Posbindu, Puskesmas dan
RS di dua provinsi di
Indonesia
Drg. Lelly
Andayasari,
M.Kes
Pusat TTK
EK
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page22
7 Informasi tentang
Konsumsi Makanan
Tinggi Kalori dan
Lemak, serta kurang
Aktivitas Fisik kaitannya
dengan kegemukan pada
usia 5 - 18 tahun di
Indonesia
Konsumsi Makanan
Tinggi Kalori dan Lemak,
serta kurang Aktivitas
Fisik kaitannya dengan
kegemukan pada usia 5 -
18 tahun di Indonesia
Aditianti,
SP,M.Si
Pusat TTK
EK
8 Informasi tentang
Pencapaian Gizi
Seimbang Berdasarkan
Kualitas dan Kuantitas
Konsumsi Makanan di
Indonesia
Pencapaian Gizi
Seimbang Berdasarkan
Kualitas dan Kuantitas
Konsumsi Makanan di
Indonesia
Amalia Safitri,
M.Si
Pusat TTK
EK
9 Informasi tentang Pola
Konsumsi, Gaya
Konsumsi, dan Faktor
Risiko Kaitannya dengan
Kejadian Penyakit
Kardiovaskuler
Pola Konsumsi, Gaya
Konsumsi, dan Faktor
Risiko Kaitannya dengan
Kejadian Penyakit
Kardiovaskuler
Elisa Diana
Julianti, SP,
M.Si
Pusat TTK
EK
10 Informasi tentang
Kontribusi Asupan Zat
Gizi Sarapan Pagi
Terhadap Total Energi
Protein Anak Usia
Sekolah
Kontribusi Asupan Zat
Gizi Sarapan Pagi
Terhadap Total Energi
Protein Anak Usia
Sekolah
Dr. Ir. Dewi
Permaesih,
M.Kes
Pusat TTK
EK
11 Informasi tentang
Konsumsi Sayur dan
Buah Penduduk
Indonesia dalam
Pencapaian Gizi
Seimbang Menurut
Kelompok Umur
Konsumsi Sayur dan
Buah Penduduk Indonesia
dalam Pencapaian Gizi
Seimbang Menurut
Kelompok Umur
Ir. Hermina,
M.Kes
Pusat TTK
EK
12 Informasi tentang
Keragaman Konsumsi
Bahan Makanan Sumber
Protein Hewani dan
Nabati pada Anak
Berusia dibawah Lima
Tahun dan Hubungannya
dengan masalah Gizi
Anak Balita di Indonesia
Keragaman Konsumsi
Bahan Makanan Sumber
Protein Hewani dan
Nabati pada Anak Berusia
dibawah Lima Tahun dan
Hubungannya dengan
masalah Gizi Anak Balita
di Indonesia
Dr. Fitrah
Ernawati, M.Sc
Pusat TTK
EK
13 Informasi tentang Angka
Kecukupan Gizi dan
Kuantitas Konsumsi
Anak Umur 6 – 11 Bulan
di Indonesia
Angka Kecukupan Gizi
dan Kuantitas Konsumsi
Anak Umur 6 – 11 Bulan
di Indonesia
Erna Luciasari
Sofiati, SP, MP
Pusat TTK
EK
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page23
14 Informasi tentang
Asupan Energi dari
Minuman Bergula Pada
Penduduk dengan
Obesitas
Asupan Energi dari
Minuman Bergula Pada
Penduduk dengan
Obesitas
dr. Made Dewi
Susilawati,
M.Epid
Pusat TTK
EK
15 Informasi tentang Uji
diagnostik kumpulan
gejala saluran
pernafasan untuk
mendiagnosis penyakit
paru obstruksi kronis
(PPOK) berdasarkan data
Studi Kohor Tahun 2011-
2012
Uji diagnostik kumpulan
gejala saluran pernafasan
untuk mendiagnosis
penyakit paru obstruksi
kronis (PPOK)
berdasarkan data Studi
Kohor Tahun 2011-2012
Dr. Lusianawaty
Tana, SpOK
Pusat TTK
EK
16 Informasi tentang
Konsumsi Karbohidrat
dan Gula di Indonesia
Kaitannya dengan
Prevalensi Diabetes
Mellitus Tipe 2
Konsumsi Karbohidrat
dan Gula di Indonesia
Kaitannya dengan
Prevalensi Diabetes
Mellitus Tipe 2
Rika
Rachmawati,
SGc, MPH
Pusat TTK
EK
17 Informasi tentang
Sumbangan Ikan Laut
Terhadap Kecukupan
Konsumsi Protein
Penduduk Indonesia
Sumbangan Ikan Laut
Terhadap Kecukupan
Konsumsi Protein
Penduduk Indonesia
Sri Muljati,
SKM, M.Kes
Pusat TTK
EK
18 Informasi tentang
Identifikasi Bahan
Makanan Sumber
Natrium dan
Kontribusinya Terhadap
Asupan Natrium Pada
Anak Usia 5 – 18 Tahun
di Indonesia
Identifikasi Bahan
Makanan Sumber Natrium
dan Kontribusinya
Terhadap Asupan Natrium
Pada Anak Usia 5 – 18
Tahun di Indonesia
Ir. Sri Prihatini,
M.Kes
Pusat TTK
EK
19 Informasi tentang
Karakteristik Konsumsi
Gizi Makro Berdasarkan
Status Obesitas
Karakteristik Konsumsi
Gizi Makro Berdasarkan
Status Obesitas
dr. Tetra
Fajarwati, M.Gz
Pusat TTK
EK
20 Informasi tentang
Praktek Pemberian ASI
Eksklusif Pada Bayi Usia
0 – 5 Bulan di Indonesia
Praktek Pemberian ASI
Eksklusif Pada Bayi Usia
0 – 5 Bulan di Indonesia
Ir. Tjetjep Syarif
Hidayat, M.Kes
Pusat TTK
EK
21 Informasi tentang
Besaran Keragaman dan
Kualitas Konsumsi
Bahan Makanan Pada Ibu
Hamil di Indonesia
Besaran Keragaman dan
Kualitas Konsumsi Bahan
Makanan Pada Ibu Hamil
di Indonesia
Ir. Yuniar
Rosmalina, M.Sc
Pusat TTK
EK
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page24
22 Informasi tentang
Kontribusi Zat Gizi
Makanan Jajanan
Terhadap Total Energi
Pada Penduduk Indonesia
Kontribusi Zat Gizi
Makanan Jajanan
Terhadap Total Energi
Pada Penduduk Indonesia
Yunita Diana
Sari, SKM, MSc
Pusat TTK
EK
23 Informasi tentang Faktor
Determinan Pemanfaatan
Pelayanan Kesehatan
Tradisional di Indonesia
Faktor Determinan
Pemanfaatan Pelayanan
Kesehatan Tradisional di
Indonesia
Dra. Lucie
Widowati, M.Si,
Apt
Pusat TTK
EK
24 Informasi tentang
Pemetaan Gangguan
Mental Emosional di
Indonesia dengan Sistem
Informasi Geografis
Pemetaan Gangguan
Mental Emosional di
Indonesia dengan Sistem
Informasi Geografis
dr. Suhardi,
MPH
Pusat TTK
EK
25 Informasi tentang Pola
Pangan Harapan
Masyarakat Indonesia
2015
Pola Pangan Harapan
Masyarakat Indonesia
2015
Dr. Ir. Basuki
Budiman, M.Kes
Pusat TTK
EK
26 Informasi tentang
Identifikasi Jenis
Makanan Produk Industri
yang Menyumbangkan
Gula, Natrium dan
Lemak Berlebih
Kaitannya dengan
Permenkes No. 30 Tahun
2013
Identifikasi Jenis
Makanan Produk Industri
yang Menyumbangkan
Gula, Natrium dan Lemak
Berlebih Kaitannya
dengan Permenkes No. 30
Tahun 2013
Dr. Nelis
Imanningsih,
M.Sc
Pusat TTK
EK
27 Informasi tentang
Kontribusi Beberapa
Kelompok Bahan
MakananTerhadap
Asupan Energi dan
Protein Pada Anak Usia 5
– 18 Tahun
Kontribusi Beberapa
Kelompok Bahan
MakananTerhadap
Asupan Energi dan
Protein Pada Anak Usia 5
– 18 Tahun
drh. Endi
Ridwan, MS
Pusat TTK
EK
28 Informasi tentang Kaitan
Konsumsi Sayuran-Buah,
Asupan Lemak dan
Aktivitas Fisik dengan
Tekanan Darah,
Kolesterol dan Glukosa
dan Profil Kolesterol
Penduduk Indonesia
Umur ≥ 15 Tahun
Kaitan Konsumsi
Sayuran-Buah, Asupan
Lemak dan Aktivitas Fisik
dengan Tekanan Darah,
Kolesterol dan Glukosa
dan Profil Kolesterol
Penduduk Indonesia
Umur ≥ 15 Tahun
Nurfi
Afriansyah,
SKM, MScPH
Pusat TTK
EK
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page25
29 Informasi tentang Kajian
Asupan Lemak menurut
Kelompok Umur, Jenis
Kelamin, Kuintil
Kepemilikan Data Survei
Konsumsi Makanan
Individu (SKMI) 2015
dan Riskesdas 2013
Terkait Angka
Kecukupan Gizi (AKG)
2013
Kajian Asupan Lemak
menurut Kelompok Umur,
Jenis Kelamin, Kuintil
Kepemilikan Data Survei
Konsumsi Makanan
Individu (SKMI) 2015
dan Riskesdas 2013
Terkait Angka Kecukupan
Gizi (AKG) 2013
Dr. Fitrah
Ernawati, M.Sc
Pusat TTK
EK
30 Informasi tentang Kajian
Berat, Tinggi Badan dan
Status Gizi Data Survei
Konsumsi Makanan
Individu (SKMI) 2015
dan Riskesdas 2013
Terkait Angka
Kecukupan Gizi (AKG)
2013
Kajian Berat, Tinggi
Badan dan Status Gizi
Data Survei Konsumsi
Makanan Individu
(SKMI) 2015 dan
Riskesdas 2013 Terkait
Angka Kecukupan Gizi
(AKG) 2013
Ir. Yuniar
Rosmalina,
M.Kes
Pusat TTK
EK
31 Informasi tentang Kajian
Asupan Air menurut
Kelompok Umur, Jenis
Kelamin, Kuintil
Kepemilikan Data Survei
Konsumsi Makanan
Individu (SKMI) 2015
dan Riskesdas 2013
Terkait Angka
Kecukupan Gizi (AKG)
2013
Kajian Asupan Air
menurut Kelompok Umur,
Jenis Kelamin, Kuintil
Kepemilikan Data Survei
Konsumsi Makanan
Individu (SKMI) 2015
dan Riskesdas 2013
Terkait Angka Kecukupan
Gizi (AKG) 2013
Dr. Ir. Dewi
Permaesih,
M.Kes
Pusat TTK
EK
Capaian ke tiga belas Publikasi ilmiah di bidang klinik terapan dan epidemiologi klinik yang
dimuat pada media cetak dan elektronik nasional, adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4.
Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik nasional
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
Tahun 2015
No. Judul Artikel Nama Penulis Satker Media Publikasi
1 Pola penyebab kematian
di Kota Ambon 2010-
2012
Eva Sulitiowati Pusat TTK EK Buletin Surabaya,
Januari 2015
2 Perbandingan IMT dan
indikator obesitas
Made Dewi Pusat TTK EK Buletin Penelitian
Kesehatan Vol.43
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page26
sentral terhadap
terjadinya DMT2
Susilowati No 1 Maret 2015
3 Lama pemberian obat
anti tuberkulosa dan
kadar zinc serum pasien
paru anak(studi kasus di
kabupaten Bogor)
Made Dewi
Susilowati
Pusat TTK EK Media Gizi Mikro
Indonesia, Vol. 6 No
2, Juni 2015
4 Proporsi Seksio Sesarea
dan Faktor yang
Berhubungan dengan
Seksio Sesarea di
Jakarta
Lelly Andayasari Pusat TTK EK Buletin Penelitian
Kesehatan
Vo. 43 No. 2
Juni 2015
5 Konsumsi minyak
goreng dan Vitamin A
pada beberapa
kelompok umur di dua
kabupaten
Sandjaja Pusat TTK EK Penelitian Gizi dan
Makanan, Vol. 38,
No. 1, Juni 2015.
6 Faktor risiko sindrom
metabolik pada orang
dewasa di Kota Bogor
Marice
Sihombing
Pusat TTK EK Penelitian Gizi dan
Makanan, Vol. 38,
No. 1, Juni 2015.
7 Pengaruh tapioca
termodifikasi ekstrak
hijau terhadap glukosa
darah dan histologi
pancreas tikus diabetes
Elisa Diana
Julianti
Pusat TTK EK Penelitian Gizi dan
Makanan, Vol. 38,
No. 1, Juni 2015.
8 Pendampingan minum
tablet tambah darah
dapat meningkatkan
kepatuhan konsumsi
tablet tambah darah
pada ibu hamil anemia
Aditianti Pusat TTK EK Penelitian Gizi dan
Makanan, Vol. 38,
No. 1, Juni 2015.
9 Penemuan Baru
Plasmodium Knowlesi
pada Manusia di
Kalimantan Tengah
Sahat
Ompusunggu
Pusat TTK EK Buletin Penelitian
Kesehatan, Vol. 43,
No. 2, Juni 2015
10 Infeksi Japanese
Encephalitis Pada Babi
di Beberapa Provinsi
Indonesia Tahun 2012
Sahat
Ompusunggu
Pusat TTK EK Media Litbangkes,
Vol. 25 No. 2, Juni
2015
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page27
11 'Determinan Kejadian
Cedera pada Kelompok
Pekerja Usia Produktif
di Indonesia
Lusianawaty
Tana
Pusat TTK EK Buletin Penelitian
Kesehatan, Vol. 43,
No. 2, Juni 2015
12 Analisis Hubungan
Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Gigi dengan
Kegiatan Penambalan
dan Pencabutan Gigi di
Puskesmas
Lelly Andayasari Pusat TTK EK Jurnal Biotek
Medisiana Indonesia
Vol. 3 No. 2
September 2015
13 Asupan lemak orang
dewasa normal dan
kelebihan berat badan
di Indonesia
Nurfi Afriansyah Pusat TTK EK Penelitian Gizi dan
Makanan, Vol. 38,
No. 2, Desember
2015.
Untuk capaian kelima publikasi ilmiah di bidang klinik terapan dan epidemiologi klinik yang
dimuat pada media cetak dan elektronik internasional, adalah sebagai berikut
Tabel 4.5.
Realisasi Indikator Kinerja Kegiatan
Publikasi ilmiah yang dimuat pada media cetak dan elektronik internasional
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
Tahun 2015
No Judul Artikel Nama
Penulis
Satker Media Publikasi
1 Polymorphism of PXR gene
associated with the increased
risk of drug-induced liver
injury in Indonesian pulmonary
tuberculosis patients. Journal of
Clinical Pharmacy and
Therapeutics.
Ully
Mulyani
Pusat TTK
EK
Doi: 10.1111/jcpt.12325
2 The effect of dosing strategies
on the therapeutic efficacy of
artesunate-amodiaquine for
uncomplicated malaria - a
meta-analysis of individual
patient data
Emiliana
Tjitra
Pusat TTK
EK
The WorldWide
Antimalarial Resistance
Network (WWARN) AS-
AQ Study Group BMC
Medicine (2015) 13:66
DOI 10.1186/s12916-015-
0301-z
3 Treatment policy change to
dihydroartemisinin–
Emiliana Pusat TTK
EK
Malaria journal 14 (1), 272
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page28
No Judul Artikel Nama
Penulis
Satker Media Publikasi
piperaquine contributes to the
reduction of adverse maternal
and pregnancy outcom
Tjitra
4 Impaired Systemic
Tetrahydrobiopterin
Bioavailability and Increased
Dihydrobiopterin in Adult
Falciparum Malari
Emiliana
Tjitra
Pusat TTK
EK
PLOS Pathogens |
DOI:10.1371/journal.ppat.
1004667 March 12, 2015
5 RePORT International -
Advancing Tuberculosis
Biomarker Research Through
Global Collaboration
M. Karyana Pusat TTK
EK
RePORT International •
CID 2015:61 (Suppl 3) •
S155
a) Akreditasi Laboratorium
Pelaksanaan penelitian perlu didukung oleh adanya laboratorium yang terstandar.
Tahun 2015, telah dilakukan akreditasi terhadap Laboratirum Pusat TTK EK.
Akreditasi diperoleh untuk ISO 17025 yakni standar utama untuk Laboratorium
Penguji dan Kalibrasi, untuk pengujian Vitamin A dan Zinc.
Gambar 3.2.
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page29
Sertifikat Akreditasi Laboratorium Penguji
b) Panitia Pembina Ilmiah
Panitia Pembina Ilmiah dibentuk untuk membantu Kepala Pusat TTK EK dalam
pelaksanaan kegiatan terutama penelitian dan pengembangan. Anggota PPI adalah
para peneliti yang mempunyai komitmen untuk membina dan memberikan
masukan kepada peneliti lain agar pelaksanaan penelitian tidak lepas dari kaidah
ilmiah. Beberapa kegiatan yang dilakukan meliputi:
Tabel 4.6.
Kegiatan Panitia Pembina Ilmiah
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
Tahun 2015
No Tanggal Topik Bahasan
1. 5 Januari 2015 Penyelesaian Laporan Akhir Penelitian 2014
Penyusunan Rekomendasi Kebijakan
2. 22 – 23 Januari 2015 Pemaparan Protokol 2015
Laporan PPI
Laporan Akhir Penelitian 2014
3. 2 - 3 Februari 2015 Penyusunan Protokol Infeksi Rumah Sakit
Terkait Penggunaan Alat Medis Invasif
4. 13 – 14 April 2015 Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan
Kegiatan penelitian
Pembahasan Proposal Analisis Lanjut
5. 20 April 2015 Pembahasan Hasil Review Protokol Analisis
Lanjut
Penyusunan Rencana Kerja PPI
6. 12 Juni 2015 Penajaman Kegiatan Penelitian dalam
mendukung RPJMN
7. 6 Agustus 2015 Pembahasan Rencana Pelaksanaan Penilaian
Teknologi HTA secara ekstramural
8. 20 Agustus 2015 Pembahasan Usulan Rekomendasi Kebijakan
sebagai sebagai bahan Advokasi Litbang
9. 25 Agustus 2015 Paparan Proposal penelitian 2016
Paparan Proposal Risbinkes 2016
10. 11 September 2015 Harmonisasi Analisis Lanjut
11. 7-8 Desember 2015 Pembahasan Laporan Akhir
c) Diseminasi Hasil Penelitian
Pertemuan review dari artikel yang masuk dilakukan setiap jurnal akan terbit,
dengan melibatkan dewan redaksi dan peer reviewer. Jurnal gizi dan makanan
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page30
mulai Agustus 2015 berhasil mempertahankan akreditasinya. Akreditasi berlaku
sampai dengan 3 tahun.
Gambar 3.3.
Sertifikat Akreditasi Majalah Ilmiah Gizi dan Makanan
Kepesertaan pameran dari Pusat TTK EK dilakukan pada kegiatan Pameran
Produk Inovasi di Semarang dan Simposiun Internasional Badan Litbangkes di
Jakarta. Topik yang dipamerkan meliputi; 1) Isolat galaktomanan dari ampas
kelapa, 2) Ready Use Therapeutic Food untuk penanggulangan gizi buruk, 3)
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya persalinan sesar, dan 4) Faktor risiko
terjadinya balita stunting.
C. REALISASI ANGGARAN
Anggaran yang dikelola Pusat TTK EK sebanyak Rp. 27.676.200.000,00(Dua
puluh tujuh milyar enam ratus tujuh puluh enam juta dua ratus ribu rupiah), dengan
realisasi sebesar Rp. 24.732.975.554,00 (Dua puluh empat milyar tujuh ratus tigapuluh
dua juta sembilan ratus tujuh puluh lima ribu lima ratus lima puluh empat rupiah) atau
89,76%.
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page31
Realisasi masing-masing indikator kinerja kegiatan sebagai berikut:
Tabel 4.7.
Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan Belanja
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
Tahun 2015
No Alokasi Pagu Realisasi %
1 Belanja Pegawai Rp. 13.149.276.000 Rp. 12.186.309.053 92,68%
2 Belanja Barang Rp. 10.241.325.000 Rp. 8.671.449.366 84,67%
3 Belanja Modal Rp. 4.285.599.000 Rp. 3.875.217.135 90,42%
Jumlah Rp. 27.676.200.000 Rp. 24.732.975.554 89,76%.
Tabel 4.8.
Alokasi dan Realisasi Anggaran Berdasarkan IKK
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik
Tahun 2015
No Alokasi Pagu Realisasi %
1 Jumlah produk/Informasi/
Data di bidang Teknologi
Terapan Gizi dan
Makanan, Farmasi dan
Kedokteran, Epidemiologi
Klinik Penyakit Menular
dan Epidemiologi Klinik
Penyakit Tidak Menular
Rp. 21.921.673.000 Rp. 18.979.988.554 86.58%
2 Jumlah Publikasi ilmiah di
bidang klinik terapan dan
epidemiologi klinik yang
dimuat pada media cetak
dan elektronik:
Rp. 5.754527.000 Rp. 5.752.987.000 99.97%
Jumlah Rp. 27.676.200.000 Rp. 24.732.975.554 89,76%
.
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page32
D. PELAKSANAAN REFORMASI BIROKASI
Upaya untuk pelaksanaan reformasi birokrasi telah dilakukan. Upaya tersebut
meliputi:
1. Penatausahaan Barang Milik Negara-aset tetap
2. Penatausahaan barang persediaan
3. Proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara elektronik
4. Pengelolaan hibah dimana semua penelitian dimasukan dalam Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran
5. Penatalaksanaan perjalanan dinas; surat tugas, kelengkapan SPPD ditandatangani pejabat
tempat tujuan, tiket pesawat dilampiri boarding pass, kuitansi hotel, pengeluaran riil,
laporan perjalanan dinas.
6. Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara
Laporan Tahunan Pusat TTK EK Tahun 2015 Page33
BAB V
PENUTUP
Secara umum kegiatan Pusat TTK EK¸ yakni penelitian dan pengembangan teknologi
terapan kesehatan dan epidmeiologi klinik dapat berjalan. Indikator keberhasilan ditentukan
oleh tingkat capaian dari ketiga Indikator Kinerja Kegiatan, yang melebihi target, terutama
publikasi internasional.
Keberhasilan dibidang penelitian dan pengembangan dikarenakan adanya pembinaan
yang dilakukan manajemen Litbangkes, baik oleh struktural maupun komisi ad hoc PPI. Pun
demikian, untuk capaian publikasi disokong oleh adanya Jurnal Gizi dan Makanan, serta
keaktifan peneliti untuk publikasi di internasional. Adapun untuk capaian status kesehatan
masyarakat dapat terlaksana dikarenakan adanya dukungan dari berbagai pihak.
Kedepan capaian tersebut akan lebih ditingkatkan lagi dengan adanya penelitian yang
langsung diarahkan pada produk/model/protipe/standar. Dan publikasi juga dilaksanakan
dengan seminar internasional.
iii
LAMPIRAN
iv
Rekomendasi Kebijakan
Penataan Pengaturan Minuman Bersoda dan Berenergi untuk Mencegah PGK
a. Isu pokok
Penyakit ginjal kronik (PGK) semakin meningkat dan menghabiskan dana besar
terutama PGK stadium terminal.Selamaini, diabetes melitus dan hipertensi dipercaya
sebagai faktor risiko utama PGK baik di negara maju maupun berkembang. Saat ini
berkembang pula beberapa hasil penelitian yang menunjukkan hubungan antara
konsumsi minuman bersoda dan berenergi dengan kejadian PGK, sementara
minuman-minuman tersebut menjadi gaya hidup konsumsi masa kini dengan iklan
gencar yang menyasar kalangan muda usia produktif.
b. Masalah kebijakannya
Masyarakat sebagai konsumen berhak atas perlindungan dari kemungkinan dampak
negatif suatu produk. Perhatian mengenai hal ini masih kurang sedangkan iklan
kedua jenis minuman ini semakin gencar.
Semua produk minuman di Indonesia harus teregistrasi di BPOM. Peraturan tentang
keamanan, mutu, dan gizi pangan serta peraturan label dan iklan pangan sudah diatur
oleh pemerintah dan BPOM. Peraturan mengenai pencantuman peringatan risiko
kesehatan jika mengonsumsi melebihi aturan belum ada. Sanksi jika terjadi
pelanggaran oleh produsen sudah ada namun belum tegas pelaksanaannya.
Pemasaran produk minuman bersoda dan berenergi semakin gencar baik melalui
iklan di media massa maupun sebagai sponsor kegiatan olahraga dan kesenian
generasi muda. Produk mudah didapatkan dan tidak ada pembatasan jumlah
pembelian.
25,8
6,62,3 2,2 1,4
0
5
10
15
20
25
30
Jakarta1) Yogyakarta2)North Carolina3) NHS, USA4) NHANES, USA5)
OR (odds ratio) konsumsi minuman bersoda atau berenergi terhadap PGK
v
Di Indonesia sudah ada UU no. 39 Tahun 2007 tentang cukai yang menyatakan
bahwa barang yang mempunyai dampak terhadap kesehatan perlu dikenai cukai
untuk mengendalikan dan mengawasi peredarannya. Namun cukai ini belum berlaku
untuk minuman bersoda dan berkarbonasi.
c. Opsi pemecahan masalah
Kebijakan dengan sasaran produsen maupun konsumen dapat direkomendasikan
sebagai upaya pencegahan. Pengaturan produksi lebih fisibel dilakukan daripada
perubahan perilaku konsumen.
Beberapa alternatif kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemegang kebijakan di
Kementerian Kesehatan bersama denganBPOM dan instansi-instansi terkait yaitu:
1. Mengatur produsen untukwajib mencantumkan peringatan “Bukan minuman
rutin sehari-hari”, pada setiap kemasan serta mencantumkan risiko kesehatan
jika mengonsumsi melebihi aturan.
2. Mengatur batas maksimum konsumsi minuman bersoda per hari dengan
mengacu pada ketentuan maksimum konsumsi gula per hari. Demikian juga
untuk minuman berenergi dengan mengacu pada ketentuan maksimum
konsumsi kafein dan taurine per hari.
3. Pembatasan iklan di media massa dengan menambahkan “peringatan dan
anjuran”.
4. BPOM melakukan uji petik produk di pasaran secara rutin dan berkala (post
marketing surveillance).
5. Memberi sanksi tegas bagi produsen yang melanggar aturan.
6. Mengenakan cukai untuk produk minuman bersoda dan berenergi seperti untuk
produk tembakau karena kedua minuman ini bukan kebutuhan primer dan
berdampak pada kesehatan.
d. Rekomendasi kebijakan yang dipilih (evidence based)
Produk minuman bersoda dan berenergi perlu diberi label peringatan risiko
kesehatan dan batas konsumsi per hari. Post marketing surveillance oleh Badan
Pengawas Obat dan Minuman (BPOM) perlu dilakukan lebih intensif dengan sanksi
tegas bagi pelanggar.
e. Kemungkinan dampak jika tidak dilaksanakan/tidak ditindak lanjuti.
Konsumsi rutin kedua minuman ini dalam jumlah banyak dapat meningkatkan
kejadian kegemukan karena kalori yang tinggi dari kandungan gulanya.Untuk jangka
panjang akan meningkatkan kejadian diabetes melitus yang dapat berkomplikasi
pada gangguan fungsi ginjal. Kandungan asam fosfat dalam minuman bersoda pun
dapat meningkatkan risiko pembentukan batu saluran kencing yang juga berefek
negative pada fungsi ginjal.
vi
Rekomendasi Kebijakan
PeningkatanPemanfaatanTerapiContinuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Pada Penyakit Ginjal Kronik (PGK) Stadium Akhir
Ringkasan
Penyakit ginjal kronis merupakan masalah kesehatan utama karena jumlah kasusnya
meningkat dengan pesat di Indonesia. Penderita gagal ginjal biasanya memerlukan
hemodialisis jangka panjang yang terus menerus. Penyakit ginjal kronis stadium akhir
membutuhkan terapi dialisis yang biayanya mahal, paling banyak menyerap anggaran
BPJS. Saat ini di Indonesia terapi PGK stadium akhir yang paling banyak digunakan
adalah hemodialisa (80%), transplantasiginjal (15%),continuous renal replacement therapy
CRRT (3%) dancontinuous ambulatory peritoneal dialisis (2%). CAPDmerupakan metode
dialisis yang secara psikososial-ekonomi lebih menguntungkan dibandingkan dengan
hemodialisa. Untuk itu perlu kiranya meningkatkan penggunaan CAPD bagi pasien PGK
di Indonesia.
LatarBelakang
Proporsi PGK di Indonesia pada usia ≥15 tahun sebesar 0,2%. Penderita di pedesaan
(0,3%) lebih banyak daripada di perkotaan (0,2%). Jumlah penderita akan semakin bertambah
karena tingginya prevalensi hipertensi dan diabetes di Indonesia. Penanganan PGK di
Indonesia seluruhnya sudah dijamin oleh pemerintah melalui BPJS. Pembiayaan PGK
tersebut saat in imenempati urutan nomor satu dalam penyerapan anggaran BPJS.
Hemodialisa adalah terapi pengganti ginjal dengan alat khusus dengan tujuan
mengeluarkant oksinuremik dan mengatur cairan elektrolit tubuh.Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD) merupakan terapi pengganti fungsi ginjal yang mempergunakan
peritoneum/selaput pelapis rongga perut dan membungkus organ dalam penderita.
Saat ini di Indonesia terapi PGK stadium akhir yang paling banyak digunakan adalah
hemodialisa (HD) (Gambar 1). Padahal ternyata CAPD lebih disarankan disbanding HD
karena memiliki keunggulan secara psikososial-ekonomi dibandingkan dengan HD.
vii
Gambar 1. JenisTerapi PGK Stadium AkhirPada Renal Unit di Indonesia
Sumber : 6th
Annual Report of Indonesian Renal Registry 2013 (PERNEFRI)
Di Indonesia, biaya yang dikeluarkan pasien PGK dengan CAPD lebih rendah
dibandingkan dengan HD. Berdasarkan perhitungan tarif harga sesuai Permenkes No 59 tahun
2014,perbandingan rasio biaya HD:CAPD = 1,96:1 atau dibulatkan menjadi 2:1.Biaya satu
orang pasien HD bisa untuk membiayai 2 orang pasien CAPD (Tabel1). Perkiraan harga
tersebut diluar harga obat-obatan penunjang HD yang cukup mahal seperti eritropoetin (EPO),
transfusi darah, biaya transportasi menuju pusat dialisa, maintenance mesin HD, kebutuhan
listrik, serta hilangnya waktu kerja.
Pembiayaan PGK antara HD dan CAPD di berbagai negara menunjukkan bahwa biaya
yang dikeluarkan bila menggunakan metode CAPD lebih rendah dibandingkan dengan HD,
baik segiutilisasi maupun pengeluaran untuk jasa dokter. Misalnya di Amerika penggunaan
CAPD menghemat biaya US$ 43.510 ($ 173.507 vs $129.997) dibandingkan dengan HD per
pasien/ tahun. Demikian juga di Inggris, penggunaan CAPD menghemat biaya £40.0 juta –
£94.5 juta per pasien/ limatahun.
viii
Tabel 1.Perkiraan Biaya CAPD dan HD perbulan Berdasarkan Permenkes No 59 Tahun 2014
Selain dari segi biaya, kualitas hidup pasien CAPD secara psikologis dan emosional
juga lebih baik dibandingkan dengan pasien HD. Mereka dapat menjalani hidupnya dengan
normal tanpa banyak batasan untuk mengkonsumsi makanan dan dapat menjalankan fungsi
sosialnya seperti biasa. Pasien PGK dan keluarganya tidak kehilangan waktu efektif bekerja
karena tidak perlu ke rumah sakit serta tidak memerlukan biaya non medis lainnya seperti
transport ke rumah sakit, biaya makan/minum selama menunggu di rumah sakit. Beberapa
analisis juga menunjukkan bahwa survival pasien PGK dengan CAPD maupun HD secara
umum tidak berbeda. Melihat hal tersebut di atas, penggunaan CAPD akan menghemat
banyak dana negara dan pasien dapat menjalani hidup dengan kualitas lebih baik
dibandingkan dengan pasien HD. Tabel2 menunjukkan perbandingan kelebihan dan
kekurangan dari kedua metode tersebut.
HD CAPD
Prosedur dialysis Rp.982.600
Biaya HD perbulan :
Rp.982.600 x (3 kali HD/
minggux4minggu/bulan) =
Rp.11.791.200
Biaya HD pertahun:
Rp.11.791.200 x12bulan
= Rp.141.494.400
Penggunaan consumables dan jasa pada pelayanan
CAPD dibayarkan.
Rp.5.940.000,00/bulan
Transfer set Rp250.000,00/set (minimal diganti 6
bulan sekali)
Perkiraan biaya CAPD pertahun
Rp5.940.000,00 x12 = Rp 71.280.000
Jika transfer set diganti 3 kali dalam setahun,
maka total biaya CAPD dalam 1 tahun :
Rp.71.280.000 + (3x Rp.250.000) = Rp.
72.030.000
Selisih biaya pertahun antara HD dan CAPD :
Rp.141.494.400 (HD) - Rp. 72.030.000 (CAPD) = Rp. 69.464.400 atau
(menghemat 49,1%)
ix
Tabel2.Perbandingan HD dan CAPD
HD CAPD
Dilakukan oleh tenaga kesehatan
terlatihsecara tim.
Dilakukan sendiri oleh pasien setelah
mendapat pelatihan. Prosedurnya dianggap
sulit bagi beberapa orang.
Dilakukan di rumah sakit/klinik pusat
hemodialisa.
Dapat dilakukan di rumah atau ditempat
kerja.
Dilakukan dalam waktu 3-5 jam, 2-
3x/minggu.
Dilakukan dalam 30 menit, 4-6x/hr,
dilakukan setiap hari.
Makanan dan minuman dibatasi. Tidak banyak pembatasan makan dan
minum,tidak memerlukan jarum.
Selama proses HD tekanan darah sering
turun, terjadi gumpalan darah (clothing),
pusing, mual, muntah dan kram otot.
Proses CAPD tidak menganggu kerja
jantung,tekanandan volume darah lebih
stabil.
Memerlukan biaya lebih besar dibandingkan
CAPD.
Lebih cost efektif.
HD menjadikan urin lebih sedikit, bahkan
akan hilang. Jika ginjal sudah tidak
berfungsi, maka akan terjadi anemia berat
sehingga membutuhkan eritropoetin (EPO)
yang lebih tinggi.
Fungsi ginjal masih ada dan bisa
dipertahankan lebih lama sehingga kadar
hemoglobin lebih tinggi dan kebutuhan
eritropoetin (EPO) lebih rendah. Proses
lebih alami.
Selama proses HD penderita merasakan
kelelahan.
Dengan CAPD penderita merasa lebih
bugar.
Berisiko terinfeksi virus Hepatitis B, C dan
HIV.
Berisiko infeksi peritoneum/peritonitis.
Regulasi dialisis secara umum telah dibuat dalam Permenkes no
812/menkes/PER/VII/2010 tentang penyelenggaraan pelayanan dialisis pada fasilitas
pelayanan kesehatan, didalamnya diatur tentang penyelenggara pelayanan HD dan CAPD.
Namunmasihterdapatbeberapakendala penggunaan CAPD yang dihadapi saat ini, antara lain
jumlah dokter yang mampu melakukan insersi kateter “tenckhoff“terbatas,
ketersediaan/penyimpanan dan distribusi cairan CAPD (±240 liter/pasien untuk satu bulan) ke
rumah sakit dirasa membebani baik bagi pihak rumah sakit maupun pasien serta penderita
masih kurang pengetahuan mengenai CAPD dan pencegahan infeksi peritoneum.
x
Rekomendasi Kebijakan:
1. Meningkatkan penggunaan CAPD sebagai pilihan utama terapi dialysis melalui
pendekatan dengan pihak rumah sakit.
2. Disusun permenkes tentang aturan criteria pasien dengan terapi CAPD sesuai dengan
clinical pathway yang disusun oleh PERNEFRI;
3. Mapping dan pemanfaatan fasilitas kesehatan ruang steril untuk pelayanan metode CAPD
di fasilitaskesehatan rumah sakit tipe A-D;
4. Pelatihan pemasangan kateter tenkhoff olehdokter umum tersertifikasi oleh PERNEFRI;
5. Permenkes desentralisasi fasilitas serta pengadaan perlengkapan CAPD dan cairan dialisat
CAPD.
6. Permenkes ketentuan pengawasan dan kendali mutu (Quality control) pelaksanaan metode
CAPD.
7. Sosialisasi penggunaan CAPD ke rumah sakit.
xi
Latar Belakang
Kekurangan gizi ibu saat hamil berisiko untuk melahirkan BBLR dan stunting. Untuk itu
pencegahan terjadinya anak stunting dimulai dari sebelum konsepsi.1
Calon pengantin (Catin) putri harus mempersiapkan diri untuk menjadi seorang ibu yang akan
mengandung, melahirkan dan mengasuh serta merawat anak dengan pengetahuan gizi dan
kesehatan.
Pengetahuan gizi tentang makanan beraneka ragam dan ASI eksklusif pada
remaja masih sangat rendah (7%)4.
Hasil penelitian lain mengemukakan pengetahuan remaja dan catin tentang body image
belum benar 2,3,4,
, perempuan
cenderung terlalu melebih-lebihkan ukuran tubuhnya.
POLICY BRIEF
MEMPERSIAPKAN CALON IBU UNTUK MELAHIRKAN ANAK YANG SEHAT DAN CERDAS
Erna Luciasari, Yuniar Rosmalina dan Dewi Permaesih
Erna Luciasari, Abas Basuni Jahari, dan Yuniar Rosmalina
Ringkasan
Catin atau calon pengantin adalah kelompok calon ibu yang sangat potensial untuk upaya
penanggulangan stunting dan BBLR melalui promosi kesehatan. Selama ini penyuluhan gizi
untuk remaja dilakukan melalui pendidikan formal. Sementara tidak ada jalur pendidikan gizi
dan kesehatan untuk kalangan remaja yang akan menikah. Buku Catin dan leaflet merupakan
alat yang dapat digunakan untuk memberikan promosi kesehatan tersebut. Slogan yang dipakai
adalah Hallo Catin (Himbauan Aman Lima Langkah yang harus dilakukan Oleh Calon
Pengantin).
xii
Empat dari sepuluh remaja perempuan Indonesia memiliki persepsi body image yang negatif,
merasa dirinya gemuk tetapi sebenarnya kurus. Body image yang demikian akan berpengaruh
pada pola makan sehingga mengakibatkan kekurangan gizi 5.
Pengetahuan dan praktek perawatan kehamilam juga masih rendah, perawatan setelah
melahirkan lengkap hanya 20%, imunisasi lengkap anak umur 12-23 bulan hanya 50%, dan
semakin menurun melakukan penimbangan Balita.2
Pendidikan gizi dan kesehatan telah diberikan sejak pendidikan dasar termasuk taman
kanak-kanak hingga menengah melalui program Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Namun,
bagi
remaja yang telah menyelesaikan sekolah dan hendak menikah, keterpaparan tidak didapatkan
lagi. Program kesehatan yang ditujukan untuk remaja dan Catin sejak 1986 sampai saat ini
hanya pemberian tablet tambah darah dan imunisasi TT.6,7,8
Hal ini dimungkinkan penyebab
prevalensi stunting (pendek) semakin meningkat dari 35,6% pada tahun 2010 menjadi 37,2%
pada tahun 2013.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI telah mengembangkan slogan
HALLO CATIN
(Himbauan Aman Lima Langkah yang harus dilakukan Oleh Calon Pengantin) dituangkan
dalam bentuk buku dan leaflet. Hal ini diharapkan mendukung memecahkan masalah gizi dan
kesehatan pada bayi dan anak terutama dalam upaya pencegahan stunting.
Modul dengan slogan “HALLO CATIN” berbentuk buku dan leaflet. Masa Perawatan
dan Pengasuhan Anak
Modul diberikan pada saat pembinaan di KUA. Modul yang berbentuk buku dipakai oleh
petugas KUA untuk memberikan penyuluhan sedangkan leaflet diberikan kepada calon
pengantin, setelah pembinaan untuk dipelajari sendiri
Materi dalam buku dan leaflet sama, akan tetapi penjelasan dalam buku lebih terperinci
dibandingkan leaflet. Pembahasan dalam buku dibagi dalam lima sub tema yaitu:
I. Masa Persiapan Perkawinan
II. Masa Kehamilan
III. Saat Melahirkan
IV. Masa Setelah Melahirkan
V. Masa Perawatan dan Pengasuhan Anak.
xiii
Strategi Rekomendasi
1. Direktorat Gizi, Promosi Kesehatan, dan Kesehatan Ibu dan Anak melakukan koordinasi
untuk menyusun langkah - langkah implementasi slogan Hallo Catin di tingkat
puskesmas.
2. Diperlukan pilot project untuk implementasi pada beberapa kabu-paten/kota, sebelum
diterapkan secara nasional.
3. Dengan berkoordinasi dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, pilot
project dapat dibingkai sebagai riset operasional.
.
xiv
MASALAH HIV/AIDS
HIV/AIDS adalah penyakit menular dengan stigma negatif yang berdampak beban berat di
bidang sosial, ekonomi dan kesehatan. Jumlah kasus terus meningkat setiap tahunnya,
terpapar pada gambar 1.1
Gambar 1. Kasus HIV,AIDS dan Kematian AIDS dari tahun 2005 – Juni 20141
Pengendalian HIV telah dilaksanakan dengan landasan Permenkes No 21 tahun 23 tentang
penanggulangan HIV/AIDS.2Hal yang utama adalah diagnosis pasti dan pemberian Anti
Retroviral (ARV). Pemberian obat ARV yang tepat dan dini terbukti memperpanjang usia
penderita. Untuk itu diperlukan ketersediaan ARV yang mana meningkatkan pembiayaan
untuk penyediaannya. Hal ini menjadi beban bagi anggaran negara.
Infeksi oportunistik (IO) merupakan masalah yang memperberat orang yang hidup dengan
HIV (ODHA). Pada gambar 2 terpapar IO yang paling sering dialami ODHA yaitu
Kandidiasis, Tuberkulosis dan Diare.1 Kondisi ini menyebabkan perawatan (hospitalization)
dari ODHA meningkat. Pengobatan ODHA menjadi beban karena selain ARV harus juga
menanggung pengobatan IO. Oleh karenanya selain dana program yang menyediakan obat
ARV dibutuhkan jaminan kesehatan untuk merawat ODHA.
0
10000
20000
30000
40000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Ju
mla
h
Tahun
Jumlah Kasus HIV Jumlah Kasus AIDS Kematian AIDS
Kajian Tatalaksana HIV/AIDS dalam konteks Asuransi
Policy Brief
xv
Gambar 2. Kasus AIDS dengan Infeksi Oportunistik dari tahun 2005 – Juni 20141
HIV/AIDS DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Pembiayaan terhadap infeksi HIV/AIDS oleh Kementerian Kesehatan dimasukkan sebagai
pelayanan kuratif/rehabilitatif dan upaya kesehatan masyarakat. Sementara untuk pengobatan
IO ditanggung oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Adapun dalam sistem JKN, pengobatan IO dibayar
berdasarkan tarif Indonesian - Case Based Groups (INA-CBGs) yang diamanatkan pada
Permenkes No 59 tahun 2014 tentang Standar tarif pelayanan kesehatan dalam
penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan.3 Besaran tarif berdasarkan rata – rata biaya
perawatan ODHA dengan IO dari berbagai fasilitas kesehatan. Penderita mendapat layanan
rawat jalan dan inap di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat Lanjut (FKRTL) setelah
mendapatkan rujukan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat Pertama (FKTP)sesuai
ketentuan yang ditetapkan dalam sistem JKN. Khusus untuk tenaga kerja, mulai tahun 2015
akan ditanggung dalam sistem JKN melalui BPJS Ketenagakerjaan.
HIV/AIDS DALAM ASURANSI KESEHATAN KOMERSIAL
Berbagai negara di dunia telah mencoba mengikutsertakan asuransi swasta tetapi sangat sulit
diterima karena rendahnya life expectating living serta tingginya angka morbiditas. Walaupun
berbagai bukti menunjukkan dengan pemberian ARV akan meningkatkan peluang hidup4
tetapi tetap saja sangat sulit diterima. Pertanggungan HIV/AIDS oleh asuransi komersial di
0
200
400
600
800
1000
1200
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Diare
Kandidiasis
Herpes zooster
Herpes Simplex
Limfadenopati generalisata
persisten
Enchepalopati
Pneumonia Pneumocystis
xvi
Indonesia telah diamanatkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan nomor 21 tahun 2013. Namun
pelaksanaannya masih terbatas pada penderita HIV/AIDS akibat kecelakaan kerja yang
berkaitan dengan risiko HIV/AIDS. Coordination of Benefit (COB) antara BPJS dengan
asuransi kesehatan komersial merupakan salah satu mekanisme yang dapat dilakukan untuk
pertanggungan pada ODHA. Untuk dapat memasukkan HIV/AIDS dalam pertanggungan
swasta masih butuh syarat, waktu dan kerterlibatan berbagai pihak seperti Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Badan Reasuransi, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia(AAJI).
GAP PELAYANAN HIV/AIDS DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Paket pertanggungan penderita HIV/AIDS dengan IO bersifat komprehensif (menyeluruh),
sehingga tidak ditentukan besaran biaya per penyakit IO yang diderita. Penyebabnya adalah
tidak adanya clinical pathway untuk tatalaksana HIV/AIDS dengan IO. Hal ini menyebabkan
besaran biaya pada paket belum dapat dinilai keakuratannya dan kecukupannya. Evaluasi
terhadap paket yang ada belum dapat dilakukan karena sistem JKN baru mulai berjalan tahun
2014. Gap lainnya adalah belum adanya rujukan balik dari FKRTL ke FKTP pada penderita
HIV/AIDS. Hal ini disebabkan HIV/AIDS belum masuk dalam komponen penyakit kronis,
padahal dengan pengobatan ARV yang tepat dan pencegahan terhadap IO yang rutin
dilakukan akan meningkatkan life expectating living.
Gap lain yang muncul yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi pelayanan HIV/AIDS
dalam sistem JKN adalah waktu minum obat ARV. Rekomendasi terkini adalah minum obat
ARV pada level CD4 < 500 sel /mm3. Hal ini untuk mencegah terjadinya IO dan
meningkatkanlife expectating living.Tantangannya adalah ketersediaan ARV.Pembiayaan
pembelian ARV yang besar sangat memberatkan untuk anggaran kesehatan. Saat ini bantuan
donor untuk Indonesia hanya dialokasikan untuk buffer stock, sehingga kebutuhan pembelian
obat sebenarnya 100% sudah ditanggung oleh negara. Dengan minum obat ARV, IO masih
dapat muncul, maka dengan ketidaktersediaan obat ARV akan memudahkan IO terjadi. Hal
ini akan berpengaruh pada angka kunjungan rawat jalan dan rawat inap JKN, yang tentunya
akan meningkatkan beban biaya Kesehatan Nasional.
Sistem JKN melingkupi pelayanan kesehatan kepada masyarakat, namun harus dipahami
pendanaan masih bergantung pada anggaran pemerintah yang suatu saat dapat membertakan.
Oleh karenanya cost-sharing budget sangat dibutuhkan terutama dengan pihak swasta. Hal ini
akan menjadi pintu masuk bagi asuransi kesehatan komersial untuk menjalankan amanat
undang – undang yang memasukan ODHA dalam pertanggungan. Selai itu adanya COB
xvii
seharusnya bisa memperkuat sistem JKN melalui kerjasama dengan pihak swasta terutama
asuransi kesehatan komersial, namun hingga saat ini pelaksanaannya masih belum berjalan
dengan baik, karena belum adanya petunjuk pelaksanaan khususnya pada pelayanan
HIV/AIDS.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Oleh karena dasar pembuatan paket biaya adalah rata – rata biaya pelayanan kesehatan dari
berbagai fasilitas kesehatan maka evaluasi perhitungan biaya harus dilakukan. Untuk
melakukannya diperlukan:
1. Penyusunanclinical pathwaytatalaksana HIV/AIDS dengan berbagai penyakit yang
berkaitan dengan IO yang melibatkan para ahlikedokterandan jaminan kesehatan serta
pemegang kebijakan kesehatan dan jaminan kesehatan/asuransi
2. Obat IO kecuali obat program seperti anti-TB dan anti-Hepatitis pada HIV/AIDS
direkomendasikan masuk dalam paket JKN, hal ini akan membantu tuntasnya pengobatan
koinfeksi HIV/AIDS.
3. HIV/AIDS harus masuk dalam komponen rujukan balik pada sistem JKN
4. Revisi pedoman pengobatan yang menegaskan pemberian ARV sedini mungkin yaitu
pemberian ARV harus diberikan segera dengan jumlah CD4 < 500 sel /mm3.
5. Obat ARV harus ready stock, yang mana dana dialokasikan untuk pembelian setiap tahun
selama dibawah masa kadaluarsa obat dan dibeli dalam jumlah berdasarkan prediksi
peningkatan kasus 3 atau 5 tahun kedepan. Kemudian setelah memenuhi prediksi 10 tahun,
maka pembelian dikurangi, sambil menunggu produk dalam negeri.
6. Sharing dana diperlukan untuk membantu pemerintah dalam penyediaan dan pengadaan
obat ARV misalnya melalui pembentukan konsorsium atau kerjasama dengan swasta dan
asuransi kesehatan komersial. Besaran cost sharing harus diputuskan di awal dan bersifat
pelayanan, contohnya sistem Medicaid yang membelikan obat bagi penderita ARV.
7. Penghitungan tabel life expectating living dan tabel kematian berdasarkan data
epidemiologi. Penelitian kohort retrospektif dan prospektif dapat dilakukanuntuk
mendapatkan tabel tersebut. Tabel sangat bermanfaat dan menjadi dasar (evidance based)
bagi asuransi kesehatan komersial untuk menghitung besaran pertanggungan yang
dibutuhkan untuk penderita HIV/AIDS. Hal ini akan memperkuat dasar mengikutsertakan
HIV/AIDS dalam asuransi kesehatan swasta.
xviii
8. Sistem pendataan berbasis e-registry segera dilakukan untuk penderita HIV/AIDS
diseluruh Indonesia untuk mendukung data epidemiologi.
9. Sistem COB harus dipersiapkan yang dimulai dengan pendataan peserta asuransi kesehatan
komersial sekaligus BPJS yang terinfeksi HIV/AIDS. Dengan demikian akan dapat
diperhitungkan pertanggungan yang dapat diberikan.
xix
Pelayanan Kesehatan Tradisional Di kaitkan Dengan Era
Jaminan Kesehatan Nasional
1. LATAR BELAKANG
Dalam upaya mensejahterakan masyarakat di bidang kesehatan, pemerintah sudah
menggulirkan suatu program pembiayaan pelayanan kesehatan yang bersifat nasional
yaitu “Jaminan Kesehatan Nasional(JKN)”. Program ini bersifat seperti asuransi yang
bersubsidi sehingga masyarakat yang tidak mampu dapat merasakan pelayanan kesehatan
secara paripurna. Dalam pelaksanaannya seluruh asuransi yang ada di masyarakat seperti
Askes, Jamsostek, Jamkesmas, dan JPKM akan dilebur menjadi satu sistim pembiayaan
yang akan dikoordinasikan oleh Badan Pembiayaan Jaminan Sosial (BPJS).1
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(UU BPJS), secara tegas menyatakan bahwa BPJS yang dibentuk dengan UU BPJS adalah
badan hukum publik. BPJS yang dibentuk dengan UU BPJS adalah BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan”.
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang : “Jaminan Kesehatan adalah jaminan
berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan
dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada
setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah”. Lalu
diperbaiki lagi dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 yang pada prinsipnya
program jaminan kesehatan ini dapat mencakup seluruh lapisan masyarakat.
Namun pada pelaksanaannya di lapangan masih banyak ditemukan kekurangan yang
dirasakan oleh masyarakat, selain pelayanan kesehatan yang masih belum siap atau juga
sistim pembiayaan dari pusat ke RS atau pelayanan kesehatan dasar yang masih belum
berjalan dengan baik. Program ini masih belum berjalan secara utuh karena masih ada
sistim pelayanan kesehatan yang belum tercakupi yaitu pelayanan kesehatan tradisional
yang sebelumnya sudah tercakupi namun dihilangkan dalam program ini contohnya
akupunktur ataupun yang belum pernah dibiayai seperti pemberian jamu/herbal.
Di negara China pembiayaan kesehatan dibiayai oleh asuransi secara reimburs untuk
semua jenis tindakan, mencakup pengobatan konvensional dan tradisional (akupunktur,
tuina dan herbal). Selain negara China, negara Korea dan India sudah memasukkan
xx
pengobatan tradisional dalam sistim kesehatan nasionalnya. Negara Kuba salah satu
negara komunis lebih jauh lagi sudah menanggung secara keseluruhan.
Dalam studi yang dilakukan Badan Litbang Kesehatan mengenai inventarisasi
penggunaan jamu pada tahun 2010 di Jawa Bali diketahui sebanyak 71,7 persen 159
dokter dari anggota perhimpunan seminat menggunakan jamu dalam praktek
pengobatannya, dimana sebanyak 50% adalah karena permintaan pasien atau
masyarakatnya sendiri.4Dari data Riskesdas 2010 diketahui masyarakat umur diatas 15
tahun pernah minum jamu sebanyak 59,12 persen dan yang merasakan manfaat dengan
minum jamu diketahui sebanyak 95,6 persen.5 Namun pemerintah masih belum
mengupayakan pelayanan tradisional dapat masuk dalam sistim pengobatan umum
bersanding dengan pengobatan konvensional.
Yang dimaksud dengan “Pelayanan Kesehatan Tradisional” dalam kajian ini adalah :
pelayanan “Akupunktur” dan pengobatan dengan “herbal/jamu”. “Akupunktur adalah
suatu cara pengobatan dengan perangsangan titik-titik tertentu (titik akupunktur)
dipermukaan tubuh untuk menyembuhkan suatu penyakit.” 2 Perangsangan tersebut
dapat dilakukan melalui penusukan jarum, penyuntikan, penyinaran dan sebagainya.
Sedangkan pengobatan dengan Herbal/jamu adalah pengobatan dengan menggunakan
obat tradisional yang dapat berasal dari jamu, obat herbal terstandar (OHT) ataupun
fitofarmaka. “Jamu adalah Obat Tradisional Indonesia. Obat HerbalTerstandar adalah
sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah
dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah distandardisasi. Fitofarmaka adalah
sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah
dengan uji praklinik dan klinik, bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi”. 3
Pemerintah melalui Badan Litbang Kesehatan sampai dengan tahun 2013, telah
memberikan diklat kajian berbasis pelayanan kepada lebih dari 200 dokter puskesmas dan
RS CAM (Complementary Alternative Medicine).Dari data capaian rencana strategis
Kementerian Kesehatan thn 2011 ada 20 kabupaten/kota yang tercakup dalam pembinaan
yankestradkom (pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer) dengan 30
RS yang menyelenggarakannya. Hingga tahun 2014 DirektoratBina Yankestradkom akan
mengembangkan RS CAM menjadi 70 RS.
xxi
Meskipun masih banyak permasalahan yang ada dalam pelaksanaan pelayanan
kesehatan tradisional di fasyankes dasar dan rujukan, baik dari profesi kesehatan yang
masih ragu akan standar pengobatan maupun dari penentu kebijakan dalam mengusulkan
dana pembiayaannya. Kementerian Kesehatan sudah menjalankan program Saintifikasi
Jamu yang akan meregistri semua cara pengobatan dan jenis bahan bakunya, sehingga
manfaat dan efek sampingnya dapat diketahui dan diawasi.
Program JKN merupakan bukti bahwa pemerintah mempunyai perhatian untuk
mensejahterakan masyarakat dari permasalahan kesehatan dengan membiayai cara
pengobatan konvensional dan seharusnya termasuk membiayai keinginan masyarakat
dalam menjaga kesehatan melalui pengobatan tradisional sebagai pengobatan awal
promotif dan preventif maupun pengobatan alternatif baik kuratif dan paliatif. Dengan
adanya program JKN pemerintah seharusnya sudah dapat mengupayakan pelayanan
kesehatan dengan pengobatan tradisional yang dapat dibiayai oleh pemerintah sambil
menjalankan program registri penggunaan jamu pada pasien (collecting data pasien
pelayanan jamu).
Dalam Kajian ini dipilih beberapa rumah sakit yang diketahui melaksanakan dengan
baik pelayanan kesehatan tradisional yang mencakup pelayanan jamu/herbal saja ataupun
dikombinasi dengan pelayanan akupunktur,diantaranya RSCM, RS Kanker Dharmais, RS
Soetomo Surabaya. Selain itu diperlukan konfirmasi data kepada pelaksana fasyankes di
tingkat pertama dalam hal ini puskesmas-puskesmas di Dinkes kota/kabupaten yang masih
menjalankan atau menyediakan pengobatan dengan jamu. Tim kajian memilih kota
Surakarta (Solo) dan kabupaten Semarang (Ungaran) yang dari pengumpulan informasi
data didapatkan cukup baik dalam menjalankan pengobatan dengan jamu.
1.1. TUJUAN
Tujuan:
Mendapatkan gambaran pembiayaan pelayanan kesehatan tradisional jamu di
rumah sakit dan puskesmas, sebagai masukan untuk acuan pembiayaan pelayanan
kesehatan tradisional dalam programJaminanKesehatan Nasional.
xxii
2.1. KONSEP
Gambar 1. Konsep kajian
Faktor dukungan pembiayaan pelayanan kesehatan tradisional, kinerja
dokter pelaksana pelayanan kesehatan tradisional bekerja dengan baik dan dukungan
penentu kebijakan di fasyankes dapat menentukan jalannya kegiatan pelayanan
kesehatan tradisional di rumah sakit dan pelayanan kesehatan dasar yang ideal.
Perlunya penilaian pelaksanaan pelayanan dengan kuesioner dan mencari
permasalahan pembiayaan dan penentu kebijakan dengan forum group dicussion.
Diperlukan besaran pembiayaan pelayanan kesehatan tradisional di fasyankes di
puskesmas dan rumah sakit, untuk memberi masukan dalam program JKN.
MASUKAN DAN REKOMENDASI
BPJS
Pelayanan Kesehatan
dengan Jamu yang ideal
1. Dukungan pusat dalam
pembiayaan pelayanan
kesehatan dengan jamu
2. Dokter Pelaksana bekerja
dengan baik.
3. Dukungan penentu kebijakan
oleh pemda setempat untuk
fasyankes dengan jamu.
4.
Standar Besaran
Pembiayaan Pelayanan
Kesehatan tradisonal
Akupunktur dan Jamu
xxiii
Masukan dan rekomendasi untuk BPJS adalahperlu adanya fornas khusus herbal bila
jamu akan dimasukkan dalam program JKN sehingga ada perlindungan khusus dalam
pengadaan jamunya.
Direktorat Yankestradkom
Masukan dan rekomendasi untuk Direktorat Yankestradkom adalah perlu adanya
payung khusus untuk melindungi pelaksana yankestradkom di RS dan pusk. Perlu
pendanaan khusus untuk pelaksana pemda yang sudah menjalankan yankestradkom
dengan memilih dan mendanai dengan alokasi khusus, karena selama ini pembiayaan
dengan DAK pusat, sedangkan di tahun 2015 akan dihapus pendanaan pusat .
Pemerintah daerah masih perlu bantuan dana dari pusat untuk menjalankan fasyankes
dengan jamu (pengadaan simplisia atau ekstrak jamu) dengan anggaran rutin selama
ini untuk kota/kabupaten yang besar maka dibutuhkan anggaran 500juta/tahun, utk
kota/kab sedang dan kecildiperkirakan 250juta/tahun. Dan untuk pengkategorian jenis
kota dan kabupaten dapat ditentukan bersama tim Komnas SJ dan pemda provinsi
terkait. Perlu disusun sistem pelayanan pengobatan non konvensional untuk menata
seluruh stakeholders yang terkait dalam penyelenggaraan pengobatan komplementer
tradisional dengan jamu.
Badan Litbangkes
Masukan dan rekomendasi untuk Badan Litbangkes adalah perlu ada studi khusus
untuk mencari data efektifitas secara klinik dari yankestradkom di tingkat rujukan/RS
(RS Soetomo,dll), selain secara penilaian klinik dapat juga penilaian kepuasan pasien
(QoL).
Pemerintah Pusat
Masukan dan rekomendasi untuk Pemerintah Pusat adalah perlu dibuat Keppres
khusus untuk pengembangan pelayanan jamu di fasyankes (RS dan PKM). Ini
merupakan bentuk Kemandirian Bangsa melalui pengobatan asli Indonesia. Agar
dapat berjalan dengan baik program pengobatan dengan jamu di fasyankes dasar dan
rujukan maka harus dimulai dari kebijakan nomor satu di negara ini, dengan suatu
program dari hulu sampai hilir dan antar beberapa kementerian terkait. Bila perlu
xxiv
dibuat suatu badan tersendiri yang mengelola segala urusan Jamu dari hulu sampai
dengan hilir yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Ada pemikiran lain,bahwa idealnya yankestradkom dengan jamu mempunyai
program pembiayaan khusus yang ditanggung oleh pemerintah pusat namun diluar
program JKN, karena sistim pengobatan konvensional berbeda dengan sistim
pengobatan jamu yang mempunyai sifat perbaikan organ secara alami dan bersifat
holistik, sesuatu yang berbeda dengan pengobatan konvensional yang bersifat
pengobatan organ secara spesifik. Berbeda dari lama pemberian obat karena jamu
membutuhkan waktu untuk bereaksi dengan tubuh, berbeda dari bahan baku karena
jamu berasal dari satu atau lebih tanaman namun tetap terstandarisasi. Sekali lagi
kajian ini hanya memberikan masukan untuk penentu kebijakan mencari program apa
yang sebaiknya dijalankan dan dapat dikerjakan di lapangantanpa adanya
kontroversial sehingga mengganggu kinerja tenaga medis yang mengerjakan
yankestradkom dengan jamu di fasyankes dasar maupun rujukan.
xxv
Rekomendasi Kebijakan
Registri Penyakit untuk Meningkatkan
Keberhasilan Penatalaksanaan TB –DM
di Puskesmas
Ringkasan
Komorbiditas DM pada pasienTB sudah lama diketahui, yaitu DM berpengaruh
negatif terhadap luaran pengobatan TB. Menurut WHO dan International Union against
Tuberculosis and Lung Disease tahun 2014, Indonesia merupakan satu dari tujuh negara
dengan beban penyakit ganda TB dan DM.Penderita DM memiliki sistem imun yang rendah
sehinggaberisiko lebih tinggimengalami TB. PasienDM memiliki 2 - 3 kali risiko untuk
menderita TB dibanding orang tanpa DM. Selain itu pasien DM yang didiagnosis TB
memiliki risiko kematian lebih tinggi. Data riset kesehatan masyarakat tahun 2007
menunjukkan hampir 40 % pasien TB melaksanakan pengobatan di Puskesmas.Pusat
Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Badan Litbang Kesehatan, sejak
tahun 2014 telah mengembangkan registri penyakit TB-DM pada tujuh Rumah Sakit di Jawa
dan Bali.Adanya Registri TB-DM secara berkesinambungan mempermudah evaluasi
outcome, yang pada akhirnya sangat membantu dalam pengendalian penyakit.
Untuk meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan kolaborasi TB-DM, maka
direkomendasikan pengembangan registri penyakit ini di Puskesmas. Selain itu juga agar
mengintensifkan kolaborasi pelayanan terintegrasi TB-DM dalam hal pencegahan dan
penatalaksanaan.
Pengantar
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko tersering pada pasien
TBparu. Saat ini, prevalensi terjadinya TB paru meningkat seiring dengan
peningkatanprevalensi pasien DM. Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sekitar 10-15%
danprevalensi penyakit infeksi TB 2-5 kali lebih tinggi pada pasien DM dibandingkandengan
tanpa DM.1,2
Diabetes berhubungan dengan meningkatnya risiko kegagalan dan kematian dalam
pengobatan tuberkulosis. Diabetes juga berhubungan dengan meningkatnya risiko relaps.
Klinis pasien TB-DM lebih berat karena muatanmycobacterialnya yang lebih banyak, tingkat
kegagalan pengobatan yang lebih tinggi dan waktu konversi yang lebih lama dibandingkan
xxvi
dengan TB tanpa DM. Pasien TB dan DM cenderung lebihbanyak yang menjadi TB resistens
obat dibanding TB non DM.3,4
Penyakit TB-DM dapat mengganggu tercapainya sasaran dari Millennium
Development Goal (MDG’s) sehingga kolaborasi penyakit ini harus segera ditangani.
Penanganan TB-DM harus difokuskan pada diagnosis awal, pengendalian kadargula darah
serta monitoring ketat klinis dan pengobatan. Selain itu perlu juga dilakukan deteksi awal DM
pada semua pasien TB.5,6
Peran Registri Penyakit dalam Penatalaksanaan TB-DM
Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Badan Litbang
Kesehatan, bekerjasama dengan tujuh RS di Jawa dan Bali, sejak tahun 2014 telah
mengembangkan registri TB-DM. Registri sebagai suatu sistem terstandarisasi dalam
pengumpulan data sangat membantu dalam mengevaluasi outcome dari penyakit, termasuk
TB yang disertai dengan DM.
Hasil registriTB-DM menunjukkan bahwa presentase klinis TB dengan atau tanpa DM
umumnya tidak berbeda (gambar 1), oleh karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa
penapisan (screening) untuk deteksi awal DM pada kasus TB sebaiknya dilakukan pada awal
pemeriksaan dan hal ini sejalan dengan kebijakan WHO tahun 2011.7
Gambar 1. Persentase gejala klinis TB pada kasus TB-DM saat masuk RS, Registri
Penyakit TB-DM, 2014
xxvii
Hasil registry TB-DM juga menunjukkan bahwa DM meningkatkan risiko kematian
pada TB (gambar 2). Hasil ini sesuai dengan penelitian kohort retrospektif pasien TB paru di
Maryland, Amerika Serikat yang menunjukkan meningkatnya risiko kematian sebesar tujuh
kali pada pasien TB-DM dibandingkan dengan pasien TB Non DM.7
Adanya Registri TB-DM secara berkesinambungan mempermudah evaluasi outcome,
yang pada akhirnya sangat membantu pengendalian penyakit.
Rekomendasi
A. Kebijakan
Peran Puskesmas untuk penatalaksanaan TB sangat penting karena berdasarkan data
riset kesehatan masyarakat tahun 20078hampir 40 % pasien TB melaksanakan pengobatan di
Puskesmas.Untuk meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan kolaborasi TB-DM, maka
direkomendasikan pengembangan registri penyakit di Puskesmas.
B. Teknis
Mengintensifkan kolaborasi pelayanan TB-DM dalam hal pencegahan dan
penatalaksanaan, seperti: meningkatkan kesadaran dan pengetahuan petugas kesehatan, pasien
terdiagnosis DM harus dilakukan skrining dan prosedur pemeriksaan TB, dan bagi pasien
yang terinfeksi TB harus dilakukan pemeriksaan skrining diabetes di Puskesmas.
Gambar 2. Persentase luaran kasus TB pada kasus TB-DM, Registri Penyakit TB-DM, 2014
xxviii
Policy Brief
Deteksi Dini Hipertensi Untuk Pencegahan Stroke
Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama di dunia. Data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007 stroke adalah peringkat pertama penyebab kematian penduduk
usia lima tahun keatas (15,4%). Sebanyak 80% kejadian stroke dapat dicegah melalui
identifikasi dan manajemen faktor risiko. Diantara faktor risiko stroke yang dapat
dimodifikasi, hipertensi merupakan faktor risiko terpenting. RegistriPenyakit Stroke di
Indonesia tahun 2013 menunjukkan 71,9% pasien strokeperdarahan dan 63,8% stroke iskemik
memiliki riwayat hipertensi. Riskesdas tahun 2013 menunjukkan hipertensi diderita oleh
25,8% penduduk dan sebanyak 63,2% kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis.
Deteksi dini hipertensi untuk mengidentifikasi penduduk yang berisiko mengalami penyakit
kardiovaskular melalui skrining tekanan darah terbukti menurunkan mortalitas akibat stroke
dan penyakit jantung.Oleh karena itu, kami merekomendasikan kebijakan deteksi dini
hipertensi pada penduduk usia 18 tahun keatas di semua fasilitas kesehatan, termasuk di
tempat kerja. Untuk mendukung kebijakan tersebut, diperlukan dukungan manajemen dan
sumber daya, baik tenaga kesehatan dan alat kesehatan. Selain itu diperlukan aktivitas
monitoring dan evaluasi berkala untuk menjamin mutu pelaksanaan program.Bila
rekomendasi kebijakan tersebut tidak dilaksanakan atau tidak ditindaklanjuti, diperkirakan
tidak ada perbaikan signifikan dalam hal cakupan diagnosis hipertensi. Selanjutnya
kesempatan untuk intervensi dini hipertensi akanterlewatkan sehingga risiko kejadian
komplikasi kardiovaskular seperti stroke atau penyakit jantung akan meningkat.
1. Isu Pokok
Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama di dunia. Di Indonesia, data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menempatkan stroke pada peringkat pertama
penyebab kematian penduduk berusia diatas lima tahun (15,4%).1Antara tahun 2007 dan 2013
terdapat peningkatan prevalensi stroke di Indonesia dari 8,3 menjadi 12,1 per 1000 penduduk,
jumlah ini diperkirakan terus meningkat seiring pertambahan faktor risiko dan penduduk usia
lanjut.1,2
Sebanyak 80% kejadian stroke dapat dicegah melalui identifikasi dan manajemen faktor
risiko. Diantara faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi, hipertensi merupakan faktor
xxix
risiko terpenting. Menurut JNC 7, hipertensi ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥140
mmHg atau diastolik ≥90 mmHg. Pada individu berusia 40-60 tahun, setiap penambahan
tekanan darah 20/10 mmHg akan meningkatkan risiko mortalitas karena penyakit
kardiovaskular.3,4
Penelitian Lawes dkk dan Perkovic dkk memperlihatkan hubungan linear
antara peningkatan tekanan darah dan risiko stroke.5,6
Hubungan ini bahkan terlihat lebih
nyata pada etnis Asia dibanding Kaukasia. Penelitian Wheltondkk tahun 2002 menunjukkan
pengurangan tekanan sistolik 2 mmHg akan menurunkan risiko mortalitas stroke sebanyak
6%.7 Lebih lanjut pengurangan sistolik 5 mmHg akanmenurunkan risiko mortalitas stroke
14%.
Di Indonesia, hipertensi diderita oleh 25,8% penduduk pada tahun 2013. Jumlah ini menurun
dibanding tahun 2007 sebanyak 31,7%.1,2
Data RegistriPenyakit Stroke di Indonesia tahun
2013 menunjukkan 71,9% pasien stroke perdarahan dan 63,8% stroke iskemik memiliki
riwayat hipertensi menjadikannya sebagai faktor risiko tertinggi, disusul oleh diabetes
mellitus dan dislipidemia di urutan kedua dan ketiga.8
2. Masalah Kebijakan
Hipertensi dikenal sebagai “the silent killer” karena gejalanya seringkali tidak dirasakan oleh
pasien. Peningkatan awarenessmasyarakat tentang bahaya hipertensi dan bagaimana cara
mengontrol tekanan darah dapat menjadi kunci terhadap pencegahan primer strokeatau
pencegahan terjadinya serangan stroke yang pertama kali.
Deteksi dini hipertensi bertujuan untuk mengidentifikasi penduduk yang berisiko mengalami
penyakit kardiovaskular melalui skrining tekanan darah. Langkah ini direkomendasikan WHO
karena terbukti menurunkan mortalitas akibat stroke dan penyakit jantung.9Di Indonesia,
belum ada kebijakan untuk deteksi dini dan penatalaksanaan hipertensi di masyarakat.
Pengukuran tekanan darah selama ini dilakukan sebagai bagian dari pelayanan kesehatan rutin
dan belum menjangkau penduduk yang tidak mendatangi fasilitas kesehatan. Berdasarkan
data Riskesdas tahun 2013, cakupan diagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan hanya 36,8%
atau 63,2% kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis.2
Modifikasi gaya hidup juga direkomendasi WHO sebagai langkah pertama penatalaksanaan
hipertensi. Canadian Hypertension Education Program (CHEP) pada tahun 2013
menganjurkan menjaga asupan natrium dibawah 1500 mg per hari, diet tinggi serat dan
rendah lemak, olahraga intensitas sedang selama 30-60 menit 4-7 kali per minggu, membatasi
konsumsi alkohol ≤2 gelas per hari, dan menjaga berat badan di kisaran indeks massa tubuh
(IMT) 18,5-24,9 kg/m2. Pelaksanaan setiap rekomendasi tersebut akan berkontribusi pada
xxx
penurunan tekanan darah. Setiap penurunan berat badan 10 kg akan menurunkan 5-20 mmHg.
Diet tinggi serat dan rendah lemak akan menurunkan 8-14 mmHg. Penurunan konsumsi
natrium akan menurunkan 2-8 mmHg. Olahraga akan membantu menurunkan 4-9 mmHg.
Pembatasan konsumsi alkohol akan menurunkan 2-4 mmHg.10
3. Opsi Pemecahan Masalah
Terdapat dua alternatif kebijakan yang memiliki daya ungkit besar yang diusulkan terhadap
isu promotif dan preventif stroke. Keduanya untuk diimplementasi di level nasional.
3.1. Deteksi dini hipertensi pada penduduk usia 18 tahun keatas di semua fasilitas
kesehatan, termasuk di tempat kerja
Saat ini pelayanan untuk penyakit tidak menular dilaksanakan di fasilitas kesehatan (faskes)
dasar, sedangkan untuk menjangkau populasi sehat dalam bentuk Pos Pembinaan Terpadu
Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM).
Posbindu PTM merupakan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM)yang
melakukan aktivitas monitoring (tekanan darah, obesitas, merokok, diet) dan konseling faktor
risiko PTM oleh dan untuk masyarakat secara rutin. Sampai tahun 2014 tercatat sebanyak
7.225 Posbindu PTM tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Kebijakan mengenai deteksi dini hipertensi pada penduduk usia 18 tahun keatas diperlukan
untuk memperluas cakupan diagnosis hipertensi. Dengan adanya kebijakan tersebut,
diharapkan deteksi dini dapat dilaksanakan di Posbindu dan semua faskes (milik pemerintah
maupun swasta), termasuk faskes di tempat kerja.
3.2. Pembatasan kandungan garam pada makanan olahan dan siap saji
Pengurangan konsumsi natrium (dalam bentuk garam) sudah diakui WHO sebagai langkah
yang cost-effective untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Sumber natrium
diperoleh dari garam yang ditambahkan pada hidangan, ikan asin, atau makanan kemasan.
Dengan mengurangi konsumsi garam kurang dari 5 gram per hari (setara dengan 2 gram
natrium) dipercaya akan mencegah 2,5 milyar kematian setiap tahunnya. Saat ini diestimasi
rerata konsumsi garam di dunia sebanyak 10 gram per orang setiap hari. Di Indonesia
berdasarkan data dari Studi Diet Total (SDT) tahun 2014, sebanyak 18,3% penduduk
mengonsumsi natrium diatas 2 gram per orang per hari.11
Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah melalui Permenkes Nomor 30 Tahun 2013
menetapkan pencantuman informasi kandungan gula, garam, lemak serta pesan kesehatan
pada makanan olahan dan siap saji. Pesan kesehatan berupa label informasi bahwakonsumsi
gula lebih dari 50 gram, natrium lebih dari 2000 miligram, atau lemak total lebih dari 67 gram
xxxi
per orang per hari berisiko hipertensi, stroke, diabetes, dan serangan jantung.Permenkes ini
direncanakan efektif diterapkan tiga tahun setelah diundangkan, yaitu pada tahun 2016 sesuai
waktu yang diperlukan industri makanan untuk melakukan persiapan.
4. Rekomendasi Kebijakan Yang Dipilih
Berdasarkan kedua opsi diatas, diperlukan kebijakan yang mengatur pelaksanaandeteksi dini
hipertensi pada penduduk usia 18 tahun keatas di semua faskes termasuk di tempat kerja.
Kebijakan tersebut meliputi detil mengenai dukungan manajemen dan sumber daya yang
diperlukan, baik tenaga kesehatan dan alat kesehatan. Selain itu mengatur langkah monitoring
dan evaluasi berkalauntuk menjamin mutu pelaksanaan program.
WHO merekomendasi alat kesehatan (alkes) minimal yang terdapat di faskes, yaitu alat
pengukur tekanan darah (tensimeter), alat pengukur berat badan (timbangan), alat pemeriksa
gula darah (glukometer), dan strip urin untuk pemeriksaan albumin. Seluruh alkes tersebut
harus berfungsi baik dan ditera secara berkala.
Kompetensi tenaga kesehatan diperiksa dan diperbarui secara berkala. Obat-obatan minimal
adalah aspirin; statin; antihipertensi golongan ACE inhibitor, tiazid, dan penghambat kalsium;
antidiabetik oral dan insulin.JIka memungkinkan, konseling harus selalu dilakukan pada
setiap pasien.
Sebagai langkah lanjutan pemeriksaan tekanan darah, JNC 7 merekomendasi interval skrining
pada populasi dewasa minimal:
Setiap dua tahun bila didapati tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg.
Setiap tahun bila tekanan darah sistolik 120-139 mmHg atau diastolik 80-89 mmHg.
Untuk monitoring dan evaluasi dapat dilakukan surveilans atau penelitian, terutama mengenai
insidens atau prevalens hipertensi dan komplikasinya. Selain itu mengenai efektivitas langkah
pencegahan dan tata laksana.
5. Kemungkinan Dampak Yang Terjadi Jika Rekomendasi Tidak
Dilaksanakan/Ditindaklanjuti
Bila rekomendasi kebijakan tersebut tidak dilaksanakan atau tidak ditindaklanjuti,
diperkirakan tidak ada perbaikan signifikan dalam hal cakupan diagnosis hipertensi.
Selanjutnya kesempatan untuk intervensi dini hipertensi akan terlewatkan sehingga risiko
kejadian komplikasi kardiovaskular seperti stroke atau penyakit jantung akan meningkat.
xxxii
Recommended