View
238
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
MAKALAH
INFORMASI DAN MEDIA LITERASI
D
I
S
U
S
U
N
O L E H
WINNIE AGNESA DAMANIK
110709032
ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah produksi Informasi dan Media
Literasi dengan tepat waktu. Adapun makalah ini berisikan informasi mengenai
informasi dan media literasi yang berkembang.
Saya mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung
hingga selesainya laporan ini, terutama untuk dosen mata kuliah Perpustakaan
Digital, Ibu Himma Dewiyana yang telah memberikan banyak ilmu mengenai
teknologi media kepada Saya.
Saya berharap makalah Saya ini memberikan fungsi dan manfaat kepada
semua yang membacanya, dan menambah wawasan di bidang Literasi. Akhir kata
Saya mengucapkan terimakasih.
Medan, Mei 2013
Winnie Agnesa Damanik
DAFTAR ISI Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan Penulisan Makalah
1.3 Manfaat Penulisan Makalah
Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian Informasi, Media dan Literasi
2.2 Informasi Literasi
2.3 Model Literasi Informasi
2.4 Media Literasi
Bab II Kesimpulan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Beberapa definisi menggambarkan bahwa informasi dapat ditampilkan
dalam beberapa format dan dapat dimasukkan ke dalam sumber yang
terdokumentasi (buku, jurnal, laporan, tesis, grafik, lukisan, multimedia, rekaman
suara). Di masa depan, mungkin ada format lain dalam menampilkan informasi di
luar imaginasi kita pada saat ini. Dalam perkembangan teknologi informasi dan
internet (ICT) dewasa ini, maka timbul beberapa perkembangan yang mendorong
perubahan konsep literasi awal, menjadi konsep baru literasi yang memiliki
pengertian yang berkaitan dengan beberapa keahlian baru yang harus dimiliki oleh
siswa. International Literacy Institute, menjelaskan bahwa pengertian literasi sendiri
sekarang sudah berkembang dan diartikan menjadi sebuah “range” keahlian yang
relatif (tidak absolut) untuk membaca, menulis, berkomunikasi dan berfikir secara
kritis. Karena itu maka Tapio Varis, Ketua umum UNESCO untuk Global E-
Learning mengatakan bahwa dengan berkembangnya teknologi komputer dan
informasi, maka literasi bisa dipetakan menjadi beberapa jenis, yaitu : a. Literasi
teknologi, yaitu keahlian untuk menggunakan internet dan mengkomunikasikan
informasi. b. Literasi Informasi, yaitu keahlian untuk melakukan riset dan
menganalisa informasi sebagai dasar pengambilan keputusan c. Literasi media,
yaitu keahlian untuk menghasilkan, mendistribusikan, serta mengevaluasi isi
koleksi pandang dengar (Audio Visual) d. Literasi Global, yaitu pemahaman akan
saling ketergantungan manusia didunia global, sehingga mampu berpartisipasi di
dunia global dan berkolaborasi. e. Literasi kompentensi sosial dan tanggungjawab
lebih kepada pemahaman etika dan pemahaman terhadap keamanan dan privasi
dalam berinternet (McPerson, 2007). Di tengah keberagaman bentuk dan jenis
informasi, maka kita dituntut tidak hanya dapat menbaca dan menulis bahan tertulis
(dalam bentuk buku atau tercetak) saja, tetapi bentuk-bentuk lain seiring dengan
perkembangan teknologi informasi. Menurut Eisenberg (2004) selain memiliki
kemampuan literasi informasi, seseorang juga harus membekali dirinya dengan
literasi yang lain seperti : a. Literasi visual adalah kemampuan seseorang untuk
memahami, menggunakan dan mengekspresikan gambar. b. Literasi media
merupakan kemampuan untuk mengakses, menganalisis dan menciptakan
informasi untuk hasil yang spesifik. Media tersebut adalah Televisi, radio, surat
kabar, film, musik. c. Literasi komputer adalah kemampuan untuk membuat dan
memanipulasi dokumen dan data melalui perangkat lunak pangkalan data dan
pengolah data dan sebagainya. Literasi komputer juga dikenal dengan istilah literasi
elektronik atau literasi teknologi informasi. d. Literasi Digital merupakan keahlian
yang berkaitan dengan penguasaan sumber dan perangkat digital. Beberapa institusi
pendidikan menyadari dan melihat hal ini merupakan cara praktis untuk
mengajarkan literasi informasi, salah satunya melaui tutorial. e. Literasi Jaringan
adalah kemampuan untuk menggunakan, memahami, menemukan dan
memanipulasi informasi dalam jaringan misalnya internet. Istilah lainnya dari
literasi jaringan adalah literasi internet atau hiperliterasi. Secara garis besar Bawden
(2001) mengemukakan tiga jenis literasi berbasis keterampilan yaitu literasi media,
literasi komputer dan literasi perpustakaan. Literasi perpustakaan memiliki dua
pengertian, pengertian pertama adalah mengacu pada kemampuan dalam
menggunakan perpustakaan dan menandai awal lahirnya literasi informasi yang
menekankan pada kemampuan menetapkan sumber informasi yang tepat.
Pengertian yang kedua berhubungan dengan keterlibatan perpustakaan dalam
program literasi tradisioanal seperti pengajaran kemampuan membaca. Literasi
perpustakaan biasanya disinonimkan dengan keterampilan perpustakaan dan
instruksi bibliografis. Menurut Snavely dan Cooper (1997) literasi perpustakaan
merupakan istilah alternatif untuk literasi informasi yang merupakan bentuk
terbaru dari instruksi perpustakaan dan sumber informasi lainya. Saat ini
kemamuan literasi informasi merupakan sasaran atau tujuan yang ingin dicapai
dalam program pendidikan pemustaka di perpustakaan. Pendidikan pemustaka saat
ini mulai berkembang dan mencakup segala aspek mengenai pencarian informasi,
untuk mempersiapkan pemustaka mencapai pembelajaran sepanjang hayat
(Versosa, 2008: 12).
1.2 Tujuan Penulisan Makalah
1. Memenuhi tugas mata kuliah Perpustakaan Digital
2. Menambah pengetahuan mengenai perkembangan informasi dan media
literasi
1.3 Manfaat Penulisan Makalah
1. Menambah wawasan mengenai informasi dan media literasi
2. Menambah pengetahuan mengenai perkembangan literasi dalam
perpustakaan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Informasi, Media dan Literasi
Informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk yang berguna untuk
membuat keputusan. Informasi berguna untuk pembuat keputusan karena
informasi menurunkan ketidakpastian (atau meningkatkan pengetahuan) Informasi
menjadi penting, karena berdasarkan informasi itu para pengelola dapat
mengetahui kondisi obyektif perusahaannya. Informasi tersebut merupakan hasil
pengolahan data atau fakta yang dikumpulkan dengan metode ataupun cara – cara
tertentu.
“Pengertian Informasi Menurut Gordon B. Davis (1991: 28), “Informasi adalah data
yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat bagi
pengambilan keputusan saat ini atau mendatang”
Media merupakan bentuk jamak dari kata medium. Dalam ilmu komunikasi,
media bisa diartikan sebagai saluran, sarana penghubung, dan ala-alat komunikasi.
Kalimat media sebenarnya berasal dari bahasa latin yang secara harafiah
mempunyai arti perantara atau pengantar.
“Gerlach dan Ely (1971), menjelaskan bahwa Media apabila dipahami secara garis
besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa
mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap.”
Secara sederhana, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau
melek aksara. Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas.
Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap
lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America‟s
Young Adult mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang
dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan
pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Lebih jauh, seorang
baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca
dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya.
2.2 Informasi Literasi
Information literacy dapat diterjemahkan sebagai keberaksaraan informasi atau
kemelekan informasi. Di dalam bidang perpustakaan dan informasi, keberaksaraan
informasi ini segera dikaitkan dengan kemampuan mengakses dan memanfaatkan
secara benar sejumlah besar informasi yang tersedia di Internet. Salah satu
pengertian tentang information literacy yang paling sering dikutip adalah yang
datang dari American Library Association (ALA) Presidential Committee on
Information Literacy. Institusi ini menyatakan bahwa „.. to be information literate, a
person must be able to recognize when information is needed and have the ability to
locate, evaluate, and use effectively the needed information.‟ Secara singkat,
pengertian ini menyatakan bahwa setiap orang diharapkan memiliki kemampuan
menemukan informasi secara tepat-guna. Ini dimulai dari kemampuan mengenali
apa kebutuhan informasi pribadinya, sebelum mencari dan menemukan informasi
tersebut.
Dari sisi pandang perpustakaan di negara-negara dengan tingkat ketersebaran
fasilitas Internet yang merata dan tingkat keberaksaraan (literacy) yang tinggi,
fenomena information literacy ini merupakan semacam perkembangan mutakhir
dari pola serupa yang sudah ada sejak jaman pra-Internet, yaitu pelatihan-pelatihan
pemakaian sarana bibliografi (bibliographic instruction) sebagaimana dikenal di
negara-negara Amerika Utara, atau „user education‟ alias pendidikan pemakai, yang
terutama berkembang di Eropa Barat. Di masa lampau, prinsip kegiatan-kegiatan ini
pada dasarnya serupa dengan apa yang hendak dikembangkan melalui program-
program information literacy, yaitu mengembangkan kemampuan masyarakat
pengguna dalam:
o Menetapkan hakikat dan rentang informasi yang dibutuhkan
o Mengakses informasi yang dibutuhkan secara efektif dan efisien
o Mengevaluasi informasi dan sumbernya secara kritis
o Menggunakan informasi untuk keperluan tertentu.
Bolehlah dikatakan bahwa program information literacy sebenarnya adalah
program pemberdayaan masyarakat. Selama perkembangannya di 20 tahun
belakangan ini, para pustakawan -terutama pustakawan sekolah dan perguruan
tinggi- pada umumnya memandang keterampilan yang hendak dikembangkan
melalui program-program pemberdayaan ini adalah keterampilan yang non-
problematik. Artinya, kemampuan seseorang dalam mencari dan menemukan
informasi itu adalah serangkaian keterampilan yang „dipindahkan‟ dari pustakawan
ke pengguna perpustakaan. Setelah seorang murid atau mahasiswa mendapatkan
keterampilan itu, ia diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis
dan menyelesaikan masalah, serta pada gilirannya menambah motivasinya untuk
belajar.
Di dunia pendidikan tinggi, information literacy juga dianggap sebagai
serangkaian keterampilan yang bersifat generik dan dapat diterapkan di segala
bidang ilmu. Pustakawan dan penyelenggara pendidikan memberikan program-
program dasar bagi para mahasiswa baru, dengan harapan mereka akan dapat
mengembangkan diri lebih lanjut di sepanjang masa belajar mereka. Sama dengan di
sekolah menengah, program-program information literacy di perguruan tinggi pada
umumnya berdasarkan pandangan bahwa keterampilan mencari, menemukan, dan
menggunakan informasi ini adalah suatu keterampilan teknis. Dari sisi pandang
pendidikan, pada umumnya program information literacy memakai prinsip-prinsip
yang menekankan pada perubahan keadaan mental dan pikiran[1]. Standar-standar
tentang information literacy sebagaimana yang dipakai oleh Association of College
and Research Libraries (ACRL) atau Australian and New Zealand Institute for
Information Literacy (ANZIIL) tampaknya mendukung prinsip-prinsip ini. Beberapa
negara meniru begitu saja standar ini, seolah-olah proses menjadi melek-informasi
dapat dilepaskan dari konteks sosial-budaya dan dipindah-pindahkan dari satu
masyarakat ke masyarakat lainnya. Dari sisi pandang sosio-kultural, maka program-
program information literacy perlu dilengkapi dengan pemahaman tentang betapa
penting peran informasi dalam kerja bersama-sama dengan orang lain. Itu artinya,
upaya menjadi seorang yang melek-informasi di tempat kerja bukanlah hanya
persoalan meningkatkan kemampuan mencari dan menemukan informasi di sumber
tercetak atau digital, melainkan juga kemampuan membina hubungan sosial-budaya
dengan rekan kerja dan sejawat, bagaimana menggunakan jaringan hubungan antar-
manusia untuk bertukar dan saling berbagi informasi (tentang ini, lihat misalnya
Billett, 2003 dan Lloyd, 2004a. Seringkali, untuk menjadi benar-benar melek-
informasi, seseorang harus melalui dua tahap. Di tahap pertama, ia
mengembangkan kemampuan diri dalam mengenali dan menggunakan berbagai
sumber-sumber informasi yang tersedia di tempat kerja. Pada tahap ini mungkin ia
memerlukan program-program formal seperti yang diterimanya di sekolah atau
perguruan tinggi. Di tahap kedua, ia mengembangkan kemampuan diri ini sebagai
bagian dari kerja-sama di kantor atau di luar kantor, mengintegrasikan keterampilan
teknisnya dengan keterampilan berhubungan sosial dengan berbagai pihak yang
terkait dengan tugas-tugas profesionalnya. Pada tahap ini, ia memerlukan program-
program yang lebih informal dalam bentuk keikutsertaan di berbagai pergaulan
sosial atau dengan menjadi anggota komunitas tertentu.
Dari sisi pandang sosio-kultural, maka program-program information literacy
perlu dilengkapi dengan pemahaman tentang betapa penting peran informasi dalam
kerja bersama-sama dengan orang lain. Itu artinya, upaya menjadi seorang yang
melek-informasi di tempat kerja bukanlah hanya persoalan meningkatkan
kemampuan mencari dan menemukan informasi di sumber tercetak atau digital,
melainkan juga kemampuan membina hubungan sosial-budaya dengan rekan kerja
dan sejawat, bagaimana menggunakan jaringan hubungan antar-manusia untuk
bertukar dan saling berbagi informasi (tentang ini, lihat misalnya Billett, 2003 dan
Lloyd, 2004a. Seringkali, untuk menjadi benar-benar melek-informasi, seseorang
harus melalui dua tahap. Di tahap pertama, ia mengembangkan kemampuan diri
dalam mengenali dan menggunakan berbagai sumber-sumber informasi yang
tersedia di tempat kerja. Pada tahap ini mungkin ia memerlukan program-program
formal seperti yang diterimanya di sekolah atau perguruan tinggi. Di tahap kedua,
ia mengembangkan kemampuan diri ini sebagai bagian dari kerja-sama di kantor
atau di luar kantor, mengintegrasikan keterampilan teknisnya dengan keterampilan
berhubungan sosial dengan berbagai pihak yang terkait dengan tugas-tugas
profesionalnya. Pada tahap ini, ia memerlukan program-program yang lebih
informal dalam bentuk keikutsertaan di berbagai pergaulan sosial atau dengan
menjadi anggota komunitas tertentu.
2.3 Model Literasi Informasi
Keberadaan model memungkinkan untuk mengidentifikasi berbagai komponen
serta menunjukkan hubungan antarkomponen. Juga model dapat digunakan untuk
menjelaskan apa yang di maksud dengan literasi informasi. Dari situ kita dapat
memusatkan pada bagian tertentu ataupun keseluruhan model.
Model literasi informasi ada 4 yang terkenal yaitu The Big 6, Seven Pillars, dan
Empowering 8 serta satu lagi The Seven Faces of Information Literacy
sebagaimana diusulkan oleh Bruce.
A. The Big 6
The Big 6 dikembangkan di AS oleh dua pustakawan, Mike Eisdenberg dengan
Bob Berkowitz. The Big 6 menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk
mengajar informasi dan ketrampilan informasi serta teknologi. Model The Big 6
terdiri dari 6 tahap pemecahan masalah, pada masing-masing tahap
dikelompokkan dua sublangkah atau komponen.
1. Definisi tugas
Definisikan masalah informasdi yang dihadapi
Identifikasi informasi yang diperlukan
2. Strategi mencari informasi
Menentukan semua sumber yang mungkin
Memilih sumber terbaik
3. Lokasi dan akses
Tentukan lokasi sumber secara intelektual mauopun nfisik
Menemukan informasi dalam sumber
4. Menggunakan informasi
Hadapi, misalnya membaca, mendengar, menyentuh, mengalamati
Ekstrak informasi yang relevan
5. Sintesis
Mengorganisasikan dari banyak sumber
Sajikan informasi
6. Evaluasi
Nilai produk yang dihasilkan dari segi efektivitas
Nilai prosese, apakah efisien
Model The Big 6 memiliki kekurangan yaitu mayoritas sumber dan contoh
berdasarkan sekolah dan kegiatan kelas di AS. Kedua The Big 6 merupakan
produk komersial yang mensyaratkan hak cipta dan perlindungan merek dagang
sehingga tidak dapat digunakan begitu saja. Sungguhpun demikian, pembuat The
Big 6 masih mengizinkan penggunaannya untyuk kepertluan pendidikan asal
memberitahu mereka.
B. The Seven Pillars of Information Literacy
SCONUL (Standing Conference of National and University Libraries) di Inggris
mengembangkan model konsdeptual yang disebut Seven Pillars of Information
Literacy. Bila di gambar nampak sebagai berikut :
Model Tujuh Pilar hendaknya dilihat dari segi peningkatan mulai dari ketrampilan
kemelekan informasi dasar melalui cara lebih canggih memahami serta
menggunakan informasi, katakanlah dari novis menuju pakar.
Model 7 Pilar terdiri dari 2 himpunan ketrampilan yaitu :
(a) Mengetahui bagaimana menentukan lokasi informasi serrta mengaksesnya
(b) Mengetahui bagaimana memahami serta menggunakan informasi.
Ad a. Mengetahui bagaimana menentukan lokasi informasi serrta mengaksesnya
Empat pilar pertama terdiri atas ketrampilan dasar yang disyaratkan untuk
menentukan lokasi serta akses informasi terdiri :
(Pilar 1) Merekognisi kebutuhan informasi, mengetahui apa yang telah diketahui,
mengetahui apa yang tidak diketahui dan mengidentifikasi kesenjangan antara
yang diketahui dengan yang tidak diketahui
(Pilar 2) Membedakan cara mengatasi kesenjangan, mengetahui sumber informasi
mansa yang paling besar peluangnya memuaskan kebutuhan
(Pilar 3) Membangun strategi untuk menentukan lokasi informasi. Contoh
bagaimana mengembangkan dan memperbaiki strategi penelusuran yang efektif
(Pilar 4) Menentukan lokasi dan akses informasi, mengetahui bagaimana
mengakses sumbert infotmasi dan memeriksa alat untuk akses dan temu balik
informasi.
Ad b . Mengetahui bagaimana memahami serta menggunakan informasi.
Pilar ke lima sampai ke tujuh merupakan ketrampilan tingkat lanjut yang
diperlukan untuk memahami serta menggunakan informasi secara efektif.
Adapun ke tiga pilar tersebut ialah
(Pilar 5) Membandingkan dan mengevaluasi, mengetahui bagaimana mengases
relevansi dan kualitas informasi yang ditemukan
(Pilar 6) Mengoraganisasi, menerapkan dan mengkomunikasikan, mengetahui
bagaimana merangkaikan informasi baru dengan informasin lama, mengambil
tindakan atau membuat keputusan dan akhirnya bagaimana berbagi hasil temuan
informasi tersebut dengan otarang lain
(Pilar 7) Sintesis dan menciptakan, mengetahui bagaimana mengasimilasikan
informasi dari berbagai jenis sumber untuk keperluan menciptakan pengetahuan
baru. Bila di gambar hasilnya sebagai berikut
Ketrampilan dasar literasi informasi (pilar 1 sampai 4) merupakan dasar bagi
semua isu dan topik, dapat diajarkan pada semua tingkat pendidikan. Ketrampilan
tersebut juga diperkuat dan diperkaya melalui penggunaan berkala serta
pembelajaran sepanjang hayat, umumnya melalui program dan sumber yang
disediakan oleh perpustakaan. Untuk mencapai pilar 5 sampai 7, tantangan yang
dihadapi lebih besar karena keanekaragaman orang.
C. Empowering Eight (E8)
International Workshop on Information Skill for learning International Workshop
on Information Skills fort Learning di Colombo, Srilangka tahun 2004 ini dihadiri
oleh 10 negara, yaitu Bangladesh, India, Indonesia, Maldiva, Malaysia, Nepal,
Pakistan, Singapore, Sri Lanka, Muangthai, dan Vietnam, sedangkan workshop
kedua diselenggarakan di Patiala India) november 2005. Tujuannya oalah
mengembangkan model literasi informasi yang akan digunakan untuk negara-
negara Asia Tenggara dan Selatan. Model yang dikembangkan disebut
Empowering Eight atau E8 karena mencakup 8 komponen menemukan dan
menggunakan informasi. Empowering 8
Empowering 8 menggunakan pendekatan pemecahan masalah untuk resource-
based learning. Menurut model ini, literasi informasi terdiri dari kemampuan untuk
:
1. Identifikasi topik/subyek, sasaran audiens, format yang relevan, jenis-jenis
sumber
2. Eksplorasi sumber dan informasi yang sesuai dengan topik
3. Seleksi dan merekam informasi yang relevan, dan mengumpulkan kutipan-
kutipan yang sesuai
4. Organisasi, evaluasi and menyusun informasi menurut susunan yang logis,
membedakan antara fakta dan pendapat, dan menggunakan alat bantu visual
untuk membandingkan dan mengkontraskan informasi
5. Penciptaan informasi dengan menggunakan kata-kata sendiri, edit, dan
pembuatan daftar pustaka
6. Presentasi, penyebaran atau display informasi yang dihasilkan
7. Penilaian output, berdasarkan masukan dari orang lain
8. Penerapan masukan, penilaian, pengalaman yang diperoleh untuk kegiatan
yang akan datang; dan penggunaan pengetahuan baru yang diperoleh untuk
pelbagai situasi.
D. Bruce’s Seven faces of information literacy
Bruce menggunakan pendekatan informasi terhadap literasi informasi. Ada tiga
strategi yang diusulkannya yaitu :
(a) Ancangan perilaku (behaviourist approach), menyatakan untuk dapat
digambarkan sebagai melek informasi, seseorang harus menunjukkan
karakteristik tertentu serta mendemonstrasikan ketrampilan tertentu yang dapat
diukur. Pendekatan semacam itu dianut oleh ACRL dalam standarnya.
(b) Ancangan konstrukvis (constructivist approach), tekanan pada pembelajar
dalam mengkonstruksi gambaran domainnya, misalnya melalui pembebelajaran
berbasis persoalan,
(c) Ancangan relasional, dimulai dengan menggambarkan fenomena dalam
bahasa dari yang telah dialami seseorang.
Adapun 7 wajah literasi informasi digambarkkan dalam tabel sebagai berikut :
Seven faces of information literacy
Kategori satu: Konsepsi teknologi informasi
Literasi informasi dilihat sebagai penggunaan teknologi informasi untuk keperluan temubalik informasi serta komunikasi
Kategori dua: Konsepsi sumber ke informasi
Literasi informasi dilihat sebagai menemukan informasi yang berada di sumber informasi
Kategori tiga: Konsepsi proses informasi
Literasi informasi dilihat sebagai melaksanakan sebuah proses
Kategori empat: Konsepsi pengendalian informasi
Literasi informasi dilihat sebagai pengendalian informasi
Kategori lima: Konsepsi konstruksi pengetahuan
Literasi informasi dilihat sebagai pembuatan basis pengetahuan pribadi pada bidang baru yang diminatinya
Kategori enam: Konsepsi perluasan pengetahuan
Literasi informasi dilihat sebagai berkarya dengan pengetahuan dan perspektif pribadi yang dipakai sedemikian rupa sehingga mencapai wawasan baru
Kategori tujuh: Konsepsi kearifan
Literasi informasi dilihat sebagai menggunakan informasi secara bijak bagi kemudaratan orang lain
E. McKinsey Model
Mahasiswa pascasarjana bisnis (graduate business students) memerlukan 10
ketrampilan untuk melakukan penelitian pada abad informasi ini (Donaldson,
2004). Adapun kesepuluh ketrampilan itu ialah :
(a) Fokus pada topik (persempit topik/perluas ruang lingkup)
(b) Bekerja dalam urutan kronologis terbalik, pertama kali menelusur
informasi terbaru
(c) Memahami signifikansi terminologi dan tentukan tajuk subjek yang benar
(d) Menganekaragamkan sumber (gunakan buku, majalah, situs internet, dll)
(e) Gunakan strategi Boole (AND,OR,NOT) pada penelusuran komputer
(f) Gandakan sumber sampai tiga kali (identifikasi sebanyak tiga kali rujukan
dari yang diperlukan)
(g) Evaluasi secara kritis materi yang ditemubalik; harus memiliki keurigaan
pada sumber yang berasal dari Web;
(h) Asimilasikan informasi; jangan plagiat, masukkan gagasan sendiri
kedalam topik penelitian
(i) Sitir semua sumber
Sebenarnya model McKinsey merupakan pengembangan lebih lanjut dari
model literasi informasi yang telah ada sebelumnya. Dimulai dari kebutruhan
bisnis, namun karenas diadaptasikan untuk literasi informasi, maka dimulai
dengan kebutuhan informasi. Kebutuhan ini muncul dari masalah bisis atau
masalah penelitian, studi kasus ataupun tugas kuliah.
Setelah masalah diidentifikasi, langkah selanjutnya ialah analisis masalah Oleh
McKinsey disebut perangkaan masalah atau mendefinisikan batas masalah
kemudian memecahnya menjadi unsur komponen untuk sampai ke hipotesis
awal sebagai pemecahan. Langkah berikutnya disann analisys, kemudian
dilanjutkan dengan pengumpulan data, terutama dengan fact finding serta
wawancara, Berikutnya menafsirkan hasil, analisis serta evaluasi untuk menguji
hipotesis. Langkah paling akhir dalam model McKinesy ialah penyajian akhir.
2.4 Media Literasi
Istilah literasi media diciptakan di mid-2004 untuk menggabungkan literasi
lainnya dengan visual (Ofcom, 2004). Ofcom mengatakan literasi adalah
keterampilan untuk mengakses, menganalisa, mengevaluasi dan sekaligus
mengkomunikasikannya dalam berbagai macam format. Lebih daripada itu adalah
mampu mengenali dan mengerti informasi secara komprehensif untuk
mewujudkan cara berpikir kritis, seperti tanya jawab, menganalisa dan
mengevaluasi informasi itu.
Wikipedia, the free encyclopedia, menyebutkan bahwa media literacy adalah
keterampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya
dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam
gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan
pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian.
General Director UNESCO, Koiichiro Matsuura juga menjelaskan bahwa literasi
lebih dari sekadar membaca dan menulis. Melainkan juga mencakup bagaimana
kita berkomunikasi dalam masyarakat. Karena literasi berarti juga praktik dan
hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa dan budaya.
Media Literacy di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Melek Media. James
Potter dalam bukunya yang berjudul “Media Literacy” (Potter, dalam Kidia)
mengatakan bahwa media Literacy adalah sebuah perspekif yang digunakan
secara aktif ketika, individu mengakses media dengan tujuan untuk memaknai
pesan yang disampaikan oleh media. Jane Tallim menyatakan bahwa media
literacy adalah kemampuan untuk menganalisis pesan media yang menerpanya,
baik yang bersifat informatif maupun yang menghibur.
Allan Rubin menawarkan tiga definisi mengenai media literacy. Yang pertama dari
National Leadership Conference on Media Literacy (Baran and Davis, 2003) yaitu
kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan
mengkomunikasikan pesan. Yang kedua dari ahli media, Paul Messaris, yaitu
pengetahuan tentang bagaimana fungsi media dalam masyarakat. Yang ketiga dari
peneliti komunikasi massa, Justin Lewis dan Shut Jally, yaitu pemahaman akan
batasan-batasan budaya, ekonomi, politik dan teknologi terhadap kreasi, produksi
dan transmisi pesan. Rubin juga menambahkan bahwa definisi-definisi tersebut
menekankan pada pengetahuan spesifik, kesadaran dan rasionalitas, yaitu proses
kognitif terhadap informasi.
Fokus utamanya adalah evaluasi kritis terhadap pesan. Media literasi merupakan
sebuah pemahaman akan sumber-sumber dan teknologi komunikasi, kode-kode
yang digunakan, pesan-pesan yang dihasilkan serta seleksi, interpretasi dan
dampak dari pesan-pesan tersebut.
Terdapat dua pandangan mengenai media literacy yaitu dari Art Silverblatt dan
James Potter (Potter dalam Kidia). Silverblatt menyatakan bahwa seseorang
dikatakan memiliki keterampilan literasi media apabila dirinya memuat faktor-
faktor sebagai berikut :
1) Sebuah kesadaran akan dampak media terhadap individu dan masyarakat
2) Sebuah pemahaman akan proses komunikasi massa
3) Pengembangan strategi-strategi yang digunakan untuk menganalisis dan
membahas pesan-pesan media
4) Sebuah kesadaran akan isi media sebagai „teks‟ yang memberikan wawasan dan
pengetahuan ke dalam budaya kontemporer manusia dan diri manusia sendiri
5) Peningkatan kesenangan, pemahaman dan apresiasi terhadap isi media.
Di sisi lain, Potter (Baran and Davis, 2003 dalam Kidia) memberikan pendekatan
yang agak berbeda dalam menjelaskan ide-ide mendasar dari media literacy, yaitu:
1) Sebuah rangkaian kesatuan, yang bukan merupakan kondisi kategorikal (Media
Literacy is a continuum not a category
2) Media literacy perlu dikembangkan dengan melihat tingkat kedewasaan
seseorang
3) Media literacy bersifat multidimensi, yaitu domain kognitif yang mengacu pada
proses mental dan proses berpikir, domain emosi yaitu dimensi perasaan, domain
estetis yang mengacu pada kemampuan untuk menikmati, memahami dan
mengapresiasi isi media dari sudut pandang artistik, dan domain moral yang
mengacu pada kemampuan untuk menangkap nilai-nilai yang mendasari sebuah
pesan
4) Tujuan dari media literacy adalah untuk memberi kita kontrol yang lebih untuk
menginterpretasi pesan. Tujuan dari melek media adalah untuk memberdayakan
individu-individu dalam mengontrol media pemrograman. Istilah pemrograman
dalam pengertian ini, tidak bermaksud program televisi atau media pesan. Seorang
individu oleh dirinya sendiri tidak akan punya banyak pengaruh mengubah
bagaimana massa kerajinan media pesan mereka. Seorang individu akan pernah
bisa menjalankan banyak kendali atas apa yang akan ditawarkan kepada publik.
Namun, seseorang bisa belajar untuk mengerahkan banyak kontrol atas cara
pikiran seseorang mendapat diprogram. Dengan demikian, tujuan media
keaksaraan adalah untuk menunjukkan orang-orang bagaimana untuk
mengalihkan kontrol dari media sendiri. Inilah yang saya maksud ketika saya
mengatakan bahwa tujuan melek media untuk membantu orang mengendalikan
program media.
Media Literasi juga bertujuan untuk:
• Membatasi PILIHAN
Media telah memprogram kita untuk percaya bahwa kita sedang menawarkan
banyak pilihan, tetapi pilihan kisaran sangat terbatas. The media have
programmed you to think that you have choices when in fact the degree of choice
is greatly limited, berarti Media telah memprogram Anda berpikir bahwa Anda
memiliki pilihan ketika pada kenyataannya tingkat pilihan sangat terbatas.
• Memperkuat PENGALAMAN
Kita tetap akan kembali ke jenis pesan yang sama, percaya bahwa Kita akan
memiliki pengalaman yang memuaskan sekali lagi seperti yang ada di masa lalu.
Seiring berjalannya waktu, kebiasaan menjadi kuat, dan itu menjadi jauh lebih
sulit untuk mencoba sesuatu yang baru.
The Cognitive Model of Media Literacy
- Pribadi lokus adalah istilah yang merujuk pada yang mengatur pengolahan
informasi tugas. Ini juga bentuk dan makna makna pencocokan konstruksi.
Lokus pribadi terdiri dari tujuan dan pengendali. Tujuan membentuk tugas
pemrosesan informasi dengan menentukan apa yang akan disaring dalam dan
apa yang akan diabaikan. Semakin Anda menyadari tujuan Anda, semakin Anda
dapat langsung proses pencarian informasi. Dan semakin kuat pengendalian
informasi Anda, semakin banyak Anda akan memperluas usaha untuk mencapai
tujuan Anda. Namun, lokus lemah (Anda tidak menyadari tujuan tertentu dan
energi pengendalian Anda rendah), Anda akan gagal untuk kontrol media: yaitu,
Anda memperbolehkan media untuk menjelajahi diri anda dan kontrol atas
informasi pengolahan.
Setelah lokus pribadi memberikan dorongan panci dan energi, alat-alat yang
diperlukan untuk melaksanakan rencana. Alat-alat tersebut adalah kompetensi
dan keterampilan. Kompetensi adalah orang-orang yang telah memperoleh alat-
alat untuk membantu mereka berinteraksi dengan media dan untuk mengakses
informasi dalam pesan. Kompetensi yang dipelajari pada awal kehidupan, yang
diterapkan secara otomatis. Kompetensi relatif dikotomis: yaitu, baik orang
mampu melakukan sesuatu atau mereka tidak mampu. Sebagai contoh, baik
orang tahu bagaimana mengenali kata dan maknanya sesuai dengan makna hafal
atau mereka tidak. Memiliki kompetensi tidak membuat satu media yang melek
huruf, tetapi tidak memiliki kompetensi ini mencegah salah satu dari media
menjadi melek karena kekurangan media ini mencegah seseorang mengakses
jenis informasi tertentu. Sebagai contoh, orang-orang yang tidak memiliki
kompetensi dasar membaca tidak dapat mengakses bahan cetakan. Ini akan
sangat membatasi apa yang mereka dapat dibangun ke structutes pengetahuan
mereka.
Information Processing
Menyaring pesan
Tugas: untuk membuat keputusan mengenai pesan mana yang menyaring
(mengabaikan) dan yang untuk menyaring dalam (memperhatikan)
Tujuan: untuk menghadiri hanya pesan-pesan yang memiliki utilitas tertinggi
dan menghindari semua orang lain
Fokus: pesan dalam lingkungan
Arti pencocokan
Tugas: untuk menggunakan kompetensi dasar untuk mengenali simbol-simbol
dan menemukan definisi untuk masing-masing.
Tujuan: untuk efisien mengakses makna belajar sebelumnya.
Fokus: simbol dalam pesan
Arti konstruksi
Tugas: untuk menggunakan keterampilan untuk bergerak melampaui makna
yang serasi dan membangun makna bagi diri sendiri untuk mendapatkan lebih
banyak dari pesan.
Tujuan: untuk menafsirkan pesan dari lebih dari satu perspektif sebagai sarana
untuk mengidentifikasi berbagai pilihan makna, kemudian memilih satu atau
sintesis di beberapa.
Fokus: satu struktur pengetahuan sendiri
The Seven Skills of Media Literacy
(1) Analyze/Menganalisa. Kompetensi berikutnya adalah kemampuan
menganalisa struktur pesan, yang dikemas dalam media, mendayagunakan
konsep-konsep dasar ilmu pengetahuan untuk memahami konteks dalam pesan
pada media tertentu. Misalnya, mampu mendayagunakan informasi di media
massa untuk membandingkan pernyataan-pernyataan pejabat publik, dengan
dasar teori sesuai ranah keilmuannya. Kompetensi lainnya bisa diperiksa dengan
kata kerja seperti, membedakan, mengenali kesalahan, menginterpretasi, dsb.
(2) Evaluate/Menilai. Setelah mampu menganalisa, maka kompetensi berikutnya
yang diperlukan adalah membuat penilaian (evaluasi). Seseorang yang mampu
menilai, artinya ia mampu menghubungkan informasi yang ada di media massa
itu dengan kondisi dirinya, dan membuat penilaian mengenai keakuratan, dan
kualitas relevansi informasi itu dengan dirinya; apakah informasi itu sangat
penting, biasa, atau basi. Tentu saja kemampuan dalam menilai sebuah informasi
itu dikemas dengan baik atau tidak, juga adalah bagian dari kompetensinya. Di
sini, terjadi membandingkan norma dan nilai sosial terhadap isi yang dihadapi
dari media.
(3) Grouping/pengelompokan – menentukan setiap unsur yang sama dalam
beberapa cara: menentukan setiap unsur yang berbeda dalam beberapa cara.
(4) Induction/Induksi – menyimpulkan suatu pola di set kecil elemen, maka pola
generalisasi untuk semua elemen dalam himpunan tersebut .
(5) Deduction/deduksi – menggunakan prinsip-prinsip umum untuk
menjelaskan khusus
(6) Synthesis/sintesis – merakit unsur-unsur ke dalam struktur baru
(7) Abstracting/ abstrak – menciptakan singkat, jelas, dan gambaran tepat
menangkap esensi dari pesan dalam sejumlah kecil kata-kata dari pada pesan itu
sendiri.
Di Indonesia, kegiatan literasi media lebih didorong oleh kekhawatiran bahwa
media dapat menimbulkan pengaruh negatif. Mereka yang prihatin dengan pola
interaksi anak dengan media dan prihatin dengan isi media yang tidak aman dan
tidak sehat biasanya berasal dari kalangan orangtua, guru, tokoh agama, LSM yang
peduli dengan perlindungan anak, perguruan tinggi, kelompok mahasiswa, dan
sebagainya. Mereka berusaha keras menemukan cara-cara yang bisa diterapkan
dalam mengurangi jam anak menonton TV, memilih tayangan, melakukan
pendampingan yang benar, dan melakukan sosialisasi melalui berbagai forum.
Periode 1990 – 2000: Periode Mencari Bentuk
Untuk menyederhanakan, perkembangan literasi media di Indonesia dapat
dibagi dalam dua periode, yakni periode 1990-2000 dan periode 2000-2010.
Tahun 1991, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) menyelenggarakan
sebuah workshop tingkat Asia-Pasific, tentang anak dan televisi di Cipanas. Dalam
salah satu pasal deklarasinya, dinyatakan bahwa “Untuk maksud baik ataupun
buruk, televisi ada di sekeliling jutaan anak. Mereka menonton apa saja yang ada di
televisi, dan televisi akan terus menerus menimbulkan pengaruh dalam kehidupan
anak di Asia baik fisik, mental, emosi, dan perkembangan spiritualnya.”
Deklarasi itu juga mengakui peran penting yang seharusnya dimainkan oleh televisi
dalam membantu tumbuh kembang anak yang baik, dan perlunya dikembangkan
media literacy di kalangan anak-anak.
Berbagai forum seminar lainnya, lebih menekankan pada dampak televisi
pada anak dan bagaimana orangtua harus bersikap. Seminar-seminar ini banyak
diselenggarakan oleh berbagai institusi, sekolah, perguruan tinggi, dan lain-lain.
Forum seminar tersebut biasanya diselenggarakan selama satu sesi atau setengah
hari dengan tema-tema populer yang dibutuhkan oleh orangtua dan guru.
Pembahasan dalam forum tersebut dapat dikatakan merupakan sepenggal dari
kegiatan literasi media yang utuh.
Periode 2000 – 2010: Periode Pematangan
Pada periode ini, masih banyak bentuk kegiatan literasi media seperti dalam
periode sebelumnya. Namun ada variasi berupa kegiatan kampanye literasi media
yang dilakukan oleh LSM maupun organisasi mahasiswa. Kegiatan tersebut
dilakukan melalui seminar pendek dan road show dengan melibatkan anak-anak.
Sayangnya, gerakan tersebut dilakukan secara insidental dan kurang memikirkan
bagaimana agar materi yang dikampanyekan bisa berjalan terus.
Selain itu, pada tahun 2002 untuk pertama kalinya dilakukan penerapan
literasi media melalui jalur sekolah yang menjadi mata pelajaran tersendiri. Ujicoba
ini dilaksanakan di SDN Percontohan Johar Baru 01 Pagi Jakarta Pusat oleh YKAI.
Selanjutnya, Yayasan Pengembangan Media Anak sejak 2006 hingga 2010
secara serius melakukan ujicoba dan pengembangan literasi media dengan
dukungan UNICEF. Dalam ujicoba tahun 2008, dilakukan evaluasi program melalui
pre and post-test yang dilakukan oleh Tim Jurusan Ilmu Komunikasi FISIPOL
Universitas Diponegoro.
Kenapa kita butuh Literasi Media?
Literasi media sangat dibutuhkan agar masyarakat menjadi cerdas. Masyarakt
harus memiliki kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan
mengomunikasikan pesan, sehingga dapat memilih mana media yang baik dan
mana yang buruk
Demokrasi saat ini akan sulit ditegakkan, jika masyarakatnya tidak melek media.
Media massa, sebagai salah satu pilar demokrasi, dapat berperan optimal jika
masyarakatnya melek media. Bagaimana melek media bermanfaat bagi orang
awam? Dalam era teknologi informasi yang berkembang demikian cepatnya,
dimana kita sekarang sedang dikepung dan dibanjiri oleh informasi, tidak ada cara
lain selain “masuk” terlibat di dalamnya, dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak
ada jalan keluar, jalan lain untuk lari dari “kejaran” informasi. Kita membutuhkan
informasi untuk mampu bertahan di era ini, demikian juga kita harus mampu
memproduksi informasi dengan benar.
BAB III
KESIMPULAN
Literasi informasi mencakup pengetahuan dan kebutuhan
informasiseseorang dan kemampuan untuk mengenali, mengetahui lokasi,
mengevaluasi, mengorganisasi dan menciptakan, menciptakan dan
mengkomunikasikan informasi secara efektif untuk mengatasi isu atau masalah
yang dihadapi seseorang. Literasi informasi terbagi atas literasi visual,
~media,~komputer,~jaringan dan IFLA menyertakan pula literasi digital walau pun
hal ini tidak selau disebuit-sebut dalam buku lainnya. Istilah literasi informasi mulai
popular sekitar athun 1980 an, terbadiri dari berbagai jenis literasi.
Informasi digital merupakan himpunan sikap, pemahaman, dan
ketrampilan untuk menangani dan mengkomunikasikan informasi dan
pengetahuan secara efektif dalam berbagai media dan format. Istilah literasi
digital mulai popular sekitar tahun 2005. Literasi digital terbagi atas empat
komponen yaitu tonggak literasi, pengetahuan latar belakang, kompetensi utama
dan sikap serta perspektif, masih ditambah dengan kerangka moral.
Literasi Media/ Media Literacy terdiri dari dua kata, yakni literasi dan media.
Secara sederhana, literasi dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan
menulis atau dengan kata lain melek aksara sedangkan media dapat diartikan
sebagai suatu perantara baik dalam wujud benda, manusia, peristiwa. Dari kedua
macam definisi sederhana tadi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa literasi
media adalah kemampuan untuk mencari, mempelajari, dan memanfaatkan
berbagai sumber media dalam berbagai bentuk. Istilah literasi media juga dapat
disamakan dengan istilah ‟melek media‟. Empat Faktor Utama dalam Model Media
Literacy yaitu Struktur Pengetahuan, Personal Locus, Kemampuan dan
Ketrampilan, dan Proses Informasi
Adapun sebagai indikator bahwa secara individu seseorang atau suatu
masyarakat sudah melek media adalah sebagai berikut :
Mampu memilih (selektif) dan memilah (mengkategori/mengklasifikasi) media,
mana yang manfaat mana yang mudarat.
Memahami bahwa Radio, terutama televisi merupakan lembaga yang „syarat‟
dengan kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya dll
Memahami bahwa Radio dan Televisi bukan menampilkan realitas dan kebenaran
satu-satunya, namun bisa merupakan „rekayasa‟ dari pelaku-pelakunya.
Mampu bersikap dan berperilaku kritis pada siaran radio dan televisi.
Menyadari bahwa sebagai konsumen media, khalayak semua mempunyai Hak
dan Kewajiban atas isi siaran radio dan televisi.
Menyadari tentang dampak yang ditimbulkan media dan mengidentifikasi hal-hal
yang harus dilakukan ketika menggunakan media.
Selektif, pandai memilih dan memilah media yang akan digunakan;
Hanya mempergunakan media untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan
tertentu.
Mampu membangun filter yang kokoh, baik bagi dirinya maupun terhadap orang-
orang di lingkungannya, sehingga secara personal tidak mudah dipengaruhi media
DAFTAR PUSTAKA
http://www.sarjanaku.com/2012/11/pengertian-informasi-menurut-para-ahli.html http://iproudbemuslim.blogspot.com/2011/08/definisi-atau-pengertian-literasi.html http://library.sman1yogya.sch.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=54 http://wawan-junaidi.blogspot.com/2012/01/pengertian-media.html http://carapedia.com/pengertian_definisi_media_info2046.html http://allaboutmasscomm.blogspot.com/ http://sadidadalila.wordpress.com/2010/03/20/media-literasi/ http://digilib.undip.ac.id/index.php/component/content/article/53-perpuspedia/188-information-literacy http://sulistyobasuki.wordpress.com/2013/03/25/literasi-informasi-dan-literasi-digital/
Recommended