View
870
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
jjj
Citation preview
PELAKSANAAN TINDAK UJARAN
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kajian wacana sebetulnya telah lama dimulai berabad-abad yang lalu
dengan nama “seni berbicara atau retorika”. Bidang kajian ini mencapai
kejayaannya pada abad pertengahan. Pada abad-abad selanjutnya, bidang kajian
ini telah memudar dari perhatian orang terutama pada awal abad XX. Pada awal
itu, orang memusatkan perhatiannya pada analisis kalimat atau unsur-unsur yang
lebih kecil. Kalimat dipandang sentral dan otonom sehingga analisisnya terlepas
dari konteks. Kajian wacana mencapai perkembangan dalam menentukan bentuk
dan arah sekitar awal tahun 1970-an.
Berbicara mengenai wacana khususnya wacana lisan akan sangat erat
kaitannya dengan pragmatik. Seperti kita ketahui dalam komunikasi, satu maksud
atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk
maksud “menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan
kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif.
Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada
ke formalisme. Pragmatik berbeda dengan semantik, pragmatik mengkaji maksud
ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan
semantik menelaah makna satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan
analisisnya berupa arti atau makna.
Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi
daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi
tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut.
Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada
barulah makna kata/kalimat yang diujarkan.
Berbagai tindak tutur yang terjadi di masyarakat, baik tindak tutur
representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif, tindak tutur langsung dan
tidak langsung, maupun tindak tutur harafiah dan tidak harafiah, atau kombinasi
dari dua/lebih tindak tutur tersebut, merupakan bahan sekaligus fenomena yang
sangat menarik untuk dikaji secara pragmatis. Berdasarkan uraian di atas ada
beberapa masalah yang akan dibahas yaitu: apakah yang dimaksud dengan situasi
tutur, tindak tutur, tuturan performatif dan konstatif serta jenis-jenis tindak tutur.
Sedangkan tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian dari
situasi tutur,tindak tutur,tuturan performatif dan konstatif serta jenis-jenis tindak
tutur.
2. Pembahasan
2.1 Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau
berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan,
di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 1995: 61). Jadi interaksi yang
berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu
dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa
tutur. Peristiwa serupa kita dapati juga dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat
dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya.
Bagaimana dengan percakapan di bus kota atau di kereta api yang terjadi di antara
penumpang yang tidak saling kenal, pada mulanya dengan topik yang tidak
menentu, tanpa tujuan, dengan ragam bahasa yang berganti-ganti, apakah dapat
juga disebut dengan sebuah peristiwa tutur?, secara sosiolingiustik percakapan
tersebut tidak dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur sebab pokok
percakapannya tidak menentu (berganti-ganti menurut situasi), tanpa tujuan,
dilakukan oleh orang-orang yang tidak sengaja untuk bercakap-cakap, dan
menggunakan ragam bahasa yang berganti-ganti.
Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur apabila
memenuhi syarat-syarat seperti yang disebutkan di atas, atau seperti dikatakan
Dell Hymes (dalam Chaer, 1995:62), seorang pakar sosiolinguistik terkenal,
bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-
huruf pertamannya dirangkaikan menjadi akronim “Speaking”. Kedelapan
komponen itu adalah sebagai berikut.
S (setting and Scene)
P (participants)
E (ends: purpose and goal)
A (Act sequences)
K (key: tone or spirit of act)
I ( instrumentalities)
N (norms of interaction and interpretation)
G (genres)
Setting and scene. Disini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur
berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi, tempat dan waktu atau
situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda
dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda juga. Berbicara di
lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang
ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu
banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi. Dilapangan sepak bola kita bisa
berbicara dengan keras tapi di ruang perpustakaan harus bicara seperlahan
mungkin.
Participan adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan
pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Dua orang
yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar,
tetapi dalam khotbah masjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai
pendengar tidak dapat bertukar peran. Status social partisipan sangat menentukan
ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam
atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya
bila dibandingkan kalau dia berbicara dengan teman-teman sebayanya.
End, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di
ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun
para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa
ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan
bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan
keputusan yang adil.
Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran . Bentuk ujaran dan isi
ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana
penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik
pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan
dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.
Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan
dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan
mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan
isyarat.
Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan , seperti jalur lisan,
tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada
kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialeg ragam atau register.
Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam
berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan
sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan
bicara.
Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah,
doa dan sebagainya.
Dari uraian yang dikemukakan Hymes itu dapat kita lihat betapa kompleksnya
terjadinya peristiwa tutur yang kita lihat, atau kita alami sendiri dalam kehidupan
sehari-hari.
3.1 Tindak Tutur
Tindak Ujaran merupakan aksi (tindakan) dengan menggunakan bahasa
(Djajasudarma,1994: 63). Bahasa digunakan pada hampir semua aktivitas. Kita
menggunakan bahasa untuk menyatakan informasi (permohonan informasi,
memerintah, mengajukan, permohonan, mengingatkan, bertaruh, menasehati, dan
sebagainya). Kemudian tindak tutur (istilah kridalaksana penuturan atau speech
act, speech event) adalah pengajaran kalimat untuk menyatakan agar suatu
maksud dari pembicara diketahui oleh pendengar (Kridalaksana,1984: 154). Chaer
(1995: 65), menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individu, bersifat
psikolinguistik dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si
penutur dalam mengahdapi situasi tertentu.
Dari pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah
kemampuan seorang individu melakukan tindak ujaran yang mempunyai maksud
tertentu sesuai dengan situasi tertentu. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa
tindak tutur yang lebih ditekankan ialah arti tindakan dalam tuturannya. Hal ini
sesuai dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, yang bertujuan untuk
merumuskan maksud dan melahirkan perasaan penutur. Selain itu, tindak tutur
juga mencakup ekspresi psikologis (misalnya berterima kasih dan memohon
maaf), dan tindak sosial seperti mempengaruhi tingkah laku orang lain (misalnya
mengingatkan dan memerintahkan) atau membuat kontrak (misalnya berjanji dan
menamai).
Searle di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language
(dalam Wijana,1996: 17). Mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-
tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur,
yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak
perlokusi (perlocutionary act).\
2.2.1 Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur
ini disebut sebagai The Act of Saying Something.
Bila diamati secara seksama konsep lokusi itu adalah konsep yang berkaitan
dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai
satu satuan yang terdiri dari dua unsur, yakni subjek/ topik dan predikat/ coment
(Nababan dalam Wijana, 1996:18). Lebih jauh tindak lokusi adalah tindak tutur
yang relative paling mudah untuk diidentifikasi karena pengidentifikasiannya
cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup
dalam situasi tutur.
2.2.2 Tindak Ilokusi
Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau
menginformasikan sesuatu dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu.
Bila hal ini terjadi, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur ilokusi. Tidak
ilokusi disebut juga The Act of Doing Something.
Contoh: Rambutmu sudah panjang
Kalimat diatas bila diucapkan oleh seorang laki-laki kepada pacarya, mungkin
berfungsi untuk menyatakan kekaguman atau kegembiraan. Akan tetapi, bila
diutarakan oleh seorang ibu kepada anak lelakinya, atau oleh seorang istri kepada
suaminya, kalimat ini dimaksudkan untuk menyuruh atau memerintahkan anak
atau suami tersebut untuk memotong rambutnya.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa tindak ilokusi sangat sukar diidentifikasi
karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur,
kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya. Dengan demikian
tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.
2.2.3 Tindak Perlokusi
Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai
daya pengaruh (perlocituonary force), atau efek bagi yang mendengarkannya.
Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan
oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk
mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Tindak ini disebut
The Act of Affecting Someone.
2.3 Tuturan Performatif dan Konstatif
2.3.1 Tuturan Performatif
Tuturan performatif (performative utterance): tuturan yang
memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa
dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga
misalnya: dalam ujaran Saya mengucapkan terima kasih, pembicara
mengujarkannya dan sekaligus menyelesaikan perbuatan “mengucapkan”
(Kridalaksana, 1984: 2001). Secara ringkas dikatakan pula bahwa tuturan
performatif adalah tuturan untuk melakukan sesuatu (perform the action).
Tuturan performatif tidak dievaluasi sebagai benar atau salah, tetapi
sebagai tepat atau tidak tepat, misalnya: I promise that I shall be there (Saya
berjanji bahwa saya akan hadir di sana) dan performatif primer atau tuturan
primer I shall be there (Saya akan hadir di sana) Geoffrey Leech (dalam Chaer,
1995: 280).
Contoh lain:
1. Saya berterima kasih atas kebaikan Saudara. (Tindakan berterima kasih: the
act of thanking)
2. Saya mohon maaf atas keterlambatan saya. (Tindakan mohon maaf: the act
of apologizing).
3. Saya namakan anak saya Parikesit. (Tindakan memberi nama: the act of
naming).
4. Saya bertaruh Mike Tyson pasti menang. (Tindakan bertaruh: the act of
betting).
5. Saya nyatakan Anda berdusa suami-isteri. (Tindakan menyatakan/
menikahkan: the act of marrying).
6. Saya serahkan semua harta saya kepada anak saya. (Tindakan
menyerahkan: the act of bequeting).
7. Saya akan pergi sekarang. (Tindakan pergi: the act of going).
Adapun Ciri-ciri tindakan performatif, yaitu:
1. Subyek harus orang pertama, bukan orang kedua atau ketiga.
2. Tindakan sedang/akan dilakukan.
Syarat-syarat lainnya yang disebut syarat tuturan performatif (felicity
condition), antara lain, adalah:
1. Orang yang menyatakan tuturan dan tempatnya harus sesuai atau cocok.
Contoh: Saya nyatakan Anda berdua suami-isteri.
Penuturnya adalah penghulu (naib), pendeta, rama, tempatnya di KUA, Gereja,
Pura, Masjid, objeknya 2 orang (berdua).
2. Tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh penutur.
Contoh: Saya mohon maaf atas kesalahan saya.
Harus diucapkan sungguh-sungguh, tidak dengan tindakan menginjak kaki mitra
tutur-nya.
Syarat itu juga belum cukup, kemudian diperbaharui lagi oleh John Searle
(dalam Wijana, 1996: 26-27) sebagai berikut.
1. Penutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh dalam
mengemukakan tuturannya.
Contoh: Saya berjanji akan setia padamu. (the act of promising).
2. Penutur harus yakin bahwa ia mampu melakukan tindakan itu. atau
mampu melakukan apa yang dinyatakan dalam tuturannya. Misalnya:
Sesuk kowe
tak-tukokke sepur (yakin tidak, kalau tidak berarti bukan tuturan
performatif).
3. Tuturan harus mempredikasi tindakan yang akan dilakukan, bukan yang
telah dilakukan.
contoh: Saya berjanji akan setia.
4. Tuturan harus mempredikasi tindakan yang akan dilakukan oleh penutur,
bukan oleh orang lain. Misalnya: Saya berjanji bahwa saya akan selalu
datang tepat waktu.
5. Tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh kedua belah pihak.
Misalnya: Aku njaluk pangapura marang sliramu, tumindakku kang ora
ndadekake renaning penggalihmu. (Orang perta dan kedua melakukan
tindakan secara sungguh-sungguh).
Kalau tuturan tidak memenuhi kelima syarat tersebut, maka tuturan itu
dikatakan tidak valid (infelicition).
2.3.2 Tuturan Konstatif
Tuturan konstatif sering disebut juga tuturan deskriptif (constative
utterance), tuturan yang digunakan untuk menggambarkan atau memeriakan
peristiwa, proses, keadaan, dan sebagainya. Dan sifatnya betul atau tidak betul
(Kridalaksana, 1984: 201). Austin (dalam Wijana,1996: 27), menyatakan bahwa
tuturan konstatif dapat dievaluasi dari segi benar dan salah.
Contoh: Ali pergi ke Jakarta
Saya tidur di hotel
2.4 Jenis-Jenis Tindak Tutur
Menurut Djajasudarma (1994: 64), tindak ujar/tutur dapat diklasifikasikan
ke dalam tindak tutur langsung (direct speech acts) dan tindak tutur tidak
langsung (indirect speech acts). Tindak tutur langsung menunjukkan fungsinya
dalam keadaan (tindakan) langsung dan literal (penuturan sesuai dengan
kenyataan), sedangkan tindak tutur tidak langsung biasanya diidentifikasikan
dengan kalimat performatif yang implisit.
2.4.1 Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung
Secara formal berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi kalimat
berita ( deklaratif), kalimat Tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif).
Secara konvensional kalimat berita digunakan untuk memberitahukan sesuatu
(informasi), kalimat Tanya untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk
menyatakan perintah, ajakan, permintaan atau permohonan. Bila kalimat berita
difungsikan secara konvensional untuk mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk
bertanya dan kalimat untuk menyuruh, mengajak, memohon dan sebagainya,
tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur tidak langsung (direct speech act).
Contoh:
Sidin memiliki lima ekor kucing
Di manakah letak pulau Bali?
Ambilkan baju saya!
Disamping itu untuk berbicara secara sopan, perintah dapat diutarakan dengan
kalimat berita atau kalimat Tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya
diperintah. Bila hal ini yang terjadi, terbentuklah tindak tutur tidak langsung
(indirect speech act).
Contoh: Ada makanan di lemari
Dimana sapunya?
Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung biasanya tidak dapat dijawab
secara langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang terimplikasi di
dalamnya.
2.4.2 Tindak Tutur Literal dan Tindak Tutur Tidak Literal
Berdasarkan keliteralannya, tindak tutur dapat dibedakan menjadi tuturan
literal dan tuturan tidak literal. Tindak tutur literal adalah tuturan yang sesuai
dengan maksud atau modusnya. Misalnya; Buka mulutnya! (makna lugas: buka).
Tindak tidak literal adalah tuturan yang tidak sesuai dengan maksud dalam
tulisan/tuturan. Misalnya; Buka mulutnya! (makna tidak lugas: tutup). Dalam
bahasa kadang-kadang terjadi, yang bagus dikatakan jelek (hal ini disebut banter
[bEnte]), yang jelek dikatakan bagus (disebut ‘ironi’)
.
2.4.3 Interaksi Berbagai Jenis Tindak Tutur
Bila tindak tutur langsung dan tidak langsung disinggungkan
(diinteraksikan) dengan tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, akan
didapatkan tindak tutur-tindak tutur berikut ini:
1. Tindak tutur langsung literal
2. Tindak tutur tidak langsung literal
3. Tindak tutur langsung tidak literal
4. Tindak tutur tidak langsung tidak literal
2.4.3.1 Tindak Tutur Langsung Literal
Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur
yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud
pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah,
memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan dengan kalimat Tanya, dan
sebagainya.
2.4.3.2 Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speevh act). Adalah
tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan
maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan
apa yang dimaksudkan penuturnya. Dalam tindak tutur ini maksud memerintah
diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya.
2.4.3.3 Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah
tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan dengan
maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang
sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan
kalimat perintah, dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita.
Hal lain yang perlu diketahui adalah kalimat Tanya tidak dapat digunakan untuk
mengutarakan tindak tutur langsung tidak literal.
2.4.3.4.Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech
act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna
kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan.
SIMPULAN
Peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau
berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan,
di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
Dell Hymes (dalam Chaer, 1995:62), seorang pakar sosiolinguistik
terkenal, menyatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan
komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim
“Speaking”. Kedelapan komponen itu adalah S (setting and Scene), P
(participants), E (ends: purpose and goal), A (Act sequences), K (key: tone or
spirit of act), I ( instrumentalities), N (norms of interaction and interpretation), G
(genres).
Tindak tutur adalah kemampuan seorang individu melakukan tindak ujaran
yang mempunyai maksud tertentu sesuai dengan situasi tertentu. Dari definisi
tersebut dapat dilihat bahwa tindak tutur yang lebih ditekankan ialah arti tindakan
dalam tuturannya. Hal ini sesuai dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi,
yang bertujuan untuk merumuskan maksud dan melahirkan perasaan penutur.
Selain itu, tindak tutur juga mencakup ekspresi psikologis (misalnya berterima
kasih dan memohon maaf), dan tindak sosial seperti mempengaruhi tingkah laku
orang lain (misalnya mengingatkan dan memerintahkan) atau membuat kontrak
(misalnya berjanji dan menamai). secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis
tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi
(locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi
(perlocutionary act).
Tuturan performatif (performative utterance): tuturan yang
memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa
dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga.
sedangkanTuturan konstatif sering disebut juga tuturan deskriptif (constative
utterance), tuturan yang digunakan untuk menggambarkan atau memeriakan
peristiwa, proses, keadaan, dan sebagainya, dan sifatnya betul atau tidak betul.
Tindak tutur dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atau dibedakan menjadi;
(1) tindak tutur langsung, (2) tindak tutur tidak langsung, (3) tindak tutur literal,
(4) tindak tutur tidak literal, (5) tindak tutur langsung literal, (6) tindak tutur
langsung tidak literan, (7) tindak tutur tidak langsung literal, dan (8) tindak tutur
tidak langsung tidak literal.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Djajasudarma, 1994. Pragmatik Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Fungsi Bahsa dan Sikap Bahasa. Bandung:
Ganaco.
Martutik dan Bustanul Arifin. 2004. Analisis Wacana. Malang: Bayu Media
Publishing.
Sudaryat, Yayat. 2009. Makna dalam Wacana. Bandung: CV. Yrama Widya.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyak
Diposkan oleh Budiawan di 18.37 Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook
PELAKSANAAN TINDAK UJARAN
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH PSIKOLINGUISTIK
DOSEN PENGAMPU:
1. Prof. Dr. Hj. RATU WARDARITA, M. Pd.
2. AGUSTINAWATI, S. Pd. M.Pd.
OLEH:
Aliah (20116011046)
Nuraini Astuti (20116011038)
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PGRI
PALEMBANG
TAHUN AKADEMIK 2012/2013
Recommended