View
20
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
MANTRA BAHASA DAYAK DESA:
STUDI TENTANG GAYA BAHASA, TUJUAN, PROSES RITUAL,
DAN FUNGSI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Disusun oleh
Sri Astuti
NIM: 034114015
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDUNESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Ia berkata kepada Simon: “Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam dan tebarkanlah jalamu untuk
menangkap ikan”.
Simon menjawab: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa,
tetapi karena Engkau yang menyuruhnya, aku akan menebar jala juga”.
Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai
koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang
membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan
hingga hampir tenggelam. (Lukas 5:4-7)
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
• Tuhan dan sahabatku Yesus Kristus
• Keluargaku yang tercinta, Ibu, Bapak, dan Tuai Ayang
• Semua orang yang kukasihi dan mengasihiku
vi
ABSTRAK
Astuti, Sri. 2008. Mantra Bahasa Dayak Desa Studi Tentang Gaya Bahasa, Tujuan, Proses Ritual, dan Fungsi. Skripsi Strata I (S-I). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini membahas gaya bahasa, tujuan, proses ritual, dan fungsi mantra bahasa Dayak Desa. Ada beberapa alasan yang mendasari pemilihan topik ini, yaitu (1) studi khusus tentang mantra bahasa Dayak Desa sampai saat ini belum pernah dilakukan, (2) ada keunikan penggunaan bahasa dalam mantra bahasa Dayak Desa. Selain itu, peneliti beranggapan bahwa budaya daerah sangat perlu dilestarikan, mengingat sifat mantra yang rahasia dan tertutup, akan membuka peluang punahnya mantra. Penelitian ini bertujuan untuk menyelamatkan budaya khususnya mantra dan dapat menjadi referensi bagi masyarakat luas untuk memahami realitas mantra yang tidak rasional.
Studi ini memiliki dua tujuan. Pertama, mengkaji dan memaparkan gaya bahasa pada mantra bahasa Dayak Desa. Kedua, mengkaji dan mengklasifikasi tujuan, mendeskripsikan proses ritual, dan memaparkan fungsi mantra bahasa Dayak Desa.
Pendekatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara semantik dan pendekatan folklor. Pendekatan semantik digunakan untuk menganalisis gaya bahasa. Pendekatan folklor digunakan untuk menganalisis fungsi mantra dan proses ritual mantra.
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu: teknik observasi dan teknik wawancara. Data dianalisis dengan metode padan dan metode agih. Metode padan yang digunakan adalah metode padan referensial dan metode padan pragmatik. Teknik dasar yang digunakan dalam metode agih adalah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL), sedangkan teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik baca markah. Data dalam penelitian ini disajikan dengan metode formal dan informal.
Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, gaya bahasa yang terdapat dalam mantra bahasa Dayak Desa adalah gaya bahasa perulangan dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa perulangan meliputi gaya bahasa aliterasi dan asonansi. Gaya bahasa kiasan meliputi gaya bahasa perbandingan, metafora, allegori, personifikasi, dan metonimia. Kedua, mantra bahasa Dayak Desa memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi religius, pengobatan, dan magis. Hampir semua mantra bahasa Dayak Desa memiliki fungsi religius. Fungsi religius ini berupa pemujaan atau ucapan terima kasih kepada Tuhan dan kepada nenek moyang. Mantra yang berfungsi sebagai pengobatan, yaitu menyembuhkan berbagai jenis penyakit, di antaranya adalah menyembuhkan sakit kepala, mengobati perut kembung, mengobati sakit perut mulas, mengobati sakit perut melilit, mengobati batuk, mengobati susah buang air besar, mengobati muntah, mengobati muntaber, mengobati radang tenggorokan, mengobati biduren, mengobati herpes, mengobati bisulan, mengobati terkena bisa ulat bulu, mengobati tersengat penyengat, mengobati tersengat lipan, mengobati tersengat
vii
kala jengking, mengobati terkena racun ular berbisa, menyembuhkan luka bakar, mengobati penyakit yang kambuh saat tengah malam, mengobati sakit tubuh, mengobati penyakit yang dikirim dengan cara gaib, menangkal racun, mengobati sakit perut hendak melahirkan, mengatasi ari-ari yang susah keluar, mengatasi permasalahan pada payudara saat pertama kali melahirkan, mengobati keselak, dan menghindari kepunan. Mantra yang berfungsi magis, yaitu mengusir hantu, menambah daya ingat, kekebalan tubuh, melumpuhkan senjata tajam, meluluhkan hati orang lain, dan menambah daya pikat. Ketiga, ada tiga tahap dalam proses ritual yang dilakukan pada mantra bahasa Dayak Desa. Tahap pertama adalah ritual mendapatkan mantra. Pada proses ini ahli waris harus memenuhi persyarat sesuai dengan permintaan dari mantra tersebut. Tahap kedua adalah ritual pelaksanaan atau pengamalan mantra. Pada tahap ini, pemantra memiliki peranan yang terpenting, karena salah satu faktor keampuhan mantra, yaitu ada di tangan pemantranya. Tahap yang terakhir adalah imbalan yang harus diberikan kepada pemantra. Terpenuhinya imbalan yang diberikan kepada pemantra juga menjadi salah satu faktor keampuhan mantra. Semua tahap dalam proses ritual mantra menggunakan media. Media yang paling sering digunakan dalam proses ritual mantra bahasa Dayak Desa adalah garam, air putih, dan kapur sirih.
viii
ABSTRAC
Astuti, Sri. 2008. Mantra of Dayak Desa Language The Study About Language Style, Purpose, Ritual Prosess, and Function. Undergraduate Thesis (S-1). Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty of Literature, Sanata Dharma University
This research studies the language style, purpose, ritual process, and fungction of mantra Dayak Desa language. There are some reasons in choosing this topic, that is (1) the special study about Dayak Desa language, as we have known, is never researched. (2) there is the uniqueness in using the language in mantra Dayak Desa. Therefore, researcher consider that the culture is very important to persist. Because mantra tends to be used secretly and exclusively, it can easily extinct. This research was done to save the culture especially mantra. It will become the reference for all the people to understand the reality of mantra which can not be understood rationally.
This study has two purposes. First, to examine and explain the language style in mantra Dayak Desa. Second, to examine and clasify the purpose, describe the ritual process, and explain the function of Mantra Dayak Desa.
The main approaches which are used in this research are semantic and folklor. Semantic approach is used to analyze the language style. Folklor approach is used to analyze the function of mantra and ritual proccess.
The research using some collecting data techniques such as observation, interview, and note. The data is analyzed with padan method and agih method. Padan method consist of padan referential, padan pragmatic, and padan translational method. Base technique used in agih method is inmediate constituent technique. While the continuation techniques which used is read the mark technique. The data in this research is presented with the informal and formal method.
The result of the research as follows: First, the language styles used in mantra Dayak Desa are repetition and analogy. Repetition consist of alliteration and assonance. Analogy consist of comparison, metaphore, allegory, personification, and metonymy. Second, mantra Dayak Desa has some functions. They are religious, cure, and magic function. Almost all mantra Dayak Desa have religious function. It is seen on the worship and thankfulness to God and to the ancestor. The second function is cure. Mantra is used to cure some diseases, animal stings, and black magic. To cure diseases like headache, stomach puffing, vomit, diarrhea, laryngitis, suffer from rash, herpes, obscessed, suffer in bearing child, breast problem, keselek and kepunan. To cure stings from caterpillar, bee, centipede, scorpion, rattlesnake. And it can beat ghost, black magic and poison and functions as antibody, protector and charm. Third, there are three stages in
ix
ritual process of mantra Dayak Desa. The first stage is the ritual to get mantra. In his process, the heir should fulfill the conditions that the mantra needs. The second stage is the ritual of the implementation of mantra. In this stage, the person who spells the mantra has the important role because one of the magical powers belongs to the person. The last stage is the repayment to the person who spells the mantra. The repayment becomes one of the magic powers. All the stages in this mantra ritual process use the media. They are salt, water and betel.
x
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas
limpahan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Skripsi yang berjudul “Struktur, Fungsi dan Proses Ritual Mantra Bahasa
Dayak Desa” disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana
Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa dalam proses persiapan hingga penyelesaian
penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan baik secara material
maupun spiritual dari berbagai pihak. Kebaikan, dukungan, serta bantuan
senantiasa hadir dalam kehidupan penulis terutama saat menjalani perkuliahan di
Universitas Sanata Dharma. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
perkenankan penulis menyampaikan terimakasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu dan memperlancar proses penulisan skripsi ini kepada:
1. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku dosen pembimbing I, yang telah
membimbing dengan penuh kesabaran dan ketekunan serta masukan dan
semangat yang selama ini telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi
ini terselesaikan.
2. Drs.Yosep Yapi Taum, M.Hum. selaku dosen pembimbing II, yang telah
membimbing dengan penuh kesabaran dan ketekunan serta masukan dan
semangat yang selama ini telah diberikan kepada penulis sehingga skripsi
ini terselesaikan.
xi
3. Drs. B. Rahmanto, M.Hum, Drs Hery Antono, M.Hum, Dra. F. Tjandrasih
Adji, M.Hum, Drs. P. Ari Subagyo, M.Hum, Drs. FX Santoso, MS, Dra.
S.E Peni Adji, S.S, M.Hum, atas ilmu dan dan perkuliahan yang telah
diberikan kepada penulis selama menempuh kuliah di Universitas Sanata
Dharma.
4. Bapak Agustinus dan Ibu Adriana Nani, kedua orang tuaku tercinta yang
selalu memberi dukungan, semangat, perhatian dan kasih sayang yang
berlimpah serta dukungan lainnya sehingga proses penyusunan skripsi ini
dapat berjalan lancar, dan Tuai Ayang, kakak tersayang yang selalu
menemaniku dalam suka dan duka. Semoga skripsi ini bisa
membahagiakan kalian semua.
5. Keluarga besarku (kakek dan nenek tersayang, Bik Not sekeluarga, Bik
Lina dan keluarga, Paman Joko dan keluarga, Paman Mida sekeluarga,
Man Sam sekeluarga, Paman Simon, Paman Sangau sekeluarga, Bik
Lunyai sekeluarga, Bik Marta sekeluarga, Bik Ratu dan keluarga, Paman
Nayong dan keluarga, Paman Arun Sekeluarga, Paman Adon sekeluarga,
Bang Kalis sekeluarga, Dek Hesty, Bang Yan, D’Ta, K’Ya, Om Klaw, Om
Tom, Lipinus, Bang Damus, wawan, serta Ucok dan Ari, dan semua
keluargaku yang lainnya, terimakasih untuk cinta, kasih sayang, perhatian
dukungan, bantuan, nasehat dan kesabaran yang tiada henti yang kalian
berikan untukku. Kehadiran kalian membuatku tak pernah merasa
sendirian.
xii
6. Kak Yuyun dan Ria yang banyak membantu dan memberi motifasi, dan
dukungan serta selalu mendengarkan keluh kesahku. Kalian membuatku
tak pernah merasa sendiri.
7. Teman-teman dan sahabat yang selalu memberi motivasi (Yuni, Lia, Rini,
Tere, Dedek, Melia, Kak Neta, Suster Marta, Suster Marsiana, Firla,
Tasya, Kak Iin, Kak Ulil, Kak Tuti, Rica, Yoan, Tante Ernes, Marcel,
Yenny, Olandz, Trinil, Victor, Titus, Cakil, dan M’Fanny). “I love U all,
My Friends”.
8. Semua pihak yang telah mendukung dan membantu kelancaran proses
penyelesaian skripsi ini.
Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam penyusunan skripsi ini,
namun penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penelitian dan penulisan ini.
Penulis
xiii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogykarta, 3 Juni 2008
Penulis
Sri Astuti
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
ABSTRACT ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... xii
DAFTAR ISI.................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 5
1.5 Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 5
1.6 Kerangka Teori .......................................................................................... 7
1.6.1 Hakikat Mantra ................................................................................. 7
1.6.2 Gaya Bahasa...................................................................................... 10
1.6.2.1 Gaya Bahasa Perulangan.......................................................... 11
1.6.2.2 Gaya Bahasa Kiasan................................................................. 12
1.6.3 Fungsi Mantra dan Proses Ritual ...................................................... 16
1.6.3.1 folklor Ilmu Gaib ..................................................................... 16
1.6.3.2 Tujuan dan Fungsi-Fungsi Mantra ........................................... 19
1.6.3.3 Proses Ritual ............................................................................ 21
1.7 Metode dan Teknik Penelitian ................................................................... 23
1.7.1 Pendekatan Penelitian ....................................................................... 23
1.7.2 Metode Penelitian ............................................................................. 23
1.7.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data............................................ 24
1.7.4 Subjek dan Lokasi Penelitian ............................................................ 25
xv
1.7.5 Metode dan Teknik Analisis Data..................................................... 26
1.7.6 Metode Penyajian Hasil Analisis Data.............................................. 28
1.8 Sistematika Penyajian ................................................................................ 29
BAB II DESKRIPSI TEKS, KLASIFIKASI DATA, TERJEMAHAN,
DAN CATATAN................................................................................. 30
2.1 Pengantar.................................................................................................... 30
2.2 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................................... 30
2.3 Klasifikasi Data.......................................................................................... 32
2.3.1 Pengantar........................................................................................... 32
2.3.1.1 Deskripsi Teks.......................................................................... 32
2.3.1.2 Transkripsi ............................................................................... 33
2.3.1.3 Ejaan......................................................................................... 33
2.3.1.4 Terjemahan............................................................................... 35
2.3.1.5 Catatan Teks............................................................................. 35
2.3.1.6 Keterangan Mengenai Narasumber.......................................... 36
2.3.2 Deskripsi Teks................................................................................... 37
2.3.3 Catatan Teks...................................................................................... 70
BAB III GAYA BAHASA MANTRA BAHASA DAYAK DESA................ 79
3.1 Pengantar .................................................................................................. 79
3.2 Gaya Bahasa Perulangan............................................................................ 79
3.2.1 Aliterasi ............................................................................................. 79
3.2.2 Asonansi............................................................................................ 84
3.2.3 Gabungan .......................................................................................... 86
3.3 Gaya Bahasa Kiasan................................................................................... 88
3.3.1 Perbandingan..................................................................................... 89
3.3.2 Metafora ............................................................................................ 96
3.3.3 Allegori ............................................................................................. 97
3.3.4 Personifikasi...................................................................................... 102
3.3.5 Metonimia ......................................................................................... 105
xvi
3.3.6 Gabungan .......................................................................................... 108
3.4 Rangkuman ................................................................................................ 112
BAB IV TUJUAN, PROSES RITUAL, DAN FUNGSI MANTRA BAHASA
DAYAK DESA................................................................................................ 113
4.1 Pendahuluan ............................................................................................... 113
4.2 Tujuan dan Proses Ritual Mantra Bahasa Dayak Desa.............................. 116
4.2.1 Teks A (Mengobati Penyakit Biasa) ................................................. 117
4.2.1.1 Tawar Pediah Kepalak ‘Mengobati Sakit Kepala’ .................. 117
4.2.1.2 Tawar Pediah Perut Pasang ‘Mengobati
Perut Kembung’ ....................................................................... 120
4.2.1.3 Tawar Pediah Perut Ngeriak ‘mengobati
Sakit Perut Mulas’.................................................................... 122
4.2.1.4 Tawar Pediah Perut Ngasak ‘Mengobati Sakit Perut
Melilit’ ..................................................................................... 125
4.2.1.5 Tawar Batuak ‘Mengobati Batuk’ ........................................... 127
4.2.1.6 Tawar Netauk Birak ‘Mengobati Susah Buang Air Besar’..... 129
4.2.1.7 Tawar Mutah ‘Mengobati Muntah’ ......................................... 131
4.2.1.8 Tawar Mutah Birak ‘Mengobati Muntaber’ ............................ 132
4.2.1.9 Tawar Utai Tumuah de Nyawa ‘Mengobati Radang
Tenggorokan’ ........................................................................... 133
4.2.2 Teks B ( Mengobati Penyakit Kulit) ................................................ 135
4.2.2.1 Tawar Merejan ‘Mengobati Biduren’...................................... 135
4.2.2.2 Tawar Elamai ‘Menobati Herpes’ ........................................... 137
4.2.2.3 Tawar Kepisak ‘Mengobati Bisulan ........................................ 139
4.2.3 Teks C (Mantra Mengobati Penyakit Terkena Binatang) ................. 140
4.2.3.1 Tawar Ulat Bulu ‘Mengobati Sakit Terkena Bisa Ulat Bulu... 141
4.2.3.2 Tawar Sengat Penyengat ‘Menyembuhkan Tersengat
Penyengat’................................................................................ 142
4.2.3.3 Tawar sengat Nyelipan ‘Menyembuhkan Bisa Tersengat
Lipan’ ....................................................................................... 143
xvii
4.2.3.4 Tawar Sengat Kala ‘Menyembuhkan Sakit Tersengat Kala
Jengking .................................................................................. 144
4.2.3.5 Tawar Kenak Bisa Ular ‘Menyembuhkan Sakit Terkena
Gigitan Ular Berbisa’ ............................................................... 146
4.2.4 Teks D (Mengobati Luka Bakar) ...................................................... 149
4.2.5 Teks E (Mantra Menyembuhkan Penyakit yang Disebabkan
oleh Hantu dan Santet .............................................................. 151
4.2.5.1 Tawar Pediah Temu Tengah Malam ‘Mengobati Penyakit
yang Kambuh Saat Tengah Malam’......................................... 151
4.2.5.2 Tawar Pediah Tubuah ‘Mengobati Sakit Tubuh’ .................... 153
4.2.5.3 Tawar Pediah Tubuh ‘Mengobati sakit Tubuh’....................... 157
4.2.5.4 Tawar Tepas ‘Mengobati Penyakit yang Dikirim dengan
Cara Gaib ................................................................................. 160
4.2.5.5 Penangkal Racun ‘Menagkal Racun’....................................... 164
4.2.6 Teks F Mantra yang Berhubungan dengan Keluarga........................ 165
4.2.6.1 Tawar Pediah Perut Beranak ‘Mengatasi Sakit Perut
Hendak Melahirkan.................................................................. 166
4.2.6.2 Tawar Temunik Dudi ‘Mengatasi Ari-ari yang Susah
Keluar’ ..................................................................................... 167
4.2.6.3 Tawar Temunik ‘Mengeluarkan Ari-Ari’................................. 168
4.2.6.4 Tawar Tusu ’Mengatasi Berbagai permaslahan pada
Payudara Saat Melahirkan Pertama Kali.................................. 169
4.2.6.5 Tawar Nemiak Nyabak ‘Mengatasi Bayi Yang Menangis
xviii
Karena Gangguan Makhluk Halus’.......................................... 171
4.2.7 Teks G (Pengusir Hantu)................................................................... 172
4.2.8 Teks H (Berhubungan dengan Makanan yang akan Dimakan) ........ 174
4.2.8.1 Tawar Tengkelan ‘Menobati Keselak’..................................... 174
4.2.8.2 Tawar Empunan ‘Mengobati Kepunan’ .................................. 175
4.2.8.3 Tawar Empunan ‘Menghindari Kepunan’ ............................... 177
4.2.9 Teks I (Daya Ingat) .......................................................................... 178
4.2.9.1 Tawar Pengingat ‘Menambah Daya Ingat’.............................. 179
4.2.9.2 Pengingat ‘Mempertajam Daya Ingat’..................................... 181
4.2.10 Teks J (Kekebalan Tubuh) .............................................................. 183
4.2.10.1 Baca Budak Tiga ‘Kekuatan Badan’...................................... 184
4.2.10.2 Asal Besi 1 ‘Melumpuhkan Senjata Tajam’........................... 185
4.2.10.3 Asal Besi 2 ‘Melumpuhkan Senjata Tajam’ .......................... 186
4.2.11 Teks K (Menundukan Orang Lain) ................................................. 187
4.2.11.1 Asal Penunuak Mensia ‘Meluluhkan Hati Orang Lain’......... 188
4.2.11.2 Penunuak ‘Meluluhkan Hati Orang Lain’ ............................. 190
4.2.11.3 Rajah Binyak ‘Menambah Daya Pikat’.................................. 192
4.3 Fungsi Mantra Berdasarkan Alasan Mistis yang Melatarbelakanginya..... 194
4.3.1 Fungsi Religius ........................................................................... 195
4.3.2 Fungsi Pengobatan ...................................................................... 195
4.3.3 Fungsi Magis............................................................................... 196
4.3 Rangkuman ................................................................................................ 196
xix
BAB V PENUTUP........................................................................................... 199
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 199
5.2 Saran ........................................................................................................ 203
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 204
BIOGRAFI....................................................................................................... 207
LAMPIRAN..................................................................................................... 208
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat bahasa yang terdapat di wilayah Indonesia masing-masing
memiliki kesusastraan, baik yang berbentuk lisan maupun yang berbentuk tulisan.
Di antara sekian banyak suku bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia ada
kekayaan budaya yang sama sekali belum pernah dicatat, ada pula yang baru
dalam tahap penelitian.
Sastra lisan pada suku-suku bangsa Indonesia sebagian besar berbentuk
puisi atau prosa berirama. Sastra lisan tersebut antara lain berisi mantra-mantra,
pribahasa, lafal-lafal yang menyertai upacara, teka-teki, dongeng dan fabel.
Tradisi bercerita di hadapan khalayak ramai merupakan bentuk hiburan terbesar di
sebagian besar wilayah Nusantara.
Sastra tertulis (seperti novel, drama, dan puisi) terkait pada bentuk asli
pengarangnya, dengan kata lain pengarang sangat dipentingkan. Sastra lisan
ditandai oleh kebebasan bentuk dan pengarang tidak dipentingkan karena sastra
lisan adalah milik masyarakat, seperti salah satu ciri folklor yang diungkapkan
oleh Danandjaja (2002 : 4), yaitu bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak
diketahui lagi.
Khazanah sastra daerah suku Dayak Desa tidak ada yang berbentuk
tulisan. Nenek moyang suku ini tidak mengenal tulisan, mereka hanya
mengunakan tanda-tanda atau simbol-simbol. Tanda atau simbol tersebut seperti
2
motif-motif pada kain tenun ikat dan anyaman, ukiran-ukiran kayu, burung
enggang dan sebagainya. Sebagian besar sastra daerah suku Dayak merupakan
sastra lisan.
Salah satu bentuk sastra lisan daerah suku Dayak adalah mantra. Mantra
pada masyarakat suku Dayak, masih bertahan pada bentuk tradisional hingga saat
ini. Bagi masyarakat pemakainya, mantra dianggap dapat membantu mereka
untuk memperoleh sesuatu yang mereka kehendaki. Contohnya adalah mantra
untuk mengobati penyakit, mantra untuk percintaan, mantra untuk kekebalan
tubuh dan lain-lain.
Peneliti memilih mantra khususnya mantra suku Dayak Desa sebagai
objek penelitian karena sejauh yang peneliti ketahui, belum pernah diteliti. Selain
itu, mantra menggunakan bahasa yang unik. Keunikan tersebut terlihat dari kosa
kata yang digunakan dalam setiap mantra. Kosa kata yang digunakan tersebut
terkadang tidak dapat dimengerti secara harafiah. Namun, dengan keunikan
bahasa yang digunakan itu, mantra dianggap memiliki suatu “kekuatan” tersendiri
bagi masyarakat pemakainya. Mantra adalah magic kata yang dimaksudkan untuk
memperoleh suatu kekuatan dan keuntungan bagi orang yang mengucapkannya.
Selain dari beberapa hal yang disebutkan di atas, peneliti beranggapan
bahwa budaya daerah sangat perlu dilestarikan. Mengingat bahwa sifat mantra
adalah rahasia dan tertutup, dan hanya dimiliki oleh kalangan tertentu serta
diturunkan kepada orang tertentu pula. Hal ini membuka kemungkinan punahnya
mantra. Berikut adalah salah satu contoh mantra bahasa Dayak Desa.
(1) mantra yang digunakan untuk mengobati penyakit.
3
Tawar mata mpeleman megobati mata kelilipan
Pipit serit-serit bunyi kicau burung pipit Nepan tengah laman bermain di tengah halaman Datai bujang jepit datang pemuda bertubuh kecil Nyungkit mata mpleman mengobati mata yang kelilipan
Contoh (1) adalah mantra yang berfungsi untuk mengobati penyakit, yaitu
mengobati mata yang kemasukan debu atau binatang kecil yang masuk ke mata,
sehingga membuatnya kelilipan. Mantra ini diucapkan dengan maksud agar
sesuatu yang memasuki mata tersebut segera keluar sehingga mata yang kelilipan
segera sembuh.
Pada contoh (1) terdapat bunyi akhir yang berpola ab-ab. Mantra ini
berasonansi t dan n. Hal ini dapat dilihat pada akhir larik pertama dan larik ketiga
terdapat kata serit – serit dan jepit, pada larik kedua dan larik ketiga terdapat kata
laman dan mpleman. Bunyi tersebut terasa sebagai permainan bunyi untuk
mendapatkan keindahan.
Mantra pada contoh (1) dapat diucapakan oleh siapa saja (tidak
memandang umur). Mantra ini sangat mudah untuk didapatkan karena tidak
membutuhkan persyaratan apa pun. Biasanya yang sering mengucapkan mantra
ini adalah anak–anak usia sekolah dasar ke bawah.
Jika dilihat dari jenisnya, mantra bahasa Dayak Desa memiliki beragam
jenis dengan fungsinya masing-masing karena nenek moyang suku ini sangat
percaya dengan kekuatan mantra. Hampir di setiap bidang kehidupan ada
mantranya, seperti mengobati berbagai jenis penyakit, mantra untuk mata
4
pencaharian, mantra percintaan, kekebalan tubuh, melindungi diri dari roh jahat
dan sebagainya.
Proses ritual yang dilakukan dari setiap mantra juga berbeda-beda sesuai
dengan tingkat mantranya. Ada mantra yang sangat mudah untuk diamalkan, dan
ada pula mantra yang tidak boleh digunakan dengan sembarangan.
Untuk itulah penulis tertarik untuk mengkaji gaya bahasa, fungsi, dan
proses ritual mantra bahasa Dayak Desa. Dengan mengkaji topik ini diharapkan
dapat memberi informasi-informasi yang berguna bagi siapa pun yang ingin
mendalami perihal mantra.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, studi ini akan
menjawab beberapa pertanyaan berikut.
1.2.1 Bagaimana gaya bahasa yang digunakan pada mantra bahasa Dayak Desa?
1.2.2 Apa saja tujuan fungsi mantra serta bagaimana proses ritual mantra bahasa
Dayak Desa?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mengkaji dan memaparkan gaya bahasa pada mantra pada bahasa Dayak
Desa.
1.3.2 Mengkaji, mengkalisifikasikan dan mendeskripsikan tujuan, fungsi dan
poses ritual mantra bahasa Dayak Desa.
5
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis.
Secara teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat dalam bidang semantik. Dalam
bidang semantik, hasil penelitian ini bermanfaat bahwa makna dapat diungkapkan
dengan berbagai cara yang terwujud dalam gaya bahasa. Hasil penelitian ini juga
bermanfaat untuk menerapkan teori sastra ke dalam teks-teks sastra lisan yang
selama ini tidak dianggap sebagai karya sastra.
Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai salah satu wujud
melestarikan budaya daerah dan menambah perbendaharaan pustaka khususnya
bidang penelitian kebudayaan daerah. Penelitian ini juga bermanfaat untuk
memperkenalkan mantra suku Dayak, khususnya suku Dayak Desa.
Dalam bidang sastra lisan, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan
mengenai penelitian tradisi lisan, termasuk mantra yang masih banyak terdapat
dalam masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat luas, hasil penelitian ini dapat
memberikan referensi untuk memahami realitas tentang mantra yang tidak bisa
dimengerti secara rasional.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang mantra pernah dilakukan, di antaranya oleh Soedjijono
dkk (1987:14), yaitu yang berjudul Srtuktur dan Isi Mantra Bahasa Jawa di Jawa
Timur. Penelitian ini memaparkan bahwa ciri khas mantra adalah untuk
membangkitkan suasana sakral atau efek magis. Suasana sakral yang dimaksud di
sini adalah bahwa mantra menunjuk kepada dunia di luar batas-batas kemampuan
6
wajar manusia, dunia di luar kekuasaan hukum alam, yaitu alam gaib sebagai
pengaruh dari kekuatan sakti.
Soedjijono dkk (1987 : 52) mengemukakan bahwa mantra sebagai suatu
wacana persuasi menggunakan alat–alat itu berupa sugesti, perintah, identifikasi,
permintaan, ajakan, proyeksi, rasionalisasi, dan konformitas. Di antara kedelapan
alat ini yang paling banyak di dipakai yaitu sugesti. Hal ini sesuai dengan hakekat
mantra yang merupakan suatu ungkapan maksud yang ditujukan kepada zat gaib,
untuk itu diperlukan suatu teknik dalam membujuk zat gaib tersebut secara
sugesti.
Abdulrachman dkk (1996) dalam bukunya berjudul Fungsi Mantra dalam
Masyarakat Banjar, menemukan 83 buah mantra yang ada dalam masyarakat
Banjar beserta fungsinya masing-masing.
Ketika manusia masih percaya kepada kekuatan animisme dan dinamisme
(yakni pada waktu manusia masih sangat percaya kepada kekuatan supranatural),
mantra digunakan untuk memuja kekuatan superanatural itu dengan harapan
kekuatan tersebut tidak akan mendatangkan bala kepada manusia. Rasa takut dan
tekanan yang dirasaka oleh manusia yang dibarengi dengan pemujaan telah
membuat manusia mengadakan berbagai macam upacara yang dimaksudkan
untuk memohon sesuatu kepada kekuatan itu ( Yusri Yusuf dkk :2001) dalam
buku yang berjudul Struktur dan Fungsi Mantra Bahasa Aceh.
Soedjijono dkk meneliti mantra bahasa Jawa Timur dari segi struktur dan
isinya, Abdulrachman dkk meneliti mantra masyarakat Banjar dari segi fungsinya,
sedangkan Yusri Yusuf dkk juga meneliti mantra bahasa Aceh dari segi struktur
7
dan fungsinya. Uraian tersebut menunjukan bahwa studi yang secara khusus
mengungkap mantra masih sangat sedikit, dan mantra dalam kebudayaan Dayak
khususnya bahasa Dayak Desa, sejauh ini belum pernah dilakukan.
1.6 Kerangka Teori
Untuk memahami lebih mendalam mengenai mantra dan aspek-aspek yang
diteliti yang meliputi gaya bahasa, fungsi, dan proses ritual, berikut ini
dikemukakan konsep tentang hakikat mantra, gaya bahasa, fungsi-fungsi mantra,
proses ritual mantra, folklor dan ilmu gaib.
1.6.1 Hakikat Mantra
Mantra adalah perkataan yang dapat mendatangkan daya gaib atau susunan
kata yang berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya
diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995 : 629).
Umar Junus dalam bukunya yang berjudul Mitos dan Komunikasi (1981 :
214-216) mengatakan bahwa bahasa sebuah mantra bersifat esoterik, yang tidak
mudah dipahami, bahkan mungkin tak punya arti, atau paling kurang tidak punya
arti nominal. Yang penting bagi sebuah mantra bukanlah bagaimana orang dapat
memahaminya, tetapi kenyataannya sebagai sebuah mantra dan kemanjurannya
sebagai sebuah mantra. Kita hanya mungkin berbicara tentang eksistensinya dan
bukan tentang apa yang dibawanya.
Kenyataan mantra sebagai sebuah mantra menyarankan kita kepada hal
8
berikut: pertama, ia tidak berhubungan dengan soal pemahaman sama sekali. Pada
dasarnya mantra adalah ucapan yang tidak perlu dipahami, sehingga kadang-
kadang memang tidak dapat dipahami, karena ia lebih merupakan permainan
bunyi dan bahasa belaka. Berikutnya, karena tidak ada persoalan pemahaman,
menyebabkan ia mesti dilihat dari sudut mantra itu sendiri atau dari kenyataan
yang ada padanya.
Hal yang penting dari sebuah mantra adalah kemanjurannya bukan
kejelasan penyampaian amanatnya. Mantra harus dinilai dari segi efek atau akibat
dari kehadirannya dan dari penggunaannya. Sebuah mantra akan menjadi lebih
baik dari yang lain bila mendatangkan efek yang kuat. Mantra mesti mempunyai
kekuatan majik yang didapat dengan permainan bahasa, yang biasanya melalui
perulangan bunyi, kata, dan struktur. Permainan bahasa bertugas menetralisir dan
melawan, sehingga misteri kehilangan kuasa atau kuasanya menjadi lemah.
Mantra pada dasarnya memiliki dua hal yang bertentangan, yaitu rayuan dan
perintah. Permintaan yang merayu-rayu biasanya dicapai dengan pemborosan
pengucapan bahasa yang didapat melalui berbagai perulangan. Bila makhluk gaib
telah melemah, ia dapat diperintah untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.
Mantra menghubungkan manusia dengan dunia yang penuh dengan
misteri. Mantra merupakan suatu alat dalam usaha membujuk dunia misteri untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia yang
mengucapkannya. Mantra tidak lagi menjadi mantra jika kehilangan unsur misteri
di dalamnya.
9
Bahasa dan kepercayaan serta dunia yang tak terlihat adalah unsur-unsur
penting dalam mantra. Bahasa dan kepercayaan menimbulkan kekuatan yang luar
biasa sehingga mampu mempangaruhi dunia yang tak kelihatan. Kepercayaan
merupakan sebuah pengalaman pribadi setiap manusia dengan dunia yang tak
kelihatan. Sedangkan bahasa digunakan setiap pribadi dalam melakukan ritual
kepercayaan dengan mengucapkan kata atau kalimat dengan irama tertentu
dengan tujuan agar bisa berinteraksi dengan dunia yang tidak kelihatan. Dua hal
ini akan berlangsung terus menerus dan menjadi semacam tradisi. Keane dalam
karyanya yang berjudul Religious Language (1997 : 47), mengutip pendapat
beberapa ahli, di antaranya William James dan EB Tylor berikut ini:
“Religion is founded on the subjective experience of an invisible presence” (William James). “Prayers begin as spontaneous utterances and degenerate into traditional formulas” (EB Tylor).
Pengalaman subjektif akan sebuah kehadiran itulah yang menjadi dasar
bagi agama. Doa-doa pada mulanya diucapkan secara spontan, tetapi pada
masyarakat tradisional, doa-doa itu seringkali dirumuskan menjadi sesuatu yang
bersifat ‘baku’ (formulaic). Dalam konteks seperti inilah, mantra menduduki
tempat yang penting. Mantra menjadi sarana penghadiran kekuatan penyembuhan
(healing power) yang menggunakan rumusan-rumusan bahasa yang unik.
Bisa dikatakan bahasa merupakan media atau alat yang menghubungkan
antara kepercayaan dengan dunia yang tak kelihatan (kekuatan yang luar biasa di
luar manusia). Bahasa dalam mantra bisa berbentuk nyanyian, ucapan, bacaan,
tulisan. Semua itu bertujuan untuk mengungkap atau mengalami kekuatan besar di
luar manusia, seperti yang dinyatakan Ferguson dan Asad berikut ini:
10
“Concrete activities such as speaking, chanting, singing, reading, writing-or their purposeful suppression-can be as much a condition of possibility for the experience of the divine as a response to it” (Ferguson). “Religious observance tends to demand highly marked and self conscious uses of linguistic resources” (Asad).
Karena mantra digunakan untuk berinteraksi dengan dunia yang tak
kelihatan, setiap pribadi percaya bahwa respon dari dunia gaib itu berupa sesuatu
yang tak terlihat namun dapat ditangkap bunyinya, entah itu berupa ucapan,
nyanyian, atau desiran angin. Contoh konkritnya terjadi pada St. Augustine saat
dia memutuskan menjadi kristen. Kata-kata yang ia dengar dari mulut seorang
anak kecil yang tak terlihat, ia yakini sebagai jawaban dari Tuhan.
“Upon hearing the words “take and read, take and read” (tolle lege, tolle lege) spoken in a “sing-song” voice by an unseen child from the other side of a wall, Augustine understood them to be a command from God” (Keane, 1997 : 49).
1.6.2 Gaya Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam mantra khususnya mantra bahasa Dayak
Desa ditemukan juga penggunaan gaya bahasa. Penggunaan gaya bahasa tersebut
untuk melukiskan sesuatu secara kiasan agar terasa indah dan meningkatkan efek
yang diinginkan. Pemilihan kata atau diksi dilakukan untuk mendapatkan
kepuitisan atau untuk menimbulkan nilai estetik.
Keraf (1984: 113) menyebutkan bahwa gaya bahasa merupakan
kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara
indah. Gaya bahasa merupakan cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
11
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:545) gaya bahasa adalah
cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakan dengan sesuatu yang lain;
kiasan. Bahasa kiasan adalah penggunaan kiasan untuk meningkatkan efek
pernyataan atau pemerian (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990 : 77) Gaya
bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meninggikan serta
meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta memperbandingkan
sesuatu benda atau hal tertentu dengan benda yang lain yang lebih umum
(Tarigan, 1985:112).
1.6.2.1 Gaya Bahasa Perulangan
1) Gaya Bahasa Aliterasi
Gaya bahasa aliterasi adalah gaya bahasa yang yang berwujud perulangan
konsonan yang sama (Keraf, 1984 : 130). Aliterasi merupakan pengulangan
bunyi-bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan. Untuk lebih jelasnya
perhatikan contoh (1) berikut ini
Pipit serit-serit ‘kicauan burung pipit’ Nepan tengah laman ‘bermain di halaman’ Datai bujuang jepit ‘datang bujang yang bertubuh kecil’ Nyungkit mata empeleman ‘mengobati mata yang kelilipan’
Contoh (1) terdapat persajakan bunyi akhir yang berpola ab-ab. Larik
pertama berpasangan dengan larik ketiga dan larik kedua berpasangan dengan
larik keempat.
12
2) Gaya Bahasa Asonansi
Gaya bahasa asonansi adalah gaya bahasa yang berwujut perulangan bunyi
vokal yang sama (Keraf, 1984 : 130). Asonansi merupakan bentuk persajakan dari
bunyi-bunyi vokal.
(2) teks E (2) Bisa kenuk antu ‘berbisa kata hantu’ Tabar kenuk aku ‘tawar kata aku’ Manih kenuk antu ‘manis kata hantu’ No kenuk aku ‘tidak kata aku’ Asin kenuk antu ‘asin kata hantu’ Tabar kenuk aku ‘tawar kata aku’
Contoh (2) merupakan gaya bahasa asonansi yang pola aaa, dengan
persajakan yang terdapat pada bunyi akhir dari setiap larik.
1.6.2.2 Gaya Bahasa Kiasan
1) Gaya Bahasa Perbandingan
Gaya bahasa perbandingan atau persamaan atau simile adalah
perbandingan yang bersifat ekplisit (Keraf, 1984 : 138). Perbandingan ini lansung
menyatakan sesuatu dengan hal yang lain. Pradopo (2005 : 62), menyatakan
bahwa perbandingan atau perumpamaan atau simile ialah bahasa kiasan yang
menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata
pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana,
sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding lainnya. Untuk lebih jelasnya
perhatikan contoh berikut.
(3) teks C (4) Temeran rebiah kampel Jatuk ningang lawang kewari Kala nyata kedirik bisa
13
Kujeput sebagai lumut Kejadi kau batang padi ‘temeran rebiah kampel’ ‘jatuh menimpa rumah Kewari’ ‘kala jengking menyatakan dirinya berbisa’ ‘kujeput sebagai lumut’ ‘terjadikau dari batang padi’
Pada contoh nomor (3) merupakan perbandingan yang ditunjukan dengan
kata pembanding sebagai.
2) Gaya bahasa Metafora
Gaya bahasa metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua
hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 1984 : 139). Gaya
bahasa metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak
mempergunakan kata-kata pembanding seperti: bagai, laksana, seperti, dan
sebagainya (Pradopo, 2005 : 62). Gaya bahasa metafora ini menyamakan suatu
benda atau suatu hal dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama. Untuk lebih
jelasnya perhatikan contoh berikut:
(4) penangkal dan atau menghentikan hujan Dituk manuak inuk Din manuak itam Dituk baduk temuk Din bunyi gentam
‘di sini ayam betina’ ‘di sana ayam hitam’ ‘di sini berhenti’ ‘di sana berdentaman’
Nomor (4) merupakan metafora yang membandingkan dua hal, yaitu hujan
berhenti dan hujan lebat. Hujan yang berhenti diumpakan dengan seekor ayam
betina, dan hujan lebat diumpamakan dengan ayam yang bulunya hitam.
14
3) Gaya Bahasa Allegori
Menurut Keraf (2005 : 140) allegori adalah suatu cerita singkat yang
mengandung kiasan. Menurut Pradopo (2005 : 71), allegori ialah cerita kiasan
atau lukisan kiasan yang mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Untuk lebih
jelasnya perhatikan contoh berikut:
(5) teks B (3)
Ca cepala dua pati laba Tiga jarum pati Empat pati tungal Limak geruntak Enam geruntam Tujuh manuah runtuah Ngemak cupai nagkin isau Ngesan serepang empulieng Numuak mata bengkak kepisak
‘ca cepala dua pati laba’ ‘tiga jarum pati’ ‘empat pati tunggal’ ‘lima geruntak’ ‘enam geruntam’ ‘tujuh manuah runtuh’ ‘menggendong cupai parang diikatkan di pinggang’ ‘memikul tombak’ ‘menikam mata bengkak bisulan’
Contoh (5) merupakan allegori yang mengiaskan cara pengobatan dengan
kegiatan dan peralatan yang digunakan untuk berburu, yaitu parang dan tombak.
Parang digunakan untuk memotong hasil buruan, sedangkan tombak digunakan
untuk menikam sasaran buruan. Peralatan yang digunakan untuk memecahkan
bengkak pada bisulan seperti ketajaman kedua alat berburu tersebut.
15
4) Gaya Bahasa Personifikasi
Gaya bahasa personifikasi merupakan kiasan yang mempersamakan benda
dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berpikir dan sebagainya seperti
manusia (Pradopo, 2005 : 75). Menurut Keraf (1984 : 140), personifikasi adalah
gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang
yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Tarian (1985 :
123), mengatakan bahwa personifikasi ialah jenis gaya bahasa yang melekatkan
sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan idea yang abstrak.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:
(6) teks K (2)
Insum numuak nyawa tidak bisa berjawab Insum numuak lidah tidak bisa berlipat Insum numuak mata tidak bisa berbisap
‘insum menikam mulut tidak bisa menjawab’ ‘insum menikam lidah tidak bisa berlipat’ ‘insum menikam mata tidak bisa berkedip’
Contoh (6) adalah gaya bahasa personifikasi. Insum atau sumsum
melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh manusia, yaitu menikam,
sedangkan sumsum berada di dalam tulang manusia.
5) Gaya Bahasa metonimia
Gaya bahasa metoniamia adalah gaya bahasa yang mempergunakan
sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, kerena mempunyai pertalian yang
sangat dekat (Keraf, 1984 : 143). Perhatikan contoh berikut.
(7) teks F (1) Rinna ara duma
16
Tumuah tengah lebak U, Betara sedua buta Buka selangka (sanuk) kak beranak ‘lebat kayu ara diladang’ ‘tumbuh ditengah daratan yang basah’ ‘oh Batara sedua buta’ ‘buka selangkangan (si A) mau melahirkan’
Contoh (7) merupakan gaya bahasa metonimia. Rinna ara duma ‘lebat
kayu ara di ladang’ menggantikan janin atau bayi yang berada di dalam
kandungan ibunya dan tumuah de tengah lebak ‘tumbuh di dataran yang basah’
menggantikan rahim.
1.6.3 Fungsi Mantra dan Proses Ritual
Sebelum menguraikan mengenai fungsi mantra dan proses ritual yang
menyertai pengucapan mantra, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai
folklore, karena aspek ini menjadi bagian dari pendekatan yang digunakan dalam
memahami kedua aspek tersebut.
1.6.3.1 Folklor dan Ilmu Gaib
Folklor berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Folk yang sama artinya
dengan kolektif (collectivity). Menurut Alan Dundes, folk adalah sekelompok
orang yang memiliki ciri-ciri pengenel fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga
dapat dibedakan dari kelompok-kelompok linnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain
dapat berwujud: warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, bahasa yang
sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun lebih penting
lagi bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah
17
mereka warisi tirun-menurun, sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui
sebagai milik bersama dan mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri
Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan
turun temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi
yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat
atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Adapun ciri-ciri pengenal umum folklor adalah: a) penyebaran dan
pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni melalui tutur kata dari mulut
ke mulut atau dengan suatu contoh yang disertai gerak isyarat dan alat pembantu
pengingat dari satu generasi ke generasi berikutnya, b) folklor bersifat tradisional,
yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan
di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama, paling sedikit dua
generasi, c) folklor ada dalam versi-versi yang berbeda, yang diakibatkan oleh
penyebarannya dari ulut ke mulut (lisan), d) folklor bersifat anonim, yaitu nama
penciptanya sudah tidak diketahui lagi, e) folklor mempunyai bentuk berumus
atau berpola, f) folklor mempunyai kegunaan (funcion) dalam kehidupan bersama
suatu kolektif, g) folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang
tidak sesuai dengan logika umum, terutama bagi folklor lisan dan sebagian lisan,
h) folklor menjadi milik bersama (collctive) dari kolektif tertentu, i) folkor pada
umumnya bersifat polos dan lugu. (Danandjaja, 2002: 1-4).
Menurut Brunvand, folklor adalah suatu ciptaan (creations) dari suatu
kelompok atau seorang atau individu, yang berorientasi pada kelompok, dan
berdasarkan pada tradisi yang mereflesikan cita-cita dari suatu komonitas sebagai
18
suatu ungkapan jati diri kebudayaan masyarakat; batasan-batasan, standar-standar,
dan nilai-nilai yang diwariskan secara lisan, mencontoh ( immitatian), atau dengan
cara lain. Bentuk-bentuknya mencakup, antara lain: bahasa, kesusastraan, musik,
tari, permainan-permainan, mitologi, ritual, adat-istiadat, seni, kriya, arsitektur,
dan kesenian lainnya (Danandjaja, 2003 : 35).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi (edisi kedua), folklor didefinisikan
sebagai adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun,
tetapi tidak dibukukan, atau ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yang
tidak dibukukan. Folklor lisan adalah folklor yang diciptakan, disebarluaskan, dan
diwariskan dalam bentuk lisan. Ada pun yang termasuk folklor lisan berupa
bahasa rakyat, teka-teki, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat.
Koentjaraningrat (1980: 60) mengikuti teori Marett tentang kekuatan yang
luar biasa, mengatakan bahwa bentuk religi yang tertua adalah berdasarkan
keyakinan manusia akan kekuatan gaib dalam hal-hal yang luar biasa yang
menjadi sebab timbulnya gejala- gejala yang tak dapat dilakukan oleh manusia.
Pangkal religi adalah suatu emosi atau getaran jiwa yang timbul karena
kekaguman manusia terhadap hal-hal dan gejala- gejala tertentu yang bersifat luar
biasa. Hal-hal gejala-gejala alam tersebut, oleh manusia dianggap berasal dari
dunia yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Artinya kekuatan yang tak dapat
diterangkan dengan akal manusia biasa dan yang ada di atas kekuatan-kekuatan
yang alamiah biasa atau kekuatan supranatural. Dalam bahasa Indonesia kekuatan
yang luar biasa itu dapat disebut “kekuatan gaib” atau “kekuatan sakti”,
19
sedangkan dunia dari mana kekuatan gaib itu berasal dapat disebut “dunia gaib”
atau “alam gaib”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 : 371), ilmu gaib adalah
pengetahuan tentang segala yang tidak kelihatan atau rahasia alam. Ilmu gaib atau
magic merupakan teknik-teknik atau kompleks cara-cara yang dipergunakan oleh
manusia untuk mempengaruhi alam sekitarnya sehingga menuruti kehendak dan
tujuannya. Dasar ilmu gaib adalah kepercayaan kepada kekuatan sakti dan
hubungan sebab menyebab menurut hubungan-hubungan asosiasi. Hubungan
asosiasi itu adalah bayangan dalam pikiran itu yang menimbulkan bayang-bayang
baru sehingga terjadi suatu rangkaian bayang- bayang. Syarat-syarat penting agar
suatu perbuatan gaib itu bisa berhasil adalah semangat, kesungguhan, dan
konsentrasi dari si pelaku. Kekuatan gaib tersebut tercipta dengan diucapkannya
sebuah mantra (Koentjaraningrat, 1974 : 276-277).
1.6.3.2 Tujuan dan Fungsi-Fungsi Mantra
Tujuan mantra dapat dilihat dari hubungannya dengan jenis mantra itu
sendiri. Setiap mantra memiliki tujuannya masing-masing, antara lain mantra
untuk kekebalan tubuh, mengobati penyakit, mantra untuk mata pencaharian,
mantra percintaan dan sebagainya.
Mantra yang berhubungan dengan pengobatnan misalnya, mantra ini dapat
menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Misalnya, menyembuhkan sakit perut,
sakik kepala, biduren, bisulan, harpes, demam dan lain-lain. Mantra yang
berhubungan dengan pengobatan juga ada yang berfungsi untuk menangkal racun
20
yang sengaja diberikan pada pada seseorang tanpa sepengetahuan yang
bersangkutan atau dikirim secara gaib.
Mantra yang berhungan dengan kekebalan tubuh bisa untuk mengebalkan
diri dari segala tusukan senjata tajam. Dalam suatu perkelahian, bagi sesorang
yang sedang menggunakan mantra ini bisa dipergunakan untuk mengalahkan
lawan sehingga ia tidak berdaya menghadapinya.
Mantra yang berhubungan dengan keluarga misalnya, dapat
mempermudah seorang ibu saat melahirkan. Jika seorang ibu sedang melahirkan,
dengan membaca mantra ini dapat memperlancar proses kelahiran dan
mengurangi rasa sakit saat melahirkan. Mantra ini juga ada yang berfungsi untuk
menghentikan balita yang menagis terus-menerus karena gangguan roh jahat, dan
masih banyak fungsi yang lainnya.
Mantra yang berhubungan dengan percintaan juga memiliki berbagai
tujuan diantaranya yaitu untuk mendapatkan seorang yang kita cintai dengan
mudah. Mantra ini dapat membuat seseorang terlihat sangat menarik di mata
orang yang dicintainya, sehingga orang yang dicintai juga membalas cintanya,
selalu merindukanya dan selalu ingin berada di dekatnya dan tidak berniat untuk
mencintai orang lain.
Berdasarkan alasan mistis yang melatarbelakanginya, mantra juga dapat
dilihat fungsinya secara ritual. Taum (2004) dalam buku Bahasa Merajut Sastra
Merajut Budaya: Tradisi Fua Pah: Ritus dan Mitos Agraris Masyarakat Dawan di
Timor menyebutkan ada empat fungsi dilihat dari alasan mistis yang
melatarbelakanginya, yaitu:
21
(1) Fungsi Magis. Fungsi magis berkaitan dengan penggunaan bahan-bahan
dalam suatu upacara ritual yang bekerja karena daya-daya mistis.
Dalam setiap upacara ritual pada khususnya mantra bahasa Dayak Desa,
pasti menggunakan bahan-bahan sebagai salah satu medianya. Dalam
mantra bahasa Dayak Desa, bahan-bahan yang digunakan berbeda-beda
pada setiap mantranya, sesuai dengan kebutuhan dan jenis mantra serta
tingkat mantranya. Yang dimaksud dengan tingkat di sini yaitu bahwa
tidak semua mantra dapat diterima begitu saja oleh orang yang
mewarisinya. Ada banyak mantra yang memiliki persyaratan-
persyaratan tertentu untuk mendapatkan.
(2) Fungsi Religius. Fungsi religius berkaitan dengan pelaksanaan
rangkaian kegiatan dalam suatu upacara.
(3) Fungsi Faktif. Fungsi faktitf berkaitan dengan meningkatkan
produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan meteri suatu kelompok.
(4) Fungsi Intensifikasi. Fungsi intensifikasi berkaitan dengan ritus
kelompok yang mengarah kepada pembaharuan dan mengintensifkan
kesuburan, ketersediaan buruan dan panen.
1.6.3.3 Proses Ritual
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 : 843) ritual adalah yang
berkenaan dengan ihwal, yaitu tata cara dalam upacara keagamaan. Proses ritual
merupakan serangkaian tindakan yang mempunyai nilai simbolik untuk mencapai
22
suatu kemanjuran dari tindakan tersebut. Peroses ritual mantra merupakan tata
cara yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan mantra serta proses yang
dilakukan saat mengamalkan atau membacakan mantra. Adapun proses yang
dilakukan dalam mantra bahasa Dayak Desa memiliki beberapa tahapan. Pertama,
proses ritual untuk mendapatkan mantra. Kedua, proses pelaksaan mantra, dan
yang ketiga adalah proses penutup. Dalam proses ritual yang dilakukan untuk
mendapakan mantra, kegiatan yang dilakukan dan atau media yang diminta sesuai
dengan persyaratan dari mantra tersebut. Adapun kegiatan serta alat dari
persyaratan yang harus dilakukan tersebut seperti minum air kelapa di dalam air,
beketup garam, serta media yang diberikan kepada pemantra seperti sebilah besi,
sebungkus garam, sejumlah uang, dan sebagainya.
Dalam proses pengamalan mantra, kegiatan yang dilakukan meliputi
proses mempersiapkan media yaitu, pemantra menyiapkan media yang digunakan
sesuai dengan mantra yang digunakan. Media yang digunakan beraneka ragam
seperti kapur sirih, air putih, kunyit, beras, ranting kayu, dan sebagainya. Setelah
media yang digunakan lengkap tahap berikutnya adalah pelaksanaan. Pemantra
memantrai media yang telah dipersiapkan tadi kemudian memberikannya kepada
yang orang yang dimantrainya.
Proses yang selanjutnya adalah proses penutup atau penyelesaian. Pada
proses ini orang yang sudah dimantrai memberikan imbalan kepada pemantra
sesuia dengan permintaan dari mantra yang bersangkutan. Setiap mantra memiliki
permintaan yang berbeda-beda, hal ini berkaitan dengan tingkat mantra yang
dibacakan. Imbalan-imbalan tersebut dapat berupa uang ataupun barang. Bila
23
permintaan mantra yang bersangkutan tidak terpenuhi, dipercaya dapat
menimbulkan efek yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Jika pemantra
meminta imbalan berupa uang, jumlah yang diminta oleh pemantra tidak dapat
ditawar, kerena hal tersebut juga dipercaya dapat mengurangi keampuhan mantra
tersebut.
1.7 Metode dan Teknik Penelitian
Penelitian ini meliputi tiga tahap yakni: (i) pengumpulan data atau
penyediaan data, (ii) analisis data, (iii) penyajian hasil analisis data. Berikut
diuraikan metode dan teknik untuk masing-masing tahap dalam penelitian ini.
1.7.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara
semantik dan pendekatan folklor. Pendekatan semantik untuk menganalisis gaya
bahasa yang digunakan dalam mantra bahasa Dayak Desa, sedangkan pendekatan
folklor tentang fungsi dan ritual yang dilakukan dalam mantra tersebut.
1.7.2 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode
penelitian deskriptif adalah yang memberi objek penelitian berdasarkan fakta yang
ada atau fenomen yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya,
sehingga yang dihasilakan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa
24
dikatakan sifatnya seperti potret yaitu paparan seperti adanya (Sudaryanto, 1988 :
62).
1.7.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan dua metode, yaitu observasi dan wawancara.
Metode-metode yang digunakan tersebut adalah sebagai berikut:
1.7.3.1 Observasi
Metode observasi merupakan pengamatan dan pencatatan dengan
sistematik fenomen-fenomen yang diselidiki (Hadi, 1982 : 136). Observasi
menghasilkan deskripsi yang khusus tentang apa yang telah terjadi dari peristiwa-
peritiwa sejarah atau hasil dari peristiwa-peristiwa (Komaruddin, 1974 : 97).
Dengan cara ini dapat diperoleh gambaran mengenai proses ritual pada mantra
bahasa Dayak Desa. Observasi ini dilakukan untuk mendukung hasil wawancara.
1.7.3.2 Wawancara
Data diperoleh dengan menggunakan metode wawancara. Wawancara
yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden.
Metode wawancara ini dilakukan dengan cara mewawancarai para informan, yaitu
orang yang dapat mengucapkan mantra serta mampu memberikan penjelasan
tentang mantra tersebut. Penjelasan yang dimaksud adalah bagaimana proses
ritual dan arti dari kosa kata yang digunakan dalam setiap mantra bahasa Dayak
Desa, narasumbernya adalah pemilik mantra dan mereka yang memahami mantra
sehingga dapat memberikan penjelasan mengenai mantra. Metode wawancara ini
25
dilakukan untuk memperoleh data dan membantu penulis memahami masalah,
yaitu gaya bahasa, fungsi dan proses ritual mantra bahasa Dayak Desa.
1.7.3.3 Teknik Catat
Teknik catat adalah teknik menjaringan data dengan mencatat hasil
penyimakan data pada kartu data. Pencatatan kartu data dilakukan dengan
transkripsi fonetis, yaitu transkripsi yang memenfaatkan lambanga-lambang
fonetis (Kesuma, 2007 : 45). Data yang ditranskripsikan diapit dengan tanda
kurung siku, misalnya kata ngemak ‘menggendong’ adalah [ŋəma?].
1.7.4 Subjek dan Lokasi Penelitian
1.7.4.1 Lokasi Penelitian
Suku Dayak Desa tersebar di beberapa daerah di Kebupaten Sintang.
Mengingat keterbatasan waktu, tenaga dan biaya yang diperlukan, penulis
terfokus pada satu lokasi penelitian, yaitu di Desa umin, Kecamatan Dedai,
Kabupaten Sintang, sekitar 45 km dari kota Sintang.
1.7.4.2 Narasumber
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990 : 609), yang dimaksud
narasumber adalah orang yang memberi (mengetahui secara jelas atau menjadi
sumber) atau bisa juga dikatakan sebagai informen. Adapun narasumber dalam
penelitian ini adalah dari sumber-sumber khusus, yaitu dari narasuber-narasumber
yang memiliki dan dapat mengamalkan mantra. Narasumber diperoleh
26
berdasarkan kesanggupan narasumber untuk memberikan data dan penjelasan
tentang mantra tersebut. Data dicari sebanyak mungkin dengan cara menanyakan
kepada setiap narasumber setiap jenis mantra yang dimilikinya berdasarkan
persyaratan yang dapat dipenuhi oleh peneliti untuk mendapatkan data mantra
tersebut.
1.7.5 Metode dan Teknk Analisis Data
Langkah kedua adalah menganalisis data. Setelah data diklasifikasikan
kemudian dianalisis dengan metode padan dan metode agih. Metode padan adalah
metode yang alat penantunya adalah di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian
dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). Metode padan
yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode padan referensial, metode padan
tranlasional, dan metode padan pragmatis. Metode padan referensial adalah
metode padan yang alat penentunya berupa referen bahasa. Referen bahasa adalah
kenyataan atau unsur luar bahasa yang ditunjuk satuan kebahasaan (Kesuma, 2007
: 48). Metode padan ini dipakai untuk menganalisis gaya bahasa dalam mantra
bahasa Dayak Desa. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh (1). Pada contoh
nomor (1), terdapat gaya bahasa aliterasi dan gaya bahasa metonimia. Gaya
bahasa aliterasi ditandai dengan perulangan bunyi akhir larik dengan pola ab-ab.
Larik pertama pipit serat-serit ‘bunyi kicauan pipit’ berpasangan dengan larik
ketiga datai bujang jepit ‘datang pemuda bertubuh kecil, larik kedua berpasangan
nepan tengah laman ‘bermain ditengah halaman berpasangan dengan larik
27
keempat nyungkit mata empeleman ‘mengobati mata yang kelilipan.’ Gaya bahasa
metonimia ditunjukan dengan bujang jepit yang menggantikan zat gaib.
Metode padan translasional adalah metode padan yang alat penentunya
bahasa lain. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa di luar bahasa yang diteliti
(Kesuma, 2007 : 49). Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi satuan
kebahasaan bahasa Dayak Desa berdasarkan satuan kebahasaan dalam bahasa
Indonesia. Sebagai contoh, kata empunan dalam bahasa Dayak Desa tidak
teridentifikasi dalam bahasa Indonesia. Empunan atau disebut juga kepunan
adalah peristiwa celaka yang disebabkan oleh keteledoran seseorang karena lupa
makan sesuatu yang sudah direncanakannya atau makanan yang sudah ditawarkan
orang lain kepadanya.
Metode padan pragmatik adalah metode padan yang alat penentunya
berupa adalah lawan atau mitra wicara. Metode padan ini digunakan untuk
menganalisis proses ritual mantra bahasa Dayak Desa. Metode padan referensial
juga digunakan untuk menganalisis proses ritual mantra bahasa Dayak Desa.
Metode agih adalah metode yang alat penentunya merupakan bagian dari
bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993 : 15). Teknik dasar yang
dipakai dalam metode agih ini adalah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL). Teknik
BUL ini dilakukan dengan membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa
bagian atau unsur (Sudaryanto, 1993 : 31). Teknik BUL digunakan untuk
membagi data atau mengklasifikasikan data sesuai dengan jenis dan fungsinya
sehingga memudahkan untuk analisis selanjutnya. Sebagai contoh, data
diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yaitu (i) untuk menyembuhkan
28
penyakit, (ii) untuk kekebalan tubuh, dan (iii) untuk percintaan dan sebagainya.
Teknik BUL juga digunakan untuk mengklasifikasikan mantra berdasarkan jenis
gaya bahasanya.
Teknik lanjutan yang dipakai dalam metode agih ini adalah teknik baca
markah. Teknik baca markah adalah teknik analisis data dengan cara “membaca
pamarkah” dalam suatau konstruksi. Pemarkahan itu adalah alat seperti imbuhan,
kata penghubung, kata depan, dan artikel yang menyatakan ciri ketatabahasaan
atau fungsi kata atau konstruksi (Kesuma, 2007 : 66). Pemilihan cara
melakukannya bergantung pada tempat terdapatnya pemarkahan itu dalam tataran
lingual. Dengan melihat langsung pemarkahan itu menjadi membuka diri dan
berlaku sebagai tanda pengenal akan status satuan lingual yang diamati
(Sudaryanto, 1993 : 95). Teknik baca markah ini digunakan untuk menganalisis
gaya bahasa. Perhatikan contoh (3), kata sebagai merupakan pemarkah yang
menunjukan gaya bahasa perbandingan.
1.7.6 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Setelah tahap hasil analisis data, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian
hasil analisis data. Analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan metode
formal dan informal. Metode penyajian formal adalah dengan perumusan dengan
mengunakan tanda dan lambang-lambang. Tanda yang digunakan antara lain (*),
(+), (†), (/), (\), (( )) dan lambang-lambang fonetis. Metode penyajian informal
adalah penyajian dengan menggunakan kata-kata yang biasa, yaitu kata-kata yang
bersifat denotatif dan bukan kata-kata yang bersifat konotatif.
29
1.8 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian hasil laporan penelitian ini adalah sebagai berikut
Bab I merupakan bab yang berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metode, dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II
merupakan bab yang memaparkan gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi
teks, klasifikasi data, terjemahan dan catatan. Bab III merupakan bab yang berisi
analisis gaya bahasa mantra bahasa Dayak Desa. Bab VI merupakan bab yang
berisi uraian tentang tujuan, tujuan dan proses ritual, serta fungsi mantra bahasa
Dayak Desa. Bab V berisi penutup, yang mencakup kesimpulan dan saran.
Kesimpulan yang dimaksud adalah kesimpulan tentang gaya bahasa, tujuan dan
proses ritual, serta fungsi yang pada mantra bahasa Dayak Desa. Saran yang
dimaksud adalah saran kepada peneliti selanjutnya.
30
BAB II
DESKRIPSI TEKS, KLASIFIKASI DATA,
TERJEMAHAN DAN CATATAN
2.1 Pengantar
Dalam bab ini dilakukan deskripsi data, klasifikasi data, terjemahan teks
dan catatan. Namun sebelumnya, diuraikan dulu gambaran umum tentang lokasi
penelitian.
2.2. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Penulis meneliti mantra yang berbahasa Dayak Desa, pada masyarakat
Suku Dayak Desa. Suku Dayak Desa sendiri tersebar di beberapa daerah yaitu
terdapat di Kabupaten Sintang yaitu di Kecamatan Sintang, Kecamatan Dedai,
Kecamatan Kelam Permai, Kecamatan Kayan Hilir, Kecamatan Sungai Tebelian,
Kecamatan Binjai Hulu, Kecamatan Sepauk dan Kecamatan Tempunak.
Kabupaten Sintang terletak di bagian timur Propinsi Kalimantan Barat.
Letak atministratif Kecamatan Dedai berbatasan dengan Kecamatan Kelam
Permai di bagian utara, di bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan
Belimbing dan Nanga Pinoh Kabupaten Melawi, di bagian timur berbatasan
dengan Kecamatan Kayan Hilir. Di bagian barat berbatasan dengan Kecamatan
Sintang dan Sungai Tebelian. Kecamatan Dedai terletak di antara 0ο44’ Lintang
Utara serta 0ο14’ Lintang Selatan dan 111ο30’ Bujur Timur serta 111ο39’ Bujur
31
Timur. Kecamatan Dedai memiliki luas wilayah 694,10Km2 atau 3,21% dari luas
wilayah kabupaten Sintang (Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang, 2006).
Daerah yang menjadi pusat penelitian penulis yaitu Dusun Umin
Kecamatan Dedai. Daerah ini berbatasan dengan beberapa daerah di sekitarnya.
Di bagian Timur berbatasan dengan Dusun Pauh Desa, di bagian Tenggara
berbatasan dengan Dusun Bayur, di sebelah selatan berbatasan dengan Dusun
Semirit, di sebelah Barat Daya berbatasan dengan Tajam, dan di sebelah Barat
berbatasan dengan Dusun Baras dan Bilan, di bagian Utara berbatasan dengan
Dusun Pengan dan Emparu, di bagian Timur Laut berbatasan dengan Dusun
Menaung. Daerah ini diapit oleh dua bukit yang terletak di sebelah Timur Laut
dan Selatan. penduduk setempat menamai bukit itu masing-masing di sebelah
Timur Laut yaitu Bukit Mangat dan di bagian Selatan Bukit Tajam. Dilihat dari
keadaaan iklimnya, daerah ini merupakan daerah yang beriklim tropis dengan
suhu yang tinggi serta curah hujan yang tinggi.
Tempat kediaman Suku Dayak Desa sangat mudah dicapai karena berada
di sekitar kota Sintang. Semua pemukimannya bisa dicapai dengan menggunakan
transportasi darat dan beberapa di antaranya dapat ditempuh lewat sungai. Lokasi
penelitian penulis adalah di Desa Umin, Kecamatan Dedai Kabupaten Sintang,
Kalimantan Barat. Jarak Desa Umin dari Kota Sintang menempuh perjalanan
dengan menggunakan transportasi darat kurang lebih 45 km ke arah Timur.
32
2.3 Klasifikasi Data
2.3.1 Pengantar
Pada bagian ini dikemukakan deskripsi teks, traskripsi, ejaan, terjemahan
dan catatan teks. Adapun bagian-bagain tersebut masing-masing dijelaskan
sebagai berikut.
2.3.1.1 Deskripsi Teks
Mantra yang menjadi objek dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara
mencatat hasil wawancara dengan narasumber. Wawancara dilakukan untuk
mendapatkan data-data mantra dan penjelasannya. Wawancara dilakukan dengan
pemilik mantra dan orang yang paham terhadap bahasa mantra sehingga bisa
menjelaskan mantra. Apabila ada bagian yang meragukan, penulis menghubungi
kembali narasumber yang bersangkutan. Semua data tentang mantra tersebut
ditulis apa adanya sesuai dengan aslinya tanpa menambah, mengurangi atau
mengubahnya.
Dari penelitian lapangan, diperoleh 40 teks mantra. Teks-teks tersebut
akan diklasifikasikan sesuai dengan jenisnya. Berdasarkan data yang telah
diperoleh di lapangan, teks-teks tersebut klasifikasikan menjadi 11 kelompok
sebagai berikut.
A (menyembuhkan penyakit yang biasa)
B (menyembuhkan penyakit kulit)
C (menyembuhkan penyakit yang terkena binatang)
D (menyembuhkan luka bakar karena api atau air panas)
33
E (menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh pengaruh setan atau
santet)
F (berhubungan dengan keluarga)
G (pengusir setan)
H (berhubungan dengan makanan)
I (berhubungan dengan kecerdasan atau daya ingat)
J (kekebalan tubuh)
K (berhubungan dengan percintaan dan meluluhkan hati orang lain)
2.3.1.2 Transkripsi
Transkripsi adalah penulisan tuturan atau pengubahan teks dengan tujuan
untuk menyarankan: lafal bunyi, fonem, morfe, atau tulisan sesuai dengan ejaan
yang berlaku dalam suatu bahasa yang menjadi sasarannya (Marsono,1896:113).
Pengubahan bentuk wicara menjadi bentuk tertulis dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggambarkan setiap bunyi atau fonem dengan satu lambang aksara.
Untuk memudahlkan pembacaan teks, akan digunakan jenis transkripsi kasar
(broad transcription), yakni transkripsi fonetis yang mempergunakan lambang
terbatas berdasarkan analisis fonetis yang dipergunakan sebagai sistem aksara
yang mudah dibaca (Kridalaksana via Taum, 1994:96).
2.3.1.3 Ejaan
Semua teks dan transkripsi dalam penelitian ini akan ditulis sesuai huruf
latin. Beberapa lambang bunyi yang berbeda dari nilai bunyi dalam EYD akan
34
diberi tanda secara fonetis, sesuai dengan bunyi yang dihasilkannya. Jika tidak
terdapat lambang bunyi yang dimaksudkan, lambang bunyi tersebut akan
diusahakan diberi lambang bunyi yang mendekati bunyi tersebut. Beberapa bunyi
khusus akan dijelaskan sebagai berikut:
[ a ] ( Indonesia: awal baca)
[ ə ] (Indonesia: lebat, tebu)
[ e ] (Indonesia: enak)
[ i ] (Indonesia: isi)
[ o ] (Indonesia: kado)
[ u ] (Indonesia: aku)
[ n ] (Indonesia: bulan)
[ ñ ] (Indonesia: menyambut)
[ k ] (Indonesia: kami)
[ ? ] (Indonesia: rokok)
Ada beberapa fonem yang sedikit berbeda dari bunyi-bunyi yang ada
dalam bahasa Indonesia seperti fonem h, r, ng, dan s. Fonem-fonem tersebut
sedapat mungkin akan ditulis dengan lambang bunyi yang mendekati bunyi
tersebut. Masing-masing bunyi tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
• Fonem /h/ pada bahasa Dayak Desa mirip dengan bunyi [h] dalam bahasa
Indonesia. Hanya saja bunyi [h] dalam bahasa Dayak Desa adalah bunyi
bersuara.
• Fonem /r/ pada bahasa Dayak Desa lebih mirip bunyi [ ŗ ] hanya saja tidak
bergetar.
35
• Bunyi [ŋ] dalam bahasa Dayak Desa kebanyakan ditemui pada awal dan di
tengah suku kata. Jika terdapat pada akhir suku kata, bunyi [ŋ] menjadi
bunyi semi vokal. Terkadang jika terdapat pada tengah suku kata juga akan
berubah menjadi bunyi semi vokal.
• Fonem /s/ jika terdapat pada suku pertama dan di tengah bunyinya sama
dengan [s]. jika terdapat di akhir suku kata akan berubah bunyi menjadi
tidak berdesis.
Khusus bunyi-bunyi yang berbeda seperti yang dijelaskan di atas, jika tidak
ditemukan lambang bunyi yang dimaksud. maka penulis akan penulis memberi
tanda (...) untuk membedakan bunyi yang berbeda tersebut.
2.3.1.4 Terjemahan
Menerjemahkan berarti memindahkan arti dari satu bahasa ke bahasa lain.
Menerjemahkan di sini merupakan proses memindahkan arti dari bahasa daerah
yaitu bahasa Dayak Desa ke bahasa Indonesia. Kesulitan dalam proses
menerjemahkan teks berbahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia yaitu bahasa
Indonesia tidak memiliki kosakata bahasa daerah tersebut. Untuk mengatasi hal
ini, terpaksa menggunakan kata yang maknanya berdekatan dengan kata dalam
bahasa Indonesia.
2.3.1.5 Catatan Teks
Catatan dalam teks dan terjemahan dalam penelitian ini dimaksudkan
untuk memberi penjelasan tentang bagian teks-teks yang menggunakan istilah
36
khusus atau serta hal-hal yang perlu dijelaskan. Penjelasan dalam studi ini
bukanlah penjelasan yang mendalam. Penjelasan ini merupakan penjalasan yang
terbatas dan memberi gambaran umum tentang istilah-istilah khusus tersebut serta
hal-hal yang perlu dijelaskan.
2.3.1.6 Keterangan Mengenai Narasumber
Narasumber akan diurutkan berdasarkan umurnya masing-masing dimulai
dari yang tertua. Adapun narasumber tersebut masing-masing adalah sebagai
berikut:
(1) Lemia, umur 70 tahun, buta huruf, pekerjaan petani, agama Katolik.
(2) Belebas, umur 69 tahun, buta huruf, petani, agama Katolik.
(3) Kasianus Joko, umur 54 tahun, pendidikan SD, pekerjaan swasta,
petani padi, lada, dan karet, agama Katolik, jabatan dalam masyarakat
adat adalah sebagai petua adat.
(4) Ratu, umur 54 tahun, pendidikan SD, pekerjaan petani padi, karet, dan
lada, agama Katolik.
(5) Marta, umur 50 tahun, pendidikan SD, pekerjaan petani padi, lada dan
karet, agama Katolik.
(6) Agustinus, umur 48 tahun, pendidikan SD, pekerjaan swasta, agama
Katolik.
(7) Teresiana Bangi, umur 44 tahun, pendidikan SD, pekerjaan petani padi
dan karet, agama Katolik.
37
(8) Simon, umur 34 tahun, pendidikan SMK, pekerjaan petani padi dan
karet, agama Katolik.
Semua narasumber di atas bersal dari daerah yang sama yaitu Desa Umin
Kecamatan Dedai Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Semua nara sumber
dapat mengucapkan kata dengan jelas atau tidak ada yang memiliki kelainan
dalam pengucapan.
2.3.2 Deskripsi teks
2.3.2.1 Teks A (Menyembuhkan Penyakit yang Biasa)
1. Tawar pediah kepalak [tawaŗ pədiah kəpala?] Aluk te pedieh kepalak [alu? tə pədia(h) kəpala?] Dikumai nadai nyaut [dikumai nadai ñaut] Dipangkak nadai beringut [dipaŋka? nadai bəŗi(ŋ)ut] Aluk te pedieh kepalak [aluk tə pədia(h) kəpala?] Dari tuan tanah Rebuah [daŗi tuan tana(h) ŗəbua(h)] Re Mungah beruba tawar [ŗə muŋa(h) bəŗuba tewaŗ] ketauk ke asal temula nyadi [kətau? asal təmula ñadi] Cit-citan tabarlah [cit citan tabaŗla(h)] 1.‘mantra menyembuhkan sakit kepala’ ‘Aluk yang sakit kepala’ ‘dipanggil tiada menjawab’ ‘disapa tiada bergerak’ ‘Aluk yang sakit kepala’ ‘dari tuan tanah Rebuah’ ‘dari Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahui asal mula terjadi’ ‘cit-citan redalah’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, usia 48 tahun, pekerjaan swasta, pendidikan SD, direkaman tanggal 19 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
38
2. tawar pediah perut pasang [tawaŗ pədiah pəŗut pasa(ŋ)] Batang melintang batu laput [bata(ŋ) məlinta(ŋ) batu laput]
Aik pasang perut (sanuk)surut [ai? pasa(ŋ) pəŗut sanu? suŗut] Anak kerak unyak unyak [anak kəŗak uñak uña?] Kijang lalang rusak ubi [kija(ŋ) lala(ŋ) ŗusak ubi] Te pasang balang kentut nyadi [təpasa(ŋ) bala(ŋ) kəntut ñadi] Sang seguni [sa(ŋ) səguni] Pasang balang kentut nyadi [pasa(ŋ) bala(ŋ) kəntut ñadi] Dari tuan tanah rebuah [dari tuan tana(h) ŗebua(h)] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəruba tawaŗ] Dah dasal ke aku tabarlah. [dah dasal kə aku tabaŗla(h)] 2. ‘mentra menyembuhkan sakit perut kembung’ ‘batang melintang batu tenggelam’ ‘air pasang perut (si A) surut’ ‘anak kera unyak-unyak’ ‘kijang lalang merusak singkong’ ‘yang kembung batal kentut jadi’ ‘lada sekarung’ ‘kembung batal kentut jadi’ ‘dari tuan tanah Rebuh’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘setelah aku pulihkan redalah’ (narasumber nomor: 1, Lemia, usia 70 tahun, petani, buta huruf, direkaman tanggal 2 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 3. tawar pediah perut ngerik [tawaŗ pədia(h) pəŗut ŋerI?] *Munut jengkuluang pulau mensigit [munut jəŋkuluaŋ pulau mənsigit] Tujuah puluah leman puluang [tujua(h) pulua(h) ləman pulua(ŋ)] Inaikau ratu Apaikau raden [inaikau ŗatu apaikau ŗaden] Lingkuang prengkiluang pulau mensigit [liŋkuaŋ pŗəŋkiluaŋ pulau mən sigit] Tujuah puluah leman puluang [tujua(h) pulua(h) ləman pulua(ŋ)] Inaikau ratu bumi [inaikau ŗatu bumi] Apaikau raden seruang guntin [apai ŗaden sərua(ŋ) gunti(ŋ)] Umakkau jengkuluang, [uma?kau jəŋkulua(ŋ)] apakkau segarak umakkau melawi [apa?kau səgarak uma?kau məlawi]
39
Aku ketauk ke asal temula nyadi [aku kətau? asal təmula ñadi] Re tuan tanah Rebuah [rətuan tanah ŗəbua(h)] Mungah beruba tawar [muŋah bəruba tawaŗ] Dah dasal ke aku tabarlah. [dah dasal kə aku tabaŗla(h)] **patah pucuak-patah pucuak [pata(h) pucua? Patah pucua?] Patah pucuak mali ali [pata(h) pucua? mali ali] Antu tunuak sitan tunuak [antu tunua? sitan tunua?] Patah pantuk bayan laki [pata(h) pantua? bayan laki] ***patah pucuak-patah pucuak [pata(h) pucua? patah pucua?] Patah pucuak patah puang keladi aik [patah pucua? pua(ŋ) kəladi ai?] Antu tunuk sitan tunuak [antu tunua? Sitan tunua?] Patah pantuak sitan daik [patah pantua? sitan dai?] ****patah pucuak-patah pucuak [pata(h) pucua? patah pucua?] Patah pucuak mali anyam [pata(h) pucua? mali añam] Antu tunuak sitan tunuak [antu tunua? sitan tunua?] Patah pantuk bayan itam [pata(h) pantua? bayan itam] Aku ketauk ke asal temula nyadi [aku kətau? kə asal təmula ñadi] Re tuan tanah Rebuh [ŗə tuan tanah ŗəbu(h)] Re Mungah beruba tawar [ŗə muŋah bəŗuba tawaŗ] Dah dasal ke aku tabarlah. [dah dasal kə aku tabaŗla(h)] 3.’mengobati sakit perut masuk angin’ * ‘munut jengkuluang pulau Mensigit’ ‘tujuh puluh macam puluang’ ‘ibumu ratu bapakmu raden’ ‘lingkuang prangkiluang pulau Mensigit’ ‘tujuh puluh jenis puluang’ ‘ibukau ratu bumi’ ‘bapakkau raden seruang gunting’ ‘mamakau jengkulang’ ‘bapakkau segarak mamakau Melawi’ ‘aku mengetahui asal semula jadi’ ‘dari tuan tanah Rebuah’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ Setelah aku pulihkan tawarlah’ ** ‘patah pucuk patah pucuk’ ‘patak pucuk haram ali’ ‘hantu tunduk setan tunduk’ ‘patah paruh burung bayan jantan’
40
*** ‘patah pucuk patah pucuk’ ‘patah pucuk patah kosong talas air’ ‘hantu tunduk setan tunduk’ ‘patah paruh setan di air’ **** ‘patah pucuk patah pucuk’ ‘patah pucuk haram dianyam’ ‘hantu tunduk setan tunduk’ ‘patah paruh burung bayan hitam’ ‘aku mengetahui asal mula jadi’ ‘dari tuan tanah Rebuah’ ‘dari Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘setelah aku pulihkan tawarlah’ (narasumber nomor: 1,Lemia, 70 tahun, petani, buta huruf, direkaman tanggal 2 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 4. tawar pediah perut ngasak. [tawaŗ pədiah pəŗut ŋasak] Keladi itam birah itam [kəladi itam biŗa(h) itam] tanam di tanah purang puri [tanam di tana(h) pura(ŋ) puri] dayang muda bebaju itam [daya(ŋ) muda bəbaju itam] beranak ke tesak dua nanyak [bəranak kə təsa? Dua naña?] beranak ke lampuang dua guluang [bəŗanak kə lampua(ŋ) dua gulua(ŋ)]
alah sapa pangiran menara [alah sapa paŋiŗan mənara] alah sampi pangiran pati. [alah sampi paŋiran pati] Cih citan. [cit citan] 4. ‘menyembuhkan sakit perut mulas’ ‘keladi hitam birah hitam’ ‘tanam di tanah purang puri’ ‘dayang muda berbaju hitam’ ‘beranakkan Tesak dua tanya’ ‘beranakkan lampuang dua gulung’ ‘mampu disapa Pangeran Menara’ ‘mampu dijampi Pangeran Pati’ ‘cit-citan’ (narasumber nomor: 1, Lemia, 70 tahun, petani, buta huruf, direkaman tanggal 3 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
41
5. tawar batuak [tawaŗ batua?] Lam dalam lam [lam dalam lam] Lam ada di baku buluah [lam ada di baku bulua(h)] Apa sebab nuan lam [apa səbab nuan lam] Asa nanang panas [asa nana(ŋ) panas] semeremang api dalam tubuah [səməŗəma(ŋ) api dalam tubua(h)] Atik pemedieh re antu [ati? pəmədiə(h) ŗə antu] Pulai ke antu [pulai kə antu] Re yak penatai kiyak pemulai [ŗə ya? pənatai kiya? pəmulai] Pulai ma kitak ke menua raja baginda [pulai ma kita? kə mənua raja
baginda] Ke tanah gunung reban [kə tana(h) gunua(ŋ) rəban] Ke pusat aik buli [kə pusat ai? buli] Ke pemadam mata ari. [kə pəmadam mata ari] Ke pun pauh jengi [ke pun pauh jəŋi] Ke tisi langit laki [kə tisi laŋit laki] Redik tegalik suduk patah [rədi? tegali? Sudu? pata(h)] Tampuak menyadik temunik [tampua? məñadi? təmuni?] Insum menyadik darah [insum məñdi? dara(h)] Batuk menyadik tekasik [batua? məñadi? təkasi?] Lepa menyadik sengah [ləpa məñadi? səŋa(h)] Sentuak katau kenak panah [sətua? katau kəna? pana(h)] Sentuak ke baruh dak ludah jatuk ke tanah [səntua? kə barua(h) da? luda(h)
jatu? kətana(h)] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəŗuba tawaŗ] asal temula nyadi [asal tə mula ñadi] dah dasal ke aku tabarlah. [dah dasal kə aku tabaŗlah] 5. ‘mengobati batuk’ ‘lam dalam lam’ ‘lam ada di dalam buku buluh/bambu’ ‘apa sebab kamu lam’ ‘serasa tersengat terik matahari’ ‘kobaran api dalam tubuh’ ‘kalau penyakit dari hantu’ ‘kembali ke hantu’ ‘dari situ datangnya ke situ pulangnya’
42
‘pulanglah kalian ke benua raja baginda’ ‘ke tanah gunung reban’ ‘ke pusat air berputar’ ‘ke tempat matahari terbenam’ ‘ke pohon asam pelam jengi’ ‘ke sisi langit laki’ ‘jatuh terbaring sendok patah’ ‘pusar saudara kandung ari-ari’ ‘tulang saudara kandung darah’ ‘batuk saudara kandung bersin’ ‘capek saudara kandung ngos-ngosan’ ‘dorong ke atas kena panah’ ‘dorong ke bawah dahak ludah jatuh ke tanah’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘asal mula jadi’ ‘setelah aku pulihkan, tawarlah’ (narasumber nomor: 8, Simon, 34 tahun, petani perekaman tanggal 11 Juli 2007) 6. tawar netauk birak [tawaŗ nə tau? biŗa?] Sang segeruntang [sa(ŋ) səgərunta(ŋ)] tanam bujang Lepang [tanam buja(ŋ) ləpa(ŋ)] Tuntuang mintak sintak [tuntua(ŋ) minta? sintak] Akar mintak batak [akaŗ minta? batak] Urat mintak tetak [uŗat minta? tətak] Buntau kelik de buntut lepuang. [buntau kəli? də buntut ləpua(ŋ)] 6.’mantra susah buang air besar’ ‘lada segeruntang’ ‘ditanam oleh bujang Lepang’ ‘bekicot mintak tarik’ ‘akar minta tarik’ ‘urat minta potong’ ‘busuk lele di tepi danau’ (narasumber nomor: 8, Simon, 34 tahun, petani, SMK, direkaman tanggal 12 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 7. tawar mutah. [tawaŗ mutah] Terbai burung kenyalau [təŗəbai buŗua(ŋ) kəñalau] Ingap de rangau kayu tadah [iŋap də ŗaŋau kayu tada(h)]
43
Datai Raja Ulu Kebalau [datai raja ulu kəbalau] Maik aik ngau ntama mutah. [mai? ai? ŋau ntama muta(h)] Dari mungah beruba tawar [daŗi muŋah bəŗuba tawaŗ] Dah dasal ke aku tabarlah [da(h) dasal kə aku tabaŗla(h)] 7. ‘mengobati muntah’ ‘terbang burung kenyalau’ ‘hinggap di ranting kayu’ ‘datang Raja Kebalau’ ‘bawa air untuk mengobati muntuah’ ‘dari Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘setelah aku pulihkan tawarlah’ (narasumber nomor: 8, Simon, 34 tahun, petani, SMK, direkaman tanggal 4 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 8. tawar mutah birak [tawaŗ muta(h) biŗa?] Segayuang-gayuang sejuang-juang [səgayu(ŋ) gayu(ŋ) sejua(ŋ) jua(ŋ)] Pingan putih mangkuk kerang [piŋan putia(h) maŋkua? kəŗa(ŋ)] Nyur buruak lempuang balang [ñuŗ buŗua? ləmpua(ŋ) bala(ŋ)] Dari tuan tanah Rebuh [daŗi tuan tana(h) rəbu(h)] Dari mungah beriba tawar [daŗi muŋa(h) bəŗuba tawaŗ] ketauk ke asal temula nyadi [ketau? asal tabaŗla(h)] Cit-citan tabarlah. [cit citan tabaŗla(h)] 8.’mengobati muntaber’ ‘segayung-gayung sejuang-juang’ ‘piring putih mangkuk beling’ ‘kelapa busuk asam gagal’ ‘dari tuan tanah Rebuah’ ‘dari Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahi asal mula jadi’ ‘cit-citan tawarlah’ (narasumber nomor: 1, Lemia, 70 tahun, petani, buta huruf, direkaman tanggal 4 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 9. tawar utai tumuah de nyawa [tawaŗ utai tumua(h) də ñawa] Bintang terebit dari langit [binta(ŋ) təŗbit daŗi laŋit]
44
Jatuk ke tanah menjadi binam [jatu? kə tana(h) mənjadi binam] Dari tuan tanah Rebuh [daŗi tuan tana(h) ŗəbua(h)] Dari mungah beriba tawar [daŗi muŋa(h) bəŗiba tawaŗ] Cit-citan tabarlah [cit citan tabaŗa(h)] 9.’mengobati radang tenggorokan’ ‘bintang terbit dari langit’ ‘jatuh ke tanah menjadi binam’ ‘dari tuan tanah Rebuh’ ‘dari mungah yang mengajarkan mantra’ ‘cit-citan tawarlah’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, direkaman tanggal 23 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2.3.2.2 Teks B (Mengobati Penyakit Kulit) 1. Tawar merejan [tawaŗ mərəjan] Bismillah ruah amah ro asin [bismilah ŗua(h) ama(h) ŗo asin] Berkat doa Sulah [bəŗkat doa sula(h)] Ayu bala iyah-iyah [ayu bala iya(h) iya(h)] Ayu bala Muhamad [ayu bala muhammad] Ayu bala mah ulat [ayu bala ma(h) ulat] Ayu bala mah surat [ayu bala suŗat] Ayu bala mah tuan [ayu bala ma(h) tuan] Ayu bala mah sunan [ayu bala ma(h) sunan] Kintau alau-alau [kintau alau alau] Batu asiah-asiah [batu asia(h) asia(h)] Titi kau panti panyang [titi kau panti paña(ŋ)] Taik ke rumah besar [tai? kə ŗumah bəsaŗ] Kau mali makan kulit anak Adam [kau mali makan kulit anak adam] Pulang kau ke pusat arai [pula(ŋ) kau kə pusat aŗai] Pulang ke tanah gunuang reban [pula(ŋ) kə tana(h) gunu(ŋ) ŗəban] Pulang ke bukit gunuang bedayu [pula(ŋ) kə bukit gunu(ŋ) bədayu] Pulang ke tampuak gunuang kaca [pula(ŋ) kə tampuak gunu(ŋ) kaca] Cih citan. [cit citan] 1. ‘mengobati biduren’ ‘Bismillahhir rahmani rahim’ ‘berkat doa Sulah’ ‘ayo segala iyah-iyah’
45
‘ayo segala Muhammad’ ‘ayo segala mah ulat’ ‘ayo segala mah surat’ ‘ayo segala mah tuan’ ‘ayo segala mah sunan’ ‘kintau alau-alau’ ‘batu asih-asih’ ‘tapakkan kakimu pada panti panjang’ ‘naik ke rumah besar’ ‘kau haram makan kulit anak Adam’ ‘pulang kau ke pusat air/hulu air’ ‘pulang ke tanah gunung reban‘ ‘pulang ke gunung Bedayu’ ‘pulang ke puncak gunung kaca’ ‘cit-citan’ (narasumber nomor: 1, Lemia, 70 tahun, petani, buta huruf, direkaman tanggal 5 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2. Tawar elamai [tawaŗ əlamai] Sedua belaki bini ak nengah babas. [sədua bəlaki bini a? nəŋa(h) baba(s)] Datai ke rimak sedua nebas. [datai kə rima? sədua nəba(s)] Dah detebas, detebang. [da(h) dətəba(s) dətəba(ŋ)] Udah ari panas ak detunu [uda(h) aŗi panas a? dətunu] Dah detunu detugal panuk [da(h) dətunu dətugal panua?] Dah ak detanam tebu [da(h) a? dətanam təbu] Tebu dah belangkan ak, [təbu da(h) bəlaŋkan a?] te inuk ak nyuruh ngak unyun [tə inu? a? ñuruah ŋa? uñun]
Unyun a unyun tebelian [uñun a uñun təbəlian]
Kepanyai sedua ngunyun ak, ngapit dirik a. [kəpañai sədua ŋuñun a? ŋapit diri?
a] Atik ketauk ke asal usul yak puas ma elamai [ati? Ketau? kə asal usul ya? Puas ma
əlamai] Sedua belaki bini ak mati. [sədua bəlaki bini a? mati] 2. ‘menyembuhkan herpes’ ‘dua orang suami-istri masuk ke hutan’ ‘datang ke rimba, mereka buka ladang’ ‘sesudah ditebas,ditebang’ ‘setelah hari panas, dibakar’ ‘setelah dibakar, ditanam’
46
‘setelah itu ditanam tebu’ ‘saat tebu sudah tinggi’ ‘yang perempuan menyuruh mencari unyun’ ‘unyunnya unyun kayu belian’ ‘sepanjang mereka ngunyun, terapit’ ‘kalau tahu asal-usul itu sembuhlah herpesnya’ ‘suami-istri itu meninggal’ (narasumber nomor: 2, Belebas, 69 tahun, petani, buta huruf, direkaman tanggal 19 Juli 2007, Di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 3. tawar kepisak [tawaŗ kəpisa?] Ca pecala dua pati laba [ca cəpala dua pati laba] Tiga jarum pati [tiga jaŗum pati] Empat pati tingal [əmpat pati tiŋal] Limak geruntak [lima? gəŗunta?] nam geruntam [nam gəŗuntam] Tujuh manuah runtuah [tujua(h) manua(h) ŗuntua(h)] Ngemak cupai nagkin isau [ŋəma? Cupai naŋkin isau]
Ngesan serepang empulieng [ŋəsan səŗəpa(ŋ) əmpuli(ŋ)] Numuak mata bengkak kepisak [numua? Mata bəŋkak kepisa?] 3. ‘mengobati bisulan’ ‘ca pecala dua pati laba’ ‘tiga jarum pati’ ‘empat pati tinggal’ ‘limak geruntak’ ‘enam geruntam’ ‘tujuh manuh runtuh’ ‘menggendong cupai parang diikatkan di pinggang’ ‘memikul tombak empuliang’ ‘menikam mata bengkak bisulan’ (narasumber nomor 7, Teresiana Bangi, 44 tahun, petani, SD, direkaman tanggal 14 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2.3.2.3 Teks C (Mantra Penyakit Terkena Binatang) 1. tawar bulu ulat [tawaŗ bulu ulat]
47
Ikau penyadi bulu kaki mas nabi [ikau pəñadi bulu kaki mas nabi] Aku ketauk ke asal penyadi mas nabi [aku kətau? kə asal pəñadi mas nabi] Ara pampang dua [aŗa pampa(ŋ) dua] Dan titi semut [dan titi səmut] Ulat nyata ke dirik bisa [ulat ñata kə diŗi? Bisa] Asalkau penyadi daun idup [asalkau pəñadi daun idup] 1. ‘menyembuhkan tekena ulat bulu’ ‘kamu terjadi dari bulu kami emas nabi’ ‘aku mengetahui asal terjadi emas nabi’ ‘kayu ara bercabang dua’ ‘dahan dititi semut’ ‘ulat menyatakan diri berbisa’ ‘asalkau terjadi dari daun hidup’ (pemantra nomor: 1, Lemia, 70 tahun, petani, buta huruf, direkaman tanggal 6 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2. sengat penyengat [səŋat pəñəŋat] Semadak ampak padi [səmada? ampa? padi] Lemah rang, lemah gigi [ləma(h) ŗa(ŋ) ləmah gigi] Burit tamit, nyawa kunci [burit tamit ñawa kunci] 2. ‘tersengat penyengat’ ‘serangga hitam hampa padi’ ‘lemah rahang lemah gigi’ ‘pantat kunci nyawa kunci’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, perekaman tanggal 20 Juli 2007) 3. sengat nyelipan [səŋat ñəlipan] Tetak lutan manyang lutan. [tətak luatan maña(ŋ) lutan] Patah pantuak manuak itam [patah pantua? manua? itam] apakkau menturai [apa?kau mənturai] inaikau jitan [inaikau jintan] nyelipan, kejadi kau tulang ikan. [ñəlipan kəjadi kau tulaŋ ikan] 3. ‘tersengat lipan’ ‘potong kayu bakar sepanjang kayu bakar’ ‘patah paruh ayam hitam’ ‘bapakkau menturai’
48
‘ibumu jintan’ ‘lipan, jadilah kau tulang ikan’ (narasumber nomor: 7, Teresiana Bangi, 44 tahun, petani, SD, direkaman tanggal 14 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 4. sengat kala [səŋat kala] Gergosa gergona [gəŗgosa gəŗgona] Jatuk ubang kayu sala [jatu? ubaŋ kayu sala] Kala nyata kedirik bisa [kala ñata kədiŗi? bisa] Kejadi kecap ia sebar dina [kəjadi kau tulaŋ ikan] Dudi di uma [dudi di uma] Temeran rebiah kampel [təməŗan ŗəbia(h) kampel] Jatuk ningang lawang kewari [jatu? niŋaŋ lawaŋ kəwaŗi] Kala nyata kedirik bisa [kala ñata kə diŗi? bisa] Kujeput sebagai lumut [kujəput səbagai lumut] Kejadi kau batang padi [kəjadi kau bataŋ padi] 4. ‘tersengat kala jengking’ ‘gergosa gergona’ ‘jatuh kulit kayu sala’ ‘kala jengking menyatakan diri berbisa’ ‘jadi kecap ia sebar dina’ ‘tertinggal di ladang’ ‘temeran rebiah kampel’ ‘jatuh menimpa rumah Kewari’ ‘kala jengking menyatakan diri berbisa’ ‘kujeput sebagai lumut’ ‘terjadikau dari batang padi’ (narasumber nomor: 7, Teresiana Bangi, 44 tahun, petani, SD, direkaman tanggal 14 Juli 2007, di Desa Umin oleh Sri Astuti) 5. tawar kenak bisa ular [tawaŗ kəna? bisa ulaŗ] *Tup tak untup [tup tak untup] Turun kuta naik pagar [tuŗun kuta nai? pagaŗ] Untup kak ngetup [untup ka? ŋətup] turun bisa naik tawar [tuŗun bisa nai? tawaŗ] ** kintuang gemuruang beranak ke leka sedua banya [kintuŋ gəmuŗuaŋ bəŗanak kə ləka sədua baña] Leka sedua banya beranak ke cupak sedua kulak
49
[ləka sədua baña bəŗnak kə cupak sədua kulak] Cupak sedua kulak beranak ke tedung ngau kenawang. [cupak sədua kulak bəŗanak kə təduŋ ŋau kənawaŋ] Tedung madah ke dirik pukak api [təduŋ madah kə diŗi? pukak api] Kenawang madah kedirik temanai mansak [kənawaŋ madah kədiri? təmanai mansak] Aku ketauk kitak asal temula nyadi [aku kətau? kita? asal təmula ñadi] Turun bisa naik tawar [turun bisa nai? tawaŗ] ***) ular netauk ngelantar, ia bisa aku suruah mati, mensia pulai idup [ulaŗ nətau? ŋəlantaŗ, ia bisa aku suŗuah mati, mənsia pulai idup] 5. ‘menyembuhkan terkena ular berbisa’ * ‘tup tak untup’ ‘turun pagar naik pagar’ ‘untup mau mematuk’ ‘turun bisa naik mantra’ ** ‘kintung gemurung beranakkan leka sedua banya’ ‘leka sedua banya beranakkan cupak sedua kulak’ ‘cupak sedua kulak beranakkan tedung dan kenawang’ ‘tedung mengatakan diri bara api’ ‘kenawang mengatakan diri ujung sumpit’ ‘aku mengetahui asal mula terjadi kalian’ ‘turun bisa naik mantra’ ***) ‘ular tidak bisa merayap, dia berbisa aku suruh mati, manusia kembali hidup’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, direkaman tanggal 21 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2.3.2.4 Teks D (Terkena Api) 1. kenak aik angat atau api [kəna? ai? aŋat atau api] Sar sebiar niti batang resak [saŗ səbiaŗ niti bata(ŋ) ŗəsak] Api mencuba anak mensia [api məñcuba anak meñsia] Celap beka binyak, [cəlap asa biñak] Licin beka lemak [licin bəka ləmak] Empuruang linak-linak [əmpuŗu(ŋ) linak linak] keladi de seberang [kəladi dəsəbəŗa(ŋ)]
50
Celap asa binyak [cəlap asa biñak] ngerupak beka bawang [ŋərupak bəka bawa(ŋ)] Mungah beruba tawar [muŋah bəŗuba tawaŗ] Dah dasal ke aku tabarlah [dah dasal kə aku tabaŗla(h)] 1. terkena air hangat atau api’ ‘sar sebiar berjalan di atas batang resak’ ‘api mencoba anak manusia’ ‘dingin seperti minyak’ ‘licin seperti minyak babi’ ‘tempurung linak-linak’ ‘talas di seberang’ ‘dingin serasa minyak’ ‘berlapis seperti bawang’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘setelah aku pulihkan, tawarlah’ (narasumber nomor: 1, Lemia, 70 tahun, petani, buta huruf, direkaman tanggal 7 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2.3.2.5 Teks E (Mantra Menyembuhkan Penyakit yang Disebabkan oleh Hantu dan Manusia) 1. tawar semua pediah temu tengah malam [tawaŗ səmua pədiah təmu təŋah malam] * keladi itam birah itam [kəladi itam birah itam] Tanam de takung pisang raja [tanam də taku(ŋ) pisa(ŋ) raja] Dayang itam datai malam [daya(ŋ) itam datai malam] Nalah baca nalah diba [nalah baca nalan diba] Dari mungah beruba tawar [dari muŋah bəruba tawaŗ] Dah dasal ke aku tabar lah [dah dasal kə aku tabaŗla(h)] ** kain itam perecak itam [kain itam pəŗəca? Itam] Jangan simpan dalam peti [jaŋan simpan dalam pəti] Sitan jangan datai malam [sitan jaŋan datai malam] Rari kau ke pun pauh jengi [ŗaŗi kau kə pun pauh jəŋi] Ke pusat aik bulang buli [kə pusat ai? bula(ŋ) buli] Ke ensiriang nyaring bunyi [kə əñsiri(ŋ) ñaŗi(ŋ) buñi] Ke tisi langit laki [kə tisi laŋit laki] Ke emadam mata ari. [kə əmadam mata aŗi]
51
Cih citan tabarlah [cih citan tabaŗla(h)] 1. ‘mantra semua penyakit yang kambuh di tengah malam’ *’talas hitam, talas hitam’ ‘tanam di tangkai pisang raja’ ‘dayang hitam datang malam’ ‘tidak mampu dijampi tidak mampu diatasi’ ‘dari Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘setelah aku pulihkan tawarlah’ ** ‘sarung hitam kain hitam’ ‘jangan simpan dalam peti’ ‘setan jangan datang malam’ ‘lari kau ke pohon asam pelam jengi’ ‘ke pusat air berputar’ ‘ke ensirieng nyaring bunyi’ ‘ke sisi langit laki’ ‘ke terbenam matahari’ ‘cit-citan tawarlah’ (narasumber nomor: 5, Marta, 50 tahun, petani, SD, direkaman tanggal 18 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2. tawar pedih tubuh [tawaŗ pədia(h) tubua(h)] *ham uyam ham uyam [ham uyam ham uyam] Bungkam awum awam [buŋkam awum awam] Beranak ke tanin seluak sian [bəŗanak kə tanin selua? sian] Beranak ketesak batu urin [bəŗnak kətəsa? Batu uŗin] Beranak ke diuang [bəŗanak kədiu(ŋ)] Penukai alai nyumai [pənukai alai ñumai] Rari kau mati [ŗaŗi kau mati] Ke tisi langit laki [kə tisi laŋit laki] Ke pun pauh jengi [kə pun pauh jəŋi] Ke emuntan jelu rari [kə əmuntan jəlu ŗaŗi] Ke bedegak jarang jari [kə bədəga? Jaŗa(ŋ) jaŗi] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəŗuba tawaŗ] Ketauk asal tabarlah. [kətau? asal tabaŗlah] **tur tua leka carut [tuŗ tua ləka caŗut] Tuak ngempu nanam tebu [tua? ŋəmpu nanam təbu] Nempak besi ulu sungai antu [nəmpa? bəsi ulu suŋai antu]
52
Bisa kenuk antu [bisa kənu? antu] Tabar kenuk aku [tabaŗ kənu? aku] Manih kenuk antu [manih kenu? Antu] No kenuk aku [no kənu? aku] Asin kenuk antu [asin kənu? antu] Tabar kenuk aku [tabaŗ kənu? aku] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəŗuba tawaŗ] Ketauk asal tabarlah [kətau? asal tabaŗla(h)] ***Samsudin alahladin [samsudin alahladin] Pengin segirin [pəŋin səgiŗin] Apai ngau inai antu [apai ŋau inai antu] Rari kitak ke segarak [ŗaŗi kita? kəsəgaŗa?] Ke emuntan tisi langit laki [kə əmuntan tisi laŋit laki] Dilah kitak aku kunci [dila(h) kita? aku kuñci] Ngau besi Nabi Seliman [ŋau bəsi nabi seliman] Ngau kawat Nabi Adam [ŋau kawat nabi adam] Ngau rantai urang beriman [ŋau rantai uŗa(ŋ) bəŗiman] Jari aku tetak [jaŗi aku tətak] Ngau isau tempak Adam [ŋau isau təmpa? Adam] Ngau kapak tempak Tuhan [ŋau kapak təmpa? Tuhan] Kaki aku tipan [kaki aku tipan] Ngau nyabur inik Anan [ŋau ñabuŗ ini? anan] Ancur nyadi timah [añcuŗ ñadi tima(h)] Lilieh atai ke Sebayan [lilie(h) atai kə səbayan] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəŗuba tawaŗ] Ketauk asal tabarlah. [kətau? asal tabaŗla(h)] 2. menyembuhkan sakit di salah satu bagian tubuh’ * ‘ham uyam ham uyam’ ‘bungkam awum awam’ ‘beranakkan Tanin Seluak Sian’ ‘beranakkan Tesak batu urin’ ‘beranakkan Diung’ ‘pintu tempat memasak’ ‘lari kau mati’ ‘ke sisi langit laki’ ‘ke pohon asam pelam jengi’ ‘ke ujung hantu lari’
53
‘ke semak belukar jarang jari’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahui asal tawarlah’ **’tur tua leka carut’ ‘tuak ngempu nanam tebu’ ‘menempa besi di hulu sungai hantu’ ‘berbisa kata hantu’ ‘tawar kata aku’ ‘manis kata hantu’ ‘tidak kata aku’ ‘asin kata antu’ ‘tawar kata aku’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahui asal tawarlah’ *** ‘Samsudinalahladin’ ‘Pengin Segirin’ ‘bapak dan ibu hantu’ ‘lari kalian ke Segarak’ ‘ke ujung sisi langit laki’ ‘lidah kalian aku kunci’ ‘dengan besi ditempa Nabi Sulaiman’ ‘dengan kawat ditempa Nabi Adam’ ‘dengan rantai orang beriman’ ‘jari aku potong’ ‘dengan parang di tempa Adam’ ‘dengan kapak ditempa Tuhan’ ‘kaki aku potong’ ‘dengan nyabur Nenek Anan’ ‘hancur jadi timah’ ‘meleleh sampai ke Sebayan’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahi asal tawarlah’ (narasumber nomor: 3, Kasianus joko, 54 tahun, swasta, SD, direkaman tanggal 6 Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
54
3. pedih tubuh [pədih tubuh] *Unci-unci kaki putiah [uñci uñci kaki pitiah] Orang dua susun daun [ora(ŋ) dua susun daun] Ati rusi tebalik kasiah [ati rusi təbalI? Kasia(h)] Alah guna berkat insum [alah guna bəŗkat insum] Insum di mata tidak melihat [insum di mata tida? məlihat] Insum di telinga tidak mendengar [insum di təliŋa tida? məndəŋaŗ] Insum di badan belum berankat [insum di badan bəlum bəraŋkat] Insum di kaki belum bergoyang [insum di kaki bəlum bəŗgoyaŋ] Alah guna berkat insum. [alah guna bəŗkat insum] **buluah di sambang tanjung [buluah di sambaŋ tañjuŋ] Ari urat nurun ke patik [aŗi uŗat nuŗun kə pati?] Ari patik nurun ke rebung [aŗi pati? nuŗun kə rəbuŋ] Ari rebung nurun ke batang [ari rəbuŋ nuŗun kə bataŋ] Ari batang bisik miang. [aŗi bataŋ bisi? Miaŋ] ***engkudu datau batu [əŋkudu datau batu] Isau kenak antu [isau kənu? antu] Kelibak kenak aku [kəlibak kənu? aku] Sangkuah tajam kenak antu [saŋkua(h) tajam kena? antu] Panam ke batu kenak aku [panam kə batu kənu? aku] Ipuah bisa kanak antu [ipuah bisa kənu? antu] Cah ke tebu kenak aku [cah kə təbu kənu? aku] **** kijang nikam semali nikam [kijaŋ nikam səmali nikam] Nikam apai nikam inai [nikam apai nikam inai] Nikam akik nikam inik [nikam aki? Nikam ini?] Nikam puyang nikam agang [nikam puyaŋ nikam agaŋ] Salah nuk antu [salah nu? antu] kenak nuk aku [kəna? nu? aku] Tabar nuk antu [tabaŗ nu? antu] bisa nuk aku [bisa nu? aku] Satu nuk antu [satu nu? antu] seribu nuk aku. [səŗibu nu? aku] 3. ‘mengobati sakit tubuh’ * ’unci-unci kaki putih’ ‘orang dua susun daun’ ‘hati orang benci berbalik kasih’ ‘mampu diguna berkat insum’
55
‘insum di mata tidak melihat’ ‘insum di telinga tidak mendengar’ ‘insum di badan belum berangkat’ ‘insum di kaki belum bergoyang’ ‘mampu diguna berkat insum’ ** ‘buluh bambu di sambang tanjung’ ‘dari urat nurun ke patik’ ‘dari patik nurun ke rebung’ ‘dari rebung nurun ke betang’ ‘dari batang ada miang’ *** ‘mengkudu di atas batu’ ‘parang kata hantu’ ‘kulit kayu kata aku’ ‘sangkuh tajam kata hantu’ ‘ditikam ke batu kata aku’ ‘ipuh berbisa kata hantu’ ‘sentuh ke batu kata aku’ **** ‘kijang menikam sembarang menikam’ ‘manikam bapak menikam ibu’ ‘menikam kakek menikam nenek’ ‘menikam moyang menikam moyang’ ‘salah punya hantu kena punya aku’ ‘tawar punya hantu berbisa punya aku’ ‘satu punya hantu seribu punya aku’ (narasumber nomor: 7, Teresiana Bangi, 44 tahun, petani Sd, perekaman tanggal 17 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri astuti) 4. tawar tepas [tawaŗ təpa(s)] Dari mensia pulai ke mensia [daŗi məñsia pulai kə məñsia] Dari angin pulai ke angin [daŗi aŋin pulai kə aŋin] Dari antu pulai ke antu [daŗi antu pulai kə antu] Pulai kitak ke pun pauh jengi [pulai kita? kə pun pauh jəŋi] Pulai ke aik bulang buli [pulai kə ai? bulaŋ buli] Pulai ke bedegak jarang jari [pulai kə bədəga? Jaŗaŋ jaŗi] Pulai kitak ke gunung reban pait [pulai kita? kə gunu(ŋ) ŗəban pait] Tempat asal temula kitak nyadi [təmpat asal təmula kita? ñadi] Rari kitak ke tisi langit laki [ŗaŗi kita? kətisi lagit laki]
56
Kalau ndai rari kitak mati [kalau kita? ndai ŗaŗi kita? mati] Beka ruai nepas balai [bəka ŗuai nəpas balai] aku nepas semua penyakit tuk. [aku nəpas səmua pəñakit tu?] Tum sekuntum [tum səkuntum] Allah tak ala aku semah [allah ta? Ala aku səma(h)] Datau dunia datau tanah [datau dunia datau tana(h)] Hum kelikum Nabi Allah [hum kəlikum nabi allah] 4. ‘membersihkan dari pengaruh ilmu gaib’ ‘dari manusia kembali ke manusia’ ‘dari angin kembali ke angin’ ‘dari hantu kembali ke hantu’ ‘pulang kalian ke pohon asam pelam jengi’ ‘pulang ke air berputar-putar’ ‘pulang ke semak jarang jari’ ‘pulang kalian ke gunung hutan pahit’ ‘tempat asal semula kalian jadi’ ‘lari kalian ke sisi langit laki’ ‘jika tidak lari kalian mati’ ‘seperti burung ruai menyapu balai’ ‘aku sapu semua penyakit ini’ ‘tum sekuntum’ ‘Allah Tak Ala aku sembah’ ‘di atas dunia di atas tanah’ ‘hum kelikum Nabi Allah’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 9 Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 5 Penangkal racun. [pənaŋkal ŗacun] Nyur ijau kelapak ijau [ñuŗ ijau kəlapa? Ijau] tanam de pun buluah [tanam də pun bulua(h)] diri ku silau dudukku silau [diŗi silau dudukku silau] seribu racun pengaruh jauh re tubuah [səŗibu ŗacun pəŋaŗua(h) jauh ŗə tubua(h)] rari kitak ke pun pauh jengi [ŗaŗi kita? kə pun pau(h) jəŋi] pulai ke aik bulang buli [pulai kə ai? bula(ŋ) buli] rari ke tisi langit laki [ŗaŗi kə tisi laŋit laki] pulai ke bedegak jarang jari [pulai kə bədəga? jaŗa(ŋ) jaŗi]
57
pulai ke gunuang reban pait [pulai kə gunu(ŋ) ŗəban pait] tempat asal kitak [təmpat asal kita?] tak rari kau mati [ta? Ŗaŗi kau mati] kami rampang semali temula nyadi [kami ŗampa(ŋ) səmali təmula ñadi] 5.’penangkal racun’ ‘nyiur hijau kelapa hijau’ ‘tanam di pohon buluh bambu’ ‘berdiri aku silau’ ‘seribu racun pengaruh jauh dari tubuh’ ‘lari kalian ke pohon asam pelam jengi’ ‘pulang ke air berputar’ ‘lari ke sisi langit laki’ ‘pulang ke semak jarang jari’ ‘pulang ke gunung hutan pahit’ ‘tempat asal kalian’ ‘tak lari kau mati’ ‘kami rampang semali semula jadi’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 24 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) F. mantra yang berhubungan dengan keluarga (Ibu dan anak bayi) 1. pediah perut kak beranak [pədiah pəŗut ka? bəŗanak] Rinna ara duma [ŗinna aŗa duma] Tumuah tengah lebak [tumua(h) təŋa(h) ləbak] U, Betara sedua buta [u bətaŗa sədua buta] Buka selangka (sanuk) kak beranak. [buka səlaŋka sanu? ka? bəŗanak] 1. ‘sakit perut mau melahirkan’ ‘lebat kayu ara di ladang’ ‘tumbuh di tengah dataran yang basah’ ‘Oh Batara sedua buta’ ‘buka selangkangan (si A) mau melahirkan’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun perekaman tanggal 25 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti )
58
2. tawar temunik dudi [tawaŗ təmuni? Dudi] Uwi sedurak duri [uwi səduŗak duŗi] Parik rari ke baruh batang [paŗi? Ŗaŗi kə baŗua(h) bata(ŋ)] U temunik anang kau dudi [u təmuni? Ana(ŋ) kau dudi] Telusur tulang belakang. [təlusuŗ tula(ŋ) bəlaka(ŋ)] 2. ‘mantra ari-ari yang belum keluar’ ‘rotan banyak duri’ ‘ikan pari lari ke bawah batang kayu’ ‘oh ari-ari jangan kau tertinggal’ ‘telusuri tulang belakang’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD perekaman tanggal 26 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 3. Tawar temunik [tawaŗ təmuni?] Nyuluang kilik seluang kulu [ñulua(ŋ) kili? səlua(ŋ0] Turun kau temunik [tuŗun kau təmuni?] kuluncur ngau aik madu. [kuluncuŗ ŋau ai? madu] 3. ‘mantra ari-ari yang sulit keluar’ ‘nyuluang ke hilir seluang ke hulu’ ‘turunkau ari-ari’ ‘kuluncur dengan air madu’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 27 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 4. tawar tusu [tawaŗ tusu] Akar temulu tumuah di ulu Sungai Untai [akaŗ təmulu tumUh di ulu suŋai antu] Bebuah besangking tiga [bəbua(h) bəsaŋkia(ŋ) tiga] Detaik Lemamang Purang [dətai? ləmama(ŋ) pura(ŋ)] Akar detipan Lemia bunsu [akaŗ dətipan ləmia bunsu] Aik nitik ke labuk inik kintamuga [ai? nitI? kəlabu? Ini? kintamuga] Depalai ke tusu (sanuk) [dəpalai kə tusu sanu?] Nyadi aik kubal tusu [ñadi ai? kubal tusu] Dirup anak mensia [diŗup anak meñsia] Keturun Adam ngau Awa [kətuŗun adam ŋau awa] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəŗuba tawaŗ]
59
Ketauk asal tabarlah. [kətau? asal tabaŗla(h)] 4. ‘mengbobati sakit di payudara setelah melahirkan’ ‘akar temulu tumbuh di hulu Sungai Untai’ ‘berbuah bergandeng tiga’ ‘dinaiki Lemamang Purang’ ‘akar diputus Lemia bungsu’ ‘air netes ke labu nenek Kintamuga’ ‘dioleskan ke susu (si A)’ ‘menjadi air kubal susu’ ‘diminum anak manusia’ ‘keturunan Adam dan Hawa’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahui asal tawarlah’ (narasumber nomor: 3, Kasianus Joko, 54 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 07 Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 5. tawar nemiak nyabak [tawaŗ nəmia? Ñaba?] Kebayang baju putih [kəbayaŋ baju putIh] Sumping kemang bunga lalang [sumpiŋ kəmaŋ buŋa lalaŋ] Bajang datang bajang rari [bajaŋ dataŋ bajaŋ ŗaŗi] Sitan datang sitan rari [sitan dataŋ sitan ŗaŗi] Jin datang jin rari [jin dataŋ jin ŗaŗi] Aku ketauk ke asal temula nyadi [aku kətau? asal təmula ñadi] 5. ‘mantra bayi menangis’ ‘terbayang baju putih’ ‘anting kembang bunga alang-alang’ ‘bajang datang bajang lari’ ‘jin datang jin lari’ ‘aku mengetahui asal mula jadi’ (narasumber nomor: 7, Teresiana Bangi, 44 tahun, petani, perekaman tanggal 16 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2.3.2.7 Teks G (Pengusir Hantu) 1. pengusir antu [pəŋusiŗ antu] Pelanduk sedungkal dangkul [pəlandu? səduŋkal daŋkul]
60
Perdah patah tiga [pərəda(h) pata(h) tiga] Antu tunuak sebagi tungul [antu tunua? səbagai tuŋul] Kami lalu sentara dua [kami lalu səntaŗa dua] Tujuh aik, tujuh parung, tujuh gunung, [tujua(h) ai? tujua(h) paŗu(ŋ) tujua(h)
gunu(ŋ)] tujuh lempak, tujuh laut, [tujua(h) ləmpa? tujua(h) laut] Asa api, asa bara. [asa api asa baŗa] 1. ‘pengusir hantu’ ‘pelanduk sedungkal dangkul’ ‘peredah patah tiga’ ‘hantu tunduk sebagai tunggul’ ‘kami lewat di antara dua’ ‘tujuh air tujuh lembah tujuh gunung’ ‘tujuh dataran rendah tujuh laut’ ‘serasa api serasa bara’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 28 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2.3.2.8 Teks H (Berhubungan dengan Makanan yang akan Dimakan) 1. Tawar tengkelan [tawaŗ təŋkəlan] Kulu kakah kilik kakah [kulu kaka(h) kili? kaka(h)] Tengah-tengah batu ampar [təŋa(h) təŋa(h) batu ampaŗ] Lintang lalu bujur pun lalu [linta(ŋ) lalu bujuŗ pun lalu] Aku tauk tawar tengkelan [aku tau? tawaŗ teŋkəlan] 1. ‘mantra keselak’ ‘ke hulu kakah ke hilir kakah’ ‘tengah-tengah batu ampar’ ‘melintang lewat lurus lewat’ ‘aku tahu mantra keselak’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 23 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2. tawar empunan [tawaŗ əmpunan] Tung tuyuang Dayang Duyuang [tu(ŋ) tuyua(ŋ) daya(ŋ) duyua(ŋ)] Datuk neguk tungkuk [datu? nəgu? tuŋku?] Dara Ilah nyamah dilah [daŗa ila(h) ñamah dila(h)] Putri Sagi ngada ati [putŗi sagi ŋada ati]
61
Ialah (sanuk) salah telah [iala(h) sanu? sala(h) təla(h)] jari salah penyamah [jaŗi sala(h) pəñama(h)] kaki salah penyangkah [kaki sala(h) pəñaŋka(h)] Datai bujang kuning megai ensirieng [datai buja(ŋ) kuni(ŋ) məgai əñsiŗi(ŋ)] Sapik ke nyawa (sanuk) [sapi? kə ñawa sanu?] Mulai ke kata [mulai kə kata] Pulai ke tungkuk penyumai [pulai kətuŋku? pəñumai] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəŗuba tawaŗ] Ketauk ke asal tabarlah. [kətau? kə asal tabaŗla(h)] 2.’mantra kepunan’ ‘tung tuyung dayang duyung’ ‘datuk menyentuh tungku’ ‘dara Ilah memegang lidah’ ‘Putri Sagi membawa hati’ ‘ialah (si A) salah sebut’ ‘jari salah pegang’ ‘kaki salah langkah’ ‘datang bujang kuning memegang ensirieng’ ‘suap ke mulut (si A)’ ‘mengembalikan kata’ ‘pulang ke tunggku tempat memasak’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahui asal tawarlah’ (narasumber nomor: 3, Kasianus Joko, 54 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 8 Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 3. tawar empunan [tawaŗ əmpunan] Belangak angak ingik [bəlaŋa? Aŋa? Iŋi?] Aku isik ngau ruman padi [aku isi? ŋau ŗuman padi] U Inik Betara, turun nuan dari langit [u ini? bətaŗa tuŗun nuan daŗi laŋit] Ngasung empunan (sanuk) tadik [ŋasu(ŋ) əmpunan sanu? tadi?] Cekur detanam de tanah Jengkulang [cəkuŗ dətanam də tana(h) jəŋkula(ŋ)] Jerangau detanam datau bukit [jəŗaŋau dətanam datau bukut] Bukak ati Sengalang Buruang [buka? ati səŋalaŋ buŗuaŋ] Begerak tidak berisit [bəgəŗa? tida? bəŗisit] Berutang berutin. [bəŗutaŋ bəŗutin] cit citan [cit citan]
62
3. ‘mantra empunan’ ‘belanga angak-ingik’ ‘aku isi dengan jerami padi’ ‘oh nenek Batara, turun engkau dari langit’ ‘mengantar empunan (si A) tadi’ ‘kencur ditanam di tanah Jengkulang’ ‘jerangau ditanam di atas bukit’ ‘buka hati Sengalang Burung’ ‘bergerak tidak berisik’ ‘berutang berutin’ ‘cih-citan’ (narasumber nomor: 1, Lemia, 70 tahun, petani, buta huruf, perekaman tanggal 9 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2.3.2.9 Teks I (Daya Ingat) 1. tawar pengingat [tawaŗ pəŋiŋat] Kalau itak tumuah de gunuang [kalau iat? Tumuah də gunua(ŋ)] Batu itak mintak tebukak ati aku yang butak [batu ita? Minta? təbuka? ati aku yaŋ buta?] Sebagai lawang pintu tebukak [səbagai lawa(ŋ) pintu təbuka?] Tebukak beka segarak [təbuka? bəka səgaŗa?] Lantang seperti tawang [lanta(ŋ) səpəŗti tawa(ŋ)] Luwas sebagai kapuas limak belas ujung, [lua(s) səbagai kapua(s) lima? bəla(s)
ujua(ŋ)] Terang dari bulan limak belas ari [təŗa(ŋ) ŗəbulan lima? bəla(s) aŗi] Nat semperinat, [nat səmpəŗnat] Burung benang datau panti [buŗua(ŋ) bəna(ŋ) datau panti] Urang kelupa aku ingat [uŗa(ŋ) kəlupa aku iŋat] Aku isik guru dalam ati [aku isi? Guŗu dalam ati] Nyeberang ke seberang dapat sebu bunga tanah [ñəbəŗa(ŋ) kə səbəŗa(ŋ) dapat
səbu buŋa tanah] Diri aku senang duduk aku senang [diŗi aku səna(ŋ) dudua? Aku sena(ŋ)] Aku dapat guru dalam lidah. [aku dapat guŗu dalam lida(h)] Kijang lupa rusak lupa [kija(ŋ) lupa ŗusa? lupa] Pulang makan rumput jami [pula(ŋ) makan ŗumput jami] Aku bekata ne tauk lupa [aku bəkata nətau? lupa] Aku isik guru dalam ati [aku isi? guŗu dalam ati]
63
1. ‘untuk daya ingat’ ‘kalau kalian tumbuh di gunung’ ‘batu kalian minta terbuka hati aku yang buta’ ‘sebagai lawang pintu terbuka’ ‘terbuka dan mengalir seperti sungai’ ‘lebar seperti tawang’ ‘luas seperti Kapuas lima belas kali lipat’ ‘terang dari bulan lima belas hari’ ‘nat semperinat’ ‘burung benang di atas panti’ ‘orang lupa aku ingat’ ‘aku ada guru dalam hati’ ‘berenang ke seberang dapat sebu bunga tanah’ ‘berdiri aku senang duduk aku senang’ ‘aku dapat guru dalam lidah’ ‘kijang lupa rusa lupa’ ‘pulang makan rumput jambi’ ‘aku berkata tidak bisa lupa’ ‘aku ada guru dalam hati’ (narasumber nomor: 1, Lemia, 70 tahun, petani, buta huruf, perekaman tanggal 4 Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2. pengingat [pəŋiŋat] Sirih kuning bagang kuning [siŗih kuniŋ bagaŋ kuniŋ] Tanam di rumah raja naga [tanam di ŗumah ŗaja naga] Aku diri kuning, aku duduk kuning [aku diŗi kuniŋ aku dudu? kuniŋ] Aku dapat guru dalam nyawa [aku dapat guŗu dalam ñawa] Atiku rami sebagai Melawi [atiku ŗami səbagai məlawi] Atiku lantang sebagai tawang [atiku lanta(ŋ) səbagai tawa(ŋ)] Atiku luas sebagai Kapuas limak belas ujuang [atiku lua(s) səbagai kapuas lima?
bəla(s) ujua(ŋ)] Terang re bulan purnama limak belas ari [təŗa(ŋ) ŗə bulan puŗnama lima? bəlas
aŗi] Ngelayang ke seberang dapat sebu bunga tanah [ŋəlaya(ŋ) kə səbəra(ŋ) dapat səbu
buŋa tana(h)] Kenangku lantang asa depesiang [kənaŋku lantaŋ asa dəpəsiaŋ] Aku dapat guru dalam lidah [aku dapat guŗu dalam lida(h)]
64
Atiku rami sebagai Melawi [atiku ŗami səbagi məlawi] Atiku lantang sebagai tawang [atiku lanta(ŋ) səbagai tawaŋ] Atiku luas sebagai Kapuas limak belas ujuang [atiku lua(s) səbagi kapua(s) lima?
bəla(s) ujua(ŋ)] Terang re bulan purnama limak belas ari. [təŗa(ŋ) ŗə bulan lima? bəla(s) aŗi] 2. ‘untuk daya ingat’ ‘sirih kuning bagang kuning’ ‘tanam di rumah raja naga’ ‘aku berdiri kuning aku duduk kuning’ ‘aku dapat guru dalam nyawa’ ‘hatiku rami seperti Melawi’ ‘hatiku lebar seperti tawang’ ‘hatiku luas sebagai Kapuas lima belas keli lipat’ ‘terang dari bulan purnama lima belas hari’ ‘melayang ke seberang dapat sebu bunga tanah’ ‘pikiranku panjang serasa dibersihkan’ ‘aku dapat guru dalam lidah’ ‘hatiku rami sebagai Melawi’ ‘hatiku lebar seperti tawang’ ‘hatiku luas seperti Kapuas lima belas kali lipat’ ‘terang dari bulan purnama lima belas hari’ (narasumber nomor: 4, Ratu, 54 tahun, petani, SD, perekaman tanggal 6 Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2.3.2.10 J (Kekebalan Tubuh) 1. baca budak tiga [baca buda? tiga] Ah ih uh, [ah ih uh] tidak ada hina aku dikata Allah [tidak ada hina aku dikata allah] tidak ada mati aku dikata nabi. [tidak ada mati aku dikata nabi] 1. ‘mantra budak tiga’ ‘ah ih uh’ ‘tidak ada hina aku dikata Allah’ ‘tidak ada mati aku dikata nabi’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 1 Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
65
2. asal besi 1 [asal bəsi] makan sirih sengiang-ngiang [makan sirih səŋiaŋ ŋiaŋ] makan pinang sejantung ati [makan pinaŋ səjantuŋ ati] seribu kali besi belipat [səribu kali bəsi bəlipat] badan haram dimakan besi [badan haram dimakan bəsi] 2. ‘tahan besi 1’ ’makan sirih sengiang-ngiang’ ‘makan pinang sejantung hati’ ‘seribu kali besi berlipat’ ‘badan haram dimakan besi’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 2 Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 3. asal besi 2 [asal bəsi] Dari embun menjadi buih [dari əmbun məñjadi buih] Buih menjadi air [buih məñjadi air] Air menjadi tanah [air məñjadi tanah] Tanah menjadi lumut [tanah məñjadi lumut] Lumut menjadi batu [lumut məñjadi batu] Batu menjadi besi [batu məñjadi bəsi] Ah besi ah besi ah besi [ah bəsi ah bəsi ah bəsi] 3. ‘tahan besi’ ‘dari embun menjadi buih’ ‘dari buih menjadi air’ ‘air menjadi tanah’ ‘tanah menjadi lumut’ ‘lumut menjadi batu’ ‘batu mejadi besi’ ‘oh besi oh besi oh besi’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 taun, swasta, SD, perekaman tanggal 2 Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
66
2.3.2.11 Teks K (Menundukan Orang Lain) 1. Asal penunuak mensia [asal pənunuak məñsian] Mata ari ngau bulan [mata aŗi ŋau bulan] Bumi ngau langit [bumi ŋau laŋit] Bumi batu ampar [bumi batu ampaŗ] Bapakkau batu bulan [bapa?kau batu bulan] Umakkau batu ampar [uma?kau batu ampaŗ] Apakkau teh putih-putih [apa?kau təh putih putih] Umakkau teh merah-merah [uma?kau təh merah merah] Asal kejadi kau [asal kəjadi kau] Palakkau tunuak [pala? Kau tunua?] Atikau gauk [atikau gau?] Tubuh kau belekuak [tubua(h)kau bələkua?] Aku tauk asal temula kau nyadi [aku tau? asal təmula kau ñadi] Tunuk gauk kau padaku [tunua? gau? kau padaku] Mata urang mata aku [mata uŗa(ŋ) mata aku] Ati urang ati aku [ati uŗa(ŋ) ati aku] Ari ujuang bubun naji sampai ke tapak kaki [ari ujuŋ bubun naji sampai tapa? kaki] Tunuak kau padaku [tunua? kau padaku] Ham. [ham] Mata kau pecah [matakau pəca(h)] Jantung kau kubelah [jantu(ŋ)kau kubəla(h)] Lidah kau kupatah [lida(h)kau kupata(h)] Darah tumpah [daŗa(h) tumpa(h)] Ah ah ah ah ah ah ah [ah ah ah ah ah ah ah] Bumi gementar. [bumi gəməntaŗ] 1. ‘menundukkan manusia’ ‘matahari dan bulan’ ‘bumi dan langit’ ‘bumi batu ampar’ ‘bapakkau batu bulan’ ‘mamamu batu ampar’ ‘bapakkau teh merah-merah’ ‘asal kejadi kau’ ‘kepalakau tunduk’ ‘hatikau rindu’ ‘tubuhkau berlekuk’
67
‘aku tahu asal mula kaujadi’ ‘tunduk rindu kau padaku’ ‘mata orang mata aku’ ‘hati orang hati aku’ ‘dari ujung kepal sampai ke telapak kaki’ ‘tunduk kau padaku’ ‘ham’ ‘matakau pecah’ ‘jantungkau kubelah’ ‘lidahkau kupatah’ ‘darah tumpah’ ‘ah ah ah ah ah ah ah’ ‘bumi bergetar’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 3 Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 2. Penunuak [pənunua?] Inci-inci betaruak putiah [inci inci bətaŗua? putia(h)] Daun setakang derapat embun [daun sətakaŋ dəŗapat əmbun] Ati urang rusi bebaliak kasiah [ati uŗaŋ ŗusi bəbalia? kasia(h)] Alah diguna oleh pada insum [alah diguna oleh pada insum] Insum numuak nyawa tidak bisa berjawab [insum numua? ñawa tida? bisa bəŗjawab] Insum numuak lidah tidak bisa berlipat [insum numua? Lida(h) tida? bisa bəŗlipat] Insum numuak mata tidak bisa berbisap [insum nunua? Mata tida? bisa bəŗbisap] Ah insum (3x) [ah insum] Insum ini bukan berkat dari saya [insum ini bukan bəŗkat daŗi saya] Ini berkat dari Nabi Muhhamad [ini bəŗkat daŗi nabi muhammad] Ah bungkam, syah bungkam [ah buŋkam syah bungkam] Bungkam ada bungkam Muhammad [buŋkam ada buŋkam muhammad] Nginiak batang peredah, patah [ŋinia? Bata(ŋ) pəŗəda(h) pata(h)] Beriniak de batang telasiah [bəŗinia? dəbata(ŋ) təlasia(h)] Tunuk ati urang yang menangah [tunua? ati uŗa(ŋ) yaŋ mənaŋa(h)] Timul ati urang yang kasiah [timul ati uŗa(ŋ) yaŋ kasia(h)] Numuk jantung urang, belah [numua? Jantua(ŋ) uŗa(ŋ) bəla(h)] Numuk empedu urang, pecah [numua? əmpədu uŗa(ŋ) pəca(h)] Ati bepinah kenang berubah. [ati bəpina(h) kəna(ŋ) bəŗuba(h)]
68
** makan pinang berubah masar [makan pinaŋ bəŗubah masaŗ] Makan sirih daun telasiah [makan siŗih daun təlasia(h)] Tunuak ati orang yang gusar [tunua? ati ora(ŋ) yaŋ gusaŗ] Timul ati urang yang kasiah. [timual ati uŗa(ŋ) yaŋ kasia(h)] 2. ‘menundukkan’ ‘unci-unci berdaun muda berwarna putih’ ‘setangkai daun dibalut embun’ ‘hati orang benci berbalik kasih’ ‘mampu diguna oleh pada insum’ ‘insum menikam mulut tidak bisa menjawab’ ‘insum menikam lidah tidak bisa berlipat’ ‘insum menikam mata tidak bisa berkedip’ ‘ah insum (3x)’ ‘insum ini bukan berkat dari saya’ ‘ini berkat dari Nabi Muhhamad’ ‘menginjak batang peredah, patah’ ‘berinjak di batang selasih’ ‘tunduk hati orang yang keras’ ‘timbul hati orang yang kasih’ ‘menikam jantung orang belah’ ‘menikam empedu orang pecah’ ‘hati berpindah kenang berubah’ ** ’makan pinang berubah masar’ ‘makan sirih daun selasih’ ‘tunduk hati orang yang gusar’ ‘timbul hati orang yang kasih’ (narasumber nomor: 4, Ratu, 54 tahun, petani, SD, perekaman tanggal 4 Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti) 3. rajah binyak [ŗajah biñyak] Binyak setipu duyuang [biñak sətipu duyua(ŋ)] Tanak dalam citak temaga [tanak dalam citak təmaga] Aku diri seperti payuang [aku diŗi səpəŗti payua(ŋ)] Aku duduk seperti anak raja [aku duduk səpəŗti anak ŗaja] Seri aku sebagai anak bidu bedari [səŗi aku səbagai anak bidu bədaŗi]
69
Cahaya aku sebagai bulan purnama limak belas ari [cahaya aku səbagai bulan puŗnama lima? bəla(s) ari]
Aku bepilik manang biliek, [aku bəpilia? Mana(ŋ) bilia?] Manang simpiak pingan ngeri [mana(ŋ) simpia? Piŋan ŋəŗi] Aku penyah manang dilah [aku pəña(h) mana(ŋ) dila(h)] Manang pasah penantai padi [mana(ŋ) pasa(h) pənantai
padi] Aku bepayung manang bumuang , [aku bəpayua(ŋ) mana(ŋ)
bumua(ŋ)] Manang tangkuang, manang keladi [mana(ŋ) taŋkua(ŋ) mana(ŋ)
kəladi] Seri aku sebagai anak bidu bedari [səŗi aku səbagai anak bidu
bədaŗi] Cahaya aku sebagai bulan purnama limak belas ari. [cahaya aku səbagai bulan
puŗnama lima? bəla(s) aŗi] 3. ‘pelet minyak’ ‘minyak setipu duyung’ ‘ditanak dalam cetakan dari tembaga’ ‘aku berdiri seperti payung’ ‘aku duduk seperti anak raja’ ‘auraku seperti anak bidadari’ ‘cahaya aku seperti bulan purnama lima belas hari’ ‘aku berkilau manang bilik’ ‘manang sebuah piring ngeri’ ‘aku penyah manang lidah’ ‘manang lumbung tempat menyimpan padi’ ‘aku berpayung manang bumbung’ ‘manang tangkung,manang keladi’ ‘auraku seperti anak bidadari’ ‘cahaya aku seperti bulan purnama lima belas hari’ (narasumber nomor: 4, Ratu, 54 tahun, petani, SD, perekaman tanggal 5 Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
70
2.3.3 Catatan Teks
2.3.3.1 Teks A
1. Teks nomor 1
• Mungah dan tuan tanah Rebuah: Pada zaman dahulu nenek moyang Suku
Dayak Desa mengandalkan kepercayaan pada alam sekitar. Nenek moyang
Suku Dayak Desa sangat menjunjung tinggi nilai kejujuran. Ada seorang
yang sangat jujur bernama Mungah dan ia sangat segani oleh masyarakat
karena wibawa dan kepribadiaannya yang penuh dengan sopan santun.
Sejak Mungah berumur 7 tahun, ia sudah mulai bertapa untuk
mendekatkan diri pada alam. Mungah sangat diterima oleh alam. Hal ini
terbukti saat ia tengah bertapa, ia bertemu dengan seorang kakek tua yang
berjenggot panjang terurai. Rambut dan jenggot kakek tersebut semuanya
sudah memutih serta mengenakan busana yang juga serba putih. Saat itu
umur kakek ini diperkirakan sudah ribuan tahun. Kakek tersebut memberi
Mungah sesuatu yang sangat berarti untuk menyembuhkan bermacam
jenis penyakit dari ujung rambut sampai ujung kaki. Masyarakat Dayak
Desa mengenalnya dengan sebutan tawar ‘menyembuhkan penyakit’.
Mungah kemudian dijuluki sebagai “orang sakti mantra guna”. Kakek
yang memberikan mantra pada Mungah mengaku bernama tuan tanah
Rebuah. Mungah menerima semua mantra tersebut secara lisan serta
menggunakan daya ingatnya semata. Berkat mantra yang diperolah
Mungah, segala jenis penyakit dapat disembuhkan hanya melalui mantra.
71
Hingga kini masyarakat Dayak Desa masih percaya pada kekuatan
mantra. (Agustinus, wawancara pribadi, 19 Juli 2007)
• Aluk merupakan nama sebuah patung yang terbuat dari kayu. Patung
tersebut diukir dan dibentuk menyerupai manusia. Oleh nenek moyang
pada zaman dahulu, patung ini disimpan di bawah kolong rumah, karena
ciri khas rumah tinggal Suku Dayak Desa yaitu rumah panggung. Sakit
kepala yang diderita oleh yang orang yang dimantrai dipindahkan ke
patung yang bernama Aluk dalam mantra ini.
2. Teks Nomor 2
• pemantra tidak mengetahui arti dari mantra ini secara harafiah. Pemantra
hanya mengetahui maksud dari mantra ini.
• anak kerak unyak-unyak: menggambarkan tingkah seekor anak kera yang
ke sana ke mari tidak bisa diam. Anak kerak unyak unyak ini merupkan
sebutan untuk angin yang menyebabkan perut kembung. Angin tersebut
tidak disebut secara langsung tetapi diibaratkan dengan menyebut anak
kerak unyak-uanyak.
3. Teks nomor 3
• pemantra tidak mengetahui arti dari mantra ini secara harafiah. Pemantra
hanya mengetahui maksud dari mantra ini.
• munut jengkuluang: sebutan untuk angin
• jengkulang: pusat angin
• pulau mensigit: nama tempat angin tersebut berasal.
72
• Leman puluang: jenis angin. Jutuh puluh leman pulung berarti ada tujuh
puluh jenis angin.
• Puluang: sebutan khusus untuk masuk angin ketika minum-minuman
keras. Saat minum, yang bersangkutan belum makan sebelumnya dan ia
minum terlalau banyak sehingga menyebabkan sakit yang luar biasa pada
bagian perut. Hal ini dapat menyebabkan kematian jika tidak mendapat
pertolongan yang cepat.
• Raden seruang guntin: menurut kepercayaan Dayak Desa ada angin yang
menyerupai gunting. Masyarakat ini menjulukinya dengan angin gunting.
• Segarak: sebutan untuk sungai.
4. Teks Nomor 4
• pemantra tidak mengetahui arti dari mantra ini secara harafiah. Pemantra
hanya mengetahui maksud dari mantra ini.
• Purang puri: merupakan nama jenis tumbuhan. Suku Dayak Desa
menggunakan kayun tersebut khusus dijadiakan kayu bakar untuk
menanak tebu untuk dijadikan gula.
• Lampuang: yaitu kayu yang sudah diambil kulitnya. Kulit kayu ini pada
zaman dahulu oleh Suku Dayak Desa digunakan untuk beragam jenis
keperluan, seperti dijadikan diding rumah, pakaian, topi, tali dan lain-lain.
Sedangkan kayu yang telah diambil kulitnya ini, bisa dijadikan salah satu
peralatan dalam proses menenun.
5. Teks Nomor 6
73
• Segeruntang: narasumber tidak mengetahui arti yang sebenarnya.
Narasumber menduga segeruntang adalah ukuran yang dipakai untuk
mengukur banyaknya lada yang sudah dipanen.
6. Teks Nomor 9
• Binam : rumput air tawar/air payau
6. Teks Nomor 10
• Panti: jembatan dari kayu besar yang sengaja ditebang untuk dijadikan
alat penyebrangan di sungai-sungai yang dilalui jalan setapak.
• Reban: adalah nama untuk lahan pertanian saat hutannya sudah mati
karena ditebas dan belum dibakar.
2.3.3.2 Teks B
1.Teks Nomor 2
• Unyun: nama alat yang digunakan untuk mengambil atau memeras air
tebu yang akan dijadikan gula.
• Ngunyun: adalah pekerjaan atau proses saat memeras tebu untuk diambil
airnya untuk dijadikan gula. Proses ini dilakukan dengan mengeluarkan
tenaga yang kuat.
2. Teks Nomor 3
• Pemantra tidak mengetahui arti kata-kata dalam mantra ini secara
harafiah.
• Tombak empuliang: tombak yang digunakan khusus untuk mencari ikan.
• Cupai: adalah alat yang dijadikan tas ukurannya kecil dan terbuat dari
anyaman.
74
2.3.3.3 Teks C
1. Teks Nomor 3
• Lutan: adalah sebutan untuk kayu bakar yang masih tersisa separuh yang
belum habis terbakar api.
2. Teks Nomor 4
• Ubang kayu sala: kulit kayu pala biasanya dipakai untuk bumbu ragi.
• Temeran rebiah kampel: sebutan untuk tali yang terbuat dari kulit kayu;
sama dengan kayu yang dijelaskan pada teks nomor 4.
2. Teks Nomor 5
• Tup tak untup: klasifikasi semua jenis ular yang berbisa yang ukurannya
kecil.
• Kintung gemurung, leka sedua banya dan seterusnya adalah silsilah ular.
• Temanai mansak: adalah ujung sumpit. Di ujung sumpit memiliki racun
yang sangat berbisa dan mematikan.
2.3.3.4. Teks E
1. Teks Nomor 1
• Ensiriang: nama belalang yang selalu berbunyi hanya pada saat menjelang
petang hari. Secara umum masyarakat mengenalnya dengan nama
empanyat. Ensiriang adalah nama gelar untuk empayat atau belalang
hutan. Sebutan ini hanya disebut di saat tertentu saja, misalnya dalam
mantra.
2. Teks Nomor 2
• Pada bait pertama adalah silsilah hantu yang suka menyakiti manusia.
75
• Sebayan: Suku Dayak Desa zaman dahulu percaya bahwa arwah orang
yang sudah meninggal berkumpul di suatu tempat. Sebayan adalah nama
tempat berkumpulnya arwah-arwah tersebut.
• Segarak: sebutan untuk menggantikan sungai.
• Nyabur: parang
• Inik Anan: adalah tokoh nenek yang ada dalam cerita rakyat. Nenek ini
menjadi dewa penolong bagi siapa saja yang datang kepadanya dengan
maksud baik. Ia tinggal di kayangan bersama para cucu-cucunya yaitu para
bidadari.
• Langit laki: sebutan untuk ujung dunia. Dalam kepercayaan masyarakat
Suku Dayak Desa, langit ada tujuh lapisan, dan lapisan yang terakhir dan
terjauh namanya adalah langit laki. Tidak ada penjelasan mengenai lapisan
langit sebelumnya.
3. Teks Nomor 3
• Patik: tombak yang terbuat dari bambu runcing yang digunakan untuk
menjerat binatang.
• Ipuah: racun yang diberikan di ujung sumpit. Racun ini sangat berbisa dan
mematikan. Racun ini merupakan fragmentasi dari getah buah nibung.
Nibung adalah sejenis pohon pinang yang buahnya beracun dan
mematikan. Pohon ini tumbuh di hutan. Sumpit adalah senjata tradisional
Dayak.
• Sangkuah: tempat menyimpan peluru sumpit yang ditempeli racun
(ipuah).
76
• Insum: sumsum
4. Teks Nomor 5
• Rampang semali: minta maaf
2.3.3.5. Teks F
1. Teks Nomor 1
• Betara: Tuhan
• Tulang belakang: bayi yang baru lahir
2. Teks Nomor 3
• Nyuluang:nama jenis ikan.
• Seluang: nama jenis ikan.
3. Teks Nomor 4
• Temulu: tumbuhan putri malu.
• Kubal: tumbuhan akar dan buahnya bisa dimakan.
4. Teks Nomor 5
• Bajang: anjing milik hantu yang dan dibawa saat berburu.
2.3.3.6 Teks G
1. Teks Nomor 1
• Peredah: tangkai beliaung. Beliung adalah peralatan berladang sejenis
kapak yang digunakan untuk menebang pohon.
2.3.3.7 Teks H
1. Teks Nomor 1
• Kakah: sampah di sungai yang berupa kayu dan ranting-ranting pohon
yang sudah mati.
77
2. Teks Nomor 2
• Kepunan: Suku Dayak Desa percaya bahwa jika seseorang sudah
menyebut salah satu makanan yang hendak dimakan atau ia telah ditawari
seseorang, maka yang bersangkutan harus makan makanan tersebut. jika
tidak maka sesuatu yang buruk akan menimpa yang bersangkutan, dengan
kata lain yang bersangkutan akan mendapat celaka. Kecalakaan yang
dikarenakan tidak jadi makan makanan ini disebut empunan atau kepunan.
2.3.3.8 Teks I
1. Teks Nomor 2
• Rami: luas.
• Tawang: dataran rendah yang basah, tetapi bukan rawa.
• Bagang: daun sirih yang sudah menguning.
• Sebu bunga tanah: budi bahasanya baik.
2.3.3.9 Teks K
1. Teks Nomor 3
• Manang: aura yang dimiliki oleh seseorang dilihat orang lain seperti
• Pingan ngeri: piring tua yang antik.
• Penyah: dalam kepercayaan Dayak Desa ada kepercayaan bahwa padi
memiliki roh. Roh padi tersebut oleh nenek moyang suku Dayak Desa
diberi nama penyah. Dalam mantra ini penyah adalah jiwa orang yang
menggunakan mantra ini.
• Tanggkuang: jiwa manusia.
78
• Penyah: dalam kepercayaan Dayak Desa ada kepercayaan bahwa padi
memiliki roh. Roh padi tersebut oleh nenek moyang suku Dayak Desa
diberi nama penyah. Dalam mantra ini penyah adalah jiwa orang yang
menggunakan mantra ini.
• Tanggkuang: jiwa manusia.
79
BAB III
GAYA BAHASA MANTRA BAHASA DAYAK DESA
3.1 Pengantar
Pada bab ini akan diuraikan tentang gaya bahasa dalam mantra bahasa
Dayak Desa. Gaya bahasa tersebut meliputi dua bagian, yaitu gaya bahasa
perulangan dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa perulangan meliputi: (i) aliterasi,
(ii) asonansi, dan (iii) gabungan. Gaya bahasa kiasan meliputi: (i) perbandingan,
(ii) metafora, (iii) allegori, (iv) pesonifikasi, (v) metonimia, dan (vi) gabungan.
3.2 Gaya Bahasa Perulangan
Gaya bahasa perulangan yang terdapat dalam mantra bahasa Dayak Desa,
yaitu gaya bahasa aliterasi, gaya bahasa asonansi dan gabungan aliterasi dan
asonansi. Kedua gaya bahasa tersebut dilihat dari pasang kata, pasangan kata dan
larik, dan pasangan larik.
3.2.1. Aliterasi
Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan
konsonan yang sama (Keraf, 1984 : 130). Penggunaan aliterasi pada mantra
tersebut memiliki pola yang berpariasi. Pola-pola tersebut adalah sebagai berikut.
3.2.1.1 Pola ab-ab
a. Pasangan kata
(8) teks A (2) bait pertama batang melintang batu laput ‘batang melintang batu tenggelam’
80
Aik pasang perut surut ‘air pasang perut surut’
Pada contoh (8) adalah aliterasi dalam pasangan kata. Kata batang
melintang pada bait larik pertama berpasangan dengan aik pasang, sedangkan
batu laput pada larik pertama berpasangan dengan perut surut pada larik kedua.
Bait ini hanya terdiri dari dua larik. Larik pertama adalah sebagai pengantar untuk
bagian isi, sedangkan isi dari bait ini ada pada larik kedua.
b. Pasangan Kata dan Larik
Pasangan larik yang dimaksudkan yaitu kata-kata yang ada pada larik
sebelumnya berpasangan dengan salah satu larik berikutnya. Agar lebih jelas,
perhatikan contoh nomor (9), (10), (11), (12), (13) dan (14) berikut ini.
(9) teks A (5) bait keempat Redik tegalik suduk patah ‘redik terbaring sendok patah’ Tampuak menyadik temunik ‘pusar saudara kandung ari-ari’ Insum menyadik darah ‘tulang saudara kandung darah’
Pada contoh (9) adalah contoh aliterasi dalam pasangan kata dan larik.
Kombinasi konsonan pada pasangan-pasanngan kata dalam larik mantra di atas
menimbulkan bunyi yang berirama. Larik pertama merupakan pengantar bagi
larik kedua dan ketiga. Kata-kata yang digunakan pada larik pertama berirama ab-
ab dengan kata-kata pada larik kedua dan ketiga. Kata redik tegalik pada bait
pertama berpasangan dengan tampuak menyadik temunik pada larik kedua,
sedangkan suduk patah berpasangan dengan insum menyadik darah.
c. Pasangan Larik
(10) teks A (3) bait keenam Patah pucuak patah pucuak ‘patah pucuk patah pucuk’
81
Patah pucuak mali anyam ‘patah pucuk haram dianyam’ Antu tunuak sitan tunuak ‘hantu tunduk setan tunduk’ Patah pantuak bayan itam ‘patah paruh burung bayan hitam’
Larik pertama dan larik kedua pada bait ini merupakan pengantar untuk isi
yang terdapat pada bait ketiga dan keempat. Bait pertama berpasangan dengan
bait ketiga dan bait kedua berpasangan dengan bait keempat.
(11) teks A (5) bait pertama
Lam dalam lam ‘lam dalam lam’ Lam ada di baku buluah ‘lam ada di buku bambu’ Apa sebab nuan lam ‘apa sebab kamu lam’ Asa nanang panas, ‘serasa tersengat terik matahari’ Semeremang api dalam tubuah. ‘kobaran api dalam tubuh’
Ada keunikan pada kata-kata yang digunakan dalam larik mantra pada
contoh (11). Pada larik pertama, kedua dan ketiga terdapat kata lam yang secara
harafiah tidak dimengerti artinya. Jika dilihat dari penggunaan dalam larik mantra
di atas, kata lam tersebut seolah-olah memiliki arti tersendiri, namun pemantra
sendiri tidak mengetahui arti kata lam yang digunakan dalam mantra ini. Kata lam
tersebut terpahami hanya dalam dunia gaib yang dituju oleh mantra ini. Pola ab-ab
tersebut ditunjukan pada pasangan larik pertama yang berpasangan dengan larik
ketiga, dan larik kedua berpasangan dengan larik keempat. Penggunaan aliterasi
ini terasa sebagai permainan bunyi yang bertujuan untuk mendapatkan suasana
puitis dalam mantra.
(12) teks A (3) bait kelima
Patah pucuak-patah pucuak ‘patah pucuk patah pucuk’ Patah pucuak patah puang keladi aik ‘patah pucuk patah kosong talas air’ Antu tunuak sitan tunuak ‘hantu tunduk setan tunduk’ Patah pantuak sitan daik ‘patah paruh setan di air’
82
Pola ab-ab pada contoh (12) tersebut terlihat dari bunyi vokal sebelum
konsonan tersebut, yaitu vokal a dan i. Larik pertama berirama ab dengan larik
ketiga, yaitu patah pucuak-patah pucuak berpasangan dengan antu tunuak sitan
tunuak, sedangkan larik kedua berirama ab dengan larik keempat, yaitu patah
pucuk patah puang keladi aik berpasangan dengan patah pantuak sitan daik.
(13) teks C (5) bait pertama
Tup tak untup ‘tup tak untup’ Turun kuta naik pagar ‘turun pagar naik pagar’ Untup kak ngetup ‘untup mau mematuk’ Turun bisa naik tawar ‘turun bisa naik mantra’
Pada contoh (13) larik pertama berpasangan dengan larik ketiga dan larik
kedua berpasangan dengan larik keempat. Semua larik dari sebait mantra di atas
merupakan isi dari mantra tersebut.
(14) teks D (1) bait kedua
Empuruang linak-linak ‘tempurung linak-linak’ Keladi de seberang ‘talas di seberang’ Celap asa binyak ‘dingin seperti minyak’ Ngerupak beka bawang ‘berlapis seperti bawang’
Pola ab-ab pada contoh (14) dibuktikan dengan persamaan bunyi
konsonan pada kedua larik yang berpasangan. Larik pertama yang berpasangan
dengan ketiga yang masing-masing diakhiri dengan konsonan k, dan larik kedua
berpasangan dengan larik keempat dan masing-masing diakhiri dengan konsonan
ng.
3.2.1.2 Pola aaa
(15) teks A (8) bait partama
Segayuang-gayuang sejuang-juang ‘segayung-gayung sejuang-juang’ Pingan putih mangkuk kerang ‘piring putih mangkok beling’
83
Nyur buruk lempuang balang ‘kelapa busuk asam gagal’
Pola aaa Pada contoh (15) yaitu segayuang-gayuang sejuang-juang,
pingan putiah mangkuk kerang, nyur buruk lempuang balang. Bait mantra di atas
tidak memiliki larik pengantar untuk bagian isinya. Setiap larik dalam sebait
mantra di atas merupakan isi dari mantra tersebut.
3.2.1.3 pola aa-bbb-a
(16) teks A (6)
Sang segeruntang ‘sang segeruntang’ Tanam bujang lepang ‘ditanam bujang Lepang’ Tuntuang mintak sintak ‘bekicot minta tarik’ Akar mintak batak ‘akar minta ditarik’ Urat mintak tetak ‘akar minta potong’ Buntau kelik de buntut lepuang ‘busuk lele di tepi danau’
Irama mantra pada contoh (16) sedikit berbeda dari irama pada mantra
yang telah dibahas di atas. Larik partama dan larik kedua dari mantra ini
merupakan pengantar pada bagian isi dari mantranya. Larik pertama dan larik
kedua ini memiliki pola yang sama dengan larik terakhir yang merupakan isi
penutup dari mantra tersebut. Namun pola yang demikian tidak mengurangi nilai
kepuitisan dari mantra ini. Mantra ini tetap terasa memiliki sebuah irama yang
terasa indah.
3.2.1.4 aa-bb-cc
(17) teks H (2) bait pertama
Tung tuyuang dayang duyuang ‘tung tuyung dayang duyung’ Datuk negauk tungkuk ‘Datuk menyentuh tungku’ Dara Ilah nyamah dilah ‘dara Ilah memegang lidah’ Putri sagi ngada ati ‘Putri Sagi membawa hati’ Ialah (sanuk) salah telah ‘ialah (si A) salah sebut’ Jari salah penyamah ‘jari salah pegang’ Kaki salah penyangkah ‘kaki salah langkah’
84
Pada contoh (17) dalam satu larik memiliki persamaan pola, tetapi
memiliki perbedaan pola dengan larik yang lainnya. Larik pertama berpola aa,
yaitu tung tuyuang dayang duyunag. Larik kedua berpola bb, yaitu datuk neguk
tungkuk. Larik selanjutnya berpola cc, yaitu dara ilah nyamah dilah, ialah sanuk
salah telah, jari salah penyamah, kaki salah penyangkah.
3.2.2 Asonansi
Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujut perulangan bunyi
vokal yang sama (Keraf, 1984 : 130).
3.2.2.1 Pola aa-bb
(18) teks A (4) bait kedua
Alah sapa pangiran menara ‘mampu disapa pengeran Menara’ Alah sampi pangiran pati ‘mampu dijampi pangeran pati’
Kombinasi asonansi dari bait mantra pada contoh (18) terdapat pada
pasangan kata yang terdapat dalam satu larik. Larik pertama berirama aa, yaitu
pada kata alah sapa berpasangan dengan pangiran menara. Larik kedua berirama
bb, yaitu pada kata alah sampi berpasangan dengan pangiran pati.
3.2.2.2 Pola aaa
(19) teks C (2)
Semadak ampak padi ‘serangga hitam hampa padi’ Lemah rang lemah gigi ‘lamah rahang lemah gigi’ Burit tamit nyawa kunci ‘pantat kunci nyawa kunci’
Pola aaa pada contoh (19) ditandai dengan vokal i pada setiap akhir larik.
Mantra ini tidak memiliki larik pengantar seperti mantra pada umumnya. Setiap
larik dari sebait mantra di atas merupakan isi dari mantra tersebut.
(20) teks C (4) bait pertama
85
Gergosa gergona ‘gergosa gergona’ Jatuk ubang kayu sala ‘jatuh kulit kayu sala’ Kala nyata kedirik bisa ‘kala jengking menyatakan dirinya berbisa’ Kajadi kecap ia sebar dina ‘jadi kecap ia sebar dina’ Dudi de uma ‘tertinggal di ladang’
Larik pertama dan larik kedua pada contoh (20) merupakan pengantar dari
isi yang terdapat pada larik ketiga, keempat dan kelima.
(21) teks E (2) bait kedua
Rari kau mati ‘lari kau mati’ Ke tisi langit laki ‘ke sisi langit laki’ Ke pun pauh jengi ‘ke pohon asam pelam jengi’ Ke emuntan jelu rari ‘ke ujung hantu lari’ Ke bedegak jarang jari ‘ke semak belukar jarang jari’
Semua larik dari mantra pada contoh (21) adalah isi. Bait pertama
berpasangan dengan bait kedua, ketiga, keempat dan kelima.
(22) teks E nomor (2) bait kelima Bisa kenuk antu ‘berbisa kata hantu’ Tabar kenuk aku ‘tawar kata aku’ Manih kenuk antu ‘manis kata hantu’ No kenuk aku ‘tidak kata aku’ Asin kenuk antu ‘asin kata hantu’ Tabar kenuk aku ‘tawar kata aku’
Pada contoh (22) Larik pertama berpasangan dengan larik kedua, larik
ketiga berpasangan dengan larik keempat, dan larik kelima barpasangan dengan
larik keenam. Setiap pasangan larik adalah perlawanan antra kata antu dan aku
‘hantu dan aku.’ Hal serupa juga terjadi pada contoh (22) berikut:
(23) teks E (3) bait 4,5,6 dan 8
Engkudu datau batu ‘mengkudu di atas batu’ Isau kenuk antu ‘parang kat hantu’ Kelibak kenuk aku ‘kulit kayu kata aku’ Sangkuah tajam kenuk antu ‘sangkuah tajam kata hantu’
86
Cah ke batu kenuk aku ‘sentuh ke batu kata aku’ Ipuah bisa kenuk antu ‘ipuh berbisa kata hantu’ Cah ke tebu kenak aku ‘sentuh ke tebu kata aku’ Salah nuk antu ‘salah punya hantu’ Kenak nuk aku ‘kana punya aku’ Tabar nuk antu ‘tawar punya hantu’ Bisa kenuk aku ‘berbisa punya aku’ Satu nuk antu ‘satu punya hantu’ Seribu nuk aku ‘serubu punya aku’
Pada contoh (23) ini hampir sama dengan contoh (22) di atas, yaitu
diakhiri dengan vokal u pada setiap akhir larik. Larik-larik tersebut adalah
perlawanan antra tokoh aku ‘pemantra’ dan hantu. Perbedaan dari contoh (22) dan
(23) adalah terletak pada benda yang diungkapkan dalam mantra tersebut. Namun
maksud dari kedua mantra tersebut sama, yaitu untuk melumpuhkan hantu.
3.2.3 Gabungan Aliterasi dan Asonansi
Yang dimaksud dengan gabungan aliterasi dan asonansi yaitu penggunaan
aliterasi dan asonansi dalam satu bait. Agar lebih jelas perhatikan contoh yang
berpola ab-ab berikut ini.
(24) teks A (3)
Patah pucuak-patah pucuak ‘patah pucuk-patah pucuk’ Patah pucuak mali ali ‘patah pucuk haram ali’ Antu tunuak sitan tunuak ‘hantu tunduk setan tunduk’ Patah pantuak bayan laki ‘patah paruh bayan jantan’
Pada contoh (24) terdapat gabungan asonansi dan aliterasi yang digunakan
dalam satu bait. Larik pertama dan larik kedua merupakan pengantar dari isi yang
disampaikan pada larik ketiga dan larik keempat. Irama bait ini terasa puitis dan
indah dengan penggunaan pola ab-ab, yaitu larik pertama beraliterasi dengan larik
87
ketiga yang ditandai dengan konsonan k pada akhir larik, sedangkan larik kedua
berasonansi dengan larik keempat yang ditandai dengan vokal i pada akhir larik.
(25) teks A (7) bait pertama
Terebai burung kenyalau ‘terbang burung kenyalau’ Ingap de rangau kayu tadah ‘hinggap di ranting kayu kayu tadah’ Datai raja ulu kebalau ‘datang Raja Hulu kebalau’ Maik aik ngau ntama mutah ‘membawa air untuk mengobati muntah
Pada contoh (25) adalah gabungan asonansi dan aliterasi yang berpola ab-
ab dalam satu bait. Larik pertama dan larik ketiga adalah pasangan larik yang
berasonansi yang ditandai dengan diftong au pada akhir larik. Sedangkan larik
kedua dan larik keempat adalah pasangan aliterasi yang ditandai dengan konsonan
h pada akhir kedua larik tersebut.
(26) teks C (1) bait kedua
Ara pampang dua ‘kayu ara bercabang dua’ Dan titi semut ‘dahan dititi semut’ Ulat nyata ke dirik bisa ‘ulat menyatakan dirinya berbisa’ Asalkau penyadi daun idup ‘asalkau terjadi dari daun hidup’
Pasangan larik pertama dan ketiga pada contoh (26) adalah asonansi
sedangkan pasangan larik kedua dan keempat merupakan aliterasi. Pasangan larik
ini memang tidak diakhiri dengan bunyi konsonan yang sama, tetapi dengan bunyi
yang mirip. Kemiripan bunyi tersebut tetap menimbulkan irama yang berpola ab-
ab sehingga tetap terasa indah.
(27) teks E (5)
Nyur ijau kelapak ijau ‘nyiur hijau kelapa hijau’ Tanam de pun buluah ‘tanam dipohon buluh bambu’
Diri aku silau dudukku silau ‘berdiri aku silau dudukku silau’ Seribu racun pengaruah jauh re tubuah ‘seribu racun pengaruh jauh dari tubuh’
88
Irama pada contoh (27) juga merupakan gabungan dari aliterasi dan
asonansi. Larik pertama dan larik kedua pada mantra di atas merupakan pengantar
bagi larik ketiga dan larik keempat yang merupakan isi dari bait tersebut. Larik
pertama berasonansi dengan bait ketiga, sedangkan larik kedua dan larik keempat
merupakan pasangan aliterasi. Kombinasi pasangan bunyi tersebut menimbulkan
orkestrasi yang terasa indah.
3.3 Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan yang terdapat pada mantra bahasa Dayak Desa adalah
gaya bahasa perbandingan, metafora, allegori, personifikasi, dan metonimia.
3.3.1 Perbandingan
Perbandingan atau perumpamaan atau simile ialah bahasa kiasan yang
menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata
pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, seumpama, laksana,
sepantun, penaka, se, dan kata-kata pembanding lainnya (Pradopo,2005 : 62).
(28) teks A (5) bait pertama
Lam dalam lam ‘lam dalam lam’ Lam ada di baku buluah ‘lam ada di buku bambu’ Apa sebab nuan lam ‘apa sebab nuan lam’ Asa nanang panas semeremang api dalam tubuah ‘serasa terbakar terik matahari kobaran api dalam tubuh’ Pada contoh (28) terdapat kata yang tidak terpahami maknanya, yaitu lam.
Kata lam ini seolah memiliki makna tersendiri dalam mantra ini, namun makna
tersebut hanya dapat terpahami oleh alam dunia gaib. Ada suatu peristiwa yang
89
menyebabkan terjadinya lam tersebut yang diumpamakan dalam bait terakir dari
mantra, yaitu asa nanang panas semeremang api dalam tubuah ‘serasa tersengat
panas terik matahari kobaran api dalam tubuh.’ Secara keseluruhan makna dari
bait mantra pada contoh (28) adalah mengungkapkan suatu keadaan, yaitu suhu
dalam tubuh seseorang yang sangat panas. Hal tersebut diungkapkan dengan
perumpamaan serasa tersengat terik panas matahari dan seolah-olah ada api yang
sedang berkobar di dalam tubuh. Perhatikan pula contoh berikut:
(29) teks D (1) bait pertama dan kedua
Sar sebiar niti batang resak ‘sar sebiar berjalan di atas batang resak’ Api mencuba anak mensia ‘api mencoba anak manusia’ Celap beka binyak ‘dingin seperti minyak’ Licin beka lemak ‘licin seperti lemak’ Empurung linak-linak ‘tempurung linak-linak’ Keladi de seberang ‘talas di seberang’ Celap asa binyak ‘dingin seperti minyak’ Ngerupak beka bawang ‘berlapis seperti bawang’
Bait pertama pada contoh (29) merupakan perumpamaan yang
diungkapkan untuk menggambarkan kulit tubuh manusia yang tersiram air panas,
minyak panas, atau terbakar api. Maksud dari mantra ini adalah untuk mencegah
agar kulit tidak melepuh atau luka bakar tidak begitu parah. Hal ini dilakukan
dengan cara memberi sugesti pada zat yang panas, agar menjadi dingin sehingga
tidak dapat melukai kulit. Proses suhu yang panas diubah menjadi dingin,
diumpamakan dengan sifat minyak. Perbandingan tersebut terdapat pada celap
beka binyak ‘dingin seperti minyak’ dan licin beka lemak ‘licin seperti minyak
babi.’ Perumpamaan ini ditandai dengan penggunaan kata beka ‘seperti.’
Perumpamaan ini membandingkan sifat antara dua hal yang sesungguhnya tidak
sama, tetapi dianggap sama. Celap asa binyak ‘dingin seperti minyak’ maksudnya
90
adalah benda yang bersuhu panas menjadi dingin setelah menyentuh kulit, seperti
layaknya minyak yang dingin. Licin beka lemak ‘licin seperti minyak babi’
maksudnya adalah kulit yang telah terkena benda yang bersuhu panas tersebut,
tidak dapat terluka atau tetap seperti sedia kala.
Pada bait kedua contoh (29) ditemukan juga perumpamaan yang
ditunjukan dengan pemakaian kata asa ‘serasa’ dan beka ‘seperti.’ Kata celap
‘dingin’ disamakan dengan minyak, yaitu celap asa binyak ‘dingin serasa minyak’
dan ngerupak beka bawang ‘berlapis seperti bawang merah.’ Maksud dari celap
asa binyak ‘dingin seperti minyak’ adalah benda yang bersuhu panas menjadi
dingin di kulit tubuh manusia seperti minyak yang belum dipanaskan jika
ditempelkan ke kulit terasa dingin. Sedangkan maksud dari ngerupak beka
bawang ‘berlapis seperti bawang’ adalah menganggap bahwa kulit manusia
bersifat seperti bawang merah yang memiliki kulit berlapis-lapis. Jika kulit
luarnya telah mati, maka akan tergantikan dengan kulit yang baru lagi. Begitu
juga dengan kulit manusia, jika kulitnya terluka maka akan tergantikan dengan
kulit yang baru.
(30) teks E (4) bait keempat
Beka ruai nepas balai ‘seperti burung ruai menyapu balai’ Aku nepas semua penyakit tuk ‘aku sapu semua penyakit ini’
Perbandingan pada contoh (30) ditunjukan dengan perbandingan antara
membersihkan penyakit dari tubuh manusia dan membarsihkan suatu tempat dari
sampah atau debu. Beka ruai nepas balai, aku nepas semua penyakit tuk ‘seperti
burung ruai membersihkan sarangnya, aku membarsihkan semua penyakit ini’
memiliki maksud bahawa penyakit yang diderita oleh seseorang dibersihkan
91
semua seperti burung ruai yang membersihkan sarangnya dari sampah dan debu.
Konon katanya burung ruai selalu membersihkan sarangnya dengan sangat bersih.
Di sarang burung ruai tidak akan ditemukan sampah bahkan debu sekalipun
karena burung ini selalu membersihkannya menggunakan bulunya yang panjang.
Sehingga bulu burung ini digunakan sebagai media untuk mantra pada teks E (4)
dan penyakit di tubuh menjadi bersih dan tidak tersisa lagi.
(31) teks G
Pelanduk sedungkal dangkul ‘pelanduk sedungkal dangkul’ Peredah patah tiga ‘peredah patah tiga’ Antu tunuak sebagai tungul ‘hantu tunduk seperti tunggul’ Kami lalu Sentara dua ‘kami lewat di antara dua Tujuah aik tujuh parung tujuh ‘tujuh air tujuh lembah tujuh
gunung’ gunung, tujuh lempak tujuh laut ‘tujuh daratan, tujuh laut’ Asa api asa bara ‘serasa api serasa bara’
Pada contoh (31) pelanduk dianggap sebagai pengusir hantu, sedangkan
peredah patah tiga adalah ranting yang digunakan sebagai mendia untuk
melindungi sehingga hantu tidak dapat mengganggu lagi. Hantu menjadi tunduk
seperti tunggul kayu yang hanya diam dan tidak dapat bergerak sama sekali.
Hantu diusir pergi sejauh-jauhnya, yaitu melewati tujuh mata air atau sungai,
tujuh lembah, tujuh gunung, tujuh daratan rendah dan tujuh lautan. Karena jika
tidak lari sejauh mungkin, semakin lama barada ditempat tersebut ia akan mati
kepanasan seperti terbakar nyala dan bara api.
(32) teks I (1) bait pertama dan kedua
Kalau itak tumuah de gunuang Batu itak mintak tebukak ati aku yang butak Sebagai lawang pintu tebukak Tebukak beka segarak Lantang seperti tawang
92
Luwas sebagai Kapuas limak belas ujung Terang dari bulan purnama limak belas ari ‘kalau kalian tumbuh di gunung’ ‘batu kalian minta terbuka hati aku yang butak’ ‘sebagai lawang pintu terbuka’ ‘terbuka seperti sungai yang mengalir’ ‘lebar seperti tawang’ ‘luas seperti kapuas lima belas kali lipat’ ‘terang dari bulan purnama lima belas hari’ (33) teks I (2) bait kedua, ketiga dan keempat Atiku rami sebagai Melawi Atiku lantang sebagai tawang Atiku luas sebagai Kapuas limak belas ujuang Terang re bulan purnama limak belas ari Ngelayang ke seberang dapat sebu bunga tanah Kenangku lantang asa depesiang Aku dapat guru dalam dilah Atiku rami rami sebagai Melawi Atiku lantang sebagai tawang Atiku luas sebagai Kapuas limak belas ujuang Terang re bulan purnama limak belas ari
Pada contoh (32) ditemukan perumpamaan yang ditandai dengan kata
sebagai, seperti dan dari. Perumpamaan ini membandingkan antara satu hal
dengan benda yang lain. Hal yang diperbandingkan tersebut adalah pikiran yang
diperbandingkan dengan pintu yang terbuka, sungai yang mengalir, dataran basah
yang luas, sungai Kapuas yang panjang, dan terangnya cahaya bulan purnama.
Seseorang yang sulit untuk menerima ilmu yang diberikan kepadanya, seperti
yang diungkapkan pada mantra tersebut yang diumpamakan dengan kerasnya batu
dan pikiran yang buta, yaitu batu itak mintak tebukak ati aku yang butak, menjadi
terbuka. Pikiran seseorang dapat menerima segala ilmu yang diberikan kepadanya.
Pikirannya terbuka seperti pintu yang terbuka lebar. Pikiranya menjadi mengalir
seperti air sungai yang tidak pernah berhenti mengalir. Pengetahuanya menjadi
93
luas layaknya daratan rendah yang sangat luas yang hijau oleh berbagai
tumbuhan. Pengetahuannya sangat banyak seperti panjangnya sungai Kapuas.
Seseorang dapat menjadi penerang bagi bagi orang lain seperti cahaya bulan
purnama.
Perbandingan pada contoh (33) ditunjukan dengan adanya perbandingan
antara atiku rami sebagai melawi ‘hatiku luas seperti Melawi’ memiliki maksud
bahwa hatinya dapat berpikir luas seperti sungai Melawi yang luas. Atiku lantang
sebagai tawang ‘hatiku lebar seperti dataran rendah’ memiliki maksud bahwa
hati dan pikirannya memiliki isi atau tidak kekurangan ilmu, seperti layaknya
dataran rendah basah yang hijau oleh beraneka ragam tumbuhan dan tidak pernah
kekeringan. Atiku luwas sebagai Kapuas limak belas ujuang ‘hatiku luas seperti
Kapuas limak belas ujuang’ bermaksud hati dan pikirannya memiliki pikiran yang
sangat luas layaknya sungai Kapuas yang sangat panjang. Ngelayang keseberang
dapat sebu bunga tanah ‘memiliki maksud bahwa dengan banyak ilmu seseorang
tidak menjadi sombong tetapi menjadi baik budi pekertinya. Kenang aku lantang
asa depesiang ‘pikiranku panjang serasa dibersihkan’ bermaksud pikiran
seseorang menjadi segar dan bersih seperti layaknya sebuah tumbuhan yang telah
dibersihkan dari semak belukar atau sebuah ruangan yang telah dibersihkan dari
debu. Aku dapat guru dalam dilah ‘aku dapat guru dalam lidah’ bukan berarti
lidah menjadi guru pemiliknya, tetapi memiliki maksud bahwa lidah atau bicara
seseorang dapat merupakan senjata bagi pemiliknya. Dengan budi bahasanya, ia
dapat gagal atau pun berhasil dalam pergaulannya. Sehingga seseorang
diharapkan dapat menjadi bijaksana dan pandai dalam berbicara. Perumpamaan-
94
perumpamaan dari contoh (33) ditunjukan dengan kata sebagai ‘sebagai,’ re
‘dari,’ dan asa ‘serasa.’
(34) teks K (3)
Binyak setipu duyuang Tanak dalam citak temaga Aku diri seperti payuang Aku duduk seperti anak raja Seri aku sebagai anak bidu bedari Cahaya aku sebagai bulan purnama limak belas ari Aku bepilik manang bilik Manang simpiak pingan ngeri Aku penyah manang dilah Manang pasah penantai padi Aku bepayuang manang bumuang Manang tangkuang manang keladi Seri aku sebagai anak bidu bedari Cahaya aku sebagai bulan purnama limak belas ari
Perumpamaan pada contoh (34) ditunjukan dengan adanya perbandingan
antara dua hal yang dianggap memiliki sifat yang sama. Adapun perbandingan
tersebut, yaitu antara kecantikan seseorang dengan berbagai sifat benda yang
dianggap mirip dengan sifat kecantikan. Aku diri seperti payuang ‘aku berdiri
seperti payung’ memiliki arti bahwa seseorang memiliki aura kecantikan yang
positif, seperti layaknya payung yang memayungi, berfungsi untuk melindungi
pemakainya dari panas dan hujan. Aku duduk seperti anak raja ‘aku duduk seperti
putri raja’ memiliki arti bahwa kecantikannya sungguh mempesona, seperti
kecantikan seorang putri raja. Aku berdiri seperti payung dan aku duduk seperti
putri raja menunjukan bahwa kecantikan seseorang tidak hanya dilihat dari satu
sisi saja, melainkan dari berbagai sisi. Seri aku sebagai anak bidu bedari ‘auraku
95
seperti anak bidadari’ dan cahaya aku sebagai bulan purnama limak belas ari
‘cahaya aku seperti bulan purnama lima belas hari’ memiliki arti bahwa dengan
kecantikan yang dimilikinya ia dapat menjadi penerang bagi orang lain ‘lawan
jenis yang mencintainya’ seperti indah dan terangnya cahaya bulan purnama yang
menyinari malam. Perbandingan tersebut ditunjukan dengan kata seperti dan
sebagai.
Aku bepilik manang bilik manang simpik pingan ngeri ‘aku berkilau
seperti bilik, seperti piring antik’ memiliki makna semua orang memuji
kecantikannya. Rasa kagum ketika orang lain melihatnya diibaratkan seperti jika
seseorang melihat dan mengagumi sebuah rumah mewah dan ketika mengagumi
sebuah piring tua yang antik. Aku penyah manang dilah manang pasah penantai
padi ‘aku penyah seperti lidah, seperti lumbung padi’ memiliki maksud bahwa
seseorang memiki jiwa yang hidup. Penyah dalam bahasa Dayak Desa merupakan
roh dari padi dan padi merupakan lambang penghidupan. Dalam mantra ini
penyah adalah jiwa dari pengguna mantra. Raga manusia yang hidup diisi oleh
jiwanya. Tutur kata yang diucapkan pengguna mantra selalu berisi yang
diibaratkan seperti sebauh lumbung padi yang terisi penuh. Tutur kata yang
diucapkanya selalu bermanfaat seperti pada yang berfungsi sebagai makanan
pokok. Aku bepayuang manang bumuang manang tangkuang manang keladi ‘aku
berpayung seperti bumbung rumah seperti tangkuang seperti keladi’ bermakna
seseorang -pengguna mantra- terlihat sempurna seperti sebuah rumah yang sudah
jadi dan utuh. Orang lain yang melihatnya pasti gemas dan terpesona seperti jika
96
makan keladi dikerongkongan terasa gatal. Perumpamaan tersebut ditunjukan
dengan penggunaan kata manang ‘seperti.’
3.3.2 Metafora
Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak
mempergunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, semisal
dan kata-kata pembanding lainnya. Metafora merupakan bahasa kiasan yang
melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain ( Becker via Pradopo, 2005 :
66).
(35) teks A (1)
Aluk te pediah kepalak Dikumai nadai nyaut Dipangkak nadai beringut
Pada contoh (35) ini membandingkan antara dua hal, yaitu manusia dan
patung. tingkah laku seseorang yang sedang sakit kepala disamakan dengan
sebuah patung. Sebuah patung tidak mungkin dapat bergerak seperti manusia dan
makhluk hidup lainya. Jika dipanggil sebuah patung tidak dapat menjawab, begitu
juga bila ia disapa tidak memberi respon. Seorang yang sedang sakit kepala
sikapnya dianggap sama dengan sebuah patung yang tidak dapat bergerak. Sakit
kepala yang diderita oleh manusia membuat seseorang kesulitan melakukan
aktifitas sehari-harinya sehingga ia merasa dirinya seperti sebuah patung. Oleh
karena patung merupakan benda mati yang tidak dapat merasakan sakit, maka rasa
sakit yang dirasakan oleh manusia dipindahkan ke sebuah patung yang sengaja
dibuat menyerupai manusia.
97
(36) teks A (2)
Batang melintang batu laput Aik pasang perut surut Anak kerak unyak-unyak Kijang lalang rusak ubi Tepasang balang kentut nyadi Sang seguni Pasang balang kentut nyadi
Sungai yang sedang pasang dipenuhi dengan air dan arusnya menjadi lebih
deras, begitu juga dengan perut bila terisi penuh dengan angin, akan menjadi
kembung. Untuk menggambarkan angin yang menyebabkan perut kembung
dikiaskan dengan anak kerak unyak-unyak ‘anak kera yang bandel’ yaitu tingkah
laku anak kera yang bandel dan selalu membuat ulah sehingga mengganggu yang
lainnya. Tingkah laku seekor anak kera yang selalu mengganggu yang lainnya
mengiaskan angin yang bergejolak di dalam perut seseorang. Perut yang terisi
penuh oleh angin dapat diobati dan angin tersebut keluar melalui kentut. Angin
yang keluar dengan kentut disamakan seperti jika makan singkong maka akan
sering kentut.
3.3.3 Allegori
Allegori ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan yang mengiaskan hal lain
atau kejadian lain.
(37) teks A (4)
Keladi itam birah itam Tanam de tanah purang puri Dayang muda bebaju itam Beranak ke Tesak dua nanyak Beranak ke lampuang dua guluang
98
Alah sapa pangirang Menara Alah sampi pangiran pati Cit-citan
Pada contoh (37) merupakan allegori yang mengiaskan sakit perut mulas.
Sakit perut mulas dikiaskan dengan seorang dayang yang masih muda dan
mengenakan busana serba hitam. Hitam merupakan lambang gegelapan. Dayang
muda berbusana serba hitam yang dimaksudkan dalam mantra ini merupakan
penyakit yang menebarkan bibitnya di dalam perut. Dayang muda yang selalu
berbusana serba hitam ini diceritakan memiliki anak yang diberi nama Tesak dua
tanya dan lampuang. Lampuang merupakan sebutan untuk salah satu kayu yang
jenis kayu yang sudah diambil kulitnya. Lampuang adalah salah satu alat untuk
menenun tradisional yang digunakan oleh para wanita suku Dayak Desa.
Kekuatan dayang muda yang datang dengan busana serba hitam tersebut
diceritakan kalah karena disapa oleh seorang Pangeran Menara, yaitu seorang
pangeran yang bertahta di sebuah menara dan mantra dari seorang Pangeran Pati.
Pangeran Menara dan Pangeran Pati adalah kiasan untuk pemantra. Penyakit yang
menyebabkan perut sakit menjadi sembuh setelah dimantra oleh pemantra.
(38) teks A (7)
Terebai burung kenyalau Ingap de rangau kayu tadah Datai Raja Ulu Kebalau Maik aik ngau ntama mutah Dari Mungah beruba tawar Dah dasal ke aku tabarlah
Pada contoh (38) merupakan allegori yang mengiaskan kekuatan mantra
dengan seorang raja dari sebuah tempat bernama Ulu Kebalau ‘raja dari
99
kayangan.’ Raja dari kayangan ini diceritakan membawa air yang digunakan
untuk mengobati atau menghentikan muntah. Mantra diakhiri dengan menyebut
nenek moyang yang pertama kali menerima dan mengajarkan mantra, yaitu dari
Mungah beruba tawar dah dasal ke aku tabarlah ‘ dari Mungah yang menerima
dan mengajarkan mantra pertama kali setelah aku pulihkan tawarlah.’ Maksud
dari kalimat yang tercetak miring adalah karena Mungah yang menurunkan
mantra dan melalui pemantra untuk memulikan penyakit, maka penyakit tersebut
menjadi tawar dan tidak memiliki kekuatan lagi.
(39) teks B (2)
Sedua belaki bini ak nengah babas Datai ke rimak sedua nebas Dah detebas, detebang Udah ari panas ak detunu Dah detunu detugal panuk Dan ak detanam tebu Tebu dah belangkan ak Te inuk ak nyuruh ngak unyun Unyun a unyun tebelian Kepanyai sedua ngunyun ak, ngapit dirik a Atik ketauk ke asal usul yak puas ma elamai.
Pada contoh (39) merupakan gaya bahasa allegori. Mantra pada contoh
(39) menceritakan kegiatan yang dilakukan oleh sepasang suami-istri yang
menjadi petani tebu, dari proses awal membuka ladang hingga proses pembuatan
gula. Kulit yang terkena herpes dikiaskan dengan kegiatan saat proses pembuatan
gula tebu. Proses pembuatan pembuatan gula tebu secara tradisional dilakukan
dengan memeras airnya kemudian ditanak. Kegiatan yang dilakukan saat
memeras air tebu dalam bahasa Dayak Desa disebut ngunyun. Ngunyun adalah
cara memeras air tebu dengan cara diapit mengunakan kayu. Kayu yang
100
digunakan untuk ngunyun pada contoh (39) adalah dengan menggunakan kayu
belian atau disebut juga kayu besi. Tebu yang sudah dikupas kulitnya dipotong-
potong kemudian diambil airnya dengan cara mengapitnya dengan kayu belian
kemudian diputar ke kiri dan ke kanan membentuk setengah lingkaran sampai
airnya habis dan menjadi ampas. Kulit yang terkena herpes dianggap sama dengan
tebu yang diputar ke kiri dan ke kanan hingga airnya habis, yaitu jika tidak segera
diobati herpes akan semakin menyebar hingga melingkari salah satu bagian tubuh.
Jika sampai melingkari salah satu bagian tubuh telah sampai pada titik semula,
yaitu tempat pertama yang terserang, maka menurut kepercayaan setempat,
seseorang yang terserang herpes besar kemungkinan akan meninggal dunia. Raga
manusia yang sudah tidak bernyawa disamakan dengan ampas tebu yang tidak
ada airnya lagi.
(40) teks F (4)
Akar temulu tumuah de ulu Sungai Untai Bebuah besangking tiga Detaik Lemamang Purang Akar detipan Lemia Bunsu Aik nitik ke labuk Inik Kintamuga Depalai ke tusu (sanuk) Nyadi aik kubal tusu Dirup anak mensia Keturun Adam ngau Awa Mungah beruba tawar Ketauk asal tabarlah
Pada contoh (40) terdapat gaya bahasa allegori yang mengiaskan air susu
ibu (ASI) yang dikiaskan dengan akar temulu yang banyak mengeluarkan getah
karena dipotong. Air susu ibu menjadi banyak seperti air yang menetes dari labu
101
nenek Kintamuga. Labu merupakan alat yang digunakan oleh masyarakat
tradisional suku Dayak Desa untuk mengambil dan menyimpain air untuk
memasak. Nenek Kintamuga adalah seorang nenek yang berasal dari kayangan.
Dalam mantra ini, Nenek Kintamuga dianggap membawa berkat bagi calon ibu
yang akan menyusui bayinya, sehingga ASI menjadi banyak.
(41) teks H (2)
Tung tuyuang Dayang Duyuang Datuk neguk tungkuk Dara Ilah nyamah dilah Putri Sagi ngada ati Ialah (sanuk) salah telah Jari salah penyamah Kaki salah penyangkah Datai bujang kuning megai ensiriang Sapik ke nyawa (sanuk) Mulai ke kata Pulai ke tungkuk penyumai Mungah beruba tawar Ketauk asal tabarlah
Pada contoh (41) merupakan allegori yang mengiaskan suatu kejadian,
yaitu kecelakaan yang diakibatkan oleh keteledoran manusia karena tidak
kesampaian makan sesuatu. Dalam bahasa Dayak Desa, peristiwa atau kecelakaan
ini dinamakan kepunan atau empunan. Pada contoh (41) diceritakan para dayang
dari kayangan membantu untuk menghindari kepunan, yaitu tung tuyuang Dayang
duyuang. Datuk neguk tungkuk ‘Datuk menyentuh tungku’ memiliki makna
bahwa tunggu adalah salah satu alat yang digunakan untuk memasak. Jika tungku
tersebut digunakan untuk memasak, berarti seseorang memiliki makanan dan ia
akan kenyang dan tidak kelaparan. Dara Ilah nyamah dilah ‘dara memegang
lidah’ yaitu bahwa lidah adalah alat pencecap dan sekaligus alat untuk berbicara.
102
Apa yang telah diucapkan seseorang tentang makanan yang ingin ia makan
menjadi seolah-olah ia tidak pernah mengucapkan dan tidak mengginginkannya.
Putri Sagi ngada ati ‘putri Dagi membawa hati’ memiliki arti bahwa putri Sagi
adalah seorang yang murah hati dan selalu mengampuni. Ialah (sanuk) salah telah
‘ialah (si A) salah sebut,’ jari salah penyamah ‘jari salah memegang,’ dan kaki
salah penyangkah ‘kaki salah langkah’ memiliki makna bahwa si A telah
melakukan suatu kesalahan dan kesalahannya tersebut diampuni oleh Tuhan.
Datai bujang kuning megai ensiriang, sapik ke nyawa (sanuk), mulai ke kata.
Pulai ke tungkuk penyumai Mungah beruba tawarketauk asal tabarlah ‘datang
bujang kuning membawa ensiring, disuap ke mulut si A, mengembalikan kata,
kembali ke tunggku tempat memasak. Mungah yang mengajarkan mantra,
mengetahui asal tawarlah’ memiliki maksud bahwa apa yang telah diucapkan
oleh yang bersangkutan ditarik kembali sehingga tidak terjadi kepunan.
3.3.4 Personifikasi
Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati
dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya seperti manusia.
(42) teks C (1)
Ikau penyadi bulu kaki mas nabi Aku ketauk ke asal penyadi mas nabi Ara pempang dua Dan titi semut Ulat nyata kedirik bisa Asalkau penyadi daun idup
103
Ulat merupakan binatang yang tidak dapat berbicara seperti manusia,
namun di sini racun ulat dapat berbicara dan mengatakan bahwa dirinya memiliki
racun yang berbisa yang diberikan melalui sengatannya. Ulat tidak pernah
berbicara dan menyampaikan bahwa dirinya memiliki racun yang cukup berbisa.
Sedangkan yang dapat mengatakan ulat memiliki racun yang cukup berbisa adalah
manusia.
(43) teks E (2)
Ham uyam ham uyam Bungkam awum awam Beranak ke tanin seluk sian Beranak ke tesak batu urin Beranak ke diaung Penukai alai nyumai Rari kau mati Ke tisi langit laki Ke pun pauh jengi Ke emuntan jelu rari Ke bedegak jarang jari Mungah beruba tawar Ketauk asal tabarlah Tur tua leka carut Tuak ngempu nanam tebu Nempak besi ulu sungai antu Bisa kenuk antu tabat kenuk antu Manih kenuak antu No kenuk aku Asin kenuk antu Tabar kenuak aku Mungah beruba tawar Ketauk asal tabarlah Samsudin Alahladin Pengin segirin Apai ngau inai antu Rari ke segarak
104
Ke emuntan tisi langit laki Dilah kitak aku kunci Ngau besi Nabi Seliman Ngau kawat Nabi Adam Ngau rantai urang beriman Jari aku tetak Ngau isau tempak Adam Ngau kapak tempak Tuhan Kaki aku tipan Ngau nyabur inik Anan Ancur nyadi timah Atai ke Sebayan Mungah beruba tawar Ketauk asal tabarlah
Pada contoh (43) penginsanan ditunjukkan dengan mengusir penyakit
dengan cara memerintakannya untuk pergi sejauh mungkin, seperti yang
ditunjukan dengan rari kau mati, ke tisi langit laki, ke pun pauh jengi, ke
emuntan jelu rari, ke bedegak jarang jari ‘lari kau mati, ke sisi langit laki, ke
pohon asam pelam, ke ujung hantu lari, ke semak belukar jarang jari.’ Penyakit
dikatakan dapat melakukan tindakan seperti yang dilakukan oleh manusia. Secara
logika tidak mungkin seseorang dapat mengusir penyakit dari tubuh manusia
dengan cara memerintahkannya untuk pergi. Secara akal sehat penyakit dapat
diobati dengan cara tradisional yaitu dengan ramuan-ramuan tradisional dan
dengan cara modern yaitu melalui tenaga medis dan peralatatan-peralatan
elektronik yang digunakan. Penginsanan juga ditunjukan dengan menyebutkan
bahwa penyakit memiliki lidah, tangan dan kaki yang memiliki fungsi yang sama
dengan lidah, tangan dan kaki manusia seperti yang diungkapkan pada bait
ketujuh, bait kedelapan dan bait kesembilan pada contoh (44) di atas.
105
(44) teks F (2)
Uwi sedurak duri Parik rari ke baruh batang U temunik anang kau dudi Telusur tulang belakang
Ari-ari tidak dapat berbuat seperti manusia, yaitu dengan sengaja
meninggalkan dirinya, tidak keluar bersama dengan bayi. Ari-ari yang tidak
keluar bersama dengan bayi merupakan peristiwa yang terjadi dalam persalinan
yang kurang normal.
3.3.5 Metonimia
Metonimia adalah bahasa kiasan yang berupa penggunaan sebuah atribut
sebuah objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya
untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd via Pradopo, 2005 : 77)
(45) teks A (8)
Segayuang-gayuang sejuang-juang Pingan putih mangkuk kerang Nyur buruak lempuang balang Dari tuan tanah Rebuah Dari Mungah beruba tawar Ketauk asal tabarlah
Pada contoh (45) segayuang-gayaung sejuang-juang adalah gambaran
untuk tangan. Untuk mendapat makanan, tangan seseorang harus bekerja. Pingan
putih mangkuk kerang adalah piring dan mangkuk yang digunakan untuk
menyimpan makanan saat makan, sedangkan nyur buruak lempuang balang
‘nyiur busuk asam gagal jadi buah’ untuk mengantikan perut yang sakit. Maksud
dari mantra ini, yaitu sakit perut muntaber diakibatkan oleh makanan yang
106
dimakan oleh yang bersangkutan. Tangan digunakan untuk memasukan makanan
ke dalam mulut, sedangkan tempat yang digunakan untuk menyimpan makanan
tersebut adalah piring dan mangkuk. Nyur buruak lempuang balang ‘kelapa busuk
asam gagal menjadi buah’ adalah untuk melukiskan perut yang sakit. Batok
kelapa adalah untuk menggambarakan usus yang menampung makanan tersebut,
sedangkan daging kelapa yang busuk adalah makanan yang seharusnya sudah
rusak dan tidak layak untuk dimakan atau makanan yang memang mengandung
racun.
(46) teks A (9)
Bintang terebit de langit Jatuk ke tanah menjadi binam Dari tuan tanah Rebuah Dari Mungah beruba tawar Cit-citan tabarlah
Bintang terabit de langit ‘bintang terbit di langit’ untuk mengantikan
tengorokan yang terkena radang. Jatuk ke tanah menjadi binam ‘jatuh ke tanah
menjadi binam’ untuk mengantikan proses penyembuhan radang. Tengorokan
diibaratkan seperti langit angkasa dan radang diumpamakan dengan bintang yang
terbit di langit kemudian jatuh ke bumi dan menjadi benda lunak seperti rumput
yang tumbuh di air tawar.
(47) teks E (1)
Keladi itam birah itam Tanam de takuang pisang raja Dayang itam datai malam Nalah baca nalah diba Dari Mungah beruba tawar Dah dasal ke aku tabarlah
107
Kain itam perecak itam Jangan simpan dalam peti Sitan jangan datai malam Rari kau ke pun pauh jengi Ke pusai aik bulang buli Ke ensiring nyaring bunyi Ke tisi langit laki Ke emadam mata ari Cih citan tabarlah
Dayang Itam datai malam, nalah baca nalah diba ‘dayang hitam datang
malam, tidak mampu dijampi tidak mampu diatasi’ mengantikan penyakit yang
menyerang secara tiba-tiba saat tengah malam dan sangat sulit untuk diatasi, dan
segala cara telah dilakukan untuk mengatasinya namun belum ada yang berhasil.
Dayang hitam merupakan lambang yang digunakan untuk menggantikan penyakit,
karena dayang hitam memang datang dari kegelapan dan membawa kegelapan
pula. Atau dengan kata lain dayang hitam adalah sebutan untuk menggantikan roh
yang jahat.
(48) teks H (1)
Kulu kakah kilik kakah Tengah-tengah batu ampar Lintang lalu bujur pun lalu Aku ketauk tawar tengkelan
Pada contoh (48) kulu kakah kilik kakah ‘ke hulu kakah ke hilir kakah’
menggantikan gigi atas dan gigi bawah serta samping kiri dan kanan. Kakah
adalah sampah di sungai yang berupa dahan dan ranting-ranting kayu yang sudah
mati dan jatuh ke sungai dan biasanya menjadi sarang ikan. Sedangkan tengah-
tengah batu ampar ‘di tengah-tengah batu ampar’ mengantikan lidah dan lintang
108
lalu bujur pun lalu ‘melintang lewat lurus lewat’ mengantikan makanan yang
masuk ke mulut tidak tersendat, sehingga tidak terjadi kesedak.’
3.3.6 Gaya Bahasa Gabungan
Gaya bahasa gabungan adalah pengunaan gaya bahasa yang lebih dari satu
gaya bahasa dalam satu larik atau dalam satu bait. Untuk lebih jelasnya perhatikan
contoh-contoh berikut ini.
(49) teks A (3) bait pertama dan kedua
Munut jengkulang pulau mensigit Tujuah puluah leman puluang Inaikau ratu apaikau raden Lingkuang prengkiluang pulau Mensigit Tujuah puluah leman puluang Inaikau ratu bumi Apaikau raden seruang guntin Umakkau jengkulang Apakkau segarak umakkau melawi
Pada contoh (49) terdapat gaya bahasa gabungan, yaitu gaya bahasa
metonimia dan metafora. Gaya bahasa metonimia ditunjukan dengan kata Munut
jengkulang pulau mensigit adalah sebuah tempat yang dianggap merupakan
sebuah pusat angin dan ini digunakan untuk mengantikan angin yang
menyebabkan perut sakit. Tujuah puluah leman puluang ‘tujuh puluh macam
puluang’ mengantikan banyaknya jenis angin yang tidak sehat yang membawa
bibit penyakit sehingga dapat menyebabkan sakit. Dalam bahasa Dayak Desa,
Puluang adalah nama penyakit yang disebab oleh masuk angin akibat minuman
keras. Puluang termasuk penyakit yang dapat mematikan bagi penderitanya. Jika
seseorang yang terkena puluang tidak cepat mendapat pertolongan yang tepat,
109
dapat menyebabkan kematian pada yang bersangkutan. Lingkuang prengkiluang
pulau Mensigit adalah sebuah tempat angin tersebut berasal. Dalam bahasa sehari-
hari, munut jengkulang, pulau Mensigit, serta lingkuang prengkiluang tidak
pernah digunakan. Kosa kata ini hanya digunakan dalam komunikasi tertentu saja,
salah satunya komunikasi dalam bahasa mantra. Gaya bahasa metafora ditunjukan
dengan kata inaikau ratu apaikau raden ‘ibumu ratu bapakmu raden’ yang
memiliki makna bahwa angin tersebut berasal dari suatu tempat yang memiliki
kekuatan khusus. Kekuatan terbut diperbandingkan dengan wibawa seorang ratu
dan raden yang bertahta di sebuah kerajaan. Inaikau ratu bumi ‘ibumu ratu bumi’
yang berarti bahwa angin tersebut memiliki ibu yaitu seorang ratu. Hal ini
menunjukan bahwa betapa membahayaknnya angin tersebut yang kekuatannya
menandingi wibawa dan kekuatan seorang ratu yang menguasai jagat raya.
Apaimu raden seruang guntin ‘bapakkau raden seruang gunting’ memiiki arti
bahwa angin tersebut adalah anak dari seorang raden seruang gunting. Raden
seruang gunting adalah angin topan. Umakkau jengkulang apakkau segarak
umakkau Melawi ‘mamakau jengkulang bapakkau segarak mamakau Melawi’
yaitu angin yang sangat dasyat dan terus berhembus bagaikan air sungai yang
terus mengalir dan sederas arus sungai Melawi.
(50) teks A (6)
Sang segeruntang Tanam bujang lepang Tuntuang mintak sintak Akar mintak batak Urat mintak tetak Buntau kelik de buntut lepuang
110
Pada contoh (50) terdapat dua gaya bahasa, yaitu personifikasi dan
metonimia. Gaya bahasa personifikasi ditandai dengan penginsanan kata tuntuang
‘bekicot,’ akar ‘tumbuahan akar’ dan urat ‘urat atau akar tumbuhan.’ Bekicot
meminta untuk ditarik dari cangkangnya, tumbuhan akar meminta tolong untuk
ditarik dari tempatnya merambat dan urat meminta dipotong dari pohonnya.
Bekicot, tumbuhan akar, serta urat tanaman tidak mungkin dapat melakukan
seperti yang disebutkan di atas, yang ingin menarik bekicot dari cangkangnya atau
menarik akar dari tempatnya merambat serta memotong akar dari pohonnya
adalah keinginan manusia dan bukan tumbuhan atau binatang yang
melakukannya. Gaya bahasa metonimia ditunjukan dengan adanya atribut yang
mengantikan benda lain. Tuntuang mintak sintak ‘bekicot minta ditarik’
menggantikan kotoran yang menumpuk di usus, akar mintak batak ‘akar minta
ditarik’ menggantikan kotoran yang harus dikeluarkan dari usus, sedangkan urat
mintak tetak ‘urat minta dipotong’ menggantikan potongan kotoran manusia yang
keluar berupa potongan-potongan, sedangkan buntau kelik de buntut lepuang ‘lele
busuk di tepi danau’ menggantikan kotoran manusia yang telah dikeluarkan dan
ditampung di dalam septic tank, lele busuk mengantikan kotoran, sedangkan
danau mengantikan septic tank.
(51) Teks C (5)
Tup tak untup Turun kuta naik pagar Untup kak ngetup Turun bisa naik tawar Kintung gemuaruang beranak ke leka sedua banya Leka sedua banya beranak ka cupak sedau kulak Cupak sedua kulak beranak ke tedung ngau kenawang Tedung madah ke dirik pukak api
111
Kenawang madah ke dirik temanani mansak Aku ketauk kitak asal temula nyadi Turun bisa naik tawar Ular netauk ngelantar, ia bisa aku suruh mati mensia pulai idup
Pada contoh (51) terdapat gaya bahasa gabungan, yaitu personifikasi dan
metafora. Kedua gaya bahasa ini digunakan secara bersamaan dalam satu larik.
Penggunaan gaya bahasa personifikasi ditandai dengan adanya penginsanan
ditunjukan dengan tedung madah ke dirik pukak api, kenawang madah kedirik
temanai mansak ‘tedung mengatakan dirinya bara api, kenawang mengatakan
dirinya ujung sumpit.’ Ular tedung dan ular kenawang berkata bahwa ia memiliki
bisa yang sangat mematikan. Ular dibuat seolah dapat berbicara seperti seperti
manusia, sedangkan ular jenis apa pun tidak ada yang dapat berbicara seperti
layaknya manusia.
Gaya bahasa metafora ditandai dengan adanya perumpamaan, yaitu tedung
madah ke dirik pukak api, kenawang madah ke dirik temanai mansak ‘tedung
mengatakan dirinya bara api, kenawang mengatakn dirinya ujung sumpit. Bisa
ular tedung disamakan dengan bara api dan bisa ular kenawang disamakan dengan
ujung sumpit. Sumpit adalah senjata tradisioanal masyarakat Dayak yang
digunakan untuk berperang dan berburu. Di ujung sumpit diolesi dengan ipuah
yang terbuat dari fragmentasi getah buah pinang yang tumbuh di hutan yang
buahnya beracun.
3.4 Rangkuman
Gaya bahasa yang terdapat dalam mantra Bahasa Dayak Desa meliputi
gaya bahasa perulangan dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa perulangan meliputi
112
gaya bahasa (i) aliterasi dan (ii) asonansi. Aliterasi dan asonansi tersebut terdapat
pada pasangan kata, pasangan kata dan bait, serta pasangan larik. Sedangkan gaya
bahasa kiasan yang terdapat dalam mantra bahasa Dayak Desa meliputi: (i)
perbandingan, (ii) metafora, (iii) allegori, (iv) personifikasi, (v) metonimia, dan
(vi) gabungan.
Perukangan bunyi dan bahasa kiasan sangat menonjol dalam mantra
bahasa Dayak Desa. Perulangan bunyi dan bahasa kiasan membuat mantra
terdengar indah dan puitis. Dengan penggunaan bahasa yang puitis dan indah serta
dengan perulangan bunyi tersebut, dimaksudkan untuk merayu atau
memerintahkan zat gaib agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai
dengan kehendak pengguna mantra, yaitu melakukan yang baik dan tidak
melakukan yang jahat.
Mengetahui gaya bahasa tersebut berfungsi bagi kita dalam memudahkan
dalam mengamati dan memahami realitas yang terjadi dalam mantra tersebut.
Atau dengan kata lain, untuk memahami maksud atau makna yang terkandung di
dalam mantra bahasa Dayak Desa, kita harus mamahami penggunaan gaya bahasa
pada mantra tersebut. Gaya bahasa kiasan yang paling sering digunakan adalah
gaya bahasa perbandingan. Gaya bahasa perbandingan lebih sering digunakan
kerena dengan perantaraan benda lain seseorang lebih mudah untuk memahami
suatu hal.
113
BAB 1V
TUJUAN, PROSES RITUAL, DAN FUNGSI MANTRA
BAHASA DAYAK DESA
4.1 Pendahuluan
Pada bab ini diuraikan tentang tujuan, proses ritual dan fungsi mantra
dalam bahasa Dayak Desa. Dari hasil penelitian di lapangan, penulis berhasil
menginventasi 40 buah mantra. Mantra-mantra tersebut dijelaskan satu persatu
sesuai dengan fungsi dan proses ritualnya masing-masing. Namun ada beberapa
mantra yang tidak boleh penulis dapatkan yang dikarenakan belum atau tidak
memenuhi persyaratan yang ditentukan. Mantra-mantra tersebut adalah mantra
yang berfungsi untuk mengobati luka dan ilmu untuk menyembuhkan penyakit
yang disebabkan oleh ilmu gaib.
Syarat untuk mendapatkan kedua ilmu ini sama, yaitu umur minimal 37
tahun dan sudah memiliki rambut uban minimal satu lembar. Syarat yang lain
yaitu penerima ilmu adalah anak kandung dari pemilik ilmu ini. Jika bukan anak
kandung dari pemilik ilmu ini, maka ia harus dijadikan anak angkat oleh pemantra
dan penerima ilmu harus dengan tulus menganggap pemantra sebagai orang tua
angkatnya. Setelah diangkat sebagai anak, syarat berikutnya penerima harus
menghisap sedikit darah dari pemilik ilmu ini. Untuk memastikan kesanggupan
seseorang menerima ilmu ini ia harus ditest terlebih dahulu. Seseorang ditest
dengan cara minum air kelapa hijau di dalam air, dengan cara sebiji kelapa
dibawa ke dalam air. Banyaknya air kelapa yang mampu diminum, menunjukan
114
kemampuan seseorang untuk dapat menerima ilmu tersebut. Jika hanya sedikit air
kelapa yang bisa diminumnya, maka hanya sedikit ilmu yang dapat diterimanya.
Tetapi jika seseorang sanggup minum sebiji air kelapa di dalam air sampai habis,
maka seseorang dapat menerima semua ilmu tersebut.
Mantra yang bertujuan untuk mengobati luka adalah ilmu yang berfungsi
untuk segera menghentikan darah yang keluar terus menerus. Ilmu ini berupa
mantra. Mantra ini tidak boleh dibacakan sembarangan karena akan berakibat fatal
seperti dapat menghentikan peredaran darah, apabila dibacakan bukan pada waktu
yang tepat.
Ilmu yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan
oleh ilmu gaib dalam bahasa Dayak Desa disebut ilmu keputus. Salah satu yang
termasuk di dalam ilmu keputus ini adalah mantra teks E (4) yang bertujuan untuk
membersihkan pengaruh dari ilmu gaib. Dari ilmu keputus ini pemantra dapat
mengetahui kematian seseorang. Jika seseorang tidak sembuh setelah diobati
menggunakan ilmu ini, dapat dipastikan ia akan meninggal dunia.
Ilmu keputus ada dua bagian, yaitu berupa mantra, yaitu mantra teks E (4)
dan berupa minyak khusus yang diberi nama binyak bintang ‘minyak bintang.’
Bagian pertama yang berupa mantra disebut ilmu keputus satu dan bagian kedua
yang berupa minyak disebut ilmu keputus dua. Dua bagian dari ilmu keputus ini
merupakan satu kesatuan. Mantra digunakan untuk mengeluarkan pengaruh ilmu
santet dan minyak digunakan untuk membunuh ilmu santet tersebut.
Ilmu keputus dua adalah hasil ramuan dari pemantra. Minyak bintang ini
terbuat dari ramuan kayu sakang seribu dicampur minyak kelapa. Kayu sakang
115
seribu adalah tumbuhan langka yang tumbuh di dataran tinggi. Tumbuhan ini
bagian terbawah berupa kayu dan bagian tengahnya berbentuk akar dan bagian
ujungnya berupa ranting-ranting yang setiap ujungnya adalah bunganya. Kayu
sakang seribu ini harus dicabut disertai dengan akarnya kemudian ditumbuk halus
untuk dapat diramu menjadi minyak bintang. Kelapa yang dijadikan minyak harus
berjumlah ganjil, yaitu tiga biji atau lima biji atau tujuh biji.
Cara meramunya yaitu kayu sakang seribu yang telah dihaluskan
dicampur dengan minyak kelapa kemudian ditanak dalam sebuah kuali. Sambil
menanak, pemantra menyiapkan botol dan disimpan di sebelah tempat menanak.
Saat asap mulai mengepul mantra dibacakan sambil mengipaskan asap
menggunakan alat penampi. Asap yang dikipas menggunakan alat penampi akan
masuk dengan sendirinya ke dalam botol yang telah disiapkan. Setelah botol
dipenuhi asap, botol tersebut ditutup menggunakan botol yang lebih kecil. Asap
yang sudah berada dalam botol ini dinamakan minyak bintang.
Khasiat dari minyak bintang ini selain untuk pengobatan adalah badan
pemiliknya tidak dapat terputus. Sekalipun badan sudah terputus, jika potongan
badan tersebut tidak terpisah di antara sungai, potongan tersebut akan bersatu dan
utuh kembali saat bintang mulai terbit di langit.
Ada dua kategori untuk menyebut mantra sesuai dengan jenisnya. Khusus
mantra yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit disebut tawar, sedangkan
mantra yang lain disebut baca. Ada beberapa mantra yang mendapat pengaruh
dari budaya islam, sedangkan pemiliknya sendiri merupakan penganut kristiani.
Hal ini menunjukan bahwa pengaruh islam cukup besar dalam beberapa mantra.
116
Mantra-mantra yang bertujuan untuk mengobati penyakit, selalu diakhiri
dengan kalimat yang serupa, yaitu: dari tuan tanah Rebuah, dari Mungah beruba
tawar, ketauk asal tabarlah ‘dari tuan tanah Rebuah, dari Mungah yang
mengajarkan mantra, mengetahui asal mula terjadi’. Kalimat yang bercetak miring
merupakan ungkapan rasa terimakasih kepada tuan tanah Rebuah, yaitu Tuhan
dan kepada Mungah, yaitu nenek moyang yang menerima tawar ‘mantra untuk
mengobati penyakit’ yang diberikan langsung oleh tuan tanah Rebuh.
Mantra-mantra bahasa Dayak Desa ini rata-rata dibacakan dengan cara
berbisik. Tidak ada orang lain yang mendengar secara jelas mantra yang sedang
dibacakan. Komunikasi hanya terjadi antara pemantra dan zat gaib. Hanya mantra
tertentu yang dengan sengaja dibacakan untuk diperdengarkan kepada seseorang
yang dimantrai dan orang yang ada disekitarnya.
4.2 Tujuan dan Proses Ritual Mantra Bahasa Dayak Desa
Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, mantra bahasa Dayak
Desa memiliki berbagai fungsi, antara lain: menyembuhkan penyakit yang biasa,
menyembuhkan penyakit kulit, menyembuhkan penyakit terkena binatang,
menyembuhkan lika baker, menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh
pengaruh santet, berhubungan dengan ibu dan anak bayinya, mengusir setan,
berhubungan dengan makanan, untuk kecerdasan dan daya ingat, kekebalan
tubuh, berhubungan dengan percintaan dan meluluhkan hati orang yang lain.
Setelah mantra dijelaskan dengan fungsinya masing-masing, akan dijelaskan
117
proses ritualnya masing-masing. Berikut ini uraian tentang masing-masing fungsi
tersebut.
4.2.1 Teks A (Mengobati Penyakit yang Biasa)
Dalam tradisi nenek moyang Suku Dayak Desa, berbagai macam penyakit
dapat disembuhkan dengan mantra. Penyakit biasa yang dimaksudkan di sini,
yaitu penyakit-penyakit yang bukan disebabkan oleh ilmu gaib. Penyakit yang
dimaksudkan tersebut adalah penyakit ringan yang lumrah diderita oleh
masyarakat seperti sakit perut, sakit kepala, batuk, dan sebagainya. Tiap-tiap jenis
penyakit tersebut memiliki mantra tersendiri. Mantra-mantra tersebut adalah
sebagai berikut:
4.2.1.1 Tawar Pediah kepalak ‘Menyembuhkan Sakit Kepala’
a. Tujuan Mantra
Masyarakat Dayak Desa memiliki mantra yang bertujuan untuk
menyembuhkan sakit kepala. Rasa sakit yang diderita dipindahkan ke sebuah
patung, sehingga penderita tidak lagi merasakan sakit. Adapun mantranya adalah
sebagai berikut.
(1) Tawar pediah kepalak [tawaŗ pədiah kəpala?]
Aluk te pedieh kepalak [alu? tə pədia(h) kəpala?] Dikumai nadai nyaut [dikumai nadai ñaut] Dipangkak nadai beringut [dipaŋka? nadai bəŗi(ŋ)ut] Aluk te pedieh kepalak [aluk tə pədia(h) kəpala?] Dari tuan tanah Rebuah [daŗi tuan tana(h) ŗəbua(h)]
118
Re Mungah beruba tawar [ŗə muŋa(h) bəŗuba tewaŗ] ketauk ke asal temula nyadi [kətau? asal təmula ñadi] Cit-citan tabarlah [cit citan tabaŗla(h)] ‘mantra menyembuhkan sakit kepala’ ‘Aluk yang sakit kepala’ ‘dipanggil tiada menjawab’ ‘disapa tiada bergerak’ ‘Aluk yang sakit kepala’ ‘dari tuan tanah Rebuah’ ‘dari Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahui asal mula terjadi’ ‘cit-citan redalah’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, SD, swasta, direkam tanggal 19 Juli
2007 di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Media yang digunakan pada mantra ini yaitu kapur sirih atau air putih atau
kunyit dan sebungkus garam. Media yang digunakan untuk memantrai orang
dewasa dan anak balita adalah kapur sirih. Jika tidak memiliki kapur sirih, media
yang digunakan adalah air putih. Media yang digunakan untuk memantrai anak
bayi berbeda dengan media yang digunakan untuk orang dewasa. Jika memantrai
bayi, media yang digunakan adalah kunyit, karena kunyit aman untuk kulit anak
bayi. Alasan tidak menggunakan kapur sirih jika memantrai bayi yaitu kapur sirih
terlalu panas untuk kulit bayi, dan tidak menggunakan air putih karena bayi belum
bisa minum air banyak dalam sekali minum.
Kapur sirih yang digunakan sebagai media dalam mantra adalah kapur
sirih yang sudah diberi air sampai menggumpal. Kapur sirih tersebut kemudian
dicolek sedikut dengan menggunakan jari telunjuk, lalu dimantrai. Setelah
119
dimantrai, pemantra meludahi kapur sirih tadi kemudian mengoleskannya di
pelipis kiri dan kanan si sakit membentuk garis lurus mengikuti bentuk pelipis (di
kiri (/) dan di kanan (\).
Jika tidak ada kapur sirih, dapat digunakan air putih. Air putih disimpan
di dalam sebuah gelas atau cawan. Air yang disimpan di dalam gelas tersebut
diukur menggunakan jari telunjuk, yaitu setinggi satu buku jari telunjuk pemantra
(satu patahan jari telunjuk, bagian yang berkuku). Air yang telah disiapkan
kemudian dimantrai, lalu air yang telah dimantrai ditiup dan setelah itu diberikan
kepada si sakit untuk diminum.
Kunyit yang digunakan sebagai media untuk memantrai bayi sebaiknya
kunyit yang masih segar. Kunyit tersebut dipotong ujungnya kemudian dimantrai.
Kunyit yang sudah dimantrai dioleskan di bagian pelipis kiri dan kanan
membentuk garis lurus mengikuti bentuk pelipis. Garis tersebut di tulis diawali
dari bagian atas ke bawah.
Sebagai penutup mantra ini diakhiri dengan proses ritual yang disebut
beketup garam. Dalam proses ritual ini pemantra dan mengambil sedikit garam
dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuknya kemudian garam tersebut
dimakan oleh pemantra. Setelah pemantra makan garam, pemantra memberi
garam pada si sakit untuk dimakan, kemudian si sakit meludah. Meludah
dimaksudkan untuk membuang penyakit yang diderita. Proses selanjutnya pihak si
sakit memberikan sebungkus garam kepada pemantra sebagai syarat imbalan agar
mantra berfungsi dengan baik.
120
Cara menurunkan mantra ini adalah secara lisan. Mantra dibacakan oleh
pemberi kepada penerima. Syarat utama untuk mendapatkan mantra ini yaitu
tidak boleh didengar oleh orang lain selain penerima mantra. Semua orang dapat
menerima mantra ini asalkan dapat mengingat dan menghapalkannya langsung
setelah pemantra membacakan mantra tersebut. Cepat dan tidaknya penerima
menghapalkan mantra ini sangat berpengaruh terhadap reaksi saat mengunakan
mantra nantinya. Tidak ada kegiatan ritual khusus dalam mendapatkan mantra ini.
Proses akhir untuk mendapatkan mantra ini yaitu pemberi dan penerima makan
sedikit garam. Garam dipercaya sebagai media yang dapat menghilangkan
penyakit.
4.2.1.2 Tawar Pediah Perut Pasang ‘Mengobati Perut Kembung’
a. Tujuan Mantra
Mantra berikut ini bertujuan untuk mengobati perut kembung karena
masuk angin. Sifat mantra ini adalah mengeluarkan angin yang menyebabkan
perut kembung.
(2) tawar pediah perut pasang [tawaŗ pədiah pəŗut pasa(ŋ)]
Batang melintang batu laput [bata(ŋ) məlinta(ŋ) batu laput] Aik pasang perut (sanuk)surut [ai? pasa(ŋ) pəŗut sanu? suŗut] Anak kerak unyak unyak [anak kəŗak uñak uña?] Kijang lalang rusak ubi [kija(ŋ) lala(ŋ) ŗusak ubi] Te pasang balang kentut nyadi [təpasa(ŋ) bala(ŋ) kəntut ñadi] Sang seguni [sa(ŋ) səguni] Pasang balang kentut nyadi [pasa(ŋ) bala(ŋ) kəntut ñadi] Dari tuan tanah rebuah [dari tuan tana(h) ŗebua(h)] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəruba tawaŗ]
121
Dah dasal ke aku tabarlah. [dah dasal kə aku tabaŗla(h)] (2) ‘mentra menyembuhkan sakit perut kembung’ ‘batang melintang batu tenggelam’ ‘air pasang perut (si A) surut’ ‘anak kera unyak-unyak’ ‘kijang lalang merusak singkong’ ‘yang kembung batal kentut jadi’ ‘lada sekarung’ ‘kembung batal kentut jadi’ ‘dari tuan tanah Rebuh’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘setelah aku pulihkan redalah’ (narasumber nomor: 1, Lemia, 70 tahun, petani, buta hurub, direkam tanggal 2
Juli 2007 di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Media yang digunakan dalam mantra ini sama dengan media yang
digunakan pada mantra teks A (1), yaitu kapur sirih atau air putih atau kunyit dan
sebungkus garam. Meskipun media yang digunakan sama, namun proses ritualnya
sedikit berbeda. Jika menggunakan air putih, proses ritualnya sama persis dengan
mantra pada teks A (1) yaitu air disimpan dalam gelas diukur setinggi satu buku
jari telunjuk pemantra (satu patahan jari telunjuk, bagian yang berkuku). Air yang
telah disiapkan kemudian dimantrai, lalu air yang telah dimantrai ditiup dan
setelah itu diberikan kepada si sakit untuk diminum.
Jika mengunakan kapur sirih, kapur sirih yang sudah dimantrai dituliskan
di pusar si sakit, diawali dengan garis lurus mendatar kemudian garis lurus
menurun, membentuk tanda tambah (+). Apabila memantrai anak bayi, media
122
yang digunakan yaitu kunyit. Kunyit yang sudah dipersiapkan, dikunyah oleh
pemantra terlebih dahulu kemudian disemburkan di pusar si sakit. Proses
selanjutnya pemantra membacakan mantra persis di atas pusar yang telah
disembur dengan kunyit.
Tahap akhir dari proses mantra ini sama dengan proses akhir pada mantra
(1) di atas yaitu beketup garam. Pemantra dan si sakit makan sedikit garam,
kemudian si sakit meludah. Sisa garam yang sudah digunakan diserahkan kepada
pemantra sebagai salah satu persyaratan sebagai imbalan. Imbalan yang diberikan
kepada pemantra dalam bahasa Dayak Desa dinamakan tasiah. Tasiah ‘imbalan’
wajib atau yang harus diberikan kepada pemantra yaitu sebungkus garam sisa
yang telah digunakan dalam proses beketup garam. Imbalan yang lainnya yaitu
bisa berupa uang serelanya atau sejumlah yang diminta oleh pemantra.
Proses ritual untuk mendapatkan mantra ini sama dengan proses pada
mantra (1) di atas yaitu secara lisan dan tidak boleh didengar oleh orang lain
selain penerima mantra. Semua orang dapat menerima mantra ini asalkan dapat
mengingat dan menghapalkannya langsung setelah pemnantra membacakan
mantranya. Proses akhir untuk mendapatkan mantra ini yaitu pemberi dan
penerima mantra makan sedikit garam.
4.2.1.3 Tawar Pediah Perut Ngerik ‘Mengobati Sakit Perut Mulas’
a. Tujuan Mantra
Sakit perut mulas yang dimaksudkan di sini adalah sakit perut yang
disertai buang air besar berupa lendir bercampur bercak darah segar. Dalam
123
bahasa Dayak Desa, sakit perut dengan ciri-ciri seperti ini dinamakan pedih perut
ngerik. Mantra berikut bertujuan untuk menyembuhkan sakit perut dan
menghentikan buang air besar yang berupa lendir yang disertai bercak darah
tersebut.
(3) tawar pediah perut ngerik [tawaŗ pədia(h) pəŗut ŋerI?]
Munut jengkuluang pulau mensigit [munut jəŋkuluaŋ pulau mənsigit] Tujuah puluah leman puluang [tujua(h) pulua(h) ləman pulua(ŋ)] Inaikau ratu Apaikau raden [inaikau ŗatu apaikau raden] Lingkuang prengkiluang pulau mensigit [liŋkuaŋ pŗəŋkiluaŋ pulau mən sigit] Tujuah puluah leman puluang [tujua(h) pulua(h) ləman pulua(ŋ)] Inaikau ratu bumi [inaikau ŗatu bumi] Apaikau raden seruang guntin [apai ŗaden sərua(ŋ) gunti(ŋ)] Umakkau jengkuluang, [uma?kau jəŋkulua(ŋ)] apakkau segarak umakkau melawi [apa?kau səgarak uma?kau məlawi] Aku ketauk ke asal temula nyadi [aku kətau? asal təmula ñadi] Re tuan tanah Rebuah [rətuan tanah ŗəbua(h)] Mungah beruba tawar [muŋah bəruba tawaŗ] Dah dasal ke aku tabarlah. [dah dasal kə aku tabaŗla(h)] patah pucuak-patah pucuak [pata(h) pucua? Patah pucua?] Patah pucuak mali ali [pata(h) pucua? mali ali] Antu tunuak sitan tunuak [antu tunua? sitan tunua?] Patah pantuk bayan laki [pata(h) pantua? bayan laki] patah pucuak-patah pucuak [pata(h) pucua? patah pucua?] Patah pucuak patah puang keladi aik [patah pucua? pua(ŋ) kəladi ai?] Antu tunuk sitan tunuak [antu tunua? Sitan tunua?] Patah pantuak sitan daik [patah pantua? sitan dai?] patah pucuak-patah pucuak [pata(h) pucua? patah pucua?] Patah pucuak mali anyam [pata(h) pucua? mali añam] Antu tunuak sitan tunuak [antu tunua? sitan tunua?] Patah pantuk bayan itam [pata(h) pantua? bayan itam] Aku ketauk ke asal temula nyadi [aku kətau? kə asal təmula ñadi] Re tuan tanah Rebuh [ŗə tuan tanah ŗəbu(h)] Re Mungah beruba tawar [ŗə muŋah bəŗuba tawaŗ] Dah dasal ke aku tabarlah. [dah dasal kə aku tabaŗla(h)]
124
(3)’mengobati sakit perut mulas’ ‘munut jengkuluang pulau Mensigit’ ‘tujuh puluh macam puluang’ ‘ibumu ratu bapakmu raden’ ‘lingkuang prangkiluang pulau Mensigit’ ‘tujuh puluh jenis puluang’ ‘ibukau ratu bumi’ ‘bapakkau raden seruang gunting’ ‘mamakau jengkulang’ ‘bapakkau segarak mamakau Melawi’ ‘aku mengetahui asal semula jadi’ ‘dari tuan tanah Rebuah’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘Setelah aku pulihkan tawarlah’ ‘patah pucuk patah pucuk’ ‘patak pucuk haram ali’ ‘hantu tunduk setan tunduk’ ‘patah paruh burung bayan jantan’ ‘patah pucuk patah pucuk’ ‘patah pucuk patah kosong talas air’ ‘hantu tunduk setan tunduk’ ‘patah paruh setan di air’ ‘patah pucuk patah pucuk’ ‘patah pucuk haram dianyam’ ‘hantu tunduk setan tunduk’ ‘patah paruh burung bayan hitam’ ‘aku mengetahui asal mula jadi’ ‘dari tuan tanah Rebuah’ ‘dari Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘setelah aku pulihkan tawarlah’ (narasumber nomor: 1,Lemia, 70 tahun, buta hurub, petani, direkam tanggal 2 Juli
2007 di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Media yang digunakan pada mantra ini adalah kapur sirih. Kapur sirih
yang sudah diberi air hingga mengental, dicolek dengan jari telunjuk oleh
125
pemantra kemudian dimantrai. Setelah dimantrai, kapur sirih tersebut dioleskan di
pusar si sakit, diawali dengan membentuk garis lurus mendatar kemudian garis
lurus menurun, dan membentuk tanda tambah (+). Proses selanjutnya adalah
beketup garam, yaitu makan pemantra dan yang dimantrai makan sedikut garam.
Proses ritual untuk mendapatkan mantra ini, yaitu mantra dibacakan oleh
pemberi kepada penerima. Syarat utama untuk mendapatkan mantra ini tidak
boleh didengar oleh orang lain selain penerima mantra. Semua orang dapat
menerima mantra ini asalkan dapat mengingat dan menghapalkannya langsung
setelah pemantra membacakan mantra tersebut. Cepat dan tidaknya penerima
menghapalkan mantra ini sangat berpengaruh terhadap reaksi saat mengunakan
mantra nantinya. Tidak ada kegiatan ritual khusus dalam mendapatkan mantra ini.
Proses akhir untuk mendapatkan mantra ini yaitu pemberi dan penerima makan
sedikit garam. Siapa saja boleh mendapatkan mantra dengan mudah, hanya
dengan bermodalkan niat dan daya ingat.
4.2.1.4 Tawar Pediah Perut Ngasak ‘Mengobati Sakit Perut Melilit’
a. Tujuan Mantra
Mantra teks A (4) ini bertujuan untuk menyembuhkan sakit perut mulas.
Sakit perut ini biasanya disebabkan oleh makanan yang dimakan penderita terlalu
pedas, terlalu banyak makan yang kecut, atau terlalu banyak makan atau minum
makanan yang mengandung alkohol tinggi.
(4) tawar pediah perut ngasak. [tawaŗ pədiah pəŗut ŋasak]
Keladi itam birah itam [kəladi itam biŗa(h) itam] tanam di tanah purang puri [tanam di tana(h) pura(ŋ) puri]
126
dayang muda bebaju itam [daya(ŋ) muda bəbaju itam] beranak ke tesak dua nanyak [bəranak kə təsa? Dua naña?] beranak ke lampuang dua guluang [bəŗanak kə lampua(ŋ) dua gulua(ŋ)]
alah sapa pangiran menara [alah sapa paŋiŗan mənara] alah sampi pangiran pati. [alah sampi paŋiran pati] Cih citan. [cit citan] (4) ‘menyembuhkan sakit perut melilit’ ‘keladi hitam birah hitam’ ‘tanam di tanah purang puri’ ‘dayang muda berbaju hitam’ ‘beranakkan Tesak dua tanya’ ‘beranakkan lampuang dua gulung’ ‘mampu disapa Pangeran Menara’ ‘mampu dijampi Pangeran Pati’ ‘cit-citan’ (narasumber nomor: 1, Lemia, 70 tahun, buta hurub, petani,direkam tanggal 3 Juli
2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Media yang digunakan pada mantra ini yaitu tembakau. Tembakau
tersebut dibentuk bulat sebesar ibu jari kemudian dimantrai. Mantra dibacakan
hanya dengan berbisik. Selesai membacakan mantra, pemantra melucuti tembakau
yang sudah dimantrai hinggga agak basah. Proses selanjutnya tembakau
ditempelkan pada pusar si sakit dan ditekan kurang lebih satu menit, kemudian
dibalut kain agar tembakau tidak lepas. Tembakau yang sudah ditempelkan
dibiarkan terlepas dengan sendirinya dan tidak boleh dilepas secara sengaja. Jika
sudah terlepas, tembakau tidak boleh ditempelkan lagi. Jika tembakau yang sudah
terlepas tersebut ditemukan lagi, tembakau harus dibuang ke tanah dan tidak boleh
digunakan lagi.
127
Proses ritual untuk mendapatkan mantra ini juga masih sama dengan
proses pada mantra-mantra di atas. Tidak ada kegiatan ritual khusus dalam
mendapatkan mantra ini. Mantra hanya dibacakan secara lisan oleh pemberi
kepada penerima. Syarat utama untuk mendapatkan mantra ini yaitu tidak boleh
didengar oleh orang lain selain penerima mantra. Semua orang dapat menerima
mantra ini asalkan dapat mengingat dan menghapalkannya langsung setelah
pemantra membacakan mantra tersebut. Proses akhir untuk mendapatkan mantra
ini yaitu pemberi dan penerima makan sedikit garam. Garam dipercaya sebagai
media yang dapat menghilangkan penyakit.
4.2.1.5 Tawar Batuak ‘Mengobati Batuk’
a. Tujuan Mantra
Mantra (5) berfungsi untuk mengobati semua jenis batuk. Bisa mengobati
batuk berdahak ataupun batuk kering.
(5) tawar batuak [tawaŗ batua?] Lam dalam lam [lam dalam lam] Lam ada di baku buluah [lam ada di baku bulua(h)] Apa sebab nuan lam [apa səbab nuan lam] Asa nanang panas [asa nana(ŋ) panas] semeremang api dalam tubuah [səməŗəma(ŋ) api dalam tubua(h)] Atik pemedieh re antu [ati? pəmədiə(h) ŗə antu] Pulai ke antu [pulai kə antu] Re yak penatai kiyak pemulai [ŗə ya? pənatai kiya? pəmulai] Pulai ma kitak ke menua raja baginda [pulai ma kita? kə mənua raja
baginda] Ke tanah gunung reban [kə tana(h) gunua(ŋ) rəban] Ke pusat aik buli [kə pusat ai? buli] Ke pemadam mata ari. [kə pəmadam mata ari] Ke pun pauh jengi [ke pun pauh jəŋi]
128
Ke tisi langit laki [kə tisi laŋit laki] Redik tegalik suduk patah [rədi? tegali? Sudu? pata(h)] Tampuak menyadik temunik [tampua? məñadi? təmuni?] Insum menyadik darah [insum məñdi? dara(h)] Batuk menyadik tekasik [batua? məñadi? təkasi?] Lepa menyadik sengah [ləpa məñadi? səŋa(h)] Sentuak katau kenak panah [sətua? katau kəna? pana(h)] Sentuak ke baruh dak ludah jatuk ke tanah [səntua? kə barua(h) da? luda(h)
jatu? kətana(h)] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəŗuba tawaŗ] asal temula nyadi [asal tə mula ñadi] dah dasal ke aku tabarlah. [dah dasal kə aku tabaŗlah] (5) ‘mengobati batuk’ ‘lam dalam lam’ ‘lam ada di dalam buku buluh/bambu’ ‘apa sebab kamu lam’ ‘serasa tersengat terik matahari’ ‘kobaran api dalam tubuh’ ‘kalau penyakit dari hantu’ ‘kembali ke hantu’ ‘dari situ datangnya ke situ pulangnya’ ‘pulanglah kalian ke benua raja baginda’ ‘ke tanah gunung reban’ ‘ke pusat air berputar’ ‘ke tempat matahari terbenam’ ‘ke pohon asam pelam jengi’ ‘ke sisi langit laki’ ‘jatuh terbaring sendok patah’ ‘pusar saudara kandung ari-ari’ ‘tulang saudara kandung darah’ ‘batuk saudara kandung bersin’ ‘capek saudara kandung ngos-ngosan’ ‘dorong ke atas kena panah’ ‘dorong ke bawah dahak ludah jatuh ke tanah’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’
129
‘asal mula jadi’ ‘setelah aku pulihkan, tawarlah’ (narasumber nomor: 8, Simon, 34 tahun, SMK, petani, direkam tanggal 11 Juli
2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Media yang digunakan pada mantra ini adalah air putih sebanyak ¼ gelas
dan beras padi. Air putih tersebut kemudian di mantrai lalu diminum oleh yang
sakit. Proses ritual selanjutnya adalah beketup dengan beras padi. Imbalan dari
mantra ini hanya dengan menggunakan uang secukupnya.
Proses ritual untuk mendapatkan mantra ini, yaitu mantra dibacakan secara
lisan oleh pemberi kepada penerima dan tidak boleh didengar oleh orang lain
selain penerima mantra. Semua orang dapat menerima mantra ini asalkan dapat
mengingat dan menghapalkannya langsung setelah pemantra membacakan mantra
tersebut. Tidak ada kegiatan ritual khusus dalam mendapatkan mantra ini. Proses
akhir untuk mendapatkan mantra ini yaitu pemberi dan penerima beketub garam,
yaitu makan sedikit garam, dan penerima mantra harus memberi sedikit imbalan
uang kepada pemantra. Jumlah uang yang diminta oleh pemantra tidak dapat
ditawar karena akan berpengaruh pada kekuatan mantra ini.
4.2.1.6 Tawar Netauk Birak ‘Mengobati Susah Buang Air Besar’
a. Tujuan Mantra
Masyarakat suku Dayak Desa juga memiliki mantra yang bertujuan untuk
mengatasi susuh buang air besar. Susuh buang air besar merupakan masalah yang
130
cukup berbahaya, namun hal ini dapat diatasi dengan sebuah mantra seperti pada
nomor (6) berikut ini:
(6) tawar netauk birak [tawaŗ nə tau? biŗa?]
Sang segeruntang [sa(ŋ) səgərunta(ŋ)] tanam bujang Lepang [tanam buja(ŋ) ləpa(ŋ)] Tuntung mintak sintak [tuntu(ŋ) minta? sintak] Akar mintak batak [akaŗ minta? batak] Urat mintak tetak [uŗat minta? tətak] Buntau kelik de buntut lepuang. [buntau kəli? də buntut ləpua(ŋ)] (6)’mantra susah buang air besar’ ‘lada segeruntang’ ‘ditanam oleh bujang Lepang’ ‘bekicot mintak tarik’ ‘akar minta tarik’ ‘urat minta potong’ ‘busuk lele di tepi danau’ (narasumber nomor: 8, Simon, perekaman tanggal 12 Juli 2007)
b. Proses Ritual Mantra
Mantra ini menggunakan air putih sebagai medianya. Air putih sebanyak
seperempat gelas dimantrai kemudian diminum oleh yang sakit. Setelah minum
air putih proses selanjutnya yaitu beketup beras ‘pemantra mengambil sejuput
beras kemudian memberikannya kepada yang dimantrai untuk dimakan.
Syarat untuk mendapatkan mantra ini hanya dengan niat, daya ingat dan
sejumlah uang sesuai dengan permintaan pewaris mantra. Jumlah uang yang
diminta tidak boleh ditawar dengan alasan apapun karena akan berpengaruh pada
mujarab atau tidaknya mantra untuk ahli warisnya.
131
4.2.1.7 Tawar Mutah ‘Mengobati Muntah’
a. Tujuan Mantra
Saat seseorang sedang sakit dan muntah terus menerus yang dikerenakan
sakit dan muntah yang dikarenakan minum minuman keras juga dapat diatasi
dengan sebuah mantra. Sampai saat ini biasanya pertolongan pertama untuk
mengatasi muntah adalah dengan meminta seseorang yang dapat mengucapkan
mantra ini untuk memantrainya. Adapun mantranya adalah teks A (7) berikit ini:
(7) tawar mutah. [tawaŗ mutah]
Terbai burung kenyalau [təŗəbai buŗua(ŋ) kəñalau] Ingap de rangau kayu tadah [iŋap də ŗaŋau kayu tada(h)] Datai Raja Ulu Kebalau [datai raja ulu kəbalau] Maik aik ngau ntama mutah. [mai? ai? ŋau ntama muta(h)] Dari mungah beruba tawar [daŗi muŋah bəŗuba tawaŗ] Dah dasal ke aku tabarlah [da(h) dasal kə aku tabaŗla(h)] (7) ‘mengobati muntah’ ‘terbang burung kenyalau’ ‘hinggap di ranting kayu’ ‘datang Raja Kebalau’ ‘bawa air untuk mengobati muntuah’ ‘dari Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘setelah aku pulihkan tawarlah’ (narasumber nomor: 8, Simon, 34 tahun, SMK, petani, perekaman tanggal 4 Juli
2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Mantra ini mengunakan media air putih. Proses ritualnya tidak berbeda
dengan proses ritual pada mantra-mantra di atas. Air putih yang sudah dimantra
kemudian diminum oleh yang sakit, kemudian pemantra dan yang dimantrai
beketup garam. Mantra ini tidak menuntut imbalan wajib yang harus diberikan
132
oleh yang dimantrai kepada pemantra. Imbalan untuk mantra ini biasa hanya
serelanya saja. Imbalan yang diberikan hanya sebagai syarat tasiah ‘imbalan yang
diberikan kepada pemantra agar mantra mujarab’.
4.2.1.8 Tawar Mutah Birak ‘Mengobati Muntaber’
a. Tujuan Mantra
Masyarakat Dayak Desa juga memiliki mantra untuk mengobati
muntahber. Mantra ini bertujuan untuk menghentikan rasa mual yang dirasakan
sehingga penderita berhenti muntah.
(8) tawar mutah birak [tawaŗ muta(h) biŗa?]
Segayuang-gayuang sejuang-juang [səgayu(ŋ) gayu(ŋ) sejua(ŋ) jua(ŋ)] Pingan putih mangkuk kerang [piŋan putia(h) maŋkua? kəŗa(ŋ)] Nyur buruak lempuang balang [ñuŗ buŗua? ləmpua(ŋ) bala(ŋ)] Dari tuan tanah Rebuh [daŗi tuan tana(h) rəbu(h)] Dari mungah beriba tawar [daŗi muŋa(h) bəŗuba tawaŗ] ketauk ke asal temula nyadi [ketau? asal tabaŗla(h)] Cit-citan tabarlah. [cit citan tabaŗla(h)] (8)’mengobati muntaber’ ‘segayung-gayung sejuang-juang’ ‘piring putih mangkuk beling’ ‘kelapa busuk asam gagal’ ‘dari tuan tanah Rebuah’ ‘dari Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahi asal mula jadi’ ‘cit-citan tawarlah’ (narasumber nomor: 1, Lemia, 70 tahun, buta hurub, petani, direkam tanggal 4
Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
133
b. Proses Ritual Mantra
Media yang digunakan dalam mantra ini masih sama dengan mantra-
mantra di atas, yaitu untuk orang dewasa, media yang digunakan air putih dan
untuk anak bayi sarana yang digunakan adalah kunyit. Air putih yang sudah
dimantrai kemudian diminum oleh yang sakit sampai habis dalam sekali tegukan.
Kunyit yang digunakan untuk media ini dipotong ujungnya lalu dimantrai,
kemudian dituliskan di perut anak bayi yang sakit tersebut. Media untuk
memantrai bayi itu kunyit karena bayi belum mampu minum air sebanyak yang
telah ditentukan dalam mantra ini dalam sekali tegukan.
4.2.1.9 Tawar Utai Tumuah de Nyawa ‘Mengobati Radang Tenggorokan’
a. Tujuan Mantra
Dalam masyarakat Dayak Desa juga ditemukan mantra yang bertujuan
untuk mengobati radang tenggorokan. Mantra ini seringkali digunakan untuk
mengobati radang tenggorokan yang diderita oleh anak yang masih bayi atau
balita. Namun tidak menutup kemungkinan mantra tersebut digunakan untuk usia
dewasa.
(9) tawar utai tumuah de nyawa [tawaŗ utai tumua(h) də ñawa]
Bintang terebit dari langit [binta(ŋ) təŗbit daŗi laŋit] Jatuk ke tanah menjadi binam [jatu? kə tana(h) mənjadi binam] Dari tuan tanah Rebuh [daŗi tuan tana(h) ŗəbua(h)] Dari mungah beriba tawar [daŗi muŋa(h) bəŗiba tawaŗ] Cit-citan tabarlah [cit citan tabaŗa(h)] (9)’mengobati radang tenggorokan’ ‘bintang terbit dari langit’ ‘jatuh ke tanah menjadi binam’
134
‘dari tuan tanah Rebuh’ ‘dari mungah yang mengajarkan mantra’ ‘cit-citan tawarlah’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 23
Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Mantra ini menggunakan media akar-akaran dan ruput air payau. Tidak
semua jenis akar-akaran dapat digunakan sebagai media mantra ini. Hanya akar
jenis tertentu saja yang dapat digunakan sebagai media. Dalam bahasa Dayak
Desa akar ini dinamai akar remudang bulu. Akar yang diambil ini juga harus akar
yang memenuhi syarat, yaitu akar yang tumbuh di tepi jalan setapak, melangkahi
jalan tersebut dan berdaun muda.
Proses ritual pengobatan adalah akar dipatahkan kemudian dibakar sampai
habis. Abu dari akar tersebut dicampurkan ke dalam air putih yang yang disimpan
di dalam gelas sebanyak sebuku jeri telunjuk pemantra. Air putih yang sudah
dicampuri abu kemudian diamantrai lalu diminum oleh penderita sakit. Jika
sakitnya sudah sangat parah, maka media yang digunakan adalah akar remudang
bulu dicampur dengan setangkai rumput air payau.
Tasih atau ‘imbalan’ dari mantra ini adalah beras dan uang serelanya.
Namun, jika penyakitnya sudah lebih parah, imbalanya harus menggunakan
sebuah piring batu yang diisi dengan beras, uang serelanya dan seekor ayam
kampung. Terpenuhinya tasih yang diberikan akan mempengaruhi proses
penyembuhan penyakit tersebut.
135
4.2.2 Teks B (Mengobati penyakit kulit)
Dalam masyarakat Dayak Desa juga terdapat jenis mantra yang berfungsi
untuk mengobati penyakit kulit. Dari hasil penelitian di lapangan, ada beberapa
jenis mantra yang berfungsi untuk mengobati beberapa jenis penyakit kulit yang
diderita oleh manusia. Mantra-mantra tersebut adalah sebagai berikut:
4.2.2.1 Tawar Merejan ‘Mengobati Biduren’
a. Tujuan Mantra
Mantra yang bertujuan untuk mengobati biduren ini mendapat pengaruh
besar dari persebaran agama Islam. Dalam mantra ini terlihat jelas pengaruh
tersebut dengan dimulai dengan menyebut “Bismillah” dan Nabi Muhammad.
Pemantra sendiri bukan berasal dari agama Islam. Di sinilah letak menariknya
serta keunikan dari mantra ini. Adapun mantra tersebut selengkapnya adalah
sebagai berikut:
(1). Tawar merejan [tawaŗ mərəjan]
Bismillah ruah amah ro asin [bismilah ŗua(h) ama(h) ŗo asin] Berkat doa Sulah [bəŗkat doa sula(h)] Ayu bala iyah-iyah [ayu bala iya(h) iya(h)] Ayu bala Muhamad [ayu bala muhammad] Ayu bala mah ulat [ayu bala ma(h) ulat] Ayu bala mah surat [ayu bala suŗat] Ayu bala mah tuan [ayu bala ma(h) tuan] Ayu bala mah sunan [ayu bala ma(h) sunan] Kintau alau-alau [kintau alau alau] Batu asiah-asiah [batu asia(h) asia(h)] Titi kau panti panyang [titi kau panti paña(ŋ)] Taik ke rumah besar [tai? kə ŗumah bəsaŗ] Kau mali makan kulit anak Adam [kau mali makan kulit anak adam] Pulang kau ke pusat arai [pula(ŋ) kau kə pusat aŗai] Pulang ke tanah gunuang reban [pula(ŋ) kə tana(h) gunu(ŋ) ŗəban] Pulang ke bukit gunuang bedayu [pula(ŋ) kə bukit gunu(ŋ) bədayu]
136
Pulang ke tampuak gunuang kaca [pula(ŋ) kə tampuak gunu(ŋ) kaca] Cih citan. [cit citan] (1). ‘mengobati biduren’ ‘Bismillahhir rahmani rahim’ ‘berkat doa Sulah’ ‘ayo segala iyah-iyah’ ‘ayo segala Muhammad’ ‘ayo segala mah ulat’ ‘ayo segala mah surat’ ‘ayo segala mah tuan’ ‘ayo segala mah sunan’ ‘kintau alau-alau’ ‘batu asih-asih’ ‘tapakkan kakimu pada panti panjang’ ‘naik ke rumah besar’ ‘kau haram makan kulit anak Adam’ ‘pulang kau ke pusat air/hulu air’ ‘pulang ke tanah gunung reban‘ ‘pulang ke gunung Bedayu’ ‘pulang ke puncak gunung kaca’ ‘cit-citan’ (narasumber nomor: 1, Lemia, 70 tahun, buta hurub, petani perekaman tanggal 5
Juli, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Ritual yang dilakukan pada mantra ini sedikit berbeda dengan proses
ritual yang dilakukan pada mantra-mantra di atas. Media yang digunakan untuk
dimantrai dalam mantra ini adalah air putih secukupnya. Saat mantra sedang
dibacakan, seseorang yang terkena biduren duduk di depan pemantra. Setelah
mantra selesai dibacakan, air disiramkan ke seluruh tubuh seseorang yang terkena
biduren. Jika kondisi fisik seseorang tidak memungkinkan untuk disiram air,
badan yang dimantrai cukup dilap menggunakan air yang telah dimantrai, dimulai
dari atas kepala sampai ujung kaki dan diulangi lagi sebanyak tujuh kali.
137
Imbalan untuk mantra ini hanya dengan garam dan beras secukupnya.
Garam dan beras ini hanya sebagai syarat yang harus diberikan kapada pemantra.
Selebihnya seseorang yang telah dimantrai boleh memberikan imbalan serelanya,
jika ingin memberikan balas jasa kepada pemantra.
Tidak ada persyaratan khusus yang harus dilakukan oleh seseorang yang
ingin memiliki mantra ini. Cukup dengan menghapalkan, seseorang sudah dapat
memiliki dan mengamalkan mantra ini.
4.2.2.2 Tawar Elamai ‘Mengobati Herpes’
a. Tujuan Mantra
Mantra ini digunakan untuk mengobati panyakit kulit khususnya herpes.
Dalam kepercayaan masyarakat Dayak Desa, penyakit ini harus cepat
disembuhkan. Jika penyakit herpes sudah melingkar di salah satu bagian tubuh,
penyakit kulit jenis ini (herpes) dipercaya dapat mematikan penderita. Adapun
mantra yang cukup ampuh mengobati penyakit ini adalah sebagai berikut:
(2) Tawar elamai [tawaŗ əlamai]
Sedua belaki bini ak nengah babas. [sədua bəlaki bini a? nəŋa(h) baba(s)] Datai ke rimak sedua nebas. [datai kə rima? sədua nəba(s)] Dah detebas, detebang. [da(h) dətəba(s) dətəba(ŋ)] Udah ari panas ak detunu [uda(h) aŗi panas a? dətunu] Dah detunu detugal panuk [da(h) dətunu dətugal panua?] Dah ak detanam tebu [da(h) a? dətanam təbu] Tebu dah belangkan ak, [təbu da(h) bəlaŋkan a?] te inuk ak nyuruh ngak unyun [tə inu? a? ñuruah ŋa? uñun] Unyun a unyun tebelian [uñun a uñun təbəlian] Kepanyai sedua ngunyun ak, ngapit dirik a. [kəpañai sədua ŋuñun a? ŋapit diri?
a] Atik ketauk ke asal usul yak puas ma elamai [ati? Ketau? kə asal usul ya? Puas ma
əlamai] Sedua belaki bini ak mati. [sədua bəlaki bini a? mati]
138
(2). ‘menyembuhkan herpes’ ‘dua orang suami-istri masuk ke hutan’ ‘datang ke rimba, mereka buka ladang’ ‘sesudah ditebas,ditebang’ ‘setelah hari panas, dibakar’ ‘setelah dibakar, ditanam’ ‘setelah itu ditanam tebu’ ‘saat tebu sudah tinggi’ ‘yang perempuan menyuruh mencari unyun’ ‘unyunnya unyun kayu belian’ ‘sepanjang mereka ngunyun, terapit’ ‘kalau tahu asal-usul itu sembuhlah herpesnya’ ‘suami-istri itu meninggal’ (narasumber nomor: 2, Belebas, 69 tahun, buta hurub, petani, direkam tanggal 19
Juli, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Proses ritual mantra ini cukup unik, tidak seperti proses ritual mantra pada
umumnya. Mantra ini dibacakan dengan cara bercerita. Pemantra layaknya
pendongeng yang sedang membacakan dongengnya kepada penderita herpes, dan
penderita herpes harus mendengar dan paham terhadap cerita yang deceritakan
oleh pemantra. Setelah mantra selesai dibacakan, kemudian keduanya beketup
garam ‘makan garam sedikit lalu membuang ludah’. Sebagai imbalan dari mantra
ini penderita herpes membarikan sebungkus garam dan uang serelanya kepada
pemantra.
Mantra ini juga sangat mudah untuk dimiliki karena tidak memiliki
persyaratan yang rumit unutk mendapatkanya. Siapa pun boleh memiliki mantra
ini. Hanya dengan bermodalkan kemauan dan kemampuan untuk menghapalkan
mantra ini maka seseorang sudah dapat memilikinya.
139
4.2.2.3 Tawar Kepisak ‘Mengobati Bisulan’
a. Tujuan Mantra
Mantra untuk menyembuhkan bisulan juga ditemukan dalam masyarakat
Dayak Desa. Mantra ini bertujuan untuk membuat bisulan segera pecah atau
nanah pada bisulan segera keluar. Untuk memecahkan bengkak bisulan tersebut
dapat digunakan mantra berikut ini:
(3) tawar kepisak [tawaŗ kəpisa?]
Ca pecala dua pati laba [ca cəpala dua pati laba] Tiga jarum pati [tiga jaŗum pati] Empat pati tingal [əmpat pati tiŋal] Limak geruntak [lima? gəŗunta?] nam geruntam [nam gəŗuntam] Tujuh manuah runtuah [tujua(h) manua(h) ŗuntua(h)] Ngemak cupai nagkin isau [ŋəma? Cupai naŋkin isau] Ngesan serepang empulieng [ŋəsan səŗəpa(ŋ) əmpuli(ŋ)] Numuak mata bengkak kepisak [numua? Mata bəŋkak kepisa?] 3. ‘mengobati bisulan’ ‘ca pecala dua pati laba’ ‘tiga jarum pati’ ‘empat pati tinggal’ ‘limak geruntak’ ‘enam geruntam’ ‘tujuh manuh runtuh’ ‘menggendong cupai parang diikatkan di pinggang’ ‘memikul tombak empuliang’ ‘menikam mata bengkak bisulan’ (narasumber nomor 7, Teresiana Bangi, 44 tahun, SD, Petani, direkam tanggal 14
Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
140
b. Proses Ritual Mantra
Mantra ini menggunakan media kapur sirih. Kapur sirih yang telah diberi
air hingga mengental kemudian dimantrai lalu ditulis pada bisulan. Kapur sirih
yang sudah dimantrai ditulis membentuk tanda tambah (+). Cara menulisnya
harus dimulai dari bagian atas turun ke bawah membantuk garis menurun
kemudian membentuk garis menurun dimulai dari kiri ke kanan. Proses
selanjutnya diakhiri dengan beketup garam.
Mantra ini tidak menuntut persyaratan yang rumit untuk mendapatkanya.
Hanya dengan bermodalkan kemampuan unutk menghapalkan saja, seseorang
sudah bisa memiliki dan mengamalkan mantra ini. Seseorang juga dapat memiliki
mantra ini apabila yang bersangkutan tidak dengan sengaja mendengarkan saat
ada orang lain sedang mempelajari mantra ini dan mampu untuk menghafalkan
mantranya, ia sudah memenuhi syarat untuk memiliki dan mengamalkanya. Cara
seperti ini bahkan dianggap sebagai cara yang terbaik karena mantra akan menjadi
sangat ampuh jika diamalkan.
4.2.3 Teks C (Mantra Penyakit Terkena Binatang)
Masyarakat Dayak Desa memiliki mantra yang berfungsi untuk
menyembuhkan racun dari dari binatang-binatang berbisa. Setiap jenis binatang
memiliki mantra tersendiri, mulai dari binatang yang tidak terlalu berbisa hingga
binatang berbisa yang mematikan. Mantra-mantra tersebut tentu dengan proses
ritual yang berbeda. Ada mantra yang memiliki tingkat kesulitan yang sangat
tinggi dan ada mantra yang tidak ada kesulitan sama sekali. Berikut ini akan
141
dibahas jenis-jenis mantra tersebut dimulai dari yang tingkat kesulitan yang paling
kecil hingga yang paling besar.
4.2.3.1 Tawar Ulat Bulu ‘Mengobati Terkena Bisa Ulat Bulu’
a. Tujuan Mantra
Dalam Masyarakat Dayak Desa juga ditemukan jenis mantra yang
bertujuan untuk mengobati bisa ulat bulu. Mantra ini berfungsi menghentikan
gatal-gatal dan dapat menyembuhkan bentol pada kulit yang terkena ulat bulu ke
keadaan semula.
(1) tawar bulu ulat [tawaŗ bulu ulat]
Ikau penyadi bulu kaki mas nabi [ikau pəñadi bulu kaki mas nabi] Aku ketauk ke asal penyadi mas nabi [aku kətau? kə asal pəñadi mas nabi] Ara pampang dua [aŗa pampa(ŋ) dua] Dan titi semut [dan titi səmut] Ulat nyata ke dirik bisa [ulat ñata kə diŗi? Bisa] Asalkau penyadi daun idup [asalkau pəñadi daun idup] (1) ‘menyembuhkan tekena ulat bulu’ ‘kamu terjadi dari bulu kami emas nabi’ ‘aku mengetahui asal terjadi emas nabi’ ‘kayu ara bercabang dua’ ‘dahan dititi semut’ ‘ulat menyatakan diri berbisa’ ‘asalkau terjadi dari daun hidup’ (pemantra nomor: 1, Lemia, 70 tahun, buta hurub, petani, perekaman tanggal 6
Juli 2007, di Desa umin, oleh Sri Astuti)
142
b. Proses Ritual Mantra
Cara yang dilakukan dalam proses ritual mantra ini sedikit berbeda dengan
mantra-mantra di atas. Pada mantra ini media yang digunakan adalah daun segar
yang baru dipetik. Bagian tubuh yang terkena ulat bulu dimantrai kemudian
digosok menggunakan daun tumbuhan yang tidak menyebabkan gatal. Mantra ini
tidak menuntut imbalan apa pun. Mantra ini tidak harus membutuhkan ada orang
lain yang memantrai, karena yang terkena bulu ulat juga bisa memantrai dirinya
sendiri.
Mantra ini adalah yang paling mudah untuk didapatkan. Tidak ada
persyaratan yang rumit untuk mendapatkan mantra ini. Tidak ada batasan umur
yang mengamalkan mantra ini.
4.2.3.2 Tawar Sengat Penyengat ‘Menyembuhkan Tersengat Penyengat’
a. Tujuan Mantra
Tersengat penyengat juga dapat disembuhkan melalui mantra. Mantra ini
menyembuhkan tersengat serangga berbisa, seperti semut hitam, lebah, tawon dan
serangga-serangga berbisa lainya. tujuan mantra ini adalah menyembuhkan rasa
sakit dan mengempeskan bengkak yang tersengat serangga tersebut. Adapun
mantranya adalah sebagai berikut:
(2) sengat penyengat [səŋat pəñəŋat]
Semadak ampak padi [səmada? ampa? padi] Lemah rang, lemah gigi [ləma(h) ŗa(ŋ) ləmah gigi] Burit tamit, nyawa kunci [burit tamit ñawa kunci] (2) ‘tersengat penyengat’
143
‘serangga hitam hampa padi’ ‘lemah rahang lemah gigi’ ‘pantat kunci nyawa kunci’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, SD, swasta, direkam tanggal 20 Juli
2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Media yang digunakan pada mantra ini adalah bawang putih. Sesiung
bawang putih dipotong menjadi dua bagian dan potongan yang dimantrai adalah
potongan bagian akar. Bekas gigitan penyengat digosok menggunakan potongan
bawang putih yang telah dimantrai. Mantra ini tidak membutuhkan imbalan dalam
bentuk apa pun.
Mantra ini juga sangat mudah untuk mendapatkannya. Siapa pun boleh
memiliki mantra ini. Hanya dengan kemauan dan dapat menghapalkan mantra ini,
seseorang sudah dapat memiliki serta mengamalkannya.
4.2.3.3 Tawar Sengat Nyelipan ‘Menyembuhkan Bisa disengat Lipan’
a. Tujuan Mantra
tujuan dari mantra ini adalah untuk menawarkan racun dari sengatan lipan,
sehingga racun tersebut menjadi tidak berbisa lagi. Mantra ini juga berfungsi
untuk menghilangkan sakit akibat bisa dari sengatan lipan.
(3) sengat nyelipan [səŋat ñəlipan]
Tetak lutan manyang lutan. [tətak luatan maña(ŋ) lutan] Patah pantuak manuak itam [patah pantua? manua? itam] apakkau menturai [apa?kau mənturai] inaikau jitan [inaikau jintan] nyelipan, kejadi kau tulang ikan. [ñəlipan kəjadi kau tulaŋ ikan]
144
(3) ‘tersengat lipan’ ‘potong kayu bakar sepanjang kayu bakar’ ‘patah paruh ayam hitam’ ‘bapakkau menturai’ ‘ibumu jintan’ ‘lipan, jadilah kau tulang ikan’ (narasumber nomor: 7, Teresiana Bangi, 44 tahun, SD, petani, direkam tanggal 14
Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Dalam proses ritual mantra ini tidak dibutuhkan media apa pun. Mantra
dibacakan langsung di bekas luka dari sengatan lipan. Setelah mantra selesai
dibacakan, pemantra meniup bekas luka sengatan lipan tersebut. Cara ini
dilakukan supaya mantra yang sudah dibacakan masuk ke bekas luka sengatan
sehingga racun tidak menyebar dan menjadi tidak berbisa lagi.
Proses untuk mendapatkan mantra ini cukup mudah dan tidak ada
persyaratan yang rumit. Cukup dengan meminta kepada pemilik mantra dan dapat
menghapalkan mantra ini, seseorang sudah dapat mengamalkannya. Setelah
mantra diterima, agar dapat mujarap digunakan, pemantra dan penerima mantra
beketup garam yaitu makan sedikit garam.
4.2.3.4 Tawar Sengat Kala ‘Menyembuhkan Sakit Tersengat Kala Jengking’
a. Tujuan Mantra
Tersengat kala jengking juga dapat disembuhkan lewat mantra. Mantra ini
memiliki tujuan yang sama dengan mantra teks C (3) di atas, yaitu menawarkan
145
bisa racun. Namun mantra teks C (4) ini khusus untuk tersengat kala jengking.
Mantra yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(4) sengat kala [səŋat kala]
Gergosa gergona [gəŗgosa gəŗgona] Jatuk ubang kayu sala [jatu? ubaŋ kayu sala] Kala nyata kedirik bisa [kala ñata kədiŗi? bisa] Kejadi kecap ia sebar dina [kəjadi kau tulaŋ ikan] Dudi di uma [dudi di uma] Temeran rebiah kampel [təməŗan ŗəbia(h) kampel] Jatuk ningang lawang kewari [jatu? niŋaŋ lawaŋ kəwaŗi] Kala nyata kedirik bisa [kala ñata kə diŗi? bisa] Kujeput sebagai lumut [kujəput səbagai lumut] Kejadi kau batang padi [kəjadi kau bataŋ padi] (4) ‘tersengat kala jengking’ ‘gergosa gergona’ ‘jatuh kulit kayu sala’ ‘kala jengking menyatakan diri berbisa’ ‘jadi kecap ia sebar dina’ ‘tertinggal di ladang’ ‘temeran rebiah kampel’ ‘jatuh menimpa rumah Kewari’ ‘kala jengking menyatakan diri berbisa’ ‘kujeput sebagai lumut’ ‘terjadikau dari batang padi’ (narasumber nomor: 7, Teresiana Bangi, 44 tahun, SD, Petani, direkam tanggal 14
Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Pada mantra ini media yang digunakan adalah kapur sirih. Kapur sirih
yang sudah dimantrai dituliskan pada bekas gigitan berbentuk titik-titik. Cara
menulisnya dimulai dari bekas luka kemudian mengelilingi bekas luka tersebut.
Proses akhir mantra ini adalah seperti mantra-mantra pada umunya, yaitu beketup
146
garam ‘pemantra dan yang tersengat kala jengking memakan sedikit garam lalu
meludah’.
Mantra ini juga cukup mudah untuk didapatkan karena tidak ada
persyaratan yang rumit. Mantra ini hanya membutuhkan keinginan untuk
memiliki dan kemampuan untuk menghapalkannya saja. Meskipun mantra ini
cukup mudah untuk didapatkan, tidak banyak orang yang memiliki mantra ini.
Hal ini disebabkan tidak banyak orang yang dapat mengamalkan mantra dengan
hasil yang sungguh mujarab.
4.2.3.5 Tawar Kenak Bisa Ular ‘Menyembuhkan Sakit Terkena Gigitan Ular
Berbisa’
a. Tujuan Mantra
Sifat mantra ini pada dasarnya hampir sama dengan mantra-mantra yang
bertujuan untuk menyembuhkan racun serangga seperti teks C (1), (2), (3), dan (4)
di atas. Perbedaannnya dengan mantra-mantra tersebut yaitu mantra ini bertujuan
khusus untuk menyembuhkan racun ular, karena racun ular lebih berbisa dan
mematikan. Adapun mantra untuk menyembuhkan sakit karena terkena gigitan
ular berbisa tersebut adalah sebagai berikut:
(5) tawar kenak bisa ular [tawaŗ kəna? bisa ulaŗ]
*)Tup tak untup [tup tak untup] Turun kuta naik pagar [tuŗun kuta nai? pagaŗ] Untup kak ngetup [untup ka? ŋətup] turun bisa naik tawar [tuŗun bisa nai? tawaŗ] **) kintuang gemuruang beranak ke leka sedua banya [kintuŋ gəmuŗuaŋ bəŗanak kə ləka sədua baña] Leka sedua banya beranak ke cupak sedua kulak [ləka sədua baña bəŗnak kə cupak sədua kulak] Cupak sedua kulak beranak ke tedung ngau kenawang.
147
[cupak sədua kulak bəŗanak kə təduŋ ŋau kənawaŋ] Tedung madah ke dirik pukak api [təduŋ madah kə diŗi? pukak api] Kenawang madah kedirik temanai mansak [kənawaŋ madah kədiri? təmanai mansak] Aku ketauk kitak asal temula nyadi [aku kətau? kita? asal təmula ñadi] Turun bisa naik tawar [turun bisa nai? tawaŗ] ***) ular netauk ngelantar, ia bisa aku suruah mati, mensia pulai idup [ulaŗ nətau? ŋəlantaŗ, ia bisa aku suŗuah mati, mənsia pulai idup] (5) ‘menyembuhkan terkena ular berbisa’ *) ‘tup tak untup’ ‘turun pagar naik pagar’ ‘untup mau mematuk’ ‘turun bisa naik mantra’ **) ‘kintung gemurung beranakkan leka sedua banya’ ‘leka sedua banya beranakkan cupak sedua kulak’ ‘cupak sedua kulak beranakkan tedung dan kenawang’ ‘tedung mengatakan diri bara api’ ‘kenawang mengatakan diri ujung sumpit’ ‘aku mengetahui asal mula terjadi kalian’ ‘turun bisa naik mantra’ ***) ‘ular tidak bisa merayap, dia berbisa aku suruh mati, manusia kembali hidup’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, direkam tanggal 21 Juli
2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Mantra ini memiliki beberapa bagian dan penulis memberi tanda bagian
pertama *), bagian kedua **) dan bagian yang ketiga ***). Bagian-bagian
tersebut memiliki fungsi tersendiri. Bagian pertama untuk memantrai gigitan ular
148
berbisa yang jenis ular kecil dan bagian kedua untuk ular yang lebih besar,
sedangkan bagian ketiga sebagai penutup.
Proses ritual pada mantra ini berbeda dengan proses ritual mantra pada
umumnya. Media yang digunakan pada mantra ini adalah sepotong bambudan
potongan kayu bakar. Bambu dan potongan kayu bakar yang sudah disiapkan
tersebut dibakar terlebih dahulu sampai ujungnya terbakar dan berbara. Ujung
bambu yang masih berbara lalu dimantrai. Setelah mantra selesai dibacakan ujung
bambu dan kayu bakar tersebut digosokkan pada bekas luka gigitan ular berbisa.
Bagaian yang unik dalam mantra ini adalah proses ritualnya. Mantra tidak
boleh dibacakan secara sembarangan dan mantra ini tidak boleh dibacakan
semuanya apabila seseorang yang terkena bisa ular masih dalam keadaan sadarkan
diri. Jika masih dalam keadaan sadar, mantra yang dibacakan hanya bagian
pertama saja. Mantra baru bisa dibacakan dengan lengkap apabila seseorang sudah
dalam keadaan tidak sadarkan diri atau pingsan. Jika seseorang yang tekena bisa
ular tersebut dalam keadaan pingsan, dia harus dipukul mengunakan rotan untuk
menyakinkan apakah masih bisa dimantrai atau tidak.. Apabila bekas pukulan
masih memar, artinya seorang yang terkena racun ular masih dapat disembuhkan
menggunakan mantra.
Seseorang yang terkena gigitan ular berbisa tidak boleh dibawa masuk ke
rumah, karena menurut kepercayaan masyarakat, bisa ular tersebut akan lebih
cepat menyebar ke seluruh tubuh. Jika ini terjadi, maka harus segera dimantrai.
Jika yang dimantrai sudah tidak sadarkan diri, mantra bagian pertama dan bagian
149
kedua harus dibacakan sebanyak tujuh kali. Jika mantra sudah dibacakan
sebanyak tujuh kali, mantra ditutup dengan mantra bagian ketiga.
Pihak keluarga harus sanggup membayar imbalan untuk mantra ini kepada
pemantra. Jika yang dimantrai belum pingsan, imbalan yang harus diberikan
kepada pemantra adalah sebuah tempayan. Apabila seseorang yang dimantrai
sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri, pihak keluarga harus sanggup
membayar pemantra menggunakan sebuah tawak atau uang yang jumlahnya
senilai dengan harga tawak tersebut. Tawak adalah alat musik tradisional yang
digunakan dalam banyak upacara, seperti upacara kelahiran, pernikahan,
kematian, syukuran tahunan atau yang disebut Gawai Dayak dan sebagainya.
Apabila hal ini tidah dilaksanakan maka pemantra akan meningggal.
4.2.4 Teks D (Mengobati Luka Bakar)
a. Tujuan Mantra
Untuk menyembuhkan sakit karena luka bakar juga ada mantranya.
Mantra ini bertujuan untuk mengurangi rasa sakit bahkan tidak terasa sama sekali,
dan membuat luka bakar tersebut cepat mengering. Mantranya adalah
sebagaiberikut:
(1) kenak aik angat atau api [kəna? ai? aŋat atau api]
Sar sebiar niti batang resak [saŗ səbiaŗ niti bata(ŋ) ŗəsak] Api mencuba anak mensia [api məñcuba anak meñsia] Celap beka binyak, [cəlap asa biñak] Licin beka lemak [licin bəka ləmak] Empuruang linak-linak [əmpuŗu(ŋ) linak linak] keladi de seberang [kəladi dəsəbəŗa(ŋ)]
150
Celap asa binyak [cəlap asa biñak] ngerupak beka bawang [ŋərupak bəka bawa(ŋ)] Mungah beruba tawar [muŋah bəŗuba tawaŗ] Dah dasal ke aku tabarlah [dah dasal kə aku tabaŗla(h)] (1) terkena air hangat atau api’ ‘sar sebiar berjalan di atas batang resak’ ‘api mencoba anak manusia’ ‘dingin seperti minyak’ ‘licin seperti minyak babi’ ‘tempurung linak-linak’ ‘talas di seberang’ ‘dingin serasa minyak’ ‘berlapis seperti bawang’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘setelah aku pulihkan, tawarlah’ (narasumber nomor: 1, Lemia, 70 tahun, SD, petani, perekaman tanggal 7 Juli
2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Proses ritual mantra ini cukup mudah unutk dilakukan. Proses ritual
mantra ini juga tidak membutuhkan media apa pun. Mantra ini hanya dibacakan di
bagian tubuh yang terluka. Setelah mantra selesai dibacakan, pemantra meniup
luka bakar tersebut. Imbalan untuk mantra ini hanya menggunakan beras dan
garam secukupnya. Untuk mendapatkan mantra ini tidak membutuhkan syarat apa
pun.
151
4.2.5 Teks E (Mantra Menyembuhkan Penyakit yang Disebabkan oleh Hantu
dan Santet)
Masyarakat Dayak Desa percaya bahwa penyakit ada yang disebabkan
oleh hantu dan ada pula yang sengaja dikirim oleh manusia. Untuk mengobati
penyakit jenis ini, masyarakat Dayak Desa memiliki mantra-mantra khusus
sebagai berikut:
4.2.5.1 Tawar Pediah Temu Tengah Malam ‘Mengobati Penyakit yang Kambuh
Saat Tengah Malam’
a. Tujuan Mantra
Mantra ini bertujuan untuk menyembuhkan semua jenis penyakit yang
kambuh tengah malam. Penyakit ini dipercaya dikirim oleh hantu atau setan. Rasa
sakitnya pun luar biasa. Mantra berikut bertujuan untuk menyembuhkan penyakit
tersebut:
(1) tawar semua pediah temu tengah malam [tawaŗ səmua pədiah təmu təŋah malam]
*) keladi itam birah itam [kəladi itam birah itam] Tanam de takung pisang raja [tanam də taku(ŋ) pisa(ŋ) raja] Dayang itam datai malam [daya(ŋ) itam datai malam] Nalah baca nalah diba [nalah baca nalan diba] Dari mungah beruba tawar [dari muŋah bəruba tawaŗ] Dah dasal ke aku tabar lah [dah dasal kə aku tabaŗla(h)] **) kain itam perecak itam [kain itam pəŗəca? Itam] Jangan simpan dalam peti [jaŋan simpan dalam pəti] Sitan jangan datai malam [sitan jaŋan datai malam] Rari kau ke pun pauh jengi [ŗaŗi kau kə pun pauh jəŋi] Ke pusat aik bulang buli [kə pusat ai? bula(ŋ) buli] Ke ensiriang nyaring bunyi [kə əñsiri(ŋ) ñaŗi(ŋ) buñi] Ke tisi langit laki [kə tisi laŋit laki] Ke emadam mata ari. [kə əmadam mata aŗi] Cih citan tabarlah [cih citan tabaŗla(h)]
152
(1) ‘mantra semua penyakit yang kambuh di tengah malam’ *)’talas hitam, talas hitam’ ‘tanam di tangkai pisang raja’ ‘dayang hitam datang malam’ ‘tidak mampu dijampi tidak mampu diatasi’ ‘dari Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘setelah aku pulihkan tawarlah’ **) ‘sarung hitam kain hitam’ ‘jangan simpan dalam peti’ ‘setan jangan datang malam’ ‘lari kau ke pohon asam pelam jengi’ ‘ke pusat air berputar’ ‘ke ensirieng nyaring bunyi’ ‘ke sisi langit laki’ ‘ke terbenam matahari’ ‘cit-citan tawarlah’ (narasumber nomor: 5, Marta, perekaman tanggal 18 Juli 2007)
b. Proses Ritual Mantra
Proses ritual mantra ini tidak berbeda dengan proses ritual mantra yang
berfungsi untuk mengobati penyakit pada umumnya. Media yang digunakan
adalah kapur sirih. Kapur sirih yang sudah dimantrai dituliskan di bagian tubuh
yang sakit. Jika sakit pada bagian kepala, ditulis berbentuk garis lurus di pelipis
dan di tempat lain ditulis membentuk tanda tabah (+).
Untuk mendapatkan mantra ini juga tidak terlalu rumit. Hanya dengan
sebutir telur ayam kampung, seseorang sudah dapat memiliki mantra ini. Jika
menginginkan mantranya lebih mujarab, penerima boleh memberikan sejumlah
uang serelanya dan sebungkus garam kepada pemilik mantra.
153
4.2.5.2 Tawar Pediah Tubuah ‘Mengobati Sakit Tubuh’
a. Tujuan Mantra
Masyarakat Dayak Desa mengenal penyakit yang diberi nama “sakit
tubuh”. Penyakit ini dapat menyerang di semua bagain tubuh, dan yang tersering
adalah di bagian punggung. Penyakit ini dapat menyerang kapan saja dan di mana
saja. Jika tidak cepat mndapat pertolongan, penyakit ini dapat mematikan manusia
dalam sekejap. Penyakit ini membuat penderita kesakitan luar biasa dan sulit
untuk bernafas karena menahan sakit. Menurut masyarakat dayak Desa, penyakit
ini disebabkan oleh hantu atau setan. Untuk mengobati sakit penyakit jenis ini
menggunakan mantra sebagai berikut:
(2) tawar pedih tubuh [tawaŗ pədia(h) tubua(h)]
*)ham uyam ham uyam [ham uyam ham uyam] Bungkam awum awam [buŋkam awum awam] Beranak ke tanin seluak sian [bəŗanak kə tanin selua? sian] Beranak ketesak batu urin [bəŗnak kətəsa? Batu uŗin] Beranak ke diuang [bəŗanak kədiu(ŋ)] Penukai alai nyumai [pənukai alai ñumai] Rari kau mati [ŗaŗi kau mati] Ke tisi langit laki [kə tisi laŋit laki] Ke pun pauh jengi [kə pun pauh jəŋi] Ke emuntan jelu rari [kə əmuntan jəlu ŗaŗi] Ke bedegak jarang jari [kə bədəga? Jaŗa(ŋ) jaŗi] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəŗuba tawaŗ] Ketauk asal tabarlah. [kətau? asal tabaŗlah] **)tur tua leka carut [tuŗ tua ləka caŗut] Tuak ngempu nanam tebu [tua? ŋəmpu nanam təbu] Nempak besi ulu sungai antu [nəmpa? bəsi ulu suŋai antu] Bisa kenuk antu [bisa kənu? antu] Tabar kenuk aku [tabaŗ kənu? aku] Manih kenuk antu [manih kenu? Antu] No kenuk aku [no kənu? aku]
154
Asin kenuk antu [asin kənu? antu] Tabar kenuk aku [tabaŗ kənu? aku] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəŗuba tawaŗ] Ketauk asal tabarlah [kətau? asal tabaŗla(h)] ***)Samsudin alahladin [samsudin alahladin] Pengin segirin [pəŋin səgiŗin] Apai ngau inai antu [apai ŋau inai antu] Rari kitak ke segarak [ŗaŗi kita? kəsəgaŗa?] Ke emuntan tisi langit laki [kə əmuntan tisi laŋit laki] Dilah kitak aku kunci [dila(h) kita? aku kuñci] Ngau besi Nabi Seliman [ŋau bəsi nabi seliman] Ngau kawat Nabi Adam [ŋau kawat nabi adam] Ngau rantai urang beriman [ŋau rantai uŗa(ŋ) bəŗiman] Jari aku tetak [jaŗi aku tətak] Ngau isau tempak Adam [ŋau isau təmpa? Adam] Ngau kapak tempak Tuhan [ŋau kapak təmpa? Tuhan] Kaki aku tipan [kaki aku tipan] Ngau nyabur inik Anan [ŋau ñabuŗ ini? anan] Ancur nyadi timah [añcuŗ ñadi tima(h)] Lilieh atai ke Sebayan [lilie(h) atai kə səbayan] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəŗuba tawaŗ] Ketauk asal tabarlah. [kətau? asal tabaŗla(h)] (2) menyembuhkan sakit di salah satu bagian tubuh’ * )‘ham uyam ham uyam’ ‘bungkam awum awam’ ‘beranakkan Tanin Seluak Sian’ ‘beranakkan Tesak batu urin’ ‘beranakkan Diung’ ‘pintu tempat memasak’ ‘lari kau mati’ ‘ke sisi langit laki’ ‘ke pohon asam pelam jengi’ ‘ke ujung hantu lari’ ‘ke semak belukar jarang jari’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahui asal tawarlah’
155
**)’tur tua leka carut’ ‘tuak ngempu nanam tebu’ ‘menempa besi di hulu sungai hantu’ ‘berbisa kata hantu’ ‘tawar kata aku’ ‘manis kata hantu’ ‘tidak kata aku’ ‘asin kata antu’ ‘tawar kata aku’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahui asal tawarlah’ ***) ‘Samsudinalahladin’ ‘Pengin Segirin’ ‘bapak dan ibu hantu’ ‘lari kalian ke Segarak’ ‘ke ujung sisi langit laki’ ‘lidah kalian aku kunci’ ‘dengan besi ditempa Nabi Sulaiman’ ‘dengan kawat ditempa Nabi Adam’ ‘dengan rantai orang beriman’ ‘jari aku potong’ ‘dengan parang di tempa Adam’ ‘dengan kapak ditempa Tuhan’ ‘kaki aku potong’ ‘dengan nyabur Nenek Anan’ ‘hancur jadi timah’ ‘meleleh sampai ke Sebayan’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahi asal tawarlah’ (narasumber nomor: 3, Kasianus Joko, 54 tahun, SD, petani, perekaman tanggal 6
Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Mantra ini memiliki tiga bagian. Bagian pertama mantra penulis beri tanda
*), bagian kedua diberi tanda **) dan bagian ketiga diberi tanda ***). Mantra ini
diawali dengan pembacaan mantra bagian pertama. Pada bagian ini media yang
156
digunakan adalah kapur sirih. Kapur sirih yang sudah dimantrai ditulis di tempat
yang sakit membentuk tanda panah yang arahnya ke bawah. Setelah selesai
menulis, tangan pemantra mengusapi badan si sakit dari atas sampai ke bawah dan
berakhir di kaki kiri si sakit. Kemudian pemantra menulis di jempol si sakit
dengan mengunakan kapur sirih yang sudah dimantrai tadi membentuk panah ke
luar. Maksud dari tindakan ini adalah untuk mengeluarkan racun yang telah
dimasukan hantu ke dalam tubuh si sakit.
Proses berikutnya adalah membacakan mantra pada bagian kedua. Media
yang digunakan pada bagian ini adalah air putih sebanyak setinggi satu buku
telunjuk pemantra dan disimpan di dalam sebuah gelas. Air putih dimantrai
dengan mengunakan mantra bagian kedua. Setelah dimantrai air putih tersebut
diminum oleh si sakit.
Proses yang terakhir adalah proses bagian ketiga. Pada bagian ini
digunakan media kunyit yang dipotong menjadi tiga bagian. Kunyit kemudian
dimantrai lalu dikunyah oleh pemantra untuk menghancurkannya. Kunyit yang
sudah dihancurkan ditempelkan di tempat yang sakit, di dalam lingkaran yang
telah ditulis dengan mengunakan kapur sirih pada bagian pertama. Sebagai akhir
dari proses ritual mantra ini adalah pemantra dan yang diamntrai beketup garam.
Saat membacakan tiap tiga bagian dari mantra ini, pemantra tidak boleh
menghembuskan nafas. Setiap bagian hanya satu helaan nafas. Pemantra tidak
boleh berhenti membacakan mantra sampai satu bagiannya selesai dibacakan. Saat
sedang membacakan mantra, pemantra tidak boleh terbata-bata dalam
membacakan mantra. Pemantra harus hafal pada lirik mantranya. Pemantra dapat
157
megetahui ajal yang dimantrainya lewat mantranya saat itu. Jika pemantra hafal
pada lirik mantranya maka dapat dipastikan si sakit akan selamat. Sebaliknya jika
pemantra tidak hafal pada lirik mantranya, biasanya hal ini pertanda bahwa
nyawa si sakit tidak dapat tertolong lagi.
Si sakit harus memberikan imbalan kepada pemantra. Adapun imbalan
untuk mantra ini yaitu mengunakan beras segantang, sebilah besi atau jika tidak
ada boleh diganti dengan paku, dan sebungkus garam. Imbalan ini wajib diberikan
kepada pemantra. Selebihnya si sakit boleh memberikan imbalan yang lain seperti
sejumlah uang kepada pemantra.
Proses ritual untuk mendapatkan mantra ini juga tidak terlalu sulit. Hanya
dengan memberi imbalan sebilah besi atau sebuah paku, beras, garam dan
sejumlah uang agar mantra manjur digunakan oleh penerima.
4.2.5.3 Tawar Pediah Tubuah ‘Mengobati Sakit Tubuh’
a. Tujuan Mantra
Mantra ini sesungguhnya sifatnya sama dengan mantra pada teks E (2) di
atas. Perbedaannya terletak pada proses ritualnya. Mantra teks E (3) ini dari segi
bahasanya banyak yang tidak terpahami. Mantra selengkapnya sebagai berikut:
(3) pedih tubuh [pədih tubuh]
*)Unci-unci kaki putiah [uñci uñci kaki pitiah] Orang dua susun daun [ora(ŋ) dua susun daun] Ati rusi tebalik kasiah [ati rusi təbalI? Kasia(h)] Alah guna berkat insum [alah guna bəŗkat insum] Insum di mata tidak melihat [insum di mata tida? məlihat] Insum di telinga tidak mendengar [insum di təliŋa tida? məndəŋaŗ] Insum di badan belum berankat [insum di badan bəlum bəraŋkat]
158
Insum di kaki belum bergoyang [insum di kaki bəlum bəŗgoyaŋ] Alah guna berkat insum. [alah guna bəŗkat insum] **)buluah di sambang tanjung [buluah di sambaŋ tañjuŋ] Ari urat nurun ke patik [aŗi uŗat nuŗun kə pati?] Ari patik nurun ke rebung [aŗi pati? nuŗun kə rəbuŋ] Ari rebung nurun ke batang [ari rəbuŋ nuŗun kə bataŋ] Ari batang bisik miang. [aŗi bataŋ bisi? Miaŋ] ***)engkudu datau batu [əŋkudu datau batu] Isau kenak antu [isau kənu? antu] Kelibak kenak aku [kəlibak kənu? aku] Sangkuah tajam kenak antu [saŋkua(h) tajam kena? antu] Panam ke batu kenak aku [panam kə batu kənu? aku] Ipuah bisa kanak antu [ipuah bisa kənu? antu] Cah ke tebu kenak aku [cah kə təbu kənu? aku] ****) kijang nikam semali nikam [kijaŋ nikam səmali nikam] Nikam apai nikam inai [nikam apai nikam inai] Nikam akik nikam inik [nikam aki? Nikam ini?] Nikam puyang nikam agang [nikam puyaŋ nikam agaŋ] Salah nuk antu [salah nu? antu] kenak nuk aku [kəna? nu? aku] Tabar nuk antu [tabaŗ nu? antu] bisa nuk aku [bisa nu? aku] Satu nuk antu [satu nu? antu] seribu nuk aku. [səŗibu nu? aku] (3) ‘mengobati sakit tubuh’ * )’unci-unci kaki putih’ ‘orang dua susun daun’ ‘hati orang benci berbalik kasih’ ‘mampu diguna berkat insum’ ‘insum di mata tidak melihat’ ‘insum di telinga tidk mendengar’ ‘insum di badan belum berangkat’ ‘insum di kaki belum bergoyang’ ‘mampu diguna berkat insum’ **) ‘buluh bambu di sambang tanjung’ ‘dari urat nurun ke patik’ ‘dari patik nurun ke rebung’ ‘dari rebung nurun ke betang’
159
‘dari batang ada miang’ ***) ‘mengkudu di atas batu’ ‘parang kata hantu’ ‘kulit kayu kata aku’ ‘sangkuh tajam kata hantu’ ‘ditikam ke batu kata aku’ ‘ipuh berbisa kata hantu’ ‘sentuh ke batu kata aku’ ****) ‘kijang menikam sembarang menikam’ ‘manikam bapak menikam ibu’ ‘menikam kakek menikam nenek’ ‘menikam moyang menikam moyang’ ‘salah punya hantu kena punya aku’ ‘tawar punya hantu berbisa punya aku’ ‘satu punya hantu seribu punya aku’ (narasumber nomor: 7, Teresiana Bangi, perekaman tanggal 17 Juli 2007)
b. Proses Ritual Mantra
Seperti mantra pada teks E (2) di atas, mantra (3) ini juga memiliki
beberapa bagian. Namun bagian-bagian pada mantra ini merupakan satu kesatuan
dalam proses ritualnya, tidak seperti pada teks E (2) di atas yang saling terpisah.
Proses ritual mantra ini hanya mengunakan media kapur sirih. Kapur sirih
dimantrai mengunakan mantra di atas. Mantra dibacakan dari bagian pertama
hingga bagian yang terakir. Setelah mantra selesai dibacakan, kapur sirih yang
sudah dimantrai ditulis di dada dan punggung si sakit. Proses berikutnya adalah
mantra bagian ***) dibaca ulang lalu pemantra meniup bagian punggung si sakit
sebanyak tujuh kali. Agar mantra ini menjadi mujarab, si sakit memberi imbalan
satu buah piring yang diisi penuh dengan beras dan di atas beras tersebut disimpan
sebungkus garam.
160
Mantra ini juga tidak sulit untuk mendapatkannya. Syarat untuk
mendapatkan mantra ini hanya dengan niat dan kemampuan untuk menghafalkan
mantra ini. Pemantra membacakan mantranya hingga selesai dan kemudian
mantra tersebut diulang oleh yang menginginkan mantra tersebut. Setelah proses
selesai, pemberi dan penerima mantra beketup garam.
4.2.5.4 Tawar Tepas ‘Mengobati Penyakit yang Dikirim dengan Cara Gaib’
a. Tujuan Mantra
Dalam masyarakat Dayak Desa, penyakit dapat dikirim oleh manusia
ataupun oleh hantu. Penyakit tersebut kemudian dikirim kepada orang lain yang
diinginkannya. Ciri-ciri penyakit jenis ini tidak bisa dipahami secara akal sehat
manusia. Penyakit ini juga tidak dapat disembuhkan dengan obat biasa ataupun
melalui tenaga medis. Penyakit jenis ini harus disembuhkan melalui cara
tradisional.
Cara pengobatan tradisional dari masyarakat Dayak Desa yaitu dapat
disembuhkan melalui mantra. Sifat mantra ini adalah mengeluarkan racun santet
dari tubuh manusia dan membersihkan tubuh dari pengaruh gaib tersebut. Zat-zat
gaib yang berada dalam tubuh dan menyakiti manusia dikeluarkan dengan mantra
dan media-media yang digunakan. Mantra ini dideskripsikan sebagai berikut:
(4) tawar tepas [tawaŗ təpa(s)]
Dari mensia pulai ke mensia [daŗi məñsia pulai kə məñsia] Dari angin pulai ke angin [daŗi aŋin pulai kə aŋin] Dari antu pulai ke antu [daŗi antu pulai kə antu] Pulai kitak ke pun pauh jengi [pulai kita? kə pun pauh jəŋi] Pulai ke aik bulang buli [pulai kə ai? bulaŋ buli]
161
Pulai ke bedegak jarang jari [pulai kə bədəga? Jaŗaŋ jaŗi] Pulai kitak ke gunung reban pait [pulai kita? kə gunu(ŋ) ŗəban pait] Tempat asal temula kitak nyadi [təmpat asal təmula kita? ñadi] Rari kitak ke tisi langit laki [ŗaŗi kita? kətisi lagit laki] Kalau ndai rari kitak mati [kalau kita? ndai ŗaŗi kita? mati] Beka ruai nepas balai [bəka ŗuai nəpas balai] aku nepas semua penyakit tuk. [aku nəpas səmua pəñakit tu?] Tum sekuntum [tum səkuntum] Allah tak ala aku semah [allah ta? Ala aku səma(h)] Datau dunia datau tanah [datau dunia datau tana(h)] Hum kelikum Nabi Allah [hum kəlikum nabi allah] (4) ‘membersihkan pengaruh dari ilmu gaib’ ‘dari manusia kembali ke manusia’ ‘dari angin kembali ke angin’ ‘dari hantu kembali ke hantu’ ‘pulang kalian ke pohon asam pelam jengi’ ‘pulang ke air berputar-putar’ ‘pulang ke semak jarang jari’ ‘pulang kalian ke gunung hutan pahit’ ‘tempat asal semula kalian jadi’ ‘lari kalian ke sisi langit laki’ ‘jika tidak lari kalian mati’ ‘seperti burung ruai menyapu balai’ ‘aku sapu semua penyakit ini’ ‘tum sekuntum’ ‘Allah Tak Ala aku sembah’ ‘di atas dunia di atas tanah’ ‘hum kelikum Nabi Allah’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 9
Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
162
b. Proses Ritual Mantra
Berbeda dari mantra yang lain, mantra ini mengunakan media bulu burung
ruai dan bulu burung gagak, tikar anyaman, besi, sebuah piring berisi air, sebuah
piring berisi beras, dan minyak khusus hasil ramuan pemantra. Ritual awal adalah
memantrai rambut di ubun-ubun si sakit. Rambut tersebut dipegang menggunakan
ibu jari dan jari telunjuk tangan kanan pemantra. Rambut didirikan dan ujung
rambut tersebut kemudian dimantrai. Saat proses ini berlangsung, si sakit dalam
posisi duduk di atas tikar anyaman.
Proses berikutnya pemantra menyapu badan si sakit menggunakan bulu
burung ruai dan bulu burung gagak. Badan si sakit disapu dimulai dari atas kepala
sampai ujung kaki. Dalam ritual ini mantra tidak lagi dibacakan, tetapi hanya
menyapu badan si sakit beberapa kali dengan hitungan mundur. Ritual awal
dimulai dari hitungan “tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, tunggal.” Ritual kedua
dimulai dari hitungan “lima, empat, tiga, dua, tunggal.” Ritual berikutnya dimulai
dari hitungan “tiga, dua, tunggal” dan ditutup dengan hitungan terakhir dengan
menyebut “tunggal” lagi, kemudian diakhiri pemantra dengan mengatakan “Turun
pemediah penyakit!” yang artinya ‘turunlah semua penyakit.’ Saat proses ini
berlangsung, si sakit boleh duduk atau berbaring. Jika si sakit berbaring, si sakit
berbantalkan besi, dan jika duduk si sakit mendududki besi, dan besi yang
diduduki atau sebagai bantal si sakit, disimpan di bawah tikar anyaman.
Proses berikutnya dilanjutkan dengan mengambil pengaruh gaib yang
sudah dikeluarkan dari tubuh. Pengaruh gaib tersebut berada di tikar anyaman
tempat si sakit berbaring saat proses penyembuhan berlangsung. Penyakit yang
163
dikirim melalui gaib diambil dari tikar anyaman dengan cara tikar tersebut
diangkat dan di pegang bagian atas oleh pemantra dan bagian bawah boleh
dibantu oleh keluarga yang menemani si sakit saat pengobatan. Ujung tikar bagian
bawah diarahkan ke piring yang berisi air lalu tikar dipukul pelan oleh pemantra
dengan besi yang digunakan sebagai bantal atau alas duduk si sakit. Cara
memukul tikar tersebut adalah dari atas sampai ke bawah, diawali dengan tiga
pukulan kemudian diulang lagi sebanyak dua pukulan dan diulang kembali
dengan satu pukulan.
Pengaruh gaib yang masuk ke badan biasanya jatuh ke piring yang berisi
air dengan berbagai wujut. Pengaruh gaib tersebut kemudian dibunuh oleh
pemantra menggunakan minyak khusus hasil ramuannya. Proses pengobatan ini
dilakukan saat malam hari dan dilakukan selama tiga hari berturut-turut.
Proses untuk dapat menggunakan pengobatan dengan cara ini sangatlah
sulit. Banyak persyaratan-persyaratan yang harus dilakukan untuk dapat
mengamalkan pengobatan dengan cara ini. Syarat pertama adalah pemantra harus
berumur minimal di atas 37 tahun dan sudah memiliki setidaknya selembar
rambut uban. Syarat yang berikutnya adalah mampu meminum air kelapa hijau di
dalam air. Banyaknya air kelapa yang diminum di dalam air menandakan sampai
sejauh mana seseorang dapat menerima ilmu ini.
164
4.2.5.5 Penangkal Racun ‘Menangkal Racun’
a. Tujuan Mantra
Kemungkinan suatu saat seseorang akan bepergian ke suatu tempat atau ke
suatau daerah tertentu yang terkenal rawan dengan racun santetnya. Mungkin saja
ada orang yang merasa iri atau dendam terhadap seseorang sehingga segala cara
dilakukannya untuk menyakiti musuhnya. Racun santet tersebut dapat “ditanam”
dengan berbagi cara, di antaranya yaitu, diberikan melalui berbagai jenis makanan
dan minuman. Oleh sebab itu, seseorang harus berhati-hati terhadap segala
makanan atau minuman yang ditawarkan kepadanya, sebab mungkin saja
mengandung racun. Racun santet tersebut tidak dapat disembuhkan dengan obat
biasa. Dalam masyarakat Dayak Desa, racun santet yang diberikan melalui
makanan atau minuman tersebut dapat ditangkal melalui mantra seperti mantra
pada teks E (5) di bawah ini. Cara untuk menangkal racun santet pada makanan
yaitu dengan memantrai makanan tersebut. Mantra ini berfungsi untuk melihat
makanan mengandung racun santet atau tidak.
(5) Penangkal racun. [pənaŋkal ŗacun]
Nyur ijau kelapak ijau [ñuŗ ijau kəlapa? Ijau] tanam de pun buluah [tanam də pun bulua(h)] diri ku silau dudukku silau [diŗi silau dudukku silau] seribu racun pengaruh jauh re tubuh [səŗibu ŗacun pəŋaŗua(h) jauh ŗə
tubua(h)] rari kitak ke pun pauh jengi [ŗaŗi kita? Kə pun pau(h) jəŋi] pulai ke aik bulang buli [pulai kə ai? Bula(ŋ) buli] rari ke tisi langit laki [ŗaŗi kə tisi laŋit laki] pulai ke bedegak jarang jari [pulai kə bədəga? Jaŗa(ŋ) jaŗi] pulai ke gunuang reban pait [pulai kə gunu(ŋ) ŗəban pait] tempat asal kitak [təmpat asal kita?] tak rari kau mati [ta? Ŗaŗi kau mati] kami rampang semali temula nyadi [kami ŗampa(ŋ) səmali təmula ñadi]
165
(5)’Menangkal racun’ ‘nyiur hijau kelapa hijau’ ‘tanam di pohon buluh bambu’ ‘berdiri aku silau’ ‘seribu racun pengaruh jauh dari tubuh’ ‘lari kalian ke pohon asam pelam jengi’ ‘pulang ke air berputar’ ‘lari ke sisi langit laki’ ‘pulang ke semak jarang jari’ ‘pulang ke gunung hutan pahit’ ‘tempat asal kalian’ ‘tak lari kau mati’ ‘kami rampang semali semula jadi’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, perekaman tanggal 24 Juli 2007)
b. Proses Ritual Mantra
Mantra yang berfungsi sebagai pengkal racun ini tidak ada menggunakan
media apa pun. Penggunaannya hanya dengan mengucapkan mantra ini di dalam
hati. Jika makanan yang di mantrai mengandung racun santet, makanan tersebut
akan berubah warna. Sebagai contoh bila nasi yang akan dimakan mengandung
racun, racun tersebut akan berubah menjadi warna hijau. Apabila seseorang
menguji air yang akan diminumnya, maka air tersebut dapat mendidih secara tiba-
tiba dan atau gelas yang digunakan untuk menyimpan air tersebut menjadi bocor.
4.2.6 Teks F (Mantra yang Berhubungan dengan Keluarga (Ibu dan anak
bayi))
Mantra yang berhubungan dengan keluarga ditemukan beberapa mantra,
yaitu mantra untuk menolong ibu yang akan segera melahirkan, mengeluarkan
ari-ari yang susah keluar, mengobati berbagai persoalan payudara saat melahirkan
166
pertama kalinya, dan mengatasi bayi yang menangis karena gangguan makhluk
halus. Mantra-mantra tersebut dideskripsikan sebagai berikut:
4.2.6.1 Tawar Pediah Perut Beranak ‘Mengatasi Sakit Perut Hendak Melahirkan’
a. Tujuan Mantra
Pada masa lalu, sebelum masyarakat Dayak Desa mengenal dunia
kedokteran, masyarakat ini menggunakan mantra sebagai salah satu cara untuk
menolong ibu yang akan melahirkan. Saat seorang ibu akan atau sedang
melahirkan mantra bertujuan untuk memperlancar proses kelahiran bayi agar
cepat keluar. Mantra yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1). pediah perut kak beranak [pədiah pəŗut ka? bəŗanak]
Rinna ara duma [ŗinna aŗa duma] Tumuah tengah lebak [tumua(h) təŋa(h) ləbak] U, Betara sedua buta [u bətaŗa sədua buta] Buka selangka (sanuk) kak beranak. [buka səlaŋka sanu? ka? bəŗanak] (1) ‘sakit perut mau melahirkan’ ‘lebat kayu ara di ladang’ ‘tumbuh di tengah dataran yang basah’ ‘Oh Batara sedua buta’ ‘buka selangkangan (si A) mau melahirkan’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 25
Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Penggunaan mantra ini adalah dengan memantrai air putih. Air putih
diukur terlebih dahulu oleh pemantra kira-kira setinggi satu buku jari telunjuknya
lalu dimantrai. Setelah air putih dimantrai kemudian diminum oleh seorang ibu
167
yang akan melahirkan. Air yang sudah dimantrai tersebut harus diminum habis
dalam sekali tegukan.
Mantra ini tidak membutuhkan imbalan dalam bentuk apa pun. Untuk
mendapatkan mantra ini juga tidak sulit, karena tidak ada persyaratan apa pun.
Hanya dengan menghapalkan mantra ini seseorang sudah dapat mengamalkannya.
4.2.6.2 Tawar Temunik Dudi ‘Mengatasi Ari-ari yang Susah Keluar’
a. Tujuan Mantra
Seorang ibu yang baru saja melahirkan terkadang ari-ari belum keluar
bersama bayi. Jika ari-ari tidak segera keluar hal ini dapat membahayakan
kesehatan ibu yang baru saja melahirkan tersebut. Masyarakat Dayak Desa
memiliki mantra untuk mengatasi ari-ari yang susah keluar tersebut. Adapun
mantra yang bertujuan untuk mengeluarkan ari-ari tersebut adalah sebagai berikut:
(2) tawar temunik dudi [tawaŗ təmuni? Dudi]
Uwi sedurak duri [uwi səduŗak duŗi] Parik rari ke baruh batang [paŗi? Ŗaŗi kə baŗua(h) bata(ŋ)] U temunik anang kau dudi [u təmuni? Ana(ŋ) kau dudi] Telusur tulang belakang. [təlusuŗ tula(ŋ) bəlaka(ŋ)] (2) ‘mantra ari-ari yang belum keluar’ ‘rotan banyak duri’ ‘ikan pari lari ke bawah batang kayu’ ‘oh ari-ari jangan kau tertinggal’ ‘telusuri tulang belakang’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, Swasta, SD, perekaman tanggal 26
Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
168
b. Proses Ritual Mantra
Pengamalan mantra ini tidak mengunakan media apa pun. Mantra yang
telah selesai dibacakan dimasukkan oleh pemantra ke tubuh ibu yang melahirkan
dengan cara ditiup dimulai dari ubun-ubun sampai ke kaki. Mantra ini tidak
menuntut imbalan kepada pemantra. Pengamalan mantra ini hanya semata untuk
menolong ibu yang melahirkan. Untuk mendapatkan mantra ini juga tidak
membutuhkan imbalan apa pun.
4.2.6.3 Tawar Temunik ‘Mengeluarkan Ari-ari’
a. Tujuan Mantra
Mantra memiliki tujuan yang hampir sama dengan mantra pada teks F (2).
Mantra teks F (2) merupakan mantra pemula untuk mengeluarkan ari-ari. Mantra
teks F (3) merupakan kelanjutan dari mantra teks F (2). Jika ari-ari sudah keluar
setelah dibacakan mantra teks F (2) tersebut, mantra teks F (3) tidak perlu
dibacakan.
(3) Tawar temunik [tawaŗ təmuni?]
Nyuluang kilik seluang kulu [ñulua(ŋ) kili? səlua(ŋ0] Turun kau temunik [tuŗun kau təmuni?] kuluncur ngau aik madu. [kuluncuŗ ŋau ai? madu] (3) ‘mantra ari-ari yang sulit keluar’ ‘nyuluang ke hilir seluang ke hulu’ ‘turunkau ari-ari’ ‘kuluncur dengan air madu’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 27 Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
169
b. Proses Ritual Mantra
Jika mantra pada teks F (2) telah dibacakan dan ari-ari belum juga keluar
maka dibacakan mantra ini. Proses ritual yang dilakukan pada mantra ini sama
dengan proses ritual yang dilakukan pada teks F (2), yaitu ditiup mulai dari ubun-
ubun sampai ke kaki ibu yang melahirkan. Perbedaannya dengan teks F (2) hanya
pada mantra yang diucapkan, yaitu dalam proses ini menggunakan mantra teks F
(3).
Mantra teks F (1), (2) dan (3) di atas tidak membutuhkan imbalan dalam
bentuk apa pun. Ketiga mantra ini hanya sebagai bentuk pertolongan semata bagi
ibu yang sedang melahirkan semata.
4.2.6.4 Tawar Tusu ‘Mengatasi Berbagai Permasalahan pada Payudara Saat
Melahirkan Pertama Kali’
a. Tujuan Mantra
Saat melahirkan anak pertama, seringkali sang ibu yang ingin memberikan
air susu ibu (ASI) pada bayinya mengalami masalah pada ASI yang tidak keluar.
Mantra ini berfungsi untuk mengatasi ASI yang susah keluar tersebut. Dengan
mantra ini diharapkan bahwa ASI dapat lancar sehingga kebutuhan makan sang
bayi terpenuhi. Di samping itu, mantra ini juga dapat bertujuan untuk mengobati
payudara yang luka atau infeksi saat menyusui.
(4) tawar tusu [tawaŗ tusu]
Akar temulu tumuah di ulu Sungai Untai [akaŗ təmulu tumUh di ulu suŋai antu] Bebuah besangking tiga [bəbua(h) bəsaŋkia(ŋ) tiga] Detaik Lemamang Purang [dətai? ləmama(ŋ) pura(ŋ)] Akar detipan Lemia bunsu [akaŗ dətipan ləmia bunsu] Aik nitik ke labuk inik kintamuga [ai? nitI? kəlabu? Ini? kintamuga]
170
Depalai ke tusu (sanuk) [dəpalai kə tusu sanu?] Nyadi aik kubal tusu [ñadi ai? kubal tusu] Dirup anak mensia [diŗup anak meñsia] Keturun Adam ngau Awa [kətuŗun adam ŋau awa] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəŗuba tawaŗ] Ketauk asal tabarlah. [kətau? asal tabaŗla(h)] (4) ‘mengbobati sakit di payudara setelah melahirkan’ ‘akar temulu tumbuh di hulu Sungai Untai’ ‘berbuah bergandeng tiga’ ‘dinaiki Lemamang Purang’ ‘akar diputus Lemia bungsu’ ‘air netes ke labu nenek Kintamuga’ ‘dioleskan ke susu (si A)’ ‘menjadi air kubal susu’ ‘diminum anak manusia’ ‘keturunan Adam dan Hawa’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahui asal tawarlah’ (narasumber nomor: 3, Kasianus Joko, 54 tahun, SD, Petani, perekaman tanggal
07 Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Mantra ini menggunakan kapur sirih. Kapur sirih diamntrai dengan mantra
teks F (4) di atas sebanyak tiga kali. Setelah dimantrai kapur sirih tersebut
dioleskan pada payudara ibu menyusui. Kapur sirih tersebut ditulis membentuk
tanda silang (X). Mantra ini membutuhkan imbalan sebilah besi, beras, garam dan
uang secukupnya. Dan proses selanjutnya adalah beketub garam. Mantra ini bisa
didapatkan dengan syarat memberikan imbalan yang sama yaitu sebilah besi,
garam, dan beras.
171
4.2.6.5 Tawar Nemiak Nyabak ‘Mengatasi Bayi yang Menangis kerena Gangguan
Makhluk Halus’
a. Tujuan Mantra
Dalam kepercayaan masyarakat Dayak Desa apabila bayi menangis terus
menerus secara tidak wajar, bayi dianggap diganggu oleh makhluk halus. Agar
makhluk halus yang mengganggu tersebut keluar digunakan mantra sebagai
berikut:
(5) tawar nemiak nyabak [tawaŗ nəmia? Ñaba?]
Kebayang baju putih [kəbayaŋ baju putIh] Sumping kemang bunga lalang [sumpiŋ kəmaŋ buŋa lalaŋ] Bajang datang bajang rari [bajaŋ dataŋ bajaŋ ŗaŗi] Sitan datang sitan rari [sitan dataŋ sitan ŗaŗi] Jin datang jin rari [jin dataŋ jin ŗaŗi] Aku ketauk ke asal temula nyadi [aku kətau? asal təmula ñadi] (5) ‘mantra bayi menangis’ ‘terbayang baju putih’ ‘anting kembang bunga alang-alang’ ‘bajang datang bajang lari’ ‘jin datang jin lari’ ‘aku mengetahui asal mula jadi’ (narasumber nomor: 7, Teresiana Bangi, 44 tahun, Petani, direkam tanggal 16 Juli
2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Pada pelaksanaan mantra ini digunakan media kapur sirih dan labu yang
biasa digunakan oleh masyarakat Dayak Desa zaman dahulu untuk mengambil
dan menyimpan air. Kapur sirih dimantrai lalu dituliskan di labu membentuk
tanda salib (†). Labu yang sudah ditulis tersebut digantung di kamar di atas tempat
172
tidur bayi. Imbalan untuk mantra ini adalah sebungkus garam dan beras
secukupnya. Untuk mendapatkan mantra ini, tidak perlu imbalan apa pun.
4.2.7 Teks G (Pengusir Hantu)
a. Tujuan Mantra
Masyarakat Dayak Desa pada zaman dahulu memiliki pantangan yang
tidak boleh dilanngar bagi yang memasak menggunakan kayu bakar. Setelah
selesai memasak biasanya ada potongan kayu yang sebagiannya belum terbakar
api. Kayu bakar yang belum habis terbakar api tersebut tidak boleh dipotong lagi
karena akan menyebabkan anak hantu sakit. Hal ini akan mengundang amarah
hantu tersebut sehingga mengganggu manusia, namun hal ini bukan satu-satunya
alasan untuk mengganggu manusia.
Ada beberapa cara yang dilakukan oleh hantu saat mengganggu manusia.
Jika manusia sedang berada di hutan misalnya, hantu sering mengganggu dengan
menirukan suara orang yang kita kenal. Jika yang bersangkutan menjawab, maka
yang bersangkutan dapat diperlakukan sekehndak hatinya. Bila sedang berada di
sebuah hutan tiba-tiba mencium bau kencur atau bau kemenyan, menurut
kepercayaan masyarakat Dayak Desa, hal ini menunjukan pertanda bahwa ada
hantu yang juga berada di sana. Untuk menghindari agar hantu tidak menggangu
manusia, maka hantu tersebut diusir dengan membacakan mantra seperti berikut
ini:
(1) pengusir antu [pəŋusiŗ antu]
Pelanduk sedungkal dangkul [pəlandu? səduŋkal daŋkul] Perdah patah tiga [pərəda(h) pata(h) tiga]
173
Antu tunuak sebagi tungul [antu tunua? səbagai tuŋul] Kami lalu sentara dua [kami lalu səntaŗa dua] Tujuh aik, tujuh parung, tujuh gunung, [tujua(h) ai? tujua(h) paŗu(ŋ) tujua(h)
gunu(ŋ)] tujuh lempak, tujuh laut, [tujua(h) ləmpa? tujua(h) laut] Asa api, asa bara. [asa api asa baŗa] (1) ‘pengusir hantu’ ‘pelanduk sedungkal dangkul’ ‘peredah patah tiga’ ‘hantu tunduk sebagai tunggul’ ‘kami lewat di antara dua’ ‘tujuh air tujuh lembah tujuh gunung’ ‘tujuh dataran rendah tujuh laut’ ‘serasa api serasa bara’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 28
Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Media yang digunakan dalam mantra ini adalah ranting kayu. Ranting
kayu tersebut dipotong menjadi tiga bagian lalu dimantrai. Ranting yang sudah
dimantrai di tancapkan di tanah, memagari tempat yang bersangkutan berada
membentuk segitiga sama kaki. Dalam keadaan yang terjepit, seseorang yang
sedang diganggu hantu boleh membacakan mantra ini hanya dalam hati saja dan
tidak menggunakan media apa pun.
Untuk mendapatkan mantra ini, tidaklah sulit. Mantra pengusir hantu ini
tidak membutuhkan imbalan yang harus diberikan kepada pemberi mantra ini.
Seseorang sudah dapat memiliki mantra ini hanya dengan menghapalkan mantra
ini.
174
4.2.8 Teks H (Berhubungan dengan Makanan yang akan Dimakan)
Mantra yang berhubungan dengan makanan pada teks H ini berbeda
dengan apa yang diaksud oleh mantra pada teks E (5) di atas. Makanan yang
dimaksud pada mantra teks H tidak ada hubungannya dengan racun santet yang
sengaja dikirim melalui makanan. Makanan yang dimaksudkan pada teks H ini
yaitu makanan yang biasa dimakan sehari-hari. Mantra-mantra yang
dimaksudkan adalah sebagai berikut:
4.2.8.1 Tawar Tengkelan ‘Megobati Keselak’
a. Tujuan Mantra
Keselak yang dimaksudkan di sini adalah khusus makanan yang
tersangkut di kerongkongan seperti tulang atau duri ikan, dan biji-bijian dari buah-
buahan yang tidak sengaja tertelan. Jika makan ikan tidak dengan hati-hati atau
kurang teliti mengunyahnya, tulang atau duri ikan dapat tertelan dan tersangkut di
kerongkongan. Begitu juga bila makan buah-buahan yang berbiji seperti rambutan
yang tidak dapat dilepas dagingnya tidak dengan hati-hati, bijinya bisa tertelan.
Hal ini dapat diobati dengan cara tradisional yaitu dengan dimantrai.
Mantra ini berfungsi untuk mengeluarkan tulang atau duri ikan dan biji-
bijian yang tersanggkut di kerongkongan sehinnga dapat tertelan. Duri ikan dan
biji-bijian tersebut akan dikeluarkan bersamaan dengan kotoran saat buang air
besar. Duri ikan dan biji-bijian yang tertelan tersebut dipercaya tidak mengganggu
proses pencernaan. Adapun mantra yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
(1) Tawar tengkelan [tawaŗ təŋkəlan]
Kulu kakah kilik kakah [kulu kaka(h) kili? kaka(h)] Tengah-tengah batu ampar [təŋa(h) təŋa(h) batu ampaŗ]
175
Lintang lalu bujur pun lalu [linta(ŋ) lalu bujuŗ pun lalu] Aku tauk tawar tengkelan [aku tau? tawaŗ teŋkəlan] (1) ‘mantra keselak’ ‘ke hulu kakah ke hilir kakah’ ‘tengah-tengah batu ampar’ ‘melintang lewat lurus lewat’ ‘aku tahu mantra keselak’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, Swasta, SD, perekaman tanggal 23
Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Media yang digunakan dalam proses ritual mantra ini adalah air putih. Air
putih dimantrai oleh pemantra kemudian diminum oleh seseorang yang keselak.
Tidak ada imbalan untuk mantra ini. Apabila ingin mendapatkan mantra ini
seseorang hanya membutuhkan kemampuan untuk menghapalkannya.
4.2.8.2 Tawar Empunan ‘Menghindari Kepunan’
a. Tujuan Mantra
Dalam masyarakat Dayak Desa terdapat sebuah mitos kepunan atau sering
juga disebut empunan. Kepunan adalah peristiwa kecelakaan yang disebabkan
oleh yang bersangkutan tidak jadi makan sesuatu yang sudah ditawarkan padanya
atau makanan yang sudah disebut oleh yang bersangkutan sebelumnya. Jika yang
bersangkutan tidak sempat untuk makan makanan tersebut, yang bersangkutan
wajib untuk menyentuh makanan tersebut untuk menghindari terjadinya kepunan.
Jika yang bersangkutan tidak melakukan kedua hal ini, untuk menghindari
terjadinya celaka adalah dengan membacakan sebuah mantra. Mantra teks H (2)
176
berikut ini bertujuan untuk menghindari kepunan apabila yang bersangkutan
berada di rumah.
(2) tawar empunan [tawaŗ əmpunan]
Tung tuyuang Dayang Duyuang [tu(ŋ) tuyua(ŋ) daya(ŋ) duyua(ŋ)] Datuk neguk tungkuk [datu? nəgu? tuŋku?] Dara Ilah nyamah dilah [daŗa ila(h) ñamah dila(h)] Putri Sagi ngada ati [putŗi sagi ŋada ati] Ialah (sanuk) salah telah [iala(h) sanu? sala(h) təla(h)] jari salah penyamah [jaŗi sala(h) pəñama(h)] kaki salah penyangkah [kaki sala(h) pəñaŋka(h)] Datai bujang kuning megai ensirieng [datai buja(ŋ) kuni(ŋ) məgai əñsiŗi(ŋ)] Sapik ke nyawa (sanuk) [sapi? kə ñawa sanu?] Mulai ke kata [mulai kə kata] Pulai ke tungkuk penyumai [pulai kətuŋku? pəñumai] Mungah beruba tawar [muŋa(h) bəŗuba tawaŗ] Ketauk ke asal tabarlah. [kətau? kə asal tabaŗla(h)] (2)’mantra kepunan’ ‘tung tuyung dayang duyung’ ‘datuk menyentuh tungku’ ‘dara Ilah memegang lidah’ ‘Putri Sagi membawa hati’ ‘ialah (si A) salah sebut’ ‘jari salah pegang’ ‘kaki salah langkah’ ‘datang bujang kuning memegang ensirieng’ ‘suap ke mulut (si A)’ ‘mengembalikan kata’ ‘pulang ke tunggku tempat memasak’ ‘Mungah yang mengajarkan mantra’ ‘mengetahui asal tawarlah’ (narasumber nomor: 3, Kasianus Joko, 54 tahun, SD, petani, perekaman tanggal 8
Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
177
b. Proses Ritual Mantra
Abu dapur adalah media yang digunakan dalam proses ritual pada mantra
ini. Abu dapur yang digunakan adalah abu yang berada di antara tiga buah tunggu
batu. Abu dapur tersebut diambil sedikit saja menggunakan ibu jari, jari telunjuk
dan jari tengah pemantra lalu dimantra. Setelah dimantrai abu dapur tersebut
dibererikan di atas kepala seseorang yang dimantrai. Mantra ini juga tidak
membutuhkan imbalan baik dalam penggunaanya maupun untuk mendapatkanya.
4.2.8.3 Tawar Empunan ‘Menghindari Kepunan’
a. Tujuan Mantra
Mantra ini sesungguhnya memiliki tujuan yang sama dengan mantra teks
H (2) di atas yaitu untuk menghindari kepunan. Perbedaan kedua mantra ini yaitu
hanya pada lirik dan proses ritualnya.
(3) tawar empunan [tawaŗ əmpunan]
Belangak angak ingik [bəlaŋa? Aŋa? Iŋi?] Aku isik ngau ruman padi [aku isi? ŋau ŗuman padi] U Inik Betara, turun nuan dari langit [u ini? bətaŗa tuŗun nuan daŗi laŋit] Ngasung empunan (sanuk) tadik [ŋasu(ŋ) əmpunan sanu? tadi?] Cekur detanam de tanah Jengkulang [cəkuŗ dətanam də tana(h) jəŋkula(ŋ)] Jerangau detanam datau bukit [jəŗaŋau dətanam datau bukut] Bukak ati Sengalang Buruang [buka? ati səŋalaŋ buŗuaŋ] Begerak tidak berisit [bəgəŗa? tida? bəŗisit] Berutang berutin. [bəŗutaŋ bəŗutin] cit citan [cit citan] (3) ‘mantra empunan’ ‘belanga angak-ingik’ ‘aku isi dengan jerami padi’
178
‘oh Nenek Batara, turun engkau dari langit’ ‘mengantar empunan (si A) tadi’ ‘kencur ditanam di tanah Jengkulang’ ‘jerangau ditanam di atas bukit’ ‘buka hati Sengalang Burung’ ‘bergerak tidak berisik’ ‘berutang berutin’ ‘cih-citan’ (narasumber nomor: 1, Lemia, 70 tahun, buta hurub, petani, perekaman tanggal 9
Juli 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Jika proses ritual pada mantra teks H (2) di atas menggunakan abu dapur
sebagai medianya, mantra ini tidak menggunakan media apa pun dalam proses
ritualnya. Seseorang yang sedang dimantrai hanya mengecup kedua jari tangan
kanan dan jari tangan kirinya saja. Saat mantra ini selesai dibacakan maka proses
ritual dari mantra ini sudah berakhir. Mantra ini hanya membutuhkan imbalan
garam dan beras secukupnya. Tidak ada imbalan yang diberikan kepada pemantra
jika ingin mendapatkan mantra ini.
4.2.9 Teks I (Daya Ingat)
Manusia selalu ingin mendapatkan kesuksesan dalam hidupnya. Segala
cara terkadang dilakukan untuk mendapatkan kesuksesan yang diinginkannya
tersebut. Dalam tradisi masyarakt Dayak Desa memiliki cara tersendiri untuk
mencapai kesuksesan tersebut. Salah satu cara tradisional yang dilakukan untuk
mencapai kesuksesan tersebut yaitu dengan sebuah mantra.
179
4.2.9.1 Tawar Pengingat ‘Menambah Daya Ingat’
a. Tujuan Mantra
Mantra untuk daya ingat ini bertujuan untuk menambah daya ingat.
Pengguna mantra ini akan memiliki daya ingat yang melebihi kemampuannya.
Bila mantra ini digunakan oleh seorang anak yang sedang menempuh dunia
pendidikan, yang bersangkutan memiliki daya ingat yang tajam. Segala materi
yang diajarkan oleh tenaga pengajar dapat diserap dan diingat oleh pengguna
mantra dengan baik. Adapun mantra yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) tawar pengingat [tawaŗ pəŋiŋat]
Kalau itak tumuah de gunuang [kalau iat? Tumuah də gunua(ŋ)] Batu itak mintak tebukak ati aku yang butak [batu ita? Minta? təbuka? ati aku yaŋ buta?] Sebagai lawang pintu tebukak [səbagai lawa(ŋ) pintu təbuka?] Tebukak beka segarak [təbuka? bəka səgaŗa?] Lantang seperti tawang [lanta(ŋ) səpəŗti tawa(ŋ)] Luwas sebagai kapuas limak belas ujung, [lua(s) səbagai kapua(s) lima? bəla(s)
ujua(ŋ)] Terang dari bulan limak belas ari [təŗa(ŋ) ŗəbulan lima? bəla(s) aŗi] Nat semperinat, [nat səmpəŗnat] Burung benang datau panti [buŗua(ŋ) bəna(ŋ) datau panti] Urang kelupa aku ingat [uŗa(ŋ) kəlupa aku iŋat] Aku isik guru dalam ati [aku isi? Guŗu dalam ati] Nyeberang ke seberang dapat sebu dalam tanah [ñəbəŗa(ŋ) kə səbəŗa(ŋ) dapat
səbu buŋa tanah] Diri aku senang duduk aku senang [diŗi aku səna(ŋ) dudua? Aku sena(ŋ)] Aku dapat guru dalam lidah. [aku dapat guŗu dalam lida(h)] Kijang lupa rusak lupa [kija(ŋ) lupa ŗusa? lupa] Pulang makan rumput jami [pula(ŋ) makan ŗumput jami] Aku bekata ne tauk lupa [aku bəkata nətau? lupa] Aku isik guru dalam ati [aku isi? guŗu dalam ati] (1) ‘untuk daya ingat’
180
‘kalau kalian tumbuh di gunung’ ‘batu kalian minta terbuka hati aku yang buta’ ‘sebagai lawang pintu terbuka’ ‘lebar seperti tawang’ ‘luas seperti Kapuas lima belas kali lipat’ ‘terang dari bulan lima belas hari’ ‘nat semperinat’ ‘burung benang di atas panti’ ‘orang lupa aku ingat’ ‘aku ada guru dalam hati’ ‘berenang ke seberang dapat sebu bunga tanah’ ‘berdiri aku senang duduk aku senang’ ‘aku dapat guru dalam lidah’ ‘kijang lupa rusa lupa’ ‘pulang makan rumput jambi’ ‘aku berkata tidak bisa lupa’ ‘aku ada guru dalam hati’ (narasumber nomor: 1, Lemia, 70 tahun, buta hurub, petani perekaman tanggal 4
Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Mantra ini menggunakan media nasi putih dan air putih secukupnya. Nasi
putih yang masih hangat dikepal menjadi tiga kepalan disimpan di dalam sebuah
piring. Ketiga kepalan nasi tersebut dimantrai oleh pemantra bersamaan dengan
air putih. Setelah mantra selesai dibacakan, proses selanjutnya adalah nasi yang
telah dimantrai tersebut dimakan oleh seseorang yang ingin menambah daya
ingatnya kemudian minum air putih yang juga sudah dimantrai. Proses ini
biasanya dilakukan di pagi hari saat baru bangun tidur.
Mantra ini tidak hanya pemantra yang bisa membacakannya. Tetapi
mantra ini juga boleh diucapkan langsung oleh seseorang yang ingin menambah
daya ingatnya dengan cara membacakannya hanya di dalam hati. Saat seseorang
181
sedang melakukan proses belajar mengajar di sekolah misalnya, ia dapat
membacakan mantra ini agar ia dapat mengingat semua pelajaran yang telah
diberikan oleh guru-gurunya.
Mantra ini tidak mengharuskan imbalan wajib yang diberikan kepada
pemantranya. Jika ingin mendapatkan mantra ini tidak ada syarat khusus yang
harus dilakukan seseorang. Cukup dengan menghapalkan mantra ini, seseorang
sudah dapat memiliki mantra ini.
4.2.9.2 Mempartajam Daya Ingat
a. Tujuan Mantra
Mantra teks I (1) dan (2) berikut ini sesungguhnya bersifat sama. Kedua
mantra ini sama-sama bertujuan untuk keperluan daya ingat. Perbedaan kedua
mantra ini hanya terletak pada proses ritual yang dilakukan.
(2) pengingat [pəŋiŋat]
Sirih kuning bagang kuning [siŗih kuniŋ bagaŋ kuniŋ] Tanam di rumah raja naga [tanam di ŗumah ŗaja naga] Aku diri kuning, aku duduk kuning [aku diŗi kuniŋ aku dudu? kuniŋ] Aku dapat guru dalam nyawa [aku dapat guŗu dalam ñawa] Atiku rami sebagai Melawi [atiku ŗami səbagai məlawi] Atiku lantang sebagai tawang [atiku lanta(ŋ) səbagai tawa(ŋ)] Atiku luas sebagai Kapuas limak belas ujuang [atiku lua(s) səbagai kapuas lima?
bəla(s) ujua(ŋ)] Terang re bulan purnama limak belas ari [təŗa(ŋ) ŗə bulan puŗnama lima? bəlas aŗi] Ngelayang ke seberang dapat sebu bunga tanah [ŋəlaya(ŋ) kə səbəra(ŋ) dapat səbu
buŋa tana(h)] Kenangku lantang asa depesiang [kənaŋku lantaŋ asa dəpəsiaŋ] Aku dapat guru dalam lidah [aku dapat guŗu dalam lida(h)] Atiku rami sebagai Melawi [atiku ŗami səbagi məlawi] Atiku lantang sebagai tawang [atiku lanta(ŋ) səbagai tawaŋ]
182
Atiku luas sebagai Kapuas limak belas ujuang [atiku lua(s) səbagi kapua(s) lima? bəla(s) ujua(ŋ)]
Terang re bulan purnama limak belas ari. [təŗa(ŋ) ŗə bulan lima? bəla(s) aŗi] (2) ‘untuk daya ingat’ ‘sirih kuning bagang kuning’ ‘tanam di rumah raja naga’ ‘aku berdiri kuning aku duduk kuning’ ‘aku dapat guru dalam nyawa’ ‘hatiku rami seperti Melawi’ ‘hatiku lebar seperti tawang’ ‘hatiku luas sebagai Kapuas lima belas keli lipat’ ‘terang dari bulan purnama lima belas hari’ ‘melayang ke seberang dapat sebu bunga tanah’ ‘pikiranku panjang serasa dibersihkan’ ‘aku dapat guru dalam lidah’ ‘hatiku rami sebagai Melawi’ ‘hatiku lebar seperti tawang’ ‘hatiku luas seperti Kapuas lima belas kali lipat’ ‘terang dari bulan purnama lima belas hari’ (narasumber nomor: 4, Ratu, 54, SD, petani, perekaman tanggal 6 Agustus 2007,
di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Tujuan Mantra
Meskipun mantra ini memiliki Tujuan yang sama dengan mantra teks I (1),
namun kedua mantra ini berbeda dalam proses ritualnya. Mantra teks I (2)
memiliki variasi dalam proses ritualnya. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan
dalam proses ritual mantra ini. Cara pertama menggunakan media nasi putih. Nasi
putih yang belum ditimba diambil pemantra dengan tiga jari tangan kanan yaitu
dengan ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah. Nasi yang sudah diambil kemudian
dikepal lalu dimantrai. Setelah dimantrai kemudian diberikan pada seseorang yang
183
ingin menambah daya ingatnya untuk dimakan. Proses ritual ini harus dilakukan
pada hari Jumat pagi.
Cara yang kedua adalah mengunakan air putih. Air putih yang digunakan
dalam mantra ini harus diambil khusus dari sungai di waktu pagi buta, saat belum
ada satu burung pun yang mandi di sungai tersebut pagi itu. Air yang diambil dari
sungai tersebut disimpan dalam sebuah cangkir. Sesampai di rumah, air tersebut
dimantrai dengan mantra teks I (2) lalu diminum oleh seseorang yang ingin
menambah daya ingatnya. Sewaktu mantra dibacakan, pintu harus dibuka lebar.
Jika di depan pintu ada tangga, maka mantra harus dibacakan di tangga bagian
paling atas. Jika rumah tersebut tidak memiliki tangga, maka mantra dibacakan di
depan pintu masuk. Hal ini diharapkan agar pikiran seseorang terbuka lebar
seperti pintu dan pikiran yang bersangkutan dapat menerima ilmu-ilmu yang
diajarkan kepadanya. Imbalan yang diberikan kepada pemantra adalah dengan
sejumlah uang.
4.2.10 Teks J (Kekebalan Tubuh)
Mantra yang berhubungan dengan kekebalan tubuh ini pada umumnya
digunakan oleh masyarakat bukan sebagai aksi gagah-gagahan. Mantra ini
berfungsi sebagai bekal untuk membela diri jika suatu saat menghadapi
perkelahian yang tidak dapat dihindari. Mantra ini berfungsi untuk melindungi
pengguna dari tusukan senjata tajam. Dari data yang ditemukan di lapangan, ada
tiga mantra yang berfungsi sebagai kekebalan tubuh. Ketiga mantra ini merupakan
satu rangkaian. Namun ketiga mantra ini tidak harus selalu dibacakan semua. Jika
184
tidak memiliki cukup banyak waktu, ketiga mantra ini boleh dibacakan hanya
salah satu atau dua mantra dari ketiga mantra yang ada. Jika memiliki waktu yang
cukup, maka akan lebih baik jika ketiga mantra ini dibacakan semua.
4.2.10.1 Baca Budak Tiga ‘Kekuatan Badan’
a. Tujuan Mantra
Mantra untuk kekuatan badan ini bertujuan untuk menjaga badan agar
tahan terhadap segala tusukan saat berkelahi. Mantra ini juga bertujuan agar setiap
anggota tubuh dapat menjadi senjata yang dapat menandingi kekuatan senjata
tajam.
(1) baca budak tiga [baca buda? tiga]
Ah ih uh, [ah ih uh] tidak ada hina aku dikata Allah [tidak ada hina aku dikata allah] tidak ada mati aku dikata nabi. [tidak ada mati aku dikata nabi] (1) ‘mantra budak tiga’ ‘ah ih uh’ ‘tidak ada hina aku dikata Allah’ ‘tidak ada mati aku dikata nabi’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 1
Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Mantra ini disebut ilmu ngaru yaitu ‘ilmu dadakan.’ Disebut ilmu ngaru
karena ilmu ini dapat diamalkan dalam keadaan yang terjepit saat seseorang
secara tiba-tiba diserang orang lain atau sekelompok orang. Penggunaan mantra
ini adalah dengan cara mengasah tangan dan kaki. Proses ini dimulai dari
185
mengasah tangan dengan cara, yaitu dimulai dari telapak tangan kiri bagian dalam
dikibas menggunakan telapak tangan kanan bagian dalam, dilanjutkan dengan
telapak tangan kiri bagian luar dikibas dengan telapak tangan kanan bagian luar.
Setelah tangan kiri selesai dilanjutkan ke tangan kanan, yaitu telapak tangan
kanan bagian dalam dikibas menggunakan telapak tangan kiri bagian dalam, lalu
telapak tangan kanan bagian luar dikibas dengan tangan telapak tangan kiri bagian
luar. Proses berikutnya dilanjutkan dengan mengasah kaki. Kaki diasah
menggunakan tangan, yaitu dimulai dari kaki kanan dikibas menggunakan tangan
kanandan kaki kiri menggunakan tangan kiri. Kaki yang diasah hanya bagian
telapak saja.
4.2.10.2 Asal Besi I ‘Melumpuhkan Senjata Tajam’
a. Tujuan Mantra
Mantra ini bertujuan untuk melumpuhkan senjata tajam yang digunakan
musuh. Pengguna mantra ini menjadi kebal dari tusukan senjata, sehingga
meskipun tertusuk senjata tajam, yang bersangkutan tidak terluka bahkan tidak
tergores sedikit pun. Senjata tajam yang digunakan oleh musuh menjadi tidak
berarti bagi pengguna mantra ini.
(2) asal besi 1 [asal bəsi]
makan sirih sengiang-ngiang [makan sirih səŋiaŋ ŋiaŋ] makan pinang sejantung ati [makan pinaŋ səjantuŋ ati] seribu kali besi belipat [səribu kali bəsi bəlipat] badan haram dimakan besi [badan haram dimakan bəsi] (2) ‘tahan besi 1’ ’makan sirih sengiang-ngiang’
186
‘makan pinang sejantung hati’ ‘seribu kali besi berlipat’ ‘badan haram dimakan besi’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 2
Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Secara satu kesatuan, mantra ini dibacakan setelah mantra nomor (1)
selesai dilakukan. Namun mantra ini tidak selalu dibacakan satu rangkaian dengan
mantra teks J (1). Mantra ini boleh dibacakan terpisah, tanpa harus membacakan
mantra teks J (1), sebaliknya mantra teks J (1) tidak harus selalu didukung atau
diperkuat dengan mantra teks J (2). Pengamalan mantra ini tidak menggunakan
media apa pun. Proses ritual mantra ini hanya dengan dibacakan di dalam hati saja
dan tidak ada gerakan-gerakan yang harus dilakukan pada mantra ini.
Mendapatkan mantra ini juga tidak memiliki persyaratan yang rumit.
Hanya dengan kemauan untuk memiliki dan kemauan dari pemilik mantra untuk
memberikannya, seseorang sudah dapat memiliki amntra ini. Agar mantra dapat
diteriman dengan baik, penerima cukup melipat lengan baju dan melipat kaki
celana yang sedang dikenakannya saat itu.
4.2.10.3 Melumpuhkan Senjata Tajam
a. Tujuan Mantra
Mantra teks J (3) ini adalah kelanjutan dari mantra teks J (2). Mantra ini
juga berfungsi untuk mengebalkan tubuh dari segala jenis senjata tajam. Lebih
tepatnya, mantra ini berfungsi untuk memperkuat fungsi dari mantra teks J (2).
(3) asal besi 2 [asal bəsi]
187
Dari embun menjadi buih [dari əmbun məñjadi buih] Buih menjadi air [buih məñjadi air] Air menjadi tanah [air məñjadi tanah] Tanah menjadi lumut [tanah məñjadi lumut] Lumut menjadi batu [lumut məñjadi batu] Batu menjadi besi [batu məñjadi bəsi] Ah besi ah besi ah besi [ah bəsi ah bəsi ah bəsi] (3) ‘tahan besi’ ‘dari embun menjadi buih’ ‘dari buih menjadi air’ ‘air menjadi tanah’ ‘tanah menjadi lumut’ ‘lumut menjadi batu’ ‘batu mejadi besi’ ‘oh besi oh besi oh besi’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 2
Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Proses ritual dari mantra ini juga sama dengan proses ritual pada mantra
teks J (2), yaitu hanya dibacakan di dalam hati saja dan tidak ada melakukan
gerakan apa pun selain membacakan mantra. Mantra ini hanya bacakan dengan
cara merenung. Mantra ini ditutup dengan membackan “ah besi” yang dapat
dibacakan sebanyak tiga kali atau lima kali atau tujuh kali.
4.2.11 Teks K (Menundukan Orang Lain)
Masyarakat Dayak Desa juga memiliki mantra yang berfungsi untuk
membuat orang lain tunduk kepada pemakai mantra tersebut. Mantra ini membuat
orang lain selalu menuruti kehendak pengguna mantranya.
188
4.2.11.1 Asal Penunuak Mensia ‘Meluluhkan hati orang lain’
a. Tujuan Mantra
Mantara ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, mantra ini dapat
digunakan untuk meluluhkan hati orang lain sehingga selalu menuruti kehendak
atau keinginan penggguna mantra. Dalam suatu instansi atau kelompok, mantra
ini dapat menambah wibawa seorang pemimpinnya. Kedua, mantra ini juga dapat
digunakani untuk memikat hati seseorang atau lawan jenis agar orang yang
dimaksudkan tersebut terpikat kepada pengguna mantra. Mantra ini juga dapat
membuat yang terkena sasaran selalu merindukan penggunanya dan tidak terpikat
pada orang lain.
(1) Asal penunuak mensia [asal pənunuak məñsian]
Mata ari ngau bulan [mata aŗi ŋau bulan] Bumi ngau langit [bumi ŋau laŋit] Bumi batu ampar [bumi batu ampaŗ] Bapakkau batu bulan [bapa?kau batu bulan] Umakkau batu ampar [uma?kau batu ampaŗ] Apakkau teh putih-putih [apa?kau təh putih putih] Umakkau teh merah-merah [uma?kau təh merah merah] Asal kejadi kau [asal kəjadi kau] Palakkau tunuak [pala? Kau tunua?] Atikau gauk [atikau gau?] Tubuh kau belekuak [tubua(h)kau bələkua?] Aku tauk asal temula kau nyadi [aku tau? asal təmula kau ñadi] Tunuk gauk kau padaku [tunua? gau? kau padaku] Mata urang mata aku [mata uŗa(ŋ) mata aku] Ati urang ati aku [ati uŗa(ŋ) ati aku] Ari ujuang bubun naji sampai ke tapak kaki [ari ujuŋ bubun naji sampai tapa? kaki] Tunuak kau padaku [tunua? kau padaku] Ham. [ham] Mata kau pecah [matakau pəca(h)] Jantung kau kubelah [jantu(ŋ)kau kubəla(h)]
189
Lidah kau kupatah [lida(h)kau kupata(h)] Darah tumpah [daŗa(h) tumpa(h)] Ah ah ah ah ah ah ah [ah ah ah ah ah ah ah] Bumi gementar. [bumi gəməntaŗ] (1) ‘menundukkan manusia’ ‘matahari dan bulan’ ‘bumi dan langit’ ‘bumi batu ampar’ ‘bapakkau batu bulan’ ‘mamamu batu ampar’ ‘bapakkau teh merah-merah’ ‘asal kejadi kau’ ‘kepalakau tunduk’ ‘hatikau rindu’ ‘tubuhkau berlekuk’ ‘aku tahu asal mula kaujadi’ ‘tunduk rindu kau padaku’ ‘mata orang mata aku’ ‘hati orang hati aku’ ‘dari ujung kepal sampai ke telapak kaki’ ‘tunduk kau padaku’ ‘ham’ ‘matakau pecah’ ‘jantungkau kubelah’ ‘lidahkau kupatah’ ‘darah tumpah’ ‘ah ah ah ah ah ah ah’ ‘bumi bergetar’ (narasumber nomor: 6, Agustinus, 48 tahun, swasta, SD, perekaman tanggal 3
Agustus 2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Pengamalan mantra ini sangat mudah untuk dilakukan. Mantra ini dapat
diberikan pada makanan atau minuman yang akan dimakan atau diminum
seseorang. Dengan membacakan mantra pada makanan atau minuman seseorang,
maka mantra ini sudah dapat bekerja sesuai kehendak penggunanya. Pengamalan
190
mantra ini dilakukan oleh penggunanya sendiri tanpa bantuan pemantra atau
dibacakan sendiri oleh penggunanya.
Jika ingin mendapatkan mantra ini seseorang melipat lengan baju dan
lengan celana panjang atau celana pendek yang sedang dikenakannya. Hal ini
dilakukan agar ilmu yang diajarkan lebih cepat diterimanya. Tidak ada imbalan
yang harus diberikan kepada pemantra untuk mendapatkan mantra ini.
4.2.11.2 Penunuak ‘Meluluhkan hari orang lain’
a. Tujuan Mantra
Mantra ini sesungguhnya memiliki sifat yang sama dengan mantra pada
nomor (1), yaitu meluluhkan hati orang lain. Perbedaan kedua mantra ini terletak
pada fungsinya masing-masing. Penggunaan mantra ini dimaksudkan agar
penggunanya selalu disenangi oleh orang lain, tidak ada seorang pun yang
menaruh dendam kepadanya. Mantra teks K (2) ini juga berfungsi untuk
meluluhkan hati orang yang sedang berseteru. Seorang pemarah menjadi lebih
sabar dan seorang pendendam menjadi pemaaf dengan oleh karena mantra berikut
ini:
(2) Penunuak [pənunua?]
Inci-inci betaruak putiah [inci inci bətaŗua? putia(h)] Daun setakang derapat embun [daun sətakaŋ dəŗapat əmbun] Ati urang rusi bebaliak kasiah [ati uŗaŋ ŗusi bəbalia? kasia(h)] Alah diguna oleh pada insum [alah diguna oleh pada insum] Insum numuak nyawa tidak bisa berjawab [insum numua? ñawa tida? bisa bəŗjawab] Insum numuak lidah tidak bisa berlipat [insum numua? Lida(h) tida? bisa bəŗlipat]
191
Insum numuak mata tidak bisa berbisap [insum nunua? Mata tida? bisa bəŗbisap] Ah insum (3x) [ah insum] Insum ini bukan berkat dari saya [insum ini bukan bəŗkat daŗi saya] Ini berkat dari Nabi Muhhamad [ini bəŗkat daŗi nabi muhammad] Ah bungkam, syah bungkam [ah buŋkam syah bungkam] Bungkam ada bungkam Muhammad [buŋkam ada buŋkam muhammad] Nginiak batang peredah, patah [ŋinia? Bata(ŋ) pəŗəda(h) pata(h)] Beriniak de batang telasiah [bəŗinia? dəbata(ŋ) təlasia(h)] Tunuk ati urang yang menangah [tunua? ati uŗa(ŋ) yaŋ mənaŋa(h)] Timul ati urang yang kasiah [timul ati uŗa(ŋ) yaŋ kasia(h)] Numuk jantung urang, belah [numua? Jantua(ŋ) uŗa(ŋ) bəla(h)] Numuk empedu urang, pecah [numua? əmpədu uŗa(ŋ) pəca(h)] Ati bepinah kenang berubah. [ati bəpina(h) kəna(ŋ) bəŗuba(h)] ** makan pinang berubah masar [makan pinaŋ bəŗubah masaŗ] Makan sirih daun telasiah [makan siŗih daun təlasia(h)] Tunuak ati orang yang gusar [tunua? ati ora(ŋ) yaŋ gusaŗ] Timul ati urang yang kasiah. [timual ati uŗa(ŋ) yaŋ kasia(h)] (2) ‘menundukkan’ ‘unci-unci berdaun muda berwarna putih’ ‘setangkai daun dibalut embun’ ‘hati orang benci berbalik kasih’ ‘mampu diguna oleh pada insum’ ‘insum menikam mulut tidak bisa menjawab’ ‘insum menikam lidah tidak bisa berlipat’ ‘insum menikam mata tidak bisa berkedip’ ‘ah insum (3x)’ ‘insum ini bukan berkat dari saya’ ‘ini berkat dari Nabi Muhhamad’ ‘menginjak batang peredah, patah’ ‘berinjak di batang selasih’ ‘tunduk hati orang yang keras’ ‘timbul hati orang yang kasih’ ‘menikam jantung orang belah’ ‘menikam empedu orang pecah’ ‘hati berpindah kenang berubah’
192
** ’makan pinang berubah masar’ ‘makan sirih daun selasih’ ‘tunduk hati orang yang gusar’ ‘timbul hati orang yang kasih’ (narasumber nomor: 4, Ratu, 54 tahun, SD, petani, perekaman tanggal 4 Agustus
2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual Mantra
Proses ritual pada mantra ini menggunakan nasi atau beras sebagai
medianya. Nasi atau beras tersebut dimantrai di rumah pengguna mantra terlebih
dahulu kemudian dikunyah. Jumlah beras atau nasi yang dimantra dan dikunyah
harus ganjil, yaitu tiga biji atau lima biji atau tujuh biji. Nasi yang telah dikunyah
tidak boleh ditelan melainkan tetap disimpan di dalam mulut kemudian dibawa ke
rumah yang seseorang yang ingin dimantrai. Sesampai di rumah yang
dimaksudkan, air nasi atau beras yang telah dikunyah sebelumnya di buang tepat
di depan tangga masuk kemudian tangga tersebut ditendang. Proses ritual ini
harus dilakukan di hari jumat.
Mantra ini tidak begitu sulit untuk didapatkan. Tidak ada proses ritual dan
hari yang khusus untuk mendapatkan dan memiliki mantra ini. Cukup dengan
memberi sejumlah uang kepada pemberi pemantra, seseorang sudah dapat
mengamalkan mantra ini. Agar mantra dapat berfungsi dengan baik, sebaiknya
catatan tentang mantra ini tidak boleh dilangkahi.
4.2.11.3 Rajah ‘Menambah Daya Pikat’
a. Tujuan Mantra
Mantra ini bertujuan untuk manambah daya pikat seseorang. Seorang
pengguna mantra akan menjadi terlihat lebih cantik atau lebih tampan dan
193
menawan. Seorang lawan jenis yang diinginkan akan menyayangi dan mencintai
pengguna mantra. Orang yang terkena mantra ini selalu memikirkan
penggunanya. Pengguna mantra ini selalu memiliki daya pikat tersendiri dan
terlihat lebih mempesona bagi siapa saja yang memandangnya, sehinnga
pengguna senantiasa dikagumi. Mantra yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
(3) rajah binyak [ŗajah biñyak]
Binyak setipu duyuang [biñak sətipu duyua(ŋ)] Tanak dalam citak temaga [tanak dalam citak təmaga] Aku diri seperti payuang [aku diŗi səpəŗti payua(ŋ)] Aku duduk seperti anak raja [aku duduk səpəŗti anak ŗaja] Seri aku sebagai anak bidu bedari [səŗi aku səbagai anak bidu bədaŗi] Cahaya aku sebagai bulan purnama limak belas ari [cahaya aku səbagai bulan
puŗnama lima? bəla(s) ari] Aku bepilik manang biliek, [aku bəpilia? Mana(ŋ) bilia?] Manang simpiak pingan ngeri [mana(ŋ) simpia? Piŋan ŋəŗi] Aku penyah manang dilah [aku pəña(h) mana(ŋ) dila(h)] Manang pasah penantai padi [mana(ŋ) pasa(h) pənantai padi] Aku bepayung manang bumuang , [aku bəpayua(ŋ) mana(ŋ) bumua(ŋ)] Manang tangkuang, manang keladi [mana(ŋ) taŋkua(ŋ) mana(ŋ) kəladi] Seri aku sebagai anak bidu bedari [səŗi aku səbagai anak bidu bədaŗi] Cahaya aku sebagai bulan purnama limak belas ari. [cahaya aku səbagai bulan
puŗnama lima? bəla(s) aŗi] (3) ‘pelet minyak’ ‘minyak setipu duyung’ ‘ditanak dalam cetakan dari tembaga’ ‘aku berdiri seperti payung’ ‘aku duduk seperti anak raja’ ‘auraku seperti anak bidadari’ ‘cahaya aku seperti bulan purnama lima belas hari’
194
‘aku bersinar manang bilik’ ‘manang sebuah piring ngeri’ ‘aku penyah manang lidah’ ‘manang lumbung tempat menyimpan padi’ ‘aku berpayung manang bumbung’ ‘manang tangkung,manang keladi’ ‘auraku seperti anak bidadari’ ‘cahaya aku seperti bulan purnama lima belas hari’ (nara sumber nomor: 4, Ratu, 54 tahun, SD, petani, perekaman tanggal 5 Agustus
2007, di Desa Umin, oleh Sri Astuti)
b. Proses Ritual
Media yang digunakan dalam mantra ini adalah minyak rambut bisa jenis
apa saja. Minyak rambut diambil secukupnya dan disimpan di telapak tangan
untuk dimantra. Setelah dimantrai minyak rambut tersebut dipukul sekali lalu
digosok, kemudian diusapkan di rambut. Cara mengusap rambut harus dari kening
ke atas sebanyak tiga kali. Mantra ini dapat dimiliki dengan memberikan sejumlah
uang kepada pemilik mantra.
4.3 Fungsi Mantra Berdasarkan Alasan Mistis yang Melatarbelakanginya
Berdasarkan alasan mistis yang melatarbelakanginya, mantra bahasa
Dayak Desa dapat diklasifikasikan menjadi tiga fungsi, yaitu fungsi religius,
fungsi pengobatan, dan fungsi magis. Fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai
berikut.
195
4.3.1 Fungsi Religius
Hampir semua mantra bahasa Dayak Desa memiliki fungsi religius. Fungsi
religius ini berupa ucapan syukur kepada Tuhan dan ucapan terimakasih kepada
nenek moyang yang telah memberi dan mengajarkan mantra. Fungsi religius ini
terdapat pada bait terakhir mantra. Bunyi bait tersebut adalah sebagai berikut: dari
tuan tanah Rebuah, re Mungah beruba tawar, ketauk asal temula nyadi, cit-citan
tabarlah ‘dari tuan tanah Rebuah, dari Mungah yang mengajarkan mantra,
mengetahui asal mula terjadi, cit-citan redalah’. Fungsi ini penting untuk
membujuk ilahi untuk membantu pemantra agar sesuatu terjadi sesuai dengan
yang dikehendaki.
4.3.2 Fungsi Pengobatan
Mantra yang paling banyak dijumpai adalah mantra yang berfungsi
sebagai pengobatan. Hampir semua jenis penyakit dapat disembuhkan dengan
mantra. Berdasarkan data yang dianalisis, ada 28 jenis penyakit yang dapat diobati
dengan mantra, yaitu untuk mengobati sakit kepala, mengobati perut kembung,
mengobati sakit perut mulas, mengobati sakit perut melilit, mengobati batuk,
mengobati susah buang air besar, mengobati muntah, mengobati muntaber,
mengobati radang tenggorokan, mengobati biduren, mengobati herpes, mengobati
bisulan, mengobati terkena bisa ulat bulu, mengobati tersengat penyengat,
mengobati tersengat lipan, mengobati tersengat kala jengking, mengobati terkena
racun ular berbisa, menyembuhkan luka bakar, mengobati penyakit yang kambuh
saat tengah malam, mengobati sakit tubuh, mengobati penyakit yang dikirim
196
dengan cara gaib, menangkal racun, mengobati sakit perut hendak melahirkan,
mengatasi ari-ari yang susah keluar, mengatasi permasalahan pada payudara saat
pertama kali melahirkan, mengobati keselak, dan menghindari kepunan.
4.3.3 Fungsi Magis
Sebagian mantra bahasa Dayak Desa memiliki fungsi magis. Fungsi magis
berkaitan dengan sesuatu yang bekerja dengan daya-daya mistis. Mantra-mantra
yang memiliki fungsi magis yaitu: mengusir hantu, menambah daya ingat,
kekebalan tubuh, melumpuhkan senjata tajam, meluluhkan hati orang lain, dan
menambah daya pikat.
4.4 Rangkuman
Dari jumlah mantra bahasa Dayak Desa yang dapat peneliti kumpulkan,
yaitu sebanyak 40 buah, dapat diklasifikasikan menjadi 11 jenis berdasarkan
tujuannya. Jenis-jenis mantra tersebut adalah sebagai berikut: (i) menyembuhkan
penyakit yang biasa, (ii) menyembuhkan penyakit kulit, (iii) menyembuhkan
penyakit yang terkena binatang, (iv) menyembuhkan sakit karena luka bakar, (v)
menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh pengaruh setan atau santet, (vi)
mantra yang berhubungan dengan keluarga, (vii) mantra yang berhubungan
dengan makanan, (viii) mantra yang berhubunan dengan kecerdasan atau daya
ingat, (ix) mantra untuk kekebalan tubuh, (x) dan mantra yang berhubungan
dengan percintaan dan meluluhkan hati orang lain.
197
Berdasarkan alasan mistis yang melatarbelakanginya, mantra bahasa
Dayak Desa dapat diklasifikasikan dalam tiga fungsi, yaitu fungsi religius, fungsi
pengobatan, dan fungsi magis. Fungsi religius berkaitan dengan ucapan syukur
kepada Tuhan dan ucapan terimakasih kepada nenek moyang yang telah
mengajarkan mantra. Hampir semua mantra bahasa Dayak Desa memiliki fungsi
religius. Fungsi ini terlihat pada bait terkhir dari mantra. Bait mantra tersebut
adalah sebagai berikut: dari tuan tanah Rebuah, dari Mungah beruba
tawar,ketauk asal temula nyadi cit-citan tabarlah ‘dari tuan tanah Rebuah,yaitu
Dewa atau Tuhan, dari Mungah, yaitu nenek moyang yang menerima dan
mngajarkan mantra, mengetahui asal mula terjadi, cit-citan, yaitu sakit yang
dirasakan redalah’. Mantra yang berfungsi sebagai pengobatan sangat banyak
dijumpai. Hampir semua jenis penyakit dapat disembuhkan melalui mantra.
mantra-mantra tersebut yaitu: menyembuhkan berbagai jenis penyakit, di
antaranya yaitu menyembuhkan sakit kepala, mengobati perut kembung,
mengobati sakit perut mulas, mengobati sakit perut melilit, mengobati batuk,
mengobati susah buang air besar, mengobati muntah, mengobati muntaber,
mengobati radang tenggorokan, mengobati biduren, mengobati herpes, mengobati
bisulan, mengobati terkena bisa ulat bulu, mengobati tersengat penyengat,
mengobati tersengat lipan, mengobati tersengat kala jengking, mengobati terkena
racun ular berbisa, menyembuhkan luka bakar, mengobati penyakit yang kambuh
saat tengah malam, mengobati sakit tubuh, mengobati penyakit yang dikirim
dengan cara gaib, menangkal racun, mengobati sakit perut hendak melahirkan,
mengatasi ari-ari yang susah keluar, mengatasi permasalahan pada payudara saat
198
pertama kali melahirkan, mengobati keselak, dan menghindari kepunan. Mantra
yang berfungsi magis juga cukup banyak ditemukan, di ataranya yaitu: mengusir
hantu, menambah daya ingat, kekebalan tubuh, melumpuhkan senjata tajam,
meluluhkan hati orang lain, dan menambah daya pikat.
Proses ritual mantra bahasa Dayak Desa memiliki tiga bagian, yaitu
pertama, proses mendapatkan mantra, kedua, proses pelaksanaan atau pengamalan
mantra, dan ketiga, adalah proses penutup. Pada proses pertama, yaitu proses
untuk mendapatkan mantra, memiliki ritual yang berbeda-beda sesuai dengan
persyaratan dari setiap mantra. Ada mantra yang tidak memiliki persyaratan yang
rumit dan ada pula mantra yang meiliki persyaratan yang sangat rumit sehingga
tidak semua orang dapat memenuhi persyaratan tersebut.
Dilihat dari proses ritual pengamalan atau pelaksanaannya, mantra bahasa
Dayak Desa sebagian besar diucapkan dengan cara berbisik, yaitu pemantra
membacakan mantranya tanpa ada yang mendengarnya. Hanya sebagain kecil saja
yang dilakukan dengan cara diceritakan kapada seseorang yang dimantrai.
Sebagian kecil dari mantra bahasa Dayak Desa mendapat pengaruh dari
budaya Islam, meskipun pemilik mantra sendiri bukan berasal dari agama Islam.
Hal ini ter lihat kalimat-kalimat dari beberapa mantra yang terdapat kata-kata
seperti “Bismillahhir rahmani rahim, Muhammad’ dan sebagainya.
199
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan mengenai gaya bahasa fungsi
dan proses ritual mantra bahasa Dayak Desa, dapat disimpulkan sebagai berikut.
Ada beberapa gaya bahasa yang digunakan dalam mantra bahasa Dayak
Desa. Berdasarkan langsung tidaknya makna, gaya bahasa yang digunakan adalah
gaya bahasa perulangan dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa perulangan
meliputi: (i) aliterasi, (ii) asonansi dan (iii) gabungan. Gaya bahasa kiasan
meliputi: (i) perbandingan, (ii) metafora, (iii) allegori, (iv) personifikasi, (v)
metonimia, (vi) gabungan.
Mantra bahasa Dayak Desa seringkali mengunakan bahasa yang puitis.
Kepuitisan bahasa yang digunakan tersebut disertai dengan perulangan-
perulangan bunyi dengan pola yang bervariasi dan tidak monoton hanya pada satu
bentuk saja. Aliterasi dan asonansi muncul dengan kemungkinan yang sama,
bahkan ada yang digunakan secara bersamaan dalam satu bait. Perulangan-
perulangan bunyi aliterasi dan asonansi tersebut memiliki pola yang bervariasi.
Pola-pola tersebut yaitu (i) ab-ab, (ii) aaa, (iii) aa-bbb-a dan (iv) aa-bb-cc. pola-
pola tersebut terwujud dalam pasangan kata, pasangan bait, dan pasangan kata dan
bait.
Gaya bahasa kiasan digunakan dengan tujuan untuk menyebut zat gaib
dengan cara yang halus. Zat gaib terkadang diungkapkan dengan mengiaskannya
dengan sesuatu yang indah dan terkadang disertai dengan pujian-pujian dalam
200
bentuk yang puitis dan bunyi yang berulang-ulang. Bahasa yang puitis dan bunyi
yang berulang-ulang yang diciptakan dengan berbagai variasi, merupakan salah
satu cara untuk mengintensifikasikan efek yang diinginkan. Dengan cara ini zat
gaib dapat dengan mudah dirayu atau dibujuk atau bahkan diperintahkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak pengguna
mantra.
Bahasa yang digunakan dalam mantra bahasa Dayak Desa bukanlah
bahasa yang sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Bahasa yang
digunakan sangat unik. Banyak penggunaan istilah-istilah khusus yang tidak akan
dijumpai dalam komunikasi sehari-hari dalam bahasa Dayak Desa sendiri.
Terkadang kosa kata yang digunakan dalam mantra tidak dapat dimengerti secara
harafiah. Kosa kata-kosa kata yang digunakan tersebut terkadang hanya dapat
terpahami maknanya oleh dunia gaib.
Mantra bahasa Dayak Desa memiliki beragam jenis dengan tujuannya
masing-masing. Mantra untuk menyembuhkan penyakit yang biasa meliputi: (i)
mantra mengobati sakit kepala, (ii) mengobati perut kembung, (iii) mengobati
perut mulas, (iv) mengobati sakit perut melilit, (v) mengobati batuk, (vi)menobati
susuh buang air besar, (vii) megobati muntah, (viii) mengobati muntaber, dan (ix)
mengobati radang tenggorokan. Mantra yang bertujuan untuk mengobati penyakit
kulit meliputi: (i) mengobati biduren, (ii) mengobati herpes, dan (iii) mengobati
bisulan. Mantra yang berfungsi untuk mengobati penyakit akibat terkena binatang
meliputi: (i) menyembuhkan gatal terkena ulat bulu, (ii) tersengat penyengat, (iii)
tersengat lipan, (iv) tersengat kala jengking, dan (v) dipatuk ular berbisa. Mantra
201
yang bertujuan untuk mengobati kulit yang luka bakar ada satu jenis. Mantra yang
bertujuan untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh hantu dan
manusia atau santet meliputi: (i) penyakit yang kambuh saat tengah malam, (ii)
mengobati sakit tubuh, (iii) mengobvati sakit tubuh, (iv) penyakit yang dikirim
dengan cara gaib, dan (v) menangkal racun santet. Mantra yang berhubungan
denga keluarga meliputi: (i) mengatasi saskit perut hendak melahirkan, (ii)
mengatasi ari-ari yang susah keluar, (iii) mengeluarkan ari-ari (kelanjutan dari
nomor (ii)), (iv) mengatasi permasalahan pada payudara pada ibu yang baru
pertama kali melahirkan, dan (v) mengatasi bayi yang diganggu makhluk halus.
Mantra yang bertujuan untuk mengusir hantu yang mengganggu terdapat satu
jenis. Mantra yang berhubungan dengan makanan meliputi: (i) mengobati keselak,
(ii) mengobati kepunan, dan (iii) mengobati kepunan. Mantra yang berhubungan
dengan daya ingat meliputi: (i) menambah daya ingat, dan (ii) mempertajam daya
ingat. Mantra yang berhubungan dengan kekebalan tubuh meliputi: (i) baca budak
tiga, (ii) melumpuhkan senjata tajam, dan (iii) melumpuhkan senjata tajam
(kelanjutan dari nomor (ii)). Mantra yang bertujuan untuk menundukan orang lain
atau menambah wibawa meliputi: (i) meluluhkan hati orang lain, (ii) meluluhkan
hati orang lain, dan (iii) menambah daya pikat. Dari banyaknya jenis mantra
tersebut menunjukan bahwa masyarakat Dayak pada umumnya dan Dayak Desa
khususnya sangat dekat dengan mantra.
Berdasarkan alasan mistis yang melatarbelakanginya, mantra bahasa
Dayak Desa dapat diklasifikasikan dalam tiga fungsi, yaitu fungsi religius, fungsi
pengobatan, dan fungsi magis. Fungsi religius berkaitan dengan ucapan syukur
202
kepada Tuhan dan ucapan terimakasih kepada nenek moyang yang telah
mengajarkan mantra. Hampir semua mantra bahasa Dayak Desa memiliki fungsi
religius. Fungsi ini terlihat pada bait terkhir dari mantra. Mantra yang berfungsi
sebagai pengobatan sangat banyak dijumpai. Hampir semua jenis penyakit dapat
disembuhkan melalui mantra. Mantra yang berfungsi magis juga cukup banyak
ditemukan, di ataranya yaitu: mengusir hantu, menambah daya ingat, kekebalan
tubuh, melumpuhkan senjata tajam, meluluhkan hati orang lain, dan menambah
daya pikat.
Ada tiga tahap proses ritual yang dilakukan dalam mantra Bahasa Dayak
Desa. Tahap pertama berupa ritual untuk mendapatkan mantra. Pada proses ini
seorang ahli waris harus memenuhi dan melakukan persyaratan sesuai dengan
mantra yang dimaksudkan. Setiap pewarisan mantra memiliki tingkatan yang
berbeda. Ada mantra yang dapat diwariskan tanpa syarat apa pun, ada yang hanya
dengan memberi imbalan kepada pewarisnya dan ada pula mantra yang
diwariskan harus dengan persyaratan khusus dan tidak semua orang dapat
menerimanya. Tahap kedua adalah ritual pengamalan atau pelaksanaan mantra.
Pada tahap ini yang memiliki peranan terpenting adalah pemantra. Tahap yang
terakhir berupa imbalan dari mantra yang dibacakan. Terpenuhinya imbalan yang
diberikan memiliki pengaruh terhadap kemanjuran mantra.
Hampir semua mantra dibacakan dengan cara berbisik. Tidak ada yang
mendengar saat pemantra sedang membacakan mantranya. Hanya mantra-mantra
tertentu yang dibacakan dengan cara diceritakan kepada seseorang yang
bersangkutan. Setiap mantra memiliki proses ritual dengan cara yang berbeda-
203
beda. Hampir semuanya mantra menggunakan media garam dan air putih. Selain
garam dan air putih, media yang juga sering digunakan adalah kapur sirih.
5.2 Saran
Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih luas lagi oleh peneliti
selanjutnya. Berdasarkan pengalaman dalam studi ini, disarankan perlu adanya
penelitian lebih lanjut yang lebih luas (ekstensif) dan lebih dalam (intensif)
mengenai mantra bahasa Dayak pada umumnya dan bahasa Dayak Desa
khususnya, sehingga akan lebih banyak mantra yang dikumpulkan dan dianalisis.
Mantra yang belum diteliti masih sangat banyak sebab banyak pemilik yang
merahasiakan mantra yang dimilikinya. Mantra dapat pula dikaji dari segi
psikososial, proses penciptaan, dan hubungannya dengan konsep kesehatan
masyarakat.
204
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. 2003. Folklor Amerika: Cermin Multikultural yang Manunggal. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
_______ 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti. Hadi, Sutrisno. 1982. Metodologi Research. Jilit II. Yogyakarta: Yayasan
Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas gadjah Mada. Ismail, Abdulrachman,dkk. 1996. Fungsi Mantra Dalam Masyarakat Banjar.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengeembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan. _______1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia. Keane, Webb. 1997. “Religious Language”.Annual Review of Anthropology. Vol
26. Keraf, Gorys 1984. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia. Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar Metode Penelitian Bahasa.
Yogyakarta : Carasvatibooks. Koentjaraningrat. 1974. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian
Rakyat. Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Antropologi I. Universitas Indonesia. Komarudin. 1974. Metode Penulisan Skripsi dan Tesis. Bandung: Angkasa. Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang. 2006. “Kecamatan Dedai” Didownload
dari http://www.sintang.go.id/map/detai_kecamatan.asp?kecId=14. Tanggal 7 Juni 2008.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Soedjijono,dkk. 1987. Struktur dan Isi Mantra Bahasa jawa di Jawa Timur.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
205
Sudaryanto. 1993. Metode dan Anaka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Duta Wacana University Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa. Taum, Yoseph Yapi. 2004. “Tradisi Fua Pah: Ritus dan Mitos Agraris Masyarakat
Dawan di Timor”. Bahasa Merajut Sastra Merajut Budaya. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Halaman : 196-197.
________ 1994. “Tredisi dan Transpormasi Cerita Wato Wele-Lia Nurat dalam
Sastra Lisan Flores Timur”. Tesis. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990.
Kamus Basar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. ________1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 2. Jakarta: Balai Pustaka. Yusuf, Yusri, dkk. 2001. Struktur dan Fungsi Mantra Bahasa Aceh. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Daftar Narasumber
(1) Agustinus, umur 48 tahun, pendidikan SD, pekerjaan swasta, agama
Katolik.
(2) Belebas, umur 69 tahun, buta huruf, petani, agama Katolik.
(3) Kasianus Joko, umur 54 tahun, pendidikan SD, pekerjaan swasta,
petani padi, lada, dan karet, agama Katolik, jabatan dalam masyarakat
adat adalah sebagai petua adat.
(4) Lemia, umur 70 tahun, buta huruf, pekerjaan petani, agama Katolik.
(5) Marta, umur 50 tahun, pendidikan SD, pekerjaan petani padi, lada dan
karet, agama Katolik.
(6) Ratu, umur 54 tahun, pendidikan SD, pekerjaan petani padi, karet, dan
lada, agama Katolik.
206
(7) Simon, umur 34 tahun, pendidikan SMK, pekerjaan petani padi dan
karet, agama Katolik.
(8) Teresiana Bangi, umur 44 tahun, pendidikan SD, pekerjaan petani padi
dan karet, agama Katolik.
207
BIOGRAFI PENULIS
Sri Astuti lahir 13 April 1984 di Umin, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Pendidikan yang ditempuh oleh penulis, yaitu SDN 13 Sei Manan, pada tahun 1997, lulus SLTP Negeri 2 Sintang pada tahun 2000, lulus SMU Panca Setya Sintang pada tahun 2003. Menempuh kuliah SI angkatan 2003 pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarata. Penulis menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi pada tahun 2008 dengan tugas akhir yang berjudul “Manatra Bahasa Dayak Desa: Studi
Tentang Gaya Bahasa, Tujuan, Proses Ritual, dan Fungsi”.
208
LAMPIRAN
209
GAMBAR 1: media mantra untuk menyembuhkan sakit kepala, yaitu air putih, kunyit, garam, dan bentuk tulisan di kedua pelipis
GAMBAR 2: media yang digunakan untuk mengobati sakit perut, yaitu air putih, kunyit, garam, dan kapur sirih yang ditulis di pusar membentuk tanda tambah.
210
GAMBAR 3: tembakau yang diletakkan di pusar untuk mengobati sakit perut melilit
GAMBAR 4: media yang digunakan untuk mengobati muntaber, yaitu air putih, kunyit, dan garam.
211
GAMBAR 4: media yang digunakan untuk mengobati radang tenggorokan, yaitu beras disimpan dalam piring dan akar-akaran.
GAMBAR 5: abu dari akar-akaran yang dibakar dan dimasukan ke air putih untuk diminum.
212
GAMBAR 6: bagian akar dari bawang putih yang digunakan sebagai media yang digunakan untuk mengobati tersengat penyengat
GAMBAR 7: media yang digunakan untuk mengobati terkena ular berbisa, yaitu bambu dan potongan kayu bakar yang dibakar
213
GAMBAR 8: media yang digunakan untuk mengobati sakit tubuh, yaitu kunyit yang dipotong menjadi tiga bagian, air putih, dan kapur sirih.
GaMBAR 9: bentuk tulisan menggunakan kapur sirih dengan anak panah mengarah ke bawah untuk mengobati sakit tubuh
214
GAMBAR 10: bentuk tulisan menggunakan kapur sirih di jempol kaki berbentuk
anak panah yang mengarah ke luar
GAMBAR 11: kunyit yang sudah dimantra dan dihancurkan kemudian ditempelkan dalam lingkaran yang telah ditulis menggunakan kapur sirih.
215
Gambar 12: bulu burung ruai, yaitu salah satu media yang digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh santet.
GAMBAR 13: bentuk tulisan, yaitu tanda silang dengan menggunakan kapur sirih yang ditulis pada payu dara yang sakit
216
GAMBAR 14 : bentuk tulisan menggunkan kapur sirih di labu yang digunakan untuk mengatasi bayi yang menagis karena diganggu setan
GAMBAR 15: garam yang diletakan di atas beras, sebagai imbalan yang diberikan kepada pemantra untuk mengatasi bayi yang menangis karena gangguan setan
217
GAMBAR 16: kayu yang ditanam membentuk segi tiga, untuk mengusir hantu.
GAMBAR 17: media yang digunakan untuk mengobati kepunan, yaitu abu dapur yang berada di antara tungku tiga yaitu tiga buah tungku dari batu.
218
GAMBAR 18: media yang digunakan untuk mantra daya ingat, yaitu tiga kepalan nasi yang disimpan di dalam piring dan air putih
GAMBAR 19: beras tujuh biji yang digunakan sebagai media untuk meluluhkan hati orang lain
219
GAMBAR 20: minyak rambut yang digunakan sebagai media untuk menambah daya pikat
GAMBAR 21: minyak yang sudah dimantrai dioleskan ke rambut
Recommended