View
418
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
MELACAK GENEALOGI NALAR ARAB
Pengantar
The only permanent aspect of science is reseach.1 Penegasan Brown
tersebut menyadarkan kembali akan arti pentingnya riset atau ijtihad dalam
terma fiqh dalam pengembangan keilmuan Islam vis a vis arus global
modernitas dan beragam problematika kehidupan kontemporer; kemiskinan,
dekadensi moral, hak asasi manusia dan yang lainnya. Dengan begitu klaim
Islam sebagai “s}a>lih} li kulli zama>n wa maka>n” dan kehadirannya
merupakan “rah}mah li al-‘a>lami>n” menemukan relevansinya. Sejarah
telah menunjukkan bagaimana geliat dinamika keilmuan Islam pada era-era
awal merespon situasi sosial budaya kala itu. Akan tetapi pada era pasca
tadwin ketika dihembuskan kabar bahwa pintu riset/ijtihad telah tertutup dan
dibakukannya keilmuan Islam, nyaris perkembangan keilmuan Islam
mengalami stagnasi yang akut.
Di sinilah pentingnya menyuburkan kembali aktivitas ijtihad. Ijtihad
adalah isu sentral keilmuan Islam yang mempunyai concern terhadap
implementasi teks dan spirit keagamaan ke dalam berbagai lingkup sosial
budaya yang terus berkembang. Akan tetapi persoalannya sebagaimana
dilansir oleh al-Jabiri, nalar ijtihad/riset sebagaimana telah dibakukan di
dalam teks-teks klasik atau dalam struktur mental umat Islam adalah nalar
ijtihad yang mempunyai kelemahan metodologis yang fundamental dan
kelemahan visi yang berakibat pada terabaikannya dimensi kesejarahan
tradisi.2 Nalar ijtihad ini hanya merupakan mekanisme untuk memelihara
Oleh : Abid Rohmanu.1 A. Qodry Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman (Semarang: Aneka Ilmu, 2004), 7.2 Muh}ammad ‘A<bid al-Ja>biri>, Al-Di>n wa al-Dawlah wa Tat}bi>q al-Shari>’ah (Libanon: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, 1996), 150
Melacak Genealogi Nalar Arab
tradisi masa lalu dalam konteks kehidupan kekinian dan menghindarkan diri
dari titik tolak realitas objektif.
Adalah Muh}ammad ‘A>bid al-Ja>biri sosok pembaharu yang peduli
dengan persoalan rekonstruksi tradisi dengan mega-proyeknya “Kritik Nalar
Arab”. Tulisan-tulisan al-Jabiri mencoba menguak genealogi3 Nalar Arab
untuk bisa memberikan solusi yang mengakar terhadap problem tradisi.
Buku I dan II al-Jabiri, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi dan Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi
merupakan kerangka referensial untuk melihat genealogi tersebut. Dalam
buku pertamanya al-Jabiri mengkaji tentang perkembangan struktur
epistemologis nalar Arab pada masa-masa awal tadwi>n, sementara buku
keduanya menganalisis lebih lanjut tentang struktur nalar tersebut.
Sekilas Biografi al-Ja>biri
Muhammad ‘Abid al-Jabiri adalah Filosof Maroko Kontemporer yang lahir
pada tahun 1936 di kota fekik, Maroko tenggara,4 bagian dari wilayah
Maghribi yang telah banyak menelorkan Filosof-Filosof Klasik kenamaan
semisal Ibn Rushd, Ibn khaldu>n, Ibn H}azm dan al-Sha>tibi. Dan nyatanya
al-Ja>biri mengidolakan tokoh-tokoh tersebut karena dinilai sebagai motor
semangat rasionalisme dalam konstelasi ilmu-ilmu keislaman. Maroko juga
merupakan wilayah yang pernah menjadi daerah protektoriat Perancis.
Karenanya, Bahasa Arab dan Bahasa Perancis merupakan bahasa resmi
3 Dalam perspektif Foucauldian, genealogi adalah sejarah yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian (concern) masa kini. Sejarah direkontruksi untuk pemenuhan kebutuhan masa kini. Masa kini yang selalu dalam proses transformasi mengandung implikasi bahwa masa lalu harus terus menerus dievaluasi ulang. Genealogi tidak bermaksud memelihara kontinuitas, akan tetapi justru mengidentifikasi hal-hal yang menyempal, retakan-retakan, tumpang tindihnya pengetahuan dan kenangan-kenangan yang bersifat lokal. Lihat, Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Integensia Muslim Indonesia Abad 20 (Jakarta: Mizan, 2005), 9.4al-Ja>biri>, Kritik Pemikiran Islam; Wacana Baru Filsafat Islam, ter. Burhan (Yogyakarta: Fakar Pustaka Baru, 2003), vi.
2
Melacak Genealogi Nalar Arab
wilayah ini. Dan karena itu pula al-Jabiri banyak berdialog dengan tradisi
pemikiran Perancis yang banyak diwarnai oleh analisa sejarah, kritik filsafat
dan kritik nalar serta jauh dari bentuk-bentuk formalisme.5 Pergumulan al-
Jabiri dengan dua tradisi sekaligus – tradisi Arab dan Perancis – di Maroko
bisa disebut sebagai cultural encounter (perjumpaan dua tradisi) yang
mengantarkan al-Jabiri pada pembacaan kritis-epistemologis terhadap tradisi
Arab.
al-Ja>biri merepresentasikan dirinya sebagai kelompok post-modernis,
sekelas dengan Abu Zayd, Hasan Hanafi dan Arkoun. Luthfi as-Syaukanie
menggolongkan tipologi pemikiran kelompok ini sebagai reformistik dengan
pendekatan yang dekonstruktif dalam membaca tradisi (tura>th). Kajian-
kajian yang sering mereka libatkan dalam metodologi mereka adalah
semiotika, antropologi dan sejarah dengan afiliasi sepenuhnya pada filsafat
strukturalisme dan post-strukturalisme.6
al-Ja>biri adalah seorang dosen, seminaris dan penulis yang cukup
produktif. Ada 17 karya dalam bentuk buku yang telah dihasilkan selain
goresan penanya yang berbentuk makalah seminar, artikel dan yang
semisalnya.7 Di antara karya-karyanya yang cukup popular adalah tiga buku
berseri-nya, seri I dirilis tahun 1982 kemudian seri II tahun 1986 dan seri III
5Muhammad Abed al-Ja>biri>, Post Tradisionalisme Islam, ter. Ahmad Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000), xvi.6A Luthfi al-Syaukanie, "Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer ", Paramadina, Vol. I, No. I (Juli – Desember 1998), 75 – 76. Baik strukturalisme maupun post-strukturalisme sama-sama menjadikan bahasa sebagai faktor dominan dalam objek studi. Karena keduanya mementingkan keteraturan logis, struktur yang mendasar serta makna-makna umum sebagaimana bahasa (linguistic) mempunyai pola-pola yang serupa, selain bahasa itu sendiri bisa menunjuk pada fenomena-fenomena sosial tertentu. Lihat, Pier Paolo Giglioli (ed.), Language and Social Context (New York: Penguin Books, 1985), 9.7Untuk mengetahui lebih lengkapnya karya-karyanya lihat antara lain, al-Ja>biri, Post, XIII.
3
Melacak Genealogi Nalar Arab
tahun 1990, yang mewadahi “kritik nalar Arab-nya” (Naqd al-‘Aql al-‘Arabi).8
Karya-karyanya telah banyak mendapatkan respon dari kalangan akademisi,
baik dalam bentuk kajian-kajian maupun penterjemahan-penterjemahan.
Basis Epistemologis Nalar Arab
Dalam bukunya Takwi>n al-‘Arabi, al-Ja>biri mendefinisikan
epistemologi sebagai sejumlah konsep, prinsip dan cara kerja untuk mencari
pengetahuan dalam rentang sejarah dan kebudayaan tertentu dengan
struktur tak sadar yang melingkupinya.9 Sementara Nalar Arab dimaknai
sebagai al-‘aql al-mukawwan, yakni kumpulan aturan, dan kaidah berpikir
yang diberikan oleh budaya Arab terhadap penganutnya sebagai landasan
untuk memperoleh pengetahuan. Aturan dan kaidah berpikir tersebut
menurut al-Ja>biri, keberadaannya ditentukan dan dipaksakan secara tak
sadar.10
Sementara nalar Arab itu sendiri menurutnya mempunyai tiga sistem
pengetahuan atau epistemologi, yaitu epistem bahasa (baya>ni) yang
berasal dari kebudayaan Arab, epistem gnosis (‘irfa>ni) yang berasal dari
tradisi Persia dan Hermetis dan epistem rasionalis (burha>ni) yang berasal
dari Yunani.11
Epistem Baya>ni
8Buku I triloginya adalah Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi, (Libanon : Markaz Dirasat al-Wah}dah al-‘Arabiyah, 1989) cet. IV, kemudian disusul buku II dan III-nya, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirâsah Tahli}liyyah Naqdiyyah li al-Nuz}um al-Ma’rifah fi al-Thaqa>fah al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993) cet. III, dan al-‘Aql al-Siya>si al-‘Arabi; Muh}addidah wa Tajalliyyatuh (Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1991).9 al-Ja>biri, Takwi>n, 37.10 Ibid., 15.11Al-Ja>biri>, Al-Tura>th wa al-H}ada>thah; Dira>sa>t .. wa Muna>qasha>t (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wah}dah al-‘Arabiyah, 1999), 142.
4
Melacak Genealogi Nalar Arab
Secara etimologis al-baya>n bermakna proses penampakan dan
menampakkan (al-z}uhu>r dan al-iz}ha>r) serta aktivitas memahami dan
memahamkan (al-fahm dan al-ifha>m). Terma al-baya>n mengungkap pola
persepsi (world view) dan pola epistemologi yang khas Arab.12 Sedangkan
makna terminologis dari al-baya>n adalah himpunan kaidah dan aturan
untuk menafsirkan wacana (khit}a>b) yang terungkap dari teks atau dalam
bahasa al-Sha>fi’i, aturan bagaimana mengorientasikan al-far’ (kasus yang
tidak terekam teks) pada teks sebagai al-as}l.13
Dari pengertian di atas bisa dipahami bahwa sumber pengetahuan
dalam epistem baya>ni adalah teks (wahyu). Hal ini relevan dengan
pendapat Nasr Hamid Abu Zaid yang mengatakan bahwa peradaban Arab-
Islam adalah peradaban teks. Itu artinya bahwa dasar-dasar ilmu dan budaya
Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas landasan teks sebagai titik
sumbunya.14 Dalam kajian epistemologi, ada keterkaitan yang erat antara
bahasa dengan pengetahuan. Dalam kerangka ini, genealogi pemikiran Arab
pertama kali harus ditelusuri dari Bahasa Arab dan metode baya>niyah-
nya.15
Karena teks merupakan sumber asasi dalam epistem baya>ni, maka
bahasa menepati posisi yang strategis dalam epistem ini. Perhatian yang
begitu besar terhadap bahasa bisa kita lihat sejak awal sejarah Islam dan
mencapai puncaknya ketika terjadi intensifikasi kontak dan komunikasi
dengan pihak non-Arab dan melahirkan apa yang disebut dengan lah}n.16 Hal
ini menuntut adanya pembakuan bahasa yang bahan bakunya diambil dari
12 al-Ja>biri, Bunyah, 556.13 Ibid., 17.14 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an (Yogyakarta: LKiS, 2002), 1.15 al-Ja>biri, Takwi>n, 130.16 Lah}n adalah kesalahan dalam berbahasa baik menyangkut kesalahan gramatika (gramatical mistake), bacaan, dan penyusunan kata. Lihat Muhammad al-Tiwanji, al-Mu’jam al-Mufas}s}al fi> al-Adab, Vol. II (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993), 735.
5
Melacak Genealogi Nalar Arab
kalangan pedalaman Badui yang otentisitas bahasanya dianggap masih
terjaga. Pembakuan atau kodifikasi bahasa menurut al-Ja>biri> sangat
berperan terhadap pembentukan pola pemahaman dan penafsiran terhadap
teks-teks keagamaan, selain itu juga merupakan pembentukan bahasa
budaya yang tunggal bagi masyarakat Arab.17
Padahal pembakuan bahasa dari sumber tersebut justru kontra-
produktif bagi pengembangan keilmuan Islam. Karena karakter a-historis dan
fisik dari masyarakat Badui menurun pada bahasanya.18 Hal itu bisa dilihat
dari karateristik metodologi baya>n bahasa Arab, yaitu aspek bala>ghah
dari bahasa Arab. Aspek bala>ghah merupakan logika dari bahasa Arab itu
sendiri, ia berfungsi seperti model penalaran deduktif (istidla>l) dalam
wacana mantiq. Menurut al-Sakka>ki>, sebagaimana dikutip oleh al-
Ja>biri>, mengatakan bahwa barang siapa menguasai salah satu konsep
dari ilmu baya>n (bala>ghah), seperti konsep Tashbi>h, kina>yah dan
isti’a>rah dan mampu menggunakannya dalam rangka mencari
pengetahuan maka tersingkap baginya jalan menggunakan sistem penalaran
yang sistematis.19
Di antara ketiga konsep tersebut, tashbi>h merupakan konsep inti
dalam bala>ghah bahasa Arab. Masih menurut al-Sakka>ki, ia mengatakan
bahwa siapapun menguasai konsep tashbi>h maka ia pun bakal menguasai
berbagai aspek sihir ilmu baya>ni.20 Begitu dominannya tashbi>h dalam
bahasa budaya Arab, pada gilirannya menjadikan analogi sebagai sebuah
17 Al-Ja>biri>, al-Tura>th, 143.18 Karakter a-historis bahasa Arab antara lain karena dinamisasi internal bahasa Arab hanya bertumpu pada derivasi kata. Ini sekaligus memprotek bahasa ini dari perubahan dan perkembangan sesuai dengan kehendak sejarah. Sedang karakter fisik bahasa Arab jelas merupakan turunan dari kondisi kehidupan, pola pikir dan persepsi fisikal orang Badui. System bahasa ini tidak memberikan konsep-konsep yang bersifat abstraktif. Lihat al-Ja>biri, Takwi>n, 79.19 Ibid., 15020 Ibid., 152.
6
Melacak Genealogi Nalar Arab
sistem penalaran dalam tradisi baya>ni. Al-Jurjani, sebagaimana dikutip oleh
al-Ja>biri> mengatakan bahwa tashbi>h adalah qiya>s itu sendiri.
Sebaliknya, menurut al-Ja>biri> sendiri, al-qiya>s tashbi>h. Itu artinya,
qiya>s yang sejak dulu hingga sekarang memproduk pengetahuan (menjadi
kerangka teori) dalam kebudayaan Arab pada hakikatnya merupakan fungsi
yang sama dengan metode penalaran tashbi>h dalam disiplin bala>ghah,21
yakni fungsi menyamakan dan mendekatkan (al-muqa>rabah) antara dua
hal. Unsur-unsur metode penalaran tashbi>h dan qiya>s dapat
dipersandingkan sebagai berikut :
Unsur Qiya>s Unsur Tashbi>h
Miqya>s/Far’ Mushabbah
Miqya>s
‘alaih/Asl}
Mushabbah bih
‘Illah/Isna>d al-
h}ukm
Wajh al-Shabah
Epistem ‘Irfa>ni
‘Irfa>n dalam terma bahasa Arab bermakna al-‘ilm sebagaimana
makna kata al-ma’rifah dari akar kata yang sama. Kata ini dalam konteks
tasawuf dipakai untuk menunjukkan model pengetahuan yang tertinggi yang
ditiupkan ke dalam sanubari (intuisi) seseorang dengan mekanisme
kashf/ilha>m sebagai sumber otoritatif pengetahuan.22 Sementara al-‘irfa>n
21 Ibid., 155.22 al-Ja>biri, Bunyah, 251.
7
Melacak Genealogi Nalar Arab
dalam bahasa Yunani adalah gnosis yang juga berarti al-ma’rifah
(pengetahuan), al-‘ilm dan al-h}ikmah.23
Al-‘irfa>n adalah fenomena system pengetahuan yang dikenal oleh
agama-agama besar (Yahudi, Kristen dan Islam) bahkan oleh kelompok
agama-agama pagan. Karenanya, al-‘irfa>niyyah (gnosticisme) menunjuk
pada pola madzab yang plural.24 Konsep al-‘irfa>n dalam keilmuan Islam
menurut al-Ja>biri bisa dilacak sejak pra Islam. Imlikh Jamlichus pada abad II
atau III M, seorang Filosof keturunan Syiria beraliran Neo-Platonis, sejak awal
lebih memilih tradisi filsafat Hermes daripada filsafat Aristoteles dalam
menyelesaikan persoalan. Dan sosok ini cukup populer dalam karya
terjemahan dan penulis-penulis Arab. Sejak akhir era Yunani sampai pada
pertengahan abad ke-7 M, bersamaan dengan kemunculan Islam bahkan
penyebarannya, tradisi ‘irfa>n merupakan mazhab pemikiran yang
berkembang dan bersifat oposan terhadap tradisi rasionalisme Yunani. .25
Sejak awal dalam dunia tasawuf, telah dibedakan derajat pengetahuan
menjadi tiga sistem pengetahuan, kemudian dicari rujukannya dari teks al-
Qur’an. Teks tersebut adalah : QيِنQِقU Vي Uُه[َوU َحUُّقY اْل Qَّنa َهUَذUا ْل h}aq al-yaqi>n adalah ,ِإ
pengetahuan ‘irfa>ni, QيِنQِقU Vي VَمU اْل ْل Qِع Uُم[َوَّنU UْعVْل UَوV َت Uاَّلa ْل ilm al-yaqi>n adalah‘ ,َك
pengetahuan burha>ni dan QيِنQِقU Vي VِنU اْل aُهUا ِعUي ُو[َّن UَرU Uَت [َمa ْل ayn al-yaqi>n untuk‘ ,ُث
pengetahuan baya>ni, demikian al-Qushayri menjelaskan.26
Al-‘irfa>ni adalah tradisi yang dikembangkan dalam dunia tasawwuf,
Syi’ah dan filsafat iluminasi serta penafsiran esoteris terhadap al-Qur’an.
Al-‘Irfa>ni menurut al-Ja>biri mempunyai dua sisi yang berkaitan. Satu sisi
sebagai world view penganutnya yang bersifat pribadi dalam mengatur
segenap tingkah laku bahkan cara berpikir yang intinya bermuara pada
23 Ibid., 253.24Ibid., 254.25 Ibid., 252.26 Berturut-turut teks di atas adalah surat al-Wa>qi’ah : 95 dan al-Taka>thu>r : 5, 7. Lihat Ibid.
8
A/B seperti C/D, C/D seperti E/F, E/F seperti G/H dan
seterusnya
Melacak Genealogi Nalar Arab
pelarian diri dari realitas. Di sisi yang lain al-‘irfa>ni juga menelorkan
referensi teoritis untuk menafsirkan alam dan manusia serta realitas lainnya.
Dalam epistem ‘irfa>ni pasangan zahir-batin dan wilayah-nubuwwah
cukup strategis dalam membentuk metode dan pola pandang mereka
terhadap realitas. Pasangan pertama menunjuk pada proses penalaran yang
berangkat dari yang batin menuju yang zahir, atau dari lafaz menuju makna.
Sementara hubungan antara keduanya bukan hubungan yang dibangun
berdasar asas kemestian dan universalitas, akan tetapi hanya bersifat
individual dan parsial.27 Sementara itu metode untuk mengkaitkan pasangan
batin sebagai al-as}l dan zahir sebagai al-far’ tersebut adalah riya>d}ah dan
muja>hadah dengan qiya>s sebagai kerangka teoritiknya. Qiya>s ‘irfa>ni
ini berbeda dengan qiya>s baya>ni, apalagi dengan qiya>s burha>ni. Al-
Ja>biri menggambarkannya sebagai berikut :
Maknanya adalah bahwa keterkaitan antara A dan B adalah seperti
keterkaitan antara C dan D dan seterusnya. Contohnya dalam hal ini adalah
tafsiran syi’ah terhadap surat al-Rahman : 19 -22.
“Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka ni`mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan”.
27 Ibid., 290.
9
Melacak Genealogi Nalar Arab
Kaum Syi’ah menafsirkan al-bah}rayn sebagai ‘Ali dan Fatimah,
barzakh sebagai Muhammad saw dan al-lu`lu` wa al-marja>n sebagai
H}asan H}usayn. Model penalaran mereka adalah bahwa Muhammad dalam
hubungannya dengan ‘Ali dan Fatimah (al-as}l) adalah seperti keterkaitan
antara barzakh dengan bah}rayn (al-far’). Terlihat bahwa penyerupaan di
atas lebih pada penyerupaan relasi bukan pada relasi keserupaan. 28
Epistem Burha>ni
Al-Burha>n dalam terma bahasa Arab bermakna “al-h}ujjah al-
fa>si}lah al-bayyinah” (argumentasi yang definitif dan jelas). Dalam bahasa
Eropa al-burha>n disebut demonstration yang pemaknaannya merujuk pada
bahasa Latin demonstratio; isyarat, sifat, penjelasan dan menampakkan.
Sedang dalam istilah epistemologis, al-burha>n bermakna aktivitas mental
yang menetapkan kebenaran sebuah preposisi dengan metode deduksi, atau
mengaitkan satu preposisi dengan preposisi yang lain yang bersifat
aksiomatik dan terbukti kebenarannya.29
Sumber keilmuan yang otoritatif dalam epistem burha>ni adalah
eksperimentasi dan penalaran akal dengan kerangka teoritis dalil-dalil logika
yang dalam epistem burhani ini dikenal dengan silogisme atau al-qiya>s al-
ja>mi’ dalam bahasa al-Ja>biri. Nalar dan eksperimentasi adalah dua hal
yang saling menguatkan. Tatkala eksperimentasi tidak mampu menembus
realitas karena keterbatasan indera manusia, maka nalar akan
menguraikannya. Disiplin yang bisa disentuh epistem ini adalah logika,
matematika, fisika (semua cabang ilmu-ilmu alam), bahkan metafisika serta
ilmu-ilmu sosial. Validitas kebenaran dalam epistem ini adalah tidak saja
pemakaian logika secara absah akan tetapi juga kesesuaian antara nalar
28 Ibid., 305, 306.29 Ibid., 383.
10
Melacak Genealogi Nalar Arab
dengan realitas dan hukum-hukum alam. Ini sesuai dengan prinsip yang
dikemukan Hegel, sebagaimana dikutip al-Ja>biri, bahwa setiap hal yang
“berbau” waqi’i adalah rasional. Lebih jauh Hegel menegaskan bahwa hanya
melihat kesesuaian antara nalar dengan realitas saja adalah pandangan yang
statis. Menurutnya, pandangan yang dinamis menuntut tidak saja nalar
relevan dengan realitas, tapi juga dengan aspek kesejarahan.30
Peran nalar antara lain dalam melihat realitas adalah memproduk
pengetahuan dengan menyingkap sebab (idra>k al-sabab) atau menemukan
hukum kausalitas di balik sesuatu. Karena pada dasarnya makna “eksistensi
sesuatu” adalah kehadirannya yang didahului oleh sebab, baik sabab fa>’il
(aktif) atau sabab gha`iy (tujuan akhir). Karenanya “menalar sesuatu”
maksudnya adalah menemukan kedua sebab tersebut.31 Sebab menurut
Aristoteles terpilah menjadi empat macam; sebab materi, sebab bentuk,
sebab pelaku dan sebab tujuan. Eksistensi kursi, misalnya, mengharuskan
empat sebab; materi (bahan dasar kayu), bentuk (gambaran kursi), pelaku
(tukang), tujuan (sebagai tempat duduk).32
Al-Burha>n sebagai sebuah epistem hadir sejal awal mula muncul
disiplin filsafat dan aktivitas ilmiah di Yunani tiga abad sebelum Aristoteles.
Sumbangsih Aristoteles kemudian adalah mensistematisasi dan menjadikan
disiplin ini sebagai mahkota keilmuan. Pengaruh Aristoteles terhadap
pemikiran burha>n dalam konteks peradaban Arab tidak disangsikan lagi.
Epistem Burha>ni masuk dalam tradisi pemikiran Arab pada abad-abad
pertengahan melengkapi dua tradisi pemikiran sebelumnya yang lebih dulu
eksis, epistem bayan>i dan ‘irfa>ni. Wajar bila kemudian, kehadiran epistem
burhani berbenturan keras dengan tradisi pemikiran yang telah mengakar
sebelumnya, utamanya tradisi pemikiran “tuan rumah” (s}a>h}ib al-da>r)
30 Al-Ja>biri, Takwi>n, 22-23.31 Ibid., 22. 32 Lihat, al-Ja>biri, Bunyah, 398.
11
Melacak Genealogi Nalar Arab
dalam istilah al-Ja>biri. Hal tersebut dibuktikan oleh al-Kindi, al-Farabi, dan
Ibn Rushd dalam usahanya membumikan tradisi burha>ni dalam ranah
peradaban Arab.
Dalam interaksinya, tiga epistem dalam peradaban Arab mengalami
tiga fase interaktif. Fase I, al-tada>khul al-takwi>ni dengan ditandai masing-
masing epistem mencari eksistensi dan memberikan pengaruh secara
independent terhadap peradaban Arab yang akhirnya pada abad ke-5 H
terjadi benturan antar epistem. Selanjutnya pada fase II, al-al-tada>khul al-
talfi>qi, terjadi rekonsiliasi antar epistem. Rekonsiliasi pertama terjadi antara
epistem baya>ni dan ‘irfa>ni di tangan al-Ha>rith al-Muha>sibi, antara
baya>n dan burha>n di tangan al-Kindi dan antara burhani dan ‘irfani di
tangan Ikhwa>n al-S}afa dan Filosof Isma’ili.33 Pada fase rekonsiliasi ini
menurut al-Ja>biri, nalar Arab tidak mengalami perkembangan signifikan,
karena rekonsiliasi hanya dimaksudkan untuk kepentingan-kepentingan
ideologis dan partisan untuk mengukuhkan salah satu epistem. Ini terlihat
umpamanya pada epistemologi al-Ghazali – epistem yang kemudian menjadi
mainstream - yang menjadikan al-burha>n sebagai alat untuk mentahtakan
al-baya>n dan menyerang al-burha>n itu sendiri. Fase yang terakhir
menurut al-Jabiri adalah fase ‘iadah al-ta’si>s, penyusunan ulang relasi antar
epistem.
Qiyas; Teori Par Excellence Keilmuan Islam
Di antara ketiga epistem tersebut di atas, epistem baya>ni merupakan
sistem pengetahuan yang bersifat hegemonik dalam tradisi Arab-Islam.
Dalam epistem ini teori yang dimunculkan adalah al-qiya>s al-baya>ni –
33 al-Ja>biri, Bunyah, 486.
12
Melacak Genealogi Nalar Arab
sebagai imbangan dengan sebutan al-qiya>s al-‘irfa>ni dan al-qiya>s al-
burha>ni.
Qiya>s baya>ni adalah teori sekaligus esensi struktur mental dalam
medan baya>ni, meliputi disiplin bahasa, akidah dan fiqh. Berdasarkan
konstruksinya, teori qiya>s, sebagai produk dari nalar Arab, dapat
dikerangkakan pada tiga otoritas (kekuasaan), otoritas as}l (sult}at as}l),
otoritas kata (sult}at al-lafz}) dan otoritas keserbabolehan (sult}at al-
tajwi>z).34
Al-Sha>fi’i sebagai Founding Father Us}u>l al-Fiqh, kata al-Ja>biri,
adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap pelembagaan teori
qiya>s dalam ranah peradaban Arab. Ketika al-Sha>fi’i memberikan batasan
sumber hukum secara hirarkis; al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan qiya>s, pada
dasarnya ia bermaksud membatasi skop nalar Arab dalam bingkai sumber-
sumber tersebut. Karena sumber-sumber tersebut telah dikenal sebelum al-
Sha>fi’i. Dan yang lebih naif lagi bahwa qiya>s yang ia promosikan adalah
sebuah metode penalaran yang ia timba dari lingkungan bahasa Arab.
Sebelum al-Shafi’I merilis kitabnya al-Risa>lah, qiya>s sudah menjadi
kerangka teoritik yang mapan dalam keilmuan bahasa Arab, dalam ungkapan
sederhana al-Kasa`i " يَتبع قياس اْلنحَو ِإَّنُما ". Al-Sha>fi’i bukan pencipta teori
qiya>s, tapi megembangkannya dari logika bahasa.35
Wajar bila kemudian aktivitas nalar peradaban Arab lebih banyak
berkisar pada teks (َحَول اْلنص). Produksi pengetahuan lebih banyak
didasarkan pada prinsip ‘al-asl fi al-nas}, la fi al-wa>qi’). Dari perspektif
epistemologis, konstruksi nalar Arab berkisar pada persoalan dila>lat al-
khit}ab (petunjuk wacana), baik itu petunjuk teks (dila>lat al-nas}) atau
petunjuk kandungan teks (ma’qu>l al-nas}). Dila>lat al-nas} berujung pada
34 Ibid., 560-561.35 Al-Ja>biri>, Takwi>n, 124.
13
Melacak Genealogi Nalar Arab
pembahasan hubungan antara lafaz dan makna. Sedangkan ma’qu>l al-nas}
bermuara pada bahasan teori qiya>s. Itu artinya bahwa penyelesaian
persoalan baru (al-far’) mesti dirujukkan pada as}l dengan berpegang pada
kandungan teks (ma’qu>l al-nas) dan dengan tetap berpijak pada persoalan
hubungan lafaz dan makna,36 karena tanpa hal ini mustahil diperoleh
kandungan teks.
Hubungan lafaz dan makna memunculkan ishka>liyya>t al-lafz} wa al-
ma’na (problematika kata dan makna) yang merupakan determinan utama
teori qiya>s. Teori ini sering kali terjebak pada eksplanasi kebahasaan dari
pada intelektual-logis dan lebih banyak mempatkan dirinya dalam ranah
sistem wacana (niz}a>m al-khit}a>b) dari pada sistem nalar (niz}a>m
al-‘Aql/niz}a>m al-sababiyyah). Relasi yang dibangun antara pasangan lafaz
dan makna, asl dan far’, dali>l dan madlu>l adalah relasi spekulatif, bukan
relasi kemestian.
Menuju Rekontruksi Nalar Arab
Problem rekontruksi nalar Arab, menurut al-Ja>biri, adalah bagaimana
membangun kembali relasi antar epistem. Relasi antar epistem tersebut
seharusnya juga harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, dan
bukan bangunan relasi yang dimaksudkan untuk kepentingan ideologis.
Dalam kasus seperti ini sering kali epistem burha>ni menjadi korban,
sebagaimana yang telah dilakukan al-Ghazali, Ibn Sina, Filosof Isma’ili dan
Ibn ‘Arabi.
Relasi antar epistem tersebut, menurut al-Jabiri, hendaknya dibangun
baik dalam tataran manha>j (bahasa dan logika) maupun tataran world view
(teologi dan filsafat). Dalam membangun relasi antar epistem, al-Ja>biri
mengeluarkan epistem ‘irfa>ni karena dianggap justru telah menyerang
36 Ibid., 56.
14
Melacak Genealogi Nalar Arab
epistem baya>ni dari dalam. Al-Ja>biri> menginginkan membangun prinsip-
prinsip epistem baya>ni> di atas pondasi epistem burha>ni> (I’a>dah
ta’si>s al-baya>n ‘ala al-burha>n). Dalam hal ini al-Ja>biri> mengambil
semangat dari proyek pemikiran Ibn Hazm. Menurutnya, secara
epistemologis rekontruksi yang dilakukan Ibn Hazm hanya dengan memberi
landasan burha>ni> atas epistem baya>ni> dan sama sekali tidak
melibatkan epistem ‘irfa>ni> dari tradisi Syi’ah maupun tasawuf. 37
Epistem burha>ni> adalah sistem pengetahuan yang mendasarkan
diri pada metode burha>n untuk merumuskan suatu kebenaran, yaitu
pengetahuan yang bersifat benar dan mencapai derajat meyakinkan
(aksiomatik). Piranti yang digunakan adalah mengaitkan akibat dengan
sebab, atau yang lebih dikenal dengan hukum kausalitas (idra>k al-sabab wa
al-musabbab).38 Untuk mencari hukum kausalitas yang terjadi pada
peristiwa-peristiwa alam, sosial, kemanusiaan dan keagamaan, akal tidak
memerlukan teks keagamaan, karena sumber pengetahuan epistemologi
burha>ni> adalah realitas (al-wa>qi’), baik realitas alam, sosial, humanitas
atau keagamaan.39
Untuk memahami realitas-realitas tersebut akan lebih memadai bila
dipergunakan pendekatan-pendekatan semisal sosiologi, antropologi,
kebudayaan dan sejarah. Dengan model penalaran burha>ni> ini, fungsi
dan peran akal tidak untuk mengukuhkan otoritas teks, seperti pada
penalaran baya>ni>, akan tetapi melakukan analisis dan menguji secara
terus menerus sebuah konklusi secara dialektis.40 Dengan demikian model
epistem ini lebih berorientasi pada otoritas akal (sult}at al-‘aql). Dalam hal
37 lihat. Al-Ja>biri>, al-Tura>th wa al-H}ada>thah, 188.38 Lihat Al-Ja>biri>, Post Tradisionalisme Islam, ter. Ahmad Baso (Yogyakarta: LkiS, 2000), 149.39 M. Amin Abdullah dalam tulisannya “Al-Ta’wil al-‘Ilmi; Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,” Al-Jami’ah, 39 (Juli-Desember 2001), 378.40 Ibid., 379.
15
Melacak Genealogi Nalar Arab
ini perangkat metode penalaran yang dikedepankan adalah deduksi (qiya>s
al-ja>mi’/silogisme) induksi41 (al-istiqra>`), inferensia42 (al-istinta>j), dengan
mempertimbangkan sepenuhnya tujuan-tujuan (al-maqa>s}id), universalia-
universalia (al-kulliya>t), dan pendekatan kesejarahan (al-naz}rah al-
tarikhiyah).43
Rekonstruksi nalar Arab mensyaratkan pemakaian logika dalam
bernalar. Logika adalah disiplin yang mengkaji metode-metode dan prinsip-
prinsip yang dipakai untuk membedakan yang benar dari yang salah dari
proses penalaran. 44 Mut}a>baqah bayn al-‘aql wa al-wa>qi harus juga
didukung oleh adanya konsistensi logik dalam bentuk form berpikir.45 Selain
itu dengan tetap mempertimbangkan al-maqa>s}id al-shari>’ah yang
subtansinya adalah kemaslahatan, maka aspek practical life juga menjadi
tolak ukur.
Al-Jabiri mengutip al-Farabi menunjukkan perbedaaan signifikan antara
logika dan tata bahasa. Logika bersifat universal. Ia berkaitan dengan nalar,
sementara nalar tersebut satu bagi semua manusia. Sedangkan tata bahasa
adalah sangat bervariasi. Tiap-tiap bahasa mempunyai tata bahasa.46 Dari
sini dapat diperbandingkan antara kebenaran yang diperoleh berdasar
tata/logika bahasa dengan kebenaran yang disandarkan pada logika/mantik.
41 Induksi sebagai piranti metode keilmuan pada dasarnya mensyaratkan determinasi analitis dari relasi sebab-akibat dalam sejumlah fenomena, kemudian diiringi dengan proses generalisasi dari hasil relasi tersebut. Lihat, John Grier Hibben, Logic; Deductive and Inductive (New York, Chicago, Boston: Charles Scribner’s Sons, 1905), 195.42 Inferensia secara esensial adalah proses yang memfasilitasi pemikiran kita untuk mengkombinasikan elemen-elemen yang didapat dengan cara tertentu di mana konklusinya berisi sesuatu yang tak mungkin disingkap bila elemen-elemen tersebut dalam keadaan terisolir satu dengan yang lain. Lihat John Grier Hibben, Logic, 9.43 Al-Ja>biri>, Bunyah, 567.44 Lihat, Irving M. Copy, Introduction to Logic (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1978), 3.45Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 33.46 Al-Jabiri, al-Bunyah, 427.
16
Melacak Genealogi Nalar Arab
Dari persoalan relasi logika dan bahasa ini dapat diturunkan pada persoalan
relasi antara al-lafz dan al-ma’qu>la>t (ide dan gagasan). Menurut al-Farabi,
ide dan makna hadir lebih dahulu dari pada kata/lafz, bukan kata/lafz
kemudian ide. Kata, lafz dan bahasa hanyalah sarana untuk
mengekspresikan ide, bukan ide itu sendiri.47 Karena itu sangat ironis bila ide
dan gagasan subtantif harus terpenjara oleh teks dan lafaz. Memang kita
berpikir menggunakan bahasa dan teks, akan tetapi, sekali lagi, itu hanya
sebagai media ekspresi ide dan gagasan.
Penutup
Berdasar paparan genealogi nalar Arab di atas dapat dipahami kenapa
ethos riset/ijtihad dalam konteks keilmuan Islam mengalami stagnasi. Apa
yang dilakukan al-Jabiri dengan kritik epistemologisnya terhadap
epistemologi nalar Arab menyadarkan kita terhadap problem dunia
intelektualitas muslim yang selama ini menjadi bagian dari ketidaksadaran
kita dan berpengaruh terhadap banyak segi kehidupan. Kedalaman wawasan
filsafat dan tradisi pemikiran Perancis-nya dan kemampuan
mensistematisasikan gagasan pembaharuan berdasar ketepatan dalam
melihat akar permasalahan patut untuk mendapatkan apresiasi yang layak.
Walaupun tidak berarti tidak ada kritik terhadap pemikirannya.
Sebagian menganggap bahwa rasionalitas dan tradisi Yunani yang
diagungkan al-Jabiri hanya akan memarjinalkan tradisi dan justru akan kontra
produktif terhadap konsep autentisitas yang ditawarkan al-Jabiri sendiri.
Termasuk pemikirannya untuk mendepak epistem ‘irfani, tentu akan
menimbulkan resistensi tersendiri. Bagaimanapun, kalau kita melihat sejarah
47 Ibid., 431.
17
Melacak Genealogi Nalar Arab
intelektual muslim, tradisi ‘irfa>ni merupakan bagian dan menyatu dalam
tradisi muslim.
Kekurangan yang ada pada epistem ‘irfa>ni selayaknya ditindaklanjuti
dengan merekontruksi epistem ini, bukan membuangnya. Karena dalam
perjalanan sejarahnya, menurut Amin Abdullah, epistem ‘irfa>ni lebih
banyak dicitrakan sebagai kelompok-kelompok tarekat dengan praksis
keagamaan yang ekslusif. Karenanya relevan juga, pendapat Amin Abdullah
untuk membangun relasi antar epistem dengan pola sirkuler dalang rangka
saling bekerja sama dan menutupi kelemahan epistem lain.48 Nalar ‘irfa>ni
misalnya, dengan prinsip simpati dan empatinya dan dengan metode olah
rasanya, akan merespon kehampaan spiritual masyarakat modern dan
membangun kesetiakawanan sosial di tengah kondisi kemasyarakatan yang
plural.
Dengan terintegrasnya tiga epistem nalar Arab, akan mudah
dipetakan mana wilayah religiousity sebagai medan burha>ni yang objektif,
wilayah religion yang subjektif sebagai medan baya>ni dan wilayah being
religious yang bersifat intersubjektif sebagai medan ‘irfa>ni.
DAFTAR PUSTAKA
48 M. Amin Abdullah dalam tulisannya “Al-Ta’wil al-‘Ilmi . . .”, 387.
18
Melacak Genealogi Nalar Arab
A Luthfi al-Syaukanie, "Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer ", Paramadina, Vol. I, No. I (Juli – Desember 1998).
A. Qodry Azizy, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Semarang: Aneka Ilmu, 2004.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.
Al-Ja>biri, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi; Dirâsah Tahli}liyyah Naqdiyyah li al-Nuz}um al-Ma’rifah fi al-Thaqa>fah al-‘Arabiyyah. Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1993.
__________, Kritik Pemikiran Islam; Wacana Baru Filsafat Islam. ter. Burhan. Yogyakarta: Fakar Pustaka Baru, 2003.
__________, Al-Di>n wa al-Dawlah wa Tat}bi>q al-Shari>’ah. Libanon: Markaz Dirasat al-Wahdah al-‘Arabiyah, 1996.
__________>, Al-Tura>th wa al-H}ada>thah; Dira>sa>t .. wa Muna>qasha>t (Beirut: Markaz Dira>sa>t al-Wah}dah al-‘Arabiyah, 1999), 142.
__________>, Post Tradisionalisme Islam. ter. Ahmad Baso. Yogyakarta: LkiS, 2000.
__________, Takwi>n al-‘Aql al-‘Arabi. Libanon : Markaz Dirasat al-Wah}dah al-‘Arabiyah, 1989.
__________, al-‘Aql al-Siya>si al-‘Arabi; Muh}addidah wa Tajalliyyatuh Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 1991.
John Grier Hibben, Logic; Deductive and Inductive. New York, Chicago, Boston: Charles Scribner’s Sons, 1905.
M. Amin Abdullah dalam tulisannya “Al-Ta’wil al-‘Ilmi; Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,” Al-Jami’ah. 39 (Juli-Desember 2001).
Muhammad Abed al-Ja>biri>, Post Tradisionalisme Islam. ter. Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS, 2000.
Muhammad al-Tiwanji, al-Mu’jam al-Mufas}s}al fi> al-Adab. Vol. II. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1993.
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS, 2002.
Pier Paolo Giglioli (ed.), Language and Social Context. New York: Penguin Books, 1985.
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa; Genealogi Integensia Muslim Indonesia Abad 20. Jakarta: Mizan, 2005.
19
Recommended