View
45
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
membahas kajian hadis yang berkaitan dengan fatwa bolehnya kurban sapi oleh lebih dari tujuh orang
Citation preview
MEMBACA KEMBALI FATWA KURBAN SAPI LEBIH DARI TUJUH ORANG
Muhamad Ridwan Nurrohman*
Telat, ya itu nampaknya kata-kata yang tepat untuk saya, hehe. Menurut berita dari beberapa
sumber yang valid, di masyarakat kemarin sempat ramai mengenai masalah berkurban sapi boleh
lebih dari tujuh orang. Fatwa ini disosialisasikan oleh Majelis Ifta, dalam majalah Risalah
terbitan PERSIS, No. 7 Th. 50 Dzulqo‟dah 1433/ Oktober 2012.
Dalam rubrik khusus “Istifta” yang diasuh oleh al-Ustadz Aceng Zakaria, al-Ustadz M. Rahmat
Najieb, al-Ustadz Zae Nandang, al-Ustadz Wawan Shofwan, dan al-Ustadz Uus Ruhiat, namun
entah al-Ustadz siapa yang secara khusus menjawab permasalahan mengenai hal terkait di atas.
Pertanyaan yang diajukan oleh Jama‟ah Persis Situaksan, Bandung ini memang cukup tepat
dengan tema besar majalah Risalah edisi ini, yaitu terkait dengan pelaksanaan ibadah kurban.
Masalah yang diangkat pun memang cukup ramai menghiasi ibadah kurban umat, persoalannya
sederhana, “Apakah ketentuan kurban sapi untuk 7 orang itu mutlak? Bagaimana apabila
ukuran sapi tersebut besar sekali, yang harganya 40 juta misalnya? Lalu bagaimana dengan
sapi yang harganya 7 juta saja? Apakah tetap harus 7 orang?”
Jawaban dari pertanyaan tersebut oleh Majelis Ifta sandarkan terhadap pemahaman Ibn Hajar al-
Asqalani dalam kitab Fath al-Bari: Syarah Sahih al-Bukhari-nya. Jadi intinya, ungkap beliau,
standar dalam kurban rērēongan (berserikat; bersama-sama) itu pada dasarnya harus disesuaikan
dengan kambing. Yakni bahwa masing-masing sahamnya mengeluarkan dari harga 1 kambing.
Dalam artian, ungkap beliau kembali, kurban satu sapi bisa saja dilakukan secara berserikat oleh
8 ataupun 10 orang, dengan syarat masing-masing sahamnya mengeluarkan seharga satu
kambing (meskipun ini juga belum jelas apa kambing yang super atau kambing yang biasa-biasa
saja, yang mana harganya juga berbeda-beda, hehe,-tambahan
penulis-). Begitu juga untuk sapi yang kecil, nanti bisa saja
jatuhnya hanya layak berserikat padanya 5 atau 6 orang saja,
karena ketika ditimbang saham, sapi tersebut hanya setara
dengan saham 5 atau 6 kambing saja.
Satu hal yang menjadi sangat penting untuk dibaca ulang oleh
kita semua yaitu salah satu kutipan, yang dikutip juga dalam
majalah Risalah tersebut adalah salah satu hadis yang
“katanya” riwayat Imam al-Tirmidzi, sebagaimana tertulis
disana sebagai berikut:
Pengambilan rujukan yang dicantumkan dalam jawaban tersebut sama persis dengan apa yang
tercantum dalam kitab Fath al-Bari ini, bisa dibuktikan dengan mengecek kitab al-Dzaba-ih wa
al-Shaid, bab al-Tasmiyah „ala al-Dzabihah wa Man Taraka Muta‟ammidan, ketika menjelaskan
hadis no. 5497, yaitu hadis yang bersumber dari Rafi‟ bin Khadij.
Setelah itu sekarang silahkan bandingkan dengan rujukan asli dari kedua tulisan di atas, yaitu
kitab Sunan al-Tirmidzi-nya sendiri.
Terdapat dua letak perbedaan dari apa yang tercatum dalam kitab Fath al-Bari juga dikutip
kembali dalam majalah Risalah, yaitu pada kata sab‟ah dengan tis‟ah, dan juga pada kata ba‟ir
dan badanah. Maka munculah beberapa spekulasi terkait perbedaan redaksi kedua hadis tersebut.
Apakah kedua teks tersebut memang bersumber dari hadis yang berbeda?
Apabila dikatakan kedua teks tersebut bersumber dari hadis yang berbeda, maka persamaan
perangkat hadis lainnya, selain perbedaan dua kata tersebut, terlalu identik. Aspek pertama,
kedua teks tersebut bersumber dari sahabat Ibn Abbas. Aspek kedua, kedua teks tersebut sama-
sama menceritakan kejadian yang persis sama, ketika dalam sebuah perjalanan maka kemudian
tibalah hari „Ied al-Adha. Aspek ketiga, kedua teks tersebut sama-sama merujuk kepada satu
sumber yaitu riwayat hadis yang dicatat oleh Imam al-Tirmidzi. Aspek keempat, kedua teks
tersebut sama-sama dihukumi hasan oleh Imam al-Tirmidzi.
Ataukah memang kata sab‟ah dalam hadis tersebut bisa dipahami dengan arti tis‟ah, dan kata
ba‟ir di sana juga bisa dipahami dengan kata badanah?
Begitupun spekulasi kedua ini, sama-sama tidak pas dengan kasus yang terjadi di sini. Kedua
kata tersebut memang memiliki keterkaitan yang cukup erat, namun perbedaan tersebut dalam
sebuah ranah hukum, jelas-jelas dapat memberikan kesimpulan hukum yang benar-benar jauh
berbeda. Mari kita simak bersama-sama! (maksa, hehe)
Antara Kata Sab’ah dan Tis’ah
Kata sab‟ah dalam bahasa arab memang bisa juga diartikan “bilangan yang banyak”,
sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Mandzur dalam Lisan al-Arab-nya. Penggunaan bilangan
sab‟ah ini memang banyak dilakukan dalam al-Quran maupun hadis, misalnya saja dalam QS.
Al-Baqarah: 261.1 Namun pemaknaan ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan di setiap
tempat, dikarenakan pada beberapa tempat pemaknaan kata sab‟ah ini haruslah diartikan
bilangan yang pasti, yaitu tujuh.
Kondisi yang tidak memungkinkannya pemaknaan banyak terhadap kata sab‟ah ini yaitu salah
satunya, ketika kata sab‟ah tersebut bergandengan dengan bilangan lain dalam penyebutan objek
yang berbeda, seperti tis‟ah (sembilan), sittah (enam),dan lain-lain (sebagaimana dalam kasus
hadis yang akan terdapat dalam hadis ini). Kondisi lainnya, yaitu ketika kata sab‟ah tersebut
bergadengan dengan dilalah yang menunjukan bahwa bilangannya benar-benar tujuh. Hal ini
terjadi dalam penyebutan satu objek yang sama, seperti dalam masalah sanksi bagi jamaah haji
yang tidak mendapati hewan dalam penyembelihan hadyu, sanksi yang ia dapatkan yaitu shaum
selama sepuluh hari, tujuh hari ketika sedang haji, dan tiga hari ketika telah kembali. Dalam
kedua kondisi tersebut kata sab‟ah tidak bisa diartikan “banyak” secara mutlak, akan tetapi
memang harus dimaknai dengan bilangan antara enam dan delapan.2
Berangkat dari hal tersebut, maka tidak dapat dikatakan tepat, ketika angka yang tercantum jelas
“tujuh” lalu dipahami maknanya sebagai bilangan “sembilan”. Terlebih hal ini tengah berbicara
mengenai hukum yang jelas akan menentukan antara sah dan batalnya suatu ibadah, diterima dan
ditolaknya sebuah amalan tersebut.3
Antara Kata Ba’ir dan Badanah
Secara umum, kata badanah biasa dipahami sebagai ibil (unta jantan) ataupun naqah (unta
betina) dan juga baqar (sapi jantan) ataupun baqarah (sapi betina), begitulah memang orang-
orang arab menggunakannya.4 Secara selintas penggunaan kata badanah mengenai hukum ini,
apabila tidak disandingkan dengan penyebutan kata fii al-Baqarah tis‟ah (dalam kitab Fath al-
1 Ibn Mandzur, Lisan al-„Arab. (Kairo: Dar al-Ma‟arif, t.t.) hlm. 1924.
2 Ibid.
3 Muhammad bin Ibrahim bin Jama‟ah (Ibn Jama‟ah), al-Minhal al-Rawi fi Mukhtashor „Ulum al-Hadis al-
Nabawi. Tahqiq: Muhyiddin Abdurrahman. (Kairo: Dar al-Fikr, 1406 H) hlm. 100. 4 Ibn Mandzur, Lisan al-„Arab. Hlm. 233.
Bari) ataupun fii al-Baqarah sab‟ah (dalam kitab Sunan al-Tirmidzi). Pemaknaan badanah
secara mutlak ini bisa digunakan pada hadis sebelumnya, yaitu pada hadis Jabir yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, sebagaimana dikutip pada Fath al-Bari dan majalah Risalah di
bawah ini.
Sedangkan pada hadis Ibn Abbas ini jelas berbeda kasus.
Penggunaan kata badanah di sini tidak bisa sama sekali dimaknai
“sapi”, dikarenakan kata al-Baqarah sudah disebut sebelumnya.
Kemudian apabila dilihat lagi lebih jauh, lafadz hadis riwayat al-
Tirmidzi tersebut tidak menggunakan kata badanah, akan tetapi di
sana menggunakan kata al-Ba‟ir (unta yang gigi taringnya sudah
tumbuh).5 Maka penggunaan kata al-Ba‟ir dalam hadis ini jelas lebih
tepat secara bahasa, dan lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Jadi, setelah apa yang penulis ungkapkan dalam pembahasan di atas,
sekarang kita bisa menilai apakah perbedaan dua kata tersebut adalah
layak dipahami sebagai bayan (penjelas) ataukah tidak. Lebih jauh
lagi, kita bisa menilai apakah layak kedua lafadz tersebut dikatakan
sebagai bagian dari hadis Ibn Abbas yang sebenarnya. Sebuah penukilan yang memaksudkan
dari hadis yang satu, namun pada kenyataannya jelas-jelas berbeda jauh. Sekarang
permasalahannya, siapa yang keliru dalam hal penukilan hadis ini. Apakah Imam al-Tirmidzi
yang salah dengan menyebutkan lafadz sab‟ah dan al-Ba‟ir, ataukah Imam Ibn Hajar dengan
menyebutkan lafadz tis‟ah dan badanah?
Cara pembuktiannya mudah saja, silahkan para pembaca semua bisa membuka software
“Maktabah Syamilah”-nya ataupun software-software pencari hadis lainnya. Lalu buat pencarian
(bahs) dengan kata kunci فاشتركنا dan kata kunci kedua تسعة, lalu tekan tombol
yang ada di bawah bagian tengah fitur bahs di sana, setelah sebelumnya
meng-klik pilihan شروح الحديث tentunya. Maka pembaca bisa menemukan hasil
seperti dalam gambar di bawah ini.
5 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab – Indonesia al-Munawwir. (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997)
hlm. 95.
Berbeda halnya, ketika pencarian pembaca
lakukan pada opsi متون الحديث, maka hasil
yang akan pembaca dapatkan adalah sebagai berikut:
Sedangkan apabila kita melakukan hal yang sama dengan kata kunci yang berbeda tentunya,
yaitu dengan kata kunci فاشتركنا dan kata kunci kedua سبعة, maka hasil yang akan pembaca
dapatkan adalah rentetan hasil pencarian dari berbagai kitab hadis, mashadir ashliyyah, yang
sekurang-kurangnya menampilkan 15 hasil temuan dari keseluruhan pada opsi متون الحديث dalam
Maktabah Syamilah dengan koleksi 83 kitab hadis di dalamnya.
Dari sana kita bisa menyimpulkan bahwa lafadz seperti dalam majalah Risalah ini hanya terdapat
pada kitab Fath al-Bari dan tidak ditemukan dalam kitab hadis, mashadir ashliyyah (rujukan
utama), manapun. Sebagai konsekuensinya jelas, bahwa memang kesimpulan hukum yang
diambil dari hadis yang “salah kutip” ini pun menjadi patut untuk dipertanyakan kembali.
Wallahu a‟lam.
Kehadiran tulisan ini bukanlah sebagai bandingan terhadap jawaban Majelis Ifta dalam majalah
Risalah tersebut tentunya, teramat lancanglah kiranya penulis yang masih tuwailib ini melakukan
hal tersebut. Kehadiran tulisan ini hanyalah bentuk pertanyaan bagi jawaban tersebut, yang
memang penulis akui bukan 100% kesalahan baru yang dilakukan oleh Majelis Ifta di sini,
karena jelas, mungkin beliau mengutipnya dari kitab Fath al-Bari, sebagaimana penulis
ungkapkan di atas. Bukan pula untuk mempersalahkan al-Hafidz Imam Ibn Hajar al-Asqalani,
namun sekali lagi ini hanyalah ungkapan kepenasaran dari seorang tuwailib, semoga ada di
antara para pembaca sekalian ada yang sudi memberikan jawaban yang menenangkan hati
seorang tuwailib ini.
*Penulis masih berstatus sebagai Mahasiswa tingkat tiga, di STAI Persatuan Islam Garut, untuk
Prodi. Tafsir-Hadis, yang katanya tahun depan akan berubah menjadi Prodi. Hadis (saja).
Segala kesalahan dan kealfaan mohon diingatkan, baik dari segi pemilihan kata yang kurang
tepat, maupun argumen-argumen yang menyimpang dari penulis. Semoga semangat pencarian
kebenaran ini tidak menjadikan penulis besar kepala dan tinggi hati, namun sebaliknya, mudah-
mudahan hal ini dapat memupuk tradisi keilmuan yang baik, juga menumbuhkan semangat
ibadah dan thalabul „ilmi dalam hati penulis khususnya, dan pada hati para pembaca pada
umumnya.
Recommended