View
219
Download
5
Category
Preview:
DESCRIPTION
Ini adalah notulensi dari pokja JKN dan AIDS yang membahas progress JKN sejak berlaku dan tantangannya bagi program HIV dan AIDS
Citation preview
Notulen
Pertemuan Pokja BPJS
8 April 2014
Peserta:
1. Kementerian Kesehatan
2. PKM Pasar Rebo
3. RSKO Pusat
4. PKNI
5. UNDP
6. UNAIDS
7. PT. Jamsostek
8. BNP2TKI
9. LBH Masyarakat
10. OPSI
11. PKNI
12. IAC
13. IPPI
14. GWL INA
15. Spiritia
16. YKB
17. FKM Universitas Indonesia
18. ILO
19. PKM Menteng
Agenda:
I. Pembukaan
II. Paparan dari PKM Pasar Rebo oleh Dr. Wiwik
III. Paparan dari RSKO Pusat oleh Dr. Laurentius
IV. Diskusi dan rekomendasi
1. Paparan dari PKM Pasar Rebo (terlampir)
a. Legal basis:
i. UU No. 36/2009 tentang kesehatan
ii. UU No. 34/1999 tentang Pemda DKI Jakarta
iii. UU No 32/2004 tentang Pemda DKI Jakarta
iv. Permenkokesra No 2/2007
v. Perda No 5/2008 tentang Upaya penanggulangan IMS-‐HIV AIDS di Jakarta
vi. Pergub Pemda No 68/2012 tentang tariff layanan di Puskesmas
b. Kendala Layanan IMS –HIV-‐AIDS setelah BPJS
i. BPJS tidak mengcover biaya pelayanan IMS-‐HIV-‐AIDS yang selama ini diklamai
Jamkesda
ii. Pasien IMS_HIV AIDS lebih banyak di luar wilayah, smeentara BPJS
memberlakukan pasien berobat per wilayah
iii. Obat dan reagen yang didrop dari dinas kesehatan tidak mencukupi
iv. Rujukan pasien IMS dan ODHA sulit karena kendala berobat per wilayah,
sementara pasien IMS-‐HIV-‐AIDS lebih banyak luar wilayah
2. Paparan dari RSKO Pusat
• RSKO berusaha memberikan layanan dengan optimal.
• Banyak pasien yang di masyarakat yang tidak bias dijangkau. Hanya sedikit pasien yang
dilayani di RSKO
• Pasien di RSKO 80 % membayar sendiri. Pada saat Jamkesmas/Jamkesda pasien yg
kurang mampu ditanggung tetapi pada saat diberlakukan BPJS banyak yang tidak dating
ke RSKO. RSKO sudah berkomunikasi kepada Kementerian Kesehatan tentang hal ini.
Ada pasien yang menunggak yang akan dibayarkan oleh Pemerintah
• RSKO tidak menagih biaya untuk pasien yang memang tidak mampu. Tetapi tagihan
mereka akan diminta kepada Pemerintah.
• Jamkesmas yang semula dibayarkan oleh Kemkes, sekarang tidak berlaku lagi.
• Dengan adanya BPJS, banyak yg tidak tercover dalam layanan kesehatan
• ODHA mendapat layanan di RSKO
Pertanyaan/Diskusi:
1. Ada Permenkes ttg tarif layanan kesehatan di tingkat pertema dan tingkat lanjutan bahwa
napza diakomodir temrasuk Hep C. di sisi yang lain ada Perpres yg tidak memungkinkan untuk
hal ini. Bagaimana dengan hal ini? Perlu dibuat langkah-‐langkah yang strategis untuk
memperjuangkan hal tesebut. Untuk RSKO tetap komitment untuk melayani, sementara
tunggakan dari pasien akan ditagihkan kepada Pemerintah.
2. Policy makro : dg UU SJSN dan BPJS berarti tidak semua pendataan ada di BPJS. Apakah HIV dan
penyakit yg terkait masuk dalam BPJS? HIV-‐AIDS tidak dihitung dalam hitungan iuaran. Tetapi
infeksi opurtunistik sudah masuk dalam hitungan. Untuk hitung kapitasi apakah sudah
memasukkan sipilis, IMS dll? Dari mana dasar penmikiran penyakit akibat narkoba tidak dicover?
Ini konsep asuransi di mana latar belakang penyakit (krn perilaku) tidak dapat ditanggung.
Apakah dg konteks yang sama hal ini tidak ditanggung? Karena prinsip JKN adalah gotong
royong, yg sakit dibantu oleh mereka yang tidak sakit sehingga penghitungannya mestinya
adalah secara makro. Tidak semua harus diserahkan atau disalahkan di BPJSnya tetapi
tergantung bagaimana pemerintah mengatasi persoalan ini karena sebenarnya kalau dihitung
secara makro, biaya untuk IMS sangat murah, tidak segmented.
3. Ketidakjelasan mengenai penempatan HIV, apakah masuk pribadi atau bagaimana? JKN menjadi
poin yg penting dalam AIDS response. Di tingkat lapangan, sangat sulit jika pembiayaan
dimasukkan dalam program UKP dan UKM. Ketika HIV ada di UKM, ada poin yang lebih (mudah
memonitor, HIV jadi prioritas pemerintah), poin minusnya adalah subsidi yang berkurang,
subsidi makin banyak tetapi jumlahnya juga makin besar, poin minus lainnya adalah advokasi
anggaran di mana anggaran dari Kemkes dipotong. Untuk gapnya, pembiyaan tergantung dari
donor. Di sisi yang lain, AIDS bukan prioritas lagi bagi donor. Pertanyaan lain, seberapa besar
akses ODHA thd JKN? Komponen HIV dimasukkan di mana? Apakah tetap di UKM (program) yg
harus diskusi dan negoaisasi dengan DPR atau pelan-‐pelan tertranformasi dengan JKN?
4. APBNP akan dilakukan pada di bulan Mei pada tahun 2014 ini. Beberapa isu: targeting (PBI) dan
cara bayar. PBI di tahun 2011 baru pertama kali ada integrated data base yg ada minus dan
plusnya. Kesalahan kira-‐kira hanya 5-‐10 %. Tahun ini akan dilakukan pendataan lagi dengan
presisi yang lebih baik. Persoalan lain adalah dinamika kemiskinan, migrasi yg berakibat pada
pentargetan. Angka kemiskinan saat ini adalah 11.5 %. Ada kesenjangan yang tinggi antara yang
miskin dan kaya sehingga program JKN ini tidak pernah bias memuaskan. Perubahan cara
bayar: dulu jamkesmas mengkover, dulu cara bayar dengan reimburse, kalau kurang tahun ini
bias ditambah di tahun berikutnya. Cara bayar yg sekarang adalah dengan kapitasi/prospektuf
shg perkiraan budget tidak boleh berubah. Cara bayar ini mempengaruhi benefit package, ada
yang inclusion da nada yang exclusion. Saat jamkesda/mas, fleksibilitasnya sangat banyak. Ke
depan jangan menanyakan mengenai posisi dari HIV-‐AIDS, tetapi dipilah mana yang masuk
dalam pengibatan yang dicover oleh BPJS mana yang tidak. Dengan demikian mendorong
mereka yang tidka bayar menjadi membayar dan yang belum ikut menjadi ikut sehingga cost
sharing akan menjadi ringan. Kemendagri didorong untuk memastikan anggaran yang ada di
daerah untuk cukup melakukan/mengcover biaya kesehatan melalui BPJS ini. Sekali lagi HIv-‐AIDS
harus dipilah-‐pilah sebagai alternative untuk mendapatkan pembiyaan yang lebih baik danlebih
mudah. Segala sesuatu yang terkait dengan kuratif bias dijabarkan lebih dalam untuk
memastikan pembiayaan.
5. Anggaran dalam BPJS dari pemerintah ini memadai atau tidak? 38 triliun yang tersedia ini,
apakah memadai atau sudah memadai? BPJS secara undang-‐undang tidak bias bangkrut. Kita
lemah dalam data. Penghitungan dalam actuarial belum dilakukans ecara sempurna. Tetapi BPJS
melakukan monitoring bulan per bulan untuk melihat apakah asumsi yang ada itu benar atau
tidak.
6. BPJS adalah produk yang bagus, tetapi ada isu dalam implementasinya? Bagaimana situasi yang
terjadi, apakah ada banyak orang yang dilayani atau dg sistim sebelumnya relative sama?
Sebelumnya bias dicover tetapi sekarang tidak bias? Perubahan persepsi di Kementerian
kekuangan tentang kesehatan. Ada diskusi dan komunikasi dengan bahasa dan kepentingan
Kementerian keuangan. PR yang perlu dilakukan adalah mulai masuk sedikit-‐sedikit dan perlu
dilakukan pemilihan secara logika mana yang masuk dalam BPJS mana yang tidak perlu
dimasukkan dalam BPJS.
7. Bagaimana dg teknis pembayaran? Apakah sebenarnyanya isunya adalah ketersediaan dana?
8. Jika ada yang dicver atau tidak, apakah ada dasar-‐dasarnya? Untuk itu perlu dijelaskan kepada
masyarakat.
9. Apakah ada permasalahan kesehatan tertentu yang di luar BPJS, suatu penyakit yang bias
mengani banyak orang. Contoh imunisasi. Kekebalan tidak bisa terjadi kalau coveragenya tidak
banyak. Dalam konteks ini pemerintah wajib menyediakan. Karena wajib maka pendanaannya
menjadi secure.
10. ODHA yang mampu tetapi tidak membayar/tidak mendaftar BPJS, tentu dia tidak bisa akses
secara gratis, kecuali ODHA yang tidak membayar tetapi masuk dalam PBI. Ini berlaku untuk
orang dengan penyakit yang lain.
11. P2JK akan membaut booklet untuk menginformasikan apa saja yang dicover dalam JKN untuk
HIV dan akan bekerja sama dengna SUBDIT AIDS.
12. Puskesmas bisa membuat rujukan ke layanan lain apabila pasien memilih untuk berobat di
wilayah lain
13. Populasi kunci bisanya ekslusif dan hanya mengakses ke layanan tertentu saja dan yang
memberikan rasa nyaman, tidak akan mengakses ke semua layanan yang tersedia
14. Area yang bisa dilakan oleh pokja :
a. Membuat perhitungan untuk ARV, CD4, viral load. Konsekuensinya semua Puskesmas
harus menyediakan. Perhitungan untuk IMS sudah dilakukan à UNAIDS (3 bulan)
b. Kebutuhan data yang diperlukan untuk membuat perhitungan? à UNAIDS (3 bulan)
c. INA CBG, perhitungan yang bisa diperbaiki? à on proses oleh NCC (national casemix
center) akan ditindaklanjuti oleh Pokja untuk menyampaikan progress à pertemuan
pokja selanjutnya
d. Judicial review Perpres dibawa ke MA khusus untuk pasal 25 H à UNODC, UNDP, PKNI,
LBH Masyarakat (1 tahun)
e. UKM, UKP perlu dibahas dalam pokja à akan mengundan perwakilan dari Kemdagri
untuk menyampaikan tentang SPM à pertemuan pokja selanjutnya
f. Kajian aksesibilitas ODHA terhadap JKN à ILO/UNAIDS ( 3 bulan)
g. Pedoman teknis apa saja yang dicover oleh JKN untuk HIV à Subdit AIDS (3 bulan)
h. Pertemuan pokja selanjutnya: pertengahan Juli 20142
Recommended