View
6
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ii
ANATOMI KONFLIK NELAYAN DI WILAYAH PERBATASAN
KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN (STUDI KASUS PULAU PASITANETE KECAMATAN BONTOMATENE)
SKRIPSI
OLEH :
ABD. MALIK MAJID
L241 13 015
PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN
DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
iii
ANATOMI KONFLIK NELAYAN DI WILAYAH PERBATASAN
KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN (STUDI KASUS PULAU PASITANETE KECAMATAN BONTOMATENE)
SKRIPSI
OLEH :
ABD. MALIK MAJID
L241 13 015
Skripsi
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Studi Pada Departemen Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan
Universitas Hasanuddin Makassar
PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2018
v
ABSTRAK
ABD. MALIK MAJID (L241 13 015), Anatomi konflik Nelayan di Wilayah Perbatasan Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan ( Studi Kasus Pulau Pasitanete Kecamatan Bontomatene)
Dibimbing oleh : Andi Adri Arief dan Aris Baso
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya
konflik serta penyebabnya dan untuk mengetahui keterlibatan pihak-pihak lain
dalam usaha penyelesaian konflik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di
selat Bira/Selayar dengan alternatif resolusi konflik dalam penyelesaian konflik.
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam (In-
depth Interview). Anatomi Konflik dapat diartikan satu rangkaian organ-organ atau
unsur-unsur yang terkait dengan proses terjadinya konflik, yaitu Penyebab terjadinya
konflik, pihak yang berkonflik, proses terjadinya konflik, dampak terjadinya konflik,
proses penyelesaian konflik (resolusi konflik). Sehingga dalam proses penyelesaian
suatu konflik akan lebih terarah dan menciptakan resolusi konflik.
Hasi penelitian menunjukan bahwa konflik nelayan dan penyebabnya dalam
pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat Bira/Selayar bermula ketika datangnya
nelayan Ha’lle ( pendatang) datang melakukan penangkapan daerah penangkapan
nelayan tradisional Selayar, alat tangkap yang digunakan berbeda sehingga
menimbulkan kecemburuan dalam hal pemanfaata dan pengelolaan sumberdaya
ikan yang terbatas dan kurangnya pendukung dalam hal fasiltas perikanan selain itu
penegakan dan pengawasan aturan tetang pengelolaan perikanan belum terlaksana
dengan baik. Dalam upaya penyelesaian konflik dengan melihat anatomi konflik
yang terjadi peran Pemerintah Sulawesi Selatan ,Pemerintah Setempat, aparat
keamanan dan masyarkat dalam penyelesaikan konflik sangat berperan karena
permasalahan konflik Selayar/Bira melibatkan 2 (dua) daerah yang berbeda.
Dengan adanya anatomi konflik dalam penyelesaian konflik lebih ditekankan pada
bentuk yang informatif sehingga nelayan yang memiliki peran yang cukup penting
dalam penyelesaian konflik serta keterlibatan pemerintah pusat dan daerah dalam
mengevalausi bentuk resolusi konflik
Kata Kunci : Konflik, Nelayan, Resolusi
vi
ABSTRACT
ABD. MALIK MAJID (L241 13 015), Anatomy of Fisherman Conflict in Border Areas of Selayar Islands of South Sulawesi (Case Study of Pasitanete Island, Bontomatene Sub District)
Guided by: Andi Adri Arief and. Aris Baso
This study aims to determine how the process of conflict and its causes, and to determine the involvement of other parties in efforts to resolve conflicts in the utilization of fishery resources in Bira / Selayar Strait with alternative conflict resolution in conflict resolution. Data collection is done by using the in-depth interview. Anatomy Conflict can be defined as a set of organs or elements related to the process of conflict, ie Causes of conflict, conflict, conflict, conflict, conflict resolution (conflict resolution). So that in the process of settling a conflict will be more focused and create conflict resolution.
The research results show that fishermen conflicts and their causes in the utilization of fishery resources in Bira / Selayar Strait begin when the fishermen of Ha'lle come to arrest the fishing areas of traditional Selayar fishermen, different fishing gear is used to create jealousy in terms of utilization and management of resources limited fish and lack of support in terms of fishery facilities other than that the enforcement and supervision of the rules of fisheries management has not done well. In an effort to resolve the conflict by looking at the anatomy of the conflict, the role of the South Sulawesi Government, the Local Government, the security forces and the community in resolving the conflict is very important because the conflict of Selayar / Bira conflict involves 2 (two) different regions. With the anatomy of conflicts in conflict resolution more emphasized on informative forms so that fishermen who have a significant role in conflict resolution and the involvement of central and local governments in mengevalausi form of conflict resolution.
Keywords: Conflict, Fisherman, Resolution
vii
RIWAYAT HIDUP
Abd. Malik Majid dilahirkan di Pulau Jinato pada tanggal 04
Desember 1994. Penulis merupakan anak kedua dari empat
bersaudara. Anak dari ayahanda Abd. Majid dan ibunda Murniati.
Pada tahun 2001, penulis memasuki sekolah dasar di SD Inpres
Jinato dan lulus pada tahun 2007, kemudian penulis melanjutkan
pendidikan di SMPN 2 Pasimasunggu Timur Kabupaten
Kepulauan Selayar dan lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2010,
penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 12 Bulukumba atau SMAN 1 Kindang dan
lulus pada tahun 2013. Pada tahun 2013, penulis melanjutkan pendidikan S1
Program Sosial Ekonomi Perikanan, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan
dan Perikanan Universitas Hasanuddin melalui Jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan baik yang
intrakampus maupun ekstrakampus. Penulis juga aktif dibeberapa organisasi
kampus di antaranya, pernah menjabat sebagai Divisi Hubungan Luar UKM FC
Anak Pantai Perikanan TB 2014/2015, Majelis Pertimbangan Himpunan (MPH-
KEMAPI UH Perikanan) TB 2015, Senator di Senat FIKP-UH, Anggota Disaster
Rescue Team (DRT) di KSR PMI UNHAS dan Penulis juga aktif di Komunitas
Rintara Jaya Sulawesi Selatan. Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan
merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan (S.Pi), penulis
melakukan penelitian dengan judul “Anatomi Konflik Nelayan di Wilayah Perbatasan
Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan (Studi Kasus Pulau Pasi’tanete Kec.
Bontomatene)” yang dibimbing oleh Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si dan Prof. Dr. Ir.
Aris Baso, M.Si.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillahirobbil alamin, puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan
atas kehadirat Allah SWT, pemilik segala kesempurnaan, pemilik segala ilmu dan
kekuatan yang tak terbatas, yang telah memberikan kekuatan, kesabaran,
ketenangan, dan karunia selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Anatomi Konflik Nelayan di Wilayah Perbatasan Kepulauan
Selayar Sulawesi Selatan (Studi Kasus Pulau Pasitanete Kecamatan
Bontomatene). Penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat kelulusan Program
Sarjana Strata Satu (S1) pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan./
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari ada begitu banyak bantuan,
bimbingan, dan dukungan yang sangat berharga yang telah diberikan oleh berbagai
pihak kepada penulis. Oleh karena itu melalui laporan ini penulis menghaturkan
penghormatan yang setinggi-tingginya dan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada
pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah ikut
menyumbangkan pikiran, tenaga, dan inspirasi bagi penulis. Dan segala ikhlas dan
tulus, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Ayahanda Abd. Majid dan Ibunda Murniati selaku orang tua yang tanpa henti-
hentinya memanjatkan doa dan memberikan dukungan baik materi maupun
moril kepada penulis.
2. Ibu Dr. Ir. St. Aisyah Farhum, M. Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin.
ix
3. Bapak Dr. Ir Gunarto Latama, M.Sc, selaku Ketua Departemen Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
4. Bapak Dr. Andi Adri Arief S.Pi, M.Si selaku Ketua Program Studi Sosial
Ekonomi Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin.
5. Dr. Andi Adri Arief S.Pi, M.Si selaku pembimbing utama yang telah banyak
membimbing, membantu serta memberikan saran dan kritikan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.
6. Prof.Dr.Ir. Aris Baso,M.Si selaku pembimbing kedua yang bersedia
meluangkan waktunya dan kesabarannya yang luar biasa dalam membimbing
dan mengarahkan penulis demi kesempurnaan penyusunan skripsi.
7. Para penguji Bapak Dr. Hamzah, S.Pi.M.Si, Bapak Amiluddin S.P, M.Si, dan
Bapak Firman, S.Pi, M.Si yang telah memberikan penulis pengetahuan baru
dan masukan dalam melengkapi dan memperbaiki penyusunan skripsi penulis.
8. Kepada Bapak Fatta Daeng dan Ibu Andi Rosi beserta keluarga terima kasih
telah memberikan dukungan moral dan membantu saya selama Penelitian di
Pulau Pasitanete Desa Menara Indah terima kasih banyak atas bantuanya.
9. Adik-adik dan seluruh teman-teman yang ada di BELANAK#13, Sosial
Ekonomi Perikanan, REVOLUSI#13 terima kasih telah menjadi keluarga baru
yang banyak memberikan kesan dan pelajaran yang sama-sama kita dapatkan
di bangku kuliah dan di Himpunan Keluarga Mahasiswa Perikanan Sosial
Ekonomi Perikanan.
10. Kepada teman-teman keluarga besar KSR PMI UNHAS terima kasih telah
memberikan dukungan moral dan telah menjadi keluarga baru saya.
x
11. Saudara-saudariku DIKSAR XXII BABON LELET ( Enhy,Indra ,Ulla ,
Rizal,Jhum, Sari, Naumi ) terima kasih telah memberikan dukungan, doa,
bantuan dan semangatnya kepada penulis dan teruslah menjadi Relawan “Noi
Siamo Tutty Prately”
12. Teman-teman KKN UNHAS Gel. 93 Posko Inalipue dan KORDES Se-
Kecamatan Tanasitolo, T
13. Tak lupa pula kepada kawan-kawan yang luar biasa, pengalaman serta
pelajaran begitu banyak saya dapatkan di keluarga besar Rintara Jaya, TIM
ENJ ( Ekspedisi Nusantara Jaya ) 2015 dan 2016 dengan rute
keberangkatan R-37, R-38 & R-44
14. Terima Kasih buat Saudari Andi Ainun Ni’ma yang telah membantu baik dari
segi materi maupun dukungan Moral.
Penulis berusaha menyajikan skripsi ini dengan sebaik mungkin,
skripsi ini penulis susun atas dasar pengembangan, penalaran, dan pikiran
penulis sendiri yang sedikit banyak mengambil pedoman dari sumber-sumber
tertentu. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan guna perbaikan di
masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan para pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
Makassar, 17 Januari 2018
Penulis
xi
DAFTAR ISI HALAMAN
HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Nelayan ................................................................................................. 8
B. Tapal Batas .......................................................................................... 11
C. Anatomi ................................................................................................ 13
D. Konsep Konflik ..................................................................................... 14
E. Analisis Konflik ..................................................................................... 21
F. Akar Permasalahan Konflik ................................................................. 23
xii
G. Konflik Kenelayaan .............................................................................. 25
H. Tipe dan Karateristik Konflik ................................................................ 27
I. Resolusi Konflik.................................................................................... 29
J. Manajemen Konflik .............................................................................. 29
K. Resolving ( Alternatif Solusi Konflik).................................................... 33
L. Hukum Pemerintahan Terkait Konflik Nelayan ................................... 35
M. Kerangka Pikir ...................................................................................... 39
III. METODOLOGI PRAKTEK KERJA LAPANG
A. Waktu dan Tempat............................................................................. 42
B. Jenis Penelitian .................................................................................. 42
C. Sumber Data ...................................................................................... 42
D. Metode Pengumpulan Data ............................................................... 43
E. Analisis Data ...................................................................................... 45
F. Konsep Oprasional............................................................................. 47
IV. Gambaran Umum Penelitian
A. Kondisi Umum Daerah ....................................................................... 50
B. Keadaan Sosial Ekonomi ................................................................... 52
C. Profil Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Peraiaran Selayar dan
Pulau Pasitanete................................................................................ 56
V. Hasil dan Pembahasan
A. Anatomi Konflik Nelayan dalam Memanfaatkan Sumberdaya
Perikanan ........................................................................................ 65
B. Kronologi Konflik ............................................................................. 66
C. Penahapan Konflik Secara Umum .................................................. 73
xiii
D. Tipe dan Karateristik Konflik ........................................................... 77
a) Konflik Kepemilikan Sumberdaya........................................ 78
b) Pengunaan Alat Tangkap/Cara Produksi............................ 79
c) Konflik Pengeolaan Sumberdaya Ikan............................... 81
E. Akar Permasalahan Konflik ............................................................. 83
1. Keberadaan Sumberdaya Ikan .............................................. 83
2. Hukum dan Peraturan Pemerintah dalam Usaha
Penangkapan Ikan................................................................. 84
3. Pengaturan Nelayan Andon.................................................... 85
4. Perbedaan Cara Pandang Memanfaatkan Sumberdaya
Perikanan............................................................................... 87
5. Pengaturan Penggunaan Bahan Tidak Ramah Lingkungan 88
6. Terbatasanya Fasilitas Perikanan.......................................... 88
F. Pihak-pihak dalam Konflik ................................................................. 89
1. Nelayan Selayar ( Komunitas Nelayan Pulau Pasitanete dan
nelayan Desa Bungaia...................................................... 89
2. Nelayan Andon (Nelayan Daerah lain /Ha’lle)...................... 91
3. Instansi Pemerintah Daerah................................................ 92
4. Pihak-Pihak Lain dalam Konflik.......................................... 92
G. Dampak Konflik ................................................................................... ... 93
H. Penyelesaian Konflik............................................................................... 94
I. Manajemen Konflik .............................................................................. 95
J. Alternatif Resolusi Konflik .................................................................... 97
K. Tindakan Pencegahan ......................................................................... 100
xiv
VI. SIMPULAN
A. Kesimpulan ....................................................................................... 103
B. Saran .................................................................................................. 103
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
1. Tabel.1Jumlah Penduduk Desa Menara Indah Menurut Jenis Kelamin 52
2. Tabel. 2 Mata Pencarian Pokok Penduduk Desa Menara Indah ........ 53
3. Tabel. 3 Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Menara Indah ............ 54
4. Tabel. 4 Sarana dan Prasarana Desa Menara Indah ......................... 54
5. Tabel. 5 Sarana Perikanan Penduduk Desa Menara Indah ............... 55
6. Tabel. 6 Komoditi Perikanan Kabupaten Kepualaun Selayar ............. 67
7. Tabel. 7 Sejarah Konflik Terjadi di Pulau Pasitanete Desa Menara Indah 67
8. Tabel. 8 Jenis Konflik Terjadi di Pulau Pasitanete Desa Menara Indah 81
9. Tabel. 9 Peraturan Daerah Tentang Nelayan Ha’lle ........................... 91
xvi
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1. Gambar.1 Kerangka Pikir ...................................................................... 41
2. Gambar.2 Lokasi Penelitian.................................................................... 51
3. Gambar.3 Fluktuasi Tangkapan Jenis Ikan Karang di Kabupaten
Kepulauan Selayar Untuk Kurun Waktu Tahun 2011-2015 .................. 59
4. Gambar.4 Komposisi Jenis Ikan Karang Di Kabupaten Kepulauan
Selayar pada tahun 2015 ........................................................................ 60
5. Gambar.5 Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Karang di
Kabupaten Kepulauan Selayar dalam Kurun Waktu 2011-2015 ........... 61
6. Gambar.6 Grafik Hubungan Perkembangan Unit Penangkapan dan
Produksi Hasil Tangkapan Perikanan Karang di Kabupaten
Kepulauan Selayar untuk Tahun 2011-2015 .......................................... 62
7. Gambar.9 Akses Alat tangkap yang di pergunakan menurut Nomor
71/permen-KP/2016 di Wilayah Perairan Selayar/Bira .......................... 79
8. Gambar. 10 Kedatangan Nelayan Ha’lle ................................................ 91
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
No Teks
1. Lampiran.1 Daftar Informan
2. Lampiran.2 Formasi daerah penangkapan ikan yang potensial berdasarkan suhu
optimum permukaan laut untuk ikan cakalang di sekitar Perairan Kabupaten
Selayar.
3. Lampiran.3 Formasi daerah penangkapan ikan yang potensial berdasarkan suhu
optimum permukaan laut untuk ikan Layang di sekitar Perairan Kabupaten
Selayar.)
4. Lampiran.4 Lokasi Konflik
5. Lampiran.5 Alat Tangkap Berdasarkan Wilayah Penangkapan
6. Lampiran.6 Dokumentasi Pengambilan Data
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia,Indonesia dirajut oleh
untaian ribuan pulau-pulau yang berjumlah sekitar 13.466 pulau yang menyebar
dari Aceh ujung Barat hingga Papua di ujung Timur, dengan wilayah laut
(termasuk ZEE) seluas 5,8 juta km2 (75% total wilayah Indonesia). Dari sekian
ribu kongfigurasi pulau-pulau tersebut, terdapat pulau-pulau atau daerah yang
berpotensi terjadi konflik. Pulau-pulau atau daerah ini memiliki nilai penting dan
tergolong unik bila ditinjau dari sumberdaya alam,geografi,sosial,ekonomi dan
budaya. Demikian halnya dengan konflik-konflik kenelayaan yang terjadi,
fenomena konflik tersebut juga diasumsikan memiliki keunikan atau ciri yang
berbeda dengan konflik-konflik kenelyaan yang terjadi wilayah pesisir daratan.
Secara umum mengenai konflik-konflik yang terjadi pada komunitas melayan
sesunggunya merupakan refleksi masyarakat pesisir sebagai suatu sistem sosial,
dimana dalam eksistensinya, ia menghadapi berbagai masalah-masalah
fungsional’ agar dapat bertahan hidup (survive), tumbuh dan berkembang
(develop) dalam mengadapatasi sumberdaya alamnya .
Dalam kegiatan perikanan, khususnya penangkapan ikan, konflik
merupakan gejala sosial yang sering di temukan di berbagai wilayah perairan.
Menurut Satria (2000) gejala konflik antar nelayan sering terjadi di sebabkan
perebutan sumberdaya ikan yang jumlahnya terbatas. Perebutan ini muncul
karena karakteristik sumberdaya perikanan yang bersifat open access, seolah-
olah sumberdaya dapat dikuasai sembarang orang, di sembarang waktu dan
dengan sembarang alat tangkap. Selain itu, permasalahan yang dihadapi
nelayan bukan satu-satunya dilihat dari tingginya tingkat ketergantungan akan
sumberdaya perikanan, melainkan secara nyata nelayan juga tidak mampu
2
berbuat banyak menghadapi praktik-praktik yang berlaku diareal fishing ground
mereka seperti penggunaan alat tangkap yang lebih canggih/modern.
Menurut Kusnadi (2003:109) bahwa masuknya modal dan teknologi
yang lebih canggih telah mempercepat proses penipisan dan kelangkaan
sumberdaya perikanan yang ada. Di samping itu, masalah kemiskinan dan
kesenjangan sosial juga meningkat di bandingkan dengan masa sebelum di
operasikannya alat tangkap yang lebih modern. Sejalan dengan itu, perbedaan
kapasitas teknologi serta modal, dan akses antarpengguna sumber daya
perikanan berpotensi menimbulkan konflik pengelola sumber daya. Latar
belakang konflik sosial ini terjadi karena kecemburuan sosial yang di picu oleh
kenyataan bahwa salah satu pihak dapat memperoleh bagian yang terbesar
dari eksploitasi sumber daya perikanan, sedangkan pihak yang lain sebaliknya.
Konflik sosial yang muncul adalah manifestasi dari kesenjangan ekonomi atau
kesenjangan pendapatan di antara kelompok-kelompok masyarakat nelayan
(Kusnadi, 2003:22).
Menurut Kinseng (2014:252) unit penangkapan dan jenis alat tangkap
memegang peranan yang penting dalam analisis kelas di kalangan kaum
nelayan. Selain itu jarak dominasi juga sangat penting untuk diperhatikan,
jarak dominasi merupakan jarak spasial dominasi suatu kelas (kelompok) sosial
atas kelas (kelompok) lainnya. Dengan kata lain, dalam proses produksi
dominasi satu kelas itu berlaku dalam batas radius tertentu. Jarak dominasi
atau areal tangkap nelayan dikalangan kaum nelayan dalam proses produksi
sangat ditentukan oleh tingkat teknologi yang digunakan oleh setiap kelas
nelayan itu sendiri (Kinseng, 2014:238).
Satria (2002) mengedintifikasi konflik yang terjadi dimasayarakat nelayan
secara umum menjadi empat macam, yaitu: (1) Konflik Kelas, yaitu konflik yang
terjadi antar kelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan
3
(fishing ground), seperti konflik nelayan trawl diperairan pesisir yang sebenarnya
wilayah tangkapan nilayan tradisional; (2) konflik orentasi, yaitu konflik yang
terjadi antar nelayan yang memeiliki perbedaan orientasi (jangka pendek dan dan
jangka panjang) dalam pemanfaatan sumberdaya, seperti konflik horizontal
antara nelayan yang mengunakan bom atau potassium cyanide dengan nelayan
yang lain yang alat tangkapnya ramah lingkungan;(3) konflik agraria yaitu konflik
yang terjadi akibat perebut fishing ground. Konflik ini dapat terjadi pada nelayan
antar kelas maupun nelayan dalam kelas sosial yang sama.
Bahkan, konflik dapat juga terjadi antara nelayan dengan pihak bukan
nelayan, seperta konflik penambangan pasir di Riau,dimana nelayan berhadapan
dengan para pengusaha penambang pasir dan (4) konflik primordial, seperti yang
telah disebutkan di atas. Namun jika di telusuri lebih jauh konflik identitas
tersebut tidak bersifat murni melainkan tercampur dengan konflik kelas maupun
konflik orentasi yang sebenarnya kerap terjadi sebelum diterapkan otonomi
daerah.Berikut ini adalah beberapa kutipan berita mengenai Konflik nelayan yang
terjadi dengan nelayan Selayar dengan Nelayan Ha’le (Pendatang) Rilis Berita
Perselisihan Nelayan Selayar dan Nelayan Ha’le ( Pendatang)
Sumber : Selayarnews.com 2017.
4
Sumber : Selayarnews.com 2017.
Beberapa berita di atas adalah berita yang terdapat dalam sebuah media
online yang menyatakan terjadi gesekan-gesekan yang berakibat konflik secara
langsung maupun tidak langsung , ini diakibatkan kurang dan lemanya
pengawasan tentang aturan-aturan mengenai hukum penengkapan. Hal ini
mendasari terjadinya perebutan wilayah penangkapan tersebut adalah sistem
otonomi daerah.
Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, permasalahan banyak
muncul seperti kesalahpahaman dalam menginterpretasikan makna dari
batasan”kewenangan“ yang diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah. Di tingkat instansi pemerintah ”kewenangan“
dimaknai sebagai ”kedaulatan“ teritorial laut yang batasannya 12 mil untuk
provinsi dan 4 mil laut untuk kabupaten/kota, memunculkan gagasan dari
kalangan pemerintah dan nelayan yang salah satunya berupa gagasan untuk
membagi perairan laut Indonesia menjadi wilayah eksklusif provinsi atau bahkan
kabupaten yang melarang nelayan daerah lain memasuki wilayah perairannya.
5
Wajar jika argumen seperti ini muncul karena selama ini (pra otonomi
daerah) kekayaan laut di suatu wilayah hasilnya banyak dinikmati oleh nelayan
daerah lain, sementara nelayan dan pemerintah daerah setempat nyaris tidak
mendapatkan bagian apapun. Akibatnya antar kabupaten/kota seringkali terjadi
konflik yang bersifat vertikal pada tataran birokrasi. Sedangkan di tingkat
masyarakat, yaitu nelayan ditafsirkan sebagai ”pengkavlingan“ laut yang ternyata
disinyalir telah menimbulkan konflik horisontal, misalkan konflik dalam hal
pengelolaan sumberdaya perikanan antara nelayan tradisional dengan nelayan
pendatang akibat dikukuhkannya kembali aturan-aturan/nilai-nilai lokal
pemanfaatan sumberdaya yang lama tenggelam. Meskipun demikian, konflik
horisontal tersebut belum tentu ada hubungannya dengan otonomi daerah
karena sudah berlangsung sejak dulu (Satria et al. 2002).
Pemanfaatan sumberdaya perikanan milik bersama (open acces)
menyebabakan fenomena konflik perebutan sumberdaya perikanan oleh tidak
bisa dihindari. Kondisi ini dipertegas oleh Kusnadi (2002) bahwa faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya konflik di kalangan masyarakat nelayan
setidaknya di pengaruhi oleh enam faktor utama, yakni tidak di patuhinya
pranata-pranata pengelolaan sumberdaya lokal,konteks sosial-
budaya;kebijakan negara;variabel-variabel teknologis; tingkat tekanan pasar dan
tekanan penduduk.
Sumberdaya perikanan-kelautan yang sifatnya lintas wilayah, perlu
mendapatkan perhatian yang cermat mengingat kemungkinan timbulnya
konflik”kewenangan“ sangat terbuka. Sumberdaya ini telah lama diketahui
membawa permasalahan yang kompleks terkait dengan hak kepemilikannya
(property rights).Oleh karena itu, menjadikan apa yang telah di sebutkan
sebelumnya sebagai salah satu pertimbangan, maka studi ini memfokuskan diri
pada kenelayanan yang terjadi dikawasan daerah pesisir dan pulau-pulau
6
sebagian kajian spesifik yang membedakan penelitian-penelitian sebelumnya
mengenai konflik nelayan diwilayah pesisir.
Lokasi penelitian adalah Pulau Pasitanete Kecamatan Bontomatene
Kabupaten Kepulauan Selayar.Di wilayah studi ini, berdasarkan survei awal yang
dilakukan tampak bahwa interaksi sosial masyarakat nelayan cukup tinggi dalam
memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ditandai oleh beragamnya alat
tangkap perikanan yang dipergunakan seperti;jaring Insang (Giil Net), pancing
tarik, penyelam teripang dan sebagainya sehingga fenomena konflik kenelayaan
menjadi proses sosial yang juga ikut mewarnai interaksi sosial kelompok-
kelompok nelayan tersebut dalam dinamikanya. Oleh karena itu, dapat diduga
bahwa ,dinamika konflik kenelayaan yang telah berlangsung daerah pesisitr
tersebut disatu sisi telah melahirkan tipologi konflik tersendiri dengan kaitanya
dengan penggunaan alat tangkap dan juga orietasi pemanfaatan sumberdaya
perikanan berdasarkan perspektif (orientasi) masing-masing daerah pesisir.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses terjadinya konflik dan penyebabnya dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan di selat Bira/Selayar ?
2. Bagaimana keterlibatan pihak-pihak lain dalam usaha penyelesaian konflik?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan uraian – uraian di atas, maka
penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui proses terjadinya konflik dan penyebabnya dalam
pemanfaatan sumberdaya perikanan di selat Bira/Selayar.
2) Untuk mengetahui keterlibatan pihak-pihak lain dalam usaha penyelesaian
konflik.
7
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Perikanan pada
Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Departemen Perikanan, Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
2. Menjadi sarana bagi penulis dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah
diperoleh selama studinya di Departemen Departemen Perikanan, , Fakultas
Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin
3. Memberikan masukan atau sebagai referensi bagi Pemerintah Daerah,
Pemerintah Pusat dan masyarakat setempat dalam mengelola dan
menangani konflik karena permasalahan pemanfaatan sumberdaya
perikanan.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Nelayan
Mengenai pengertian, Ditjen Perikanan mendefenisikan nelayan sebagai
orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan
ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Adapun orang yang melakukan pekerjaan
seperti membuat jaring atau mengangkut alat-alat perlengapan edalam
perahu/kapal tidak dikategorikan sebagai nelayan. Masyarakat nelayan
merupakan sekumpulan individu atau sekelompok masyarakat
yang mendiami wilayah pesisir. Sumber perekonomiannya bergantung secara
langsung pada sumber daya laut dan ekosistem sekitarnya, serta membentuk
dan memiliki kebudayaan yang khas, terkait dengan ketergantungannya
pada pemanfaatan sumberdaya laut secara terus menerus (Satria, 2002:26).
Dilihat dari penguasaan kapital, nelayan dapat kita bagi menjadi nelayan
pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang
memiliki sarana penangkapan, seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap
lainnya. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa
tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan dilaut atau
sering kita sebut anak buah kapal (Satria, 2002:25).
Menurut Satria (2002:28) nelayan dapat digolongkan menjadi 4
tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada),
orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi.
1. Dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayan pun berubah
dari peasant fisher menjadi post- peasant fisher yang dicirikan dengan
penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor
tempel atau kapal motor.Penguasaan sarana motor itu semakin membuka
peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan diwilayah perairan yang lebih
9
jauh dan memperoleh surplus dari hasil tangkapan itu karena memiliki daya
tangkap yang lebih besar. Umumnya nelayan jenis ini masih beroperasi
diwilayah pesisir. Pada jenis ini, nelayan sudah berorentasi pasar.
Sementara itu, tenaga kerja atau ABK-nya sudah meluas dan tidak
bergantung pada anggota keluarga.
2. Peasant-fisher atau nelayan tradisisonal yaitu nelayan yang memanfaatkan
sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal
usaha yang kecil, dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana.
Dalam kehidupan sehari-hari, nelayantradisional ini lebih berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan sendiri (sub-sistence). Dalam arti hasil alokasi hasil
tangkapan yang dijual lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya pangan, dan bukan diinvestasikan
kembali untuk pengembangan skala usaha.
3. Commercial fisher, yaitu nelayan yang telah berorientasi pada
peningkatan keuntungan. Sekala usaha sudah besar yang dicirikan dengan
banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh
hingga manajer. Teknologi yang digunakan pun lebih modern dan
butuh keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat
tangkapnya.
4. Industrial fisher. Ciri nelayan industri menurut Pollnac
(Satria, 2002:29) adalah:
a. Diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan
agroindustri di negara-negara maju.
b. Secara relatif lebih padat modal
c. Memberi pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana,
baik untuk pemilik maupun awak perahu
10
d. Menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi
ekspor.
Nelayan sekala besar dicirikan dengan majunya kapasitas teknologi
penangkapan maupun jumlah armadanya. Mereka lebih berorientasi pada
keuntungan (profit oriented) dan melibatkan buruh nelayan sebagai anak
buah kapal dengan organisasi kerja yang kompleks.
Urgensi modernisasi perikanan melalui perbaikan teknologi atau alat
tangkap untuk peningkatan produksi dapat dipahami. Hal ini sesuai dengan
kenyataan bahwa kita masih undercapacity untuk memanfaatkan potensi
perikanan budidaya maupun tangkap. Pada umumnya, modernisasi perikanan
melalui peningkatan kualitas alat tangkap didorong untuk meningkatkan produksi
perikanan. Berbagai pengalaman menunjukan hal itu secara umum, ada
beberapa pengaruh positif dari kelangsungan modernisasi perikanan tersebut,
antara lain Satria (2002:51):
1) terjadi peningkatan produksi perikanan
2) peningkatan pendapatan nelayan
3) Mendorong tersedianya lapangan kerja baru.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa modernisasi perikanan
sering kali menyebabkan juga berbagai macam permasalahan berupa
ketimpangan antar nelayan dan tidak jarang menyebabkan konflik. Menurut
Kusnadi (2003:77) kebijakan modernisasi perikanan hanya berfokus pada
upaya peningkatan produktifitas dalam kerangka besar ekonomi nasional.
Padahal, upaya pelestarian dan menjaga kelangsungan sumber daya perikanan
sangat diperlukan agar sumber daya tersebut dapat diekploitasi secara
berkelanjutan. Akibatnya timbul beberapa hal yang menjadi timbal balik dalam
kegiatan pembangunan perikanan nasional.
1. Timbul konflik sosial antar nelayan yang mengunakan peralatan canggih.
11
2. Mekanisme perahu dan modernisasi peralatan tangkap telah
meningkatkan akselerasi kerusakan dan kelangkaan sumber daya
perikanan.
3. Meningkatnya kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di kalangan nelayan.
Modernisasi hanya mampu meningkatkan pendapatan nelayan dalam
jangka pendek.
Dengan adanya kerusakan lingkungan maka kelangkaan sumber daya
perikanan dengan eksploitasi secara berlebihan telah menyebabkan nelayan sulit
memperoleh hasil tangkapan, hanya nelayan bermodal besar dan memiliki
akses ekonomi yang luas bisa bertahan dan memanfaatkan peluang modernisasi
perikanan.
B. Tapal Batas Wilayah
Pengertian tapal batas atau perbatasan adalah sebuah garis demarkasi
antara dua wilayah yang berdaulat (Rizal Darmaputra. 2009). Menurut pakar
perbatasan Guo, bahwa kata border atau perbatasan mengandung pengertian
sebagai pembatasan suatu wilayah politik dan wilayah pergerakan. Sedangkan
wilayah perbatasan mengandung pengertian sebagai suatu area yang
memegang peranan Penting dalam kompetisi politik antar dua wilayah yang
berbeda. Maka demikian, wilayah perbatasan sebenarnya tidak hanya terbatas
pada dua atau lebih , namun dapat pula ditemui dalam suatu negara, seperti kota
atau desa yang berada di bawah dua yurisdiksi yang berbeda. Intinya, wilayah
perbatasan merupakan area (baik kota atau wilayah) yang membatasi antara dua
kepentingan yurisdiksi yang berbeda (J. G. Starke. 2007).
Batas wilayah adalah garis, sisi atau sempadan pemisah antara
duabuah daerah atau permukaan bumi dalam kaitannya dengan administrasi
pemerintah, lingkungan, perairaan, sungai dan bidang lainnya. Batas
administrasi pemerintahan baik provinsi maupun kabupaten atau kota dikenal
12
dengan daerah otonom. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-bats wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan asoirasi dalam sistem suatu daerah.
Penataan Batas di Daerah daratan, dilakukan melalui
pemisahanwilayah untuk penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan
daerah lain. Sedangkan penentuan untuk menegaskaan batas daerah di daratan
harus mengacu pada dokumen (U.U tentang Pembentukan Daerah beserta
lampiran peta wilayah), dan Peraturan Pemerintah, Peraturan Daera (PERDA)
tentang pembentukan Desa, Kelurahan atau Kecamatan batas wilayah terdiri
atas dua (2) yaiitu batas-batas alam seperti sungai,gunung dan batas buatan
seperti pilar batas,tugu,jalan,saluran,irigasi dan lain-lain.
Tujuan penegasan batas, adalah untuk menyiapkan fakta dan informasi
yang jelas dalam penetapan batas yang pasti di lapangan. Lebih spesifik Tujuan
penegasan batas wilayah ini, adalah untuk menetapkan batas kewenangan
pelayanan publik, baik wajib maupun pilihan. Batas wilayah juga di artikan
sebagaipembatas wilayah administrasi pemerintahan antar daerah
yangmerupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi
dapat berupa tanda-tanda alam seperti punggung gunung atau pegunungan,
median sungai dan atau unsur buatan di lapangan yang dituangkan dalam
bentuk Peta , Bertitik tolak dari pengertian-pengertian yang dikemukakan di
atas, maka pengertian penyelesaian batas daerah kabupaten atau kota, adalah
usaha atau perbuatan membereskan, menyelesaikan bagian atau ruas pembatas
wilayah administrasi pemerintahan antardaerah kabupaten atau kota dalam
bentuk rangkaian titik koordinat yang berada pada permukaan bumi, tanda-tanda
alam seperti gunung atau punggung gunung, median, sungai dan atau unsur
buatan di lapangan yang dituangkan dalam bentuk peta. Usaha atau perbuatan
13
membereskan, menyelesaikan bagian atau ruas pembatas dimaksud, sesuai
dengan aturan normatifnya sebagaimana ditegaskan dan dituangkan lebih jelas
dalam Permendagri Nomor 76 tahun 2013
C. Anatomi
Anatomi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur tubuh
manusia,berasal dari bahasa yunani “ana” yang berarti habis atau keatas dan
“tomos” yang berarti memotong atau mengiris. Maksudnya anatomi adalah ilmu
yang mempelajari struktur tubuh (manusia) dengan cara nenguraikan tubuh
(manusia) menjadi bagian yang lebih kecil kebagian yang paling kecil,dengan
cara memotong atau megiris tubuh (manusia) kemudian diangkat,
dipelajari dan diperiksa menggunakan mikroskop. (Ethel Sloane,2003 ).
Berdasarkan definisi di atas secara ringkas anatomi dapat dipahami
sebagai suatu kesatuan dari berbagai organ atau komponen yang memiliki
kedudukan yang saling terkait. Apabila definisi anatomi tersebut dikaitkan dalam
pengertian konflik, dapat dimaknai sebagai organ atau komponen pembentuk
konflik.
1) Anatomi Konflik Sosial
Teori-teori konflik dilatarbelakangi oleh tiga kondisi utama yakni, kondisi
sosial politik, kondisi intelektual dan kondisi biografis. Kondisi sosial meliputi
dominasi politik, eksploitasi sosial dan perkembangan ekonomi. Kondisi
intelektual di antaranya idealisme, naturalisme, paham evolusi sosial dan
fragmatis. Sedangkan kondisi biografis mayoritas berasal dari kelas bawah,
mengalami pendidikan pada masa pencerahan kemudian karir politik dan
akademik. Dari kondisi-kondisi ini lalu muncul beberapa tipologi teori konflik
dalam perkembangan selanjutnya. Di antara teori konflik tersebut dapat
dipetakan menjadi teori konflik materialistik, evolusioner serta model sistemik dan
naturalistik.
14
Teori konflik berbeda dengan teori konsensus tidak hanya karena teori
konflik tertarik pada kemudahan terdistribusi secara tidak setara dalam
masyarakat menstrukturkan prilaku, tetapi juga karena teori-teori ini tertarik pada
konflik, bukan konsensus inheren dalam masyarakat tersebut (pondok kajian
sosial : 2010) .Anatomi adalah ilmu yang mempelajari struktur tubuh (manusia)
dengan cara nenguraikan tubuh (manusia) menjadi bagian yang lebih kecil
kebagian yang paling kecil,dengan cara memotong atau megiris tubuh (manusia)
kemudian diangkat, dipelajari dan diperiksa menggunakan mikroskop. (Ethel
Sloane, 2003)
Berdasarkan uraian di atas Anatomi Konflik Sosial dapat diartikan satu
rangkaian organ-organ atau unsur-unsur yang terkait dengan proses terjadinya
konflik, yaitu:
1. Penyebab terjadinya konflik;
2. Pihak yang berkonflik;
3. Proses terjadinya konflik;
4. Dampak terjadinya konflik;
5. Proses penyelesaian konflik.
D. Konsep Konflik
Menurut Marx (Kinseng, 2014:23) konflik dan radikalisme adalah
petentangan kepentingan kelas. Hubungan sosial yang bersifat antagonistik
menghasilkan konflik sosial. Karena masing-masing kelas sosial itu mempunyai
kepentingan yang bertentangan atau antagosnistik, maka kelas sosial itu
sendiri secara inheren di dalamnya mengandung bibit konflik. Sepanjang kelas
sosial itu masih ada, maka dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia
lainnya, serta konflik sosial akan selalu ada.Sementara menurut Sanderson,
(2011:11--12) ia memandang konflik dan pertentangan-dan kepentingan dan
15
concern dari berbagai individu dan kelompok yang saling bertentangan-sebagai
determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial. Dengan kata lain,
struktur dasar masyarakat sangat di tentukan oleh upaya- upaya yang di lakukan
oleh berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumberdaya yang
terbatas yang akan memenuhi berbagai kebutuhan dan keinginan mereka.
Karena sumber- sumber daya ini, dalam kadar tertentu selalu terbatas maka
konflik untuk mendapatkannya selalu terjadi. Sementara menurut Kinseng,
(2014:12) konflik adalah relasi sosial antar aktor sosial yang di tandai oleh
pertentangan atau perselisihan dan kemarahan, baik di nyatakan secara
terbuka ataupun tidak, dalam rangka mencapai keinginan atau tujuan masing-
masing.
Soekanto (2002) memberikan definisi konflik sebagai suatu proses sosial
dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan
jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau
kekerasan. Faktor penyebab utama terjadinya pertentangan adalah perbedaan
individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, perbedaan budaya
yang berpengaruh pada kepribadian setiap individu, perbedaan kepentingan
(dalam ekonomi, politik, dan lain sebagainya), dan perubahan sosial terhadap
nilai dalam masyarakat. Perbedaan individu dan budaya terjadi karena
perbedaan lingkungan yang membentuk kedua belah pihak yang melahirkan
prinsip, nilai, kebiasaan atau tata cara yang berbeda. Biasanya konflik akan
terjadi jika masing-masing pihak tidak dapat menerima atau menghormati
prinsip atau sistem nilai yang dimiliki pihak lain sehingga muncul
keinginan untuk mengubah sistem nilai itu.
16
Bentuk-bentuk pertentangan (conflict) menurut Soekanto (2002) antara
lain:
1) Pertentangan pribadi yaitu pertentangan antara dua orang dimana masing-
masing pihak berusaha untuk memusnahkan pihak lawannya.
2) Pertentangan rasial yaitu pertentangan yang di latarbelakangi oleh
penampakan individu, perbedaan kepentingan dan kebudayaan.
3) Pertentangan antar kelas sosial yaitu pertentangan yang disebabkan oleh
perbedaan kepentingan individu yang menempati kelas yang berbeda
4) Pertentangan politik yaitu pertentangan antar golongan kelompok dalam
masyarakat.
Menurut Satria (2002:65) dalam proses sosial bentuk proses sosial yang
bersifat disosiatif (menjauhkan) misalnya persaingan, kontraversi dan konflik.
Persaingan sendiri dapat terjadi antar individu maupun kelompok dalam
mencapai suatu keuntungan melalui segala aspek kehidupan. Jika
persaingan ini terjadi diikuti gejala-gejala ketidak pastian dan keraguan tentang
seseorang dan sikap tersembuyi atas gagasan serta budaya yang dimilikinya,
hal itu disebut juga kontravensi. Kontravensi yang terjadi dan memunculkan
ketegangan dalam hubungan kedua belah pihak karena dikuasai rasa
amarah yang berlebihan kita sebut konflik.
Menurut Marx, (Kinseng, 2014:13) kelas sosial merupakan kelompok
sosial yang terbentuk berdasarkan hubungan orang-orang tersebut dengan alat
produksi atau berdasarkan kepemilikan alat produksi. Selanjutnya bagi Marx,
konflik antar kelas (konflik kelas) atau perjuangan kelas (class struggle) ini
merupakan konflik sosial yang terpenting dan menemukan sejarah
perkembangan suatu masyarakat.
Konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging), dan
terbuka (manifest). Konflik tersembunyi dicirikan dengan adanya tekanan-
17
tekanan yang tidak nampak dan tidak sepenuhnya berkembang dan belum
terangkat kepuncak konflik. Sering kali satu atau dua pihak boleh jadi belum
menyadari adanya konflik bahkan yang paling potensialpun. Konflik mencuat
adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih teridentifikasi. Mereka
mengakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahanya jelas, tapi proses
negosiasi dan penyelasaian masalahnya belum berkembang. Disisi lain konflik
terbuka adalah konflik dimana pihak-pihak yang berselisih secara aktif terlibat
dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk benegosiasi, dan
mungkin juga mencapai jalan buntu.(Wijardji et all.,2001).
Menurut Wijadjo et all (2001), kebanyakan konflikatas sumberdaya alam
mempunyai sebab-sebab ganda. Biasanya kombinasi dari masalah-masalah dari
hubungan antar pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik terbuka. Lebih
lanjut, mengatakan bahawa dari pengalaman empirik diberbagai daerah di
Indonesia, sumber konflik atas sumberdaya alam adalah konflik yang ersifat
struktural, dengan melibatkan unsur-undur lainya.
Unsur yang di maksud, dapat dianalisis dengan kerangka-kerangka
sebagai berikut :
1) Konflik struktural, terjadi ketika terjadi ketimpangan untuk melakukan akses
dan kontrol terhadap sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki
wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki
peluang untuk menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap
pihak lain. Di sisi lain persoalan grafis dan faktor sejarah/waktu seringkali
dijadikan alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan
yang hanya meguntungkan pada satu pihak tertentu
2) Konflik kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan
atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan
18
terjadi ketika satu pihak atau lebih menyakini bahwa untuk memuaskan
kebutuhanya, pihak lain yang harus berkorban.
3) Konflik nilai, disebabkan oleh sistem-sistem kepercayaan yang tidak
bersesuaian, entah itu hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah
kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti dalam hidupnya. Nilai
yang menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau
tidak. Perbedaan nilai tidak harus menyebabkan konflik. Manusia dapat hidup
berdampingan harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai
baru muncul ketika orang berusaha untuk melaksanakan suatu sistem nilai
kepada orang lain, atau mengklaim suatu sistem nilai yang eksklusif dimana
didalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan kepercayaan.
4) Konflik hubungan antar manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif
yang kuat, salah persepsi atau stereotip, salah komunikasi,atau tingkah laku
negatif yang beruang (repetitive). Masalah-masalah ini sering menghasilkan
konflik-konflik yang tidak realistis atau tidak perlu, karena konflik ini bisa terjadi
bahkan ketika kondisi obyektif atau terjadinya konfli,seperti terbatasnya
sumberdaya atau tujuan-tujuan bersama yang ekslusif, tidak ada. Masalah
hubungan antar manusia seperti yang disebut diatas,sering kali memicu
pertikaian dan menjurus pada lingkaran spiral dari suatu konflik destruktif yang
tidak perlu.
Dalam rangka memahami cara mengelola konflik ( Fisher et all; 2001)
menyebutkan ringkasan teori-teori utama mengenai penyebab terjadi konflik,
masing-masing dengan metode dan sasaran yang berbeda. Teori-teori tersebut,
antara lain.
1) Teori hubungan masyarakat yang menganggap bahwa konflik disebabkan
oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidak percayaan dan permusuhan di
19
antara kelompok yang bebda dalam suatu masyarakat. Sasaran yang ingin
dicapai dalam teori ini adalah :
a. Meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang
mengalami konflik dan
b. Mengusahakan toleransi dan agar masyarakat bih bisa saling menerima
keragaman yang ada didalamnya.
2) Teori negosiasi, prinsip yang menganggap bahwa konflik disebaban oleh
posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik
oleh pihak-pihak yang mengalami. Sasaran yang ingin dicapai teori ini
adalah :
a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan
perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu dan memampukan
mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-
kepentingan mereka dari pada posisi tertentu yang sudah tepat
b. Melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan
kedua belah pihak atau semua pihak.
3) Teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa konflik yang berakar dala di
sebabkan oleh kebutuhan dasar manusia fisik mental dan sosial yang tidak
terpenuhi atau dihalangi,keamanan, identitas, pengakuan,partisipasi,dan
otonomi yang sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang ingin
dicapai adalah:
a. Membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi
dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi
dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu dan;
b. Agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk
memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
20
4) Teori identitas berasumsi bahwa konflik yang disebabkan karena identitas
yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu pada
penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Sasaran yang ingin dicapai
teori ini adalah :
a. Melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang
mengalami konflik mereka diharapakan dapat mengidentifikasi
ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan mereka
masing-masing dan untuk membangun empati dan rekonsiliasi diantara
mereka dan;
b. Meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok
semua pihak
5) Teori kesalapahaman antar budaya berasumsi bahwa konflik disebabkan
oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi diantara berbagai budaya
yang berbeda. Sasaran yang ingin dicapai adalah :
a. Menambah pengatahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai
budaya pihak lain;
b. Mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain dan;
c. Meningkatkan keefektifan komunikasi antar budaya
6) Teori tranformasi konflik berasumsi bahwa di sebabkan oleh masalah-
masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-
masalah sosial,budaya,dan ekonomi. Sasaran yang ingin dicapai teori ini
adalah :
a. Mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi
b. Mengembangkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara
pihal-pihak yang mengalami konflik
21
c. Mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan
pemberdayaan, keadilan,perdamaian, pengampunan, rekonsilisasi dan
pengampunan
E. Analisis Konflik
Menurut Fisher et al. (2001) analisis konflik sebagai suatu proses praktis
untuk mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang,
selanjutnya pemahaman ini membentuk dasar untuk mengembangkan strategi
dan merencanakan tindakan. Analisis konflik dapat dilakukan dengan sejumlah
alat bantu dan teknik yang sederhana, praktis dan sesuai yang dapat
dikombinasikan antara satu dengan yang lainnya untuk memahami konflik, yaitu:
1) Kronologi konflik (urutan kejadian) merupakan suatu alat bantu yang
digunakan untuk menunjukkan sejarah konflik berdasarkan waktu
kejadiannya (hari/ bulan/ tahun sesuai skalanya) yang ditampilkan secara
berurutan. Alat ini menjadi starting point dalam memahami konflik karena
mampu mengidentifikasi interpretasi berbagai pihak terhadap suatu kejadian.
Interpretasi ini dapat berasal dari satu pihak untuk digunakan bagi
kepentingan mereka sendiri maupun untuk dipergunakan bersama dengan
pihak lain.
2) Penahapan konflik merupakan alat bantu yang ditujukan untuk menganalisis
berbagai dinamika yang terjadi pada masing-masing tahap konflik. Analisis
tersebut meliputi lima tahap yaitu prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan
pascakonflik
3) Pemetaan konflik yang merupakan visualisasi terhadap hubungan-hubungan
dinamis antara pihak-pihak yang terlibat konflik. Selain ditujukan untuk
mengidentifikasi masalah atau isu-isu yang dihadapi oleh masing-masing
pihak, alat bantu ini berguna untuk menganalisis tingkat dan jenis hubungan
di antara pihak-pihak tersebut.
22
Konflik berubah setiap saat melalui berbagai tahap aktivitas, ketegangan
dan kekerasan yang berbeda. Tahap konflik adalah suatu keadaan dimana para
pihak menyadari atau mengetahui adanya perasaan tidak puas (Maskanah et
al.2000). Tahap-tahap ini penting untuk diketahui dan digunakan untuk
menganalisis dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing
tahap konflik. Penahapan konflik terdiri dari lima tahap (Fisher et al. 2001), yaitu:
1) Prakonflik, merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian
sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik
tersembunyi dari pandangan umum meskipun satu pihak atau lebih mungkin
mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan
hubungan diantara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari
kontak satu sama lain pada tahap ini.
2) Konfrontasi, konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang
merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi
demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau
kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi diantara kedua belah pihak.
Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan sumberdaya dan kekuatan
dan mungkin mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan
konfrontasi dan kekerasan. Hubungan diantara kedua pihak menjadi sangat
tegang yang mengarah pada polarisasi diantara para pendukung di masing-
masing pihak.
3) Krisis, merupakan puncak konflik ketika ketegangan dan/atau kekerasan
terjadi paling hebat. Komunikasi normal antara kedua belah pihak mungkin
terputus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan
menentang pihak lainnya. Contoh dalam periode perang.
4) Akibat, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini
menurun dengan kemungkinan adanya penyelesaian.
23
5) Pascakonflik, situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri konfrontasi
Kekerasan dan/atau ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih
normal diantara kedua pihak. Namun, jika isu-isu (seperti isu kritis
kekuasaan, budaya dan identitas) dan masalah-masalah yang timbul karena
sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap
ini sering kembali lagi menjadi situasi prakonflik.
F. Akar Permasalahan Konflik
Konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat disebabkan oleh
keterbatasan sumberdaya alam dan kebutuhan yang selalu meningkat akan
keberadaan, fungsi dan manfaat sumberdaya alam (Mitchell et al. 2000). Selain
itu, diungkapkan juga bahwa sumberdaya alam yang terbatas sangat rentan
terhadap perubahan, sehingga inisiatif-inisiatif industrialisasi telah menimbulkan
ancaman bagi keberlanjutan sumberdaya alam itu sendiri. Perubahan keadaan
sosial, budaya, lingkungan, ekonomi, hukum dan politik dapat menciptakan
kepentingan-kepentingan baru terhadap sumberdaya perikanan. Perubahan
faktor- faktor tersebut apabila mengalami ketidaksesuaian, maka menyebabkan
adanya suatu potensi konflik.
Dorcey (1986) diacu dalam Mitchell et al. (2000), menyebutkan empat
penyebab dasar konflik, yakni:
1) Perbedaan pengetahuan atau pemahaman
Perbedaan akan pengetahuan dan pemahaman dapat mengarah pada
timbulnya konflik. Berbagai kelompok mungkin menggunakan model,
perkiraan dan informasi yang berbeda. Konflik terjadi ketika kelompok
kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang
bijaksana dan informasi yang didapatkan salah. Perbedaan fakta dan
interpretasi dua kelompok terhadap suatu keadaan akan dapat menimbulkan
24
konflik tentang apakah telah muncul persoalan, dan/ atau penyelesaian
persoalan manakah yang paling tepat. Konflik tidak harus selalu terjadi
karena hal ini hanya disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara orang-
orang yang berkonflik.
2) Perbedaan nilai
Konflik sering kali muncul karena perbedaan nilai. Nilai adalah
kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti dalam hidupnya. Nilai
menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak.
Sebagai contoh, pada awalnya mungkin ada kesepakatan tentang bentuk
suatu persoalan serta cara penyelesaiannya, namun tetap terjadi perbedaan
yang pokok pada titik akhir yang dituju.
3) Perbedaan alokasi keuntungan dan kerugian
Kesamaan penerimaan fakta, informasi dan nilai-nilai pada suatu
kelompok terkadang masih menyisakan perbedaan kepentingan dalam
kelompok tersebut, dimana perbedaan yang dimaksud dapat memicu
munculnya konflik. Dengan demikian konflik muncul sebagai akibat dari
perbedaan tentang siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan, bukan
karena perbedaan pengetahuan dan perbedaan nilai. Konflik dapat terjadi
ketika satu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan
kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban.
4) Perbedaan latar belakang personal dan sejarah kelompok-kelompok yang
berkepentingan.
Dalam hal ini terjadi karena adanya emosi negatif yang kuat, salah
persepsi, salah komunikasi serta adanya tingkah laku negatif yang berulang
(repetitif). Masalah ini sering menghasilkan konflik yang tidak realistis,
dimana konflik bahkan dapat terjadi dalam kondisi obyektif, seperti
terbatasnya sumberdaya atau tidak tercapainya tujuan-tujuan bersama.
25
G. Konflik Nelayan
Dalam masyarakat pesisir, konflik terjadi khususnya pada komunitas yang
berprofesi sebagai nelayan. Hardin (1968) diacu dalam Adhuri et al. (2005)
dalam artikelnya yang berjudul ”The Tragedy of The Commons“ menjelaskan
bahwa sumberdaya yang tergolong kepada public property resource (termasuk
sumberdaya laut) melahirkan gejala open acces yang mendorong setiap orang
untuk selalu meningkatkan level eksploitasi dalam memanfaatkan sumberdaya.
Sementara itu, jika terjadi kerusakan akibat overeksploitasi kerugiannya akan
ditanggung bersama. Dengan demikian, konflik antara orang-orang yang terlibat
dalam pengeksploitasian akan lahir dan semakin lama semakin meningkat
intensitasnya karena orangnya bertambah semakin banyak sementara
sumberdayanya semakin berkurang.
Teori Hardin didukung pula oleh teori Homer-Dixon (1994) diacu dalam
Adhuri et al. (2005) yang mengatakan bahwa keterbatasan sumberdaya alamlah
yang telah memicu konflik-konflik kekerasan di berbagai negara. Dalam konteks
ini, studinya menunjukkan bahwa semakin lama langka keadaan sumberdaya,
maka akan semakin besar persaingn (kontestasi) terhadap limited resource
tersebut. Hal ini, pada akhirnya akan mendorong lahirnya konflik dengan
kekerasan.Teori lain yang bisa menjelaskan tentang permasalahan konflik adalah
teori yang menjelaskan hubungan antara identitas sosial suatu kelompok dengan
teritori yang ditempatinya (Peluso dan Harwell 2001; Adhuri 2003 diacu dalam
Adhuri et al. 2005). Pada intinya teori ini menjelaskan bahwa ada keterkaitan
antara identitas sebuah kelompok sosial dengan tempat dimana mereka hidup.
Keterkaitan ini bisa diwujudkan dalam bentuk konsep kepemilikan.
Lebih lanjut Adhuri et al. (2005) menjelaskan jika terdapat wujud yang
sedikit lebih lemah dari konsep kepemilikan, yaitu masyarakat lokal yang
26
mengembangkan konsep ”keyakinan“ bahwa sebagai orang lokal mereka
mempunyai hak prioritas untuk mengeksploitasi sumberdaya yang berada di
sekitar tempat mereka hidup atau paling tidak, kesadaran keterikatan yang
mendorong lahirnya anggapan bahwa orang lain tidak boleh mengadakan
kegiatan eksploitasi dengan level yang lebih tinggi dari masyarakat lokal. Pada
masyarakat yang demikian ini, maka jika terdapat orang-orang luar yang terlibat
dalam kegiatan eksploitasi di wilayah tersebut dan tidak dikehendaki oleh
masyarakat lokal, maka konflik yang bernuansa kekerasan kemungkinan terpicu.
Dalam logika ini, konflik kenelayanan dapat berakar pada ”konflik pranata“ atau
nilai atau juga mungkin hukum yang melingkupi pengaturan penangkapan ikan
(Adhuri et al. 2005).
Teori lain yang turut relevan untuk menjelaskan konflik kenelayanan
adalah teori yang mengatakan bahwa konflik dilahirkan karena terjadinya
inequalitas di dalam masyarakat. Stewart (2001; 2002) diacu dalam Adhuri et al.
(2005) menjelaskan bahwa jika terdapat ketimpangan di masyarakat yang sudah
melebihi ambang batas toleransi, maka konflik akan segera terpicu, terutama
antara mereka yang berada pada posisi yang rendah dengan mereka yang
berada di level atas.
Rudianto (2004) membedakan sebab-sebab konflik antar nelayan di
pesisir dalam usaha pemanfaatan sumberdaya, antara lain karena:
1) Batasan penentuan hak kepemilikan wilayah perairan untuk penangkapan
tidak jelas, seperti hak pengelolaan perairan.
2) Terjadi ″transfer of ownership“ karena kebijakan desentralisasi dimana
pemerintah daerah yang berkewenangan untuk mengatur pengelolaan dan
pembagian wilayah perairan rakyat.
3) Perbedaan penggunaan alat produksi seperti jenis alat tangkap dan perahu
motor.
27
4) Pemerintah daerah yang tidak konsisten dalam menerapkan rencana
pembagian wilayah.
5) Lemahnya penegakan hukum (law enforcement).
H. Tipe dan Karateristik Konflik
Konflik yang muncul terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan
Charles (2001), membedakan menjadi 4 (empat) tipologi berdasarkan ruang
lingkup atau aspek-aspeknya, yaitu sebagai berikut:
1) Fishery jurisdiction, yaitu konflik yang terjadi pada tingkat kebijakan dan
perencanaan, seperti konflik antar instansi pemerintah baik di pusat maupun
di daerah.
2) Management mechanism, yaitu konflik yang terjadi pada tingkat pengelolaan
dari perencanaan hingga penegakan hukum.
3) Internal allocation, yaitu konflik yang muncul sesama pengguna sumberdaya,
misalnya antara nelayan dengan pengusaha processing.
4) External allocation, yaitu konflik yang terjadi antara nelayan dengan pelaku
lain, seperti pembudidaya ikan, nelayan asing, atau pertambangan dan lain
sebagainya.
Sedangkan konflik kenelayanan yang muncul terkait pemanfaatan
sumberdaya perikanan, Satria (2006) mengidentifikasikannya berdasarkan
penyebabnya menjadi 7 (tujuh) tipologi konflik antara lain sebagai berikut:
1) Konflik kelas, adalah konflik yang terjadi antar kelas sosial nelayan dalam
memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground). Konflik kelas terjadi
sebagai akibat adanya kesenjangan teknologi penangkapan ikan. Konflik
bisa terjadi antara nelayan tradisional dengan nelayan modern.
2) Konflik kepemilikan sumberdaya, adalah konflik yang terjadi sebagai akibat
dari isu kepemilikan sumberdaya, dimana kepemilikan laut serta ikan tidak
28
dapat terdefinisi secara jelas milik siapa. Konflik bisa terjadi antara nelayan
tradisional dengan sesama nelayan baik nelayan tradisional ataupun nelayan
modern, nelayan dengan pembudidaya ikan, nelayan dengan pelaku
pariwisata bahari, nelayan dengan industri pertambangan maupun nelayan
dengan pemerintah. Misalnya kasus konflik yang terjadi pada Industri
Mutiara dengan nelayan di Lombok.
3) Konflik pengelolaan sumberdaya, adalah konflik yang terjadi akibat
”pelanggaran aturan pengelolaan“ serta adanya isu-isu tentang siapa yang
berhak mengelola sumberdaya perikanan atau sumberdaya laut. Konflik bisa
terjadi antara nelayan tradisional dengan sesama nelayan ataupun nelayan
tradisional dengan pemerintah.
4) Konflik cara produksi/alat tangkap, adalah konflik yang terjadi akibat
perbedaan penggunaan alat tangkap. Konflik bisa terjadi antara sesama
nelayan tradisional maupun nelayan tradisional dengan nelayan modern
yang merugikan salah satu pihak yang berkonflik.
5) Konflik lingkungan, adalah konflik yang terjadi akibat kerusakan lingkungan
karena praktek satu pihak yang merugikan nelayan lain. Konflik bisa terjadi
antara nelayan tradisional dengan nelayan pengebom (nelayan yang
menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan ikan), dan terjadi antara
nelayan tradisional dengan nelayan penambang.
6) Konflik usaha, adalah konflik yang terjadi di darat sebagai akibat mekanisme
harga maupun sistem bagi hasil yang merugikan sekelompok nelayan.
Konflik bisa terjadi antara nelayan tradisional dengan sesama nelayan,
pengolah ikan, pedagang ikan, maupun dengan pemilik kapal.
7) Konflik primordial, adalah konflik yang terjadi akibat perbedaan ikatan
primordial/identitas (ras, etnik, dan asal daerah). Konflik biasanya terjadi
antara nelayan tradisional dengan nelayan pendatang.
29
I. Resolusi Konflik
Walaupun konflik merupakan suatu proses disosiatif yang tajam yang
menekankan pada oposisi, akan tetapi konflik sebagai bentuk proses sosial
mempunyai fungsi yang positif bagi masyarakat. Hal itu tergantung pada
permasalahan dan juga dari struktur sosial yang menyangkut tujuan, nilai
ataupun kepentingan terhadap konflik, dimana konflik diharapkan menghasilkan
adanya penyesuaian kembali terhadap norma-norma dan hubungan sosial dalam
kelompok yang bertikai sesuai dengan kebutuhan setiap kelompok. Sikap toleran
diperlukan dalam usaha penanganan konflik sebagai jalan untuk mengetahui
sumber-sumber masalah pembawa konflik yang memberikan jalan menuju
tercapainya stabilitas dan integritas di masyarakat (Soekanto 2002).
Permasalahan konflik diidentifikasi secara bertahap dimulai dengan
penelusuran pihak-pihak yang terlibat, faktor penyebabnya serta hubungan
diantara pihak-pihak. Hal ini penting dalam menggambarkan konflik berdasarkan
sejarah terjadinya sehingga berguna untuk merumuskan jalur penyelesaian
terhadap konflik. Penyelesaian konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses
pembuatan keputusan oleh kelompok-kelompok yang bersengketa, sehingga
sedapat mungkin menghindari penyelesaian masalah melalui jalur hukum
(Mitchell et al. 2000).
J. Manajemen Konflik
Maguire dan Boiney (1994) diacu dalam Mitchell et al. (2000),
mengajukan beberapa karakteristik teknik penyelesaian konflik yaitu:
1) Lebih menekankan pada kesamaan kepentingan kelompok yang saling
bersengketa dari pada posisi tawar menawar.
2) Berpikir kreatif untuk mencari upaya penyelesaian.
30
3) Menuntut kesepakatan banyak pihak untuk suatu keputusan dan
memerlukan seorang mediator yang tidak memihak dalam penyelesaian
sengketa.
Ketika sengketa muncul akibat perbedaan kepentingan tentang alokasi
sumberdaya dan lingkungan, maka empat pendekatan dapat dipakai sebagai
teknik penyelesaian sengketa sebagaimana dalam Mitchell et al. (2000), yaitu:
politis, administratif, hukum dan alternatif penyelesaian konflik (APK). APK terdiri
dari konsultasi publik, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi. APK ini muncul sebagai
jawaban atas berbagai ketidakpuasan terhadap pendekatan hukum, juga sebagai
jawaban atas tumbuhnya kesadaran akan pentingnya partisipasi masyarakat
terhadap penyelesaian konflik.
Berlawanan dengan kenyataan plural dalam manajemen konflik4,
upaya penyelesaian konflik seringkali dibatasi pada kerangka berfikir yang
terarah pada 2 (dua) model penyelesaian konflik yaitu secara litigasi (melalui
mekanisme peradilan) dan non litigasi (di luar pengadilan) yang kemudian
dikenal sebagai penyelesaian konflik alternatif (PKA) (Maskanah et al. 2000).
Dalam pengertian yang lebih mendasar, penyelesaian konflik alternatif (PKA)
merupakan sebuah konsep yang mencakup berbagai pendekatan pengelolaan
konflik selain menggunakan proses peradilan, melalui cara-cara yang sah
menurut hukum, baik berdasar konsensus (kooperatif) ataupun tidak berdasar
konsensus (non kooperatif) (Hadimulyo 1997 diacu dalam Maskanah et al. 2000).
Dalam kasus konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan-kelautan,
manajemen konflik ditempuh secara litigasi dengan cara membawa suatu
perselisihan ke pengadilan agar menyelesaiakannya dengan aturan formal
sehingga menghasilkan keputusan yang mempunyai kekuatan hukum, namun
jika perselisihan mengalami suatu peningkatan maka ditempuh suatu teknis
alternatif dalam manajemen konflik yang disebut ADR (alternative dispute
31
resolution) untuk mencapai penyelesaian konflik yang berkelanjutan (Satria et al.
2002). Teknik-teknik ADR ini wujudnya antara lain: fasilitasi, konsultasi,
koordinasi, konsiliasi, mediasi, negosiasi, maupun kombinasi berbagai teknik-
teknik ADR5.
Menurut Soekanto (2002) penyelesaian konflik dapat dilakukan
melalui pendekatan akomodasi. Istilah akomodasi dipergunakan dalam dua arti,
yaitu yang menunjuk pada suatu keadaan dan yang menunjuk pada suatu
proses. Akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan, merupakan kenyataan
adanya suatu keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antara orang-
perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma
sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Sedangkan akomodasi
yang menunjuk pada suatu proses, merupakan akomodasi yang menunjuk
kepada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha
untuk mencapai kestabilan. Tujuan akomodasi yaitu:
1) Untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorangan atau kelompok-
kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. Akomodasi di sini
bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat
tersebut, agar menghasilkan suatu pola yang baru.
2) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau
secara temporer.
3) Memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok-kelompok sosial yang
hidupnya terpisah sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan
kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem
berkasta.
4) Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpisah,
misalnya melalui perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti luas.
32
Bentuk-bentuk akomodasi sebagai suatu proses menurut Young dan
Mack (1959) diacu dalam Soekanto (2002), adalah sebagai berikut :
1) Coercion adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan oleh
karena adanya paksaan. Coercion merupakan bentuk akomodasi dimana
salah satu pihak berada dalam keadaan yang lemah bila dibandingkan
dengan pihak lawan. Pelaksanaannya dapat dilakukan secara fisik (secara
langsung), maupun secara psikologis (secara tidak langsung).
2) Compromise adalah bentuk akomodasi dimana pihak-pihak yang terlibat
saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap
perselisihan yang ada. Sikap dasar untuk dapat melaksanakan compromise
adalah bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan mengerti
keadaan pihak lainnya dan begitu pula sebaliknya.
3) Arbitration merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila
pihak- pihak yang berhadapan, masing-masing tidak sanggup mencapainya
sendiri. Pertentangan diselesaikan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh kedua
pihak
atau badan yang kedudukannya lebih tinggi dari pihak-pihak yang
bertentangan tersebut.
4) Mediation adalah hampir menyerupai arbitration, namun pihak ketiga yang
dilibatkan dalam mediation adalah netral dalam perselisihan. Pihak ketiga
tersebut tugasnya terutama untuk mengusahakan suatu penyelesaian
secara damai. Kedudukan pihak ketiga tersebut hanyalah sebagai
penasehat sehingga tidak memiliki wewenang untuk memberikan keputusan-
keputusan dalam penyelesaian perselisihan tersebut.
5) Conciliation adalah suatu usaha untuk mempertemukan pihak-pihak yang
berselisih, bagi tercapainya suatu persetujuan bersama. Conciliation sifatnya
33
lebih lunak dari pada coercion serta membuka kesempatan bagi pihak-pihak
yang bersangkutan untuk mengadakan asimilasi.
6) Toleration, disebut dengan tolerant-participation. Ini merupakan suatu bentuk
akomodasi tanpa persetujuan yang formil bentuknya. Kadang-kadang
toleration timbul tanpa disadari dan tanpa direncanakan, yang disebabkan
karena adanya watak orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia
yang sedapat mungkin untuk menghindarkan diri dari suatu perselisihan.
7) Stalemate, merupakan suatu akomodasi dimana pihak-pihak yang
bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang, berhenti pada
suatu titik dalam melakukan pertentangannya. Hal ini disebabkan oleh
karena bagi kedua belah pihak sudah tidak ada kemungkinan lagi untuk
maju maupun untuk mundur.
8) Adjudication, yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
K. Resolving ( Alternativ Resolusi Konflik )
Berdasarkan teori Hardin (1968) diacu dalam Adhuri et al. (2005) bahwa
akar dari konflik-konflik kenelayanan adalah kenyataan bahwa laut merupakan
sumberdaya milik umum (public property resource), maka solusi untuk
menghindari konflik tersebut adalah berupa penciptaan pranata kepemilikan,
private property (Gordon 1954) dan sole ownership (Scott 1955) atau usulan dari
Hardin sendiri berupa keputusan yang disetujui bersama yang bisa memaksa
setiap orang untuk tunduk padanya (Adhuri et al. 2005).
Sedangkan pada konflik kenelayanan yang berakar pada ”konflik pranata“
atau nilai atau hukum yang melingkupi pengaturan penangkapan ikan maka
solusi adalah melalui perubahan struktur legal (hukum) kearah yang
memungkinkan terakomodasinya dua kepentingan yakni kepentingan
masyarakat lokal dengan orang ”luar“ yang dalam konteks hukum sebelumnya
34
berada pada kerangkahukum yang berlainan, atau bahkan berseberangan
(Adhuri et al. 2005).
Terhadap maraknya konflik nelayan pasca otonomi daerah, Satria (2003)
mengagendakan beberapa langkah antisipasi terhadap konflik sosial diantaranya
adalah sebagai berikut:
1) Pengukuhan terhadap model pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat
( community based fisheries management-CBFM). CBFM muncul sebagai
konsekuensi keberadaan rejim common property. Banyak komunitas nelayan
yang sebenarnya telah memiliki model CBFM yang otentik, namun karena
faktor eksternal (seperti adanya kekuatan modal dari luar), model CBFM
tersebut memudar di masyarakat nelayan. Lemahnya institusi CBFM ini
karena di Undang-Undang Perikanan eksistensi CBFM tidak diakui.
2) Penguatan organisasi nelayan. Kehadiran organisasi nelayan yang solid
dengan jaringan sosial yang kokoh akan memudahkan dalam membangun
komunikasi dan koordinasi sesama nelayan lintas daerah yang nantinya
memudahkan dalam mengantisipasi terjadinya konflik serta merumuskan
mekanisme resolusi konflik.
3) Kerjasama lintas daerah baik pada level masyarakat maupun pemerintah
mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan baik dalam perencanaan,
implementasi, maupun pengawasan. Kerjasama lintas daerah sangat
diperlukan di era otonomi daerah untuk mengantisipasi terjadinya konflik baik
pada tingkat masyarakat dan pemerintah.
4) Pemberdayaan nelayan yang diarahkan pada peningkatan kapasitas usaha
dan ketahanan ekonomi rumah tangga nelayan. Pemberdayaan
nelayan merupakan langkah pokok dalam mengantisipasi konflik, baik konflik
kelas maupun konflik orientasi.
35
5) Mensosialisasikan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah secara tepat untuk mengantisipasi terjadinya
kesalahpahaman interpretasi substansi otonomi daerah.
L. Hukum Pemerintah Terkait Konflik Kenelayaan
Hukum-hukum pemerintah terdiri dari Undang-Undang dan peraturan-
peraturan lainnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Dalam permasalahan konflik perikanan seperti konflik yang melibatkan
nelayan, salah satu tindakan pihak atau kelompok dalam sengketa atau konflik
cenderung melanggar hukum yang melingkupi pengaturan penangkapan ikan.
Hukum pemerintah yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
Pelanggaran hukum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan terkait dengan konflik kenelayanan dan pemanfaatan sumberdaya
perikanan adalah berupa pelanggaran terhadap pengelolaan sumberdaya yang
tercantum dalam pasal 5, pasal 6, pasal 8 dan pasal 9. Secara hukum,
penanganan konflik nelayan dalam Undang-Undang perikanan meliputi hal-hal
berikut:
a. Pengawasan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan, tercantum
dalam pasal 66, pasal 67, pasal 68, dan pasal 69 (ayat 1-4).
b. Pengadilan perikanan, tercantum dalam pasal 71 (ayat 1).
c. Penyidikan tindak pidana, tercantum dalam pasal 72, dan pasal 73
(ayat 1-3).
d. Penegakan hukum di laut, tercantum dalam pasal 84 (ayat 1-3), dan pasal
85.
2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, dalam pasal 18, ditentukan bahwa wilayah laut sejauh 12 mil
36
merupakan wilayah kewenangan provinsi (diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan), dan 1/3 atau 4 mil dari wilayah
provinsi merupakan kewenangan kabupaten/kota (ayat 4). Ketentuan ini tidak
berlaku pada penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
Kewenangan daerah di dalam wilayah laut yang dimaksdukan yaitu ;
a. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas
wilayah laut tersebut;
b. Pengaturan kepentingan administrasi;
c. Pengaturan tata ruang;
d. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah
daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat; dan
e. Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara (untuk wilayah
kabupaten/kota).
3) Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 392/ Kpts/ IK. 120/4/1999
Tentang Jalur Penangkapan Ikan.
Nelayan dalam usahanya untuk menangkap ikan di laut, harus mengetahui
peraturan tentang adanya jalur-jalur penangkapan ikan sebagaimana yang
tertuang dalam SK Menteri Pertanian No. 392/Kpts/ IK. 120/ 4/ 1999 yaitu:
a. Jalur I (Perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah
pada setiap pulau s/d 6 mil ke arah laut)
Dari 0 s/d 3 Mil laut, diperbolehkan untuk alat penangkapan ikan yang
menetap, alat penangkapan ikan tidak menetap yang tidak dimodifikasi,
dan kapal perikanan tanpa motor yang panjangnya ≤10 meter.
Disamping itu wajib diberi tanda pengenal, yaitu: tanda pengenal jalur
dengan cat warna putih ≥ ¼ lambung kiri dan kanan kapal, serta tanda
pengenal alat tangkap.
37
Dari 3 s/d 6 Mil laut, diperbolehkan untuk alat penangkapan ikanyang
tidak menetap. Kapal yang diperbolehkan yaitu panjangnya ≤10 meter
tanpa dan/atau dengan motor tempel, motor tempel dan motor dalam ≤
5 GT dengan panjang ≤ 12 meter, kapal pukat cincin (Purse Seine) ≤
150 meter. Jaring berupa Drift Gill Net (jaring insang hanyut) ≤ 1.000
meter dan wajib diberi tanda pengenal jalur dengan cat merah ≥ ¼
lambung kiri dan kanan kapal, serta tanda pengenal alat tangkap
(ditetapkan oleh Dirjenkan).
b. Jalur II (6 s/d 12 Mil laut), diperbolehkan untuk kapal perikanan motor
dalam ≤ 60 GT, Pukat Cincin ≤ 600 meter dengan kapal tunggal (bukan
grup) atau ≤ 1.000 dengan 2 kapal/ ganda (bukan grup), Tuna Long Line≤
1.200 mata pancing, Jaring Insang Hanyut ≤ 2.500 meter. Wajib diberi
tanda pengenal, yaitu: tanda pengenal jalur dengan warna oranye ≥ ¼
lambung kiri dan kanan kapal, dan tanda pengenal alat tangkap
(ditetapkan oleh DirjenKan).
c. Jalur III (12 s/d 200 Mil laut atau batas terluar ZEE), diperbolehkan untuk
kapal perikanan berbendera Indonesia ≤ 200 GT, kecuali yang
menggunakan Pukat Cincin besar di Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut
Seram, Laut Flores, dan Laut Sawu dilarang untuk semua ukuran,kapal
perikanan berbendera Indonesia ≤ 200 GT di ZEE Selat Malaka, kecuali
yang menggunakan Pukat Ikan (Fish Net) ≥ 60 GT. Untuk perairan ZEE di
luar ZEE Selat Malaka:
1. Kapal perikanan berbendera Indonesia dan asing ≤ 350 GT.
2. Kapal perikanan > 350-800 GT yang menggunakan Pukat Cincin hanya
boleh beroperasi diluar > 100 Mil laut dari garis pangkal kepulauan
Indonesia
38
3. Kapal perikanan yang menggunakan Pukat Cincin dengan sistem grup
hanya boleh beroperasi > 100 Mil laut dari garis pangkal kepulauan
Indonesia.
4. Kapal perikanan berbendera asing berdasarkan Peraturan
padaPerundang-Undangan yang berlaku.
4) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
71/ Permen-KP/2016 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan
Alat Penangkapan Ikan Di wilayah Pengelolaa Perikanan Negara
Republik Indonesia.
Bahwa sebagai tindak lanjut dan pelaksanaan ketentuanPasal 7 ayat
(1) huruf f, huruf g, dan huruf h, serta Pasal 9Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan, perlu mengatur jalur penangkapan ikan dan
penempatan alat penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia
a. Pasal 4 tentang Jalur Penangkapan
Jalur penangkapan 1 sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a
yatitu :
Jalur penangkapan ikan IA , meliputi perairan pantai sampai
dengan 2 ( mil) laut yang diukur dari permukaan air laut pada
surut terendah ;dan
Jalur penangkapan IB meliputi perairan pantai di luar 2 (dua)
mil aut sampai dengan 4 (empat ) mil laut.
Jalur penangkapan II sebagai mana yang di maksud pasal 3 huruf b;
meliputi perairan jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 (dua
belas) mil laut di ukur dari permukaan air laut surut terendah.
39
Jalur Penangkapan Ikan III sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf
c, meliput ZEE dan Perairan di luar jalur Penangkapan Ikan II
M. Kerangka Pikir
Pemanfaatan sumberdaya perikanan seringkali menciptakan konflik
diantara penggunanya dalam hal pengelolaan yang terkait dengan hak
kepemilikannya. Di sisi pemerintah, sumberdaya perikanan merupakan milik
Pemerintah (state property) yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah
sehingga dalam pemanfaatannya pemerintah yang berhak mengaturnya melalui
regulasi dan pemberian akses pada pelaku usaha perikanan yang telah memiliki
surat perijinan. masyarakat pesisir sebagai pelaku perikanan terbanyak adalah
nelayan dimana pada beberapa komunitas ada yang menerapkan prinsip
pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai milik bersama (common property).
Sampai saat ini di beberapa daerah pengelolaan sumberdaya masih
mengabaikan nilai-nilai lokal masyarakat, tidak terkecuali terhadap sumberdaya
perikanan. Sumberdaya perikanan sebagai public property dalam
pemanfaatannya tidak terlepas dari pola open access.
Pada sistem open access setiap pengguna merasa berhak untuk
melakukan eksploitasi sumberdaya secara besar- besaran (over-exploitation).
Akibatnya sumberdaya mengalami tekanan dan menjadi overfishing dan akhirnya
terjadi deplesi sumberdaya, sedangkan setiap pengguna tidak jarang melakukan
persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkan sumberdaya yang semakin
terbatas. Kondisi ini mendorong terjadinya konflik diantara pengguna
sumberdaya perikanan, seperti konflik-konflik kenelayanan.
Konflik di level nelayan terjadi kemungkinan dipengaruhi oleh hal-hal
seperti perbedaan antar individu, kelompok dan lain-lain. Menurut konflik yang
terjadi kemungkinan dipengaruhi oleh hal-hal seperti perbedaan antar pendirian
40
dan perasaan yang dipengaruhi oleh faktor kebudayaan, etnis dan asal daerah.
Sedangkan dalam hubungan sesama pengguna sumberdaya oleh hal-hal seperti:
(1) keadaan/perilaku yang bertentangan seperti pertentangan pendapat,
pertentangan kepentingan, dan pertentangan antarindividu ,ketidakseimbangan
hubungan-hubungan sosial seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya
kemakmuran, dan akses yang tidak seimbang perselisihan akibat kebutuhan,
dorongan, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan; dan persaingan
antarindividu.
Konflik yang terjadi tidak selamanya akan menimbulkan efek negative
apabila ada upaya untuk mengelolanya. Penyelesaian konflik melibatkan pihak-
pihak yang berkonflik (individu/kelompok/komunitas). Pengelolaan konflik
ditujukan bukan hanya untuk menyelesaikan perselisihan, tetapi juga untuk
mendapatkan resolusi. Bagaimanapun juga, penyelesaian konflik dan resolusinya
dilakukan secara seimbang agar pihak yang berselisih berdamai dan meredam
tindakan- tindakan anarkis yang berujung pada peristiwa bentrokan. Selain itu,
adanya resolusi berpeluang untuk mendapatkan acuan dalam menetapkan
kebijakan dan peraturan-peraturan terhadap usaha pemanfaatan sumberdaya,
dan bagi nelayan dapat menjamin hak-haknya di dalam memanfaatkan dan
mengelola sumberdaya secara berkelanjutan.
41
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian.
UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH
PENGATURAN TATA KELOLAH WILAYAH PESISIR
PEREBUTAN SUMBERDAYA PERIKANAN
KONFLIK 1. Konflik kelas 2. Konflik Orientasi 3. Konflik Agraria 4. Konflik Primordial
Penyelasaian
Konflik
OPEN ACCES
Resolusi Konflik
SUMBERDAYA PERIKANAN
42
III. METEDOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Adapun waktu dilakukanya penelitian ini adalah pada bulan Agustus–
Oktober 2017 dan berlokasi Pulau Pasitanete Kecamatan Bontomatene
Kabupaten Kepulauan Selayar. Di mana daerah tersebut berbatasan langsung
dengan pulau Daratan Bulukumba dengan dipisahkan oleh selat Selayar/Bira
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah kualitatif
(qualitaif research). Menurut Sugiyono (2008:292) pada umumnya alasan
menggunakan jenis kualitatif yaitu permasalahan belum jelas, holistik, kompleks,
dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi sosial
tersebut dijaring dengan metode penelitian kuantitatif. Selain itu peneliti
bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam. Pendekatan kualitatif
mencirikan makna kualitas yang menunjuk pada segi alamiah dan tidak
menggambarkan perhitungan (Maleong,2000;2003)
Strategi jenis penelitian ini adalah studi kasus. Penelitian studi kasus
adalah penelitian yang berfokus pada kasus yang diteliti. Strategi ini merupakan
metode yang dianggap tepat untuk sebuah studi yang mempelajari mendalam
tentang dinamika atau keadaan hidup.
C. Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data deskriptif dan
data kualitatif. Data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia
atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Taylor dan Bogdan 1984
diacu dalam Sitorus 1998). Dengan demikian, data berupa penjelasan atau
keterangan secara tertulis tentang tindakan nelayan dalam memanfaatkan
sumberdaya perikanan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer yang
43
bersifat bkualitatif dan data sekunder yang bersifat deskriptif. Penggunaan data
primer diutamakan untuk mendapatkan gambaran situasi dan kondisi nelayan
(pra – pasca konflik). Data primer dikumpulkan melalui pengamatan berperan
serta-terbatas dan wawancara mendalam dengan kelompok masyarakat nelayan,
tokoh masyarakat, perangkat desa (Kepala Desa/Lurah). Sementara data
sekunder merupakan data yang dikumpulkan dari bahan pustaka atau hasil
penelitian orang lain dan hasil dokumentasi pihak lain sebagai data pendukung
dalam penelitian ini.
D. Metode Pengumpulan Data
Dalam studi kasus, sejumlah data dikumpulkan dan dipadukan dalam
proses analisis, serta disajikan sedemikian rupa untuk mendukung tema utama
yang menjadikan fokus penelitian, sehingga merupakan suatu konstruksi
tersendiri suatu produk interaksi antara responden atau informan, lapangan
penelitian dan peneliti.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi:
1) Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan melalui sejumlah
pertemuan dan informan yang didalamnya berlangsung tanya jawab dan
pembicaraan terlibat mengenai berbagai aspek permasalahan yang akan dicari
dalam penelitian. Dalam wawancara Informasi yang menunjang penelitian ini
diperoleh dari para informan dari berbagai elemen, yaitu masyarakat nelayan,
Kepala Desa Menara Indah, tokoh masyarakat, Dinas Kelautan dan Perikanan
Kepulauan Selayar, petugas Satpol-Airud dan TNI-AL (Babinsa).
Informan utama dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan Desa
Menara Indah atau Pulau Pasitante Kecamatan Bontomatene dan beberapa
nelayan yang berasal Bulukumba dan Sinjai yang sering terlibat konflik secara
44
langsung maupun tidak langsung. Wawancara dengan nelayan dilakukan saat
setelah mereka dari laut, dan pada saat mereka tidak melaut yaitu pada hari
Jum’at. Jumlah informan utama tidak dibatasi. Hal ini ditujukan untuk menggali
atau menelusuri informasi secara mendalam. Penelusuran informasi dihentikan
ketika informasi yang didapatkan oleh peneliti sama antara satu informan
dengan informan lainnya. Dari proses penggalian informasi tersebut didapatkan
sekitar 15 informan utama.
Penelusuran informasi konflik secara mendalam dilakukan juga terhadap
informan lain yang terlibat atau bertindak sebagai mediator dalam konflik,
diantaranya Kepala Desa (Menara Indah), Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Kepulauan Selayar, Pol-Airud dan TNI-AL yang berada didesa
Menara Indah Pulau Pasitanete , serta tokoh masyarakat (Ulama) dan tokoh
nelayan Pulau Pasitanete Desa Menara Indah.
2) Pengamatan (observation)
Data yang dikumpulkaan melalui pengamatan adalah data yang dapat
diamati oleh peneliti tanpa menuntut keterlibatan secara langsung dengan
informan.jenis data yang diperoleh dengan cara ini adalah antara lain, keadaan
pemukiman penduduk,jenis peralatan dan aktivitas usahanya,pola aktivitas dan
kegiatan sehari-hari penduduk.
3) Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan suatu kegiatan yang sangat penting dalam
melakukan suatu penelitian. Teori-teori yang menjadi landasan masalah dan
bidang yang akan dapat ditemukan dengan studi pustaka. Selain itu, peneliti
dapat memperioleh data tentang penelitian sejenis atau yang ada kaitanya
dengan penelitianya. Dengan studi pustaka, peneliti dapat memanfaatkan
informasi dan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan penelitinya.
45
E. Analisis Data
Analisis data yang dijadikan acuan dalam penelitian meliputi reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles dan Huberman 1992 diacu
dalam Sitorus 1998). Selanjutnya sesuai dengan Kartono (1996), menjelaskan
tentang prosedur ilmiah yang harus diperhatikan dalam setiap penelitian,
diantaranya adalah: (1) menimbang data secara cermat dan hati-hati; (2)
pengaturan data dengan mengadakan klasifikasi; (3) menciptakan konsep-
konsep atau sistem formal tertentu, yaitu memformulasikan ide-ide dan definisi
mengenai tingkah laku sosial dan fenomena sosial; dan (4) memikirkan sistem-
sistem deduktif atau logis untuk membuktikan dan memverifikasi proporsi-
proporsi (pendirian) tertentu dan pembuktian faktual. Penelitian ini dinyatakan
berhenti pada kondisi data jenuh, yaitu saat penggalian informasi dari informan
yang satu ke informan lainnya yang direkomendasikan, keterangannya tetap
berkisar atau hampir sama dengan informan-informan sebelumnya yang telah
peneliti wawancarai.
1. Reduksi Data
Seluruh data yang berupa dokumen dipilih dan diseleksi secara ketat
untuk mengetahui keabsahannya. Data yang tidak sesuai sebaiknya
dipisahkan untuk sementara waktu atau secara permanen sehingga yang ada
hanya data yang sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian.
Kelengkapan data diperoleh apabila data tersebut sudah dapat menjawab
masalah dan tujuan penelitian. Keabsahan data juga dicek dengan
memperbandingkan antar data, misalnya data yang berupa catatan lapang
dari hasil pengamatan peneliti dengan data-data lain seperti statement-
statement pengakuan/surat perjanjian (Kartono 1996), dokumentasi
pemerintah dan publik, dan lain-lain. Dengan demikian didapatkan data
46
yang benar-benar mempunyai kesinkronan dengan hasil pengamatan di
lapangan. Peneliti juga menyesuaikan data dengan hasil wawancara
mendalam dengan informan kunci (key person) sehingga keabsahan data
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
2. Penyajian data
Penyajian data hasil reduksi data disajikan dalam bentuk teks naratif-
deskriptif. Seperti yang diungkapkan dalam Sitorus (1998), menyatakan
bahwa terdapat beberapa bentuk penyajian data, yaitu: (1) Teks naratif yang
berupa catatan lapang, sehingga tidak praktis. Ini mengandung kesulitan
karena teks naratif sangat panjang sehingga melebihi kemampuan manusia
memproses informasi dan menggerogoti kecenderungan mereka untuk
menemukan pola-pola yang sederhana; (2) Matriks, grafik, jaringan, dan
bagan. Bentuk-bentuk seperti ini menggabungkan informasi yang tersusun
dalam bentuk yang padu dan mudah diraih, sehingga memudahkan untuk
melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik
kesimpulan yang benar ataukah terus melangkah melakukan analisis. Pada
penyajian dalam teks naratif, karena teks yang sangat panjang maka peneliti
membatasinya melalui teks deskriptif untuk menggambarkan faktor yang
menjadi penyebab konflik, penanganan konflik terhadap masalah
pemanfaatan sumberdaya yang juga memuat konsep hukum yang pada
intinya berfungsi sebagai pengendalian sosial (social control) aktivitas
masyarakat nelayan.
3. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dalam hal ini mencakup juga verifikasi atas
kesimpulan selama penelitian berlangsung dengan cara: (1) Memikir ulang
selama penulisan; (2) Meninjau ulang catatan-catatan lapang (harian); (3)
Meninjau kembali dan bertukar pikiran dengan teman satu tema penelitian dan
47
dosen pembimbing untuk mengembangkan kesepakatan intersubjektif. Selain
itu penulis juga menghubungi kembali beberapa informan untuk
mengkonfirmasi hasil penelitian; dan (4) Melakukan upaya-upaya yang luas
untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain.
F. Konsep Operasional
Untuk mengarahkan Peneliti dalam melakukan penelitian dan untuk
menyamakan persepsi penelitian, maka ditetapkan konsep oprasional sebagai
berikut :
1. Konflik adalah suatu kenyataan hidup,tidak terhindarkan dan sering
bersifak kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan.
Sebagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa
kekerasan , dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian
besar atau semua pihak yang terlibat konflik.
2. Konflik sosial adalah pertentangan antar segmen-segmen masyarakat
untuk memperebutkan aset-aset yang bernilai. Jenis dari konflik sosial ini
bisa bermacam-macam yakni konflik antara individu,konflik antara
kelompok dan bahkan konflik antara bangsa
3. Anatomi konflik sosial adalah ilmu yang mempelajari struktur tubuh
(manusia) dengan cara nenguraikan tubuh (manusia) menjadi bagian yang
lebih kecil kebagian yang paling kecil,dengan cara memotong atau megiris
tubuh (manusia) kemudian diangkat, dipelajari dan diperiksa menggunakan
mikroskop Anatomi Konflik Sosial dapat diartikan satu rangkaian organ-
organ atau unsur-unsur yang terkait dengan proses terjadinya konflik, yaitu:
(1)Penyebab terjadinya konflik; (2). Pihak yang berkonflik; (3). Proses
terjadinya konflik; (4).Dampak terjadinya konflik; (5) Proses penyelesaian
konflik.
48
4. Kronologi konflik (urutan kejadian) merupakan suatu alat bantu yang
digunakan untuk menunjukkan sejarah konflik berdasarkan waktu
kejadiannya (hari/ bulan/ tahun sesuai skalanya) yang ditampilkan secara
berurutan
5. Konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging), dan
terbuka (manifest), konflik tersembunyi dapat dicirikan dengan adanya
tekanan-tekanan yang tidak nampak yang tidak sepenuhnya berkembang
dan belum terangkat kepuncak konflik. Sering kali satu atau dua pihak
boleh jadi belum menyadarinya adanya konflik bahkan yang paling
potensial pun.
6. Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam
memperebutkan wilayah penangkapan (fishing Ground), yang mirip dengan
kategori gear war conflic charles ( 2001). Ini terjadi karena nelayan
tradisonal merasakan ketidakadlian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital. Seperti , konflik terjadi akibat
beroprasinya kapal trawl pada peraiaran pesisir yang sebenarnya
merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisonal.
7. Konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki
perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antar nelayan
yang memiliki kepeduliaan terhadap sumberdaya yang ramah lingkungan
(orientasi jangka panjang),dengan nelayan yang melakukan kegiatan
pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan seperti penggunaan bom,
potassium dan lain sebagainya (orintasi jangka pendek).
8. Konflik agraria (wilayah penangkapan), merupakan konflik yang terjadi
akibat perebutan fishing ground yang biasa terjadii antara kelas nelayan
,maupun interkelas nelayan. Ini juga bisa terjadi dengan nelayan dengan
49
non-nelayan seperti nelayan dengan pelaku usaha , seperti
akuakultur,wisata ,pertambangan
9. Konflik Promordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan
identitas, seperti etnk, asal daerah, dan seterusnya.
50
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
A. Kondisi Umum Daerah
1) Kondisi Wilayah
Desa Menara Indah Pulau Pasitanete terletak di Kecamatan Bontomatene
kawasan pesisir Utara Pulau Selayar, Kabupaten Kepulauan Selayar, Provinsi
Sulawsi Selatan pada 5.75059oLintang Selatan (LS) dan 120
o120.47945” Bujur
Timur (BT). Desa Menara Indah Pulau Pasitanete merupakan salah satu dari 12
Desa yang ada di Kecamatan Bontomatene dengan luas wilayah 159.92 km2
(61.75). Topografi desa in pada umumnya adalah Pulau yang berbatuan dan
terpisah dengan daratan utama Pulau Selayar, dengan elevasi derajat dan
ketinggian ±0.75 m diatas permukaan laut. Curah hujan mencapai 15.46 mm3
/hari dan suhu udara rata-rata berkisar antara 30ºC.
Untuk daerah pemukiman masyarakat pulau Pasitanete Desa Menara
Indah bertepattinggal didaerah selatan Pulau, yang dimana bagian selatan pulau
tersebut memiliki lahan luas dan berpasir dan merupakan tempat pemukiman
masyarakat setempat sedangkan bagian utara terdapat Mercusuar sebagai
petanda bagi kapal yang melewati perairan Selat Selayar/Bira dan untuk
dibagian barat dan timiur hanya terapat bebatuan cadas dan tebing tinggi.
Sedangkan untuk suku, masyarakat Pulau Pasitanete berasal dari Suku
Makassar dan sebagian kecil berasal dari suku Bugis,Tolaki dan itu meraka
adalah pendatang di pulau tersebut. Desa Menara Indah Pulau Pasitanete dulu
merupakan bagian Desa Bungaia , tapi pada tahun 2009 mengalami
pemekaran dan pusat pemeritahan berada di Pulau Pasitanete
51
Gambar 2. Pulau Pasitanete Desa Menara Indah
Secara geografis dan administrasi Desa Menara Indah Berbatasan
dengan :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bulukumba Kecamatan
Bontobahari
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bungaia Kecamatan Bontomatene
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Flores atau laut lepas
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar atau lepas
Desa Menara Indah terdiri atas 3 dusun (lingkungan) dengan luas wilayah
2400 ha/m2 . Jarak dari pemerintahan desa ke pemerintah Kecamatan sekitar 20
km dengan lama tempuh ke ibukota kecamatan selama 1 jam dan sudah
termasuk perjalanan kapal penyebrangan, sedangkan jarak keibukota Kabupaten
sekitar 50 km yang di tempuh selama 2 jam.
52
B. Keadaan Sosial Ekonomi
a) Demografi
Jumlah penduduk Desa Menara Indah pada tahun 2017 mencapai 759
jiwa dalam 214 Kepala Keluarga (KK). Pada tabel 1. Menunjukan bahwa jumlah
penduduk Desa Menara dengan perbandingan penduduk laki-laki 368 jiwa dan
jumlah penduduk perempuan 391 jiwa.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa Menara Indah Menurut Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Penduduk Jumlah (Jiwa)
1 Penduduk laki-laki 368
2 Penduduk perempuan 392
Jumlah 759
Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017
Sebagian besar penduduk menempati lokasi-lokasi tertentu, yaitu daerah
pesisir pantai. Alur pemukiman penduduk berada hanya di sepanjang bibir pantai
(pesisir pantai Selatan Pulau Pasi ). Ini dikarenakan sebagian besar pulau
Pasitanete adalah bebatuan, dan sebagian kecil daerah yang berpasir yang di
tempati pemukiman penduduk.
b) Mata pencarian pokok
Mata pencarian pokok penduduk Desa Menara Indah sebagian besar
adalah nelayan,PNS,Peternak dan Pensiunan PNS/TNI/POLRI.Berdasrkan tabel
2. Tentang mata Pencarian menunjukan bahwa sebagian besar penduduk Desa
Menara indah Pulau Pasitanete Bermata Pencarian sebagai Nelayan yaitu
berjumlah 155 orang atau 60.31%, Peternak Berjumlah 85 orang atau
33.07%,Pegawai Negeri Sipil 13 orang atau 5.06% dan Pensiunan 4 orang atau
1.56%.
53
Tabel 2. Mata Pencaharian Pokok Penduduk Desa Menara Indah
Mata Pencarian Jumlah Pekerja (orang ) Persentasi (%)
Nelayan 155 60.31
Peternak 85 33.07
Pegawai Negeri Sipil 13 5.06
Pensiunan 4 1.56
Jumlah 257 100.00
Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017
c) Pendidikan
Penyediaan sarana fisik pendidikan dan tenaga kerja pengajar yang
memadai merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi sekolah
penduduk pada tahun ajaran 2016-2017 jumlah sekolah Taman Kanak-kanak 1
buah dengan jumlah siswa 20 orang dan tenaga pengajar/guru sebanyak 3
orang. Terdapat 1 Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah siswa 68 orang dan
tenaga pengajar/guru 12 orang. Terdapat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) dengan jumlah siswa 68 orang dan guru sebanyak`17 orang.
Dari Tabel.3 didapatkan bahwa pendidikan tertinggi adalahkelulusan/tama
tan SD (Sekolah Dasar) atau 19.21% dari total angkatan kerja. Buta huruf
mencapai 9.17%, tidak/belum pernah sekolah SD (Sekolah Dasar) mencapai
22.27%. dengan demikian tingkat pendidikan masih tergolong rendah, karena
dilihat dari Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Menara Indah Pulau Pasi tanete
hampir 50% masyarakat disana hanyala tamatan SD (sekolah Dasa ) dan SMP (
Sekolah Menegah Pertama ). Hal ini kemungkinan mempengaruhi pada jenis
pekerjaan yang akan didapatkan.
54
Tabel 3. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Menara Indah
Pendidikan Jumlah Persentasi (%)
Buta Huruf 63 9.17 Tidak/belum Pernah sekolah SD/MI 153 22.27
Tamat SD/MI 132 19.21
Tamat SMP/MTS 80 11.64
Tidak Tamat SMP/MTS 125 18.20
Tamat SMA/MA 90 13.10
Tamat Diploma III/Sarjana Muda 17 2.47
Tamat Sarjana/magister 27 3.93
Jumlah 687 100.00
Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017
d) Sarana dan Prasarana
Sarana dan Prasarana yang ada di Desa Menara Indah Di Pulau
Pasitanete anatara lain meliputi Pendidikan, Kesehatan, Peribadatan, Olahraga,
dan Transportasi.
Berikut jumlah sarana dan prasarana di Desa Menara Indah.
Tabel. 4 Sarana dan Prasarana Desa Menara Indah
No Jenis Sarana dan Prasarana Unit
1 TK 1
2 Sekolah Dasar 1
3 SMP 1
4 Masjid 1
5 Olahraga 4
6 Posyandu 1
7 Pos Timbang 1
8 Panel Surya 1
9 Kantor Desa 1
10 PosKamling 3
11 Dermaga 1
12 Kapal Penyebrangan 3
Jumlah 19
Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017
55
Pada Tabel. 4 Menunjukan bahwa jumlah infrastruktur yang terdapat
pada Desa Menara indah. Jumlah infrastruktur sangat bervariasi, hanya saja
dalam tabel dapat diketahui bahwa sangat kurangnya fasilitas pendidikan,
kesehatan dan pengadaan air bersih sehingga masyarakat harus menyebrang
kepulau Selayar untuk dapat bersekolah dan mendapatkan fasilitas kesehatan
yang memadai.
e) Kondisi Ekonomi
Kondisi perekonomian masyarakat di Desa Menara Indah dilihat dari
kondisi lokasi tempat tinggal dengan pulau yang terbentuk dari bebatuan granit
tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas pertanian, pendapatan
masyarakat cenderung mengarah ke sektor perikanan yang berprofesi sebagai
nelayan dan peternak ada juga terdapat beberapa masyarakat menjadi jasa
penyebrangan pulau. Tetapi tidak menutup kemungkinan berprofesi sebagai
pedagang,PNS,ABRI,Bidan dan POLISI.
Berikut ini merupakan data yang terkait dengan sarana perikanan dan
potensi perikanan yang terdapat pada Desa Menara Indah
Tabel. 5 Sarana Perikanan Penduduk Desa Menara Indah
No Jenis Kapal Unit
1 Kapal 46
2 Motor Tempel 38
3 Perahu Tidak bermotor 15
Jumlah 99
Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017
Pada Tabel 5. Meunjukan sarana perikanan yang dimiliki oleh nelayan
Desa Menara Indah Pulau Pasitanete kebanyakan menggunakan Perahu
(jolloro) yaitu sebanyak 46 unit, perahu motor tempel sebanyak 38 unit dan yang
nelayan yang menggunakan perahu tidak bermotor sebanyak 15 unit. Sedangkan
56
fasilitas-fasilitas perikanan berupa Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tidak
didapatakan di Desa Menara Indah Pulau Pasitanete
C. Profil Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Peraiaran Selayar dan Pulau
Pasitanete
a) Potensi Ikan Pelagis
Sumberdaya perikanan laut Kabupaten Selayar banyak dipengaruhi oleh
dinamika bio-fisika lingkungan di Laut Flores dan Teluk Bone.Dari hasil
analisis peta dengan memperhitungkan area batasan laut dalam untuk
perikanan pelagis, diketahui luas perairantersebut sekitar 333.000 km2 dan
luas perairan kecamatan kepulauan Kabupaten Selayar sekitar 25.200 km2.
Dari data tersebut, kemudian diestimasi potensi sumberdaya
perikanankecamatan kepulauan dengan potensi ikan pelagis sekitar 6330
ton/tahun. Dengan demikian penyebaran ikan pelagis dianggap merata
dengan kepadatan sekitar 0,25 ton/km2
(Mallawa dkk., 2006).
Di antara jenis ikan pelagis yang potensial tertangkap di perairan
Selayar adalah ikan cakalang dan ikan layang. Menurut Uktolseja (1998),
besarnya potensi lestari untuk ikan cakalang sebesar 28.449 ton/tahun di Laut
Flores dan Selat Makassar. Luas kedua perairan tersebut sekitar 605.800
km2, sehingga penyebaran ikan cakalang sekitar 0,03 ton/km2. Estimasi
besarnya potensi lestari ikan cakalang di kecamatan kepulauan Selayar. sekitar
1266 ton/tahun. Potensi ikan layang diperkirakan sebesar 401,4
ton/tahun. Sedangkan potensi ikan pelagis lainnya diduga sekitar 3903
ton/tahun.
Selayar sebagai kabupaten maritim dengan andalan utama sektor
perikanan dan kelautan sangat berkepentingan dalam memanfaatkan
potensi perikanan pelagis tersebut secara berkelanjutan. Terbatasnya
informasi tentang daerah penangkapan ikan pelagis yang produktif menjadi
57
tantangan utama sustainable fisheries activities di wilayah tersebut.
Penggunaan satelit remote sensing telah terbukti memainkan peran kunci
dalam pengkajian oseanografi perikanan (Polovina et al., 2001; Zainuddin et al.,
2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengestimasi potensi jumlah
tangkapan ikan pelagis yang diperbolehkan dan memetakan formasi daerah
penangkapan yang potensial ikan tersebut berdasarkan data distribusi suhu
permukaan laut yang diperoleh dari observasi Satelit AQUA/MODIS.
Potensi sumberdaya ikan cakalang dan layang di sekitar perairan
Selayar cukup besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Maximum
Sustainable Yield (MSY) untuk masing-masing spesies adalah 203 ton/tahun
dan 734 ton/tahun. Ini menunjukkan bahwa potensi ikan pelagis yang potensial
ini perlu dimanfaatkan secara optimal dengan mengopersikan alat tangkap
secara efektif dan efisien. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap
ikan cakalang di daerah penelitian adalah pancing joran (pole and line),
pancing tonda (trolling line), rawai tuna (tuna long line). Alat tangkap yang
digunakan untuk menangkap ikan layang antara lain pukat cincin (purse seine),
jaring insang (gill net), payang, bagan dan rawai.
Sumberdaya ikan yang potensial tersebut dapat dikelola dan
dimanfaatkan secara berkelanjutan dengan mengembangkan sistem informasi
geografis formasi daerah penangkapan ikan yang produktif. Informasi spasial
fishing ground ini mengarah pada efisiensi operasi penangkapan ikan
pelagis terutama ikan cakalang dan layang di sekitar Perairan Selayar.
Secara spesifik hasil penelitian pendugaan potensi ikan pelagis
menggambarkan bahwa tingkat pemanfaatan ikan cakalang masih
sekitar 15.39% dari jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB) .
Tingkat ekploitasi untuk ikan layang masih berkisar49.7% dari JTB. Hal ini
mengindikasikan bahwa tingkat hasil tangkapan (produksi) masih perlu
58
ditingkatkan guna memanfaatkan segenap potensi sumberdaya ikan yang
ada di Perairan Selayar.
Terkait dengan kebijakan perikanan tangkap di Indonesia,mekanisme
pengelolaannya ditentukan oleh nilai MSY. Dengan memperhatikan prinsip
kehati-hatian, sasaran pengelolaan perikanan tangkap telah ditetapkan 80%
dari nilai MSY (DKP, 2005). Dengan mengelola upaya penangkapan ikan
cakalang dan layang pada tingkat JTB, kesinambungan produksi yang optimal
secara biologis bisa dipertahankan. Pada saat yang sama keuntungan yang
diperoleh nelayan juga akan meningkat. Untuk mendapatkan hasil tangkapan
pada level JTB, informasi tentang formasi daerah penangkapan ikan yang
potensial dari waktu ke waktu sangat dibutuhkan oleh para stakeholders,
khususnya nelayan.
b) Hasil Tangkapan Perikanan Karang
1) Produksi Hasil tangkapan perikanan karang
Produksi perikanan tangkap adalah sejumlah jenis ikan yang dapat
diproduksi dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Perikanan
tangkap di Kabupaten Kepulauan Selayar, oleh pelaku usaha penangkapan
mengoperasikan tiga belas jenis alat tangkap untuk memperoleh hasil
tangkapan jenis ikan karang. Produksi hasil tangkapan perikanan karang untuk
kurun waktu tahun 2011 – 2015 sebagaimana terlihat pada Gambar 3.
59
Gambar 3. Fluktuasi Hasil Tangkapan Jenis Ikan Karang di Kabupaten
Kepulauan Selayar untuk Kurun Waktu Tahun 2011-2015.
(Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Selayar, 2012-2016).
Berdasarkan Gambar 2. Menunjukan bahwa Fluktuasi tangkapan Jenis
Ikan Karang di Kabupaten Kepulauan Selayar untuk kurun waktu 2011-2015
adalah ikan Lencan (Lethrinus lentjan sp) tertinggi pada tahun 2014.
2) Komposisi Jenis hasil tangkapan perikanan karang
Statistik Perikanan Tangkap Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Kepulauan Selayar tahun 2016 menunjukkan komposisi jenis
ikan karang pada tahun 2015 di Kabupaten Kepulauan Selayar
sebagaimana terlihat pada Gambar 3.
60
Gambar 4. Komposisi Jenis Ikan Karang di Kabupaten Kepulauan
SelayarPada Tahun 2015.
Komposisi jenis ikan karang hasil tangkapan pada tahun 2015
menunjukkan proporsi ikan yang dominan adalah ikan Lencam (Lethrinus
lentjan sp) sebesar 24.96 %. Kemudian disusul oleh ikan Kerapu Macan
sebesar 16.38% , ikan Kakap Merah sebesar 13.18% ,ikan Kerapu Balong
sebesar 12.09 %, ikan Kerapu Sunu sebesar 10.21%, ikan Kakap Merah
sebesar 8.61%, ikan Kerapu Bebek 4.33%, ikan Kurisi sebesar 3.04%, ikan
Ekor Kuning sebesar 2.10%, ikan kakap Putih sebesar 0.88% sedangkan
ikan bawal putih yang paling terkecil yaitu 0.55%.
Sedangkan Tingginya proporsi jenis ikan diduga sebagai upaya
penangkapan yang meningkat. Tren jenis dan jumlah alat tangkap yang
digunakan nelayan untuk produksi jenis ikan karang di Kabupaten
Kepulauan Selayar terlihat pada Gambar 4.
61
Gambar 5. Jenis dan Jumlah Alat Tangkap Perikanan Karang di
Kabupaten Kepulauan Selayar dalam Kurun Waktu Tahun
2011-2015. (Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Selayar,
2012-2016).
Jenis dan jumlah alat tangkap untuk produksi ikan karang di
Kabupaten Kepulauan Selayar menunjukan bahwa pancing ulur
merupakan jenis alat tangkap terbanyak pada kurun waktu Tahun 2011 –
2015 dengan jumlah 2.588 unit pada tahun 2015.
3) Upaya Penangkapan
Data Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan
Selayar untuk tahun 2011-2015 menunjukkan perkembangan unit
penangkapan dan produksi jenis hasil tangkapan perikanan karang di
Kabupaten Kepulauan Selayar sebagaimana terlihat pada Gambar 4.
62
Gambar 6. Grafik Hubungan Perkembangan Unit Penangkapan dan Produksi
Hasil Tangkapan Perikanan Karang di Kabupaten Kepulauan Selayar
untuk Tahun 2011-2015 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan
Selayar, 2012-2016).
Pada Gambar 5 menunjukan peningkatan unit penangkapan perikanan
karang di Kabupaten Kepulan Selayar dalam kurun waktu 5 tahun (2011-
2015). Pada tahun 2014 menunjukan laju penurunan produksi yang
menurun seiring dengan meningkatnya jumlah unit penangkapan. Jumlah
peningkatan sebanyak 602 unit pada tahun 2014 ke tahun 2015 dan
produksi hasil tangkapan pada tahun 2014 sampai tahun 2015 dengan
jumlah penurunan sebanyak 460.6 Ton. Data tersebut mengindikasikan
kegiatan perikanan tangkap dapat mempengaruhi ketersediaan ikan dan
akhirnya berdampak terhadap jumlah hasil tangkapan. Kondisi tersebut
merupakan indikasi untuk melakukan tindakan pengelolaan perikanan tangkap,
sehingga penting diketahui status perikanan karang di Kabupaten Kepulauan
Selayar
63
c) Potensi Perairan Selayar Secara Umum
Kawasan Perairan Selayar saat ini telah terindetifikasi, terdapat
ekosistem terumbu karang dengan 231 jenis, ikan, moluska 216, penyu
4, Echinodermata 4, lamun 10 dan alga sebanyak 47 jenis.
1) Terumbu Karang
Cowen et al (2000) menyatakan bahwa tinggi rendahnya Kelimpahan
laut disuatu lokasi perairan sangat tergantung pada apakah lokasi tersebu
hanya menggunakan pola rekcrutman lokal (internal Recrutman) atau
mendapatkan survei larva-larva biota yang dibawah oleh arus laut dari
daerah lain(eksternal rekrutman).
Kawasan Perairan Selayar terdiri atas 3 (tiga) kategori terumbu
karang yaitu: terumbu karang penghalang (barrier reef), terumbu karang
tepi (fringing reef), dan terumbu karang cincin (atoll). Keanekaragaman
jenis biota penyusun ketiga kategori terumbu karang tersebut cukup tinggi,
juga keberadaan beberapa lokasi profil terumbu karang yang sangat terjal
(drop-of).
Kawasan Perairan Selayar Khususnya Taman Nasional Takabonerate
merupakan kawasan terumbu karang yang berada pada suatu
dangkalan yang dikelilingi oleh laut dalam. Berdasarkan hasil interpretasi
citra Aster tahun 2008, luas karang hidup 10,029 ha, karang mati 8,559 ha,
lamun dan makroalgae 19,748 ha, paparan pasir 20,381 ha, pulau/daratan
437 ha dan bungin/sand dunes 76 ha. Terumbu karang yang ditemukan
terdiri dari 68 genera karang yang terdiri atas 63 genera dari Ordo
Scleractinia dan 5 genera dari Ordo non Scleractinia yang terdiri dari 233
jenis spesies penyusun terumbu karang. Famili karang yang dominan adalah
Acroporidae, Fungidae, Faviidae dan Dendrophylladae. (LIPI 1995 dalam
RPTN 1997, PSTK UNHAS 2000, TNTBR 2005).
64
2) Ikan
Ikan yang terdapat di kawasan Peraiaran Selayar terdiri atas dua
jenis utama yaitu ikan karang dan ikan pelagis. Kawasan Peraiaran
Selayar yang memiliki variasi habiat mulai dari daerah terumbu karang,
daerah berpasir, berbagai lekuk dan celah, daerah algae, dan lamun
hingga laut dalam menyebabkan keanekaragaman ikan pada kawasan ini
sangat tinggi.
Teridentifikasi bahwa kawasan ini merupakan habitat bagi 53
famili, 160 genus dan 564 spesies ikan karang dan pelagis. Adapun ikan
karang yang mendominasi dalam kawasan Perairan Selayar diantaranya
adalah Chaetodontidae, Pomacentridae, Labridae, Scaridae, Pomachantidae,
Apogonidae, Serranidae, Gobiidae, Lutjanidae, Caesionidae dan Mullidae
(LIPI 1995 dalam RPTN 1997,PSTK Unhas2000, TNTBR 2005, TNTBR
2012).
Sedangkan penelitian yang dilaksanakan oleh Tim Zonasi
PSTKUNHAS (2001), mendapatkan 36 famili, 115 genus dan 362 spesies
ikan karang. Seluruh jumlah dan spesies ini kemudian dibagi ke dalam 3
kelompok besar: ikan major, ikan indikator dan ikan target. Jumlah famili ikan
major sebanyak 19 famili (61 genus; 176 spesies), ikan indikator
sebanyak 5 famili (16 genus; 61 spesies) dan ikan target sebanyak 15 famili
(42 genus; 125 spesies).
65
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Anatomi Konflik Nelayan dalam Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Fisher et al. (2001), menyatakan
bahwa kronologi konflik disebut juga sebagai urutan kejadian dimana
merupakan suatu alat bantu yang dipergunakan untuk menunjukkan sejarah
suatu konflik berdasarkan daftar waktu kejadiannya (tahun, bulan/hari, sesuai
skalanya) yang ditampilkan secara berurutan. Alat bantu ini dapat menjadi
”starting point” dalam memahami dan mengungkap konflik karena dapat
mengidentifik asi interpretasi berbagai pihak terhadap suatu kejadian.
Interpretasi ini dapat berasal dari satu pihak atau pihak lain yang nantinya
digunakan untuk kepentingan sendiri atau bersama dengan pihak lain.
Konflik dimaknai sebagai sebuah realitas sosial yang terjadi akibat
hubungan yang tidak harmonis di anatar pihak-pihak yang mempunyai tujuan
yang tidak sejalan. Perbedaan-perbedaan yang ada selanjutnya memunculkan
perasaan amarah dan benci yang lama kelamaan teraktualisasi menjadi
perilaku yang agresif. Salah satu pihak yang mengancam,memaksa bahkan
melukai pihak orang lain Untuk memamahami bagaimana konflik nelayan
dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, pendekatan
menggunakan metode kajian yang dipersyaratkan oleh Fisher et. Al (2001).
Metode pendekatan yang dimaksud dalm konflik kenelayaan dalam
pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap
a. Urutan kejadian ( kronologi konflik)
b. Penahapan Konflik
c. Pemataan konflik
66
B. Kronologi Konflik
1. Persepsi Nelayan Pulau Pasitanete
Sebelum tahun 1980-an, kehidupan social masyarakat Desa Menara
Indah Pulau Pasitanete dan masyarakat pesisir sepanjang Pulau Selayar hidup
tentram. Dengan hanya menggunakan alat tangkap Gill net, Lift net, Trammel
net, Pancing rawai (pancing ulur) dan Purse seine, mereka mendapatkan hasil
tangkapan ikan yang dapat diprediksi waktu, jumlah dan jenisnya, terkecuali
pada musim paceklik. Daerah tangkapan sebagian nelayan Pulau Pasitanete
pada saat itu tidak hanya di sekitar tepi pantai Selayar tapi melainkan sampai di
sebagian Selat Selaya/Bira. Salah satu nelayan Pulau Pasitanete, Dg.S (45
tahun), menerangkan :
“Dulu waktunya tidak ada nelayan luar masuk menangkap ikan di
kawasan Selayar , nelayan disini menangkap ikan sampai dekat
Bulukumba,bontobahari, bahkan sampai ke Bantaeng. Kalau mislkan ada
nelayan masuk tapi kalau alat tangkap yang di gunakan sama bisa ji
juga,meskipun kadang hasil tangkapan yang berbeda, tapi kami tetap
menerima”.
Setelah tahun 1990, kondisi berubah dan kehidupan masyarakat
nelayan di kawasan pesisir selayar terutama di pulau Pasitanete. Kondisi ini
dipicu oleh nelayanHa’lle yang berasal Bulukumba,Sinjai, Bantaeng dan daerah
lain menggunakan alat tangkap Purse Seine (Pukat Cincin) dan alat
penangkapan yang tidak ramah lingkungan, ini akibat dari adanya permintaan
komoditi baru. Komoditi baru yang di maksud yaitu Ikan Sunu, Kerapu,
Napoleon, Lobster, Ekor Kuning dan Teripang.
Permintaan komoditi sebelumnya yang berupa ikan pelagis
(Tuna,cakalang,Tongkol,Tenggiri, dan Layang) terus dilakukan. Kepulauan
67
Selayar merupakan Kiblat bagi Nelayan-nelayan dari daerah seperti
Bulukumba,Sinjai dan daerah-daerah lain yang mencari komoditi baru ini.
Adapun jenis-jenis komoditi baru yang di maksud dan dikenal oleh
masyarakat yaitu :
Tabel 5. Komoditi Perikanan Kabupaten Kepulauan Selayar
No Jenis Komoditi ( Bahasa
Lokal) Harga Lokasi
1 Kerapu Sunu Merah Tinggi Gugusan Karang
2 Kerapu Tiger Tinggi Gugusan Karang
3 Kerapu Tikus Tinggi Gugusan Karang
4 Kerapu Macan Tinggi Gugusan Karang
5 Napoleon Tinggi Gugusan Karang
6 Lobster Tinggi Gugusan Karang
7 Ekor Kuning Tinggi Gugusan Karang
8 Ikan Sinrilli Sedang Gugusan Karang
Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017
Kepulauan Selayar merupakan Kepulauan yang memiliki gugus karang
terbesar ke 3 (tiga) dan tempat habitat komoditi baru ini, nelayan-nelayan yang
dari luar kepulauaan Selayar berdatangan untuk mencari komoditi baru ini.
Sehingga memulailah kecurigaan nelayan-nelayan Selayar terhadap nelayan
pendatang.
Memasuki tahun 1993, Suatu Cara penangkapan baru yang tidak ramah
lingkungan muncul dan pergunakan oleh nelayan pendatang yang berasal dari
luar Selayar, yaitu penggunaan Potasium (bom) ini berdasarkan wawancara dari
salah satu Informan Dg.Ft (52 tahun).
“itu waktu ada didapat alat penangkapan baru, saya tidak tau tepatnya
tahunnya berapa, kira-kira tahun 1990an ada memang itu bom sempat ji ikut tapi
tidak lamaji tapi memasuki tahun 2000an baru mi ada itu bius di bawah oleh
nelayan kepulauan Makassara dan Sinjaiya ”
68
Seiring waktu berjalan munculah alat bantu pernafasan yang tidak sesuai
dengan standar penyalam yaitu Kompresor. Proses Kemunculan alat kompresor
bagi penyelam Ilegal Fishing di Selayar menurut informan, bahwa awal mula
penggunaan alat kompresor disebabkan oleh faktor imitasi dari hasil interaksi
nelayan Madura dan Nelayan yang ada kepulauan Supemonde (Kepulauan
Makassar) dan juga Nelayan Madura yang melakukan penyelaman di teluk bone.
Dan tahun 1990an masuk ke Selayar dibawah oleh nelayan Kepulauan Makassar
dan Pulau Sembilan (Sinjai).
Pada Tahun 2000an munculah alat penangkapan yang mempermudah
dalam penangkapan yaitu bius (Racun Sianida) yang dimana proses
pengunaanya di kombinasi dengan pengunaan alat bantu Kompresor, sehingga
dalam proses penangkapan penyelam dapat mudah menangkap ikan targetnya.
2. Persepsi Nelayan Ha’lle ( Pendatang )
Konflik yang melibatkan nelayan Ha’lle (pendatang) dengan nelayan
Pesisir pantai Selayar sebenarnya telah dirasakan kedua belah pihak. Hanya
saja konfli tersebut masih tergolong konflik yang bersifat latent (latent). Belum
ada gejolak konflik yang berlebihan menyebabkan banyak publik yang
berpendapat bahwa diantara kedua wilayah tersebut masih dalam keadaan yang
biasa-biasa saja atau berada dalam skala yang aman bila ditinjau dari potensi
konflik yang terjadi.
Akan, tetapi konflik yang bersifat latent tersebut kemudian berubah skala
yang lebih tinggi,yakni yang mulai tampak atau manifes. Berpindahnya posisi
skala konflik yang dulunya latent menjadi manife bukan tanpa sebab tentu ada
hal yang mendasari terjadinya perubahan tahapan konflik tersebut.
Konflik yang terjadi terjadi di perairan selat Selayar/Bira paling banyak
dialami oleh nelayan Ha’lle (pendatang) berasal dari Bulukumba dan Sinjai
karena kedua wilayah tersebut berdekatan langsung dengan Pulau selayar
69
terutama nelayan yang bermukim di pesisir pantai Bontobahari, Bira dan
Kepulauan Sembilan (Sinjai). Beberapa wawancara dari informan (M.G 52 tahun)
yang berasal dari nelayan Bulukumba khususnya nelayan Bontobahari :
“sebenarya kami datang menangkap selayar itu niatnya baek ji kasihan
mau ji juga cari rejeki, kan laut itu tidak adaji yang punya apa lagi ikan yang kami
cari itu kebanyakan di pinggiran selayar ji biasa tidak di ganggu ji nelayan di
sana”
Sedangkan hasil wawancara bersumber informan (AT 49) dari nelayan
berasal dari Sinjai mengatakan:
“biasanya kami datang melaut itu agak jauh ji dari daerah penangkapan
orang di sana ( Selayar) tapi itu biasa arus na bawah ki masuk mendekat, biasa
tidak di tau ki ternyata masuk maki daerah penangkapanya orang di sana”
Dari hasil wawancara diatas bisa di tarik kesimpulan bahwa nelayan
Ha’lle (Pendatang) sebenarnya datang ke perairan Selat Selayar/Bira niatnya
hanya semata-mata untuk mencari rejeki di periaran selayar. Tetapi adanya sikap
dari nelayan Selayar yang sering menghampiri nelayan-nelayan Ha’lle
(pendatang) pada saat proses penangkapan ikan berlangsung, ini sesuai dengan
hasil wawancara informan(M. SF 45 tahun) salah satu nelayan Bira (Bulukumba).
“ituji biasa kalau memancing maki atau beroperasi maki adami lagi itu
nelayan Selayar mendekat , biasa bertanyan mi Pattassi battu riapa ki apa
rijakkalla rinni mae rie ja izinta battu perikanan Benteng (nelayan dari mana ki
apa dari cari disini sudah ada izin dari Perikanan Benteng).
Dari hasi wawancara diatas bahwa konflik yang dulunya masih bersifat
Latent (tersembunyi) akan mengalami peningkatan menjadi skala manifest
(terbuka). Berpindahnya posisi skala konflik yang dulunya latent menjadi manife
bukan tanpa sebab tentu ada hal yang mendasari terjadinya perubahan tahapan
konflik tersebut.
70
Sedangkan untuk permasalahan adanya kecurigaan nelayan Selayar
tentang penggunaan bahan terlarang yang digunakan oleh nelayan Ha’lle
(pendatang) menurut salah satu informan (GF.41 tahun) yang berasal pesisir
pantai Ela-Ela (Bulukumba) :
“memang dulu sudah lama mi’tapi semenjak ada mi pelarangan jarang mi
orang yang gunakan itu barang (bom dan bius) biasanya nekat tong pi itu
nelayan yang menggunakan itu”
Sedangkan menurut informan (Rs.38 tahun) dari sinjai mengatakan bahwa:
“biasanya nelayan yang menggunakan bom jarang mi,tapi kalau bius
biasaji di dapat , biasanya orang yang menggunakan bius itu rata-rata perahu
balapan (perahu yang berkecepatan tinggi) dan biasa kalau kedapatan ki
perahunya orang selayar tidak bisa ki kejar karena kecil-kecil ki kapalnya dan
lambat ki biasa tapi kalau petugasnya selayar dapat ki cari-cari maki alasan,
biasa alasannya itu pergi cari teripang tapi ”
Dari wawancara diatas bahwa penggunaan barang terlarang seperti bom
dan bius hanya beberapa nelayan yang menggunakan, rata-rata nelayan yang
menggunakan bom dan bius itu tergolong nelayan yang nekat.
Berikut ini Kronologis konflik nelayan Pulau Pasitanete dengan Nelayan
Bulukumba dan nelayan Ha’lle /Pendatang yang tersajikan secara detail dalam
menunjukan sejarah konflik kenelayaan yang terjadi di Selat Bira/Selayar
berdasarkan waktu kejadian (tahun) yang di tampilkan secara berurutan serta
wujud konflik yang terjadi menjelaskan awal dan akhir konfilk yang terjadi.
71
Tabel 6. Sejarah Konflik terjadi di Pulau Pasitanete Desa Menara Indah
No Tahun Konflik yang Terjadi Keterangan Pihak yang Berkonflik
secara langsung
1. 2009 Adanya laporan dari
COREMAP bahwa
terjadi kerusakan
terumbu karang lokasi
berlabuh Nelayan-
nelayan Pendatang
Terjadi penangkapan
Nelayan Patongkol
(Nelayan Berasal dari
Sinjai) membawa obat
Bius (sianida) dan
beserta botolnya yang
dilakukan oleh nelayan
Pulau Pasitene beserta
apa
Konflik masih
bersifat mencuat
(emerging)
karena adanya
dugaan
perusakan.
Konflik masih
bersifat mencuat
(emerging)
Petugas dengan Nelayan Ha’lle (Pendatang)
Nelayan Sinjai dengan Nelayan Beserta masyarakat Pulau Pasitanete
2
2010
Adanya Tuduhan dari
nelayan Bira terhadap
nelayan pulau
Pasitanete mengenai
kehilangan Rumpong
yang di duga dipotong
oleh nelayan oleh
Pualu Pasitanete
Pengusiran Nelayan
Bulukumba yang
dilakukan oleh nelayan
Bungaia dan Pulau
Pasitanete beserta
POLAIRUT karena
kedapatan membawah
Bius (Racun Sianida)
Konflik masih
bersifat mencuat
(emerging)
Konflik masih
bersifat mencuat
(emerging)
Nelayan Bira dengan nelayan Pulau Pasitante
Nelayan Bulukmba dengan Petugas (POLAIRUT)
72
3
2011
Operasi gabungan yang
dilakukan
POLHUT,POLAIRUT
dan maysrakat Pulau
Pasitanete yang di
pimping langsung oleh
Bapak HIDAYAT (
Kapolres Selayar) serta
Penangkapan Pa Bius
dari Ela-Ela (Nelayan
yang berasal dari Pesisir
Kota Bulukumba)
Konflik masih
bersifat mencuat
(emerging)
Pemerintah,Petugas dengan Nelayan Bulukumba Ela-Ela
Penangkapan Nelayan
Bira Oleh POLAIR,
serta Pengerebekan
Kapal Nelayan yang
berasal dari Pesisir
Bulukumba dilakukan
oleh Nelayan Pulau
Pasitanete dan
Nelayan Bungia.
Konflik masih
bersifat mencuat
(emerging)
Petugas dengan Nelayan Bira (Bulukumba)
4. 2012 Dilarangnya Masyarakat
Selayar menyebrang ke
Bira akibat buntut dari
penangkapan nelayan
yang berasal di bira.
Konflik masih
bersifat
terbuka
(manifest)
Nelayan Selayar (masyarakat selayar) dengan nelayan Bira
5. 2013 Pengusiran Nelayan
Paggae (Sinjai) oleh
nelayan pulau
Pasitanete yang
memasuki perairan
wilayah tangkap nelayan
setempat.
Konflik masih
bersifat
mencuat
(emerging)
Nelayan Pulau Pasitanete dengan Nelayan paggae (Sinjai)
6. 2014 Pelarangan
pemasangan rumpong
diwilayah penangkapan
nelayan pulau
Pasitanete dan larangan
pelintasan/penangkapan
diwilayah tangkapan
nelayan lokal selayar
Konflik masih
bersifat
mencuat
(emerging)
Nelayan Bira dengan Nelayan Pulau Pasitanete
Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017
73
C. Penahapan Konflik Secara Umum
Tahapan konflik dilakukan untuk menganalisis berbagai dinamika dan
kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik (Fisher et al.
2001). Tahapan tersebut meliputi lima tahap, yaitu: Pertama, prakonflik yang
ditandai oleh adanya ketidaksesuaian sasaran diantara pihak-pihak yang
berkonflik. Kondisi ini diawali oleh adanya ketegangan hubungan sehingga
masing-masing pihak berusaha menghindari kontak antara satu dengan yang
lain. Kedua, konfrontasi. Pada tahap ini konflik semakin terbuka dimana masing-
masing pihak menyusun kekuatan, melakukan perilaku konfrontatif dan
kekerasan pada tingkat yang rendah. Ketiga, krisis yang merupakan puncak dari
konflik, yaitu ketika ketegangan atau kekerasan terjadi paling hebat. Keempat,
akibat. Pada tahap ini terdapat salah satu pihak yang menyerah karena
keinginannya sendiri atau karena desakan pihak lain, atau kedua pihak setuju
untuk bernegosiasi. Tingkat ketegangan dan kekerasan mulai menurun. Kelima,
pascakonflik dimana situasi konflik diselesaikan dengan mengakhiri berbagai
ketegangan dan kekerasan sehingga kembali ke kondisi normal. Namun, jika
penyebab konflik tidak diatasi dengan baik, tahap ini akan kembali lagi menjadi
situasi prakonflik.
Periode awal terjadinya konflik yang disebut prakonflik ditandai dengan
adanya ketidaksesuaian sasaran antara nelayan Pulau Pasitanete dengan
nelayan Pendatang jaring Purse Seine (Pukat Cincin) ), Akibatnya muncul
potensi konfrontasi dan ketegangan hubungan antar kedua pihak. Nelayan pulau
Pasitanete (jaring Gill net) melakukan protes terhadap kehadiran nelayan luar di
perairan selat Selaya/Bira. Nelayan Pulau Pasitanete merasa pengoperasian
jaring Purse Seine (Pukat Cincin) /MiniPurse Seine (Pukat Cincin) merusak
fungsi ekologis perairan pesisir Pulau Selayar . Nelayan pulau Pasitanete sangat
dirugikan karena komoditas tangkapan mereka berupa Ikan-ikan Karang menjadi
74
semakin berkurang ini di akibatkan karena Ekosistem dan Habitatnya Hancur.
Ketegangan kedua pihak terlihat dari tindakan Pengusiran saja. Memasuki
pertengahan tahun 1993 sampai dengan tahun 2000 masuk alat tangkap yang
tidak ramah lingkungan berupa Bius (Sianida), Bom (Potasium) dan alat bantu
pernapasan yang mempercepat Kerusakan ekosistem Terumbu Karang.
Memasuki pertengahan tahun 2000an sampai dengan tahun 2010 ,
konflik meningkat menjadi fase konfrontasi. Nelayan Pulau Pasitanete bersama
dengan nelayan Desa Bungaia melakukan pengusiran terhadap nelayanHa’lle
yang melakukan kegiatan Ilegal Fishing dengan mendatangi langsung kapal
Nelayan Ha’lle tersebut di dampingi langsung toko masyarakat,nelayan merasa
kesal dengan pengoprasian Purse Seine (Pukat Cincin) mini Purse Seine (Pukat
Cincin) dan Pengunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yang
menyebabkan kerusakan Terumbu karang. Sedangkan dalam proses
penyelasaian nelayan Pulau Pasitanete dan nelayan Bungaia Pengusiran
langsung dan biasanya di serahkan ke toko masyarakat, Kepala Desa dan
meneruskanya ke POLAIR Selayar . Namun aparat sekaligus mediator konflik
tidak tegas menindak pelanggaran Ilegal fishing dan penggunaan Purse Seine
(Pukat Cincin) /Mini Purse Seine (Pukat Cincin) , kondisi ini semakin
memperparah masalah sehingga konflik semakin terbuka.
Puncak konflik dimana terjadi ketegangan dan kekerasan yang sangat
hebat Fisher(2001). terjadi pada tahun 2012. Dimana terjadi penangkapan
nelayan Bulukumba yang dilakukan oleh petugas POLAIR akibat laporan
nelayan Selayar. Akibat dari penangkapan tersebut nelayan Bulukumba
melakukan penutupan rute penyebrangan Pelabuhan Bira dan Pelabuhan
Pamatata (Selayar) di tambah lagi nelayan Bulukumba yang menggunakan
Purse Seine (Pukat Cincin) tidak di suka sama nelayan selayar jika pergi melaut
di sekitar Selayar.
75
Pelanggaran wilayah tangkap seringkali dilakukan oleh Nelayan Ha’lle
namun nelayan pulau Pasitanene hanya melakukan pengusiran atau
memberikan isyarat untuk pindah lokasi penagkapan dan bahkan ketika ada
nelayan Ha’lle melakukan penyelaman biasanya nelayan pulau Pasitanete
melakukan pemerikasaan KTP , mengenai hal ini salah satu nelayan Dg.S (53
tahun), menerangkan :
“Kalau ada nelayan Paggae (Purse Seine (Pukat Cincin) /miniPurse
Seine (Pukat Cincin) ) dan paselang (Penyelam) pergi menangkap ikan di
sekitaran pulau Pasi dan Pingiran Selayar, langsung kami datangi ketengah laut
,tapi tidak di tangkap ki dulu,biasanya diperiksa ki atau diminta ki KTPnya dan
biasanya ada juga dibawah ki kedaratan untuk dilaporkan pada pak Desa dan
selesai lewat perjanjian. Sekarang POLAIR mi ambil ki tapi jarang tonji pergi
berpatroli”
Hal ini serupa dengan juga diterangkan oleh Badan Permusyawaratan
Desa Pulau Pasitnete Desa Menara Indah, Bapak Muh. Ali (55 tahun), bahwa :
“Perjanjian sudah sering mi di lakukan kalau ada biasa nelayan luar
,biasanya itu perjanjian lisan itu membayar ki pajak sebagai bentuk pemasukan
desa dan izin langsung dari pak Kepala Desa Pulau Pasi, tapi biasa satu kali ji
membayar habis itu tidak pernah mi lagi, jadi kalau begini terus pale kalau ada
nelayan yang melapor langsung kuserahkan ke Pak Desa dan biasa Pak desa ji
yang teruskan ki ke petugas”
Saat ini potensi konflik dimonitoring oleh POLAIR, ini dilakukan untuk
mengurangi frenkuensi konflik dan meminilisir konflik terbuka kembali.
Masyarakat nelayan pulau Pasitanete turut serta dalam pengamanan situasi
laut.walaupun demikian masih ada nelayan Ha’lle ( Pendatang) pengguna Purse
Seine (Pukat Cincin) memasuki perairan pemancing nelayan Selayar. Selain
76
faktor Permusuhan dan kecurigaan , hal lain yang mendorong konflik keduanya
yaitu keberadaan dan ketersediaan sumberdaya semakin menipis selain itu
faktor kerusakan ekologi perairan karena pengoperasian jaring Purse Seine
(Pukat Cincin) dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (bom dan bius).
Penyebab-penyebab konflik nelayan yang ditulis satria (2002) dan
kusnadi (2002) yang mengidentifikasi paling tidak terdapat empat (4) macam
konflik nelayan berdasarkan faktor penyebabnya.
1. Konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam
memperebutkan wilayah penangkapan (fishing Ground), yang mirip dengan
kategori gear war conflic charles ( 2001). Ini terjadi karena nelayan
tradisonal merasakan ketidakadlian dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital. Seperti , konflik terjadi akibat
beroprasinya kapal Purse Seine (Pukat Cincin) pada peraiaran pesisir
yang sebenarnya merupakan wilayah penangkapan nelayan tradisonal.
2. Konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki
perbedaan orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antar nelayan
yang memiliki kepeduliaan terhadap sumberdaya yang ramah lingkungan
(orientasi jangka panjang),dengan nelayan yang melakukan kegiatan
pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan seperti penggunaan bom,
potassium dan lain sebagainya (orintasi jangka pendek).
3. Konflik agraria (wilayah penangkapan), merupakan konflik yang terjadi
akibat perebutan fishing ground yang biasa terjadii antara kelas nelayan
,maupun interkelas nelayan. Ini juga bisa terjadi dengan nelayan dengan
non-nelayan seperti nelayan dengan pelaku usaha , seperti
akuakultur,wisata ,pertambangan
4. Konflik Promordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan
identitas, seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya.
77
Tabel 7. Jenis Konflik terjadi di Pulau Pasitanete Desa Menara Indah
Jenis Konflik Unsur-unsur Isu dan Fakta yang menguatkan jenis
Konflk
Konflik Kelas Perbedaan kelas sosial nelayan
dilihat dari alat tangkap dan
metode peangkapan aktif dan
pasif memperoleh tangkapan
yang berbeda
Sangat potensial
Konflik Orientasi Perbedaan Orientasi yang
mengarah kepada pemanfaatan
sumberdaya jangka panjang
dan jangka pendek kelestarian
Perikanan
Sangat potensial
Konflik Agraria Pemanfaatan yang dilakukan
oleh nelayan dengan non
nelayan dalam pemilihan lokasi
pemanfaatan serta asal daerah
atau lokasi pemukiman yang
berbeda sehingga dalam
pemanfaatan yang dilakukan
diatur dalam otonomi daerah
masing-masing.
Sangat potensial
Konflik Primordial Berasal dari suku,agama,ras
dan asal daerah dalam upaya
pemanfaatan sumberdaya
perikanan
Berpotensi
Sumber : Data Primer dan Sekunder, 2017
D. Tipe dan Karateristik Konflik
Konflik nelayan pulau Pasitanete Desa Menara Indah Kecamatan
Bontomatene di selat Bira/Selayar dalam perkembangannya dipicu oleh
permasalahan yang berbeda-beda. Karakteristik konflik diketahui dengan
mengidentifikasi tahapan-tahapannya yaitu konflik tersembunyi (latent), konflik
mencuat (emerging), konflik terbuka (manifest) dan konflik yang meningkat
(eskalasi) (Kusumastuti, 2006 diacu dalam Satria, 2006). Identifikasi tahapan-
tahapan konflik ditujukan untuk mengetahui pihak-pihak yang terlibat konflik serta
tindakan-tindakannya dalam konflik dan proses penyelesaian konflik
78
Konflik nelayan Perairan selat Bira/Selayar umumnya bersifat terbuka
yang mengarah pada tindakan kekerasan. Namun beberapa diantaranya
berupa konflik permukaan dan konflik latent yang terjadi sebagai bagian atau
pengaruh dari adanya konflik yang terbuka. Pada konflik terbuka pihak- pihak
yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi
(Kusumastuti, 2006 diacu dalam Satria, 2006), berakar dalam dan sangat
nyata serta memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab
dan berbagai efeknya (Fisher, 2001).
a) Konflik Kepemilikan Sumberdaya
Perbedaan pandangan nelayan terhadap keberadaan sumberdaya
perikanan,perebutan lahan tangkapan antar sesama nelayan,perbedaan operasi
penangkapan (cara produksi /alat tangkap) dalam memanfaatkan sumberdaya
perikanan antar nelayan serta batas admnistrasi daerah antar nelayan yang
menempatkan satu kawasan di selat Selayar/Bira, serta penggunaan barang
yang tidak ramah lingkungan merupakan pemicu konflik yang berkaitan dengan
kepemilikan sumberdaya. Konflik kepemilikan sumberdaya adalah konflik yang
terjadi akibat isu kepemilikan sumberdaya yaitu siapakah yang memiliki
sumberdaya ikan di laut (Satria, 2006).
Pada masyarakat nelayan di kawasan pesisir Selat Selayar/Bira tidak ada
kepemilikan atau komunitas wiayah pesisir. Secara normatif laut besifat
“bebas”(open access) bagi siapapun untuk memanfaatkan namun secara yuridis
dalam hal pengelolaan terhadap pemanfaatan sumberdayanya merupakan
kepemilikan negara (state property). Daerah penangkapan ikan dengan alat
tangkap tradisional maupun skala kecil yang telah dimodifikasi antar nelayan
diwilayah selat Selayar/Bira bersifat terbuka. Artinya nelayan pulau Pasitanete
misalnya dapat mengoprasikan alat tangkapanya di wilayah peraiaran
Bulukumba begitupun sebaliknya. Namun nelayanHa’lle (pendatang) terutama
79
kelompok nelayan yang menggunakan Purse Seine (Pukat Cincin) dan
sejenisnya yang melakukan penangkapan didaerah wilayah tangkapan Nelayan
pulau Pasitanete menganggu keseimbangan ekosistem dan ekologi akibat
kerusakan yang ditimbul dari alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Ha’lle
(Pendatang) di tambah lagi penggunaan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan (bom dan bius) . Akibatnya nelayan pulau Pasitanete melakukan
pembatasan terhadap akses nelayan Ha’lle yang melakukan penangkapan di
wilayah perairan pulau Pasitanete dan Desa Bungaia. Maraknya konflik antar
nelayan menyebabkan masyarakat nelayan pulau Pasitanete menerapkan
sebuah aturan lokal (local rules) sebagai pengontrol akses nelayan Ha’lle di
perairan Pulau Pasitanete. Misalnya nelayan Ha’lle bisa masuk keperairan
wilayah tangkapan nelayan pulau Pasitanete dengan ketentuan menggunakan
alat tangkapan yang sama dan tidak menggunakan alat tangkap bom dan bius.
b) Pengunaan Alat Tangkap/Cara Produksi
Hasil estimasi terhadap tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan didapatkan
bahwa perairan Selat Selayar/Bira sudah berada pada kondisi overfishing baik
untuk perikanan pelagis dan perikanan demersal (gambar 5.). Berdasarkan hasil
penelitian Tim Kerja EAFM Learning Center EAFM Universitas Hasanuddin
menyimpulkan bahwa penggunaan dan peningkatan alat tangkap membuat
ketersediaan sumberdaya ikan semakin menurun Penambahan armada
penangkapan berupa bantuan dari pemerntah melalui DKP Kabupaten Selayar di
tambah lagi dengan adanya Nelayan Ha’lle (pendatang) yang datang di perairan
selayar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari gambar 5. Grafik Hubungan
Perkembangan Unit Penangkapan dan Produksi Hasil Tangkapan Perikanan
Karang di Kabupaten Kepulauan Selayar untuk Tahun 2011-2015 (Dinas
Kelautan dan Perikanan Kepulauan Selayar, 2012-2016).
80
Setiap nelayan berhak untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-
besarnya dan ini akan tercapai jika nelayan menerapkan teknologi yeng lebih
canggih dalam penangkapanya, baik teknologi pada kapal dan alat
tangkap.Perbedaan alat tangkap yang digunakan oleh Nelayan Kepulauan
Selayar Khususnya Nelayan Pulau Pasitane Desa Menara Indah dengan
Nelayan Pendatang memiliki perbedaan baik dari segi alat tangkap, kapal
penangkapan dan Teknologi yang di gunakan.
Nelayan Pulau Pasitanete masih menggunakan cara tradisional
sedangkan Nelayan Ha’lle (Pendatang) sudah menggunakan alat tangkap
moderen. Selain itu Nelayan Bulukumba dan nelayan lain daerah lain
(pendatang) di curigai mengunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan
seperti Bom (potasium) dan Bius (sianida). Berdasarkan hasil wawancara (dg.
SY 47) salah satu nelayan mengatakan bahwa:
“Dulu pernah di dapat nelayan patongkolo (nelayan yang berasal dari
sinjai),pada saat di gerebek oleh masyarakat beserta kepala desa didapat ki
membawa pacello (racun sianida) dan botolnya langsung na buang ke laut tapi di
ambil kembali oleh masyarakat”
Akibatnya banyak terjadi kerusakan Terumbu Karang yang di sebabkan
oleh nelayan penggunaan Ilegal Fishing tersebut. Ini memicu konflik dalam hal
pemanfaatan lingkungan, menurut Satria (2006),konflik lingkungan adalah konflik
yang terjadi akibat kerusakan lingkungan karena praktek satu pihak yang
merugikan nelayan lain. Kerusakan lingkungan perairan selat Selayar/bira terjadi
karena adanya praktek individu atau kelompok ( yang teridentifikasi langsung
maupun yang tidak langsung) memberikan pengaruh yang buruk terhadap
lingkungan. Akibatnya akan merugikan pihak-pihak lain yang turut
berkepentingan menfaatkan lingkungan terutama nelayan Pulau Pasitanete.
81
c) Konflik Pengeolaan Sumberdaya Ikan
Usaha penangkapan ikan di perairan Selayar , Kecamatan Bontomatene,
wilayah perairan Selat Selayar/Bira diperbolehkan apabila dengan menggunakan
alat tangkap yang sifatnya ramah lingkungan, misalnya Gill net . Penangkapan
oleh nelayan luar/nelayan daerah lain tidak dipermasalahkan selama
menggunakan alat tangkap dan operasi penangkapan yang sama dengan
nelayan lokal. Hal ini ditujukan untuk mengurangi tingkat persaingan antar
nelayan lokal dengan nelayan luar/daerah lain serta menjaga kelestarian
lingkungan dan sumberdaya ikan. Namun karakteristik usaha penangkapan
nelayan luar yang dalam perkembangannya cenderung menggunakanan alat
tangkap yang Pengoprasianya diwilayah Jalur II misalnya Purse Seine ( Pukat
Cincin) sebagai wujud adaptasi terhadap sumberdaya yang telah overfishing
menyebabkan nelayan Pulau Pasitante dan Desa Bungaia, Kecamatan
Bontomatene menolak keberadaan nelayan luar di perairan Selat Selayar/Bira
dan Peraiaran Selayar kepemilikan sumberdaya (property right) yang akhirnya
memunculkan fenomena pengkaplingan laut sebagai batasan teritorial (territorial
boundary) yang membedakan perairan antara nelayan lokal dengan nelayan
luar.Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pengelolaan
wilayah laut yang disinyalir sebagai munculnya konflik kenelayanan, fenomena
pengkaplingan laut dan hak eksklusi (exclusion right) nelayan lokal merupakan
fenomena lama dan bukan serta merta akibat otonomi daerah (Satria, 2003).
Pada intinya ini lebih menunjukkan pada adanya keterkaitan antara identitas
sebuah kelompok sosial dengan tempat mereka hidup atau penghargaan
identitas selaku nelayan yang merasa berhak terhadap suatu wilayah tertentu
(Adhuri, 2005 dan Satria, 2003), seperti pada kelompok Nelayan Selayar ,
Kecamatan Bontomatene yang merasa berhak untuk mengelola wilayah perairan
Peraiaran Selayar dari praktek penangkapan nelayan luar yang banyak merusak
82
kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Konflik pengelolaan sumberdaya adalah
Berikut:
Gambar 7. Alat tangkap yang di pergunakan menurut Nomor 71/permen-KP/2016 di Wilayah Perairan Selayar/Bira
Hampir semua Pemicu konflik yang terjadi dilatarbelakangi oleh adanya
pelanggaran terhadap peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya termasuk
aturan lokal (local rules) seperti di masyarakat nelayan Pulau Pasitanete,
Kecamatan Bontomatene.
Pelanggaran terhadap aturan pengelolaan umumnya dilakukan oleh
nelayan luar atau nelayan dari Kabupaten lain yang aktivitas perikanannya juga
bergantung pada sumberdaya di perairan Selat Selayar/Bira. Pelanggaran
terhadap peraturan pemerintah (goverment rules) dalam usaha penangkapan,
seperti pelanggaran terhadap pelarangan pengoperasian jaring Purse Seine
yang termuat dalam Permen No. 71/permen-KP tahun 2016.
Di samping itu, pelanggaran aturan pengelolaan juga terlihat pada
karateristik usaha penangkapan nelayan luar/nelayan kabupaten lain dalam
memanfaatkan sumberdaya perikanan seringkali mengancam keberlanjutan
83
sumberdaya dan merusak kelestarian lingkungan perairan, seperti nelayan Sinjai
menggunakan Bius dan Bom.
E. Akar Permasalahan Konflik
Akar permasalahan konflik nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan di selat Selayar/Bira antara nelayan pulau Pasitanate dengan nelayan
Ha’lle (pendatang) antara lain berkaitan dengan:
1) Keberadaan Sumberdaya Ikan
Perairan pulau selayar merupakan tempat habitat ikan-ikan yang memiliki
nilai ekonomi yang tinggi, keberadaan ikan tersebut menjadikan target
penangkapan bagi nelayan Ha’lle (pendatang) mengekploitasi, berbagai cara
penagkapan digunakan sampai menggunakan alat tangkap yang tidak ramah
lingkungan (bom dan bius). Selama tahun 2000-2012 menginditifikasi kondisii
cadangan ikan terutama target penangkapan telah berada pada kondisi
overfishing dan cenderung semakin menurun dari waktu ke waktu, ditambah lagi
ekosistem terumbu karang sudah banyak yang rusak akibat penggunaan Purse
Seine (Pukat Cincin) dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Kondisi
yang sedemikian menjadi salah satu faktor yang menyebabkan turunya
pendapatan nelayan pulau Pasitanete dan menjadi akar permasalahan konflik
terkait perebutan sumberdaya ikan dikalangan nelayan dan ini sesuai yang
dikemukakan oleh Satria (2006) bahwa konflik Kenelayaan yang muncul terkait
kepemilikan sumberdaya adalah konflikyang terjadi sebagai akibat dari isu
kepemilikan sumberdaya,dimana kepemilikan laut serta ikan tidak dapat
terdefenisi secara jelas milik siapa. Akibatnya menimbulkan nelayan
mengekploitasi sumberdaya ikan secara berlebihan (overfishing).
84
2) Hukum dan Peraturan Pemerintah dalam Usaha Penangkapan Ikan
Beberapa peraturan dan hukum di sektor penangkapan masih tumpang
tindih antara satu dengan yang lain. Penegakan hukum dalam hal pengawasan
usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang masih
kurang maksimal menindak tindakan nelayan yang melanggar hukum. Patroli
aparat dalam usaha pengawasan dan penegakan hukum di laut relatif jarang
terkecuali jika terjadi konflik dan laporan masyarakat. Adapun peraturan Tentang
jalur penangkapan ikan dan Penempatan alat penangkapan ikan yang sering
dilanggar oleh nelayan Ha’lle ( Pendatang) yaitu :
1. Peraturan Mengenai Pelarangan Bom dan bius sudah di atur oleh Pasal
8 ayat satu(1) Pasal 84 ayat satu (1) UU RI No.45 Tahun 2009 terkait
perubahan UU RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dan
penerapan Pasal 85 UU RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan
terkait pelarangan penggunaan Bom ikan dan pasal 92 sub pasal 26 ayat
(1) jo pasal 93(1) pasal 27 UU RI no. 45 Tahun 2009 Tentang
Penangkapan.
2. Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Republik Indonesia Nomor
71/Permen-KP/2016 tentang jalur penangkapan ikan dan Penempatan
alat penangkap ikan WPPNRI ( Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia).
3. Peraturan – peraturan lokal (local rules ) yang di terapkan di dearah
penangkapan
3) Pengaturan Nelayan Ha’lle ( Pendatang)
Ketentuan nelayan Andon sebenarnya sudah diatur dalam peraturan
daerah Kabupaten Kepulauan Selayar ( Perda) No.6 tahun 2009 tentang
perizinan Usaha Perikanan di atur dalam Pasal 1 (23). Dan membandingkan
85
Peraturan Daerah (Perda) salah satu nelayan Ha’lle (Bulukumba). Berikut
perbandingan Peraturan Daerah Kedua daerah tersebut:
Tabel 8. Peraturan Daerah Tentang Nelayan Ha’lle
No Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar
Perda No.6 tahun 2009 Tentang Perizinan Usaha Perikanan
Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba
Perda No.17 Tahun 2008 Tentang Retribusi Usaha Perikanan
1 Pasal 1 (17)
Surat penangkapan ikan yang
selanjutnya di singkat SPI adalah
isurat yang harus dimiliki setiap kapal
erikanan untuk melakukan kegiatan
penangkapan ikan di perairan dalam
wilayah kewenangan Kabupaten
Kepulauan Selayar dan merupakan
bagian yang tida terpisahkan dari IUP
Pasal 1 (16)
Surat Izin Usaha Perikanan,yang
selanjutnya disebut SIUP adalah
izin tertulis yang harus di miliki oleh
perusahaan perikanan yang
melakukan usaha perikanan dengan
menggunakan sarana produksi yang
mencantum dalam izin tersebut
2 Pasal 1 (23)
Nelayan Andon ( Nelayan Pendatang)
adalah nelayan yang melakukan
kegiatan penangkapan ikan di laut
dengan menggunakan kapal
perikanan berukuran tidak lebih dari
30 (tiga puluh) Gross Tonage (GT)
atau mesinya yang berkekuatan tidak
lebih dari 90 (sembilan puluh) Daya
Kuda (DK) dengan daerah
penagkapan yang berubah-ubah atau
berpindah-pindah sehingga nelayan
tersebut berpangkalan atau berbasis
sementara waktu relatif lama
dipelabuhan diluar daerah asal
nelayan tersebut
Dalam pasal 1 sebagai ketentuan
umum tidak ada ayat yang
menyebutkan tentang kenelayaan
pendatang/nelayan dari daerah lain
yang melakukan penangkapan ikan
di Kabupaten Bulukumba
Dilihat dari tabel 6. Kesamaan terlihat pada Surat Perizinan tapi dalam
pengaturan mengenai nelayan Ha’lle (pendatang), ada perbedaan dalam 2
Peraturan daerah tersebut. Misalnya Perda Kabupaten Kepulauan Selayar
86
menerapkan aturan Tentang Nelayan Ha’lle (pendatang) sedangkan Perda
Kabupaten Bulukumba tidak.
Pasal tersebut dapat melemahkan pemerintah Kabupaten/Kota tujuan
Nelayan Ha’lle (Pendatang) karena mengabaikan kewenangan pemerintah
Kabupaten/Kota dalam hal perijinan usaha penangkapan. Selama ini, nelayan
Ha’lle (Pendatang) dapat diterima asalkan tidak merugikan nelayan lokal dalam
melakukan penangkapan ikan. Konflik yang timbul disebabkan karena
kebanyakan nelayanHa’lle beroperasi di wilayah tangkap nelayan lokal tanpa
meminta izin sebelumnya atau karena izin berandon tidak ditujukan ke daerah
tempat mereka melakukan penangkapan ikan. Konflik yang timbul disebabkan
karena kebanyakan nelayan Ha’lle (Pendatang) beroprasi di wilayah tangkap
nelayan lokal tanpa meminta izin sebelumnya atau karena izin berandon tidak
ditujukan kedaerah mereka tanpa melakukan penangkapan.
Adapun dalam penerapan aturan lokal (lokal rules) di buat oleh daerah
tujuan nelayan Ha’lle (pendatang). Di pulau Pasitanete tersendiri memliki aturan
lokal yang di buat oleh pemerintah setempat dalam hal ini Kepala Desa, anggota
BPD (Badan Permusyarawatan Desa), Babinsa, Tokoh-tokoh masyarakat,
ulama, nelayan lokal dan nelayan Ha’lle ( Pendatang).
Pembuatan aturan lokal sebenarnya dilatar belakangi seringnya nelayan
Ha’lle (pendatang ) memasuki daerah penangkapan. Proses pembuatan aturan lokal
tidak semestinya di buat begitu saja tapi melainkan ada pertimbangan-pertimbangan
dari kedua bela pihak yang berkubu nelayan lokal ( nelayan pulau Pasitanete)
dengan nelayan Ha’lle (Pendatang). Ada mekanisme tertentu yang dijalankan oleh
masyarakat pulau Pasitanete Desa Menara Indah yaitu dengan menggunakan
musyawarah kekeluargaan, mekanisme ini di lakukan dengan mepertemukan
perwakilan dari Nelayan Ha’lle (Pendatang) yang beroprasi dan berlabuh wilayah
penangkapan tradisional pulau Pasitante dengan nelayan setempat yang mana dari
87
pihak nelayan Ha’lle (pendatang) di wakili oleh Pungawa kapal (Nahkoda Kapal) dan
nelayan pulau pasitanete di wakili oleh Kepala Desa Menara Indah itu sendiri. Ini
sesuai dengan arahan Pemda nomor 10 tahun 2011 mengenai pengelolaan wilayah
pesisir, kedua bela pihak dipertemukan di balai Desa menara Indah dan di
monitoring oleh Babinsa setempat.
Hasil musyawarah biasanya berupa surat pernyataan dan permintaan uang
izin menangkap sebagiai jaminan dan pendapatan desa. Tapi seiring waktu berjalan
mekanisme hanya berjalan sementara waktu. Bayaknya nelayan Ha’lle (Pendatang)
tidak menjalankan aturan lokal tersebut membuat pemerintah setempat dalam hal ini
Kepala Desa Menara Indah dan nelayan pulau Pasitanete menyerahkan langsung ke
Petugas dan pemrintah Kabupaten Kepulauan selayar.
“Perjanjian sudah sering mi di lakukan kalau ada biasa nelayan luar
,biasanya itu perjanjian lisan maupun tulisan dan itu biasa membayar ki pajak
sebagai bentuk pemasukan desa dan izin langsung dari pak Kepala Desa Pulau
Pasi, tapi biasa satu kali ji membayar habis itu tidak pernah mi lagi, jadi kalau
begini terus pale kalau ada nelayan yang melapor langsung kuserahkan ke Pak
Desa dan biasa Pak desa ji yang teruskan ki ke petugas”
4) Perbedaan Cara Pandang Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan
Perbedaan cara pandang dalam memanfaatkan sumberdaya diantara
komunitas nelayan juga menjadi faktor pemicu konflik,nelayan Ha’lle (Pendatang)
banyak menggunakan kecurangan karena berorentasi jangka pendek,tanpa
memperhatikan kelangsungan sumberdaya. Mereka menggunakan alat tangkap
terlarang atau melakukan penangkapan diluar jalur tangkapan yang telah
disepakati karena pertimbangan ekonomi untuk mendapatkan keuntungan besar.
Sementara nelayan lokal (nelayan pulau Pasitanete) berorientasi jangka panjang
dengan tetap menggunakan alat tangkap tradisional sebagai usaha menjaga
keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan.
88
Jika terus berlanjut maka yang paling dirugikan adalah nelayan tradisonal
Pulau Pasitante Desa Menara Indah dan nelayan Pesisir Pulau Pasitanete yang
mana mereka masih menggunakan alat tangkapan yang masih tradisional.
5) Pengaturan Penggunaan Bahan Tidak Ramah Lingkungan
Larangan pemanfaatan sumberdaya yang merusak kelestarian
lingkungan terdapat dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang
lingkungan hidup, sedangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
ditujukan untuk keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya perikanan terdapat
dalam Undang- Undang No.31 Tahun 2004 tentang perikanan. Alasan
beberapa nelayan melakukan penangkapan ikan dengan bahan yang tidak
ramah lingkungan, seperti bahan peledak dan potassium antara lain karena
tidak membutuhkan biaya yang tetap dibandingkan alat tangkap seperti jaring.
Pengoperasiannya praktis dan tidak menanggung resiko kerusakan seperti
pada jaring. Namun, kebanyakan nelayan memberi alasan menggunakan
bahan terlarang karena desakan kebutuhan ekonomi.
6) Terbatasanya Fasilitas Perikanan
Terbatasnya fasilitas dan sarana penunjang ekonomi nelayan,seperti TPI
mengakibatkan nelayan mengalami kesulitan dalam mendapatkan modal usaha
dan memasarkan hasil tangkapanya, ketika nelayan selesai menangkap ikan
biasanya hasil tangkapan langsung di kasih pada pengumpul atau pemberi
usaha/modal (pungaha). Fasilitas TPI cuman ada di Benteng selayar Berbeda
dengan nelayan Ha’lle (Pendatang) yang memiiki fasilitas TPI tiap pelabuhan
yang memadai sehingga mobilisasi hasil tangkapan lancar. Demikian pula,
adanya konflik dengan nelayan luar mengakibatkan nelayan lokal (nelayan pulau
Pasitanete) mengalami kerugian materi yang cukup besar. Meskipun demikian,
keberadaan pemilik modal sebenarnya tidak merugikan nelayan cuman beberapa
89
kejadian di lapangan, terlihat bahwa nelayan peminjam diharuskan menyetor
atau menjual hasil tangkapannya kepada pemilik modal.
F. Pihak-pihak dalam Konflik
Pihak-pihak dalam konflik kenelayaan di perairan Kecamatan
Bontomatene Selat Selayar/Bira yaitu nelayan sebagai pelaku utama konflik
(komunitas nelayan pulau Pasitanete dan kelompok-kelompok nelayan
pendatang/nelayan luar) dan pihak ke-3 (tiga) yang memberikan
akomodasi/bantuan dalam penyelesaian konflik secara partisipatif, antara lain
yaitu; Instansi pemerintah daerah sebagai autoritas yang berwenang dalam
penyelesaian konflik, meliputi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar dan
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (pihak-pihak ini meliputi instansi dari Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten dan Provinsi, Aparat Keamanan yaitu
Polisi, Pol-Airud dan TNI-AL). Sedangkan pihak-pihak ke-3 (tiga) non-
pemerintah yang turut membantu dalam penyelesaian konflik antara lain adalah
Organisasi nelayan, PPL (petugas penyuluh lapang), peneliti serta Tokoh
masyarakat maupun pemimpin informal lainnya yang berperan sebagai
mediator dalam penyelasaian konflik.
1. Nelayan Selayar ( Komunitas Nelayan Pulau Pasitanete dan nelayan Desa Bungaia)
Nelayan pulau Pasitene sejak dahulu mengenal wilayah penangkapan
tradisional (traditional fishing ground). Wilayah ini adalah perairan pantai yang
terdekat dari desa tempat tinggalnya dan biasa menjadi tempat menangkap ikan
sepanjang tahun. Wilayah ini tetap terbuka untuk nelayan-nelayan daerah lain.
Hanya saja harus mempertimbangkan prinsip ”keadilan” yang berarti
menyamakan alat tangkap yang akan digunakan. Dalam prinsip ”keadilan” ini,
perbedaan kelompok nelayan tidak terlalu dipermasalahkan. Artinya semua
kelompok nelayan (termasuk nelayan luar) dapat menangkap ikan di wilayah ini
90
dengan syarat harus mempertimbangkan prinsip ”keadilan” tersebut. Masyarakat
yang bekerja sebagai nelayan di Desa Menara Indah memilih bertahan sebagai
nelayan tradisional, meskipun sebagian besar mampu mengembangkan
usahanya
Selain itu wilayah penangkapan (fishing ground) harus sesuai dengan
jalur yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Padahal perairan Selat Selayar/Bira,
Kecamatan Bontomatene merupakan perairan yang sempit . Jika mereka bertahan
dalam perairan yang sempit tersebut dengan mengganti alat tangkap dengan jaring
kantong, maka potensi konflik antar sesama nelayan lokal (nelayan desa lainnya di
Kecamatan Bontomatene) mungkin terjadi. Sedangkan untuk melakukan ekspansi
daerah tangkapan diluar perairan Selat Selaya/Bira atau mencari daerah tangkapan
baru, maka mereka mungkin akan terlibat konflik dengan nelayan-nelayan lain yang
telah lama beroperasi di daerah baru itu dan juga mempertimbangkan besar perahu
penangkapanya Salah seorang nelayan, Dg.Rs (55 tahun), menjelaskan:
“Bukan tidak bisa ganti alat tangkap ,Sebenarnya selain terkendala dari
modal kami tidak mau pake selain jaring biasa (Gill Net) apalagi penggunaan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan . Biar adil, supaya tidak ada kecemburuan
sesama nelayan Selayar. kalo masalah tangkapan yag berbeda, itu sudah rezeki
masing-masing. Lagi pula tidak mungkin kami menangkap ikan sampai perairan
Bulukumba dan Sinjai “
Nelayan Pulau Pasi tanete tidak memperluas daerah tangkapannya di luar
perairan Selat Selayar/Bira karena mereka akan kalah bersaing dengan nelayan-
nelayan lain yang alat tangkapnya lebih maju. Hasil tangkapan yang sedikit dan tidak
menentu menyebabkan nelayan memilih menangkap ikan di sekitar perairan pantai
karena pertimbangan efisiensi usaha. Dalam pengelolaan konflik, sampai saat ini
nelayan Desa Menara Indah Pulau Pasitanete hanya melakukan pelarangan,
91
pengawasan dan penentuan batas wilayah perairan untuk membedakan wilayah
perairannya dengan wilayah perairan nelayan daerah lain.
2. Nelayan Ha’lle (Nelayan Pendatang Daerah Lain)
Kebutuhan akan lahan tangkapan baru sebagai sarana pemenuhan
kebutuhan hidup menjadi alasan yang kuat bagi nelayan-nelayan luar di
sepanjang pesisir Pulau Sulawesi untuk memperluas wilayah penangkapannya
sampai ke perairan daerah lain seperti ke perairan Selayar dan. Pada
kenyataannya kehadiran nelayan luar ke perairan Selayar/Bira terutama Perairan
dekat pulau pasitanete memicu terjadinya konflik. mendapatkan perlawanan dari
masyarakat. Hal ini karena masyarakat yang bekerja sebagai nelayan khawatir
perairan mereka akan menjadi rusak dan berdampak pada terbatasnya
sumberdaya ikan. Nelayan luar rata-rata memakai alat tangkap Purse Seine
(Pukat Cincin) atau sejenisnya dan bahkan ada yang menggunakan alat tangkap
bom dan bius ini Konflik masih bersifat mencuat (emerging).
Gambar 8. Peta Kedatangan Nelayan Ha’lle (Pendatang)
Semakin gencarnya POLAIR bersama masyarakat Nelayan Pulau
Pasitanete dan nelayan sekitar Pesisir Selayar dalam melakukan pengamanan di
laut, menyebabkan nelayan luar banyak yang menangkap ikan di sekitar perairan
92
Selayar secara sembunyi-sembunyi. Dengan mengingat jadwal patroli Petugas
POLAIR, mereka akan menangkap ikan di luar jadwal patroli sehingga
kemungkinan besar akan lolos dari penangkapan. Patroli aparat di sekitar
perairan Selayar yang terkesan menghalangi kepentingan nelayan luar untuk
mendapatkan lahan tangkapan baru, menyebabkan konflik latent terjadi antara
nelayan luar dengan Petugas Selayar.
3. Instansi Pemerintah Daerah
Masalah konflik nelayan Pulau Pasitanete atau Nelayan Selayar pada
umumnya dengan nelayan Ha’lle (Pendatang) diserahkan pemerintah daerah
kepada aparat keamanan (POLAIR dan TNI-AL). Proses penyelesaian konflik
banyak ditangani di tingkat lokal yaitu di pihak Kepala desa atau Lurah. Namun
ketika konflik menjadi terbuka dan anarkis diantara kedua pihak, maka
ditindaklanjuti oleh di tingkat kecamatan. Namun setelah terbentuknya
Departemen Perikanan dan Kelautan (DKP), maka masalah penyelesaian konflik
diserahkan kepada instansi tersebut. Pemerintah daerah termasuk Pemerintah
Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Kepulauan Selayar melalui Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi dan
Kabupaten melakukan koordinasi dengan aparat keamanan dan autoritas lokal
(Kepala Desa )dalam menyelesaikan konflik.
4. Pihak-Pihak Lain dalam Konflik
Pihak-pihak lain yang juga bertindak selaku mediator dalam konflik
antara lain: Petugas Penyuluh Lapang (PPL), Ulama, Tokoh nelayan, serta
organisasi kemasyarakatan (non-pemerintah) yang secara tidak langsung
memberikan masukan dalam penyelesaian konflik. Penyuluh lapang memiliki
peranan yang terbatas terhadap penyelesaian konflik secara langsung. Peranan
mereka biasanya dominan pada upaya sosialisasi hukum dan peraturan dalam
93
bidang perikanan Menurut masyarakat jika penyuluh lapang ada, maka akan
memudahkan masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya dalam upaya
memperbaiki lingkungan pesisir yang rusak dan membantu menumbuhkan
kegiatan ekonomi dengan memfungsikan kembali lahan pertambakan dan
pertanian sebagai usaha nelayan untuk beralih ke mata pencaharian lain.
Peranan Ulama Pasitanete terhadap konflik sangat dominan. Ini
disebabkan karena masyarakat Pulau Pasitanete secara sosial dan budaya
mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap agama (muslim). Ulama dinilai
dapat meredam emosi massa sehingga konflik tidak meluas dan mengarah pada
tindakan anarkis. Sama halnya dengan Ulama, tokoh nelayan di Desa Menara
Indah juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap konflik karena mampu
mempengaruhi opini massa.
G. Dampak Konflik
Dampak dari Permasalahan-permasalahan yang terjadi di selat
Selayar/Bira jika terus berlanjut maka akan merugikan nelayan-nelayan
tradisonal di sana baik berdampak secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung permasalahan ini sangat merugikan nelayan pulau pasitanete
dengan adanya nelayan Ha’lle (Pendatang) baik dari segi penangkapan maupun
dari segi penghasilan. Kedatangan nelayan-nelayan Ha’lle (Pendatang) diperairan
selayar menggangu area penangkapan nelayan tradisional. Sedangkan secara
tidak langsung dengan bertambahnya Nelayan Ha’lle (Pendatang) yang datang
ke perairan penangkapan Nelayan pulau pasitanete dan kurangnya pengawasan
maka kemungkinanan terjadi konflik antar nelayan sangat besar pula dan
dampaknya akan kembali ke nelayan tradisonal terutama nelayan Pulau
Pasitanete.
Berdasarkan hasil penelitian Tim Kerja EAFM Learning Center EAFM
Universitas Hasanuddin menyimpulkan bahwa penggunaan dan peningkatan
94
alat tangkap membuat ketersediaan sumberdaya ikan semakin menurun
Penambahan armada penangkapan berupa bantuan dari pemerntah melalui DKP
Kabupaten Selayar di tambah lagi dengan adanya nelayan Ha’lle (Pendatang)
yang datang di perairan selayar.
H. Penyelesaian Konflik
Resolusi konflik dipandang sebagai upaya meredakan dan mengurangi
konflik yang telah dan sedang terjadi. Pada dasarnya konflik kenelayanan (terkait
pemanfaatan sumberdaya laut) bernuansa kekerasan (Adhuri et al. 2005). Konflik
yang bernuansa kekerasan maupun yang tidak, bermanfaat dan tidak dapat
dihilangkan dalam masyarakat karena hubungan-hubungan antar pihak-pihak
(individu atau kelompok) dalam masyarakat tidak selamanya harmonis,
setidaknya ada hal yang dipertentangkan. Akar konflik dalam pengeksploitasian
sumberdaya laut atau yang dikenal dengan istilah kenelayanan adalah
kenyataan bahwa laut tergolong sumberdaya milik umum (public property
resource) sehingga untuk mengatasinya dilakukan dengan penciptaan keputusan
yang disetujui bersama yang bisa memaksa setiap orang untuk tunduk padanya
(Hardin, 1968 dalam Adhuri, 2005).
Upaya penyelesaian (resolusi) perlu segera dilakukan terutama pada
konflik yang bernuansa kekerasan agar tidak semakin buruk dan diharapkan
dapat menghasilkan keseimbangan (equilibrium) baru di masyarakat. Di pihak
lain, resolusi konflik mengacu pada strategi-strategi untuk menangani konflik
terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk
mengakhiri suatu kekerasan (penyelesaian konflik), tetapi juga mencapai suatu
resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya (Fisher,
2001).
95
I. Manajemen Konflik
Manajemen konflik dilakukan dengan konsep yang disebut community
based conflict management (CBCM). Inisiatif penyelesaian konflik (terutama
berdasarkan konsensus atau kesepakatan) tidak dapat dipisahkan dari konteks
perubahan sosial secara umum. Harus disadari bahwa tidak ada satupun
mekanisme penyelesaian konflik yang dapat melenyapkan konflik, mereka hanya
mampu meredakan dan mengatur konflik agar turun kadarnya dari suatu
konfrontasi hebat kepada tingkat perselisihan atau perbedaan pendapat saja
(Maskanah et al. 2005 ). Pada akhirnya manajemen konflik dilakukan secara
alternatif yang dititkberatkan kepada bagaimana fasilitas pihak-pihak
(individu,kelompok organisasi) untuk beradaptasi dengan perubahan sosial
(social change) yang terjadi. Upaya penyelesaian konflik dengan nelayan
luar/nelayan daerah lain awalnya dilakukan sendiri oleh masyarakat nelayan
Desa Menara Indah (Pulau Pasitanete), Kecamatan Bontomatene, Kabupaten
Kepulauan Selayar. Namun upaya yang dilakukan menjadi tidak efektif
mengingat mekanisme penyelesaian yang ditempuh oleh masyarakat cenderung
mengarah pada usaha-usaha yang bersifat ”memaksa” nelayan luar.
Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar telah Menangani
permasalahan konfliknelayan yang ada di Kecamatan Bontomatene melalui
peranan beberapa instansi seprti Petugas (Polsek dan TNI-AD). Petugas
melakukan usaha-usaha untuk meredamkan atau mengurangi ketegangan
antara nelayan Pulau Panitanete dengan nelayan Ha’lle (Pendatang) dengan
melakukan pendekatan (konsiliasi) kepada kedua bela pihak dan mengupayakan
kedua pihak melakukan pertemuan untuk melaksanakan upaya perdamaian
(rekonsiliasi). Petugas melakukan koordinasi dengan Petugas asal daerah
Nelayan Ha’lle (Pendatang) yang di maksud, seperti pada kasus konflik antara
nelayan Pulau Pasitanete dengan nelayan yang berasal dari Kabupaten
96
Bulukumba. Sedangkan aparat keamanan, yaitu Polsek Kecamatan
Bontomatene lebih bertindak sebagai mediator yang membantu menciptakan
keamanan pada saat proses dilaksanakan negosiasi. Sejak tahun 2009,
penyelesaian konflik kenelayaan di Kecamatan Bontomatene melibatkan
Peranan Instansi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Selayar.
Upaya yang dilakukan oleh Dinas Kelautan Dan Perikanan dalam penyelesaiaan
konflik antara lain dengan fasilitas suatu pertemuan atau perundingan, Konsultasi
permasalahan dengan nelayan yang terlibat dengan konflik,konsiliasi,serta
melakukan koordinasi lintas instansi/departemen (Kepolisian,TNI-AD,Tokoh
Informal Lokal,Penyuluh dan Kepala Desa) diwilayah lokal maupun antar
kabupaten yang nelayannya terlibat konflik dengan Nelayan Selayar dan Pada
khususnya nelayan pulau Pasitanete, untuk bersama-sama merumuskan solusi
konflik yang efektif
Untuk mengefektifkan kinerjanya sebagai lembaga berwenang dalam
menetapkan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan selat Selayar/Bira,
dengan tidak adanya Pos jagawana (Pos Keamanan laut) jadi koordinasi
dilakukan dengan pemerintah setempat (Kepala Desa ) atau dengan Babinsa
(TNI-AD) yang bertugas di pulau Pasitanete. Pemerintahan setempat turut
berperan andil dalam penyelasaian konflik meskipun sebagai mediator dalam
pelaksanaan negosiasi antara nelayan yang berkonflik. Demikian pula kerlibatan
dengan tokoh-tokoh masyarakat seperti Ulama. Dengan demikian,
negosiasi,mediasi,dan fasilitasi berlangsung sekligus dalam proses penyelasaian
konflik melalui musyawarah pihak-pihak yang berkonflik.
Hasil akhir musyawarah tersebut berupa penandatanganan surat
pernyataan bersama atau surat perjanjian damai. Sampai saat ini mekanisme
penyelesaian konflik secara negosiasi menjadi alternatif pilihan masyarakat
97
Pulau Pasitanete , meskipun pada kenyataannya upaya ini hanya berlaku untuk
meredam konflik secara temporer atau sementara waktu.
Dalam perkembangannya (setelah tahun 2012), manajemen konflik di
masyarakat Nelayan Pulau Pasitanete, Kecamatan Bontomatene mengalami
kemajuan, yaitu menyertakan mekanisme semacam arbitrasi dan proses-proses
adjudikasi. Mekanisme tersebut berlangsung sekaligus yang ditangani oleh pihak
Petugas Keamanan Laut (POLAIR dan TNI-AD ) Arbitrasi ditujukan untuk membuka
jalan menuju proses negosiasi (musyawarah kekeluargaan), sedangkan
pelanggaran-pelanggaran (nelayan luar) dalam bidang perikanan diproses secara
adjudikasi. Mekanisme arbitrasi dan adjudikasi diadopsi oleh masyarakat nelayan
Selayar, Kecamatan Bontomatene Kabupaten Kepulauan Selayar karena mereka
sadar bahwa permasalahan tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab masyarakat,
tetapi juga Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar yang turut memiliki
kepentingan pengelolaan sumberdaya.
J. Alternatif Resolusi Konflik
Konflik yang terjadi perairan selat Selayar/Bira Kecamatan Bontomatene
dengan nelayan Ha’lle (Pendatang) terjadi dalam wilayah 2 sampai 4 mil dari
pantai sehingga penyelesainnya menjadi tanggung jawab pemerintah Daerah
Kabupaten Kepulauan Selayar, namun pihak-pihak yang berkonflik melibatkan
nelayan-nelayan yang berasal dari daerah lain, maka Pemerintah Daerah
Provinsi Sulawesi Selatan bertanggung jawab untuk menyelesaikan.
Langkah pemerintah dalam mengatasi dan meredam permasalahan
konflik pengeloalaan perikanan selat Selayar/bira Pemda pemerintah Kabupaten
Selayar mengeluarkan peraturan nomor 10 tahun 2011 tentang Pengelolaan
wilayah pesisir dan dalam penyelesaian sengketa sudah diatur dalam pasal 61
dan pasal 61 tentang penyelesaian sengketa, dalam isi pasal 61 dan 62
menyebutkan bahwa 1.) Penyelesaian sengketa pemanfaatan sumberdaya di
98
wilayah pesisir diupayakan melalui alternatif penyelesaian sengketa berdasarkan
prinsip musyawarah untuk mufakat dan sedangkan pasal 62 menyebutkan 1.)
Dalam hal upaya penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian melalui
pengadilan. Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar dalam
menyelesaikan sengketa/konflik masih menempuh jalur musyawarah. Namun
konflik yang terjadi di wilayah Pesisir melibatkan 2 (dua) daerah maka Pemda
Kabupaten Selayar menggandeng Pemerintah Pusat dan DKP Provinsi.
Dalam mengatasi permasalahan Pengoperaisan Dinas Kelautan dan
Perikanan akan mengefektifkan dan mensosialisasikan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 71/ Permen-KP/2016
Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan Di
wilayah Pengelolaa Perikanan Negara Republik Indonesia sedangkan dalam
mengatasi Pelaku Ilegal Fishing ( penggunaan Bom dan Bius) pemerintah akan
menggunakan tindakan pelanggaran hukum Mengenai Pelarangan Bom dan bius
sudah di atur oleh Pasal 8 ayat satu(1) Pasal 84 ayat satu (1) UU RI No.45
Tahun 2009 terkait perubahan UU RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan
dan penerapan Pasal 85 UU RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan terkait
pelarangan penggunaan Bom ikan dan pasal 92 sub pasal 26 ayat (1) jo pasal
93(1) pasal 27 UU RI no. 45 Tahun 2009 Tentang Penangkapan.
Sedangkan dalam mengatasi permasalahan wilayah antara Nelayan
Selayar dan Nelayan Bulukumba dalam mencegah konflik kedua daerah
tersebut, maka langka yang di lakukan oleh pihak netral oleh Kapolda yaitu
mempertemukan Pemda Selayar dengan salah satu Pemda asal nelayan Ha’lle
(pendatang) yaitu Bulukumba. Dari hasil pertemuan tersebut melahirkan
kesepakatan melalui MoU. Adapun isi MoU tersebut antara lain :
99
a. Setiap nelayan harus memperoleh izin dari pemdanya masing-masing
sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
b. Dalam hal nelayan sebagaimana dimaksud pada point 1, memasuki
kabupaten lain maka nelayan bersangkutan wajib melaporkan diri kepada
Pemda setempat guna memperoleh surat keterangan andon.
c. Nelayan dari kedua belah pihak bebas memasarkan hasil tangkapan
pada salah satu Tempat Pelelangan Ikan (TPI) kedua belah pihak
d. Kedua belah pihak mendukung sepenuhnya tindakan tegas penegak
hukum terhadap setiap perbuatan melanggar hukum.
Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Selayar dan Dinas Kelautan Perikanan
Provinsi Sulawesi Selatan telah melakukan berbagai upaya dalam menangani
permasalahan konflik kenelayaan di perairan Selat Selayar/Bira dan Kecamatan
Bontomatene.
Mengatasi permasalahan pada Pengoperasian jaring Purse Seine (Pukat
Cincin) yang kebanyakan digunakan oleh nelayan Ha’lle (Pendatang) dan
tindakan pelanggaran hukum Mengenai Pelarangan Bom dan bius sudah di atur
oleh Pasal 8 ayat satu(1) Pasal 84 ayat satu (1) UU RI No.45 Tahun 2009 terkait
perubahan UU RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dan penerapan Pasal
85 UU RI Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan terkait pelarangan
penggunaan Bom ikan dan pasal 92 sub pasal 26 ayat (1) jo pasal 93(1) pasal 27
UU RI no. 45 Tahun 2009 Tentang Penangkapan dan Nomor 71/Permen-
KP/2016 tentang jalur penangkapan ikan dan Penempatan alat penangkap ikan
WPPNRI ( Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia).
Sedangkan pengefektifan kelembagaan penenganan konflik kenelayaan
sudah ada intruksi Pemkab Kabupaten Kepulauan Selayar, DKP Kabupaten
Kepulauan Selayar, Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan
100
dan Kapolda melalui program unggulan dan intruksi langsung Kapolres
Kepulauan Selayar.
Terkait pengawasan petugas keamanan laut dalam hal ini
POLAIRUD,TNI-AL,TNI –AD dan Lembaga Masyarakat akan berkoordinasi
dengan petugas keamanan laut asal daerah nelayan Ha’lle (Pendatang) dan
melibatkan masyarakat sedangkan dalam penegakan hukum di laut
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Subbab manajemen konflik, maka
pemecahan masalah konflik pada jalur hukum mengalami banyak kendala dan
selalu gagal. Betapapun sulitnya proses penyelesaian hukum pada bidang
perikanan tangkap, usaha penegakan hukum harus tetap diusahakan seperti
pada bidang pelanggaran lainnya mengingat kepatuhan nelayan terhadap hukum
dan perundangan-undangan masih rendah. Nelayan di Selat Selayar/Bira
umumnya kurang memahami hukum dan peraturan perundang-undangan
termasuk pada bidang perikanan sehingga mereka kurang memahami bahwa
terdapat sanksi dalam hukum dan perundangan-undangan tersebut.
K. Tindakan Pencegahan
Tindakan pencegahan dalam mengurangi terjadinya konflik Kenelayaan di
Selat Selayar/Bira yaitu Perlu peningkatan dalam hal pengawasan dan
penegakan hukum bidang perikanan di laut dengan cara meningkatkan patroli
aparat keamanan laut (Kamla) dan juga penambahan sarana dan prasananya
seperti penambahan kapal pengawas. Terkait dengan penegakan hukum tentang
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 71/
Permen-KP/2016 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat
Penangkapan Ikan Di wilayah Pengelolaa Perikanan Negara Republik Indonesia
perlu ada sosialisasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) asal daerah
maupun daerah tujuan penangkapan nelayan Ha’lle (Pendatang).
101
Sedangkan dalam penetuan jalur-jalur penangkapan sebenarnya sudah
diatur dalam permen nomor 71/KP tahun 2016 Tentang Jalur Penangkapan
Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan Di wilayah Pengelolaa Perikanan
Negara Republik Indonesia. Tapi permasalahan yang di hadapi adalah
pemberian tanda-tanda berupa pelampung pada jalur penangkapan di lautan
sangat rumit selain di pengaruhi oleh alam sendiri ( arus, tenggelam, putus,rusak
dan lain-lain) juga dipengaruhi oleh tindakan-tindakan pihak yang tidak
bertanggug jawab. Tapi penetuan jalur penangkapan bisa dilakukan dengan
menggunakan alat GPS ( Global Positioning System ) sebuah alat atau sistem
yang dapat digunakan untuk menginformasikan penggunanya dimana dia berada
(secara global) di permukaan bumi yang berbasiskan satelit. alat ini dapat
menetukan koordinat pengguna dimana mereka berada. Sehingga penggunaan
GPS bisa diterapkan dan digunakan oleh Pemkab Selayar,Petugas Bulukumba,
Petugas DKP, petugas patroli bahkan nelayan itu sendiri (terutama nelayan
pendatang) dalam menetukan jalur-jalur penangkapan di Selat Selayar/Bira.
Mengenai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 71/ Permen-KP/2016 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan
Alat Penangkapan Ikan Di wilayah Pengelolaa Perikanan Negara Republik
Indonesia, pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar seharusnya mengkaji
terlebih dahulu peraturan Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat
Penangkapan Ikan Di wilayah Pengelolaa Perikanan Negara Republik Indonesia
apakah sudah sesuai dengan penerapanya didaerahnya atau perlu ada
kebijakan pemerintah setempat. Misalnya dalam pasal Pasal 3 tentang Jalur
Penangkapan Ikan dijelaskan secara umum dan pada pasal 4 penjelasan dari
pasal 3 dijelaskan berdasarkan jarak saja. Pemerintah dapat mengkaji pasal 3
dan 4 untuk membuat suatu kebijakan baru di daerah selat Selayar/Bira untuk
mencegah konflik kedepanya. Sedangkan untuk peraturan penggunaan alat
102
tangkap sudah sangat jelas diatur Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor 71/ Permen-KP/2016 2016 Tentang Jalur
Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan Di wilayah
Pengelolaa Perikanan Negara Republik Indonesia.
103
VI. SIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari analisis terhadap hasil temuan di lapangan, maka beberapa hal yang
dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:
1. Proses terjadinya konflik nelayan dan penyebabnya dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan di Selat Bira/Selayar bermula ketika datangnya
nelayan Ha’lle (pendatang) datang melakukan penangkapan daerah
penangkapan nelayan tradisional Selayar, alat tangkap yang digunakan
berbeda sehingga menimbulkan kecemburuan dalam hal pemanfaatan
Sumberdaya alam yang terbatas dan kurangnya pendukung dalam hal
fasiltas perikanan selain itu penegakan dan pengawasan aturan tetang
pengelolaan perikanan belum terlaksana baik.
2. Dalam upaya penyelesaian konflik pemerintah Kabupaten pemerintah
selayar mengeluarkan peraturan Nomor 10 tahun 2011 tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan penyelesaian sengketa sedangkan komunitas nelayan
Pasitanete masih menggunakan mengadakan sistem musyawarah,
Sedangkan mediator dalam upaya upaya penyelesaian konflik yaitu;
Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar (dalam proses konsiliasi
dan rekonsiliasi), Polsek Selayar, Koramil Selayar, aparat (Satpol-Airud dan
TNI-AL).
C. Saran
Dari hasil analisis terhadap penyelesaian konflik kenelayanan di
Kecamatan Bontomatene Desa Menara Indah Pulau Pasitenete dalam usaha
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan Selat Selayar/Bira maka
104
untuk menghindari dampak buruk adanya konflik, rekomendasi yang dapat
diajukan yaitu;
1. Perlu peningkatan dalam hal pengawasan dan penegakan hukum bidang
perikanan di laut dengan cara meningkatkan patroli aparat keamanan laut
dan juga penambahan sarana dan prasananya seperti penambahan kapal
pengawas.
2. Perlu ada modernisasi alat seperti pengadaan GPS dan penetuan jalur-jalur
penangkapan terutama bagi nelayan-nelayan Ha’lle (pendatang dalam hal
ini pengguna penangkapan jalur II dan begitu pun juga keamanan laut
sehingga pengawasan monitoring lebih efektif.
3. Perlu penguatan kelembagaan (management body) pengelolaan
pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat Selayar/Bira dan dibentuknya
kelembagaan ekonomi masyarakat nelayan. Langkah atau kebijakan yang
dapat ditempuh dalam penguatan kelembagaan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya perikanan di Selat Selayar/Bira yaitu; penguatan
kerjasama kelembagaan antar Kabupaten/Kota, penetapan armada dan
kuota penangkapan, realokasi wilayah penangkapan. Sedangkan
pembentukan kelembagaan ekonomi masyarakat nelayan dapat ditempuh
melalui pemberdayaan dengan cara pemberian pinjaman modal yang
ditujukan untuk alternatif usaha selain usaha penangkapan, seperti usaha
pengolahan ikan dan budidaya
DAFTAR PUSTAKA
Adhuri D.S, Wahyono Ary, Indrawasih Ratna, editor. 2005. Fishing in, Fishing out : Memahami Konflik-Konflik Kenelayanan di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur. Ed ke-1. Jakarta : LIPI Press.
Charles A.T. 2001. Fishery Conflict and the Co-management Approach. Di
dalam: Tony J. Pitcher, editor. Sustainable Fishery Systems. Canada:
University of British Columbia. hlm. 250-276.
COREMAP II Kepulauan Selayar. 2011. Monitoring Daerah Perlindungan Laut di
Kepulauan Selayar. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Selayar.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Selayar. 2012-2016.
Data Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten Kepulauan Selayar
untuk Tahun 2011-2015. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Kepulauan Selayar.
Fisher S, D. I. Abdi, J. Ludin, R. Smith, S. Williams. 2000. Mengelola Konflik :
Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Kartikasari, S. N, M. D.
Lapilatu, R. Maharani dan D. N. Rini [Penterjemah]. Jakarta : The British
Council.
J. G. Starke. 2007. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: PT. Sinar Grafi
Kartono, Kartini. 1996. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Cet. 7. Ed. 3. Jakarta.
Mandar Maju.
Kinseng, A. Rilus, 2014, Konflik Nelayan, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Kusnadi. 2000. Nelayan Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora
Utama Press. Bandung.
Mallawa, A. Najamuddin, Zainuddin, M., Musbir, Safruddin, dan Fahrul. 2006. Studi
Pendugaan Potensi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Selayar. Kerjasama Litbang Kabupaten Selayar. Selayar
Maskanah Siti, Fuad Faisal. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan
Sumber Daya Hutan. Bogor : Pustaka LATIN.
Miles, M. B. dan Huberman, A. M. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
Tentang Metode-Metode Bar. Jakarta: UIPres
Mitchell Bruce, B. Setiawan, Dwita H. Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya
dan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Rizal Darmaputra. 2009. Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor
Keamanan. Jakarta: IDSPS Press.
Rudianto. 2004. Analisis Konflik Pemanfaatan Lahan Wilayah Pesisir (Studi
Kasus Pantai Utara Jakarta) [ Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
NWG EAFM. 2014. Modul Penilaian Indikator untuk Perikanan dengan
Pendekatan Ekosistem. National Working Group on Ecosystem
Approach to Fisheries Management, Direktorat Sumberdaya Ikan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta.
Saad Sudirman. 2003. Politik Hukum dan Kelembagaan Indonesia. Jakarta :
Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat.
Sanderson, K. Stephen, 2011, Makrososiologi Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosiologi, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Satria A. 2001. Dinamika Modernisasi Perikanan, Formasi Sosial dan MobilitasNelayan. Bandung : HUP.
. 2002a. Menuju Desentralisasi Pengelolaan Kelautan. Jakarta. Pustaka
Cidesindo. 210 hal.
. 2002b. Acuan Singkat Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya
Perikanan. Jakarta. Pustaka Cidesindo. 96 hal.
. 2003. Konflik Nelayan Pasca Otonomi Daerah. Kagoshima, in press.
. 2006. Konflik Nelayan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.
[Paper]. Disampaikan pada Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan
Sumberdaya Ikan, DKP, Manado, 7-9 Desember 2006.
Sitorus MT Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Bogor : DOKIS.
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Soekanto Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ke 33 Tahun 2002.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Wijardjo, B., Malik, I., Fauzi, N., Royo, A. 2001. Konflik. Bahaya atau Peluang.
Panduan Latihan Menghadapi dan Menangani Konflik Sumberdaya Alam.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Informan
No Nama
Umur (Tahun)
Jenis Kelamin
Pekerjaan Utama
Pekerjaan Sampingan
Tempat Tinggal
Jumlah Tanggunga
n (orang)
1 Pattadaeng
52 Laki-laki Nelayan Kepala Lingkungan
Pulau Pasitaete 4
2 Dg. Salim 45 Laki-laki Nelayan _ Pulau Pasitaete 3
3 Muh. Ali 55 Laki-laki Nelayan Aparat Desa Pulau Pasitaete 2
4 Dg. Makmur 49 Laki-laki Nelayan _ Pulau Pasitaete 4
5 Dg. Suardi 53 Laki-laki Nelayan _ Pulau Pasitaete 2
6 Dg. Patong 49 Laki-laki Nelayan _ Pulau Pasitaete 2
7 Dg. Syaha 47 Laki-laki Nelayan _ Pulau Pasitaete 3
8 Dg. Ngasi 54 Laki-laki Nelayan - Pulau Pasitaete 1
9 Dg. Atto 57 Laki-laki Nelayan - Pulau Pasitaete 2
10 Dg. Takim
58 Laki-laki Nelayan - Pulau Pasitaete 5
11 Dg. Risman
55 Laki-laki Nelayan Kepala Lingkungan
Pulau Pasitaete 3
12
Pak Edi
39 Laki-laki Babinsa - Desa Bungaia 1
13
Ust. Abd. Bahar
52 Laki-laki Nelayan Imam Desa Pulau Pasitaete 4
14
Pak Bakrianto
48 Laki-laki Bimas ( Polisi)
- Desa Bungaia 2
15
Dg. Salamiris
49 Laki-laki Nelayan Badan Permusyarawatan
Desa
Pulau Pasitaete 3
16 Mansur Gau
52 Laki-laki Patonggkolo - Pulau burunglohe (Sinjai) 3
17 Ambo Tuo 49 Laki-laki Patonggkolo - Pulau Liang-Liang ( sinjai )
4
18 Muh. Safri
45 Laki-laki Nelayan - Tana Beru BontoBahari(bulukumba)
1
19 Gaffare 41 Laki-laki Nelayan Budidaya Rumput laut
Pulau Liang-Liang (sinjai ) 2
20 Rustan
38 Laki-laki Nelayan - Bulukumba (Ela-Ela) 1
Formasi daerah penangkapan ikan yang potensial berdasarkan suhu optimum
permukaan laut untuk ikan cakalang di sekitar Perairan Kabupaten Selayar. (Mukti
Zainuddin 2006)
Formasi daerah penangkapan ikan yang potensial berdasarkan suhu optimum
permukaan laut untuk ikan Layang di sekitar Perairan Kabupaten Selayar. (Mukti
Zainuddin 2006)
Lokasi Konflik Nelayan Secara Umum di Kabupaten Kep. Selayar
lokasi Konflik Nelayan Di Perairan Selayar/Bira
Alat Tangkap Bedasarkan Wilayah Penangkapanya
Kapal Nelayan Ha’lle (Pendatang)
Kapal tangkap (jollorro)
Alat Penangkapan Jaring Insang ( Gil Net )
alat Penangkapan Jaring Insang ( Gil Net )
Wawancara Dengan Informan
Wawancara dengan Informan
Hasil Tangkapan Nelayan
Hasil Tangkapan Nelayan
Recommended