otopsi viraaaaaa

Preview:

Citation preview

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis

dapat menyelesaikan penyusunan laporan yang berjudul “Virtual Otopsi”.Laporan ini dibuat

guna memenuhi salah satu syarat tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu kedokteran Forensik

FK UNDIP.

Referat ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam rangka

menyelesaikan program pendidikan profesi dokter pada bagian Ilmu Kedokteran Forensik

Fakultas kedokteran Universitas Diponegoro.

Dalam usaha penyelesaian ini, kami banyak memeperoleh bimbingan dan dorongan dari

berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu kami ingin

menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. dr. Bambang L. Prameng Sp.F selaku pembimbing dalam penulisan laporan selama

berada di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik.

2. dr. M. Faizal Zulkarnaen, selaku pembimbing dalam penulisan laporan selama berada

di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik

Akhir kata semoga referat ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Semarang, Januari 2012

Penyusun

1

DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1

Daftar Isi 2

Daftar Gambar 3

Daftar Tabel 4

Bab I Pendahuluan

Latar Belakang 5

Rumusan Masalah 7

Tujuan Penulisan 8

Bab II Tinjauan Pustaka

Definisi Otopsi 9

Sejarah Otopsi 9

Penolakan Otopsi Konvensional 10

Definisi Otopsi Virtual 11

Teknik Otopsi Virtual 12

Akurasi Otopsi Virtual 16

Otopsi Virtual vs Otopsi Konvensional 22

Keuntungan dan Kerugian Otopsi Virtual 24

Dasar Hukum Otopsi Virtual 26

Bab III Penutup

Kesimpulan 34

Saran 35

2

Daftar Pustaka 36

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 13

Gambar 2. 14

Gambar 3. 16

Gambar 4. Herniasi Tonsil dengan Pemeriksaan (a) MRI, (b) Otopsi Konvensional 17

Gambar 5. Perdarahan Intamedular pada Medulla Oblongata dengan Pemeriksaan (a)

MRI, (b) Otopsi Konvensinal, (c) Histopatologi H&E x400

18

18

Gambar 6. I. Acute Myocardial Infarction, (A) MRI, (B) Histologi: Nekrosis Sentral

pada Lesi dengan Serat-Serat Eoshinophilik tanpa Inti dan terdapat Contraction Band

Necrosis. H$E x400 II.Chronic Myocardial Infarction, (A,B,C) MRI, (D)

Makropatologi, (E&F) Histologi. H&E x 100

20

Gambar 7.A. Sedimentasi Aspirasi, B. Histologi, H&E x 400 (1).Bronkospasme,

Emfisema; (2).Paru-paru Normal.

21

3

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Temuan Hasil Pemeriksaan Radiologi dengan Hasil Temuan Otopsi

Konvensional

19

Tabel 2. Kemampuan Mendeteksi Trauma antara Otopsi dan PMCT 22

4

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pada periode-periode awal, pemeriksaan otopsi merupakan hal penting dalam dunia

kedokteran.Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan

terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya

cedera, melakukan` interpretasi atau penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab

kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan

penyebab kematian.1

Pemeriksaan otopsi akhir-akhir ini lebih banyak untuk kepentingan peradilan (otopsi

medikolegal atau otopsi forensik) dibandingkan untuk pembelajaran penyakit (otopsi klinik).

Pusat-pusat pendidikan kedokteran dan rumah-rumah sakit sangat jarang melakukan otopsi

klinik. Di Inggris kurang dari 10 % pemeriksaan otopsi yang dilakukan diluar sistem coroner,

5

begitu juga di Indonesia, fakultas kedokteran jarang melakukan otopsi klinik.Banyak alasan

mengapa penurunan ini terjadi, diantaranya karena masalah agama dan budaya, biaya

pemeriksaan yang tinggi, ketakutan keluarga dan dokter mengetahui sebab kematian yang pasti.

Di Inggris tahun 1999-2000 kurang lebih 23 % kematian post operatif terrnyata diagnosis

premortem berbeda dengan diagnosis postmortem. Hal ini menyebabkan ketakutan bagi dokter

karena dapat dituntut telah melakukan malpraktek.1,2

Di RSUP Dr. Kariadi Semarang pemeriksaan otopsi yang sering dilakukan adalah otopsi

forensik. Permintaan pemeriksaan Visum Et Repertum Jenazah di rumah sakit ini tahun 2005

terdapat 206 kasus, tahun 2006 sebanyak 190 kasus, tahun 2007 sebanyak 193 kasus. Dari

permintaan tersebut sebagian besar hanya meminta pemeriksaan luar saja, sedangkan permintaan

pemeriksaan lengkap, baik pemeriksaan luar dan dalam (otopsi) yaitu tahun 2005 sebanyak 38

kasus, tahun 2006 sebanyak 41 kasus dan 2007 sebanyak 22 kasus.1

Beragamnya jenis kasus yang dihadapi memerlukan teknik pemeriksaan otopsi tersendiri.

Seorang dokter perlu mengetahui berbagai macam teknik otopsi karena akan mempermudah

tugasnya dalam melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan akan menjadi lebih teliti sehingga dapat

menyimpulkan sebab kematian dengan lebih baik.1

Salah satu jenis pemeriksaan nya ada di beberapa negara berkembang, dimana radiografi

menjadi hal yang langka bagi kehidupan pasien, dan beberapa standar bantuan terhadap ahli

patologi yang tidak dapat diharapkan. Dalam konsepsi yang lebih besar, negara-negara kaya,

selalu menelaah masalah ini secara benar, disini adanya mobilisasi peralatan atau perlengkapan

yang tersedia dan kadang-kadang digunakan oleh ahli patologi forensik.2

Pada otopsi virtual tidak memerlukan tindakan (pemotongan) jaringan tubuh, melainkan

menggunakan alat-alat diagnostik canggih untuk melihat kelainan yang terjadi dalam organ-

6

organ dalam. Teknik pemindaian canggih sebenarnya sudah mulai digunakan dalam proses

melakukan otopsi sejak tahun 1977 dan terus berkembang sampai sekarang. Pada otopsi virtual

tidak diperlukan pembukaan rongga-rongga badan dan maupun pemotongan jaringan tubuh.

Dengan menggunaan teknik pemindaian yang memungkinkan melihat secara komplet keadaan

tubuh dalam 3 dimensi, semua informasi yang penting seperti posisi dan ukuran luka maupun

keadaan patologis lainnya dapat diketahui dan didokumentasikan tanpa harus melakukan

tindakan invasif.3

“3D virtual autopsy table” adalah alat visualisasi medis yang unik dan baru, dimana

dapat memungkinkan orang untuk mengeksplorasi dalam tubuh manusia. Beberapa pengguna

dapat berinteraksi secara kolaboratif dan secara bersamaan, bekerja dengan data yang besar dan

kompleks untuk memperoleh lebih pemahaman dan wawasan ke dalam fungsi dan proses di

dalam tubuh. Virtual otopsi sudah dimanfaatkan berhasil untuk melengkapi autopsi

konvensional. Itu membagi-bagikan dengan kebutuhan untuk prosedur bedah invasif yang

memungkinkan ahli medis untuk melihat hal-hal yang akan sulit untuk menemukan dengan

metode konvensional. Teknik juga dapat diterapkan dalam banyak bidang kesehatan dan praktek

medis. “3D virtual autopsy table” juga sedang digunakan untuk mendidik mahasiswa kedokteran

tentang anatomi manusia tanpa memerlukan mayat. Hal ini juga membantu untuk perencanaan

operasi.Tim medis dapat memutuskan pada strategi bedah terbaik untuk kasus individual

sebelum membuat pertama dipotong. Pencitraan postmortem bukanlah hal yang baru, tetapi

dengan 3D pencitraan itu telah membuatnya menjadi lebih berlaku untuk Kedokteran forensik.4

Diduga banyak ditemukan keuntungan dari teknologi yang baru yaitu “3D virtual

autopsy table” yang belum ada di Indonesia, maka dengan ini kami mengambil kasus “3D

virtual autopsy table” sebagai judul refarat kami.

7

Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari otopsi virtual?

2. Apakah keuntungan dan kerugian dari otopsi virtual?

3. Bagaimanakah dasar hukum dari otopsi virtual di Indonesia?

Tujuan Penulisan

Tujuan Umum

Tujuan umum dari pembuatan referat ini adalah untuk memberikan pengetahuan mengenai

otopsi virtual kepada tenaga medis khususnya dokter dan calon dokter.

Tujuan Khusus

1. Mengetahui pengertian dari otopsi virtual

2. Mengetahui keuntungan dan kerugian dari otopsi virtual

3. Mengetahui dasar hukum dari otopsi virtual

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Otopsi

Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, Autopsi berasal kata dari Auto =

sendiri dan Opsis = melihat.yang meliputi pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam,

dengan tujuan menemukan proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atau

penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan sebab

akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian.

Sejarah Otopsi

Ahli anatomi dan patologi zaman dahulu dahulu adalah pemburu,penjual daging, dan

koki yang harus mengenali organ-organ dan menentukan organ tersebut dapat digunakan atau

tidak. Di zaman Babylonia kuno, sekitar 3500 SM, pelaksanaan otopsi pada hewan bertujuan

9

Charles
Cross-Out

untuk kepentigan mistik seperti memprediksi masa depan degan berkomunikasidengan kekuatan

gaib. Bangsa Mesir, Yunani, Romawi dan Eropa melakukan pembedahan hewan selain untuk

alasan keagamaan juga untuk mempelajari susunan anatominya, namun hal ini tidak dilakukan

secara sistemik.

Pada zaman Yunani kuno (131-200 SM) Galen, seorang filsuf yang sangat dihormati,

berkuasa dan mempunyai pemikiran yang mendominasi bahkan sampai ratusan tahun kemudian,

melakukan pembedahan binatang dan manusia untuk mempelajari susunan anatominya.

Sikap umum masyarakat sebelum abad ke-17 terhadap otopsi tubuh manusia adalah

negatif.Pada sekitar akhir tahun 1200, Fakultas Hukum Universitas Bologan mempunyai

dominasi yang besar, memerintahkan dilakukan otopsi untuk membantu memecahkan masalah-

masalah hukum.Pada akhir tahun 1400 Paus Sixtus IV mengeluarkan aturan yang mengizinkan

pembedahan tubuh manusia oleh mahasiswa kedokteran untuk pendidikan.Sebelum aturan dari

pemimpin agama tersebut dikeluarkan, pembedahan tubuh manusia termasuk tindakan kejahatan.

Pada tahun 1500, otopsi secara umum diterima oleh Gereja Katolik, sehingga

pemeriksaan terhadap anatomi tubuh manusia dapat dilakukan secara sistemik. Sementara itu

beberapa ahli saat itu, seperti Vesalius (1514-1564), Pare (1510-1590), Lancisi (1654-1720), dan

Boerheave (1668-1771) mengembangkan otopsi, Giovanni Bathista Morgagni (1682-1771)

dianggap ahli otopsi pertama terhebat. Selama observasinya selama 60 tahun, Morgagni

menegaskan hubungan antara penemuan patologi dengan gejala klinis, hal ini menandai pertama

kalinya otopsi menyumbang banyak dalam ilmu kedokteran untuk memahami penyakit.Di

Jerman seorang ahli patologi Rudolph Virchow (1821-1902).Ia mempertimbangkan pemeriksaan

mokroskopis sebagai pelengkap pemeriksaan otopsinya. Virchow mengembangkan doktrin yang

menyatakan keadaan patologi seluler adalah dasar penyakit.Dalam banyak hal, Virchow dapat

10

dianggap ahli biologi molekular pertama. Di bawah kepemimpinan Virchow, Berlin

menggantikan Vienna sebagai pusat utama pendidikan kedokteran.

Penolakan Otopsi Konvensional

Pada kenyataannya, pelaksanaan otopsi terhadap korban mati tidak semulus yang kita

bayangkan.Penolakan oleh keluarga korban merupakan salah satu kendala yang paling banyak

ditemukan.Isu utama penolakan oleh keluarga ini pada umumnya adalah alasan agama atau

kepercayaannya, alasan kemanusiaan, organ atau jaringan organ diambil dan dijual, atau organ

dan jenazahnya dipakai praktikum oleh mahasiswa kedokteran.Di samping isu-isu di atas, biaya

pemeriksaan dan urusan administratif yang berbelit-belit juga menjadi alasan penolakan otopsi.

Penolakan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi juga terjadi di beberapa negara

maju yang secara adat istiadat serta budayanya berbeda. Terjadi penurunan angka yang signikan

terhadap jumlah jenazah yang diotopsi secara konvensional.Dalam tiga dekade terakhir terjadi

penurunan jumlah jenazah yang di otopsi yaitu 40-50% dari seluruh dunia. Di Amerika jumlah

jenazah yang otopsi menurun dari 40% pada tahun 1960’s menjadi sekitar 5-20% saja dari

seluruh jenazah yang seharusnya dilakukan otopsi. Sementara itu di Australia juga terjadi

fenomena yang sama, dari 40% pada tahun 2000 menjadi 10% pada tahun 2001. Alasan

penolakan yang dikemukan dari pihak keluarga kurang lebih sama dengan yang terjadi di

Indonesia, namun yang menarik adalah ternyata dokter yang melakukan otopsi juga mempunyai

alasan tersendiri untuk “menghindari” melakukan otopsi yaitu dokter merasa tidak nyaman saat

meminta persetujuan kepada keluarga, mayat tidak dapat segera diserahkan kepada pihak

kelurga, risiko penularan kuman patogen dan ketakutan akan tuntutan malpraktik juga menjadi

bahan pertimbangan dokter dalam melakukan otopsi.

11

Definisi Otopsi Virtual

Otopsi virtual adalah penambahan cara yang baru untuk otopsi dengan melakukan

pencitraan postmortem, dalam versi 3 dimensi, menggunakan Computed Tomography (CT) scan

mayat dan teknik-teknik Direct Volume Rendering (DVR). Ada beberapa alasan meningkatnya

minat dan ketertarikan pada otopsi virtual.Pertama, otopsi virtual dapat melengkapi standar

otopsi yang memungkinkan pemeriksaan yang luas dan sistematis terhadap seluruh tubuh yang

biasanya sulit dan memakan waktu misalnya, pemeriksaan dari struktur seluruh tulang atau

mencari keberadaan air dalam tubuh.Beberapa studi menunjukkan potensi besar pencitraan

postmortem dalam penyelidikan forensik.Dalam masyarakat multikulturalotopsi sering ditolak

oleh anggota keluarga terutama karena alasan agama.Namun masih dibutuhkan penelitian medis

yang signifikan menuju pada pendirian prosedur dan protokol untuk otopsi virtual sehingga dapat

dipakai secara luas.Yang paling mencolok dari otopsi virtual adalah besarnya jumlah data yang

terambil. Virtual otopsi dengan menggunakan Multi Detector Computed Tomography (MDCT),

dapat mengambil hingga 8000 gambar secara rutin yang akan dibangun kembali.

Teknik Otopsi Virtual

Berbeda halnya dengan otopsi konvensional, pada otopsi virtual tidak memerlukan

diseksi (pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan alat-alat diagnostik canggih

untuk melihat kelainan yang terjadi dalam organ-organ dalam. Teknik pemindaian canggih

sebenarnya sudah mulai digunakan dalam proses melakukan otopsi sejak tahun 1977. Hal terus

berkembang sampai sekarang, pada tahun 1990 sudah mulai digunakan radiografi 3 dimensi

dalam pemeriksaan post mortem. Pada otopsi virtual tidak diperlukan pembukaan rongga-rongga

12

badan dan maupun pemotongan jaringan tubuh.Dengan menggunaan teknik pemindaian yang

memungkinkan melihat secara utuh keadaan tubuh dalam 3 dimensi, semua informasi yang

penting seperti posisi dan ukuran luka maupun keadaan patologis lainnya dapat diketahui dan

didokumentasikan tanpa harus melakukan tindakan invasif.Teknik ini diyakini menjadi alasan

untuk menghindari alasan-alasan penolakan otopsi konvensional.

Gambar 1.

Dalam otopsi virtual menggunakan beberapa peralatan pemindaian canggih yang saling

melengkapi yaitu:

1. Pemindaan permukaan 3-D yang didesain untuk pemetaan tubuh bagian luar. Penggunaan

alat ini dapat memberikan informasi dan menyimpan gambaran area permukaan secara

detil. Karena orang tersebut sudah meninggal, ahli radiologi dapat menggunakan jumlah

maksimum radiasi, dalam resolusii tinggi, setiap detail kulit, daging, tulang, dan benda

asing. Dalam waktu kurang dari 15 menit memindai tubuh jenazah menjadi tubuh jenazah

13

menjadi gambaran tubuh virtual dapat menghasilkan data informasi data informasi

sampai enam gigabit;

2. Multi-slice computed tomography (MSCT)

3. Magnetic resonance imaging (MRI), yang akan dapat memvisualisasikan tubuh bagian

dalam, sehingga dapat diperiksa secara detil setiap potongan bagian tubuh.

4. The 3-D Virtual Autopsy Table

Selain itu, dengan menggunakan MRI spectroscopy, perkiraan saat kematian dapat

diperkirakan melalui pengukuran kadar metabolit dalam otak. Dan untuk sampel pemeriksan

histopatologi forensik juga dapat diambil melalui CT guided needle biopsy. Visualisasi sistem

sirkulasi digunakan postmortem angiography.

Tabel otopsi virtual telah dikembangkan oleh kerjasama Norrköping Visualization

Centerin cooperation dengan Center for Medical Image Science and Visualization dan

menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah digunakan dalam investigasi criminal

dunia nyata untuk melengkapi otopsi konvensional. Pelopor Swiss teknologi ini telah

mematenkan dengan merek dagang Virtopsy untuk menggambarkan rekonstruksi yang unik

dengan menggabungkan metode pencitraan dengan CT-scan, MRI, angiografi dan biopsi

postmortem dan biopsi, dengan aplikasi software yang dikembangkan oleh perusahaan tersebut.

14

Gambar 2.

Virtopsy telah diperkenalkan dalam pameran “Visible Proofs: Forensic Views of the

Body” di the National Library of Medicine pada tanggal 16 Februari 2008.

Peneliti Swedia telah mengembangkan software pada layar sentuh The Interactive 3-D

Virtual Autopsy Table yang memungkinkan pemeriksa untuk merepresentaskan tubuh jenazah

secara virtual dengan sangat rinci dari berbagai sudut pandang. Dari data scan tubuh jenazah

yang tersedia yang dimasukkan ke dalam program pada The Interactive 3-D Virtual Autopsy

Table, pemeriksa dapat menghapus lapisan demi lapisan tubuh seperti kulit dan otot, menambah

atau menghapus jaringan dan sistem peredaran darah, memperbesar dan memperkecil dan

memotong bagian-bagian tubuh menggunakan pisau virtual.

Tubuh korban akan ditempatkan pada meja pemeriksaan di bawah scanner CT dan/atau

mesin MRI dan diproses menggunakan software yang dikembangkan oleh apra peneliti. CT scan

hanya membutuhkan waktu 20 detik dan menampilkan tulang, gas dan benda asing dalam

tubuh.Sebuah teknik khusus yang dikembangkan dikenal sebagai MRI sintesis kuantitatif

memungkinkan untuk pemindaian mayat dan menyediakan data pada jaringan lunak. Software

15

ini mengubah lapis demi lapis data set yang disediakan oleh scan dan membangun visualisasi

virtual 3D dari tubuh jenazah.

Visualisasi ini memungkinkan penguji untuk melihat tubuh secara rinci

mikroskopis.Terjadi di dalam tubuh adalah hanya masalah menghilangkan kulit virtual dan

lapisan otot untuk mengungkapkan kerangka dan organ dengan menggunakan pisau virtual atau

mengatur transparasi lapisan tubuh.

Gambar 3.

Akurasi Otopsi Virtual

Sejak berkembangnya otopsi virtual yang dimotori oleh Richard Dirnhofer, banyak para

peneliti melakukan penelitianpenelitian yang berkaitan dengan otopsi virtual ini.Titik perhatian

utama para peneliti adalah seberapa akurat otopsi virtual dibandingkan dengan otopsi

konvensional.Hal ini untuk menjawab tantangan alasan-alasan penolakan sebagaimana yang

tertulis pada awal tulisan ini.Berikut penulis paparkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan

dalam 5 tahun terakhir. Tidak semua hasil penelitian dapat penulis paparkan dalam makalah ini,

16

penelitian yang akan dipaparkan adalah apabila penelitian tersebut membandingkan antara otopsi

virtual dan otopsi konvensional. Kasus yang dipilih adalah kekerasan pada kepala dan leher,

Sudden Death in Infant and Children, Infarct Myocard, tenggelam, dan trauma.

Kekerasan pada Kepala dan Leher

Pada penelitian yang dilakukan oleh Aghayev et al membuktikan bahwa dengan

menggunakan MSCT dan MRI, terjadi herniasi tonsil pada 3 pasien yang meninggal karena

kekerasan pada kepala.Dan hasil yang mereka temukan kemudian dikonfirmasi dengan otopsi

konvensional. Baik hasil pemeriksaan dengan MSCT, MRI maupun otopsi konvensional

didapatkan hasil sama. (Gambar 4).Dalam penelitian ini mereka merekomendasikan penggunaan

kombinasi antara MSCT dan MRI, karena dengan CT seringkali dipengaruhi oleh artefak tulang

dan efek volume parsial.

17

Gambar 4. Herniasi Tonsil dengan Pemeriksaan (a) MRI, (b) Otopsi Konvensional

Sementara itu penelitian yang dilakukan di Switzerland, sebab kematian dapat ditegakkan

3 dari 5 kasus yang mereka teliti dengan menggunakan MSCT dan MRI sebelum dilakukan

otopsi konvensional. Hasil lain dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa kemampuan dari

MRI untuk mendeteksi adanya perdarahan intramedular dari 3 kasus yang sesuai dengan hasil

pemeriksaan histopatologi. (Gambar 5).

18

Gambar 5. Perdarahan Intamedular pada Medulla Oblongata dengan Pemeriksaan (a) MRI, (b) Otopsi Konvensinal, (c) Histopatologi H&E x400

Sudden Death in Infant and Children

Penelitian di Jepang, menunjukkan bahwa pemeriksaan Post Mortem Computed

Tomography (PMCT) dengan menggunakan MRI dan MSCT berperanan penting dalam

mendiagnosis kasus-kasus kematian mendadak pada bayi dan anak-anak. Penyebab pasti dari

kematian mendadak yang terjadi pada anak-anak sebaiknya dilakukan pemeriksaan PMCT dan

pemeriksaan lainnya seperti riwayat penyakit, laboratorium dan kultur bakteri. Dari 15 pasien

yang meninggal secara mendadak, 2 kasus dilakukan otopsi konvensional dan hasil otopsi sesuai

dengan hasil PMCT sebelum dilakukan otopsi.Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian di

Norwegia, terdapat perbedaan hasil yang nyata antara temuan radiologi dibandingkan temuan

otopsi konvensional. Angka kesalahan antara pemeriksaan radiologi dengan temuan otopsi

konvensional berkisar antara 57,14% - 66,67%. (Tabel 1)

19

Tabel 1. Temuan Hasil Pemeriksaan Radiologi dengan Hasil Temuan Otopsi Konvensional

Myocardial Infarct

Penelitian otopsi virtual juga dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya infarct

myocard.Penelitian dilakukan di Switzerland dengan MRI yang hasilnya kemudian dikofirmasi

dengan pemeriksaan histologi.Dari hasil penelitian itu didapatkan bahwa baik MRI maupun

pemeriksaan histologi tidak mampu mendiagnosis peracute infarct myocard.Sementara itu untuk

keadaan subacute, acute dan chronic dapat dideteksi dengan baik oleh MRI dan hasilnya sesuai

dengan hasil histopatologi sesuai dengan fase infarct yang terjadi.(Gambar 6).

20

Gambar 6. I. Acute Myocardial Infarction, (A) MRI, (B) Histologi: Nekrosis Sentral pada Lesi dengan Serat-Serat Eoshinophilik tanpa Inti dan terdapat Contraction

Band Necrosis. H$E x400 II.Chronic Myocardial Infarction, (A,B,C) MRI, (D) Makropatologi, (E&F) Histologi. H&E x 100

Keadaan seperti yang terlihat pada gambar 3 merupakan keadaan yang penting bagi

forensik sebagai penyebab kematian akibat berlanjutnya penurunan fraksi ejeksi yang

menyebabkan insufisiensi jantung akut atau oleh letal ventrikular takikardi.

Tenggelam

Temuan otopsi pada tenggelam adalah ditemukan adanya lumpur/pasir atau cairan tempat

di mana korban tenggelam dalam saluran nafas atau paru, paru-paru yang menggembung dan

kongesti, cairan dalam sinus paranasal, lambung dan dilatasi paru-paru kanan dan pembuluh

darah vena. Tanda-tanda tersebut merupakan variabel-variabel yang diteliti dengan

menggunakan MRI dan kemudian dikonfirmasi dengan temuan otopsi pada penelitian yang

21

dilakukan oleh Levy et al. Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa adanya sedimentasi pada

trachea dan percabangan bronkus utama (93%), cairan di dalam sel mastoid (100%), cairan

dalam sinus paranasal (25%) dan 89% paru-paru dengan gambaran ground-glass. Sementara itu

89% lambung korban mengalami distensi. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian di

Switzerland14, meskipun pada penelitian ini mereka menggunakan MSCT. Kedua penelitian ini

menunjukkan bahwa dengan menggunakan MRI maupun MSCT hasil yang didapat tidak jauh

berbeda dengan hasil temuan otopsi dan histopatologi.(Gambar 7).

Gambar 7.A. Sedimentasi Aspirasi, B. Histologi, H&E x 400 (1).Bronkospasme, Emfisema; (2).Paru-paru Normal.

Trauma

Trauma tumpul merupakan jenis trauma yang paling sering menyebabkan kematian.

Tulang yang paling sering terkena berturut-turut adalah tulang iga (72,3%), kepala (55,15%),

wajah (49,4 %), tibia (37,9%) dan pelvis (36%). Sementara itu organ dalam yang paling sering

22

mengalami laserasi akibat kekerasan tumpul adalah liver (48,1%), paru (37,6%), jantung (35,6%)

dan lien (30,1%). Dilakukan penelitian di Israel dengan cara membandingkan otopsi virtual

(PMCT) dengan otopsi konvensional dengan tujuan untuk menilai keakuratan dari PMCT dalam

mendiagnosis trauma. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tabel terlihat

bahwa PMCT memiliki kelemahan dalam mendeteksi kelainan yang terdapat pada lesi

superfisial, paru, jantung serta solid organ, akan tetapi memiliki kemampuan yang baik dalam

mendeteksi adanya gas dalam rongga tubuh.

Tabel 2. Kemampuan Mendeteksi Trauma antara Otopsi dan PMCT

Otopsi Virtual vs Otopsi Konvensional

Otopsi virtual berawal dari penolakan yang kuat dari masyarakat akan otopsi

konvensional dan juga perkembangan yang amat pesat dalam medical imaging. Dunia

kedokteran khususnya ilmu kedokteran forensik senantiasa mengikuti perkembangan dalam

konteks keilmuannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa otopsi virtual telah membawa angin segar

23

terutama dalam menyelesaikan kasus-kasus tertentu. Pada satu sisi otopsi virtual lebih baik jika

dibandingkan otopsi konvensional dalam menegakkan diagnosis untuk kepentingan klinis, akan

tidak untuk kepentingan medikolegal. Penelitian demi penelitian terus berlangsung sampai saat

ini untuk mencoba mengatasi kekurangan-kekurangan dalam otopsi virtual.Untuk Indonesia,

penerimaan otopsi virtual sebagai pengganti otopsi konvensional tidaklah serta merta dapat

diterima. Dengan adat ketimuran, masyarakat yang religious seperti otopsi virtual merupakan

angin segar untuk mengatasi permasalahan penolakan otopsi konvensional. Namun harus diingat

bahwa banyak hal yang harus kita bahas menyakut penerimaan otopsi virtual di Indonesia. Hal-

hal yang harus kita pertimbangkan antara lain adalah:

a. Cost and benefit dari otopsi virtual juga harus mendapat pertimbangan. Otopsi virtual

efektif dalam studi mengenai luka terutama akibat tembakan senjata api, karena dapat

dipelajari apa yang terjadi tanpa merusak struktur tubuh. Mayat tidak ditahan lama dan

relatif lebih dapat diterima oleh pihak keluarga karena tidak dibutuhkan pisau bedah serta

tidak harus memotong tubuh. Belum cukupnya data yang membuktikan bahwa otopsi

virtual lebih unggul dari otopsi konvensional, tidak mungkin dapat melihat dengan jelas

kelainan patologi yang ada dengan otopsi virtual, tidak dapat memberikan data status

infeksi, tidak dapat membedakan antara luka antemortem dengan luka postmortem, sulit

membedakan artefak postmortem, sulit membedakan perubahan warna organ, jaringan

kecil mungkin saja terlewatkan.

b. Masalah biaya. Bila kita memperhatikan teknik otopsi virtual, maka akan dibutuhkan

biaya yang amat besar dan alat-alat untuk melakukan otopsi virtual tidak tersedia pada

setiap rumah sakit di Indonesia.

c. Otopsi virtual juga memiliki bias dalam mendiagnosis.

24

d. Otopsi virtual tidak dapat mendeteksi kematian akibat keracunan dan hal-hal yang

berhubungan dengan penyalahgunaan obat, hal yang paling baik adalah otopsi virtual

cukup mengambil posisi sebagai tes penyaring saja.

e. Jepang sebuah negara maju dan sudah lama menekuni otopsi virtual ini tetap hati-hati

dengan PMCT, ada 3 peraturan yang mereka laksanakan hingga saat ini yaitu (1) PMCT

sebagai skrining untuk penyebab kematian, (2) skrining kandidat untuk dilakukan otopsi

dan (3) komplementer untuk otopsi konvensional. Dan yang tak kalah pentingnya adalah

aspek medikolegal otopsi virtual sebagai alat bukti yang sah dalam system peradilan di

Indonesia, untuk ini memerlukan kajian yang lebih lanjut. Terlebih lagi mengingat bahwa

interest based otopsi virtual adalah untuk mendiagnosa penyakit. Hal ini berbeda dengan

konsep otopsi forensik yang lebih mengedepankan untuk proses penegakan hukum dan

peradilan.

Keuntungan dan Kerugian Otopsi Virtual

Keuntungan

• Otopsi virtual bersifat non-invasif , tidak membutuhkan pisau bedah serta tidak harus

memotong tubuh.

• Jenazah tidak ditahan lama dan relatif lebih dapat diterima oleh pihak keluarga.

• Kadang ada beberapa kepercayaan yang tidak mengijinkan otopsi ataupun kontak dengan

jenazah.

• Otopsi virtual efektif dalam studi mengenai luka terutama akibat tembakan senjata api,

karena dapat dipelajari apa yang terjadi tanpa merusak struktur tubuh.

25

• CT scanner yang membuat kerangka gambar luka-luka dan kerusakan otak, sementara

pemindai magnetik menghasilkan gambar yang lebih halus pada jaringan lunak.

Angiography memperlihatkan bagian dalam pembuluh darah.

• Pemeriksaan yang mudah pada jenazah yang infeksius, terkontaminasi racun, radionuklir,

dan bahan-bahan biologis yang berbahaya.

• Dosis radiasi tidak ada pertimbangan saat melakukan studi pencitraan post mortem.

• Memungkinkan berbagi pencitraan data di antara para ahli di lokasi fisik yang berbeda.

• Selain itu, kemampuan untuk melakukan pemeriksaan ulang gambar diperoleh membuat

otopsi virtual dan terutama menarik sebagai dokter pemeriksa dapat kembali,

mempelajari kembali, dan merekonstruksi informasi.

• Keuntungan tambahan dari otopsi virtual memanfaatkan teknik-teknik modern visualisasi

mencakup kemampuan untuk mendeteksi fraktur kecil yang tidak dapat terlihat pada

otopsi konvensional, kemampuan untuk mengidentifikasi denistas benda asing tubuh

(yaitu, peluru atau pisau) tertanam dalam jaringan lunak dan untuk jelas menentukan

lintasan menembus cedera (yaitu, peluru, pisau, dll) .

• Dapat melihat jenazah dari berbagai sudut dan juga bisa memindahkan lapisan demi

lapisan seperti kulit dan otot, menambahkan dan menghilangkan jaringan dan

26ystemsisrkulasi , bisa diperbesar atau diperkecil dan dipotong menggunakan pisau

virtual.

26

Kerugian

• Masalah biaya. Bila kita memperhatikan teknik otopsi virtual, maka akan dibutuhkan

biaya yang amat besar dan alat-alat untuk melakukan otopsi virtual tidak tersedia pada

setiap rumah sakit di Indonesia.

• Otopsi virtual juga memiliki bias dalam mendiagnosis.

• Otopsi virtual tidak dapat mendeteksi kematian akibat keracunan dan hal-hal yang

berhubungan dengan penyalahgunaan obat, hal yang paling baik adalah otopsi virtual

cukup mengambil posisi sebagai tes penyaring saja.

• Keterbatasan untuk otopsi pencitraan modern. Pertama, teknik otopsi radiografi tidak

mendeteksi semua penyebab dari kematian. Termasuk di daerah ini adalah kenyataan

bahwa otopsi virtual tidak memiliki kemampuan untuk menunjukkan ekstravasasi kontras

aktif atau proses lainnya yang membutuhkan metabolisme dan/atau peredaran darah aktif.

• Tidak dapat memberikan data status infeksi, tidak dapat membedakan antara luka

antemortem dengan luka postmortem, sulit membedakan artefak postmortem, sulit

membedakan perubahan warna organ, jaringan kecil mungkin saja terlewatkan.

Dasar Hukum Otopsi Virtual

Otopsi konvensional berdasarkan tujuannya dibagi menjadi tiga jenis yaitu otopsi klinik,

otopsi anatomi dan otopsi medikolegal.Masing-masing jenis otopsi tersebut diatur oleh aturan

perundang-undangan dalam pelaksanaannya.

Otopsi klinik atau bedah mayat klinis dilakukan pada pasien suatu rumah sakit atas izin

keluarga dengan tujuan untuk mengetahui penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian,

menilai hasil usaha dari pemulihan kesehatan, serta penelitian untuk pengembangan ilmu

27

pengetahuan di bidang kesehatan. Pelaksanaan otopsi klinik diatur oleh UU RI nomor 36 tahun

2009 tentang Kesehatan pasal 119 serta Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 tentang

Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat Bantu dan atau

Jaringan Tubuh Manusia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut dijelaskan pelaksanaan

otopsi klinis harus disertai persetujuan tertulis dari pasien (sewaktu hidup misal dalam surat

wasiat) atau keluarga terdekat setelah pasien meninggal dunia. Namun dalam keadaan tertentu

otopsi klinik ini dapat dilakukan bila pasien menderita suatu keadaan yang membahayakan orang

lain misal penyakit baru yang mematikan. Tempat dilakukan otopsi klinik hanya boleh dilakukan

di rumah sakit yang mempunyai ruangan khusus untuk itu, dan dilakukan oleh tenaga kesehatan

yang mempunyai keahlian dan kewenangan (Dokter Spesialis Forensik).Sebaiknya otopsi klinik

dilakukan secara lengkap, namun dalam keadaan amat memaksa dapat dilakukan juga otopsi

parsial bahkan needle necropsy terhadap organ tertentu meskipun pada kedua keadaan tersebut

kesimpulannya sangat tidak akurat.

Otopsi anatomis atau bedah mayat anatomis berdasarkan UU RI nomor 36 tahun 2009

tentang Kesehatan pasal 120, serta Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 bertujuan untuk

pendidikan calon dokter serta tenaga kesehatan lainnya. Dalam pelaksanaannya harus

memperhatikan syarat-syarat tertentu seperti pelaksanaan otopsi klinis.Syarat-syarat tersebut

adalah adanya persetujuan dari pasien atau keluarga jenazah, dilakukan oleh mahasiswa

kedokteran atau tenaga kesehatan di bawah pengawasan ahli urai (ahli anatomi tubuh manusia),

tempat pelaksanaannya adalah ruangan khusus (ruang Anatomi) di Fakultas Kedokteran.

Otopsi medikolegal atau otopsi forensic dilakukan terhadap jenazah seseorang yang

diduga meninggal akibat suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan,

pembunuhan, maupun bunuh diri.Tujuan dilakukannya untuk mengetahui sebab kematian,

28

identifikasi korban, mengumpulkan bukti medis dan mencari adanya penyakit yang dapat

memberikan kontribusi pada kematian. Dasar hukum pelaksanaan otopsi medikolegal adalah

UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 122, KUHAP pasal 133 dan 134, KUHP

pasal 222 serta Instruksi Kapolri nomor INS/E/20/IX/1975. Pelaksanaan otopsi medikolegal ini

harus berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik sesuai dengan yang tercantum dalam pasal

133 KUHAP.Tujuannya untuk membantu penyidik menemukan kebenaran material sehingga

penyidik dapat menentukan identitas jenazah, sebab pasti kematian, mekanisme kematian,

perkiraan saat kematian, mengumpulkan dan memeriksa benda bukti medis untuk penentuan

identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.Dalam hal persetujuan dari keluarga berdasarkan

KUHAP pasal 134 keluarga tidak mempunyai hak menolak namun mempunyai hak untuk

diberitahu.Namun undang-undang memberikan kesempatan pada keluarga untuk berunding, bila

tidak ada tanggapan setelah dua hari dari pemberitahuan, maka penyidik dapat memerintahkan

untuk melakukan otopsi sebagaimana ketentuan yang dimaksud dalam pasal 133 ayat 3 KUHAP.

Namun, hingga saat ini masih belum ada aturan perundang-undangan baku yang

mengatur penggunaan otopsi virtual, terutama dalam bidang medikolegal.

UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

Pasal 119

(1) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapat dilakukan

bedah mayat klinis di rumah sakit.

(2) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menegakkan

diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.

29

(3) Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan tertulis

pasien semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien.

(4) Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan

bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau penyebab

kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.

Pasal 120

(1) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat dilakukan

bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi pendidikan kedokteran.

(2) Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan

terhadap mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya, atas

persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya.

(3) Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus telah diawetkan, dipublikasikan untuk

dicarikan keluarganya, dan disimpan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sejak kematiannya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 121

(1) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanyadapat dilakukan oleh dokter sesuai

dengan keahlian dankewenangannya.

(2) Dalam hal pada saat melakukan bedah mayat klinis danbedah mayat anatomis ditemukan

adanya dugaan tindakpidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepadapenyidik sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 122

30

(1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Bedah mayat forensik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli

forensik, atau oleh dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat

yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.

(3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas tersedianya pelayanan bedah

mayat forensik di wilayahnya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan bedah mayat forensik diatur dengan

Peraturan Menteri.

Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah

Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat Bantu dan atau Jaringan Tubuh Manusia

Pasal 2

Bedah mayat klinis hanya boleh dilakukan dalam keadaan sebagai berikut : a. Dengan

persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal

dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti;

b. Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila di duga penderita

menderita penyakit yang dapat membahayakan orang atau masyarakat sekitarnya; c. Tanpa

persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam jangka waktu 2 x 24 (dua

kaii duapuluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia datang ke

rumah sakit.

Pasal 3

31

Bedah mayat klinis hanya dilakukan di ruangan data rumah sakit yang disediakan untuk

keperluan itu.

Pasal 4

Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat klinis dilaksanakan sesuai dengan

masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan diatur oleh Menteri

Kesehatan.

Pasal 5

Untuk bedah mayat anatomis diperlukan mayat yang diperoleh dari rumah sakit dengan

memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan c.

Pasal 6

Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan dalam bangsal anatomi suatu fakultas

kedokteran.

Pasal 7

Bedah mayat anatomis dilakukan oleh mahasiswa fakultas kedokteran dan sarjana kedokteran

di bawah pimpinan dan tanggung jawab langsung seorang ahli urai.

Pasal 8

Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat anatomis dilaksanakan sesuai

dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan diatur oleh

Menteri Kesehatan.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Pasal 133

32

(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,

keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia

berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau

dokter dan atau ahli lainnya.

(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara

tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau

pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus

diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label

yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari

kaki atau bagian lain badan mayat.

Pasal 134

(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak

mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga

korban.

(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang

maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.

(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang

diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Pasal 222

33

Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan

mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Instruksi Kapolri No: Ins/E/20/IX/75 tentang Tatacara Permohonan/Pencabutan Visum et

Repertum

Pasal 3

Dengan visum et repertum atas mayat, berarti mayat harus dibedah. Sama sekali

tidak dibenarkan mengajukan permintaan visum atas mayat berdasarkan pemeriksaan luar saja.

Pasal 6

Bila ada keluarga korban/mayat keberatan jika diadakan bedah mayat, maka adalah kewajiban

petugas Polisi cq pemeriksa untuk secara persuasive memberikan penjelasan tentang perlunya

dan pentingnya otopsi untuk kepentingan penyidikan. Kalau perlu bahkan ditegakkannya pasal

222 KUHP.

34

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Otopsi Virtual adalah penanambahan cara baru untuk otopsi dengan melakukan

pencitraan postmortem.Berbeda halnya dengan otopsi konvensional, pada otopsi virtual tidak

dilakukan diseksi (pemotongan) jaringan tubuh, melainkan menggunakan alat-alat diagnostik

canggih untuk melihat kelainan yang terjadi pada organ-organ dalam. Keuntungan penggunaan

pencitraan postmortem ini adalah dapat dikumpulkan data-data pemeriksaan tanpa merusak

barang bukti pemeriksaan. Data yang didapat juga dapat disimpan dalam waktu lama, meskipun

korbannya sudah meninggal dan mengalami pembusukan. Sehingga diharapkan otopsi virtual

dapat digunakan pada berbagai budaya dan keadaan dimana otopsi konvensional tidak dapat

ditoleransi oleh agam atau ditolak oleh keluarga. Namun, masih banyak kekurangan dari otopsi

virtual. Biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan postmortem lengkap sangat mahal,

berkali-kali lipat dari biaya otopsi konvensional. Selain itu masih terdapat bias dalam hasil

pemeriksaan otopsi virtual. Di Indonesia pun sampai saat ini masih belum ada undang-undang

yang mengatur mengenai penggunaan otopsi virtual baik untuk keperluan medis maupun hukum.

Kapan dan sampai sejauh apa otopsi virtual dapat menggantikan otopsi konvensional

dalam bidang medis maupun hukum masih akan ditentukan pada masa yang akan datang.

35

Saran

1. Tenaga Kesehatan

- Mengetahui informasi terbaru mengenai teknologi yang berhubungan dengan

kedokteran forensik.

- Memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai otopsi dan kegunaannya.

- Memperkenalkan kepada masyarakat macam-macam otopsi dan penggunaannya.

2. Pemerintah

- Membuat undang-undang yang mengatur tentang otopsi virtual di Indonesia.

- Menyediakan fasilitas medik yang berkaitan dengan otopsi virtual.

3. Forensik

- Mengembangkan metode yang lebih efektif dan terjangkau yang berkaitan dengan

otopsi.

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Prameng, Bambang L, K Yulianti, A Hardinisa. 2011. Petunjuk Teknik Otopsi. Ed. I.

Cetakan III. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hal 1-2.

2. Dirnhofer, Richard, Christian Jackowski, Peter Vock, Kimberlee Potter, Michael J Thali.

2006. “VIRTOPSY: Minimally Invasive, Imaging-guided Virtual Autopsy”.

RadioGraphics.Vol. 26. Page 1305-1333.

3. Afandi, Dedi. 2009. “Otopsi Virtual”. Majalah Kedokteran Indonesia.No. 7, Vol. 59.

4. http://www.visualiseringscenter.se/virtual-autopsy/en/

5. Stawicki, S Peter, Anil Aggrawal, Anthony J Dean, David A Bahner, Steven M

Steinberg, Christy D Stehly, Brian A Hoey. 2008. “Postmortem use of advanced imaging

techniques: Is autopsy going digital?”.OPUS 12 Scientist. Vol. 2. No. 4. Page 17-26.

6. Levy, Angela D, RM Abbott, CTMallak, JM Getz, HT Harcke, HR Champion, LA

Pearse. 2006. “Virtual Autopsy: Preliminary Experience in High Velocity Gunshot

Wound Victims”. Radiology. Vol. 240. No. 2. Page 522-528.

7. Ljung, Patric. Full Body Virtual Autopsies using a State-of-the-art Volume Rendering

Pipeline.

8. Thali, Michael J, Christian Jackowski, Lars Oesterhelweg, Steffen G Ross, Richard

Dirnhofer. 2007. “VIRTOPSY – The Swiss virtual autopsy approach”. Legal Medicine.

Vol. 9. Page 100-104.

9. Persson, Anders. 2008. “Virtual Autopsy in Forensic Medicine”. Somatom Sessions. Page

60-63.

37

10. Intarniati. 2010. “Teknik Otopsi”. Tanya Jawab Ilmu Kedokteran Forensik. Ed. II.

Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

38