View
1
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Dr. Rohidin, S.H., M.Ag.
FH UII Press
Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
Menghadirkan Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di Negara Hukum Indoneisa
Dr. Rohidin, S.H., M.Ag.
Cetakan Pertama, Maret 2015 Cetakan Kedua, Edisi Revisi September 2019
Cover: -
Layout: M. Hasbi Ashshidiki
x + 228 hlm
Penerbit: FH UII Press
Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta Phone/Fac.: 0274-379178/377043
penerbitan.fh@uii.ac.id
ISBN: 978-602-1123-05-8
Rohidin v
Kata Pengantar
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, buku berjudul Rekonstruksi Konsep Kebebasan
Beragama di Negara Hukum Indonesia dapat diselesaikan
sekalipun masih terdapat banyak kekurangan. Buku ini
merupakan refleksi penulis atas fenomena munculnya ragam
persepsi di kalangan intelektual Muslim terhadap fatwa MUI
terkait dengan aliran sesat keagamaan di Indonesia.
Salah satu ragam persepsi menunjukan bahwa fatwa
tersebut sudah berada di jalur yang benar hingga harus dikawal
sedemikian ketat meskipun sebagiannya berimplikasi pada
tindakan anarkis, persekusi dan intoleransi. Persepsi demikian
didasarkan kepada UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang
Pencegahan dan/atau Penodaan Agama. Sebagian persepsi
masyarakat yang lain menunjukan bahwa fatwa tersebut sudah
berada di jalur yang benar tetapi tidak perlu dikawal sedemikian
ketat, karena fatwa hanya sebatas legal opinion yang
eksistensinya perlu menghargai dissenting opinion. Persepsi
demikian didasarkan pada kenyataan bahwa Negara Hukum
Indonesia bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler.
Terakhir, persepsi masyarakat yang menyatakan bahwa fatwa
tersebut sudah melanggar basis-basis nilai universal HAM.
Persepsi demikian didasarkan pada UU No. 12 Tahun 2005
tentang ICCPR, khususnya Pasal 18.
vi Kata Pengantar
Berangkat dari fakta-fakta tersebut, maka upaya untuk
merekontruksi konsep kebebasan beragama terkait dengan persepsi
intelektual Muslim terhadap fatwa MUI tentang aliran sesat
keagamaan di Indonesia berbasis nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab, sila kedua Pancasila menjadi sebuah keniscayaan.
Sebab, sebagai masyarakat yang hidup di Negara Hukum
Indonesia, Pancasila harus dijadikan rechtsidee yang mendasari
seperangkat ide, nilai, dan kaidah terpadu dalam menuntun
kehidupan berbangsa dan bernegara. Kaidah-kaidah tersebut
harus bertujuan untuk menjamin integritas bangsa, membangun
demokrasi dalam bingkai nomokrasi, mewujudkan keadilan
sosial, dan menciptakan toleransi beragama yang berkeadaban.
Penulis menyadari atas keterbatasan diri dalam menguasai
ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum yang berkembang
sedemikian pesat, serta ilmu-ilmu sosial dan agama yang
semakin kompleks. Tanpa pertolongan dari Allah SWT., dan
bimbingan dari banyak pihak besar kemungkinan buku ini tidak
akan terwujud.
Penulis berharap buku ini menjadi sumbangsih pemikiran
bagi perbaikan kehidupan bernegara dan bermasyarakat,
utamanya dalam menjaga perdamaian dan saling pemahaman
antar pemeluk agama. Karena beragama adalah fitrah, dan
kedamaian juga adalah fitrah yang harus diperjuangkan. Kepada
siding pembaca, saya haturkan selamat membaca.
Yogyakarta, September 2019
Rohidin
Rohidin vii
Daftar Isi
Kata Pengantar ~ v Daftar Isi ~ vii
Bab I : Pendahuluan
A. Potret HAM dalam Lintasan Sejarah dan
Pemikiran ~ 2
B. HAM dalam Konstitusi Negara Hukum
Indonesia ~ 20
1. HAM dalam Periode UUD 1945
(Pemberlakuan I [1945-1949]) ~ 22
2. HAM dalam Konstitusi RIS 1949 (1949-
1950) ~ 29
3. HAM Dalam UUDS 1950 (1950-1959) ~ 32
4. HAM Dalam UUD 1945 (Pemberlakuan II
[1959-Sekarang]) ~ 35
C. Hak Kebebasan Beragama dalam Konstruksi
Regulasi di Negara Hukum Indonesia ~ 37
viii Daftar Isi
Bab II : Konsep Dasar Kebebasan Beragama
A. Konsep Kebebasan Beragama di Negara
Hukum Indonesia ~ 47
1. Arti dan Cakupan Konsep Kebebasan
Beragama ~ 47
2. Konsep Negara Hukum Pancasila sebagai
Pola Prismatik Berkaitan dengan Kebebasan
Beragama ~ 53
B. Kebebasan Beragama dalam Tinjauan
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ~ 66
1. Arti dan Cakupan Konsep Kemanusiaan ~
66
2. Konsep Kebebasan Beragama Berbasis
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ~ 70
3. Membumikan Civil Society: Menuju
Masyarakat Berkeadilan dan Berkeadaban ~
73
Bab III : Rentang Basis Ideologi Kebebasan
Beragama
A. Ideologi Partikular-Absolut Basis
Pembentukan Persepsi Eksklusif ~ 90
B. Ideologi Universal-Absolut Basis
Pembentukan Persepsi Inklusif-Liberal ~ 95
C. Ideologi Pancasila Sebagai Solusi atas
Disharmoni Persepsi dalam Bingkai
Kebebasan Beragama ~ 100
Rohidin ix
Bab IV : Konstruksi Baru Kebebasan Beragama
A. Potret Intoleransi Keagamaan di Indonesia ~
107
B. Relasi Agama dan Negara Perspektif Pancasila
Berkaitan dengan Konsep Kebebasan
Beragama ~ 144
C. Signifikansi Rekonstruksi atas Problematika
Konsep Kebebasan Beragama Berbasis
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam
Bingkai Hukum ~ 149
1. Ambiguitas Produk Regulasi Jaminan
Kebebasan Beragama: Problem Substansi
Hukum ~ 156
2. Kerapuhan Aparatur Penegak Hukum
dalam Mengawal Jaminan Kebebasan
Beragama: Problem Struktur Hukum ~ 170
3. Krisis Kepercayaan dan Minimnya
Kesadaran Masyarakat terhadap Hukum
Kebebasan Beragama: Problematika
Budaya Hukum ~ 173
D. Proses dan Konstruksi Baru Konsep
Kebebasan Beragama di Negara Hukum
Indonesia Berbasis Nilai Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab ~ 181
Bab V : Penutup ~ 193
Daftar Pustaka ~ 215
x Daftar Isi
Indeks ~ 223
Tentang Penulis ~ 227
Rohidin 1
Pendahuluan
Sebagai sebuah konsep, HAM telah memiliki akar sejarah
yang panjang, termasuk dalam hal ini adalah ideologi1
universalisme dan partikularisme berkaitan dengan budaya dan
________________________ 1 Terma ideologi berasal dari kata ideas dan logos. Idea berarti gagasan atau
konsep, sedangkan logos berarti ilmu. Pengertian ideologi secara umum adalah sekumpulan ide, gagasan, keyakinan, atau kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keagamaan. Secara prinsipil terdapat tiga arti utama dari istilah ideologi. Pertama, ideologi sebagai kesadaran palsu. Dalam arti ini, ideologi biasanya dipergunakan oleh kalangan filosof dan ilmuan sosial. Ideologi adalah teori-teori yang tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan pihak yang mempropagandakannya. Kedua, ideologi dalam arti netral. Dalam pengertian ini, ideologi dipahami sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar suatu kelompok sosial atau kebudayaan tertentu. Arti kedua ini terutama ditemukan dalam negara-negara yang menganggap penting adanya suatu “ideologi negara”. Ketiga, ideologi dalam arti keyakinan yang tidak ilmiah. Dalam pengertian ini, ideologi umumnya digunakan dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang positivistik. Segala pemikiran yang tidak dapat dibuktikan secara logis-matematis atau empiris adalah suatu ideologi. Termasuk dalam kategori ini adalah persoalan-persoalan moral-etis, asumsi-asumsi normatif, dan pemikiran-pemikiran metafisis. Lihat, Jimly Asshiddiqie, “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi”, Makalah, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 1-2. Telusuri lebih lanjut dalam, Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Jakarta, 1992, hlm. 230. Bandingkan dengan, Martin Hewitt, Welfare, Ideology, and Need: Developing Perspectives on the Welfare State, Harvester Wheatsheaf, Maryland, 1992, hlm. 1 dan 8. Sementara yang dimaksud dengan ideologi dalam buku ini adalah dalam bingkai pengertian pertama, yakni sebagai kesadaran palsu.
2 Bab I: Pendaduluan
kemanusiaan itu sendiri. Perdebatan dalam rentang pemikiran
HAM ini merupakan salah satu akar perdebatan yang cukup
panjang terkait kebebasan beragama. Oleh karena itu, agar
mendapatkan gambaran yang lebih utuh dan radikal, dalam bab
awal ini penulis mengajak pembaca untuk menelisik akar
sejarah HAM berkaitan dengan konsep kebebasan beragama.
Bab ini akan dimulai dengan sejarah HAM, HAM di berbagai
konstitusi yang pernah kita gunakan sampai HAM, spesifiknya
hak kebebasan beragama dalam berbagai peraturan yang
pernah ada.
A. Potret HAM dalam Lintasan Sejarah dan Pemikiran
HAM merupakan terjemahan dari istilah
menselijkegrondrechten dalam bahasa Belanda dan fundamental
human rights dalam bahasa Inggris.2 Pengertian mengenai istilah
HAM sangat beragam. Wolhof menjelaskan, ”Manusia
mempunyai hak-hak yang sifatnya kodrat. Hak-hak ini tidak
dapat dicabut oleh siapa pun juga, dan tidak dapat
dipindahtangankan dari manusia satu ke manusia lain.”3
Selanjutnya ia juga menyatakan bahwa hak asasi ini adalah
sejumlah hak yang mengakar dalam tabiat kodrati setiap pribadi
manusia, justru karena kemanusiaannya yang tidak dapat
dicabut oleh siapa pun, karena jika dicabut hilanglah
kemanusiaannya itu.4
Selain Wolhof, definisi tentang istilah HAM juga
dikemukakan oleh beberapa pakar sebagai berikut:
________________________ 2 Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara terhadap Agama: Studi
Konvergensi atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia,UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 15.
3 Ibid, hlm. 16. 4 Harum Pudjiarto, Hak Asasi Manusia: Kajian Filosofis dan Implementasinya
dalam Hukum Pidana di Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1999, hlm. 26.
Rohidin 3
a. Soetandyo Wignyosoebroto: “HAM adalah hak-hak yang melekat secara kodrati pada setiap makhluk yang bersosok biologis sebagai manusia yang memberikan jaminan moral dan legal kepada setiap manusia itu untuk kebebasan dari setiap bentuk penghambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan atau perlakuan apa pun lainnya yang menyebabkan manusia itu tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan Allah.”5
b. Arief Budiman: “HAM adalah hak kodrati manusia, begitu manusia dilahirkan langsung hak asasi itu melekat pada dirinya sebagai manusia, dalam hal ini HAM berdiri di luar undang-undang yang ada, jadi harus dipisahkan antara hak warga negara dan HAM.”6
c. Majda El Muhtaj: “HAM merupakan hak kodrati yang melekat pada diri manusia dan melambangkan kemanunggalan hidup manusia dengan dimensi intrinsiknya.”7
d. Donelly: “Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang universal, bukan keuntungan, tanggungjawab, keistimewaan, atau beberapa bentuk pemberian lainnya tetapi diberikan sebagai akibat dari martabat seseorang sebagai manusia.”8
e. Franz-Magnis Suseno: “Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia karena ia manusia, berdasarkan harkat yang diterimanya dari Sang Pencipta, bukan karena diberikan oleh masyarakat atau negara.”9
________________________ 5 Dikutip dari Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, loc.cit. 6 Harum Pudjiarto, Op. Cit., hlm. 25. 7 7Majda El Muhtaj, Dimensi-dimensi HAM:Mengurai Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya, Rajawali Press, Jakarta, 2008, hlm. 14. 8 Jack Donnelly, “Human Right and Human Dignity: An Anallytic Critique
of Non-Western Conceptions of Human Right”, The American Political Science Review, Vol. 76, No. 2., dalam http://links.jstor.org, (Diakses pada tanggal 20 Desember 2010).
9 Franz Magniz-Suseno, Rechtsstaat, Bukan Machsstaat, dalam Mencari Makna Kebangsaan, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 58.
4 Bab I: Pendaduluan
Mengacu kepada definisi-definisi di atas, Anton Baker,
sebagaimana dikutip Harum Pudjiarto, memberi batasan HAM
sebagai berikut:
“Hak itu ditemukan dalam hakikat manusia, demi kemanusiaannya semua orang satu persatu memilikinya, tidak dapat dicabut oleh siapa pun, bahkan tidak dapat dilepaskan oleh individu itu sendiri, karena hak itu bukan sekadar hak milik saja, tetapi lebih luas dari itu manusia memiliki kesadaran (berkehendak bebas berkesadaran moral). Manusia makhluk ciptaan Tuhan merupakan makhluk ciptaan tertinggi daripada makhluk ciptaan lainnya, yang di dalam hidupnya manusia dikaruniai Tuhan berupa hak hidup yang merupakan hak asasi paling pokok yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan.”10
Konsep HAM secara alamiah bisa berasal dari berbagai
sumber baik berupa ajaran agama, budaya, atau sifat dasar suatu
masyarakat tertentu. Jika merujuk kepada sejarahnya, dapat kita
lihat bahwa HAM internasional banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat di negara-negara Barat yang lebih mengedepankan
hak-hak sipil dan politik dari individu-individu di dalam suatu
negara. Hak-hak tersebut cenderung membatasi kekuasaan
negara terhadap masyarakatnya; hak individu untuk
berekspresi, beragama, berserikat atau berkumpul, untuk
berafiliasi dengan partai politik tertentu atau ikut serta di dalam
sistem pemerintah, misalnya. Penggunaan kata “asasi” dalam
istilah HAM, sebagaimana diungkapkan oleh Padmo Wahjono,
menimbulkan kesan bahwa hak-hak tersebut termasuk
(kewajiban-kewajiban) bersifat mutlak adanya. Adanya hak-hak
tersebut merupakan identitas yang tidak terpisahkan dari
keberadaan dirinya sebagai manusia.11
________________________ 10 Harum Pudjiarto, Op. Cit., hlm. 26. 11 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 33.
Rohidin 5
Pada akhirnya, karena sifat HAM adalah universal, maka
hak tersebut tidak saja harus diberikan kepada semua individu,
melainkan juga ada kewajiban universal bagi seluruh individu
untuk memperlakukan dengan baik individu-individu yang
kehilangan haknya. Kewajiban tersebut tidak berdasarkan
kondisi maupun syarat materi lainnya seperti melihat latar
belakang atau ciri fisik seseorang, melainkan harus dilaksanakan
dengan persamaan hak bagi sesama manusia.12
Pemikiran tentang HAM pada dasarnya telah ada sejak era
Yunani kuno. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran Solon
sebagai pencetus “konsepsi hak” yang kemudian diadopsi oleh
hukum modern.13 Konsepsi tersebut telah mengakhiri era
aristokratis dengan diserahkannya kekuasaan kepada
sekelompok kecil orang yang kira-kira terdiri dari seribu orang
laki-laki kaya. Solon juga memperkenalkan hak untuk banding
kepada pertemuan Majelis (Ekklesia). Dalam sistem ini, semua
warga negara yang dipandang baik dan hadir di Phonyx berhak
untuk memberikan suaranya, tetapi praktik demokrasi ini belum
memasukkan kelompok perempuan, budak, orang asing, dan
orang-orang yang tidak bisa membuktikan dirinya anak warga
negara. Bahkan, perempuan tidak diperbolehkan untuk pergi ke
tempat-tempat umum. Oleh karena itu, keadaan sosio-politik
masyarakat Yunani masa itu belum bisa dikatakan telah
memenuhi standar “demokrasi modern”.14
________________________ 12 Al Khanif, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, Laksbang
Mediatama, Yogyakarta, 2010. hlm. 80. 13 Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual,
IMR Press, Cianjur, 2010, hlm. 98. 14 Seiring dengan menguatnya individualisme, peran perempuan dan budak
juga membaik. Ajaran kaum Stoik menolak pandangan inferioritas moral dan intelektual kaum perempuan. Kaum Stoik merupakan salah satu kelompok aliran filsafat di era Yunani. Mereka disebut juga dengan Stoicin atau Stoa. Disebut demikian karena pelajaran diberikan di lorong bertonggak dan bertembok (stoa) yang disampaikan oleh Zeno (336-264 SM). Zeno memberi gambaran cukup luas tentang hukum alam yang bersifat universal. Akal merupakan pusat kendali untuk
6 Bab I: Pendaduluan
Dalam tradisi Yunani, pasca-Alexander the Great,
kaitannya dengan persoalan HAM setidaknya masih ada dua
aliran utama, Stoik dan Epikurean. Kelompok Stoik
menekankan pentingnya kemuliaan (virtue), sebagai tandingan
dari kenikmatan duniawi (hedonis). Ajaran Stoik dapat
dipandang sebagai ajaran yang paling kosmopolitan yang dapat
diterima oleh masyarakat pada masa itu. Zeno sebagai
perintisnya merangkul persaudaraan umat manusia sebagai
ajaran dasarnya. Maka dalam ajaran Stoik semua manusia
dipandang sederajat. Tidak ada batas-batas yang berupa budak,
status sosial, ataupun hal-hal lainnya yang dijadikan sebagai
dasar superioritas satu bangsa terhadap yang lainnya, sehingga
dalam pandangannya manusia dimungkinkan untuk
membentuk kerajaan dunia.15 Menurut aliran filsafat Stoa atau
kelompok Stoik ini, alam semesta diatur oleh logika/ilmu
tentang berpikir (logos/ prinsip rasional), di mana umat manusia
memilikinya. Karena itu, manusia akan menaati hukum alam
dan tidak mungkin melanggarnya, selama ia melakukan
tindakan-tindakan di bawah kontrol akal atau nalar yang berarti
mengikuti kehendak alami.16 Sementara dalam pandangan
kelompok Epikurean berlaku hal sebaliknya. Ajaran kelompok
ini menyatakan bahwa kenikmatan badaniah merupakan tujuan
utama untuk dicapai dalam menjalani kehidupan, kebaikan
bagi masyarakat tidak mendapatkan tempat yang penting,
tetapi kepentingan individu yang harus menjadi prioritas.
Dalam bermasyarakat kepentingan individu dibatasi oleh
undang-undang. Penyusunan undang-undang harus mendapat
________________________
mengungkapkan dan mengetahui segala hal termasuk hukum alam. Lihat, A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/ Aplikasi Hukum (Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hlm. 2.
15 Lihat, Ibid., hlm. 102-103. 16 A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 2.
Rohidin 7
persetujuan tiap individu, sehingga tidak merugikan
kepentingan individu itu sendiri. Konsep persetujuan dan
kesepakatan warga masyarakat yang dikembangkan oleh
Epicurus (341-271 SM) menjadi embrio teori perjanjian
masyarakat selanjutnya.17
Pada era selanjutnya, Romawi sebagai pewaris
kebudayaan Helenisme secara langsung juga menerima konsep
hukum alam sebagai bagian peradabannya. Konsep
philantropia/philantropus Yunani terbawa pula menjadi konsep
humanitas Romana. Konsep humanitas ini kemudian menjadi
payung bagi nilai moral, termasuk aequitas, lenitas, manseutudo,
moderatio, iustitia, fides,dan pietas. Karena hal tersebut bangsa
Romawi dapat menerima moralitas universalisme, selaku cikal
bakal HAM.
Pengaruh tradisi hukum alam ini sangat memengaruhi
konsepsi hukum yang diterapkan di Romawi. Marcus Tullius
Cicero dalam the Laws menyatakan bahwa “Hukum adalah budi
tertinggi, termuat dalam alam, yang memerintah apa yang harus
dilakukan dan yang dilarang. Budi ini, yang tertanam kuat dan
berkembang penuh dalam pikiran manusia, adalah hukum”.
Dalam buku tersebut ia mendasarkan argumennya pada hukum
alam dan hak-hak alamiah manusia. Lebih jauh ia mendukung
akan ide “kesatuan warga negara selayaknya sebuah kota”.
Sumbangan yang cukup menarik berkaitan dengan konsep HAM
diberikan oleh Cicero dalam karyanya de Legibus. Dalam karya
tersebut Cicero berbicara mengenai hubungan antara hukum
alam dan hukum positif, ia berkesimpulan hukum positif harus
________________________ 17 Embrio perjanjian masyarakat tersebut dikembangkan lebih lanjut oleh
Marsillius (1270-1340), yang menekankan pentingnya peran individu. Kemudian teori ini dikaji dan dikembangkan lagi oleh dua orang filsuf pasca-Renaisans, Thomas Hobbes (1588-1679) dan J.J. Rousseau (1712-1778). Lihat, A. Masyhur
Effendi dan Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 3-4. Bandingkan dengan Pranoto
Iskandar, Op. Cit., hlm. 102-103.
8 Bab I: Pendaduluan
didasarkan pada hukum alam. Jadi, ketika hukum positif
bertentangan dengan hukum alam maka yang pertama haruslah
batal. Argumentasi ini memberikan sumbangan yang cukup besar
bagi HAM mengingat pada masa itu HAM identik dengan hak-hak
alamiah.18
Pasca-runtuhnya imperium Romawi Barat, Gereja Kristen
mulai memegang kendali. Meskipun begitu pengaruh dari
Romawi masih berlanjut, seperti dipertahankannya bahasa Latin.
Hal tersebut, secara langsung atau tidak, memberi jalan bagi
diadopsinya tradisi hukum Romawi oleh para rohaniawan
Gereja.19 Dalam tataran praktis penerapan hukum Romawi
dalam bidang perdata, perkawinan, dan pewarisan masih
dipertahankan oleh gereja.
Konversi kepada agama Kristen oleh para penduduk
Romawi memberikan konsekuensi yang cukup luas. Pengaruh
utamanya adalah dikedepankannya konsep moralitas dalam
segala aspek kehidupan. Keyakinan atas moralitas pun
mendapat sambutan dari masyarakat umum yang telah putus
asa terhadap pejabat-pejabat yang dikenal korup. Atas dasar ini
pula Augustinus mendorong pemerintah supaya campur tangan
secara langsung dalam persoalan pemberian sumbangan bagi
kaum miskin karena hanya mendasarkan rasa kasihan dianggap
tidak cukup. Ia juga berpandangan praktik perbudakan adalah
hal yang salah. Gereja kuno juga mengutuk hukuman mati dan
________________________ 18 Ibid., hlm. 106-107. 19 Misal St. Augustine yang melakukan “Kristenisasi” terhadap pemikiran
Plato dalam Republic. Di samping itu, ia juga mengembangkan doktrin “perang adil”, di mana dalam doktrin tersebut dapat dijumpai penekanan terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal. Sementara Thomas Aquinas berpendapat bahwa perang yang didasarkan pada nafsu pribadi semata adalah dosa. Di berbagai daerah Jerman, seperti Kerajaan Visigoth dan Burgundi, hukum Romawi masih diterapkan bagi warga non-Jerman. Bahkan Alaric II, Raja Visigoth, mengadopsi Lex Romana Wisighothorum, yang memuat ringkasan dan komentar atas Codex Theodosianus dan berbagai sumber hukum Romawi lainnya. Hal tersebut oleh Zwiegert dan Kort dipandang sebagai sumbangan bagi keberlangsungan hukum Romawi.
Rohidin 9
tindak penyiksaan dalam proses hukum. Ini sangat tegas
didukung oleh Paus Innocent I.20
Pada abad ke-11 dalam bidang pemikiran hukum terdapat
pertentangan antara kaum Legist dan Kanonist. Kaum Legist
sangat mengagumi hukum-hukum peninggalan Romawi,
sedangkan kaum Kanonist merupakan kelompok yang condong
pada ajaran-ajaran Paus. Pertentangan dua kelompok ini
meliputi masalah besar yakni hubungan antara kekuasaan
duniawi dan Ilahi.21
Pada masa Pemerintahan Papal, bangunan kenegaraan di
Eropa yang didasarkan pada Reformasi Gregorian, khususnya
Diktat Gregori 1075, menjadikan kekuasaan pemerintahan ada
di Gereja. Paus adalah kepala gereja; orang-orang Kristen
lainnya adalah Gereja. Paus memiliki kewenangan penuh
(plenitudo auctoritatis) dan kekuasaan penuh (plenitudo
potestatis). Meskipun pada awalnya kewenangan Paus bersifat
terbatas tetapi sejak Gregori VII, Paus menjadi pembuat hukum
tertinggi, administrator tertinggi, dan hakim tertinggi. Ia dapat
membuat hukum, menerapkan pajak dan menghukum pelaku
kejahatan.22
Pada abad dua belas dan tiga belas mulai terdapat
kecenderungan baru untuk mengganti majelis dengan dewan.
Para anggota dipilih untuk masa tugas beberapa tahun, tetapi
kemudian terjadi kooptasi yang mengubahnya menjadi
________________________ 20 Ibid., hlm. 111. 21 Ibid., hlm. 114-115. 22 Konstruksi kenegaraan di atas tidak berlaku bagi bangsa Germania.
Bangsa ini memiliki keyakinan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hal yang penting. Ini dibuktikan dengan menjadikan individu sebagai satuan, bukan komunitas. Walaupun kekuasaan negara terpusat sebagai akibat dari pengaruh dari Romawi, mereka memiliki badan-badan perwakilan. Badan-badan perwakilan inilah yang kemudian menjadi inspirasi bagi parlemen Inggris. Raja merupakan hasil dari proses pemilihan dan hukum dipandang sebagai pernyataan kesadaran mereka. Ibid., hlm. 115.
10 Bab I: Pendaduluan
pemerintahan aristokrat.23 Pada masa ini terdapat pemikir yang
sangat berpengaruh Thomas Aquinas. Dalam teori hukum
kodratinya, Aquinas berpijak pada pandangan thomistik yang
mempotulasi hukum kodrati sebagai bagian dari hukum Tuhan
yang sempurna dan dapat diketahui melalui penggunaan nalar
manusia.24 Aquinas menyatakan bahwa pada dasarnya manusia
adalah makhluk sosial yang membutuhkan masyarakat agar
dapat memperkembangkan kepribadiannya dengan
mempergunakan rasio yang diberikan oleh alam kepadanya.
Sebagai konsekuensi logis, maka diperlukan kestabilan dalam
masyarakat agar tidak terjadi kekacauan, karena itulah
diperlukan penguasa. Manusia sebagai makhluk sosial harus
hidup bermasyarakat untuk mencapai keinginannya, untuk itu
dibutuhkan pemimpin. Jika pemimpin tersebut tidak mengejar
kepentingan umum maka ia digolongkan zalim. Karena
kezaliman dapat merusak masyarakat, maka rakyat memiliki
hak untuk menurunkannya bersama-sama. Agar tidak menjadi
________________________ 23 Menurut Berman pada akhir abad kesebelas, kedua belas, dan ketiga
belas terdapat sebuah komunitas politik yang memiliki delapan karakteristik. Pertama, Raja tidak lagi sebagai pemimpin spiritual tertinggi, tetapi sebatas sebagai pemimpin sekuler, dalam bidang spiritual ia merupakan bawahan dari Gereja Roma, yang dikepalai oleh Paus. Kedua, Raja tidak lagi hanya sebagai orang pertama di antara orang-orang bijak, para ksatria dan para tuan tanah, tetapi ia memiliki kekuasaan untuk mengatur langsung semua subjeknya yang berada di wilayah kekuasaannya. Ketiga, sebagai penguasa temporal atas subjeknya tugas utama raja adalah menjaga perdamaian dan melakukan keadilan, dalam praktiknya diartikan sebagai untuk mengontrol kekerasan dan mengatur hubungan sebagai akibat dari penguasaan tanah. Keempat, tugas-tugas tersebut dilakukan oleh sekelompok pejabat kerajaan yang profesional bukan lagi berdasarkan keturunan. Kelima, Raja mendapatkan ketegasan akan hak dan kewajibannya untuk membentuk hukum yang dianggap perlu. Keenam, negara-negara kerajaan memiliki hukumnya sendiri sebagaimana negara-negara kota yang dikepalai walikota atau negara eklesiatik yang dikepalai Paus. Ketujuh, secara teori kekuasaan raja dibatasi oleh berbagai komunitas yang ada di kerajaannya. Kedelapan, kerajaan terdiri dari profesional elit bersifat internasional yang pada umumnya memiliki hubungan darah. Ibid., hlm. 116-117.
24 Rhona K. M. Smith (dkk.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010, hlm. 12.
Rohidin 11
penguasa zalim, maka ia harus seorang hamba Tuhan yang
selalu mengharap anugerah-Nya.25 Sejalan dengan kaum Stoik,
Aquinas percaya bahwa hukum manusia (human law), yang
bertentangan dengan hukum alam (nature law) bukanlah hukum
yang benar.26
Sepanjang sejarah, terutama pada abad ke-17 dan 18,
berbagai pemikiran mengenai HAM merupakan hal yang sangat
menonjol dalam kajian filsafat, namun dalam tataran praktis
dibutuhkan berbagai instrumen untuk memberi kekuatan
hukum. Legitimasi hukum ini berfungsi untuk menjamin
keberadaan hak asasitiap individu, melindunginya dari berbagai
pelanggaran yang mungkin timbul dari individu lainnya atau
bahkan dari pemerintah sendiri. Bermula dari Deklarasi Hari
Kemerdekaan (Declaration of Independence Day) pada tanggal 4 Juli
1776, sebagai buah keberhasilan revolusi di Amerika, HAM
mendapat perhatian serius. Awal revolusi dipicu oleh tingginya
pajak yang dikenakan di Amerika tanpa melibatkan pimpinan di
Amerika. Reaksi tersebut disampaikan sebagai pembenaran teori
kontrak sosial John Locke (1632-1704). Deklarasi yang disusun
oleh Thomas Jefferson tersebut antara lain menyatakan:
“...bahwa manusia diciptakan sama; bahwa penciptanya telah
menganugerahi mereka hak-hak tertentu yang tidak dapat
dicabut; bahwa di antara hak-hak tersebut adalah hak untuk
hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan; bahwa untuk
menjamin hak-hak tersebut orang-orang mendirikan
pemerintahan....”. Perumusan hak asasi manusia tersebut
kemudian secara resmi menjadi dasar konstitusi negara Amerika
Serikat pada tanggal 4 Maret 1789.27
________________________ 25 Harum Pudjiarto, Op. Cit., hlm. 29. 26 A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 2. 27 Pranoto Iskandar, Op. Cit., hlm. 132. Lihat, A. Masyhur Effendi dan
Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 40.
12 Bab I: Pendaduluan
Keberhasilan revolusi Amerika menjadi salah satu pemicu
meletusnya revolusi Prancis. Jika di Amerika revolusi bertujuan
untuk memerdekakan negara dari penjajahan Inggris, di Prancis
revolusi bertujuan untuk menumbangkan orde lama (ancient
regime). Pikiran-pikiran John Locke, Montesqiueu, dan J.J.
Rousseau mewarnai dan mempercepat revolusi tersebut.
Keberhasilan revolusi Prancis tersebut ditandai dengan
diikrarkannya Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia dan Warga
Negara (Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen) tahun
1789. Isi deklarasi tersebut antara lain menyatakan,
“Kebahagiaan sejati haruslah dicari dalam kebebasan individu
yang merupakan produk dari hak-hak manusia yang suci, tidak
dapat dicabut dan kodrati...”. Sasaran setiap asosiasi politik
adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan tidak
dapat dicabut. Hak-hak tersebut adalah kebebasan (liberty),
kepemilikan harta (property), keamanan (safety), dan perlawanan
terhadap penindasan (resistance to oppresion ).28
Sebagaimana tampak dalam uraian di atas, bahwa HAM
pada dasarnya lebih sebagai konsep etika politik modern dengan
gagasan pokok berupa penghargaan dan penghormatan
terhadap manusia. Gagasan ini membawa kepada satu tuntutan
moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan
sesamanya. Jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya tuntutan moral
tersebut merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua
agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan
penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan
diskriminasi. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam
rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah
atau “dilemahkan” (al-mustadh`af īn) dari tindakan zalim dan
semena-mena dari mereka yang kuat dan berkuasa. Karena itu,
________________________ 28 A. Masyhur Effendi dan Taufani S. Evandri, Op. Cit., hlm. 41. Lihat juga,
Majda El Muhtaj, Op. Cit., hlm. 9.
Rohidin 13
esensi dari konsep HAM adalah penghormatan terhadap
kemanusiaan seseorang tanpa ada diskriminasi berdasarkan
apapun, serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai
makhluk termulia di muka bumi.
Konsep HAM tersebut menempatkan manusia sebagai
subjek, bukan objek dan memandang manusia sebagai makhluk
yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna
kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun
agamanya. Karenanya, sebagai makhluk yang bermartabat,
manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi,
seperti hak hidup, hak berpendapat, hak berkumpul, serta hak
beragama, dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM
mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi
dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip kesetaraan,29
persamaan, dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada
diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan terhadap manusia
dalam bentuk apa pun dan juga tidak boleh ada pembatasan
dan pengekangan apa pun terhadap kebebasan dasar manusia,
termasuk di dalamnya hak kebebasan beragama.
Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948
mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau
hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak
masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain,
seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak
akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan politik,
antara lain memuat hak-hak seperti: hak atas penentuan nasib
sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang
________________________ 29 Prinsip ini oleh Dworkin, sebagaimana dikutip oleh Pranoto, dinyatakan
sebagai setiap manusia, semenjak ia dilahirkan, memiliki nilai-nilai yang dengan sendirinya memiliki atribut yang berbeda, terpisah dan obyektif setara. Sebagai konsekuensinya, melalui prinsip ini manusia dituntut untuk tidak menyakiti orang lain hanya demi kesenangan pribadi atau kelompoknya sendiri. Lebih lanjut telusuri dalam, Pranoto Iskandar, Op. Cit., hlm. 68.
14 Bab I: Pendaduluan
kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan
berpikir, keyakinan, dan beragama, hak yang sama bagi
perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan politik,
hak seorang untuk diberitahu alasan-alasan pada saat
penangkapan, persamaan hak, dan tanggung jawab antara
suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak
ekonomi, sosial dan budaya, antara lain memuat hak untuk
menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan;
larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender,
dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk
mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi
buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat
buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas
dari kelaparan.
Berbagai instrumen hak asasi manusia (HAM) regional
maupun internasional memberikan perlindungan dan
pengakuan atas kebebasan beragama tanpa memberi batasan
atas apa yang disebut sebagai agama itu sendiri. Ketiadaan
definisi agama dalam berbagai instrumen HAM ini tidaklah
aneh, karena berbagai konstitusi di negara-negara dunia,
termasuk Indonesia, memuat hak beragama tetapi tiada memberi
batasan pasti apa yang dimaksud dengan agama.
Di dalam hukum internasional modern, DUHAM30 adalah
instrumen internasional hak asasi manusia pertama yang
mengatur tentang kebebasan beragama. Deklarasi tersebut
ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
________________________ 30 DUHAM merupakan pernyataan definitif yang pertama tentang “HAM”
dan yang menyebutkan secara jelas hak- hak itu yang bersifat universal. Dokumen ini adalah kesepakatan internasional yang ditandatangani oleh para pihak (negara) yang menjadi anggota PBB. Walaupun demikian, kesepakatan tersebut tidak mengikat secara hukum (not legally binding) dan tidak menyediakan perlindungan yang dapat dipaksakan.
Rohidin 15
(PBB) melalui resolusi No. 217 A (III) pada 10 Desember 1948.31
Dalam DUHAM sendiri, terdapat empat elemen yang patut
untuk dijadikan sebagai penekanan: (i) difokuskan pada hak; (ii)
pembatasan hanya diberikan pada hak; (iii) keseimbangan antara
hak sipil dan politik di satu pihak dan hak-hak sosial, ekonomi,
dan budaya di pihak lain; (iv) letak tanggungjawab bagi
implementasi ada di tingkat nasional.32
Dalam instrumen internasional, hak kebebasan beragama
diatur pada Pasal 18 DUHAM, yang menyatakan bahwa:
Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship, and observance.33
Meskipun hak kebebasan beragama telah diatur
sebagaimana di atas, namun ternyata tidak mudah mengatur hak
tersebut secara komprehensif karena adanya perbedaan
perspektif yang sangat besar dari negara-negara yang
mendukung dan menentang norma kebebasan beragama. Salah
satu permasalahan yang paling krusial adalah adanya anggapan
dari sebagian masyarakat bahwa konsep dasar HAM dan
khususnya hak kebebasan beragama seringkali bertentangan
________________________ 31 United Nations, The Universal Declaration of Human Rights (Online) dalam
http://www.un.org/en/documents/udhr/, (Diakses pada 23 Desember 2010). Di dalam hierarki hak asasi manusia internasional, kedudukan Majelis Umum adalah sebagai lembaga tertinggi yang membawahi beberapa lembaga lainnya seperti Dewan HAM, dan Komite HAM. Oleh karena itu, Majelis Umum merupakan lembaga internasional yang mempunyai otoritas resmi untuk menginterpretasikan pasal-pasal yang ada dalam DUHAM. Interpretasi atau penjelasan dari lembaga tersebut juga merupakan sumber hukum di dalam hukum internasional yang harus diperhatikan oleh negara-negara di dalam mengimplementasikan norma-norma yang dikandung di dalam deklarasi tersebut. Lihat, Al-Khanif, Op. Cit., hlm. 6.
32 Pranoto Iskandar, Op. Cit., hlm. 359. 33 Tore Lindholm, et.al (ed.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A
Deskbook, Leiden: Lorenzen, 2008, hlm. 874.
16 Bab I: Pendaduluan
dengan hukum suci agama. Tidak jarang anggapan seperti itu
kemudian menjadi pemicu bagi terjadinya pelanggaran
kebebasan beragama yang seringkali berujung pada radikalisme
agama yang terjadi di berbagai negara.
Pro-kontra terhadap keberadaan Pasal 18 di atas,
sebagaimana dilansir Paul Seighart dan dikutip oleh Al-Khanif,
sebenarnya telah ada sejak awal rapat pleno Majelis Umum PBB
pada saat menyusun draft pasal tersebut. Sampai pada saat
ditetapkan, deklarasi tersebut disetujui oleh 48 anggota PBB
dengan tidak ada satu pun negara anggota yang menolak. Akan
tetapi terdapat 8 negara yang memilih abstain, di antaranya
adalah Saudi Arabia. Adapun alasan Saudi Arabia mengambil
opsi abstain adalah karena negara tersebut tidak menyetujui
aturan yang ada dalam Pasal 18 yang mengatur tentang hak
kebebasan beragama.34
Selanjutnya, sebagai upaya untuk lebih mengokohkan
kembali penegakan HAM, rumusan tentang hak kebebasan
beragama sebagaimana tertuang dalam instrumen DUHAM
tersebut dielaborasi dalam ICCPR.35 Jaminan atas hakkebebasan
beragama tersebut ditegaskan, di antaranya dalam Pasal 18
ICCPR yang menyatakan:36
(1) Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun
________________________ 34 Al-Khanif, Op. Cit. 35 ICCPR merupakan salah satu dokumen hukum internasional—bersama
dengan ICESCR dan DUHAM—yang membentuk UUhukum internasional. Di samping itu, ICCPR juga merupakan elaborasi lebih lanjut atas berbagai kebebasan dan hak sipil dan politik yang sebelumnya dimuat dalam DUHAM. Bahkan ada yang berpandangan bahwa ICCPR merupakan pernyataan atas kewajiban HAM dalam Piagam. Lihat, Pranoto Iskandar, Op. Cit., hlm. 438. Lebih lanjut tentang proses perancangan ICCPR dalam Ibid., hlm. 432-437.
36 http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm#art18 (Diakses pada tanggal 27 Desember 2010).
Rohidin 17
bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
(2) Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
(3) Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
(4) Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orangtua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri.
Ketentuan tentang hak dan kebebasan beragama, baik dalam
DUHAM maupun ICCPR, telah menimbulkan beberapa reaksi.
Beberapa negara Islam mengkritik DUHAM, karena dianggap telah
gagal untuk mempertimbangkan konteks agama dan budaya dari
negara-negara Islam. Pada tahun 1982, perwakilan Iran untuk PBB,
Said Rajaie-Khorassani, mengartikulasikan posisi negaranya
mengenai DUHAM, dengan mengatakan bahwa DUHAM
merupakan “pemahaman sekuler tentang tradisi Yudeo-Kristen”,
yang tidak dapat dilaksanakan oleh umat Islam tanpa pelanggaran
terhadap hukum Islam.37
Sementara itu, upaya untuk mendefinisikan kandungan Pasal
18 ICCPR dalam kerangka Pasal 18 DUHAM dengan memasukkan
________________________ 37 Littman, David. “Universal Human Rights and Human Rights in Islam”,
Midstream, February/March 1999, dalam, http://web.archive.org/ web/20060501234759/http://mypage.bluewin.ch/ameland/Islam.html, (Diakses pada tanggal 11 Desember 2010).
18 Bab I: Pendaduluan
kalimat, “hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau
keyakinan”, menghadapi perbedaan pendapat terutama dari
negara-negara muslim seperti Mesir, Saudi Arabia, Yaman, dan
Afghanistan, yang memaksakan pencoretan tentang penafsiran atas
hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, yang
mencakup kebebasan mengganti agama atau bahkan menganut
pandangan-pandangan ateistik mencuatkan kontroversi.
Perbedaan pandangan tersebut akhirnya menimbulkan suatu
kompromi untuk mengubah bahasanya menjadi, “hak ini harus
mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama
atau kepercayaan atas pilihannya sendiri”, yang lantas diambil
secara bulat tanpa syarat. Rumusan ini didasarkan pada usulan-
usulan yang diajukan oleh perwakilan dari Brazil, Filipina, dan
Inggis.38
Meskipun telah terjadi kesepakatanatas teks tentang
kebebasan beragama dalam Pasal 18 ICCPR, namun penafsiran atas
teks tersebut masih belum menemukan kesamaan pemahaman.
Komite HAM mengindikasikan bahwa kebebasan “untuk
menganut atau menerima” mencakup kebebasan “untuk
mengganti agama atau kepercayaannya yang sedang dianut
dengan yang lain atau menganut pandangan-pandangan ateistik,
sebagaimana juga mencakup kebebasan mempertahankan agama
atau kepercayaan seseorang”.39 Penafsiran Komite HAM tersebut
tentu saja, berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh negara-
negara Muslim.
Sebagai kritik atas dominasi HAM Barat yang dianggap
tidak sesuai dengan pandangan ajaran Islam, sekaligus sebagai
alternatif pandangantentanghakkebebasan beragama, negara-
negara Muslim yang tergabung dalam OKI pada 5 Oktober 1990
________________________ 38 Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum
Islam,terj. Musa Kazhim dan Edwin Arifin, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2003, hlm. 121-122.
39 Ibid., hlm. 122.
Rohidin 19
mengikrarkan Deklarasi Kairo, sebuah deklarasi tentang
kemanusiaan yang sesuai dengan syariah Islam. Kemudian
pada 30 Juni 2000, negara-negara Muslim yang menjadi anggota
OKIsecara resmi memutuskan untuk mendukung Deklarasi
Kairo tentang HAM dalam Islam, sebuah dokumen alternatif
yang mengatakan orang memiliki “kebebasan dan hak untuk
hidup yang bermartabat sesuai dengan syariah Islam”.40
Deklarasi Kairo tahun 1990 tersebut memuat 24 pasal tentang
HAM yang dirumuskan berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam penerapan dan realitasnya, Deklarasi Kairo memiliki
beberapa persamaan dengan pernyataan DUHAM yang
dideklarasikan PBB pada tahun 1948.41
Kebebasan untuk mewujudkan satu agama atau
kepercayaan dapat tunduk hanya pada pembatasan seperti yang
ditentukan oleh hukum dan yang diperlukan untuk melindungi
keselamatan masyarakat, ketertiban, kesehatan, atau moral atau
hak-hak mendasar dan kebebasan orang lain. Hal tersebut sejalan
dengan argumen para sarjana Muslim kontemporer dan
beberapa negara Muslim, bahwa yang dilarang oleh hukum
Islam bukanlah pindahnya seseorang dari agama itu semata-
mata, melainkan penampakannya dalam bentuk yang
mengancam keamanan publik, moral masyarakat, dan kebebasan
orang lain. Hal tersebut sejalan dengan pengaturan pelaksanaan
HAM sebagaimana yang tercantum dalam DUHAM Pasal 29
ayat (2) yang menyatakan:42
“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.”
________________________ 40 http://en.wikipedia.org/wiki/UDHR, (Diakses pada tanggal 23
Desember 2010). 41 A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, Op. Cit., hlm. 261. 42 Tore Lindholm, et.al (ed.), Op. Cit., hlm. 875.
20 Bab I: Pendaduluan
B. HAM dalam Konstitusi Negara Hukum Indonesia
Dalam memahami hakikat konstitusi terdapat dua
pandangan, yaitu pandangan normatif yuridis dan pandangan
sosiologis empiris. Pandangan sosiologis empiris beranggapan
bahwa konstitusi tidak terbatas pada norma hukum dasar yang
tertulis dalam satu kitab, melainkan juga tersebar dalam praktik
atau konvensi ketatanegaraan. Sedangkan menurut pandangan
normatif yuridis, konstitusi sama dengan UUD, yaitu kumpulan
dari norma-norma hukum dasar yang tertulis dan terangkum
dalam satu kitab.43
Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepakatan umum
atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai
bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Hal
tersebut diperlukan oleh rakyat agar kepentingan mereka
bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui
pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara.
Secara substantif, konsensus yang diwujudkan dalam konstitusi
meliputi tiga hal:44
1. Kesepakatan tentang tujuan dan cita-cita bersama. 2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan negara. 3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan
prosedur-prosedur ketatanegaraan.
Konstitusi yang berlaku dalam Negara Hukum Indonesia
saat ini adalah UUD 1945. Sebagai hukum dasar tertulis, UUD
1945 berisikan norma-norma, aturan-aturan atau ketentuan-
________________________ 43 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak
Asasi Manusia: Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003, hlm. 33.
44 Jimly Asshiddiqie, UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional dalam Pluralisme Indonesia dalam, Beragama, Berkeyakinan, dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Publikasi SETARA Institute, Jakarta, 2009, hlm, 47.
Rohidin 21
ketentuan yang harus dilaksanakan dan ditaati yang bersifat
mengikat, baik bagi pemerintah maupun bagi setiap warga
negara Indonesia di mana pun ia berada.45 Dalam perjalanan
sejarah ketatanegaraan, Republik Indonesia telah memiliki tiga
UUD dengan empat kali masa berlaku, yaitu:46
(1) UUD 1945, pertama kali berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949,
(2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat, mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950,
(3) UUDS 1950, mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959, dan
(4) UUD 1945, berlaku untuk kedua kalinya sejak tanggal 5 Juli 1959 hingga sekarang.
Keempat konstitusi tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda-beda, karena kemunculannya memang dipengaruhi
oleh konteks yang berbeda. Sebagai konsekuensinya, maka
secara konseptual juga terjadi perbedaan rumusan materi
tentang HAM yang dimuat oleh UUD 1945, Konstitusi RIS
maupun UUDS 1950. Bahkan UUD 1945 yang berlaku pertama
kali dengan UUD 1945 yang berlaku saat ini juga terdapat
perbedaan yang disebabkan oleh adanya empat kali perubahan,
terhitung sejak tahun 1999 sampai 2002.
Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan
arti penting bagi terciptanya paradigma negara hukum, sebagai
hasil dari proses dialektika demokrasi. Konstitusi sebagai
perwujudan konsensus dan penjelmaan dari kehendak rakyat
harus mampu memberikan jaminan atas keberlangsungan hidup
berikut HAM secara nyata. Oleh sebab itu, jaminan konstitusi
________________________ 45 Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 130. 46 Muladi (ed.), Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum & Masyarakat, PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 41-42.
22 Bab I: Pendaduluan
terhadap HAM merupakan bukti dari hakikat, kedudukan dan
fungsi konstitusi itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia.47
1. HAM dalam Periode UUD 1945 (Pemberlakuan I [1945-
1949])
Diskursus mengenai HAM dalam sejarah Indonesia telah
mencuat sejak proses pembentukan negara Indonesia sedang
gencar-gencarnya diperjuangkan. Perdebatan ini terekam jelas
dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI yang membahas
draftKonstitusi Negara Indonesia yang akan dibentuk.48 UUD
1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh
BPUPKI. Badan ini kemudian menetapkan tim khusus yang
bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia, yang kemudian
dikenal dengan UUD 1945. Para tokoh perumus konstitusi
tersebut adalah Radjiman Wedyodiningrat, Ki Bagus Hadi
Koesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran
Suryo Hamidjojo, Soetardjo Kartomihardjo, Soepomo, Abdul
Kadir, Mohammad Amir (Sumatera), Abdul Abbas (Sumatera),
Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi),
Latuharhary, Pudja (Bali), A.H. Hamidan (Kalimantan), R.P.
Soeroso, Abdul Wachid Hasyim, dan Mohammad Hassan
(Sumatera).49
Moh. Hatta dalam pembicaraan mengenai dasar negara
dalam sidang kedua BPUPKI mengusulkan supaya UUD yang
________________________ 47 Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD
1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 94.
48 BPUPKI atau Dokuritzu Zyunbi Tjoosakai merupakan badan bentukan Jepang yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat yang kemudian setelah dibubarkan dibentuk kepanitiaan yang bernama PPKI atau Dokuritzu Zyunbi Iinkai dengan diketuai oleh Soekarno. Lihat, Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 116-117.
49 A. Ubaidillah (dkk.), Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta, 2000, hlm. 86.
Rohidin 23
akan dibuat juga memuat tentang adanya jaminan terhadap
perlindungan hak asasi manusia. Usul tersebut disetujui oleh
Muh. Yamin. Berbeda dengan mereka, Soekarno dan Soepomo
menolak usul tersebut dengan alasan bahwa anggota BPUPKI
telah sepakat mengenai asas kekeluargaan yang dianut di dalam
negara yang akan dibentuk. Penolakan Soekarno dan Soepomo
tersebut didasarkan pada pandangan mereka tentang dasar
negara—dalam istilah Soekarno disebut dengan “Philosofische
Grondslag” dan Soepomo memakai istilah “Staatsidee”—yang
tidak berlandaskan pada paham liberalisme dan kapitalisme.
Menurut pandangan Soekarno, jaminan perlindungan hak warga
negara berasal dari revolusi Prancis yang merupakan basis dari
paham liberalisme dan individualisme yang telah menyebabkan
lahirnya imperialisme dan peperangan antar-manusia.
Pandangan ini secara tegas dinyatakan oleh Soekarno dalam
sidang kedua BPUPKI pada tanggal 15 Juli 1945,50 sebagai
berikut:51
“…saya minta dan menangis kepada Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya buanglah sama sekali paham individualisme itu. Janganlah dimasukkan dalam UUD kita yang dinamakan ‘rights of citizens’ yang sebagai dianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya…”.
“….buat apa kita membikin grondwet. Apa gunanya grondwet yang ada berisi, ‘droits e el homme et du citoyen’, itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang miskin yang hendak mati. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham-paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong-
________________________ 50 Rhona K. M. Smith, (dkk.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII,
Yogyakarta, 2010, hlm. 238. 51 Dikutip dari Pidato Soekarno pada tanggal 15 Juli 1945 di depan
BPUPKI berdasarkan naskah yang dihimpun oleh RM. AB. Kusuma dalam RM. AB. Kusuma (penghimpun), Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fak. Hukum UI, Jakarta, 2004, hlm. 352.
24 Bab I: Pendaduluan
royong, dan keadilan sosial, nyahkan tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya.
Sementara itu, Soepomo dengan semangat yang sama,
menolak dimasukkannya hak-hak warga negara dalam UUD
dengan mendasarkan pada pandangannya mengenai ide negara
integralistik (staatside integralistik), yang menurutnya sesuai
dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia.52 Menurut paham
tersebut, negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya,
sehingga tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat
dan susunan hukum individu, karena individu tidak lain adalah
bagian organik dari staat. Berdasarkan dari hal tersebut, maka
hak individu menjadi tidak relevan dalam paham negara
integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban asasi kepada
negara.53 Lebih lanjut Soepomo menyatakan:
“Dalam sistem kekeluargaan sikap warga negara bukan sikap yang selalu bertanya: ‘Apakah hak-hak saya, akan tetapi sikap yang menanyakan: apakah kewajiban saya sebagai anggota keluarga besar, ialah negara Indonesia ini. Bagaimanakah kedudukan saya sebagai anggota keluarga darah (familie) dan sebagai anggota kekeluargaan daerah, misalnya sebagai anggota desa, daerah, negara, Asia Timur Raya dan Dunia itu?’. Inilah pikiran yang harus diinsyafkan oleh kita semua”.
Pandangan Soekarno dan Soepomo tersebut ditentang oleh
Moh. Hatta. Penolakan Hatta ini didasari oleh kekhawatiran jika
tidak ada hak tersebut dalam UUD akan menjadikan negara yang
baru dibentuk menjadi negara kekuasaan. Dalam sidang BPUPKI
tersebut secara tegas Hatta menyatakan:
________________________ 52 Subandi Al Marsudi, Op. Cit., hlm. 129. 53 Rhona K. M. Smith (dkk.), Op. Cit., hlm. 239.
Rohidin 25
“Memang kita harus menentang individualisme... Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil usaha bersama. Tetapi suatu hal yang saya khawatirkan, kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kapada rakyat dalam UUD yang mengenai hak mengeluarkan suara...
Hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan menjadi negara kekuasaan.”
Senada dengan pendapat Moh. Hatta, Muhammad Yamin
bersikukuh memperjuangkan agar hak dan kebebasan warga
negara dimasukkan secara jelas dalam UUD. Dalam
pendapatnya Yamin mengatakan:
“Supaya aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam UUD seluas-luasnya. Saya menolak segala alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya... Saya hanya meminta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau hal ini tidak terang dalam hukum dasar, ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan undang-undang hukum dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menantikan hak daripada republik; misalnya mengenai yang tertuju kepada warga negara yang akan mendapat hak, juga penduduk akan diperlindungi oleh republik ini.”
Pendapat Moh. Hatta dan Muhammad Yamin tersebut juga
didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang
mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan untuk
drukpers dan onschendbaarheid van woorden (pers cetak dan
kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan). Mereka sangat
menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang terjadi di
Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam negara yang
26 Bab I: Pendaduluan
mau didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga
negara.54
Perdebatan-perdebatan di antara para founding fathers
Negara Indonesia di atas masih diwarnai konsepsi dikotomi
budaya Barat dan Timur. Dikotomi tentang konsep negara,
antara negara berdasarkan kontrak sosial dan negara
berdasarkan kekeluargaan.55 Akhirnya, setelah melalui
perdebatan panjang, pada tanggal 16 Juli 1945 persidangan
dalam BPUPKI menghasilkan kompromi sehingga beberapa
ketentuan tentang hak diterima untuk dimasukkan dalam
UUD.UUD RI yang telah dirancang oleh BPUPKI tersebut,
dengan beberapa perubahan dan tambahan, akhirnya disahkan
dalam sidang pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.56
UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada dasarnya hanya
bersifat sementara, sebagaimana tercantum dalam ayat (2)
Aturan Tambahan yang menyatakan: “Dalam enam bulan
setelah Majelis Permusyaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu
bersidang untuk menetapkan UUD”. Pada waktu itu para
penyusun UUD 1945 memperkirakan sebelum HUT RI Ke-1,
sudah dapat tersusun UUD permanen yang dibuat oleh MPR
hasil Pemilihan Umum. Namun situasi politik nasional ternyata
lebih terfokus pada upaya mempertahankan kemerdekaan, maka
rencana tersebut belum sempat terlaksana.57
________________________ 54 Ibid., hlm. 240. 55 B. Hestu Cipto Handoyo, Op. Cit., hlm. 276. 56 B. Hestu Cipto Handoyo, Op. Cit., hlm. 276. Lihat juga, Muhammad
Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 76-77. Ketika disahkan oleh PPKI, UUD 1945 baru meliputi Pembukaan dan Batang Tubuh, sedangkan Penjelasan baru dicantumkan, setelah naskah resminya dimuat dan disiarkan dalam Berita Republik Indonesia tanggal 15 Februari 1946. Lihat, Subandi Al Marsudi, Op. Cit., hlm. 129.
57 Baca, Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1983.
Rohidin 27
Dalam UUD 1945, meskipun dianggap telah memasukkan
rumusan tentang hak, namun istilah HAM tidak dicantumkan
secara eksplisit, baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun
Penjelasannya. Menurut Mahfud MD, UUD 1945 hanya sebatas
membahas mengenai hak asasi warga, padahal antara hak asasi
manusia dan hak asasi warga negara jelas berbeda. HAM
berdasarkan pada paham bahwa secara kodrati manusia, di
manapun, mempunyai hak-hak bawaan yang tidak dapat
dipindahkan, diambil, atau dialihkan, sedangkan hak asasi
warga negara hanya mungkin diperoleh ketika seseorang
memiliki status sebagai warga negara.58 Sejalan dengan
pandangan tersebut Bambang Sutiyoso juga menyatakan
analisisnya bahwa dalam UUD 1945 hanya ditemukan
pencantuman dengan tegas tentang hak dan kewajiban warga
negara dan hak-hak DPR.59 Penggunaan konsep hak warga
negara (right of citizens) bukan HAM (human rights) tersebut
mengandung pengertian bahwa secara implisit paham natural
rights yang menyatakan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki
manusia karena ia lahir sebagai manusia tidak diakui. Sebagai
konsekuensi dari konsep tersebut maka negara diposisikan
sebagai regulator of rights, bukan sebagai guardian of human rights
sebagaimana diposisikan oleh sistem Perlindungan HAM.60
Jaminan dan perlindungan atas hak asasi bagi warga
negara ditegaskandalam UUD 1945 akhirnya tertuang pada
Pasal 27, 28, 29 ayat (2), 30 ayat (1), 31 ayat (1), dan Pasal 34.
Hak-hak yang dirumuskan dalam UUD 1945 tentang hak atas
________________________ 58 Mahfud MD, “Undang-undang Politik, Keormasan dan Instrumentasi di
Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Yogyakarta, UII Press No. 10, vol. 5. 1998.
59 Bambang Sutiyoso, “Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia”, dalam UNISIA, Yogyakarta, UII Press No. 10, vol. 5. 1998.
60 Rhona K. M. Smith (dkk.), Op. Cit., hlm. 240.
28 Bab I: Pendaduluan
persamaan di muka hukum (rights of legal equality) adalah
sebagai berikut:
Pasal 27 ayat (1) : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”61
Pasal 27 ayat (2) : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”62
Pasal 28 : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 29 ayat (2) : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 30 ayat (1) : Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
Pasal 31 ayat (1) : Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
Pasal 34 : Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Tidak dicantumkannya rumusan tentang HAM secara
tegas dalam UUD 1945 memang telah memicu timbulnya
________________________ 61 Ayat ini menunjukkan adanya pengakuan dan jaminan atas persamaan
hak semua warga negara dalam hukum dan pemerintahan (right of legal equality), tanpa membedakan ras, suku, golongan, agama, atau pun bentuk diskriminasi lainnya.
62 Ayat ini menunjukkan adanya pengakuan dan jaminan terhadap martabat manusia (human dignity).
Rohidin 29
berbagai interpretasi terhadap kualitas muatan dan jaminan
UUD 1945 atas HAM. Meskipun begitu, menurut Majda, ada hal
yang patut untuk mendapatkan apresiasi positif, yaitu
keberhasilan founding fathers Negara Indonesia dalam
memformulasikan sebuah tatanan kehidupan nasional dalam
jangka waktu yang sangat terbatas dikarenakan kejaran waktu
agar UUD dapat selesai sebagai syarat minimal berdirinya
sebuah negara. Pada masa itu, UUD 1945 telah dapat
dikategorikan sebagai konstitusi modern yang di dalamnya
mengatur perihal lembaga-lembaga kenegaraan berikut
mekanisme ketatanegaraan, serta jaminan atas hak, jauh
sebelum masyarakat internasional merumuskan HAM dalam
DUHAM pada forum PBB, 10 Desember 1948.63
2. HAM dalam Konstitusi RIS 1949 (1949-1950)
Kondisi sosial politik yang belum kondusif pasca-
proklamasi, dalam tataran implementatif, berakibat UUD 1945
pada masa permulaan diberlakukannya tidak berjalan efektif.
Pada masa itu serangkaian perjuangan fisik maupun diplomatis
menjadi fokus tindakan maupun pemikiran bangsa Indonesia
sebagai upaya untuk mempertahankan eksistensi NKRI. Era
1945-1949, yang dalam istilah Arthur dikatakan sebagai
establishment of a federal form government.64 Kekalahan Jepang atas
Sekutu memberikan implikasi politik bagi Indonesia. Belanda
dengan segala cara berupaya menancapkan kembali politik
kolonialismenya di Indonesia. Bahkan ancaman atas kedaulatan
negara Indonesia tersebut tidak hanya dari rongrongan
Pemerintah Belanda, namun juga dari tindakan-tindakan
separatis dari dalam negeri yang muncul secara sporadis.
________________________ 63 Majda El-Muhtaj, Op. Cit., hlm. 100-101. 64 Ibid., hlm. 72.
30 Bab I: Pendaduluan
Konfrontasi yang berkepanjangan antara Indonesia dan
Belanda tersebut akhirnya membuat Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) turun tangan. PBB mendesak kedua belah pihak
agar menyelesaikan konflik tersebut melalui jalan damai
dengan melibatkan pihak ketiga yakni BFO (Byeenkomst voor
Federal Overleg), sebuah ikatan negara-negara bagian bentukan
Belanda. Sebagai upaya untuk mewujudkan resolusi PBB
tersebut, pada tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November
1949 dilaksanakan konferensi di Den Haag, Belanda, yang
dikenal sebagai Konferensi Meja Bundar (KMB). KMB
menghasilkan tiga keputusan mendasar. Pertama, pembentukan
Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Kedua, penyerahan
kedaulatan kepada RIS. Ketiga, pembentukan UNI-RIS-
Belanda.65
Sebagai dasar berdirinya RIS hasil KMB, delegasi RI
bersama dengan BFO merancang sebuah UUD yang diberi
nama Konstitusi RIS. Pada tanggal 27 Desember 1949 jam 10.17
pagi, di hadapan ketiga delegasi Ratu Juliana menandatangani
Akta Penyerahan Kedaulatan. Peristiwa tersebut membawa
konsekuensi pada berlakunya semua persetujuan hasil KMB
dan berlakunya Konstitusi RIS 1949. Dengan berdirinya RIS,
maka posisi RI hanya sebagai salah satu “Negara Bagian” dalam
RIS, dengan wilayah kekuasaan sebagaimana yang disepakati
dalam Perjanjian Renville. Demikian juga dengan berlakunya
Konstitusi RIS, maka UUD 1945 hanya berlaku dalam Negara
Bagian RI. Secara anatomik, Konstitusi RIS tersusun atas dua
bagian, yakni Pembukaan dan Batang Tubuh yang memuat 6
bab dan 197 pasal, jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan
UUD 1945. Konstitusi tersebut sebenarnya hanya dimaksudkan
untuk bersifat sementara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal
186 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi)
________________________ 65 Ibid., hlm. 74.
Rohidin 31
bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya
menetapkan konstitusi Republik Indonesia Serikat”.66
Menariknya, Konstitusi RIS memberi penekanan yang
signifikan tentang HAM. Dalam Konstitusi RIS butir-butir
HAM tidak hanya disebut secara eksplisit, tetapi cakupannya
juga lebih luas jika dibandingkan dengan UUD 1945. Ada 35
pasal (Pasal 7 hingga Pasal 41) yang memberi jaminan
konstitusional atas HAM. Rumusan tentang HAM dalam
konstitusi tersebut diatur dalam bagian tersendiri, yakni Bab I,
Bagian 5 Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia,
tercantum dalam 27 pasal. Bahkan Konstitusi RIS juga mengatur
tentang kewajiban asasi negara dalam hubungannya dengan
penegakan HAM, yakni pada Bab I, Bagian 6 Asas-asas Dasar,
yang terbentang pada 8 pasal.67 Rumusan HAM tersebut
ditempatkan mendahului bagian-bagian lain yang mengatur
lembaga negara dan kewenangannya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa dimensi HAM dalam Konstitusi RIS lebih
diutamakan daripada kekuasaan negara.
Konstruk HAM dalam tubuh konstitusi RIS yang
tercantum dalam bagian 5 Hak dan Kebebasan Dasar Manusia
tersebut bisa digambarkan sebagai berikut:
“Penekanan terhadap penegakan dan jaminan atas HAM dalam Konstitusi RIS secara historis sangat dipengaruhi oleh DUHAM, yang diikrarkan pada 10 Desember 1948. Diseminasi HAM versi PBB tersebut dalam konteks internasional pada waktu itu sangat mempengaruhi konstitusi-konstitusi negara di dunia, termasuk Konstitusi RIS.68
________________________ 66 Lihat, Ibid., hlm. 74-75. 67 Ibid., hlm. 102. 68 Ibid., hlm. 102.
32 Bab I: Pendaduluan
3. HAM Dalam UUDS 1950 (1950-1959)
Konstitusi RIS yang dinyatakan berlaku pada 27
Desember 1949 ternyata tidak berusia panjang. Momentum
peringatan Hari Ulang Tahun Ke-5 RI, 17 Agustus 1950
menandakan sebuah era baru bagi iklim ketatanegaraan
Indonesia. Pada saat itu Konstitusi RIS dengan segala
konsekuensinya berubah menjadi UUDS 1950.UUDS 1950
merupakan bukti historis kembalinya Indonesia kepada bentuk
NKRI. Perubahan dari Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950
dilatarbelakangi oleh desakan rakyat yang menghendaki negara
kesatuan. Bentuk negara serikat di mana wilayah-wilayah
Indonesia berada dalam negara-negara bagian ternyata telah
mengakibatkan disharmoni di kalangan masyarakat. Bahkan
tidak jarang era Pemerintahan Federal Indonesia telah
menciptakan revolusi fisik di beberapa wilayah Indonesia.69
Kembalinya bentuk negara kesatuan tersebut juga tidak lepas
dari upaya golongan unitaris yang menghendaki Indonesia
menjadi negara kesatuan kembali dengan menyarankan kepada
negara-negara bagian agar mau bergabung dengan RI yang
berkedudukan di Yogyakarta. Usaha tersebut berhasil, terbukti
mulai bulan Mei 1950 anggota RIS tinggal tiga negara bagian
yaitu RI, Negara Sumatera Timur, dan Negara Indonesia
Timur.70
________________________ 69 Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia,
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia Jakarta, Jakarta, 1983, hlm. 82. Bandingkan dengan, Majda El-Muhtaj, Op. Cit., hlm. 76.
70 Upaya penggabungan negara-negara bagian tersebut sebenarnya harus dilakukan dengan UU Federal, sesuai dengan konstitusi RIS, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 44; “Perubahan daerah sesuatu daerah bagian, demikian pula masuk ke dalam atau menggabungkan diri kepada suatu daerah bagian yang telah ada, hanya boleh dilakukan oleh sesuatu daerah ... menurut aturan-aturan yang ditetapka dengan UU Federal .... Kenyataannya, penggabungan tersebut tidak berdasarkan UU Federal. Maka, penggabungan tersebut disahkan dengan UU Darurat No. 11 tahun 1950 yang dikeluarkan dengan berlandaskan pada Pasal 139 KRIS yang menyatakan; (1)
Rohidin 33
Keputusan beralihnya Konstitusi RIS kepada UUDS 1950
terjadi sesudah diadakan perundingan antara Pemerintah
Negara Bagian RI dengan Pemerintah Pusat Federal yang telah
diberikan kuasa oleh Negara Bagian Indonesia Timur dan
Sumatera Timur.71 Dalam perundingan tersebut disepakati
sebuah alternatif sebagai dasar untuk menuju NKRI, yaitu pasal-
pasal dalam Konstitusi RIS yang bersifat federalis dihilangkan
dan diganti dengan pasal-pasal yang bersifat kesatuan.
Kemudian pada tanggal 19 Mei 1950, berhasil ditandatangani
Piagam Persetujuan yang secara pokok memuat pernyataan
bahwa dalam waktu yang sesingkat-singkatnya bersama-sama
melaksanakan Negara Kesatuan, sebagai jelmaan dari RI
berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.72
Berkaitan dengan persetujuan tersebut maka diperlukan
perubahan atau penggantian Konstitusi RIS. Meskipun
Konstitusi RIS tersebut bersifat sementara, namun belum
dimungkinkan untuk melakukan “penggantian”, karena sesuai
dengan Pasal 186 Konstitusi RIS, penetapan sebuah konstitusi
sebagai pengganti Konstitusi RIS hanya bisa dilakukan
olehKonstituante (sidang pembuat undang-undang) bersama
pemerintah, sedangkan Konstituante sendiri harus dipilih
rakyat melalui pemilihan umum yang tentunya akan memakan
waktu lama. Sehubungan dengan itu maka dilakukan
________________________
Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggungjawab sendiri menetapkan UU Darurat... (2) UU Darurat mempunyai kekuasaan dan kuasa UU Federasi...Lihat, B. Hestu Cipto Handoyo, Op. Cit., hlm. 64.
71 Dalam bagian “Menimbang” UUDS 1950 tercantum penjelasan penggantian Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 berdasarkan pertimbangan: Ini adalah kehendak rakyat dan dilaksanakan kehendak rakyat ini, adalah, setelah terlebih dahulu dilakukan pembicaraan di antara pemerintah Negara RI dengan Pemerintah Negara RIS yang mewakili Negara-negara Bagian Indonesia Timur dan Sumatera Timur. Dan pembicaraan-pembicaraan ini menghasilkan suatu persetujuan pendapat mengenai penggantian UUD Konstitusi 1949 dengan UUDS RI No. 7 Tahun 1950. Ramdlon Naning, Op. Cit., hlm. 82.
72 B. Hestu Cipto Handoyo, Op. Cit., hlm. 65.
34 Bab I: Pendaduluan
“perubahan” Konstitusi RIS. Perubahan konstitusi ini dapat
dilakukan dengan lebih cepat, karena cukup dilakukan dengan
UU Federal, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 190
Konstitusi RIS. Berpijak pada hal tersebut diterbitkanlah UU
Federal No. 7 Tahun 1950, tentang Perubahan Konstitusi
Sementara RIS menjadi UUDS RI. Perubahan konstitusi ini pada
intinya hanyalah penggantian sebagian pasal-pasal di
dalamnya.73
Menurut catatan Mahfud MD, dilihat dari sudut bentuk,
UUDS 1950 merupakan bagian dari UU Federal No. 7 Tahun 1950
Tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia
Serikat menjadi UUDS RI.74 Dengan demikian fungsi UU No. 7
Tahun 1950 hanya memberlakukan UUDS, atau lebih tegasnya
hanya mengubah Konstitusi RIS menjadi UUDS, sehingga ketika
UUDS 1950 berlaku maka tugas UU No. 7 Tahun 1950 telah
selesai.
Secara anatomik, UUD 1950 terdiri atas 6 Bab dan 146
pasal. Sebagaimana telah ditegaskan diatas UUDS 1950
merupakan perubahan dari Konstitusi RIS 1949, maka perihal
HAM secara umum juga memiliki kesamaan meskipun terdapat
perbedaan-perbedaan yang prinsipil. Menurut Soepomo,
sebagaimana dikutip oleh Majda, setidaknya terdapat tiga
perbedaan mendasar antara UUDS 1950 dengan Konstitusi RIS
1949 dalam penegasan tentang HAM. Pertama, pernyataan
meliputi kebebasan bertukar agama dan keyakinan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 18 Konstitusi RIS 1949 tidak lagi
ditegaskan dalam UUDS 1950. Kedua, hak berdemonstrasi dan
hak mogok kerja yang tidak terdapat pada Konstitusi RIS 1949
diatur dalam Pasal 21 UUDS 1950. Ketiga, pengadopsian dasar
________________________ 73 Ibid., hlm. 65-66. 74 Majda El-Muhtaj, Op. Cit., hlm. 77.
Rohidin 35
perekonomian pada Pasal 33 UUD 1945 dalam Pasal 38 UUDS
1950.75
UUDS 1950 tidak hanya memberi penegasan mengenai
hak-hak asasi secara individu, tetapi juga memberi penekanan
kepada fungsi dan manfaat sosial. Hal tersebut tampak dalam
penjelasan tentang hak milik dalam Pasal 26 ayat (3) yang secara
eksplisit menyatakan, “hak milik itu adalah fungsi sosial”.76
4. HAM Dalam UUD 1945 (Pemberlakuan II [1959-
Sekarang])
Keberadaan UUDS 1950 dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia ternyata juga tidak berusia panjang. Dekrit
Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 menyatakan UUDS 1950
sudah tidak efektif lagi dan beralih kembali kepada
pemberlakuan UUD 1945. Kenyataan ini berimplikasi kepada
materi muatan konstitusi itu sendiri. Sehingga apa yang pernah
dimuat dalam UUD 1945 pada awal berlakunya dinyatakan
berlaku kembali.
Berdasarkan hasil pemilu 1955, sebenarnya Konstituante
diberi kewenangan untuk melakukan penyusunan UUD yang
tepat bagi Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Bab V
Pasal 134 UUDS 1950. Namun selama persidangan Majelis
Konstituante sejak tanggal 10 November 1956 hingga 2 Juni
1959, telah terjadi perdebatan sengit dalam tiga agenda sidang,
yakni: dasar negara (1957), HAM (1958), dan pemberlakuan
kembali UUD 1945. Ide tentang pemberlakuan kembali UUD
1945 muncul mengingat UUDS 1950 menganut sistem
pemerintahan liberal, supaya diperoleh kembali pemerintahan
dalam bentuk negara kesatuan, maka UUD 1945 menjadi
________________________ 75 Ibid., hlm. 107-108. 76 Ibid., hlm. 109.
36 Bab I: Pendaduluan
pilihan terbaik. Meskipun begitu, kemunculan ide ini
mengundang reaksi di kalangan Majelis Konstituante.77
Sementara itu, di luar Konstituante, Presiden Soekarno
melalui Rapat Dewan Menteri pada tanggal 19 Februari 1959 di
Bogor telah mengambil keputusan dengan suara bulat mengenai
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) di bawah
Soekarno dengan menegaskan kembali ke UUD 1945. Keputusan
Dewan Menteri ini merupakan langkah awal pemberlakuan
kembali UUD 1945. UUD 1945 dalam keputusan tersebut
dipertahankan sebagai keseluruhan, sedangkan mengenai
perubahannya dikembalikan pada Pasal 37 UUD 1945.78
Keadaan ini diperkeruh dengan suasana perpolitikan yang
semakin mengkhawatirkan. Berbagai pemberontakan sebagai
artikulasi politik yang tidak terakomodasi bermunculan. Atas
dasar kondisi tersebut maka Presiden Soekarno menyatakan
negara dalam keadaan darurat (Staat van Oorlog en Beleg) dan
kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
menyatakan:79
a. Pembubaran Konstituante. b. Pemberlakuan kembali UUD 1945. c. Penarikan kembali UUDS 1950 dan dalam waktu
sesingkat-singkatnya mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD 1945.
________________________ 77 Ibid., hlm. 80. 78 Keputusan Dewan Menteri ini menjadi alat mobilisasi kekuatan di luar
Konstituante, sehingga persidangan dalam Majelis Konstituante menjadi tidak kondusif. Bahkan tekanan secara politik dilakukan oleh kekuatan Angkatan Darat yang mendesak secepatnya untuk kembali kepada UUD 1945. Hal tersebut merupakan bentuk intervensi pemerintah yang seharusnya tidak boleh terjadi.Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang terpusat di tangan Soekarno mengakibatkan lemahnya kontrol atas pemerintahan. Hal tersebut membuatPemerintahan Indonesia mengalami suasana tidak kondusif dan memprihatinkan yang berpuncakpada peristiwa Gerakan 30 September 1965. Lihat, Ibid., hlm. 81.
79 Ibid., hlm. 82.
Rohidin 37
Sejak diberlakukannya UUD 1945 setelah Dekrit Presiden
1959, praktis secara yuridis UUD 1945 belum pernah mengalami
perubahan. Meskipun begitu, dalam praktik kenegaraan
sebenarnya sudah mengalami perubahan berulangkali, walapun
hanya dalam tataran penafsiran. Pelaksanaan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen, baik dalam era Demokrasi Terpimpin dan
Demokrasi Pancasila (Orde Baru) ternyata hanya merupakan
retorika politik dari pemegang kekuasaan masing-masing era
tersebut.80
Materi HAM dalam UUD 1945 tidak mengalami perubahan
apapun meskipun diakui sangat ringkas. Sisi fleksibilitas UUD
1945 mengakibatkan fleksibel pula arah penegakan HAM di
Indonesia. Jika konfigurasi politik demokratis maka HAM akan
mendapatkan tempat dan implementasi yang relatif
proporsional, tetapi jika konfigurasi politik berada di bawah
payung otoritarian maka HAM akan mendapat perlakuan yang
buruk.81
C. Hak Kebebasan Beragama dalam Konstruksi Regulasi
di Negara Hukum Indonesia
Secara normatif, jaminan kebebasan kehidupan beragama
di Indonesia sebenarnya cukup kuat. Namun, keindahan aturan-
aturan normatif tidak serta-merta indah pula dalam
kenyataannya. Ada sebagian warga negara Indonesia yang
merasa dikekang kebebasannya dalam memeluk agama dan
berkeyakinan. Kebebasan itu hanya ada dalam agama yang
“diakui” pemerintah, artinya kalau memeluk agama di luar
________________________ 80 B. Hestu Cipto Handoyo, Op. Cit., hlm. 278. 81 Majda El-Muhtaj, Op. Cit., hlm. 112.
38 Bab I: Pendaduluan
agama yang “diakui” itu maka ada efek yang dapat mengurangi
hak-hak sipil warga negara.
Prinsip kebebasan beragama di Indonesia di samping
mengacu kepada instrumen internasional mengenai HAM, juga
mengacu kepada konstitusi dan sejumlah undang-undang
lainnya yang berkaitan dengan penjaminan HAM. Di
antaranya, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No. 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional
tentang pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh
warga negara tanpa kecuali. Kovenan tersebut ditandatangani
oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2005
melalui UU No. 11 Tahun 2005. Penandatanganan ini menjadi
salah satu langkah awal yang diambil oleh pemerintah dalam
menegakkan hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya,
termasuk kebebasan beragama di Indonesia.
Jaminan konstitusional terkait hak kebebasan beragama
pertama-tama dapat dilihat dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD
1945 yang menyatakan bahwa:
1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Secara eksplisit, pasal ini mengikuti prinsip-prinsip
universal hak asasi manusia dalam soal kebebasan sipil (civil
Rohidin 39
liberties). Jaminan kebebasan beragama adalah sebuah
keniscayaan, namun Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 membatasi hak
tersebut dengan menetapkan: “Negara berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa.” Implikasi dari ayat ini adalah bahwa agama dan
kepercayaan yang tidak ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak
dijamin haknya oleh negara. Dengan kata lain, negara tidak
menganggap seseorang sebagai warga negara bila ia “tidak ber-
Ketuhanan Yang Maha Esa” dan karena itu ia tidak memperoleh
perlindungan negara.82
Senada dengan pasal tersebut, Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) melalui ketetapannya No. VII/MPR/1998
tentang Piagam Hak Asasi Manusia Pasal 13 juga menegaskan
bahwa setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Penjaminan yang sama juga dinyatakan dalam Pasal 29 ayat (2)
yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Keberadaan kedua pasal tersebut (Pasal 28E dan Pasal 29), tidak
saja menjadi konstruksi legal yang memberikan perlindungan
konstitusional bagi warga negara untuk mempraktikkan
kebebasan beragama dan keyakinan, namun juga memberi
pengakuan sosiologis atas fakta keberagamaan dan
kebhinekaan yang telah lama tumbuh dan berkembang serta
menjadi modal sosial terbentuknya bangsa Indonesia.83
________________________ 82 Rocky Gerung “Agama dan Negara” dalam Ahmad Suaedy (dkk.),
Beragama, Berkeyakinan dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Publikasi Setara Institute, Jakarta, 2009, hlm. 186.
83 M. Atho Muzhar berpendapat bahwa kebebasan beragama yang diatur dalam kedua pasal tersebut bukanlah kemerdekaan yang tidak ada batasnya. Hak-hak asasi manusia dalam beragama dan dalam hal-hal lainnya bukanlah cek kosong yang dapat diisi dengan apa saja atau dengan common sense, melainkan senantiasa dibatasi oleh kewajiban menghormati hak orang lain dan karena itu dapat dibatasi oleh undang-undang. Lihat, Ahmad Suaedy (dkk.), Islam, Konstitusi dan Hak Asasi
40 Bab I: Pendaduluan
Selanjutnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan
merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam
Pasal 22 ditegaskan:
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam Pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Dari pasal tersebut jelas bahwa negara (baca: Pemerintah)
adalah institusi yang pertama-tama berkewajiban untuk
menjamin kebebasan berkeyakinan dan segala sesuatu yang
menjadi turunannya, seperti pengakuan hak-hak sipilnya tanpa
diskriminasi. Dalam Pasal 1c UU No. 39 Tahun 1999 dijelaskan
bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan,
atau pengucilan yang langsung maupun tidak didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar suku, ras, etnis, kelompok,
golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan,
atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan
hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik
individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi,
hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.
Kebijakan tentang jaminan kebebasan beragama juga terdapat
dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik Pasal 18, yang
berbunyi:
________________________
Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, The WAHID Institute, Jakarta, 2009, hlm. 43-44.
Rohidin 41
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama. Hak ini menyangkut kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan ibadat, ketaatan pengamalan dan pengajaran.
2. Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Sementara terkait dengan persoalan penyalahgunaan atau
penodaan agama, pemerintah mengaturnya dalam UU No.
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama. Pada Penjelasan Pasal 1 UU tersebut
disebutkan bahwa: “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk
Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan
Konghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah
perkembangan agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini
adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk
Indonesia, maka selain mendapatkan jaminan seperti yang
tertuang dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, mereka juga
mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang
diberikan oleh pasal ini.”84
Jika ditelusuri lebih lanjut, aspek-aspek yang dibatasi
dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UU No. 1/PNPS/1965
masih sangat luas, tidak saja mencakup kebebasan eksternal,85
________________________ 84 Siti Musdah Mulia “Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di
Era Reformasi” dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Efendi, ICRP, Jakarta, 2009, hlm. 341.
85 Kebebasan ini menegaskan bahwa setiap orang memiliki kebebasan, secara individu maupun dalam masyarakat, secara publik maupun pribadi, untuk memanifestasikan agama dan kepercayaannya dalam pengajaran, pengamalan, dan peribadatannya.
42 Bab I: Pendaduluan
tetapi juga kebebasan internal.86 Ketentuan semacam ini oleh
sebagian kalangan dirasa bertentangan dengan peraturan-
peraturan yang lain seperti Pasal 28E, Pasal 28I UUD 1945, Pasal
4 UU No. 39/1999 dan Pasal 18 Kovenan Hak Sipil Politik yang
menganut pemisahan antara kebebasan internal dan eksternal.
Dalam konteks inilah dapat kita lihat bahwa problematika
mendasar tentang persoalan kebebasan beragama ini adalah
terkait dengan masih adanya ketidakharmonisan antara satu
peraturan dengan peraturan yang lainnya sehingga melahirkan
ketidakpastian hukum bagi warga negara.
Namun perlu dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama
tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang membawa implikasi
pembedaan status hukum tentang agama yang diakui
melainkan bersifat konstatasi tentang agama-agama yang
banyak dianut di Indonesia. Hal ini diperjelas oleh undang-
undang itu sendiri yang menyatakan bahwa: “Ini tidak berarti
bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian, Shinto,
Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh
seperti yang diberikan Pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan
adanya…”. Karenanya, menjadi satu keharusan bagi setiap
agama, keyakinan, dan kepercayaan apapun yang hidup di
negeri ini untuk mendapatkan perlakuan yang setara tanpa
melihat ada tidaknya pengakuan legal dari negara tentang
keberadaannya.
Mengacu kepada dokumen HAM internasional, konstitusi,
dan sejumlah undang-undang sebagaimana telah disebutkan di
atas, maka bagi Musdah kebebasan beragama harus dimaknai
sebagai berikut:87
________________________ 86 Kebebasan pada level ini ingin menegaskan bahwa setiap orang
mempunyai hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, termasuk untuk berpindah agama atau kepercayaannya.
87 Ibid., hlm. 6-8.
Rohidin 43
1. Kebebasan setiap warga negara untuk memilih agama atau menentukan agama dan kepercayaan yang dipeluk, serta kebebasan melaksanakan ibadat menurut agama dan keyakinan masing-masing.
2. Kebebasan dan kemerdekaan menyebarkan agama, menjalankan misi atau berdakwah dengan syarat semua kegiatan penyebaran agama itu tidak menggunakan cara-cara kekerasan maupun paksaan secara langsung maupun tidak langsung. Demikian pula tidak mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan masyarakat atau bersifat merendahkan martabat manusia sehingga tidak dibenarkan melakukan pemberian bantuan apa pun, pembagian bahan makanan, pemberian beasiswa atau dana kemanusiaan kepada anak-anak dari keluarga miskin atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam agama tertentu.
3. Kebebasan beragama seharusnya mencakup pula kebebasan untuk berpindah agama, artinya berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Setiap warga negara berhak untuk memilih agama dan kepercayaan apapun yang diyakininya dapat membawa kepada keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, berpindah agama hendaknya dipahami sebagai sebuah proses pencarian atau penemuan kesadaran baru dalam beragama.
4. Kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebolehan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau berbeda sekte atau berbeda faham keagamaan sepanjang perkawinan itu tidak mengandung unsur pemaksaan dan eksploitasi. Artinya, perkawinan itu bukan dilakukan untuk tujuan perdagangan perempuan dan anak (trafficking in women and children) yang akhir-akhir ini menjadi isu global.
5. Kebebasan beragama hendaknya juga mencakup kebebasan mempelajari ajaran agama manapun di lembaga-lembaga pendidikan formal, termasuk lembaga pendidikan milik pemerintah.
44 Bab I: Pendaduluan
Konsekuensinya, setiap siswa atau mahasiswa berhak memilih atau menentukan agama mana yang akan dipelajarinya. Tidak boleh dibatasi hanya pada agama yang dianut peserta didik. Demikian juga, kebebasan untuk memilih tidak mengikuti pelajaran agama tertentu. Akan tetapi, lembaga pendidikan dapat mewajibkan peserta didiknya untuk mengikuti pelajaran budi pekerti atau etika berdasarkan Pancasila, karena pelajaran itu penting bagi pembentukan karakter warga negara yang baik.
6. Kebebasan beragama memungkinkan negara dapat menerima kehadiran sekte, paham, dan aliran keagamaan baru sepanjang tidak menggangu ketenteraman umum dan tidak pula melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum, seperti perilaku kekerasan, penipuan atau pembodohan warga dengan kedok agama.
7. Kebebasan beragama mendorong lahirnya organisasi-organisasi keagamaan untuk maksud meningkatkan kesalehan warga, meningkatkan kualitas kecerdasan emosional dan spiritual berdasarkan ajaran agama tertentu selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu agama atau keyakinan sebagai syarat. Konsekuensinya, negara atau otoritas keagamaan apa pun tidak boleh membuat fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan seseorang sebagai kafir, murtad, atau berdosa;atau memberi label terhadap suatu paham, sekte, aliran keagamaan atau kepercayaan tertentu sebagaipaham sesat.
8. Kebebasan beragama mengharuskan negara bersikap dan bertindak adil pada semua penganut agama dan kepercayaan yang hidup di negara ini. Negara tidak boleh memihak kelompok keagamaan tertentu dan mendiskriminasikelompok lainnya. Dalam konteks ini seharusnya tidak ada istilah mayoritas dan minoritas, juga tidak ada istilah penganut agama samawi dan non-samawi. Demikian juga tidak perlu ada istilah agama
Rohidin 45
induk dan agama sempalan. Jangan lagi ada istilah agama resmi dan tidak resmi atau diakui dan tidak diakui pemerintah. Setiap warga negara mendapatkan hak kebebasannya dalam menentukan pilihan agamanya.
Dalam kenyataannya, “potret buram” perjalanan terkait
implementasi jaminan hak kebebasan beragama dalam
konstruksi peraturan perundangan di Indonesia ternyata juga
tidak luput dari sorotan Komite Anti Penyiksaan PBB. Salah
satu keprihatinan yang menjadi sorotan Komite Anti
Penyiksaan PBB atas laporan pelaksanaan Pasal 19 Tentang
Konvensi Anti Penyiksaan oleh Pemerintah Indonesia adalah
terkait dengan isu agama “resmi” dan ”tidak resmi”. Dalam hal
ini, Komite melihat adanya pembedaan serius—sebagaimana
termuat dalam sejumlah peraturan perundang-undangan—
antara Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu
dengan agama dan aliran kepercayaan lainnya. Dalam
menghadapi kondisi tersebut, Komite selanjutnya
merekomendasikan agar Negara Pihak memperlakukan dengan
sama semua agama dan kepercayaan, menghargai kebebasan
berpikir, keyakinan, dan beragama berbagai kelompok etnis
minoritas dan/atau masyarakat indigeneous (indigeneous peoples).
Komite ini juga merekomendasikan agar kolom agama dalam
KTP dan Akte Kelahiran dihapuskan.
Menindaklanjuti hal ini, Dewan HAM PBB (Human Rights
Council) di Geneva mengeluarkan laporan tertanggal 16 Februari
2009 bertajuk Report of the Special Rapporteur on Freedom on Religion
or Belief yang memuat komentar Asma Jahangir berjudul
“Promotion and Protection of all Human Rights, Civil, Political,
Economic, Social and Cultural Rights, Including the Rights to
Development.” Dalam komentarnya, Asma mengingatkan
kembali akan kewajiban negara Indonesia untuk melindungi dan
46 Bab I: Pendaduluan
menjamin kelompok minoritas apapun yang hidup di wilayah
yurisdiksinya. Dia mengingatkan akan kandungan Pasal 18 ayat
(2) ICCPR yang berbunyi: “Tidak seorang pun dapat dipaksa
sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau
menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan
pilihannya.”88
Dari pasal-pasal yang mengatur tentang kebebasan
beragama di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa meski
secara konstitusi jaminan atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan cukup kuat, namun pada tingkat implementasi
masih terdapat ragam kelemahan. Bahkan ada kesan, paradigma
dan perspektif pemerintah dalam melihat agama dan segala
keragamannya tidak berubah. Keragaman masih dianggap
sebagai ancaman daripada kekayaan. Watak negara yang ingin
sepenuhnya menguasai segi-segi kehidupan dalam masyarakat,
terutama keyakinan, sebagai ciri negara otoriter juga belum
sepenuhnya hilang.
________________________ 88 Ahmad Suaedy (dkk.), Op. Cit., hlm. 8-9.
Rohidin 47
Konsep Dasar Kebebasan Beragama
A. Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum Indonesia
1. Arti dan Cakupan Konsep Kebebasan Beragama
Istilah kebebasan beragama merupakan frasa yang
tersusun dari dua kata “kebebasan” dan “beragama”. Secara
etimologi kebebasan berakar dari kata bebas, yang berarti lepas
sama sekali (tidak terhalang dan terganggu sehingga boleh
bergerak, berbicara, dan berbuat dengan leluasa).Selain itu, bebas
juga memiliki arti lepas dari kewajiban, tuntutan, tidak terikat
atau terbatas oleh aturan-aturan, dan merdeka.1 Sedangkan
secara terminologis, Isaiah Berlin membagi kebebasan dalam
bentuk positif dan negatif. Kebebasan dalam bentuk positif berarti
‘apa atau siapa’, yang bertindak sebagai sumber hukum yang bisa
menentukan seseorang untuk menjadi, melakukan, atau
mendapatkan suatu kebebasan, sementara dalam bentuk negatif
bersinggungan dengan ruang lingkup di mana seseorang harus
dihormati atau dilindungi untuk menjadi atau melakukan sesuatu
________________________ 1 Dendy Sugono (red.), Kamus Bahasa Indonesia, Depdiknas, Jakarta, 2008.,
hlm. 153.
48 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
seperti yang dikehendakinya tanpa ada paksaan atau larangan dari
pihak lain.2
Dalam Kamus Hukum Black’s, kebebasan diartikan sebagai
sebuah kemerdekaan dari beragam bentuk larangan, kecuali
larangan yang telah diatur di dalam undang-undang.3 Pengertian
kebebasan yang diutarakan dalam kamus tersebut merupakan
kebebasan dalam bentuknya yang positif. Sesuai dengan pengertian
tersebut, kebebasan manusia tidak bersifat absolut, tetapi dibatasi
oleh peraturan hukum. Kebebasan dalam bentuk positif merupakan
kebebasan dalam sebuah bingkai aturan, sehingga dalam tataran
praktis setiap manusia mempunyai hak untuk melakukan ataupun
tidak melakukan sesuatu, selama hal tersebut tidak menyalahi
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Lain halnya dalam
bentuk negatif, yang mana kebebasan tersebut bersinggungan
dengan ruang lingkup, di mana seseorang harus dihormati dan
dilindungi untuk menjadi atau melakukan sesuatu seperti yang
dikehendakinya tanpa ada paksaan atau larangan dari pihak lain.4
Kebebasan dalam bentuk negatif ini dapat dilihat dalam kamus
John Kersey, yang mengartikan kebebasan sebagai kemerdekaan
meninggalkan atau bebas meninggalkan. Jadi, manusia bebas untuk
tidak melakukan atau meninggalkan suatu hal.5
Sedangkan kata kedua (beragama) memiliki akar kata yang
berupa agama. Banyak istilah yang digunakan untuk kata agama,
sesuai dengan tradisi bahasa yang digunakan, seperti religion
________________________ 2 Isaiah Berlin, “Two Concepts of Liberty”, dalam David Miller (ed.),
Liberty, Oxford University Press, Oxford, 1991, hlm. 34. 3 Henry Campbell (ed.), Black’s Law Dictionary: Definition of The Terms and
Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern,West Publishing Co, St. Paul, 1990, hlm. 918.
4 Baca, Isaiah Berlin, “Two Concept of Liberty”, Loc. Cit. 5 Telusuri selengkapnya dalam, Jay Newman, On Religious Freedom, (E-Book),
University of Ottawa Press, hlm. 18, dalam http://books.google. co.uk/books/id=ZNvhUJhkEaYC&pg=PA18&dq=religious+liberty+definition&sig=v_ONZVSgZrVp1jV39xYlnKXaNJk (Diakses pada tanggal 12 Desember 2010).
Rohidin 49
dalam masyarakat yang memiliki tradisi bahasa Inggris atau juga
al-dīn dalam masyarakat dengan tradisi bahasa Arab. Baik istilah
agama, religion, maupun al-dīn, secara umum memiliki
kesepadanan makna. Secara lexical meaning agama berarti ajaran,
sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang
bertalian dengan pergaulan antarmanusia dan manusia beserta
lingkungan dengan kepercayaannya. Sehingga, beragama,
sebagai bentuk kata kerjanya, berarti menganut (memeluk)
agama, mematuhi segala ajaran agama, dan taat kepada agama.6
Meskipun demikian, bagi kalangan tertentu agama merupakan
objek dari HAM yang paling sulit untuk didefinisikan, karena
agama memiliki arti yang berbeda untuk tujuan yang berbeda.7
Bahkan, beberapa instrumen internasional, seperti ICCPR, hanya
merumuskan tentang kebebasan beragama tanpa mendefinisikan
istilah agama itu sendiri.
Setiap agama memiliki pengertian sendiri tentang agama
dan unsur-unsur yang ada dalam agama tersebut. Selama ini
belum ada keseragaman tentang definisi agama dari para
pemeluk agama. Setiap pemeluk agama mempunyai keyakinan
dan cara memanifestasikan keyakinan tersebut secara berbeda-
beda. Namun demikian, terdapat acuan yang bisa digunakan
untuk mengidentifikasi sesuatu sebagai agama, yaitu dengan
mengkaji aspek-aspek metafisiknya. Pertama, adanya
kepercayaan terhadap Tuhan. Kedua, agama secara psikologis
memengaruhi pemahaman manusia yang mempercayainya.
Ketiga, agama merupakan kekuatan budaya dan sosial dari
simbol-simbol yang melekat padanya.8 Meskipun pembahasan
mengenai definisi agama belum final, bukan berarti konsep
________________________ 6 Dendy Sugono (red.), Op. Cit., hlm. 17. 7 Timothy Macklem, ”Faith as a Secular Value”, McGill Law Journal,
February 2000, hlm. 10. 8 Ibid., hlm. 106.
50 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
tentang kebebasan beragama tidak bisa dirumuskan dan
dijalankan.
Berdasarkan definisi John Kersey di atas, jika kebebasan
dikaitkan dengan konteks kehidupan beragama, maka kebebasan
beragama mengandung pengertian bahwa setiap individu
memiliki kebebasan untuk memeluk maupun tidak memeluk
suatu agama. Sejalan dengan pengertian ini, Al Khanif
menyatakan bahwa:
“Pengertian kebebasan beragama mencakup hak untuk mempunyai atau menetapkan suatu agama atau kepercayaan, di mana hak tersebut adalah hak untuk meyakini atau tidak meyakini sama sekali suatu agama, baik yang bersifat theistik maupun yang non-theistik, dan untuk memanifestasikan bentuk-bentuk ritual keagamaan baik sendiri-sendiri maupun di masyarakat dan di tempat umum atau pribadi seperti yang diatur di dalam hak asasi manusia internasional.”9
Jika konsep kebebasan beragama secara umum
dihubungkan dengan konsep kebebasan dalam kamus Black’s—
sebagaimana terurai di atas—maka kebebasan beragama tidak
bersifat mutlak, tetapi terdapat batas-batas tertentu yang
ditetapkan oleh pemerintah melalui konstitusi sebagai upaya
untuk melindungi hak-hak warga negara lainnya, menjaga
ketertiban umum, dan menjaga kedaulatan negara.
Secara substansial, tidak jarang agama atau kepercayaan
cenderung menjadi konglomerasi dari berbagai nilai-nilai, klaim,
dan hak. Kebebasan beragama itu sendiri memiliki beberapa
dimensi. Sebuah agama tidak hanya menyangkut kepercayaan
seseorang, akan tetapi terkait juga dengan pengajaran, nilai,
kepercayaan, dan beribadat yang sama hubungannya dengan
manifestasi dari nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan
________________________ 9 Al Khanif, Op. Cit., hlm. 108.
Rohidin 51
masyarakat. Terdapat kecenderungan yang kuat di antara berbagai
agama untuk memasukkan ajaran dan aturannya menuju sebuah
ketundukan yang sempurna, dan dalam prosesnya, mereka kadang
memengaruhi banyak aspek dari kehidupan manusia, termasuk
sistem kekerabatan, pernikahan, hubungan keluarga, pengawasan
anak, keturunan, aturan publik, makanan dan pola diet, serta
kebebasan berekspresi dan berserikat.
Salah satu kesulitan dari ajaran agama atau kepercayaan
adalah munculnya monopoli tentang kebenaran yang mutlak.
Agama dan kepercayaan cenderung kaku dan para pengikutnya
tidak mampu mentolelir terhadap kompetisi nilai-nilai dan filosofi
agama lain. Sebagaimana dikemukakan Macaulay, tindakan
intoleransi ini dapat menggiring pengikutnya pada sebuah
anggapan bahwa; “Aku yang benar dan kamu yang salah. Jika
kamu kuat, maka kamu harus mentolelir aku dan seperti itulah
kewajibanmu untuk mentolelir kebenaran. Tetapi jika aku kuat,
maka aku akan menghukummu sebab seperti itulah kewajibanku
untuk menghukummu”. Intinya, bagi penganutnya, agama adalah
moralitas itu sendiri dan pondasi dasar yang bersifat
transendental yang lebih tegas dalam hal kewajiban daripada rival
sekuler, atau ajaran agama-agama lain.10
Berkaitan dengan hal itu, muncul tiga pandangan yang
berupa; pertama, universal absolut. Menurut pandangan ini,
HAM merupakan nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan
dalam dokumen-dokumen HAM internasional, ICCPR misalnya.
Sementara itu, profil sosial budaya yang melekat pada masing-
masing bangsa tidak diperhitungkan, seperti yang tercantum
dalam Summary of Bangkok NGO Declaration, yang di antaranya
menyebutkan bahwa; “As human rights are of universal concern and
are universal in value, the advocacy of human rights can not be
________________________ 10 Javaid Rehman, “Accommodating Religious Identities in an Islamic State:
International Law, Freedom of Religion and the Rights of Religious Minorities” dalam International Journal on Minority and Group Rights 7: 2000, hlm. 147-148.
52 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
considered to be an encroachment upon national sovereignity”.
Rumusan tersebut menyatakan bahwa kedudukan HAM sebagai
persoalan dan memiliki nilai universal, di samping
pembelaannya. Sehingga, tidak dapat dianggap sebagai
pelanggaran atas kedaulatan nasional suatu bangsa.11 Maka,
berdasarkan pada pandangan ini hak kebebasan beragama
seperti yang telah ditetapkan dalam ICCPR juga berlaku secara
mutlak tanpa mempertimbangkan sosio-kulturalsuatu negara.
Kedua, universal relatif. Konsep ini berpandangan bahwa
HAM merupakan persoalan universal. Namun demikian,
pengecualian dan pembatasan—sebagimana terdapat dalam
DUHAM dan ICCPR—yang didasarkan atas asas-asas hukum
nasional tetap diakui keberadaannya. Pandangan ini selaras
dengan Pasal 29, ayat (2) dalam DUHAM, yaitu:
“In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order, and the general welfare in a democratic society”. Artinya, batasan-batasan tersebut sangat ditentukan oleh hukum yang bertujuan untuk melindungi dan mengapresiasi hak-hak dan kebebasan orang lain, di samping pemenuhan aspek, moral, norma, dan kesejahteraan masyarakat.
Ketiga, partikular. Bagian ini terbagi dalam dua bentuk,
yakni absolut dan relatif. Partikular-absolut berpandangan
bahwa HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa
memberi alasan kuat, khususnya dalam melakukan penolakan
tehadap berlakunya dokumen-dokumen internasional.
Pandangan ini kerap menimbulkan kesan chauvinist. Sementara
partikular-relatif berpandangan bahwa konsep HAM, di
________________________ 11 A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi HAM dan Proses Dinamika
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 78.
Rohidin 53
samping dilihat sebagai masalah universal, juga merupakan
masalah nasional masing-masing bangsa. Berlakunya dokumen-
dokumen HAM internasional harus diselaraskan, diserasikan,
dan diseimbangkan serta memperoleh dukungan budaya bangsa
masing-masing. Pandangan ini tidak hanya menjadikan
kekhususan pada masing-masing bangsa untuk bersikap
defensif, tetapi di lain pihak juga aktif mencari perumusan dan
pembenaran (vindication) terhadap karakteristik HAM yang
dianutnya. Pandangan ini tampak terlihat dalam The Jakarta
Message, Butir 18, yang di antaranya berbunyi:
“We reaffirm that basic human rights and fundamental freedom are of universal validity... No country however, should use its power to dictate its concept of democracy and human rights or to impose conditionalities on others. In the promotion and the protection of these rights and freedoms, we emphasize the interrelatedness of the various categories, call for the balanced relationship between individual and community rights, uphold the competence and responsibility of national government in their implementation.”
HAM dan kebebasan dasar manusia bersifat universal. Meski
demikian, suatu negara tidak diperbolehkan untuk melakukan
intervensi terhadap negara lain dalam dua persoalan tersebut.
Dalam hal ini, keseimbangan peran tiga elemen suatu negara, yakni
hak individu, masyarakat, dan negara, sangat dibutuhkan.
2. Konsep Negara Hukum Pancasila sebagai Pola Prismatik Berkaitan dengan Kebebasan Beragama
Istilah negara secara lexical meaning berarti organisasi
dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang
sah dan ditaati oleh rakyat. Ia juga bisa didefinisikan
dengankelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah
tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik, mempunyai
kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan
54 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
nasionalnya.12 Sementara hukum dapat dipahami sebagai
seperangkat peraturan yang dibuat oleh penguasa atau adat yang
berlaku bagi semua orang dalam suatu masyarakat (negara). Ia
juga bisa diartikan denganundang-undang atau peraturan untuk
mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat, di samping juga
bisa diartikan dengan patokan (kaidah atau ketentuan) mengenai
suatu peristiwa yang tertentu.13
Penyebutan negara hukum untuk RI selama ini telah
populer di masyarakat Indonesia. Namun demikian, secara
konseptual istilah negara hukum masih menuai kontroversi yang
belum berakhir. Secara umum, istilah tersebut dianggap
terjemahan dari dua istilah, yakni; rechtsstaat dan the rule of law.
Kedua istilah tersebut secara konseptual kerap dikaitkan dengan
konsep perlindungan hukum, karena keduanya tidak terlepas
dari gagasan untuk memberi pengakuan dan perlindungan
terhadap HAM. Akan tetapi, secara mendasar
keduanyamempunyai latar belakang dan pelembagaan yang
berbeda, meskipun secara esensial sama-sama menginginkan
perlindungan bagi HAM melalui lembaga peradilan yang bebas
dan independen.
Rechtsstaat merupakan konsep negara modern yang
populer di Eropa sejak abad XIX dan kemudian menyebar ke
seluruh dunia. Istilah tersebut dikampanyekan oleh beberapa
tokoh terkemuka, seperti Immanuel Kant, Paul Laband, Julius
Stahl, dan Fitche. Konsep tersebut lahir dari suatu perjuangan
menentang absolutisme sehingga sifatnya revolusioner. Konsep
tersebut banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang
bertumpu pada sistem civil law atau modern roman law, yang
memiliki karakteristik administratif. Menurut Stahl,
sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie, elemen penting yang
________________________ 12 Dendy Sugono (red.), Op. Cit., hlm. 1069 13 Ibid., hlm. 559.
Rohidin 55
dicakup oleh konsep tersebut berupa (1) perlindungan HAM, (2)
pembagian kekuasaan, (3) pemerintahan berdasarkan undang-
undang, dan peradilan tata usaha negara.14 Mengenai istilah the
rule of law mulai poluler dengan terbitnya sebuah buku dari
Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul Introduction to the
Study of the Law of the Constitution.15 Konsep tersebut banyak
dikembangkan di negara-negara dengan tradisi Anglo Saxon
yang bertumpu pada sistem common law, yang memiliki
karakteristik judicial. Unsur-unsur penting yang dimiliki oleh
konsep tersebut menurut Dicey, sebagaimana dikutip Jimly
Asshiddiqie, adalah (1) supremacy of law, (2) equality before the law,
dan (3) due process of law.16
________________________ 14 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi,
Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 148. Dalam perkembangannya, konsep rechtsstaat mengalami transformasi dari bentuk klasik ke bentuk modern. Berdasarkan sifatnya, konsep rechtsstaat klasik disebut dengan “Klassiek liberale en democratischerechtsstaat”, yang sering disingkat dengan “Democratische Rechtsstaat”. Konsep klasik ini menurut S.W. Couwenberg dalam karyanya Westers Staatsrecht als Emancipatieproces memiliki lima asas dan prinsip-prinsip dasar yang meliputi sepuluh bidang. Lima asas tersebut berupa: asas hak-hak politik, asas mayoritas, asas perwakilan, asas pertanggungjawaban, dan asas publik. Sedangkan 10 prinsip tersebut adalah (1) pemisahan antara negara dengan masyarakat sipil, pemisahan antara kepentingan umum dan kepentingan khusus perorangan, pemisahan antara hukum publik dan hukum privat, (2) pemisahan antara negara dengan gereja, adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil, (4) persamaan terhadap undang-undang, (5) adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaan negara dan dasar sistem hukum, (6) pemisahan kekuasaan berdasarkan trias politica dan sistem “chek and balances”, (7) asas legalitas, (8) ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman yang tidak memihak dan netral, (9) prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak dan berbarengan dengan prinsip-prinsip tersebut diletakkan dengan prinsip tanggung gugat negara secara yuridis; dan (10)prinsip pembagian kekuasaan, baik teritorial sifatnya maupun vertikal (sistem federasi maupun disentralisasi). Lihat, Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dan Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 74-77.
15 Ibid., hlm. 72. 16 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 148.
56 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
Jika dilihat dari ciri-cirinya, kedua konsep tersebut
memiliki persamaan dan perbedaan yang cukup mendasar.
Persamaannya, kedua konsep tersebut menitikberatkan pada
upaya memberikan perlindungan pada hak asasi manusia,
sehingga untuk mencapai hal tersebut harus diadakan
pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam negara. Dengan
cara ini pelanggaran atas hak asasi manusia dapat
diminimalisasi, dan bahkan dicegah. Adapun perbedaan kedua
konsep tersebut terlihat pada pelembagaan dunia peradilannya,
di mana keduanya menawarkan lingkungan yang berbeda. Pada
konsep rechtsstaat terdapat lembaga peradilan administrasi yang
merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri,
sedangkan pada konsep the rule of law tidak terdapat lembaga
peradilan administrasi, sebagai lingkungan yang berdiri sendiri.
Di dalam konsep tersebut semua orang dianggap memiliki
kedudukan yang setara di depan hukum, sehingga bagi warga
negara maupun bagi pemerintah harus disediakan peradilan
yang sama.
Dilihat dari ciri-ciri tersebut, terlihat jelas betapa peranan
pemerintah hanya sedikit, karena dalam konsep tersebut
terdapat dalil “pemerintahan yang paling sedikit yang paling
baik”. Karena sifatnya yang pasif dan tunduk pada kemauan
rakyat yang liberalistik itulah, negara hanya diposisikan sebagai
nachtwachterstaat (negara penjaga malam). Sebagai nachtwachter,
pemerintah memiliki ruang gerak yang sangat sempit tidak
hanya di wilayah politik, tetapi juga pada sektor ekonomi,
dengan dalil laisses faire, laissez aller (keadaan ekonomi negara
akan sehat jika setiap manusia dibiarkan mengurus kepentingan
ekonominya masing-masing).
Konsep negara hukum (formal) tersebut secara perlahan
mendapatkan gugatan menjelang pertengahan abad XX,
tepatnya setelah Perang Dunia. Beberapa faktor yang
menyebabkannya menurut Miriam Budihadjo, sebagaimana
Rohidin 57
dikutip Mahfud MD, antara lain adalah ekses-ekses dalam
industrialisasi dan sisitem kapitalis, tersebarnya paham
sosialisme yang menginginkan pembagian kekuasaan secara
merata serta kemenangan beberapa partai sosialis di Eropa17
Konsep yang memasung peran pemerintah dalam mengatur
persoalan sosial-ekonomi rakyatnya bergeser pada konsep baru
bahwa negara harus bertanggungjawab atas kesejahteraan
rakyatnya. Oleh karena itu, pemerintah harus bersifat aktif dan
tidak boleh diposisikan sebagai nachtwachter dalam membangun
dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan mengatur
sektor tatanan sosial dan perekonomian. Demokrasi, dalam
konsep baru ini, diperluas agar dapat menjangkau dimensi
ekonomi dengan sistem, yang dapat menguasai kekuatan-
kekuatan ekonomi dan berusaha memperkecil perbedaan sosial
dan ekonomi, terutama kemampuan dalam mengatasi
ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan warga
negaranya. Konsep baru tersebut dikenal dengan istilah
welfaartsstaat (negara hukum material), yang kemudian dikenal
dengan verzorgingsstaat.18
________________________ 17 Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media,
Yogyakarta, 1999, hlm. 25. 18 Welfaartsstaat dan verzorgingsstaat merupakan konsep-konsep sosiologi dan
ilmu politik. Pada masa Kabinet Loebers, di Belanda konsep verzorgingsstaat dirasakan terlalu mahal untuk dilaksanakan, sehingga ia menjalankan kosep warborgstaat. Dengan konsep tersebut, pemerintah menyediakan minimum warborg dan kekurangannya diserahkan kepada rakyat untuk mengusahakannya secara individu melalui asuransi partikelir. Dalam konsep yuridis, A.M. Denner, sebagaimana dikutip Philipus M. Hadjon, berpendapat bahwa sosiale rechtsstaat lebih baik daripada istilah welfaartsstaat. Akan tetapi, S.W. Couwenberg berpandangan jika sosiale rechtsstaat merupakan varian dari liberal-democratischerechtsstaat. Varian tersebut di antaranya adalah (1) interpretasi baru terhadap hak-hak klasik dan munculnya serta dominasi hak-hak sosial, konsepsi baru tentang kekuasaan politik dalam hubungannya dengan kekuasaan ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan umum, karakter baru dari wet dan wetgeving, (2) kebebasan dan persamaan, yang dalam konsep klasik bersifat formal-yuridis, dalam konsep sosiale rechtsstaat ditafsirkan secara riil dalam kehidupan masyarakat, bahwa tidak terdapat persamaan mutlak di dalam masyarakat antara individu yang satu dengan yang lain.
58 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
Dengan meluasnya kampanye dan mulai diterimanya
konsep baru tersebut, ciri-ciri negara hukum yang digagas oleh
Stahl dan Dicey di atas kemudian ditinjau kembali sehingga
dapat menggambarkan peranan aktif pemerintah dalam rangka
mensejahterakan rakyatnya. Dalam sebuah konferensi yang
digelar di Bangkok pada tahun 1965, International Commmision
Jurist menekankan bahwa di samping hak-hak politik bagi
rakyat, harus diakui pula adanya hak-hak sosial-ekonomi,
sehingga standarisasi dasar sosial-ekonomi perlu dibentuk.
Dalam kesempatan itu pula, komisi tersebut merumuskan unsur-
unsur pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law,
yaitu:19
a. Perlindungan konstitusional. Artinya, selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. c. Pemilihan umum yang bebas. d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat. e. Kebebasan berserikat atau berorganisasi dan beroposisi. f. Pendidikan kewarganegaraan.
________________________
Hak-hak sosial, ekonomi, dan kultural mendapat perhatian utama, (3) legitimasi kekuasaan politik tidak lagi merupakan masalah pokok, tetapi kekuasaan ekonomi dalam masyarakat kapitalis yang liberal dan kaitan antara kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik, (4) kepentingan umum sebagai asas hukum publik, tidak lagi diartikan sebagai kepentingan negara sebagai kekuasaan yang menjaga ketertiban atau kepentingan kaum borjuis sebagai kepentingan negara sebagai basis masyarakat dari hukum liberal, (5) watak undang-undang, yang dalam konsep klasik bersifat restriktif, confirmerend, dan stabiliserend, mulai luntur karena fungsi wetgeving hanyalah sebagai formeel-juridische basis van een sosial-georenteerd overheidsbeleid. Dengan demikian, undang-undang dengan watak ratio scripta direduksi menjadi een juridis instrument ter realisering van dit beleid. Lihat,Philipus M. Hadjon, Op. Cit., hlm. 77-78.
19 Lihat, Moh. Mahfud MD, Op. Cit., hlm. 26. dan Sri Sumantri, Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1989, hlm. 12-13. Lihat uraian aslinya dalam, South-East Asian and Pasific Conference of Jurist, Bangkok, Februari, 15-19, 1965, The Dynamic Aspect of the Rule of Law in the Modern Age, International Commission of Jurist, 1965, hlm. 30-50.
Rohidin 59
Berdasarkan berbagai prinsip negara hukum yang telah
dikemukakan di atas serta melihat kecenderungan
perkembangan negara hukum modern yang melahirkan prinsip-
prinsip penting untuk mewujudkan negara hukum, Jimly
Asshiddiqie merumuskan dua belas prinsip pokok, sebagai pilar-
pilar utama yang menyangga berdirinya negara hukum. Kedua
belas prinsip tersebut adalah:20
a. Supermasi hukum (supremacy of law). b. Persamaan dalam hukum (equality before the law). c. Asas legalitas (due process of law). d. Pembatasan kekuasaan. e. Organ-organ penunjang yang independen. f. Peradilan bebas dan tidak memihak. g. Peradilan tata usaha negara. h. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). i. Perlindungan hak asasi manusia. j. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat). k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara
(welfare rechtsstaat). l. Transparansi dan kontrol sosial.
Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, gagasan
mendasar tentang pembentukan negara adalah
konstitusionalisme dan paham negara hukum. Adanya
konstitusi merupakan konsekuensi dari penerimaan atas konsep
negara hukum. Maka, ketika para pendiri Negara Indonesia
bermusyawarah guna menyusun sebuah konstitusi berarti secara
sadar mereka telah memilih konsep negara hukum. Hal tersebut
dilakukan karena adanya konstitusi berfungsi membatasi secara
hukum kekuasaan pemerintah, sehingga penggunaannya tidak
melanggar hak asasi manusia dan tidak melampaui batas-batas
kewenangan yang diberikan di dalam konstitusi tersebut. Naskah
UUD yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI secara
________________________ 20 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 150.
60 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
umum menjelaskan dengan mengatakan bahwa Indonesia Negara
berdasar atas hukum (rechtsstaat). Akan tetapi, UUD 1945 tidak
memuat pernyataan yang jelas tentang konsep negara hukum yang
mana, yang dianut di Indonesia, bahkan istilahnya pun tidak
disebut secara eksplisit, baik di dalam Pembukaan maupun Batang
Tubuhnya. Konsep yang kemudian muncul di negara ini adalah
Negara Hukum Pancasila.
Jika ditelusuri dari latar belakang sejarahnya, baik konsep
the rule of law maupun konsep rechtsstaat lahir dari suatu usaha
atau perjuangan menentang kesewenangan penguasa. Berbeda
dengan Negara RI, sejak dalam perencanaan berdirinya jelas-jelas
menentang segala bentuk kesewenangan dan absolutisme. Oleh
karenanya, jiwa dan Negara Hukum Pancasila seyogianya
tidaklah begitu saja mengalihkan konsep the rule of law ataupun
konsep rechtsstaat. Terlebih lagi jika dilihat melalui kandungan
UUD 1945 tentang HAM, di mana dalam proses pembuatannya
didasarkan pada konsepsi negara hukum itu sendiri yang
berintikan pada perlindungan HAM yang harus dikawal oleh
adanya lembaga peradilan yang bebas. Artinya, pemilihan atas
konsepsi negara hukum disebabkan oleh pilihan lebih dahulu
pada pengakuan dan perlindungan HAM. Perdebatan antara
Soekarno-Soepomo, di satu sisi, dan Hatta-Yamin, di sisi yang
lain, dalam proses pembuatannya pada akhirnya menghasilkan
kompromi dengan dimuatnya secara terbatas ketentuan-
ketentuan tentang HAM pada Pasal 27, 28, 29, 30, dan 31.21
Masuknya pasal-pasal tersebut memperlihatkan bahwa konsepsi
negara hukum dari tradisi Anglo Saxon yang berinisial rule of law
tersebut inheren di dalam UUD 1945, misalnya pada Pasal 7 yang
menentukan bahwa setiap warga negara berkedudukan sama di depan
hukum dan pemerintahan. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan
________________________ 21 Lihat cuplikan perdebatan tersebut dalam, Moh. Mahfud MD, Op. Cit.,
hlm. 135-136.
Rohidin 61
terlihat penggunaan istilah dalam bingkai rechtsstaat dan
pelembagaan dunia peradilan administrasi negara sebagai
cermin dari penganutan atas konsep negara hukum yang
bersumber dari tradisi Eropa Kontinental. Selain itu, ketentuan
tersebut juga menciptakan pemahaman bahwa konsepsi Negara
Hukum Pancasila berakar pada individualisme yang lebih
mengutamakan hak sipil dan politik, sebagaimana yang dikenal
dalam konsep negara hukum formal yang berakar pada legisme.
Namun demikan, pada saat yang bersamaan tampak ciri-ciri
negara hukum material yang sangat kental mewarnai UUD 1945.
Adanya tujuan negara yang dengan tegas mengharuskan
pembangunan ‘kesejahteraan umum’ dan menjadikan ‘keadilan
sosial’ sebagai salah satu prinsip kehidupan bernegara tidak
dapat memberi kesimpulan selain penegasan bahwa Indonesia
menganut konsep negara hukum material yang tidak hanya
bertugas menegakkan hukum, melainkan juga bertugas
menegakkan keadilan berdasarkan Pancasila.22
Kaitannya dengan ambiguitas tersebut, Sjahran Basah
mengatakan bahwa mengingat Pancasila telah dijabarkan di
dalam beberapa pasal Batang Tubuh UUD 1945, seperti Pasal 27,
28, 29, 30, dan 34, maka di Negara Hukum Indonesia terdapat hak
dan kewajiban asasi manusia, hak perorangan yang bukan hanya
harus diperhatikan, tetapi juga harus ditegakkan dengan
mengingat kepentingan umum, menghormati hak orang lain,
mengindahkan kepentingan keselamatan bangsa, serta moral
umum dan ketahanan nasional berdasarkan undang-undang.
________________________ 22 Lihat, Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dielaborasikan pada
Batang Tubuh, seperti tergambar pada Pasal 22, Pasal 33 ayat (2), dan Pasal 34. Pada Pasal 22 mempertegas adanya pengaruh konsep negara hukum material yang berintikan pada pembangunan kesejahteraan umum sebagai tugas pemerintah. Pada Pasal 33 ayat (2) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan Pasal 34 menegaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
62 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
Konsepsi yang demikian tersebut, hak perorangan menjadi
diakui, dijamin, dan dilindungi namun dibatasi oleh dua hal,
yakni fungsi sosial, yang dianggap melekat pada hak milik; dan
corak masyarakat Indonesia, yang membebankan manusia
perorangan Indonesia dengan berbagai kewajiban terhadap
keluarga masyarakat, dan sesamanya.23 Sementara menurut
Philipus M. Hadjon, Negara Hukum Pancasila memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:24
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.
b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara.
c. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir.
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Dari empat ciri tersebut, lanjut Hadjon, perlindungan
hukum bagi masyarakat terhadap pemerintah seyogianya
diarahkan kepada:25
a. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin mengurangi terjadinya sengketa; dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum yang preventif patut diutamakan daripada sarana perlindungan hukum yang represif.
b. Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa hukum antara pemerintah dan rakyat dengan cara musyawarah.
c. Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan hendaklah merupakan ultimum remidium dan peradilan bukan forum konfrontasi sehingga peradilan haruslah mencerminkan suasana damai dan tenteram—terutama melalui hukum acaranya.
________________________ 23 Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 149. 24 Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 149. 25 Ibid., hlm. 90.
Rohidin 63
Dari penjelasan-penjelasan tersebut, kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa konsep Negara Hukum Pancasila, yang
menjadi dasar hukum Negara Indonesia, merupakan konsep
sintesis dari berbagai konsep yang berbeda tradisi hukumnya.
Secara substantif, konsepsi sintesis Negara Hukum
Pancasila mewakili semangat demokrasi dan hukum yang
berakar pada budaya bangsa Indonesia. Istilah tersebut dipakai
guna mengakomodasi berbagai karakter dan nilai yang tumbuh
di Indonesia, seperti kekeluargaan, keseimbangan, musyawarah,
dan keserasian. Karena hukum diformulasikan dalam rangka
menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat, maka hukum
harus sesuai dengan hukum dan akar budaya masyarakat
Indonesia.26
Nilai-nilai khas tersebutlah yang membedakan sistem
hukum Indonesia dengan sistem hukum lainnya sehingga
muncul istilah hukum Pancasila yang jika dikaitkan dengan
literatur tentang kombinasi antara lebih dari satu pilihan nilai
sosial, disebut sebagai pilihan nilai prismatik yang karenanya
dalam konteks hukum dapat disebut sebagai hukum prismatik.27
________________________ 26 Satjipto Rahardjo, “Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia”, dalam
Kompas, Jakarta, 2003, hlm. 10. 27 Istilah konsep hukum prismatik yang digagas oleh Mahfud MD dalam
memahami konsepsi Negara Hukum Pancasila, sebenarnya diilhami oleh teori optik garapan Fred W. Riggs. Teori tersebut mengiaskan pesan sebagai cahaya yang masuk ke prisma (segi tiga). Selain sebagai pemantul cahaya, prisma juga memantulkan dirinya sendiri sebagai pelakunya. Dalam teori tersebut, Riggs membagi masyarakat menjadi tiga varian: tradisional, prismatik, dan modern. Riggs menilai masyarakat tradisional (memusat) sebagai masyarakat askriptif, partikularistik, dan kekaburan. Menurutnya, model masyarakat tradisional cenderung memandang dunia hanya dari sudut pandang kekeramatan, supranatural, pandangannya hirarkis, dan lingkungannya dipenuhi upacara-upacara. Adapun masyarakat modern (memencar), dalam pandangan Riggs, merupakan hubungan antarpribadi yang bersifat terbuka, proliferasi, dan organis. Identitas masyarakat demikian bisa diidentifikasi melalui organisasi, seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, NU, dan Persis. Sedangkan masyarakat prismatik, oleh Riggs diletakkan di antara dua model masyarakat sebelumnya, di mana pluralitas
64 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
Konsep ini menurut Riggs, sebagaimana dikutip oleh Mahfud
MD, merupakan kombinasi atas nilai sosial paguyuban dan nilai
sosial patembayan.28 Dua nilai sosial ini saling memengaruhi
warga masyarakat, yakni kalau nilai sosial paguyuban lebih
menekankan pada kepentingan bersama dan nilai sosial
patembayan lebih menekankan kepada kepentingan dan
kebebasan individu.29 Nilai prismatik diletakkan sebagai dasar
________________________
budaya dan sosial dalam masyarakat prismatik akan memantulkan pesan dari bentuk memusat menuju memencar. Masyarakat jenis demikian, dalam penilaian Riggs tidak lagi mempertontonkan perilaku secara dikotomis. Relevansi istilah teori optik ini dengan konsep Negara Hukum Pancasila adalah terletak pada varian masyarakat prismatik. Sebagaimana telah dijelaskan, Riggs memosisikan varian masyarakat prismatik di antara masyarakat tradisional dan modern, sementara konsep hukum prismatik merupakan kombinasi atas nilai sosial paguyuban dan nilai sosial petembayan. Lihat, Moh. Mahfud MD., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006, hlm. 23.
Senada dengan teori masyarakat prismatik ini, H.L.A. Hart menteorikan bahwa masyarakat itu terdiri atas tatanan yang Primary rules of obligation dan Secondary rules of obligation. Lihat, H.L.A. Hart, The Concept of Law, Oxford University Press, London, 1972, hlm.89-96. Bandingkandengan, Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, t.t., hlm. 43-45. Masyarakat yang berada pada peringkat primary rules of obligation ditandai dengan kondisi seperti berikut: (1) komunitas kecil, (2) didasarkan pada ikatan kekerabatan, (3) memiliki kepercayaan dan sentimen umum, dan (4) berada di tengah-tengah lingkungan yang stabil. Dalam kondisi seperti itu masyarakatnya tidak mengenal peraturan terperinci, hanya mengenal standar tingkah laku, dan tidak ada diferensiasi dan spesialisasi badan-badan penegak hukum. Penyelesaian sengketa pada masyarakat semacam ini relatif masih sangat sederhana. Hal itu disebabkan masyarakatnya berupa komunitas kecil yang didasarkan atas kekerabatan, sehingga mekanisme kontrol sosial yang ada telah dapat menjalankan fungsinya secara efektif. Sedangkan pada masyarakat dengan peringkat secondary rules of obligation, masyarakatnya mempunyai kehidupan terbuka, luas, dan kompleks. Kondisi tersebut menandai lahirnya dunia hukum dan ditinggalkannya dunia pra-hukum, bersamaan dengan munculnya tiga macam kaidah, yaitu: (1) rules of recognition, (2) rules of change, dan (3) rules of adjudication. Masing-masing kaidah (rules) tersebut memegang otoritas untuk menentukan apa yang merupakan hukum, bagaimana mengubahnya, dan bagaimana menyelesaikan suatu sengketa. Lihat, Esmi Warassih Pujirahayu, “Peranan Kultur Hukum dalam Penegakan Hukum”; dalam Masalah-Masalah Hukum No. 2 Tahun 1995, hlm. 20.
28 Ibid., hlm. 20. 29 Ankie M. Hoogvelt, Sosiologi Masyarakat sedang Berkembang, Rajawali Press,
Jakarta, 1985, hlm. 87.
Rohidin 65
untuk membangun hukum yang penjabarannya dapat
disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan sosio-kultural
masyarakat yang bersangkutan.30
Ragaan. 2.1. Konsep Masyarakat Prismatik.
Sumber: Dielaborasi dari Fred W. Riggs
Menurut Mahfudz MD., setidaknya ada empat hal supaya
prismatika hukum dapat diwujudkan. Pertama, Pancasila
memadukan unsur yang baik dari paham individualisme dan
kolektivisme. Di sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi
mempunyai hak dan kebebasan asasi, namun sekaligus melekat
padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan makhluk
sosial. Kedua, Pancasila mengintegrasikan negara hukum yang
menekankan pada civil law, dan kepastian hukum serta konsepsi
negara hukum the rule of law, yang menekankan pada common law,
dan rasa keadilan. Ketiga, Pancasila menerima hukum sebagai
alat pembaharuan masyarakat (law, as tool of social engineering)
sekaligus hukum sebagai cermin rasa keadilan yang hidup dalam
________________________ 30 Ibid., hlm. 176.
Masyarakat Prinsmatik (Hukum Prismatik)
Masyarakat Tradisional
(Hukum Tradisional)
Masyarakat Modern (Hukum Modern)
66 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
masyarakat (living law). Keempat, Pancasila menganut paham
religious nation state, tidak menganut atau mengendalikan suatu
agama tertentu (karena bukan negara agama), tetapi juga bukan
tanpa agama (karena bukan negara sekuler). Di sini negara harus
melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa
diskriminasi berdasarkan pertimbangan mayoritas dan
minoritas.31 Konsep Negara Hukum Pancasila yang bersifat
prismatik inilah yang bisa dijadikan titik tolak pemikiran dalam
merekonstruksi hukum kebebasan beragama di Indonesia.
B. Kebebasan Beragama dalam Tinjauan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
1. Arti dan Cakupan Konsep Kemanusiaan
Istilah kemanusiaan (humanity) berasal dari kata dasar
manusia, yang diartikan dengan makhluk yang berakal budi.
Secara lexical meaning kata kemanusiaandiartikan dengan: sifat-
sifat manusia, secara manusia, sebagai manusia, dan
perikemanusiaan, segala sesuatu yang layak bagi manusia.32
Definisi tersebut menurut Noor Ms. Bakry mengikuti analisis
logis, yang memasukkan manusia dalam kelompok jenis hewan,
yaitu organisme yang berindra, sedang ciri pembeda bagi
manusia untuk membedakan hewan yang lain, karena manusia
mempunyai akal budi yang dapat mengatasi perjuangan
hidupnya.33 Dari kata manusia muncul istilah kemanusiaan,
yang dapat diartikan sebagai bentuk kesadaran, sikap, dan
perbuatan yang selaras dengan nilai-nilai kehidupan universal.
Nilai-nilai ini dapat berupa pertimbangan-pertimbangan tentang
________________________ 31 Mahfud MD, “Mimpi Demokrasi dari Bung Karno”, Jawa Pos,
27September 2006. 32 Dendy Sugono (red.), Op. Cit., hlm. 987. 33 Noor Ms. Bakry, Orientasi Filsafat Pancasila, Liberti, Yogyakarta, 2001,
hlm. 102.
Rohidin 67
baik-buruk secara naluriah yang tertanam dalam hati nurani
manusia.
Lebih spesifik, Driyarkara mendefinisikan konsep
kemanusiaan sebagai pandangan atau sikap hidup yang
mengakui bahwa manusia itu merupakan makhluk yang
tersendiri secara spesifik, secara khusus, karena manusia
memiliki struktur tersendiri, mempunyai tendensi-tendensi
tersendiri serta sikap dan hubungannya terhadap dunia dan
sesamanya yang tersendiri pula. Karenanya, cara hidup, cara
berbahagia, caranya bekerja sama yang melekat pada diri
manusia mempunyai ciri-ciri yang khas, dan tidak terdapat di
luar lingkungan manusia.34
Hal demikian tersebut secara teknis diatur oleh sumber
daya kejiwaan, yaitu: akal, rasa, dan kehendak. Akal terfokus
pada kebenaran, rasa terfokus pada keindahan, dan kehendak
terfokus pada kebaikan. Ketiganya saling memengaruhi,
sehingga berbasis pada keterpaduan tiga elemen tersebut,
manusia dapat mengerti nilai-nilai hidup manusiawi yang sesuai
dengan ide kemanusiaannya.
Secara praktis konsep kemanusiaan dipahami bahwa setiap
manusia memiliki hak yang asasi untuk mendapat penghidupan
sedemikian rupa, sehingga ia bebas dari kesengsaraan,
kekangan, dan paksaan. Setiap manusia harus mempunyai
mental yang mengakui hak-hak itu. Karenanya, konsep
kemanusiaan memiliki tuntutan berupa usaha bersama untuk
menyelenggarakan kepentingan bersama dengan saling
menghormati hak-hak insani, dengan saling menghormati
kebebasan manusia. Kepentingan bersama tersebut sekaligus
mengindikasikan pengertian bahwa kekuasaan negara adalah
________________________ 34 A. Sudiarja (ed.), Karya Lengkap Driyakara: Esai-esai Filsafat Pemikir yang
Terlibat Penuh dengan Perjuangan Bangsanya, Kompas Media Nusantara, Gramedia Pustaka Utama, Kanisius, dan Ordo Serikat Jesus Provinsi Indonesia, Yogyakarta, 2006, hlm. 708-709.
68 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
untuk kepentingan warga negaranya. Bagi Driyakara,
pemerintah yang merepresi kemanusiaan adalah pemerintah
yang inhuman. Pemerintah diberi kekuasaan menyelenggarakan
tata tertib umum, supaya menciptakan kondisi-kondisi yang
diperlukan untuk berbagai macam usaha manusia.35
Sebagai sebuah organisme, secara hakikat manusia
memiliki unsur-unsur monodualis sebagai berikut:36
a. Susunan Kodrat Manusia
Pada hakikatnya manusia tersusun dari jiwa dan raga.
Keduanya berkait berkelindan satu sama lain, tanpa raga
bukanlah manusia, demikian juga tanpa jiwa. Jiwa manusia ini
tersusun atas sumber daya akal, rasa, dan kehendak,
sementara raga manusia tersusun atas: zat benda mati, zat
nabati, dan zat hewani. Apabila dalam kehidupannya
manusia hanya mementingkan aspek kejiwaannya saja, maka
akan sulit baginya untuk mencapai kebahagiaan duniawi
yang bersifat jasmani. Hal senada juga berlaku pada saat
manusia hanya mementingkan aspek raganya saja, maka akan
sulit baginya untuk mencapai kebahagiaan rohani. Artinya,
keseimbangan keduanya merupakan harga mati dalam
kehidupannya. Berkaitan dengan statusnya sebagai warga
Negara Indonesia, keseimbangan tersebut merupakan salah
satu dasar filsafat Pancasila. Sehingga, tujuan negara yang
berdasarkan Pancasila adalah untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur sejahtera, baik lahir maupun batin.
b. Sifat Kodrat Manusia
Pada hakikatnya manusia memiliki dua sifat mendasar
berupa individu dan sosial. Hal ini dapat terlihat pada
________________________ 35 Ibid., hlm. 712. 36 Disarikan dari: Noor Ms. Bakry, op Cit., hlm. 16-19. dan Kaelan, Filsafat
Pancasila: Pandangan Hidup Bangsa , Paradigma, Yogyakarta, 2002, hlm. 162-167.
Rohidin 69
inkonsistensi dominasi sifat tersebut dalam sikap dan
perbuatannya sehari-hari, sewaktu-waktu sifat individualnya
yang lebih mendominasi dan sewaktu-waktu sifat sosialnya
yang lebih dominan. Dua sifat kodrati ini merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai unsur kodrat
manusia. Jika dalam kehidupannya manusia selalu
didominasi oleh sifat individu saja, maka ia akan terlihat
individualis atau liberalis. Demikian juga sebaliknya, jika
dalam kehidupannya manusia hanya didominasi oleh sifat
sosial saja, maka ia akan terlihat sosialis atau kolektif. Artinya,
dalam pola hidup yang manusiawi keseimbangan keduanya
adalah harga mati.Berkaitan dengan statusnya sebagai warga
Negara Indonesia, keseimbangan tersebut merupakan salah
satu dasar filsafat Pancasila. Sehingga, tujuan negara yang
berdasarkan Pancasila adalah untuk mewujudkan masyarakat
yang penuh kebahagiaan dengan basis relasi manusia dengan
masyarakatnya yang selaras, serasi, dan seimbang,
masyarakat yang berpaham kebersamaan dan kekeluargaan.
c. Kedudukan Kodrat Manusia
Pada hakikatnya manusia berkedudukan sebagai
pribadi mandiri dan juga sebagai makhluk Tuhan. Hal
tersebut tampak bahwa manusia adalah pribadi berdiri
sendiri yang mampu untuk berkreasi dan bertanggungjawab
atas perbuatannya sendiri dan juga menyadari dirinya sebagai
makhluk Tuhan. Dua hal ini tidak dapat dimungkiri karena
memang demikian kenyataanya. Jika dalam kehidupannya
manusia, baik secara pribadi maupun bersama-sama, selalu
menampakkan dirinya sebagai pribadi yang berdiri sendiri
terlepas dari pengaruh Tuhan, maka kelompok manusia yang
seperti ini hanya tampak mengandalkan kemampuan
akalnya, sehingga manajemen kehidupan bersamanya diatur
atas dasar pola pemikirannya sendiri tanpa adanya pengaruh
70 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
dari ajaran Tuhan. Hal senada juga terjadi, jika manusia dalam
kehidupannya, baik secara pribadi maupun bersama, selalu
menampakkan sebagai makhluk Tuhan tanpa memerhatikan
manusia sebagai pribadi yang mandiri, maka kelompok
manusia yang seperti ini dalam kehidupan bersamanya selalu
mengandalkan ajaran dari Tuhan dengan tafsiran yang
dangkal tanpa menggunakan pertimbangan akal budi.
Artinya, keseimbangan akan dua kesadaran tersebut adalah
harga mati bagi manusia dalam menjalani hidup. Berkaitan
dengan warga Negara Indonesia, keseimbangan dua unsur ini
merupakan salah satu filsafat dasar Pancasila. Hal tersebut
tampak jelas pada lima pasalnya.
2. Konsep Kebebasan Beragama Berbasis Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa
kebebasan beragama di Indonesia secara yuridis-normatif telah
diatur secara mapan melalui sila pertama Pancasila sebagai
kerangka dasarnya. Namun demikian, kebebasan tersebut bukan
berarti bebas tanpa batas hingga membentur hak dan kebebasan
orang lain. Dengan kata lain, hukum kebebasan beragama di
Indonesia didasarkan pada sila kedua, yakni kemanusiaan yang
adil dan beradab. Unsur yang terkandung dalam sila tersebut
adalah berupa: adil dan beradab serta keadilan dan keadaban.37
Sebagai pribadi yang mandiri, hubungan manusia antar-
sesama secara individu, dengan masyarakat secara komunal,
dengan negara secara administratif, dan dengan setiap manusia
secara universal, mempunyai hak dan kewajiban. Secara praktis,
hubungan keduanya seimbang, di mana tidak ada penekanan
kepentingan atas salah satu dari dua hal tersebut. Hak-hak yang
________________________ 37 Noor MS Bakry, Pancasila: YuridisKenegaraan, Liberty, Yogyakarta, 1985,
hlm. 46.
Rohidin 71
dimiliki setiap individu manusia dalam bernegara dan
bermasyarakat di antaranya adalah: hak untuk hidup, hak untuk
memperoleh pendidikan, hak untuk memperoleh pekerjaan yang
layak, hak perlindungan atas kesehatan, hak jaminan sosial di
hari tua, dan hak beragama dan (ber)-keyakinan. Hak-hak
tersebut wajib dihormati dan diselenggarakan oleh pemerintah
dan oleh masing-masing manusia dengan tetap memerhatikan
statusnya sebagai makhluk sosial. Jika pelaksanaan hak-hak
tersebut hanya terbatas pada pemenuhan dirinya sebagai
makhluk individu belaka, maka yang akan terjadi adalah
seseorang cenderungmerugikan kepentingan manusia yang lain,
baik disadari ataupun tidak. Meskipun demikian, kepemilikan
hak-hak tersebut tidak berarti secara mutlak ia bebas untuk
melaksanakan haknya, melainkan dibatasi oleh adanya
kewajiban terhadap sesama manusia, masyarakat, maupun
negara. Artinya, kata adil dalam sila kedua dari Pancasila
tersebut dipahami sebagai bentuk kewajiban bagi pemerintah
maupun manusia, secara individu maupun komunal masyarakat
dalam melaksanakan pemenuhan hak-hak yang dimiliki oleh
setiap manusia agar dapat hidup layak sebagaimana manusia
seutuhnya.
Hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang
dimiliki oleh setiap manusia tidak boleh dirampas oleh pihak
lain. Karena itu, pemaksaan untuk mengikuti kehendak pihak
lain dengan menggunakan kekerasan tidak dapat ditoleransi,
karena secara mendasar pemaksaan secara kekerasan atas
manusia merupakan suatu bentuk pembudakan. Karenanya,
pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk memenuhi apa
yang menjadi hak setiap manusia. Pemenuhan kewajiban
tersebut, baik terhadap lingkungan masyarakatnya maupun
terhadap pemerintah dan negaranya, sebagai konsekuensi logis
atas statusnya sebagai makhluk sosial.
72 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
Ketentuan yang berlaku dengan pengertian sila kedua di
atas, sebagaimana telah dilansir sebelumnya, adalah bahwa
setiap manusia diakui memiliki derajat yang sama, hak dan
kewajiban, dan selaras dengan prinsip keadilan. Karenanya, apa
yang telah menjadi hak setiap manusia, terlebih persoalan
keberagamaan yang menjadi fokus buku ini, secara individu
adalah objek penghormatan bagi siapa pun. Penghormatan di
sini mesti diimbangi pula dengan pemenuhan kewajiban oleh
setiap pribadi manusia terhadap lingkungannya, karena manusia
tidak hanya mempunyai pengertian sebagai makhluk individu
saja tetapi juga sebagai makhluk sosial. Namun demikian,
pengertian perikemanusiaan atau internasionalisme di atas juga
mesti diimbangi dengan kesadaran bahwa manusia yang
merupakan satu umat itu, duduk di berbagai bagian dari muka
bumi yang satu sama berbeda dalam keadaan tanah dan
iklimnya, dan lain-lain, sehingga perbedaan sifat dalam diri
masing-masing manusia adalah keniscayaan. Perikemanusiaan
atau internasionalisme dalam konteks Indonesia di sini sudah
barang tentu terkait erat dengan kultur masyarakatnya.
Dengan melihat konteks masyarakatnya yang terumuskan
dalam slogan “Bhineka Tunggal Ika”, sila pertama dan kedua
dalam Pancasila sebagai dasar negara, dan status religious nation
state yang berbasis pada hukum, maka konsep kebebasan
beragama di Indonesia dapat dirumuskan dengan pola jaminan
perlindungan atas hak kebebasan berkeyakinan dan beragama
serta keyakinan dan agama itu sendiri yang berbasis pada nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun demikian, untuk
menuju masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban tersebut
diperlukan pembumian konsep civil society dalamkehidupan
berbangsa dan bernegara. Tanpa basis itu, kiranya mustahil bagi
bangsa Indonesia untuk menjadi masyarakat yang bebas
beragama dengan basis keadilan dan berkedaban.
Rohidin 73
3. Membumikan Civil Society: Menuju Masyarakat Berkeadilan dan Berkeadaban
a. Tinjauan Umum tentang Konsep Civil Society
Sebagai sebuah wacana kontemporer, hingga saat ini
belum ada satu kesepakatan mengenai rumusan teoretis dan
konsep yang baku tentang civil society, sebab dalam
mendefinisikan terma civil society sangat bergantung pada
kondisi sosio-kultural suatu bangsa di mana konsep tersebut
akan diterapkan. Sebagai titik tolak, maka di sini penulis
kemukakan beberapa definisi civil society dari berbagai pakar
di berbagai negara yang menganalisis dan mengkaji fenomena
tersebut.38
Pertama, definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rau
dengan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur
dan Uni Sovyet. Ia mengatakan yang dimaksud dengan civil
societyadalah suatu masyarakat yang berkembang dari
sejarah, yang mengandalkan ruang di mana individu dan
perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama
lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini. Ruang ini
timbul di antara hubungan-hubungan yang merupakan hasil
komitmen keluarga dan hubungan-hubungan yang
menyangkut kewajiban mereka terhadap negara. Oleh
karenanya, yang dimaksud civil society adalah sebuah ruang
yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara.
Tiadanya pengaruh keluarga dan kekuasaan negara dalam
civil society ini diekspresikan dalam gambaran ciri-cirinya,
yakni individulisme, pasar (market) dan pluralisme. Batasan
________________________ 38 Dalam konteks Indonesia, konsep civil society ini mengalami penerjemahan
yang berbeda-beda dan dengan sudut pandang yang berbeda pula, seperti masyarakat madani, masyarakat sipil, masyarakat kewargaan, masyarakat warga, dan civil society itu sendiri. Lebih lanjut lihat dalam, A. Ubaidillah (dkk.), Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM & Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta, 2000, hlm. 138-141.
74 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
yang dikemukakan oleh Rau ini menekankan pada adanya
ruang hidup dalam kehidupan sehari-hari serta memberikan
integritas sistem nilai yang harus ada dalam civil society, yakni
individulisme, pasar (market), dan pluralisme.
Kedua, definisi yang digambarkan oleh Han-Sung Joo
dengan latar belakang kasus Korea Selatan. Ia mengatakan
bahwa civil society merupakan sebuah kerangka hukum yang
melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu,
perkumpulan sukarela terbesar dari sebuah negara, suatu
ruang publik yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik,
gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan
independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-
norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidarlitas
yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok
inti dalam civil society ini. Konsep yang dikemukakan oleh
Han ini menekankan pada adanya ruang publik (public sphere)
serta mengandung empat ciri dan prasyarat bagi terbentuknya
civil society, yaitu (1) diakui dan dilindunginya hak-hak
individu dan kemerdekaan berserikat serta mandiri dari
negara, (2) adanya ruang publik yang memberikan kebebasan
bagi siapa pun dalam mengartikulasikan isu-isu politik, (3)
terdapat gerakan-gerakan kemasyarakatan yang berdasar
pada nilai-nilai budaya tertentu, dan (4) terdapat kelompok
inti di antara kelompok pertengahan yang mengakar dalam
masyarakat yang menggerakkan masyarakat dan melakukan
modernisasi sosial-ekonomi.
Ketiga, definisi yang dikemukakan oleh Kim Sunhyuk,
masih dalam konteks Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan civil society adalah suatu satuan yang
terdiri atas kelompok-kelompok yang secara mandiri
menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat
yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan
satuan dasar dari (re)-produksi dan masyarakat politik yang
Rohidin 75
mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang publik
guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan
kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip
pluralisme dan pengelolaan yang mandiri. Definisi ini
menekankan pada adanya organisasi-organisasi
kemasyarakatan yang relatif memosisikan secara otonom dari
pengaruh dan kekuasaan negara. Eksistensi organisasi-
organisasi ini mensyaratkan adanya ruang publik (public
sphere) yang memungkinkan untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan tertentu.
Berbagai batasan dalam memahami terma civil society di
atas, jelas merupakan suatu analisis dari kajian kontekstual
terhadap performa yang diinginkan dalam mewujudkan civil
society. Hal tersebut dapat dilihat dari perbedaan penekanan
(aksentuasi) dalam mensyaratkan idealisme civil society. Akan
tetapi, dari ketiga batasan di atas secara global dapat ditarik
benang merah bahwa yang dimaksud dengan civil society
adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang
berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara,
memiliki ruang publik (public sphere) dalam mengemukakan
pendapat, serta adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang
dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.
Dengan kata lain, meskipun belum dapat dikatakan telah
terjadi semacam pembakuan konseptual hingga saat ini,
setidaknya ada beberapa esensi dari makna civil society tersebut.
Pertama, adanya individu dan kelompok-kelompok mandiri
dalam masyarakat (politik, ekonomi, dan kultur). Kemandirian
ini diukur terutama ketika mereka berhadapan dengan kekuatan
negara. Kedua, adanya ruang publik bebas sebagai tempat
wacana dan kiprah politik bagi warga negara. Ruang publik
inilah yang menjamin proses pengambilan keputusan berjalan
secara demokratis. Ketiga, kemampuan masyarakat untuk
mengimbangi kekuatan negara, kendati tidak melenyapkannya
76 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
secara total. Negara, bagaimanapun juga tetap diperlukan
kehadirannya sebagai pengawas dan pelerai konflik, terutama
dalam proses distribusi sumber daya, di samping penjamin
keamanan internal dan perlindungan eksternal.39
Adanya fakta keragaman pada aspek pemahaman
tentang makna civil society tersebut bukan saja disebabkan
karena teori tentang civil society terus mengalami
perkembangan, namun juga karena konteks di mana teori-
teori itu dikembangkan mengalami banyak perubahan.
Perdebatan mengenai civil society yang terjadi akhir-akhir ini,
sebagian besar muncul dari perbedaan perspektif teoretis
yang digunakan serta kemampuan dalam melakukan
kontekstualisasi dalam ruang sejarah dan masyarakat
tertentu. Tokoh-tokoh seperti Ernest Gellner, Norberto
Bobbio, dan Serif Mardin, merupakan sebagian nama dari
para pakar yang telah menunjukkan beberapa kesulitan dan
problematika penerapan konsep civil society dalam beragam
konteks masyarakat. Kendati demikian, kesulitan-kesulitan
dan problematika tersebut tidak serta-merta harus
diterjemahkan dengan tertutupnya kemungkinan.40
Konsep civil society sendiri telah mengalami perubahan
pemahaman selama lebih dari dua abad terakhir, mulai dari
era pencerahan ketika konsep itu dipergunakan oleh para
filsuf politik hingga akhir abad kedua puluh ketika konsep
________________________ 39 Muhammad A.S. Hikam, Islam: Demokratisasi & Pemberdayaan Civil Society,
Penerbit Erlangga, Jakarta, 2000, hlm. x. 40 Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hefner, bahwa upaya untuk
melaksanakan gagasan dan kiprah civil society bukanlah hal yang telah ditentukan terlebih dahulu oleh sebuah “insting peradaban lama.” Justru sebaliknya, ia ditentukan oleh budaya dan lembaga yang senantiasa membutuhkan perubahan-perubahan dan ia masih berada dalam jangkauan manusia untuk melakukannya. Lihat, Robert Hefner, “A Muslim Civil Society?: Indonesian Reflections on the
Conditions of its Possibility”, dalam R. Hefner (ed.), History and Civility: The History and Cross-Cultural Possibility of a Modern Political Ideal, Transaction Press, New Brunswiek, 1998, hlm. 286.
Rohidin 77
tersebut “ditemukan” kembali oleh para aktivis pro-
demokrasi. Dalam rentang waktu tersebut, setidaknya konsep
civil society telah dipergunakan dalam beberapa pengertian,
yaitu: (1) sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat, (2)
sebagai sistem kenegaraan, (3) sebagai sebuah elemen ideologi
kelas dominan, dan (4) sebagai kekuatan penyeimbang dari
tegaknya sebuah negara.
b. Karakteristik Civil Society
1) Free Public Sphere Free public sphere adalah adanya ruang publik yang
bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat.
Pada ruang yang bebas, individu dalam posisinya yang
setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan
praksis politik tanpa mengalami distorsi dan
kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakan oleh
Hannah Arendt dan Habermas. Lebih lanjut dikatakan
bahwa ruang publik secara teoretis bisa diartikan sebagai
wilayah, di mana masyarakat sebagai warga negara
memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik.
Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka
setiap menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul,
serta memublikasikan informasi kepada publik.
Sebagai prasyarat untuk mengembangkan dan
mewujudkan civil society dalam sebuah tatanan
masyarakat, maka free public sphere menjadi salah satu
bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan
adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan civil society,
maka akan memungkinkan terganggunya aspirasi
masyarakat yang berkenaan dengan kepentingan umum
oleh penguasa yang tiran dan otoriter.
78 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
2) Demokrasi Demokrasi merupakan satu entitas yang menjadi
penegak implementasi civil society dalam kehidupan. Salah
satu asumsi yang dapat dikemukakan adalah bahwa setiap
warga negara memiliki kebebasan penuh untuk
menjalankan aktivitas kesehariannya termasuk dalam
berinteraksi dengan lingkungannya, yaitu sebuah sikap
demokratis dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak
mempertimbangkan suku, ras, dan agama. Dengan kata
lain, demokrasi bahkan merupakan salah satu syarat
mutlak bagi penegakan civil society. Penegakan demokrasi
di sini mencakup berbagai bentuk aspek kehidupan seperti
politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan
sebagainya.
Sedikit bergeser ke wilayah wacana demokrasi dalam
konteks Islam, menarik jika kita membaca pemikiran
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang demokrasi.
Baginya, konsep demokrasi adalah konsekuensi logis yang
dianggapnya sebagai salah satu dimensi dalam ajaran
Islam. Menurut Gus Dur, terdapat beberapa alasan
mengapa Islam dikatakan sebagai agama demokrasi.
Pertama, Islam adalah agama hukum, dengan pengertian
agama Islam berlaku bagi semua orang tanpa memandang
kelas. Kedua, Islam memiliki asas permusyawaratan
(amruhum syūrā bainahum). Artinya, adanya tradisi bersama
dalam membahas dan mengajukan pemikiran secara
terbuka dan pada akhirnya diakhiri dengan kesepakatan.
Ketiga, Islam selalu berpandangan memperbaiki
kehidupan.41
________________________ 41 Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1999, hlm. 85. Meski banyak orang mengatakan bahwa ia adalah seorang yang inkonsisten karena sering membuat manuver dan ide-ide yang membingungkan dan dianggap menyesatkan umatnya, namun justru keinginannya
Rohidin 79
Masih dalam konteks demokrasi, prisma pemikiran
Gus Dur yang lain juga terkait pembelaan terhadap
minoritas. Undang-undang menjamin akan perlakuan
yang sama terhadap warga masyarakat terkait kebebasan
berpendapat, hak mendapatkan keamanan, serta hak
memilih dan berpindah agama, di mana Muslim yang
mayoritas harus dapat melindungi mereka yang minoritas.
Lebih jauh, ia mengatakan:42
“…merupakan pengingkaran hakikat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara kelas dua. Dalam keadaan demikian, persamaan kedudukan semua warga negara di muka undang-undang tidak akan pernah tercapai.”
Dalam konteks ke-Indonesia-an yang pluralis,
hendaknya Islam tidak ditempatkan sebagai ideologi
alternatif seperti memosisikan syariah berhadapan dengan
kedaulatan rakyat. Kontribusi Islam dalam demokrasi bisa
dicapai bila dari Islam ditarik sejumlah prinsip
universalnya, seperti persamaan, keadilan, musyawarah,
kebebasan, dan rule of law. Dari sini, dapat dibaca bahwa
pemikiran demokrasi Gus Dur menunjukkan bahwa ia
telah menerima konsep demokrasi liberal atau parlementer
dan secara tegas menolak pemikiran atau “kedaulatan
________________________
menampilkan nilai-nilai Islam dalam segi kehidupan masyarakat Indonesia yang plural menunjukkan bahwa ia sangat konsisten. Hal ini terlihat dari perjuangan dan komitmennya dalam menyuarakan demokrasi, penegakan hak asasi manusia (pembelaan terhadap kaum minoritas, termasuk pembelaan terhadap perempuan), serta keadilan bagi setiap warga tanpa membedakan identitas serta latar belakang ideologi.
42 Abdurrahman Wahid, “Agama dan Demokrasi”, dalam A. Gaffar Karim,
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia,LKiS, Yogyakarta, 1995, hlm. 111.
80 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
Tuhan” atau pemikiran yang berusaha mengawinkan
kedaulatan Tuhan dengan kedaulatan rakyat, seperti yang
dirumuskan oleh Ḍiyā’ al-Dīn Ra’is:43
“Saya bersedia memakai yang manapun asal benar dan cocok dengan hati nurani. Saya tidak memperdulikan kutipan dari Injil atau Bhagawad Gita, kalau benar maka harus kita terima. Dalam masalah bangsa, ayat-ayat al-Qur’an kita pakai secara fungsional, bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi, soal penafsiran. Berbicara penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis, tetapi sudah pemikiran.”
Kedaulatan ada di tangan rakyat, ini merupakan kata
kunci dari “demokrasi”. Rakyat yang menentukan arah
dan haluan negara menuju masa depan dalam kehidupan
yang adil dan beradab demi kesejahteraan bangsa dan
negara. Mereka akan menentukan masa depan bangsa ini.
Singkatnya, rakyat menginginkan keadilan, kesejahteraan
hidup lahir maupun batin, baik secara material maupun
spiritual.
3) Toleransi Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan
dalam civil society untuk menunjukkan sikap saling
menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan
orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya
kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan
menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh
kelompok masyarakat lain yang berbeda. Toleransi
menurut Nurcholish Madjid merupakan persolan ajaran
dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi
________________________ 43 Dikutip dari, Ibid., hlm. 115.
Rohidin 81
menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang enak,
antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil
itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari
pelaksanaan ajaran yang benar.
Azyumardi Azra pun menyebutkan bahwa
masyarakat madani (civil society) lebih dari sekadar
gerakan-gerakan pro-demokrasi. Masyarakat madani juga
mengacu pada kehidupan yang berkualitas dan tamaddan
(civility). Sipilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan
individu-individu untuk menerima pandangan-
pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda.
4) Pluralisme Sebagai sebuah prasyarat penegakan civil society,
maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan
menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai
dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan
sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan
menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi
harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima
kenyataan pluralisme itu dengan penilaian positif sebagai
bentuk rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholish Madjid, konsep pluralisme ini
merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani
(civil society). Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati
kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine
engagement of diversities with in the bonds of civility). Bahkan
pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat
manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan (check andbalance). Dengan demikian
pluralisme di sini dapat kita pahami sebagai pandangan
yang menghargai kemajemukan serta menghormati pihak
lain (other), membuka diri terhadap warna-warni
82 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
keyakinan, kerelaan untuk berbagi (sharing), serta
keterbukaan untuk saling belajar (inklusivisme). Lebih lanjut
Nurcholish mengatakan bahwa sikap penuh pengertian
kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang
majemuk, yakni masyarakat yang tidak monopolitik. Jadi,
tidak ada masyarakat yang tunggal, monopolitik, yang
sama dan sebagun dalam segala segi.
5) Keadilan Sosial (Social Justice) Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan
keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap
hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup
seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak
adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek
kehidupan pada satu kelompok masyarakat.Seluruh
masyarakat memiliki hak yang sama untuk memperoleh
kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah
(penguasa).
Selain kelima karakteristik sebagaimana telah
dikemukakan di atas, masih ada satu elemen penting yang
dari awal juga harus menjadi dasar pemikiran, yaitu
adanya pengakuan terhadap hak-hak kemanusiaan. Tanpa
didasari oleh elemen pengakuan ini, niscaya kelima
karakteristik di atas akan sulit—untuk tidak mengatakan
mustahil—untuk dapat terlaksana.44
________________________ 44 Sebagaimana kita pahami bersama, istilah kemanusiaan (humanity) berasal
dari kata dasar manusia, yang diartikan dengan makhluk yang berakal budi. Dalam kamus kata tersebutdiartikan dengan: sifat-sifat manusia, secara manusia, sebagai manusia, dan perikemanusian, segala sesuatu yang layak bagi manusia. Lihat, Dendi Sugono (red.), Op. Cit., hlm. 987. Sementara Driyarkara mendefinisikan konsep kemanusiaan sebagai pandangan atau sikap hidup yang mengakui bahwa manusia itu merupakan makhluk yang tersendiri secara sepesifik, secara khusus, karenamanusia memiliki struktur tersendiri, mempunyai tendensi-tendensi tersendiri serta sikap dan hubungannya terhadap dunia dan sesamanya yang tersendiri pula. Karenanya, cara hidup, cara berbahagia, caranya bekerja sama yang
Rohidin 83
c. Pilar-Pilar Penegak Civil Society
Yang dimaksud dengan pilar penegak civil society adalah
institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang
berfungsi mengkritik kebijakan-kebijakan pihak penguasa
yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi
masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan civil society,
pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi
terwujudnya kekuatan masyarakat. Pilar-pilar tersebut antara
lain adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers,
supremasi hukum, perguruan tinggi dan partai politik.
1) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LSM adalah institusi sosial yang dibentuk oleh
swadaya masyarakat yang tugas esensinya adalah
membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan
masyarakat yang tertindas. Selain itu LSM dalam konteks
civil society juga bertugas mengadakan empowering
(pemberdayaan) kepada masyarakat mengenai hal-hal
yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti
advokasi, pelatihan dan sosialisasi program-program
pembangunan masyarakat.
2) Pers Pers merupakan institusi yang penting dalam
penegakan civil society.Pers punya kemampuan untuk
mengkritik dan menjadi bagian dari social control yang
dapat menganalisis serta memublikasikan berbagai
kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga
negaranya. Hal tersebut pada akhirnya mengarah pada
adanya independensi pers serta mampu menyajikan berita
secara objektif dan transparan.
________________________
melekat pada diri manusia mempunyai ciri-ciri yang khas, dan tidak terdapat di luar lingkungan manusia. A. Sudiarja (ed.), Op. Cit., hlm. 708-709.
84 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
Sebagaimana diketahui, lewat pers—terlepas dari
berbagai kelebihan dan kekurangannya—kita dapat
mengetahui berbagai informasi lebih cepat. Maka tidak
berlebihan kiranya jika kemudian Ilham Prisgunanto
mengatakan bahwa pers adalah tonggak kekuatan kelima
bagi suatu bangsa, sebab tanpa pers negara menjadi tidak
transparan dan rakyat akan buta dengan kinerja
pemerintah.45 Lebih dari itu, pers, sebagaimana ditulis
Yenrizal dan Rus’an Rusli, diyakini bisa masuk ke dalam
semua ruang yang selama ini tertutup rapat tak terjamah
(untouchable)46 dan juga memiliki tanggungjawab dan
keberpihakan kepada suara kebenaran masyarakat (social
responsibility). Selain itu, pada tataran ideal, pers juga
memiliki peran sebagai kontrol sosial, yaitu dengan
memberitakan hal-hal yang sifatnya pengawasan agar
pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Sehingga
dengan sendirinya, pers mampu membentuk opini publik
serta mampu memberikan tekanan terhadap pihak-pihak
yang berbuat kesalahan.
Menurut Burhan Bungin, dalam menjalankan
paradigmanya sebagai institusi pelopor perubahan, pers
memiliki peran:47
a) Sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu sebagai media edukasi.
b) Sebagai media informasi, yaitu media yang setiap saat menyampaikan informasi kepada masyarakat.
________________________ 45 Ilham Prisgunanto, Praktik Ilmu Komunikasi dalam Kehidupan Sehari-hari,
Teraju, Jakarta, 2004, hlm. 11. 46 Yenrizal dan Rus’an Rusli, “Keberpihakan Media dan Mafia Korupsi”
dalam Suyitno (ed), Korupsi, Hukum, dan Moralitas Agama: Mewacanakan Fikih Antikorupsi, Gama Media, Yogyakarta, 2006, hlm. 234.
47 Lihat, Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 85-86.
Rohidin 85
c) Sebagai media hiburan sekaligus institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan serta katalisator perkembangan kebudayaan.
3) Supremasi Hukum Setiap warga negara, baik yang duduk dalam formasi
pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus tunduk
kepada (aturan) hukum. Hal tersebut berarti bahwa
perjuangan untuk mewujudkan hak dan kebebasan antar-
warga negara dan antar-warga negara dengan
pemerintahan haruslah dilakukan dengan cara-cara yang
tinggi. Selain itu, supremasi hukum juga memberikan
jaminan dan perlindungan dari segala bentuk penindasan
individu dan kelompok yang melanggar norma-norma
hukum serta segala bentuk penindasan hak asasi manusia,
sehingga terpola bentuk kehidupan yang civilized.
4) Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi (PT) merupakan bagian dari
kekuatan sosial dan masyarakat dan mengkritik berbagai
kebijakan pemerintah. Dengan catatan, gerak yang
dilancarkan oleh mahasiswa tersebut masih pada jalur
yang benar dan memosisikan diri pada rel dan realitas yang
betul-betul objektif dan menyatakan kepentingan
masyarakat (public). Sebagai bagian dari pilar civil society
maka PT memiliki tugas utama mencari dan menciptakan
ide-ide alternatif dan konstruksi untuk dapat menjawab
problematika yang dihadapi oleh masyarakat. Di sisi lain,
PT memiliki “Tri Dharma PT”, yang harus dapat
diimplementasikan berdasarkan kebutuhan masyarakat
(public).
Menurut Riswanda Immawan, PT memiliki tiga
peran yang strategis dalam mewujudkan civil society.
Pertama, pemihakan yang tegas pada prinsip
86 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
egalitarianisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang
demokratis. Kedua, membangun political safety net, yakni
dengan menggambarkan dan memublikasikan informasi
secara objektif dan tidak manipulatif. Political safety net ini
setidaknya dapat mencerahkan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan mereka terhadap informasi. Ketiga,
melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara
yang santun, saling menghormati, demokratis, serta
meninggalkan cara-cara yang agitatif dan anarkis.
5) Partai Politik Partai Politik (parpol) merupakan wahana bagi
warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi
politiknya. Sekalipun memiliki tendensi politik dan rawan
akan hegemoni negara, tetapi bagaimanapun sebagai
sebuah tempat ekspresi politik warganegara, maka parpol
menjadi prasyarat bagi tegaknya civil society. Berkaitan
dengan upaya penguatan civil society di Indonesia, maka
Muslim sebagai pihak mayoritas menjadi sangat penting
untuk dipertimbangkan. Upaya penguatan civil society di
Indonesia tidak bisa mengabaikan pentingnya faktor umat
Islam. Bahkan, dalam beberapa hal tertentu, bisa dikatakan
bahwa keberadaan Muslim merupakan basis perubahan
politik dan sosial di Indonesia. Mereka memiliki potensi
yang sangat besar dalam menentukan format dan
kehidupan politik Indonesia. Begitu pula dalam upaya
penguatan civil society, Muslim menduduki posisi terdepan
yang bisa diharapkan menjadi pengimbang dari kekuatan
negara yang cenderung dominatif. Dengan ungkapan lain,
Muslim Indonesia memiliki prasyarat—setidaknya secara
kuantitatif—bagi pertumbuhan dan penguatan civil society
di Indonesia.
Rohidin 87
Dalam hal ini, menurut Dawam Raharjo ada tiga
strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai
strategi dalam memberdayakan civil society di Indonesia.
Pertama, strategi yang lebih mementingkan integrasi
nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa
sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam
masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan
bernegara yang kuat. Saat ini yang diperlukan adalah
stabilitas politik sebagai landasan pembangunan, karena
pembangunan membutuhkan resiko politik yang minim.
Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa lebih
diutamakan dari demokrasi. Kedua, strategi yang lebih
mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi.
Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun
demokrasi tidak perlu menunggu rampungnya tahap
pembangunan ekonomi. Ketiga, strategi yang memilih
membangun civil society sebagai basis yang kuat ke arah
demokratisasi. Strategi ini muncul akibat kekecewaan
terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua. Dengan
begitu, strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan
penyadaran politik, terutama pada golongan menengah
yang makin luas.48
Ketiga model strategi pemberdayaan civil society
tersebut di atas dipertegas oleh Hikam bahwa di era transisi
ini harus dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan
dengan cara memahami target-target grup yang paling
strategis serta penciptaan pendekatan-pendekatan yang
tepat dalam proses tersebut. Untuk keperluan itu, maka
keterlibatan kaum cendekiawan, LSM, ormas sosial dan
keagamaan serta mahasiswa adalah mutlak adanya, karena
________________________ 48 Dawam Raharjo, “Masyarakat Madani: Demokrasi, Kemajuan dan
Keadilan.” Makalah dalam seminar “Strategi Penguatan Civil Society di Indonesia,” 23-25 Oktober 1998 di Bogor.
88 Bab II: Konsep Dasar Kebebasan Beragama
merekalah yang memiliki kemampuan dan sekaligus aktor
pemberdayaan tersebut.49
Penanaman pola hidup berbasis civil society ini
menjadi penting dalam kehidupan beragama di Indonesia
karena di dalamnya sarat dengan masyarakat yang penuh
dengan sikap toleran dan berkeadilan. Bahkan, dengan
membuminya konsep tersebut, bisa jadi Indonesia tidak
membutuhkan lagi bentuk regulasi tentang kehidupan
beragama. Sebaliknya, dengan bentuk regulasi semapan
apapun jika civil society tidak tertanam dalam sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara maka jaminan
kehidupan beragama hanya akan menjadi mimpi belaka.
Namun demikian, untuk menuju kehidupan yang berbasis
civil society, baik sistem, aparatur pemerintah, maupun
masyarakat harus sama-sama menopangnya dengan
penuh kesungguhan. Dengan tanpa kebersamaan tiga
elemen tersebut sangat sulit kiranya civil society akan
membumi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
________________________ 49 A. Ubaidillah (dkk.), Op. Cit., hlm. 157.
Rohidin 89
Rentang Basis Ideologi Kebebasan
Beragama
Sebagai bagian dari HAM, kebebasan beragama tidak bisa
dilepaskan dari pertarungan beberapa ideologi. Dalam rentang
sejarah perdebatan HAM terdapat setidaknya dua basis ideologi
dalam memandang universalitas HAM dan kebebasan beragama.
Dua basis ideologi ini berada pada dua titik ekstrem yang saling
bertolak belakang. Titik ekstrem pertama adalah ideologi
partikular-absolut yang memahami HAM dan juga kebebasan
beragama bersifat partikular secara absolut. Kebebasan beragama di
satu tempat tidak bisa diterapkan di tempat yang lain. Dengan kata
lain, tidak ada kebebasan agama yang benar-benar bebas dan
berlaku untuk setiap tempat, kondisi, dan masa.
Titik ekstrem kedua adalah ideologi universal absolut yang
memahami HAM dan kebebasan beragama berlaku secara
universal penuh. Ideologi ini memahami bahwa sebagai hak dasar
yang melekat pada diri manusia semenjak lahir di dunia, kebebasan
beragama tidak mengenal batasan apa pun dan pembatasan oleh
siapa pun. Ideologi ini mengambil posisi berlawanan penuh
terhadap ideologi pertama tadi. Nah, di antara dua titik ekstrem ini
penulis akan berupaya menghadirkan jalan tengah. Untuk konteks
90 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama
Indonesia, penulis menawarkan ideologi Pancasila untuk
menghadirkan titik tengah.
A. Ideologi Partikular-Absolut Basis Pembentukan Persepsi Eksklusif
Pandangan partikularisme menyangkut HAM
dilatarbelakangi bahwa setiap bangsa memiliki latar belakang
ideologi, sosial, dan budaya masing-masing yang sudah barang
tentu memiliki perbedaan antara satu bangsa dengan bangsa yang
lain.1 Dengan kerangka berfikir semacam itu, maka untuk
memberlakukan universalisme HAM kepada seluruh lapisan
bangsa adalah mustahil. Terlebih lagi, universalisme HAM tersebut
tidak lain merupakan produk budaya Barat yang sudah barang
tentu mengandung banyak perbedaan dengan budaya Timur, yang
nota bene banyak didiami dan dianut oleh negera-negara
berkembang.
Sistem kebersamaan (communal), yang telah lama ada dan
menjadi warisan dari generasi awal mereka merupakan prinsip
fundamental dan sistem masyarakat Timur. Hal ini sudah barang
tentu bertentangan dengan cara pandang masyarakat Barat yang
cenderung berbasis pada prinsip individualistik. Bagi
masyarakat Timur, prinsip keadilan sosial dibentuk bukan
berdasarkan HAM yang setara, melainkan status sosial yang
tidak setara dan gabungan “privilese” dengan tanggung jawab,
bahkan kelompok partikularisme mengatakan bahwa
keberadaan masyarakat tradisional adalah untuk menentang
universalisme HAM yang sudah menjadi asumsi.2
________________________ 1 Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat: Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum,
Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, hlm. 115. 2 Rhoda E. Howard, HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya,
terj.Nugraha Katjasungkana, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2000, hlm. 105.
Rohidin 91
Penolakan masyarakat tradisional terhadap individualisme
ini menyatukan mereka ke dalam misi bersama untuk menghadapi
resiko kehancuran budayanya. Pada saat masyarakat yang
merupakan bagian dari budaya-budaya yang diromantisasi ini
dianggap bukan sebagai individu yang riil—yang memiliki
kebutuhan, keinginan, dan nafsu—melainkan sebagai benda
pameran antropologi yang hidup, maka HAM bisa terlewatkan
begitu saja. Secara definitif, masyarakat tradisional adalah alamiah
dan tidak mungkin memiliki keinginan yang terkonstruksi secara
sosial dalam hal HAM seperti yang dimiliki masyarakat Barat,
sebagai masyarakat yang dianggap beradab dan tetap terisolasi.
Masyarakat tradisional tidak bisa perpikir abstrak, keluar dari
lingkungannya untuk meninjau hakikat kehidupan sosial atau etika
kelompoknya. Dengan demikian, memasukkan pandangan ideal
HAM, bahkan ke dalam wacana lisan dengan masyarakat
tradisional, adalah tindakan imperialis, menimbulkan proses
perubahan sosial yang akan merusak tatanan sosial pribumi.3
Masyarakat Barat sendiri pada mulanya adalah masyarakat
“tradisional”. Mereka telah mengalami proses perubahan sosial
selama berabad-abad, bukan merupakan konsekuensi dari
penegakan HAM bercorak indivisualistik secara tiba-tiba.
Masyarakat tradisional yang masih ada dianggap sebagai asal-usul
manusia modern. Masyarakat Barat memerlukan masyarakat
tradisional, bahkan ketika organisasi sosial mereka
mengeksploitasi, atau kejam terhadap banyak anggotanya agar
mereka bisa menikmati kemurnian masa lalu yang penuh dengan
mitos. Integralistik organis masyarakat tradisional, kesatuannya
dengan alam, tekanan terhadap pilihan individu mendorong
keinginan Barat akan dunia khalayan yang lebih bersahaja.
Masyarakat tradisional adalah komunitarian terbaik, yang tidak
dicemari oleh individualisme. Dalam masyarakat mereka, tidak
________________________ 3 Ibid., hlm. 109.
92 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama
seorang pun mempertanyakan aturan; setiap orang, bahkan yang
paling rendah, hidup harmonis dengan yang lain dan dengan
penguasa.4
Para kritikus universalisme HAM dari kelompok partikularis
mencari dunia yang tidak ada lagi. Kalau pun pernah ada, hal itu
tidak lebih sebagai suatu dunia komunitas, dunia individu-individu
yang bersatu dalam kelompok dan dunia yang terpadu dan
menyatu dengan alam. Pembelaan kelompok partikularis terhadap
budaya-budaya pribumi yang menentang HAM, yang telah
mengalami proses universalisasi hingga pada tingkat tertentu,
merupakan konsekuensi dari rasa khawatir mereka bahwa
universalisme HAM akan mendorong munculnya dunia sosial
yang terindividualisasi, atomistis, dan kompetitif. Kelompok
partikularis mengidealisasikan komunitas Dunia Ketiga yang
memberi teladan bagi budaya Barat tentang masyarakat tradisional
yang aman dan tenteram dan telah hilang darinya, sekalipun Dunia
Ketiga memperlihatkan banyak pelanggaran HAM pada awal
modernisasi.5
Cara hidup tradisional mengisyaratkan jiwa cemas orang
Barat mengingatkan mereka pada asal-usul kolektif asli yang
merupakan asal-muasal mereka. Individu-individu yang hidup
dalam masyarakat tradisional, pra-kapitalis komunitarian, seperti
orang-orang yang diminta Levi-Straus untuk tinggal di hutan, tidak
diperbolehkan berubah atau berpikir tentang apa yang mereka
inginkan dalam kehidupan. Sudah barang tentu jika mereka tidak
diperbolehkan menolak impian utopia dengan mengadopsi ide-ide
Barat.6 Suku-suku masyarakat tradisional di Dunia Ketiga kini tidak
diperbolehkan tertarik mengadopsi atau mendukung pandangan-
pandangan individualis tentang otonomi pribadi atau HAM.
Mereka yang berbuat demikian segera disingkirkan karena
________________________ 4 Ibid., hlm. 109-110. 5 Ibid., hlm. 110. 6 Ibid., hlm. 110-111.
Rohidin 93
dianggap berubah “menjadi Barat”, yaitu tidak asli, merusak peran
psikologis yang mereka jalankan untuk orang Barat. Penting bagi
kita untuk menyadari bahwa gagasan Barat tentang HAM sejauh
yang dinyatakan oleh elit-elit politik Dunia Ketiga, mencerminkan
“westernisasi” elit ini.7 Oleh karena itu, meskipun masyarakat Barat
menghargai kebebasan intelektual dalam tradisi mereka, mereka
menolak hal itu bagi kaum intelektual dari tradisi lain; kaum
intelektual dari tradisi lain dianggap sebagai teladan konservatif,
bukan penentang radikal nilai-nilai budaya mereka sendiri.8
Dengan demikian, kelompok partikularisme absolut memandang
HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa memberikan
alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan
terhadap berlakunya dokumen-dokumen/instrument-instrumen
hukum internasional berkaitan dengan HAM, sehingga banyak
kalangan berpendapat bahwa pandangan ini bersifat chauvinis,
egois, defensif, dan pasif tentang HAM.
Cara pandang di atas kemudian melahirkan kelompok
yang memiliki persepsi eksklusif terhadap HAM. Kelompok ini
memandang bahwa HAM tidak bisa digunakan untuk
menjustifikasi adanya kebebasan beragama. Amirsyah, seorang
anggota MUI misalnya, berpendapat bahwa HAM tidak boleh
merusak kedaulatan suatu agama, sebab jika atas nama HAM
kemudian merusak nilai-nilai agama, jelas hal itu tidak benar.9
Senada dengan Amirsyah adalah pernyataan Jainal Abidin,
________________________ 7 Penyeragaman cara pandang berdasarkan Komentar Umum (General
Common) dari PBB atau bahkan penuntutan penggunaan paradigma yang biasa dipakai kaum liberal (baca: universal-absolut) untuk membatasi atau mengukur hak kebebasan yang ada di Negara Hukum Indonesia pada dasarnya merupakan bentuk intervensi (intoleransi) luar atau Barat juga. Simak pertanyaan Munarman, sebagai Pihak Terkait dari Pemerintah, terhadap Siti Juhro dalam Sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 pada hari Rabu 17 Maret 2010 di Gedung MK Jakarta.
8 Ibid., hlm. 111. 9 Wawancara dengan Amirsyah, anggota MUI pada tanggal 1 Februari
2010.
94 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama
Pengurus MUI D.I. Yogyakarta,menurutnya HAM harus dipahami
sebagai produk budaya, karena ia tidak bisa dilepaskan dari nilai-
nilai filosofis-sosiologis masyarakat pencetusnya. HAM Barat,
lanjut Jainal, dibangun atas dasar filsafat individualistik-sekuler,
sementara Islam berangkat dari wahyu. Karena perbedaan itulah,
maka HAM di Barat dan Timur, termasuk Indonesia, itu berbeda.
Berkaitan dengan fatwa MUI, menurut Jainal tidak bisa atas dasar
HAM kemudian merusak nilai-nilai agama. Apa yang terjadi pada
kasus Ahmadiyah, sesungguhnya Ahmadiyah-lah yang melanggar
HAM, bukan MUI-nya, karena dalam ajaran Ahmadiyah sendiri
banyak yang mendeskriditkan kelompok Sunnī, istilah-istilah kafir
misalnya.10
Lebih tegas dari Jainal adalah pernyataan Sobri Lubis, Sekjen
FPI, baginya mereka (baca: Ahmadiyah) telah halal darahnya (baca:
boleh dibunuh), karena telah merusak akidah Islam yang benar.
“Persetan kitab HAM, tai kucing kitab HAM”, tegas Lubis saat
mengaitkan kasus Ahmadiyah dengan persoalan HAM.11
Mendekati Jainal dan Lubis adalah pernyataan Adian Husaini,
baginya dunia Islam tidak menjadikan DUHAM sebagai “kitab
suci”, dan tidak bersedia begitu saja mengadopsi sepenuhnya pasal-
pasal dalam DUHAM. Bahkan, seseorang yang mempercayai
piagam ini, bagi Adian, sesungguhnya telah meletakkannya di atas
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. Dengan demikian,
sesungguhnya mereka telah menjadikan teks piagam lebih tinggi
kedudukannya dari teks kitab suci umat Islam.12 Artinya, nilai-nilai
agama sebagai sesuatu yang bersifat partikular-absolut lebih
dijunjung daripada universalisme individu manusia berkaitan
________________________ 10 Wawancara dengan Jainal Abidin, Pengurus MUI Daerah Istimewa
Yogyakarta, pada hari Kamis, 18 Agustus 2011. 11 Ungkapan ini disampaikan oleh Sobri Lubis dalam sebuah Tabligh Akbar
di Kota Bogor pada tanggal 14 Februari 2008. 12 Adian Husaini, Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas & Tidak
Kontroversial, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2005, hlm. 84.
Rohidin 95
dengan HAM. Oleh karena itu, bagi mereka, apa yang dilakukan
MUI, sudah berada di jalur yang tepat.
Jika kita bertolak dari teori persepsi Blumer, dapat
dipahami bahwa persepsi eksklusif terhadap fatwa MUI tentang
aliran sesat berkaitan dengan konsep kebebasan beragama
terkonstruk sebagai pengaruh dari penggunaan ideologi
partikular-absolut dalam memandang HAM. Sehingga sangat
wajar jika agama, sebagai bagian dari partikularisme, lebih
dijunjung daripada universalisme yang cenderung
individualistik. Sehubungan dengan itu, maka penggunaan
ideologi partikular-absolut berkaitan dengan HAM ini tampak
kurang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab. Konstruksi demikian tampak bersifat theosentris,
dengan tanpa melihat unsur kemanusiaan sebagai realitas psikis
dari pemeluk agama itu sendiri.
B. Ideologi Universal-Absolut Basis Pembentukan Persepsi Inklusif-Liberal
Asal mula dan perkembangan HAM tidak dapat
terpisahkan dari perkembangan universalisme nilai moral.13
________________________ 13 Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral yang
bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi secara rasional. Asal-muasal universalisme moral di Eropa terkait dengan tulisan-tulisan Aristoteles. Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles secara detail menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah. Ketertiban alam ini harus menjadi dasar bagi seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu ketertiban alam kemudian diturunkan dalam serangkaian kriteria universal yang komprehensif untuk menguji legitimasi dari sistem hukum yang sebenarnya “buatan manusia”. Oleh karenanya, kriteria untuk menentukan suatu sistem keadilan yang benar-benar rasional harus menjadi dasar dari segala konvensi-konvensi sosial dalam sejarah manusia. “Hukum alam” ini sudah ada sejak sebelum menusia mengenal konfigurasi sosial dan politik. Sarana untuk menentukan bentuk dan isi dari keadilan yang alamiah ada pada “reason”, yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga. Dasar dari doktrin hukum alam adalah kepercayaan akan eksistensi suatu kode moral alami yang
96 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama
Sejarah perkembangan filosofis HAM dapat dijelaskan dalam
sejumlah doktrin moral khusus yang, meskipun tidak
mengekspresikan hak asasi manusia secara menyeluruh, tetap
menjadi pra-syarat filosofis bagi doktrin kontemporer. Hal
tersebut mencakup suatu pandangan moral dan keadilan yang
berasal dari sejumlah domain pra-sosial, yang menyajikan dasar
untuk membedakan antara prinsip dan kepercayaan yang
“benar” dan yang “konvensional”. Prasyarat yang penting bagi
pembelaan hak asasi manusia di antaranya adalah konsep
individu sebagai pemikul hak “alamiah” tertentu dan beberapa
pandangan umum mengenai nilai moral yang melekat dan adil
bagi setiap individu secara rasional.
Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial
yang memiliki hak-hak yang tidak dapat dimungkiri, dan
diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi.14 Dalam model
________________________
didasarkan pada identifikasi terhadap kepentingan kemanusiaan tertentu yang bersifat fundamental. Penikmatan kita atas kepentingan mendasar tersebut dijamin oleh hak-hak alamiah yang kita miliki. Hukum alam ini seharusnya menjadi dasar dari sistem sosial-politik yang dibentuk kemudian. Oleh sebab itu, hak alamiah diperlukan sebagai sesuatu yang serupa dengan hak yang dimiliki individu terlepas dari nilai-nilai masyarakat maupun negara. Dengan demikian hak alamiah adalah valid tanpa perlu pengakuan dari pejabat politis atau dewan mana pun. Pendukung pendapat ini adalah filsuf abad ke-17, John Locke, yang menyampaikan argumennya dalam karyanya, Two Treaties of Government (1688). Intisari pandangan Locke adalah pengakuan bahwa seorang individu memiliki hak-hak alamiah yang terpisah dari pengakuan politis yang diberikan negara pada mereka. Hak-hak alamiah ini dimiliki secara terpisah dan dimiliki lebih dahulu dari pembentukan komunitas politik mana pun, Locke melanjutkan argumentasinya dengan menyatakan bahwa tujuan utama pelantikan pejabat politis di suatu negara berdaulat seharusnya adalah untuk melindungi hak-hak alamiah mendasar individu. Bagi Locke, perlindungan dan dukungan bagi hak alamiah individu merupakan justifikasi tunggal dalam pembentukan pemerintahan. Hak alamiah untuk hidup, kebebasan dan hak milik menegaskan batasan bagi kewenangan dan jurisdiksi negara. Negara hadir untuk melayani kepentingan dan hak-hak alamiah masyarakatnya, bukan untuk melayani monarki atau sistem. Lihat, Knut D. Asplund (dkk.) (ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010, hlm. 19-20.
14 Ibid., hlm. 20.
Rohidin 97
partikularisme, suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam
hal ini tidak dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan
memilih, dan persamaan. Perihal yang diakui adalah bahwa
kepentingan komunitas menjadi prioritas utama. Doktrin ini telah
diterapkan di berbagai negara yang menentang setiap penerapan
konsep hak dari Barat dan menganggapnya sebagai imperialisme
budaya. Namun demikian, negara-negara tersebut mengacuhkan
fakta bahwa mereka telah mengadopsi konsep nation state dari Barat
dan tujuan moderenisasi sebenarnya juga mencakup kemakmuran
secara ekonomi.
Pemahaman HAM dari sudut pandang univeralisme lebih
dilatarbelakangi oleh terbentuknya instrumen-instrumen hukum
internasional berkaitan dengan HAM. Secara mendasar hak
fundamental manusia terletak pada dua hal. Pertama, hak asasi
manusia (human rights), yaitu hak yang melekat pada manusia dan
secara asasi ada sejak manusia itu dilahirkan. Hal ini erat kaitannya
dengan eksistensi hidup manusia, bersifat statis dan utama, tidak
dapat dicabut, tidak tergantung dengan ada atau tidaknya orang
lain di sekitarnya. Wujud hak ini di antaranya berupa: kebebasan
batin, kebebasan beragama, kebebasan hidup pribadi, kebebasan
untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, dan emansipasi
wanita. Kedua, hak undang-undang (legal rights), yaitu hak yang
diberikan undang-undang secara khusus kepada pribadi manusia.
Oleh karena diberikan, maka sifat pengaturannya harus jelas
tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan.
Barangsiapa yang tidak memenuhi ketentuan undang-undang,
maka kepadanya dapat dikenakan sanksi yang ditentukan oleh
pembentuk undang-undang.15
Sebagai instrumen perundang-undangan, HAM kemudian
dipositifk-an kaidah-kaidahnya dan disosialisasikan kepada
________________________ 15 I Gede Arya B. Wiranta, “Hak Asasi (Anak) dalam Realitas Quo Vadis”,
dalam Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Jakarta, 2005, hlm. 229.
98 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama
masyarakat agar masyarakat mengetahui dan berupaya untuk
mengembangkan sarana--sarana pendukung agar apa yang
terkandung dalam HAM dapat ditaati. Hal demikian membawa
dampak pada perundang-undangan HAM yang dapat berlaku
secara efektif, untuk itu diperlukan adanya upaya--upaya
pencanangan perundang-undangan HAM dengan baik,
pelaksana dalam menunaikan tugasnya dapat searah dan senafas
dengan bunyi serta penafsiran yang telah disepakati, penegak
HAM harus menuntut para pelanggarnya.16
Cara pandang di atas sampai pada tataran tertentu menjadi
basis bagi terbentuknya persepsi kelompok inklusif-liberal.
Betapa tidak, bagi mereka perbedaan penafsiran dalam bingkai
keagamaan adalah suatu keniscayaan. Otoritas tafsir tidak hanya
dimiliki oleh seseorang atau lembaga tertentu, oleh karena itu
kebenaran tafsir bersifat relatif dan tidak pernah serta tidak akan
________________________ 16 G.G. Howards dan Rummers, Law It’s Nature and Limits, New Jeresey
Prestic Hall, 1999, hlm. 4647. Instrumen-instrumen hukum intemasional menyangkut HAM adalah sebagai berikut: The Universal Declaration of Human Rights, 1948 (DUHAM); The International Covenant on Civil and Political Rights, 1966 (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik); The International on Economic, Social and Cultural Rights,1966 (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya); The Optional Protocol on Civil and Political Rights, 1967 (Protokol Tambahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik); The International Convention on the Prevention and Punishment of the Crime Genocide, 1948 (Konvensi Internasional tentang Pencegahan dari Pemberian Hukuman Kejahatan Genosida); The International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1969 (Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial); The International Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women, 1981 (Konvensi Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan); The International Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 (Konvensi Internasional Anti Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Bermartabat); The International Convention on the Rights on the Child, 1989 (Konvensi Internasional Tentang Hak Anak); The International Convention Relating to the Status of Refuges, 1951 (Konvensi Internasional yang Berhubungan dengan Status Pengungsi); dan The International Protocol Relating to the Status of Refuges,1967 (Protokol Internasional yang Berhubungan dengan Status Pengungsi).
Rohidin 99
pernah ada tafsir tunggal. Pemahaman ahli ilmu tafsir dan
keislaman selalu beragam, bahkan bisa jadi saling bertentangan.
Dalam keadaan seperti ini justru, Nabi Muhammad saw.,
menggambarkan sebagai situasi yang penuh rahmat, dengan
catatan setiap pihak bersedia untuk berdialog dan membangun
toleransi keagamaan bagi kemuliaan kemanusiaan, bukan
mengubah keyakinan dengan cara klaim-klaim sepihak seperti
sekarang ini.17
Lebih dari itu, fatwa MUI tentang aliran sesat kegamaan,
bagi mereka, telah melanggar basis-basis moral Islam universal
serta bertentangan dengan HAM, khususnya hak dan kebebasan
beragama. Kebebasan beragama yang bersifat bebas tanpa batas,
bagi mereka, hanya ada pada forum internum, sementara
kebebasan beragama dalam bentuk kebebasan untuk
memanifestasikan agama atau keyakinannya digolongkan dalam
kebebasan bertindak (freedom to act).18 Kebebasan beragama
dalam bentuk ini dapat dibatasi dan diatur hanya berdasarkan
undang-undang.
Artinya, nilai-nilai universalisme berkaitan dengan HAM,
khususnya dalam hal beragama, menjadi titik tolak
pembentukan persepsi mereka. Individu manusia menjadi
prioritas utama mereka dalam memandang fatwa berkaitan
dengan kebebasan beragama sebagai bagian dari HAM. Pola
pikir semacam ini sudah barang tentu sangat antroposentris,
bahkan unsur-unsur teosentris dalam agama menjadi kabur.
Dengan demikian, unsur-unsur partikular yang terdapat dalam
setiap agama tidak mereka indahkan. Akibatnya, pandangan
mereka berkaitan dengan kebebasan beragama justru tercerabut
dari nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia yang terakumulasi
________________________ 17 Wawancara dengan Munir Mulkhan pada tanggal 4 Mei 2010. Telusuri
lebih lanjut dalam “Kala Fatwa jadi Penjara”, hlm. 169. 18 Wawancara dengan Hanick, Aktivis ICRP, pada tanggal 2 Februari 2010
di Jakarta.
100 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama
dalam konsep Ketuhanan Yang Maha Esa dengan basis
kemanusiaan yang adil dan beradab.
C. Ideologi Pancasila Sebagai Solusi atas Disharmoni Persepsi dalam Bingkai Kebebasan Beragama
Perdebatan tentang HAM, baik yang bersifat universal
maupun partikular (cultural relativism), sudah lama berlangsung,
dan sudah barang tentu jika kedua pandangan tersebut
disatukan merupakan hal yang sangat sulit, sebab masing-
masing berdiri pada posisinya. Perdebatan keduanya tidak akan
berakhir jika masing-masing pandangan berakar pada titik tolak
yang berbeda, terutama dalam hal ideologi dan sosial-budaya
dari sistem masyarakat yang berbeda.
Pandangan universalitas HAM didasari dari pandangan
yang bersifat individual, terutama adanya tuntutan kebebasan
individu (warga negara) yang muncul dari sistem masyarakat
yang liberal. Hal ini dapat dibuktikan dari perjalanan panjang
sejarah HAM di Barat, baik yang terjadi di Inggris, Amerika,
maupun Prancis, yang pada waktu itu menuntut adanya
pembatasan kekuasaan bagi penguasa (Raja). Tuntutan kebebasan
dan perlunya pembatasan kekuasaan bagi penguasa pada waktu
itu, dengan perjalanan yang panjang membuat masyarakat Barat
meracik konsep HAM tersebut ke dalam aturan-aturan yang lebih
terkodifikasi dan tertulis. Seperti lahirnya Piagam Magna Charta,
Deklarasi Virginia, Deklarasi Independen, Bill of Rights, dan
Declaration des Droits del’homme et du Citoyen. Piagam-piagam
tentang HAM ini dijadikan dasar tentang adanya tuntutan tentang
kebebasan dari warga negara dan adanya pembatasan bagi
penguasa terutama dalam menjalankan sistem pemerintahan. Baru
pada abad ke-19, setelah berakhirnya Perang Dunia II, masyarakat
internasional terhentak untuk kembali secara bersama--sama
merumuskan konsepsi-konsepsi dasar HAM ini dalam bentuk
Rohidin 101
aturan yang bersifat hukum internasional yang akan diberlakukan
ke seluruh bangsa dan negara yang ada di dunia ini. Keinginan ini
dilakukan mengingat sebagai akibat dari adanya Perang Dunia II
tersebut, di mana banyaknya korban umat manusia serta hancurnya
peradaban mereka, sehingga perlu dibangun secara bersama
peradaban umat manusia tersebut dengan tetap menghormati
harkat martabat manusia (dignity). Akhirnya, pada tahun 1948
dirumuskanlah konsepsi HAM tersebut dalam sebuah deklarasi
sebagaimana yang dikenal dengan UDHR, yang kemudian diikuti
dengan aturan-aturan hukum internasional yang lain, yaitu: ICCPR,
ICESCR (1966), serta Protokol Tambahan ICCPR (1967).
Keseluruhan instrumen hukum internasional ini sudah menjadi
bagian hukum positif internasional yang akan diberlakukan secara
universal dan mengikat bagi bangsa-bangsa dan negara-negara
yang telah meratifikasinya.
Mereka yang berpaham partikularisme (cultural relativism)
menyangkut HAM tentunya sangat sulit menerima paham
universal HAM produk Barat tersebut. Hal ini terjadi karena
HAM Barat tersebut tidak sesuai dengan paham ketimuran,
terutama bagi negara-negara berkembang. HAM yang ada dan
lahir di Barat tidak sama dengan HAM yang ada di Timur. Sebab
masyarakat Timur selalu mengedepankan kepentingan
kebersamaan (sense communal), sehingga berbeda dengan
masyarakat Barat yang mengedepankan kepentingan individu.
Dalam pandangan ketimuran,prinsip keadilan sosial bukan
berdasarkan HAM yang setara, melainkan status sosial yang
tidak setara dan gabungan privilese dengan tanggung jawab.
Sehingga masyarakat ketimuran menentang universalitas HAM
sebagaimana yang dimiliki Barat.
Berkaitan dengan disharmoni di atas—dalam konteks
kebebasan beragama—penggunaan ideologi Pancasila dapat
dijadikan sebagai solusinya. Hal demikian dianggap relevan
mengingat nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab,
102 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama
sebagai representasi dari budaya bangsa, terkandung di
dalamnya. Unsur yang terkandung dalam sila kedua dari
Pancasila tersebut adalah berupa: adil dan beradab serta keadilan
dan keadaban. Hal demikian dapat disederhanakan dalam
ragaan sebagai berikut:
Ragaan 3.1. Penggunaan Ideologi Pancasila sebagai Solusi atas Disharmoni
Persepsi dalam Bingkai Kebebasan Beragama
HAM Universalisme Universalisme Partikularisme
Universal - Absolut Universal - Relatif Universal-Absolut
Antroposentris
Individualisme
Theo - Antroposentris
Humanistik
PANCASILA
Konsep Kebebasan Beragama Berbasis Nilai
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Fatwa MUI
Persepsi Eksklusif Persepsi Inklusif-Moderat Persepsi Inklusif-Liberal
Rohidin 103
Pancasila, bagi Kaelan, merupakan ruh dari budaya bangsa.
Berkaitan dengan fatwa dan kebebasan beragama, sebagai bagian
dari HAM, Pancasila memuat unsur-unsur theo-antroposentris. Di
samping Pancasila menjamin hak-hak individu, Pancasila juga
melindungi agama itu sendiri. Artinya, warga negara berhak dan
bebas dalam hal memeluk keyakinan atau agama, tanpa adanya
intervensi, tetapi ia juga harus menghormati keberadaan keyakinan
atau agama lain, tegas Kaelan.19
Sebagai individu yang mandiri, relasi antar sesama manusia
secara individu, dalam bingkai masyarakat secara komunal, dengan
negara secara administratif, dan dengan antar manusia secara
universal, mempunyai hak dan kewajiban. Hubungan keduanya
secara praktis seimbang, di mana tidak ada intervensi apapun atas
salah satu dari dua hal tersebut. Hak-hak yang dimiliki setiap
personal manusia dalam bernegara dan bermasyarakat, tarmasuk
hak beragama dan berkeyakinan, wajib dijamin, dihormati, dan
diselenggarakan oleh pemerintah dan oleh setiap personal manusia
dengan tetap memerhatikan statusnya sebagai makhluk sosial. Jika
pemenuhan hak-hak tersebut hanya terbatas pada dirinya, sebagai
makhluk individu belaka, maka yang terjadi adalah kecenderungan
untuk merugikan kepentingan manusia lain, disadari ataupun
tidak. Meskipun demikian, pemenuhan hak-hak tersebut tidak
berarti secara mutlak ia bebas untuk melaksanakan haknya,
melainkan dibatasi oleh adanya kewajiban terhadap sesama
manusia, masyarakat, maupun negara. Artinya, kata adil dalam sila
kedua dari Pancasila tersebut dipahami sebagai bentuk kewajiban
bagi pemerintah maupun manusia, secara individu maupun
komunal masyarakat dalam melaksanakan pemenuhan hak-hak
yang dimiliki oleh setiap manusia agar dapat hidup layak
sebagaimana manusia seutuhnya.
________________________ 19 Wawancara pada tanggal 22 Agustus 2011 di UGM Yogyakarta.
104 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama
Pemahaman tersebut memiliki konsekuensi logis bahwa
penghormatan atas setiap pribadi manusia merupakan
kewajiban tersendiri bagi seseorang, sebagai pribadi, kelompok
masyarakat, maupun bagi pemerintah. Hak dan kebebasan
beragama dan berkeyakinan yang dimiliki oleh setiap manusia
tidak boleh dirampas oleh pihak lain. Karena itu, pemaksaan
untuk mengikuti kehendak pihak lain secara kekerasan tidak
dapat ditoleransi, karena secara mendasar pemaksaan dengan
kekerasan atas manusia merupakan suatu bentuk pembudakan.
Pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk memenuhi apa
yang menjadi hak setiap manusia. Pemenuhan kewajiban
tersebut, baik terhadap lingkungan masyarakatnya maupun
terhadap pemerintah dan negaranya, adalah konsekuensi logis
atas statusnya sebagai makhluk sosial.
Ketentuan yang berlaku dengan pengertian sila kedua di
atas, sebagaimana telah dilansir sebelumnya, adalah bahwa
setiap manusia diakui memiliki derajat yang sama, hak dan
kewajiban, dan selaras dengan prinsip keadilan. Karenanya, apa
yang telah menjadi hak setiap manusia, terlebih persoalan
keberagamaan, secara individu adalah objek penghormatan bagi
siapa pun. Penghormatan di sini mesti diimbangi pula dengan
pemenuhan kewajiban oleh setiap pribadi manusia terhadap
lingkungannya, karena manusia tidak hanya mempunyai
pengertian sebagai makhluk individu saja tetapi juga sebagai
makhluksosial. Namun demikian, pengertian perikemanusiaan
atau internasionalisme di atas juga mesti diimbangi dengan
kesadaran bahwa manusia yang merupakan satu umat itu,
duduk di berbagai bagian dari muka bumi yang satu sama
berbeda dalam keadaan tanah dan iklimnya, dan lain-lain,
sehingga perbedaan sifat dalam diri masing-masing manusia
adalah keniscayaan. Perikemanusiaan atau internasionalisme
dalam konteks Indonesia di sini sudah barang tentu terkait erat
dengan kultur masyarakatnya.
Rohidin 105
Model demikiantampaknya menjadi basis ideologi dari
terbentuknya persepsi inklusif-moderat. Sehubungan dengan
itu, Kaelan mengungkapkan bahwa berkaitan dengan fatwa
tentang aliran sesat, MUI memang memiliki hak untuk
melakukan penilaian. Jika ada suatu kelompok yang melakukan
penodaan terhadap agama maka negara harus menghukumnya,
karena penodaan terhadap agama memang diatur dalam
perundang-undangan. Namun demikian, tegas Kaelan, tidak
serta-merta fatwa MUI menjadi landasannya, karena fatwa hanya
bersifat legal opinion, bahkan, dalam kasus Ahmadiyah misalnya,
MUI harus berhati-hati. Lebih-lebih jika MUI membiarkan
fatwanya dipersepsikan (pen.mewujud) dalam bentuk tindakan
anarkis.20
Sejalan dengan Kaelan adalah Wawan, baginya dalam
sejarah perjalanan Islam, kelompok mainstream selalu memiliki
otoritas untuk menilai sebuah ajaran itu menyimpang atau tidak.
Asalkan argumentasinya jelas, hal itu tidak masalah. Justru
menjadi masalah ketika sudah disesatkan lantas hak-hak sipil
mereka dibatasi atau bahkan dilanggar. Sehingga, ragam
persekusi fisik yang timbul sebagai akibat dari fatwa, tandas
Wawan, harus benar-benar dicegah, baik oleh MUI sendiri, lebih-
lebih oleh negara, sebagai pelindung agama dan kelompok
keagamaan.21
HAM dalam perspektif Pancasila, dengan demikian, di
samping mengamini nilai-nilai universal juga menghormati
keberadaan nilai-nilai partikular yang dimiliki oleh setiap
bangsa. Artinya, HAM dalam perspektif Pancasila sejalan
dengan pandangan universalisme-relatif. Pandangan ini
meyakini bahwa persoalan HAM merupakan perihal universal,
namun menyangkut pula tentang pengecualian (exeptions) yang
________________________ 20 Ibid. 21 Wawancara pada tanggal 10 Agustus 2010 di Sleman Yogyakarta.
106 Bab III: Rentan Basis Ideologi Kebebasan Beragama
didasarkan atas asas-asas hukum internasional untuk tetap
diakui keberadaannya.
Rohidin 107
Konstruksi Baru Kebebasan
Beragama
Problem intoleransi dalam ranah keagamaan di Indonesia
bisa dikatakan cukup marak. Hal ini tampak dalam berbagai aksi
yang terjadi mulai dari bersifat lunak hingga menggunakan
kekerasan fisik. Menaggapi berbagai kejadian ini sikap
masyarakat, pemerintah, pemuka agama, elit politik, dan aparat
penegak hukum ternyata tidak satu visi. Mereka justru terbelah
ke dalam dua kubu yang saling bertolak belakang bahkan
cenderung berseteru. Fakta menunjukkanbahwa tak jarang
tindak intoleransi satu pihak memicu tindak intoleransi pihak
lain dalam skala yang lebih luas. Sebab itulah, kita perlu
menghadirkan konstruksi baru kebebasan beragama yang bisa
menjembatani dua kubu tersebut sekaligus sesuai dengan
Pancasila sebagai norma dasar Negara Hukum Indonesia.
A. Potret Intoleransi Keagamaan di Indonesia
Dilihat dari perspektif agama, Indonesia merupakan
negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Selain Islam,
afiliasi keberagamaan masyarakat terbagi ke dalam lima agama
108 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
lain: Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Namun
demikian, secara ideologis dan religio-politis Indonesia bukanlah
“Negara Islam,” Indonesia tetap menjadi negara yang didasarkan
kepada ideologi resmi, yang dikenal dengan Pancasila: (1)
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau monoteisme; (2)
kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) persatuan Indonesia; (4)
demokrasi; dan (5) keadilan sosial. Soekarno, Presiden Republik
Indonesia pertama, telah menawarkan lima dasar dalam
Pancasila tersebut sebagai bagian dari modus vivendi antara
nasionalisme sekuler yang diwakili oleh kaum nasionalis-sekuler
dan gagasan negara Islam yang diwacanakan oleh kaum
nasionalis-Islam.1
Dari sini, dapat dilihat bahwa negara memiliki peran yang
cukup signifikan di wilayah kehidupan bersama dalam ranah
relasi sosial, termasuk di dalam wilayah kehidupan beragama
setiap warga negaranya. Meskipun demikian, agama dan negara
bukanlah dua entitas yang menyatu dan juga tidak berarti sama
sekali terpisah, namun keduanya memiliki peranan yang
berbeda dalam mengatur kehidupan manusia dalam bidangnya
masing-masing. Negara mengatur manusia dalam hubungannya
dengan pemerintah dan mengatur hubungan manusia sebagai
subjek hukum dengan sesama subjek hukum lainnya, sementara
agama mengatur manusia dalam hubungannya dengan sesama
dalam pergaulan dan hubungan dengan Tuhannya. Sehingga,
dalam posisi ideal, negara dapat bekerjasama dengan agama, dan
________________________ 1 Selain melewati perjalanan yang cukup panjang, penetapan lima dasar
dalam Pancasila tersebut juga tidak sepi dari perdebatan dan tarik-ulur kepentingan yang berakhir pada penghapusan tujuh kata yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Lihat, misalnya, dalam Ahmad A. Sofyan & M. Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara & Islam, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 37-43. Bandingkan dengan Siti Musdah Mulia “Potret Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Era Reformasi” dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Efendi, ICRP, Jakarta, 2009, hlm. 335.
Rohidin 109
lebih jauh dengan berbagai aliran kepercayaan yang ada, untuk
kemudian secara tegas menciptakan kerukunan dan kedamaian
di antara masyarakat dan menegakkan hukum yang berlaku
serta, pada titik tertentu, menentang segenap tindakan anarkisme
atas nama agama.
Akan tetapi, pada dimensi faktualnya, di Indonesia—
sebagaimana juga yang terjadi di wilayah negara lain—seringkali
agama dan negara (baca: politik) menjadi entitas yang tumpang
tindih. Sebagai akibatnya, agama kerapdijadikan sebagaialat
legitimasi dan manipulasi untuk kepentingan dan target politik.
Di era pemeritahan Soeharto, misalnya, seringkali negara
mengkooptasi Islam untuk mengontrol kekuasaannya. Hal ini
berujung pada pembentukan beberapa organisasi keagamaan
berbasis kelembagaan oleh pemerintah seperti MUI, yang
kemudian dijadikan sebagai legitimasikebijakan politik
pemerintah. Efek lain dari hal ini adalah intervensi negara yang
terlampau jauh masuk dalam ranah garapan agama dan urusan
moral seperti persoalan keyakinan (akidah) warganya dalam
memilih dan memeluk agama dan kepercayaan tertentu yang
berakhir pada pembatasan kebebasan warganya dalam
beragama melalui beragam aturan hukum.2
________________________ 2 Intervensi yang dilakukan negara ini tentu dirasa berlebihan mengingat
persoalan akidah dan keyakinan merupakan hak setiap warga negara yang justru harus dilindungi dan mendapatkan jaminan dari negara sebagaimana yang telah digariskan dalam undang-undang. Hal ini juga pernah diungkapkan oleh Presiden Soeharto di hadapan peserta Rapat Kerja Depag (sekarang Kemenag) pada tanggal 24 Maret 1984, bahwa:
“Negara dan pemerintah kita menghormati kebebasan beragama bagi setiap penduduk dan menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Agama adalah masalah keyakinan, dan tidak ada satu kekuasaan duniawi yang mampu dan berhak mencampuri keyakinan hati seseorang. Apa yang harus kita lakukan adalah melayani hajat kehidupan beragama bangsa kita sebaik-baiknya dan seadil-adilnya…. Kita ingin kebebasan beragama benar-benar dilaksanakan sehingga tidak ada golongan agama, betapapun kecilnya jumlah mereka, yang merasa tertekan atau dibatasi kebebasan beragama mereka.”
110 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
Seiring dengan berjalannya waktu, beragam produk
hukum yang membatasi dan melarang kebebasan warganya
untuk menganut agama dan keyakinannya ini, ternyata telah
melahirkan beragam pelanggaran hak atas kebebasan beragama
dan berkeyakinan (violation of right to freedom of religion or belief).3
Sebagai contoh adalah fenomena kekerasan seputar kebebasan
beragama di Indonesia yang dari tahun ke tahun justru semakin
memburuk jika dibandingkan dengan era sebelum reformasi.
Praktik kekerasan—baik dalam bentuk pengusiran,
penghancuran tempat ibadat, maupun intimidasi dan
pemaksaan, baik secara fisik maupun psikis, terhadap para
penganut agama minoritas atau sekte-sekte tertentu—menyebar
semakin luas dan liar tidak terkendali. Bahkan tidak jarang di
beberapa daerah, justru aksi kekerasan tersebut didukung oleh
aparatur pemerintah seperti polisi. Di tengah upaya pemerintah
era reformasi yang sedang berusaha untuk terus membumikan
pelaksanaan HAM di negeri ini, tentu berbagai aksi anarkis
berbasis agama tersebut menjadi sebuah anomali tersendiri.
Dalam konteks ini, yang tampak kemudian adalah negara
terkesan ambigu dan lemah dalam meregulasi wacana dan
praktek kebebasan beragama di negeri ini sebagaimana
mestinya, sesuai dengan porsi dan proporsinya yang tepat.
Ambiguitas ini salah satunya tampak dalam sikap negara yang
terlalu jauh melakukan intervensi terhadap urusan akidah dan
keyakinan seseorang atau sekelompok warga negara yang
menganut keyakinan tertentu. Akan tetapi pada sisi yang lain,
dalam beberapa kasus, kriminalitas dan kekerasan yang
________________________ 3 Adalah setiap bentuk kegagalan atau kelalaian negara dalam implementasi
seperti campur tangan atas kebebasan orang atau tidak melindungi seseorang atau kelompok orang yang menjadi sasaran intoleransi atau tindak pidana berdasarkan agama dan keyakinan. Lihat, Ismail Hasani (ed.), Siding and Acting Intolerantly: Intolerance by Society and Restriction by the State in Freedom of Religion/ Belief in Indonesia, SETARA Institute, Jakarta, 2009, hlm. 14.
Rohidin 111
dilakukan oleh sekelompok orang beragama terhadap kelompok
lainnya dibiarkan begitu saja oleh negara tanpa ada tindakan
hukum yang jelas. Padahal, dalam perspektif HAM kebebasan
beragama atau berkeyakinan diletakkan sebagai hak individu
yang tidak bisa ditunda atau ditangguhkan pemenuhannya (non
derogable rights).4
Dalam konteks yang lain, jika kita mengacu kepada
instrumen HAM, terdapat dua bentuk cara negara melakukan
pelanggaran: (1) dengan cara melakukan tindakan aktif yang
memungkinkan terjadinya pembatasan, pembedaan, campur
tangan, dan/atau menghalang-halangi penikmatan kebebasan
seseorang dalam beragama atau berkeyakinan (by commission); (2)
dengan cara membiarkan hak-hak seseorang menjadi terlanggar,
termasuk membiarkan setiap tindak kekerasan yang dilakukan
oleh seseorang tidak diproses secara hukum (by omission).5
________________________ 4 Selain kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak-hak yang juga
terkandung dalam prinsip non derogable rights ini mencakup: hak hidup (tidak dibunuh), hak atas keutuhan diri (tidak disiksa, diculik, dianiaya, diperkosa), hak untuk tidak diperbudak, hak untuk bebas berpikir, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara atas kegagalannya memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dengan demikian, setiap tindakan yang dapat menghilangkan hak-hak di atas dari diri seseorang atau sekelompok orang, maka dapat digolongkan sebagai sebuah pelanggaran HAM. Ismail Hasani (ed.), Op. Cit., hlm. 13-14.
5 Wawancara dengan Eko Riyadi, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham UII), pada tanggal 20 Agustus 2011. Dalam beberapa kasus, terlihat sikap aparat keamanan yang membiarkan dan tidak melakukan pencegahan sehingga mendorong sekelompok orang untuk tetap melakukan aksinya seperti menutup tempat ibadat atau menyerangkelompok kepercayaan lain. Sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam pengendalian keamanan dan ketertiban di masyarakat, aparat keamanan seharusnya menindak pelaku kekerasan tersebut. Tetapi tidak jarang aparat keamanan membiarkan, seakan tindakan pelaku kekerasan dibenarkan. Tindakan pembiaran ini tentu tidak dapat dibenarkan karena sama halnya negara tidak memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Lihat, Syamsul Arifin, “Diskursus Hak Asasi Manusia di Indonesia: Perspektif Kebebasan Beragama/Berkeyakinan”, Makalah dalam Annual Converence on Islamic Studies (ACIS) Ke-10 di Banjarmasin, 1-4 November 2010, hlm. 722.
112 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
Sementara pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan
yang dilakukan oleh warga negara terhadap warga negara
lainnya secara garis besar mencakup: (1) tindakan kriminal
berupa pembakaran rumah ibadat, intimidasi, kekerasan fisik,
misalnya, dan (2) tindakan intoleransi.
Terkait dengan pelanggaran yang dilakukan oleh negara,
Ghufron Mahmudi menyatakan bahwa pelanggaran tersebut
disebabkan oleh ketidakmampuan negara dalam mengambil
jarak terhadap persoalan agama yang muncul di masyarakat.
Kebebasan beragama dan keyakinan merupakan bagian dari
hak-hak sipil dan politik yang dikategorikan sebagai hak negatif
(negative rights)—berbeda dengan hak-hak sosial, ekonomi, dan
budaya yang dikategorikan sebagai hak positif (positive rights),
yang bisa terpenuhi jika negara ikut berperan aktif
memajukannya. Sebaliknya, hak negatif bisa diwujudkan bila
negara tidak terlalu banyak mencampuri urusan agama dan
keyakinan tersebut.6
Pada tataran yuridis-formal, Indonesia sebenarnya telah
memberikan jaminan konstitusional kepada setiap warga
negaranya untuk memeluk agama dan kepercayaan serta
menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaan
tersebut, sebagaimana tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945 dan
Ketetapan MPR No. II/1978 tentang Pedoman Penghayat dan
Pengamal Aliran Kepercayaan.
Jaminan ini kemudian diperkuat dengan langkah
pemerintah dalam meratifikasi instrumen pokok HAM yang
mengatur jaminan kebebasan beragama dan keyakinan yaitu
ICCPR khususnya Pasal 18 yang diratifikasi melalui UU No. 12
Tahun 2005.7 Tidak berhenti sampai di sini, berbagai produk
________________________ 6 Ibid., hlm. 722. 7 Pasal tersebut mencakup: (1) kebebasan untuk menganut atau memilih
agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik di tempat umum atau tertutup, untuk mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam
Rohidin 113
kebijakan turunan, baik dalam bentuk Keppres, Perpres,
Keputusan Bersama, dan fatwa melalui lembaga keagamaan,
juga terus muncul sebagai upaya menjamin hak warga dalam
beragama dan keyakinan.
Dengan adanya konsep yang mapan dalam Konstitusi
sebagaimana terurai sebelumnya, bagi penulis hal itu sudah
cukup untuk menjadi referensi pemerintah dalam
mengimplementasikan kebebasan beragama secara menyeluruh.
Sebab, secara normatif hal tersebut memang dapat dikatakan
sudah cukup ideal (baca: indah). Akan tetapi, idealisme tersebut
masih mengandung kesenjangan di ranah implementasi. Hal ini
terbukti dengan masih maraknya praktik kekerasan berbasis
agama yang dialami oleh kelompok-kelompok minoritas,
terlebih yang diklaim “sesat.”
Pada bagian ini, akan dilihat tingkat keberhasilan
implementasi berbagai peraturan tersebut dan sejauh mana
negara menjalankan kewajiban generiknya untuk menghormati
(to respect) dan melindungi (to protect) kebebasan beragama atau
berkeyakinan dengan mengemukakan sekian tindak kekerasan8
yang terjadi dalam era reformasi, yang kemudian akan dilakukan
________________________ kegiatan ibadat, penataan, pengamalan, dan pengajaran, (2) tanpa pemaksaan sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau memilih agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya, (3) kebebasan untuk mengejawantahkan agama dan kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban dan kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain, dan (4) Negara-negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orangtua, dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Ismail Hasani (ed.), Op. Cit., hlm. 8-9.
8 Kekerasan di sini kurang lebih diartikan dengan tindakan fisik, baik kepada manusia maupun barang dengan tujuan menghancurkan, merusak, atau melukai. Termasuk ke dalam kategori kekerasan ini adalah berbagai perusakan dan penyegelan secara ilegal terhadap sebuah tempat atau aset ang dimiliki oleh sebuah kelompok keagamaan. Lihat, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia tahun 2008 CRCS, hlm. 11.
114 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
flashback pada era Orde Baru dan Orde Lama. Data-data
pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan di sini penulis
kutip dari berbagai sumber, baik dalam bentuk buku maupun
laporan penelitian berkala seperti yang dilakukan oleh SETARA
Institute, The Wahid Institute, CRCS UGM maupun lembaga-
lembaga lain. Dalam buku ini, dari seluruh data pelanggaran
yang diperoleh, penulis hanya mengidentifikasi bentuk-bentuk
pelanggaran yang berkaitan dengan munculnya fatwa tentang
aliran sesat dari berbagai lembaga keagamaan dan/ atau yang
mengandung unsur-unsur penyesatan yang disajikan secara
kronologis dalam bentuk tabel.
Penyajian berbagai pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan yang hanya dibatasi pada konteks fatwa-fatwa ini
sendiri bertujuan untuk menunjukkan bahwa keluarnya fatwa yang
sedianya dimaksudkan untuk meredam maraknya berbagai aksi
kekerasan terhadap kelompok minoritas, justru dipersepsikan
secara berlebihan oleh sebagian masyarakat melalui tindakan
anarkis “berkedok” agama. Meskipun fatwa bukanlah satu-satunya
alasan bagi terciptanya sebuah persepsi dalam bentuk kekerasan
dan pelanggaran HAM di masyarakat, namun paling tidak dapat
dilihat bahwa ternyata pengeluaran fatwa penyesatan terhadap
sebuah kelompok keyakinan/ keagamaan bukanlah satu-satunya
upaya rekonsiliasi yang tepat karena fatwa-fatwa tersebut masih
memunculkan multi-tafsir di kalangan umat.
Tabel. 4.1. Dinamika Kebebasan Beragama dan Keyakinan Berkaitan
dengan Fatwa MUI
Waktu Tempat Keterangan
7 Mei 2005 Kepanjen, Malang, Jatim
- MUI Malang dan MUI Jatim mengeluarkan fatwa klaim sesat terhadap Muhammad Yusman Roy dalam kasus salat dua bahasa.
Rohidin 115
- Bupati Malang mengajukan Yusman Roy ke Pengadilan dengan tuduhan penodaan agama.
- Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen memvonis Yusman 2 tahun penjara.
16 Mei 2005 Desa Krampilan, Kec. Besuk, Kraksaan, Probolinggo
MUI Kab. Probolinggo mengeluarkan fatwa penyesatan terhadap M. Ardhi Husein, Pimpinan Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) Desa Krampilan, karena dianggap menyebarkan aliran sesat melalui bukunya “Menembus Gelap Menuju Terang 2.” Husein diajukan ke pengadilan dengan tuduhan penodaan agama.
29 Juli 2005 Brebes Kepolisian dan Pemerintah Daerah (Pemda) Brebes membubarkan kelompok Kanjeng Patih Kala Jenggel pimpinan Kasnawi, setelah dinyatakan sesat oleh MUI setempat.
4 September 2005
Jl. Utan Kayu 68 H, Matraman, Jakarta Timur.
Kurang lebih 30-an orang mendatangi Komunitas Utan Kayu dengan membawa spanduk bertuliskan “Kami Mendukung Fatwa MUI dan Mendesak Muspika Matraman untuk Mengusir JIL dan antek-anteknya”, “JIL Haram, Darah Ulil Halal”, dan lain-lain. Mereka juga menuntut agar JIL diusir dari Utan Kayu.
116 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
14 November 2005
Paseh, Kab. Sumedang
- MUI Kecamatan Paseh menyesatkan kelompok Husnul Huluq.
- Massa membakar rumah pengikut ajaran tersebut.
29 Desember 2005
Jakarta - Pada tanggal 22 Desember 1997
- MUI memfatwa bahwa kelompok keyakinan pimpinan Lia Aminuddin sesat-menyesatkan.
- Lia Aminuddin alias Lia Eden ditahan Polda Metro Jaya atas sangkaan melakukan penodaan terhadap agama dan menghasut atau mengajak orang lain untuk mengikuti ajarannya. Ia dijerat Pasal 156a, 157, 335, dan 336 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Januari 2009
Perum Parahyangan Kencana, Desa Nagrak, Kec. Cangkuang, Kab. Bandung
- Sekitar seratus massa dari Gerakan Reformis Indonesia (Garis) melakukan demo menyatakan kelompok Amanah Keagungan Ilahi (AKI) adalah sesat, mencoreng nama Islam, dan meresahkan masyarakat Muslim.
- Perwakilan AKI, Garis, dan MUI melakukan negosiasi. Akhirnya perwakilan AKI menandatangani pernyataan menghentikan segala aktivitas dan kegiatan yang dinilai Garis menyimpang dari syariah Islam.
Rohidin 117
- PAKEM melakukan kajian terhadap AKI dan memutuskan bahwa AKI pimpinan Wahyu Kurnia/ Syamsu di Cangkuang tidak sesat. Sedangkan AKI versi Andreas sesat karena mencampuradukkan antara agama Islam dan agama lain.
11 Januari 2009
Desa Jajar, Kec. Talun, Kab. Blitar
- MUI Blitar menyatakan bahwa aliran Tiket Masuk Surga (aliran Dununge Urip) yang dipimpin oleh Suliyani telah berkembang di Blitar beberapa bulan sebelumnya. Aliran ini mewajibkan seluruh pengikutnya menandatangani kesanggupan membayar sejumlah biaya untuk jaminan masuk surga dari Rp. 3 juta hingga Rp. 7 juta.
- Ketua MUI menyatakan aliran ini sesat karena menyalahi syariah Islam dan polisi bisa menjerat pelaku dengan pasal penodaan agama. MUI meminta warga untuk tidak bertindak anarkis. Kapolres Blitar akan berkoordinasi dengan MUI untuk mengkaji aliran ini dan kalau terbukti sesat, aparat akan membubarkannya.
118 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
Februari 2009
Sangkapura, Kab. Gresik
- Menurut beberapa pihak, Ali Akbar aliasSoleh Akbar adalah Dukun Kampung yang membuka praktik pengobatan. Menurut MUI, Ali Akbar mempraktekkan aliran sesat. Menurutnya, Ali meminta pasiennya untuk memuja sebagai Tuhan, mengajarkan syahadat bahwa dirinya adalah Allah dan sekaligus Rasulullah serta menginjak-injak al-Qur’an.
- Untuk menghindari amuk massa, pada tanggal 10 Februari 2009, polisi membawa Ali ke Polsek Sangkapura. Di Polsek, Ali membantah telah menginjak-injak al-Qur’an. Setelah ditahan 24 jam, kepolisian membebaskan Ali karena tidak memiliki bukti kuat untuk menetapkannya sebagai tersangka.
- Menindaklanjuti kasus ini, MUI, para tokoh agama, dan Muspika Sangkapura menetapkan Ali Akbar harus keluar dari Sangkapura.
6 Februari 2009
Kec. Diwek, Kec. Jombang, dan Kec. Tambelang di Jombang
- Pengurus MUI Jombang menyatakan aliran Noto Ati adalah sesat. Menurutnya, aliran ini mengutamakan wirid dan mengabaikan al-Qur’an, menolak tradisi
Rohidin 119
sungkeman Idul Fitri, fanatisme berlebihan terhadap guru, larangan bertakziyah, dan larangan terhadap anak-anak untuk bersekolah dan berinteraksi sosial.
- Depag menerima laporan kajian MUI, namun Depag menyatakan aliran ini telah membubarkan diri.
9 Juni 2009 Luwu, Sulsel MUI Luwu mengeluarkan fatwa penyesatan melalui SK No. 2/MUS/MUI-LW/VI/2009 berisi larangan paham keselamatan Ambo (dkk.) di Dusun Pandada. Fatwa ini merupakan tindak lanjut dari hasil rapat koordinasi sebelumnya yang kemudian oleh Kejari Balopa akan diteruskan ke Bakorpakem Pusat sebagai landasan pelarangan.
Juni 2009 Desa Air Batu, Kec. Renah Pembarap, Kab. Merangin
- Tarekat Naqsabandiyah mulai dianut luas di Air Batu sejak tahun 2005. Sebagian warga melaporkan ada 20 prinsip ajaran dalam ajaran Tarekat Naqsabandiyah di Air Batu yang menyesatkan seperti Tuhan Beranak, malaikat tidak pernah ada dan bila iman sudah sempurna, salat tidak wajib lagi.
- Ketua MUI Merangin menyatakan pada dasarnya
120 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
ajaran Tarekat Naqsabandiyah tidak sesat, tetapi praktiknya di Air Batu adalah sesat.
- Pada 23 Juni 2009 diadakan pertemuan di kantor Depag (sekarang Kemenag) antara MUI dan pengikut Tarekat Naqsabandiyah. Hadir pula dalam pertemuan tersebut kepala Depag, Kasat Intel Polres, Camat, dan Kapolsek. MUI dalam pertemuan tersebut menyatakan aktivitas tarekat Naqsabandiyah segera dihentikan dan melarang guru Tarekat Naqsabandiyah Ali Wardana masuk ke Desa Air Batu.
Juni 2009 K a w a s a n hutan lindung Kab. Luwu
- Sejak tahun 2007, Ambo menyebarkan aliran Maddina Lekko Pini Bunda Maryam. Pengikutnya meyakini aliran ini sebagai salah satu agama yang diturunkan Allah SWT sebagai pelengkap ajaran Islam.
- MUI mengadakan pertemuan di Kejari Belopa yang dihadiri oleh Muspida Kab. Luwu untuk membahas ajaran Ambo. Pertemuan berikutnya diadakan di Depag. Kemudian MUI menetapkan secara resmi dengan surat keputusan
bahwa aliran yang dibawa Ambo menyesatkan karena
Rohidin 121
tidak sesuai dengan agama dan adat di wilayah itu
- Kejari Belopa meneruskan fatwa ini ke Bakorpakem Pusat. Bersamaan menunggu keputusan Bakor Pakem Pusat, Bakorpakem Luwu mengawasi aktivitas pengikut paham ini, Ambo diperiksa oleh polisi pada akhir Juni 2009. Sebaliknya, 20 pengikut Ambo menyatakan bertaubat di depan aparat Kab. Luwu.
14 Oktober 2009
Madiun, Jawa Timur
Warga Dusun Tawangrejo Kec. Gumarang, Madiun yang tergabung dalam Forum Keadilan Masyarakat Babadan (FKMB) melaporkan ke MUI setempat bahwa ajaran yang dikembangkan Sukarno essat. Sebelumnya warga juga menggerebek rumah Sukarno yang waktu itu kosong.
Oktober- November 2009
Kelurahan Kranggan, Gg. 5, Mojokerto, Jatim
- Pada Oktober 2009, MUI Mojokerto menyatakan bahwa Aliran Ilmu Kalam Santriloka pimpinan Anwar aliasAchmad Nafan alias Mbah Aan adalah sesat. Aliran ini memublikasi-kan VCD dan buku berjudul Wind of Change. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Mojokerto pada 31 Oktober mendukung pernyataan MUI dan secara
simbolis membakar buku dan VCD Santriloka. Pengurus
122 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
Wilayah (PW) Muhammadiyah Jawa Timur juga berpendapat serupa.
- Menurut pihak-pihak yang tidak setuju dengan Santriloka di atas, Santriloka telah menistakan agama seperti mengajarkan puasa Ramadhan dan salat bukan suatu kewajiban. Al-Qur’an yang asli bukan berbahasa Arab, melainkan bahasa Kawi, Sansekerta, dan Jawa Kuno.
- Pada 28 Oktober 2009, Mbah Aan mengajarkan ajaran-ajarannya di sebuah padepokan di Kelurahan Kranggan. Aliran ini memiliki pengikut sekitar 700 orang. Paginya, setelah malamnya memberikan pengajaran di padepokan tersebut, Mbah Aan ditangkap polisi dan dibawa ke kantor Polres Kota Mojokerto. Setelah 7 hari ditahan, pada 5 November, Mbah Aan ditetapkan sebagai tersangka.
12 November 2009
Desa Kauman, Kec. Kota, Kudus, Jateng
- Diisukan Sabdo Kusumo alias Kusmanto Sujono menulis buku Syahadat Makrifat yang menyatakan Syahadat: “…dan saya
Rohidin 123
bersaksi bahwa Sabdo Kusumo utusan Allah” (dalam bahasa Arab).
- MUI mengumpulkan berkas tertulis ajaran Sabdo Kusumo dan membuat surat pernyataan ke Polres Kudus bahwa aliran yang memiliki pengikut sekitar puluhan orang tersebut sesat melalui surat pernyataan bernomor K.30/MUI/XI/2009.
- Depag memanggil Sabdo Kusumo untuk dimintai keterangan. Dia membantah telah menulis buku Syahadat Makrifat. Dia mengaku mengarang buku Sabdaning Suma: Kaweruh Sangkan Paraning Dumadi Ngalam
Pernataning Gusti Hyang Maha Agung. Itu pun yang menulis kata-katanya adalah temannya, Kholiq dan Abdul Latief. Sabdo Kusumo mengaku, yang juga ditegaskan istrinya, bahwa dia tidak bisa membaca dan menulis bahasa Arab.
- Pada 12 November 2009 di depan pejabat Depag di Kantor Depag Kudus, Sabdo Kusumo menandatangani surat pernyataan tidak pernah menyebarkan ajaran menyesatkan sebagaimana tercantum dalam buku Syahadat Makrifat.
124 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
2 Desember 2009
S u m a t e r a Selatan
Komisi fatwa MUI Sumatera Selatan menyatakan aliran Amanat Keagungan Illahi (AKI) sesat dan dilarang berkembang di daerah ini. Pelarangan dikeluarkan melalui fatwa bernomor A-003/SKF/MUI-SS/XII/2009 tentang ajaran AKI kelompok ini dinilai meniadakan kewajiban salat dan puasa bagi pengikutnya.
Tabel. 4.2.
Kekerasan Berbasis Identitas Keagamaan dan Perbedaan Pandangan atau Praktik Keagama
Peristiwa Waktu (2008)
Tempat Keterangan
Penyerangan terhadap kelompok Satariah Sahid
22 Januari
Kelurahan Bangan, Deli, Medan
- orang kritis, puluhan luka-luka.
- Kelompok penyerang berupaya menghancurkan tempat pengajian Satariah Sahid.
- Argumen penganut Satariah Sahid: “Meneruskan ajaran Syekh Abdurrahman Singkil, seorang penyebar agama Islam di masa lalu”.
- Argumen penyerang: “Ajaran Satariah Sahid melenceng dari
Rohidin 125
ajaranIslam”. - Akhirnya Camat
Medan Belawan membekukan kegiatan Satariah Sahid untuk sementara waktu.
Penyerangan terhadap fasilitas masjid dan pesantren Darusy Syifa di Lombok Timur
7 Maret
Desa Karleko, Labuhan Haji, Lombok
Timur, NTB
- Sekelompok orang menyerang dan merusak fasilitas masjid dan pesantren Darusy Syifa.
- Pihak Darusy Syifa tidak bisa mengidentifikasi siapa penyerang tersebut.
- Pihak Darusy Syifa merasa tidak memiliki musuh dan masalah dengan lingkungan di sekitarnya.
- Kasus ini telah dilaporkan ke Komnas HAM.
Bentrokan antara pengikut MMI dan umat Muslim di Lombok Timur
14-15 Maret
Dusun Tereng, Desa Karleko, Labuhan Haji, Lombok
Timur, NTB
- 1 orang luka parah di bagian kepala, beberapa korban luka-luka ringan, dan dua rumah terkena lemparan batu.
- Konflik dipicu perbedaan tata cara penyelenggaraan
126 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
salat Jumat. Pengikut MMI menggunakan satu kali azan dan warga Muslim lainnya dua kali azan sebagaimana tradisi yang telah lama dipraktikkan.
- Polisi menahan 3 anggota MMI.
Bentrokan antara anggota Laskar Umat Islam (LUI) dan warga di Solo
17 Maret
Joyosuran, Semanggi, Pasar
Kliwon, Solo
- 2 orang warga meninggal dunia dan 1 orang luka parah.
- Belasan pemuda meminum minuman keras. Sekitar 100 anggota LUI menyerangnya. Beberapa pemuda meminta bantuan warga lainnya dan bentrokan semakin sengit sampai jatuh korban.
- Poltabes Solo menetapkan 7 tersangka dalam bentrokan tersebut.
Pengusiran warga terhadap tokoh aliran Salafi di Lombok Barat
12 Mei Dusun Mesanggok, Gapuk, Geruk, Lombok Barat
- Atap 2 rumah tokoh Salafi rusak ringan.
- Dakwah kelompok Salafi disinyalir warga sering mendiskreditkan paham keislaman
Rohidin 127
warga dengan menganggapnya bidˋah dan sesat.
- Puluhan warga mendatangi dan melempari rumah H. Mukti, tempat pengajian kelompok Salafi. Warga juga melempari rumah H. Muhamad Musfihad, tokoh Salafi. Polisi mengevakuasi H. Musfihad dan 26 pengikutnya saat peristiwa terjadi.
- Hasil musyawarah yang juga didatangi oleh Kadus Mesanggok, Kades Gapuk, Kapolsek, Kakandepag dan Ketua MUI Lobar memutuskan warga mengusir H. Musfihad dan H. Mukti pindah dari kampung mereka.
Penyerangan terhadap aksi damai Aliansi Kebangsaan danKebebasan Beragama dan
1 Juni Monumen Nasional (Monas), Jakarta
- Tidak kurang dari 70 orang AKKBB terluka.
- Massa dari Komado Laskar Islam (KLI) yang terdiri dari FPI
128 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
Berkeyakinan (AKKBB) di Monas
dan HTI menyerang kelompok AKKBB yang sedang memperingati hari kelahiran Pancasila.
- KLI menuduh AKKBB membela Ahmadiyah.
- Polisi menangkap 59 aktivis KLI, menjadikan 8 orang di antaranya tersangka dan memvonis Rizieq Shihab dan Munarman 1,5 tahun penjara.
Dari waktu ke waktu berbagai bentuk kekerasan yang
dialami oleh kelompok yang diklaim sesat atau menyimpang
semakin menunjukkan grafik yang terus meningkat. Dari sekian
banyak kasus kekerasan yang terjadi, Ahmadiyah menjadi
kelompok yang paling sering menjadi sasaran kekerasan dari
berbagai kelompok di luar Ahmadiyah. Sebagaimana yang telah
disaksikan, beragam aksi anarkis yang terjadi di masyarakat
terhadap kelompok Ahmadiyah ini justru semakin memburuk
pasca-dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga
Menteri No. 3/2008, KEP-033/A/ JA/6/2008 pada 9 Juni 2008
tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota,
dan/atau Anggota Pengurus JAI dan Warga Masyarakat.
Akibat dari dikeluarkannya SKB tersebut, tentu
Ahmadiyah semakin terpojok untuk melakukan segala
aktivitasnya karena adanya ancaman dari kelompok-kelompok
penentangnya yang merasa mempunyai dasar hukum
berdasarkan SKB untuk melarang segala jenis perkumpulan
Rohidin 129
Ahmadiyah yang menjurus pada syiar keagamaan mereka.
Selain itu, penganut Ahmadiyah juga tidak bisa bebas berkumpul
dan berserikat dengan sesama anggota Ahmadiyah karena
adanya ‘kecurigaan’ para penentang mereka.9
Tabel. 4.3. Potret Intoleransi dan Persekusi yang Dialami oleh Kelompok
Ahmadiya
Waktu Tempat Keterangan
15 Juli 2005
Parung, Bogor - Ratusan massa yang menamakan dirinya Gerakan Umat Islam (GUI) yang dipimpin oleh Habib Abdur Rahman Assegaf merusak dan menyerang kampus Mubarak milik JAI.
- Ratusan anggota JAI dievakuasi.
04 Februari 2006
Dusun Gegelang, Desa Gegerung, Kec. Lingsar, Kab. Lombok Barat
Penyerbuan perkampungan milik Jemaat Ahmadiyah oleh warga.
17 Februari 2006
Bulukumba Penyegelan tempat ibadat Jemaat Ahmadiyah oleh Bupati atas desakan massa Laskar Jundullah dan Ormas Islam yang tergabung dalam Ikatan Aliansi Gerakan Muslim Bulukumba.
5 Maret 2008
Jl. Nagarawangi No. 71, Kota Tasikmalaya,
Sekelompok orang berpeci putih melemparkan batu ke balai pertemuan aset JAI. Akibatnya.
________________________ 9 Hal ini tentu telah melenceng jauh dari apa yang ada di dalam SKB, sebab
dalam SKB tersebut dinyatakan bahwa semua jenis manifestasi keagamaan boleh dilakukan oleh Ahmadiyah sejauh hal itu tidak mengganggu keamanan, kesehatan, ketertiban, dan moralitas umum. Al-Khanif, Op. Cit., 257.
130 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
Jabar 12 kaca jendela dan 1 set pintu kaca pecah
27 April 2008
Parakan Salak Rt. 02 Rw. 02, Sukabumi, Jabar
Massa membakar Masjid al-Furqon dan Madrasah milik JAI.
30 April 2008
Citareun Udik, Cibungbulang, Bogor
Puluhan warga membongkarmasjid Ahmadiyah. Pembongkaran ini disaksikan oleh aparat dan Polres Bogor.
13 Juni 2008
Jl. Perintis Kemerdekaan, Kota Bogor
Ribuan massa dan 14 organisasi Islam menyegel sekertariat JAI.
18 Juni 2008
Desa Sukadana dan Desa Penyairan, Campaka, Cianjur, Jabar
Sekitar 100 massa menyegel 6 masjid milik Ahmadiyyah.
20 Juni 2008
Jl. Anuang No. 112, Makassar, Sulawesi Selatan
FPI Silawesi Selatan menyegel Masjid An-Nusrat dan Sekretariat Pengurus Wilayah Ahmadiyah Sulsel.
20 Juni 2008
Jl. Dr. Muwardi, Cianjur, Jabar
Ratusan massa menyegel Masjid Al-Ghoffur milik Ahmadiyah.
8 Agustus 2008
Kebon Muncang dan Kebon Kelapa, Parakansalak, Sukabumi
Warga merusak Masjid Baiturrahman dan Musola Baitud Do’a milik Ahmadiyah.
19 Agustus 2008
Jl. Raya Bukit Indah Ciputat, Tangerang, Banten
Sekitar 200 orang yang tergabung dalam Forum Masyarakat Muslim Ciputat menyegel Masjid Baitul Qoyyum.
5 Oktober 2008
Tanjung Medan, Pujod, Rakon Hilir, Riau
Masjid Mahoto dihancurkan.
Rohidin 131
2 Januari 2009
Pondok Pesantren Soko Tunggal, Sendangguwo, Semarang
Polwiltabes Semarang dan Kepolisian Resort Semarang Selatan membubarkan Pengajian JAI Semarang di Pondok Pesantren Soko Tunggal secara paksa dengan alasan bahwa kegiatan ini belum mendapatkan izin pelaksanaan. Pihak kepolisian hanya menerima surat pemberitahuan dari pimpinan Pesantren.
7 Februari 2009
Jakarta Ketua MUI Pusat, Kholil Ridwan, mendesak pemerintah mengeluarkan undang-undang tentang aliran sesat. Hal itu disampaikan ketika ia menjadi narasumber dalam bedah buku Nabi-Nabi Palsu di arena Islamic Book Fair di Istora Senayan Jakarta. Kholil juga mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) RI dan pemerintah untuk segera mengeluarkan keputusan pembubaran Ahmadiyah dan mengingatkan umat Islam agar pembubaran Ahmadiyah terus didengungkan di setiap pengajian.
13 Maret 2009
Depok, Jawa Barat
Ketua FPI Kota Depok Jawa Barat, Habib Idrus al-Gadri menyatakan, “FPI Kota Depok memutuskan untuk tidak memilih (golput) dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden mendatang karena hingga saat ini belum ada calon legislatif ataupun calon pemimpin yang bertekad membubarkan Ahmadiyah”.
132 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
19 Maret 2009
Jakarta Direktur Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Amin Djamaluddin, melaporkan Pemimpin, Ketua Umum, dan Pengurus Jemaat Ahmadiyah ke Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian terkait ulang tahun Ahmadiyah di Kuningan. Amin menganggap kegiatan itu melanggar SKB tiga menteri tentang Ahmadiyah dan larangan mengadakan kegiatan.
21 Maret 2009
Jakarta Selatan Dalam sebuah kampanye, Salim bin Umar al-Attar dari Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) berjanji melarang atau membubarkan kelompok yang dianggap telah menodai Islam seperti Ahmadiyah jika calegnya berhasil memperoleh kursi di DPR RI.
25 Maret 2009
Kota Bandung, Jawa Barat
Aksi unjuk rasa sekitar seribu massa Garis, FPI Kota Bandung, AGAP, FUI, Aliansi Gerakan Anti Maksiat (A-GAM) Majalengka, PAS Indonesia, Forum Penyelamat Akidah Umat Kec. Kadungora Garut dan Forum Pemberdayaan Masjid Sumedang di Gedung Sate Bandung menuntut Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, segera melakukan pelarangan serta pembubaran Ahmadiyah di wilayah Jawa Barat.
Rohidin 133
25 Maret 2009
Bandung, Jawa Barat
Ratusan orang dari berbagai organisasi Islam, di antaranya kader FPI mendatangi Gedung Sate dan menuntut gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, menerbitkan SK pembubaran Ahmadiyah. Massa juga menuntut pembersihan antek-antek Yahudi dan Zionis Israel seperti Rotary Club di Jabar.
1 April 2009
Jakarta Ribuan umat Muslim gabungan ormas-ormas Islam seperti FPI, Laskar Aswaja, Gerakan Cinta Nabi, FUI, Aliansi Damai Anti Penistaan Islam (ADA API), gabungan Majelis Ta’lim se-Jabotabek serta gabungan Pondok Pesantren se-Indonesia berunjuk rasa di depan istana untuk menyuarakan agar Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) pembubaran Ahmadiyah. Dalam aksi ini, KH. Nur Iskandar SQ. sebagai juru bicara menyatakan: “Jika presiden tidak bisa membubarkan dan/atau menyatakan bahwa Ahmadiyah bukan Islam, maka para kiai se-Indonesia akan menyerukan pada umat Islam untuk tidak memilih Susilo Bambang Yudhoyono pada Pilpres 2009”.
134 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
13 Mei 2009
Surabaya, Jawa Timur
Ketua Musyawarah Ulama se-Jawa Timur, Helmy Basaiban, menuntut Jusuf Kalla dan Wiranto membubarkan Ahmadiyah jika terpilih menjadi presiden dalam Pemilu. Pernyataan ini disampaikan saat ia memberikan sambutan dalam pertemuan Musyawarah Ulama Jawa Timur di Rumah Makan Agis, Surabaya. Tetapi, dalam jawabannya Jusuf Kalla tidak menjawab secara tegas: “Untuk aliran sesat tentu harus diluruskan secara syari’at juga. Namun jika secara syariah juga tidak bisa, maka kewajiban negara untuk menegakkan hukumnya”.
6 Juni 2009
Jl. Ciputat Raya, Gg. Sekolah No. 18 Rt. 001/Rw. 01 Kebayoran Lama, Jakarta
Masjid Ahmadiyah di Jakarta Selatan dibakar oleh dua orang tidak dikenal saat beberapa orang Jemaat Ahmadiyah melaksanakan salat Subuh berjamaah.
7 Juni 2009
Bandung, Jawa Barat
Pernyataan ketua MUI Pusat, KH. Cholil Ridwan: “Belajar dari Gubernur Sumatera Selatan, Alex Nurdin, yang tidak kiai saja berani membubarkan Ahmadiyah di daerahnya. Masak Gubernur Jawa Barat yang kiai tidak berani membubarkan Ahmadiyah.”
2 Juli 2009 Jakarta FUI dan FPI berdemonstrasi di depan Kantor Depag Pusat untuk menyoal keberatan
Rohidin 135
mereka atas tidak efektifnya SKB. Kepada pengendara yang melintas, mereka juga menyebar pamflet dan selebaran berisi dukungan kepada pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam Pilpres 2009 dan pembubaran Ahmadiyah.
11 Agustus 2009
Sumatera Barat Depag Sumatera Barat menyetujui larangan Jemaat Ahmadiyah beribadat haji yang dikeluarkan Pemerintah Arab Saudi. Kepala Bidang Haji, Zakat, dan Wakaf Kantor Depag Sumatera Barat, Japeri Jarap, menghimbau instansi seperti RT atau lurah, agar melaporkan jika ada warganya dari Ahmadiyah yang ikut mendaftar ibadat haji.
11 Desember 2009
Jakarta Selatan Warga Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan, menyegel sebuah rumah ibadat sekaligus tempat tinggal milik sekelompok pengikut ajaran Ahmadiyah. Penyegelan terhadap rumah ibadat berlantai dua ini berlangsung tanpa keributan. Warga berpendapat para Jemaat Ahmadiyah ini melanggar SKB tiga menteri karena tetap melakukan kegiatan keagamaan.
Jika ditelusuri lebih dalam, berbagai bentuk pelanggaran
kebebasan beragama dan berkeyakinan pada era reformasi di
atas sebenarnya tidak terlepas dari warisan kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah era Orde Baru, dan lebih jauh oleh
136 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
pemerintah era Orde Lama.10 Sebagaimana diungkapkan oleh
Musdah Mulia, selama 32 tahun masa kekuasaannya, rezim Orde
Baru nyaris sempurna melakukan intervensi terhadap
kehidupan beragama di tanah air. Intervensi itu, menurut
Musdah, setidaknya mengambil tiga bentuk. Pertama, campur
tangan negara terhadap keyakinan dan kehidupan
keberagamaan warga. Intervensi jenis ini diwujudkan dalam
bentuk pelarangan terhadap buku, perayaan, atau kelompok
keagamaan tertentu yang dinilai dapat mengganggu dan
memunculkan perlawanan atas kekuasaan. Keberhasilan
intervensi ini dibuktikan dalam bentuk pelarangan terhadap
lebih dari seratus aliran kepercayaan atau kebatinan yang
berhaluan kiri oleh Pemerintah Orde Baru hanya dalam kurun
dua tahun awal masa kekuasaannya. Kedua, melalui
pendefinisian “agama resmi” dan ”agama tidak resmi”.11 Lewat
________________________ 10 Embrio dari warisan ini berawal dari munculnya berbagai aliran
kebatinan, baik dalam ranah politik maupun sosial, yang kemudian melahirkan dua perkakas hukum yaitu Bakorpakem, yang terdiri dari Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri dan UU No. 1/PNPS/1965. Dalam perkembangannya, PNPS yang berisi tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama tersebut digunakan sebagai alat untuk membentengi “agama-agama resmi” dari “serangan” aliran-aliran sempalan. Hal ini tentu saja menjadi intervensi nyata dari pemerintah terhadap kehidupan warga negaranya. Intervensi negara ke dalam wilayah privat (baca: keberagamaan) masyarakat ini sendiri disinyalir terjadi setelah adanya kegagalan partai-partai Islam memperoleh suara mayoritas dari kelompok-kelompok minoritas ini pada Pemilu 1955.
11 Pada dataran wacana, pernyataan Musdah ini terlihat berseberangan dengan pernyataan Presiden Soeharto yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan. Dengan mengacu kepada penjelasan TAP MPR tentang P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), Presiden Soeharto menyatakan bahwa pemerintah tidak mencampuri masalah intern keagamaan, baik yang berkaitan dengan masalah penafsiran, pengamalan, maupun pelembagaan agama dari masing-masing umat beragama. Dalam kesempatan yang lain, Presiden Soeharto menandaskan bahwa di Indonesia tidak mengenal agama resmi dan tidak resmi, serta tidak pula mengenal klasifikasi agama yang diakui dan tidak diakui. Lihat, Djohan Efendi “Jaminan Konstitusional Bagi Kebebasan beragama di Indonesia” dalam Nurcholish Madjid, (dkk.), Passing Over: Melintas Batas Agama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 111.
Rohidin 137
pendefinisian ini, rezim Orde Baru hanya melakukan kontrol
terhadap kelompok di luar “agama resmi” yang dianggap
mengancam kekuasaannya lewat tangan agama-agama resmi.
Salah satu efek yang ditimbulkan dari intervensi jenis kedua ini,
agama-agama yang dianggap resmi kemudian seolahmenjadi
perpanjangan tangan dari penguasa (baca: pemerintah) karena
mereka diberikan kewenangan untuk mengontrol berbagai
bentuk kegiatan dan tafsir keagamaan oleh masyarakat.
Ketiga,intervensi yang diwujudkan dalam bentuk proses
kolonialisasi agama-agama mayoritas terhadap kelompok
kepercayaan atau agama-agama lokal melalui islamisasi atau
kristenisasi sebagai efek dari intervensi jenis kedua.12
Beberapa kasus pelanggaran kebebasan beragama dan
keyakinan yang terjadi pada era Orde Baru di antaranya
sebagaimana yang tampak pada tabel berikut ini:
Tabel. 4.4. Kasus Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Keyakinan pada
Era Orde Baru
Waktu Kasus Gambaran
Agustus 1968
H.B Jassin: Cerpen “Langit Makin Mendung” dalam Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968
- Cerpen yang ditulis oleh seorang tokoh bernama Ki Panjikusmin tersebut dianggap melecehkan Islam. Akibatnya, ratusan eksemplar majalah Sastra disita di berbagai toko, agen, dan pengecer di kota Medan.
- Kantor majalah Sastra didatangi 50 pemuda yang mencoret-coret dinding kantornya dengan berbagai macam penghinaan, “H.B Jassin Kunjuk!” (baca: Kunyuk), “H.B Jassin Tangan
________________________ 12 Siti Musdah Mulia, Op. Cit., hlm. 335.
138 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
Kotor Gestapu PKI, Ini Kantor Lekra, Majalah Sastra: Anti Islam”, misalnya. H.B Jassin selaku Redaktur Majalah Sastra diseret ke pengadilan. Namun, di muka pengadilan ia bersikeras tidak mengungkap identitas Ki Panjikusmin dengan berpegang pada UU Pers 1966.
- H.B Jassin dikenai Pasal 156a KUHP karena dianggap melakukan penodaan agama dan dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
Oktober 1990
Arswendo Atmowiloto dalam Publikasi Hasil Angket Tabloid Monitor, 1990
Pada Senin, 15 Oktober 1990, Tabloid Monitor menurunkan hasil angket mengenai tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasil angket itu menunjukkan Nabi Muhammad menempati urutan kesebelas sebagai tokoh yang paling dikagumi, satu tingkat di bawah Arswendo Atmowiloto, Pemimpin Redaksi Monitor yang menempati peringkat kesepuluh. Publikasi tersebut menimbulkan kegemparan di kalangan umat Islam. Monitor dianggap melecehkan Nabi Muhammad dan membangkitkan kembali sentimen suku, agama, dan ras. Arswendo Atmowiloto dikenai Pasal 156a KUHP dengan tuduhan penodaan agama dan dihukum lima tahun penjara.
Rohidin 139
A p r i l 1996
Saleh bin Abdul Kadir alias Hamid, Situbondo, 199613
Saleh, seorang penjaga masjid, menyatakan kepada K.H. Achmad Zaini, pimpinan pondok Nurul Hikam, bahwa Allah adalah makhluk biasa dan K.H. As’ad Syamsul Arifin, Pendiri Pondok Pesantren Salafiyah As-Syafi’iyah Situbondo dan tokoh NU yang sangat dihormati, meninggal tidak sempurna (Madura: mate takacer).
- Saleh dikenai Pasal 156a KUHP dengan tuduhan penodaan agama dan dihukum lima tahun penjara.
Tanpa bermaksud mengabaikan landasan-landasan
hukum yang lain, dari sekian produk kebijakan terkait jaminan
dalam beragama dan berkeyakinan yang telah disebutkan di atas,
tindak kekerasan di atas sebagian diakibatkan karena adanya
inkonsistensi dari pemerintah dalam mematuhi landasan hukum
nasional, dan juga kovenan internasional yang telah diratifikasi.14
Selain itu, pemerintah juga terkesan bersikap tebang pilih dalam
menghukum para pelaku kekerasan. Tercermin dalam fatwa-
fatwa yang (di antaranya) dikeluarkan oleh lembaga MUI, baik
yang berada di tingkatan daerah maupun pusat.14 Fatwa-fatwa
MUI yang sejatinya hanya bersifat legal opinion tersebut
________________________ 13 Kasus yang menimpa Saleh ini terus merambat menjadi semakin besar
yang kemudian berujung dengan terjadinya peristiwa kerusuhan di Situbondo. Telusuri lebih lanjut terkait kasus ini dan beberapa kasus kekerasan lain yang kental dengan nuansa SARA yang terjadi dalam di tahun 1995-1996 dalam, A. Made Tony Supriatma (ed.), 1996: Tahun Kekerasan, Potret Pelanggaran HAM di Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1997, hlm. 54-75.
14 Telusuri lebih lanjut tentang berbagai fatwa MUI dalam kurun 1976-2010 di bidang akidah dan aliran keagamaan dalam, MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, MUI, Jakarta, 2010, hlm. 35-123.
140 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
kemudian dipersepsikan oleh sebagian kalangan sebagai legal
binding untuk membatasi kebebasan beragama.15 Kekuatan
“legalitas” fatwa-fatwa MUI tersebut paling tidak disebabkan
karena adanya kedekatan dan keterkaitan MUI dengan
pemerintah. Hal ini karena semenjak awal didirikannya, MUI
dan juga lembaga-lembaga keagamaan lainnya seperti Walubi,
PGI, KWI, Hindu Dharma Indonesia, dan Matakin, dimaksudkan
untuk menjadi bagian dari instrumen rezim otoriter Orde Baru
untuk menyangga kekuasaan dan menjinakkan
(baca:mengontrol) setiap bentuk gerakan keagamaan dari
“agama-agama tidak resmi” dan masyarakat atau kelompok
masyarakat pada umumnya.
Kondisi ini tentu mengajak kita untuk kembali bersikap
kritis terhadap fatwa ataupun pendapat yang bisa memancing
emosi massa. Meski secara tekstual, dalam materi fatwa MUI,
tidak ada diktum atau klausul untuk menyerang dan melakukan
tindakan kekerasan terhadap kelompok atau aliran yang
dianggap “sesat”, “kafir” atau “diharamkan”. Namun demikian,
sepanjang sejarah umat Islam, fatwa bermodel seperti itu adalah
jenis fatwa yang paling efektif dalam menggerakkan nalar dan
emosi masyarakat untuk melakukan tindakan kekerasan dan
main hakim sendiri.16
________________________ 15 Yang perlu menjadi penekanan dalam hal ini adalah bahwa sistem hukum
Indonesia tidak mengenal fatwa di dalam hierarki perundang-undangan negara. Fatwa bukanlah hukum positif sehingga keberadaan fatwa tidak mengikat melainkan berisi subjektivitas moral dari organisasi-organisasi Islam yang mendukungnya. Sehingga, ketika sebuah fatwa bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang termaktub dalam Pancasila, maka sudah seharusnya fatwa tersebut tidak boleh dikeluarkan. Al-Khanif, loc. Cit.
16 Bagaimanapun, fatwa-fatwa otoriter diduga kuat berpotensi menimbulkan tindakan anarki dan kekerasan. Peristiwa terbunuhnya Khalīfah ˋUṡmān bin ˋAffān yang dituduh “kāfir” karena dianggap melampaui wewenang sebagai Pemimpin umat Islam yang digariskan Allah dan Rasul-Nya sertaKhalīfah ˋAlī bin Abī Ṭālib yang difatwa mati (halal darahnya) setelah dituduh percaya kepada “hukum manusia” mungkin dapat dijadikan sebagai satu gambaran. Dalam konteks sejarah umat Islam modern, gambaran kembali dapat kita lihat dari
Rohidin 141
Pada dasarnya semua warga negara yang beragama
mendapatkan jaminan. Tetapi jaminan tersebut dibelah menjadi
“jaminan penuh” dan “jaminan seadanya”. “Jaminan penuh”
dalam pengertian bahwa agama-agama itu selain dijamin oleh
UUD juga mendapatkan bantuan dan perlindungan hukum dari
serangan pemahaman-pemahaman di luar mainstream.
Sementara “jaminan seadanya” adalah kosakata untuk
menggambarkan model jaminan negara tanpa adanya
pengakuan yang melindunginya.17
Di sinilah kiranya setiap entitas di negeri ini perlu untuk
terus mengupayakan pencarian kebenaran yang lapang dan
terbuka serta tidak membelenggu jiwa, dan ini hanya dapat
diperoleh dengan merealisasikan dialog konstruktif yang
terbuka untuk mencapai kata mufakat (kalimat al-sawā’). Dialog
________________________ peristiwa yang menimpa Syekh Muhammad al-Żahabī, ulama Al-Azhar yang dibunuh setelah dijatuhi fatwa murtad dan kāfir oleh Jamāˋah Takf īr wa al-Jihād (Kelompok Pengkafir dan Jihad). Farag Fouda ditembak mati di halaman rumahnya oleh pengikut kelompok radikal setelah atasannya menjatuhkan fatwa kāfir dan murtad kepadanya. Novelis Naguib Mahfouz mengalami percobaan pembunuhan setelah ada fatwa bahwa novelnya, Awlād Ḥaratinā, bertentangan dengan Islam.Pemikir Islam Sudan, Ustad Muhammad Mahmoud Thahadigantung sampai mati setelah divonis murtad. Dalam konteks ini, Analisis Tindak Ujar (speech act analysis) sebagai sebuah kerangka teoretis, sebagaimana dikembangkan oleh Austin (1962), penulisanggap relevan jika digunakan sebagai alat bantu untuk melihat korelasi antara fatwa-fatwa sesat MUI dan tindak kekerasan oleh masyarakat. Dalam kerangka teoretis speech act analysis ini, setiap tindak ujar selalu memiliki dan melibatkan dua pihak, yakni penutur sebagai pihak yang mengeluarkan ujaran dan petutur sebagai pihak yang menerima ujaran. Dalam hubungan antara penutur dan petutur tersebut, secara kategoris, terdapat tiga macam. Pertama, tindak lokusi (locutionary act), yang merupakan tindak ujar untuk menyatakan sesuatu. Kedua, tindak ilokusi (illocutionary act), yang merupakan tindak ujar yang dilahirkan dan dimanfaatkan untuk melakukan sesuatu. Ketiga, tindak perlokusi (perlocutinary act), yang merupakan tindak ujar yang memiliki dampak, daya dorong, serta pengaruh kuat bagi yang menerima atau mendengarnya untuk melakukan sesuatu.
17 Tedi Kholiludin, Kuasa Negara Atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil, RaSAIL Media Group, Semarang, 2009, hlm. 163.
142 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
di sini tentu bukanlah sebuah polemik tempat orang beradu
argumentasi lewat pena, bukan debat untuk saling
mengemukakan kebenaran pendapat dari seseorang dan mencari
kesalahan pendapat orang lain, dan bukan pula sebuah apologi
sehingga orang berusaha mempertahankan kepercayaannya
karena terancam. Namun, dialog di sini pada hakekatnya adalah
suatu percakapan bebas, terus terang, dan bertanggung jawab,
yang didasari oleh sikap saling pengertian dalam menanggulangi
masalah kehidupan umat, baik material maupun spiritual,
sehingga perlu dikembangkan prinsip “agree in disagreement”
(setuju dalam perbedaan).18 Dengan perspektif yang berbeda,
dialog dapat pula kita tafsirkan sebagai implementasi konkret
dari semangat multikulturalisme, di mana orientasinya adalah
kehendak untuk membawa masyarakat dalam suasana rukun,
damai, egaliter, toleran, saling menghargai, saling menghormati,
tanpa menghilangkan kompleksitas perbedaan yang ada.
Mengacu kepada pemaparan di atas, dapat ditarik dua
kesimpulan mendasar terkait dinamika kebebasan beragama
yang terjadi di Indonesia. Pertama, dinamika kebebasan
beragama di negeri ini ternyata berbanding lurus dengan
dinamika perpolitikan yang sedang berjalan. Kedua, dari sekian
jumlah kasus kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas
yang terjadi dalam kurun reformasi, Orde Baru, dan Orde
Lama—di samping fakta kekerasan-kekerasan lain yang belum
termaktub dalam tulisan ini—sebagian besar akibat dari persepsi
yang berlebihan atas dikeluarkannya fatwa tentang aliran sesat
________________________ 18 Dengan bahasa yang berbeda, Hans Khung, seorang Teolog Kristen,
sebagaimana dikutip Komaruddin Hidayat, menyatakan bahwa dialog merupakan prasyarat pokok bagi terciptanya hidup damai dalam suatu negara. Ia mengatakan,“No peace among the nations without peace among religions; no peace among religions without dialogue between the religions; no dialogue between religions without investigation the foundation of the religions”. Komaruddin Hidayat, “Membangun Teologi Dialogis dan Inklusivistik”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over, Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia, 1998 hlm. 37.
Rohidin 143
oleh lembaga keagamaan berupa MUI serta adanya klaim-klaim
sesat lain dari masyarakat, ormas Islam, dan aparat pemerintah.19
Kembali kepada fakta yang telah penulis kemukakan di
awal, meskipun Negara Indonesia telah meletakkan dasar-dasar
penghormatan terhadap kebebasan beragama dan keyakinan
sebagaimana tertuang dalam berbagai produk legislasi yang
secara normatif sudah tampak ideal, ternyata hal itu belum
sepenuhnya menjaminimplementasi hak asasi beragama kepada
warga negara. Konklusi ini bisa dilihat dari masih suburnya
berbagai pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan yang
dilakukan oleh aparat negara, dan juga berbagai tindakan
intoleransi yang dilakukan oleh masyarakat dan/atau kelompok
masyarakat.
Mengacu kepada pembahasan bab ini, terlihat bahwa
toleransi yang hingga saat ini gencar diwacanakan, ternyata
masih sebatas jargon politis semata, sebab agama masih
dipahami sebatas simbol, ritus, dan seremoni belaka dengan
mengabaikan spiritualitas dan kemanusiaan. Bagaimanapun,
hak setiap orang untuk beragama dan berkeyakinan bukanlah
pemberian negara atau pemberian golongan tertentu,
sebagaimana yang tertuang dalam TAP MPR No. II/1978, dan
hak ini tentu tidak mungkin dapat ditaklukkan dengan
kekuasaan (negara). Karenanya, dengan berkaca kepada
maraknya aksi pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan
________________________ 19 Terlepas dari adanya distingsi pada wilayah implementasi, beragam klaim
penyesatan yang merebak ini tentu berlawanan dengan pernyataan Presiden Soeharto dalam acara Ramah Tamah dengan peserta Rapat Kerja MUI pada 8 Maret 1984. Pada kesempatan tersebut, Soeharto sempat menyatakan, “Hendaklah disadari bahwa negara kita menganut kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Prinsip ini hendaknya menjadi anutan dan pegangan, bukan saja oleh negara melainkan juga oleh lembaga keagamaan masyarakat kita. Masing-masing kita, perorangan atau kelompok maupun lembaga, bahkan negara sekalipun, tidak berhak memaksakan suatu paham, baik dalam keyakinan, bentuk, dan pelaksanaan ibadat, maupun dalam pelembagaan.” Lihat, Djohan Efendi, Op. Cit., hlm. 119.
144 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
yang hingga saat ini masih terus bergulir, maka rekonstruksi
wacana tentang relasi agama dan negara kiranya perlu kembali
dilakukan oleh segenap elemen bangsa ini.
B. Relasi Agama dan Negara Perspektif Pancasila Berkaitan dengan Konsep Kebebasan Beragama
Ketika mendirikan Negara Indonesia yang merdeka dan
berdaulat, founding fathers tidak hanya didukung oleh organisasi
sosial dan politik, tetapi juga didukung oleh institusi lain
bernama agama. Tidak satu pun lembaga keagamaan yang ada
di Indonesia menentang aspirasi founding fathers. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa proses mendirikan Negara
Indonesia yang merdeka dan berdaulat berlangsung secara cepat
dan berjalan mulus.
Proses mendirikan Negara Indonesia diwarnai oleh faktor-
faktor rasional-objektif. Hal semacam ini terlihat dalam berbagai
macam perundingan para wakil BPUPKI. Kesepakatan bersama
yang diwarnai oleh faktor-faktor rasional-objektif itu
menekankan Negara Indonesia berdasarkan pada nilai
kemanusiaan, persatuan, keadilan sosial yang dijiwai oleh
Ketuhanan Yang Maha Esa demi membangun kemanusiaan
Indonesia dan persaudaraan segala bangsa.20 Proses me-negara
yang ditentukan oleh faktor-faktor rasional-objektif tersebut
menekankan pada kebangsaan sebagai ideologi yang
memperjuangkan kesatuan bangsa.21
Berdirinya Negara Indonesia yang dilandasi Pancasila,
sebagaimana dimaksudkan oleh founding fathers, memfungsikan
agama-agama turut aktif memperjuangkan dan menegakkan
________________________ 20 M. Hatta, “Ke Arah Indonesia Merdeka?”, dalam Miriam Budiharja (ed.),
Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1980, hlm. 21-54. 21 A.M.W. Pranarka,Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, CSIS, Jakarta, 1985,
hlm. 47-48.
Rohidin 145
nilai-nilai kemerdekaan, kerakyatan, keadilan, dan kesatuan.
Identitas masing-masing agama tidak dilenyapkan, tetapi
agama-agama diletakkan dalam kerangka yang lebih luas, yaitu
bahwa agama-agama perlu mengadakan kontekstualisasi ajaran-
ajarannya di Indonesia. Dengan kata lain, ideologi kebangsaan
menjadi semacam konteks yang tidak dapat ditiadakan oleh
agama-agama.
Kerangka kesatuan bangsa itulah yang menjadi semacam
norma dasar negara Indonesia yang digunakan untuk
meniadakan gerakan-gerakan agama yang berusaha
memanfaatkan negara demi kepentingan agama tertentu dalam
arti kelompok tertentu, seperti gerakan DI/TII.22 Dalam hal ini,
agama dimengerti oleh founding fathers sebagai suatu institusi
yang tidak pernah berusaha menggantikan konstitusi negara.
Mengapa? Karena agama yang dipahami itu sebagai suatu
institusi yang memiliki semangat kesetiakawanan, kemanusiaan,
kerukunan, kesalehan, ketakwaan, dan tentu saja kebangsaan.
Di Indonesia kepentingan agama senafas dengan
kepentingan negara, yaitu menegakkan nilai-nilai kemerdekaan,
keadilan, kemanusiaan, kerakyatan, dan kesatuan. Permasalahan
yang muncul adalah bagaimanakah peran agama-agama dan
negara menuju tingkat kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa? Pertanyaan semacam ini perlu diajukan karena
dalam tingkat ‘negara’ peranan faktor-faktor rasional-objektif
sangat signifikan, sedangkan dalam tingkat kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa faktor-faktor emosional subjektif
sangat berperan. Bukankah agama-agama yang datang ke
Indonesia memiliki klaim-klaim kebenaran ajarannya tersendiri?
Dengan demikian, agama-agama itu menggalang perasaan
solidaritas kelompok secara lebih riil dan memadai jika
________________________ 22 Anhar Gonggong dan Abdul Qahhar Mudzakar, Dari Patriot Hingga
Pemberontak, Gramedia, Jakarta, 1992, hlm. 123-124.
146 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
dibandingkan dengan perasaan solidaritas kebangsaan
Indonesia. Perasaan solidaritas kelompok yang padat semacam
ini secara langsung dan tidak langsung mendorong agama-
agama menuntut perannya sebagai ‘anak emas’ di Indonesia.
Permasalahan yang timbul di Indonesia adalah tidak ada satu
agama pun yang berhak menyandang gelar anak emas. Agama-
agama dipaksa oleh ideologi kebangsaan Indonesia berperan
sebagai anak bangsa.23
Teori tentang hubungan agama dan negara secara garis
besar dibedakan menjadi trikotomi paradigma pemikiran,
yaitu:24
1. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep
hubungan agama dan negara yang menganggap bahwa agama
dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu
(integrated). Wilayah agama meliputi politik atau negara. Negara
merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Oleh
karena itu, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama
dan kekuasaan politik sekaligus. Pemerintahannya
diselenggarakan atas dasar “kedaulatan Ilahi” (divine
sovereignty), karena pendukung konsep ini meyakini bahwa
kedaulatan berasal dan berada di tangan Tuhan. Oleh karena itu,
________________________ 23 John Titaley, “Pluralisme Agama dan Nasionalisme, Peranan Agama
dalamPembentukan Dasar Kehidupan Berbangsa di 1ndonesia,” Makalah, dalam SeminarAgama-agama X11, Bogor/Tugu, September 1992, hlm. 16.
24 Disarikan dari: Dede Rosyada (dkk.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Jakarta, Jakarta, 2003, hlm. 61., Hani Astika, “Hubungan Agama dan Negara dalam Islam”, dalam Jurnal al-Manahij, vol. 2, No. 1, Januari-Juni, 2008, hlm. 68-70., Gunarto, “Pemikiran Munawwir Syadzali tentang Islam dan Negara dalam Perbandingan Penafsirannya antara T.B. Simatupang dan Eka Darmaputra dari Perspektif Kehidupan Beragama dan Pancasila”, dalam Jurnal Teologi Stulos, vol. 6, No. 1, April 2007, hlm. 53-70.
Rohidin 147
rakyat yang menaati segala ketentuan negara berarti ia taat
kepada agama. Sebaliknya, memberontak dan melawan negara
berarti melawan agama yang berarti juga melawan Tuhan.
Dengan model seperti ini, negara sangat potensial melakukan
otoritarianisme dan kesewenang-wenangan. Alasannya, karena
rakyat tidak dapat melakukan kontrol terhadap penguasa yang
dapat berlindung di balik agama.
2. Paradigma Simbiotik
Dalam paradigma simbiotik dinyatakan bahwa agama dan
negara berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan
yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Agama
memerlukan negara karena dengan adanya negara maka agama
akan dapat berkembang secara lebih baik. Sebaliknya, negara
memerlukan agama, karena dengan agama maka negara dapat
berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual. Hanya
saja, dalam tataran praktis, persetubuhan agama dan negara
yang terjadi justru negara menelikung agama. Ajaran Islam,
misalnya, yang semestinya mengatur kehidupan politik dari
sektor etika, justru diatur oleh politik kenegaraan. Islam kerap
dieksploitasi secara signifikan oleh elit-elit politik, sehingga tetap
cenderung menuju konsep ”Islam adalah agama dan negara”.25
3. Paradigma Sekularistik
Menurut pandangan paradigma sekularistik, agama dan
negara harus dipisahkan dengan tegas. Negara dan agama
merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga
________________________ 25 Bagi Arif Hidayat, paradigma simbiosis ini mengandaikan terpenuhinya
empat prinsip, yakni theokrasi, demokrasi, nomokrasi, dan ekokrasi. Hubungan keempat prinsip tersebut bersifat berkait berkelindan satu sama lain, dalam arti tidak bisa mengunggulkan sebagiannya dan mengabaikan sebagian yang lain. Wawancara pada tanggal 17 Oktober 2011 di Semarang.
148 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain
melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang
dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum
yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social
contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum agama. Dalam
konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara
kepada Islam. Atau paling tidak, menolak determinasi Islam
pada bentuk tertentu dari negara.
Negara Indonesia tidak hanya kaya akan sumber daya
alam, pun juga demikian agama dan keyakinan yang dianut oleh
warganya. Kekayaan di sektor keagamaan tersebut
mengakibatkan Indonesia mendapat predikat sebagai bangsa
multireligi. Dari sejumlah agama dan keyakinan yang ada, Islam
adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas warga negara.
Meskipun demikian, pada kenyataannya Islam tidak diposisikan
sebagai dasar negara.
Negara demokrasi model Barat lazimnya bersifat sekuler, dan
hal ini tidak dikehendaki oleh segenap elemen bangsa Indonesia,
negara komunis lazimnya bersifat atheis, yang menolak agama
dalam suatu negara, sedangkan negara agama memiliki
konsekuensi kelompok agama tertentu akan menguasai negara dan
di Indonesia dalam hal ini Islam. Oleh karena itu, founding fathers
tampaknya menentukan pilihan yang khas dan inovatif tentang
bentuk negara dalam hubungannya dengan agama. Dengan
melalui pembahasan yang sangat serius disertai dengan komitmen
moral yang sangat tinggi sampailah pada suatu pilihan bahwa
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dasar Negara tersebut tidak
dipahami sebagai prinsip dalam konteks teologis, melainkan
prinsip hidup bersama dalam suatu Negara, dari berbagai lapisan
masyarakat yang memiliki keyakinan agama yang berbeda-beda.
Hal demikian dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan
manusia yang bermartabat dan berkeadaban.
Rohidin 149
Konsekuensi logis dari penggunaan Ketuhanan Yang Maha
Esa sebagai dasar negara adalah bahwa kehidupan agama tidak
dipisahkan sama sekali, melainkan justru agama mendapatkan
legitimasi filosofis, yuridis, dan politis dalam negara,
sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Secara
filosofis, Ketuhanan Yang Maha Esa terkandung dalam sila
pertama Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar filsafat
Negara Indonesia, sehingga sila pertama tersebut menjadi dasar
filosofis bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dalam hal
hubungan negara dan agama. Peraturan perundang-undangan
Indonesia bukan mengatur ruang akidah umat beragama,
melainkan mengatur ruang publik warga negara dalam
hubungan antar manusia. Dengan demikian, bertolak dari tiga
paradigma relasi agama dan negara di atas maka Indonesia
termasuk negara yang menggunakan paradigma simbiotik.
C. Signifikansi Rekonstruksi atas Problematika Konsep Kebebasan Beragama Berbasis Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dalam Bingkai Hukum
Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa
kebebasan beragama di Indonesia secara konseptual-normatif
telah dijamin oleh Pancasila dan UUD 1945. Konsepsi normatif
tersebut jika dihubungkan dengan konsep kemanusiaan yang
adil dan beradab, mengandung pengertian dan pengakuan akan
penghargaan terhadap sesama manusia, di mana asal-usul,
keyakinan, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, jumlah harta milik
maupun pandangan politiknya, adalah sama, dalam artitidak ada
perbedaan di antara masing-masing individu manusia dan tidak
ada manusia yang diciptakan dengan nilai yang lebih tinggi dari
manusia yang lain. Seluruh manusia diciptakan dengan nilai yang
sama rata. Persamaan derajat di antara manusia ini bersifat
universal. Atas dasar pandangan tersebut, muncul pengakuan
150 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
rasa persaudaraan, di mana masing-masing individu manusia
merasa menjadi saudara dari manusia yang lain, dan berada
dalam satu wadah besar keluarga umat manusia untuk mencapai
kesejahteraan bersama.26
Namun demikian, asumsi kerangka normatif yang mapan
tersebut tidak serta-merta mapan pula dalam peraturan
perundang-undangan turunannya. Sebaliknya, hal tersebut
kerap menimbulkan kekecewaan, karena pengakuan kuatnya
jaminan kerangka normatif di atas ternyata belum menjadi realita
yang dapat dinikmati oleh semua warga negara. Banyak warga
Negara Indonesia yang masih merasa dibelenggu kebebasannya
dalam hal kebebasan mengekspresikan keagamaan dan
keyakinannya. Demikian juga dalam realitas kehidupan
masyarakatnya, ragam pelanggaran dan tidak adanya ketaatan
serta penghormatan terhadap konstitusi merupakan potret
faktual.
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya dalam
kerangka pemikiran bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu
mensyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum.
Sistem hukum yang dimaksud terdiri atas tiga komponen, yakni
komponen struktur hukum, komponen substansi hukum, dan
komponen budaya hukum. Substansi hukum dalam wujudnya
sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai
instrumen resmi yang memperoleh aspirasi untuk dikembangkan,
yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-
masalah sosial kontemporer. Hukum dengan karakter yang
demikian itu dikonsepsikan sebagai law as a tool of social engineering
dari Roscoe Pound, atau yang di dalam terminologi Mochtar
Kusumatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai
________________________ 26 Noor MS Bakry, Op. Cit., hlm. 46.
Rohidin 151
sarana untuk membantu perubahan masyarakat.27 Karakter
keberpihakan hukum yang responsif ini kerap disebutkan sebagai
hukum yang emansipatif. Hukum yang emansipatif
mengindikasikan sifat demokratis dan egaliter, yakni hukum yang
memberikan perhatian pada upaya memberikan perlindungan hak-
hak asasi manusia dan peluang yang lebih besar kepada warga
masyarakat yang lemah secara sosial, ekonomi, dan politis untuk
dapat mengambil peran partisipatif dalam semua bidang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dikatakan bahwa hukum yang responsif terdapat di dalam
masyarakat yang menjunjung tinggi semangat demokrasi.
Hukum responsif menampakkan ciri bahwa hukum ada bukan
demi hukum itu sendiri, bukan demi kepentingan praktisi
hukum, juga bukan untuk membuat pemerintah senang,
melainkan hukum ada demi kepentingan rakyat di dalam
masyarakat.28 Berkaitan dengan karakter dasar hukum positif ini,
Sunaryati Hartono melihat bahwa UUD 1945 disusun dengan
lebih berpegang pada konsep hukum sebagai sarana rekayasa
sosial ini.29
Karakter hukum positif dalam wujudnya sebagai
peraturan perundang-undangan, di samping ditentukan oleh
suasana atau konfigurasi politik momentum pembuatannya, juga
berkaitan erat dengan komitmen moral serta profesional dari para
anggota legislatif itu sendiri. Dengan kata lain, kebijakan
perundang-undangan dalam bentuk apapun yang dikeluarkan oleh
pihak yang berwenang erat kaitannya dengan kondisi dan
kepentingan pembuatnya. Menurut James Anderson, sebagaimana
________________________ 27 Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1989, hlm. 51.
Mochtar Kusumatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm. 11.
28 Max Weber dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hlm. 483.
29 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 53.
152 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
dilansir sebelumnya, kebijakan merupakan arah tindakan yang
bermaksud untuk ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah
aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep
demikian berimplikasi pada tiga hal. Pertama, orientasi kebijakan
publik adalah tujuan, bukan perilaku secara serampangan. Kedua,
kebijakan adalah pola tindakan aparatur pemerintah, bukan
keputusan-keputusan secara tersendiri. Ketiga, kebijakan adalah
perilaku pemerintah dalam mengatur perihal teknis, bukan
keinginan pemerintah.
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka sifat kebijakan
publik berkaitan dengan hukum kebebasan beragama dapat
dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi
beberapa kategori. Bila dispesifikkan dengan contoh kasus
Ahmadiyah, sebagai representasi dari kasus kebebasan
beragama di negeri ini, maka kategori-kategori tersebut antara
lain adalah tuntutan-tuntutan kebijakan; keputusan-keputusan
kebijakan; pernyataan-pernyataan kebijakan; hasil-hasil
kebijakan; dan dampak-dampak kebijakan, yang kesemuanya
berkaitan dengan Ahmadiyah.
Sistem politik yang terdiri atas badan-badan legislatif
(DPR), eksekutif (Presiden), yudikatif (Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi); partai-partai politik, kelompok
kepentingan (aktivis pro-HAM dan aktivis gerakan Islam-
radikal), media massa; anggota masyarakat non-Ahmadiyah,
tokoh-tokoh masyarakat (MUI, NU, Muhammadiyah, dan
akademisi, misalnya), struktur birokrasi; prosedur, mekanisme
politik, sikap dan perilaku pembuat keputusan, semuanya
berinteraksi dalam suatu kegiatan atau proses untuk mengubah
inputs, yang beragam berkaitan dengan kasus Ahmadiyah,
menjadi outputs, kebijakan mengenai Ahmadiyah. Proses
pembentukan kebijakan berkaitan dengan kasus Ahmadiyah,
sebagai contoh, tersebut dapat dijelaskan melalui ragaan berikut:
Rohidin 153
Ragaan. 4.1.
Teori Kebijakan Publik Berkaitan dengan Hukum Kebeba
Beragama dengan Contoh Kasus Ahmadiyah
intra-societal enviroment: extra-societal environment:
• sistem ekologis
• sistem biologis
• sistem personalitas
• sistem sosial
• sistem politik internasional
• sistem ekologi internasional
• sistem sosial internasional
Oleh karena semangat hukum (spirit of law) yang dibangun
berkaitan erat dengan visi pembentuk undang-undang, maka
dalam konteks membangun hukum yang demokratis, tinjauan
tentang peran pembentuk undang-undang penting dilakukan.
Dikemukakan oleh Gardiner bahwa pembentuk undang-undang
tidak semata-mata berkewajiban to adapt the law to this changed
society, melainkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan
sumbangan terhadap pembentukan perubahan masyarakat itu
sendiri. Pembentuk undang-undang, dengan demikian, tidak
deman
support
Intra (MUI, NU,
Muhammadiyah,
akademisi, aktivis
pro HAM, aktivis
gerakan Islam-
radikal, media massa,
dan anggota
masyarakat dan
Ahmadiyah)
Extra (ICCPR,
Deklarasi Kairo,
OKI, dan DUHAM)
The flow of
effects from the
enviroment
I N P U T S
Feedback
Demokrasi DPR dan Presiden Information feedback Convension
of deman into output Informastion feedback
A U THO R I TH I E S
Kebijakan tentang
Ahmadiyah (output)
154 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
lagi semata-mata mengikuti perubahan masyarakat, akan tetapi
justru mendahului perubahan masyarakat itu. Dalam kaitan ini
Roeslan Saleh menegaskan bahwa masyarakat yang adil dan
makmur yang merupakan tujuan pembangunan bangsa, justru
sesungguhnya merupakan kreasi tidak langsung dari pembentuk
undang-undang.30 Sehingga, konstruksi pembentukan
(kebijakan) hukum berkaitan dengan kasus Ahmadiyah
sebagaimana tergambar di atas sejatinya sangat ditentukan oleh
pembuatnya.
Namun demikian—sebagaimana telah berkali-kali
diungkap— meskipun dalam kerangka normatif jaminan
kebebasan beragama dan berkeyakinan telah mapan tidak serta-
merta mapan pula dalam aplikasinya. Pelaksanaan hukum
kebebasan beragama bukan dibebankan hanya pada satu elemen
negara, pemerintah saja, misalnya, melainkan seluruh aspek
yang berkepentingan dengannya. Dengan bertolak dari teori
bekerjanya hukum Seidmen dan Chambliss, maka hukum
kebebasan beragama akan berhasil jika memenuhi beberapa hal.
Pertama, masing-masing elemen menempatkan dan melaksanakan
tugasnya masing-masing dengan sebaik mungkin sebagaimana
fungsinya. Fungsi-fungsi tersebut adalah (a) hukum kebebasan
beragama yang ada, (b) sanksi-sanksi hukum kebebasan
beragama, (c) aktivitas lembaga penerap sanksi, seperti:
pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian, dan (d) seluruh kompleks
kekuatan sosial, politik, ekonomi, yang memengaruhinya. Kedua,
jika hukum kebebasan beragama sudah berhasil menggerakkan
perilaku anggota masyarakat, maka keadaan itu merupakan
sesuatu yang bersifat khas dalam masyarakat tersebut. Ketiga,
penggunaan hukum kebebasan beragama bersifat sama, berikut
sanksinya, dan ditempatkan dalam konteks waktu dan tempat
________________________ 30 Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-
undangan, Bina Aksara, Jakarta, 1979, hlm. 12.
Rohidin 155
Tuntutan Masyarakat
Kegiatan Penerapan
Sanksi
Umpan Balik
Umpan Balik
Kekuatan-kekuatan Sosial dan Personal
Kekuatan-kekuatan Sosial dan Personal
Umpan Balik Norma
tertentu. Oleh karenanya, pelaksanaan hukum kebebasan
beragama tersebut untuk waktu dan tempat yang berbeda dan
juga dengan lembaga penerap sanksi yang berbeda serta
kompleks kekuatan sosial, politik, ekonomi, yang memengaruhi
pemegang peran yang berbeda pula, tidak dapat diharapkan
akan menimbulkan aktivitas pemegang peran yang sama dengan
yang terjadi di tempat asal dari hukum tersebut. Berikut ragaan
teori bekerjanya hukum berkaitan dengan kebebasan beragama
di Indonesia:
Ragaan. 4.2. Bekerjanya Hukum Kebebasan Beragama
Dari beberapa tawaran konseptual dan sedikit gambaran
berkaitan dengan Ahmadiyah, analisis penegakan dan kebijakan
hukum di atas tampaknya dapat disederhanakan dalam tiga
komponen. Pertama substansi hukum itu sendiri, kedua adalah
komponen penegak serta pembuat hukumnya dan ketiga adalah
komponen budaya hukum. Ketiga komponen inilah yang mesti
dilihat dalam rangka tegaknya asas kebebasan beragama di
Indonesia.
Norma
Kekuatan Sosial dan
Personal
DPR, Presiden, Menteri
MK dan MA MUI,
Muhammadiyah, NU, dll
156 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
1. Ambiguitas Produk Regulasi Jaminan Kebebasan Beragama: Problem Substansi Hukum
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa
meskipun secara kerangka normatif-yuridis konsep kebebasan
beragama sangat mapan, tetapi pada tataran legislasi dan
peraturan penunjangnya masih mengandung banyak persoalan.
Berikut beberapa bentuk legislasi dan peraturan yang penulis
nilai sarat dengan ragam persoalan:
a. UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama
Pokok-pokok penting dalam undang-undang ini
sesungguhnya adalah pelarangan melakukan penafsiran dan
kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama.31 Dalam Pasal 4 dikatakan bahwa:
“Pada KUHP diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: ‘Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
________________________ 31 Pasal 1. Pada penjelasan pasalnya disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan agama tersebut adalah enam agama di Indonesia. Bagi Nicola Corlbran, Undang-undang tersebut menandakan bila persepsi negara tentang agama masih didominasi oleh pemahaman arus utama yang menyatakan bahwa suatu agama harus memiliki Tuhan, Nabi, dan kitab suci. Nicola Corlbran, ”Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia: Jaminan Secara Normatif dan Pelaksanaannya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”, dalam Tore Lindholm (dkk.), Kebebasan Beragam atau Berkeyakinan, Seberapa Jauh? Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 690.
Rohidin 157
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.’
Perundangan itu, bagi sebagian pegiat HAM, selain
dianggap bertentangan dengan semangat kebebasan
beragama sebagai amanat Konstitusi, juga dinilai sebagai
bentuk intervensi negara yang sebenarnya tidak perlu—dan
bahkan tidak boleh— dilakukan.32
Regulasi tersebut pada dasarnya lahir dalam konteks
yang berbeda dengan realitas Indonesia yang dihadapi
sekarang. Saat itu, demokrasi terpimpin adalah sistem
kepemerintahan yang sedang digunakan. Konfigurasi politik
pada era demokrasi terpimpin adalah otoriter, sentralistik,
dan terpusat di tangan Presiden Soekarno. Sehingga, produk-
produk hukum yang keluar pun tidak dapat keluar dari
suasana politik tersebut, yakni otoritarian dan sentralistik.33
________________________ 32 Menarik kategorisasi yang dibuat oleh As’ad Said Ali, menurutnya
kewenangan negara dalam mengatur keagamaan dapat dipetakan menjadi lima hal. Pertama, kehadiran negara bisa bermakna wajib untuk menjalankan kesempurnaan pelaksanaan syariah Islam, keberadaan wali hakim dalam persoalan nikahnya umat muslim, misalnya. Kedua, kehadiran negara bisa bermakna menjadi syarat kesempurnaan ibadat, persoalan haji, misalnya, Ketiga, hampir sama dengan poin kedua. Kehadiran negara bisa memperlancar pelaksanaan ibadat, namun tingkat keterlibatan negara tidak seintensif poin kedua di atas, misalnya persoalan zakat. Keempat, mubah. Negara bisa dan juga bisa tidak hadir, misalnya, dalam hal perbaikan dan pengelolaan tempat-tempat ibadat, lembaga pendidikan keagamaan, dan sebagainya. Kelima, negara terlarang masuk dalam urusan agama bila menyangkut peribadatan. Otoritas masalah tersebut adalah para pemuka agama. Jika muncul silang sengketa menyangkut ibadat, negara harus bertindak adil dan dan tidak terlibat dalam pokok masalahnya. Namun, negara harus tetap berupaya keras menjaga kerukunan atau tertib sosial. Lihat, As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bangsa, LP3ES, Jakarta, 2009, hlm. 198-202.
33 Sebagaimana terlansir dalam Surat Permohonan Pemohon Judicial Review UU No. 1 PNPS/ 1965 bernomor: 140/PUUVII/2009 tertanggal 20 Oktober 2009. Lebih dari itu, Ahmad Fedyani Syaifuddin mengungkapkan bahwa undang-undang tersebut dibuat dalam semangat positivistik, integrasi, pencegahan kekacauan politik, dan benturan kepercayaan masyarakat. Pernyataan Ahmad
158 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
Artinya, konstruksi hukum dalam undang-undang tersebut
juga sangat kental dengan nuansa politis semacam itu.
Sementara, Indonesia yang dihadapi sekarang berbeda,
terlebih kaitannya dengan kehidupan beragama, yang
cenderung partikular dalam arti tergantung pada kelompok
keagamaannya masing-masing.
Pelarangan di atas secara tidak langsung berimplikasi
pada asumsi adanya kebenaran tafsir yang bersifat tunggal.
Padahal, kebenaran dalam agama dan keyakinan secara
mendasar bersifat relatif. Relativitas yang selaras dengan
semangat pluralisme ini kemudian dianggap dikebiri begitu
saja oleh asumsi kebenaran tunggal di atas. Bagaimana tidak,
benar dan tidaknya sebuah tafsir keagamaan oleh negara
dikembalikan kepada Depag (Sekarang Kemenag). Berkaitan
dengan hal tersebut, Kemenag telah membentuk lembaga
otonom yang salah satu tugasnya adalah memberikan
pandangan (baca: fatwa) tentang kebenaran suatu tafsir
keagamaan tersebut. Lembaga-lembaga tersebut adalah: MUI,
KWI, PGI, Walubi, PHDI, dan Matakin.34
________________________ Fedyani Syaifuddin dalam Sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 pada Jumat, 19 Maret 2010 di Gedung MK, Jakarta. Sementara itu, menurut Moeslim Abdurrahman secara historis undang-undang tersebut muncul dalam situasi politik yang kacau, yakni banyaknya pertikaian antara Islam dan Komunis. Pernyataan Moeslim Abdurrahman dalam Sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 pada Rabu, 24 Maret 2010 di Gedung MK, Jakarta.
34 Meskipun Kemenag menyerahkan kewenangannya pada lembaga-lembaga bentukannya, dalam konteks hukum pidana apa yang menjadi putusan lembaga-lembaga tersebut bagi penulistidak bisa serta-merta dijadikan dasar dalam merespons persoalan aliran sesat. Seharusnya, ragam ambiguitas di atas harus diperjelas sedemikian rupa, termasuk apa yang dimaksud dengan penafsiran menyimpang dan pokok-pokok ajaran agama. Karena, hal ini akan sangat tergantung kepada mazhab mainstream yang dianut oleh si penafsir. Sedangkan jika negara merumuskan pokok-pokok ajaran agama dan berpihak pada satu mazhab dari ajaran tersebut, maka negara sudah terjebak pada model negara agama. Oleh karena itu jika undang-undang ini masih ingin dipertahankan, maka rumusan-rumusan pasalnya harus diperbaiki. Mengingat pemidanaan seseorang atau suatu kelompok tidak bisa dilakukan berdasarkan suatu opini, melainkan harus
Rohidin 159
Oemar Senoadji, sebagaimana dikutip Barda Nawawi
Arief, mengungkapkan bahwa teori-teori delik agama pada
intinya terdapat tiga hal sebagai berikut:35
1) Religionesschutz-theorie (teori perlindungan agama). Menurut teori ini, agama itu sendiri yang dilihat sebagai kepentingan hukum atau objek yang akan dilindungi (yang dipandang perlu untuk dilindungi) oleh negara, melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya.
2) Gefuhlsschutz-theorie (teori perlindungan perasaan keagamaan). Menurut teori ini, kepentingan hukum yang akan dilindungi adalah “rasa/perasaan keagamaan” dari orang-orang yang beragama.
3) Friedensschutz-theorie (teori perlindungan perdamaian/ ketentraman umat beragama). Objek atau kepentingan
________________________ memenuhi empat prinsip, sebagaimana diungkap oleh Machteld Boot dengan mengutip pendapat Jescheck dan Weigend. Pertama,nullum crimen, noela poena sine lege praevia. Artinya, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya. Kedua,nullum crimen, nulla peona sine lege scripta. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Ketiga,nullum crimen nulla poena sine lege certa. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Keempat,nullum crimen noela poena sine lege stricta. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat. Lihat, Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm 4-5. Dengan demikian, setiap tindakan yang akan dikriminalisasi atau dijadikan perbuatan pidana, seharusnya dirumuskan secara jelas dan tegas, tidak kabur dan ambigus. Hal ini semata-mata untuk menegakkan rasa keadilan dan menghindari tindakan kesewenang-wenangan dari penguasa, yang dalam hal ini penegak hukum. Hal senada juga dinyatakan oleh Andi Hamzah bahwa rumusan delik penodaan agama harus sesuai dengan asas legalitas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Harus ada ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum adanya perbuatan pidana. Seseorang baru dapat dijatuhi pidana apabila ada undang-undang yang melarang perbuatan pidana tersebut terlebih dahulu. Asas tersebut dianggap kurang memadai karena banyak undang-undang karet (baca: multitafsir), sehingga semua orang bisa menafsirkannya. Oleh karena itu, muncullah asas berikutnya yang berbunyi, nullum crimen sine lege scripta, yang berarti tidak ada delik tanpa undang-undang yang ketat sebelumnya. Pernyataan Andi Hamzah, sebagai Ahli, dalam Sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965pada Rabu, 3 Maret 2010 di Gedung MK, Jakarta.
35 Barda Nawawi Arief, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, Badan Penerbit Undip, Semarang, 2010, hlm. 2.
160 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
hukum yang dilindungi menurut teori ini adalah “kedamaian/ketentraman beragama interkonfessional (di antara pemeluk agama/kepercayaan). Dengan kata lain, ketertiban umum merupakan tujuan dari teori ini.
Bertolak dari tiga teori tersebut, lanjut Senoadji, adanya
Pasal 156a KUHP tersebut dapat dipahami bahwa dilihat dari
status dan penempatannya yang terletak pada bab V
(Kejahatan dan Ketertiban Umum) maka ia termasuk delik
terhadap ketertiban umum, di mana tujuannya bermaksud
untuk melindungi ketentraman orang beragama. Jadi, objek
yang dilindungi adalah “rasa ketentraman orang beragama
yang dapat membahayakan ketertiban umum”. Namun
demikian, berbeda jika dilihat secara redaksional teksnya,
penodaan agama tersebut sudah dapat dipidanakan tanpa
harus mengganggu ketenteraman orang beragama dan tanpa
mengganggu/membahayakan ketertiban umum, sekalipun
dilakukan di hadapan orang-orang yang tidak beragama.36
Dengan kata lain, yang menjadi objek perlindungan adalah
agama itu sendiri, bukan pemeluknya (ketertiban umum). Hal
demikian merupakan salah satu bentuk ambiguitas dalam
undang-undang ini.37
Hingga saat ini, banyak gagasan yang muncul bahwa
persoalan agama dan/atau penodaan agama tidak perlu
diatur oleh negara. Dengan kata lain, negara tidak semestinya
________________________ 36 Ibid., hlm. 5. 37 Pada saat undang-undang ini di-judicial review, Mahkamah Konstitusi
(MK) sendiri mengakui bahwa baik dalam lingkup formal maupun secara substansial harus lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan multitafsir. Namun demikian, karena MK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan perbaikan redaksional atau cakupan isi, melainkan hanya boleh menyatakan konstitusional atau tidak konstitusional, maka mengingat substansi undang-undang tersebut secara keseluruhan adalah konstitusional, MK tidak dapat membatalkan atau mengubah redaksionalnya. MK, Risalah Sidang Pengujian UU No. 1/PNPS/1965, MK, Jakarta, 2010, hlm. 304-305.
Rohidin 161
mencampuri urusan keyakinan warga negaranya. Kebijakan
pemerintah yang hanya mengakui enam agama “resmi”
membuat para penganut agama lain tidak mendapatkan hak-
hak sipil mereka sebagai warga negara. Bahkan, muncul
pendapat yang mengatakan bahwa kehidupan agama di
Indonesia lebih baik bila tanpa negara. Artinya, negara tidak
perlu ikut campur mengatur kehidupan beragama sebab
negara justru membuat kehidupan agama menjadi tidak baik.
Menanggapi persoalan ini, Adnan Buyung Nasution,
sebagaimana dikutip Mahfud MD, berpendapat bahwa
negara tidak berhak mencampuri urusan agama, terlebih lagi
melakukan pengakuan terhadap agama tertentu.38 Argumen
yang mendukung gagasan itu, negara mesti bersikap netral
terhadap semua agama dan tidak boleh melarang timbulnya
suatu aliran kepercayaan atau agama apapun. Jika terdapat
suatu kelompok yang ingin mendirikan agama sendiri, artinya
tidak bisa dilarang oleh negara. Menurut pendukung gagasan
tersebut, ketentuan yang menunjukkan intervensi negara
terhadap agama dalam UU No. 1/PNPS/1965 tidak lagi
diperlukan. Kebebasan berpikir dan berkeyakinan melekat,
tidak boleh dibatasi, tidak dapat ditunda, dan tidak patut
dirampas.
Berkaitan dengan intervensi tersebut—dan kontroversi
Ahmadiyah sebagai konteksnya—muncul SKB No. 3/2008,
Kep-033/A/JA/6/2008 dan No. 199/2008 tentang Peringatan
dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan Warga Masyarakat,
yang ditandatangani Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri
Dalam Negeri pada tanggal 9 Juni 2008, dan merupakan hasil
________________________ 38 Mahfud MD, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi”,
Makalah, disampaikandalam Konverensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia Menurut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, diselenggarakan oleh ICRP pada tanggal 5 Oktober 2009.
162 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
kontroversi panjang yang melelahkan. Meskipun di dalam SKB
tersebut tidak terdapat istilah “pembekuan” atau “pelarangan
dan pembubaran” JAI, seperti yang dituntut mereka yang anti
terhadap Ahmadiyah, keluarnya SKB ditengarai merupakan
salah satu titik panas dalam rangkaian tindak kekerasan
terhadap Jemaat Ahmadiyah di seluruh pelosok negeri ini.
Sebagaimana telah dilansir sebelumnya, kasus-kasus kekerasan
terhadap anggota Ahmadiyah ini sangat mewarnai masa-masa
setelah keluarnya SKB.
Beberapa bulan setelah diterbitkannya SKB tersebut,
diterbitkan pula Surat Edaran Bersama (SEB) No.
SE/SJ/1322/2008; SE/B-1065/D/Dsp.4/08/2008; dan
SE/119/921/D.III/2008, yang dikeluarkan oleh Sekretaris
Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen,
dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik
Departemen Dalam Negeri. Dalam SEB tersebut ditegaskan
bahwa absahnya SKB sebagai tindak lanjut dari UU No.
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama jo. UU No. 5/1969, dengan
mengacu pada Pasal 7 ayat (4) UU No. 10/2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
b. Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006, No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat
Pada tahun 2006, Pemerintah (cq. Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri) mengeluarkan Peraturan Bersama No.
9 Tahun 2006/ No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Rohidin 163
Aturan perundangan ini menggantikan Surat Keputusan
Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.
1/BER/MDN-MAG Tahun 1969 tentang Pendirian Rumah
Ibadat. SKB tersebut dianggap belum mengatur secara rinci
prosedur pendirian tempat ibadat, dan oleh karena itu adalah
salah satu penyebab penutupan, perusakan, dan penyerangan
tempat ibadat.
Menurut PBM di atas, pendirian rumah ibadat
didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh
berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan
umat beragama yang bersangkutan di wilayah
kelurahan/desa.39 Sebelum didirikan, pemohon harus
memenuhi persyaratan khusus yang meliputi; daftar nama
Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadat paling
sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai
dengan tingkat batas wilayah kecamatan atau
kabupaten/kota atau propinsi; dukungan masyarakat
setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh
lurah/desa; rekomendasi tertulis kepala kantor departemen
agama kabupaten/kota; dan rekomendasi rertulis Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Berkaitan dengan PBM tersebut, ada beberapa persoalan
yang menurut penulis justru kurang sesuai dengan amanat
konstitusi. Pertama, aturan perundangan tersebut
menitikberatkan pada pembatasan pendirian rumah ibadat,
padahal konstitusi, dan bahkan Kovenan Internasional, telah
mengamanatkan bahwa suatu pembatasan dilakukan harus
berdasarkan atau ditetapkan dengan hukum. Sementara itu,
yang dimaksud dengan hukum adalah undang-undang,
bukan dalam bentuk kebijakan berupa PBM. Kedua, yang
dimaksud dengan rumah ibadat dalam peraturan tersebut
________________________ 39 Pasal 13 ayat (1).
164 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
adalah “bangunan… yang dipergunakan untuk beribadat bagi
para pemeluk masing-masing agama”, yakni agama resmi.
Sementara itu, ragam kepercayaan yang tidak termasuk dalam
agama tersebut juga hidup di negeri ini dan berhak untuk
menjalankan kepercayaannya secara bebas dan aman. Namun
demikian, dengan adanya aturan tersebut, secara tidak
langsung dapat dipahami bahwa mereka tidak berhak untuk
mendirikan tempat ibadat. Ketiga, kuantitas pemeluk agama
di setiap daerah berbeda, ada yang berjumlah banyak dan
tidak sedikit yang hanya beberapa orang. Aturan kuantitas
dalam aturan di atas tampaknya tidak mampu
mengakomodasi minoritas pemeluk agama dalam suatu
komunitas. Kaum Muslim di Manokwari, Papua, Nusa
Tenggara Timur (NTT), Bali dan Sulawesi Utara, misalnya,
mayoritas daerah tersebut adalah non-muslim, sementara
komunitas muslimnya adalah minoritas yang berjumlah
kurang dari standart minimal di atas.40
c. UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR)
ICCPR merupakan salah satu intrumen internasional
yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 16
Desember 1966 dan berlaku efektif pada tanggal 23 Maret
1976. Secara mendasar hak-hak sipil dan politik ini
merupakan hak-hak yang bersumber dari martabat dan
melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati
keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati
hak-hak dan kebebasannya dalam bidang sosial dan politik.
Pasca-disahkannya kovenan tersebut, negara-negara anggota
________________________ 40 Lihat, “Umat Islam juga Sulit Membangun Masjid”, dalam http://
www.berita2.com/nasional/umum/7070-umat-islam-juga-sulit-membangun-masjid.html, (Diakses pada tanggal 30 Maret 2011).
Rohidin 165
PBB tidak hanya diminta untuk melakukan tandatangan
(baca: meratifikasi), bahkan meminta Sekretaris Jenderal
untuk mendesak negara-negara anggota untuk melaporkan
secara periodik mengenai kemajuan ratifikasi dan
mempersilakan berbagai pemerintah, organisasi non-
pemerintah, dan Sekretaris Jenderal untuk mengumumkan
teks kovenan seluas mungkin.41 Berkaitan dengan hal itu,
Indonesia, melalui UU No. 12 Tahun 2005, telah turut serta
menjadi bagian dari 192 states parties. Ditinjau dari tingkat
ratifikasi, maka dapat dikatakan bahwa kovenan ini memiliki
tingkat universalitas yang sangat tinggi bila dibanding
dengan perjanjian internasional HAM lainnya.
Sebagai sebuah produk deklarasi internasional, sudah
barang tentu nilai-nilai universalitas yang berbasis pada
humanisme (individualistik) sangat kental dalam
kandungannya. Artinya, tidak serta-merta jika kovenan
tersebut diaplikasikan dalam sebuah negara tertentu akan
relevan dengan akar budayanya, termasuk dalam hal ini
adalah Indonesia. Secara umum, memang terdapat kesesuaian
antara konstitusi dengan kovenan tersebut, tetapi tampaknya
terdapat beberapa poin yang dalam pandangan penulis
kurang sesuai dengan Pancasila. Salah satu bentuknya
terdapat dalam Pasal 18 ayat (1).
Secara sepintas, Pasal 18 ayat (1) tampak tidak memiliki
masalah dan sejalan dengan konstitusi, karena di dalamnya
sarat dengan muatan jaminan atas hak seseorang dalam
berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Namun demikian,
dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan kebebasan berkeyakinan dan beragama tersebut
termasuk pula kebebasan untuk tidak beragama (baca:
________________________ 41 Ahmad Suaedy (dkk.), Islam, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia:
Problematika Hak Kebebasan Beragama, dan Berkeyakinan di Indonesia, The Wahid Institute, Jakarta, 2009, hlm. 17.
166 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
atheis).42 Sementara itu, dengan jelas disebutkan dalam
Pancasila bahwa Negara Indonesia pertama-tama berasaskan
“Ketuhanan yang Maha Esa”, selain memang secara sosio-
kultural keberagamaan dan/atau keberkeyakinan merupakan
bagian di dalamnya.43
d. Perda-perda Bernuansa Syariah
Sejak awal tahun 2000-an, isu formalisasi agama
menyeruak ke publik, meskipun ini bukan yang pertama
dalam sejarah Indonesia. Isu tersebut berbentuk apa yang
disebut dengan Peraturan Daerah (Perda) syariah Islam.
________________________ 42 Lihat, Komentar Umum 22 untuk Pasal 18, Komite HAM, 1993. 43 Kasus yang sama, dalam pandangan penulis, juga tampak pada Pasal 18
ayat (4), yang berbunyi: “Negara Pihak dalam Kovenanini berjanji untuk menghormati kebebasan orangtua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri”. Ayat ini memberikan kepada orangtua jaminan untuk menentukan dan menjamin pendidikan agama dan moral anak-anak mereka. Hal ini ditambahkan pada tahapan terakhir dalam perancangan. Hak ini merupakan bagian lingkup budaya dan sosial yang menjadi bagian dari kovenan mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, dan ada dalam kaitan dengan hak tentang pendidikan (Pasal 13 ayat [3]). Sebagai state parties, mestinya Indonesia membebaskan orangtua untuk memutuskan pendidikan agama dan moral apa yang ingin mereka berikan kepada anak-anak mereka. Negara jelas tidak berkewajiban untuk mengarahkan sekolah-sekolah umum untuk mengikuti keyakinan religius dan filosofis dari orang-orang tua.
Kovenan ini tidak mengatur bagaimana dan di mana pendidikan religius ataupun moral seharusnya diadakan, apakah sebaiknya di dalam sekolah atau luar sekolah. Negara juga tidak dituntut untuk mendanai pendidikan religius, tetapi hanya sebatas memberi toleransi apabila para orangtua ingin menyediakan atau mendanai sendiri pendidikan religius dan moral tersebut. Lihat, Karl Josef Partsh, “Kebebasan Beragama, Berekspresi, dan Kebebasan Kerpolitik”, dalamIfdhal Kasim (ed.), Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan, ELSAM, Jakarta, 2001, hlm. 246-247. Jika demikian pemahamannya, maka bagi penulisperundangan tersebut bertentangan dengan budaya bangsa, di mana masyarakat Indonesia, hingga saat ini, masih mendambakan pendidikan agama. Di samping itu, berkaitan dengan pilihan jenis agama di masyarakat masih mengenal dan mengidamkan kesamaan, meskipun dalam beberapa kasus tidak demikian halnya. Dengan kata lain, para orangtua masih menghendaki pendidikan keagamaannya anaknya dijamin dan diatur oleh pemerintah, dan penentuan pilihannya pun masih tergantung sama kehendak orangtua.
Rohidin 167
Sejauh ini terdapat beberapa argumentasi yang bisa direkam
sebagai landasan adanya perda-perda bernuansa agama
(Islam). Pertama, umat Islam di Indonesia adalah mayoritas,
namun sepanjang sejarahnya umat Islam (tepatnya, Islam
politik) belum pernah mengembalikan bangsa ini. Kedua, sejak
tahun 1997 Indonesia diterpa krisis multidimensi dan hingga
kini krisis itu belum dilalui dengan baik. Semua cara sudah
dicoba, tetapi ternyata Indonesia belum sembuh dari penyakit
“krisis”. Islam sebagai alternatif yang bisa mengobati krisis
multidimensi belum pernah dicoba, hingga sekaranglah
saatnya menerapkan sistem Islam itu. Ketiga, momentum
otonomi daerah memberi keleluasaan daerah untuk membuat
perda yang sesuai dengan karakteristik daerah. Keempat, para
perumus perda itu juga berlindung di balik konstitusi, Pasal
29 UUD 1945, di mana negara memberi jaminan kepada
warganya untuk beribadat menurut agama dan
keyakinannya. Singkatnya, perda bernuansa agama dianggap
sebagai bagian dari ekspresi kebebasan beribadat.
Saat buku ini disusun, tidak kurang dari 22 daerah
(kabupaten/ kota) telah menetapkan jenis perda bernuansa
agama. Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham)
pada dasarnya telah mempersoalkan puluhan perda yang
mayoritas bernuansa syariah. Perda-perda bermasalah
tersebut berjumlah hingga mencapai 96.44 Jenis-jenis perda
tersebut paling tidak dapat dipetakan menjadi empat
kategori.45 Pertama, jenis perda yang terkait dengan isu
________________________ 44 Kemenkumham, Peraturan Daerah yang Dipermasalahkan, dalam
http://www.kemenkumham.go.id, (Diakses pada tanggal 23 Februari 2011). 45 Klasifikasi ini menurut penulis lebih akomodatif daripada klasifikasi yang
dibuat oleh Ahmad Suaedy. Dalam karyanya, Perpektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru Islam Demokrasi, Suaedy mengklasifikasi perda-perda syariah menjadi tiga jenis. Pertama, perda-perda yang berkaitan dengan isu keprihatinan publik (public order) atau pengaturan moral masyarakat, seperti perda anti perjudian, anti prostitusi, dan anti minuman keras. Kedua, perda-perda yang berkaitan dengan
168 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
moralitas masyarakat secara umum. Meski menyangkut
moral, namun perda jenis ini sebenarnya menjadi concern
semua agama. Perda jenis ini, terutama diwakili oleh perda
anti pelacuran, perizinan yang ada hampir di semua daerah,
di mana istilah generiknya adalah perda anti kemaksiatan.46
Kedua, jenis perda yang terkait dengan fashion dan mode
pakaian lainnya seperti keharusan memakai jilbab dan jenis
pakaian lainnya di tempat-tempat tertentu. Perda jenis ini juga
banyak sekali muncul di berbagai daerah. Berbeda dengan
yang pertama, perda fashion ini jelas sangat tipikal Islam
sehingga orang akan dengan mudah mengidentifikasi sebagai
perda syariah Islam. Siapa pun akan mengatakan bahwa
dalam jilbab ada kepentingan untuk menunjukkan identitas
keislaman.47 Ketiga, jenis perda yang terkait dengan
________________________ keterampilan beragama dan kewajiban ritual keagamaan. Aturan ini seperti aturan tentang kewajiban baca al-Qur’an, membayar zakat dan sebagainya. Aturan ini spesifik ditujukan untuk orang Islam. Ketiga, perda yang berkaitan dengan simbol-simbol keagamaan, seperti kewajiban memakai jilbab bagi perempuan dan baju koko bagi laki-laki pada hari Jumat. Ahmad Suaedy, Perpektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru Islam Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2009, hlm. 146-147.
46 Lihat misalnya, Perda Kota Tangerang No. 08 Tahun 2005 Seri E, Perda Kota Bengkulu No. 24 Tahun 2000, Perda Provinsi Sumatera Barat No. 11 Tahun 2001, Perda Kota Bukittinggi No. 10 Tahun 2003, Perda Kota Solok No. 6 Tahun 2005, Perda Kab. Padang Pariaman No. 2 Tahun 2004, Perda Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002, Perda Kota Palembang No. 2 Tahun 2004, Perda Kab. Lahat No. 3 Tahun 2002, Perda Kota Bandar Lampung No. 15 Tahun 2005, Perda Kota Batam No. 6 Tahun 2002, Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005, Perda Kab. Indramayu No. 7 Tahun 1999, Perda Kab. Garut No. 6 Tahun 2000, Perda Kab. Tasikmalaya No. 28 Tahun 2000, Perda Kab. Purwakarta No. 10 Februari 2005, Perda Kab. Depok 28 April 2005, Perda Kab. Jember No. 14 Tahun 2001, Perda Kab. Gresik No. 7 Tahun 2002, Perda Kota Kupang No. 39 Tahun 1999, Perda Kota Banjarmasin No. 4 Tahun 2005, dan Perda Provinsi Gorontalo No. 6 Tahun 2003.
47 Seperti yang tergambar dalam Perda Kab. Lima Puluh Kota No. 5 Tahun 2003. Dalam Perda tersebut, salah satunya, siswi, diwajibkan “Memakai kerudung yang menutupi rambut telinga, leher, dan tengkuk serta dada”. Jika siswi bersangkutan tidak mengindahkan aturan tersebut, sanksi yang diberikan melalui tahapan; (1) ditegur secara lisan, (2) ditegur secara tertulis, diberitahukan kepada
Rohidin 169
keterampilan beragama, seperti keharusan bisa baca tulis al-
Qur’an sebagaimana terdapat di Indramayu, Bulukumba
(Sulsel), dan sebagainya. Pada tingkat tertentu, perda
keharusan di Madrasah Diniyyah Awwaliyah dapat
digolongkan sebagai perda keterampilan beragama. Perda
jenis ini juga sangat tipikal dengan Islam sehingga tampak
sekali kepentingan Islam mendominasi munculnya perda
tersebut. Perda keterampilan baca tulis al-Qur’an dan
Madrasah Diniyyah ini dikaitkan dengan aktivitas lain.
Keterampilan baca tulis al-Qur’an menjadi syarat untuk nikah,
naik pangkat bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), bahkan untuk
memperoleh pelayanan publik. Sedangkan ijazah Madrasah
Diniyyah dijadikan syarat untuk dapat meneruskan jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Lulusan Sekolah Dasar (SD)
yang akan melanjutkan ke Sekolah Lanjut Tingkat Pertama
(SLTP) harus menyertakan ijazah MadrasahDiniyyah.48
Keempat, perda yang terkait dengan pemungutan dana sosial
dari masyarakat melalui perda zakat, infak, dan sedekah.
Beberapa perda jenis ini antara lain Perda No. 12 Tahun 2005
________________________ orangtua, (4) tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran di sekolah, (5) dikeluarkan/dipindahkan dari sekolah. Sementara itu, pendidikan adalah hak bagi setiap warga, terlebih mereka yang berumur wajib belajar, bagimana mungkin kewajiban warga negara yang berupa belajar justru dipasung dengan sanksi dari pelanggaran terhadap perda yang dapat dikatakan justru kontraproduktif dengan konstitusi tersebut. Selain Perda Kabupaten Lima Puluh Kota tersebut adalah; Perda Kab. Agam No. 5 Tahun 2005; Perda Kab. Sawahlunto/Sijunjung No. 2 Tahun 2003; Perda Kab. Pasaman No. 22 Tahun 2003; Perda Kota Solok No. 6 Tahun 2002; Perda Kota Batam No. 6 Tahun 2002; Perda Kab. Enrekang No. 6 Tahun 2005; Perda Kab. Maros No. 15 Tahun 2005; dan Perda Bulukumba No. 5 Tahun 2003.
48 Lihat, misalnya, Perda Kab. Lima Puluh Kota No. 6 Tahun 2003, Perda Kab. Sawahlunto/Sijunjung No. 1 Tahun 2003, Perda Kab. Pasaman No. 21 Tahun 2003, Perda Kab. Pesisir No. 8 Tahun 2004, Perda Kota Solok No. 10 Tahun 2001, Perda Kota Padang No. 3 dan 6 Tahun 2003, Perda Kab. Banjarmasin No. 10 Tahun 2001 dan No. 4 Tahun 2004, Perda Kab. Enrekang No. 6 Tahun 2005, Perda Kab. Gowa No. 7 Tahun 2003, Perda Kab. Bulukumba No. 4 dan 90 Tahun 2003, dan Perda Kota Gorontalo No. 22 Tahun 2005.
170 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
tentang Pengelolaan Zakat di Sukabumi, Perda No. 9 Tahun
2002 di Lombok Timur NTB, Perda No. 4 Tahun 2001 Tentang
Zakat, Infak, dan Sedekah di Cilegon dan lain sebagainya.49
Perda jenis ini merupakan respektasi aktual atas
pemberlakuan UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi menjadi
undang-undang. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun
2004. Dalam kasus di Lombok Timur, sebagaimana dilansir
Rumadi, perda ini menuai protes dari para guru. Mereka
menolak zakat profesi dengan memotong sebanyak 2.5%
setiap bulan. Setelah terjadi gelombang demonstrasi para guru
di Lombok Timur, akhirnya perda ini dibekukan. Kemarahan
dan penolakan para guru ini bisa dipahami, karena gaji
mereka yang pas-pasan justru menjadi “sapi perahan”
birokrasi atas nama agama. Mereka ini sebenarnya lebih tepat
disebut sebagai mustaḥiq (orang yang berhak menerima zakat)
dan bukan muzakkī (orang yang wajib mengeluarkan zakat).50
2. Kerapuhan Aparatur Penegak Hukum dalam Mengawal Jaminan Kebebasan Beragama: Problem Struktur Hukum
Friedman dalam teori three elements law system, menyatakan
bahwa efektif atau tidaknya penegakan hukum salah satunya
________________________ 49 Perda-perda lain dalam kategori ini di antaranya adalah Perda Kab.
Pesisir Selatan No. 31 Tahun 2003, Perda Kab. Bukittinggi No. 29 Tahun 2004, Perda Kab. Solok No. 13 Tahun 2003, Perda Provinsi Banten No. 4 Tahun 2004, Perda Kab. Cilegon No. 4 Tahun 2001, Perda Kab. Serang No. 6 Tahun 2002, Perda Kab. Tangerang No. 24 Tahun 2004, Perda Kab. Cianjur No. 7 Tahun 2000, Perda Kab. Karawang No. 10 Tahun 2002, Perda Kab. Garut No. 1 Tahun 2003, Perda Kab. Bandung No. 9 Tahun 2005, Perda Kab. Lombok Timur No. 9 Tahun 2002, Perda Kab. Banjarmasin No. 9 Tahun 2003, Perda Kab. Maros No. 17 Tahun 2005, dan Perda Kab. Bulukumba No. 2 Tahun 2003.
50 Baca, Rumadi, “Mengawal Pluralisme di Tengah Kegamangan Negara”, dalam Ahmad Suaedy (dkk.), Op. Cit., hlm. 29.
Rohidin 171
ditentukan oleh kuat tidaknya struktur hukum (legal structure),
yakni merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian
yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap
keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. Di Indonesia
yang merupakan struktur dari sistem hukum adalah institusi dan
penegak hukum seperti advokat, polisi, jaksa, dan hakim. Dalam
kasus kebebasan beragama, penulis akan menggeneralkan
dengan istilah alat-alat negara, karena pada kenyataannya yang
merespons kasus-kasus yang terkait dengan kebebasan
beragama bukan hanya empat elemen tersebut. Namun
demikian, dalam hal ini penulis tidak akan mengupas satu
persatu bagaimana fungsi dan tugas catur wangsa tersebut,
melainkan hanya akan melihat respons mereka dalam bentuk
tindakan, yang penulis klasifikasi dalam dua hal, yaitu tindakan
aktif (by commission) dan pembiaran (by omission).
Kategori pelanggaran tindakan represif dan pembiaran
dalam kerangka hukum kebebasan beragama merupakan bentuk
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara, karena negara
merupakan state parties yang terkait secara hukum maupun
terikat secara moral karena telah meratifikasi Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, di mana Pasal 18
menegaskan tentang kewajiban negara menjamin kebebasan
beragama/berkeyakinan. Mengingat konstitusi Indonesia juga
menegaskan jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan
(Pasal 28E), negara juga dianggap telah melakukan pelanggaran
konstitusional atas jaminan hak konstitusional warga negara
untuk bebas beragama atau berkeyakinan, termasuk
menjalankan ritual ibadatnya. Dua kategori tersebut dapat
dicontohkan melalui klasifikasi yang dibuat oleh Setara Institute
dalam Laporan Kondisi Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di
Indonesia 2008. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa di
tahun 2008 negara telah melakukan 99 pelanggaran tindakan
aktif yang dapat dikategorikan dalam 17 bentuk, sementara 89
172 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
pelanggaran negara berbentuk tindakan pembiaran, yang dapat
diklasifikasi dalam dua bentuk, yakni pembiaran atas aksi
kekerasan dan pembiaran tidak memroses secara hukum atas
tindakan kriminal.
Pelanggaran tindakan aktif tersebut di antaranya
berjumlah 8 dalam bentuk pelarangan ibadat dan aktivitas
keagamaan. BupatiSukabumi, sebagai Aparatur Negara, pada
tanggal 29 April 2008 melarang aktivitas di enam tempat ibadat
Ahmadiyah di Sukabumi: Masjid al-Furqan Parakansalak; Masjid
Mubasirin di Kampung Ciletung Desa Lebak Sari Kec.
Parakansalak; Masjid Ar-Rahman di Kampung Cigombong, Desa
atau Kec. Warung Kiara; Masjid Al-Barokah di Kampung Panjalu
Desa Kerawang, Kec. Sukabumi; Masjid Al-Huda di Kampung
Bojong Lowa, Desa Sukamantri, Kec. Cisaat; dan Masjid Al-
Fadhol di Kampung Simpang Sangit, Desa Bojong Jengkol Kec.
Jampang. Pada tanggal 25 Juni 2008, Kejari Tasikmalaya
melarang Ahmadiyah melakukan salat Jumat dan mengadakan
kegiatan di masjid. Pada tanggal 10 Juni 2008, Wali Kota Cimahi
H. M. Itoh Tochija meminta agar Ahmadiyah di Kota Cimahi
menghentikan aktivitasnya dengan dalih tidak sesuai dengan
SKB. Wali Kota juga meminta Muspida di Kota Cimahi lebih
tegas dan melakukan tindakan nyata jika terjadi pelanggaran di
lapangan. Pada tanggal 19 Juli 2008, di Tangerang, Banten, Ketua
RT, Lurah, dan Camat Kec. Tangerang melarang warga
Ahmadiyah beribadat dan menghentikan secara paksa kegiatan
Jemaat Ahmadiyah Kec. Tangerang. Pada tanggal 30 April 2008
di Cianjur, Jawa Barat, Kapolsek Ciranjang Cianjur melarang
Jemaat Ahmadiyah melakukan ibadat secara berbeda. Pada
tanggal 14 Juni 2008, di Kalimantan Tengah, Kakanwil Depag
Kalimantan Tengah, H. Anshari meminta kepada Jemaat
Ahmadiyah agar menghentikan penyebaran keyakinannya. Pada
tanggal 25 Juni 2008, di Tasikmalaya, Kejari Tasikmalaya
Rohidin 173
melarang Ahmadiyah melakukan salat Jumat dan kegiatan di
Masjid.
Pelanggaran tindakan pembiaran tersebut di antaranya
berjumlah 3 dalam bentuk pembakaran tempat ibadat. Pada
tanggal 13 Januari 2008 di Lombok Barat, NTB, terjadi
pembakaran Pura Sangkareang milik umat Budha. Pada tanggal
28 April 2008 terjadi pembakaran Masjid dan Madrasah Al-
Furqon milik JAI di Kampung Parakan Salak RT 02/RW 02 Desa
atau Kecamatan Parakan Salak, Kab. Sukabumi oleh Forum
Komunikasi Jam’iyatul Mubalighin (FKJM) Parakan Salak. Pada
tanggal 20 Mei 2008 di Purwakarta Jawa Barat, terjadi
pembakaran gedung sarana pendidikan dan rumah yang
difungsikan sebagai Gereja Jemaat Protestan.
3. Krisis Kepercayaan dan Minimnya Kesadaran Masyarakat terhadap Hukum Kebebasan Beragama: Problematika Budaya Hukum
Yang dimaksud dengan budaya hukum (legal culture),
sebagaimana dikatakan di atas, adalah keterlibatan masyarakat
berkaitan dengan hukum, yang dalam hal ini adalah kebebasan
beragama. Keterlibatan masyarakat di dalam pelaksanaan
hukum memperlihatkan adanya hubungan antara budaya dan
hukum, sehingga ketaatan dan ketidaktaatan seseorang terhadap
hukum sangat dipengaruhi oleh budaya hukum. Budaya hukum
inilah yang menentukan sikap, ide-ide, nilai-nilai seseorang
terhadap hukum di dalam masyarakat. Keterlibatan masyarakat
di dalam pelaksanaan hukum kebebasan beragama tampak
dalam dua aspek, yakni sikap dan harapan. Berkaitan dengan
sikap, sebagaimana terlihat dalam perundang-undangan bahwa
terdapat perbedaan mendasar yang berpotensi memunculkan
tindakan berlebihan. Perbedaan tersebut terletak pada batasan
kebebasan. Di dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang
ratifikasiICCPR Pasal 18 ayat (1), kebebasan yang dimaksud
174 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
adalah bebas dalam berpikir, berkeyakinan, dan beragama.
Cakupan hak ini adalah menetapkan agama atau kepercayaan
atas pilihannya sendiri, dan untuk menjalankan agama dan
kepercayaannya dalam kegiatan ibadat, pentaatan, pengamalan,
dan pengajaran. Sebagaimana tersurat dalam Pasal 18 ayat (3),
kebebasan tersebut hanya dapat dibatasi oleh ketentuan
berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi
keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau
hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Mendekati hal
tersebut adalah UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 23 ayat (2).
Kebebasan dalam perundangan ini dibatasi oleh nilai-nilai
agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan
keutuhan bangsa. Berbeda dengan UU No. 1/PNPS/1965 Pasal
1, di mana di dalamnya justru melarang penafsiran dan kegiatan
yang dianggap menyimpang dari pokok ajaran agama. Persoalan
menyimpang dan tidak menyimpang dalam hal beragama atau
berkeyakinan adalah suatu keniscayaan, dan jika yang berhak
menentukan benar dan tidaknya suatu bentuk penafsiran
keagamaan atau kepercayaan adalah pihak tertentu, bukan
pemeluknya, sebagaimana tampak dalam penjelasan pasal demi
pasal, maka hal tersebut merupakan pembatasan yang justru
bertentangan dengan dua perundang-undangan sebelumnya.
Perbedaan batasan tersebut ditanggapi masyarakat secara
parsial dan kerap dijadikan legitimasi oleh masing-masing
kelompok untuk mengabsahkan tindakannya, yang cenderung
mengganggu hak dan kebebasan pihak lain dalam menjalankan
agama dan keyakinannya. Contoh yang kerap muncul adalah
kasus Ahmadiyah. Dengan menyandarkan diri pada UU No.
1/PNPS/1965, pihak MUI melalui fatwa tentang aliran sesatnya
mendesak kepada pemerintah untuk membubarkan organisasi
tersebut. Fatwa tersebut yang ditambah dengan penyandaran
pada UU No. 1/PNPS/1965 dijadikan legitimasi (baca:
dipersepsi) oleh banyak kelompok untuk melakukan (dalam
Rohidin 175
bentuk) penyerangan secara brutal kepada pihak Ahmadiyah.
Bahkan, beberapa kepala daerah mengeluarkan Surat Keputusan
(SK) yang berisi tentang beberapa larangan beraktivitas bagi JAI,
seperti SK Gubernur Jawa Timur No. 188/94/KPTS/013/2011.
Dengan keluarnya SK, yang disinyalir sebagai kepanjangan
tangan dari SKB No. 3/2008, Kep-033/A/ JA/6/2008 dan No.
199/2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut,
Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia dan Warga Masyarakat, yang ditandatangani Menteri
Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9
Juni 2008, tersebut masyarakat kemudian beraksi dengan
beragam cara, menurunkan papan nama salah satu Kantor
Cabang Ahmadiyah di Madiun, misalnya.51
Hal yang sama juga terjadi di Pusat Jemaat Ahmadiyah
Jawa Timur, sebagaimana dilakukan oleh Polisi setempat.52
Demikian juga yang tampak pada demonstran anti Ahmadiyah
yang menyuarakan aspirasinya agar pemerintah membubarkan
Ahmadiyah tersebut dengan mentendensikan argumentasinya
pada UU No. 1/ PNPS/1965, sebagaimana yang terjadi di
Kuningan.53 Lain MUI dan masyarakat anti Ahmadiyah, lain pula
para aktivis HAM, dengan mentendensikan dirinya pada UU No.
12 Tahun 2005, mereka justru mengkritik terbitnya SKB dan
________________________ 51 http://www.seruu.com/index.php/2011030242453/utama/nasional/
penurunan-plang-ahmadiyah-uu-kalah-dengan-perda-42453/menu-id-691. html, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
52 http://surabaya.detik.com/read/2011/02/28/174700/1581502/466/ papan-nama-pusat-kegiatan-ahmadiyah-jatim-dicopot, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
53 Lihat, http://www.seruu.com/index.php/2011030242377/kota/ regional/maraknya-perda-anti-ahmadiyah-picu-aksi-massa-di-kuningan-42377/ menu-id-759.html;, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
176 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
Perda-perda turunan SKB tersebut, sebagaimana dilakukan oleh
Komnas HAM.54
Sementara itu, selaras dengan harapan masyarakat terkait
rasa keadilan yang didapatkan, sebagaimana di atas, bisa kita
ambil contohkasus Ahmadiyah. Pada saat munculnya SKB Tiga
Menteri, Ahmadiyah seharusnya mengajukan gugatan hukum,
karena secara jelas SKB tersebut kurang sesuai dengan semangat
konstitusi. Perihal peninjauan kembali terhadap perundang-
undangan pernah dilakukan oleh aktivis HAM, yakni
mengajukan peninjauan ulang atas UU No. 1/PNPS/1965 yang
mereka nilai bertentangan dengan semangat konstitusi, namun
pengajuan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.55
Demikian juga dengan kasus perda-perda larangan Ahmadiyah
untuk beraktivitas, sebagai organisasi yang terdaftar secara sah,
Ahmadiyah seharusnya melakukan peninjauan ulang atas perda-
perda tersebut, meskipun hingga buku ini dituliskan wacana
tersebut telah bergulir,56 meski dengan jelas banyak turunan
perundang-undangan diajukan untuk ditinjau ulang yang
ditolak dengan beragam alasan.
Budaya hukum di masyarakat pada dasarnya akan berjalan
dengan baik jika konsep civil society dapat tertanam dengan baik
dalam kehidupan bermasyakat. Sikap kaum Muslim awal yang
________________________ 54 http://www.komnasham.go.id/2010-10-03-02-09-01/66-hot-news/
647-komnas-ham-sk-larang-aktivitas-ahmadiyah-harus-dikaji-ulang-dengan-uu, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
55 Bagi MK, para pemohon tidak dapat membuktikan dalil-dalilnya terkait permohonan pengujian formil maupun keseluruhan permohonan pengujian materiil. Pertentangan norma antara Pasal 1, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 3, serta Pasal 4 UU Pencegahan Penodaan Agama terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tidak terbukti menurut hukum. Karena itu, MK memutuskan untuk menolak permohonan para pemohon secara keseluruhan. Telusuri lebih lanjut dalam, MK, Op. Cit., hlm. 306.
56 Lihat, http://surabaya.detik.com/read/2011/02/28/205935/1581618/ 466/ ahmadiyah-akan-gugat-keputusan-gubernur-jatim. (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
Rohidin 177
tidak mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat
dapat dijadikan pedomannya. Mereka tidak meninggalkan dunia
untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk
dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawaṣṣuṭ) dalam mengejar
kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada
masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini,
maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
Dalam konteks negara, selain dianggap memiliki kapasitas
sebagai kekuatan penyeimbang (balancing force) dari
kecenderungan-kecenderungan dominatif dan intervensionis
negara, civil society juga dinilai mampu melahirkan kekuatan
kritis reflektif (reflective force) di dalam masyarakat. Itulah
sebabnya civil society dianggap sebagai sebuah prasyarat menuju
kebebasan (condition of liberty). Kebebasan di sini dapat diartikan
sebagai kebebasan dari (freedom from) segala dominasi dan
hegemoni kekuasaan, dan kebebasan untuk (freedom for)
berpartisipasi dalam berbagai proses kemasyarakatan secara
sukarela dan rasional.57 Dalam konteks kehidupan berbangsa
dan bernegara, kebebasan tersebut tentu hanya bisa terwujud
dalam suatu sistem kekuasaan yang demokratis.58 Masyarakat
dalam konsep civil society adalah masyarakat yang “biasa-biasa”
saja, dan karenanya tidak lepas dari kontradiksi internal. Hal itu
terjadi karena di dalamnya terdapat masalah-masalah kelas,
entitas, dan juga gender, yang—pada titik tertentu—berpotensi
merusak civil society.
________________________ 57 Lihat dalam Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju
Kebebasan, Mizan, Bandung, 1995. 58 Khusus dalam hubungannya dengan negara, paling tidak civil society dapat
melakukan salah satu dari tiga fungsi pokoknya. Pertama, civil society berdiri sebagai perisai bagi masyarakat dari perilaku negara yang cenderung hegemonik, otoritarian, dan represif. Kedua, jika negara tidak hegemonik, civil society muncul sebagai mitra negara dalam melaksanakan kepentingan publik. Ketiga, bila kehidupan publik telah diakomodasi secara baik oleh negara, maka civil society dapat memainkan fungsinya secara komplementer, di mana ia muncul untuk melengkapi kebutuhan masyarakat.
178 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
Dalam konsep civil society, permasalahan-permasalahan di
atas bukan untuk dihindari, tetapi yang diinginkan dari realitas
itu adalah adanya kemampuan untuk melakukan tawar-
menawar lewat dialog antar unsur tersebut dalam suatu ruang
publik yang bebas (free public sphere). Dengan demikian, konflik-
konflik yang inhern di sana tidak untuk dirusak tapi dapat
diselesaikan melalui mekanisme-mekanisme yang bersifat setara.
Paling tidak, terdapat empat sebab internal yang bisa ditunjuk
mengapa kohesivitas antar elemen masyarakat belum
maksimal.59 Pertama, masih belum terciptanya solidaritas yang
kuat antar elemen progresif dalam civil society, karena masih
belum pudarnya pengaruh primordialisme atau trauma masa
lalu. Antar kelompok agama, etnis, dan kelompok masih
cenderung tercipta kecurigaan-kecurigaan yang berlebihan.
Kedua, belum terlihat jelas adanya platform umum (common
platform) yang bisa dipakai oleh kelompok pekerja demokrasi
secara bersama-sama. Isu-isu yang dibangun belum benar-benar
dimuarakan untuk kepentingan bersama, tetapi hanya sekadar
simbolisme dan penonjolan kelompoknya masing-masing.
Ketiga, masih lemahnya kepemimpinan dalam civil society—
secara kualitatif maupun kuantitatif—yang mampu menandingi
pengaruh aparat negara. Kelima, masih kuatnya orientasi elitis
dalam kelompok pekerja demokrasi sehingga belum mampu
menggalang simpati massa. Isu-isu yang dibangun banyak yang
mubazir, karena bahasa dan logika yang digunakan sangat elitis
dan cukup jauh dengan tingkat pemahaman dan kesadaran
psikologis massa bawah.
Dalam civil society, warga negara bekerjasama membangun
ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan
yang bersifat non-governmental untuk mencapai kebaikan
bersama (public good). Karena itu, tekanan sentral civil society
________________________ 59 Muhammad A.S. Hikam, Op. Cit., hlm. xiii.
Rohidin 179
terletak pada independensinya terhadap negara (vis a vis the
state). Dari sinilah kemudian civil society dipahami sebagai akar
dan awal keterkaitannya dengan demokrasi dan demokratisasi.
Hubungan antara civil society dengan demokrasi (demokratisasi),
sebagaimana dikemukakan oleh Dawam Raharjo, ibarat dua sisi
mata uang yang bersifat ko-eksistensi. Hanya dalam civil society
yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan
hanya dalam suasana demokratislah civil society dapat
berkembang secara wajar.
Metafor tentang hubungan antara civil society dengan
demokrasi juga dikemukakan oleh Nurcholish Madjid.
Menurutnya, civil society merupakan ‘rumah’ persemaian
demokrasi. Perlambang demokrasinya adalah pemilihan umum
(pemilu) yang bebas dan rahasia. Namun demokrasi tidak hanya
bersemayam dalam pemilu, sebab jika demokrasi harus memiliki
“rumah”, maka rumahnya adalah civil society.
Dalam konteks keterkaitan antara civil society dengan
demokratisasiini, Larry Diamond secara sistematis menyebutkan
bahwa terdapat enam kontribusi civil society terhadap proses
demokratisasi. Pertama, ia menyediakan wahana sumber daya
politik, ekonomi, kebudayaan, dan moral untuk mengawasi dan
menjaga keseimbangan pejabat Negara. Kedua, pluralisme dalam
civil society, bila diorganisasi akan menjadi dasar yang penting
bagi persaingan demokratis. Ketiga, memperkaya partisipasi
politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat,
ikut menjaga stabilitas negara. Kelima, tempat menggembleng
pimpinan politik. Keenam, menghalangi dominasi rezim otoriter
dan mempercepat runtuhnya rezim. Lebih jauh, Diamond
menegaskan bahwa suatu organisasi betapapun otonomnya, jika
ia menginjak-injak prosedur demokrasi—seperti toleransi, kerja
sama, tanggung jawab, keterbukaan dan saling percaya—maka
180 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
organisasi tersebut tidak akan mungkin menjadi sarana
demokrasi.60
Dengan demikian, kebebasan beragama di negara ini hanya
akan terwujud jika demokrasi telah benar-benar berjalan dengan
baik. Maka yang menjadi pertanyaan selanjutnya, mengutip
pertanyaan ganda yang diajukan oleh M. `Ābed al-Jābirī,61
adalah: Mungkinkah demokrasi tegak di tengah masyarakat
yang tidak civilized (madani)? Mungkinkan civil society dapat
ditegakkan di dalam sistem yang tidak demokratis? Dua
pertanyaan tersebut menjadi dasar dalam mengaktualisasikan
dan mewujudkan masyarakat yang bebas beragama sebagai
salah satu kondisi yang mesti ada dalam sebuah tatanan
masyarakat, dan lebih jauh tatanan negara, yang demokratis.
Dengan kata lain, untuk menciptakan sebuah tatanan masyarakat
yang bebas beragama dalam konteks civil society, prasyarat yang
terlebih dahulu dipenuhi adalah teraktualisasinya demokrasi
secara menyeluruh dalam sebuah negara.
Apa yang telah tergambar dalam tiga aspek tersebut
menunjukkan betapa problem kebebasan beragama di Indonesia
ini sangat mendesak untuk segera diselesaikan. Jika problem
tersebut dibiarkan berlarut-larut sudah barang tentu akan
mengganggu jalannya proses pembangunan. Tidak hanya itu,
pembiaran yang berkelanjutan tersebut bisa jadi akan
mengancam stabilitas Pemerintahan, dan bahkan eksistensi
negaranya, karena—diakui atau tidak—persoalan agama adalah
persoalan sensitif yang tidak serta-merta dapat diselesaikan
dengan mudah oleh suatu negara.
________________________ 60 A. Ubaidillah (dkk.), Op. Cit., hlm. 152. 61 M. `Ābed al-Jābirī, “Problem Demokrasi dan Civil Society di Negara-
Negara Arab” dalam Bernard Lewis, et. al., Islam, Liberalisme, Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks Global, Paramadina, Jakarta, 2002, hlm. 233.
Rohidin 181
D. Proses dan Konstruksi Baru Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum Indonesia Berbasis Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Indonesia adalah negara yang tidak perlu lagi diragukan
dalam hal menerima dan mengakui kebebasan beragama,
bahkan menempatkannya sebagai sesuatu yang konstitutif dan
mengikat. Namun demikian, sebagaimana kerap diungkap di
muka bahwa kemapanan konseptual tersebut tidak sejalan
dengan produk regulasi turunannya dan realitas pandangan
masyarakat, termasuk intelektual Muslimyang berkaitan dengan
fatwa MUI tentang aliran sesat keagamaan.
Buku ini hendak melakukan rekonstruksi ragam problem
tersebut agar sejalan dengan konsep normatifnya, Pancasila.
Artinya, objek rekonstruksi ini adalah ketidaksepahaman
sebagaian masyarakat berkaitan dengan konsep kebebasan
beragama kaitannya dengan fatwa MUI tentang aliran sesat di
Negara Hukum Indoneisa. Adapun basis rekonstruksinya adalah
nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, yang menjadi salah
satu nilai fundamental Pancasila.
Pemilihan nilai dari Pancasila sebagai basisnya ini lebih
disebabkan karena secara filosofis ia merupakan serapan dari
ragam unsur atas konsep-konsep, yang beberapa elemen pokok
partikularnya bertentangan. Sebagai sebuah titik temu dari
beragam unsur, Pancasila—dalam pandangan Mahfud MD.—
sebenarnya merupakan perwujudan dari konsep prismatik.
Sebagai konsepsi prismatik, Pancasila mengandung unsur-unsur
yang baik dan cocok dengan nilai khas budaya Indonesia yang
sudah hidup di kalangan masyarakat selama berabad-abad.
Dengan demikian, paling tidak, ada dua hal yang dapat
dijadikan pertimbangan dalam menyusun konsep kebebasan
beragama dengan basis prismatik ini. Pertama, memuat unsur
yang baik dari pandangan kolektivisme, yang berbasis pada
182 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
ideologi partikular-absolut, dan individualisme, yang berbasis
pada ideologi universal-absolut. Sebagai sebuah bangsa,
Indonesia memiliki akar sosio-kultural yang sangat plural.
Pluralitas tersebut kentara pada beragamnya suku dan budaya.
Namun demikian, pluralitas tersebut dapat disatukan dalam
semboyan, “Bhineka Tunggal Ika”. Artinya, semboyan tersebut
menjadi garis penghubung dari unsur-unsur yang berbeda
tersebut. Kedua, Indonesia adalah Negara Hukum yang
menganut paham religious nation state, dalam arti bukan negara
agama dan bukan pula negara sekuler. Sehingga, aturan
mengenai keberagamaan dan/atau keagamaan dapat
dikonstruksi dalam bingkai hukum yang berdasarkan filosofi
bangsa, Pancasila, bukan agama. Dua hal tersebut dapat
disederhanakan dalam ragaan sebagai berikut:
Ragaan. 4.3. Konsep Kebebasan Beragama Prismatik
a
Hal demikian itu pada dasarnya tampak jelas dalam sila
pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai
rechtsidee konsep kebebasan beragama di Indonesia—
Kecenderungan:
Mengutamakan
kepentingan
kolektif
Kecenderungan:
Mengutamakan
kepentingan
individualisti
Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum Indonesia
(Religious Nation State) “Bhineka Tunggal Ika”
Existing: - Eksklusif - Berbasis
partikular-absolut
Existing: - Liberal - Berbasis
universal-absolut
NILAI KEMANUSIAANJ
YANG ADIL DAN BERADAB
Rohidin 183
sebagaimana telah diungkap sebelumnya—nilai dasar yang
termuat di dalamnya tidak hanya berdimensi teologis, tetapi juga
politis. Implikasinya adalah bahwa nilai dasar itu menuntut
orang untuk mengembangkan sikap saling menghormati dan
bekerjasama antar-pemeluk agama dan/atau kepercayaan yang
beragam terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
Berikut gambaran dialektika dua persepsi di atas beserta proses
prismatiknya, sehingga menjadi bahan pertimbangan konstruksi
baru konsep kebebasan beragama di Negara Hukum Indonesia:
Tabel 4.5. Dialektika Kondisi Existing Problem Kebebasan Beragama di
Negara Hukum Indonesia Berkaitan dengan Persepsi Intelektual Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat
Titik Perbedaan Kolektivisme Individualisme Bentuk Persepsi Eksklusif Inklusif-Liberal Basis Nilai Agama Humanisme Basis Ideologi Partikular-Absolut Universal-Absolut Dasar Legitimasi
UU No. 1/PNPS/ 1965
UU No. 12 Tahun 2005
Pandangan atas Fatwa MUI tentang Aliran Sesat berkaitan dengan Kebebasan Beragama
1. Pemerintah harus melindungi agama dan pemeluknya.
2. Aliran sesat bukan termasuk bagian dari problem kebebasan beragama (sebagai bagian dari HAM).
3. Suatu keyakinan atau aliran kepercayaan yang dianggap sesat
1. Pemerintah harus melindungi pemeluk agama dan pengikut suatu keyakinan (aliran kepercayaan), bukan agama dan keyakinan itu sendiri.
2. Aliran sesat termasuk bagian dari problem kebebasan beragama (sebagai bagian dari HAM).
3. Semua aliran atau keyakinan adalah
184 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
bukan bagian dari hak kebebasan beragama sebagai bagian dari HAM, justru ia telah melanggar HAM.
4. Kebenaran tafsir keagamaan dapat ditentukan secara kolektif (mainstream).
bagian dari hak kebebasan beragama yang merupakan bagian dari HAM.
4. Tafsir keagamaan tidak memiliki kebenaran mutlak, artinya ditentukan oleh keyakinan individu.
5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir keagamaan, memang bersifat legal opinion tetapi karena kolektivitasnya maka kebenarannya bersifat mutlak.
6. Berkaitan dengan kasus persekusi, aliran sesatlah yang menjadi pemicunya
5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir keagamaan, bersifat legal opinion. Karena itu, ia sejajar dengan bentuk tafsiran lain yang mungkin bertentangan.
6. Berkaitan dengan kasus persekusi, aliran sesat bukan sebagai pemicunya
Konsekuensinya Pemerintah harus tegas untuk membubarkan dan melarang aliran yang dianggap sesat oleh MUI.
Pemerintah harus menindak tegas para pelaku persekusi, dan wajib melindungi para penganut suatu keyakinan atau aliran kepercayaan yang dianggap sesat oleh MUI.
Rohidin 185
Tabel 4.6. Konstruksi Baru Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum Indonesia Berkaitan dengan Persepsi Intelektual
Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat
Bentuk Persepsi Inklusif-Moderat Basis Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
(Pancasila) Basis Ideologi Universal-Relatif Dasar Legitimasi UUD 1945 Pandangan atas Fatwa MUI tentang Aliran
1. Pola perlindungan dan penjaminannya ditekankan pada pemeluk agama atau penganut suatu keyakinan (aliran kepercayaan
Sesat berkaitan dengan Kebebasan Beragama
beserta agama dan keyakinan (kepercayaan) itu sendiri dalam batasan-batasan tertentu.
2. Aliran sesat termasuk bagian dari problem kebebasan beragama sebagai bagian dari HAM, selama ia secara konstitusional dapat dikatakan demikian.
3. Suatu keyakinan atau aliran kepercayaan yang dianggap sesat dapat dikatakan melanggar hak kebebasan beragama yang merupakan bagian dari HAM jika memang secara konstitusional dapat dikatakan demikian.
4. Tafsir keagamaan memang tidak memiliki kebenaran yang bersifat mutlak, akan tetapi tidak serta-merta kemudian seseorang dengan bebas melakukan penafsiran dengan tanpa metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir keagamaan, bersifat legal opinion dan bisa menjadi referensi dalam menentukan kebijakan kasus aliran sesat, tetapi bukan merupakan satu-satunya referensi. Berkaitan dengan kasus persekusi, jika secara konstitusional pelakunya dapat dikatakan melanggar hukum, baik itu dari pihak aliran yang dianggap sesat maupun pelaku
186 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
persekusi, maka keduanya bisa jadi dikatakan sebagai pemicu.
Konsekuensi Pembentukan regulasi turunan yang dapat mengakomodasi jaminan perlindungan atas individu pemeluk agama atau penganut suatu keyakinan aliran kepercayaan) beserta agama dan keyakinan (kepercayaan) itu sendiri dalam batas-batas tertentu yang selaras dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab adalah konsekuensi bagi pemerintah.
Batasan-batasan yang dimaksud dalam tabel 4.6.
contohnya adalah apa yang diistilahkan dengan blashphemy.62 Hal
demikian menjadi lazim karena, sebagaimana telah dikatakan
sebelumnya, Indonesia adalah Religious Nation State63 dan
didasarkan atas hukum yang berisi nilai-nilai Pancasila, bukan
________________________ 62 Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
blashphemy adalah; “Any oral or written reproach maliciously cast upon God, His name, attributes, or religion…. In English law, blashphemy is the offense of speaking matter relating to God, Jesus Christ, the Bible, or the Book of Common Preyer, intended to wound the feelings of mankind or to excite contempt and hartred against the church by law established, or to promote immorality”. Hanry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1990, hlm. 171. Artinya, agama dan seperangkatnya dapat dilindungi oleh negara hanya dalam batasan untuk tidak direndahkan dalam bentuk penghinaan. Sementara itu, pada wilayah penafsiran keagamaan, negara tidak memiliki hak untuk mengaturnya. Di samping karena secara fundamental agama memang berpotensi untuk ditafsiri secara beragam, juga tidak akan ditemukannya general terminology yang akomodatif dari ragam perbedaan dalam dunia penafsiran. Mendekati pola semacam itu adalah pandangan Kaelan, menurutnya regulasi tentang kebebasan beragama harus bertumpu pada jaminan perlindungan atas pemeluk keyakinan atau agama sekaligus institusi keyakinan atau keagamaan itu sendiri. Berkaitan dengan tafsir keagamaan, Kaelan berpandangan bahwa hal tersebut menjadi sah selama tidak dianggap menghina institusi keyakinan atau keagamaan lain. Wawancara dengan Kaelan, Guru Besar UGM, di Yogyakarta pada tanggal 22 Agustus 2011. Bandingkan dengan, Barda Nawawi Arif, Op. Cit., hlm. 65-66.
63 Hal senada juga diungkapkan oleh Amidhan, Pihak Terkait, dalam Sidang Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 pada hari Kamis, 4 Februari 2010 di Gedung MK Jakarta.
Rohidin 187
agama. Sementara itu, kenyataan yang ada adalah bahwa produk
regulasi turunan tentang sosial-keagamaan satu sama lain
tampak kontraproduktif, dan bahkan kontradiktif. Sehingga, re-
evaluasi dan harmonisasiadalah konsekuensinya. Agenda
tersebut dapat dijalankan secara konsisten mengacu pada
Pancasila yang telah menggariskan empat kaidah penuntun
hukum nasional. Kaidah-kaidah ini tidak terlepas dari
kedudukan Pancasila yang menjadi citra hukum (rechtsidee) dan
merupakan dasar dan tujuan setiap hukum di Indonesia.
Berkaitan dengan konsep kebebasan beragama, maka kaidah-
kaidah penuntun itu dapat dijabarkan dalam bentuk:
1. Hukum kebebasan beragama di Indonesia bertujuan dan
menjamin integrasi bangsa. Konsep hukum tersebut tidak
boleh memuat isi yang berpotensi menyebabkan terjadinya
disintegrasi bangsa.
2. Hukum kebebasan beragama di Indonesia dirumuskan
dengan pola yang selaras dengan cita pembangunan
demokrasi dan nomokrasi. Konsep hukum tersebut tidak
dibuat berdasar paradigma keagamaan mainstream semata,
tetapi juga mengalir dari filosofi Pancasila dan prosedur yang
benar.
3. Hukum kebebasan beragama di Indonesia diproduk dalam
rangka membangun keadilan sosial. Tidak bisa dibenarkan
jika produk hukum tersebut berpotensi mendorong atau
membiarkan terjadinya jurang sosial karena eksploitasi oleh
golongan mainstream terhadap minoritas tanpa perlindungan
Negara. Selain itu, konstruksi hukum kebebasan beragama
juga diarahkan untuk menjaga agar minoritas tidak dibiarkan
menghadapi sendiri pihak mainstream yang sudah pasti akan
selalu dimenangkan oleh yang mainstream.
Hukum kebebasan beragama di Indonesia diproduk dalam
rangka membangun toleransi beragama dan berkeadaban.
Konsep hukum tersebut tidak boleh mengistimewakan atau
188 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
mendiskriminasi kelompok tertentu berdasar besar atau
kecilnya pemeluk agama dan/atau keyakinan (yang
mendasarkan pada satu agama atau keyakinan tertentu) dan
bukan negara sekuler (yang tidak peduli atau hampa spirit
keagamaan). Konsep hukum negara tidak dapatmewajibkan
berlakunya hukum agama, tetapi negara memfasilitasi,
melindungi, dan menjamin keamanannya jika warganya akan
melaksanakan ajaran agama karena keyakinan dan
kesadarannya sendiri.
Dalam menyusun aturan soal agama, kaidah pertama dan
keempat di atas mesti diperhatikan, karena hukum Indonesia
bertujuan dan menjamin integrasi bangsa, dan pada saat
bersamaan membangun toleransi beragama serta berkeadaban.
Harus disadari, agama dalam arti keyakinan secara fundamental
merupakan wilayah privat, sehingga negara memiliki
kewenangan untuk mengaturnya hanya dalam batas-batas
tertentu atas kepentingan ketertiban sosial, bukan kepentingan
agama itu sendiri. Sehingga, pengaturan terbatas pada bagimana
masing-masing orang mengekspresikan keyakinannya supaya
tidak merugikan atau melanggar hak orang lain. Aturan hukum
sebaiknya hanya mengatur kehidupan bersama, interaksi, dan
interelasi antar warga negara yang berbeda agama dan/atau
kepercayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Artinya, hukum diproduk bukan dalam rangka
mengatur kegiatan dan keagamaan secara individual dan
internal komunitas pemeluk agama, apalagi mengatur kegiatan
keagamaan yang terkait dengan pengalaman, sakralitas, dan
ritualitas menurut keyakinan masing-masing agama atau suatu
keyakinan. Tidak boleh, misalnya, negara membuat aturan
hukum yang mewajibkan sesuatu yang sudah diwajibkan oleh
agama atau suatu keyakinan, atau sebaliknya melarang sesuatu
yang sudah jelas-jelas dilarang agama atau suatu keyakinan.
Rohidin 189
Selain itu, nilai-nilai humanitas juga mesti terkandung di
segala produk hukum. Bertolak dari gagasan hukum progresif
Satjipto Rahardjo—sebagaimana telah diungkap dalam kerangka
pemikiran—maka diproduknya sebuah hukum ditujukan untuk
manusia, dalam arti bukan sebagai institusi yang bersifat mutlak
dan final. Sehingga, diproduksinya hukum kehidupan beragama
tetap menjunjung nilai-nilai humanitas. Jika suatu produk
hukum berkaitan dengan hal tersebut kurang dianggap relevan,
UU No. 1/PNPS/1965 misalnya, maka pihak berwenang
mestinya tidakgamang untuk merevisinya. Karena, segala
produk hukum sejatinya selalu berada pada status “law in the
making”, yakni selalu berproses dan menjadi.
Bertolak dari ragam persoalan dan kerangka prismatika
tersebut, maka konsep kebebasan beragama di Negara Hukum
Indonesia dapat dirumuskan dalam pola jaminan perlindungan
atas hak kebebasan berkeyakinan dan beragama serta keyakinan
dan agama itu sendiri yang berbasis pada nilai kemanusiaan
yang adil dan beradab. Dengan pola semacam ini, tidak bisa
dengan serta-merta seseorang memaksakan kehendak keyakinan
atau keberagamaannya kepada orang lain, termasuk dalam hal
penafsiran. Seseorang juga tidak bisa dengan sesuka hati
melakukan penghinaan terhadap suatu agama atau keyakinan,
termasuk pula ritus-ritus yang menyertainya. Selain itu,
seseorang juga dilarang untuk mengganggu prosesi upacara
suatu agama atau keyakinan, apalagi melakukan perusakan-
perusakan terhadap tempat-tempat peribadatan keagamaan atau
suatu keyakinan. Pola semacam ini dapat disederhanakan dalam
ragaan sebagai berikut:
190 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
Ragaan. 4.4. Konsep Kebebasan Beragama Prismatik di Negara Hukum
Indonesia Berbasis Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
HAM PANCASILA Universalisme
Universali-Absolut
Antroposentris
Individualisme
Partikularisme
Partikular-Absolut
Theosentris
Kolektivisme Universal-Relatif
Theo-Antroposentris
Humanistik
Bhineka Tunggal Ika
LARANGAN: 1. Menghina suatu agama
atau keyakinan, termasuk hal-hal yang terkait di dalamnya.
2. Menghasut seseorang untuk meniadakan keyakinan terhadap Tuhan
3. Melakukan persekusi terhadap suatu agama atau keyakinan, baik fisik maupun mental.
4. Mengganggu upacara-upacara agama atau keyakinan.
5. Merusak tempat-tempat peribadatan suatu keagamaan atau keyakinan.
Ketuhanan YME Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
PASAL 28 DAN 29 UUD 1945
Regulasi
KEWAJIBAN: 1. Menghormati hak
kebebasan berpikir dan berpendapat terkait persoalan agama atau keyakinan.
2. Menghormati agama atau keyakinan orang lain.
3. Menghormati keberadaan tempat-tempat peribadatan termasuk rutus dan upacara agama atau keyakinan.
HAK: 1. Berpikir dan berpendapat terkait
persoalan agama atau keyakinan.
2. Memeluk agama atau keyakinan. 3. Mendapatkan jaminan atas
kebebasan berpikir dan berpendapat terkait persoalan agama atau keyakinan
4. Menjadapatkan jamian atas kepemelukan seseorang terhadap agama atau keyakinan.
5. Mendapatkan perlindungan atas keagamaan atau keyakinan seseorang
6. Mendapatkan perlindungan atas tempat-tempat peribadatan, termasuk ritus dan upacara-upacara keagamaan atau keyakinan, yang dimiliki.
Rohidin 191
Terkait dengan kehidupan beragama, penulis
merekomendasikan lima agenda besar sebagai solusi dari
problem utama kebebasan beragama di Negara Hukum
Indonesia. Lima agenda tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perbaikan dan harmonisasi produk-produk hukum,
perundang-undangan tentang kebebasan beragama. Produk
hukum tersebut perlu disesuaikan dengan semangat
Pancasila yang secara eksplisit sudah memberi dasar
bagiperlindungan dan jaminan, termasuk pula re-evaluasi
dan harmonisasi atas ketentuan-ketentuan dalam kovenan
internasional tentang kebebasan beragama, baik dari segi
materinya itu sendiri maupun tentang kelembagaan dan
peradilannya.
2. Melakukan inventarisasi, mengevaluasi, dan mengkaji
seluruh produk hukum, yang berlaku dan kurang sesuai
dengan semangat Pancasila. Ada beberapa pasal dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang kurang
sesuai dengan semangat Pancasila.
3. Mengembangkan kapasitas kelembagaan pada instansi-
instansi peradilan dan instansi lainnya yang terkait dengan
penegakan supremasi hukum dan perlindungan kebebasan
beragama. Sebagaimana tampak dalam pembahasan
problematika hukum kebebasan beragama, rendahnya
kapasitas sistem peradilan juga turut andil dalam
meningkatnya kasus pelanggaran kebebasan beragama di
Indonesia.
4. Sosialisasi dan pemahaman tentang konsep kebebasan
beragama dengan basis Pancasila itu sendiri, khususnya di
kalangan pemerintah, utamanya di kalangan instansi yang
secara langsung maupun tidak langsung bersentuhan dengan
masalah kebebasan beragama. Sosialisasi pemahaman ini
terkait dengan penegakan profesionalisme aparat di dalam
melaksanakan bidang kerjanya. Gamangnya aparat
192 Bab IV: Kontruksi Baru Kebebasan Beragama
pemerintah dalam mengurusi dan berurusan dengan
masyarakat yang partisipasi politik dan daya kritisnya makin
tinggi ini disebabkan, antara lain karena mereka umumnya
kurang dapat melaksanakan rambu-rambu
profesionalismenya. Ini berlaku bagi aparat sipil maupun
aparat keamanan.
Kerjasama dengan kalangan di luar pemerintahan yang
memiliki kepedulian tinggi terhadap penegakan hukum
kebebasan beragama. Langkah ini juga dirancang guna
mensosialisasikan pemahaman tentang kebebasan beragama
secara merata di dalam masyarakat. Karena, diakui atau tidak,
munculnya konflik keagamaan di tengah masyarakat juga kerap
dilandasi dengan pengetahuan yang dangkal tentang kebebasan
beragama.
Namun demikian, perlu menjadi titik tekan, betapapun
produk hukum dianggap mapan, kebebasan beragama tidak
akan teraplikasikan jika sektor aparatur penegak hukum dan
budaya masyarakatnya belum siap. Sebaliknya, betapapun
produk hukum tidak dianggap mapan, tetapi jika budaya
masyarakatnya sangat mapan, maka kebebasan beragama akan
berjalan dengan sendirinya secara sempurna. Dengan kata lain,
problem kebebasan beragama sesungguhnya dengan sendirinya
akan teratasi jika civil society telah membumi dalam kehidupan
masyarakat.
Rohidin 193
Penutup
Kebebasan beragama dan keyakinan (freedom of religion and
belief) merupakan salah satu bagian dari Hak Asasi Manusia
(HAM) yang secara kodrati melekat pada diri manusia serta
bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu, ia harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, serta tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun. Hak ini
selain tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM), terdapat juga dalam berbagai dokumen historis
HAM lainnya, seperti dokumen Magna Charta (1215), Bill of Rights
England (1689), Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA
(1791), Rights of Russian People (1917), dan International Bill of
Rights (1966). Pada perkembangannya, kebebasan ini kemudian
lebih rinci diatur dalam Pasal 18, 20 ayat (2), dan Pasal 27
Instrumen InternationalCovenant on Civil and Political Rights
(ICCPR).
Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap penjaminan
kebebasan beragama dan berkeyakinan tampak semakin
mengalami kemajuan secara signifikan setelah era reformasi,
terutama setelah amandemen Undang-Undang Dasar (UUD)
1945. Pada amandemen kedua UUD 1945, Majelis
194 Bab V: Penutup
Permusyawaratan Rakyat (MPR) memasukkan satu bab yang
secara khusus memberi landasan penjaminan HAM bagi setiap
warga negara, yakni BAB XA. Pada bab ini, terdapat sepuluh
pasal tentang HAM yang hampir seluruhnya mengadopsi
prinsip-prinsip DUHAM dan ICCPR. Salah satu hak asasi yang
diatur dalam bab ini menyangkut hak kebebasan beragama dan
keyakinan bagi setiap warga negara, seperti yang diatur dalam
Pasal 28E UUD 1945. Pasal ini menegaskan tentang cakupan hak
kebebasan beragama dan (ber)-keyakinan—yakni hak untuk
memeluk agama, hak untuk menganut satu keyakinan, dan hak
untuk beribadat menurut agama dan keyakinannya.
Konsekuensinya, setiap warga negara memiliki hak yang sama
dalam ketiga aspek tersebut. Jaminan konstitusi mengenai hak-
hak tersebut diperkuat oleh beberapa peraturan perundang-
undangan di bawah UUD 1945, antara lain Undang-Undang
(UU) No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, terutama Pasal 4, Pasal
12, dan Pasal 22. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, yakni dalam Pasal 6 dan Pasal 43 ayat (1), UU No. 12 Tahun
2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik atau
ICCPR, terutama yang diatur dalam Pasal 18, 20, dan 27.
Ratifikasi terhadap ICCPR yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia ini bukan sekadar sebagai bentuk
pengadopsian prinsip internasional hak sipil dan politik ke
dalam hukum nasional, melainkan juga sebagai ratifikasi yang
membawa Indonesia ke dalam suatu kedudukan dan kewajiban
tertentu. Dengan ratifikasi tersebut, berarti Pemerintah Indonesia
memutuskan kebijakannya untuk menempatkan dirinya dalam
pemantauan badan internasional, khususnya terkait hak sipil dan
politik.
Hak kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama
(right to freedom of thought, conscience, and religion) merupakan
salah satu hak yang tidak dapat dibatasi dalam keadaan apa pun
(non-derogable rights). Ini berbeda dengan kebebasan menjalankan
Rohidin 195
agama atau keyakinan yang dapat dibatasi (derogable rights),
karena hak ini berkaitan dengan hak-hak orang lain. Meskipun
pembatasan kebebasan beragama sudah diatur secara jelas, yakni
untuk melindungi lima keamanan yang diperlukan oleh
masyarakat, di dalam UUD 1945 Pasal 28J ditambah satu aspek
lagi, yakni meletakkan kesesuaian dengan moral dan nilai-nilai
agama sebagai pertimbangan. Pasal inilah yang kemudian
dipersoalkan oleh pembela HAM universal-absolut, kaitannya
dengan moral seperti apa serta nilai-nilai apa saja dari agama itu
yang dijadikan pertimbangan. Problematika pertimbangan
dalam pembatasan seperti ini dapat dipahami, karena bagi
pembela HAM universal-absolut yang terpenting adalah
melindungi individu-individu pemeluk agama atau
keyakinannya, bukan pada agama atau suatu keyakinan yang
dipeluk atau dianut. Berbeda dengan pandangan tersebut, bagi
sebagian masyarakat yang lain pembatasan seperti itu masih
dimungkinkan sepanjang diatur oleh undang-undang, semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi rasa keadilan sesuai
dengan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama.
Jika cara pandang yang digunakan adalah perspektif
sebagian masyarakat yang menyetujui adanya pertimbangan
tersebut, maka Pasal 28J UUD 1945 sesungguhnya sejalan dengan
berbagai instrumen internasional yang telah diratifikasi
Pemerintah Indonesia. Pola pemikiran demikian berimplikasi
pada cara pandang terhadap UU No. 1/PNPS/1965 sebagai salah
satu pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang.
Dengan adanya peluang yang diberikan oleh Pasal 28J tersebut,
maka UU No. 1/PNPS/1965 tidak bertentangan dengan UUD
1945.
Sebagaimana tampak pada namanya, UU No.
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama,
semula adalah Penetapan Presiden (PNPS) yang dikeluarkan
196 Bab V: Penutup
tahun 1965. Pada perkembangannya, PNPS tersebut ditetapkan
menjadi undang-undang (baca: diperundangkan) melalui UU
No. 5 Tahun 1969. Latar belakang yang mendasari
dikeluarkannya UU No. 1/ PNPS/1965 tidak terlepas dari aspek
ideologis, integralitas-nasionalis, dan aspek sosial
kemasyarakatan keagamaan atau sosial-religius. Dengan kata
lain, menjadi ironis jika sebuah negara yang masyarakatnya
beragama tidak ada perangkat hukum yang menjamin dan
melindungi agama dari perbuatan menyimpang dan menodai
agama, bahkan ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang
banyak menimbulkan bahaya bagi persatuan nasional dan bagi
agama serta ketenteraman beragama. Pasal 1 dari undang-
undang tersebut berbunyi:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.
Kalimat “penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama” berarti mengandaikan adanya
institusi atau lembaga yang berwenang untuk menentukan tafsir
mana yang benar dan mana yang menyimpang. Dalam
penjelasan undang-undang tersebut dikatakan bahwa “Pokok-
pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama
(sekarang Kementerian Agama [Kemenag]) yang untuk itu
mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya”.
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa saat ini komposisi
Kemenag lebih didominasi oleh person-person manajerial yang
bukan dari kalangan agamawan (Islam: ulama), sementara
kalangan yang dianggap dapat mengetahui adanya unsur
Rohidin 197
penyimpangan dari pokok ajaran agama (Islam) hanyalah para
ahli agama (Islam), ulama.
Di Indonesia terdapat organisasi kemasyarakatan (ormas)
Islam bernama Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dari namanya
saja, sekilas dapat dipahami bahwa person yang terlibat di
dalamnya berstatus sebagai ulama, meskipun pada bagian-
bagian tertentu terdapat person-person yang bukan ulama.
Secara struktural, elite MUI memiliki komposisi yang beragam,
dalam pengertian diduduki oleh ragam ulama yang berasal dari
lintas Ormas Islam. Komposisi demikian ini kemudian dianggap
sebagai keterwakilan dari masing-masing Ormas. Anggapan
keterwakilan inilah yang kemudian memberi nilai tawar
tersendiri bagi MUI di mata pemerintah dan sebagian
masyarakat. Namun demikian, bukan berarti pemerintah selama
ini selalu mengekor kepada MUI. Dalam kasus penodaan agama,
pertimbangan ulama bagi pemerintah adalah suatu keniscayaan
referensial. Untuk saat ini, bagi pemerintah, suara MUI dapat
dinilai representatif dan dapat dikatakan sebagai ijmāˋ.
Kenyataannya memang demikian, dalam arti bahwa umumnya
kasus pembubaran atau pelarangan aliran sesat yang dilakukan
oleh pemerintah sebagai implikasi dari adanya fatwa MUI.
Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa
pada saat ini amanat dalam undang-undang tersebut kerap
dilimpahkan kepada MUI.
Sejak didirikan pada 1975, MUI pusat telah mengeluarkan
delapan fatwa tentang aliran sesat. Delapan fatwa tersebut
ditujukan untuk aliran-aliran sebagai berikut: (1) Islam Jamaah
atau Darul Hadis; (2) Ahmadiyah Qadiyan; (3) Syīˋah; (4) Munkir
al-Sunnah (Kelompok Penolak Sunnah/Hadis Rasul); (5) Darul
Arqam; (6) Kelompok Salamullah; (7) Ahmadiyah (Qadiyan dan
Lahore); dan (8) Al-Qiyadah al-Islamiyah. Beragam aliran lain
juga pernah dinyatakan sesat oleh beberapa MUI Daerah.
Kelompok Husnul Huluq, misalnya, aliran ini dinyatakan sesat
198 Bab V: Penutup
oleh MUI Kecamatan Paseh, Kab. Sumedang pada tahun 2005.
Demikian juga beberapa aliran lain, seperti: sebuah aliran salat
dua bahasa pimpinan Yusman Roy yang dinyatakan sesat oleh
MUI Jawa Timur pada tahun 2005, aliran Amanat Keagungan
Ilahi yang dinyatakan sesat oleh MUI Sumatera Selatan pada
tahun 2009, aliran Ilmu Kalam Santriloka yang dinyatakan sesat
oleh MUI Mojokerto pada tahun 2009, dan aliran Sabda Kusuma
yang dinyatakan sesat oleh MUI Jawa Tengah pada tahun 2011.
Berkaitan dengan kebebasan beragama sebagai bagian dari
HAM, ragam fatwa (baca: penilaian sesat) yang dikeluarkan oleh
MUI—baik pusat maupun daerah—tersebut ditanggapi secara
beragam oleh kalangan intelektual Muslim. Ada yang
mengakuinya sebagai kebenaran hingga harus dikawal
sedemikian rupa meskipun sebagian persepsi mereka kemudian
mewujud dalam tindakan anarkis, ada yang mengakuinya
sebagai kebenaran tetapi tidak wajib untuk mengikutinya apalagi
mengawalnya, ada pula yang justru menganggap MUI telah
melanggar HAM karena telah menilai mereka sebagai aliran
sesat. Artinya, terjadi dialektika antara fatwa MUI dan konsep
kebebasan beragama sebagai bagian dari HAM yang telah
terbingkai dalam konstruksi hukum karena Indonesia adalah
Negara Hukum.
Pada saat dialektika ini mewujud dalam tindak intoleransi
keberagamaan, maka pada saat itu juga persepsi tersebut berkait-
berkelin dan dengan persoalan HAM dan hukum. Persepsi
intelektual Muslim terhadap fatwa MUI tentang aliran sesat ini
menjadi pintu masuk dalam mengkaji problematika konsep
kebebasan beragama di Negara Hukum Indonesia. Pasalnya,
mengupas persoalan fatwa MUI tentang aliran sesat kaitannya
dengan HAM dan hukum tidak hanya berada dalam dataran
praksis, lebih dari itu dataran teoretis juga menjadi
pewarnaannya. Dialektika tersebut mengandaikan adanya relasi
beberapa elemen penting, yakni Negara Hukum Indonesia
Rohidin 199
beserta sistemnya, masyarakat beraliran mainstream beserta elite
agamawannya, MUI beserta fatwanya, dan kelompok
keagamaan atau keyakinan (kepercayaan) minoritas yang dicap
sesat, namun titik tekan di sini utamanya adalah fatwa MUI,
Negara Hukum Indonesia, dan HAM.
Kelompok yang menggunakan ideologi HAM partikular-
absolut menganggap benar apa yang dilakukan oleh MUI, di
samping karena komitmen keagamaan yang mereka pegang dan
jalankan juga melegitimasi persepsinya dengan UU No. 1/
PNPS/1965. Namun, karena pemerintah tidak tegas dalam
meresponnya sebagian di antara mereka kemudian berreaksi
secara berlebihan dengan melakukan berbagai bentuk persekusi.
Sedangkan kelompok yang menggunakan ideologi HAM
universal-absolut menganggap fatwa MUI bertentangan dengan
HAM mentendensikan persepsinya pada UU No. 12 Tahun 2005.
Artinya, secara tidak langsung dapat dipahami bahwa bentuk
regulasi berkaitan dengan jaminan kebebasan beragama di
Indonesia masih terdapat permasalahan.
Inti permasalahan regulatif tersebut pada dasarnya terletak
pada ambiguitasnya. Di satu sisi kebebasan beragama
mendapatkan jaminan konstitusional sebagai bagian dari HAM.
Namun di sisi lain, konstitusi serta instrumen perundangan-
undangan lainnya masih membatasi hak kebebasan berpikir,
berkeyakinan, dan beragama sebagai hak kodrat yang dimiliki
setiap manusia. Kontradiksi persepsi intelektual Muslim
terhadap fatwa MUI tentang aliran sesat berkaitan dengan
konsep kebebasan beragama di Indonesia dapat teratasi jika
ambiguitas regulasinya dapat diatasi dengan baik. Untuk itu,
sudah saatnya dirumuskan konsep kebebasan beragama dalam
bingkai hukum berdasarkan kesepakatan hakikat negara ini yang
menyatakan bukan negara agama dan bukan negara sekuler.
Sekalipun oleh sebagian masyarakat hasil kesepakatan tersebut
dijadikan ruang silang pendapat yang cukup tajam mengenai
200 Bab V: Penutup
kebebasan beragama. Bahkan, dapat dikatakan bahwa masalah
kebebasan beragama adalah masalah rumit dan kompleks, yang
tidak hanya dalam rumusan regulasinya, tetapi juga masalah
pelaksanaannya di lapangan.
Setidaknya terdapat tiga ranah masalah yang muncul dari
konsep kebebasan beragama di Negara Hukum Indonesia.
Pertama, ranah struktur hukum yang dalam hal ini negara atau
pemerintah dengan berbagai aparaturnya (polisi, jaksa, dan
hakim). Kedua, ranah substansi hukum, yakni tentang adanya
berbagai jenis peraturan perundangan yang kontradiktif satu
sama lain. Ketiga, ranah budaya hukum, sebab, meski keduanya
telah mapan, hak kebebasan beragama tidak akan berjalan
dengan baik jika budaya hukumnya tidak kondusif, terlebih jika
persepsi kontradiktif sebagaimana di atas tidak dapat disatukan.
Buku ini berupaya mencari solusi dari problem konseptual
kebebasan beragama berbasis nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab, sebagai salah satu sila dari Pancasila. Dalam buku ini,
gagasan hukum progresif Satjipto Rahardjo, teori black box
kebijakan publik David Easton, teori sistem hukum Lawrence M.
Friedman, teori bekerjanya hukum dalam masyarakat
Chambliss-Seidman, dan teori prismatik Fred W. Riggs
digunakan untuk menjawab persoalan tersebut.
Hasil penelusuran penulis menunjukkan bahwa fatwa MUI
berkaitan dengan aliran sesat keagamaan ditanggapi secara
beragam oleh kalangan intelektual Muslim. Ragam persepsi ini
dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu eksklusif,
inklusif-moderat, dan inklusif-liberal. Kelompok eksklusif
memandang bahwa fatwa MUI tentang aliran sesat keagamaan
di Indonesia tidak melanggar HAM, khususnya hak kebebasan
beragama. HAM, bagi mereka tidak identik dengan kebolehan
merusak kedaulatan suatu agama, karena jika atas nama HAM,
kemudian merusak nilai-nilai agama, maka hal itu tidak bisa
dibenarkan. Karena itu, dalam konteks fatwa tentang aliran sesat
Rohidin 201
keagamaan, bagi mereka, MUI sudah berada pada jalur yang
benar. Sementara itu, dalam konteks status dan otoritas fatwa
berkaitan dengan tata hukum di Indonesia, bagi mereka,
sekalipun fatwa hanya bersifat legal opinion, tetapi akan menjadi
sumber rujukan ketika dikaitkan dengan UU No. 1/ PNPS/1965.
Kelompok inklusif-moderat memandang bahwa sebagai
representasi dari elit agamawan dalam Islam, MUI memiliki hak
untuk menilai suatu kelompok kegamaan seimannya yang
berbeda dalam persoalan akidah. Namun demikian, sebagai
sebuah legal opinion, fatwa juga mengandung dissenting opinion.
Adanya potensi ini berimplikasi pada keharusan MUI untuk
menerima dissenting opinion tersebut dan
mempertanggungjawabkannya di hadapan publik guna menuai
predikat otoritatifnya. Sementara itu, dalam konteks status dan
otoritas fatwa berkaitan dengan tata hukum di Indonesia, bagi
mereka, MUI berhak meminta dukungan negara, tetapi tidak
berhak untuk memaksanya agar mengikuti hasil fatwanya
dengan cara melarang penyebaran aliran yang dinyatakan sesat,
membekukan organisasi, serta menutup semua aktivitas dan
tempat kegiatannya. Demikian ini, bagi mereka, karena adanya
keharusan negara untuk bersikap netral. Dalam persoalan
kebebasan beragama, bagi mereka, negara hanya memiliki
kewajiban untuk menjaga dan menjamin keamanan setiap
pemeluk agama dan/atau penganut suatu keyakinan, bukan
mengintervensinya.
Kelompok inklusif-liberal memandang bahwa fatwa MUI
tentang aliran sesat keagamaan telah melanggar basis-basis
moral keislaman universal serta bertentangan dengan HAM, dan
bahkan konstitusi, terlebih lagi jika MUI kemudian “memaksa”
negara untuk mengikuti hasil fatwanya dengan cara melarang
penyebaran aliran yang dinyatakan sesat, membekukan
organisasi, serta menutup semua aktivitas dan tempat
kegiatannya. Berkaitan dengan persoalan kebebasan beragama,
202 Bab V: Penutup
bagi mereka bebas tanpa batas hanya ada pada forum internum,
sementara kebebasan dalam bingkai “tindakan” boleh untuk
dibatasi berdasarkan undang-undang. Namun demikian,
pembatasan dengan model UU No. 1/PNPS/1965, sebagaimana
tercermin dalam Pasal 1, termasuk pelanggaran nilai-nilai dasar
HAM. Karena, perbedaan penafsiran dalam sebuah agama
adalah keniscayaan, dan otoritas kebenaran tafsir tidak bisa
dimiliki atau ditentukan oleh perorangan atau lembaga tertentu.1
Dari tiga bentuk persepsi tersebut, dua di antaranya
(eksklusif dan inklusif-liberal) dinilai kurang sesuai dengan nilai-
nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal tersebut
disebabkan karena persepsi mereka berbasis pada dua ideologi
HAM yang bertolak belakang. Jika persepsi eksklusif berbasis
pada ideologi HAM partikular-absolut, sementara inklusif-
liberal berbasis pada ideologi HAM universal-absolut. Dari
kenyataan demikian, penulis memberikan solusi untuk kembali
menggunakan ideologi Pancasila dalam memandang fatwa MUI
tentang aliran sesat berkaitan dengan kebebasan beragama. Hal
demikian menjadi penting mengingat di dalamnya, Pancasila
mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.
Melihat demikian itu, konsep kebebasan beragama dapat
dikonstruksikan dengan berbasis pada nilai kemanusiaan yang
adil dan beradab, sehingga ideologi HAM-nya didasarkan pada
model universal-relatif. Adapun dasar legitimasi yang
digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian,
dalam memandang fatwa MUI tentang aliran sesat berkaitan
dengan kebebasan beragama, yang dilindungi dan dijamin
pemerintah adalah pemeluk agama atau penganut suatu
keyakinan (aliran kepercayaan) dan agama serta keyakinan itu
sendiri dalam batasan-batasan tertentu. Aliran sesat termasuk
________________________ 1 Terkait persepsi intelektual muslim terhadap fatwa MUI ini lihat Rohidin,
Mendebat Fatwa MUI; Silang Perspektif Intelektual Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat Keagamaan, Lintang Rasi Aksara Books, Yogyakarta, 2013.
Rohidin 203
bagian dari problem kebebasan beragama (sebagai bagian dari
HAM) selama ia secara konstitusional dapat dikatakan demikian.
Aliran kepercayaan atau keyakinan yang dianggap sesat dapat
dikatakan melanggar hak kebebasan beragama sebagai bagian
dari HAM jika memang secara konstitusional dapat dikatakan
demikian. Tafsir keagamaan memang tidak memiliki kebenaran
yang bersifat mutlak karena ia merupakan produk manusia, akan
tetapi tidak serta-merta kemudian seseorang dengan bebas
melakukan penafsiran dengan tanpa metodologi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir
keagamaan, bersifat legal opinion dan bisa menjadi referensi
dalam menentukan kebijakan kasus aliran sesat, tetapi bukan
merupakan satu-satunya referensi. Berkaitan dengan kasus
persekusi, jika secara konstitusional pelakunya dapat dikatakan
melanggar hukum, baik itu dari pihak aliran yang dianggap sesat
maupun pelaku persekusi, maka keduanya bisa jadi dikatakan
sebagai pemicu. Berdasarkan hal tersebut, maka pembentukan
regulasi turunan yang dapat mengakomodasi jaminan
perlindungan atas individu pemeluk agama atau penganut suatu
keyakinan (aliran kepercayaan) beserta agama dan keyakinan
(kepercayaan) itu sendiri dalam batas-batas tertentu yang selaras
dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab adalah
konsekuensi bagi pemerintah. Berikut gambaran sederhana
dialektika dua persepsi kontradiktif beserta bentuk
prismatikanya sebagai konstruksi baru konsep kebebasan
beragama:
204 Bab V: Penutup
Tabel 5.1 Dialektika Kondisi Existing Problem Kebebasan Beragama di
Negara Hukum Indonesia Berkaitan dengan Persepsi intelektual Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat
Titik Perbedaan
Kolektivisme Individualisme
Bentuk Persepsi Eksklusif Inklusif-Liberal Basis Nilai Agama Humanisme Basis Ideologi Partikular-Absolut Universal-Absolut Dasar Legitimasi UU No.
1/PNPS/1965 UU No. 12 Tahun 2005
Pandangan atas Fatwa MUI tentang Aliran Sesat berkaitan dengan Kebebasan Beragama
1. Pemerintah harus melindungi agama dan pemeluknya.
2. Aliran sesat bukan termasuk bagian dari problem kebebasan beragama (sebagai bagian dari HAM).
3. Suatu keyakinan atau aliran kepercayaan yang dianggap sesat bukan bagian dari hak kebebasan beragama sebagai bagian dari HAM, justru ia telah melanggar HAM.
1. Pemerintah harus melindungi pemeluk agama dan pengikut suatu keyakinan (aliran kepercayaan), bukan agama dan keyakinan itu sendiri.
2. Aliran sesat termasuk bagian dari problem kebebasan beragama (sebagai bagian dari HAM).
3. Semua aliran atau keyakinan adalah bagian dari hak kebebasan beragama yang merupakan bagian dari HAM.
4. Tafsir keagamaan tidak memiliki
Rohidin 205
4. Kebenaran tafsir keagamaan dapat ditentukan secara kolekti (mainstream).
5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir keagamaan, memang bersifat legal opinion tetapi karena kolektivitasnya maka kebenarannya bersifat mutlak.
6. Berkaitan dengan kasus persekusi, aliran sesatlah yang menjadi pemicunya.
kebenaran mutlak, artinya ditentukan oleh keyakinan individu.
5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir keagamaan, bersifat legal opinion. Karena itu, ia sejajar dengan bentuk tafsiran lain yang mungkin bertentangan.
6. Berkaitan dengan kasus persekusi, aliran sesat bukan sebagai pemicunya.
Konsekuensinya Pemerintah harus tegas untuk membubarkan dan melarang aliran yang dianggap sesat oleh MUI.
Pemerintah harus menindak tegas para pelaku persekusi, dan wajib melindungi para penganut suatu keyakinan atau aliran kepercayaan yang dianggap sesat oleh MUI.
206 Bab V: Penutup
Tabel 5.2 Konstruksi Baru Konsep Kebebasan Beragama di Negara Hukum Indonesia Berkaitan dengan Persepsi Intelektual
Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat
Bentuk Persepsi Inklusif-Moderat
Basis Nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Pancasila)
Basis Ideologi Universal-Relatif Dasar Legitimasi UUD 1945 Pandangan atas Fatwa MUI tentang Aliran Sesat berkaitan dengan Kebebasan Beragama
1. Pola perlindungan dan penjaminannya ditekankan pada pemeluk agama atau penganut suatu keyakinan (aliran kepercayaan) beserta agama dan keyakinan (kepercayaan) itu sendiri dalam batasan-batasan tertentu.
2. Aliran sesat termasuk bagian dari problem kebebasan beragama sebagai bagian dari HAM, selama ia secara konstitusional dapat dikatakan demikian.
3. Suatu keyakinan atau aliran kepercayaan yang dianggap sesat dapat dikatakan melanggar hak kebebasan beragama yang merupakan bagian dari HAM jika memang secara konstitusional dapat dikatakan demikian.
4. Tafsir keagamaan memang tidak memiliki kebenaran yang bersifat mutlak, akan tetapi tidak serta-merta kemudian seseorang dengan bebas melakukan penafsiran dengan tanpa metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan.
5. Fatwa MUI, sebagai contoh tafsir keagamaan, bersifat legal opinion dan bisa menjadi referensi dalam
Rohidin 207
menentukan kebijakan kasus aliran sesat, tetapi bukan merupakan satu-satunya referensi.
6. Berkaitan dengan kasus persekusi, jika secara konstitusional pelakunya dapat dikatakan melanggar hukum, baik itu dari pihak aliran yang dianggap sesat maupun pelaku persekusi, maka keduanya bisa jadi dikatakan sebagai pemicu.
Konsekuensi Pembentukan regulasi turunan yang dapat mengakomodasi jaminan perlindungan atas individu pemeluk agama atau penganut suatu keyakinan (aliran kepercayaan) beserta agama dan keyakinan (kepercayaan) itu sendiri dalam batas-batas tertentu yang selaras dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab adalah konsekuensi bagi pemerintah.
Hemat penulis, saat ini problematika kebebasan beragama
di Indonesia dalam bingkai hukum terletak pada tiga aspek,
yakni: substansi, struktur, dan budaya hukum. Pada aspek
substansi, terdapat beberapa produk regulasi yang kontradiktif,
dan bahkan kontraproduktif dengan konstitusi yang berbasis
pada nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Beberapa
bentuk regulasi tersebut di antaranya adalah UU No. 1/PNPS
Tahun 1965 Pasal 1, Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 Tahun 2006 Pasal 13 ayat (1),
UU No. 12 Tahun 2005 (ICCPR) Pasal 18 ayat (1), dan beberapa
Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syariah. Sementara pada
aspek struktur, kerapuhan aparatur penegak hukum kentara
dalam mengawal jaminan kebebasan beragama. Kerapuhan ini
berimplikasi pada bentuk tindakan aktif (by commission) dan
pembiaran (by omission). Sehingga, aparatur pemerintah, yang
208 Bab V: Penutup
sejatinya menjalankan amanah dan mengawal konstitusi berbasis
nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, justru—dalam
beberapa kasus—tampak bertolak belakang dengan (untuk tidak
mengatakan menghianati amanah)—konstitusi. Melihat
kerapuhan yang berkepanjangan tersebut, krisis kepercayaan
pun akhirnya muncul dalam sebagian benak masyarakat.
Implikasi yang muncul kemudian adalah timbulnya ragam
intoleransi, dan bahkan persekusi. Pihak pelaku melegitimasi
tindakannya pada bentuk regulasi yang sesuai, demikian juga
para korban yang mencoba melakukan pembelaan dengan
melegitimasikan pada bentuk regulasi lain yang selaras pula, dan
tidak mau ketinggalan para pembela pelaku maupun korban,
yang sama-sama melegitimasikan pembelaannya pada bentuk
regulasi yang selaras. Artinya atomisme dalam pemahaman
hukum muncul dari bentuk regulasi kontradiktif-
kontraproduktif di atas, di samping minimnya kesadaran
masyarakat terhadap pentingnya supremasi hukum. Inilah
beberapa bentuk problem yang terdapat pada aspek budaya. Jika
ketiga aspek tersebut berfungsi dan bergerak sebagaimana
mestinya, niscaya problem kebebasan beragama akan dapat
teratasi dengan baik.
Melihat hal demikian itu, penulis memberikan blue print
bahwa konsep kebebasan beragama di Indonesia dalam bingkai
hukum mesti dikonstruksikan dengan tidak keluar dari empat
kaidah penuntun, berupa (a) bertujuan dan menjamin integritas
bangsa, (b) bersamaan dalam misi membangun demokrasi dan
nomokrasi, (c) membangun keadilan sosial, dan (d) membangun
toleransi beragama dan berkeadaban. Bertolak dari hal tersebut,
maka konsep kebebasan beragama dapat dikonstruksikan
dengan pola jaminan perlindungan atas hak kebebasan
berkeyakinan dan beragama serta keyakinan dan agama itu
sendiri yang berbasis pada nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab. Dengan pola semacam ini, tidak bisa dengan serta-
Rohidin 209
merta seseorang memaksakan kehendak keyakinan atau
keberagamaannya kepada orang lain, termasuk dalam hal
penafsiran. Seseorang juga tidak bisa dengan sesuka hati
menghinasuatu agama atau keyakinan, termasuk pula ritus-ritus
yang menyertainya. Selain itu, seseorang juga dilarang untuk
mengganggu prosesi upacara suatu agama atau keyakinan,
apalagi melakukan perusakan-perusakan terhadap tempat-
tempat peribadatan keagamaan atau suatu keyakinan. Namun
demikian, betapapun produk hukum dianggap mapan,
kebebasan beragama tidak akan teraplikasikan jika sektor
aparatur penegak hukum dan budaya masyarakatnya belum
siap. Sebaliknya, betapapun produk hukum tidak dianggap
mapan, tetapi jika budaya masyarakatnya sangat mapan, maka
kebebasan beragama akan berjalan dengan sendirinya secara
sempurna. Dengan kata lain, problem kebebasan beragama
sesungguhnya dengan sendirinya akan teratasi jika civil society
telah membumi dalam kehidupan masyarakat.
Pilihan terhadap konsep kebebasan beragama berbasis pada
nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dengan mengambil kasus
persepsi intelektual Muslim terhadap fatwa MUI tentang aliran
sesat berimplikasi pada beberapa aspek berkaitan konsep
kebebasan beragama di Negara Hukum Indonesia.
1. Implikasi Paradigmatik
Sebagaimana telah diulas sebelumnya bahwa hingga saat ini
kebebasan beragama dikonsepsikan oleh sebagian intelektual
Muslim dengan basis yang kurang sesuai dengan Pancasila. Di satu
sisi mereka mengkonsepsikan kebebasan beragama dengan
berbasis pada HAM universal-absolut, yang cenderung
antroposentris, sedang sisi yang lain mengkonsepsikannya dengan
basis HAM partikular-absolut, yang cenderung theosentris.
Implikasi yang muncul kemudian adalah persepsi yang bertolak
belakang terkait kebebasan beragama.
210 Bab V: Penutup
Sehubungan dengan itu, maka kebebasan beragama
dikonsepsikan dengan menggunakan Pancasila sebagai basisnya.
Pemilihan Pancasila sebagai basis konseptual menjadi relevan
mengingat ia merupakan staatfundamentalnorm. Selain itu,
Pancasila juga merupakan perwujudan dari ideologi HAM
universal-relatif, yang cenderung theo-antroposentris. Dengan
demikian, maka agama atau keyakinan beserta pemeluknya
dapat dijamin dan dilindungi dengan baik.
2. Implikasi Teoretis
Secara teoretis Pancasila merupakan perwujudan dari
prismatika antara nilai sosial paguyuban dan nilai sosial
patembayan. Jika nilai sosial paguyuban lebih menekankan pada
kepentingan bersama, sementara nilai sosial patembayan lebih
menekankan pada kepentingan dan kebebasan individu.
Sehubungan dengan itu, selama ini kebebasan beragama di
Negara Hukum Indonesia dikonsepsikan dalam bingkai nilai
sosial paguyuban dan patembayan. Jika nilai sosial paguyuban
terwujud dalam kelompok eksklusif, sementara nilai sosial
patembayan terwujud dalam kelompok liberal-inklusif.
Kebebasan beragama oleh kelompok eksklusif dikonsepsikan
dalam pengertian bebas untuk memilih dan mengekspresikan
suatu agama atau keyakinan. Kebebasan untuk memilih memiliki
pengertian adanya larangan atas warga negara yang tidak
beragama atau berkeyakinan. Sementara kebebasan untuk
mengekspresikan tidak bersifat mutlak, dalam arti bahwa ekspresi
keberagamaan atau keyakinan seseorang tidak bisa melenceng dari
mainstream. Artinya, agama atau keyakinan secara institusional
mendapatkan perlindungan dari negara, sehingga jika ada tafsir
keagamaan atau keyakinan yang diaggap menyimpang, misalnya,
negara diwajibkan untuk memproteksinya.
Kelompok inklusif-liberal mengkonsepsikan kebebasan
beragama dalam pengertian bebas untuk memeluk dan
Rohidin 211
mengekspresikan suatu agama atau keyakinan, termasuk tidak
memeluk agama atau menganut suatu keyakinan, dan bahkan
penafsiran terhadap suatu agama atau keyakinan. Kebebasan di
sini tidak bersifat mutlak, dalam arti dapat dibatasi oleh undang-
undang yang jelas dan komprehensif. Namun demikian,
pembatasan ini hanya boleh dilakukan dalam ranah ketertiban
sosial. Artinya, konsep tersebut dikonstruksikan dengan
berlandaskan pada nilai-nilai humanistik, di mana perlindungan
terhadap individu kemanusiaan lebih diutamakan daripada
kolektivisme berbasis agama.
Bertolak dari teori Riggs di atas, maka kebebasan beragama
di Negara Hukum Indonesia dapat dikonsepsikan dalam
pengertian jaminan perlindungan atas hak kebebasan
berkeyakinan dan beragama serta keyakinan dan agama itu
sendiri yang berbasis pada nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab. Kebebasan untuk memilih berarti menafikan individu
yang tidak beragama atau berkeyakinan. Sementara pengertian
berekspresi adalah menjalankan agama atau keyakinannya, dan
termasuk pula penafsirannya. Namun demikian, kebebasan di
sini dapat dibatasi oleh undang-undang yang jelas dan
komprehensif dalam koridor perlindungan atas suatu agama
atau keyakinan secara institusional yang berkaitan dengan
ketertiban umum. Konsepsi tersebut merupakan perwujudan
dari prismatika dua nilai di atas.
Konsepsi tersebut menegaskan bahwa relasi antara negara
dan agama di Indonesia bersifat simbiosis, keduanya bersifat
timbal-balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan
negara karena dengan adanya negara maka agama akan dapat
berkembang secara lebih baik. Sebaliknya, negara memerlukan
agama, karena dengan agama maka negara dapat berkembang
dalam bimbingan etika dan moral spiritual. Hal demikian tentu
berbeda dengan bentuk relasi yang bersifat integralistik,
yangmenganggap bahwa keduanya merupakan suatu kesatuan
212 Bab V: Penutup
dan tidak dapat dipisahkan, demikian juga sama berbedanya
dengan bentuk relasi yang bersifat sekularistik, yang
memandang bahwa negara dan agama merupakan dua bentuk
yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya
masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan
tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Sehubungan
dengan itu, maka Indonesia bukan negara agama dan bukan pula
negara sekuler, tetapi religious nation state.
3. Implikasi Praktis
Problem kebebasan beragama tidak akan larut dari negeri
ini jika produk regulasinya banyak yang bersifat kontradiktif-
kontraproduktif. Tidak berhenti pada perbaikan bentuk regulasi,
peningkatan penegakan hukum juga sangat urgen untuk segera
dijalankan. Namun, keduanya tidak akan berjalan jika kesadaran
masyarakatnya tidak mendukung. Artinya, ranah substansi,
struktur, dan budaya hukum mesti sama-sama bergerak menuju
perubahan untuk mencapai hak kebebasan beragama yang
benar-benar terjamin. Dengan ditegakkannya hak kebebasan
beragama dengan basis nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab, niscaya praktik-praktik intolerance religious yang kerap
mengganggu proses pembangunan akan dapat diminimalisir
dengan baik.
Dalam kasus yang lebih spesifik, yakni problem persepsi
intelektual Muslim terhadap fatwa MUI tentang aliran sesat dan
penegakan hukum tentang kebebasan beragama, penulis
merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Fatwa MUI tentang aliran sesat berkedudukan sebagai legal opinion, yang berpotensi mengandung dissenting opinion. Intelektual Muslim, dan bahkan seluruh masyarakat, mesti mempersepsikannya dengan berlandaskan pada Pancasila, terutama sila kedua. Baik yang mengamini maupun yang menolaknya, masyarakat
Rohidin 213
secara umum dilarang keras untuk mengawal dan menanggapinya secara berlebihan, apalagi dengan melakukan persekusi. Demikian juga dengan negara, tidak bisa serta-merta menjadikan fatwa MUI sebagai referensi yang paling utama. Dalam mengeluarkan kebijakan terkait aliran sesat, kebijakan negara mesti didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.
2. MUI berhak untuk menilai sesat dan tidaknya suatu aliran, akan tetapi dalam merumuskannya mesti menggunakan metodologi yang tepat dan akurat. Selain itu, sebelum fatwa tersebut disahkan, MUI disarankan untuk melakukan uji publik terkait dengan produk fatwanya di hadapan kelompok akademisi, tokoh-tokoh agama non-MUI, dan masyarakat luas. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari mereka, sehingga pada akhirnya fatwa tersebut betul-betul memiliki otoritas yang sangat kuat.
3. Konsep kebebasan beragam merupakan bagian dari HAM, yang diilhami dari dua semangat berbeda berupa partikularisme dan universalisme. Pancasila, sebagai ideologi yang lahir dalam bingkai kebhinekaan, mengakomodasi dua semangat tersebut yang terkonstruksi dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun demikian, pada kenyataannya terdapat beberapa produk regulasi turunan yang tidak konsisten dan koheren dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal tersebut sebagaimana tampak pada UU PNPS No. 1 Tahun 1965 Pasal 1 dan UU No. 12 Tahun 2005 Pasal 18 ayat (1). Melihat demikian itu, maka disarankan agar regulasi turunan tentang kebebasan beragama berkaitan dengan aliran sesat beserta kebijakan-kebijakan yang menjadi turunannya segera ditinjau ulang dan direvisi untuk kembali ditarik pada semangat Pancasila dan UUD 1945 Pasal 28 dan 29.
4. Mengingat betapa krusialnya problem keberagamaan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) disarankan untuk segera membentuk dan/atau mengesahkan regulasi
214 Bab V: Penutup
komprehensif yang sejalan dengan semangat konstitusi. Konsep yang dapat diusulkan adalah sebagai berikut: a. Hak
Hak-hak keberagamaan seseorang dapat diformulasikan dalam bentuk hak untuk (1) berpikir dan berpendapat terkait persoalan agama atau keyakinan, (2) memeluk agama atau keyakinan, (3) mendapatkan jaminan atas kebebasan berpikir dan berpendapat terkait persoalan agama atau keyakinan, (4) mendapatkan jaminan atas kepemelukan seseorang terhadap agama atau keyakinan, (5) mendapatkan perlindungan atas keagamaan atau keyakinan seseorang, dan (6) mendapatkan perlindungan atas tempat-tempat peribadatan, termasuk ritus dan upacara-upacara keagamaan atau keyakinan, yang dimiliki.
b. Kewajiban Kewajiban-kewajiban warga negara dalam hal keberagamaan dapat diformulasikan dalam bentuk kewajiban untuk (1) menghormati hak kebebasan berpikir dan berpendapat terkait persoalan agama atau keyakinan, (2) menghormati agama atau keyakinan orang lain, dan (3) menghormati keberadaan tempat-tempat peribadatan, termasuk ritus dan upacara-upacara agama atau keyakinan.
c. Larangan Larangan-larangan dalam hal keberagamaan dapat diformulasikan dalam bentuk larangan untuk (1) menghina suatu agama atau keyakinan, termasuk hal-hal yang terkait di dalamnya, (2) menghasut seseorang untuk meniadakan keyakinan terhadap Tuhan, (3) melakukan persekusi terhadap suatu agama atau keyakinan, baik fisik maupun mental, (4) mengganggu upacara-upacara agama atau keyakinan, dan (5) merusak tempat-tempat peribadatan suatu keagamaan atau keyakinan.
Rohidin 215
Daftar Pustaka
A. Buku
A. Baderin, Mashood, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, terj. Musa Kazhim dan Edwin Arifin, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2003.
AB. Kusuma, RM., (penghimpun), Lahirnya UUD 1945, Badan Penerbit Fak. Hukum UI, Jakarta, 2004.
Al Marsudi, Subandi, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
A. Sofyan, Ahmad & M. Roychan Madjid, Gagasan Cak Nur tentang Negara & Islam, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 2003.
Alim, Muhammad, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2001.
Asshiddiqie, Jimly, UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional dalam Pluralisme Indonesia dalam, Beragama, Berkeyakinan, dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Publikasi SETARA Institute, Jakarta, 2009.
Campbell Black, Hanry, Black’s Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1990.
216 Daftar Pustaka
D. Asplund, Knut (dkk.) (ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010.
E. Howard, Rhoda, HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. Nugraha Katjasungkana, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2000.
El Muhtaj, Majda, Dimensi-dimensi HAM:Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Rajawali Press, Jakarta, 2008.
_______, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Kencana, Jakarta, 2007.
Gellner, Ernest, Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan, Mizan, Bandung, 1995.
Gonggong, Anhar dan Abdul Qahhar Mudzakar, Dari Patriot Hingga Pemberontak, Gramedia, Jakarta, 1992.
Hamidi, Jazim dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara terhadap Agama: Studi Konvergensi atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2001.
Hasani, Ismail (ed.), Siding and Acting Intolerantly: Intolerance by Society and Restriction by the State in Freedom of Religion/ Belief in Indonesia, SETARA Institute, Jakarta, 2009.
Hatta, M., “Ke Arah Indonesia Merdeka?”, dalam Miriam Budiharja (ed.), Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1980.
Hestu Cipto Handoyo, B., Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia: Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2003.
Hewitt, Martin, Welfare, Ideology, and Need: Developing Perspectives on the Welfare State, Harvester Wheatsheaf, Maryland, 1992.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over, Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia, 1998.
Howards, G.G., dan Rummers, Law It’s Nature and Limits, New Jeresey Prestic Hall, 1999.
Rohidin 217
Husaini, Adian, Pluralisme Agama: Fatwa MUI yang Tegas & Tidak Kontroversial, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2005.
Iskandar, Pranoto, Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual, IMR Press, Cianjur, 2010.
Kasim, Ifdhal (ed.), Hak Sipil dan Politik: Esai-esai Pilihan, ELSAM, Jakarta, 2001.
Khanif, Al, Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2010.
Kholiludin, Tedi, Kuasa Negara Atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil, RaSAIL Media Group, Semarang, 2009.
K. M. Smith, Rhona (dkk.), Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010.
Kusumatmadja, Mochtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986.
Lewis, Bernard, et. al., Islam, Liberalisme, Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks Global, Paramadina, Jakarta, 2002.
Lindholm, Tore, et.al (ed.), Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Deskbook, Leiden: Lorenzen, 2008.
_______, (dkk.), Kebebasan Beragam atau Berkeyakinan, Seberapa Jauh? Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Made Tony Supriatma, A., (ed.), 1996: Tahun Kekerasan, Potret Pelanggaran HAM di Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1997.
Madjid, Nurcholish, (dkk.), Passing Over: Melintas Batas Agama, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998.
Magnis, Suseno Franz, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Jakarta, 1992.
_______, Rechtsstaat, Bukan Machsstaat, dalam Mencari Makna Kebangsaan, Kanisius, Yogyakarta, 1998.
Mahfud MD, Moh., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.
Manan, Bagir, Kedaulatan Rakyat: Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996.
218 Daftar Pustaka
Masyhur Effendi, A. dan Taufani S. Evandri, HAM dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/ Aplikasi Hukum (Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007.
MUI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, MUI, Jakarta, 2010.
Muladi, Hak Asasi Manusia: Hakikat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Jakarta, 2005.
Naning, Ramdlon, Cita dan Citra Hak-Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1983.
Nawawi Arief, Barda, Delik Agama dan Penghinaan Tuhan (Blasphemy) di Indonesia dan Perbandingan Berbagai Negara, Badan Penerbit Undip, Semarang, 2010.
O.S Hiariej, Eddy, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 2009.
Peldi Taher, Elza (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Efendi, ICRP, Jakarta, 2009.
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta, 1989.
Pranarka, A.M.W., Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, CSIS, Jakarta, 1985.
Pudjiarto, Harum, Hak Asasi Manusia: Kajian Filosofis dan Implementasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 1999.
Rohidin, Mendebat Fatwa MUI; Silang Perspektif Intelektual Muslim terhadap Fatwa MUI tentang Aliran Sesat Keagamaan, Lintang Rasi Aksara Books, Yogyakarta, 2013.
Rosyada, Dede (dkk.), Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, ICCE UIN Jakarta, Jakarta, 2003.
Said Ali, As’ad, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bangsa, LP3ES, Jakarta, 2009.
Saleh, Roeslan, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945 Dalam Perundang-undangan, Bina Aksara, Jakarta, 1979.
Rohidin 219
Suaedy, Ahmad, Perpektif Pesantren: Islam Indonesia Gerakan Sosial Baru Islam Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2009.
Suaedy, Ahmad, (dkk.), Islam, Konstitusi dan Hak Asasi Manusia: Problematika Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, The WAHID Institute, Jakarta, 2009.
_______, (dkk.), Beragama, Berkeyakinan dan Berkonstitusi: Tinjauan Konstitusional Praktik Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Publikasi Setara Institute, Jakarta, 2009.
Sunaryati Hartono, C.F.G., Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.
Ubaidillah, A., (dkk.), Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, IAIN Jakarta Press, Jakarta, 2000.
Wahjono, Padmo, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
Weber, Max dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial, Sinar Harapan, Jakarta, 1988.
B. Laporan Penelitian, Jurnal, Makalah, dan Surat Kabar
Arifin, Syamsul, “Diskursus Hak Asasi Manusia di Indonesia: Perspektif Kebebasan Beragama/Berkeyakinan”, Makalah dalam Annual Converence on Islamic Studies (ACIS) Ke-10 di Banjarmasin, 1-4 November 2010
Asshiddiqie, Jimly, “Ideologi, Pancasila, dan Konstitusi”, Makalah, Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Astika, Hani, “Hubungan Agama dan Negara dalam Islam”, dalam Jurnal al-Manahij, vol. 2, No. 1, Januari-Juni, 2008.
Donnelly, Jack, “Human Right and Human Dignity: An Anallytic Critique of Non-Western Conceptions of Human Right”, The American Political Science Review, Vol. 76, No. 2., dalam http://links.jstor.org, diakses pada tanggal 20 Desember 2010.
Gunarto, “Pemikiran Munawwir Syadzali tentang Islam dan Negara dalam Perbandingan Penafsirannya antara T.B. Simatupang dan Eka Darmaputra dari Perspektif
220 Daftar Pustaka
Kehidupan Beragama dan Pancasila”, dalam Jurnal Teologi Stulos, vol. 6, No. 1, April 2007, hlm. 53-70.
Mahfud MD, Moh. “Kebebasan Beragama dalam Perspektif Konstitusi”, Makalah, disampaikandalam Konverensi Tokoh Agama ICRP: Meneguhkan Kebebasan Beragama di Indonesia Menurut Komitmen Presiden dan Wakil Presiden Terpilih, diselenggarakan oleh ICRP pada tanggal 5 Oktober 2009.
______, “Undang-undang Politik, Keormasan dan Instrumentasi di Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Yogyakarta, UII Press No. 10, vol. 5. 1998.
Sutiyoso, Bambang, “Konsepsi Hak Asasi Manusia dan Implementasinya di Indonesia”, dalam UNISIA, Yogyakarta, UII Press No. 10, vol. 5. 1998.
Titaley, John, “Pluralisme Agama dan Nasionalisme, Peranan Agama dalamPembentukan Dasar Kehidupan Berbangsa di 1ndonesia,” Makalah, dalam SeminarAgama-agama X11, Bogor/Tugu, September 1992.
C. Perundang-Undangan dan Peraturan
Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 11/MUNAS VII/ MUI/15/2005 Tentang Ahmadiyah.
Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)
MK, Risalah Sidang Pengujian UU No. 1/PNPS/1965, Jakarta: MK, 2010.
Peraturan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP)
The Declaration on The Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination based on Religion or Belief (EAIDRB).
The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang Undang Dasar Tahun 1945
Rohidin 221
[Amandemen Kedua] Undang Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Undang Undang No. 28 Tahun 1997 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian.
D. Internet
United Nations, The Universal Declaration of Human Rights (Online) dalam http://www.un.org/en/documents/ udhr/, diakses pada 23 Desember 2010
http://www2.ohchr.org/english/law/ccpr.htm#art18 (Diakses pada tanggal 27 Desember 2010).
Littman, David. “Universal Human Rights and Human Rights in Islam”, Midstream, February/March 1999, dalam, http://web.archive.org/ web/20060501234759/ http://mypage.bluewin.ch/ameland/Islam.html, (Diakses pada tanggal 11 Desember 2010).
http://en.wikipedia.org/wiki/UDHR, (Diakses pada tanggal 23 Desember 2010).
“Umat Islam juga Sulit Membangun Masjid”, dalam http:// www.berita2.com/nasional/umum/7070-umat-islam-juga-sulit-membangun-masjid.html, (Diakses pada tanggal 30 Maret 2011).
Kemenkumham, Peraturan Daerah yang Dipermasalahkan, dalam http://www.kemenkumham.go.id, (Diakses pada tanggal 23 Februari 2011).
http://www.seruu.com/index.php/2011030242453/utama/nasional/ penurunan-plang-ahmadiyah-uu-kalah-dengan-perda-42453/menu-id-691. html, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
http://surabaya.detik.com/read/2011/02/28/174700/1581502/466/ papan-nama-pusat-kegiatan-ahmadiyah-jatim-dicopot, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
http://www.seruu.com/index.php/2011030242377/kota/ regional/maraknya-perda-anti-ahmadiyah-picu-aksi-massa-di-kuningan-42377/ menu-id-759.html;, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
222 Daftar Pustaka
http://www.komnasham.go.id/2010-10-03-02-09-01/66-hot-news/ 647-komnas-ham-sk-larang-aktivitas-ahmadiyah-harus-dikaji-ulang-dengan-uu, (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
http://surabaya.detik.com/read/2011/02/28/205935/1581618/ 466/ ahmadiyah-akan-gugat-keputusan-gubernur-jatim. (Diakses pada tanggal 12 Maret 2011).
Rohidin 223
Indeks
A
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), 80
adil , 8, 14, 47, 70, 71, 72, 74, 82, 95, 97, 100, 102, 104, 108, 152, 156, 160, 186, 191, 195, 203, 205, 210, 212, 215, 216, 217
agama, 4, 9, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 29, 36, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 67, 74, 80, 81, 89, 94, 95, 100, 103, 106, 107, 108, 109, 110, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 121, 122, 125, 137, 138, 139, 140, 142, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 167, 169, 170, 171, 178, 182, 185, 186, 187, 188, 190, 191, 192, 193, 194, 196, 197, 198, 199, 202, 203, 204, 205, 207, 209, 210, 212, 213, 214, 215, 217, 218
agama resmi, 47, 137, 138, 167 ahmadiyah, 179, 180
B
beradab, 71, 74, 82, 91, 95, 100, 102, 108, 152, 186, 191, 195, 203, 205, 210, 212, 215, 216, 217
budaya, 1, 2, 4, 14, 16, 18, 27, 43, 49, 52, 53, 64, 75, 78, 80, 87, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 97, 101, 102, 103, 112, 153, 158, 170, 177, 186, 198, 202, 210, 212, 216
C
civil society, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 82, 83, 85, 87, 88, 89, 90, 181, 182, 183, 184, 198, 212
common law, 56, 66
D
Deklarasi Kairo, 19 Demokrasi, 55, 57, 67, 75, 79,
80, 81, 89, 148, 171, 184 Demokrasi terpimpin Dewan HAM PBB, 48 Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), 217 DUHAM, 14, 15, 16, 17, 18, 20,
30, 33, 52, 95, 98, 195, 196
224 Indeks
E
Eksklusif, 90, 188, 206 Eropa Kontinental, 55, 61
F
Fatwa MUI, 95, 115, 116, 188, 189, 190, 205, 206, 207, 208, 209, 216
FPI, 94, 128, 131, 133, 134, 136 FUI, 133, 134, 136
H
Hak, 2, 3, 4, 6, 11, 12, 17, 19, 21, 22, 23, 24, 27, 28, 29, 33, 34, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 52, 58, 72, 73, 90, 96, 98, 99, 104, 112, 143, 148, 168, 170, 175, 195, 196, 197, 217
HAM, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 11, 13, 15, 16, 17, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 28, 30, 32, 33, 36, 37, 39, 40, 42, 45, 49, 51, 52, 53, 54, 55, 61, 75, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 103, 106, 110, 111, 113, 115, 141, 155, 160, 168, 169, 175, 179, 180, 188, 190, 195, 196, 197, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 207, 209, 213, 217
Hukum, 3, 5, 6, 7, 11, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 28, 34, 39, 47, 48, 52, 54, 55, 57, 60, 62, 63, 64, 65, 67, 86, 87, 90, 93, 96, 98, 107, 116, 152, 153, 154, 155, 158, 162, 174, 177, 185, 186, 187, 188, 190, 192, 193, 194,
195, 196, 201, 202, 206, 209, 213, 214
Hukum Islam, 19 Hukum Pancasila, 54, 60, 61,
63, 64, 67 Human, 3, 15, 18, 48, 98 Humanisme, 188, 207
I
ICCPR, 17, 18, 19, 48, 49, 52, 102, 113, 168, 195, 196, 211
Ideologi, 1, 89, 90, 96, 100, 103, 188, 190 i, 207, 209
Ideologi Pancasila, 100, 103 Immanuel Kant, 55 Individu, 92, 100 Indonesia, 2, 3, 5, 6, 15, 21, 22,
23, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 47, 48, 52, 54, 56, 60, 62, 63, 64, 67, 68, 69, 70, 71, 73, 74, 80, 81, 88, 89, 90, 90, 93, 94, 100, 105, 107, 108, 109, 110, 112, 113, 114, 117, 133, 134, 138, 141, 142, 144, 145, 146, 147, 150, 151, 152, 153, 158, 159, 160, 162, 164, 165, 168, 169, 170, 171, 175, 179, 185, 186, 187, 188, 190, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 195, 196, 197, 198, 199, 201, 202, 203, 204, 206, 209, 210, 211, 213, 214, 215
Integralistik, 92, 148 Intoleransi, 107, 130
Rohidin 225
J
JAI, 129, 130, 131, 132, 165, 177, 179
Jaksa, 137, 165, 179 Jaminan, 17, 29, 40, 41, 113,
138, 143, 158, 159, 174, 196 Jaminan kebebasan, 41 Jaminan penuh, 143
K
Keadilan, 84, 89, 122 Kebebasan beragama, 17, 29,
40, 41, 50, 89, 100, 112, 138 Kemanusiaan, 67, 71, 152, 185,
190, 195, 209 Kementerian Hukum dan
HAM (Kemenkumham), 171
Kepolisian, 116, 132, 133 Kim Sunhyuk, 76 Kolektivisme, 188 Komnas HAM, 126, 180 Konferensi Meja Bundar
(KMB), 31 Konflik, 126 konstitusi, 2, 12, 15, 21, 22, 23,
30, 32, 33, 34, 35, 37, 40, 45, 48, 50, 55, 59, 60, 147, 153, 167, 169, 171, 172, 175, 180
konstitusi RIS, 33, 34 kovenan, 141, 168, 169, 170,
197 KWI, 142, 161
L
Liberal, 96, 188, 206 Liberalisme, 184
M
Mahfud MD, 23, 28, 36, 57, 59, 61, 64, 65, 67, 164, 186
Mahkamah Konstitusi (MK), 163
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), 41, 196
Majelis Ulama Indonesia (MUI), 199
Matakin, 142, 161 Menteri, 38, 129, 137, 165, 166,
179, 180, 211 Moh. Hatta, 24, 26, 27 Montesqiueu, 12 Muhammadiyah, 64, 99, 122,
155
N
Nabi, 99, 132, 134, 140, 159 Negara, 2, 5, 12, 18, 21, 22, 23,
27, 30, 31, 32, 34, 35, 39, 41, 42, 47, 48, 54, 55, 59, 60, 62, 63, 64, 67, 69, 70, 71, 77, 90, 93, 96, 107, 108, 110, 113, 143, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 153, 160, 162, 169, 170, 174, 176, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 190, 193, 194, 195, 196, 201, 202, 206, 209, 213, 214
Nilai, 13, 64, 68, 185, 188, 190, 195, 207, 209
P
Paradigma, 22, 69, 86, 148, 149, 150
Partikular, 53, 90, 188
226 Indeks
Partikular-Absolut, 90, 188, 207
PBB, 14, 15, 16, 18, 20, 30, 31, 33, 47, 93, 168
Pemerintah, 31, 32, 34, 35, 40, 42, 47, 69, 93, 103, 116, 136, 138, 166, 188, 189, 195, 196, 197, 207, 208
Pendidikan, 24, 59, 74 Perda, 170, 171, 172, 173, 174,
180, 211 Pers, 85, 139 Persekusi, 130 Persepsi i, 90, 96, 100, 103, 188,
190, 201, 206, 209 PGI, 142, 161 PHDI, 161 Pidana, 3, 116, 162 Presiden, 37, 38, 39, 108, 110,
134, 138, 145, 155, 160, 164, 198
R
Republik Indonesia Serikat (RIS), 31
Romawi, 7, 8, 9, 10 Ruang publik, 77
S
Salamullah, 200 Sekularistik, 150 SKB, 129, 130, 133, 136, 137,
165, 166, 176, 179, 180 Soeharto, 109, 110, 138, 145
Soekarno, 23, 24, 26, 37, 38, 61, 108, 160
Soepomo, 23, 24, 25, 26, 36, 61 Staat, 38 Stoik, 6, 11 Substansi hukum, 153 Susilo Bambang Yudhoyono,
134
T
Timur, 26, 27, 34, 35, 75, 90, 94, 102, 116, 122, 126, 135, 167, 173, 174, 179, 200
Toleransi, 82
U
UDHR, 20, 102 Universal l, 15, 18, 96, 98, 188,
190, 195, 207, 209 Universal-absolut, 96 UUD 1945, 21, 22, 23, 24, 27, 28,
29, 30, 31, 32, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 59, 60, 61, 62, 113, 151, 152, 154, 157, 171, 180, 190, 196, 197, 205, 209, 216, 217
UUD 1950, 36
W
Walubi, 142, 161 Warga negara, 79
Y
Yamin, 24, 26, 27, 61
Rohidin 227
Tentang Penulis
Rohidin kelahiran Subang Jawa Barat, 06 Maret 1967, anak dari
pasangan H. Syafei dan Hj. Sawinah adalah staf pengajar
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Masa kecil dilalui
di kampung halamannya, tepi Pantai Pondok Bali, Pamanukan,
Subang, dengan menimba pendidikan Sekolah Dasar hingga
lulus pada 1980. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di
Pondok Pesantren Persatuan Islam Benda Tasikmalaya, selesai
1986. Pada 1991, Rohidin menyelesaikan Studi Strata 1 (S1) di
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Studi Strata 2 (S2) ditempuh di
Program Kerjasama UI-IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, selesai
1997. Pada 2007 ia melanjutkan studi pada Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Diponegoro Semarang, selesai pada 19 Maret
2013.
Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga ini telah
menulis beberapa artikel di Jurnal seperti “Pemikiran Hukum
Islam Imam Syafi’i dalam perspektif sosiologis” (Jurnal Hukum
FH UII), “White Crime Collar dalam Perspektif Islam” (Jurnal
Hukum FH UII) dan “Problematika Beragama di Indonesia:
Potret Persepsi Masyarakat terhadap Otoritas Fatwa MUI”
(Jurnal Hukum FH UII), “Fatwa Sesat MUI terhadap Aliran
Keagamaan di Indonesia Ditinjau dari Perspektif HAM” (Jurnal
Hukum FH Unnes Semarang).
Di antara beberapa penelitian yang pernah dilakukannya
adalah: “Qiyas sebagai Metode Penemuan Hukum Islam”
228 Tentang Penulis
(Penelitian di Fakultas Hukum UII), “Internalisasi Beberapa
Ketentuan Hukum Waris Adat ke dalam Kompilasi Hukum
Islam” (penelitian individual, Penelitian di Lembaga Penelitian
UII), “Pengaruh Lokal terhadap Kompilasi Hukum Islam”
(Penelitian Individu, Penelitian di Lembaga Penelitian UII),
“Sebab-sebab Perceraian di Yogyakarta” (Penelitian Lembaga
Penelitian UII), “Peran Ulama dalam Sosialisasi Kebijakan
Integrasi Sosial Penyandang Cacat ke dalam Mainstream
Masyarakat” (Penelitian Lembaga Penelitian UII), “Kawin Siri di
Kalangan Mahasiswa Yogyakarta” (Penelitian di Fakultas
Hukum), “Fatwa Sesat Majelis Ulama Indonesia: Studi Tentang
Paradigma MUI dalam Mengeluarkan Fatwa Sesat dan
Kaitannya dengan Prinsip-Prinsip HAM”, (Penelitian di
Lembaga Penelitian UII), “Persepsi Masyarakat terhadap Fatwa
MUI tentang Aliran Sesat Keagamaan” (Penelitian DP2M Dikti),
dan “Corak Berpikir Keagamaan dan Toleransi: Studi Kasus
Mahasiswa Aktivis Islam di DIY” (Penelitian di DP2M Dikti). []
Recommended