View
307
Download
6
Category
Preview:
Citation preview
Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al-Tuhfah Al-Irāqiyyah Fi Al-A’māl Al-Qalbiyyah
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 17
A. Pendahuluan
Ibnu Taimiyah adalah tokoh pemikir
Islam klasik yang reputasi keilmuannya mampu
menembus hingga zaman kontemporer ini.
Pemikirannya dalam berbagai bidang baik
Filsafat, Kalam, Hadis, Fiqh maupun Tasawuf
masih menjadi rujukan. Khususnya yang
mengatasnamakan dirinya sebagai aliran Salaf.
Termasuk Aliran Wahabiyah di Arab Saudi,
Muhammadiyah di Indonesia, bahkan akhir-
akhir ini di Ambon khususnya pasca konflik
sosial di Maluku, muncul satu aliran yang
menamakan dirinya aliran Salaf (salafiah).
Kelompok ini selalu menyerang orang-orang
yang menggandrungi tasawuf dan filsafat.
Mereka berasumsi bahwa tasawuf adalah ajaran
bid’ah yang tidak pernah diamalkan oleh para
Ulama Salaf termasuk Ibnu Taimiyah. Timbulnya
pandangan seperti ini disebabkan karya-karya
otentik Ibnu Taimiyah, khususnya dalam bidang
Tasawuf, sangat sedikit dibaca dan dipelajari
secara teliti.1
Ibnu Taimiyah dan Tasawuf oleh
sebagian kalangan dipandang sebagai dua unsur
yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak
mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama
dianggap sebagai salah satu tokoh yang
membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-
kritik tajamnya terhadap Tasawuf.
Dalam wacana pemikiran Islam, Ibnu
Taimiyah ditempatkan sebagai tokoh yang
menentang tasawuf. Bahkan ia dituduh sebagai
inspirator bagi aliran Wahabi dalam
memeberantas dan memberangus ajaran-ajaran
tasawuf dengan dalih ajaran-ajaran bid’ah,
1Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama Masalah dan
Pemikiran, (Cet. I; Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 98.
PANDANGAN TASAWUF IBNU TAIMIYAH DALAM
KITAB AL-TUHFAH AL-IRĀQIYYAH FI AL-A’MĀL AL-QALBIYYAH
Dr. Hj. Duriana, M.Ag
TASAWUF IBNU TAIMIYYAH PERSPECTIVE
IN AL-TUHFAH AL-IRAQIYYAH I AL-A’MAL AL-QALBIYYAH
Abstract
This paper intends to know about Ibnu Taimiyyah method in religious problem and specially for
Tasawuf problem in his perspective. About tasawuf, result from this study is Ibnu Taimiyyah use Salaf
as-Shaleh in his method and always return to al-Qur’an and al-Sunnah Rasulullah SAW in every
problem like aqidah or furu’. In His book, Ibnu Taimiyyah starts from the power of heart in life and He
called Ahwal and Maqamat on the basic conviction and love for Allah thus al-mahabbah, tawakkal,
ikhlas, khauf, raja’ dan syukur
Keywords: al-Tuhafah al-Iraqiyyah fi al-A’mal al-Qalbiyyah,al- ahwal & al- maqamat
Hj. Duriana
18 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
khurafat dan tahyul,2 karena itu sangat wajar
kalau kitab-kitab tasawuf Ibnu Taimiyah menjadi
barang tabuh untuk diteliti selama ini. Akan
tetapi dengan perkembangan teknologi
khususnya di bidang telekomunikasi dan
infomasi yang memberikan kemudahan bagi
manusia, maka tidak sulit untuk mengakses
kitab-kitab klasik yang penuh dengan pelajaran
berharga. Lewat bantuan internet, penulis dapat
memperoleh data tentang kitab-kitab tasawuf
Ibnu Taimiyah yang boleh jadi justru berisi
ajaran-ajaran sebaliknya yang difahami selama
ini, bahwa Ibnu Taimiyah memusuhi tasawuf,
bahwa belajar tasawuf adalah bid’ah dan
khurafat. Inilah problema yang ingin
diungkapkan lewat penelitian ini.
Pertanyaan-pertanyaan seputar
kebenaran “permusuhan” Ibnu Taimiyah dan
Tasawuf akan berusaha dijelaskan melalui
penelitian ini. Tentu saja dengan merujuk
langsung pada karya-karya yang diwariskan oleh
Ibnu Taimiyah untuk peradaban manusia.
Khususnya karyanya yang berjudul :Al-Tuhfah al-
Irāqiyyah fi al-A’māl al-Qalbiyyah dan setelah
ditahqiq oleh Ainil Husni Malhuzah dengan judul “
Al-A’māl al-Qulūb auw al-Ahwāl wa al-Maqāmāt
B. Riwayat Singkat Ibnu Taimiyah
Beriringan dengan kejatuhan kota
Bagdad, pada tahun 656 H/1257 M., tepat pada
hari Senin, 12 Rabi’ al-Awal tahun 661 H (1263
M), Ibnu Taimiyah dilahirkan di sebuah kota
yang terletak antara sungai Dajlah dan Eufrat
bernama Harran, sebuah kota yang masuk dalam
2 Bid’ah dan khurafat adalah dua istilah yang begitu mudah diucapkan dan dituduhkan terhadap orang-orang yang bertasawuf dan mempelajari tasawuf. Bid’ah adalah mengikuti ajaran-ajaran yang tidak diamalkan oleh golongan salaf masa awal yaitu masa Nabi Muhammad SAW hingga masa tabi’in.
wilayah Hurasan (Persia). Oleh orangtuanya ia
diberi nama Ahmad. Ayah Ibnu Taimiyah
bernama Syihabuddīn Abū al-Mahasīn Abdu al-
Halīm bin Taimiyah. Dia belajar dari ayahnya
(Taimiyah) mazhab faham Hambali hingga ia
benar-benar memahaminya.3
Ahli sejarah menuliskan nama
lengkapnya dengan: Taqiy al-Dīn Abūl-‘Abbas
Ahmad Ibnu ‘Abd al-Halīm Ibnu ‘Abd al-Salām
Ibnu Abi al-Qasīm Ibnu Muhammad Ibnu
Taimiyah al-Harrānī al-Dimasyqī.4
Ibnu Taimiyah mendapat pendidikan di
samping dari ayahnya, juga dari pamannya
Fakhruddīn, seorang pemikir dan penulis
termasyhur. Ia mendapat pendidikan pula dari
para cendikiawan terkemuka di kota Damaskus.
Pengetahuannya tidak hanya terbatas pada
studi-studi al-Qur’an, hadis dan fiqh saja, tetapi
juga mempelajari dan ahli di bidang mate-
matika, sejarah, kesustraan dan secara khusus
mendalami fiqh Hambali karena ayahnya sendiri
adalah tokoh dari mazhab ini.5
Ibnu Taimiyah telah terkenal pada usia
yang masih relatif muda, 20 tahun. Ia pernah
diundang ke Mesir memberikan fatwa, di sini
Ibnu Taimiyah menunjukkan keahlian yang
sungguh mengagumkan, terutama fatwanya yang
berkenaan dengan pembasmian khurafat dan
bid’ah. Ketika ia berusia 21 tahun ayahnya
meninggal dan ia menggantikan ayahnya sebagai
3Said Abdul ‘Azim, Ibn Taymiyah, Pembaharuan
Salafi dan Dakwah Reformasi. Diterjemahkan oleh Faisal Saleh dan Khoirul Amru Harahap (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.15.
4Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-Nihayah, Jilid 13, (Cet. I; Beirut Maktabah al-Ma’arif, 1966), h. 308. Lihat juga Al-Dzahaby, Tadzkirah al-Huffazh, Jilid IV ( Haidar Abad: t.t.), h. 288.
5Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 52-53.
Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al-Tuhfah Al-Irāqiyyah Fi Al-A’māl Al-Qalbiyyah
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 19
guru hadis. Profesi guru hadis ini membuat ia
sangat termasyhur melebihi ulama-ulama
sezamannya.
Ibnu Taimiyah meninggalkan sekitar 500
jilid dalam berbagai bidang ilmu. Sebagian
besarnya dapat dibaca hingga sekarang, namun
sebagian yang lain hanya tinggal nama atau
masih berupa manuskrip yang belum ditahqiq.
Ibnu al-Wardy (w. 749 H) bahkan menyatakan
bahwa dalam sehari semalam, Ibnu Taimiyah
dapat menulis sampai 4 buku.
C. Setting Sosial dan Politik Masa Ibnu
Taimiyah
Ibnu Taimiyah dilahirkan sekitar lima
tahun setelah tentara Mongol menjatuhkan kota
Bagdad, ibukota dinasti Abbasiyah. Dengan
jatuhnya Bagdad, maka runtuhlah kerajaan Islam
yang telah berkuasa selama lima abad (750-1258
M) dan telah berhasil mencapai kejayaannya
baik dalam kemajuan fisik ataupun kebudayaan
dan ilmu pengetahuan. Kota Bagdad kemudian
diduduki oleh Dinasti Īkhan sedangkan khilafah
Islam setelah jatuhnya Bagdad dikuasai oleh
kerajaan Mamluk (1250-1517 M) dengan Mesir
sebagai pusat kekuasaannya.
Setelah Bagdad jatuh, dunia Islam
tenggelam dalam kemunduran dan menghadapi
berbagai tantangan. Dari arah Barat, umat Islam
menghadapi ancaman orang-orang Spanyol yang
sejak abad II telah melancarkan perang Salib.
Selama dua abad lamanya (1097-1292 M) terjadi
tidak kurang tujuh kali pertempuran. Arah Timur
umat Islam menghadapi ancaman tentara
Mongol. Pada tahun 1258 M mereka
menghancurkan Bagdad dan berhasil
membunuh ratusan ribu penduduknya. Setelah
menghancurkan Bagdad, tentara Hulagu Khan
melancarkan aksinya ke Syria dan berhasil
menduduki kota Aleppo, Hamah dan Harim.
Selanjutnya mereka menuju ke Mesir, akan tetapi
di Ayn Jalut mereka dikalahkan oleh tentara
Barbar. Di samping itu, kondisi di dalam negeri
tidak stabil akibat permusuhan antara para
penguasa dan sekte-sekte di kalangan Islam
sendiri. 6
Sementara itu, situasi politik di Syria
semakin lama semakin berbahaya dan tidak
menentu. Serdadu Mongol dengan senjata yang
relatif lebih modern berhasil merebut sebagian
besar wilayah Syria pada tahun 699 H/1300 M.
dengan kondisi semacam ini, mendorongnya
untuk menghentikan polemiknya dalam hal
pemahaman keagamaan untuk sementara waktu
dan mulai mencurahkan perhatiannya
menghadapi dan mengusir tentara yang
menjajah negerinya.
Bersama-sama tokoh Islam lain, Ibnu
Taimiyah dengan keahliannya sebagai orator
ulung turut serta berkampanye dan ambil bagian
dalam melakukan agitasi politik untuk
membangkitkan semangat rakyat Syria agar
berjihad fi sabilillah dan rela berkorban untuk
melepaskan tanah airnya dari cengkraman
pasukan Mongol. Demi kepentingan itu pula,
pada tahun 700 H/1301 M. Ibnu Taimiyah pergi
ke Kairo dalam rangka memohon bantuan
militer kepada Sultan Mamluk, yakni al-Malik al-
Nasir Muhammad bin al-Mansur al-Qalawun.
Usaha Ibnu Taimiyah ternyata tidak sia-
sia dan memberi harapan bagi banyak pihak.
Sultan al-Malik mengabulkan permohonannya
dan mengirimkan angkatan bersenjatanya ke
Syria. Ibnu Taimiyah sendiri yang ternyata
berjiwa pejuang dan berdarah militer, oleh
6 http://almakmun.com/?p=85 (5 Agustus 2013)
Hj. Duriana
20 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
pemerintah diberi tugas untuk memimpin
langsung pasukan Islam melawan pasukan
penjajah. Ibnu Taimiyah dengan pasukan tempur
yang dikomandaninya akhirnya membawa
kemenangan pada peristiwa Shaqhab (702
H/1303 M). Dengan keberhasilannya itu,
membuat namanya semakin terkenal.
Ketika Ibnu Taimiyah menulis Risalah al-
Hamidiyah yang isinya membela pendapat
Ahmad Ibnu Hanbal, ia dituduh tajsim dan tasbih
oleh musuh-musuhnya. Untuk membantah itu, ia
menulis al-Risalah al-Wasitiyah yang ternyata
oleh lawan-lawannya justeru dianggap
memperkuat tuduhan mereka. Untuk
memprtanggungjawabkan tulisannya yang
dianggap meresahkan masyarakat, pada 705
H/1305 M. Ibnu Taimiyah dihadapkan kepada
Sultan Mesir. Ia diadili oleh al-Qadi Zayn al-Din
bin Makhluf (salah seorang rival yang selalu
memusuhi Ibnu Taimiyah, sehingga kejujuran
dan keadilannya sangat diragukan). Betapapun
pintar dan lantangnya Ibnu Taimiyah dalam
pembelaan diri, ia tidak berdaya untuk lolos dari
jeratan penjara.
Selama diasingkan di benteng Kairo
selama kurang lebih 1,5 tahun, Ibnu Taimiyah
menelorkan beberapa karya yang di antaranya
berisi kritikan dan tantangan terhadap ajaran
wahdat al-wujud Ibnu Arabi, tawassul dan
istighathah serta ajaran-ajaran tasawuf lainnya
yang dinilainya menyimpang dari ajaran Islam.7
Berkat bantuan Hisham al-Din Mahna bin
Isa, seorang amir Arab, Ibnu Taimiyah
dibebaskan dari penjara Qairo. Namun baru
beberapa bulan dibebaskan, dalam tahun yang
sama dia harus berurusan lagi dengan pihak
7http://almakmun.com/?p=85 (5 Agustus 2013).
yang berwajib atas pengaduan kaum sufi yang
konon disponsori oleh Ibnu Ata’.
Dari sisi keagamaan, kehidupan umat
Islam ditandai dengan kebekuan berpikir dan
fanatisme mazhab. Sejak abad IV H/10 M,
mazhab empat mempunyai kedudukan mapan
dalam kehidupan umat Islam, dan umat Islam
hidup dalam zaman taqlid di mana penetapan
hukum didasarkan kepada pendapat-pendapat
ulama mazhab yang tersusun dalam kitab-kitab
fiqh. Adapun ijtihad dalam persoalan fiqh bisa
dikatakan tidak berkembang sama sekali.
D. Karya-Karya Ibnu Taimiyah
Karangan Ibnu Taimiyah lebih dari 500,
tetapi yang tersebar luas dan termasyhur sekitar
65 buah. Karya yang menjadi rujukan utama
penelitian penulis adalah: Al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah
fi al-A’mal al-Qalbiyyah.(al-A’mal al-Qulub au al-
Maqamat wa al-Ahwal). Buku ini, seperti yang
dikatakannya, (berisi) kalimat-kalimat ringkas
tentang amalan-amalan hati yang disebut dengan
‘maqāmāt’ dan ‘ahwāl’, yang juga merupakan
bagian dari dasar-dasar keimanan dan kaidah-
kaidah agama; seperti ‘mahabbah’ pada Allah
dan Rasul-Nya, tawakkal, mengikhlaskan agama
pada-Nya, syukur, sabar terhadap hukum-Nya,
khauf’ dan ‘raaj’ pada-Nya, serta hal-hal lain yang
mengikutinya.28
Dalam teks tersebut dengan sangat jelas
terlihat bahwa Ibnu Taimiyah menggunakan dua
istilah yang umum digunakan di kalangan sufi;
maqāmtā dan ahwāl. Dan dalam buku ini secara
khusus, ia menguraikan secara panjang lebar dan
terperinci tentang berbagai maqām dan hāl.
Pandangan tasawuf Ibnu Taimiyah dalam
buku ini dapat dikatakan sudah tergambar
dengan jelas. Hal ini dapat dilihat ketika ia
Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al-Tuhfah Al-Irāqiyyah Fi Al-A’māl Al-Qalbiyyah
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 21
menguraikan tentang beberapa obyek kajian
tasawuf oleh para sufi sebelumnya seperti ahwal
dan maqamat, khauf dan raja’, mahabbah, wali,
taubat, zuhud, ridha dan lain-lain.
E. Metode Pemikiran
Kritikan Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf
tidak terlepas dari metode pemikiran yang telah
diyakini sebagai metode yang paling benar.
Metode pemikirannya ini menjadi dasar dalam
setiap gerakan keagamaan yang diperjuangkan
sepanjang hidupnya. Ia sendiri tidak gentar
sedikitpun dalam memperjuangkan ide-idenya
sekalipun harus mengorbankan jiwanya.
Terbukti dengan ia berkali-kali masuk penjara
bahkan ia meninggal dalam penjara demi untuk
tegaknya kebenaran yang telah diyakininya.
Termasuk dalam hal ini ia tidak gentar
mengeritik para sufi yang dianggap telah
mengajarkan ajaran asing yang tidak
berlandaskan al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi
Muhammad saw.
Menurut Syekh Said Abd Azhim,8 bahwa
metode salafiah yang dianut Ibnu Taimiyah
berpegang pada empat unsur:
a. Tidak percaya pada akal 100%
Dalam masalah-maslah agama baik
masalah-masalah pokok-pokok akidah maupun
masalah-masalah furu’iyyah (cabang), Ibnu
Taimiyah selalu berpegang pada al-Qur’an dan
al-Sunnah Nabi Muhammad SAW. Ia sangat
meragukan kemampuan akal semata dalam
8 Syekh Said Abdul ‘Azhīm adalah seorang Penulis
buku yang berjudul: Ibn Taimiyah: al-Tajdīd al-Salafi wa Da’wah al-Islāhiyyah, karya ini secara detail mengungkap liku-liku perjuangan Ibn Taimiyah sepanjang hayatnya. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi salah satu sumber sekunder dalam penelitian ini.
masalah-masalah akidah dengan mengatakan
bahwa “mencari akidah dengan akal semata
sama dengan pencari kayu yang mencari kayu
dimalam hari”.9 Dengan metode yang
diperpegangi ini, Ibnu Taimiyah tidak setuju
dengan metode yang digunakan oleh para filosof
yang dianggapnya semata-mata menggunakan
akal dalam mempertahankan argumentasinya.
Demikian pula ia tidak setuju dengan metode
para mutakallimin, muhaddisin, fuqaha, sufi yang
mengagungkan akal dalam masalah-masalah
akidah.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
diantara kesesatan para filosof dan mutakallimin
yaitu mereka lebih mendahulukan penelitian,
bukti-bukti dan ilmu dari pada naql dengan
mengatakan bahwa penelitian itu wajib karena ia
pasti mendatangkan pengetahuan yang benar.10
Ibnu Taimiyah sebenarnya tidak menolak
peggunaan akal dalam masalah akidah, hanya
saja posisi akal harus mengikuti nash atau posisi
akal di bawah nash. Karena itu mudah dipahami
kalau ia tidak sependapat dengan penggunaan
takwil dalam masalah-masalah akidah.
b. Tidak mengikuti seseorang karena nama,
ketenaran dan kedudukannya
Ibnu Taimiyah sangat menyayangkan,
jika melihat orang yang mengikuti seseorang
hanya karena ketenaran dan kedudukannya,
tanpa mengetahui dalil dan landasan kebenaran
di dalamnya. Para Imam empat yang menjadi
ikutan dan imam mayoritas kaum muslimin
sebenarnya tidak pernah menyuruh untuk
mereka diikuti dengan membabi buta tanpa
9 Syekh Said Abdul ‘Azhim, Ibn Taimiyah: Pembaruan
Salafi dan Da’wah Reformasi, diterjemahkan oleh Faisal Saleh (Cet.I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 37.
10 Ibid.
Hj. Duriana
22 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
seleksi dengan kata lain ikut dengan taklid buta,
tetapi mereka menyuruh untuk menyeleksi
pendapatnya dengan nash al-Qur’an dan Sunnah
Nabi Muhammad SAW. Seandainya pendapat
mereka bertentangan dengan nash al-Qur’an dan
al-sunnah, maka wajib untuk menolaknya.
Dengan demikian Ibnu taimiyah sebagai
pengikut salaf, mengembalikan semua perkataan
kepada al-Qur’an dan al-sunnah.
c. Dasar syari’at adalah al-Qur’an dan telah
dijelaskan oleh Muhammad SAW. dengan al-
sunnah
Ibnu Taimiyah selalu merujuk kepada al-
Qur’an dan al-Sunnah, mengajak bertahkim
(menjadikan sebagai hakim) kepada Ulama
Salaf.11 Para Ulama Salaf inilah manusia yang
paling tahu dengan maksud syari’at, sebab
mereka hidup saat wahyu turun, menghafalnya,
memahaminya dan menyampaikannya seperti
yang mereka dengar kepada para pengikut
selanjutnya sampai hari kiamat.12
d. Tidak panatik dalam pemikiran dan
menghilangkan sikap berlebihan dan jumud
Ibnu Taimiyah melepaskan dirinya dari
semua yang membelenggunya kecuali al-Qur’an,
al-Sunnah dan perkataan salafus salih, dia
mempunyai intuisi yang begitu tajam dalam
memahami al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia memiliki
alat-alat dan sarana yang membuatnya mampu
menjadi seorang mujtahid mutlak. Dia juga telah
mempelajari dan mendalami semua mazhab,
aliran, pendapat serta mengenal sumber setiap
pendapat tersebut.13
11 Ulama salaf adalah ulama yang hidup pada abad
ketiga pertama yaitu para sahabat, pengikut sahabat (tabi’in), dan pengikut tabi’in secara baik.
12 Syekh Said Abd Azhim, op. cit. h. 40. 13 Ibid, h. 41.
Landasan pokok Ibnu Taimiyah dalam
melakukan reformasi adalah al-Qur’an dan
Hadis. Ia mengatakan agama adalah apa yang
disyari’atkan oleh Allah dan rasul-Nya. Ibnu
Taimiyah mempunyai keyakinan yang mendalam
bahwa al-Qur’an dan Hadis telah mencukupi
semua urusan keagamaan (umūr al-Dīn) baik
yang berhubungan dengan masalah aqidah,
ibadah atau muamalah. Dasar hukumnya adalah :
ي منأكمأ ر مأ الأ وأول الرسول اللوأطيعوا أطيعوا ءامنوا الذين اأي ها
م وأ والأي منونبالل ت ؤأ كنأتمأ والرسولإنأ وهإلالل ءف رد فشيأ تمأ ت نازعأ فإنأ
ر خرذلكخي أ .)النساء:وأحأالأ ) 95سنتأأويلا
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”.14
Ibnu Taimiyah dalam membangun sistem
hukum berpikir mengenai segala aturan
keagamaan, baik yang berhubungan dengan
masalah aqidah, atau amaliah berdasarkan al-
Qur’an dan Hadis. Pijakan tersebut kemudian
dikembangkan dalam berbagai pemikiran yang
tertuang dalam berbagai karyanya sebagai
refleksi dari kondisi kehidupan keagamaan pada
saat itu yang berupa berkembangnya taqlid,
bid’ah, khurafat dan fitnah.
14 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya
Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al-Tuhfah Al-Irāqiyyah Fi Al-A’māl Al-Qalbiyyah
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 23
F. Pandangan Ibn Taimiyah tentang Ajaran
Tasawuf dalam Kitab al-Tuhfah al-
Irāqiyyah fi al-A’māl al-qalbiyyah
Kitab al-Tuhfah al-irāqiyyah fi al-A’māl al-
qalbiyyah, yang menjadi sumber utama
penelitian ini dan telah ditahqīq oleh Abu
Hazifah Ibrahim bin Muhammad. Dalam kitab ini
ia membagi amalan-amalan manusia kepada:
1. Al-a’māl al-abdān (amalan-amalan badan)
Amalan-amalan badan terbagi tiga:
dddddd
a. Al-ẓālim li nafsih (menganiaya diri
sendiri). Orang yang menganiaya diri
sendiri adalah orang yang melakukan
perbuatan keji dan mungkar yaitu
mengerjakan hal-hal yang dilarang oleh
Allah SWT. dan mengabaikan perintah-
perintah-Nya. Perbuatan ini termasuk
dosa.
b. Al-muqtaṣid (oriented), maksudnya
adalah orang yang punya tujuan hidup,
yaitu yang tercapai amalan-amalan
badannya dengan mengerjakan
kewajiban-kewajiban Allah SWT. dan
meninggalkan yang diharamkan.
c. Al-sābiq bi al-khairāt (berlomba-lomba
dalam kebaikan), adalah orang yang
senantiasa mengerjakan yang wajib dan
yang mustahab (dianjurkan) dan
meninggalkan yang haram dan yang
makruh (samar-samar).15
Dua kelompok terakhir yaitu al-muqtasid
dan al-sābiq bi al-khairāt juga tidak pernah luput
dari dosa dan hal ini adalah suatu hal yang wajar
sebagai manusia. Itulah sebabnya Allah SWT.
memberikan peluang kepada manusia untuk
15 Lihat A’māl al-Qulūb, h. 7-8.
bertaubat. Dua kelompok ini masuk dalam
golongan awliyā’ Allah (wali-wali Allah). Firman
Allah SWT. dalam Q.S. Yunus/10: 62:
.“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati”.16
Ibnu Taimiyah secara spesifik
memasukkan orang mu’min dan orang yang
bertakwa kedalam golongan al-muqtasid.
Sementara al-sbiq bi al-khairat menurut Ibnu
Taimiyah adalah golongan yang lebih tinggi
derajatnya yaitu para nabi dan orang-orang al-
shiddiqīn. Orang-orang al-siddiqīn ini banyak
dijumpai pada para wali Allah.17
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa sebelum
masuk dalam amalan-amalan batin maka
amalan-amalan badan ini harus dibersihkan,
termasuk di dalamnya menghindarkan diri dari
perbuatan-perbuatan bid’ah dan mengikuti hawa
nafsu.
2. Al-a’māl al-bātinah (amalan-amalan batin)
Dalam kitab ini Ibnu Taimiyah
mengawali dengan pembahasan singkat tentang
kekuatan (peran) hati dalam kehidupan manusia
yang ia sebut dengan ahwal dan maqamat. Ahwal
dan maqamat adalah sebahagian dari dasar
kepercayaan dan rasa cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya. Termasuk di dalamnya adalah
tawakkal, ikhlas, syukur, sabar (menerima takdir
Allah), takut (kepada Allah), raja (berharap
kepada Allah).
16 Departemen Agama Ri, al-Qur’an dan Terjemahnya 17 A’māl al-Qulūb, op. cit. h. 8.
Hj. Duriana
24 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
Ahwal dan maqamat adalah istilah sufi
yang telah lama dikenal dan begitu populer pada
saat itu karena itulah Ibnu Taimiyah begitu
akrab dengan istilah itu dengan sering
mengulang-ulang dalam risalah ini.
Menurut Ibnu Taimiyah al-maqamat wal-
ahwal, meliputi: al-mahabbah tawakkal, ikhlas,
raja, khauf dan syukur. Kemudian ia
menjelaskannya secara rinci sebagaimana
lazimnya kitab-kitab para sufi:
Al-Maqāmāt
Ibnu Taimiyah mengkritik pandangan
sebagian sufi yang menganggap bahwa ahwal
dan maqāmāt hanyalah milik kalangan khas, dan
tidak bisa menjadi milik kalangan yang mereka
sebut awam. Baginya, semua ahwal dan
māqamāt karena ia merupakan ilmu dan amal
batiniyah yang menjadi dasar utama dalam
menjalankan agama, maka ia seharusnya
menjadi kewajiban setiap muslim, tanpa sekat-
sekat awam dan khas.
Terkait dengan itu, ia menyatakan:
“Amalan-amalan batin berupa cinta (mahabbah)
pada Allah, tawakkal pada-Nya, ikhlas, ridha,
semuanya adalah perkara yang diperintahkan
kepada kaum awam dan khas. Pengabaian
terhadapnya oleh satu dari dua pihak itu
bukanlah hal terpuji, setinggi apapun
maqamnya.”18
Beberapa maqam yang dijelaskan Ibnu
Taimiyah dalam karya al-Tuhfah al-Iraqiyah atau
al-A’mal al-Qulub antara lain:
18Lihat al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah, h. 16. Ibnu Taimiyah
juga mengkritik dampak pembagian ahwal dan maqamat menjadi “untuk awam dan khas” yang menyebabkan munculnya sebagian kalangan sufi yang menjelaskan ahwal dan maqamat itu dengan istilah-istilah yang rumit dan membingungkan. Bahkan terkesan kerumitan dan ketidakjelasan itu menjadi hal yang disengaja untuk menunjukkan ketinggian maqam sang sufi.
a. al-Taubah
Inilah maqam pertama para penempuh
jalan menuju Allah menurut jumhur kaum sufi.19
Itulah sebabnya, dalam al-Tuhfah al-‘Iraqiyyah,
Ibnu Taimiyah mengawalinya dengan ulasan
tentang taubat. Ia menegaskan bahwa
sebagaimana dalam Q.S al-Baqarah/2: 222.
…
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri”.
Taubat menurut Ibnu Taimiyah adalah
sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan hamba
setiap waktu.
“Dan bahwa seorang hamba itu senantiasa
berbolak-balik dalam nikmat-nikmat Allah, maka
ia selalu membutuhkan taubat dan istighfar.
Itulah sebabnya, penghulu anak cucu Adam dan
imam kaum bertakwa (Muhammad) SAW. selalu
beristighfar di setiap waktu dan kondisi.”
Di dalam al-Qur’an, setiap kali Allah SWT.
smenyebutkan dosa dan maksiat, maka ia akan
selalu disertai dengan penyebutan taubat dan
istighfar. Karena itu, pembukaan pintu taubat
yang luas itu juga menunjukkan luasnya pintu
rahmat Allah bagi alam semesta.
Ibnu Taimiyah kemudian membagi
taubat berdasarkan hukum dan tingkatan
pelakunya. Pertama, taubat wajib, yaitu taubat
dari meninggalkan perintah dan mengerjakan
larangan Allah. Taubat jenis ini adalah kewajiban
semua mukallaf, sebagaimana yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dalam al-
Qur’an dan al-sunnah.
19Abu al-Qasim al-Qusyairy, Al-Risalah al-
Qusyairiyah: Tahqiq: DR. ‘Abdul Halim Mahmud, ( Cet. I; Dar al-Ta’lif, ma, 1385 H/ 1966 M.), h. 77.
Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al-Tuhfah Al-Irāqiyyah Fi Al-A’māl Al-Qalbiyyah
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 25
Allah berfirman dalam Q.S. Al-Nur/31: 31
...
.
“…Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung”.
Kedua, taubat mustahabbah, yaitu taubat
dari meninggalkan yang sunnah dan
mengerjakan yang makruh.
Adapun taubat ditinjau dari sisi tingkatan
pelakunya, Ibnu Taimiyah membaginya menjadi
3 tingkatan. Pertama, al-abrar al- muqtashidun,
yaitu mereka yang mencukupkan diri dengan
melakukan jenis taubat yang pertama; taubat
yang hukumnya wajib. Kedua, al-sabiqun al-
muqarrabun, yaitu mereka yang selalu berusaha
melakukan kedua jenis taubat di atas; taubat
yang wajib dan mustahabbah. Ketiga, al-
zhalimun, yaitu orang-orang yang tidak
melakukan satu pun dari kedua jenis taubat
tersebut.
b. Tawakkal
Tawakkal adalah salah satu amal batin
yang menghubungkan hamba dengan cinta Allah
serta mengantarkannya sampai kepada puncak
keikhlasan. Dan maqam ini merupakan maqam
yang menjadi kewajiban kalangan awam dan
khas secara umum.
Ketika menjelaskan maqam tawakkal,
setelah menyimpulkan konsep tawakkal yang
umum dipahami oleh para sufi, Ibnu Taimiyah
membagi tawakkal menjadi dua: (1) tawakkal
dalam urusan dien, dan (2) tawakkal dalam
urusan dunia. Menurutnya, umumnya para sufi
hanya mengaitkan maqam tawakkal ini dengan
urusan dunia. Atau dengan kata lain, tawakkal
menurut mereka adalah menundukkan diri
untuk tidak bernafsu dalam mencari dunia
dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah.
Sementara Ibnu Taimiyah sendiri lebih
menekankan jenis tawakkal yang pertama, dan
bahkan menganggapnya lebih besar dari yang
kedua. Karena itu, manusia yang mutawakkil
(bertawakkal) menurutnya adalah:
وحفظ ودينو قلبو صلح ف هللا على يتوكل املتوكل فإنكل ف ربو يناجي وهلاذا اليو المور ىذااىم وإرادتو لسانو
صلةبقولو: :كمافقولوتعال .
.
“(Yang) bertawakkal pada Allah untuk kebaikan
dan kesalehan hati dan agamanya, serta
penjagaan lisannya. Inilah yang terpenting
baginya. Oleh sebab itu ia selalu bermunajat
kepada Rabb-nya di setiap salat: Hanya kepada-
Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami
meminta tolong. (QS. Al-Fatihah:5), dan firman
Allah Ta’ala: Maka sembahlah Ia dan
bertawakkallah pada-Nya (QS.Hud:123).
Hal lain yang juga ditegaskan Ibnu
Taimiyah dalam membahas maqam ini adalah
bahwa ketawakkalan seorang hamba pada Allah
sama sekali tidak menjadi penghalang atau tidak
menjadi alasan untuk tidak bekerja keras. Dalam
hal ini, ia mengkritik sebagian sufi yang
menganggap bahwa setelah bertawakkal, sang
hamba tidak perlu lagi mengerahkan usahanya
untuk meraih apa yang ia inginkan. Kesalahan
pandangan ini menurut Ibnu Taimiyah
disebabkan karena mereka memandang bahwa
jika semua perkara telah ditakdirkan, maka
Hj. Duriana
26 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
dalam proses terjadinya kemudian sangat
mustahil adanya campur tangan manusia di sana.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa masalah ibadah
dan tawakkal tidak boleh dipisahkan dalam
beberapa hal-hal tertentu karena keduanya
menjadi satu padu dalam ajaran agama berkaitan
dengan hubungan antara Tuhan dan hambanya.
Ibadah yang dilakukan tidak lain agar
memperoleh mahabbah (kecintaan) dan Ridha
Allah. Adapun sarana ibadah tidak lain adalah
tawakkal dan memohon pertolongan Allah SWT
(al-isti’anah) dengan memanjatkan doa kepada-
Nya. Allah SWT senantiasa senang dan menolong
hambanya yang senantiasa memohon ridha dan
mahabbahnya. Oleh karena itu menyembah Allah
SWT dengan penuh keridhaan dan mahabbah
pada-Nya pada hakikatnya adalah kembali
kepada diri penyembah (al-‘abdu). Dan
menurutnya tawakkal seperti inilah yang masuk
dalam kategori maqām. Sebab tawakkal dalam
makna ini mengandung tawakkal dalam segala
urusan-urusan agama (al-umūr al—dīniyyah).
Adapun tawakkal dalam hal urusan dunia bagi
Ibnu Taimiyah tidak dimasukkan sebagai
kategori maqam sebagaimana yang dianut oleh
al-muqarrabīnlillah (orang yang mendekatkan
diri kepada Allah).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa
tawakkal menurut Ibnu Taimiyah adalah
penyerahan diri dengan sepenuhnya kepada
Allah karena kecintaan dan keridhaan kepada-
Nya.
c. Zuhud
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, zuhud
yang masyru’ adalah meninggalkan segala
sesuatu yang akan menyibukkan seseorang dari
ketaatan pada Allah Ta’ala, dan bahwa apapun
yang dapat menguatkan seseorang di jalan
ketaatan pada Allah, maka meninggalkannya
bukanlah kezuhudan. Sebaliknya apapun yang
tidak berguna untuk negeri akhirat, maka
meninggalkannya adalah kezuhudan.
Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa
kezuhudan tidaklah identik dengan kemalasan,
kelemahan, ketidakberdayaan, dan hilangnya
peran serta sang hamba dalam kehidupan.
Kezuhudan juga tidak identik dengan
kemiskinan. Kezuhudan adalah ketika dunia
tidak menguasai hati meski ia ada dalam
genggaman. Seorang milyuner pun dapat
menjadi manusia zuhud jika ia tidak tertawan
oleh hartanya. Sebaliknya, seorang miskin tidak
dapat disebut zahid jika hasrat pada dunia terus-
menerus membakar jiwanya.
d. Ikhlas
Ihklas adalah inti dari Islam. Yang mana
Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah
bukan kepada yang lainnya. Allah berfirman
dalam Q.S. al-Baqarah/2:131
.
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk
patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh
kepada Tuhan semesta alam"”.
Orang yang tidak menyerahkan diri
kepada Allah maka dia termasuk orang yang
sombong, dan orang yang menyerahkan dirinya
kepada selain Allah maka ia pun dikategorikan
musyrik. Ikhlas adalah bagian dari masalah-
masalah batin, baik yang berhubungan dengan
bidang keilmuan maupun yang berhubungan
dengan amalan. Misalnya yang berkaitan dengan
amalan-amalan yang tidak didasari dengan
Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al-Tuhfah Al-Irāqiyyah Fi Al-A’māl Al-Qalbiyyah
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 27
keikhlasan maka amalan-amalan tersebut
tidaklah bermanfaat, hadis yang diriwayatkan
oleh Ahmad di dalam musnadnya:
واإلميانفالقلباإلسلمعلنية
“Ajaran-ajaran agama Islam itu realistis, dan
Nampak sedangkan ajaran-ajaran keimanan itu
non-realistis, dan itu hanya ada di dalam hati”.
Dalam hadis yang lain hadis muttafakun
alaih dari Nu’man bin basyir disebutkan:
احلرامبنيوبنيذالكامورمشتبحاتلحلللبنيوا
كثريامنالناس... يعلمهن“Halal itu sudah jelas dan haram itupun juga
sudah jelas, adapun diantara keduanya terdapat
masalah-masalah yang syubhat (Samar-samar)
yang sangat sedikit diketahui oleh sebagian
manusia…”
e. Sabar
Sepantasnya setiap manusia apabila
ditimpa musibah maka dia harus bersabar. Dan
harus konsisten terhadap perintah-perintah
Tuhan dalam melaksanakan kewajiban-
kewajiban yang dperintahkan. Karena itu sabar
adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim
untuk melaksanakan perintah-perintah Tuhan
dan meninggalkan larangan-larangannya.
f. Ridha
Rasulullah SAW bersabda dan berkata
kepad Ibnu Abbas’:
Jika kamu mampu untuk beramal kepada
Allah dengan penuh keridhaan dan keyakinan
maka lakukanlah, dan jika kamu tidak mampu
untuk melakukannya maka ketahuilah bahwa
kesabaran itulah yang akan menolongmu untuk
melakukannya dengan sebaik mungkin”.
Ridha adalah bagian dari amalan-amalan
hati (batin) dan pengaplikasian nya terdapat
pada pujian-pujian terhadap Allah SWT. dalam
berbagai hal (keadaan), sebab ridha itu adalah
kerelaan hamba atas ketentuan-ketentuan Allah
SWT. yang sudah ditakdirkan kepadanya.
Demikianlah sifat ridha sebagai ciri yang
harus ditempuh bagi orang yang mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Dalam hadis yang lain
disebutkan:
“Alllah telah memutuskan segala sesuatu dengan
ketentuan-Nya, barang siapa yang ridha terhadap
keputusan-keputusan-Nya, maka ia pantas
mendpatkan ridha-Nya. Dan barang siapa yang
enggan atas keputusan-Nya, maka ia pantas
mendpatkan murka dari-Nya”.
Demikianlah beberapa diantara al-
maqāmāt yang disinggung oleh Ibnu Taimiyah
dalam beberapa karyanya, disamping tentu saja
beberapa maqam lain yang belum sempat kami
bahas pada kesempatan ini.
Ahwāl
Salah satu ahwāl yang dibahas oleh Ibnu
Taimiyah adalah al-mahabbah (cinta). Di sini
terlihat bahwa mungkin penempatan ini tidak
sama dengan pandangan sebagian sufi yang
menempatkan al-mahabbah sebagai maqām. Ini
tentu dapat dimaklumi, sebab meskipun para
sufi dapat dikatakan sepakat atas perbedaan
maqām dan hāl bahwa maqam adalah sesuatu
yang diusahakan oleh seorang hamba, sedangkan
hāl adalah anugrah dari Allah dan bersifat
sementara atau tidak tetap, namun dalam
Hj. Duriana
28 | Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon
menyimpulkan apakah sesuatu itu termasuk al-
maqāmāt atau al-ahwāl sangat bergantung pada
hasil ijtihad masing-masing sufi.
Al-Mahabbah menurut Ibnu Taimiyah adalah
sebuah kecenderungan hati tanpa beban
(paksaan) pada Allah dan pada apa yang ada di
sisi-Nya. Al-Mahabbah inilah yang ditetapkan
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah serta disepakati
oleh para salaf shaleh, imam-imam hadis dan
mutasawwuf. Ibnu Taimiyah juga memandang
bahwa al-mahabbah adalah landasan dasar
setiap amalan keagamaan, inti iman adalah cinta
dan benci karena Allah.
Jika penghambaan kepada Allah
menyatukan dua unsur yaitu cinta yang
sempurna dan ketundukan yang sempurna pada-
Nya, maka penghambaan dan penyerahan diri
seperti ini akan menganugrahkan kemerdekaan
bagi jiwa manusia dalam menghadapi siapa pun
selain Allah. Sehingga semakin bertambah
kecintaan pada Allah dalam hati, maka semakin
bertambah pula penghambaan pada-Nya.
Dan semakin bertambah penghambaan
manusia pada-Nya, akan semakin merdekalah ia
dari selain-Nya. Jika hal tersebut bisa dicapai
oleh manusia, inilah kebahagiaan manusia
mencapai titik tertingginya. Yaitu ketika manusia
hanya bersandar sepenuh-penuhnya hanya
kepada Allah dan terbebas dari ikatan pada
sesama makhluq. Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Maka hati tidak akan baik, beruntung,
merasakan kelezatan, bergembiraan, merasakan
kebaikan dan keteguhan, serta meraih
ketenangan kecuali dengan menghamba pada
Rab, mencintai dan kembali pada-Nya”.
G. Penutup
a. Pandangan Ibnu Taimiyah tentang tasawuf
tidak terlepas dari metode pemikiran yang
telah diyakininya sebagai metode yang
paling benar metode itu adalah
menempatkan al-Qur’an dan al-Sunnah
sebagai dasar dalam masalah pokok-pokok
akidah maupun masalah-masalah furu’iyyah
(cabang).
b. Ibnu Taimiyah menawarkan satu konsep
sufi yang berdasarkan kepada Al-Quran dan
Sunnah. Baginya, gerakan sufisme yang saat
itu berkembang sudah harus dikembalikan
kepada yang standar dan mainstream
(berdasar al-Quran & Sunnah), karena
memang obsesi keislamannya sebagai
pengikut aliran salaf adalah kembali kepada
al-Qur’an dan sunnah. Hal ini tergambar
pada konsep tasawufnya yang senantiasa
dibarengi dengan dalil-dalil al-Qur’an
maupun Hadis Rasulullah SAW.
sebagaimana yang terdapat dalam karyanya
kitab al-Tuhfah al-Irāqiyyah fi al-A’māl al-
Qalbiyyah
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni,Yusran. 1998. Pengantar Studi
Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
dalam Islam, Cet. II; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan
Terjemahnya.
http://almakmun.com/?p=85 (5 Agustus 2013).
Ibnu Katsir. 1966. Al-Bidayah wa al-Nihayah,
Jilid 13. Cet. I; Beirut Maktabah al-Ma’arif.
Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al-Tuhfah Al-Irāqiyyah Fi Al-A’māl Al-Qalbiyyah
Jurnal Fakultas Ushuludin Dan Dakwah IAIN Ambon | 29
Ibnu Taimiyah. 1389 H/1969 M. Jamī’ al-Rasā’il:
Tahqīq: Dr. Muhammad Rasyad Salim,
Mathba’ah al-Madan.
______. 1997. Majmū' al-Fatāwā,Kitab al-
Tasawwuf, Jilid XI. t.tp.: Mahfuzat.
______. 1997. Majmū’ al-Fatāwā Kitāb ‘Ilmu al-
Sulūk , jilid X. t.tp.: Mahfuzat.
Michel S.J,Thomas. 1982. dalam Mulyanto
Sumardi, Penelitian Agama Masalah dan
Pemikiran. Cet. I; Jakarta: Sinar Harapan.
Nasution, Harun. 1995. Falsafah dan Mistisisme
dalam Islam . Cet. IX; Jakarta: PT. Bulan
Bintang.
al-Qusyairy, Abu al-Qasim. 1385 H/ 1966 M. Al-
Risalah al-Qusyairiyah: Tahqiq: Dr. ‘Abdul
Halim Mahmud, Cet. I; Dār al-Ta’lif.
Said Abdul “azhim. 2005. Ibn Taymiyah, al-Tajdīd
al-Salafī wa Da’wati al-Iṣlāhiyyah.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh Faisal Saleh dan Khoirul Amru
Harahap dengan judul Ibn Taymiyah,
Pembaharuan Salafi dan Dakwah
Reformasi, Cet. I; Jakarta: Pustaka al-
Kautsar.
Simuh. 1997. Tasawuf dan Perkembangannya
dalam Islam. Cet. II; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Recommended