Upload
duongkhanh
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PEMIKIRAN ETIKA POLITIK IBNU TAIMIYAH
DAN IBNU KHALDUN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Asep Sholahuddin
NIM : 107045200266
Program Studi
Siyasah Jinayah Syari’ah
Fakultas syari’ah & Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya nyatakan, bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Stara 1 di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya sesuaikan dengan
ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari skripsi ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan
dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 Mei 2014
ASEP SHOLAHUDDIN
ABSTRAK
Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik kehidupan manusia. Manusia
dibedakan dari binatang, oleh karena itu ia bertindak dengan sadar diatas kemampuanya
sendiri, dan oleh karena itu ia bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya. Manusia
sebagai mahkluk sosial tentu memiliki dimensi politik dalam kehidupanya. Politik adalah
ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai
kehidupan yang baik.
Untuk mencapai sebuah kekompakan, ketertiban, dan apa yang diharapkan oleh mansyarakat
maka masyarakat tidak bisa bekerja sendiri, mereka butuh kerja sama satu sama lain. Dalam
kerja sama tersebut dibutuhkan seorang nahkohda untuk menyetir apa yang sudah
diharapkan. Jika pemimpin Rusak, niscaya rusak pula rakyat yang dipimpinya, demikianlah
sebuah fenomena meyedihkan yang senantiasa menghantui pikiran Ibnu Taimiyah.
seorang penguasa politik atau pemimpin, wajib “menyapaikan amanat kepada pemberi
amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil.’ Maksudnya, ia harus menerapkan hudud
terhadap kelas bangsawan maupun rakyat jelata secara adil dan proposional. Hal tersebut
akan menciptakan kondisi dan situasi yang baik untuk sebuah lingkungan masyarakat. Maka
tidak mudah menjadikan seorang pemimpin yang baik.
Oleh karna itu perlu dipahami bahwa kemudian, pemimpin harus memahami makna dari
sebuah etika politik secar subtantif, bukan hanya memhami saja tetapi juga mempraktekan
semua apa yang telah dipahami oleh pemimipin tentang etika politik. Karna, ini menjadi
pondasi awal untuk terciptanya negara kejehatreaan.
Dalam hal ini, penulis akan mencoba memahami apa itu etika politik dari dua tokoh muslim
yang yang sampai saat ini bisa dijadikan rujukan dalam refrensi teori politik islam. Baik dari
orentalisme maupun dari muslim itu sendiri. Yaitu Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khladun. Dua
tokoh islma ini memiliki kehidupan pada masa yang berbeda dan situasi yang juga dpat
dikatakan beda juga.
Tentu etika politik dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, sehingga perlu juga
dibahasa mengenai kekuasaan dari dua persfektif tokoh tersebut, baik pemahaman tentang
sebuah sistem kenegraan dan maupun. Tentu bukan hal mudah memahami dua pemikiran
politik tersebut dengan rujukan buku yang sampai masih terlalu minim. Tapi minimal prinsip
tentang kuasaan dua pemikir islam tersebut bisa dijadikan pandangan dalam merumusakan
atau menulis skripsi tersebut.
Demikian abstrak tentang skripsi dengan tema “PEMIKIRAN ETIKA POLITIK IBNU
TAIMIYAH DAN IBNU KHLADUN” yang bisa penulis sampaikan pada kesempatan kali
ini. Mudah-mudahan apa yang sedikit penulis sampaikan dapat menimbulkan semangat baru
dalam memhami pemikiran politik Islam kedepan, khususnya untuk penulis.
KATA PENGANTAR
Segala puji atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allas SWT, baik itu nikmat
Iman, Islam dan sehat walafiat, karna sehat kita dapat menjaga Ke-Imanan kita, kita menjaga
Ke-Islaman kita dan kita tetap bisa menjalankan segala aktifitas kita. Salawat serta salam tak
lupa kita curahkan, kita limpahkan kepada baginda kita Nabi besar Muhammad SAW yang
menjadikan kisah hidupnya menjadi rujukan awal kita dalam kehidupan di dunia ini. Di mana
skripsi ini penulis susun dengan maksud untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana (S1) jurusan Hukum Ketatanegaraan Islam, program studi Jinayah
Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN sayrif Hidatullah Jakarta. Dengan judul skripsi
“Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun”
Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan
semangat dari berbagai pihak dan untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat :
1. Prof. Dr. H. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2009 – 2014
2. Dr. JM. Muslimin, MA, Selaku Dekan terpilih Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidatullah Jakarta, Periode 2014-2019
3. Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Afwan Faizin, M. Ag
seketaris Program studi Jinayah Siyasah atas kesabaran dan waktunya dalam
menghadapi semua pertanyaan penulis. Kepada dosen yang telah memberikan ilmu,
tenaga dan waktu yang luar biasa kepada penulis selama ini , serta tidak lupa staf
perpustakaan Syariah dan hukum Universitas Islam Negeri Jakarta.
4. Kepada pembimbing skripsi, yang penulis hormati Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah
yang telah memberikan saran, masukan dan pengarahan yang sangat bearti bagi
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Kepada kedua orang tua penulis yang sangat penulis hormati dan cintai, Ayahanda H.
M. Arju dan Ibunda tercinta Hj. Rohaini yang selalu mendidik penulis dengan penuh
kesabaran dan cinta, mengarahkan penulis tentang esensi kehidupan, dan terus
memberikan semangat yang tak pernah henti, tentu doa ayahanda dan ibunda yang
selalu terucap disetiap lantuan dari kedua mulut ayahanda dan ibunda yang
memberikan nafas keimanan dan keislaman disetiap langkah penulis ini.
6. Kepada saudara-saudara penulis yang selalu memberikan semangat dan nasehat nya,
Ka’ Yuli, A’ Ocil, Ka’ Bedah, A’ Arif, A’Irfan, Ka’Ijeh. Nasehat dan motivasi kalian
sangat menggugah semangat penulis dalam menjalankan kehidupan menjadi dewasa
dan segara menyelesaikan kuliah ini, alhamdulillah dengan rasa syukur, perkulihan
akhir dapat diselesaikan.
7. Kepada teman-teman jurusan SS ’07, Andi Mardiansyah, Sifak Muhammad Yus, alan,
arifin, lugina, reza arif, ade, panden, aden, okta, iqri, uus, bagus, alif, lisa, semua yang
menjadikan kelas rame dengan ide dan banyolan temen, akhir skripsi ini bisa
diselsaikan. Salam hormat buat kalian.
8. Kepada senior-senior HMI Komisariat Fakultas syariah dan hukum yang selalu
mengingatkan dan membimbing penulis dalam menjalankan sebuah organisasi.
Sampe akhir nya selalu di ingatkan tentang penyelesaian skripsi, kapan bisa
diselesaikan.
9. Kepada senior-senior LKBHMI yang terus membina dan mengningatkan penulis
selama menjadi mahasiswa dan kader HMI KOMFAKSY, kanda Fahmi Ahmadi,
Kanda Ihndi Karim Kamikn Ara, Kanda Teungku Mahdar Adrian, Kanda Ali
Fernandes, Kanda Isnur, Kanda Ajuba, Kanda Hamdam, Kanda Asep Syamsuri,
Kanda Fauzul Azim, semoga semua yang telah kalian berikan kepada penulis dapat
bermanfaat.
10. Kepada sahabat seperjuangan, bro Ridho Akmal Nasution yang selalu setia menemani
penulis disetiap kegelisahan penulis maupun menemani penulis dalam perjuangan.
Ketulusan dalam mendengarkan dan memberikan saran merupakan indikator skripsi
ini bisa terselsaikan.
11. Kepada teman-teman utramen, deden, duduh, wisnu, nu’man, obi, bogel, icank,
ersyad, hamim, byib, aam, erik, abler, iir, kegilaan kita dapat menyujukan otak dalam
kepeningan.
12. Kepada sahabat seperjuangan, humaidullah irpan, Abiyudin, Ismail, Irpan Pasaribu,
Suhendra, Abdurahman, semoga kalian dapat meneyelsaikan skripsi dengan baik dan
benar tentu dengan waktu yang tepat pula.
13. Kepada teman-teman Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 2013-2014, yang sama-
sama mengawal sebuah organisasi dan membantu penulis dalam menjalankan estapet
organisasi untuk penyelesaiaan Skripsi ini.
14. Kepada teman-teman HMI Cabang Ciputat, yang selalu menguji penulis dalam hal
melatih kesabaran, melatih kedewasaan dan melatih kebijaksanaan. Semoga kita ke
depan dapat menjadi insan yang paripurna.
15. Kepada teman-teman Komisariat, komisariat KOMFAKSY, KOFAH, KOMTAR,
KOMFUF, KOMFAKDA, KAFEIS, KOMFASTEK, KOMPSI, KOMFISIP,
KOMFAKDIK, KOMFAKDISA, KOTARO, KOMICI, dan KOMIPAM, terima kasih
16. atas segala support dan kritikan yang telah diberikan. Semoga kita dapat melaksankan
apa yang telah kita harapkan.
17. Kepada senior-senior dan teman-teman LinK Ciputat, semoga hubungan emosional
kita dapat menjadikan kedewaasn dalam bertindak dan menjadikan diri kita diri yang
berkripadian yang baik.
Demikian ucapan terima kasih ini dari penulis, penulis berharap semoga Allah SWT
yang membalas segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis juga
berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang lain dan dapat menjai pendidikan bagi
pemabaca.
Jakarta, 13 Mei 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ………………………………………………..……. ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………...….. 1
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………....…..... 1
B. Perumusan, dan Pembatasan Masalah ………………………........... 12
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian........................................... 13
D. Metode Penelitian................................................................................ 14
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 16
F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 18
BAB II PENGERTIAN KEKUASAAN DAN ETIKA POLITIK ..... 20
A. Pengertian Kekuasaan dan Pemerintahan ........................................ 20
a) Kekuasaan ................................................................................. 20
b) Pemerintahan ............................................................................ 22
B. Moral dan Etika ............................................................................... 25
a) Pengertian Moral ....................................................................... 25
b) Pengertian Etika ........................................................................ 26
C. Pengertian Etika Politik ................................................................... 28
vii
BAB III KEKUASAAN MENURUT IBNU TAIMIYAH DAN IBNU
KHALDUN .............................................................................................. 39
A. Konsep Kekuasaan Menurut Ibnu Taimiyah ................................... 39
a) Kekuasaan Tuhan ...................................................................... 39
b) Kepala Negara ........................................................................... 45
B. Konsep Kekuasaan Menurut Ibnu Khaldun ..................................... 51
a) Ashabiyah dan Kekuasaan ........................................................ 51
b) Ashabiyah Fondasi Kekuasaan dan Kedaulatan ...................... 54
BAB IV PEMIKIRAN ETIKA POLITIK IBNU TAIMIYAH DAN IBNU
KHALDUN ............................................................................................... 56
A. Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah, .......................................... 56
B. Pemikiran Etika Politik Ibnu Khaldun, ........................................... 60
C. Perbandingan Etika Politik Ibnu Khaldun dan Ibnu Taimiyah ........ 66
BAB V PENUTUP .................................................................................... 72
A. Kesimpulan ...................................................................................... 72
B. Saran ................................................................................................ 75
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik
kehidupan manusia. Manusia dibedakan dari binatang, oleh karena itu ia
bertindak dengan sadar diatas kemampuanya sendiri, dan oleh karena itu ia
bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya, yaitu selain bernilai
guna untuknya juga benar dalam arti saat dipertahankan secara
argumentatif berhadapan dengan klaim-klaim alternatif, itu sejalan dengan
pemikirannya Aristoteles bahwa kebijikan intelektual baginya tinggi
nilainya, karena dasarnya adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip etis,
sedangkan kebijakan etis ynag mengusasi perasaan yang alami adalah hasil
dari cara hidup yang baik dengan jalan kebiasaan berpikir berkemampuan
dan berbuat baik secara sadar.1
Etika sendiri dibagi lagi kedalam etika umum dan etika khusus.
Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi
segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-
prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai
lingkungan kehidupannya. Dibendakan antara etika induvidual yang
mempertanyakan kewajiban manusia sebagai induvidu, terutama terhadap
1 Prof. Dr. H. Muh. Said, Etika Masyarkat Indonesia, (Jakaarta Pramudya paramida,
1980), hal.89
2
dirinya sendiri dan melalui suara hati, terhadap yang Ilahi, dan etika sosial.
Etika sosial jauh lebih luas dari etika induvidual karena hampir semua
kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan
makhluk sosial. Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi
yang sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya
menetukan sikap dan tindakan antarmanusia.2
Musyawarah merupakan peruwujudan dari etika politik Islam yang
telah dicontohkan oleh Rasullah dan para sahabatnya. Etika politik
berkembang dari masa kemasa, setiap periode dalam sejarah politik dunia
Islam memiliki ciri etika dan tingkah laku politik, masing-masing, pemikir
Islam yang membahas tentang masalah ini diantaranya: Ibnu Taimiyah,
Ibnu Khaldun, Al Farabi, Ibn Abi Ar Rabi, Ibn Hazm, , dan lain-lain...
Etika Politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir pada saat zaman
yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk.
dengan keambrukan itu muncul pertanyaan bagaimana seharusnya
masyarakat ditata. Dua ribu tahun kemudian, empat ratus tahun yang lalu,
etika politik bertambah momentumnya. Legitimasi kekuasaan raja dalam
paham tatanan hirarkis kosmos tidak lagi diterima begitu saja. Legitimasi-
legitimasi tradisional kehilangan daya ikatanya. Legitimasi tatanan hukum
dan negara dan hak raja untuk memerintahkan masyarakat, dipertanyakan.
Itulah situasi kebangkitan filsafat politik pada awal zaman industrilisasi.
2 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegraan Modern,
(Jakarta : PT Gramedia, 1988), hal. 13
3
Klaim-kliam legitimasi kekuasaan yang daling bertentangan menurut
refleksi filosofis atas prinsip-prinsip dasar kehidupan politik.3
Manusia sebagai mahkluk sosial tentu memiliki dimensi politik
dalam kehidupanya. Politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau
politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang
baik, di Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loh jinawi, orang
yunani kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakanya sebagai en dam
onia atau the good life.4 Selain itu, politik dalam suatu negara itu berkaitan
dengan pendekatan kenegaraan, kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijakan dan pembagian kekuasaan5. Berdasarkan pendekatan
kenegaraan, politik artinya sebagai sesuatu yang berkaitan dengan tujuan-
tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan
negara dan berdiplomasi dengan negara-negara lain. Selanjutnya politik
sebagai kekuasaan diartikan sebagai suatu alokasi nilai-nilai otoritatif yang
menajdi bagian dari tindakan atas nama pemerintaha atau negara.6
Negara dalam prinsip-prinsipnya yang modern, dipahami sebagai
sebuah consensus, dimana sejumlah warga negara dalam satu teori tertentu
membentuk kesepakatan bersama untuk mengasosiasikan diri dalam
asosiasi kepentingan bernama negara. Negara sendiri dibentuk dengan
3 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegraan Modern,
(Jakarta : PT Gramedia, 1988), hal. 3 4 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu politik, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 2008),
hal.13 5 Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu politik, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 2008), hal.14
6 Hugo. F. Reading, kamus ilmu-ilmu Sosial, Terjemahan Sehat Simamora, (Jakarta :PT.
Rajawali, 1986), hal. 305
4
maksud mewujudkan tujuan-tujuan dasar berlandasakan kehendak kolektif
warganya (Volone Generale, J.J Rosusseau, 1712-1778).
Tujuan negara adalah untuk menjalakan ketertiban dan keamanan,
mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi warga negaranya. Timbul
suatu negara tidak akan terlepas dari teori contrak sosial yang diungkapkan
oleh Thomas Hobbes, Jhon Locke dan JJ Rousseau. 7
Kontrak Sosial merupakan perjanjian antara masyarakat yang ingin
membentuk suatu negara, suatu pemerintahan bersama yang melayani
mereka. Kemudian rakyat ini menyerahkan kedaulatan kepada suatu
lembaga, person ataupun sekelompok orang yang mendapat amanat untuk
menjalankan kedaultan tersebut. Sehingga apa yang menjadi tujuan
bersama dapat menjadikan kebutuhan masayarkat dalam kehidupan dalam
satu ikatan sosial.
Atas dasar tersebut maka lahir lah teori demokrasi reprensentatif8.
Karena pada saat ini tidak mungkin semua rakyat berkumpul untuk
menentukan keinginannya setiap saat. Direct democaracy adalah suatu
bentuk pemerintah dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan
politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang
bertindak berdasarkan prosedur-prosedur mayoritas. Karena faktor
populasi penduduk yang terus bertambah maka tidak mungkin dilakukan
7 M. Solly Lubis, Ilmu Negara (Bandung: Mandar Maju, 1989), hal.35
8 Jimlly Asshiddiqie, Gagasan Kedaultan Rakyat Dalam konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal.70
5
pada satu tempat dan pada suatu saat, sehingga harus dicari pemecah
masalahnya. Dan mucunlah konsep demokrasi perwakilan rakyat atau
yang sering disebut sebagai demokrasi representatif, akhirnya demokrasi
representatif ini hampir dilakukan disetiap negara modern pada saat ini.
Selain itu Ibnu khaldun dalam bukunya muqqadimah,
sesungguhnya organisasi masyaraka (Ijtima‟ insani) umat manusia adalah
keharusan. Para filosof melahirkan kenyataan ini dengan perkataan
mereka, manusia adalah bersifat politis menurut tabiat nya. Ini bearti,
memerlukan satu organisasi kemsyarakatan, yang menurut para filosof
dinamakan kota.9 Pernyataan Ibnu Khaldun ini menjentawantahkan sebuah
kekuatan sosial yang memiliki kekuatan saling membantu satu sama lain
sehingga, tujuan untuk menemukan the good life itu bisa tercapai. Selanjut
Ibnu Khaldun berpendapat, tanpa organisasi itu eksistensi manusia tidak
akan sempurna. Keinginan tuhan hendak memakmurkan dunia dengan
mahkluk manusia, dan menjadikan mereka khalifah di permukaan bumi ini
tentulah tidak terbukti. Inilah arti yang sebenarnya dari peradaban.10
Ketika umat manusia telah mencapai organisasi kemasyarakatan
seperti kita sebutkan itu, dan ketika peradaban dunia telah menjadi
kenyataan, umat manusia pun memerlukan seseorang yang akan
melaksanakan kewibawaan dan memilihara mereka, karena permusuhan
dan kezaliman adalah pula merupakan watak hewani yang dimiliki oleh
9 Ahmadie Thoha, Mukaddimah ibnu khladun, (Jakarta: pustaka Firdaus), hal.71
10 Ibid,hal. 73
6
manusia. Senjata yang dibuat manusia untuk pertahanan dari serangan
binatang tidaklah mencukupi bagi pertahanan terhadap serangan sesama.
Dan ini tidaklah mungkin datang dari luar. Maka dengan sendirinya yang
akan melaksanakan kewibawaan itu haruslah salah seorang dianatara
mereka sendiri.11
Di setiap induvidu manusia memiliki sifat hewan yang berada
didalam nya, dengan demikian mereka manusia harus menjaga kebiwaan
nya diantara mereka sendiri, hal ini senada dengan apa yang dimaksud
dengan konsep representatif yang ada pada era modern saat ini. Hubungan
dengan ide demokrasi ini, ibnu khaldun mengakui bahwa terdapat banyak
negara yang tidak mendasarkan kebijakan dan peraturan negara atas ajaran
dan hukum agama, akan tetapi negara dapat mewujudkan ketertiban,
keseraisan hubungan antara para warga, bahkan dapat berkembang dan
jaya.12
Sejarah politik dunia islam dibagi menjadi tiga periode: pertama,
periode Klasik (650-1250 M): Kedua, periode Pertengahan (1250-1800
M): dan periode modern (1800 sampai sekarang). Dalam sejarah Islam
masa periode pertama ini dikenal dengan “masa kemasan”. Sebagai masa
keemasan, ia seringkali dijadikan tolak ukur dan rujukan keteladanan.13
11
Ibid, hal. 74 12
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hal.109-110 13
Dr. Badri yatim, M.A, sejarah Peradaban Islam (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2001), hal.6
7
Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan
bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Adanya dukungan dan rasa
kebersamaan yang terbentuk inilah seorang pemimpin dalam mengatur dan
menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan
tentara yang kuat dan loyal.14
Al Ashabiyah secara harfiah jika diterjemahkan kedalam bahasa
indonesia bearti rasa satu kelompok atau solidaritas sosial.15
Ashabiyah
juga mengandung makna group feeling, solidaritas Kelompok, Fanatisme
Kesukuan, Nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih
sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu
darinya diperlukan tidak adil atau disakiti. Untuk bertahan hidup
masyrakat harus memiliki sentimen kelompok (ashabiyah) yang
merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia,
pembangkit suatu klan. Klan yanng memiliki ashabiyah kuat dapat
berkembang menjadi sebuah negeri.16
Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan, karena solidaritas
sosial itulah yang mempersatukan tujuan, mempertahankan diri dan
mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas
golongan nya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada
hubungan dengan nya. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas
14
Ibn Khaldun, Muqaddimah, penerjemahan Ahmadie Taha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986),hal.104
15 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Neagara (Jakarta: UI Press, 1993), hal. 104
16 Ibn Khaldun, Muqaddimah, hal. 120
8
lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun
tujuan yang lebih tinggi dari kedaultan. Akhirnya, apabila suatu negara
sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas
sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara
sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian,
negara akan memasukan para pengikut solidaritas sosial yang kuat
kedalam kedaultannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung
negara.17
Dalam kehidupan modern, persoalan etika dan moral sering
menjadi perbicangan publik. Tinjauan filsafat tentang makna dan definisi
filsafat, etika dan moral sangat bergam bagi tiap-tiap pakar. Secara
sederhana bisa dikatakan bahwa penggunaan “etika” dan “moral” selalu
menerangkan perbandingan antara nilai yang baik dan buruk, yang berlaku
bagi semua semua bidang kehidupan manusia.18
Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif,
kekuasaan negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai
dengan struktur ganda kemampuan manusia. Atau secara singkat, etika
politik membahas hukum dan kekuasaan. Sepintas saja kelihatan bahwa
dua-duanya sehrusnya tidak terpisah. Hukum tanpa negara tidak dapat
berbuat apa-apa, sifat normatif belaka, hukum tidak mempunyai suatu
kemampuan untuk bertindak. Sedangkan negara tanpa hukum adalah buta
17
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 166-167 18
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegraan Modern, (Jakarta : PT Gramedia, 1997), hal. 363
9
dan merosot ke tingkat sub-manusiawi karena tidak lagi berdasarkan
tatanan normatif. Negara yang memakai kekuasaannya di luar hukum sama
dengan manusia yang berbuat tanpa pengertian. Negara semacam itu
menjadi penindas dan irasional. Kekuasaan diluar hukum mengerikan.
Jelas juga bahwa baik hukum maupun negara memerlukan legitimasi.
Hukum harus dapat memperlihatkan mengapa tatanan inilah yang
ditetapkan dan bukan tatanan alternatif. Dan negara harus melegitimasikan
penggunaan kekuasaannya. Maka tema utama etika politik adalah masalah
legitimasi hukum dan kekuasaan serta penilaian kritis terhadap legitimasi-
legitimasi yang diajukan.19
Jika pemimpin Rusak, niscaya rusak pula rakyat yang dipimpinya,
demikianlah sebuah fenomena meyedihkan yang senantiasa menghantui
pikiran Ibnu Taimiyah. Fenomena inlah yang menurut beliau, sebagai
penyebab utama kerusakan kaum musilimin, terampasnya negara dan
kehormatan mereka, serta pendorong musuh-musuh Islam untuk meyerang
kaum muslimin. Bahwa fenomena inilah pula yang merupakan virus utama
dari segala jenis penyakit yang diderita kaum Muslimin.
Seiring perkembangan zaman yang sudah melakukan transformasi
dalam segala pemaham politik dan refresentatif demokrasi yang sudah
menjamur diseluruh negara modren sehingga melakukan sebuah cara
untuk mendapatkan kekuasan itu bisa dilakukan dengan cara apapun,
19
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegraan Modern, (Jakarta : PT Gramedia, 1988), hal. 21
10
nampak kepribadian binatang yang muncul pada dirinya. Melihat
penguasa belakangan ini menciptakan sebuah produk hukum yang tentu
mendiskrditkan minoritas, apa yang disebut ibnu khaldun bahwa para
penguasa harus mendapatkan dukungan dari solidaritas yang mayoritas
sehingga hukum alam kausalitas berlaku pada saat ini.
Politiknya diilhami oleh versi syariat yang sesuai dengan missinya
yang menyeluruh, telah diperbarui. Usahanya untuk menegakan kesucian
moral dalam tradisi Hanbali tidak dilakukan, sebagaimana pendahulunya,
melalui pengabaian semu terhadap praktik politik, namun melalui aplikasi
syariat ke dalam urusan pemerintahan. Ia menolak pandangan al-Marwadi
yang menyetakan bahwa kekuatan penguasa (Sultan), selama diakui oleh
khalifah tertinggi dan dibenarkan syariat, secara de facto dapat dianggap
independen dan sah menurut Islam. Isa mensyaratkan kriteria yang lebih
keras untuk diaplikasikan.
Tujuan Ibnu Taimiyah adalah membangun pemerintahan yang
berdasarkan syariat (siasayah syar‟iyyah). Risalah Ibn Taimiyah dimulai
dengan mengingatkan bahwa Tuhan telah menetapkan “pengetahuan dan
pena dengan tugas untuk meyampaikan dan menyeru, serta kekuasaan dan
pedang dengan penegasan superioritas Islam atas dua agama wahyu
lainnya dengan argumen bahwa keduanya menyatakan agama tanpa
berusaha untuk memenuhi “syarat-syarat yang dibutuhkan untuk
esksistensinya, yakni kekuasaan jihad , dan sumber materi”. Menurut Ibnu
Taimiyah, masalah yang dihadapai umat dewasa ini adalah bahwa, di satu
11
sisi, para pemimpin berpikir mereka dapat mencapai tujuan spiritual
semata-mata dengan kesalehan. “ dengan demikian mangkir dari semua
partisipasi kehidpuan politik, namun pada saat yang sama melarangn
keterlibatan orang lain”. Jalan benar adalah, sekali lagi, jalan tengah
(wasath) memperhatikan kepentingan masyarakat dalam aspek material
dan moraldan terlibat dalam kekuasaan”.20
Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan
tanpa kekuasaan politik. Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran benar-benar tidak dapat dicapai “kecuali melalui
kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam)‟. Dan “keseluruh kewajiban lain
yang telah ditetapkan Tuhan- yaitu jihad, keadilan, haji, salat jamaah...
menolong kaum yang tertindas, penerapan hudud, sebagainya- tidak dapat
ditunaikan kecuali melalui kekuasaan dan otoritas pemimpin”. “agama
tanpa sultan (kekuasaan), jihad, harta, sama buruknya dengan sultan, harta
dan perang tanpa agama.”21
Lord Acton menyebutkan, bahwa power tends to corrupt, but
absolute power corrupts absolutely (manusia yang mempunyai kekuasaan
cendurung untuk menyalahgunakannya, akan tetapi manusia yang
mempunyai kekuasaan absolut sudah pasti akan menyalahgunakannya).
Tentu dalam hal ini setiap penguasa cendrung menyalahgunakan
20
Antoni Black, Pemikiran Politik Isalm: dari masa Nabi hingga masa kini, Penerjemah Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati. (Jakarta ; PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2001), hal. 229
21 Antoni Black, Pemikiran Politik Isalm: dari masa Nabi hingga masa kini, Penerjemah
Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati. (Jakarta ; PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2001), hal. 230
12
kekuasaan yang direbut secara politik tersebut, padahal mendefinisikan
politik pada awalnya adalah cara bagaimana menggapi kehidupan yang
baik. Dengan demikian ini menjadi persoalan serius untuk dijadikan
sebuah rujukan bagaimana menciptakan negara kesejahteraan. Tentu para
representator yang diamanatkan untuk menggapai kehidupan yang baik
perlu membenahi diri dari persoalan Etika di era Demokrasi Refresntatif
ini.
Dari latar belakang diatas, terserat keingingan dari penulis unutk
mengadakan pengkajian yang lebih faktual resfresentatif mengenai
pemikiran terhadap bidang politik, terutama dalam bidang etika politik
demokrasi. Maka dengan ini penulis mengambil judul skripsi
“PEMIKIRAN ETIKA POLITIK IBNU TAIMIYAH DAN IBNU
KHALDUN.”
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Dari uraian diatas perlu melakukan pembatasan masalah agar
penilitian ini lebih terarah. Pembahasan dalam tulisan ini terfokus, pada
dampak etika politik sebagai kenyataan dalam kehidupan masyarakat yang
tidak membiarkan segala macam klaim wewenang menjadi mapan begitu
saja. Maka kekuatan-kekuatan yang ada terdesak untuk membenarkan diri
pada bidang wewenang yang sebanar-benarnya.
Dalam penulisan skripsi ini penulis mencoba membatasi dan
merumuskan masalah sekitar pembatasan.
13
1. Bagaimana Konsep Kekuasaan menurut Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Khladun?
2. Bagaimana Konsep Etika Politik menurut Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Khladun ?
3. Begaimana Perbandingan Etika Politik menurut Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Khladun ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui konsep Kekuasaan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khladun.
2. Untuk mengetahui Konsep Etika Politik Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Khaldun
3. Untuk Mengetahui Perbandingan Etika Politik Islam Ibnu Taimiyah dan
Ibnu Khaldun
Adapun manfaat penilitian adalah sebagi berikut :
1. Sebagai bahan penyusun skripsi yanag merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh derajat kerjasama program studi Siyasah Syar‟iyyah.
2. Menambah wacana ilmu pengetahuan dan penilitian dalam konsep etika
politik islam Ibnu Taimiyah dan Ibn Khaldun dalam tinjauan kosnep
demokrasi untuk diteruskan dalam penelitian lainya yang relevan.
14
3. Menambah wacana ilmu pengetahuan etika politik Islam di masa
demokrasi yang kemudian bisa di aktualisasikan pada konstelasi politik
daerah maupun nasional.
4. Sebagai sumbangan dan sekaligus pengambangan khazanah keilmuan
dibidang fiqh syiasah dalam konteks etika prilaku politik
5. Memberikan pemahaman bahwa dalam konteks politik terdapat etika yang
perlu dijaga maupun dalam paham politik demokrasi refresentasif.
D. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penilitian dengan bahasan konsep Etika Politik Islam
dalam tinjuan ketatanegara Islam ataupun Etika Politik ketatanegaraan
modern telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spesifik topik tersebut
ataupun yang mengakaji secara umum yang sejalan dengan bahsan
penilitian. Berikut ini merupakan paparan tinjuan umum atas sebagian
karya-karya penelitian-penelitian.berikut ini merupakan paparan tinjuan
umum atas sebagian karya-karya peneilitian tersebut :
Buku Pertama, Ibnu Taimiyah ter. Rofi Munawwar, “As Siyasyah
Syar‟iyyah fi Ishlahir Ra‟i war Ra‟iyyah”. Dalam bukunya, Ibnu Taimiya
menggambarkan kemudnuran total yang dialami dunia Islam. Dengan gaya
penulisan yang elegan, sebagai upya menetapkan batasan atas hak-hak dan
kewajiban seorang pemimpin, disamping juga memaparkan secara rinci
hak-hak dan kewajiban rakyat yang sepenuhnya berdasarkan pada Al
qur‟an dan Sunnah Rasullah SAW. Buku ini merupakan mengungkap
15
semua sisi hubungan kemanusiaan, sekaligus yang mengarahkan kaum
Muslimin untuk meraih kekuatan dan kemuliaannya menuju umat yang
mampu mengukir sejarah kebesaran nya.
Buku kedua, Ibnu Khaldun ter. Ahmadie Thaha, “Muqaddimah”.
Ia menguraikan masalah sosial dan sejarah dan beliau hanya satu-satunya
intelektual muslim yang diterima dan diakui didunia barat, terutama ahli-
ahli sosiologi dalam bahasa inggris (yang menuliskan karya-karya nya
dalam bahasa inggris). Dari berbagi penemuan sosiologi Ibn Khaldun ada
ulsan yang paling banyak perhatian, yaitu mengenai ashabiyah, dengan
konsep ashabiyah atau solidaritas sosial apapun bisa dilakukan demi
sebuah cita-cita atupun kepentingan, sehingga ini perlu ditinjau dari sisi
etika yang penulis usulkan dalam penulisan skripsi.
Buku ketiga, yang ditulis oleh Munawir Sadzali, Islam dan Tata
Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Menguraikan pokok-pokok
pemikiran politik Islam pada zaman klasik dan pertengahan. Dlam salah
satu subbnya ia menjabarkan pmikiran Ibn Khaldun tentang konsep
ashabiyahnya dalam pembentukan sebuah negara. Namun dalam buku ini
tidak menjelaskan secara rinci ataupun detail mengenai konsep ashabiyah
baik itu yang hubungan nya dengan politik atau agama, akan tetapi bukum
ini lebih kepada poin inti yang merangkum seluruh bahasan konsep
ashabiyah.
Skripsi, Herusalem, Negara dan Agama : Sebuah Kajian Atas
Pemikiran Ibn Khaldun (2007). Dalam salah satu babnya menguraikan
16
tahapan terbentuknya negara serta keruntuhannya. Pada inti skripsi ini
tidak membahas ashabiyah, namun pada akhir nya skripsi terbut
mambahas memperoleh kekuasaan.
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan
metode penelitian analitis deskriptif. Artinya metode deskriptif digunakan
untuk menggambarkan secara obyektif materi yang akan dibahas. Metode
analitis digunakan untuk mendapat dan mengetahui implikasi dari ide etika
politik islam yang ada dalam konsep demokrasi.
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research).
Penelitin ini lebih menuntut kejelsan penelitian serta sangat menekankan
terhadap aspek analisa dan kajian teks, terutama dalam mencari informasi
dan data yang memiliki hubungan dengan obyek penelitian.
2. Pendekatan Penelitian
Mengingat obyek penelitian menyangkut kajian sejarah dan pemikiran,
maka pendekatan penilitian ini menggunakan pendekatan historis yaitu
sebuah pendekatan dengan kajian masa lampau secara sistematis dan
objektif, dengan mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta
17
mensisntesiskan bukti-bukti untuk menegggakan fakta dan memperoleh
keimpulan yang kuat.22
3. Sumber Data
Penulisan skripsi ini menggunakan dua sumber pokok dalam pengumpulan
data, yakni sumber primer dan kedua sumber sekunder23
. Adapun rincian
masing-masing sumber adalah:
a) Data Primer disandarkan pada literatur klasik Siyasah syariyyah Ibnu
Taimiyah dan Muqddimah Ibn Khaldun yang secara akademis telah
dipandang otoritatif.
b) Data sekunder merupakan sumber pendukung dari primer yang berasal
dari kepustakaan, buku-buku maupun data-data tertulis yang ada
relevansinya dengan judul skripsi ini.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengeumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset
pustaka (Library Resarch) yakni proses pengindentifikasian secara
sistematis penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang
memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian. Pengumpulan data
informasi diperoleh berdasarkan bahan-bahan yang ada diperpustakaan,
baik berupa arsip, dokumen, majalah maupun lainnya.24
5. Metode Analisa Data
22
Sumardi Surayabrata, Metodologi Penelitian, cet.XVI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004), hal.73
23 Ibid., hal, 74
24 Consuelo G Sevilla (dkk), Pengatar Metodologi Penelitian, cet.I. (Jakarta: UI Pres.
1993), hal, 37
18
Analisa data merupakan langkah yang paling penting dalam sebuah
penelitian, terutama dalam tahap ini, seorang peneliti telah memasuki
tahap penetapan hasil temuanya. Oleh sebab itu, dalam menganalisa data
penulis menggunakan metode deskriftif, yaitu dengan cara memaparkan
dan menguraikan pokok-pokok permasalahan secara menyeluruh:
komparatif yaitu sebuah metode perbandingan dengan cara menganalisa
data-data yang ada, kemudian penulis kombinasikan untuk mennghasilkan
sebuah pemikiran yang padu.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan
oleh FSH UIN Jakarta 2007.
F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima (5) bab bahasan,
dengan perincian sebagai berikkut :
BAB I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan
masalah, tujuna dan manfaat peneilitian, tinjauan psutaka,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : Menjelaskan pengertian Kekuasaan Politik dan Pemerintahan
secara umum dan Menjelaskan Etika secara umum dan
menjelasakan kerangka teori etika. Menjelaskan definisi etika
19
dan menjelasakan definisi moral. Pembagian etika dan
menjalasakan ke dalam etika deskriftif dan etika Normatif.
BAB III : Memaparkan Konsep Kekuasaan Politik menurut Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Khaldun dan menjelasakan Biografi dan
Seting sosial Ibnu Taimiyah & Ibu Khaldun,
BAB IV : Mempaparkan konsep pemikiran etika politik islam Ibnu
Taimiyah & Ibnu Khaldun, dan Menjelaskan Perbandingan
Pemikiran Etika politik Ibnu Taimiyah dengan Pemikiran
Etika Politik Ibnu Khaldun.
BAB V : Sebagai penutup bagi seluruh rentetan pembahasan
sebelumnya, menuliskan kesimpulan-kesimpulan yang dapat
penulis ambil dan beberapa gagasan penulis yang dituliskan
oleh penulis.
20
BAB II
PENGERTIAN KEKUASAAN DAN ETIKA POLITIK
A. Pengertian Kekuasaan dan Pemerintahan
1. Kekuasaan
Istilah “kekuasaan” merupakan bentukan dari “kuasa” yang diberi
imbuhan “ke” dan “an”. Jadi, secara fleksibel kuasa mempunyai banyak
arti diantaranya adalah “kemampuan” atau “kesanggupan” (untuk
membuat sesuatu); kekuatan; kewenangan atas sesuatu atau menentukan
(memerintah, mewakili, mengurus, dan sebagainya) yang ada pada kerena
jabatannya.25
Kekuasaan adalah kemampuan sesorang atau kelompok manusia
untuk mempengaruhi tingkha-lakunya seorang atau kelompok lain
sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan
keinginan dantujuna dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Gejala
kekuasaan ini adalah gejala yang lumrah terdapat dalam setiap masyarakat,
dalam semua bentuk hidup bersama.
Manusia mempunyai bermacam-macam keinginan dan tujuan yang
ingin dan tujuan yang ingin sekali dicapainya. Untuk itu manusia sering
merasa perlu untuk memaksakan kemuannya atas orang atau kelompok
lain. Lhal ini menimbulkan perasaan pada dirinya bahwa mengendalikan
orang lain adalah syarat mutlak untuk keselamatannya sendiri. Maka dari
25
W.J.S Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 467
21
itu bagi orang banyak, kekuasaan itu merupakan suatu nilai yang ingin
dimilkinya. Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan
dalam semua organisasi sosial.
Kekuasaan biasanya terbentuk hubungan (relationship), dalam arti
bahwa ada satu fihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintahkan
(the ruler and the ruled): satu pihak yang memberi perintah, satu pihak
yang mematuhi perintah. Tidak ada persamaan martabat, selalu yang satu
lebih tinggi dari pada yang lain dan selalu ada unsur paksaan itu dipakai,
sering sudah cukup.
Setiap manusai sekaligus merupakan subyek dari kekuasaan dan
obyek dari kekuasaan. Misalnya, seorang presiden membuat undang-
undang (subyek dari kekuasaan), tetapi disamping itu dia juga harus
tunduk kepada undang (obyek kekuasaan). Pokoknya jarang sekali ada
orang yang tidak pernah memberi perintah dan tidak pernah menrima
perintah. Hal ini kelihatan jelas dalam organisasi militer yang bersifat
hierarchis di mana seorang prajurit diperintah oleh komandannya,
sedangkan komandan ini diperintah pula oleh atasanya.26
Di antara banyak bentuk kekuasaan ini ada suatu bentuk yang
penting yaitu kekuasaan politik. Dalam hal ini kekuasaan politik adalah
kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (perintah) baik
terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan
pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan politik merupakan sebagian saja
26
Miriam Budiarjo, dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997). H. 35-36
22
dari kekuasaan sosial, yakni kekuasaan sosial yang fokusnya ditujukan
kepada negara sebagai satu-satunya pihak berwenang yang mempunyai
hak untuk mengendalikan tingkah-laku sosial dengan paksaan. Kekuasaan
politik tidak hanya mencakup kekuasaan untuk memperoleh ketaatan dari
warga masyarakat, tetapi juga menyangkut pengendalian orang lain
dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara di
bidang administratrif, legislatif, dan yudikatif.
Namun demikian sautu kekuasaan politik tidaklah mungkin tanpa
penggunaan kekuasaan (machtsuitoefening). Kekuasaan itu harus
digunakan dan harus dijalankan. apabila penggunaan kekuasaan itu
berjalan dengan efektif, hal ini dapat disebut sebagai kontrol
(pengusaan/pengendalian). Dengan sendirinya untuk menggunakan
kekuasaan politik yang ada, harus ada penguasa yaitu pelaku yang
memagang kekuasaan, dam harus ada alat/sarana kekuasaan
(machtsmiddelen) agar penggunaan kekuasaan itu dapat dilakukan denga
baik.27
2. Pemerintahan
Secara etimologi, kata pemerintahan dapat diartsebagai badan yang
melakukan kekuasaan memerintah. Kata “pemerintah‟ mengandung
pengertian adanya dua pihak yang memerintah memiliki wewena ng dan
pihak yang diperintah memiliki kepatuhan.28
Dalam sekolompok manusia
27
Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hal.37 28
A. Ubaidillah. et al, Pendidikan kewargaan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Kalarta press, 2000) hal. 97.
23
yang hidup bersama memang pada umunya ada sejumlah orang mengatur
dan melakukan usaha guna menciptakan serta memelihara ketertiban.
Mereka merupakan pimpinan dalam masyarakat dalam sautu masyarakat
negara. Golongan orang-orang yang berwenang dan bertugas untuk
mengatur serta memimpin ini disebut pemerintah.
Oleh karna itulah sayrat-syarat berdirinya negara harus memenuhui unsur-
unsur:
a) Adanya pemerintah atau pemerintahan
b) Adanya wilayah
c) Adanya penduduk
d) Adanya pengakuan dari dalam dan luar negri.29
Pemerintah merupakan lembaga eksekutif negara, meliput aparat
birokrasi teknis (birokrasi dalam pengertian sempit) maupun para politisi
dan negarawan yang menjadi pucuk pimpinan lembaga-lembaga negara.
Pemerintah merupakan aspek personil negara: dia adalah faktor manusia
dari negara.30
Pemerintah sebagai salah satu sturuktur dasar sistem politik
merupakan lembaga yang menyelenggarakan mekanisme politik atau roda
pemerintahan politik atau roda pemerintahan yang dipimpin oleh seorang
29
Inu Kencana Syafie, Ilmu Pemerintah dan al-Qur’an, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hal. 128
30 Arief Budiman, Teori Negara: Negara Kekuasaan, dan Ideologi, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1997) hal. 91
24
pejanat yang disebut “wali” atau “amir” atau dengan istilah lainnya yang
dikena dalam kepustakaan politik dan ketatanegaraan islam.
Kekuasaan poltik yang dimiliki oleh wali mempinyai dua landasan;
landasan formal normatif dan landasan struktural formatif. Landasan
pertama bertumpu pada ajaran kedaulatan hukum ketuhana (al-qur‟an).
Karena itu kekuasaan politik yang dimiliki oleh wali berdasarkan ayat al-
qur‟an yang memberinya tugas untuk menegakan hukum Allah dan
menyelenggarakan pemerintah dengan adil dalam masayrakat.
Kendudukan wali sebagi pemerintah terkait pada penerima dan
pengakuan rakyat. Ini bearti kedudukan tersebut harus mendapat legalisasi
dari rakyat. Dan ini diperoleh melalui baiat. Baita inilah yang menjadi
landasan struktural formatif. Karena rakyatlah yang memegang kedaulatan
politik, sehingga tanpa baiat, kekuasaan wali tidak dapat diberlakukan
secara sah, meskipun ia dapat memaksakan kehendaknya. Baiay kepada
wali merupakan menisfestasi kepercayaan rakyat kepadanya untuk
mengekan hukum Allah. Karena itu jika ia tidak melaksanakan tugasnya
maka rakyat dapat menggatikannya dengan wali lain.
Sejalan dengan tugas yang diemban, wali menggunakan kekuasaan
politik yang dimilikinya berdasarkan prinsip pemusatan kekuasaan dan
pertanggungjwaban dalam dirinnya dan prinsip delegasi kekuasaan. Oleh
karena itu dalam meyelenggarakan pemerintahan keuasaan, wali adalah
25
kepala pemerintahan. Ia memegang kekuasaan politik dan bertanggung
jawab sepenuhnya atas penggunaan kekuasaan tersebut.31
B. Moral dan Etika
1. Pengertian moral
Sidi Gazalba mengatakan moral ialah sesuai dengan ide-ide yang
umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar.
Untuk itu, dia menyimpulkan bahwa moral itu suatu tindakan yang sesuai
dengan ukuran tindakan yang umum diterima oleh kesatuan sosial atau
lingkaran tertentu32
.
Sidi Gazalba menjelaskan ada perbedaan antara moral dan etika.
Moral bersifat praktek sedang etika bersifat teori. Moral membicarakan
apa adanya, sedangkan etika membicarakan masalah moral secara filosofi,
maka etika yang seperti ini disebut dengan filsafat moral.
Franz Magnis-Suseno menjelaskan bahwa kata moral selalu
mengacu kepada baik buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral
adalah kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikan nya sebagai
manusia.33
31
Abdul muin Salim, fiqh Siyasah: Konsepsi kekuasaan Politik Dalam al-Qor’an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995), hal. 302
32 Amri M, Etika Islam (Yogyakarta: LSFK2P dan pustaka Pelajar, 2002), cet. Ke-1. Hal. 213
33 Franz magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah pokok filasafat Moral,
(Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal. 62
26
2. Pengertian Etika
Senada dengan yang idungkapkan Jan Hendrik Rapar dan Lois O.
Kattsof34
tentang definisi etika, dalam Kamus Besar Bahasa indonesia
juga dijelaskan bahwa “etika adalah ilmu apa yanng baik dan apa yang
buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (Akhlak).” Sidi Gazalba
mengatakan bahwa etika adalah teori tentang laku-perbuatan manusia,
dipandang dari nilai baik dan buruk, sejauh yang didapat ditentukan oleh
akal. Ahamad Amin menjelaskan bahwa etika adalah suatu pengetahuan
yang menjelaskan arti baik dan buruk, yang menerangkan apa yang
seharusnya dilakukan oelh seorang kepada yang lain, menyatakan tujuan
yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan
menunjukan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.35
Franz Magnis-Suseno memberi batasan tentang etika dengan
mengatakan, “Etika adalah usaha manusia untuk memakai akal budi dan
pikiranya untuk memecahkan masalah bagaimana ia harus hidup kalau ia
mau menjadi baik.”36
Makna etika, Istilah etika dipakai dalam dua macam arti, yang satu tampak
dalam ungkapan seperti “saya pernah belajar etika”. Dalam penggunaan
seperti ini etika merupakan atau dimaksudkan sebagai suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilian terhadap perbuatan-perbuatan manusia.
Makna kedua seperti yang terdapat pada ungkapan “ia bersifat etis, atau
34
Louis O. Katssoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1986), hal. 349 35
Ahmad Amin, Kitab al-Akhlak, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, tt), hal. 3 36
Franz magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah pokok filasafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hal. 17
27
“ia seorang yang jujur”. Atau “kebohongan merupakan sesuatu yang tidak
susila”, dan sebagian nya. Dalam hal-hal tersebut “bersifat etik”
merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal,
perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. “bersifat etik”
dalam arti yang demikian ini setara dengan “bersifat susila”.
Hendak dicatat, “bersifat susila” tidak harus bearti sama atau sesuai
dengan adat istiadat yang belaku dalam suatu kelompok manusia tertentu.
Ada kemungkinan sesorang mengutuk salah satu adat istiadat tersebut
sebagai hal yang tidak susila. Adat istiadat yang berlaku dalam suatu
kelompok manusia tertentu sekedar merupakan kebiasaan-kebiasaan
kelompok seperti, kebiasaan membuang anak kecil, yang terdapat pada
kelompok-kelompok manusia terasing dan sebagainya. 37
Menurut hemat penulis, etika pada umumnya hanya dilihat dari sisi
nilai bail-buruk, karena nilai baik itu itu dianggap pasti benar dan nilai
buruk dianggap pasti salah, hal ini semakin jelas jika dikaitan dengan etika
religius, apa saja yang diperintahkan oleh Tuhan dianggap benar dan baik,
sedangkan yang dilarang-Nya dianggap buruk dan salah.
Sedangkan pokok persoalan etika atau objek kajian etika,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Amin, adalah segala perbuatan
yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dengansengaja, dan
ia mengetahui waktu melakukannya apa yang ia perbuat. Inilah yang dapat
kita beri hukum baik dan buruk, demikian juga segala perbuatan yang
37
Louis O. Katssoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta, Tiara Wacana, 1986), hal. 351
28
timbul tiada dengan kehendak, tetapi dapat diihktiarkan penjagaan
sewaktu sadar.38
Etika sendiri dibagi lagi kedalam etika umum dan etika khusus.
Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi
segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-
prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai
lingkungan kehidupannya. Dibendakan antara etika induvidual yang
mempertanyakan kewajiban manusia sebagai induvidu, terutama terhadap
dirinya sendiri dan melalui suara hati, terhadap yang Ilahi, dan etika sosial.
Etika sosial jauh lebih luas dari etika induvidual karena hampir semua
kewajiban manusia bergandengan dengan
C. Pengertian Etika Politik
Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politik
kehidupan manusia. Manusia dibedakan dari binatang, oleh karena itu ia
bertindak dengan sadar diatas kemampuanya sendiri, dan oleh karena itu ia
bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya, yaitu selain bernilai
guna untuknya juga benar dalam arti saat dipertahankan secara
argumentatif berhadapan dengan klaim-klaim alternatif, itu sejalan dengan
pemikirannya Aristoteles bahwa kebijikan intelektual baginya tinggi
nilainya, karena dasarnya adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip etis,
sedangkan kebijakan etis ynag mengusasi perasaan yang alami adalah
38
Ahmad Amin, Kitab al-Akhlak, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, tt), hal. 5
29
hasil dari cara hidup yang baik dengan jalan kebiasaan berpikir
berkemampuan dan berbuat baik secara sadar.39
Dari prinsip-prinsip yang telah disebutkan diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa kekuasaan harus dipertanggung jawabkan secara
demokratis, atau dari prinsip hormat terhadap keutuhan manusia. Bahwa
hak-hak asasi manusia harus di beri pengakuan hukum. Prinsip-prinsip
itulah yang menjadi pokok bahasan etika politik dan yang harus
dipetanggungjawabkan.40
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa kekuasaan dan
demokratis merupakan suatu konsep yang universal dan sangat abstrak
untuk dijadikan alas pijakan dalam penyelengaraan bernegara, sehingga
tidak dengan begitu saja setiap negara sanggup mengaplikasikan nilai
universal tersebut. Corak demokrasi yang di anut disebuah negara
ditentukan juga oleh kepentingan penguasa, sehingga konsep demokrasi
mengalami penyuasian atau modifikasi-adaptif.41
Demokrasi dalam etika politik, menurut pandangan Franz Magnis
sebagai teori normatif yang berkenaan dengan demokrasi sebagai tujuan
tentang bagaimana demokrasi seharusnya. Franz juga mengelaborasi
demokrasi dari segi etika politik dan mengemukakan lima gugus ciri
39
Prof. Dr. H. Muh. Said, Etika Masyarkat Indonesia, (Jakaarta Pramudya paramida, 1980), hal.89
40 Franz Magnis Suseno, Etika Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003) hal.
27-29 41
Jusman Iskandar, Bunga Rampai: Etika Moral dalam Kehidpan Politik dan Pelayanan Publik, (Bandung:Pustaka Program Pasca Sarjana Universitas Garut), hal. 91-93
30
hakiki negara demokrasi sebagai berikut,: a. Negara Hukum, b.
Pemerintah yang dibawah kontrol nyata masyarakat, c. Pemilihan umum
yang bebas, d. Prinsip Mayoritas, e. Adanya jaminan terhadap hak-hak
demokratis
Demokratis mempunyai arti penting bagi masyarakat yang
menggunakannya, sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk
menentukan sendiri jalannya organisasi negara terjamin. Oleh sebab itu,
hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu
memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional
implikasinya di berbagai negara tidak selalu sama.42
Sistem politik demokrasi di anut hampir semua negara modern di
dunia ini, tetapi ternyata dengan bermacam-macam standar yang
digunakan. Hal ini disebabkan karena demokrasi itu sendiri memang
bukan merupakan entitas yang statis. Oleh karena itu, disamping
demokrasi mempunyai pengertian yang statis, juga mempunyai pengertian
yang dinamis, yang bearti bahwa demokrasi mengalami perkembangan
dalam artian atau makna sebagai akibat dari praktek demokrasi di berbagai
negara yang berbeda-beda.
Untuk itu kalau kita mau menilai antara sistem politik yang
demokratis dan sistem poltik yang mengaku demokratis adalah dengan
jalan melihat perbedaan kadar kekuasaan politik yang berada di tangan
42
Moh. Mahfud MD, Demokratsi Pancasila, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hal. 19
31
rakyat. Perbedaan antara satu sistem politik yang dianggap demokratis
dengan sistem politik lain yang juga mengaku demokratis dapat diadakan
dan kalau mau di ukur, dengan jalan melihat perbedaan kadar kekuasaan
poltik yang berada di tangan rakyat yang terkandung di dalam masing-
masing sistem politik tersebut.43
Untuk itu gagasan negara demokrasi tidak terlerak kepada upaya
bagimana meberikan kebebasan sepenuhnya kepada masyarakyat,
malinkan bagaimana upaya membatasi kekuasaan yang dipegang atau
dijalankan pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas
kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap
warga negaranya.44
Dalam sistem politik dan pemerintahan modern, mengikuti Trias
Politica, kelompok pemegang peran pengambilan keputusan itu adalah
lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Karena itu, adanya
transparasni dan akuntabilitas, untuk itu di dalam demokrasi seorang
pemimpin hanya “orang pertama dari yang sama” bukan seorang pribadi
yang dominan yang karismatis dan bertidank sebagai bapak kepada
rakyatnya. Seorang pemimpin dalam masyarakat demokratis harus tokoh
yang tampil dengan kesadaran kenisbian dan keterbatasan dirinya secara
43
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1978), hal. 243
44 Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlemnter dan Demokrasi
Pancasila, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), hal. 4
32
wajar, sehingga memilki sikap terbuka, komunikatif dan memahami orang
lain.
Franz menyatakan bahwa wewenang untuk memerintahi
masyarakat harus berdasarkan pada penugasan dan persetujuan para warga
masyarakat sendiri. Kareananya, kekuasaan mesti hanya dilegitimasi oleh
kehendak mereka yang dikuasi. Lebih jauh dijelaskan bahwa kedaulatan
rakyat bertumpu pada hak setiap orang untuk menentukan dirinya sendiri
dan untuk turut serta dalam proses oengambilan keputusan yang
menyangkut seluruh masyrakat. Dengan begitu, yang diperlukan bukan
demokrasi total, melainkan kontrol demokrasi yang efektif.
Franz kemudian mengajukan tesis bahwa, kontrol masyarakat
terhadap kekuasaan negara bersifat nyata, walaupun terbatas. Hal ini
menjadi kian gamblang saat sistem demokrasi mensyaratkan adanya
keterbukaan dalam pengambilan keputusan. Secara lebih konkrit, kontrol
masyarakat terhadap tindakan administrasi negara, sesungguhnya
merupakan hak personal sebagai makhluk sosial. Dengan begitu apapun
yang dialkukan oleh pemerintah diamati secara ketat oelh masyarakat,
melalui media massa, lembaga perwakilan atau saluran-saluran lainya.
Sehingga, persoalannya berada pada derajat mengoptimalkan sosial
tersebut, serta bagaimana hal itu dijadikan in-put agar segala produk dan
prilaku pemerintah menjadi bertambah matang dan punya komitmen yang
33
kuat terhadap kpentingan rakyat. Dengan kata lain, pemberdayaan kontrol
sosial adalahh juga merupakan implementasi kedaulatan rakyat.45
Berbicara mengenai pembatasan dan pembagian kekuasaaan, jelas
tidak dapat dipsahkan dari pemikiran Montesquieu. Ia mengemukakan dua
gagasan pokok menganai pemerintahan yakni gagasan tentang pemisahan
kekuasaan dan gagasan tentang hukum, pendangan inilah pada waktu-
waktu kemudian di kenal dengan ajaran trias politika.
Pembagian kekuasaan dalam suatu negara menjadi tiga kelompok
yangmutlak harus diadakan, sebab dengan adanya pemisahan secara ketat
ini akan dapat di jamin adanya kebebadan dari masing-masing kekuasaan.
Artinya, pemisahan kekuasaan akan dapat menghindari terjadinya interaksi
atau campur tangan dari kekuasaan yang satu terhadap kekuasaan yang
lain. Kebebasan di sini dimaksudkan untuk menunjukan suatu suasana di
mana orang merasa bahwa pribadi dan meliki mereka aman. Dalam kaitan
ini, rakyat memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja yang
dikehendaki sepanjang diperbolehkan atau diiikan oleh hukum.
Selanjutnya, dalam sistem hubungan antara negara dan masyarakat,
kebebasan di beri makna sebagai hasil pengaturan politik yang melindungi
masyarakat terhadap keccendrunga-kencendrungan penguasa untuk
menindas.
45
Jusman Iskandar, Bunga Rampai: Etika Moral dalam Kehidupan Politik dan pelayanan Publik, Op.Cit, hal 94-95
34
Beranjak dari pemikiran ini. Montesquieu menandaskan perlunya
hukum sebagai salah satu instrumen negara atau pemerintah demokrasi.
Dengan adanya hukum, pemrintah dapat melindungi warga negaranya,
sekaligus dapat menjamin adanya permainan kepentingan dalam lingkup
yang luas di antara mereka yang memerintah.
Menurut franz tentang pembatasan kekuasaan politik dalam suatu
negara pada prisnipnya di sebut dengan istilah negara hukum. Ide dasar
dari negara hukum ini ialah bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas
dasar hukum yang baik dan adil. Oleh karna itu dalam negara hukum
terdapat empat tuntunan dasar, yaitu: a. Tuntutan kepastian hukum yang
merupakan kebutuhan langsung masyarakat, b. Tuntuan bahwa hukuman
berlaku sama bagi segenap penduduk dan warga negara, c. Legitimasi
demokrasi di mana proses pembentukan hukum harus mengikutsertakan
dan menadapat persetujuan rakyat, d. Tuntutan akal budi yaitu
menjungjung tinggi martabat manusia dan masyarakat.46
Jelas bahwa pengertian pembagian kekuasaan berbeda dengan
pengertian pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan bearti bahwa
kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, bagian
menganai lembaga maupun menganai fungsinya. Sedangkan pembagian
kekuasaan bearti bahwa kekuasaan itu memnag dibagi-bagi dalam bagian,
tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara
bagian-bagian itu dimungkinkan adanya kerja sama.
46
Jusman Iskandar, Ibid, hal. 98
35
Dalam ajaran trias politika sebagaimana telah diuraikan diatas,
terdapat dua ciri khas yang menandainya yaitu:
Mencegah adanya kosentarsi kekuasaan dibawah satu tangan.
Prinsip chek and balences (pengawasan dan keseimbangan).
Dalam praktek, teori trias politika pemisahan kekuasaan secara
murni sukar sekali diterapkan diabad dua puluh. Dengan adanya konsep
negara hukum yang semula hanya melindungi ketertiban sosial ekonomi
berdasarkan asas-asas yang berlaku, tiap campur tangan dalam
perekonomian dan segi-segi lain kehidupan sosial tidak di benarkan, oleh
karena itu negara hukum dalam arti luas yaitu negara kesejahteraan.
Paham negara hukum berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan
negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Jadi ada dua
unsur dalam negara hukum: pertama, bahwa hubungan antara yang
memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, melainkan
berdasarkan suatu noema objektif iyu, hukum memenuhi syarat bukan
hanya secra formal, melaikan dapat dipertahankan berhadapan dengan ide
hukum.
Hukumm menjadi landasan segenap tindakan negara, dan hukum
itu senderi harus baik dan adil. Baik karena sesuai dengan apa yang
diharapkan masyarakat dari hukum dan adil karena maksdu dasar senagap
hukum adalah keadailan. Salah satu segi moral politik yang menuntut agar
36
negara diselengarakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan hukum
yaitu legitimasi demokrasi.
Legitimasi demokrasi atau tuntutan agar penggunaan keukasaan
harus berdasarkan persetujuan dasar para warga negara dan senantiasa
berada di bawah kontrol mereka, langsung mengandung tuntutan agar
kekuasaan negara secara langsung mengenai kekuasaaan legislatif. Semua
undang-undang harus di setujui oleh parlemen yang dipilih oleh para
warga negara tidak akan efektif lagi. Kontrol demokratis para warga
negara tidak akan efektif lagi. Kontrol demokratis hanya mungkin apabila
negara bertindak dalam jalur-jalur normatif yang dipasang atau di setujui
oleh para wakil rakyat. Negara hukum merupakan salah satu prasyarat agar
negara dapat betul-betul bersifat demokratis. 47
Istilah “etika Islam” atau yang dekat dengan istilah itu dalam
bahasa Indonesia sudah biasa dijadikan judul buku yang membahas
masalah etika dalam pandangan Islam. Misalnya, buku yang ditulis oleh
hamzah ya‟kub yang berjudul Etika Islam: Pembinaan akhlaqulkarimah
(suatu Pengantar), Buku yang ditulis oleh rachmat Djatnika yang berjudul
Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), dan buku yang ditulis oleh Mudlor
Achmad yang berjudul Etika Dalam Islam.
Dalam bahasa Inggris “etika Islam” diterjemahkan dengan “Islmaic
ethics” . buku-buku yang membahas masalah etika Islam yang ditulis
47
Franz Magnis Suseno, Etika Politik¸Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: PT Gramedia Psutaka Utama, 2003), hal. 295-296
37
dalam bahasa Inggris, misalnya buku yang ditulis oleh George F. Hourani
yang berjudul Reason an Tradition in Islamic Ethics dan sebuah tulisan
yang dikarang oleh Azmi Nanji dalam buku A Compenion to Ethics
dengan judul “Islamic Ethics”
Sedangkan dalam bahasa arab, “Etika Islam” biasa disepankan
dengan beberapa istilah sebagai berikut; Pertama, „Ilm al-akhlaq, istilah
ini dalam kamus Al-Mawrid diterjemahkan dengan etika (ethics), Moral
(moral), dan Filsafat moral (Moral philosophy). Sedangkan dalam kamus
al-mu‟jam al-Wasith istilah “Ilm al-akhlaq” didefinisikan “ilmun
maudhu‟uhu ahkamun qimiyyatun tata‟allaqu bi al-a‟mal al-latitushafu bi
la-husniaw al-qubhi. Misalnya, Ibnu Sina menulis sebuah buku dengan
judul „Ilm-al-Akhlaq yang berisi uraian tentang etika. Kedua, falsafah al-
akhlaq, Misalnya yang terdapat dalam kitab yang ditulis oleh manshur Ali
Rajab berjudul Taammulat fi Falsafat al-Akhlaq. Kitab yang ditulis oleh
Muhammad Yusuf Musa dengan judul Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam wa
Shilatuha bi al-Falsafat al-Ighriqiyah.
Permasalahan yang sering muncul dalam etika politik adalah
masalah legitimasi etis kekuasaan yang dapat dirumuskan dalam hak
moral seseorang atau sekelomok orang yang memgang dan
mempergunakan kekuasaan yang dimilikinya. Betatapun besar kekuasaan
tidak lagi dianggap sah.
38
Untuk itu etika politik memberi petunjuk prinsip-prinsip etika
dasar dengan beberapa implikasi langsung pada kedudukan manusia yang
akan dijadikan landasan perumusan etika politik. Prinsip dasar yang
pertama ialah mewujudkan kesejahteraan umum yang mempunyai releansi
politik tertinggi, dalam artian bahwa semua tindakan dan kebijakan, harus
memberikan keuntungan yang besar bagi masyarakat, akan tetapi asal
tidak melanggar hak dan keadilan. Prinsip dasar yang lain adalah prinsip
keadailan yang mengatakan bahwa kita wajib untuk memperlakkukan
semua orang dengan adil, dalam artian bahwa untuk menghormati hak-hak
mereka dan memberikan perlakuan yang sama dalam situasi yang sama
pula. Prinsip keadilan itu sendiri berdasarkan pada prinsip hormat terhadap
seseorang yang mengungkapkan kewajiban untuk memperlakukan segenap
manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan tidak pernah hanya
sebagai sarana untuk tujuan-tujuan lebih betapapun manfaatnya. Untuk itu
mari kita mendefinisikan etika dan moral terlebih dahulu :
39
BAB III
KEKUASAAN MENURUT IBNU TAIMIYAH DAN IBNU KHALDUN
A. Kekuasaan Menurut Ibnu Tainiyah
a) Kekuasaan Tuhan
Persoalan antara Islam dan negara dalam masa modern merupakan
salah satu subyek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir
Islam sejak hampir seabad lalu himgga dewasa ini, tetap belum
terpecahkan secara tuntas. Pengalaman masayrakat Muslim di berbagai
penjuru dunia, khususnya sejak usai Perang Dunia II mengesankan
terdepatnya hubungan yang canggung antara Islam (din) dan negara
(dawlah), atau bahkan politik pada umumnya. Berbagai “eksperimen”
dilakukan untuk menyelaraskan antara din dengan konsep dan kultur
politik masayrakat Muslim : dan eksperimen-ekperimen itu dalam banyak
hal sangat beragam. Tingkat penetrasi “Islam” ke dalam negara dan politik
juga berbeda-beda.48
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa negara dan agama “sunggug
saling berkelindan; tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama
berada dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi
sebuah organisasi yang tiranik, “Dalam al-Siyasah al-Syar‟iyyah, ia
menganggap penegakan Negara sebagai tugas suci untuk mendekatkan
48
Azyumardi Azra, Pergolokan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modeenisme, Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 1
40
manusia kepada Allah. Mendirikan sebuah negara bearti menyediakan
fungsi yang besar untuk menegakan ungkapan berikut: “melihat tegakan
sebuah keadilan bearti melaksanakan perintah dan menghindar dari
kejahatan dan memasyaratkan tauhid serta memepersiapkan bagi
kedatangan sebuah masyarakat yang dipersembahkan demi mengabdi
Allah.49
Keluasan hukum Islam terlihat pada nama yang dipilih dan
diberikan para pemeluknya, syariah. Kata itu bearti sebagai rujukan akhir
hukum Islam tidak saja berperan sebagai undang-undang perilaku
keagamaan, tetapi yang lebih lagi, kitab suci merupakan hukum dasar dan
tertinggi yang tidak dapat digolongkan sebagai argumen serius tentang
konstitusi negara islam. Sumber hukum konstitusi Islam ke dua yang tidak
kalah penting adalah Sunnah atau segala perkataan dan praktek kehidupan
Nabi Muhammad SAW, manusia yang dipih Allah untuk menyapaikan
risalah-Nya kepada semua manusia. Segenap praktek kehidupan
Khulafaur-Rasyidin juga termasuk Sunnah. Pada saat-saat tertentu terdapat
kesepakatan umum yang berkembang dikalangan unsur-unsur politik Islam
atau Ummah, berkaitan dengan permasalahan yang timbul dan seacar
kolektif kemudian mencapi suatu kesepakatan bukat. Inilah Ijma‟ atau
konsensus yang merupakan sumber hukum otoritatif peringkat ke tiga.
Sedang sumber hukum yang keempat adalah Qiyas analogi logis. Bentuk-
49
Khalid Ibrahim Jidan, Teori Politik Islam: Telaah kritis Ibnu Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, ter. Masrohin, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995). Hal 57.
41
bentuk pertimbangan rasional yang lain dapat diklasifikasikan di bawah
kategori tersebut.50
Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah)
nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah
tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu.
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar
kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. 12.40)51
Klausa in al-hukm illa yang terdapat dalam ayat di atas terdapat
pula dalam Q.S. Yusuf (12:67) dan Q.S. al-An‟am (6:57). Hanya saja
dalam kedua ayat ini, konteks pembicaraan berbeda dengan ayat terdahulu.
Tapi dalam ayat-ayat tersebut kata al-hukm dipergunakan dalam tiga
masalh, yaitu urusan ibadat, urusan akidah, dan urusan perselisihan
pendapat. Dalam hal pertama, konsep hukum mengatur kehidupan
manusia. Dari sini dapat dipahami bahwa segala keptusan yang berkaitan
dengan aspek kehidupan manusia sebagai khalifah Allah berada dalam
keuasaan Allah SWT. Bagaimana manusia mangatur kehidupannnya, baik
kehidupan pribadinya atauoun kehidupan sosialnya dalam lingkungan
yang seluas-luasnya, termasuk pula hubungannya dengan lingkungan
alamnya, semuanya berada dalam kekuasaan Tuhan. Oleh karna itu dapat
diakatakan bahwa kata al-hukm dalam ayat ini berkaitan dengan aturan-
aturan kehidupan manusia yang dikenal dengan syariat.52
50
Jidan, Teori politik Islam, hal. 60 51
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya, hal. 354 52
Abd. Muin Salim, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-qur’an, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 180-181
42
Argumen Ibnu Taimiyah tentang sumber-sumber hukum dan
legilasi Islam dimaksukan untuk menitikberatkan pada sautu masalah
pokok: setalah melalui proses analisa final dapat ditarik kesimpulam
bahwa sumber-sumber tersebut memuat risalah Allah yang terungkap
dalam kitab suci Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad yang secara
kolektif disebut syariah. Pembicaraan mengenai al-qur‟an, sunnah, ijma,
dan qiyas tidak mengandung arti bahwa empat sumber hukum itu sama
derajatanya. Tidak ada yang sanggup mengikis esensi agama Islam bila
orang berpegang teguh pada prinsip itu. Seluruh bangunan Islam didirikan
pada dua prinsip dasar: ke-Esaan Allah secara mutlak dan penegasan sikap
bahwa Muhammad adalah utusan Allah (La ilaha ila Allah, Muhammad
Rasul Allah). Karena muhammad diyakini sebagai rasul yang membawa
misi untuk menegaskan ke-Esaan Allah sebagai terungkap dalam al-
Qur‟an, maka manusia dituntun kepada keyakinan bahwa Dzat yang Maha
kuasa hanyalah Allah semata. Syaraiah memang dapat dirinci menjadi
empat bagian (sumber), namun sumber-sumber itu dipandang sebagai
ungkapan kehendak Allah, Dzat yang Maha Esa dan Kuasa.53
Pandangan para pemikir sunni mengenai perlunya pemerintahan
untuk melaksanakan syariah mendorong terbentuknya konsep atas hukum
Tuhan (siyasah Shar‟iyah). Konsep ini muncul sebagian karena
penyimpangan dan kekacauan politik waktu itu, yang sebagian besar di
53
Jidan, Teori Politik Islam, hal.71
43
luar masalah syariah, namun tetap dijustifikasikan oleh ara fuqaha sebagia
bagian dari maslah syariah.54
Ada sejumlah rujukan dalam al-qur‟an yang secara tegas
menerangkan sumber dan sekup kekuasaan dalam Islam. Misalnya dua
ayat berikut:
Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan
dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas
segala sesuatu. (Q.S. 3:26)
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu. (Q.S. 3:189)
Ayat-ayat al-qur‟an tersebut di samping ayat-ayat yang lain
menegasan bahwa Allah adalah sumber segala kekuasaan. Ayat-ayat itu
juga menejalskan bahwa dalam Islam tidak ada seorang pun yang
mempunyai kekuasaan mutlak seperti yang terdapat pada monarchi
Hobbes atau reka-reka hukum dalam bentuk negara yang diajukan oleh
Jhon Austin. Tegasnya adalah bahwa tuhan sendiri yang mempunyai
kekuasaan itu.
Hanya saja, al-qur‟an juga menegaskan bahwa Allah sebagai
pemilik kekuasaan mutlak menghendaki manusia agar mampu berperan
sebagai wakil (khalifah) Nya di bumi. Oleh sebab itu manusia dapat
54
M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), hal. 100
44
mengklaim dirinya mempunyai kekuasaan tak beratas sepanjang digunkan
hanya demi memenuhi kehenda-Nya.
Kekuasaan dan pemerintahan dibutuhkan untuk mewujudkan
terselenggarakannya kewajiban-kewajiban keagamaan. Dengan demikian,
penegakan negara bukanlah merupakan tujuan tetapi tak lebih sebagai
sekdar instrumen untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam. Lebih lanjut,
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jika kekuasaan dan kekayaan dijadikan
sarana mendeaktkandiri kepada Tuhan, sudah barang tetu antara kehidupan
agama dan kehidupan duniawai akan tercipta keserasian. Sebaliknya, jika
keukasaan memisahkan diri dari agamam atau agama mengabaikan
kekuasaan, maka yang akan terjadi adalah kerusakan dan malapetaka bagi
umat manusia. Karena itulah, sangat wajar jika kita berkesimpulan bahwa
hubungan agana dan negara dalam pandangan Ibnu taimiyah,
sesungguhnya lebih bersifat fungsional dan bukan organik.
Implikasi, negara bukan hanya berada di bawah supremasi agama
(syariah), tetapi negara berikut penyelenggaraannya juga bukanlah institusi
yang skaral, sehingga karenanya tak mempunyai keistimewaan relegius
apapun. Itu sebabnya, dalam pandangan Ibnu Taimiyah, ketaatan kepada
pemerintah pemyelanggara negara hanya dapat diberikan sepanjang
perintah merak tidak bahwa eksistensi negara tidak dapat dipandang
45
remeh, karena, tanpa kehadirannya sautu tat terrtib sosial yang
berlandasakan al-qur‟an dan sunnah kiranya akan sulut diwujudkan.55
a) Kepala Negara
Kewajiban-kewajiban dan tugas-tugas penting kepala negara
adalah mewujudkan tujuan-tujuna dan maksud negara Islam. Sebagaimana
yang dijelaskan sejumlah besar ulama dan para pemikir dari kalangan
pemuka salaf, berkaisar pada dua pusat (inti), sebagaimana yang dikatakan
oleh al-Mawardi: “Meleindungi agama dan menagtur dunia.”
Sesungguhnya khalifah atau imam atau negara menjalankan
administrasi (negara) yang mengarah pada pelaksanaan dua tujuan
tersebut. Jadi, ia menuaikan seluruh tugas-tugas negara sesuai dengan
pengertian Islam, dengan meminta bantuan kepada orang-orang yang telah
ditunjuk sebagai pembantu kepala negara. Seperti para mentri, gubernur,
pekerja (pegawai dan pemerintah) daerah, hakim dan lainnya kita mungkin
dapat meringkas tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban ini; menjaga
keamanan dakam negri membela negara, baik tanah air maupun rakyat,
melindungi agama dan dakwahnya, baik di dalam maupun di luar (negri),
dan mencegah setiap penyelewengan dan peyimpangan atau pelecehan
(tasywih).
55
M. Arskal Salim G.P., etika Intervensi Negara; Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah, (Jakrta: Logos, 1999), hal. 52
46
Begitu juga menuaikan hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya:
dengan mengekan keadilan dan mencegah kezhaliman, menghukum orang-
orang yang berbuat kejahatan serta mekanggar hak-hak Allah dan manusia,
menjamin orang-orang yang miskin, menarik pajak yang diwajibkan
negara atau (mengumpulkan) harta yang diizinkan syara, menjaganya dan
membelanjakannya untuk mewujudkan tujuan-tujuan ini, mengakat orang-
orang yang akan melaksanakan seluruh aktivis pembelanjaran (negara),
keilmuan, kehakiman, keuangan, dan administrasi.56
Mengurusi umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang
benilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakan kecuali dengnnya.
karena itu umat manusia tidak akan bisa mencapai kesejahteraan dengan
sempurna kecuali dengan bersosialisasi karena di antara meraka saling
membutuhkan.57
Bagi Ibnu Taimiyah sangat penting kalau pemerintahan
digunakan sebagai maksud dari pencapaian tujuan agama dan
mendekatkan diri pada Tuhan. Inilah cara terbaik untuk lebih dekat pada
Tuhan, karena pada saat yang sama juga akan dapat memperbaiki dan
mengubah keadaan orang.58
Ibnu taimiyah jelas menolak pernyataan bahwa seorang raja
memperoleh kekuasaan dari Tuhan. Dan juga, ia tidak berpaandangan
56
Muhammad Al-Mubarak, Sistem Pemerintah Dalam Perspektif Islam, terj. Firman Hariyanto, (Solo, CV. Pustaka Mantiq, 1995), hal. 70
57 Ibnu taimiyah, Kebijakan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawir al-Zahidi,
(Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), hal. 158 58
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2000. Hal. 235
47
bahwa negara sebagai kesatuan yang mistis dan bersifat supranatural.
Teori ketuhanan dan teori idealistis sesungguhnya lebih cocok dengan
teori imamah syiah yang sangat ditentang keras oleh Ibnu Tamiyah.
Pernyataan Ibnu Taimiyah seperti “inna al-Sulthan Zhil Allah fi al-
Ard” (sesungguhnya sultan adalah bayangan Tuhan di bumi) seharusnya
tidak dapat ditafsirkan bahwa Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa
seorang pemimpin adalah wakil Tuhan di bumi yang memperoleh
kekuasaan dari Tuhan. Sebab, di bagian lain, Ibnu Taimiyah menyebutkan
bahwa seorang pemimpin merupakan duta Tuhan atas hamba-hamba-nya,
tetapi di saat yang sama seorang pemimpin juga adalah wakil para hamba
(al-Wulat Nuwwab Allah „Ala “Ibadaillah wa Wukala‟ala al-Ibad‟ala
mufsihin).
Dengan kata lain seorang pemimpin mempunyai status ganda,
sebagai duta Tuhan yang bertanggung jawab kepada Yang mengutusnya
dan sebagai wakil para hamba yang bertanggungjawab pula dalam
mengemban kepercayaan orang-orang yang telah menunjukannya sebagai
wakil. Dalam kedudukannya sebagai duta, ia tidak diperkenalkan
menyimpang dari ketetapan-ketetapan yang telah digariskan oleh yang
mengangkatnya. Begit pul, dalam kedudukannya sebagi wakil, ia pun tidak
boleh mengkhianati amanat orang-orang yang diwakilinya.59
59
Salim G.P., Etika Intervensi Negara, hal. 50
48
Ibnu taimiyah merumuskan teori kebersamaan, berkisaran konsep
umat secara keseluruhan, di mana pemerintah dan yang diperintah
memiliki bentuknya masing-masing. Pertama, Ibnu taimiyah menyatakan
bahwa “kekuasaan itu adalah amanah” dan ia mengutip dari ayat al-qur‟an:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. 4:58)60
Ayat ini diturunkan saat jatuhnya kota mekkah ke tangan Muslim.
Nabi menerima kunci Ka‟bah dari Bani Syaiba. Paman Nabi, Abbas,
meminta bahwa ia (Nabi) diberikan kunci tersebut supaya ia dapat
menghubungkan kantor penjaga Ka‟bah dan penyediaan air bag i para
jemaah haji. Saat ayat ini diturunkan, nabi memberikan kembali kunci ke
bani Syaiba. Ayat ini menggariskan bahwa kepentingan akan keadilan dan
kehendak baik terhadap masyarakat oleh penguasa.
Ayat al-qur‟an kedua, yang Ibnu Taimiyah padang sebagai dasar
pokok kedua dari doktrin politiknya adalah ayat yang diturunkan berurutan
dengan ayat tersebut diatas, yang berbunyi:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur‟an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Q.S. 4:59).
60
Departeman Agama Republik Indonesia, al-qur’an dan Terjemahanya, hal.128
49
Ayat ini meminta muslim untuk patuh terhadap pemerintahnya dan
tidak memberontak melawan mereka. Ibnu Taimiyah meyimpulkan bahwa
dua ayat ini menunjukan hubungan timbal balik antara masyarkat dengan
pemerintah yang telah dibahas di atas. Akan tetapi sejak Ibnnu Taimiyah
menerima dengan sangat baik seluruh hadis politik determinasi sunni, ia
menuntut bahwa Muslim harus tetap patuh pada pemerintah, sekalipun
mereka kejam (Zalim). Kemudian, Ibnu Taimiyah menyatakan standar
pandangan politik Sunni bahwa Muslim harus tunduk pada kezaliman, dari
pada memberontak melawan mereka, kecuali kalau pemerintah itu
memerintah untuk sesuatu yang bertentangan dengan syari‟ah.
Meskipun demikian, pada tataran ini, konsep hubungan timbal
balik Ibnu Taimiyah, muncul lagi. Walaupun ia tidak membolehkan
pemberontakan, ia mengatakan bahwa seandainya masayrakat
memberontak, seperti yang sering terjadi, pemerintah mesti toleran
terhadap pemeberontakan dan tidak membunuh atau menhukum berat
meraka. Kebersamaan inin ternyata merupakan penerapan dari doktrin
dasar Ibnu Taimiyah yang telah dinyatakan lebih dahulu dalam wacana
politik, dalam keadaan bagaimanpun, muslim tidak boleh membunuh
Muslim lain atau menuduh Muslim lainnya kafir mutlak (kufr „ala „il-
itlaq). Oleh karena itu, Muslim tidak boleh memberontak melawan
pemerintah Muslimin. Bagi orang yang memberontak, ia bukan melawan
pemerintah, juga berusaha menggulinggkan atau membenuh, maka
50
hukuman yang berat mesti digunakan, seperti yang telah disebutkan dalam
al-qur‟an.
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka
dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang
demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, (Q.S. 5:33)61
Menurut Ibnu Taimiyah ayat yang pertama, yakni 58 surat al-
Nisaa, dimaksudkan bagi para pemimpin negara. Demi terciptanya
kehidupan bernegara yang serasi hendaknya mereka menyapaikan amanat
kepada pihak yang berhak atasnya, dan bertindak adil dalam mengambil
keputusan atas sengketa antara sesam anggota masyarakat. Sedangkan ayat
yang kedua, atau ayat 69 surat al-nissa, ditujukan kepada rakyat. Meraka
diperintahkan supaya taat, tidak saja kepada Allah dan Rasul, tetapi juga
pemimpin mereka, dan melakukan segala perintah selama tidak
diperintahkan berbuat maksiat atau perbuatan yang dilarang oleh agama.
Kemudian kalau terjadi perbedaan pendapat antara mereka, mala dalam
mencari penyelesaian hendaknya kembali kepada Allah (al-qur‟an) dan
Rasul (Sunnah). Ibnu Taimiyah mengakhiri pendahuluan dari bukunya
dengan mengatakan bahwa dengan diwajibkannya para pemimpin negara
untuk menyapaikan amanat kepada pihak yang berhak, dan untuk berlaku
adil dalam memutuskan sengketa seperti dalam ayat 58, maka akan terjadi
61
Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, hal. 227-228
51
perpaduan antara kebijaksanaan politik yang adil dan pemerintahan yang
baik.62
Karena itu, seorang penguasa politik wajib “menyapaikan amanat
kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil.‟
Maksudnya, ia harus menerapkan hudud terhadap kelas bangsawan
maupun rakyat jelata secara adil dan proposional. Prinsip keadilan
ekonomi syariat dama barter, retrebusi, dan distribusi kepada kaum miskin
harus dijalankan oleh publik maupun setiap individu. Tujuan semua tugas
publik (wilayat) adalah mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual
manusia. Karena itu, “memerintahkan kepada kebaikan merupakan tujuan
tertinggi dari setiap tugas politik. Tidak ada pemerintah yang dapat
mencapainya tanpa mematuhui norma-norma Islam. Sebaliknya,
memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran tidak efektif
tanpa dukungan kekuatan politik.
B. Konsep Kekuasaan Politik Menurut Ibnu Khaldun
a) “Ashabiyah dan Kekuasaan
Adapun tujuan yang hendak dicapai, „ashabiyah adalah kekuasaan.
Menurut Ibn Khaldun mengenai hal ini: “Bahwa kemenagan terdapat di
pihak yang mempunyai solidaritas yang lebih kuat, dan anggota-
anggotanya lebih sanggup berjuang dan bersedia mati guna kepentingan
bersam.” Kedudukan raja adalah suatu kedudukan yang terhormat dan
62
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Jaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Penerbit UI Press 1993), hal. 83
52
diperebutkan, karena kedudukan memebrikan kepada pemegangnya segala
kekayaan duniawi dan juga kepuasaan lahir batin. Karena itulah kekuasaan
menjadi sasaran perebutan dan jaranng sekali untuk dilepaskan denga suka
rela kecuali dibawah paksaan. Perebutan menimbulkan perjuangan dan
peperangan dan runtuhnya singgasana-sianggasana. Semua itu tidaklah
dapat terjadi kecuali dengan „ashabiyah atau solidaritas sosial.63
Tetapi bila kekuasaan telah berdiri teguh dan mereka yang dikuasi
telah pula terbiasa dengan kekuasaan yang ada, maka menurut Ibn
Khaldun, alat-alat kekuasaan kurang memegang peranan, termasuk
„ashabiyah, seperti yang terdapat pada waktu menegakan kekuasaan
semula. Dalam keadaan demikian penguasa dan orang-orang yang telah
membantunya menegakan kekuasaan itu mulai melihat kepada hal-hal lain
yang dirasakan menarik, terutama pada kemewahan yang datang tanpa
dicapai. Karena pada dasarnya, dan menjadi tabiatnya pula bahwa
kekuasaan itu diiringi dengan kemewahan. Tetapi kemewahan ini hanya
mula-mula saja akan menambah kekuatan penguasa, namun akhirnya
kekuatan ini hanya mula-mula saja akan menambha kekuatan penguasa,
namun akhirnya kekuatan ini akan melemah karena kemewahan itu
mengandung sifat yang merusakan manusia, yaiyu pada akhlaknya. Ia
akan melupakanseseorang tentang kewajiban –kewajibannya yang sesuai
dan harus dipenuhi sebagai seorang penguasa. Ini akan melemahkan
„ashabiyah tadi, dan dalam keadaan demikian seorang penguasa akan
63
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal.122
53
mendasarkan kekuasaannya pada serdadu upahan atau tentara bayaran.
Bila ini terjadi sekurang-kurangnya untuk sementara perkembangan akan
menuju kepada pemusatan kekuasaan dan kekerasan utnuk memkasakan
kehendak oleh golongan yang mula-mula menegakan daulah. Pemusatan
kekuasaan itu tidak dibenarkan, ashabiyah pada awalnya akan menyuruh
orang untuk membagi kemengan dan kemegahan yang diperoleh secara
bersama-sama. Bila timbul juga pemusatan kekuasaan, maka rasa
golongan itu akan hancur.64
Menurut Ibn Khaldun bila mana suatu
„ashabiyah dalam keadaan kuat ia akan menaklukan „ashabiyah-ashabiyah
lainya yang lebih lemah. Keadaan yang demikian ini berlangsung sampai
„ashabiyah tersebut memperoleh kesempatan untuk menguasai Negara.
Ibnu Khaldun membedakan antara „ashabiyah dan kedaulatan dan
antara pimpinan „ashabiyah dan raja. Menurut Ibnu Khaldun dalam hal ini:
“Kita telah mengetahui bahwa tiap-tiap masyarakat manusia membtuhkan
kekuatan pencegahan dan seorang pemimpin yang mampu mencegah
manusia dari saling sakit menyakiti, pemimin seperti itu harus memiliki
kekuasaan seorang kepala suku. Sebaliknya kedaulatan adalah memerintah
dengan paksa melalui alat kekuasaan yang ada ditangan orang yang
memerintah tersebut. Orang-orang yang memerintah selalu berupaya
meningkatkan kekuasaannya, karena itu seorang pemimpin yang mendapat
pengikut tidak akan mensia-siakan kesempatan menngubah kekuasaannya
itu menjadi kedaulatan (dinasti) bila ia bisa. Sebab kekuasaan adalah
64
Daliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat (Jakarta: Mizan, 2000), hal.72
54
keinginan jiwa manusia, dan kedaulatan hanya bisa didapat dengan
bantuan para pengikut, orang yang berkuasa itu tergantung kepada
persetujuan rakyatnya. Dan tujuan berakhir dari „ashabiyah adalah
kedaulatan atau kerajaan.65
b) Ashabiyah Fondasi kekuasaan dan Kedaulatan
„Ashabiyah adalah kekuatan penggerak negara dan merupakan
landasan tegaknya suatu negara atau dinasti. „ashabiyah juga merupakan
kekuatan pemersatu dan mampu melindungi kelompok dan mempercepat
kemenangan kelompok itu atas „ashabiyah-„ashabiyah lainnya serta
sebagai perbedam pertentangan-pertentangan dalam tubuh sendiri. Lebih
jauh lagi „ashabiyah selalu membuat terjadinya perubahan yang
mengakibatkan terwujudnya kehidupan yang lebih baik. Dan „ashabiyah
juga merupakan struktur sosio-politik yang membuat terjadinya peralihan
dari masyarakat tanpa kelas menjadi masyarakat berkelas. Pada
permulaanya aristokrasi kesukuan didasarkan pada struktur sosio-politik
yang berlandasakan persamaan. Dan setiap kali aristokrasi kuat ia akan
semakin tampak sebagai suatu kelas yang kepentingannya bertentangan
dengan kepentinganya anggota-anggota suku lain, akibatnya gocanglah
struktur kesukuan yang pada dasarnya di dasarkan pada persamaan.
Namun kegoncangan ini pada batas tertentu dapat di pandang progresif.
Sebab ia merupakan permulaan peralihan menuju sistem produksi yang
lebih efektif.
65
Khudairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun. H.154
55
Ashabiyah mempunyai peran yang besar perluasan negara setalah
sebelumnya ia merupakan landasan tegaknya negara tersebut. Jadi bilmana
„ashabiyah itu kuat maka negara yang muncul pun akan luas pula.
Sebaliknya jika „ashabiyah it lemah maka luas negara yang muncul relatif
terbatas. Menurut Ibn Khaldun mengenai hal ini: “kekuasaan akan muncul
bersama-sama „ashabiyah dan anggota-anggota „ashabiyah adalah
perlindungan yang akan terpencar di seluruh penjuru negara. Jadi apabia
„ashabiyah tersebut kuat maka negara tersebut akan lebih kuat dan luas.66
66
Ibn Khaldun, Muaqaddimah. Hal.142
56
BAB IV
PEMIKIRAN ETIKA POLITIK IBNU TAIMIYAH DAN IBNU KHALDUN
A. Pemikiran Etika politik Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa mengatur urusan memang
merupakan bagian dari kewajiban agama yang tepenting, tetapi hal ini
tidak bearti pula bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara. Karenanya,
ibnu taimiyah menolak ijma sebagai landasan kewajiban tersebut. Berbeda
dengan al-mawardi, Ibnu Taimiyah menggunakan pendekatan sosiologis.
Menurutnya, keejahteraan manusia tidak dapat tercipta kecuali hanya
dalam satu tatanan sosial di mana setiap orang saling bergantung pada
yang lain nya. Oleh sebab itu, dibutuhkan sesorang pemimpin yang akan
mengatur kehidupan sosial tersebut.67
Mengurusi umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang
benilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakan kecuali dengnnya.
karena itu umat manusia tidak akan bisa mencapai kesejahteraan dengan
sempurna kecuali dengan bersosialisasi karena di antara meraka saling
membutuhkan.68
Jika pemimpin Rusak, niscaya rusak pula rakyat yang dipimpinya,
demikianlah sebuah fenomena meyedihkan yang senantiasa menghantui
67
Mummad Iqbal & Amin Husein nasution, Pemikiran Politik Islam : Dari masa klasik hingga Indonesia Komtemporer, (Jakarta, Kencana, 2010). Hal. 33
68 Ibnu taimiyah, Kebijakan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawir al-Zahidi,
(Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), hal. 158
57
pikiran Ibnu Taimiyah. Fenomena inilah yang menurut beliau, sebagai
penyebab utama kerusakan kaum musilimin, terampasnya negara dan
kehormatan mereka, serta pendorong musuh-musuh Islam untuk meyerang
kaum muslimin. Bahwa fenomena inilah pula yang merupakan virus utama
dari segala jenis penyakit yang diderita kaum Muslimin.
Pada saat Rasulullah saw. Menaklukkan kota Mekkah dan
menerima kunci Ka‟bah dari bani Syaibah, maka kunci tersebut hendak
diminta oleh Abbas bin Abdil-Muthallib agar dia memegang dua tugas
sekaligus, yakni memberi minum jamaah haji serta menjadi pelayan
Ka‟bah. Berkenaan dengan peristiwa itu, Surat kepada bani Syaibah.
Dengan demikian, sudah menjadi suatu kewajiban dari pemimpin
pemerintahan (waliyyul-amri) untuk mengangkat orang yang paling
kompeten dan layak yang dia dapati untuk menyandang tugas itu.69
Pengangkatan pejabat untuk mengurusi perkara kaum Muslimin ini
mutlak harus di laksanakan. Oleh karena itu, perlu di lakukan pilihan yang
amat selektif bagi orang orang yang pantas (al-mustahiqqin) untuk
memangku jabatan tersebut, pejabat pejabat yang menjadi deputi
(nuwwab) di berbagai kota (amshar), para gubenur (umara‟) yang
mewakili kepala pemerintahan (dzawi as-sulthan) di daerah.70
Politiknya diilhami oleh versi syariat yang sesuai dengan missinya
yang menyeluruh, telah diperbarui. Usahanya untuk menegakan kesucian
69
Ibnu Taimiyah, Sisyah Syar’iyah : Etika Politik Islam, Terj, Rofi’ Munawar (Syarabaya, Risalah Gusti, 2005). Hal.3
70 Ibnu Taimiyah, Sisyah Syar’iyah : Etika Politik Islam, Terj, Rofi’ Munawar (Syarabaya,
Risalah Gusti, 2005). Hal 4
58
moral dalam tradisi Hanbali tidak dilakukan, sebagaimana pendahulunya,
melalui pengabaian semu terhadap praktik politik, namun melalui aplikasi
syariat ke dalam urusan pemerintahan. Ia menolak pandangan Al-Marwadi
yang menyetakan bahwa kekuatan penguasa (Sultan), selama diakui oleh
khalifah tertinggi dan dibenarkan syariat, secara de facto dapat dianggap
independen dan sah menurut Islam. Isa mensyaratkan kriteria yang lebih
keras untuk diaplikasikan.
Tujuan Ibnu Taimiyah adalah membangun pemerintahan yang
berdasarkan syariat (siasayah syar‟iyyah). Risalah Ibn Taimiyah dimulai
dengan mengingatkan bahwa Tuhan telah menetapkan “pengetahuan dan
pena dengan tugas untuk meyampaikan dan menyeru, serta kekuasaan dan
pedang dengan penegasan superioritas Islam atas dua agama wahyu
lainnya dengan argumen bahwa keduanya menyatakan agama tanpa
berusaha untuk memenuhi “syarat-syarat yang dibutuhkan untuk
esksistensinya, yakni kekuasaan jihad , dan sumber materi”. Menurut Ibnu
Taimiyah, masalah yang dihadapai umat dewasa ini adalah bahwa, di satu
sisi, para pemimpin berpikir mereka dapat mencapai tujuan spiritual
semata-mata dengan kesalehan. “ dengan demikian mangkir dari semua
partisipasi kehidpuan politik, namun pada saat yang sama melarangn
keterlibatan orang lain”. Jalan benar adalah, sekali lagi, jalan tengah
59
(wasath) memperhatikan kepentingan masyarakat dalam aspek material
dan moral dan terlibat dalam kekuasaan”.71
Sementara itu, kekuatan atau otoritas dalam pemerintahan dan
pemberlakuan hukum terhadap manusia adalah dengan memiliki ilmu
tentang keadilan menurut panduan Al-Qur‟an dan sunnah, demikian pula
dengan kemampuan menerapkan hukum[di tengah-tengah masyarakat].
Sementara sifat amanat, erat kaitannya dengan rasa takut (khauf)
kepada Allah swt.tidak memperjual-belikan ayat-ayat-nya dengan harga
yang murah, dan tidak memilki rasa takut terhadap sesama
manusia.sebagaimana firman-nya: “karena itu janganlah engkau takut
pada manusia, tapi takutlah kepada ku, dan jangnlah engkau menukar
ayat-ayat-ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak
behukum kepada apa yang di turunkan oleh Allah, maka itu adalah orang-
orang yang kafir,”(Q.s. al-Maidah:44).72
Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan
tanpa kekuasaan politik. Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran benar-benar tidak dapat dicapai “kecuali melalui
kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam)‟. Dan “keseluruh kewajiban lain
yang telah ditetapkan Tuhan- yaitu jihad, keadilan, haji, salat jamaah...
menolong kaum yang tertindas, penerapan hudud, sebagainya- tidak dapat
ditunaikan kecuali melalui kekuasaan dan otoritas pemimpin”. “agama
71
Antoni Black, Pemikiran Politik Isalm: dari masa Nabi hingga masa kini, Penerjemah Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati. (Jakarta ; PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2001), hal. 288.
72 Ibnu Taimiyah, Sisyah Syar’iyah : Etika Politik Islam, Terj, Rofi’ Munawar (Syarabaya,
Risalah Gusti, 2005). Hal 16
60
tanpa sultan (kekuasaan), jihad, harta, sama buruknya dengan sultan, harta
dan perang tanpa agama.”
B. Pemikiran Etika Politik Ibnu Khaldun
Pada awal pembahasannya dalam Muqqaddimah, Ibnu Khaldun
menegaskan empat perbedaan mendasar antara manusia dan makhluk
lainnya. Manusia adalah makhluk berpikir yang dengannya mengasilkan
ilmu pengetahuan, makhluk politik yang memerlukan pengaturan dan
pengedalian oleh kekuasaan, makhluk ekonomi yang ingin mencari
pengidupan dengan berbagai cara dan profesi dan mahluk berperadaban.73
Berdasarkan karakteristik diatas, ibnu khaldun menyatakan bahwa
organisasi kemasayrakatan adalah suatu keharusan. Kodrat manusia tidak
dapat memenuhui kebutuhan hidupnya secara sendirian. Ia membutuhkan
orang lain untuk memenuhuinya. Makanan yang ia makan saja sudah
melibatkan sekian banyak proses dan tenaga manusia. Tanpa ini eksistensi
manuisa tidak akan sempurna. Dari sinilah lahir sebuah peradaban. Ketika
manusia telah mencapai organisasi kemsyarakatan dan peradaban, maka
mereka membutuhkan seseorang yang akan melaksanakan kewibawaan
dan memelihara mereka dari permusuhan antar sesama mereka. Ibnu
Khaldun melihat bahwa manusia juga memeiliki watak yang suka
menyerang antara satu dengan lainya.74
Karena itu, untuk menolak dan
mencegah sikap sewenang-wenang manusia atas manusia yang lain
73
Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penterjemah Ahmadie Thaha. hal. 31 74
Ibid 33-34
61
diperlukan pemimpin. ia adalah orang yang paling kuat dan disegani oleh
kelompoknya, sehingga dapat mengendalikan dan mengatur kehidupan
manusia tersebut. Dialah yang disebut dengan raja atau kepala atau
khalifah
Sebenarnya, pandangan Ibn Khaldun tentang hubungan antara
Kekhalifahan dan kedaulatan (Mulk), yakni antar otoritas islam dan
otoritas politik-alami serta fungsi-fungsinya, tampak sengat pelik.
Pandangan itu mengantarkan kita pada dialektika antara Ilmu Budaya dan
Wahyu; antara kekutan-kekuatan alami kedaulatan yang muncul dari „
Ashabiyyah,dan keadilan Tuhan.75
„Ashabiyah merupakan kekuatan politik yang mendorong
pembentukan negara atau dinasti. „Ashabiyah mensyaratkan adanya
pemimpin, yakni seorang tokoh yang mendapat dukungan dari
keluarganya dan pengikutnya. Dalam konsep „Ashabiyah tidak semua
orang bisa menjadi pemimpin. Sebab pemimpin diperoleh dengan
kemengan, oleh karena itu „ashabiyah pimpinan harus lebih kuat dari pada
„ashabiyah-ashabiyah lain agar kemengan tersebut dapat terwujud.76
Menurut Ibnu Khaldun kepemimpinan bukan merupakan
kekuasaan “de jure” tetapi merupakan kekuasaan de facto dan
kepemimpinan diperoleh dengan kemenangan, yakni dengan penggunaan
kekuatan. Dengan demikian kepemimpinan terpusatkan pada salah satu
75
Antoni Black, Pemikiran Politik Isalm: dari masa Nabi hingga masa kini, Penerjemah Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati. (Jakarta ; PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2001), hal. 324
76 Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Penterjemah Ahmadie Thaha. H.144
62
cabang ashabiyah yang paling kuat. „Ashabiyah sendiri merupakan suatu
bentuk khusus organisasi politik dengan puncaknya suatu aritokrasi
kesukuan yang memerintah dalam suasana demokrasi yang bebas. Jadi
apabila di anatara anggota-anggota suku terjadi persamaan, maka tidaklah
demikian dalam hubungan mereka dengan para pemegang kepemimpinan.
Masyarakat desa merupakan syarat primer adanya „ashabiyah, dibalik itu
ada sebagian suku-suku tidak memiliki „ashabiyah, yaitu suku-suku yang
tunduk kepada suku lain. Atau suku tersebut tidak dapat mempertahankan
dirinya sendiri, dan harus membayar pajak, maka pemimpinnya tidak
dapat memrintah sesuai dengan kehendaknya sendiri.77
„Ashabiyah itu sendiri ialah kemampuan seorang untuk membela
dan mempertahankan keluarganya serta orang-orang yang tergabung
didalamnya dengan sekuat mungin. Keluarga yang dimaksud adalah orang
yang berasal dari garis keturunan ayahnya, sebab mereka inilah yang akan
membela Klanya. „Asahabiyah dalam pengertian demikian adalah terpuji.
Demikian „asbabiyah yang tidak terpuji adalah „ashabiyah atau Solidaritas
orang-orang sesuku untuk melwan suku-suku yang lain tanpa landasan
agama, terlepas orang-orang tersebut termasuk penindas atau yang
tertindas. Dalam Fatwa al Khairiyyah di uraikan bahwa di antara larangan
untuk menerima persaksian adalah „ashabiyah, yakni sesorang membenci
sesorang yang lain karena orang tersebut masuk dalam suku X atau suku
Y. Perbuatan seperti ini sangat diharamkan, sejalan dengan ini Nabi SAW
77
Kuhudairi, Filasafat Sejarah Ibn Khladun, h. 153
63
bersabda: “Barang siapa yang menyeru pada „ashabiyah tidak termasuk
kita”. Oleh karena itu perbuatan ini tidak dibenarkan dan persaksian
pelakunya tidak dapat diterima.78
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa „ashabiyah yang
baik adalah „ashabiyah yang meliputi satu keluarga dengan perasaan
solidaritas yang berlandaskan agama. Atau dengan kata lain agamalah
yang menjadi motivasi satu-satunya yang mendorong suatu suku
memerangi suku yang lainnya.79
Ini disebabkan karena hubungan darah
memiliki kekuatan yang mengikat pada manusia setiap ummat manusia,
yang membuat mereka ikut merasakan akan saetiap penderitaan yang
meninpa kaumnya. Sudah merupakan kodrat setiap manusia untuk
penindasaan dan menolak penderitaan yang mungkin menimpa kaumnya.
Adanya hubungan kekeluargaan antara dua orang yang saling bantu
membantu, lebih disebabkan karena adanya hubungan nasab (ikatan
darah), dan inilah bentuk „ashabiyah yang sesungguhnya. Apabila tinngkat
kekeluargaan itu jauh maka ikatan darah akan sedikit melemah, maka
sebagai gantinya timbullah perasaan kefamilian yang didasarkan pada
pengetahuan yang lebih luas tentang persaudaraan. Sungguhpun demikian,
setiap orang ingin membantu orang lain (family) sebab ia khawatir akan
kehinaan yang mungkin timbul apabila ia gagal dalam kewajibannya
melindungi sesorang yang sudah diketahui oleh banyak orang bahwa ia
ada hubungan keluarga dengannya.
78 Abd.al-Rahman Ibnu Khladun, Al-Ta’Ta’rif Ibn Khaldun wa Rihlatu Gharban wa Syarqan
(Kairo: Lajnah al-Ta’rif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1951), h.27 79
Khudairi, Filsafat Sejrah Ibn Khaldun, h.142
64
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Pelajarilah silsialh
keturunanmu untuk mengathui siapa saudaramu sedarah yang dekat”, yang
bearti bahwa persaudaraan hanyalah bearti apabila pertalian darah itu
membawa pada kerjasam yang sebanarnya dan bantu membantu pda saat
kesusahaan. Kenyataannya aialah bahwa hubungan yang demikian itu
lebih bersifat emosional dan tidak memiliki realitis. Dalam arti bahwa
hubungan itu hanya berguna untuk mendekatkan hati dan kecintaan orang.
Apabila persaudaraan terlihat nyata, maka ia akan berguna sebagai
pendorong yang wajar kearah „ashbaiyah. Jika „ashabiyah didasaran pada
sekedar pengetahuan tentang keturunan dari nenek moyang yang sama,
maka ia akan lemah dan mempunyai pengaruh yang rendah terhadap
perasaan, oleh karena itu „ashabiyah hanya mempunyai sedikit dampak
yang nyata.80
Dengan demikian „ashabiyah menurut Ibn Khladun tidak hanya
meliputi satu keluarga saja, yang satu dengan yang lainnya dihubungkan
oleh tali kekeluargaan, tetapi juga meliputi hubungan yang tmbul akibat
terjadinya persekutuan. Dalam Muqaddimah Ibn Khaldun dijelaskan
bahwa „ashabiyah juga meliputi hubungan yang timbul akibat perbudakan
dan penyewaan tentara. Desangkan keagunaan silsialah kekluargaan
adalah ditimbulkannya.81
Perbedaan hal ikhwal penduduk adalah akibat dari perbedaan cara
mereka memperoleh pengidupan. Mereka hidup bermasyarakat tidak lain
80 Ibn Khaldun, Muqaddimah. Penerjemah Ahmadie Thaha, (Jakarta:Pustaka Firdaus,
1986), hal. 152. 81
Khudairi. Filsafat Sejarah Ibn Khladun, h. 143.
65
hanyalah untuk saling membantu dalam memperoleh penghidupan, dan
untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sederhana sebelum merkea
mencari kehidupan yag lebih tinggi.82
Di anatara mereka yang hidup bertani, adapula yang hidup
berternak untuk dikembangkan atau diambil hasilnya. Kehidupan mereka
bermasyarakat dan saling membantu didalam memenuhi kebutuhan hidup
dan eradaban, sperti makanan, perlindungan, dan panas, mereka tidak
gentar untuk memperoleh lebih dari batas kebutuhan guna melangsungkan
kehiduoan menurut batas kebutuhan hidup. Tak lebih dari itu, sebab
mereka tidak mampu memperoleh lebih. Emudian, apabila kondisi mereka
semakin nyaman dan memperoleh kekayaan dan kemewahan diatas batas
yang dibutuhkan, merkea hidup tenang. Dengan demikian mereka akan
saling bantu memabntu dalam memperoleh sesuatu diatas batas kebutuhan
mereka mempergunakan banyak makanan, pakian, dan berbangga diri
dengan itu semua. Selanjutnya mereka pun membangun rumah-rumah
besar mempercantik kota untuk tempat berlindung. Inilah yang
melatarbelakangi lahirnya pemikiran Ibn Khaldun tentang „ashabiyah
sebagimana yang diuraikan diatas rasa-rasa solidaritas atau saling tolong
menolong terhadap sesama untuk tujuan-tujuan bersama
82
Ibnu Khaldun. Muqaddimah. h. 141
66
C. Perbandingan Pemikiran Etika Politik Ibnu Taimiyah dan Ibnu
Khladun
Etika Politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir pada saat zaman
yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk.
dengan keambrukan itu muncul pertanyaan bagaimana seharusnya
masyarakat ditata. Dua ribu tahun kemudian, empat ratus tahun yang lalu,
etika politik bertambah momentumnya. Legitimasi kekuasaan raja dalam
paham tatanan hirarkis kosmos tidak lagi diterima begitu saja. Legitimasi-
legitimasi tradisional kehilangan daya ikatanya. Legitimasi tatanan hukum
dan negara dan hak raja untuk memerintahkan masyarakat, dipertanyakan.
Itulah situasi kebangkitan filsafat politik pada awal zaman industrilisasi.
Klaim-kliam legitimasi kekuasaan yang daling bertentangan menurut
refleksi filosofis atas prinsip-prinsip dasar kehidupan politik.83
Dalam kehidupan modern, persoalan etika dan moral sering
menjadi perbicangan publik. Tinjauan filsafat tentang makna dan definisi
filsafat, etika dan moral sangat bergam bagi tiap-tiap pakar. Secara
sederhana bisa dikatakan bahwa penggunaan “etika” dan “moral” selalu
menerangkan perbandingan antara nilai yang baik dan buruk, yang berlaku
bagi semua semua bidang kehidupan manusia.84
83
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegraan Modern, (Jakarta : PT Gramedia, 1988), hal. 3
84 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegraan Modern,
(Jakarta : PT Gramedia, 1997), hal. 363
67
Manusia sebagai mahkluk sosial tentu memiliki dimensi politik
dalam kehidupanya. Politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau
politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang
baik, di Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loh jinawi, orang
yunani kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakanya sebagai en dam
onia atau the good life.85
Selain itu, politik dalam suatu negara itu
berkaitan dengan pendekatan kenegaraan, kekuasaan, pengambilan
keputusan, kebijakan dan pembagian kekuasaan86
. Berdasarkan
pendekatan kenegaraan, politik artinya sebagai sesuatu yang berkaitan
dengan tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan
melaksanakan tujuan negara dan berdiplomasi dengan negara-negara lain.
Selanjutnya politik sebagai kekuasaan diartikan sebagai suatu alokasi
nilai-nilai otoritatif yang menajdi bagian dari tindakan atas nama
pemerintaha atau negara.87
Setiap pemikir politik tentu memiliki definisi dalam menjelaskan
tentang apa arti dari etika politik itu sendiri, tentu juga dengan Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Khaldun, dari beberapa kontek pemikiran dan gagasan
tersebut memiliki berpedaan dan persamaan. Ini juga bisa dilatar
belakangi oleh kehidupan mereka dalam waktu yang berbeda dan
85
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu politik, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 2008), hal.13
86 Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu politik, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 2008), hal.14
87 Hugo. F. Reading, kamus ilmu-ilmu Sosial, Terjemahan Sehat Simamora, (Jakarta :PT.
Rajawali, 1986), hal. 305
68
dinamika politik yang berbeda juga, sehingga mereka memikirkan
bagaimana setiap penguasa seharusnya menjadi penguasa yang baik.
Ibnu Taimiyah, berpendapat bahwa mengatur urusan memang
merupakan bagian dari kewajiban agama yang terpenting, tetapi hal ini
tidak bearti pula bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara. Karenanya,
ibnu taimiyah menolak ijma sebagai landasan kewajiban tersebut. Berbeda
dengan al-mawardi, Ibnu Taimiyah menggunakan pendekatan sosiologis.
Menurutnya, keejahteraan manusia tidak dapat tercipta kecuali hanya
dalam satu tatanan sosial di mana setiap orang saling bergantung pada
yang lain nya. Oleh sebab itu, dibutuhkan sesorang pemimpin yang akan
mengatur kehidupan sosial tersebut.88
Selain itu Ibnu khaldun dalam bukunya muqqadimah, Ibnu
Khaldun menegaskan empat perbedaan mendasar antara manusia dan
makhluk lainnya. Manusia adalah makhluk berpikir yang dengannya
mengasilkan ilmu pengetahuan, makhluk politik yang memerlukan
pengaturan dan pengedalian oleh kekuasaan, makhluk ekonomi yang ingin
mencari pengidupan dengan berbagai cara dan profesi dan mahluk
berperadaban.89
Berdasarkan karakteristik diatas, ibnu khaldun
menyatakan bahwa organisasi kemasayrakatan adalah suatu keharusan.
Kodrat manusia tidak dapat memenuhui kebutuhan hidupnya secara
88
Mummad Iqbal & Amin Husein nasution, Pemikiran Politik Islam : Dari masa klasik hingga Indonesia Komtemporer, (Jakarta, Kencana, 2010). Hal. 33
89 Muaqqdimah, hal. 31
69
sendirian. Ia membutuhkan orang lain untuk memenuhuinya. Makanan
yang ia makan saja sudah melibatkan sekian banyak proses dan tenaga
manusia. Tanpa ini eksistensi manuisa tidak akan sempurna. Dari sinilah
lahir sebuah peradaban. Ketika manusia telah mencapai organisasi
kemsyarakatan dan peradaban, maka mereka membutuhkan seseorang
yang akan melaksanakan kewibawaan dan memelihara mereka dari
permusuhan antar sesama mereka. Ibnu Khaldun melihat bahwa manusia
juga memeiliki watak yang suka menyerang antara satu dengan lainya.90
Sesungguhnya organisasi masyaraka (Ijtima‟ insani) umat manusia
adalah keharusan. Para filosof melahirkan kenyataan ini dengan perkataan
mereka, manusia adalah bersifat politis menurut tabiat nya. Ini bearti,
memerlukan satu organisasi kemsyarakatan, yang menurut para filosof
dinamakan kota.91
Pernyataan Ibnu Khaldun ini menjentawantahkan
sebuah kekuatan sosial yang memiliki kekuatan saling membantu satu
sama lain sehingga, tujuan untuk menemukan the good life itu bisa
tercapai.
Di setiap induvidu manusia memiliki sifat hewan yang berada
didalam nya, dengan demikian mereka manusia harus menjaga kebiwaan
nya diantara mereka sendiri, hal ini senada dengan apa yang dimaksud
dengan konsep representatif yang ada pada era modern saat ini. Hubungan
dengan ide demokrasi ini, ibnu khaldun mengakui bahwa terdapat banyak
90
Ibid 33-34 91
Ahmadie Thoha, Mukaddimah ibnu khladun, (Jakarta: pustaka Firdaus), hal.71
70
negara yang tidak mendasarkan kebijakan dan peraturan negara atas ajaran
dan hukum agama, akan tetapi negara dapat mewujudkan ketertiban,
keseraisan hubungan antara para warga, bahkan dapat berkembang dan
jaya.92
Tujuan Ibnu Taimiyah adalah membangun pemerintahan yang
berdasarkan syariat (siasayah syar‟iyyah). Risalah Ibn Taimiyah dimulai
dengan mengingatkan bahwa Tuhan telah menetapkan “pengetahuan dan
pena dengan tugas untuk meyampaikan dan menyeru, serta kekuasaan dan
pedang dengan penegasan superioritas Islam atas dua agama wahyu
lainnya dengan argumen bahwa keduanya menyatakan agama tanpa
berusaha untuk memenuhi “syarat-syarat yang dibutuhkan untuk
esksistensinya, yakni kekuasaan jihad , dan sumber materi”. Menurut Ibnu
Taimiyah, masalah yang dihadapai umat dewasa ini adalah bahwa, di satu
sisi, para pemimpin berpikir mereka dapat mencapai tujuan spiritual
semata-mata dengan kesalehan. “ dengan demikian mangkir dari semua
partisipasi kehidpuan politik, namun pada saat yang sama melarangn
keterlibatan orang lain”. Jalan benar adalah, sekali lagi, jalan tengah
(wasath) memperhatikan kepentingan masyarakat dalam aspek material
dan moral dan terlibat dalam kekuasaan”.93
Ada beberapa pernyataan tegas tentang moralitas politik Ibn
Khaldun senantiasa mengungkapkan pemikirannya tentang moral dan
92
Sjadzali, Islam dan Tata Negara, hal.109-110 93
Antoni Black, Pemikiran Politik Isalm: dari masa Nabi hingga masa kini, Penerjemah Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati. (Jakarta ; PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2001), hal. 288.
71
kebijaksanaan. Secara umum, gagsannya menyiratkan bahwa tingkah laku
yang baik akan menghasilkan hasil hasil yang di dambakan. Misalnya,
dikatakan bahwa kerajaan sekurel disarakan atas “nafsu dan
kebinatangan”; pemimpinannya sangat mungkin bertindak zalim dan
menindas. Mereka akan meminggirkan penduduk dan penghancuran
ekonomi, serta rakyatpun enggan tidak berjuang.Sebaliknya, “Kemurahan
hati dan perlakuan yang baik, memdulikan penghidupan [rakyat]” dan
bersikap ramah kepada mereka akan memperpanjang kekuasaan dinasti itu
hanya ada sedikit bagian yang membahas norma – norma Konstitusional.
Ibn Khaldun mengatakan bahwa seorang raja tidak dapat memrintah
dengan baik sendrian, ia harus “ memanfaatkan hukum yang berlaku, yang
di terima dan dipatuhi oleh rakyat.” yang pada dasarnya adalah syariat.
72
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Manusia sebagai mahkluk sosial tentu memiliki dimensi politik
dalam kehidupanya. Politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau
politics atau kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang
baik, di Indonesia kita teringat pepatah gemah ripah loh jinawi, orang
yunani kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakanya sebagai en dam
onia atau the good life. Selain itu, politik dalam suatu negara itu berkaitan
dengan pendekatan kenegaraan, kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijakan dan pembagian kekuasaan. Berdasarkan pendekatan kenegaraan,
politik artinya sebagai sesuatu yang berkaitan dengan tujuan-tujuan negara
dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan negara dan
berdiplomasi dengan negara-negara lain. Selanjutnya politik sebagai
kekuasaan diartikan sebagai suatu alokasi nilai-nilai otoritatif yang
menajdi bagian dari tindakan atas nama pemerintaha atau negara.
1. Bagi Ibnu Taimiyah, Mengurusi umat manusia itu tergolong kewajiban
agama yang benilai besar. Bahkan agama tidak bisa ditegakan kecuali
dengnnya. karena itu umat manusia tidak akan bisa mencapai
kesejahteraan dengan sempurna kecuali dengan bersosialisasi karena di
antara meraka saling membutuhkan. Bagi Ibnu Taimiyah sangat
penting kalau pemerintahan digunakan sebagai maksud dari
73
pencapaian tujuan agama dan mendekatkan diri pada Tuhan. Inilah
cara terbaik untuk lebih dekat pada Tuhan, karena pada saat yang sama
juga akan dapat memperbaiki dan mengubah keadaan orang.
2. Hal itu juga di perkuat dengan pendapat Ibnu Khaldun, Ibnu khaldun
menyatakan bahwa organisasi kemasayrakatan adalah suatu keharusan.
Kodrat manusia tidak dapat memenuhui kebutuhan hidupnya secara
sendirian. Ia membutuhkan orang lain untuk memenuhuinya. Makanan
yang ia makan saja sudah melibatkan sekian banyak proses dan tenaga
manusia. Tanpa ini eksistensi manuisa tidak akan sempurna. Dari
sinilah lahir sebuah peradaban. Ketika manusia telah mencapai
organisasi kemsyarakatan dan peradaban, maka mereka membutuhkan
seseorang yang akan melaksanakan kewibawaan dan memelihara
mereka dari permusuhan antar sesama mereka. Ibnu Khaldun melihat
bahwa manusia juga memeiliki watak yang suka menyerang antara
satu dengan lainya. Karena itu, untuk menolak dan mencegah sikap
sewenang-wenang manusia atas manusia yang lain diperlukan
pemimpin. ia adalah orang yang paling kuat dan disegani oleh
kelompoknya, sehingga dapat mengendalikan dan mengatur kehidupan
manusia tersebut. Dialah yang disebut dengan raja atau kepala atau
khalifah.
3. Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan tanpa
kekuasaan politik. Tugas agama untuk memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran benar-benar tidak dapat dicapai “kecuali
74
melalui kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam)‟. Dan “keseluruh
kewajiban lain yang telah ditetapkan Tuhan- yaitu jihad, keadilan, haji,
salat jamaah... menolong kaum yang tertindas, penerapan hudud,
sebagainya- tidak dapat ditunaikan kecuali melalui kekuasaan dan
otoritas pemimpin”. “agama tanpa sultan (kekuasaan), jihad, harta,
sama buruknya dengan sultan, harta dan perang tanpa agama.”
4. Tujuan Ibnu Taimiyah adalah membangun pemerintahan yang
berdasarkan syariat (siasayah syar‟iyyah). Risalah Ibn Taimiyah
dimulai dengan mengingatkan bahwa Tuhan telah menetapkan
“pengetahuan dan pena dengan tugas untuk meyampaikan dan
menyeru, serta kekuasaan dan pedang dengan penegasan superioritas
Islam atas dua agama wahyu lainnya dengan argumen bahwa keduanya
menyatakan agama tanpa berusaha untuk memenuhi “syarat-syarat
yang dibutuhkan untuk esksistensinya, yakni kekuasaan jihad , dan
sumber materi”. Menurut Ibnu Taimiyah, masalah yang dihadapai
umat dewasa ini adalah bahwa, di satu sisi, para pemimpin berpikir
mereka dapat mencapai tujuan spiritual semata-mata dengan kesalehan.
“ dengan demikian mangkir dari semua partisipasi kehidpuan politik,
namun pada saat yang sama melarangn keterlibatan orang lain”. Jalan
benar adalah, sekali lagi, jalan tengah (wasath) memperhatikan
kepentingan masyarakat dalam aspek material dan moral dan terlibat
dalam kekuasaan”.
75
5. menurut Ibn Khaldun, alat-alat kekuasaan kurang memegang peranan,
termasuk „ashabiyah, seperti yang terdapat pada waktu menegakan
kekuasaan semula. Dalam keadaan demikian penguasa dan orang-
orang yang telah membantunya menegakan kekuasaan itu mulai
melihat kepada hal-hal lain yang dirasakan menarik, terutama pada
kemewahan yang datang tanpa dicapai. Karena pada dasarnya, dan
menjadi tabiatnya pula bahwa kekuasaan itu diiringi dengan
kemewahan. Tetapi kemewahan ini hanya mula-mula saja akan
menambah kekuatan penguasa, namun akhirnya kekuatan ini hanya
mula-mula saja akan menambah kekuatan penguasa, namun akhirnya
kekuatan ini akan melemah karena kemewahan itu mengandung sifat
yang merusakan manusia, yaitu pada akhlaknya
B. Saran
Jika pemimpin Rusak, niscaya rusak pula rakyat yang dipimpinya,
demikianlah sebuah fenomena meyedihkan yang senantiasa menghantui
pikiran Ibnu Taimiyah. Fenomena inilah yang menurut beliau, sebagai
penyebab utama kerusakan kaum musilimin, terampasnya negara dan
kehormatan mereka, serta pendorong musuh-musuh Islam untuk meyerang
kaum muslimin. Bahwa fenomena inilah pula yang merupakan virus utama
dari segala jenis penyakit yang diderita kaum Muslimin.
seorang penguasa politik atau pemimpin, wajib “menyapaikan
amanat kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil.‟
76
Maksudnya, ia harus menerapkan hudud terhadap kelas bangsawan
maupun rakyat jelata secara adil dan proposional. Prinsip keadilan
ekonomi syariat dama barter, retrebusi, dan distribusi kepada kaum miskin
harus dijalankan oleh publik maupun setiap individu. Tujuan semua tugas
publik (wilayat) adalah mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual
manusia. Karena itu, “memerintahkan kepada kebaikan merupakan tujuan
tertinggi dari setiap tugas politik. Tidak ada pemerintah yang dapat
mencapainya tanpa mematuhui norma-norma Islam. Sebaliknya,
memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran tidak efektif
tanpa dukungan kekuatan politik.
Dalam konteks ini, pemikiran Ibnu Taimiyah dan Ibnu khaldun
layak dijadikan refrensi utama dalam dunia politik. Menciptakan sebuah
negara kejeaahteraan merupakan tanggung jawab bersama, manusia tidak
mungkin hidup sendiri-sendiri di dunia ini, meraka butuh solidaritas sosial
dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam solidaritas sosial itu di butuhkan
sebuah pemimpin yang mampu di percaya dan amanah dalam bertugasnya.
77
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Muh. Said, Etika Masyarkat Indonesia, (Jakarta
Pramudya paramida, 1980)
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar
Kenegraan Modern, (Jakarta : PT Gramedia, 1988)
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu politik, (Jakarta: Penerbit PT.
Gramedia, 2008)
Hugo. F. Reading, kamus ilmu-ilmu Sosial, Terjemahan Sehat
Simamora, (Jakarta :PT. Rajawali, 1986)
M. Solly Lubis, Ilmu Negara (Bandung: Mandar Maju, 1989)
Jimlly Asshiddiqie, Gagasan Kedaultan Rakyat Dalam konstitusi
dan Pelaksanaannya di Indonesia (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994)
Ahmadie Thoha, Mukaddimah ibnu khladun, (Jakarta: pustaka
Firdaus)
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Jaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: Penerbit UI Press 1993)
Dr. Badri yatim, M.A, sejarah Peradaban Islam (Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 2001)
Sumardi Surayabrata, Metodologi Penelitian, cet.XVI, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 2004)
78
Ibnu Tamiyah, Siyasah Syar‟iyah : Etika Politik Isalam (Surabaya:
Risalah Gusti. 2005)
Consuelo G Sevilla (dkk), Pengatar Metodologi Penelitian, cet.I.
(Jakarta: UI Pres. 1993)
Louis O. Katssoff, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta, Tiara Wacana,
1986)
Amri M, Etika Islam (Yogyakarta: LSFK2P dan pustaka Pelajar,
2002), cet. Ke-1
Franz magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-Masalah pokok
filasafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 1987)
Antoni Black, Pemikiran Politik Isalm: dari masa Nabi hingga
masa kini, Penerjemah Abdullah Ali & Mariana Ariestyawati
Jusman Iskandar, Bunga Rampai: Etika Moral dalam Kehidpan
Politik dan Pelayanan Publik, (Bandung:Pustaka Program Pasca Sarjana
Universitas Garut)
Moh. Mahfud MD, Demokratsi Pancasila, (Jakarta: Bina Aksara,
1983)
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1978)
Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlemnter
dan Demokrasi Pancasila, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994)
79
Jusman Iskandar, Bunga Rampai: Etika Moral dalam Kehidupan
Politik dan pelayanan Publik
Mummad Iqbal & Amin Husein nasution, Pemikiran Politik Islam
: Dari masa klasik hingga Indonesia Komtemporer,
Rahman Zainuddin, Ilmu Sejarah, Sosial dan politik, dalam
Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Cet. II, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Hoeve, 2002)
Fua Baali dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan pemikiran Islam,
Penerjemah Ahmad Thaha (Jakrta : Pustaka Firdaus, 1989)
Hakimul Ikhwan Afandi, Akar Konflik Sepanjang Zaman:
Elaborasi Pemikiran Ibn Khaldun, (Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2004)
Zainab al-Khudaibiri, Filsafat Sejarah Ibn Khaldun, penerjemah
Ahmad Rafi‟ (Bandung: Pustaka, 1995)
W.J.S Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990
A. Ubaidillah. et al, Pendidikan kewargaan: Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Kalarta press, 2000)
Inu Kencana Syafie, Ilmu Pemerintah dan al-Qur‟an, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1994)
Arief Budiman, Teori Negara: Negara Kekuasaan, dan Ideologi,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997)
80
Abdul muin Salim, fiqh Siyasah: Konsepsi kekuasaan Politik
Dalam al-Qor‟an, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995)
Azyumardi Azra, Pergolokan Politik Islam Dari Fundamentalisme,
Modeenisme, Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996)
Khalid Ibrahim Jidan, Teori Politik Islam: Telaah kritis Ibnu
Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, ter. Masrohin, (Surabaya: Risalah
Gusti, 1995)
M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta:
Logos, 2001)
M. Arskal Salim G.P., etika Intervensi Negara; Perspektif Etika
Politik Ibnu Taimiyah, (Jakrta: Logos, 1999)
Muhammad Al-Mubarak, Sistem Pemerintah Dalam Perspektif
Islam, terj. Firman Hariyanto, (Solo, CV. Pustaka Mantiq, 1995),
Ibnu taimiyah, Kebijakan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad
Munawir al-Zahidi, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997)
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi
Fundamentalisme Islam, terj. Aam Fahmia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada 2000)
Daliar Noer, Pemikiran Politik di Negara Barat (Jakarta: Mizan,
2000)
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur‟an dan
Terjemahannya