View
48
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
alergi
Citation preview
1
KASUS 1
ALERGI
Tn. A mengeluh demam dan batuk berdahak sejak 2 minggu yang lalu, dan
setelah berobat, dokter memberikan antibiotika golongan penisilin kepada Tn. A.
Setelah minum antibiotika tersebut timbul gatal dan bentol-bentol merah yang
hampir merata di seluruh tubuhnya, dan timbul bengkak pada kelopk mata dan
bibirnya. Ia memutuskan untuk kembali berobat kedokter. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan angioedema dimata dan bibirnya, dan urtikaria di seluruh tubuhnya.
Dokter menjelaskan keadaan ini diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas
tipe I), sehingga ia mendapatkan pengobatan anti histamin dan kortikosteroid.
Dokter memberikan saran agar selalu berhati-hati dalam meminum obat.
STEP 1
1. Alergi : Respon yang dapat menimbulkan reaksi imuniologi yang
berbahaya dalam tubuh, bisa disebabkan obat, makanan,
suhu, dsb.
2. Demam : - Suhu diatas normal, sebagai akibat dari peningkatan
pusat pengaturan suhu dihipotalamus.
Abnormal suhu badan rektal 38̊) C . Axilla tanda awal
suatu penyakit.
3. Batuk berdahak : Batuk yang disertai sputum yang berupa lendir dari
tenggorokan pada saat terjadi batuk, dahak diproduksi
sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda asing
yang masuk kedalam tubuh.
4. Antibiotik :Zat kimia yang dihasilkan mikroorgnisme yang berfungsi
untuk menghambat proses pertumbuhan / membunuh
mikroorganisme yang bersifat patogen.
5. Penisilin : Antibiotik yang berasal dari jamur penisilium serta jamur
lain didalam tanah, yang berfungsi membunuh
mikroorganisme.
2
6. Angioedema : Reaksi vasuular yang melibatkan jaringan
dermis / subkutan / submukosa / yang menunjukan
adanya bengkak setempat yang disebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler, disertai biru-
biru.
7. Urtikaria : Reaksi pembuluh darah pada kulit bagian atas
yang ditandai dengan gambaran seperti pentol yang
agak menonjol + merah atau lebih pucat dari kulit
dan sekitarnya yang disertai dengan gatal.
8̊. Hipersensitivitas tipe 1 : peningkatan sensitivitas benda asing yang pernah
dikenal sebelumnya yang bersifat cepat berikatan
akan dengan IgE.
Histamin : perantara penting pada reaksi alergi cepat,
berfungsi nemotrasmitter dalam.
9. Antihistamin : neoromodulator
Antagonis terhadap histamin
10. Kortikosteroid : steroid yang memiliki 21 atom karbon yang
dihasilkan kortesi aerenal obat penyakit asma
STEP 2
1. Definisi dan dasar reaksi alergi ?
2. Apa penyebab alergi ?
3. Mekanisme terjadinya alergi ?
4. Macam-macam alergi ?
5. Gejala klinik alergi ?
6. Pemeriksaan alergi ?
7. Pengobatan alergi anti histamin, kortikosteroid ?
8̊. Pencegahan alergi ?
9. Organ target yang terlibat dalam sistem imun ?
3
STEP 3
1. Definisi respon yang dapat menimbulkan reaksi berbahaya bagi tubuh
Sistem pertahanan tubuh
Definisi hipersensitivitas Reaksi antibodi antigen yang berlebihan
2. Penyebab Alergen berupa makanan, suhu, obat
3. - Mekanisme IgE menangkap antigen sel mast
mengeluarkan meliator histamin bentuk alergi masuk timbul antibodi
antigen dan antibodi berikatan reaksi berlebihan hipersensitivitas.
- Mekanisme
Benda asing / antigen tertangkap reseptor IgE berhubungan dan
menempel pada sel mast dan basofit aktifase keluar mediator
mengundang sel insflamasi.
4. Macam-macam hipersensitivitas Tipe 1 reaksinya cepat
Sitoksik antigen perm, sel
antibodi
Komplek imun antigen antibodi
reposisi dari jaringan
Tipe 4 lambat limfosit yang di
sensitasi
Berdasarkan waktu Cepat
Lambat
Intermediet
5. Gejala klinik berdasarkan organ target.
- Kulit urtikaria
- Saluran nafas sesak
4
- Mata merah, bengkak
- Hidung bersin, berlendir
- Pencernaan mual, muntah, diare
- Jantung hipo, hipertensi, takikardi.
6. - Uji kulit
- Lab
- Injeksi intracutan
- Dilihat lesi, ekskoriasi, angioedema
- Pf mata
- Pf telinga otitis media
Hidung warna mukasa, sekret, urtikaria
Mulut eritema, hipertrofitonsil, kemerahan
- Pk thorax
STEP 4
Organ target
antibodiantigen
definisi dasar penyebab Macam alergi
Gejala klinik
Pemeriksaan alergi
pencegahan
pengobatanALERGI
5
STEP 5
1. Definisi dan dasar reaksi alergi ?
2. Apa penyebab alergi ?
3. Mekanisme terjadinya alergi ?
4. Macam-macam alergi ?
5. Gejala klinik alergi ?
6. Pemeriksaan alergi ?
7. Pengobatan alergi (antihistamin, kortikosteroid) ?
8̊. Pencegahan alergi ?
9. Organ target yang terlibat dalam sistem imun ?
STEP 6
STEP 7
1. SISTEM IMUN
Keutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem pertahanan yang terdiri atas sistem
imun nonspesifik {natural/innate) dan spesifik (adaptive/ acquired).
Komponen-komponen sistem imun nonspesifik dan spesifik terlihat dalam gambar
Biokimia
- Lisozim(ke
ringat)
- Sekresi
sebaseus
-Asam lambung
- Kulit
■ Selaput
iendir
■ Silia
■ Batuk
6
a. SISTEM IMUN NONSPESIFIK
Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam
menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, karena sistem imun spesifik
memerlukan waktu sebelum memberikan responsnya. Sistem tersebut
disebut nonspesifik, karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme
tertentu.
- Pertahanan Fisik
Kulit, selaput Iendir, silia saluran napas, batuk dan bersin dapat mencegah
berbagai kuman patogen masuk ke dalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh
luka bakar dan selaput Iendir yang rusak oleh karena asap rokok akan
meningkatkan risiko infeksi.
- Pertahanan Larut
Pertahanan Biokimia. Bahan yang disekresi mukosa saluran napas,
kelenjar sebaseus kulit, kelenjar kulit, telinga, spermin dalam semen
merupakan bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh. Asam
hidroklorik dalam cairan lambung, lisosim dalam keringat, ludah, air mata dan
air susu dapat melindungi tubuh terhadap kuman Gram positif dengan jalan
menghancurkan dinding kuman tersebut. Air susu ibu mengandung pula
laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibakterial terhadap
E. coli dan stafilokok.
Lisozim yang dilepas makrofag dapat menghancurkan kuman negatif-Gram
dengan bantuan komplemen. Laktoferin dan transferin dalam serum dapat
mengikat zat besi yang dibutuhkan untuk hidup kuman pseudomonas
-Fagosit
- Mononukiea
r
- Polimorfonu
klear
- Sel NK
SelB
-IgD
-IgM
-igG
-IgE
-SelT
-Th1
-Th2
- TsA~rfTr>3
-Tdth
7
(Gambar 2).
Udara yang kita hirup, kulit dan saluran cema, mengandung banyak mikroba,
biasanya berupa bakteri dan virus, kadang jamur atau parasit. Sekresi kulit
yang bakterisidal, asam lambung, mukus dan silia di saluran napas membantu
menurunkan jumlah mikroba yang masuk tubuh, sedang epitel yang sehat
biasanya dapat mencegah mikroba masuk ke dalam tubuh. Dalam darah dan
sekresi tubuh, enzim lisosom membunuh banyak bakteri dengan mengubah
dinding selnya. IgA juga merupakan pertahanan permukaan mukosa.
- Pertahanan Humoral
Komplemen. Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi
bakteri dan parasit dengan jalan opsonisasi . Komplemen dapat
menghancurkan sel membran banyak bakteri
1. Komplemen dapat berfungsi sebagai faktor kemotaktik yang
mengerahkan makrofag ke tempat bakteri
2. Komplemen dapat diikat pada permukaan bakteri yang memudahkan makrofag
untuk mengenal (opsonisasi) dan memakannya. Kejadian- kejadian tersebut
di atas adalah fungsi sistem imun nonspesifik, tetapi dapat pula terjadi
atas pengaruh respons imun spesifik.
Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan berbagai sel
manusia yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respons terhadap
infeksi virus. Interferon mempunyai sifat antivirus dengan jalan menginduksi
sel-sel sekitar sel yang telah terserang virus tersebut. Di samping itu,
interferon dapat pula menaaktifkan natural killer cell/ sel NK untuk
membunuh vims dan sel neoplasma Sel NK membunuh sel terinfeksi virus
intraselular, sehingga dapat menyingkirkan reservoir infeksi.
Sel NK memberikan respons terhadap IL-12 yang diproduksi
makrofag dan melepas IFN-y yang mengaktifkan makrofag untuk
8
membunuh mikroba yang sudah dimakannya. C-Reactive Protein (CRP). CRP
dibentuk tubuh pada infeksi. Peranannya ialah sebagai opsonin dan dapat
mengaktifkan komplemen.
- Pertahanan Selular
Fagosit/makrofag, sel NK dan sel mast berperan dalam sistem imun
nonspesifik selular. Fagosit Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat
melakukan fagositosis, sel utama yang berperan pada pertahanan
nonspesifik adalah sel mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel
polimorfonuklear seperti neutrofil. Kedua golongan sel tersebut berasal dari
sel hemopoietik yang sama.
Fagositosis dini yang efektif pada invasi kuman, akan dapat mencegah
timbulnya penyakit. Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tingkat sebagai
berikut: kemotaksis, menangkap, membunuh dan mencerna.
Natural Killer cell (sel NK). Sel NK adalah sel limfosit tanpa ciri-
ciri sel limfoid sistem imun spesifik yang ditemukan dalam sirkulasi. Oleh
karena itu disebut juga sel non B non T atau sel populasi ke tiga atau null cell.
Morfologis, sel NK merupakan limfosit dengan granul besar, oleh karena itu
disebut juga Large Granular Lymphocyte/LGL. Sel NK dapat menghancurkan
sel yang mengandung virus atau sel neoplasma. Interferon mempercepat
pematangan dan meningkatkan efek sitolitik sel NK.
Sel mast. Sel mast beiperan dalam reaksi alergi dan juga dalam
pertahanan pejamu yang jumlahnya menurun pada sindrom imunodefisiensi.
Sel mast juga berperan pada imunitas terhadap parasit dalam usus dan
terhadap invasi bakteri. Berbagai faktor nonimun seperti latihan jasmani,
tekanan, trauma, panas dan dingin dapat pula mengaktifkan dan
menimbulkan degranulasi sel mast.
a. SISTEM IMUN SPESIFIK
9
Berbeda dengan sistem imun nonspesifik, sistem imun spesifik
mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi
dirinya. Benda asing yang pertama timbul dalam badan yang segera dikenal sistem
imun spesifik, akan mensensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem
tersebut terpajan ulang dengan benda asing yang sama, yang akhir akan dikenal
lebih cepat dan dihancurkannya. Oleh karena itu sistem tersebut disebut
spesifik.
Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda
asing yang berbahaya bagi badan, tetapi pada umumnya terjalin kerja sama
yang baik antara antibodi, komplemen, fagosit dan antara sel T-makrofag.
Komplemen turut diaktifkan dan ikut berperan dalam menimbulkan inflamasi
yang terjadi pada respons imun.
Sistem Imun Spesifik Humoral
1. Sistem imun spesifik humoral. Berperan dalam sistem imun spesifik humoral
adalah limfosit B atau sel B. Sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten
dalam sumsum tulang. Pada unggas sel asal tersebut berdiferensiasi menjadi
sel B di dalam alat yang disebut Bursa Fabricius yang letaknya dekat cloaca.
Bila sel B dirangsang benda asing, Sel tersebut akan berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi.
Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi
utama antibodi ialah mempertahankan tubuh terhadap infeksi
bakteri, virus dan menetralisasi toksin.
2. Sistem imun spesifik selular. Berperan dalam sistem imun spesifik selular
adalah limfosit T atau sel T. Fungsi sel T umumnya ialah:
• membantu sel B dalam memproduksi antibodi mengenal dan
menghancurkan sel yang terinfeksi virus
• mengaktifkan makrofag dalam fagositosis
• mengontrol ambang dan kualitas sistem imun
Sel T juga dibentuk dalam sumsum tulang, tetapi diferensiasi dan
proliferasinya terjadi dalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor
10
asal timus. Sembilan puluh sampai sembilan puluh lima persen semua sel
timus tersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan meninggalkan
timus untuk masuk ke dalam sirkulasi dan kelenjar getah bening. Fungsi
utama sistem imun selular ialah pertahanan terhadap mikroorgam'sme yang
hidup intraselular seperti virus, jamur, parasit dan keganasan. Berbeda dengan
sel B, sel T terdiri atas beberapa sel subset seperti sel T naif, Thl, Th2, T
Delayed Type Hypersensitivity (Tdth), Cytotoxic T Lymphocyte (CTL) atau
T cytotixic atau T cytolytic (Tc) dan T supresor (Ts) atau T regulator (Tr).
Sel T Naif (virgin). Sel T naif adalah sel limfosit yang
meninggalkan timus, namun belum berdiferensiasi, belum pernah
terpajan dengan antigen dan menunjukkan molekul permukaan CD45RA.
Sel ditemukan dalam organ limfoid perifer. Sel T naif yang terpajan dengan
antigen akan berkembang menjadi sel ThO yang^ selanjutnya dapat
berkembang menjadi sel efektor Thl dan Th2 yang dapat dibedakan atas
dasar jenis-jenis sitokin yang diproduksinya. Sel ThO memproduksi sitokin
dari ke 2 jenis sel tersebut seperti IL-2, 1FN dan IL-4.
Sel T CD4T (Thl dan Th2). Sel T naif CD4+ raasuk sirkulasi dan
menetap di dalam organ limfoid seperti kelenjar getah bening untuk
bertahun-tahun sebelum terpajan dengan antigen atau mati. Sel tersebut
mengenal antigen yang dipresentasikan bersama molekul MHC-II oleh
APC dan berkembang menjadi subset sel Thl atau sel Tdth (Delayed
Type Hypersensitivity) atau Th2 yang tergantung dari sitokin lingkungan.
Dalam kondisi yang berbeda dapat dibentuk dua subset yang berlawanan.
11
IFN-y dan IL-12 yang
diproduksi APC seperti makrofag dan sel dendritik yang diaktifkan
mikroba merangsang diferensiasi sel CD4+ menjadi Thl/Tdth yang
berperan dalam reaksi hipersensitivitas lambat (reaksi tipe 4 Gell dan
Coombs). Sel Tdth berperan untuk mengerahkan makrofag dan sel
inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe
lambat.
Atas pengaruh sitokin IL-4, IL-5, IL-10, IL-13 yang dilepas sel
mast yang terpajan dengan antigen atau cacing, ThO berkembang menjadi sel
Th2 yang merangsang sel B untuk meningkatkan produksi antibodi.
Kebanyakan sel Th adalah CD4+ yang mengenal antigen yang
dipresentasikan di permukaan sel APC yang berhubungan dengan molekul
MHC-II. Sel T CD8̊+ (Cytotoxif T Lymphocyte / CTL / Tcytotoxic /
Tcytolytic/ Tc). Sel T CD8̊+ naif yang keluar dari timus disebut juga
CTL/Tc. Sel tersebut mengenal antigen yang dipresentasikan bersama
molekul MHC-I yang ditemukan pada seniua sel tubuh yang beniukleus.
Fungsi utamanya ialah menyingkirkan sel yang terinfeksi virus dengan
12
menghancurkan sel yang mengandung virus tersebut. Sel CTL/Tc akan juga
menghancurkan sel ganas dan sel histoimkompatibel yang menimbulkan
penolakan pada transplantasi. Dalam keadaan tertentu, CTL/Tc dapat juga
menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri intraselular. Istilah sel T
inducer digunakan untuk menunjukkan aktivitas sel Th dalam
mengaktifkan sel subset T lainnya.
Sel Ts (T supresor) atau sel Tr (T regulator). Sel Ts (supresor)
yang juga disebut sel Tr (regulator) atau Th3 berperan menekan aktivitas
sel efektor T yang lain dan sel B. Menurut fungsinya, sel Ts dapat dibagi
menjadi sel Ts spesifik untuk antigen tertentu dan sel Ts nonspesifik.Tidak
ada petanda unik pada sel ini, tetapi penelitian menemukan adanya petanda
molekul CD8̊+. Molekul CD4+ kadang dapat pula supresif.
Kerja sel T regulator diduga dapat mencegah respons sel Thl. APC
yarig mempresentasikan antigen ke sel T naif akan melepas sitokin IL-12
yang nierangsang diferensiasi sel T naif menjadi sel efektor Thl. Sel Thl
memproduksi IFN-y yang mengaktifkan makrofag dalam fase efektor. Sel T
regulator dapat mencegah aktivasi sel T melalui mekanisme yang belum
jelas (kontak yang diperlukan antara sel regulator dan sel T atau APC/
Beberapa sel T regulator melepas sitokin imunosupresif seperti IL-10
yang mencegah fungsi APC dan aktivasi makrofag dan TGF-b yang
mencegah proliferasi sel T dan aktivasi makrofag.
ANTIGEN DAN ANTIBODI
Antigen
Antigen poten alamiah terbanyak adalah protein besar dengan berat
molekul lebih dari 40.000 dalton dan kompleks polisakarida mikrobial. Glikolipid
dan lipoprotein dapat juga ber-sifat imunogenik, tetapi tidak demikian halnya
dengan lipid yang dimumikan. Asam nukleat dapat bertindak sebagai imunogen
dalam penyakit autoimun tertentu, tetapi tidak dalam keadaan normal.
Pembagian Antigen
13
1. Pembagian antigen menurut epitop
a. Unideterminan, univalen. Hanya satu jenis determinan/epitop pada satu
molekul.
b. Unideterminan, multivalen. Hanya satu jenis determinan tetapi dua atau
lebih determinan tersebut ditemukan pada satu molekul.
c. Multideterminan, univalen. Banyak epitop yang bermacam- macam tetapi
hanya satu dari setiap macamnya (kebanyakan protein).
d. Multideterminan, multivalen. Banyak macam determinan dan banyak dari
setiap macam pada satu molekul (antigen dengan berat molekul yang
tinggi dan kompleks secara kimiawi).
2. Pembagian antigen menurut spesifisitas
a. Heteroantigen, yang dimiliki oleh banyak spesies
b. Xenoantigen, yang hanya dimiliki spesies tertentu
c. Aloantigen (isoantigen), yang spesifik untuk individu dalam satu spesies
d. Antigen organ spesifik, yang hanya dimiliki organ tertentu
e. Autoantigen, yang dimiliki alat tubuh sendiri
3. Pembagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T
a. T dependen, yang memerlukan pengenalan oleh sel T terlebih dahulu untuk
dapat menimbulkan respons antibodi. Kebanyakan antigen protein termasuk
dalam golongan ini
b. T independen, yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel T untuk
membentuk antibodi. Kebanyakan antigen golongan ini berupa molekul
besar polimerik yang dipecah di dalam tubuh secara perlahan-lahan,
misalnya lipopolisakarida, dekstran, levan, flagelin polimerik bakteri.
14
4. Pembagian antigen menurut sifat kimiawi
a. Hidrat arang (polisakarida). Hidrat arang pada umumnya imunogenik.
Glikoprotein yang merupakan bagian perinukaan sel banyak
mikroorganisme dapat menimbulkan respons imun terutama pembentukan
antibodi. Contoh lain adalah respons imun yang ditimbulkan golongan darah
ABO, sifat antigen dan spesifisitas imunnya berasal dari polisakarida pada
perinukaan sel darah merah
b. Lipid. Lipid biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi imunogenik bila
diikat protein pembawa. Lipid dianggap sebagai hapten, contohnya adalah
sfingolipid
c. Asam nukleat. Asam nukleat tidak imunogenik, tetapi dapat menjadi
imunogenik bila diikat protein molekul pembawa. DN A dalam bentuk
heliksnya biasanya tidak imunogenik. Respons imun terhadap DNA
terjadi pada pasien dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
d. Protein. Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya
multideterminan dan univalen.
15
Imunogen dan Hapten. Antigen yang juga disebut imunogen adalah bahan
yang dapat merangsang respons imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan
antibodi yang sudah ada tanpa memperhatikan kemampuannya untuk
merangsang produksi antibodi. Secara fiingsional antigen dibagi menjadi imunogen
dan hapten. Bahan kimia ukuran kecil seperti dinitrofenol dapat diikat antibodi,
tetapi bahan tersebut sendiri tidak dapat mengaktifkan sel B (tidak imunogenik).
Untuk memacu respons antibodi, bahan kecil tersebut perlu diikat oleh molekul
besar. Kompleks yang terdiri atas molekul kecil (disebut hapten) dan molekul besar
(disebut carrier atau molekul pembawa) dapat berperan sebagai imunogen. Contoh
hapten ialah berbagai golongan antibiotik dan obat lainnya dengan berat molekul
kecil. Hapten biasanya dikenal oleh sel B, sedangkan molekul pembawa oleh sel T.
Molekul pembawa sering digabung dengan hapten da-lam usaha memperbaiki
imunisasi. Hapten membentuk epitop pada molekul pembawa yang dikenal sistem
imun dan merangsang pembentukan antibody.
Respons sel B terhadap hapten yang memerlukan protein pembawa
(carrier) untuk dapat dipresentasikan ke sel Th.
Epitop. Epitop atau detenninan antigen adalah bagian dari antigen yang
dapat membuat kontak fisik dengan reseptor antibodi, meng-induksi pembentukan
antibodi; dapat diikat dengan spesifik oleh bagian dari antibodi atau oleh reseptor
antibodi. Makromolekul dapat memiliki berbagai epitop yang masing-masing
merangsang produksi antibodi spesifik yang berbeda. Paratop ialah bagian dari
antibodi yang mengikat epitop. Respons imun dapat terjadi terhadap semua
golongan bahan kimia seperti hidrat arang, protein dan asam nukleat.
Lokasi epitop dan paratop (bagian dari antibodi) dalam interaksi antara
antigen dan TCR dan reseptor sel B.
Epitop adalah bagian dari antigen yang membuat kontak fisik dengan
reseptor Ab = antibodi; Ag = antigen.
Superantigen. Superantigen (Gambar 10) adalah molekul yang sangat
poten terhadap mitogen sel T. Mungkin lebih baik bila disebut supermitogen,
oleh karena dapat memacu mitosis sel CD4+tanpa bantuan APC. Superantigen
16
berikatan dengan berbagai regio dari rantai (3 reseptor sel T. Ikatan tersebut
merupakan sinyal poten untuk mitosis, dapat mengaktifkan sejumlah besar
populasi sel T. Sampai 20% dari semua sel T dalam darah dapat diaktifkan oleh
satu molekul superantigen. Contoh superantigen adalah enterotoksin dan toksin
yang menimbulkan sindrom syok toksin yang diproduksi stafilokokus aureus.
Molekul tersebut dapat memacu penglepasan sejumlah besar sitokin seperti IL-1
dan TNF dari sel T yang berperan dalam patologi jaringan lokal pada syok
anafilaktik oleh stafilokokus.
ANTIBODI
Antibodi atau imunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang dibentuk sel
plasma (proliferasi sel B) setelah terjadi kontak dengan antigen. Antibodi
ditemukan dalam serum dan jaringan dan mengikat antigen secara spesifik. Bila serum
protein dipisahkan secara elektroforetik, Ig ditemukan terbanyak dalam fraksi globulin
g meskipun ada beberapa yang ditemukan juga dalam fraksi globulin a dan b.
Semua molekul Ig mempunyai 4 polipeptid dasar yang teridiri atas 2 rantai
be'rat (heavy chain) dan 2 rantai ringan {light chain) yang identik, dihubungkan
satu dengan lainnya oleh ikatan disulfida.
Unit dasar antibodi yang terdiri atas 2 rantai berat dan 2 rantai ringan yang
identik, diikat menjadi satu oleh ikatan disulfida yang dapat dipisah-
pisah dalam berbagai fragmen.
A = rantai berat (berat molekul: 50.000-77.000)
B = rantai ringan (berat molekul: 25.000)
C = ikatan disulfida
Ada 2 jenis rantai ringan (kappa dan lambda) yang terdiri atas 230
asam amino serta 5 jenis rantai berat yang tergantung pada kelima jenis
imunoglobulin, yaitu IgM, IgG, IgE, IgA dan IgD
IgG
17
IgG merupakan komponen utama (terbanyak) imunoglobulin serum,
dengan berat molekul 160.000. Kadarnya dalam serum yang sekitar 13
mg/ml merupakan 75% dari semua Ig. IgG ditemukan juga dalam berbagai
cairan lain antaranya cairan saraf sentral (CSF) dan juga urin. IgG dapat
menembus plasenta dan masuk ke janin dan berperan pada imunitas bayi
sampai umur 6-9 bulan. IgG dapat mengaktifkan komplemen,
meningkatkan pertahanan badan melalui opsonisasi dan reaksi inflamasi.
IgG mempunyai sifat opsonin yang efektif oleh karena monosit dan
makrofag memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgG yang dapat
mempererat hubungan antara fagosit dengan sel sasaran. Selanjutnya
opsonisasi dibantu reseptor untuk komplemen pada permukaan fagosit.
IgG terdiri atas 4 subkelas yaitu Igl, Ig2, Ig3 dan Ig4. Ig4 dapat diikat oleh
sel mast dan basofil.
IgA
IgA ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya
dalam cairan sekresi saluran napas, saluran cema, saluran kemih, air mata,
keringat, ludah dan kolostrum lebih tinggi sebagai IgA sekretori (slgA).
Baik IgA dalam serum maupun dalam sekresi dapat menetralisir toksin atau
virus dan atau mencegah kontak antara toksin/virus dengan alat sasaran.
slgA diproduksi lebih dulu dari pada IgA dalam serum dan tidak menembus
plasenta. slgA melindungi tubuh dari patogen oleh karena dapat bereaksi
dengan molekul adhesi dari patogen potensial sehingga mencegah adherens
dan kolonisasi patogen tersebut dalam sel pejamu.
IgA juga bekerja sebagai opsonin, oleh karena neutrofil, monosit dan
makrofag memiliki reseptor untuk Fca (Fca-R) sehingga dapat
meningkatkan efek bakteriolitik komplemen dan menetralisir toksin. IgA
juga diduga berperan pada imunitas cacing pita.
IgM
18
IgM (M berasal dari makroglobulin) mempunyai rumus bangun
pentamer dan merupakan Ig terbesar. Kebanyakan sel B mengandung IgM
pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk paling dahulu
pada respons imun primer tetapi tidak berlangsung lama, karena itu kadar
IgM yang tinggi merupakan tanda adanya infeksi dini.
Bayi yang bam dilahirkan hanya mempunyai IgM 10% dari kadar
IgM dewasa oleh karena IgM tidak menembus plasenta. Fetus umur 12
minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel B nya dirangsang oleh infeksi
intrauterin seperti sifilis kongenital, rubela, toksoplasmosis dan virus
sitomegalo. Kadar IgM anak mencapai kadar IgM dewasa pada usia satu
tahun. Kebanyakan antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah
AB, antibodi heterofil adalah IgM. IgM dapat mencegah gerakan
mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan merupakan
aglutinator kuat terhadap butir antigen. IgM juga merupakan antibodi yang
dapat mengikat komplemen dengan kuat dan tidak menembus plasenta.
IgD
IgD ditemukan dengan kadar yang sangat rendah dalam darah (1%
dari total imunoglobulin dalam serum). IgD tidak mengikat komplemen,
mempunyai aktivitas antibodi terhadap antigen berbagai makanan dan
autoantigen seperti komponen nukleus. Selanjutnya IgD ditemukan
bersama IgM pada permukaan sel B sebagai reseptor antigen pada aktivasi
selB.
IgE
IgE ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE
mudah diikat mastosit, basofil, eosinofil, makrofag dan trombosit yang
pada permukaannya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE
dibentuk juga setempat oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran napas
dan cerna. Kadar IgE serum yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi
19
cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Kecuali pada alergi, IgE
diduga juga berperan pada imunitas parasit. IgE pada alergi dikenal sebagai
antibodi regain.
3. Penyebab Alergi ( Hipersensitivitas )
Penyebab alergi belum diketahui (ideopatik), banyak orang
menduga penyebab alergi adalah antigen yang masuk kedalam tubuh yang
kemudian menyerang jaringan sehingga sel – sel dalam jaringan tersebut
ruptur dan mengeluarkan zat-zat kimia yang menghasilkan efek yang
menandai timbulnya alergi, namun pernyataan tersebut tidak benar Karena
antigen yang sama pada pejamu yang berbeda belum tentu menimbulkan
efek alergi. Oleh karena itu penyebab alergi yang dapat diterima adalah
karena gen yang diturunkan dari sifat orangtua yang mempunyai riwayat
alergi.
Pada orangtua yang mempunyai riwayat alergi mereka mempunyai
keturunan yang alergi terhadap antigen yang sama. Riwayat alergi tersebut
di turunkan melalui sel memori yang berperan dalam pembentukan
memori sel limfosit secara spesifik terhadap antigen yang sebelumnya
telah menyerang pejamu.
Penisilin yang merupakan obat antibiotik seringkali menyebabkan
alergi terhadap pejamu, dalam mekanismenya ketika pertama kali penisilin
dimasukan kedalam tubuh, makrofag yang terdapat di jaringan akan
menangkap penisilin dan mengantarkan penisilin tersebut ke reseptor
MHC-II (major bistocompatibility complex) untuk di ikat dan di antarkan
menuju sel limfosit penolong yang tidak lain adalah sel memori, didalam
sel memori ini penisilin/zat asing lainnya diproses dan di eksekusi, bila zat
asing itu berbahaya sel memori akan memberikan sinyal kepada sel B
didekatnya untuk memproduksi IgG (immunoglobulin G) suatu antibodi
bivalen yang mencangkup 75% dari keseluruhan jumlah antibodi di dalam
tibuh untuk menghancurkan benda asing tersebut. Pada pejamu yang
memiliki alergi ketika antigen masuk, sel memori bekerja tidak normal
atau tidak lazim, yang seharusnya pada pajanan pertama antigen, sel
memori akan merangsang sel B untuk menghasilkan IgG yang jumlahnya
20
banyak didalam tubuh sehingga dapat menghancurkan antigen yang
masuk, tetapi pada orang yang memiliki alergi, sel memori tidak
merangsang Sel B untuk menghasilkan antibodi IgG akan tetapi sel
memori merangsang sel B untuk menghasilkan IgE yang melekat pada sel
mast dan basofil dan yang jumlahnya sedikit di dalam tubuh maka pada
pajanan pertama antigen yang masuk tidak dapat dihancurkan melainkan
ikut melakat pada sel mast dan basofil melalui IgE, pada pajanan kedua
antigen yang sama masuk kedalam tubuh, sel memori akan tetap
merangsang sel IgE walaupun jumlah IgE sangat sedikit dan IgE yang
tersisa sudah melekatkan antigen ke sel mas dan sel basofil sehingga sel
IgE tidak bisa melawan antigen yang jumlahnya banyak, akhirnya antigen
yang tidak terikat oleh antibodi IgE akan berikatan dengan sel mast dan sel
basofil itu sendiri, kemudian antigen tersebut akan menghancurkan
membran dari sel mast dan basofil menyebabkan sel itu rupture dan
mengelurkan zat-zat kimia salah satunya histamine yang mempunyai efek
urtikaria dan angiodema pada kulit.
4. Mekanisme Alergi
adanya alergen yang ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung.
Perbedaan antara respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya
sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma. Antibodi ini akan berikatan dengan
respetor Fc pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil
yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi). Karena sel B
memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak
terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20
jam.
Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk
memproduksi antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan
berikatan dengan reseptor di sel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau
basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka
alergen akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibody di sel mastosit
21
atau basofil dan menyebabkan terjadinya granulasi. Degranulasi menyebakan
pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder. Mediator primer
menyebabkan eosinofil dan neutrofil serta menstimulasi terjadinya urtikaria,
vasodilatasi, meningkatnya permiabilitas
vaskular, Sedangkan mediator sekunder menyebakan menyebakan
peningkatan pelepasan metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien)
and protein (sitokin and enzim).
4 Macam-macam Hipersensitivitas
a. Pembagian hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi dibagi
menjadi:
Reaksi cepat, terjadi dalam hitungan detik, meghilang dalam 2 jam.
Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast
menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat atau
anafilaksis lokal.
Reaksi intermediet, terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam
24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan
kerusakan jaringan melalui aktivasi komplemen dan atau sel NK/ADCC.
Manifestasi reaksi intermediet dapat berupa :
22
i. Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fatalis dan anemia hemolitik
autoimun
ii. Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness,
vaskulitis nekrosis, glomerulonefritis, artrisis reumatoid dan LES
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan kerusakan jaringan pejamu
yang disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.
Reaksi lambat, terlihat sampai sekitar 48̊ jam setelah terjadi pejanan
dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang
dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan
kerusakan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak,
reaksi M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan tandur.
b. Pembagian hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs
Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi
alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi
tipe I, alergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respon imun
berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, asma dan
dermatitis atopi. Urutan kejadian tipe I adalah sebagai berikut :
i. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pementukan IgE
sampai diiikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan
sel mast/basofil.
ii. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pejanan ulang
dengan antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang
berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan
silang antara antigen dan IgE.
iii.Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator –mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan
aktivitas farmakologik.
Hipersensitivitas Tipe II atau sitotoksik atau sitolitik
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau
sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap
antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi
23
antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari
membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan
metabolisme sel dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengikat reaksi yang terjadi disebabkan
lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel
yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan
sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi
tipe II dapat menunjukan berbagai manifestasi klinik yaitu berupa
kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia,eosinofuilia,
dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksia
alergi tipe ini.
Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila
kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan di sini
ialah Igm dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh
yaitu dengan pelepasan komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :
1). Urtikaria, angioedema, eritema, makulopopula, eritema
multiforme,dll. Gejela tersebut sering disertai pruritus. 2). Demam.
3).kelainan sendi, atrtralgia, dan efusi sendi. 4). Limfadenopati. 5). Dan
lain-lain :
- kejang perut, mual
- neuritis optik
- glomerulonefritis
- sindrom lupus eritematosus sistemik
- gejala vaskulitis lain
Gejala tadi timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila
sebelumnya pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam
waktu 1-5 hari.
Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga
dikenal sebagai Cell Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada
24
reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respons sel T
yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
Berbagai jenis DTH :
1) Cutaneous Basophil Hypersensitivity
2) Hipersensitivitas kontak (contact dermatitis)
3) Reaksi tuberkulin
4) Reaksi granuloma
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat yang
tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitruforantion, nefritis intertisial,
ensefalomielitis, dan hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi
alergi obat.
Namun demikian dermatitis merupakan manifestasi yang paling
sering. Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah
sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal (sulfa, penisilin atau
antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18̊-24 jam
setelah obat dioleskan.
5. Gejala Klinik Hipersenstivitas tipe I (alergi)
Tipe I (Hipersensitivitas tipe cepat)
Manifestasi klinis yang terjadi merupakan efek mediator kimia akibat
reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk yang menyebabkan kontraksi
otot polos, meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar
mukus. 1). Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Kadang-kadang kejang
bronkus disertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan ini bisa
sangat gawat karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas. 2). Urtikaria,
3). Angioedema, 4). Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi
beberapa menit setelah suntuikaan seperti penisilin.
Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit
setelah pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan
25
secara potensial membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis.
Penyebab yang tersering adalah penisilin.
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu: a). Fase sensitasi, yaitu waktu
yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE, b). Fase aktivasi, yaitu fase yang
terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat aktivasi ini, sel
mast/basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granul yang dapat
menimbulkan reaksi. c). Fase efektor, yaitu fase terjadinya respon imun yang
kompleks akibat penglepasan mediator.
Tipe II
Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi oleh karena
terbentuknya IgM/IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat
mengaktifkan sel-sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antige antibodi
juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptor komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergen tipe II umumnya berupa kelainan darah
seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia.
Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.
Tipe III
Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila
kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan disini ialah
IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan
penglepasan komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa:
1). Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme, dan
lain-lain. Gejala tersebut sering disertai pruritus. 2). Demam. 3). Kelainan
sendi, atralgia, dan efusi sendi. 4). Limfadenopati. 5). Lain-lain:
Kejang perut, mual
Neuritis optik
Glomerulonefritis
Sindrom lupus eritematosus sistemik
26
Gejala vaskulitis lain
Gejala tadi, timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya
pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam waktu 1-5 hari.
Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal
sebagai Cell Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak
ada peran antibodi. Reaksi terjadi karena respon sel T yang telah di sensitasi
oleh antigen tertentu.
Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity): 1). Cutaneous
Basophil Hypersensitivity. 2). Hipersensitivitas kontak (Contact Dermatis). 3).
Reaksi tuberkulin. 4). Reaksi Granuloma
Manifestasi klinis reaksi alergen tipe IV dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat yang
tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantoin, nefritis interstisial,
ensefalomielitis, dan hepatis juga dapat merupakan manaifestasi reaksi alergi
obat.
Namun demikian, dermatitis merupakan mnifestasi yang paling sering.
Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi.
Contohnya pemakaian obat topikal (sulfa, penisilin, atau antihistamin).
6. Pemeriksaan Alergi
A. Pemeriksaan Fisik
Kulit
Seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik seperti
ekskoriasi, bekas garukan terutama daerah pipi atau lipatan-lipatan kulit
daerah fleksor. Kelainan ini mungkin tidak dikeluhkan pasien, katena
dianggap tidak mengganggu ataupun tidak ada hubungan dengan
penyakitnya. Lihat pula apaluh terdapat lesi urtikaria. angioedema,
dermatitis, dan likemfikasi.
Mata
27
Diperiksa terhadap hiperemia konjungtiva, edema, secret mata yarig
berlebihan dan katarak yang sering dihubungkan dengan penyakit atopi, dan
kadangkala disebabkan pengobatan kortikosteroid dosis tinggi dalarn
jangka lama. Pada rinitis aiergi dapat dijumpai allergic shiners, yairu daerah
di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak.
Telinga
Telinga tengah dapat merupakan penyulit penyakit saluran napas, perlu
dilakukan pemeriksaan membrane timpani untuk mencari otitis media.
Demikian juga dengan sinus paranasal berupa sinusitis yang dapat
diperiksa secara palpasi dan transiluminasi.
Hidung
Pada pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda
yang sudah baku, walaupun tidak patognomonik, misalnya : allergic
salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok
hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan
melonggarkan sumbatan.
Bagian dalam hidung diperiksa dengan menggunakan spekulum
hidung dengan bantuan senter untuk melihat warna mukosa, jumlah dan
bentuk sekret, edema, polip hidung, dan abnormalitas anatomi
seperti deviasi septum.
Mulut dan Orofaring
Pemeriksaan dituiukan untuk menilai eritema, edema, hipertrofi tonsil,
Pada rinitis alergi terlihat mukosa orofaring kemerahan, edema, atau
keduanya.
Dada
Diperiksa secara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi baik terhadap
organ paru maupun jantung.
Pemeriksaan Lain
28
Jangan lupa memeriksa tekanan darahnya, karena tekanan sistolik yang
rendah (90-110 mmHg) sering dijumpai pasien penyakit alergi.
B. Pemeriksaan Laboratorium
• Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Sel : Pada penyakit alergi jumlah leukosit
normal, kecuali kalau disertai infeksi. Eosinofilia sering dijumpai tetapi
tidak spesifik, sehingga dapat dikatakan eosinofilia tidak identik dengan
alergi. Pada penyakit alergi, eosinofilia berkisar antara 5-15% beberapa hari
setelah pajanan alergen. Sel eosinofil normal, untuk dewasa 0-450 sel/mm3.
• Sel Eosinofil pada Sekret Konjungtiva, Hidung dan Sputum : Semasa
periode simtomatik sel eosinofil banyak dalam sekret, tetapi kalau ada
infeksi, sel neutrofil yang lebih dominan.
• Serum IgE total : Meningkatnya serum lgE total menyokong adanyapeayakit
alergi, Meningkatnya serum lgE total menyokong adanya penyakit alergi,
tetapi sayang hanya didapatkan pada sekitar 60-8̊0% pasien. Sebaliknya
peniagkatan kadar Ig E total ini juga dijumpai pada penyakit lain misalnya
infeksi parasit, sirosis hati, monokleosis, penyakit autoimun, limfoma, HIV,
dll.
• Ig E Spesifik : dilakukan untuk mengukur lgE terhadap alergen tertentu
secara in vitro dengan cara RAST (Rcrto Allergo Sorbent Test) atau ELISA
(Enzym LinkedImmuno Sorbeni Assay).
C. Tes Kulit :
Tujuannya adalah untuk menentukan antibodi IgE spesifik dalam kulit pasien,
yang secara tidak langsung menggambarkan adanya antibodi yang serupa pada
organ yang sakit.
D. Tes Tusuk (Prick Test) :
Mula-mula kulit bagian volar dari lengan bawah dibersihkan dengan alkohol,
biarkan hingga kering. Tempat penetesan alergen ditandai secara berbaris
dengan jarak 2-3 cm di atas kulit tersebut. Teteskan setetes alergen pada tempat
yang disediakan, juga kontrol positif (larutan histamin fosfat 0.1 %) dan
29
kontrol negatif (larutan phospate-buffered saline dengan fenol 0.4%). Dengan
jarurn disposibel ukuran 26, dilakukan tusukan dangkal melaiui masing-masing
ekstrak yang telah diteteskan.
E. Tes Tempel (Patch Test) :
Dilakukan dengan cara menempelkan suatu bahan yang dicurigai sebagai
penyebab dermatitis alergi kontak. Jika pada penempelan bahan kulit
menunjukkan reaksi, mungkin pasien alergi terhadap bahan tersebut, ataupun
bahan atau benda lain yang mengandung unsur tersebut.
• 0 = tidak ada reaksi
• +/- = eritema ringan, meragukan
• 1+ = reaksi ringan (eritema dengan edema ringan)
• 2+ = reaksi kuat (papular eritema dengan edema)
• 3+ = reaksi sangat kuat (vesikel atau bula)
•
F. Tes Provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikanalergen secara
langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika
terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan
tes lainnya.
G. Pemeriksaan-pemeriksaan lain
Spirometri, untuk menentukan obstruksi saluran napas baik beratnya
maupun reversibilitasnya, serta untuk menilai hasil pengobatan asma
(monitoring).
Foto dada, untuk melihat komplikasi asma dan foto sinus paranasal untuk
melihat komplikasi rinitis. Bila ada kecurigaan rinitis akut maupun kronik
maka diperlukan pemeriksaan scanning sinus.
Pemeriksaan tinja, untuk melihat cacing dan telurnya pada kasus urtikaria
yang tidak bisa diterangkan, dan lainTiain.
Laju endap darah normal pada penyakit atopi. Kalau laju endap darah
meninggi kemungkinan disertai infeksi
Tes pelepasan histamin dari basofil
30
7. Antagonis Histamin( ANTIHISTAMIN )
Pengaruh histamin yang dihasilkan tubuh dapat dikurangi dengan berbagai
cara, antagonis fisiologis terutama adalah epinefrin yang bekerja dengan
histamin pada otot polos.
Penggolongan Histamin
• Antagonis Reseptor H1
A. Generasi pertama
B. Generasi kedua
• Antagonis Reseptor H2
• Antagonis Reseptor H3
Antagonis H1
Antagonis H1 generasi pertama merupakan suatu amin yang larut dalam
lipid dan stabil.
Umumnya obat-obat ini serupa dalam absorpsi dan distribusinya.
Obat mudah diabsorpsi sesudah pemberian oral, puncak konsentrasi dalam
plasma terjadi dalam 1-2 jam.
Distribusi ke seluruh tubuh, dan masuk SSP dengan mudah
Obat dimetabolisme secara luas, terutama oleh mikrosomal hati.
Umumnya obat mempunyai lama kerja efektif 4-6 jam setelah dosis
tunggal, tetapi meklizin bekerja lama dengan waktu kerja 12-24 jam
Antagonis H2 generasi kedua kurang larut lipid dan sulit memasuki SSP
Antagonis H1 menghambat kerja histamin secara antagonisme kompetitif
yang reversibel pada reseptor H1. potensinya untuk reseptor H2 dapat
31
diabaikan dan kecil untuk reseptor H3
Selain itu terdapat efek yang bukan disebabkan oleh penyakatan
reseptor Histamin, diduga hal ini terjadi karena adanya kesamaan
struktur umum dengan struktur obat yang mempunyai efek kolinoseptor
muslarinik, adrenoseptor alfa, serotonin, dan reseptor anestetik lokal.
Efek tersebut yaitu :
1. Efek sedasi, terutama pada antagonis H1 generasi pertama. Tetapi
intensitas efek berbeda diantara subgrup kimiawi dan antar pasien sendiri.
Beberapa obat digunakan sebagai “obat pembantu tidur” dan tidak cocok
digunakan pada siang hari.
Antagonis H1 generasi kedua mempunyai sedikit/tidak ada kerja
sedatif.
terfenadin sangat efektif untuk reseptor H1 dan sulit melewati
sawar darah otak. Begitu pula dengan astemizol, loratadin dan cetirizin
2. Efek antimual dan antimuntah.
beberapa antagonis H1 mempunyai aktivitas menonjol untuk
mencegah “motion sickness”, namun kurang efektif terhadap episode
motion sickness yang sudah ada.
3. Efek antiparkinsonisme.
Diduga karena efek antikolinergiknya. Beberapa anatgonis H1
dapat menghambat efek pada gejala parkinsonisme yang berkaitan dengan
obat-obat antipsikotik tertentu
• Reaksi alergi
merupakan obat pilihan pertama untuk mencegah atau mengobati
gejala reaksi alergi.
32
Pada rhinitis alergi dan urtikaria, dimana histamin merupakan
perantara utama, antagonis H1 adalah obat pilihan yang sangat efektif.
untuk dermatitis atopik difenhidramin digunakan untuk
menghilangkan rasa gatal dan efek sedasinya
Antagonis H1 generasi kedua dengan efek sedatif yang rendah
(terfenadin, loratadin, astemizol, dan mequitazin) digunakan terutama
untuk pengobatan rhinitis alergi dan urtikaria kronis.
Beberapa perbandingan dengan obat generasi pertama (seperti
klorfeniramin) memperlihatkan manfaat terapi yang sama, namun efek
sedasi terjadi pada 50% orang yang menggunakan generasi I, dan hanya
terjadi pada 7% orang yang menggunakan terfenadin dan astemizol.
Obat-obat generasi kedua ini lebih mahal harganya.
• Motion Sickness dan Gangguan Vestibular
Obat antihistamin yang sangat efektif adalah difenhidramin dan
prometazin
Golongan piperazin (siklizin dan meklizin) juga cukup baik untuk
mencegah penyakit ini dan umumnya kurang sedatif.
• Mual dan muntah hamil
beberapa obat antagonis H1 telah diteliti untuk kemungkinan
pengobatan pada “morning sickness”.
Turunan piperazin ditarik penggunaannya karena terbukti
mempunyai efek teratogenik pada tikus.
Untuk penggunaan ini dianjurkan Doksilamin, suatu etanolamin
antagonis H1 sebagai komponen Bendectin (doksilamin+piridoksin).
Adanya masalah malformasi fetal akibat penggunaan Bendectin
menyebabkan produk ini ditarik kembali dari peredaran.
33
EFEK SAMPING
• Efek toksik ringan dari penggunaan sistemik meliputi eksitasi dan
konvulsi pada anak-anak, hipotensi postural, dan respon alergi.
• Edema uvula dan laring.
• Kesulitan bernapas dapat juga disebabkan oleh penyempitan bronkus.
• Spasme usus, kandung kemih atau spasme uterus yang jelas, disertai
nyeri kram, pengeluaran isi visera, atau bercak-bercak darah dari vagina.
8. Pencegahan Alergi
Adapun yang efektif untuk pencegahan elergi adalah dengan
mengetahui indikasi yang dapat menyebabkan alergi lalu jauhi indikasi.
9. Organ target hipersensitivitas tipe I
Reaksi sistemik akut, sering mengakibatkan kematian, pertama kali
ditemukan pada beberapa spesies selama percobaan imunisasi dengan toksin-
toksin asing. Pada banyak hewan, sensirtisasi tidak memberikan proteksi;
bahkan pemberiab ulang toksin, dapat segeran menimbulkan syok, obstruksi
saluran pernapasan, dn kongesti visera dengan gambaran yang spesifik pada
masing-masing spesies.
Reaksi sistemik akut umumnya timbul setelah penyuntikan antigen yang
poten (alergen) pada orang yang sangat peka, walaupun jarang reaksi ini dapat
terjadi setelah menelan agen tersebut.
Reaksi sistemik akut umumnya timbul beberapa menit setelah terpajan
satu alergen; keterlambatan timbulnya reaksi yang lebih dari 1 jam sangat
jarang terjadi. Pada kepekaan yang ekstrim, penyuntikan alergen dapat
menyebabkan kematian atau reaksi subletal dan umumnya reaksi-reaksi yang
paling berat terjadi paling cepat. Individu yang terkena merasakan gelisah,
diikuti dengan cepat oleh rasa ringan pada kepala, yang dapat mengakibatkan
34
sinkop (kehilangan kesadaran). Rasa gatal di telapak tangan dan kulit kepala
dapat menjadi urtikaria yang menutupi sebagian besar permukaan kulit.
Pembengkakan jaringan lokal (angioedema) dapat timbul dalam beberapa
menit dan khususnya mengubah bentuk kelopak mata, bibir, lidah, tangan,
kaki, dan genitalia. Kelainan ini yang mengenai jaringan dibawah kulit atau
selaput lendir disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas vaskular lokal,
tanpa kerusakan vena-vena kecil dan kapiler-kapiler yang bersangkutan.
Angioedema sering reversibel dalam waktu singkat. Angioedema berbeda dari
bentuk-bentuk pembengkakan lain (edema) yang tekanan darah abnormal atau
kerusakan pembuluh darahnya memungkinkan cairan keluar ke jaringan.
Edema uvula dan laring kurang terlihat pada pemeriksaan sederhana, akan
tetapi sangat penting pada keadaan anafilaksis dan dapat menyebabkan
kematian karena obstruksi pernapasan. Edema laring menyebabkan sesak napas
yang nyata, gangguan kekuatan bicara, suara napas keras, batuk seperti
“gonggongan anjing”. Kesulitan bernapas dapat juga disebabkan oleh
penyempitan bronkus, disertai stridor yang terdengar mirip asma spontan.
Lebih jarang terjadi spasme usus, kandung kemih atau spasme uterus yang
jelas, disertai nyeri kram, pengeluaran isis visera, atau bercak-bercak darah dari
vagina.
Kesimpulan :
Jadi kenapaTh. A di berikan obat antihistamin dan kortikosteroid, yaitu
penggunaan antihistain untuk mengeblok kerja dari histamine yang enyebabkan
Th. A urtikaria dan angioedema. Sedangkan pengguanaan dari kortikosteroid
yaiyu untuk menyembuhkan dari gejala yang di rasakan Th. A.
Suhu normal pada tempat yang berbeda
Tempat
pengukuranJenis termometer
Rentang; rerata
suhu normal (oC)
Demam
(oC)
35
Aksila Air raksa, elektronik 34,7 – 37,3; 36,4 37,4
Sublingual Air raksa, elektronik 35,5 – 37,5; 36,6 37,6
Rektal Air raksa, elektronik 36,6 – 37,9; 37 38̊
Telinga Emisi infra merah 35,7 – 37,5; 36,6 37,6
36
DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
EGC. Jakarta
Sudoyo, Aru W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing.
Jakarta
Baratawidjaja, Karnen G dan Rengganis Iris. 2010. Imunologi Dasar ed. 9.
Fakultras Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Katzung, B. G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinis ed. 10. EGC. Jakarta
Setiabudy, Rianto. 2007. Farmakologi dan Terapi ed. 5. Departemen
Farmakologi dan Terapi Fakultas edokteran Universitas Indonesia.
Jakarta
Recommended