View
2
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Penafsiran Makna “Azwāj Muṭahharah” dalam al-
Quran Perspektif Tafsir al-Qurṭubi
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun Oleh:
Faris Fadhil Yusup
11140340000099
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2020
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul PENAFSIRAN MAKNA AZWĀJ MUṬAHHARAH PERSPEKTIF TAFSIR AL-QURṬUBĪ telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 07 Februari 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 07 Mei 2020
Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. Eva Nugraha, M.Ag
Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA.
Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 19711003 199903 2 001 NIP. 19600908 198903 1 005
Pembimbing,
Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA NIP. 19690822.199703 1 002
i
ABSTRAK
Faris Fadhil Yusup, Judul Skripsi “Penafsiran Makna “Azwāj
Muṭahharah” Perspektif Tafsir al-Qurtubī
Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang mana
didalamnya terdapat ribuan ayat. Uniknya, dalam ribuan ayat
tersebut setiap ayatnya bahkan setiap katanya memiliki multitafsir
sehingga tidak dapat ditafsirkan hanya dengan satu penafsiran saja,
melainkan dapat umbuh beribu makna. Begitu pula dengan
penafsiran azwaj muṭaharah yang memiliki beberapa makna
tergantung dengan siapa penafsirnya.
Oleh karena itu, pertanyaan utama dalam skripsi ini adalah
bagaimana al-Qurṭubi menafsirkan makna “Azwāj Muṭahharah”?
Untuk mendapatkan jawaban, penulis mengumpulkan ayat-ayat
yang terhimpun dalam satu tema, diantaranya al-Baqarah ayat 25,
Ali Imran ayat 15, dan al-Nisā ayat 57. Skripsi ini menggunakan metode kepustakaan (library
research) yang mana terdiri dari sumber primer dn sumber
sekunder. Sumber primer skripsi ini adalah al-Quran dan tafsir al-
Qurṭubi, sedangkan tafsir sekundernya diantaraya Tafsīr Ibn
Katsīr, Tafsīr Fakhr al-Rāzī, Tafsīr al-Munīr dan beberapa kitab
pendukung lainnya untuk mendapakan hasil terbaik.
Kesimpulan dari skripsi ini meurut al-Qurṭubi azwāj
mutahharah adalah wanita-wanita yang disucikan oleh Allah baik
wanita-wanita yang disucikan dari kotoran-kotoran yang pernah
dialami ketika di dunia, seperti buang air besar dan kecil keringat,
air ludah, haid, nifas, dan segala hal yang mengandung unsur-unsur
kekotoran, maupun non-fisik seperti tingkah laku atau akhlak.
Selain itu al-Qurṭubi juga menjelaskan bahwa azwāj mutahharah
adalah pemberian dari Allah sebagai balasan untuk orang-orang
yang melakukan amal soleh, beriman dan bertaqwa kepadanya.
Pemberian ini diberikan oleh Allah di dalam surga sebagai
kenikmatan berupa materi
Kata Kunci: Azwāj, Mutahharah, Tafsir al-Qurṭubi
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kehadirat Allah Swt penulis panjatkan atas segala
karunia, taufiq, dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda
Nabi Muhammad saw rasul pilihan yang membawa cahaya penerang
dengan ilmu pengetahuan. Semoga untaian doa tetap tersurahkan kepada
keluarga, sahabat serta seluruh pengikutnya sampai akhir zaman.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa
terselesaikan skripsi ini tidaklah semata atas usaha sendiri, namun berkat
bantuan motivasi dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA , selaku Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menempuh study di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Eva Nugraha, MA, dan Fahrizal Mahdi MIRKH, selaku
ketua jurusan dan sekretaris jurusan Ilmu al-Qur’ān dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karena
beliau telah membantu dan memberikan kesempatan kepada
penulis melanjutkan studi S1. Semoga Allah selalu memberikan
kemudahan dari setiap langkah-langkahnya.
4. Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA, yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan arahan
iii
untuk segera terselesaikannya skripsi ini. Semoga bapak dan
keluarga sehat selalu, panjang umur, dan murah rejeki.
5. Drs. H. Hasanuddin Sinaga, M.A. Sebagai dosen pembimbing
akademik penulis, semoga keberkahan selalu bersama engkau.
6. Segenap dosen program Ilmu al-Qur’ān dan Tafsir, penulis
mengucapkan banyak terima kasih karena telah sabar dan ikhlas
mendidik serta banyak memberikan berbagai macam ilmu
kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan bermanfaat
dunia dan akhirat.
7. Teruntuk orangtuaku ayahanda Drs. H. Edy Yusuf Dachlan,
ibunda Hj. Ade Nurasiah, S.Ag, yang telah membesarkan dan
selalu memberikan arahan, dukungan tiada henti baik moril
maupun materil dan senantiasa memberikan doa yang tiada
henti. Sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan kejenjang
perkuliahan sampai lulus. Kepada adik-adik penulis yang
tercinta yakni Ghina Nabila Yusuf, Zidny Laudza Yusuf, Zahira
Syahma Auia Yusuf, Fahman Faidhan Yusuf, dan Fahmi
Khotami Yusuf yang tak pernah henti memberikan dorongan
dan semangat kepada penulis hingga selesainya penulisan
skripsi ini.
8. Teruntuk Kakek tercinta (Alm.) H. Dachlan Amirudin dan
Nenek tercinta Hj. Yudansyah Amin, juga (Alm.) H. Kamaludin
dan (Alm.) Hj. Sukaesih yang selalu memberikan semangat
kepada cucunya semasa hidupnya waaupun kini telah tiada,
penulis yakin mereka menyaksikan perjuangan penulis dan
bangga melihat proses penulisan skripsi ini. Dan tak lupa paman
dan bibi penulis yakni Ai Nuraini S.Ag beserta suami, Dendi
Daenuri, S.Pd beserta istri, yang selalu memberikan semangat
iv
yang membara. Semoga Allah selalu meridhoi setiap
langkahnya dan selalu melimpahkan Raḥmān dan Raḥīm-Nya
kepada mereka. Amin Ya Rabbal’alamin.
9. Pustakawan Fakultas Ushuluddin, Perpustakaan Utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan-perpustakaan
lainnya yang telah banyak memberikan pinjaman buku-buku
yang menjadi rujukan peneliti dalam penyusunan skripsi ini.
10. Kawan-kawan penulis yakni Suyudi Sholihudin, S.H., Andi
Irfan Hilmi dan Ajeng Tahlia Wahyuni, S.Pd. sebagai
penyemangat penulis, Dayu Akraminas, M.Ag. M.H., Hadi
Asrori, S.Ag. dan Muhammad Sairi, M.Ag. yang selalu
memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini,
M. Rifadho L.I., S.Pd., Yayang Zulkarnaen beserta calon istriya
Dewi Rohmayanti, S.H sebagai saksi hidup penulisan skripsi ini,
Wildan Mubarok yang senantiasa menghidangkan masakan
terbaik, Keluarga Besar Masjid Fatahillah (terkhusus Hera
Sofyan, Abu Rofi, Rahmat Ramadhan, S.Ag., Muniri, S.Ag.,
Muhammad Dimaz, Ramadhan Dwi Cahyo dan Azminuh)
Keluarga Besar Riungan Mahasiswa Sukabumi yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu, Pojok Kosan Subur dan kawan-
kawan jurusan Ilmu al-Qur’ān dan Tafsir angkatan 2014 yang
tidak bisa disebutkan satu persatu yang rela berbagi ilmu, tawa,
canda serta support kepada penulis.
11. Tak lupa pula kepada team Josephson Creative (Josephson
Lighting Solution, Josephson Computer Doctor, Josephson
Photo Studio), CV. Sugih Hati, PT. Edy Yusuf Dachlan, Al-Ars
Group, Arifa Catering, Yenny Catering, Motekar Grafika, Uno
Coffee yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.
v
Peneliti menyadari bahwa keilmuan dan wawasan peneliti masih
sedikit, bilamana tulisan ini masih terdapat kekeliruan mohon dimaafkan.
Akan tetapi peneliti sudah berusaha semaksimal mungkin dengan
kemampuan yang ada untuk menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti berharap tulisan ini bisa bermanfaat dan memberikan
motivasi kepada para pembaca, sehingga bisa memotivasi untuk
mengamalkan Sunah Nabi Muhammad Saw.
Wasalamu’alaikum Wr.Wb
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin ysng digunakan dalam skripsi ini
berpedoman pada buku “Pedoman Penullisan Kaya Ilmiah (Skripsi, Tesis,
dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh Tim CeQDA (Center For Quality
Development dan Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
A. Konsonan
ARAB NAMA LATIN KETERANGAN
Alif - Tidak dilambangkan ا
Ba’ B Be ب
Ta’ T Te ت
Tsa’ Ts Te dan es ث
Jim J Je ج
Ḥa’ Ḥ حHa dengan titik di
bawah
Kha’ Kh Ka dan Ha خ
Dal D De د
Dzal Dz De dan zet ذ
Ra’ R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin Sy Es dan ye ش
vii
Ṣad Ṣ صEs dengan titik di
bawah
Ḍad Ḍ ضDe dengan titik di
bawah
Ṭa Ṭ طTe dengan titik di
bawah
Ẓa Ẓ ظZet dengan titik di
bawah
Ain ‘ Koma terbalik‘ ع
Ghain Gh Ge dan ha غ
Fa F Fa ف
Qaf Q Qi ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
Ha’ H Ha ه
Hamzah ‘ Apstrof ء
Ya’ Y Ye ي
viii
B. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong,
vocal rangkap atau diftong dan vocal panjang. Ketiganya adalah sebagai
berikut:
1. Vokal Tunggal
Tanda
Vokal Nama Latin Keterangan
Fatḥaḥ A A ا
Kasraḥ I I ا
Ḍammaḥ U U ا
Contoh:
Kataba : كتب Naṣara dan : نصر
2. Vokal rangkap
Tanda
Vokal Nama Latin Keterangan
Fatḥaḥ dan Ya’sakun Ai A dan I ى ي
Fatḥaḥ dan Wau sakun Au A dan U ى و
Contoh:
ḥaula :حول Laisa : ليس
ix
3. Vokal panjang
Tanda
Vokal Nama Latin Keterangan
Fatḥaḥ dan Ba Ā باA dengan garis di
atas
Kasrih dan Ba Ī بيI dengan garis di
atas
بوḌammah dan
Ba Ū
U dengan garis di
atas
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................. i
KATA PENGARANTAR ...................................................... ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................... v
DAFTAR ISI .......................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah. ................................................. 5
C. Rumusan dan Batasan Masalah.................................. 5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................. 6
E. Tinjauan Pustaka ........................................................ 6
F. Metodologi Penelitian ................................................ 8
G. Sistematika Penulisan ................................................. 13
BAB II BIOGRAFI DAN KARAKTERISTIK TAFSIR
AL-QURṬUBI
A. Riwayat Hidup Sosial dan Akademik al-Qurthubi ....... 15
B. Karya-Karya al-Qurthubi ............................................. 19
C. Latar Belakang dan Sistematika Penulisan Tafsir al-Jāmi’
liahkām al-Qur’ān ........................................................ 19
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG BERPASANGAN
DI DUNIA DALAM ISLAM
A. Tinjauan Umum Penikahan ........................................ 26
B. Keabsahan Menikah ................................................... 31
C. Fungsi Pasangan Dalam Kehidupan Manusia ............ 34
BAB IV ANALISIS KATA AZWĀJ MUṬAHHARAH
SEBAGAI PASANGAN DI SURGA
A. Term Berpasangan dalam al-Qur’an ........................... 39
B. Wujud Pasangan di surga ............................................ 41
C. Makna Kata Muṭahharah ............................................. 53
D. Esensi Azwāj Mutahharah ........................................... 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................. 64
B. Saran ........................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari seringkali kita menjumpai
sesuatu yang berkaitan dengan kesucian, mulai dari kebersihan
sesuatu yang terlihat hingga sesuatu yang tidak terlihat. Datangnya
Nabi Muhammad SAW ke dunia ini merupakan sebuah kabar gembira
bagi seluruh umat manusia, yang mana dengan datangnya beliau
seluruh manusia dibumi ini dijadikan insan yang terhormat, karena
hadirnya beliau perbudakan-perbudakan mulai dipersempit dan
bahkan dihapuskan.1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, kata
Suci diartikan sebagai Bersih dari najis, bebas dari dosa, bebas dari
cela, bebas dari noda dan Maksum yang hanya diberikan kepada Nabi
Muhammad SAW. Secara etimologis, bersuci adalah membersihkan
diri dari kotoran. Kotoran yang kasat mata seperti halnya najis,
maupun kotoran yang bersifat maknawi seperti halnya aib.2
Islam merupakan wahyu terakhir yang diturunkan ke dunia
dan karena itulah agama yang paling lengkap dan sempurna. Agama
ini diwahyukan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad
SAW untuk menghapuskan ajaran-ajaran sebelumnya yang masih
belum sempurna.3 Al-Qur’ān ini diturunkan untuk menjadi pembeda
1 Syaikh Abdullah Ali Bassam dan Syaikh Abu Bakar al-Jazairi, “Sikap Islam
terhadap Perbudakan,” Diakses 18 Maret 2019 https://almanhaj.or.id/3062-sikap-
islam-terhadap-perbudakan.html 2 Musthafa al-Bugha dan Musthafa al-Khan, Ali al-Syurbaji, al-Fiqh al-
Manbaji ’ala al-Madzhab al-Imām al-Syafi’i, (Darul Musthafa, 2008), 50 3 M. Husain al-Thabatba’i, Inilah Islam Upaya Mehami Seluruh Konsep Islam
Secara Mudah, Terj. Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka Allamah Sayyid Hidayah,
1989), 41.
2
mana yang benar mana yang salah karena didalamnya terdapat
petunjuk dan pembeda (Hudan dan Furqan) yang melahirkan
beberapa metode penafsiran untuk memahami ayat-ayat di
dalamnya.4
Karena setiap manusia memiliki pemikiran yang berbeda,
maka timbul berbagai macam penafsiran dalam memaknai ayat-ayat
dalam al-Qur’ān dan menjadikan sebuah bukti bahwa karena kesucian
al-Qur’ān satu kata dalam al-Qur’ān memiliki banyak makna.
Keanekaragaman makna ini disebabkan oleh latar belakang penafsir
itu sendiri, mulai dari lingkungan yang ia tinggal dan penguasaan ilmu
penafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān.5
Dalam hal ini, penulis sangat tertarik untuk membahas ayat-
ayat tentang kesucian, karena dalam kehidupan sehari-hari penulis
sering menjumpai kejanggalan-kejanggalan dan kekeliruan-
kekeliruan yang ditemukan di kalangan masyarakat. Seperti halnya
seringkali tidak disadari bahwa najis, hadats, kotoran-kotoran yang
sangat kasat mata, juga seperti kebersihan hati yang tidak dapat dilihat
secara langsung. Semua yang dicantumkan di atas sering diabaikan
dan dianggap hal yang tidak penting yng ternyata jusru itu adalah
sesuatu yang sangat penting dan berpengaruh terhadap kualitas
keimanan seseorang. Rasulullah telah bersabda:
ي الله عنه قال : قال رسول اللهي صلى الله عل م الأشعريي رضي ماليك الاريثيي ابني عاصي يهي وسلم عن أبيياني : الطهور شط ... ر الإي
“Dari Abū Mālik Al-Hārits b. ‘Aṣīm Al-‘Asy’ārī
radhiallahuanhu dia berkata : Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa
4 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), 150. 5Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an
Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka 2003), 81.
3
sallam bersabda : Bersuci adalah bagian dari iman ... (HR.
Muslim)6”
Seperti halnya wudhu, mayoritas ulama fiqih berpendapat
berpendapat bahwa ketika seseorang berwudhu dengan tanpa
mengikuti aturan yang diajarkan, maka sholatnya akan sia-sia.7
Berkali-kali penulis menemukan orang-orang yang berwudhu tanpa
mengikuti aturan yang diajarkan, seperti yang berwudhu dengan tidak
tertib, berwudhu yang beranggapan yang penting basah, air yang
musta’mal tergunakan, padahal seperti beberapa contoh diketahui
bahwa membasuh tangan harus mengenai siku tetapi banyak orang
yang membasuh tangan hanya dengan membasahi lengan tanpa batas
yang telah mafhum. Contoh lain tidak sedikit orang yang membasuh
wajah dan sisa air dari wajah berjatuhan dan menetes ke air yang akan
digunakan untuk membasuh selanjutnya padahal itu sudah termasuk air
yang musta’mal dan sudah tidak sah jika digunakan kembali untuk
berwudhu.8
Oleh karena itu penulis sangat tertarik untuk membahas ayat-
ayat yang berkaitan dengan sesuatu yang suci, yang mensucikan dan
yang disucikan yang telah dibahas sebelumnya oleh para mufassir.
Al-Qur’ān merupakan kitab suci yang diturunkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW sebagai pedoman hidup umat manusia.
al-Qur’ān ini memberi petunjuk menuju jalan yang lurus dan
6 Jalaludin ‘Abd al-Rahman Al-Suyūṭī, Jami’ al- Shaghīr, (Jakarta: PT. Bina
Ilmu, t.t.), Jilid II, 57 7 Salah satu yang menyatakan tidaknya sah shalat adalah kelompok madzhab
Syafi’iyyah, lihat. Muhammad b. Khatīb al-Syarbīnī, Mughnī al-Muhtāj ila Ma’rifah
Ma’ānī Alfādz al-Minhāj, (Baerut: Dār al-Ma’rifah, 1997), 86 8 Ust. Zuhdi, “Contoh air musta’mal yang jarng disadari”, Diakses 18 Maret
2019, https://youtu.be/Z9M52ZxUorM
4
memberikan kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan
kebajikan, bahwa mereka akan mendapatkan pahala yang besar.9
Al-Qur’ān bukanlah bacaan dan tulisan biasa sebagaimana
umumnya ditulis oleh penulis dan dicetak serta diterbitkan oleh
penerbit, akan tetapi al-Qur’ān membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang beriman.10
Dalam hal ini, penulis ingin melakukan penelitian terkait makna
suci yang lebih mendalam, diantaranya makna suci yang terkandung
dalam ayat sebagai berikut:
1. Al-Baqarah ayat 25
تي أن لم جنت ليح لوا ٱلص ري ٱلذيين ءامنوا وعمي رييوبش ي تيها مين ت ٱلأنر تها رزيقوا كلما ن ذا قالوا ر يزقا ثرة مين مي نا ٱلذيي ه بيها بيهيۦ وأتوا ق بل مين رزيق متش ليدون خ فييها وهم مطهرة أزوج فييها ولم
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang
beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap
mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu,
mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada
kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan
untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan
mereka kekal di dalamnya.”
2. Ali Imran ayat 15
ي ليكم م ين۞قل أؤن ب يئكم بي ريي جنت رب ييم عيند ٱت قوا ليلذيين ذ تيها مين ت تليديين ٱلأنر ن مطهرة وأزوج فييها خ ير وٱلل ٱلليه م ين وريضو بيٱلعيبادي بصي
“Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang
lebih baik dari yang demikian itu?". Untuk orang-orang yang
bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga
yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal di
9 QS. Al-Isra 17.9 10 QS. Yusuf 12:111
5
dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang
disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat
akan hamba-hamba-Nya.”
3. Al-Nisa ayat 57
لهم جنت تي سندخي ليح لوا ٱلص رييوٱلذيين ءامنوا وعمي تيها مين ت ٱلأنر تليديين م أبدا فييها خ لهم مطهرة أزوج فييها ل ظلييل ظيل وندخي
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-
amalan yang shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke
dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal
mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-
isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang
teduh lagi nyaman.”
B. Identifikasi Masalah
Adapun beberapa hal yang menjadi identifikasi dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Term azwāj yang terkait dengan pasangan di surga, dipahami
secara berbeda oleh para ulama. Sebagian
menginterpretasikan sebagai kenikmatan surgawi yang
diperoleh oleh kaum laki-laki sehingga menimbulkan
penilaian negatif sebagian orang
2. Pemahaman parsial mengakibatkan mis-interpretasi, seperti
term ajwāz sebagian diartikan dengan istri, dan bidadari
3. Pemahaman tentang azwāj mutahharah merupakan
pemahaman dari pasangan di surga, sehingga belum
dikategorikan sebagai pemahaman yang final
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari sekian banyaknya mufassir yang ada di dunia ini,
penulis lebih membahas penafsiran yang ditafsirkan oleh Abū
‘Abdullah Muhammad b. Ahmad b. Abū Bakr al-Anṣārī al-
Qurṭūbī dalam kitabnya yakni Tafsir al-Qurṭubi. Agar tidak
6
terjadi penelitian yang umum, maka penulis membatasi kajian
dengan tema terkait pandangan al-Qurṭūbī terhadap term azwāj
mutahharah di dalam al-Qur’an sehingga timbul pertanyaan,
“Bagaimana al-Qurṭubi menafsirkan ayat-ayat tentang “Azwaj
Muṭahharah?”
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian pada umumnya memiliki tujuan untuk
menambah wawasan pemikiran terhadap objek yang di teliti.
Adapun tujuan penelitian ini adalah pertama, untuk mengetahui
penafsiran yang ditafsirkan oleh al-Qurṭubi mengenai ayat
tersebut.
Kedua, untuk memenuhi tugas akademik yang
merupakan tugas akhir dalam menyelesaikan program studi
sarjana Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ketiga, memenuhi tugas akademik dengan tujuan untuk
memperoleh gelar Sarjana Agama S.1 (S.Ag)
E. Tinjauan Pustaka
Sebelum melanjutkan penelitian, tinjauan pustaka
sangatlah penting untuk dilakukan oleh peneliti, untuk
mengetahui apakah objek yang diteliti oleh peneliti tersebut
sudah pernah diteliti atau mungkin ada objek yang mirip dengan
apa yang diteliti. Sejauh penelusuran penulis, ada beberapa karya
tulis yang lebih dulu membahas mengenai “Penafsiran “Azwaj
Muṭahharah” dalam al-Qur’ān Perspektif Tafsir al-Qurṭubi” ini,
diantaranya:
Pertama, Uswatun Hasanah, SHI mahasiswi
Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Perbandingan
7
Madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dalam Skripsinya yang berjudul
“Perilaku Bersuci Masyarakat Islam; Etika
Membersihkan Najis” yang menjelaskan secara umum
tentang thaharah dan tata cara membersihkan najis yang
ia teliti di daerah Pulo Gebang.11
Kedua, Khoirunnisa’, S.Sy mahasiswi Fakultas
Syari’ah dan Hukum Jurusan Perbandingan Madzhab dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dalam Skripsinya yang berjudul “Perilaku
Thaharah (bersuci) Masyarakat Bukit Kemuning
Lampung Utara “Tinjauan Sosiologi Hukum”” yang
menjelaskan tentang penelitian pemahaman thaharah dan
perilaku bersuci masyarakat dalam kerangka hukum di
daerah Bukit Kemuning Lampung Utara.12
Ketiga, Moh. Faozan, S. Ag., Mahasiswa Fakultas
Ushuluddin Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
menjelaskan tentang “Pasangan di Surga dalam al-
Qur’an” tulisan ini dibahas menggunakan analisis
semiotik Charles Sanders Peirce.
Keempat, Syafa’atu Silma S.Ag., Mahasiswa
Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
menjelaskan tentang “Bidadari dalam al-Qur’an” dengan
11 Uswatun Hasanah, Perilaku Bersuci Masyarakat Islam; Etika Membersihkan Najis,
Skripsi UIN Jakarta; 2011 12 Khoirunnisa’, Perilaku Thaharah (bersuci) Masyarakat Bukit Kemuning
Lampung Utara “Tinjauan Sosiologi Hukum”, Skripsi UIN Jakarta, 2010
8
menggunakan sumber primer penafsiran beberapa
mufassir Indonesia.
Selain yang penulis sebutkan, penulis menemukan
beberapa penulis artikel yang tak bertuan, ada juga yang
menulis artikel hasil salinan (Copy-Paste) yang ditulis
oleh blogger-blogger yang tak bertanggung jawab yang
penulis rasa tulisan mereka kurang pantas untuk dijadikan
referensi atau patokan bahkan untuk dijadikan tinjauan
pustaka.
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, tampaknya
penelitian yang menyandingkan penafsiran al-Qurtūbī
terkait azwāj mutahharah belum dilakukan penelitian.
Maka penelitian ini menyandingkan pemahaman al-
Qurtūbī dengan tujuan untuk memenuhi jawaban dari
indentifikasi masalah terkait dengan tema, maka penulis
melakukan penelitian dengan judul “Penafsiran Makna
Azwāj Mutahharah dalam al-Qur’an Perspektif Tafsir al-
Qurtūbī”
F. Metodologi Penelitian
Untuk mencapai penelitian dengan mudah dan tepat
sasaran, menggunakan pemilihan metodologi penelitian
sangatlah berperan penting. Oleh karenanya penulis
menggunakan beberapa metode penelitian dalam pengumpulan
data dalam penulisan Skripsi ini, diantaranya:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif,
yaitu penelitian dengan mengumpulkan kata atau kalimat dari
9
individu, buku atau sumber yang lain.13 Penulis
menggunakan metode pendekatan penafsiran al-Qur’an dari
segi tafsir tematik. Yakni, menghimpun ayat-ayat al-Qur’an
yang memiliki tujuan yang sama, menyusunnya secara
kronologis selama memungkinkan dengan memperhatikan
sebab turunnya, menjelaskannya, mengaitkannya dengan
surah tempat ia berada, menyimpulkan dan menyusun
kesimpulan tersebut ke dalam kerangka pembahasan
sehingga tampak dari segala aspek, dan menilainya dengan
kriteria pengetahuan yang sahih.
Untuk lebih jelasnya, penulis menghimpun ayat-ayat Al-
Qur’an yang berkenaan ayat-ayat pasangan di surga,
kemudian menyusunnya berdasarkan kronologis serta sebab
turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga diketahui
pengklasifikasiannya. Apakah ia tergolong ayat-ayat
makkiyah atau madaniyyah
2. Sumber data
Data dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua
kategori, yaitu primer dan sekunder.14 Data primer
merupakan data inti yang menjadi rujukan utama dalam
meneliti, dalam hal ini penulis menggunakan Tafsir al-
Qurtūbī. Sedangkan sumber sekunder didapat dari tulisan
orang lain yang membicarakan dan mendiskusikan tentang
azwāj mutahharah melalui buku, artikel, jurnal dan lainnya
yang memiliki korespondensial dengan tema penelitian.
13 Nanang Martono, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Grafindo Persada,
2010), 19. 14Ahmad Anwar, Prinsip-Prinsip Metodologi Research
(Yogyakarta:Sumbangsih, 1974), 2.
10
3. Teknik Pengumpulan Data
Mengenai pengumpulan data, penulis menggunakan
metode atau teknik library research, yaitu mengumpulkan
data-data melalui bacaan dan literatur-literatur yang ada
kaitannya dengan pembahasan penulis.15 Teknik ini bisa
disebut juga sebagai studi dokumen yang merupakan salah
satu proses kajian penelitian untuk melihat dan menganalisis
pernyataan atau data seseorang atau kelompok. Studi
dokumen ini dilakukan dengan melihat hasil data dari para
penelitian yang sudah ada untuk melihat gejala perubahan
sosial di masyarakat mengenai penelitian penulis.16 sebagai
sumber pokoknya adalah al-Qur’an dan penafsirannya, serta
sebagai penunjangnya yaitu buku-buku ke Islaman yang
membahas secara khusus tentang Tafsir, disiplin Ilmu Bahasa
dan buku-buku yang membahas secara umum dan implisitnya
mengenai masalah yang dibahas.
Untuk memperoleh data yang diinginkan, penulis
mengkaji beberapa bacaan, artikel-artikel, penafsiran-
penafsiran yang berkaitan dengan ayat yang penulis maksud,
dengan melakukan identifikasi melalui pembacaan,
penumpulan, pengolahan dan pengkajian terhadap data
terdahulu yang terkait dengan judul yang dibahas oleh
penulis.
15 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Bandung:Mandar
Maju, 1996), Cet. ke-7, 33. Selain Kartini Kartono, Sanapiah Faisal berpendapat bahwa
selain mengidentifikasi dokumen terdahulu, pengumpulan data dapat dilakukan dengan
cara menyebarkan angket yang disebar kepada responden-responden yang menjadi
sumber data penelitian. Lihat Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial Dasar
dan Aplikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1989) 33 16 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja
Posdakarya ) hlm 216-217
11
Adapun dalam pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an sebagai
bahan penafsiran adalah dengan pendekatan tafsir tematik
(maudhu’ī). Adapun langkah-langkah dalam mencari tema
ayat, hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode
maudhu’ī. Langkah-langkah tersebut dengan menggunakan
teori al-Farmawī, di antaranya:17
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah
tersebut.
3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya,
disertai pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya
masing-masing.
5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
(outline).
6. Melengkapi pembahasan yang relevan dengan pokok
bahasan.
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan
jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian
yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum)
dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat),
atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya
bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan
4. Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini
adalah deskriptif-analitik, yaitu mendeksripsikan
17 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung : Penerbit Mizan, 1994), h. 114-115.
12
keseluruhan data yang sudah ada.18 Pada metode ini, penulis
menggunakan tiga macam metode, yaitu : pertama, metode
deduktif, yaitu metode yang digunakan untuk menyajikan
bahan atau teori yang sifatnya umum untuk kemudiann
diuraikan dan diterapkan secara khusus dan terperinci.
Kedua, Metode induktif, yiatu metode analisis yang
berangkat dari fakta-fakta yang khusus lalu ditarik suatu
kesimpulan yang bersifat umum. Ketiga, Metode komparatif,
yaitu metode penyajian yang dilakukan dengan mengadakan
perbandingan antara satu konsep dengan lainnya, kemudiann
menarik suatu kesimpulan.
Adapun langkah-langkah dalam penelitian ini sebagai
berikut: Pertama, mereduksi yaitu kegiatan merangkum atau
memilih data-data penting sehingga dapat memberikan
gambaran secara spesifik dalam menentukan permasalah
penelitian. Penulis memilih tema umum tentang pembelaan
terhadap al-Qur’an. Kedua, penyajian data. Kegiatan ini
dilakukan setelah mereduksi data. Selanjutnya data yang
sudah direduksi disajikan dengan diagram yang akan
mempermudah dalam memahami penjelasan deskriptif.
Ketiga, penarikan kesimpulan, kegiatan ini merupakan
kegiatan terakhir yang dilakukan dalam penelitian. Setelah
melakukan dua kegiatan di atas maka harus dilakukan
kesimpulan sebagai gambaran umum hasil penelitian
tersebut.
18 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B, (Bandung:
Alfabeta, 2017) hlm 245
13
1. Sistematika Penulisan
Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan
memberikan gambaran yang terkandung dalam penelitian ini,
penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I adalah bab pendahuluan yang didalamnya terbagi menjadi
Latar Belakang, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat penelitian, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian
serta Sistematika Penulisan.
Bab II pada bab ini membahas mengenai biografi al-Qurtūbī
yang memiliki nama lengkap Muhammad b. Ahmad b. Abū Bakr
b. Farh al-Anṣārī al-Khazraji al-Qurṭūbī. secara umum
sebelumnya yang berkaitan tentang sebagai pendahuluan awal
untuk mengetahui permasalahan yang akan diteliti, maka untuk
memulai pemahaman konsep perspektif tokoh, terlebih dahulu,
mengetahui latar belakang dan biografi tokoh.
Bab III mendeskripsikan tentang tinjauan umum tentang
berpasangan di dunia, yang meliputi :
Pertama, definisi pernikahan dan definisi Azwaj yang
akan dikumpulkan secara menyeluruh dan kemudian
didapatkan kesimpulan umum dalam pendefinisian.
Kedua, menjelaaskan tentang keabsahan menikah agar
mengetahui rukun-rukun dan syarat-syarat yang harus
dijalani dalam pernikahan.
Ketiga, menjelaskan fungsi pernikahan dalam kehidupan
manusia agar mendapatkan apa yang diharapkan dalam
pernikahan.
Pada pembahasan bab III, merupakan penjelasan langkah awal
untuk mengetahui variabel yang diteliti, tentunya pembahasan
14
pada bab III dipapar secara umum, agar nantinya akan dijelas
secara inti di bab IV.
Bab IV adalah bab yang di dalamnya berisi pembahasan inti yang
telah penulis paparkan dirumusan masalah. Bab keempat ini di
dalamnya terdapat analisis kata Azwaj Muṭahharah sebagai
pasangan di surga. Dalam hal ini tentu penulis menggunakan
penafsiran karya al-Qurṭubi yakni al-Jāmi’ liahkām al-Qur’ān
dan didukung oleh penafsiran-penafsiran lainnya agar
mendapatkan hasil yang maksimal.
Bab V adalah bab terakhir, yakni penutup yang terdiri dari
kesimpulan dan saran-saran.
15
BAB II
BIOGRAFI DAN KARAKTERISTIK TAFSIR AL-QURṬUBI
A. Riwayat Hidup Sosial dan Akademik al-Qurṭubi
Pengarang tafsir al-Qurṭubi ini bernama Abū Abdullah Ibn
Abū Bakar Ibn Farḥ al-Anshārī al-Khazrajī al-Qurṭubi al-Mālikī.1
Beliau lahir di Kordoba, Andalusia, Spanyol pada tahun 580 H/1184
M.2 Beliau diakui sebagai mufassir yang sangat sholeh dan alim.3 Al-
Qurṭubi dilahirkan dari keluarga yang sederhana dan hidup di
lingkungan yang sederhana, ayahnya seorang petani. Sejak kecil ia
dididik untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu kepada para
gurunya di daerah tempat ia lahir, yakni mempelajari bahasa Arab,
hadits, dan al-Qur’ān. Selain itu, ia juga mempelajari beberapa ilmu
pendukung al-Qur’ān seperti fikih, nahwu, qira’at dan ia juga
memperdalam ilmu balaghah.
Ketika beranjak dewasa ia merasa ada yang kurang dengan
ilmu yang ia dapat, sehingga ia merantau keluar daerah untuk
memperdalam ilmu yakni di Mesir, di sana ia berguru kepada
beberapa guru, beberapa guru yang populer adalah Abū al-Abbās Ibn
1 Haji Khalifah, Kasyf al-Zunūn ‘An Asāmī al-Kutub wa al-Funūn, (Beriut:
Dār al-Fikr, 1994), jilid I, 422 2 Shohibul Adib dkk, Ulumul Qurān: Profil para Mufassir al-Qur’ān dan para
Pengkajiannya (Tangerang Selatan: Pustaka Dunia, 2011), 75 3Al-Sayyid Muhammad ‘Ali Iyazy, Al-Mufassirūn Hayātuhum wa
Manhājuhum, (Teheran, t.p, 1414) 409, lihat “Biografi Imam al-Qurṭubi | Ustadz
Khalid Basalamah”, Diakses tanggal 08 April 2019, https://youtu.be/abVBY2ZDBVc
16
Umār al-Qurṭubi dan Abū Alī al-Hasan Ibn Muhammad al-Bakri4
yang dikenal sebagai ulama salaf yang mahir dalam bahasa Arab5
Al-Qurṭubi dikenal sebagai hamba Allah yang Shalih dan
tingkatannya telah mencapai ulama yang ma’rifatullah. Karena
kezuhudannya terhadap hal-hal yang bersifat duniawi, ia selalu
menyibukkan diri dengan urusan-urusan yang berkaitan dengan
akhirat.
Salah satu guru al-Qurṭubi , Syaikh al-Dzahabī mengatakan,
“Dia adalah seorang imam yang memiliki ilmu yang lua dan
mendalam. Dia memiliki sejumlah karya yang sangat bermanfaat dan
menunjukkan betapa luas pengetahuannya dan sempurna
kepandaiannya.”6
Al-Qurṭubi menghembuskan nafas terakhirnya pada malam
senin, 9 Syawal 671 H/1273 M di Mesir dan dimakamkan di
Elmeniya, yang berada di timur sungai Nil, dan hingga saat ini
makamnya sering diziarahi oleh banyak orang dari berbagai daerah.7
Selama masa hidupnya, al-Qurṭubi memiliki beberapa guru, di
antaranya adalah;
a. Ibn Rawwāj, yaitu al-Imam al-Muhaddits (ahli hadits) Abū
Muhammad Abd Wahhāb b Rawwāj. Nama aslinya adalah
Zhafīr b. ‘Alī b. Futuh al-Azdi al-Iskandarānī al-Malikī. Ia
wafat pada tahun 648 H.
4 Ibn Farhun, al-Dibaj al-Mazhab fi Ma’rifat A’yan, Ulama al-Madzab (Beriut:
Dar al-Fikr,t.th), 317 5 Muhammad Husen al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dār al-
Maktabah al-Harisah, 1976), 512 6 Al-Qurṭubi , Tafsir al-Qurṭubi , Penerjemah Fathurrahman,dkk., (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2010), Jilid.1, 15. 7 Al-Qurṭubi , Tafsir al-Qurhubi (terjemahan), jilid I, 15
17
b. Ibnu al-Jumaizi, yaitu al-‘Allamah Baha’uddin Abū al-Hasan
‘Alī b. Hibatullah b. Salamah al-Maṣri al-Syafi’ī. Ia merupakan
salah seorang ahli dalam bidang hadits, fikih dan ilmu qira’at.
Ia wafat pada tahun 649 H.
c. Abū al-Abbās Ahmad b ‘Umar b. Ibrāhim al-Malikī al-Qurṭubi,
ia adalah penulis al-Mufhim fi Syarh Ṣahīh Muslim. Ia wafat
pada tahun 656 H
d. Al-Hasan al-Bakari, yaitu al-Hasan b. Muhammad b.
Muhammad b. Amrūk al-Taimi al-Naisabūrī al-Dimsyaqī, yang
sering dipanggil Abu Ali Shadruddin al-Bakari. Ia wafat pada
tahun 656 H.8
Dalam proses penafsiran al-Qur’ān, al-Qhurtubi terpengaruh
oleh ulama-ulama sebelumnya, di antaranya adalah:
a. Ibnu Athiyyah. Ia adalah al-Qādhi Abū Muhammad ‘Abd al-
Haqq b. Athiyyah. Ia adalah seorang penulis kitab al-Muharrar
al-Wajīz di al-Tafsīr.
b. Abū Ja’far al-Nuhas. Ia adalah seorang penulis kitab I’rāb al-
Qur’ān dan kitab Ma’ani al-Qur’ān.
c. Al-Mawardī. Ia adalah Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad al-
Mawardi, ia wafat pada tahun 450 H.
d. Al-Ṭabarī. Ia adalah Abū Ja’far Muhammad b. Jarīr al-Thabari,
ia adalah penulis kitab Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’ān yang
wafat pada tahun 310 H. Al-Qurṭubi banyak mengambil
pelajaran darinya terutama di bidang Tafsir bi al-Ma‘tsur.
8 Al-Qurṭubi , Tafsir al-Qurṭubi (terjemahan), xvii-xviii
18
e. Abū Bakar b. al-Arabi. Ia adalah penulis kitab Ahkām al-Qur’ān
yang wafat pada tahun 543 H. Al-Qurṭubi telah belajar darinya,
berdebat dan membantah kritikan-kritikannya terhadap para
ahli fikih dan ulama.9
Selain terprngaruh oleh orang-orang sebelumnya, ada beberapa
pengaruh dari pemikiran al-Qurṭubi terhadap tafsir-tafsir setelahnya,
di antaranya adalah:
a. Al-hafīdz Ibn Katsīr. Ia adalah Imamuddin Abū al-Fidā’ Ilmā’il
b. Amr b. Katsir, dalam penafsirannya Ibnu Katsir telah
terpengaruh oleh al-Qurṭubi. Ia juga telah banyak meriwayatkan
perkataan al-Qurṭubi tetapi secara maknawi, yaitu hanya
pengertian-pengertian saja dan tidak persis sama dengan teks
yang asli. Walaupun begitu, Ibnu Katsir juga mendebatkan dan
mengomentari pendapat-pendapat al-Qurṭubi dalam sebagian
masalah.
b. Abū Hayyān al-Andalusi al-Gharnaṭi dalam kitab tafsirnya yang
berjudul al-Bahr al-Muhith, ia wafat pada tahun 754 H
c. Al-Syaukanī. Nama lengkapnya adalah al-Qādhi al-Allamah
Muhammad b. ‘Alī b. Muhammad al-Syaukanī. Ia juga telah
belajar dari al-Qurṭubi dan banyak meriwayatkan perkataan al-
Qurṭubi dalam penafsiranya.10
9 Al-Qurṭubi , Tafsir al-Qurṭubi (terjemahan), xix 10 Al-Qurṭubi , Tafsir al-Qurṭubi (terjmahan), xx
19
B. Karya-Karya al-Qurṭubi
Setelah al-Qurṭubi memiliki ilmu yang mumpuni, semasa
hidupnya ia menciptakan karya-karya berupa karya tulis,11 di
antaranya adalah:
a. Al-Jami’ li Ahkām al-Qur’ān
b. Al-Asna fī Syarh Asmā’ Allah al-Husna
c. Kitab al-Tazkīrah fi Ahwāl al-Mauta wa ‘Umur al-Akhīrah,
kitab ini masih dicetak hingga saat ini
d. Kitab al-Tidzkār fī Afdāl al-Azkār, kitab ini juga masih dicetak
hingga saat ini
e. Syarh al-Taqashshi
f. Al-I’lām bi Mā fī Dīn al-Nashara min al-Mafāshid wa al-
Auham wa Izhar Mahasin Dīn al-Islam
g. Risalah fi al-Qam al-Hadits
h. Qam’u al-Harsh bi al-Zuhd qa al-Qanā’ah
i. Kitab al-Aqdhiyyah
j. Arjuzah Jumi’a Fihā Asmā’ al-Nabi
C. Latar Belakang dan Sistematika Penulisan al-Jāmi’ li Ahkām al-
Qur’ān
a. Latar Belakang Penulisan al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān
Berawal dari pencarian ilmu para ulama’, al-Qurṭubi
terketuk dan berasumsi ingin menulis kitab Tafsir yang juga
memiliki nuansa fikih di dalamnya dengan menampilkan pendapat
imam-imam madzhab fiqih dan menampilkan hadits yang sesuai
dengan masalah yang dibahas. Selain itu kitab tafsir yang bernuansa
fikih pada saat itu sangat sedikit adanya. Oleh karenanyalah al-
11 Muhammad Husen al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid II, h.457,
lihat al-Qurṭubi , Tafsir al-Qurṭubi (terjemahan), xviii
20
Qurṭubi menulis kitab tersebut. Karena ini akan memudahkan
masyarakat yang mana disamping mencari tafsiran, ia juga dapat
menemukan banyak pandangan imam madzhab fikih, hadits-hadits
Rasulullah SAW maupun pandangan para ulama tentang masalah
yang sedang dibahas.12
Judul lengkap tafsir ini adalah al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān
wa al-Mubayyin lima Tadammanah min al-Sunnah wa ay al-
Furqān, dilihat dari judulnya dapat diketahui bahwa kitab ini berisi
tentang kumpulan hukum-hukum dalam al-Qur’ān. Kitab tafsir ini
sering dikenal dengan sebutan “Tafsir al-Qurṭubi” karena
dinisbahkan kepada nama al-Qurṭubi atau bisa juga karena pada
sampul kitabnya yang berjudul “Tafsir al-Qurṭubi al-Jāmi’ li Ahkām
al-Qur’ān”.
Dalam karya-karyanya, al-Qurṭubi memiliki kemiripan
metode dengan metode tafsir al-Thabarī, karena al-Qurṭubi dalam
penafsirannya terpngaruhi oleh al-Thabari, tetapi ia memiliki
keunikan tersendiri dalam menafsirkan al-Qur’ān terkhusus dalam
menafsirkan kitab al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān.
Dalam menafsirkan kitab ini al-Qurṭubi menggunakan
metode tafsir bi al-ma’tsur, yakni metode tafsir yang menggunakan
riwayat-riwayat dan perkataan ulama sebelumnya dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān.
Dalam tafsirnya dapat dilihat bahwa al-Qurṭubi menafsirkan
ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum yang terdapat dalam al-
Qur’ān dengan mengabungkan al-Qur’ān dan hadits serta
menyatukan dengan masalah-masalah ibadah dan hukum. Ia juga
12 Suprapto, Kisah-kisah israīliyyāt dalam Tafsir al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān
Karya al-Qurthubī, Thesis IAIN Tulung Agung, 2016, Bab II, 31
21
tidak sembarangan menggunakan hadits, melainkan ia mentakhrij
terlebih dahulu dan disandarkan langsung kepada periwayat
aslinya.13
b. Sistematika Penulisan al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān
Dalam menafsirkan al-Qur’ān, setidaknya dikenal ada tiga
sistematika penulisan, di antaranya:
1. Sistematika Muṣhafī, yaitu menafsirkan dengan berpedoman
pada susunan ayat-ayat dan surah-surah dalam mushaf, seperti
dimulai dari al-Fātihah, al-Bāqarah, Ali Imrān, dan seterusnya
hingga surah al-Nas.14
2. Sistematika Nuzūlī, yaitu menafsirkan al-Qur’ān dengan
berpedoman dengan urutan turunnya surah-surah al-Qur’ān.15
3. Sistematika Maudhu’ī, yaitu menafsirkan al-Qur’ān dengan
mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan topik yang
sama kemudian ditafsirkan.
Dalam hal ini, al-Qurṭubi menggunakan sistematika Muṣhafī
dalam penulisannya, yakni diawali dari surah al-Fatihah dan diakhiri
surah al-Nas yang berarti menafsirkan al-Qur’ān sesuai dengan urutan
ayat dan surah dalam mushaf al-Qur’ān.
Adapun langkah-langkah al-Qurṭubi dalam menafsirkan al-
Qur’ān dapat dirincikan sebagai berikut:
1. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan hadits-
hadits yang dapat disebut sebagai sumber dalil.
13 Suprapto, Kisah-kisah israīliyyāt dalam Tafsir al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān
Karya al-Qurthubī, Bab II, 30 14 Amin al-Khuli, Manāhij al-Tajdid, (Mesir: Dār al-Ma’rifat,1961), 300 15 Amin al-Khuli, Manahij al-Tajdid, 306
22
2. Mengutip pendapat ulama dengan mencantumkan sumbernya
untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan apa
yang akan dibahas.
3. Menolak pendapat yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran-
ajaran Islam.
4. Mengumpulkan pendapat ulama lalu meneliti mana pendapat
yang paling kuat untuk mendapatkan pendapat yang dianggap
paling benar.
c. Metode Tafsir
Dalam kajian disiplin ilmu tafsir memiliki beberapa
metode yang digunakan para ulama tafsir, sebagaimana yang
diregulasikan oleh al-Farmawi. Menurutnya metode penafsiran
diklasifikasikan menjadi empat bagian antaranya: Ijmālī, Tahlilī,
Muqaran, dan Maudhū’ī.16 Dalam kasus Tafsir al-Qurṭubi
cenderung menggunakan metode analisis (tahlili). Metode tahlili
juga banyak digunakan oleh karya-karya tafsir yang besar, di
antaranya kitab Tafsir al-Tabari, Ibn Katsīr, Tafsir Mafātih al-
Ghaib, dan lain-lain. Penulis berkesimpulan bahwa metodologi
Tafsir al-Qurṭubi dipandang dari metodologi dalam menafsirkan
termasuk dalam kategori tahlili,17 yakni, metode analitis yang
menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur’an dengan menjelaskan
segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang di
tafsirkan serta menerangkan makna-makna yang tercakup di
16 Abū al-Hayy Al-Farmawī, al-Bidayah Fi ala Tafsir al-Maudhu’iy (Mesir :
Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), h. 25 17Metode Tahlili, Berasal dari حلل-يحل ل, Tahlili yang berarti mengurai atau
menganalisis. Metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan
memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan
bacaan yang terdapat dalam Al-Qur’an Mushaf Utsmani. Tafsir ini disebut juga Tajzi’i
(parsial). Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Qur’an Al-Karīm, h. V, (pengantar).
23
dalamnya sesuai dengan keahlian hegemoni dan tendensius
mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.18 Biasanya tafsir
yang menggunakan tahlili menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan tartīb mushaf yang dimulai dari QS. al-Fatihah [1]
sampai QS. al-Nās [114]. Langkah-langkah dalam metodologi
tahlili biasanya menjelaskan derivasi kata sesua keilmuan
gramatika arab, kemudian menjelaskan substansi makna atau
tujuan ayat.
d. Corak Penafsiran al-Qurṭubi
Langkah pertama untuk mengetahu corak penafsiran,
terlebih dahulu kita harus mengetahu isi kandungan atau
substansi mufasir ketika menafsirkan ayat, apakah
dihegemonikan dengan Fiqhī, ilmī, Adabī, Tabiyah, Sufistik, dan
lainnya. Menjadikan hegemonitas ketika menafsirkan maka akan
mempengaruhi di dalam penafsiran.
Imam al-Farmāwī membagi corak penafsiran menjadi
tujuh bagian, yaitu corak tafsir al-Ma’tsur, al-Ra’yu, Sufi, fiqhi,
Ilmi, dan Adabi Ijtima’i. Para peneliti tafsir menyatakan bahwa
tafsir al-Qurṭubi ini masuk ke dalam corak tafsir fiqhi karena
dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān lebih banyak
menjelaskan tentang hukum-hukum. Oleh karenanya tafsir ini
sering disebut tafsir Ahkām.
Di samping kriteria ayat yang ia bahas, ia juga tidak
hpernah melupakan ayat-ayat selain ayat hukum. Dalam hal
menafsirkan ayat, para mufassir memiliki corak khas masing-
masing. Dalam tafsirnya, seringkali al-Qurṭubi menampilkan
18Nashirudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta:Pustaka
pelajar,2000), Cet. II, h. 31
24
diskusi-diskusi klasik tentang fiqih.19 Dari ciri khas inilah yang
membdakan corak al-Qurṭubi dengan tafsir-tafsir lainnya.
Walaupun al-Qurṭubi menganut madzhab Mālikī, al-
Qurṭubi tidak fanatik terhadap madzhab yang ia anut, melainkan
konsep fiqih yang ia berikan cenderung kepada madzhab-
madzhab lain, bahkan tafsiran al-Qurṭubi ini cenderung terkesan
netral.20 Dengan demikian, penafsiran al-Qurṭubi dapat
dikatakan cukup objktif dengan didukung oleh argumen-argumen
yang kuat serta fakta sejarah yang valid.
e. Sumber Tafsir
Sumber tafsir atau dikenal dengan istilah masādir al-
tafsīr diklasifikasian oleh para ulama menjadi dua bagian: tafsir
bi matsūr dan bi al-ra’yī. Adapaun tafsir bi al-ra’yī merupakan
salah satu jenis penafsiran yang muncul petama kali dalam
sejarah khazanah intelektual Islam. Praktik penafsirannya adalah
ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran ditafsirkan dengan ayat-
ayat yang lain atau dengan riwayat dari Nabi Muhammad SAW,
para sahabat dan juga para tabi’in.21 Karya-karya tafsir yang
menggunakan al-ma’tsūr seperti Ibn Katsīr, al-Ṭabarī.
Sedangkan bi al-ra’yī yaitu sumber yang berpusat kepada
rasionalitas yang ilmiah. Penafsiran ini tidak hanya menguras
akal saja tetapi juga menggunakan dalil al-ma’tsūr hanya saja
yang menjadi dominasi adalah rasionalitas. Pada sumber kedua
ini sangat banyak ditemukan di tafsir-tasir para ulama seperti,
Fakhruddīn al-Rāzi (mafātih al-ghaib), Ibn ‘ Asyūr (tahrīr wa
19 Nasrudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), 417 20 Muhammad Husen al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz III, 125 21Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005), h. 42.
25
tanwīr), al-Sya’rāwī (khawātir al-Qur’an), dan lain sebagainya.
Pada kasus Tafsir al-Qurṭubi justru bersumber kepada bi al-Ra’yī
karena banyak diisi dengan nuansa fiqh yang merupakan hasil
ijtihad ulama fiqh. Di sisi yang lain, ia juga memberikan smber
periwayatan, namun tidak sebanyak yang dilakukan oleh al-
Ṭabarī, Ibn Katsīr, dan al-Suyūṭi. Hemat penulis, penafsiran al-
Qurṭūbī adalah sebuah etos yang kerap kali ditemukan dalam
karya-karya kitab tafsir lain. Penafsiran yang banyak dihiasi
dengan nuansa fiqih, bahkan secara konsisten Imam al-Qurṭūbī
menghadirkan pendapat para tokoh fiqih. Meskipun secara awal
ditulisnya kitab ini dengan pola bi al-ra’yi (sumber
menggunakan rasionalitas), suatu tafsir akan mencerminkan
keterbatasan kemampuan penafsirnya dan tidak akan terlepas
dari periwayatan-periwayatan ulama terdahulu. Ketika seseorang
menafsirkan sebuah ayat, dalam benaknya juga hadir sekian
banyak subyek sebagai rujukannya.22
22Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutika (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1996), h. 141.
26
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG BERPASANGAN DI DUNIA
DALAM ISLAM
Pasangan adalah sebuah persatuan antara dua hal yang berbeda
yang ketika disatukan menjadi sesuatu yang saling melengkapi. Allah
telah menciptakan segala sesuatu di dunia ini dengan berpasang-
pasangan.1 mulai dari langit dan bumi, siang dan malam, laki-laki dan
peremuan, kiri dan kanan, atas dan bawah, suka dan duka atau apapun
yang tidak diketahui sama sekali. Dalam hal ini ada beberapa aturan
dalam Islam untuk mempertemukan dua insan yang berbeda yaitu
dengan adanya pernikahan.
A. Tinjauan Umum Pernikahan
Dalam ajaran Islam, pernikahan adalah sesuatu yang sakral di
mana Pernikahan bukan hal yang dapat dilakukan dengan candaan atau
senda gurau, serta tidak dapat dilakukan dengan sembarang aturan. Oleh
karenanya pernikahan dapat terjadi dan sah jika bertemunya seorang
laki-laki dan perempuan, tidak dapat dikatakan pernikahan jika terjadi
antara laki-laki dan laki-laki, ataupun sebaliknya perempuan dan
perempuan, serta harus memenuhi aturan-aturan yang diajarkan oleh
agama, di antaranya adalah perlu dipatuhinya syarat-syarat dan rukun
rukun nikah. Berikut penulis uraikan penjelasan tentang pernikahan;
1 QS. Yāsīn ayat 36
27
1. Definisi Pernikahan
Pernikahan berasal dari kata nikah (نكاح) dalam bahasa Arab yaitu
perjanjian perkawinan.2 Secara bahasa, nikah berasal dari kata nakaha
yang mengandung tiga arti yaitu:3 (نكح)
a. Pertama, nikah diartikan sebagai berhubungan badan, dimana
ketika seseorang melafalkan kata nikah maka yang ia maksud
adalah berhubungan badan antara laki-laki dan perempuan.
Namun seiring berjalannya waktu, kata nikah menjadi berbeda
dengan kawin, yang mana kata nikah berarti adanya akad nikah
yang dilanjutkan dengan berhubungan badan, dan kawin berarti
dikhususkan untuk berhubungan badan saja.
b. Kedua, nikah berarti akad nikah yang mana ketika seseorang
melafalkan kata nikah maka yang ia maksud adalah akad nikah
itu sendiri.
c. Ketiga, nikah berarti gabungan akad nikah dan berhubungan
badan. Pengertian ini adalah pengertian paling kuat, karena
pernikahan didahului dengan akad nikah agar terjadinya
kehalalan dalam berhubungan badan.
Dari defenisi di atas, kata nikah lebih tepat diartikan sebagai
suatu ikatan legal formal dalam penikahan, sehingga kata ini tidak
memuat makna berhubungan badan.4
2 Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenadamedia
Grup,2003), 7 3 D.A. Pakih Sati, Panduan Lengkap Pernikahan Fiqh Munakahat Terkini,
(Jogjakarta: Bening, 2011), Cet. Ke-1, 15 4 Abī Husain Ahmad b. Fāris Zakariyā, Mu’jam Maqāyis al-Lughah, (Bairut:
Dār al-Fik, t.t.), 475
28
2. Definisi Azwāj
Azwāj dalam segi bahasa adalah kata jamak dari kata zauj yang
berarti suami dan zaujah berarti istri, namun pada umunya dalam al-
Qur’an hanya menggunakan kata zauj untuk ditujukan kepada suami
maupun istri. Kata zauj merupakan suatu kata yang bersifat single dan
menjadi sepasang ketika bergabung dengan sesuatu yang lain.
Namun dalam al-Qur’an kata zauj pada umumnya ditujukan untuk
pasangan. Sedangkan kata Azwāj selalu tertuju kepada pasangan manusia
(suami-istri). Sebagian kalangan mufasir, memahami kata azwāj untuk
ditujukan kepada kaum hawa, karena pada hakikatnya manusia berawal
dari seorang perempuan (tidak berlaku untuk Nabi Adam AS). Seperti
dalam salah satu ayat yang akan penulis bahas yakni:
كذما نهاررها ال ات ترري مرن تت نذ لهم جنذ
اتر أ الر رين آمنوا وعمرلوا الصذ ر الذ وبشر
ولهم فريها رزرقو رها رهر متشاب توا ب وأ ري رزرقنا مرن قبل ا مرنها مرن ثمرة ررزقا قالوا هذا الذ
ون وهم فريها خالر رة طهذ زواج م (٢٥)أ
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan
berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan
dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah
diberikan kepada kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka
kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah : 25)”
Dalam ayat ini, al-Qur’an memberikan salah satu ciri bahwa kata
azwāj tertuju untuk isteri-isteri yang menjadi pasangan para lelaki di
surga nanti. Ayat ini menjelaskan tentang salah satu kehidupan yang ada
di surga, terutama dalam hal makanan dan pasangan.
Sedangkan Abu Ja’far al-Razī menjelaskan ayat ini bahwa
makanan-makanan yang akan Allah sediakan di surga nanti yakni buah-
29
buahan yang hampir mirip secara bentuk dan teksturnya, namun dari segi
rasa masing masing memiliki rasa yang berbeda.
Selanjutnya dalam hal wanita yang disucikan para mufassir
sepakat bahwa arti yang terkandung dari kata ini adalah wanita yang
suci dari hadas kecil maupun dari haid, nifas dan hadas besar lainnya,
serta sifat ini bukan hanya sementara namun kekal adanya.
Islam sangat memuliakan kedudukan manusia dibandingkan
makhluk-makhluk lainnya, oleh karena itu dalam ajaran Islam tidak
diperkenankan untuk sewenang-wenang dalam menentukan pasangan
untuk menemani hidup di dunia ini. Untuk menjadikannya halal terdapat
aturan-aturan atau hukum-hukum yang harus dijalani untuk menjadikan
pasangan hidup antar sesama manusia. yakni dengan melalui jalan
pernikahan.
Nikah dalam bahasa arab terdapat dua kata yakni kata نكح )nakaha(
dan kata yang serupa yakni kata زوج )zawwaja(. Kedua kata terebut
adalah kata yang sering diucapkan oleh orang-orang arab dalam
kehidupan sehari-hari. Selain jadi bahasa sehari-hari, kedua kata ini juga
banyak ditemukan dalam al-Qur’an, seperti halnya kata نكح )nakaha(
ditemukan 17 ayat yang di dalamnya terdapat kata ini, sedangkan kata
zawwaja( terdapat 20 ayat ditemukan dalam al-Qur’an. Keduanya( زوج
memiliki makna nikah.
Kata nikah berasal dari bahasa arab yakni nakaha-yankihu-
nikāhan yang berarti mengawini.5 Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, nikah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai
dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.
5 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Tafsir al-Qur’an, 1973), cet. Ke-1 467.
30
Namun secara terminologi, kata nikah memiliki berbagi macam
definisi. Definisi-definisi ini diambil berdasarkan penjelasan imam-
imam madzhab.6 Adapun madzhab yang populer di antaranya:
1. Madzhab hanafi
Imam Hanafi menjelaskan bahwa nikah adalah akad dengan
tujuan memiliki kesenangan secara sengaja. Dalam hal ini imam
hanafi memahami bahwa menikah adalah tentang hubungan
suami istri.
2. Madzhab Maliki
Imam Malik menjelaskan bahwa nikah adalah suatu akad yang
menghalalkan kesenangan (jima’) dengan perempuan yang
bukan muhrimnya dengan sighat nikah. Dalam hal ini, imam
maliki memahami bahwa menikah adalah suatu penghalalan
untuk bersenang-senang dengan wanita yang bukan muhrimnya
dalam hal berjima’
3. Madzhab Syafi’i
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa nikah adalah suatu akad yang
menngandung pemilikan wat’i dengan menggunakan kata
menikahkan atau mengawinkan atau kata lain menjadi sinonim.
Dalam hal ini, Imam Syafi’i memahami nikah mrupakan akad
kepemilikan wat’i dengan menggunakan kata “nikahkan” atau
“kawinkan” ataupun yang sinonim dengan kata tersebut
sehingga jadilah hubungan yang halal.
4. Madzhab Hambali
Imam Hambali menjelaskan bahwa nikah adalah suatu akad
dengan mengucapkan lafadz nikah atau kawin untuk manfaat
6 Sukron, Hukum Perempuan Memilih pasangan Nikah dalam pandangan
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i, Jakarta: Skripsi perbandingan Madzhab Fakultas
Syari’ah dan Hukum, 11
31
(menikmati) kesenangan. Dalam hal ini, Imam Hambali
memahami nikah adalah akad yang diucapkan dengan
menggunakan kata ankaha atau tazwij untuk mendapatkan
kesenangan.
Dari beberapa pengertian di atas yang dijelaskan oleh
empat imam madzhab, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
nikah adalah akad antara laki-laki dan perempuan demi
mendapatkan atau menghalalkan kesenangan dengan
menggunakan kata nikah (menikahkan) atau kawin
(mengawinkan) ataupun kata lain yang semakna dengan kedua
kata tersebut untuk menciptakan sebuah rumah tangga atau
keluarga demi memperbanyak keturunan. Dengan demikian tidak
diperkenankan berpasangan sejenis kelamin, karena selain
melanggar aturan yang diajarkan agama pasangan sejenis juga
mustahil akan mendapatkan keturunan.
B. Keabsahan Menikah
Menikah adalah mendirikan sebuah keluarga kecil yang harmonis,
sejahtera, dan bahagia. Harmonis dalam rangka menggunakan hak dan
kewajiban anggota keluarga, dikatakan sejahtera karena terciptanya
ketenangan lahir batin yang disebabkan dari terpenuhinya keperluan
hidup lahir batinmya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih
sayang antar anggota keluarga. Adapun menikah pada umumnya adalah
memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju
kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Karena tidak bisa
dipungkiri bahwa keindahan dunia tidak keluar dari koridor kesuksesan
materi dan bertemu dua insan yang berbeda hingga akhirnya memiliki
32
keturunan.7 Itulah kebahagiaan di dunia yang Allah berikan kepada
manusia dan menjadi suatu fitrah yang Allah tentukan bagi setiap umat
manusia.8
Untuk mendapatkan semua kebahagiaan di atas secara halal, tentu
Islam telah memberikan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi,
ketentuan-ketentuan tersebut dikelompokkan menjadi rukun dan syarat.
Rukun di antaranya adalah mempelai laki-laki, mempelai perempuan,
wali nikah, dua saksi nikah dan yang paling penting terjadinya ijab qabul.
Adapun syarat sah di antaranya adalah beragama Islam, mempelai laki-
laki bukan mahrom dari mempelai perempuan, wali nikah mengetahui
dan menyetujui adanya pernikahan, tidak sedang melaksanakan haji dan
yang pasti bukan karena paksaan.
Mengenai perwalian, wali nikah bisa dikatakan pemegang
kekuasaan terhadap sebuah pernikahan. Oleh karenanya wali harus
dilimpahkan kepada orang yang bergama Islam dan sempurna untuk
kemaslahatan kekurangan orang yang akan dikuasainya itu.9 Selain itu,
wali juga harus dari orang yang muslim, sehingga jika seorang
perempuan muallaf dan keluarganya bukan dari umat Islam, maka hak
ayah dan keluarga (laki-laki) nya sebagai wali gugur dan harus
digantikan oleh wali hakim. Firman Allah dalam Surah al-Nisa ayat 144
فرين أولي ي ها ٱلذين ءامنوا ل ت تخذوا ٱلك علوا لل اأء من دون ٱلمؤمنين يأ أتريدون أن ت مبينا اعليكم سلطن
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-
orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)?”
7 QS. Ali Imran ayat 14 8 QS. Al-Rum ayat 30 9 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera,
2001), Cet ke-7, 309
33
Dalam hal perwalian, mayoritas yang digunakan di Indonesia
adalah madzhab Syafi’i jika perempuan akil balig dan berakal sehat itu
masih gadis, maka hak mengawini dirinya sepenuhnya ada pada wali,
sedangkan hak untuk wanita janda itu dari keduanya, yakni dari janda itu
sendiri dan juga wali nikahnya, wali tidak boleh memaksakan kehendak
untuk mengawinkan janda tersebut tanpa persetujuan dari diri janda itu
sendiri.10
Dalam urutan perwalian, di Indonesia telah disepakati bahwa
yang berhak sebagai wali secara berurutan adalah bapak, kakek, saudara
laki-laki sebapak seibu, saudara laki-laki sebapak saja, saudara laki laki
dari bapak (paman) dan anak laki-laki dari paman. Sedangkan jika wali
yang disebutkan dalam halangan, maka digantikan dengan wali hakim.
Adapun dalam perihal saksi pernikahan, saksi pernikahan harus
ada dua orang yang beragama Islam, baligh, berakal, dapat melihat dan
mendengar, adil, mengerti tujuan pernikahan. Adapun adil yang
dimaksud adalah orang yang tidak berdosa kecil yang keji seperti halnya
suka mencuri, suka perilaku tidak sopan dan sebagainya. Menurut
pendapat ulama lainnya, yang dimaksud dengan adil adalah orang yang
takwa dan berpegang teguh kepada adab syara’ yang berarti orang yang
taat ibadah dan menjauhi maksiat.11
Dengan demikian, ketika salah satu dari syarat dan rukun di atas
belum terpenuhi, maka pernikahan tidak dapat dilanjutkan, karena satu
sama lain saling membutuhkan.
10 Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Madzhab, 345 11 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung : Bandar
Maja,1990), 88
34
C. Fungsi Pasangan Dalam Kehidupan Manusia
Dalam berkeluarga, tentu setiap orang menginginkan manfaat
dari berkeluarga itu sendiri. Adapun fungsi pernikahan secara rinci dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Menciptakan Ketenangan
Islam telah mengajarkan bahwa salah satu fungsi dari
menikah adalah menciptakan ketenangan. Sebagaimana Allah telah
berfirman dalam al-Quran surah al-Rum ayat 21 yang berbunyi:
ها ل تسكن وأا اومن ءايتهۦأ أن خلق لكم م ن أنفسكم أزوج نكم وجعل إلي مودة ب ي لك لأيت Iإن ورحةن ي ت فكرون ل قومف ذ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa dengan menikah dapat
menciptakan ketenangan, dalam ayat ini Allah menggunakan kata
“Sakana” yang berarti tempat tinggal begitu tenteram dan cenderung
memberikan kenyamanan, sehingga penulis membagi ketenangan
dalam tiga bagian:
a. Ketenangan Jiwa
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa menikah merupakan
mempesatukan dua insan yang berbeda yang mana diantara
keduanya menjadi saling melengkapi. Sehingga ketika salah
satu diantara keduanya memiliki ketidakyamanan dalam hati
maka salah satu lainnya menjadi penawanya. contoh ketika
35
seorang suami mengalami sebuah kegelisahan, maka seorang
istri adalah penenangnya.
b. Ketenangan Raga
Selain ketenangan jiwa, menikah juga menciptakan ketenangan
raga, karena dengan hubungan yang halal keduanya bisa
melampiaskan nafsunya satu sama lain, yang mana ketika
pernikahan ditunda-tunda dan keduanya sudah matang untuk
menikah hasrat yang seharusnya dilampiaskan itu menjadi
terpendam, dan jika dipendam akhirnya menimbulkan penyakit
atau sifat pemarah.
c. Ketenangan Materi
Selain ketenangan jiwa dan raga, menikah juga dapat menjadi
sumber pendatang materi seperti dijelaskan dalam dalil-dalil di
bawah ini:
a. Dunia ini perhiasan, dan sebaik baiknya perhiasan adalah
wanita shalihah (HR. Muslim). Dari hadits nabi ini dapat
disimpulkan bahwa wanita yang sholihah merupakan harta
terbesar dibandingkan dunia dan seisinya, karena ia
merupakan isteri yang amanah yang dapat menciptakan
ketenangan jiwa dan raga serta menjadi sumber rezeki
untuk suami karena doa-doanya, keamanahannya,
kesabarannya dan dapat melahirkan bibit unggul untuk
keturunannya dengan alasan seorang ibu adalah sekolah
pertama bagi anak-anaknya sehingga wanita yang sholehah
tidak akan pernah mengajarkan anaknya untuk berbuat
menyimpang.
36
b. Di dalam al-Quran juga dijelaskan bahwa menikah dapat
melapangkan rizki, salah satu di antaranya adalah surah al-
Nur ayat 32 yang berbunyi:
ى منكم وٱلصلحي من عبادكم وإماأئكمن إن يكونوا ف قراأء وأنكحوا ٱليسع و من فضلهۦ وٱلل عليمي غنهم ٱلل
“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di
antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah)
dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan
Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa menikah akan
melapangkan rezeki bagi yang menjalankannya.
Kebanyakan dari masyarakat saat ini mereka enggan
menyegerakan menikah karena belum memiliki modal,
padahal Allah akan membukakan pintu-pintu rezeki bagi
hambanya yang ingin menikah dan meninggalkan zina.
2. Mendapatkan dan Melangsungkan Keturunan
Keurunan merupakan sambungan dan penyambung cita-cita
yang apabila terjadi suatu pernikahan, maka akan terbentuk sebuah
keluarga yang di dalamnya akan dilahirkan keturunan-keturunan
yang menjadi generasi penerus para orang tua sehingga generasi
tersebut akan melahirkan generasi lagi yang akan membentuk suatu
umat, yaitu umat Nabi Muhammad SAW.
3. Memenuhi Hajat Manusia
Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan
melimpahkan kasih sayang dan sudah menjadi kodrat manusia dan
iradat dari Allah menjadikan makhluknya hidup berpasang
37
pasangan. Seperti yang telah Allah firmankan dalam QS. Yasin [36]:
36
هرم ومرمذ نفسررض ومرن أ
ا تنبرت ٱل زوج كذها مرمذ
ري خلق ٱل ا ل سبحن ٱلذ
يعلمون “Maha Suci Tuhan yang menciptakan pasangan pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun yang tidak mereka ketahui”.
4. Memenuhi Panggilan Agama
Memenuhi panggilan agama di sini demi memelihara diri
dari kejahatan dan kerusakan. Seperti dalam sabda Rasulullah SAW:
عن عبد الل بن مسعود رضي الله عنه قال لنا رسول الل صلى الله عليه وسلم ) طاع منكم الباءة ف لي ت زوج , فإنه أغض للبصر , ي معشر الشباب ! من است
مت فق عليه (وم ; فإنه له وجاء وأحصن للفرج , ومن ل يستطع ف عليه بلص “Dari Abdullah ibn Mas’ud ra berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai generai muda, barang siapa diantara kamu telah mampu
berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan
pandangan dan memelihara kemaluan dan barang siapa yang
belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat
mengendalikannya”. (Muttafaq Alaih)”
Dalam Hadits lain, Rasulullah Saw bersabda:
ن ون ع م ي ن م يسى ب ا ع ن ث د م ح ا آد ن ث د ر ح ن الزه حد ب ا أ ن ث د حول ال رس ت ق ال ة ق ش ائ ن ع م ع اس ق ل اح ا ك لم الن ه وس ي ل لى الل ع الل ص
م ك ر ب ث ا ك ن م إ وا ف زوج ن وت س م ي ل نت ف س ل ب م ع ن ل ي م نت ف ن س من إ ام ف ي لص ه ب ي ل ع د ف ن ل ي ح وم ك ن ي ل ول ف ا ط ان ذ ن ك م وم الم
اء الص ه وج وم ل“Telah menceritakan kepada kami (Ahmad bin Al Azhar) berkata,
telah menceritakan kepada kami (Adam) berkata, telah
menceritakan kepada kami (Isa bin Maimun) dari (Al Qasim) dari
38
('Aisyah) ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Menikah adalah sunnahku, barangsiapa tidak
mengamalkan sunnahku berarti bukan dari golonganku. Hendaklah
kalian menikah, sungguh dengan jumlah kalian aku akan berbanyak-
banyakkan umat. Siapa memiliki kemampuan harta hendaklah
menikah, dan siapa yang tidak hendaknya berpuasa, karena puasa
itu merupakan tameng. (HR. Ibnu Majah).”
5. Menumbuhkan Kesungguhan untuk Bertanggung Jawab
Menumbuhkan kesungguhan untuk betanggung jawab
menerima kewajiban juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh
harta kekayaan yang halal sehingga bersemangat mencari rizki
sebagai bekal hidup untuk diri dan kekeluargaan.
6. Membersihkan Keturunan
Yang dimaksud membersihkan keturunan adalah agar
menghindari fitnah dan menjadikan suatu kejelasan terhadap asal-
usul seorang anak. Oleh karenanya Islam mengharamkan zina dan
poliandri serta menutup segala pintu yang menyebabkan fitnah-
fitnah kepada anak yang tidak jelas asal-usulnya sehingga anak yang
dilahirkan terhormat derajatnya.
39
BAB IV
ANALISIS KATA AZWĀJ MUṬAHHARAH SEBAGAI
PASANGAN DI SURGA
Definisi secara umum derivasi azwāj muṭahharah adalah wanita-
wanita yang disucikan oleh Allah dari segala hal yang mengandung
unsur-unsur kotoran. Hal ini bisa ditemukan hanya di dalam surga bagi
orang-orang yang melakukan amal kebaikan. Surga bisa disebut juga
sebagai tempat pembalasan dari Allah untuk orang-orang yang
melakukan kebaikan, sebaliknya orang-orang yang membangkan dan
tidak mau melakukan kebaikan maka balasan dari Allah adalah neraka.
Di dalam surga digambarkan sebagai tempat yang penuh dengan
kenikmatan dan keindahan. Salah satu kenikmatan yang diberikan oleh
Allah adalah nikmat materil berupa azwāj muṭahharah. Pada bagian ini
akan dijelaskan mengenai esensi tentang azwāj muṭahharah
A. Term Berpasangan dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an derivasi أزواج (azwāj al-muṭahharah) merupakan
bentuk dua kata yang tergabung menjadi susunan na’at man’ūt. Dalam
al-Qur’an kedua kata ini ditemukan beberapa ayat, baik kedua kata itu
terpisah menjadi satu kata dalam ayat maupun kedua kata itu ditemukan
dalam satu ayat. Pertama, derivasi واجأز (azwāj) dalam al-Qur’an
ditemukan sebanyak sepeluh ayat, di antaranya: QS. al-Baqarah [2] 25,
QS. Alī ‘Imran [3] 15, QS. al-Nisā’ [4] 57, QS. al-‘An’ām [6] 143, QS.
al-‘Ahzāb [33] 37 dan
40
52, QS. Yasin [36] 36, QS Ṣad [38] 58, QS. al-Zumar [39] 6, dan QS. al-
Zukhruf [43] 12.1 Kedua, derivasi مطهرة (muṭahharah) dalam al-Qur’an
ditemukan sebanyak lima ayat, di antaranya: QS. al-Baqarah [2] 25, QS.
Alī ‘Imran [3] 15, QS. al-Nisā’ [4] 57, QS. ‘Abasa [80] 14, dan QS. al-
Bayyinah [98] 2.2
Agar mempermudah dalam mempriodesasikan ayat-ayat ini, penulis
memberikan tabel dengan melihat turunnya ayat baik itu priodesasi
makkiyah maupun priodesasi madaniyyah.3
Tabel ayat azwāj muṭahharah
NO Periode Surah No.
Surah
No. Ayat
Al-Baqarah 2 25
Alī ‘Imran 3 15
1 Makkiyah Al-Nisā’ 4 57
Al-Ahzāb 33 37 dan 52
Al-Bayyinah 98 2
Al-Baqarah 2 25
1 Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī,Mu’jam al-Mufahras li al-Fādz al-Qur’an
al-Karīm (Qāhirah: Dār al-Hadīts), 333 2 Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī,Mu’jam al-Mufahras li al-Fādz al-Qur’an
al-Karīm (Qāhirah: Dār al-Hadīts), 429 3 Tentang istilah Makki dan Madani sendiri, para ulama berbeda pendapat
dalam memberikan batasan mengenai ayat-ayat Makiyyah dan Madaniyyah. Ada yang
berpendapat berdasarkan masa turunnya yaitu ayat-ayat Makiyyah adalah ayat-ayat
yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, dan ayat-ayat Madaniyyah
adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah
Rasulullah hijrah ke Madinah. Adapun yang berpendapat berdasarkan tempat
diturunkannya yaitu Makiyyah adalah ayat-ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya,
seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah dan Madaniyyah merupakan ayat-ayat yang
turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Qubā; dan Sil. Lihat, Manna Khalil Al-
Qattān, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), cet. 16,
83-85
41
Al-‘An’ām 6 143
2 Madaniyyah Yasin 36 36
Ṣad 38 38
Al-Zumar 39 6
Al-Zukhruf 43 12
Dari beberapa ayat yang dijelasakan di atas, penulis fokus kepada
ayat-ayat yang berkaitan dengan azwāj muṭahharah. Sehingga ayat yang
diteliti hanya ditemukan tiga ayat, di antaranya: QS. al-Baqarah [2] 25,
QS. Alī ‘Imran [3] 15, dan QS. al-Nisā’ [4] 57.
B. Wujud Pasangan di dalam Surga
Derivasi kata surga di dalam bahasa Arab yaitu جنة, yang berakar
dari kata jinna. Kata ini merupakan sinonim dari kata ستر (menutupi),
dan bentuk jamaknya (plural) adalah jinān.4 Dalam mu’jam al-wasīt kata
الحديقة ذات النخل و ,memiliki dua maksud di antaranya: pertama جنة
yaitu taman yang memiliki pepohonan. Kedua, kata Jannah الشجرة
diartikan sebagai البستان و دار النعيم الأخرة artinya suatu kebun dan tempat
pemberian nikmat di akhirat kelak.5 Adapun kata Jannah menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai dua arti. Pertama,
sebagai tempat alam akhirat yang membahagiakan ruh manusia yang
hendak tinggal di dalamnya dalam keadaan kekal. Kedua, sama dengan
surgaloka, kayangan tempat kediaman Batara Guru (Siwa) di sana juga
terdapat gabungan kata surga dan jannah menjadi Surga Jannah.
Gabungan kata ini diartikan sebagai alam akhirat tempat jiwa (ruh)
mengenyam kebahagiaan sebagai pahala perbuatan baik semasa hidup di
4 Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Lentera
Abadi, 2010), jilid I, 61 5 Mu’jam al-Wasīt,, 141
42
dunia.6 Sedangkan kata Jannah menurut al-Qurtubī di dalam tafsirnya,
derivasi kata Jannah diartikan dengan البستان (taman). Adapun alasan
digunakan derivasi Jannah dalam memaknai taman adalah menutupi
pandangan dikarenakan adanya pohon.7
Derivsi kata surga di dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak 147 kali,
yaitu berada di dalam 65 surah dengan bentuk derivasi mufrad (tunggal),
tasniyah dan jamak (plural).8 Kata Jannah ini merupakan bahasa Arab,
yang akar katanya adalah janna dan memiliki arti satara yaitu menutup
atau menyamarkan. Kata ini memiliki satu akar dengan kata jīn,9 janan,10
janīn,11 junūn, junnah,12 dan lainnya.
Mayoritas kata Jannah diartikan dengan surga abadi yang menjadi
balasan bagi orang-orang yang mukmin yang beramal salih. Tetapi
menurut para ulama berbeda pendapat mengenai surga yang ditempati
oleh Nabi Adam. Pendapat pertama mengatakan bahwa surga yang
ditempati oleh Nabi Adam adalah surga abadi yang ada di langit.
Pendapat kedua mengatakan bahwa surga yang dimaksud berada di
bumi. Kata yang digunakan oleh Allah SWT saat megeluarkan Adam
dari surga adalah ihbiṭū yang berarti “turunlah”. Pendapat pertama
6 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi
3, cet. 4 (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 1109 7 Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah (w. 671 H),
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005), Juz I,
359 8 Muhammad Fuad ‘Abd al-Bāqī, Mu’jam al-Mufahras li Al-fāz al-Qur’ān bi
Hasiyah al- Mushaf al-Syarīf (Qāhirah: Dār al-Hadīts, 2007), 221-223 9 Jin adalah bukan golongan manusia. Lihat, Mu’jam al-Wasīt, 141 10 Bagian penutup mayit seperti kain kafan dan kuburan. Lihat, Mu’jam al-
Wasīt, 141 11 Artinya adalah anak yang masih dalam kandungan ibunya. Al-Rāghib al-
Asfahānī, Mu’jam Mufradāt al-Qur’ān (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah), h. 111-
112. Lihat juga, Mu’jam al-Wasīt, 141 12 Baju Pelindung dan penutup kepala. Lihat, Muhammad b. Mukrim b.
Manzūr al-Afriqī al-Misrī, Lisān al-‘Arab (Bairût: Dâr Sâdir, 1990), jilid. 3, h. 94. Dan
Mu’jam al-Wasīt, 141
43
berargumen bahwa perintah turun dimaksud adalah turun dari langit.
Karenanya, surga yang ditempati Nabi Adam adalah surga abadi yang
ada di langit. Sedangkan pendapat kedua berpegang pada QS. al-Baqarah
[2] 61
رج ربك لنا فٱدع حد وإذ قـلتم یـموسى لن نصب على طعام و ٱلرض تـنبت ما لنا یها بـقلها من هو بٱلذی أدن هو ٱلذی أتستـبدلون قال وبصلها وعدسها وفومها وقثاى
ءو بغضب م ن لة وٱلمسكنة وب خ ی ٱهبطوا مصرا فإن لكم ما سألتم وضر بت علیهم ٱلذ م لك ٱلل ذ وكانوا لك ذ ٱلق بغی ٱلنبی ـن ویـقتـلون ٱلل ب ـایـت یكفرون كانوا بن
با عصوا یـعتدون
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar
(tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk
kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang
ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang
putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata:
"Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih
baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang
kamu minta". Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan kehinaan,
serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena
mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi
yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka
selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.”
Derivasi kata ihbiṭū menunjukkan perintah turun dari taman yang
indah ke suatu tempat lain di bumi. Dengan demikian, surga yang
ditempati oleh Nabi Adam menurut pendapat kedua berada di bumi pada
dataran tinggi.13 Bagi al-Asfahānī, ada dua alasan kenapa surga disebut
dengan menggunakan istilah jannah, yaitu; pertama, karena serupa
dengan kebun di bumi, walaupun antara keduanya memiliki perbedaan.
Kedua, karena nikmat-nikmat di dalamnya oleh Allah ditutup dari
penglihatan manusia.
13 Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Lentera
Abadi, 2010), jilid I, 61-62
44
Adapun secara implisit mayoritas ulama tafsir memberikan makna
Jannah (surga) memiliki kesamaan dikarenakan al-Qur’an tidak
memberikan definisi yang eksplisit terkait surga. Secara umum surga
merupakan tempat kenikmatan untuk seseorang yang telah melewati
aturan-aturan yang diperintahkan oleh Tuhan kepadanya. Salah satu
aturannya melakukan amal salih dan bertaqwa kepada-Nya.
Adapun alasan diciptakannya surga adalah sebagai bentuk balasan
Allah kepada hamba-Nya yang melakukan kebaikan. Hal ini telah
dijelaskan di dalam QS. al-Baqarah [2] 25
تها ٱلنـر كلم ری من ت ر ٱلذین ءامنوا وعملوا ٱلصـلحـت أن لم جنـت ت ا وبش نا من قـبل وأتوا بهۦ متشـبها ولم ف ها من ثرة ر زقا قالوا هـذا ٱلذی رزقـ
ج ا أزو یه رزقوا منـخـلدون فیها وهم مطهرة
“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan
berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan
dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah
diberikan kepada kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang serupa
dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka
kekal di dalamnya.”
Menurut al-Qurtubī, penyebutan derivasi ر ٱلذین ءامنوا sebagai وبش
bentuk apresiasi Allah dalam memberitahukan kepada hamba-Nya
sebuah informasi yang bisa membuat mereka senang. Apresiasi ini
disebabkan perbuatan-perbuatan yang salih. Ia menambahkan juga,
bahwa amal salih ialah diaktualisasikan dengan keimanan. Iman ada
dikarenakan ketaatan seseorang kepada Allah. Maka tidak mungkin
seseorang bisa masuk ke dalam surga kecuali seseorang sudah
melakukan amal salih dan mengaktualisasikan keimanan mereka
45
masing-masing.14 Tidak hanya melakukan amal salih, tetapi juga
betaqwa dan beriman kepada-Nya, maka Allah memberikan balasan
kepadanya surga. Sebagaimana dijelaskan di dalam QS. al-Baqarah [2]
212
یا ویسخرون من ٱلذین ءامنوا وٱلذین ٱتـقوا فـوقـهم نـ یـوم زی ن للذین كفروا ٱلیـوة ٱلد یـرزق من یشاء بغی حساب ٱلقیـمة وٱلل
“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir,
dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-
orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan
Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa
batas.”
Pada ayat ini menjelaskan dua posisi seorang manusia, yaitu:
pertama, bagi orang-orang yang menganggap dunia sebagai
perhiasaannya tidak ubah dengan orang kafir yang mengkultuskan dunia
tanpa mengingat-Nya sehingga Allah memberikan azab dan pembalasan
berupa neraka. Kedua, orang mukmin dan bertaqwa kepada-Nya akan
Allah berikan balasan rezeki yang tanpa perhitungan berupa surga yang
abadi di dalamnya.
Adapun antonim dari surga adalah neraka. Neraka merupakan tempat
bagi orang-orang yang masa hidup di dunia menolak ajaran-ajaran Islam.
Neraka juga merupakan balasan bagi orang-orang yang tidak taat kepada
Allah. Hal ini dijelaskan di dalam QS. al-Insyiqāq [84] 24
رهم بعذاب ألیم فـبش
“Maka beri kabar gembiralah mereka dengan azab yang pedih”
14 Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah (w. 671 H),
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005), Juz I,
362
46
Menurut al-Qurtubī, ayat ini sebagai bentuk balasan Allah kepada
orang-orang kafir dan orang yang berbohong. Sebagai bentuk balasan
dari Allah adalah ditempatkan di neraka jahannam. Dari penjelasan ini,
menurut penulis Allah memberikan setiap jaminan kepada hamba-Nya,
baik masuk ke dalam surga maupun ke dalam neraka. Yang menjadikan
penentuan untuk masuk kedua tempat yang disediakan oleh Allah
tergantung dari tindakan dan perbuatan masing-masing.
Setelah mengetahui dari definisi surga, maka selanjutnya adalah
menjelaskan mengenai gambaran di dalam surga. Salah satu yang
diberikan oleh Allah bagi orang-orang melakukan kebaikan akan
mendapatkan pasangan di dalam surga. Selain itu ada beberapa hal
gambaran yang ada di dalam surga, di antaranya:
1. Ketersediaan akan kenikmatan
Pada ayat sebelumnya QS. al-Baqarah [2] 212, dijadikan sebagai
pijakan untuk orang yang melakukan amal salih, beriman, dan
bertaqwa akan mendapatkan kenikmatan yang tak terhingga dengan
tanpa perhitungkan dari Allah. Kenikmatan yang diberikan oleh
Allah beragam macamnya, di sini penulis mengklasifikasikan
menjadi dua bagian pertama, kenikmatan materil di antaranya:
a. Perhiasan bagi penghuni surga
Ayat yang menjelaskan tentang perhiasan bagi penduduk surga
yaitu QS. al-Kahfi [18] 31
تهم ٱلنـر یلون فیها من أساور من ذهب ری من ت ك لم جنـت عدن ت لـى أو
ویـلبسون ثیابا خضرا م ن سندس وإستبق متك ـین فیها على ٱلراىك نعم ٱلثـواب وحسنت مرتـفقا
“Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga 'Adn, mengalir sungai-sungai di bawahnya; dalam surga itu mereka dihiasi dengan
47
gelang mas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan
sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-
dipan yang indah. Itulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat
istirahat yang indah”
Menurut al-Qurtubī, ayat ini sebagai apreseasi Allah kepada
hamba-Nya yang telah melakukan amalan yang baik. Mereka yang
mendapatkan balasan surga, tentunya mendapatkan kemewahan baik
itu perhiasan emas, perak, kain sutra mapun istana-istana yang indah.
Bagi mereka yang melakukan yang keluar dari aturan Allah maka itu
tentu balasannya bukanlah surga melainkan neraka.15
b. Sungai-sungai yang mengalir
Tidak hanya perhiasan, sebagai bentuk keindahan di dalam surga
Allah memberikan visualisasi di dalam al-Qur’an berupa sungai-
sungai indah yang mengalir. Hal ini telah dijelaskan di dalam QS. al-
Baqarah [2] 25
تها ٱلنـر ری من ت تMenurut al-Qurtubī, kata tahtihā diartikan sebagai من تتها أي من
yaitu air yang mengalir di bawah pohon-pohon. Dari ,تت أشجارها
penjelasan al-Qurtubī dapat disimpulkan, bahwa keindahan di dalam
surga ditemukan air-air yang mengalir di bahwa pohon-pohon sebagai
bentuk keindahan surga. Pada ayat lain al-Qurtubī menjelaskan
tentang spesifikasi air yang ada di dalam surga, dijelaskan di dalam
QS. al-Qamar [54] 54
إن ٱلمتقین فی جنـت ونر
15 Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah (w. 671 H),
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005), Juz I3,
260
48
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman
dan sungai-sungai.”
Kata nahar menurut al-Juraij yang dikutip oleh al-Qurtubī,
bahwa sungai memiliki air biasa, air khamar, madu, dan susu.16
c. Bidadar-bidadari surga
Kenikmatan yang lainnya yang bisa ditemukan di dalam surga
adalah bidadari-bidadari. Menurut Syadi, bidadari adalah mereka
bermata jelita, cantik dan masih perawan. Kelopak matanya tampak
sayup, kecantikannya sangat menggiurkan. Kedua matanya memakai
celak, ucapannya nikmat didengar keringatnya adalah madu dan
mengagumkan pula bentuk tubuhnya, mulia akhlaknya, berkilauan
perhiasan yang dipakainya dan penuh kasih sayang. Tidak ada tabiat
kasar pada dirinya dan hanya kepada suaminya dia menghadap tidak
kepada yang lain.17 Adapaun ciri-ciri bidadari yang lainnya dijelaskan
di dalam QS. al-Waqī’ah [56] 22-23
كأمثـل ٱللؤلو ٱلمكنون وحور عین ”Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang
tersimpan baik.”
Pada ayat yang lain juga dijelaskan mengenai bidadari di dalam
surga dalam QS. al-Rahman [55] 56
ت افیهن قـصر لهم ول جان هن إنس قـبـ ٱلطرف ل یطمثـ
“Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan
pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka
(penghuni-penghuni surga yang menjadi suami mereka), dan tidak
pula oleh jin.”
16 Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah (w. 671 H),
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī, Juz 20, 108-109 17 Khalid Abu Syadi, Semilir Angin Surga, (Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2006) cet ke 1, 83
49
Pada teks فیهن قـصر ا ت ٱلطرف menurut al-Qurtubī, para wanita yang
menundukkan pandangannya, karena mereka memberikan batasan
pada penglihatan untuk selain suami-suaminya sehingga orang lain
tidak bisa melihat mereka di dalam surga. Sedangkan maksud teks لم
menurut al-Qurtubī, teks ini memiliki dua pandangan di يطمثهن
kalangan ulama tafsir, di antaranya: pertama, wanita-wanita yang
belum pernah disetubuhi oleh seorang laki-laki. Kedua, wanita-wanita
yang tidak pernah haid. Adapun kesimpulannya, di dalam surga Allah
telah menyediakan wanita-wanita yang suci baik itu wanita yang
belum pernah disetubuhi maupun wanita yang tidak akan pernah
haid.18
d. Tersedianya makanan dan minuman
Kenikmatan materi yang Allah berikan di dalam surga adalah
makanan dan minuman. Dalam al-Qur’an dijelaskan terkait gambaran
Allah telah menyediakan bagi hamba-Nya makanan dan minuman di
dalam QS. al-Waqī’ah [56] 20-21
ا ي شتهون م ا ي تخ ي رون ولحم ط ي ر م م كهة م ـ وف
Dan buah-buahan dari apa yang mereka pilih, an daging burung
dari apa yang mereka inginkan.
Al-Qurtubī memberikan interpretasi pada ayat ini sebagai berikut:
أي يتخي رون ما شاءوا لكثرتها. وقيل: وفاكهة متخي رة مرضية، والت خير
الختيار
Secara umum, penafsiran al-Qurtubī memberikan penjelasan
bahwa penduduk surga berhak memilih makanan dan buah-buahan
18 Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah (w. 671 H),
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005), Juz 20,
154-155
50
semaunya, dikarenakan begitu banyak tersedianya makanan,
minuman dan buah-buahan di dalam surga. Semua jenis makanan
tentunya makanan yang diridhai oleh Allah untuk dimakan oleh
penghuni surga.19
e. Istana-istana di dalam surga
Kenikmatan materil selanjutnya adalah tersedianya di dalam surga
berupa istana-istana megah untuk penghuni surga. Di dalam al-Qur’an
dijelaskan mengenai gambaran surga berupa materi istana-istana bagi
penghuni surga, di antaranya dijelaskan dalam QS. al-Furqān [25] 10
عل تها ٱلنـر وی ر ی من ت تـبارك ٱلذی إن شاء جعل لك خیا م ن ذ لك جنـت تا لك قصور
“Maha Suci (Allah) yang jika Dia menghendaki, niscaya dijadikan-
Nya bagimu yang lebih baik dari yang demikian, (yaitu) surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, dan dijadikan-Nya (pula)
untukmu istana-istana.”
Pada derivasi ا al-Qurtubī memberi penjelasan sebagai قصور
berikut:
والقصر ف اللغة البس، وس ي القصر قصراا لن من فیه مقصور عن أن یوصل إلیه. البـیت الط ین القصر. وما یـتخذ من الصوف والشعر وقیل: العرب تسم ي بـیوت
Secara umum, menurut al-Qurtubī kata al-qasr secara bahasa
diartikan sebagai al-habs (tempat tahanan). dinamai al-qasr karena
seseorang dibatasi untuk sampai kepadanya. sebagain kelompok
berpendapat, bahwa orang Arab menamainya al-qasr dengan rumah
tanah. sedangkan maksud yang digunakan dalam syi'ir diartikan
19 Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah (w. 671 H),
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005), Juz 20,
189
51
dengan al-bait (rumah).20 Dari penjelasan ini, al-Qurtubī tendensi
kepada maksud kata al-qasr adalah rumah-rumah yang disediakan
oleh Allah di dalam surga bagi orang-orang yang melakukan kebaikan
dan taat kepadanya.
Kedua, kenikmatan inmateril. Salah satu kenikmatan immateril
adalah ru’yah Allah (melihat Allah). Kenikmatan ru’yah Allah
(melihat Allah) merupakan nikmat paling terbesar yang diperoleh
penghuni surga, sebab mereka bisa memandang Allah di surga. Allah
telah menyatakan di dalam al-Qur’an bahwa akan memberikan
kesempatan kepada hamba-hamba-Nya untuk melihat-Nya di
surga.21 Sebagaimana dijelaskan di dalam QS. al-Qiyāmah [75] 22-
23
ا نظرة ضرة إل رب ذ ن یـومى وجوه
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.
Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Menurut al-Qurtubī, ayat ini memberikan penjelasan bahwa
melihat Allah merupakan kenikmatan yang paling baik. Adapun
diktum mengenai melihat Allah merupakan pendapat mayoritas
ulama.22 Pada ayat terjadi di kalangan teologi antara ahl al-sunnah
wa al-jama’ah dengan mu’tazilah. Bagi kalangan mu’tazilah,
melihat Allah hal yang mustahil sebab bisa merusak keesaan (tauhid)
20 Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah (w. 671 H),
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005), Juz 15,
372 21 al-Asyqar Umar Sulaiman, Ensiklopedia Kiamat (Jakarta: Zaman, 2011),
cet. 1, 681 22 Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah (w. 671 H),
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005), Juz 21,
h. 427
52
Allah.23 Seperti yang diinterpretasikan oleh al-Zamakhsyari sebagai
berikut:
ا ذ ه ، و ه ی غ ل إ ر ظ ن ت ـ ل ةا اص ا خ ب ر ل إ ر ظ ن ت ـ ة ر ظ ا ن ب ر ل إ م ی ع الن ة ر ض ن ن م ة ر اض الن ر ظ ن ن ل ف ل إ ن : أ اس الن ل و ق ـ ن م ن و ك ی ن أ ه ع م ح ص ي ی ذ ال و ل و ع ف م ال ي د ق ت ـن ع م اء ج الر و ع ق و الت ـن ع م د ی ر ، ت ب ع ن ص ا ی م
“berharap pahala dari Allah. (Kepada Tuhannyalah mereka
melihat) ini adalah makna dengan didahulukan objeknya, makna ayat
di atas harus disesuaikan dengan makna yang biasa digunakan secara
umum, seperti perkataan “aku menunggu Fulan apa yang dia lakukan
kepadaku, artinya adalah antipasti dan harapan.24”
Dalam kasus ini al-Zamakhsyari menginterpretasi derivasi kata
dengan mentakwilkan makna tekstual. Sehingga (nāzhirah) ناظرة
derivasi kata tersebut menjadi makna منتظرة al-tawaqqu’ wa al-raja
(berharap) yaitu seorang berharap untuk melihat Allah. Sebenarnya,
ayat ini secara eksplisit membicarakan tentang kemampuan manusia
untuk melihat Allah pada hari kiamat. Namun, al-Zamakhsyari dalam
menafsirkan ayat ini dipengaruhi doktrim-doktrin mazhab
Mu’tazilah yang dianutnya, yaitu prinsip ushul khamsah berupa al-
tauhid.
Sedangkan al-Qurtubī tendensi kepada diktum mayoritas para
ulama, bahwa seorang mukmin yang diberikan balasan oleh Allah di
surga adalah bisa melihat Allah. Ini merupakan kenikmatan yang
23 Konsep keesaan (tauhid) Allah bagi kalangan mu’tazilah adalah Allah itu
Esa, tidak ada yang bisa menyamai-Nya, bukan jisim (benda) bukan pribadi (syahs),
bukan jauhar (substansi), bukan aradl (non essential property). Lihat Imam al-Asy’ari,
Maqālāt al-Islamiyyin wa Ikhtilāf al-Mushallīn ( Bairut: Maktabah al-‘Asriyyah, 1990),
h. 235 24 Abī al-Qāsim Mahmūd b. ‘Umar al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf ‘an Haqā’iq
Ghawāmid al-Tanzīl wa ‘Uyūn al-Aqwīl fi Wuuh al-Ta’wīl (Maktabah al-‘Abīkān,
1998), jilid I, h. 20 dan jilid VI, h. 270
53
paling baik di banding kenikmatan materil yang telah disebutkan
pada sub bab sebelumnya.
2. Kenikmatan yang infinitif
Kehidupan yang kekal menjadi salah satu keinginan manusia. Di
dunia kehidupan yang kekal tidak terjadi kecuali kehidupan di
akhirat yang telah Allah janjikan atas kekekalan untuk hidup. Dalam
al-Qur’an membahasakan kekekalan itu dengan menggunakan istilah
khālidun atau derivasi lain yang diawali mā al-Nafī. Misalnya,
Firman Allah dalam QS. al-Baqarah [2] 25
لدون هايوهم ف ـ خ
Saat mengomentari ayat ini, dalam struktur masalah ketiga,
Fakhruddīn al-Rāzī menegaskan bahwa bila kenikmatan-kenikmatan
didapatkan dan bersamaan dengan itu ada rasa takut akan hilangnya
kenikmatan-kenikmatan tersebut maka Allah dalam ayat ini
menjelaskan kekekalannya. Ayat ini menunjukkan kesempurnaan
nikmat dan kebahagiaan yang diperoleh di dalam surga.25
C. Makna Kata Muṭahharah
Derivasi muṭahharah berasal dari kata ار ه ط -ر ه ط ي -ر ه ط (ṭahura-
yathuru-tuhran) yang memiliki makna س ن الد ال و ز و اء ق ن (suci dan
hilangnya kotoran).26 Kata mutahhar merupakan bentuk isim maf’ul
(objek) sehingga memiliki makna yang disucikan oleh Allah. Muṭahhar
merupakan objek yang disucikan langsung oleh Allah untuk diberikan
25 Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606 H), Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-
Tafsīr al-Kabīr Wa Mafātiḥ al-Ghaib (Bairut: Dār al-Fikr, 1981), Jil. 1, h. 139 26 Abī al-Husain Ahmad b. Fāris b. Zakariyā, Mu’jam Maqāyis al-Lughah (Dār
al-Fikr), h. 428
54
kepada orang-orang yang melakukan kebaikan sehingga mendapatkan
balasan berupa surga beserta pasangan yang disucikan.
Para ulama berbeda-beda dalam menentukan batasan apa saja yang
Allah sucikan kepada wanita-wanita di dalam surga. Menurut al-Qurtubī
kata muṭahharah ialah perempuan yang suci dari haid, ludah, dan semua
jenis kotoran (najis) manusia. Ia juga mengutik pendapat lain yaitu ‘Abd
al-Razāq yang diberitahu dari al-Tsaurī dari Ibn Abī Najīd dari
Mujāhid,“kata muṭahharah yaitu mereka yang suci dari air seni, buang
air besar, tidak beranak, tidak haid, tidak mengeluarkan air mani, dan
tidak mengeluarkan air ludah.” Menurut al-Qurtubī, semua ini
merupakan sifat-sifat penduduk surga yang merupakan kenikmatan dan
kebahagian mereka yang telah melakukan perintah-Nya.27
Adapaun menurut mufasir lain seperti Fakhruddīn al-Razi, Ibn
Katsir, Wahbah al-Zuhailī, dan Imam Nawawi, mereka memberikan
interpretasi yang sejalan dengan al-Qurtubī. Pada intinya muṭahhar
adalah wanita-wanita yang disucikan dari kotoran-kotoran yang pernah
dialami ketika di dunia, seperti buang air besar dan kecil keringat, air
ludah, haid, nifas, dan segala hal yang mengandung unsur-unsur
kekotoran. Dalam hal ini para ulama tidak terjadi mis-interpretasi di
dalam menentukan batasan-batasan dalam menentukan hal apa saja yang
disucikan oleh Allah. Para ulama berlandasan dengan sesuatu yang
mengundung unsur-unsur kotor tidak ditemukan di dalam surga.
D. Esensi Azwāj Muṭahharah
pada sub bab ini, penulis menjelaskan mengenai esensi (hakikat)
mengenai Azwāj Muṭahharah. Dalam hal ini penulis memberikan
27 Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah (w. 671 H),
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005), Juz I, h.
362
55
pandangan beberapa mufasir untuk dikompromikan dengan interpretasi
al-Qurtubī.
1. Pandangan Mufasir Terkait Azwāj Muṭahharah
Derivasi ajwāz muṭahharah ditemukan di dalam al-Qur’an
sebanyak tiga ayat di antaranya : QS. al-Baqarah [2] 25, QS. Ali
‘Imran [3] 15, dan QS. al-Nisā’ [4] 57. Sebelum melakukan analisis
terhadap interpretasi al-Qurtubī, penulis menghadirkan interpretasi
dari berbagai penafsiran ulama sebagai perbandingan.
Ayat pertama QS. al-Baqarah [2] 25 Ibn Katsīr berpendapat,
maksud dari teks رة طه م ia mengutip tiga pendapat , ولهم ف يها أزو اج
pertama, Ibn Abū Talhah meriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa
muṭahharah artinya suci dari naji dan kotoran. Kedua, Mujāhid
mengatakan, yang dimaksud dari muṭahharah adalah suci dari haid,
buang air besar, buang air kecil, dahak, ingus, ludah, air mani, dan
beranak. Ketiga, Qatadah mengatakan bahwa muṭahharah adalah
suci dari kotoran dan dosa (najis). Ia juga menambahkan dari riwayat
lain yaitu tidak ada haid dan tidak ada tugas. Dari tiga pendapat ini,
Ibn Katsir mengikuti pendapatnya yang ketiga yaitu dari Qatadah.28
Menurut Syaikh Nawawi al-Bantanī, ولهم ف يها diartikan sebagai
surga. اأزو ج kata azwāj ia mengartikan sebagai bidadari dan
perempuan (cucu adam). Sedangkan kata رة طه م (muṭahharah)
Imam Nawawi berpendapat, suci dari haid dan segala bentuk najis
(buruk) baik itu kotoran yang ditemukan dari kebiasaan manusia
maupun prilaku buruk.29
28 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr
(Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000), juz 1, h. 322-323 29 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na
al-Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), Juz 1, h. 13
56
Menurut Fakhrudin al-Rāzī, رة اأزو ها يولهم ف طه مج teks ini
memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan muṭahharah
ialah suci badanya dari haid, istihādah dan segala hal yang berbentuk
najis. Ayat ini tendensi kepada perempuan sebagai petunjuk adanya
pemberitahuan beberapa hal: pertama, bahwasanya perempuan
ketika haid maka Allah melarang suami untuk mendekatinya
(berhubungan intim) sebagaimana dijelaskan di dalam QS. al-
Baqarah [2] 222
قل هو أذ ى فاعتزلوا الن ساء في المحيض
Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh
Sebab Allah melarang untuk mendekatinya karena ada najis yang
bisa menghalangi suami untuk mendekati istri. Maka ketika di dalam
surga, semua istri tidak dalam keadaan najis (haid) dan maksiat.
Kedua, siapa saja yang telah mnyelesaikan tuntunan secara baik
maksudnya ketika perempuan haid maka dia tau larangan-larangan
yang harus ditinggalkan. seharus tentunya dilarang untuk masuk
dalam Masjid. Sebaliknya ketika ketentuan-ketentuan itu dilanggar
maka bagaimana bisa masuk ke dalam surga? Sebab ia tidak dalam
keadaan suci. Ketiga, siapa saja pakaiannya terkena najis maka
dalam madzhab Syafi’ī shalatnya tidak sah. Begitu juga apabila
ditemukan najis-najis dan maksiat di dalam hatinya bagaimana
shalatnya bisa diterima. Kesimpulannya, bahwasanya Allah telah
menghiasi para ahli surga dari kesalahan-kesalahan dan kotoran.30
Menurut Wahbah al-Zuhailī, kata sepemikiran dengan أزو اج
interpretasi Imam Nawawi yaitu bidadari dan lainnya. Sedangkan
30 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tafsīr al-
Kabīr Wa Mafātiḥ al-Ghaib (Bairut: Dār al-Fikr, 1981), juz 2, h. 142
57
kata رة م طه yaitu suci dari haid, ludah dan sesuatu hal yang
ditemukan najis.31
Ayat kedua QS. Alī ‘Imran [3] 15 menurut Ibn Katsir, ayat ini
memberitahukan perihal tentang perihal yang lebih baik dari
kehidupan di dunia yaitu kebahagian di akhirat. Di antarnya adalah
رة اأزو طه مج maksudnya adalah disucikan dari kotoran, najis,
penyakit, haid, nifas, dan lain sebagainya yang biasa dialami oleh
perempuan di dunia.32
Menurut Syaikh Nawawi, ayat ini memberikan informasi
mengenai kehidupan yang lebih baik dari dunia yaitu orang bertakwa
kepadanya yang diberikan ganjaran surga isinya adalah istri-istri
yang disucikan. Kata رة اأزو طه مج yaitu hilangnya haid, nifas, ludah,
air manis, cacat fisik, dan akhlak buruk.33
Menurut Fakhruddīn al-Razī, kata رة اأزو طه مج maksudnya
adalah pemberian Allah nikmat yang besar ialah memberikan
kenikmatan perempuan-perempaun yang memiliki kesatuan yang
sama yaitu muṭahharah (suci). Kata رة طه ,maksudnya suci dari haid م
nifas dan segala sesuatu kebiasan buruk perempuan ketika di dunia.
Kemudia para perempuan itu masuk ke surga dalam keadalan suci
baik itu akhlak maupun cacat fisik.34
31 Wahbah al-Zuhaili berbeda dengan ulama lainnya dengan mengkategorikan
air ludah (air liur) sebagai suatu yang najis. Redaksi kata yang ia gunakan adalah بصاق dalam kamus diartikan sebagai air ludah. Ia menjelaskan kata ini dalam bab khusus
tentang mufradāt al-lughawī, yaitu kata-kata secara Bahasa. Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr
al-Munīr Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj (Damaskus: Dār al-FIkr, 2009),
juz 1, h. 114 32 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr
(Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000), juz 3, h. 32 33 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na
al-Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), Juz 1, h. 117 34 Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 606 H), Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-
Tafsīr al-Kabīr Wa Mafātiḥ al-Ghaib (Bairut: Dār al-Fikr, 1981), juz, 7, h. 216
58
Menurut Wahbah al-Zuhailī, ayat ini menjelaskan bahwa balasan
bagi orang yang bertakwa adalah dua hal yaitu surga dan perempuan-
perempuan yang suci. kata muṭahharah ia mengartikan sebagai suci
dari keburukan, haid dan nifas.35
Ayat ketiga QS. al-Nisā’ [4] 57 menurut Ibn Katsir, ayat ini Allah
memberikan balasan kepada orang yang beriman berupa surga. Di
dalamnya terdapat رة اأزو طه مج . ia menjelaskan juga maksud dari
azwāj muṭahharah adalah suci dari haid, nifas, dan segala penyakit,
akhlak-akhlak yang buruk dan sifat-sifat yang kurang. Ia juga
mengutip pendapat Ibn ‘Abbās, bahwa yang dimaksud azwāj
muṭahharah adalah suci dari kotoran dan penyakit. Sama penafsiran
sebelumnya, ia menambah kan pendapat Mujāhid, bahwa azwāj
muṭahharah adalah suci dari air seni, haid, dahak, ludah, mani, dan
tidak beranak. Dan pendapat Qatadah, azwāj muṭahharah adalah
suci dari penyakit, suci dari dosa-dosa, dan tiada haid serta tiada
beban.36
Menurut Syaikh Nawawi, pada ayat ini ia memberikan
interpretasi bahwa orang yang beriman nantinya di akhirat
mendapatkan kebahagian berupa surga yang kenikmatannya tidak
terputus, serta mendapatkan di dalamnya رة اأزو طه مج . Kata azwāj
muṭahharah menurutnya adalah suci dari haid, nifas dan segala hal
yang buruk ketika hidup di dunia.37
Menurut Fakhruddīn al-Rāzi, seperti biasa Allah menghadirkan
ayat al-Qur’an dengan konsep al-wa’du al-wa’īd (janji dan
35 Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-
Manhaj (Damaskus: Dār al-FIkr, 2009), juz 2, h. 185 36 Ismā’il Ibn ‘Umar b. Katsīr, Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr Ibn Katsīr
(Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās, 2000), juz 4, h. 122-123 37 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na
al-Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), Juz 1, h. 203
59
ancaman). Pada ayat ini ditemukan dua pokok permasalahan.
Pertama, ayat ini memberikan informasi bahwa orang beriman tidak
cukup beriman saja melainkan juga melakukan amal-amal soleh,
sebab iman dan amal soleh memiliki ikatan. Kedua, Allah
memberikan kenikmatan dan kebahagian bagi orang yang beriman
dan melakukan amal soleh berupa surga. Di dalamnya Allah
memberikan رة اأزو طه مج . Menurut Fakhruddīn al-Rāzi, suci dari
haid, nifas, dan segala hal yang memiliki unsur najis ketika di dunia.
Ia menambahkan, ayat ini telah dijelaskan sebelumnya pada QS. al-
Baqarah [2] 25.38
Menurut Wahbah al-Zuhailī, kata رة طه diartikan sebagai suci م
dari aib-aib serta kotoran (najis) baik terlihat secara fisik maupun
non-fisik. Informasi dari ayat ini juga mengenai balasan terhadap
orang yang beriman berupa surga. Di dalamnya terdapat perempuan
(istri) yang disucikan oleh Allah dari aib-aib fisik, prilaku dan
kebiasan yang buruk. Ini merupakan bentuk kenikmatan yang
sempurna bagi balasan orang yang beriman dan beramal soleh.39
2. Analisis Azwāj Muṭahharah perspektif al-Qurtubī
a. Definisi Azwāj Muṭahharah perspektif al-Qurtubī
Dari tiga ayat, ia hanya mendefinisikan kata azwāj muṭahharah
secara lengkap hanya di dalam QS. al-Baqarah [2] 25. Sedangkan
pada ayat setelahnya QS. Ali ‘Imran [3] 15 dan QS. al-Nisā’ [4] 57,
38 Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tafsīr al-
Kabīr Wa Mafātiḥ al-Ghaib (Bairut: Dār al-Fikr, 1981), juz 10, h. 140-141 39 Wahbah al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-
Manhaj (Damaskus: Dār al-FIkr, 2009), juz 3, h. 124
60
ia hanya mengkomentari dengan menambahi ما تقد م maksudnya,
penjelasanya sudah dibahas pada ayat sebelumnya.
Di dalam tafsirnya, ia menafsirkan kata azwāj muṭahharah
secarah terpisah. Pertama kata أزواج (azwāj). Ia mengawali
penafsiranya dengan memberikan i’rāb dalam gramatika Arab yaitu
susunan ibtidā’ (mubtada) dan khabar.40 Kata azwāj merupakan
bentuk jamak (plural) dari kata زوج (zauj). Kata زوج (zauj) bisa di
berbagai posisi makna, misalnya جل perempuan) المرأة زوج الر
sebagai pasangan laki-laki) dan bisa diposisi makna جل زوج المرأة الر
(laki-laki sebagai suami perempuan).
Kedua, derivasi رة dalam gramatika arab kata ,(muṭahharah) مطه
ini menjadi na’at41 dari kata أزواج. Kata رة merupakan kata مطه
jamak (plural) dari kata طاهرة (ṭāhirah), maknanya adalah الط هارة
suci dan bersih.42
b. Pola Interpretasi Ayat-ayat Azwāj Muṭahharah menurut al-
Qurtubī
Setelah mengetahui definisi dari kata azwāj muṭahharah,
selanjutnya pada subbab ini, penulis menganalisis dalam pola
40 Ibtidā’ (mubtada) adalah isim marfu’(kata benda) yang berperan sebagai
pokok kalimat atau bebas dari amil lafazh, yaitu bersifat amil maknawi dengan
dirafa’kan atau didhommahkan karena menjadi ibtida’ atau permulaan kalimat.
Sedangkan khabar adalah isim marfu’(kata benda) yang di-musnad-kan (disandarkan)
kepada ibtidā’ (mubtada), yakni tidak akan ada khabar kalau tidak ada mubtada’ dan
mubtada’ itulah yang merafa’kan khabar. Lihat, Moch Anwar, Ilmu Nahwu
:Terjemahan Matan al-Jurumiyyah dan ‘Imrithy Berikut Penjelasannya
(Bandung:Sinar Baru Algensindo, 2012), cet. 27, h. 85 41 Na’at adalah salah satu dari lima tawābi’ yang menyempurnakan makna
lafadz yang diikutinya dengan menjelaskan salah satu antara sifat-sifatnya. Lihat
Bahaudin ‘Abdullah Ibn ‘Aqil, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibn ‘Aqil (Bandung: Sinar
Baru, 2012), jilid 2, h. 626 42 Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah (w. 671 H),
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005), Juz I,
h.362
61
penafsiran al-Qurtubī mengenai azwāj muṭahharah. Al-Qurtubī tidak
menafsirkan ketiga ayatnya secara detail, hanya saja ia menafsirkan
panjang lebar mengenai azwāj muṭahharah di dalam QS. al-Baqarah
[2] 25.
Al-Qurtubī dalam menafsirkan kata azwāj ia tidak menjelaskan
secara mendalam. Penafsiran al-Qurtubi tidak jauh beda dengan yang
lainnya seperti yang dilakukan oleh mufasir Ibn Katsir, Fakruddin al-
Rāzi, Wahbah al-Zuhaili, meskipun ia tidak hidup satu zaman namun
memiliki kesamam. Perbedaaan interpretasi ditemukan pada Imam
Nawawi, kata azwāj bukan hanya istri yang diartikan sebagai
perempuan dengan didapati dari hasil proses regulasi akad nikah
ketika di dunia, tetapi diartikan juga sebagai bidadari yang telah
disediakan oleh Allah yang merupakan janji-Nya. Al-Qurtubī tidak
memberikan penjelasan apakah azwāj dalam kontek ayat di sini
diartikan wanita yang dinikahi ketika dunia atau para wanita yang
sudah ditentukan oleh Allah seperti interpretasi yang ditawari oleh
Syaikh Nawawī.
Hemat penulis, derivasi pertama al-Qurtubī tidak menjelaskan
secara detail, sehingga kata setelahnya yang menjadikan sifat
penjelasan (na’at). Sehingga tidak bisa menyempurnakan makna
sebelumnya. Perempuan yang mana disucikan oleh Allah? Apakah
wanita yang didapati dari proses regulasi pernikahan di waktu dunia
ataukan perempuan yang sudah dihadiri langsung oleh Allah yang
dinamai dengan bidadari. Hanya saja derivasi muṭahharah sejalan
dengan mufasir lainnya, yaitu hasil kesimpulan perempuan yang
tinggal di surga merupakan manusia pilihan yang disucikan langsung
oleh Allah tanpa ada satupun kecacatan dan kotoran-kotoran baik itu
kotoran najis secara fisik, maupun non-fisik.
62
c. Konteks Ayat perspektif al-Qurtubī
Setelah melakukan analisis terhadap penafsiran al-Qurtubī terkait
azwāj muṭahharah, langkah selanjutnya adalah melihat konteks
penafsiran yang dilakukan oleh al-Qurtubī QS. al-Baqarah [2] 25.
Pada ayat yang lain ia tidak memberikan komentar yang panjang,
namun al-Qurtubī memberikan kesimpulan yang telah dilakukannya
penafsirannya pada ayat sebelumnya. Adapaun konteks penafsiran
yang dilakukan al-Qurtubī di antaranya:
Pertama, ayat ini menjelaskan tentang balasan yang dilakukan
oleh orang-orang kafir dan orang-orang yang beriman.43 Hemat
penulis, kesalahan yang dilakukan oleh orang kafir adalah
mengingkari kebenaran al-Qur’an sehingga balasan yang Allah
berikan kepada mereka adalah masuk ke dalam neraka sebagaimana
dijelaskan ayat sebelumnya QS. al-Baqarah [2] 24.
Kedua, menurut al-Qurtubī ayat ini memeliki maksud dan tujuan
balasan bagi orang yang melakukan amal soleh. Salah satu sikap
soleh seseorang adalah berimana kepada Allah, karena itu
merupakan sikap tunduk seseorang kepada-Nya. Sehingga apabila
telah mengaktualisasikan keimanan terhadap pribadi seseorang maka
balasan dari Allah adalah surga.44
Hemat penulis, ayat ini sebagai berita gembira bagi orang-orang
yang beriman kepada-Nya. Pada teks ini Allah memerintahkan Nabi
Muhammad untuk menyampaikan berita gembira bagi orang-orang
yang beriman kepada-Nya. Iman yang dihargai oleh Allah adalah
43 Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah (w. 671 H),
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005), Juz I, h.
358 44 Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū ‘Abdillah (w. 671 H),
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī (Kairo: Maktabah al-Ṣafa, 2005), Juz I, h.
359
63
beriman dengan kebijakan, maksudnya kebijakan yang sejalan
perintah agama. Ayat ini juga tidak hanya untuk melakukan iman,
tetapi juga disertai dengan tindakan dan perbuatan yang baik.
Apabila seseorang melakukan perbuatan baik maka hasilnya adalah
iman. Adapun balasan Allah terhadap orang yang beriman dan
melakukan tindakan dan perbuatan yang baik adalah kenikmatan
surga yang merupakan lawan dari neraka. Surga yang dimaksud dari
ayat ini adalah taman-taman yang indah kemudian dihiasi dengan
sungai-sungai yang mengalir. Tidak hanya keindahan saja, Allah
juga memberikan kenikmatan yang berbeda sekali ketika Allah
memberikan kenikmatan semasa di dunia, salah satu kenikmatan
yang ada di dalam surga adalah wanita-wanita yang suci.
Kenikmatan yang diberikan oleh Allah sangat berbeda sekali
kenikmatan yang diberikan ketika di dunia. Ini terbukti ketika Allah
memberikan kenikmatan wanita-wanita yang suci dari segala hal
yang memiliki najis (kotoran) semasa hidupnya di dunia, seperti
haid, nifas, urin, buang air besar, dan lainya. Bahkan tidak ditemukan
sedikitpun kecacatan secara fisik maupun non-fisik dari wanita-
wanita yang disucikan oleh Allah sebagai balasan orang yang
beriman dan melakukan kebijakan dan perbuatan yang baik.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan kajian analisis di atas, maka langkah selanjutnya
adalah memberikan kesimpulan. Dalam hal ini penulis memberikan
beberapa hal poin di antaranya: pertama, derivasi azwāj mutahharah
secara eksplisit diartikan al-Qurtubī adalah wanita-wanita yang
disucikan oleh Allah baik wanita-wanita yang disucikan dari kotoran-
kotoran yang pernah dialami ketika di dunia, seperti buang air besar dan
kecil, keringat, air ludah, haid, nifas, dan segala hal yang mengandung
unsur-unsur kekotoran, maupun non-fisik seperti tingkah laku atau
akhlak.
Kedua, term azwāj (pasangan) diartikan oleh al-Qurtubī wanita-
wanita yang disucikan oleh Allah adalah mereka yang didapati dari hasil
proses regulasi akad nikah ketika di dunia, tetapi diartikan juga sebagai
bidadari yang telah disediakan oleh Allah yang merupakan janji-Nya.
Ketiga, azwāj muṭahharah bagi al-Qurtubī adalah pemberian dari
Allah sebagai balasan untuk orang-orang yang melakukan amal soleh,
beriman dan bertaqwa kepadanya. Pemberian ini diberikan oleh Allah di
dalam surga sebagai kenikmatan berupa materi adalah azwāj
mutahharah (pasangan yang disucikan)
Keempat, diktum dan pernyataan al-Qurtubī mengenai azwāj
mutahharah sejalan dengan pemahaman dan pradigma dari kalangan
ulama tafsir seperti penulis kutip, seperti Fakhruddīn al-Razī, Ibn Katsīr,
Wahbah al-Zuhaili, dan Syaikh Nawawi al-Bantanī.
65
B. Saran
Penulis berharap hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai
rujukan untuk penelitian selanjutnya, di mana peneltian selajutnya
dapat digali lebih lanjut apakah masih ada makna yang lebih luas
tentang azwāj muṭahharah ini atau penelitian yang lebih spesifik dari
penelitian ini
66
DAFTAR PUSTAKA
‘Abdillah, Muhammad b. Ahmad al-Anshārī al-Qurṭubī Abū.
Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’an Tafsīr al-Qurṭubī. Kairo:
Maktabah al-Ṣafa, 2005, Juz I
Abdul, Ghazali Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Grup, 2003
Adib, Shohibul dkk. Ulumul Qurān: Profil para Mufassir al-
Qur’ān dan para Pengkajiannya. Tangerang Selatan:
Pustaka Dunia, 2011
‘Alī Iyazy, Al-Sayyid Muhammad. Al-Mufassirūn Hayātuhum wa
Manhājuhum. Teheran, t.p, 1414
Anwar, Ahmad. Prinsip-Prinsip Metodologi Research.
Yogyakarta:Sumbangsih, 1974
Anwar, Moch. Ilmu Nahwu :Terjemahan Matan al-Jurumiyyah
dan ‘Imrithy Berikut Penjelasannya. Bandung:Sinar Baru
Algensindo, 2012, cet. 27
‘Aqil, Bahaudin ‘Abdullah Ibn, Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibn
‘Aqil. Bandung: Sinar Baru, 2012
al-Asfahānī, Al-Rāghib. Mu’jam Mufradāt al-Qur’ān. Beirūt: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Baidan, Nasrudin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005
Al-Bāqī, Muhammad Fu’ād ‘Abd. Mu’jam al-Mufahras li al-Fādz
al-Qur’an al-Karīm. Qāhirah: Dār al-Hadīts
Biografi Imam al-Qurṭubi | Ustadz Khalid Basalamah.” Diakses
tanggal 08 April 2019. https://youtu.be/abVBY2ZDBVc
Faisal, Sanapiah. FORMAT-FORMAT PENELITIAN SOSIAL
Dasar dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1989
67
Al-Farhun, Ibn. al-Dibāj al-Mazhab fi Ma’rifat A’yān. Ulama al-
Madzab. Beriut: Dar al-Fikr,t.th
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung :
Bandar Maja, 1990
Hasanah, Uswatun. Perilaku Bersuci Masyarakat Islam; Etika
Membersihkan Najis. Skripsi S1., Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2011
Al-Jāwī, Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī. Marāh Labīd Li
Kasyf Ma’na al-Qur’an al-Majīd. Libanan: Bairut Dār al-
Kitab al-‘Alamiyyah, 1997, Juz 1
Kartono, Kartini. Pengantar Metodologi Riset Sosial,
Bandung:Mandar Maju, 1996, Cet. ke-7
Al-Katsīr, Ismā’il Ibn ‘Umar b. Tafsīr al-Qur’an al-‘Aẓīm Tafsīr
Ibn Katsīr. Libya: Maktabah Awlād al-Syaikh li Turās,
2000, juz 3
Kementrian Agama RI. Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya.
Jakarta: Lentera Abadi, 2010, jilid I
Al-Khafi, Rashad Hasan. Tarīkh Tasyri’ al-Islami. Penerjemah
Nadirsyah Hawari, Jakarta: Amzah, 2009
Khalifah. Kasyf al-Zunūn ‘An Asāmī al-Kutub wa al-Funūn. Juz I.
Beriut: Dār al-Fikr, 1994
Khoirunnisa’, Perilaku Thaharah (bersuci) Masyarakat Bukit
Kemuning Lampung Utara “Tinjauan Sosiologi Hukum”,
Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2010
Khuli, Amin. Manāhij al-Tajdid. Mesir: Dār al-Ma’rifat,1961
Al-Misrī, Muhammad b. Mukrim b. Manzūr al-Afriqī. Lisān al-
‘Arab. Bairût: Dâr Sâdir, 1990, jilid. 3
68
Al-Mugniyah, Muhammad Jawad. Fiqh Lima Madzhab. Jakarta:
Lentera, 2001, Cet ke-7
Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir; Peta Metodologi
Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga
Kontemporer. Yogyakarta, Nun Pustaka, 2003
Al-Musthafa al-Bugha, Musthafa al-Khan, Ali al-Syurbaji, al-Fiqh
al-Manbaji ’ala al-Madzhab al-Imām al-Syafi’i, Darul
Musthafa, 2008/1429H
Al-Qattān, Manna Khalil. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: PT.
Pustaka Litera Antar Nusa, 2013, cet. 16
Al-Qurṭubi. Tafsir al-Qurṭubi. Penerjemah Fathurrahman,dkk.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2010, Jilid.1
Rāzī, Fakhr al-Dīn. Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tafsīr
al-Kabīr Wa Mafātiḥ al-Ghaib. Bairut: Dār al-Fikr, 1981,
juz 2
Sati, D.A. Pakih. Panduan Lengkap Pernikahan (Fiqh Munakahat
Terkini). Jogjakarta: Bening, 2011
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. (Bandung: Mizan,
1992)
Sukron. Hukum Perempuan Memilih pasangan Nikah dalam
pandangan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Jakarta:
Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
Suprapto, Kisah-kisah israīliyyāt dalam Tafsir al-Jāmi’ li Ahkām
al-Qur’ān Karya al-Qurthubī. Thesis S2., IAIN Tulung
Agung. 2016
Syadi, Khalid Abu. Semilir Angin Surga. Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2006, cet ke 1
69
Syaikh Abdullah Ali Bassam dan Syaikh Abu Bakar al-Jazairi,
“Sikap Islam terhadap Perbudakan,” Diakses 18 Maret
2019. https://almanhaj.or.id/3062-sikap-islam-terhadap-
perbudakan.html.
Al-Syarbīnī, Muhammad b. Khatīb, Mughnī al-Muhtāj ila
Ma’rifah Ma’ānī Alfādz al-Minhāj, (Baerut: Dār al-
Ma’rifah, 1997)
Ṭabataba’ī, M. Husain. Inilah Islam Upaya Mehami Seluruh
Konsep Islam Secara Mudah. Terj. Ahsin Muhammad.
Jakarta: Pustaka Allamah Sayyid Hidayah, 1989
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. edisi 3, Jakarta: Balai Pustaka, 2007, cet. 4
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Tafsir al-Qur’an, 1973
Al-Zahabī, Muhammad Husen. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Mesir:
Dār al-Maktabah al-Harisah, 1976
Zuhailī, Wahbah. Tafsīr al-Munīr Fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa
al-Manhaj. Damaskus: Dār al-FIkr, 2009, juz 1
Recommended