View
929
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 1/104
LAPORANAPORAN
Kajianajian KebijakanebijakanPenanggulanganenanggulangan (Wabahabah)
Penyakitenyakit Menularenular((StudiStudi KasusKasus DBD)DBD)
Direktorat Kesehatan danGizi Masyarakat
Deputi Bidang SDM danKebudayaanBadan PerencanaanPembangunan Nasional2006
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 2/104
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
LL A A PP OOR R A A NN A A K K HH IIR R
K K A A JJII A A NN
K K EEBBIIJJ A A K K A A NN PPEENN A A NNGGGGUULL A A NNGG A A NN
(( W W A A BB A A HH)) PPEENN Y Y A A K K IITT MMEENNUULL A A R R Studi Kasus DBD
DDIIR R EEK K TTOOR R A A TT K K EESSEEHH A A TT A A NN DD A A NN GGIIZZII MM A A SS Y Y A A R R A A K K A A TT
BB A A DD A A NN PPEER R EENNCC A A NN A A A A NN PPEEMMBB A A NNGGUUNN A A NN NN A A SSIIOONN A A LL TT A A HHUUNN 22000066
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 3/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular ii
Ringkasan Ekseku tif
Kajian ini dilatarbelakangi adanya kecenderungan terus meningkatnya wabah penyakitmenular di berbagai daerah di Indonesia. Selain penyakit menular yang telah lama ada,penyakit menular baru (new emerging diseases) juga menunjukkan peningkatan.
Kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular telah diatur dalam peraturanperundangan. Namun demikian implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain berkaitan dengan (1) pelaksanaan surveilans, (2) upaya penanggulangan, serta (3)adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan. Berdasarkan hasil penelitian WHOTahun 2003 dilaporkan bahwa pelaksanaan kegiatan surveilans masih menghadapikendala antara lain berkaitan dengan (1) kebijakan sistem surveilans yang belumdipahami sampai ke petugas teknis di lapangan, (2) terbatasnya tenaga pelaksanasurveilans, (3) adanya ketidaksesuaian kompetensi, (4) terbatasnya dana pelaksanaansurveilans di tingkat operasional, dan (5) belum optimalnya penggunaan saranakesehatan dalam mendukung pelaksanaan surveilans penyakit seperti pemanfaatanlaboratorium dan peralatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan utama kajian adalah menyusun rumusankebijakan penanggulangan wabah penyakit menular secara terpadu berdasarkananalisis faktor-faktor yang berpengaruh melalui (1) identifikasi kinerja surveilans, (2)identifikasi kinerja penanggulangan wabah penyakit , serta (3) identifikasi peran dantanggungjawab Pemerintah Daerah. Metode kajian dilakukan melalui analisisdiskriptif (kualitatif) berdasarkan data dan informasi yang didapat di lapangan, baik
berbentuk data sekunder maupun hasil wawancana mendalam serta melakukanpembahasan dengan nara sumber dalam bentuk focus group discussion (FGD) dan
workshop.
Landasan pemikiran kajian didasarkan pada asumsi adanya hubungan timbal balik antara rendahnya kinerja surveilans dan kinerja penanggulangan dengan
implementasi kebijakan wabah penyakit menular khususnya dalam kasus kebijakanpenanganan penyakit DBD. Kinerja surveilans diukur dengan melihat (1) keberadaanpeta rawan, (2) pelaksanaan diseminasi informasi DBD, dan (3) Pelaporan sertadengan melihat faktor-faktor berpengaruh mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana,(4) dana, dan (5) SOP. Kinerja Penanggulangan diukur dengan melihat (1) FrekuensiKLB, (2) Jumlah Kasus, (3) Jumlah Kematian, (4) Luas Daerah Terserang serta denganmelihat faktor-faktor berpengaruh mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4) dana,dan (5) SOP. Implementasi kebijakan wabah penyakit menular juga dipengaruhikebijakan desentralisasi kewenangan pengelolaan pembangunan.
Kajian menyimpulkan bahwa kendala utama yang dihadapi dalam implementasikebijakan penanggulangan wabah penyakit menular dalam kasus DBD adalah (1)koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam penangananDBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan surveilans dan
penanggulangan DBD, (2) koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatukebijakan operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, (3) sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masihdidominasi pusat, (4) tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama dilapangan dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular.
Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan mencakup (1) Peta rawan, hampirsemua dinkes propinsi maupun dinkes kab/kota memiliki peta rawan, sedangkan diPuskesmas sebagai unit pelayanan dasar dan rumah sakit sebagai unit pelayananrujukan, peta rawan tidak selalu tersedia, (2) proses diseminasi informasi dilakukan
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 4/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular iii
melalui penerbitan buletin kajian epidemiologi yang diterbitkan oleh dinkes propinsidan dinkes kabupaten/kota, (3) sistem pelaporan ditunjukkan dengan kelengkapanlaporan mencapai 90-100%, namun ketepatannya masih 60%, (4) Jumlah Kasusperiode 2003-2005 cenderung stagnan untuk propinsi lokasi kajian (kecuali Jatimmeningkat), sedangkan data kematian cenderung meningkat. Case Fatality Rate (CFR)DBD fluktuatif.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja surveilans dan penanggulanganterkait dengan (1) tenaga, (2) pengetahuan, (3) dana, (4) SOP, (5) sarana, dan (6) data.Tenaga. Hampir semua level baik di propinsi hingga kabupaten/kota termasuk puskesmas dan rumah sakit mengalami masalah ketenagaan dalam kegiatan surveilansdan penanggulangan. Kurangnya jumlah SDM, kualifikasi pendidikan yang belumsesuai, perpindahan yang begitu cepat, beban kerja yang tinggi merupakan masalah
yang hampir ditemukan disemua tingkatan. Kualitas dan kualifikasi masih belumterpenuhi sesuai dengan bidang tugas dan kompetensinya. Pendidikan rata-rataperawat, Sarjana (SKM) dan MKes. Tidak ada batas yang tegas yang membedakanantara Surveilans dan Penanggulangan dalam praktek operasional di lapangan.Struktur organisasi Dinkes propinsi maupun Kab/Kota tidak menggambarkanpembedaan kedua tugas tersebut. Operasi lapangan untuk suatu kasus (DBD) serentak
dilakukan. Bidang pendidikan yang ada adalah perawat, dan epidemiologi.Pengetahuan. Pemahaman tentang surveilans dan penanggulangan KLB masih
belum sama. Upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi maupunkabupaten/kota dalam rangka peningkatan kemampuan adalah pembinaan teknis,mengadakan pertemuan/ lokakarya, rakor dan melakukan berbagai pelatihan di
bidang surveilans maupun penangulangan penyakit. Selain pelatihan formal,pengetahuan tim pada umumnya dipenuhi dari pengalaman lapangan dalampenanganan P2M. Dana. Dana menjadi persoalan dalam implementasi kebijakanpenanggulangan penyakit menular. Pada tingkat propinsi, dana untuk pelaksanaanpenanggulangan wabah penyakit menular dirasakan pihak daerah mencukupi, khususuntuk KLB tersedia block grant dari pusat. Untuk tingkat kabupaten/kota, hampirsemuanya menggunakan dana APBD. Baik APBD propinsi maupun APBDkabupaten/kota atau APBD sharing. Puskesmas tidak memiliki alokasi dana khusus
untuk kegiatan surveilans. Dana operasional selain bersumber dari dana operasionalumum juga memanfaatkan dana JPK-MM. Di rumah sakit tidak terdapat danasurveilans, yang ada hanya pencatatan pelaporan yang dilakukan di bagian rekammedis. Dana yang digunakan untuk penanggulangan KLB berasal dari APBN (Dekon)dan APBD. Permasalahan dana terutama berkaitan dengan (1) keterlamabatanturunnya DIPA, (2) ada masa ketiadaan anggaran, khususnya ketika kasus terjadi, dan(3) proporsi anggaran untuk preventif dan kuratif yang tidak seimbang. SOP. Hampirsemua unit pelayanan kesehatan di daerah memiliki pedoman dan peraturan dalamrangka pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD. Namun demikiankebanyakan SOP tersebut belum operasional. Beberapa dinkes kabupaten/kotainisiatif melakukan modifikasi terhadap SOP yang dibuat Depkes. Sarana. Walaupunkondisi sarana dan prasarana untuk kegiatan penanggulangan penyakit menular tidak selalu memadai, tetapi tidak menjadi kendala dalam berjalannya sistem. Sarana utama
yang dibutuhkan dalam penanganan kasus DBD adalah adanya mesin fogging sertainsektisida. Pengadaan insektisida dan mesin fogging di supply oleh Dinkes Propinsikarena kab/kota belum siap. Data. Ketepatan dan kelengkapan laporan darikabupaten masih rendah, Data yang ada belum dilakukan analisis, baik di tingkatpropinsi maupun kabupaten (baru bersifat pengumpulan data). Sehingga untuk SKD-KLB data yang seharusnya dapat dilihat/diprediksi diawal untuk kewaspadaanterjadinya KLB, belum dilakukan. Validitas data yang dilaporkan tidak pernahdipermasalahkan. Propinsi belum mempunyai sistem peringatan ke kabupaten bilaterjadi keterlambatan atau ketidak lengkapan data.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 5/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular iv
Kondisi umum Pelaksanaan Surveilans dan Penanggulangan DBD: (1) Ujung tombak pelaksanaan surveilans ada di Puskesmas, namun belum maksimal melaksanakansurveilans karena keterbatasan tenaga, sarana dan dana, (2) Aktivitas surveilansdilakukan oleh Tim Lapangan, sebagai suatu kegiatan rutin, namun belum maksimal,karena tidak seimbang antar area yang harus dipantau dengan kemampuansumberdaya yang tersedia, (3) Surveilans mulai diperlukan ketika ada kasus. Namun
pada saat kasus, yang paling menonjol adalah penanggulangan (PE). PE tidak dilakukan maksimal sesuai prosedur yang ada. Banyak kendala, antara lainketerbatasan tenaga, keterbatasan dana, ketiadaan sarana. Penyelidikan Epidemiologi(PE) yang dilakukan Puskesmas belum maksimal, tidak setiap kasus DBDditindaklnajuti dengan PE karena DBD dianggap kasus rutin, akibatnya kegiatantindak lanjut yang seharusnya dilakukan tidak berjalan. Pengobatan dan isolasipenderita dirujuk ke rumah sakit. Penanggulangan DBD di Rumah sakit relatif tidak masalah, kecuali kalau ada kasus KLB yang menyebabkan sarana TT tidak mencukupi.Pengobatan dapat dilakukan dengan baik kecuali kalau ada keterlambatan datang kesarana pengobatan dan akibat terlambat merujuk. Permasalahan operasionalpenanganan DBD juga dipengaruhi oleh sistem kepemerintahan yang belumsepenuhnya dapat mengakomodasi sistem perencanaan dan sistem keuangan yang
baru. Komitmen daerah dalam penyediaan anggaran (APBD) untuk penanganan
wabah penyakit menular belum optimal. Hal ini berkaitan dengan masih cukup besarnya alokasi dana yang berasal dari APBN (dalam bentuk DAU, dekonsentrasimaupun tugas perbantuan). Koordinasi penanganan kasus masih bersifat sporadis,
belum tertata dalam sebuah sistem yang aktif dan terstruktur, baik pada internalsektor maupun lintas sektor. Keperdulian pemerintah daerah masih belum terlihat, halini tampak dari keaktifan instansi kesehatan dalam penyebaran informasi kesehatan,
bukan sebaliknya pemerintah daerah yang aktif meminta informasi.
Rekomendasi kajian yang diusulkan mencakup (1) Peningkatan koordinasi antarinstansi dan antar unit dalam berbagai tingkatan dalam penanganan wabah penyakitmenular yang dilakukan oleh Menko Kesra, Gubernur, Bupati/Walikota , (2)Percepatan penyusunan kebijakan operasional dalam koordinasi pelaksanaan programantar pusat daerah yang mencakup aspek perencnaaan, pelaksanaan (monitoring),
serta pelaporan (evaluasi), (3) Mengurangi secara bertahap dominasi peranpengelolaan program oleh pusat melalui pendelegasian kewenangan ke daerah sertapeningkatan profesionalisme pengelola program di daerah, (4) Memperkuat kapasitasdan kapabilitas Puskesmas sebagai unit terdepan dalam operasionalisasi surveilansdan penanggulangan wabah penyakit menular, malalui (i) Peningkatan dukungandana yang memadai dari APBN maupun APBD, (ii) Penyempurnaan SOP sesuai “localspecific”, (iii) Peningkatan kualitas sistem pelaporan melalui ketepatan data, analisis,
validasi dan pengembangan “respond system”, dan sistem kewaspadaan dini (early warning system), (iv) Optimalisasi penggunaan sarana dan prasarana denganmelibatkan peran aktif masyarakat, (5) Meningkatkan peran dan tanggung jawabPemerintah Daerah melalui intensifikasi kegiatan sosialisasi, advokasi, promosi dankoordinasi, (6) Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko, (7) Melakukan bimbingan,
pemantauan, dan evaluasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, (8)Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dankonsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, surveilansepidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah, (9) Membangun dan mengembangkankemitraan, jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis peningkatan komunikasiinformasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit, (10)Diperlukan dukungan dalam bentuk peraturan perundangan dalam meningkatkankomitmen para pihak di daerah dalam rangkan pencegahan dan penanggulangan DBD,(11) Diperlukan model manajemen pemberantasan penyakit dan penyehatanlingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah kabupaten/kota dalam perspektif
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 6/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular v
komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik antar wilayah danadimistrasi pemerintah maupun diantara para pelaku pemberantasan penyakitmenular dan penyehatan lingkungan itu sendiri dalam satu wilayah.
Implikasi Kebijakan dan Rencana Tindak Lanjut mencakup aspek-aspek: (1)
Kelembagaan, diperlukan revitalisasi peran kelembagaan khususnya kelembagaanPuskesmas. Sebagai perangkat utama Kesehatan, Puskesmas perlu diperkuat dengankapasitas manajemen pelayanan untuk kegiatan yang bersifat promotif, preventif, danrehabilitatif, selain kuratif. Dukungan pendanaan serta tenaga dan sarana dalamrangka pelaksanaan operasional pencegahan dan penanggulangan (preventif, promotif dan rehabilitatif) menyertai peran dimaksud secara memadai. (2) Pendanaan, perluterus dikembangkan pola pendanaan sistem jaminan kesehatan seperti askeskinsehingga kepastian dana sampai kepada masyarakat terjamin, sekaligus menjaminsetiap masyarakat terlayani untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, (3) Data danInformasi, perlu di kelola secara profesional dan berkesinambungan denganmemanfaatkan teknologi yang tepat dan mudah diaplikasikan serta dimungkinkanadanya Pusat Informasi Penanaganan DBD (DBD Center). Keberadaan data daninformasi yang akurat dan sinambung menjadi salah satu indikator kinerja
pembangunan kesehatan, (4) Ketenagaan , mendorong terbangunnya motivasi dankomitmen para pelaksana pembangunan kesehatan di lapangan sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan. Motivasi dankomitmen selain muncul atas kesadaranmemerlukan dukungan eksternal dalam bentuk insentif, (5) SOP , dibuat sesederhanamungkin agar memudahkan pelaksanaan operasional tenaga lapangan dandistribusikan.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 7/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular vi
K ATA PENGANTAR
Dengan memanjat puji dan syukur pada Allah SWT, akhirnya KajianKebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular dapat diselesaikan tepatpada waktunya. Kajian ini dilatarbelakangi adanya kecenderungan terus
meningkatnya wabah penyakit menular di berbagai daerah di Indonesia,khususnya kasus Demam Berdarah dengue (DBD). Selain penyakit menular
yang telah lama ada, penyakit menular baru (new emerging diseases) jugamenunjukkan peningkatan. Kebijakan penanggulangan wabah penyakitmenular telah diatur dalam peraturan perundangan. Namun demikianimplementasi di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan. Kasuspenyakit menular dalam kajian ini adalah Demam Berdarah Dengue (DBD).
Pelaksanaan kajian telah melibatkan Deputi bidang SDM danKebudayaan Bappenas, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat serta seluruhstaf di lingkungan Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas sertamelibatkan nara sumber dari Departemen Kesehatan, khususnya Subdit
Arbovirosis, Pemerintah Daerah, Dinas Teknis terkait, Perguruan Tinggi,masyarakat serta FGD dari Bappenas. Banyak hal telah didapat dari
pelaksanaan kajian ini, tidak saja dalam bentuk temuan tetapi juga pengalamanproses pelaksanaan survey lapangan yang dilakukan sampai ke tingkatPuskesmas dan pelosok masyarakat untuk melakukan wawancara dan diskusi.Hasil temuan dan kesimpulan dirumuskan menjadi suatu rekomendasikebijakan yang diharapkan dapat memperbaiki kebijakan dalampenanggulangan wabah penyakit menular, khususnya dalam penanganan kasusdemam berdarah. Selanjutnya berdasarkan rekomendasi yang dirumuskan,dibuat implikasi kebijakan yang harus menjadi langkah tindak lanjut, baik di ditingkat kebijakan makro (RKP) maupun dalam bentuk kebijakan teknis yangperlu di tindak lanjuti oleh departemen/instansi teknis maupun instansi terkaitlainnya.
Tiada gading yang tak retak. Hasil kajian ini jelas belummenggambarkan kondisi utuh pelaksanaan kabijakan sehingga langkah
kebijakan yang diambil pun tidak luput dari bias dari peneliti dan pengkaji.Unuk itu saran dan masukan guna penyempurnaan hasil kajian ini secaraterbuka dinantikan.
Ucapan terima kasih pada seluruh pihak yang telah memberikankontribusi pada pelaksanaan kajian ini mulai dari tim perumus rekomendasikebijakan, para nara sumber, anggota FGD, serta responden di dinas kesehatanpropinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota, bappeda serta masyarakat.
Mudah-mudahan laporan kajian ini memliki kontribusi substansial bagipenataan kebijakan di bidang kesehatan maupun menjadi salah satu referensi
bagi penelitian kebijakan selanjutnya maupun untuk kepentingan bersifatakademis.
Jakarta, Desember 2006
Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan1. DR. Arum Atmawikarta, SKM, MPH2. DR. Hadiat, MA 3. Dadang Rizki Ratman, SH, MPA 4. Ir. Yosi Diani Tresna, MPM5. Sularsono, SP, ME6. Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS7. Inti Wikanestri, SKM8. Nurlaili Aprilianti
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 8/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular vii
D AFTAR ISI
Ringkasan Eksekutif - iKata Pengantar - vi
B AB 1 : PENDAHULUAN - 1
1.1 Latar Belakang - 11.2 Perumusan Masalah - 51.3 Tujuan dan Sasaran – 51.4 Keluaran Kajian - 61.5 Ruang Lingkup Kajian - 61.6 Sistematika Penulisan - 6
B AB 2 : L ANDASAN TEORI - 8
2.1 Penyakit Menular di Indonesia – 82.2 Surveilans Epidemiologi – 82.3 Kebijakan Sistem Surveilans – 102.4 Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan – 112.5 Penanggulangan Wabah Penyakit Menular – 142.6 Epidemiologi Global Penyakit – 162.7 Strategi Pengendalian Penyakit – 182.8 Kejadian Luar Biasa – 182.9 Penyakit Demam Berdarah – 20
- Kendala Pencegahan DBD – 21- Tatalaksana Penanggulangan DBD – 23- Peran Masyarakat dalam Penanggulangan DBD - 25
B AB 3 : METODOLOGI - 27
3.1 Kerangka Pemikiran – 273.2 Disain Kajian - 293.3 Jenis dan Sumber Data – 303.4 Responden Kajian – 313.5 Lokasi Kajian – 323.6 Teknik Analisis – 32
B AB 4 : H ASIL DAN PEMBAHASAN - 33
4.1 Implementasi Kebijakan Penanggulangan DBD – 334.1.1 Incidence Rate (IR) dan Case Fatalities Rata (CFR) – 334.1.2 Kebijakan Penanggulangan Penyakit DBD – 354.1.3 Kendala Penanggulangan DBD – 41
4.2 Kinerja Surveilans dan Penanggulangan DBD – 414.2.1 Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan KLB – 424.2.2 Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Kinerja Surveilans dan Kinerja
Penangulangan KLB – 46(1) Tenaga - 46(2) Dana – 51(3) Standar Operasi dan Prosedur – 53(4) Data – 56(5) Sarana – 57
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 9/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular viii
4.3 Peran dan Tanngung Jawab Pememrintah Daerah dalam Pencegahan danPenanggulangan Penyakit DBD – 594.3.1 Kewenangan Daerah dan Stndar Pelayanan Minumum – 594.3.2 Peran Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan DBD – 614.3.3 Koordinasi Antar Sektor – 63
B AB 5 : K ESIMPULAN DAN R EKOMENDASI K EBIJAKAN - 65
5.1 Kesimpulan – 655.2 Rekomendasi Kebijakan – 685.3 Implikasi Kebijakan - 68
D AFTAR PUSTAKA - 70
DAFTAR LAMPIRAN - LAMPIRAN 1: Instrumen Kajian – 72 LAMPIRAN 2: Pelaksanaan Kegiatan dan Pembahasan – 76 LAMPIRAN 3 : Struktur Organisasi/Tim Pelaksana
LAMPIRAN 4: Notulen Pembahsan Dengan Tim Pakar – 81 LAMPIRAN 5 : Pokok-Pokok Pikiran Hasil Ekspose dengan Tim Ahli – 83 LAMPIRAN 6 : Laporan Pelaksanaan Survey – 86
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 10/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 : Sepuluh Penyakit Utama Pada Pasien Rawat Inap Tahun 2003 – 2
Tabel 1.2 : Target dan Capaian Pemberantasan Penyakit DBD - 4
Tabel 2.1 : Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan – 12
Tabel 3.1 : Responden Kajian – 31
Tabel 4.1 : Distribusi Indikator Kinerja Surveilans di Dinkes Propinsi,
Kab/kota, Rs dan Puseksmas – 42
Tabel 4.2 : Distribusi Indikator Diseminasi Informasi Surveilans di Dinkes
Propinsi, Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 44
Tabel 4.3 : Distribusi Jenis Tenaga di Dinkes Propinsi dan Kab/Kota – 47
Tabel 4.4 : Distribusi Jenis Tenaga di Rumah Sakit dan Puskesmas – 48
Tabel 4.5 : Persepsi Responden Tentang Surveilans DBD – 49
Tabel 4.6 : Persepsi Responden Tentang Penanggulangan DBD – 50Tabel 4.7 : Distribusi Sumber Dana di Dinkes Propinsi dan Kab/Kota – 51
Tabel 4.8 : Distribusi Sumber Dana di Rumah Sakit dan Puskesmas – 52
Tabel 4.9 : Distribusi Ketersediaan SOP Surveilans dan Dinkes Propinsi,
Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 54
Tabel 4.10 : Distribusi Ketersediaan SOP Penanggulangan KLB di Propinsi,
Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 55
Tabel 4.11 : Distribusi Ketersediaan Data Surveilans di Dinkes Propinsi, Dnkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 56
Tabel 4.12 : Distribusi Ketersediaan Data Penanggulangan KLB Propinsi, Dikes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas – 57
Tabel 4.13 : Distribusi Ketersediaan Sarana Surveilans di Dinkes Propinsi,
Kab/Kota , RS dan Puskesmas – 58
Tabel 4.14 : Distribusi Ketersediaan Sarana Penanggulangan di Dinkes Propinsi,
Kab/Kota , RS dan Puskesmas – 58
Tabel 4.15 : Daftar KW dan SPM Bidang Kesehatan – 60
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 11/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Alusr Distribusi Data Surveilans Terpadu Penyakit – 10
Gambar 2.2 : Skema Program Penanggulangan KLB – 15
Gambar 2.3 : Bagan Penanggulangan Fokus (Penanggulangan Penderita DBD di
Lapangan) – 24
Gambar 3.1 : Kerangka Pikir Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit
Menular – 27
Gambar 3.2 :Kerangka Konsep Kinerja Surveilans – 28
Gambar 3.3 : kerangka Konsep Kinerja Penanggulangan – 28
Gambar 3.4 : Tahapan Pelaksanan Kajian – 32
Gambar 4.1 : IR & CFR DBD Tahun 1968-2004 – 33
Gambar 4.2 : Perkembangan Kasus DBD Nasional Per bulan – 34
Gambar 4.3 : Kasus DBD Per Bulan di Indonesia, Tahuan 2005-20006 – 34Gambar 4.4 : Jumlah Kasus DBD di Indonesia Tahun 2005-2006 – 35
Gambar 4.5 : Data Kasus DBD di Lokasi Kajian – 44
Gambar 4.6 : Data Kematian DBD di Lokasi Kajian – 45
Gambar 4.7 : Case Fatality Rate (CFR) DBD di Lokasi Kajian – 46
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 12/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular xi
DAFTAR SINGKATAN & DEFINISI ISTILAH
3 M : Menguras, Menutup, Mengubur ABJ : Angka Bebas Jentik APBN : Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara APBD : Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Askeskin : Asuransi Kesehatan Masyarakat MiskinBappeda : Badan Perencanaan Pembangunan DaerahBappenas : Badan Perencanaan Pembangunan NasionalCOMBI : Communication for Behavioral Impact CFR : Case Fatality Rate DAU : Dana Alokasi UmumDBD : Demam Berdarah DengueDekon : DekonsentrasiDOP : Dana Operasional PuskesmasDPRD : Dewan Perwakilan DaerahEpidemiologi : Ilmu yang mempeljari penyebaran penyakit dan faktor-faktor
yang mempengaruhi kejadian penyakit pada manusiaEpidemiologis: Orang yang ahli dalam ilmu epidemiologiFGD : Focused Group DiscussionGakin : Keluarga MiskinHIV/AIDS : Human Immuno deficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency
SyndromeIPTEK : Ilmu Pengetahuan dan TeknologiIR : Incidence RateISPA : Infeksi Saluran Pernafasan AkutJPK-MM : Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat miskinKIE : Komunikasi, Informasi dan EdukasiKLB : Kejadian Luar Biasa
LSM : Lembaga Swadaya MasyarakatMDGs : Millennium Development Goals P2B2 : Penanggulangan Penyakit Bersumber BinatangP2M : Pemberantasan Penyakit MenularPE : Penyelidikan EpidemiologiPHBS : Pola Hidup Bersih dan SehatPI : Perencanaan dan InformasiPJB ; Pemeriksaan Jentik BerkalaPKK : Pembinaan Kesejahteraan KelaurgaPKPS-BBM : Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Pokjanal : Kelompok Kerja OperasionalPosyandu : Pos Pelayanan Terpadu
PP & PL : Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan LingkunganPSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk Puskesmas : Pusat Kesehatan MasyarakatRSUD : Rumah Sakit Umum DaerahSARS : Severe Acute Respiratory Syndrome SKD-KLB : Sistem Kesiapan Dini Kejadian Luar BiasaSOP : Standar Operasional ProsedurSDM : Sumber Daya ManusiaSKM : Sarjana Kesehatan Masyarakat
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 13/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular xii
SPIRS : Sistem Pelaporan Rumah SakitSP2PT : Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu PuskesmasSST : Sistem Surveilans TerpaduSTP :Surveilans : Rangkaian kegiatan secara teratur dan terus menerus, secara
aktif maupun pasif dalam mengamati, mengumpulkan,emnganalisis, dan menginterpretasi suatu fenomena peristiwakesehatan pada manusia/masyarakat tertentu yang hasilnyadipakai untuk melakukan tindakan terhadap peristiwa kesehatantersebut
TBC : TuberculosisTPA : Tempat Penampungan AirUGD : Unit Gawat DaruratUKS : Usaha Kesehatan SekolahUPT : Unit Pelaksanan Teknis Wabah : Suatu peningkatan kejadian kesakitan dan atau kematian suatu
penyakit di suatu tempat tertentu, yang melebihi keadaan
biasanya WHO : World Health Organization Yanmedik : Pelayanan Medik
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 14/104
Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular
B AB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belaka ng
a. Kondisi Umum Pembangunan Kesehatan
Pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan untuk meningkatkankesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapatmewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, yang ditandai denganpenduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memilikikemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adildan merata.
Pembangunan kesehatan selama ini secara umum dapat dilihat dari statuskesehatan dan gizi masyarakat yang telah menunjukkan perbaikan seperti terlihatdari angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan dan prevalensi gizi kurang. Angka kematian bayi menurun dari 46 (1997) menjadi 35 per 1.000 kelahiranhidup (2002–2003) dan angka kematian ibu melahirkan menurun dari 334 (1997)menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2002-2003). Umur harapan hidupmeningkat dari 65,8 tahun (1999) menjadi 66,2 tahun (2003). Prevalensi gizikurang (underweight) pada anak balita, telah menurun dari 34,4 persen (1999)menjadi 25,8 persen (2002).
Di samping kemajuan yang telah dicapai di atas, di masa datangpembangunan kesehatan menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yangcukup berat. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti Thailand,
Malaysia, dan Philipina, status kesehatan masyarakat Indonesia masih tertinggal.Disparitas status kesehatan masih cukup tinggi, baik ditinjau dari tingkat sosialekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaan-perdesaan. AKB dan AKI lebihtinggi di daerah perdesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan tingkat ekonomi dan pendidikan rendah.
Selain itu, indikator kesehatan dan gizi yang telah dicapai selama ini masih jauh dari sasaran yang telah ditargetkan dalam Millennium Development Goals(MDGs). MDGs merupakan suatu kesepakatan global, sebagai “benchmarks” untuk mengukur perkembangan dalam pencapaian Deklarasi Millenium 2000. Beberapatarget MDG yang ingin dicapai pada akhir tahun 2015, yang berkaitan denganpembangunan kesehatan di Indonesia antara lain adalah: (1) mengurangi separuh
penduduk yang mengalami kelaparan, (2) mengurangi dua per tiga angkakematian bayi dan angka kematian balita, (3) mengurangi tiga per empat angkakematian ibu, (4) menekan penyebaran penyakit HIV/AIDS, (5) menekanpenyebaran penyakit malaria dan TBC, (6) meningkatkan akses terhadap obatesensial, dan (7) mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memilikiakses terhadap penyediaan air bersih.
Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena itusecara operasional masalah-masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan oleh
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 15/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
2
sektor kesehatan sendiri. Diperlukan tatalaksana terintegrasi dan komprehensif dengan kerjasama yang harmonis antar sektor dan antar program. Untuk itu perludikembangkan subsistem surveilans epidemiologi kesehatan yang terdiri dariSurveilans Epidemiologi Penyakit Menular, Surveilans Epidemiologi PenyakitTidak Menular, Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan, dan Surveilans
Epidemiologi Kesehatan Matra.
b. Penyakit Menular
Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakatIndonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular.Penyakit menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehinggapemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah, misalnyaantar propinsi, kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah diare, malaria, demam berdarahdengue, influenza, tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan dan penyakit
lainnya.
Tabel 1.1Sepuluh Penyakit Utama Pada Pasien Rawa t Inap Tahun 2003
No Pasien Rawat inap %
1 Diare dan gastroenteritis infeksi tertentu 8,02 Demam berdarah dengue 3,73 Penyakit kehamilan dan persalinan lainnya 2,94 Demam tifoid dan paratifoid 2,75 Cedera intrakanial 2,06 Tuberkulosis paru 1,9
7 Demam yang sebabnya tidak tahu 1,98 Diabetes Melietus 1,99 Cedera YDT lainnya, YYT dan daerah badan multiple 1,810 Pneumonia 1,6
Salah satu penyakit menular yang akhir-akhir ini menonjol adalahmunculnya kasus polio di beberapa wilayah seperti Provinsi Jawa Barat, Banten,Jawa Tengah, Lampung dan Sumatera Selatan. Polio merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya disebabkan oleh virus yang menyerang sistem syaraf dan bisa menyebabkan kelumpuhan total. Satu dari 200 kasus infeksi virus akanmenyebabkan kelumpuhan, 5-10 % pasien meninggal akibat kelumpuhan pada ototpernafasan. Tidak ada obat untuk penyakit polio. Penyakit ini hanya bisa dicegahdengan imunisasi.
Berbagai emerging diseases misalnya polio dan flu burung dapat terjadiantara lain karena tingginya mobilitas penduduk antar negara. Dengan demikianpenularan penyakit antar negara (trans-nasional) ini dapat terjadi dengan mudahmengingat semakin mudahnya transportasi manusia, hewan dan lain-lain antar
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 16/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
3
negara. Oleh karena itu perlu upaya ekstra agar penularan dapat dicegah danditangani sedini mungkin.
Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakitinfeksi menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA),malaria, diare, polio dan penyakit kulit. Namun demikian, pada waktu yang
bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantungdan pembuluh darah, serta diabetes mellitus dan kanker. Indonesia jugamenghadapi emerging diseases seperti demam berdarah dengue (DBD),HIV/AIDS, chikunguya, Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS) dan FluBurung. Dengan demikian telah terjadi transisi epidemiologi sehingga Indonesiamenghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burden).
Kebijakan penanggulangan penyakit menular khususnya dalampenanggulangan wabah telah diatur dalam bentuk peraturan perundangan, yaituUU No 4 Tahun 1984 tentang Penyakit Menular serta Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular. Peraturan tersebut
pada intinya mengatur (1) tata cara penetapan dan pencabutan penetapan daerah wabah , (2) upaya penanggulangan, (3) peran serta masyarakat, (4) pengelolaan bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit, (5) ganti rugi danpenghargaan, (6) pembiayaan penanggulangan wabah, serta (7) pelaporan.
Salah satu penyakit menular yang merupakan masalah kesehatanmasyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi adalah penyakitdemam berdarah dengue (DBD). Penyakit DBD merupakan salah satu masalahkesehatan masyarakat di wilayah tropis. Daerah endemis tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia, dan berulang kali menimbulkan kejadian luar biasa(KLB) disertai kematian yang banyak. Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan domestik maupun iklim, demografi, sosial ekonomi dan perilaku.
Berbagai penelitian mengenai faktor risiko terhadap kejadian DBD telahdilakukan oleh beberapa peneliti dengan memberikan hasil yang selaras maupun yang kontradiktif. Walaupun demikian, pada umumnya kajian menunjukkan bahwa pengendalian DBD perlu dilakukan secara komprehensif dari berbagaiaspek baik medis maupun sosial, dengan keterlibatan petugas kesehatan maupunpemberdayaan masyarakat.
Meskipun sudah lebih dari 35 tahun berada di Indonesia, DBD bukannyaterkendali, tetapi bahkan semakin mewabah. Sejak Januari sampai 17 Maret 2004,kejadian luar biasa (KLB) DBD di Indonesia telah menyerang 39.938 orang dengan
angka kematian 1,3 persen. Meskipun dibandingkan dengan KLB 1968 angkakematiannya jauh telah menurun, sebenarnya angka kematian masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Singapura (0,1 persen), India (0,2 persen), Vietnam (0,3persen), Thailand (0,3 persen), Malaysia (0,9 persen), dan Filipina (1 persen).
Dalam KLB 2004 tercatat angka kejadian (incidence rate) 15 per 100.000penduduk, padahal tujuan program pemberantasan DBD dalam Indonesia Sehat2010 adalah menurunkan angka kejadian di bawah 5 per 100.000 penduduk padatahun 2010. DBD masih sulit diberantas karena tidak tersedianya vaksin dan
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 17/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
4
kurangnya peran serta masyarakat. Ketiadaan vaksin merupakan penghambatutama eradikasi DBD. Meskipun demikian, saat ini perkembangan vaksin masihmemerlukan penelitian lebih lanjut agar dapat digunakan ke manusia.
Pemerintah sejak tahun 1993 telah berusaha membina peran sertamasyarakat melalui berbagai kelompok kerja pemberantasan DBD di desa ataukelurahan. Gerakan pemberantasan sarang nyamuk dengan instrumen 3M(menguras, menutup, dan mengubur) sudah sering disosialisasikan namunhasilnya belum menggembirakan. Gerakan 3M selama 30 menit setiap minggu juga dicanangkan. Semuanya menyadari bahwa strategi hanya dapat diperolehdengan melaksanakan analisis situasi berdasarkan aspek epidemiologi,entomologi, pengetahuan, dan sikap masyarakat.
Berdasarkan data Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan LingkunganDepartemen Kesehatan, rasio penderita DBD per 100.000 penduduk selama periodetahun 2001-2005 selalu menunjukkan diatas rasio yang ditargetkan. Data ini selainmenunjukkan kecenderungan makin tingginya penderita DBD dari tahun ke tahun, juga
masih belum optimalnya pengendalian penyakit yang dilakukan oleh Pemerintah.
Tabel 1.2 Target dan Capaian Pemberan tasan Penyakit DBD
TARGET DAN CAPAIAN PEMBERANTASAN DBD
0
20
40
60
TAHUN
R A S I O
Target 5.7 5 4.5 4 10
Realisasi 21.66 19.25 24.34 37.1 43.31
2001 2002 2003 2004 2005
Sumber: Ditjen PP & PL Depkes, 2006
Kebijakan penanggulangan penyakit menular telah diatur dalam peraturan
perundangan. Namun demikian implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain berkaitan dengan (1) pelaksanaan surveilans, (2) upaya penanggulangan, serta (3)adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan.
Berdasarkan hasil penelitian WHO Tahun 2003 dilaporkan bahwapelaksanaan kegiatan surveilans masih menghadapi kendala. Kendala yangdihadapi antara lain berkaitan dengan (1) kebijakan sistem surveilans yang belumdipahami sampai ke petugas teknis di lapangan, (2) terbatasnya tenaga pelaksana
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 18/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
5
surveilans, (3) adanya ketidaksesuaian kompetensi, (4) terbatasnya danapelaksanaan surveilans di tingkat operasional, dan (5) belum optimalnyapenggunaan sarana kesehatan dalam mendukung pelaksanaan surveilans penyakitseperti pemanfaatan laboratorium dan peralatan.
Permasalahan yang dihadapi dalam penanggulangan wabah terutama
berkaitan dengan aspek manajemen menyangkut kesiapan tenaga lapangan,dukungan logistik, fasilitas pendukung, dana serta sistem pelaporan.
Berkaitan dengan desentralisasi kewenangan pengelolaan kebijakanpembangunan (otonomi daerah), adanya regulasi pemerintahan dalam bentuk UUNo. 22 dan 25 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 dan 33 Tahun2005 telah memberikan pembagian kewenangan dalam pengelolaan pemerintahandi daerah. Reformasi pemerintahan tersebut memberi dampak perubahan cukupsignifikan terhadap peran pemerintah dan swasta dalam program dan pelayanankesehatan. Adanya otonomi daerah ini juga berpengaruh terhadap peran dantanggung jawab Kabupaten/Kota/Propinsi untuk mengembangkan diri sesuai
masalah kesehatan masyarakat, kemampuan SDM dan sumber dana daerah.
1.2 Perum usan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, beberapa pertanyaan penelitian yangmelandasi kajian ini antara lain adalah :
1. Faktor-faktor apa saja yang mwempengaruhi kinerja surveilans danpenaggulangan penyakit menular ?
2. Langkah-langkah apa yang diperlukan untuk penanggulangan penyakitmenular, mencakup aspek tenaga, dana, sarana, SOP dan data ?
3. Bagaimana peran dan tanggungjawab (kewenangan) pemerintah daerah
dalam penanggulangan penyakit menular ?
1.3 Tujuan dan Sasara n
Tujuan
Tujuan utama kajian adalah menyusun rumusan kebijakan penanggulanganpenyakit menular secara terpadu berdasarkan analisis faktor-faktor yang berpengaruh
dalam pelaksanaan kebijakan penanggulangan penyakit menular di pusat dandaerah.
Tujuan khusus :
1. Identifikasi kinerja surveilans serta faktor-faktor yang mempengaruhikinerja surveilans penyakit menular
2. Identifikasi kinerja penanggulangan penyakit menular serta faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penanggulangan penyakit menular
3. Identifikasi peran dan tanggungjawab Pemerintah Daerah dalampenanggulangan penyakit menular
Sasaran
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 19/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
6
Tersusunnya rumusan kebijakan upaya penanggulangan penyakit menularsecara terpadu melalui optimalisasi sumberdaya yang tersedia sekaligus sebagaiacuan bagi pelaksanaan program penanggulangan penyakit menular di pusat dandaerah.
1.4 K eluaran
Keluaran kajian adalah rumusan kebijakan penanggulangan penyakit menular yang mencakup aspek surveilans, penanganan wabah, serta tanggung jawab dankewenangan antara pusat dan daerah.
1.5 Ruan g Lingkup
Kajian ini difokuskan pada evaluasi kebijakan penanggulangan penyakit
menular yang telah dilakukan selama ini. Lingkup kegiatan yang akan dilakukandalam kajian ini antara lain, adalah :
1. Identifikasi kinerja surveilans yang mencakup (1) ketersediaan peta rawanKLB DBD, dan (2) pelaksanaan diseminasi informasi
2. Identifikasi faktor berpengaruh terhadap kinerja surveilans mencakupkondisi tenaga, dana, data, sarana, dan SOP.
3. Identifikasi kinerja penanggulangan KLB DBD yang mencakup frekuensiKLB, jumlah kasus, jumlah kematian dan luas daerah terserang
4. Identifikasi faktor berpengaruh terhadap kinerja penanggulangan KLB DBDmencakup tenaga, dana, data, sarana dan SOP
5. Identifikasi peran dan tanggung jawab daerah dalam penanganan penyakitmenular khususnya pada kasus DBD.
1.6 Sistematika Pen ulisan
Penulisan laporan dibuat dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I membahas tentang latar belakang, tujuan dan sasaran kajian,keluaran serta ruang lingkup kajian.
Bab II membahas tentang landasan teori mencakup pengertian dan hasilkajian yang sudah dilakukan.
Bab III membahas tentang metodologi yang digunakan berkaitan dengankerangka pemikiran, disain kajian, jenis, sumber, dan pengumpulan dataserta metode analisis.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 20/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
7
Bab IV Hasil dan Pembahasan, mencakup Gambaran UmumPenanggulangan DBD, Kinerja Surveilans dan Penanggulangan DBD,Indikator kinerja surveilans dan penanggulangan KLB, Faktor-faktorBerpengaruh terhadap Kinerja Surveilans dan Penanggulangan KLB,mencakup tenaga, dana, data, sarana dan SOP.
Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 21/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
8
B AB 2L ANDASAN TEORI
2.1 Penyakit Menular di Indonesia
Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakatIndonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular.Penyakit menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehinggapemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah, misalnyaantar propinsi, Kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah diare, malaria, demam berdarahdengue, influenza, tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan dan penyakitlainnya.
Strategi pengendalian penyakit menular secara umum pada dasarnya sama, yakni menghilangkan sumber penyakit dengan cara menemukan dan mencari
kasus secara proaktif, kemudian melakukan pengobatan hingga sembuh.Intervensi faktor resiko, misalnya lingkungan dan intervensi terhadap perilaku.Manajemen pemberantasan dan pengendalian penyakit menular juga memiliki duaperspektif:a. Epidemiologi global yakni perjalan penyakit antar benua. b. Epidemiologi lokal yang intinya dinamika tranmisi penyakit tertentu pada
wilayah tertentu.
Indonesia sebagai wilayah tropik dan wilayah dinamik secara sosial ekonomi,merupakan kawasan endemik berbagai penyakit menular. Sekaligus merupakankawasan yang berpotensi tinggi untuk hadirnya penyakit infeksi baru. Beberapa
penyakit infeksi baru (ketika itu) dan kini endemik adalah demam berdarahdengue (pertama kali tahun 1968 di Surabaya), virus hantaan (1977) dijumpai padatikus diberbagai pelabuhan, kini diberbagai kota pelabuhan, HIV/AIDS (pertamakali di Denpasar 1987) kini merambah ke Indonesia. Penyakit lain merupakanpenyakit infeksi endemik dan sudah lama di Indonesia dan endemik di berbagaikabupaten (daerah pegunungan maupun pantai) yaitu TBC dan Malaria.
Masing-masing penyakit memiliki peta endemisitas tersendiri. Tiap tahundiselenggarakan pertemuan nasional semacam konvensi untuk melakukanmonitoring kemajuan program serta perkuatan dari networking, yakni apa yangdikenal sebagai Sistem Pemberantasan Penyakit Menular dan PenyehatanLingkungan. Semua institusi pelayanan seperti kuratif penyakit menular maupun
pelayanan kesehatan masyarakat, pemerintah, swasta, orgfanisasi nonpemerintah,partner nonkesehatan, bergabung menjadi satu sistem.
2.2 Surveilans Epidemiologi
Selama ini pengertian konsep surveilans epidemiologi sering dipahamihanya sebagai kegiatan pengumpulan data dan penanggulangan KLB. Pengertian
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 22/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
9
seperti itu menyembunyikan makna analisis dan penyebaran informasiepidemiologi sebagai bagian yang sangat penting dari proses kegiatan surveilansepidemiologi. Menurut WHO, surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan,analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus sertapenyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk mengambil
tindakan. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu definisi surveilansepidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian epidemiologi sertapemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatanpengumpulan dan pengolahan data.
Dalam sistem ini yang dimaksud dengan surveilans epidemiologi adalahkegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit ataumasalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinyapeningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebutagar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efesien melaluiproses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologikepada penyelenggara program kesehatan.
Sistem surveilans epidemiologi merupakan tatanan prosedurpenyelenggaraan surveilans epidemiologi yang terintehrasi antara unit-unitpenyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusatpenelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tatahubungan surveilans epidemiologi antar wilayah Kabupaten/Kota, Propinsi danPusat.
Jejaring Surveilans
Jejaring surveilans digunakan dalam Surveilans terpadu penyakit adalaha. Jejaring surveilans dalam pengiriman data dan informasi serta peningkatan
kemampuan manajemen surveilans epidemiologi antara Puskesmas, Rumah
Sakit, Laboratorium, unit surveilans di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, unitsurveilans di Dinas Kesehatan Propinsi dan unit surveilans di Ditjen PPM & PLDepkes, termasuk Puskesmas dan Rumah Sakit Sentinel. Alur distribusi datadan umpan balik dalam dilihat dalam skema di bawah.
b. Jejaring surveilans dalam distribusi informasi kepada program terkait pusat-pusat penelitian, pusat-pusat kajian, unit surveilans program pada masing-masing Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan Kab/Kota, Dinas KesehatanPropinsi dan Ditjen PPM & PL Depkes termasuk Puskesmas Sentinel danRumah Sakit Sentinel
c. Jejaring surveilans dalam pertukaran data, kajian, upaya peningkatankemampuan sumberdaya antara unit surveilans Dinas Kesehatan Kab/Kota,
unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dan Unit Surveilans Ditjen PPM & PLDepkes.
Surveilans Terpadu Penyakit merupakan proses kegiatan yang dilakukansecara terus menerus dan sistematis, sehingga membutuhkan dukunganperencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi serta dukungan sumberdaya yang memadai sebagai suatu program surveilans terpadu.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 23/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
10
2.3 Ke bijakan Sistem Sur veilans
Surveilans Epidemiologi merupakan kegiatan yang sangat penting dalammanajemen kesehatan untuk memberikan dukungan data dan informasiepidemiologi agar pengelolaan program kesehatan dapat berdaya guna secaraoptimal. Informasi epidemiologi yang berkualitas, cepat, akurat merupakanevidance atau bukti untuk digunakan dalam proses pengambilan kebijakan yangtepat dalam pembangunan kesehatan.
Untuk melakukan upaya pemberantasan penyakit menular,penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit dan keracunan, sertapenanggulangan penyakit tidak menular diperlukan suatu sistem surveilanspenyakit yang mampu memberikan dukungan upaya program dalam daerah kerja
Unit Surveilans
Ditjen PPM &
PL Depkes
Unit Surveilans
Dinas Kesehatan
Propinsi
Unit Surveilans
Dinas Kesehatan
Kab/Kota
Unit Surveilans
Puskesmas
Unit Surveilans
Laboratorium
Unit Surveilans
Rumah Sakit
Gambar 2.1 Alur Distribusi Data Surveilans Terpadu Penyakit
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 24/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
11
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional, dukungan kerjasama antar program dansektor serta kerjasama antara Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional daninternasional.
Pada tahun 1987 telah dikembangkan Sistem Surveilans Terpadu (SST) berbasis data, Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP), dan
sistem Pelaporan Rumah Sakit (SPIRS), yang telah mengalami beberapa kaliperubahan dan perbaikan. Disamping keberadaan SST telah juga dikembangkan beberapa Sistem Surveilans khusus penyakit. Sistem surveilans tersebut perludikembangkan dan disesuaikan dengan ketetapan Undang-Undang Nomor 22Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang No. 25 Tahun 1999tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pemerintah Pusat danDaerah; Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang KewenanganPemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom; dan KeputusanMenteri Kesehatan No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang PedomanPenyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan serta kebutuhaninformasi epidemiologi untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menulardan penyakit tidak menular.
Beberapa produk hukum lain terkait dengan pelaksanaan surveilans epidemiologiadalah
1. Undang-Undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.2. Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit
Menular.3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tahun 1989 tentang Jenis Penyakit
yang dapat menimbulkan wabah, tatacara penyampaian laporannya dantacara penanggulangan seperlunya.
4. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 242 tahun 2003 tentang PenetapanSevere Acute Respiratory Syndrome (SARS) sebagai penyakit yang dapat
menimbulkan wabah dan pedoman penanggulangannya.5. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1116 tahun 2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Surveilans Epidemilogi Kesehatan.6. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1479 tahun 2003 tentang
Surveilans Terpadu Penyakit.7. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Sistem Kewaspadan Dini KLB No.
949 tahun 2004.
2.4 Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan
Kinerja penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan diukur
dengan indikator masukan, proses dan keluaran. Ketiga indikator tersebutmerupakan satu kesatuan, dimana kelemahan salah satu indikator tersebutmenunjukkan kinerja sistem surveilans yang belum memadai. Indikator-indikatortersebuat adalah sebagai berikut:
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 25/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
12
Tabel 2.1Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan
Masukan Tingkat Indikator1. Pusat Unit utama Departemen Kesehatan
memilikia. 1 tenaga epidemiologi ahli (S3) b. 8 tenaga epidemiologi ahli (S2)c. 16 tenaga epidemiologi ahli (S1)d. 32 tenaga epidemiologi terampil
UPT Departemen Kesehatan memilikia. 2 tenaga epidemiologi ahli (S2) b. 4 tenaga epidemiologi ahli (S1)c. 4 tenaga epidemiologi terampild. 1 tenaga dokter umum
2. Propinsi a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S2) b. 2 tenaga epidemiologi ahli (S1)c. 2 tenaga epidemiologi terampild. 1 tenaga dokter umum
3. Kabupaten/Kota a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S2) b. 2 tenaga epidemiologi ahli (S1) atauterampilc. 1 tenaga dokter umum
4. Rumah Sakit a. 1 tenaga epidemiologi ahli b. 1 tenaga epidemiologi terampil
Tenaga
5. Puskesmas 1 tenaga epidemiologi terampil
1. Pusat, Propinsi a. 1 paket jaringan elektromedia b. 1 paket alat komunikasi (telepon,faksimili, SSB dan telekomunikasilainnya)
c. 1 paket kepustakaand. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans
epidemiologi dan program aplikasikomputer
e. 4 paket peralatan pelaksanaan surveilansepidemiologi
f. 1 roda empat, 1 roda dua
Sarana
2. Kabupaten/Kota a. 1 paket jaringan elektromedia b. 1 paket alat komunikasi (telepon,
faksimili, SSB dan telekomunikasilainnya)
c. 1 paket kepustakaand. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans
epidemiologi dan program aplikasikomputer
e. 1 paket formulir
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 26/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
13
f. 2 paket peralatan pelaksanaan surveilansepidemiologi
g. 1 roda empat, 1 roda dua3. Puskesmas dan
Rumah Sakita. 1 paket komputer b. 1 paket alat komunikasi (telepon,
faksimili, SSB)c. 1 paket kepustakaand. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans
epidemiologi dan program aplikasikomputer
e. 1 paket formulirf. 1 paket peralatan pelaksanaan surveilans
epidemiologig. 1 roda dua
1. Pusat a. Kelengkapan laporan unit pelapor dansumber data awal sebesar 80% atau lebih
b. Ketepatan laporan unit pelapor dansumber data awal sebesar 80% atau lebihc. Penerbitan buletin kajian epidemiologi
sebesar 12 kali atau lebih setahund. Umpan balik sebesar 80% atau lebih
2. Propinsi a. Kelengkapan laporan unit pelapor dansumber data awal sebesar 80% atau lebih
b. Ketepatan laporan unit pelapor dansumber data awal sebesar 80% atau lebih
c. Penerbitan buletin kajian epidemiologisebesar 12 kali atau lebih setahun
d. Umpan balik sebesar 80% atau lebih
ProsesKegiatan
Surveilans
3. Kabupaten/Kota a. Kelengkapan laporan unit pelaporsebesar 80% atau lebih
b. Ketepatan laporan unit pelapor sebesar80% atau lebih
c. Penerbitan buletin kajian epidemiologisebesar 4 kali atau lebih setahun
d. Umpan balik sebesar 80% atau lebih1. Pusat Profil Surveilans Epidemiologi Nasional
sebesar 1 kali setahunProfil Surveilans Epidemiologi Propinsisebesar 1 kali setahun
Keluaran
Profil Surveilans Epidemiologi Kabupaten/Kota sebesar 1 kali setahun
Sumber: Inspektorat Jenderal Depkes RI, 2003
Selanjutnya Indikator Surveilans Kesehatan dijabarkan dalam Indikator KinerjaPenyelenggaraan terpadu Penyakit sebagai berikut:
a. Kelengkapan laporan bulanan STP unit pelayanan ke Dinas KesehatanKabupaten/Kota sebesar 90%
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 27/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
14
b. Ketepatan laporan bulanan STP Unit Pelayanan ke Dinas KesehatanKabupaten Kota sebesar 80%
c. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mencapai indikator Epidemiologi STPsebesar 80%
d. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke
Dinas Kesehatan Propinsi sebesar 100%e. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke DinasKesehatan Propinsi sebesar 90%
f. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen PPM& PL Depkes sebesar 100%
g. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen PPM &PL Depkes sebesar 90%
h. Distribusi data dan informasi bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dannasional sebesar 100%
i. Umpan balik laporan bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dan nasionalsebesar 100%
j. Penerbitan buletin Epidemiologi di Kabupaten/Kota adalah 4 kali setahunk. Penerbitan buletin Epidemologi di propinsi dan nasional adalah sebesar 12
kali setahunl. Penerbitan profil tahunan atau buku data surveilans epidemiologi
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional adalah satu kali setahun.
2.5 Pena nggulangan Penyak it Menu lar
Penanggulangan penyakit menular merupakan bagian dari pelaksanaanpembangunan kesehatan. Dalam upaya penanggulangan penyakit menular, harusdilakukan secara terpadu dengan upaya kesehatan lain, yaitu upaya pencegahan,penyembuhan dan pemulihan kesehatan. Oleh karena itu penanggulangan wabahharus dilakukan secara dini. Penanggulangan secara dini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya kejadian luar biasa dari suatu penyakit wabah yang dapatmenjurus terjadinya wabah yang dapat mengakibatkan malapetaka.
Wabah penyebaran penyakit dapat berlangsung secara cepat, baik melaluiperpindahan, maupun kontak hubungan langsung atau karena jenis dan sifat darikuman penyebab penyakit wabah itu sendiri. Kondisi lain yang dapatmenimbulkan penyakit menular adalah akibat kondisi masyarakat dari suatu wilayah tertentu yang kurang mendukung antara lain kesehatan lingkungan yangkurang baik atau gizi masyarakat yang belum baik.
Penanggulangan wabah penyakit menular bukan hanya semata menjadi
wewenang dan tanggung jawab Departemen Kesehatan, tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Oleh karena itu dalam pelaksanaan penanggulangannyamemerlukan keterkaitan dan kerjasama dari berbagai lintas sektor Pemerintah danmasyarakat. Berbagai lintas sektor Pemerintah misalnya Departemen PertahananKeamanan, Departemen Komunikasi dan Informasi, Depatemen Sosial,Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri. Keterkaitan sektor-sektordalam upaya penanggulangan wabah tersebut sesuai dengan tugas, wewenang dantanggung jawabnya dalam upaya penanggulangan wabah. Selain itu dalam upaya
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 28/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
15
penanggulangan wabah tersebut, masyarakat juga dapat diikutsertakan dalampenanggulangannya, yang keseluruhannya harus dilaksanakan secara terpadu.
Penanggulangan wabah/KLB penyakit menular diatur dalam UU No. 4tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, PP No. 40 tahun 1991 tentangPenanggulangan Penyakit Menular, Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tentang
Jenis Penyakit Tertentu Yang dapat Menimbulkan Wabah. Pada tahun 2000,Indonesia menerapkan secara penuh UU No. 22 Tahun 1999 tentang PemerintahDaerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan AntaraPemerintah Pusat dan Daerah, yamg kemudian diikuti dengan terbitnya PP No. 25tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagaiDaerah Otonom yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan penanggulanganKLB. Undang-undang tersebut kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004tentang Pemerintahan Daerah dan No. 33 Tahun 2004 tentang PerimbanganKeuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
KLB penyakit dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kesakitan dankematian yang besar, yang juga berdampak pada pariwisata, ekonomi dan sosial,sehingga membutuhkan perhatian dan penanganan oleh semua pihak terkait.Kejadian-kejadian KLB perlu dideteksi secara dini dan diikuti tindakan yang cepatdan tepat, perlu diidentifikasi adanya ancaman KLB beserta kondisi rentan yangmemperbesar resiko terjadinya KLB agar dapat dilakukan peningkatankewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB.
Data & Informasi
Penduduk dan
Lingkungan
Data KLB dan
Data EpidemiologiLain
Prioritas
Penanggulangan
KLB
Perbaikan kondisi rentan KLB
SKD-KLB
Kesiapsiagaan
Menghadapi KLB
Penanggula
ngan KLB
KLB tidak
Menjadi
Masalah
Kesehatan
Mas arakat
Gambar 2.2 Skema Program Penanggulangan KLB
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 29/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
16
2.6. Epidemiologi Global Penyakit
Penyakit menular bersifat global. Misalnya, wilayah tropik secara umummemiliki karakteristik ekosistem sama, maka memiliki masalah yang sama seperti
malaria. Peta endemisitas malaria terbentang dari Asia Tenggara, Afrika Tengah,hingga Amerika Latin.Dalam perspektif global, setiap sudut Kabupaten dan Kota di Indonesia
harus dianggap sebagai bagian dari komunitas dunia. Maksudnya, kabupaten dankota di Indonesia merupakan wilayah yang terkena resiko yang sama dalamperspektif global. Dengan demikian, kabupaten/kota terikat pada komitmen dunia.
Penyebaran global memiliki potensi terjadinya pandemik. Seorang KepalaDinas Kesehatan harus memahami benar apakah daerahnya termasuk lalulintasinternasional atau bukan. Sebab, epidemiologi global harus pempelajari kejadiandan persebaran dalam perspektif dunia. Seperti asal datangnya penyakit,kemudian melalui apa penyakit tersebut datang. Sebagai contoh Avian influenza,
KLB polio pada awal tahun 2005. Selain itu, migrasi berbagai binatang sepertimigrasi burung antar benua bisa merupakan sumber pembawa penyakit. Atauperjalanan kelelawar yang dapat menyebarluaskan virus Nipah.
Wilayah-wilayah yang merupakan jalur transmisi sebaiknya memilikikapasitas dan aktif mengakses informasi. Misalnya, migrasi burung utara selatandan sebaliknya, memiliki jalur barat yakni kawasan semenanjung Malaysia,Sumatera, Jawa. Sedangkan wilayah timur dari arah utara menyusur pantai timurChina, Filipina, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, kemudian langsung keselatan menuju Australia, serta sebaliknya.
Demikian juga dengan daerah wisata internasional. Dalam hal ini DinasKesehatan, LSM, maupun masyarakat hendaknya memiliki kapasitas terhadappermasalahan epidemiologi global. Termasuk petugas yang mengawasi jalur-jalurpenerbangan internasional, hendaknya meningkatkan kemampuannya untuk mengahadapi globalisasi penyakit menular.
Lintas BatasPenyakit menular bersifat lintas batas, terutama penyakit menular melalui
transmisi serangga atau binatang yang memiliki reservoir. Binatang umumnyamemiliki habitat tertentu dan terkait dan batasan ekosistem. Penyakit menular juga dapat berpindah atau bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya melaluimobilitas penduduk sebagai sumber penularan maupun komoditas sebagai wahana transmisi. Dengan kata lain, penyakit menular tidak mengenal batas wilayah administratif pemerintah. Penyakit menular yang sifatnya relatif
“tertutup”, lebih dipengaruhi oleh batasan ekosistem, ketimbang batasanadministratif. Oleh karena itu, dua kabupaten berbatasan yang memiliki ekosistempenyakit yang sama wajib bekerjasama.
Sedangkan wilayah yang sifatnya “terbuka” dengan teknologi transportasi jarak jauh, penyakit menular dipengaruhi mobilitas penduduk sebagai sumberpenyakit. Hal ini memerlukan kerjasama global, dan mekanisme jaringan antarnegara yang bersifat lintas batas. Seorang Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara lain, harus memahami hal ini. Dengan kata lain,
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 30/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
17
dalam satu wilayah otonomi kabupaten, seorang “kepala” pengendalian penyakitharus mampu menemukan dan mengobati sumber penularan penyakit secara aktif. Yakni, penderita penyakit menular itu sendiri. Serta mengendalikan faktor risikopenyakit, dalam perspektif ekosistem maupun dinamika/mobilitas faktor risikopenyakit antar kabupaten, antar propinsi, antar negara.
Untuk itu, memerlukan model manajemen pemberantasan penyakit danpenyehatan lingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah kabupaten/kotadalam perspektif komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik antar wilayah dan adimistrasi pemerintah maupun diantara para pelakupemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan itu sendiri dalamsatu wilayah.
Di lain pihak, desentralisasi berati mengharuskan manajemen penyakitmenular melakukan pendekatan wilayah administratif. Di satu sisi, pendekatan wilayah kabupaten/kota membantu perencanaan dan pelaksanaan sertapelaksanaan program lebih fokus. Namun, seperti yang telah diuraikansebelumnya hal-hal yang bersifat lintas batas berpotensi terabaikan.
Desentralisasi juga memudahkan identifikasi faktor resiko yang bersifatlokal. Sehingga intervensi faktor resiko yang bersifat lokal lebih bisa mudahdikendalikan. Sebagai contoh, penularan Malaria di Kabupaten Banjarnegara berkenaan dengan nyamuk yang memiliki habitat kebun salak dan/atau kolam yang merupakan jamban keluarga, sekaligus sebagai mata air. Kemudian, didaerah Pacitan berkaitan dengan cekungan-cekungan padas di sungai-sungai,sedangkan di wilayah Riau risiko tertular malaria datang ketika sedang menyadapkaret di pagi buta.
Dengan memahami faktor-faktor yang berperan timbulnya penyakitmenular khas daerahnya, maka perlu identifikasi mitra kerja untuk menanganifaktor risiko tersebut. Kemudian ditentukan siapa saja yang harus diikutsertakan,mitra mana yang dianggap berkepentingan. Dengan demikian, secara teoritis
Bupati atau Kepala Dinas Kesehatan secara efektif melakukan upayapemberantasan penyakit menular yang bersifat spesifik lokal. Semua itudituangkan dalam bentuk perencanaan yang didukung fakta (evidences) lokal,sehingga dapat meyakinkan pihak-pihak otoritas pendanaan seperti DPRD.
KeterpaduanUntuk memvisualisasikan proses transmisi penyakit serta simpul
manajemen, membutuhkan model manajemen penyakit menular berbasis wilayahkabupaten/kota. Didukung fakta hasil surveilans terpadu, untuk kepentinganperencanaan dan kegiatan berdasarkan keperluan (fakta). Analisis masing-masingfaktor risiko dilakukan sekaligus dan terpadu melalui perencanaan. Kemudian
keterpaduan dikaitkan dengan promosi kesehatan seperti penggunaan alatpelindung ketika bekerja, dan berbagai upaya lain secara bersama dengan lintassektor. Keterpaduan pun termasuk penggunaan sumber daya, jadwal, penggunaanmikroskop, kendaraan, tenaga, intervensi holistik, antara stakeholder, antarapenyakit. Bahkan keterpaduan surveilans yakni surveilans kasus sekaligus bersama-sama dengan faktor risiko terkait.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 31/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
18
2.7 Strategi Pengen dalian Penyakit
Strategi pemberantasan penyakit menular berbasis wilayah memilikipengertian bahwa setiap wilayah administrasi pembangunan (kabupaten/kota)pemberantasan penyakit menggunakan “paket” pendekatan strategi sebagai
berikut :
(1) Intensifikasi Pencarian dan Pengobatan Kasu sMelakukan pencarian dan pengobatan secara intensif terhadap penderita,selain mengobati dan menyembuhkan penderita yang juga merupakan upayapokok untuk menghilangkan sumber penularan dengan cara pemutusan matarantai penularan. Dalam satu wilayah kabupaten dapat dilakukan secaraintensif dengan memperluas jangkauan pelayanan, seperti pemberdayaantenaga semi-profesional terlatih misalnya juru Malaria Desa, Juru Kusta, dansebagainya. Di masa mendatang sebaiknya diciptakan petugas lapanganpenyakit menular setara dengan bidan di desa untuk menekan angka kematian
ibu.
Untuk penyakit tertentu yang membutuhkan konfirmasi laboratorium lebihtinggi, memerlukan bantuan pemeriksaan yang dilakukan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Penyelidikan Penyakit (Labkes) terdekat yangsecara regional harus tersedia.
Untuk beberapa penyakit menular yang memerlukan pengobatan jangkapanjang seperti halnya TBC, harus ada jaminan ketersediaan obat dan jaminandisiplin menelan obat. Oleh sebab itu, keluarga terdekat atau tokoh masyarakatsetempat dapat meminta bantuan Pengawas Menelan Obat (PMO).
(2) Member ikan Perlindungan Spesifik dan ImunisasiManajemen pengendalian penyakit menular dapat dilakukan dengan caramemberikan kekebalan secara artifisial yaitu imunisasi. Cakupan imunisasiamat penting karena dapat mencegah penyakit dalam satu wilayah. Namun,tentu saja tidak semua penyakit menular dapat dicegah dengan imunisasi.Untuk itu, perlu dilakukan upaya alternatif berupa pemberantasan penyakit yang berbasis lingkungan.
2.8 Kejadian Luar Biasa (KLB)
Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu munculnya penyakit di luar kebiasaan( base line condition) yang terjadi dalam waktu relatif singkat serta memerlukanupaya penanggulangan secepat mungkin, karena dikhawatirkan akan meluas, baik dari segi jumlah kasus maupun wilayah yang terkena persebaran penyakit tersebut.Kejadian luar biasa pertama di Indonesia dilaporkan oleh David Beylon di Batavia(Jakarta) pada tahun 1779. Namun, demam berdarah dengue baru dikenal padatahun 1968 dalam KLB di Jakarta dan Surabaya dengan angka kematian sangattinggi sekitar 41,3 persen.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 32/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
19
Menurut PP 40, tahun 1991, Bab 1, Pasal 1 Ayat 7, KLB adalah timbulnyaatau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secaraepidemologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakankeadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Penanggungjawaboperasional pelaksanaan penanggulangan KLB adalah Bupati/Walikota.
Sedangkan penanggugjawab teknis adalah Kepala Dinas KesehatanKabupaten/Kota. Bila KLB terjadi lebih dari satu wilayah kabupaten/kota makapenanggulangannya dikoordinasikan oleh Gubernur.
Pengertian KLB seringkali dikacaukan dengan pengertian wabah. Penyakitmenular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakatdengan jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yang lazimpada waktu daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka (UU Nomor 4,Tahun 1984, Bab I, Pasal 1). Kepala wilayah ketika mengetahui adanyatersangka di wilayah atau adanya tersangka penderita penyakit menular yangdapat menimbulkan wabah, wajib melakukan tindakan secara cepat berupapenanggulangan seperlunya (UU Nomor 4, Tahun 1984, Bab IV, Pasal 12, Ayat 1).Kemudian kegiatan tersebut harus dilaporkan kepada Menteri Kesehatan secara berjenjang.
Sedangkan yang menetapkan penyakit menular dan kemudian mencabutketetapan tersebut adalah Menteri Kesehatan (UU Nomor 4, Tahun 1984, Pasal 4, Ayat 1 dan 2 serta PP Nomor 40, Tahun 1991, Pasal 2 sampai 5). Penetapan daerah wabah merupakan pertimbangan epidemologis dan keadaan masyarakat(mencakup keamanan, sosial, ekonomi dan budaya) yang disampaikan KepalaDaerah. Penetapan atau pencabutan daerah wabah diberlakukan dalam suatu wilayah Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk penetapan dan pencabutan KLBhingga saat ini belum diatur, namun draft Permenkes menyebutkan PemerintahDaerah atas usulan Kepala Dinas Kesehatan setempat menetapkan dan mencabutKLB.
Penetapan KLB, dapat juga ditetapkan pada faktor risiko penyakit seperti bila terjadi ledakan gas beracun, ledakan industri, atau suhu yang meningkatsehingga menimbulkan populasi nyamuk atau ledakan gas, memang tidak lazimdisebut sebagai KLB, namun terminologi ini digunakan untuk tujuan atau rumusanupaya antisipatif, prediktif, dan akhirnya berupa pencegahan.
Apabila kita mencermati proses kejadiannya, KLB merupakan kejadianproses awal, pencermatan ini dikenal sebagai pencermatan pra-KLB. Misalnya,adanya indikasi peningkatan jumlah dan kepadatan vektor penular penyakit,terjadinya kerusakan hutan secara terus menerus, pemantauan kondisi kualitaslingkungan tertentu yang menurun, dan sebagainya.
Manajemen pra-KLB termasuk sistem kewaspadaan dini, amat penting,
tidak hanya mencegah terjadinya KLB, penanganan saat kejadian KLB dan pasca-KLB, informasi pra-KLB menjadi penting. Gempa bumi di sebuah wilayah endemik malaria memerlukan peta dimana pengungsi akan ditempatkan.
Mengacu kepada teori simpul atau mengacu kepada patogenesis kejadianpenyakit, KLB pada dasarnya merupakan suatu kejadian baik pada sumberpenyakit (penyebab) dengan dinamika transmisi, serta korban kejadian penyakit yang berlangsung dalam tempo yang relatif singkat.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 33/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
20
Setiap KLB-apakah itu bencana alam, bencana lingkungan karena ulahmanusia, konflik sosial maupun timbulnya penyakit baru seperti SARS, Avianinfluenza, atau penyakit infeksi lama-selalu memiliki dua makna manajemen, yakni manajemen kesehatan masyarakat untuk mengendalikan jatuhnya korban berikutnya.
Manajemen KLB secara terintegrasi berbasis wilayah adalah jugamanajemen dua bagian penting yang tak terpisahkan, dan harus dilakukan secarasimultan dalam waktu relatif singkat, yakni :a. Manajemen kasus. b. Manajemen public health (manajemen faktor risiko)
Manajemen public health atau manajemen kesehatan masyarakat, padahakekatnya adalah manejemen faktor risiko kejadian KLB. Manajemen kasusmaupun faktor risiko mencegah timbulnya eskalasi yang lebih luas. Manajemenkasus menjadi amat penting, khususnya saat penanganan KLB penyakit menular,untuk mencegah terjadinya penularan penyakit lebih lanjut.
Sebagai perwujudan demokratisasi pembangunan maka sejak tahun 2000,upaya-upaya kesehatan termasuk didalamnya manajemen KLB semuanya sudah didesentralisasikan kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota. TugasPemerintah Nasional (Pusat) antara lain menyusun berbagai kebijakan nasional,perencanaan strategik, dan menetapkan sasaran nasional, menyusun guidlinespetunjuk, standar. Sedangkan kewenangan pelaksanaan ada pada pemerintahKabupaten/Kota, namun dalam hal KLB dan bencana dapat meminta bantuanPemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat. Bahkan bila dipandang perlu,Pemerintah Pusat dapat mengambil inisiatif melakukan penanganan KLB.
Kurun waktu 2000-2005 banyak terjadi kejadian luar biasa. Mengapa haltersebut terjadi? Pemberantasan penyakit menular memerlukan sistemmanajemen. Sementara sistem lama telah dicabut, tetapi sistem baru belumestablished atau mapan. Untuk membangun sistem tersebut, memerlukan waktu.
KLB pada dasarnya merupakan ujung dari sebuah proses. Kegagalan manajemenpenyakit secara terintegrasi dalam satu wilayah, akan menimbulkan KLB. Olehsebab itu, selama sistem atau kapasitas manajemen penyakit berbasis wilayahsecara terintegrasi belum mapan, maka KLB akan terus menjadi ancaman.
Di samping itu, penyakit menular tidak mengenal batas wilayahadministratif seperti halnya kesehatan lingkungan, tetapi keduanya memiliki batas wlayah ekosistem. Satu foci penyakit menular –entah itu demam berdarah,malaria, TBC, HIV/AIDS, filariasis, dan sebagainya, apabila dibiarkan berkembang, dengan mobilitas penduduk yang tinggi akibat krisis sosial, maka berpotensi menyebarkan KLB ke saentero Nusantara. Contohnya tahun 2005 yaitupenyakit polio. Hal ini tampak adanya kesimpang siuran menajemen penyakit
menular pada saat dimulainya otonomi atau peralihan sistem tersebut.
2.9 Penyakit Demam Berdarah
Penyakit Demam berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalahkesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderungmeningkat dan penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 34/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
21
peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungantransportasi serta tersebar luasnya virus dengue dan nyamuk penularnya di berbagai wilayah Indonesia.
Jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis, selalu menjadi KLB setiap tahun. KLB yang
terbesar terjadi pada tahun 1998 dilaporkan dari 16 propinsi dengan IR=35,19 per100.000 penduduk dan CFR 2.0%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar10.17 per 100.000 penduduk, namun pada tahun-tahun berikutnya tampak adanyapeningkatan IR, yaitu 15,99, 21,75, dan 19,24 per 100.000 penduduk berturut-turut pada tahun 2000 sampai 2002. Melihat kondisi tersebut penyakit DBD harusdiwaspadai kemungkinan adanya KLB lima tahunan.
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh virus Dengue dan dapat menimbulkan kematiandalam waktu singkat oleh karena terjadinya perdarahan dan shock. Penyakit DBDsering kali muncul sebagai wabah. Di Asia Tenggara, penyakit ini pertama kalidilaporkan pada tahun 1953 di Manila, selanjutnya menyebar ke berbagai negara.Di Indonesia sendiri, penyakit DBD dilaporkan pertama kali di Surabaya dan DKIJakarta. Pada awalnya penyakit DBD ini merupakan penyakit perkotaan danmenyerang terutama anak-anak usia di bawah 5 tahun. Namun, denganperkembangan waktu penyakit ini kemudian tidak hanya berjangkit di daerahperkotaan, tetapi juga menyebar ke daerah pedesaan. Usia penderita jugacenderung bergeser menyerang usia dewasa. Cara penularan penyakit DBD adalahmelalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang menggigit penderita DBD kemudianditularkan kepada orang sehat.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran dan penularanpenyakit DBD, yaitu urbanisasi yang cepat, perkembangan pembangunan didaerah pedesaan, kurangnya persediaan air bersih, mudahnya transportasi yangmenyebabkan mudahnya lalu lintas manusia antardaerah, adanya pemanasan
global yang dapat mempengaruhi bionomik vektor Aedes aegypti. Upayapemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal, yaitu: (1) Peningkatan kegiatansurveilans penyakit dan surveilans vektor, (2) Diagnosis dini dan pengobatan dini,(3) Peningkatan upaya pemberantasan vektor penular penyakit DBD.
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah baik lintas sektor maupun lintas program danmasyarakat termasuk sektor swasta. Tugas dan tanggung jawab pemerintah dalamupaya pemberantasan penyakit DBD antara lain membuat kebijakan dan rencanastrategis penanggulangan penyakit DBD, mengembangkan teknologipemberantasan, mengembangkan pedoman pemberantasan, memberikanpelatihan dan bantuan teknis, melakukan penyuluhan dan promosi kesehatan sertapenggerakan masyarakat.
Kendala Pencegahan DBD
Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dewasa.Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan dengan menggunakan racun serangga(insektisida) yang disemprotkan atau dengan pengasapan (fogging) bila dilakukanpada wilayah yang luas. Dengan fogging yang disemprotkan ke udara, maka
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 35/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
22
nyamuk dewasa yang beterbangan atau yang hinggap di tempat persembunyiannyadi lingkungan rumah penderita akan mati. Semua insektisida adalah bahan beracun yang jika penggunaannya tidak tepat dapat mengganggu kesehatanmanusia maupun hewan dan dapat mencemari lingkungan.
Gagalnya atau tidak efektifnya fogging dapat terjadi akibat salahnya lokasipengasapan (yang diasapi adalah got-got atau saluran kota yang kotor danmampet, bukan sarang nyamuk Aedes aegypti). Selain itu, penggunaan insektisida yang tidak tepat dosisnya atau tidak tepat jenisnya dapat menjadikan fogging tidak memberikan hasil yang memuaskan atau gagal sama sekali. Takaran insektisida yang dikurangi (asal bau obat), selain termasuk kategori korupsi, juga dapatmenimbulkan dampak serius di kemudian hari, yaitu terjadinya kekebalan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida yang digunakan saat ini. Karena nyamuk dewasa Aedes aegypti berada di dalam lingkungan rumah tinggal, penggunaaninsektisida menjadi rawan keracunan bagi penghuni dan lingkungan hidup sekitarrumah.
Keberadaan sarang nyamuk Aedes aegypti di dalam rumah memerlukantindakan yang spesifik. Pemberian abate untuk membunuh jentik nyamuk yangterdapat di dalam air bak kamar mandi atau tandon air bersih lainnya cukupefektif mencegahnya berkembang biak. Menutup rapat tempat penyimpanan air bersih dan mengurasnya sesering mungkin akan bermanfaat mengurangikesempatan nyamuk untuk bertelur dan berkembang biak. Dari jentik nyamuk yang hidup di dalam air (tandon air), termasuk kaleng-kaleng berisi air atau bak mandi, dalam waktu beberapa hari akan tumbuh nyamuk dewasa. Karena itu,sebelum larva berubah jadi nyamuk dewasa, sarang nyamuk harus segeradimusnahkan. Gerakan PSN harus dilakukan terus-menerus, sepanjang tahun, baik di musim hujan maupun di musim kemarau, selama tandon-tandon air masih
dijumpai. PSN harus dilakukan segenap warga. Sebab, jika ada satu rumah sajatidak melakukan PSN, ia menjadi sumber terbentuknya populasi nyamuk Aedesaegypti untuk wilayah di sekitarnya. Apalagi nyamuk Aedes aegypti mamputerbang dalam radius 100 meter dari sarang asalnya.
Fogging ditujukan untuk memberantas nyamuk betina dewasa karenahanya nyamuk betina yang mengisap darah. Dengan melakukan fogging di sekitartempat tinggal penderita, nyamuk dewasa yang beterbangan atau yang hinggap ditempat persembunyiannya di lingkungan rumah penderita akan mati. Dengandemikian, penularan virus oleh nyamuk dapat dihentikan segera. Karena itu, pada waktu ada laporan kasus DBD di satu rumah, seharusnya segera dilakukan foggingterhadap rumah tinggal penderita dan area dengan radius 100 meter di sekitarnya.Tidak usah menunggu terjadinya KLB atau wabah yang lebih luas.
Selain itu, sebelum seseorang menunjukkan gejala klinis DBD dalamdarahnya sudah beredar virus dengue yang dapat ditularkan kepada orang lain.Fogging tidak akan berefek lama dan tidak boleh dilakukan terus-menerus karenainsektisida yang digunakan adalah bahan beracun, baik untuk manusia maupunlingkungan hidup. Karena itu, fogging harus segera diikuti dengan pemberantasansarang nyamuk (PSN). Hal ini harus dilakukan karena sarang-sarang nyamuk
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 36/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
23
merupakan sumber produksi nyamuk dewasa. Sosialisasi dalam pelaksanaan PSNdan cara hidup gotong royong harus kembali digalakkan, misalnya, melaluiGGPSN (Gebyar Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk), sehingga setiap wargadapat saling melindungi diri, keluarga, dan lingkungannya dari penularan DBD.
Adanya nyamuk Aedes aegypti penular DBD sepanjang tahun di Indonesiamenyebabkan penularan virus dengue juga akan terjadi sepanjang tahun, baik dimusim penghujan maupun di musim kemarau. Karena itu, jika terdapat laporanadanya kasus DBD, untuk mencegah penyebaran penyakit, tindakan yang pertama-tama harus dilakukan adalah memberantas nyamuk dewasa di lingkungan tempattinggal penderita dan sekitarnya dengan melakukan fogging, tanpa menungguterjadinya KLB. Fogging akan sangat efisien jika dilakukan pada waktu populasinyamuk masih rendah. Jika terjadi kegagalan fogging, harus dicari penyebabnya,apakah telah terjadi resistensi nyamuk terhadap insektisida yang digunakan,ataukah terjadi "kesalahan teknis" di lapangan.
Tata Laksana Penanggulangan DBD
Setiap diketahui adanya penderita DBD, segera ditindaklanjuti dengankagiatan Penyelidikan Epidemiologis (PE) dan Penanggulangan Fokus, sehinggakemungkinan penyebarluasan DBD dapat dibatasi dan KLB dapat dicegah.Selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan pemberantasan DBD sangat diperlukanperan serta masyarakat, baik untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatanpemberantasan maupun dalam memberantas jentik nyamuk penularnya.
• Penyelidikan Epidemiolegis (PE) adalah kegiatan pencarian penderitaDBD atau tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penularDBD di tempat tinggal penderita dan rumah/bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya 100 m. Tujuannyaadalah untuk mengetahui penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut sertatindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar tempatpenderita. PE juga dilakukan untuk mengetahui adanya penderita dantersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya jentik nyamuk penular DBD,dan menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus) yang akan dilakukan.
• Penanggulangan Fokus adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penularDBD yang dilaksanakan dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD), larvadiasasi, penyuluhan danpenyemprotan (pengasapan) menggunakan insektisisda sesuai kriteria.Tujuannya adalah membatasi penularan DBD dan mencegah terjadinya KLB
di lokasi tempat tinggal penderita DBD dan rumah/bangunan sekitarnya sertatempat-tempat umum yang berpotensi menjadi sumber penularan DBD lebihlanjut.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 37/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
24
• Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah upaya
penanggulangan yang meliputi : pengobatan/perawatan penderita,pemberantasan vektor penular DBD, penyuluhan kepada masyarakat danevaluasi/penilaian penanggulangan yang dilakukan di seluruh wilayah yangterjadi KLB. Tujuannya adalah membatasi penularan DBD, sehingga KLB yangterjadi di suatu wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya. PenilaianPenanggulangan KLB meliputi penilaian operasional dan penilaianepidemiologi. Penilaian operasional ditujukan untuk mengetahui persentase(coverage) pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan. Penilaianini dilakukan melalui kunjungan rumah secara acak dan wilayah-wilayah yangdirencanakan untuk pengasapan, larvasidasi dan penyuluhan. Sedangkanpenilaian epidemiologi ditujukan untuk mengetahui dampak upayapenanggulangan terhadap jumlah penderita dan kematian DBD dengan caramembandingkan data kasus/kematian DBD sebelum dan sesudahpenanggulangan KLB.
• Pemberantasan Sarang Nyamuk demam berdarah dengue (PSNDBD) adalah kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk penular DBD ( Aedes aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya.Tujuannya adalah mengendalikan populasi nyamuk, sehingga penularan DBDdapat dicegah dan dikurangi. Keberhasilan PSN DBD diukur dengan Angka
Penderita/tersangka DBD
Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Ada penderita DBD lain atau ada jentik dan ada penderitapanas ≥ 3 orang dan ditemukamn jentik (≥ 25%)
- Pemeriksaan Jentik
- Pencarian Penderita Panas
- Penyuluhan
- PSN DBD
- Fogging radius 200m
- Penyuluhan
- PSN FDBD
- Larvasidasi
Ya Tidak
Gambar 2.3. Bagan Penanggulangan Fokus (Penanggulangan PenderitaDBD di Lapangan)
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 38/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
25
Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkanpenularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Cara PSN DBD dilakukandengan ”3M”, yaitu (1) menguras dan menyikat tempat-trempat penampunganair, (2) menutup rapat-arapat tempat penampungan air, dan (3) menguburatau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.
• Pemeriksaan Jentik Berkala adalah pemeriksaan tempat-tempatperkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan secara teratur olehpetugas kesehatan atau kader atau petugas pemantau jentik (jumantik).Tujuannya adalah melakukan pemeriksaan jentik nyamuk penular demam berdarah dengue termasuk memotivasi keluarga/masyarakat dalammelaksanakan PSN DBD.
Peran Masyara kat dalam Penanggulangan DBD
Masyarakat berperan dalam upaya pemberantasan penyakit DBD. Sebagaicontoh: peran masyarakat dalam kegiatan surveilans penyakit, yaitu masyarakatdapat mengenali secara dini tanda-tanda penyakit DBD yang menimpa salah satuanggota keluarga maupun tetangga mereka dan segera merujuk ke fasilitaspelayanan kesehatan terdekat. Sehingga bisa dilakukan penegakan diagnosa secaradini dan diberikan pertolongan dan pengobatan dini.
Pertolongan pertama kepada tersangka penderita DBD dapat dilakukan dirumah sebelum dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan yaitu dengan memberikanminum sebanyak-banyaknya dengan oralit, teh manis, sirup, juice buah-buahan,pemberian obat penurun panas seperti paracetamol. Obat penurun panas yangtidak boleh diberikan adalah dari jenis yang mengandung asam salisilat yang dapatmemperberat perdarahan. Tujuan pemberian pertolongan pertama di atas adalah
untuk mempertahankan volume cairan dalam pembuluh darah penderita sehinggadapat membantu mengurangi angka kematian karena DBD.
Masyarakat juga berperan dalam upaya pemberantasan vektor yangmerupakan upaya paling penting untuk memutuskan rantai penularan dalamrangka mencegah dan memberantas penyakit DBD muncul di masa yang akandatang. Dalam upaya pemberantasan vektor tersebut antara lain masyarakat berperan secara aktif dalam pemantauan jentik berkala dan melakukan gerakanserentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Seperti diketahui nyamuk Aedesaegipty adalah nyamuk domestik yang hidup sangat dekat dengan pemukimanpenduduk seperti halnya Culex. Sehingga upaya pemberantasan dan pencegahanpenyebaran penyakit DBD adalah upaya yang diarahkan untuk menghilangkan
tempat perindukan ( breeding places) nyamuk Aedes aegypti yang ada dalamlingkungan permukiman penduduk. Dengan demikian gerakan PSN dengan 3MPlus yaitu Menguras tempat-tempat penampungan air minimal seminggu sekaliatau menaburinya dengan bubuk abate untuk membunuh jentik nyamuk Aedesaegypti, Menutup rapat-rapat tempat penampungan air agar nyamuk Aedesaegypti tidak bisa bertelur di tempat itu, Mengubur/membuang pada tempatnya barang-barang bekas seperti ban bekas, kaleng bekas yang dapat menampung airhujan.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 39/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
26
Masyarakat juga melakukan upaya mencegah gigitan nyamuk denganmenggunakan obat gosok antinyamuk, tidur dengan kelambu, menyemprot rumahdengan obat nyamuk yang tersedia luas di pasaran. Hal sederhana lainnya yangdilakukan oleh masyarakat adalah menata gantungan baju dengan baik agar tidak menjadi tempat hinggap dan istirahat nyamuk Aedes aegypti. Sejak dulu tidak ada
yang berubah dengan bionomik atau perilaku hidup nyamuk Aedes aegypti sehingga teknologi pemberantasannya pun dari dulu tidak berubah. Dari uraiandiatas dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pencegahan dan pemberantasanpenyakit DBD oleh masyarakat sangat besar, boleh dikatakan lebih dari 90% darikeseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD. Dan upaya tersebut sangat berkaitan dengan faktor perilaku dan faktor lingkungan.
Pemberantasan DBD akan berhasil dengan baik jika upaya PSN dengan 3MPlus dilakukan secara sistematis, terus-menerus berupa gerakan serentak,sehingga dapat mengubah perilaku masyarakat dan lingkungannya ke arahperilaku dan lingkungan yang bersih dan sehat, tidak kondusif untuk hidupnyamuk Aedes aegypti aegypti.
Berbagai gerakan yang pernah ada di masyarakat seperti Gerakan DisiplinNasional (GDN), Gerakan Jumat Bersih (GJB), Adipura, Kota Sehat dan gerakan-gerakan lain serupa dapat dihidupkan kembali untuk membudayakan PerilakuHidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jika ini dilakukan maka selain penyakit DBDmaka penyakit-penyakit lain yang berbasis lingkungan seperti leptospirosis, diaredan lain-lain akan ikut terberantas ibaratkan "sekali merengkuh dayung, dua tigapulau terlampaui...."
Keberhasilan Jenderal WC Gorgas memberantas nyamuk Aedes aegypti untuk memberantas demam kuning ( Yellow Fever) lebih dari 100 tahun yang laludi Kuba dapat kita ulangi di Indonesia. Teknologi yang digunakan oleh JenderalGorgas adalah gerakan PSN yang dilaksanakan serentak dan secara besar-besarandi seluruh negeri. Agar gerakan yang dilakukan oleh Jenderal Gorgas bisa
dilakukan di Indonesia diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh jajaranstruktur pemerintahan bersama-sama masyarakat dan swasta.
Berbagai negara yang mempunyai masalah yang sama dengan Indonesiamenggunakan berbagai macam pendekatan dalam melakukan PSN antara lainSingapura dan Malaysia menggunakan pendekatan hukum yaitu masayarakat yangrumahnya kedapatan ada jentik Aedes aegypti dihukum dengan membayar denda.Sri Lanka menggunakan gerakan Green Home Movement untuk tujuan yang sama yaitu menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat kebersihan dankesehatan termasuk bebas dari jentik Aedes aegypti dan menempelkan stikerhitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Bagipemilik rumah yang ditempeli stiker hitam diberi peringatan 3 kali untuk
membersihan rumah dan lingkungannya dan jika tidak dilakukan maka orangtersebut dipanggil dan didenda.
Dalam era otonomi dan desentralisasi saat ini Pemerintah Kabupaten/Kotadalam mengatur rumah tangganya sendiri dapat melakukan gerakan-gerakaninovatif seperti yang disebutkan di atas yang didukung dengan berbagai PeraturanDaerah.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 40/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
27
B AB 3METODOLOGI
3.1 Kera ngka Pemikiran
Kajian ini dilandasi pemikiran adanya hubungan timbal balik antararendahnya kinerja surveilans dan kinerja penanggulangan dalam implementasikebijakan penyakit menular khususnya dalam kasus kebijakan penangananpenyakit DBD.
Kinerja surveilans diukur dengan melihat (1) keberadaan peta rawan, (2)pelaksanaan diseminasi informasi DBD, dan (3) pelaporan. Faktor-faktor yangterkait dengan kinerja surveilans mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4)dana, dan (5) SOP.
Kinerja Penanggulangan diukur dengan melihat (1) Frekuensi KLB, (2)
Jumlah Kasus, (3) Jumlah Kematian, (4) Luas Daerah Terserang. Faktor-faktor yang terkait dengan kinerja surveilans mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana,(4) dana, dan (5) SOP.
Implementasi kebijakan penyakit menular juga dipengaruhi kebijakandesentralisasi kewenangan pengelolaan pembangunan.
Berdasarkan landasan pemikiran diatas, kerangka pikir kajian digambarkandalam skema berikut:
Kerangka pikir kajian tersebut selanjutnya dijabarkan dalam kerangkakonsep kinerja surveilans dan kerangka konsep kinerja penanggulangan yangdigambarkan dalam skema berikut:
DESENTRALISASI
KEWENANGAN
Kinerja Surveilans
KinerjaPenanggulangan
IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PENYAKIT
MENULAR
Gambar 3.1 Kerangka Pikir Kajian Kebijakan Penannggulangan Penyakit Menular
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 41/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
28
Kerangka KonsepKinerja Penanggulangan
KinerjaPenanggulangan
KLB DBD
Tenaga1. Tim Penanggulangan (epid, klinis, lab,
support),2. Pengetahuan (Penyelidikan &
Penanggulangan)
Dana1. Sumber (APBD, APBD, PHLN)2. Proses,3. Jenis pengeluaran
Sarana1. Transportasi,
2. Pengolah data,3. Komunikasi,4. Logistik, Obat,
5. insektisida,6. alat penyemprotan
•Frekuensi KLB•Jumlah Kasus
•Jumlah Kematian•Luas Daerah Terserang
SOP1. Pedoman,2. Peraturan
DataKasus, Jentik, Lingkungan (genangan),
Prilaku (3M), Vektor, Curah Hujan,Logistik
Kerangka Konsep
Kinerja Surveilans
KinerjaSurveilans
DBD
Tenaga 1. Jumlah,
2. motivasi ,3. Pengetahuan,
4. Monev
Dana1. Jumlah,
2. Sumber,
3. Proses,
4. enis pengeluaran
Sarana1.
Transportasi ,
2. Pengolah data,
3. Komunikasi
•Peta Rawan KLB DBD
•Diseminasi Informasi
SOP 1. Pedoman (7 seri : modelpokjanal ,
2. Peraturan
DataKasus, Jentik ,
Vektor, Curah Hujan
- Peta Rawan KLB DBD
- Diseminasi Informasi
- Pelaporan
Gambar 3.2 Kerangka Konsep Kinerja Surveilans
Gambar 3.3 Kerangka Konsep Kinerja Penanggulangan
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 42/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
29
3.2 Disain Kajian
1. Kajian ini menggunakan metode penelitian survey explanatory, dimanadata diperoleh melalui angket dan wawancara kepada sejumlah respondenterpilih secara acak. Tujuannya adalah untuk memperoleh berbagai
gambaran yang jelas dan diskripsi yang lengkap tentang variabel penelitian.
2. Variabel Penelitian
Variabel penelitian mencakup 2 aspek, yaitu kinerja surveilans dan kinerjapenanggulangan
No Variabel Param eter yang diukur
KINERJA SURVEILANS DBD Idependent Variabel
1 Kinerja Surveilans 1. Peta rawan KLB DBD
2 Diseminasi informasi3. Pelaporan
Dependent Variabel
1 Tenaga 1. Jumlah2. Sumber3. Pengetahuan4. Monitoring dan Evaluasi
2 Dana 1. Jumlah2. Sumber3. Proses4. Jenis pengeluaran
3 Data 1. Kasus2. Jentik 3. Vektor4. Curah Hujan
4 Sarana 1. Transportasi2. Pengolah data3. Komunikasi
5 SOP 1. Pedoman (7 seri modul pokjanal)2. Peraturan
KINERJA PENANGGULANGAN KLB DB DIdependent Variabel
1 KinerjaPenanggulangan KLB
1. Frekuensi KLB2. Jumlah Kasus3. Jumlah Kematian4. Luas Daerah Terserang
Dependent Variabel
1 Tenaga 1. Tim Penanggulangan (epid, klinis, lab,support)
2. Pengetahuan (penyelidikan &
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 43/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
30
penanggulangan)2 Dana 1. Jumlah
2. Sumber3. Proses4. Jenis pengeluaran
3 Data 1. Kasus2. Jentik 3. Lingkungan (genangan)4. Prilaku (3M)5. Vektor6. Curah hujan7. Logistik
4 Sarana 1. Transportasi2. Pengolah data3. Komunikasi4. Logistik
5. Obat6. Insektisida7. Alat penyemprotan
5 SOP 1. Pedoman (7 seri modul pokjanal)2. Peraturan
3.3 Jenis, Sum ber dan Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi data primer dandata sekunder, baik dalam bentuk data kualitatif maupun kuantitatif.
Data sekunder mencakup data berkaitan dengan profil kesehatanpusat, propinsi dan kab/kota, laporan tahunan tentang PenanggulanganPenyakit Menular (P2M), laporan tentang wabah, peraturanperundangan dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Kesehatan, Keputusan Dirjen,Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur.
Data primer yang didapat melalui wawancara mendalam (indepthinterview ) di berbagai tingkat (Pusat, propinsi, kab/kota), pengisiankuesioner, serta focus group discussion.
Untuk interpretasi hasil analisis data, dilakukan pula studi kepustakaanterutama kajian teoritis dari hasil penelitian terdahulu yang relevandengan kajian ini
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 44/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
31
3.4 Responden Kajian
Responden Kajian mencakup 2 (dua) kelompok, yaitu (1) kelompok pelaksana yang terlibat dalam penanggulangan penyakit menular, serta (2)kelompok pakar, yang memiliki keahlian dan pengalaman dalam
penanggulangan penyakit menular.
Kelompok Pelaksana yang menjadi responden mencakup
Pusat: Dit Epidemiologi dan P2B2 Ditjen P2M, subdit arbovirosis, bagianPI dan kepegawaian, Yanmedik dan Binkesmas
Dinas Kesehatan Propinsi: (1) Kasubdin P2M, (2) Seksi Surveilans, (3)P2B2, (4) Kabag Kepegawaian, (5) Kabag Keuangan, (6) Kasubag Umum
Kabupaten Dinas Kesehatan: (1) subdin P2M, (2) unit surveilans, (3) unit
penanggulangan P2B2, (4) unit kepegawaian, (5) unit umum Puskesmas : (1) Kepala Puskesmas, (2) petugas P2M, (3) staf Kesling Rumah Sakit: (1) Wakil Direktur Yanmed, (2) UGD, (3) Bag. Medical
Record, (4) Lab. Rumah Sakit.
Kelompok Pakar yang menjadi responden adalah (1) ahli epidemiologidari Perguruan Tinggi, (2) ahli epidemiologi dari Departemen Kesehatan,(3) pakar lain dari WHO.
Tabel 3.1Responden Kajian
No Propinsi/Kab Dinas PKMRumah
SakitBapp Masy Jml
Riau 51. Kota Pekanbaru 3 4 1 2 1
1
2. Kab. Siak 2 5 1 1 1
26
Jawa Barat 31. Kota Bandung 2 3 2 1 1
2
2. Kab. Bogor 2 2 1 2 1
20
Jawa Timur 11. Kota Surabaya 1 3 2 1 1
3
2. Kab. Gresik 2 4 1 1 1
18
Kalimantan Timur 21. Kota Samarinda 1 2 1 2 2
4
2. Kota Balikpapan 2 2 4 1 1
13
Sulawesi Selatan 21. Kota Makasar 1 4 1 1 15
2. Kab. Gowa 2 4 2 1 1
20
Nusa Tenggara Barat 31. Kota Mataram 2 4 2 1 2
6
2. Kab Lombok Tengah
3 6 3 1 0
25
TOTAL 47 43 21 15 13 122
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 45/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
32
3.5. Lokasi Kajian
Kajian ini dilaksanakan di 6 (enam) propinsi terpilih yang ditentukan berdasarkan karakteristik frekuensi terjadinya kejadian penyakit menular darikelompok propinsi di Indonesia Bagian Barat, Tengah dan Timur.
Pada setiap propinsi di ambil 2 (dua) Kabupaten/Kota dengan kriteriapemilihan kabupaten adalah
o Prevalensi kasus DBD yang tinggi dan rendaho 1 kab/kota terletak di ibu kota propinsi dan 1 kab/kota di luar
kab/ibu kota propinsi Pada setiap kabupaten dipilih dua puskesmas dan 1 (satu) rumah sakit,
dengan kriteria.o Prevalensi kasus DBD tinggi dan rendaho Puskesmas di ibukota kabupateno Puskesmas di kecamatan di luar ibu kota kab/kota
Dengan demikian jumlah sampel kabupaten/kota sebanyak 12 buah, 24puskesmas, dan 12 rumah sakit
3.6 Teknik Analisis
Teknik analisis yang dilakukan dalam kajian ini adalah dengan melakukananalisis diskriptif (kualitatif) berdasarkan data dan informasi yang didapat dilapangan, baik berbentuk data sekunder maupun hasil wawancara mendalam.Selanjutnya data hasil pengumpulan di lapangan dikelompokan, diolah danditabulasikan untuk memudahkan dalam proses analisis. Analisis dan interpretsi
selanjutnya data yang sudah dibuat dalam bentuk tabulasi serta berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan responden.Berdasarkan hasil analisis dan temuan yang didapat selanjutnya dilakukan
pembahasan dengan nara sumber dalam bentuk focus group discussion (FGD).mendapatkan rumusan hasil kajian lebih fokus. Hasil FGD disosialisasikan dalam bentuk workshop untuk kemudian dirumuskan dalam bentuk kesimpulan danrekomendasi serta implikasi kebijakan.
PengumpulanData
PengolahanData
AnalisisData
Kesimpulan &Rekomendasi
Kebi akan
- Data Sekunder- Data Primer
(kuesioner & wawancara)
- Mengelompokkan- Mengolah- Mentabulasi
- Interpertasi data- Interpretasi hasil
wawancara
FGD
Gambar 3.4 Tahapan Pelaksanaan Kajian
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 46/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
33
B AB 4H ASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Implem entasi Kebijakan Penan ggulangan DBD
4.1.1 Incidence Rate (IR) dan Case Fatalities Rate (CFR)
Berdasarkan data tahun 1968 sampai dengan tahun 2004, gambaranIncidence Rate (IR) dan Case Fatalities Rate (CFR) penyakit DBD ini dapat dilihatpada Gambar di bawah ini. Angka tertinggi IR terjadi pada tahun 1968, 1988,1999 dan tahun 2004. Pada kurun waktu tahun 2000 – 2004 terjadikecenderungan peningkatan IR. Jika diperhatikan gambaran IR dan CFR (gambar)antara kurun waktu 1968 sampai 2004, terlihat makin menurunnya CFR, hal ini
dimungkinkan makin banyaknya kasus-kasus DBD yang tertangani. Dapat dilihatpada tahun 1998, peningkatan IR yang paling tinggi tidak mengakibatkan CFR meningkat di tahun yang sama. Kesadaran masyarakat mengenai kasus DBD dapatmemperkecil peningkatan CFR, namun demikian, PHBS yang rendah masihmenjadi salah satu pemicu tidak menurunnya kasus IR.
Gambar 4.1 IR & CFR Tahun 1968-2004
0 . 0 0
5 . 0 0
1 0 . 0 0
1 5 . 0 0
2 0 . 0 0
2 5 . 0 0
3 0 . 0 0
3 5 . 0 0
4 0 . 0 0
6 8 6 9 7 0 7 1 7 2 7 3 7 4 7 5 7 6 7 7 7 8 7 9 8 0 8 1 8 2 8 3 8 4 8 5 8 6 8 7 8 8 8 9 9 0 9 1 9 2 9 3 9 4 9 5 9 6 9 7 9 8 9 9 0 0 0 1 0 2 0 3 0 4
T A H U N
I. R
0 . 0 0
5 . 0 0
1 0 . 0 0
1 5 . 0 0
2 0 . 0 0
2 5 . 0 0
3 0 . 0 0
3 5 . 0 0
4 0 . 0 0
4 5 . 0 0
C F R
IR C F R
IR & CFR DBD DI INDONESIA TAHUN 1968-2004
Apabila dilihat secara khusus per bulan selama kurun waktu 2003 - 2004,maka kecenderungan terjadinya peningkatan kasus DBD lazimnya dimulai padaakhir bulan Desember sampai dengan terbanyak yang lazimnya terjadi pada sekitar bulan Februari – Maret (lihat Gambar 1.7. di bawah ini). Tingginya curah hujanmenyebabkan banyaknya genangan-genangan air yang memudahkan nyamuk untuk berkembangbiak, dan tidak terlaksananya program baik PSN
Sumber: Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL, Depkes, 2005
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 47/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
34
(Pemberantasan Sarang Nyamuk) maupun 3M mengakibatkan kecenderunganpeningkatan kasus DBD.
PERKEMBANGAN KASUS DBD NASIONAL PER BULAN
2003-2004
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC JAN FEB MAR APR
KASUS
2003 2004
K A S U S N A I K
Sementara itu, data tahun 2005 – 2006, menunjukkan bahwakecenderungan peningkatan kasus DBD per bulan hampir sama polanya dengantahun 2003 – 2004, yaitu pada bulan akhir Desember (lihat Gambar 1.7.a). Hal iniada kaitannya dengan pergantian musim kemarau ke musim hujan.
KASUS DBD PER BULAN DI INDONESIA
TAHUN 2005-2006
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
35,000
KASUS 9,4119,8 30,06,77 2,791,76 1,271,10 908 992 1,592,94 6,4 10,97,61 5,035,65 5,355,03 8,526,99 7,6110,7 15,3 18, 14, 11, 7,0 335
JAN FEBMA APRMA JUN JUL AUGSEPOCTNOVDECJAN FEBMA APRMA JUN JUL AUGSEPOCTNOVDESJAN FEBMA APRMA
2,004 2,005 2006
Sumber: Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL, Depkes, 2005
Gambar 4.2 Perkembangan K asus DBD Nasional Per Bulan
Sumber: Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL, Depkes, 2005
Gambar 4. 3 Kasus DBD Per Bu lan di Indonesia, tahun 2005-2006
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 48/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
35
Gambar 4.4
JUMLAH KASUS DBD DI INDONESIA TAHUN 2004 DAN 2005
(SITUASI SD TGL 19 JUNI 2006)
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
16000
18000
20000
20052006
2005 6475 10916 7610 5033 5652 5357 5,034 8528 6997 7610 10712 15355
2006 18,01 14,143 11,418 7,028 335
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Total sd Akhir Mei 2005: 35.686
Total sd Akhir Mei 2006: 50.935
JUMLAH KASUS DBD DI INDONESIA TAHUN 2005 & 2006
(s/d 19 Juni 2006)
Sumber: Subdit Arbovirosis, Ditjen PP&PL, Depkes, 2005
Berdasarkan gambar 1.7; 1.7a; dan 1.8, seperti di atas, data tahun 2003hingga Juni 2006, terlihat pola yang jelas mengenai kecenderungan peningkatankasus DBD, yaitu kecenderungan terjadinya peningkatan kasus DBD pada akhir bulan Desember sampai dengan kasus terbanyak pada bulan Februari – Maret.Hal ini menurut beberapa hasil analisa ada kaitannya dengan pergantian musimkemarau ke musim hujan.
4.1.2 Kebijakan Penanggulangan Penyakit DBD
Departemen Kesehatan telah melewati pengalaman yang cukup panjangdalam penanggulangan penyakit DBD. Pada awalnya strategi utamapemberantasan DBD adalah pemberantasan nyamuk dewasa melalui pengasapan.Kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan keTempat Penampungan Air (TPA). Kedua metode ini sampai sekarang belummemperlihatkan hasil yang memuaskan dimana terbukti dengan peningkatankasus dan bertambahnya jumlah wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan vaksin untuk membunuh virus dengue belum ada, maka cara yang paling efektif untuk mencegah penyakit DBD ialah dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) yang dilaksanakan oleh masyarakat/keluarga secara teratur setiap seminggusekali.Kebijakan dalam rangka penanggulangan menyebarnya DBD adalah (1)
peningkatan perilaku dalam hidup sehat dan keamandiriian masyarakat terhadappenyakit DBD, (2) meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat terhadappenyakit DBD, (3) meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi programpemberantasan DBD, dan (4) memantapkan kerjasama lintas sektor/lintasprogram.
Strategi dalam pelaksanaan kebijakan di atas dilakukan melalui
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 49/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
36
(1) Pemberdayaan masyarakat,
Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam pencegahan dan penanggulanganpenyakit DBD merupakan salah satu kunci keberhasilan upaya pemberantasanpenyakit DBD. Untuk mendorong meningkatnya peran aktif masyarakat, maka
upaya-upaya KIE, social marketing, advokasi, dan berbagai upaya penyuluhankesehatan lainnya dilaksanakan secara intensif dan berkesinambungan melalui berbagai media massa dan sarana.
(2) Peningkatan Kemitraan Berwawasan Bebas dari Penyakit DBD,Upaya pemberantasan penyakit DBD tidak dapat dilaksanakan oleh sektorkesehatan saja, peran sektor terkait pemberantasan penyakit DBD sangatmenentukan. Oleh sebab itu, maka identifikasi stakeholders baik sebagai mitramaupun pelaku potensial, merupakan langkah awal dalam menggalang,meningkatkan dan mewujudkan kemitraan. Jaringan kemitraandiselenggarakan melalui pertemuan berkala, guna memadukan berbagaisumber daya yang tersedia di masing-masing mitra. Pertemuan berkala sejak dari tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan, pemantauan dan penilaian.
(3) Peningkatan Profesionalisme Pengelola Program,SDM yang terampil dan menguasai IPTEK merupakan salah satu unsur pentingdalam pelaksanaan program P2 DBD. Pengetahuan mengenai Bionomic vektor, virology dan faktor-faktor perubahan iklim, tata laksana kasus harus dikuasaikarena hal-hal tersebut merupakan landasan dalam penyususnankebijaksanaan program P2 DBD.
(4) Desentralisasi,Optimalisasi pendelegasian wewenang pengelola kepada kabupaten/kota.
Penyakit DBD hampir tersebar luas di seluruh Indonesia kecuali di daerah yangdi atas 1000 m diatas permukaan air laut. Angka kesakitan penyakit ini bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lain, dikarenakan perbedaansituasi dan kondisi wilayah.
(5) Pembangunan Berwawasan Kesehatan Lingkungan.Meningkatnya mutu lingkungan hidup dapat mengurangi angka kesakitanpenyakit DBD karena di tempat-tempat penampungan air bersih dapatdibersihkan setiap minggu secara berkesinambungan, sehingga populasi vektorsebagai penular penyakit DBD dapat berkurang. Orientasi, sosialisasi, dan berbagai kegiatan KIE kepada semua pihak yang terkait perlu dilaksanakan
agar semuanya dapat memahami peran lingkungan dalam pemberantasanpenyakit DBD.
Pokok-pokok program pemberantasan DBD mencakup (1) Kewaspadaandini DBD, (2) Pemberantasan vektor melalui PSN dengan cara 3M Plus, danpemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap 3 bulan sekali, (3) BulanBakti gerakan ”3M”, (4) Penanggulangan kasus, dimana Puskesmas melakukan
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 50/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
37
penyelidikan epidemiologi (PE) untuk mengurangi persebaran lebih luas dantindakan yang lebih tepat, (5) penanggulangan KLB, (6) peningkatanprofesionalisme SDM, (7) Pendekatan Peran Serta Masyarakat dann PSN DBD, (8)Penelitian.
Implementasi kebijakan, strategi dan program penanggulangan DBD didaerah lokasi kajian dilaporkan sebagai berikut:
Propinsi RiauKebijakan Daerah mecakup (1) pemberantasan DBD diselenggarakan
dengan menggunakan penatalaksanaan kasus secara cepat dan tepat, komunikasiperubahan perilaku, pengendalian faktor resiko dan penyehatan lingkungan, (2)mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilans epidemiologi dengan fokuspemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, sebagai dasar tindak lanjutperencanaan program dan penanggulangan KLB, (3) memantapkan jejaring lintasprogram, lintas sektor, kab/kota, serta kemitraan dengan masyrakat (LSM)termasuk swasta, (4) menyiapkan pengadaan dan distribusi kebutuhan obat-obatan dan bahan-bahan yang esensial, (5) meningkatkan kemampuan penggaliansumberdaya daerah dan sumberdaya masyarakat dalam pengelolaan programP2M.
Strategi yang dilakukan mencakup (1) intensifikasi pelaksanaan kasusmelalui pencarian kasus dan pemutusan rantai penularan, perbaikan manajemenkasus diagnostik dan pengobatan serta rujukan, (2) surveilans epidemiologi,melalui perencanaan, pemantauan dan informasi program pemberantasanpenyakit dan meningkatkan kewaspadaan di semua tingkat administrasi.
Program yang dilakukan mencakup (1) kewaspadaan dini DBD melaluipenyuluhan intensif, pelatihan tenaga puskesmas dan rumah sakit, danmenyiapkan sarana pemeriksaan untuk diagnosa melaksanakan PE dan
penanggulangan fokus, (2) pemberantasan vektor, melalui penyediaan insektisidadan larvasida, melengkapi sarana pemberantasan vektor, menyiapkan juknis dan juklaknya, (3) meningkatkan SDM, melalui pelaksanaan pertemuan berkalaPokjanal/Pokja DBD, pelatihan tenaga operasional, pembinaan dalam pelaksanaangerakan 3M.
Hasil implementasi kebijakan. Strategi dan program adalah (1) pertemuandengan tim pokjanal DBD propinsi Riau menghasilkan beberapa kesepakatan yangmenitikberatkan pada peran aktif dari pokja/pokjanal DBD dengan melibatkanmasyarakat, lintas program dan lintas sektor terkait serta mengaktifkan kembaliperan UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk menggerakkan anak sekolah dalampemberantasan demam berdarah. Tim Pokjanal DBD terdiri dari unsur-unsur
Diknas, PMD, Bappeda, PKK, Dinkes, Depag dan pihak legislatif, (2) Di KotaPekanbaru, Tim Pokjanal DBD diketuai oleh Walikota, sedangkan sekretariat berada di kantor Dinas Kesehatan, (3) Bila terjadi KLB, tersedia pos untuk penanggulangan, yaitu dana tak terduga, dana bencana dan dana belanja rutinsekretariat daerah. Ketiga dana tersebut diatas berasal dari dana Kantor Walikota,sedangkan dana dari Dinas Kesehatan diutamakan untuk membeli peralatan dankegiatan yang sifatnya pencegahan. Dana KLB dianggarkan dengan menggunakanpola kinerja artinya bila KLB tidak terjadi, maka uang tidak bisa dicairkan. Bila
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 51/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
38
terjadi KLB, uang dicairkan, maka kinerjanya akan dipertanyakan (3) DisampingTim Pokjanal DBD, Kota Pekanbaru juga memiliki Forum Perkampungan Sehat,diketuai oleh Bappeda dan sekretariat juga berada di Bappeda. Kegiatan pokok adalah melakukan rapat lintas sektor untuk menangani masalah-masalahkhususnya penyakit menular.
Propinsi Jawa B aratKebijakan penanggulangan di Jawa Barat secara umum mengacu pada
kebijakan dan program yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (Pusat), yaitu mencakup 1) Kewaspadaan dini DBD, (2) Pemberantasan vektor melalui PSNdengan cara 3M Plus, dan pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap3 bulan sekali, (3) Bulan Bakti gerakan ”3M”, (4) Penanggulangan kasus, dimanaPuskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) untuk mengurangipersebaran lebih luas dan tindakan yang lebih tepat, (5) penanggulangan KLB, (6)peningkatan profesionalisme SDM, (7) Pendekatan Peran Serta Masyarakat dannPSN DBD, (8) Penelitian.
Strategi pelaksanaan kebijakan penanggulangan DBD di Propinsi JawaBarat dilakukan melalui (1) pendekatan ”gerak cepat” dan putus rantai, yaitu padasetiap kasus petugas siap melakukan PE sehingga ditemukan akar permasalahandan sumber penyebabnya untuk kemudian dilakukan tindakan agar tidak menyebar ke tempat lain, (2) upaya preventif yang dilakukan melalui ”managing vector and environment” malalui gerakan 3M yang dilakukan secara lintas sektordalam wadah Pokjanal DBD, (3) Upaya peningkatan kemampuan tenaga kesehatandalam penanggulangan DBD secara kuratif dilakukan melalui ”workshop tatalaksana” dengan melibatkan dokter spesialis dan urusan dalam, (4) Pelibatanpartisipasi masyarakat melalui gerakan PSN setiap hari Jumat pagi, fogging focus massal, dan melakukan ”CLEAN-UP” lingkungan yang dipimpin oleh walikotaselama 1-2 jam, pemeriksaan jentik dengan memberdayakan tenaga jumantik, (5)
Pelibatan lintas sektor, (6) Sosialisasi Pola Hidup Bersih (PHBS).Hasil pelaksanaan program ditunjukkan antara lain (1) pemantauan jentik
belum optimal dilakukan oleh kader dengan alasan terbatasnya dana operasional,kesibukan kader, dan tidak seimbangnya jumlah kader dengan cakupan daerah yang harus diselidiki, (2) Fogging dilaksanakan apabila terjadi KLB denganmenggunakan dana yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten denganperuntukan untuk larvasidasi dan abatesisasi.
Propinsi Jawa TimurKebijakan daerah mencakup (1) upaya penanggulangan masalah-masalah
kesehatan yang dilakukan merupakan hasil dari kajian surveilans epidemiologi, (2)
kegiatan surveilans epidemiologi dilaksanakan oleh tim fungsional di masing-masing tingkat mulai dari Puskesmas, kab/kota, dan propinsi, (3) komitmen daripimpinan unit penyelenggara kesehatan diperlukan untuk kegiatan surveilansepidemiologi, (4) penemuan kasus dilaksanakan secara bekerjasama denganmasyarakat, dokter, praktek swasta, bidan, perawat, dukun bayi dan kendaraankesehatan.
Strategi dalam penanggulangan DBD dilakukan melalui (1) penemuan kasusdan kematian melalui surveilans di rumah sakit, puskesmas dan masyarakat, (2)
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 52/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
39
pencarian kasus tambahan dilakukan pada saat penyelidikan epidemiologi, (3)penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dicurigai pada daerah yang resikorendah, (4) melakukan kajian epidemiologi harus bekerjasama dengan lintasprogram dan lintas sektor, (5) melakukan studi epidemiologi pada daerah dengankinerja yang tidak baik.
Pelaksanaan program penanggulangan DBD mencakup (1) SKD-KLBmelalui kegiatan pengumpulan data baru dari penyakit-penyakit yang berpotensiKLB, mengamati indikasi pra-KLB misal cakupan program, status gizi, perilakumasyarakat, pengolahan dan analisis data untuk penyusunan rumusan kegiatanperbaikan oleh tim epidemiologi, (2) penyelidikan dan penanggulangan KLB,melalui persiapan penyelidikan lapangan, memastikan diagnostik etiologi,menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB, mengidentifikasi danmenghitung kasus atau paparan, mendeskripsikan kasus berdasarkan waktu, orangdan tempat, membuat cara penanggulangan sementara, mengidentifikasikansumber dan cara penyebaran, mengidentifikasikan keadaan penyebab KLB,merencanakan penelitian lain yang sistematis, menetapkan rekomendasi carapencegahan dan penanggulangan, menetapkan sistem penemuan kasus baru.
Propinsi Kalimantan TimurKebijakan Daerah yang dilakukan mencakup (1) Pemberantasan DBD
diselenggarakan dengan menggunakan penatalaksanaan kasus secara cepat dantepat, perubahan perilaku dalam pola hidup bersih dan sehat, penyehatanlingkungan, (2) mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilans epidemiologidengan fokus pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, dan (3)Membangun kerja sama lintas sektor, kerja sama dengan dengan masyarakat danswasta.
Strategi yang dilakukan mencakup (1) peningkatan pencarian kasus danpemutusan rantai penularan perbaikan manajemen pengobatan serta rujukan, (2)
Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi. Pokok-pokok Program yang dilakukanmencakup Kewaspadaan Dini DBD; penyuluhan, pelatihan tenaga kesehatan,pelaksanaan PE, (2) Pemberantasan vector; penyediaan insektisida dan larvasida,melengkapi sarana pemerantasan vektor, (3) Pelatihan tenaga surveilens(pelatihan epidemiologi, pertemuan berkala Pokjanal/Pokja DBD, pelaksanaangerakan 3M.
Gambaran implementasi adalah (1) Pelaksanaan penanggulangan DBDmelibatkan masyarakat, lintas program dan lintas sekor terkait, (2) Tim PokjanalDBD diketuai oleh Walikota, beranggotakan kepala – kepala dinas yang ketikadiadakan rapat-rapat selalu dihadiri oleh personal yang berlainan, (3) Untuk tahun
2005, APBD mengalokasikan dana 500 juta untuk penanggulangan KLB dan habisuntuk penanggulangan KLB DBD, (4) Di samping Tim Pokjanal DBD, KotaBalikpapan memiliki Yayasan DBD yang ketuanya adalah kasubdin P2M Dinkesdan didanai oleh perusahaan minyak swasta, (5) Dinas kesehatan kota Balikpapanselalu melaksanakan pendataan DBD dengan rutin, sehingga sesuai data memangDBD di Kota Balikpapan tinggi, (6) Pelatihan khusus tentang epidemiologi dansurveillens baru dilakukan 1 kali dalam 5 tahun terakhir.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 53/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
40
Propinsi Sulawe si Selatan
Upaya penanggulangan kejadian luar biasa (KLB)/penyakit menular,khususnya penyakit DBD di Propinsi Sulawesi Selatan, pada dasarnyadilaksanakan berpedoman pada arah kebijakan dan program dari PemerintahPusat (Departemen Kesehatan). Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan
selanjutnya menyusun Prosedur Tetap (Protap) Penanggulangan DBD sebagaipedoman/acuan pelaksanaan kegiatan Dinas Kesehatan Propinsi dan DinasKesehatan Kabupaten/Kota.
Materi yang disusun dalam prosedur tetap (Protap) ini adalah langkah-langkah penanggulangan DBD sebagai berikut: (1) Kewaspadan Dini, melaluipenemuan dan pelaporan penderita, penanggulangan fokus, bulan kewaspadaanDBD, pemantauan jentik berkala, (2) Pemberantasan Nyamuk Penular DBDterhadap nyamuk dewasa dan jentik nyamuk, (3) Penanggulangan KLB, melaluipenyuluhan, gerakan PSN, abatisasi, dan fogging massal, (4) Peningkatan SDM,melalui pelatihan petugas kesehatan.
Implementasi kebijakan penanggulangan DBD di Sulawesi Selatan antaralain (1) Kewaspadaan Dini, menghasilkan penemuan dan pelaporan penderita,penyuluhan intensif melalui media cetak dan elektronik, pemantauan jentik berkala di berbagai kabupaten endemis dengan sasaran masing-masing 100rumah, pertemuan Kewaspadaan Dini DBD sebanyak 4 kali melibatkan sektorterkait, lintas program dan kabupaten/kota terdekat, (2) Penanggulangan KLBmenemukan jumlah kasus KLB DBD tahun 2005 sebanyak 66 kasus, sedangkantahun 2004 jumlah KLB DBD sebanyak 88 kasus, (3) Peningkatan Sumber DayaManusia, melakukan pelatihan tatalaksana DBD bagi dokter di rumah sakit padadaerah endemis, pelatihan bagi pengelola program P2 DBD di 23 kab/kota,pembinaan di 23 kab/kota.
Propinsi Nusa Tenggara Bar at
Pedoman surveilans dan KLB kurang operasional. Dinkes Propinsi NusaTenggara Barat membuat pedoman operasional yang berisi ”step by step”metodologi penanggulangan DBD. Di kabupaten Lombok Tengah, pengamatan bebas jentik dilakukan oleh murid-murid sekolah dan telah terbukti cukup efektif untuk dapat direflikasi di daerah lain. Pada pelaksanaan di Puskesmas, dukungandana surveilans tertolong oleh adanya subsidi dari Askeskin, terutama untuk insentif tenaga kesehatan dan kader.
Surveilans dilaksanakan pada tingkat dinas kesehatan propinsi, kab/kota
dan puskesmas. Namun terdapat ”gap” pelaksanaan/penanganan KLB, dimanaperan puskesmas sangat kecil karena dukungan dana dan personil sangat kecil.Dengan demikian Puskesmas sebagai fasilitas yang paling dekat denganmasyarakat tidak dimanfaatkan dengan baik dalam penanggulangan KLB DBD.
4.1.3 Kendala Penanggulangan DBD
Kendala penting yang masih terjadi saat ini adalah kurang atau tidak adanya koordinasi dari instansi-instansi yang seharusnya terkait dalam menangani
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 54/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
41
DBD sehingga menimbulkan masalah tersendiri di lapangan. Penanganan DBDtidak semata-mata tugas Dinas Kesehatan, melainkan juga terkait dengan instansilainnya. Instansi-instansi yang mengatur tata kota dan permukiman, kebersihandan lingkungan hidup, bahkan Dinas Pendidikan, serta instansi penyedia saranaair bersih (PDAM) juga harus ikut pula berpartisipasi. Sebagai contoh, selama
PDAM belum mampu menyediakan air bersih untuk seluruh penduduk, makapenduduk masih terpaksa menyiapkan bak mandi dan tandon-tandon air (yangdapat menjadi sarang nyamuk) untuk menampung air yang sering hanya menetes bahkan mampet. Karena itu, sarang-sarang nyamuk Aides akan tetap ada disepanjang tahun, baik di musim penghujan maupun di musim kemarau. Dengandemikian, populasi nyamuk Aides dewasa yang mempunyai potensi menyebarkan virus dengue juga akan selalu dijumpai dan menjadi sumber penularan disepanjang tahun.
Kebijakan desentralisasi juga berpengaruh terhadap koordinasi antara pusatdan daerah dalam kewenangan penanganan DBD. Kebijakan tersebut terkaitdengan anggaran kesehatan untuk pencegahan serta pemberantasan penyakit
menular, yang memang membutuhkan biaya sangat tinggi. Dengan adanyakewenangan penanganan yang didaerahkan terkadang menyulitkan dalamkoordinasi penganggaran. Pihak daerah seringkali kewalahan dalam penyediaan biaya operasional penanganan penyakit karena keterbatasan sumberdaya, baik dana maupun tenaga. Disisi lain adanya desentralisasi sumberdaya yang dimiliki,pemerintah pusat mengalami kendala dalam pendistribusiannya ke daerah. Hal inimenjadi faktor penghambat praktek penanganan kasus di lapangan.
4.2. Kinerja Surveilans dan Pe
4.3. 4.4. nanggulangan DBD
Kajian P2M KLB DBD dilakukan di enam propinsi, yaitu propinsi Riau,Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa TenggaraBarat. Pada tiap propinsi dilakukan kunjungan dan wawancara terhadap 2kabupaten/kota, dan di tiap kabupaten/kota tersebut, dilakukan kunjungan kedinas kesehatan kabupaten/kota, 2 puskesmas dan 1 Rumah Sakit, sertamelakukan wawancara ke Bappeda dan masyarakat.
Beberapa kendala yang ditemukan di lapangan, diantaranya:
1. Sumber informan yang seharusnya dan pada saat yang bersamaan tidak beradadi tempat sehingga dilakukan wawancara terhadap informan pengganti.2. Responden yang diharapkan sebagai informan tidak sesuai, hal ini dikarenakan
adanya perubahan posisi (rolling) yang terjadi beberapa bulan sebelumkunjungan.
3. Adanya intervensi dalam pemilihan responden di tingkat dinas.4. Adanya intervensi dari pendamping (orang dinas) dalam wawancara di tingkat
Kab/kota, puskesmas dan rumah sakit.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 55/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
42
5. Ketidaklengkapan data dikarenakan keterbatasan waktu dalam pengumpulandata 3 tahun terakhir (tahun 2003-2005).
6. Kesulitan pada proses wawancara di beberapa puskesmas dan RS dikarenakan waktu wawancara dilakukan pada saat jam kerja.
4.2.1 Indikator Kinerja Sur veilans dan Penanggulangan KLB
(1) Indikator K inerja Surveilans
Peta RawanIndikator Kinerja Surveilans bisa dilihat dari peta rawan, DP-DBD, K-DBD,
W2 DBD, dan W1. Indikator kinerja surveilans tersebut tidak sepenuhnyamerupakan indikator surveilans. Tabel di bawah ini memperlihatkan persentasekeberadaan indikator tersebut di Dinkes Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS danPuskesmas. Berdasarkan data tersebut terlihat 4 dari 5 dinkes propinsi memilikipeta rawan sebagai salah satu indikator kinerja surveilans. Begitu pula padatingkat dinkes kab/kota, dari 12 dinkes kab/kota sebanyak 10 dinkes kab/kota atau83,3% memiliki peta rawan. Tidak demikian dengan Rumah Sakit, dari sebanyak 12 rumah sakit kab-kota yang menjadi lokasi kajian, tak satupun memiliki petarawan DBD. Hal ini dapat dipahami berkaitan dengan fungsi rumah sakit sebagaiunit rujukan yang berperan melakukan tindakan medis atas kejadian kasus.Sementara di Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan dasar, peta rawan tidak tersedia disemua puskesmas. Dari 19 puskesmas yang dikunjungi, hanya 11(52,4%) yang memiliki peta rawan.
Tabel 4.1Distribusi Indikator Kinerja Surveilans di Dinkes
Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesm as
INDIKATOR KINERJA
DINKESPROPINSI
(nto= 5, 1 miss )
DINKESKAB/KOTA
(ntot =12)
RUMAHSAKIT
(ntot =12, 6 miss)
PUSKESMAS(ntot =24, 5 miss)
jml % jml % jml % jml %
Peta rawan 4 80.0 10 83.3 0 0.0 11 52.4
DP-DBD 4 80.0 7 58.3 1 16.7 9 42.9
K-DBD 3 60.0 6 50.0 1 16.7 12 57.1
W2-DBD 3 60.0 9 75.0 5 83.3 15 71.4 W1 4 80.0 9 75.0 5 83.3 12 57.
Sumber: Data Lapangan, 2006
Selain peta rawan, indikator kinerja surveilans lainnya adalah DP-DBD, K-DBD, W2-DBD dan W1. Dari tabel di atas tergambarkan di tingkat propinsi datatersebut hampir semuanya tersedia. Sedangkan di tingkat kab/kota indikatorkinerja surveilans yang dimiliki dinkes kab/kota dan RS lebih banyak pada
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 56/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
43
indikator W2 DBD dan W1. Sedangkan di tingkat Puskesmas, keberadaaan data-data tersebut relatif tersedia, walau tidak semua puskesmas memilikinya.
Di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota, pengumpulan data surveilansdilakukan oleh dua bagian, seksi surveilans dan program pemberantasan penyakit(dalam hal ini program DBD/pemberantasan penyakit bersumber binatang).
Surveilans hanya menerima laporan yang berkaitan dengan KLB, dalam hal inilaporan W1. Sementara, laporan peta rawan, W2, DP-DBD, dan K-DBD, diperolehdari bagian program pemberantasan DBD. Sehingga, informasi mengenai ke limaindikator, merupakan gabungan dari bagian seksi surveilans dan programpemberantasan penyakit (DBD).
Dari hasil keseluruhan memperlihatkan adanya persentase yang tinggidalam hal kinerja ditingkat propinsi. Yang perlu diperhatikan adalah meskipunsemua indikator terpenuhi, namun apakah laporan tersebut tepat waktu atautidak. Seperti halnya di propinsi Riau, setelah kejadian KLB laporan W2 seringkaliterlupakan untuk dilaporkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota. Pada tingkatanrumah sakit, ketiadaan indikator di atas karena pendekatan rumah sakit yang lebihkepada kuratif. Lokasi yang tercakup dalam peta rawan kadang kali tidak kecil. DiSamarinda, karena merupakan kota endemis, maka peta rawan adalah seluruhkota Samarinda itu sendiri.
Diseminasi InformasiKinerja surveilans juga diukur berdasarkan indikator diseminasi informasi
seperti terlihat pada tabel di bawah ini. Penerbitan bulletin kajian epidemiologiternyata lebih banyak dilakukan oleh Dinkes propinsi. Demikian pula untuk pembuatan profil surveilans epidemiologi. Laporan umpan balik dari propinsisudah dilakukan oleh sebagian dinkes propinsi, dinkes kab/kota dan puskesmas.Laporan umpan balik ke RS sangat jarang dilakukan. Pada level puskesmas, 76%puskesmas sudah menerima laporan umpan balik dari Pemda kab/kota; sementara
untuk rumah sakit hanya 1 buah rumah sakit saja yang menerima laporan umpan balik dari Pemda kab/kota.
Pada tingkat puskesmas, hanya pertanyaan mengenai adanya umpan balik dari kabupaten dan profil surveilans epidemiologi yang ditanyakan. Ke duapertanyaan lainnya (penerbitan epidemiologi dan laporan umpan balik daripropinsi) tidak berkaitan langsung pada aktifitas puskesmas.
Dalam pembuatan laporan, faktor ketepatan juga sangat penting. Di Dinkeskota Samarinda, meskipun kelengkapan laporan puskesmas mencapai 90-100%,namun ketepatannya hanya 60% saja. Pembuatan laporan pun tidak dilakukansetiap hari. Kadangkala diperlukan pengiriman informasi melalui short messagesystem (sms dengan hand phone) untuk melaporkan kejadian BDB.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 57/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
44
Tabel 4.2Distribusi Indikator Diseminasi Inform asi Surveilans di Dinkes
Propinsi, Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesm as
INDIKATOR KINERJA
DINKESPROPINSI(ntot=6)
DINKESKAB/KOTA ntot =12)
RUMAHSAKIT(ntot =12)
PUSKESMAS(ntot =24)
jml % jml % jml % jml %
Penerbitan buletin kajianepidemiologi
3 75.0 1 11.1 0 0.0 2 15.4
Laporan umpan balik dari
propinsi2 50.0 6 66.7 2 28.6 7 53.8
Laporan umpan
balik darikab/kota (untuk RS & puskesmas)
1 14.3 10 76.9
Profil survaeilansepidemiologi
3 75.0 5 55.6 0 0.0 1 7.7
Sumber: Data Lapangan, 2006
(3) Indikator Kinerja Penanggulangan
Data Kasus
Hasil kinerja surveilans dan penanggulangan diukur dengan penemuankasus, angka kematian dan Case Fatality Rate (CFR). Grafik diatas inimemperlihatkan dari ke 6 lokasi kajian.
Gambar 4.5 Data Kasus DB D di Lokasi Kajian
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 58/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
45
DATA KASUS DBD DI LOKASI KAJIAN
TAHUN 2003-2005
0
5000
10000
15000
20000
RIAU 739 1059 1897
JABAR 8932 19012 18590
JATIM 4243 8321 14796
KALTIM 2276 3165
SULSEL 2628 4175 3164
NTB 198 805 1062
2003 2004 2005
Sumber: Ditjen PP & PL Depkes RI, 2006
Berdasarkan gambar tersebut terlihat propinsi Jawa Barat memiliki kasusDBD yang paling banyak, disusul dengan Propinsi Jawa Timur. Sedangkan kasusterendah terjadi di propinsi Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan data tersebutkecenderungan data selama tahun 2003-2005 menunjukkan peningkatan kasus disemua propinsi. Grafik ini adalah data yang diambil di Dinkes propinsi.
Gambar 4.6 Data Kem atian DBD di Lokasi Kajian
Sumber: Ditjen PP & PL Depkes RI, 2006
Sementara untuk jumlah kematian, grafik di atas memperlihatkan jumlahkematian tertinggi di Jabar disusul dengan Jatim. NTB adalah propinsi terendah
DATA KEMATIAN DBD DI LOKA SI KAJIAN TAHUN 2003-2005
0
50
100
150
200
250
300
RIAU 6 21 32
JABAR 201 214 285
JATIM 59 120 254
KALTIM 41 82
SULSEL 39 25 59
NTB 8 16 15
2003 2004 2005
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 59/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
46
dalam jumlah kematian. Dari data yang dicatat dinkes propinsi selama tahun2003-2005 menunjukkan sejumlah propinsi mengalami peningkatan jumlahkematian, yaitu di propinsi Riau, Jabar, Jatim, Kaltim, dan Sulsel.
Salah satu penyebab tingginya kasus DBD adalah faktor geografis danperilaku masyarakat. Seperti terjadi di Samarinda, di sana banyak perumahan
penduduk yang tersebar di pulau-pulau kecil sehingga menyulitkan petugas untuk memantau. Sementara Dinkes tidak memiliki kendaraan untuk menjangkaunya.Masyarakat pun memiliki kebiasaan menampung air hujan (tadah hujan) yangmenambah habitat jentik. Tipe rumah panggung yang merupakan ciri masyarakatasli Kaltim turut menambah risiko pertumbuhan habibat jentik karena biasanya bagian bawah rumah tergenang air buangan rumah tersebut dan menjadi sarangnyamuk.
Gambar 4.7Case Fatality Rate (CFR)DBD di Lo kasi Ka jian
CASE FATALITY RATE (CFR) DBD DI LOKASI KAJIAN
TAHUN 2003-2005
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
4.00
4.50
RIAU 0.81 1.98 1.69
JABAR 2.25 1.13 1.53
JATIM 1.39 1.44 1.72
KALTIM 0.00 1.80 2.59
SULSEL 1.48 0.60 1.86
NTB 4.04 1.99 1.41
NAS 1.5 1.2 1.36
2003 2004 2005
Sumber: Ditjen PP & PL Depkes RI, 2006
Untuk melihat kinerja penanganan kasus, khususnya pada rumah sakit yang berfungsi kuratif, dapat dilihat dengan indikator CFR. Indikator ini menunjukkan jumlah penderita DBD yang meninggal dari tiap 100 penderita DBD. Grafik di atasmemperlihatkan pada tahun 2003, CFR tertinggi adalah NTB, bahkan di atasangka nasional. Pada tahun 2004 CFR di lokasi kajian terlihat rendah. Namun bila
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 60/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
47
dibandingkan dengan angka nasional, CFR sejumlah propinsi lebih tinggi. Padatahun 2004, CFR yang paling tertinggi dimiliki oleh Riau dan NTB. Pada tahun2005, angka CFR kembali meningkat di bandingkan tahun sebelumnya. SemuaCFR berada di atas angka nasional. CFR tertinggi pada tahun 2005 adalah dipropinsi Kaltim.
Data pada grafik memperlihatkan pula adanya kenaikan CFR dari tahun2003-2005 di sejumlah propinsi yaitu Jatim, Kaltim dan NTB. Sementara dipropinsi lain CFR terlihat fluktuatif (naik dan turun).
4.2.2 Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Kinerja Surveilansdan Kinerja Penanggulangan KLB
(1) Tenaga
Tenaga adalah sumberdaya manusia dari pihak provider kesehatan yang
terlibat langsung dalam kegiatan surveilans maupun penanggulangan KLB. Padatingkat dinkes propinsi, komposisi jenis tenaga yang bertugas dalam pelaksanaansurveilans dan penanggulangan terbanyak adalah S1 dan S2 Epidemiologi;sementara di tingkat dinkes kab/kota adalah dokter umum dan tenaga pendukunglaibnya. Lulusan S1 dan S2 Epidemiologi lebih banyak berperan sebagai tenagasurveilans, sementara dokter umum berperan sebagai tenaga penanggulanganKLB.
Yang dimaksud tenaga pendukung/lainnya adalah tenaga yang berprofesi/ berpendidikan perawat, lulusan SMA, lulusan D3, APK, kesehatan lingkungan/sanitasi, manajemen kesehatan, staf administrasi, teknik lingkungan, tenaga
fogging, ahli gizi, SKM, tenaga rekam medis, dokter gigi, dan kaderkesehatan/posyandu.
Tabel 4.3Distribusi Jenis Tenaga di Dinkes Pr opinsi dan Dinkes K ab/Kota
DINKES PROPINSI DINKES KAB/KOTA
SURVEILANSPENANGGULA
NGAN KLBSURVEILANS
PENANGGULA NGAN KLBJENIS TENAGA
Jml % jml % jml % jml %
S2 Epidemiologi 9 20.9 1 4.8 3 8.6 5 2.7
S1 Epidemiologi 15 34.9 3 14.3 14 8.6 17 9.1
Dokter umum 5 11.6 4 19.0 4 8.6 65 34.9
Epidemiologiterampil
4 9.3 2 9.5 8 8.6 6 3.2
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 61/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
48
Analis Laboratorium 0 0.0 1 4.8 0 8.6 35 18.8
Pendukung/lainnya 10 23.3 10 47.6 6 8.6 59 31.7
Jumlah 43 100.0 21 100.0 35 8.6 187 100.5
Sumber: Data Lapangan, 2006
Di Rumah Sakit, dokter umum paling banyak terlibat dalam kegiatansurveilans maupun penanggulangan. Hal yang sama juga ditemukan pada tingkatpuskesmas. Banyaknya tenaga dokter untuk penanggulangan di tingkatkabupaten/kota dikarenakan pelaksana operasional penanggulangan KLB beradadi tingkat kabuapten/kota. Sehingga, tenaga dokter yang ada, adalah semua dokter yang berada di puskesmas. Sementara di tingkat puskesmas maupun rumah sakit,tenaga dokter masuk dalam kategori sebagai ‘pengumpul data’, dimana merekasebagai pemeriksa pasien, maupun sebagai tenaga klinis pada saatpenanggulangan. Sementara, peran propinsi hanya sebagai koordinator, sehinggasumber daya yang bersifat klinis tidak banyak tersedia. Seperti halnya di dinaskesehatan propinsi Riau, kepala seksi surveilans adalah seorang dokter denganpendidikan strata dua epidemiologi. Sehingga, dalam pengelompokkandimasukkan dalam tenaga yang mempunyai latar belakang S2 Epidemiologi.
Tabel 4.4Distribusi Jenis Tenaga di RS dan Pu skesmas
RS PUSKESMAS
SURVEILANS
PENANGGULANGANK LB
SURVEILA NS
PENANGGULANGANKLB
JENIS TENAGA
jml % jml % jml % jml %
S2 Epidemiologi 2 4.4 1 1.5 0 0.0 0 0.0
S1 Epidemiologi 1 2.2 0 0.0 5 11.4 4 2.2
Dokter umum 7 15.6 18 27.7 15 34.1 39 21.8
Epidemiologi
terampil 1 2.2 0 0.0 5 11.4 0 0.0
Analis Laboratorium 3 6.7 33 50.8 2 4.5 18 10.1
Pendukung/lainnya 31 68.9 13 20.0 17 38.6 118 65.9
Jumlah 45 100.0 65 100.0 44 100.0 179 100.0
Sumber: Depkes RI, 2006
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 62/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
49
Untuk penanggulangan, terlihat jumlah tenaga dokter umum yang banyak.Hal ini dikarenakan tenaga dokter yang diasumsikan oleh responden adalah tenagadokter yang berada di puskesmas (seluruh puskesmas), yang langsung berada di bawah institusi dinas kesehatan kabupaten/kota dan terlibat sebagai timpenanggulangan. Sementara bila dokter umum tidak terlibat dalam kegiatan
penanggulangan seperti yang terjadi di kabupaten Lombok Tengah, karena mereka berasumsi bahwa yang dimaksud dengan tim penanggulangan adalah timpenanggulangan yang berada di dinas kesehatan kabupaten itu sendiri.
Sementara itu untuk tenaga laboran/laboratorium, ada hal yang menarik dari pernyataan dinas kota pekan baru, “kalau sudah terjadi KLB, untuk apatenaga laboran?”. Hal ini mungkin yang menyebabkan tidak adanya laboran ditingkat dinas kabupaten/kota. Selain itu, laporan kasus yang masuk biasanyapenderita sudah dari rumah sakit, sehingga sudah terlihat hasil laboratoriumnya.Tenaga laboran cenderung banyak di RS yang berfungsi sebagai RS pendidikan,seperti terjadi di RS Mataram. Di tingkat Puskesmas, tenaga perawat atausanitarian sering dijadikan petugas yang merangkap sebagai tenaga surveilans danpenyelidikan epidemiologi (PE).
Di lapangan juga ditemukan masih adanya perbedaan persepsi tentangtenaga surveilans dan tenaga penanggulangan. Di puskesmas Pekanbaru Kota,Puskesmas Tambak Rejo, dan Puskesmas Kota Mataram berpendapat bahwatenaga surveilans merupakan tenaga tersendiri, yaitu orang yang melakukan rekapdata. Sehingga dokter-dokter tidak dianggap bukan tenaga surveilans. Hal yang berbeda di puskesmas lainnya, yang berasumsi bahwa dokter juga merupakantenaga surveilans.
Ketiadaan tenaga epidemiologi pada tingkat rumah sakit salah satunyadisebabkan karena sudah adanya tim pokja DBD seperti yang ada di di RSUDMataram. Di rumah sakit ini yang mengumpulkan data adalah bagian rekam medis
yang bertugas mengumpulkan dan merekap data. Namun, ada pula RS yangmengkategorikan dokter sebagai tenaga surveilans seperti di rumah sakit daerahSiak.
Jumlah tenaga dirasakan masih kurang, seperti yang terjadi di propinsiSulawesi Selatan. Pada Dinas Kesehatan kabupaten atau kota, satu tenaga berperan sebagai tenaga DBD merangkap tenaga untuk program malaria danzoonosis. Bahkan di tingkat puskesmas, satu tenaga juga merangkap sebagaitenaga untuk program DBD, malaria, filariasis dan zoonosis. Perawat atausanitarian puskesmas sering merangkap sebagai tenaga surveilans dan tenagapenyelidikan epidemiologi (PE). Selain jumlah, kualifikasi tenaga masih kurang.Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah pelatihan di dalam atau di luar negeri
seperti terjadi di Jabar. Usaha lain yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsidalam rangka peningkatan kemampuan adalah pembinaan teknis, mengadakanpertemuan/lokakarya, rakor dan melakukan berbagai pelatihan di bidangsurveilans maupun penanggulangan penyakit. Selain pelatihan formal,pengetahuan tim pada umumnya dipenuhi dari pengalaman lapangan dalampenanganan P2M. Khusus Jawa Barat sebagai daerah P2M pengetahuan praktistenaga surveilans dan penanggulangan melebihi pengetahuan bersifat formal
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 63/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
50
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden tentang surveilans olehtenaga surveilans, sejumlah sampel dari daftar tenaga diambil. Pengetahuan inidiukur dengan persepsi terhadap 40 pertanyaan tentang surveilans. Tiappertanyaan mempunyai skala 1 sampai 5 (buruk hingga baik). Data menunjukkan bahwa total skor persepsi surveilans berkisar dari 93-181; rerata 150 dan median
156. Berdasarkan cut off ≥
156 untuk kategori pengetahuan tinggi didapat bahwa85% dari 21 sampel tenaga mempunyai tingkat pengetahuan yang baik. Cut off dipilih median karena distribusi data tidak normal.
Tabel 4.5Persepsi Responden Tentang Surveilans DBD
Total %Tinggi 18 85.7Rendah 3 14.3Total 21 100.0
Sumber: Data Lapangan, 2006
Berdasarkan tabel di atas tergambarkan bahwa pengetahuan para petugas(responden) terhadap pengetahuan surveilans cukup baik. Dari sejumlahresponden yang ditanya, 85,7 % responden menyatakan cukup memahami tentangpengetahuan surveilans, dan 14,3menyatakan kurang memahami. Dari datatersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya pemahaman aparat terhadapprogram surveilans cukup baik.
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden tentangpenanggulangan oleh tenaga penanggulangan, 19 sampel dari daftar tenagadiambil. Pengetahuan ini diukur dengan persepsi terhadap 36 pertanyaan tentangpenanggulangan DBD. Tiap pertanyaan mempunyai skala 1 sampai 5 (buruk hingga baik). Data menunjukkan bahwa total skor persepsi penanggulangan berkisar dari 86-156; rerata 127 dan median 128. Berdasarkan cut off ≥ 128 untuk kategori pengetahuan tinggi didapat bahwa hanya 53 % dari 19 sampel tenagamempunyai tingkat pengetahuan yang baik.
Tabel 4.6Persepsi Responden Tentang Penanggulangan DBD
Tingkat Pengetahuan Total %Tinggi 10 52.6Rendah 9 47.3Total 19 100.0
Sumber: data Lapangan, 2006
Berdasarkan data di atas dapat digambarkan bahwa persepsi respondenterhadap pengetahuan berkaitan dengan penanggulangan DBD cukup baik, yaitu52,6% responden memiliki pengetahuan tinggi dan 47,3% responden memilikipengetahuan rendah. Apabila dibandingkan persepsi responden terhadap
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 64/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
51
pengetahuan berkaitan dengan surveilans dan pengetahuan berkaitan denganpenanggulangan, terlihat persentase responden lebih tinggi dalam pemahamansurveilans. Hal ini menandakan terutama pada praktek di lapangan, dimanasebagian responden adalah tenaga aparat dinas dan tenaga puskesmas yangmemiliki informasi dalam praktek kegiatan surveilans. Sedangkan praktek
penanggulangan dipahami lebih banyak oleh tenaga medis di rumas sakit sebagaiunit rujukan dalam kasus penanganan DBD.
Pengetahuan dalam penyelidikan dan penanggulangan KLB DBD sudah bagus, sesuai dengan standar. Namun pemahaman ditingkat kabupaten/kotasecara general terhadap penanggulangan KLB belum optimal. Dalam operasionaldi lapangan sudah baik karena mereka langsung cepat tanggap untuk menanganiKLB dan mencegah penyebaran lebih luas, namun dalam sistem pelaporan merekamasih ada masalah. Setiap terjadi KLB, kabupaten/kota sering lupa untuk mengirimkan laporan W2 (mingguan), yang sebenarnya merupakan salah satutools untuk melakukan evaluasi. Kalau tidak diminta oleh propinsi,kabupaten/kota tidak mengirimkan.
Data di atas juga menggambarkan masih adanya persoalan berkaitandengan tenaga dalam penanganan DBD khususnya dalam hal koordinasi. Masih banyak ditemukan masalah kurangnya atau lemahnya koordinasi untuk pemberantasan DBD. Di Sulsel terdapat Pokjanal yang terdiri dari lintas sektor.Namun setiap usulan dana dari APBD untuk kegiatan Pokjanal sering tidak mendapat persetujuan Pemda karena urusan DBD dianggap urusan dinaskesehatan. Adanya otonomi daerah pun malah mempersulit koordinasi. Sepertiterjadi di Sulsel, masing-masing kabupaten atau kota dalam melaksanakan tugasdan kewenangannya terkesan tidak memerlukan bantuan dinkes propinsi.
(2) Dana
Masalah pembiayaan dalam penanggulangan penyakit DBD menjadipermasalahan yang dihadapi setiap tahunnya oleh Dinas Kesehatan karena alokasianggaran yang bersumber dari APBD tidak/belum mencukupi sesuai dengankebutuhan. Selain itu, meskipun sudah teralokasi namun sebagian besar alokasianggaran dipergunakan untuk pengadaan obat dan peralatan (investasi) tidak berupa biaya operasional. Hal tersebut berdampak pada pembiayaan untuk operasional Puskesmas dalam upaya penanggulangan KLB. Dari hasil kunjunganlapangan ke Puskesmas diketahui bahwa dana atau anggaran yang dipergunakanuntuk operasional penanggulangan penyakit menular di Puskesmas adalahsebagian besar mempergunakan dana operasional yang diperoleh dari program
asuransi kesehatan masyarakat miskin (Askeskin).Sumber dana untuk kegiatan surveilans dan penanggulangan DBD di lokasi
kajian terlihat pada tabel di bawah ini. Sebagian besar dana ternyata berasal dari APBD. Untuk puskemas, dana yang bersumber APBN sangat kecil. Hal ini sejalandengan kebijakan yang ada, dimana dana APBN berkaitan dengan operasional diPuskesmas terbatas pada dana perbantuan untuk penguatan kapasitas.
Tabel 4.7
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 65/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
52
Distribusi sumbe r dana di Dinkes Propinsi dan Dinkes Ka b/Kota
DINKES PROPINSI DINKES KAB/KOTA
SURVEILANS PENANGGULA
NGAN KLB
SURVEILAN
S
PENANGGULA
NGAN KLB
SUMBER DANA
jml % jml % jml % jml %
APBD4 100.0 5 100.0 7 100.0 10 100.0
APBN3 75.0 4 80.0 1 14.3 1 10.0
Lainnya0 0.0 0 0.0 2 28.6 3 30.0
Sumber: Data Lapangan, 2006
Sumber dana untuk kegiatan surveilans dan penanggulangan di tingkatdinkes propinsi bersumber dari APBN (dekonsentrasi) dan APBD propinsi.
Sedangkan di tingkat dinkes kab/kota, selain berasal dari APBN (dalam bentuk dana tugas perbantuan) dan APBD propinsi dan APBD kab/kota, juga berasal darisumber lainnya. Sumber dana lain tersebut didapat dari kelompok masyarakat yang peduli terhadap penanganan kesehatan masyarakat, seperti dalampelaksanaan fogging fokus, penyediaan bahan-bahan pendukung untuk promosikesehatan, serta partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan penyuluhan,khususnya di lingkungan RT/RW melalui posyandu. Yang dimaksud dengansumber dana lainnya adalah swadaya RS, swadaya masyarakat, dan swadanapuskesmas.
Sementara di tingkat puskesmas, sumber dana untuk pelaksanaanopersional penanggulangan DBD juga bersumber dari APBN dan APBD serta
sumber lainnya. Dana APBN didapat dalam bentuk dana dekonsentrasi yangdisalurkan melalui APBD propinsi. Dana tersebut digunakan untuk kegiatanpeningkatan kapasitas, seperti pelatihan tenaga puskesmas, serta peningkatanmanajamen puskesmas. Begitupula dana APBD, selain untuk peningkatankapasitas puskesmas, sebagian dana diberikan untuk pembelian bahanoperasional, seperti insektisida, peralatan fogging, pembelian insektisida,larvasida, upah kader, transport supervisor, penanggulangan kasus, jasa kader, jasa dokter, biaya perawatan, pembelian obat-obatan, pembelian bahan bakar/solar, biaya akomodasi, biaya transfusi darah, pembuatan laporan, fogging,penyuluhan, pembelian mesin, penyelidikan epidemiologi, dan penanggulanganfokus.
Kader merupakan salah satu tenaga yang terlibat dan dibiayai dengan danakegiatan surveilans dan penanggulangan KLB. Salah satu peran kader jumantik adalah mendampingi petugas puskesmas dalam melakukan pemeriksaan di 20rumah sekeliling rumah penderita jika ada kasus DBD.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa kepala puskesmas di lapangan,sumber dana untuk kegiatan surveilans berasal dari dana operasional puskesmas(DOP). Bila tidak mencukupi menggunakan dana program, seperti JPK-MM. Tidak ada dana yang spesifik diperuntukkan untuk kegiatan surveilans, sebagian besarkegiatan operasional surveilans dan penanggulangan DBD mengggunakan dana
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 66/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
53
operasional umum yang ada di puskesmas. Hal tersebut karena dalam prakteknyakegiatan operasional di lapangan dilakukan oleh semua petugas puskesmas.
Tabel 4.8
Distribusi Sumbe r Dana di RS dan Puskesmas
RS PUSKESMAS
SURVEILANSPENANGGUL ANGAN KLB
SURVEILANS
PENANGGUL ANGAN KLB
SUMBER DANA
jml % jml % jml % jml %
APBD 1 100.0 4 100.0 3 42.9 8 57.
APBN 1 100.0 0 0.0 1 14.3 1 7.1
Lainnya 0 0.0 1 25.0 6 85.7 10 71.4
Sumber: Data Lapangan, 2006
Operasional surveilans di tingkat propinsi menggunakan dana APBN murnimaupun Dekon, serta dana APBD. Sedangkan untuk tingkat kabupaen/kota,hampir semuanya menggunakan dana APBD. Baik APBD propinsi maupun APBDkabupaten/kota atau APBD sharing. Di kota Surabaya bahkan terkadangmenggunakan dana pribadi, bila dana yang diusulkan belum turun. Untuk tingkatpuskesmas, rata-rata penggunaan operasional surveilans berasal dari APBD. Walaupun beberapa puskesmas terkadang menggunakan dana JPKMM sebagaitambahan. Di rumah sakit tidak terdapat dana surveilans, yang ada hanya
pencatatan pelaporan yang dilakukan di bagian rekam medis. Hanya rumah sakitGresik yang menyatakan adanya dana surveilans, yaitu berasal dari APBN dan APBD (Gakin).
Dana yang digunakan untuk penanggulangan KLB berasal dari APBN(Dekon) dan APBD. Hal ini karena adanya kebijakan setiap propinsi mendapatkandana Rp. 2 milyar yang berasal dari dana dekon (APBN) khusus untuk penanggulangan KLB. Untuk tingkat kabupaten/kota penggunaan dana terbanyak berasal dari APBD baik APBD murni, maupun APBD-ABT yang diajukan sebagaitambahan. Namun tidak menutup kemungkinan pendanaan dapat juga berasaldari APBN, seperti halnya kabupaten Gresik. Sementara untuk puskesmas, selain
dana penanggulangan dari APBD, seringkali harus menggunakan dana tambahandari PKPS-BBM (JPKMM) maupun Askeskin karena seringnya dana terlambatdicairkan. Tidak jarang puskesmas juga harus menggunakan dana swadayamasyarakat atau pribadi. Seperti ditemukan di puskesmas Duduk Sampeyan danpuskesmas Kebomas. Alokasi dana terbanyak adalah untuk obat dan peralatan(investasi), seperti terjadi di Sulsel. Sehingga wajar saja jika digunakan sumberlain.
Masalah lain dalam aspek dana berkaitan dengan proses pencairan yangdirasakan prosesnya selalu lama dan terlambat. Contoh di Jawa Barat DIPA
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 67/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
54
seringkali terlambat. Proporsi anggaran untuk preventiv (surveilans) dan kuratif (penanggulangan) tidak seimbang. Lebih banyak dana dikucurkan untuk kuratif.Di propinsi Kalimantan Timur yang merupakan daerah endemis DBD, peranswasta dalam kontribusi dana belum optimal. Bahkan meskipun sudah dibentuk Yayasan Penanggulangan DBD dengan SK Walikota dan didanai oleh perusahaan-
perusahaan minyak, DBD masih merupakan masalah besar di Kaltim.
(3) Standar Operasi dan Prosedur (SOP)
Upaya penanggulangan kejadian luar biasa (KLB)/penyakit menular,khususnya penyakit DBD, pada dasarnya dilaksanakan berpedoman pada arahkebijakan dan program dari Pemerintah Pusat (Departemen Kesehatan). DinasKesehatan Propinsi selanjutnya menyusun Prosedur Tetap (Protap)Penanggulangan DBD sebagai pedoman/acuan pelaksanaan kegiatan DinasKesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Materi yang disusun dalam Protap ini adalah langkah-langkahpenanggulangan DBD sebagai berikut:
1. Kewaspadaan Dini;(a) penemuan dan pelaporan penderita;(b) penangggulangan focus;(c) bulan kewaspadaan DBD;(d) pemantauan jentik berkala;
2. Pemberantasan Nyamuk Penular DBD;(a) terhadap nyamuk dewasa;(b) terhadap jentik nyamuk;
3. Penanggulangan KLB;
(a) penyuluhan;(b) Gerakan PSN;(c) abatisasi;(d) fogging massal;
4. Peningkatan SDM; antara lain pelatihan petugas kesehatan.
Pedoman yang bersifat teknis di lapangan diwujudkan dalam bentuk SOP.Keberadaan SOP penting untuk panduan petugas. Pelaksanaan SOP kegiatansurveilans dilakukan berdasarkan pedoman dan peraturan. Pada tingkat dinkespropinsi maupun dinkes kab/kota keberadaan SOP dalam bentuk peraturan danpedoman cukup baik. Sedangkan di tingkat puskesmas dan RS masih sangat
rendah. Sementara SOP kegiatan penanggulangan KLB tampaknya sudah cukup banyak dimiliki di semua level.
Tabel 4.9Distribusi Ketersediaan SOP Sur veilans di Dinkes Propinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 68/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
55
DINKESPROPINSI
DINKESKAB/KOTA
RS PUSKESMASSOP
jml % jml % jml % jml %
Pedoman 5 83.3 11 91.7 4 57.1 12 50.0
Peraturan 3 100.0 4 57.1 1 14.3 0 0.0
Sumber: Data Lapangan, 2006
SOP dalam rangka penanggulangan KLB di Dinkes propinsi, kab/kota,rumah sakit maupun puskesmas yang ada mencakup peraturan SKD-KLB,pedoman SKD-KLB, pedoman penyelidikan KLB, pedoman penanggulangan KLB,pedoman cara pelaporan, laporan penyakit potensi KLB, dan laporan kondisirentan KLB. Penyusunan SOP dimaksud dilakukan dengan melibatkan lintasprogram.
Tabel 4.10Distribusi Ketersediaan SOP Penanggulangan KLB d i Propinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKESPROPINSI
DINKESKAB/KOTA
RSPUSKESMA
SSOP
jml % jml % jml % jml %
Peraturan SKD-KLB 5 100.0 7 63.6 3 75.0 7 36.8
Pedoman SKD-KLB 5 100.0 9 81.8 3 75.0 8 42.1
Pedoman penyelidikanKLB
5 100.0 10 90.9 2 50.0 15 78.9
PedomanPenanggulangan KLB
5 100.0 10 90.9 3 75.0 13 68.4
Pedoman CaraPelaporan
5 100.0 7 63.6 2 50.0 13 68.4
Laporan PenyakitPotensi KLB
4 80.0 9 81.8 2 50.0 11 57.9
Laporan Kondisi RentanKLB
4 80.0 4 36.4 3 75.0 8 42.1
Sumber: Data Lapangan, 2006
Propinsi belum membuat SOP sendiri, selama ini masih mengikutipedoman dari pusat. Kedepan propinsi juga akan menyusun Standar PelayananMinimal (SPM) dan Standar operasional (SOP) agar SOP bisa operasional dilapangan. Di tingkat kabupaten/kota SOP yang ada selain mengadopsi dari pusat juga mengadopsi SOP yang dibuat oleh Dinkes propinsi.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 69/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
56
Dari Tabel 4.10 tergambarkan keberadaan SOP di masing-masing tingkatan.Seperti halnya SOP dalam rangka kegiatan surveilans, pada kegiatanpenanggulangan, setiap dinkes propinsi dan kabupaten/kota memiliki cukuplengkap pedoman dan peraturan sebagai landasan operasional penanggulanganpenyakit. Namun demikian SOP dimaksud tidak secara lengkap dimiliki oleh
puskesmas. Rumah sakit memiliki SOP penanggulangan cukup baik dibandingkanSOP surveilans. Hal ini dipahami berkaitan dengan fungsi rumah sakit sebagai unitrujukan dalam penanganan kasus penyakit menular termasuk kasus DBD.
Walaupun keberadaan SOP dimaksud cukup lengkap hampir pada setiaptingkat unit pelayanan kesehatan, namun demikian keberadaan pedoman belumtentu digunakan. Seperti halnya di RSU Ujung Berung, di propinsi Jawa Barat SOP yang ada dianggap kurang operasional karena tidak sesuai dengan kondisi danpermasalahan yang ada di lapangan. Upaya yang dilakukan dalam melakukanoperasionalnya dilakukan dengan membuat SOP yang lebih rinci dan sederhanamenjabarkan SOP yang dibuat dinkes propinsi maupun dinkes kab/kota.
Yang menarik adalah di RSUD Mataram yang juga merupakan rumah sakitpendidikan dan memilki tim pokja DBD, hanya laporan kondisi rentan KLB yangmereka miliki. Namun mereka juga membuat standar operasional dalampertolongan pasien DBD yang tidak terdapat dalam ke-enam SOP tersebut.
(4) Data
Ketersediaan data, baik pada kegiatan surveilans maupun penanggulanganKLB sangat penting. Data untuk surveilans yang dibutuhkan mencakup kasus, jentik, vektor dan curah hujan. Dari ke-4 data tersebut ternyata hanya data kasus yang tersedia di semua tingkatan. Data jentik yang sangat penting pun tidak tersedia kecuali pada level puskesmas. Jumlah puskesmas yang memiliki data
tersebut sangat sedikit. Ketiadaan data di tingkat RS dikarenakan fungsi rumahsakit yang lebih sebagai kuratif.
Informasi data surveilans diperoleh berdasarkan data dari seksi surveilans, yang notabene tidak melakukan pengumpulan data jentik, vektor maupun curahhujan. Baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten/kota. Adapuninformasi jentik dan curah hujan dilakukan oleh seksi pemberantasan penyakit(program DBD) yang bekerjasama dengan sanitasi. Oleh karena informasi yangdiperoleh berasal dari seksi surveilans, maka ketiga data tersebut tidak ada.Sementara di bagian pemberantasan penyakit sendiri juga terdapat bagiansurveilans, yang melakukan pengumpulan data rutin DBD. Oleh karena itu bukan berarti dalam surveilans data mengenai jentik dan vektor tidak ada, informasi
mengenai jentik dan vektor tidak bisa didapatkan. Hal tersebut dapat dilihat dariinformasi penanggulangan yang merupakan perpaduan informasi dari seksisurveilans dan pemberantasan.
Tabel 4.11Distribusi Ketersediaan Data Sur veilans di Dinkes Propinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 70/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
57
DINKESPROPINSI
DINKESKAB/KOTA
RS PUSKESMASDATA
jml % jml % jml % jml %
Kasus 3 100.0 6 100.0 4 80.0 11 100.0
Jentik 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 18.2
Vektor 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Curah hujan 0 0.0 1 16.7 0 0.0 0 0.0
Sumber: Data Lapangan, 2006
Data yang dibutuhkan untuk penanggulangan DBD mencakup kasus, jentik,lingkungan/genangan, perilaku 3M, vektor, curah hujan dan logistik. Terlihat padatabel di bawah ini bahwa data yang paling banyak tersedia adalah data kasus dan jentik. Tampaknya di dinkes propinsi dan dinkes kab/kota, data lebih lengkaptersedia dibandingkan di tingkat RS dan puskesmas.
Tabel 4.12Distribusi Ketersediaan Data Penanggulangan KLB di Pr opinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKESPROPINSI
DINKESKAB/KOTA
RS PUSKESMASDATA
jml % jml % jml % jml %
Kasus 5 100.0 12 100.0 5 71.4 18 94.7
Jentik 3 60.0 12 100.0 0 0.0 7 36.8
Lingkungan/genangan
1 20.0 4 33.3 0 0.0 1 5.3
Perilaku 3M 0 0.0 2 16.7 0 0.0 0 0.0
Vektor 1 20.0 1 8.3 0 0.0 1 5.3
Curah hujan 1 20.0 1 8.3 0 0.0 2 10.5
Logistik 2 40.0 4 33.3 2 28.6 5 26.3
Sumber: Data Lapangan, 2006
Di Dinkes Kota Bandung Jawa Barat kegiatan surveilans dilakukan secaramanual dengan cara pengumpulan data, pencatatan dan pelaporan. Sementarapelaporan yang dilakukan Puskesmas dikirim langsung oleh petugas puskesmas kedinas kesehatan kota sesuai format yang ditentukan dalam bentuk manual. Sharinginformasi antar petugas bidang/unit puskesmas dilakukan dalam bentuk ”rakor bulanan”, sekaligus ajang tukar informasi dan pengalaman serta upayapemecahan masalah yang ditemukan.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 71/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
58
Temuan lain yang di dapat di lapangan adalah tidak dikumpulkannya data jentik, vektor, dan curah hujan. Selain itu ketepatan dan kelengkapan laporan darikabupaten masih rendah. Juga belum dilakukan analisis data baik di tingkatpropinsi maupun kabupaten (baru bersifat pengumpulan data). Sehingga untuk SKD-KLB data yang seharusnya dapat dilihat /diprediksi diawal untuk
kewaspadaan terjadinya KLB, belum dilakukan. Selama ini propinsi tidak pernahmempermasalahkan validitas data yang dilaporkan. Untuk pengecekan data biasanya menyamakan informasi yang berasal dari media massa. Propinsi belummempunyai sistem peringatan ke kabupaten bila terjadi keterlambatan atauketidak lengkapan.
(5) Sarana
Ketersediaan sarana penunjang kegiatan surveilans terlihat pada tabel berikut ini. Dari tabel tersebut terlihat bahwa jumlah sarana masih sangat terbatas.Kepemilikan sarana transportasi dan pengolah data, dari level puskesmas hinggadinkes propinsi berkisar 11-50% saja. Sementara untuk sarana komunikasi sudahlebih baik; meskipun untuk level RS dan puskesmas masih perlu ditambah.
Tabel 4.13Distribusi Ketersediaan Sarana Surveilans di Dinkes Propinsi, Dinkes
Kab/Kota, RS dan Puskesmas
DINKESPROPINSI
DINKESKAB/KOTA
RS PUSKESMASSARANA
jml % jml % jml % jml %
Transportasi 3 50.0 4 36.4 1 11.1 11 50.0
Pengolah data 3 50.0 5 41.7 4 44.4 9 40.9
Komunikasi 6 100.0 10 83.3 6 66.7 14 63.6
Sumber: Data Lapangan, 2006
Bila di lokasi kajian lain, peralatan pengolah data sudah menggunakankomputer, tidak halnya di Puskesmas Benteng Hilir yang masih menggunakan caramanual. Padahal di puskesmas lainnya, sudah disediakan komputer.
Faktor geografis rupanya menentukan jenis alat komunikasi dan dipakai. Dipropinsi Jawa Timur, semua wilayah dapat dijangkau dengan telepon, sementara
di NTB tidak hanya memanfaatkan telepon sebagai alat komunikasi, tetapi jugaSSB. Di kabupaten Lombok Tengah yang menggunakan SSB sebagai saranakomunikasi karena belum adanya kabel telepon. Di propinsi Riau, saranakomunikasi menggunakan telepon, walaupun tidak semua wilayah dapat dijangkaudengan fasilitas telepon.
Untuk kegiatan penanggulangan KLB, ketersediaan/kepemilikan sarana yang diperlukan terlihat sudah jauh lebih baik daripada ketersediaan/kepemilikan
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 72/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
59
sarana untuk kegiatan surveilans. Namun, untuk insektisida, obat, alatpenyemprot dan alat penyuluhan masih kurang tersedia di semua level.
Tabel 4.14
Distribusi Ketersediaan Sa rana Penan ggulangan KLB di Propinsi,Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesm as
DINKESPROPINSI
DINKESKAB/KOTA
RS PUSKESMASSARANA
jml % jml % jml % jml %
Transportasi 4 80.0 10 83.3 2 33.3 12 66.7
Pengolah data 5100.
010 83.3 5 83.3 13 72.2
Komunikasi 5100.
09 75.0 4 66.7 14 77.8
Obat 4 80.0 4 33.3 4 66.7 9 50.0
Insektisida 5100.
011 91.7 2 33.3 13 72.2
Alat penyemprot 3 60.0 12 100.0 0 0.0 8 44.4
Alat Penyuluhan 0 0 7 58.3 4 66.7 10 55.6
Sumber: Data Lapangan, 2006
Sarana yang dimiliki ada yang statusnya “tidak khusus” untuk kegiatan
surveilans atau penanggulangan KLB. Artinya bisa digunakan juga untuk kegiatanlainnya. Umumnya sarana yang demikian adalah untuk jenis transportasi. Selainitu, kondisinya pun belum tentu bagus. Di Dinkes Kota Samarinda, Kaltim,misalnya, alat transportasi untuk surveilans dalam kondisi rusak.
Berkaitan dengan jumlah dan jenis sarana, dalam kenyataannya terdapat variasi di berbagai dinkes propinsi, maupun dinkes di kab/kota, rumah sakit danpuskesmas. Di propinsi Jabar, yaitu di Dinas Kesehatan Kota Bandung, tersedia 3mobil, sementara di Dinkes Kabupaten Bogor hanya 1 mobil; dan di PuskesmasBojong Gede selain ada 1 mobil juga tersedia 1 motor. Kondisinya pun belum tentu bisa digunakan. Misalnya di Dinkes Kota Samarinda tersedia 2 motor, tetapi hanya1 yang bisa digunakan.
Untuk alat komunikasi, karena tidak adanya fasilitas kantor, seringkalidigunakan fasilitas pribadi seperti handphone, seperti yang terjadi di DinkesKabupaten Gowa dan Puskesmas Palangga di Sulsel.
Sarana utama yang dibutuhkan dalam penanganan kasus DBD adalahadanya fogging fokus serta insektisida. Pengadaan insektisida dan fogging fokusuntuk beberapa propinsi di kirim oleh Dinkes Propinsi karena kab/kota belumsiap.
Satu hal yang unik adalah ketiadaan sarana senter. Senter digunakan untuk surveilans khususnya dalam penemuan jentik dari rumah ke rumah. Bahkan yang
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 73/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
60
sangat menyedihkan, di puskesmas Temindung Kaltim penggantian biaya batereuntuk senter hanya setahun sekali saja.
4.3 Peran dan Tanggung Jawab Pemer intah Daer ah d alam
Penanggulangan Penyakit DBD
4.3.1 Kewenangan Daerah dan Standar Pelayanan Minimum
Sejak diberlakukannya paket UU Otonomi Daerah (UU No. 22 dan No. 25tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 dan No. 33 tahun 2004)telah terjadi perubahan pembagian fungsi antara pemerintah pusat, provinsi dankabupaten/kota. Sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 dan SK Menkes RI No. 1147tahun 2000, maka tugas Depkes Pusat adalah menyusun kebijakan nasional,pedoman, standar, petunjuk teknis, fasilitasi dan bantuan teknis kepada daerah,sementara fungsi-fungsi yang bersifat operasional sudah harus diserahkan kepada
daerah (propinsi dan kabupaten/kota). Penerapan UU tersebut, khususnya di bidang kesehatan belum disikapi dengan utuh, sehingga terkesan tidak tuntasdalam bertindak. Ini disebabkan adanya kegamangan dalam peran dantanggungjawab di masing-masing jenjang ataupun instansi di pemerintahan.
Selanjutnya pasal 12 UU No. 32/2004 menyatakan bahwa fungsi yang telahdilimpahkan kepada daerah tersebut termasuk tanggung jawab daerah untuk menyediakan sumberdaya yang diperlukan, termasuk pembiayaan, sarana danketenagaan yang diperlukan untuk melaksanakan standar pelayanan minimum(SPM). Untuk itu daerah wajib menyediakan pelayanan dasar yang dianggapesensial bagi kesejahteraan penduduk, termasuk di bidang kesehatan.
SPM yang sekarang ini berlaku adalah daftar yang ditetapkan dalamKeputusan Menkes No. 1457/2003 (saat ini sedang dilakukan proses revisi).Dalam daftar tersebut ada 9 kewenangan wajib (KW) dan 31 jeniskegiatan/pelayanan/program, seperti dalam tabel di bawah.
Tabel 4.15Daftar KW dan SPM Bidang Kesehatan
No Kewenangan Wajib (KW) No Standar Pelayanan Minimum (SPM)
1 Pelayanan Dasar 123456
KIA Kesehatan anak pra-sekolah 7 sekolahKBImunisasiPengobatan dan perawatan dasarKesehatan JiwaKesehatan kerja *)Kesehatan usila *)
2 Giji Masyarakat 78
Pemantauan pertumbuhan balitaPelayanan gizi
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 74/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
61
3 Rujukan dan Pelayanan Penunjang 9
10
Pelayanan obstetri dan neonatalemergency dasarPelayanan emergency
4 Pencegahan dan PemberantasanPenyakit Menular
11
12
1314
151617
Surveilans dan pengendalian KLB kuranggiziPencegahan dan pengobatan polio
Pencegahan dan pengobatan TBCPencegahan dan pengobatan infeksisaluran nafasPencegahan dan pengobatan HIV/AIDSPencegahan dan pengobatan DBDPencegahan dan pengobatan DiarePencegahan dan pengobatan Malaria *)Pencegahan dan pengobatan Kusta *)Pencegahan dan pengobatan Filaria *)
5 Kesehatan Lingkungan dan SanitasiDasar
181920
Kesehatan lingkunganPengendalian vektorHygiene dan sanitasi tempat umum
6 Promosi Kesehatan 21 Promosi Kesehatan7 Pengendalian Napza 22 Promkes dan pengendalian
penyalahgunaan obat8 Pelayanan Farmasi 23
24Pengadaan obat dan bahan medisObat generik
9 Pembiayaan kesehatan, kesehatanperorangan dan auransi kesehatan
25
26
Pembiayaan untuk pelayanan kesehatanperoranganPembiayaan kesehata penduduk miskindan risti
Sumber: Depkes RI, 2006*) Hanya di kab/kota tertentu
Berdasarkan hasil analisis tentang daftar SPM tersebut disebutkan bahwa
kriteria yang tersirat dalam 3 kegunaan SPM seperti disebutkan dalam UU No.32/2004 belum seluruhnya terakomodir. Tiga pelayanan dasar menurut UUtersebut adalah (1) hak konstitusi penduduk, (2) kepentingan nasional untuk kesejahteraan masyarakat, keamanan dan ketertiban umum serta integritas dankesatuan nasional, (3) komitmen nasional terhadap kesepakatan dan konvensiinternasional.
Pelaksanaan SPM di tingkat kabupaten/kota ternyata menimbulkankebingungan dan masalah. Pertama, penghitungan kebutuhan biaya untuk semuapelayanan dalam daftar SPM tersebut menghasilkan suatu jumlah yang tidak dapat ditanggung oleh banyak daerah. Ada daerah beranggapan bahwapemerintah pusat harus menanggung selisih biaya yang tidak bisa ditanggungpemerintah daerah. Kedua, banyak daerah mengalami kesulitan menterjemahkantarget nasional dalam target daerah. Misalnya, tidak banyak kabupaten/kota yangmemiliki data dasar tentang prevalens penyakit, masalah kesehatan kerja, TBCdan penyakit lainnya, sehingga kesulitan dalam menetapkan target untuk Indonesia Sehat 2010. Ketiga, tidak mudah menterjemahkan target 2010 dalamtarget tahunan. Dalam kenyataan, banyak kabupaten/kota yang menetapkantarget programnya atas dasar plafond anggaran yang akan diterima untuk tahun bersangkutan.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 75/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
62
4.3.2 Peran Pemerintah daerah dalam Penanggulangan DBD
Pemberantasan penyakit demam berdarah dengue (DBD) sangat tergantungpada peran besar pemerintah daerah, yang langsung menghadapi masyarakat.
Daerah diharapkan lebih aktif menggerakkan masyarakatnya untuk menjagalingkungan masing-masing. Peran daerah dalam penanggulangan DBD antara laindilakukan dengan tindakan preventif seperti (1) mengeluarkan surat edarankewaspadaan penyakit DBD kepada semua kepala dinas kesehatankabupaten/kota, (2) kampanye gerakan pembersihan sarang nyamuk, (3)penyebaran poster, ceramah klinik penyegaran tata laksana kasus, maupunmembahas penanganan dan antisipasi DBD. Pemerintah Provinsi memfasilitasiteknis dan pengamatan DBD di daerah endemis, membagikan bubuk abate danmalathion untuk pengasapan ke kabupaten/kota, selain juga memberikan bantuancairan infus.
Kebijakan pemerintah melalui PSN dalam mengendalikan tempatperindukan telah ditetapkan dan disosialisasikan melalui berbagai media. Usahapromosi kesehatan secara konvensional telah meningkatkan kesadaran danpengetahuan masyarakat mengenai pemberantasan DBD, namun belum diikutidengan perbaikan sikap. Belajar dari negara tropis lainnya yang telahmengembangkan inovasi pemberdayaan masyarakat melalui COMBI(Communication for Behavioural Impact) menunjukkan bahwa sebelummenetapkan intervensi, perlu didasari pada suatu formative research yangmengungkap hal-hal yang dibutuhkan masyarakat (Park 2004, WHO 2003).Inovasi ini masih belum menjadi fokus perhatian dalam kegiatan PSN diIndonesia.
Di propinsi pemantauan kasus terus dilakukan, para bupati dan wali kotadisurati untuk mengantisipasi DBD, termasuk kampanye di media massa.Pemerintah Provinsi juga mendistribusikan abate, malathion, cynoft, dan filterpaper ke kabupaten/kota. Selain itu juga dilakukan penyuluhan dan gerakan 3 M(menguras, menimbun, dan menutup tempat-tempat potensial perindukannyamuk). Strategi penanganan DBD dilakukan dengan pengumpulan data kasusDBD dari RS, puskesmas, klinik swasta, pengumpulan data morbiditas kasus DBD yang lalu (tiga-lima tahun) yang akan dipakai sebagai data dasar. Pengumpulandata lapangan dengan mengunjungi rumah penderita, dan pencarian kasus baru,serta pengamatan terhadap perilaku masyarakat disertai penaburan abate 10gr/100 lt pada TPA di setiap rumah penduduk dengan radius 400 meter persegi
dari rumah kasus.Dinkes mengembangkan sistem kerja deteksi dini, yaitu mengidentifikasi
berbagai kasus penyakit yang timbul, mulai dari gejala, penyebab, dan daerahsebarannya, terutama daerah rawan endemi. Pelaporan dini, pada tahap inidilakukan Puskesmas sebagai ujung tombak dalam tindakan darurat mengatasi berbagai permasalahan.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 76/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
63
Kebijakan desentralisasi semakin rumit ketika harus dilaksanakan di sektorkesehatan yang mencakup area kegiatan luas dan yang selama ini didominasiperan pemerintah pusat. Sebelum desentralisasi alokasi anggaran kesehatandilakukan oleh pemerintah pusat dengan menggunakan model negosiasi kepropinsi-propinsi. Setelah desentralisasi kebijakan sektor kesehatan menghadapi
apa yang disebut anggaran pembangunan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang berbasis pada formula. Dalam formula ini pembagian alokasi anggaran tidak hanya ke propinsi melainkan sampai ke sekitar 400-an kabupaten/kota diIndonesia. Secara implisit DAU kesehatan dianggap sudah termasuk dalamformula tersebut walaupun sebenarnya secara eksplisit tidak ada. Praktis sektorkesehatan harus berjuang di tiap propinsi dan kabupaten/kota untuk mendapatkan anggaran. Dengan demikian daerah harus merencanakan danmenganggarkan program kesehatan dan bersaing dengan sektor lain untuk mendapatkannya.
4.3.3 Koordinasi antar sektor
Koordinasi dengan instansi terkait di tingkat Kabupaten/Kota setelahadanya desentralisasi dan otonomi daerah, menjadi lebih sulit untuk dilakukan.Hal ini dikarenakan ada kesan masing-masing Kabupaten/Kota dalammelaksanakan tugas dan kewenangannya tidak memerlukan bantuan/koordinasiDinas Kesehatan Propinsi. Koordinasi yang sulit terlihat dari lambatnyamekanisme pelaporan kasus KLB, meskipun prosedur pelaporan ada dan telah baku. Masalah penanggulangan KLB semakin sulit penanganannya manakalamekanisme pelaporan tidak berjalan baik, meski prosedur telah ada dan baku.
Masalah lemahnya koordinasi lintas program dan lintas sektor, masihdijumpai dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit. Di tingkat Propinsi,pelaksanaan tugas kelompok kerja operasional (Pokjanal) DBD tingkat Propinsi, yang merupakan salah satu wadah koordinasi antar instansi/lintas sektor,tidak/belum dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan tidak adanyadukungan pendanaan dari masing-masing instansi terkait yang tergabung dalamPokjanal DBD. Setiap usulan rencana kegiatan dan pembiayaan kegiatan PokjanalDBD yang diajukan oleh masing-masing instansi terkait di luar kesehatan seringtidak mendapat persetujuan untuk mendapat dana APBD dari Pemerintah Daerahsetempat, dengan pertimbangan antara lain bahwa urusan penyakit menular DBDadalah urusan dinas kesehatan, tidak melibatkan instansi di luar kesehatan.
Pemberdayaan lintas sektor dalam menjalankan Pokja/Pokjanal DBD yangtelah dibentuk, belum optimal. Pada umumnya, sektor kesehatan masih dipandangsebagai aktor dan inisiator utama dalam pencegahan DBD. Hal ini sejalan dengantemuan Siregar (2003) tentang tidak adanya hubungan bermakna antara fogging,abatisasi, PSN dan PJB dalam menurunkan insidens DBD di Kota Medan, karenatenaga Pokja DBD tidak aktif. Hal ini diperkuat oleh Halstead (2000) mengenaisukses dan kegagalan pengendalian penyakit DBD. Metode konvensional promosikesehatan melalui KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) dan advokasi telahmeningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat, namun belum berhasil
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 77/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
64
memperbaiki perilaku. Communication for Behavioural Impact (COMBI)menawarkan pendekatan dinamis untuk mengubah perilaku dalam pengembangansosial (Kusriastuti, 2004; Parks, 2004: Umniyati, 2004).
Adanya usulan mengenai pembentukan dan pengaktifan Tim EpidemiologiKota sebagai wahana untuk penelusuran penyakit berbasis lingkungan, diharapkan
dapat merangkum berbagai pihak terkait dari lintas program pemberantasanpenyakit, kesehatan lingkungan, promosi kesehatan maupun lintas sektor darilingkungan dan dinas tata kota.
Semua petugas sektor kesehatan memiliki panduan mengenai tata laksanapenanggulangan penyakit DBD yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan RI, bahkan seorang di antara enam Kepala Puskesmas yang diwawancarai,menindaklanjutinya dengan menyusun protap pelaksanaan di lapangan.Mekanisme PSN-DBD terhadap masyarakat diakui berjalan dengan baik, walaupun tidak di seluruh tempat. Diakui oleh para petugas kesehatan adanyapeminatan masyarakat yang lebih tinggi terhadap fogging bila dibandingkandengan PSN. Walaupun demikian hasil wawancara dengan masyarakatmenunjukkan bahwa masyarakat mengakui PSN melalui 3M lebih baik dan lebihmurah daripada pengasapan. Hampir seluruh petugas memahami takaran larutanuntuk fogging dan mengatakan bahwa fogging fokus dilaksanakan hanya setelahada kasus, tidak dilakukan sebelum masa penularan. Petugas dinas kesehatanmengemukakan esensi intensifikasi penyuluhan mengenai PSN-DBD pada masarendah penularan penyakit
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 78/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
65
B AB 5K ESIMPULAN DAN R EKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
(1) Kendala utama yang dihadapi dalam implementasi kebijakanpenanggulangan penyakit menular dalam kasus DBD adalah (1) koordinasiantar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam penangananDBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan surveilans danpenanggulangan DBD, (2) koordinasi antara pusat dan daerah belumdilandasi suatu kebijakan operasional yang jelas tentang kewenangan dantanggung jawab masing-masing, (3) sistem pengelolaan programpenanganan penyakit menular masih didominasi pusat, (4) tingginya bebanpuskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan dalam implementasi
kebijakan penanggulangan penyakit menular.
(2) Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangani. Peta rawan, hampir semua dinkes propinsi maupun dinkes kab/kota
memiliki peta rawan, sedangkan di Puskesmas sebagai unitpelayanan dasar dan rumah sakit sebagai unit pelayanan rujukan,peta rawan tidak selalu tersedia.
ii. Diseminasi informasi dilakukan melalui penerbitan buletin kajianepidemiologi yang diterbitkan oleh dinkes propinsi dan dinkeskabupaten/kota.
iii. Sistem Pelaporan ditunjukkan dengan kelengkapan laporanmencapai 90-100%, namun ketepatannya masih 60%.
iv. Jumlah Kasus periode 2003-2005 cenderung stagnan untuk propinsilokasi kajian (kecuali Jatim meningkat), sedangkan data kematiancenderung meningkat. Case Fatality Rate (CFR) DBD fluktuatif.
(3) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja surveilans danpenanggulangan terkait dengan (1) tenaga, (2) pengetahuan, (3) dana, (4)SOP, (5) sarana, dan (6) data.
i. Tenaga. Hampir semua level baik di propinsi hingga kabupaten/kotatermasuk puskesmas dan rumah sakit mengalami masalah ketenagaandalam kegiatan surveilans dan penanggulangan.
Kurangnya jumlah SDM, kualifikasi pendidikan yang belumsesuai, perpindahan yang begitu cepat, beban kerja yang tinggimerupakan masalah yang hampir ditemukan disemua tingkatan.
Kualitas dan kualifikasi masih belum terpenuhi sesuai dengan bidang tugas dan kompetensinya. Pendidikan rata-rata perawat,Sarjana (SKM) dan MKes.
Tidak ada batas yang tegas yang membedakan antara Surveilansdan Penanggulangan dalam praktek operasional di lapangan.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 79/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
66
Struktur organisasi Dinkes propinsi maupun Kab/Kota tidak menggambarkan pembedaan kedua tugas tersebut. Operasilapangan untuk suatu kasus (DBD) serentak dilakukan
Bidang pendidikan yang ada adalah perawat, dan epidemiologi.
ii. Pengetahuan. Pemahaman tentang surveilans dan penanggulanganKLB masih belum sama, Upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi maupun
kabupaten/kota dalam rangka peningkatan kemampuan adalahpembinaan teknis, mengadakan pertemuan/ lokakarya, rakor danmelakukan berbagai pelatihan di bidang surveilans maupunpenangulangan penyakit.
Selain pelatihan formal, pengetahuan tim pada umumnyadipenuhi dari pengalaman lapangan dalam penanganan P2M.
iii. Dana. Dana menjadi persoalan dalam implementasi kebijakanpenanggulangan penyakit menular.
Pada tingkat propinsi, dana untuk pelaksanaan penanggulanganpenyakit menular dirasakan pihak daerah mencukupi, khususuntuk KLB tersedia block grant dari pusat.
Untuk tingkat kabupaten/kota, hampir semuanya menggunakandana APBD. Baik APBD propinsi maupun APBD kabupaten/kotaatau APBD sharing.
Puskesmas tidak memiliki alokasi dana khusus untuk kegiatansurveilans. Dana operasional selain bersumber dari danaoperasional umum juga memanfaatkan dana JPK-MM.
Di rumah sakit tidak terdapat dana surveilans, yang ada hanya
pencatatan pelaporan yang dilakukan di bagian rekam medis.Dana yang digunakan untuk penanggulangan KLB berasal dari APBN (Dekon) dan APBD.
Permasalahan dana terutama berkaitan dengan (1) keterlambatanturunnya DIPA, (2) ada masa ketiadaan anggaran, khususnyaketika kasus terjadi, dan (3) proporsi anggaran untuk preventif dan kuratif yang tidak seimbang.
iv. SOP. Hampir semua unit pelayanan kesehatan di daerah memilikipedoman dan peraturan dalam rangka pelaksanaan surveilans danpenanggulangan DBD. Namun demikian kebanyakan SOP tersebut
belum operasional. Beberapa dinkes kabupaten/kota inisiatif melakukanmodifikasi terhadap SOP yang dibuat Depkes.
v. Sarana. Walaupun kondisi sarana dan prasarana untuk kegiatanpenanggulangan penyakit menular tidak selalu memadai, tetapi tidak menjadi kendala dalam berjalannya sistem.
sarana utama yang dibutuhkan dalam penanganan kasus DBDadalah adanya fogging fokus serta insektisida
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 80/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
67
pengadaan insektisida dan fogging fokus di supply oleh DinkesPropinsi karena kab/kota belum siap
vi. Data. Ketepatan dan kelengkapan laporan dari kabupaten/kota masih
rendah, Data yang ada belum dilakukan analisis, baik di tingkat propinsi
maupun kabupaten/kota (baru bersifat pengumpulan data).Sehingga untuk SKD-KLB data yang seharusnya dapat dilihat/diprediksi diawal untuk kewaspadaan terjadinya KLB, belumdilakukan.
Validitas data yang dilaporkan tidak pernah dipermasalahkan Propinsi belum mempunyai sistem peringatan ke kabupaten bila
terjadi keterlambatan atau ketidak lengkapan data.
(4) Kondisi umum Pelaksanaan Surveilans dan Penanggulangan DBD Ujung tombak pelaksanaan surveilans ada di Puskesmas, namun
belum maksimal melaksanakan surveilans karena keterbatasantenaga, sarana dan dana.
Aktivitas surveilans dilakukan oleh Tim Lapangan, sebagai suatukegiatan rutin, namun belum maksimal, karena tidak seimbang antararea yang harus dipantau dengan kemampuan sumberdaya yangtersedia.
Surveilans mulai diperlukan ketika ada kasus. Namun pada saatkasus, yang paling menonjol adalah penanggulangan (PE). PE tidak dilakukan maksimal sesuai prosedur yang ada. Banyak kendala,antara lain (1) keterbatasan tenaga, (2) Keterbatasan dana, (3)ketiadaan sarana.
Penyelidikan Epidemiolegi (PE) yang dilakukan Puskesmas belummaksimal, tidak setiap kasus DBD ditindaklanjuti dengan PE karenaDBD dianggap kasus rutin, akibatnya kegiatan tindak lanjut yangseharusnya dilakukan tidak berjalan.
Pengobatan dan isolasi penderita dirujuk ke rumah sakit.Penanggulangan DBD di Rumah sakit relatif tidak masalah, kecualikalau ada kasus KLB yang menyebabkan sarana TT tidak mencukupi
Pengobatan dapat dilakukan dengan baik kecuali kalau adaketerlambatan pengobatan akibat terlambat merujuk
(5) Permasalahan operasional penanganan DBD juga dipengaruhi oleh sistem
kepemerintahan yang belum sepenuhnya dapat mengakomodasi sistemperencanaan dan sistem keuangan yang baru.
i. Komitmen daerah dalam penyediaan anggaran (APBD) untuk penanganan penyakit menular belum optimal. Hal ini berkaitandengan masih cukup besarnya alokasi dana yang berasal dari APBN(dalam bentuk DAU, dekonsentrasi maupun tugas perbantuan),
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 81/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
68
ii. Koordinasi penanganan kasus masih bersifat sporadis, belum tertatadalam sebuah sistem yang aktif dan terstruktur, baik pada internalsektor maupun lintas sektor.
iii. Keperdulian pemerintah daerah masih belum terlihat, hal ini tampak dari keaktifan instansi kesehatan dalam penyebaran informasi
kesehatan, bukan sebaliknya pemerintah daerah yang aktif memintainformasi.
5.2 Rekomen dasi Kebijakan
Rekomendasi kajian yang diusulkan mencakup1. Peningkatan koordinasi antar instansi dan antar unit dalam berbagai
tingkatan dalam penanganan penyakit menular, 2. Percepatan penyusunan kebijakan operasional dalam koordinasi
pelaksanaan program antar pusat daerah yang mencakup aspek
perencanaaan, pelaksanaan (monitoring), serta pelaporan (evaluasi),3. Mengurangi secara bertahap dominasi peran pengelolaan program olehpusat melalui pendelegasian kewenangan ke daerah serta peningkatanprofesionalisme pengelola program di daerah,
4. Memperkuat kapasitas dan kapabilitas Puskesmas sebagai unit terdepandalam operasionalisasi surveilans dan penanggulangan penyakit menular,malalui
a. Peningkatan dukungan dana yang memadai dari APBN maupun APBD,
b. Penyepurnaan SOP sesuai “local specific”,c. Peningkatan kualitas sistem pelaporan melalui ketepatan data,
analisis, validasi dan pengembangan “respond system”, dan sistemkesiapan dini (early warning system),
d. Optimalisasi penggunaan sarana dan prasarana dengan melibatkanperan aktif masyarakat,
5. Meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah melaluiintensifikasi kegiatan sosialisasi, advokasi, promosi dan koordinasi,
6. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko,
7. Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pencegahan danpenanggulangan faktor resiko,
8. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasidan konsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor resiko,
surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah,9. Membangun dan mengembangkan kemitraan, jejaring kerja informasi dan
konsultasi teknis peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE)pencegahan dan pemberantasan penyakit.
10. Diperlukan dukungan dalam bentuk peraturan perundangan dalammeningkatkan komitmen para pihak di daerah dalam rangkan pencegahandan penanggulangan DBD.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 82/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
69
11. Diperlukan model manajemen pemberantasan penyakit dan penyehatanlingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah kabupaten/kota dalamperspektif komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik antar wilayah dan adimistrasi pemerintah maupun diantara para pelakupemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan itu sendiri
dalam satu wilayah.
5.3 Implikasi Kebijakan dan Rencana Tindak Lanjut
Berdasarkan kesimpulan dan rekomendasi yang disampaikan, langkah tindak lanjut yangdiperlukan mencakup
1. Aspek Kelembagaan, diperlukan revitalisasi peran kelembagaan khususnyakelembagaan Puskesmas. Sebagai perangkat utama Kesehatan, Puskesmas perludiperkuat dengan kapasitas manajemen pelayanan untuk kegiatan yang bersifat
promotif, preventif, dan rehabilitatif, selain kuratif. Dukungan pendanaan sertatenaga dan sarana dalam rangka pelaksanaan operasional pencegahan danpenanggulangan (preventif, promotif dan rehabilitatif) menyertai peran dimaksudsecara memadai.
2. Aspek Pendan aan , perlu terus dikembangkan pola pendanaan sistem jaminankesehatan seperti askeskin sehingga kepastian dana sampai kepada masyarakatterjamin, sekaligus menjamin setiap masyarakat terlayani untuk mendapatkanpelayanan kesehatan. Pola pendanaan diharapkan dapat lebih fleksibel dandimungkinkan untuk kebutuhan KLB dalam bentuk multiyears fund.
3. Data dan Informasi, perlu di kelola secara profesional dan berkesinambungan
dengan memanfaatkan teknologi yang tepat dan mudah diaplikasikan. Keberadaandata dan informasi yang akurat dan sinambung menjadi salah satu indikatorkinerja pembangunan kesehatan.
4. Aspek Ketenagaan, mendorong terbangunnya motivasi dan komitmen parapelaksana pembangunan kesehatan di lapangan sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan. Motivasi dan komitmen selain muncul atas kesadaranmemerlukan dukungan eksternal dalam bentuk insentif.
5. Aspek SOP, dibuat sesederhana mungkin agar memudahkan pelaksanaanopersional tenaga lapangan.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 83/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
70
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta:Penerbit Buku KOMPAS
Anies.2006. Manajemen Berbasis Lingkungan, Solusi Mencegah danMenanggulangi Penyaki Menular. Jakarta: Elex Media Komputindo
Anies. 2005. Mewaspadai Penyakit Lingkungan. Jakarta: PT Gramedia
Bappenas. 2005. Progress Report on The Millenium Development Goals
Chin, JMES. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta:Infomedika
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Modul Surveilans
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pencegahan danPemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Standar Pengawasan ProgramBidang Kesehatan. Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Hadinegoro, Sri Rezeki, dkk. 2001. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue diIndonesia . Jakarta: Ditjen P2M & PL, Departemen Kesehatan RI
Halstead, Scott B. Successes and Failures in Dengue Control-Global Experience,Dengue Bulletin Volume 24, December-2000 [cited 9 Juli 2005] Availablefrom : http://w3.whosea.org/en/Section10/Section332
Kusriastuti, Rita. 2006. Kebijakan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue diIndonesia . Subdit Arbovirosis, Ditjen PP & PL Depkes RI
Muninjaya, A.A. Gde. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: EGC
Noor, Nur Nasry. 2000. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: RekaCipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:Rekacipta.
Parks, Will & Linda Lloyd.2004. Planning social mobilization and communicationfor dengue fever prevention and control, World Health Organization
Santoso, Gempur. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif .Jakarta: Prestasi Pustaka
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 84/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
71
Siregar, Sari Nurhamida. 2003. Analisa Penatalaksanaan Penanggulangan
Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam menurunkan Insidens DBD danMenentukan Kebijakan Operasional di Kota Medan, Universitas Airlangga.
Soerawidjaja, Resna A.. dan Azrul Azwar. 1989. Penanggulangan Wabah OlehPuskesmas. Jakarta : Bina Putra Aksara.
Sulastomo. 2003. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
World Health Organization. 2001. Panduan Lengkap Pencegahan & PengendalianDengue dan Deman Berdarah Dengue. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran,EGC.
Peraturan Perundangan
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1991 tentang Penanggulangan PenyakitMenular
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 949/Menkes/SK/VIII/2004tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini KejadianLuar Biasa (KLB)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1984 Tentang PenyakitMenular
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1479/MENKES/SK/X/2003 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi PenyakitMenular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1116/MENKES/SK/VIII/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VIII/2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian LuarBiasa (KLB)
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 85/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
72
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 86/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
73
RANCANGAN INSTRUMEN K AJIAN
I. Tujuan
a. Identifikasi faktor-faktor yang menghambat system informasi manajemen
surveilans penyakit menular
b. Identifikasi peran dan tanggungjawab Pemerintah Daerah dalam penanggulanganpenyakit menular
c. Identifikasi langkah-langkah yang dilakukan dalam penanggulangan penyakit menular
II. Kerangka Konsep
III. Definisi Operasional
SURVEILANSInput
SURVEILANS
INPUT OUTPUTPROSES
• Tenaga
• Dana
• Sarana
• Pengetahuan yang benar
• Pelatihan
• Metoda pengumpulan data
• Potensi komunitas
• Koordinasi kegiatanpengumpulan
• Validasi
• Pengolahan data
• Analisis data
• Supervisi pengumpulan
• Supervisi pengolahan
• Identifikasi masalah
• Penyelidikan sebab masalah
• Diseminasi
PENANGGULANGAN WABAH PENYAKIT MENULAR
INPUT PROSES OUTPUT
• Wabah tidak menjadi masalahkesehatan masyarakat
• Koordinasi lintas sektor
• Upaya perbaikan kondisi
rentan• Sistem kewaspadaan dini
• Penyelidikan &Penanggulangan wabah
• Kesiapsiagaan menghadapiwabah
• Tenaga
• Sarana
• Dana• Protap
• Pengetahuan ttg Wabah &Penanggulangan
• Pelatihan
• Informasi surveilans
• Pengambilan Keputusan
• Potensi komunitas
LAMPIR
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 87/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
74
1. Tenaga merupakan pelaksana kegiatan surveilans yang meliputi jumlah pelaksanadan tingkat pendidikan serta lamanya bekerja di surveilans.
2. Dana merupakan ketersediaan pengalokasian, pemenuhan dan sumber danakegiatan surveilans.
3. Sarana merupakan ketersediaan dan kesuaian fasilitas alat atau bahan yangdiperlukan dalam melakukan kegiatan surveilans.
4. Pengetahuan petugas merupakan pemahaman petugas tentang survailans penyakitmenular.
5. Pelatihan merupakan pernah dan tidaknya petugas mendapatkan pelatihan tentangsurveilans penyakit.
6. Metoda pengumpulan data merupakan keberadaan tata laksana kegiatanpengumpulan data dan kesesuaian dengan fungsinya.
7. Partisipasi komunitas merupakan peran serta berbagai kelompok komunitas(seperti: tenaga kesehatan, masyarakat/toma/toga) dalam kegiatan surveilans.
Proses1. Koordinasi kegiatan pengumpulan merupakan kerjasama tim surveilan dengan
komunitas dan koordinasi di dalam tim itu sendiri dalam melakukan pengumpulan
data2. Validasi merupakan kesesuaian proses kegiatan dengan SOP yang sudah ada.3. Pengolahan data merupakan ketapatan waktu dan keakuratan suatu data di olah.4. Analisis data merupakan ketepatan penggunaan teknik analisa data.5. Supervisi pengumpulan merupakan keberadaan pengawasan terhadap proses
pengumpulan data.6. Supervisi pengolahan merupakan keberadaan pengawasan terhadap proses
pengolahan data.
Output1. Identifikasi masalah merupakan hasil analisis data yang sudah diproses untuk
mengetahui kemungkinan munculnya/timbulnya kejadian (morbiditas/mortalitas)
penyakit menular.2. Penyelidikan sebab masalah merupakan proses identifikasi sumber/penyebabtimbulnya masalah
3. Diseminasi merupakan ketepatan waktu penyebaran dan kelengkapan informasisurveilans kepada pihak-pihak yang berkepentingan (pengambil keputusan).Kelengkapan diukur berdasarkan SOP yang ada
PENANGGULANGAN PENYAK IT MENULAR Input1. Tenaga merupakan pelaksana kegiatan penanggulangan wabah yang meliputi jumlah
pelaksana dan latar belakang pendidikan serta lamanya bekerja.2. Dana merupakan ketersediaan pengalokasian, pemenuhan dan sumber dana
kegiatan.3. Sarana merupakan ketersediaan dan kesuaian fasilitas alat atau bahan yangdiperlukan dalam melakukan kegiatan penanggulangan wabah.
4. Protap merupakan keberadaan peraturan yang sesuai dengan fungsinya dalamkegiatan.
5. Pengetahuan petugas merupakan pemahaman petugas tentang karakteristik dankegiatan penanggulangan penyakit menular.
6. Pelatihan merupakan pernah dan tidaknya petugas mendapatkan pelatihan tentangpenanggulangan penyakit.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 88/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
75
7. Informasi Surveilans merupakan hasil output system surveilans yang sudah diolahdan dianalisis dengan melihat ada dan tidaknya informasi, ketepatan dankelengkapan data, dan ketepatan waktu yang diterima oleh pihak-pihak pengambilkeputusan.
8. Pengambilan Keputusan merupakan individu yang bertanggung jawab dalampengambilan keputusan dalam kegiatan penanggulangan.
9. Potensi komunitas merupakan peran serta berbagai kelompok komunitas (seperti:tenaga kesehatan, masyarakat/toma/toga) dalam kegiatan penanggulangan wabah.
Proses1. Koordinasi lintas sektor merupakan kerjasama antar pihak-pihak yang bertanggung
jawab dalam penanggulangan wabah.2. Upaya perbaikan kondisi rentan merupakan upaya pencegahan melalui perbaikan
keadaan yang menjadi sebab timbulnya kerentanan.3. Sistem kewaspadaan dini merupakan pelaksanaan pemantauan terus menerus
terhadap munculnya kerawanan yang terjadi pada unsur-unsur dasar penyebabterjadinya suatu wabah, dan peningkatan jumlah penderita yang merupakan indikasiadanya kemungkinan meletusnya suatu wabah.
4. Penyelidikan merupakan proses kegiatan kajian penyelidikan pendahuluan danlaporan awal, penyelidikan awal dan laporan perkembangan wabah (periodik), danpenyilidikan wabah yang dilakukan oleh pihak yang bertanggung jawab (Dinaskesehatan dan pusat).
5. Pelayanan pengobatan merupakan upaya pengobatan terhadap kelompok yang berisiko.
6. Pencegahan merupakan upaya memutus mata rantai penularan.7. Surveilans Ketat merupakan upaya pemantauan kecenderungan wabah.
Output1. Wabah tidak menjadi masalah kesehatan
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 89/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
76
IV. Draft Instrum en
Instrumen yang akan dirancang adalah instrument untuk wawancara mendalam (indepthinterview) dan instrument observasi (check list).
Sumber Informan adalah petugas yang terkait dengan pelaksanaan surveilans danpenanggulangan penyakit menular, yaitu:1. Tingkat Pusat antara lain P2M, Yanmedik dan Binkesmas2. Tingkat Provinsi antara lain:3. Tingkat Kabupaten antara lain: kepala dinas kesehatan, kasubdin P2M, seksi
surveilance, Bappeda, Biro Kesra4. Puskesmas: Kepala Puskesmas, petugas P2M, staf Kesling5. Masyarakat anatar lain: : Ka Desa, Ka RT, LMD/Dewan Kel.,Pustu/polindes, Kader
Kesehatan
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 90/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
77
LAMPIRAN 2PELAKSANAAN K EGIATAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyempurnaa n Proposal
Dalam rangka memperkaya proposal telah dilakukan beberapa kegiatanmencakup (1) pelaksanaan brainstorming dengan Tim Pakar, (2) Ekspose Tim Ahli, serta (3) Diskusi Internal.
(1) Brainstorm ing dengan Tim Pakar
Pelaksanaan brainstorming dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 28Pebruari 2006.
Tim yang diundang dalam acara brainstorming adalah nara sumber darikajian ini serta beberapa pakar lainnya, yaitu
- Dr. Broto Warsito, MPH- Dr. Indrijono Tantoro, MPH, Setditjen P3L Depkes- Prof. Dr. Sukirman, Ahli Gizi IPB- Dr. Dadi Argadiredja, MPH, Fakultas Kedokteran Unpad- Dr. Erna Tresnaningsih Suharsa, MOH, Ph.D, Balitbang Depkes- Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia- Dr. Dedi M. Masykur Riyadi, Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan
Bappenas Brainstorming dengan tim pakar dimaksudkan untuk mendapatkan
wawasan yang lebih jelas mengenai penanggulangan penyakit menular. Masukan yang diharapkan dari pelaskanaan brainstorming mencakup
perbaikan konsep, kerangka pemikiran, rumusan masalah serta tujuandan sasaran penelitian. Dalam aspek metodologi masukan dari brainstorming yang diharapkan berkiatan dengan aspek runga lingkupkajian, pemilihan lokasi peneltian, penetapan responden, serta variabelkajian
Hasil brainstorming selengkapnya pada LAMPIRAN 2.
(2) Ekspose Tim Ahli
Ekspose Tim Ahli dilaksanakan pada tanggal 5 April 2006 Ekspose Tim Pakar dimaksudkan untuk menggali lebih dalam lagi
berbagai aspek yang berkaitan dengan Penanggulangan PenyakitMenular, mencakup aspek • Review tentang Kajian Penyakit Menulat (Aspek Metodologi Kajian,
oleh Prof. Dr. dr. Soedarto Romoatmojo, FKM-UI
• Tinjauan Umum tentang Kebijakan Penanggulangan PenyakitMenular di Indonesia (Kebijakan Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 91/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
78
Yang Akan datang, oleh Dr. Indriono, Setditjen PengendalianPenyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes
• Kebijakan Umum Departemen Kesehatan dan/atau Nasional dalamUpaya Penanggulangan Penyakit Menular, oleh Kepala Pusat KajianKebijakan Pembangunan Kesehatan, Depkes
•
Penanggulangan Penyakit Menular di Puskesmas, oleh Direktur BinaKesehatan Komunitas, Depkes• Penanggulangan penyakit Menular di Rumah Sakit Kabupaten/Kota,
oleh Direktur Bina Pelayanan Medik dasar, Depkes• Tinjauan terhadap Kebijakan Surveilans Epidemiologi. Teori dan
Praktek dalam Penanggulangan Penyakit Menular, ole DirekturSurveilans Epidemiologi, Imunisasi dan Kesehatan Matra, Depkes.
• Kebijakan Penanggulangan Wabah DHF, oleh Direktur PengendalianPenyakit Bersumber Binatang, Depkes
. Pokok-pokok Pikiran hasil Ekspose Tim Ahli selengkapnya dalam
LAMPIRAN-3.
(3) Diskusi Internal
Diskusi internal dilakukan pada berbagai kesempatan diskusi yangdiselenggarakan di Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Diskusi inernal dilakukan diantara anggota Tim Perumus RekomendasiKebijakan dengan melibatkan Tim dari Fakultas Kesehatan Masyarakat
Diskusi internal dilakukan dalam rangka menyempurnakan kerangkaacuan kajian dengan mengakomodasi berbagai masukan yang didapatdalam pertemuan brainstorming tim pakar maupun dari hasil ekspose
tim ahli. Dalam diskusi internal juga dilakukan kesepakatan akhir berkaitan
dengan disain kajian, metodologi serta teknis pelaksanaan surveilapangan, serta rencana analisis data dan informasi dan bentuk laporankajian.
Dalam diskusi internal juga dibahas berbagai pertauran perundangan yang berkaitan dengan penanggulangan penyakit menular, sekaligusdibahs tentang aspek kewenangan dari masing-masing tingkatan.
(B) Pembah asan Disain Riset
Pembahsan disain riset yang dilakukan mencakup aspek (1) penetapan lokasikajian, (2) penentuan sampel dan responden, (3) perumusan kuesioner, serta(4) teknik analisis data.
Penetapan Lokasi Kajian Lokasi kajian ditetapkan di 6 propinsi dengan kriteria pemilihan
propinsi didasrkan pada ferkuensi dan jumlah kasus Keadaan Luar Biasa(KLB) penyakit.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 92/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
79
Berdasarkan hasil pembahasan dengan kriteria di atas, ditetapkanpropinsi yang akan menjadi lokasi kajian adalah1. Propinsi Riau2. Propinsi Sumatera Selatan3. Propinsi Kalimantan Timur
4. Propinsi Sulawesi Selatan5. Popinsi Jawa Timur6. Propinsi Nusa Tenggara Barat
Pada setiap porpinsi ditetapkan sampel 2 kabupaten . Pada setiap kabupaten ditetapkan 2 kecamatan/puskesmas
Penetapan RespondenPada setiap Propinsi dan Kabupaten ditetapkan 4 orang respondenmencakup
Kepala Dinas/Subdinas Kepala Rumah Sakit/Bagian P2M Kepala Puskesmas pada 2 kecamatan
Perumusan Ku esioner Rumusan Kuesioner dibuat dalam bentuk pertanyaan terbuka
dan pertanyaan tertutup Pengelompokkan didasarkan pendekatan sistem serta
berdasarkan kalster variabel dari konsep penanggulanganpenyakit menular, mencakup (1) aspek surveilans dan (2) aspek penanggulangan wabah
Kuesioner bersifat terbuka akan dilakukan dalambentuk interview dan wawancana mendalam
Kuesioner dalam bentuk tertutup akan disampaikan kepada
responden untuk mengisi Kuesioner Pada LAMPIRAN 1
Teknik Ana lisis Data Untuk menganalisis data yang bersumber dari responden
dilakukan analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif Analisis statistik deskriptif dilakukan dengan cara
mengelompokkan, mengolah, mentabulasikan danmenginterpertasikan data
C. Pelaksanaan Uji Coba Ku esioner
Uji Coba Kuesioner dilakukan dalam rangka menguji sejauhmana materipertanyaan dan isian dalam kuesioner dapat dijawab sesuai dengan tujuan kajian.Uji coba juga dilakukan untuk melihat kesesuaian, konsistensi dari materikuesioner sehingga runtut dan dapat dijawab dengan baik oleh responden. Aspek realibilitas dan vailiditas materi kuesioner juga menjadi target uji coba.
Pelaksanaan Uji Coba Kuesioner dilakukan di Kota Depok, pada tanggal 3-11Juli 2006, dengan responden adalah petugas di lingkungan Dinas Kesehatan,
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 93/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
80
Puskesmas serta Rumah Sakit yang menangani bidang penyakit menular,khususnya terkait dengan penanganan surveilans dan penaggulangan penyakitDemam Berdarah (DHF).
Hasil uji coba kuesioner selanjutnya dianalisa untuk kemudian dijadikan bahan perbaikan. Hal lain yang juga menjadi masukan dari pelaksanaan uji coba
kuesioner adalah berkaitan dengan (1) perijinan dalam pelaksanaan wawancara,(2) penetapan kontak person di lapangan, (3) penetapan waktu wawancara yangsesuia sehingga tidak berbebnturan dengan agenda lain bagi petugas di lapangan.
Laporan umum hasil uji coba kuesioner dalam LAMPIRAN ....
D. Pembahasan Dengan FGD
Pembahasan dengan Forum Group Disscussion dilakukan untuk mendapatkan masukan dan penyempurnaan konsep kajian, mencakup aspek (1)Tujuan, (2) Lingkup Kajian, (3) Metode Kajian, termasuk lokasi, variabel sertaparameter kajian.
Beberapa masukan dari FGD adalah• Responden perlu ditambah tidak hanya unsur aparat (institution base),
dan fasilitas kesehatan (facility based), tetapi juga dari unsurmasyarakat (community based)
• Unsur institusi selain Dinkes juga ditambah Bappeda• Bagaimana menemukan sistem penanggulangan yang cepat (efektif dan
efesien) dengan mempertimbangkan sistem pelaporan (survailans) yang ada dan cenderung birokratis
• Masalah kewenangan penanganan perlu diperjelas (otorisasi) antarakewenangan pusat, propinsi, kabupaten/kota. Namun pusat tepat ”takea lead”
•
Perlu kejelasan antara survailans dan penanggulangan: mekanismekerja serta proses pengambilan keputusannya
E. Pelaksanaan Su rvey Lapangan
Sesuai dengan lokasi kajian yang telah ditetapkan, survey lapangandilakukan di 6 (enam) provinsi, yaitu Provinsi Riau, Provinsi Jawa Barat, ProvinsiJawa Timur, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sulawesi Selatan dan ProvinsiNusa Tenggara Barat. Pelaksanaan Survey di masing-masing propinsi dilakukan di2 (dua) kabupaten, dan pada masing-masing kabupaten dilakukan wawancaramendalam serta pengisian kuesioner pada dinas kesehatan, Bappeda, 2 puskesmas,1 rumah sakit dan tokoh/perwakilan warga masyarakat. Jadwal dan Tim pelaksanadari Survei Lapangan dalam LAMPIRAN .....
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 94/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
81
LAMPIRAN 3
Struktur Organisasi/Tim Pelaksana
PENANGGUNG JAW AB
Dr. Dedy M. Masykur Riyadi, Deputi SDM dan Kebudayaan
TPRK
1. Drs. Arum Atmawikarta, SKM, MPH2. Dr. Hadiat, MA 3. Dadang Rizki Ratman, SH, MPA.4. Sularsono, SP, ME.5. Ir. Yosi Diani Tresna, MPM
NARA SUMBER
1. Dr. Broto Wasisto, MPH2. Dr. Indrijono Tantoro, MPH3. Dr. Dadi Argadiredja, MPH4. Prof. Dr. Soekirman5. Dr. Erna Tresnaningsih Suharsa, MOH, Ph.D.
TIM PENDUKUNG
1. Nurlaily Aprilianti2. Sulaeman
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 95/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
82
NOTULENSI PEMBAHASAN
DENGAN TIM PAKAR
Jakarta, 28 Februari 2006
KAJIAN KEBIJAKAN PENANGGULANGANWABAH PENYAKIT MENULAR
• Fokus yang akan diteliti
– Umum,
– Case Study : DBD
• Kriteria Lokasi Kajian – Endemis dan Non Endemis
– Sedang ada KLB dan tidak ada KLB
– Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota, Puskesmas dan Desa, RumahSakit terpilih
• Responden – Pusat: P2M, Yanmedik dan Binkesmas
– Propinsi: Kadinkes, Kasubdin P2M, Seksi Surveilance, Bappeda,
Biro Kesra
– Kabupaten : idem
– Puskesmas : Kepala Puskemas, petugas P2M, staf Kesling
– Desa: Ka Desa, Ka RT, LMD/Dewan Kel., Pustu/polindes, Kader
LAMPIRAN
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 96/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
83
• Design Penelitian: Case Control
• Variabel Penelitian: – Peraturan perundang-undangan (pusat,
propinsi, kab/kota)
– Managerial/sistem (pusat, propinsi, kab/kota& kec)
– Operasional (puskesmas ke bawah)
• Cara Pengumpulan Data
– data sekunder
– data primer : wawancara mendalam di
berbagai tingkat (Pusat s/d kab/kota) danfocus group discussion di tingkat Kecamatandan desa
• Perlu diperhatikan
– Kaitan antara JUDUL, PERUMUSANMASALAH, PERTANYAAN PENELITIAN,TUJUAN, SASARAN dan REKOMENDASI
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 97/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
84
POKOK-POKOK PIKIRAN
EKSPOSE TIM AHLI
Kajian Penanggulangan WabahPenyakit Menular
Jakarta, 5 April 2006
I. METODOLOGI KAJIAN
1. Pendekatan kajian:
• policy review dengan fokus padamanagement oriented system model
• Identifikasi terhadap faktor penghambat dandiakhiri dengan rekomendasi kebijakan
2. Jenis Penelitian: Penelitian Operasional
3. Sampling: Non Propability Sampling
4. Ruang Lingkup: Umum dengan case DBD
LAMPIRAN 5
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 98/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
85
II. TINJAUAN KABIJAKAN1. Kebijakan yang ada belum fokus
2. Pemahaman terhadap produk hukum yang adamasih rendah
3. Kebijakan peraturan perundangan dapat diikuti olehstakeholder: Kepmen Perpres
4. Dalam Renstra Depkes Penanggulangan Wabahmasuk dalam 2 strategi utama: (1) memberdayakanmasy. u/ hidup sehat dan (2) peningkatan sistemsurveilans
5. Ketentuan yang ada belum dilaksanakan secaraoptimal di tingkat operasional akibat keterbatasandana, sarana, tenaga dan koordinasi
6. Infrastruktur Puskesmas untuk surveilansditingkatkan : Poskesdes Vs Pustu
III. PRAKTEK PENANGGULANGAN DI LAPANGAN
PUSKESMAS
• Surveilans di Puskesmas belum Optimal
• Koordinasi lintas sektor belum terintegrasi
• Keterbatasan tenaga yang kompeten
• Kontribusi utama Puskesmas dalam penanggulanganwabah PP dalam jejaring pelayanan, tenaga, sarana,sistem pencatatan
RUMAH SAKIT
• Pelayanan gawat darurat masih di bawah standar
• Sistem monev periodik antar pusat dan daerah belumterbangun
• Insentif petugas perlu menjadi perhatian
• Kelengkapan sarana, sesuai dengan kasus penyakit
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 99/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
86
IV. KEBIJAKAN SURVEILANS1. Daerah berperan dalam pengambilan
keputusan menentukan prioritas masalahmaupun penanggulangan
2. Perlu Advokasi untuk dukungan legal aspekpelaksanaan dilapangan
3. Pelaksanaan SKD-KLB belum optimal
4. Surveilans faktor resiko selain surveilanspenyakit
5. Dukungan tenaga, sarana dan anggaran
V. KEBIJAKAN PENANGGULANGAN DBD1. Penguatan komitmen semua pihak
2. Pengembangan jejaring kerjasama dankemitraan
3. Optimalisasi dan profesionalisme SumberDaya (SDM dan dana)
4. Penguatan program: evidence based ,prioritisasi
5. Manajemen terpadu berbais wilayah:Jumantik, desa siaga
6. Fleksibilitas pencairan dana KLB
7. Mobilisasi Sosial Gerakan Masyarakat “3M”
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 100/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
87
LAPORAN PELAKSANAAN SURVEY KAJIAN KEBIJAKAN PENYAK IT MENULAR
1. Responden Kajian
No Propinsi/Kab Dinas PKM RumahSakit Bapp Masy Jml
Riau 51. Kota Pekanbaru 3 4 1 2 1
1
2. Kab. Siak 2 5 1 1 1
26
Jawa Barat 31. Kota Bandung 2 3 2 1 1
2
2. Kab. Bogor 2 2 1 2 1
20
Jawa Timur 11. Kota Surabaya 1 3 2 1 1
3
2. Kab. Gresik 2 4 1 1 1
18
Kalimantan Timur 2
1. Kota Samarinda 1 2 1 2 2
4
2. Kota Balikpapan 2 2 4 1 1
13
Sulawesi Selatan 21. Kota Makasar 1 4 1 1 1
5
2. Kab. Gowa 2 4 2 1 1
20
Nusa Tenggara Barat 31. Kota Mataram 2 4 2 1 2
6
2. Kab Lombok Tengah
3 6 3 1 0
25
TOTAL 47 43 21 15 13 122
2. Kesimpulan Hasil Survey
PROPINSI RIAU
Kebijakan Daerah mecakup (1) pemberantasan DBD diselenggarakan denganmenggunakan penatalaksanaan kasus secara cepat dan tepat, imunisasi,perubahan perilaku, pengendalian faktor resiko dan penyehatan lingkungan, (2)mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilans epidemiologi dengan fokuspemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, sebagai dasar tindak lanjutperencanaan program dan penanggulangan KLB, (3) memantapkan jejaring lintasprogram, lintas sektor, kab/kota, serta kemitraan dengan masyrakat (LSM)
termasuk swasta, (4) menyiapkan pengadaan dan distribusi kebutuhan obat-obatan dan bahan-bahan yang esensial, (5) meningkatkan kemampuan penggaliansumberdaya daerah dan sumberdaya masyarakat dalam pengelolaan programP2M.
Strategi yang dilakukan mencakup (1) intensifikasi pelaksanaan kasus melaluipencarian kasus dan pemutusan rantai penularan, perbaikan manajemen kasusdiganostik dan pengobatan serta rujukan, (2) surveilans epidemiologi, melalui
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 101/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
88
perencanaan, pematauan dan informasi program pemberantasan penyakit danmeningkatkan kewaspadaan di semua tingkat administrasi.
Program yang dilakukan mencakup (1) kewaspadaan dini DBD melalui penyuluhanintensif, pelatihan tenaga puskesmas dan rumah sakit, dan menyiapak sarana
pemeriksaan untuk diagnosa melaksanakan PE dan penanggulangan fokus, (2)pemberantasan vektor, melalui penyediaan insektisida dan larvasida, melengkapisarana pemberantasan vektor, menyiapkan juknis dan juklaknya, (3)meningkatkan SDM, melalui pelaksanaan pertemuan berkala Pojanal/Pokja DBD,pelatihan tenaga operasional, pembinaan dalam pelaksanaan gerakan 3M.
Hasil implemnatsi kebijakan. Strategi dan program adaah (1) pertemuan dengantim pokjanal DBD propinsi Riau menghasilkan beberpa kesepakatan yangmenitikberatkan pada peran aktif dari pokja/pokjanal DBD dengan melibatkanmasyarakat, lintas program dan lintas sektor terkait serta mengaktifkan kembaliperan UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) untuk menggerakkan anak sekolah dalampemberantasan demam berdarah. Tim Pokjanal DBD terdiri dari unsur-unsurDiknas, PMD, Bappeda, PKK, Dinkes, Depag dan pihak legislatif, (2) Di KotaPekanbaru, Tim Pokjanal DBD diketuai oleh Walikota, sedangkan sekretariat berada di kantor Dinas Kesehatan, (3) Bila terjadi KLB, tersedia pos untuk penanggulangan, yaitu dana tak terduga, dana bencana dan dana belanja rutinsekretariat daerah. Ketiga dana tersebut diatas berasal dari dana Kantor Walikota,sedangkan dana dari Dinas Kesehatan diutamakan untuk membeli peralatan dankegiatan yang sifatnya pencegahan. Dana KLB dianggarakan dengan menggunakanpola kinerja artinya bila KLB tidak terjadi, maka uang tidak bisa dicairkan. Nbilaterjadi KLB, uang dicairkan, maka kinerjanya akan dipertanyakan. (3) DisampingTim Pokjanal DBD, Kota Pekanbaru juga memiliki Forum Perkampungan Sehat,diketuai oleh Bappeda dan sekretariat juga berada di Bappeda. Kegiatan pokok
adalah melakukan rapat lintas sektor untuk menangani masalah-masalahkhususnya penyakit menular.
PROVINSI JAWA B ARAT
Kebijakan penannggulangan di Jawa Barat secara umum mengacu pada kebijakandan program yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (Pusat), yaitumencakup 1) Kewaspadaan dini DBD, (2) Pemberantasan vektor melalui PSNdengan cara 3M Plus, dan pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan setiap
3 bulan sekali, (3) Bulan Bakti gerakan ”3M”, (4) Penanggulangan kasus, dimanaPuskesmas melakukan penyelidikan epidemiologi (PE) untuk mengurangipersebaran lebih luas dan tindakan yang lebih tepat, (5) penanggulangan KLB, (6)peningkatan profesionalisme SDM, (7) Pendekatan Peran Serta Masyarakat dannPSN DBD, (8) Penelitian.
Strategi pelaksanaan kebijakan penanggulangan DBD di Propinsi Jawa Baratdilakukan melalui (1) pendekatan ”gerak cepat” dan putus rantai, yaitu pada setiap
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 102/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
89
kasus petugas siap melakukan PE sehingga ditemukan akar permasalahan dansumber penyebabnya untuk kemudian dilakukan tindakan agar tidak menyebar ketempat lain, (2) upaya preventif yang dilakukan melalui ”managing vector andenvironment” malalui ger kan 3M yang dilakukan secara linta sektor dalam wadahPokjanal DBD, (3) Upaya peningkatan kemamampuan tenaga kesehatan dalam
penanggulangan DBD secara kuratif dilakukan melalui ”workshop tata laksana”dengan melibatkan dokter spesialis dan urusan dalam, (4) Pelibatan partisipasimasyarakat melalui gerakan PSN setiap hari Jumat pagi, foggig focus massal, danmelakukan ”CLEAN-UP” lingkungan yang dipimpin oleh wali kota selama 1-2 jam,pemeriksaan jentik dengan memberdayakan tenaga jumantik, (5) Pelibatan lintassektor, (6) Sosialissi Pola Hidup Bersih (PHBS).
Hasil pelaksanaan program ditunjukkan antara lain (1) pemantauan jentik belumoptimal dilakukan oleh kader dengan alasan terbatasnya dana operasional,kesibukan kader, dan tidak seimbangnya jumlah kader dengan cakupan daerah yang harus diselediki, (2) Fogging dilaksanakan apabila terjadi KLB denganmenggunakan dana yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten denganperuntukan untuk larvasidasi dan abatesisasi.
PROVINSI JAWA TIMUR
Kebijakan daerah mencakup (1) upaya penanggulangan masalah-masalahkesehatan yang dilakukan merupakan hasil dari kajian surveilans epidemiologi, (2)kegiatan surveilans epidemiologi dilaksanakan oleh tim fungsional di masing-masing tingkat mulai dari Puskesmas, kab/kota, dan propinsi, (3) komitmen daripimpinan unit penyelenggara kesehatan diperlukan untuk kegiatan surveilansepidemiologi, (4) penemuan kasus dilaksnakan secara bekerjasama denganmasyarakat, dokter, praktek swasta, bidan, perawat, dukun bayi dan kendaraan
kesehatan.
Strategi dalam penanggulangan DBD dilakukan melalui (1) penemuan kasus dankematian melalui surveilans di rumah sakit, puskesmas dan masyarakat, (2)pencarian kasus tambahan dilakukan pada saat penyelidikan epidemiologi, (3)penyelidikan epidemiologi terhadap kasus yang dicurigai pada daerah yang resikorendah, (4) melakukan kajian epidemiologi harus bekerjasama dengan lintasprogram dan lintas sektor, (5) melakukan studi epidemiologi pada daerah denganknerja yang tidak baik.
Pelaksanaan program penannggulangan DBD mencakup (1) SKD-KLB melalui
kegiatan pengumpulan data baru dari penyakit-penyakit yang berpotensi KLB,mengamati indikasi pra-KLB misala cakupan program, status gizi, perilakumasyarakat, pengolahan dan analisis data untuk penyususnan rumusan kegiatanperbaikan oleh tim epidemiologi, (2) penyeldikan dan penanggulangan KLB,melalui persiapan penyelidikan lapangan, memastikan diagnostik etiologi,menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB, mengidentifikasi danmenghitung kasus atau paparan, mendeskripsikan kasus berdasarkan waktu, orangdan tempat, membuat cara penanggulangan sementara, mengidentifikasikan
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 103/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
90
sumber dan cara penyebaran, mengidentifikasikan keadaan penyebab KLB,merencanakan penelitian lain yang sistematis, menetapkan rekomendasi carapencegahan dan penanggulangan, menetapkan sistem penemuan kasus baru.
PROVINSI KALIMNATAN TIMUR
Kebijakan Daerah yang dilakukan mencakup (1) Pemberantasan DBDdiselenggarakan dengan menggunakan penatalaksanaan kasus secara cepat dantepat, perubahan perilaku dalam pola hidup bersih dan sehat, penyehatanlingkungan, (2) mengembangkan dan memperkuat jejaring surveilansepidemiologi dengan fokus pemantauan wilayah setempat, kewaspadaan dini, dan(3) Membangun kerja sama lintas sektor, kerja sama dengan dengan masyarakatdan swasta.
Strategi yang dilakukan mencakup (1) peningkatkan pencarian kasus danpemutusan rantai penularan perbaikan manajemen pengobatan serta rujukan, (2)Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi.
Pokok-pokok Program yang dilakukan mencakup Kewaspadaan dini DBD;penyuluhan, pelatihan tenaga kesehatan, pelaksanaan PE, (2) Pemberantasan vector; penyediaan insektiside dan larvasida, melengkapi sarana pemerantasan vektor, (3) Pelatihan tenaga surveilens (pelatihan epidemiologi, pertemuan berkalaPokjanal/Pokja DBD, pelaksanaan gerakan 3M.
Gambaran implementasi adalah (1) Pelaksanaan penanggulangan DBD melibatkanmasyarakat, lintas program dan lintas sekor terkait, (2) Tim Pokjanal DBD diketuaioleh Walikota, beranggotakan kepala – kepala dinas yang ketika diadakan rapat-rapat selalu dihadiri oleh personal yang berlainan, (3) Untuk tahun 2005, APBD
mengalokasikan dana 500 juta untuk peanggulangan KLB dan habis untuk penanggukangan KLB DBD, (4) Di samping Tim Pokjanal DBD, Kota Balikpapanmemiliki Yayasan DBD yang ketuanya adalah kasubdin P2M Dinkes dan didanaioleh perusahaahn2 minyak swasta, (5) Dinas kesehatan kota Balikpapan selalumelaksanakan pendataan DBD dengan rutin, sehingga sesuai data memang DBD diKota Balikpapan tinggi, (6) Pelatihan khusus tentang epidemiologi dan surveillens baru dilakukan 1 kali dalam 5 tahun terakhir.
PROVINSI SULAWESI SELATAN
Upaya penanggulangan kejadian luar biasa (KLB)/penyakit menular, khususnyapenyakit DBD di Propinsi Sulawesi Selatan, pada dasarnya dilaksanakan berpedoman pada arah kebijakan dan program dari Pemerintah Pusat(Departemen Kesehatan). Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan selanjutnyamenyusun Prosedur Tetap (Protap) Penanggulangan DBD sebagai pedoman/acuanpelaksanaan kegiatan Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas KesehatanKabupten/Kota.
5/8/2018 pencegahan DBD - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/pencegahan-dbd 104/104
LAPORAN AKHIR
Kajian Keb ijakan Pena ngg ulanga n Penya kit Me nular
Materi yang disusun dalam Protap ini adalah langkah-langkah penanggulanganDBD sebagai berikut: (1) Kewaspadan Dini, melalui penemuan dan pelaporanpenderita, penanggulangan fokus, bulan kewaspadaan DBD, pemantauan jentik berkala, (2) Pemberantasan Nyamuk Penular DBD terhdap nyamuk dewasa dan jentik nyamuk, (3) Penanggulangan KLB, melalui penyuluhan, gerakan PSN,
abatisasi, dan fooging massal, (4) Peningkatan SDM, melalui pelatihan petugaskesehatan.
Implementasi kebijakan penanggulangan DBD di Sulawesi Selatan antara lain (1)Kewaspadaan Dini, menghasilkan penemuan dan pelaporan penderita,penyuluhan intensif melalui media cetak dan elektronik, pemantauan jentik berkala di berbagai kabupaten endemis dengan sasaran masing-masing 100rumah, pertemuan Kewaspadaan Dini DBD sebanyak 4 kali melibatkan sektorterkait, lintas program dan kabupaten/kota terdekat, (2) Penanggulangan KLBmenemukan jumah kasus KLB DBD tahun 2005 sebanyak 66 kasus, sedangkantahun 2004 jumlah KLB DBD sebanyak 88 kasus., (3) Peningkatan Sumber DayaManusia, melakukan pelatihan tatalaksana DBD bagi dokter di rumah sakit padadaerah endemis, pelatihan bagi pengelola program P2 DBD di 23 kab/kota,pembinaan di 23 kab/kota.
PROVINSI NUSA TENGGARA BAR AT
Pedoman surveilans dan KLB kurang operasional. Dinkes Propinsi Nusa TenggaraBarat membuat pedoman operasional yang berisi ”step by step” metodologipenanggulangan DBD. Di kabupaten Lombok Tengah, pengamatan bebas jentik
dilakukan oleh murid-murid sekolah dan telah terbukti cukup efektif untuk dapatdireflikasi di daerah lain. Pada pelaksanaan di Puskesmas, dukungan danasurveilans tertolong oleh adanya subsidi dari Askeskin, terutma untuk insentif tenaga kesehatan dan kader.
Surveilans dilaksanakan pada tingkat dinas kesehatan propinsi, kab/kota danpuskesmas. Namun terdapat ”gap” pelaksanaan/penanganan KLB, dimana peranpuskesmas sangat kecil karena dukungan dana dan personil sangat kecil. Dngandemikian Puskesmas sebagai fasilitas yang paling dekat edngan masyarakat tidak dimanfaatkan dengan baik dalam penanggulangan KLB DBD.
Recommended