View
11
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum, pluralitas budaya, tradisi dan agama merupakan suatu
keniscayaan hidup sekaligus khazanah tersendiri bagi bangsa Indonesia. Hal
tersebut disebabkan karena masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
majemuk1 dengan berbagai macam tradisi berbeda. Tradisi ini telah tumbuh dan
berkembang menjadi kebudayaan, sebagai warisan luhur yang masih
dipraktikkan dan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia hingga saat ini.2
Namun jika pluralitas budaya, agama, dan tradisi tidak dipahami dengan sikap
toleran dan saling menghormati maka akan memicu kekerasan (violence) atau
konflik.3
Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Andi Faisal Bakti yang
menjelaskan bahwa setidaknya dalam rentang waktu 1997-2000, kondisi
Indonesia mengalami gelombang konflik yang dikarenakan perbedaan etnis,
suku, agama, dan atas golongan. Ada enam konflik yang diteliti, yaitu antara
muslim dan non-muslim, suku Jawa dan suku non Jawa,
militer/birokrasi/keturunan Cina dan warga sipil, pribumi dan non-pribumi,
Muslim sekuler dan Muslim nasionalis religius, dan Muslim modernis dan
Muslim tradisionalis.4 Bakti melanjutkan, bahwa kerentanan konflik yang ada di
Indonesia membutuhkan pemahaman baru terhadap budaya. Dan hal tersebut,
menurutnya dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu cooptation, coercion, seduction dan negotiation, consensus, democracy.
5
Pendapat di atas, setidaknya memiliki kesesuaian dengan pendapat dari
Geertz, dengan mengikuti pendapat Max Weber, yang mendefenisikan budaya
sebagai sebuah jaringan yang terbentuk dari hubungan antar manusia. Geertz
mengistilahkan budaya dengan super organic yang merupakan realitas yang
memiliki kekuatan dan tujuan.6 Artinya, pemahaman terhadap budaya harus pula
1Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok
yang tinggal bersama dalam suatu wilayah tapi terpisah menurut budaya masing-masing.
Lihat Nungki Astriani, Olahan Dan Negosiasi Identitas Etnik Dalam Komunikasi Antar Budaya (Ciputat: Cinta Buku Media, 2015), 1.
2Sumaatmadja Nurshid, Pengantar Studi Sosial (Jakarta: Alumni, 1998), 1.
3M Jandra, ‚Islam dalam Konteks Budaya dan Tradisi Plural‛ dalam
Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (Surakarta: PSBPS-UMS, 2003), 71.
4Andi Faisal Bakti, ‚Major Conflict in Indonesia: How Can Communication
Contribute to a Solution?‛ Jurnal Human Factor Studies, Vol. 6, No. 2, (Desember
2000): 35-44. 5Andi Faisal Bakti, ‚Major Conflict in Indonesia: How Can Communication
Contribute to a Solution?‛ 44-52. 6Clifford Geertz, Interpretation of Cultures (New York: Basic Books. Inc,
1973), 2 dan 11.
2
menyertakan pemahaman atas hubungan antar manusia dalam memaknai
budayanya.
Seperti telah diketahui, bahwa dalam perjalanan sejarah Indonesia,
berbagai unsur kebudayaan ikut berinteraksi melalui paham keagamaan yang
masuk. Salah satu yang paling menonjol dan sering menimbulkan banyak
perdebatan adalah tradisi masyarakat di Indonesia dalam sejarah Islam awal di
Nusantara. Dari sini dapat dilihat bahwa kehadiran agama bagi masyarakat
tentunya mengarah kepada pembibitan dasar asas-asas kehidupan mereka
melalui nilai luhur ketuhanan.
Pada kenyataannya, tradisi yang berkaitan dengan ritual keagamaan
dalam masyarakat telah mendarah daging dalam semua sejarah kehidupan umat
manusia. Meskipun asumsi kemunculan ritual keagamaan bisa diakui bersumber
pada satu nilai keilahian, namun tetap tidak dapat disatukan dalam wadah yang
sama. Hal tersebut dikarenakan semua tradisi akan bergerak seiring dengan
tujuan dan misi para pemeluk agama di dalamnya. Masing-masing pemeluk
agama memiliki hak sekaligus cara tersendiri untuk mempertahankan tradisi dan
identitasnya melalui keberadaan pengikut, pemaknaan, dan praktikalitasnya
sehingga mampu mempertahankan eksistensi suatu tradisi.
Seperti yang dijelaskan oleh Emile Durkheim, bahwa masyarakat
memerlukan tradisi dan ritual-ritual tertentu tetap eksis, maka konsekuensinya
adalah tidak akan ada satu masyarakat yang tidak memiliki sebuah agama atau
sesuatu yang berfungsi sama dengan agama.7 Menurutnya, fenomena agama
terbagi menjadi dua kategori dasar yaitu kepercayaan (ide-ide keagamaan)
dalam bentuk representasi dan ritual sebagai aksinya. Jadi, selama ide-ide
keagamaan masih dipercaya, meskipun dianggap absurd dan diperdebatkan oleh
sebagian kalangan, perilaku keagamaan akan selalu ada dalam setiap
masyarakat, karena memberikan kekuatan kepada mereka. Karena akan selalu
ada jarak antara ide-ide keagamaan dan ritual.8
Islam dengan tujuan kemaslahatan, sejatinya memiliki suatu konsep
alamiah untuk memupuk kebersamaan umat manusia dalam susunannya yang
heterogen dan majemuk (plural).9 Munawar Rachman menjelaskan hakikat dari
kemaslahatan adalah bersifat non-sektarian, non-rasial, non-doktrinal, dan
bersifat universal.10
Di Indonesia, isu sektarian antara Sunni sebagai kelompok atau mazhab
mayoritas dan Syi’ah sebagai kelompok minoritas masih menimbulkan polemik.
Hal tersebut disebabkan karena keberadaan Syi’ah di Indonesia selalu
7Tahir Sapsuha, Pendidikan Pascakonflik: Pendidikan Multikultural Berbasis
Konseling Budaya Masyarakat Maluku Utara (Yogyakarta: LkiS, 2003), 37. 8Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life (New York:
Dover Publication. Inc, 2008), 36. 9Tahir Sapsuha, Pendidikan Pascakonflik, 30.
10Budhy Munawar-Rachman, ‚Kata Pengantar‛ dalam Mohamed Fathi Osman,
Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan: Pandangan al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban, terj. Irfan Abubakar (Jakarta: Yayasan Paramadina, 2006), xiiii.
3
mendapatkan pertentangan dari Islam mayoritas.11
Hal tersebut semakin
menujukkan kebenaran dari upaya untuk memperkuat status quo Sunni. Reaksi
itu, pada satu sisi, dapat dimaklumi karena mereka khawatir upaya itu akan
menimbulkan goncangan dalam masyarakat. Pada sisi lain, fraksi teologi yang
sering dianggap menyimpang dari konsep pemikiran teologi sehingga dikatakan
menyeleweng dari teologi Sunni. Kondisi ini telah menimbulkan konflik internal
umat Islam baik di Indonesia maupun di dunia internasional.12
Namun demikian,
Syi’ah di Indonesia tetap dapat mempertahankan eksistensinya melalui ritual,
sekalipun tidak dikenal umum sebagai Syiah. Salah satunya adalah ritual Tabut.
Ritual Tabut13
di Kota Bengkulu misalnya, dikatakan sebagai tradisi
yang terpengaruh oleh ritual Syi’ah Irak. Di negara tersebut tradisi ini dikenal
dengan sebutan hari Asyura yang merupakan kebiasaan penganut paham Syi’ah.
Tradisi ini kemudian tersebar ke seluruh dunia seiring dengan tersebarnya
paham Syi’ah tersebut, terutama negara-negara di Asia Selatan. Orang-orang
Bengali yang membawa tradisi ini ke Bengkulu juga merupakan orang-orang
Syi’ah. Tradisi berkabung yang mengalami akulturasi dengan budaya Bengkulu
ini terus berjalan dengan perkembangan yang cukup panjang. Pada masa
perkembangannya, tradisi ini bersentuhan dengan budaya-budaya lokal dan
kemudian diwariskan serta dilembagakan sehingga menjadi apa yang dikenal
dengan sebutan tradisi Tabut yang dilaksanakan pada tanggal 1-10 Muharam
setiap tahun baru Hijriah.14
Hal tersebut disebabkan oleh kondisi sosio-historis
wilayah Sumatera yang bersentuhan dengan tradisi-tradisi luar seperti India,
Persia, Cina, dan Eropa. Meski begitu, tradisi yang berbentuk upacara
tradisional keagamaan ini merupakan pranata sosial religius sebagai usaha untuk
memenuhi kewajiban terhadap warisan leluhur. Tradisi Tabut merupakan tradisi
yang paling populer pada masyarakat Kota Bengkulu dan merupakan ciri khas
dari masyarakat Bengkulu.
11
Mohammad Takdir Ilahi, ‚Syiah: Antara Kontestasi Teologi dan Politik.‛
Jurnal Maarif, Vol. 10, No. 2, (Desember 2015): 54. 12
Abdul Rozak, Teologi Kebatinan Sunda: Kajian Antropologi Agama tentang Aliran Kebatinan Perjalanan (Bandung: Kiblat Buku Utama, 2005), 12-13. Lihat juga
Andi Faisal Bakti, ‚Major Conflict in Indonesia: How Can Communication Contribute
to a Solution?‛ 44-46. 13
Ada perebutan aksen dalam penggunaan kata ‚Tabut‛ antara Keluarga
Kerukunan Tabut (KKT) yang mengklaim sebagai penerus tradisi Tabut dengan
pemerintah daerah yang menyebut ‚Tabot.‛ Bahkan beberapa peneliti juga lebih sering
menggunakan aksen ‚Tabot‛ ketimbang ‚Tabut.‛ Entah sejak kapan kata ‚Tabut‛
berubah menjadi ‚Tabot,‛ namun sejarah mencatat bahwa pada tanggal 06 November
tahun 1916 Masehi sebutannya masih Tabut, dibuktikan dari tulisan pada foto yang
diliput oleh warga keturunan Cina Bencoolen pada perayaan budaya Tabut. Lihat A.
Syiafril Sy, Tabut Karbala Bencoolen dari Punjab Symbol Melawan Kebiadaban
(Jakarta Timur: PT Walaw Bengkulen, 2012), 28. Peneliti memilih menggunakan kata
‚Tabut‛ dalam penulisan tesis ini. 14
Antony Zacky, Menguak Tabir Misteri Tabot, 33-34.
4
Tradisi Tabut telah diyakini sejak dahulu, dijadikan ritual terus menerus
dan bersifat kontinu dari generasi ke generasi, terutama oleh para keturunan
pelaku Tabut yang membentuk Keluarga Kerukunan Tabut (KKT).15
Selain
tradisi Tabut, tradisi lain yang serupa, di antaranya adalah tradisi perayaan hari
Asyura, peringatan syahidnya Imam Husain di Padang Karbala pada 10
Muharram 61 H, di Aceh di peringati sebagai bulan Asan Usen/Kasan Kusen, di
Sumatera Barat (Pariaman) dikenal sebagai Tabuik.16
Hari Arbain di Pagelangan
Jawa Barat dan Tradisi Suro pada masyarakat Suku Jawa. Namun demikian,
tradisi Tabut berbeda dengan yang lainnya dan masih terus mempertahankan
keasliannya, sedangkan di tempat lain sudah mulai ditinggalkan oleh
masyarakat, kecuali tradisi Suro yang masih banyak dilakukan oleh orang-orang
suku Jawa, akan tetapi tujuannya sudah berubah, bukan lagi merupakan tradisi
berkabung melainkan tradisi menyambut tahun Hijriah. Juga dari literatur-
literatur sejarah seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah, Hikayat Tabut, Hikayat Hasan Husein, Hikayat Perinta Negeri Benggala, Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati dan Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-kanak, Baginda Ali, Zainal Abidin.
17
Sejarah kemunculan ritual Tabut diwarnai oleh dua pendapat, pendapat
pertama, menurut keturunan dari Imam Senggolo,18
ritual Tabut di Bengkulu
dibawa oleh ulama yang berasal dari Punjab (Pakistan). Karena ada beberapa
kata-kata yang lazim di gunakan oleh masyarakat Bengkulu yang merupakan
15
Keluarga Kerukunan Tabut dibentuk pada tahun 1993 oleh para tokoh-tokoh
Tabut. Ide itu sudah muncul sejak awal tahun 1991, ketika para perwakian dari Provinsi
Bengkulu diundang ke Jakarta untuk menampilkan seni budaya yang dimiliki, saat itu
Bengkulu menampilkan Tabut dengan alat musik Dol. Lihat Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit Citra, 2009), 101.
16Dicky Sofjan (ed.), Sejarah & Budaya Syi’ah di Asia Tenggara (Yogyakarta:
Sekolah Pascasarjana UGM, 2012), 18-19. Tabuik di Padang Pariaman, Pengumuman
kembali atas penderitaan Hussein di Karbala menjadi sebuah acara budaya tahunan yang
dirayakan pada hari kelahirannya, hari ke sepuluh Muharram, Bulan pertama kalender
Islam. Acara ini mempromosikan kepaduan sosial dan identitas regional dan juga
perdagangan dan pariwisata. Walaupun penduduk Pariaman dan daerah sekitar sebagian
besar adalah muslim Sunni, akan tetapi mereka telah menganut interpretasi dari tradisi
Syi’ah ini. Lihat Paul H. Mason, ‚Fight Dancing and The Festival, Tabuik in Pariaman,
Indonesia and Iemanjá In Salvador da Bahia, Brazil.‛ Jurnal Martial Art Studies 2,
(2016): 71-72. (diakses 03 November 2016) 17
Majid Daneshgar, Faisal Ahmad Shah, Arnold Yasin Mol, ‚Ashura in the
Malay-Indonesian World: The Ten Days of Muharram in Sumatra as Depicted by
Nineteenth-Century Dutch Scholars.‛ Journal of Shi‘a Islamic Studies, Vol. VIII, No. 4,
(2015): 492. 18
Imam Senggolo atau yang dikenal juga sebagai Syeh Burhannudin adalah
seorang ulama yang diklaim oleh pengikut Tabut sebagai pembawa pertama ritual Tabut
di Bengkulu. Lihat juga Majid Daneshar, Ashura in then Malay-Indonesian World: The
Ten Days of Muharram in Sumatra as Depicted by Nineteenth-Century Dutch Scholars,
Journal of Shi’a Islamic Studies, Vol. VIII, No. 4, 2015, 493. (diakses 15 Oktober 2016)
5
kata serapan dari bahasa Punjab.19
Pendapat kedua, yang juga sering digunakan
oleh para peneliti yang mengangkat tentang ritual ini. Tabut merupakan tradisi
yang dilestarikan oleh suku Sipai sejak abad 17-18 yang lalu.20
Sipai adalah
salah satu suku yang ada di Kota Bengkulu, berasal dari Suku Bengali yang
terletak di India Selatan yang menikah dengan orang suku Serawai Bengkulu.
Saat ini suku Sipai lebih dikenal dengan sebutan keluarga Tabut yaitu
masyarakat yang menjalankan tradisi Tabut. Tradisi Tabut ini merupakan suatu
tradisi atau kebiasaan suku Sipai yang berupa rangkaian upacara tradisonal
keagamaan untuk mengenang kematian Husain bin Ali bin Abi Tholib, cucu
nabi Muhammad SAW yang gugur di medan peperangan.21
Tradisi Tabut ini sangat berpengaruh sekaligus tidak terlepas dari
kehidupan masyarakat Sipai dan masyarakat Kota Bengkulu secara umum.
Sepanjang sejarah keberadaannya, Tabut sudah menjadi suatu bagian penting
dalam kehidupan masyarakat Kota Bengkulu, baik itu masyarakat suku Sipai
maupun masyarakat Kota Bengkulu. Alasannya, perayaan Tabut memiliki
dampak signifikan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari aspek
sosial, ekonomi, religi, budaya, pariwisata, politik, dan lain sebagainya.22
Di Kota Bengkulu, budaya tradisi Tabut dilaksanakan melalui 13
kegiatan ritual, yaitu:23
do’a mohon keselamatan kepada Allah Swt, mengambik tanah, duduk penja, malam menjara, meradai, arak penja, arak seroban, hari gham, Tabut naik puncak, arak gendang dan Tabut besanding, Tabut tebuang
dan diakhir dengan mencuci penja. Sedangkan di tempat-tempat lain tersebut
19
Pemakaian falsafah bahasa menunjukkan Bangsa, oleh karena itu tidak
mungkin orang yang datang dari Benggala (Benggali) Bangladesh atau orang yang dari
Madras (Chenai) India berbahasa sama dengan mereka yang dari Punjab Pakistan karena
sudah jelas bahasa dari Benggala Banglades adalah bahasa Benggali, bahasa dari Madras
India adalah bahasa Tamil, dan bahasa dari Punjab adalah bahasa Urdu Pakistan yang
tulisannya menggunakan huruf Arab Persia. Hal ini juga dibuktikan dengan sisa-sisa
warisan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh
penggunaan kata abbah (ayah), dada (datuk/kakek), biwi (istri), dawat (tinta), mamu
(paman), jel (penjara), gham (bersedih), penja (lima jari), soja (menyembah), dan lain-
lain, yang berasal dari bahasa Urdu Punjab Pakistan. Ditambah lagi dengan warisan
‚naskah do’a‛ yang ditulis dengan huruf Arab Persia yang masih digunakan hingga saat
ini. Lihat Syiafril Ahmad Sy, Tabut Karbala Bencoolen dari Punjab Symbol Melawan Kebiadaban (Jakarta Timur: PT. Walaw Bengkulen, 2012), 9-10.
20Majid Daneshgar, Faisal Ahmad Shah, Arnold Yasin Mol, ‚Ashura in the
Malay-Indonesian World: The Ten Days of Muharram in Sumatra as Depicted by
Nineteenth-Century Dutch Scholars,‛ Journal of Shi‘a Islamic Studies, Vol. VIII, No. 4,
2015, 494. 21
Antony Zacky, Menguak Tabir Misteri Tabot Lewat Naskah Kuno
(Bengkulu: PT Rakyat Bengkulu, 2003), 40. 22
Harapan Dahri, Tabot: Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta:
Pemikat Citra, 2009), 53. 23
Ahmad, Syiafril, Sy, Tabut Karbala Bencoolen dari Punjab Symbol Melawan Kebiadaban, 38-87.
6
tradisi berkabung ini dilakukan lebih sederhana, tahapan prosesinya tidak
banyak seperti prosesi-prosesi dalam ritual Tabut.24
Dalam pelaksanaannya, budaya tradisi Tabut di Bengkulu bersifat
plural25
dan tidak tunggal sebagaimana yang dikesankan selama ini. Kesan
bahwa seolah-olah perayaan Tabut di Bengkulu bersifat homogen dan seragam
telah terbentuk dalam persepsi banyak orang. Pluralitas perayaan Tabut ini
tercermin dari adanya beberapa kelompok26
yang sebagian dari mereka memiliki
pandangan berbeda dalam perayaan Tabut. Pluralitas dari pelaksanaan ritual
Tabut juga dikarenakan keragaman pemaknaan dalam memahami ritual tersebut.
Pluralitas mulai terjadi sejak pelaksanaan ritual Tabut pada Oktober 2016.
Bermula dari beredarnya informasi-informasi yang mengatakan bahwa ritual
Tabut merupakan ajaran sesat karena berasal dari Syiah, bi’dah, serta bahan-
bahan yang digunakan dalam ritual tersebut dianggap menyimpang dari ajaran
Islam.
Menurut Michael Feener yang dikutip oleh Chiara Formichi mengatakan
bahwa selama masa Orde Baru (1965-1998) ritual Tabut mengalami dinamika
pergeseran makna. Hal tersebut disebabkan karena pemerintah mengubah ritual
Tabut menjadi identitas budaya lokal semata tanpa unsur keagamaan. Namun
pasca Orde Baru (sekitar tahun 2000), dengan tetap menekankan nilai komoditas
24
Zoneirah Sharleen Anindita, ‚Tradisi dan Makna Simbolik Ritual Tabot pada
Masyarakat Suku Sipai di Kota Bengkulu.‛ Jurnal Sosiologi, (Sumsel: FISIP-Universitas
Sriwijaya), 3. 25
Pluralisme atau multikulturalisme mempunyai beberapa aspek positif.
Pertama, mempromosikan kepada orang-orang mengenai peningkatan rasa hormat untuk
kelompok etnis, ras, agama dan kelompok yang lain dan mendorong mereka untuk
mengembangkan nilai dan budaya mereka sendiri. Tidak seorangpun berhak untuk
menghalangi perkembangan ini. Setiap orang dilindungi oleh hukum. Oleh karena itu,
setiap orang secara bebas, tidak terikat oleh penindasan atau dikendalikan oleh orang
lain dengan latar belakang budaya yang berbeda. Setiap orang memegang hak untuk
hidup dan mengembangkan tradisi dan budaya mereka. Sejumlah sistem sosial dan
budaya atau institusi mungkin hidup secara berdampingan. Hubungan yang optimal
antara anggota budaya yang berbeda dimungkinkan tanpa halangan dari hirarki dan
birokrasi. Lihat, Andi Faisal Bakti, Multiculturalism in Indonesia a Communication
Perspective, Reflexions sur Les Diversites Modiale, Casablanca: Cahiers de la HACA,
2013, 126. 26
Di Bengkulu terdapat 17 kelompok Tabut, antara lain: Tabut Imam, Tabut
Bansal, Tabut Kampung Batu, Tabut Kampung Bali, Tabut Lempuing, Tabut tengah
Padang, Tabut Kebun Ros, Tabut Penurunan, Tabut Pondok Besi, Tabut Bajak, Tabut
Anggut Bawah, Tabut Tengah Padang, Tabut Malabero, Tabut Kebun Beler, Tabut
Tengah. Lihat: Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ Jurnal Al-Turas,
Vol. 19, No. 2, (2013): 142.
7
budaya, ritual Tabut mulai memunculkan kembali unsur-unsur keagamaan,
khususnya unsur-unsur Syi’ah.27
Keberagamaan makna ritual Tabut yang muncul, baik dari pemerintah
maupun pengikut Tabut, memiliki dampak negatif. Hal tersebut dapat dilihat
dari pemberitaan di media massa tentang perbedaan pendapat antara Keluarga
Kerukunan Tabut dengan Pemerintah. Di satu sisi, pemerintah dianggap kurang
berperan aktif dan terkesan tidak peduli terhadap usaha dari Keluarga
Kerukunan Tabut yang mencoba mempertahankan unsur keagamaan serta nilai
kesakralan ritual tersebut.28
Akibatnya, Pemerintah dan Keluarga Kerukunan
Tabut mengadakan tradisi ini secara terpisah.29
Dengan demikian, permasalahan
utama yang kerap muncul dalam perkembangan ritual Tabut adalah kurangnya
pemahaman terhadap esensi keberagamaan pemaknaan dari ritual Tabut.
Kenyataan tersebut menjadi menarik ketika dihadapkan pada pendapat
Deddy Mulyana yang mengatakan bahwa kegiatan ritual30
dalam tradisi mampu
menimbulkan komitmen emosional, perekat, dan sebagai pengabdian kepada
kelompok. Ritual mampu menciptakan perasaan tertib (a sense of order) karena
ketiadaan ritual dianggap dapat membuat suatu realitas sosial menjadi tidak
teratur. Selain itu, ritual juga memberikan rasa nyaman (a sense of predictability), karena masyarakat akan merasa tidak tentram ketika ritual
tersebut tidak dijalankan.31
Artinya, pemahaman terhadap ritual merupakan
salah satu alat pemersatu masyarakat.
27
Chiara Formichi, ‚From Fluid Identities to Sectarian Labels a Historical
Investigation of Indonesia’s Shi‘i Communities.‛ Jurnal Al-Jāmi‘ah, Vol. 52, No. 1,
(2014): 108. 28
Lihat Harian Rakyat Bengkulu, ‚Tonjolkan Ritual Budaya Tabot,‛ Bengkulu,
19 September, 2016, Senin,
http://harianrakyatbengkulu.com/ver3/2016/09/19/tonjolkan-ritual-budaya-tabot/
(diakses 29 September 2016). Pada tanggal 22 September 2016. Lihat juga Harian
Rakyat Bengkulu, ‚Kisruh Festival Tabot KKT Tolak Dana Bantuan 200 Juta,‛
Bengkulu, 22 September, 2016, Kamis
http://harianrakyatbengkulu.com/ver3/2016/09/22/kisruh-festival-tabot-kkt-tolak-
bantuan-rp-200-juta/ (diakses 29 September 2016). 29
http://www.bengkulunews.co.id/sukseskan-tabot-2016-pemprov-dan-kkt-
kemas-acara-berbeda (diakses 26 Desember 2016). 30
Ritual juga merupakan transformasi simbolis dari pengalaman-pengalaman
yang tidak dapat diungkapkan dengan tepat oleh media lain. Pengalaman keagamaan
tidak hanya mencakup aspek filosofis atau intelektual, tapi juga melibatkan perasaan
dan tindakan manusia. Sehingga tindakan pemujaan yang menyertainya juga tidak hanya
menekankan pada keyakinan. Ia merupakan sejumlah tindakan yang melibatkan
keseluruhan sifat pelaku, yang perwujudannya bisa dalam bentuk pidato, tanda-tanda,
nyanyian, perjamuan suci dan pengorbanan. Siti Maryam, Damai Dalam Budaya, 233-
234. 31
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2015, cet-XV), 30.
8
Menurut Amin Abdullah, seni tradisi dan kreasi lokal mengalami
kekerasan pada tiga aras. Pertama, pengabaian pemerintah lokal untuk
mempromosi, mengapresiasi, dan menfasilitasi tumbuh kembangnya keunikan
lokal. Kedua, politisasi agama yang menuduh seni tradisi adalah bi’dah, haram,
mengotori iman, dan sebagainya. Ketiga, relasi yang timpang dengan kesenian
modern/pop yang mengukur pada selera massal dan komersial.32
Perbedaan pemaknaan terhadap ritual Tabut di Bengkulu tidak lepas
dari dorongan perbedaan pandangan yang memiliki akar yang dalam, selain juga
tidak lepas dari kepentingan politik. Hal ini meliputi perbedaan kultural
termasuk di dalamnya agama dan klaim historis atas tradisi. Dari akar-akar itu
kemudian masing-masing kelompok memiliki legitimasi untuk mengklaim
bahwa mereka bukan bagian dari satu sama lain. Everett M. Rogers dan Thomas
M. Steinfatt menjelaskan bahwa perselisihan dalam sebuah budaya muncul
karena adanya konflik yang terjadi antara dua atau lebih budaya ketika mereka
tidak setuju tentang makna nilai tertentu.33
Mulyana dan Rakhmat mengungkapkan bahwa untuk memahami dunia
dan tindakan-tindakan orang lain, harus pula memahami kerangka persepsinya.
Komunikasi antarbudaya yang ideal dapat memunculkan banyak persamaan
dalam pengalaman dan persepsi.34
Agar terjadinya persamaan persepsi dalam
makna komunikasi antarbudaya, maka dibutuhkan pemahaman tentang makna
interaksi simbolik.35
Interaksi simbolik sebagai salah satu teori yang kerap
digunakan mengkaji tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan proses
pembentukan makna dari suatu benda atau lambang atau simbol, baik benda
mati, maupun benda hidup, melalui proses komunikasi baik sebagai pesan verbal maupun perilaku nonverbal, yang bertujuan untuk memaknai lambang atau
simbol (objek) tersebut berdasarkan kesepakatan bersama yang berlaku di
wilayah atau kelompok sosial tertentu.36
32
M Amin Abdullah, ‚Problem Intoleransi dan Radikalisme Aliran Keagamaan,
Urgensi Pembaharuan Metode Pendidikan Agama Islam,‛ makalah dalam ‚Seminar
Nasional Aliran-Aliran Kontemporer dan Implikasinya bagi Harmonisasi Sosial dan
NKRI,‛ UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 25 Oktober 2016. 33
Everett M Rogers and Thomas M Steinfatt, Intercultural Communication
(USA: Waveland Press, 1999), 96. 34
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005, cet-IX), 25-26. 35
Interaksi simbolik dikembangkan awal mula oleh Goerge Herbert Mead,
menurutnya cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan
masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari
perilaku manusia, yaitu bagian interaksinya dengan orang lain. Interaksi itu membuat
dia mengenal dunia dan dia sendiri. Lihat Onong Uchjana Effendy, Ilmu Teori dan Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet 3, 2003), 391-392.
36M.A. Dalmenda dan Novi Elian, ‚Makna Tradisi Tabuik oleh Masyarakat
kota Pariaman (Studi Deskriptif Interaksionisme Simbolik.‛ Jurnal Antropologi, Vol.
18, No. 2, (Desember 2016): 138.
9
Agar pandangan ini dapat dipahami, maka diperlukan adanya
komunikasi, baik yang bersifat verbal dan nonverbal. Dalam kaitan dengan ritual
Tabut sebagai salah satu ritual religius, maka perlu juga mengkaji dalam makna
komunikasi dalam perspektif Islam. Menurut Hussain sebagaimana dikutip Fitri
Yanti dalam ‚Pola Komunikasi Islam Terhadap Tradisi Heterodoks,‛ salah satu
aspek perspektif komunikasi Islam ialah penekanannya pada nilai-sosial, agama,
dan kebudayaan.37
Hal tersebut dipertegas oleh Bakti yang menyatakan bahwa
dalam komunikasi Islam, kelompok sosial harus dapat menerapkan konsep
tauh}i>d, sehingga dapat menghormati prinsip-prinsip demokrasi (shu>ra>) dan
saling bernegosiasi (musha>warah).38
Pandangan tersebut merupakan kaidah,
prinsip, atau etika komunikasi Islam yang menjadi panduan bagi kaum Muslim
dalam melakukan komunikasi atau berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun
dalam aktivitas lain.
Komunikasi Islam dibangun sebagai Islamic world view yang
merupakan kaidah komunikasi Alquran dan hadis yang mempunyai tujuan
mewujudkan persamaan makna secara universal dalam menuju perubahan
masyarakat muslim demi kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Di samping
menjelaskan prinsip dan tata berkomunikasi, Alquran juga mengetengahkan
etika berkomunikasi dari sejumlah aspek moral dan etika komunikasi, paling
tidak dapat empat prinsip etika komunikasi dalam Alquran yang meliputi
fairness (kejujuran), accuracy (ketepatan/ketelitian), tanggung jawab, dan kritik
konstruktif.39
Hal tersebut sesuai dengan perspektif komunikasi Emile Durkheim
yang berpendapat bahwa interaksi antar manusia harus berdasar pada etika dan
kearifan. Perspektif Durkheim tersebut sejalan dengan komunikasi Islam yang
menjadikan konsep ta’a>wun sebagai tujuan dari komunikasi secara umum.40
Menurut Judy C. Pearson, alasan manusia mengadakan komunikasi salah
satunya adalah untuk kelangsungan hidup masyarakat, organisasi atau
memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan organisasi dalam
masyarakat (kepentingan sosial). Untuk mendukung keberhasilan komunikasi
antarbudaya diperlukan kesepakatan dalam memberi makna atas lambang-
lambang yang digunakan. Komunikasi akan mengalami distorsi, ketika
komunikasi dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki latar
belakang sosial budaya yang berbeda.41
37
Fitri Yanti, ‚Pola Komunikasi Islam Terhadap Tradisi Heterodoks: Studi
Kasus Tradisi Ruwatan,‛ Jurnal Analisis, Volume XIII, (Nomor 1, Juni 2013), 213. 38
Andi Faisal Bakti, ‚Major Conflict in Indonesia: How Can Communication
Contribute to a Solution?‛ 46. 39
Fitri Yanti, ‚Pola Komunikasi Islam Terhadap Tradisi Heterodoks,‛ 213-214. 40
Andi Faisal Bakti, ‚Applied Communication to Dakwah for Peace,‛ 12.
Https://Www.Researchgate.Net/Publication/266348212_Applied_Communication_To_
Dakwah_For_Peace_Komunikasi_Terapan_Untuk_Dakwah_Perdamaian, 41
Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),
179-181.
10
Untuk menggali pemaknaan ritual Tabut secara komprehensif, peneliti
menggunakan teori pemaknaan dari Gill Branston dan Roy Stafford yang terdiri
dari teori semiotik, struktural, konotasi dan denotasi.42
Dalam teori semiotika,
konsep makna sebaiknya memang tidak didefinisikan. Ia merupakan sesuatu
yang dipahami semua individu secara intuitif, tetapi tidak dapat dijelaskan
secara virtual. Secara esensial, penandaan adalah proses yang terjadi di pikiran
pada saat menafsirkan tanda.43
Menurut Peirce,44
semiotika didefinisikan
sebagai hubungan di antara tanda, benda, dan arti. Determinasi dan representasi
menjadi hal yang penting dalam hubungan di antara ketiganya (tanda, benda,
dan arti).45
Teori semiotik juga merupakan penyelidikan terhadap simbol-simbol,
yang kemudian membentuk tradisi pemikiran yang penting dalam teori
komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas kumpulan teori tentang bagaimana
tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan, dan
kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. Penyelidikan tanda-tanda tidak hanya
memberikan cara untuk melihat komunikasi, melainkan memiliki pengaruh yang
kuat pada hampir semua perspektif yang sekarang diterapkan pada teori
komunikasi.46
Menurut Gill Branston dan Roy Stafford, dua hal yang harus
diperhatikan dalam memahami strukturalisme sebagai bagian dari pemaknaan
(meaning). Pertama, strukturalisme berpendapat seluruh organisasi manusia
ditentukan oleh struktur sosial atau psikologis individu. Kedua, strukturalisme
berpendapat bahwa makna suatu ekspresi tidak dapat dipahami kecuali dalam
struktur yang sistematis, yang memiliki ciri atau perbedaan yang lahir secara
alamiah.47
Makna denotasi dari tanda merupakan makna yang menunjukkan
perbedaan aspek dari pengalaman manusia atau dunia.48
Menurut Gill Branston
42
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student Book’s, Edisi V (London
and New York: Routledge, 2010), 11-21. 43
Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings (Toronto: Canadian Scholar’
Press Inc 2004), 11-12. 44
Charles Sanders Peirce adalah filsuf Amerika yang paling orisinal dan
multidimensional. Pada tahun 1859, 1862, dan 1863 secara berturut-turut ia menerima
gelar B.A., M.A., dan B.Sc. dari Universitas Harvard. Selama lebih dari tiga puluh tahun
(1859-1860, 1861-1891) Peirce banyak melaksanakan tugas astronomi dan geodesi
untuk Survei Pantai Amerika Serikat. Dari tahun 1879-1884, ia menjadi dosen paruh
waktu dalam bidang logika di Universitas Johns Hopkins. Lihat Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, 39-40.
45Elizabeth Mertz, Semiotic Meditation (Florida: Academic Press, 1985), 24-
27. 46
Stephen W Littlejohn dan Karen A Foss, Teori Komunikasi Theory of Human Communication (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), 53.
47Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 9-23.
48Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 21-22
11
dan Roy Stafford, setiap manusia mempunyai makna konotasi yang berbeda dari
tanda. Tergantung pada konsep budaya dan nilai, yang di dalamnya terdapat
ingatan, pengalaman, dan pengetahuan sejarah setiap manusia.49
Menurut
mereka, tanda selalu memberikan denotasi berupa aspek yang berbeda dari
pengalaman manusia. Selain itu, tanda juga selalu mengonotasikan atau
menghubungkan sesuatu berdasarkan konvensi sosial atau berdasarkan
pemaknaan dari pengalam pribadi.50
Melihat beberapa faktor yang menjadi penyebab keragaman pemaknaan
sebagaimana yang telah disebutkan di atas, keragaman makna yang muncul
dalam ritual Tabut tersebut dapat dimaknai sebagai khazanah untuk
mempersatukan pemikiran kelompok sosial. Untuk itu peneliti akan mencoba
menjelaskan pemaknaan ritual Tabut yang disebabkan oleh kurangnya tingkat
pemahaman komunikasi yang efektif51
serta penyatuan dari perbedaan
pemaknaan melalui ilmu komunikasi. Tesis ini juga akan mencoba menggali
pandangan ataupun interpretasi52
masing-masing kelompok dan hubungan antara
mereka serta kendala-kendala yang dihadapi.
B. Permasalahan
Dari latar belakang masalah di atas, peneliti memaparkan identifikasi
masalah, batasan masalah, dan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pembahasan latar belakang yang telah diuraikan di atas,
peneliti mengidentifikasi permasalahan yang akan muncul dalam penelitian ini,
antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, permasalahan proses dan persepsi pemaknaan yang menimbulkan
perbedaan pemahaman, pembentukan identitas budaya, dan komunikasi dalam
kelompok sosial sehingga dapat memunculkan akar konflik.
Kedua, mengenai perdebatan budaya dalam masyarakat yang dipicu oleh
perbedaan pemaknaan budaya dengan menggunakan pendekatan
etnometodologi, yaitu percakapan keseharian yang ada dalam masyarakat.
49
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 22. 50
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi III, 15. 51
Menurut Dominique Wolton, komunikasi dalam semua bentuk (interpersonal,
politik, antarbudaya, media) adalah sebuah sarana yang memungkinkan individu dan
masyarakat memperkenalkan diri, berhubungan antara satu dengan yang lainnya, dan
bertindak atas dunia. itu sebabnya komunikasi dibutuhkan sebagai eksistensi setiap
masyarakat. Lihat Martina Sani, ‚La Communication Conflictuelle,‛ Altre Modernità 3
(2010), 1. 52
Interpretasi merupakan produksi makna lewat sistem tanda, termasuk
didalamnya bahasa tubuh, pakaian, arsitektur, dan hal lain yang dapat dipelajari seperti
halnya bahasa verbal. Lihat Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book
(New York: Roudletge, 2003), 10.
12
Ketiga, mengenai pemahaman kelompok sosial terhadap keragaman pemaknaan
ritual Tabut melalui komunikasi.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, pertanyaan mayor yang
menjadi fokus penelitian ini adalah bagaimana komunikasi ritual Tabut? Untuk
mengarahkan rumusan tersebut, selanjutnya dipecah ke dalam bentuk
pertanyaan minor sebagai berikut:
- Apa pemaknaan ritual Tabut menurut pengikut Tabut?
- Apa pemaknaan ritual Tabut menurut Pemerintah?
- Apa pemaknaan ritual Tabut menurut masyarakat?
3. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya persoalan di atas, maka penelitian ini berfokus pada
kajian komunikasi yang memaparkan keragaman pemaknaan terhadap ritual
Tabut di Bengkulu berdasarkan tiga kelompok sosial yaitu pengikut Tabut,
Pemerintah, dan masyarakat di Bengkulu. Penelitian ini dilakukan di Bengkulu
dan untuk periode waktunya dilaksanakan pada 01 Oktober 2016 sampai dengan
13 Oktober 2016. Peneliti juga akan mewawancarai informan yang dilaksanakan
pada 01 Juli 2017 sampai dengan 01 Agustus 2017.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah peneliti paparkan tersebut,
penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui sekaligus menganalisis pemaknaan ritual Tabut
menurut pengikut Tabut.
2. Untuk mengetahui sekaligus menganalisis pemaknaan ritual Tabut
menurut Pemerintah.
3. Untuk mengetahui sekaligus menganalisis pemaknaan ritual Tabut
menurut masyarakat di Bengkulu.
D. Signifikansi Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian tersebut,
signifikansi penelitian tentang pemaknaan ritual Tabut sebagai berikut:
Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan wawasan
peneliti dalam bidang ilmu komunikasi, khususnya yang berkaitan dengan teori
pemaknaan dan implementasinya. Selain itu, juga diharapkan hasil penelitian ini
dapat memberikan gambaran utuh tentang keragaman pemaknaan dalam ritual
Tabut.
Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan pemahaman akan
keragaman pemaknaan yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi. Karena
menurut Geertz, pencarian makna dalam budaya juga dipengaruhi oleh
13
konstruksi sosialnya.53
Akhirnya, keragamaan tersebut tidak menimbulkan
fragmentasi yang mengarah kepada konflik, akan tetapi dimaknai sebagai
khazanah ataupun pemersatu keragaman pemikiran.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Tujuan dicantumkannya penelitian terdahulu yang relevan untuk
mengetahui bangunan keilmuan yang telah diteliti oleh orang lain, sehingga
penelitian yang dilakukan dapat berkembang. Terdapat beberapa penelitian
terdahulu yang melakukan penelitian dengan objek dan kajian pembahasan
serupa. Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan peneliti dalam
melakukan penelitian sehingga peneliti dapat memperkaya teori yang digunakan
dalam mengkaji penelitian yang dilakukan.
Penelitian yang dilakukan oleh Zulkifli dengan judul ‚The Struggle of
the Shi’is in Indonesia‛ (Disertasi University of Leiden, 2009). Penelitian ini
berfokus pada pembahasan posisi Syi’ah sebagai minoritas dalam usaha untuk
mendapatkan pengakuan di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan sejarah, sosiologi, dan politik. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa realitas dari Syi’ah sebagai minoritas mampu
hidup dan berkembang di tengah masyarakat Sunni di Indonesia. Syi’ah di
Indonesia mendapatkan pengakuan, salah satunya dengan memperkenalkan
Syi’ah dalam konteks sosial dan politik. Bagi Zulkifli, melalui budaya Tabut di
Indonesia, khususnya di Pariaman dan Bengkulu, terindikasi pengaruh Syi’ah
dalam masyarakatnya.54
Penelitian berikutnya dengan judul, Tabut: Muharram Observances in
the History of Bengkulu, oleh Michael Feener. Dalam penelitian ini, ia
menyimpulkan bahwa kekuatan Tabut bagi masyarakat Bengkulu terletak pada
kenyataan bahwa tradisi tersebut nyaris mati, kondisi tersebut yang membuat
tradisi ini sangat terbuka untuk direinterpretasi dan dihidupkan kembali. Tabut
juga digunakan sebagai wahana menyatukan identitas masyarakat Bengkulu.
Namun di masa Orde Baru, Tabut juga mendapat tekanan dari pemerintah yang
menggunakan tradisi ini sebagai alat propaganda sehingga semakin menjauhkan
Tabut dari asal-usulnya. Dengan kata lain, Tabut tidak dikembangkan dalam
rangka pengembangan tradisi Islam, tapi dimasukkan ke dalam kerangka
pembangunan budaya lokal dan juga budaya bangsa.55
Penelitian yang berjudul Major Conflict in Indonesia: How Can
Communication Contribute to a Solution? Penelitian yang dilakukan oleh Andi
Faisal Bakti. Dalam penelitiannya disimpulkan bahwa konflik etnis ataupun
agama di Indonesia meningkat dan mereda seiring waktu. Konflik meningkat
53
Clifford Geertz, Interpretation of Cultures, 5. 54
Selengkapnya lihat Zulkifli, ‚The Struggle of the Shi’is in Indonesia,‛
(Disertasi University of Leiden, 2009). 55
Selengkapnya lihat Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the
History of Bengkulu.‛ Jurnal Studia Islamika, Vol. 6, No. 2, (1999): 87-130.
14
ketika pemerintah lemah dan orang yang lebih kuat. Konflik sebaliknya telah
mereda ketika pemerintah kuat. Konflik tersebut disebabkan oleh ketiadaan
Human Factor (HF) Characteristic. Yaitu sifat yang menghargai sesama
manusia, karena aspek kemanusiaannya. Namun, konflik etnis dan agama yang
ada di Indonesia dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu cooptation, coercion,
dan seduction. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara membangun kesadaran
Human Factor (HF) Characteristic dalam komunikasi.56
Penelitian Awang Dharmawan yang berjudul Konflik Sampang Tahun
2012 Dalam Perspektif Komunikasi (Studi Kasus Konflik Kelompok Syiah dan
Kelompok Anti Syi’ah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan
Ombeng, Kabupaten Sampang, Madura), (Tesis Ilmu politik/ilmu komunikasi
UGM 2013). Dalam penelitian ini dikatakan bahwa penyebab konflik
disebabkan karena kegagalan komunikasi antara kelompok Syi’ah dan kelompok
anti Syi’ah. Penghambat komunikasi tersebut disebabkan oleh ketimpangan
kekuasaan sikap kelompok Syi’ah sebagai minoritas, disebabkan oleh perilaku
komunikasi yang berbeda antara kelompok Syi’ah dan kelompok anti Syi’ah.57
Selanjutnya, penelitian yang berjudul Tradisi Tabot Pada Bulan
Muharram di Bengkulu: Paradigma Dekonstruksi, penelitian dari Endang
Rochmiatun (Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan
Budaya Islam, UIN Raden Fatah Palembang). Peneliti menggunakan metode
dekonstruksi dengan tujuan untuk menunjukkan ketidakberhasilan penghadiran
kebenaran absolut, dan ini membuka agenda tersembunyi yang mengandung
banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Salah satu sistematika
penerapan dekonstruksi ketika berhadapan dengan teks adalah mengidentifikasi
hirarki oposisional dalam teks, di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang
diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak. Dalam penelitian ini,
peneliti berkesimpulan bahwa kehadiran tradisi Tabot pada bulan Muharram di
Bengkulu merupakan dekonstruksi dari rakyat kecil yang termaginalkan dan
mengemas ritual yang pada awalnya mempunyai makna magis kemudian
bergeser menjadi makna tidak magis yang hanya berfungsi sebagai hiburan
rakyat.58
Penelitian selanjutnya yang berjudul Tradisi ‘Ashura pada Masyarakat
Muslim Kota Palu dalam Perspektif Syi’ah, hasil dari jurnal penelitian ilmiah
yang ditulis oleh Nurhayati dan Surati Attamimi (Dosen Jurusan Ushuluddin
56
Selengkapnya lihat, Andi Faisal Bakti, ‚Major Conflict in Indonesia: How
Can Communication Contribute to a Solution?‛ Jurnal Human Factor Studies, Vol. 6,
No. 2, (Desember 2000). 57
Selengkapnya lihat, Awang Dharmawan, Konflik Sampang Tahun 2012 Dalam Perspektif Komunikasi (Studi Kasus Konflik Kelompok Syi’ah dan Kelompok
Anti Syi’ah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Ombeng,
Kabupaten Sampang, Madura), (Tesis Universitas Gajah Mada, 2013). 58
Selengkapnya lihat, Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot Pada Bulan
Muharram di Bengkulu: Paradigma Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, Vol. 14, No. 2,
(2014).
15
STAIN Datokarama Palu). Rumusan masalah dalam penelitian ini untuk
mengetahui bagaimana tradisi peringatan hari ‘Asyura pada masyarakat Muslim
di Kota Palu, untuk mengetahui bagaimana tradisi peringatan hari ‘Asyura yang
dilakukan oleh masyarakat Palu dalam prespektif Syi’ah. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah tradisi ‘Asyura merupakan praktik ritual keagamaan yang
sudah berlangsung lama dan dilakukan oleh masyarakat Palu. Tradisi ‘Ashura
yang diselenggarakan di Kota Palu, terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok
yang melaksanakan ritual tersebut dengan kegembiraan dan kelompok yang
melaksanakannya dengan rasa berduka cita dan ekspresi kesedihan, yaitu
kelompok kaum Syi’ah karena menurut Syi’ah, hari ‘Ashura merupakan hari
meninggalnya Husain yang merupakan cucu Nabi Muhammad SAW, maka
sudah seharusnya diselenggarakan dengan ekspresi duka kesedihan. Itu
mengapa, ritual yang dilakukan kelompok Syi’ah sangat berbeda dengan umat
Muslim pada umumnya.59
Kearifan Budaya Lokal Masyarakat Maritim untuk Upaya Mitigasi
Bencana di Sumatera Barat. Hasil penelitian dari Lucky Zamzami dan
Hendrawati (Lembaga Penelitian Universitas Andalas: Program Penelitian
Dosen Muda, 2011). Kesimpulan dari penelitian ini adalah, di daerah penelitian,
resiko bencana termasuk tinggi karena frekuensi bencana cenderung tinggi dan
bervariasi. Kerentanan penduduk juga tinggi dilihat dari kedekatan dengan
sumber bencana, struktur demografi yang padat dan usia non-produktif tinggi,
kualitas bangunan rendah, tingkat pengetahuan dan pemahaman tentang
kebencanaan rendah. Tingkat kerentanan yang tinggi akan bencana masyarakat
mampu mengupayakan mitigasi bencana berdasarkan potensi kearifan budaya
lokal masyarakat tersebut. Kekuatan religi sebagai potensi besar kearifan
budaya lokal masyarakat ini, yaitu keberadaan makam ulama besar Syech
Burhanuddin yang diyakini masyarakat bisa menolak segala bencana sehingga
ketika bencana datang. Masyarakat memiliki kekuatan besar untuk
mengantisipasi bencana tersebut. Masyarakat pun melakukan dengan berbagai
tradisi agama, seperti berzikir (berdoa) di makam dan di tepi pantai dan
melaksanakan tradisi adat (upacara Tabuik) sebagai tanda bersyukur kepada
Allah SWT. Selain aspek religi, masyarakat percaya dengan kondisi geografi
laut yang memiliki kekuatan penghalang dari bahaya tsunami sehingga
masyarakat percaya bahwa tsunami tidak akan membahayakan mereka.60
Tesis dari Keith Guy Hjortshoj yang berjudul Kerbala in Context: A
Study of Muharram in Lucknow India. Membahas salah satu tradisi Muharram
adalah tradisi Kerbala di Lucknow yang tidak hanya mewakili Syi’ah sebagai
59
Selengkapnya lihat, Nurhayati, Surati Attamimi, ‚Tradisi ‘Ashura Pada
Masyarakat Muslim Kota Palu Dalam Perspektif Syi’ah.‛ Jurnal Istiqra, Vol. 1, No. 1,
(2013). 60
Selengkapnya lihat, Lucky Zamzami dan Hendrawati, ‚Kearifan Budaya
Lokal Masyarakat Maritim untuk Upaya Mitigasi Bencana di Sumatera Barat.‛ Jurnal
Antropologi, Vol. 16, No. 1, (2014).
16
komunitas religius namun juga sebagai refleksi doktrin Syi’ah, baik dalam
pengabdiaan ataupun kesetiaan terhadap Imam. Menurut peneliti, konflik
disebabkan karena tidak adanya kepatuhan terhadap pemuka agama dan
pemerintah. Dengan menggunakan pendekatan historis, peneliti menjelaskan
hubungan antara Sunni dan Syi’ah dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi.
Kesimpulan dalam penelitian ini, dikatakan bahwa tradisi Kerbala yang ada di
Lucknow juga disebabkan oleh pemahaman sejarah yang tidak sesuai. Hal
tersebut kemudian memicu ketegangan antara Sunni dan Syi’ah yang
berlebihan. Menurut peneliti seharusnya tradisi Muharram menjadi jembatan
antara Sunni dan Syi’ah dalam memahami sejarah.61
Berdasarkan atas berbagai penelitian yang relevan tentang tradisi Tabut
di atas, secara garis besar hanya menjamah struktur dan tata ritual. Untuk itu,
peneliti mencoba melakukan kajian baru di ranah keragaman pemaknaan,
termasuk di dalamnya perbedaan interpretasi makna ritual Tabut.
F. Metodologi Penelitian
1. Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif62
dengan metode (field research) dan library research yang bertujuan
untuk mengungkapkan makna yang diberikan oleh pengikut Tabut, Pemerintah,
dan masyarakat pada perilakunya dan kenyataan sekitar. Karena penelitian ini
menggunakan metode field research maka posisi peneliti menjadi instrumen
penelitian. Untuk mendapatkan data yang diperlukan, peneliti melakukan
pengumpulan data mengenai masalah-masalah yang menjadi objek penelitian,
baik yang bersifat library maupun lapangan.63
Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti lebih banyak pada
observasi, wawancara, literatur, dan dokumentasi. Hal tersebut dilakukan oleh
peneliti dengan mengikuti pendapat Chaterine Marshall64
yang menyatakan
bahwa metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan
melakukan observasi, wawancara, dokumentasi, dan literatur dengan
berlandaskan pada teori pemaknaan yang terdiri dari semiotik, struktural,
61
Selengkapnya lihat, Keith Guy Hjortshoj, ‚Kerbala in Context: A Study of
Muharram in Lucknow India, (Tesis Cornell University, 1977). 62
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berusaha untuk mengkonstruksi
realitas dan memahami makna. Sehingga, penelitian kualitatif biasanya sangat
memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas. Dalam penelitian kualitatif melibatkan
subjek dengan jumlah relatif sedikit. Peneliti kualitatif biasanya terlibat dalam interaksi
dengan realitas yang ditelitinya. Lihat Gumilar Roswita Sumantri, ‚Memahami Metode
Kualitatif.‛ Jurnal Makara Sosial Humaniora, Vol. 9, No. 2, (Desember 2005): 58.
(diakses 29 Oktober 2016) 63
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogykarta: Gadjah
Mada University Press, 2003), 26. 64
Bactiar S. Bachri, ‚Meyakinkan Validitas Data melalui Triangulasi pada
Penelitian Kualitatif.‛ Jurnal Teknologi Pendidikan, Vol. 10, No. 1, (2010): 53-54.
17
denotasi dan konotasi. Selain itu, asumsi teoritis yang digunakan dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan teknik triangulasi, yaitu kombinasi
metodologi untuk memahami suatu fenomena. Observasi dalam penelitian ini
berfokus pada prosesi-prosesi dalam ritual Tabut yang dilaksanakan pada 01
Oktober 2016 sampai dengan 13 Oktober 2016, serta perilaku pengikut Tabut
dan masyarakat. Selain observasi, peneliti juga akan mewawancarai informan
yang dilaksanakan pada 01 Juli 2017 sampai dengan 01 Agustus 2017, antara
lain: tokoh adat dan tokoh agama yang berkaitan langsung dengan ritual Tabut.
Selanjutnya pejabat pemerintah yaitu Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi Bengkulu dan para pejabat di lingkungan Provinsi
Bengkulu. Wawancara ini dilakukan agar peneliti mendapatkan informasi data
mengenai pemahaman informan terhadap pemaknaan ritual Tabut. Adapun
sumber informan terdiri atas: pemerintah, pengikut Tabut dan masyarakat.
Masing-masing informan terdiri dari pemerintah 7 orang, pengikut Tabut 4
orang, dan masyarakat 8 orang.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan etnometodologi
yang memusatkan pada proses pemaknaan interaksi dan cara aktor dalam
kelompok sosial membentuk struktur tindakan sosial mereka dalam realitas dan
percakapan sehari-hari. Fokus pembahasan etnometodologi memusatkan pada
bagaimana tafsir atau definisi sosial subjek penelitian dalam memaknai struktur
secara bersama-sama.65
Menurut Garfinkel dalam meneliti perilaku sosial tidak dapat hanya
dibangun dengan rasionalitas ilmiah melainkan dengan mempertimbangkan
semua perilaku dan komitmen dalam suatu struktur. Karena bagaimanapun,
secara umum dalam etnometodologi adalah studi tentang penalaran dan
tindakan praktis sehingga tidak dapat melakukan justifikasi terhadap suatu
realitas. Dalam pendekatan etnometodologi memfokuskan kesadaran, persepsi
dan tindakan aktor yang secara khusus memperhatikan struktur, aturan formal,
dan prosedur resmi dalam mendeskripsikan perilaku subjek penelitian. Adapun
fokus kajiannya adalah deskripsi mendetail mengenai praktik-praktik sosial yang
terorganisasikan secara alamiah.66
Dengan kata lain, etnometodologi
menganalisis aktivitas sehari-hari yang sama yang terlihat, rasional, -dan-dapat-
dilaporkan, dan memiliki tujuan-praktis untuk dapat memahami persepsi dan
pencapaian di dalam aktivitas tersebut. Karena itu, reinterpretasi dan reprentasi
merupakan elemen kunci dalam pendekatan etnometodologi.67
65
Daniel Susilo, ‚Etnometodologi sebagai Pendekatan Baru dalam Kajian Ilmu
Komunikasi,‛ Jurnal Studi Komunikasi, Vol. 1, No. 1, 2017, 66-67. 66
Daniel Susilo, ‚Etnometodologi sebagai Pendekatan Baru dalam Kajian Ilmu
Komunikasi.‛ 63-65. 67
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program
(Jakarta: INIS, 2004), 209-219.
18
Seperti dikutip Bakti, Garfinkel menjelaskan bahwa metode
etnometodologi dapat diaplikasikan untuk menganalisa aktivitas sehari-hari
sebagai pengetahuan dasar dari struktur sosial maupun sociological reasoning68
sehingga dapat menjelaskan perspektif, kepercayaan, ataupun pengetahuan yang
dimiliki oleh seseorang. Metode etnometodologi pada saat ini menjadi dasar
epistemologi dalam penelitian lapangan (field research).69
Studi etnometodologi
merupakan ini adalah studi tentang penalaran praktis dan tindakan praktis,
menahan diri untuk tidak melakukan penilaian yang berefek mendukung atau
menolak.70
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana perbedaan pemaknaan
dari kelompok sosial dalam memaknai ritual Tabut yang berada di Bengkulu
sebagai suatu budaya yang berdampingan dengan nilai-nilai religius. Penelitian
ini berasumsi bahwa keragaman pemaknaan dalam ritual Tabut dipengaruhi oleh
pandangan atau pemikiran setiap kelompok sosial yang pada akhirnya
menentukan pemaknaan dari ritual tersebut. Berdasarkan asumsi tersebut,
dengan menggunakan pendekatan etnometodologi, memunculkan tiga kelompok
sosial yaitu pengikut Tabut, pemerintah, dan masyarakat. Selanjutnya, masing-
masing kelompok sosial memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap ritual
Tabut yang disebabkan oleh perbedaan interpretasi. Seharusnya hal tersebut
dimaknai sebagai khazanah ataupun keragaman pemikiran.
68
Harold Garfinkel, Studies in Ethnomethodology (New Jersey: Prentice-Hall.
Inc, 1967), viii. 69
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, 217-
225. 70
Daniel Susilo, ‚Etnometodologi sebagai Pendekatan Baru dalam Kajian Ilmu
Komunikasi.‛ 65.
19
Bagan 1.1 Bagan Konseptual Penelitian
2. Analisis Data
Analisis data71
dalam penelitian ini diarahkan pada proses kategorisasi
dan reduksi data, pengelompokan dan penyusunan data, interpretasi data,
pengambilan kesimpulan, serta verifikasi hasil analisis data.72
Adapun langkah-langkah analisis yang diolah melalui teori meaning
(pemaknaan) dari Gill Branston dan Roy Stafford, antara lain:
1. Inventarisir data yaitu dengan cara mengumpulkan semua data, baik
yang diperoleh dari observasi, wawancara, dokumentasi ataupun
kepustakaan.
2. Kategorisasi dan klasifikasi data-data dengan pendekatan
etnometodologi yang akan dianalisis dengan teori meaning (pemaknaan)
yang terdiri dari analisis semiotik, struktural, denotasi dan konotasi.
71
Analisis data adalah pengorganisasian dan pengategorian data dengan cara
mengelompokkannya kedalam tema-tema tertentu, untuk menemukan pola serta yang
memberikan penjelasan tentang makna data tersebut. Lihat, Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif Aplikasi Untuk Penelitian Pendidikan, Hukum, Ekonomi, Manajemen, Sosial dan Humaniora, Politik, Agama, dan Filsafat (Jakarta: GP Press,
2009), 226. 72
Ellys Lestari Pambayun, Qualitative Research Methodology in Communication Konsep Panduan dan Aplikasi, 120.
20
3. Teori semiotik digunakan untuk menentukan intepretant,
representament, object dari setiap ritual Tabut.
4. Teori struktural untuk menemukan susunan ritual dan oposisi biner yang
menyebabkan keragamaan makna dalam ritual Tabut
5. Teori denotasi dan konotasi, menganalisis perkembangan pemaknaan
ritual Tabut
6. Mendapatkan penilaian terhadap data-data yang telah dianalisis
sehingga dapat dilakukan penarikan kesimpulan penelitian.
2. Laporan
Metode pelaporan disusun dari kesimpulan analisis tersebut kemudian
ditulis dalam bentuk narasi, sehingga didapatkan data-data untuk mengetahui
bentuk dari kajian komunikasi dalam pemaknaan ritual Tabut.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan pemahaman dan gambaran yang utuh maka
penelitian ini akan disusun menjadi lima bab, di mana masing-masing bab saling
terkait satu sama lain dan merupakan sebuah kesatuan. Adapun sistematika
penulisannya adalah sebagai berikut:
Peneliti memulai dengan bab pertama, yaitu pendahuluan yang di
dalamnya menggambarkan latar belakang permasalahan, identifikasi,
perumusan, serta pembatasan masalah. Dilanjutkan dengan pembahasan
mengenai penelitian terdahulu yang relevan, tujuan serta manfaat penelitian,
metodologi penelitian yang digunakan, sumber data, serta pendekatan dan
teknik analisis data. Terakhir, sistematika penyusunan penelitian.
Selanjutnya, yang pada bab kedua, peneliti membahas bagaimana
budaya dalam perspektif komunikasi, dilanjutkan dengan memaparkan diskursus
komunikasi dalam budaya yang di dalamnya menjelaskan teori semiotik,
struktural, denotasi dan konotasi yang menyebabkan perbedaan persepsi makna
budaya. Bab ini juga menjelaskan bagaimana pola komunikasi dapat
menghasilkan makna budaya melalui teori pemaknaan.
Dalam bab ketiga menjelaskan secara detail sejarah perkembangan
budaya Tabut di Bengkulu. Dilanjutkan dengan menjelaskan bagaimana
masyarakat Bengkulu menerima budaya tersebut. Kemudian menjelaskan
bagaimana masyarakat memandang Tabut dalam perspektif komunikasi.
Untuk landasan teoritis, pada bab keempat menjelaskan tentang
pemaknaan yang didasari oleh perbedaan persepsi dalam memaknai ritual Tabut.
Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai keragaman pemaknaan yang terjadi
dalam ritual ini. Kemudian bagaimana makna komunikasi diartikan sebagai
pemersatu persepsi makna pada ritual ini.
Akhirnya, bab penutup berisi tentang kesimpulan dan saran-saran yang
bersifat membangun bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
21
BAB II
RAGAM PEMAKNAAN DALAM KOMUNIKASI DAN BUDAYA
A. Budaya sebagai Sistem Komunikasi
Menurut Freilich, kata budaya berasal dari bahasa Latin cultura atau
cultus yang juga memiliki makna yang sama dalam kata agri cultura yang berarti
mengolah tanah. Selanjutnya makna kata budaya mengalami perkembangan,
yang awalnya menyatakan suatu kegiatan atau aktifitas (pelatihan, perhiasaan,
pembinaan, dan ibadah) berkembang menjadi keadaan atau kondisi yang
dibudidayakan.73
Sedangkan menurut Koentjaraningrat, kata kebudayaan berasal
dari bahasa Sansakerta Budha yah, bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti
budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sesuatu yang
berkaitan dengan akal. Walaupun dalam istilah antropologi budaya, perbedaan
itu ditiadakan. Kata budaya digunakan sebagai suatu singkatan saja dari
kebudayaan dengan arti yang sama.74
De Certeau berpendapat budaya merupakan nilai yang dibentuk secara
normatif oleh kelompok sosial tertentu tanpa adanya paksaan, di dalamnya
terdapat warisan yang harus dijaga dan dilestarikan, sebagai simbol dari
identitas sosial yang disepakati dan digunakan oleh kelompok sosial untuk
membedakan dengan kelompok sosial lainnya. Selain itu, juga sebagai media
komunikasi. Budaya sebagai bagian dari atribut manusia, terdiri dari praktek
yang bersifat kognitif ataupun pragmatis, kreasi yang dapat dikembangkan, dan
makna yang memiliki tujuan.75
Hal ini sejalan dengan pengertian budaya
menurut Elena Basarab yaitu budaya adalah kumpulan tingkah laku dan simbol
yang membawa makna, warisan, dan transmisi sosial melalui bermacam-macam
perilaku, sistem dari gambaran, dan sistem di mana orang berkomunikasi dan
mengembangkan pengetahuan dan sikap dalam hidup.76
Untuk itu, menurut
Thayer seperti dikutip Bakti dalam memahami komunikasi harus pula
73
Stella Ting-Toomey, Communicating Across Culture (London: The Guilford
Press, 1999), 9. 74
Muhammad Arifin, ‚Islam dan Akulturasi Budaya Lokal di Aceh (Studi
Terhadap Ritual Rah Ulei di Kuburan dalam Masyarakat Pidie Aceh).‛ Jurnal Ilmiah
Islam Futura, Vol. 15. No. 2, (Februari 2016): 262. 75
Guy Poitevin, ‚From the Popular to the People‛ dalam Bernard Bel, Jan
Brouwer, Biswajit Das, Vibodh Parthasarathi dan Guy Poitevin, Communication Processes Vol. 3; Communication, Culture and Confrontation (New Delhi: Sage
Publications India, 2010), 32-33. 76
Elena Basarab, ‚Education, Cultural and Intercultural Relation,‛ makalah
dalam ‚Konferensi Internasional Edu World 2014, VI,‛ University of Craiova, Romania
07-09 November 2014, 38.
22
memahami nilai-nilai serta kepercayaan yang ada pada kelompok sosial. Karena
budaya dan peradaban manusia merupakan produk dari komunikasi.77
Berdasarkan definisi di atas, budaya mengarah pada tiga poin utama.
Pertama, istilah budaya merujuk pada macam-macam kelompok pengetahuan,
realita bersama dan kelompok norma yang merupakan sistem makna dalam
kelompok masyarakat tertentu. Kedua, sistem makna ini dibagi dan ditularkan
melalui interaksi sehari-hari antara anggota kelompok budaya dan dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Ketiga, budaya memfasilitasi kemampuan
anggota untuk bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan eksternal mereka.
Ketiga poin tersebut sejalan dengan gambaran dari konsep budaya D'Andrade
yang mendefinisikan budaya sebagai kerangka kompleks dari referensi yang
terdiri dari pola-pola tradisi, kepercayaan, nilai-nilai, norma-norma, simbol, dan
makna yang dibagi dalam berbagai tingkatan melalui interaksi anggota dari
suatu komunitas.78
Karena tanpa budaya, manusia akan mengalami kesulitan
dalam mempertahankan identitas sosialnya.79
Menurut Malinowski, pada awalnya fungsi budaya dipahami sebagai
alat untuk memenuhi kebutuhan psiko-biologis manusia yang bersifat
conditioning. Artinya, melalui budaya, manusia dapat membentuk pola perilaku
yang menjadi tingkah laku kebudayaan (cultural behavior) sehingga dapat
memberikan batasan terhadap kegiatan manusia. Tingkah laku kebudayaan
tersebut dapat berupa nilai, adat, ide, kepercayaan atau penerapan aturan
organisasi sosial.80
Dengan demikian, menurutnya, kajian budaya harus
menyertakan fakta sosiologis karena budaya memiliki unsur-unsur penting
berupa sistem politik, sistem ekonomi, sistem kepercayaan, dan sistem
kekerabatan. Semua unsur tersebut penting untuk dikaji agar mendapatkan
pemahaman terhadap peranan seluruh unsur dalam menjaga sistem masyarakat
dan sistem kebudayaan sebagai satu kesatuan yang terintegrasi. Selain itu, hal
tersebut dilakukan untuk menetapkan perbedaan antara budaya sebagai warisan
biologis dan budaya sebagai warisan sosiologis. Karena warisan sosial memiliki
kekuatan berupa kepercayaan, adat, struktur sosial sehingga dapat memengaruhi
dan membentuk pribadi individu.81
Menurut Geertz, kebudayaan merupakan pola dari pengertian-
pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol
yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi
yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut
77
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program
(Jakarta: INIS, 2004), 217. 78
Stella Ting-Toomey, Communicating Across Culture, 9. 79
Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings A Basic Text Book In Semiotics and Communication Theory, (Toronto: Canadian Scholars Press, 2004), 35.
80Amri Marzali, ‚Struktural-Fungsionalisme.‛ Jurnal Antropologi Indonesia,
Vol. 30, No. 2, (2006): 132. 81
Amri Marzali, ‚Struktural-Fungsionalisme,‛ 134.
23
manusia berkomunikasi, melestarikan, mengambangkan pengetahuan, dan sikap
mereka terhadap kehidupan.82
Menurut Liliweri, kebudayaan merupakan
pandangan hidup kelompok sosial yang berbentuk perilaku, kepercayaan, nilai,
dan simbol-simbol yang diterima secara tidak sadar, melalui proses komunikasi,
hal tersebut secara terus menerus pada setiap generasi. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa kebudayaan juga merupakan komunikasi simbolik, yang
nantinya makna dari simbol-simbol (tanda) tersebut dipelajari dan
disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi.83
Tanpa memperhatikan
tanda, sistem tanda, makna, dan konvensi tandanya struktur budaya tidak dapat
dimengerti secara optimal karena tanda merupakan sarana komunikasi yang
bersifat estetis.84
Kebudayaan merupakan totalitas produk-produk manusia yang
mencakup aspek material dan non-material. Yang terpenting dari aspek
kebudayaan non-material ini adalah masyarakat, karena melalui mereka
terbentuk hubungan-hubungan berkelanjutan antar manusia. Karena masyarakat
merupakan unsur dari kebudayaan yang bersifat sebagai produk manusia sama
seperti kebudayaan non-material. Atas dasar itu, dapat dipahami bahwa
masyarakat tentunya tidak hanya merupakan hasil dari kebudayaan, tetapi
merupakan kondisi yang diharuskan bagi kebudayaan.85
Menurut Bernard Berelson dan Gary A Steiner, komunikasi merupakan
transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan
menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, figure, grafik, dan sebagainya.
Tindakan atau proses transmisi tersebut yang disebut komunikasi.86
Sementara
menurut James W Carey, manusia hidup dalam sebuah komunitas berdasarkan
hal-hal yang dimiliki bersama, baik berupa tujuan, keyakinan, maupun
pengetahuan-pengetahuan umum, dan komunikasi adalah cara agar kesamaan
tersebut dapat dimiliki.87
Simbol memiliki peran penting dalam interaksi manusia karena dalam
konteks komunikasi, simbol merupakan ekspresi yang digunakan untuk
mewakili sesuatu yang lain, yang membawa makna tertentu dan diakui oleh
82
Rasid Yunus, ‚Transformasi nilai-nilai budaya lokal sebagai upaya
pembangunan karakter bangsa.‛ Jurnal Penelitian Pendidikan Vol. 13, No. 1, (2016): 67. 83
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta:
Lkis, 2002), 8. 84
Sri Nur Aeni, Chairil Effendy, A Totok Priyadi, ‚Makna Priyayi dalam Novel
Para Priyayi dan Jalan Menikung Analisis Struktural Semiotik.‛ Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Vol. 4, No. 2, (2015): 2.
85Irfan Noor, Agama sebagai Universum Simbolik; Kajian Filosofis Pemikiran
Peter L. Berger (Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2010), 68-69. 86
Ahmad Sultra Rustan dan Nurhakki Hakki, Pengantar Ilmu Komunikasi (Yogyakarta: Deepublish, 2017, Cetakan I), 29.
87James W Carey, Communication as Culture: Essays on Media and Society
(New York dan London: Routledge, 2009), 18.
24
kelompok sosial yang menggunakannya. Untuk itu, pemahaman tentang simbol
dan makna pun ikut memengaruhi pola perilaku dalam budaya.88
Menurut Philipsen, fungsi komunikasi dalam budaya adalah untuk
menjaga keseimbangan identitas serta martabat ataupun kreatifitas baik dari
individu maupun masyarakat. Karena bagaimanapun, komunikasi merupakan hal
penting dari fungsi budaya dalam kehidupan individu dan masyarakat.89
Dari pembahasan di atas, hubungan antara budaya dan komunikasi dapat
dijelaskan melalui unsur-unsur kebudayaan. Menurut Bronislaw Malinowski,
unsur-unsur kebudayaan terdiri dari sistem norma yang memungkinkan
kerjasama antara anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam
sekelilingnya, organisasi ekonomi, alat-alat lembaga, dan organisasi kekuatan.90
Kebudayaan setiap masyarakat atau suku bangsa terdiri atas unsur-unsur
besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan
yang bersifat sebagai kesatuan. Ada beberapa unsur yang terdapat dalam
kebudayaan, di mana kita sebut sebagai cultural universals, yang meliputi:
peralatan dan perlengkapan hidup manusia, mata pencaharian hidup dan sistem-
sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa (lisan dan tulisan), kesenian,
sistem pengetahuan, religi (sistem kepercayaan).91
Agar unsur-unsur tersebut dapat dipahami dan dimaknai maka
dibutuhkan komunikasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Mulyana yang
menjelaskan bahwa budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, karena
komunikasi ikut serta dalam menentukan, memelihara, mengembangkan atau
mewariskan budaya.92
Juga dikuatkan dengan pendapat Fiske yang mengatakan
bahwa perhatian dalam studi komunikasi bukan pada komunikasi sebagai proses
semata, melainkan komunikasi sebagai pembangkit makna (the generation of meanings).
93
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa melalui
sistem makna, manusia dapat beradaptasi dengan lingkungan dan struktur
kegiatan interpersonal suatu kelompok sosial. Sistem makna budaya dapat
dianggap sebagai kelompok pengetahuan yang bermacam-macam, atau yang
secara terpisah membagi kelompok-kelompok norma yang secara simbolis
menciptakan realitas. Hal tersebut sesuai dengan pendapat D'Andrade yang
88
Larry A Samovar, Richard E Porter, Edwin R McDaniel dan Carolyn S Roy,
Communication Between Culture, Edisi 8 (Boston: Wadsworth, 2013), 33 dan 53. 89
William B. Gudykunst (ed), Theorizing About Intercultural Communication,
(California: Sage Publications.Inc, 2005), 7. 90
Pangulu Abdul Karim, ‚Interelasi Agama dan Budaya.‛ Jurnal Nizhamiyah,
Vol. VI, No. 2, (Juli-Desember 2016): 102. 91
Deni Mihardja, ‚Persentuhan Agama Islam dengan Kebudayaan Indonesia.‛
Jurnal Miqot, Vol. XXXVIII, No. 1 (Januari-Juni 2014): 193. 92
Wahidah Suryani, ‚Komunikasi Antarbudaya: Berbagi Budaya Berbagi
Makna.‛ Jurnal Farabi Vol. 10 No. 1 (Juni 2013): 03. (diakses 01 Maret 2017) 93
John Fiske, Introduction to Communication Studies (Routledge: Taylor and
Francis Group, 2002), 39.
25
menyatakan bahwa budaya merupakan sesuatu yang mempelajari sistem makna,
dikomunikasikan oleh makna dari bahasa alami dan sistem simbol lain yang
mampu menciptakan entitas budaya dan indra tertentu dari realitas.94
Artinya,
budaya adalah realitas yang memproduksi dan mengembangkan nilai-nilai,
kepercayaan, cara berperilaku, cara berpikir, seni, hukum, agama, serta
komunikasi.95
Dalam komunikasi, permasalahan utama yang kerap hadir adalah
penyampaian ide yang bukan hanya melibatkan pengirim dan penerima pesan,
namun juga realitas sosial.96
Menurut Richard, karena sangat sulit menemukan
ide dari makna maka yang dapat dilakukan hanya menghadapkan makna
tersebut pada realitas.97
Realitas adalah semua yang telah dikonsepkan sebagai
sesuatu yang memiliki wujud. Sementara menurut Berger dan Luckmann adalah
kualitas yang diakui memiliki keberadaan yang tergantung pada kehendak diri
sendiri. Kemudian realitas terbagi menjadi realitas objektif, simbolik, dan
subjektif.98
Menurut Gudykunts, agar kaitan antara komunikasi dengan budaya
dapat dipahami maka diperlukan sistem informasi dan konstruksi budaya yang
spesifik. Karena dalam konteks komunikasi, kehadiran budaya memungkinkan
kelompok sosial berinteraksi dan mengekspresikan budaya mereka. Sedangkan
menurut Andi Faisal Bakti, karena budaya merupakan seperangkat aturan yang
digunakan untuk mereproduksi atau meneruskan nilai-nilai masa lalu maka
didalamnya dibutuhkan komunikasi. Menurutnya, budaya dikonstruk
berdasarkan hubungan historis, sementara komunikasi dikonstruk berdasarkan
hubungan geografi.99
Keterkaitan antara komunikasi dan budaya menurut Gudykunts dapat
dipahami melalui pemahaman budaya secara umum sebagai sistem informasi
dan konstruksi budaya yang lebih spesifik.100
Karena budaya dalam konteks
komunikasi memungkinkan kelompok sosial yang berada di dalamnya untuk
94
Stella Ting-Toomey, Communicating Across Culture, 9. 95
Joseph A deVito, Human Communication the Basic Course, edisi XIII (New
York: Pearson, 2015), 28. 96
Ferruccio Rossi-Landi, Between Signs and Non-Signs (Philadelphia: John
Benjamins Publishing Company, 1992), 7-8. 97
Thomas Albert Sebeok dan Marcel Danesi, The Forms of Meaning: Modeling Systems Theory and Semiotic Analysis (Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co, 2000),
8. 98
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006)
186. 99
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program
(Leidein-Jakarta: INIS, 2004), 20. 100
Beverly Rising dan Amparo García-Carbonell, Culture and Communication
(Georgia: College of Management Georgia Institute of Technology, 2006), 4.
26
berinteraksi serta mengekspresikan budaya mereka.101
Sebagai bentuk interaksi
komunikasi pada akhirnya ikut pula memengaruhi budaya. Untuk itu perlu
dipahami sejauh mana pengaruh komunikasi dalam budaya.102
Budaya dan komunikasi dalam kelompok sosial merupakan dua hal yang
tidak dapat dipisahkan karena budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara
dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, tetapi juga
makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim,
memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan
perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan.
Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka
ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.103
Koentjaraningrat mengatakan komunikasi merupakan satu unsur penting
dalam peradaban manusia. Karena secara simbolik, hakikat manusia
menggunakan komunikasi sebagai simbol bahasa dalam bertukar pikiran,
perasaan, dan pengalaman. Selain itu, terwujudnya komunikasi efektif
tergantung pada kemampuan manusia dalam menggunakan bahasa sebagai
simbol dalam berkomunikasi, sehingga kita bisa mengambil makna dari apa
yang kita ucapkan.104
Hasil dari proses komunikasi adalah budaya yang berakar dalam diri
individu. Budaya dan komunikasi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Edward T. Hall mengatakan culture is communication and communication is culture, maka hubungan antara komunikasi dan kebudayaan sangatlah
berkaitan.105
Karena keduanya membahas tentang bagaimana makna dan pola-
pola perilaku yang dibangun dalam kelompok sosial ataupun kelompok
budaya,106
sehingga terjadi pemeliharaan representasi dari pola perilaku tersebut
menjadi suatu keyakinan tertentu dalam kelompok sosial.107
Artinya budaya
sebagai komunikasi merupakan bentuk komunikasi efektif yang memiliki
kemampuan untuk menampilkan sekaligus menjelaskan realitas sosial dan
101
Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings A Basic Text Book In Semiotics and Communication Theory, 14.
102Joseph A DeVito, Human Communication the Basic Course, edisi XIII, 31.
103Suranto Aw, Implementasi Teori Komunikasi Sosial Budaya dalam
Pembangunan Integrasi Bangsa.‛ Jurnal Kajian Ilmu Komunikasi, Vol. 45, No. 1, (Juni
2015): 69-70. 104
Nur Ahmad, ‚Komunikasi sebagai Proses Interaksi dan Perubahan Sosial
dalam Dakwah.‛ Jurnal At-Tabsyir, Vol. 2, No. 2, (Juli-Desember 2014): 29. (diakses 17
Maret 2017) 105
Wahidah Suryani, ‚Komunikasi Antarbudaya: Berbagi Budaya Berbagi
Makna,‛ 2. 106
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, 12. 107
James W Carey, Communication as Culture (New York: Routledge, 2008),
15.
27
membentuk komunitas.108
Selanjutnya, komunitas itu dikatakan memiliki
kemampuan untuk mengkonstruksi budaya sebagai realitas109
sehingga bentuk
budaya tidak hanya membawa informasi namun juga dapat dimaknai.
Alquran menyebut komunikasi sebagai salah satu fitrah manusia. Untuk
mengetahui bagaimana manusia seharusya berkomunikasi. Alquran memberikan
kata kunci (key concept) yang berhubungan dengan hal itu. Al-Syaukani,
misalnya mengartikan kata kunci al-baya>n sebagai kemampuan
berkomunikasi.110
Tujuan komunikasi pada umumnya yaitu mengharapkan
partisipasi dari mad’u atas ide-ide atau pesan-pesan yang disampaikan.111
Komunikasi Islam dapat diartikan sebagai proses penyampaian pesan
dari da’i (muballigh/mu’allim) sebagai komunikator kepada mad’u sebagai
komunikan agar komunikan memiliki perubahan pikiran, sikap, dan perilaku
yang sama dengan da’i.112 Artinya, komunikasi dalam Islam lebih ditekankan
sebagai proses harmonisasi diri dalam kelompok sosial.113
Menurut Andi Faisal
Bakti, dasar komunikasi Islam adalah tabligh (informasi), taghyir (perubahan
sosial), khairu ummah (komunitas teladan), dan akhlaq al-karimah (perilaku
mulia), adapun tujuan dari komunikasi Islam adalah sebagai salah satu jalan
resolusi konflik. Dengan cara mengajarkan ajaran Islam yang relevan untuk
nilai-nilai universal, termasuk inklusivitas untuk kemanusiaan.114
Setiap individu ketika membaur dalam kelompok sosial maka pada
waktu yang bersamaan pula ia mulai mengadopsi nilai-nilai budaya di dalam
kehidupan kelompok sosial tersebut. Nilai budaya yang berkaitan dengan norma
dan nilai tersebut yang nantinya ia terapkan. Proses penyerapan yang ia peroleh
itu berasal dari proses komunikasi.115
108
‚Introduction: Remoulding the 'Cultural' as the 'Contentious',‛ dalam
Bernard Bel, Jan Brouwer, Biswajit Das, Vibodh Parthasarathi, Guy Poitevin,
Communication Processes Volume 3 Communication Culture and Confrontation (India:
Sage Publications India, 2010), 20-21. 109
Paul Biot, "Action Theatre in Belgium," dalam Bernard Bel, Jan Brouwer,
Biswajit Das, Vibodh Parthasarathi, Guy Poitevin, Communication Processes Volume 3 Communication Culture and Confrontation, (India: Sage Publications India, 2010, 299.
110Muh Syawir Dahlan, ‚Etika Komunikasi dalam Al-Qur’an dan Hadis.‛ Jurnal
Dakwah Tabligh, Vol .15, No. 1, (Juni 2014): 117. 111
Nur Ahmad, Komunikasi sebagai Proses Interaksi dan Perubahan Sosial
dalam Dakwah.‛ Jurnal At-Tabsyir, Vol. 2, No. 2, (Juli-Desember 2014): 19. 112
Abdul Syukur, Dinamika Dakwah dalam Komunikasi dan Penyiaran Islam:
Pendekatan Historisasi, Formulasi, dan Aplikasi.‛ Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas, Vol. 9, No.2, (Juli 2014): 230. (diakses 21 Maret 2017)
113Marieke de Mooij, Human and Mediated Communication around the World a
Comprehensive Review and Analysis (London: Springer, 2014), 165. 114
Andi Faisal Bakti dan Isabelle Lecomte, ‚The Integration of Dakwah in
Journalism: Peace Journalism,‛ Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 5, No. 01, (Juni 2015):
186. 115
Wahidah Suryani, ‚Komunikasi Antarbudaya: Berbagi Budaya Berbagi
Makna.‛ Jurnal Farabi, Vol. 10, No. 1, (Juni 2013): 2.
28
Proses penyerapan budaya dan Islam di Indonesia berlangsung secara
adaptif. Dalam proses tersebut, terjadi akulturasi berdasarkan empat prinsip
dasar. Pertama, prinsip kemanfaatan, artinya kedatangan Islam memberikan
manfaat bagi kelompok sosial dengan memperbaharui unsur kebudayaan lama.
Kedua, prinsip fungsi, artinya kedatangan Islam mampu menggantikan fungsi
anasir budaya lama. Ketiga, prinsip kongkret, artinya praktik-praktik keagamaan
yang dibawa Islam dapat diterapkan secara nyata dalam suatu kelompok sosial.
Keempat, prinsip integrasi, artinya ajaran Islam mampu menyatu dengan
karakter budaya lokal, seperti gotong-royong, kekeluargaan, musyawarah, unsur
sosial (sedekah) maupun bentuk-bentuk ibadah lainnya.116
Menurut Andi Faisal Bakti, kedatangan Islam ke Nusantara merujuk
pada beberapa pendapat, diantaranya melalui perdagangan yang berada antara
Arab dan Cina. Selanjutnya, dikatakan berasal dari India, Deccan, Cambay,
Gujarat, Malabar, Pesisir Coromandel, Bengal, bahkan Persia karena adanya
kosakata Melayu yang berasal dari bahasa Persia. Kondisi tersebut menunjukkan
bahwa masyarakat Indonesia mampu menerima nilai keislaman yang berasal dari
luar, yang pada akhirnya nilai tersebut menyatu dengan tradisi, norma dan
realitas sehari-hari.117
Ketika kebudayaan mengalami proses objektivikasi maka terdapat
makna ganda dalam penerapannya. Kebudayaan itu objektif dalam pengertian
bahwa kebudayaan menghadapi manusia sebagai suatu kelompok benda-benda
dalam dunia nyata. Kebudayaan juga objektif dalam pengertian bahwa ia
bisadialami dan diperoleh secara kolektif.118
Maka dalam ranah sosial, jarang
ditemukan masyarakat yang hanya memiliki satu world view tentang ritual. Hal
tersebut dapat di pengaruhi oleh kelas sosial, strata ekonomi, maupun kelompok
etnis yang ada di dalamnya.
Mudjahirin Tohir mengungkapkan ritual merupakan bentuk pengakuan
terhadap hal gaib. Ritual menjadi alat penghubung antara manusia dengan
sesuatu yang gaib berdasarkan fungsi ekspresif dan fungsi kreatif. Fungsi
ekspresif suatu ritual dimunculkan melalui simbol-simbol yang ada sedangkan
fungsi kreatif muncul melalui konsep yang dipahami manusia namun tetap
berdasarkan aturan alam dan aturan moral.119
Dengan kata lain, ritual merupakan
116
M Irfan Mahmud, ‚Akulturasi Budaya Lokal dan Konsepsi Islam di Situs
Kali Raja, Raja Ampat.‛ Jurnal Papua, Vol. V, No. 1, (Juni 2013): 67. 117
Andi Faisal Bakti, Nation Building Kontribusi Muslim dalam Komunitas Agama dan Budaya terhadap Kebangkitan Bangsa Indonesia (Ciputat: Churia Press,
2010), 3-5. 118
Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Element of a Sociological Theory of Religion (New York: Anchor Books, 1969), 10.
119Sumper Mulia Harahap, ‚Akomodasi Hukum Islam terhadap Kebudayaan
Lokal (Studi terhadap Masyarakat Muslim Padangsidimpuan).‛ Jurnal Hukum Islam,
Vol. 15, No. 2, (Desember 2016):
29
fenomena universal sebagai usaha intelektual.120
Yang memiliki fungsi untuk
meyakinkan manusia bahwa mereka dapat melepaskan kesedihannya dengan
cara yang teratur sekaligus tidak membiarkan manusia dalam ketakutan dan
ketidakberdayaan. Selain itu ritual berfungsi untuk membentuk identitas sosial
baru yang tidak berdasarkan budaya, etnis, ataupun ras, namun juga meliputi
masalah spiritual, politik, atau bahkan kelas sosial yang sama.121
Islam sebagai agama selalu beradaptasi dengan budaya lokal melalui
proses integrasi yang sesuai dengan sistem nilai dan sistem simbol serta berpijak
pada prinsip theocentric-humanis.122
Ketika nilai agama bertemu dengan
budaya, maka bisa terjadi kesesuaian atau saling berbenturan satu sama lain. Hal
tersebut dikarenakan agama dipahami bersifat absolut dan berasal dari ajaran
wahyu Tuhan, sedangkan budaya, tradisi, dan adat istiadat bersifat relatif karena
merupakan produk manusia melalui proses alami yang tidak mesti selaras
dengan ajaran Ilahiah.123
Mengkaji interaksi Islam dengan budaya lokal dapat dilakukan melalui
pendekatan sosio-historis atau akulturasi, yakni menggabungkan dua hal yang
berbeda menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi. Interaksi agama dan
budaya mencerminkan dua hal yang berbeda, yakni ajaran Islam dan tradisi
kebudayaan. Sehingga keduanya kemudian menjadi fakta sosial yang objektif
empirik.124
Dalam ritual, setidaknya terdapat tiga dasar pemaknaan yaitu
berdasarkan perbedaan, persamaan, atau penyatuan. Ketiga dasar tersebut dapat
diketahui melalui semiotika Peirce.125
Semiotik dalam pandangan Geertz sangat
diperlukan dalam proses interpretasi terhadap budaya. Hal tersebut dikarenakan
di dalam kebudayaan terdapat tindakan-tindakan simbolis berupa perilaku
manusia yang kemudian membentuk pola-pola dari kebudayaan tersebut.126
Simbol dalam suatu ritual merupakan ekspresi yang tidak dapat direduksi
sehingga hanya mempunyai satu arti mendasar.127
120
Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice (New York: Oxford University
Press, 2009), 254. 121
Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice, 240-251. 122
Hasan, ‚Islam dan Budaya Banjar di Kalimantan Selatan.‛ Jurnal Ittihad,
Vol. 14, No. 25, (April 2016): 79. 123
Muhammad Taufik, ‚Harmoni Islam dan Budaya Lokal.‛ Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 12, No. 2, 257.
124Sumper Mulia Harahap, ‚Akomodasi Hukum Islam terhadap Kebudayaan
Lokal (Studi terhadap Masyarakat Muslim Padangsidimpuan).‛ Jurnal Hukum Islam,
Vol. 15, No. 2, (Desember 2016): 332. 125
Roy A Rappaport, Ritual and Religion in the Making of Humanity
(Edinburg: Cambridge University Press, 1999), 72. 126
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya,47-48. 127
Timothy Scott, ‚The Traditional Doctrine of Symbol, Sacred Web 6,‛
Vancouver, 2000, 14.
30
Geertz melakukan modifikasi konseptual. Melalui kemampuan
modifikasinya itu, ia menemukan hubungan antara sistem simbol, sistem nilai
dan sistem evaluasi. Ia menyatukan konsepsi kaum kognitifisme yang
beranggapan bahwa kebudayaan adalah sistem kognitif, sistem makna, dan
sistem budaya. Agar tindakannya bisa dipahami orang lain, maka harus ada
suatu konsep lain yang menghubungkan antara sistem makna dan sistem nilai,
yaitu sistem simbol. Sistem makna dan sistem nilai tentu saja tidak bisa
dipahami oleh orang lain, karena sangat individual. Melalui sistem simbol maka
sistem makna dan sistem kognitif yang tersembunyi dapat dikomunikasikan dan
kemudian dipahami oleh orang lain.128
Karena itu Geertz berpendapat bahwa
kebudayaan merupakan sistem semiotik.129
Kesimpulan Liliweri tentang kebudayaan adalah pertama, dalam
kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran
simbol-simbol komunikasi; dan kedua, hanya dengan komunikasi maka
pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan, dan kebudayaan hanya akan eksis
jika ada komunikasi. Tanpa ada komunikasi maka budaya tidak akan bisa
diteruskan dari generasi ke generasi dan proses komunikasi tergantung pada
budaya seseorang karena budayalah yang membentuk sikap, nilai, dan keyakinan
seseorang. Di mana proses komunikasi pada dasarnya merupakan transfer pesan
karena itu perhatian utama dari proses komunikasi terletak pada medium,
transmitter, penerima, gangguan, dan umpan balik.130
Menyadari bahwa dalam konteks komunikasi, budaya hanya sebatas
simbol yang digunakan untuk mempertukarkan makna, maka budaya dan
maknanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Permasalahan yang
muncul berkenaan dengan kaitan keduanya dalam konteks komunikasi adalah
budaya yang sering dipahami sebagai bagian yang terpisah dari substansi
maknanya. Untuk itu, diperlukan analisis makna terhadap suatu budaya untuk
dapat memberikan klasifkasi praktis tentang kehidupan pemakainya.
B. Diskursus Komunikasi dalam Perspektif Budaya dan Pemaknaan
Manusia melakukan komunikasi melalui makna-makna simbolik yang
secara individu mereka bentuk dalam proses interaksi sosial. Peirce berpendapat
bahwa kriteria kebenaran merupakan konsensus sosial. Artinya kebenaran
bersifat konvensional (common sense). Karena manusia tidak memiliki kekuatan
intuitif sehingga pengetahuan mengalir dari format pengetahuan. Selain itu,
manusia tidak memiliki kemampuan melakukan introspeksi semua pengetahuan
yang diciptakan dengan alasan hipotesis sebagai dasar observasi tentang hal
128
Khoirul Anwar, ‚Makna Kultural Dan Sosial-Ekonomi Tradisi Syawalan.‛
Jurnal Walisongo, Vol. 21, No. 2, (November 2013): 439-440. (diakses 08 Maret 2017) 129
Bradd Shore, Culture in Mind Cognition Culture and the Problem of Meaning (New York: Oxford University Press, 1996), 32.
130Tommy Suprapto, Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi,
(Yogyakarta: Media Pressindo, 2009), 97.
31
terdapat di luar diri. Karena itu, manusia tidak dapat berpikir tanpa tanda-
tanda.131
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,
namun juga mengonstitusi sistem terstruktur dari tanda.132
Karena makna tidak
lagi berada dalam tanda, melainkan pada siapa yang menggunakan tanda
tersebut, dan bagaimana tanda tersebut digunakan. Paradigma konstruksionis
dalam komunikasi disebut juga sebagai paradigma produksi dan pertukaran
makna, yang menjadi titik fokus bukan tentang bagaimana seseorang
mengirimkan pesan namun bagaimana masing-masing saling memproduksi dan
saling bertukar makna. Pesan itu dibentuk secara bersama-sama antara pengirim
dan penerima pesan yang dihubungkan dengan konteks sosial tempat mereka
berada.133
Dalam kajian linguistik, tanda adalah sesuatu yang dapat dijelaskan
melalui tanda yang lain sehingga ia berkembang. Sedangkan dalam semiotik,
tanda merupakan sesuatu yang tidak hanya memiliki satu penafsiran.134
Karena
dalam kajian tersebut melibatkan juga studi tentang makna yang tidak dapat
dipisahkan dari realitas sosial yang berfungsi untuk memaknai tanda.135
Dalam
semiotik, isi merupakan hal penting, yang berfokus pada cara-cara produser
menciptakan tanda-tanda dan cara-cara audiens memahami tanda-tanda
tersebut.136
Secara umum, tanda memiliki empat fungsi. Pertama, menyadarkan
pendengar akan sesuatu yang dinyatakan untuk kemudian dipikirkan. Kedua,
menyatakan perasaan atau sikap terhadap objek. Ketiga, memberitahukan sikap
pembicara terhadap khalayak. Dan keempat, menunjukkan tujuan atau hasil
yang diinginkan pembaca atau penulis baik disadari maupun tidak disadari.137
Setiap tanda harus memiliki perbedaan dengan apa yang dimaknainya
karena tanda menurut St. Augustine, terbagi menjadi dua138
yaitu tanda natural
131
Andrik Purwasito, "Semiologi Komunikasi," Mediator, Vol. 7, No. 1, Juni
2006, 28. 132
Bambang Mudjiyanto dan Emilsyah Nur, ‚Semiotika dalam Penelitian
Komunikasi.‛ Jurnal Pekommas, Vol. 16, No. 1 (April 2013): 74. 133
Eriyanto, Analisis Framing Konstruksi Ideologi dan Politik Media
(Yogyakarta: LKis, 2002), 40. 134
John Dewey, ‚Peirce's Theory of Linguistic Signs, Thought, and Meaning.‛
The Journal of Philosophy, Vol. 43, No. 4, (Feb. 14, 1946): 91. 135
Kaja Silverman, The Subject of Semiotics (New York: Oxford University
Press, 1983), 3. 136
Stephen W Littlejohn dan Karen A Foss, Theories of Human Communication, edisi IX (California: Thomson Wadsworth, 2008), 288.
137Utami Setyowati, ‚Kajian Semiotika tentang Etika Komunikasi Anas
Urbaningrum dalam Pengaruh Budaya Jawa.‛ Jurnal Interaksi, Vol. II, No. 2, (Juli 2013):
87. 138
Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book in Semiotics and Communication Theory, 7.
32
dan tanda konvensional (natural and conventional signs).139
Menurut Sebeok
kedua tanda tersebut memiliki keterkaitan.140
Walaupun demikian, keterkaitan
tersebut juga harus dibatasi pemaknaannya.141
Sebelum tanda terbagi menjadi
dua, pada awalnya tanda tidak memiliki makna apapun, selanjutnya tanda
memilik keterkaitan dengan sesuatu yang lain (yang ditandainya). Setelah tanda
terbagi menjadi dua (natural dan conventional signs) hubungan kedua tanda
tersebut menurut Foucault berdasarkan pada prinsip arbriter. Prinsip tersebut
bukan berarti pemaknaan secara bebas melainkan pemaknaan yang didasarkan
pada fungsi serta hubungannya dengan realitas yang ditandai.142
Menurut
Danesi, tanda yang menggantikan tanda yang lainnya disebut analogy.143
Menurut Gill Branston dan Roy Stafford, tanda tidak dibangun secara alamiah
atau secara langsung memberi label terhadap realitas, tetapi tanda dibangun
secara sosial, dan tidak pernah sealamiah kelihatannya.144
Sistem tanda yang merupakan objek semiotik disebut dengan semiosis
yang menurut Morris memiliki persamaan dengan tanda dan makna.145
Semiosis
sebagai teori umum tanda membahas fungsi tanda, apa yang
direpresentasikannya, bagaimana interpretasi penafsir, dan bagaimana
kesimpulan penafsir terhadap tanda.146
Artinya semiosis adalah kemampuan
untuk memproduksi sekaligus memahami tanda.147
Menurut Marcel Danesi,
tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain.148
Dalam tradisi
semiotik, tanda diartikan sebagai gejala yang ditangkap oleh subjek secara
indrawi.149
Menurut Fiske, semiotik berada dalam ranah kajian paradigma
konstruksionis. Hal itu disebabkan karena semiotik mengkaji tentang bagaimana
139
D S Clarke Jr, Sources of Semiotic Reading with Commentary from Antiquity to the Present (Chicago: Southern Illionis University Press, 1990), 42.
140Susan Petrilli, The Self as a Sign, the World, and the Other: Living
Semiotics (New Jersey: Transaction Publishers, 2013), 39. 141
Thomas Albert Sebeok dan Marcel Danesi, the Forms of Meaning: Modeling Systems Theory and Semiotic Analysis, 9.
142Michel Foucault, Order of Things an Archaeology of The Human Sciences
(London dan New York: Routledge, 2002), 65-66. 143
Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book in Semiotics and Communication Theory, 15.
144Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 23.
145Ferruccio Rossi-Landi, Between Signs and Non-Signs, (Philadelphia: John
Benjamins Publishing Company, 1992), 171. 146
John Dewey, ‚Peirce's Theory of Linguistic Signs, Thought, and Meaning.‛
The Journal of Philosophy, Vol. 43, No. 4, (Feb. 14, 1946): 85. 147
Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book In Semiotics and Communication Theory, 16.
148Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book In
Semiotics and Communication Theory, 4. 149
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, 124.
33
interaksi dapat menghasilkan makna dengan mengaitkan pesan150
dan realitas
sosial yang saling berhubungan.151
Artinya dalam proses memaknai pesan harus
melibatkan realitas yang ada, sehingga makna yang diperoleh tidak bersifat
absolute (mutlak).
Semiotik152 dan bahasa Arab dengan simiu >t }i >qa> (سميوطيقا)
153 atau
semiologi merupakan keilmuan yang mempelajari tentang tanda atau produksi
makna sosial melalui sistem-sistem tanda, atau studi tentang bagaimana hal-hal
hadir untuk memiliki signifikansi,154
dan dapat mengekspresikan ide-ide dalam
entitas relasional (kesalingterhubungan).155
Dalam aspek sosial disebut semiotik
sosial. Sebagian besar teori ini diambil dari ahli linguistik, seperti Ferdinand de
Saussure (1857-1913), Charles Sanders Peirce, dan Roland Barthes (1915-1980).
Saussure yang beraliran strukturalisme,156
lebih memilih istilah
semiologi untuk mempertegas adanya studi tanda dengan komunikasi.157
Hal
tersebut tidak terlepas dari tradisi linguistik sebagai dasar dari teorinya.158
Menurut Roland Barthes, semiologi adalah ilmu tentang bentuk yang kemudian
150
John Fiske, Introduction to Communication Studies, 2. 151
John Dewey, ‚Peirce's Theory of Linguistic Signs, Thought, and Meaning.‛
The Journal of Philosophy, Vol. 43, No. 4, (Feb. 14, 1946): 86. 152
Kata semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu semesion yang berarti tanda,
semainon yang berarti penanda (signifier) dan semainomenon yang berarti petanda
(signified). Secara umum semiotik adalah studi tentang tanda-tanda atau epistemologi
tentang keberadaan atau aktualitas tanda dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak
perintis, peneliti, praktisi dan penulis semiotik seperti Ferdinand de Saussure, Charles
Sanders Peirce, Roland Barthes, Roman Jakobsen, Charles Morris dan Umberto Eco
membuat definisi sederhana untuk pemahaman dan tujuan yang lebih jelas, Semiotik
dipahami sebagai keilmuan untuk segala sesuatu yang dapat dilihat atau diartikan
sebagai tanda. Lihat Halina Sendera Mohd. Yakin dan Andreas Totu, ‚The Semiotic
Perspectives of Peirce and Saussure: A Brief Comparative Study,‛ makalah dalam
‚Konferensi Internasional Komunikasi dan Media i-COME’14,‛ Universiti Malaysia
Sabah, Langkawi 18-20 Oktober 2014, 4-5. 153
Asep Ahmad Hidayat menjelaskan bahwa teori semiotik Peirce memiliki
kesesuaian terhadap dasar dari semiotik Islam yang terdiri dari ilmu mantiq dan logika,
ilmu ma'a>ni> dan baya>n. Menurut Qahir al-Jurjani proses pemaknaan terjadi melalui
model bala>ghah, terutama metafora (isti’a>rah), analogi (tamthi>l), dan alusi (kina>yah).
Lihat Benny Afwadzi, ‚Melacak Argumentasi Penggunaan Semiotika dalam Memahami
Hadis Nabi,‛ Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Hadis, Vol. 16, No. 2 (2015): 5-12. 154
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, 12. 155
Kaja Silverman, The Subject of Semiotics (New York: Oxford University
Press, 1983), 6. 156
Gusti A. B. Menoh, ‚Memahami Antropologi Struktural Claude Lévi-
Strauss.‛ Jurnal Penelitian Sosial, Vol. 2, No. 1, (2013): 356-357. 157
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes (Magelang: Yayasan Indonesiatera,
2001), 51. 158
John Deely, Basics of Semiotics (Bloomington: Indiana University Press,
1990), 3-4.
34
dipelajari maknanya secara independen diluar konteks bentuk tersebut.159
Sementara itu Charles Sanders Peirce yang merupakan pelopor aliran
pragmatisme lebih memilih untuk menggunakan istilah semiotik. Alasannya,
kajian semiotik lebih identik dengan konsep logika yang berfokus pada
pengetahuan tentang proses berpikir manusia.160
Secara prinsip penggunaan
semiologi dan semiotik tidak berbeda. Perlu digarisbawahi dari perbedaan
tersebut, bahwa setelah kemunculan Saussure dan Peirce, semiotik mengacu
pada kajian yang menitikberatkan pada tanda dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya.161
Menurut Sobur, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari objek-objek dan peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai
tanda.162
Hal tersebut dikarenakan kebudayaan dapat dipelajari dengan
menggunakan ilmu komunikasi. Melihat bahwa dalam komunikasi, kebudayaan
merupakan sebuah tanda, maka teori semiotik dianggap sebagai teori yang tepat
karena teori tersebut bercorak antropologi budaya.163
Semiotik merupakan alat untuk menelusuri sesuatu dan untuk
menghasilkan sesuatu yang berupa tanda-tanda atau simbol-simbol.164
Menurut
Morris, metode dalam semiotik berdasarkan relasinya terdiri dari: semiotik
sintaksis, semiotik semantik, semiotik pragmatik. Semiotik sintaksis adalah
studi tentang hubungan antar tanda. Semiotik semantik adalah studi tentang
tanda dan makna sebenarnya. Sedangkan semiotik pragmatik adalah studi
tentang hubungan antara tanda dan yang menggunakannya.165
Menurut Fiske, kajian dalam semiotik mempunyai tiga poin utama,
yaitu tanda, kode, dan budaya. Masing-masing terkait erat dan hanya dapat
dipahami sebagai satu kesatuan.166
Fiske juga berpendapat bahwa secara hakiki
159
Roland Barthes, Mythologies (Paris: Editions Point, 2014), 214. 160
Halina Sendera Mohd Yakin dan Andreas Totu, ‚The Semiotic Perspectives
of Peirce and Saussure: a Brief Comparative Study,‛ 6. 161
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes (Magelang: Yayasan Indonesiatera,
2001), 51-52. 162
Sinung Utami Hasri Habsari, ‚Membaca Simbol-Simbol Komunikasi dan
Budaya pada Bangunan Cagar Budaya dengan Analisa Semiotika Roland Barthes.‛
Jurnal PPKM UNSIQ, Vol. 2, No. 3, (2015): 160. (diakses 14 Maret 2017) 163
Guy Poitevin, "From the Popular to the People" dalam Bernard Bel, Jan
Brouwer, Biswajit Das, Vibodh Parthasarathi dan Guy Poitevin, Communication
Processes Vol. 3; Communication, Culture and Confrontation (New Delhi: Sage
Publications India, 2010), 31. 164
Wulan Astrini, Chairil Budiarto Amiuza, dan Rinawati P. Handajani,
‚Semiotika Rupa Topeng Malangan (Studi Kasus: Dusun Kedungmonggo, Kec. Pakisaji,
Kabupaten Malang).‛ Jurnal RUAS, Vol. 11, No. 2, (Desember 2013): 91. 165
Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book in Semiotics and Communication Theory, 9. Lihat juga, Andrik Purwasito, ‚Semiologi
Komunikasi,‛ Jurnal Mediator, Vol. 7, No. 1, (Juni 2006): 32. 166
Tommy Suprapto, Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi (Yogyakarta: Media Pressindo, 2009), 100.
35
semiotik merupakan pendekatan teoritis terhadap komunikasi yang tujuannya
untuk mempertahankan prinsip-prinsip terapan secara luas, karena komunikasi
berkaitan dengan sistem bahasa dan budaya, khususnya pada struktur hubungan
sistem semiotik dan realitas.167
Menurutnya, tiga unsur yang harus ada dalam
studi makna adalah pertama, tanda; kedua, apa/mana yang diacunya; dan ketiga,
para pengguna tanda. Tanda adalah sesuatu yang bersifat fisik, dipahami oleh
indra manusia, mengacu pada sesuatu selain dirinya sendiri, dan itu tergantung
pada pengakuan oleh para penggunanya, hal yang seperti itu adalah tanda.168
Menurut Littlejohn, semiotik juga menjadi salah satu kajian dalam teori
komunikasi, yang merupakan sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda
merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar
tanda-tanda itu sendiri.169
Adapun kajian dalam semiotik menurut Danesi,
memahami apa yang dimaksud dengan pesan, kemudian bagaimana membentuk
pesan tersebut menjadi tanda atau mencoba menjawab tentang apa itu makna,
bagaimana makna terbentuk, dan mengapa makna itu ada.170
Menurut Gill Branston dan Roy Stafford, dalam merumuskan teori
meaning (pemaknaan) ada beberapa teori yang menjadi landasan utama dalam
kajian ini. Pertama dengan menggunakan teori semiotik. Menurut Saussure,
tanda harus memiliki tiga ciri khas yang hadir di dalamnya. Pertama, tanda pasti
memiliki bentuk,171
yang dinamai sebagai signifier/penanda. Kedua, tanda
haruslah merepresentasikan sesuatu diluar dirinya, yang disebut
signified/petanda. Sedangkan ketiga, penekanan semiotik dari persepsi manusia
terhadap realitas dibangun dan dibentuk oleh kata-kata dan tanda-tanda yang
manusia gunakan didalam berbagai macam konteks sosial.172
Saussure juga
mengusulkan bentuk ketiga yang disebut referent yaitu sesuatu yang sama-sama
diacu oleh signifier dan signified.173
Hubungan antara signifier dan signified
bersifat arbriter174 antara manusia dan kelompok sosial yang telah dibentuk.
175
167
John Fiske, Introduction to Communication Studies, 40 dan 135. 168
John Fiske, Introduction to Communication Studies, 41. 169
Sinung Utami Hasri Habsari, ‚Membaca Simbol-Simbol Komunikasi dan
Budaya pada Bangunan Cagar Budaya dengan Analisa Semiotika Roland Barthes,‛ 161. 170
Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book in Semiotics and Communication Theory, 10-11.
171Menurut John Fiske, tanda adalah sesuatu yang bersifat fisik, dapat
ditangkap oleh pancaindra manusia, mengacu pada sesuatu selain dirinya sendiri, dan
tergantung pada pengguna yang mengatakan bahwa itu tanda. Lihat, John Fiske,
Introduction to Communication Studies, Second Edition (New York: Routledge, 1990),
4. 172
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V,
(London and New York: Routledge, 2010), 11. 173
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 13. 174
Ferdinand de Saussure, Cours de Linguistique Generale (Paris: Petite Biblio
Payot, 2016), 154.
36
Menurut A. J. Ayer, proses pemaknaan dalam semiotik, dimulai dengan
memverifikasi ide agar dapat dipahami. Proses tersebut harus dilakukan dengan
menambahkan beberapa makna lain yang memiliki keterkaitan.176
Konsep ide
menurut Ayer secara tidak langsung merujuk pada tanda yang bersifat material.
Sedangkan keterkaitan makna lain berarti konsep mental yang muncul pada saat
memaknai dan merujuk pada tanda yang sama. Inilah bagian penting dari sistem
tanda sebagai kajian dari semiotik yang harus dipahami.177
Makna dalam semiotik muncul berdasarkan pemahaman intuitif
seseorang namun makna tersebut bersifat terbatas, yang tidak dipahami
sepenuhnya.178
Hal tersebut disebabkan konteks yang digunakan dalam
pemaknaan begitu luas. meskipun konteks tersebut dapat diketahui secara detail,
makna masih tetap belum dapat dipahami secara utuh.179
Charles Sanders Peirce merumuskan modelnya sendiri mengenai tanda.
Peirce menawarkan model triadik yang terdiri dari: representament, interpretant, object.180 Peirce menyebut signifier/penanda representament (secara harfiah
berarti sesuatu yang mewakili), bentuk bersumber pada strategi fisik
representasi itu sendiri (penggunaan suara, gerakan tangan, dll untuk beberapa
tujuan referensial). Peirce menyebut acuan ini sebagai object/objek, yaitu suatu
entitas yang menggantikan kejadian dari konteksnya (realitas). Dia
mengistilahkan makna yang didapatkan dari tanda interpretant/penafsir,
menunjukkan bahwa hal itu mensyaratkan bentuk ‚negosiasi,‛ sehingga untuk
berbicara, di mana tanda-pengguna mengevaluasi atau merespon makna dari
tanda secara sosial, kontekstual, secara pribadi, dan sebagainya.181
Karena
menurutnya, posisi penafsir sangat penting dalam proses memaknai tanda.182
Peirce juga mengkategorikan Firstness, Secondness, Thirdness. Firstness
adalah perwujudan tanda apa adanya tanpa mengacu pada hal lain. Dengan kata
lain, Firstness adalah tanda itu sendiri. Secondness merupakan perwujudan
tanda apa adanya, yang baru mengacu pada Firstness. Secondness adalah objek
dari sebuah tanda. Sedangkan Thirdness adalah perwujudan tanda apa adanya,
yang telah memiliki acuan dengan Firstness dan Secondness. Thirdness
175
Thomas A. Sebeok, Signs: An Introduction to Semiotics, Second Edition
(Canada: University of Toronto Press Incorporated, 2001), 6. 176
John Deely, Basics of Semiotics, 11-12. 177
Gillian Dyer, Advertising as Communication (London and New York:
Routledge, 1982), 93. 178
Marcel Danesi, Messages Signs and Meanings a Basic Text Book in Semiotics and Communication Theory, 12.
179Joseph A DeVito, Human Communication the Basic Course, edisi XIII, 102.
180Daniel Chandler, The Basics Semiotics, Edisi II (Routledge: Taylor and
Francis Group, 2007), 29. 181
Thomas A. Sebeok, Signs: An Introduction to Semiotics, Edisi II (Canada:
University of Toronto Press Incorporated, 2001), 6. 182
John Deely, Basics of Semiotics, 25.
37
merupakan penafsir (interpretant).183 Berbeda dengan Peirce, Saussure
mempertimbangkan hubungan tanda dengan tanda lain dalam sistem yang sama,
dengan mengatakan bahwa makna dari tanda ditentukan oleh bagaimana tanda
tersebut dibedakan dari tanda yang lainnya.184
Metode yang digunakan oleh Saussure dan Peirce dalam memahami
makna menunjukkan adanya perbedaan. Dalam menghasilkan tiga karakteristik
tanda, menurut Peirce masing-masing menunjukkan hubungan yang berbeda
antara tanda dan objeknya atau yang diacunya.185
Peirce berpendapat bahwa
tanda terdiri dari simbol, ikon, dan indeks. Masing-masing bergantung pada
hubungan antara tanda dan apa yang diwakilinya. Simbol merupakan tanda-
tanda yang mempunyai hubungan abritrer (misalnya: kata ‚mawar‛ dan ‚rose‛
dalam bahasa inggris menandai sesuatu/acuan yang sama dalam dunia nyata).
Ikon adalah tanda-tanda yang menyerupai apa yang diwakilinya (sebagai
contoh: ikon pembeda toilet laki-laki dan perempuan). Sedangkan, indeks ialah
tanda-tanda yang memiliki hubungan sebab akibat antara tanda dan apa yang
diwakilinya (contoh: asap adalah tanda indeks dari api).186
Berdasarkan segitiga triadik di atas, Peirce membagi 10 jenis tanda
yaitu:187
1. Qualisign yaitu jenis tanda berdasarkan kualitasnya.
2. Iconic Sinsign yaitu jenis tanda berdasarkan kemiripan.
3. Rhematic Indexical Sinsign yaitu jenis tanda yang muncul dari
pengalaman.
4. Dicent Sinsign yaitu jenis tanda yang berisi informasi.
5. Iconic Legisign yaitu jenis tanda yang berdasarkan informasi norma atau
hukum.
6. Rhematic Indexical Legisign yaitu jenis tanda berdasarkan acuan pada
objek tertentu.
7. Dicent Indexical Legisign yaitu jenis tanda yang bermakna informasi dan
menunjuk pada subjek informasi.
8. Rhematic Symbol/Symbolic Rheme yaitu jenis tanda yang dihubungkan
dengan objeknya melalui asosiasi ide umum.
9. Dicent Symbol/Proposition yaitu jenis tanda yang berdasarkan hubungan
langsung dengan objek melalui kesadaran manusia.
10. Argument yaitu jenis tanda berdasarkan penilaian seseorang terhadap
sesuatu dengan alasan tertentu.
183
Dian Nurrachman, ‚Teks Sastra dalam Perspektif Semiotika Pragmatis
Charles Sanders Peirce.‛ Jurnal al-Tsaqafa, Vol. 14, No. 01, (Januari 2017): 88. 184
John Fiske, Introduction to Communication Studies, 45. 185
John Fiske, Introduction to Communication Studies, 46. 186
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 13-14. 187
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), 42-43.
38
Pada perkembangannya, teori semiotik juga digunakan untuk mengkaji
kebudayaan manusia. Berdasarkan karya Barthes dengan mengembangkan teori
tanda Saussure sebagai usaha untuk menjelaskan bagaimana manusia dalam
kehidupan masyarakat yang didominasi oleh konotasi.188
Teori semiotik pada
saat ini menaruh perhatian besar dalam produksi tanda yang dihasilkan oleh
budaya. Hal tersebut mendorong penggantian konsep tanda dengan konsep
fungsi tanda karena budaya berkaitan dengan ekspresi dan berhubungan dengan
isi (makna) yang berbeda-beda.189
Dengan ciri khas tanda di atas, menurutnya teori semiotik tidak cukup
untuk mengkonstruksi makna, sehingga diperlukan teori-teori lain untuk
membantu memahami makna. Artinya, Gill Branston dan Roy Stafford
menyintesiskan kembali teori semiotik dengan menambahkan teori struktural
dan teori konotasi-denotasi. Itulah yang mereka sebut dengan teori pemaknaan
(meaning).190
Proses memaknai bukan sekedar memahami objek-objek yang
berkomunikasi namun memaknai lebih kepada proses mengkonstitusi sistem
terstruktur dari tanda.191
Diskursus komunikasi dalam perspektif budaya muncul
karena memaknai bukan sekedar penyampaian informasi, namun lebih kepada
mengkonstitusi sistem tanda sekaligus memahami pesan di dalamnya. Pada
prosesnya, memaknai juga melibatkan realitas di mana tanda tersebut
digunakan. Hal tersebut bertujuan untuk menjawab mengenai apa itu makna,
bagaimana makna terbentuk, dan mengapa makna itu ada.
C. Pemaknaan Budaya
Konsep komunikasi atas dasar yang menyatukan tradisi semiotik adalah
tanda yang merupakan dasar bagi semua komunikasi. Tanda merupakan suatu
stimulus yang mengacu pada sesuatu selain dirinya, sedangkan makna
merupakan hubungan antara objek atau ide dengan tanda. Kedua konsep
tersebut menyatu dalam berbagai teori komunikasi, khususnya teori komunikasi
yang memberikan perhatian pada simbol. Atas dasar pemahaman tersebut,
semiotik merupakan teori yang menjelaskan bagaimana tanda dihubungkan
dengan makna, serta bagaimana tanda tersebut diorganisasikan.192
Sebagai sumber semiotik, kebudayaan mempunyai jaringan sistem
makna. Kebudayaan dari suatu kelompok sosial memiliki nilai dan norma
kultural yang didapatkan melalui warisan nenek moyang mereka dan juga bisa
juga melalui kontak sosio-kultural dengan kelompok sosial lainnya. Konsep-
188
Buyung Pambudi, ‚Semiotika Karapan Sapi dan Transformasi Simbolik
Masyarakat Madura.‛ Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 05, No. 01, (Juni 2015): 117. 189
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, 35. 190
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 11-16. 191
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, 53. 192
Bambang Mudjiyanto dan Emilsyah Nur, ‚Semiotik Introduction to Communication Studies dalam Penelitian Komunikasi.‛ Jurnal Pekommas, Vol. 16, No.
1 (April 2013): 74.
39
konsep yang digunakan dalam mengkaji budaya yang ada dan berkembang di
masyarakat adalah konsep struktur, sistem, relasi, representasi dan signifikasi.193
Untuk dapat mengetahui hubungan antara simbol dan budaya, harus pula
memahami proses komunikasi secara keseluruhan.194
Yang harus dipahami pula
bahwa hal yang penting dalam proses komunikasi bukan hanya sekedar proses
pertukaran informasi (dalam hal ini adalah simbol) namun makna di balik simbol
tersebut.195
Tanda dalam tradisi semiotik bukan hanya sekedar refleksi atas realitas,
namun juga membentuk persepsi manusia. Karena bagaimana pun, tanda dapat
mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan sebagainya yang berada di
luar diri.196
Teori semiotik menunjukkan bahwa tidak ada batas yang jelas antara
sesuatu yang nyata dan yang dibayangkan karena keduanya saling memengaruhi
satu sama lain. Dalam beberapa hal, semiotik berguna untuk memikirkan
kembali aktifitas sosial dari proses produksi makna.197
Teori struktural (أسلوىب) merupakan akar yang menjadi bagian dari teori
semiotik. Hal ini terlihat pada struktur sosial ataupun psikologi manusia
menentukan kelompok sosial secara menyeluruh. Serta, makna akan dapat
dipahami hanya dalam struktur yang sistematis dan perbedaan budaya.198
Menurut Lévi-Strauss yang merupakan antropolog strukturalis, menekankan
pentingnya oposisi biner dalam mengkaji fenomena budaya seperti mitos, ritual,
hubungan kekerabatan, totemisme, dan sebagainya.199
Oposisi biner merupakan
oposisi penataan dalam sistem mitos atau bahasa. Hal ini berfungsi sebagai
batas atau perbedaan dalam budaya yang biasanya memiliki nilai berbeda.200
Teori strukturalisme Lévi-Strauss memiliki kekuatan dalam merenik relasi-relasi
yang logis, merunut ketertataan (order) serta keteraturan (regularities), dan
memunculkan oposisi-oposisi yang relevan dalam menangkap struktur yang
terdapat dalam suatu ritual.201
Strukturalis menekankan bahwa oposisi berfungsi untuk menjelaskan
semiotik, karena tanda dapat dipahami secara utuh hanya dengan mengacu pada
193
Robi Panggara, ‚Konflik Kebudayaan Menurut Teori Lewis Alfred Coser dan
Relevansinya dalam Upacara Pemakaman (Rambu Solo’) di Tana Toraja.‛ Jurnal
Jaffray, Vol. 12, No. 2, (Oktober 2014): 60. 194
James Lull, Culture in Communication Age (London: Routledge, 2001), 3. 195
Ibrahim, ‚’Makna’ dalam Komunikasi.‛ Jurnal Al-Hikmah Vol. 9, No. 1
(2015): 21. 196
Bambang Mudjiyanto dan Emilsyah Nur, ‚Semiotika dalam Penelitian
Komunikasi,‛ 73. 197
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 23-24. 198
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 19. 199
Kris Budiman, Jejaring Tanda-Tanda Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan (Magelang: Penerbit Indonesia Tera, 2004), 11-12.
200Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 19.
201Bustanuddin Lubis (ed), Mitologi Nusantara Penerapan Teori (Bengkulu:
Quiksi, 2011), 188.
40
perbedaannya dengan tanda yang lain dalam sistem tertentu.202
Karena pada
dasarnya teori strukturalis merupakan cara berpikir tentang dunia yang secara
khusus memperhatikan persepsi dan deskripsi mengenai struktur.203
Penekanan
strukturalis berada pada oposisi membantu menjelaskan semiotika bahwa tanda-
tanda selain dapat dipahami dengan mengacu pada perbedaan dari tanda-tanda
lain dalam sistem atau kode tertentu,204
juga melalui struktur tanda dalam
komposisi sensorik, emosional, dan intelektual manusia.205
Menurut Gill Branston dan Roy Stafford, dua hal yang harus
diperhatikan dalam memahami strukturalisme sebagai bagian dari pemaknaan
(meaning) yaitu strukturalisme berpendapat seluruh organisasi manusia
ditentukan oleh struktur sosial atau psikologis individu. Selain itu,
strukturalisme berpendapat bahwa makna suatu tanda tidak dapat dipahami
kecuali dalam struktur yang sistematis, yang memiliki ciri atau perbedaan yang
lahir secara alamiah.206
Menurut Lévi-Strauss, pendekatan struktural dapat menjadi solusi untuk
dapat menyatukan pengalaman dan pemikiran manusia. Pendekatan struktural
memfokuskan pada pencarian ragam dalam sebuah struktur untuk kemudian
membandingkannya.207
Strukturalisme memandang segala fenomena kultural
sebagai suatu sistem yang harus didahului dengan penjelasan perbedaan
dikotomis antara langue dan parole. Adapun langkah operasional dalam analisis
strukturalisme Lévi-Strauss adalah sebagai berikut:208
1. Menetapkan fenomena yang dikaji sebagai suatu relasi di antara dua
terma atau lebih, baik yang nyata maupun yang diandaikan.
2. Mengonstruk sebuah tabel permutasi-permutasi yang mungkin di antara
terma-terma yang sudah ditetapkan.
3. Memperlakukan tabel yang telah dibuat sebagi objek analisis umum
yang mampu menghasilkan hubungan-hubungan yang niscaya.
Struktur budaya dipandang sebagai sesuatu yang menyatukan
masyarakat.209
Strukturalisme adalah aliran pemikiran yang mencari struktur
terdalam dari realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan
secara ilmiah (objektif, ketat, dan berjarak). Pendekatan strukturalisme atas
202
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 21 203
Kris Budiman, Jejaring Tanda-Tanda Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan (Magelang: Penerbit Indonesia Tera, 2004), 11-12.
204Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi III, 9-23.
205Thomas A Sebeok, Signs: An Introduction to Semiotics Ed. II (Toronto:
University of Toronto Press, 2001), 5. 206
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi III, 9-23. 207
Claude Lévi-Strauss, Myth and Meaning (London & New York: Routledge,
2001), 2. 208
Kris Budiman, Jejaring Tanda-Tanda Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan (Magelang: Penerbit Indonesia Tera, 2004), 62-69.
209Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-Teori Kebudayaan
(Jogjakarta: Penetbit Kanisius, 2005), 107-114.
41
kebudayaan berfokus pada pengidentifikasian unsur-unsur yang bersesuaian dan
bagaimana cara unsur-unsur itu diorganisasi untuk menyampaikan pesan.
Menurut Lévi-Strauss, langue milik waktu yang dapat diubah,
sedangkan parole milik waktu yang tidak dapat diubah. Namun mitos dapat
didefinisikan sebagai sistem temporal, yang menggabungkan sifat keduanya.210
Itu mengapa mitos berfungsi seperti sejarah, yaitu untuk mendekatkan masa lalu
dengan situasi saat ini.211
Dengan demikian, mitos bukanlah sesuatu yang harus
dipertentangkan dengan sejarah dan realitas sosial karena adanya perbedaan
makna antara konsep keduanya.212
Setiap konsep mitos mengalami perbedaan
antara satu tempat dengan tempat lainnya dan tidak selalu relevan terhadap
sejarah ataupun realitas.213
Karena salah satu ciri mitos adalah memiliki
kebenaran yang tidak penting.214
Sifat universal tindakan kognitif manusia menjadi pusat perhatian
dalam pemikiran Lévi-Strauss. Apapun variabel-variabel yang bersifat konstan
mengenai bentuk-bentuk kebudayaan manusia di seluruh tempat (synchronic)
dan di sepanjang zaman (diachronic), variabel-variabel itu menegaskan bahwa
pikiran manusia selalu berfungsi dengan cara yang sama. Tindakan sosial dalam
formasi, reproduksi dan juga adaptasi budaya aktual, menjadi tujuan-tujuan
analisis strukturalisme, suatu manifestasi permukaan dari serangkaian pola-pola
utama yang terinternalisasi secara mendalam pada level kognisi strukturalisme
yang mendalam. Budaya-budaya tertentu, kemudian merupakan transformasi
spesifik secara sosio-historis suatu sistem aturan yang tidak disadari, bersifat
universal dan imanen (tetap bertahan dalam diri manusia itu sendiri).
Determinisme ini tersebar melalui spesifikasi-spesifikasi dalam suatu
transformasi.215
210
Claude Lévi-Strauss, Anthropologie Structurale (Paris: Pocket, 2016), 239. 211
Claude Lévi-Strauss, Myth and Meaning (London dan New York: Routledge
Classics, 2001), 18. 212
Naila Nilofar, ‚Perbandingan Mitos Sangkuriang dan Mitos Pangeran
Butoseno Kajian Strukturalisme Lévi-Strauss.‛ Jurnal Bebasan, Vol. 4, No. 1, (Juni
2017): 27. 213
Rosita Armah, Akhmad Murtadlo, Syamsul Rijal, ‚Mitos dan Cerita Rakyat
Kutai Baung Putih di Muara Kaman: Kajian Strukturalisme.‛ Jurnal Ilmu Budaya, Vol.
1, No. 1, (April 2017): 152-153. 214
Agus Sugiharto dan Ken Widyawati, ‚Legenda Curug 7 Bidadari (Kajian
Strukturalis Lévi-Strauss).‛ Jurnal Suluk, Vol. 1, No. 2, (2012): 8. 215
Robi Panggara, ‚Konflik Kebudayaan Menurut Teori Lewis Alfred Coser dan
Relevansinya dalam Upacara Pemakaman (Rambu Solo’) di Tana Toraja.‛ Jurnal
Jaffray, Vol. 12, No. 2, (Oktober 2014): 63. Transformasi menurut Kuntowijoyo adalah
konsep ilmiah atau alat analisis untuk memahami dunia. Karena dengan memahami
perubahan setidaknya dua kondisi atau keadaan yang dapat diketahui yakni keadaan pra
perubahan dan keadaan pasca perubahan. Transformasi merupakan perpindahan atau
pergeseran suatu hal ke arah yang lain atau baru tanpa mengubah struktur yang
terkandung didalamnya, meskipun dalam bentuknya yang baru telah mengalami
perubahan. Lihat Rasid Yunus, ‚Transformasi nilai-nilai budaya lokal sebagai upaya
42
Analisis strukturalisme melihat budaya sebagai struktur yang diartikan
sebagai bangunan teoritis yang terdiri dari unsur-unsur yang berhubungan satu
sama lain dalam hubungan sintagmatis dan paradigmatik. Relasi dan
pengombinasian (rule of combination) tanda itulah yang disebut sintagmatis dan
paradigmatis. Hubungan paradigmatis atau vertikal adalah relasi berbagai tanda
yang memiliki kesamaan dalam distribusi. Relasi paradigmatis didasarkan pada
keberbedaan dan keseleksian (distinctiveness and selectability). Relasi
sintagmatis adalah relasi tanda-tanda yang sesuai dengan konsep yang
diinginkan oleh manusia untuk dibentuk menjadi sesuatu yang bernilai.
Sintagmatis dibentuk berdasarkan prinsip kombinasi dan organisasi
(combination and organization).216
Lévi-Strauss melihat budaya sebagai sistem simbolik yang dimiliki
bersama, dan ciptaan pikiran (creation of mind) secara kumulatif. Pikiran
(mind) memaksakan tatanan yang terpola secara kultural (oposisi biner) pada
suatu dunia yang terus menerus berubah.217
Lévi-Strauss menjelaskan bahwa
struktur sebagai suatu sistem yang terdiri dari unsur-unsur yang dapat berubah.
Perubahan dalam satu unsur akan menyebabkan perubahan struktur secara
keseluruhan. Maka dalam teori strukturalisme, keterkaitan satu unsur dengan
unsur yang lain menjadi hal terpenting dalam membentuk makna.218
Setidaknya terdapat lima pandangan Saussure yang kemudian menjadi
dasar pemikiran strukturalisme Lévi-Strauss, yakni pandangan tentang
1. Signified (petanda) dan signifier (petanda)
2. Form (bentuk) dan content (isi)
3. Langue (bahasa) dan parole (tuturan/ujaran)
4. Synchronic (sinkronis) dan diachronic (diakronik)
5. Syntagmatic (sintagmatis) dan associative (paradigmatik)
Atas dasar kelima pandangan tersebut, Lévi-Strauss kemudian
mengasosiasikannya dengan konsep pemikirannya tentang hakikat dan ciri-ciri
fenomena budaya. Sementara itu, Jakobson dengan teori fonemnya memberikan
pelajaran kepada Lévi-Strauss tentang bagaimana memahami atau menangkap
tataran (order) yang ada dibalik fenomena budaya yang begitu variatif serta
mudah menyesatkan upaya manusia untuk memahaminya.219
Konsep strukturalisme Lévi-Strauss, struktur dan transformasi
merupakan konsep yang tidak boleh diabaikan. Konsep struktur didefinisikan
Lévi-Strauss sebagai model yang dibuat ahli antropologi untuk memahami dan
pembangunan karakter bangsa.‛ Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 13, No.1, (2016): 69-
70. 216
Saefu Zaman, ‚Pemaknaan Ruang pada Masjid Kubah Emas: Kajian
Semiotik Ruang.‛ Paradigma Jurnal Kajian Budaya, Vol. 7, No. 2, (2017), 175. 217
Roger Keesing, ‚Teori-Teori tentang Budaya.‛ Jurnal Antropologi Indonesia,
(2014): 10. 218
Buyung Pambudi, ‚Semiotika Karapan Sapi dan Transformasi Simbolik
Masyarakat Madura.‛ Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 05, No. 01, (Juni 2015): 186. 219
Bustanuddin Lubis (ed), Mitologi Nusantara Penerapan Teori, 188.
43
menjelaskan segala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya
dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini merupakan relasi-
relasi yang berhubungan antara satu dan yang lainnya atau saling memengaruhi.
Dengan kata lain, struktur adalah relations of relations (relasi dari relasi) atau
system of relations.220
Menurut Lane dan Leach seperti yang dikutib Bustanuddin Lubis, ada
empat asumsi dasar yang penting untuk diperhatikan dalam paradigma
strukturalisme yang dikembangkan Lévi-Strauss, antara lain:221
1. Strukturalisme berpendapat bahwa aktivitas sosial, salah satunya adalah
ritual dipahami sebagai bahasa karena di dalamnya terdapat tanda yang
menyampaikan pesan-pesan tertentu. Kondisi tersebut memunculkan
ketertataan (order) serta keteraturan (regularities).
2. Dalam strukturalisme percaya bahwa secara genetis dalam diri individu
terdapat kemampuan untuk menstrukturkan ataupun meletakkan suatu
struktur pada gejala-gejala yang dihadapi.
3. Makna dalam suatu tanda ditentukan berdasarkan hubungannya pada
waktu tertentu. Artinya, hubungan suatu fenomena budaya dengan
fenomena yang lain pada satu titik tertentu yang menentukan makna
fenomena tersebut.
4. Suatu istilah ditentukan maknanya berdasarkan relasi-relasinya pada
suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah
yang lain. Relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena yang
lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena
tersebut. Jadi relasi sinkronis nyalah yang menentukan, bukan relasi
diakronis. Artinya, sebelum perkembangan suatu sistem tersebut secara
diakronis diketahui, kondisi sinkronisnya dengan fenomena yang lain
dalam satu titik waktu tertentu harus diketahui lebih dahulu.
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keutuhan tunggal dari berbagai
unsur, baik berupa pengetahuan atau sistem ide. Unsur-unsur tersebut memiliki
aspek atau perspektif yang sama dengan objek dalam komunikasi. Karena itu,
penerapan model linguistik kebudayaan merupakan sebuah alternatif untuk
mengungkapkan maknanya, baik secara etik maupun emik.222
Menurut Edmund Leach, ritual keagamaan dalam suatu budaya selalu
memiliki dua gagasan yaitu gagasan mental dan gagasan material yang saling
bergantung satu sama lain. Kedua gagasan tersebut pada akhirnya kemudian
memunculkan ide representasi terhadap ritual keagamaan.223
Untuk itu
220
Bustanuddin Lubis (ed), Mitologi Nusantara Penerapan Teori, 188-189. 221
Bustanuddin Lubis (ed), Mitologi Nusantara Penerapan Teori, 189-190. 222
Suwardi Endraswara, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2006), 69.
223Edmund Leach, Culture and Communication; The Logic by which Symbols
are Connected (Melbourne: Cambridge University Press, 2003), 37.
44
diperlukan analisis guna menemukan makna yang paling fundamental dari
sebuah ritual.
Secara umum, benturan budaya terjadi di antaranya karena perbedaan
identitas dan wilayah. Namun menurut Samuel Huntington, benturan budaya
terjadi bukan hanya beberapa hal di atas. Situasi tersebut dapat juga disebabkan
oleh kondisi sosial-politik. Penyebabnya dikarenakan budaya selalu mengalami
tekanan yang berakibat pada pertentangan, reinterpretasi, manipulasi,
perampasan, kekuasaan, dan penolakan.224
Dengan mengembangkan teori tanda Saussure, Barthes menjelaskan
bagaimana kehidupan manusia didominasi oleh konotasi. Konotasi (مفهومة)
merupakan pengembangan segi petanda (makna atau isi suatu tanda) oleh
pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya. Konotasi yang sudah
menguasai masyarakat akan menjadi mitos. Barthes mencoba menguraikan
bahwa kejadian keseharian dalam kebudayaan kelompok sosial menjadi seperti
‚wajar,‛ padahal itu mitos belaka akibat konotasi yang menjadi mantap di
masyarakat. Konotasi yakni perluasan petanda oleh pemakai tanda dalam
kebudayaan.225
Makna denotasi (مكتوبة) dari tanda merupakan makna yang menunjukkan
perbedaan aspek dari pengalaman manusia atau dunia. Gill Branston memberi
contoh: kata ‚merah‛ menunjukkan salah satu bagian dari spektrum cahaya yang
memiliki makna denotasi darah, api, sunset, dan rona pipi.226
Menurut Gill
Branston dan Roy Stafford, setiap manusia mempunyai makna konotasi yang
berbeda dari tanda. Tergantung pada konsep budaya dan nilai, yang di dalamnya
terdapat ingatan, pengalaman, dan pengetahuan sejarah setiap manusia.227
Sebagai contoh: kata ‚merah‛ memiliki makna konotasi (karena pengaruh
budaya) nafsu/keinginan, ataupun bahaya. Menurut mereka, tanda selalu
memberikan denotasi berupa aspek yang berbeda dari pengalaman manusia.
Selain itu, tanda juga selalu mengonotasikan atau menghubungkan sesuatu
berdasarkan konvensi sosial atau berdasarkan pemaknaan dari pengalam
pribadi.228
Makna denotatif suatu kata ialah makna yang biasa kita temukan
didalam kamus. Makna konotatif ialah makna denotatif ditambah dengan segala
gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh suatu kata. Kata
224
‚Introduction: Remoulding the 'Cultural' as The 'Contentious',‛ dalam
Bernard Bel, Jan Brouwer, Biswajit Das, Vibodh Parthasarathi, Guy Poitevin,
Communication Processes Volume 3 Communication Culture and Confrontation (India:
Sage Publications India, 2010), 18. 225
Hiqma Nur Agustina, ‚Pembantu Dan Pelacur: Sebuah Tinjauan Budaya‛
Jurnal Parafrase Vol. 16 No. 01, (Mei 2016): 60-61. (diakses 14 Maret 2017) 226
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 21-22 227
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi V, 22. 228
Gill Branston dan Roy Stafford, The Media Student’s Book, edisi III, 15.
45
konotasi itu sendiri berasal dari bahasa Latin connotare, ‚menjadi tanda‛ dan
mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata
(dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi). Denotasi adalah hubungan yang
digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas
memegang peranan penting di dalam ujaran. Makna denotasi bersifat langsung,
yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat
disebut sebagai gambaran petanda. Jika denotasi sebuah kata adalah definisi
objektif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau
emosionalnya. Ini sejalan dengan pendapat Arthur Asa Berger yang menyatakan
bahwa kata konotasi melibatkan simbol-simbol, historis, dan hal-hal yang
berhubugan dengan emosional. Dikatakan objektif sebab makna denotative ini
berlaku umum. Sebaliknya makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian
bahwa pergeseran dari makna umum (denotative) karena sudah ada penambahan
rasa dan nilai tertentu.229
Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna
emotif, atau makna evaluative. Makna konotatif merupakan suatu jenis makna
di mana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna
konotatif dipengaruhi oleh dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan
lingkungan budaya. Pada dasarya konotasi timbul disebabkan masalah hubungan
sosial atau hubungan interpersonal yang mempertalikan kita dengan orang
lain.230
Menurut Barthes, mitos memiliki tridimensional yang terdiri dari
signifier, signified, dan sign. Namun mitos dibentuk berdasarkan tingkat kedua
penandaan, setelah terbentuk sistem signifier, signified, dan sign. Tanda
tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan
membentuk tanda baru.231
Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna
denotasi kemudian berkembang menjadi makna konotasi, maka makna konotasi
tersebut akan menjadi mitos. Sehingga makna yang terus diulang-ulang akan
menjadi mitos dalam masyarakat.232
Mitos menurut Barthes, digunakan untuk
mengonstruksi sistem penanda sesuai dengan proses yang berlaku dalam
229
Amri Marzali, ‚Struktural-Fungsionalisme.‛ 262-265. 230
Amri Marzali, ‚Struktural-Fungsionalisme.‛ 266. 231
Roland Barthes, Mythologies (Paris: Editions Point, 2014), 218 232
Tanty Dwi Lestari, I Dewa Ayu Sugiarica Joni, Ni Luh Ramaswati
Purnawan, ‚Makna Simbol Komunikasi dalam Upacara Adat Keboan di Desa Aliyan
Kabupaten Banyuwangi.‛ E-Jurnal Medium, Vol. 1, No. 1, (2017): 9.
46
aktivitas strukturalisme.233
Mitos merupakan produk kelas sosial yang mencapai
dominasi melalui sejarah tertentu.234
Barthes menjelaskan bahwa mitos bukan objek, konsep, atau ide namun
merupakan sistem komunikasi suatu pesan. Maka dapat dikatakan bahwa mitos
adalah mode pemaknaan dan perwujudan bentuk yang ditempatkan dalam batas
sejarah, syarat penggunaan, dan tersimpan dalam masyarakat. Barthes bahkan
membuat kesimpulan besar bahwa segala sesuatu yang berada di dunia ini
adalah mitos karena setiap objek di dunia akan melewati fase keberadaan,
tertutup, diam, lalu diucapkan, terbuka dan bermanfaat sesuai kebutuhan
masyarakat karena tidak ada satu individu pun yang dapat melarang individu
lain untuk memaknai sesuatu.235
Manusia adalah makhluk yang selalu mencari makna dari berbagai hal
yang ada di sekitarnya,236
maka menurut Littlejohn, tanda memiliki konstruksi
makna yang dipengaruhi oleh nilai ideologis dan kultural masyarakat sebagai
pengguna tanda tersebut.237
Adapun maknanya dapat berubah ketika konteks
komunikasi dilakukan pada tempat yang berbeda. Melalui konteksnya, teks
dapat mempertahankan pemaknaan secara ‚objektif‛ pada konteksnya.238
Selain
konteks proses pemaknaan juga dipengaruhi oleh representasi dan signifikansi.
Konsep representasi merupakan tindakan menghadirkan atau mempresentasikan
sesuatu lewat sesuatu yang lain di luar dirinya melalui tanda. Sedangkan
signifikasi merupakan suatu proses yang memadukan penanda atau petanda
sehingga menghasilkan tanda.239
Menurut Kaelan, interpretasi memiliki tiga peran, yakni sebagai metode
pengungkapan, sebagai metode menerangkan, dan sebagai metode
menerjemahkan. Artinya, interpretasi menjadi perantara pesan yang termuat
233
Herlika Fransisca Wijaya dan Rustono Farady Marta, ‚Mitologi Budaya pada
Gelang Duka Cita sebagai Atribut Upacara Kematian dalam Tradisi Tionghoa Bangka
dan Cina Benteng (Tinjauan Semiologi Barthes terhadap Makna Tanda pada Tradisi dan
Mitos Leluhur Peranakan Tionghoa Indonesia.‛ Jurnal Semiotika, Vol. 9, No. 1, (Juni
2015): 228. 234
Nabila Putri Aldira, ‚Representasi Nilai-Nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam
Film Tabula Rasa (Analisis Semiotika Roland Barthes).‛ Jurnal Jom Fisip, Vol. 5, No. 1,
(April 2017): 5. 235
Roland Barthes, Mythologies (Paris: Editions Point, 2014), 229-230. 236
Hiqma Nur Agustina, ‚Pembantu Dan Pelacur: Sebuah Tinjauan Budaya.‛
59. 237
Sinung Utami Hasri Habsari, ‚Membaca Simbol-Simbol Komunikasi dan
Budaya pada Bangunan Cagar Budaya dengan Analisa Semiotika Roland Barthes.‛ 161. 238
I Wayan Ardhi Wirawan, ‚Komunikasi Ritual dalam Praktik Beragama
Hindu Sebagai Perangka Penguatan Identitas Budaya dan Peradaban Bangsa.‛ Jurnal
Sadharanikaran, Vol. 1, No. 1, (Mei 2015): 6. 239
Hiqma Nur Agustina, ‚Pembantu Dan Pelacur: Sebuah Tinjauan Budaya,‛
61.
47
dalam realitas agar lebih mudah untuk dipahami240
Interpretasi berarti
menafsirkan kenyataan objektif dengan memahami makna dari berbagai pranata
sosial, menjelaskan hakikat serta hubungan kausalitasnya tanpa meninggalkan
pengamatan makna historis dan dampaknya bagi individu.241
Budaya menjadi penting untuk dimaknai karena di dalamnya selalu
memiliki keterkaitan yang erat dengan realitas suatu kelompok sosial yang
plural. Pada akhirnya, makna budaya pun tidak mungkin bersifat tunggal atau
absolute. Hal tersebut disebabkan oleh keragaman interpretasi suatu kelompok
sosial dalam memaknai satu budaya.
240
Buyung Pambudi, ‚Semiotika Karapan Sapi dan Transformasi Simbolik
Masyarakat Madura.‛ Jurnal Komunikasi Islam, Vol. 05, No. 01, (Juni 2015): 117. 241
Irfan Noor, Agama sebagai Universum Simbolik; Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger (Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2010), 11.
48
49
BAB III
TABUT DAN MAKNA BUDAYA
A. Interaksi Islam dan Budaya di Indonesia
Kebudayaan senantiasa berubah seiring dengan perkembangan pemikiran
manusia. Perkembangan pemikiran manusia menyebabkan perkembangan
budaya. Semua kebudayaan adalah hasil belajar dan bukan warisan biologis.
Orang mempelajari kebudayaannya dengan menjadi besar didalamnya. Ralph
Linton menyebut kebudayaan sebagai ‚warisan budaya‛ umat manusia. Proses
penerusan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain disebut
enkulturasi. Melalui enkulturasi orang mengetahui secara sosial cara apa yang
tepat untuk memenuhi kebutuhannya yang ditentukan secara biologis.
Kebudayaan242
dapat dianggap sebagai aturan-aturan yang berlaku di dalam
masyarakat yang diperoleh bukan melalui warisan biologis namun dipelajari.
Aturan-aturan tersebut kemudian menentukan perilaku sehari-hari masyarakat,
maka perilaku manusia itu yang pertama-tama adalah perilaku kebudayaan.
Karena itu, manifestasi kebudayaan dapat berbeda-beda menurut tempatnya.243
Kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan manusia yang didalamnya
terdapat model yang secara selektif digunakan untuk menginterpretasikan,
mendorong, dan menciptakan tindakan, atau dapat diartikan sebagai pedoman
tindakan atau suatu kenyataan yang masih harus diwujudkan. Sedangkan
sebagai pola dari tindakan, kebudayaan adalah apa yang dilakukan dan dapat
dilihat oleh manusia sehari-hari sebagai nyata adanya, atau dalam pengertian
lain adalah wujud tindakan atau kenyataan yang ada.244
Menurut Sir Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan kompleks
keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral,
kebiasaan dan lain-lain. Kecakapan dan kebiasaan yang diperoleh manusia
sebagai anggota masyarakat.245
Oleh karena itu kebudayaan juga harus
dipandang sebagai sejumlah cita-cita, nilai dan standar perilaku yang
menyebabkan perbuatan para individu dapat dipahami oleh kelompoknya.
Karena memiliki kebudayaan yang sama, orang yang satu dapat meramalkan
perbuatan orang yang lain dalam situasi tertentu, dan mengambil tindakan yang
sesuai.246
242
Menurut Raymond Williams, terminologi kebudayaan sukar untuk didefiniskan secara
pasti. Hal tersebut disebabkan adanya keterlibatan prasangka (apriori) yang kuat sebagai
paradigma kebudayaan (cultural paradigm). Lihat Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto
(ed), Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005), 19 243
William A Haviland, Antropologi (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), 13. 244
Hefni Karsa, ‚Bernegosiasi‛ dengan Tuhan melalui Ritual Dhâmmong (Studi atas
Tradisi Dhâmmong sebagai Ritual Permohonan Hujan di Madura).‛ Vol. XIII, No. 1,
Jurnal KARSA, (April 2008): 6. 245
William A Haviland, Antropologi, 332. 246
William A Haviland, Antropologi, 333.
50
Fungsi budaya adalah tentang bagaimana individu menyesuaikan diri dengan
kehidupan dalam kelompok masyarakatnya sebagai satu kesatuan. Karena itu,
untuk menjalankan fungsi tersebut maka diperlukan komunikasi, baik dalam
membangun, mempertahankan ataupun menegosiasikan prinsip dan standar
dalam berkehidupan sosial.247
Masyarakat (society) dapat didefinisikan sebagai kelompok manusia yang
mendiami tempat tertentu, yang demi kelangsungan hidupnya saling tergantung
satu sama lain, dan yang memiliki kebudayaan bersama. Selain itu, para anggota
masyarakat saling terikat oleh kesadaran identitsa kelompok. Hubungan yang
mengikat masyarakat dikenal sebagai struktur sosial (social structure) atau
organisasi sosial (social organization). Jelaslah, bahwa tidak mungkin ada
kebudayaan tanpa masyarakat, seperti juga tidak mungkin ada masyarakat tanpa
individu. Sebaliknya, tidak ada masyarakat manusia yang dikenal yang tidak
berbudaya.248
Karena itu, Masyarakat menghasilkan kebudayaan, sedangkan
kebudayaan menentukan corak masyarakat. Maka, antara manusia dan
kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat
erat dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.249
Interaksi Islam dan budaya melibatkan dua hal, antara lain Islam sebagai
konsepsi sosial budaya yang disebut dengan great tradition (tradisi besar)
dan Islam sebagai realitas budaya yang disebut dengan little tradition
(tradisi kecil) atau local tradition. Terjadinya interaksi Islam dan budaya lokal
adalah untuk mengakomodasi nilai-nilai lokal, yang sering dipahami dengan
istilah pribumisasi Islam. Artinya bagaimana Islam sebagai suatu ajaran
normatif diakomodasi dalam budaya tanpa menghilangkan identitas keduanya.
Sehingga pada akhirnya akan tercipta pola-pola Islam yang sesuai dengan
konteks lokalnya. Sehingga Islam tidak kaku dalam menghadapi realitas sosial
masyarakat yang dinamis.250
Karena sebagai agama universal (rah}matan li al-‘a>lami>n), Islam mampu tumbuh dan berkembang secara konfirmatif. Artinya
selektif dalam mengadopsi nilai budaya dan tradisi yang berkembang. Apabila
nilai budaya dan tradisi lokal itu bertentangan dengan nilai Islam, maka dalam
konteks inilah Islam melakukan reformasi budaya (cultural reform) sehingga
nilai-nilai yang terkandung di dalam budaya lokal tetap selaras dengan nilai-
nilai Islam.251
247
William B Gudykunst, Cross-Cultural and Intercultural Communication (London and
New Delhi: Sage Publications, 2003), 43. 248
William A Haviland, Antropologi, 333-334. 249
Ellya Rosana, ‚Dinamisasi Kebudayaan dalam Realitas Sosial.‛ Jurnal Al-Adyan, Vol.
XII, No. 1, (Januari-Juni, 2017): 17. 250
Fauzi Abubakar, ‚Interaksi Islam dengan Budaya Lokal dalam Tradisi Khanduri
Maulod pada Masyarakat Aceh.‛ Akademika, Vol. 21, No. 01, (Januari-Juni 2016): 24-
25. 251
Hasan, ‚Islam dan Budaya Banjar di Kalimantan Selatan,‛ Ittihad, Vol. 14, No. 25,
(April 2016): 78-79.
51
Keterkaitan Islam dan kebudayaan dapat dilihat dalam tiga hal. Pertama, Islam
berdiri dalam posisi sebagai agama yang berusaha untuk mengadakan dialog
kultural dengan kebudayaan yang melingkupinya, namun tetap mengedepankan
fungsinya sebagai pembentuk realitas dan landasan identitas bagi kebudayaan.
Kedua, proses akulturasi Islam melahirkan local genius, yaitu kemampuan
menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh
kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai satu ciptaan baru yang unik dan tidak
terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budaya tersebut. Ketiga,
sosialisasi dan adaptasi Islam dengan kebudayaan yang erat kaitannya dengan
realisasi historis saat Islam disosialisasikan.252
Pada abad ke-13 ketika Islam menguasai sebagian besar Barat Daya dan Timur
Laut India, para pedagang dan saudagar muslim terutama yang masuk dari
Gujarat dan berhubungan dagang dengan penduduk setempat, membawa serta
agama Islam masuk ke wilayah Melayu dan sekitarnya. Kelompok ini meyakini
bahwa batu nisan yang ada hubungannya dengan pemeluk Islam pertama di
Sumatera didatangkan dari Gujarat dan nama orang meninggal yang dipahat di
atasnya merupakan sebuah hal yang tidak biasa dilakukan oleh kaum Muslimin
Sunni Arab. Tradisi dan ritual keagamaan ini umumnya dilakukan di kalangan
orang-orang Syiah dan penduduk India. Sebagian sejarawan meyakini bahwa
Islam tersebar di wilayah Melayu melalui Malabar yang terletak di Barat Daya
India karena masuknya Islam di Malabar lebih dahulu dibandingkan Gujarat dan
Benggala, juga karena kehadiran ribuan muslim luar dan maraknya mazhab
Syafi’i di sana.253
Pengaruh historis dan tradisional kaum imigran dan pedagang India dalam
perpindahan dan penyebaran budaya Syiah di Asia Tenggara sangat besar. Hal
tersebut, salah satunya terlihat dari tradisi terkait Muharram dimana
penggunaan pola dan simbol-simbol didalamnya terpengaruh dari tradisi
keagamaan yang marak di kalangan Syiah di anak benua India. Meski begitu,
tradisi tersebut telah bercampur dengan budaya lokal.254
Beberapa tradisi yang termasuk budaya lokal yang dilaksanakan oleh
masyarakat Bengkulu, diantaranya adalah Sedekah Rame yaitu tradisi yang
diselenggarakan kegiatan pertanian, mulai dari menyiangi (nyawat) sawah,
pembibitan (nguni), menanam sampai panen. Tradisi tersebut diakhiri dengan
pembacaan surat-surat pendek dan doa khusus. Kenduri panen yaitu upacara
yang dilakukan setahun sekali, bisanya dilakukan sesudah panen. Buang Jung
252
Djamaan Nur, ‚Islam dan Pengaruhnya terhadap Budaya Melayu Bengkulu,‛ dalam
Sarwit Sarwono dkk, Bunga Rampai Melayu Bengkulu (Bengkulu: Dinas Pariwisata
Provinsi Bengkulu, 2004), 25-26 253
Mohammad Ali Rabbani, ‚Mediasi India dalam Perpindahan dan Penyebaran Kultur
dan Peradaban Persia: Islamisasi di Asia Tenggara.‛ Jurnal Media Syariah, Vol. XV, No.
1, (Januari-Juni 2013): 72. 254
Mohammad Ali Rabbani, ‚Mediasi India dalam Perpindahan dan Penyebaran Kultur
dan Peradaban Persia: Islamisasi di Asia Tenggara.‛ Jurnal Media Syariah, Vol. XV, No.
1, (Januari-Juni 2013): 79-80.
52
(membuang perahu kecil ke laut) yang diadakan sehubungan dengan kegiatan
penangkapan ikan oleh para nelayan. Upacara ini diiringi doa dan bertujuan
untuk menyampaikan permohonan kepada Allah agar diberikan hasil yang
melimpah serta terhindar dari segala malapetaka. Serta tradisi ritual Tabut,
yaitu upacara untuk memperingati gugurnya cucu Nabi Muhammad SAW dalam
peperangan di Karbela, yaitu Hasan dan Husain, yang diperingati pada setiap
tanggal 1-10 Muharram. Bayar sat (niat/ nazar), upacara ini dilakukan sebagai
rasa syukur kepada Allah SWT, karena niat (sat) seseorang terkabul. Biasanya
acara ini dilakukan pada siang hari dengan mengundang beberapa kerabat dan
tetangga untuk dijamu.255
Asal usul kata Bengkulu berasal dari kata Benkolen atau Bengkulen dalam
bahasa Belanda, Bencoolen (bahasa inggris).256
Bangka Hulu, ada juga yang
menyebutkan bahwa Bengkulu dahulu disebut Fort York.257
Provinsi Bengkulu
yang resmi berdiri pada tanggal 16 November 1968 merupakan provinsi yang
terletak di bagian barat pulau Sumatra dan sejajar dengan pegunungan Bukit
Barisan yang membelah Sumatra dari utara hingga selatan.258
Pada tanggal 1
November 1968 atas dasar UU no. 9/1967 junko PP no. 20/2968, keresidenan
Bengkulu diresmikan menjadi Provinsi Republik Indonesia ke 26 dengan
Gubernurnya yang pertama kali adalah Ali Amin.259
Bengkulu terletak di bagian barat Sumatra, bagian selatan diapit oleh daerah
Sumatra Barat, Riau, dan Jambi di bagian Utara, Palembang di bagian timur,
Lampung di bagian selatan, serta Samudra Indonesia terdampar luas di bagian
baratnya.260
Bengkulu didirikan pada tahun 1720 M yaitu ketika Gubernur
Inggris diperbolehkan kembali ke Bengkulu (dahulu disebut Ujung Karang) oleh
raja-raja Bengkulu. Pemerintah Inggris juga mendirikan pusat perdagangan yang
diberi nama Pasar Marlborough yang berdampingan dengan Kampung Cina.261
Mayoritas penduduk Bengkulu beragama Islam, selanjutnya agama Kristen
Khatolik dan Protestan. Sedangkan agama Hindu banyak dianut oleh
masyarakat transmigrasi dari Bali ataupun dari daerah pulau Jawa yang
mayoritas beragama Hindu hingga terkenal dengan adanya kampung Bali.
255
Samsudin, ‚Islam Nusantara: Manifestasi Islam Adaptif dan Realitas Budaya Islam-
Melayu Bengkulu.‛ Jurnal Nuansa Vol. VIII, No. 1, (Juni 2015): 24. 256
Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu
(Yogyakarta: Valia Pustaka, 2016), 41. 257
Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983/1984, milik departemen
pendidikan dan kebudayaan, 21. 258
Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 37-38. 259
Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 64. 260
Sejarah Sosial Daerah Bengkulu, 82. 261
Badrul Munir Hamidy (editor), Upacara Tradisional Daerah Bengkulu Upacara Tabot di Kotamadya Bengkulu (Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Bengkulu, 1991/1992), 33.
53
Sedangkan yang menganut agama Budha dan Konghuchu adalah warga
keturunan Tionghoa yang mayoritas tinggal di daerah Pecinan ataupun pusat-
pusat perdagangan.262
Menurut Agus Setiyanto, kelompok masyarakat pribumi di Bengkulu terdiri atas
empat etnis, yaitu etnis Rejang263
yang merupakan etnis tertua di Bengkulu,264
etnis Lembak, etnis Serawai, dan etnis Pasemah.265
Sedangkan kelompok
masyarakat pendatang terdiri tiga etnis, yaitu etnis Melayu, etnis Bugis, dan
etnis Madura.266
Etnis Melayu di Bengkulu terdiri atas Melayu Tinggi, Bulang,
dan Lembak.267
Keberagaman etnis Melayu tersebut menurut Djamaan Nur
memiliki satu konsepsi yang sama yaitu Adat Bersendikan Syara’, Syara Bersendikan Kitabullah. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam telah memberi
warna dalam berbagai aspek kehidupan, aspek bahasa, kesenian, upacara dan
perilaku kehidupan masyarakat.268
Atas dasar hal tersebut, kebudayaan di
Bengkulu dapat digolongkan ke dalam rumpun Melayu Polinesia.269
Menurut Harapandi Dahri, secara historis, awal mula penyebaraan agama Islam
di Bengkulu tidak memiliki data yang pasti, namun pada abad ke-17 dapat
diperkirakan bahwa masyarakat Bengkulu belum memeluk suatu agama,
termasuk agama Hindu ataupun Budha. Masyarakat Bengkulu cenderung pada
262
Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 40. 263
Masuknya Islam di daerah Rejang ditandai dengan perkawinan Sultan Muzaffar Syah
dengan Putri Serindang Bulan sekitar pertengahan abad ke XVII. Setelah ayah Puteri
Serindang Bulan yang bernama Raja Mawang wafat, maka ia digantikan oleh
saudaranya Ki Karang Nio dengan memakai gelar Islam Sultan Abdullah (1600-1640).
Masyarakat Rejang sangat terpengaruh oleh Mazhab Syafi’i. Kondisi ini terlihat dari
hunian masyarakat Rejang. Dalam masyarakat Rejang terdapat istilah ‚Sadei‛ untuk
menyebut kampung tempat tinggal mereka. Pada awalnya satu Sadei dihuni oleh 25
lelaki dewasa. Namun setelah dipengaruhi Islam, berubah menjadi 40 lelaki dewasa.
Syarat yang digunakan mazhab Syafi’i untuk melakukan shalat Jumat. Lihat Salim Bella
Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 66. 264
A B Lapian dan Soewadji Sjafei (editor), Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu
(Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, 1984), 66. 265
Masuknya Islam di daerah Lembak, Serawai, dan Pasemah melalui dai-dai dari
Banten, apalagi dengan diadakannya pernikahan anatara Pangeran Nata Diraja dengan
Putri Kemayun, anak perempuan Sultan Banten Ageng Tirtayasa. Sang pangeran dan
istrinya diikuti dengan 12 tentara Banten yang akhirnya menetap di Selebar. Lihat
Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 66 266
Agus Setiyanto, Gerakan Sosial Masyarakat Bengkulu Abad XIX (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2015), 40-72. 267
Samsudin, ‚Islam Nusantara: Manifestasi Islam Adaptif dan Realitas Budaya Islam-
Melayu Bengkulu.‛ Jurnal Nuansa, Vol. VIII, No. 1, (Juni 2015): 22. 268
Mabrur Syah, ‚Akulturasi Islam dan Budaya Lokal Kajian Historis Sejarah Dakwah
Islam Di Wilayah Rejang.‛ Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 1, No. 1, (2016): 39. 269Sejarah Daerah Bengkulu, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1977-1978), 234.
54
kepercayaan animisme dan dinamisme.270
Pendapat lain mengatakan bahwa pada
abad ke-16, Islam tersebar di daerah Bengkulu. Agama ini juga sangat
berpengaruh dalam aspek keagamaan, sosial, dan kebudayaan.271
Menurut
Abdullah Sidik, pada pertengahan abad, kerajaan-kerajaan kecil272
di daerah
pantai Bengkulu mulai terpengaruh kerajaan Banten, terutama daerah pesisir,
mulai dari Kerajaan Selebar sampai batas Sungai Urai di Bengkulu Utara. Sejak
terpengaruh oleh kerajaan Banten tersebut. Pada masa ini pula agama Islam
mulai masuk ke Bengkulu.273
Penyebaran agama Islam di Bengkulu juga datang
dari daerah Aceh dan Sumatra Barat.274
Sementara menurut Salim Bela Pilli dan Hardiansyah, masuknya Islam di
Bengkulu275
ditandai dengan dua fase. Pertama, fase ini berlangsung sangat
lama, melalui masuknya dai-dai awal Islam yang berdakwah pada penduduk
yang pada akhirnya diterima oleh masyarakat Bengkulu sehingga terbangunnya
masyarakat Muslim di daerah tersebut. Kedua, fase ini dikatakan sebagai fase
perkembangan Islam, yaitu masyarakat Muslim yang telah terbentuk di
Bengkulu, membangun sistem pemerintahan yang mampu mengatur warganya
dan mampu membangun hubungan dengan pemerintah yang lain yang berada
disekitarnya.276
270
Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit
Citra, 2009), 58-59. Lihat juga Upacara Tradisional Daerah Bengkulu Upacara Tabot di
Kotamadya Bengkulu, 1991/1992, 56. 271
A B Lapian dan Soewadji Sjafei (editor), Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu
(Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, 1984), 69. 272
Kerajaan-kerajaan kecil tersebut terdiri atas Kerajaan Empat Petulai/Kerajaan Depati
Tiang Empat, Kerajaan Sungai Serut di Bengkulu, Selebar di daerah Lembak di
Bengkulu Utara, Sungai Lemau di Pondok Kelapa Bengkulu Utara, Sungai Itam di
daerah Lembak Bengkulu Utara, dan Anak Sungai di daerah Mukomuko Bengkulu
Utara. Kerajaan-kerajaan ini muncul sebelum tahun 1685, Sidik menyebutnya zaman
Swapraja. Lihat Abdullah Sidik, 1. 273
Abdullah Sidik, Sejarah Bengkulu 1500-1990 (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 1. 274
A B Lapian dan Soewadji Sjafei (editor), Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu
(Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, 1984), 69. 275
Data awal masuknya Islam di Bengkulu bisa dilacak dari ratu Agung, yang merupakan
raja pertama kerajaan Sungai Serut. Setidaknya ada dua data tentang asal raja ini.
Pertama, ia berasal dari Banten, hal ini menandakan bahwa ia telah memeluk agama
Islam, dan yang kedua ia berasal dari Gunung Bungkuk dan masuk Islam setelah seorang
dai dari Aceh bernama Malim Muhidin pada tahun 1417 M. Datang dan menyebarkan
Islam ke daerah ini selama 6 bulan. Dengan masuknya Ratu Agung yang beragama Islam
ke Sungai Serut, maka terbukalah jalan untuk masuknya Islam di Bengkulu. Hal ini juga
diperkuat dengan upacara yang diadakan saat Ratu Agung wafat yang menggunakan
cara Islam yang dihadiri oleh Qadli, Bilal dan Khatib, yang merupakan istilah pejabat
keagamaan khas Islam. Lihat Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 65-66. 276
Salim Bella Pilli dan Hardiansyah, Napak Tilas Muhammadiyah Bengkulu, 65.
55
Masuknya budaya Islam ke daerah Bengkulu jika dilihat melalui perspektif
sejarah dapat ditinjau secara umum dan khusus. Secara umum, masuknya
kebudayaan Islam ke Bengkulu tidak terlepas dari masuknya Islam ke wilayah
Nusantara. Sedangkan secara khusus, munculnya kebudayaan Islam ke Bengkulu
tidak dapat dipisahkan dari masuknya Islam ke daerah tersebut.277
Bangsa asing yang datang ke Bengkulu adalah Portugis, Inggris, Belanda,
Tionghoa, dan India. Bangsa India yang datang ke Bengkulu dibawa oleh Inggris
yang asalnya dari Benggali, mereka menganut agama Islam dari aliran Syiah.
Karena mereka telah menganut agama Islam, maka mereka dengan mudah dapat
berasimilasi dengan penduduk Sungai Lemau yang pada waktu itu juga telah
menganut agama Islam. Mereka juga diklaim sebagai yang pertama kali
memperkenalkan ritual Tabut di Bengkulu. Pada awalnya mereka sering disebut
kaum Sipai,278
namun selanjutnya mereka lebih dikenal sebagai masyarakat
Melayu Bengkulu.279
Masyarakat Sipahi dan India yang didatangkan oleh
Inggris inilah yang memperkenalkan tradisi Tabut.280
Pada zaman Belanda, Inggris, Jepang, bahkan sampai Republik Indonesia sudah
terbentuk, kebudayaan di Bengkulu tidak berkembang dengan baik. Terutama
pada zaman Jepang, penderitaan dan kemiskinan yang dialami oleh masyarakat
Bengkulu membuat seni budaya mengalami kelumpuhan. Kesenian tradisional
khas Bengkulu seperti tarian kejai, sapu tangan, randai, dan sebagainya pada
zaman Jepang sama sekali tidak pernah dimunculkan. Bahkan ritual Tabut yang
sebelumnya merupakan kegiatan rutin yang dilakukan setiap tahun, pada zaman
ini tidak pernah diadakan.281
Kedatangan Inggris ke Bengkulu sangat berkaitan dengan permasalahan
ekonomi dan politik. Namun bukan hanya dua aspek tersebut, catatan sejarah
mengatakan bahwa kehadiran Inggris juga berpengaruh terhadap kebudayaan
yang ada di Bengkulu. Seperti dalam penggunaan bahasa yang digunakan yang
berakar dari kosakata bahasa Inggris.282
277
Bunga Rampai Melayu Bengkulu, 32 278
Menurut Syiafril, sipai bukan merupakan nama suatu suku tertentu, melainkan hanya
istilah yang berasal dari bahasa Urdu. Kata sipai memiliki memiliki arti tentara (army).
Menurutnya, kebenaran sipai sebagai salah satu suku yang ada di Bengkulu tidak dapat
dibuktikan. Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 279
Badrul Munir Hamidy (ed), Upacara Tradisional Daerah Bengkulu Upacara Tabot di Kotamadya Bengkulu (Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Bengkulu, 1991/1992), 31. 280
A B Lapian dan Soewadji Sjafei (editor), Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu
(Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, 1984), 72. 281Sejarah Daerah Bengkulu, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978, 186. 282
Kekurangan jumlah penduduk yang mendorong pemerintahan Inggris untuk membawa
orang-orang buangan dari India ke Bengkulu. Letnan Gubernur Inggris membagi orang-
orang India ini dalam tiga golongan. Lihat Sejarah Sosial Daerah Bengkulu, 91.
56
Ketika membangun benteng Marlborough, Inggris mendatangkan orang-orang
yang berasal dari India.283
Orang-orang tersebut diperkirakan mayoritas
beragama Hindu, 20 persen Muslim yang beraliran Syi’ah, dan yang lainnya
adalah Sikh, Kristen, serta Yahudi.284
Dari orang-orang inilah, yang nantinya
memperkenalkan masyarakat Bengkulu tentang tradisi ritual Tabut.285
Benteng Marlborough sebagai pusat pemerintahan terletak di tepi laut yang
dikelilingi oleh saluran yang dibangun oleh batu. 72 buah meriam yang
dihadapkan ke laut sebagai pertahanan benteng tersebut.286
Pembangunan
benteng Marlborough dilaksanakan pada tahun 1714 sampai tahun 1720287
dibawah kepemimpinan wakil gubernur Inggris yang bernama Joseph Collet288
yang dikerjakan secara bertahap selama 5 tahun serta melibatkan arsitek dan
para pekerja yang sengaja didatangkan dari India (Madras). Benteng yang
dinamai Marlborough ini sebagai kenangan kepada seorang komandan militer
Inggris yang terkenal, ‚The First Duke of Marlbourough‛ (1650-1722).289
Benteng tersebut berfungsi sebagai gudang penyimpanan rempah (lada, merica,
kopra, kopi, damar, gaharu, dan emas) bagi perdagangan The East India Company (EIC) Inggris, setelah menyingkir dari Banten pada tahun 1682.
290
Pengaruh mediasi kaum imigran dan pedagang India dalam perpindahan dan
penyebaran budaya Iran dan Syiah di kawasan Asia Tenggara yang salah satunya
Indonesia dikarenakan pengaruh historis dan Tradisional India terhadap
penduduk Indonesia. Sehingga sampai saat ini masih banyak tradisi keagamaan
Syi'ah kuno. Meskipun saat ini, upacara dan tradisi tersebut di beberapa wilayah
seperti Indonesia telah bercampur dengan tradisi lokal, akan tetapi pola dan
simbol-simbol yang digunakan di dalamnya seperti Tabut, Dhul Janah, locat di
atas api, sebagian ungkapan dan syair kesedihan, cara memutar bendera dan
makanan yang sudah menjadi tradisi pada hari-hari tersebut mengingikasikan
283
Kartomi J Margaret, ‚Muslim Music in West Sumatran Culture.‛ The World of Music, Vol. 28, No. 3, (1986): 28. 284
Paul H Mason, ‚Fight-dancing and the festival: Tabuik in Pariaman, Indonesia and
Iemanjá in Salvador da Bahia, Brazil.‛ Martial Arts Studies 2, (2016): 73. 285Sejarah Daerah Bengkulu, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977-1978, 98-99. 286
Agus Setyanto, Orang-orang Besar Bengkulu Riwayatmu Kini, 6. 287
Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu,
23. 288
Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu,
22. 289
Abdullah Siddik, Sejarah Bengkulu 1500-1990 (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 42. 290
Sejarah Melayu Bengkulu, 15. Sebelum membangun benteng Marlbourough, pada
tahun 1701, pemerintahan Inggris membangun benteng pertama yang bernama Fort
York (Pasar Bengkulu). Namun dikarenakan lokasi benteng tersebut dianggap tidak
strategis dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak sehat maka mereka memilih Tapak
Paderi sebagai lokasi pembangunan benteng Marlbourogh. Lihat Sejarah Perlawanan
Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu, 21
57
bahwa tradisi-tradisi keagamaan ini tersebar di Asia Tenggara dari perbatasan
India melalui orang-orang Syiahnya.291
Keberadaan ritual Tabut di Bengkulu dapat dikatakan suatu petunjuk adanya
pengaruh tradisi keagamaan Syi’ah di daerah ini. Meskipun tidak ada keterangan
yang cukup terperinci, namun patut diduga pula bahwa orang-orang Sipai awal
yang datang dari Madras dan Bengali ke Bengkulu pada 1336 adalah penganut
Islam Syi’ah. Dugaan ini didukung oleh fakta bahwa pada masa-masa itu kaum
Muslim Syi’ah banyak tersebar di wilayah Asia Selatan, Aceh dan Sumatera
Utara.292
B. Tabut dan Tradisi Keagamaan
Kata tradisi berasal dari bahasa Latin yaitu traditio yang memiliki beberapa arti
yaitu, memberi, menawarkan, menyampaikan dan memperlihatkan kemurahan
hati. Dalam pengertian teologi, tradisi dipahami sebagai semua bentuk ajaran
atau praktek yang ditransimisikan ke generasi berikutnya baik melalui lisan
maupun tulisan dalam bingkai agama. Sementara, dari aspek sosiologis, tradisi
dipandang sebagai sebutah sistem dalam struktur masyarakat yang dilaksanakan
oleh komunitasnya, lalu diwariskan ke generasi berikutnya, kebanyakan, melalui
lisan.293
Tradisi dapat dipahami sebagai revealed tradition yang kebenaran dan
prinsipnya bersumber dari divine order. Tradisi memiliki karakter yang unik dan
tidak bisa direduksi, karenanya mudah untuk diidentifikasi dengan baik. Tradisi
merupakan hasil dari manifestasi atas berbagai bentuk doktrin suci dan sakral.
sejatinya tradisi berfungsi sebagai penjaga bagi keberlangsungan kehidupan.294
Tradisi merupakan perwujudan dunia yang direpresentasikan salah satunya
dalam bentuk ritual. Selain itu, tradisi juga merupakan alat komunikasi sebagai
suatu sistem tanda yang berhubungan dengan teori semiotik.295
Maka
kebudayaan dapat dipahami sebagai sistem semiotik yang terdiri atas struktur
signifikansi yang berfungsi untuk mengontrol kehidupan sosial manusia, itu
291
Mohammad Ali Rabbani, ‚Mediasi India Dalam Perpindahan Dan Penyebaran Kultur
Dan Peradaban Persia: Islamisasi di Asia Tenggara.‛ Media Syariah, Vol. XV, No. 1,
(Januari-Juni 2013): 79-80. 292
Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ Al-Turāṡ, Vol. XIX, No. 2,
(Juli 2013): 248. 293
Yusno Abdullah Otta, ‚Dinamisasi Tradisi Islam di Era Globalisasi: Studi atas Tradisi
Keagamaan Kampung Jawa Tondano.‛ Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol. 10, No. 1,
(Oktober 2015): 100. 294
Yusno Abdullah Otta, ‚Dinamisasi Tradisi Islam di Era Globalisasi: Studi atas Tradisi
Keagamaan Kampung Jawa Tondano.‛ Jurnal Sosiologi Reflektif, Vol. 10, No. 1,
(Oktober 2015): 101-103. 295
Indah Arvianti, "Metafora Tuwuhan dalam Budaya Pernikahan Adat Jawa.‛ Majalah Ilmiah Informatika, Vol. 1, No. 3, (September 2010): 70.
58
mengapa menurut Geertz, manusia membutuhkan simbol untuk memahami
realitas kehidupan.296
Ritual merupakan a set or series of act, usually involving religion or magic. Jadi
ritual ialah seperangkat tindakan yang selalu melibatkan agama atau magis,
yang dimantapkan melalui tradisi. Ritual adalah kategori upacara simbolis yang
lebih kompleks karena menyangkut urusan sosial dan psikologis yang lebih
dalam. Ritual bagi masyarakat identik dengan kepercayaan (trust). Dimensi
percaya (trust) yang merupakan potensi dasar manusia.297
Ritual merupakan tindakan simbolis kompleks yang memengaruhi, baik
pengalaman individu maupun komunitas sosial. Ritual merupakan transisi dari
alam profan ke alam sakral.298
Ritual dan agama merupakan tindakan paling
umum yang dapat mengakomodasi kebutuhan manusia agar mampu
bersosialisasi dengan lingkungannya.299
Tradisi yang mendapatkan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat biasanya
akan lebih mudah untuk dipertahankan daripada tradisi yang hanya didukung
oleh sekeluarga besar kecil dari seluruh lapisan masyarakat.300
Ritual juga
dipahami sebagai sistem konstruksi kultural atas komunikasi simbolik yang
dipraktikan secara verbal maupun non verbal yang tindakannya diekspresikan
dalam berbagai media.301
Salah satunya adalah ritual Tabut.
Secara harfiah kata Tabut memiliki arti kotak kayu atau peti yang didalamnya
terdapat kitab Taurat Bani Israil, yang dipercaya jika muncul akan mendapatkan
kebaikan, namun jika hilang akan mendapatkan malapetaka.302
Kata Tabut
berasal dari bahasa Arab بوت تا yang berarti peti untuk menyimpan barang atau
kotak yang terbuat dari batu atau kayu yang digunakan sebagai tempat untuk
menyimpan jenazah.303
Kata Tabut juga berasal dari kata Yahudi-Palestina yaitu
296
Bradd Shore, Culture in Mind Cognition Culture and the Problem of Meaning (New
York: Oxford University Press, 1996), 32. 297
Susminingsih,‛ Konsumsi antara Agama Ritual dan Transformasi Budaya.‛ Jurnal I-Economic, Vol. 3, No. 1, (Juni 2017): 118-121. 298
Jan, Koster, ‚Ritual performance and the politics of identity: On the functions and
uses of ritual.‛ Journal of historical pragmatics, Vol. 4, No. 2, (2003): 3. 299
Jan, Koster, ‚Ritual performance and the politics of identity: On the functions and
uses of ritual.‛ Journal of historical pragmatics, Vol. 4, No. 2, (2003): 6. 300
Agus Setiyanto, Orang-Orang Besar Bengkulu Riwayatmu Dulu (Yogyakarta:
Penerbit Ombak), 2015, 75 301
Yermia Djefri Manafe, "Komunikasi Ritual pada Budaya Bertani Atoni Pah." Jurnal
Komunikasi, Vol. 1, No. 2, (Juli 2011): 29. 302
Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, No. 14, Vol. 2, (2014): 49-50. 303
Rifanto bin Ridwan, ‚Tabot Festival of Bengkulu and Local Wisdom.‛ Academic Journal of Islamic Studies, No. 1, Vol. 2, (2016): 150.
59
Tebota, juga diambil dari bahasa Ibrani yaitu Tebah yang berarti kotak atau
bahtera.304
Menurut Feener arti kata Tabut sendiri tidak memiliki akar yang jelas namun
banyak didefinisikan sebagai kotak, wadah ataupun peti mati. kata Tabut dapat
ditelusuri melalui beberapa wilayah budaya dalam dunia Muslim. Tabut
setidaknya disebutkan sebanyak dua kali didalam alquran yaitu pada surat al-
Baqarah, ayat 248 dan surat Thaha ayat 39.305
ل ه عدو خذ لساحل يأٱي ب لٱقه يل ي فل لٱذفيه ف قٱلتابوت ف ٱذفيه ف قٱأن ٩٣ ن عي نع على من ولتص ك مبة ليت ع قي وأل ۥله وعدو
‚Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir’aun) musuh-Ku dan musuhnya.‛ Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku.‛ Tabut dengan arti peti merupakan pengertian umum. Namun, kata Tabut memiliki konteks tertentu yang berkaitan dengan Nabi Musa, ritual keagamaan Islam Syi’ah, dan Tabut di Sumatra. Dalam alquran surat al-Baqarah ayat 248
disebutkan yang artinya:
‚. . . sesungguhnya tanda kerajaannya ialah datangnya tabut kepadamu, yang di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun, yang dibawa oleh malaikat . . . .‛
Sementara itu, Tabut juga ditemukan dalam tradisi Kristiani yang berisi kitab
Taurat yang memuat, ‘Sepuluh Perintah Tuhan’ (Ten Commandements). Tabut ini juga dikenal dengan Tabut Perjanjian atau Ark of Covenant, yaitu perjanjian
antara Tuhan dengan Bani Israil.306
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Tabut didefinisikan sebagai peti yang terbuat dari anyaman bambu atau burung-
burungan burak yang terbuat dari kayu yang diarak pada peringatan terbunuhnya
Hasan-Husen pada tanggal 10 Muharam.307
Menurut Kartomi, Tabut merupakan
ritual yang berada di Irak, Persia dan India Selatan yang dikenal dengan nama
Takziah. Takziah adalah tampilan tradisional bangsa Iran sebagai ungkapan
304
Paul H Mason, ‚Fight-dancing and the festival: Tabuik in Pariaman, Indonesia and
Iemanjá in Salvador da Bahia, Brazil.‛ Martial Arts Studies 2, (2016): 73. 305
Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ Jurnal
Studia Islamika, Vol. 6, No. 2, (1999): 93. 306
Asril, ‚Perayaan Tabuik dan Tabot: Jejak Ritual Keagamaan Islam Syi'ah di Pesisir
Barat Sumatra.‛ Jurnal Panggung, Vol. 13, No. 3, (September 2013): 130. 307
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1407.
60
kesedihan untuk memuji pahlawan legendaris mereka yaitu Husen bin Abi
Thalib.308
Realitas dalam penyebutan nama ritual Tabut di Bengkulu mengalami
perdebatan. Masyarakat pada umumnya menyebutnya ritual Tabot, menurut
Syiafril penyebutan itu salah, tidak ada data yang jelas apa yang menyebabkan
masyarakat cenderung menyebut Tabot dibanding Tabut. Lebih lanjut,
menurutnya kata Tabot digunakan untuk menyebutkan arca orang suci atau
berhala.309
Hal yang berhubungan dengan budaya Tabut adalah, Pertama, apa yang terdapat
dalam Tabut itu merupakan tanda (mu’jizat) yang besar karena Tabut
mengandung ilmu dan hikmah yang ditinggalkan oleh keluarga Nabi Musa dan
keluarga Nabi Harun dan disana juga terkandung ketenangan bagi kaum tersebut
yang menjadikan had dan jiwa mereka tenang. Kedua, penetapan adanya
malaikat-malaikat, sebagaimana ayat, ‚Tabut itu dibawa oleh malaikat,‛ hal ini
juga menunjukkan bahwa Tabut tersebut besar.310
Terdapat beberapa pendapat mengenai sejarah kemunculan ritual Tabut. Catatan
mengenai ritual ini didominasi oleh pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa
budaya secara historis dibawa oleh orang-orang yang berasal dari Bengali-
Madras,311
yang datang ke Bengkulu dalam rangka pembangunan Benteng
Marlborough, mereka merupakan tentara-tentara yang dibawa oleh Inggris pada
tahun 1685312
pada masa Gubernur Jenderal Raffles. Orang-orang India ini
kemudian menikah dengan penduduk pesisir Bengkulu (Pantai Panjang).313
Ritual ini, menurut satu pendapat, pertama kali dilaksanakan oleh Syekh
Burhanuddin atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Senggolo yang berasal
dari India.314
Ritual ini juga berhubungan erat kaitannya dengan penyebaran
ajaran Islam, khususnya Syi’ah di Bengkulu.315
Sejarah lain mengatakan bahwa masuknya tradisi Tabut ke Bengkulu pada abad
18 dibawa oleh tentara Inggris dengan dari etnik Shimphahi di kaki gunung
308
Nelly Marhayati, ‚Dinamika Kelompok Minoritas dalam Mempertahankan Tradisi
Studi pada Keluarga Kerukunan Tabot di Bengkulu,‛ 2016, 24. 309
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. Lihat juga,
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw
Bengkulen, 2016), 5. 310
Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot Bengkulu.‛ Jurnal Millah, Vol. XI, No. 2,
(Februari 2012): 589-588. 311
Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot di Bengkulu.‛ Jurnal Millah Vol. XI, No. 2,
(Februari 2012): 580. 312
Person Pesona Renta, ‚Tabot Upacara Tradisi Masyarakat Pesisir Bengkulu.‛ Sabda,
Vol. 6, No. 1, (April 2011): 47-48. 313
Nanang Rizali, ‚Ritual Islam dalam Motif Batik Basurek-Bengkulu.‛ Jurnal
Kebudayaan Islam, Vol. 13, No. 2, (Juli - Desember 2015): 270-271. 314
Wawancara, Idramsyah, Ketua Kerukunan Tabut Budaya, 19 Juli 2017. 315
Endang Rochmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, No. 14, Vol. 2, (2014): 49.
61
Himalaya India. Kepercayaan mereka bukanlah Hindu, Budha, ataupun Muslim.
Mereka adalah tentara sewaan dan budak tentara Inggris (Gurca) yang dibawa
ke Indonesia. Gurca ini banyak mengenal berbagai kebudayaan di India dan
Persia. Tradisi inilah yang pada akhirnya dikembangkan di Bengkulu dan
Sumatra Barat.316
Mereka menentang gagasan bahwa hal itu dibawa oleh pekerja Inggris saat
mereka membangun Benteng Malborough. Pendapat mereka didasarkan pada
kepercayaan bahwa Bengkulu adalah daerah yang sangat mirip dengan kondisi
Persia. Bengkulu memiliki banyak bukit yang dianggap sebagai representasi
wilayah Karbala di Irak.317
Menurut Chiara Formichi bahwa Syech Burhannudin termasuk dari golongan
tentara yang dibawa oleh English East India Company ke Bengkulu dan bahwa
Tabut di Bengkulu merupakan salah satu usaha Syi'ah Indonesia untuk
menunjukkan eksistensinya lewat budaya lokal, sekaligus untuk menunjukkan
Iran sebagai negara yang ramah. Pendapat tersebut diperkuat dengan Pendapat
di atas dibantah oleh Syiafril yang mengatakan bahwa Syech Burhannudin
bukan tentara yang dibawa oleh Inggris untuk membangun Benteng
Marlborough, melainkan pedagang dari Punjab yang mensyiarkan agama Islam
di Bengkulu.
Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh pengikut Tabut, Syiafril menjelaskan
bahwa tidak ada hubungan antara pembuatan Benteng Malbourough dengan
eksistensi ritual Tabut. Ritual Tabut muncul jauh sebelum benteng
Malbourough dibangun, ritual ini datang murni sebagai syiar agama Islam di
Bengkulu.318
Mereka percaya bahwa Tabut dibawa langsung oleh Punjab India di
tahun 1336 Masehi.319
Hal tersebut diperkuat oleh pendapat William Marsden,
penulis yang banyak mengamati masyarakat Sumatra, serta berada di Bengkulu
pada saat Bengkulu dikuasai oleh Inggris, tidak menyinggung Tabut sama
sekali.320
Pendapat lain juga mengatakan bahwa perlu ditelusuri kembali tentang
sejarah ritual Tabut yang diklaim berasal dari suku Sipai karena suku tersebut
ini berasal dari India yang merupakan negara dengan penduduk beragama
Hindu.321
Pada mulanya, ritual Tabut sebagai peringatan peristiwa gugurnya Hasan-
Husain cucu nabi Muhammad s.a.w oleh kaum Syiah dari keluarga Yazid di
316
Japarudin, ‚Tradisi Bulan Muharam di Indonesia.‛ Tsaqofah dan Tarikh, Vol. 2, No.
2, (Juli-Desember 2017): 175. 317
Rifanto bin Ridwan, ‚Tabot Festival of Bengkulu and Local Wisdom.‛ Academic Journal of Islamic Studies, No. 1, Vol. 2, (2016): 151. 318
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 319
Rifanto Bin Ridwan, ‚Tabot Festival of Bengkulu and Local Wisdoms.‛ Jurnal
Academic Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2, (2016): 151. 320
Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ 245. 321
Japarudin, ‚Tradisi Bulan Muharam di Indonesia.‛ 176.
62
Karbela, Irak pada bulan Muharram 61 Hijriah.322
Orang-orang Syi’ah
mengadakan ritual menyiksa diri untuk laki-laki dan menangis untuk perempuan
sebagai bentuk duka cita mereka. Ritual tersebut dilaksanakan untuk
mengenang usaha para pemimpin Syi’ah dan kaumnya ketika mengumpulkan
bagian-bagian jenazah Husain, lalu mengarak dan memakamkannya di Padang
Karbala.323
Namun pada perkembangannya para keturunan Tabut yang disebut kaum Sipai
terlepas dari pengaruh aliran Syi’ah maka ritual ini hanya dijadikan kewajiban
untuk menjalankan wasiat dari leluhur mereka.324
Selain itu, ritual Tabut juga
dijadikan oleh masyarakat Bengkulu untuk menyambut dan memeriahkan tahun
baru Islam.325
Sesuatu yang rasional dan manusiawi apabila setiap pemeluk
suatu agama merasa yakin dan bangga dengan agama yang dipeluknya. Masing-
masing pemeluk agama tentu akan mengklaim kebenaran kepada ajaran-ajaran
agamanya sendiri. Meski begitu ada cara untuk mempersatukan pemahaman
para pemeluk berbagai agama tersebut. Mengacu kepada klaim kebenaran di
atas, W. Montgomery Watt, mengungkapkannya sebagai tradisi klasik yang
tetap hidup subur dalam sejarah Islam sampai sekarang. Ia mengistilahkannya
sebagai heresiography call tradition yaitu pandangan yang menganggap bid‘ah
dan sesat aliran, madzhab, atau kelompok keagamaan lain dalam Islam.
Konsekuensi dari pandangan ini adalah hanya aliran, madzhab atau kelompok
keagamaannya sendiri yang benar dan mengikuti jalan yang lurus.326
Meski begitu perbedaan pendapat tersebut tetap memiliki satu kesamaan, yaitu
bahwa upacara Tabut di Bengkulu memiliki signifikansi khusus. Penduduk
wilayah ini mempelajarinya dari kaum imigran Muslim selatan India.327
Menurut
Ahmad Rijaluddin, tradisi Tabut memiliki kemiripan dengan tradisi Anglo-
Indian di awal abad 19.328
Menurut Feener, sejarah Tabut di Bengkulu saling
terkait erat dengan Perusahaan Hindia Timur Inggris di Sumatra.329
Selain pendapat di atas, menurut Kartomi, seperti yang dikutip Harapandi
Dahri, istilah Tabut di Indonesia berasal dari sebuah ritual sederhana yang ada
di Irak, Persia dan India Selatan yang dikenal dengan nama Ta’ziyah. Sementara
322
Adat Istiadat Daerah Bengkulu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat
Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
1977-1978, 105-106. 323
Upacara Tradisional Daerah Bengkulu, 63. 324
Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, No. 14, Vol. 2, (2014): 49-50. 325
Adat Kota Bengkulu, Bagian Hukum Setda Kota Bengkulu, 2005, 31. 326
A Zaini Dahlan, ‚Memahami Agam a dan Budaya sebagai Solusi Mengatasi Konflik
Teologis.‛ Jurnal CMES, Vol. VIII, No. 1, (Januari – Juni 2015): 33. 327
Mohammad Ali Rabbani, ‚Mediasi India dalam Perpindahan dan Penyebaran Kultur
dan Peradaban Persia: Islamisasi di Asia Tenggara.‛ Jurnal Media Syariah, Vol. XV, No.
1, (Januari-Juni 2013): 80. 328
Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ 94. 329
Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ 100.
63
itu istilah Tabut dikenal di India Utara untuk menyebut istilah Ta’ziyah
tersebut. Lebih lanjut Kartomi menyebutkan bahwa tipe Tabut di Indonesia ada
dua, yaitu Asan Usen di Aceh, serta Tabut di Sibolga dan Riau yang merupakan
jenis/tipe ritual yang sederhana. Serta Tabut di Bengkulu dan Tabuik di
Pariaman yang merupakan jenis/tipe yang dielaborasi menjadi pertunjukkan
teatrikal.330
Meskipun terjadi perdebatan terkait sejarah ritual Tabut, namun ritual tersebut
memiliki akar historis yang jelas sebagai tradisi mengenang wafatnya Husain.
Awal mula, Tabut dipercaya berasal dari budaya Persia pra-Islam, yaitu upacara
duka cita kematian Siyavash (anak Poor Kowush Syah dan murid Rustam dalam
mitos Persia kuno) yang dalam pelaksanaannya terdapat Tabut yang diarak.
Selain itu, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa tradisi mengarak tabut
mulai muncul pada saat terbentuknya perkumpulan orang-orang Syi’ah dalam
kegiatan duka cita memperingati kematian para pemimpin Syi’ah dan saat
mereka pergi berziarah ke makam Imam Ali dan Imam Husein pada 425 H.
Ketika berziarah, orang-orang Syi’ah dari Karakh (Baghdad) ini membawa
barang-barang yang telah dihiasi dengan hiasan-hiasan yang terbuat dari emas,
yang disebut dengan manajiq. Catatan lain menjelaskan bahwa pelaksanaan
arak-arakan Tabut itu dilakukan dengan cara memanggul sejumlah Tabut yang
dibungkus dengan kain hitam dengan iringan bendera-bendera kebesaran. Di
atas tabut diletakan senjata tajam dengan posisi menyilang ataupun mendatar.
Lalu mereka berjalan sambil meratap, meniupkan terompet, dan memukul alat
yang ada. Mereka menganalogikan tabut-tabut tersebut sebagai tabut dari Imam
Ali. Hal tersebut menunjukkan bahwa tradisi Tabut ini merupakan pementasan
teatrikal kisah di Karbala.331
Secara detail, pelaksanaan ritual ini terdiri atas 13 tahapan yang dilakukan
selama 10 hari (1-10 Muharram setiap tahunnya).332
Waktu pelaksanaan selama
10 hari, mulai dari tanggal 1-10 Muharram. Rangkaian acara tersebut di mulai
dari prosesi mengumpulkan tanah untuk ditempatkan pada kerangka Tabut,
tanah tersebut diambil dari lokasi yang telah ditentukan, hari kedua sampai
keenam pembuatan Tabut, hari ketujuh arak-arakan jari, kedelapan Tabut diarak
keliling, hari kesembilan pertandingan pemukulan dol, hari malam kesepuluh
belarak gedang, hari kesepuluh Tabut dibuang.333
Tabut yang berada di Bengkulu berbentuk bangunan bertingkat yang hampir
serupa dengan menara Masjid dengan ukuran yang beraneka ragam.334
Terbuat
dari rangka kayu dan bambu, kadang ditambahkan pula bentuk-bentuk lain,
330
Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit
Citra, 2009), 76. 331
Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ 242-243. 332
Rifanto Bin Ridwan, ‚Tabot Festival of Bengkulu and Local Wisdoms.‛ Jurnal
Academic Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2, (2016): 152-155. 333
Adat Kota Bengkulu, Bagian Hukum Setda Kota Bengkulu, 2005, 31 334
Endang Rochmatun, Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ 49.
64
seperti burung berkepala manusia, ikan rumah adat, dan sebagainya. Bangunan
ini dihiasi aneka warna dan hiasan lainnya.335
Saat ini, Tabut yang digunakan
dalam upacara Tabut di Bengkulu berupa suatu bangunan bertingkat-tingkat
seperti menara masjid, dengan ukuran yang beragam dan berhiaskan lapisan
kertas warna warni. Pembuatan Tabut harus sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan secara bersama-sama oleh keluarga pengikut Tabut.336
Terdapat dua kelompok besar keluarga pengikut Tabut, yakni kelompok Tabut
Imam dan Tabut Bansal.337
Keluarga Tabut terdiri atas 17 kelompok yaitu Tabut
Syahbedan, Tabut Lempuing, Tabut Ta’a Zulkifli, Tabut Penurunan, Tabut
Onggok, Tabut Panglima Kasan, Tabut Bajak, Tabut Druzanggut Bawah, Tabut
Sumur Meleleh, Tabut Kebun Beler, Tabut Jegau/Anak Bansal, Tabut Malabro,
Tabut Kebun Ros, Tabut Nala, Tabut Tengah Padang-Bajak.338
Jumlah
kelompok pengikut Tabut pada mulanya hanya empat, yaitu Tabut Imam, Tabut
Bansal, Tabut Panglima, dan Tabut Ulama atau lebih dikenal dengan nama
Tabut Kampung Batu. Selanjutnya jumlah tersebut terus berkembang sampai
saat ini berjumlah 17, tidak dapat ditambah lagi karena telah dibakukan.
Kemunculan kelompok-kelompok tersebut bermula dari apa yang diistilahkan
sebagai ‚Tabut Niat.‛ Artinya, Tabut yang pada awalnya dibuat hanya
berdasarkan niat atau nadzar namun akhirnya terus berlanjut sampai saat ini.339
Sebagai satu kesatuan ritual, Tabut dibentuk oleh bagian-bagian yang terangkai
dalam bentuk tahapan-tahapan prosesi,340
menurut Syiafril yang merupakan
pewaris Tabut sekaligus ketua KKT, sebelum prosesi-prosesi ritual Tabut yang
telah lazim diketahui oleh masyarakat, terdapat dua ritual penting yang harus
mereka lakukan yaitu pertama, doa mohon izin kepada Allah swt yang
dilaksanakan di Mushala Karbela pada tanggal 28 atau 29 Dzulhijjah, diawali
dengan shalat magrib, membaca Yassin, tahlil, dan memohon izin untuk
memulai prosesi ritual Tabut, ditutup dengan shalat Isya. Kedua, melakukan doa
mohon keselamatan kepada Allah swt yang dilaksanakan pada tanggal 29 atau
30 Dzulhijjah.341
Doa khusus yang dibacakan adalah Maqtal al-Hussain,342
berbunyi sebagai berikut:
335
Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit
Citra, 2009), 77. 336
Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ 49-50. 337
Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ 49-50. 338
Syiafril, Buku Putih Tabubencoolen. 339
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017. 340
Tahapan-tahapan dalam ritual Tabut, salah satunya dijelaskan dalam naskah Cerita dari Tabut. 1158/PN (Perpustakaan Nasional Jakarta). Ukuran naskah 21x17 cm. 8
halaman terdiri atas 16 baris huruf Arab. 341
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017. Lihat juga,
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw
Bengkulen, 2016), 23.
65
Bismillahir rahmanir Rahiim Assalaamua’layka yaa Rasulillah Assalaamua’layka yaa Fatimah Az-Zahra Assalaamua’layka yaa Al-Murthada Assalaamua’layka yaa Hasan al-Mujitaba Assalamua’layka yaa Aba Abdillah al-Hussain Salam atasmu wahai Putera Rasulullah Salam atasmu wahai putera Amirul mukminin, putera penghulu para washi Salam atasmu wahai putera Fatimah penghulu wanita sedunia. Salam atasmu dan semua arwah yang bergabung di halaman kediamanmu dan di Mashad Syech Burhanuddin Imam Senggolo ini. Sepanjang hidup kami, siang dan malam, kami mendoakanmu semua semoga Allah melimpahkan kedamaian kepadamu semua. Wahai Aba’Abdillah, sungguh besar musibah yang menimpamu bagi kami seluruh kaum muslimin. Sungguh besar musibah yang menimpamu bagi langit dan seluruh penghuninya. Semoga Allah melaknat ummat yang menzhalimmimu dan menyakitmu wahai keluarga suci Nabi. Semoga Allah melaknat ummat yang menghalangimu dari kedudukan yang telah Allah tetapkan bagimu. Semoga Allah melaknat ummat yang membunuhmu. Semoga Allah melaknat ummat yan membiarkan mereka memerangimu. Kami nyatakan kepada Allah dan kepadamu bahwa kami berlepas diri dari mereka, dari semua pengikut mereka, dan dari semua pendukung mereka yang zhalim. Wahai Aba’Abdillah, sungguh kami nyatakan damai kepada siapa saja yang berdamai denganmu, dan kami nyatakan perang kepada siapa saja yang memerangimu sampai hari kiamat. Semoga Allah melaknat keluarga Ziyad dan keluarga Marwan. Semoga Allah melaknat Bani Ummayah yang bersikap kejam kepadamu. Semoga Allah melaknat putera Marjanah. Semoga Allah melaknat Umar bin Sa’ad. Semoga Allah melaknat Syimran. Semoga Allah melaknat ummat yang bergabung untuk memerangimu. Demi ayah dan ibu kami, sungguh besar bagi kami musibah yang telah menimpamu. Kami memohon kepad Allah yang telah memuliakan kedudukanmu dan memuliakan kami karenamu. Semoga Allah mengkaruniakan kepada kami kesempatan untuk membelamu bersama Imam dari keluarga Muhammad saw. Ya Allah, jadikanlah kami orang yang mulia di sisi-Mu bersama Amir-Hussein di dunia dan di akhirat. Wahai Aba’Abdillah, kami mendekatkan diri kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada Amirul mukminin, kepada Fatimah, kepada Amir-Hasan, dan kepadamu. Kami berlepas diri dari orang yang menzalimimu dan menzhalimi para pengikutmu. Kami mendekatkan diri kepada Allah dan kepadamu dengan
342
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen, 47.
66
kecintaan kepadamu dan kepada orang-orang yang kau cintai. Kami terlepas diri dari semua musuh-musuhmu, dari semua yang menentangmu dan memerangimu, dan semua pengikut dan pendukung musuh-musuhmu. Kami memohon kepada Allah yang telah memuliakan kami dengan mengenalmu. Kami memohon kepada Allah yang telah menganugerahkan kepada kami keterlepasan dari musuh-musuhmu. Semoga Allah menjadikan kami yang senantiasa bersamamu di dunia dan di akhirat. Semoga Allah menetapkan kami di jalan yang benar di dunia dan di akhirat. Kami bermohon semoga Allah memberikan kami pada kedudukan yang mulia di sisi Allah, mengkaruniakan kehormatan untuk membelamu bersama Imam dari keturunanmu, Imam yang senantiasa berada dalam kebenaran. Dengan hakmu dan kedudukanmu di sisi-Nya dan dengan merasakan musibah yang menimpamu dan ujian yang paling besar yang pernah terjadi di bumi dan di langit dan sepanjang sejarah Islam, kami memohon kepada Allah semoga menganugerahkan kepada kami karunia yang paling agung. Ya Allah, dengan ini jadikan kami orang yang memperoleh kesejahteraan, rahmat dan pengampunan dari-Mu. Ya Allah jadikan hidup kami seperti kehidupan Muhammad saw dan keluarganya, dan mati kami seperti Muhammad saw dan keluarganya. Ya Allah, hari ini adalah hari 10 Muharram yang dianggap penuh berkah oleh Bani Umayah, putera pemakan jantung yang terlaknat, putera yang terlaknat. Mereka menganggap hari itu hari penuh berkah dengan memalsukan firman-Mu dan sabda Nabi-Mu. Ya Allah, laknatlah Abu Sufyan dan Mu’awiyah dengan laknat yang abadi dari-Mu. Hari ini adalah hari berpesta pora keluarga Ziyad dan keluarga Marwan karena telah berhasil membunuh Amir-Hussein. Ya Allah, lipat-gandakan pada mereka laknat dari-Mu dan azab yang pedih. Ya Allah, aku mendekatkan diri kepada-Mu pada hari ini dan pada hari-hari sepanjang hidup kami, dengan berlepas diri dari mereka dan melaknat mereka, dengan mencintai Nabi-Mu dan keluarga Nabi Muhammad saw. Ya Allah, laknatlah orang yang pertama kali menzhalimi hak Muhammad saw dan keluarganya, laknat juga orang yang mengikutinya. Ya Allah laknatlah mereka yang memerangi Amir Hussein dan para pengikutnya dan mereka yang berbaiat pada Yazid untuk membunuh Amir-Hussein. Ya Allah laknatlah mereka semua. Salam atasmu wahai Aba’Abdillah dan semua arwah yang bergabung di halaman kediaman mu dan di halaman Imam Senggolo ini. Kami panjatkan doa sepanjang hidup kami, siang dan malam, semoga Allah senantiasa melimpahkan kedamaian-Nya padamu. Semoga Allah tidak menjadikan ziarah kami hari ini sebagai ziarah yang terakhir kepadamu. Salam pada Amir-Hussein, salam pada Ali Zainal Abidin bin Amir-Hussein, salam pada semua putera Amir-Hussain, salam pada semua sahabat Amir-Hussein.
67
Ya Allah khususkan laknat kami kepada orang zhalim pertama. Mulailah laknat itu kepada orang yang pertama, kepada yang kedua, kepada yang ketiga, kepada yang keempat. Ya Allah laknat juga Ubaidillah bin Ziyad, putera MArjanah, Umar bin Sa’ad, Syimran, Keluarga Abu Sofyan, Keluarga Ziyad, dan keluarga Marwan sampai hari kiamat. Segala puji bagi Allah pujian orang-orang yang bersyukur kepada-Mu ketika mereka mendapat musibah. Segala puji bagi Allah yang telah memberi manfaat yang besar kepada kami. Ya Allah, karuniakanlah kepada kami syafaat Amir Hussein pada hari kiamat. Kokohkan pijakan kami pada kebenaran di sisi-Mu bersama Amir Hussein dan sahabat-sahabatnya yang telah mencurahkan kesungguhannya dalam membela Amir Hussein.
Doa mohon keselamatan tersebut juga dilengkapi oleh beberapa sajian makanan
yang terdiri atas sejambar nasi kuning panggang ayam, bubur tepung merah
putih, apam putih, apam kuning, roti sebrat, gulai dhal, air serobat,343 kopi pahit,
susu sapi murni, air cendana, dan air selasih. Doa tersebut dalam rangka
memohon kepada Allah swt agar terhindar dari malapetaka, baik yang datang
dari gunung, maupun dari laut. Setelah selesai berdoa, prosesi dilanjutkan ke
pantai Zakat dengan melepaskan sampan yang bermakna mengenang
kedatangan pembawa Tabut yang melalui jalur laut.344
Adapun tahapannya
selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Mengambik Tanah
Waktu pelaksanaan prosesi mengambik (mengambil) tanah345 pada malam hari
tanggal 1 Muharram. Prosesi mengambik tanah dilakukan di dua tempat, yaitu
di Pantai Nala dan Tapak Paderi (tempat mengambik tanah untuk kelompok
Tabut Bansal). Sebelum ritual mengambik tanah dilakukan, ada beberapa
tahapan yang dilakukan oleh pengikut Tabut. Awalnya, Keluarga Kerukunan
Tabut (KKT) menjemput Gubernur dan para pejabat di balai adat atau depan
tugu Dhol yang dilanjutkan dengan tarian Rendai.346 Selanjutnya, kegiatan
343
Air serobat terbuat dari beberapa rempah-rempah yaitu serbuk kayu manis, kapulaga,
cengkeh, sepede (jahe), gula ulu (aren), dan gula pasir dimasak dengan campuran air. 344
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017. Lihat juga,
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw
Bengkulen, 2016), 23. 345
Prosesi mengambik tanah pertama kali dilakukan pada kamis malam, tanggal 16
Agustus 1336 M. Sedangkan pengambilan tanah mengalami pergantian tempat pada
tahun 1995. Lihat Achmad Syiafril Sy, Buku Putih the Tabubencoolen, 14. Wawancara,
Achmad Syiafril Sy, Ketua KKT, 22 Juli 2017. 346
Tari Rendai atau beladiri merupakan tarian penghormatan dan menyambut tamu
besar. Tarian yang berbentuk seni beladiri yang digunakan dalam penyambutan tamu
agung atau tamu besar dengan nuansa pencak silat atau beladiri. Tari Rendai merupakan
seni beladiri yang dipadukan dengan keindahan gerak tari yang biasanya diiringi musik
daerah.
68
Gambar 3.1 Rangkaian Prosesi Mengambik Tanah
Gambar 3.2 Bentuk genggam tanah yang
telah diambil
Tabut dibuka oleh Gubernur Bengkulu, disertai dengan pelepasan Keluarga
Kerukunan Tabut (KKT) menuju lokasi ritual Mengambik Tanah dilaksanakan.
Dalam prosesi ini terdapat beberapa benda berupa bubur merah, gula merah,
sirih tujuh subang, rokok tujuh batang, air kopi pahit, air serobat, air susu sapi
murni, air cendana dan air selasih. Selain itu juga terdapat kemenyan, bunga
melur, dan daun selasih.347
Sebelum pengambilan tanah dimulai, dilakukan
doa348
yang dipimpin oleh ketua KKT. Setelah doa selesai dilakukan, maka
diambil dua genggam tanah, yang kemudian dibungkus oleh kain berwarna
putih. Selanjutnya dimasukkan ke dalam belangga kecil yang ditutup kain putih
dan dihiasi oleh rangkaian buang melur daun selasih untuk diletakkan di Gerga
dan sekepal lainnya dibawa pulang untuk diletakkan diatas Tabut yang akan
dibuat.349
347
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017. Lihat juga,
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw
Bengkulen, 2016), 23. 348
Doa yang dibacakan adalah bismillahir rahmanannir rahiim, asslamu’alaika yaa Rasullah, assalamua’alaika yaa al-Murtadha, assalamua’alaiki yaa Fatimah Azzahra, assalamu’alaika ya Hasan al-Mujtaba, ashalaatu wasaalamu alay rasul Allah walbayti atthaahiriyn, assalamu’alaika yaa aba’abdillah al-Husain yaa sayyid syabaab ahlal jannah, assalamu alaika yabna Rasulullah, salam atasmu, wahai ayah Abdillah al-Hussain dan kepada arwah-arwah yang telah gugur demi membelamu dan membela rasulmu, salam dari kami selalu tercurahkan selama siang dan malam masih silih berganti, salure, mahure yaa sahure, qaluu wa qaluune, sarare tabbute benkoelene, surarahe adene, innalaaha wa malaa i’katahuu yushalluuna ‘alan nabiyyi yaa ayyuhal ladziina aamanuu shallu ‘alaihi wasallimuu tasliima (surat 33: ayat 56): Sesunggugnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam pengorbanan kepadanya, allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad. dan diakhiri
dengan pembacaan shalawat. Lihat Ahcmad Syiafril, Buku Putih Tabubencoolen, 27-28. 349
Person Pesona Renta, ‚Tabot Upacara Tradisi Masyarakat Pesisir Bengkulu.‛ Jurnal Sabda, Vol. 1, No. 6, (2011): 50.
69
Tanah yang diambil pada tahapan ini haruslah berasal dari tempat keramat yang
mengandung unsur-unsur magis, seperti di Keramat Tapak Padri yang terletak di
dekat Benteng Marlborough dan Keramat Anggut, yang berada di pemakaman
umum Pasar Tebek. Tanah ini nantinya akan dibungkus dengan kain kafan putih
dan dibentuk seperti boneka manusia.350
Walaupun berdasarkan observasi
penelitian dan wawancara terhadap pengikut Tabut, tanah tersebut tidak
dibungkus seperti boneka manusia, kepalan tanah hanya diikat saja didalam kain
putih tersebut. Prosesi tersebut dimaknai sebagai mengenang asal mula manusia
yang diciptakan dari tanah kemudian akan kembali ke tanah.351
1. Duduk Penja Penja merupakan benda yang terbuat dari kuningan, perak, atau tembaga yang
berbentuk telapak tangan manusia, lengkap dengan jari-jarinya. Penja yang
dianggap sebagai benda keramat yang mengandung unsur magis.352
Waktu
pelaksanaan prosesi duduk penja pada tanggal 4 dan 5 Muharram di sore hari
setelah waktu shalat Ashar. Tabut Imam dan Tabut Bansal melaksanakan
prosesi duduk penja pada tanggal 4 Muharram, sedangkan Tabut-Tabut lain
melaksanakannya pada tanggal 5 Muharram.353
Pada umumnya penja disimpan di atas rumah dan hanya diturunkan satu tahun
sekali. Prosesi ini dilengkapi oleh beberapa benda berupa emping, air serobat
(jahe), susu murni, air kopi pahit, nasi kebuli,354
pisang emas dan tebu. Sebelum
penja didudukkan/ditegakkan harus dicuci terlebih dahulu, selanjutnya penja-
penja tersebut disusun berpasangan. Penja yang telah tersusun tersebut
selanjutnya dibungkus dengan kain dan dihiasi dengan rangkaian bunga melur
dan daun selasih.
Prosesi duduk penja dilakukan langsung di depan Gergah, selama prosesi
berlangsung diiringi oleh Dhol. Setelah prosesi tersebut berakhir, penja disimpan
ke dalam Gergah berdampingan dengan dua genggam tanah, lalu pengikut Tabut
350
Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, No. 14, Vol. 2, (2014): 51. 351
Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-
Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ Jurnal Professional Fis Unived, No.
1, Vol. 3, (Juni 2016): 23. Hal tersebut diperkuat dengan pedapat Rustam yang
mengatakan prosesi Mengambik Tanah mengingatkan bahwa manusia berasal dari
tanah. Wawancara, Rustam Effendi, Pengikut Tabut, 24 Juli 2017. 352
Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ 51. 353
Penentuan tanggal untuk menjalankan prosesi duduk penja pun sempat mengalami
konflik internal dikarenakan ada yang melaksanakan mulai tanggal 5 Muharram.
Sedangkan menurut Syiafril, prosesi duduk penja harus dimulai pada tanggal 4
Muharram. Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017. 354
Menurut informasi yang peneliti dapatkan, nasi kebuli tersebut tidak dapat dimasak
oleh perempuan yang sedang dalam keadaan haid.
70
mengelilingi Gergah hingga tujuh355
kali yang diikuti oleh simbol jari-jari
pedang, bendera-bendera tauhid serta makanan. Setelah prosesi tersebut
berakhir, masyarakat yang melihat prosesi tersebut mengambil nasi kebuli yang
telah disiapkan. Masyarakat berpendapat bahwa nasi tersebut membawa berkah.
Sebagian besar masyarakat memaknai penja sebagai tangan Husain. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat L F Brakel, bahwa penja memiliki representasi dari
tangan Husein yang terpotong dalam peperangan di Karbala.356
Namun, menurut
Syiafril penja sama sekali tidak ada kaitannya dengan simbol tangan Husain,
karena sebelum Husain wafat. Simbol penja sudah ada.357
Istilah duduk penja
dalam ritual Tabut merupakan simbol mengajak umat agar selalu menyucikan
diri yang di awali dari kedua tangan karena tangganlah yang dapat membuat
menjadi kotor dan tangan pulalah yang dapat membuat kita menjadi bersih baik
lahir maupun batin.358
Gambar 3.3 Rangkaian ritual Duduk Penja Gambar 3.4 Penja yang telah
didudukan/ditegakkan
355
Angka tujuh diambil dari jumlah lapisan langit yang diciptakan tujuh lapis. Lihat
Achmad Syiafril Sy, Buku Putih Tabubencoolen. 356
L F Brakel, The Hikayat Muhammad Hanafiyyah (New York: Springer Science &
Business Media, 2013), 62. 357
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 358
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017.
71
2. Malam Menjara
Waktu pelaksanaan prosesi menjara pada malam hari tanggal 5 dan 6 Muharram.
Menjara diartikan sebagai perjalanan panjang di malam hari untuk melakukan
silaturahmi atau konsolidasi. Dengan arak-arakan Dhol, bendera, dan panji-panji
kebesaran yang diibaratkan ketika akan terjadi perang kerbala.359
Pada malam
hari, pada tanggal 5 Muharram, kelompok Tabut Bansal mendatangi kelompok
Tabut Imam dan pada malam tanggal 6 Muharram, kelompok Tabut Imam
mengunjungi kelompok Tabut Bansal dengan perlengkapan Dhol360 dan Tassa.
Dalam perjalanan perlengkapan musik Dhol dan Tassa akan melagukan lagu
Semi Tsauri pada saat berjalan dan lagu-lagu Tsauri, Melalu dan Tamatam pada
tempat-tempat pemberhentian.361
Bagi pengikut Tabut, menjara sebagai
simbolisasi mengenang perjalanan Husein membawa panji-panji kebesaran dan
genderang perang dalam melawan kebiadaban.362
Dalam ritual Tabut ada tiga repertoar lagu Dhol yaitu motif Tamatam, Suwena
dan Suweri. Ketiga repertoar lagu ini berperan sebagai musik pengiring dalam
upacara Tabut khususnya upacara menjara dan melengkapi kebutuhan upacara
lainnya.363
Salah satu alat musik khas Melayu Bengkulu yang digunakan dalam
ritual Tabut adalah Dhol, yaitu alat musik yang berbentuk bulat dengan ukuran
yang relatif besar. Terbuat dari batang kepala dengan diameter 60-120 cm dan
ditutup dengan kulit sapi.364
Keistimewaan prosesi menjara adalah adanya adegan perang yang dilakukan
oleh Tabut Bansal dan Tabut Imam yang disimbolkan melalui pertandingan
Dhol. Pada malam pertama Menjara, salah satu kelompok Tabut akan
menghampiri kelompok lainnya. Dalam perjalanan, kelompok ini akan
memukulkan Dhol untuk menarik massa dari setiap kampung yang dilewati,
sehingga jumlahnya terus bertambah.
359
Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-
Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 23. 360
Pada mulanya alat musik Dhol hanya digunakan pada prosesi Tabut, karena Dhol dianggap keramat. Menurut pengikut Tabut, jika Dhol dimainkan ketika bukan pada
waktu ritual Tabut dianggap melanggar adat dan memunculkan kemarahan nenek
moyang. Namun berkat usaha pemerintah dalam mengembangkan budaya di Bengkulu,
salah satunya melalui alat musik Dhol, pada akhirnya Dhol dapat dimainkan di luar
prosesi Tabut. Wawancara, Binsar, Dikbud Provinsi Bengkulu, 18 Juli 2017. 361
Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ 51. Dalam rangkaian ritual Tabut tidak akan dapat terlepas dari irama-
irama musik khusus yang dibunyikan dalam setiap ritual, antara lain: Tassa, Semi
Tsweri, Melalu, Tsweri, Tamatam, Keneng-keneng besi yang selalu mengiringi kelima
irama di atas dengan aba-aba dari suara Tassa. Irama Tamatam merupakan irama
melepaskan lelah setelah melakukan perjalanan panjang. Lihat Achmad Syiafril Sy,
Buku Putih Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw Bengkulen) 362
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 363
Zely Marissa Haque, ‚Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu.‛ Jurnal Ekspresi Seni, No. 16, Vol. 1, (2014): 159. 364
Tantawi Jauhari, dkk, Sejarah Melayu Bengkulu (Bengkulu: CV. Nala), 81-82.
72
Ketika kedua kelompok bertemu, maka dimulailah pertandaingan Dhol, antara
kedua kelompok. Setelah pertandingan berakhir, mereka mengunjungi Gergah.
Di sini, jari-jari Tabut yang dibawa pada saat menggalang massa akan
melakukan soja, atau bersambut dengan jari-jari kelompok Tabut lainnya. Hal
ini menandakan ritual menjara hari pertama berakhir. Keesokannya, ritual
Menjara kembali dilakukan. Kali ini, kelompok yang sebelumnya dikunjungi,
balas mengunjungi kelompok lainnya. Rombongan berjalan kaki ke Gerga untuk
mengambil jari-jari dan menjemput massa dari kampung-kampung yang
dilewati. Sampai di tempat tujuan, perang kembali dimulai. Kedua kelompok
berperang, beradu menabuh Dhol.365
Dalam ritual Tabut dikenal dengan istilah soja. Secara harfiah, soja berarti
menyembah atau menghormati, kata tersebut berasal dari bahasa Urdu Punjab.
Dalam ritual Tabut, soja dimaksudkan untuk menghormati pemimpin, imam,
dan orang yang lebih tua. Soja mulai dilakukan pada malam menjara, malam arak penja, malam arak seroban, sampai dengan Tabut besanding dan arak gedang.
366
Gambar 3.5 Prosesi Menjara dan suasana ketika menabuh Dhol usai Menjara
Ritual Tabut dalam kaitannya dengan menjara tersebut dianggap mengandung
nilai filosofis hukum Islam yang diterjemahkan ke dalam arti pentingnya
membangun silaturrahim yang mengandung banyak manfaat, di antaranya
meluaskan rezeki dan memanjangkan umur. Nabi pemah bersabda, yang artinya:
‚Barang siapa yang ingin rizkinya mudah atau panjang umurnya, maka bangunlah hubungan dengan keluarganya.‛ (H.R. Muslim). Sebaliknya, Allah
tidak menyukai orang-orang yang memutus silaturahim sesuai dengan sabda
Nabi, yang artinya: "Tidak akan masuk Surga orang yang memutuskan diri terbadap saudaranya’ (al-Hadits).
367
3. Meradai 365
Endang Roichmatun, Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ 51-52. 366
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw
Bengkulen, 2016), 42. 367
Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot Bengkulu.‛ Jurnal Millah, Vol. XI, No. 2,
(Februari 2012): 591.
73
Waktu pelaksanaan prosesi meradai selama tiga hari, yaitu pada tanggal 6, 7,
dan 8 Muharram,368
meradai atau yang juga dipahami sebagai hari
mengumpulkan dana yang dijalankan oleh Jola (orang yang bertugas mengambil
dana untuk kegiatan kemasyarakatan, biasanya terdiri atas anak-anak berusia
10-12 tahun).369
Meradai juga bermakna usaha untuk membangkitkan emansipasi masyarakat
dalam bentuk: beras, gula, minuman, uang, atau lainnya agar terasa saling
memiliki ritual Tabut yang harus dilestarikan.370
Prosesi meradai berarti
pemberitahuan kepada umat bahwa Husein telah wafat di medan peperangan.
Pemberitahuan itu juga dimaksudkan untuk melihat siapa umat yang peduli dan
siapa yang tidak.371
Gambar 3. 6 Beberapa anak-anak yang ikut serta dalam prosesi meradai372
4. Arak Penja
Waktu pelaksanaan arak penja pada malam hari di tanggal 7 Muharram. Arak
penja dilaksanakan dengan meletakkan penja di atas Tabut Coki, kemudian
diarak untuk berkumpul di tanah lapang. Masyarakat pada umumnya memaknai
prosesi ini sebagai pemberitahuan kepada masyarakat bahwa jari-jari tangan
368
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 369
Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ 51. 370
Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-
Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 23-24. Lihat juga Achmad Syiafril
Sy, Buku Putih Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw Bengkulen, 2016). Permasalahan
yang kerap terjadi dalam prosesi Meradai karena ada pihak-pihak yang memanfaat
prosesi ini untuk memperoleh keuntungan, dengan meminta-minta dari rumah ke rumah
sebelum ritual tersebut dilaksanakan. 371
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 372
Sumber foto dari Nelly Marhayati.
74
Hussain telah ditemukan di Padang Karbala.373
Prosesi Arak penja atau juga
yang sering dikenal dengan arak jejari bertujuan untuk mengenang Husein dalam
menegakkan kalimat tauhid di padang Karbala, juga dimaknai sebagai simbol
lima huruf Sang Pencipta dan simbol shalat lima waktu.374
Gambar 3.7 Penja yang telah diarak di letakkan di pinggir jalan kota Bengkulu
6. Arak Seroban
Waktu pelaksanaan prosesi arak seroban pada tanggal 8 Muharram, arak seroban
adalah asesoris yang dipakai sebagai ikat dan penutup kepala mahkota
kehormatan Husein yang diriwatakan disita atau didalam tas oleh Akhmas bin
Mirtsad, setelah mencuri dan memakai sorban tersebut, ia menjadi gila.375
Sorban diletakkan didalam kotak kecil yang dihiasi oleh rangkaian bunga melur
dan daun selasih, serta diiringi oleh salam, shalawat, doa dan nasi kijri.376
Kemudian sorban tersebut diletakkan bersama penja di atas Tabut coki dan
dijunjung diatas kepala untuk diarak sambil berjalan kaki menuju tempat yang
telah ditentukan.377
Prosesi ini dilakukan sebagai bentuk menjunjung kesucian
dan kebesaran Husein.378
Sebagian lagi memaknai Arak seroban sebagai
simbolisasi bahwa sorban Husain telah ditemukan.
373
Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-
Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 24. 374
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw
Bengkulen, 2016), 36. 375
Linda Astuti, "Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-
Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 24. Lihat juga, Achmad Syiafril
Syahboeddin, Buku Putih The Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw Bengkulen, 2016), 37. 376
Nasi kijri adalah masakan yang dibuat dari kacang hijau, air kunyit, dan santan. Di
campur juga dengan sayur tujuh macam dan diatasnya dihiasi dengan telur dadar iris.
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 22 Juli 2017. 377
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih Tabutbencoolen, 378
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih The Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw
Bengkulen, 2016), 37.
75
Gambar 3. 8 Seroban yang diletakkan di atas Tabut Coki
5. Hari Gham
Asal mula kata Gham dari kata ‚ghum‛ yang memiliki arti tertutup atau
terhalang. Dalam rangkaian ritual Tabut, waktu pelaksaanaan hari gham pada
tanggal 9 Muharam, dimulai pada pukul 06.00 WIB. Hari Gham berarti tidak
boleh ada bunyi-bunyian sama sekali sampai Tabut Naik Puncak. Tahap Gham merupakan saat di mana tidak diperbolehkan mengadakan kegiatan apapun.
379
Menurut pengikut Tabut, pada malam Gham, mereka hanya berdiam di rumah
masing-masing dan tidak diperbolehkan untuk membunyikan apapun.380
Pada hari tersebut mereka mengenang tentang wafatnya Husain yang dibunuh
oleh Yazid bin Muawiyah dengan cara yang tragis381
Pengikut Tabut meratap
dan menangis untuk menunjukkan kesedihan mendalam atas pembunuhan
Hussein bin Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran Karbala.382
Prinsip kesedihan ini menunjukkan rasa solidaritas dan rasa kebersamaan sesama
kaum Muslim. Prinsip ini sesuai dengan sabda Nabi, yang artinya: ‚Orang mukmin yang satu terhadap yang lainnya seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan‛. (H.R. Muslim).
383
6. Tabut Naik Puncak
Prosesi Tabut Naik Puncak merupakan prosesi menaikkan dan menyambungkan
bagian puncak Tabut dengan bagian bawah Tabut. Prosesi ini sebagai
simbolisasi menaikkan kejayaan gemilang Islam. Perlengkapan dalam prosesi ini
379
Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ 51-52. 380
Wawancara, Samsinar, pengikut Tabut, 04 Juli 2017. 381
Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-
Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 24. 382
Rifanto Bin Ridwan, ‚Tabot Festival of Bengkulu and Local Wisdoms.‛ Jurnal
Academic Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2, (2016): 154. 383
Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot Bengkulu.‛ 591.
76
adalah kemenyan, daun setawar, daun sedingin, daun bunga melur, daun selasih,
dan beras kunyit.384
Sebelum bagian puncak naikkan ke atas, ketua KKT membacakan doa khusus.385
Ketika dinaikkan, dipercikkan air daun setawar, daun sedingin, daun melur, dan
daun selasih dari empat sisi. Ketika puncak Tabut telah menyatu dengan bagian
bawah maka dihamburkan beras kunyit sebagai simbol cahaya Islam dan alat
musik Dhol pun dibunyikan sebagai tanda bahwa hari Gham telah berakhir.
Kemudian Tabut menuju Gerga untuk melakukan soja dan menaikkan penja dan
dua genggam tanah untuk dilakukannya arak gedang.386
Gambar 3. 9 Ketika Tabut mulai dinaikkan ke atas387
7. Arak Gedang dan Tabut Besanding
Prosesi arak gedang dan Tabut besanding dilakukan pada malam 10 Muharam.388
Tahap ini dimulai dengan pelepasan Tabut Besanding di Gergah masing-masing. 389
Istilah arak gendang dalam ritual Tabut berarti sebutan malam puncak
prosesi ritual budaya tabut pada arena utama yang sekaligus sebagai penutupan
secara resmi festival yang diselengarakan oleh Dinas Kebudayaan dan
384
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih The Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw
Bengkulen, 2016), 40. 385
Adapun doa yang dibacakan adalah bismillahir-rahmanir-rahim assalamu ‘alaika ya Rasulullah, assalamu’ alaika yaa al-Murthada, assalamu alaiki yaa Fatimah Az-Zahra, assalamu ‘alaika yaa Hasan al-Mujtaba, ashalatu wasalamu ‘alay Rasulullah walbayti at thahirin-assalamu ‘alaika yaa aba abdillah al-Hussain yaa sayyid syabab ahlal Jannah, assalamu alaika yabna Rasulullah, Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala Ali Muhammad. Bismillahirrahmanirrahim, Saaluree, maahuree, yaa saahure, sararee tabute benkulene, surarahe adene. Bismillahirrahmanirrahim, akedoya poonca Tabute, hemate pandeklate pandehare, hefwa-hefwa-hefwa. Lihat Syiafril, Buku Putih The
Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw Bengkulen) 386
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih 387
Sumber foto dari Nelly Marhayati 388
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 389
Endang Roichmatun, Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ 52.
77
Pariwisata.390
Namun pengikut Tabut memaknainya sebagai simbol mengenang
kejayaan Islam dari abad VII sampai abad XIII.391
Tabut-Tabut dikumpulkan dan disusun di lapangan, yang didalamnya terdapat
penja yang telah terbungkus rapi dan dihiasi dengan rangkaian bunga melur dan
selasih, seroban, serta dua genggam tanag yang telah diambil pada prosesi
mengambik tanah untuk dikembalikan ke tanah Karbela pada prosesi Tabut Tebuang 10 Muharram.
392
Gambar 3. 10 Bangunan Tabut-Tabut dideretkan di pinggir jalan
8. Tabut Tebuang
Waktu pelaksanaan prosesi Tabut tebuang pada 10 Muharram. Sebelum prosesi
tersebut dilaksanakan, Tabut diarak menuju Kerabela. Sebelum diarak, seluruh
Tabut melakukan soja terlebih dahulu kepada Tabut Imam dan Tabut Bansal.
Juru Kunci menyambut arak-arakan Tabut di pintu gerbang Kerabela. Setelah
itu arak-arakan Tabut menuju kompleks pemakaman Kerabela, dan di sini
dilaksanakan prosesi penyerahan Tabut kepada leluhur di makam Syahbedan
Abdullah (ayahanda Syech Burhanuddin).393
Dalam prosesi ini juga dimaksudkan untuk berziarah dan mengirimkan al-
Fatihah khusus untuk Rasulullah saw, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Syech
Burhannudin (Imam Senggolo), Zalmiah Bansal, Panglima Kasan, Syech
Syahbedan Abdullah, serta semua penghuni makam Karbela.394
Selanjutnya
mengucapkan salam, membaca Yassin dan Tahlil kepada Rasulullah saw, Ali al-
Murthada, Fatimah Az-Zahra, Hasan Al-Mujitaba, dan Amir Hussain. Lalu
melepaskan penja yang sebelumnya ditegakan pada prosesi duduk penja dan
memasukkannya ke dalam tempat. Selanjutnya, meletakkan dua genggam tanah
yang diambil pada prosesi mengambik tanah ke makam Syech Burhannudin
390
Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-
Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 24. 391
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 392
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih The Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw
Bengkulen, 2016), 41-42. 393
Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ 51. 394
Syiafril, Buku Putih Tabubencoolen, 44.
78
dilengkapi dengan dua keranda kecil berwarna merah yang menyimbolkan
Husain dan warna hijau untuk menyimbolkan Hasan.395
Gambar 3. 11 Keranda dan dua genggam tanah yang dikuburkan dan suasana di pemakaman
Karbela
Prosesi Tabut tebuang merupakan ekspresi membuang keburukan, membuang
kesombongan, dan klimaksnya membuang kebiadapan. Serta mengenang said di
Padang Karbala.396
Juga dimaknai sebagai membuang keegoisan manusia,
setelah keegoisan itu dibuang, maka manusia kembali bersih.397
Menurut
Syiafril, dalam prosesi Tabut Tebuang seharusnya Tabut dibuang didalam
genangan air, namun dikarenakan adanya perubahan pada bangunan disekitar
daerah Karabela sehingga tempat yang terdapat genangan air itu sudah tidak ada
lagi.398
Prosesi tersebut juga dikaitkan sebagai penyerahan terakhir ke tubuh Husein
yang dimakamkan di Karbala dan sebagai pengingat bagi umat manusia bahwa
Pertempuran antara Hussein dan Yazid bin Mu'awiyah tidak hanya
menghasilkan a sejumlah kecil korban, dengan harapan hal-hal semacam itu bisa
terjadi dihindari dan tidak diulang lagi.399
Prosesi Tabut tebuang ini harus
dilaksanakan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, karena pengikut Tabut
menganalogikan prosesi ini sebagai pemakaman, yang tidak baik jika ditunda-
tunda.400
Menurut Syiafril, prosesi-prosesi ritual di atas bersifat terbuka, artinya
masyarakat dapat melihatnya. Namun, ada ritual-ritual lain yang bersifat
tertutup, yang tidak dapat dilihat masyarakat, yaitu ritual shalawatan dan
berdoa setiap hari setelah shalat ashar. Dan ritual Tabut itu akan ditutup pada
hari ke 13 Muharram, yaitu ritual cuci penja, penja yang telah digunakan
395
Syiafril, Buku Putih Tabubencoolen 396
Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-
Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 24. 397
Wawancara, Jum, Masyarakat, 15 Juli 2017. 398
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 399
Rifanto Bin Ridwan, ‚Tabot Festival of Bengkulu and Local Wisdoms.‛ Jurnal
Academic Journal of Islamic Studies, Vol. 1 No. 2, (2016): 155. 400
Wawancara, Samsinar, Pengikut Tabut, 04 Juli 2017.
79
tersebut, dicuci kembali dan disimpan sampai ritual Tabut berikutnya.401
Pengikut tabut secara konsisten melakukan rangkaian prosesi dari ritual Tabut
dengan serius. Kegiatan ini juga selalu dipimpin oleh ketua KKT yang memang
dipercayai untuk memimpin setiap prosesi.
C. Realitas Tabut: antara Ritual dan Komoditas Wisata
Menurut Feener, perkembangan tradisi Tabut memiliki beberapa masalah yang
terkait dengan implikasi signifikan bagi identitas komunitas lokal dan elaborasi
budaya politik Orde Baru402
di Indonesia.403
Tabut merupakan tradisi yang
dikembangkan dalam rangka memberikan gambaran atas masyarakat Bengkulu
sehingga tradisi tersebut mengalami berubahan baik bentuk maupun isi.404
Tabut
lebih sering ditekankan pada aspek budaya lokal sebagai perwujudan dari
kekayaan Nasional daripada tradisi yang mencerminkan nilai-nilai keislaman.405
Sejak 1990, upacara ini dijadikan agenda wisata Kota Bengkulu, yang lebih
dikenal sebagai Festival Tabut.406
Pada masa Orde Baru, Tabut dipisahkan dari nilai-nilai yang bersifat religius.
Hal tersebut dikatakan oleh Gubernur Bengkulu Razie Jachya pada tahun 1992
bahwa Tabut tidak dicampuradukkan dengan agama karena Tabut bukan
upacara keagamaan hanya sebagai pelestarian budaya lokal.407
Menurut Rustam,
dalam memaknai Tabut haruslah dipandang sebagai budaya yang berdiri sendiri
tanpa unsur religius didalamnya. Hal tersebut dikarenakan jika ritual Tabut
dimaknai dalam konteks budaya dan agama sekaligus hanya memunculkan sifat
syirik dari ritual tersebut.408
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Binsar yang
mengatakan bahwa Tabut memiliki ritual khusus yang cukup dipandang sebagai
ritual budaya, bukan sebagai ritual agama.409
401
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 402
Menurut Buyung Asril, Tabut Pembangunan pada masa Orde Baru berfungsi untuk
menampilkan kesuksesan pembangunan dalam pameran pembangunan. Wawancara,
Buyung Asril, PNS, 07 Juli 2017. Lebih lanjut menurut Irwan Abdullah, pengingkaran
terhadap status kebudayaan yang beragam itu dapat menjauhkan dari sifat Bhinneka
Tunggal Ika. Hal ini sudah pemah diterapkan (pada masa pemerintahan Orde Baru)
dengan menerapkan ideologi pembangunan yang mementingkan homogenitas, yang
dengan prakondisi ini diharapkan pembangunan akan berlangsung dengan baik. Namun
faktanya, pengingkaran terhadap keragaman budaya itu justru menimbulkan berbagai
instabilitas sosial-budaya, politik, ekonomi dan keamanan di masyarakat. Lihat
Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot Bengkulu.‛ Jurnal Millah, Vol. XI, No. 2,
(Februari 2012): 581-582. 403
Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ 105. 404
Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ 109. 405
Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ 110. 406
Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ 49-50. 407
Michael Feener, ‚Tabut: Muharram Observances in the History of Bengkulu.‛ 109. 408
Wawancara, Rustam Effendi, pengurus Ketua I KKT, 24 Juli 2017. 409
Wawancara, Binsar, Kemendikbud Provinsi Bengkulu, 18 Juli 2017.
80
Ritual Tabut dikatakan mengalami desakan dari otonomi daerah, pariwisata, dan
otoritas pemerintahan. Karena pandangan terhadap bentuk, fungsi, serta makna
dari ritual Tabut di Bengkulu hanya menggunakan makna tunggal bukan makna
majemuk. Seharusnya ritual Tabut dapat ditafsirkan berbeda-beda sesuai tempat
dan waktu yang berlainan karena bagaimanapun Tabut selalu memuat sifat-sifat
dan makna yang berakar pada konteks sosio-kultural.410
Fenomena sosial budaya lainnya adalah kuatnya kecenderungan pergeseran
ritual Tabut dari ritual sakral ke seni pertunjukkan yang dikategorikan sebagai
pseudoritual yang bercirikan/ditandai oleh adanya distorsi nilai-nilai ritual.
Seiring dengan itu muncullah tontonan yang bersifat (semi) sekuler, di satu sisi
aspek ritualnya mulai tergerus, tetapi di sisi lain ia belum bisa dikategorikan
sebagai seni yang komersial.411
Meski begitu, hal tersebut dapat dipahami ketika
definisi kebudayaan ketika diperluas untuk mencakup industri budaya (termasuk
pariwisata) menjadi sarana untuk menghasilkan pendapatan dan menciptakan
lapangan kerja serta alat bagi masyarakat membangun dan meningkatkan
kualitas hidup rakyat.412
Sementara itu menurut Rustam, pemerintah mendukung pelestarian Tabut
sebagai komoditas budaya. Pada mulanya, Tabut sakral dan Tabut Pembangunan
berada dalam satu naungan yang sama yaitu Kerukunan Keluarga Tabut (KKT).
Keluarga Kerukunan Tabut dibentuk pada tahun 1993 oleh para tokoh-tokoh
Tabut. Ide itu sudah muncul sejak awal tahun 1991, ketika para perwakian dari
Provinsi Bengkulu diundang ke Jakarta untuk menampilkan seni budaya yang
dimiliki, saat itu Bengkulu menampilkan Tabut dengan alat musik Dol.413
Namun, sejak Desember 2015 Tabut terpecah menjadi dua,414
Tabut sakral yang
dikelolah oleh KKT dan Tabut Pembangunan yang dikelolah oleh Kerukunan
Tabut Budaya (Ketab) karena keduanya mempunyai visi dan misi yang berbeda
dalam memandang Tabut. Hal tersebut juga dikarenakan isu yang berkembang
jika dalam melaksanakan kegiatan ritual Tabut, pengikut Tabut menggunakan
dana swadaya masyarakat, yang tidak dibenarkan oleh pemerintah.415
Menurut Nelly, bahwa kemunculan Tabut Pembangunan berawal dari
permasalahan yang terjadi antara pengikut Tabut itu sendiri, mereka yang
masing-masing mengklaim sebagai keturunan dari Syech Burhannudin (Imam
Senggolo) ingin menjadi pelaksana dari ritual Tabut karena dengan demikian
410
Endang Rochmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu Paradigma
Dekonstruksi.‛ 50. 411
Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit
Citra, 2009), 51. 412
Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2015), 28. 413
Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit
Citra, 2009), 101. 414
Wawancara, Ahmad Syafril, Ketua KKT, 1 Agustus 2017. 415
Wawancara, Rustam Effendi, Pengurus KKT, 24 Juli 2017.
81
mereka akan memperoleh bantuan dana dari pemerintah.416
Menurut ketua
Kerukunan Tabut Budaya menjelaskan bahwa terpisahnya Tabut sakral yang
berada dibawa naungan Keluarga Keturunan Tabut dengan Tabut pembangunan
yang masuk dalam Kerukunan Tabut Budaya karena adanya indikasi syirik417
dalam ritual Tabut dan kuatnya aliran Syi’ah di dalamnya. Kondisi tersebut
menjadi salah satu alasan yang akhirnya membuat mereka memisahkan diri.
Kerukunan Tabut Budaya hanya menjalankan malam Tabut besanding dan
Tabut tebuang.418
Secara umum Tabut pembangunan memiliki tujuan untuk membantu
perekonomian masyarakat dengan diadakannya bazar selama kegiatan acara
Tabut diselenggarakan. Pemerintah mengharapkan melalui bazar tersebut,
masyarakat di luar Bengkulu akan berkunjung sehingga mengetahui tentang
Bengkulu. Tabut pembangunan juga bertujuan untuk menggambarkan
perkembangan pembangunan di Bengkulu.419
Tabut pembangunan di
selenggarakan dalam bentuk festival Tabut karena pemerintah memandang
Tabut sakral sebagai atraksi budaya.420
Salah satu yang menarik dari festival Tabut421
adalah adanya perlombaan
telong-telong, yaitu patung-patung besar yang berbentuk ikan, macan, burung,
ataupun bentuk-bentuk hewan lainnya. Menurut ketua KKT, dahulu patung-
patung tersebut muncul untuk menyambut bulan Tabut. Kemunculannya juga
sebagai simbolisasi bahwa seluruh mahluk hidup yang ada ikut berduka dan
menangisi wafatnya Husein. Namun dalam perkembangannya, masyarakat
Tiong Hoa ikut memeriahkan kegiatan Tabut sehingga muncullah telong-telong
hingga saat ini.422
Pada tahun 1990-an pemerintah memiliki agenda pariwisata untuk setiap daerah.
Tabut pembangunan terpilih menjadi even nasional.423
Kehadiran Tabut
416
Nelly Marhayati, ‚Dinamika Kelompok Minoritas dalam Mempertahankan Tradisi
Studi pada Keluarga Kerukunan Tabot di Bengkulu.‛ 20. 417
Sebagian masyarakat ada yang beranggapan syirik karena adanya sesaji yang terdapat
dalam ritual Tabut, selanjutnya seringnya terjadi kesurupan ketika prosesi ritual Tabut
berlangsung. Walaupun didalam ritual Tabut juga ada doa-doa secara Islami, namun
tetap saja ritual tersebut identik dengan pemujaan. Wawancara, Yanhar Hamedi,
Masyarakat, 04 Juli 2017. 418
Wawancara, Idramsyah, Ketua Kerukunan Tabut Budaya, 19 Juli 2017. 419
Wawancara, Dihwanto, Pegawai Negeri Sipil, 13 Juli 2017. 420
Wawancara, Buyung Asril, Pegawai Negeri Sipil, 07 Juli 2017. 421
Acara festival Tabut berlangsung dari tanggal 2 Oktober sampai dengan 9 Oktober
2016, acara tersebut dilakukan di panggung utama yang berada berlokasi View Tower
Bengkulu. Pembukaan acara festival Tabut 2016 di Kota Bengkulu bermacam acara
diselenggarakan seperti lomba tari kreasi Tabut, lomba musik dhol, lomba tari Melayu,
lomba tari permainan rakyat/ikan-ikan, lomba telong-telong (hiasan lampu dengan
bentuk karakter) yang diikut kesenian Bengkulu dan masyarakat Bengkulu. 422
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 423
Wawancara, Buyung Asril, Pegawai Negeri Sipil, 07 Juli 2017.
82
pembangunan pada dasarnya untuk membedakan dengan Tabut sakral. Melalui
Tabut pembangunan dapat memunculkan dinamika ekonomi, dinamika ukhuwah
persaudaraan, dan penghargaan terhadap kearifan lokal.424
Eksistensi Tabut pembangunan tersebut, dapat dipahami dengan kearifan lokal
dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa usaha
kebudayaan harus menuju kearah kemajuan, adab, budaya, dan persatuan,
dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan sendiri, serta mempertinggi
derajat kemanusian bangsa.425
Menurut anggota KKT, Tabut pembangunan merupakan Tabut perhiasaan yang
berfungsi untuk memeriahkan rangkaian kegiatan tersebut. Tabut pembangunan
juga tidak melakukan ritual seperti Tabut sakral, sehingga bangunan Tabut
tersebut dapat dibuang dimana saja ataupun disimpan dan digunakan kembali
ketika kegiatan Tabut berikutnya.426
Dalam kegiatan Tabut pembangunan tidak
hanya melibatkan Dinas Pariwisata tetapi juga Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan yang berpartisipasi dalam melestarikan adat dan tradisi.427
D. Makna Budaya dalam Ritual Tabut
Menurut Catherine Bell, gagasan tentang ritual pertama kali muncul pada abad
kesembilan belas di Eropa.428
Sejak saat itu, pemaknaan ritual semakin beragam
namun tetap berkaitan dengan budaya dan agama. Meski begitu, ritual lebih
dipandang sebagai fenomena sosial sebagai konstruksi simbolis yang berkaitan
dengan pengalaman manusia.429
Menurut George Marcus dan Michael Fisher,
ritual dapat dimaknai secara sistematis dan interpretatif berdasarkan
pengalaman. Oleh karena itu, ritual sebagai bidang penelitian ilmiah
memerlukan sebuah disiplin, salah satunya adalah disiplin komunikasi.430
Menurut Littlejohn, komunikasi antara individu atau kelompok sosial dapat
terjadi melalui tradisi. Salah satunya melalui tradisi kultural. Tradisi kultural
adalah tradisi yang mengkaji tentang makna dan nilai suatu kelompok sosial dan
bagaimana makna serta nilai tersebut terartikulasikann dalam simbol-simbol
yang digunakan. Dengan demikian, suatu tradisi dapat dikaji dalam konteks
komunikasi.431
Komunikasi yang terjadi didalam ritual dapat dipahami sebagai
suatu upacara sakral (sacred ceremony) dari sekumpulan individu-individu yang
424
Wawancara, Rohimin, Ketua MUI, 17 Juli 2017. 425
Darwis Muhdina, ‚Kerukunan Umat Beragama Berbasis Kearifan Lokal di Kota
Makassar.‛ Jurnal Diskursus Islam, Vol. 3, No. 1, (2015), 28. 426
Wawancara, Samsinar, Pengikut Tabut, 04 Juli 2017. 427
Wawancara, Firman, Pegawai Negri Sipil, 31 Juli 2017. 428
James W Carey, Communication as Culture: Essays on Media and Society (New York
dan London: Routledge, 2009), 13. 429
Catherine Belle, Ritual Theory Ritual Practice (New York: Oxford University Press,
2009), 14-15. 430
Catherine Belle, Ritual Theory Ritual Practice, 16. 431
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKiS, 2007), 14-15.
83
secara bersama dan berkelompok melaksanakan doa, bernyanyi, dan
seremonialnya.432
Pendekatan komunikasi Islam secara umum berfungsi untuk memberi manfaat
untuk seluruh manusia. Menurut Mohd. Yusof Hussain, komunikasi Islam
merupakan proses menyampaikan atau pertukaran pesan dengan menggunakan
prinsip dan kaidah komunikasi yang terdapat dalam alquran dan Hadis yang
sering dipahami sebagai dakwah.433
Dakwah adalah usaha peningkatan
pemahaman keagamaan untuk mengubah pandangan hidup, sikap batin dan
perilaku umat sesuai dengan ketentuan syariat untuk memperoleh kebahagiaan
hidup di dunia dan akhirat.434
Menurut Hamid Mowlana, karena proses interaksi dalam komunikasi agama
berdasarkan pada etika agama dan etika sekuler dari luar agama yang bersifat
normatif, maka komunikasi Islam yang memiliki fungsi untuk menciptakan
keteraturan dalam masyarakat harus berdasarakan prinsip tauhid dan 'amr bi al-ma'ru>f wa nahy 'an al-munkar.435
Hubungan ritual dengan komunikasi dapat dipahami melalui definisi komunikasi
yang berarti ‘berbagi, partisipasi, asosiasi, dan keterkaitan terhadap kepercayaan
yang sama.’ Atas dasar definisi tersebut, ritual dapat dipahami sebagai
representasi pemeliharaan terhadap kepercayaan yang sama, bukan sebagai
proses transmisi informasi, pesan, atau nilai semata. Karena itu, ritual sering
ditampilkan sebagai upacara/ritual sakral yang dilaksanakan oleh kelompok
sosial tertentu.436
Menurut Emile Durkheim, ritual telah menjadi fenomena sosial yang memiliki
potensi dalam pembentukkan dan penguat hubungan sosial manusia. Selain itu,
ritual merupakan tindakan relasional yang memungkinkan terjadinya
komunikasi sekaligus berfungsi sebagai alat penghindar konflik.437
Berbicara mengenai ritual Tabut di Bengkulu telah banyak menghasilkan
beberapa penelitian dari berbagai perspektif. Poniman dalam Nelly Marhayati
menambahkan bahwa Tabut hanya dianggap sebagai ritual kebudayaan.
432
Petrus Ana Andung, ‚Perspektif Komunikasi Ritual Mengenai Pemanfaatan Natoni
Sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Masyarakat Adat Boti dalam di
Kabupaten Timur Tengah Selatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur.‛ Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 1, (Januari - April 2010): 4. 433
Zulkiple ABD Ghani, Islam Komunikasi dan Teknologi Maklumat (Kuala Lumpur:
Utusan Publications and Distributors Sdn Bhd, 2003), 3. 434
M Anis Bachtiar, ‚Dakwah Kolaboratif: Model Alternatif Komunikasi Islam
Kontemporer.‛ Jurnal Komunikasi Islam, No. 1, Vol. 3, (Juni 2013): 153. 435
Hamid Mowlana, ‚Foundation of Communication in Islamic Societies‛ dalam Jolyon
Mitchell dan Sophia Marriage (ed), Mediating Religion Conversations in Media, Religion and Culture (New York: T&T Clark Ltd, 2003), 310-312. 436
James W Carey, Communication as Culture: Essays on Media and Society (New York
dan London: Routledge, 2009), 15. 437
Daniel Z Kahar, Relational Rituals and Communication: Ritual Interaction in Groups
(New York: Palgrave Macmillan, 2013), 6.
84
Alasannya, penganut aliran Suni di Indonesia telah mengenal tradisi-tradisi yang
berkaitan dengan hari Asyura (10 Muharram), khususnya bagi masyarakat
Bengkulu sebagai local indigenous. Hal tersebut menunjukkan adanya
pergeseran makna ritual Tabut dan adanya akulturasi dari teologi Syiah dan
tradisi Islam masyarakat Bengkulu.438
Hal tersebut, seperti diungkapkan oleh
Rizqi Handayani, meskipun ritual Tabut merupakan versi lain dari tradisi
Takziyah yang dilakukan oleh kalangan Syi'ah di wilayah Asia Selatan (India).
Namun karena ritual tersebut telah dilaksanakan dari generasi ke generasi di
Bengkulu, sehingga dianggap sebagai warisan kebudayaan Bengkulu tanpa
kebudayaan Syiah didalamnya.439 Menurut Chiara Formichi dan Feener, fungsi
dari ritual Tabut adalah untuk mengajarkan nilai-nilai kebudayaan sekaligus
mengaplikasikannya dalam batas-batas yang berbeda. Atas dasar tersebut maka
wajar apabila nilai ajaran Syiah yang ada dalam ritual Tabut tereduksi menjadi
nilai-nilai kebudayaan.440
Seperti telah diketahui, penyebaran Islam ke Nusantara menunjukkan akomodasi
terhadap budaya atau tradisi. Sehingga Islam dianggap sebagai agama yang
memainkan peran penting dalam transformasi kebudayaan di Nusantara. Hal ini
menunjukkan bahwa karakter penyebaran Islam awal di Nusantara yang bersikap
akomodatif terhadap tradisi atau budaya masyarakat setempat tanpa
memberantas praktik-praktik lokal masyarakat.441
Berbicara mengenai interaksi agama dan budaya dalam rangka
mengimplementasikan nilai religius keagamaan ke dalam muatan lokal budaya,
maka setidaknya akan muncul tiga bentuk interaksi. Pertama, terjadi benturan
antara agama dan budaya. Kedua, adanya kompromi antara agama dan budaya.
Seperti penerimaan agama hanya sebatas simbol adapun substansi berupa
kepercayaan terhadap leluhur tetap dijaga. Ketiga, mengambil bentuk hibriditas.
Artinya menerima agama sebagian saja, sisanya tradisi setempat.442
Menurut Russel, adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan
budaya lokal diakui dalam suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu us}ul al fiqh, bahwa ‚adat itu dihukumkan‛ (al-‘a>dah muh}akkamah) atau, lebih
lengkapnya, ‚adat adalah syari’ah yang dihukumkan‛ (al-‘a>dah shari’ah muh}akkamah) artinya adat atau kebiasaan suatu masyarakat, yaitu budaya
lokalnya adalah sumber hukum dalam Islam.443
Dalam perspektif ini komunikasi
438
Nelly Marhayati, ‚Dinamika Kelompok Minoritas dalam Mempertahankan Tradisi
Studi pada Keluarga Kerukunan Tabot di Bengkulu.‛ (2016): 14-15. 439
Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ 252. 440
Chiara Formichi R dan Michael Feener, Shi'ism in Southeast Asia: 'Alid Piety and Sectarian Constructions (New York: Oxford University Press, 2015) 198-199. 441
Muhammad Harfin Zuhdi, ‚Dakwah dan Dialektika Akulturasi Budaya.‛ Religia Vol.
15 No. 1, (April 2012): 53. 442
Muhammad Harfin Zuhdi, ‚Dakwah dan Dialektika Akulturasi Budaya.‛ Religia Vol.
15 No. 1, (April 2012): 52-53. 443
Ridwan Tohopi, ‚Tradisi Perayaan Isra’ Mi’raj dalam Budaya Islam Lokal
Masyarakat Gorontalo.‛ Jurnal el Harakah, Vol. 14, No. 1, 2012, 139.
85
Islam merupakan proses penyampaian atau tukar menukar informasi yang
menggunakan prinsip dan kaedah komunikasi dalam al-Qur’an.444
Feener menambahkan dalam Zulkifli bahwa dalam konteks ritual Tabut tidak
mengandung nilai ideologis ataupun ajaran Syi’ah.445
Hal tersebut menurut
Endang Rochmiatun disebabkan oleh desakan otonomi otonomi daerah,
pariwisata, dan otoriter pemerintahan terhadap eksistensi ritual Tabut.446
Sedangkan menurut ketua MUI Bengkulu, Rohimin menjelaskan bahwa perlu
adanya peninjauan kembali mengenai asal usul ritual Tabut, karena pengikut
Tabut sendiri tidak memahami tentang ajaran Syiah, secara historis pun belum
ditemukan sumber kuat yang menyatakan ritual tersebut berasal dari tradisi
aliran Syiah.447
Menurut Gumay ritual Tabut sebenarnya dapat berkembang menjadi sifat kultus
individu yang berlebihan yang pada prinsipnya tidak cocok dengan falsafah
Pancasila. Sedangkan dilihat dari sudut kebudayaan daerah dan kebudayaan
bangsa Indonesia pada umumnya, ritual Tabut merupakan salah satu bentuk
kesenian daerah yang memiliki tempat tersendiri dalam agenda kekayaan
budaya bangsa Indonesia.448
Sementara menurut Yulianti, secara umum, ada tiga nilai yang terkandung
dalam pelaksanaan ritual Tabut, yaitu: nilai Agama (sakral), sejarah, dan sosial.
Nilai-nilai Agama (sakral) dalam ritual Tabut salah satunya proses mengambik tanah mengingatkan manusia akan asal penciptaannya. Kedua, terlepas dari
adanya pandangan bahwa ritual Tabut mengandung unsur penyimpangan dalam
akidah, seperti penggunaan mantera-mantera dan ayat-ayat suci dalam prosesi
mengambik tanah, namun esensinya adalah untuk menyadarkan kita bahwa
keberagamaan tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai budaya setempat. Dan
ketiga, pelaksanaan Upacara Tabut merupakan perayaan untuk menyambutan
tahun baru Islam.449
Menurut Linda Astuti ritual Tabut merupakan tradisi yang
turun temurun dilaksanakan dan menjadi aset daerah. Ritual ini dilakukan
dengan sembilan ritual, dimana masing-masing ritual sarat dengan pesan dan
makna yang mengandung arti dan menceritakan sebuah sejarah atau kisah.450
444
Fitri Yani, ‚Pola Komunikasi Islam terhadap Tradisi Heterodoks (Studi Kasus Tradisi
Ruwatan).‛ Jurnal Analisis, No. 13, Vol. 1, (2017): 214. 445
Zulkifli, ‚Kesalehan ‘Alawi dan Islam di Asia Tenggara.‛ Studia Islamika, Vol. 23,
No. 3, (2016): 616. 446
Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ 50. 447
Wawancara, Rohimin, Ketua MUI Bengkulu, 17 Juli 2017. 448
Syuplahan Gumay, ‚Tradisi Tabot Sebagai Medium Pemersatu Masyarakat Kelurahan
Berkas Kecamatan Kota Bengkulu.‛ Jurnal Akses, No.8, Vol. 1, (2011): 89. 449
Yulianti, ‚Upacara Religi dan Pemasaran Pariwisata di Provinsi Bengkulu.‛ Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 5, No. 3, (2016): 190. 450
Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-
Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu).‛ 24.
86
Menurut Hendra Nasution, secara simbolik, ritual Tabut mempunyai makna
religius dan pesan moral yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan
bermasyarakat. Namun makna tersebut terus disempurnakan melalui proses
interaksi sehingga makna simbolik tersebut dapat berubah dari waktu ke
waktu.451
Ritual Tabut sebagai suatu ritual yang memiliki nilai-nilai menurut pandangan
masing-masing kelompok sosial dalam kehidupan masyarakat sehingga
menciptakan keragaman pemaknaan dalam memahami ritual tersebut. Kondisi
tersebut dapat dijadikan dasar untuk dilakukan suatu analisis mendalam untuk
mengungkapkan pemaknaan ritual Tabut sehingga diperoleh suatu pemikiran
untuk menyatukan kelompok sosial dalam keberagaman pemaknaan.
451
Hendra Nasution, ‚Tradisi dan Makna Simbolik Ritual Tabot pada Masyarakat Sipai
di Kota Bengkulu.‛ Jurnal Garak Jo Garik, Vol. 12, No. 1, (2016): 37-38.
87
BAB IV
PEMAKNAAN RITUAL TABUT DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI
Pada bab ini akan membahas keragaman pemaknaan ritual Tabut dalam
perspektif komunikasi dengan menggunakan teori meaning dari Gill Branston
dan Roy Stafford yang terdiri atas semiotik, struktural, dan denotasi-konotasi.
Analisis ini dimulai dengan bahasan ragam makna budaya dalam ritual Tabut,
selanjutnya menjelaskan tentang interpretasi budaya dalam pemaknaan ritual
Tabut, serta pemaknaan sebagai pola pemersatu komunikasi interpretasi budaya.
A. Ragam Makna Budaya dalam Ritual Tabut
Ritual Tabut sebagai kearifan lokal (local wisdom) merupakan bentuk nilai-nilai
religiusitas yang dianut oleh kelompok sosial melalui tatanan hidup. Karena
ritual merupakan komunikasi berupa pemaknaan tanda atas sistem kepercayaan
yang bersifat religius. Oleh sebab itu, ritual Tabut tidak dapat terlepas dari
sistem nilai dan sistem norma dari masyarakat Bengkulu secara umum. Ritual
Tabut seharusnya dipandang sebagai ritual yang memiliki unsur-unsur
keagamaan bukan sebagai ajaran inti keagamaan. Dengan demikian, pelaksanaan
ritual Tabut sebagai media dakwah untuk mensyiarkan nilai-nilai keislaman
sehingga apabila tidak dilaksanakan pun tidak menjadi permasalahan.
Kebudayaan selalu berkembang bahkan berevolusi karena adanya adaptasi,
asimilasi atau akulturasi dengan nilai budaya asing.452
Akulturasi disebabkan
proses kelompok sosial dihadapkan dengan pengaruh kebudayaan lain. Proses itu
terjadi dengan cara mengambil secara selektif, baik sedikit atau banyak unsur
kebudayaan asing itu, dan sebagian berusaha menolak pengaruh itu.453
Akulturasi hadir melalui percampuran budaya kelompok sosial yang hidup
bersama dengan budaya kelompok sosial lainnya.454
Baik dalam hubungan
perdagangan ataupun pemerintahan.455
Menurut Nelly Marhayati akulturasi yang terjadi dalam ritual Tabut dari asal
mula aspek teologi Syi’ah dan tradisi Islam masyarakat Bengkulu.456
Ritual
Tabut mengalami proses akulturasi karena dalam ritual tersebut terdapat
beberapa budaya lain, diantarnya budaya etnis India, etnis Melayu yang
menampilkan ‚Ikan-ikan‛ dan etnis Tionghoa melalui ‚Telong-telong.‛
452
Sumper Mulia Harahap, ‚Akomodasi Hukum Islam terhadap Kebudayaan Lokal
(Studi terhadap Masyarakat Muslim Padangsidimpuan).‛ Jurnal Hukum Islam, Vol. 15,
No. 2, (Desember 2016): 331. 453
Hedi Heryadi dan Hana Silvana, ‚Komunikasi Antarbudaya dalam Masyarakat
Multikultur.‛ Jurnal Kajian Komunikasi, Vol. 1, No. 1, (Juni 2013): 103. 454
Imam Amrusi Jailani, ‚Dakwah dan Pemahaman Islam di Ranah Multikultural.‛
JurnalWalisongo, Vol 22, No. 2, (November 2014): 415. 455
Hedi Heryadi dan Hana Silvana, ‚Komunikasi Antarbudaya dalam Masyarakat
Multikultur.‛ Jurnal Kajian Komunikasi, Vol. 1, No. 1, (Juni 2013): 96. 456
Nelly Marhayati, ‚Dinamika Kelompok Minoritas dalam Mempertahankan Tradisi
Studi pada Keluarga Kerukunan Tabot di Bengkulu.‛ 2016
88
Ketiganya saling membaur satu sama lain. Hal tersebut menjadi bukti bahwa
masyarakat Bengkulu merupakan masyarakat multietnis yang harmonis.457
Menurut Hendra Nasution, akulturasi pada ritual Tabut juga terlihat dari alat-
alat yang digunakan seperti benda-benda khusus dan alat musik menunjukkan
benda lokal khas daerah Bengkulu.458
Atas dasar kenyataan diatas, proses interaksi yang terjadi antara kebudayaan
lokal dengan kebudayaan lain bersifat saling melengkapi dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai kebudayaan dasar setempat. Seperti hal nya yang
terjadi dalam ritual Tabut menunjukkan adanya proses akulturasi, bukan sebatas
budaya yang diwariskan, dan pada akhirnya berpengaruh pada pemaknaan ritual
tersebut.
Terjalinnya ikatan emosional ritual Tabut dengan pengikutnya membuat ritual
tersebut terus terjaga. Menurut Syiafril, eksistensi ritual Tabut dapat bertahan
hingga saat ini bukan karena keyakinan dari pengikut Tabut yang mengatakan
jika ritual tersebut tidak dilaksanakan maka akan mengakibatkan musibah,
khususnya bagi mereka. Walaupun sebagian pengikut Tabut meyakini bahwa
ritual Tabut ini dapat mendatangkan keselamatan dan menjauhkan diri dari
malapetaka dan warisan nenek moyang yang memiliki nilai sosial sehingga perlu
dilestarikan. Lebih lanjut menurutnya, musibah dapat terjadi dimanapun dan
kapanpun, karena hal tersebut merupakan ketentuan dari Allah swt, sama sekali
tidak ada kaitannya dengan atau tidak dilaksanakannya ritual Tabut.459
Kelompok sosial sebagai pemilik budaya seharusnya juga memahami
pemaknaan yang terkandung didalam ritual Tabut. Terutama jika memaknai
ritual Tabut secara simbolik, harus dipahami makna dibalik simbol tersebut,
tidak dapat dipahami apa adanya.460
Hal tersebut diperkuat oleh pandangan
Rohimin yang menjelaskan bahwa statement tentang keharusan melaksanakan
ritual Tabut tidak dilakukan maka akan terjadi musibah, hanya suatu ajaran agar
komunitas melestarikan suatu tradisi, maka itu bukan makna yang sebenarnya,
melainkan makna simbolik agar ritual tersebut tetap dipertahankan.461
Karena
pada umumnya masyarakat mengatakan bahwa ritual Tabut dapat terus
457
Alfarabi, Alex Abdu Chalik, Rasiana Br Saragih, ‚Struktur Perayaan Tabut dalam
Mendukung Bauran Budaya.‛ Jurnal Idea, Vol. 6, No. 24, (Juni 2012): 9-10. 458
Hendra Nasution, ‚Tradisi dan Makna Simbolik Tradisi Tabot pada Masyarakat Suku
Sipai di Kota Bengkulu,‛ 22. 459
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2016. Alasan lain
ritual Tabut tetap dipertahankan eksistensinya oleh pengikut Tabut karena beberapa
hadis yang berkaitan tentang Husain. Ibnu Majah dikutib oleh Alhusaini: ‚Hussain adalah dari-ku dan aku dari Hussain, ya Allah cintailah orang yang mencintai Husain.‛Al-Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah bersabda:‚
Hasan dan Husain adalah kembang mekarku di dunia ini.‛ Lihat Achmad Syiafril Sy,
Buku Putih the Tabubencoolen. At-Tarmizi dari Usman bin Zaid, Rasulullah bersabda:
keduanya adalah 460
Wawancara, Rohimin, Ketua MUI Bengkulu, 17 Juli 2017. 461
Wawancara, Rohimin, Ketua MUI Bengkulu, 17 Juli 2017.
89
dilakukan karena ritual tersebut sama sekali tidak mengganggu keyakinan
masyarakat terhadap agama yang dianutnya.
Sebagai ritual yang menunjukkan dramatikal dengan rangkaian skenario.
Menurut Syiafril fungsi ritual Tabut adalah untuk mengenang dan berdoa untuk
semua yang syahid di Padang Karbala, khususnya Husain. Mengenang kejayaan
Islam yang pernah terjadi pada abad ke 7 dan 8. Menyambut tahun baru Hijriyah
serta memuliakan dan menghormati Ahlul Bait.462
Menurut Amril Chanras
dalam Syiafril menjelaskan bahwa dalam ritual Tabut terdapat pesan moral agar
tidak membuang keimanannya demi kekuasaan seperti Yazid.463
Ritual diperingati secara teratur berdasarkan waktu yang telah ditentukan
karena ritual tersebut dianggap penting. Lebih lanjut, hal tersebut terjadi karena
berbagai konsepsi tentang ritual yang memiliki makna-makna khusus. Dengan
demikian, ritual dapat dipahami sebagai nilai-nilai yang secara terus menerus
dijalankan dari generasi ke generasi berikutnya. Nilai-nilai tersebut akan terus
diterima jika sesuai dengan pandangan mereka.464
Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, terdapat dua ritual
penting yang harus mereka lakukan sebelum melakukan prosesi-prosesi yang
telah lazim diketahui oleh masyarakat pada umumnya, yaitu pertama, doa
mohon izin kepada Allah swt yang dilaksanakan di Mushala Kerabela pada
tanggal 28 atau 29 Dzulhijjah, diawali dengan shalat magrib, membaca Yassin,
tahlil, dan memohon izin untuk memulai prosesi ritual Tabut, ditutup dengan
shalat Isya. Kedua, melakukan doa mohon keselamatan kepada Allah swt yang
dilaksanakan pada tanggal 29 atau 30 Dzulhijjah. Doa tersebut dalam rangka
memohon kepada Allah swt agar terhindar dari malapetaka, baik yang datang
dari gunung, maupun dari laut. Setelah selesai berdoa, prosesi dilanjutkan ke
pantai Zakat dengan melepaskan sampan yang bermakna mengenang
kedatangan pembawa Tabut yang datang melalui jalur laut. Melalui dua prosesi
diatas yang intinya adalah berdoa menunjukkan bahwa sebagai manusia
memiliki keterbatasan sehingga mereka melibatkan sesuatu yang lebih besar
dari dirinya yaitu Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa ritual Tabut tidak hanya
sebagai bentuk penghormatan terhadap Husain tetapi juga penghormatan
terhadap Allah swt. Adapun tahapan-tahapan selanjutnya dari ritual Tabut,
antara lain:
- Simbol Mengambik Tanah Ritual ini dilakukan pada malam satu Muharram. Ritual diawali dengan doa dan
mengirimkan shalawat yang dipimpin oleh Ketua Keluarga Kerukunan Tabut.
Dalam ritual ini juga terdapat benda-benda yang terdiri atas bubur merah dan
bubur putih, gula merah, sirih, rokok, kopi, air serbat, dadih (susu sapi murni),
462
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih Tabutbencoolen, 3. 463
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih Tabutbencoolen, 12. 464
M Yamin Sani, ‚Erau: Ritual Politik dan Kekuasaan.‛ Jurnal Al-Qalam, Vol. 18, No.
2, (Juli-Desember 2012): 298.
90
air cendana, air selasih.465
Fungsi benda-benda yang berupa makanan atau
minuman dalam suatu ritual secara simbolik mengacu pada kebutuhan dasar
manusia.466
Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh Syiafril bahwa fungsi dari
makanan dan minuman yang terdapat dalam ritual Tabut adalah untuk
dikonsumsi oleh pengikut Tabut setelah melakukan setiap prosesi dalam ritual,
bukan seperti yang dipahami selama ini sebagai sasajen untuk roh nenek
moyang.
Prosesi mengambik (mengambil) tanah dimulai dengan cara meletakkan dua
lembar kain kafan yang berbentuk persegi empat di permukaan tanah, diambilah
dua kepal tanah yang dilakukan secara bertahap, yang nantinya dibungkus dan
dimasukkan ke dalam baki yang dibalut kain berwarna kuning. Selanjutnya baki tersebut dibawah ke gergah di daerah Berkas. Ketika prosesi Tabut tebuang,
tanah tersebut dinaikkan ke dalam Tabut dan kemudian dikuburkan.467
Ritual mengambik tanah dianggap mempunyai makna magis sebagai simbol
jenazah Husain bin Ali. Tanah tersebut dibentuk dan dibungkus menggunakan
kain kafan. Tanah dalam ritual ini diambil dari tempat yang di anggap suci
ataupun sakral bukan yang dimaknai selama ini sebagai tempat yang keramat
serta mengandung unsur-unsur magis. Saat ini prosesi mengambik tanah di
lakukan di pantai Nala, di bawah Surau belakang Hotel Horizon. Pemindahan
tersebut disebabkan karena tempat yang sebelumnya dianggap sudah tidak suci
dan sakral.468
Kemudian tanah yang telah dibungkus tersebut di simpan di
Gergah.469
Secara mendasar prosesi ini dimaknai sebagai peringatan atau
mengenang kembali manusia yang pada awalnya diciptakan dari tanah dan
nantinya akan kembali menjadi tanah.470
Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi mengambik tanah adalah sebagai berikut:
465
Harapandi Dahri, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu (Jakarta: Penerbit
Citra, 2009), 89. 466
Jonathan A Draper, ‚Ritual Proces and Ritual Symbol in Didache.‛ Vigiliae Christianae, Vol. 54, No. 2, (2000): 147. 467
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih Tabutbencoolen, 27. 468
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. Sebelumnya
pengambilan tanah dilakukan di Tapak Padri yang terletak di dekat Benteng
Marlborough dan Anggut, yang berada di pemakaman umum Pasar Tebek Endang
Rochmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ 51. 469
Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot Bengkulu.‛ Jurnal Millah, Vol. XI, No. 2,
(Februari 2012): 589-590. 470
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. Lihat juga
Person Pesona Renta, ‚Tabot Upacara Tradisi Masyarakat Pesisir Bengkulu.‛ Jurnal Sabda, No. 6, Vol. 1, (April 2011): 50.
91
Bagan 4.1 Trikotomi Peirce pada prosesi mengambik tanah.
Tanah sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi
sebagai sinsign karena tanah ada secara aktual. Trikotomi kedua dalam prosesi
ini adalah dua kepal tanah sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena
menjadi tanda yang menggantikan representament berupa tanah dengan
berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang
merupakan interpretant adalah asal mula manusia yang berasal dari tanah
kembali ke tanah, tanda tersebut muncul dengan melibatkan penafsir yang
mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan pemaknaan atas tanah
maka posisinya sebagai argument. Prosesi mengambik tanah menyimbolkan kemunculan manusia yang berawal
dari tanah. Hal tersebut dapat terlihat melalui rangkaian kegiatan ritual ini yang
melibatkan kain putih dan tanah yang juga dilengkapi dengan bahan-bahan yang
telah ditentukan. Makna mengambik tanah adalah asal mula manusia yang
berasal dari tanah maka akan kembali ke tanah. Asal mula manusia merupakan
interpretant, yang menjadi representament adalah tanah, sedangkan yang
merupakan object adalah dua kepal tanah. Hubungan antara representament dan
object adalah symbol. Berdasarkan teori semiotik Peirce maka objek dalam ritual Mengambik Tanah
adalah dua kepal tanah yang ditandakan sebagai simbol asal mula manusia,
sehingga muncullah pemaknaan dalam ritual ini adalah manusia berasal dari
tanah dan akan kembali ke tanah.
- Simbol Duduk Penja Ritual Duduk Penja mulai dilaksanakan pada tanggal 4 dan 5 Muharram, ritual
ini dimulai pada sore hari pukul 16.00 WIB. Penja ialah benda yang terbuat dari
kuningan, perak atau tembaga yang berbentuk telapak tangan manusia lengkap
dengan jari-jarinya. Penja berarti tangan lima jari yang merupakan simbol salah
92
Bagan 4.2 Trikotomi Peirce pada prosesi duduk penja.
satu the pilar of Islam (shalat lima waktu).471
Ritual ini dimulai dengan berdoa
dan mengirimkan shalawat. Selanjutnya Penja dicuci dengan jeruk limau dan
bunga melur (melati), ritual ini juga dilengkapi oleh benda-benda yang terdiri
atas, air serobat, susu murni, air kopi pahit, nasi kebuli, pisang emas dan tebu.
Setelah dicuci, Penja yang berjumlah 13 pasang itu ditegakkan secara
berpasangan, setelah itu Penja tersebut dimasukkan ke dalam Gergah, selama
prosesi ini berlangsung juga diiringi oleh musik Dhol. Keluarga Tabut meyakini bahwa penja itu mengandung magis, maka ia harus
dicuci terlebih dahulu pada setiap tahunnya sebelum ritual Tabut dilaksanakan.
Penja dicuci dengan air bunga dan air limau.472
Penja yang dianggap sebagai
benda keramat yang mengandung unsur magis, harus dicuci dengan air limau
setiap tahunnya.473
Menurut Syiafril, proses mencuci penja yang ada pada
prosesi duduk penja menyimbolkan membersihkan/menyucikan diri. Artinya, the pilar of Islam, dalam hal ini yang dimaksud adalah menjalankan shalat lima
waktu akan dapat terlaksana jika sebelumnya manusia menyucikan diri terlebih
dahulu yang dimulai dengan tangan.
Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi duduk penja
adalah sebagai berikut:
471
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 472
Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ 246-247. 473
Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, No. 14, Vol. 2, (2014): 51.
93
Tangan sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi
sebagai sinsign karena secara aktual tangan itu ada. Trikotomi kedua dalam
prosesi ini adalah penja sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena
menjadi tanda yang menggantikan representament, berupa prosesi duduk penja
dengan berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus dipelajari. Walaupun
dalam hal ini adalah tangan memiliki persamaan bentuk dengan penja.
Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah the pilar of Islam,
kehadiran tanda tersebut karena melibatkan penafsir yang mempunyai premis
tertentu sehingga menyimpulkan pemaknaan penja maka posisinya sebagai
argument. Prosesi duduk penja menyimbolkan the pilar of Islam. Hal tersebut dapat terlihat
melalui rangkaian kegiatan ritual ini yang menyusun 13 pasang penja dalam
posisi berdiri dengan dilengkapi dengan benda-benda pelengkap. Makna duduk penja adalah menegakkan the pilar of Islam. The pilar of Islam merupakan
interpretant, yang menjadi representament adalah tangan, sedangkan yang
merupakan object adalah penja. Hubungan antara representament dan object adalah icon.
- Simbol Menjara
Prosesi Menjara berlangsung pada malam hari, tanggal 5 dan 6 Muharram mulai
pukul 19.30 WIB. Pada malam tanggal 5 Muharram, kelompok Tabut Bansal
mengunjungi kelompok Tabut Imam sedangkan pada malam tanggal 6
Muharram, kelompok Tabut Imam mengunjungi kelompok Tabut Bansal.
Menjara adalah berkunjung atau mendatangi kelompok lain untuk bertanding
Dhol. Dhol dalam acara ini disimbolkan dengan genderang perang pasukan
Husain bin Ali ketika berperang di Padang Karbala.
Menjara disimbolkan sebagai perjalanan panjang di malam hari, untuk
melakukan silatuhrahmi atau konsolidasi.474
Mengenang perjalanan Husain dari
Madinah ke Kuffah, walaupun pada akhirnya ia tidak sampai ke Kuffah, hanya
sampai di Karbala. Dengan membawa panji-panji kebesaran, kalimat tauhid,
genderang peperangan melawan kebiadaban, genderang seni, genderang perang
melawan kebiadaban yaitu dua malam, karena itu peringatan perang.475
Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi menjara adalah
sebagai berikut:
474
Person Pesona Renta, ‚Tabot Upacara Tradisi Masyarakat Pesisir Bengkulu.‛ Jurnal Sabda, No. 6, Vol. 1, (April 2011): 51. 475
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017.
94
Bagan 4.3 Trikotomi Peirce pada prosesi malam menjara
Arak-arakan sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi
sebagai sinsign karena arak-arakan ada secara aktual. Trikotomi kedua dalam
prosesi ini adalah menjara sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena
menjadi tanda yang menggantikan representament dengan berdasarkan konvensi
atau kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan
interpretant adalah mengenang perjalanan panjang Husain ke medan
peperangan, tanda tersebut muncul dengan melibatkan penafsir yang
mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan pemaknaan dari menjara
maka posisinya sebagai argument. Mengenang perjalanan Husain ke medan peperangan merupakan interpretant, yang menjadi representament adalah arak-arakan, sedangkan yang merupakan
object adalah menjara. Hubungan antara representament dan object adalah
symbol.
- Simbol Meradai Prosesi meradai dilaksanakan pada tanggal 6 Muharram yang dimaknai sebagai
pemberitahuan tentang wafatnya Husain, pemberitahuan itu bertujuan untuk
mengetahui siapa saja yang berduka dengan musibah ini dan siapa saja yang
peduli.476
Saat ini ritual tersebut ditunjukkan dengan kegiatan mengumpulkan
dana oleh Jola (bahasa Melayu yang artinya orang yang bertugas mengambil
dana untuk kegiatan kemasyarakatan) yang biasanya terdiri atas anak-anak
berusia 10-12 tahun.
Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi meradai adalah
sebagai berikut:
476
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017.
95
Bagan 4.4 Trikotomi Peirce pada prosesi meradai
Meminta-minta sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati
posisi sebagai sinsign karena kegiatan meminta-minta ada secara aktual.
Trikotomi kedua dalam prosesi ini adalah meradai sebagai object yang
fungsinya sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan
representament berupa kegiatan meminta-minta dengan berdasarkan konvensi
atau kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan
interpretant adalah informasi wafatnya Husain, tanda tersebut muncul dengan
melibatkan penafsir yang mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan
pemaknaan atas kegiatan meminta-minta maka posisinya sebagai argument. Prosesi meradai menyimbolkan informasi Husain wafat. Hal tersebut di
wujudkan dalam bentuk kegiatan meminta-minta yang saat ini dimaksudkan
untuk melihat siapa yang peduli terhadap eksistensi ritual Tabut dengan cara
memberi bantuan kepada pengikut Tabut. Informasi wafatnya Husain
merupakan interpretant, yang menjadi representament meminta-minta,
sedangkan yang merupakan object adalah meradai. Hubungan antara
representament dan object adalah symbol. Prosesi meradai kerap mengalami permasalahan dikarena adanya orang-orang
yang dengan sengaja menjadikan prosesi meradai sebagai alasan bagi mereka
untuk memperoleh bantuan/sumbangan dari masyarakat. Bahkan mereka
meminta-minta sebelum prosesi meradai dilaksanakan.
- Simbol Arak Penja (Jari-Jari)
Arak Penja atau yang lebih dikenal dengan sebutan arak jari-jari dilakukan pada
tanggal 7 Muharram pukul 19.30 malam. Malam arak penja dilaksanakan dengan
menempatkan Penja yang diletakkan di atas Tabut Coki, kemudian diarak dan
dikumpulkan di tempat yang telah ditentukan. Arakan tersebut melewati jalan-
96
Bagan 4.5 Trikotomi Peirce pada prosesi arak penja
jalan utama di kota Bengkulu. Setiap kelompok Tabut mengirimkan 10 hingga
15 orang untuk mengikuti kegiatan tersebut. Pada umumnya ritual tersebut
dipahami sebagai pemberitahuan kepada masyarakat bahwa tangan Husain telah
ditemukan di Padang Karbala.477
Walaupun menurut Syiafril makna yang
sebenarnya adalah mengenang Husain dalam menegakkan kalimat tauhid, juga
dimaknai sebagai simbol lima huruf Sang Pencipta dan simbol shalat lima
waktu. Yang artinya sama sekali tidak berkaitan dengan tubuh Husain.
Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi arak penja
adalah sebagai berikut:
Arak-arakan sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi
sebagai sinsign karena arak-arakan ada secara aktual. Trikotomi kedua dalam
prosesi ini adalah arak penja sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan representament berupa arak-arakan
dengan berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi
ketiga yang merupakan interpretant adalah mensyiarkan the pilar of Islam, tanda
tersebut muncul dengan melibatkan penafsir yang mempunyai premis tertentu
sehingga menyimpulkan pemaknaan atas arak-arakan maka posisinya sebagai
argument. Arak penja menyimbolkan mengenang Husain. Hal tersebut di wujudkan dalam
bentuk arak-arakan. Mengenang Husain dalam mensyiarkan the pilar of Islam
merupakan interpretant, yang menjadi representament adalah arak-arakan,
sedangkan yang merupakan object adalah arak penja. Hubungan antara
representament dan object adalah symbol.
477
Person Pesona Renta, ‚Tabot Upacara Tradisi Masyarakat Pesisir Bengkulu.‛ Jurnal Sabda, No. 6, Vol. 1, (April 2011):51.
97
Bagan 4.6 Trikotomi Peirce pada prosesi arak seroban
- Simbol Arak Seroban
Arak Seroban dilaksanakan pada tanggal 8 malam ke 9 Muharram, yakni
mempersiapkan Seroban untuk diarak bersama-sama Penja (Jari-Jari) pada
malam harinya. Arak seroban (mengarak sorban) atau disebut juga malam coki bersanding merupakan acara mengarak Penja ditambah dengan serban (sorban)
putih dan diletakkan pada tabut coki (tabut kecil). Tabut coki ini dilengkapi
dengan bendera/panji berwarna putih dan hijau atau biru yang bertuliskan nama
‚Hasan dan Husain‛ dengan kaligrafi Arab yang indah. Prosesi ini dilakukan
sebagai bentuk menjunjung tinggi kehormatan, kesucian, dan kebesaran
Husein.478
Sebagian lagi memaknai Arak seroban sebagai simbolisasi bahwa
sorban Husain telah ditemukan.
Arak Seroban sarat akan simbolisasi keislaman, di antaranya sorban atau
seroban yang melambangkan ajaran Islam, bahwa setiap pengikut Tabut
hendaklah memandang bahwa ajaran Islam harus dijunjung tinggi, dipedomani
dan dipatuhi. Selain itu, bendera panji mengandung arti kemenangan, untuk itu
setiap pasukan memiliki bendera panji yang senantiasa harus selalu ditegakkan,
karena jika bendera tersebut jatuh atau direbut lawan maka berarti pasukan
tersebut dinyatakan kalah. Sedangkan bendera berwarna hitam/biru dan hijau
merupakan perlambangan dari bendera Syi’ah dan bendera berwarna putih
perlambangan dari perdamaian.479
Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi arak seroban
adalah sebagai berikut:
478
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih The Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw
Bengkulen, 2016), 37. Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli
2017. 479
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017.
98
Seroban sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi
sebagai sinsign karena sorban ada secara aktual. Trikotomi kedua dalam prosesi
ini adalah arak seroban sebagai object yang berfungsi sebagai symbol karena
menjadi tanda yang menggantikan representament berupa sorban dengan
berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang
merupakan interpretant adalah menjunjung tinggi kehormatan Husain, tanda
tersebut muncul dengan melibatkan penafsir yang mempunyai premis tertentu
sehingga menyimpulkan pemaknaan atas tanah maka posisinya sebagai
argument. Prosesi arak seroban sebagai simbol kehormatan Husain. Hal tersebut dapat
terlihat melalui rangkaian kegiatan ritual ini yang mengarak sorban diatas tabut
kecil yang dinamai coki yang juga dihiasi dengan bermacam bunga dan lampu
berwarna-warni. Makna arak seroban adalah kehormatan Husain yang harus
terus dijunjung tinggi. Menjunjung tinggi kehormatan Husain merupakan
interpretant, yang menjadi representament adalah sorban, sedangkan yang
merupakan object adalah arak seroban. Hubungan antara representament dan
object adalah symbol.
- Simbol Hari Gham
Gham berasal dari kata ‚ghum‛ yang berarti berdiam, tertutup atau terhalang.480
Gham adalah waktu yang tidak boleh ada kegiatan apapun atau disebut juga
masa tenang. Gham ini dilaksanakan pada tanggal 9 Muharam pada sore hari
Dalam proesi ini dilarang membunyikan musik Dhol hingga prosesi Tabut Naik
Puncak.481
Selama masa tenang, seluruh kegiatan yang berhubungan dengan
pembuatan Tabut dihentikan. Kegiatan selama masa tenang ini adalah
mengenang hari kematian Husain. Pada masa ini, keluarga Tabut menampilkan
suasana duka cita atau sedih, seolah-olah pada saat itu terjadi musibah
kematian. Prinsip kesedihan ini menunjukkan rasa solidaiitas dan rasa
kebersamaan sesama kaum Muslim.482
Dalam tradisi Syiah, secara historis ritual berkabung dalam rangka
memperingati kematian Husain diinisiasi oleh Zaynab yang merupakan saudara
perempuan Husain. Zaynab menceritakan kisah tragis Karbala melalui nyanyian
dan ratapan-ratapan kesedihan.483
Hal tersebut dilakukan untuk memberikan
480
Endang Rochmiatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi.‛ Jurnal Tamaddun, Vol. 2, No. 14, (2014), 481
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 482
Sirajuddin M, ‚Urf dan Budaya Tabot Bengkulu.‛ Jurnal Millah, Vol. XI, No. 2,
(Februari 2012): 591. 483
Mary Elaine Hegland, ‚Shi'Women's Rituals in Northwest Pakistan: The
Shortcomings and Significance of Resistance.‛ Antropological Quarterly, summer 2003,
76, 3, 415.
99
Bagan 4.7 Trikotomi Peirce pada prosesi hari gham
gambaran dan latar belakang historis agar sarat emosi untuk kemudian diklaim
menjadi akar dari awal mula tradisi Ashura Syiah.484
Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi gham adalah
sebagai berikut:
Berdiam diri sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi
sebagai qualisign karena berdiam diri adalah tanda meskipun tidak berwujud.
Trikotomi kedua dalam prosesi ini adalah hari gham sebagai object yang
fungsinya sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan
representament berupa berdiam diri yang berdasarkan konvensi atau kaidah serta
harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah
belasungkawa atas kematian Husain, tanda tersebut muncul dengan melibatkan
penafsir yang mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan pemaknaan
atas hari gham maka posisinya sebagai argument. Belasungkawa merupakan interpretant, yang menjadi representament adalah
berdiam diri, sedangkan yang merupakan object adalah hari gham. Hubungan
antara representament dan object adalah symbol.
- Simbol Tabut Naik Puncak
Prosesi Tabut naik puncak merupakan prosesi menaikkan dan menyambungkan
bagian puncak Tabut dengan bagian bawah Tabut. Prosesi ini sebagai
simbolisasi menaikkan kejayaan gemilang Islam. Perlengkapan dalam prosesi ini
adalah kemenyan, daun setawar, daun sedingin, daun bunga melur, daun selasih,
484
Rachid Elbadri, Shia Rituals: The Impact of Shia Rituals on Shia Socio-Political
Character, Thesis, 35-41.
100
Bagan 4.8 Trikotomi Peirce pada prosesi Tabut naik puncak
dan beras kunyit.485
Menurut Syiafril, ritual tersebut merupakan simbol kejayaan
Islam yang pernah terjadi antara abad ke 7 dan abad ke 13.486
Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam ritual Tabut naik puncak adalah sebagai berikut:
Menaikkan bagian atas Tabut sebagai representament dalam trikotomi pertama
menempati posisi sebagai sinsign karena prosesi ini ada secara aktual. Trikotomi
kedua dalam prosesi ini adalah Tabut naik puncak sebagai object yang fungsinya
sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan representament
berupa menaikkan bagian atas Tabut dengan berdasarkan konvensi atau kaidah
serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah
kejayaan Islam, tanda tersebut muncul dengan melibatkan penafsir yang
mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan pemaknaan atas menaikkan
bagian atas Tabut maka posisinya sebagai argument. Prosesi Tabut naik puncak menyimbolkan kejayaan Islam. Walaupun hal
tersebut digambarkan dengan menaikkan bagian atas Tabut yang juga
dilengkapi dengan benda-benda pelengkap seperti kemenyan, bunga melur (melati), kunyit. Kejayaan Islam merupakan interpretant, yang menjadi
representament adalah menaikkan bagian atas Tabut, sedangkan yang
merupakan object adalah Tabut naik puncak. Hubungan antara representament dan object adalah symbol.
- Simbol Arak Gedang dan Tabut Besanding
485
Achmad Syiafril Syahboeddin, Buku Putih the Tabubencoolen (Bekasi: PT Walaw
Bengkulen, 2016), 40. 486
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017.
101
Bagan 4.9 Trikotomi Peirce pada prosesi arak gedang dan Tabut besanding
Menurut Syiafril, setelah Tabut naik puncak, selanjutnya malam tabut
besanding. Tabut besanding dilaksanakan pada malam 10 Muharram, yang
diawali dengan mengarak sampai menuju tempat yang telah ditentukan dan
bangunan Tabut tersebut disusun. Proses mengarak itu yang disebut dengan
istilah arak gedang. Arak gedang dan Tabut besanding dimaknai sebagai
mengenang kejayaan Islam yang pernah terjadi pada abad VII sampai dengan
abad XIII.487
Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi arak gedang dan
Tabut besanding adalah sebagai berikut:
Bangunan Tabut diarak dan disusun di suatu tempat sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi sebagai sinsign karena ada secara
aktual. Trikotomi kedua dalam prosesi ini arak gedang dan Tabut besanding
sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena menjadi tanda yang
menggantikan representament berupa kegiatan mengarak Tabut dan disusun ke
suatu tempat dengan berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus dipelajari.
Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah kejayaan Islam, tanda
tersebut muncul dengan melibatkan penafsir yang mempunyai premis tertentu
sehingga menyimpulkan pemaknaan atas mengarak dan menyusun bangunan
Tabut maka posisinya sebagai argument. Prosesi arak gedang dan Tabut besanding menyimbolkan kejayaan Islam.
Walaupun hal tersebut tidak dapat tergambarkan secara langsung dalam ritual
tersebut. Kejayaan Islam merupakan interpretant, yang menjadi representament adalah bangunan Tabut diarak dan disusun di suatu tempat, sedangkan yang
merupakan object adalah arak gedang dan Tabut besanding. Hubungan antara
representament dan object adalah symbol.
487
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017.
102
- SimbolTabut Tebuang Waktu pelaksanaan prosesi Tabut tebuang pada 10 Muharram. Sebelum prosesi
tersebut dilaksanakan, Tabutdiarak menuju Kerabela. Sebelum diarak, seluruh
Tabutmelakukan soja terlebih dahulu kepada Tabut Imam dan Tabut Bansal.
Ketua KKT menyambut arak-arakan Tabut di pintu gerbang Kerabela. Setelah
itu arak-arakan Tabut menuju kompleks pemakaman Kerabela, dan di sini
dilaksanakan prosesi penyerahan Tabut kepada leluhur di makam Syahbedan
Abdullah (ayahanda Syech Burhanuddin).488
Prosesi Tabut tebuang merupakan
ekspresi membuang keburukan, membuang kesombongan, dan klimaksnya
membuang kebiadapan. Serta mengenang said di Padang Karbala.489
Juga
dimaknai sebagai membuang keegoisan manusia, setelah keegoisan itu dibuang,
maka manusia kembali bersih.490
Pada akhir acara, Tabut dibuang di rawa-rawa yang terletak di samping komplek
pemakaman itu. Dengan dibuangnya Tabut, maka berakhirlah ritual Tabut di
Bengkulu. Makna Tabut Tebuang menurut Kartomi merupakan seremoni untuk
mengantarkan Husein menuju surga.491
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menurut Ketua KKT, dalam prosesi
Tabut Tebuang seharusnya Tabut dibuang didalam genangan air, namun
dikarenakan adanya drainase disekitar daerah Karabela sehingga tempat yang
terdapat genangan air itu sudah tidak ada lagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
dalam sebuah ritual, pemangku adat merupakan pihak yang berwenang untuk
menentapkan, menyertakan, ataupun mengubah elemen formal didalamnya, baik
berupa doa ataupun lainnya.492
Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi Tabut tebuang
adalah sebagai berikut:
488
Endang Roichmatun, ‚Tradisi Tabot pada Bulan Muharram di Bengkulu: Paradigma
Dekonstruksi,‛ Jurnal Tamaddun, No. 14, Vol. 2, 2014, 51. 489
Linda Astuti, ‚Pemaknaan Pesan pada Upacara Ritual Tabot (Studi pada Simbol-
Simbol Kebudayaan Tabot di Provinsi Bengkulu),‛ Jurnal Professional Fis Unived, No.
1, Vol. 3, Juni 2016, 24. 490
Wawancara, Jum, Masyarakat, 15 Juli 2017. 491
Kartomi J Margaret, ‚Muslim Music in West Sumatran Culture.‛ The World of Music, Vol. 28, No. 3, (1986): 28. 492
Theodore W Jennings, ‚On Ritual Knowledge.‛ The Journal of Religion, Vol. 62, No.
2, (April 1982): 256.
103
Bagan 4.10 Trikotomi Peirce pada prosesi Tabut tebuang
Tabut dibuang dan dihancurkan sebagai representament dalam trikotomi
pertama menempati posisi sebagai sinsign karena ada secara aktual. Trikotomi
kedua dalam ritual ini adalah Tabut tebuang sebagai object yang fungsinya
sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan representament berupa Tabut yang dibuang dan dihancurkan dengan berdasarkan konvensi atau
kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah membuang kesombongan, tanda tersebut muncul dengan melibatkan
penafsir yang mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan pemaknaan
atas tanah maka posisinya sebagai argument. Prosesi Tabut tebuang yang dimaknai menghancurkan kesombongan manusia.
Hal tersebut dapat terlihat melalui rangkaian kegiatan ritual ini dengan cara
membuang dan menghancurkan bangunan Tabut yang juga dilengkapi dengan
benda pelengkap. Membuang kesombongan merupakan interpretant, yang
menjadi representament adalah bangunan Tabut dibuang dan dihancurkan,
sedangkan yang merupakan object adalah Tabut tebuang. Hubungan antara
representament dan object adalah symbol.
- Simbol Cuci Penja
Ritual Tabut itu akan ditutup pada hari ke 13 Muharram, yaitu ritual cuci penja,
penja yang telah digunakan tersebut, dicuci kembali dan disimpan sampai ritual
Tabut berikutnya. Prosesi cuci penja dimaknai sebagai proses penyucian diri.
Manusia senantiasa harus terus menyucikan dirinya.
Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam prosesi cuci penja
adalah sebagai berikut:
104
Bagan 4. 11 Trikotomi Peirce pada prosesi mencuci penja
Mencuci penja sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati
posisi sebagai sinsign karena ada secara aktual. Trikotomi kedua dalam prosesi
ini adalah cuci penja sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena
menjadi tanda yang menggantikan representament berupa cuci penja dengan
berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang
merupakan interpretant adalah penyucian diri, tanda tersebut muncul dengan
melibatkan penafsir yang mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan
pemaknaan atas cuci penja maka posisinya sebagai argument. Prosesi cuci penja menyimbolkan penyucian diri manusia. Hal tersebut dapat
terlihat melalui rangkaian kegiatan ritual ini yang melibatkan penja yang juga
dilengkapi dengan benda pelengkap. Penyucian diri merupakan interpretant, yang menjadi representament adalah mencuci penja, sedangkan yang merupakan
object adalah cuci penja. Hubungan antara representament dan object adalah
symbol. Tata aturan dalam arak-arakan ritual Tabut berfungsi sebagai pelengkap atau
penunjang dari kepentingan ritual tersebut. Selain itu, arak-arakan tersebut
merupakan penyajian simbolis dan memiliki makna yang berkaitan langsung
dengan peristiwa dimasa lalu tentang ditemukannya jasad Husain di tanah
Karbala. Berbagai aspek seni pertunjukan dalam prosesi arak-arakan tersebut,
baik keramaian, suara alunan alat musik, serta keindahan dari benda arak-arakan
yang mereka bawa. Adapun salah satu pendukung dalam pelaksanaan upacara
105
Bagan 4.12 Trikotomi Peirce ritual Tabut menurut masyarakat
Tabut adalah musik Dhol, Tassa dan Seruling.493
Serta peranan alat musik dan
tarian dalam ritual Tabut tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena
semuanya merupakan unsur penting dalam ritual Tabut.
Selain dari prosesi arak-arakan, ada prosesi lain dalam ritual Tabut yang juga
wajib dilaksanakan yaitu soja. Soja merupakan kegiatan menghormati para
pemimpin. Soja mulai dilakukan pada malam menjara, malam arak penja, malam
arak seroban, malam arak gedang dan Tabut besanding hingga prosesi Tabut
tebuang.494
Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan semiotik Peirce di atas, ritual Tabut
menunjukkan bahwa dalam pelaksanaannya memiliki sistem tanda yang saling
berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu representament, interpretant, dan
object. Keterkaitan tersebut dijadikan landasan oleh pengikut Tabut untuk
membuat dan menentukan tanda berupa aturan-aturan yang harus ada atau yang
harus dijalankan dalam ritual Tabut. Meski demikian, fokus pemaknaan atas
tanda tersebut tidak terlepas dari penafsir sehingga memunculkan penafsiran
yang beragam.
Dalam pelaksanaannya, sebagian masyarakat menganggap ritual Tabut adalah
bid'ah. Selain itu ada juga yang menganggap budaya yang menghabiskan banyak
biaya (pemborosan).495
Pandangan masyarakat tentang pemaknaan ritual Tabut
juga beraneka ragam, ada yang memahami ritual tersebut hanya sebagai warisan
dari aliran Syi’ah, hiburan tahunan, ritual yang mengandung syirik, dan
merupakan budaya asli Bengkulu.
Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam ritual Tabut secara utuh
adalah sebagai berikut:
493
Zely Marissa Haque, ‚Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu.‛ Jurnal
EkspresiSeni, Vol. 166, No. 1, (Juni 2014): 157. 494
Achmad Syiafril Sy, Buku Putih Tabutbencoolen, Syafril, 40. 495
Wawancara, Yanhar Hamedi, Masyarakat, 04 Juli 2017.
106
Bagan 4.13 Trikotomi Peirce ritual Tabut menurut Pemerintah
Budaya sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati posisi
sebagai qualisign karena budaya adalah tanda meskipun tidak berwujud.
Trikotomi kedua dalam prosesi ini adalah ritual Tabut sebagai object yang
fungsinya sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan
representament yaitu budaya berdasarkan konvensi atau kaidah serta harus
dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah budaya aliran
Syi’ah, hiburan tahunan, ritual mengandung syirik dan budaya asli Bengkulu,
tanda tersebut muncul dengan melibatkan penafsir, dalam hal ini adalah
masyarakat yang mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan
pemaknaan atas ritual Tabut maka posisinya sebagai argument. Hubungan
antara representament dan object adalah symbol. Berbeda dengan pemerintah Bengkulu yang memaknai ritual Tabut sebagai
budaya pariwisata Bengkulu yang bertujuan untuk mengembangkan
perekonomian daerah setempat.
Berdasarkan teori semiotik dari Peirce, trikotomi dalam ritual Tabut secara utuh
adalah sebagai berikut:
Budaya pariwisata sebagai representament dalam trikotomi pertama menempati
posisi sebagai qualisign karena budaya pariwisata adalah tanda meskipun tidak
berwujud. Trikotomi kedua dalam prosesi ini adalah ritual Tabut sebagai object yang fungsinya sebagai symbol karena menjadi tanda yang menggantikan
representament yaitu budaya pariwisata dengan berdasarkan konvensi atau
kaidah serta harus dipelajari. Trikotomi ketiga yang merupakan interpretant adalah budaya pariwisata yang bertujuan untuk mengembangkan perekonomian
di Bengkulu. Tanda tersebut muncul dengan melibatkan penafsir, dalam hal ini
107
adalah masyarakat yang mempunyai premis tertentu sehingga menyimpulkan
pemaknaan atas ritual Tabut maka posisinya sebagai argument. Hubungan
antara representament dan object adalah symbol. Melihat adanya ragam interpretant dalam ritual Tabut yaitu pengikut Tabut,
pemerintah, dan masyarakat. Maka ditemukan tiga pemaknaan mendasar
menurut masing-masing kelompok sosial yang telah ditentukan sebelumnya,
antara lain:
1. Makna yang terbentuk oleh pengikut Tabut tentang ritual Tabut adalah
ritual yang sarat dengan nilai-nilai religiusitas terutama yang berkaitan
dengan perjuangan Husain dalam memperjuangkan kejayaan Islam.
Demi mempertahankan eksistensi ritual Tabut, peneliti melihat adanya
perkembangan makna yang dibentuk oleh pengikut Tabut dan
menciptakan makna-makna baru agar ritual ini tidak tergerus oleh
modernisasi.
2. Berdasarkan hasil temuan dari masyarakat Bengkulu, maka pemaknaan
ritual Tabut menurut masyarakat adalah sebagai tradisi yang dilakukan
setiap tahun untuk menyambut tahun baru Islam, menjadi hiburan bagi
masyarakat.
3. Berdasarkan hasil temuan dari pemerintah, maka pemaknaan ritual
Tabut menurut pemerintah dipandang sebagai agenda wisata yang
pelaksanaan termasuk dalam agenda tahunan pemerintah Bengkulu.
Pemerintah pun menghadirkan Tabut pembangunan yang difungsikan
untuk memeriahkan rangkaian acara kegiatan ritual Tabut, serta
menaikkan perekonomian di Bengkulu dengan adanya pasar malam dan
banyaknya pedagang-pedagang yang bermunculan selam kegiatan ini
berlangsung.
Kondisi tersebut, dalam pandangan Peirce dipahami sebagai unlimited semiosis.
Karena Interpretant akan terus berkembang membentuk representament baru
yang akan dimaknai kembali sehingga membentuk interpretant baru. Sehingga
makna ritual Tabut akan terus berkembang membentuk makna-makna baru.
B. Interpretasi Budaya: Pemaknaan Ritual Tabut
Menganalisa budaya sebagai sistem simbol berarti mengkonstruk bangunan
kultural yang muncul, dan kemudian dihubungkan secara sistematis dengan
peristiwa kehidupan yang aktual. Menurut Clifford Geertz, interpretasi terhadap
budaya menekankan pada interpretasi simbolik (sistem makna) yang berkaitan
dengan kebudayaan, perubahannya, dan studi kebudayaan. Alasannya,
kebudayaan merupakan cermin bagi manusia (Mirror of Man). Karenanya,
untuk memahami interpretasi budaya perlu cara berfikir dan tingkah laku yang
dipelajari.496
496
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, 47.
108
Tanda menurut Barthes, dapat dimaknai melalui sebuah pertandaan bertingkat
(signification) yang terdiri atas makna denotasi, konotasi, dan mitos.497
Untuk
itu, dalam perkembangan pemaknaan ritual Tabut juga diperlukan uraian makna
denotasi yang merupakan makna paling dasar. Sedangkan makna konotasi
diuraikan dengan menghubungkan antara perasaan, emosi, serta nilai-nilai dari
kebudayaan dimana kata tersebut digunakan. Sementara mitos diuraikan melalui
hubungan antara makna dan kebudayaan atau cara berpikir kelompok sosial.
Makna denotasi dari tanda merupakan makna yang menunjukkan perbedaan
aspek dari pengalaman manusia atau dunia. Seperti yang telah dijelaskan pada
bab sebelumnya, menurut Gill Branston dan Roy Stafford, setiap manusia
mempunyai makna konotasi yang berbeda dari tanda. Tergantung pada konsep
budaya dan nilai, yang didalamnya terdapat ingatan, pengalaman, dan
pengetahuan sejarah setiap manusia. Makna konotasi menggambarkan interaksi
yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi
penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya, ini terjadi tatkala makna bergerak
menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif.498
Makna denotasi memiliki makna tersendiri yang berkaitan langsung dengan
definisi ritual Tabut secara harfiah. Sedangkan makna konotasi dari ritual Tabut
pasti akan dikaitkan dengan asal mula kemunculan ritual tersebut, baik dalam
pandangan agama ataupun budaya. Selain itu, makna konotasi dapat muncul
dengan menghubungkan makna denotasinya dengan simbol-simbol yang ada
dalam ritual Tabut ataupun penentuan pelaksanaan ritual tersebut. Kemunculan
makna konotasi dalam ritual Tabut juga dikarenakan masing-masing kelompok
sosial sebagai penafsir dipengaruhi oleh latar belakang sosiokultural.
Sebelum mendapatkan makna konotasi dan denotasi dari ritual Tabut. Peneliti
akan memaparkan makna konotasi kata ‚Tabut‛ berawal dari tanda serta makna
denotasinya yang secara bersamaan membentuk makna konotasi. Secara
denotatif, makna Tabut merujuk pada definisi harfiahnya yaitu kotak atau peti
dari kayu. Makna tersebut merupakan pengertian umum yang diantaranya
berasal dari budaya Yahudi-Palestina dan Islam.
Kata ‚Tabut‛ dalam tradisi keagamaan dapat ditelusuri, baik dalam dunia Islam
maupun Kristen. Tabut dalam tradisi Kristiani merupakan representasi dari
lambang atau simbol kehadiran Tuhan ditengah-tengah umatnya.499
Sementara
dalam tradisi Islam berkaitan dengan Nabi Musa dan ritual keagamaan Islam
497
Nabila Putri Aldira, ‚Representasi Nilai-Nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam Film
Tabula Rasa (Analisis Semiotika Roland Barthes).‛ Jurnal Jom Fisip, Vol. 5, No. 1,
(April 2017): 3. 498
Herlika Fransisca Wijaya dan Rustono Farady Marta, ‚Mitologi Budaya pada Gelang
Duka Cita sebagai Atribut Upacara Kematian dalam Tradisi Tionghoa Bangka dan Cina
Benteng (Tinjauan Semiologi Barthes terhadap Makna Tanda pada Tradisi dan Mitos
Leluhur Peranakan Tionghoa Indonesia.‛ Jurnal Semiotika, Vol. 9, No. 1, (Juni 2015):
242. 499
C. Barth, Theologia Perjanjian Lama, Jilid 3 (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2005),
13.
109
Syi’ah yang dikenal dengan Ta’ziyah. Hal tersebut dibuktikan melalui tradisi
yang digambarkan sebagai ritus penghormatan atas syahidnya Husein di
Karbala.
Meski begitu, dikarenakan tidak memiliki akar yang jelas, penyebutan kata
‚Tabut‛ di Bengkulu mengalami perbedaan. Masyarakat pada umumnya
menggunakan istilah Tabot sedangkan pengikut Tabut menyebutnya dengan
istilah Tabut. Karena menurut Syiafril penggunaan kata Tabot tidak relevan
untuk digunakan dalam konteks ritual karena Tabot lebih identik digunakan
untuk menyebut arca atau berhala, Tabut500
telah sejak lama digunakan. Hal
tersebut dibuktikan dengan:
Gambar 4.1 Keterangan dari foto tersebut bukti bahwa kata ‚Tabut‛ sudah digunakan sejak lama
Tingkah laku beragama selalu berkaitan dengan budaya keagamaan suatu
kelompok sosial. Seperti ritual Tabut yang dalam kenyataannya sangat jelas
unsur budayanya. Sebagai suatu ritual yang pasti dilaksanakan pada bulan
Muharram dalam kalender Hijriah. Akan tetapi dalam praktiknya ritual yang
memiliki unsur keagamaan ini menjadi bias karena lebih menunjukkan unsur
budaya.
Ritual Tabut sebagai budaya sudah dikenal lama oleh masyarakat Bengkulu.
Ritual Tabut telah diterima sebagai ekspresi kultural secara umum oleh
masyarakat di Bengkulu, bukan sebagai ekspresi keagamaan semata.501
Ritual
Tabut menurut Pemerintah secara konotasi dianggap sebagai kegiatan seni
budaya yang memiliki keuntungan ekonomis serta sebagai kekayaan khazanah
Bengkulu. Artinya, Tabut lebih dipandang dari sisi bentuknya, yaitu sebagai
identitas budaya Bengkulu daripada ritual yang bermuatan nilai-nilai religius.
Ketika melihat fakta bahwa ritual Tabut dipandang sebagai budaya. Satu hal
yang harus dipahami bahwa budaya seharusnya juga diposisikan sebagai
spiritualitas. Dengan begitu, ritual Tabut dapat diinterpretasikan sebagai
identitas kebudayaan Bengkulu.
500
Menurut Syiafril untuk membedakan ritual Tabut yang berada di Bengkulu dengan
ritual yang lain lebih baik digunakan sebutan Tabutbencoolen. 501
Wawancara, Hakwana Ishak, Masyarakat, 06 Juli 2017.
110
Jika melihat kondisi di atas, dalam pandangan Roland Barthes yang berpendapat
bahwa mitos memainkan peran penting dalam kehidupan sosial. Menurutnya
mitos dapat membangun solidaritas kelompok sosial yang bersangkutan. Dengan
adanya mitos yang mereka percayai memiliki sakralitas dan mengandung pesan
moral yang diwariskan dari leluhur-leluhur mereka, yang kemudian akan
diwariskan kepada anak-anak mereka sebagai generasi berikutnya.502
Hal
tersebut yang terjadi pada pengikut Tabut, mitos sakral yang sarat akan makna
religius yang menjadikan ritual tersebut terus mereka laksanakan,
Selain itu, ritual juga terkadang dimaknai sebagai tindakan simbolis yang
memiliki rujukan yang empiris, sekaligus merupakan aturan yang memiliki
berbagai macam sanksi, termasuk sanksi sosial. Selain itu, menurut Th. P. Van
Baaren ritual merupakan peraturan yang dapat disebut sebagai ceremony dalam
konteks keagamaan dan berisi seperangkat aturan yang berkaitan dengan
dimensi metafisik.503
Barthes menjelaskan jika segala sesuatu yang terdapat di dunia ini adalah mitos.
Seperti halnya dalam perkembangan pemaknaan ritual Tabut berdasarkan makna
konotasi dan denotasinya. Setiap kelompok sosial, baik pengikut Tabut,
pemerintah, dan masyarakat memiliki mitos masing-masing mengenai ritual
Tabut. Mitos tersebut dapat berkembang ataupun terus dipertahankan karena
mitos dalam pandangan Barthes yang dilihat adalah manfaatnya. Artinya jika
mitos tersebut memberikan manfaatnya bagi manusia maka mitos tersebut akan
terus dipertahankan atau dikembangkan menjadi mitos baru.
Ritual Tabut merupakan warisan budaya di Bengkulu yang bersifat tak benda
sekaligus sebagai potensi seni budaya bernilai jika dapat di atur secara
sistematik. Sebagai ritual yang asal mulanya dari suatu sistem kepercayaan,
ritual Tabut memiliki nilai-nilai yang terus dipercaya sehingga dapat dijadikan
modal kultural untuk menjadi kota wisata berskala global. Seperti yang
dijelaskan oleh pemerintah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Bengkulu bahwa ritual Tabut merupakan aset potensi wisata dan ciri khas
tradisi Bengkulu.504
Perkembangan ritual keagamaan yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat
dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, salah satunya komoditas pariwisata
untuk meningkatkan wisatawan, baik domestik maupun internasional. Dalam
pendekatan teori kritis, dominasi ideologi memainkan peranan penting dalam
proses komodifikasi. Masyarakat merasakan terjadinya perubahan dari
komodifikasi pariwisata yang lebih menguntungkan bagi pihak-pihak yang
502
Ayatullah Humaeni, ‚Makna Kultural Mitos dalam Budaya Masyarakat Banten.‛
Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 33, No. 3, (2012): 168. 503
Jan Platvoet, ‚Ritual in Plural and Pluralis Societies: Instruments for Analysis,‛
dalam Jan Platvoet dan Karel Van Der Toorn (ed), Pluralism and Identity: Studies in Ritual Behaviour (Lieden: E. J. Brill, 1995), 42-44. 504
Wawancara, Binsar, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Bengkulu, 18 Juli
2017
111
mempunyai kekuasaan. Media sebagai alat komunikasi pemasaran mempunyai
pengaruh yang kuat dalam proses komodifikasi. Melalui komunikasi pemasaran,
sebuah ideologi dominan mampu mendistorsi upacara religi dalam
masyarakat.505
Pendapat di atas apabila dikaitkan dengan pendapat Daniel Z Kadar tentang
ritual, maka ritual hanya direpresentasikan sebagai aspek formal tanpa fungsi
interaksi dan relasionalnya yang kompleks.506
Artinya, jika ritual Tabut hanya
dipahami sebagai komoditas pariwisata, maka ritual tersebut telah mengalami
deritualisation.507 Karena pemaknaan ritual yang hanya berdasarkan pada
konteks kebudayaan tanpa melibatkan nilai religius yang ada didalamnya dapat
menyebabkan hilangnya fungsi dari ritual tersebut.508
Menurut Yulianti, ritual Tabut dalam perspektif ekonomi politik media,
memiliki tiga komodifikasi. Pertama, komodifikasi isi (content commodity)
yang menunjukkan bahwa ritual Tabut lebih menonjolkan keindahan daripada
makna yang terdapat didalamnya. Kedua, komodifikasi khalayak (audience commodity) artinya eksistensi ritual Tabut menjadi bagian dari peran
masyarakat dalam mensukseskan program pemerintah dalam membina,
mengembangkan, dan mensukseskan kebudayaan daerah di Bengkulu. Ketiga,
komodifikasi pekerja (labour commodity), melibatkan pejabat-pejabat dalam
pembukaan festival Tabut, juga diadakannya pameran pembangunan (Tabut
pembangunan) dan pasar malam.509
Komodifikasi ritual Tabut tersebut dapat
dipahami karena aktifitas kebudayaan yang memiliki nilai religius pun memiliki
pengaruh terhadap aktifitas ekonomi.
Perbedaan visi dan misi serta pemaknaan antara Keluarga Kerukunan Tabut dan
Kerukunan Tabut Budaya (pemerintah) terhadap ritual Tabut menjadi salah satu
alasan dasar terciptanya keragaman pemaknaan. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat David Kertzer yang berpandangan bahwa, ritual memiliki potensi
untuk menyatukan antara kesinambungan dan perubahan dari ritual tersebut.510
Sementara itu, pengikut Tabut secara berkelanjutan ingin mempertahankan
kesakralan dari ritual Tabut karena menurutnya fungsi utama dari ritual Tabut
505
Yulianti, ‚Upacara Religi dan Pemasaran Pariwisata di Provinsi Bengkulu.‛ Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 5, No, 3, (2016): 192. 506
Daniel Z Kahar, Relational Rituals and Communication: Ritual Interaction in Groups
(New York: Palgrave Macmillan, 2013), 5. 507Deritualisation adalah klaim bahwa ritual menjadi tidak signifikan dalam kehidupan
sosial. Lihat Daniel Z Kahar, Relational Rituals and Communication: Ritual Interaction in Groups (New York: Palgrave Macmillan, 2013), 6. 508
Jan Koster, ‚Ritual performance and the politics of identity: On the functions and
uses of ritual.‛ Journal of historical pragmatics, Vol. 4, No. 2, (2003): 5. 509
Yulianti, ‚Upacara Religi dan Pemasaran Pariwisata di Provinsi Bengkulu.‛ Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 5, No, 3, (2016): 191. 510
Mary Elaine Hegland, "Shi'Women's Rituals in Northwest Pakistan: The
Shortcomings and Significance of Resistance." Antropological Quarterly, summer 2003,
76, 3, 415
112
adalah nilai-nilai religiusitas yang ada didalamnya. Hal tersebut dapat dipahami
karena peran KKT dalam merancang dan menentukan makna ritual Tabut lebih
bersifat dinamis. Seperti pandangan antropolog bahwa ritus yang
mengekspresikan suatu kepercayaan harus dirancang dan ditentukan.511
Selain
itu, pesan simbolik dalam ritual keagamaan juga dapat ditransmisikan melalui
kesepakatan.512
Pandangan tersebut dapat menghilangkan fungsi ritual sebagai sarana untuk
mengekspresikan kesalingtergantungan dalam kelompok sosial, karena menurut
Daniel Z Kahar, hal terpenting dalam ritual adalah partisipasi dan keterlibatan
emosional bersama.513
Meski berbeda pandangan dengan pengikut Tabut, bahkan kerap terjadi
perbedaan persepsi antara pemimpin dalam pemerintahan dan sistem yang
ada,514
Pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bengkulu
tetap memfasilitasi dan mendukung ritual Tabut yang bersifat sakral. Karena
kesakralan dalam suatu ritual dapat berupa nilai-nilai sosial yang tidak harus
selalu berhubungan dengan nilai-nilai religius. Nilai sosial tersebut berfungsi
untuk menciptakan ikatan kepemilikan terhadap ritual yang sama.515
Hal
tersebut menunjukkan bahwa pemerintah yang memiliki kepentingan politik
sesungguhnya bermaksud untuk mewujudkan perubahan dalam ritual Tabut
dalam aspek pembangunan, bukan untuk menguasai ritual tersebut.
Karena ritual Tabut merupakan suatu kebudayaan yang harus dilestarikan dan
juga merupakan bagian dari Tabut pembangunan. Untuk itu, pemerintah harus
mengalokasikan pendanaan untuk ritual tersebut, namun terkadang dana yang
diberikan tidak mencukupi untuk ritual tersebut sehingga terjadilah konflik.
Adapun pemisahan yang dilakukan antara Tabut sakral dan Tabut pembangunan
bertujuan untuk menghindari konflik yang lebih besar.516
Meski demikian, fenomena ritual Tabut sebagai komoditas pariwisata apabila
tidak diimbangi dengan pemaknaan religiusnya justru akan melemahkan peran
penting kelompok sosial dalam pemahaman tentang budaya yang bersifat
religius. Melalui pemahaman yang demikian, ritual Tabut bersifiat political rites, yakni ritual yang dikonstruksi, dipertontonkan, dan dipromosikan oleh
institusi pemerintah yang mengandung unsur politik. Karena, menurut Victor
Turner, ritual yang memiliki nilai religius lebih dari sekedar refleksi atau
511
Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice (New York: Oxford University Press,
2009), 223. 512
Roy A Rappaport, Ritual and Religion in the Making of Humanity (Edinburg:
Cambridge University Press, 1999), 58. 513
Daniel Z Kahar, Relational Rituals and Communication: Ritual Interaction in Groups
(New York: Palgrave Macmillan, 2013), 7. 514
Sugeng Priyadi, ‚Orientasi Nilai Budaya Banyumas: Antara Masyarakat Tradisional
dan Modern.‛ Jurnal Humaniora, No. 20, Vol 2, (2008): 166. 515
Santiago Daydi Tolson, ‚Ritual and Religion in Tomas Rivera’s Work.‛ La Revista Bilingue, Vol. 13, No. 1, Vol. 2, (1986): 140-143. 516
Wawancara, Rohimin, Ketua MUI Bengkulu, 17 Juli 2017.
113
ungkapan ekonomi, politik, ataupun sosial namun merupakan dasar bagi
pemahaman hubungan satu masyarakat dengan lingkungannya secara luas.517
Menurut Syiafril, kelompok sosial yang memiliki suatu budaya, khususnya
dalam bentuk ritual seharusnya memiliki kesadaran penuh untuk melestarikan
budaya dan memahami makna yang terkandung didalamnya. Mereka hendaknya
lebih meningkatkan kesadarannya akan makna yang terkandung di dalamnya
sehingga bijak dalam mengelola budayanya serta lingkungannya yang ada di
sekitarnya, yang patut dipelihara dan dijunjung, tidak saja oleh masyarakat
pemiliknya tapi juga masyarakat luar yang hendak berinteraksi dengan
mereka.518
C. Pemaknaan: Pola Pemersatu Komunikasi Interpretasi Budaya
Setiap objek pada dasarnya tidak memiliki makna dan hanya dipahami sebagai
sesuatu yang natural dan kosong. Makna muncul setelah manusia memaknai
objek itu. Makna itu muncul bersamaan dengan kebudayaan manusia. Salah
satunya, ada objek yang dimaknai secara spiritual, maka muncul kebudayaan
animisme. Jadi, makna muncul bersamaan dengan pikiran manusia untuk
mengolah alam atau yang biasa disebut kebudayaan.519
Dalam budaya, penafsiran terhadap makna yang terkandung didalamnya bersifat
subjektif. Maka, ritual Tabut sebagai budaya yang memiliki keragaman makna,
seharusnya dipahami melalui cara pandang (world view) keragaman pemikiran
yang dapat mempersatukan aspek sosial keagamaan kelompok sosial di
Bengkulu. Karena bagaimanapun, seperti pendapat Baxter dan Montgomery
bahwa terdapat hubungan yang dialektis dalam interaksi budaya dan komunikasi
berupa dialektika totality. Artinya, dalam hubungan tersebut diakui adanya
saling ketergantungan520
satu sama lain. Kondisi tersebut dikarenakan
kemampuan individu atau kelompok sosial untuk mengubah makna dan simbol
yang mereka gunakan berdasarkan penafsiran mereka terhadap suatu kondisi
tertentu.
Seperti yang dijelaskan Lévi-Strauss, untuk memahami bagaimana dan sejauh
mana budaya manusia berbeda satu sama lain, apakah perbedaan tersebut akan
memunculkan pertentangan satu sama lain atau akan menyatukan mereka dalam
memaknai suatu budaya maka setiap kelompok sosial perlu mempelajarinya
secara mendasar.521
Menurut Rohimin, ritual Tabut merupakan bagian dari kegiatan komunitas yang
bersifat siklus tahunan. Salah satu faktor yang membuat ritual Tabut ini tetap
517
Victor Turner, The Ritual Process Structure and Anti-Structure (New York: Cornell
University Press, 1966), 6. 518
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 01 Agustus 2017. 519
Saefu Zaman, ‚Pemaknaan Ruang pada Masjid Kubah Emas: Kajian Semiotik
Ruang." Paradigma Jurnal Kajian Budaya, Vol. 7, No. 2, (2017):174 520
Ujang Saefullah, ‚Dialektika Komunikasi, Islam, dan Budaya Sunda.‛ Jurnal
Penelitian Komunikasi, Vol. 16, No. 1, (Juli 2013): 79. 521
Claude Lévi-Strauss, Race et Histoire (Paris: Folio Essais, 1992), 13.
114
ada adalah komunitas dari pengikut Tabut. Keberlangsungan ritual tersebut
tergantung pada eksistensi dari komunitas pengikut Tabut artinya jika
komunitas tersebut berkurang atau habis maka bisa jadi ritual tersebut akan
hilang, atau muncul namun dengan corak yang diperbaharui.522
Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Carey, yang mengatakan bahwa dalam pandangan
ritual, komunikasi tidak secara langsung diarahkan untuk menyebarluaskan
pesan dalam suatu ruang, namun lebih kepada pemeliharaan suatu komunitas
dalam suatu waktu. Komunikasi yang dibangun juga bukanlah sebagai tindakan
untuk memberikan informasi melainkan untuk merepresentasi atau
menghadirkan kembali kepercayaan-kepercayaan bersama.523
Gambaran umum mengenai eksistensi ritual Tabut di Bengkulu menunjukkan
dari berbagai pandangan kelompok sosial. Sebagian dari kelompok sosial
berpendapat bahwa ritual Tabut secara menyeluruh merupakan ritual yang
memiliki nilai-nilai religius yang harus dipertahankan. Sedangkan yang lainnya
berpendapat bahwa didalam ritual tersebut terdapat hal-hal yang merujuk pada
unsur syirik dan juga bertentangan dengan ajaran Islam karena tidak bersumber
dari Alquran dan hadist sehingga memunculkan pluralitas pemaknaan.
Seharusnya keragaman pemaknaan yang terdapat dalam tradisi Tabut tidak
memunculkan sikap yang mengarah pada penilaian subjektif.
Ritual Tabut yang di dalamnya terdapat nilai-nilai religius merupakan media
yang berfungsi sebagai jalan dakwah untuk menginternalisasi nilai keislaman
dalam masyarakat. Karena itu, seharusnya eksistensi ritual Tabut yang berada di
kota Bengkulu mampu menjadi media dalam menjalin hubungan yang harmonis
antara pengikut Tabut, pemerintah, dan masyarakat. Hal ini juga menunjukkan
bahwa pemaknaan yang plural terhadap ritual Tabut dapat memperkuat
kehidupan berbudaya.
Ritual Tabut dikatakan sebagai ritual yang bersifat keagamaan karena
mengandung nilai-nilai religius seperti, prosesi dari ritual tersebut selalu diawali
dengan rangkaian doa, shalawat, bahkan terdapat doa khusus dalam ritual Tabut
yaitu doa Maqtal Al-Husain.524
Karena doa merupakan bentuk formal dari
sebuah ritual525
maka hal tersebut menunjukkan adanya hubungan budaya
dengan agama yang disatukan melalui komunikasi. Walaupun juga dipahami
sebagai realitas sosial yang memiliki nilai hiburan dan ekonomi.526
Karena,
dengan mengikuti pendapat Durkheim, agama dapat dipahami dengan melihat
522
Wawancara, Rohimin, Ketua MUI Bengkulu, 17 Juli 2017. 523
Yermia Djefri Manafe, ‚Komunikasi Ritual pada Budaya Bertani Atoni Pah Meto di
Timor-Nusa Tenggara Timur.‛ Jurnal Komunikasi, Vol. 1, No. 3, (Juli 2011): 289. 524
Wawancara, Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua KKT, 13 Juli 2017. 525
Sandra T Barner, ‚Ritual, Power, and Outside Knowledge.‛ Journal of Religion in Africa, Vol. 20, (Oktober 1990): 256. 526
Wawancara, Rohimin, Ketua MUI, 17 Juli 2017. Wawancara, Hakwana Ishak,
Masyarakat, 06 Juli 2017.
115
peran sosial dalam menyatukan kelompok sosial dibawah satu kesatuan ritual
dan kepercayaan umum.527
Menurut Syiafril, substansi dari doa yang terdapat pada ritual Tabut berfungsi
untuk mendapatkan syafa’at Rasulullah. Melalui bacaan doa tersebut, pengikut
Tabut dapat menghayati peristiwa tragis yang dialami oleh Hussain. Doa
tersebut juga mewakili perasaan kesedihan pengikut Tabut.528
Dalam pelaksanaan ritual Tabut terlihat bagaimana pengikut Tabut berusaha
untuk memasukkan unsur-unsur yang tidak bertentangan dengan keislaman, baik
melalui doa-doa, setiap prosesi dilakukan setelah ibadah shalat wajib
dilaksanakan, bahkan pemaknaannya pun mengandung nilai religius. Namun
demikian, tetap saja kondisi tersebut menimbulkan pro-kontra dalam
masyarakat yang secara pemikiran telah mengalami perkembangan sehingga
menganggap ritual tersebut rentan dengan syirik dan bid’ah.
Pandangan yang menganggap bahwa ritual Tabut bersifat ritual yang syirik,
salah satunya adanya bahan kemenyan dalam setiap prosesi dalam ritual Tabut
yang dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Namun menurut Syiafril,
kemenyan ini sebenarnya berfungsi untuk menghilangkan bau-bauan sekaligus
memberikan wewangian pada area di mana prosesi tersebut dilakukan, sebagai
keindahan dalam rangkaian prosesi, membangkitkan semangat.529
Selanjutnya
setiap pelaksanaan ritual Tabut selalu terjadi kesurupan, hal tersebut yang
membuat masyarakat menganggap bahwa ritual tersebut tidak sejalan dengan
ajaran agama. Namun menurut pengikut Tabut, kesurupan bisa saja terjadi
kapanpun, tidak hanya ketika ritual Tabut dilaksanakan.530
Pemahaman pengikut Tabut terhadap pemaknaan ritual Tabut dapat dibagi
menjadi dua kategori. Pertama, pengikut Tabut yang memahami makna dari
ritual Tabut. Kedua, pengikut Tabut yang tidak memahami makna ritual Tabut
secara mendalam namun tetap melaksanakan ritual ini karena hanya
menganggap bahwa ritual ini harus dilaksanakan. Situasi tersebut tidak terlepas
dari pengaruh sosial yaitu belum adanya dialog-dialog mendalam yang berkaitan
dengan pemahaman ritual Tabut. Sedangkan pemerintah dan masyarakat
Bengkulu secara umum tidak memahami makna ritual Tabut secara mendalam.
Fungsi agama secara fundamental berkaitan dengan hal-hal spiritual-metafisik
yang dapat dipahami melalui ritual.531
Karena itu, Tabut sebagai ritual
keagamaan memiliki signifikansi teologis yang berasal dari penampakan simbol-
simbol struktural. Selain itu ritual Tabut juga memiliki konteks sosiologis
sebagai manifestasi sekaligus alat untuk memperkuat kesadaran sosial.
527
Imam Turmudi, ‚Menimbang Gagasan Bryan S Turner Tentang Islam.‛ Jurnal
Teosofi, Vol. 3, No. 1, (Juni 2013): 67. 528
Wawancara, Achmad Syiafril Sy, Ketua KKT, 7 Maret 2018. 529
Achmad Syiafril Sy, Buku Putih the Tabutbencoolen, 4. 530
Achmad Syiafril Sy, Buku Putih the Tabutbencoolen, 5. 531
Imam Amrusi Jailani, ‚Dakwah dan Pemahaman Islam di Ranah Multikultural.‛
JurnalWalisongo, Vol 22, No. 2, (November 2014): 421.
116
Menurut Geertz, ritual memiliki tiga pola struktural. Pertama, ritual merupakan
aktivitas simbolik. Kedua, ritual dapat mengintegerasikan dua aspek simbol,
baik secara konseptual ataupun etos. Ketiga, ritual sebagai budaya
memungkinkan integrasi konsep abstrak dan kekhasan budaya dari ritual
tersebut.532
Dalam pendekatan struktural fungsional, setiap masyarakat memiliki
sistem nilai sebagai hasil konsesus bersama (collective consciousness) karena
masyarakat selalu memiliki tujuan yang ingin dicapai sehingga disediakan
seperangkat cara untuk mencapai tujuan tersebut.533
Seperti yang dikemukakan oleh Roy Stafford dan Gill Branston yang
menjelaskan bahwa strukturalisme berfungsi untuk menjelaskan semiotik bahwa
tanda (sign) dapat dipahami hanya dengan mengacu pada perbedaan dari tanda
(sign) lainnya. Selanjutnya, strukturalisme berpendapat seluruh organisasi
manusia ditentukan oleh struktur sosial atau psikologis individu dan
strukturalisme berpendapat bahwa makna suatu tanda tidak dapat dipahami
kecuali dalam struktur yang sistematis, yang memiliki ciri atau perbedaan yang
lahir secara alamiah.
Asumsi dasar epistemologi strukturalisme yang berkaitan dengan kebudayaan
adalah bahwa dalam kebudayaan terdapat langue dan parole. Langue dalam
konteks kebudayaan dipahami sebagai suatu sistem aturan yang mengatur
perilaku dan cara berpikir manusia ketika menjalani kehidupannya. Parole
adalah manifestasi dari aturan-aturan yakni berupa perilaku, tindakan dan segala
bentuk kebudayaan yang diciptakan oleh manusia. Parole bersifat empiris,
sedangkan langue bersifat abstrak.534
Struktur budaya dipandang sebagai sesuatu yang menyatukan masyarakat.
Strukturalisme adalah aliran pemikiran yang mencari struktur terdalam dari
realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan secara ilmiah
(objektif, ketat, dan berjarak). Pendekatan strukturalis atas kebudayaan berfokus
pada pengidentifikasian unsur-unsur yang bersesuaian dan bagaimana cara
unsur-unsur itu diorganisasi untuk menyampaikan pesan.535
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab teoritis sebelumnya mengenai
bagaimana langkah-langkah yang dilakukan pada analisis struktural. Dalam
kaitannya dengan analisis struktural ritual Tabut maka dapat diuraikan bahwa
keseluruhan rangkaian ritual Tabut yang dilaksanakan oleh pengikutnya
memiliki struktur yang saling berkaitan. Struktur tersebut menurut Lévi-Strauss
berdasarkan pada content dan form. Ritual Tabut merupakan form dari ritual
tersebut yang secara realitas dapat dilihat, baik oleh pemerintah, masyarakat,
532
Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice (New York: Oxford University Press,
2009), 31. 533
Imam Turmudi, ‚Menimbang Gagasan Bryan S Turner Tentang Islam.‛ Jurnal
Teosofi, Vol. 3, No. 1, (Juni 2013): 68. 534
Galeh Prabowo, ‚Positivisme dan Strukturalisme: Sebuah Perbandingan Epistemologi
dalam Ilmu Sosial.‛ Jurnal Sosiologi Walisongo, Vol. 1, No. 1, (2017): 53. 535
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (ed), Teori-Teori Kebudayaan (Jogjakarta:
Penetbit Kanisius, 2005), 114.
117
maupun pengikut Tabut sendiri. Melalui form tersebut juga memunculkan
content yang merupakan tata pelaksanaannya. Kehadiran content pada ritual
Tabut akan menimbulkan interpretasi dari masing-masing kelompok sosial.
Ritual Tabut dalam pandangan strukturalisme memiliki langue dan parole.
Dapat dikatakan bahwa yang termasuk langue dalam ritual Tabut adalah
komoditas budaya, hiburan semata, dan suatu yang sakral. Sedangkan yang
merupakan parole adalah ritual Tabut itu sendiri. Terdapat tiga langue dalam
ritual ini karena adanya tiga kelompok sosial berbeda dalam memahaminya.
Kemunculan perbedaan langue tersebut dikarenakan perbedaan pemahaman
mitos dalam ritual Tabut. Mitos tersebut berupa keterkaitan ritual Tabut dengan
aliran Syi’ah, ritual Tabut sebagai media dakwah, ritual Tabut merupakan
budaya asli Bengkulu, dan ritual Tabut berkaitan dengan pembangunan Benteng
Marlbourough oleh pemerintah kolonial Inggris.
Setiap rangkaian prosesi yang dilakukan oleh pengikutnya dalam ritual Tabut
menunjukkan struktur yang secara sistematis saling berkaitan, mulai dari prosesi
mengambik tanah, duduk penja, menjara, meradai, arak jejari, arak seroban, hari gham, arak gedang dan Tabut besanding, Tabut tebuang, sampai dengan prosesi
cuci penja. Prosesi tersebut tidak akan dapat digantikan oleh prosesi yang
lainnya, karena di dalamnya terdapat ketertatan (order) dan keteraturan
(regularities). Menurut Lévi-Strauss, berdasarkan ketertataan dan keteraturan
tersebut yang pada akhirnya akan memunculkan oposisi-oposisi yang relevan.
Berbeda dengan pemerintah yang memiliki struktur berbeda dalam
melaksanakan ritual tersebut. Yaitu dengan mengadakan kegiatan perlombaan.
Jadwal festival Tabut yang mereka laksanakan mulai dengan upacara
pembukaan, hiburan band, festival tari kreasi daerah se-Provinsi Bengkulu,
pagelaran Seni Budaya daerah Nusantara, lomba telong-telong, dan lomba ikan-
ikan.536
yang saat ini berada pada naungan Kerukunan Tabut Budaya yang juga
memiliki struktur berbeda. Mereka hanya melaksanakan arak gedang dan Tabut besanding, serta Tabut tebuang.
537
Proses pemaknaan ritual Tabut berdasarkan struktur-struktur diatas
menunjukkan berlangsungnya proses komunikasi yang dipengaruhi oleh sistem
kepercayaan dan aktifitas religius suatu kelompok sosial sehingga memunculkan
keragamaan pemaknaan. Melalui simbol-simbol yang ditampilkan dalam ritual
Tabut merupakan media yang dapat menyatukan kontradiksi dalam kehidupan
dengan tetap merujuk pada makna religiusnya. Karena menurut Bell, ritual
merupakan dimensi persaingan antara yang ceremonial dengan pandangan hidup
masyarakat. Persaingan tersebut diciptakan dengan sadar untuk tujuan yang
eksplisit.538
Pemaknaan ritual juga harus berkaitan dengan perubahan,
536
Berdasarkan informasi pelaksanaan festival Tabut 2016 (01-11 Oktober). 537
Wawancara, Idramsyah, Ketua Kerukunan Tabut Budaya, 19 Juli 2017. 538
Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice, 230.
118
ketegangan, dan asumsi praktiknya. Karena itu, sikap suatu kelompok sosial
tidak dapat dipisahkan dari pandangan dunia mereka.539
STRUKTUR RITUAL TABUT
PENGIKUT TABUT PEMERINTAH
Mengambik tanah Upacara pembukaan
Duduk penja Hiburan band
Menjara Festival tari kreasi daerah prov Bengkulu
Meradai Pagelaran seni budaya daerah nusantara
Arak Jejari Lomba telong-telong
Arak Seroban Lomba ikan-ikan
Hari gham Arak gedang dan tabut besanding
Arak gedang dan tabut besanding Tabut tebuang
Tabut tebuang
Cuci penja
Pemikiran Lévi-Strauss menekankan pentingnya penataan oposisi terhadap
sistem tanda yang disebut oposisi biner karena kualitas dapat dikelompokkan
menjadi pasangan yang bertentangan. Konsep langue, parole, serta mitos dalam
ritual Tabut pada akhirnya memunculkan oposisi binner yang berupa nilai-nilai
yang dipahami oleh setiap kelompok sosial, seperti Syiah dan Sunni, sakral dan
profan.
Tabel di atas menunjukkan struktur pelaksanaan ritual Tabut dari pengikut
Tabut dan Pemerintah. Masing-masing kelompok sosial memiliki struktur yang
sistematis walaupun adanya perbedaan. Perbedaan dari struktur tersebut
dipengaruhi oleh kelompok yang berbeda. Sedangkan masyarakat sebagai
kelompok sosial yang melihat salah satu atau keduanya akan memiliki
interpretasi yang berbeda pula. Dari struktur tersebut juga pada akhirnya
diperoleh oposisi biner sakral dan profan.
Sifat profan pada ritual Tabut juga dapat dilihat dari penggunaan alat musik
Dhol. Pada mulanya alat musik Dhol hanya digunakan pada saat melaksanakan
prosesi-prosesi dalam ritual Tabut, karena alat musik Dhol dianggap keramat
yang hanya dapat digunakan pada bulan Muharram. Menurut pengikut Tabut,
jika Dhol dimainkan ketika bukan pada waktu ritual Tabut dianggap melanggar
adat dan memunculkan kemarahan nenek moyang. Namun berkat usaha
539
Catherine Bell, Ritual Theory Ritual Practice, 252.
119
pemerintah dalam mengembangkan budaya di Bengkulu, salah satunya melalui
alat musik Dhol, pada akhirnya Dhol dapat dimainkan di luar prosesi Tabut.540
Kemunculan oposisi biner Syiah dan Sunni karena banyakanya informasi yang
masyarakat dapati tentang ritual Tabut. Menurut ketua Kerukunan Tabut
Budaya terpisahnya mereka dari KKT disebabkan oleh indikasi Syiah dalam
ritual Tabut, padahal Syiah merupakan ajaran yang sesat. Menurut Gustav
Thaiss, ritual yang berkaitan dengan kematian Husain banyak memiliki
keterkaitan dengan golongan Syiah karena kematian Husain tersebut merupakan
simbol yang diklaim oleh Syiah. Meskipun pada akhirnya ritual yang berkaitan
dengan kematian Husain selalu mengalami perubahan dan perkembangan yang
disebabkan oleh perubahan sosial dimana ritual tersebut diperingati.541
Ritual
Tabut sering dikaitkan dengan Syiah dikarenakan memiliki kesamaan sebagai
peringatan kematian Husain. Kematian Husain dalam tradisi Syiah diperingati
dalam bentuk penebusan dosa secara simbolis selama bulan Muharram. Assegaf
menyajikan kompleksitas dinamika internal komunitas Syiah di tengah
mayoritas Sunni di Indonesia dalam rangka memperoleh pengakuan sosial. Jika
sebelum reformasi gerakan Syiah dibatasi oleh tekanan dan kecurigaan politik
Orde Baru, sejak reformasi sistem demokrasi di Indonesia memberi peluang dan
sekaligus tantangan baru dalam rangka mengekspresikan identitasnya.542
Menurut Lévi-Strauss mitos berfungsi seperti sejarah, yaitu untuk mendekatkan
masa lalu dengan situasi saat ini.543
Dengan demikian, mitos bukanlah sesuatu
yang harus dipertentangkan dengan sejarah dan realitas sosial karena adanya
perbedaan makna antara konsep keduanya.544
Setiap konsep mitos mengalami
perbedaan antara satu tempat dengan tempat lainnya dan tidak selalu relevan
terhadap sejarah dan realitas.545
Karena salah satu ciri mitos adalah kebenaran
mitos tidak penting, sebab cakrawala dan zaman mitos tidak terikat pada
kemungkinan-kemungkinan dan batas-batas realitas.546
Salah satu ciri dari ritual yaitu mengacu pada sifat dan tujuan yang religius
karena agama sebagai institusi berperan dalam tindakan sosial. Selain itu,
540Wawancara, Binsar, Dikbud Provinsi Bengkulu, 18 Juli 2017. 541
Mary Elaine Hegland, ‚Shi'Women's Rituals in Northwest Pakistan: The
Shortcomings and Significance of Resistance.‛ Antropological Quarterly, Vol. 76, No.
3, (2003): 415. 542
Zulkifli, ‚Kesalehan ‘Alawi dan Islam di Asia Tenggara.‛ Studia Islamika, Vol. 23,
No. 3, (2016): 616 543
Claude Lévi-Strauss, Myth and Meaning (London dan New York: Routledge Classics,
2001), 18. 544
Naila Nilofar, ‚Perbandingan Mitos Sangkuriang dan Mitos Pangeran Butoseno
Kajian Strukturalisme Lévi-Strauss.‛ Jurnal Bebasan, Vol. 4, No. 1, (Juni 2017): 27. 545
Rosita Armah, Akhmad Murtadlo, Syamsul Rijal, ‚Mitos dan Cerita Rakyat Kutai
Baung Putih di Muara Kaman: Kajian Strukturalisme.‛ Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 1, No.
1, (April 2017): 152-153. 546
Agus Sugiharto dan Ken Widyawati, ‚Legenda Curug 7 Bidadari (Kajian Strukturalis
Lévi-Strauss).‛ Jurnal Suluk, Vol. 1, No. 2, (2012): 8.
120
kegunaan praktis dari ritual adalah untuk mengungkapkan status pelaku dalam
sistem struktural di mana ritual tersebut dipraktikan. Artinya, ritual dapat
dikatakan sebagai perilaku sosial yang terjadi dalam situasi sakral.547
Ritual
Tabut memiliki nilai religius sekaligus nilai kebudayaan karena perilaku
kebudayaan yang ada didalamnya tidak terlepas dari nilai-nilai keagamaan.
Dengan demikian, cara berbudaya dapat menjadi sesuatu yang bersifat religius.
Dalam ritual Tabut juga dapat dikatakan sebagai suatu ritual yang bersifat
profan dikarenakan pemahaman masyarakat yang memaknainya sebagai hiburan
semata. Seperti yang dikemukakan Siregar bahwa pada saat ritual Tabut ramai
pengunjung yang datang terutama untuk melihat festival Tabut (Tabut
pembangunan) karena banyaknya para pedagang dan hiburan bagi masyarakat.548
Menurut Harapandi Dahri, masyarakat Bengkulu lebih menerima dan memahami
eksistensi ritual Tabut sebagai bagian dari seni budaya, festival yang berdampak
pada perekonomian, serta sebagai tanda kekayaan khazanah sejarah Bengkulu
daripada sisi nilai religius yang ada didalamnya. Bahkan sebagian besar
masyarakat secara tegas menolak adannya pengkultusan berlebihan terhadap
Husain dalam ritual Tabut.549
Hal tersebut seperti dijelaskan oleh sebagian
masyarakat yang mengatakan bahwa ritual Tabut sama sekali tidak
menunjukkan nilai keislaman, karena terdapat hal-hal yang tidak masuk akal
dalam rangkaian ritual tersebut. Terutama karena sering terjadinya kesurupan
setiap kali ritual ini berlangsung.550
Meski demikian, harus dipahami pula bahwa
sebuah ritual tidak dapat dikatakan sebagai aktifitas yang tidak masuk akal
karena ritual berfungsi untuk merefleksi serta mengkonstruksi kehidupan
manusia.551
Pemaknaan dalam ritual Tabut yang sebelumnya telah dikaji dengan teori
semiotik dari Peirce memiliki struktur pemaknaan yang secara historis langsung
berkaitan dengan peristiwa yang dialami Hussain. Makna bahwa manusia
berasal dari tanah maka akan kembali ke tanah dalam prosesi mengambik
(mengambil) tanah. Menurut Syiafril makna tersebut muncul berdasarkan cerita
Hussain dimasa kecil. Malaikat Jibril datang menemui Rasulullah yang sedang
memangku Hussain. Jibril berkata: Hussain akan wafat terbunuh oleh Yazid di
Padang Karbala. Kemudian istri Rasulullah bertanya: apa pertanda bagi kami?
Lalu malaikat Jibril mengambil satu genggam tanah yang berasal dari Padang
Karbala dan diberikan kepada istri Rasullah sembari berkata simpanlah tanah ini
baik-baik, dan lihatlah setiap tanggal 10 Muharram. Jika tanah ini berubah
menjadi darah maka pertanda Hussain telah dekat dengan kematian. Hussain
547
Irfan Noor, Agama sebagai Universum Simbolik; Kajian Filosofis Pemikiran Peter L. Berger (Yogyakarta: Pustaka Prisma, 2010), 12. 548
Wawancara, Siregar, Masyarakat, 15 Juli 2017. 549
Rizqi Handayani, ‚Dinamika Kultural Tabot Bengkulu.‛ 249. 550
Wawancara, Yanhar Hamedi, Masyarakat, 04 Juli 2017. Wawancara, Hakwana Ishak,
Masyarakat, 06 Juli 2017 551
Theodore W Jennings, ‚On Ritual Knowledge.‛ The Journal of Religion, Vol. 62, No.
2, (April 1982): 112.
121
pun pernah berkata ketika istri Rasulullah memberikan tanah tersebut, aku
berasal dari tanah maka akan kembali ke tanah.552
Hal tersebut menunjukkan
bahwa makna yang muncul dari prosesi mengambik (mengambil) tanah tidak
muncul begitu saja namun adanya struktur yang membentuk makna tersebut.
Jika melihat terjadinya ragam pemaknaan dalam ritual Tabut dalam pandangan
struktural dikarenakan adanya perbedaan mitos. Mitos tersebut berupa
perbedaan struktur ataupun psikologis dalam setiap kelompok sosial. Pengikut
Tabut sebagai kelompok sosial yang memiliki ritual Tabut akan lebih
memahami pema knaan dari ritual tersebut karena mereka memiliki struktur
yang tersistematis, baik secara sosial maupun psikologis. Berbeda dengan
pemerintah dan masyarakat yang tidak memiliki budaya ini secara alamiah maka
akan memaknai ritual Tabut dengan pandangan yang berbeda.
Meskipun struktur pemikiran yang muncul dalam ritual Tabut memiliki
perbedaan, namun tetap merupakan pola-pola kognitif yang saling berhubungan.
Hal tersebut ditunjukkan dengan struktur pemikiran terhadap ritual Tabut
sebagai budaya yang universal walaupun tanpa kesamaan nilai atau interpretasi.
Melalui keragaman pemaknaan ritual Tabut ini diharapkan agar semua elemen
dapat memahami serta mengaplikasikan nilai-nilai kebudayaan dan keislaman ke
dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti diketahui bahwa unsur budaya dan
agama sangat penting dalam setiap kebudayaan. Melalui komunikasi, unsur
penting ini dijadikan aset untuk merekonstruksi mental spiritual.553
Karena
bagaimanapun ritual adalah bentuk komunikasi paling sederhana554
sebagai
mekanisme yang dapat menyatukan sentimen individual ke dalam kelompok555
sekaligus mengekspresikan nilai dan tujuan kelompok sosial yang
mempraktikannya.556
Secara positif, keragamaan pemaknaan ritual Tabut memungkinkan ekspresi
identitas serta cita-cita baru yang tidak dapat dipahami dalam bentuk ritual
lama. Secara negatif, hal tersebut menjadikan ritual Tabut tidak memiliki
otoritas dalam kelompok sosial yang dapat memberikan legitimasi nilai-nilai
kebudayaan tertentu.
552
Wawancara, Achmad Syiafril, Ketua KKT, 13 Juli 2017. Lihat juga Achmad Syiafril
Sy, Buku Putih the Tabubencoolen, 25. 553
Ismail Suardi Wekke dan Yuliana Ratna Sari, ‚Tifa Syawat dan Entitas Dakwah
dalam Budaya Islam: Studi Suku Kokoda Sorong Papua Barat.‛ Jurnal Thaqafiyyat, Vol.
13, No. 1, (Juni 2012): 169. 554
Richard Bradley, ‚Ritual, Time, and History.‛ World Archaeology, Vol. 23, No. 2,
(Oktober 1991): 211. 555
Albert J Bergesen, ‚The Ritual Order.‛ Humboldt Journal of Social Relations, Vol.
25, No. 1, (1999): 161. 556
Jonathan A Draper, ‚Ritual Process and Ritual Symbol in Didache.‛ Vigiliae Christianae, Vol. 54, No. 2, (2000): 123.
122
123
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tesis ini meneliti dan mengkaji ritual Tabut dengan menjadikannya
sebagai objek kajian. Eksistensi ritual Tabut di Bengkulu merupakan ritual yang
berisi dengan nilai-nilai religius. Ritual Tabut dalam penelitian ini dikaji dengan
menggunakan pendekatan etnometodologi dan teori pemaknaan yang terdiri dari
semiotik, strukturalisme, denotasi dan konotasi. Penelitian ini memokuskan
kajian pada komunikasi ritual Tabut dengan menganalisis pemaknaan menurut
tiga kelompok sosial, yaitu pengikut Tabut, pemerintah, dan masyarakat.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengikut
Tabut memaknai ritual Tabut sebagai suatu ritual sakral yang didalamnya
terkandung nilai-nilai religius. Mereka sebagai pemilik simbol-simbol yang
terdapat dalam ritual Tabut dapat memaknai ritual tersebut secara detail.
Dengan analisis semiotik menunjukkan bahwa simbol-simbol ritual Tabut
memiliki sistem tanda yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, yaitu
representament, interpretant, dan object. Keterkaitan tersebut dijadikan
landasan oleh pengikut Tabut untuk membuat dan menentukan tanda berupa
aturan-aturan yang harus ada atau yang harus dijalankan dalam ritual Tabut.
Meski demikian, fokus pemaknaan atas tanda tersebut tidak terlepas dari
penafsir sehingga memunculkan penafsiran yang beragam. Secara struktur,
mereka melaksanakan ritual Tabut sesuai dengan aturan yang berlaku selama
ini, dari penentuan tanggal pelaksanaan hingga prosesi apa saja yang dilakukan.
Sedangkan secara denotasi dan konotasi, pengikut Tabut mengembangkan
pemaknaan ritual Tabut agar tidak tergerus oleh modernisasi dan terus dapat
diterima oleh masyarakat Bengkulu.
Pemerintah memaknai ritual Tabut sebagai komoditas pariwisata agar
keberadaan ritual Tabut dapat berkembang pada skala nasional bahkan
internasional. Namun Pemerintah hanya memaknai ritual Tabut secara
keseluruhan, sehingga menurut Pemerintah ritual Tabut tidak dapat dikatakan
sebagai ritual yang memiliki nilai-nilai keislaman. Kondisi tersebut
memunculkan struktur-struktur berbeda yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Masyarakat sebagai kelompok sosial yang melihat ritual Tabut dalam versi
pengikut Tabut maupun Pemerintah memaknai ritual tersebut dengan berbagai
pemahaman. Bahkan kecenderungan masyarakat lebih menikmati ritual Tabut
sebagai komoditas pariwisata. Bagi mereka hal tersebut lebih memiliki nilai
positif bagi eksistensi ritual tersebut.
Makna komunikasi dan praktiknya muncul dalam ritual Tabut terefleksi
dari interpretasi yang berbeda dari pengikut Tabut dan pemerintah dalam
masyarakat. Melalui analisis pemaknaan terhadap ritual Tabut diperoleh
struktur nilai yang memunculkan beragam makna. Pemaknaan dalam ritual
Tabut dikonstruksi oleh tiga kelompok sosial, yaitu pengikut Tabut, pemerintah,
dan masyarakat. Dengan menggunakan teori pemaknaan maka peneliti
mengungkapkan bahwa setiap kelompok sosial memaknai ritual tersebut
124
didasari oleh nilai dan konstruksi sosial yang berbeda. Pemaknaan ritual Tabut
sarat dengan nilai-nilai religius, komoditas pariwisata, dan sebagai hiburan bagi
masyarakat. Keragaman makna tersebut dapat dimaknai sebagai khazanah untuk
mempersatu pemikiran kelompok sosial.
Proses pemaknaan ritual Tabut menandakan berlangsungnya proses
komunikasi yang dipengaruhi oleh sistem kepercayaan dan aktifitas religius
suatu kelompok sosial. Situasi tersebut pada akhirnya memunculkan
keragamaan pemaknaan. Artinya, melalui ritual tersebut dapat memperbaiki
perilaku kelompok sosial yang berkaitan dengan nilai-nilai keisalaman
sedangkan melalui fungsi sosial untuk melestarikan ritual Tabut sebagai budaya
dan komoditas pariwisata serta untuk mengembangkan perekonomian daerah.
Eksistensi ritual Tabut mempunyai dua implikasi yaitu implikasi yang bersifat
religius dan implikasi yang bersifat sosial. Implikasi religius muncul dari
pemaknaan ritual Tabut sebagai budaya yang memiliki nilai-nilai keislaman.
Sedangkan implikasi sosial muncul dari pemaknaan ritual Tabut sebagai aset
budaya Bengkulu yang harus dikembangkan dan dilestarikan untuk
meningkatkan ekonomi daerah.
B. Saran
Akhirnya, dari penelitian ini sebagai saran, hendaknya ke depan,
pengikut Tabut, pemerintah, dan masyarakat saling bekerja sama dalam
mempertahankan eksistensi ritual Tabut, keragaman pemaknaan diantara
kelompok sosial agar dijadikan pemersatu bukan menyudutkan masing-masing.
Saran sekaligus rekomendasi juga ditujukan kepada para peneliti
berikutnya. Penelitian ini bukanlah penelitian yang final dan masih
membutuhkan banyak analisis mendalam. Tentunya dengan data-data lain yang
mendukung. Mungkin penelitian berikutnya akan menemukan fakta lain tentang
ritual Tabut serta sangat memungkinkan adanya perkembangan dan perubahan
makna ritual tersebut, ataupun difokuskan pada sejarah kemunculan ritual Tabut
secara mendalam karena peneliti merasa tidak terlalu mendalam mengkajinya
dalam penelitian ini.
125
A
Andi Faisal Bakti · 1, 3, 6, 9, 13, 14,
17, 18, 22, 25, 27, 28
B
Barthes · 33, 34, 35, 38, 44, 45, 46,
108, 110
budaya · 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12,
13, 15, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25,
26, 27, 28, 29, 30, 34, 38, 39, 40,
41, 42, 43, 44, 45, 47, 49, 50, 51,
55, 56, 59, 60, 61, 63, 71, 76, 79,
80, 81, 82, 84, 85, 87, 88, 105,
106, 107, 108, 109, 110, 112,
113, 114, 116,117, 118, 119, 120,
121, 124
D
denotasi · 10, 17, 19, 20, 38, 44, 45,
87, 108, 123
E
ekonomi · 5, 16, 22, 24, 28, 55, 79,
82, 111, 113, 114, 124
F
festival · 7, 56, 59, 76, 81, 111, 117,
120
G
Gill Branston dan Roy Stafford · 10,
11, 19, 32, 33, 35, 37, 38, 39, 40,
44, 87, 108
H
Husain · 4, 5, 15, 52, 61, 63, 68, 70,
74, 75, 77, 88, 89, 90, 93, 94, 95,
96, 97, 98, 99, 104, 107, 114,
119, 120
I
interpretant · 36, 37, 91, 93, 94, 95,
96, 98, 99, 100, 101, 103, 104,
105, 106, 107, 123
K
Karbela · 52, 62, 64, 77, 78
Kerukunan Tabut Budaya · 60, 80,
81, 111, 117, 119
kesakralan · 7, 111, 112
KKT · 3, 4, 7, 55, 60, 61, 64, 67, 68,
69, 70, 71, 73, 74, 76, 77, 78, 79,
80, 81, 82, 88, 90, 92, 93, 94, 97,
98, 100, 101, 102, 112, 113, 114,
115, 119, 121
komoditas · 6, 80, 110, 111, 112,
117, 123, 124
konotasi · 10, 11, 17, 19, 20, 38, 44,
45, 87, 108, 109, 110, 123
126
L
Lévi-Strauss · 33, 39, 40, 41, 42, 43,
113, 116, 117, 118, 119
M
mitos · 39, 41, 44, 45, 46, 63, 108,
110, 117, 118, 119, 121
Muharram · 4, 5, 13, 14, 15, 16, 51,
52, 58, 59, 60, 62, 63, 64, 66, 67,
69, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78,
79, 80, 84, 85, 89, 90, 91, 92, 93,
94, 95, 97, 98, 101, 102, 103,
109, 118, 119, 120
O
object · 20, 36, 91, 93, 94, 95, 96,
98, 99, 100, 101, 103, 104, 105,
106, 123
P
pariwisata · 4, 5, 80, 81, 85, 106,
110, 111, 112, 123, 124
Peirce · 10, 29, 30, 31, 32, 33, 34,
36, 37, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 97,
99, 100, 101, 102, 103, 105, 106,
107, 120
pemaknaan · 2, 6, 7, 8, 10, 11, 12,
16, 17, 18, 19, 20, 29, 32, 33, 35,
36, 38, 40, 44, 46, 82, 86, 87, 88,
91, 93, 94, 95, 96, 98, 99, 100,
101, 103, 104, 105, 106, 107,
108, 110, 111, 112, 114, 115,
117, 120, 121, 123, 124
pengikut Tabut · 4, 7, 12, 16, 17,
18, 61, 64, 67, 69, 71, 75, 77, 78,
80, 85, 88, 90, 95, 97, 105, 107,
109, 110, 111, 112, 114, 115,
117, 118, 123, 124
penja · 5, 69, 70, 72, 73, 74, 76, 77,
78, 92, 93, 95, 96, 103, 104, 105,
117, 118
politik · 5, 8, 11, 13, 14, 16, 22, 29,
44, 55, 79, 111, 112, 119
R
representament · 20, 36, 91, 93, 94,
95, 96, 98, 99, 100, 101, 103,
104, 105, 106, 107, 123
Ritual Tabut · 3, 61, 72, 80, 82, 86,
87, 103, 107, 109, 110, 114, 116,
117, 119, 120, 123
S
semiotik · 10, 16, 19, 20, 30, 31, 32,
33, 34, 35, 36, 38, 39, 57, 87, 90,
91, 92, 93, 94, 96, 97, 99, 100,
101, 102, 103, 105, 106, 116,
120, 123
soja · 5, 72, 76, 77, 102, 105
struktural · 10, 16, 19, 20, 38, 39,
40, 87, 115, 116, 120, 121
strukturalisme · 10, 33, 39, 40, 41,
42, 43, 46, 116, 117, 123
Sunni · 2, 4, 13, 16, 51, 118, 119
Syiah · 3, 6, 14, 51, 55, 56, 61, 84,
85, 98, 118, 119
T
Tabut pembangunan · 81, 82, 107,
111, 112, 120
trikotomi · 90, 91, 92, 93, 94, 95,
96, 97, 98, 99, 100, 101, 102,
103, 104, 105, 106
127
Recommended