View
102
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 1/89
BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
AUDITORAT UTAMA KEUANGAN NEGARA II
AUDITORAT II.A
KONSEP HASIL PEMERIKSAAN
ATAS
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)
PADA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
Nomor : ....................……Tanggal : 2006
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 2/89
BPK KHP Gabungan PPN
i
DAFTAR ISI
Hal
DAFTAR ISI iResume Hasil Pemeriksaan 1
BAB I Pendahuluan
1. Dasar Pemeriksaan ………………………………………………... 13
2. Tujuan Pemeriksaan ………………………………………………. 13
3. Lingkup Pemeriksaan …………………………………………….. 13
4. Jenis Pemeriksaan ………………………………………………… 13
5. Standar Pemeriksaan ……………………………………………… 13
6. Jangka Waktu Pemeriksaan ………………………………………. 13
7. Obyek dan Periode Pemeriksaan …………………………………. 14
8.
Metode Pemeriksaan ……………………………………………… 14BAB II Gambaran Umum
1. Organisasi dan Tata Kerja ………………………………………... 16
2. Tugas Pokok dan Fungsi DJP …………………………………….. 18
3. Uraian Pajak Pertambahan Nilai …………………………………. 20
4. Pengujian Sistem Pengendalian Intern …………………………… 21
5. Rencana dan Realisasi Penerimaan Pajak ………………………… 29
6. Hambatan Pemeriksaan…………………………………………… 32
BAB III Hasil Pemeriksaan
A. Potensi Penerimaan PPN
1. KPP belum menerbitkan SKPKB atas pajak keluaran sebesar
Rp196.882,56 juta yang belum dipertanggungjawabkan oleh
PKP penjual dalam SPT Masa
PPN......................................................................................... 33
2. DJP belum mengenakan PPN atas obyek Pajak Pertambahan
Nilai sebesar Rp129.807,47 juta dan USD 77,298.10............. 35
3. Pengkreditan Pajak Masukan sebesar Rp21.482,40 tidak
sesuai dengan ketentuan.......................................................... 39
4. Terdapat indikasi penggunaan faktur pajak fiktif senilai
Rp13.137,52 juta..................................................................... 43
5. Sanksi denda administrasi belum atau kurang dikenakan
sehingga potensi penerimaan negara sebesar Rp38.207, 65
juta belum terealisasikan......................................................... 45
6. Pengurangan/penghapusan sanksi yang tidak sesuai
ketentuan formal dan material mengakibatkan potensi
penerimaan negara sebesar Rp14.401,42 juta tidak dapat
direalisasikan.......................................................................... 51
7. KPP belum melakukan peneguran dan pemeriksaan kepada
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 3/89
BPK KHP Gabungan PPN
ii
21 PKP yang tidak menyampaikan SPT Masa PPN selama
dua tahun berturut-turut sehingga potensi penerimaan negara
sebesar Rp251.217,30 juta belum terealisasikan.................... 54
8. KPP belum mengukuhkan WP yang memiliki omzet lebih
dari 600 juta sebagai PKP, sehingga potensi penerimaan
negara senilai Rp143.614,15 juta belum dapatdirealisasikan........................................................................... 56
9. KPP belum melakukan upaya klarifikasi atas selisih omzet
yang dilaporkan, sehingga potensi penerimaan PPN sebesar
Rp737.614,69 juta dari ekualisasi omzet PPh dan PPN
belum dapat direalisasikan...................................................... 58
10. Kegiatan ekstensifikasi dalam rangka menambah jumlah
PKP belum dilakukan secara optimal..................................... 59
B. Pengeluaran negara yang tidak seharusnya terjadi
1. Pengkreditan pajak masukan tidak sesuai dengan ketentuan
yang berlaku............................................................................ 62 2. Penyelesaian keberatan; peninjauan kembali; banding tidak
sesuai dengan ketentuan.......................................................... 64
3. KPP tidak aktif dalam melaksanakan penagihan atas
ketetapan pajak yang telah dikeluarkan................................... 66
4. KPP Jakarta Penjaringan belum melakukan langkah-langkah
penanganan atas indikasi penerbitan dan penggunaan faktur
fiktif senilai Rp8.105,36 juta................................................... 67
5. Penerbitan dua SKP yang tidak sesuai dengan ketentuan
sehingga putusan bandingnya diterima yang mengakibatkan
indikasi kerugian negara sebesar Rp2.017,32 juta.................. 67
6. Penyelesaian SPTLB PPN, penerbitan SPMKP dan
Pemberian SPMIB serta koreksi fiskus tidak sesuai dengan
ketentuan sehingga potensi pengeluaran negara akibat
adanya imbalan bunga sebesar Rp718.300.887,00 yang
seharusnya tidak terjadi........................................................... 68
7. Penerbitan SPMKP yang tidak memperhitungkan hutang
pajak................................................................................... ...... 70
C. Pelayanan dan pengawasan
1. Keterlambatan Penyelesaian Permohonan Keberatan,
Penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak (SKPKPP) Atas Keputusan
Keberatan dan Surat Perintah Membayar Imbalan
Bunga (SPMIB)............................................................... 70
2. Konfirmasi dan penelitian faktur pajak dan SSP dalam
pemberian restitusi/kompensasi sebesar Rp5.661.007,68 juta
berdasarkan nota dinas Kanwil Wajib Pajak Besar tidak
sesuai dengan Surat Edaran dan Keputusan Dirjen Pajak....... 72
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 4/89
BPK KHP Gabungan PPN
iii
3. Faktur pajak dan SSP yang tidak dilakukan konfirmasi atau
jawaban konfirmasi belum diterima, namun tetap
diperhitungkan oleh petugas pajak sebesar Rp390.694,61
juta............................................................................... ........... 73
4. Penagihan atas tunggakan PPN senilai Rp10.033,76 juta
belum dilakukan secara optimal.............................................. 76 5. KPP Cikarang Satu belum membukukan SPMIB atas
pembayaran imbalan bunga sebesar Rp6.871,82 juta dalam
laporan penerimaan pajak....................................................... 77
6. Kertas Kerja Pemeriksaan tidak di dukung dengan dokumen
sumber..................................................................................... 77
7. Pengkreditan pajak masukan masa tidak sama sebesar
Rp158,68 belum dilakukan penelitian..................................... 78
8. Pengkreditan faktur pajak masukan tidak sesuai dengan
ketentuan sebesar Rp554,22 juta............................................. 78
9.
Pelaksanaan pengawasan dan penelitian atas PKP yangdiduga sebagai penerbit dan pengguna faktur pajak tidak sah
(fiktif) belum dilaksanakan secara maksimal.......................... 79
10. Kelemahan dalam pengadministrasian buku register
keberatan, buku restitusi, dan buku jawaban klarifikasi serta
administrasi dokumen perpajakan tidak tertib........................ 81
11. Kegiatan Ekstensifikasi pengusaha kena pajak dan
pemanfaatan data equalisasi omzet PPh dan PPN kurang
efektif dilakukan................................................................. ..... 83
12. Hasil pemeriksaan petugas pajak yang merugikan wajib
pajak sebesar Rp597,14 juta............................................ 84
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 5/89
BPK KHP Gabungan PPN
1
HASIL PEMERIKSAAN
ATAS
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
PADA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
RESUME HASIL PEMERIKSAAN
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 23 E dan F serta UU No.5 Tahun 1973, Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia (BPK RI) telah melakukan pemeriksaan atas Pajak Pertambahan Nilai pada
Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan. Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman
kepada Standar Audit Pemerintahan tahun 1995 dan ditujukan untuk mengetahui dan menilai sistem
pengendalian intern, penetapan target penerimaan PPN, tata usaha penegelolaan penerimaan PPN dan
indikasi pelanggaran atau penyimpangan ketentuan perpajakan. Pemeriksaan dilaksanakan denganmenerapkan metodologi pendekatan risiko untuk menilai efektivitas pengendalian dan pendekatan uji
petik atas entitas dan dokumen untuk memperoleh kesimpulan hasil pemeriksaan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan secara uji petik ( sampling ) atas realisasi penerimaan pajak pertambahan nilai
(PPN) pada 12 KPP yaitu KPP Jakarta Cakung Satu, KPP Wajib Pajak Besar Dua, KPP Jakarta Penjaringan,
KPP Jakarta Sawah Besar Satu, KPP Jakarta Setia Budi Satu, KPP Jakarta Tanjung Priok, KPP Cikarang Satu,
KPP Cimahi, KPP Medan Belawan, KPP Surabaya Krembangan, KPP Bandung Karees dan KPP Sidoarjo
Timur TA 2004 dan 2005
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa masih terdapat potensi penerimaan pajak yang belum digali,
pengeluaran negara yang tidak seharusnya terjadi serta beberapa kelemahan pelayanan kepada wajib
pajak dan pengendalian intern.
Berikut adalah temuan-temuan pemeriksaan yang perlu mendapat perhatian:
I. Potensi penerimaan pajak yang belum terealisir sebesar Rp1.546.365,20 juta dan
USD77,298.10
DJP tidak memungut pajak sesuai ketentuan yang berlaku sehingga menimbulkan potensi
penerimaan pajak yang belum terealisir sebesar Rp1.546.365,20 juta dan USD77,298.10 dengan
temuan-temuan sbb :
A. DJP tidak melakukan koreksi atas penggunaan FP masukan sebesar Rp196.882,56 juta yang
penyerahannya belum dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual (Ref Temuan
A.1)
DJP telah memberikan persetujuan penggunaan faktur pajak masukan sebesar
Rp196.882.565.309,04 yang dilakukan oleh PKP pembeli meskipun PKP penjual belum
mempertanggungjawabkan dan melaporkan pajak yang telah dipungut dari PKP pembeli
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 6/89
BPK KHP Gabungan PPN
2
dimaksud ke kas negara sehingga penerimaan PPN sebesar Rp196.882565.309,04 belum
terealisir.
Hal tersebut disebabkan oleh :
1. Petugas pajak yang menangani permasalahan dimaksud tidak tegas dalam menjalankan
aturan perpajakan yang berlaku;
2. Pengawasan KPP terhadap PKP yang terdaftar di wilayahnya lemah;
3. Pengawasan atasan langsung kurang.
B. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang tidak dikenakan PPN
oleh DJP sebesar Rp129.807,46 juta dan USD77,298.10 (Ref Temuan A.2).
Penyerahan yang tidak dikenakan PPN tersebut meliputi:
1. Peredaran atau penghasilan dari usaha yang tidak atau kurang dilaporkan sebesar
Rp844.350.111,00
2. Penghasilan dari luar usaha berupa penghasilan atas sewa tanah, penjualan aktiva, dan
pendapatan pemberian kredit kendaraan dengan nilai PPN sebesar Rp1.465.106.213,20
dan USD77,298.10.
3. Pemanfaatan BKP dan JKP luar negeri dengan nilai PPN sebesar Rp11.880.139.014,00.
4. Penyerahan BKP kepada cabang serta penyerahan BKP/JKP lainnya dengan nilai PPN
sebesar Rp114.856.142.511,07.
Hal ini mengakibatkan penerimaan PPN sebesar Rp129.807.468.941,75 dan USD77,298.10
belum dapat direalisasikan.
Hal tersebut terjadi karena :
1. Petugas pajak kurang teliti dalam melakukan pemeriksaan terkait dengan adanya obyek
yang belum dikenakan PPN.
2. Petugas pajak tidak sepenuhnya memahami dan kurang tegas dalam menerapkan aturan
dalam melakukan melakukan pemeriksaan.
3. Kurang optimalnya pemanfaatan data dalam penggalian potensi terhadap obyek PPN
yang ada.
4. Kurangnya pembinaan dan pengawasan atasan
C. Sejumlah Faktur Pajak (FP) masukan sebesar Rp16.034,88 juta yang tidak sesuai ketentuan
(Ref Temuan A.3a-c, A.3e, A.3f) dan DJP tidak melakukan koreksi sebesar Rp5.447,51 juta
juta atas selisih ekualisasi pembelian (Ref Temuan A.3d)
Penggunaan FP masukan tersebut meliputi:
1. Konfirmasi PM senilai Rp546.046.698,00 yang belum mendapat jawaban namun tetap
dikreditkan atau diakui dalam perhitungan PPN terutang.
2. Konfirmasi PM sebesar Rp89.933.895,00 yang dijawab tidak ada dan tidak disertai
prosedur alternatif seperti uji arus piutang dan barang, namun tetap dikreditkan atau
diakui dalam perhitungan PPN terutang.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 7/89
BPK KHP Gabungan PPN
3
3. Pajak masukan sebesar Rp762.534.554,00 yang dikreditkan namun tidak didukung
dengan bukti yang sah, seperti tidak adanya SSP lembar ke-2, tidak tercantumnya bukti
dalam sistem komputerisasi (SIP Web) DJP.
4. FP yang tidak dilakukan penelitian atas selisih ekualisasi pembelian dan pajak masukan
sebesar Rp5.447.515.318,00.
5. Pengkreditan PM sebesar Rp2.407.075.116,00 melebihi batas waktu yang ditentukan
yaitu 3 bulan setelah akhir tahun takwim untuk pengkreditan PM sebelum tahun 2000 dan
3 bulan setelah akhir masa pajak untuk pengkreditan PM tahun 2000 dan sesudahnya.
6. PM sebesar Rp12.229.289.666,02 yang tidak seharusnya dikreditkan atas penyerahan
yang mendapat fasilitas dibebaskan atau tidak dikenakan PPN
Hal tersebut mengakibatkan penerimaan PPN sebesar Rp21.482.395.337,02 belum dapat
direalisasikan.
Hal tersebut disebabkan karena :
1. Petugas pajak kurang teliti dan hati-hati dalam melakukan pengawasan pengkreditan
pajak masukan terutama dalam pemeriksaan.2. Petugas pajak kurang tegas menerapkan aturan dalam melakukan pengawasan
pengkreditan pajak masukan.
3. Kurangnya pembinaan dan pengawasan atasan.
D. FP yang diindikasikan fiktif sebesar Rp13.137,52 juta (Ref Temuan A.4) diperhitungkan oleh
DJP dalam perhitungan pajak terutang atas wajib pajak.
Hal tersebut mengakibatkan potensi penerimaan pajak yang hilang sebesar
Rp13.137.525.873,00 dan penyelesaiannya menjadi berlarut-larut serta berpotensi
menimbulkan kerugian negara.
Hal tersebut terjadi karena :
1. Petugas pajak kurang teliti dan hati-hati dalam melakukan pengawasan pengkreditan
pajak masukan yang diduga fiktif.
2. Petugas pajak kurang tegas menerapkan aturan dalam melakukan pengawasan pajak
masukan yang diduga fiktif.
3. Kurang optimalnya pemanfaatan data WP dalam penanganan pajak masukan yang diduga
fiktif .
4. Pembinaan dan pengawasan atasan langsung kurang.
E. DJP tidak mengenakan sanksi denda sebesar Rp38.207,65 juta kepada WP yang tidak
melakukan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan (Ref Temuan A.5).
1. Terdapat penyampaian SPT yang terlambat/tidak disampaikan oleh Wajib Pajak namun
belum dikenakan sanksi denda administrasi sehingga sehingga potensi penerimaan negara
sebesar Rp6.001.800.000,00 belum dapat direalisasikan.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 8/89
BPK KHP Gabungan PPN
4
2. Terdapat keterlambatan dalam pembayaran SPT Masa PPN yang belum dikenakan sanksi
denda administrasi sehingga potensi penerimaan negara sebesar Rp24.892.036.694,46
belum dapat direalisasikan.
3. Pemeriksa pajak di KPP Jakarta Tanjung Priok kurang mengenakan sanksi atas Pajak
Masukan yang berdasarkan hasil konfirmasi dinyatakan tidak ada sebesar
Rp7.046.932,00.
4. Terdapat kekurangan pengenaan sanksi sebesar Rp7.029.858.054,98 atas keterlambatan
pembuatan faktur.
5. Terdapat pembuatan faktur pajak yang tidak memenuhi syarat namun KPP Cimahi tidak
mengenakan sanksi sebesar Rp2.957.135,00.
6. Terdapat kekurangan perhitungan sanksi atas kompensasi yang seharusnya tidak boleh
dilakukan yaitu sebesar Rp20.207.494,00 di KPP Pratama Sawah Besar Satu dan
Rp253.753.075,00 di KPP Jakarta Setiabudi Satu.
Hal tersebut mengakibatkan penerimaan negara sebesar Rp38.207.659.385,44 belum dapat
direalisasikan.Hal tersebut terjadi karena :
1. Petugas lalai dalam mengawasi ketepatan waktu pelaporan SPT Masa PPN dan
pembayarannya;
2. Pemeriksa pajak tidak teliti dalam menghitung sanksi yang seharusnya dikenakan; dan
3. Kurangnya pengawasan atasan langsung terhadap pelaksanaan tugas bawahannya
F. DJP mengurangkan sanksi denda yang telah dikenakan terhadap WP tidak sesuai dengan
ketentuan formal dan material sebesar Rp14.401.426.576,00 (Ref Temuan A.6).
DJP telah memberikan pengurangan sanksi denda kepada wajib pajak yang tidak memenuhi
ketentuan formal dalam pengajuan permohonan serta memberikan pertimbangan keputusan
secara materi yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku.
Atas pemberian pengurangan sanksi denda dimaksud mengakibatkan potensi penerimaan
sebesar Rp14.401.426.576,00 belum dapat direalisasikan.
Hal tersebut disebabkan oleh:
a. Fiskus salah dalam menafsirkan ketentuan perpajakan
b. Kurangnya pengawasan langsung atas proses penghapusan/pengurangan sanksi
administrasi
G. PKP yang tidak menyampaikan SPT Masa PPN dua tahun berturut-turut namun memiliki
omset PPh dengan potensi PPN sebesar Rp251.217,30 juta (Ref Temuan A.7).
Hal tersebut mengakibatkan potensi penerimaan negara sebesar Rp251.217.304.517,40 belum
dapat direalisasikan.
Hal tersebut disebabkan :
1. Pengawasan petugas pajak terhadap kewajiban perpajakan PKP lemah.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 9/89
BPK KHP Gabungan PPN
5
2. Pemanfaatan data equalisasi peredaran usaha badan dan penyerahan PPN oleh petugas
pajak masih kurang.
3. Pengawasan dan pengendalian atasan terhadap pemantauan pelaksanaan kewajiban
perpajakan PKP masih kurang.
H. Sejumlah wajib pajak yang memiliki omset lebih dari Rp600 juta setahun yaitu sebesar
Rp1.195.932,84 juta belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan potensi
PPN sebesar Rp143.614,15 juta (Ref. Temuan A.8)
Hal tersebut mengakibatkan potensi penerimaan negara sebesar Rp143.614.154.393,16 belum
dapat direalisasikan.
Hal tersebut disebabkan:
1. Belum optimalnya usaha petugas pajak dalam memanfaatkan data omzet PPh dalam
upaya pengukuhan PKP.
2. Kurangnya koordinasi antar seksi terkait.
3. Pengawasan atasan langsung atas kegiatan pemantauan omzet WP masih kurang.
I. Omset PPh lebih besar dibandingkan omset PPN senilai Rp6.146.789,98 juta menimbulkan
potensi PPN sebesar Rp737.614,69 juta. Omset PPN dan PPh tidak harus selalu sama, namun
apabila terdapat selisih perlu ditelusuri lebih lanjut apakah selisih tersebut seharusnya
dikenakan PPN atau tidak (Ref. Temuan A.9)
Hal tersebut mengakibatkan belum dapat direalisasikannya potensi PPN sebesar
Rp737.614.699.147,12.
Hal tersebut disebabkan:
1. Belum optimalnya usaha dalam menggunakan semua data/informasi yang tersedia
terutama data omzet PPh dan PPN baik data fisik maupun data SIP.
2. Pengawasan atasan langsung atas pemantauan omzet WP masih kurang.
J. Kegiatan ekstensifikasi dalam rangka menambah jumlah PKP belum dilakukan secara
optimal (Ref. Temuan A.10).
Hal tersebut mengakibatkan kesempatan negara untuk mendapatkan penerimaan dari
orang/badan yang berpotensi terjaring menjadi WP/PKP tidak dapat direalisasikan.
Hal tersebut terjadi karena:
1. Usaha petugas pajak dalam rangka penambahan jumlah PKP belum optimal.
2. Koordinasi antar seksi yang terkait dengan penambahan jumlah PKP khususnya SeksiPDI dan Seksi PPN kurang optimal.
II. Pengeluaran negara yang tidak seharusnya sebesar Rp36.204,07 juta dan sanksi yang
belum di kenakan sebesar Rp18.311,15 juta.
Pengeluaran negara yang tidak seharusnya dilakukan sebesar Rp36.204,07 juta antara lain terdiri
dari temuan-temuan sebagai berikut :
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 10/89
BPK KHP Gabungan PPN
6
K. DJP menyetujui penggunaan FP masukan tidak sesuai ketentuan sebesar
Rp16.532.597.953,23 dalam pemberian restitusi. (Ref Temuan B.1)
Penggunaan FP masukan tidak sesuai ketentuan tersebut meliputi:
1. Pengkreditan pajak masukan yang tidak memperhitungkan penyerahan yang PPN-nya
dibebaskan / tidak terhutang.
2. Pengkreditan pajak masukan terlalu besar atas pembelian bahan bakar minyak.
3. Pengkreditan pajak masukan melewati batas tiga bulan.
4. Pengkreditan PPN impor / pajak masukan yang jawaban konfirmasinya tidak ada / belum
dijawab.
5. Koreksi pengkreditan pajak masukan sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri.
6. Pengkreditan faktur pajak masukan yang dibuat lebih dari empat bulan dari tanggal
penyerahan barang atau pembayaran.
Keadaan tersebut mengakibatkan pengeluaran negara yang tidak seharusnya sebesar
Rp16.532.597.953,23 dan potensi penerimaan negara sebesar Rp18.311.146.823,73 yang
berasal dari penagihan kembali beserta sanksinya belum dapat direalisasikan.Keadaan diatas disebabkan oleh:
1. Fiskus lalai dalam melakukan pemeriksaan atas pajak masukan yang dapat dikreditkan
2. Kurangnya pengawasan dari atasan langsung
L. DJP mengurangkan/menghapuskan sanksi denda dan mengabulkan permohonan keberatan
sebesar Rp4.200,53 juta tidak sesuai ketentuan (Ref Temuan B.2a dan B.2d).
DJP mengurangkan/menghapuskan sanksi denda senilai Rp1.943.617.340,00 atas pemakaian
FP masukan yang berasal dari PKP Penjual yang diduga oleh Kantor Pusat DJP sebagai
penerbit FP fiktif. Selain itu DJP juga mengabulkan surat permohonan peninjauan kembali
atas sanksi administrasi yang tidak memenuhi ketentuan formal senilai Rp2.256.917.094,00.
Hal tersebut mengakibatkan pengeluaran negara yang tidak seharusnya sejumlah
Rp4.200.534.434,00 kepada wajib pajak.
Keadaan diatas disebabkan oleh:
1. Petugas peneliti permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi lalai
dalam melaksanakan tugasnya
2. Lemahnya pengawasan atasan langsung terhadap hasil pelaksanaan kerja petugas yang
menjadi bawahannya
M. DJP mengabulkan keberatan wajib pajak tanpa menggunakan dasar dan bukti yang kuat (Ref
Temuan B.2b dan B.2c).
DJP mengabulkan permohonan keberatan wajib pajak atas penyerahan BKP dan JKP yang
dikenakan PPN tanpa menggunakan dasar dan bukti yang kuat sehingga menimbulkan
indikasi pengeluaran negara yang tidak perlu dan atau indikasi kerugian negara sebesar
Rp1.757.533.299,72.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 11/89
BPK KHP Gabungan PPN
7
Hal tersebut mengaibatkan indikasi pengeluaran negara yang tidak perlu dan atau indikasi
kerugian negara sebesar Rp1.757.533.299,72.
Keadaan diatas disebabkan oleh:
1. Petugas peneliti permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi lalai
dalam melaksanakan tugasnya
2. Lemahnya pengawasan atasan langsung terhadap hasil pelaksanaan kerja petugas yang
menjadi bawahannya
N. Terdapat tunggakan pajak (piutang pajak) sebesar Rp3.586,99 juta yang telah daluarsa (Ref
Temuan B.3).
DJP tidak melakukan penagihan tunggakan pajak sebesar Rp3.586.989.526,00 sesuai
tahapan-tahapan yang telah ditetapkan dalam ketentuan sehingga sesuai dengan undang-
undang nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
tunggakan pajak sejumlah tersebut tidak dapat ditagih lagi ke wajib pajak.
Keadaan diatas mengakibatkan penerimaan negara sebesar Rp3.586.989.526,00 yang tidak
dapat direalisasikan.
Keadaan diatas disebabkan oleh
1. Pelaksanaan penagihan tidak dilakukan secara optimal
2. Pengawasan atasan langsung yang masih kurang
O. Terdapat indikasi penggunaan faktur pajak sebesar Rp8.105,37 juta dari penerbit yang
diindikasikan fiktif (Ref Temuan B.4).
Sistem Informasi Perpajakan (SIP) menunjukkan data bahwa terdapat satu wajib pajak yang
melakukan penyerahan BKP/JKP sebesar Rp8.105.366.563,00 dan faktur pajak masukannyatelah diperhitungkan oleh PKP pembeli namun wajib pajak tersebut belum melaporkan
penyerahannya. Data master file wajib pajak pada SIP tidak memberikan informasi yang
lengkap atas wajib pajak tersebut. Pada saat BPK melakukan pengecekan fisik ke alamat
wajib pajak, BPK tidak menemukan keberadaan wajib pajak tersebut. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa wajib pajak tersebut adalah penerbit FP fiktif.
Keadaan diatas mengakibatkan potensi kerugian negara minimal senilai Rp8.105.366.563,00.
Keadaan diatas disebabkan oleh:
1. Pengawasan KPP Jakarta Penjaringan terhadap PKP yang terdaftar di wilayahnya lemah.
2. KPP Jakarta Penjaringan dan Kantor Wilayah DJP Jakarta V kurang sungguh-sungguh
dalam menindaklanjuti masalah faktur pajak fiktif.
3. Kurangnya pengawasan atasan langsung
P. Hasil pemeriksaan DJP terhadap kewajiban perpajakan wajib pajak tidak sah (Ref Temuan
B.5).
Pemeriksaan oleh DJP kepada satu wajib pajak menghasilkan dua Surat Ketetapan Pajak
(SKP) PPN terdiri dari SKPKB dan SKPLB atas masa pajak yang sama. Wajib pajak
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 12/89
BPK KHP Gabungan PPN
8
mengajukan banding dan keputusan banding menyebutkan bahwa SKP tersebut tidak sah
serta negara harus memberikan imbalan bunga kepada wajib pajak sebesar
Rp2.017.323.330,00.
Keadaan tersebut diatas disebabkan karena KPP Jakarta Cakung Satu tidak memperhatikan
konsekuensi hukum dari ketentuan yang berlaku dalam penerbitan SKP PPN.
Q. Potensi pengeluaran negara akibat adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak terjadi (Ref
Temuan B.6).
Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui terdapat potensi pengeluaran negara akibat adanya
pemberian imbalan bunga.
Kondisi tersebut mengakibatkan potensi kerugian negara sebesar Rp966.027.578,00.
Hal tersebut disebabkan oleh aparat pajak yang lalai dan kurangnya pengawasan atasan
langsung.
R. Penerbitan SPMKP yang tidak memperhitungkan hutang pajak (Ref Temuan B.7).Berdasarkan hasil pemeriksaan pada KPP Cimahi diketahui terdapat penerbitan SPMKP
sebesar Rp23.381.091,00 yang tidak memperhitungkan hutang pajak sebesar
Rp67.720.836,00.
Hal tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar R67.720.896,00.
Hal tersebut disebabkan oleh petugas yang tidak teliti dalam menjalankan tugasnya seta
pengawasan atasan langsung masih lemah.
III. Pelayanan ke wajib pajak dan Sistem Pengendalian Intern DJP lemah
Kualitas pelayanan DJP ke wajib pajak dan Sistem Pengendalian Intern DJP mengandung
kelemahan dengan temuan-temuan sebagai berikut :
S. DJP terlambat dalam menyelesaikan permohonan keberatan yang diajukan oleh wajib pajak
serta dalam menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian kelebihan Pembayaran Pajak
(SKPKPP) dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga (SPMIB) (Ref Temuan C.1).
Sesuai ketentuan, keberatan harus diselesaikan paling lama 12 bulan sejak tanggal surat
keberatan diterima. Sedangkan SKPKPP dan SPMIB harus diterbitkan paling lama 1 bulan
sejak keputusan diterima.
Hal tersebut mengakibatkan:
1. Permohonan keberatan WP harus diterima.
2. Citra pelayanan KPP menjadi kurang baik bagi WP terutama bagi yang mengajukan
keberatan dan restitusi hasil keberatan serta yang berhak atas imbalan bunga.
Keadaan tersebut disebabkan:
1. Kurangnya pengawasan terhadap pengajuan permohonan keberatan yang telah masuk.
2. Petugas pajak yang bersangkutan lalai.
3. Kurangnya pembinaan dan pengawasan atasan langsung.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 13/89
BPK KHP Gabungan PPN
9
T. Kebijakan Kakanwil Wajib Pajak Besar untuk melakukan konfirmasi dan penelitian FP serta
SSP dalam pemberian restitusi/kompensasi sebesar Rp5.661.007,69 juta dengan
menggunakan teknik sampling dengan jumlah sampel 25 – 30 FP/SSP menyalahi ketentuan
yang ditetapkan Dirjen Pajak.Langkah tersebut dituangkan pada Nota Dinas Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Besar No
ND-13/WPJ.19/BD.0401/2003 dan No ND-14/WPJ.19/BD.04/2002. SE Dirjen No.SE-
755/PJ/2001 dan Kep Dirjen No.KEP-359/PJ/2003 mengatur bahwa konfirmasi harus
dilakukan terhadap seluruh faktur pajak dengan nilai diatas Rp500.000,00 (Ref Temuan C.2).
Hal tersebut mengakibatkan restitusi sebesar Rp5.661.007.686.701,00 tidak dapat diyakini
kewajarannya.
Hal tersebut disebabkan adanya kebijakan Kanwil DJP XIX berupa nota dinas tentang
prosedur kerja pemberian restitusi.
U. Penetapan SKP oleh DJP tidak dilakukan berdasarkan konfirmasi atau jawaban konfirmasi
atas faktur pajak dan SSP senilai Rp390.694,61 juta yang mengakibatkan FP dan SSP
sejumlah tersebut tidak dapat diyakini kebenarannya (Ref Temuan C.3). Hal tersebut tidak
sesuai dengan beberapa Keputusan dan Surat Edaran Dirjen Pajak.
Hal tersebut mengakibatkan:
1. Pemberian restitusi sebesar Rp166.833.281.737,00 tidak dapat diyakini kebenarannya.
2. PPN yang dipungut oleh pemungut PPN sebesar Rp200.728.699.587,00 tidak dapat di
yakini kebenarannya.
3. Perhitungan penjualan ekspor sebesar Rp23.132.629.155,00 tidak dapat di yakini
kebenarannya
Kondisi di atas disebabkan
1. Adanya kebijakan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dengan Nota Dinas Nomor:: ND-
14/WPJ.19/BD.04/2002 tanggal 7 Oktober 2002.
2. Pemeriksa pajak tidak teliti dalam melakukan pemeriksaan.
3. Pengawasan dan pengendalian atasan langsung masih kurang.
V. Proses penagihan tunggakan pajak sebesar Rp10.033,76 juta oleh DJP kurang optimal dan
tidak mengikuti tahapan waktu sesuai prosedur yang telah ditetapkan (Ref Temuan C.4). Hal
tersebut dapat mengakibatkan tertundanya penerimaan negara serta terdapat risiko tunggakan
pajak menjadi daluarsa.
Hal tersebut mengakibatkan tertundanya penerimaan negara sebesar Rp10.033.769.151,00.
Kondisi di atas disebabkan KPP Jakarta Cakung Satu dan Surabaya krembangan tidak
sungguh-sungguh dalam melakukan penagihan aktif .
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 14/89
BPK KHP Gabungan PPN
10
W. DJP belum membukukan SPMIB sebesar Rp6.871,82 juta ke dalam Laporan Penerimaan
Pajak Tahun Anggaran 2004 dan 2005 sehingga realisasi penerimaan pajak disajikan lebih
tinggi sejumlah tersebut (Ref Temuan C.5).
Hal tersebut mengakibatkan faktur pajak masukan sebesar Rp642.719.171,00 tidak dapat
diyakini kewajarannya.Kondisi di atas disebabkan seksi penerimaan dan keberatan KPP Cikarang I Belum
membukukan pengeluaran restitusi atas pembayaran imbalan bunga.
X. Kertas Kerja Pemeriksaan tidak di dukung dengan dokumen sumber (Ref. Temuan C.6).
Fiskus dalam melakukan pemeriksaan terhadap PT Denso Indonesia mengkreditkan faktur
pajak cacat karena pada KKP ditemukan bahwa faktur pajak masukan yang dilampirkan
merupakan blanko kosong yang diisi sendiri oleh fiskus.Hal tersebut terjadi pada KPP Wajib
Pajak besar Dua.
Kondisi di atas mengakibatkan faktur pajak masukan sebesar Rp642.719.171,00 tidak dapat
diyakini kebenarannya.
Kondisi di atas disebabkan pemeriksa tidak memperhatikan dokumen – dokumen yang
diperlukan dalam penyusunan kertas kerja pemeriksa
Y. Pengkreditan pajak masukan masa tidak sama sebesar Rp158,68 belum dilakukan penelitian
(Ref Temuan C.7).
Hasil reviu terhadap LPP dan KKP pemeriksa pajak, diketahui bahwa pengkreditan pajak
masukan masa pajak sebelumnya, sebagian besar pajak masukan adalah untuk masa tidak
sama yaitu sebesar Rp.158.685.434,00 dari sejumlah Rp.160.416.691,00 yang di kreditkan
untuk masa pajak juli 2003
Kondisi di atas mengakibatkan pajak masukan dalam negeri masa tidak sama sebesar
Rp158.685.434,00 belum dapat diyakini kebenarannya.
Kondisi tersebut disebabkan pemeriksa pajak kurang teliti dalam melakukan pemeriksaan dan
kurangnya pengendalian dan pengawasan atasan terhadap hasil pemeriksaan.
Z. Pengkreditan faktur pajak masukan tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp554,22 juta (Ref
. Temuan C.8).
Dari hasil pemeriksaan kertas kerja pemeriksaan (KKP) dan Laporan Pemeriksaan Pajak
(LPP) atas PT. Mbangun Praja Industri pada Kanwil DJP Jawa Bagian Barat satu (KPP
Cimahi) di ketahui terdapat pajak masukan selama tahun 2003 yang tidak sesuai dengan
jumlah pembelian bahan baku yang dilaporkan selama tahun 2003 oleh WP. Dari penelusuran
lebih lanjut atas KKP fiskus, pada saat pemeriksaan tidak melakukan equalisasi antara
pembelian yang dilaporkan dalam SPT PPh badan dengan faktur pajak masukan yang
dilaporkan dalam SPT masa PPN. Sehingga terdapat faktur pajak masukan sebesar
Rp554.226.565,80 tidak dapat diyakini kebenarannya.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 15/89
BPK KHP Gabungan PPN
11
Kondisi di atas mengakibatkan faktur pajak masukan sebesar Rp554.226.565,80 tidak dapat
di yakini kebenarannya.
Kondisi di atas disebabkan fiskus tidak melakukan equalisasi antara pembelian yang
dilaporkan dalam SPT PPh badan dan faktur pajak masukan yang dilaporkan dalam SPT
masa PPN.
AA. Pelaksanaan pengawasan dan penelitian atas PKP yang diduga sebagai penerbit dan pengguna
faktur pajak tidak sah (fiktif) belum dilaksanakan secara maksimal (Ref. Temuan C.9).
Melihat kondisi sekarang ini dengan makin banyaknya peredaran faktur pajak yang diduga
tidak sah (fiktif) yang diterbitkan oleh PKP yang tidak sah dan banyak digunakan oleh PKP
lain sebagai upaya untuk mengurangi PPN yang disetorkan ke kas negara, maka sudah
seharusnya dalam rangka tertib administrasi perpajakan serta dalam rangka pengamanan
penerimaan negara dari sektor pajak pada umumnya dan dari sektor PPN pada khususnya,
Ditjen Pajak harus memberikan perhatian ekstra terhadap penanganan masalah tersebut.
Namun berdasarkan data serta dokumen yang diberikan, penanganan yang seharusnyadilakukan secara berkesinambungan pada kenyataannya kurang maksimal dilaksanakan.
Hal tersebut mengakibatkan penerimaan negara tidak dapat segera terealisir dan potensi
kerugian negara dikemudian hari semakin besar atas keterlambatan penanganan pengguna
dan penerbit faktur pajak yang diduga tidak sah (fiktif).
Keadaan di atas disebabkan karena KPP, Kanwil, dan Karikpa kurang memberikan perhatian
yang lebih mendalam atas penanganan PKP penerbit dan pengguna faktur pajak yang diduga
fiktif.
BB. Kelemahan dalam pengadministrasian buku register keberatan, buku restitusi, dan buku
jawaban klarifikasi serta administrasi dokumen perpajakan tidak tertib (Ref. Temuan C.10).
Dalam rangka tertib administrasi dibidang perpajakan diperlukan adanya mekanisme
pengawasan atas pelaksanaan kegiatan yang telah dilakukan, sehingga pelaksanaan kegiatan
tersebut dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun dalam praktiknya
masih ditemukan adanya kekurangan dalam pengadministrasian buku register yang ada di
KPP dan Kanwil. Selain itu terdapat penatausahaan dan administrasi dokumen perpajakan
tidak tertib sebagai akibat adanya reorganisasi dari KPP Paripurna menjadi KPP Pratama.
Hal tersebut mengakibatkan:
1. Buku register tersebut tidak informatif sehingga fungsi pengawasan yang diemban tidak
dapat berjalan dengan baik.2. Sistem administrasi dokumen perpajakan tidak tertib
3. Ketidakjelasan petugas yang bertanggungjawab atas dokumen/laporan-laporan KPP
Paripurna.
4. Fungsi-fungsi KPP yaitu pelayanan, administrasi dan pemeriksaan tidak dapat
dilaksanakan dengan efektif dan efisien.
Hal tersebut disebabkan:
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 16/89
BPK KHP Gabungan PPN
12
1. Tidak adanya pemahaman terhadap pentingnya pengendalian informasi yang disajikan
dalam rangka menunjang pelaksanaan fungsi pengawasan.
2. Tidak adanya aturan baku yang mengatur tentang tanggung jawab pejabat struktural dan
pelaksana KPP lama dalam rangka persiapan reorganisasi KPP.
CC. Kegiatan Ekstensifikasi pengusaha kena pajak dan pemanfaatan data equalisasi omzet PPh
dan PPN kurang efektif dilakukan (Ref. Temuan C.11)
Hal tersebut mengakibatkan penambahan WP terdaftar dan penerimaan pajak tidak dapat
mencapai rencana yang diberikan serta peningkatan penerimaan pajak dari ektensifikasi dan
intensifikasi tidak akan terwujud.
Hal tersebut disebabkan:
1. Tidak adanya laporan ekstensifikasi WP secara periodik, sehingga mekanisme
pengendalian tidak berjalan sebagaimana mestinya.
2. Kurangnya perhatian terhadap pemanfaatan data intern seperti equalisasi omzet PPh dan
PPN serta data PKP yang 2 tahun berturut-turut tidak menyampaikan SPT Masa PPN.
DD. Hasil pemeriksaan petugas pajak yang merugikan wajib pajak sebesar Rp597,14 juta
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas 2 berkas WP, diketahui terdapat penerbitan ketetapan
yang merugikan WP (Ref. Temuan C.12).
Hal tersebut mengakibatkan WP dirugikan sebesar Rp597.140.515,00
Keadaan tersebut disebabkan oleh:
1. Tidak adanya kebijakan pemeriksaan yang dapat mencegah pemeriksaan yang tumpang
tindih..
2. Petugas pajak tidak teliti dan cermat dalam melakukan pemeriksaan.
3. Kurangnya koordinasi dan komunikasi antara bidang PPN dan fungsional pemeriksa
Kanwil.
4. Kurangnya pengawasan atasan langsung.
Jakarta, Maret 2006
Badan Pemeriksa Keuangan
Penanggungjawab Audit
Drs. Luhut P. Siahaan
NIP 24000273
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 17/89
BPK KHP Gabungan PPN
13
BAB I
PENDAHULUAN
1. Dasar Pemeriksaan
a. Undang-undang No. 5 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan-Republik Indonesia.
b. Rencana Kegiatan Pemeriksaan BPK-RI Tahun Anggaran 2005.
c. Surat Tugas Badan Pemeriksa Keuangan No 64/ST/IV-XII.1/10/2005 tanggal 10 Oktober
2005.
2. Tujuan Pemeriksaan
Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui dan menilai apakah:
a. struktur pengendalian intern entitas telah dirancang dan dilaksanakan secara memadai untuk
mencapai tujuan pengendalian.
b. proses penetapan target penerimaan PPN sudah dilakukan secara memadai.c. tata usaha pengelolaan penerimaan PPN sudah dilakukan dengan baik.
d. terjadi indikasi pelanggaran ketentuan perpajakan dibidang PPN dan tata usaha penerimaan
PPN
3. Lingkup Pemeriksaan.
Sasaran pemeriksaan meliputi :
a. Perencanaan
b. Realisasi penerimaan dan restitusi PPN
c. Kegiatan pemeriksaan PPN
d. Kegiatan pemrosesan keberatan, banding, dan peninjauan kembali (PK) PPN
e. Kegiatan Pengawasan Administratif.
f. Kegiatan ekstensifikasi
4. Jenis Pemeriksaan.
Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu
5. Standar Pemeriksaan
Standar pemeriksaan adalah Standar Audit Pemerintah (SAP) Tahun 1995
6. Jangka Waktu Pemeriksaan
Pemeriksaan dilaksanakan dalam dua tahap pemeriksaan, yaitu:
- Tahap pertama dilaksanakan dari tanggal 17 Oktober sampai dengan 25 Nopember 2005
- Tahap kedua dilaksanakan dari tanggal 12 Desember sampai dengan 31 Desember 2005
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 18/89
BPK KHP Gabungan PPN
14
7. Obyek dan Periode Pemeriksaan .
a. Obyek Pemeriksaan.
Pemeriksaan dilakukan atas Pajak Pertambahan Nilai pada sepuluh Kantor Wilayah (Kanwil)
Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Sembilan Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak
(Karikpa) dan 12 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:
No. Kanwil Karikpa KPP
1. Kanwil XIX Wajib Pajak (WP) Besar - KPP WP Besar Dua
2. Kanwil DJP Jakarta V Karikpa Jakarta Empat KPP Jakarta Penjaringan
KPP Jakarta Tanjung Priok
3. Kanwil DJP Jakarta IV Karikpa Jakarta Satu KPP Jakarta Cakung Satu
4. Kanwil DJP Jakarta I - KPP Jakarta Sawah Besar
Satu
5 KanwilDJP Jakarta III Karikpa Jakarta Dua KPP Setia Budi satu
6. Kanwil DJP Jawa Bagian Barat II Karikpa Bandung Satu KPP Cimahi
Karikpa Bandung Dua KPP Bandung Karees
7. Kanwil DJP Jawa Bagian Barat III Karikpa Karawang KPP Cikarang satu
8. Kanwil Sumbagut I Karikpa Medan Satu KPP Medan Belawan
9. Kanwil DJP Jabagtim II Karikpa Mojokerto KPP Sidoarjo Timur
10 Kanwil DJP Jabagtim I Karikpa Surabaya
Satu
KPP Surabaya Krembangan
b. Periode waktu pemeriksaan
Periode waktu pemeriksaan adalah Tahun Anggaran 2004 dan 2005 (sampai dengan saat
pemeriksaan).
8. Metode Pemeriksaan.
Metodologi yang digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan PPN adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan Risiko
Pemeriksaan atas pengelolaan PPN didahului dengan melakukan pemahaman atas kegiatan
entitas, dalam hal ini unit di Direktorat Jenderal Pajak yang terkait dengan sistem pengelolaan
PPN meliputi : rencana dan realisasi, pemeriksaan dan restitusi, pengawasan administrasi,
pemeriksaan, penyelesaian keberatan dan pelaksanaan intensifikasi dan ekstensifikasi Wajib
pajak Pemahaman atas sistem yang ada ditujukan untuk menilai r i siko pengendalian dengan
mengindentifikasi bentuk-bentuk pengendalian yang diperlukan dalam kegiatan PPN dan
mengindentifikasi kelemahan dalam rancangan pengendalian yang telah ada. Selanjutnya
dilakukan pengujian atas pengendalian (test of control ) untuk menentukan tingkat efektivitas
dari sistem pengendalian yang ada.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 19/89
BPK KHP Gabungan PPN
15
Pemahaman dan pengujian atas pengendalian ini dilakukan dengan wawancara, mereview
dokumen dan catatan entitas serta melakukan pengamatan atas aktivitas organisasi.
Hasil pemahaman dan pengujian pengendalian ini akan menentukan tingkat keandalan Sistem
Pengendalian Intern (SPI) kegiatan operasional PPN sesuai dengan kriteria dan ketentuan
yang berlaku.
Hasil penilaian r isiko pengendalian ini digunakan dalam penentuan jumlah sampel dokumen
per pajak an yang akan di uji secara mendalam untuk mencapai tujuan pemeriksaan.
b. Pendekatan Sampling
Berdasarkan hasil pengujian pengendalian, pemeriksaan ini dilakukan dengan melakukan
pengujian secara uji petik atas unit-unit dan dokumen dalam populasi di entitas yang akan
diuji.
Kesimpulan pemeriksaan diproses berdasarkan hasil pemeriksaan secara uji petik yang
hasilnya dijadikan dasar untuk menggambarkan kondisi dari populasinya. BPK memilih
sampel pemeriksaan pada 12 KPP atau 6,8% dari 176 KPP seluruh di seluruh Indonesia.Pemeriksaan sampel dokumen yang diuji menggunakan metode non statistical sampling
dengan memperhatikan tingkat r isiko yang ada pada entitas antara lain: restitusi yang
nilainya besar, PKP yang memiliki peredaran usaha besar tetapi Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB) kecil, dan Pengusaha K ena Pajak yang sering menerima restitusi.
c. Pengelompokan temuan pemeriksaan
Temuan pemeriksaan dikelompokan dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Temuan yang mengakibatkan potensi pajak yang masih harus dipungut atau diterima oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Termasuk dalam kelompok temuan ini antara lain
adanya obyek-obyek Pajak Pertambahan Nilai yang belum diperhitungkan oleh petugas
pajak pada saat pemeriksaan. Sanksi denda administrasi yang harus dikenakan terhadap
wajib pajak, maupun obyek Pajak Pertambahan Nilai yang bisa diperoleh dari kegiatan
ekstensifikasi.
2. Temuan yang menyangkut pengeluaran keuangan negara yang seharusnya tidak perlu
terjadi. Termasuk dalam kelompok temuan ini antara lain pemberian restitusi yang
berlebih kepada wajib pajak .
3. Temuan yang berkaitan dengan Sistem Pengendalian Intern dan pelayanan. Termasuk
dalam temuan ini berhibungan dengan kelemahan-kelemahan Sistem Pengendalian Intern
dalam pengelolaan Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan oleh DJP. Pelayanan kepadawajib pajak dan proses keberatan yang diajukan oleh wajib pajak.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 20/89
BPK KHP Gabungan PPN
16
BAB II
GAMBARAN UMUM
1. Organisasi dan Tata Kerja
Direktorat Jenderal Pajak merupakan salah satu unit eselon I di Departemen Keuangan. Unit kerja
di Direktorat Jenderal Pajak adalah sebagai berikut :
1) Kantor Pusat DJP
Susunan organisasi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan RI Nomor 302/KMK.01/2004 tanggal 23 Juni 2004 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Keuangan.
Susunan organisasi Kantor Pusat Ditjen Pajak adalah sebagai berikut :
- Sekretariat Direktorat Jenderal;
- Direktorat Potensi dan Sistem Perpajakan;
- Direktorat Peraturan Perpajakan;- Direktorat Pajak Penghasilan;
- Direktorat Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Tidak Langsung Lainnya;
- Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
- Direktorat Pemeriksaan, Penyedikan dan Penagihan Pajak;
- Direktorat Penyuluhan Perpajakan
2) Kantor Wilayah (Kanwil) DJP
Susunan organisasi Kanwil Direktorat Jenderal Pajak selain Kanwil DJP Pajak Wajib Pajak
Besar dan Kanwil Khusus didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor
473/KMK.01/2004 tanggal 13 Oktober 2004 tentang Perubahan lampiran I,II,III,IV dan V
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan
Pajak, Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan
Pajak, dan Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Menteri Keuangan Np 519/KMK.01/2003. Susunan organisasi Kanwil
DJP adalah sebagai berikut :
a. Bagian Umum;
b. Bidang Administrasi dan Kerjasama Perpajakan;
c. Bidang Pajak Penghasilan;d. Bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Tidak Langsung Lainnya;
e. Bidang Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;
f. Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak;
g. Kelompok Jabatan Fungsional.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 21/89
BPK KHP Gabungan PPN
17
Sedangkan Kanwil XIX DJP Wajib Pajak Besar Kanwil DJP Jakarta I diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan No.65/KMK.01/2002 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
167/KMK.01/2005 tanggal 31 Maret 2005 dengan struktur organisasi sebagai berikut :
- Bagian Umum;
- Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi;
- Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak;
- Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat;
- Bidang Keberatan dan Banding;
- Kelompok Jabatan Fungsional.
3) Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa)
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 443/KMK.01/2001 tanggal 23
Juli 2001, susunan organisasi Karikpa adalah sebagai berikut:
- Sub Bagian Umum;
- Kelompok jabatan Fungsional.
4) Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berada dibawah koordinasi Kanwil Ditjen Pajak sesuai dengan
Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001
sebagaimana terakhir dirubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor-
473/KMK.01/2004 tanggal 13 Oktober 2004 tentang Perubahan Lampiran I, II, III dan IV
Keputusan Menteri Keuangan No.443/KMK.01/2001. Susunan organisasi KPP sebagai
berikut :
- Sub Bagian Tata Usaha;
- Seksi Pajak Penghasilan (PPh) Badan;
- Seksi PPh Orang Pribadi;
- Seksi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Tidak Langsung Lainnya (PTLL);
- Seksi Pemotongan dan Pemungutan (Potput) PPh;
- Seksi Penerimaan dan Keberatan (Penkeb);
- Seksi Pengolahan Data dan Informasi (PDIP);
- Seksi Penagihan;
- Seksi Tata Usaha Perpajakan.
Departemen Keuangan melakukan reorganisasi KPP dengan melakukan pemekaran Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) dan pembentukan KPP baru.KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Jakarta Sawah Besar I diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan No.65/KMK.01/2002 dan Keputusan Menteri Keuangan No.167/KMK.01/2005
susunan organisasi KPP sebagai berikut :
- Subbagian Umum;
- Seksi Pengolahan Data dan Informasi;
- Seksi Pelayanan;
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 22/89
BPK KHP Gabungan PPN
18
- Seksi Penagihan;
- Seksi Pemeriksaan;
- Seksi Pengawasan dan Konsultasi I;
- Seksi Pengawasan dan Konsultasi II;
- Seksi Pengawasan dan Konsultasi III;
- Seksi Pengawasan dan Konsultasi IV;
- Kelompok Jabatan Fungsional.
2. Tugas Pokok dan Fungsi DJP
1) Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak
Tugas pokok Direktorat Jenderal Pajak adalah melaksanakan sebagian tugas pokok
Departemen Keuangan di bidang penerimaan negara yang berasal dari pajak sesuai dengan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri dan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Jenderal Pajak mempunyai tugas merumuskandan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang perpajakan sesuai dengan
kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Direktorat Jenderal Pajak
menyelenggarakan fungsi:
- penyiapan perumusan kebijakan di bidang Perpajakan;
- pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
- perumusan standar, norma, pedoman, criteria, dan prosedur di bidang perpajakan
- pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan
- pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal.
2) Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
Kantor Wilayah Ditjen Pajak mempunyai tugas melaksanakan koordinasi dan pengendalian
pelaksanaan tugas pokok direktorat jenderal di wilayah kerjanya berdasarkan kebijaksanaan
teknis yang ditetapkan direktur jenderal. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, kantor
wilayah mempunyai fungsi :
- Pemberian bimbingan, koordinasi dan pengembangan teknis pelaksanaan tugas direktorat
jenderal yang ada dalam wilayah wewenangnya;
- Pengamanan rencana kerja dan rencana penerimaan di bidang perpajakan;- Pemantauan, pengolahan dan penyajian informasi perpajakan, register dan evaluasi data
wajib pajak serta ekstensifikasi wajib pajak;
- Penyelesaian keberatan wajib pajak;
- Evaluasi dan pembinaan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pemeriksaan, penyidikan dan
penagihan pajak;
- Pemeriksaan dan penyidikan pajak;
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 23/89
BPK KHP Gabungan PPN
19
- Pengawasan terhadap unit-unit operasional di wilayah kerjanya masing-masing;
- Pengurusan tata usaha dan rumah tangga kantor wilayah.
Sedangkan Kanwil Kantor Wilayah (Kanwil) XIX DJP Wajib Pajak Besar dan Kanwil DJP
Jakarta I, fungsinya adalah sebagai berikut:
- Pemberian bimbingan dan evaluasi pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Pajak;
- Pengamanan rencana kerja dan rencana penerimaan di bidang perpajakan;
- Bimbingan konsultasi dan pembinaan penggalian potensi perpajakan serta pemberian
dukungan teknis komputer;
- Pengumpulan, pencarian, dan pengolahan data serta penyajian informasi perpajakan;
- Penyiapan dan pelaksanaan kerjasama perpajakan, serta pemberian bantuan hukum;
- Bimbingan pemeriksaan dan penagihan, serta pelaksanaan dan administrasi penyidikan;
- Bimbingan pelayanan dan penyuluhan, serta pelaksanaan hubungan pelayanan
masyarakat;
- Penyelesaian keberatan dan pelaksanaan urusan banding;- Pembetulan surat ketetapan pajak;
- Pelaksanaan administrasi Kantor Wilayah
3) Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak
Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak mempunyai tugas melaksanakan pemeriksaan dan
penyidikan di bidang perpajakan berdasarkan kebijaksanaan teknis yang ditetapkan direktur
jenderal pajak dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak
mempunyai fungsi :
- Penyusunan program dan pelaksanaan pemeriksaan, serta penyusunan laporan hasil
pemeriksaan wajib pajak;
- Pengumpulan dan penelaahan bukti permulaan serta pelaksanaan penyidikan terhadap
tindak pidana perpajakan;
- Pengurusan tata usaha dan rumah tangga.
4) Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berada dibawah koordinasi Kanwil DJP dimana tugas Kantor
Pelayanan Pajak adalah melaksanakan kegiatan operasional pelayanan perpajakan di bidang
Pajak penghasilan, pajak pertambahan Nilai, Pajak penjualan atas Barang mewah, dan pajakTidak langsung Lainnya dalam daerah wewenangnya berdasarkan kebijaksanaan teknis yang
ditetapkan Direktorat jenderal pajak.
Sedangkan fungsinya adalah :
- Pengumpulan dan pengolahan data, penyajian informasi perpajakan, penggalian potensi
pajak serta ekstensifikasi wajib pajak;
- Penatausahaan dan pengecekan surat pemberitahuan tahunan serta berkas wajib pajak;
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 24/89
BPK KHP Gabungan PPN
20
- Penatausahaan dan pengecekan surat pemberitahuan masa, serta pemantauan dan
penyusunan laporan pembayaran masa Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Tidak Langsung Lainnya;
- Penatausahaan penerimaan,penagihan,penyelesaian keberatan dan restitusi Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Tidak Langsung Lainnya;
- Verifikasi dan penerapan sanksi perpajakan;
- Pengurusan pemberian surat ketetapan pajak;
- Penyuluhan dan pelayanan konsultasi perpajakan;
- Pengurusan tata usaha dan rumah tangga Kantor Pelayanan Pajak.
Sedangkan KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Jakarta Sawah Besar I, fungsinya adalah sebagai
berikut :
- Pengumpulan, pencarian, dan pengolahan data, pengamatan potensi perpajakan, serta
penyajian informasi perpajakan;
- Penetapan dan penerbitan produk hukum perpajakan;- Pengadministrasian dokumen dan berkas perpajakan, penerimaan dan pengolahan Surat
Pemberitahuan, serta penerimaan surat lainnya;
- Penyuluhan perpajakan;
- Pelaksanaan registrasi wajib pajak;
- Pelaksanaan ekstensifikasi;
- Penatausahaan piutang pajak dan pelaksanaan penagihan pajak;
- Pelaksanaan pemeriksaan pajak;
- Pengawasan kepatuhan kewajiban perpajakan wajib pajak;
- Pelaksanaan konsultasi perpajakan;
- Pelaksanaan intensifikasi;
- Pelaksanaan administrasi KPP
3. Uraian Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara umum adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang
dan jasa di dalam negeri (dalam daerah pabean) yang dapat dilakukan oleh orang pribadi, badan
dan pemerintah. PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)/Jasa Kena Pajak
(JKP), ekspor dan impor BKP, pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari luar daerah pabean,
kegiatan membangun sendiri, dan penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan. Subjek pajak PPN adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), namun untuk obyek pajak impor BKP,
pemanfaatan BKP tidak berwujud/JKP dari luar daerah pabean, dan kegiatan membangun sendiri
dapat dilakukan oleh siapapun tanpa memandang apakah subjek pajak tersebut PKP atau bukan.
Keputusan Menteri Keuangan No. 571/KMK.03/2003 mengatur tentang batasan pengusaha kecil
untuk dapat dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha kecil sudah harus menjadi PKP apabila selama
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 25/89
BPK KHP Gabungan PPN
21
satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto
dan/atau penerimaan bruto lebih dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Sistem pemungutan PPN di Indonesia menggunakan indirect credit method (metode
pengkreditan tidak langsung). PKP dalam melakukan kewajiban perpajakannya adalah dengan
melaporkan SPT Masa PPN yang dilakukan setiap masa pajak/bulan. Setiap melakukan
penyerahan, PKP harus memungut PPN kepada pembelinya yang disebut PPN Keluaran dan
begitu pula saat melakukan pembelian, PKP juga dipungut PPN oleh penjualnya yang disebut
PPN Masukan. PPN Keluaran dan PPN Masukan inilah yang dilaporkan setiap bulannya oleh
PKP dalam SPT Masa PPN. Apabila PPN Keluaran lebih besar daripada PPN Masukan, maka
SPT yang dilaporkan PKP menjadi SPT Masa PPN kurang bayar. PKP harus menyetorkan PPN
kurang bayar untuk suatu masa pajak paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dan
melaporkannya paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah masa pajak yang terutang.
Sebaliknya apabila PPN Masukan lebih besar, maka SPT yang dilaporkan adalah SPT Masa PPN
lebih bayar. Atas kondisi lebih bayar, PKP dapat mengkompensasikan kelebihan bayar tersebut
ke masa pajak berikutnya atau mengajukan restitusi. Untuk dapat memperoleh restitusi, terhadapPKP yang mengajukan permohonan harus dilakukan pemeriksaan oleh Ditjen Pajak. Restitusi
pajak paling besar diterima terutama oleh eksportir, sebagai konsekuensi pengenaan tarif pajak
0% terhadap ekspor, sementara PPN Masukan atas perolehan/pembelian BKP tetap dapat
dikreditkan. Dalam struktur penerimaan PPN terdapat dua sumber penerimaan, yaitu PPN Dalam
Negeri dan PPN Impor
4. Pengujian Sistem Pengendalian Intern
Pelaksanaan pemeriksaan atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) didahului dengan melakukan
pemahaman umum atas Sistem Pengendalian Intern (SPI) dalam pengelolaan PPN, mulai dari
proses perencanaan, realisasi dan restitusi penerimaan pajak, administrasi, pemeriksaan,
penyelesaian keberatan, dan pelaksanaan penyisiran wajib pajak. Pemahaman atas SPI ini
dilakukan untuk menilai aspek-aspek Pengendalian Intern dengan cara wawancara, mereviu
dokumen dan catatan entitas serta melakukan pengamatan atas aktivitas dan operasi entitas.
Berdasarkan hasil pengamatan dan pemeriksaan secara uji petik atas aspek-aspek Pengendalian
Intern khususnya berkaitan dengan PPN, diketahui masih terdapat beberapa kelemahan yang
perlu diperbaiki dan mendapatkan perhatian sebagai berikut:
1. Organisasi;
Direktorat Jenderal Pajak merupakan salah satu unit eselon I di Departemen Keuangan. Unit
kerja di Direktorat Jenderal Pajak adalah sebagai berikut :a. Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak: Susunan organisasi Direktorat Jenderal Pajak
diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 302/KMK.01/2004 tanggal 23 Juni
2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan sejak berlakunya
keputusan ini, terdapat
- 1 (satu) Sekretariat Direktorat Jendaral;
- 8 (delapan) Direktorat .
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 26/89
BPK KHP Gabungan PPN
22
b. Kantor Wilayah : Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor
443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001, Kantor Wilayah Ditjen Pajak mempunyai tugas
melaksanakan koordinasi dan pengendalian pelaksanaan tugas pokok direktorat jenderal
di wilayah kerjanya berdasarkan kebijaksanaan teknis yang ditetapkan direktur jenderal.
Sedangkan Kanwil Kantor Wilayah (Kanwil) XIX DJP Wajib Pajak Besar diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan No.65/KMK.01/2002 dan Kanwil DJP Jakarta I diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 187/KMK.01/2005 tanggal 31 Maret 2005.
Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 473/KMK.01/2004 tanggal 13 Oktober
2004 tentang Perubahan lampiran I,II,III,IV dan V Keputusan Menteri Keuangan Nomor
443/KMK.01/2001 tanggal 23 Juli 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak, dan Kantor Penyuluhan
dan Pengamatan Potensi Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor: 519/KMK.01/2003 sejak berlakunya keputusan ini, terdapat:
- 30 (tiga puluh) Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;- 176 ( seratus tujuh puluh enam) Kantor Pelayanan pajak;
- 166 (seratus enam puluh enam) kantor pelayanan pajak Bumi dan Bangunan;
- 55 (lima puluh lima) Kantor pemeriksaan dan penyedikan pajak;
- 236 (dua ratus tiga puluh enam) kantor penyuluhan dan pengamatan potensi
perpajakan.
Untuk periode yang diperiksa (TA 2004 dan 2005) terjadi reorganisasi di lingkungan
DJP. Pelaksanaan di lapangan menunjukkan reorganisasi masih belum berjalan efektif
dimana belum seluruh posisi jabatan dapat terisi, misalnya posisi Kepala KPP yang sudah
lama kosong dan belum ada penggantinya yang definitive dan masih dijabat oleh pejabat
sementara. Selain itu, adanya peralihan tugas dari pejabat atau petugas yang lama ke
yang baru belum berjalan sebagaimana mestinya yang berpengaruh terhadap pelaksanaan
tugas operasional KPP misalnya dari segi pengawasan administrasi perpajakan, dan
penyimpanan berkas wajib pajak.
Hal tersebut menimbulkan adanya risiko pelaksanaan tugas dan fungsi KPP.
2. Rencana Penerimaan Perpajakan
Penyusunan rencana penerimaan pajak terutama dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran
dan Perimbangan Keuangan (DJAPK) dengan memperoleh masukan dari Direktorat Jenderal
Pajak. Penetapan rencana penerimaan pajak setiap tahunnya dilakukan oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai
berikut:
1. Pembicaraan pendahuluan yang dilakukan oleh Pemerintah (d.h.i Departemen Keuangan)
dan DPR pada tahap ini dibicarakan mengenai:
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 27/89
BPK KHP Gabungan PPN
23
1) Asumsi dasar yang dipakai dalam penyusunan proyeksi penerimaan seperti
pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat suku bunga SBI, harga minyak per barel,
produksi minyak dan kurs US dollar terhadap Rupiah.
2) Pokok-pokok kebijakan fiscal dan moneter
Setelah memperoleh kesepakatan dengan DPR maka langkah selanjutnya
Departemen Keuangan membuat proyeksi penerimaan perpajakan. Unit kerja yang
berperan dalam proses ini adalah DJAPK dengan memperoleh masukan dari DJP,
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Bappeki (tim Tarif). Kemudian dilakukan :
a. Rapim Menteri Keuangan dengan semua unit eselon I di lingkungan Departmen
Keuangan, Bank Indonesia, Bappenas dan Menko Perekonomian. Hasil dari
Rapim ini akan menghasilkan Nota Keuangan (NK) dan RAPBN yang akan
disampaikan Presiden ke DPR.
b. Penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN oleh Presiden ke DPR
c. Pemandangan umum oleh fraksi-fraksi di DPR dan pembahasan dengan Panitia
Anggaran di DPRd. Penetapan RAPBN menjadi Undang-undang APBN
Dari proses penyusunan rencana penerimaan pajak unit kerja yang berperan adalah
DJAPK sebagai pihak yang merumuskan perencanaan penerimaan dan sedangkan
DJP sebagai pihak pelaksana.
Perhitungan rencana penerimaan perpajakan untuk PPN menggunakan metode
estimasi makro yaitu melakukan estimasi menggunakan elastisitas penerimaan
perpajakan terhadap tax base dan asumsi dasar ekonomi makro. Adapun prosesnya
adalah sebagai berikut:
a. Menetapkan baseline untuk PPN yaitu dengan terlebih dahulu menghitung dan
menetapkan tingkat sensitivitas atau elastisitas untuk jenis pajak PPN,
menetapkan tax base misalnya tingkat konsumsi dalam negeri serta pertumbuhan
tax base. Adapun rumusannya adalah sebagai berikut:
Baseline = Elastisitas x Pertumbuhan taxbase x Realisasi penerimaan pajak
tahun sebelumnya.
b. Menetapkan rencana penerimaan yang berasal dari measure yaitu target
penerimaan karena adanya aspek kebijakan dan administrasi perpajakan misalnya
kebijakan pemeriksaan, kegiatan ekstensifikasi, canvassing, penagihan dan lain-
lain. Usulan target penerimaan dari factor ini berasal dari Direktorat Jenderal
Pajak.
Sementara itu, pembagian rencanaan penerimaan pajak pada Direktorat Jenderal Pajak
kepada masing-masing kanwil dilakukan setelah menerima penetapan target penerimaan
sesuai dengan yang ditetapkan dalam APBN. Rencana penerimaan pajak yang menjadi
kewajiban DJP adalah untuk PPh Non Migas, PPN dan Pajak Lainnya. Khusus untuk
penerimaan PPh Migas dilakukan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK).
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 28/89
BPK KHP Gabungan PPN
24
Terhadap penerimaan pajak yang merupakan tugas DJP, Dirjen Pajak membagi rencana
dimaksud untukmasing-masing kanwil. Metoda perhitungan rencana penerimaan untuk
masing-masing kanwil dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa metoda.
Tahun 2004
Dari metoda yang ada DJP membagi rencana penerimaan pajak menggunkanan metoda
berdasarkan usulan kanwil dan sisanya dibagi proporsional sesuai kontribusi
penerimaan tahun 2003.
Metode tersebut yang dipilih dengan alasan antara lain:
a. Mempertimbangkan usulan kanwil;
b. Mempertimbangkan realisasi tahun sebelumnya;
c. Mempertimbangkan potensi masing-masing kanwil;
d. Kenaikan terhadap usulan kanwil rasional.
Disamping itu terdapat faktor penyesuaian distribusi penerimaan, antara lain :
a. Mutasi wajib pajak ke LTO; b. Pemberlakuan PPN dan PPnBM di Batam;
c. Pemekaran kanwil dan KPP;
d. PDRB setempat.
Tahun 2005
Dalam tahun 2005 metode perhitungan rencana penerimaan pajak untuk masing-masing
kanwil dilakukan dengan menggunakan pembobotan 3 variabel , yaitu :
a. Usulan rencana penerimaan masing-masing kanwil (50%);
b. Realisasi tahun 2004 berdasarkan prognosa kanwil yang disesuaikan dengan wajib
pajak yang pindah (40%);
c. PDRB setempat (10%).
Alasan dipilihnya metode pembobotan antara lain :
a. Mempertimbangkan usulan kanwil;
b. Mempertimbangkan peranan penerimaan berdasarkan laporan kanwil;
c. Mempertimbankan potensi masing-masing daerah berdasarkan data statistik.
Dari metode yang digunakan di tahun 2004 dan 2005 diatas diketahui bahwa DJP belum
mempunyai pegangan yang pasti dalam membagi rencana penerimaan pajak kepada
masing-masing kanwil. Karena itu masih dimungkinkan adanya ketidaktepatan dalammembagi rencana penerimaan untuk masing-masing kanwil.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
a. DJP bukanlah pembuat atau pihak yang mengusulkan penerimaan pajak. Pihak yang
banyak berperan dalam proses penyusunan rencana penerimaan adalah DJAPK
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 29/89
BPK KHP Gabungan PPN
25
(Departemen Keuangan). Dalam proses selanjutnya penetapan target tersebut tidak
lepas dari proses politik melalui pembahasan dan persetujuan DPR.
b. Penetapan target sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi makro, tingkat elastisitas,
jenis dan pertumbuhan tax base yang digunakan.
c. Dengan merubah asumsi, angka elastisitas dan pertumbuhan akan sangat berpengaruh
terhadap target penerimaan yang diusulkan.
3. Kebijakan:
a. Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan penerimaan perpajakan
dilakukan ekstensifikasi (canvassing) Wajib Pajak. Ekstensifikasi adalah kegiatan yang
dilakukan dalam rangka meningkatkan jumlah wajib pajak dan atau Pengusaha Kena
Pajak (PKP) terdaftar. Pelaksanaan ekstensifikasi dimulai dengan pencairan data dapat
bersumber dari data intern DJP berupa bank data KPP dan KP PBB ataupun dari ekstern
DJP berupa data dari Pemda, PLN, telkom, developer maupun pihak-pihak lain. Data
tersebut digunakan dalam rangka memperoleh indikasi adanya penghasilan kena pajakyang belum dilaporkan karena wajib pajak yang bersangkutan belum memiliki Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).
Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor S-132/PJ.44/200 tentang
ekstensifikasi dan intensifikasi untuk optimal penerimaan pajak dari para pengusaha
antara lain melakukan penyisiran (canvassing) ke pusat perdagangan/mal untuk
membandingkan data yang diperoleh dari pengelola/pemilik dengan keadaan di lapngan.
Hasil penyisiran dikelompokkan yang sudah ber NPWP dan yang belum ber NPWP
untuk ditindaklanjuti dengan meneliti pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas regester himbauan dan register penerbitan Surat
perintah pemeriksaan pajak (SP3) masih terdapat surat himbauan yang tidak direspon
calon wajib pajak dan belum ditindaklanjuti dengan penerbitan SP3.
Dengan demikian kegiatan ekstensifikasi dalam rangka peningkatan pengusaha kena
pajak terdaftar belum optimal.
b. Kebijakan pemeriksaan yang dilakukan oleh KPP Wajib Pajak Besar Dua mengacu pada
kebijakan Kepala Kanwil XIX DJP WP Besar dengan Nota Dinas No. ND-
14/WPJ.19/BD.04/2002 tanggal 7 Oktober 2002 yang menyebutkan antara lain bahwa
metode pemeriksaan sederhana terhadap SPT Masa PPN tahun berjalan yang menyatakan
lebih bayar (restitusi) agar dilaksanakan dengan menerapkan pemeriksaan terarah ( focusaudit ) melalui teknik sampling dengan pengambilan sampel yang representatif. Nota
Dinas tersebut diterbitkan berdasarkan surat Direktur P4 Nomor. S-589/PJ.7/2002
tanggal 1 Oktober 2002
Kebijakan pemeriksaan yang demikian dilaksanakan dengan mengambil sampel atas
faktur pajak masukan dan SSP PPN impor yang dikreditkan dalam SPT PPN. Sampel
diambil berdasarkan nilai transaksi yang besar dan ukuran sampel yang diambil adalah
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 30/89
BPK KHP Gabungan PPN
26
dikelompokkan yang berisiko tinggi dengan jumlah berkisar 25 s.d 30 faktur pajak dan
atau SSP PPN impor dari seluruh faktur pajak yang dikreditkan.
Berdasarkan SE DJP Nomor SE 775/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001 menyatakan
bahwa dalam setiap pelaksanaan pemeriksaan pajak, konfirmasi faktur pajak merupakan
prosedur yang wajib dilakukan khusussnya yang menyangkut pembelian dan penjualan.
Dengan demikian kebijakan pemeriksaan dengan metode sampling dengan pengambilan
sampel yang representatif kemungkinan resiko terjadinya kerugian negara.
4. Prosedur:
Prosedur pemeriksaan yang dilanggar atau prosedur penyelesaian keberatan yang dilanggar
sehingga ada resiko terjadinya kerugian negara
1. Pengajuan permohonan keberatan yang sudah lebih dari 12 bulan belum ada keputusan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas
suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil,Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling
lama 12 bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas
keberatan yang diajukan. Berdasarkan pemeriksaan terhadap berkas penyelesaian
keberatan, diketahui masih terdapat pengajuan permohonan keberatan PPN yang sudah
lebih dari 12 Bulan sejak permohonan keberatan diajukan belum ada keputusannya.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP) Pasal 26 Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling
lama dua belas bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan
atas keberatan yang diajukan dan Ayat (5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan,
maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
Prosedur penyelesaian keberatan yang dilanggar sehingga ada resiko terjadinya kerugian
negara.
2. Keterlambatan penerbitan surat keputusan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
(SKPKPP) atas Keputusan Keberatan dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga
(SPMIB).Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga (SPMIB) diberikan kepada wajib pajak yang
mempunyai kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan atau permohonan
banding yang diterima sebagian atau seluruhnya; atau kelebihan pembayaran sanksi
administrasi dan/atau karena pengurangan sebagai akibat diterbitkan Keputusan
Keberatan atau Putusan Banding sehingga masih terjadi keterlambatan penerbitan surat
ketetapan pajak.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 31/89
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 32/89
BPK KHP Gabungan PPN
28
5. Pencatatan:
Kelemahan Dalam Pengadministrasian Buku Register Keberatan, Buku Restitusi, dan Buku
Jawaban Klarifikasi
Penertiban administrasi di bidang perpajakan diperlukan adanya mekanisme pengawasan atas
pelaksanaan kegiatan yang telah dilakukan. Pelaksanaan kegiatan tersebut dapat berjalan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun dalam praktiknya masih ditemukan adanya
kekurangan dalam pengadministrasian buku register yang ada di KPP dan Kanwil yang tidak
dapat memberikan suatu informasi yang representatif guna menunjang pelaksanaan
pengawasan terhadap pelaksanaan pemrosesan suatu keputusan pajak antara lain Buku
Register Keberatan dan Keputusan Keberatan, Buku Restitusi/Pemberian Bunga, Buku
Jawaban Klarifikasi Faktur Pajak. Seharusnya petugas yang mengadministrasikan buku
pengawasan tersebut dapat menginformasikan hal-hal yang dapat menunjang pelaksanaan
tugas pengawasan.
Tidak tersedianya register pengawasan yang memadai berisiko lemhanya mengakibatkansehingga fungsi pengawasan yang diemban tidak dapat berjalan dengan baik.
6. Pengawasan:
Pelaksanaan Pengawasan dan Penelitian atas PKP yang Diduga Sebagai Pengguna dan
Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah (Fiktif) Belum Dilaksanakan Secara Maksimal
Peredaran faktur pajak yang diduga tidak sah (fiktif) yang diterbitkan oleh PKP yang tidak
sah dan banyak digunakan oleh PKP lain sebagai upaya untuk mengurangi PPN yang
disetorkan ke kas negara, maka sudah seharusnya dalam rangka tertib administrasi perpajakan
serta dalam rangka pengamanan penerimaan negara dari sektor pajak pada umumnya dan dari
sektor PPN pada khususnya, Ditjen Pajak harus memberikan perhatian ekstra terhadap
penanganan masalah tersebut. Namun secara kenyataan berdasarkan data serta dokumen yang
diberikan, penanganan yang seharusnya dilakukan secara berkesinambungan pada
kenyataannya kurang maksimal dilaksanakan.
Kondisi tersebut tidak sesuai dengan SE-29/PJ.53/2003 tanggal 4 Desember 2003 tentang
langkah-langkah pengamanan faktur pajak tidak sah (fiktif)
Hal tersebut berisiko terjadinya kerugian negara akibat keterlambatan penanganan pengguna
dan penerbit faktur pajak yang diduga tidak sah (fiktif).
7. Pelaporan:
a. Pemanfaatan Sistem Informasi. Intarnet untuk faktur Pajak Keluaran belum memadai.
Pemeriksaan atas Pajak Pertambahan Nilai fiskus melakukan konfirmasi Pajak Masukan
melalui Intranet Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menguji kebenaran
pengkerditan Pajak Masukan . Apabila hasil konfirmasi melalui intranet menunjukkan
bahwa Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual belum melaporkan pajak keluarannya, maka
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 33/89
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 34/89
BPK KHP Gabungan PPN
30
Jumlah penerimaan pajak yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam tahun anggaran
2005 sampai dengan 7 Nopember 2005 sebesar Rp212.059,11 milyar dan Tahun Anggaran 2004
sebesar Rp 223.359,30 milyar.
Dibandingkan dengan rencana Tahun Anggaran 2005 sebesar Rp 282.923,50 milyar realisasi
dibawah target atau 74,95%, sedangkan Tahun Anggaran 2004 ditargetkan sebesar Rp 222.471,10
milyar atau realisasi melampauai 100,40 %.
Penerimaan jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam APBN Tahun 2005 sebesar Rp 102,96
milyar, meliputi PPN Dalam Negeri, PPN Impor, PPnBM Dalam Negeri, PPnBM impor dan PPN
& PPnBM lainnya. Perkembangan rencana penerimaan PPN dalam APBN Tahun 2005
menunjukan bahwa PPN Dalam Negeri sebesar Rp 52.318,3 milyar, PPN Impor sebesar Rp
41.556,9 milyar, PPnBM Dalam Negeri sebesar Rp 5.99 milyar , PPnBM impor sebesar Rp 2.80
milyar serta PPN & PPnBM lainnya sebesar Rp 0,2 milyar.
Rencana dan realisasi penerimaan pajak pada 12 KPP yang diperiksa adalah sebagai berikut :
(dalam jutaan rupiah)
TA 2004 TA 2005KPP Jenis Pajak
Rencana Realisasi % Rencana Realisasi %
WP Besar Dua PPh 11,982,178.00 11,419,088.50 95.30 13,332,261.87 9,603,470.56 72.03
PPN 14,299,536.80 15,186,358.40 106.20 18,711,443.60 12,677,753.80 67.75
Pajak Lainnya 2,811.00 3,012.00 107.15 2,993.45 1,140.54 38.10
Jumlah 26,284,525.80 26,608,458.90 101.23 32,046,698.92 22,282,364.90 69.53
Jakarta Penjaringan PPh 461,606.42 414,316.05 89.76 658,928.33 348,316.53 52.86
PPN 564,532.60 696,464.37 123.37 904,893.31 557,608.29 61.62
Pajak Lainnya 19,129.40 4,534.06 23.70 10,997.04 5,586.53 50.80
Jumlah 1,045,268.42 1,115,314.48 106.70 1,574,818.68 911,511.35 57.88
Jakarta Sawah
Besar PPh 522,199.20 412,663.64 79.02 383,959.93 256,253.52 66.74
PPN 747,568.81 576,005.90 77.05 534,414.99 424,822.30 79.49
Pajak Lainnya 4,443.37 2,253.98 50.73 1,670.57 531.61 31.82
Jumlah 1,274,211.38 990,923.52 77.77 920,045.49 681,607.43 74.08
Cikarang Satu PPh 758,486.20 628,789.28 82.90 1,033,774.70 517,173.36 50.03
PPN 1,123,154.81 1,445,076.13 128.66 654,408.30 370,730.43 56.65
Pajak Lainnya 363.75 1,289.22 354.42 21,307.80 636.07 2.99
Jumlah 1,882,004.76 2,075,154.63 110.26 1,709,490.80 888,539.86 51.98
Jakarta Tj. Priok PPh 802,625.70 413,428.57 51.51 705,857.57 447,464.74 63.39
PPN 873,137.90 1,096,395.52 125.57 1,424,668.76 901,209.63 63.26
Pajak Lainnya 895.10 140.05 15.65 2,896.25 106.67 3.68
Jumlah 1,676,658.70 1,509,964.14 90.06 2,133,422.58 1,348,781.04 63.22
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 35/89
BPK KHP Gabungan PPN
31
TA 2004 TA 2005KPP Jenis Pajak
Rencana Realisasi % Rencana Realisasi %
Jakarta Setiabudi
Satu
PPh 1,772,918.08 1,491,519.94 84.13 1,862,398.37 1,536,596.13 82.51
PPN 1,446,960.46 907,872.65 62.74 1,161,468.24 828,351.55 71.32
Pajak Lainnya (9,690.71) 4,502.22 (46.46) 5,943.68 4,745.09 79.83
Jumlah 3,210,187.83 2,403,894.81 74.88 3,029,810.29 2,369,692.77 78.21
Medan Belawan PPh 225,000.05 206,111.92 91.61 386,128.05 176,539.22 45.72
PPN (6,229.20) (521,410.28) 8,370.42 (233,829.44) (430,437.71) 184.08
Pajak Lainnya 391.65 (2,362.09) (603.11) 649.08 (155.99) (24.03)
Jumlah 219,162.50 (317,660.45) (144.94) 152,947.69 (254,054.48) (166.11)
Cimahi PPh 566,631.00 415,777.00 73.38 697,134.00 262,025.00 37.59
PPN 481,545.00 712,766.00 148.02 551,603.00 200,995.00 36.44
Pajak Lainnya 9,114.00 10,240.00 112.35 13,050.00 9,171.00 70.28Jumlah 1,057,290.00 1,138,783.00 107.71 1,261,787.00 472,191.00 37.42
Surabaya
Krembangan PPh 371,865.89 361,745.52 97.28 467,489.11 309,977.67 66.31
PPN 352,692.56 353,329.64 100.18 436,685.45 312,135.96 71.48
Pajak Lainnya 7,414.25 40,141.08 541.40 44,120.39 32,332.28 73.28
Jumlah 731,972.70 755,216.24 103.18 948,294.95 654,445.91 69.01
Cakung Satu PPh 655,193.48 606,882.25 92.63 879,221.99 610,971.84 69.49
PPN 722,569.61 680,771.30 94.22 902,166.00 518,408.67 57.46
Pajak Lainnya (469.89) 118.44 (25.21) 74.26 99.84 134.45
Jumlah 1,377,293.20 1,287,771.99 93.50 1,781,462.25 1,129,480.35 63.40
Sidoarjo Timur PPh 530,473.00 320,735.00 60.46 488,925.00 260,778.00 53.34
PPN 687,543.00 463,821.00 67.46 403,961.00 416,461.00 103.09
Pajak Lainnya 10,645.00 9,374.00 88.06 14,887.00 8,373.00 56.24
Jumlah 1,228,661.00 793,930.00 64.62 907,773.00 685,612.00 75.53
Bandung Karees PPh 628,204.23 535,346.67 85.22 671,907.90 221,367.14 32.95
PPN 546,257.08 573,829.13 105.05 531,643.40 112,826.15 21.22
Pajak Lainnya 8,481.80 7,703.91 90.83 12,578.50 4,476.24 35.59
Jumlah 1,182,943.11 1,116,879.71 94.42 1,216,129.80 338,669.53 27.85
TOTAL 12 KPP PPh 19,277,381.25 17,226,404.34 89.36 21,567,986.82 14,550,933.71 67.47
PPN 21,839,269.43 22,171,279.76 101.52 25,983,526.61 16,890,865.07 65.01
Pajak Lainnya 53,528.72 80,946.87 151.22 131,168.02 67,042.88 51.11
Jumlah 41,170,179.40 39,478,630.97 95.89 47,682,681.45 31,508,841.66 66.08
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 36/89
BPK KHP Gabungan PPN
32
6. Hambatan Pemeriksaan
Dalam melaksanakan pemeriksaan, BPK menghadapi beberapa hambatan sebagai berikut:
1. Adanya kerahasiaan wajib pajak yang tercantum dalam Pasal 34 UU Nomor 6 Tahun 1983
sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan . Berkas pemeriksaan pajak dapat diberikan petugas pajak setelah
memperoleh ijin Menteri Keuangan. Pada setiap tahapan pemeriksaan yang dilakukan oleh
BPK meminta persetujuan nama-nama wajib pajak yang berkas akan diperiksa. Meskipun
ijin tersebut diperoleh tetapi memerlukan waktu yang berpengaruh terhadap kelancaran
pemeriksaan.
2. Berkas wajib Pajak yang diperiksa BPK oleh petugas pajak telah dikembalikan ke wajib
pajak yang bersangkutan. Hal ini berdampak pada kurangnya informasi yang diperlukan saat
melakukan pengujian atas kertas kerja pemeriksaan yang dibuat petugas pajak. Kemudian
belum seluruh Kertas Kerja pemeriksa yang disusun oleh petugas pajak dapat menyajikan
informasi secara lengkap dan utuh yang dapat menerangkan hasil koreksi yang dilakukan
oleh petugas pajak
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 37/89
BPK KHP Gabungan PPN
33
BAB III
HASIL PEMERIKSAAN
A. POTENSI PENERIMAAN PPN
Temuan terkait dengan potensi penerimaan PPN
1. KPP belum menerbitkan SKPKB atas pajak keluaran sebesar Rp196.882,56 juta yang
belum dipertanggungjawabkan oleh PKP penjual dalam SPT Masa PPN
Pemeriksa pajak melakukan konfirmasi Pajak Masukan melalui Intranet DJP untuk menguji
kebenaran pengkreditan Pajak Masukan. Apabila hasil konfirmasi melalui intranet menunjukan
bahwa PKP penjual belum melaporkan pajak keluarannya, maka petugas pajak melakukan
klarifikasi atas Pajak Keluaran tersebut ke KPP lain dimana PKP penjual terdaftar. Permintaan
klarifikasi harus ditanggapi oleh KPP yang dimintakan klarifikasi paling lambat satu bulan sejak
tanggal permintaan klarifikasi.
KPP yang dimintakan klarifikasi harus memintakan pertanggungjawaban kepada PKP penjualyang berdasarkan hasil konfirmasi tidak/ belum melaporkan pajak keluarannya dengan
menerbitkan Surat Teguran. Berdasarkan respon dari PKP penjual, KPP bisa menerbitkan surat
ralat kepada KPP yang meminta klarifikasi atau menerbitkan SKPKB jika pajak keluaran tersebut
memang belum dipertanggungjawabkan PKP penjual. Sedangkan bagi PKP penjual yang dalam
jangka waktu 7 (tujuh) hari tidak merespon. KPP harus menerbitkan SKPKB atas pajak keluaran
yang belum dilaporkan tersebut.
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap buku pertanggungjawaban atas klarifikasi faktur pajak
“tidak ada” yang ditatausahakan oleh beberapa KPP diketahui bahwa permintaan klarifikasi dari
KPP lain yang dijawab “tidak ada”, yang telah ditindaklanjuti dengan permintaan
pertanggungjawaban faktur pajak kepada PKP penjual, namun belum direspon oleh PKP penjual
dengan rincian sebagai berikut :
Tabel I.1
Pajak Keluaran yang belum dipertanggungjawabkan
No. Nama EntitasPajak Keluaran yang Belum
Dipertanggungjawabkan (Rp)
1 KPP Cimahi 830.278.855,00
2 KPP Surabaya Krembangan 156.259.887,00
3 KPP Jakarta Penjaringan 13.803.297.846,00
4 KPP Medan Belawan 191.096.090,00
5 KPP Jakarta Setiabudi Satu 58.268.425,00
6 KPP Bandung Karees 1.471.355.779,04
7 KPP Jakarta Tanjung Priok 19.812.686.289,00
8 KPP Sidoarjo Timur 160.559.322.138,00
Jumlah 196.882.565.309,04
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 38/89
BPK KHP Gabungan PPN
34
Hal tersebut tidak sesuai dengan :
a. Pasal 3A ayat (1) UU No. 11 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.
18 Tahun 2000 yang antara lain menyatakan bahwa pengusaha yang melakukan penyerahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dan wajib memungut, menyetor
dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
terutang.
b. UU No. 9 Tahun 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000
1) Pasal 13 ayat (1) huruf a yang menyatakan : Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah
saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun
Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
dalam hal-hal sebagai berikut apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain
pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2) Pasal 13 ayat (2), yang menyatakan : “Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalamSurat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berupa bunga 2% (dua persen) sebulan untuk
selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung sejak saat terutang pajak, atau
berakhirnya masa pajak, bagian tahun atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
c. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep-754/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001
menyatakan bahwa permintaan klarifikasi harus dijawab paling lambat 1 (satu) bulan sejak
tanggal pengiriman surat klarifikasi. Jangka waktu 1 (satu) bulan tersebut sudah termasuk
jangka pengiriman himbauan dan penerbitan SKPKB/SKPKBT kepada PKP Penjual.
Jawaban atas permintaan klarifikasi harus disertai dengan penjelasan. Bagi kantor yang
dimintakan klarifikasi dalam hal faktur pajak tidak atau belum dipertanggung jawabkan
sebagai Pajak Keluaran oleh PKP Penjual maka akan segera diterbitkan surat tegoran kepada
PKP Penjual agar waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal surat tegoran PKP segera
melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Apabila
sampai batas waktu yang ditetapkan pada surat tegoran PKP Penjual tidak
mempertanggungjawabkannya, maka KPP wajib menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar/Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
Kondisi di atas mengakibatkan potensi penerimaan yang bisa digali dari pertanggungjawaban
faktur pajak senilai Rp196.882.565.309,04 belum dapat direalisasikan.
Hal tersebut disebabkan oleh :
a. Petugas pajak yang menangani permasalahan dimaksud tidak tegas dalam menjalankan aturan
perpajakan yang berlaku;
b. Pengawasan KPP terhadap PKP yang terdaftar di wilayahnya lemah;
c. Pengawasan atasan langsung kurang.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 39/89
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 40/89
BPK KHP Gabungan PPN
36
1). Penyerahan ke kawasan berikat yang seharusnya dikenakan PPN.
2). Penyerahan atas kapas yang seharusnya dikenakan PPN.
3). Fasilitas atas tidak dikenakannya PPN sudah tidak berlaku, sehingga penyerahan yang
dilakukan sudah seharusnya dikenakan PPN.
Hal ini terjadi pada KPP Jakarta Cakung Satu, KPP WP Besar Dua, dan KPP Bandung
Karees dengan potensi PPN sebesar Rp114.856.142.511,07.
e. Berdasarkan equalisasi dengan pembelian BKP diketahui terdapat pembelian dan retur
pembelian yang belum dikenakan PPN.
Hal ini terjadi pada KPP Medan Belawan dan KPP Bandung Karees dengan potensi PPN
sebesar Rp761.731.092,00.
Hal tersebut tidak sesuai dengan :
a. Undang-undang No.16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada :
1). Pasal 13 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa dalam jangka waktu sepuluh tahunsesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau
Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar,
2). Pasal 13 ayat (2) yang menyatakan bahwa jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan
untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan
3). Pasal 14 yang menyatakan Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan
Pajak apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;
Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak; Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha
Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak; Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat
waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak.
b. Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 8tahun 1983, mengatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai pada :
1). Pasal 4 yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang
Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; impor Barang Kena
Pajak; penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh
Pengusaha; pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 41/89
BPK KHP Gabungan PPN
37
dalam Daerah Pabean; pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean; atau ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak,
2). Pasal 16 C yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan
membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang
pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang
batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan
3). Pasal 16D yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva
oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk
diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat
perolehannya dapat dikreditkan.
c. Keputusan Menteri Keuangan No. 568/KMK.04/2000 tentang Tata cara perhitungan,
pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN atas pemanfaatan BKP tak berwujud dan/atau
JKP dari luar pabean pada :
1). Pasal 2 yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dipungut oleh orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau JasaKena Pajak dari luar Daerah Pabean, pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean tersebut,
2). Pasal 3 yang menyatakan :
a). Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean adalah dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
(1). saat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak tersebut secara
nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
(2). saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
(3). saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau penggantian Jasa
Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
(4). saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena
Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang
memanfaatkannya;
b). Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
diketahui, maka saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan
atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah tanggal ditandatanganinya
kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.,dan
3). Pasal 4 yang menyatakan bahwa :
a). Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus
disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling
lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pemungutan.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 42/89
BPK KHP Gabungan PPN
38
b). Bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang sama dengan bulan penyetoran.
d. Keputusan Menteri Keuangan Nomor.527/KMK.03/2003 Tentang Jasa Di Bidang Angkutan
Umum Di Darat Dan Di Air Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai Menteri
Keuangan Republik Indonesia pada Pasal 5 yang menyatakan bahwa :
1). Tidak termasuk dalam pengertian penyerahan jasa Angkutan Umum di Laut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) adalah penyerahan Jasa Angkutan Laut yang dilakukan
dengan cara:
a). ada perjanjian lisan atau tulisan; dan
b). Kapal dipergunakan hanya untuk mengangkut muatan milik 1 (satu) pihak dan atau
untuk mengangkut orang, yang terikat perjanjian dengan Pengusaha Angkutan Laut,
dalam satu perjalanan (trip).
2). Tidak termasuk dalam pengertian perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah tiket, bill of lading, konosemen, dokumen pengangkutan di air, karcis atau bukti pembayaran Jasa Angkutan penumpang Kapal.
Hal tersebut mengakibatkan potensi PPN sebesar Rp129.807.468.941,75 dan USD 77,298.10
belum dapat direalisasikan.
Hal tersebut terjadi karena :
a. Petugas pajak kurang teliti dalam melakukan pemeriksaan terkait dengan adanya obyek yang
belum dikenakan PPN.
b. Petugas pajak tidak sepenuhnya memahami dan kurang tegas dalam menerapkan aturan
dalam melakukan melakukan pemeriksaan.
c. Kurang optimalnya pemanfaatan data dalam penggalian potensi terhadap obyek PPN yang
ada.
d. Kurangnya pembinaan dan pengawasan atasan.
Atas permasalahan tersebut, DJP memberikan tanggapan sebagai berikut:
a. Atas permasalahan pada butir a, DJP masih akan melakukan penelitian atas permasalahan di
KPP Medan Belawan dan KPP Bandung Karees.
b. Atas permasalahan pada butir b, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas
permasalahan di KPP Cikarang Satu, KPP Surabaya Krembangan dan KPP Bandung Kareesdan akan melakukan penelitian atas permasalahan di KPP Jakarta Penjaringan, KPP Medan
Belawan, KPP Jakarta Setiabudi Satu, dan KPP Sidoarjo Timur. Sedangkan atas
permasalahan di KPP Cimahi, DJP memberikan tanggapan bahwa penghasilan di luar usaha
tersebut bukan merupakan obyek PPN.
c. Atas permasalahan pada butir c, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas
permasalahan di KPP Medan Belawan dan masih akan melakukan penelitian atas
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 43/89
BPK KHP Gabungan PPN
39
permasalahan di KPP Cikarang Satu, KPP Jakarta Setiabudi Satu dan KPP Jakarta Tanjung
Priok. Semenetara itu, atas permasalahan di KPP Bandung Karees dan KPP Surabaya
Krembangan, DJP memberikan tanggapan bahwa PPN atas BKP dan JKP Luar Negeri
tersebut telah dibayar;
d. Atas permasalahan pada butir d, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas
permasalahan di KPP Bandung Karees dan masih akan melakukan penelitian atas
permasalahan di KPP Jakarta Cakung Satu.
e. Atas permasalahan pada butir e, DJP masih akan melakukan penelitian atas permasalahan di
KPP Medan Belawan dan KPP Bandung Karees.
BPK-RI menyarankan agar DJP :
a. Meningkatkan kemampuan petugas pajak terkait dengan peningkatan ketelitian dalam
pemeriksaan, pemahaman dan ketegasan dalam penerapan peraturan perpajakan.
b. Meningkatkan kegiatan pemanfaatan data WP terutama dalam menggali potensi perpajakan
yang ada.c. Meningkatkan pengawasan dan pembinaan atasan langsung.
d. Memberi sanksi kepada petugas dan atau pejabat yang lalai sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
3. Pengkreditan Pajak Masukan sebesar Rp21.482,40 tidak sesuai dengan ketentuan
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan baik terhadap fungsi penatausahaan maupun
berkas pemeriksaan dan keberatan diketahui terdapat pengkreditan Pajak Masukan (PM) yang
tidak sesuai dengan ketentuan. Atas pengkreditan dimaksud seharusnya masih bisa dilakukan
tindak lanjut untuk selanjutnya didapatkan potensi penerimaan PPN. Permasalahan terkait dengan
pengkreditan PM dan potensi yang ada yaitu :
a. Konfirmasi PM yang belum mendapat jawaban namun tetap dikreditkan atau diakui dalam
perhitungan PPN terutang.
Hal ini terjadi pada KPP Bandung Karees, KPP Cimahi, dan KPP Jakarta Penjaringan dengan
potensi PPN sebesar Rp546.046.698,00.
b. Konfirmasi PM yang dijawab tidak ada dan tidak disertai prosedur alternatif seperti uji arus
piutang dan barang, namun tetap dikreditkan atau diakui dalam perhitungan PPN terutang.
Hal ini terjadi pada KPP Bandung Karees dengan potensi PPN sebesar Rp89.933.895,00.
c. Pajak masukan yang dikreditkan namun tidak didukung dengan bukti yang sah, seperti tidakadanya SSP lembar ke-2, tidak tercantumnya bukti dalam sistem komputerisasi (SIP Web)
DJP. Hal ini terjadi pada KPP Bandung Karees dan KPP Surabaya Krembangan dengan
potensi PPN sebesar Rp762.534.554,00.
d. Berdasarkan equalisasi dengan data pembelian diketahui PM terlalu besar dikreditkan. Hal ini
terjadi pada KPP Bandung Karees dan KPP Jakarta Tanjung Priok dengan potensi PPN
sebesar Rp5.447.515.318,00.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 44/89
BPK KHP Gabungan PPN
40
e. Pengkreditan PM melebihi batas waktu yang ditentukan yaitu 3 bulan setelah akhir tahun
takwim untuk pengkreditan PM sebelum tahun 2000 dan 3 bulan setelah akhir masa pajak
untuk pengkreditan PM tahun 2000 dan sesudahnya. Hal ini terjadi pada KPP Jakarta
Setiabudi Satu dan KPP Medan Belawan dengan potensi PPN sebesar Rp2.407.075.116,00.
f. PM yang tidak seharusnya dikreditkan atas penyerahan yang mendapat fasilitas dibebaskan
atau tidak dikenakan PPN
Sesuai ketentuan apabila dalam melakukan penyerahan BKP/JKP diketahui terdapat
penyerahan yang terutang PPN dan yang dibebaskan dari pengenaan PPN maupun
penyerahan yang tidak dikenakan PPN, harus dilakukan perhitungan kembali atas pajak
masukan yang tidak seharusnya dikreditkan
Hal ini terjadi pada KPP Jakarta Penjaringan, Jakarta Tanjung Priok, dan KPP Medan
Belawan dengan potensi PPN sebesar Rp12.229.289.666,02.
Hal tersebut tidak sesuai dengan :
a. Undang-Undang No.18 Tahun 2000 tanggal 8 Agustus 2000 tentang Perubahan Kedua atasUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada :
1). Pasal 5 A yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang dalam Masa
Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut yang tata caranya ditetapkan
oleh Menteri Keuangan,
2). Pasal 9 Ayat (9) yang menyatakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada
Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan, dan
3). Pasal 16 B ayat (3) yang menyatakan Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan
Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.
b. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 545/KMK.04/2000 tanggal 22
Desember 2000 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak Pasal 9 huruf a yang menyatakan
Pemeriksaan dilaksanakan oleh Pemeriksa Pajak yang :
1). telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagaiPemeriksa Pajak;
2). bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengabdian, bersikap terbuka, sopan,
dan objektif, serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela; dan
3). menggunakan keahliannya secara cermat dan seksama serta memberikan gambaran yang
sesuai dengan keadaan sebenarnya tentang Wajib Pajak.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 45/89
BPK KHP Gabungan PPN
41
c. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No KEP-754/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi
Perpajakan (SIP) lampiran 1.4.1.3.4. yang menyatakan Apabila dalam jangka waktu 1 (satu)
bulan sejak tanggal pengiriman permintaan klarifikasi dikirimkan melalui faksimile jawaban
klarifikasi belum/tidak diterima dan apabila berdasarkan hasil pengujian arus barang dan atau
arus uang dapat dibuktikan bahwa Faktur Pajak tersebut sah adanya maka Faktur Pajak yang
dimintakan klarifikasi tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan. Faktur Pajak yang dianggap absah berdasarkan pengujian arus uang dan arus
barang tersebut harus dibuatkan berita acara dan ditanda tangani oleh petugas pemeriksa dan
pejabat yang berwenang yaitu :
1). Kepala Seksi PPN dan PTLL dalam hal yang melakukan konfirmasi adalah Kantor
Pelayanan Pajak.
2). Ketua Kelompok Pemeriksa Pajak dalam hal yang melakukan konfirmasi adalah
Pemeriksa Pajak.
3). Kepala Bidang PPN dalam hal konfirmasi dilakukan oleh unit fungsional di Kanwildalam rangka proses keberatan.
Berita acara tersebut dilampirkan dalam kertas kerja pemeriksaan
d. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ.5/1989 tanggal 6 Juli 1989 tentang
Pengamanan Pemberian Restitusi PPN/PPnBM angka 2 yang menyatakan peningkatan
pelayanan kepada WP hendaknya jangan meninggalkan kewaspadaan untuk mengamankan
pemberian restitusi. Sehubungan dengan itu "Konfirmasi" atas Faktur Pajak Masukan yang
diminta kembali dipandang perlu dilakukan.
e. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 12/PJ.54/1995 tanggal 3 April 1995
Tentang Tata Cara Pengurangan PPN Atau PPN Dan PPN BM Untuk Barang Kena Pajak
yang dikembalikan (Seri PPN 11-95).
f. Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE - 04/PJ.7/2000 tanggal 12 April 2000 tentang
Kebijaksanaan Pemeriksaan Tahun 2000 Point 1.5 huruf b.
g. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-16/PJ.5/2001 tanggal 20 Juni 2001 tentang
Penghitungan Kembali Pajak Masukan yang Telah Dikreditkan
h. Surat Edaran Direktur Jenderal pajak Nomor SE-755/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001
menyatakan bahwa dalam setiap pelaksanaan pemeriksaan pajak, konfirmasi Faktur pajak
merupakan prosedur yang wajib dilakukan khususnya yang menyangkut pembelian dan
penjualan.
i. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ.52/2002 tanggal 21 Oktober 2002,angka 1 yang menyatakan Setiap Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pemeriksa Pajak dalam
rangka pemeriksaan pengembalian kelebihan pajak atau restitusi diwajibkan untuk melakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
1). Melaksanakan konfirmasi Faktur Pajak Melalui SIP (program PK-PM);
2). Melakukan Konfirmasi Surat Setoran Pajak (SSP) dengan sistem Monitoring Pelaporan
Pembayaran Pajak (MP3) atau kepada unit atau instansi yang terkait;
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 46/89
BPK KHP Gabungan PPN
42
3). Melakukan konfirmasi atas Dokumen PIB dan PEB kepada unit atau instansi terkait. Bagi
Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pemeriksa dan Penyidik Pajak yang sudah dapat
melaksanakan Program PK-PM melalui intranet agar memanfaatkan data PIB dan PEB
pada Intranet Direktorat Jenderal Pajak;
4). Melakukan analisa perbandingan terhadap SPT PPh Badan Wajib Pajak yang
bersangkutan untuk 2 (dua) tahun terakhir;
5). Melakukan analisa terhadap SPT Masa PPN untuk masa 6 (enam) bulan terakhir;
6). Mewaspadai PKP-PKP yang non efektif (NE) PKP yang melaporkan SPT Masa PPN
Nihil, yang kemudian melakukan pembetulan SPT Masa dan menunjukkan jumlah
peredaran usahanya yang meningkat cepat dan cukup besar.
Hal tersebut mengakibatkan potensi PPN sebesar total Rp21.482.395.247,02 belum dapat
direalisasikan.
Hal tersebut disebabkan karena :a. Petugas pajak kurang teliti dan hati-hati dalam melakukan pengawasan pengkreditan pajak
masukan terutama dalam pemeriksaan.
b. Petugas pajak kurang tegas menerapkan aturan dalam melakukan pengawasan pengkreditan
pajak masukan.
c. Kurangnya pembinaan dan pengawasan atasan.
Atas permasalahan tersebut, DJP memberikan tanggapan sebagai berikut:
a. Atas permasalahan pada butir a, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas
permasalahan di KPP Jakarta Penjaringan. Sedangkan atas permasalahan di KPP Bandung
Karees, DJP memberikan tanggapan bahwa atas pajak masukan sebesar Rp8.571.776,00
memang tidak dikreditkan oleh Tim Pemeriksa sedangkan sisanya masih akan dilakukan
penelitian.
b. Atas permasalahan pada butir b, DJP memberikan tanggapan bahwa atas permasalahan di
KPP Bandung Karees, pajak masukan senilai Rp23.015.284,00 telah dilaporkan sedangkan
sisanya masih akan diteliti.
c. Atas permasalahan pada butir c, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas
permasalahan di KPP Surabaya Krembangan dan akan melakukan penelitian atas
permasalahan di KPP Bandung Karees.
d. Atas permasalahan pada butir d, DJP masih akan melakukan penelitian atas permasalahan diKPP Bandung Karees, sedangkan atas permasalahan di KPP Jakarta Tanjung Priok, DJP
memberikan penjelasan bahwa selisih sebesar Rp393.686.299,00 merupakan denda tambahan
dari DJBC yang tidak dapat dibiayakan.
e. Atas permasalahan pada butir e, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas
permasalahan di KPP Medan Belawan dan KPP Jakarta Setiabudi Satu.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 47/89
BPK KHP Gabungan PPN
43
f. Atas permasalahan pada butir f, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas
permasalahan di KPP Jakarta Penjaringan dan akan melakukan penelitian atas permasalahan
di KPP Medan Belawan dan KPP Jakarta Tanjung Priok.
BPK-RI menyarankan agar DJP :
a. Meningkatkan kemampuan petugas pajak terkait dengan peningkatan ketelitian dalam
pemeriksaan, pemahaman dan ketegasan dalam penerapan peraturan perpajakan.
b. Meningkatkan pengawasan dan pembinaan atasan langsung.
c. Memberikan sanksi kepada petugas dan atau pejabat yang lalai dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Melakukan upaya untuk merealisasikan potensi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai di
maksud.
4. Terdapat indikasi penggunaan faktur pajak fiktif senilai Rp13.137,52 juta
Salah satu sumber penerimaan negara yang terbesar adalah berasal dari penerimaan pajak.
Namun, dengan semakin banyaknya indikasi digunakannya faktur pajak yang tidak sah (fiktif), perlu dilakukan upaya pengamanan penerimaan pajak, khususnya PPN serta mencegah penerbitan
dan penggunaan faktur pajak fiktif. Untuk itu Direktur Jenderal Pajak (DJP) telah menerbitkan
Surat Edaran (SE) yang berisi daftar wajib pajak - wajib pajak yang diduga sebagai penerbit/
pengguna faktur pajak fiktif. Daftar tersebut terus menerus di up date berdasarkan laporan dari
KPP/ Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak/ Kantor Wilayah. Selain itu KPP harus waspada
terhadap wajib pajak yang diindikasikan sebagai penerbit atau pengguna faktur pajak fiktif.
Dengan adanya penerbit maupun pengguna faktur pajak fiktif maka negara dapat dirugikan,
karena faktur pajak fiktif digunakan oleh beberapa Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk
dikreditkan terhadap pajak keluarannya sehingga penerimaan negara menjadi berkurang dan
pajak yang seharusnya diterima oleh negara menjadi tidak terealisasikan. Berdasarkan hasil
pemeriksaan, terdapat Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang masih mengkreditkan faktur pajak dari
wajib pajak-wajib pajak yang diduga sebagai penerbit faktur pajak fiktif sebagai berikut :
Faktur Pajak Masukan fiktif yang dikreditkan
No. Nama KPP
Faktur Pajak Masukan Fiktif Yang
Dikreditkan (Rp)
1 KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Satu 1.025.719.512,00
2 KPP Surabaya Krembangan 226.650.472,00
3 KPP Jakarta Penjaringan 3.034.880.603,00
4 KPP Jakarta Setiabudi Satu 2.036.234.810,00
5 KPP Jakarta Tanjung Priok 6.788.878.862,00
6 KPP Sidoarjo Timur 25.161.614,00
Jumlah 13.137.525.873,00
Atas pengkreditan faktur pajak masukan fiktif tersebut, KPP yang bersangkutan belum
melakukan tindak lanjut untuk mengoreksinya.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 48/89
BPK KHP Gabungan PPN
44
Hal tersebut tidak sesuai dengan:
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 29/PJ.53/2003 tanggal 4 Desember 2003
Tentang Langkah-Langkah Penanganan Atas Penerbitan Dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah
(Fiktif) Direktur Jenderal Pajak, yang antara lain menyatakan bahwa sehubungan dengan semakin
banyaknya jawaban atas permintaan konfirmasi Faktur Pajak yang menyatakan bahwa Faktur
Pajak yang dimintakan konfirmasi diindikasikan sebagai Faktur Pajak yang tidak sah (fiktif),
maka dalam rangka tertib administrasi dan pengamanan penerimaan PPN serta mencegah
penerbitan dan penggunaan Faktur Pajak fiktif, dengan ini ditegaskan hal-hal sebagai berikut:
• Huruf (c) angka 5 dan angka 9 yang antara lain menetapkan bahwa langkah-langkah yang
harus dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) agar dalam melakukan konfirmasi atas
kebenaran Faktur Pajak pemeriksa mewaspadai pengkreditan Pajak Masukan tersebut untuk
keperluan restitusi dan agar dalam hal hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Wajib Pajak
adalah penerbit dan atau pengguna Faktur Pajak fiktif, maka terhadap penerbit Faktur Pajak
fiktif agar dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan. Sedangkan terhadap pengguna Faktur
Pajak fiktif agar dihimbau untuk membetulkan SPT Masa PPN yang bersangkutan sesuaidengan Pasal 8 ayat (3) Undang-undang KUP dan tidak mengkreditkan Faktur Pajak tersebut
karena secara formal dan material tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-
undang PPN. Apabila berdasarkan pembetulan SPT Masa PPN terdapat PPN yang kurang
dibayar, agar PPN kurang bayar tersebut dibayar dengan menggunakan SSP. Apabila
pengguna Faktur Pajak fiktif tidak membetulkan SPT Masa PPN sesuai batas waktu yang
ditentukan dalam surat himbauan, agar terhadap Wajib Pajak itu dilakukan penyidikan.
• Huruf (d) angka 4 yang antara lain menetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh
Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak agar dalam hal PKP yang diperiksa adalah
penerbit Faktur Pajak fiktif agar dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan. Dalam hal PKP
yang diperiksa adalah pengguna Faktur Pajak fiktif agar dihimbau untuk membetulkan SPT
Masa PPN yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) Undang-undang KUP dan tidak
mengkreditkan Faktur Pajak tersebut karena secara formal dan material tidak memenuhi
ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN. Apabila berdasarkan pembetulan SPT
Masa PPN terdapat PPN yang kurang dibayar, agar PPN kurang bayar tersebut dibayar
dengan menggunakan SSP. Apabila pengguna Faktur Pajak fiktif tidak membetulkan SPT
Masa PPN sesuai batas waktu yang ditentukan dalam surat himbauan, agar terhadap Wajib
Pajak itu dilakukan penyidikan.
Hal tersebut mengakibatkan potensi penerimaan pajak yang hilang sebesar Rp13.137.525.873,00dan penyelesaiannya menjadi berlarut-larut serta berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Hal tersebut terjadi karena :
a. Petugas pajak kurang teliti dan hati-hati dalam melakukan pengawasan pengkreditan pajak
masukan yang diduga fiktif.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 49/89
BPK KHP Gabungan PPN
45
b. Petugas pajak kurang tegas menerapkan aturan dalam melakukan pengawasan pajak masukan
yang diduga fiktif.
c. Kurang optimalnya pemanfaatan data WP dalam penanganan pajak masukan yang diduga
fiktif .
d. Pembinaan dan pengawasan atasan langsung kurang.
Atas permasalahan tersebut, DJP memberikan tanggapan sebagai berikut:
a. DJP masih akan melakukan penelitian atas permasalahan di KPP Jakarta Tanjung Priok;
b. DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas permasalahan di KPP Pratama Jakarta
Sawah Besar Satu, KPP Jakarta Penjaringan, dan KPP Jakarta Setiabudi Satu;
c. DJP memberikan tanggapan atas permasalahan di KPP Sidoarjo Timur bahwa WP yang
bersangkutan telah melakukan pembetulan dan menyetor kekurangan PPN pada bulan April
2005;
d. DJP memberikan tanggapan atas permasalahan di KPP Surabaya Krembangan bahwa KPP
Surabaya Krembangan telah menerbitkan SKPKBT atas nama PT Abdi Bina Suryamassebesar Rp409.721.000,00 pada tanggal 27 Oktober 2005 dan SKPKB atas nama PT Bukit
Kimindo Sejati.
BPK-RI menyarankan DJP agar :
a. Meneliti pajak masukan yang diduga fiktif tersebut dan bila terbukti, pajak yang kurang
dibayar agar segera ditagih kembali;
b. Mendorong KPP yang bersangkutan, Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa),
Kantor Wilayah DJP, Direktorat PPN dan PTLL dan Direktorat Informasi Perpajakan lebih
serius dan sungguh-sungguh dalam penanganan masalah faktur pajak fiktif.
5. Sanksi denda administrasi belum atau kurang dikenakan sehingga potensi penerimaan
negara sebesar Rp38.207, 65 juta belum terealisasikan
Sebagai upaya pengawasan atas pelaksanaan kewajiban perpajakan maka bagi PKP yang tidak
melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dikenakan sanksi
administrasi. Namun berdasarkan hasil pemeriksaan, KPP masih belum/kurang mengenakan
sanksi sebagai berikut:
a. Terdapat penyampaian SPT yang terlambat/tidak disampaikan oleh Wajib Pajak namun
belum dikenakan sanksi denda administrasi sehingga sehingga potensi penerimaan negara
sebesar Rp6.001.800.000,00 belum dapat direalisasikan. Hal ini terjadi di KPP Cakung, KPPPratama Jakarta Sawah Besar Satu, dan KPP Medan Belawan.
b. Terdapat keterlambatan dalam pembayaran SPT Masa PPN yang belum dikenakan sanksi
denda administrasi sehingga potensi penerimaan negara sebesar Rp24.892.036.694,46 belum
dapat direalisasikan, dengan rincian sebagai berikut:
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 50/89
BPK KHP Gabungan PPN
46
Rincian sanksi administrasi terlambat bayar SPT Masa per KPP
SanksiNo KPP
2004 2005
1 Medan Belawan 111.170.638,00 26.447.135,00
2 Jakarta Cakung Satu 206.198.444,00 300.411.409,003 WP Besar Dua 2.542.262.463,14 10.813.871,82
4 Pratama Sawah Besar Satu 452.260.094,00 -
5 Surabaya Krembangan 62.283.183,00 29.395.454,00
6 Jakarta Penjaringan 665.657.753,00 198.378.919,00
7 Jakarta Tg. Priok - 586.390.167,60
8 Sidoarjo Timur 586.515.783,00 913.487.416,00
9 Cikarang Satu 193.880.689,00 68.337.391,00
10 Cimahi 178.818.363,36 212.546.559,96
11 Jakarta Setia Budi Satu 12.792.409.894,78 2.994.674.906,40
12 Bandung Karees 1.380.950.177,00 378.745.982,00
Jumlah 19.172.407.482,28 5.719.629.211,78
Jumlah 2004 + 2005 24.892.036.694,06
c. Pemeriksa pajak di KPP Jakarta Tanjung Priok kurang mengenakan sanksi atas Pajak
Masukan yang berdasarkan hasil konfirmasi dinyatakan tidak ada sebesar Rp7.046.932,00.
d. Terdapat kekurangan pengenaan sanksi sebesar Rp7.029.858.054,98 atas keterlambatan
pembuatan faktur dengan rincian sebagai berikut :
Rincian Sanksi Terlambat Membuat faktur per KPP
No KPPKekurangan Sanksi
(Rp)
1. Cimahi 203.379.734,00
2. Surabaya Krembangan 6.420.802.299,00
3. Jakarta Setiabudi Satu 28,644.752,00
4. Jakarta Tanjung Priok 154.803.067,00
5. Sidoarjo Timur 100.439.463,98
6. Bandung Karees 117.307.184,00
7. Pratama Sawah Besar Satu 4.490.555,00
Total 7.029.858.054,98
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 51/89
BPK KHP Gabungan PPN
47
e. Terdapat pembuatan faktur pajak yang tidak memenuhi syarat namun KPP Cimahi tidak
mengenakan sanksi sebesar Rp2.957.135,00.
f. Terdapat kekurangan perhitungan sanksi atas kompensasi yang seharusnya tidak boleh
dilakukan yaitu sebesar Rp20.207.494,00 di KPP Pratama Sawah Besar Satu dan
Rp253.753.075,00 di KPP Jakarta Setiabudi Satu.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang terakhir kali telah
diubah dengan UU Nomor 16 tahun 2000 tentang ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan
(KUP) pada :
a. Pasal 3 yang menyatakan :
1). Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani
serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar
atau dikukuhkan.
2). Bagi Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib
menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dan mata uang selain
Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
3). Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (1a) harus mengambil
sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
4). Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah :
a). untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir
Masa Pajak;
b). untuk Surat Pemberitahuan Tahunan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir
Tahun Pajak.
5). Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
huruf b untuk paling lama 6 (enam) bulan.
6). Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diajukan secara tertulis disertai Surat
Pernyataan mengenai penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak
dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang.
7). Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian SuratPemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), diterbitkan Surat
Teguran.
8). Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan atau dokumen yang harus
dilampirkan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 52/89
BPK KHP Gabungan PPN
48
9). Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan
atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (6).
10). Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Wajib Pajak
Pajak Penghasilan tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan."
b. Pasal 7 yang menyatakan :
1). Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Masa dan sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan.
2). Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan."c. Pasal 9 yang menyatakan :
1). Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak
yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling
lambat 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir.
2). Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan itu disampaikan.
3). Apabila pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau
ayat (2) dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak,
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang
dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian
dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
4). Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus
dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
5). Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan
untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) paling lama 12 (dua belas) bulan, yang pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak."
d. Pasal 13 yang menyatakan :
1). Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya
Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang dalam hal-hal sebagai berikut :
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 53/89
BPK KHP Gabungan PPN
49
a). apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar;
b). apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
c). apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih
lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0 % (nol persen);
d). apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 tidak
dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.
2). Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditambah dengan sanksi administrasi berupa
bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan,
dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak
atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.3). Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa
kenaikan sebesar :
a). 50 % (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar
dalam satu Tahun Pajak;
b). 100 % (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak
atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi
tidak atau kurang disetorkan;
c). 100 % (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
4). Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan menjadi pasti menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku, apabila dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak,
tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
5). Apabila jangka waktu sepuluh tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 48 % (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu sepuluh tahun tersebutdipidana, karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap."
e. Pasal 14 yang menyatakan :
1). Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila :
a). Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 54/89
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 55/89
BPK KHP Gabungan PPN
51
5. Pemeriksa pajak tidak teliti dalam menghitung sanksi yang seharusnya dikenakan; dan
6. Kurangnya pengawasan atasan langsung terhadap pelaksanaan tugas bawahannya
Atas permasalahan tersebut, DJP memberikan tanggapan sebagai berikut:
1. Atas permasalahan pada butir a, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas
permasalahan di KPP Jakarta Cakung Satu dan KPP Medan Belawan sedangkan atas
permasalahan di KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Satu akan diteliti lebih lanjut.
2. Atas permasalahan pada butir b, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas
permasalahan di KPP Jakarta Cakung Satu, KPP Cikarang Satu, KPP WP Besar Dua, KPP
Cimahi, KPP Pratama Sawah Besar Satu, KPP Surabaya Krembangan, KPP Jakarta
Penjaringan, KPP Medan Belawan, KPP Jakarta Setiabudi Satu, dan KPP Bandung Karees
sedangkan atas permasalahan di KPP Jakarta Tanjung Priok masih akan diteliti lebih lanjut.
Sementara itu atas permasalahan di KPP Sidoarjo Timur, DJP memberikan tanggapan
bahwa atas STP sebesar Rp492.509.468,00 tidak perlu diterbitkan sedangkan sisanya
sebesar Rp1.008.841.228,00 akan diterbitkan.3. Atas permasalahan pada butir c, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas
permasalahan di KPP Jakarta Tanjung Priok.
4. Atas permasalahan pada butir d, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas
permasalahan di KPP Jakarta Setiabudi Satu, KPP Sidoarjo, KPP Jakarta Tanjung Priok,
KPP Surabaya Krembangan, KPP Pratama Sawah Besar Satu dan KPP Bandung Karees.
5. Atas permasalahan pada butir f, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut atas
permasalahan di KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Satu sedangkan atas permasalahan di
KPP Jakarta Setiabudi Satu masih akan dilakukan penelitian.
BPK-RI menyarankan DJP agar segera:
1. Menerbitkan STP kepada WP yang bersangkutan atas belum atau kurangnya pengenaan
sanksi denda administrasi sebesar Rp38.207.659.385,44.
2. Memberi sanksi kepada petugas dan pemeriksa yang terbukti lalai dalam menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Meningkatkan pengawasan atasan langsung.
6. Pengurangan/penghapusan sanksi yang tidak sesuai ketentuan formal dan material
mengakibatkan potensi penerimaan negara sebesar Rp14.401,42 juta tidak dapat
direalisasikanBerdasarkan penelitian terhadap berkas pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi Wajib
Pajak, terdapat pengurangan atau penghapusan sanksi yang seharusnya tidak diberikan oleh
peneliti keberatan sebagai berikut:
a. Pengurangan/penghapusan sanksi administrasi tidak memperhatikan ketentuan formal.
Penelitian terhadap berkas peninjauan kembali Wajib Pajak pada Bidang Keberatan Kanwil
DJP WP Besar tidak memperhatikan tanggal dan formalitas dari surat permohonan
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 56/89
BPK KHP Gabungan PPN
52
peninjauan kembali dari Wajib Pajak sehingga mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan
negara sebesar Rp45.582.314,00
b. Pengurangan/penghapusan sanksi administrasi tidak sesuai ketentuan yang berlaku sebagai
berikut:
Berdasarkan penelitian terdapat pengurangan/penghapusan sanksi administrasi yang tidak
seharusnya kepada Wajib Pajak karena tidak memenuhi aspek material yaitu tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dengan rincian sebagai berikut:
Penghapusan/pengurangan Sanksi Tidak Sesuai Ketentuan
No. KPP Nilai Potensi
(Rp)
Keterangan
1. KPP Jakarta Penjaringan 510.750.499,00 Peneliti salah menge-nakan sanksi dan
mengkreditkan faktur pajak tidak sah
2. KPP Sidoarjo Timur 157.798.316,00 Peneliti mengabulkan keberatankarena alasan likuiditas WP
2. KPP WP Besar Dua 13.687.295.447,00 Peneliti mengabulkan keberatankarena alasan likuiditas WP
Total 14.355.844.262,00
Hal tersebut diatas tidak sesuai dengan:
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun
2000 Pasal 36 ayat (1) huruf a yang menyatakan Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan
atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya. b. Undang-undang Nomor 08 Tahun 1983 jo. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Pasal 9 ayat (9) yang menyatakan Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama,
dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan
belum dilakukan pemeriksaan.
c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 Tanggal 22 Desember 2000 Pasal 1
ayat (1) yang menyatakan Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan
Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapus sanksi administrasi berupa bunga, denda,
dan kenaikan yang ternyata dikenakan karena adanya kekhilafan Wajib Pajak atau bukan
karena kesalahan Wajib Pajak.
d. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ.53/2003 tanggal 4 Desember 2003
Tentang Langkah-Langkah Penanganan Atas Penerbitan Dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak
Sah (Fiktif).
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 57/89
BPK KHP Gabungan PPN
53
e. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 597/KMK.04/1994 tanggal 21
Desember 1994 tentang Saat Dimulainya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean, Penghitungan, Serta Tata Cara Pemungutan,
Penyetoran, Dan Pelaporannya pada :
1). Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, adalah saat yang diketahui
terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini :
a). saat Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak secara nyata digunakan
oleh pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena
Pajak tersebut;
b). saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak
dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak
berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut;
c). saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud atau penggantian Jasa Kena Pajak
ditagih oleh pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau JasaKena Pajak tersebut;
d). saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak
dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkan Barang Kena
Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut.
2). Pasal 3 yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dipungut oleh orang
pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.
3). Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, harus disetorkan ke Kas Negara selambat-lambatnya pada
tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pemungutan.
4). Pasal 4 ayat (2) yang menyatakan bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai
yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak terjadinya penyetoran.
Hal tersebut mengakibatkan potensi penerimaan negara sebesar Rp14.401.426.576,00 belum
dapat direalisasikan
Hal tersebut disebabkan oleh:a. Fiskus salah dalam menafsirkan ketentuan perpajakan
b. Kurangnya pengawasan langsung atas proses penghapusan/pengurangan sanksi administrasi
DJP memberikan tanggapan bahwa atas permasalahan di KPP Jakarta Penjaringan, DJP masih
akan melakukan penelitian sedangkan atas permasalahan di KPP WP Besar Dua dan KPP
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 58/89
BPK KHP Gabungan PPN
54
Sidoarjo Timur, DJP memberikan tanggapan bahwa pengurangan/penghapusan sanksi tersebut
telah sesuai ketentuan.
BPK-RI menyarankan DJP agar:
1. Menerbitkan SKPKB/SKPKBT atas sanksi yang seharusnya tidak dikurangkan tersebut;
2. Memberikan sanksi kepada petugas yang terbukti dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku; dan
3. Meningkatkan pengawasan atasan langsung.
7. KPP belum melakukan peneguran dan pemeriksaan kepada 21 PKP yang tidak
menyampaikan SPT Masa PPN selama dua tahun berturut-turut sehingga potensi
penerimaan negara sebesar Rp251.217,30 juta belum terealisasikan
Berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa terdapat 21 PKP yang selama dua tahun berturut-turut
sejak Tahun 2002 sampai dengan Tahun 2004 tidak menyampaikan SPT masa PPN, sedangkan
pada data equalisasi peredaran usaha PPh dengan penyerahan PPN Tahun 2002, 2003, 2004ternyata diketahui bahwa PKP bersangkutan masih melakukan kegiatan usaha dengan data omzet
dengan data sebagai berikut :
Nilai Omzet PPh PKP yang Tidak Menyampaikan SPT Masa PPN 2 Tahun Berturut-turut
No KPP Jumlah PKP Nilai Omzet PPh (Rp)
1 Surabaya Krembangan 6 99.241.786.697,00
2 Medan Belawan 8 177.759.443.954,00
3 Jakarta Tanjung Priok 7 217.977.156.840,00
Jumlah 21 494.978.387.491,00
PKP tersebut diatas oleh petugas pajak belum ditindaklanjuti dengan menerbitkan surat teguran
dan pemeriksaan untuk mengetahui dan menagih potensi PPN yang kurang dibayar.
Adapun potensi PPN atas PKP yang tidak menyampaikan SPT Masa PPN tersebut adalah sebesar
Rp251.217.304.517,40 dengan rincian sebagai berikut :
No KPP Omzet
(Rp)
Potensi PPN
(Rp)
Denda
(Rp)
Total Potensi
(Rp)
1 2 3 4 = 3 x 10% 5 = 3 x 2 % 6 = 4 + 5
1 Surabaya Krembangan 99.241.786.697 9.924.178.669,70 1.984.835.733,94 11.909.014.403.40
2 Medan Belawan 177.759.443.954 17.775.944.395,00 3.555.188.879,08 21.331.133.274,00
3 Jakarta Tanjung Priok 1.816.476.307.000 181.647.630.700,00 36.329.526.140,00 217.977.156.840,00
Total 251.217.304.517,40
Hal tersebut tidak sesuai dengan :
a. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
pada :
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 59/89
BPK KHP Gabungan PPN
55
1). Pasal 13 ayat (1) huruf b yang menyatakan dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah
saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun
Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang dalam
hal apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
2). Pasal 14 Ayat (1) huruf f yang menyatakan Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Tagihan Pajak apabila Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak
mengisi selengkapnya Faktur Pajak.dan
3). Pasal 14 Ayat (4) yang menyatakan Terhadap Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f, masing-masing
dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar
Pengenaan Pajak.
b. Keputusan Menteri Keuangan No. 545/KMK.04/2000 tentang tata cara pemeriksaan, padaPasal 2 ayat (1) huruf a
1). Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila Pengusaha yang
telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur
Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak.
2). Ayat (4) bahwa terhadap pengusaha kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf d, huruf, e dan huruf f, masing-masing dikenakan sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
c. SE DJP Nomor SE-01/Pj.7/2003 tanggal 1 April 2003 tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak
yang antara lain menyatakan bahwa pemeriksaan dapat dilakukan terhadap wajib pajak yang
tidak menyampaikan SPT tahunan PPh Pasal 21 selama dua tahun berturut-turut dan atau
SPT masa PPN selama tiga bulan berturut-turut dalam suatu tahun pajak.
Hal tersebut mengakibatkan potensi penerimaan negara sebesar Rp251.217.304.517,40 belum
dapat direalisasikan.
Hal tersebut disebabkan :
a. Pengawasan petugas pajak terhadap kewajiban perpajakan PKP lemah.
b. Pemanfaatan data equalisasi peredaran usaha badan dan penyerahan PPN oleh petugas pajak
masih kurang.c. Pengawasan dan pengendalian atasan terhadap pemantauan pelaksanaan kewajiban
perpajakan PKP masih kurang.
Atas permasalahan tersebut DJP memberikan tanggapan sebagai berikut:
1. Atas permasalahan di KPP Jakarta Tanjung Priok, DJP masih akan melakukan penelitian.;
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 60/89
BPK KHP Gabungan PPN
56
2. Atas permasalahan di KPP Surabaya Krembangan, DJP memberikan tanggapan bahwa DJP
setuju untuk melakukan penelitian/pemeriksaan atas 2 WP sedangkan atas 4 WP lainnya
berdasarkan peraturan perundangan yang ada tidak dilakukan tindak lanjut.
3. Atas permasalahan di KPP Medan Belawan, DJP memberikan tanggapan bahwa berdasarkan
hasil penelitian, DJP setuju untuk melakukan penelitian/pemeriksaan atas 7 WP sedangkan 1
WP lainnya pindah ke KPP lain.
BPK-RI menyarankan DJP agar :
1. Segera merealisasikan himbauan kepada wajib pajak untuk melaporkan SPT Masa PPN dan
menindaklanjuti dengan usulan pemeriksaan jika masih belum memasukkan SPTnya.
2. Meningkatkan pengawasan petugas pajak terhadap kewajiban perpajakan PKP.
3. Memanfaatkan data equalisasi peredaran usaha PPh dan PPN secara optimal.
4. Meningkatkan pengawasan dan pengendalian atasan terhadap pemantauan pelaksanaan
kewajiban perpajakan PKP.
5. Memberikan sanksi kepada petugas dan atau pejabat yang lalai dalam melaksanakan tugasnyasesuai ketentuan yang berlaku.
8. KPP belum mengukuhkan WP yang memiliki omzet lebih dari 600 juta sebagai PKP,
sehingga potensi penerimaan negara senilai Rp143.614,15 juta belum dapat direalisasikan
Dalam upaya menambah jumlah PKP, KPP melakukan berbagai upaya baik melalui intensifikasi
maupun ekstensifikasi. Dalam kaitan dengan usaha melalui intensifikasi, salah satu yang dapat
dilakukan adalah dengan memanfaatkan data internal yang ada baik secara fisik maupun data
dalam Sistem Informasi Perpajakan yaitu data peredaran usaha (omzet) yang dilaporkan melalui
SPT PPh.
Berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa masih terdapat wajib pajak yang memiliki omzet lebih
dari Rp600 juta tetapi belum atau terlambat dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak dengan
total omzet sebesar Rp1.195.932.849.793,00 dan potensi penerimaan negara yang belum dapat
direalisasikan sebesar Rp143.614.154.393,16 dengan rincian sebagai berikut :
Potensi PPN atas WP yang belum/terlambat dikukuhkan sebagai PKP
KPP DPP (Rp) Potensi PPN (Rp) Sanksi (Rp) Total Potensi (Rp)
(1) (2) (3) = (2) * 10% (4) = (2) * 2% (5) = (3) + (4)
KPP Cikarang Satu 11.477.345.173,00 1.147.734.517,30 229.546.903,46 1.377.281.420,76
KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Satu 105.442.650.384,00 10.544.265.038,40 2.108.853.007,68 12.653.118.046,08
KPP Surabaya Krembangan 273.574.636.700,00 27.357.463.670,00 5.573.705.145,00 32.931.168.815,00
KPP Jakarta Penjaringan 584.131.938.908,00 58.413.193.890,80 11.682.638.778,16 70.095.832.668,96
KPP Medan Belawan 28.326.783.392,00 2.832.678.339,20 566.535.667,84 3.399.214.007,04
KPP Jakarta Setiabudi Satu 98.149.950.392,00 9.814.995.039,20 1.962.999.007,84 11.777.994.047,04
KPP Bandung Karees 94.829.544.844,00 9.482.954.484,40 1.896.590.896,88 11.379.545.381,28
Total 1.195.932.849.793,00 119.593.284.979,30 24.020.869.413,86 143.614.154.393,16
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 61/89
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 62/89
BPK KHP Gabungan PPN
58
e. Memberi sanksi kepada petugas dan atau pejabat yang lalai dalam menjalankan tugasnya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
9. KPP belum melakukan upaya klarifikasi atas selisih omzet yang dilaporkan, sehingga
potensi penerimaan PPN sebesar Rp737.614,69 juta dari ekualisasi omzet PPh dan PPN
belum dapat direalisasikan
Salah satu kegiatan dalam rangka melaksanakan extra effort adalah dengan melakukan ekualisasi
data, terutama peredaran usaha (omzet) di dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) dengan
SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Peredaran usaha yang dilaporkan oleh WP belum tentu sama antara yang tercantum dalam SPT
PPN dan SPT PPh. Perbedaan tersebut antara lain terjadi karena kesalahan WP dalam mengisi
jumlah peredaran usaha dalam SPT-nya sehingga ada kemungkinan nilai PPh terutang atau PPN
yang terutang dilaporkan terlalu kecil. Namun perbedaan juga bisa disebabkan oleh adanya
perbedaan obyek dari kedua jenis pajak tersebut.
Atas perbedaan omzet tersebut, KPP seharusnya melakukan himbauan kepada WP untukmengklarifikasi atau untuk memperjelas adanya selisih omzet dimaksud. Untuk WP yang
memberi respon namun belum bisa menjawab selisih yang ada dan yang sama sekali tidak
merespon, seharusnya KPP tetap melakukan upaya penelitian sampai dengan tindakan
pemeriksaan untuk mengklarifikasi selisih omzet yang ada.
Hasil pemeriksaan menunjukan bahwa KPP Cikarang Satu, KPP Pratama Jakarta Sawah Besar
Satu, KPP Surabaya Krembangan, KPP Jakarta Penjaringan, KPP Medan Belawan, dan KPP
Sidoarjo Timur masih belum melaksanakan upaya untuk mengklarifikasi selisih omzet antara
yang dilaporkan di SPT Tahunan PPh dan SPT PPN senilai Rp6.146.789.159.559,33 dengan
potensi penerimaan PPN dari ekualisasi omzet sebesar Rp737.614.699.147,12 dengan rincian
sebagai berikut :
Potensi PPN dari Ekualisasi Omzet PPh dan PPN
KPP
Total Selisih Omzet
(Rp) Potensi PPN (Rp) Sanksi (Rp) Total Potensi (R
Cikarang Satu 136.268.478.592,00 13.626.847.859,20 2.725.369.571,84 16.352.217.43
Pratama Jakarta sawah Besar Satu 2.279.981.938.201,00 227.998.193.820,10 45.599.638.764,02 273.597.832.58
Surabaya Krembangan 1.302.830.510.039,00 130.283.051.003,90 26.056.610.200,78 156.339.661.20
Jakarta Penjaringan 213.864.175.983,00 21.386.417.598,30 4.277.283.519,66 25.663.701.11
Medan Belawan 335.023.644.036,00 33.502.364.403,60 6.700.472.880,72 40.202.837.28
Sidoarjo Timur 1.878.820.410.433,33 187.882.041.043,33 37.576.408.208,67 225.458.449.52
Total 6.146.789.159.559,33 614.678.915.955,93 122.935.783.191.19 737.614.699.14
Hal ini tidak sesuai dengan
1. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang No.16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 13
ayat (1) beserta penjelasannya.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 63/89
BPK KHP Gabungan PPN
59
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ/2000 tanggal 12 April 2000 tentang
Kebijakan Pemeriksaan, yang antara lain menyatakan bahwa pemeriksaan khusus harus
dilakukan untuk seluruh jenis pajak (all taxes) dan dilaksanakan terhadap wajib pajak
berdasarkan persetujuan atau instruksi Direktur Pemeriksaan Pajak dalam rangka
pemeriksaan untuk tujuan lain, misalnya berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap SPT Masa
PPN untuk suatu tahun pajak yang diketahui terdapat jumlah perbedaan peredaran usaha
antara SPT Tahunan PPh dan SPT Masa PPN tahun yang bersangkutan (equalisasi PPh dan
PPN)
3. Kebijaksanaan Pemeriksaan Tahun 2000 point 3.1. Kriteria pemeriksaan khusus huruf C
point (4) menyebutkan bahwa wajib Pajak berdasarkan persetujuan atau instruksi Direktur
Pemeriksaan Pajak dalam rangka pemeriksaan untuk tujuan lain.
Hal tersebut mengakibatkan belum dapat direalisasikannya potensi PPN sebesar
Rp737.614.669.147,12.
Hal tersebut disebabkan:
1. Belum optimalnya usaha dalam menggunakan semua data/informasi yang tersedia terutama
data omzet PPh dan PPN baik data fisik maupun data SIP.
2. Pengawasan atasan langsung atas pemantauan omzet WP masih kurang.
DJP memberikan tanggapan bahwa atas permasalahan di KPP Cikarang Satu, KPP Pratama
Jakarta Sawah Besar Satu, KPP Surabaya Krembangan, KPP Jakarta Penjaringan, dan KPP
Medan Belawan, DJP setuju dan akan melakukan tindak lanjut, sedangkan atas permasalahan di
KPP Sidoarjo Timur, DJP masih akan melakukan penelitian.
BPK-RI menyarankan DJP agar:
a. Segera menerbitkan surat himbauan kepada WP yang memiliki selisih peredaran usaha;
b. Melakukan penelitian dan atau pemeriksaan atas selisih omzet yang terjadi;
c. Meningkatkan pengawasan atasan langsung atas kegiatan pemantauan omzet WP dan
d. Memberi sanksi kepada petugas dan atau pejabat yang lalai dalam menjalankan tugasnya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10. Kegiatan ekstensifikasi dalam rangka menambah jumlah PKP belum dilakukan secara
optimalDalam upaya peningkatan penerimaan PPN dilakukan kegiatan Ekstensifikasi (canvassing ) Wajib
Pajak yaitu kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan jumlah Wajib Pajak dan atau
Pengusaha Kena Pajak (PKP) terdaftar serta untuk menghitung besarnya angsuran Pajak
Penghasilan (PPh) dalam tahun berjalan dan penyetoran pajak dalam suatu masa pajak.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 64/89
BPK KHP Gabungan PPN
60
Pelaksanaan ekstensifikasi dimulai dengan pencarian data yang dapat bersumber dari data intern
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berupa bank data KPP dan KP PBB ataupun dari ekstern DPJ
berupa data dari Pemda, PLN, Telkom, Developer, maupun pihak-pihak lain.
Data-data tersebut digunakan dalam rangka memperoleh indikasi adanya penghasilan kena Pajak
atau penyerahan yang belum dilaporkan karena Wajib Pajak yang bersangkutan belum memiliki
NPWP atau NPPKP. Indikasi tersebut bisa berupa data rekening telepon atau rekening listrik
yang tinggi, data transaksi jual beli tanah, dan lain sebagainya.
Berdasarkan data tersebut, KPP menerbitkan surat himbauan kepada calon Wajib Pajak untuk
segera mendaftarkan diri sebagai WP dan atau PKP.
Surat himbauan tersebut harus direspon oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu 14 hari, jika tidak,
maka diterbitkan surat pemberitahuan pemeriksaan dan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3).
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas Register Himbauan dan Register Penerbitan SP3 di KPP
Cikarang Satu dan KPP Jakarta Penjaringan, diketahui bahwa belum semua himbauan yang tidak
direspon dilakukan pemeriksaan (diterbitkan Surat Perintah Penugasan Pemeriksaan/ SP3)
sebagaimana terlihat dalam tabel berikut;
Data SP3 yang diterbitkan untuk kegiatan canvassing
KPP/
Tahun
Total Himbauan yang
tidak direspon/kempos
SP3 yang
diterbitkan
%
KPP Cikarang Satu
2004 125 11 8,8%
2005 206 35 16,99%
KPP Jakarta Penjaringan
2004 1738 375 21%2005 1092 319 29%
Selain itu, terkait dengan angka perkembangan jumlah PKP yang terdaftar di KPP Jakarta
Penjaringan diketahui bahwa jumlah PKP terdaftar sampai dengan 1 November 2005 sebanyak
3.312 PKP. Pada periode pemeriksaan BPK yaitu tahun 2004 dan 2005 (s.d September) terjadi
pengurangan jumlah PKP sebanyak 1000 PKP jauh lebih banyak dibandingkan jumlah
pertambahannya sebanyak 327 PKP. Selain itu dari penelitian lebih lanjut diketahui bahwa dari
penambahan sebanyak 327 PKP, angka penambahan PKP melalui usaha aktif petugas pajak
sebanyak 11 PKP jauh lebih rendah dibandingkan angka penambahan PKP karena adanya
kesadaran WP sendiri untuk dikukuhkan sebagai PKP sebanyak 316 PKP. Perinciannya adalah
sebagai berikut :
Data Pengukuhan PKP pada KPP Jakarta Penjaringan
Pengukuhan PKPTahun
Aktif Petugas Kesadaran WP Jumlah
Pengurangan
PKP
2004 10 157 167 9
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 65/89
BPK KHP Gabungan PPN
61
2005 1 159 160 991
Jumlah 11 316 327 1000
Hal tersebut tidak sesuai dengan
a. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 06/PJ.9/2001 tanggal 11 Juli 2001 tentang
Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak yang antara lain menyebutkan
bahwa :
1) Ekstensifikasi Wajib Pajak adalah kegiatan yang berkaitan dengan penambahan jumlah
Wajib Pajak terdaftar dan perluasan objek pajak dalam administrasi Direktorat Jenderal
Pajak (DJP).
2) Pemeriksaan adalah Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) yang dilakukan untuk
tujuan lain dalam rangka pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan atau
pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan atau untuk penentuan besarnya
peredaran usaha ataupun jumlah pajak yang harus dibayar dalam tahun berjalan.
b. SE Dirjen Pajak No. SE-06/PJ.7/2004 tanggal 6 Agustus 2004 tentang Pemeriksaan
Sederhana Lapangan dalam Rangka Ekstensifikasi Wajib Pajak butir 2 yang mengatur
mengenai kriteria pemeriksaan bahwa PSL ekstensifikasi dilaksanakan terhadap calon Wajib
Pajak yang apabila lebih dari 14 hari sejak tanggal pengiriman Surat Pemberitahuan untuk
mendaftarkan diri:
1) menanggapi dengan menyatakan tidak wajib mempunyai NPWP dan atau belum perlu
dikukuhkan sebagai PKP;
2) tidak menanggapi karena Surat Pemberitahuan kembali pos;
3) menanggapi dengan menyatakan sudah memiliki NPWP dan atau NPPKP tetapi
berdasarkan Master File DJP ternyata tidak terdaftar atau nama dan alamatnya berbeda.
Kondisi tersebut mengakibatkan kesempatan negara untuk mendapatkan penerimaan dari
orang/badan yang berpotensi terjaring menjadi WP/PKP tidak dapat direalisasikan.
Hal tersebut terjadi karena :
a. Usaha petugas pajak dalam rangka penambahan jumlah PKP belum optimal.
b. Koordinasi antar seksi yang terkait dengan penambahan jumlah PKP khususnya Seksi PDI
dan Seksi PPN kurang optimal.
DJP memberikan tanggapan bahwa atas permasalahan di KPP Cikarang Satu dan KPP JakartaPenjaringan, DJP setuju dan akan akan melakukan tindak lanjut.
BPK-RI menyarankan DJP agar :
a. Meningkatkan usaha ekstensifikasi PKP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Meningkatkan pengawasan atasan langsung atas kegiatan ekstensifikasi.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 66/89
BPK KHP Gabungan PPN
62
2. PENGELUARAN NEGARA YANG TIDAK SEHARUSNYA TERJADI
Temuan berhubungan dengan pengeluaran negara yang tidak seharusnya terjadi
1. Pengkreditan pajak masukan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Hasil pemeriksaan atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 12 (dua belas) Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) di Jakarta dan luar Jakarta diketahui terdapat pengkreditan pajak masukan yang tidak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal tersebut terjadi di KPP Jakarta Cakung Satu, KPP
Jakarta Tanjung Priok, KPP Jakarta Penjaringan, KPP Wajib Besar Dua, KPP Bandung Karees,
KPP Sidoarjo Timur, dan KPP Surabaya Krembangan. Adapun temuan sehubungan dengan
permasalahan dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Pengkreditan pajak masukan yang tidak memperhitungkan penyerahan yang PPN-nya
dibebaskan / tidak terhutang
Atas permasalahan tersebut fiskus tidak melakukan koreksi secara proposional atas pajak
masukan yang telah dikreditkan oleh WP dimana dalam seluruh penyerahan yang dilaporkanoleh WP terdapat penyerahan yang PPN-nya dibebaskan
Hal tersebut terjadi pada
1) KPP Jakarta Cakung Dua dengan koreksi pajak masukan senilai Rp19.134.498,74.
2) KPP Sidoarjo Timur dengan koreksi pajak masukan senilai Rp870.925.309,99.
b. Pengkreditan pajak masukan terlalu besar atas pembelian bahan bakar minyak
Atas permasalahan tersebut fiskus tidak melakukan koreksi atas selisih nilai pembelian bahan
bakar minyak antara nilai PPN dengan nilai PPh Ps. 22 Pertamina yang tercantum dalam SPT
PPh Badan sebesar Rp137.563.640,00. Hal tersebut terjadi pada KPP Jakarta Cakung Dua
c. Pengkreditan pajak masukan melewati batas tiga bulan
Atas permasalahan tersebut fiskus tidak melakukan koreksi atas pengkreditan pajak masukan
yang melewati batas waktu tiga bulan. Hal tersebut terjadi pada
1) KPP Jakarta Penjaringan
Tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan 2 faktur pajak masukan senilai Rp
13.604.625,00 dengan lama pengkreditan 14 bulan.
2) KPP Wajib Pajak Besar Dua
Tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan 5 faktur pajak masukan senilai
Rp4.735.701,00 yang lama pengkreditannya lebih dari 3 bulan
3) KPP Sidoarjo Timur
Tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan SSP PPN Jasa Luar Negeri yang disamakansebagai faktur pajak standar yang dibayar pada bulan Mei 2003 dan dikreditkan pada
bulan Desember 2002 senilai Rp300.252.371,00
d. Pengkreditan PPN impor / pajak masukan yang jawaban konfirmasinya tidak ada / belum
dijawab
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 67/89
BPK KHP Gabungan PPN
63
Atas permasalahan tersebut fiskus tidak melakukan koreksi atas pengkreditkan PPN impor /
pajak masukan yang jawaban konfirmasinya tidak ada / belum dijawab. Hal tersebut terjadi
pada
1) KPP Jakarta Tanjung Priok
Pengkreditan PPN Impor senilai Rp1.207.909.655,00 yang konfirmasinya dijawab tidak
ada.
2) KPP Bandung Karees
Pengkreditan PPN Impor senilai Rp2.792.304,00 yang belum dijawab klarifikasinya dan
faktur pajak masukan senilai Rp168.555.354,00 yang konfirmasinya dijawab tidak ada
e. Koreksi pengkreditan pajak masukan sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri.
Atas permasalahan tersebut fiskus tidak melakukan koreksi atas pengkreditan pajak masukan
yang berkaitan dengan kegiatan membangun sendiri. Hal tersebut terjadi pada KPP Surabaya
Krembangan senilai Rp663.176.174,00.
f. Pengkreditan faktur pajak masukan yang dibuat lebih dari empat bulan dari tanggal
penyerahan barang atau pembayaranAtas permasalahan tersebut fiskus tidak melakukan koreksi atas pengkreditan pajak masukan
dimana tanggal pembuatan fakturnya lebih dari empat bulan dari tanggal pembayaran atau
tanggal penyerahan (yang mana yang lebih dulu). Hal tersebut terjadi pada KPP Wajib Besar
Dua sebesar Rp13.143.947.420,50.
Hal tersebut tidak sesuai dengan
a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000,
tentang Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan
Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak.
b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah pada pasal 9 ayat (9) yang menyebutkan bahwa Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang
sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah
berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan
belum dilakukan pemeriksaan.
c. Surat Edaran Nomor SE-32/PJ.5/93 tanggal 3 Nopember 1993, untuk kasus-kasus yang
menyangkut masalah konfirmasi Faktur Pajak yaitu konfirmasi Faktur Pajak yang sudah
mendapat jawaban yang menyatakan "Tidak Ada" dan konfirmasi yang belum dijawab,Kepala KPP berkewajiban untuk menerbitkan SKKPP, sebelum batas waktu penyelesaian
restitusi dengan syarat PKP yang bersangkutan harus memberikan Bank Garansi
d. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP - 387/PJ./2002 tentang “Pengenaan PPN Atas Kegiatan
membangun sendiri Yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha Atau Pekerjaan Oleh
Orang Pribadi Atau Badan Yang Hasilnya Digunakan Sendiri Atau Digunakan Pihak Lain”
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 68/89
BPK KHP Gabungan PPN
64
pasal 5 ayat (4): Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun
sendiri tidak dapat dikreditkan
e. Pasal 1 ayat (1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ/2000 tentang Saat
Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan
Faktur Pajak Standar sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-323/PJ/2001
Keadaan tersebut mengakibatkan pengeluaran negara yang tidak seharusnya sebesar
Rp16.532.597.953,23 dan potensi penerimaan negara sebesar Rp18.311.146.823,73 yang berasal
dari penagihan kembali beserta sanksinya belum dapat direalisasikan.
Keadaan tersebut disebabkan oleh:
a. Fiskus lalai dalam melakukan pemeriksaan atas pajak masukan yang dapat dikreditkan.
b. Kurangnya pengawasan dari atasan langsung
Atas permasalahan tersebut DJP akan melakukan penelitian kembali dan apabila berdasarkan
hasil penelitian tersebut diketahui terdapat kelebihan pemberian restitusi maka akan diterbitkan
surat ketetapan pajak.
BPK-RI menyarankan agar menagih kembali pengeluaran negara yang tidak seharusnya
dikeluarkan, meningkatkan pembinaan kepada para petugas agar lebih cermat dalam melakukan
pemeriksaan, dan meningkatkan pengawasan atasan langsung atas hasil kerja bawahannya.
2. Penyelesaian keberatan; peninjauan kembali; banding tidak sesuai dengan ketentuan
Hasil pemeriksaan atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 12 (dua belas) Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) di Jakarta dan luar Jakarta diketahui terdapat penyelesaian keberatan; peninjauan
kembali; banding yang tidak sesuai dengan ketentuan. Hal tersebut terjadi pada KPP Wajib Besar
Dua, KPP Jakarta Tanjung Priok, KPP Jakarta Cakung Satu, KPP Jakarta Penjaringan, dan KPP
Cimahi. Adapun permasalahan sehubungan dengan hal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Terdapat indikasi kerugian negara yang berasal dari pemberian pengurangan atau
penghapusan sanksi administrasi yang tidak seharusnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan pada KPP Jakarta Tanjung Priok diketahui terdapat kerugian
negara yang berasal dari pemberian pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang
tidak seharusnya diberikan kepada WP akibat pajak masukan yang berasal dari PKP penjualyang diduga fiktif yaitu sebesar Rp1.943.617.340,00
b. Potensi penerimaan negara dari penyerahan BKP dan sanksi administrasi yang hilang akibat
pengabulan sebagian permohonan keberatan
Berdasarkan hasil pemeriksaan berkas keberatan pada KPP Cimahi diketahui terdapat
permohonan keberatan yang diterima sebagian oleh peneliti keberatan yang seharusnya
menurut BPK RI permohonan keberatan tersebut tidak diberikan karena penjualan kapas dan
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 69/89
BPK KHP Gabungan PPN
65
benang kepada pihak ketiga merupakan penyerahan BKP yang terutang PPN sehingga
terdapat potensi penerimaan negara yang belum terealisir sebesar Rp611.565.041,72.
c. Indikasi kerugian negara atas PPN Jasa Luar Negeri yang belum dikenakan
Berdasarkan hasil pemeriksaan pada KPP Jakarta Penjaringan diketahui terdapat pengabulan
keberatan; banding WP atas koreksi fiskus atas obyek PPN Jasa Luar Negeri dengan nilai
sebesar Rp11.459.682.582,00 atas pemanfaatan jasa luar negeri yang belum dikenakan PPN
atas Jasa Luar Negeri sebesar Rp1.145.968.258,00.
d. Pengabulan surat permohonan peninjauan kembali atas sanksi administrasi yang tidak
memenuhi ketentuan formal dan berakibat pada pemberian imbalan bunga
Berdasarkan hasil pemeriksaan pada KPP Wajib Pajak Besar Dua diketahui terdapat
pengabulan surat permohonan peninjauan kembali atas sanksi administrasi sebesar
Rp2.256.917.094,00 yang tidak memenuhi ketentuan formalitas yaitu tidak menyebutkan
nilai perhitungan pajak menurut WP. Pengabulan permohonan peninjauan kembali
mengakibatkan pemberian imbalan bunga sebesar Rp406.245.077,00.
Hal tersebut tidak sesuai dengan :
1) Undang-Undang Nomor 16 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pada pasal
36 ayat (1) dan (2) yang antara lain menyatakan “Direktur Jenderal Pajak dapat
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan
yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi
tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; dan
mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar. Tata cara pengurangan,
penghapusan, atau pembatalan utang pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan.”
2) Keputusan Menteri Keuangan No 542/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 Tentang
Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Dan Pengurangan Atau
Pembatalan Ketetapan Pajak pasal 2 ayat 3 : “Setiap permohonan pengurangan atau
pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus
menyebutkan jumlah pajak yang menurut penghitungan Wajib Pajak seharusnya terutang.
Keadaan diatas mengakibatkan indikasi kerugian negara sebesar Rp6.368.044.365,72
Keadaan diatas disebabkan oleh:
a. Petugas peneliti permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi lalai dalammelaksanakan tugasnya
b. Lemahnya pengawasan atasan langsung terhadap hasil pelaksanaan kerja petugas yang
menjadi bawahannya
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 70/89
BPK KHP Gabungan PPN
66
Atas permasalahan tersebut DJP memberikan tanggapan sebagai berikut:
a. Atas permasalahan di KPP Jakarta Tanjung Priok dan KPP Jakarta Penjaringan, DJP
menyatakan akan melakukan penelitian kembali atas permasalahan tersebut
b. Atas permasalahan di KPP Wajib Pajak Besar Dua, DJP menyatakan bahwa permohonan
Peninjauan Kembali (PK) telah memenuhi ketentuan formal sesuai dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000, permohonan PK tidak mengharuskan adanya
perhitungan jumlah pajak terutang menurut WP
BPK-RI menyarankan agar menagih kembali atas pengeluaran negara yang tidak seharusnya
dikeluarakan, meningkatkan pembinaan kepada para petugas agar lebih cermat dalam melakukan
pemeriksaan, dan meningkatkan pengawasan atasan langsung atas kerja bawahannya.
3. KPP tidak aktif dalam melaksanakan penagihan atas ketetapan pajak yang telah
dikeluarkan
Hasil pemeriksaan diketahui terdapat kerugian negara akibat ketetapan pajak yang sudah tidakdapat ditagih kembali (daluarsa). Hal tersebut terjadi pada :
a. KPP Bandung Karees
Terdapat ketetapan pajak yang kegiatan penagihannya tidak dilanjutkan dengan tahap
penagihan berikutnya atau tidak ada tindakan pencegahan daluarsa sebesar
Rp336.063.102,00
b. KPP Surabaya krembangan
Diketahui terdapat ketetapan pajak yang telah diajukan penghapusan tunggakan karena
daluarsa akibat tindakan penagihan sebesar Rp3.250.926.424,00
Hal tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan Pasal 22 ayat (1) menyatakan bahwa hak untuk melakukan penagihan pajak,
termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10
(sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang bersangkutan.
Keadaan diatas mengakibatkan penerimaan negara sebesar Rp3.586.989.526,00 yang tidak dapat
direalisasikan.
Keadaan diatas disebabkan oleh
a. Pelaksanaan penagihan tidak dilakukan secara optimal
b. Pengawasan atasan langsung yang masih kurang
Atas permasalahan tersebut DJP telah melakukan upaya penagihan secara aktif dan telah
diusulkan penghapusan utang pajak
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 71/89
BPK KHP Gabungan PPN
67
BPK-RI menyarankan agar mengoptimalkan pelaksanaan penagihan, meningkatkan pembinaan
kepada para petugas agar lebih cermat dalam melakukan pemeriksaan, dan meningkatkan
pengawasan atasan langsung atas hasil kerja bawahannya.
4. KPP Jakarta Penjaringan belum melakukan langkah-langkah penanganan atas indikasi
penerbitan dan penggunaan faktur fiktif senilai Rp8.105,36 juta
Hasil pemeriksaan diketahui terdapat indikasi penerbitan faktur pajak oleh PKP yang diduga
sebagai penerbit faktur pajak fiktif. Namun sampai berakhirnya pemeriksaan tanggal 30
Desember 2005 KPP Jakarta Penjaringan belum melakukan langkah-langkah penanganan atas
indikasi penerbitan faktur fiktif dengan jumlah pajak keluaran masa Januari 1999 sampai dengan
Desember 2004 senilai Rp8.105.366.563,00 tersebut.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 29/PJ.53/2003
tanggal 4 Desember 2003 Tentang Langkah-Langkah Penanganan Atas Penerbitan DanPenggunaan Faktur Pajak Tidak Sah (Fiktif) Direktur Jenderal Pajak, yang antara lain
menjelaskan Wajib Pajak yang perlu diwaspadai yang diindikasikan sebagai penerbit atau
pengguna Faktur Pajak fiktif.
Keadaan diatas mengakibatkan potensi kerugian negara minimal senilai Rp8.105.366.563,00.
Keadaan diatas disebabkan oleh:
a. Pengawasan KPP Jakarta Penjaringan terhadap PKP yang terdaftar di wilayahnya lemah.
b. KPP Jakarta Penjaringan dan Kantor Wilayah DJP Jakarta V kurang sungguh-sungguh dalam
menindaklanjuti masalah faktur pajak fiktif.
c. Kurangnya pengawasan atasan langsung.
Atas permasalahan tersebut DJP menyatakan akan melakukan pemeriksaan dan selanjutnya
dilakukan penyidikan.
BPK-RI menyarankan agar
a. Segera melakukan penelitian dan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perpajakan.
b. Meningkatkan pengawasan atasan langsung.
5. Penerbitan dua SKP yang tidak sesuai dengan ketentuan sehingga putusan bandingnya
diterima yang mengakibatkan indikasi kerugian negara sebesar Rp2.017,32 juta
Dari hasil pemeriksaan pada KPP Jakarta Cakung Satu diketahui terdapat kesalahan formal atas
penerbitan dua SKP yang mengakibatkan putusan banding memenangkan wajib pajak sehingga
negara diharuskan membayar bunga sebesar Rp2.017.323.330,00
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 72/89
BPK KHP Gabungan PPN
68
Hal tersebut tidak sesuai dengan Undang-undang No.16 tahun 2000 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-undang No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP), dalam penjelasan pasal 17 B ayat (1) dinyatakan bahwa “Surat ketetapan pajak tersebut
dapat berupa surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau
Surat Ketetapan Pajak Nihil
Keadaan tersebut di atas mengakibatkan indikasi kerugian negara atas pembayaran imbalan
bunga sebesar Rp2.017.323.330,00.
Keadaan tersebut diatas terjadi karena KPP Jakarta Cakung Satu tidak memperhatikan
konsekuensi hukum dari ketentuan yang berlaku dalam penerbitan SKP PPN.
Atas permasalahan tersebut DJP akan melakukan pembinaan/perbaikan dimasa yang akan datang
dan penyempurnaan sistem agar dalam satu masa tidak dapat diterbitkan dua SKP
BPK-RI menyarankan agar KPP Jakarta Cakung Satu melakukan kajian hukum mengenai
penerbitan dua SKP dalam masa pajak yang sama.
6. Penyelesaian SPTLB PPN, penerbitan SPMKP dan Pemberian SPMIB serta koreksi fiskus
tidak sesuai dengan ketentuan sehingga potensi pengeluaran negara akibat adanya imbalan
bunga sebesar Rp718.300.887,00 yang seharusnya tidak terjadi
Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui terdapat potensi pengeluaran negara akibat adanya
pemberian imbalan bunga. Hal tersebut terjadi di KPP Wajib Besar Dua, KPP Bandung Karees,
dan KPP Cimahi. Adapun temuan sehubungan dengan permasalahan dimaksud adalah sebagai
berikut:
a. Penyelesaian SPTLB PPN melewati batas waktu yang ditentukan
Berdasarkan hasil penelitian data print out SPTLB dan register penerbitan SKPLB diketahui
pada KPP Bandung Karees terjadi keterlambatan penyelesaian SPTLB atas 6 WP sehingga
menimbulkan potensi kerugian negara akibat pemberian imbalan bunga sebesar
Rp662.222.607,00.
b. Penerbitan SPMKP dan pemberian SPMIB tidak sesuai ketentuan
Dari hasil pemeriksaan pada KPP Cimahi diketahui terdapat SPMKP yang terlambat
diterbitkan selama 1 bulan sehingga terdapat potensi pemberian imbalan bunga sebesar
Rp28.039.140,36. Disamping itu KPP Cimahi kurang memperhitungkan jangka waktu pembayaran SPMIB selama 1 bulan sehingga terdapat kekurangan pemberian imbalan bunga
sebesar Rp28.039.140,40.
c. Koreksi fiskus tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan dikabulkannya keberatan
WP
Atas permasalahan diatas, fiskus tidak mengadministrasikan pemeriksaannya dalam kertas
kerja pemeriksaan sebagai bukti-bukti pemeriksaan yang mengakibatkan dikabulkannya
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 73/89
BPK KHP Gabungan PPN
69
pengajuan keberatan yang diajukan WP. Hal tersebut terjadi pada KPP Wajib Pajak Besar
Dua yang mengakibatkan pemberian bunga sebesar Rp247.726.691,00.
Hal tersebut tidak sesuai dengan:
a. Pasal 17B ayat (1) UU No.9 Tahun 1994 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.16
tahun 2000 yang antara lain menetapkan “Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan
pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus menerbitkan
surat ketetapan pajak selambat-lambatnya dua belas bulan sejak permohonan diterima,
kecuali untuk kegiatan tertentu yang ditetapkan lain oleh Direktur Jenderal Pajak”.
b. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Meuangan No.05/KMK.03/2005 tentang Tata Cara
Pembayaran Kembali Kelebihan Pembayaran Pajak yang antara lain mengatur “Kelebihan
pembayaran pajak yang masih tersisa, dikembalikan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak
Keputusan Keberatan diterbitkan atau Putusan Banding diterima sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d
c. Keputusan Menteri Keuangan No.683/KMK.03/2001 tentang Tata Cara Pemberian ImbalanBunga Kepada Wajib Pajak Tanggal 1 Januari 2002 pasal 7 huruf c dan d yang menyatakan
bahwa SKPIB dan SPMIB yang berhubungan dengan imbalan bunga akibat dari kelebihan
pembayaran dari putusan Keberatan dan Banding diterbitkan paling lambat 1 (satu) bulan
sejak Keputusan Keberatan diterbitkan atau Putusan Banding diterima dan imbalan bunga
dari putusan pengurangan sanksi administrasi diterbitkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak
Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi diterbitkan.
d. Surat Edaran Dirjen Pajak SE-01/PJ.7/2002 Tanggal 19 Februari 2002 tentang Kebijaksanaan
Pemeriksaan PPN Dan PPn BM :
- Nomor 4.5 : Untuk Setiap Kegiatan Pemeriksaan Harus Dibuat Kertas Kerja Pemeriksaan
(KKP)
- Nomor 4.6 : KKP adalah dasar untuk membuat Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP);
Kondisi tersebut mengakibatkan potensi kerugian negara sebesar Rp966.027.578,00.
Keadaan diatas disebabkan oleh:
a. Aparat pajak yang bersangkutan lalai dalam menjalankan tugasnya;
b. Kurangnya pengawasan atasan langsung.
Atas permasalahan tersebut DJP memberikan tanggapan sebagai berikut :a. DJP akan menindaklanjuti permasalahan di KPP Bandung Karees dengan penelitian kembali;
b. DJP menyatakan bahwa penerbitan SPMKP di KPP Cimahi tidak terlambat
c. Atas permasalahan di KPP Wajib Pajak Besar Dua, DJP menyatakan bahwa peneliti
mengabulkan keberatan WP tersebut karena kasus tersebut tidak didukung bukti yang kuat
dan apabila dibawa ke pengadilan, kemungkinan besar akan dimenangkan wajib pajak,
sehingga akan mengakibatkan kerugian negara/imbalan bunga yang lebih besar lagi.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 74/89
BPK KHP Gabungan PPN
70
BPK-RI menyarankan agar DJP memberikan sanksi kepada para petugas yang lalai dalam
melakukan pemeriksaan dan meningkatkan pengawasan atasan langsung atas hasil kerja
bawahannya.
7. Penerbitan SPMKP yang tidak memperhitungkan hutang pajak
Berdasarkan hasil pemeriksaan pada KPP Cimahi diketahui terdapat penerbitan SPMKP sebesar
Rp23.381.091,00 yang tidak memperhitungkan hutang pajak sebesar Rp67.720.836,00.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) UU No.16 Tahun 2000 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menetapkan bahwa:
a. wajib pajak berhak meminta kembali kelebihan pembayaran pajak apabila tidak mempunyai
utang pajak.
b. Dalam hal wajib pajak masih mempunyai utang pajak harus langsung diperhitungkan untuk
melunasi terlebih dahulu pajak yang terutang
Hal tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp23.381.091,00
Kondisi tersebut disebabkan petugas pelaksana pada Seksi Penerimaan dan Keberatan tidak teliti
dalam melaksanakan tugasnya serta pengawasan atasan langsung masih lemah.
Atas permasalahan tersebut DJP tidak sependapat dengan BPK dimana Wajib Pajak telah
mengirimkan faksimili SSP dan rekening koran atas pembayaran tunggakan pajak yang menjadi
kewajibannya sebesar Rp 67.720.896,00
BPK-RI menyarankan agar dilakukan penelitian ulang atas SSP pembayaran PPN wajib pajak dan
dilakukan konfirmasi ke bank yang menerima pembayaran SSP tersebut
C. PELAYANAN DAN PENGAWASAN
Temuan yang berhubungan dengan pelayanan dan pengawasan adalah sbb :
1. Keterlambatan Penyelesaian Permohonan Keberatan, Penerbitan Surat Keputusan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) Atas Keputusan Keberatan danSurat Perintah Membayar Imbalan Bunga (SPMIB)
Berdasarkan pemeriksaan terhadap data penyelesaian keberatan di SIP, diketahui terdapat 25
pengajuan permohonan keberatan PPN yang sudah lebih dari 12 bulan sejak permohonan
keberatan diajukan belum ada keputusannya pada KPP Pratama Jakarta Sawah Besar I.
Dari pemeriksaan atas penyelesaian SPMKP dan penerbitan SPMIB di KPP Cimahi, diketahui
bahwa telah terjadi keterlambatan penerbitan. Dua penerbitan SKPKPP atas keputusan keberatan
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 75/89
BPK KHP Gabungan PPN
71
yang diterima melebihi batas waktu yang ditentukan. Keputusan keberatan diterbitkan tanggal 18
Maret 2005, sementara SKPKPP terbit tanggal 22 Juni 2005 atau terlambat 2 bulan. Penerbitan 14
SPMIB atas 4 Wajib Pajak melewati jangka waktu yang ditetapkan, karena menunggu
permohonan imbalan bunga yang diajukan oleh WP dan tidak mengacu ke saat keputusan
keberatan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi diterbitkan. Keterlambatan
penerbitan berkisar antara 25 hari sampai 24 bulan.
Keadaan tersebut tidak sesuai dengan:
a. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
Pasal 26 ayat (1) dan ayat (5) yang menyatakan apabila surat keberatan tidak diberi keputusan
dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, maka
keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 05/KMK.03/2005 tentang Tata Cara Pembayaran
Kembali Kelebihan Pembayaran Pajak Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan Kelebihan pembayaran pajak yang masih tersisa, dikembalikan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sejak Keputusan Keberatan diterbitkan atau Putusan Banding diterima sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d.
2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 683/KMK.03/2001 tentang Tata Cara Pemberian
Imbalan Bunga Kepada WP Pasal 7 huruf c dan d dan Peraturan Menteri Keuangan
No.40/PMK.03/2005 Tentang Tata Cara Pemberian Imbalan Bunga Kepada WP yang
menyatakan bahwa SKPIB dan SPMIB yang berhubungan dengan imbalan bunga akibat
dari kelebihan pembayaran dari putusan Keberatan dan Banding diterbitkan paling lambat
1 (satu) bulan sejak Keputusan Keberatan diterbitkan atau Putusan Banding diterima dan
imbalan bunga dari putusan pengurangan sanksi administrasi diterbitkan paling lambat 1
(satu) bulan sejak Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
diterbitkan
Keadaan tersebut mengakibatkan
a. Permohonan keberatan WP harus diterima.
b. Citra pelayanan KPP menjadi kurang baik bagi WP terutama bagi yang mengajukan
permohonan keberatan dan restitusi hasil keberatan serta yang berhak atas imbalan bunga.
Keadaan tersebut disebabkan:a. Kurangnya pengawasan terhadap pengajuan permohonan keberatan yang telah masuk.
b. Petugas pajak yang bersangkutan lalai.
c. Kurangnya pembinaan dan pengawasan atasan langsung.
Atas permasalahan tersebut DJP akan melakukan penelitian lebih lanjut dan di masa mendatang
jangka waktu penerbitan akan lebih diperhatikan.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 76/89
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 77/89
BPK KHP Gabungan PPN
73
yang dilaporkan dalam SPT masa PPN serta meneliti kebenaran formal faktur pajak dan atau
dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak.
Hal tersebut mengakibatkan restitusi sebesar Rp5.661.007.686.701,00 tidak dapat diyakini
kewajarannya.
Hal tersebut disebabkan adanya kebijakan Kanwil DJP XIX berupa nota dinas tentang prosedur
kerja pemberian restitusi.
Atas permasalahan tersebut DJP menanggapi bahwa pemeriksaan restitusi PPN tetap melakukan
konfirmasi atas faktur pajak masukan yang dikreditkan oleh Wajib Pajak, namun dengan
menggunakan sampling dan pedoman penelitian tersebut merupakan implementasi dari
rekomendasi tim IMF.
BPK-RI menyarankan agar :
a. Dilakukan konfirmasi ulang terhadap seluruh faktur pajak masukan dan SSP PPN Impor yang
telah direstitusi. Dan apabila terdapat faktur pajak masukan yang belum dapat
dipertanggungjawabkan PKP penjual atau terdapat faktur pajak masukan yang cacat agar
dikoreksi dan dikenakan sanksi administrasi sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
b. Mencabut nota dinas kepala kanwil XIX wajib pajak besar Nomor: ND-
14/WPJ.19/BD.04/2002 tanggal 7 Oktober 2002 dan Nomor: ND-
13/WPJ.19/BD/2003sehingga peraturan mengenai tata cara pemberian restitusi PPN dapat
diterapkan kembali di KPP WP Besar Dua sesuai yang tercantum dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak No.SE-755/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001atau menetapkan
ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk mengakomodir
Nota Dinas tersebut namun tetap mempertimbangkan prinsip ke hati-hatian (konservatife)
dalam memberikan restitusi PPN sehingga dapat mengamankan keuangan negara.
3. Faktur pajak dan SSP yang tidak dilakukan konfirmasi atau jawaban konfirmasi belum
diterima, namun tetap diperhitungkan oleh petugas pajak sebesar Rp390.694,61 juta
a. Pajak masukan Impor dan PPN dibayar sendiri belum dilakukan konfirmasi baik ke bank
tempat pembayaran maupun ke KPKN sebesar Rp109.946.139.255,00. Hal tersebut terjadi
pada KPP Wajib Pajak Besar Dua sebesar Rp45.203.670.095,00, KPP Cimahi sebesar
Rp62.861.085.540,00, dan Kanwil DJP Jawa Bagian Barat II sebesar Rp111.516.451,00
untuk pajak masukan impor, sedangkan untuk PPN dibayar sendiri pada Kanwil DJP Jawa
Bagian Barat II sebesar Rp1.769.867.169,00
b. Faktur pajak masukan tidak seluruhnya dilakukan konfirmasi ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) tempat Pengusaha Kena Pajak (PKP) tersebut terdaftar sebesar Rp23.665.024.282,00.
Hal tersebut terjadi pada KPP Sidoarjo Timur yaitu sebesar Rp1.218.483.711,00 dan Karikpa
mojokerto sebesar Rp22.446.540.571,00
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 78/89
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 79/89
BPK KHP Gabungan PPN
75
menyatakan setiap Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pemeriksa Pajak dalam rangka
pemeriksaan pengembalian kelebihan pajak atau restitusi diwajibkan untuk melakukan
langkah-langkah sebagai berikut:
1). Melaksanakan konfirmasi Faktur Pajak Melalui SIP (program PK-PM);
2). Melakukan Konfirmasi Surat Setoran Pajak (SSP) dengan sistem Monitoring Pelaporan
Pembayaran Pajak (MP3) atau kepada unit atau instansi yang terkait;
3). Melakukan konfirmasi atas Dokumen PIB dan PEB kepada unit atau instansi terkait. Bagi
Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pemeriksa dan Penyidik Pajak yang sudah dapat
melaksanakan Program PK-PM melalui intranet agar memanfaatkan data PIB dan PEB
pada Intranet Direktorat Jenderal Pajak;
4). Melakukan analisa perbandingan terhadap SPT PPh Badan Wajib Pajak yang
bersangkutan untuk 2 (dua) tahun terakhir;
5). Melakukan analisa terhadap SPT Masa PPN untuk masa 6 (enam) bulan terakhir;
6). Mewaspadai PKP-PKP yang non efektif (NE) PKP yang melaporkan SPT Masa PPN
Nihil, yang kemudian melakukan pembetulan SPT Masa dan menunjukkan jumlah peredaran usahanya yang meningkat cepat dan cukup besar.
Kondisi di atas mengakibatkan:
a. Pemberian restitusi sebesar Rp166.833.281.737,00 tidak dapat diyakini kewajarannya.
b. PPN yang dipungut oleh pemungut PPN sebesar Rp200.728.699.587,00 tidak dapat di yakini
kebenarannya.
c. Perhitungan penjualan ekspor sebesar Rp23.132.629.155,00 tidak dapat di yakini
kebenarannya
Kondisi di atas disebabkan
a. Adanya kebijakan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dengan Nota Dinas Nomor:: ND-
14/WPJ.19/BD.04/2002 tanggal 7 Oktober 2002.
b. Pemeriksa pajak tidak teliti dalam melakukan pemeriksaan.
c. Pengawasan dan pengendalian atasan langsung masih kurang.
Atas permasalahan tersebut DJP menanggapi bahwa akan dilakukan tindak lanjut berupa
konfirmasi ulang, melakukan uji arus uang dan barang untuk jawaban konfirmasi faktur pajak
yang belum diterima, dan melengkapi bukti copy SSP.
BPK-RI menyarankan DJP agar :
a. Dilakukan konfirmasi ulang terhadap seluruh faktur pajak masukan dan SSP PPN Impor yang
telah direstitusi. Dan apabila terdapat faktur pajak masukan yang belum dapat
dipertanggungjawabkan PKP penjual atau terdapat faktur pajak masukan yang cacat agar
dikoreksi dan dikenakan sanksi administrasi sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 80/89
BPK KHP Gabungan PPN
76
b. Mencabut nota dinas kepala kanwil XIX wajib pajak besar ND-14/WPJ.19/BD.04/2002
tanggal 7 Oktober 2002 sehingga peraturan mengenai tata cara pemberian restitusi PPN dapat
diterapkan kembali di KPP WP Besar Dua sesuai yang tercantum dalam Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak No.SE-755/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001atau menetapkan
ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk mengakomodir
Nota Dinas tersebut namun tetap mempertimbangkan prinsip ke hati-hatian (konservatif)
dalam memberikan restitusi PPN sehingga dapat mengamankan keuangan negara.
c. Memberi sanksi kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan sesuai ketentuan
yang berlaku.
4. Penagihan atas tunggakan PPN senilai Rp10.033,76 juta belum dilakukan secara optimal
a. Berdasarkan pemeriksaan uji petik terhadap laporan kegiatan penagihan 100 WP penunggak
terbesar pada KPP Surabaya Krembangan diketahui tunggakan atas kohir PPN senilai
Rp9.969.411.671 belum sepenuhnya dilakukan tindakan penagihan aktif sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. b. KPP Cakung satu belum melakukan upaya penagihan sesuai ketentuan atas SKPKB yang
dikeluarkan kepada PT Dwidaya Tunggal Prakarsa sebagai pengguna faktur pajak fiktif.
Berdasarkan data kartu hutang pajak, sampai dengan akhir pemeriksaan, atas SKPKB tersebut
belum dilakukan pembayaran serta tidak dilakukan upaya penagihan.
Hal di atas tidak sesuai dengan :
a. UU No.16 Tahun 2000 tentang perubahan kedua atas UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakn pasal 9 ayat (3): Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, SKPKBT dan SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus di bayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka
waktu1 (satu) bulan sejak diterbitkan.
b. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-20/PJ/1995 tentang jadwal waktu tindakan
penagihan pajak.
Kondisi di atas mengakibatkan tertundanya penerimaan negara sebesar Rp10.033.769.151,00
Kondisi di atas disebabkan KPP Jakarta Cakung Satu dan Surabaya Krembangan tidak sungguh-
sungguh dalam melakukan penagihan aktif .
Atas permasalahan tersebut DJP akan melakukan penagihan aktif sesuai ketentuan yang berlaku.
BPK-RI menyarankan agar KPP Jakarta Cakung Satu dan Surabaya Krembangan lebih optimal
dalam melakukan penagihan aktif.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 81/89
BPK KHP Gabungan PPN
77
5. KPP Cikarang Satu belum membukukan SPMIB atas pembayaran imbalan bunga sebesar
Rp6.871,82 juta dalam laporan penerimaan pajak.
Berdasarkan buku register pencairan restitusi yang di tatausahakan oleh Seksi Penerimaan dan
Keberatan, diketahui terdapat pembayaran imbalan bunga (PIB) atas PPN sebesar
Rp6.640.390.237.00 tahun 2004 dan Rp.231.431.920 pada tahun 2005. Namun PIB tersebut
belum dicantumkan dalam laporan penerimaan pajak yang disampaikan KPP ke Kanwil.
Hal di atas tidak sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-11/PJ/1994
tentang pedoman Induk Tata usaha penerimaan dan restitusi pajak (TUPRP) dan SE No-
5/PJ.9/1995 tentang penyesuaian pedoman induk TUPRP, Bab VII pembukuan dan pelaporannya
dijelaskan pada butir 1.4 tentang pembukuan pengembalian pajak/pembayaran bunga.
Kondisi di atas mengakibatkan laporan penerimaan pajak KPP Cikarang Satu tidak
menggambarkan kondisi yang sebenarnya, yaitu nilai SPMIB yang dilaporkan kurang sebesar
Rp6.640.390.237 untuk tahun 2004 dan sebesar Rp231.431.920,00 untuk tahun 2005.
Kondisi di atas disebabkan seksi penerimaan dan keberatan KPP Cikarang Satu belum
membukukan pengeluaran restitusi atas pembayaran imbalan bunga.
Atas permasalahan tersebut DJP akan menindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku.
BPK-RI menyarankan agar segera dilakukan pembukuan terhadap pengeluaran restitusi atas
pembayaran imbalan bunga.
6. Kertas Kerja Pemeriksaan tidak di dukung dengan dokumen sumber
Fiskus dalam melakukan pemeriksaan terhadap PT Denso Indonesia mengkreditkan faktur pajak
cacat karena pada KKP ditemukan bahwa faktur pajak masukan yang dilampirkan merupakan
blanko kosong yang diisi sendiri oleh fiskus.Hal tersebut terjadi pada KPP Wajib Pajak besar
Dua.
Hal tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor.KEP-741/PJ/2001
tanggal 12 Desember 2001 tentang petunjuk pelaksanaan pemeriksaan kantor pada :
a. Pasal 1 angka 9 yang menyatakan Kertas Kerja Pemeriksaan Pajak adalah catatan secara rinci
dan jelas yang diselenggarakan oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur pemeriksaan yang
ditempuh, pengujian yang dilakukan, bukti dan keterangan yang dikumpulkan dankesimpulan yang diambil sehubungan dengan pemeriksaan yang dilaksanakannya.
b. Pasal 17 yang menyatakan Kertas kerja Pemeriksaan harus disimpan di Seksi Tata Usaha
Perpajakan pada Unit Pelaksana Pemeriksaan Pajak setelah Pemeriksaan Pajak diselesaikan.
Kondisi di atas mengakibatkan faktur pajak masukan sebesar Rp642.719.171,00 tidak dapat
diyakini kebenarannya.
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 82/89
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 83/89
BPK KHP Gabungan PPN
79
ketahui terdapat pajak masukan selama tahun 2003 yang tidak sesuai dengan jumlah pembelian
bahan baku yang dilaporkan selama tahun 2003 oleh WP. Dari penelusuran lebih lanjut atas KKP
fiskus, pada saat pemeriksaan tidak melakukan equalisasi antara pembelian yang dilaporkan
dalam SPT PPh Badan dengan faktur pajak masukan yang dilaporkan dalam SPT masa PPN
sebesar Rp554.226.565,80.
Hal di atas tidak sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak No-SE-04/PJ.7/2000 tentang
kebijaksanaan pemeriksaan tahun 2000 point 1.5 huruf b menyatakan ”pemeriksaan Sederhana
Lapangan (PSL) dan pemeriksaan lengkap (PL) untuk seluruh jenis pajak yang menjadi
kewajibannya. Adapun pendekatan pemeriksaan yang disarankan antara lain melakukan cross cek
antara pajak masukan yang dikreditkan dengan jumlah pembelian yang dilaporkan dalam daftar
perhitungan rugi laba dan neraca, misalnya pembelian bahan baku/pembantu dan pembelian
aktiva tetap atau lainnya.
Kondisi di atas mengakibatkan faktur pajak masukan sebesar Rp554.226.565,80 belum dapat diyakini kebenarannya.
Kondisi di atas disebabkan fiskus tidak melakukan equalisasi antara pembelian yang dilaporkan
dalam SPT PPh badan dan faktur pajak masukan yang dilaporkan dalam SPT masa PPN.
Atas permasalahan tersebut DJP menanggapi bahwa tidak terdapat faktur pajak masukan yang
tidak seharusnya diperhitungkan.
BPK-RI menyarankan agar dilakukan equalisasi antara pembelian yang dilaporkan dalam SPT
PPh badan dan faktur pajak masukan yang dilaporkan dalam SPT masa PPN dan apabila terdapat
selisih agar dilakukan koreksi terhadap hasil pemeriksaan fiskus.
9. Pelaksanaan pengawasan dan penelitian atas PKP yang diduga sebagai penerbit dan
pengguna faktur pajak tidak sah (fiktif) belum dilaksanakan secara maksimal
Melihat kondisi sekarang ini dengan makin banyaknya peredaran faktur pajak yang diduga tidak
sah (fiktif) yang diterbitkan oleh PKP yang tidak sah dan banyak digunakan oleh PKP lain
sebagai upaya untuk mengurangi PPN yang disetorkan ke kas negara, maka sudah seharusnya
dalam rangka tertib administrasi perpajakan serta dalam rangka pengamanan penerimaan negara
dari sektor pajak pada umumnya dan dari sektor PPN pada khususnya, Ditjen Pajak harusmemberikan perhatian ekstra terhadap penanganan masalah tersebut. Namun berdasarkan data
serta dokumen yang diberikan, penanganan yang seharusnya dilakukan secara berkesinambungan
pada kenyataannya kurang maksimal dilaksanakan. Permasalahan yang terjadi antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Himbauan pembetulan kepada 22 PKP pengguna faktur pajak yang diduga fiktif yang tidak
direspon, namun terhadap PKP tersebut tidak segera dilakukan penyidikan, PKP penerbit
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 84/89
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 85/89
BPK KHP Gabungan PPN
81
Atas permasalahan tersebut DJP akan dilakukan penelitian dan tindak lanjut sesuai ketentuan
yang berlaku.
BPK-RI menyarankan agar DJP lebih intensif dan cepat tanggap dalam penanganan masalah
penerbitan dan penggunaan faktur pajak yang diduga fiktif, sehingga keuangan negara tidak akan
dirugikan.
10. Kelemahan dalam pengadministrasian buku register keberatan, buku restitusi, dan buku
jawaban klarifikasi serta administrasi dokumen perpajakan tidak tertib
Dalam rangka tertib administrasi dibidang perpajakan diperlukan adanya mekanisme pengawasan
atas pelaksanaan kegiatan yang telah dilakukan, sehingga pelaksanaan kegiatan tersebut dapat
berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun dalam praktiknya masih ditemukan
adanya kekurangan dalam pengadministrasian buku register yang ada di KPP dan Kanwil DJP.
Selain itu terdapat penatausahaan dan administrasi dokumen perpajakan tidak tertib sebagaiakibat adanya reorganisasi dari KPP Paripurna menjadi KPP Pratama. Kondisi masing-masing
diuraikan sebagai berikut:
a. Buku register keberatan dan keputusan keberatan tidak dapat memberikan suatu informasi
yang representatif guna menunjang pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan
pemrosesan permohonan keberatan yang diajukan WP yang telah diberikan suatu keputusan.
Terdapat pemisahan pengadministrasian antara informasi mengenai nomor dan tanggal
permohonan keberatan Wajib Pajak dengan nomor dan tanggal SKP yang diajukan keberatan,
serta tidak dicantumkannya nomor dan tanggal surat keputusan keberatan, sebagai kontrol
tidak terlewatinya jatuh tempo penyelesaian permohonan keberatan/peninjauan kembali.
Kondisi ini terjadi di KPP Jakarta Tanjung Priok dan Kanwil DJP Jakarta V.
b. Buku restitusi/pemberian bunga tidak dapat memberikan suatu informasi yang representatif
guna menunjang pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian
restitusi/pemberian imbalan bunga yang telah diberikan suatu keputusan. Format buku yang
diadministrasikan tidak menginformasikan tanggal dan nomor SKPLB, PLB, SKIB
diterbitkan, nomor dan tanggal permohonan, nomor dan tanggal data hutang pajak, sebagai
kontrol tidak terlewatinya jangka tempo penerbitan SPMKP dan kompensasi hutang pajak.
Kondisi ini terjadi di KPP Jakarta Tanjung Priok.
c. Buku jawaban klarifikasi faktur pajak belum dapat memberikan suatu informasi yang
representatif guna menunjang pelaksanaan pengawasan terhadap PKP yang menerbitkanfaktur pajak karena tidak dapat diketahui siapa yang harus diberi himbauan atau diterbitkan
ketetapan serta menyulitkan pengawasan pemberian jawaban. Hal tersebut terlihat dari tidak
adanya pencatatan transaksi dengan lawan transaksi dalam buku jawaban klarifikasi. Nomor
dan tanggal surat teguran kepada PKP Penjual tidak diadministrasikan dalam buku register
jawaban konfirmasi sehingga tidak dapat dipastikan semua jawaban konfirmasi dengan
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 86/89
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 87/89
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 88/89
BPK KHP Gabungan PPN
84
12. Hasil pemeriksaan petugas pajak yang merugikan wajib pajak sebesar Rp597,14 juta
Berdasarkan hasil pemeriksaan atas 2 berkas WP, diketahui terdapat penerbitan ketetapan yang
merugikan WP. Kondisinya adalah sebagai berikut:
a. PT Maju Mustika Garment dengan NPWP 01.280.850.7-424 adalah perusahan yang bergerak
di bidang usaha industri garment atau pakaian jadi. Untuk Tahun Pajak 2001 telah dilakukan
pemeriksaan all taxes oleh fungsional pemeriksa Kanwil DJP Jawa Barat Bagian II. Untuk
Masa Pajak Januari s.d. September serta masa Oktober 2001 juga telah dilakukan
pemeriksaan PPN oleh KPP Bandung Karees. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh KPP
Bandung Karees untuk Masa Pajak Januari s.d. September 2001 diterbitkan SKPKB PPN
dengan nilai sebesar Rp400.762.989,00 sedangkan untuk Masa Pajak Oktober 2001
diterbitkan SKPLB dengan nilai sebesar Rp1.435.947.068,00. Pada saat dilakukan
pemeriksaan oleh fungsional pemeriksa Kanwil, WP sedang dalam proses keberatan atas
SKPKB hasil pemeriksaan KPP Bandung Karees. Atas hasil pemeriksaan Kanwil telah
diterbitkan ketetapan berupa SKPKBT Masa Pajak Januari s.d. September 2001 sebesarRp1.304.601.388,00 dan SKPLB Masa Pajak November-Desember 2001 sebesar
Rp186.232.864,00. Atas permohonan keberatan WP terhadap SKPKB Masa Januari-
September 2001 telah ada keputusannya yaitu menerima sebagian keberatan WP dari semula
Rp400.762.989,00 menjadi sebesar Rp177.443.292,00.
Penerbitan SKPKBT ternyata tidak hanya mendasarkan pada data baru saja, tetapi juga
menambah koreksi positif berdasarkan pada data yang lama yang telah diperiksa oleh KPP
Bandung Karees, padahal pada saat dilakukan pemeriksaan oleh Kanwil tersebut, WP sedang
mengajukan keberatan. Dengan adanya pemeriksaan ganda tersebut WP dirugikan sebesar
Rp512.510.133,00 yang berasal dari nilai SKPKBT Rp1.304.601.388,00 dikurangi
perhitungan SKPKBT berdasarkan data baru saja sebesar Rp792.091.255,00.
b. PT Lamindo Ekaperdana, NPWP : 01.642.853.4-011.000 adalah perusahaan yang bergerak di
bidang usaha jasa pengangkutan crude oil dari sumber minyak ke stasiun pengumpul. Pada
Tahun Pajak 2002 WP diperiksa oleh KPP Jakarta Setiabudi Satu. Hasil pemeriksaan
menghasilkan SKPKB PPN sebesar Rp503.897.066,00. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK-
RI diketahui petugas pajak terlalu tinggi menetapkan sanksi administrasi Pasal 13 ayat (2)
UU KUP sebesar Rp84.630.382,00.
Keadaan tersebut tidak sesuai dengan:a. Seharusnya pemeriksaan yang dilakukan DJP tidak tumpang tindih dan berulang-ulang, yang
dapat berakibat merugikan WP.
b. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
Pasal 13 ayat (2) yang menyatakan bahwa sanksi administrasi bunga sebesar 2% sebulan
untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau
7/18/2019 Penerimaan Negara_LHP BPK
http://slidepdf.com/reader/full/penerimaan-negaralhp-bpk 89/89
Recommended