View
37
Download
6
Category
Preview:
DESCRIPTION
perkawinan beda agama
Citation preview
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
ANALISA KONTROVERSI SYARIAH DENGAN KOMPILASI HUKUM
ISLAM TENTANG MASALAH MENIKAHI WANITA NON MUSLIM Oleh IRSYADI, M.Ag
Panitera/sekretaris Pengadilan Agama Lubuk Basung Sumatera barat
Secara umum ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KHI
dalam bidang hukum perkawinan merupakan penegasan ulang dan
penjabaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU
Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975.
Maksud penjabaran dari KHI adalah bertujuan membawa
ketentuan-ketentuan UU no 1 tahun 1974 ke dalam ruang lingkup
yang bernafaskan Islam. Ketentuan pokok yang bersifat umum dalam
UU no. 1 tahun 1974 dijabarkan dan dirumuskan menjadi ketentuan
yang bersifat khusus bagi mereka yang beragama Islam. Dengan
demikian buku I KHI merupakan aturan dan hukum khusus yang
diberlakukan dan diterapkan secara khusus bagi masyarakat
Indonesia yang beragama Islam.
Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan ketentuan umum
perkawinan yang terdapat dalam buku I KHI.
1. Dasar-Dasar Perkawinan
Dalam pasal 2 dan 3 ditegaskan, perkawinan adalah suatu aqad yang
sangat kuat sebagai pelaksanaan perintah Allah, dengan tujuan
mewujudkan keluarga sakinah,, mawaddah dan rahmah.1 Penegasan
ini sejalan dengan al-Quran di antaranya surat an-nisa ayat 21
1 Depag. RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Dirbun Bapera Isam,
1995/1996), h. 196.
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
) :21( Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri.
Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat(QS. An-Nisa ; 21)
Surat Ar-Rum ayat 21
) :21( Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram dengannya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berfikir(QS. Al-Rum : 21)
Kemudian di antara hadis nabi yaitu
:
) (2 Dan dari Anas Bin Malik ra sesungguhnya nabi saw telah bersabda:
Sesungguhnya aku shalat, tidur, berpuasa dan berbuka dan menikahi
wanita, maka siapa yang benci terhadap sunnahku maka tidak
termasuk golonganku (Muttafaqaun alaik)
2M. Ismail, al-Kahlany, Subul al-Salam, (t.p., t.t.), Juz III, h. 110
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
Di samping itu pasal 2 KHI mempertegas landasan filosofis
perkawinan berdasar Pancasila yang diatur dalam pasal 1 UU No.
tahun 1974.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 1 UU No. 1 tahun
1974, landasan filosofis perkawinan nasional adalah Pancasila
dengan mengaitkan perkawinan berdasar Sila Pertama. Yakni
berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Landasaran filosofis itu
dipertegas dan diperluas dalam pasal 2 KHI yang intinya:
- Perkawinan semata-mata mentaati perintah Allah
- Melaksanakan perkawinan adalah ibadah
- Ikatan perkawinan persifat : miitsaaqan qholidzah3
Dalam penegasan landasan filosofis ini dirangkum secara
terpadu antara akidah, ubudiyah dan muamalah berkaitan
langsung di dalamnya antara segi huququllah dengan huququl ibad.
Selain dari itu di dalamnya terdapat penegasan dan
pemasyarakatan simbol Islam berupa pernyataan ikatan bersifat
miitsaaqan qhulidzan. Simbol landasan filosofis ini memberikan
kesadaran dan pengertian kepada masyarakat bahwa perkawinan
mentaati perintah Allah sekaligus merupakan ibadah4 serta harus
dipertahankan kelangsungan dan kelestariannya.
Pasal 5-10 berbicara tentang pencatatan perkawinan, proses
pelaksanaannya, isbat nikah, perceraian dan rujuk. Secara garis
besar pasal-pasal ini mengatur tentang pelaksanaan harus tercatat
dan menjadi alat bukti, mengenai hal tersebut dalam kajian fikih
persoalan ini belum mendapat perhatian. Karena itu ia menjadi
persoalan ijtihadi. Meskipun demikian pada kesimpulannya hal
3 Depag RI, op.cit., h. 96 4Menurut Ibrahim Husen, Penegasan Kompilasi bahwa pernikahan
adalah ibadah nampaknya masih perlu didiskusikan secara mendalam karena tidak setiap pelaksanaan perintah Allah dapat dipandang sebagai ibadah, lihat Tim Ditbinbapera, Berbagai Pandangan terhadap Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: yayasan al-Hikmah, 1994), h. 58
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
tersebut membawa kepada kemaslahatan karena ia sangat
diperlukan sesuai dengan kaidah:
5 Peminangan
Dalam UU no 1 tahun 1974 tidak diatur cara pertunangan.
Maka demi tertibnya cara-cara pertunangan berdasarkan moral dan
yuridis, KHI lebih menjabarkan pengaturannya. Karena hukum Islam
mensyariatkan pertunangan dengan tujuan agar kedua belah pihak
yang hendak membangun rumah tangga mengetahui dan mengenal
calon pasangannya sehingga tidak terjadi penyesalan di kemudian
hari. Di antara nash yang mengatur tentang pertunangan antara lain
dalam surat al-Baqarah ayat 235 dan hadis Nabi dari Muqhirah bin
Syubah pernah meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah
bertanya kepadanya sudahkah anda melihatnya ? Belum, jawab
Rasulullah lihatlah ia, kata rasul selanjutnya sebab hal itu dapat
mengekalkan keharmonisan kamu berdua (HR NasaI ibn majah dan
tarmizi)
2. Rukun dan Syarat Perkawinan (pasal 14-29)
Pengaturan rukun dan syarat perkawinan dalam KHI adalah
untuk mengatur secara Islami ketentuan syarat perkawinan yang
diatur pada bab II pasal 7 no 1 tahun 1974. Apa yang diatur dalam
pasal tersebut masih bersifat umum. Tidak diatur bagaimana
kekhususan rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam.
Jika semata-mata berdasar pasal 7 tersebut, masyarakat luas belum
tahu secara utuh apa-apa rukun dan syarat perkawinan. Untuk itu
dianggap sangat perlu mengaturnya secara limitatif dalam KHI. Maka
apa yang dimaksud pasal 7 UU no. 1 tahun 1974 diatur lebih luas
dalam bab IV KHI mulai pasal 14-29.
5Ali Ahmad al-Nadhwi, al-Qawaid al-Fiqhiyah, (Damsik : Dar al-Qalam,
1986), h. 107
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
Di samping itu menghapuskan masalah ikhtilaf dalam rukun
dan syarat perkawinan misalnya soal mengenai saksi. Selama ini
terdapat perbedaan pendapat apakah saksi merupakan rukun nikah
atau tidak. Untuk menghilangkan perbedaan tersebut maka pasal 14
KHI secara tegas menetapkan dua orang saksi sebagai rukun nikah.
Secara utuh pasal 14 KHI berbunyi ;
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada
1. Calon suami;
2. Calon istri;
3. Wali nikah;
4. Dua orang saksi;
5. Ijab dan kabul Memperhatikan jumlah rukun nikah yang dikemukakan dalam pasal
14 di atas nampak dengan jelas bahwa jumlah ini bersumber dari
rumusan hukum mazhab Syafii namun demikian bukan berarti
persoalan ini tidak diatur dalam al quran atau hadis nabi. Hanya
saja pengaturannya bersifat interpretable. 6
Mengenai batas usia perkawinan telah diatur dalam pasal 7
ayat (1) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974, yaitu : perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun. Ketentuan batas umur ini seperti disebutkan dalam
kompilasi hukum Islam pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada
pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga
perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan Undang-
Undang Perkawinan, bahwa calon suami istri telah masak jiwa
raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik
6Tim Dirbinbapera, op.cit., h. 59
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik
dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon
suami istri yang masih di bawah umur.
Di samping itu perkawinan mempunyai hubungan dengan
masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang rendah
bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran lebih
tinggi. Berhubung dengan itu, maka Undang-Undang ini menentukan
batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita.
Masalah penentuan umur dalam Undang-Undang Perkawinan
maupun dalam Kompilasi, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai
usaha pembaharuan pemikiran fiqh yang lalu. Namun demikian,
apabila dilacak referensi syari-nya mempunyai landasan yang kuat.
Misalnya isyarat Allah dalam surat an-Nisa 4:9
) :6( Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.(QS. An-Nisa : 9)
Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung
menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan usia
muda - di bawah ketentuan yang diatur UU no. 1 tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam akan menghasilkan keturunan yang
dikhawatirkan kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan
pengamatan berbagai pihak, rendahnya usia kawin, lebih banyak
menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan
perkawinan, yaitu terwujudnya ketentraman dalam rumah tangga
berdasarkan kasih dan sayang. Tujuan ini tentu akan sulit terwujud,
apabila masing-masing mempelai belum masak jiwa dan raganya,
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat
berpengaruh di dalam menghadapi liku-liku dan badai rumah
tangga.
Secara metodologis, langkah penentuan kawin didasarkan
kepada metode maslahat mursalah 7 Namun demikian karena
sifatnya ijtihady, yang kebenarannya relatif, ketentuan tersebut tidak
bersifat kaku. Artinya apabila karena sesuatu dan lain hal
perkawinan dari mereka yang usianya di bawah 21 tahun atau
sekurang-kurangnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk
wanita Undang-Undang tetap memberikan jalan keluar. Pasal 7 ayat
(2) menegaskan :
Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada pengadilan agama atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.
Jadi yang perlu dicatat dalam materi rukum dan syarat adalah :
1. Patokan syarat usia mempelai (pasal 15 KHI)
- Tidak lagi didasarkan pada ukuran syarat yang
mengambang yakni aqil baligh
- Tapi sudah didifinitif secara positif pada patokan umur yakni
patokan umur wanita 16 dan pria 19 tahun
2. Tidak diperbolehkan kawin paksa (pasal 16 dan pasal
17)
- Penekanan terutama diberi kepada calon mempelai wanita
untuk melakukan penolakan
3. Dengan demikian birrul walidain tidak boleh dipakai
sebagai dasar perisai bagi orang tua untuk memaksakan
perkawinan putrinya.
4. Tidak diperkenankan untuk mempermudah kewenangan wali
hakim harus lebih dahulu ada putusan Pengadilan Agama.
7Rahmat Djanika, Sosialisasi Hukum Islam, Kontroversi Pemikiran Islam
di Indonesia, (Bandung : Rosda Karya, 1991), h. 251
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
5. Mahar
Mahar adalah kewajiban calon suami yang harus diberikan
kepada calon istrinya, sebagai suatu penghormatan dan pemuliaan
Islam kepada kaum wanita. Dalam al-Quran hanya disebutkan dasar
persyariatannya semata, tanpa terperinci atau menjelaskan kadar
jumlah maupun cara pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat dalam
Q.S an-Nisa ayat 4. Dalam hadis Nabi memang diutarakan pula
persoalan mahar itu. Namun secara keseluruhan, hadis pun tidak
memberikan secara tegas batas tertentu yang bersifat mengikat,
bahkan dalam sebuah hadis dinyatakan dalam keadaan terpaksa,
dapat saja mahar berupa cincin kawat (sesuatu yang sangat rendah
nilainya). Dan para fuqahaklah yang kemudian memberikan
batasan-batasannnya, yang tentu saja dipengaruhi oleh kondisi
sosial setempat. Oleh karena itu pasal-pasal yang mengatur tentang
mahar dalam KHI dapat dibenarkan oleh hukum Islam.
Dalam persoalan mahar sebagaimana tertera dalam pasal 35
ayat (2), nampaknya merupakan rumuasn yang diambil dari
pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Daud, dan salah satu pendapat
Imam Syafii yang sah.
Jadi pengaturan mahar dalam KHI adalah bertujuan :
- Untuk menertibkan masalah mahar
- Menetapkan kepastian hukum bahwa mahar bukan rukun
nikah
- Menetapkan etis mahar atas asas kesederhanaan dan
kemudahan bukan didasari atas asas prinsip ekonomi, status
dan gengsi
- Menseragamkan konsepsi yuridis dan etik mahar agar terbina
ketertiban dan persepsi yang sama di kalangan masyarakat dan
aparat penegak hukum.
6. Poligami
Pada prinsipnya Kompilasi Hukum Islam mengizinkan
seseorang beristeri sampai 4 orang, sejalan dengan surat An-Nisa
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
ayat 3 menurut penafsiran jumhur ulama. Hanya saja dalam
pelaksanaannya Kompilasi menetapkan persyaratan cukup berat.
Yaitu antara lain, adanya keharusan mendapat izin dari Pengadilan
Agama, isteri mengandung aib berat dan persetujuan isteri (pasal 56
58). Dengan demikian terlihat KHI berusaha mempersulit
pelaksanaannya. KHI hendak memberlakukan asas monogami.
Apa yang diatur oleh KHI ini merupakan terobosan baru, sebab
baik dalam al-Quran, hadis Nabi maupun dalam kitab-kitab fikih
persyaratan seperti itu tidak dijumpai. Meskipun demikian,
mengingat tujuan utama perkawinan adalah membangun keluarga
sejahtera lahir batin atau mitsaqan ghalidzan (pasal 2), sedangkan
kenyataan menunjukkan bahwa poligami pada umumnya dapat
menghambat tujuan tersebut di samping status hukumnya itu
hanyalah boleh (mubah). Kebolehan itupun kalau ditelusuri
sejarahnya digantungkan pada situasi dan kondisi masa permulaan
Islam.8 Dengan demikian poligami :
Harus didasarkan pada alasan yang enumeratif. Tanpa terpenuhi
salah satu alasan tidak boleh poligami :
1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban
2. Isteri cacat atau sakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Isteri mandul
- Harus memenuhi syarat :
1. Mesti ada persetujuan isteri,
2. Mampu berlaku adil,
3. Kepastian atas kemampuan menjamin kehidupan
4. Harus ada izin PA
Dalam hal ini dilibatkan campur tangan Pengadilan Agama.
Poligami bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi
urusan kekuasaan negara yakni mesti ada izin Pengadilan Agama.
Tanpa ada izin pengadilan agama perkawinan dianggap poligami
8Tim Ditbinbapera, op.cit, h. 180
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan tetap dianggap
never existed meskipun perkawinan tersebut dilakukan dihadapan
PPN
7. Pencegahan Perkawinan
Aturan pencegahan dalam KHI pada dasarnya mengambil alih
seluruh ketentuan yang diatur dalam Bab III UU No. 1 tahun 1974.
Hanya ada satu tambahan berupa pencegahan atas alasan
perbedaan agama atau ikhtilaf al-dien (pasal 61)
Selama ini pencegahan perkawinan atas perbedaan agama
ditolak oleh PA atas alasan UU No. 1 tahun 1974 tidak menyebutkan
hal itu sebagai alasan pencegahan.
Untuk tercapainya kepastian hukum dan ketertiban umum,
pencegahan mesti atas campur tangan penguasa (PA) dan selama
belum ada keputusan PA, perkawinan tidak boleh dilangsungkan.
8. Batalnya perkawinan (pasal 70 76)
Bab XI KHI mengatur tentang pembatalan perkawinan. Materi
rumusan hampir sama dengan yang dirumuskan dalam Bab IV UU.
No. 1 tahun 1974 cuma saja KHI lebih terperinci dalam membedakan
alasan pembatalan, yaitu :
1. Pembatalan atas pelanggaran larang batal demi
hukum (pasal 70)
2. Pembatalan atas pelanggaran syarat dapat dibatalkan (pasal
71)
Pelanggaran yang dapat dibatalkan menurut (pasal 71) ini hanya
menyangkut pihak yang dirugikan haknya atau melanggar peraturan
yang berlaku.
Sama halnya dengan pencegahan, pembatalan perkawinan
diarahkan kepada kepastian hukum dan ketertiban umum dengan
jalan campur tangan penguasa yakni PA. Dengan demikian batalnya
suatu perkawinan, baru sah dan mengikat harus berdasar putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
9. Hak dan kewajiban suami isteri (pasal 77 84)
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
Pengaturan tentang hak dan kewajiban suami isteri dalam
Kompilasi Hukum Islam bertujuan :
1. Terwujudnya tujuan cita-cita sakinah, mawaddah dan rahmah
menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama (pasal 77 ayat
1)
2. Penghapusan diskriminasi katagoris atas pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak dengan asas tanggung jawab bersama
(pasal 77 ayat 3)
3. Menghapus diskriminasi normatif dalam pelaksanaan hak dan
kewajiban berdasarkan asas persamaan hak :
- Suami atau isteri mempunyai hak yang sama untuk
mengajukan gugat ke PA atas tindakan kelalaian
(negligence) penolakan (refuse) atau ketidakmampuan
(failure) melaksanakan kewajiban (pasal 77 ayat 5)
- Sama-sama berhak secara musyawarah menentukan
tempat kediaman
- Sama-sama berhak melaksanakan perbuatan hukum
(pasal 79 ayat 3)
4. Menseimbangkan harkat derajat suami isteri secara
fungsional berdasarkan asas kodrati alamiah dan
biologis dalam acuan :
- Suami sebagai kepala keluarga (chief of the family)
- Isteri sebagai ibu rumah tangga (pasal 79 ayat 1)
5. Mempunyai hak dan derajat yang sama dalam
kehidupan masyarakat dalam acuan :
- Sama-sama bebas aktif dalam kehidupan masyarakat
- Sama-sama berhak mengembangkan profesi dan karir
Dalam uraian di atas nampaknya KHI melenturkan makna al-
rijal qawwamuna ala al-nisa ke arah aktualisasi. KHI tidak lagi
memahami parameter ini dalam arti sempit, kaku dan mutlak. Tetapi
dipahami dalam suatu wawasan keseimbangan yang proporsional
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
tanpa mengabaikan sifat kodrati alamiah berdasarkan biologis dan
psikologis.
10.Putusnya Perkawinan (pasal 113 148)
Aturan perceraian yang dirumuskan dalam Bab XIV, Bab
XVII, Bab XVIII dan Bab XIX, merupakan perluasan atas aturan yang
ditetapkan dalam Bab VII PP No. 9 tahun 1975. Hal-hal yang
dibicarakan dalam KHI antara lain.
1. Campur tangan pengadilan dalam perceraian :
- Perceraian hanya dapat dilakukan di sidang Pengadilan
Agama
- Bentuk perceraian terdiri dari cerai talak dan cerai gugat
Dalam hal ini hak untuk mengajukan perceraian tidak lagi monopoli
suami tetapi hak kedua belah pihak untuk mengajukan ke
Pengadilan.
1. tambahan alasan perceraian :
- Gugat cerai baru memenuhi syarat formil dan materil apabila
didasarkan atas alasan yang sah
- Alasan cerai yang sah telah ditetapkan secara enumeratif
dalam pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 jo penjelasan pasal 39 UU
No. 1 tahun 1974
Alasan tersebut kemudian oleh KHI ditambah :
1. Karena suami melanggar taklik talak (pasal 116 huruf g)
2. Peralihan agama atau murtad (pasal 116 huruf h)
B. Dasar-dasar Pemikiran Pelarangan Menikahi wanita non Muslim
Di antara tujuan pernikahan dalam konteks kehidupan sosial
adalah agar pernikahan tersebut dapat memperbaiki moral,
membersihkan masyarakat dari perbuatan-perbuatan keji seperti
terpelihara dari perbuatan zina dan tetap komitmen kepada ajaran
Islam. Namun tujuan itu sulit tercapai bila tidak menikahi wanita-
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
wanita shalihah yang berpegang teguh kepada agama dan
memelihara kehormatan. Kebolehan menikahi wanita ahli kitab
mengandung banyak resiko dan memberikan dampak negatif. Untuk
itu agar tidak terjadi kondisi yang tidak diinginkan maka pernikahan
dengan wanita non muslim tersebut harus ditutup (dilarang). Hikmah
yang dipetik dari pelarangan tersebut antara lain.
Pertama : pengaruh terhadap kondisi keluarga Menikahi wanita ahli kitab akan mendatangkan situasi tidak
menguntungkan pada ke-Islaman seseorang, karena mereka memiliki
aroma kemusyrikan9 ditambah bila suami tidak mempunyai
kepribadian yang kuat dan tidak mempunyai pengaruh dalam
keluarga ternyata dalam keluarga isteri tetap kukuh terhadap
agamanya maka tidak tertutup kemungkinan ia akan membawa
anak-anak ke gereja.10
Di samping itu larangan perkawinan dengan non muslim
dilatarbelakangi oleh harapan terciptanya keluarga sakinah.
Perkawinan baru akan harmonis bila terdapat kesamaan pandangan
hidup antara suami isteri, karena jangankan perbedaan agama
perbedaan status sosial seperti budaya dan tingkat pendidikan
antara suami isteri justru mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Ditambahkan lagi bahwa kalau seorang wanita muslim dilarang
kawin dengan laki-laki non muslim karena kekhawatiran ia atau
anak-anaknya akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan
dengan ajaran Islam.11
9 Abdul Mutaal M al-Jabary, Perkawinan Antar Agama Tinjauan Islam,
Penerjemah M. Azhari hatim, Judul asliJaremet al-Zawaj bi ghairi al-Muslimat, (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), h. 76
10Humaidi bin Abdul Aziz al-Humaidy, Kawin Campur dalam Syariat Islam, penerjemah Kathur Suhardi, judul asli Ahkam Nikah al-Kuffur ala Mazahib al-Arbaah (Jakarta : Pustaka al-Kausar, 1992) h. 28, lihat juga M.Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1998), h. 14
11M. Qurasy Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 2001), h. 197-199
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
Kedua : pengaruh terhadap masyarakat
Wanita-wanita ahli kitab yang terdapat dalam masyarakat
Islam akan menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat
Islam, lebih fatal lagi bila keberadaan mereka dalam masyarakat
Islam telah terprogram untuk fungsi sebagai duta untuk
menyusupkan pemikiran ke dalam umat Islam disertai dengan
pengaruh-pengaruh politis yang sudah dikemas sedemikian rupa
yang tidak mungkin ketahui umat Islam untuk menghancurkan
umat Islam itu sendiri dari dalam12
Kebolehan menikahi wanita non muslim adalah berdasarkan
kaedah syariah yang normal, di mana suami memiliki tanggung
jawab kepemimpinan terhadap isteri serta memiliki kewenangan
untuk mengarahkan keluarga dan anak-anak dengan akhlak Islam.
Laki-laki muslim dibolehkan mengawini non muslimah yang ahli
kitab, supaya perkawinan itu untuk membawa misi kasih sayang dan
harmonis. Sehingga terkikis dari hati isterinya rasa tidak senang
terhadap Islam sehingga dengan perlakuan suaminya yang baik, yang
pada akhirnya suami dapat mengenalkan keindahan dan keutamaan
agama Islam secara amaliyah praktis sehingga ia merasakan
perlakuan yang baik dan mendapatkan ketenangan, kebebasan
beragama bilamana kondisi tersebut di atas tidak terwujud maka
ulama sepakat melarang perkawinan tersebut.
Umar bin Khatab pernah melarang Thalhah dengan Yahudi
dan Hadzaifah bin al-Yaman dengan wanita Nasrani,13 yang
mengatakan :
12Humaidy bin Abdul Aziz, op.cit., h. 28-29 13Syamsuddin M.bin M. al-Khatib al-Syarbiny, Mugni al-Muhtaj, (Beirut:
Dar al-Kitabi, t.t), h. 308
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
Artinya : Bahwasanya halal menceraikannya juga halal
menikahinya akan tetapi jauhilah mereka dari
kamu.
di lain riwayat Umar pernah berkata :
Laki-laki muslim (boleh) mengawini perempuan Nasrani dan
(sebaliknya) laki-laki Nasrani tidak (boleh) mengawini
perempuan Muslim
Adapun sikap Umar yang tidak menyukai Thalhah dan
Hazaifah yang mengawini perempuan Yahudi dan Nasrani ialah
karena khawatir diikuti oleh orang-orang muslim lainnya sehingga
mereka akan menjauhi perempuan-perempuan muslim atau
kemungkinan ada maksud tertentu sehingga Umar menyuruh
menceraikannya.14 Muhammad Ali al-Sabuny memandang pendapat
Umar itu demi kemaslahatan umat khususnya umat Islam.15
Kesan yang dapat ditarik dari pernyataan Umar tersebut
adalah bahwa bilamana pembolehan menikahi wanita non muslim
(ahli kitab) secara bebas akan menumbuhkan efek di kemudian hari,
baik terhadap keluarga maupun umat Islam secara umum. Karena
bila tidak dilarang tentu akan banyak wanita-wanita muslim tidak
mendapatkan suami dan sesuai dengan kecendrungan laki-laki
untuk mencari wanita yang cantik baik dari kalangan muslimah
maupun bukan muslimah, sehingga lambat laun akan mengurangi
nilai-nilai keberagaman umat Islam. Jadi langkah Umar merupakan
langkah preventif untuk masa mendatang.
14Abi Jafar M.Jarir al-Thalaby, Jami al-Bayan, (Beirut: Dar al-Fikr, 1398
H/ 1987 M), Juz. III. H. 222 15M. Ali al-Sabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Quran, (Beirut: Dar al-
Quran al-Karim, 1999), Juz. I, h. 204-205
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
Menurut Sayyid Qutub perkawinan dengan wanita non muslim
hanya akan menimbulkan keburukan dalam rumah tangga muslim.
Kenyataan tak bisa dipungkiri bahwa beristeri Yahudi, Kristen atau
atheis akan membentuk keluarga dan anak-anak dengan ideologinya
yang pada akhirnya mencetak generasi yang jauh dari Islam16. Abdul
Mutaal Muhammad al-Jabry menambahkan bahwa perkawinan
merupakan ikatan lahir batin yang dalam, kokoh dan kekal antara
suami isteri, suatu ikatan yang mencakup timbal balik yang luas
antara keduanya, maka tidak boleh tidak, harus terdapat kesatuan
hati yang dipertemukan dalam suatu ikatan yang tidak bisa diurai.
Untuk itu harus ada kesamaan persepsi antara suami isteri. Dalam
hal ini persepsi yang dituntut adalah persepsi agama, karena
kepercayaan agama merupakan pondasi yang mengisi jiwa,
mempengaruhinya, melukiskan perasaan serta menentukan jalan
kehidupan mendatang.17
Menikahi wanita ahli kitab yang aktif memerangi Islam
mayoritas ulama sepakat melarangnya, akan tetapi yang perlu
dicermati adalah bila ahli kitab itu aktif dan nyata-nyata kelihatan
memerangi Islam tentu kaum muslimin bisa menghindarinya, tetapi
bila wanita non muslim yang aktif itu secara diam-diam dan sangat
sulit untuk dilacak, tidak bisa membedakan yang baik baik dari
kalangan mereka .Agaknya hal ini pula salah satu yang
melatarbelakangi sebagian ulama melarang pernikahan dengan
wanita non muslim.
16Sayyid Qutub, Tafsir fi Zhilal al-Quran, penerjemah Aunur Rafiq Shaleh
Tamhid, judul asli Fi Zhilal al-Quran, (Jakarta: Rabbani Press, 2000), h. 14 17Abdul Mutaal Muhammad Muhammad al-Jabry, Perkawinan Campuran
Menurut Pandaangan Islam, penerjemah Drs. Ahmad Syatari, judul asli Jarimah al-Zawaj bi ghairi al-Muslimat Fiqh wa siyasah ,(Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 14
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
Ibnu Hamman dari mazhab Hanafi menukilkan ijmak ulama
tentang alasan pelarangan menikahi wanita yang aktif memerangi
umat Islam;
1. Terbuka kesempatan bagi wanita ahli kitab tersebut untuk
menyebarkan fitnah.
2. Anak-anak yang dilahirkan akan terbias dan bahkan mengikuti
moral orang kafir.
3. Bila wanita ahli kitab yang aktif itu tertawan, maka statusnya
menjadi budak.
Sedangkan kondisi yang menyusup seperti intelijen musuh
tentunya sangat sulit untuk diketahui. Menurut hemat penulis agar
lebih berhati-hati lebih baik pelarangannya bersifat umum baik
terhadap yang memerangi secara aktif ataupun secara non aktif.
C. Analisa Kontroversi Syariah dengan Kompilasi Hukum Islam tentang Masalah Menikahi Wanita Non Muslim
Ada dua term yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia
berkaitan dengan masalah perkawinan, yaitu dengan kata kawin
dan nikah. Kawin diartikan membentuk keluarga dengan lawan
jenis; bersuami atau beristeri, melakukan hubungan kelamin18
Sedangkan al-Quran menggunakan term yang berkaitan
dengan masalah ini yaitu al-nikah dan al-zawj. Term al-nikah berarti
aqad atau perjanjian; secara majazi diartikan sebagai hubungan
seks.19 Sedangkan al-zawj berarti pasangan.20 Dengan demikian,
antara al-nikah dengan al-zawj mempunyai kaitan erat, karena
18Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,(Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Indonesia, 1991), h. 456
19Ibid. 20Muhammad Ghalib M, Al-Kitab Makna dan Cakupannya, (Jakarta:
Paramadina, 1998), h. 165
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
pernikahan bertujuan menjadikan seseorang memiliki pasangan dari
lawan jenis secara sah.
Kata al-nikah dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak
23 kali dalam al-Quran.21 Sedang kata al-zawj dalam berbagai
bentuk kata jadinya ditemukan sebanyak 81 kali dalam al-Quran,22
pengertian secara umum menunjuk kepada pasangan, termasuk di
dalamnya pasangan suami isteri.
Analisis uraian ini secara khusus membahas tentang
perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab dikaitkan
dengan perbedaan pandangan dengan Kompilasi Hukum Islam.
Pendapat mayoritas ulama mulai dari Sahabat Tabiin, ulama-
ulama masa awal dan kontemporer mengatakan bahwa kawin dengan
wanita ahli kitab hukumnya boleh berdasarkan firman Allah surat al-
Maidah ayat 5.23
Mempertegas pendapat di atas, al-Thabathabi menyatakan,
larangan mengawini laki-laki dan perempuan musyrik dalam surat.
al-Baqarah ayat 221 ditujukan kepada laki-laki dan perempuan dan
kalangan penyembah berhala, dan tidak termasuk ahli kitab,24
karena kawin dengan ahli kitab tidak dilarang.
Bila dibandingkan antara surat al-Maidah ayat 5 dengan surat
al-Baqarah ayat 221, maka tampaklah adanya perbedaan antara
status musyrik dengan ahli kitab. Masing-masing mempunyai
ketentuan sendiri, yakni haram menikahi musyrik dan boleh
21M. Fuad Abd al-Baqi, Al-Mujam al-Mufahras li Alfazh al-Quran al-
Karim, (Beirut: Dar al-fikr, 1407/1987), h. 718 22Ibid. h. 332-334. 23Syekh al-Imam al-Zahid al-Mufiq, Al-Muhazzib fi Fiqh al-Imam al-Syafii,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 61. Lihat juga Syekh al-Islam Abi Yahya Zakariya al-Anshari, Fathu al-Wahab, (Mekah: al-Huramaini, t.th), Jil. II, h. 45, lihat juga Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim alAnsyari al-Najd al-Hanbali, Majmu Fatawa, Syaikh al-Islam ibn Taimiyah (Beirut: dar al-Arabiyah li al-Thibaah wa al-Nasyr al-Tawzi, 1398), jil. XII, h. 178
24M. Husain al-Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, (Beirut: Muassasah al-Alam li al-Mathbuah, 1403.H/1983), Juz.II, h. 203
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
menikahi ahli kitab. Ini disebabkan karena perbedaan antara ahli
kitab dengan musyrik ketika dua kata penghubung waw (5) seperti
yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 105, yakni :
) :105(
Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak
menginginkan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari
Tuhamnu (QS.al-Baqarah : 105).
Jadi ayat di atas jelas menunjukkan adanya perbedaan antara
ahli kitab dengan musyrik, karena dibatasi oleh kata penghubung
waw. Karenanya wajar menurut mayoritas ulama antara ahli kitab
dengan musyrik berbeda.
Praktek Rasulullah SAW mengawini Maria al-Qibtiyah, seorang
perempuan Nasrani (Kristen). Praktek Rasulullah SAW ini kemudian
diikuti oleh beberapa orang sahabat. Diantaranya Usman bin Affan
menikahi Nailah binti al-Fara fisah al-Kalbiyah yang bergama
Nasrani. Sedangkan Huzaifah menikahi seorang perempuan Yahudi
yang berasal dari Negeri Madyan.25
Sekalipun mayoritas ulama pada dasarnya sepakat
membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab, namun
dalam kebolehan tersebut juga terjadi perbedaan pendapat :
1. Menurut sebagian mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali
memandang bahwa hukum perkawinan tersebut makruh.
2. Menurut pandangan sebagian mazhab Maliki, Ibn Qasim dan
Khalil, menyatakan bahwa perkawinan tersebut diperbolehkan
secara mutlak.
25Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1996), h. 47 - 48
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
3. Az-Zarkasyi (mazhab Syafii) berpendapat bahwa perkawinan
tersebut disunatkan apabila wanita ahli kitab itu diharapkan
dapat masuk Islam, seperti perkawinan Usman bin Affan
dengan Nailah.26
Menurut hemat penulis terjadinya perbedaan pandangan
dalam kebolehan menikahi wanita ahli kitab tersebut adalah sebagai
ihtiathi (kehati-hatian) dalam melaksanakan syariat Islam.
Adapun golongan yang tidak membolehkan laki-laki non muslis
kawin dengan ahli kitab di antaranya golongan Syiah Imamiyah,
Sayyid Qutub mereka berargumentasi dengan firman Allah Q.S. al-
Baqarah ayat 221
) :221( menurut golongan ini ahli kitab termasuk ke dalam golongan
musyrik berdasarkan riwayat Ibnu Umar ketika beliau ditanya
tentang hukum mengawini wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Beliau
menjawab dengan ayat di atas dan menambahkan, saya tidak
mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dan pada anggapan
seorang wanita (Nasrani), bahwa Tuhannya Isa pada hal Isa hanya
seorang manusia dan hamba Allah.27
Kemudian mereka beralasan dengan Q.S. al-Munthahanah ayat 10
Janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir.
26M.Ali Hasan, op.cit, h. 13 27Ibnu Katsir al-Qusy ad-Damsyiqi, Tafsir al-Quran al-Azim, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1992), Jil. II, h. 28
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
Karena ahli kitab termasuk kepada golongan kafir maka Allah
melarang kaum muslim berpegang kepada tali perkawinan wanita-
wanita kafir.28
Al-Thabarsi memahami makna Q.S. al-Maidah ayat 5
menunjukkan kepada perempuan ahli kitab yang telah memeluk
Islam. Atas dasar pemahaman demikian ia berpendapat bahwa
melakukan akad nikah dengan ahli kitab hukumnya terlarang secara
mutlak.29 Pendapat tsb didasarkan kepada firman Allah Q.S. al-
Baqarah ayat 221. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat
sahabat Abdullah bin Umar yang secara tegas melarang perkawinan
seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab dengan alasan mereka
adalah orang musyrik. Ia mengatakan Saya tidak mengetahui
kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang wanita yang
berkata Tuhannya adalah Isa. Di samping itu berargumentasi dengan
perintah Tuhan dalam Q.S. al-Mumthahanah ayat 1 yang melarang
menjadikan orang-orang kafir sebagai wali.30
Menurut hemat penulis pendapat Ibn Umar ini didorong oleh
kehati-hatian yang sangat akan kemungkinan timbulnya fitnah bagi
suami atau anak-anaknya, jika kawin dengan wanita ahli kitab,
sebab kehidupan suami isteri akan membawa konsentrasi lagis
berupa timbulnya cinta kasih di antara mereka, dan hal tersebut
dapat membawa suami condong kepada agama isterinya. Di samping
itu, kebanyakan anak lebih cenderung kepada ibunya.
Senada dengan pendapat Syiah di atas Kompilasi Hukum
Islam pasal 40 huruf c menyatakan, dilarang melangsungkan
28Syaikh Humaidy bin Abdul Aziz al-Humaidy, Ahkam Nikah al-Kufah ala
al-Mazahib al-Arbaah, terjemahan, Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1992), h. 25
29 Abu al-Fadl Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Bayan fi Tafsir al-Quran al-Azhim wa al-Sab al-Matsani, (Beirut : Dar Ihya al Turats Arabi, t.th), Juz. VI, h. 65 - 66
30Muhammad ali al-Shabuni, Rawai al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Quran, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th), h. 537
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu; c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Sejalan dengan KHI, fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 1
Juni 1980 menyatakan
1. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non
muslim adalah haram hukumnya
2. Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini
wanita bukan muslim
Tentang perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita
ahli kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan
bahwa mafsadahnya lebih besar dari pada maslahatnya. Majelis
Ulama Indonesia menfatwakan bahwa perkawinan tersebut haram
hukumnya.31
Dari uraian di atas penulis lebih cenderung kepada pendapat
jumhur yang membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli
kitab. Karena sekalipun ahli kitab pada masa Rasulullah sudah
berada dalam keadaan musyrik namun al-Quran dalam hal ini tetap
membolehkan untuk menikahi ahli kitab, sedang ahli kitab yang
penulis maksud adalah ahli kitab yang muhsanat, yaitu perempuan
yang memelihara kehormatannya. Dengan pengertian seperti itu
dapat dipahami bahwa perempuan ahli kitab yang ditunjuk al-Quran
adalah perempuan yang berperangai baik.
Melihat kepada analisis kebahasaan, banyak ayat-ayat al-
Quran yang membedakan antara ahlul kitab dengan musyrik yang
dibatasi oleh huruf athaf waw. Selain surat al-Baqarah ayat 105
yang dikemukakan jumhur di atas, di antaranya :
) :82(
31Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI Masjid Istiqlal, 1995), h. 91
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhan nyata
terhadap orang-orang yang beriman iadalah orang-orang Yahudi
dan orang-orang musyrik
Surat al-Baiyinah ayat 1
) :1( Orang-orang kafir, yakni ahlul kitab dan orang-orang musyrik,
(mengatakan bahwa mereka tidak akan meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata
Surat al-Baiyinah ayat 6
) :6( Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni ahlul kitab dan orang-
orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam, mereka kekal
di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk .
dari ayat-ayat di atas tampak bahwa secara kebahasaan al-
Quran membedakan antara ahlul kitab dengan musyrik. Kalau
memang sama antara ahlul kitab dengan musyrik maka tidak
mungkin al-Quran membedakannya dalam penyebutannya.
Sedangkan dalam hal ini al-Quran tidak mungkin salah dan keliru
dalam susunan redaksinya. Pendapat seperti ini juga dikemukakan
oleh Ibnu Qudamah yang menyatakan bahwa lafadz syirik tidak
mencakup ahlul kitab. 32 dengan adanya perbedaan antara ahlul
kitab dengan musyrik maka konsekuensi ayat 221 dari surat al-
32Ibnu Qudamah, Al-Mughny, (Maktabatu al-Riyadh: al-Haditsah, t.th.),
Jil. VI, h. 590
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
Baqarah tidak tepat dipakaikan untuk menyatakan bahwa laki-laki
muslim dilarang menikahi ahlul kitab.
Adanya kebolehan menikahi ahlul kitab bagi laki-laki muslim
dengan dalil tersendiri (surat al-Maidah ayat 5) sebenarnya
mempunyai hikmah dan rahasia tersendiri. Hikmah tersebut antara
lain adalah untuk menunjukkan bahwa pada dasarnya antara orang
muslim dengan ahlul kitab mempunyai persamaan dalam hal prinsip-
prinsip pokok (al-mabadi al-asasiyah) keimanan, seperti masalah ke-
Tuhanan, kepercayaan tentang adanya hari kemudian, perhitungan
pahala dan dosa dan lain-lain. Titik persamaan tersebut merupakan
jembatan dalam rangka mewujudkan kelanggengan dan kebahagiaan
kehidupan berumah tangga. Sehingga dengan adanya kebolehan laki-
laki muslim menikahi perempuan ahlul kitab, diharapkan perempuan
ahlul kitab tersebut akan memeluk agama Islam setelah bergaul dan
mengetahui kelebihan-kelebihan Islam. Hikmah besar ini tentu kecil
sekali kemungkinannya terwujud bila antara suami isteri berbeda
jauh keimanan.
Di samping itu hikmah lain yang dapat dilihat adalah, boleh
jadi seorang laki-laki muslim menetap di suatu daerah yang di situ
tidak ada seorangpun wanita muslimah kecuali wanita ahlul kitab,
sehingga dikhawatirkan akhlaknya lama-kelamaan akan menjadi
rusak bila ia harus membujang. Maka dalam keadaan seperti ini
kebolehan menikahi ahlul kitab sesuai dengan ketentuan ayat 4
surat al-Maidah tentu mempunyai hikmah tersendiri ketika itu
dengan tetap melihat segi kemaslahatan.
Memperhatikan hukum kebolehan menikahi ahlul kitab secara
mubah bagi laki-laki muslim, hendaklah dipertimbangkan secara
mendalam dan cermat terutama pada zaman sekarang. Tidak
selayaknya mereka memahami sesuatu yang mubah ini dengan
mencakup semua ahlul kitab secara mutlak. Sebab yang dimaksud
dengan wanita ahlul kitab di sini adalah mereka yang menjaga
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
kehormatannya dan tidak sembarang wanita yang ditegaskan al-
Quran dalam surat al-Maidah ayat 5 tersebut :
) :5( Wanita-wanita yang menjaga kehormatannya di antara orang-
orang diberi kitab sebelum kamu (QS. al-Maidah : 5)
Dalam melaksanakan sesuatu yang mubah ini, seorang laki-
laki muslim harus meneliti mental dan akhlak wanita ahlul kitab
tersebut. Kita lihat sendiri di samping kemurnian agama mereka
sudah tidak terjamin lagi, akhlak mereka pun sudah banyak yang
terbawa kepada corak kehidupan bebas dan permisivisme. Sehingga
sangat janggal bila dihubungkan dengan nilai-nilai Islami yang
dikehendaki Islam dalam membina rumah tangga.
Menurut penulis, hukum mubah harus dihubungkan dengan
alasan mengapa pernikahan tersebut dibolehkan. Salah satu
hikmahnya sebagaimana yang telah penulis ungkapkan di atas
adalah dalam rangka berdakwah kepada mereka dengan harapan
mereka bisa memeluk agama suaminya (Islam). Tetapi apabila
sebaliknya yang terjadi di mana justru laki-laki muslim yang terbawa
kepada agama si isteri maka hukum mubah dalam hal ini dapat
berubah menjadi haram. Maka dalam hal ini menurut pendapat
penulis kita dapat mempergunakan metode . Menurut hemat penulis bahwa tujuan digunakannya metode
ini adalah untuk menghindari kemudharatan yang mungkin timbul
sebagai akibat dilakukannya perkawinan antara laki-laki muslim
dengan wanita ahlul kitab. Dengan demikian lebih berorientasi
kepada akibat perubahan yang dilakukan seseorang.
Berbicara tentang kemudharatan yang harus diperhatikan
ketika akan menetapkan hukum berdasarkan metode , maka perlu dipahami bahwa zariah yang akan membawa kepada
kemafsadatan itu harus ditetapkan berdasarkan penelitian yang
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
seksama. Dalam kaitan ini penulis akan mencoba mengemukakan
berbagai bukti akibat dilangsungkannya perkawinan antara laki-laki
muslim dengan wanita ahlul kitab. Setidak-tidaknya ada dua akibat
negatif dari dilangsungkannya perkawinan tersebut : pertama,
beralihnya agama suami kepada agama yang dianut oleh isteri, dan
kedua, pada umumnya agama yang dianut oleh anak-anak dari
perkawinan tersebut mengikut kepada agama ibunya.
Hal ini menurut hemat penulis adalah kemudharatan yang
asasi, karena suami tidak dapat menjaga agamanya dan agama anak-
anaknya. Pada hal menjaga agama termasuk kepada unsur maslahat
yang menempati peringkat dharuriyat. Dengan kata lain
kemaslahatan menghendaki agar perkawinan antara laki-laki muslim
dengan wanita ahlul kitab yang diperbolehkan al-Quran, dilarang.
Di samping, sebagaimana diketahui bahwa tujuan perkawinan
adalah untuk memperoleh ketentraman dan ketenangan jiwa
sebagaimana dimaksud surat ar-Rum ayat 21. Tetapi berkenaan
dengan hal demikian, apakah tujuan demikian dapat dicapai
sedangkan antara suami dan isteri berbeda akidah.
Dalam hal ini kita membuat pengandaian, apabila si suami
memiliki kepribadian yang kuat dan tegar serta berpengaruh kepada
isterinya, maka ada kemungkinan keluarga ini masih mampu
memelihara warna Islam. Tetapi tidak sedikit yang terjadi sebaliknya,
justru isteri yang lebih berpengaruh dari pada suami. Yang lebih
parah lagi apabila isteri tetap kokoh dengan keyakinannya maka
keyakinan tersebut akan ditanamkannya pada anak-anaknya
sebagaimana tersebut di atas. Hal ini mungkin saja terjadi karena
memang ibulah yang mempunyai waktu luas dalam bergaul dengan
anak-anaknya bila dibandingkan dengan sang ayah.
Kemudian apabila kita kaitkan dengan pendidikan sang anak
yang dididik oleh ibu bapak yang berbeda akidah, sudah jelas akan
memberikan kerancuan dan keraguan bagi sang anak.
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
Karena itu menurut hemat penulis jalan yang lebih aman
adalah menghindar dari persoalan-persoalan yang banyak
mengandung teka-teki dan memilih jalan yang sudah jelas
arahannya, yaitu kawin dengan sesama muslim. Dengan demikian
resiko yang dihadapi lebih kecil dalam membina rumah tangga.
Prinsip inilah yang dikandung oleh metode seperti yang telah disinggung di atas.
Disadari atau tidak, ternyata bahwa kemaslahatan pada suatu
saat harus didahulukan dari pada nash. Al-Quran dan Hadis secara
eksplisit telah membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahlul
kitab, namun kemaslahatan menghendaki lain. Dengan
menggunakan metode sadd al-dzariah kebolehan menikahi wanita
ahlul kitab berubah menjadi haram. Haram di sini bukan haram
lidzatihi tetapi haram lisaddi al-dzariah. Metode ini sebenarnya
merupakan pengejewantahan dari kaidah yang terkenal :
menghindari mafsadat lebih didahulukan daripada menarik
Kemaslahatan
dari sisi maqashid al-syariah metode ini dimaksudkan untuk
merealisasikan kemaslahatan yang dijadikan tujuan utama
disyariatkannya hukum Islam. Salah satu aspek yang esensial
(dharuriyah) dalam kasus ini adalah memelihara agama (hifzu al-din).
Inilah mungkin yang dimaksud oleh Rasulullah SAW
pilihlah yang beragama (dalam hal ini sudah tentu yang
seiman) agar selamat (HR. Bukhari Muslim)
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, pendapat ini
tampaknya selaras dengan pandangan yang dianut oleh Kompilasi
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
www.legalitas.org
www.
legali
tas.or
g
Hukum Islam seperti yang terdapat dalam pasal 40 ayat (c) yang
menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang yang tidak beragama Islam dan pasal 44
yang menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.
Menurut hemat penulis ketentuan yang terdapat dalam KHI
tersebut telah tepat dan keputusan yang bijaksana dalam
memelihara kemuliaan agama Islam.
Di samping itu penulis juga berpendapat bila mafsadat yang
dimaksud tersebut hilang maka dalam hal ini hakim pengadilan
agama boleh saja berpendapat sesuai dengan pendapat mayoritas
ulama karena KHI tidak termasuk dalam hirarkhis perudang-
undangan maka KHI termasuk hukum tidak tertulis artinya sama
dengan kitab-kitab fikih lainnya. Dengan demikian dalam hal-hal
tertentu seperti diduga oleh hakim, maksudnya tidak akan muncul
hakim boleh berpindah pendapat.
Walaupun KHI membuka peluang untuk merujuk kitab-kitab
fikih lama, tetapi untuk menyamakan persepsi jangan sampai dalam
dua perkara yang sama putusannya berbeda, sebaiknya KHI
disamakan eksistensinya seperti undang-undang. Jadi tidak mengapa
KHI dalam bentuk Instruksi Presiden namun KHI tetap dijadikan
rujukan primer oleh penegak keadilan.
Recommended