View
231
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT
BARISAN SELATAN (STUDI KASUS ENCLAVE KUBU PERAHU)
(Skripsi)
Oleh
BAGUS SUGIARTO
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRAK
PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN TAMAN NASIONAL BUKIT
BARISAN SELATAN (STUDI KASUS DAERAH ENCLAVE KUBU
PERAHU)
Oleh
Bagus Sugiarto
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu kawasan
pelestarian alam yang mengalami tekanan dan ancaman. Kawasan hutan Taman
Nasional tersebut terdapat enclave Kubu Perahu TNBBS. Penelitian ini dilakukan
untuk memberikan kontribusi informasi mengenai perubahan tutupan lahan di
daerah enclave dan dilaksanakan pada bulan Februari−Mei 2018. Metode
pengumpulan data berupa data primer berupa wawancara dan observasi lapang
lalu data sekunder dengan mengunduh citra Landsat dari
http://earthexplorer.usgs.gov. Dari hasil penelitian diketahui adanya perubahan
tutupan lahan di daerah enclave Kubu Perahu TNBBS, Tipe tutupan pertanian
mengalami penurunan 8.13% pada tahun 1991-2000. Kondisi sebaliknya terjadi
peningkatan seluas 3.62% di periode tahun 2000-2017 disebabkan berupa
kegiatan pertanian, jumlah penduduk, tanggungan keluarga dan akses masyarakat
yang mudah masuk ke dalam kawasan hutan. Kurun waktu tahun 1991-2000
luasan tipe tutupan lahn hutan bertambah yakni sebesar 338 ha. Keadaan ini
Bagus Sugiarto
karena adanya peraturan perundangan yang mengharuskan masyarakat keluar dari
Kawasan hutan, selain itu juga diakibatkan oleh kekhawatiran masyarakat
terhadap bencana gempa bumi di sekitar daerah enclave Kubu Perahu.
Kata kunci: Aspek Sosial, Enclave, TNBBS, Tutupan Lahan
ABSTRACT
LAND COVER CHANGE IN BUKIT BARISAN SELATAN NATIONAL
PARK (STUDY CASE OF ENCLAVE AREA IN KUBU PERAHU)
By
Bagus Sugiarto
Bukit Barisan Selatan National Park (TNBBS) is one of the natural conservation
areas that experience threats. National Park forest area which is in the enclave of
the Kubu Perahu National Park. This research was conducted to provide
information relating to the area in the enclave and carried out in February - May
2018. Methods of data collection in the form of primary data in the form of
interviews and field secondary data by trying Landsat imagery from
http://earthexplorer.usgs.gov. From the results of the research and mining of the
area in the enclave area of Kubu Perahu TNBBS, the type of agricultural cover
decreased 8.13% in 1991-2000. Conditions that occurred at 3.62% in the period
2000-2017 agricultural activities, population, family coverage and access to the
community in the Forest Zone. During 1991-2000 the area of forest cover
increased by 338 ha. This situation is due to regulations that prohibit people from
leaving the Forest Zone, in addition to those who were affected by the disaster in
the Kubu Perahu district.
Keywords: BBSNP, Classification, Enclave, Land Cover, Social Aspects,
PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL BUKIT
BARISAN SELATAN (STUDI KASUS ENCLAVE KUBU PERAHU)
Oleh
BAGUS SUGIARTO
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA KEHUTANAN
Pada
Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotabumi, 28 Desember 1995 sebagai
putra ke tiga dari empat bersaudara, buah hati dari pasangan
Effendi (alm) dan Herawati (almh). Penulis menyelesaikan
pendidikan taman kanak-kanak di TK Darmawanita Bumi
Pratama Mandira pada tahun 2002. Kemudian pendidikan
dasar SD N 2 Yukum Jaya hingga tahun 2008.
Melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP N 3 Way Pengubuan hingga
tahun 2011. kemudian pendidikan menengah atas di SMA N 1 Terbanggi Besar
hingga tahun 2014. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa jurusan S1 Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung tahun 2014 melalui jalur test Seleksi
Bersama Masuk Perguruan Tinggi Nasional (SBMPTN).
Selama menjadi mahasiswa penulis tercatat sebagai anggota utama himpunan
mahasiswa kehutanan (Himasylva). Penulis aktif dengan pernah menjadi ketua
pelaksana rangkaian kegiatan masa bimbingan Mentoring ke XIX Himasylva.
Penulis pernah menjadi anggota staff Kementerian Koordinator Eksternal BEM U
KBM Unila periode 2016.
Melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Sridadi, Kecamatan Kalirejo,
Kabupaten Lampung Tengah pada bulan Januari-Februari 2017. Pada bulan Juli-
September 2017 melakukan kegiatan Paraktik Umum (PU) di Bagian Kesatuan
Pemangkuan Hutan (BKPH) Margasari, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH)
Balapulang Divisi Regional Jawa Tengah. Penulis pernah menjadi asisten dosen
mata kuliah inventarisasi hutan, perencanaan kehutanan, pengelolaan jasa
lingkungan, dan manajamen hutan.
Mengikuti beberapa kegiatan lapangan diantaranya sebagai As Enumerator pada
penelitian biodiversitas di hutan pendidikan Tahura Wan Abdul Rachman pada
Lembaga Penelitian dan Pengembangan Biodiversitas Biotropika Universitas
Lampung. Berpartisipasi menjadi staff lapang penyusunan rencana induk
pengembangan dan pemberdayan masyarakat (PPM) dan Pemetaan Sosial di
Sekitar PT. Natarang Mining di Provinsi Lampung. Membantu pengambilan data
penilaian jasa lingkungan di Desa penyangga sekitar Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan (TNBBS). Kegiatan lapangan lainnya yang dilakukan di luar
kegiatan perkuliahan.
Untuk Ayah dan Ibu kemudian Paman dan Bibi serta Ketiga
Saudara-Saudaraku Tersayang
SANWACANA
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya,
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan Penutupan Lahan
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (Studi Kasus Enclave Kubu Perahu)”.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan di Universitas Lampung. Tidak lupa shalawat beserta salam selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya hingga ke akhir
zaman.
Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah ikut membantu baik kelancaran dalam kegiatan maupun
dalam menyusun skripsi. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada beberapa
pihak sebagai berikut.
1. Bapak Prof.Dr.Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung.
2. Bapak Rudi Hilmanto, S.Hut., M.Si., selaku pembimbing pertama yang telah
membimbing dengan sabar, penuh pengertian dan memberikan pengarahan
kepada penulis selama penulisan skripsi ini.
iii
3. Ibu Dr.Ir. Christine Wulandari, M.P., selaku pembimbing kedua yang telah
memberikan ide, motivasi, tenaga, waktu, gagasan, saran serta sumbangan
pemikiran dalam penulisan skripsi ini
4. Bapak Dr. Arief Darmawan, S.Hut., M.Sc., selaku penguji utama yang telah
memberikan masukan, komentar dan bimbingan yang membangun di dalam
penulisan skripsi ini.
5. Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang telah memberikan
izin, arahan, dan bantuan selama proses sebelum hingga selesai penelitian.
6. Masyarakat daerah enclave Kubu Perahu yang telah bersedia menjadi
narasumber untuk penulis mengumpulkan data di lapangan.
7. Ibu Dr. Melya Riniarti, S.P., M.Si., selaku Ketua Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
8. Ibu Rommy Qurniaty, S.P.,M.Si., selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing dan memberikan arahan dalam selama proses perkuliahan.
9. Bapak dan Ibu dosen Pertanian Universitas Lampung, khususnya jurusan S1
Kehutanan, yang telah memberikan ilmu dan membagikan pengalamannya
selama menempuh pendidikan di Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
10. Seluruh dosen dan staf Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Lampung.
11. Teristimewa kepada orang tuaku, Ayahanda Effendi (Alm), Ibunda Herawati
(Almh), Binda Rosnani, Manda Timbang Hariyanto. terimakasih atas segala
kasih sayang, pengorbanan yang tiada lelah dan selalu mendoakan penulis,
memberikan sarana dan prasarana untuk menunjang perkuliahan, serta selalu
iv
memberi semangat, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
12. Teristimewa kakak ku, Erik Prayoga Adhinata dan saudara kembarku Bagus
Sugiarta serta adikku Darmawansyah kasih sayang, semangat dan
kebersamaan selama ini sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
13. Teruntuk keluarga besar Himpunan Mahasiswa Jurusan Kehutanan
(Himasylva). Terima kasih atas segala azas, pembelajaran dan pengetahuan
sampai saat ini sehingga skripsi ini mampu diselesaikan.
14. Teruntuk keluarga besar Kehutanan 2014 “ Lugosyl”. Terima kasih atas
segala kebersamaan sampai saat ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, namun
ada harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, Semoga kita
semua mendapat Rahmat dan kasih dari Allah SWT.
Wassalamu‘alaikum wr.wb.
Bandar Lampung, Oktober 2018
Bagus Sugiarto
v
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... viii
I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ............................................................................ 4
1.3. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 7
2.1 Taman Nasional Bukit Barisan Selatan .......................................... 7
2.2 Penutupan Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahannya ............. 9
2.3 Etnoekologi .................................................................................... 16
2.4 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) ............................................. 20
2.5 Citra Landsat .................................................................................. 22
2.6 Sistem Informasi Geografi ............................................................. 24
2.7 Metode Basis Data .......................................................................... 27
III. METODE PENELITIAN ................................................................ 31
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 31
3.2 Alat dan Bahan ............................................................................... 32
3.3 Jenis Data ....................................................................................... 32
3.4 Cara Pengumpulan Data ................................................................. 33
3.5 Metode Analisis Data ..................................................................... 34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 38
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................. 38
4.2 Penutupan Lahan di Daerah Enclave Kubu Perahu
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan ........................................ 40
4.2.1 Penutupan lahan Kubu Perahu tahun 1991 .......................... 43
4.2.2 Penutupan lahan Kubu Perahu tahun 2000 .......................... 46
4.2.3 Penutupan lahan Kubu Perahu tahun 2017 .......................... 48
4.3 Perubahan Penutupan Lahan Kurun Waktu 1991-2000 ................ 50
4.3.1 Hutan .................................................................................... 51
4.3.2 Pertanian ............................................................................... 52
4.3.3 Bukan pertanian ................................................................... 52
vi
Halaman
4.3.4 Lahan terbangun ................................................................... 53
4.3.5 No data ................................................................................. 54
4.1 Perubahan Penutupan Lahan Kurun Waktu 2000-2017 ................ 55
4.4.1 Hutan .................................................................................... 56
4.4.2 Pertanian ............................................................................... 56
4.4.3 Bukan pertanian ................................................................... 57
4.4.4 Lahan terbangun ................................................................... 58
4.4.5 No data ................................................................................. 58
4.2 Sejarah Pembangunan Jalan Liwa Krui ........................................ 59
4.3 Aspek Sosial Perubahan Tutupan Lahan....................................... 64
V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 67
5.1 Simpulan ...................................................................................... 67
5.2 Saran ............................................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 69
LAMPIRAN ............................................................................................. 75
Gambar 10-14............................................................................................ 75-77
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Penampakan citra masing-masing tipe dan gambar penampakan
citra yang diambil di Kawasan Kubu Perahu ..................................... 42
2 Uji akurasi klasifikasi citra (overral classification accuracy) ........... 43
3 Tutupan lahan tahun 1991 .................................................................. 43
4 Tutupan lahan tahun 2000 .................................................................. 46
5 Tutupan lahan tahun 2017 .................................................................. 48
6 Perubahan luasan tutupan lahan Kubu Perahu untuk perbandingan
selang waktu 1991 sampai 2000 ......................................................... 54
7 Perubahan luasan tutupan lahan Kubu Perahu untuk perbandingan
selang waktu 2000 sampai 2017 ......................................................... 55
8 Jalan raya di tengah Kawasan TNBBS ............................................... 60
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bagan alir kerangka penelitian ......................................................... 6
2. Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan ................................................................................. 31
3. Peta tutupan lahan hasil analisis di Kubu Perahu
tahun 1991 ........................................................................................ 45
4. Grafik persentase tutupan lahan Tahun 1991 ................................... 46
5. Peta tutupan lahan hasil analisis di Kubu Perahu
tahun 2000 ........................................................................................ 47
6. Grafik persentase tutupan lahan tahun 2000 .................................... 48
7. Peta tutupan lahan hasil analisis di Kubu Perahu
tahun 2017 ........................................................................................ 49
8. Grafik persentase tutupan lahan tahun 2017 .................................... 50
9. Peta jalan melintasi Kubu Perahu di tengah Kawasan TNBBS ....... 61
10. Foto pengambilan salah satu titik pada observasi lapang ................ 75
11. Kegiatan wawancara dengan tokoh masyarakat .............................. 75
12. Kegiatan wawancara dengan masyarakat individu kunci ................ 76
13. Gambar jalan yang melintasi wilayah enclave Kubu Perahu ........... 76
14. Diagram batang perubahan tutupan lahan Kubu Perahu .................. 77
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengolahan lahan untuk tujuan permukiman dan pertanian terus terjadi yang
berdampak pada perubahan landscape (Maullana dan Darmawan, 2014).
Penetapan Kawasan Suaka dan Pelestarian Alam (KSPA) merupakan salah satu
upaya untuk menanggapi masalah tersebut, yang bertujuan menjaga dan
melindungi keanekaragaman hayati yang terdapat di Indonesia (PP No 108, 2015).
Tujuan lainnya adalah sebagai strategi oleh negara dalam mengelola kawasannya,
untuk menjaga spesies endemik atau khas daerah dan beberapa spesies kunci yang
terdapat di dalam kawasan hutan dari kepunahan.
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu kawasan
pelestarian alam yang mengalami tekanan dan ancaman. Kubu Perahu merupakan
daerah enclave di TNBBS. Enclave merupakan pemilikan hak berupa
permukiman dan atau lahan garapan oleh perorangan atau badan hukum di dalam
Kawasan hutan berdasarkan bukti dan ketentuan peraturan perundang-undangan
(Permenhut No P.41, 2012). Permukiman dan lahan garapan yang ada untuk
dikelola harus diimbangi oleh pengetahuan masyarakat terhadap kawasan hutan
TNBBS agar tetap lestari.
2
Peningkatan kapasitas dan pengetahuan terhadap Kawasan hutan masyarakat di
enclave Kubu Perahu mengalami perkembangan. Pemahaman tentang itu
berkembang sesuai dengan kedekatan dan atau perilaku masyarakat dalam
memanfaatkan Kawasan hutan (Utina, 2015). Nilai-nilai tradisi, sikap dan
perilaku berwawasan ekologis masyarakat dalam masyarakat dapat dikaji dan
diketahui melalui kegiatan dan aktivitas yang dilakukan masyarakat dalam
kegiatan penggunaan lahan.
Penggunaan lahan di daerah enclave Kubu Perahu menimbulkan perubahan
tutupan lahan. Perubahan tersebut mengurangi fungsi dan manfaat hutan serta
mengganggu kelangsungan hidup flora dan fauna di dalamnya. Kejadian
perubahan tutupan lahan dalam kurun waktu tertentu terjadi secara cepat di
wilayah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Permasalahan yang
hampir sama terjadi di setiap taman nasional, seperti perburuan satwa liar, illegal
logging, perambahan, pencurian kayu dan tumbuhan langka, dan tata batas
Kawasan (Maullana dan Darmawan, 2014).
Menurut Sinaga dan Darmawan (2014), penyebab terjadinya perubahan tutupan
lahan di TNBBS dikarenakan adanya kegiatan perambahan yang dilakukan oleh
manusia (konversi lahan) yang membuat hilangnya hutan lahan kering primer
sebesar 8.737,9 ha sebesar 61,5 persen di salah satu Resort TNBBS. Sebelumnya
World Wildlife Fund (WWF) (2007), meluncurkan laporan studi berjudul Gone in
an Instant yang memperkirakan bahwa 28% (89.224 hektar) dari luas tutupan
hutan taman nasional tersebut telah hancur akibat pembukaan lahan, terlebih
untuk perkebunan kopi. Berdasarkan hasil penelitian lain konversi hutan menjadi
3
pertanian lahan kering berupa perkebunan kopi yaitu seluas 7.325,40 ha kemudian
pada tahun1991-2000 seluas 5.891,17 ha dan pada tahun 2000-2013 (Puminda,
2015).
Kegiatan bermukim, penggunaan lahan dan wisata di enclave Kubu Perahu terus
mengalami perkembangan mengubah tutupan lahan. Sistem Informasi Geografis
(SIG) dan penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan yang digunakan untuk
kegiatan pemantauan perubahan lahan tersebut. Faktor pemicu perubahan tutupan
lahan tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan
kawasan hutan. Ilmu etnoekologi sebagai ilmu yang mengkaji interaksi
masyarakat dengan lingkungan di sekitarnya untuk mendapat informasi yang
tepat.
Menyusun dan membuat suatu rencana pengelolaan memerlukan informasi yang
tepat. Informasi perubahan tutupan lahan yang terjadi di enclave Kubu Perahu
serta faktor pemicu perubahannya serat pemanfaatan jasa lingkungan oleh
masyarakat merupakan informasi yang diperlukan untuk menyusun sebuah
rencana pengelolaan. Perencanaan yang tepat harus dilakukan agar masalah yang
sedang terjadi di TNBBS mendapatkan solusi dan pemecahan yang tepat.
Penelitian ini dilakukan sebagai usaha untuk memberikan kontribusi informasi
mengenai perubahan tutupan lahan di daerah enclave Kubu Perahu Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan pada tahun 1991 hingga 2017 dan faktor pemicu
perubahannya.
4
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui dan mendeskripsikan perubahan tutupan lahan di Enclave Kubu
Perahu TNBBS selama kurun waktu 26 tahun.
2. Mengetahui dan menganalisis aspek sosial yang menjadi pemicu adanya
perubahan tutupan lahan di enclave Kubu Perahu TNBBS selama tahun 1991
sampai 2017.
1.3 Kerangka Pemikiran
Perubahan tutupan lahan di daerah enclave Kubu Perahu TNBBS menjadi salah
satu permasalahan mengingat peran penutupan lahan di TNBBS sangat
berpengaruh terhadap pengambilan keputusan pengelolaan TNBBS. Oleh karena
itu dibutuhkan suatu pemantauan perubahan penutupan lahan dengan sistem
informasi geografis (SIG) dan penginderaan jauh untuk mengetahui besar
perubahan penutupan lahan dan faktor pemicu perubahan tersebut dianalisis
dengan ilmu etnoekologi dengan melihat fenomena aspek sosial yang
mempengaruhi perubahan tutupan lahan di daerah enclave Kubu Perahu TNBBS.
Pelaksanaan pemantauan perubahan penutupan lahan membutuhkan data spasial
seperti citra landsat dan data atribut sebagai bahan mentah untuk analisis
perubahan penutupan lahan, citra landsat yang telah dikumpulkan kemudian
diolah dengan menggunakan software GIS, hasil analisis citra kemudian disajikan
dalam bentuk layout peta tutupan lahan dan tabulasi luasan perubahan tutupan
lahan di enclave Kubu Perahu TNBBS. Hal yang perlu diketahui selanjutnya
5
adalah kejadian-kejadian apa saja yang terjadi dan berdampak terhadap perubahan
luas penutupan lahan di daerah enclave Kubu Perahu TNBBS.
Kejadian-kejadian tersebut dapat diketahui melalui pendekatan etnoekologi.
Menurut Hilmanto (2010), dalam ilmu etnoekologi terdapat chronological
approach yang merupakan suatu pendekatan yang memfokuskan perkembangan
dinamis dari suatu kajian suatu interaksi manusia dengan alam, berdasarkan
proses kronologis dengan memahami kurun waktunya guna mengetahui aspek
sosial yang menjadi pemicu perubahan tutupan lahan. Kegiatan perambahan
seperti perburuan satwa liar, illegal logging, perambahan, pencurian
kayu/tumbuhan langka dan tata batas kawasan serta sejarah pengelolaan.
Data didapatkan dengan melakukan wawancara dan cara pengambilan sampel
adalah snowball sampling yang mengarahkan pada individu kunci sehingga
memberikan gambaran pengalaman, pengetahuan, opini dan perasaan narasumber.
wawancara dilakukan dengan cara interview standar tak terskedul, kemudian
mengamati secara langsung perilaku individu dan interaksi mereka dalam setting
penelitian, dan menelaah bukti unik yang tidak didapat saat interview dan
observasi di lapangan. Data kemudian dianalisis secara deskriptif menggunakan
pendekatan ilmu etnoekologi. Ilmu ini merupakan pendekatan mengenai interaksi
sosial masyarakat terhadap perubahan bentang alam yang terjadi diantaranya
terdapat pemukiman, lahan garapan dan aspek sosial yang dianggap menjadi
pemicu adanya perubahan lahan. Berikut bagan alir kerangka pikir penelitian
dijelaskan pada Gambar 1.
6
Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran.
Overlay
Peta Perubahan Tutupan Lahan
Analisis Data
Perubahan Tutupan Lahan
Klasifikasi
Peta
Tutupan
Lahan
2000
Citra 2000
Aspek Sosial
Enclave Kubu Perahu
Peta
Tutupan
Lahan 1991
Citra 1991
Peta
Tutupan
Lahan 2017
Citra 2017
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan
rekreasi alam (UU No 5, 1990). Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
membentang dari ujung selatan Provinsi Lampung mengikuti punggung
pegunungan Bukit Barisan sampai Provinsi Bengkulu di sebelah utara.
Perwakilan dari rangkaian Pegunungan Bukit Barisan TNBBS terdiri dari tipe
vegetasi hutan mangrove, hutan pantai, hutan tropika dan pegunungan di
Sumatera (Munawaroh dan Yuzammi, 2016). Secara geografis TNBBS terletak
antara 4°33’−5°57’ LS, 103°23’−104°43’ BT terdapat di Kabupaten Tanggamus,
Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Bengkulu Selatan (BBTNBBS, 2010).
Tipe ekosistem penyusun Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dibedakan
menjadi hutan pantai, hutan hujan dataran rendah, hutan hujan bukit, hutan hujan
pegunungan bawah, hutan hujan pegunungan tinggi dan cagar alam laut. Secara
umum telah teridentifikasi paling sedikit 514 jenis pohon, tumbuhan bawah
sekitar 98 jenis dari famili antara lain Dipterocarpaceae, Lauraceae, Myrtaceae,
Fagaceae, Annonaceae, Rosaceae, Zingiberaceae dan lain-lain serta 126 jenis
8
anggrek, 26 jenis rotan, 24 jenis liana dan 15 jenis bambu yang hidup di kawasan
TNBBS (BBTNBBS, 2010). Fauna khas Pulau Sumatera semua hampir berada di
kawasan ini kecuali orangutan sumatera. Teridentifikasi 122 jenis mamalia
termasuk 7 jenis primata, 450 jenis burung termasuk 9 jenis burung rangkong, 123
jenis herpetofauna (reptil dan amphibi), 221 jenis serangga, 7 jenis moluska, 2
jenis krustasea serta 53 jenis ikan hidup di kawasan TNBBS (BBTNBBS, 2010).
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan memiliki luasan 356.800 ha dan
mempunyai cagar alam laut sebesar 21.600 ha (Indraswati dkk., 2015). Kondisi
geografis dengan bentuk Kawasan yang memanjang membuat TNBBS memiliki
tipe vegetasi paling lengkap mulai dari hutan pantai, hutan hujan pegunungan
dataran rendah, hutan hujan dataran tinggi dan pegunungan (Arini dan Prasetyo,
2013). Dengan berbagai tipe tersebut, TNBBS merupakan laboratorium alam
yang mempunyai keanekaragaman hayati sangat tinggi. Kawasan ini juga
merupakan habitat berbagai spesies terancam punah dan langka yang masih tersisa
di Indonesia serta merupakan kawasan penting sistem penyangga kehidupan di
pulau Sumatera bagian selatan (WWF, 2007).
Daerah enclave Kubu Perahu terletak di bagian tengah sebelah timur TNBBS, 5
Km sebelah barat Kota Liwa, Lampung Barat. Kawasan ini termasuk dalam
Pekon Kubu Perahu, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat.
Kawasan ini bertipe ekosistem hutan hujan pegunungan tengah yang relatif masih
asli, merupakan habitat penting bagi berbagai jenis anggrek alam dan berbagai
jenis tumbuhan lainnya. Daerah ini terdapat jenis Amorphophallus, dengan 6
umbi yaitu Amorphophallus titanum, A. muelleri dan A. gigas, yang bisa
9
ditemukan pada ketinggian antara 500–650 m dpl, suhu 27–28 ⁰C dan kelembaban
suhu 80–88% (Munawaroh dan Yuzammi, 2016). Enclave Kubu Perahu memiliki
jenis tutupan lahan berupa hutan primer, hutan sekunder dan semak belukar. Jenis
burung yang mendominasi tipe hutan primer dan hutan sekunder adalah jenis
burung dari famili Pycnonotidae, pada tipe semak belukar didominasi oleh famili
Nectariniidae dan Silvidae (Arini dan Prasetyo, 2013).
Terjadi deforestasi cukup besar di TNBBS pada kurun waktu 2 dekade tahun
terakhir. Balai Besar Taman Nasional mencatat, dari analisis citra Landsat sampai
2008, luas deforestasi mencapai 57.000 ha, dan pada 2009 menjadi 61.000 ha.
Penggundulan itu sebagian besar disebabkan oleh perambahan. Perambahan
dilakukan sedikitnya 16.214 kepala keluarga di TNBBS (Indraswati dkk., 2015).
Hal tersebut menjadikan ancaman besar terhadap kawasan TNBBS. Deforestasi
tertinggi terjadi pada tahun 1972-1985, setiap tahunnya seluas 28 km2 hutan di
babat habis. Dekade berikutnya yaitu pada tahun 1986-1996 deforestasi terjadi
hanya 15 km/th. Deforestasi meningkat kembali (21 km2/th) pada dekade terakhir.
Pelaku yang secara fisik membabat hutan di TNBBS adalah petani yang tinggal di
dalam dan di sekitar hutan (Suyadi, 2011).
2.2 Penutupan Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahannya
Penutupan lahan merupakan materi dasar dari suatu lingkungan, yang mengacu
pada tipe vegetasi di lahan tertentu, sedangkan penggunaan lahan menekankan
aktivitas manusia terhadap lahan tersebut (Dewi dkk., 2011). Penutupan lahan
menurut Khalil (2009), menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang
10
menutup permukaan lahan. Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara
langsung dari citra penginderaan jauh. Terdapat tiga kelas data secara umum
yang tercakup dalam penutupan lahan yaitu.
1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia.
2. Fenomena biotik seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan
binatang.
3. Tipe pembangunan.
Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan
tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan
menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Sedangkan informasi tentang
kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara
langsung dari penutupan lahannya (Lillesand dan Kiefer, 2008).
Ardiansyah (2015) menyatakan bahwa faktor penting yang menentukan
kesuksesan pemetaan penggunaan lahan dan penutupan lahan terletak pada
pemilihan skema klasifikasi yang tepat dirancang untuk suatu tujuan tertentu.
Skema klasifikasi yang baik harus sederhana di dalam menjelaskan setiap
kategori penggunaan dan penutupan lahan. Khalil (2009) menganggap bahwa
pendekatan fungsional atau pendekatan berorientasi kegiatan akan lebih sesuai
digunakan untuk citra satelit ruang angkasa, sebagai skema klasifikasi tujuan
umum. Lillesand dan Kiefer (2008) menyampaikan bahwa pendekatan ini
merupakan sistem klasifikasi lahan yang umum digunakan di Amerika Serikat
yang diperkenalkan oleh United States Geological Survey (USGS) adalah sebagai
berikut.
11
1. Sistem klasifikasi di atas disusun berdasarkan kriteria
2. Tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan
penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85%.
3. Ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama.
4 . Hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke
yang lain dan dari satu saat penginderaan ke saat yang lain.
5. Sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas.
6. Kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari penutupan
lahannya.
7. Sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jauh yang
diperoleh pada waktu yang berbeda.
8. Kategori harus dapat dirinci ke dalam sub kategori yang lebih rinci yang
dapat diperoleh dari citra skala besar atau survey lapangan.
9. Pengelompokan kategori harus dapat dilakukan.
10. Harus memungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan
lahan dan penutupan lahan pada masa yang akan datang dan
11. Lahan multiguna harus dapat dikenali bila mungkin.
Berdasarkan Badan Planologi Kehutanan, Harjadi (2009) klasifikasi penutupan
lahan dibagi sebagai berikut.
1. Hutan
a. Hutan lahan kering primer
Seluruh kawasan hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan yang
belum menampakan bekas penebangan, termasuk hutan ultra basa, hutan daun
jarum, hutan luruh daun dan hutan lumut.
12
b. Hutan lahan kering sekunder
Seluruh kawasan hutan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan yang telah
menampakan bekas penebangan.
c. Hutan tanaman
Seluruh kawasan hutan tanaman yang sudah ditanami, termasuk hutan tanaman
untuk reboisasi.
d. Hutan rawa primer
Seluruh kawasan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa
gambut yang belum menampakan bekas penebangan.
e. Hutan rawa sekunder
Seluruh kawasan hutan di daerah berawa, termasuk rawa payau dan rawa
gambut yang telah menampakan bekas penebangan.
f. Perkebunan
Seluruh kawasan perkebunan, yang sudah ditanami. Perkebunan rakyat yang
biasanya berukuran kecil akan sulit diidentifikasi dari citra maupun peta
persebaran sehingga memerlukan informasi lain, termasuk data lapangan.
2. Pemukiman
Kawasan pemukiman, baik perkotaan, pedesaan, industri dan lain−lain yang
memperlihatkan pola alur rapat.
3. Sawah
Semua aktivitas pertanian lahan basah yang dicirikan oleh pola pematang.
Kelas ini juga memasukkan sawah musiman, sawah tadah hujan, sawah irigasi.
4. Lahan kering
a. Pertanian lahan kering
13
Semua aktivitas pertanian di lahan kering seperti tegalan, kebun campuran
dan ladang.
b. Pertanian lahan kering campur semak
Semua jenis pertanian kering yang berselang-seling dengan semak, belukar
dan hutan bekas tebangan.
5. Rawa
Kawasan yang digolongkan sebagai lahan rawa yang sudah tidak berhutan.
6. Tubuh air
Semua daerah perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu
karang, padang lamun dan lain−lain.
7. Belukar
a. Semak/belukar
Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali atau
kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan
dominasi vegetasi rendah (alami). Kawasan ini biasanya tidak menampakan
lagi bekas/bercak tebangan.
b. Belukar rawa
Kawasan bekas hutan rawa/mangrove yang telah tumbuh kembali atau kawasan
dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan dominasi vegetasi
rendah (alami). Kawasan ini biasanya tidak menampakan lagi bekas/bercak
tebangan.
Berdasarkan penelitian Arini dan Prasetyo (2013), teridentifikasi tipe hutan primer
dataran tinggi, hutan sekunder dataran tinggi, dan semak belukar dataran tinggi
Kubu Perahu mengalami fragmentasi habitat akibat pembangunan jalan provinsi
14
yang menembus Kawasan TNBBS. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Sinaga dan Darmawan (2014), tipe hutan di TNBBS yaitu di Daerah Resort
Pugung Tampak terbagi atas hutan lahan kering primer, hutan lahan kering
sekunder, pertanian lahan kering, lahan terbuka, dan no data (air, badan air dan
bayangan air).
Kawasan konservasi umumnya memiliki klasifikasi tutupan lahan yang cenderung
sama, dari penelitian Rizki (2015), menyimpulkan klasifikasi tutupan lahan pada
Hutan Pendidikan Gunung Walat menghasilkan enam kelas tutupan lahan yang
terdiri dari hutan tanaman, pemukiman, pertanian, tanah kosong, semak, dan
vegetasi campuran. Sedangkan di Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC)
memiliki tipe penutupan lahan yaitu hutan alam, hutan tanaman pinus, semak,
ladang, lahan terbuka, badan air dan tidak ada data (Yusri, 2011).
Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang berubah karena
manusia pada waktu yang berbeda (Lillesand dan Kiefer, 2008). Deteksi
perubahan mencakup penggunaan fotografi udara berurutan di atas wilayah
tertentu dari fotografi tersebut peta penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat
dipetakan dan dibandingkan (Ardiansyah, 2015).
Faktor−faktor penyebab perubahan lahan adalah jenis kegiatan yang dapat
mencirikan terjadinya perubahan lahan. Kegiatan tersebut dapat berupa
gangguan terhadap hutan, penyerobotan dan perladangan berpindah. Gangguan
terhadap hutan dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor
manusia (Pasha dan Agus, 2009). Berdasarkan penelitian mereka gangguan yang
disebabkan oleh alam meliputi kebakaran hutan akibat petir dan kemarau, letusan
15
gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, banjir dan erosi akibat hujan
deras yang lama. Sementara itu gangguan terhadap hutan yang disebabkan oleh
manusia dapat berupa penebangan liar, penyerobotan lahan dan kebakaran.
Lillesand dan Kiefer (2008), menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi karena
manusia yang mengubah lahan pada waktu yang berbeda. Ekadinata dkk. (2012),
menyimpulkan pola−pola perubahan lahan terjadi akibat responnya terhadap
pasar, teknologi, pertumbuhan populasi, kebijakan pemerintah, degradasi lahan,
dan faktor sosial ekonomi lainnya.
Darmawan (2002), menerangkan bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya
perubahan lahan adalah faktor sosial ekonomi masyarakat yang berhubungan
dengan kebutuhan hidup manusia terutama masyarakat sekitar kawasan. Hasil
penelitian Yatap (2008) menyatakan bahwa faktor sosial ekonomi berpengaruh
dominan terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan di Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) adalah kepadatan penduduk, laju
pertumbuhan penduduk, luas kepemilikan lahan, perluasan pemukiman dan
perluasan lahan pertanian.
Sulistiyono (2008) menyatakan bahwa faktor−faktor yang menyebabkan
perubahan penutupan lahan diantaranya adalah pertumbuhan penduduk, mata
pencaharian, aksesibilitas dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan
pemerintah. Hal ini juga terjadi di kawasan hutan lindung dan hutan lainnya di
Provinsi lampung dimana faktor sosial mempengaruhi pemanfaatan hutan dan
lahan (Wulandari dan Inoue, 2018). Dengan demikian dapat dikatakan kelestarian
kawasan TNBBS pula dipengaruhi oleh faktor sosial.
16
Tingginya tingkat kepadatan penduduk di suatu wilayah telah mendorong
penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai pemukiman
ataupun lahan−lahan budidaya. Mata pencaharian penduduk di suatu wilayah
berkaitan erat dengan usaha yang dilakukan penduduk di wilayah tersebut.
Perubahan penduduk yang bekerja di bidang pertanian memungkinkan terjadinya
perubahan penutupan lahan. Semakin banyak penduduk yang bekerja di bidang
pertanian, maka kebutuhan lahan semakin meningkat. Hal ini dapat mendorong
penduduk untuk melakukan konversi lahan pada berbagai penutupan lahan
(Maullana dan Darmawan, 2014).
2.3 Etnoekologi
Pengetahuan lokal petani dalam memanfaatkan sumberdaya di sekitarnya dapat
dikaji dengan suatu disiplin ilmu yaitu etnoekologi (Utina, 2015). Secara istilah
Etnoekologi dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu multi disiplin yang mengkaji
hubungan timbal balik antara aspek pola pikir dan aspek praktis suatu etnik
terhadap sumberdaya alam mereka berikut pengaruhnya dalam suatu proses
produksi (Jumari dkk., 2012). Kajiannya bertumpu pada bagaimana pemanfaatan
alam oleh kelompok masyarakat (ethnic) sesuai ragam kepercayaan, pengetahuan,
tujuan dan bagaimana pandangan kelompok etnis bersangkutan dalam
pemanfaatannya (Seftyono, 2011).
Studi etnoekologi berkembang tidak hanya mempelajari interaksi antara suatu
bentuk kehidupan dengan kehidupan lainnya dan lingkungannya, tetapi bersifat
menganalisis secara holistik sampai pada analisis tentang sistem pengetahuan
17
masyarakat lokal dalam mengelola lingkungannnya berikut strategi adaptasi dan
sistem produksi yang dikembangkan di lingkungannya tersebut (Winarto dan
Choesin, 2014). Menelaah dari hal itu etnoekologi membahas mengenai
hubungan yang erat antara manusia, ruang hidup, dan semua aktivitas manusia di
bumi.
Kondisi tersebut sebagai adaptasi dari ilmu geografi, dikarenakan ilmu geografi
cakupannya sangat luas. Oleh karena itu etnoekologi suatu bidang ilmu yang
menspesifikan ilmu-ilmu tersebut diperlukan untuk memfokuskan fenomena-
fenomena yang terjadi di ruang aktivitas manusia. Dengan demikian, ilmu
etnoekologi merupakan ilmu yang menjembatani ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu
lingkungan alam dan ilmu lingkungan yang memfokuskan manusia sebagai aktor
dalam aktivitas lingkungan alam (Hilmanto, 2010).
Bentuk interaksi dan adaptasi manusia dengan alam, yaitu adanya aktivitas
manusia mengubah bentang alam di bumi, baik lingkungan biotik dan lingkungan
abiotik. Membuka ladang, melakukan domestikasi hewan maupun tumbuhan,
melakukan penghijauan, membuat bendungan, dan membuat sistem irigasi
merupakan contoh bentuk interaksi dan adaptasi manusia. Hal itu diketahui dan
dipelajari masyarakat lokal dengan cara interaksi terhadap lingkungan sekitar dan
pemahaman mereka dalam mengelola lahan (Walujo, 2011).
Etnoekologi memiliki pendekatan Chronological approach,yaitu suatu
pendekatan yang memfokuskan perkembangan dinamis dari suatu kajian suatu
interaksi manusia dengan alam, berdasarkan proses kronologis dengan memahami
kurun waktunya. Menurut Setiadi (2006), dengan memahami dimensi sejarah
18
atau kronologis, kita tidak hanya dapat mengkaji perkembangannya, melainkan
dapat pula melakukan pendugaan proses fenomena atau masalah tersebut pada
masa yang akan datang.
Berdasarkan pendekatan sejarah atau kronologi tersebut kita juga dapat
melakukan pengkajian dinamika dan perkembangan suatu fenomena di daerah
atau wilayah tertentu. Manfaat dari pendekatan sejarah ini dapat digunakan untuk
menyusun suatu perencanaan pembangunan suatu aspek kehidupan dan dapat pula
menyusun suatu perencanaan yang serasi dan seimbang untuk kepentingan masa
yang akan datang.
Pendekatan Spatial approach merupakan pendekatan dengan mengedepankan
prinsip‐prinsip penyebaran, interelasi, dan deskripsi. Ilmu etnoekologi yang
mengedepankan pendekatan aktivitas manusia, diarahkan pada aktivitas manusia
yang dilakukannya, dengan pertanyaan utama; “bagaimana kegiatan manusia atau
penduduk di suatu daerah/wilayah yang bersangkutan berjalan?”. Pendekatan
spatial approach mengenai aktivitas manusia ini juga dikaji penyebarannya,
interelasinya, dan deskripsinya dengan fenomena‐fenomena alaminya
(Yustyanasari, 2013).
Faktor keterbatasan lahan, pertumbuhan penduduk dan kebutuhan ekonomi
merupakan beberapa faktor yang mendasari penggunaan lahan di lingkungan
sekitarnya (Oktaviani dan Batoro, 2017). Aktivitas masyarakat yang tidak
terkendali menyebabkan kerusakan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan
terutama hilangnya hutan primer dari kawasan disebabkan oleh aktivitas pertanian
tradisional yang semakin hari memerlukan lahan yang lebih luas untuk memenuhi
19
kebutuhan akan pangan kemudian disebabkan oleh kegiatan eksploitasi
sumberdaya.
Kegiatan masyarakat yang mengandung pengetahuan ekologi lokal penduduk
yang positif dan kearifan ekologi penduduk tidak boleh diabaikan atau bahkan
dicoba untuk dimusnahkan, tetapi dapat diintegrasikan sebagai dasar pengelolaan
lahan yang lestari (Iskandar dan Iskandar, 2016). Dengan adanya masyarakat di
wilayah Kubu Perahu Resort Balik Bukit TNBBS, tentunya memiliki pengetahuan
ekologi lokal serta kearifan ekologi yang dapat dijadikan suatu dasar pengelolaan
lingkungan di sekitar TNBBS.
Aktivitas dalam pemanfaatan kawasan hutan, masyarakat memanfaatkan lahan
sekitar tempat tinggal mereka baik yang terdapat di luar maupun didalam kawasan
hutan, kemudian mengolahnya menjadi kebun, persawahan, ladang ataupun
mengklaim lahan, sebagai tanah pribadi mereka sebagai warisan keluarga atau
nenek moyang mereka (Hasanudin, 2017). Karakteristik masyarakat di sekitar
Taman Nasional mempengaruhi aktivitas yang dilakukan masyarakat.
Karakteristik individu masyarakat merupakan ciri khas yang melekat pada
individu yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan dan lingkungan
individu yang bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi di hutan lindung Provinsi
Lampung (Wulandari dan Inoue, 2018). Masyarakat mempunyai beberapa
karakter sosial meliputi tingkat pendidikan, jumlah anggota keluarga, status sosial,
jumlah tanggungan keluarga dan tingkat kesehatan serta umur (Masri, 2010;
Watung dkk., 2013).
20
Adalina dkk. (2015) mengemukakan bahwa tingkat umur sangat memberikan
pengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam menghasilkan barang dan jasa.
Kemampuan ini terkait dengan kondisi fisik, cara berpikir dan kemampuan untuk
bekerja. Sedangkan jumlah anggota keluarga pada setiap rumah tangga responden
memberikan gambaran mengenai ketersediaan tenaga kerja, tanggungan hidup
keluarga dan besarnya pendapatan keluarga. Kemudian jumlah anggota keluarga
pada setiap rumah tangga memberikan gambaran mengenai ketersediaan tenaga
kerja, tanggungan hidup keluarga dan besarnya pendapatan keluarga (Mulyono,
2012).
Masyarakat yang tinggal di sekitar Taman Nasional umumya mempunyai mata
pencaharian utama sebagai petani. Hasil penelitian Adalina dkk. (2015)
menunjukkan 82,8% responden berprofesi petani, selebihnya (17,8%) mempunyai
mata pencaharian yang bervariasi, yaitu buruh, pedagang, wiraswasta, penyadap
dan pegawai harian lepas. Sedangkan penelitian lainnya mengatakan sektor
pertanian menjadi sumber penghidupan utama. Dengan pemanfaatan Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) Berupa pemanfaatan tanaman obat, kayu bakar,
menggunakan bambu, memanfaatkan tanaman hias, rotan, dan rumput sebagai
pakan ternak serta mengelola lahan Garapan (Adalina, 2017).
2.4 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)
Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi suatu
objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu
alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji
21
(Lillesand dan Kiefer, 2008). Tujuan utama dari penginderaan jauh adalah
mengumpulkan data dan informasi tentang sumberdaya alam dan lingkungan
(Ardiansyah, 2015).
Prahasta (2005) menyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan metode
pengambilan data spasial yang paling sering digunakan. Hal ini dikarenakan
penginderaan jauh memiliki keunggulan diantaranya.
1. Hasil yang didapat akan memiliki cakupan wilayah studi yang sangat
bervariasi mulai dari yang kecil hingga yang luas.
2. Dapat memberikan gambaran unsur−unsur spasial yang komprehensif
dengan bentuk−bentuk geometri relatif dan hubungan yang benar.
3. Periode pengukuran relatif singkat dan dapat diulang kembali dengan cepat dan
konsisten.
4. Skala akurasi data spasial yang diperoleh dapat bervariasi dari yang keci
hingga yang besar.
5. Kecenderungan dalam mendapatkan data yang paling baru.
6. Biaya survey keseluruhan terhitung relatif murah.
Teknik−teknik pengamatan dengan metode penginderaan jauh sangat bervariasi.
Teknik−teknik ini pada umumnya masih dapat dibedakan melalui tipe wahana
yang digunakannya yaitu satelit, pesawat terbang, balon terbang, layang−layang.
Unmanned aerial vehicles (UAV), Autonomous underwater vehicles (AUV) dan
lainnya (Prahasta, 2008). Saat ini sistem satelit menjadi perhatian utama
dikarenakan kemampuannya dalam mengatasi kendala dalam keterbatasan dan
lamannya operasi dari sistem penginderaan jauh. Penggunaan pesawat luar
22
angkasa yang mengorbit secara teratur mengelilingi bumi dari ketinggian
beberapa ratus kilometer menghasilkan pengamatan bumi yang teratur dengan
alat−alat penginderaan jauh yang sesuai (Campbel dan Wynne, 2011).
Menurut Lillesand dan Kiefer (2008), terdapat dua proses utama dalam
penginderaan jauh, yaitu pengumpulan data dan analisis data. Elemen proses data
dimaksud meliputi.
1. Sumber energi.
2. Perjalanan energi melalui atmosfer.
3. Interaksi antara energi dengan kenampakan di mukabumi.
4. Sensor warna satelit dan atau pesawat terbang.
5. Hasil pembentukan data dalam bentuk pictorial atau data numerik.
2.5 Citra Landsat
Satelit LDCM (Landsat Data Continuity Mission) telah diluncurkan pada tahun
2011 dari VAFB, CA dengan pesawat peluncur Atlas-V-401. Setelah meluncur di
orbitnya, satelit tersebut dinamakan sebagai Landsat-8. Satelit LDCM (Landsat-
8) dirancang diorbitkan pada orbit mendekati lingkaran sikron-matahari, pada
ketinggian: 705 km, inklinasi: 98.2º, periode: 99 menit, waktu liput ulang: 16 hari
(Sampurno dan Ahmad, 2016). Satelit LDCM (Landsat-8) dirancang membawa
Sensor pencitra OLI (Operational Land Imager) yang mempunyai kanal-kanal
spektral yang menyerupai sensor ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari
Landsat-7. Sensor pencitra OLI ini mempunyai kanal-kanal baru yaitu: kanal-1:
23
443 nm untuk aerosol garis pantai dan kanal 9: 1375 nm untuk deteksi cirrus; akan
tetapi tidak mempunyai kanal inframerah termal.
Sensor lainnya yaitu Thermal Infrared Sensor (TIRS) ditetapkan sebagai pilihan
(optional), yang dapat menghasilkan kontinuitas data untuk kanal-kanal
inframerah termal yang tidak dicitrakan oleh OLI (Sitanggang, 2010).
Ketersediaan data citra time series yang cukup panjang meliputi seluruh wilayah
Indonesia dan resolusi (spasial, temporal, radiometrik) bagus merupakan
keunggulan yang dimiliki oleh citra Landsat 8. Keunggulan ini tidak dimiliki
oleh citra-citra lainnya, sehingga sangat mendukung upaya pemanfaatan Landsat
8 ini untuk berbagai keperluan, seperti monitoring perubahan penutupan lahan,
deforestasi dan degradasi pada kawasan hutan.
Laju degradasi/deforestasi dapat diketahui dengan membandingkan penutupan
lahan hutan pada tahun tertentu dengan tahun-tahun sebelumnya. Untuk
keperluan tersebut, citra Landsat masih menjadi andalan bagi para analis bidang
kehutanan. Permasalahan yang muncul sebelum hadirnya Landsat 8 khususnya
pasca kerusakan kanal pada Landsat 7 adalah adanya striping pada data setelah
tahun 2003. Ini tentu sangat mengganggu khususnya dalam melakukan koreksi
radiometrik pada tahap pra pengolahan. Hadirnya Landsat 8 tanpa striping
mengakibatkan perubahan penutupan lahan lebih mudah dianalisis. Ketersediaan
informasi spasial mengenai kawasan-kawasan yang rawan degradasi akan
memberi peluang lebih dini bagi upaya pencegahan kerusakan lebih lanjut.
24
2.6 Sistem Informasi Geografi
Sebuah sistem adalah suatu himpunan atau variabel yang terorganisasi, saling
berinteraksi, saling bergantung satu sama lain dan terpadu serta mempunyai
tujuan dan sasaran (Rahman dan Sandi, 2009). Pengertian lain sistem merupakan
serangkaian metode, prosedur, atau teknik yang disatukan oleh interaksi yang
teratur sehingga membentuk suatu kesatuan yang terpadu untuk mencapai tujuan
tertentu (Allen, 2009). Nilai suatu informasi tergantung pada banyak hal
termasuk waktu, konteksnya, biaya pengumpulan, penyimpanan, manipulasi dan
presentasi. Informasi dan komunikasi adalah suatu dari kunci proses
pembangunan dan merupakan karakteristik dari contemporary societies (Wibowo,
dkk., 2015). Berdasarkan beberaa pendapat tersebut sistem yaitu suatu kumpulan
variable dan/atau metode yang saling berinteraksi dan bergantung satu dengan
lainnya, untk mencapai suatu tujuan dan/atau sasaran tertentu, yang memiliki
informasi (waktu, konteksnya, biaya pengumpulan, manipulasi dan persentasi)
tergantung sasaran yang akan dicapai.
Geografi berasal dari gabungan kata Geo dan Graphy. Geo berarti bumi
sedangkan graphy berarti proses penulisan. Sehingga geografi berarti penulisan
tentang bumi. Secara ringkas pengertian geografi mencakup hubungan manusia
dengan tempat mereka berpijak dan menguasai sumberdaya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. salah satu alat dalam melukiskan keruangan adalah dalam
bentuk informasi hubungan spasial yang dikenal sebagai peta (Sinaga dan
Darmawan, 2014).
25
Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem berdasarkan komputer
yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi
(georeference) dalam hal pemasukan, manajemen data, memanipulasi dan
menganalisis serta pengembangan produk dan percetakan (Allen, 2009).
Sedangkan Prahasta (2008) mengemukakan bahwa Sistem Informasi Geografis
merupakan sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi.
Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak
komputer untuk akusisi dan verifikasi data, kompilasi data, penyimpanan data,
perubahan dan updating data, manajemen dan pertukaran data, manipulasi data,
presentasi data, analisa data.
Hartoyo dkk. (2010) menyatakan bahwa SIG merupakan sekumpulan perangkat
keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data−data geografis dan
sumberdaya manusia yang terorganisir, yang secara efisien mengumpulkan,
menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan semua
bentuk data yang bereferensi geografis. Menurut beberapa pendapat tersebut SIG
sebagai serangkain sistem yang mempunyai kumpulan informasi yang disajikan
dengan komponen perangkat keras dan lunak, yang menyajikan data yang
bereferensi geografis.
Pamuji (2013), menyampaikan Sistem Informasi Geografis (SIG) akan
memudahkan kita dalam melihat fenomena kebumian dengan prespektif yang
lebih baik. SIG mampu mengakomodasi penyimpanan, pemrosesan dan
penayangan data spasial digital bahkan integrasi data yang beragam, mulai dari
citra satelit, foto udara, peta bahkan statistik. Dengan tersedianya komputer
26
dengan kecepatan dan kapasitas ruangan besar maka data dengan cepat dan
akurat akan dapat ditampilkan.
Mengakomodasi dinamika data, serta pemutakhiran data akan menjadi lebih
mudah dilakukan dengan SIG. Dengan citra satelit yang beresolusi tinggi kita
dapat melihat kondisi suatu lokasi di permukaan bumi secara akurat. Kemudian
hasil survey lapangan dapat langsung dimasukkan ke dalam database spasial
yang telah ada sebelumnya untuk mengetahui lokasi rawan dan butuh segera
ditangani (Pamuji, 2013; Deni, 2011).
Prahasta (2008), berpendapat bahwa SIG merupakan sistem kompleks yang
biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di
tingkat fungsional dan jaringan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen
berikut.
1. Perangkat keras
Terdiri dari PC desktop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan
secara bersamaan, hard disk dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang
besar.
2. Perangkat lunak
Bila dipandang dari sisi lain, SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang
tersusun secara modular dimana basis data memegang peranan kunci.
3. Data dan informasi geografi
Sistem Informasi Geografi dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan
informasi yang diperlukan, baik secara tidak langsung dengan cara
memasukkannya dari perangkat - perangkat lunak SIG yang lain maupun secara
27
langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan
data atributnya dari tabel-tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard.
4. Manajemen
Suatu proyek SIG akan berhasil jika diatur dengan baik dan dikerjakan oleh
orang−orang yang memiliki keahlian yang tepat pada semua tingkatan
(Prahasta, 2005). Secara rinci SIG tersebut dapat beroperasi dengan
membutuhkan komponen komponen sebagai berikut:
2.7 Metode Basis Data
Sistem Informasi Geografi menangani peta atau gambar, namun SIG lebih
menekankan kepada database. Konsep database merupakan pusat dari SIG dan
merupakan perbedaan utama antara SIG dan sistem drafting sederhana atau sistem
pemetaan komputer yang hanya dapat memproduksi output grafik yang baik.
Semua SIG kontemporer menggabungkan semua sistem manajemen database
(Latif, 2014).
Sistem informasi geografi memilki jenis data, dijelaskan sebagai berikut.
1. Data
Data adalah bahan dasar berupa fakta atau kondisi nyata yang ada di lapangan dan
akan diproses untuk menghasilkan suatu sistem informasi yang lebih bermanfaat
bagi pengguna tersebut.
2. Jenis Data SIG
Data yang digunakan dalam Sistem Informasi Geografis yang dikelompokkan
menjadi 2 jenis data yaitu.
28
a. Data spasial
Data mengenai tata ruang yang dinyatakan melalui obyek dan mempunyai
kedudukan geometris serta serta bereferensi geografis seperti danau, jalan,
sungai dan lain−lain. Data spasial disajikan dalam bentuk grafis seperti titik,
garis dan luasan, lalu grafis tersebut dimodelkan titik menjadi node,
bagian/ segmen (arc), garis (line) dan luasan (Polygon) penyajian entity atau
obyek dengan menggunakan model raster dan model vektor.
b. Data Raster
Dalam model raster data disajikan dalam bentuk sel−sel berbentuk bujur
sangkar yang berukuran sama atau disebut sebagai Picture Element (pixel).
Nilai dari data raster tergantung pada pixel, koordinat pixel dan intensitas
warna.
Objek diwakili oleh kolom dan baris dari sel yang digunakan. Titik diwakili oleh
sederet sel, garis diwakili oleh sederet sel yang tersusun secara linier. Polygon
diwakili oleh sekelompok sel dengan nilai yang sama.
Keuntungan format raster adalah sebagai berikut.
1. Struktur data sederhana.
2. Implementasi overlay lebih mudah dan efisien.
3. Bermacam variasi dan analisa spasial mudah dilakukan.
4. Mudah dilakukan simulasi karena setiap unit spasial mempunyai bentuk
dan ukuran yang sama.
5. Teknologinya lebih murah dan berkembang.
29
Kerugian format raster adalah sebagai berikut.
1. Volume data grafis sangat besar.
2. Pemakaian ukuran pixel untuk mengurangi volume data dapat menyebabkan
hilangnya informasi.
3. Hubungan jaringan sulit dibuat dan dibentuk.
4. Transformasi sistem proyeksi akan memakan waktu yang lama jika tidak
mengguakan algoritma dan hardware khusus.
c. Data Vektor
Dalam model vektor data dinyatakan dalam bentuk titik, garis dan polygon.
Data vektor dapat berasal dari hasil pengukuran dilapangan baik dengan
menggunakan GPS maupun Teodolith, atau digitasi dari peta setiap titik dan
garis mempunyai posisi geografis yang dinyatakan dalam koordinat Cartesius
(X,Y).
Keuntungan format data vektor adalah sebagai berikut.
1. Gambar struktur data sangat baik.
2. Proses encoding topologi lebih efisien dan operasi yang memerlukan informasi
topologi lebih efisien.
3. Akurasi Grafis lebih tinggi.
4. Volume data lebih sedikit
Kerugian format data vektor;
1. Struktur data lebih kompleks kombinasi layer−layer melalui proses overlay
lebih sulit dilakukan.
2. Simulasi sulit dilakukan karena setiap unit memiliki bentuk topologi yang
berbeda.
30
3. Penyajian dan plotting lebih mahal terutama untuk kualitas yang tinggi
seperti warna dan arsiran.
4. Teknologinya mahal terutama mengenai hardware dan software yang canggih.
5. Tidak mungkin untuk melakukan analisis spasial dan filtering dalam polygon.
d. Data atribut
Data atribut merupakan data keterangan tentang spasial, baik data vektor
maupun data raster. Dalam pelaksanaannya file atribut akan dibuat dalam file
tersendiri dalam bentuk tabel-tabel dan hubungan antar label ini mengacu pada
konsepsi dasar organisasi basis datanya.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari−Mei 2018. Adapun
penelitian dilakukan di enclave Kubu Perahu Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
32
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian yaitu GPS (Global Positioning
Sistem), kamera, alat tulis dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan
paket Sistem Informasi Geografis termasuk software Arcview 10.3, Envi 5.2 dan
Erdas Imagine 8.5. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data−data
spasial penutupan lahan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan antara lain:
a. Citra Landsat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) tahun 1991,
2000 dan 2017.
b. Peta dasar meliputi peta batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan
(TNBBS) dan peta administrasi.
c. Data−data kependudukan sekitar daerah enclave Kubu Perahu Taman
Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
3.3 Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer meliputi data
spasial dan data atribut serta hasil wawancara. Data spasial merupakan data yang
bersifat keruangan, terdiri dari data citra satelit Landsat TNBBS tahun 1990, 2000
2010 dan 2017. Peta dasar meliputi peta batas TNBBS, peta administrasi dan
data−data kependudukan sekitar wilayah TNBBS. Data Ground Control Point
(GCP) merupakan data yang menyatakan posisi keberadaan sesuatu di
permukaan bumi dalam bentuk titik koordinat. Data atribut merupakan data
yang berbentuk tulisan maupun angka−angka. Data tersebut diantaranya data
kependudukan, data perubahan lahan yang pernah terjadi dan data penunjang.
33
Lalu data hasil wawanwaca dengan individu kunci. Kemudian data sekunder
yang diperoleh dari studi kepustakaan berupa studi literatur, hasil penelitian
terdahulu, dan dokumen pelengkap yang memiliki keterkaitan dengan penelitian
ini.
3.4 Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dengan mengunduh citra Landsat dari http://earthexplorer.usgs.gov.
wawancara, dan dokumentasi temuan observasi lapang. Wawancara dilakukan
kepada pengelola dan masyarakat individu kunci sekitar daerah enclave Kubu
Perahu TNBBS yang ditentukan secara snowball sampling. Berikut ini adalah
langkah-langkah dalam pengumpulan data primer yang dilakukan dalam
penelitian ini.
1. Interview yaitu cara untuk memperoleh data dengan berbentuk pertanyaan
yang menggambarkan pengalaman, pengetahuan, opini, dan perasaan
narasumber. Metode yang dilakukan adalah interview standar tak terskedul
(Non-Schedule Standardised Interview).
2. Participant Observation yaitu dilakukan dengan cara mengamati secara
langsung perilaku individu dan interaksi mereka dalam setting penelitian.
3. Telaah Organisation Record yaitu bukti unik dalam studi kasus, yang tidak
ditemui dalam interview dan observasi.
Adapun data sekunder diperoleh dengan dua cara, antara lain dengan mengunduh
data secara online, maupun pengumpulan data secara langsung. Mengunduh
34
secara online adalah mengunduh berbagai publikasi ilmiah dari portal-portal
jurnal dan mengunduh data dari berbagai lembaga survey terkait. Pengumpulan
data secara langsung adalah melakukan pengumpulan data dari instansi-instansi
terkait.
3.5 Metode Analisis Data
Analisis data yang dilakukan meliputi analisis penutupan lahan. Adapun
analisis yang dilakukan meliputi: pemulihan citra, penajaman citra (image
enhancement), pemotongan citra (Subset image), klasifikasi citra (Image
classifcation), accuracy assesement, overlay hasil klasifikasi, tabulasi data,
analisis deskriptif dan kuantitatif (Darmawan, 2002).
1. Pemulihan citra.
Sebelum melakukan analisis citra langkah pertama yang dilakukan adalah
melakukan koreksi terhadap citra tersebut. Koreksi citra perlu dilakukan terhadap
data mentah satelit dengan maksud untuk menghilangkan kesalahan−kesalahan
geometrik, koreksi geometrik ditujukan untuk memperbaiki distorsi geometrik
dari sistem koordinat yang akan digunakan. Penyeragaman data−data ke dalam
sistem koordinat dan proyeksi yang sama perlu dilakukan untuk mempermudah
proses pengintegrasian data−data selama penelitian. Dalam penelitian ini
proyeksi yang digunakan adalah Universal Tranverse Mercator (UTM) dan
sistem koordinat geografik yang menggunakan garis latitude (garis timur−barat)
dan garis longitude (garis utara−selatan).
35
2. Penajaman citra (image enhancement).
Kegiatan ini dilakukan sebelum data citra digunakan dalam analisis visual,
dimana teknik penajaman dapat diterapkan untuk menguatkan tampak kontras
diantara penampakan dalam adegan. Pada berbagai terapan langkah ini banyak
meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasi secara visual dari citra.
3. Pemotongan citra (subset image).
Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi objek
penelitian. Batas wilayah yang akan dipotong dibuat dengan area of interest (aoi)
yaitu pada wilayah yang masuk ke dalam kawasan Resor Kubu PrahuTaman
Nasional Bukit Barisan Selatan.
4. Klasifikasi citra (Image classifcation).
Klasifikasi dilakukan dua tahap, yaitu klasifikasi tak terbimbing (unsupervised
classification) dan klasifikasi terbimbing (supervised classification). Klasifikasi
tak terbimbing dilakukan sebelum kegiatan cek lapangan (ground check). Pada
metode ini, proses klasifikasi mengelompokkan piksel−piksel citra berdasarkan
aspek statistik semata tanpa kelas−kelas yang didefinisikan sendiri (training
area). Peta hasil klasifikasi ini selanjutnya digunakan sebagai pedoman dalan
kegiatan cek lapangan.
Klasifikasi terbimbing menggunakan training area berdasarkan titik-titik
koordinat yang diambil di lapangan dengan menggunakan GPS. Training area
merupakan identifikasi area−area tertentu di atas citra yang berisi tipe−tipe
penutupan lahan yang diinginkan. Kemudian karakteristik spektral milik
area−area ini digunakan untuk membimbing program aplikasi dalam menandai
36
setiap piksel ke dalam salah satu kelas yang tersedia. Oleh karena itu, beberapa
parameter statistik multivariat seperti halnya rata−rata, standar deviasi dan matrik
korelasi akan dihitung untuk setiap training areanya, sementara setiap pikselnya
akan dievaluasi dan kemudian ditandai sebagai anggota suatu kelas yang paling
memungkinkan (maximum likelihood).
Kelas tutupan lahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 5 kelas yaitu:
a. Hutan yaitu seluruh areal yang didominasi pepohonan baik hutan dataran
rendah, perbukitan dan pegunungan yang belum maupun yang telah terjadi
bekas penebangan.
b. Pertanian yaitu semua aktivitas pertanian di lahan yang diusahakan untuk
tanaman pangan dan hortikultura.
c. Bukan pertanian yaitu seluruh lahan meliputi pengusahaan bukan tanaman
pangan semusim dan bukan hortikultura, semak belukar, padang rumput dan
sebagainya.
d. Lahan terbangun yaitu kenampakan lahan yang digunakan sebagai
lingkungan tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan.
e. No data dalam penelitian meliputi awan, air dan bayangan awan.
Pengukuran accuracy assessment dilakukan menggunakan software GIS
dengan membandingkan interpretasi komputer dan pengecekan lapangan (ground
truth). Pengecekan lapangan (ground truth) dilakukan untuk mendapatkan
kebenaran adanya perubahan penutupan lahan di lapangan, melihat gejala−gejala
yang memungkinkan meluasnya perubahan tutupan lahan dan pengambilan titik
koordinat area contoh.
37
Sedangkan data primer berupa hasil wawancara dan observasi lapang serta data
sekunder dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis data berupa hasil
wawancara serta studi pustaka diolah menggunakan tiga tahapan meliputi reduksi,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Adapun prosedur dalam menganalisis
data kualitatif, menurut Sugiyono (2013) dan penelitian yang dilakukan
Yuliasamaya dkk (2014) adalah sebagai berikut.
1. Reduksi Data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada
hal-hal penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah
direduksi akan memberikan gambaran yang jelas, dan mempermudah peneliti.
2. Penyajian Data
penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat,
bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya dengan menggunakan
teks yang bersifat naratif.
3. Kesimpulan atau Verifikasi
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah
bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya. Apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap
awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke
lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan
kesimpulan yang dapat diterima.
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Simpulan yang dapat diambil setelah melakukan penelitian adalah sebagai berikut.
1. Perubahan tutupan lahan di daerah enclave Kubu Perahu Taman Nasional
Bukit Barisan Selatan kurun waktu tahun 1991-2000 tipe tutupan lahan hutan
bertambah sebesar 338 ha dan lahan pertanian berkurang 8.13%. kemudian
tutupan lahan hutan meningkat 191 ha dan lahan pertanian meningkat seluas
3.62% di tahun 2000-2017.
2. Aspek sosial yang memicu terjadinya perubahan tutupan lahan di daerah
enclave Kubu Perahu adalah keluarnya peraturan PP No 108 tahun 2015
tentang pengelolaan hutan konservasi yang mengharuskan mereka keluar dari
hutan serta kekhawatiran masyarakat terhadap bencana gempa bumi periode
tahun 1990-2000 di sekitar daerah enclave Kubu perahu. Kegiatan pertanian,
jumlah penduduk, tanggungan keluarga dan akses masyarakat mudah masuk ke
dalam kawasan hutan sebab terdapat jalan yang membelah daerah kawasan
hutan dan terjadi perburuan satwa liar.
68
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan setelah melakukan penelitian adalah sebagai berikut.
1. Penelitian selanjutnya perlu dilakukan, terutama terkait dengan analisis
vegetasi dengan menggunakan teknik penginderaan jauh dan GIS. Hal tersebut
dipadukan dengan analisis indeks vegetasi hutan guna untuk kegiatan
pemantauan dan inventarisasi.
2. Pemerataan informasi, pelatihan dan pendampingan kepada masyarakat
dilakukan secara rutin dan menyeluruh guna mencegah kesalahpahaman antara
masyarakat dengan pihak TN yang sampai sekarang sering terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, E., Nursanti dan Andita, M.M. 2016. Perubahan penutupan lahan dan
analisis faktor yang mempengaruhi perubahan di kawasan taman nasional
berbak provinsi jambi. Prosiding Seminar Nasional Peran Geospasial
Dalam Membingkai NKRI. 309-321.
Adalina, Y. 2017. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar taman nasional
gunung hlmimun salak. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversity Indondonesia. 75-80.
Adalina, Y., Nurrochman, D.R., Darusman, D. dan Sundawati, L. 2015.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di taman nasional gunung halimun
salak oleh masyarakat kasepuhan sinar resmi jawa barat. J. Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam. 12 (2): 105-118.
Allen, R.C. 2009. Engels’ pause: Technical change, capital accumulation, and
inequality in the british industrial revolution. J. Explorations in Economic
History. 46: 418-435.
Ardiansyah. 2015. Pengolahan Citra Penginderaan Jauh Menggunakan ENVI 5.1
dan ENVI Lidar (Teori dan Praktek). Buku. PT. Labsig Inderaja Islim.
Jakarta. 268 hlm.
Arini, D.I.D. dan Prasetyo, L.B.P. 2013. Komposisi avifauna di beberapa tipe
lansekap taman nasional bukit barisan selatan. J. Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam. 2: 135-131.
BBTNBBS . 2010. Rencana Strategis Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan
Selatan Periode 2010-2014. Buku. Departemen Kehutanan. Lampung.
145 hlm.
BBTNBBS. 2010. Zonasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Periode 2010-
2014. Buku. Departemen Kehutanan. Lampung. 123 hlm.
Badan Planologi Kehutanan. 2007. Klasifikasi Penutupan Lahan. Buku.
Departemen Kehutanan. Jakarta. 66 hlm.
BPS. 2017. Lampung Barat Dalam Angka 2017. Buku. Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten Lampung Barat. Lampung Barat. 200 hlm.
70
Campbel, J.B dan Wynne, R.H. 2011. Introduction to Remote Sensing. Fifth
Edition. Buku. The Guildford Press Publication. New York. 645 hlm.
Darmawan, A. 2002. Perubahan Penutupan Lahan di Cagar Alam Rawa Danau.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 87 hlm.
Deni. 2011. Analisis perambahan hutan di taman nasional bukit barisan selatan
(studi kasus desa tirom kecamatan pematang sawah kabupaten tanggamus).
J. Ilmu Kehutanan. 1: 9-20.
Dewi, S., Johana, F., Putra, P., Muhammad, T.Z., Degi, H.S., Gamma, G.,
Suyanto dan Andree, E. 2011. Perencanaan Penggunaan Lahan Untuk
Mendukung Pembangunan Rendah Emisi. Buku. World Agroforestry Centre
(ICRAF). Bogor. 129 hlm.
Ekadinata, A., Zulkarnain, M.T., Widayati, A., Dewi, S., Rahman, S. dan
Vannoordwijk, M. 2012. Perubahan Penggunaan Dan Tutupan Lahan Di
Indonesia Tahun 1990, 2000 dan 2005. Buku. World Agroforestry Centre
ICRAF, SEA Regional Office. Bogor. 6 hlm.
Handoko dan Darmawan, A. 2015. Perubahan tutupan hutan di taman hutan raya
wan abdul rachman (tahura war). J. Sylva Lestari. 3(2): 42-52.
Harjadi, B. 2009. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Buku.
BP2TPDAS. Surakarta. 140 hlm.
Hartoyo, G.M.E., Nugroho Y., Ario, B. dan Bilaludin, H. 2010. Modul pelatihan
sistem informasi geografis (sig) tingkat dasar. Buku. Tropenbos
International Indonesia Programme. Bogor. 127 hlm.
Hasanah, N. 2011. Perubahan Penutupan Lahan di Taman Nasional Kutai
Provinsi Kalimantan Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
88 hlm.
Hasanudin, A.I. 2017. Sistem informasi geografis pemetaan madrasah kabupaten
indragiri hilir. J. Sistemasi. 6(1): 20–24.
Hilmanto, R. 2010. Etnoekologi. Buku. Penerbit Universitas Lampung. Bandar
Lampung. 91 hlm.
Indraswati, E., Nico, Y., Sunarni, W., Jhon, S.P., Immanuel, K., Novelina, T.,
Christine, W., Affriansyah, G. dan Meizannur. 2015. Membumikan Tata
Kelola Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Buku. TCFA. 141 hlm.
Iskandar, J. dan Iskandar, B.S. 2016. Etnoekologi dan pengelolaan agroekosistem
oleh penduduk desa karangwangi kecamatan cidaun cianjur selatan jawa
barat. J. Biodjati. 1(1):1-12.
71
Jensen, J.R. 2005. Introductory Digital Image Processing Remote Sensing
Perspective. Buku. Prentice Hall. California. 544 hlm.
Jumari., S. D., Purwanto, Y. dan Guhardja, E. 2012. Etnoekologi masyarakat
samin jawa tengah. J. Bioma. 14(1): 7-16.
Kementerian Kehutanan. 2012. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.41 Tahun
2012 Tentang Tata Cara Tukar Menukar Kawasan Hutan. Buku. Menteri
Kehutanan. Jakarta. 5 hlm.
Khalil, B. 2009. Analisis Perubahan Penutupan Lahan di Hutan Adat Kasepuhan
Citorek, Taman Nasional Gunung Hlmimun-Salak. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 102 hlm.
Latif, A. 2014. Desain sistem informasi geografis pemetaan dan letak kawasan
hutan lindung kabupaten merauke. J. Ilmiah Mustek Anim. 3: 248-266.
Lewerissa, E. 2015. Interaksi masyarakat sekitar hutan terhadap pemanfaatan
sumberdaya hutan di desa wangongira, kecamatan tobelo barat.
J. Agroforestri. 9: 10-20.
Lillesand, T.M. dan Kiefer, F.W. 2008. Penginderaan Jauh dan Interpretasi
Citra. Buku. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 746 hlm.
Masri. 2010. Identifikasi karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat
nelayan Sungai Limau di Kabupaten Padang Pariaman dalam penyediaan
perumahan pemukiman. Tesis. Universitas Dipenogoro. Semarang. 141 hlm.
Maullana, D.A. dan Darmawan, A. 2014. Perubahan penutupan lahan di taman
nasional way kambas. J. Sylva Lestari. 2(1): 87-94.
Meizanur dan Wulandari, C. 2015. Analisis pengembangan obyek wisata alam di
resort balik bukit taman nasional bukit barisan selatan. J. Sylva Lestari.
3(1): 51-62.
Mulyono, M.B. 2012. Modal Sosial Dalam Pengelolaan Kebun Hutan (Dukuh) di
Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.
Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 hlm.
Munawaroh, M. dan Yuzammi. 2016. Konservasi ek-situ jenis amorphophlmlus
spp. di kebun raya liwa, kabupaten lampung barat, propinsi lampung.
Prosiding Seminar Nasional Biologi 2016. 85-92.
Mustika, I.Y., Kustanti, A. dan Hilmanto, R. 2017. Kepentingan dan peran aktor
dalam pengelolaan hutan mangrove di desa pulau pahawang kecamatan
marga punduh kabupaten pesawaran. J. Sylva Lestari. 5(2): 113-127.
72
Naryanto, H.S. 2008. Analisis potensi kegempaan dan tsunami di kawasan pantai
barat lampung kaitannya dengan mitigasi dan penataan kawasan. J. Sains
dan Teknologi Indonesia. 10(2): 71-77.
Oktaviani, R. dan Batoro, J. 2017. Etnoekologi tanaman budidaya di bawah
naungan pinus (pinus merkusii jungh. & devriese) di desa duwet kedampul,
kecamatan tumpang, kabupaten malang. J. Biotropika. 5(1): 8-13.
Pamuji, D.T. 2013. Sistem Informasi Geografi (SIG) Pemetaan Hutan Menurut
Klasifikasi Sebagai Potensi Hutan Lindung di Kabupaten Blora. Skripsi.
Universitas Stikubank Semarang. Semarang. 104 hlm.
Pasha, R. dan Agus, S. 2009. Hubungan kondisi sosial ekonomi masyarakat
perambah hutan dengan pola penggunaan lahan di taman nasional bukit
barisan selatan. J. Organisasi dan Manajemen. 2: 82-94.
Peraturan pemerintah. 2015. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
108 Tahun 2015 perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian
Alam. Buku. Presiden Republik Indonesia. Jakarta. 9 hlm.
Prahasta, E. 2005. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Buku.
Informatika. Bandung. 305 hlm.
Prahasta, E. 2008. Remote Sensing Praktis Penginderaan Jauh dan Pengolahan
Citra Digital dengan Perangkat Lunak ER Mapper. Buku. Informatika.
Bandung. 406 hlm.
Puminda , A.D. 2015. Perubahan Tutupan Lahan di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan Provinsi Lampung. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 47 hlm.
Puspasari, E., Wulandari, C., Darmawan, A. dan Banuwa, I.S. 2017. Aspek sosial
ekonomi pada sistem agroforestri di areal kerja hutan kemasyarakatan (hkm)
kabupaten lampung barat, provinsi lampung. J. Sylva Lestari. 5(3): 95-103.
Rahman, A.S dan Sandi, I.W.A. 2009. Analisis indeks vegetasi menggunakan
citra alosavnir-2 dan sistem informasi geografis (sig) untuk evaluasi tata
ruang kota denpasar. J. Bumi Lestari. 9(1): 1-11.
Rizki, H. 2015. Analisis Tutupan Lahan Menggunakan Citra Landsat di Hutan
Pendidikan Gunung Walat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 66 hlm.
Safira, G.C., Wulandari, C. dan Kaskoyo, H. 2017. Kajian pengetahuan ekologi
lokal dalam konservasi tanah dan air di sekitar taman hutan raya wan abdul
rachman. J. Sylva Lestari. 5(2): 23-29.
73
Sampurno, R. dan Ahmad, T. 2016. Klasifikasi tutupan lahan menggunakan citra
landsat 8 operational land imager (oli) di kabupaten sumedang. J. Teknotan.
10:1978-1067.
Seftyono, C. 2011. Pengetahuan ekologi tradisional masyarakat orang asli jakun
dalam menilai ekosistem servis di tasik chini malaysia. J. Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. 15(1): 55-67.
Setiadi, H. 2006. Diskusi Penyusunan Pedoman Sig untuk Pemetaan Sejarah.
Buku. Cibogo. Bogor. 48 hlm.
Sinaga, R.P. dan Darmawan, A. 2014. Perubahan tutupan lahan di resort pugung
tampak taman nasional bukit barisan selatan (tnbbs). J. Sylva Lestari.
2(1): 77-86.
Sitanggang, G. 2010. Kajian pemanfaatan satelit masa depan : sistem
penginderaan jauh satelit ldmc (landsat 8). J. Berita Dirgantara.
1(2): 47-58.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif dan
Kualitatif . Buku. Alfabeta. Bandung. 334 hlm.
Suharno, 2007. Distribusi dan klasifikasi resiko gempa daerah lampung dan
sekitarnya. J. Sains dan Teknologi Mitigasi Bencana. 2(1): 71-77.
Sulistiyono, N. 2008. Aplikasi teknologi penginderaan jauh dalam mendeteksi
pola penggunaan lahan di das cikaso kabupaten sukabumi jawa barat.
J. Penelitian Rekayasa. 1(1): 57-60.
Suyadi. 2011. Deforestation in bukit barisan selatan national park, sumatra,
indonesia. J. Biologi Indonesia. 2: 195-206.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990. Tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Buku. Presiden Republik
Indonesia. 31 hlm.
Utina, R. 2015. Kecerdasan ekologis dalam kearifan lokal masyarakat bajo desa
torosiaje provinsi gorontalo. Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional
Pusat Studi Lingkungan Hidup Indonesia Ke-21 (Dua Puluh Satu). 14-20.
Watung, N., Dien, C. dan Kotambunan, O. 2013. Karakteristik sosial ekonomi
masyarakat nelayan di desa lopana kecamatan 118 amurang timur provinsi
sulawesi utara. J. Akulturasi. 1(2): 9-12.
Wibowo, K.M., Indra, K. dan Juju, J. 2015. Sistem informasi geografis (sig)
menentukan lokasi pertambangan batu bara di provinsi bengkulu berbasis
website. J. Media Infotama. 1: 51-60.
74
Winarto, Y.T. dan Choesin, E.M. 2014. Pengayaan pengetahuan lokal
pembangunan pranata sosial: pengelolaan sumberdaya alam dalam
kemitraan. J. Antropologi Indonesia. 6(4): 91-106.
Walujo, E.B. 2011. Sumbangan ilmu etnobotani dalam memfasilitasi hubungan
manusia dengan tumbuhan dan lingkungannya. J. Biologi Indonesia. 7(2):
375-391.
Wulandari, C., Bintoro, A., Rusita, Santoso, T., Duryat, Kaskoyo, H., Erwin dan
Budiono, P. 2018. Community forestry adoption based on multipurpose tree
species diversity towards to sustainable forest management in icef of
university of lampung, indonesia. J. Biodiversitas. 19(3): 1102-1109.
Wulandari, C. dan Inoue, M. 2018. The importance of social learning for the
development of community based forest management in indonesia: the case
of community forestry in lampung province. J. Small-Scale Forestry. 17(3):
361-376.
WWF. 2007. Gone In An Instant. Buku. Asian Rhino and Elephant Action
Strategy. Jakarta. 55 hlm.
Yatap, H. 2008. Pengaruh Peubah Sosial Ekonomi Terhadap Perubahan
Penggunaan dan Penutupan Lahan di Taman Nasional Gunung Hlmimun-
Salak. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 346 hlm.
Yudischa, R., Wulandari, C. dan Hilmanto, H. 2014. Dampak partisipasi wanita
dan faktor demografi dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan (hkm)
terhadap pendapatan keluarga di kabupaten lampung barat. J. Sylva Lestari.
2(3): 59-72.
Yuliasamaya, Darmawan, A. dan Hilmanto, R. 2014. Perubahan tutupan hutan
mangrove di pesisir kabupaten lampung timur. J. Sylva Lestari.
2(3): 111-124.
Yusra, A.I., Windupranata, W. dan Dwi, W. 2013. Pemetaan perubahan
penggunaan lahan di wilayah pesisir kecamatan bontang selatan, kota
bontang, provinsi kalimantan timur serta dampaknya terhadap aspek sosial
ekonomi. J Geografi. 1(2): 57-69.
Yusri, A. 2011. Perubahan Penutupan Lahan dan Analisis Faktor Penyebab
Perambahan Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 102 hlm.
Yustyanasari, E. 2013. Pendekatan Geografi. Buku. Odix. Surakarta. 40 hlm.
Recommended