View
32
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
piercing corporate veilbusiness law
Citation preview
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 1/141
PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL
PADA PERSEROAN TERBATAS (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal
dan PT. Bank Perkembangan Asia)
T E S I S
Oleh
RUSTAMAJI PURNOMO
067011006/M.Kn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2 0 0 8
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 2/141
PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL
PADA PERSEROAN TERBATAS (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal
dan PT. Bank Perkembangan Asia)
T E S I S
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi
Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
RUSTAMAJI PURNOMO
067011006/M.Kn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2 0 0 8
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 3/141
JUDUL TESIS : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE
CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN
TERBATAS (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal
dan PT. Bank Perkembangan Asia)
NAMA MAHASISWA : RUSTAMAJI PURNOMO
NOMOR POKOK : 067011006
PROGRAM STUDI : KENOTARIATAN
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Sanwani Nasution, S.H.)
Ketua
(Dr. T.Keizerina Devi A.,S.H,CN,M.Hum) (Chairani Bustami,S.H,SpN,M.Kn.)Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B., M.Sc)
Tanggal Lulus : 5 Februari 2008
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 4/141
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE
VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS (Studi Kasus
PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia)
Nama : RUSTAMAJI PURNOMO
Nomor Pokok : 067011006
Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Sanwani Nasution, S.H.
Ketua
Dr. T.Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum Chairani Bustami, S.H., M.Kn
Anggota Anggota
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 5/141
Telah diuji pada
Tanggal : 5 Februari 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Sanwani Nasution, S.H.
Anggota : 1. Dr. T.Keizerina Devi Azwar, S.H., CN, M.Hum
2. Chairani Bustami, S.H.,SpN, M.Kn
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,MS,CN
4. Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 6/141
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 7/141
ABSTRAK
Ciri utama suatu badan hukum adalah adanya pemisahan antara hartakekayaan badan hukum dan pribadi para pemegang saham, sehingga para
pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang
dibuat atas nama badan hukum dan juga tidak bertanggung jawab atas kerugian
badan hukum melebihi nilai saham yang telah dimasukkannya sesuai ketentuanPasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007. Namun tidak tertutup kemungkinan
hapusnya tanggung jawab perseroan terbatas apabila terbukti perseroan terbatas
didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untukmemenuhi tujuan pribadinya, melalui prinsip piercing the corporate veil. Dalam
penelitian ini yang menjadi permasalahan adalah dalam hal yang bagaimanakahdoktrin piercing the corporate veil dapat diterapkan pada suatu perseroan terbatas, bagaimana penerapan doktrin piercing the corporate veil dalam UUPT, dan
bagaimana analisis atas penerapan doktrin piercing the corporate veil pada kasus
antara PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal.Dalam metode penelitian ini, jenis penelitiannya adalah penelitian hukum
normatif, dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Sumber data berasal
dari data sekunder yaitu dengan mempelajari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Library
Research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan
atau data sekunder. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa Doktrin Piercing the Corporate Veil dapat diterapkan dalam Perseroan Terbatas dalam hal adanya fakta-fakta yang
menyesatkan, terjadinya penipuan dan ketidakadilan dan untuk melindungi pemegang
saham minoritas, pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidaklangsung dengan itikad baik (Tekwaadetrouw atau bad faith) yang memanfaatkan
perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Penerapan teori piercing the
corporate veil ke dalam tindakan suatu perseroan, menyebabkan tanggung jawab
hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan saja, tetapi dapat juga dimintakanterhadap pemegang saham. Dalam kasus kredit antara Bank Perkembangan Asia
dengan PT. Djaya Tunggal, Majelis Hakim telah tepat menggunakan doktrin piercing
the corporate veil sehingga direksi dan komisaris sebagai pengawas perusahaan, tetap
dapat dimintakan pertanggungjawabannya.Disarankan agar prinsip Piercing The Corporate Veil ini lebih dipertegas
pengaturannya dalam salah satu pasal dalam UU No. 40 Tahun 2007. Selain itu jugaagar setiap PT di Indonesia diwajibkan menetapkan sekurang-kurangnya satu orang
Komisaris independen dan pengelolaan bank harus diformulasikan sesuai dengan
prinsip-prinsip good corporate governance. Perjanjian kredit antara debitor dengan
pihak Bank sebaiknya jangan dibuat dalam perjanjian di bawah tangan, akan tetapi
i
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 8/141
dibuat secara notaril yang berupa akta notaris sehingga dapat dikontrol oleh Bank
Indonesia.
Kata Kunci : Doktrin piercing the corporate veil
Perseroan Terbatas
ii
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 9/141
ABSTRACT
A company is a legal entity which is different and separated from thestockholders of a limited liability company. The main characteristic of a corporation
is that there is a separation between the assets of the corporation and the personal
assets of the stockholders, so that the stockholders are not liable individually to the
agreement made in the name of the corporation and also not liable to the loss of thecorporation that exceeds the value of the shares they have submitted in accordance
with the stipulation of Article 3 paragraph (1) Act No 4 of the year 2007 concerning
Limited Liability Company. However, there is a possibility of nullifying the liabilityof the Limited Liability Company, that is when there is an evidence that there has
been a confusion between personal property of the stockholders and the assets of thelimited liability company so that the limited liability company is established only as ameans for the stockholders to fulfil their personal aim. By following the principle of
piercing the corporate veil in the Corporation Act, the stockholders’ liability which
was originally limited may become unlimited in certain cases. In this study, the problems are in which case the doctrine of piercing corporate veil can be applied at a
limited liability company, how is the application of the doctrine of piercing the
corporate veil in the Act of Limited Liability Company, and how is the analysis of the
application of the doctrine of piercing the corporate veil in the case between BankPerkembangan Asia (PT. Asia Development Bank) and P.T. Djaya Tunggal.
In the method of this study, the kind of study is the study of normative law, by
using normative juridical approach. The data source comes from secondary data, thatis by studying the primary and secondary corporations. Data collection is carried out
by library research, that is gathering the data by studying the literary material or
secondary data. Furthermore, the data is analyzed qualitatively.From this study, it is concluded that the Doctrine of Piercing the Corporate Viel
is applicable in the Limited Liability Company in case there are misleading facts,
there has been deceipt and injustice and to protect a minority of stockholders, the
stockholders concerned, either directly or indirectly with bad faith (tekwaadetrouw)makes use of the company only for personal interest. The application of the theory of
piercing the corporate veil into the performance of a company causes the legal
responsibility not only to be demanded from the company but can also be charged to
the stockholders. In the credit case between PT. Bank Perkembangan Asia and PT.Djaya Tunggal, the Court of Justice had correctly used the doctrine of piercing the
corporate veil so that in this case the management and Board of directors assupervisors of the company, are still accountable, as their action has been in
contradiction with the principle of fiduciary duty and also in contradiction with the
articles of association of the company, which not only causes a loss to the company
but also as loss to the other stockholder. It is suggested that the principles of piercingthe corporate veil be regulated more emphatically in one of acts of Act Number 40 of
iii
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 10/141
the year 2007. Beside that, each of company in Indonesia obliged to appoint at least
one independent supervisor and in banking arrangement should be formulated by
using the good corporate governance principles. The credit agreement should bemade in notarial agreement so that it can be controlled by Bank Indonesia.
Keywords : The Doctrine of piercing the corporate veil
Limited Liability Company
iv
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 11/141
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan karena izin-
Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat yang
harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
Adapun judul tesis ini adalah “PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE
CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS (Studi Kasus PT.
Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia)”.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan,
dorongan moril, masukan dan saran, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan
tesis ini tepat pada waktunya. Ucapkan terima kasih khususnya penulis sampaikan
kepada yang terhormat Bapak Pembimbing: Bapak Prof. Sanwani Nasution, S.H.,
Ibu Dr. T.Keizerina Devi Azwar, S.H., CN, M.Hum., dan Ibu Chairani Bustami,
S.H., SpN, M.Kn, atas kesediaannya membantu dalam memberikan bimbingan dan
petunjuk serta arahan kepada penulis untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Berkat
bimbingan, petunjuk dan arahan yang diberikan sehingga telah diperoleh hasil yang
maksimal.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak
Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., CN serta Bapak Notaris Syahril Sofyan,
v
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 12/141
S.H., M.Kn yang telah memberikan masukan-masukan terhadap penyempurnaan
tesis ini.
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B. M.Sc., selaku Direktris Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris beserta seluruh Staf
atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan pendidikan ini.
2. Para Ibu dan Bapak Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya
para Ibu dan Bapak Dosen di Magister Kenotariatan.
3. Teman-teman di Sekolah Pascasarjana Program Kenotariatan USU yang telah
memberikan dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.
Secara tulus ucapan terima kasih yang tak terhingga, penulis sampaikan
kepada kedua orang tua tercinta dan kakak-kakakku yang tersayang yang dengan
penuh kesabaran dan kasih sayangnya kepada Penulis untuk mencurahkan perhatian
dalam penulisan tesis ini.
Medan, 5 Februari 2008
Penulis
Rustamaji Purnomo
vi
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 13/141
RIWAYAT HIDUP
Nama : Rustamaji Purnomo
Tempat/Tanggal lahir : Medan / 20 Agustus 1982
Status : Belum Nikah
Pekerjaan : Pegawai
Alamat rumah : Jl. Pemuda Baru II No.19 Medan
Telepon : 061-4158328
Pendidikan :
1. SD Sutomo di Medan, lulus tahun 1994.
2. SMP Sutomo di Medan, lulus tahun 1997.
3. SMA Sutomo di Medan, lulus tahun 2000.
4.
Sarjana Hukum Universitas Dharma Agung di Medan, lulus tahun 2006.
Motto : Bekerja Sambil Belajar, Belajar Sambil Bekerja.
Hobby : Membaca, diskusi dan olahraga.
vii
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 14/141
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK .................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………......... viii
BAB I : PENDAHULUAN …………………………………………........ 1
A. Latar Belakang ……………………………………………….. 1
B. Perumusan Masalah ..……………………………………….... 6
C. Tujuan Penelitian …………………………………………….. 7
D. Manfaat Penelitian …………………………………………. 7
E.
Keaslian Penelitian …………………………………………... 7
F. Kerangka Teori dan Konsepsional …………………………... 10
G. Metode Penelitian ……………………………………………. 40
H. Sistematika Penulisan ............................................................... 42
BAB II : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE
VEIL PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS ....................
45
A. Pertanggungjawaban Terbatas Pengurus Perseroan ................ 45
B. Tanggung Jawab dan Kewenangan Direksi ........................... 51
C. Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil pada
Perusahaan Terbatas ............................................................... 61
BAB III : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE
viii
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 15/141
VEIL DALAM UNDANG-UNDANG PERSEROAN
TERBATAS ................................................................................. 71
BAB IV : ANALISIS ATAS PENERAPAN DOKTRIN PIERCING
THE CORPORATE VEIL PADA KASUS ANTARA BANK
PERKEMBANGAN ASIA DAN PT. DJAYA TUNGGAL .....
94
A. Posisi Kasus ............................................................................ 94
B. Analisis Kasus ........................................................................ 103
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 121
A. Kesimpulan ............................................................................. 121
B. Saran ....................................................................................... 122
DAFTAR PUSTAKA …………..…………………………………………...... 124
LAMPIRAN ………………………………………………………………..….. 127
ix
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 16/141
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perseroan adalah kesatuan hukum (legal entity) yang berbeda dan terpisah dari
pemegang saham perseroan terbatas itu. Sebagai suatu kesatuan hukum (legal entity)
yang terpisah dari pemegang sahamnya, perseroan dalam melakukan fungsi
hukumnya bukan bertindak sebagai kuasa dari para pemegang sahamnya, tetapi
bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri. Ciri utama suatu badan hukum adalah
adanya pemisahan antara harta kekayaan badan hukum dan pribadi para pemegang
saham. Dengan demikian, para pemegang saham tidak bertanggung jawab secara
pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama badan hukum dan juga tidak
bertanggung jawab atas kerugian badan hukum melebihi nilai saham yang telah
dimasukkannya.
Perseroan Terbatas mempunyai ciri utama yaitu Perseroan Terbatas
merupakan subjek hukum yang berstatus badan hukum, yang pada gilirannya
membawa tanggung jawab terbatas (limited liability) bagi para pemegang saham,
anggota Direksi dan Komisaris, yaitu sebesar saham yang dimasukkanya ke dalam
Perseroan tersebut.
Pasal 40 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Dagang menyatakan
bahwa para pemegang saham tidak bertanggung jawab untuk lebih daripada
jumlah penuh saham-saham itu. Kemudian hal yang sama juga ditegaskan dalam
1
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 17/141
2
Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (selanjutnya disingkat dengan UUPT) bahwa pemegang saham perseroan
terbatas tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas
nama perseroan terbatas dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan
terbatas melebihi saham yang dimilikinya. Dalam penjelasannya dinyatakan dalam
ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUPT yang mempertegas ciri perseroan bahwa
pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atau seluruh saham
yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT ini, seandainya suatu
perseroan terbatas dinyatakan pailit oleh pengadilan dan hasil penjualan dari harta
kekayaan perseroan terbatas ternyata tidak cukup untuk melunasi hutang-hutang
perseroan terbatas, para pemegang saham tidak ikut bertanggung jawab untuk
menutupi kekurangan pelunasan hutang-hutang perseroan terbatas tersebut. Akan
tetapi, hukum perseroan terbatas pada umumnya, termasuk UUPT Indonesia,
menentukan pengecualian berlakunya doktrin keterbatasan tanggung jawab
tersebut, yang dalam hukum perseroan prinsip ini dinamakan dengan doctrine
piercing the corporate veil atau lifting the corporate veil.
Akan tetapi dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan hapusnya
tanggung jawab terbatas tersebut apabila terbukti terjadi hal-hal sebagai berikut:
a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak
terpenuhi;
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidaklangsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk
kepentingan pribadi;
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 18/141
3
c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
d.
Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidaklangsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang perseroan.1
Dalam ilmu hukum dikenal "doktrin keterbatasan tanggung jawab" dari
suatu badan hukum. Maksudnya, “secara prinsipil, setiap perbuatan yang
dilakukan oleh suatu badan hukum hanya badan hukum sendiri yang bertanggung
jawab. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab, kecuali sebatas nilai
saham yang dimasukkannya”.2 Hal ini berarti bahwa harta kekayaan pribadi para
pemegang saham tidak ikut dipertanggungjawabkan sebagai tanggungan perikatan
yang dilakukan oleh badan hukum yang bersangkutan.
Penyingkapan tirai perusahaan atau dalam bahasa Inggris disebut piercing
the corporate veil, hampir dalam semua sistem hukum modern dikenal teori ini.
Hanya saja yang berbeda adalah derajat pengakuan dan variasi dari aplikasinya.
Perbedaan tersebut disebabkan baik oleh ”tradisi hukum dari negara yang
bersangkutan, yakni apakah dari tradisi hukum Anglo Saxon, tradisi Hukum Eropa
Kontinental Pranas, atau tradisi hukum Eropa Kontinental Jerman. Ataupun
karena perbedaan penafsiran dan pengalaman hukum di negara yang
1 Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas2 Munir Fuady, I, 2002, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 125
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 19/141
4
bersangkutan”.3 Dengan berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor
40 Tahun 2007, mulailah hukum Indonesia mengakui doktrin piercing the
corporate veil (penyingkapan tirai perusahaan) ini sampai batas-batas tertentu,
yang diarahkan kepada pihak pemegang saham, direksi, bahkan dalam hal yang
sangat khusus juga terhadap dewan komisaris dari suatu perseroan terbatas.
Menurut UUPT, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) bahwa
dalam hal-hal tertentu, tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab
perseroan terbatas tersebut. Hal-hal tertentu dimaksud antara lain apabila terbukti
bahwa terjadi pembauran antara kekayaan pribadi pemegang saham dan harta
kekayaan perseroan terbatas, sehingga perseroan terbatas didirikan semata-mata
sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan
pribadinya. Dengan dianutnya prinsip atau asas piercing the corporate veil
(penyingkapan tirai perusahaan) dalam hukum perseroan, pertanggungjawaban
hukum para pemegang saham yang semula terbatas dapat menjadi tidak terbatas
dalam hal-hal tertentu.
Dalam perkembangan hukum bisnis di Indonesia, terdapat sejumlah kasus
yang menyangkut doktrin piercing the corporate veil ini. Sejumlah kasus telah
diajukan ke pengadilan dan pengadilan telah menyingkap tabir perseroan.
Walaupun demikian, prinsip pertanggungjawaban terbatas para pemegang saham
tetap kuat tidak tergoyahkan. “Pada umumnya gugatan ditujukan pada direksi atau
3 Munir Fuady, II, 2002, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya
Dalam Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 1
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 20/141
5
pemegang saham pengendali, dan pengadilan merobek cadar perseroan, atas dasar
bahwa perseroan tersebut hanya digunakan sebagai topeng atau agen dari
pemegang saham”.4
Dalam menyingkap atau merobek cadar perseroan ini ( piercing the
corporate veil) pengadilan memperhatikan substansi atau kenyataan praktis pada
bentuk formal dari perseroan terbatas tersebut. Dalam banyak kasus, pengadilan
menyingkap tabir perseroan bilamana pemegang saham dengan sengaja atau
sebaliknya mempergunakan perseroan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan
tertentu atau untuk menghindari kewajiban-kewajiban. “Dalam hal terdapat
kemungkinan penyalahgunaan bentuk perseroan, pengadilan dapat menganggap
perseroan hanya atau semata-mata selubung (cloak ) atau kepura-puraan (sham)
dan pengadilan akan menyingkap tabir perseroan”.5
Salah satu contoh kasus yang menggunakan doktrin penyingkapan tirai
perusahaan ( piercing the corporate veil) ini adalah kasus perjanjian kredit antara
PT Djaya Tunggal dengan Bank Perkembangan Asia. Dalam kasus ini, ternyata
pengurus PT. Bank Perkembangan Asia, pemberi kredit (kreditor) adalah sama
dengan pengurus PT. Djaya Tunggal sebagai penerima kredit (debitor). Pada saat
pemberian kredit direksi PT. Bank Perkembangan Asia dijabat oleh personalia
yang sama dengan PT. Djaya Tunggal. Dengan demikian kredit yang disalurkan oleh
4 Chatamarrasjid Ais, I, 2004, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum
Perusahaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 15 Ibid , hal. 14
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 21/141
6
PT. Bank Perkembangan Asia adalah merupakan kredit yang diberikan kepada
perusahaan yang termasuk dalam grup PT. Bank Perkembangan Asia itu sendiri.
Dalam pemberian kredit tersebut terdapat penyalahgunaan kekuasaan dari
pihak pengurus PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal dimana
kreditor dan debitornya adalah sama sehingga mengakibatkan timbulnya kerugian
bagi pihak lain/pihak ketiga. Oleh karena berdasarkan Pasal 45 ayat (1) KUH Dagang
pengurus PT tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi atas
perikatan yang dibuat oleh PT, maka dengan berdasarkan doktrin penyingkapan tirai
perusahaan ( piercing the corporate veil), pertanggungjawaban terbatas (limited
liability) dari suatu perseroan terbatas dapat dibebankan kepada para pengurusnya.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa permasalahan yang perlu dibahas adalah sebagai berikut :
1. Dalam hal yang bagaimanakah doktrin piercing the corporate veil dapat
diterapkan pada suatu perseroan terbatas?
2. Bagaimana penerapan doktrin piercing the corporate veil dalam UUPT ?
3. Bagaimana analisis atas penerapan doktrin piercing the corporate veil pada kasus
antara PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal ?
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 22/141
7
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dalam hal yang bagaimana doktrin piercing the corporate veil
dapat diterapkan pada suatu perseroan terbatas.
2. Untuk mengetahui penerapan doktrin piercing the corporate veil dalam UUPT.
3. Untuk mengetahui analisis atas penerapan doktrin piercing the corporate veil
pada kasus antara PT. Bank Perkembangan Asia dengan PT. Djaya Tunggal.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Secara teoretis hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan khususnya bidang hukum
perusahaan serta menambah khasanah perpustakaan.
2. Secara praktis bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran
bagi ilmu pengetahuan hukum mengenai doktrin piercing the corporate veil
bagi para praktisi hukum maupun akademisi.
E.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik
terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan
khususnya pada Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara belum ada
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 23/141
8
penelitian yang menyangkut masalah “Penerapan Doktrin Piercing The Corporate
Veil Pada Perseroan Terbatas (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank
Perkembangan Asia)”.
Akan tetapi ada beberapa penelitian tesis yang dilakukan oleh:
1. Erlina, mahasiswa progam Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara pada tahun 2004 dengan judul penelitian “Tanggung
Jawab Direksi Perseroan Terbatas Dalam Tindakan Ultra Vires”. Dalam
penelitian tersebut permasalahan yang diajukan adalah:
a. Bagaimanakah pengaturan tanggung jawab direksi perseroan.
b. Bagaimanakah pengaturan ultra vires dalam melindungi perusahaan dan pihak
ketiga.
c. Bagaimanakah gerak pelaksanaan tanggung jawab direksi dalam tindakan
ultra vires.
2. Halida Rahardini, mahasiswa progam Magister Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tahun 2004 dengan judul penelitian
“Tanggung Jawab Direktur Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Perseroan
Terbatas”. Dalam penelitian tersebut penelitian tersebut permasalahan yang
diajukan adalah:
a.
Bagaimanakah kriteria untuk menentukan bahwa direktur telah melanggar
prinsip fiduciary duty ?
b. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya kepailitan suatu
perseroan terbatas ?
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 24/141
9
c. Bagaimanakah tanggung jawab seorang direktur dalam hal terjadinya
kepailitan terhadap perseroan yang dipimpinnya ?
3. Yindika Lawrance, mahasiswa progam Magister Kenotariatan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada tahun 2007 dengan judul penelitian
“Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas Terhadap Perjanjian-Perjanjian
yang Dibuat Sebelum Perseroan Terbatas Berbadan Hukum”, dengan topik
permasalahannya adalah:
a. Bagaimana kedudukan dan tanggungjawab yuridis dari pendiri PT sebelum
PT memperoleh status badan hukum ?
b. Bagaimana kekuatan perjanjian-perjanjian yang telah dibuat oleh pendiri PT
sebelum PT memperoleh status badan hukum ?
c. Bagaimana tata cara pengalihan tanggung jawab pendiri PT terhadap
perjanjian-perjanjian yang dibuat pada tahap sebelum PT memperoleh status
badan hukum menjadi tanggung jawab persero ?
Dilihat dari titik permasalahan dari masing-masing penelitian di atas, terdapat
perbedaan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan demikian
penelitian ini betul asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 25/141
10
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1.
Kerangka Teori
1.1 Organ-organ Perseroan Terbatas
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(selanjutnya disingkat dengan UUPT), dibentuk dalam era globalisasi. Oleh
karena itu, terdapat berbagai doktrin hukum yang mempengaruhi isi dari UUPT
tersebut, termasuk doktrin hukum dari negara Common Law System.
Try Widiyono mengatakan bahwa :
Badan hukum sebagai subyek hukum berhubungan dengan subyek hukum
lainnya, maka apabila terjadi dispute, tuntutan hukum dapat dialamatkan
kepada badan hukum lainnya. Sekalipun dalam bertindak badan hukumtersebut diwakili oleh direksinya, tetapi hubungan hukum tersebut tetap
merupakan hubungan hukum antara subyek hukum. Namun demikian,
direksi merupakan salah satu organ perseroan dari bad an hukum itumempunyai hubungan dan tanggung jawab intern perseroan.
6
Hubungan hukum intern perseroan disini maksudnya adalah “hubungan
hukum antara pemegang saham, RUPS, Komisaris dan Direksi”.7 Secara intern,
perseroan terbatas sebagai badan hukum mempunyai hubungan hukum yang tercipta
berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
1. peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. anggaran dasar perseroan
6 Try Widiyono, 2005, Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Perseroan) Keberadaan,
Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, Berdasarkan Doktrin Hukum dan UUPT , Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal. 297 Ibid
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 26/141
11
3. doktrin hukum yang berlaku umum dan universal.8
Hubungan hukum intern tersebut membatasi kesewenang-wenangan
pemegang saham, direksi, dan komisaris yang sekaligus meletakkan tanggung jawab
masing-masing. “Hal-hal tersebut di atas memberikan arah apa yang diperintahkan
(imperare), apa yang dilarang ( prohibere), serta apa yang diperbolehkan ( permittere)
kepada pemegang saham, komisaris, dan direksi”.9
Sebagai “artificial person”, perseroan tidak mungkin dapat bertindak sendiri.
Perseroan tidak memiliki kehendak untuk menjalankan dirinya sendiri. Oleh karena
itu diperlukan orang-orang yang memiliki kehendak yang akan menjalankan
perseroan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian perseroan. “Orang-
orang yang akan menjalankan, mengelola, dan mengurus perseroan ini, dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas disebut dengan istilah ”organ perseroan”.10
Masing-masing organ dalam perseroan memiliki tugas dan wewenang yang
berbeda-beda dalam melakukan pengelolaan dan pengurusan perseroan.
Seperti disebutkan di atas, dalam perseroan terbatas terdapat 3 (tiga) organ,
yakni Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Komisaris. RUPS
(algemene vergardering van aandeelhourders) adalah ”lembaga yang mewadahi para
pemegang saham (stockholder , aandeelhourder ) dan merupakan organ perseroan
yang memegang kekuasaan tertinggi dan memegang kewenangan yang tidak
8 Ibid , hal. 309 Ibid 10 Gunawan Widjaja, 2004, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 20
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 27/141
12
diserahkan kepada Direksi dan Komisaris”.11
Kemudian Direksi ( Board of Direktor ,
BoD) merupakan ”organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan
perseroan ( fiduciary duty), mewakili perseroan baik di dalam, maupun di luar
pengadilan berdasarkan Anggaran Dasar (intra vires)”.12
Sedangkan Komisaris
( Board of Commisioner , BoC atau Board of Trustee) adalah ”organ perseroan yang
bertanggung jawab melakukan pengawasan baik secara umum maupun khusus serta
memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan perseroan”.13
1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan organ perseroan yang
paling tinggi dan berkuasa untuk menentukan arah dan tujuan perseroan. RUPS
memiliki segala kewenangan yang tidak diberikan kepada direksi dan komisaris
perseroan. RUPS mempunyai hak untuk memperoleh segala macam keterangan
yang diperlukan yang berkaitan dengan kepentingan dan jalannya perseroan.
Kewenangan tersebut merupakan kewenangan eksklusif (exclusive
authority) yang tidak dapat diserahkan kepada organ lain yang telah
ditetapkan dalam UUPT dan Anggaran Dasar”. Wewenang eksklusif yangditetapkan dalam UUPT akan ada selama UUPT belum diubah. Sedangkan
wewenang eksklusif dalam Anggaran Dasar yang disahkan atau disetujui
Menteri Kehakiman dapat diubah melalui perubahan Anggaran Dasarsepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan UUPT.
14
11 Umar Kasim, 2005, Tanggung Jawab Korporasi Dalam Hal Mengalami Kerugian,
Kepailitan atau Likuidasi, Informasi Hukum Vol. 2 Tahun VII, http://www.nakertrans.go.id
/majalah_buletin/info_hukum/vol2_v_ii_2005/Tanggung_jawab_Korporasi.php12 Ibid13 Ibid14 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 78. Lihat juga Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum
Perusahaan Perseroan Terbatas, PT. Alumni, Bandung, hal. 129
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 28/141
13
Wewenang RUPS tersebut terwujud dalam bentuk jumlah suara yang
dikeluarkan dalam setiap rapat. Hak suara dalam RUPS dapat digunakan untuk
berbagai maksud dan tujuan diantaranya ialah menyetujui atau menolak:
a. Rencana perubahan Anggaran Dasar;
b. Rencana penjualan asset dan pemberian jaminan hutang;
c. Pengangkatan dan pemberhentian anggota direksi dan/atau komisaris;d. Laporan keuangan yang disampaikan oleh direksi;
e. Pertanggungjawaban direksi;
f. Rencana penggabungan, pelebur an dan pengambilalihan;
g. Rencana pembubaran perseroan.15
2) Direksi
Keberadaan direksi dalam perseroan terbatas ibarat nyawa bagi perseroan.
Tidak mungkin suatu perseroan tanpa adanya direksi. Sebaliknya tidak mungkin
ada direksi tanpa adanya perseroan. Oleh karena itu, keberadaan direksi bagi
perseroan terbatas sangat penting.16
Walau tidak ada suatu rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan
direksi dalam suatu perseroan terbatas, yang jelas, direksi merupakan badan
pengurus perseroan yang paling tinggi, karena direksi berhak dan berwenang
untuk menjalankan perusahaan, bertindak untuk dan atas nama perseroan (baik di
dalam maupun di luar pengadilan) dan bertanggung jawab atas pengurusan dan
jalannya perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan.17
15 Rachmadi Usman, 2004, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. PT. Alumni.
Bandung, hal. 13116 Try Widiyono, Op Cit , hal. 717 Lihat Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 29/141
14
Kemudian dari rumusan Pasal 92 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan
Terbatas dapat diketahui bahwa organ perseroan yang bertugas melakukan
pengurusan perseroan adalah direksi. Setiap anggota direksi wajib dengan itikad
baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha
perseroan. “Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa setiap anggota direksi
bertanggung jawab secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan”.18
Undang-Undang Perseroan Terbatas tidak memberikan suatu ketentuan
lebih lanjut mengenai makna pengurusan perseroan oleh direksi. Fred B.G.
Tumbuan dalam “Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris serta Kedudukan
RUPS Perseroan Terbatas” yang dikutip Gunawan Widjaja, mengatakan bahwa:
Kewenangan pengurusan tersebut dipercayakan oleh undang-undang
kepada direksi untuk kepentingan perseroan sebagai badan hukum yang
mempunyai eksistensi sendiri selaku subjek hukum mandiri (Persona
standi in judicio). Dalam menjalankan fungsinya tersebut, dir eksi perseroan terikat pada kepentingan perseroan sebagai badan hukum.
19
“Direksi merupakan satu-satunya organ dalam perseroan yang
melaksanakan fungsi pengurusan perseroan”.20
Pada prinsipnya ada 2 (dua)
fungsi utama dari direksi suatu perseroan, yaitu sebagai berikut:
1. Fungsi manajemen, dalam arti direksi melakukan tugas memimpin
perusahaan. Fungsi manajemen ini dalam hukum Jerman disebutdengan Geschaftsfuhrungs-befugnis, dan
18 Gunawan Widjaja, Op Cit , hal. 2119 Ibid, hal. 2120 Teori ini disebut dengan organ theory. Teori ini merupakan salah satua teori mengenai
kewenangan bertindak badan hukum yang paling banyak dianut dewasa ini. Ibid, hal.2
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 30/141
15
2. Fungsi representasi, dalam arti direksi mewakili perusahaan di dalam
dan di luar pengadilan. Prinsip mewakili perusahaan di luar pengadilan
menyebabkan perseroan sebagai badan hukum akan terikat dengantransaksi atau kontrak-kontrak yang dibuat oleh direksi atas nama dan
untuk kepentingan perseroan. Fungsi re presentasi ini dalam hukum
Jerman disebut dengan Vertretungsmacht.21
Keberadaan dan fungsi direksi perseroan terbatas berdasarkan UUPT
dapat dilihat dari beberapa ketentuan sebagai berikut:
1) Pasal 1 ayat (2) UUPT yang menyatakan organ perseroan adalah rapat
umum pemegang saham, direksi dan komisaris.
2) Pasal 1 ayat (5) UUPT yang menyatakan direksi adalah organ perseroan
yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan
perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili
perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar.
3) Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan, kepengurusan perseroan
dilakukan oleh direksi.
4) Pasal 97 jo Pasal 98 UUPT yang menyatakan, direksi bertanggung jawab
penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan
serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
5)
Pasal 97 ayat (2) UUPT yang menyatakan, setiap anggota direksi wajib
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan dan usaha perseroan.
21 Munir Fuady II, Op Cit , hal. 32
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 31/141
16
Dalam menjalankan tugasnya, Direksi diberikan hak dan kekuasaan
penuh, dengan konsekuensi setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh
Direksi akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan
Perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam
Anggaran Dasar (intra vires) dan tidak melampui batas kewenangannya.
Selama Direksi melaksanakan tugas sebagaimana seharusnya (intra vires),
maka sudah selayaknyalah tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara
pribadi, walaupun Pasal 1367 ayat (1) dan (3) KUH Perdata merumuskan bahwa :
a. Seorang tidak bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjaditanggungannya, atau disebabkan oleh barang- barang yang berada
dibawah pengawasannya (Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata).
b. Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain
untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggungjawabtentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan, atau
bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk manaorang-orang ini dipakainya (Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata).
Selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas anggaran dasar
perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari
perbuatan Direksi tersebut, termasuk apabila mengalami kerugian atau kepailitan.
Hal inilah yang dimaksud dengan doktrin businees judgement rule.
Sedangkan bagi tindakan-tindakan Direksi yang merugikan Perseroan,
yang dilakukan di luar batas kewenangan yang diberikan kepadanya oleh
Anggaran Dasar (ultra vires), dapat tidak diakui oleh atau sebagai tindakan
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 32/141
17
perseroan. Dengan ini, berarti direksi bertanggung jawab secara pribadi atas setiap
tindakannya yang di luar batas kewenangan yang diberikan dalam anggaran dasar
perseroan.
Tindakan direksi dalam mengurus perseroan tidak hanya berdasarkan
ketentuan yang ada pada UUPT dan atau anggaran dasar perseroan yang
bersangkutan. Tindakan direksi juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a.
Intravires dan Ultravires
Secara sederhana, pengertian intravires adalah dalam kewenangan,
sedangkan ultravires diartikan sebagai "bertindak melebihi
kewenangannya".22
Berkaitan dengan intravires dan ultravires, Fred B.G. Tumbuan
sebagaimana dikutip oleh Try Widiono menyatakan bahwa :
Intravires adalah perbuatan yang secara eksplisit atau secara implisit
tercakup dalam kecakapan bertindak PT (termasuk dalam maksud dantujuan PT). Sedangkan ultravires adalah perbuatan yang berada di luar
kecakapan bertindak (tidak termasuk dalam maksud dan tujuan PT).
Ultra Vires mengandung arti bahwa perbuatan tertentu itu pada
hakikatnya adalah sah (dalam hubungan dengan pihak lain), tetapi
ternyata berada di luar kecakapan bertindak PT, sebagaimana diatur
dalam anggaran dasar dan atau berada di luar ruang lingkup maksuddan tujuannya.
23
Mengenai ultravires ini I.G. Rai Widjaya menyatakan:
Disebut ultravires apabila tindakan yang dilakukan berada di luar
kapasitas (capaciy) perusahaan, yang dinyatakan dalam maksud dan
22 Try Widiono, Op Cit , hal. 4323 Ibid , hal. 43
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 33/141
18
tujuan perusahaan yang tercantum dalam Anggaran Dasar. Di Inggris,
suatu tindakan ultr a vires adalah hanya bila secara jelas di luar tujuan
pokok perusahaan.
24
“Perbuatan ultra vires pada prinsipnya adalah perbuatan yang batal
demi hukum dan oleh karena itu tidak mengikat perseroan”.25
Dalam hal
ini ada 2 (dua) hal yang berhubungan dengan tindakan ultra vires
perseroan, yaitu :
1.
Tindakan yang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta anggaran dasar perseroan adalah tindakan yang
berada di luar maksud dan tujuan perseroan.2. Tindakan dari direksi perseroan di luar kewenangan yang
diberikan kepadanya berdasarkan ketentuan yang berlaku,
termasuk anggaran dasar perseroan.26
“Prinsip-prinsip ultravires ini sangat penting untuk dapat mengukur suatu
perbuatan hukum para pengurus perseroan, apakah perbuatannya sesuai
dengan kewenangan bertindak sebagaimana diatur dalam anggaran dasar atau
tidak”.27
Jika perbuatan tersebut melampaui kewenangan yang diberikan oleh
anggaran dasar, maka pengurus perseroan tersebut harus bertanggung jawab
sampai harta pribadinya dan bertanggung jawab pada dirinya sendiri, baik
pidana maupun perdata.
Sampai seberapa jauh suatu perbuatan dapat dikatakan telah
menyimpang dari maksud dan tujuan perseroan sehingga dapat
24 I.G. Ray Widjaya, 2000, Hukum Perusahan, Megapoin, Jakarta, hal. 22725 Gunawan Widjaja, Op Cit , hal. 2226 Ibid , hal. 2227 Try Widiono, Op Cit , hal. 44
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 34/141
19
dikategorikan sebagai perbuatan ultra vires, harus dapat dilihat dari
kebiasaan atau kelaziman yang terjadi dalam praktik dunia usaha.
b.
Fiduciary duty
Mengurus perseroan bukan merupakan hal yang mudah. Oleh karena
itu, agar perseroan tersebut terurus sesuai maksud didirikannya perseroan,
maka untuk menjadi direksi perlu persyaratan dan keahlian.
“Pendelegasian wewenang dari perseroan kepada direksi untuk mengelola
perseroan terbatas lazim disebut sebagai fiduciary duty”.28
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah tugas yang terbit dari suatu
hubungan fiduciary antara direksi dengan perusahaan yang dipimpinnya,
yang menyebabkan direksi berkedudukan sebagai trustee. Oleh karena itu
”seorang direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of
care and skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya
dengan ”derajat yang tinggi” (high degree)”.29
Pada dasarnya direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak
atas nama dan untuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang
diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran
dasar perseroan. “Setiap tindakan yang dilakukan oleh direksi di luar
kewenangan yang diberikan tersebut tidak mengikat perseroan. Ini berarti
28 Ibid , hal. 829 Munir Fuady II, Op Cit, hal. 49
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 35/141
20
direksi memiliki limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan
perseroan”.
30
Sehubungan dengan hal tersebut Paul L. Daviesz dalam Gower's
Principles of Modern Company Law yang dikutip oleh Gunawan Widjaja
menyatakan bahwa:
In applying the general equitable principle to company directors, four
separate rules have emerged. These are:
(1)
That directors must act in good faith in what they believe to be thebest interest of the company;
(2)
That they must not exercise the powers conferred upon them for
purposes different from those for which they were conferred;
(3)
That they must not fetter their discretion as to how they shall act;
(4)
That, without the informed consent of the company, they must not
place themselves in a position in which their personal interests or
duties to other persons are liable to conflict with their duties.31
Keempat prinsip menunjukkan bahwa direksi perseroan dalam
menjalankan tugas kepengurusannya harus senantiasa:
a) Bertindak dengan itikad baik;
b) Senantiasa memperhatikan kepentingan perseroan dan bukan
kepentingan dari pemegang saham semata-mata;c) Kepengurusan perseroan harus dilakukan dengan baik sesuai
dengan tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan
tingkat kecermatan yang wajar, dengan ketentuan bahwa direksitidak diperkenankan untuk memperluas maupun mempersempit
ruang lingkup geraknya sendiri;
d) Tidak diperkenankan melakukan tindakan yang dapat menyebabkan
benturan kepentingan antara kepentingan perseroan dengankepentingan direksi.
32
30 Gunawan Widjaja, Op Cit, hal. 2331 Ibid , hal. 2332 Ibid , hal 23-24
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 36/141
21
Menurut Gunawan Widjaja bahwa “Pada dasarnya direksi merupakan
organ "kepercayaan" perseroan yang akan bertindak mewakili perseroan
dalam segala macam tindakan hukumnya untuk mencapai tujuan dan
kepentingan perseroan”.33
Berkaitan dengan prinsip kepercayaan tersebut,
ada 2 (dua) hal yang dapat dikemukakan yaitu:
a) Direksi adalah trustee bagi perseroan (duty of loyalty and good faith);
b) Direksi adalah agen bagi perseroan dalam mencapai tujuan dan
kepentingannya (duty of care and skill).34
Selanjutnya Gunawan Widjaja menjelaskan bahwa :
Tugas dan tanggung jawab direksi tersebut di atas merupakan tugas dantanggung jawab direksi sebagai suatu organ yang merupakan tanggung
jawab kolegial sesama anggota direksi terhadap perseroan. Direksi tidak
secara sendiri-sendiri bertanggung jawab kepada perseroan. Ini berartisetiap tindakan yang diambil atau dilakukan oleh salah satu atau lebih
anggota direksi akan mengikat anggota direksi lainnya. Namun ini tidak
berarti tidak diperkenankan terjadinya pembagian tugas di antara anggota
direksi perseroan demi pengurusan perseroan yang efisien.
35
Dengan demikian, fiduciary duty dari direksi perseroan dimaksudkan
adalah :
Jika dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan perusahaan, di
mana perusahaan tersebut mempunyai kepercayaan yang besar (great
trust ) kepadanya, sementara di lain pihak, dia wajib mempunyai itikad baik yang tinggi (high degree of good faith), loyalitas yang tinggi (high
degree of loyalty), kejujuran yang tinggi (high degree of honesty), serta
33 Ibid , hal. 2434 Ibid, hal. 24-2535 Ibid , hal. 25
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 37/141
22
kepedulian dan kemampuan yang tinggi (high degree of car e and skill)
dalam menjalankan tugasnya kepada perusahaan tersebut”.36
Jadi, dengan fiduciary duty ini, di pihak direksi dia harus mempunyai
itikad baik yang tinggi dan loyalitas yang tinggi dalam menjalankan
tugasnya, sementara di pihak perusahaan harus mempunyai kepercayaan
yang besar kepada direksinya.
Dengan demikian, apabila misalnya direksi hanya menjalankan
tugasnya dengan penuh kehatian-hatian, atau itikad baik, atau loyalitas saja
(tidak dalam keadaan lalai atau negligence), belumlah sampai dikatakan
bahwa dia telah menjalankan fiduciary duty. ”Untuk sampai dikatakan
bahwa dia sudah menjalankan fiduciary duty, maka kepedulian dan
kemampuan (duty of care and skill), atau itikad baik, atau loyalitas tersebut
haruslah dengan "derajat yang tinggi" (high degree)”.37
Dengan demikian, seorang direksi sungguhpun sudah cukup hati-hati
(dalam arti tidak lalai atau negligence) dalam menjalankan tugasnya, masih
belum cukup kuat untuk dikatakan bahwa dia terbebas dari tanggung jawab
hukum seandainya dengan tindakan-tindakannya tersebut ada pihak yang
dirugikan. Sebaliknya, manakala seorang direktur suatu perseroan tidak
menjalankan tugasnya secara cukup hati-hati (due care) terhadap
perusahaannya, maka dia sudah dapat dimintakan tanggung jawabnya
secara hukum, meskipun menurut teori fiduciary duty , batas tanggung
36 Munir Fuady II, Op Cit, hal. 5137 Ibid , hal. 51
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 38/141
23
jawab hukum lebih dari sekadar menjalankan tugas dengan kehati-hatian
saja. Dengan kata lain, hati-hati saja secara hukum masih belum cukup.
c. Tugas mempedulikan (duty of care)
Tugas mempedulikan (duty of care) yang diharapkan dari direksi adalah
duty of care sebagaimana dimaksud dalam hukum tentang perbuatan melawan
hukum (onrechtmatige daad), dalam arti direksi diharapkan untuk berbuat
secara hati-hati sehingga terhindar dari perbuatan kelalaian (negligence) yang
merugikan pihak lain.38
Menurut Pasal 97 ayat (1) UUPT, direksi bertanggungjawab penuh atas
pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Dalam
ketentuan Pasal 92 ayat (1) UUPT disebutkan bahwa “Direksi menjalankan
pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud
dan tujuan perseroan”. Sejalan dengan ketentuan Pasal 97 UUPT, oleh Pasal
97 ayat (2) UUPT ditentukan bahwa “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab”. Dengan kata lain, “tugas dan kewajiban direksi yang
ditentukan dalam Pasal 97 ayat (1) UUPT, yaitu melakukan kepengurusan
perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan, dan wajib dijalankan dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab”.39
38 Ibid39 Sutan Remy Sjahdeini, 2002, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal. 425
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 39/141
24
Berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (1) dan (2) UUPT, terdapat 2 (dua)
unsur pokok yang harus diperhatikan oleh direksi perseroan dalam
menjalankan tugas kepengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 92 ayat (1) UUPT yaitu :
a. Kepentingan dan tujuan/usaha perseroan;
b. Itikad baik dan penuh tanggung jawab.
“Kedua unsur tersebut harus dipenuhi secara kumulatif dan bukan alternatif,
artinya harus dipenuhi kedua-duanya”.40
Apa yang dimaksud dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab tersebut,
dalam UUPT baik dari pasal-pasalnya maupun penjelasannya tidak
memberikan jabaran lebih jauh mengenai maksud atau kandungan dari konsep
itikad baik dan penuh tanggung jawab itu. Namun di Negara-negara yang
menganut common law system acuan yang digunakan adalah standard of care
atau standar kehati-hatian. “Apabila direksi telah bersikap dan bertindak
melanggar standard of care, maka direksi tersebut dianggap telah melanggar
duty of care-nya”.41
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 92 UUPT, direksi tidak boleh
melakukan kegiatan yang sekalipun dilakukan demi kepentingan perseraon
tetapi tidak sejalan dengan tujuan perseroan sebagaimana ditentukan dalam
Anggaran Dasar perseroan. Misalnya suatu perseroan yang dalam Anggaran
40 Ibid 41 Ibid , 426-427
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 40/141
25
Dasarnya ditentukan bertujuan untuk melakukan kegiatan real estate tetapi
ternyata direksi melakukan kegiatan bisnis ekspor. Sekalipun kegiatan ekspor
yang dilakukan direksi sangat meguntungkan perseroan, tetapi tetap direksi
melanggar ketentuan Pasal 92 UUPT. Sebaliknya, sekalipun direksi melakukan
kegiatan di bidang real estate sesuai tujuan perseroan sebagaimana ditentukan
dalam Anggaran Dasar perseroan, tetapi apabila kegiatan tersebut adalah untuk
keuntungan perusahaan lain, misalnya perusahaan dimana direksi memiliki
kepentingan sebagai salah satu pemegang saham perseroan tersebut, maka
direksi juga dianggap melanggar ketentuan Pasal 92 UUPT. Dengan kata lain,
ketentuan Pasal 92 UUPT mewajibkan direksi melakukan kegiatan
kepengurusan perseroan bukan saja kegiatan yang sejalan dengan kepentingan
perseroan, tetapi juga harus sejalan dengan tujuan perseroan sebagaimana
ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya. Dari ketentuan Pasal 92 UUPT itu pula
dapat diketahui bahwa direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan
tugasnya itu.
Beberapa prinsip hukum yang terbit dari adanya duty of care dari direksi
adalah sebagai berikut:
a. Agar terpenuhinya unsur duty of care, maka terhadap direksi berlaku
standar kepedulian (standard of care) sebagai berikut:a) Selalu beritikad baik.
Contoh dari perbuatan-perbuatan yang tidak dilandasi dengan itikad baik itu adalah :
1. Perseroan membeli barang atau properti dari pihak lain dengan
harga yang lebih tinggi dari harga yang wajar, atau
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 41/141
26
2. Perseroan menjual harta kekayaan perseroan kepada pihak lain
dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga wajarnya.
Sedangkan direksi memperoleh keuntungan pribadi daritransaksi itu, atau
3. Apabila direksi dari suatu lembaga kredit, seperti misalnya
bank atau perusahaan pembiayaan (multi finance company),telah memberikan kredit kepada pihak lain dengan tidak
melakukan analisis yang baik sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku dimana sekalipun
permohonan kredit itu sebenarnya tidak layak ( fesible), tetapidireksi bank atau perusahaan pembiayaan tersebut
memutuskan untuk memberikan kredit yang dimohon oleh
nasabah dan ternyata kemudian kredit menjadi macet yang
sangat merugikan bank atau lembaga pembaiayaan itu.4. Seorang anggota direksi atau para anggota direksi dapat pula
memperoleh manfaat pribadi dari jabatannya apabila mereka
memanfaatkan kesempatan transaksi yang seyogianyadilakukan dengan dan untuk kepentingan perseroan yang
dipimpinnya, tetapi transaksi itu disalurkan kepada perseroan
lain dimana anggota direksi yang bersangkutan mempunyaikepentingan.
b) Tugas-tugas dilakukan dengan kepeduliannya seperti yang
dilakukan oleh orang biasa yang berhati-hati (ordinarily prudent
person) dalam posisi dan situasi yang sama, atau seperti yang
dilakukan oleh orang tersebut untuk kepentingan bisnis pribadinya.
c) Tugas-tugas dilakukan dengan cara yang dipercayanya secara logis(reasonably believe) merupakan kepentingan yang terbaik (best
interest) dari perseroan.
b. Secara hukum, seorang direktur perseroan tidak akan bertanggung jawab semata-mata atas salah dalam mengambil keputusan (mere errors
of judgement ). Bahkan, asalkan dia beritikad baik dan cukup berhati-
hati, keputusan yang salah tidak dapat dibebankan kepada direksi,
sungguhpun kesalahan tersebut akibat kurang pengalaman atau kurangkomprehensif dalam mengambil keputusan. Dengan demikian, suatuhonest mistake yang dilakukan oleh direksi masih dapat ditoleransi oleh
hukum. Bahkan, hakim tidak diperkenankan untuk melakukan penilaian bisnis yang berbentuk second guess terhadap keputusan direksi. Hal ini
sesuai pula dengan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam "teori
keputusan bisnis" (business judgement rule).
c. Secara hukum, seorang direktur tidak diharapkan tingkat keahlian(degree of skill) kecuali hanya setingkat yang dapat diharapkan secara
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 42/141
27
wajar dari orang yang sama pengetahuan dan sama pengalaman
dengannya, atau yang dalam bahasa hukum populer dengan istilah
degree of skill that may reasonably be expected from a person of hisknowledge and experience.
d. Terhadap tugas-tugas direksi yang dapat didelegasikan kepada
bawahannya, maka berlaku asumsi hukum bahwa pihak bawahan telahmelakukan tugasnya secara jujur (kecuali ada kecurigaan sebaliknya).
e. Direksi akan bertanggung jawab secara hukum manakala dia gagal
dalam mengarahkan ( failure to direct ) bawahannya dan jalannya
perusahaan.
f. Direksi akan bertanggungjawab secara hukum manakala dia
mengetahui, membantu atau ikut melakukan tindakan yang
bertentangan dengan hukum, sungguhpun hal tersebut semata-mata
untuk kepentingan perseroan yang dipimpinnya.42
Dalam teori ilmu hukum perseroan, prinsip kepedulian (due care) dari
direksi terhadap perseroan memiliki 2 (dua) persyaratan sebagai berikut:
a) Syarat prosedural
Syarat prosedural yang dipersyaratkan oleh hukum kepada direksi dari
suatu perseroan adalah bahwa seorang direksi haruslah selalu menaruh
perhatian dengan sungguh-sungguh kepada jalannya perseroan. Disamping itu, direksi juga harus selalu mendapatkan informasi yang
lengkap (well informed) terhadap perseroannya.
b) Syarat substantif
Syarat substantif yang terbit dari prinsip kepedulian (due care)
terhadap seorang direktur perusahaan adalah bahwa dalam mengambil
keputusan perseroan, pihak direktur haruslah dilakukannya berdasarkan pertimbangan yang rasional. Akan tetapi, standar rasional tersebut tidak
berarti bahwa direksi harus mengambil keputusan yang benar-benar
optimal. Yang dibutuhkan bahwa munculnya (appearance) darikeputusan tersebut terlihat sebagai respon yang wajar terhadap situasi
yang ada, yang oleh hukum dilarang adalah manakala pihak direksi bertindak begitu sangat tidak bijaksana, sangat tidak rasional, dan di
luar tindakan direksi yang dibenarkan oleh hukum.43
42 Munir Fuady II, Op Cit, hal. 50-5143 Ibid , hal. 49-50
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 43/141
28
d.
Business Judgment Rule
Selain doktrin duty of care, terdapat juga doktrin lain yang disebut Business
Judgment Rule. Berlakunya doktrin ini (menurut pendapat beberapa ahli hukum
dianggap) telah memberikan kelegaan karena “duty of care telah menimbulkan
kekhawatiran yang mendalam bagi para anggota direksi perseroan”.44
Untuk mengukur kepercayaan yang diberikan oleh perseroan kepada direksi,
berdasarkan prinsip fiduciary duty, maka sebagai organ perseroan yang
menjalankan kegiatan usaha sebagaimana maksud dan tujuan perseroan, direksi
tentu dihadapkan kepada risiko bisnis. Risiko itu terkadang berada di luar
kemampuan maksimal direksi. Oleh karena itu, “untuk melindungi
ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia, maka
direksi dilindungi oleh doctrine business judgements rule”.45
Menurut Try Widiono :
Doktrin ini mendudukkan manusia pada proporsi yang sebenarnya dengan
segala kekurangannya, yang sering mengalami pencapaian atau harapan dari prediksi yang dirancang. Seorang direksi, bagaimanapun tidak mungkin
selalu benar dalam menjalankan usahanya, karena error (kekeliruan) adalah
kelengkapan manusia. Sudah sepantasnya jika seorang direktur perseroantidak digeneralisir untuk bertanggungjawab atas kesalahan dalam mengambil
keputusan (mere errors of judgement) tanpa mempertimbangkan unsur
manusiawinya. Doctrine business judgements rule memberikan perlindungankepada direksi perseroan atas kemungkinan kesalahan yang diakibatkan oleh
suatu keadaan yang wajar dan manusiawi.46
44 Gunawan Widjaja, Op Cit , hal. 3745 Try Widiono, Op Cit , hal. 4646 Ibid, hal. 46-47
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 44/141
29
“Konsep Business Judgment Rule mencegah pengadilan-pengadilan
mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh direksi yang diambil dengan
itikad baik tanpa kepentingan pribadi dan keyakinan yang dapat
dipertanggungjawabkan bahwa mereka telah mengambil suatu keputusan yang
menguntungkan perseroan”.47
Sutan Remi dalam makalahnya yang berjudul "Tanggung Jawab Pribadi
Direksi dan Komisaris" menyatakan bahwa :
Menurut business judgment rule, pertimbangan bisnis (business
judgment) para anggota direksi tidak dapat ditantang (diganggu gugat) atauditolak oleh pengadilan atau oleh pemegang saham. Para anggota direksi
tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena
telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis (business judgment) olehanggota direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru,
kecuali dalam hal-hal tertentu. Business judgment rule adalah "a
presumption that in making a business decision, the directors of
corporation acted on an informed basis in good faith and in a honest
belief that the action was taken in the best interest of the company.
Bentuk perbuatan-perbuatan dan pertimbangan bisnis apa saja yang tidak
dilindungi oleh business judgment rule sangat penting diketahui olehmasyarakat dan hakim.
48
Beberapa pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan (judgment)
seorang anggota direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali apabila
pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan atas suatu kecurangan (fraud),
menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau merupakan
perbuatan yang melanggar hukum (illegality).49 Sementara itu, beberapa
47 Gunawan Widjaja, Op Cit , hal. 3748 Sutan Remi Sjahdeni, 2001, “Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris”. Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 14, Juli, hal. 10149 Ibid, hal. 101
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 45/141
30
pengadilan yang lain berpendapat bahwa “seorang direktur yang dalam
mengambil pertimbangan telah menimbulkan kerugian bagi perseroan tidak
dilindungi oleh business judgment rule, jika kerugian tersebut merupakan
akibat kelalaian berat (gross negligence) anggota direksi yang
bersangkutan”.50
Perlindungan business judgment rule dikatakan tidak berlaku bagi
anggota direksi perseroan jika dalam transaksi bisnis yang dilakukan oleh
direksi diketahui bahwa direksi tersebut telah berupaya mengedepankan
kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat
transaksi yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya. Dengan demikian,
“ judgment yang telah diambilnya itu tidak dapat dikatakan sebagai
"discretionary exercises of power on behalf of the corporation" yang
merupakan tindakan yang mengandung kecurangan (fraud) dan benturan
kepentingan (conflict of interest)”.51
Dengan demikian, dengan diberlakukannya prinsip Business Judgment
Rule , terjadi beban pembuktian terbalik, dimana pihak yang menduga
bahwa direksi (dan atau anggotanya) tidak boleh bertindak secara baik
untuk keuntungan perseroan, wajib membuktikan adanya dugaan tersebut.
3) Komisaris
50 Ibid, hal 101-10251 Gunawan Widjaja, Op Cit , hal. 40
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 46/141
31
“Organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan
atau khusus serta memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan
perseroan adalah komisaris”.52
Keberadaan komisaris dalam suatu perseroan
menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (selanjutnya disingkat dengan
KUHD) bukanlah suatu keharusan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 44 ayat
(1) KUHD. Sebaliknya keberadaan komisaris dalam UUPT dinyatakan dengan
tegas sebagai salah satu organ perseroan yang bertugas untuk melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus serta memberikan nasihat kepada
direksi dalam menjalankan perseroan.53
Dengan demikian ”komisaris berfungsi
sebagai pengawas dan penasehat direksi, sehingga keberadaannya merupakan
suatu keharusan”.54
Walaupun tanggung jawab Direksi demikian besar sebagai pemegang
prokurasi ( procuratie houder ) dari RUPS dan harus bekerja secara profesional
(selaku duty of skill and care), bukan berarti bahwa Komisaris tidak mempunyai
tanggung jawab dan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hal terjadi
kerugian atas perseroan, karena selain Komisaris bertugas mengawasi
kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasehat
kepada Direksi, juga apabila dalam anggaran dasar telah ditetapkan pemberian
kewenangan kepada Komisaris untuk memberikan persetujuan kepada
Direksi/anggota Direksi dalam melakukan suatu perbuatan hukum tertentu, maka
52 I.G. Rai Widjaya, Op Cit , hal. 25353 Lihat Pasal 108 ayat (1) UUPT54 Rachmadi Usman, Op Cit , hal. 193
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 47/141
32
dalam hal terjadi suatu kerugian perseroan atas persetujuan Komisaris tersebut,
Komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan hukum yang
dilakukan oleh Direksi/anggota Direksi atas persetujuan Komisaris.
1.2 Doktrin Piercing The Corporate Veil
Pada dasarnya pertanggungjawaban pemegang saham, direksi, dan komisaris
dalam perseroan berbadan hukum adalah terbatas. Namun pertanggungjawaban
tersebut tidak berlaku mutlak. “Hal ini timbul terutama jika sebuah badan hukum
dijadikan sebagai vihicle untuk maksud-maksud yang menyimpang dari norma
hukum”.55
Oleh karena itu, timbul suatu prinsip yaitu piercing the corproate veil,
yang secara sederhana dapat dikatakan bahwa tanggung jawab terbatas pemegang
saham, direksi dan atau komisaris dalam hal-hal tertentu dapat menjadi tidak terbatas.
Doktrin piercing the corporate veil tidak diatur dalam kitab Undang-undang
Hukum Dagang (selanjutnya disebut dengan KUHD), tetapi diatur dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Doktrin ini mengajarkan
bahwa “sungguhpun suatu badan hukum bertanggung jawab secara hukum hanya
terbatas pada harta badan hukum tersebut, tetapi dalam hal-hal tertentu batas
tanggung jawab tersebut dapat ditembus ( piercing)”.56
“Prinsip piercing the
corporate veil ini hanya dikenal dan berkembang dalam konsep hukum perseroan
55 Try Widiyono, Op Cit , hal. 3056 Munir Fuady I , Op Cit . 61
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 48/141
33
negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System,
yang kemudian diadopsi ke dalam sistem hukum perseroan Indonesia”.
57
Prinsip pembatasan penerapan tanggung jawab dari pemegang saham dikenal
dengan prinsip piercing the corporate veil. Prinsip ini dalam Bahasa Indonesia selalu
diartikan “menyingkap tabir atau cadar perseroan”.58
Tabir atau cadar yang disingkap
dimaksud adalah diterobosnya pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham
yang telah ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT.
Dalam Black’s Law Dictionary, doktrin piercing the corporate veil dijelaskan
sebagai berikut:
Piercing corporate veil. Judicial process whereby court will disregard usual
immunity of corporate officers from liability for corporate liabilities; e.g.
when incorporation was for sole purpose of perpetrating fraud. The doctrine
which holds that the corporate structure with its attended limited liability of
stockholders, officers and directors in the case of fraud. The court, however,
may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or
the remedying of injustice.Menyingkap tabir perseroan. Proses hukum yang dilaksanakan pengadilan biasanya dengan mengabaikan kekebalan umum pejabat perusahaan atau
pihak tertentu perusahaan dari tanggung jawab aktifitas perusahaan: misalnyaketika dalam perusahaan dengan sengaja melakukan kejahatan. Doktrin yang
ada berpendapat bahwa struktur perusahaan dengan adanya tanggung jawab
terbatas pemegang saham dapat mengabaikan tanggung jawab pemegang
saham, pejabat perusahaan dan direktur perusahaan. Pengadilan dalammasalah tersebut akan memandang perusahaan hanya dari sisi kegagalan
pembelaan atas tindak kejahatan atau kesalahan atau pemberian sanksi
hukuman.59
57 Rachmadi Usman, Op Cit , hal. 15258 Ningrum N. Sirait, 2006, Modul Hukum Perusahaan, Program Studi Magister Ilmu
Hukum, USU, Medan, hal. 6859 Henry Campbell Black, 1990, “Black’s Law Dictionary”, Sixth Edition, St Paul, Minn
West Publising Co, hal. 1033, dalam Ningrum N. Sirait, Ibid , hal. 68, lihat juga Chatamarrasjid Ais,
Op Cit , hal. 8, lihat jugaTri Widiyono, Op Cit , hal. 31
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 49/141
34
Secara harfiah istilah piercing the corporate veil diartikan “mengoyak/
menyingkapi tirai/kerudung perusahaan”.
60
Sedangkan dalam ilmu hukum
perusahaan, istilah piercing the corporate veil merupakan:
Suatu doktrin atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk
membebani tanggung jawab ke pundak orang atau perusahaan lain, atas
perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu perusahaan pelaku (badan
hukum), tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnyadilakukan oleh perseroan pelaku tersebut.
61
Dalam hal seperti ini pengadilan akan mengabaikan status badan hukum dari
perusahaan tersebut, dan membebankan tanggung jawab kepada pihak “organizers”
dan “managers” dari perseroan tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab
terbatas dari perseroan sebagai badan hukum yang biasanya dinikmati oleh mereka.
Dalam melakukan hal tersebut biasanya dikatakan bahwa pengadilan telah
mengoyak/menyingkapi tirai/kerudung perusahaan (to pierce the corporate veil).
“Biasanya teori piercing the corporate veil ini muncul dan diterapkan ketika ada
kerugian atau tuntutan hukum dari pihak ketiga terhadap perseroan tersebut”.62
Doktrin piercing the corporate veil ini bertujuan untuk menghindari hal-hal
yang tidak adil terutama bagi pihak luar perseroan dari tindakan sewenang-wenang
atau tidak layak yang dilakukan atas nama perseroan, baik yang terbit dari suatu
transaksi dengan pihak ketiga maupun yang timbul dari perbuatan menyesatkan atau
perbuatan melawan hukum.
60 Munir Fuady II, Op Cit , hal. 861 Ibid 62 Ibid
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 50/141
35
Beberapa contoh fakta yang secara universal teori piercing the corporate veil
ini dapat diterapkan antara lain sebagai berikut:
1. Permodalan yang tidak layak (terlalu kecil).
2. Penggunaan dana perusahaan secara pribadi.3. Ketidakadaan formalitas eksistensi perseroan.
4. Terdapatnya elemen-elemen penipuan dengan cara menyalahgunakan
badan hukum perseroan.5. Terjadi transfer modal/asset kepada pemegang saham.
6. Keputusan diambil tanpa memenuhi formalitas tertentu. Misalnya, tidak
dilakukannya RUPS untuk kegiatan yang memerlukan RUPS.
7. Sangat dominannya pemegang saham dalam kegiatan perseroan.
8.
Tidak diikutinya ketentuan perundang-undangan mengenai kelayakan permodalan dan asuransi.
9. Tidak dipenuhinya formalitas tentang pembukuan dan record keeping.Misalnya terjadi pencampuradukan antara dana milik perseroan dengan
dana milik pribadi pemegang saham.
10. Pemilahan badan hukum. Misalnya, untuk menghindari tanggung jawabyang lebih besar karena kemungkinan gugatan dari pihak korban
kebakaran, pengusaha taxi membuat perusahaan sendiri-sendiri yang
terpisah-pisah untuk setiap taxi yang dimilikinya.11. Misrepresentasi. Misalnya, dibuat kesan kepada kreditor bahwa seolah-
olah perusahaan memiliki permodalan yang besar dengan asset yang
banyak, mengingat pemegang sahamnya memang memiliki asset yang
besar.12. Perusahaan holding dalam kelompok usaha lebih besar, kecenderungannya
untuk dimintakan tanggung jawab hukum atas kegiatan anak perusahaannya ketimbang pemegang saham individu dari perusahaan
tunggal.
13. Perseroan tersebut hanya sebagai alter ego (kadang-kadang disebutsebagai instrumentally, dummy atau agent ) dari pemegang saham yang
bersangkutan.
14. Piercing the corporate veil diterapkan untuk alasan ketertiban umum(openbare orde). Misalnya menggunakan perusahaan untuk melaksanakan
hal-hal yang tidak pantas (improper conduct ).
15.
Piercing the corporate veil diterapkan dalam kasus-kasus kuasi kriminal(quasi criminal). Misalnya jika perusahaan dipergunakan sebagai sarana
untuk menjual minuman keras atau untuk perjudian/lotre.63
63 Ibid , hal. 9-10
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 51/141
36
Kriteria dasar dan universal agar suatu piercing the corporate veil secara
hukum dapat dijatuhkan adalah sebagai berikut:
1. terjadinya penipuan;
2. didapatkan suatu ketidakadilan;
3. terjadinya suatu penindasan (oppression);
4. tidak memenuhi unsur hukum (illegality);
5. dominasi pemegang saham yang berlebihan;
6. perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritasnya.64
1.3 Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil oleh Pengadilan
Hal yang mendasar dalam hukum perusahaan adalah bahwa pengadilan
memperlakukan sebuah korporasi sebagai sebuah lembaga yang sah, terpisah dan
pemegang saham yang nyata/jelas. Lebih lanjut lagi, pertanggungjawaban pemegang
saham umumnya terbatas kepada sejumlah uang yang diinfestasikan dalam dunia
usaha (perusahaan). Penyekatan dari pemegang saham, dikenal sebagai
“pertanggungjawaban terbatas”, adalah salah satu dari alasan utama untuk bergabung
dalam sebuah perusahaan. Tentu saja, pemegang saham mendapatkan keuntungan
dari peraturan pertanggungjawaban terbatas, bahkan jika tujuan satu-satunya dari
penggabungan adalah untuk menghindari pertanggungjawaban. Lebih jauh lagi, hal
ini adalah” pendirian sebuah korporasi yang pantas untuk mendapatkan satu-satunya
asset yang berharga untuk korporasi dan kelanjutan bisnis”.65
64 Ibid , hal. 1065 Peter A. Antonucci, “Piercing The Corporate Veil”, http://www.proquest.com, diakses 24
September 2007
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 52/141
37
Dalam hukum perusahaan, tanggung jawab pemegang saham biasanya hanya
sebatas pembayaran saham yang dikeluarkan oleh pemegang saham. Karena alasan
itulah maka kewajiban perseroan/perusahaan untuk memegang saham terbatas
tersebut, dan modal saham tidak dibayar. Sejak itulah korporasi yang dipimpin oleh
orang lain, mengatur hukum bahwa individu-individu (para pemegang saham) tidak
akan dikenakan tanggung jawab dalam perseroan/perusahaan, maupun kewajiban
dalam pembayaran hutang perusahaan yang diakibatkan oleh perusahaan/perseroan
bahkan jika mereka memutuskan bahwa hal itu tidak sah, setidaknya begitulah sistem
peradilan yang sah yang telah dipertimbangkan dalam mengatasi masalah ini sampai
pada hari ini, dan juga pendapat pengadilan juga membuktikan bahwa terjadi
pemisahan keberadaan antara perusahaan dan pemegang saham.66
Umumnya, “kendali berlebihan” tidak dibenarkan pada suatu perusahaan.
Dalam banyak kasus, juga sudah digugat bahwa hal itu “pada dasarnya tidak wajar”
untuk menembus selubung perseroan/perusahaan tanpa peraturan atau dengan maksud
tertentu. Untuk membuat peraturan tersebut, pengadilan sudah menguji beberapa
faktor untuk menentukan apakah hal tersebut akan tidak sah pada dasarnya untuk
mengijinkan para pemegang saham menikmati keterbatasan tanggung jawab dalam
perusahaan/perseroan secara terpisah. Faktor-faktor tersebut adalah:
a.
Pada saat apakah, perusahaan/perseroan atau korporasi yang barumenerima keuntungan yang cukup, berdasarkan pada resiko yang dapat
diduga, hutang usaha dan tanggung jawab ?
66 Romelio Hernandez, Merigo, Hurtado S.C, Piercing The Corporate Veil in Mexico,
http://www.proquest.com, diakses 24 September 2007
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 53/141
38
b. Apakah pemegang saham turut campur pada asset-asset usaha yang
berharga ?
c.
Apakah campur tangan pemegang saham masuk dalam transaksi-transaksi yang dilakukan oleh perusahaan dengan sedikit atau banyak
pertimbangan, yaitu dimana jika, perusahaan membayar dalam jumlah
yang lebih banyak kepada pemegang saham atau pemegang sahammenerima lebih sedikit dari laba yang dihasilkan oleh perusahaan ?
d. Apakah pemegang saham terlibat dalam aktivitas yang melanggar
hukum atau undang-undang (penipuan), dan apakah perusahaan/ perseroan terlibat dalam kejahatan yang dilakukan oleh pemegang
saham ?
e. Apakah pemegang saham wajib meminta penjelasan hak perwakilan
kepada kreditor, seperti apakah masalah dagang telah dijamin oleh
lembaga perusahaan dalam jumlah kecil atau besar ?f. Apakah pemegang saham ikut campur tangan secara jelas dalam
kontroversi perusahaan dengan pihak kreditor?g. Apakah pemegang saham bertanggung jawab melindungi kejahatan yang
dilakukan oleh perusahaan ?
h. Apakah pemegang saham memperoleh hasil dari kegiatan monopoli?i. Apakah pemegang saham dapat terhindar dari hutang perusahaan secara
sah (legal)?67
Perusahaan harus menyadari faktor-faktor yang menjadi pertimbangan
pengadilan dalam hal penentuan apapun untuk menembus penyelubungan korporasi,
dan kemudian perusahaan harus melakukan pengamatan melalui pemegang saham
mereka supaya dapat terhindar dari perangkap yang akan menunjuk para pemegang
kepada penembusan penyelubungan korporasi terutama dalam konteks
pertanggungjawaban kasus-kasus produksi.
Di negara-negara Common Law, terutama di Inggris dan Amerika Serikat,
banyak pengadilan yang menerapkan teori Piercing the Corporate Veil untuk
perusahaan dalam kelompok usaha dengan memberlakukan prinsip hubungan
67 Ibid
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 54/141
39
“agency” di antara perusahaan-perusahaan dalam 1 (satu) kelompok usaha. Demikian
juga sering kali (tetapi tidak selamanya) suatu perusahaan dianggap sebagai “agen”
perusahaan holding-nya.68
Kasus Smith, Stone & Knight v. Birmingham yang diputuskan dalam tahun
1939 di Inggris, memberikan beberapa kriteria yuridis agar secara hukum dapat
dianggap bahwa anak perusahaan merupakan agen dari perusahaan holding, sehingga
teori piercing the corporate veil dapat diterapkan kepada perusahaan holding.
Kriteria-kriteria tersebut adalah :
a. Apakah keuntungan diberlakukan sebagai keuntungan dari perusahaanholding;
b. Apakah proses pelaksanaan dikendalikan oleh perusahaan holding;c. Apakah perusahaan holding merupakan ”kepala dan otak” (head and
brain) dari bisnis anak perusahaan;
d. Apakah perusahaan holding mengatur ”the adventure”;e. Apakah keuntungan dibuat dengan keahlian dan pengarahan dari
perusahaan holding;
f. Apakah per usahaan holding selalu mengontrol dan mempengaruhi anak
perusahaan.69
2. Kerangka Konsepsional
Penelitian ini mengambil judul “Penerapan Doktrin Piercing The Corporate
Veil pada Perseroan Terbatas (Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank
Perkembangan Asia)”. Pengertian dari judul penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.
Penerapan yaitu pemasang; pengenaan perihal mempraktekkan.70
68 Munir Fuady, II, Op cit , hal. 1669 Ibid70 Dani K, 2002, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Putra Harsa, Surabaya, hal. 599
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 55/141
40
b. Doktrin Piercing The Corporate Veil yaitu doktrin menyingkap tabir atau cadar
perseroan, yaitu diterobosnya pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham
sehingga dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
c. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar
yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.71
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu “penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder atau
disebut juga penelitian kepustakaan”.72
Dalam melakukan penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif atau disebut juga dengan
penelitian hukum doktrinal. “Pendekatan yuridis normatif digunakan dengan maksud
untuk mengadakan pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dokumen-dokumen dan berbagai
teori”.73
71 Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas72 Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif , PT. Radja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 1073 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 11
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 56/141
41
Dalam penelitian ini, penelitian hukum dipergunakan untuk menemukan
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan penerapan doktrin piercing the
corporate veil pada suatu perseroan terbatas sehingga hakim dalam menangani kasus
perjanjian kredit tersebut dapat memintakan pertanggungjawaban persero dan
menembus/mengoyak pertanggungjawaban terbatas para persero yang biasanya
sangat sulit ditembus.
2. Sumber Data
Penelitian ini dilakukan dengan bahan studi kepustakaan (library research),
data-data dalam penelitian ini diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-
buku, makalah dan dokumen yang ada kaitannya dengan permasalahan. Data-data
dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh
melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan dengan mempelajari:
a.
Bahan hukum primer yang merupakan peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi, dokumen, dan lain-lain yang berhubungan dengan doktrin piercing
the corporate veil.
b. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberi penjelasan terhadap bahan-bahan
hukum primer, ulasan hukum dan lainnya yang berkaitan dengan permasalahan
yang diteliti.
3. Metode Pengumpulan Data
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 57/141
42
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi
kepustakaan (Library Research) yaitu menghimpun data dengan melakukan
penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer adalah
hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan
perundang-undangan. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa hasil-hasil penelitian dan atau
karya ilmiah dari kalangan hukum yang dianggap relevan dengan penelitian ini.
Sedangkan bahan hukum tertier adalah bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
4. Analisis Data
Analisis data terhadap data primer dan data sekunder dilakukan setelah
diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan dievaluasi
sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari
seluruh jawaban kemudian diolah dengan menggunakan metode deduktif dan terakhir
dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.
H. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang diadakannya
penelitian ini, kemudian rumusan permasalahan yaitu dalam hal yang bagaimanakah
doktrin piercing the corporate veil dapat diterapkan pada suatu perseroan terbatas;
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 58/141
43
bagaimana penerapan doktrin piercing the corporate veil dalam UUPT; dan
bagaimana analisis atas penerapan doktrin piercing the corporate veil pada kasus
antara PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal. Selanjutnya diikuti
dengan tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian. Kemudian diikuti
dengan kerangka teori dan konsepsional yang terdiri dari orgran-organ perseroan
terbatas, doktrin piercing the corporate veil, penerapan doktrin piercing the corporate
veil di pengadilan. Selanjutnya yang terakhir dari bab ini adalah metode penelitian
yang terdiri dari spesifikasi penelitian, lokasi penelitian, sumber data, alat
pengumpulan data dan analisis data.
Bab II memberikan penjelasan penerapan doktrin piercing the corporate veil
pada suatu perseroan terbatas, yang terdiri dari pertanggungjawaban terbatas
pengurus perseroan, tanggung jawab dan kewenangan direksi dan penerapan doktrin
piercing the corporate veil pada perusahaan terbatas.
BAB III memberikan penjelasan tentang penerapan doktrin piercing the
corporate veil dalam undang-undang perseroan terbatas.
Bab IV memberikan penjelasan tentang analisis atas penerapan doktrin
piercing the corporate veil pada kasus antara PT. Bank Perkembangan Asia dan PT.
Djaya tunggal, yang terdiri dari posisi kasus dan analisis penerapan doktrin piercing
the corporate veil.
Bab V merupakan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian ini yang terdiri
dari kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang merupakan topik
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 59/141
44
pembahasan dalam penelitian ini, dan saran yang merupakan sumbang saran penulis
atas penelitian ini.
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 60/141
BAB II
PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA SUATU PERSEROAN TERBATAS
A. Pertanggungjawaban Terbatas Pengurus Perseroan
Suatu perseroan berbeda dengan suatu persekutuan yang bukan merupakan
suatu legal entity dan tidak terpisah dari para sekutu yang menjadi anggota
persekutuan itu. Perseroan adalah legal entity yang berbeda dan terpisah dari
pemegang saham perseroan tersebut. Sebagai suatu legal entity yang terpisah dari
pemegang sahamnya, perseroan dalam melakukan fungsi hukumnya bukan bertindak
sebagai kuasa dari para pemegang sahamnya, tetapi bertindak untuk dan atas
namanya sendiri. ”Para pemegang saham bukan merupakan pihak dari perjanjian
yang dibuat oleh perseroan dengan pihak lain. Oleh karena itu pemegang saham juga
tidak berhak memaksa pihak lain untuk melaksanakan kewajibannya yang ditentukan
dalam perjanjian itu”.74
Dengan demikian, antara para pemegang saham dan perseroan merupakan
pihak yang terpisah. Para pemegang saham tidak dapat dituntut untuk melunasi
hutang-hutang perseroan, walaupun dirinya adalah pemiliknya. Sebab sebelumnya
para pemegang saham sudah mengadakan perjanjian yang isinya bahwa masing-
masing pihak telah memisahkan atau melepaskan sebagian harta kekayaan milik
74 Rachmadi Usman, Op Cit , hal. 147-148
45
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 61/141
46
pribadinya dari harta kekayaan perseroan yang dipisahkan dari harta kekayaan milik
pribadinya. Dengan dipisahkannya harta kekayaan milik pribadi para pemegang
saham dan harta milik perseroan, maka tanggung jawab para pemegang saham hanya
sebatas pada harta kekayaan milik pribadinya yang dimasukkan pada perseroan.
Dengan kata lain, para pemegang saham tidak berkewajiban untuk melunasi hutang-
hutang perseroan jika hasil penjualan harta kekayaan perseroan masih belum
mencukupi. Demikian pula pihak ketiga tidak dapat menuntut para pemegang saham
untuk memenuhi kewajiban perseroan seandainya harta kekayaan perseroan tidak
mencukupi.
Pada suatu badan hukum dikenal doktrin keterbatasan tanggung jawab.
Artinya secara prinsip ”setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu badan
hukum, hanya badan hukum sendiri yang bertanggungjawab. Para pemegang saham
tidak bertanggungjawab kecuali sebatas saham yang dimasukkannya”.75
Hal ini
berarti harta kekayaan pribadi para pemegang saham tidak ikut
dipertanggungajawabkan sebagai tanggungan perikatan yang dilakukan oleh badan
hukum yang bersangkutan. Dengan demikian para pemegang saham tidak
bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama badan hukum
dan juga tidak bertanggungjawab atas kerugian badan hukum melebihi nilai saham
yang telah dimasukkannya. Prinsip ini dinamakan dengan ”the doctrine of separate
75 Ibid , hal. 149
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 62/141
47
legal personality of a company atau the principle of the company’s separate legal
personality, yang disingkat dengan doctrine of separate corporate personality”.
76
Persoalan tanggung jawab terbatas pemegang saham ini, pada awalnya
memunculkan kontroversi. Sebagian ahli hukum dan para praktisi bisnis berpendapat
bahwa prinsip pertanggungjawaban terbatas para pemegang saham ini bersifat
mutlak/absolut. Artinya dalam segala keadaan pemegang saham hanya
bertanggungjawab sebatas jumlah saham yang telah diambilnya. Sebagian ahli hukum
dan praktisi bisnis berpendapat bahwa prinsip pertanggungjawaban terbatas para
pemegang saham sifatnya tidak absolut/mutlak. Artinya dalam keadaan-keadaan
tertentu para pemegang saham dimungkinkan bertanggungjawab secara pribadi atas
perikatan atau kerugian yang dialami perseroan. Hal ini berdasarkan pada
pertimbangan bahwa jika pertanggungjawaban terbatas tersebut bersifat absolut,
maka perseroan terbatas sebenarnya merupakan kedok usaha yang dipakai pemegang
saham untuk menghindari resiko kerugian yang timbul sebagai akibat keterlibatannya
dalam perseroan.
Secara hukum, tanggung jawab dari sebuah perusahaan dapat dibedakan
sebagai berikut:
1. Tanggung jawab hukum dari suatu perseroan yang tidak berbentuk badan
hukum.
76 Ibid
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 63/141
48
“Apabila suatu perusahaan tidak berbentuk badan hukum, misalnya
perusahaan dalam bentuk firma, usaha dagang biasa (sole proprietorship) ,
maka tidak ada harta yang terpisah yang merupakan harta perseroan tersebut .
Akan tetapi yang ada hanyalah harta dari pemilik perusahaannya”.77
Karena
itu, secara hukum, tanggung jawab hukumnya juga tidak terpisah antara
tanggung jawab perseroan dengan tanggung jawab pribadi pemilik perusahaan.
Dengan demikian, jika suatu kegiatan yang dilakukan oleh atau atas
nama perseroan (yang bukan badan hukum), dan terjadi kerugian bagi pihak
ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat meminta pemilik perusahaan untuk
bertanggungjawab secara hukum, termasuk meminta agar harta benda pribadi
dari pemiliknya tersebut disita dan dilelang. Hal ini merupakan konsekuensi
dari ketentuan hukum yang menyatakan bahwa seluruh harta benda seseorang
menjadi tanggungan bagi hutang-hutangnya sebagaimana diatur dalam Pasal
1131 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
2. Tanggung jawab hukum dari suatu perusahaan yang berbentuk badan hukum.
Bagi perseroan yang berbentuk badan hukum seperti perseroan terbatas,
koperasi, dan lain-lain, maka “secara hukum pada prinsipnya harta bendanya
terpisah dari harta benda pendirinya pemiliknya. Karena itu, tanggung jawab
secara hukum juga dipisahkan dari harta benda pribadi pemilik perusahaan
77 Munir Fuady II, Op Cit , hal. 2
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 64/141
49
yang berbentuk badan hukum tersebut”.78
Jadi, misalnya suatu perseroan
terbatas melakukan suatu perbuatan dengan pihak lain, yang
bertanggungjawab adalah perseroan tersebut dan tanggung jawabnya sebatas
harta benda yang dimiliki oleh perseroan tersebut. Harta benda pribadi pemilik
perseroan/pemegang sahamnya tidak dapat disita atau digugat untuk
dibebankan tanggung jawab perseroan tersebut. Ini adalah prinsip yang
berlaku umum dalam keadaan normal.
Pengakuan prinsip keterpisahan tanggung jawab antara perusahaan selaku
badan hukum dengan pemegang saham sebagai pribadi sudah merupakan hal yang
berlaku umum dalam sistem hukum manapun. Dalam sistem hukum Indonesia hal
tersebut diakui secara tegas oleh Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas dalam Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut
”Pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan
yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian
perseroan melebihi nilai saham yang dimilikinya”.
Ketentuan tentang keterpisahan tanggung jawab hukum antara perseroan
dengan pribadi pemegang saham tersebut mempertegas ciri dari suatu perseroan
terbatas bahwa pemegang saham hanya bertanggungjawab sebesar nilai saham
yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Namun dalam hal-
hal tertentu, hukumpun terkadang tidak memegang teguh pada prinsip
78 Ibid , hal. 2-3
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 65/141
50
keterpisahan tanggung jawab antara badan hukum dengan pihak- pihak lain
tersebut. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT bahwa dalam hal-
hal tertentu tidak tertutup kemungkinan hapusnya tanggung jawab perseroan
terbatas tersebut. Hal-hal tertentu dimaksud adalah:
a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidakterpenuhi;
b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk
kepentingan pribadi;
c.
Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawanhukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidaklangsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan,
yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk
melunasi utang perseroan.
Tanggung jawab pemegang saham sebesar setoran atas seluruh saham yang
dimilikinya kemungkinan hapus apabila terbukti, antara lain terjadi percampuran
harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan sehingga
perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham
untuk memenuhi tujuan pribadinya, sebagaimana disebutkan dalam huruf d.79
Berlakunya doktrin separate corporate personality yang menegaskan
bahwa antara perseroan sebagai legal entity dan para pemegang saham dari
perseroan itu terdapat suatu ”tabir” (veil) pemisah yang dalam hukum perusahaan
”tabir” tersebut disebut dengan corporate veil. Dalam teori hukum perseroan,
dalam keadaan tertentu tabir tersebut dapat disingkap oleh hakim. Artinya apabila
79 Penjelasan umum atas Pasal 3 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 66/141
51
terjadi atau terdapat keadaan yang dimaksud, hakim dapat memutuskan agar
pemegang saham bertanggungjawab secara pribadi sampai kepada harta
pribadinya kepada kreditor perseroan yang dirugikan oleh perbuatan hukum yang
dilakukan oleh perseroan.
Penyingkapan corporate veil itu disebut dengan piercing the corporate veil
atau lifting the corporate veil. Artinya dalam hal-hal tertentu keterbatasan
tanggung jawab pemegang saham itu tidak berlaku.
B. Tanggung Jawab dan Kewenangan Direksi
Pembagian tugas dan wewenang setiap anggota direksi serta besar dan jenis
penghasilannya ditetapkan oleh RUPS. Namun dalam Anggaran Dasar dapat
ditetapkan bahwa wewenang RUPS dilakukan oleh komisaris atas nama RUPS.
1. Tanggung jawab direksi
Menurut Munir Fuady :
Pada prinsipnya, direksi bertanggungjawab secara pribadi tidak hanya
terhadap tindakannya yang dilakukannya dalam kapasitasnya sebagai
pribadi, tetapi juga dalam hal-hal tertentu, terhadap perbuatan yangdilakukan dalam kedudukannya sebagai direktur perusahaan. Bahkan
dalam kedudukannya sebagai direktur, dalam hal-hal tertentu, direksi
bertanggungjawab tidak hanya atas tindakan yang dilakukannya sendiri,melainkan juga atas tindakan direktur lainnya, atau bahkan sampai batas-
batas tertentu direksi bertanggungjawab juga atas tindakan orang lain yang
bukan direktur yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan.80
80 Munir Fuady, Op cit , hal. 73
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 67/141
52
Selanjutnya Munir Fuadi mengatakan “Apabila oleh direksi dilakukan
secara sah perbuatan tertentu dalam kedudukannya sebagai direksi perusahaan
tersebut, dalam artian bukan dalam kapasitasnya selaku pribadi, maka dalam hal
yang demikian direksi tersebut telah melakukan tindakan untuk dan atas nama
perusahaan. Sehingga, tindakan yang demikian telah merupakan tindakan
perusahaan”.81
Pada prinsipnya, setiap konsekuensi yuridis atas tindakan perseroan, baik
atau buruk, akan dipikul sendiri oleh perseroan tersebut. Namun demikian,
undang-undang mengenal juga beberapa pengecualian. Walaupun tindakan
tersebut merupakan tindakan perseroan, akan tetapi terdapat kemungkinan bukan
perusahaan yang bertanggungjawab, tetapi pihak lainnya. Misalnya direktur secara
pribadi ataupun secara renteng.
Tanggung jawab direksi dapat dibedakan dalam :
1) Tanggung jawab internal, yang meliputi tugas dan tanggung jawab direksi
terhadap perseroan dan pemegang saham perseroan; dan2) Tanggung jawab eksternal, yang berhubungan dengan tugas dan tanggung
jawab direksi kepada pihak ketiga yang berhubungan hukum langsung
maupun tidak langsung dengan perseroan.82
a. Tanggung jawab direksi dalam Perseroan Terbatas
Direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun
81 Ibid82 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op cit, hal. 112
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 68/141
53
di luar pengadilan. Jadi “selain bertanggungjawab penuh atas pengurusan, direksi
juga bertindak mewakili perseroan ( persona standi in judicio). Dalam
menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan, maka setiap anggota
direksi wajib dengan itikad baik (in good faith) dan penuh tanggung jawab ( full
responsibility)”.83
Namun apabila tidak demikian, maka setiap anggota direksi
bertanggungjawab penuh secara pribadi, apabila yang bersangkutan bersalah atau
lalai dalam menjalankan tugasnya sebagaimana yang dibebankan dan diwajibkan
kepadanya.
b. Tanggung jawab direksi kepada perseroan dan pemegang saham perseroan
Tugas dan pertanggungjawaban direksi kepada perseroan dan
pemegang saham perseroan dimulai sejak perseroan memperoleh status badan
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (4) UUPT. Setiap kesalahan
atau kelalaian anggota direksi dalam melaksanakan kewajibannya terhadap
perseroan dan pemegang saham perseroan, memberikan hak kepada pemegang
saham untuk:
1) Secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, yang mewakili jumlahsepersepuluh pemegang saham perseroan melakukan gugatan untuk
dan atas nama prseroan terhadap direksi perseroan, yang atas
kesalahan dan kelalaiannya telah menyebabkan kerugian pada perseroan (derivative action);
2) Secara sendiri-sendiri melakukan gugatan langsung untuk dan atas
nama pribadi pemegang saham terhadap direksi perseroan atassetiap keputusan atau tindakan direksi perseroan yang merugikan
pemegang saham.84
83 I.G. Rai Widjaya, Op cit , hal. 21584 Gunawan Widjaja, Op cit , hal. 70
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 69/141
54
c. Tanggungjawab kepada pihak ketiga
Tugas dan kewajiban direksi perseroan terhadap pihak ketiga terwujud
dalam kewajiban direksi untuk melakukan keterbukaan (disclosure) terhadap
pihak ketiga atas setiap kegiatan perseroan yang dianggap dapat
mempengaruhi kekayaan perseroan.
Kewajiban-kewajiban itu adalah:
1) Dalam hal perseroan ingin mengadakan pengurangan atas modal
dasar, modal dikeluarkan, ataupun modal disetor dari perseroan;2) Dalam hal perseroan bermaksud untuk melakukan penggabungan,
peleburan dan pengambilalihan;3) Dan bagi :
(a) Perseroan yang bidang usahanya berkaitan dengan pengerahan
dana masyarakat;(b) Perseroan yang mengeluarkan surat pengakuan hutang;
(c) Perseroan terbuka.
direksi perseroan diwajibkan untuk menyerahkan hasil perhitungantahunan perseroan untuk diperiksa oleh akuntan publik sebelum
perhitungan tahunan tersebut disahkan oleh Rapat Umum Pemegang
Saham Tahunan. Dan segera setelah disahkan oleh rapat, diumumkan
untuk kepentingan pihak ketiga. Khusus untuk perseroan terbatasterbuka, direksi perseroan juga diwajibkan untuk mengumumkan setiap
maksud dan rencana penyelenggaraan Rapat Umum PemegangSaham.
85
Ketentuan tersebut di atas tidak menutup adanya kemungkinan
permintaan pemberian data dan atau keterangan mengenai perseroan oleh
pihak ketiga yang berkepentingan, berdasarkan pada perjanjian antara para
pihak. Dalam hal-hal yang demikian tersebut di atas, direksi berkewajiban
85 Ibid , hal. 66-67
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 70/141
55
untuk memberikan data dan atau keterangan tersebut secara benar dan
akurat.
d. Tanggungjawab renteng antara sesama anggota direksi perseroan
Menurut sistem hukum di Indonesia, demikian juga hukum di
kebanyakan negara yang menganut sistem Civil Law, hubungan antara direktur
dengan perusahaan adalah bersifat kontraktual. Artinya, sungguhpun antara
perusahaan dengan direkturnya tidak terdapat suatu kontrak tertentu, tetapi
oleh hukum "dianggap" (fiksi) ada kontrak pemberian kuasa.86
Karena itu,
hubungan antara direktur dengan perusahaan tidak merupakan hubungan
antara "trustee" dengan "beneficiary" seperti dalam sistem Anglo Saxon.87
Sebagai konsekuensi yuridisnya, direktur sebagai pemegang kuasa tidak boleh
bertindak melebihi dari kekuasaan yang diberikan kepadanya. Seberapa jauh
kekuasaan diberikan kepadanya, dapat dilihat dalam anggaran dasar
perusahaan yang bersangkutan. Apabila direktur bertindak melampaui
wewenang yang diberikan kepadanya tersebut, direktur tersebut ikut
bertanggungjawab secara pribadi. Jika perusahaan yang bersangkutan
kemudian jatuh pailit, beban tanggung jawab tidak cukup ditampung oleh harta
86 Munir Fuady, III, 1996, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 9387 Munir Fuady, IV, 1994, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 59
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 71/141
56
perusahaan (harta pailit), maka direksipun ikut bertanggungjawab secara
renteng.
88
Dalam Pasal 14 ayat (1) UUPT dinyatakan bahwa :
Perbuatan hukum atas nama perseroan yang belum memperoleh status
badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota direksi
bersama-sama semua pendiri serta semua anggota dewan komisaris perseroan dan mereka semua bertanggungjawab secara tanggung
renteng atas perbuatan hukum tersebut.
Terhitung sejak saat pengesahan, para pendiri perseroan terbatas tidak
lagi bertanggungjawab secara tidak terbatas atas tiap perikatan yang dibuat
untuk dan atas nama perseroan, dan hanya akan menanggung kerugian yang
terbatas pada nilai seluruh saham yang dimilikinya. Selama pengesahan
tersebut belum diperoleh, maka para pendiri (dan sekalian pengurusnya)
bertanggungjawab sepenuhnya secara tanggung renteng atas setiap perbuatan
hukum yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan. Ketiadaan
pengesahan itu tidak meniadakan perseroan yang hendak dibentuk, hanya
saja sifat pertanggungjawabannya yang belum tidak terbatas.
Berdasarkan pada sifat pertanggungjawaban renteng tersebut, oleh
kalangan ahli hukum, status hukum dari perseroan terbatas dalam pendirian
diperlakukan sama dengan atau sebagaimana layaknya suatu persekutuan
dengan firma, dimana para pengurus bertindak selaku kuasa dari para pendiri
dalam menjalankan kegiatan atau usaha perseroan. Dengan ini berarti bahwa
88 Munir Fuady, III, Op cit , hal. 93
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 72/141
57
selama harta kekayaan perseroan tidak mencukupi untuk menutupi seluruh
kewajiban perseroan (dalam pendirian) tersebut, maka para pendiri (dan
pengurus) bertanggung jawah secara pribadi untuk memenuhi seluruh
kewajiban yang belum terlunasi.89
2. Kewenangan direksi
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, direksi harus bertolak dari
landasan bahwa tugas dan kedudukan yang diperolehnya berdasarkan 2 (dua) prinsip
dasar yaitu kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya ( fiduciary duty) dan
prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi (duty of
skill and care).90
Kedua prinsip ini menuntut direksi untuk bertindak secara hati-hati
dan disertai itikad baik, semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan.
Pelanggaran terhadap kedua prinsip ini membawa konsekuensi berat bagi direksi,
karena ia dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi.
Suatu perbuatan hukum sangat bergantung pada dipenuhi atau tidaknya
kewenangan yang dimiliki oleh pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut.
Kewenangan ini digolongkan ke dalam kewenangan yang berdasarkan pada:
a. Kapasitas diri sendiri sebagai individu pribadi;
b. Kapasitas sebagai pemegang kuasa yang bertindak untuk dan atas nama pemberi
kuasa;
89 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Op cit, hal. 11290 Chatamarrasjid Ais, I, Op cit , hal. 71
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 73/141
58
c. Kapasitas untuk bertindak dalam jabatan yang dalam hal ini bertindak selaku yang
berwenang berdasarkan jabatannya tersebut.
91
Konsep kewenangan bertindak tersebut menjadi penting, terutama apabila
dihubungan dengan konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya syarat subjektif
sahnya suatu perjanjian. Hukum perjanjian dan lazimnya peraturan perundang-
undangan yang berlaku mengancam setiap perbuatan hukum yang tidak memenuhi
syarat subjektif ini, dengan ancaman kebatalan (dapat dibatalkan) setiap saat, selama
masa daluarsa masih belum terlewati dan atau dalam perjanjian ini tidak diratifikasi
lebih lanjut. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hak untuk membatalkan
perjanjian yang demikian diberikan kepada mereka yang syarat subjektifnya tidak
terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 1331 KUH Perdata.92
Menurut Sutjipto sebagaimana dikutip oleh Rchmadi Usman, bahwa :
Pimpinan perseroan berikut usaha-usahanya berada di tangan Direksi.
Kewenangan pengurusan meliputi semua perbuatan hukum yang tercakupdalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan sebagaimana
dimuat dalam anggaran dasarnya. Dengan demikian, Direksi adalah organmelalui mana perseroan mengambil bagian dalam lalu lintas hukum sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan. Ini pula yang menjadi sumber
kewenangan Direksi untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan- perbuatan hukum dengan pihak ketiga atau dengan kata lain, mewakili
perseroan di dalam maupun di luar pengadilan. Kepengurusan oleh Direksi
ini tidak terbatas pada memimpin dan menjalankan kegiatan rutin sehari-hari. Direksi berwenang dan wajib mengambil inisiatif dan membuat rencana
masa depan perseroan dalam rangka mewujudkan maksud dan tujuan
perseroan. Sebagaimana diketahui maksud dan tujuan perseroan merupakan batas ruang lingkup kecakapan bertindak perseroan. Dalam kaitan ini perlu
diperhatikan bahwa kewenangan Direksi untuk melakukan perbuatan hukum
91 Ibid, hal. 11892 Ibid , hal. 118-119, lihat juga Gunawan Widjaja, Op cit , hal. 74-75
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 74/141
59
atas nama perseroan tidak terbatas pada perbuatan hukum yang secara tegas
disebut dalam maksud dan tujuan perseroan, melainkan juga meliputi
perbuatan-perbuatan lainnya, yakni perbuatan-perbuatan yang menurutkebiasaan, kewajaran dan kepatutan dapat disimpulkan dari maksud dan
tujuan perseroan serta berhubungan dengannya sekalipun perbuatan-
perbuatan tersebut tidak secara tegas disebutkan di dalam rumusan maksuddan tujuan perseroan.
93
3. Batas kewenangan direksi
Besarnya kewenangan yang diberikan kepada direksi tidak berarti
kewenangan direksi tanpa batas. Kewenangan direksi dibatasi oleh kewenangan
bertindak secara intern, baik yang bersumber pada doktrin hukum maupun yang
bersumber pada peraturan yang berlaku, termasuk anggaran dasar perseroan.94
Batasan tersebut antara lain adalah adanya doktrin ultravires, yang
menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan di luar kewenangan
dari direksi. Apabila direksi telah melanggar ketentuan kewenangannya
sebagaimana telah dinyatakan dalam anggaran dasar, maka direksi telah
melanggar asas ultravires dan dengan demikian harus bertanggungjawab
sampai harta pribadinya. Pihak ketiga yang berhubungan usaha dengan
perseroan tersebut tetap sah dan dilindungi tanpa memperhatikan ultravires.
Misalnya, dalam anggaran dasar disebutkan bahwa dalam melakukan
perjanjian kerja sama tertentu dengan pihak lain harus mendapatkan izin
tertulis dari RUPS. Dalam kenyataannya, direksi tersebut membuat perjanjian
93 Rachmadi Usman, Op cit , hal. 16694 Try Widiono, Op cit , hal. 8
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 75/141
60
kerja sama tertentu tanpa memperoleh izin dari RUPS, maka perjanjian kerja
sama dengan pihak lain tersebut tetap sah, tetapi secara intern, direksi berarti
telah melanggar doktrin ultravires.
Pembatasan-pembatasan kewenangan direksi ditegaskan dalam UUPT
antara lain pada:
(a) Pasal 2 UUPT, bahwa harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan
usaha yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
ketertiban umum dan atau kesusilaan;
(b) Pasal 92 ayat (1) UUPT, yaitu dalam mengurus perseroan harus untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
(c) Pasal 97 ayat (1) UUPT, yang intinya harus ada itikad baik dan bertanggung
jawab dalam pengurusan perseroan;
(d) Direksi tidak berwenang mewakili perseroan dalam hal terjadinya konflik
kepentingan (conflict of interest );
(e) Pasal 102 UUPT, yaitu adanya perbuatan-perbuatan hukum tertentu yang
harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari komisaris dan atau RUPS
yang diatur dalam anggaran dasar.
Perbuatan hukum perseroan terbatas yang tidak sesuai dengan cakupan
kewenangan yang telah diuraikan di atas (perbuatan ultravires), maka tanggung
jawab pemegang saham, direksi, dan komisaris menjadi tidak terbatas karena telah
melampaui kewenangannya. Bagi pemegang saham, menjadi tidak terbatas dalam
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 76/141
61
hal yang dinyatakan pada Pasal 3 ayat (2) UUPT. Namun demikian, atas perbuatan-
perbuatan direksi tanpa persetujuan dari RUPS atau komisaris tetap sah dan
mengikat dengan pihak ketiga, namun tanpa mengurangi tanggung jawab direksi
atas potensi kerugian. Namun, untuk membuktikan adanya perbuatan ultravires
tersebut tidak mudah. Dalam hal terjadi perbuatan hukum direksi yang demikian
dan pemberi persetujuan (komisaris dan atau RUPS) setuju atas tindakan direksi itu,
maka yang bersangkutan dapat melakukan ratifikasi. Di samping itu, berdasarkan
asas piercing the corporate veil atau lifting the veil bahwa tanggung jawab
pemegang saham yang semula terbatas atas saham yang dimilikinya menjadi tidak
terbatas.
C. Penerapan Doktrin Piercing The Corporate Veil pada Perusahaan Terbatas
Dalam penerapannya ke dalam hukum perseroan, doktrin piercing the
corporate veil ini berarti bahwa hukum tidak memberlakukan prinsip keterpisahan
tanggung jawab dan harta kekayaan badan hukum dengan pemegang sahamnya,
walaupun secara de jure seluruh persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu
perseroan untuk dapat menjadi suatu badan hukum telah sempurna dilakukan. Cadar
yang membatasi badan hukum dengan pemegang sahamnya dapat dikoyak. Dengan
demikian ada kemungkinan pemegang saham dalam hal-hal tertentu ikut
bertanggungjawab sampai kepada harta pribadinya atas tindakan yang dilakukan oleh
dan atas nama perseroan itu sendiri.
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 77/141
62
I.G. Rai Widjaya mengatakan bahwa “Tanggung jawab terbatas dari
pemegang saham bisa hapus atau hilang dalam hal-hal tertentu”.
95
Hal-hal tertentu
tersebut maksudnya antara lain apabila terbukti “terjadi pembauran harta kekayaan
pribadi pemegang saham dengan harta kekayaan perseroan, sehingga perusahaan
didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan oleh pemegang saham untuk
memenuhi tujuan pribadinya”.96
Menurut Chatamarrasjid :
Apabila terbukti bahwa terjadi pembauran harta kekayaan pribadi pemegang
saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi
tujuan pribadinya, maka dalam keadaan demikian para pemegang saham,
direksi dan komisaris yang telah melakukan perbuatan tersebut, berdasarkan prinsip piercing the corporate veil harus bertanggungjawab dengan harta
pribadinya dan atau bertanggungjawab pribadinya sendiri, baik pidana
maupun perdata.97
Menurut I.G. Rai Widjaya, terjadinya piercing the corporate veil atau lifting
the veil adalah sebagai berikut :
1) Persyaratan PT sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi.2) Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk (tekwaadetrouw atau bad faith)
memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.3) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau
4) Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidaklangsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan
menjadi tidak cuk up untuk melunasi utang perseroan atau PT (Pasal 3
ayat (2) UUPT).98
95 I.G. Rai Widjaya, Op Cit , hal. 14596 Ibid , hal. 145-14697 Chatamarrasjid Ais, Op Cit , hal. 498 I.G. Rai Widjaya, Op Cit , hal. 146
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 78/141
63
Dengan demikian pemegang saham “dalam keadaan tertentu” bisa saja
kehilangan “kekebalan” atas tanggung jawab terbatasnya, atau dengan kata lain ia
harus bertanggungjawab penuh secara pribadi. Beberapa hal yang terhadapnya dapat
diterapkan doktrin piercing the corporate veil adalah :
a. Permodalan yang tidak layak;
b. Penggunaan dana perusahaan secara pribadi;
c. Ketiadaan formalitas eksistensi perusahaan;
d. Adanya unsur-unsur penipuan dengan cara menyalahgunakan badan
hukum.99
Dalam hubungannya dengan tanggung jawab perusahaan holding (holding
company)100
, doktrin piercing the corporate veil melihat tanggung jawab perusahaan
holding tersebut dari 2 (dua) sisi yaitu:
a. Tanggung jawab perusahaan pengontrol sebagai induk perusahaan dalam suatu
kelompok usaha; dan
b.
Tanggung jawab perusahaan holding sebagai pemegang saham.
Dengan menerapkan doktrin piercing the corporate veil, tanggung jawab
perusahaan holding sebagai induk perusahaan dalam suatu kelompok usaha, dapat
terjadi terhadap 3 (tiga) hal yaitu jika terdapat fakta-fakta yang menyesatkan, jika
terjadi penipuan/ketidakadilan, dan jika bertujuan untuk melindungi pemegang saham
minoritas.
99 Munir Fuady I, Op Cit, hal. 61-62100 Perusahaan holding sering juga disebut dengan holding company, parent company, atau
controlling company. Yang dimaksud dengan perusahaan holding adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau
lebih perusahaan lain tersebut. Lihat Munir Fuady I, Ibid , hal. 83
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 79/141
64
a. Fakta-fakta yang menyesatkan
Perusahaan holding akan bertanggungjawab terhadap anak perusahaan jika
terdapat fakta-fakta yang menyesatkan pihak lain. Fakta-faktamenyesatkan ini berupa kegagalan dalam memisahkan secara nyata
apakah suatu peristiwa itu disebabkan oleh tindakan anak perusahaan atau
induk perusahaan. Misalnya apabila ada percampuran antara usaha bisnis, pegawai atau asset perusahaan holding dengan anak perusahaan.
b. Penipuan atau ketidakadilan
Jika terdapat penipuan atau ketidakadilan dalam hubungan dengan peran
perusahaan holding, maka doktrin piercing the corporate veil selayaknyadiberlakukan, sehingga perusahaan holding harus mempertanggung-
jawabkan perbuatan yang menguntungkannya yang dilakukan secara tidak
layak oleh anak perusahaannya.
c.
Perlindungan pemegang saham minoritas
Untuk melindungi pemegang saham minoritas dari kesewenangan para
pemegang saham mayoritas, doktrin piercing the corporate veil dalam hal-
hal tertentu layak diberlakukan. Misalnya jika terjadi transfer keuntungan
yang diperoleh anak per usahaan kepada perusahaan holding atau kepadaanak perusahaan lainnya.
101
Doktrin piercing the corporate veil, selain diterapkan khusus terhadap
perusahaan holding, diterapkan juga terhadap setiap para pemegang saham dari suatu
perusahaan, apakah pemegang saham tersebut merupakan suatu badan hukum atau
bukan. Tetapi penerapannya terhadap pemegang saham seperti itu sulit diberlakukan
jika pemegang sahamnya adalah investor publik pada suatu perusahaan publik. Satu
dan lain hal mengingat status dari pemegang saham publik hanya sebagai investor
semata-mata. Jadi bukan sebagai pemilik perusahaan dalam arti yang sebenarnya.
Dengan demikian hubungan antara pemegang saham publik dengan perusahaan
tersebut relatif renggang.
101 Ibid , hal. 64
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 80/141
65
Penerapan doktrin piercing the corporate veil terhadap para pemegang saham
setidak-tidaknya dapat dilakukan dalam 4 (empat) hal, yaitu ”jika tidak diikutinya
formalitas tertentu, jika badan-badan hukum terpisah hanya secara artifisial, jika ada
hubungan kontraktual, dan jika ada perbuatan melawan hukum atau tindak
pidana”.102
a. Pie
ntang ada atau tidaknya misleading atau kebingungan terhadap
pih
terlaksana sehingga dapat
odal atau pengisian saham;
rcing the corporate veil tidak mengikuti formalitas tertentu
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah tidak mengikuti formalitas tertentu
yang seharusnya dilakukan sebagai suatu perusahaan dimana sasaran dari doktrin
piercing the corporate veil bukan hanya melindungi para pihak atau pihak ketiga,
tetapi lebih merupakan sanksi agar formalitas tertentu dari perusahaan diikuti
dalam praktek. Konsekuensi yuridisnya adalah bahwa untuk dapat menerapkan
doktrin piercing the corporate veil dalam kasus seperti ini, tidak diperlukan
pembuktian te
ak ketiga.
Di antara formalitas dalam perusahaan yang tidak
diterapkan doktrin piercing the corporate veil adalah:
a) Tidak tuntasnya formalitas dalam proses pendirian usaha;
b) Tidak melaksanakan pemilihan board , rapat-rapat dan sebagainya;
c) Gagal dalam pengkontribusian m
d)
Pemegang saham terlalu banyak mencampuri bisnis perusahaan/ pengambilan keputusan bisnis;
102 Munir Fuady I, Op Cit , hal. 64
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 81/141
66
e) Kegiatan pribadi dengan kegiatan perusahaan dicampuraduk seperti
ad 103
anya pinjaman (loan) yang informal.
b. Pie
corporate veil akan cenderung
membebankan tanggung jawab hukum kepada seluruh business entity tersebut,
bukan terhadap pemegang saham secara pribadi.
c.
yai hubungan kontraktual tersebut dapat dianggap telah
rcing the corporate veil terhadap badan-badan hukum yang terpisah secara
artifisial
Dalam hal seperti ini yang sebenarnya terjadi adalah terdapatnya suatu
business entity tunggal, tetapi dapat dibagi-bagi ke dalam beberapa badan hukum
yang terpisah secara artifisial. Misalnya walaupun terdapat beberapa perusahaan
yang saling berhubungan, tetapi bisnis dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga
tidak ubahnya seperti dilakukan oleh satu unit perusahaan saja. Dalam kasus
seperti ini, pemberlakuan prinsip piercing the
Piercing the corporate veil berdasarkan hubungan kontrak
Dalam hal suatu perusahaan terlibat secara kontraktual dengan pihak ketiga,
doktrin piercing the corporate veil dapat diterapkan, yaitu dalam hal terjadinya
“keadaan tidak lazim” dari aktifitas suatu perusahaan sehingga tanggung jawab
yuridisnya seharusnya dibebankan kepada para pemegang saham. Tanpa
kehadiran elemen “keadaan tidak lazim”, maka akan sulit bagi pihak ketiga untuk
menarik pihak pemegang saham untuk bertanggungjawab yuridis secara pribadi
berlandaskan prinsip piercing the corporate veil. Hal ini disebabkan pihak ketiga
yang mempun
103 Ibid , hal. 65, Lihat juga Munir Fuady II, Op Cit , hal. 11
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 82/141
67
“me
diperdaya untuk bertransaksi dengan pihak ketiga;
yaitu tentang
/atau atas nama pribadi
pemegang saham;
)
Perusahaan dioperasikan tidak dengan cara-cara normal, misalnya samasekali tidak pernah membuat untung sebagaimana mestinya, atau semua
d. Piercing the corporate veil atas dasar perbuatan melawan hukum atau tindak
egang saham seharusnya tetap
nya dalam hal-hal sebagai berikut:
)
Jika perusahaan dibentuk khusus untuk melakukan hal-hal yang berbahaya,
misalnya untuk melakukan ledakan-ledakan tertentu.105
ngasumsi resiko” ketika melakukan transaksi dengan perusahaann yang
bersangkutan.
“Keadaan tidak lazim” dimaksud dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
a) Pihak ketiga
b) Tindakan bisnis pemegang saham membingungkan,
apakah sektor keuangannya dilakukan untuk dan
atau perusahaan. Misalnya transaksi perusahaan selalu dibayar dengancek pribadi;
c) Permodalan perusahaan tidak dinyatakan dengan benar;
d) Adanya jaminan pribadi dari
e
dana perusahaan disedot oleh pemegang saham tanpa melihat
kepentingan perusahaan.104
pidana
Jika perbuatan melawan hukum (tort ) terjadi, walaupun dilakukan oleh
perusahaan, sampai batas-batas tertentu pem
bertanggungjawab berdasarkan doktrin piercing the corporate veil. Hal ini dapat
terjadi misal
a) Jika perusahaan berbisnis dengan skala besar sementara modalnya sangat
kecil;
b
104 Ibid , hal. 66, Lihat juga Munir Fuady II, Op Cit, hal. 13105 Ibid
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 83/141
68
e.
ang dapat
a dengan menerapkan prinsip Instrumentality Rule,
h satu di antara unsur-unsur sebagai berikut:
usahaan induk;
2) Penggunaan kontrol oleh perusahaan untuk melakukan kecurangan( fraud ), ketidakjujuran, dan tindakan tidak fair lainnya;
106
perusahaan, penerapan piercing the
cor
a.
Piercing the corporate veil dalam hubungan holding company dan anak
perusahaan
Dalam beberapa kasus di Amerika, untuk dapat menerapkan doktrin piercing
the corporate veil, sehingga terhadap suatu perusahaan atau seseor
dimintakan tanggung jawabny
yaitu apabila terdapat sala
a. Express Agency, atau
b. Estoppel, atau
c. Direct Tort , atau
d. Dapat dibuktikan adanya 3 (tiga) unsur berikut:
1) Pengontrolan anak perusahaan oleh per
3) Adanya kerugian yang disebabkan ( proximate causation) oleh breach
of duty dari perusahaan pengontrol.
Masih dalam hubungan dengan grup
porate veil dapat dilakukan misalnya, dalam kasus-kasus sebagai berikut:107
Adanya fakta-fakta yang menyesatkan
Jika terdapat fakta-fakta yang menyesatkan yang ada hubungannya dengan
perusahaan holding dengan anak perusahaannya, maka walaupun suatu
106 Robert Charles Clark, 1986, “Corporate Law”, Little Brown and Company, Boston, USA,hal. 72-73 dalam Munir Fuady I, Op Cit , hal. 62, Lihat juga Munir Fuady II, Op Cit , hal. 14
107 Munir Fuady II, Op Cit , hal. 14-15
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 84/141
69
perbuatan hukum dilakukan oleh anak perusahaan, ada kemungkinan
perusahaan holdingnya ikut dimintakan tanggung jawabnya secara hukum
berdasarkan teori piercing the corporate veil. Fakta yang menyesatkan adalah
ketidaktegasan antara kegiatan yang dilakukan oleh induk perusahaan dengan
kegiatan yang dilakukan dengan anak perusahaan. Contoh dari tindakan/fakta
hal adanya percampuradukan antara
b.
puan atau ketidakadilan yang dilakukan oleh anak perusahaan
maka perusahaan holding juga
c.
erusahaan holding. Misalnya tindakan yang
merugikan pihak pemegang saham minoritas adala jika terjadi transfer
yang menyesatkan tersebut adalah dalam
usaha bisnis, pegawai atau asset dari perusahaan holding dengan anak
perusahaan.
Terjadinya penipuan dan ketidakadilan
Jika terjadi peni
sehingga menguntungkan perusahaan holding,
dapat dimintakan tanggung jawabnya berdasarkan doktrin piercing the
corporate veil.
Untuk melindungi pemegang saham minoritas
Dalam hubungan dengan perusahaan holding, sangat mungkin dilakukan
tindakan-tindakan yang berakibat timbulnya kerugian bagi pemegang saham
minoritas. Untuk pihak pemegang saham minoritas perlu diberikan
perlindungan hukum, yang dalam hal ini dilakukan dengan menerapkan teori
piercing the corporate veil, yaitu dengan memintakan juga
pertanggungjawaban dari pihak p
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 85/141
70
keuntungan yang diperoleh anak perusahaan kepada perusahaan holding atau
kepada anak perusahaan lainnya.
Selain 3 (tiga) hal tersebut diatas, beberapa fakta yang dapat dicurigai
sehingga dapat menyebabkan pemberlakukan teori piercing the corporate veil
ecil;
an
h. Perusahaan holding menggunakan asset anak perusahaan seperti assetnya
sendiri;i. Pihak eksekutif anak perusahaan lebih memperhatikan kepentingan
perusahaan holding daripada kepentingan anak perusahaan.108
terhadap perusahaan holding atas perbuatan yang dilakukan oleh anak perusahaannya
adalah seb gai berikut :
h
a
a. Perusahaan olding dan anak perusahaan mempunyai pengurus, komisaris
dan pegawai yang sama; b. Anak perusahaan mempunyai modal yang sangat k
c. Perusahaan holding membayar gaji, upah, kerugian dan pengeluar
lainnya dari anak perusahaan;d. Perusahaan holding memiliki seluruh atau hampir seluruh saham anak
perusahaan;
e. Perusahaan holding membiayai anak perusahaan;f. Anak perusahaan mempunyai bisnis hanya dengan perusahaan holding;
g. Anak perusahaan tidak mempunyai asset lain kecuali asset yang dialihkan
dari perusahaan holding;
108 Ibid , hal. 15-16
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 86/141
BAB III
PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL DALAM UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dibentuk
dalam era globalisasi. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila berbagai
doktrin hukum mempengaruhi isi dari UUPT di atas, termasuk doktrin hukum
dari negara common law system. Sehubungan hal tersebut, maka dalam
pembahasan tanggung jawab direksi perseroan terbatas akan dikaitkan dengan
doktrin-doktrin hukum, terutama yang telah diwujudkan dalam pasal-pasal pada
UUPT.
Badan hukum sebagai subyek hukum yang berhubungan hukum dengan
subyek hukum lainnya, maka apabila terjadi dispute, tuntutan hukum dapat
dialamatkan kepada badan hukum lainnya. Sekalipun dalam bertindak badan
hukum tersebut diwakili oleh direksinya, tetapi hubungan hukum tersebut tetap
merupakan hubungan hukum antara subyek hukum. Namun demikian, direksi
yang merupakan salah satu organ perseroan dari badan hukum itu mempunyai
hubungan dan tanggung jawab secara intern perseroan. Dimaksudkan, hubungan
hukum intern perseroan dalam buku ini adalah hubungan hukum antara
pemegang saham, RUPS, komisaris, dan direksi.
71
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 87/141
72
Secara intern, perseroan yang berbentuk perseroan terbatas itu sendiri
sebagai badan hukum mempunyai hubungan hukum yang tercipta berdasarkan hal-
hal sebagai berikut:
a. Peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. Anggaran dasar perseroan
c. Doktrin hukum yang berlaku umum dan universal.109
Hubungan hukum intern tersebut membatasi kesewenang-wenangan
pemegang saham, direksi, dan komisaris, yang sekaligus meletakkan tanggung jawab
masing-masing. Hal-hal tersebut di atas memberikan arah apa yang diperintahkan
(imperare), apa yang dilarang ( prohibere), serta apa yang diperbolehkan
( pemittere) kepada pemegang saham, komisaris, dan direksi.110
Berkaitan dengan tanggung jawab dan hubungan intern perseroan tersebut,
terdapat beberapa doktrin hukum penting dalam corporate law. Doktrin hukum ini
sangat erat dengan pertanggungjawaban para pemegang saham, komisaris, dan
direksi. Doktrin hukum ini dapat digunakan, baik untuk membuat suatu peraturan
hukum perseroan yang lebih komprehensif, dengan mengacu pada doktrin hukum
yang berlaku universal, juga sekaligus sebagai warning kepada para pemegang
saham, komisaris, dan direksi dalam menjalankan usaha dan kepada berbagai pihak
untuk memanfaatkan doktrin hukum ini dalam menegakkan hak dan keadilan.
109 Tri Widiono, Op cit , hal. 30110 Ibid
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 88/141
73
Chatamarrasjid Ais mengatakan bahwa “Apabila terbukti bahwa telah terjadi
pembauran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perseroan,
sehingga perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan
pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya”.111
Dalam keadaan demikian, maka para pemegang saham, direksi dan
komisaris yang telah melakukan perbuatan tersebut, yang bersangkutan
berdasarkan prinsip di atas harus bertanggungjawab sampai dengan harta
pribadinya dan atau bertanggungjawab pribadinya sendiri, baik pidana maupun
perdata.
Oleh karena itu, secara luas dapat diartikan bahwa termasuk pelanggaran
doctrine piercing the corporate veil, apabila seperti berikut ini:
a. Direksi tidak melakukan prosedur hukum dalam proses pendirian perseroan
sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan, yaitu direksi tidak
melakukan permintaan pengsahan/persetujuan/pelaporan, pendaftaran dan
pengumuman sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUPT.
b. Pemegang saham bertanggungjawab sampai harta pribadi, jika melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT, juga
pelanggaran terhadap Pasal 7 ayat (6), Pasal 12, dan Pasal 13 UUPT, yaitu:
(1)
persyaratan perseroan sebagai badan hukum, belum atau tidak
terpenuhi;
111 Chatamarrasjid Ais, II, 2000, Menyingkap Tabir Perseroan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 4
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 89/141
74
(2) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata
untuk kepentingan pribadi;
(3) pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
(4) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan,
yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk
melunasi utang perseroan;
(5) setelah perseroan disahkan pemegang saham kurang dari 2 (dua) orang
dan dalam waktu 6 bulan setelah itu, pemegang saham tetap 2 (dua)
orang, maka pemegang saham bertanggungjawab secara pribadi atas
segala perikatan atau kerugian perseroan dan atas permohonan pihak
yang berkepentingan, Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan
tersebut;
(6) perbuatan hukum yang dilakukan para pendiri untuk kepentingan
perseroan sebelum memperoleh status badan hukum, tetapi perbuatan
hukum tersebut oleh perseroan:
a)
tidak secara tegas dinyatakan diterima semua perjanjian yang
dibuat oleh pendiri atau orang lain yang ditugaskan pendiri
dengan pihak ketiga;
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 90/141
75
b) tidak menyatakan mengambil alih semua hak dan kewajiban yang
timbul dari perjanjian yang dibuat pendiri atau orang lain yang
ditugaskan pendiri, walaupun perjanjian tidak dilakukan atas
nama perseroan;
c) tidak mengukuhkan secara tertulis semua perbuatan hukum yang
dilakukan atas nama perseroan.
Kewenangan perseroan mengukuhkan perbuatan hukum tersebut berada
pada RUPS. Dalam hal RUPS belum dapat diselenggarakan, maka
pengukuhan dilakukan oleh seluruh pendiri, pemegang saham dan
direksi. Selama belum dikukuhkan, baik karena perseroan tidak jadi
didirikan atau disahkan atau karena perseroan tidak melakukan
pengukuhan, maka perseroan tidak terikat.
(7) Perolehan saham yang tidak sesuai ketentuan yang diatur dalam Pasal
37 ayat (3) yang menyatakan, direksi secara tanggung renteng
bertanggungjawab atas semua kerugian yang diderita pemegang saham
yang beritikad baik, yang timbul akibat batal demi hukum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(8) Dokumen perhitungan tahunan yang disediakan tidak benar
sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (3), yaitu dalam hal dokumen
perhitungan tahunan yang disediakan ternyata tidak benar dan atau
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 91/141
76
menyesatkan, anggota direksi dan komisaris secara tanggung renteng
bertanggungjawab terhadap pihak yang dirugikan.
(9) Direksi tidak melaksanakan, fiduciary duty yang diberikan oleh
perseroan yang diatur dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT.
(10) Dalam hal kepailitan yang diakibatkan kesalahan direksi, yaitu diatur
dalam Pasal 104 ayat (2), yang menyatakan, dalam hal kepailitan
terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan
tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka
setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggungjawab atas
kerugian tersebut.
(11) Komisaris telah melanggar ketentuan Pasal 114 ayat (2) UUPT, yaitu
tidak mempunyai itikad baik, tidak berhati-hati dan tidak
bertangyungjawab dalam menjalankan tugas pengawsan dan pemberian
nasehat kepada Direksi.
Sebagai perbandingan dan sekaligus sebagai pelengkap dari pendapat di
atas, di bawah ini dikemukakan pendapat mengenai penerapan teori piercing the
corporate veil, secara universal dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Perusahaan tidak mengikuti formalitas tertentu.
b.
Badan-badan hukum yang hanya terpisah secara artifisial.
c. Berdasarkan hubungan kontraktual.
d. Perbuatan melawan hukum atau tindak pidana.
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 92/141
77
e. Hubungan dengan holding company dan anak perusahaan.112
Berkaitan dengan perusahaan yang tidak mengikuti formalitas tertentu, dapat
diartikan sama dengan pendapat yang telah dijelaskan di atas, yakni persyaratan
perseroan terbatas sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. Termasuk
formalitas tertentu ini adalah tidak dijalaninya prosedur tata cara pengangkatan
direksi dan atau komisaris, penyetoran modal yang tidak sesuai, dan lain-lain.
Badan hukum yang terpisah secara artifisial dimaksudkan bahwa perusahaan
yang sebenarnya adalah tunggal, tetapi perusahaan tersebut dibagi ke dalam
beberapa perseroan yang terpisah. Walaupun secara formal suatu perseroan sebagai
badan hukum berdiri sendiri, tetapi hakikatnya beberapa perseroan tersebut menjadi
satu kesatuan. Oleh karena itu, tanggung jawabnya menjadi satu kesatuan dan
saling mengkait.
Penerapan masalah ini dalam UUPT sangat sulit untuk diungkap, satu lain
hal, di Indonesia menganut hukum kontinental, di mana dalam penegakannya lebih
condong pada positivisme hukum. Sedangkan doktrin piercing the corporate veil
bersumber pada anglo saxon.
Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 sampai batas-
batas tertentu mengakui berlakunya teori piercing the corporate veil ini,
sungguhpun pengaturannya sangat simpel. Sebagaimana diketahui juga bahwa
penerapan teori piercing the corporate veil ke dalam tindakan suatu perseroan,
112 Munir Fuady, I, Op cit, hal. 10-11
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 93/141
78
menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan
tersebut (meskipun dia berbentuk badan hukum), tetapi pertanggungjawaban
hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Bahkan menurut
Munir Fuady “Penerapan teori piercing the corporate veil dalam
pengembangannya, juga membebankan tanggung jawab hukum kepada organ
perusahaan yang lain seperti direksi atau komisaris”.113
Karena itu pula, maka Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40
Tahun 2007 mengakui teori piercing the corporate veil dengan membebankan
tanggung jawab kepada pihak-pihak sebagai berikut:
1) Beban Tanggung Jawab Dipindahkan ke Pihak Pemegang Saham.
2) Beban Tanggung jawab Dipindahkan ke Pihak Direksi.
3) Beban Tanggung Jawab Dipindahkan ke Pihak Komisaris.114
a.
Beban Tanggung Jawab Dipindahkan ke Pihak Pemegang, Saham
Seperti telah dijelaskan bahwa dalam sistem hukum Indonesia prinsip
kemandirian badan hukum dari suatu perseroan terbatas diakui secara tegas
oleh Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, lewat Pasal 3
ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: “Pemegang saham perseroan tidak
bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama
113 Munir Fuady, II, Op cit , hal. 17114 Ibid
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 94/141
79
perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi saham
yang dimilikinya”
Keterpisahan tanggung jawab hukum antara perseroan dengan pribadi
pemegang saham tersebut lebih mempertegas ciri dari suatu perseroan terbatas
di mana pemegang saham bertanggungjawab secara terbatas, yakni hanya
bertanggungjawab sebesar nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi
harta kekayaan pribadinya.
Akan tetapi, ketentuan tersebut tidak berlaku mutlak. Sebab ada banyak
kekecualian dari ketentuan tersebut. Pengecualin tersebut mengisyaratkan
bahwa memang Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007
mengakui dokirin piercing the corporate veil itu. Kekecualian tersebut,
khususnya yang membebankan tanggung jawab kepada pihak pemegang
saham dapat dikategorikan sebagai berikut:
1) Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas
Nomor 40 Tahun 2007.
Pasal 3 ayat (2) dari UUPT mengintrodusir tanggung jawab
pemegang saham dari suatu perseroan terbatas dalam 4 (empat) hal
berikut:
(a)
Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidakterpenuhi. Dalam hal ini pihak pemegang saham (dalam
tampilannya sebagai pendiri/promotor) perusahaan yang
bertanggungjawab sampai dengan disahkannya badan hukum
perseroan oleh Menteri Kehakiman. Dan, setelah itu, tanggung jawab beralih kepada pihak direksi sampai dengan pendaftaran dan
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 95/141
80
pengumuman. Setelah pendaftaran dan pengumuman, maka yang
bertanggungjawab hanyalah perseroan yang bersangkutan, kecuali
ada alasan untuk diterapkan teori piercing the corporate veil karenaalasan-alasan lain.
(b) Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi.
(c) Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan.(d) Pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan
perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak
cukup untuk melunasi hutang-hutang perseroan.115
Dalam hal terjadi pembauran antara kekayaan perseroan dengan
kekayaan pribadi, maka pihak pemegang saham bertanggungjawab secara
pribadi. Dalam hal-hal tertentu, tidak tertutup kemungkinan hapusnya
tanggung jawab terbatas tersebut. Hal-hal tertentu dimaksud antara lain
apabila terbukti bahwa terjadi pembauran harta kekayaan pribadi
pemegang saham dan harta kekayaan perseroan, sehingga perseroan
didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham
untuk memenuhi tujuan pribadinya.
2) Ketentuan dalam Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang Perseroan Terbatas
Nomor 40 Tahun 2007
Sebagaimana diketahui bahwa dalam suatu perseroan terbatas,
pemegang saham minimal harus berjumlah 2 (dua) orang. Jumlah 2 (dua)
orang dari pemegang saham ini sampai kapan pun haruslah
115 Ibid , hal. 19
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 96/141
81
dipertahankan oleh perseroan.116
Ketentuan yang mewajibkan perseroan
terbatas memiliki minimal 2 (dua) orang pemegang saham tersebut tidak
berlaku jika perseroan terbatas tersebut:
a. seluruh sahamnya dimiliki oleh negara; atau
b. perseroan yang mengelola bursa efek, lembaga kliring dan
penjaminan, lembaga peyimpanan dan penyelesaian dan lembaga lain
sebagaimana diatur dalam UU Pasar Modal.117
Bagaimana halnya jika dalam perjalanannya, suatu perseroan terbatas
karena hal apa pun akhirnya hanya mempunyai 1 (satu) orang pemegang
saham. Maka dalam hal ini, dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak
saat mulai terjadinya 1 (satu) orang pemegang saham, pemegang saham
seorang diri tersebut haruslah mengalihkan sebagian saham-sahamnya
kepada pihak lain. Dalam hal ini tidak ada batas minimal dari
pengalihan. Jadi, 1 (satu) saham saja yang dialihkan itu sudah cukup.
Bagaimana jika setelah lewat waktu 6 (enam) bulan tersebut, pemegang
saham masih saja 1 (satu) orang. Dalam hal yang demikian, berlakulah
teori piercing the corporate veil itu. Artinya, yang bertanggungjawab
terhadap pihak ketiga bukan hanya perseroan, melainkan juga pribadi
pemegang saham tersebut. Dalam hal ini, menurut Munir Fuady ”Atas
116 Pasal 7 ayat (6) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas117 Pasal 7 ayat (7) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 97/141
82
permohonan dari pihak yang berkepentingan, Pengadilan Negeri dapat
membubarkan perseroan tersebut”.
118
3) Ketentuan dalam pasal-pasal lainnya dari Undang-Undang, Perseroan
Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.
Selain dari pasal-pasal seperti tersebut di atas, masih terdapat hal-hal
lain yang mengakibatkan timbulnya konsekuensi dibebankannya tanggung
jawab hukum ke pundak pemegang saham, meskipun tanggung jawab
tersebut sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan oleh suatu perseroan
terbatas, yang nota bene merupakan suatu badan hukum (legal entity).
Dalam kelompok ini termasuk tindakan-tindakan dalam 5 (lima) kategori
sebagai berikut:
(a) Tidak menyetor modal
Pemegang saham tidak melaksanakan tugasnya untuk menyetor
modal, padahal setiap saham harus disetor penuh oleh pemegang
sahamnya pada saat pengesahan oleh Menteri Kehakiman, atau pada
saat saham dikeluarkan lebih lanjut. Apabila tindakan tersebut
merugikan perusahaan atau pihak ketiga, maka doktrin piercing the
corporate veil layak diterapkan.
118 Munir Fuady, II, Op cit. hal. 20
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 98/141
83
(b) Campur aduk antara urusan pribadi dengan urusan perseroan
Teori piercing the corporate veil juga layak diterapkan apabila terjadi
pencampuradukan antara urusan perusahaan dengan urusan pribadi,
sehingga tanggung jawab pribadi pemegang saham yang
bersangkutan dapat dimintakan. Contoh pencampuradukan antara
urusan-urusan perseroan dengan urusan pribadi adalah:
a. Dana perusahaan digunakan untuk urusan pribadi
b. Aset milik perseroan diatasnamakan pribadi
c. Pembayaran perseroan dengan cek pribadi tanpa justifikasi yang
jelas.
(c) Alter Ego
Teori piercing the corporate veil juga layak diterapkan kepada
pemegang saham manakala pihak pemegang saham terlalu dominan
dalam kegiatan perusahaan tersebut melebihi dari peran pemegang
saham yang sepantasnya. Dengan demikian, dalam hal ini perusahaan
hanya berfungsi sebagai "instrumen" mencari untung pribadi dari
pihak pemegang sahamnya. Dalam hal ini, perseroan tersebut
dikatakan sebagai alter ego (kadang-kadang disebut juga sebagai
instrumentality, dummy atau agent ) dari pemegang saham yang
bersangkutan.119
119 Munir Fuady, II, Op cit , hal. 22
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 99/141
84
Hanya saja, pemakaian kata "agent " di sini kurang pada tempatnya.
Sebab jika dibilang bahwa perseroan hanya merupakan agen dari
pemegang saham, hal ini berarti pihak perseroan sebagai agen
mestinya mempunyai kewenangan untuk mengikat pihak prinsipal
(pemegang saham) dengan pihak ketiga. Padahal, kewenangan
tersebut tidak terdapat pada perusahaan, meskipun perusahaan
tersebut merupakan alter ego atau instrumen dari pemegang
sahamnya.
(d) Jaminan Pribadi dari Pemegang Saham
Apabila pihak pemegang saham memberikan jaminan pribadi bagi
kontrak-kontrak atau bisnis yang dibuat oleh perusahaannya, berarti
pihak pemegang saham memang menginginkan untuk dibebankan
tanggung jawab atas kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan oleh
perseroan tersebut. Sehingga dengan sendirinya, pihak pemegang
saham ikut bertanggungjawab manakala adanya gugatan dan pihak
ketiga atas kerugian yang terbit dari kegiatan yang digaransi tersebut.
Kapan dan sejauhmana pihak pemegang saham bertanggungjawab,
bergantung pada isi dari perjanjian jaminan garansi tersebut. Ini
adalah salah satu contoh penerapan doktrin piercing the corporate
veil secara kontraktual.
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 100/141
85
(e) Permodalan yang Tidak Layak
Permodalan yang tidak layak. misalnya modal terlalu kecil padahal
bisnis perusahaan adalah besar. Karena kewajiban pemegang
sahamlah yang harus menyetor tambahan modal dan ketidaklayakan
permodalan ini menimbulkan suatu transfer tanggung jawab dari
pemegang saham kepada pihak kreditur. Ini sama sekali tidak fair.
Namun demikian, selain pemegang saham yang bertanggungjawab
sampai batas-batas tertentu, pihak direksi juga dapat dimintakan
tanggung jawabnya dalam hal ini.
b. Beban Tanggung Jawab Dipindahkan Kepada Pihak Direksi
Pada prinsipnya dan secara klasik, dengan diterapkannya teori piercing
the corporate veil, maka pihak pemegang sahamlah yang biasanya dimintakan
tanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan oleh perseroan. Akan tetapi,
dalam tersebut, beban tanggung jawab dipindahkan juga dari perseroan kepada
pihak lainnya selain pemegang saham. Misalnya, beban tanggung jawab
tersebut dipindahkan ke pundak direksi atau komisaris.
Dalam hal tanggung jawab direksi akibat penerapan teori piercing the
corporate veil ini, dari segi yang lain dapat juga dilihat sebagai akibat
penerapan doktrin fiduciary duty dari direksi yang bersangkutan. Menurut UU
Perseroan Terbatas, teori piercing the corporate veil dapat diterapkan yang
dapat menyebabkan pihak direksi yang bertanggungjawab atas kegiatan yang
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 101/141
86
dilakukan oleh perseroan. Tanggung jawab direksi karena penerapan teori
piercing the corporate veil insi dilakukan dalam hal-hal berikut:
(a) Direksi tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan.
Prinsip fiduciary duty bagi direksi ini bersumber dari Pasal 97 ayat
(2) Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007. Pasal 97
ayat (2) tersebut yang menyatakan “Setiap anggota direksi wajib dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan dan usaha perseroan”.
Apabila direksi bersalah (sengaja) atau lalai dalam menjalankan
kewajiban fiduciary duty tersebut, yaitu tidak dengan itikad baik dan
bertanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseroannya,
maka pihak direksi bertanggungjawab secara pribadi.120
Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 bahkan
mengatur lebih jauh dengan memberikan kewenangan mengajukan
gugatan, melalui teori piercing the corporate veil bukan hanya kepada
pihak ketiga yang dirugikan oleh perseroan, melainkan juga kepada
pemegang saham perseroan yang dalam hal ini pemegang saham tersebut
bertindak untuk dan atas nama perseroan, minimal 1/10 (satu persepuluh)
dari seluruh saham dengan suara yang sah.121
120 Pasal 97 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas121 Pasal 97 ayat (6) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 102/141
87
(b) Perusahaan belum melakukan pendaftaran dan pengumuman.
Suatu perusahaan sudah menjadi badan hukum sejak disahkan
anggaran dasarnya oleh Menteri Kehakiman.122
Akan tetapi, sampai
dengan pengesahan dari Menteri Kehakiman tersebut, sungguhpun badan
hukumnya sudah eksis, tetapi badan hukum tersebut belum berlaku
kepada pihak ketiga sebelum perusahaan tersebut didaftarkan dalam
daftar perusahaan, dan diumumkan dalam berita negara. Karena itu,
sebelum pendaftaran dan pengumuman, tetapi setelah anggaran dasar
disahkan, maka yang bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukan
oleh perseroan bukanlah pihak perseroan tersebut dan bukan juga
pemegang saham, melainkan yang bertanggungjawab adalah direksi yang
bersangkutan, berdasarkan teori piercing the corporate veil.
(c) Dokumen perhitungan tahunan tidak benar.
Direksi berkewajiban untuk menyediakan perhitungan tahunan
perseroan yang benar. Apabila laporan tahunan tersebut ternyata tidak
benar (dengan pembuktian biasa), maka direksi bersama dengan komisaris
bertanggungjawab secara renteng, berdasarkan doktrin piercing the
corporate veil.123
Namun dalam hal ini UU Perseroan Terbatas memberikan
pembuktian terbalik bagi anggota direksi atau komisaris yang
122 Pasal 7 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas123 Pasal 69 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 103/141
88
bersangkutan. Sebab, menurut Pasal 97 ayat (5) UUPT, para anggota
direksi atau komisaris dibebaskan dari tanggung jawabnya tersebut
apabila dapat membuktikan :
a. Keadaan yang bersangkutan bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya.
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.
c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun
tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan
kerugian, dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.
Dengan demikian bisa saja ada anggota direksi atau dewan komisaris
yang harus bertanggungjawab secara hukum, tetapi dewan komisaris
atau ada juga anggota direksi yang lain yang dapat membuktikan tidak
bersalah sehingga dia tidak bertanggungjawab.
(d) Direksi bersalah dan menyebabkan perusahaan pailit.
Apabila suatu perseroan pailit, maka tidak serta merta (tidak demi
hukum) pihak direksi harus bertanggungjawab secara pribadi. Agar pihak
anggota direksi dapat dimintakan tanggung jawab pribadi ketika suatu
perusahaan pailit, haruslah memenuhi semua syarat sebagai berikut:
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 104/141
89
1) Terdapatnya unsur kesalahan (kesengajaan) atau kelalaian dari
direksi (dengan pembuktian biasa).
2) Untuk membayar hutang dan ongkos-ongkos kepailitan, haruslah
diambil terlebih dahulu dari asset-asset perseroan. Bila asset
perseroan tidak mencukupi, barulah diambil asset direksi pribadi.
3) Diberlakukan pembuktian terbalik (omkering van bewijslast ) bagi
anggota direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan
perseroan bukan karena kesalahan (kesengajaan) atau kelalaiannya.
Anggota direksi bisa saja harus bertanggungjawab secara hukum
jika perusahaan pailit, tetapi ada juga anggota direksi yang lain yang
dapat membuktikan tidak bersalah sehingga dia tidak bertanggungjawab.
(e) Permodalan yang tidak layak.
Permodalan yang tidak layak, misalnya modal terlalu kecil padahal
bisnis perusahaan adalah besar. Dalam hal ini, selain pemegang saham
yang berkewajiban menyetor saham yang harus bertanggungjawab, pihak
direksi juga bertanggungjawab secara hukum, mengingat direksi sebagai
pihak eksekutif dari perseroan dapat menimbang-nimbang kegiatan mana
yang cocok untuk perseroan. Akan tetapi, apabila direksi tidak mempunyai
pilihan, misalnya suatu perusahaan memang dimaksudkan untuk
melakukan kegiatan yang besar-besar saja, maka direksi wajib untuk tidak
melaksanakan kegiatan perseroan tersebut, kecuali dilakukan penambahan
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 105/141
90
setoran modal oleh pemegang saham. Dengan perkataan lain, manakala
modal perseroan tidak cukup layak untuk menunjang suatu kegiatan, maka
kegiatan tersebut wajib untuk tidak dilakukan oleh direksi tersebut. Pihak
pemegang saham baru akan bertanggungjawab jika ketidaklayakan
permodalan tersebut akibat kesalahan pemegang saham. Misalnya, modal
yang seharusnya disetor, tetapi tidak disetor, atau tidak disetor secara
benar.
(f) Perseroan beroperasi secara tidak layak.
Apabila suatu perseroan beroeprasi secara tidak layak, maka hal ini
akan merugikan pihak ketiga atau bahkan merugikan pihak pemegang
saham. Dalam hal ini menurut Munir Fuady ”yang bertanggungjawab
adalah pihak direksi sebagai pihak eksekutif dalam suatu perseroan.
Kecuali apabila direksi telah menjalankan tugasnya dengan benar sesuai
dengan prinsip-prinip bisnis yang layak (bussiness judgement rule)”.124
c. Beban Tanggung Jawab Dipindahkan ke Pihak Komisaris
Dalam beberapa hal, pemberlakuan teori piercing the corporate veil
juga berlaku bagi komisaris. Artinya, dalam hal-hal tertentu pihak komisaris
secara pribadi pun dapat dimintakan tanggung jawabnya atas kegiatan yang
sebenarnya dilakukan oleh perseroan. Hanya saja, dibandingkan dengan pihak
pemegang saham dan pihak direksi, maka pihak komisaris merupakan pihak
124 Munir Fuady, Op cit , hal. 27
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 106/141
91
yang paling sedikit dikejar oleh teori piercing the corporate veil ini. Pihak
komisaris merupakan target akhir (the last target) dari penerapan teori
piercing the corporate veil. Hal ini disebabkan kedudukan dan wewenang
pihak komisaris dalam perseroan hanyalah sebagai pihak pengawas saja. Lain
halnya pihak direksi misalnya, yang mempunyai tugas mewakili dan
menjalankan kegiatan perseroan, atau pihak pemegang saham sebagai pemilik
perusahaan/investor sehingga tanggung jawabnya menjadi lebih besar.
Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 memberlakukan
juga teori piercing the corporate veil ini kepada komisaris, yakni dalam hal-
hal sebagai berikut:
a. Komisaris tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan
Prinsip fiduciary duty bagi komisaris ini bersumber dari Pasal 114
ayat (2) UUPT yang menyatakan: ”Setiap anggota Dewan Komisaris
wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam
menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nasehat kepada Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan”.
Apabila komisaris bersalah (sengaja) atau lalai dalam menjalankan
kewajiban fiduciary duty tersebut, yakni tidak dengan itikad baik dan
bertanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan perseroannya,
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 107/141
92
maka pihak komisaris bertanggungjawab secara pribadi, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 114 ayat (3) UUPT.
Dalam Pasal 114 (terhadap komisaris) tidak ditemukan adanya
ketentuan seperti dalam Pasal 97 ayat (2) yang berlaku untuk direksi. Hal
ini sebenarnya sama sekali bukan karena pihak komisaris dianggap tidak
bertanggungjawab atau kurang tanggung jawabnya. Absennya ketentuan
seperti Pasal 97 ayat (2) dalam Pasal 114 lebih disebabkan komisaris
dianggap bertanggungjawab secara kolegial (sehingga disebut "dewan"
komisaris) sehingga dianggap merupakan satu kesatuan, tanpa membeda-
bedakan masing-masing anggota dewan komisaris tersebut.
Karena itu, berbeda dengan direksi, maka bagi masing-masing
anggota dewan komisaris tidak mempunyai hak untuk pembuktian
terbalik sehingga jika dewan komisaris sudah dianggap bersalah, seluruh
anggota dewan komisaris juga terikut.
b. Dokumen perhitungan tahunan tidak benar
Penerapan teori piercing the corporate veil juga dibenarkan kepada
komisaris, artinya, dalam hal-hal tertentu, pihak komisaris secara pribadi
pun dapat dimintakan tanggung jawabnya atas kegiatan yang sebenarnya
dilakukan oleh perseroan. Dalam hal ini kegiatan yang berhubungan
dengan perhitungan tahunan yang tidak benar. Apabila laporan tahunan
tersebut ternyata tidak benar, (dengan pembuktian biasa), maka direksi
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 108/141
93
bersama dengan komisaris bertanggungjawab secara renteng, berdasarkan
doktrin piercing the corporate veil (Pasal 69 ayat (3) UUPT). Dalam
penjelasan umum Pasal 69 ayat (3) dijelaskan bahwa laporan keuangan
yang dihasilkan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya dari
aktiva, kewajiban, modal dan hasil usaha dari perseroan. Direksi dan
Dewan Komisaris mempunyai tanggung jawab penuh akan keberadan isi
laporan keuangan perseroan.
Akan tetapi, dalam hal ini UU Perseroan Terbatas memberikan
pembuktian terbalik bagi anggota direksi atau komisaris yang
bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 69 ayat (4).
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 109/141
BAB IV
ANALISIS ATAS PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THECORPORATE VEIL PADA KASUS ANTARA PT. BANK
PERKEMBANGAN ASIA DAN PT. DJAYA TUNGGAL
A. Posisi Kasus
Bank Perkembangan Asia memberikan pinjaman kredit kepada PT. Djaya
Tunggal sebanyak 3 (tiga) tahap yaitu:
1. Perjanjian kredit No. 58A/KR/BPA/VI/1983 sebesar Rp. 300.000.000,- (tiga ratus
juta) dengan jangka waktu satu tahun yaitu dari 1 Juni 1983 s/d 1 Juni 1984
dengan bunga 2,1% (dua koma satu persen). Jangka waktu kredit ini kemudian
diperpanjang lagi selama satu tahun sehingga jatuh tempo pada 1 Juni 1985.
2. Perjanjian kredit No. 60A/KR/BPA/VI/1983 sebesar Rp. 550.000.000,- (lima
ratus lima puluh juta), dengan jangka waktu satu tahun yaitu sejak 1 Juni 1983 s/d
5 juni 1984 dengan bunga 2,1% (dua koma satu persen).
3. Perjanjian kredit No. 06/KR/BPA/I/1984, jangka waktunya 1 tahun yaitu sejak 16
Januari 1984 s/d 16 Januari 1985.
Perjanjian kredit tersebut diberikan dengan jaminan tanah HGB No. 39 dan tanah
HGB No. 40 berikut bangunan pabrik atas nama PT. Djaya Tunggal.
Ketika seluruh pinjaman kredit tersebut jatuh tempo, ternyata debitor PT
Djaya Tunggal tidak dapat membayar semua pinjamannya kepada Bank tersebut,
dengan alasan perusahaan PT. Djaya Tunggal telah berhenti beroperasi dan menderita
94
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 110/141
95
kerugian 75% (tujuh puluh lima persen) sehingga PT. Djaya Tunggal menyatakan
dirinya tidak mampu lagi membayar hutangnya kepada Bank tersebut, debitor dalam
keadaan insolvensi.
Ternyata pengurus PT. Bank Perkembangan Asia, pemberi kredit (kreditor)
adalah sama dengan pengurus PT. Djaya Tunggal sebagai penerima kredit (debitor).
Secara diam-diam presiden komisaris PT. Djaya Tunggal telah mengalihkan hak
kepemilikan dua bidang tanah yang dijadikan jaminan kredit tersebut kepada pihak
ketiga Jahya Paedjokerto dengan Akta Notaris/PPAT Samadi No. 12, tanggal 5 Maret
1986. Ternyata kemudian Notaris/PPAT Samadi tersebut telah habis masa
jabatannya, sehingga akta pemilikan hak tersebut menjadi persoalan keabsahannya.
Bank kemudian meminta kepada Kantor Agraria untuk memblokir
pengeluaran sertifikat kedua bidang tanah, HGB No. 39 dan HGB No. 40 yang telah
menjadi jaminan kredit Bank yang hutangnya belum dibayar oleh debitor PT. Djaya
Tungal tersebut. Setelah diteliti ternyata kedua sertifikat HGB tersebut telah habis
masa berlakunya. Dan pada saat itu atas permohonan pihak ketiga (Jahya) yang
memperoleh hak dari presiden komisaris, pihak Kantor Agraria sedang memproses
penerbitan sertifikat baru kedua bidang tanah HGB tersebut yang habis masa
berlakunya dan masih terikat sebagai jaminan hutang PT Djaya Tunggal kepada Bank
Perkembangan Asia. Kekalutan yang melada Bank Perkembangan Asia ini
menyebabkan persoalannya ditangani oleh Bank Indonesia dengan mengubah
susunan pengurus Bank Perkembangan Asia tersebut.
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 111/141
96
Karena merasa dirugikan dalam masalah pinjaman kredit belum dibayar oleh
direktur PT. Djaya Tunggal (wanprestasi); dan pelepasan dua bidang tanah sertifikat
HGB No. 39 dan No. 40 yang terikat sebagai jaminan kreditnya PT. Djaya Tunggal
oleh salah seorang pengurusnya (Lee Darmawan) merupakan perbuatan yang
melawan hukum, maka pihak PT. Bank Perkembangan Asia mengajukan gugatan
perdata di Pengadilan Negeri terhadap para Tergugat :
1) PT. Djaya Tunggal
2) Tan Sri Junaida
3) Koesnaen
4) Lee Darmawan
5) Harry Kianto
6) Jahya
7) Samadi ex Notaris PPAT Bogor
8) Walikota Bogor/Kepala Kantor Agraria Bogor.
Penggugat, PT. Bank Perkembangan Asia dalam gugatan tersebut mengajukan
tuntutan (petitum) yang pokoknya sebagai berikut:
- Melarang Tergugat VIII Kantor Agraria menerbitkan sertifikat baru sebagai
pengganti sertifikat HGB No. 39 dan No. 40 yang telah berakhir masa
berlakunya.
- Menghukum Tergugat/siapapun saja yang mendapat hak, membayar denda
Rp. 100 ribu perhari, bila lalai memenuhi putusan ini.
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 112/141
97
- Meletakkan sita jaminan kepada dua bidang tanah atas nama PT. Djaya
Tunggal tersebut di atas.
Atas gugatan Bank tersebut diatas, pihak Tergugat mengajuklan eksepsi yang
menyatakan bahwa pihak Penggugat dalam gugatannya telah mencampuradukkan
antara tuntutan wanprestasi dengan tuntutan perbuatan melawan hukum. Eksepsi ini
ditolak oleh Majelis Hakim dengan alasan bahwa tidak ada larangan dalam Hukum
Acara – HIR untuk mengajukan dua macam tuntutan: wanprestasi dan perbuatan
melawan hukum dalam satu surat gugatan.
Para Tergugat I s/d V memberi tanggapannya bahwa mereka mengakui bahwa
Tergugat I, PT. Djaya Tunggal mempunyai hutang kepada Penggugat seperti yang
disebut dalam Surat Gugatan, dan PT. Djaya Tunggal telah tidak aktif lagi, menderita
kerugian 75% dari jumlah modal dan tidak mampu lagi membayar hutangnya kepada
Bank (insolvensi). Perusahaan telah bubar.
Hutang tersebut adalah hutang PT. Djaya Tunggal dan menjadi tanggung
jawab PT. Djaya Tunggal, sebatas harta kekayaan yang dimilki oleh PT tersebut. Para
Tergugat II s/d V secara pribadi tidak harus dimintai tanggungjawab untuk
membayar secara tanggung renteng terhadap hutang PT. Djaya Tunggal tersebut.
Dengan alasan tersebut, para Tergugat menolak gugatan yang diajukan oleh
Penggugat.
Dalam gugatan rekonspensi Tergugat VI berdalil bahwa Penggugat
Rekonpensi (Tergugat asal VI) telah mengajukan permohonan sertifikat baru atas
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 113/141
98
tanah negara sesuai dengan prosedurnya yang mana akibat perbuatan Penggugat asal
(Bank), maka Penggugat Rekonpensi menderita kerugian keuntungan yang
diharapkan dari partner dagangnya.
Majelis hakim pada Pengadilan Negeri yang mengadili perkara ini dalam
putusannya memberikan pertimbangan hukum yang pokoknya adalah sebagai berikut:
Tergugat I, PT. Djaya Tunggal mengakui meminjam uang pada penggugat
yang dituangkan dalam Perjanjian kredir seluruhnya berjumlah Rp.
5.502.293.038.04,- Namun Tergugat I tidak membayar hutangnya tersebut kepada
Penggugat. Hal ini membuktikan bahwa PT. Djaya Tunggal telah wanprestasi.
PT. Djaya Tunggal menderita kerugian 75% dari modalnya dan tidak mampu
lagi membayar hutangnya (insolvensi) menurut Pasal 47 ayat (2) KUH Dagang,
perusahaan ini menurut hukum menjadi bubar. PT. Djaya Tunggal merupakan suatu
badan hukum diatur dalam pasal 36 s/d 56 KUH Dagang. Perusahaan yang dinyakan
insolvensi seharusnya malalui prosedur hukum yang ditentukan dalam Undang-
undang Kepailitan (Failessement Verardening). Prosedur tersebut tidak pernah
dilakukan oleh PT. Djaya Tunggal.
Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) KUH Dagang, para Pengurus Perseroan
Terbatas tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat oleh PT
tersebut. Tergugat IV, Lee Darmawan selaku Presiden Komisaris PT. Djaya Tunggal
tidak mempunyai wewenang untuk melepaskan dua bidang tanah milik PT. Djaya
Tunggal kepada pihak ketiga (Yahya). Hal ini merupakan pelanggaran Pasal 12 Akta
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 114/141
99
Pendirian PT. Djaya Tunggal. Pelepasan dan pelimpahan tanah-tanah tersebut melalui
Akta No. 12 yang dibuat oleh Notaris/PPAT Samadi, (Tergugat VII) adalah tidak sah,
karena dilakukan oleh orang yang tidak berwenang. Karena itu syarat Pasal 1365
KUH Perdata tidak dapat dipenuhi.
Penggugat Rekonpensi terbukti bersama-sama dengan Tergugat Konpensi
melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Penggugat Konpensi dan
menimbulkan kerugian bagi Penggugat Konpensi (Bank). Karena itu gugatan
Rekonpensi tersebut harus ditolak.
Akhirnya Hakim Pengadilan Negeri memberi putusan sebagai berikut :
1) Menolak gugatan dalam petitum Primair
2) Mengabulkan gugatan dalam petitum Subsidair
3) Menyatakan sita jaminan tanah sertifikat HGB No. 39 dan HGB No. 40 atas
nama PT. Djaya Tunggal, adalah sah dan berharga.
4) Menyatakan sah dan mengikat Perjanjian Pinjam Uang No. 58, No. 60, No.
06/KR/BPA/84.
5) Menyatakan Tergugat I, PT. Djaya Tunggal berhutang kepada Penggugat Rp.
5.502.293.038.84.
6) Menyatakan PT. Djaya Tunggal telah ingkar janji (wanprestasi) kepada
Penggugat.
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 115/141
100
7) Menyatakan Tergugat II, III, IV, V, VI, VII melakukan perbuatan melawan
hukum (onrechmatige daad ) dan menyatakan Tergugat VIII melakukan
perbuatan melawan hukum oleh Penguasa (onrechmatige overheids daad ).
8) Menyatakan batal Akta No. 12 yang dibuat oleh Tergugat VII Samadi.
9) Menghukum Tergugat I, PT. Djaya Tunggal untuk mengembalikan seluruh
pinjamannya berikut bunganya Rp. 5.502.293.038.84.
10) Menghukum Tergugat II, III, IV, V, VI, VII untuk membayar ganti kerugian
Rp. 100.000.000,- secara tunai kepada Penggugat. Menghukum Tergugat VIII
untuk mematuhi putusan ini.
Pengadilan Tinggi
Para Tergugat menolak putusan Pengadilan Negeri tersebut dan mengajukan
pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi. Hakim Banding dalam putusannya
memberi pertimbangan hukum yang pokoknya sebagai berikut:
Menurut UU No. 5 Tahun 1960 jo Keppress No. 32/Thn 1979, sertifikat tanah
HGB No. 39 dan HB No. 40 keduanya atas nama PT. Djaya Tunggal, terbukti sudah
berakhir masa berlakunya, sehingga statusnya menjadi ”tanah negara” sejak tanggal
24 September 1980. Dengan demikian Tergugat I, sudah tidak mempunyai hubungan
hukum dengan tanah-tanah sengketa tersebut. Karena itu sertifkat tanah HGB No. 39
dan HGB No. 40 tersebut sudah tidak dapat digunakan sebagai jaminan hutang.
Menurut Hakim Banding, setiap perjanjian pinjam-meminjam uang dengan
jaminan hak atas tanah, maka perjanjian tersebut harus dibuktikan dengan suatu akta
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 116/141
101
hipotik yang dibuat di hadapan PPAT dan berdasdar PP No. 10 Tahun 1961 Pasal 19
jo PMA No. 15 Tahun 1961 harus didaftarkan pada Kantor Agraria.
Oleh karena Perjanjian pinjam-meminjam uang dengan jaminan tanah tersebut
tidak berdasar pada ketentuan hukum yang berlaku, maka harus dinyatakan batal
demi hukum, sehingga permohonan Tergugat VI/Jahya Paedjokerto untuk
memperbaharui sertifikat HGB tersebut sudah memenuhi persyaratan hukum yang
berlaku. Selanjutnya Hakim Banding berpendapat bahwa pertimbangan dan putusan
Hakim Pertama sudah benar dan tepat dan harus dikuatkan.
Mahkamah Agung RI
PT. Bank Perkembangan Asia menolak putusan Pengadilan Tinggi tersebut
dan mengajukan pemeriksaan kasasi. Menurut Majelis Mahkamah Agung bahwa
pertimbangan putusan Pengadilan Tinggi adalah bertentangan dengan hukum.
Pengadilan Tinggi tidak perlu menyatakan perjanjian batal demi hukum. Perjanjian
harus dinyatakan tetap sah dan mengikat kedua belah pihak, hanya PT. Bank
Perkembangan Asia (Pemohon Kasasi) telah kehilangan tanah yang dijadikan
jaminan sehingga dapat dinyatakan perjanjian pinjam-meminjam uang anatar para
pihak adalah tanpa jaminan tanah.
Majelis Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara ini dalam tingkat
kasasi, dalam putusannya berpendapat bahwa putusan Judex facti Pengadilan Tinggi
salah menerapkan hukum, sehingga putusannya harus dibatalkan. Majelis Mahkamah
Agung berpendapat bawha telah terbukti oleh Judex Facti, bahwa pengurus PT. Djaya
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 117/141
102
Tunggal (Tergugat I) adalah sama dengan pengurus PT. Bank Perkembangan Asia
(Penggugat) sebelum Bank ini diambil alih oleh Bank Indonesia, karena kalah
dalam kliring.
Pemberian kredit oleh PT. Bank Perkembangan Asia (Penggugat) kepada
PT. Djaya Tunggal (Tergugat) tersebut, merupakan kredit yang diberikan kepada
Perusahaan yang didirikan dan termasuk PT. Bank Perkembangan Asia sendiri.
Dengan demikian pada diri Tergugat I, (PT. Djaya Tunggal) dan Penggugat
(Bank), pada saat terjadi pemberian kredit, bersatu pada diri Tergugat II s/d V.
Pemberian kredit dari Penggugat Bank kepada PT. Djaya Tunggal, suatu
perusahaan yang dimiliki oleh Bank tersebut, menimbulkan dugaan adanya
persengkongkolan dan itikad buruk pada diri para Tergugat I, II, III, IV, V dengan
penggugat (Bank). Kasus yang demikian itu menurut ajaran hukum termasuk
sebagai : extension de passip atau "Piercing the Corporate" (Lefting The
Corporate Veil) yakni : Pembatalan pertanggungjawaban (limited liability) dari
suatu Perseroan Terbatas (PT) dapat dibebankan kepada para pengurusnya, apabila
tindakan hukum yang mereka lakukan untuk dan atas nama PT tersebut
mengandung persengkongkolan secara itikad buruk yang menimbulkan kerugian
kepada pihak lain.
Dalam kasus ini, para Tergugat II s/d V sebagai Pengurus "PT Bank
Perkembangan Asia" dan sekaligus juga pengurus PT. Djaya Tunggal (Tergugat I)
dengan bersekongkol dan beritikad buruk, meminjamkan uang kepada
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 118/141
103
perusahaannya sendiri tanpa credit analysis dan benda jaminannya (tanah HGB
No.39 dan 40) yang diketahui sudah habis masa waktunya. Kerugian yang diderita
oleh Bank (Penggugat), tidak hanya dibebankan kepada PT. Djaya Tunggal
(Tergugat I) saja, akan tetapi meliputi para pengurusnya, Tergugat I s/d V secara
tanggung renteng.
Tanah HGB No. 39 dan HGB No. 40 yang sudah berakhir masa berlakunya
itu sudah menjadi tanah negara, jauh sebelum perjanjian kredit ditandatangani
sehingga tanah ini tidak sah sebagai barang jaminan. Tindakan pemberian hak
baru oleh Tergugat VIII (Kantor Agraria) kepada tergugta VI (Jahya) atas tanah ex
HB No. 39 adalah sah, karena Kantor Agraria yang memberikan hak atas tanah
tersebut. Tanah tersebut telah menjadi tanah negara (Keppres No. 32 tahun 1979)
dan sesuai dengan fungsi dan kewenangan pejabat agraria setempat.
Tentang gugatan Rekonpensi yang ternyata tidak memenuhi syarat formil
gugatan, yaitu karena petitumnya tidak diperinci dan hanya berbentuk ”ex aquo et
bono”, sehingga gugatan ini harus dinyatakan tidak dapat diterima.
B. Analisis Kasus
Kasus ini berawal dari adanya perjanjian kredit antara pihak kreditor
(PT. Bank Perkembangan Asia) dengan debitornya (PT. Djaya Tunggal). Dalam
ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian didefenisikan sebagai: “Suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”. Dari ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut dapat dilihat
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 119/141
104
bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain.
Hal ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau
lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas
prestasi tersebut.
Dalam Pasal 1233 KUH Perdata dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan
dilahirkan karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Ditegaskan bahwa setiap
kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait
dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian berarti
“perikatan adalah hubungan hukum antara dua atau lebih orang (pihak) dalam
bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak
dalam hubungan hukum tersebut”.125
Menurut Yahya Harahap, perjanjian atau Oveerenskomt mengandung
pengertian “suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih
yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.126
Sedangkan
menurut R. Subekti, perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji
kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
125 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Pada Umumnya, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 17
126 M. Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 6
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 120/141
105
suatu hal”.127
Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang
mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Perjanjian menerbitkan perikatan. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan
adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain yang berkewajiban
memenuhi tuntutan itu”.128
R. Subekti mengartikan perikatan sebagai “suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, yang berkewajiban memenuhi
tuntutan itu”.129
Sedangkan menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja
“perikatan adalah kewajiban pada salah satu pihak dalam huungan hukum perikatan
tersebut”.130
Dengan demikian hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian
itu menerbitkan perikatan, perjanjian adalah sumber perikatan di samping sumber-
sumber lain (undang-undang).
Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal
tertentu; dan suatu sebab yang halal.
127 R. Subekti , 1976, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 1
128 Ibid 129 Ibid130 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Loc cit
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 121/141
106
Dua syarat yag pertama adalah syarat yang menyangkut subjeknya yang
disebut syarat subjektif dan dua syarat terakhir adalah syarat objektif. Suatu
perjanjian yang mengandung cacat dari segi subjeknya, maka tidak selalu
menjadikan perjanjian tersebut batal dengan sendirinya (nietig), tetapi memberi
kemungkinan untuk dimintakan kebatalannya (vernietigbaar ). Sedangkan
perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut
adalah batal demi hukum.131
Jika diperhatikan dari perjanjian antara pihak PT. Djaya Tunggal dan
PT. Bank Perkembangan Asia, maka perjanjian tersebut adalah sah dan
mengikat kedua belah pihak, oleh karena syarat-syarat sahnya perjanjian
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah dipenuhi. Hanya
saja objek perjanjian tersebut menjadi hapus, karena berakhirnya masa HGB
kedua tanah yang digunakan sebagai jaminan tersebut. Oleh karenanya adalah
keliru putusan Hakim Banding yang menyatakan bahwa perjanjian tersebut
batal demi hukum, oleh karena objek dari perjanjian itu adalah nyata adanya,
dan adalah benar apa yang diputuskan oleh Majelis Hakim di Pengadilan
Negeri dan Mahkamah Agung bahwa perjanjian itu adalah sah dan mengikat
kedua belah pihak. Walaupun akta tersebut tidak berupa akta otentik, namun
berupa akta di bawah tangan, namun berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata bahwa
perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain,
131 J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Buku 1, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 163-164
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 122/141
107
sehingga perjanjian tersebut adalah sah dan merupakan bukti bahwa PT. Djaya
Tunggal berhutang kepada PT. Bank Perkembangan Asia.
Perjanjian antara para pihak dalam kasus ini merupakan perjanjian
kredit perbankan. Dalam mengucurkan kreditnya, suatu bank harus berpegang
pada beberapa prinsip, khususnya prinsip kehati-hatian. Pihak Bank (PT. Bank
Perkembangan Asia) memberikan pinjaman kredit dalam jumlah besar kepada
PT. Djaya Tunggal yang termasuk dalam group Bank tersebut, dimana proses
pemberian kredit ini ternyata tanpa analisa kredit. Dalam mengucurkan kredit oleh
suatu bank maka harus dilakukan dengan berpegang pada beberapa prinsip sebagai
berikut:132
a) Prinsip Kepercayaan
Sesuai dengan asal kata kredit yang berarti kepercayaan, maka dalam pemberian kredit hendaknya selalu dibarengi oleh kepercayaan, yakni
kepercayaan dari kreditor akan bermanfaatnya kredit bagi debitor
sekaligus kepercayaan oleh kreditor bahwa debitor dapat membayar
kembali kreditnya. Tentunya untuk dapat memenuhi unsur kepercayaanini, oleh kreditor mestilah dilihat apakah calon debitor diberikan
berbagai kriteria yang biasanya diberlakukan terhadap pemberian suatukredit. Karena itu timbul prinsip lain yang disebut prinsip kehati-
hatian.
b) Prinsip Kehati-hatianPrinsip kehati-hatian (prudent) ini adalah salah satu konkretisasi dari
prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Untuk mewujudkan
prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit ini maka berbagai fungsiusaha pengawasan dilakukan, baik oleh bank itu sendiri, Bank
Indonesia maupun oleh pihak luar.
132 Munir Fuady, V, 1996, Hukum Perkreditan Kontemporer , PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 21-26
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 123/141
108
c) Prinsip 5 C
Prinsip 5 C adalah singkatan dari unsur-unsur Character, Capacity,
Capital, Condition dan Collateral. (1) Character (kepribadian)
Salah satu unsur yang harus diperhatikan oleh bank sebelum
memberikan kreditnya adalah penilaian atas karakterkepribadian/watak dari calon debitornya. “Kepribadian, moral dan
kejujuran dari calon nasabah perlu diperhatikan sehubungan untuk
mengetahui apakah ia dapat memenuhi kewajibannya dengan baik,yang timbul dari perjanjian yang akan diadakan”.
133 Karena itu,
sebelum kredit dikucurkan, harus terlebih dahulu ditinjau apakah
misalnya calon debitor yang bersangkutan berkelakuan baik, dan
tidak terlibat tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya.
(2)
Capacity (kemampuan)Seorang calon debitor harus pula diketahui kemampuan bisnisnya,
sehingga dapat diprediksikan kemampuan untuk melunasihutangnya. Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak
diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika trend
bisnisnya ataupun kinerja bisnisnya lagi menurun, maka kredit jugasemestinya tidak diberikan. Kecuali jika menurunnya itu karena
kekurangan biaya sehingga dapat diantisipasi dengan tambahan
biaya peluncuran kredit, maka kinerja bisnisnya dipastikan akansemakin membaik.
(3) Capital (modal)Capital adalah “modal usaha dari calon nasabah yang telah
tersedia/telah ada sebelum mendapatkan fasilitas kredit”.134
Permodalan dari suatu debitor juga merupakan hal yang harus
diketahui oleh calon kreditornya. Karena permodalan dankemampuan keuangan dari seorang debitor akan mempunyai
korelasi langsung dengan tingkat kemampuan bayar kredit. Jadi,
masalah likuidasi dan solvabilitas dari suatu badan usaha menjadi penting artinya.
(4) Condition (kondisi)
Kondisi perekonomian secara mikro maupun makro merupakanfaktor penting pula untuk dianalisa sebelum suatu kredit diberikan,
terutama yang berhubungan langsung dengan bisnis pihak debitor.
133 Edi Putra The’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta : Liberty, 1989,hal. 12
134 Ibid , hal. 13
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 124/141
109
(5) Collateral (agunan)
Dalam pemberian kredit, fungsi agunan sangat penting. Jaminan ini
bersifat sebagai jaminan tambahan karena jaminan utama kreditadalah kepribadian calon nasabah dan kemampuan usahanya.
d) Prinsip 5 P
Dalam pemberian kredit, selain prinsip 5 C juga terdapat prinsip 5 Pyang merupakan singkatan dari Party, Purpose, Payment,
Profitability dan Protection.
(1) Party (para pihak)Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap
pemberian kredit. Untuk itu pihak pemberi kredit harus
memperoleh suatu "kepercayaan" terhadap para pihak, dalam hal
ini debitor. Bagaimana karakternya, kemampuannya dan lain
sebagainya.(2) Purpose (tujuan)
Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak kreditor. Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk
hal-hal yang positif yang benar-benar dapat menaikkan income
perusahaan. Dan harus pula diawasi agar kredit tersebut benar- benar diperuntukkan untuk tujuan seperti yang diperjanjikan
dalam suatu perjanjian kredit.
(3) Payment (pembayaran)Sumber pembayaran kredit dari calon debitor juga harus
diperhatikan, apakah cukup tersedia atau cukup aman sehingga
dengan demikian diharapkan bahwa kredit yang akan diluncurkan
tersebut dapat dibayar kembali oleh debitor yang bersangkutan.Jadi harus dilihat dan dianalisis apakah setelah pemberian kredit
nanti, debitor punya sumber pendapatan, dan apakah pendapatantersebut mencukupi untuk membayar kembali kreditnya.
(4) Profitability (perolehan laba)
Unsur perolehan laba oleh debitor tidak kurang pula pentingnyadalam suatu pembayaran kredit. Untuk itu, kreditor harus dapat
berantisipasi, apakah laba yang akan diperoleh oleh perusahaan
mampu menutupi pembayaran kembali kredit, cash,flow dansebagainya.
(5) Protection (perlindungan)
Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit oleh perusahaandebitor. Untuk itu, perlindungan dari kelompok perusahaan, atau
jaminan perusahaan (corporate guarantee) atau jaminan pribadi
( personal guarantee) pemilik perusahaan adalah penting dan harus
diperhatikan. Terutama untuk berjaga jaga sekiranya terjadi hal-haldi luar prediksi semula.
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 125/141
110
e) Prinsip 3 R
Yang dimaksud dengan prinsip 3R adalah singkatan dari Returns,
Repayment, dan Risk Bearing Abil ity.(1) Returns (hasil yang diperoleh) Returns merupakan hasil yang akan diperoleh oleh debitor, dalam
hal ini ketika telah dimanfaatkan nanti mestilah dapat diantisipasioleh kreditor. Artinya perolehan tersebut mencukupi untuk
membayar kembali kredit beserta bunga, ongkos-ongkos, di
samping membayar keperluan perusahaan yang lain misalnyauntuk membayar cash flow, kredit lain jika ada dan lain-lain.
(2) Repayment (pembayaran kembali)
Kemampuan membayar dari pihak debitor tentu saja harus
dipertimbangkan. Apakah kemampuan membayar tersebut sesuai
dengan jadwal pembayaran kembali dari kredit yang akandiberikan itu.
(3) Risk Bearing Abil ity (kemampuan menanggung resiko)Selain itu juga perlu diperhatikan sejauh mana terdapatnya
kemampuan debitor untuk menanggung resiko. Misalnya dalam hal
terjadi hal-hal di luar antisipasi kedua belah pihak. Terutama jikadapat menyebabkan timbulnya kredit macet. Untuk itu harus
diperhatikan apakah jaminan dan/atau asuransi barang atas kredit
sudah cukup aman untuk menutupi resiko tersebut.
Dari kelima prinsip tersebut, prinsip kehatian-hatian sangat penting
yang dikenal dengan prudential banking. Prinsip kehati-hatian atau prudential
banking didasarkan pada Pasal 29 ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
menyatakan, bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuidasi,
rentabilitas solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank
serta wajib melakukan kegiatan usaha dengan prinsip kehati-hatian.135
135 Try Widiono, Op cit , hal. 106
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 126/141
111
Undang-undang Perbankan tidak mengatur mengenai pengertian prinsip
kehati-hatian itu, tetapi apabila dilihat sebagian produk peraturan yang berkaitan
dengan perbankan, terdapat kata-kata yang intinya pelaksanaan dan atau
kebijakan bank harus berpedoman kepada prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-
hatian ini erat hubungannya dengan doktrin fiduciary duty. Namun demikian,
tidak berarti UUPT tidak menganut prinsip kehati-hatian ini.
Prinsip kehati-hatian adalah prinsip universal dalam tindakan apa pun,
baik disebut atau tidak. Sekalipun UUPT tidak menyebut secara tekstual,
tetapi dengan mengadopsi prinsip fiduciary duty, hakikatnya prinsip kehati-
hatian ini juga dijadikan landasan dalam UUPT. Prinsip kehati-hatian yang di
dalamnya terdapat duty of care and skill memiliki standard of care, yaitu:
a. itikad baik (good of faith);
b. loyalitas yang tinggi (hight degree of loyality);
c. kejujuran (honesty);
d.
peduli (care);
e. kemampuan/kecakapan (skill);
f. peduli terhadap pelaksanaan hukum (care of law enforcement).136
Seseorang dikatakan memiliki fiduciary capacity jika bisnis yang
ditransaksikannya atau uang/properti yang ditangani bukan miliknya atau bukan
untuk kepentingannya, melainkan milik orang lain dan untuk kepentingan orang
lain tersebut, dimana orang lain tersebut mempunyai kepercayaan yang besar
(great trust ) kepadanya. Sementara itu, pihak yang diberi kepercayaan wajib
136 Ibid , hal. 107
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 127/141
112
mempunyai itikad yang tinggi (high degree of good faith) dalam menjalankan
tugasnya.
137
Antara pihak yang mempunyai kapasitas fi duciary ( fi duciary
capasity) dengan pihak yang diasuhnya atau yang harta bendanya diurus,
terdapat suatu hubungan khusus yang disebut dengan fi duciary relati on
yaitu suatu hubungan yang timbul dari hubungan fiduciary secara
teknikal maupun hubungan informal yang timbul pada saat seorang
percaya (trust ) atau bergantung (rely) kepada orang lain. Dalam hal ini
seorang percaya (trust ) kepada orang lain, dimana orang lain tersebut
berti ndak dengan iti kad baik (good faith) dan dengan penghormatan yang
baik (due regard ) dan fair kepada kepentingan orang lain tersebut.
Dilihat dari prinsip fiduciary duty di atas, maka dalam kasus ini direksi
telah melakukan pelanggaran atas prinsip-prinsip fiduciary duty, dimana direksi
telah dengan itikad buruk mengalihkan hak kepemilikan 2 (dua) bidang tanah
sebagai jaminan kredit. Sedangkan bank merupakan badan hukum yang
menghimpun dana masyarakat, dimana masyarakat mempercayakan dananya pada
pihak bank, sehingga dalam hal ini direksi/komisaris dituntut untuk bertindak
sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal
92 UUPT, dan dalam kasus ini dapat diketahui bahwa direksi melanggar asas
fiduciary duty secara disengaja, bukan karena kesalahannya. Oleh karenanya
137 Munir Fuady, II, hal. 78
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 128/141
113
berdasarkan prinsip piercing the corporate veil, direksi dapat dimintakan
pertanggungjawabannya.
Menurut hukum di Amerika, tanggung jawab direktur secara pribadi
tidaklah terjadi hanya karena kedudukannya sebagai direktur, tetapi untuk
dibebankan tanggung jawab, direktur tersebut harus telah melakukan hal-hal
berikut ini terhadap tindakan perusahaan:
a. direktur mengizinkan perbuatan tersebut, atau
b. direktur meratifikasi perbuatan tersebut, atau
c. ikut berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut.138
Pengurus PT. Djaya Tunggal adalah sama dengan pengurus PT. Bank
Perkembangan Asia, yaitu :
a. Presidan Direktur : Tan Sri Junaida
b. Direktur : Koesnaen
c. Presiden Komisaris : Lee Darmawan
d.
Komisaris : Herry Kianto
Dari kasus ini, terjadi rangkap jabatan antara pengurus PT. Bank
Perkembangan Asia dengan PT. Djaya Tunggal. Dengan demikian pada saat
perjanjian kredit ditandatangani dan direalisasikan oleh Dewan Direksi dan
Dewan Komisaris kedua badan hukum tersebut, maka telah menyatu pada masing-
masing pengurus tersebut.
138 Munir Fuady, IV, Op cit , hal. 58
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 129/141
114
Perbuatan direktur PT. Bank Perkembangan Asia merupakan suatu perbuatan
yang beritikad buruk yang menyebabkan pailitnya perusahaan. Dalam pengadaan
kredit/pinjaman kepada PT. Djaya Tunggal oleh PT. Bank Perkembangan Asia, maka
sesungguhnya hal ini sudah menyalahi hukum, karena direktur PT. Bank
Perkembangan Asia adalah sama dengan direksi PT. Djaya Tunggal, sehingga terjadi
apa yang disebut dengan conflict of interest (konflik kepentingan). Akan tetapi pihak
direksi PT. Bank Perkembangan Asia mengizinkan dan memberikan kredit/pinjaman
kepada PT. Djaya Tunggal yang merupakan perusahaan yang mereka kuasai pula.
Keputusan Hakim Agung yang menyatakan bahwa pihak direksi/ komisaris
berdasarkan prinsip piercing the corporate veil dapat dimintakan
pertanggungjawabannya, sehingga ia tidak dapat berlindung dibalik asas
pertanggungjawan terbatas direksi, adalah benar.
Dalam putusan majelis hakim, baik di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi
bahkan di Mahkamah Agung, dapat dilihat bahwa sanksi/hukuman hanya dibebankan
kepada direksi, sedangkan komisaris tidak dikenakan hukuman. Hal ini tentu saja
tidak adil, karena walau bagaimanapun komisaris juga mempunyai kewenangan di
perseroan tersebut. Selain itu juga patut diduga bahwa komisaris juga mengetahui
adanya perjanjian kredit tersebut dan pihak penerima kredit merupakan anak
perusahaan PT. Bank Perkembangan Asia. Oleh karenanya patutlah apabila pihak
komisaris juga harus ikut bertanggungjawab atas kerugian atau kepailitan bank.
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 130/141
115
Seharusnya dewan komisaris juga harus bertanggungjawab karena komisaris
bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan
nasihat kepada direksi dalam menjalankan perseroan adalah komisaris sebagaimana
diatur dalam Pasal 108 ayat (1) UUPT. Walaupun dalam UUPT tidak terdapat suatu
pasal khusus yang mengatur tentang tanggung jawab Komisaris dalam hal terjadinya
kerugian atau pailit atas perseroan terbatas tersebut, akan tetapi Komisaris wajib
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan
dan usaha perseroan.139
Dalam Pasal 114 ayat (1) UUPT disebutkan bahwa ”Dewan Komisaris
bertanggung jawab atas pengawasan perseroan sebagaimana dimaksud dalam pasal
108 ayat (1)”. Dalam ketentuan Pasal 108 ayat (1) disebutkan bahwa Dewan
Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan
pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberikan
nasihat kepada direksi”.
Pengawasan dan pemberian nasehat dalam Pasal 108 ayat (1) UUPT
dilakukan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan. Dalam penjelasan Pasal 108 ayat (2) UUPT dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan ”untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan” adalah bahwa pengawasan dan pemberian nasehat yang dilakukan oleh
Dewan Komisaris tidak untuk kepentingan pihak atau golongan tertentu, tetapi untuk
139 Sutan Remy Sjahdeini, Op cit , hal. 443
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 131/141
116
kepentingan perseroan secara menyeluruh dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan.
Selanjutnya ketentuan Pasal 114 ayat (2) UUPT menentukan bahwa ”Setiap
anggota Dewan Komsiaris wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung
jawab dalam menjalankan tugas pengawasan dan pemberian nesehat kepada direksi
untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan”.
Ketentuan Pasal 114 ayat (2) UUPT ini merupakan prinsip duty of care, yang harus
dipatuhi oleh dewan komisaris. Sebagaimana prinsip duty of care dari seorang direksi
maka, apabila Dewan Komisaris telah melanggar prinsip tersebut dengan demikian
juga dapat dikenakan hukuman. Dewan Komisaris juga ikut bertanggung jawab
secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya.
Walaupun Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan namun tidak
berarti komisaris tidak mempunyai tanggung jawab dan tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban dalam hal terjadi kerugian atas perseroan. Dalam ketentuan
Pasal 114 ayat (3) UUPT dibebankan kewajiban kepada anggota komisaris, maka
secara implisit hukum juga memberikan sanksi apabila kewajiban itu dilanggar. Jika
dalam anggaran dasar diberikan kewenangan kepada Komisaris untuk memberikan
persetujuan kepada Direksi/anggota Direksi dalam melakukan suatu perbuatan hukum
tertentu, maka dalam hal terjadi suatu kerugian perseroan atas persetujuan Komisaris
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 132/141
117
tersebut, Komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan hukum yang
dilakukan oleh Direksi/anggota Direksi atas persetujuan Komisaris.
Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalain dewan Komisaris
dalam melakukan pengawasan yang dilaksanakan oleh direksi dan kekayaan
perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan akibat kepailitan
tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung
jawab dengan anggota Direksi atau kewajiban yang belum dilunasi.
Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya
apabila dapat membuktikan :
a. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. Telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian
untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
perseroan;c. Tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan oleh direksi yang mengakibatkan
kepailitan, dan
d.
Telah memberikan nasehat kepada direksi untuk mencegah terjadinyakepailitan.
140
Dewan Komisaris dalam kasus ini tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 115
ayat (3) UUPT. Kepailitan yang terjadi atas PT. Bank Perkembangan Asia juga
disebabkan kurang atau tidak adanya pengawasan dari Dewan Komisaris terhadap
direksi, khususnya dalam pemberian kredit. Selain itu juga adanya rangkap jabatan
pengurus PT. Bank Perkembangan Asia dan PT. Djaya Tunggal menjadi suatu
indikasi tidak dijalankannya tugas dan fungsi Dewan Komisaris dengan baik yang
140 Pasal 115 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 133/141
118
dikarenakan adanya benturan kepentingan di dalamnya dimana Dewan Komisaris PT.
Djaya Tunggal juga merupakan Dewan Komisaris PT. Bank Perkembangan Asia,
yang pada pada akhirnya menimbulkan kepailitan.
Oleh karenanya dalam suatu perseroan sehausnya ada 1 (satu) orang atau
lebih komisaris independen dan 1 (satu) orang komisasir utusan, yang dapat diatur
dalam Anggaran Dasar Perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 120 UUPT.
Komisaris independen ini diangkat berdasarkan keputusan RUPS dari pihak yang
tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris lainnya. Dalam Pedoman Tata Kelola Perseroan yang Baik (Code
of Good Corporate Governance), Komisaris Independen adalah Komisaris dari
pihak luar. Dengan demikian Komisais independen ini dapat melakukan tugas,
fungsi dan wewenangnya dalam melakukan pengawasan dan memberikan nesehat
kepada Direksi dalam menjalankan pengurusan perusahaan.
Menurut Bismar Nasution bahwa :
Istilah good corporate governance dapat juga mencakup segala aturan
hukum yang ditujukan untuk memungkinkan suatu perusahaan dapat
mempertanggungjawabkan kegiatanya di hadapan pemegang saham dan publik. Selain itu, istilah good corporate governance juga dapat mengacu
pada praktik audit dan prinsip-prinsip pembukuan, atau mengacu pada
keaktifan pemegang saham. Secara lebih sempit istilah good corporate
governance dapat digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik
dewan direksi, termasuk pengelolaan perusahaan berkaitan dengan
hubungan antara dewan direksi (pengelola) perusahaan dan pemegangsaham, yang didasarkan pada pendangan bahwa dewan direksi merupakan
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 134/141
119
perantara para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan
dikelola demi kepentingan pemegang saham.141
Sesuai dengan prinsip good corporate governance ini maka dalam pemberian
kredit harus didasarkan pada keadilan, keterbukaan, pertanggungjawaban dan
tanggung jawab, sehingga sumber kredit dapat menjadi stabil dan dipercaya
sekaligus mencegah timbulnya resiko yang berlebihan.
Jika dilihat dari pertimbangan hukum majelis hakim agung yang
menggunakan prinsip piercing the corproate veil dalam penerapan kasus ini,
merupakan suatu hal yang tidak lazim. Hal ini dikarenakan pada saat diputuskannya
kasus ini yakni tahun 1989, undang-undang perseroan belum ada di Indonesia,
hanya ada KUH Dagang yang mengatur tentang perusahaan yang tidak mengenal
adanya prinsip piercing corporate veil ini. Hal ini merupakan suatu kemajuan
dalam peradilan di Indonesia, karena Bismar Nasution mengatakan bahwa:
Kepercayaan terhadap pengadilan akan sangat tergantung pada pelayanan
hukum yang diberikan oleh pengadilan itu sendiri, dimana pengadilan harusdapat memenuhi harapan sebagai “benteng terakhir pemberi keadilan” (the
last bastion of justice). Untuk itu hakim harus aktif dalam melakukan
penemuan hukum sekaligus menciptakan kewibawaan hukum melaluikepastian hukum.
142
Prinsip piercing corporate veil hanya dikenal dalam Common Law System,
tidak dalam Civil Law System. Dalam sistem civil law, sumber hukumnya terdiri
141 Bismar Nasution, I, 2007, Hukum Kegiatan Ekonomi I , Books Terrance & Library,
Bandung, hal. 158142 Bismar Nasution, II, 2004, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan
Ekonomi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas
Hukum USU, 17 April 2004, hal. 19
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 135/141
120
dari Statues, Regulation dan Customs. Statues adalah merupakan undang-undang,
sedangkan regulation merupakan peraturan-peraturan yang pembuatannya telah
melalui power delegation dari legislatif kepada eksekutif. Sumber ketiga yaitu
customs adalah kebiasaan yang dipraktikkan dalama masyarakat yang tidak
dituangkan dalam bentuk tertulis (non statory law). Adapun alasan
pengkualifikasian kebiasaan ke dalam sumber hukum dengan syarat kebiasaan itu
merupakan representasi hukum dengan catatan tidak ada statue dan regulasi yang
bertentangan dengannya (custom).143
Apabila sumber hukum hanya terbatas pada konstitusi, undang-undang
regulasi, dan kebiasaan sebagai konsekuensi terhadap posisi dan kewenangan hakim
hanya sebatas “menerapkan hukum” maka tidak dimungkinkan hakim merujuk pada
referensi atau sumber lain, seperti pendapat, tulisan para pakar hukum terkemuka
dan keputusan pengadilan sebelumnya (stare desicis).
Oleh karena itu, mejelis hakim agung dalam memutuskan kasus ini
menerapkan prinsip stare decisis yang dianut dalam common law system dimana
hakim dalam memberikan pertimbangan hukumnya dapat menggunakan referensi
dari pakar hukum terkemuka mengenai perseroan terbatas dan dengan
menggunakan prinsip piercing the corporate veil ini, pertanggungjawaban hukum
dapat dibebankan kepada direksi yang telah mengakibatkan kepailitan pada PT.
Bank Perkembangan Asia.
143 Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 68
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 136/141
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal
berikut ini :
1.
Doktrin Piercing the Corporate Veil dapat diterapkan dalam Perseroan Terbatas
(PT. Djaya Tunggal) dalam hal adanya fakta-fakta yang menyesatkan, terjadinya
penipuan dan ketidakadilan dan untuk melindungi pemegang saham minoritas,
pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung
dengan itikad buruk (tekwaadetrouw atau bad faith) memanfaatkan perseroan
semata-mata untuk kepentingan pribadi, Pemegang saham yang bersangkutan
terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan, atau
pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung
secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup
untuk melunasi utang perseroan atau PT.
2. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 sampai batas-batas
tertentu mengakui berlakunya teori piercing the corporate veil ini. Penerapan
teori piercing the corporate veil ke dalam tindakan suatu perseroan,
menyebabkan tanggung jawab hukum tidak hanya dimintakan dari perseroan
tersebut (meskipun dia berbentuk badan hukum), tetapi pertanggungjawaban
121
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 137/141
122
hukum dapat juga dimintakan terhadap pemegang sahamnya. Bahkan,
penerapan teori piercing the corporate veil dalam pengembangannya, juga
membebankan tanggung jawab hukum kepada organ perusahaan yang lain
seperti direksi atau komisaris
3. Dalam kasus kredit antara Bank Perkembangan Asia dengan PT. Djaya Tunggal,
Majelis Hakim telah tepat menggunakan doktrin piercing the corporate veil
sehingga dalam kasus ini direksi dan komisaris sebagai pengawas perusahaan,
tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya, oleh karena perbuatannya telah
bertentangan dengan prinsip fiduciary duty dan juga bertentangan dengan
anggaran dasar perusahaan, yang tidak saja merugikan perusahaan tetapi ikut
merugikan pemegang saham lainnya.
B. Saran
1.
Disarankan agar Prinsip Piercing The Corporate Veil ini lebih dipertegas
pengaturannya dalam salah satu pasal dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, sehingga hakim dalam memutuskan suatu perkara hakim
dapat melakukan penerobosan atas tanggung jawab terbatas direksi yang sulit
ditembus oleh pengadilan. Para hakim seharusnya lebih menambah pengetahuan
dan keahlian dalam menangani kasus-kasus dalam bidang hukum perusahaan,
yang lebih banyak memakai asas-asas hukum yang berasal dari anglo saxon
system.
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 138/141
123
2. Agar setiap PT di Indonesia diwajibkan menetapkan sekurang-kurangnya satu
orang Komisaris independen oleh karena jabatan Komisaris independen ini dapat
mencegah agar tidak terjadi rangkap pimpinan seperti PT. Djaya Tunggal dan PT.
Bank Perkembangan Asia ini. Dalam pengelolaan bank harus diformulasikan
sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate governance agar kualitas
pengelolaan bank dapat mendorong jalannya fungsi bank sekaligus menjaga
kepercayaan masyarakat.
3. Perjanjian kredit antara debitor dengan pihak Bank sebaiknya jangan dibuat
dalam perjanjian di bawah tangan, akan tetapi dibuat secara notariel yang berupa
akta notaris sehingga dapat dikontrol oleh Bank Indonesia. Hal ini tentunya dapat
meminimalisir terjadinya kecurangan ataupun itikad buruk dari para pihak.
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 139/141
DAFTAR PUSTAKA
I. Buku-buku
Ais, Chatamarrasjid. I. 2004. Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual
Hukum Perusahaan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
. II. 2000. Menyingkap Tabir Perseroan. PT. Citra Aditya Bakti.
Bandung.
Black, Henry Campbell. 1990. Black’s Law Dictionary, Sixth Edition. St Paul. Minn
West Publising Co.
Clark, Robert Charles. 1986. Corporate Law., Little Brown and Company. Boston.
USA.
Fuady, Munir. I. 2002. Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis. PT.
Citra Aditya Bakti. Bandung.
Fuady, Munir. II. 2002. Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law dan
Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Fuady, Munir. III. 1996. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Ketiga. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung.
Fuady, Munir. IV. 1994. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Kesatu. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung.
Fuady, Munir. V. 1996. Hukum Perkreditan Kontemporer . PT Citra Aditya Bakti.Bandung.
Harahap, M. Yahya. 1986. Segi-segi Hukum Perjanjian. Alumni. Bandung.
K, Dani. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Putra Harsa. Surabaya.
Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Muljadi, Kartini., dan Gunawan Widjaja. 2003. Perikatan Pada Umumnya. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
124
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 140/141
125
Nasution, Bismar. I. 2007. Hukum Kegiatan Ekonomi I . Books Terrance & Library.
Bandung.
Nasution, Bismar. II. 2004. Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan
Pembangunan Ekonomi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetapdalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum USU. 17 April 2004.
Satrio, J. 2001. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Buku 1. PT.
Citra Aditya Bakti. Bandung.
Sirait, Ningrum N. 2006. Modul Hukum Perusahaan. Program Studi Magister Ilmu
Hukum. USU. Medan.
Sjahdeini, Sutan Remy. 2002. Hukum Kepailitan. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1985. Penelitian Hukum Normatif . PT. Radja Grafindo Persada.
Jakarta.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri.
Ghalia Indonesia. Jakarta.
Subekti , R. 1976. Hukum Perjanjian. PT. Intermasa. Jakarta.
Suherman, Ade Maman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
The’Aman, Edi Putra. 1989. Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis,Liberty.Yogyakarta.
Usman, Rachmadi. 2004. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. PT.Alumni. Bandung.
Widiyono, Try. 2005. Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Perseroan)
Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, Berdasarkan
Doktrin Hukum dan UUPT . Ghalia Indonesia. Jakarta.
Widjaja, Gunawan. 2004. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan. PT.RajaGrafindo Persada. Jakarta.
RUSTAMAJI PURNOMO : PENERAPAN DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL PADA PERSEROAN TERBATAS
(Studi Kasus PT. Djaya Tunggal dan PT. Bank Perkembangan Asia), 2008.
7/21/2019 Piercing corporate
http://slidepdf.com/reader/full/piercing-corporate 141/141
126
Widjaya, I.G. Ray. 2000. Hukum Perusahan. Megapoin. Jakarta.
Yani, Ahmad dan Widjaja, Gunawan. 2003. Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
II. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Dagang
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
III. Majalah/Jurnal
Majalah Varia Peradilan Tahun XIV Nomor 160, Januari 1999
Sjahdeni, Sutan Remi 2001, “Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris”.
Recommended