View
17
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PROPOSAL
KARYA TULIS ILMIAH
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS DENGAN PEMENUHAN
KEBUTUHAN OKSIGENASI PADA PASIEN ASFIKSIA NEONATORUM
ANINDA KARTIKASARI
P27220016006
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI D III KEPERAWATAN
2018
i
PROPOSAL
KARYA TULIS ILMIAH
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS DENGAN PEMENUHAN
KEBUTUHAN OKSIGENASI PADA PASIEN ASFIKSIA NEONATORUM
Karya Tulis Ilmiah ini disusun sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan
Program Pendidikan Diploma III Keperawatan
ANINDA KARTIKASARI
P27220016006
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI D III KEPERAWATAN
2018
ii
iii
iv
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
PERNYATAAN PLAGIARISME ............................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ..................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 4
C. Tujuan Studi Kasus .................................................................................... 4
D. Manfaat Studi Kasus .................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori Kebutuhan Oksigen ............................................................ 6
1. Pengertian Oksigen ........................................................................... 6
2. Pengertian Oksigenasi ....................................................................... 6
3. Metode Pemberian Oksigenasi ......................................................... 7
4. Asuhan Keperawatan Pada Asfiksia Neonatorum ............................ 8
a. Pengkajian ................................................................................... 8
b. Diagnosa ..................................................................................... 19
c. Perencanaan ................................................................................ 20
d. Implementasi ............................................................................... 23
e. Evaluasi ....................................................................................... 23
B. Konsep Teori Asfisksia Neonatorum ....................................................... 24
1. Pengertian ......................................................................................... 24
2. Etiologi dan Faktor Predisposisi ....................................................... 24
3. Manifestasi Klinis ............................................................................. 26
4. Klasifikasi Asfiksia ............................................................................ 27
5. Patofisiologi ...................................................................................... 28
6. Pemeriksaan penunjang .................................................................... 30
7. Penatalaksanaan ................................................................................ 32
C. Kerangka Teori ......................................................................................... 41
D. Kerangka Konsep ..................................................................................... 42
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Studi Kasus .............................................................. 43
B. Subyek Studi Kasus .................................................................................... 43
C. Definisi Operasional .................................................................................... 44
D. Tempat dan Waktu ..................................................................................... 44
E. Pengumpulan Data ...................................................................................... 44
F. Metode Analisa Data .................................................................................. 47
vi
G. Etika Studi Kasus ....................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Apgar Skor ....................................................................................... 10
Tabel 2.2 Klasifikasi Asfiksia .......................................................................... 27
Tabel 2.3 Nilai APGAR ................................................................................... 28
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Teori............................................................................. 40
Gambar 2.2 Skema Kerangka Konsep ............................................................. 41
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Jadwal Kegiatan
Lampiran 2: Lembar Konsultasi
Lampiran 3: Informed Consent
Lampiran 4: Format Asuhan Keperawatan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan yang terjadi ketika bayi
tidak mendapatkan cukup oksigen selama proses kelahiran dan dapat
didefinisikan sebagai kegagalan untuk memulai respirasi biasa dalam satu
menit kelahiran. Banyak penyebab asfiksia neonatorum, yang paling umum
meliputi hipoksia prenatal, kompresi tali pusat saat melahirkan, terjadinya
kelahiran prematur atau kelahiran yang sulit, dan anastesi ibu (Mendri &
Prayogi, 2017)
Banyaknya penyebab tersebut mungkin bayi tidak terlihat mengalami
gejala-gejala asfiksia neonatorum dengan segera. Perubahan mendadak detak
jantung janin menjadi indikator terjadinya penyakit ini. Bayi mungkin
mengalami gejala-gejala setelah lahir, termasuk kulit tampak pucat atau biru,
kesulitan bernapas, yang dapat dinilai dengan menggunakan Apgar Score
(Irwanto, 2017).
Berdasarkan data dari World Health Organization (2013), jumlah
kelahiran bayi hidup di Indonesia pada tahun 2010 adalah 4.371.800, dengan
kelahiran prematur sebanyak 675.700 (15,5 per 100 kelahiran hidup) dan
angka kematian sebesar 32.400 (nomor 8 penyebab kematian di Indonesia)
(Irwanto, 2017). Kematian bayi dan balita sebagian besar disebabkan oleh
masalah yang terjadi pada masa neonatal, meliputi asfiksia neonatrum
2
sebesar 27%, berat badan lahir rendah (BBLR) sebesar 29%, trauma lahir,
tetanus neonatrum, kelainan kongenital dan nfeksi pada neonatal. Data Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukan Angka
Kematian Bayi (AKB) di Indonesia yaitu 35 per 1000 kelahiran hidup dan
kematian neonatal sebesar 19 per 1000 kelahiran hidup. Penyebab utama
kematian neonatal adalah gangguan pernapasan/asfiksia (35,9%), prematur,
BBLR (32,4%) dan sepsis (12%) (Widiani, Yuli, & Trisna, 2016)
Angka kematian neonatal di Jawa Tengah tahun 2016 sebesar 6,94
per 1000 kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2016).
Selama tahun 2014 berdasarkan laporan dari Puskesmas ditemukan bayi mati
sejumlah 47 bayi, sedangkan jumlah kelahiran bayi hidup sebanyak 9.811.
Data tersebut didapatkan angka kematian bayi sebesar 4.79 per seribu
kelahiran hidup. Dari 47 kematian bayi, asfiksia dan BBLR merupakan
penyebab paling banyak yaitu 7 kasus. Apabila dibandingkan dengan angka
tahun 2013 (3,22 per 1000 kelahiran hidup), maka mengalami peningkatan.
Jika dibandingkan angka Jawa Tengah yang sebesar 32 per seribu kelahiran
hidup maka angka kematian bayi di Surakarta lebih rendah (Dinas Kesehatan
Kota Surakarta, 2014)
Berdasarkan penelitian Tuti Rohani, didapatkan data jumlah
persalinan di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten pada tahun 2014
sebanyak 3.033 persalinan dengan 85 bayi mengalami asfiksia neonatorum
(Tuti, 2014)
3
Banyaknya kasus asfiksia disebabkan karena kurangnya kadar
oksigen dan meningkatnya kadar karbondioksida dalam tubuh. Oksigenasi
merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kelangsungan
metabolisme sel tubuh mempertahankan hidup dan aktivitas berbagai organ
atau sel. Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup oksigen
setiap kali bernapas dari atmosfer. Oksigen untuk kemudian diedarkan ke
seluruh jaringan tubuh (Andarmoyo, 2012). Bayi baru lahir biasanya mulai
bernapas tanpa bantuan dan biasanya menangis setelah dilahirkan. Pada satu
menit setelah lahir, sebagian besar bayi bernapas dengan baik, jika bayi gagal
membangun respirasi berkelanjutan setelah lahir maka didiagnosis asfiksia
neonatorum. Bayi normal memiliki otot yang baik pada saat lahir dan
menggerakkan lengan dan kaki mereka secara aktif, sedangkan asfiksia
neonatorum benar-benar lemas dan tidak bergerak sama sekali. Lamanya
waktu bayi tanpa oksigen mempengaruhi keparahan gejala. Semakin lama
bayi tanpa oksigen, semakin besar kemungkinan mereka mengalami gejala
yang lebih parah termasuk cedera atau kegagalan paru-paru, jantung, otak,
ginjal. Jika tidak dilakukan tindakan keperawatan dengan benar maka akan
menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak bahkan kematian (Mendri &
Prayogi, 2017).
Tindakan keperawatan harus segera dilaksanakan untuk
mempertahankan kelangsungan hidup dan mengatasi gejala lanjut yang
mungkin timbul terutama pemenuhan kebutuhan oksigen yang dilakukan
yaitu memberikan stimulasi, resusitasi, suctioning, memberikan 100 persen
4
oksigen melalui masker wajah, ventilasi buatan dan ventilasi melalui kanule
atau headbox sesuai dengan tingkat keparahan dari asfiksia serta menjaga
agar bayi tetap hangat untuk mengurangi efek bahaya terjadinya komplikasi.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis melakukan Studi
Kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan Kritis dalam Pemenuhan
Kebutuhan Oksigen pada Asfiksia Neonatrum”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam Studi Kasus ini adalah “Bagaimana
gambaran asuhan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada
asfiksia neonatrum?”
C. Tujuan Studi Kasus
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan dalam Studi Kasus ini adalah untuk menggambarkan
asuhan keperawatan kritis dalam pemenuhan kebutuhan oksigenasi.pada
asfiksia neonatorum
2. Tujuan Khusus
a. Menggambarkan pengkajian pada pasien asfiksia neonatrum dalam
pemenuhan kebutuhan oksigenasi.
b. Menggambarkan diagnosa keperawatan pada pasien asfiksia
neonatrum dalam pemenuhan kebutuha oksigenasi.
5
c. Menggambarkan intervensi keperawatan pada pasien asfiksia
neonatrum dalam pemenuhan kebutuhan oksigenasi.
d. Menggambarkan implementasi keperawatan pada pasien asfiksia
neonatrum dalam pemenuhan kebutuha oksigenasi.
e. Menggambarkan evaluasi keperawatan pada pasien asfiksia
neonatrum dalam pemenuhan kebutuha oksigenasi.
D. Manfaat Studi Kasus
Studi Kasus ini, diharapakan memberikan manfaat bagi :
1. Keluarga Pasien
Manfaat studi kasus ini agar dapat memberikan informasi kepada
keluarga pasien dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien
asfiksia neonatorum dalam pemenuhan oksigenasi.
2. Penulis
Manfaat hasil studi kasus ini diharapkan dapat menambah wawasan,
keterampilan dan pengetahuan dalam mengatasi dan melaksanakan
asuhan keperawatan pada asfiksia neonatorum dalam pemenuhan
kebutuhan oksigenasi.
3. Peneliti selanjutnya
6
Manfaat studi kasus ini diharapkan dapat menambah bahan referensi
untuk melakukan studi kasus sejenis dan lebih lanjut dalam bidang yang
sama.
4. Pengembangan Ilmu dan Teknologi
Manfaat hasil studi ini diharapkan dapat menambah keluasan ilmu dan
teknologi terapan bidang keperawatan pada asfiksia neonatorum dalam
pemenuhan kebutuhan oksigenasi
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori Kebutuhan Oksigenasi
1. Pengertian Oksigen
Oksigen, suatu gas tidak berwarna dan tidak berbau yang terkandung
dalam sekitar 21% udara yang kita hirup, sangat dibutuhkan bagi semua
kehidupan sel (Kozier, 2010).
Menurut Tarwoto dan Martonah (2015), oksigen merupakan gas yang
sangat vital dalam kelangsungan hidup sel dan jaringan tubuh karena oksigen
diperlukan untuk proses tubuh secara terus – menerus.
2. Pengertian Oksigenasi
Oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling mendasar
yang digunakan untuk kelangsungan metabolisme seltubuh,
mempertahankan hidup dan aktivitas bebagai organ dan sel tubuh.
(Andarmoyo, 2012).
Oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling mendasar.
Keberadaan oksigen merupakan salah satu komponen 9 gas dan unsur vital
dalam proses metabolisme dan untuk mempertahankan kelangsungan hidup
seluruh sel-sel yang hidup, untuk mempertahankan hidupnya dan untuk
aktifitas berbagai organ atau dalam sel. Proses kebutuhan sistem oksigenasi
diatur oleh sistem atau organ tubuh, diantaranya saluran pernafasan bagian
atas, bagian bawah dan paru menurut (Hidayat, 2014).
8
3. Metode Pemberian Oksigenasi
Menurut Andarmoyo (2012) metode pemberian oksigen dapat dibagi
menjadi 2 teknik :
a. Sistem Aliran Rendah
Ditujukan untuk pasien yang memerlukan oksigen, namun masih mampu
bernafas dengan pola pernafasan normal, misalnya pasien dengan
volume tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16-20 kali permenit.
Contoh sistem aliran rendah adalah:
1) Nasal Kanula
Oksigen disampaikan melalui nasal kanula dengan kecepatan
aliran 1-6L/ menit, konsentrasi oksigen 24-44%. Nassal kanula
diberikan pada klien yang dapat bernapas secara spontan dengan
hipoksemia ringan ditandai dengan saturasi 85-95% dengan atau
tanpa peningkatan kerja pernapasan.
2) Masker Sederhana
Oksigen disampaikan melalui masker sederhana dengan
kecepatan aliran 5-10L/ menit, konsentrasi oksigen 40-60%. Masker
sederhana hanya digunakan pada pasien yang dapat bernapas secara
spontan, digunakan pada pasien dengan nyeri dada dan pasien
dengan sakit kepala.
3) Masker Rebreathing
Oksigen disampaikan melalui masker rebreathing dengan
kecepatan aliran 8-12L/ menit, konsentrasi oksigen 50-80%. Masker
9
rebreathing digunakan pada pasien yang bernapas secara spontan,
kadar tekanan CO2 yang rendah.
4) Masker Non-rebreathing
Oksigen disampaikan melalui masker non- rebreathing
dengan kecepatan aliran 12-15L/ menit, konsentrasi oksigen 85-
100%. Masker non-rebreathing digunakan pada pasien dengan kadar
CO2 yang tinggi, pasien dengan status pernapasan yang tidak stabil,
dan SPO2 <85%.
b. Sistem Aliran Tinggi
Contoh teknik aliran tinggi adalah sungkup muka dengan ventury.
Prinsip pemberian oksigen dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari
tabung akan menuju ke sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk
mengatur suplai oksigen sehingga tercipta tekanan negatif, akibatnya
udara luar dapat dihisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak.
Aliran udara pada alat ini sekitar 4-14 liter permenit dengan konsentrasi
30-55%.
4. Konsep Asuhan Keperawatan pada Asfiksia Neonatorum
a. Pengkajian
1) Pengkajian primer
a) Airway : Bayi tidak menangis atau tidak ada usaha untuk bernafas
pada asfiksia berat, kadang-kadang terasa hembusan nafas pada
pasien dengan asfiksia ringan (Boxwell 2000 dalam Ikatan Ners
Indonesia 2016).
10
b) Breathing : Apnea pada pasien asfiksia berat (Saifudin 2001
dalam Ikatan Ners Indonesia 2016)
c) Circulation : Heart Rate<100x/menit pada asfiksia berat, dan
Heart Rate>100x/menit pada asfiksia ringan (Boxwell 2000
dalam Ikatan Ners Indonesia 2016).
d) Disability : Tonus otot lemah atau tidak ada (Saifudin 2001 dalam
Ikatan Ners Indonesia 2016).
e) Exposure : Seluruh tubuh berwarna biru, pucat, sianosis, cairan
ketuban ibu bercampur mekonium atau sisa mekonium pada
tubuh bayi, BBLR atau berat badan lahir rendah (Ghai et al 2010
dalam Ikatan Ners Indonesia 2016).
Nilai APGAR SCORE menurut Djitowiyono & Kristiyanasari (2010):
a) Askfiksia berat memiliki nilai 0-3
b) Asfiksia sedang memiliki nilai 4-6
c) Asfiksia ringan atau dikatakan dalam keadaan normal memiliki
nilai 7-10
11
Tabel 2.1 Apgar skor
Tanda 0 1 2
Frekuensi
jantung
Tidak ada Kurang dari
100x/ meniit
Lebih dari
100x/menit
Usaha
nafas
Tidak ada Lambat tidak
teratur
Menangis
kuat
Tonus otot lumpuh Ekstremitas
fleksi
Gerak aktif
Reflek Tidak ada Gerakan
sedikit
Gerakan kuat
melawan
Warna Biru/pucat Tubuh
kemerahan
ekstremitas
biru
Seluruh
tubuh
kemerahan
2) Pengkajian sekunder
Pengkajian dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan
data hasil laboratorium.
a) Anamnesis
Anamnesis adalah pemeriksaan dengan wawancara baik
secara langsung kepada pasien (autoanamnesis) dan dapat
dilakukan anamnesis terhadap orang tua, wali atau orang yang
dekat dengan pasien atau sumber lain, disebut sebagai
aloanamnesis. Karena bayi dan sebagian besar anak belum dapat
memberikan keterangan, maka dalam bidang kesehatan anak
aloanamnesis menduduki tempat yang jauh lebih penting
daripada autoanamnesis (Latief, et al., 2014). Pengkajian
anamnesis pada neonatus meliputi :
12
(1) Identitas pasien : nama, usia pasien, jenis kelamin, nama orang
tua, alamat, usia, pendidikan dan pekerjaan orangtua, agama
dan suku bangsa.
(2) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul pada kasus asfiksia yaitu
bayi tidak bernafas segera saat lahir atau nafas megap-megap
(tampak sesak napas) atau pernafasan lambat
(3) Riwayat kehamilan dan persalianan
Menurut Sondakh (2013) riwayat kehamilan dan persalinan
sebagai berikut :
Riwayat prenatal (kehamilan)
Untuk mengetahui keadaan bayi saat dalam kandungan.
Pengkajian ini meliputi : hamil keberapa, pada gravida
keempat atau lebih beresiko mengalami asfiksia, umur
kehamilan, ANC, HPHT, HPL.
Riwayat Intranatal (persalinan)
Untuk mengetahui keadaan bayi saat lahir meliputi jam dan
tanggal persalinan, jenis persalinan, penolong persalinan,
komplikasi persalinan dan keadaan bayi saat lahir, biasanya
pada kasus asfiksia keadaan bayi tidak segera bernafas setelah
lahir.
13
Riwayat postnatal (setelah persalinan)
Untuk mengetahui keadaan bayi dan ibu saat nifas yang
meliputi : observasi TTV, kesadaran, keadaan tali pusat, jenis
injeksi yang sudah diberikan seperti vitamin K.
b) Mencari kelainan kongenital
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan apakah ibu
menggunakan obat-obatan teratogenik atau obat-obatan yang
mengancam kehamilan, terkena radiasi atau infeksi virus pada
trimester pertama. Juga ditanyakan apakah ada kelainan bawaan
pada keluarga. Disamping itu perlu diketahui apakah ibu
menderita penyakit yang dapat mengganggu pertumbuhan janin,
seperti misalnya diabetes melitus, asma bronkhial dan
sebagainya. Sebelum melakukan pemeriksaan pada bayi,
sebaiknya diperiksa lebih dahulu keadaan cairan amnion, tali
pusat dan plasenta (Latief, et al., 2014)
c) Pemeriksaan fisik
Menurut Wong (2013), pemeriksaan fisik meliputi pengukuran
umum, penampilan umum dan pengkajian head to toe, yaitu
sebagai berikut :
(1) Pengukuran umum (antropometri)
Lingkar kepala, lingkar dada, panjang kepala ke tumit, berat
badan lahir.
14
(2) Penampilan umum
Postur – fleksi kepala dan ekstermitas, dengan istirahat
telentang dan telungkup. Kulit pada saat lahir, merah terang,
menggembung dan halus. Hari kedua sampai ketiga, merah
muda, mengelupas dan kering. Verniks kaseosa dan lanugo.
Edema disekitar mata, wajah, kaki, punggung tangan, telapak,
dan skrotum atau labia.
(3) Pemeriksaan head to toe
Kepala : pemeriksaan terhadap ukuran, bentuk, sutura
menutup/melebar, adanya caput succedaneum, cepal
hematoma, kraniotabes dan sebagainya.
Mata : pemeriksaan terhadap perdarahan, subkonjungtiva,
tanda-tanda infeksi (pus).
Hidung : pernapsan cuping hidung.
Mulut : pemeriksaan terhadap labio skisis, labiopalatoskisis
dan refleks hisap dan refleks moro (dinilai dengan mengamati
bayi saat menyusu).
Telinga : pemeriksaan terhadap Preaurical tog, kelainan daun
atau bentuk telinga.
Leher : pemeriksaan terhadap hematom
sternocleidomastoideus, ductus thyroglossalis, hygroma colli.
15
Dada : pemeriksaan terhadap bentuk, pembesaran buah dada,
pernapasan, retraksi intercostal, subcostal sifoid, meirntih,
serta bunyi paru-paru (sonor, vesikular, bronkial dan lain-lain.
Jantung : pemeriksaan terhadap pulsasi, frekuensi bunyi
jantung, kelainan bunyi jantung.
Abdomen : pemeriksaan terhadap membuncit (pembesaran
hati, limpa, tumor aster), scaphoid (kemungkinan bayi
menderita diafragmatika).
Tali pusat : pemeriksaan terhadap perdarahan, jumlah darah
pada tali pusat, warna dan besar tali pusat, hernia di tali pusat
atau selangkangan.
Alat kelamin : pemeriksaan terhadap testis apakah berada
dalam skrotum , penis berlubang pada ujung (pada bayi laki-
laki), vagina berlubang, apakah labia mayora menutupi labia
minora (pada bayi perempuan).
Lain-lain : mekonium harus keluar dalam 24 jam sesudah
lahir, bila tidak harus waspada terhadap atresia ani atau
obstruksi usus. Selain itu, urin juga harus keluar dalam 24 jam.
Kadang pengeluaran urin tidak diketahui karena pada saat bayi
lahir, urin keluar bercampur dengan air ketuban. Bila urin
tidak keluar dalam 24 jam, maka harus diperhatikan
kemungkinan adanya obstruksi saluran kemih.
16
d) Pengkajian Refleks
Menurut Sondakh (2013) refleks bayi baru lahir merupakan
indikator penting perkembangan normal, yaitu sebagai berikut :
(1) Rooting dan menghisap
Bayi normal memiliki respon menolehkan kepala ke arah
stimulus, membuka mulut, dan mulai menghisap bila pipi,
bibir atau sudut mulut bayi disentuh dengan jari atau puting.
Bayi abnormal menunjukan respon yang lemah atau tidak ada
respon terjadi pada prematuritas, penurunan atau cidera
neurologis atau depresi sistem saraf pusat (SSP)
(2) Menelan
Bayi baru lahir menelan berkoordinasi dengan menghisap
cairan ditaruh di belakang lidah. Bayi menunjukan respon
abnormal misalnya, muntah, batuk, atau regurgitasi cairan
dapat terjadi, kemungkinan berhubungan dengan sianosis
sekunder karena prematuritas, defisit neurologis atau cidera
terutama terlihat setelah laringoskopi.
(3) Ekstrusi
Respon normal bayi baru lahir menjulurkan lidar keluar bila
ujung lidah disentuh dengan jari atau puting.
Respon abnormal ekstrusi lidah secara kontinu atau
menjulurkan lidah yang berulang-ulang terjadi pada kelainan
SSP dan kejang.
17
(4) Moro
Respon normalnya ekstensi simetris bilateral dan abduksi
seluruh ekstermitas, dengan ibu jari dan jari telunjuk
membentuk huruf ‘c’, diikuti dengan adduksi ekstermitas
dan kembali ke fleksi relaks jika posisi bayi berubah tiba-tiba
atau jika bayi diletakkan telentang pada permukaan yang
datar.
Respon abnormal terlihat pada cedera saraf perifer (pleksus
brakialis) atau fraktur klavikula atau fraktur tulang panjang
lengan atau kaki.
(5) Melangkah
Respon normal bayi akan melangkah dengan satu kaki dan
kemudian kaki lainnya dengan gerakan berjalan bila satu
kaki disentuh pada permukaan rata.Respon abnormal terlihat
pada cedera saraf SSP atau perifer atau fraktur tulang
panjang kaki
(6) Merangkak
Respon normal bayi akan berusaha untuk merangkak ke
depan dengan kedua tangan dan kaki bila diletakkan
telungkup pada permukaan datar. Respons abnormal terlihat
pada cedera saraf SSP dan gangguan neurologis
18
(7) Tonik leher atau fencing
Respons normal yang terlihat ekstermitas pada satu sisi
dimana saat kepala ditolehkan akan ekstensi, dan ekstermitas
yang berlawanan akan fleksi bila kepala bayi ditolehkan ke
satu sisi selagi beristirahat.
Respons abnormal terjadi respons persisten setelah bulan
keempat dapat menunjukkan cedera neurologis. Respons
menetap tampak pada cedera SSP dan gangguan neurologis.
(8) Terkejut
Respons normal bayi melakukan abduksi dan fleksi seluruh
ekstermitas dan dapat mulai menangis bila mendapat
gerakan mendadak atau suara keras. Respons abnormal
terlihat tidak adanya respons dapat menunjukkan defisit
neurologis atau cedera. Tidak adanya respons secara lengkap
dan konsisten terhadap bunyi keras dapat menunjukkan
ketulian. Respons dapat menjadi tidak ada atau berkurang
selama tidur malam.
(9) Ekstensi silang
Respons normal kaki bayi yang berlawanan akan fleksi dan
kemudian ekstensi dengan cepat seolah-olah berusaha untuk
memindahkan stimulus ke kaki yang lain bila diletakkan
telentang, bayi akan mengekstensikan satu kaki sebagai
respons terhadap stimulus pada telapak kaki.
19
Respons abnormal tampak respons yang lemah atau tidak ada
respons yang telihat pada cedera saraf perifer atau fraktur
tulang panjang.
(10) Glabellar “blink”
Respons normal bayi akan berkedip bila dilakukan 4 atau 5
ketuk pertama pada batang hidung saat mata terbuka. Respons
abnormal tampak bayi terus berkedip dan gagal untuk
berkedip menunjukkan kemungkinan gangguan neurologis.
(11) Palmar grasp
Respons normal jari bayi akan melekuk di sekeliling benda
seketika bila jari diletakkan di telapak kaki bayi. Respons
abnormal tampak tidak ada respons yang terjadi pada defisit
neurologis yang berat.
(12) Tanda babinski
Respons normal jari-jari bayi akan hiperekstensi dan terpisah
seperti kipas dari dorsofleksi ibu jari kaki bila satu sisi kaki
digosok dari tumit ke atas melintasi bantalan kaki.
Respons abnormal tampak tidak ada respons yang terjadi pada
defisit SSP.
20
a. Diagnosa
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2016), diagnosa keperawatan
yang muncul pada pasien asfiksia yaitu :
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya
nafas ditandai dengan penggunaan otot bantu pernapasan dan pola
nafas abnormal
b. Perencanaan
Menurut Nurarif (2016), intervensi keperawatan dari asfiksia
neonatorum meliputi :
1) Diagnosa : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapakan pertukaran gas
klien normal
Kriteria Hasil :
a) Nafas bayi kembali normal
b) Bayi aktif
c) Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat.
d) Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari tanda-tanda
distres pernapasan.
21
e) Pada pemeriksaan auskultasi tidak ditemukan lagi bunyi tambahan
pernafasan seperti ronkhi, wheezing, dll
f) Tidak ada sianosis
Intervensi
a) Kaji tanda-tanda vital seperti pernafasan, nadi, tekanan darah.
b) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan tanda-tanda sianosis
setiap 2 jam.
c) Observasi tingkat kesadaran, selidiki adanya perubahan
d) Dorong pengeluaran sputum, pengisapan (suction) bila
diindikasikan.
e) Berikan edukasi kepada orangtua tentang kondisi bayi
f) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian O2 sesuai dengan
indikasi
Rasional :
a) Sebagai indicator adanya gangguan dalam system pernafasan
b) Berguna dalam evaluasi derajat distress pernafasan atau kronisnya
proses penyakit. Sianosis mungkin perifer (terlihat pada kuku) atau
sentral (terlihat sekitar bibir dan atau telinga). Keabu-abuan dan
sianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia.
c) Tidak menangis/ tidak berespon, adalah manifestasi umum pada
hipoksia, lemas menunjukkan disfungsi serebral yang
berhubungan dengan hipoksemia.
22
d) Kental, tebal dan banyaknya sekresi adalah sumber utama
gangguan pertukaran gas pada jalan nafas kecil, pengisapan
dibutuhkan bila batuk tidak efektif.
e) Menambah pengetahuan keluarga pasien mengenai kondisi
bayinya.
f) Dapat memperbaiki /mencegah memburuknya hipoksia.
2) Diagnosa : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan
upaya nafas ditandai dengan penggunaan otot bantu pernapasan dan
pola nafas abnormal.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, diharapakan klien
memperlihatkan pola nafas yang efektif
Kriteria Hasil :
a) Jalan napas tetap paten
b) Pernapasan memberikan oksigenasi dan pembuangan CO2 yang
adekuat
c) Frekuensi dan pola napas dalam batas yang sesuai dengan usia dan
berat badan.
d) Gas darah arteri dan keseimbangan asam basa dalam batas normal
sesuai usia pascakonsepsi
e) Oksigenasi jaringan adekuat
f) Tidak ada pernapasan cuping hidung dan bibir
23
Intervensi :
a) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada.
b) Catat upaya pernafasan, termasuk penggunaan otot bantu
pernafasan.
c) Auskulatasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti
mengi, krekels, dll.
d) Berikan edukasi tentang posisi bayi yang baik.
e) Berikan oksigen tambahan sesuai dengan advice dokter.\
Rasional :
a) Kecepatan biasanya meningkat apabila terjadi peningkatan kerja
nafas.
b) Penggunaan otot bantu pernafasan sebagai akibat dari penigkatan
kerja nafas.
c) Bunyi nafas menurun/tak ada bila jalan nafas obstruksi dan adanya
bunyi nafas ronkhi dan mengi menandakan adanya kegagalan
pernafasan.
d) Untuk memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan
pernafasan.
e) Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas.
c. Implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan asuhan sesuai rencana yang
telah disusun sesuai dengan keadaan dan dalam rangka mengatasi
24
masalah pasien. Pelaksanaan tindakan harus disetujui pasien, kecuali bila
tindakan tidak dilaksanakan akan membahayakan keselamatan pasien.
Sebanyak mungkin pasien harus dilibatkan dalam proses implementasi
ini (Rukiyah, 2014).
d. Evaluasi
Menurut Mufdilah 2009 dalam Rukiyah (2014), evaluasi yaitu
menilai keefektifan dari setiap asuhan yang diberikan dan asuhan bisa
kembali ke langkah sebelumnya jika tindakan yang telah dilakukan
dirasakan belum berhasil atau gagal. Evaluasi berisi analisis hasil yang
telah dicapai dan merupakan fokus ketepatan nilai tindakan /asuhan. Jika
dari hasil pemeriksaan yang didapat dengan teori yang ada tidak ada
kesenjangan maka dikatakan pendokumentasian sesuai dengan teori.
Menurut Nurarif (2016), evaluasi hasil yang diharapkan pada pasien
asfiksia setelah dilakukan intervensi keperawatan meliputi :
1) Nafas bayi kembali normal.
2) Bayi aktif.
3) Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat.
4) Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari tanda-tanda distres
pernapasan.
5) Pada pemeriksaan auskultasi tidak ditemukan lagi bunyi tambahan
pernafasan seperti ronchi, wheezing, dll.
6) Tidak ada sianosis.
25
B. Konsep Teori Asfiksia Neonatorum
1. Pengertian
Menurut Nurarif (2016), asfiksia merupakan suatu keadaan bayi baru lahir
yang mengalami gangguan tidak segera bernafas secara spontan dan teratur
setelah lahir. Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan atau persalinan.
Menurut Sudarti dan Fauziah (2013), asfiksia adalah kegagalan dalam
memulai dan melanjutkan pernafasan secara spontan dan teratur pada saat bayi
baru lahir atau beberapa saat sesudah lahir. Bayi mungkin lahir dalam keadaan
asfiksia yaitu asfiksia primer atau mungkin dapat bernafas tetapi kemudian
mengalami asfiksia beberapa saat setelah lahir (asfiksia sekunder).
Dengan demikian asfiksia pada BBL adalah suatu keadaan bayi baru lahir
yang gagal bernapas secara spontan dan teratur sehingga bayi tidak bisa
memasukkan oksigen dan tidak bisa melepaskan karbondioksida dari tubuhnya
segera setelah lahir atau beberapa waktu kemudian (Dewi, 2014).
2. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Menurut Nurarif (2016), Asfiksia dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu:
a. Faktor ibu
1) Hipoksia ibu
2) Gangguan aliran darah fetus
a) Gangguan kontraksi uterus pada hipertoni, hipotoni, tetani uteri
b) Hipotensi mendadak pada ibu karenan perdarahan
c) Hipertensi pada penyakit toksemia, eklamsia, dll
26
3) Primi tua, Diabetes Melitus, anemia, riwayat lahir mati, ketuban
pecah dini, infeksi.
b. Faktor plasenta
Faktor plasenta penyebab asfiksia yaitu abruptio plasenta. Sedangkan
menurut Sondakh (2013), yaitu lilitan tali pusat, tali pusat pendek, simpul
tali pusat dan prolapsus tali pusat.
c. Faktor fetus
Tali pusat menumbung, lilitan tali pusat, meconium kental, prematuritas,
persalinan ganda.
d. Faktor lama persalinan
Persalinan lama, VE, kelainan letak, operasi caesar.
e. Faktor neonatus
1) Anestesi/analgetik yang berlainan pada ibu secara langsung dapat
menimbulkan depresi pernafasan pada bayi.
2) Trauma lahir sehingga mengakibatkan perdarahan intracranial.
3) Kelainan kongenital seperti hernia diafragmatika, atresia/stenosis
saluran pernafasan, hipoplasi paru, dll.
3. Manifestasi Klinis
Menurut Sudarti dan Fauziah (2013), gejala dan tanda asfiksia yaitu :
a. Tidak bernafas atau nafas megap-megap atau pernafasan lambat (kurang
dari 30 kali permenit). Menurut Sondakh (2013), Apnea dibagi menjadi
dua bagian, yaitu :
27
1) Apneu primer : pernapasan cepat, denyut nadi menurun, dan tonus
neuromuskular menurun.
2) Apneu sekunder : apabila asfiksia berlanjut, bayi menunjukkan
pernapasan megap-megap yang dalam, denyut jantung terus menurun,
terlihat lemah (pasif), dan pernapasan makin lama makin lemah.
b. Pernafasan tidak teratur, dengkuran atau retraksi (perlekukan dada)
c. Tangisan lemah atau merintih
d. Warna kulit pucat atau biru
e. Tonus otot lemas atau ekstermitas terkulai
f. Denyut jantung tidak ada atau lambat (bradikardia) (kurang dari 100 kali
per menit)
4. Klasifikasi Asfiksia
Menurut Nurarif (2016), ada dua macam kriteria dari asfiksia
Tabel 2.2 Kriteria Asfiksia
Perbedaan Asfiksia pallida Asfiksia livida
Warna kulit Pucat Kebiru-biruan
Tonus otot Sudah kurang Masih baik
Reaksi rangsangan Negatif Positif
Bunyi jantung Tidak teratur Masih teratur
Prognosis jelek Lebih baik
28
Klasifikasi klinik berdasarkan nilai APGAR menurut Nurarif (2016), yaitu :
a. Asfiksia berat (nilai APGAR 0-3)
b. Asfiksia ringan sedang (nilai APGAR 4-6)
c. Bayi normal atau sedikit asfiksia (nilai APGAR 7-9)
d. Bayi normal dengan nilai APGAR 10
Tabel 2.3 Nilai APGAR
Tanda 0 1 2
A: Appearance (color)
Warna
Biru/pucat Tubuh
kemerahan,
ekstremitas
biru
Tubuh dan
Ekstremitas
kemerahan
P: pulse ( heart rate)
Denyut nadi
Tidak ada <100x/menit >100x/menit
G: grimance
Reflek
Tidak ada Gerakan
sedikit
Menangis
A: Activity
Tonus otot
Lumpuh Fleksi lemah Gerak aktif
R: respiration
Usaha nafas
Tidak ada Lemah,
merintih
Tangisan
kuat
5. Patofisiologi
Kondisi patofisiologis yang menyebabkan asfiksia meliputi kurangnya
oksigenasi sel, retensi karbon dioksida berlebihan, dan asidosis metabolik.
Kombinasi ketiga peristiwa tersebut menyebabkan kerusakan sel dan
lingkungan biokimia yang tidak cocok dengan kehidupan. Tujuan resisutasi
adalah intervensi tepat waktu yang membalikkan efek-efek biokimia asfiksia,
sehingga mencegah kerusakan otak dan organ yang irreversibel (tidak bisa
kembali), yang akibatnya akan ditanggung sepanjang hidup (Sondakh, 2013).
29
Frekuensi jantung dan tekanan darah akan meningkat dan bayi melakukan
upaya megap-megap (gasping). Bayi kemudian masuk ke periode apnea
primer akan mulai melakukan usaha napas lagi. Stimulasi dapat terdiri atas
stimulasi taktil (mengeringkan bayi) dan stimulasi termal (oleh suhu persalinan
yang lebih dingin) (Sondakh, 2013).
Bayi-bayi yang mengalami proses asfiksia lebih jauh berbeda dalam tahap
apnea sekunder. Apnea sekunder dapat dengan cepat menyebabkan kematian
jika bayi tidak benar-benar didukung oleh pernapasan buatan, dan bila perlu,
dilakukan kompresi jantung. Warna bayi berubah dari biru ke putih karena bayi
baru lahir menutup sirkulasi perifer sebagai upaya memaksimalkan aliran
darah ke organ-organ seperti jantung, ginjal dan adrenal (Sondakh, 2013).
Selama apnea, penurunan oksigen yang tersedia menyebabkan pembuluh
darah di paru-paru mengalami konstriksi. Keadaan konstriksi ini menyebabkan
paru-paru resisten terhadap ekspansi, sehingga mempersulit kerja resusitasi
janin yang persisten. Foramen ovale terus membuat pirau darah ke aorta,
melewati paru-paru yang konstriksi. Bayi baru lahir dalam keadaan asfiksia
tetap memiliki banyak gambaran sirkulasi janin (Sondakh, 2013).
Selama hipoksia, perubahan biokimia yang serius menyebabkan
penimbunan sampah metabolik akibat metabolisme anaerob. Akibat
ketidakadekuatan ventilasi, maka bayi baru lahir cepat menimbun
karbondioksida. Hiperkabia ini mengakibatkan asidosis respiratorik yang lebih
jauh akan menekan upaya napas (Sondakh, 2013).
30
Kurangnya oksigen menyebabkan metabolisme pada bayi baru lahir
berubah menjadi metabolisme anaerob, terutama karena kurangnya glukosa
yang dibutuhkan untuk sumber energi pada saat kedaruratan. Hal ini
menyebabkan akumulasi asam laktat dan asidosis metabolik. Asidosis
metabolik hanya akan hilang setelah periode waktu yang signifikan dan
merupakan masalah sisa bahkan setelah frekuensi pernapasan dan frekuensi
jantung adekuat (Sondakh, 2013).
Efek hipoksia terhadap otak sangat terlihat. Pada hipoksia awal, aliran darah
ke otak meningkat, sebagai bagian mekanisme kompensasi. Kondisi tersebut
hanya dapat memberikan penyesuaian sebagian. Jika hipoksia berlanjut, maka
tidak akan terjadi penyesuaian akibat hipoksia pada sel-sel otak. Beberapa efek
hipoksia yang paling berat muncul akibat tidak adanya zat penyedia energi,
seperti ATP, berhentinya kerja pompa ion-ion transeluler, akumulasi air,
natrium, dan kalsium serta kerusakan akibat radikal bebas oksigen. Seiring
dengan penuran aliran darah yang teroksigenasi, maka asam amino yang
meningkat akibat pembengkakan jaringan otak akan dilepas. Proses ini dapat
mengakibatkan kerusakan neurologis yang mencolok atau samar-samar.
Kejang dapat muncul selama 24 jam pertama setelah bayi lahir. Awitan kejang
selama periode ini merupakan tanda yang mengkhawatirkan dan merupakan
tanda peningkatan kemungkinan terjadinya kerusakan otak yang permanen
(Sondakh, 2013).
31
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa
asfiksia neonatorum :
a. Laboratorium analisis gas darah tali pusat: menunjukkan hasil asidosis jika
PaO2 2O, PaCO2>55 mmH2O dan pH <7,30 (Ghai etal 2010 dalam Ikatan
Ners Indonesia 2016).
b. Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan
penunjang diarahkan pada kecurigaan komplikasi, meliputi:
1) Glukosa darah
2) Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)
3) Ureum kreatinin
4) Laktat
5) Pemeriksaan radiologi
6) USG kepala: kemungkinan dapat mendeteksi perdarahan (Ikatan Ners
Indonesia, 2016)
7) Pemeriksaan EEG untuk mendiagnosa encephalopathy, dengan
tingkat kecacatan sebagai berikut:
a) Kelainan parah yaitu penekanan menyebar, tegangan rendah atau
isoelektrik = 95%,
b) Kelainan moderat yaitu aktivitas gelombang lambat = 64%, dan
c) Ringan atau tidak ada kelainan = 3,3%
8) CT-scan kepala
32
9) NMRI (proton NMR) dan NMRS (31 P NMRS): memberikan
informasi tentang struktur dan fungsi otak dengan hasil yang sangat
prediktif (Royal Prince Alfred Hospital, 2007 dalam Ikatan Ners
Indonesia, 2016).
c. Perhitungan Gas Darah
1) Analisis gas darah secara langsung mengukur Ph PaCO2 dan PaO2 dan
menghitung defisit/kelebihan basa, bikarbonat (HCO3-) dan saturasi
O2.
2) Nilai gas darah : nilai asam basa normal sedikit bervariasi bergantung
pada rujukan laboratorium, buku teks, dan usia gestasional bayi, serta
apakah spesimen darah berasal dari arteri, vena atau kapiler.
3) Gas darah vena biasanya memiliki Ph lebih rendah, PCO2 lebih tinggi,
PO2 lebih rendah daripada ABG (Hamm, 1999 dalam Haws, Paulette
2013), sampel gas darah kapiler bisa diarterialkan dengan
menghangatkan ekstermitas dan disamakan secara kasar dengan Ph,
PaCO2, dan HCO3-, arterial.
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Djitowiyono dan Weni (2010), yaitu:
a. Membersihkan jalan napas dengan penghisap lendir dan kassa sterl
b. Potong tali pusat dnegan teknik aseptik dan dengan antiseptik
c. Apabila bayi tidak menangis lakukan cara sebagai berikut;
1) Rangsangan taktil dengan cara menepuk-nepuk kaki, mengelus-elus
dada, perut atau punggung.
33
2) Bila dengan rangsangan taktil belum menangis lakukan resusitasi
mouth to mouth
3) Pertahankan suhu tubuh agar tidak memperburuk keadaan asfiksia
dengan cara:
a) Membungkus bayi dengan kain hangat
b) Badan bayi harus dalam keadaan kering
c) Jangan memandikan bayi dengan air dingin gunakan minyak atau
baby oil untuk membersihkan tubuhnya
d) Kepala bayi ditutup dengan baik atau topi kepala yang terbuat dari
plastik
4) Apabila nilai Apgar pada menit ke lima sudah baik (7-10) lakukan
perawatan selanjutnya:
a) Membersihkan badan bayi
b) Perawatan tali pusat
c) Pemberian ASI sedini mungkin dan adekuat
d) Melaksanakan antropometri dan pengkajian kesehatan
e) Memasang pakaian bayi
f) Memasang tanda pengenal bayi
5) Mengajarkan orangtua/ibu cara:
a) Membersihkan jalan napas
b) Pemberian ASI yang baik
c) Perawatan tali pusat
d) Memandikan bayi
34
e) Mengobservasi keadaan pernapasan bayi
6) Menjelaskan pentingnya pemberian ASI sedini mungkin sampai usia 2
tahun, makanan bergizi bagi ibu, makanan tambahan buat bayi diatas
usia 4 bulan, dan mengikuti program KB segera mungkin.
7) Apabila nilai apgar pada menit kelima belum mencapai nilai normal,
persiapkan bayi untuk dirujuk ke rumah sakit. Beri penjelasan kepada
keluarga alasan dirujuk ke rumah sakit.
Penanganan menurut Elmeida (2015) adalah dengan dilakukan
resusitasi bayi. Prinsip dasar yang perlu dilakukan ketikan akan
melakukan resusitasi adalah:
1) Menciptakan lingkungan yang baik bagi bayi dan membersihan
jalan napas
2) Memberikan bantuan pernafasan secara aktif kepada bayi dengan
napas buatan
3) Merangsang timbulnya pernapasan
4) Menjaga agar peredaran darah tetap baik.
Cara resusitasi menurut Elmeida (2015)
1) Penilaian
Setelah bayi lahir lakukan penilaian segera sambil memindahkan
bayi dari tempat tidur ke atas perut ibu. Bila tidak bernapas atau
megap-megap, anggota gerak luglai atau tidak bergerak aktif
segera lakukan tindakan;
35
a) Jepit dan potong tali pusat, beri tahu masalah bayi pada
keluarga
b) Selimuti bayi dengan kain als yang telah disiapkan kemudian
pindahkan bayi ke tempat resusitasi yang telah disiapkan.
2) Langkah awal
a) Menjaga bayi tetap hangat
Pertahankan selimut yang melingkupi tubuh bayi untuk
menjaga kehangatan tubuhnya
b) Mengatur posisi
Letakkan bayi dengan posisi terlentang, kemudian ganjal bahu
bayi dengan lipatan kain yang telah disiapkan, atur kepala bayi
setengah ekstensi agar jalan napas terbuka
c) Menghisap lendir
Lakukan penghisapan lendir dengan de lee, ke mulut lalu ke
hidung, penghisapan dilakukan sambil menarik keluar pipa
penghisap
d) Keringkan dan rangsangan taktil
Keringkan bayi dengan sedikit tekanan, mulai muka dan
seluruh tubuh, gunakan telapak tangan untuk menggosok
perut, puggung dan dada.
e) Mengatur kembali posisi kepala bayi denan bungkus bayi
f) Melakukan penilaian bayi
36
Bila bernapas normal letakkan bayi pada ibu dan selimuti bayi
bersama ibunya. Bila tidak bernapas, megap-megap atau
menangis lemah lakukan ventilasi
3) Ventilasi
a) Pasang sungkup, sungkup melingkupi hidung, mulut dan
dagu.
b) Lakukan ventilasi.
1) Tiup sungkup dengan tekanan air 30 cm sebanyak 2 kali.
2) Lihat dada bayi mengembang atau tidka, jika tidak,
periksa sungkup pastikan tidak ada ruang udara yang
bocor, posisi kepala dan periksa ada sumbatan pada mulut
atau tidak.
3) Bila dada mengembang lanjutkan ventilasi.
c) Lakukan ventilasi sebanyak 20 kali dalam 30 detik
Bila bayi mulai bernapas normal hentikan ventilasi, pantau
kondisi bayi. Bila bayi belum bernapas lakukan kembali
ventlasi.
d) Hentikan ventilasi dan lakukan penilaian setiap 30 detik
e) Bila bayi tidak bernapas spontan setelah 2-3 menit lakukan
resusitasi diteruskan ventilasi dengan interval 30 detik,
siapkan rujukan bayi bersama ibunya.
f) Bila bayi tidak bernapas sesudah ventilasi 20 menit
pertimbangkan untuk menghentikan resusitasi.
37
Menurut Ikatan Ners Indonesia (2016), penanganan pasca
resusitasi pada neonatus yang mengalami asfiksia perinatal
sangat kompleks dan membutuhkan monitoring yang ketat dan
tindakan antisipasi yang cepat, karena bayi berisiko mengalami
disfungsi multiorgandan perubahan dalam kemampuan
mempertahankan homeostasis fisiologis. Prinsip umum
penanganan pasca resusitasi neonatus yaitu melanjutkan
dukungan kardiorespiratorik, koreksi hipoglikemia, asidosis
metabolik, abnormalitas elektrolit, serta penanganan hipotensi.
Menurut Ikatan Ners Indonesia (2016), dalam melaksanakan
stabilisasi pasca resusitasi neonatus terdapat acuan dalam
melakukan pemeriksaan dan stabilisasi, yaitu S.T.A.B.L.E, yang
terdiri dari:
a) S- Sugar
Langkah untuk menstabilkan kadar gula darah neonatus.
Hipoglikemia merupakan kondisi yang berhubungan dengan
keluaran neurologis yang buruk. Pada neonatus kadar
glukosa darah harus dipertahankan pada kadar 50-110 mg/dl.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk stabilisasi
gula darah neonatus adalah:
1) Tidak memberikan makanan perenteral.
2) Memberikan glukosa melalui jalur intravena.
38
b) T- Temperature
Hipotermia merupakan suatu kondisi yang dapat
dicegah dan sangat mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas, khususnya pada bayi prematur. Maka, usaha
untuk mempertahankan suhu normal bayi dan pencegahan
hipotermia selama stabilisasi sangatlah penting.
c) A-Airway
Sebagian besar masalah neonatus yang ditransfer dari
NICU adalah distres pernafasan. Pada keadaan tertentu,
gagal nafas dapat dicegah dengan memberikan dukungan
respiratorik sesuai dengan kebutuhan bayi, misalnya
pemberian oksigen melalui nasal kanul, ventilasi tekanan
positif, intubasi endotrakeal, sampai bantuan ventilator.
Evaluasi kondisi bayi sesering mungkin dan catat hasil
observasi. Hal yang harus di evaluasi dan dicatat:
1) Laju napas
Nilai normal laju nafas neonatus adalah 40–60
kali/menit.
2) Usaha napas
Macam usaha napas seperti, takipnea, retraksi, grunting
dan apnea.
39
3) Kebutuhan oksigen
Apabila bayi mengalami sianosis di udara ruangan dan
distres pernafasan ringan atau sedang, maka oksigen
diberikan melalui hidung. Pada keadaan bayi mengalami
distres pernafasan berat, dapat diberikan tindakan yang
lebih agresif seperti Continous Positive Airway Pressure
(CPAP), atau intubasi endotrakeal.
4) Saturasi oksigen
Saturasi oksigen harus dipertahankan agar di atas 90 %.
5) Analisis gas darah
Evaluasi dan interpretasi gas darah penting untuk
menilai derajat distres pernafasan yang dialami oleh
bayi.
d) B- Blood Pressure
Curah jantung yang mencukupi diperlukan untuk
mempertahankan sirkulasi. Cara yang terbaik untuk
mempertahankan sirkulasi adalah dengan memberikan
cairan dan elektrolit yang adekuat.
e) L-Laboratory Studies
Pemantauan elektrolit direkomendasikan pada neonatus
yang mengalami kejang atau usia >24 jam dan dalam
keadaan tidak bugar. Elektrolit yang harus diperiksa adalah
kadar natrium, kalium dan kalsium
40
f) E- Emotional Support
Orang tua dari bayi akan mengalami beberapa tahapan
emosional dalam menghadapi keadaan bayinya.
41
C. Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori (Nurarif, 2016)
Resiko
ketidakseimbangan
suhu tubuh
Persalinan lama, lilitan
tali pusat, presentasi
janin abnormal
Faktor lain: obat-
obatan narkotik
Suplai O2 dalam darah ↓ ASFIKSIA Paralisis pusat pernapasan
Janin kekurangan O2 dan
kadar CO2 meningkat Bersihan jalan
napas tidak efektif
Paru-paru terisi cairan
Napas cepat Suplai O2 ke paru ↓
Gangguan metabolisme dan
perubahan asam basa
Asidosis respiratorik
Gangguan perfusi ventilasi
Napas cuping hidung,
sianosis, hipoksia.
Gangguan pertukaran gas
Apneu Kerusakan otak
Resiko cidera Kematian bayi
DJJ dan TD ↓ Proses keluarga berhenti
Ketidakefektifan
pola napas
Janin tidak bereaksi
terhadap rangsangan
Resiko syndrome
kematian bayi mendadak
Ket:
: diagnosa keperawatan yang diteliti
: diagnosa keperawatan
42
D. Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Skema Kerangka Konsep Pemenuhan Kebutuhan Oksigen pada
Afiksia Neonatorum
Tindakan :
1. Kaji frekwensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada.
2. Catat upaya pernafasan, termasuk penggunaan otot bantu pernafasan.
3. Auskulatasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti mengi, krekels,dll
4. Tinggikan kepala bayi dan bantu mengubah posisi
5. Berikan oksigen tambahan sesuai dengan advice dokter
Pengkajian :
1. Tidak bernafas atau nafas megap-
megap atau pernafasan lambat
(<30 kali permenit)
2. Pernafasan tidak teratur,
dengkuran atau retraksi
(perlekukan dada)
3. Tangisan lemah atau merintih
4. Warna kulit pucat atau biru
5. Tonus otot lemas atau ekstermitas
terkulai
6. Denyut jantung tidak ada atau
lambat (bradikardia) (<100 kali per menit)
Masalah Kebutuhan Oksigen 1. Gangguan pertukaran gas
2. Pola nafas tidak efektif
Evaluasi :
1. Nafas bayi kembali normal, bayi
aktif, mendemonstrasikan
peningkatan ventilasi dan oksigenasi
yang adekuat, memelihara kebersihan
paru-paru dan bebas dari tanda-tanda
distres pernapasan, tidak ada bunyi
tambahan pernafasan seperti ronkhi,
whee-zing, dll, tidak ada sianosis.
2. Jalan napas tetap paten, pernapasan
memberikan oksigenasi dan
pembuangan CO2 yang adekuat,
frekuensi dan pola napas dalam batas
yang sesuai dengan usia, oksigenasi
jaringan adekuat, tidak ada
pernapasan cuping hidung dan bibir.
43
BAB III
METODE STUDI KASUS
A. Jenis dan Rancangan Studi Kasus
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ilmiah
ini adalah jenis penelitian deskriptif dan rancangan studi kasus dengan
pendekatan asuhan. Menurut Nursalam (2016), metode penelitian deskriptif
adalah suatu metode yang dilakukan dengan tujuan untuk memaparkan atau
membuat gambaran atau deskrpsi tentang suatu keadaan secara objektif.
Sedangkan rancangan studi kasus adalah penelitian yang dilakukan dengan
cara meneliti suatu permasalahan melalui suatu kasus yang terdiri dari unit
tunggal .
Studi kasus ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
asuhan keperawatan dengan pemenuhan kebutuhan oksigen pada pasien
asfiksia yang meliputi pengakjian, diagnosa, intervensi, implementasi
sampai dengan evaluasi yang didapatkan melalui wawancara dan
observasi langsung sehingga rancangan studi kasus ini menggunakan
jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan studi kasus.
B. Subyek Studi Kasus
Subyek dalam studi kasus ini menggunakan dua pasien kelolaan
dengan diagnosa medis asfiksia neonatorum.
44
C. Definisi Opersional
Asuhan keperawatan adalah pemberian pelayanan keperawatan
berdasarkan proses keperawatan meliputi pengkajian, perumusan
diagnosa, perencanaan, implementasi sampai evaluasi.
Asfiksia adalah kegagalan pada bayi untuk bernapas secara spontan
setelah dilahirkan atau dalam satu menit kelahiran berdasarkan diagnosa
medis yang dibuat oleh dokter yang ditulis dalam rekam medik.
Gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi adalah kekurangan
oksigen dalam tubuh sehingga mempengaruhi metabolisme tubuh yang
dapat diukur dengan saturasi oksigen.
D. Tempat dan Waktu
Penyusunan proposal ini dimulai pada bulan September 2018 dengan
pengajuan judul hingga sidang proposal pada bulan November 2018
sesuai dengan jadwal kegiatan pada lampiran 1.
Sedangkan Studi kasus ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Umum
Pusat dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten pada bulan Februari 2019.
E. Pengumpulan Data
1. Metode pengumpulan data
Menurut Nursalam (2016) teknik pengumpulan data merupakan cara
penulis untuk mengumpulkan data dalam studi kasus.
45
Dalam menyusun karya ilmiah ini, penulis menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
a. Anamnesa
Anamnesis adalah pemeriksaan dengan wawancara baik secara
langsung kepada pasien (autoanamnesis) dan dapat dilakukan
anamnesis terhadap orang tua, wali atau orang yang dekat dengan
pasien atau sumber lain, disebut sebagai aloanamnesis. Karena
bayi dan sebagian besar anak belum dapat memberikan
keterangan, maka dalam bidang kesehatan anak aloanamnesis
menduduki tempat yang jauh lebih penting daripada
autoanamnesis (Latief, et al., 2014).
b. Pemeriksaan Fisik
Menurut Debora (2013) pemeriksaan fisik dapat dilakukan
melalui empat cara :
1) Inspeksi (I)
Menggunakan indra penglihatan, memerlukan bantuan
pencahayaan yang baik dan pengamatan yang diteliti.
2) Perkusi (P)
Pemeriksaan ini menggunakan prinsip vibrasi dan getaran
udara. Dilakukan dengan mengetuk permukaan tubuh
dengan tangan pemeriksa. Bisa digunakan untuk
memperkirakan densitas organ tubuh/jaringan yang
diperiksa.
46
3) Palpasi (P)
Palpasi menggunkan serabut saraf sensoris di permukaan
telapak tangan untuk mengetahui kelembapan, suhu,
tekstur, adanya massa dan penonjolan, lokasi dan ukuran
organ, serta pembengkakan. Palpasi memerlukan cara
yang sistematis dan dilakukan secara tegas tetapi lembut
untuk mencegah timbulnya rasa nyeri pada klien.
4) Auskultasi (A)
Menggunakan indra pendengaran, bisa menggunakan alat
bantu (stetoskop) ataupun tidak. Suara di dalam tubuh
dihasilkan oleh gerakan udara (misalnya : suara nafas)
atau gerakan organ (misalnya : peristaltik usus).
c. Studi kepustakaan
Studi kepustakaan adalah kegiatan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti dalam rangka mencari landasan teoritis dari permasalahan
(Hidayat, 2014). Pada studi kasus ini menggunakan studi
kepustakaan yang bersumber dari buku kesehatan, buku ilmu
keperawatan, jurnal laporan – laporan hasil penelitian dari sumber
terbaru.
d. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan metode pengumpulan data dengan cara
mengambil data yang berasal dari dokumen asli (Hidayat, 2014).
47
Dokumen asli tersebut dapat berupa pemeriksaan atau catatan
medis klien, rekam medis, hasil laboratorium serta terapi.
2. Instrumen studi kasus
Instrumen studi kasus ada 2 macam :
a. Format asuhan keperawatan yang digunakan dalam pengambilan
data melalui proses asuhan keperawatan sebagaimana terlampir
dalam lampiran 4.
b. SOP (standar operasional prosedur)/ instruksi kerja tindakan yang
digunakan sebagai intervensi.
F. Metode Analisa Data ( Domain Analisis)
Dalam studi kasus ini peniliti membandingkan antara hasil studi
kasus denga jurnal studi kasus ataupun sumber-sumber lain (buku, jurnal,
dll)
G. Etika Studi Kasus
Merupakan suatu keharusan pada saat akan memulai suatu studi kasus
untuk menjaga kerahasiaan dan memberi keamanan pada responden.
Etika studi kasus merupakan masalah yang sangat penting dalam studi
kasus, mengingat Studi Kasus keperawatan berhubungan langsung
dengan manusia, maka segi etika studi kasus harus diperhatikan.
48
Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut :
1. Informed consent (persetujuan)
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti
dengan responden dengan memberikan lembar persetujuan. Informed
consent persetujuan menjadi responden. Pada studi kasus ini
tujuannya agar subyek mengerti maksud dan tujuannya studi kasus.
Jika responden bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar
persetujuan sebagaimana terlampir dalam lampiran 3.
2. Anonymity (tanpa nama)
Anonymity merupakan pemberian jaminan dalam penggunaan subyek
Studi Kasus dengan cara tidak mencantumkan nama responden pada
lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar
pengumpulan data atau hasil studi kasus yang akan disajikan. Pada
studi kasus ini penulis menuliskan dengan inisial nama depan.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Confidentiality merupakan pemberian jaminan hasil studi kasus, baik
informasi maupun masalah-masalah lainnya. Pada studi kasus ini
semua informasi yang dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh
penulis.
4. Ethical Clearance
Ethical clearance atau kelayakan etik adalah keterangan tertulis yang
diberikan oleh Komisi Etik Penelitian untuk riset yang melibatkan
makhluk hidup yang menyatakan bahwa suatu proposal riset layak
49
dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan tertentu. Pada studi
kasus ini ethical clearence bertujuan untuk melindungi subyek
penilitian dari ancaman secara fisik atau psikis atas prosedur
tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
Andarmoyo, S. (2012). Kebutuhan Dasar Manusia (Oksigenasi). Yogyakarta :
Graha Ilmu.
Debora, O. (2013). Proses Keperawatan dana Pemeriksaan Fisik. Jakarta :
Salemba Medika.
Dewi, V. N. L. (2014). Resusitasi Neonatus. Jakarta : Salemba Medika
Dinas Kesehatan Kota Surakarta. (2014). Profil Kesehatan Kota Surakarta.
Tersedia di
http://www.depkes.go.id/resources/dowload/profil/PROFIL_KAB_KOT
A_2014/3372_Jateng_Kota_Surakarta_2014.pdf. Diunduh tanggal 11
Oktober 2018.
Djitowiyono, S. & Kristiyanasari, W. (2010). Asuhan Keperawatan Neonatus dan
Anak. Yogyakarta: Muha Medika
Elmeida, I. K. (2015). Asuhan Kebidanan Neonatus Bayi Balita dan Anak Pra
Sekolah. Jakarta : CV. Trans Info Media.
Haws, P. S. (2013). Asuhan Neonatus Rujukan Cepat. Jakarta : EGC
Hidayat, A. A. (2014). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.
Jakarta : Salemba Medika
Ikatan Ners Indonesia. (2016). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Asfiksia
Neonatorum. Tersedia di https://ikatannersindonesia.wordpress.com/.
Diakses pada tanggal 20 Oktober 2018
Irwanto. (2017). Asfiksia pada Bayi Baru Lahir dan Resusitasi. Tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/319661900_Asfiksia_pada_Ba
yi_Bari_Lahir_dan_Resusitasi. Diunduh pada 10 Oktober 2018
Kozier, B. (2010). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Edisi 5. Jakarta: EGC
Latief, A., Tumbelaka, A. R., Matondang, C. S., Chair, I., Bisanto, J.,
Abdoerachman, M. H., Assin, M. S., Sularyo, T.S. (2014). Pemeriksaan
Klinis Pada Bayi dan Anak. Jakarta : CV. Sagung Seto.
Mendri, N. K., & Prayogi, A. S. (2017). Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit dan
Bayi Resiko Tinggi. Yogyakarta : Pustaka Baru Press
Nurarif, H. A. & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawtan Praktis Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC.
Jogjakarta : Medi Action.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis.
Jakarta : Salemba Medika
Rukiyah, A. Y. (2014). Dokumentasi Kebidanan. Jakarta : CV. Trans Info Media.
Sondakh, J. J. S. (2013). Asuhan Kebidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir.
Jakarta : Penerbit Erlangga
Sudarti, & Fauziah A. (2013). Asuhan Neonatus Risiko Tinggi dan Kegawatan.
Jogjakarta : Nuha Medika
Tarwoto & Wartonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan. Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika
Tim Pokja SDKI DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia. (2016). Standar
Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tuti, R, S. (2014). Karateristik Bayi Baru Lahir dengan Asfiksia Neonatorum.
Tersedia di https://studylibid.com/doc/624080/karakteristik-bayi-baru-
lahir-dengan-asfiksia-neonatorum diakses pada 31 Oktober 2018
Widiani, A., Yuli, K., & Trisna, W. (2016). Faktor Risiko Ibu dan Bayi Terhadap
Kejadian Asfiksia Neonatorum di Bali: Penelitian Case Control. Public
Health and Preventive Medicine Archieve. Vol. 4 No. 2. Tersedia di
https://media.neliti.com/164613-ID_none.pdf diunduh pada 8 oktober
2018
Wong, D. L. (2013). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC.
JADWAL KEGIATAN
NO Jenis
Kegiatan
Tahun 2018-2019
Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
1. Pengajuan
Judul
2. Mencari
sumber
referensi
3. Penyusunan
Proposal
Karya Tulis
Ilimah :
BAB I
BAB II
BAB III
4. Sidang
Proposal :
presentasi
proposal
5. Perijinan
6. Pengumpulan
data
7. Analisis Data
8. Penulisan
Laporan
Hasil :
Penyusunan
Karya Tulis
Ilmiah :
BAB IV
BAB V
9. Uji
sidang/hasil
KTI
Lampiran 1
INFORMED CONSENT
(Persetujuan Menjadi Partisipan)
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa saya telah mendapatkan
penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang akan dilakukan
oleh Aninda Kartikasari dengan judul “Asuhan Keperawatan Kritis dengan
Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi pada Pasien Asfiksia Neonatorum”.
Saya memutuskan setuju untuk ikut berpartisipasi pada penelitian ini secara
sukarela tanpa paksaan. Bila selama penelitian ini saya menginginkan untuk
mengundurkan diri, maka saya dapat mengundurkan sewaktu-waktu tanpa sanksi
apapun.
Klaten, 2019
Mengetahui,
Saksi,
........................................
Yang Memberi Persetujuan
.........................................
Peneliti,
Aninda Kartikasari
NIM: P27220016 006
........................................
Lampiran 3
FORMAT ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Rumah Sakit :
Ruangan :
No. RM :
Tanggal Pengkajian :
1. Identitas
a. Identitas pasien
Nama bayi :
Tanggal lahir :
Jenis kelamin :
Alamat :
Tanggal MRS :
Diagnosa medis :
b. Identitas penanggung jawab
Nama :
Umur :
Pekerjaan :
Hubungan dengan pasien :
Alamat :
2. Keluhan Utama
3. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
a. Riwayat prenatal (kehamilan)
b. Riwayat intranatal (persalinan)
c. Riwayat postnatal ( setelah persalinan)
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
5. Pemeriksaan Khusus (Apgar Score)
Tanda
Nilai Waktu
0 1 2 1’ 5’ 10’
Lampiran 4
A:
Appearance
(color)
Warna
Biru/pucat Tubuh
kemerahan,
ekstremitas
biru
Tubuh dan
Ekstremitas
kemerahan
P: pulse (
heart
rate)
Denyut
nadi
Tidak ada <100x/menit >100x/menit
G:
grimance
Reflek
Tidak ada Gerakan
sedikit
Menangis
A: Activity
Tonus otot
Lumpuh Fleksi
lemah
Gerak aktif
R:
respiration
Usaha
nafas
Tidak ada Lemah,
merintih
Tangisan
kuat
6. Pengkajian Down Score
Nilai 0 1 2
Frekuensi
napas
< 60x/menit 60-80 x/menit >80x/menit
Retraksi Tidak Ada Retraksi ringan Retraksi Berat
Sianosis Tidak Ada Hilang dengan
O2
Menetap dengan
O2
Air Entry Ada Menurun Tidak Terdengar
Merintih Tidak Ada Terdengar dengan
stetoskop
Terdengar tanpa
alat bantu
7. Pemeriksaan Antropometri
8. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan umum
Keadaan umum:
Suhu : 0C
Nadi : x/menit
Pernapasan : x/ menit
b. Pemeriksaan fisik secara sistematis
KEPALA
Kepala : ( ) Bersih ( ) Kotor ( ) Lain-lain
Bentuk kepala : ( ) Normal ( ) Caput suksedanium
( ) Anecephal ( )Hydrocephal
( ) Mikrocephal ( ) Makrocephal
( ) Cephal hematomi
Sutura : ( ) Normal ( )Molage/Moulding ( ) Melebar
MATA
Sclera : ( ) Ikterik ( ) Tidak Ikterik
Conjungtiva : ( ) Anemin ( ) Tidak Anemis
Palpebra : ( ) Edema ( ) tidak edema
Bentuk : ( ) Normal ( ) Menonjol ( ) Cekung
( ) Strabismus ( )Nigtagmus
Perdarahan : ( ) Ada ( ) Tidak ada
HIDUNG
Bentuk : ( ) Simetris ( ) Tidak simetris
Nafas cuping hidung : ( ) Ada ( ) tidak ada
MULUT
Bentuk : ( ) Normal ( ) Labioskisis
( ) Labio palate skisis
Kebersihan : ( ) Bersih ( ) Ada monilia
Luka pada bibir: ( ) Ada ( ) Tidak ada
Lidah : ( ) Kotor ( ) Tidak kotor
LEHER
Glandula thyroidea : ( ) Bengkak ( ) tidak bengkak
Struma ( ) Ada ( ) Tidak ada
Torticolis ( ) Ada ( ) Tidak Ada
DADA
Bentuk : ( )Normal ( ) funnel chest ( ) Barrel chest
Retraksi : ( ) Ada ( ) tidak ada
Clavikula : ( ) Normal ( ) Abnormal, ..................................
Bunyi napas : ( ) Vesikuler ( ) Bronkovesikuler ( )
wheesing ( ) Ronchki
Bunyi jantug : ( ) Normal ( )Rales ( ) Mur-mur
ABDOMEN
Bentuk : ( ) Normal ( ) Skapoid ( ) Distensi
( ) omfalokel
Aukultasi : ( ) Tympani ( ) Hypertympani
Bising usus : tidak terdengar ( ) Ada x/menit
Pwerkusi abdmen : ( )sonor ( )pekak ( ) Lain lain
Tali pusat : ( ) Arteri :..... buah ( ) Vena :.....
( ) Normal ( ) kayu
PUNGGUNG
Bentuk : ( ) Normal ( ) Lordises ( ) Kiposis
( ) Skiliosis
Spina bifida : ( ) Ada ( ) Tidak ada
Meningocele : ( ) Ada ( ) Tidak ada
Dimple : ( ) Ada ( ) Tidak ada
GENETALIA LAKI-LAKI
Penis : ( ) Normal ( ) Hipopadia ( ) Epispadia
( ) Hemaprodite
Skrotum : ( ) Ada ( ) Tidak ada ( ) Godrokel
GENETALIA PEREMPUAN
Labia mayora : ( ) Ada ( ) Tidak ada
Labia minora : ( ) Ada ( ) Tidak ada
Hymen : ( ) Menonjol ( ) tidak menonjol
Hemaprodite : ( ) Ada ( ) Tidak ada
Anus : ( ) Ada ( ) Atresia ani
EKSTREMITAS ATAS DAN BAWAH
Jumlah jari tangan : ( ) Lengkap ( ) Tidak lengkap, .... buah
Jumlah jari kaki : ( ) Lengkap ( ) Tidak lengkap, .... buah
Polidaktili : ( ) Ada ( ) Tidak ada
Paralisis : ( ) Ada ( ) Tidak ada
Fraktur : ( ) Ada ( ) Tidak ada
9. Pengkajian Refleks
10. Pemeriksaan Penunjang
11. Terapi Medis
12. Analisa Data
B. Diagnosa
C. Intervensi
D. Implementasi
E. Evaluasi
Recommended