View
24
Download
5
Category
Preview:
Citation preview
PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
Perdarahan uterus disfungsional merupakan perdarahan pada uterus yang terjadi tanpa
disertai adanya kelainan maupun penyakit, diagnosis didapatkan setelah dieksklusi semua
kemungkinan yang mungkin dapat terjadi. Perdarahan disfungsional terjadi karena adanya
kekacauan pada pola siklus normal dari stimulasi hormon ovulasi pada endometrium. Perdarahan
yang terjadi tidak dapat diprediksi, dapat terjadi secara massif, ringan, berkepanjangan, kadang-
kadang atau secara acak. Kondisi tersebut biasanya berhubungan dengan siklus menstruasi
anovulasi namun dapat juga terjadi pada pasien dengan oligo-ovulasi.
Pemeriksaan abdomen dan pelvis serta kuretase uterus yang adekuat, histeroskopi atau
setidaknya biopsi endometrium sangat penting untuk menyingkirkan penyakit organik pada
uterus. Perdarahan uterus disfungsional paling sering terjadi pada awal dan akhir masa
menstruasi, tetapi dapat terjadi pada usia manapun.
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan perdarahan akut, episode perdarahan
dimasa datang, dan mencegah dampak anovulasi yang serius pada jangka panjang yaitu kanker
endometrium. Pengobatan utama adalah terapi medis meskipun intervensi bedah dibutuhkan
pada sebagian kasus. Jika perdarahan berat, dan / atau berulang, atau pengobatan medis gagal,
maka diperlukan evaluasi ulang.
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Perdarahan uterus disfungsional merupakan perdarahan pada uterus yang terjadi tanpa
disertai adanya kelainan maupun penyakit, diagnosis didapatkan setelah dieksklusi semua
kemungkinan yang mungkin dapat terjadi. Perdarahan disfungsional terjadi karena adanya
kekacauan pada pola siklus poros hormonal hipotalamus-hipofisis-ovarium. Perdarahan pada
umumnya berasal dari endometrium stadium proliferatif. Pada sebagian besar kasus, PUD
berkaitan dengan Siklus ovarium yang anovulasi atau oligoovulasi (PCOS) dan Tingkat kadar
estrogen yang tidak sebanding dengan progesteron
Kebanyakan perdarahan disertai siklus yang anovulatoar dan insidensnya sering pada
masa premenopausal, segera setelah menarche, wanita dengan polikistik ovarian syndrome,
penggunaan kontrasepsi dan congenital hiperplasia. Pada wanita dewasa, siklus menstrual ovulasi
ditandai dengan :
(1) lama siklus yang regular berlangsung antara 21-35 hari.
(2) Disertai dengan gejala-gejala seperti perubahan pada mood, payudara dan dismenorea. (3)
Lama haid sekitar 4-7 hari
(4) Blood loss sekitar 35 ml (perdarahan berulang >80 ml menyebabkan anemia).
Etiologi
Dapat disebabkan gangguan neuromuscular, vasomotor dan hematology.
Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional dengan siklus
pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea). Untuk menegakan diagnosis perdarahan
ovulatoar atau tidak, perlu dilakukan kerokan pada masa mendekati haid. Jika karena perdarahan
yang lama dan tidak teratur siklus haid tidak dikenali lagi, maka kadang-kadang bentuk kurve
suhu badan basal dapat menolong. Jika sudah dapat dipastikan bahwa perdarahan berasal dari
endometrium tipe sekresi tanpa adanya sebab organic, maka harus dipikirkan sebagai etiologi:
1. Korpus luteum persistens.
Dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-kadang bersamaan dengan ovarium
membesar. Sindrom ini harus dibedakan dari kehamilan ektopik karena riwayat penyakit dan
hasil pemeriksaam panggul sering menunjukkan banyak persamaan antara keduanya. Korpus
luteum persistens dapat pula menyebabkan pelepasan endometrium tidak teratur (irregular
shedding). Diagnosis irregular shedding dibuat dengan kerokan yang tepat pada waktunya, yakni
pada hari ke-4 mulainya perdarahan pada waktu ini dijumpai endometrium dalam tipe sekresi di
samping tipe non sekresi.
2. Insufiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting, menoragia atau
polimenorea. Dasarnya ialah kurangnya produksi progesterone disebabkan oleh gangguan LH
releasing factor. Diagnosis dibuat apabila hasil biopsy endometrial dalam fase luteal tidak cocok
dengan gambaran endometrium yang seharusnya didapat pada hari siklus yang bersangkutan.
3. Apopleksia uteri pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh darah dalam
uterus.
4. Kelainan darah, seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan dalam mekanisme
pembekuan darah
Patofisiologi
Pada siklus haid yang normal atau yang berovulasi, perubahan yang dialami
kelenjar-kelenjar, pembuluh darah, dan komponen stroma dari endometrium berturut-
turut terjadi sesuai dengan pengaruh estrogen dan progesteron yang secara teratur dan
bergiliran dihasilkan oleh folikel dan korpus luteum atas pengaruh gonadotropin (FSH
dan LH) yang dihasilkan hipofisis setelah menerima rangsangan faktor-faktor pelepas
gonadotropin dari hipotalamus. Perubahan anatomi dan fungsonal ini dari endometrium
berulang kembali setiap 28 hari yang secara berurutan dapat dibagi ke dalam 5 fase : 1)
fase menstruasi, 2) fase proliferasi, 3) fase sekresi, 4) fase persiapan untuk implantasi,
dan 5) fase kehancuran. Pada perdarahan uterus disfungsional tidak ditemukan kelima
fase ini secara baik dan teratur pada endometrium.
Perdarahan uterus disfungsi dapat terjadi pada siklus ovulatoar, anovulatoar
maupun pada keadaan folikel persisten.
PUD pada siklus anovulatoar
Pada keadaan anovulasi korpus luteum tidak terbentuk, akibatnya siklus haid
dipengaruhi oleh hormon estrogen yang berlebihan dan kurangnya hormon progesteron.
Penyebab pasti dari perdarahan dengan siklus anovulatoar ini belum diketahui,
beberapa kemungkinan yang terjadi bila :
1. Perdarahan pada masa menarche biasanya keadaan ini dihubungkan dengan
belum matangnya fungsi hipotalamus dan hipofisis.
2. Perdarahan pada masa reproduksi sering disebabkan karena gangguan di
hipotalamus sehingga terjadi lonjakan kadar LH sehingga tidak terjadi
ovulasi.
3. Perdarahan yang terjadi pada masa premenopause sering disebabkan karena
kegagalan ovarium dalam menerima rangsangan hormon gonadotropin.
PUD pada siklus ovulatoar
Perdarahan yang terjadi pada siklus ovulatoar berbeda dari perarahan pada suatu
haid yang normal, dan hal ini dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu :
1. Perdarahan pada pertengahan siklus
Perdarahan yang terjadi biasanya sedikit, singkat dan dijumpai pada
pertengahan siklus. Penyebabnya adalah rendahnya kadar estrogen.
2. Perdarahan akibat gangguan pelepasan endometrium.
Perdarahan yang terjadi biasanya banyak dan memanjang. Keadaan ini
disebabkan oleh adanya korpus luteum persisten dan kadar estrogen rendah
sedangkan progesteron terus terbentuk.
3. Perdarahan bercak (spotting) pra haid dan pasca haid.
Perdarahan ini disebabkan oleh insufisiensi korpus luteum, sedangkan pada
masa pasca haid disebabkan oleh defisiensi estrogen, sehingga regenerasi
endometrium terganggu.
PUD pada keadaan folikel persisten
Keadaan ini sering dijumpai pada masa pra menopause dan jarang terjadi pada
masa reproduksi. Pada keadaan ini endometrium secara menetap dipengaruhi oleh
estrogen, sehingga terjadi hiperplasia endometrium, yang bervariasi dari pertumbuhan
yang ringan sampai berlebihan.
Terdapat 3 jenis hiperplasia endometrium yaitu : tipe simpleks, tipe kistik, dan
tipe atipik. Secara histopatologis akan ditemukan penambahan endometrium dari
kelenjar maupun stromanya. Keadaan ini sering menyebabkan keganasan endometrium,
sehingga memerlukan penanganan yang seksama, setelah folikel tidak mampu lagi
membentuk estrogen maka terjadi perdarahan lepas estrogen. Gambaran klinis pada
kelainan jenis ini biasanya mula-mula berupa haid biasa, kemudian terjadi perdarahan
sedikit dan selanjutnya akan diikuti perdarahan yang makin banyak terus menerus
disertai gumpalan.
Gangguan perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional dapat berupa
gangguan panjang siklus, gangguan jumlah dan lamanya perdarahan berlangsung, dan
gangguan keteraturan.
Gangguan panjang siklus umumnya akibat disfungsi hipotalamus dan dapat berupa :
Oligomenorrhoe, yaitu haid jarang, siklus panjang, siklus haid lebih dari 35
hari.
Polymenorrhoe, yaitu haid sering datang, siklus pendek, kurang dari 21 hari.
Gangguan jumlah dan lama perdarahan dapat berupa :
Hypomenorrhoe, yaitu haid yang disertai perdarahan yang ringan dan
berlangsung hanya beberapa jam sampai 1- 2 hari saja.
Hypermenorrhoe (menorrhoe), yaitu haid yang teratur tetapi jumlah darahnya
banyak.
Metrorrhagi, yaitu perdarahan yang tidak teratur dan tidak ada hubungan
dengan haid.
Menometorrhagia, yaitu perdarahan yang berlangsung lebih lama dari 14
hari.
Keadaan lain yang terjadi pada penderita-penderita PUD adalah meningkatnya
aktifitas fibrinolotik pada endometrium. Terjadi peningkatan kadar prostaglandin yaitu
PGF2, PGE2 dan prostasiklin (prostasiklin mengakibatkan relaksasi dinding pembuluh
darah dan berlawanan dengan aktivitas agregasi trombosit sehingga terjadi perdarahan
yang lebih banyak. Peningkatan rasio PGF2, PGE2, mengakibatkan vasodilatasi,
relaksasi miometrium dan menurunnya agregasi trombosit sehingga kehilangan darah
haid lebih banyak.
Mekanisme patofisiologi PUD diatas dapat dilihat dari gambar dibawah ini:
stimulasi estrogen dominan, tidak mendapat perimbangan dan berlangsung terus menerus
proliferasi
penambahan lapisan pembuluh darah dan kelenjar-kelenjar
pertumbuhan endometrium berlebihan akibat stimulasi estrogen
pelepasan endometrium ireguler
Makin tinggi rasio PGF2 : PGE2, terjadinya menoragi dan menometroragi akan meningkat. Perdarahan uterus disfungsional bervariasi antara tiga kelompok umur yaitu masa remaja, usia reproduksi dan perimenopause. Perdarahan pada kelompok remaja dan perimenopause biasanya akibat anovulasi kronik, sedangkan pada kelompok usia reproduksi perdarahan terjadi walaupun siklus haid ovulatoar.
Klasifikasi
a. Perdarahan Uterus Disfungsional pada Usia Remaja
Etiologinya diperkirakan karena disfungsi dari mekanisme kerja hipotalamus –
hipofisis yang mengakibatkan anovulasi sekunder. Pada masa ini ovarium masih
belum berfungsi dengan baik dan pada remaja yang mengalami perdarahan
disfungsional sistem mekanisme siklus feedback yang normal belum mencapai
kematangan. Kenaikan kadar estrogen tidak menyebabkan penurunan produksi FSH
dan oleh karena itu produksi estrogen berjalan terus dan bertambah banyak. Kadar
estrogen yang berfluktuasi dan berlangsung tanpa keseimbangan progesteron
mengakibatkan pertumbuhan endometrium yang berlebihan dan tidak teratur diikuti
oleh pelepasan yang tidak beraturan dari lapisan-lapisan endometrium sehingga
terjadi perdarahan yang beragam baik dalam hal jumlah dan lamanya maupun dalam
hal frekuensi atau panjang siklusnya.
b. Perdarahan Uterus Disfungsional pada Masa Reproduksi
Ada tiga macam perdarahan disfungsional sebagai berikut :
1) Perdarahan teratur siklusnya namun jumlahnya melebihi daripada biasa
(hypermenorrhoe), terjadi pada masa haid, yang mana hal itu sendiri biasa teratur
atau tidak. Perdarahan semacam ini sering terjadi dan haidnya biasanya
anovulasi. Biasanya 90% disebabkan oleh lesi organik dan kadang-kadang bisa
terjadi pada ketegangan psikologi dan pada pemeriksaan histologi endometrium
menunjukkan tanda-tanda pengaruh gestagen yang tidak cukup.
2) Perdarahan berulang atau intermitten yang terjadi di luar siklus haid, misalnya
terjadi pada masa pertengahan antara dua masa haid atau dalam fase post
menstruasi. Yang pertama disebabkan penurunan kadar estrogen akibat peristiwa
ovulasi dan perubahan fungsi folikel de Graff menjadi korpus luteum, dan pada
yang kedua disebabkan oleh involusio yang terlambat atau persistensi dari korpus
luteum yang terus menghasilkan progesteron walaupun dalam kadar yang lebih
rendah beberapa hari setelah proses degenerasi pada endometrium dimulai
sehingga perdarahan endometrium yang terjadi bisa banyak sekali
hypermenorrhoe yang demikian bisa juga terjadi disebabkan produksi
progesteron yang tidak mencukupi oleh korpus luteum dan perdarahan telah
dimulai sehingga beberapa hari sebelum haid (perdarahan premenstruasi).
3) Yang jarang adalah episode perdarahan yang cukup banyak yang terjadi pada
sembarang waktu dalam siklus haid dan tidak disertai ovulasi. Penyebabnya
belum jelas, tetapi keadaan kongesti lokal dalam pelvis misalnya oleh karena
kurang gerak badan, rangsangan seksual yang tidak memuaskan. Akibat
disharmoni dan ketidakbahagiaan pernikahan dan pengaruh psikologis, semuanya
dapat menjadi faktor predisposisi bagi terjadinya disfungsi ovarium yang pada
akhirnya bisa menyebabkan produks estrogen terganggu sedemikian rupa dan
jauh melebihi kadar ambang proliferasi. Kadar estrogen yang jauh daripada kadar
ambang ini bisa menyebabkan perdarahan pada endometrium.
c. Perdarahan Uterus Disfungsional pada Masa menjelang menopause.
Beberapa tahun menjelang menopause fungsi ovarium mengalami kemunduran
karena secara histologi di dalam korteks ovarium hanya tersisa sedikit jumlah folikel
primordial yang resisten terhadap gonadotropin. Sekalipun terus terangsang oleh
gonadotropin akan tetapi folikel tersebut tidak akan mampu menghasilkan jumlah
estrogen yang cukup. Kekurangan estrogen yang berkelanjutan pada akhirnya akan
menuju pada kemunduran peristiwa-peristiwa yang fungsinya bergantung pada
kecukupan estrogen seperti ovulasi, menstruasi, kekuatan jaringan vagina dan vulva.
Masa ini dikenal dengan masa klimaterium. Dalam periode ini timbullah gejala-gejala
kekurangan estrogen seperti hypermenorrhoe dan haid yang tidak teratur. Namun, tidak
semua wanita akan mengalami kekurangan estrogen dalam masa ini bahkan sebaliknya
dapat juga mengalami kelebihan estrogen bebas yang beredar, karena dalam masa ini
terjadi kekurangan globulin pengikat hormon kelamin sementara kelenjar adrenal masih
tetap menghasilkan estrogen.
Diagnosa Banding
1. Kelainan organik genitalia seperti mioma uteri terutama mioma submukosa, polip
endometrium, endometriosis, salpingo-oophoritis, ca serviks dan sebagainya.
2. Penyakit – penyakit atau konstitusional seperti infeksi akut, sirosis hepatitis,
hipertensi, penyakit kardiovaskular, trombositopeni, gangguan pembekuan darah
atau terapi antikoagulansia, tumor-tumor pada sistem limfe, hematopoiesis, dan
retikuler.
3. Kontrasepsi baik hormonal maupun mekanik seperti alat kontrasepsi dalam rahim.
4. Hormone replacement therapy khususnya pemakaian estrogen pada pengobatan
pasca menopouse.
5. Gangguan psikosomatis seperti disharmoni dalam pernikahan dan ketidakpuasan
seksual.
Diagnosis
Langkah pertama adalah menyingkirkan kelainan organik. Pada anamnesis,
perlu diketahui usia menarche, siklus haid setelah menarche, lama dan jumlah darah
haid, serta latar belakang kehidupan keluarga dan latar belakang emosional.
Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya hipo / hipertiroid dan gangguan
hemostatis seperti petekie. Pemeriksaan ginekologi dilakukan untuk menyingkirkan
adanya kelainan organik seperti perlukaan genitalia, erosi / radang atau polip serviks
maupun mioma uteri.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pengukuran suhu basal badan atau
pemeriksaan hormon FSH dan LH.
Penyebab organik
Penyakit traktus reproduktif
Komplikasi kehamilan
Keganasan
Infeksi
Lesi pada pelvik yang jinak
Penyakit sistemik
Gangguan pembekuan
Hipotiroid
Sirosis hepatis
Penyakit iatrogenik
Steroid
AKDR
obat-obat penenang.
Manifestasi klinis
Perdarahan uterus disfungsional dapat dikatakan memiliki manifestasi khusus,
yaitu kejadiannya tidak dapat diramalkan dan biasanya tidak menimbulkan rasa nyeri,
perdarahan dapat sangat banyak, berlangsung lama setelah interval amenore atau berupa
perdarahan yang betul-betul tidak teratur dan timbul lebih sering. Biasanya keadaan ini
berhubungan dengan infertilitas.
Perdarahan uterus disfungsional dapat diklasifikasikan menurut penyebab
kelainan hormonal, yaitu :
1. Perdarahan sela estrogen /Estrogen breakthrough bleeding
Akibat stimulasi yang terus menerus pada endometrium oleh estrogen yang sangat
dominan. Keadaan ini umumnya terjadi pada masa remaja dan perimenars, pada
masa perimenopause dan wanita dengan obesitas akibat produksi estrogen yang
berlebihan. Jika kadar estrogen terus menerus rendah masa efek stimulasi pada
endometrium berakibat perdarahan intermitten dan berlangsung lama. Namun jika
kadar estrogen tinggi, maka perdarahan terjadi tiba-tiba dan sangat banyak.
2. Perdarahan sela progestin
Terjadi bila terdapat perubahan rasio progesteron : estrogen yang menjadi sangat
tinggi. Permukaan endometrium tidak terorganisir (susunannya tidak stabil) sehingga
perdarahan dapat mudah terjadi dari jaringan vaskuler yang mengalami proliferasi di
bawah pengaruh estrogen pada awal siklus. Sifat progesteron adalah menimbulkan
perubahan pada arteri-arteri menjadi bentuk spiral dan saat kadarnya menurun terjadi
kontriksi dinding-dinding pembuluh darah. Namun jika kadar progesteron tetap
bertahan maka vasokontriksi dan iskemia membrana basalis tidak terjadi dan
perdarahan berlangsung terus. Contoh terbaik dalam hal ini adalah pada pemakaian
pil yang hanya mengandung progestin saja. Perdarahan menjadi lebih lama dan
bervariasi dari bentuk perdarahan bercak sampai ringan yang berfluktuasi tanpa pola
tertentu. Menurut penelitian, pada wanita-wanita muda yang mendapat DMPA
dalam 2 minggu pasca persalinan mengalami perdarahan sedang dan terus menerus
sampai saat kontrol 6 minggu pasca persalinan. Hal ini menjadi contoh yang baik
dari hilangnya dukungan jaringan vaskuler pada endometriumn. Karena itu sesuai
modul kontrasepsi, pemberian estrogen disini bersifat diagnostik dan terapeutik.
3. Perdarahan lucut estrogen
Perdarahan ini terjadi bila sumber estrogen tiba-tiba dihentikan. Misalnya pasca –
ooforektomi dan penghentian terapi hormon pengganti secara tiba-tiba. Jaringan
endometrium akan mulai dikeluarkan sebagai akibat berhentinya suplai estrogen.
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan harus difokuskan untuk mengidentifikasi tanda-tanda penyebab
lain dari perdarahan. Sindroma Ovarium Polikistik (SOP) dapat ditentukan karena
gejalanya sangat jelas, sedangkan adanya anovulasi kronik tidak menunjukkan tanda
yang jelas.
Obesitas, SOP, disfungsi H-P dan hipotiroidisme (menometroragi)
Kelebihan hormon androgen
Tumor ovarium/adrenal-Virilisme (klitoromegali, kebotakan daerah
frontal, fisik maskulin)
SOP, Hirsutisme, jerawat.
Memar-memar – koagulopati
Galaktore – peningkatan prolaktin singkirkan kemungkinan adanya adenoma
hipofise.
Pembesaran uterus. Kemungkinan hamil, tumor atau miom.
Adanya masa pada adneksa
SOP Bilateral
Unilateral. Kemilan ektopik, tumor sel teka atau tumor granulosa yang
mengeluarkan estrogen.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium ini harus sudah terarah sesuai dengan hasil
pemeriksaan fisis dan anamnesis karena biayanya sangat mahal.
1. Tes kehamilan harus dilakukan.
2. PAP tes : untuk mencari displasia; kemungkinan STD harus selalu dicari.
3. Htung jenis leukosit, menentukan derajat perdarahan apakah berupa hematom atau
hanya memar saja.
4. Fungsi koagulasi, bila ada memar-memar.
5. Fungsi tiroid, hati, glukosa, dan sistem endokrin yang mungkin berinteraksi dan
mengakibatkan perdarahan.
6. Pemeriksaan kadar hormon steroid:
DHEA dari ovarium dan adrenal
DHEA-S adrenal
LH/FSH rendah atau normal _ disfungsi poros H-P
LH tinggi, FSH rendah – SOP
FSH/LH tinggi, postmenopause, kegagalan prematur fungsi ovarium poros H-P
atau kegagalan prematur fungs ovarium.
Prolaktin tinggi pikirkan adenoma hipofise atau hipotiroidisme.
Progesteron midluteal.
7. Biopsi endometrium
Singkirkan kanker pada wanita dengan riwayat PUD > 1 tahun dan onset pada
perimenopause.
8. USG, singkirkan adanya massa, gambaran hiperplasia.
Penatalaksanaan
Pengelolaan terhadap PUD dapat dilaksanakan dengan pemberian obat-obatan
atau dengan pembedahan/operasi. Cara pengelolaannya tergantung dari : usia penderita,
jumlah perdarahan, kadaan umum dan keberhasilan terapi yang diberikan sebelumnya.
Sebelum memberikan terapi atau pengobatan terhadap pasien, perlu
diperhatikan faktor-faktor berikut :
1. Usia pasien.
2. Perdarahan kuantitas, durasi
3. Kemungkinan kondisi patologik organik (kehamilan, tumor, infeksi, penyakit
sistemik).
4. Keinginan hamil di kemudian hari.
Obat-obatan
Terdapat tiga golongan obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan PUD
yaitu : hormonal; nonsteroidal antiinflammatory agents (NSAIDs) dan antifibrinolitik.
Hormonal
Tujuan terapi hormonal adalah menghentikan perdarahan yang masif akibat
pertumbuhan endometrium yang cepat. Sebagai contoh pil kontrasepsi oral digunakan
untuk menstabilkan endometrium secara cepat dan progestin mempertahankan keadaan
ini sampai keduanya dihentikan pada akhir kemasan pil. Terapi hormonal yang
digunakan terdapat dalam tabel, termasuk : danazol, GnRH agonis, estrogen dosis
tunggal, pil kontrasepsi oral dan progestin.
Nonsteroidal antiinflammatory agents (NSAID)
Mekanisme kerja NSAID ini adalah menghambat biosintesis dari siklik
endoperoksid yang mengubah asam arakhidonat menjadi prostaglandin . Target primer
dari penghambatan ini adalah prostasiklin sehingga tidak satupun NSAID berefek hanya
pada satu komponen. Secara keseluruhan NSAID menghambat produksi
siklooksigenase sehingga menurunkan konsentrasi prostasiklin dan tromboksan. Perlu
diingat bahwa perdarahan yang timbul karena prostasiklin merelaksasi pembuluh darah
dan menghambat agregasi trombosit. Dengan menghambat prostasiklin, perdarahan
endometrium dapat diatasi. NSAID lebih efektif bila digunakan bersama dengan pil
kontrasepsi oral, keduanya dapat mengurangi PUD sampai lebih dari 50%. Keduanya
digunakan sesegera mungkin saat haid mulai. Pada regimen terbaru penggunaan
NSAIDs dalam 24-48 jam menjelang haid dapat mengurangi perdarahan.
Antifibrinolitik
Kelompok ini mekanisme kerjanya menghambat fibrinolisis dan digunakan
dalam mengatasi perdarahan. Antifibrinolitik bekerja pada pembuluh darah endo-
metrium, membersihkan darah haid yang tidak membeku. Cycloapron (asam
transeksamat) dan Amicar (asam aminokaproat) sering digunakan. Seperti NSAIDs
keduanya lebih efektif bila digunakan dengan pil kontrasepsi oral dengan efektifitas
melebihi 50%. Penelitian membuktikan bahwa semakin banyak darah hilang, maka
semakin efektif antifibrinolitik. Efek samping yang timbul : nausea, pusing, diare, sakit
kepala, nyeri perut, dn trombosis sistemik sehingga penggunaan secara rutin dicegah.
Beberapa jenis obat/preparat hormon yang digunakan untuk penanganan PUD terlihat di
bawah ini :
Danazol 200-800 mg qd Steriol androgenik
Menghambat ovulasi dan menyebabkan atropi endometrium
Efek samping : penambahan berat badan. Jerawat, turunya libido.
Penyesuaian dosis dapat mengurangi efek samping, biasanya tidak mempengaruhi perdarahan jika terkontrol pada dosis tinggi.
GnRH
Estrogen dosis tinggi*
Depot 3,75 mg
Konstan, kadar tinggi; E2
200 mcg EE untuk 5-7 hari
Menghambat pelepasan gonadotropin dengan meningkatkan kadar GnRH tetap tidak ada produksi.
Menimbulkan amenore, gejala menopause Estrogen atau progestin add back mengurangi efek samping menopause dan keropos tulang.
Perdarahan berhenti dalam 12 – 24 jam kemudian.
Estrogen dosis rendah* (Pil kontrasepsi oral)
Berisi EE 1 pil qd selama 5 hari
Menghentikan perdarahan dan interval tanpa perdarahan untuk pertumbuhan endometrium.
Dapat terjadi perdarahan banyak dengan nyeri dalam 2-4 hari terapi.
Kedua estrogen tersebut lebih nyaman, tetapi kurang efektif dibandingkan dengan estrogen konjugasi.
Estrogen konjugasi (premarin)
Progestin **
(MPA)
Premarin kronis 10-20 mg qd selama 14-21 hari.
Perdarahan akut : 25 mg IV q 4 jam sampai perdarahan berhenti, kemudian E2 1,25 mg/MPA 10 mg qd kali per minggu.
10 mg po per 12 hari per bulan
Supresi disfungsional FSH/LH, E2/P4 dan menimbulkan siklus buatan.
Menghentikan perdarahan dengan segera.
Perdarahan lucut yang timbul dapat ditoleransi.
Digunakan tunggal.
MPA digunakan untuk wanita dengan kontra indikasi pemakaian estrogen.
OperatifTindakan operatif dilaksanakan bila terapi konservatif gagal, tindakan operatif
ini bukan saja sebagai terapi tetapi juga dibutuhkan untuk diagnosis.
Dilatasi dan Kuretase (D&K)
Tujuan dari D&K pada kasus PUD adalah menghilangkan jaringan yang akan
ber-proliferasi sehingga akan berfungsi normal. Walaupun demikian D&K merupakan
upaya kuratif pada sebagian kecil penderita dengan PUD yang kronis. Yang harus
diingat bahwa prosedur ini hanya menghilangkan efek dari penyakit dan bukan
menangani secara kausatif. Pada perdarahanyang akut D&K cukup cepat dan efektif
dalam menghentikan perdarahan dan menjaga hemodinamik, sehingga untuk wanita
usia > 35 tahun D&K dapat memberikan informasi ada atau tidaknya displasia. Oleh
karena itu D&K dapat diterapkan pada penderita dengan perdarahan akut, hipopolemi
dan usia tua.
Ablasi Endometrium
Tujuan dari cara ini adalah untuk menghancurkan sebagian atau seluruh lapisan
basal dari endometrium. Dapat terjadi infertilitas, oleh karena itu cara ini diterapkan
pada wanita yang mempunyai cukup anak. Tindakan ablasi dilakukan pada penderita
rawat jalan dengan fotovaporasi endometrium, reseksi dengan menggunakan cutting
loop atau roller-ball dengan menggunakan histeroskop. Terapi supresif diberikan untuk
mengurangi perdarahan, mengurangi kejadian ablasi terlalu dalam sampai ke
miometrium dan memperbaiki lapang pandang pada saat ablasi. Supresi pasca-operasi
juga dilakukan untuk mengontrol perdarahan pasca-operasi. Angka kegagalan rendah
yaitu kurang dari 90%. Jika perdarahan tidak berhenti dipertimbangkan untuk
melakukan histerektomi.
Histerektomi
Tindakan histerektomi dilakukan pada penderita yang mengalami perdarahan
hebat yang berulang atau pada kegagalan tindakan ablasi endometrium. Dahulu
histerektomi lebih sering dilakukan, tetapi dengan keberhasilan terapi medikamentosa
dan tindakan operatif pada penderita rawat jalan seperti ablasi maka insidensi
histerektomi menurun pada wanita muda. Akan tetapi apabila histerektomi merupakan
pilihan utama, terapi supresif pre operatif dilakukan untuk mengurangi perdarahan dan
lebih memudahkan prosedur.
Preparat hormonal yang digunakan untuk terapi supresif ablasi endometrium dan
histerektomi tertera di bawah ini.
Obat Dosis
DMPA
(depoprover
a)
150-400 mg IM Diberikan 4-8 minggu preop.
Menyebabkan perlunakan pada
desidua dan penebalan endometrium,
sehingga kurang cocok untuk ablasi
Danazol 600-800 mg po qd Diberikan 3-9 minggu preop.
Biasanya terjadi atrofi, tetapi kadang
dengan penipisan lapisan basal yang
tidak konsisten Endometrium menjadi
edem.
GnRH
Agonis
Depot
Lupron
Depot 7,5 mg sq
diikuti dalam 4
minggu kemudian
dengan 3,75 mg sq
Dengan pemberian depot, ablasi
dilaksanakan 2-4 minggu setelah
injeksi terakhir.
Untuk histerektomi, dosis 7,5 mg
diberikan dan responnya dievaluasi 6-
8 minggu. Dosis kedua dapat
diberikan.
Lupron
(setiap hari)
Harian : 0,5 mg sq
qd untuk 4-6
minggu konstan
Supresi konsisten
Endometrium atropi secara
menyeluruh.
Prognosis
Prognosis dari kasus-kasus PUD belum jelas dapat dikemukakan karena
informasi yang jelas mengenai hal tersebut masih sangat sedikit dan belum didasarkan
pada penilaian jumlah keluarnya perdarahan secara objektif. Suatu PUD yang terjadi
satu periode pada masa remaja mungkin mempunyai prognosis yang lebib baik
dibandingkan dengan PUD dengan beberapa episoda, terutama dikaitkan dengan
kemungkinan terjadinya perubahan pola haid yang persisten (30-80%), seringnya
dilakukan kuretase (40-55%), anemi (30%), perlunya terapi hormonal (40%),
kemungkinan terjadinya infertilitas (45-55%), laparotomi untuk kista ovarium (10-30%)
atau bahkan terjadinya karsinoma endometrium jika keadaan PUD tersebut tidak
ditangani secara adequat (1-2%) (Southam, 1959; Southam & Richart, 1966). Prognosis
ini jelas akan sangat buruk jika terjadi hipertropi glandular kistik, sehingga jika seorang
remaja datang dengan PUD yang berulang,kuretase merupakan suatu indikasi atau
tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan.
BAB III
KESIMPULAN
Perdarahan uterus disfungsional merupakan perdarahan pada uterus yang terjadi tanpa
disertai adanya kelainan maupun penyakit, diagnosis didapatkan setelah dieksklusi semua
kemungkinan yang mungkin dapat terjadi. Perdarahan disfungsional terjadi karena adanya
kekacauan pada pola siklus poros hormonal hipotalamus-hipofisis-ovarium. Perdarahan pada
umumnya berasal dari endometrium stadium proliferatif. Pada sebagian besar kasus, PUD
berkaitan dengan Siklus ovarium yang anovulasi atau oligoovulasi (PCOS) dan Tingkat kadar
estrogen yang tidak sebanding dengan progesteron
Pemeriksaan abdomen dan pelvis serta kuretase uterus yang adekuat, histeroskopi atau
setidaknya biopsi endometrium sangat penting untuk menyingkirkan penyakit organik pada
uterus. Perdarahan uterus disfungsional paling sering terjadi pada awal dan akhir masa
menstruasi, tetapi dapat terjadi pada usia manapun.
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan perdarahan akut, episode perdarahan
dimasa datang, dan mencegah dampak anovulasi yang serius pada jangka panjang yaitu kanker
endometrium. Pengobatan utama adalah terapi medis meskipun intervensi bedah dibutuhkan
pada sebagian kasus. Jika perdarahan berat, dan / atau berulang, atau pengobatan medis gagal,
maka diperlukan evaluasi ulang.
DUB pada remaja disebabkan oleh immaturitas hipothalamus dan pituitary, dan siklus
menstruasi mungkin anovulatorik. Pada gadis remaja, penyakit organik jarang terjadi dan DUB
biasanya membaik secara spontan. Itulah sebabnya mengapa ditatalaksana secara konservatif dan
kuretase sering ditunda.
Pada pertengahan usia reproduksi ( 20 – 39 tahun ), penyakit organik jinak sering terjadi,
dan kuretase biasanya dilakukan untuk menyingkirkan penyulit kehamilan dan penyakit lainnya.
Terapi konservatif biasanya diindikasikan,
DAFTAR PUSTAKA
1. Achadinat, C. Obstetri dan Ginekologi : EGC, Kediri. 2004.
2. Brenner PF. 1996; Differential diagnosis of abnormal uterine bleeding. Am J Obstet
Gynecol; 175;766-69.
3. Chalik, TMA. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginetologi, 1997. Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Syah Kuala,1996.
4. Fraser IS. 1985; “Dysfunctional “ Uterus. Dalam : Shearman RP (penyunting)
Clinical reproductive endocrinology. Edinburg, London, Melbourne,New York; 579-
98.
5. Ginekologi : bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Bndung. Bandung, 1981.
6. Perlmen, S., Herbweck, P : Clinical Potocols in Pediatric and Adolescent
Ginecology. 2004; 57 – 64.
7. Supriyadi, T ; Gunawan. J: Perdarahan Uterus Disfungsional. Dalam : Supriyadi, T.
Gunawan. J. Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi : EGC. 2001. 469 – 474.
8. Yunizaf : Perdarahan Uterus Disfungsional. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran
Edisi ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2001 : 375 – 376.
Recommended