View
218
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
1
www.parlemen.net
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN ….
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan
negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan;
b. bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip
negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu mengatur tentang
pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi;
d. bahwa fungsi pengawasan terhadap hakim sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi harus
disesuaikan dengan fungsi pengawasan oleh Komisi Yudisial;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c dan huruf d perlu membentuk Undang- Undang tentang
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
2
www.parlemen.net
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi;
Mengingat:
1. Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24C, dan Pasal
25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor … Tahun … tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun …. Nomor …, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia ….);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), diubah sebagai berikut:
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
3
www.parlemen.net
1. Ketentuan pasal 1 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 1
1. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disebut
DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Hakim adalah hakim agung pada Mahkamah Agung dan hakim pada
badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung serta hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
6. Lingkungan Peradilan adalah badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara, serta pengadilan
khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.
7. Hari adalah hari kerja
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
4
www.parlemen.net
2. Ketentuan pasal 2 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 2
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab untuk
menyelenggarakan peradilan dalam memutus perkara sesuai dengan tugas
dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
3. Ketentuan Pasal 4 ayat (3) diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap
anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang
anggota hakim konstitusi.
(3) Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa
jabatan selama 5 (lima) tahun.
(4) Sebelum Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi terpilih
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat pemilihan Ketua dan Wakil
Ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua
usianya.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan Ketua dan Wakil Ketua
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Mahkamah
Konstitusi.
4. Ketentuan Pasal 10 dihapus.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
5
www.parlemen.net
5. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi seorang calon harus
memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Sehat jasmani dan rohani;
d. tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
e. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat
pengangkatan;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun
atau lebih;
g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
h. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya
15 (lima belas) tahun.
(1) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengajuan
calon hakim konstitusi harus memenuhi persyaratan administrasi dengan
menyerahkan:
a. surat pernyataan tentang kesediaannya untuk menjadi hakim
konstitusi;
b. daftar riwayat hidup;
c. salinan ijazah asli yang telah dilegalisasi dengan menunjukkan
aslinya;
d. daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan dan penjelasannya
disertai dengan dokumen pendukung yang sah; dan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
6
www.parlemen.net
e. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan bukti pembayaran pajak
penghasilan 2 (dua) tahun terakhir.
6. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 21
(1) Sebelum memangku jabatannya, hakim konstitusi mengucapkan sumpah
atau janji menurut agamanya dihadapan Presiden di Istana Negara,
yang dirumuskan sebagai berikut :
Sumpah hakim konstitusi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban
hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan
selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa”
Janji hakim konstitusi:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan
dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan
bangsa”
(2) Sebelum memangku jabatannya, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Konstitusi mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya
dihadapan Presiden di Istana Negara, yang dirumuskan sebagai berikut :
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
7
www.parlemen.net
Sumpah Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:
“Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban
Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-
undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan
bangsa”
Janji Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi:
“Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh-sungguh akan memenuhi
kewajiban Ketua/Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dengan sebaik-
baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala
peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta
berbakti kepada nusa dan bangsa”
7. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada
Ketua Mahkamah Konstitusi;
c. telah berusia 65 (enam puluh lima) tahun;
d. telah berakhir masa jabatannya;
e. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus yang dibuktikan
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
8
www.parlemen.net
dengan surat keterangan dokter pemerintah.
(2) Hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat apabila:
a. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya
selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16.
(3) Permintaan pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f & huruf g
dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela
diri di hadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
(4) Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden
atas permintaan Komisi Yudisial.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi diatur dalam peraturan
Mahkamah Konstitusi, yang unsurnya terdiri atas 2 (dua) hakim
konstitusi, 2 (dua) anggota Komisi Yudisial dan 3 (tiga) orang dari unsur
masyarakat, profesi dan akademisi.
8. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 29
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
9
www.parlemen.net
pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi melalui
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi;
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud. pada ayat (1) ditandatangani oleh
pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap.
(3) Disamping diajukan dalam bentuk tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), permohonan juga diajukan dalam format digital yang disimpan
secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram pada
(compact disc) atau yang serupa dengan itu.
9. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 31
(1) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. identitas pemohon, yang meliputi:
1) Nama;
2) Tempat tangga/lahir/ umur;
3) Agama;
4) Pekerjaan;
5) Alamat Lengkap;
b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, dan hal-hal yang diminta
untuk diputus.
(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut.
10. Ketentuan Pasal 32 disisipkan 3 ayat, yakni ayat (1a), ayat (1b), dan ayat
(2a) sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
10
www.parlemen.net
Pasal 32
(1) Terhadap setiap permohonan yang diajukan, Panitera Mahkamah
Konstitusi melakukan pemeriksaan kelengkapan permohonan.
(1a) Proses pemeriksaan kelengkapan administrasi permohonan
bersifat terbuka yang dapat diselenggarakan melalui forum
konsultasi oleh Pemohon dengan Panitera Mahkamah Konstitusi.
(1b) Petugas Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa
kelengkapan alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31
sekurang-kurangnya berupa:
a. bukti identitas diri pemohon;
b. bukti surat atau tulisan yang berkaitan denganalasan
permohonan;
c. daftar calon ahli dan/atau saksi disertai pernyataan singkat
tentang hal-hal yangakan diterangkan terkait dengan alasan
permohonan, serta pernyataan bersedia menghadiri
persidangan, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan
ahli dan/atau saksi;
d. daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang
disimpan dalam atau dikirim melalui media elektronik, bila
dipandang perlu.
(2) Permohonan yang belum memenuhi kelengkapan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 31 ayat (1) huruf a dan ayat
(2), wajib dilengkapi oleh pemohon dalam jangka waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pemberitahuan
kekuranglengkapan tersebut diterima pemohon.
(2a) Apabila berkas permohonan dinilai telah lengkap, berkas
permohonan dinyatakan diterima oleh Panitera Mahkamah
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
11
www.parlemen.net
Konstitusi dengan memberikan Akta Penerimaan Berkas
Perkara kepada pemohon.
(3) Permohonan yang telah memenuhi kelengkapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2a) dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi.
(4) Dalam hal kelengkapan permohonan tidak dipenuhi dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada . ayat (2), maka Panitera
Mahkamah Konstitusi menerbitkan akta yang menyatakan bahwa
permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi dan diberitahukan kepada Pemohon disertai
dengan pengembalian berkas permohonan.
(5) Permohonan diajukan tanpa dibebani biaya perkara.
11. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 33
(1) Buku Registrasi Perkara Konstitusi memuat antara lain catatan
tentang kelengkapan administrasi dengan disertai pencantuman nomor
perkara, tanggal penerimaan berkas permohonan, nama pemohon,
dan pokok perkara.
(2) Panitera memberikan akta sebagai bukti pencatatan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Mahkamah menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan
Presiden melalui surat yang ditandatangani Panitera untuk diketahui,
dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
(4) Penyampaian salinan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (3)
disampaikan oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita acara
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
12
www.parlemen.net
penyampaian.
(5) Dalam hal permohonan yang telah dicatat dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi dan dilakukan penarikan kembali oleh Pemohon.
maka Panitera menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi permohonan
yang telah diajukan Pemohon dan diberitahukan kepada Pemohon
disertai dengan pengembalian berkas permohonan.
12. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 34
(1) Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada
Ketua Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan susunan Panel Hakim
yang memeriksa perkara tersebut, setelah terlebih dahulu Panitera
menetapkan Panitera Pengganti.
(2) Ketua Panel Hakim menetapkan hari sidang pertama dalam jangka
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan
dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
(3) Penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diberitahukan kepada Pemohon, Termohon dan pihak terkait serta
diumumkan kepada masyarakat.
(4) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilakukan
dengan menempelkan pada papan pengumuman yang khusus dibuat
untuk itu dan dalam sebuah situs/website serta disampaikan kepada
media cetak dan elektronik.
(5) Pemberitahuan penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), harus sudah diterima oleh para pihak yang berperkaradalam
jangka waktu 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
13
www.parlemen.net
13. Diantara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35 A,
sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Bagian Keempat
Alat Bukti
Pasal 35 A
(1) Pembuktian dibebankan kepada Pemohon.
(2) Majelis hakim dapat meminta kepada pihak lainnya untuk memberikan
keterangan dan/atau mengajukan alat bukti lainnya.
14. Diantara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A
sehingga dirumuskan sebagai berikut.:
Pasal 39 A
(1) Dalam pemeriksaan pendahuluan, Hakim memeriksa kelengkapan dan
kejelasan materi permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah,
kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, dan pokok permohonan.
(2) Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) Hakim wajib
memberi nasihat kepada Pemohon dan/atau kuasanya untuk
melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari.
(3) Nasihat sebagaimana dimaksud ayat (2) juga mencakup hal-hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan.
(4) Dalam hal Hakim berpendapat bahwa permohonan telah lengkap dan
jelas, dan/atau telah diperbaiki sesuai dengan nasihat dalam sidang
panel, Panitera menyampaikan salinan permohonan dimaksud kepada
Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. .
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
14
www.parlemen.net
(5) Dalam hal pemeriksaan pendahuluan telah dilakukan oleh Panel
Hakim, Panel yang bersangkutan melaporkan hasil pemeriksaan dan
memberikan rekomendasi kepada Rapat Pleno Permusyawaratan
Hakim untuk proses selanjutnya.
(6) Dalam laporan panel sebagaimana dimaksud ayat (5) termasuk pula
usulan penggabungan pemeriksaan persidangan terhadap beberapa
perkara dalam hal:
a. memiliki kesamaan pokok permohonan;
b. memiliki keterkaitan materi permohonan atau;
c. pertimbangan atas permintaan Pemohon;
(7) Pemeriksaan penggabungan perkara dapat dilakukan setelah
mendapat Ketetapan Ketua Mahkamah;
15. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 41
(1) Dalam pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40, hakim konstitusi memeriksapermohonan beserta alat bukti yang
diajukan.
(2) Pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pemeriksaan pokok permohonan;
b. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;
c. mendengarkan keterangan Para Pihak yang berperkara;
d. mendengarkan keterangan saksi;
e. mendengarkan keterangan ahli;
f. mendengarkan keterangan Pihak Terkait;
g. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan,
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
15
www.parlemen.net
dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang
dapat dijadikan petunjuk;
h. pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
(3) Pihak-pihak yang dipanggil oleh Hakim Konstitusi untuk memberikan
keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib hadir.
(4) Atas permintaan Hakim, keterangan yang terkait dengan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c sampai dengan huruf 9
wajib disampaikan baik berupa keterangan tertulis, risalah rapat,
dan/atau rekaman secara elektronik, dalam jangka waktu selambat-
Iambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan
dimaksud.
16. Diantara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 42A,
Pasal 428 dan Pasal 42C yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 42 A
(1) Saksi dapat diajukan oleh Para Pihak yang berperkara, Pihak Terkait,
atau dipanggil atas perintah Mahkamah Konstitusi.
(2) Pemeriksaan saksi dimulai dengan menanyakan identitas (nama,
tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, dan alamat) saksi dan
kesediaannya diambil sumpah atau janji berdasarkan agamanya untuk
menerangkan apa yang didengar, dilihat, dan dialaminya sendiri.
Pasal 42 B
(1) Ahli dapat diajukan Para Pihak yang berperkara, Pihak Terkait, atau
dipanggil atas perintah Mahkamah Konstitusi.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
16
www.parlemen.net
(2) Keterangan ahli yang dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah
Konstitusi adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang tidak
memiliki kepentingan yang bersifat pribadi (conflict of interest) dengan
subjek dan/atau objek perkara yang sedang diperiksa.
(3) Pemeriksaan ahli dimulai dengan menanyakan identitas (nama, tempat
tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, dan alamat) dan riwayat hidup
serta keahliannya; dan ditanyakan pula kesediaannya diambil sumpah
atau janji menurut agamanya untuk memberikan sesuai dengan
keahliannya.
(4) Pemeriksaan ahli dalam bidang keahlian yang sama yang diajukan oleh
pihak-pihak dilakukan dalam waktu yang bersamaan.
Pasal 42 C
(1) Pemeriksaan terhadap pihak terkait dilakukan dengan mendengar
keterangan yang berkaitan dengan pokok permohonan
(2) Pihak Terkait yang mempunyai kepentingan langsung dapat diberikan
kesempatan untuk:
a. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis;
b. mengajukan pertanyaan kepada ahli dan/atau saksi;
c. mengajukan ahli dan/atau saksi sepanjang berkaitan dengan hal-
hal yang dinilai belum terwakili dalam keterangan saksi yang telah
didengar;
d. keterangannya dalam persidangan;
e. menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis.
17. Di antara Pasal 44 dan Pasal 45 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 44A
sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
17
www.parlemen.net
Pasal 44 A
(1) Apabila dipandang perlu, pemeriksaan persidangan dapat diikuti dengan
pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi yang
ditunjuk dengan didampingi oleh Panitera dan/atau Panitera Pengganti
serta dapat pula disertai Para Pihak yang berperkara; dan Pihak Terkait
yang hasiinya disampaikan dalam persidangan.
(2) Pemeriksaan setempat bertujuan untuk memperoleh petunjuk
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 36 ayat (1) huruf e.
(3) Segala biaya yang timbul dalam pemeriksaan setempat dibebankan
kepada masing-masing pihak.
18. Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni; Pasal 45A
yang dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 45 A
Mahkamah Konstitusi tidak boleh memutus perkara melebihi dari apa yang
diminta Pemohon sebagaimana dalam surat permohonannya.
19. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 48
(1) Mahkamah Konstitusi memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Setiap putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat:
a. kepala putusan dirumuskan: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. identitas pihak;
c. ringkasan permohonan yang telah diperbaiki;
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
18
www.parlemen.net
d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
g. amar putusan;
h. pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi; dan
i. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.
20. Diantara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 48 A,
48 B, dan Pasal 48C, sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 48 A
Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam psrsidangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf d meliputi ringkasan:
a. pendirian Pemohon terhadap permohonannya dan keterangan
tambahan yang disampaikan di persidangan;
b. keterangan Pihak yang berperkara;
c. keterangan Pihak Terkait; dan
d. hasil pemeriksaan alat-alat bukti;
Pasal 48 B
(1) Putusan Mahkamah ditandatangani oleh Ketua dan Hakim yang
memeriksa, mengadili, dan memutus, serta Panitera yang
mendampingi persidangan.
(2) Dalam hal Ketua Mahkamah berhalangan hadir dalam sidang
pengucapan putusan, Putusan Mahkamah ditandatangani oleh Wakil
Ketua Mahkamah selaku Ketua Sidang dan Hakim yang hadir serta
Panitera yang mendampingi persidangan.
(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah berhalangan hadir dalam
sidang pengucapan putusan, Putusan Mahkamah ditandatangani oleh
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
19
www.parlemen.net
Hakim Ketua Sidang dan Hakim yang hadir serta Panitera yang
mendampingi persidangan.
Pasal 48 C
Putusan Mahkamah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai
diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.
21. Diantara Pasal 49 dan Pasal 50 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakn; Pasal 49 A,
49B ,49 C, sehinggadirumuskan sebagai berikut:
Pasal 49 A
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib
dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum.
Pasal 49 B
(1) Mahkamah mengeluarkan ketetapan dalam hal:
a. permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah untuk
mengadilinya; atau
b. Pemohon menarik kembali permohonannya.
(2) Amar ketetapan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a dirumuskan
sebagai berikut: “Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang
mengadili permohonan Pemohon".
(3) Amar ketetapan sebagaimana dimaksud sebagaimana ayat (1) huruf b
dirumuskan sebagai berikut:
“mengabulkan permohonan pemohon untuk menarik kembali
permohonannya”;“menyatakan permohonan pemohon ditarik
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
20
www.parlemen.net
kembali”;“memerintahkan kepada panitera untuk mencatat perihal
penarikan kembali permohonan pemohon dalam BRPK”.
(4) Permohonan yang telah ditarik tidak dapat diajukan kembali .
22. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 50
(1) Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili
dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang terhadap
UndangUndang Dasar hanya meliputi undang-undang yang
diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Hakim Mahkamah Konstitusi tidak berwenang melakukan pengujian
atas Undang-Undang yang berkaitan dengan tugas dan wewenang
Mahkamah Konstitusi.
23. Diantara pasal 51 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut:
Pasal 51
(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan Hukum publik atau privat; atau Lembaga negara.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
21
www.parlemen.net
tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana
dimaksud pad a ayat (1).
(3) Permohonan pengujian Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil.
(4) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemohon
wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
(5) Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam
hal permohonan berupa pengujian formil; dan/atau materi muatan
dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dalam hal permohonan berupa pengujian
materiil.
24. Diantara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 51A
yang dirumuskan sebagai berikut :
Pasal 51 A
(1) Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b meliputi:
a. kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (4);
b. kedudukan hukum Pemohon yang berisi uraian tentang hak
dan/atau kewenangan konstitusi Pemohon yang dianggap
dirugikan dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
untuk dilakukan pengujian;
c. alasan permohonan pengujian sebagaimana dimaksup dalam
Pasal 31 ayat (1) huruf diuraikan jelas dan rinci.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
22
www.parlemen.net
(2) Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian
formil, maka hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam
permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(1) huruf c, yaitu meliputi:
a. mengabulkan permohonan Pemohon;
b. menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang dimaksud
tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. menyatakan Undang-Undang tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
(3) Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian
materiil, maka hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam
permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(1) huruf c, yaitu meliputi:
a. mengabulkan permohonan Pemohon:
b. menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
dari Undang-undang dimaksud bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. menyatakan bahwa meteri muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
dari Undang-Undang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
Pasal 51 B :
Pemeriksaan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali Rapat
Permusyawaratan Hakim.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
23
www.parlemen.net
25. Dalam Pasal 56 ditambahkan 1 ayat yaitu ayat (6) yang dirumuskan sebagai
berikut:
Pasal 56
(6) Mahkamah Konsitusi dilarang membuat jenis putusan lain selain yang
diatur dalam ayat-ayat diatas.
26. Dalam Pasal 65 diubah sehingga dirumuskan sebagai berikut :
Pasal 65
a. Mahkamah Konstitusi tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa
kewenangan antar lembaga negara dalam hal terkait dengan
kepentingannya.
b. Permohonan tidak dapat dilakukan oleh hakim konstitusi yang secara
langsung atau secara tidak langsung merupakan representasi dari
lembaganya.
c. Mahkamah Konstitusi tidak dapat menguji perkara yang didalamnya
terdapat kepentingan Mahkamah Konstitusi.
27. Diantara Pasal 87 dan Pasal 88 disisipkan 1 (satu) pasal, yaitu Pasal 87 A
sehingga dirumuskan sebagai berikut
Pasal 87 A
Hakim Konstitusi yang menjabat sebagai ketua atau wakil ketua pada saat
Undang-Undang ini berlaku, tetap menjabat sebagai ketua atau wakil ketua
hingga masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
24
www.parlemen.net
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal……...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal………….
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN.... NOMOR......
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
25
www.parlemen.net
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR …….… TAHUN …………
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003
TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,
disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks
and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan
setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara.
Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggung jawab,
prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan
pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas
dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali
terhadap hukum dan keadilan.
Dalam rangka melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
bertanggung jawab tersebut, di lingkungan peradilan diperlukan pengawasan
internal dan eksternal yang lebih efektif terhadap semua hakim serta pejabat di
lingkungan kekuasaan kehakiman guna mendapatkan putusan pengadilan yang
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
26
www.parlemen.net
dapat dipertanggungjawabkan dari berbagai segi baik secara imparsial,
transparan dan akuntabel serta memihak kepada rasa keadilan masyarakat.
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi telah memperjelas bahwa segala pengawasan di bidang internal yaitu
urusan organisasi, administrasi dan finansial berada dibawah kekuasaan
Mahkamah Konstitusi, sedangkan pengawasan di bidang eksternal yaitu dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim berada dibawah kekuasaan Komisi Yudisial.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 16
Calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat meterill maupun syarat
formil untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, syarat materil
sebagaimana ditentukan pada ayat (1), sedangkan syarat formil
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
27
www.parlemen.net
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Angka 6
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan 'pihak terkait' adalah pihak yang
berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
28
www.parlemen.net
permohonan. Adapun Pihak terkait yang berkepentingan langsung
adalah pihak yang hak dan kewenangannya terpengaruh oleh
pokok permohonan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud para pihak adalah Pemohon, Termohon, dan atau
pihak terkait lainnya
Angka 13
Pasal 35A
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud 'pihak lainnya' adalah Presiden/Pemerintah, DPR,
DPD (dalam hal permohonan pengujian undang-undang),
Termohon (dalam hal permohonan sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara, sengketa hasil Pemilu, dan
pembubaran partai politik), atau pihak terkait.
Angka 14
Pasal 39A
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 41
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 42A
Cukup jelas.
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
29
www.parlemen.net
Pasal 42B
Cukup jelas.
Pasal 42C
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 44A
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 45A
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 48A
Cukup jelas.
Pasal 48B
Cukup jelas.
Pasal 48C
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 49A
Cukup jelas.
Pasal 49B
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 50
Hal ini sesuai asas bahwa seorang hakim tidak dapat berlaku adil
Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di www.parlemen.net
30
www.parlemen.net
dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara dimana ia
sendiri terlibat (ikut menjadi pihak) di dalamnya.
Angka 23
Pasal 51
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 51A
Cukup jelas.
Pasal 51B
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 56
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 65
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 87A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ……
TAHUN ......
Recommended