View
26
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
mmkn
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Varisela adalah suatu penyakit infeksi akut primer oleh virus Varicella
Zoster yang menyerang kulit, mukosa dan selaput lendir, klinis terdapat gejala
konstitusi, kelainan kulit polimorf ditandai oleh adanya vesikel-vesikel,
terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Sinonimnya adalah cacar air,
chicken pox.1,2
Varisela merupakan penyakit infeksi virus akut dan cepat menular.
Penyakit ini merupakan hasil infeksi primer pada penderita yang rentan.
Sedangkan herpes zoster atau shingles adalah reaktivasi infeksi endogen pada
periode laten virus varicella-zoster yang pada umumnya menyerang orang
dewasa atau anak dengan defisiensi imun. Meskipun gejala klinis varisela
tidak berat namun pada remaja, orang dewasa dan anak dengan status imunitas
menurun dapat meningkatkan angka kesakitan dan kematian.3,4,5
Varisela dapat mengenai semua kelompok umur termasuk neonatus,
tetapi hampir sembilan puluh persen kasus mengenai anak dibawah umur 10
tahun dan terbanyak pada umur 5-9 tahun.4,6 Oleh karena itu, perlu diketahui
mengenai tentang varisela oleh dokter pelayanan primer agar tata laksana yang
tepat dapat diberikan.
B. Tujuan Penulisan
Penulisan karya tulis ini ditujukan untuk mengetahui tentang
penatalaksanaan terkini pada penyakit varisela.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Varisela adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Varicella Zoster
dengan gejala di kulit dan selaput lendir berupa vesikel dan disertai dengan
gejala konstitusi.1,5
B. Etiologi
Varisela disebabkan oleh virus Varicella Zoster (VZV). Penamaan
virus ini memberi pengertian bahwa infeksi primer virus ini meyebabkan
penyakit varisela, sedangkan reaktivasi menyebabkan herpes zoster. Varicella-
Zooster virus diklasifikasikan sebagai herpes virus alfa karena kesamaannya
dengan prototipe kelompok ini yaitu virus herpes simpleks. Inti virus disebut
Capsid, terdiri dari protein dan DNA dengan rantai ganda, yaitu rantai pendek
(S) dan rantai panjang (L) dan membentuk suatu garis dengan berat molekul
100 juta yang disusun dari 162 capsomer dan sangat infeksius. 1,7,8
VZV dapat pula menyebabkan Herpes Zoster. Kedua penyakit ini
mempunyai manifestasi klinis yang berbeda. Kontak pertama dengan virus ini
akan menyebabkan varisela, oleh karena itu varisela dikatakan infeksi akut
primer, kemudian setelah penderita varisela tersebut sembuh, mungkin virus
itu tetap ada di akar ganglia dorsal dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi
klinis) dan kemudian VZV diaktivasi oleh trauma sehingga menyebabkan
Herpes Zoster.1,3,8,10
C. Epidemiologi
Varisela tersebar kosmopolit (di seluruh dunia), dapat mengenai semua
golongan umur, termasuk neonates (varisela kongenital). Tetapi tersering
menyerang terutama anak-anak, tetapi dapat juga menyerang orang dewasa.
Bila terjadi pada orang dewasa, umumnya gejala konstitusi lebih berat.
Transmisi penyakit ini berlangsung secara aerogen. Varisela sangat mudah
menular terutama melalui kontak langsung, droplet atau aerosol dari lesi
vesikuler di kulit ataupun melalui saluran nafas, dan jarang melalui kontak
2
tidak langsung. Masa penularannya, pasien dapat menularkan penyakit selama
24-48 jam sebelum lesi kulit timbul sampai semua lesi timbul krusta, biasanya
kurang lebih 6-7 hari dihitung dari timbulnya gejala erupsi di kulit. Penyakit
ini cepat sekali menular pada orang-orang di lingkungan penderita. Seumur
hidup seseorang hanya satu kali menderita varisela. Serangan kedua mungkin
berupa penyebaran ke kulit pada herpes zoster.1,3,10,11
D. Patofisiologi
Varisela disebabkan oleh VZV yang termasuk dalam famili virus
herpes. Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran napas
bagian atas dan orofaring (percikan ludah, sputum). Replikasi virus terjadi di
kelenjar limfe lokal selama 2-4 hari diikuti dengan penyebaran virus dalam
jumlah sedikit melalui darah dan limfe (viremia primer) yang terjadi 4-6 hari
setelah inokulasi. Virus lalu bereplikasi di hepar, limpa, dan organ lain. Virus
kembali dilepaskan ke dalam sirkulasi darah (viremia sekunder). Pada viremia
sekunder terutama terjadi penyebaran partikel-partikel virus ke kulit, proses
ini terjadi sekitar 14-16 hari setelah kontak. Setelah terjadi viremia sekunder,
timbullah lesi vesikuler yang khas.2,3,4
Pada sebagian besar individu replikasi virus lebih menonjol atau lebih
dominan dibandingkan imunitas tubuhnya yang belum berkembang, sehingga
dalam waktu dua minggu setelah infeksi terjadi viremia sekunder dalam
jumlah yang lebih banyak. Hal ini menyebabkan panas dan malaise, serta virus
menyebar ke seluruh tubuh lewat aliran darah, terutama ke kulit dan
membrane mukosa.2,3,10
Respon imun penderita menghentikan viremia dan menghambat
berlanjutnya lesi pada kulit dan organ lain. Imunitas humoral terhadap VZV
berfungsi protektif terhadap varisela. Pada orang yang terdeteksi memiliki
antibodi serum biasanya tidak selalu menjadi sakit setelah terkena paparan
eksogen. Sel mediasi imunitas untuk VZV juga berkembang selama varisela,
berlangsung selama bertahun-tahun, dan melindungi terhadap terjadinya
resiko infeksi yang berat.2,3
3
E. Gejala Klinis
Masa inkubasi penyakit ini berlangsung 14 sampai 21 hari. Gejala
klinis mulai gejala prodormal yang ringan selama 1-2 hari, yakni demam yang
tidak terlalu tinggi, malese dan nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya
erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah
menjadi vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan air (teardrops).
Vesikel akan berubah menjadi pustule dan kemudian menjadi kusta.
Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel yang baru
sehingga menimbulkan gambaran polimorf.1,10
Penyebarannya terutama di daerah badan dan kemudian menyebar
secara sentrifugal ke muka dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput
lender mata, mulut, dan saluran nafas bagian atas. Jika terdapat infeksi
sekunder terdapat pembesaran getah bening regional. Penyakit ini biasanya
disertai dengan gatal.1,2,10
Gambar 1. Lesi pada Pasien dengan Varisela
Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang timbul dan lebih sering
pada orang dewasa, berupa ensefalitis, pneumonia, glomeronefritis, karditis,
hepatitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis, dan kelainan darah (beberapa
macam purura). Infeksi yang timbul pada trisemester pertama kehamilan dapat
menimbulkan kelainan kongenita, sedangkan infeksi yang terjadi beberapa
hari menjelang kelahiran dapat menyebabkan varisela congenital pada
neonatus. 1,7
4
F. Penegakan Diagnosis
Dapat dilakukan percobaan Tzanck dengan cara membuat sediaan
hapus yang diwarnai dengan Giemsa. Bahan diambil dari kerokan dasar
vesikel dan akan didapati sel datia berinti banyak:
- Lokalisasi: terutama pada badan dan sedikit pada wajah dan ekstremitas.
Mungkin juga timbul pada mulut, palatum mole dan faring.
- Efloresensi: vesikel berukuran miliar sampai lentikular, disekitarnya
terdapat daerah eritematosa. Dapat ditemukan beberapa stadium
perkembangan vesikel mulai dari eritema, vesikula, pustule, skuama
hingga sikatriks (polimorf). 1,3
G. Diagnosis Banding
Pada penyakit Varisela ini harus dibedakan dengan Variola, dan
Herpes Zoster karena memiliki bentukan lesi yang hampir sama,
1. VariolaPenyakit virus yang disertai keadaan umum yang buruk dapat
menyebabkan kematian, efloresensinya berupa vesikel/bula dalam stadium
yang sama (monomorf) terutama terdapat di perifer tubuh.
Gejala Klinis & Efloresensi :
Inkubasinya 2-3 minggu, terdapat 4 stadium :
a. Stadium Inkubasi Erupsi (Prodormal)
- Nyeri Kepala
- Nyeri Tulang
- Demam
- Malaise
- Vomiting
b. Stadium Makulo Papular
Timbul makula-makula eritematosa yang cepat menjadi papul-
papul, terutama dimuka dan ekstremitas, termasuk telapak tangan dan
telapak kaki. Pada stadium ini suhu tubuh normal kembali dan timbul
lesi baru.
5
c. Stadium Vesikulo-Pustulosa
Dalam waktu 5-10 hari timbul vesikel-vesikel yang kemudian
menjadi pustul-pustul dan pada saat ini suhu tubuh meningkat lagi.
Pada kelainan tersebut timbul umbilikasi.
d. Stadium Resolusi
Stadium ini berlangsung dalam waktu 2 minggu, timbul krusta-
krusta dan suhu tubuh mulai menurun. Kemudian krusta-krusta
terlepas dan meninggalkan sikatrik-sikatrik yang atrofi. Kadang-
kadang dapat timbul perdarahan yang disebabkan depresi
hematopoetik dan disebut sebagai black variola yang sering fatal.
Mortalitas variola bervariasi diantara 1-50%. 1,12
Gambar 2. Variola (ADAM, Inc)2. Herpes Zoster
Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster yang
menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang
terjadi setelah infeksi primer (varisela-zoster).3,4,13
Radang kulit akut ini mempunyai sifat khas yaitu vesikel-vesikel
yang tersusun berkelompok sepanjang persarafan sensorik kulit sesuai
dermatomal tubuh.1,10
Gejala Klinis:
a. Gejala Prodormal
- Gejala Sistemik : Demam, Neuralgia, Malaise
- Gejala Lokal: Nyeri otot-tulang, Gatal, Pegal
6
b. Efloresensi
Lesi biasanya berupa kelompok-kelompok vesikel sampai bula di atas
daerah yang eritematosa. Lesi yang khas bersifat unilateral pada
dermatom yang sesuai dengan letak saraf yang terinfeksi virus.10,13
Gambar 3. Herpes Zoster (ADAM, inc)
H. Prognosis
Dengan perawatan yang teliti dan memperhatikan hiegine memberikan
prognosis yang baik dan jaringan parut yang timbul sangat sedikit. Infeksi
primer varicella memiliki tingkat kematian 2-3 per 100.000 kasus dengan
case fatality rate pada anak berumur 1-4 tahun dan 5-9 tahun (1 kematian
per 100.000 kasus). Pada bayi rata-rata resiko kematian adalah sekitar 4
kali lebih besar dan pada dewasa sekitar 25 kali lebih besar. Rata-rata
100 kematian terjadi di USA sebelum ditemukannya vaksin varicella,
komplikasi yang menjadi penyebab utama kematian, antara lain:
pneumonia, komplikasi SSP, infeksi sekunder, dan perdarahan.1,7,14,15
BAB III
PENATALAKSANAAN TERKINI PADA PENYAKIT VARISELA
7
Virus varisela-zoster (VZV) adalah salah satu dari 8 jenis herpes virus dari
famili herpesviridae yang merupakan virus DNA alfa herpesvirus. Virus ini
masuk tubuh terutama melalui kontak langsung dari lesi di kulit atau melalui
dropletsekret saluran napas.4,7,15
Tidak ada terapi spesifik terhadap varisela. Pengobatan bersifat
simptomatik dengan antipiretik dan analgesik. Untuk panasnya dapat diberikan
asetosal atau antipiretik lain seperti asetaminofen dan metampiron. Untuk
menghilangkan rasa gatal dapat diberikan antihistamin oral atau sedative. Topikal
diberikan bedak yang ditambah zat anti gatal (mentol, kamfora) seperti bedak
salisilat 1-2% atau lotio kalamin untuk mencegah pecahnya vesikel secara dini
serta menghilangkan rasa gatal. Cream dan lotion yang mengandung
kortikosteroid dan salep yang bersifat oklusif sebaiknya tidak digunakan. Jika
timbul infeksi sekunder dapat diberikan antibiotika berupa salep dan oral. Dapat
pula diberikan obat-obat antivirus. Yang penting pada penyakit virus, umumnya
adalah istirahat / tirah baring.1,2,3,11
Pengobatan secara sistemik dapat dengan memberikan antivirus. Beberapa
analog nukleosida seperti asiklovir, famciclovir, valasiklovir, dan brivudin, dan
analog pyrophosphate foskarnet terbukti efektif untuk mengobati infeksi VZV.
Asiklovir adalah suatu analog guanosin yang secara selektif difosforilasi oleh
timidin kinase VZV sehingga terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi. Enzim-
enzim selular kemudian mengubah asiklovir monofosfat menjadi trifosfat yang
mengganggu sintesis DNA virus dengan menghambat DNA polimerase virus. 2,16
Asiklovir merupakan obat sintetik jenis analog nukleosida purin,
mempunyai sifat antiviral terhadap virus varisela-zoster dengan menghambat
sintesis DNA virus. Untuk mengaktifkan asiklovir, obat ini harus diubah dahulu
ke bentuk monofosfat oleh timidin kinase milik virus. Setelah terbentuk asiklovir-
monofosfat (asiklo-GMP), oleh guanil kinase dan enzim milik sel hospes dirubah
menjadi bentuk difosfat (asiklo-GDP) dan trifosfat (asiklo-GTP). Bentuk akhir ini
menghentikan replikasi DNA virus melalui tiga cara yaitu, menghambat DNA-
polimerase virus dengan berkompetisi terhadap desoksiguanosintrifosfat,
inkorporasi ke dalam DNA virus yang sedang memanjang mengakibatkan
8
terminasi biosintesis rantai DNA virus dan menonaktifkan DNA-polimerase
virus.4,7
Obat antivirus asiklovir menjadi pilihan utama untuk pengobatan spesifik
untuk infeksi VZV, namun obat ini tidak mencegah maupun mengobati VZV
laten. Asiklovir tersedia dalam bentuk topikal, oral maupun intravena, namun
hanya oral dan intravena yang berguna untuk melawan VZV. Pada pemberian
peroral hanya sekitar 15%-20% asiklovir yang diserap.4,15
Pada penelitian yang dilakukan Suga S, dkk (1994) menyatakan bahwa
asiklovir oral lebih efektif dalam menghambat replikasi virus varisela-zoster pada
viremia sekunder dibandingkan dengan viremia primer yang terjadi antara lima
hari sebelum dan satu hari setelah onset klinis. Hal tersebut mungkin disebabkan
karena adanya perbedaan derajat induksi oleh timidin kinase milik virus pada saat
viremia primer dan sekunder.4,10
Asiklovir dilaporkan mempunyai efek samping minimal karena obat ini
hanya diserap oleh sel hospes yang terinfeksi oleh virus. Efek yang mungkin
timbul pada terapi asiklovir per oral termasuk rasa mual, muntah, diare, dan nyeri
kepala. Asiklovir dieksresi di ginjal dan dapat mengkristal pada tubulus ginjal
pada pasien yang dehidrasi, karena itu pasien yang mendapatkan asiklovir
sebaiknya mendapat hidrasi yang cukup.4,10
Valasiklovir dan famcyclovir, merupakan prodrug dari asiklovir yang
mempunyai bioavaibilitas oral lebih baik daripada asiklovir sehingga kadar dalam
darah lebih tinggi dan frekuensi pemberian obat berkurang.2,10
Antivirus pada anak dengan pengobatan dini varisela dengan pemberian
asiklovir (dalam 24 jam setelah timbul ruam) berusia 2-12 tahun dengan dosis 4 x
20 mg/kgBB/hari selama 7 hari menurunkan jumlah lesi, penghentian
terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam, demam, dan gejala
konstitusi bila dibandingkan dengan placebo. Tetapi apabila pengobatan dimulai
lebih dari 24 jam setelah timbulnya ruam cenderung tidak efektif lagi. Hal ini
disebabkan karena varisela merupakan infeksi yang relatif ringan pada anak-anak
dan manfaat klinis dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga tidak memerlukan
pengobatan asiklovir secara rutin.2,10
9
Secara acak, pemberian placebo dan asiklovir oral yang terkontrol pada
orang dewasa muda yang sehat dengan varisela menunjukkan bahwa pengobatan
dini (dalam waktu 24 jam setelah timbulnya ruam) dengan asiklovir oral (5x800
mg selama 7 hari) secara signifikan mengurangi terbentuknya lesi yang baru,
mengurangi luasnya lesi yang terbentuk, dan menurunkan gejala dan demam.
Dengan demikian, pengobatan rutin dari varisela pada orang dewasa tampaknya
masuk akal. Meskipun tidak diuji, ada kemungkinan bahwa famciclovir, yang
diberikan dengan dosis 200 mg per oral setiap 8 jam, atau valasiklovir dengan
dosis 1000 mg per oral setiap 8 jam mudah dan tepat sebagai pengganti asiklovir
pada remaja normal dan dewasa.2,4
Banyak dokter tidak meresepkan asiklovir untuk varisela selama
kehamilan karena risiko bagi janin yang dalam pengobatan belum diketahui.
Sementara dokter lain merekomendasikan pemberian asiklovir secara oral untuk
infeksi pada trisemester ketiga ketika organogenesis telah sempurna, ketika
mungkin ada peningkatan terjadinya resiko pneumonia varisela, dan ketika infeksi
dapat menyebar ke bayi yang baru lahir. Pemberian asiklovir intravena sering
dipertimbangkan untuk wanita hamil dengan varisela yang disertai dengan
penyakit sistemik.2,16
Pada pasien imunokompromais, varisela dapat menjadi berat bahkan
menyebabkan kematian. Terjadinya penyulit dikarenakan respon imun yang gagal
mengatasi replikasi dan penyebaran virus. Pemberian asiklovir intravena pada
pasien imunokompromais adalah penting dan dianjurkan diberikan secepatnya,
dalam 24 jam setelah timbulnya ruam walaupun jumlah lesi baru sedikit dan
tampak sakit ringan. Hal ini karena pada pasien imunokompromais sulit untuk
memprediksi derajat keparahan penyakit dan pengobatan yang lebih cepat
memberikan hasil luaran yang lebih baik.2,10
Pencegahan varisela dapat dilakukan dengan melakukan vaksinasi.
Vaksinisasi dapat diberikan aktif ataupun pasif. Vaksinisasi aktif dilakukan
dengan memberikan vaksin varicella berasal dari galur yang telah dilemahkan
(live attenuated). Vaksinisasi pasif dilakukan dengan memberikan zoster imuno
globulin (ZIG) dari zoster imun plasma (ZIP).5,11
10
Vaksinisasi pasif dengan memberikan ZIG. ZIG ialah suatu globulin-gama
dengan titer antibodi yang tinggi dan yang didapatkan dari penderita yang telah
sembuh dari infeksi herpes zoster. Pemberian ZIG sebanyak 5ml dalam 72 jam
setelah kontak dengan penderita varicella dapat mencegah penyakit ini pada anak
sehat, tapi pada anak dengan defisiensi imunologis, leukemia atau penyakit
keganasan lainnya, pemberian ZIG tidak menyebabkan pencegahan yang
sempurna. Lagi pula diperlukan ZIG dengan titer yang tinggi dan dalam jumlah
yang lebih besar.5,7,11
ZIP adalah plasma yang berasal dari penderita yang baru sembuh dari
herpes zoster dan diberikan secara intravena sebanyak 3-14,3 ml/kgBB.
Pemberian ZIP dalam 1-7 hari setelah kontak dengan penderita varicella pada
anak dengan defisiensi imunologis, leukemia atau penyakit keganasan lainnya
mengakibatkan menurunnya insidens varicella dan merubah perjalanan penyakit
varicella menjadi ringan dan dapat mencegah varicella untuk kedua kalinya.
Pemberian globulin-gama akan menyebabkan perjalanan varicella jadi ringan tapi
tidak mencegah timbulnya varicella. Dianjurkan untuk memberikan globulin-
gama kepada bayi yang dilahirkan dalam waktu 4 hari setelah ibunya
memperlihatkan tanda-tanda varicella. Ini dapat dilaksanakan pada jam-jam
pertama kehidupan bayi tersebut.7,15
Sebaiknya vaksin aktif hanya diberikan kepada penderita leukemia,
penderita penyakit keganasa lainnya dan penderita dengan defisiensi imunologis
untuk mencegah komplikasi dan kematian bila kemudian terinfeksi oleh
varicella.1,9,11
Pemberiannya secara subkutan 0,5 ml pada yang berusia 12 bulan sampai
12 tahun. Pada usia di atas 12 tahun juga diberikan 0,5 ml, setelah 4-8 minggu
diulangi dengan dosis yang sama. Bila terpajannya baru kurang dari 3 hari
perlindungan vaksin yang diberikan masih terjadi, karena masa inkubasinya antara
7-21 hari. Sedangkan antibodi yang cukup sudah timbul antara 3-6 hari setelah
vaksinasi. Semua vaksin varicella harus diberikan melalui secara subkutan.1,11
BAB IV
KESIMPULAN
11
1. Tidak ada terapi spesifik terhadap varisela. Pengobatan bersifat simptomatik
dengan antipiretik dan analgesik. Topikal dapat diberikan bedak yang
ditambah zat anti gatal.
2. Pengobatan secara sistemik dapat dengan memberikan antivirus asiklovir,
famciclovir, valasiklovir, dan brivudin.
3. Asiklovir mempunyai sifat antiviral terhadap virus varisela-zoster dengan
menghambat sintesis DNA virus.
4. Asiklovir oral lebih efektif dalam menghambat replikasi virus varisela-zoster
pada viremia sekunder dibandingkan dengan viremia primer yang terjadi
antara lima hari sebelum dan satu hari setelah onset klinis. Asiklovir
dilaporkan mempunyai efek samping minimal karena obat ini hanya diserap
oleh sel hospes yang terinfeksi oleh virus.
5. Antivirus pada anak dengan pengobatan dini varisela dengan pemberian
asiklovir (dalam 24 jam setelah timbul ruam) berusia 2-12 tahun dengan dosis
4 x 20 mg/kgBB/hari selama 7 hari. Pada remaja dan dewasa, pengobatan dini
varisela dengan pemberian asiklovir dengan dosis 5 x 800 mg selama 7 hari
6. Valasiklovir dan famcyclovir mempunyai bioavaibilitas oral lebih baik
daripada asiklovir. Famciclovir diberikan dengan dosis 200 mg per oral setiap
8 jam, atau valasiklovir dengan dosis 1000 mg per oral setiap 8 jam.
7. Pemberian asiklovir intravena pada pasien imunokompromais penting dan
dianjurkan diberikan secepatnya.
8. Pencegahan varisela dapat dilakukan dengan vaksinasi. Vaksin dapat
diberikan aktif ataupun pasif. Vaksinisasi aktif dilakukan dengan memberikan
vaksin varicella berasal dari galur yang telah dilemahkan (live attenuated).
Vaksinisasi pasif dilakukan dengan memberikan zoster imuno globulin (ZIG)
dari zoster imun plasma (ZIP).
DAFTAR PUSTAKA
12
x
x
1. Handoko RP. Penyakit Virus: Varisela. In Djuanda A, editor. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011. p. 115-116.
2. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE.: Variola and herpes zoster; in
Fitzpatrick;s, Wolff K.; Goldsmith, LA; Katz, S.I; Gilchrest, B.A., Paller, A.S.
and leffell, R.I.’S: Dermatology in General Medicine; Seventh ed. New York:
McGraw-Hill Company; 2008. p. 1897
3. Harahap M. Varisela. In Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates;
2000. p. 94-96.
4. Theresia , Hadinegoro SR. Terapi Acyclovir pada Anak dengan Varisela
Tanpa Penyulit. Sari Pediatri. 2010 April; 11(6).
5. Myers MG, Stanberry LR, Seward JF. Varicella-ZosterVirus. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke-17. Philadelphia: Elseviers Saunders; 2004. p.1057-1062.
6. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis. Varisela. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H,
Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2002. p. 134-42.
7. Kliegman RM, Marcdante KJ, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Essentials of
Pediatrics. Edisi ke-5. Philadelphia: Elseviers Saunders; 2006. p.470-472.
8. Ann , MA. Varicella-Zoster Virus. Clinical Microbiology Reviews. 1996 July;
9(3): p. 361-381.
9. White D, Fenner F. Varicella-zoster virus. In White David FF. Medical
Virology, Fourth Edition. United Kingdom: Academic Press; 1994. p. 330-
334.
13
10. Siregar R. Varisela. In Siregar R. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit;
Edisi 2. Jakarta: EGC; 2004. p. 88-89.
11. Hassan R, Alatas H. Varisela (cacar air,”chicken pox”). In Hassan R, Alatas
H. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid 2. Jakarta: INFOMEDIKA; 2007. p.
637-640.
12. Nicas Mark, Hubbard Alan E., M. Jones, Rachael and L. Reingold Arthur. The
Infectious Dose of Variola (Smallpox). University of California—Berkeley ;
2004. Virus Applied Biosafety, 9(3) pp. 118-127 © ABSA.
13. Murtiastutik D, Ervianti E, Agusni I, Suyoso S, Zulkarnain I, Sukanto H, et al.
Infeksi Virus: Varisela. In Atlas Penyakit Kulit & Kulit; Edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press; 2012. p. 11-13.
14. Arvin AM. Varicella-Zoster Virus. Clinical Microbiology Reviews 1996; 9:
361-381.
15. Hambleton S, Gershon AA. Preventing Varicella-Zoster Disease. Clinical
Microbiology Reviews 2005; 18: 70-80.
16. John W, Gnann J. Antiviral therapy of varicella-zoster virus infections. In
Human Herpesviruses: Biology, Therapy, and Immunoprophylaxis. USA:
Cambridge University Press; 2007.
1.
2. xx
14
Recommended