View
533
Download
7
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit paru interstisial (Interstitial lung disease/ ILD) merupakan kelompok
penyakit paru yang ditandai dengan alveolitis parenkim dan fibrosis. Di Amerika
Serikat, 15% penderita yang memerlukan perawatan rumah sakit adalah penderita
ILD dan 30 – 40% ILD adalah fibrosis paru idiopatik (Idiopathic Pulmonary
Fibrosis/IPF/Cryptogenic Fibrosing Alveolitis/CFA). Suatu studi epidemiologi di
New Mexico menemukan insidens ILD adalah 31,5 per 100.000 untuk laki-laki dan
26,1 per 100.000 untuk wanita, sementara IPF mencapai 45% penderita ILD.
Dengan banyaknya jenis penyakit yang tergolong PPI, dimana masing-masing
memiliki gambaran yang mirip, serta adanya teknik diagnostik yang selalu
berkembang, batasan diagnosis penyakit-penyakit PPI juga berkembang terus. Oleh
karena itu sungguh tidak mudah menegakkan diagnosis dalam kelompok PPI secara
pasti dan akurat. Bahkan terkadang dengan dengan teknik diagnosis yang paling
invasif pun diagnosis pasti PPI bisa tidak dapat ditegakkan. Apabila diagnosis bisa
ditegakkan, terapi yang efektif seringkali juga tidak tersedia.
1
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi
Penyakit paru interstitial (PPI) atau interstitial lung disease adalah kelompok
berbagai penyakit yang melibatkan dinding alveolus, jaringan sekitar alveolus dan
jaringan penunjang lain di paru-paru. PPI merupakan gangguan akut dan kronik
yang ditandai dengan inflamasi atau fibrosis pada unit alveolar-arteri and jalan napas
distal. Karena penyakit-penyakit tersebut tidak hanya terbatas pada interstitium tetapi
dapat mengenai berbagai komponen matriks di seluruh paru, maka deskripsi yang
lebih akurat adalah “penyakit paru parenkimal difus”.
Sifat- sifat interstitium yaitu (1)Terutama berasal dari jaringan ikat, (2)
Berhubungan mulai dari alveolus sampai hilus, dan (3) Merupakan lapisan tipis yang
terletak di antara sel epitel alveolus dengan sel endotel kapiler. Lapisan ini terdiri dari
berupa kolagen, elastin, retikulin, membran basalis dan sel-sel mast, sel mesenkimal,
histiosit, neutrofil, eosinofil, limfosit dan sel plasma.
Penyakit interstitial sebenarnya dapat berupa penyakit infeksi dan penyakit
non infeksi, tetapi sebagian besar yang dimaksud adalah penyakit berupa penyakit
non-infeksi. Karena di antara interstitial dan alveolar hanya dibatasi oleh satu lapis
sel, penyakit alveolar ataupun interstitial dapat saling mempengaruhi area masing-
masing, misalnya pneumonia oleh karena pneumokokus yang sebetulnya adalah
penyakit alveolar yang akan menimbulkan peradangan interstitial pula. Penyakit yang
menyangkut kedua area ini disebut “fibrosing alveolitis”.
2
Gambar 1. Organ Respirasi Manusia
2.2 Klasifikasi
Secara umum ILD dapat dibagi dalam 5 klasifikasi klinis yaitu (1)
berhubungan dengan penyakit vaskular kolagen (Collagen vascular associated),
(2) akibat pengaruh obat atau radiasi, (3) Primary or unclassified diasease related,
(4) akibat pengaruh pekerjaan atau lingkungan, dan (5) penyakit fibrosis idiopatik
(Idiopathic fibrotic disorders).
PPI terdiri lebih dari 150 penyakit antara lain adalah fibrosis paru idiopatik,
sarkoidosis, pneumonitis hipersensitivitas, pneumonitis radiasi, berbagai pneumonia
eosinofilik, histiositosis X paru, limfangioleiomiomatosis, tuberus sclerosus serta
berbagai kelainan paru akibat penyakit vaskular kolagen. Lupus erimatosus sistemik,
artritis reumatoid, skleroderma, spondilitis ankilosa, sindrom Sjogren,
polimiositisdermatomiositis serta mixed connective tissue disease (penyakit dengan
gejala campuran dari berbagain penyakit vaskular kolagen) adalah beberapa penyakit
vaskular kolagen yang dapat menyebabkan PPI.
Walaupun penyakit interstitium banyak jenisnya, gejala, gambaran radiografi,
fisiologi dan gambaran histologinya hampir sama. Untuk memudahkan penggolongan
penyakit ini, dicari cara membedakannya, yaitu melihat ada tidaknya proses
granulomatosa dan menilik penyebabnya. Setiap grup tersebut selanjutnya dapat
dibagi atas subgroup berdasarkan ada tidaknya granuloma di interstitial atau sekitar
3
vaskularnya. Klasifikasi penyakit-penyakit PPI tidak mudah untuk dilakukan.
Apalagi ada ratusan penyakit yang bisa melibatkan interstitial paru, baik sebagai
primer maupun sebagai gambaran multi organ suatu penyakit, misalnya pada berbagai
penyakit-penyakit vaskular kolagen.
Golongan terbesar PPI yang diketahui penyebabnya merupakan penyakit paru
kerja dan lingkungan, termasuk di dalamnya akibat inhalasi debu inorganik, organik,
serta berbagai gas beracun dan iritatif. Jumlah PPI yang tidak diketahui penyebabnya
juga besar. Diantaranya adalah fibrosis paru idiopatik (FPI), sarkoidosis, pneumonitis
hipersensitivitas dan berbagai hal yang diduga berhubungan dengan penyakit vaskular
kolagen.
Adapun klasifikasi PPI secara rinci adalah sebagai berikut:
A. Collagen vascular diseases associated
1. Scleroderma
2. Polymyositis-dermatomyositis
3. Systemic lupus erythematosus
4. Rheumatoid arthritis
5. Ankylosing spondylitis
6. Mixed connective tissue disease
7. Primary Sjogren syndrome
B. Drug and treatment induced
1. Antibiotik
2. Nitrofurantoin
a. Sulfasalazine
b. Cephalosporin
c. Minocycline
4
3. Ethambutol
4. Antiarrhytmic
a. Amiodarone
b. ACE-Inhibitors
c. Tocainide
d. Beta-blocking agents
5. Anti-inflammatory
a. Gold
b. Penicillamine
c. Nonsteroidal antiinflammatory
agents
6. Neutropic and psychotropic
a. Dilantin
b. Fluoxetine
c. Carbamazepine
d. Antidepressants
7. Chemoterapeutic agents
a. Antibiotic
b. Mitomycin C
c. Bleomycin
d. Alkalating agents
e. Busulfan
f. Cyclophosphamide
g. Chlorambucil
h. Melphalan
i. Antimetabolities
j. Methotrexate
k. Azathioprine
l. Cytosine arabinoside
m. Nitrosoureas
n. Carmustine (BCNU)
o. Lomustine (CCNU)
p. Others
q. Procarbazine
r. Nilutemide
s. Alpha Interferon
t. Paclitaxel
u. Interleukin-2
8. Ethambutol
5
9. Antiarrhytmic
a. Amiodarone
b. ACE-Inhibitors
c. Tocainide
d. Beta-blocking agents
10. Anti-inflammatory
a. Gold
b. Penicillamine
c. Nonsteroidal antiinflammatory
agents
11. Neutropic and psychotropic
a. Dilantin
b. Fluoxetine
c. Carbamazepine
d. Antidepressants
12. Chemoterapeutic agents
a. Antibiotic
b. Mitomycin C
c. Bleomycin
d. Alkalating agents
e. Busulfan
f. Cyclophosphamide
g. Chlorambucil
h. Melphalan
i. Antimetabolities
j. Methotrexate
k. Azathioprine
l. Cytosine arabinoside
m. Nitrosoureas
n. Carmustine (BCNU)
o. Lomustine (CCNU)
p. Others
q. Procarbazine
r. Nilutemide
s. Alpha Interferon
t. Paclitaxel
u. Interleukin-2
C. Primary or unclassified disease related6
1. Sarcoidosis
2. Eosinophilic granuloma
3. Amyloidosis
4. Lymphangioleiomyomatosis
5. Tuberous sclerosis
6. Neurofibromatosis
7. Lymphangitic carcinomatosis
8. Gaucher’s disease
9. Hermansky-Pudlak syndrome
10. Adult respiratory distress
syndrome
11. Bone marrow transplantation
12. Acquired immune deficiency
syndrome (AIDS)
13. Postinfectiont
14. Pulmonary vasculitis
15. Respiratory bronchiolitis
16. Interstitial cardiogenic
pulmonary edema
17. Pulmonary veno-occlusive
disease
18. Agnogenic myloid metaplasia
19. Familiarhemophagocytic
lymphohistocytosis
20. Diaberes mellitus
21. Lysinuric protein deficiency
22. Alveolar filling disease
a. Alveolar proteinosis
b. Diffuse alveolar hemorrhage
syndromes
c. Lipoid pneumonia
d. Bronchioalveolar carcinoma
e. Chronic aspiration
f. Eosinophilic pneumonia
g. Alveolar microlithiasis
h. Alveolar sarcoidosis
i. Bronchiolitis obliterans
organizing pneumonia
D. Occupational and environmental exposure related
7
1. Inorganic
2. Silicosis
3. Asbestosis
4. Talc pneumoconiosis
5. Diatomaceous earth
pneumoconiosis
6. Aluminum oxide fibrosis
7. Berylliosis
8. Hard metal fibrosis
9. Coal worker’s pneumoconiosis
10. Shale pneumoconiosis
11. Siderosis (arc welder’s lung)
12. Stannosis (tin)
13. Silicone pneumonitis
14. Wood burning interstitial fibrosis
15. Textile worker’s pneumonitis
16. Organic (hypersensitivity
pneumonitis)
17. Bagassosis (sugar cane)
18. Bird breeder’s lung
(pigeons,parakeets,etc)
19. Chicken handlers lung
20. Duck fever
21. Dove handler’s disease
22. Farmer’s lung
23. Coffee worker’s lung
24. Tobacco grower’s lung
25. Coptic disease (mummy wrappings
26. Cheese worker’s lung
27. Furrier’s lung
28. Mushroom worker’s lung
29. Paprika spilitter’s lung
30. Miller’s lung (wheat flour)
31. Wood worker’s disease
32. Sequoiosis
33. Maple bark stripper’s lung
34. Malt worker’s lung
35. Tea grower’s lung
36. Suberosis (cork)
37. Lycoperdonosis (Lycoperdon
puffballs)
8
38. Compost lung
39. Humidifier lung
40. Sauna taker’s lung
41. Woodman’s disease (oak and
maple)
42. Pauli’s hypersensitivity
pneumonitis (reagent)
43. Pituitary snuff disease
44. Detergent worker’s lung
(isocyanates)
45. Japanes summer-type
hypersensitivity
46. Thatched roof lung
47. Familial hypersensitivity
pneumonitis (wood dust)
48. Vineyard sprayer’s lung
49. Laboratory worker’s lung (rat
urine)
50. Mollusk shell hypersensitivity
pneumonitis
51. Goose down hypersensitivity
pneumonitis
52. Ceramic tile worker’s
pneumoconiosis
53. Toluene diisocyanate
hypersensitivity pneumonitis
54. Machine operator’s lung
E. Idiopathic fibrotic disorders
1. Acute interstitial pneumonia
2. (Hamman-Rich syndrome)
3. Idiopathic pulmonary fibrosis
4. Familial idiopathic pulmonary
fibrosis
5. Lymphocitic interstitial
pneumonitis
6. Bronchiolitis obliterans organizing
pneumonia
7. Nonspesific interstitial pneumonia
8. Desquamative interstitial
pneumonitis
9. Autoimmune hemolytic anemia
9
10. Idiopathic thrombocytopenic
purpura
11. Cryglobulinemia
12. Inflammatory bowel diseases
13. Celiac disease
14. Whipple’s disease
15. Primary biliary cirrhosis
16. Cryptogenic cirrhosis
2.3 Etiologi
Penyebab PPI meliputi penyakit respirasi (misalnya pneumonia, sarkoidosis),
penyakit autoimun, obat-obat dan terapi (misalnya bleomisin, oksigen, radiasi) dan
faktor-faktor lingkungan pekerjaan.
Penyakit paru interstitial bukanlah keganasan, juga bukan penyakit infeksi
oleh organisme yang selama ini sudah dikenal. Walaupun seringkali ada varian
akutnya namun umumnya penyakit ini berkembang perlahan-lahan secara kronik.
2.4 Patofisiologi
Proses patogenesis ILD dimulai dengan jejas pada lapisan epitel alveolar yang
mengakibatkan proses inflamasi dengan melibatkan berbagai sel-sel inflamasi dan sel
efektor imun di dalam parenkim paru. Inisiasi jejas dapat melalui inhalasi (seperti
inhalasi serat mineral atau debu mineral dari pajanan pekerjaan atau lingkungan),
sensitisasi antigen (seperti pada hypersensitivity pneumonitis akibat pajanan
lingkungan atau pekerjaan), melalui sirkulasi darah (seperti pada penyakit vaskular
kolagen, drug-induced ILD, IPF dan lain-lain). Pada interstitium dalam keadaan
normal ditemukan banyak sel efektor. Lebih dari 90 % sel ini adalah makrofag
alveolus yang biasanya adalah monosit. Kegunaan makrofag alveolar adalah
menfagositosis organisme maupun partikel kecil yang masuk ke dalam alveolus.
Alveolitis menyebabkan perubahan struktur alveolar berupa penebalan dan
fibrosis jaringan interstitial paru sehingga pada akhirnya terjadi penurunan fungsi 10
paru karena alveoli tidak dapat melakukan pertukaran gas. Apabila jejas yang terjadi
dapat dihindari atau dibatasi, maka proses inflamasi tidak akan berlanjut kemudian
terjadi proses repair dan proses deposisi kolagen serta fibrosis tidak akan terjadi, .
Namun apabila jejas terus berlanjut maka proses inflamasi akan berjalan terus
sehingga terjadi proliferasi fibroblas, deposisi kolagen dan penyumbatan kapiler
interstitial. Akibat dari parut dan distorsi jaringan paru yang ditimbulkannya, dapat
terjadi gangguan pertukaran gas dan fungsi ventilasi yang serius. Patogenesis ini
berlaku untuk hampir seluruh penyakit dalam klasifikasi ILD dengan pengecualian
untuk beberapa penyakit tertentu misalnya limfangioleiomiomatosis, amiloidosis,
lymphangitic carcinoma,, jaringan interstitial paru diinfiltrasi oleh otot polos, amyloid
fibrils, dan sel ganas. Pada beberapa alveolar filling disorders, sebelum terjadi
fibrosis interstitial dan intra-alveolar, terjadi pengisian ruang alveolar dengan sel
darah merah (diffuse alveolar haemorrhage syndrome), eosinofil (eosinophilic
pneumonia), eksudat lipoprotein (alveolar proteinosis) atau sel ganas
(bronchioloalveolar carcinoma).
2.5 Diagnosis
Pasien yang ditemukan dengan kecurigaan PPI harus dievaluasi lengkap untuk
kemungkinan penyakit lain, karena infeksi (terutama pada imunodefisiensi dan
transplantasi) bisa mempunyai gambaran yang mirip PPI. Demikian pula metastasis
keganasan yang difus serta gagal jantung kongestif harus dipikirkan bila latar
belakang kliniknya mendukung.
PPI terdiri atas berbagai penyakit yang memiliki kemiripan dalam gejala,
perubahan fisiologi, gambaran radiologi dan gambaran histopatologinya. Gejala
umumnya berupa sesak napas saat beraktivitas. Fungsi respirasi menunjukkan
gambaran restriktif. Terdapat pula gradien alveolar-arteri yang abnormal dan
penurunan kapasitas difusi paru. Gambaran gejala histopatologi umum yang dimiliki
oleh semua penyakit dalam kelompok ini adalah campuran antara infiltrat peradangan
11
alveolus (aktif/akut) dengan daerah berparut / fibrotik (kronik). Pada stadium lanjut
akan tampak kistik, gambaran sarang lebah. Gambaran ini disebut sebagai usual
interstitial pneumonia.
2.5.1 Anamnesis
Proses diagnostik pada PPI dimulai dari riwayat faktor lingkungan, paparan
pekerjaan, penggunaan obat dan riwayat keluarga. Riwayat penyakit sekarang harus
dieksplorasi progresivitasnya, serta hubungannya dengan batuk darah, demam dan
gejala-gejala di luar paru lainnya. Gejala yang kurang dari 4 minggu dengan demam
mengarah pada BOOP, pneumonitis hipersensitif atau akibat obat. Sebaliknya
gambaran akut seperti ini tidak ditemukan pada FPI, histiositosis paru dan PPI akibat
penyakit jaringan ikat. Pasien dengan sarkoidosis dan sindrom Lofgren juga bisa
terdapat demam sebentar, eritema nodosum dan artritis.
Evaluasi umur, status merokok dan jenis kelamin juga bisa membantu. PPI
umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama diatas 50 tahun. Sarkoidosis paru
umumnya terjadi pada dewasa muda atau paruh baya. Granulomatosis sel Lagerhans
(disebut juga histiositosis X paru atau granuloma eosinofilik) secara khas muncul
pada perokok muda. RBILD muncul hanya pada perokok. Limfangiomiomatosis
yaitu suatu kelainan yang jarang ditemukan dan terjadi hanya pada perempuan usia
subur.
Riwayat pekerjaan bisa mengarahkan pada kecurigaan inhalasi. Kecurigaan
pneumonitis hipersensitivitas umumnya timbul setelah ada riwayat pekerjaan yang
beresiko terhadap paparan zat inhalasi. Riwayat obat-obatan yang diminum,
penggunaan obat-obat alternatif dan obat-obat yang dijual bebas perlu dicari karena
banyak PPI merupakan akibat penggunaan obat. Riwayat disfagia atau aspirasi
mengarahkan pada pneumonia aspirasi, scleroderma atau mixed connectice tissue
disease. Sinusitis berulang mengarah pada granulomatosis Wagener.
12
Batuk darah menunjukkan ke arah sindrom perdarahan alveolar seperti pada
sindrom Goodpasture, lupus erimatosus sistemik, granulomatisis Wagener, kapilaritis
paru. Artritis mencurigakan ke arah berbagai penyakit vaskular kolagen atau
sarkoidosis. Gejala pada kulit dan otot mengarahkan pada dermatomiositis atau
polimiositis. Sicca syndrome (mata dan mulut kering) mencurigakan akan
sarkoidosis, sindrom Sjogren atau penyakit vaskular kolagen lainnya.
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada sistem pernapasan seringkali tidak menolong
penegakkan diagnosis. Sebaliknya temuan fisik di luar toraks sering membantu
memperjelas penyakit yang terjadi. Misalnya kelainan kulit disertai dengan
limfadenopati dan hepatosplenomegali mengarahkan pada sarkoidosis. Nyeri otot dan
kelemahan otot paroksimal mencurigakan adanya pilomiositis. Adanya artritis
mengarahkan pada sarkoidosis dan penyakit vaskular kolagen. Atralgia juga bisa
terjadi pada FPI tetapi jarang sampai menyebabkan sinovitis atau artritis akut.
Sklerodaktili, fenomena Raynaud dan lesi telangiektasia adalah gambaran khas
skleroderma dan sinrom CREST. Iridosiklitis, uveitis tau konjungtivitis mungkin
berhubungan dengan skleroderma dan sindrom vaskular kolagen. Kelainan saraf
pusat disertai diabetes insipidus atau disfungsi kelenjar pituitary anterior
mengarahkan pada sarkoidosis. Diabetes insipidus tanpa gangguan saraf pusat
mencurigakan ke arah granulomatosis sel Lagerhans, sementara epilepsi dan retardasi
mental menunjukkan adanya kemungkinan tuberous sclerosis.
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium pada dugaan PPI harus meliputi pemeriksaan darah
perifer lengkap, hiting jenis leukosit, laju endap darah, fungsi ginjal dan fungsi hati,
elektrolit (Na, K, Cl, Ca), urinalisis dan tes penapisan untuk penyakit vaskular
13
kolagen. Apabila diperlukan dapat juga diperiksa kadar Angiotensin Converting
Enzyme (ACE) dan Creatinin Kinase (CK).
Seluruh foto yang pernah dibuat harus dibandingkan. Dengan
membandingkan kita bisa mendapatkan keterangan tentang awitan kronisitas,
progresivitas, maupun stabilitas penyakit. Walaupun jarang, bisa saja ditemukan foto
toraks yang normal pada PPI. Bila terdapat kelainan, distribusi dan gambaran
kelainan dapat membantu mempersempit diferensial diagnosa.
Gambaran kelainan yang didominasi daerah apeks/atas, mengarahkan pada
sarkoidosis, beriliosis, granulomatosis sel Lagerhans, fibrosis kistik, silikosis dan
ankylosing spondilitis. Gambaran kelainan yang didominasi daerah tengah dan bawah
menunjukkan FPI, karsinomatosis limfangitik, pneumonia eosinifilik subakut,
asbestosis, skleroderma dan artritis dermatoid. Adanya adenopati hilus bilateral
sekaligus paratrakeal mencurigakan ke arah sarkoidosis. Adanya kalsifikasi “kulit
telur” memungkinkan adanya sarkoidosis atau silikosis. Karsinomatosis limfangitik
ditandai antara lain dengan garis Kerley B tanpa kardiomegali sementara gambaran
paru adalah gambaran PPI.
Gambaran infiltrat di lobus atas dan lobus tengah yang cenderung ke tepi
sehingga bagian tengah atau hilis cenderung lebuh bersih, atau sering disebut
bayangan film negatif dari edema paru mengarah ke pneumonia eosinofilik kronik.
Infiltrat bilateral pada saat dan lobus yang sama mencurigakan ke arah BOOP,
pneumonia eosinofilik kronik, PPI imbas obat, pneumonitis radiasi kambuhan/recall.
Adanya plak atau penebalan lokal pleura pada gambaran umum PPI mengarah
ke dugaan asbestosis. Penebalan pleura yang difus bisa juga pada pleurisy asbestos
dan bisa juga akibat artritis reumatoid, skleroderma atau keganasan. Adanya efusi
pleuri mencurigakan ke arah artrits reumatoid, lupus eritematosus sistemik, reaksi
obat, penyakit paru akibat asbestos, amiloidosis, limfangioleiomiomatosis atau
karsinomatosis limfangitik. Dalam konteks PPI, gambaran volume paru yang relatif
normal atau bahkan membesar, mencurigakan ke arah adanya obstruksi saluran napas
14
dan ini dapat terjadi pada limfangioleiomiomatosis, granuloma eosinofilik,
pneumonia hipersensitivitas, tuberous sclerosis dan sarkoidosis. Dalam menafsirkan
temuan ini, harus disadari bahwa foto toraks hanya memberikan penilaian
semikuantitatif dari volume paru dan seringkali tidak mencerminkan keadaan
fungsional dan histologis yang terjadi. Walau bagaimanapun juga kombinasi foto
toraks dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium, diagnosis bisa sangat
mengarah.
Apapun sebabnya, gangguan restriktif paru dan penurunan kapasitas difusi
paru adalah gambaran yang dominan pada PPI. Akibatnya umumnya tes fungsi paru
menunjukkan adanya PPI dan menunjukkan beratnya penyakit, tetapi tidak bisa
membedakan berbagai penyebab PPI. FEV 1 % umumnya normal karena baik FEV
maupun FVC sama-sama turun. Dlco adalah pemeriksaan selisih tekanan oksigen di
alveolus dengan di arteri (PAO2-PaO2) bisa normal atau meninggi tergantung
beratnya penyakit. Walaupun sangat tidak spesifik, pemeriksaan ini diyakini sebagai
parameter yang sensitif untuk menilai adanya disfungsi paru terutama pada stadium
dini. Dlco juga berguna untuk pengawasan perkembangan penyakit dan hasil
pengobatan. Perubahan PAO2-PaO2 saat istirahat, FVC, dan Dlco dalam 1 tahun,
akan menggambarkan prognosis PPI.
Penyakit seperti polimiositis, scleroderma dan lupus eritematosus sistemik
harus dipikirkan bila uji pada pasien yang kooperatif menunjukkan penurunan
maximal voluntary ventilation (MVV) yang lebih besar dari penurunan maximal
voluntary pressure = MIP) sehubungan dengan kelemahan otot. Bila terdapat kelainan
obstruktif saluran napas, harus dipikirkan adanya PPOK, asma atau bronkiektasis
yang menyertai PPI.
Evaluasi fungsi paru saat latihan, baik tunggal maupun serial dapat membantu
penatalaksanaan PPI. Beratnya hipoksemia imbas latih dan perbedaan tekanan O2
alveolus-arteri (gradient A-alfa O2) berhubungan dengan beratnya fibrosis paru.
15
Diagnosis pasti ILD adalah dengan biopsi paru. Untuk mendapatkan hasil
jaringan yang terbaik, biopsi dilakukan dengan open lung biopsy yang mortaliti dan
morbiditinya tinggi. Selain itu bisa juga dengan prosedur video-assisted thoracoscopy
(VATS) yang relatif lebih mahal dari biopsi transbronkial maupun dengan
pemeriksaan bronchoalveolar lavage (BAL) yang merupakan pendekatan diagnostik
lain dari ILD. Prosedur transbronkial dan BAL dilakukan dengan menggunakan
bronkoskop serat lentur (fiberoptic bronchoscopy) yang morbiditi dan mortalitinya
lebih rendah. Pemeriksaan BAL bertujuan untuk mendapatkan sampel sel-sel dan
komponen nonselular dari unit bronkoalveolar yang dapat digunakan untuk
menentukan diagnosis, menentukan stadium penyakit, dan menilai kemajuan terapi
(follow up) pada beberapa penyakit ILD.
2.6 Penyakit Paru Interstitial
2.6.1 Fibrosis paru idiopatik
Fibrosis paru idiopatik atau cryptogenic fibrosing alveolitis (CFA/IPF) adalah
salah suatu penyakit ILD yang etiologinya tidak diketahui, walaupun ada bentuk IPF
yang diturunkan (bentuk familial), karena itu sebelum menegakkan diagnosis IPF
perlu disingkirkan penyebab fibrosis paru seperti sarkoidosis, eosinophilic
granuloma, penyakit vaskular kolagen, fibrosis paru akibat infeksi, aspirasi kronik,
dan obat-obatan. Pada IPF terdapat kompleks imun dalam serum dan paru pada fase
aktif penyakit. Walaupun kompleks imun dapat mengaktifkan sistem komplemen
namun belum ada bukti bahwa proses ini terjadi dalam paru. Kompleks imun
menstimulasi makrofag untuk melepaskan berbagai faktor antara lain leukotrien B4
(LTB4) yang menarik netrofil dan eosinofil. Makrofag alveolar juga melepaskan
oksidan yang menyebabkan jejas pada epitel paru sehingga terjadi proliferasi
fibroblas dan deposisi kolagen.
16
Fibrosis paru idiopatik (FPI) sering juga disebut Cryptogenic Fibrosing
Alveolitis (CFA). Gambaran umum FPI adalah batuk tak produktif, sesak yang
progresif, ronki kering di akhir inspirasi, terutama di basal paru (walaupun pada
stadium lanjut bisa sampai ke apeks). Bila terjadi konsolidasi alveolus, bisa terdengar
suara napas bronkial. Jari tabuh terdapat pada sepertiga dari seluruh pasien, gambaran
klinik lain pada stadium lanjut dapat ditemui sianosis, kor pulmonale, P2 (bunyi
jantung kedua dari katup pulmonalis jantung) mengeras. Gambaran foto toraks
menunjukkan bayangan retikular atau retikulonodular di bagian bawah kedua paru.
Ukuran paru biasanya mengecil.
Pada High Resolution CT scan (HRCT) akan tampak gambaran infiltrat
alveolar fokal (ground glass) dengan ukuran heterogen, cenderung melibatkan daerah
tepi (subpleural) dan basal. Terdapat ruang udara kistik menyerupai sarang lebah,
bronkogram udara lebih jelas, permukaan pleura tampak kasar, dinding bronkus dan
pembuluh darah tampak menebal.
Gambaran HRCT akan berhubungan dengan manifestasi histopatologi dari
penyakit ini. Gambaran ground glass pada umumnya (65%) adalah akibat alveolitis
aktif walaupun bisa juga (35%) disebabkan oleh fibrosis. Gambaran retikular berupa
persilangan garis-garis halus dan kasar merupakan akibat adanya fibrosis, kista-kista
kecil (<5 mm) atau peradangan septa (dinding) alveolus dan duktus.
Gambaran histopatologi bisa dijadikan pegangan untuk menentukan prognosis
FPI. Gambaran peradangan aktif masih bisa diharapkan berhasil bila diterapi dengan
steroid, sedangkan gambaran kronik seperti fibrosis dan kista umumnya merupakan
petanda kurang baik.
Strategi pengobatan pada FPI didasarkan pada penghentian atau penekanan
komponen peradangan dari penyakit. Kortikosteroid, imunosupresan/ zat sitotoksik,
dan zat antifibrotik (kolkhisin atau penisilamin), baik secara sendiri maupun
kombinasi dapat diberikan. Respon pengobatan hanya terjadi pada tak lebih dari 30%
pasien. Respon pengobatan yang terjadi pada umumnya juga hanya parsial (tidak
17
sembuh sempurna) dan sementara waktu (kambuhan). Harus pula diingat saat
memberikan terapi, bahwa obat-obat yang digunakan memiliki berbagai efek
samping.
Kortikosteroid dimulai dari 1-1,5 mg/kgBB/hari (40-80mg) prednison selama
2-4 bulan, selanjutnya diturunkan secara bertahap (tapering off). Lamanya waktu
tapering hingga kini tidak ada penelitian bakunya, namun umumnya hingga mencapai
6 bulan. Prednisolon dapat pula diberikan dengan dosis 0,8 dari prednison dengan
jangka waktu yang sama. Bila ada responnya, maka hasil baru tampak setelah 2-3
bulan. Terapi pemeliharaan selanjutnya, dengan dosis rendah, hanya diberikan bila
jelas terdapat respon pada pengobatan dosis tinggi. Terapi pemeliharaan ini diberikan
lebih dari 1-2 tahun. Pengawasan terhadap efek samping steroid jangka lama harus
terus dilakukan selama pemberian terapi.
Pada pasien yang gagal dengan steroid atau memiliki kontraindikasi
pemberian steroid, obat imunosupresan seperti azatioprin atau siklofosfamid harus
dipertimbangkan. Siklofosfamid diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Respon pengobatan
dengan siklofosfamid umumnya lebih lambat dari steroid. Karena itu kegagalan atau
keberhasilan terapi baru bisa dibuat setelah 4-6 bulan. Anemia, trombositopenia,
lekopenia, infeksi oportunistik (seperti herpes zoster dan pneumositis karinii),
keganasan hematologi, sistitis hemoragika dan infertilitas adalah berbagai keadaan
yang perlu diwaspadai sebagai efek samping pengobatan dengan siklofosfamid.
Azatioprin telah dicoba pada FPI dengan hasil yang tidak konsisten.
Penggunaan Azatioprin baik sendiri maupun kombinasi dengan prednison hendaknya
hanya menjadi alternatif bila gagal dengan steroid. Dosis yang diberikan mulai dari
100 mg/hari dan dapat dinaikkan hingga 200 mg selama tak ada efek samping.
Lekopenia, anemia, trombositopenia adalah efek samping Azatioprin yang harus
dipantau 2 minggu sekali dalam 6 minggu pertama dan selanjutnya sebulan sekali.
Evaluasi terapi dilakukan setelah 4-6 bulan.
18
Secara teoritis pemberian kolhisin bertujuan untuk menghambat pembentukan
kolagen atau fibrosis. Efektivitas pemberian kolhisin pada FPI, hingga kini belum
dapat dibuktikan, namun efek samping berat kolhisin juga relatif jarang. Oleh karena
itu, kolhisin tetap dicoba diberikan pada kasus-kasus kegagalan pemberian
kortikosteroid dengan dosis oral 1-2x0,6 mg. pemberian kolhisin bisa dikombinasi
atau tidak dengan imunosupresan.
2.6.2 Sarkoidosis paru
Sarkoidosis adalah penyakit inflamasi multiorgan yang etiologi/antigen
penyebabnya belum diketahui. Antigen yang telah diproses oleh makrofag
dipresentasikan kepada sel limfosit T sehingga teraktivasi dan mengeluarkan
interleukin-1 yang akan mengaktifkan limfosit CD4 untuk mengeluarkan interleukin-
2, sehingga terjadi : (1) kemotaksis, yang menarik sel limfosit dari sirkulasi ke tempat
pembentukan granuloma, (2) mitogenesis, stimulasi sel limfosit T sehingga
berproliferasi di tempat pembentukan granuloma. Kompartementalisasi sel-sel
inflamasi pada paru mengakibatkan gambaran limfositopenia pada darah tepi dan
CD4 lymphocyte-rich alveolitis (alveolitis limfositik).
Dari semua organ, sarkodiosis paru dan kelenjar limfe intratoraks adalah
yang tersering. Berbeda dengan granuloma karena tuberkulosis, granuloma pada
sarkoidosis tidak ditemukan perkijuan. Penyebab sarkoidosis sampai saat ini belum
diketahui dengan jelas. Diduga sarkodiosis disebabkan oleh beberapa faktor
sekaligus. Faktor genetik nampaknya berperan kareba sarkoidosis sering ditemukan
pada kelompok (kluster) keluarga. Kembar monozigot sering terkena secara bersama-
sama, daripada kembar heterozigot. Faktor gangguan pengaturan sistem imun
nampaknya berperan karena antinuclear antibody (ANA), rheumatoid factor (RF),
hipergamaglobulinemia, dan berbagai kompleks imun bisa ditemukan pada
sarkodiosis. Faktor lingkungan termasuk infeksi diduga sebagai pencetus sarkoidosis
karena ditemukan kecenderungan pengelompokkan kejadian pada waktu atau musim
19
yang sama, juga pekerjaan yang sama. Walaupun hingga kini belum ada yang
terbukti, di antara infeksi yang dicurigai adalah mikobakteria dan berbagai virus.
Sebagaimana pada infeksi tuberkulosis ada uji kulit dengan tunerkulin, pada
sarkoidosis ada uji kulit Kveim-Stilzbach. Pada uji ini disuntikkan suspensi jaringan
sarkoid secara intradermal. Setelah 1-14 minggu, bila positif akan terbentuk papul
keras yang bila dibiopsi akan menunjukkan adanya granuloma. Sayangnya reagen
untuk uji ini tida luas diperjualbelikan.
Dua pertiga pasien sarkoidosis tidak bergejala dan ditemukan secara tidak
sengaja ketika foto rontgen toraks. Gejala tersering adalah batuk dan sesak napas.
Batuk umumnya tidak produktif dan bisa berat. Sesak napas biasanya progresif
perlahan-lahan. Bila batuk produktif biasanya suda terjadi fibrokistik yang
merupakan suatu keadaan yang berhubungan dengan bronkiektasis dan infeksi
berulang.
Pada sarkoidosis bisa terjadi keadaan akut dimana terjadi eritema nodosum,
dan adenopati hilus yang disebut dengan sindrom Sjorgen yang biasanya disertai
dengan demam, poliartritis, uveitis. Eritema nodosum yang terjadi biasanya dalam
bentuk nodul merah, nyeri, berdiameter beberapa sentimeter. Poliartritis seringkali
menyerang kaki, mata kaki, lutut dan terkadang mengenai pergelangan tangan dan
siku.
Pada sarkoidosis dapat ditemukan alergi kulit yang menyebabkan negatif
palsu pada uji yang didasarkan pada hipersensitivitas tipe lambat, termasuk uji
tuberkulin.
Terapi sarkoidosis masih mengandalkan kortikosteroid hingga sekarang. Pada
sarkoidosis paru, prednison dapat diberikan 40 mg/hari selama 2 minggu lalu
diturunkan 5 mg/hari setiap 2 minggu hingga mencapai 15 mg/hari. Dosis 15 mg/hari
dipertahankan hingga 6-8 bulan, lalu diturunkan lagi 2,5 mg/hari tiap 2-4 minggu
sampai obat dapat dihentikan. Selama dosis obat diturunkan bertahap, evaluasi
terhadap kemungkinan kekambuhan harus selalu dilakukan.
20
Sarkoidosis fibrokistik dapat berkomplikasi bronkiektasis, misetoma dan
hemoptisis. Aspergilus fumigatus adalah koloni yang tersering ada, akan tetapi
umumnya akan sembuh sendiri dan tak memerlukan terapi anti jamur. Ada yang
menganjurkan pemberian steroid dosis rendah dan antibiotik kronik dengan
menggilirkan jenisnya untuk mengurangi gejala bronkiektasis dan hemptisis.
Sarkoidosis paru dapat menyebabkan korpumonale. Terapi yang diberikan
pada keadaan ini mencakup suplementasi oksigen, diuretik dan bronkodilator.
Antibiotik harus segera diberikan bila terdapat infeksi bronkitis atau bronkiektasis
yang mencetuskan kekambuhan.
Pada kasus refrakter terhadap steoid, metotreksat menjadi alternatif dengan
cara pemberian dosis rendah sekali seminggu. Azatioprin, klorambusil, dan
siklofofamid telah dicoba untuk sarkoidosis dengan hasil yang tak menentu.
Penelitian dengan siklosporin telah terbukti mengecewakan dalam terapi sarkoidosis.
Transplantasi paru atau transplantasi jantung-paru menjadi alternatif terbaru
yang masih harus dikembangkan protokolnya bagi sarkoidosis paru lanjut. Pada
sedikit kasus, granuloma masih bisa timbul kembali pada paru yang telah
ditransplantasi.
2.6.3 Pneumonitis hipersensitivitas
HP atau extrinsic allergic alveolitis (EAA) suatu sindrom akibat inhalasi
antigen berulang terutama partikel organik seperti bakteri termofilik, protein avian,
jamur dan bahan kimia. Apabila terjadi interaksi dengan antigen maka akan terdapat
kompleks imun yang terdeposisi di paru (reaksi Arthus) dan terdapat produksi
antibodi IgG dan IgM di paru. Pembentukan granuloma terjadi akibat infiltrasi
makrofag dan limfosit ke dalam dinding bronkiolus dan dinding alveoli.
Pneumonitis hipersensitivitas ditandai dengan kelainan yang terjadi pada
suatu kelompok (kluster), orang yang memiliki lingkungan atau pekerjaan yang sama.
Oleh karena itu Pneumonitis hipersensitivitas bukanlah reaksi idiosinkrasi orang
21
tertentu akibat paparan zat tertentu. Peradangan paru akibat masuknya zat ke saluran
napas secara individual, seperti misalnya hipersensitivitas pada suatu orang tertentu
akibat cairan bilas bronkus saat bronkoskopi, tidak digolongkan pada Pneumonitis
hipersensitivitas. Beberapa contoh Pneumonitis hipersensitivitas antara lain adalah
bagasosis di Lousiana Amerika Serikat, penyakit paru operator mesin (mesin
operator’s lung), penyakit paru petani (farmers lung disease= FLD), penyakit
penggemar burung ( bird’s fancier’s disease= BFD) di Eropa dan Amerika, penyakit
peternak merpati (pigeon breader disease=PBD) di Meksiko dan Amerika Serikat,
paru ventilator, Pneumonitis hipersensitivitas musim panas Jepang (Japanese Summer
– type hypersensitivity Pneumonia)
Gambaran klinik PH bisa akut atu kronik. Pada kondisi akut, sesak napas,
batuk kering, mialgia, menggigil, diaforesis, sakit kepala dan malaise. Dapat timbul
2-9 jam pasca paparan. Puncak gejala akan tampak antara 6-24 jam dan akan
berkurang sendiri tanpa terapi umumnya dalam 1-3 hari. Pada pemeriksaan fisik
dapat dijumpai demam, takipneu, ronki di kedua basal dan bisa sianosis.
Sebagaimana umumnya pada PPI, pada PH akut gambaran radiologi
didominasi oleh gambaran radiodensitas nodular tidak berbatas tegas, dengan daerah
ground glass atau bahkan konsolidasi. Sedangkan pada PH kronik, garis-garis
radiodensitas yang menggambarkan fibrosis lebih menonjol dan bercampur dengan
bayangan nodular. Gambaran ini terutama ada di lobus atas.
Pada CT scan terutama HRCT, pasien dengan PH kronik akan menunjukkan
nodul sentrilobular multiple dengan diameter 2-4 mm dengan daerah-daerah ground
glass. Daerah ground glass ini lebih mendominasi di lobus bawah. Berbeda dari
sarkoidosis, nodul pada PH tidak menempel pada pleura atau berkas bronkovaskular.
Bisa ditemukan lekositosis dengan netrofilia dan limfopenia di darah tepi.
Pada bilasan brunkus terdapat netrofilia. Walaupun disebut hipersensitivitas atau
reksi alergi tetapi pada PH terdapat eosinofilia atau peningkatan IgE. Tanda
peradangan non spesifik seperti LED atau CRP bisa meningkat. Terdapat peningkatan
22
IgG, IgM dan IgA terhadap zat yang menimbulkan perangsangan di dalam serum dan
cairan bronkus.
Untuk menegakkan diagnosis PH digunakan kriteria mayor dan minor (tabel
1). Diagnosis PH tegak bila semua kriteria mayor harus terpenuhi dan minimal
terdapat 4 kriteria minor serta penyakit lain yang serupa telah disingkirkan.
Jenis PH dan lokasi geografis PH membedakan prognosis dari PH. Misalnya penyakit
peternak merpati di Eropa memiliki prognosis yang baik, tetapi di Meksiko penyakit yang
sama memiliki kematian dalam 5 tahun mencapai 30 %.
Kriteria mayor Kriteria minor
1. Ada bukti paparan antigen yang
sesuai, baik dari anamnesis
maupun pemeriksaan antibodi
serum
2. Gejala yang sesuai dengan PH
3. Kelainan radiologi atau histologi
yang sesuai PH
1. Ronki kedua basal paru
2. Kapasitas difusi paru menurun
3. Hipoksemia arteri, baik karena
latihan atau saat istirahat
4. Kelaianan histologi paru yang
sesuai dengan PH
5. Adanya peningkatan suhu, lekosit,
perubahan radiologi atau
peningkatan gradient alveolar-
arteri (ditandai dengan penurunan
PaO2) setelah adanya paparan
alamiah dengan antigen yang
diduga
6. Limfositosis dari cairan lavase
bronkus
Penatalaksanaan penyakit ini dimulai dari menjauhkan pasien dari paparan.
Bila belum terjadi fibrosis yang luas, kelainan umumnya akan membaik dalam
beberapa hari hingga sebulan. Balum ada penelitia formal akan penggunaan steroid,
23
tetapi prednion atau prednisolon sering digunakan pada PH dengan dosis 40-60 mg/
hari sampai 2 minggu lalu diturunkan bertahap dalam waktu 1-2 bulan. Penggunaan
steroid tampaknya mempercepat pengurangan peradangan aktif sehingga perbaikan
klinis lebih cepat. Tetapi steroid tidak berguna pada proses kronis (fibrosis) yang
sudah terjadi, sehingga setelah 6 bulan, saat tanpa steroid pun peradangan aktif sudah
berkurang, keadaan paru tidak akan berbeda antara yang mendapat steroid dan yang
tidak mendapat steroid
2.6.4 Pneumonitis radiasi
Pneumonitis radiasi sering terjadi pada radioterapi keganasan. Pada
keganasan, kemoterapi seringkali juga menimbulkan efek toksik pada paru-paru
sehiongga kombinasi radio-kemoterapi akan meningkatkan resiko perlukaan paru.
Bahkan fenomena yang disebut sebagai “radiation recall” bisa terjadi. Fenomena ini
adalah kejadian peradangan paru yang terjadi pada pemberian adriamisin atau
aktinomisin bahkan beberapa bulan setelah radioterapi.
Manifestasi toksisitas paru akibat radiasi dapat dibedakan atas akut dan
kronik. Reaksi atai manifestasi akut umumnya baru terjadi pada dosis terapi yang
tinggi (50-60 Gy). Kelainan yang timbul umumnya hanya pada saluran napas berupa
mukosa yang meradang. Gejala yang timbul berupa batuk kering. Terapi antitusif
seperti codein dan banyak minum umumnya dapat mengatasi masalah ini.
PPI akibat radiasi adalah manifestasi kronik dari kelainan paru akibat radiasi.
Pneumonitis akibat radiasi biasanya baru tampak pada 2-6 bulan setelah radioterapi.
Pada umumnya Pneumonitis radiasi tak bergejala walaupun tampak kelainan pada
foto toraks. Bila bergejala maka akan terdapat demam (bisa mendadak tinggi), abtuk
dan sesak napas. Gejala umumnya berhubungan dengan besarnya dosis radiasi. Dosis
radiasi yang diberikan terbagi kecil-kecil akan memperkecil resiko dan gejala
pneumonitis radiasi.
Penyakit paru interstitial akibat penyakit vaskular kolagen
24
Berbagai kelainan paru bisa muncul pada berbagai penyakit vaskular kolagen.
Disfungsi otot pernapasan, pneumonia aspirasi, vaskulitis paru, hipertensi pulmonar,
bronkiolitis, bronkiolitis obliterans, efusi pleura, penyakit paru interstitial (PPI),
hingga nodul di parenkim paru bisa terjadi pada penyakit vaskular kolagen.
PPI terjadi pada dua perempat pasien skleroderma, sedangkan sekitar
seperempat pasien spondilitis ankilosa akan mengalami PPI. Pada artritis reumatoid,
sindrom Sjorgen, polimiositis-dermatomiositis, serta lupus eritematosus sistemik, PPI
bisa terjadi lebih dari 30% pasien.
Sebagai contoh kasus PPI pada penyakit vaskular kolagen di bawah ini akan
disinggung PPI pada lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid dan skleroderma.
2.6.5 Lupus eritamatosus sistemik
Ada dua bentuk PPI pada lupus, yaitu bentuk akut dan bentuk kronik. Bentuk
akut disebut dengan pneumonitis lupus akut (PLA), sedangkan bentuk kronik disebut
penyakit paru interstitial lipus (PPI lupus). Gambaran histologi dari PLA adalah
duffuse alveolar damage, BOOP, cellular interstitial pneumonitis atau kombinasi
antara ketiganya. Gambaran PPI lupus adalah UIP atau serupa dengan FPI.
PLA seringkali sulit dibedakan dari pneumonia infeksi. Pada lupus memang
sering pula terjadi infeksi baik karena lupus sendiri menyebabkan gangguan sistem
imun, juga pada lupus sering diberikan terapi imunosupresan. Kadangkala hanya
kultur dari cairan lavase bronkoalveolar yang dapat membedakan PLA dari
pneumonia infeksi. Pada PLA terdapat sesak napas, ronki, leukositosis, peningkatan
laju endap darah dan infiltrat alveolar bilateral pada foto torax. PLA bisa kambuh
berulang serta bisa terjadi gagal napas hingga membutuhkan ventilator mekanik. Pada
kehamilan kejadian PLA cenderung meningkat. Selain suportif dengan menjaga
suplai oksigen ke arteri, terapi PLA adalah mengikuti terapi lupus sistemiknya.
PLI lupus timbul setelah pasien menderita lupus beberapa tahun. Pasien PPI
lupus akan mengalami sesak napas yang perlahan-lahan memberat, batuk dan
25
gambaran infiltrat pada foto kedua paru. Respon terhadap obat seperti kortikosteroid
atau siklofosfamid atau azatioprin tergantung apakah masih ada gambaran aktif
(cellular interstitial pneumonitis) pada pemeriksaan histologinya.
2.6.6 Artritis reumatoid
Komplikasi pleuropneumonia pada artritis reumatoid umumnya terjadi pada
kasus yang lanjut atau berat. PPI muncul pada 5-40% pasien artritis reumatoid. Gejala
klinisnya adalah sesak dan batuk. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki pada
kedua basal basal paru dan jari tabuh. Bila terdapat hipertensi pulmonal akibat
vasokontriksi hipoksik bisa terjadi korpulmonal. Foto thorax dan CT scan turaks
menunjukkan infiltrat interstitialis terutama di basal dan tepi paru-paru. Pada kasus
lanjut didapatkan gambaran sarang tawon.
BOOP dapat muncul dengan gejala klinis yang mirip dengan UIP dan dapat
muncul bahkan segala artritis muncul. Apabila artritis reumatoid berkomplikasi
dengan sindroma Sjogren dapat pula ditemukan gambaran LIP. Pasien dengan BOOP
atau LIP umumnya lebih responsif terhadap terapi daripada yang bergambaran UIP.
Demikian pula pasien dengan BOOP dengan penyebab yang idiopatik sering kali
memiliki respon terapi yang lebih baik lagi dibanding dengan yang diakibatkan oleh
penyakit vaskular kolagen. Terapi yang diberikan adalah steriod dan bila tidak
berespons dapat dikombinasikan dengan sitotoksik.
Garam emas sering diberikan sebagai terapi pada artritis reumatoid dan sering
pula menyebabkan pneumonitis. Gambaran histopatologi pada PPI akibat reumatoid
sering kali serupa dengan yang diakibatkan oleh emas , sehingga membedakannya
haris dilakukan secara klinis. Sesak dan batuk timbul 4 sampai 6 minggu setelah
pemberian terapi emas. Pada beberapa kasus bisa terdapat eosinofilia di hitung jenis
lekosit darah tepi. Walaupun bisa bermanifestasi di basal, namun pneumonitis karena
emas cenderung lebih ke atas daripada infiltrat paru akibat artritis reumatoid. Seperti
akibat langsung artritis reumatoid, pneumonitis karena emas kadang kala juga
26
membaik dengan steroid, namun yang khas adalah perbaikan langsung terjadi dengan
dihentikannya terapi emas.
Selain emas, terapi metotreksat (yang bisa diberikan karena artritis
reumatoidnya atau karena PPI reumatoidnya) juga bisa menyebabkan pneumonitis.
Kejadian pneumonitis karena metotreksat adalah jarang (1-11%) namun bila terdapat
pneumonitis/PPI saat metitreksat diberikan, maka obat ini harus dihentikan.
2.6.7 Skleroderma
Skleroderma adalah penyakit fibrotik kronik-inflamatif pada matriks
ekstraselular kulit dan berbagai organ dalam. Dilaporkan 70-100% pasien
skleroderma mengalami keterlibatan paru walau gejalanya belum tampak.
Gambaran histopatologi utama pada skleroderma paru adalah UIP dan sarang
tawon, seperti yang ditemukan pada FPI. Gambaran sarang tawon adalah gambaran
dari keadaan kronik atau lanjut. UIP paling sering muncul pada skleroderma kulit
yang menyeluruh, walaupun bisa juga ditemukan pada skleroderma kulit yang
terlokalisir, yang dulu disebut sebagai sindrom CREST. Pada kasus yang disertai
dengan sindrom Sjogren dapat ditemukan LIP.
Gejala klinis yang menonjol adalah batuk dan sesak napas yang memberat
dengan aktivitas. Ronki ditemukan di kedua basal. Jari tabuh jarang ditemukan. Tes
fungsi paru menunjukkan restriksi, hipoksemia, serta gradient O2 alveolar arteri
melebar. Gambaran radiologi menunjukkan infiltrat interstitial kedua basal yang
makin lama makin menyeluruh, volume paru mengecil, kista-kista sarang tawon dan
berbagai tanda hipertensi pulmonar. Parut skleroderma di paru-paru dilaporkan
berhubungan dengan kanker paru (adenokarsinoma atau karsinoma sel alveolar).
Terapi empirik kelainan ini adalah dengan kortikosteroid yang bila gagal dapat
dipertimbangkan siklofosfamid atau penisilamin.
27
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit paru interstitial (PPI) atau interstitial lung disease adalah kelompok
berbagai penyakit yang melibatkan dinding alveolus, jaringan sekitar alveolus dan
jaringan penunjang lain di paru-paru.
Secara umum ILD dapat dibagi dalam 5 klasifikasi klinis yaitu (1)
berhubungan dengan penyakit vaskular kolagen (Collagen vascular associated),
(2) akibat pengaruh obat atau radiasi, (3) Primary or unclassified diasease related,
(4) akibat pengaruh pekerjaan atau lingkungan, dan (5) penyakit fibrosis idiopatik
(Idiopathic fibrotic disorders).
PPI terdiri atas berbagai penyakit yang memiliki kemiripan dalam gejala,
perubahan fisiologi, gambaran radiologi dan gambaran histopatologinya. Pasien yang
28
ditemukan dengan kecurigaan PPI harus dievaluasi lengkap untuk kemungkinan
penyakit lain. Diagnosis pasti ILD adalah dengan biopsi paru.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Rasmin, Menaldi. Bronchoalveolar Lavage Pada Interstitial Lung Disease.2010
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI – SMF Paru
RSUP Persahabatan. Jakarta.
Sudoyo, AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 2006. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Djojodibroto, RD. Respirologi (respiratory medicine). 2009. EGC. Jakarta.
Ward, JP. At a Glance Sistem Respirasi. 2007. Erlangga. Jakarta.
29
Darya IW. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Pneuminitis Hipersensitivitas. 2008.
Bagian SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar.
Denpasar.
Anonymous. Interstitial lung disease (disorders). Available at http://www. beltina.
org /health-dictionary/interstitial-lung-disease-disorders-symptoms-treat
ment. html. Diakses tanggal 18 September 2011.
30
Recommended