View
5
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
REFORMASI DI MILITER: STUDI PENGANGKATAN
PANGLIMA TNI PADA MASA PEMERINTAHAN
ABDURRAHMAN WAHID (1999-2002)
Skripsi
diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana (S.Sos)
Oleh
Ahmad Sidik Wibowo
1111112000101
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
iv
ABSTRAKSI
Nama : Ahmad Sidik Wibowo
Judul : Reformasi di Militer: Studi Pengangkatan Panglima TNI pada Masa
Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2002)
Skripsi ini membahas tentang pengangkatan Laksamana Widodo Adi
Sutjipto sebagai Panglima TNI di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman
Wahid pada tahun 1999-2002. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui alasan
mengapa terjadi perbedaan pola pengangkatan Panglima TNI, yang menjadikan
Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI pada era Kepresidenan
Abdurrahman Wahid dibanding era sebelumnya.
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan
kualitatif melalui analisa deskritif yang terkait dengan reformasi di militer khusus
pada pengangkatan Panglima TNI di era Presiden Abdurrahman Wahid.
Pengumpulan data yang digunakan adalah dengan studi pustaka dan wawancara
yang dilakukan peneliti.
Landasan teori dalam skrispi ini adalah reformasi, institusi dan militer,
masing-masing teori digunakan untuk menjawab reformasi militer khususnya TNI
dalam pengangkatan Panglima TNI di era Kepresidenan Abdurrahman Wahid.
Peneliti juga menggunakan teori kebijakan, untuk melihat kebijakan yang diambil
Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto dalam mengawal Reformasi
internal TNI.
Dari hasil penelitian kualitatif melalui teori tersebut menunjukan terdapat
3 alasan pengangkatan Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI,
yaitu: faktor politik, agenda dan struktur. Politik merupakan faktor utama yang
menjadikan Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI oleh Presiden
Abdurrahman Wahid. Faktor kedua adalah agenda kemaritiman, Presiden
Abdurrahman Wahid mempunyai agenda tentang kemaritiman, dan yang terakhir
faktor struktur yang digagas Presiden Abdurrahman Wahid agar semua Angkatan
mempunyai derajat yang sama dalam kesempatan menjadi panglima TNI.
Kata Kunci: TNI, Pengangkatan Panglima TNI dan Presiden Abdurrahman
Wahid
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi rabbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan karunia, ilham serta inayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kepada Rasul Allah, junjungan Nabi
besar kita Muhammad SAW, orang yang paling dicintai Allah beserta sahabat dan
keluarganya, semoga kita bisa mendapat syafaat di hari akhir nanti. Amin ya
Robbal ‘alamin.
Rasa syukur, keberkahan dan kebahagian yang tidak terhingga dan tidak
ternilai bagi peneliti adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada banyak
pihak yang telah mendukung dan memberikan dukungannya kepada peneliti baik
berupa doa, moril maupun materil. Dengan segala kerendahan hati, izinkan
peneliti untuk mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Zulkifli sebagai dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staff dan
jajarannya.
2. Dr. Iding Rosyidin, sebagai ketua Program Studi Ilmu Politik.
3. Suryani, M.Si sebagai sekertaris Program Studi Ilmu Politik dan kepada
semua dosen di Prodi Ilmu Politik yang selalu mengajarkan pentingnya
keseriusan dalam menuntut ilmu.
4. Prof. Dr. Idzam Fautanu sebagai dosen pembimbing yang selalu
memberi masukan-masukan yang berharga dan selalu meluangkan
waktu sibuknya untuk peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik.
5. Bapak Edi Sugeng Haryadi dan Ibu Kumaryati, orang tua peneliti yang
sangat peneliti cintai. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas doa dan
perjuang bapak dan ibu untuk putranya ini mendapatkan gelar Sarjana.
Skripsi dan gelar ini dipersembahkan untuk kalian dan mungkin ini
hanya kebanggaan kecil yang bisa peneliti berikan. Doakan terus agar
anakmu ini dapat memberikan kebahagian-kebahagian lainnya yang
lebih besar.
6. Kepada seorang yang spesial Ulfah Nailah Ningrum yang selalu
memberikan semangat dan menemani dalam proses pembuatan skripsi
ini dari belum terbuatnya Skripsi sampai dengan skripsi ini selesai.
7. Kepada Juru Bicara Kepresidenan era Abdurrahman Wahid Adhie
Massardi, Pengamat Militer Salim Said dan Purn. Laksamana TNI
Widodo Adi Sutjipto. Terima kasih atas ketersediaannya untuk ikut
membantu peneliti dalam pencarian data yang peneliti butuhkan.
8. Untuk keluarga besar Saban dan Sadono, terima kasih atas doa dan
supportnya kepada peneliti dalam pencarian data yang dibutuhkan
selama penelitian berlangsung.
9. Khusus Untuk Michael Jordan, Koento, Roni dan Azim atas segala
macam bantuan yang telah diberikan dalam pembuatan skripsi ini,
semoga Tuhan Membalas amal perbuatan kelak di akhirat nanti.
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME.......................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI.....................................................ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI...................................................iii
ABSTRAK ....................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
DAFTAR ISI.....................................................................................................vii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ............................................................... 13
C. Tujuan dan manfaat .................................................................. 14
C.1. Tujuan .............................................................................. 14
C.2. Manfaat ............................................................................ 14
C.2.a. Manfaat Akademis ............................................... 14
C.2.b. Manfaat Praktis.................................................... 15
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 15
E. Metode Penelitian ..................................................................... 16
F. Jenis Penelitian .......................................................................... 17
G. Teknik Analisa Data .................................................................. 19
H. Metode Penulisan ...................................................................... 19
I. Sistematika Penulisan ................................................................. 19
BAB II KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL
A. Reformasi ................................................................................. 22
B. Institusi ..................................................................................... 24
C. Militer ....................................................................................... 27
D. Kebijakan Publik ...................................................................... 33
BAB III SEJARAH MILITER INDONESIA DAN KONDISI POLITIK
DI ERA ABDURRAHMAN WAHID
A. Latar Belakang Sejarah Militer Indonesia ............................. 41
viii
B. Kondisi Militer dan Politik Pasca Orde Baru ......................... 50
C. Supremasi Sipildi Era Abdurrahman Wahid .......................... 58
D. Militer di Era Reformasi ........................................................ 60
BAB IV REFORMASI DI MILITER: STUDI PENGANGKATAN
PANGLIMA TNI PADA MASA PEMERINTAHAN
ABDURRAHMAN WAHID (1999-2002)
A. Reformasi di Tubuh TNI ........................................................ 68
B. Profil Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto ......... 79
C. Pengangkatan Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai
Panglima TNI ......................................................................... 86
D. Kebijakan Panglima TNI Widodo Adi Sutjipto ..................... 96
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 99
B. Saran………………………………………………………..102
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................103
LAMPIRAN-LAMPIRAN.............................................................................101
ix
DAFTAR TABEL
Tabel III.D.1 Daftar Panglima TNI ..................................................... 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terdapat satu organisasi dalam sejarah Indonesia modern yang posisinya
paling penting dibandingkan organisasi lain maka jawabannya adalah angkatan
bersenjata. Angkatan bersenjata atau yang biasa dikenal sebagai militer, telah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Hubungan militer dengan negara Indonesia di mulai dari sebelum Negara
Indonesia medeka, tepatnya pada masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Sejarah terciptanya organisasi militer atau tentara di Indonesia, berawal pada
masa kolonial Belanda. Proses ini terjadi ketika tahun 1826-1827, saat Belanda
berperang dengan Pangeran Diponogoro1. Di peperangan tersebut, Belanda
mendapatkan banyak kerugian, sehingga pemerintah kolonial Belanda membentuk
pasukan khusus yang terdiri dari para pribumi dan pasukan bayaran2. Di
bentuknya tentara khusus daerah Hindia-Belanda memberikan sebuah organisasi
modern tentara pertama di Indonesia, walaupun pada saat itu mayoritas
pasukannya masih berasal dari Belanda. Sekitar tahun 1930, pemerintah kolonial
Belanda memberikan izin untuk mendirikan sekolah akademi militer pertama di
Indonesiaa, yaitu tepatnya di Master Cornelius yang sekarang tempat itu bernama
Jatinegara. Di tempat itu, masyarakat Indonesia (kaum pribumi) dilatih untuk
1Petrik Matanasi, Pribumi Jadi Letnan KNIL. (Yogyakarta: Trompet, 2011), h. 3.
2Ibid., 4.
2
menjadi calon perwira militer pertama di Indonesia3. Sekolah militer tersebut,
walaupun menjadi organisasi militer pertama yang menerima pribumi sebagai
tentaranya, namun mereka juga harus setia dan berjuang atas nama Ratu Belanda4.
Ketika perang dunia kedua meletus, Belanda harus mengakui kekalahannya oleh
Jepang atas wilyah Hindia-Belanda. Masuknya pemerintah jepang di wilayah
Indonesia, juga memberikan akibat terhadap organisasi militer di Indonesia5.
Jepang membentuk organisasi yang bernama PETA (Pembela Tanah Air).
Titik ini menggambarkan perubahan drastis di dalam organisasi militer di
Indonesia. Kemerdekaan tahun 1945, pemerintah Indonesia tidak langsung
membentuk organisasi militer, karena banyak yang menjadi pertimbangan6. Pada
tanggal 5 Oktober 1945, barulah di bentuk organisasi militer yang murni dari
masyarakat Indonesia, dengan nama TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Seiring
dengan berjalannya waktu, tepatnya pada tanggal 5 Mei 1947 nama TNI (Tentara
Nasional Republik Indonesia) mulai digunakan oleh tentara Indonesia7.
Terbentuknya TNI sebagai nama kesatuan dari tentara Indonesia menjadi tonggak
sejarah penting dari terciptanya organisasi militer professional Indonesia. TNI
pada awal-awal kemerdekaan, pasukannya terdiri atas tentara KNIL, PETA, dan
perjuang Laskar-Laskar yang ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan dari
tangan Belanda.
3Colin Wild dan Peter Carey, ed., Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1986), h. 80. 4Ibid.
5Ibid., 81.
6Ibid., 136.
7Ibid., 82.
3
Organisasi militer di Indonesia saat ini terdiri dari ketiga pasukan yang
bernaung di bawah TNI, yaitu Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Ketiga pasukan
ini menjadi tulang punggung organisasi militer di Indonesia. Di dalam ketiga
angkatan militer ini di bentuk untuk menjaga keutuhan dan persatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dari wilayah darat, laut, maupun udara dan
untuk menghalau serangan dari musuh yang ingin menguasai Indonesia.
Militer di setiap negara merupakan sebagai salah satu lambang kekuatan dari
negara tersebut. Tidak terkecuali di Indonesia, Militer di Indonesia disebut juga
sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menjaga kedaulatan seluruh
wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia dari ancaman Luar Negeri. TNI
dipimpin oleh seorang Panglima yang dipilih oleh Presiden. Panglima merupakan
pemimpin besar dari tentara nasional Indonesia yang memimpin seluruh Angkatan
di Indonesia, baik Angkatan Darat, Angakatan Laut dan Angakatan Udara.
Panglima ialah satu bagian utama yang tidak boleh terlewatkan, dunia ini pasti
memiliki seorang pemimpin yang harus mengelola dan mengatur jalan organisasi
tersebut. Kepemimpinan menjadi bagian yang terpenting di dalam sebuah
organisasi, dan hal ini juga berlaku dalam militer. Panglima umunnya adalah
seorang perwira atas atau senior yang berbintang empat. Panglima di organisasi
militer menmimpin seluruh angkatan bersenjata yang bernaung di dalam
organisasi tersebut. Panglima TNI bertugas untuk memimpin seluruh angkatan
bersenjata yang berada di TNI, yaitu Angkatan Darat, Laut dan Udara. Jabatan ini
diberikan oleh presiden kepada perwira senior yang telah di seleksi melalui
berbagai tahap penyeleksiannya. Panglima Tentara Nasional Indonesia atau biasa
4
disebut Panglima TNI adalah pejabat yang menjadi pucuk pimpinan dari Tentara
Nasional Indonesia. Sebagai pucuk pimpinan, panglima adalah seseorang yang
mempunyai wewenang komando operasional militer untuk menggerakkan
pasukan atau alat negara8.
Di era Orde Lama, TNI yang dahulunya bernama Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) sampai dengan runtuhnya Orde Baru pemimpin tertinggi militer di
Indonesia selalu dikuasai oleh Angkatan Darat. Kepemimpinan di awal negara
Indonesia dijabat oleh seorang panglima tertinggi yang berasal dari Angkatan
Darat yaitu Jenderal Sudirman yang dipilih langsung oleh Soekarno yang menjabat
sebagai presiden pada saat itu.
Meninggalnya Jenderal Besar Sudirman maka berganti pula pucuk tertinggi
dari militer Indonesia. Pergantian panglima terus berganti tetapi mereka tetap dari
Angkatan Darat yang terpilih sebagai Panglima. Rezim telah berganti,
pemerintahan yang selanjutnya dipimpin oleh seorang yang berasal dari Angkatan
Darat, yaitu Letjen Soeharto. Pada masa Soeharto sistem pemerintahan juga
berganti di berbagai sektor, termasuk Panglima TNI, pada masa ini Angkatan
Darat seolah-olah menjadi anak emas dari Soeharto sehingga segala kebutuhan
Angkatan Darat di akomodir, termasuk Panglima TNI yang terpilih dari Angkatan
Darat. Selama dia berkuasa 32 Tahun panglima tetap berasal dari Angkatan Darat.
Beberapa nama Panglima-panglima TNI, serta istilah Panglima TNI di era
masing-masing pemerintahan, dari era pemerintahan Soekarno sampai dengan
8Liem Siok Lan. Mengutamakan Rakyat-Wawancara Mayor Jenderal TNI Saurip Kadi
oleh Liem Siok Lan.( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2008), h. 147.
5
Abdurrahman Wahid, di mulai pada tanggal 14 Oktober 1945, beberapa bulan
setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Jendral Urip Sumorharjo
ditetapkan sebagai Kepala Staff Angkatan Perang dan pemimpin sementara
angkatan perang yang baru dibentuk. Selanjutnya Presiden Soekarno melantik
Jenderal Soedirman menjadi Panglima Besar TKR pada 18 November 1945. Pada
8 Januari 1946, nama TKR diganti namanya menjadi Tentara Keselamatan
Rakyat.
Pada 26 Januari 1946, pemerintah Indonesia mengeluarkan maklumat
mengenai pergantian nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara
Republik Indonesia (TRI). 25 Mei 1946, Panglima Besar Jenderal Soedirman
dilantik oleh Presiden Soekarno sebagai Pimpinan Markas Besar Umum dan
Kementerian Pertahanan, Tentara Republik Indonesia. Kemudian 3 Juni 1947,
Presiden Soekarno, meresmikan berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI)
yang merupakan penggabungan antara TRI dan laskar-laskar perjuangan rakyat di
seluruh Indonesia. Presiden lalu menetapkan pucuk pimpinan TNI yang bersifat
kolektif yang anggotanya adalah para pimpinan TRI dan pimpinan laskar-laskar
perjuangan rakyat, dengan ketuanya adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Pada tahun 1948, Pemerintah Indonesia menata ulang organisasi TNI.
Presiden Soekarno mengeluarkan memecah pucuk pimpinan TNI menjadi Staf
Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan
ke dalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan
Perang (KASAP). Sementara itu Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh
6
seorang Panglima Besar Angkatan Perang Mobil (bergerak). Pucuk pimpinan TNI
dan Staf Gabungan Angkatan Perang dihapus.
Presiden mengangkat Komodor Suryadarma sebagai Kepala Staf
Angkatan Perang dan Kolonel T.B. Simatupang sebagai wakilnya. Sebagai
Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat Jenderal Soedirman. Staf
Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencanaan taktik dan siasat serta
berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan. Sementara Staf Markas Besar
Angkatan Perang Mobil, adalah pelaksana taktis operasional. Keputusan Presiden
ini menimbulkan reaksi di kalangan Angkatan Perang. Maka pada 27 Februari
1948, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang
membatalkan penetapan yang lama dan mengeluarkan penetapan baru.
Penetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Komodor
Suryadarma, sementara itu Markas Besar Pertempuran tetap di bawah Panglima
Besar Jenderal Soedirman, ditambah Wakil Panglima yaitu Jenderal Mayor A.H.
Nasution. Angkatan Perang berada di bawah seorang Kepala Staf Angkatan
Perang (KASAP) yang membawahi Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD),
Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL) dan Kepala Staf Angkatan Udara
(KASAU).
Pada 5 Maret 1948, diberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1948
tentang Susunan Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang. Dalam undang-
undang tersebut diatur bahwa Menteri Pertahanan berkewajiban untuk
menyelenggarakan pertahanan negara dalam arti yang seluas-luasnya dengan
7
menyelenggarakan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang terbentuk
dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Menteri Pertahanan
dalam menjalankan kewajibannya dibantu oleh Kepala Staf Angkatan Perang
yang dibantu oleh 3 orang anggota staf yaitu Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala
Staf Angkatan Laut dan Kepala Staf Angkatan Udara.
Setelah selesai perang kemerdekaan, jabatan Panglima Besar dihapus.
Pada tahun 1949, sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar dengan dibentuknya
negara Republik Indonesia Serikat, maka dibentuk pula Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang merupakan gabungan antara anggota
Angkatan Perang Republik Indonesia dengan KNIL. Presiden RIS mengangkat
Soedirman sebagai Kepala Staf APRIS dengan pangkat Letnan Jenderal. Negara
Republik Indonesia Serikat tidak berumur panjang, dan Angkatan Perang
Republik Indonesia Serikat kembali menjadi Angkatan Perang Republik
Indonesia.
Pada 10 Juli 1951, Presiden Soekarno mengangkat Kolonel TB
Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia.
Pada tahun 1955, dibuat suatu organisasi Gabungan Kepala-Kepala Staf yang
merupakan bagian dari Kementerian Pertahanan dan berada di bawah langsung
Menteri Pertahanan. Gabungan Kepala-Kepala Staf ini diketuai oleh seorang
ketua, yang dijabat bergiliran mulai dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan
Angkatan Udara. Gabungan Kepala-kepala Staf ini mempunyai fungsi sebagai
penasihat dan perencana utama bagi Menteri Pertahanan untuk penetapan
8
kebijaksanaan penyelenggaraan koordinasi dalam lapangan strategis-militer serta
operasi antara Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Mulai 1962, penggunaan istilah Angkatan Perang Republik Indonesia
(APRI) diganti menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
merupakan penyatuan dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan
Angkatan Kepolisian. Mulai 1965, Hari Angkatan Perang yang biasanya
diperingati setiap 5 Oktober, juga diganti namanya menjadi Hari Angkatan
Bersenjata. Pada masa ini setiap angkatan berdiri sendiri dan mempunyai
panglima sendiri, dan tidak ada sebutan sebagai Panglima ABRI. Seluruh
panglima angkatan dan kepolisian berada di bawah komando langsung Presiden
Soekarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Pada 21 Juni 1962, Presiden Soekarno mengangkat Jenderal Abdul Haris
Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Kemudian pada 1 Mei 1963 Panglima Komando Strategis Angkatan Darat
(Kostrad) dijabat oleh Mayjen Soeharto. Dua hari kemudian, tepatnya 3 Oktober
1965, Mayjen Soeharto diangkat sebagai Panglima Kopkamtib. Jabatan ini
memberikan wewenang besar untuk melakukan pembersihan terhadap orang-
orang yang dituduh sebagai pelaku G30-S/PKI.
Pada era ini, TNI melaksanakan fungsinya dengan jargon Dwi Fungsi
ABRI dengan dipelopori oleh Jendral A.H. Nasution. Dwi fungsi ABRI
merupakan sebuah konsep politik di era orde baru, dimana menempatkan ABRI
baik sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan maupun sebagai kekuatan sosial
9
politik. Struktur politik yang demikian itu telah diatur melalui peraturan-peraturan
perundangan yang ada.9 Di lain hal, jabatan Panglima TNI dijabat oleh Jenderal
TNI M. Panggabean sejak 28 Maret 1973 hingga 17 April 1978. Kemudian
digantikan Jenderal TNI M. Yusuf sejak 17 April 1978 hingga 24 Februari 1983.
Selanjutnya Jenderal TNI L. B Murdani memimpin pada 24 Februari 1983 hingga
6 September 1988. Kemudian disusul oleh Jenderal TNI Tri Sutrisno pada 6
September 1988 sampai 20 Februari 1993. Selanjutnya Jenderal TNI Edi Sudrajat
menjabat pada 20 Februari 1993 hingga 21 Mei 1993. Selepas itu jabatan
dipegang oleh Jenderal TNI Faisal Tanjung mulai 21 Mei 1993 hingga 20
Februari 1998.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, kembali ditegaskan nama
Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai sebutan resmi Angkatan Perang
Republik Indonesia, yang bersama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri) merupakan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pada era ini
mulai dipilih Panglima ABRI, sebagai pimpinan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia. Jenderal TNI Wiranto terpilih kala itu.
Sejak mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, dimulailah
era baru pimpinan ABRI. Sejak dipisahkannya Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia dari ABRI per 1 April 1999, istilah
Panglima ABRI diganti menjadi Panglima TNI. Pada 4 November 1999 sampai
9Soebijono, dkk., Dwifungsi ABRI Perkembangan dan Peranan dalam Kehidupan Politik
di Indonesia.( Yogyakarta; UGM Press 1997), h. 1.
10
18 Juni 2002 jabatan Panglima TNI dijabat oleh Laksamana TNI Widodo Adi
Sutjipto.10
Rezim Orde Baru akhirnya runtuh. Presiden selanjutnya dipimpin oleh B.J
Habibie yang merupakan wakil dari Soeharto akhirnya naik sebagai presiden.
Tetapi panglima TNI tetap masih dari Angkatan Darat. Setelah B.J Habie turun,
diadakanlah pemilu di parlemen, untuk memilih siapa presiden selanjutnya.
Akhirnya terpilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden Indonesia. Di mulai dari
sini Panglima TNI dipimpin oleh Laksamana Widodo A.S yang berasal dari
Angkatan Laut menggantikan Jendral Wiranto yang berasal dari Angkatan Darat.
Dan terjadi reformasi di militer yang mengakibatkan perwakilan dari Angkatan
Laut dapat menjadi Panglima TNI yang sebelumnya di kuasai oleh Angkatan
Darat. Salah satu peberdannya adalah Laksamana Widodo A.S memerintah
sebagai Panglima pada saat pasca Reformasi, dimana paham dwi fungsi ABRI
perlahan mulai dihapuskan. Dwi fungsi ABRI adalah ABRI tidak hanya berperan
sebagai pelindung negara tetapi juga sebagai pemegang pemerintahan.11
Di era Presiden Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita kenal sebagai Gus
Dur telah menetapkan banyak kebijakan baru termasuk pergantian Panglima TNI
yang sebelumnya dipegang oleh Jendral Wiranto, lalu digantikan oleh Laksamana
Widodo Adi Sutdjipto sebagai Panglima TNI yang baru. Pada era reformasi,
militer juga menyatakan dirinya tidak lagi terlibat dalam politik dan menegaskan
10
Susi Fatimah Panglima TNI, “Jejak Soedirman hingga Moeldoko,” 22 Januari 2016
[tulisan online]; tersedia di http://news.okezone.com/read/2014/10/07/337/1048928/panglima-tni-
jejak-soedirman-hingga-moeldoko 11
Yudhi Chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia
(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 3.
11
tidak akan mencampuri urusan politik. Dengan pergantian rezim kekuasaan,
masyarakat semakin berani menyuarakan pendapatnya menuntut militer tidak lagi
terlibat dalam urusan politik yang sudah dijalaninya bersama rezim orde baru
dibawah presiden soeharto. Tak hanya itu, militer juga dituntut untuk kembali
pada fungsi tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara dan keamanan
negara.12
Berbagai pandangan muncul untuk menilai jalannya reformasi TNI. Sejumlah
pengamat berpendapat bahwa TNI telah banyak mengurangi pengaruhnya dalam
proses politik, telah memperbaiki standar profesionalisme dan penghargaan
terhadap nilai HAM serta berada di bawah pengawasan sipil. John Bradford
menyatakan saat ini TNI beserta komitmen serta keputusan yang dihasilkan, telah
menjauhkannya dari politik praktis dan lebih berkaitan dengan pertahanan luar13
.
Di lain hal, pengamatan senada juga diungkapkan serta diperjelas oleh Marcus
Mietzner yang membagi refomasi TNI ke dalam dua tahap yaitu reformasi
angkatan pertama dan reformasi TNI angkatan kedua. Reformasi TNI angkatan
pertama terjadi di masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie (1998-1999). Pada
masa kepemimpinan Jendral Wiranto ini TNI melakukan reformasi ke dalam (self-
reform). Tahapan selanjutnya diistilahkan Mietzner sebagai reformasi radikal
(radical-reform) yaitu melakukan supremasi sipil terhadap militer. Tindakan ini
terjadi di era Presiden Abdurahman Wahid. Penempatan Juwono Sudarsono
12
Yuddi chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil- Militer di Indonesia
(Jakarta; Pustaka LP3ES indonesia, 2005), h. 93. 13
Beni Sukadis, Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia (DCAF & LESPRESI,
2007), h. 21.
12
sebagai Menteri Pertahanan adalah simbol keinginan Presiden Wahid melakukan
supremasi sipil atas militer. Posisi Panglima TNI yang di masa orde baru dipegang
oleh angkatan darat diubah dengan diangkatnya Laksamana Widodo sebagai
Panglima TNI.14
Fenomena ini bukan menjadi hal yang dipandang tabu dalam militer. Yang
menjadikan hal ini dianggap berbeda karena sejarah Indonesia yang biasanya
menempatkan Angkatan Darat (AD) yang seakan-akan sangat berjasa bagi
perjuangan kemerdekaan bangsa dan sangat di hormati di era Orde Baru yang
membuat AD mendapatkan prioritas lebih besar dibandingkan dengan angkatan-
angkatan lainnya yang sesungguhnya dari tingkat hirarki sejajar. Bagaimana tidak,
naiknya Letnan Jendral Soeharto yang mempunyai latar belakang dari Angkatan
Darat naik sebagai Presiden, menjadikan Angkatan Darat sebagai salah satu
kekuatan politik di era tersebut. Tidak dapat di pungkiri lagi AD bahkan telah
menempati jabatan – jabatan penting di dalam pemerintahan salah satunya
Departemen Pertahanan (Dephan) yang sekarang berubah nama menjadi
Kementrian Pertahanan (Kemhan) selalu di dominasi oleh AD secara berturut –
turut.15
Keputusan pergantian posisi yang terjadi di tubuh militer, mencerminkan
reformasi dari kebijakan Abdurrahman Wahid menempatkan Laksamana Widodo
14
Marcus Mietzner, The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite
Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance (Washington:East-West Center, 2006), h. 20. 15
A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta:LkiS, 2004), h. 65.
13
Adi Sutjipto sebagai Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab TNI).16
Kebijakan
ini merupakan upaya menciptakan tradisi baru dalam TNI dimana jabatan ini
selalu diisi oleh Angkatan Darat. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa
penempatan orang yang berasal dari Angkatan Laut di posisi hirarki tertinggi
dalam militer sebagai usaha mengubah mindset bahwa Angkatan Darat harus
mengisi jabatan tertinggi dalam hirarki tersebut. Keputusan ini menjadi sangat
tepat diambil karena selama ini kekuatan hanya berpusat pada Angkatan Darat.
Dengan ditetapkan kebijakan ini diharapkan terjadi pembagian kekuatan dan
kekuasaan antar angkatan yang terdapat di TNI.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan tema utama atau rumusan masalah
diatas maka permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai
berikut:
1. Bagaimana reformasi militer pada masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid dan hal apa saja yang melatar belakangi Laksamana Widodo
Adi Sutjipto sebagai panglima Tentara Nasional Indonesia?
2. Bagaimana kebijakan Widodo Adi Sutjipto dalam reformasi militer
setelah diangkat sebagai Panglima TNI oleh Pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid?
16
Bambang Irawan FX, Supremasi Sipil? Agenda Politik Militer Gus Dur (Yogyakarta:
eLstReba, 2000), h. 66.
14
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Menganalisis tentang pola pergantian panglima tertinggi di masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid yang pada kenyataannya telah
terjadi perubahan. Khususnya sistem pengangkatan Panglima TNI
Karena panglima TNI merupakan pemimpin tertinggi di kubu
militer yang memberi perintah dan kebijakan terhadap TNI yang
bertugas bukan hanya sebagai pelindung negara dari ancaman luar
tetapi juga demi menjaga stabilitas politik.
b. Mendeskripsikan hubungan reformasi militer terhadap
pengangkatan panglima di Indonesia. Karena di era ini Panglima
pertama kali berasal dari TNI Angkatan Laut, bukan berasal dari
TNI Angkatan Darat lagi, dan kebijakan yang dibuat oleh
Laksamana Widodo Adi Sutjipto dalam melakukan reformasi
militer.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademik
Mengetahui reformasi di bidang militer terutama dalam
pengangkatan serta kebijakan yang dibuat oleh Panglima TNI
Laksamana Widodo A.S yang terpilih sebagai Panglima TNI
pertama yang berasal dari Angkatan Laut di era kepemimpinan
Presiden Abdurrahman Wahid Tahun 1999-2002.
15
b. Tujuan Praktis
Menambah referensi penelitian mengenai militer di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk memenuhi syarat akademik untuk mendapatkan
gelar S.Sos (Sarjana Sosial).
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian saya yaitu :
1. Skripsi yang ditulis oleh Istikhori, Mahasiswa UIN Syariff Hidayatullah
Jakarta, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat tahun 2008 yang berjudul :
“Profesionalisme Militer Pasca Orde Baru”. Skripsi ini menganalisa
tentang berkisar tentang bentuk nyata yang harus dilakukan militer untuk
menciptakan profesionalisme militer pasca orde baru.
Penulis menemukan bahwa militer pasca orde baru jika ingin menjadi
profesional dalam menjalankan tugasnya harus mempunya 5 indikator,
yaitu : kembali ke barak, tidak berpolitik praktis, pemisahan TNI POLRI,
tidak berbisnis, dan Refungsional dan Restrukturisasi teritorial.
Bedanya dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini lebih terfokus
dalam menegaskan pada struktur kepeminpinan Panglima TNI.
2. “Militer di era Abdurrahman Wahid : studi kasus hubungan Abdurrahman
Wahid-militer”. Sebuah Tesis karya Abdul Malik Harmein mahasiswa
16
Pascasarjana Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Indonesia lulusan tahun 2003.
Penelitian ini difokuskan pada format hubungan sipil-militer di era
Abdurrahman Wahid, khususnya hubungan antara Presiden dengan TNI.
Beberapa alasan yang menjadi dasar pemikirannya adalah, pertama, bahwa
Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan sejumlah kebijakan penting
berkaitan dengan posisi dan peran TNI-Polri dalam format kehidupan
kenegaraan dan kebangsaan Indonesia selama ia menjabat sebagai
Presiden Rl ke-4 hasil pemilu 1999.
Perbedan dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini lebih terfokus
pada hubungan antara Presiden Abdurrahman Wahid dalam kebijakannya
melakukan reformasi di militer dengan mengangkat Laksamana Widodo
Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI yang pertama berasal dari barisan TNI
Angkatan Laut.
E. Metodologi Penelitian
Dalam sebuah penilitian, menentukan metode yang digunakan merupakan hal
yang sangat penting guna mendapatkan data yang sesuai dan akurat. Peneliti akan
melakukan metode penelitian berdasarkan analisa data dengan menggunakan
metode analisis. Metode analisis yang dimaksud adalah analisis kuantitatif dan
analisis kualitatif. Penelitian ini berhubungan dengan tipe data. Data dalam
penelitian terdiri dari: data kualitatif dan kuantitatif. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang datanya merupakan data
17
dalam berskala nominal dan beberapa pendapat juga menyatakan termasuk data
berskala ordinal. Dengan kata lain, data kualitatif merupakan data yang
didalamnya penggunaan angka terbatas pada klasifikasi kategori dan bukan untuk
mengukur urutan, selisih, atau perbandingan kategori. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang menggambarkan isi tetapi tidak berdasarkan pada
akurasi statistik. Kata-kata yang disusun dalam bentuk cerita atau peristiwa,
mempunyai kesan yang lebih nyata, lebih hidup, penuh makna, dan sering kali
jauh lebih meyakinkan pembaca, peneliti lainnya, pembuat kebijakan, praktisi
daripada halaman-halaman yang penuh dengan angka-angka.17
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif
mengenai kata-kata lisan maupun tulisan dan dengan tingkah laku yang dapat
diamati dari orang-orang yang diteliti.18
Penelitian kualitatif melibatkan
penggunaan dan pengumpulan berbagai bahan empiris seperti studi kasus,
wawancara, pengamatan, teks sejarah.
F. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan pelaksanaan studi
ini adalah metode penelitian kualitatif. Menurut John Creswell19
penelitian
kualitatif adalah suatu proses penelitian ilmiah yang lebih dimaksudkan untuk
memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dengan menciptakan
gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan, melaporkan pandangan
17
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 39. 18
Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2001), h. 5. 19
Mengutip dari John Craswell dalam Jozef Raco, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis
Karakteristik dan Keunggulan (Jakarta: Grasindo, 2012), h. 37.
18
terperinci dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam setting yang alamiah
tanpa adanya intervensi apapun dari peneliti.
1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik untuk melakukan pengumpulan data merupakan hal yang penting,
disini Instrumen yang akan digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data
penelitian adalah:
a. Dokumentasi
Dokumentasi adalah catatan tertulis tentang berbagai kegiatan atau
peristiwa pada waktu yang lalu, dan dokumentasi juga merupakan teknik
pengumpulan data mengenai hal-hal atau masalah yang akan diteliti
melalui literatur buku, catatan, transkip, surat kabar, majalah dan internet.
Dokumentasi diperlukan untuk mempermudah peneliti untuk memberikan
jawaban dan kejelasan dari permasalahan penelitian.
b. Wawancara
Wawancara adalah suatu metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data dalam bentuk komunikasi langsung antara peneliti
dan responden melalui percakapan yang berlangsung secara sistematis
dan terorganisir. Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab
dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden
merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal.20
20
W Gulo, Metodologi Penelitian (Jakarta: Grasindo, 2013), h. 119.
19
Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan
narasumber terkait, yaitu Adhie Massardi sebagai mantan juru bicara
Presiden Abdurrahman Wahid, dan Salim Said sebagai pengamat militer.
G. Teknik Analisis Data
Dalam bagian analisa data, penulis akan menggunakan metode analisa
penelitian secara deskriptif analitis, yaitu metode yang menggambarkan hal-hal
yang menjadi objek penelitian atau menggambarkan suatu keadaan secara tepat,
sehingga diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan tersebut. Proses
ini terbagi dalam tiga bagian yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan.21
H. Metode Penulisan
Metode penulisan induktif dimana terlebih dahulu melihat fakta-fakta yang
sedang terjadi lalu mengaitkannya dengan sebuah teori.
I. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah memahami isi dari skripsi
ini, maka penulis membagi skripsi ini terdiri dari lima bab, tiap bab yang di
dalamnya terdiri dari beberapa sub bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan meliputi fenomena awal yang terjadi di pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid dalam mengambil keputusan dengan
21
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif
(Jakarta: Erlangga, 2009), h.148.
20
mengangkat Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai
panglima TNI petama di Indonesia yang berasal dari Angkatan Laut.
Dalam bab ini penulis menguraikan latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II: Kerangka Teori, meliputi pengertian reformasi, pengertian Institusi
menurut ahli, pengertian militer dalam hubungan antara sipil militer, dan
Kebijakan Publik.
Bab III: pola pergantian panglima TNI pada era kepemimpinan presiden
Abdurrahman Wahid dan sebelumnya. Serta kilasan biografi Laksamana
Widodo Adi Sutjipto dan bab ini membahas sistimatika pola-pola
pergantian.
Bab IV: bab ini merupakan bagian terpenting dari penulisan skripsi,
karena berisikan tentang permasalahan yang penulis angkat. Penulis akan
menjelaskan reformasi militer yang terjadi di Indonesia, dalam studi
pengangkatan panglima TNI serta kebijakan yang dibuat dalam reformasi
militer pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Bab V: Penutup, meliputi: kesimpulan dan saran-saran penulis, serta
rekomendasi studi kasus yang diangkat, sekaligus merupakan akhir dari
keseluruhan tulisan ini, di bagian akhir, penulis juga mencantumkan daftar
pustaka yang penulis gunakan sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini.
21
BAB II
KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL
Dalam bab ini, secara garis besar akan dibahas mengenai sebuah landasan
teoritis dalam ruang lingkup normatif dengan asumsi-asumsi penelitian
mengenaihal-hal yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini. Dengan
memberikanlandasan teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menganalisis
reformasi dimiliter: studi pengangkatan panglima TNI pada masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid serta kebijakan yang diambil Widodo Adi Sutjipto sebagai
panglima TNI yang mengawal reformasi (1999-2002).
Secara khusus, teori adalah generalisasi yang abstrak mengenai beberapa
fenomena dan dalam menyusun generalisasi, teori selalu memakai konsep. Jadi
teori adalah konsep-konsep yang saling berhubungan menurut aturan logika
menjadi suatu bentuk pernyataan tertentu sehingga dapat menjelaskan fenomena
tersebut secara ilmiah.1 Teori juga memiliki peran dalam melakukan
korelasiantara permasalahan dan aktualisasi penelitian.
Teori-teori ini akan menjelaskan tentang pengertian reformasi dan institusi
militer sebagai lembaga pertahanan negara sebagaimana penelitian ini akan
membahas tentang reformasi dalam pengangkatan Panglima TNI yang berasal
dari Angkatan Laut pertama di Indonesia yang terjadi di era Abdurrahman Wahid.
Penulis menggunakan teori Reformasi, Institusi, dan Militer.
1 Miriam Budiharjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
2008), h. 43.
22
A. Reformasi
Reformasi berasal dari kata Reformation yang berakar padakata reform yang
mempunyai arti pembaharuan, perbaikan, memperbaiki dan menjadi lebih baik.
Reformasi dalam hal ini lebih mengarah kepada pembaharuan menuju arah yang
positif. Reformasi lebih mengarah menuju perubahan yang terbatas dan mengikuti
jaman dalam laju kepemimpinan, kebijakan dan pranata politik.2
Dapat dipahami bahwa reformasi merupakan perubahan secara damai kearah
positif, maka dalam pelaksanaan reformasi yang perlu ditekankan adalah kinerja
sistem politik yang berlangsung. Dalam hal ini yang berperanan didalam peta
perpolitikan adalah kaum pendukung reformasi berbenturan dengan kekuatan
pendukung yang masih ingin menggunakan sistem lama, yang merupakan
perimbangan kekuatan dan strategik pendukung keduanya. Reformasi merupakan
negosiasi antar kekuatan politik.3
Kata Reformasi sendiri adalah suatu gerakan untuk mengadakan pembaharuan
dalam kekristenan barat yang dimulai sejak abad ke-14 hingga abad ke-17.
Sebenarnya, reformasi merupakan gerakan yang hendak mengembalikan
kekristenan kepada otoritas Alkitab, dengan iman kepercayaan yang sesuai
dengan prinsip-prinsip Wahyu Allah. Reformasi meletus di abad ke-16 dan
letusannya terjadi di beberapa tempat yang berbeda. Pertamatama terjadi di
Jerman dengan Martin Luther sebagai pelopornya. Setelah itu Zwingli memimpin
reformasi di Swiss, kemudian Johanes Calvin yang mempelopori reformasi di
2Al Chaidar, ReformasiPremalur (Jakarta: DarulFalah, 1998), h. 160.
3Ibid., 161.
23
Perancis, serta di Jenewa dan Swiss. Selain itu, reformasi juga terjadi di tempat
lain seperti di Inggris.4
Jakob Oetama mengemukakan bahwa reformasi timbul karena terjadinya
tindakan kesewanang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah, yang
mengakibatkan rasa untuk memperbaiki yang diwarnai emosi. Emosi muncul
akibat terjadinya penekanan serta penahanan diri yang terjadi cukup lama.
Reformasi bertujuan memberikan arti secara benar dalam merealisasikan prinsip-
prinsip kedaulatan rakyat dan keadilan masyarakat dalam supremasi hukum.
Sedangkan reformasi Menurut Samuel Huntington, adalah suatu perubahan
yang terbatas dalam hal cakupan moderat, dalam laju kepemimpinan, kebijakan,
dan pranata-pranata politik.5 Masih ada seorang ahli yang mengungkapkan tentang
reformasi yaitu Hirschman, reformasih menurutnya adalah perubahan dengan
nama “kekuasaan berbagai kelompok-kelompok istimewa dikekang sementara
posisi ekonomi dan status sosial kelompok-kelompok yang kurang beruntung
diperbarui.
Reformasi birokrasi sendiri menurut Imanuel Khan mendefinisikan reformasi
sebagai suatu usaha melakukan perubahan-perubahan pokok dalam suatu sistem
birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau
kebiasaan yang telah lama. Selain itu ditambahkan pula oleh Quah bahwa
reformasi sebagai suatu cara untuk mengubah proses dan prosedur birokrasi publik
4Alister E.McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, Penerjemah Liem Sien Kie (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2002), h. xiii. 5Samuel P. Huntington, Tertib Politik di dalam Masyarakat yang sedang
Berubah,(Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h. 531.
24
dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan
tujuan pembangunan nasional.6
Teori ini berkaitan dengan tema penelitian karena berangkat dari teori
reformasi, kita dapat mengetahui apa itu reformasi dan terutama dapat
menjelaskan reformasi dimiliter. Jadi reformasi dimiliter merupakan perubahan
secara damai kearah positif, maka dalam pelaksanaan reformasi yang perlu
ditekankan adalah kinerja sistem politik yang berlangsung, yang sebelumnya di
dalam militer yang dijadikan alat oleh Penguasa Orde baru yang menjadikan TNI
jauh dari tugas sebagai militer yang sesungguhnya, sehingga diadakan perubahan
di dalam tubuh militer menuju perubahan yang lebih baik dengan menjalankan
tugas utama TNI yang telah ditetapkan yaitu menjaga kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dari segala bentuk ancaman dari luar negeri.
B. Institusi/ Lembaga
Kata Institusi berasal dari bahasa Latin. Arti dari dasarnya menetapkan,
meresmikan.7 Lembaga menurut Samuel Huntington adalah perwujudan perilaku
moral dan kepentingan timbal balik dimana, keluarga, clan, suku, atau desa yang
terpencil dapat menjadi suatu komunitas dengan usahan yang dilandasi oleh
sedikit kesadaran. Secara historis, lembaga politik terbentuk sebagai hasil
interaksidan akibat konflik yang terjadi antara berbagai kekuatan sosial, maupun
karena perkembangan tahap demi tahap berbagai prosedur dan sarana yang
6Agus Dwiyanto, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 23. 7 Frans Sugiyono, Mencintai liturgi (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 91.
25
diperlukan untuk mengatasi konflik tersebut. Berkumpulnya orang-orang secara
bersamaan harus dilembagakan. Dengan demikian pembentukan lembaga politik
yang melibatkan timbal balik merupakan elemen yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan kelangsungan komunitas di dalam suatu masyarakat yang
kompleks.8
Paul B. Horton mengatakan, lembaga atau institusi adalah suatu sistem norma
yang dipakai untuk mencapai tujuan atau aktvitas yang dirasa penting, atau
kumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang terorganisir yang terpusat dalam
kegiatan utama manusia. Jadi, bisa dikatakan bahwa lembaga berupa norma-
norma yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Dan norma-
norma itu berupa kebiasaan dan tata kelakuan. Lembaga adalah proses yang
terstruktur, yang dipakai untuk menyelenggarakan kegiatannya.
North Doglas9 seorang sejarawan ekonomi terkemuka
mendefinisikankelembagaan sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk
membentuk polainteraksi yang harmonis antara individu dalam melakukan
interaksi politik, sosialdan ekonomi. Senada dengan North, Schmid mengartikan
kelembagaan sebagai sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat,
kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik
sebagai individu maupun sebagai kelompok. Sedangkan menurut Schotter,
kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh
8Samuel P. Huntington. Tertib Politik di dalam Masyarakat yang Telah Berubah.
penerjemah Suryatim BA (Jakarta: CV Rajawali,1983), h. 19. 9Aceng Hidayat, Modul Ekonomi Kelembagaan [buku on-line] (Institut Pertanian Bogor:
2007, artikel diakses pada 3 Desember 2015); tersedia di
https://www.scribd.com/doc/47760007/modul-peng-ek-kelembagaan.
26
semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu
yang berulang.
Berdasarkan atas bentuknya (tertulis/tidak tertulis) North membagi
kelembagaan menjadi dua: informal dan formal. Kelembagaan informal adalah
kelembagaan yang keberadaannya di masyarakat umumnya tidak tertulis. Adat
istiadat, tradisi, pamali, kesepakatan, konvensi dan sejenisnya dengan beragam
nama dan sebutan dikelompokan sebagai kelembagaan informal. Sedangkan
kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan,
kesepakatan, perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisniss, politik dan
lain-lain. Kesepakatan-kesepakatn yang berlaku baik pada level international,
nasional, regional maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan formal.
Banyak kalangan yang menyamakan institusi/lembaga dengan organisasi.
Penyamaan ini tidak mutlak salah tapi juga tidak selalu benartergantung pada
konteksnya. Namun, untuk keperluan analisis keduanya harusdibedakan secara
jelas.
North mendefinisikan organisasi sebagai bangunan atau wadah
tempatmanusia berinteraksi, seperti organisasi politik, ekonomi, keagamaan,
pendidikan,olah raga dan lain-lain. Yaitu, kumpulan individu yang terikat oleh
kesamaantujuan dan berupaya untuk mencapai tujuan tersebut sebagai
kepentinganbersama.10
North mengilustrasikan organisasi dengan tim olah raga
(sepak bola,bola basket) dimana banyak orang terlibat baik sebagai pelatih,
pengurusorganisasi, pemain, dan lain-lain dengan tujuan bagaimana
10Ibid.,
27
memenangkan setiappertandingan. Sedangkan lembaga adalah serangkaian
peraturan yang berlakudalam setiap pertandingan yang harus ditaati baik oleh
pemain, pelatih maupunstakeholder lainnya. Ketidakjelasan lembaga akan
menyebabkan pertandinganberjalan kacau dan tujuan memenangkan setiap
pertandingan yang ditargetkanoleh tim tidak akan tercapai dengan baik.
Norman T. Uphoff, seorang ahli sosiologi mengemukakan bahwa, Institutions
are complexes of norms and behaviors that persist over time serving collectivelly
valued purposes. (Institusi atau lembaga adalah serangkaiannorma dan perilaku
yang sudah bertahan (digunakan) selama periode waktutertentu yang relatif
lama.11
C. Militer
pengertian militer, dalam bahasa Inggris "Military" adalah " thesoldiers; the
amry, the armed/orees" yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikanprajurit atau
tentara, angkatan darat, angkatan bersenjata. Mereka terdiri daribeberapa
angkatan, yakni; darat, laut dan udara.
Amos Perlmutter menyebutkan bahwa organisasi militer adalah sebuah
organisasi yang paling sering melayani kepentingan umum tanpa menyertakan
orang-orang yang menjadi sasaran usaha-usaha organisasi itu. Profesi militer
disebut sebagai suatu profesi sukarela karena setiap individu bebas memilih suatu
pekerjaan di dalamnya, namun ia juga bersifat memaksa karena para anggotanya
tidak bebas untuk membentuk suatu perkumpulan sukarela melakukan terbatas
kepada suatu hirarki birokrasi. Militer merupakan suatu profesi sukarela karena
11
Ibid.,
28
setiap individu bebas memilih suatu pekerjaan didalamnya, namun ia juga bersifat
memaksa karena para anggotanya tidak bebas untuk membentuk suatu
pekumpulan sukarela melainkan terbatas kepada suatu situasi hirarki birokrasi.12
Lebih lanjut dapat pula didefikasi bahwa dalam diri para prajurit militer
terdapat tiga ciri khas sekaligus, yaitu koorporatis (dalam hal ekskulusifitas),
birokratis (dalam hal hirarki), dan profesional (dalam hal semangat misi). Militer
adalah organisasi kekerasan fisik yang sah untuk mengamankan negara atau
bangsa dari ancaman luar negeri maupun dalam negeri. Dalam hal ini militer
berfungsi sebagai alat negara yang menjungjung tinggi supremasi sipil.
Militer yang profesional menurut Erick A. Nodlinger terkait juga dengan
kemampuan seorang prajurit menjalankan tugasnya mempertahankan ketertiban
nasional dalam menghadapi ancaman, menggunakan senjata dalam pertempuran,
serta tidak melibatkan diri dari urusan nonmiliter13
Teori Samuel P. Huntington mengenai hubungan sipil–militer Samuel
Huntington mengemukakan bahwa adanya dua konsep yang menjelaskan
bagaimana kontrol sipil itu di lakukan. Yaitu Subjective Civilian
Control (Maximizing Civilian Control) yaitu memaksimalkan kekuasaan sipil.
Dapat di artikan bahwa model ini bisa diartikan sebagai upaya meminimalisasi
kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok–kelompok sipil.
Kedua, Objective Civilian Control ( Maximizing Military Professionalism) yaitu
memaksimalkan profesionalisme militer dan menunjukkan bahwa adanya
12
Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), h. 2. 13
Erick A. Nordlinger, Militer Dalam Politik (Jakarta: Rhineka Cipta, 1990), h. 69.
29
pembagian kekuasaan politik antara kelompok militer dan kelompok sipil yang
kondusif menuju perilaku professional.
Dua konsep Huntington ini menuju pada arah non–politikal professional
military yang menempatkan aktor militer sebagai abdi negara yang di tugaskan
untuk mempertahankan negara tanpa berupaya untuk mengembangkan sejarah
ideologi dan landasan moral dari evolusi negara. Abdi negara ini lalu
mengembangkan misi teknis operasional berupa penggunaan kekuatan bersenjata
untuk mempertahankan kedaulatan politik dan territorial Negara di bawah kendali
otoritas politik sipil yang sah.14
Ada tiga jenis organisasi militer yang timbul di dala negara bangsa yang
modern, masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan sipil
yang dilembagakan.
1. Prajurit profesional.
Prajurit dengan pengetahuan dan keahlian profesionalnya, menjadi
pelindung tunggal negara. Lembaga militer, yang merupakan suatu unit korporasi
berjuang keras untuk menjaga ini. Yang mempunyai ciri-ciri; keahlian,
pertautan(tanggung jawab terhadap masyarakat atau negara), koporatisme
(kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi), dan ideologi(semangat militer).15
14
Samuel P.Huntington, Prajurit dan Negara, Teori politik Hubungan Militer dan Sipil,.
(Massachussets : Harvard University Press, 1959), h. 80. 15
Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), h. 14.
30
2. Prajurit Pretorian
Semakin tinggi kedudukan seorang perwira, semakin ia bersifat politis
terutama pada situasi pretorian dan revolusioner, yang mungkin melibatkan
seluruh organisasi militer dalam aksi politik. Hal ini dapat terjadi pada masyarakat
yang ideologisnya terpecah-pecah.16
3. Prajurit Revolusioner
Tentara revolusioner cenderung takluk pada pengaruh politik. Ketika
revolusi berangsur-angsur melembaga, gerakan partai menjadi kekuasaan tertinggi
dalam negara. Kemudian ia menentang perwira rasional (profesional). Tentara
tampil sebagai alat mobilisasi partai yang revolusioner.17
b. Larry Diamond & Marc F Plattner
Teori hubungan Sipil-Militer Ideal menurut Larry Diamond & Marc F Plattner
yang menyatakan bahwa hubungan sipil-militer terbaik akan ditemukan di negara
di mana otoritas sipil mampu memenangkan perselisihan kebijakan dengan
militernya belum dapat dibuktikan di Indonesia selama berlangsungnya era
reformasi. Kondisi Hubungan Sipil-Militer di Indonesia pasca- Soeharto (1998-
2004), menunjukkan model baru hubungan-sipil militer yang lebih tepat disebut
Equal-Controllable Relation (hubungan- hubungan yang seimbang dan tekendali).
Hubungan sipil- militer seperti yang dipraktikan oleh tiga pemerintahan pasca-
Soeharto melahirkan kendali sipil objektif atas militer yang masih semu, namun
16
Ibid., 18. 17
Ibid., 20.
31
jauh lebih baik dari masa sebelum reformasi. Hubungan tersebut cocok diterapkan
pada kondisi negara yang tengah bertransisi menuju demokrasi.18
Alfred Stephan melihat hubungan sipil-militer dengan mengamati sejauh
mana sipil mampu mengurangi hak istimewa militer dan sejauh mana militer
berhasil mempertahankan hak-hak istimewanya. Ia memperkenalkan konsep “hak
istimewa”19
militer. Stepan menjelaskan beberapa hak istimewa militer yang
terpenting dan potensial. Dengan melihat kecenderungna posisi militer, Stepan
membagi tingkat Hak Istimewa militer dalam kualifikasi rendah, moderat, dan
tinggi. Hak istimewa dalam kadar rendah disebabkan oleh control de jure dan de
facto yang dijalankan oleh para pejabat dengan beberapa prosedur dan lembaga-
lembaga yang didukung oleh rezim demokratis. Namun pemerintahan demokratis
baru seringkali mendapatkan penolakan-penolakan aktif atau pasif dari militer,
akibatnya pemerintahan baru tidak mampu melaksanakan hak istimewa secara
efektif, makan hak istimewa militer bergerak menuju tingkat moderat. Sebaliknya
jika militer sangat menentang setiap upaya pemerintahan demokratis baru untuk
mengurangi hak istimewa, maka hak istimewa ini bergerak ke arah tinggi. Karena
itu posisi militer tidak bisa dilepaskan dari sejauh mana pihak sipil mampu
membatasi dan mengurangi otoritas militer dari misi nonmiliternya.
Keberadaan dan posisi militer dalam kancah sosial-politik, tidak bisa
dipisahkan dari konteks pemikiran akademisi Barat. Mereka mencoba
18
Yudhi Chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia
(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. Xii. 19
A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004),
h. 19.
32
mengklasifikasikan peran dan fungsi militer dari segi posisi dalam kekuasaan
pemerintahan, sosial-politik, dan profesionalisme. Dari segi profesionalisme,
keberadaan dan posisi militer pada umumnya langsung dikaitkan dengan keahlian
yang mereka miliki, yakni sebagai penguasa alat-alat kekerasan (managers
ofviolence) yang mereka manfaatkan untuk menjaga kestabilan pemerintahan
yang diselenggarakan oleh masyarakat sipil.
Dalam konteks ini, militer adalah instrumen yang harus ada dalam seluruh
sistem penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang dikelola oleh masyarakat.
Apapun bentuk pemerintahan yang mereka pilih, apakah kerajaan, parlementer,
presidensial, monarki, clan sebagainya. Termasuk apapun bentuk sistem sosial
politik-ekonomi yang mereka terapkan, apakah sosialisme, komunisme,
liberalisme, kapitalisme, dan sebagainya. Penyerahan pengelolaan alat-alat
kekerasan pada militer, pada mulanya tidak lepas dari pemikiran sederhana,
bahwa masyarakat sipil memerlukan pihak-pihak yang bisa melindunginya dari
segala ancaman perang dan kekerasan.
Elliot A. Cohan mengklasifikasikan pola (patterns) hubungan sipil-militer
ke dalam 4 model, yaitu: Pertama, The Traditional Model. Militer dibangun
menjadi kelompok profesional, secara sosial terisolasi, memusatkan perhatian
pada masalah-masalah teknis dan hanya berorientasi kepada ancaman dari luar.
Kedua, The "Constabulary" Model. Pada dasarnya, tentara berfungsi sebagai
kekuatan kepolisian di mana para pemimpinnya lebih bertindak sebagai
"managers" daripada "warriors", dengan orientasi ke luar maupun ke dalam
negeri dan lebih melihat pada pentingnya ketertiban (order) daripada berperang
33
menghadapi musuh. Ketiga, The Military as Reflection of Society. Sebuah sistem
nasional di mana militer memainkan peran penting dalam membangun civil
society yang dilaksanakan melalui dinas militer secara luas dengan pendidikan
dan indoktrinasi yang positif (conscious). Keempat, The Guardian Military.
Sebuah sintesa dimana militer melindungi orde politik dan sosial namun tidak
melibatkan diri dalam politik praktis (day to day intervention in politics).
D. Kebijakan Publik
Kebijakan publik merupakan kebutuhan yang mendasar bagi setiap warga
negara dalam proses mengatur dan mengelola sebuah pemerintahan. Proses ini
penting guna mencapai kesejahteraan bagi seluruh rakyat yang berada di wilayah
sebuah pemerintahan. Kebijakan publik memiliki kaitan yang erat dengan aturan-
aturan yang dibuat dan dilaksanakan oleh negara sebagai sebuah tindakan
pemerintah.
Istilah kebijakan publik sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari dan
dalam kegiatan akademis, seperti dalam kuliah-kuliah ilmu politik. Istilah
kebijakan mungkin digunakan secara luas seperti dalam “kebijakan luar negeri
Indonesia’ atau “kebijakan keuangan negara-negara berkembang”. Namun, istilah
kebijakan juga dapat dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang lebih khusus,
seperti misalnya kebijakan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden Republik
Indonesia yang membuat sebuah kebijakan di dalam TNI dan kebijakan Panglima
TNI Widodo A.S sebagai panglima yang berasal dari Angkatan Laut dalam
mengawal TNI dalam melakukan reformasi internal.
34
Konsep yang ditawarkan ini, mengandung pengertian yang cukup luas,
karena yang dimaksud kebijakan publik dapat mencakup banyak hal, kebijakan
publik lebih mengarah kepada apa yang ditetapkan oleh aktor atau pemerintah,
atau sejumlah aktor yang dalam mengatasi sejumlah masalah, konsep ini
dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya
dilakukan, bukan pada apa yang diusulkan. Namun demikian, satu hal yang harus
diingat dalam mendefinisikan kebijakan, adalah bahwa pendefenisian kebijakan
tetap harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan,
ketimbang apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu.
Terdapat banyak definisi kebijakan publik dari para ahli. Salah satu definisi
mengenai kebijakan publik diberikan oleh Robert Eyestone. Ia mengatakan
bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai “hubungan
suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”20
. Definisi lain kebijakan publik
diberikan oleh Thomas R. Dye yang mengatakan bahwa “kebijakan publik adalah
apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”. Lalu
menurut Amara Raksasataya, kebijakan adalah sebuah taktik atau strategi yang
terarahkan untuk mencapai suatu tujuan.21
Selain itu, James Anderson juga
memberikan definisi mengenai kebijakan publik, ia menjelaskan kebijakan
20
Budi winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007),
h. 17. 21
M, Irfan Islami, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara (Jakarta: PT. Bina
Aksara, 1989), h. 17.
35
merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang
aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.22
Kebijakan publik menurut Anderson terbagi atas dua pembagian, yakni
kebijakan subtantif dan kebijakan prosedural.23
Kebijakan substantif adalah
kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah mengenai pembangunan yang ada
di daerah. Salah satu contoh dari kebijakan substantif, yaitu pembangunan jalan
Tol dan infrastruktur lainnya. Sedangkan kebijakan prosedural adalah kebijakan
mengenai siapa yang akan diberi kewenanagan mengambil keputusan.
Yang termasuk dalam kebijakan prosedural, yakni undang-undang yang
mengatur mengenai pembentukan suatu badan tertentu dan proses yang akan
dijalankan, Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam arti historis yang paling
luas merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial dimulai
pada satu tonggak sejarah ketika pengetahuan secara sadar digali untuk
dimungkinkan dilakukannya pengujian secara eksplisit dan reflektif kemungkinan
menghubungkan pengetahuan dan tindakan.
Setelah memaparkan makna kebijakan, maka secara sederhana kebijakan
publik digambarkan oleh Bill Jenkins di dalam buku The Policy Process sebagai
Kebijakan publik adalah suatu keputusan berdasarkan hubungan kegiatan yang
22
Budi winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007),
h. 18. 23
Anderson, James, Public Policy Making: An Introduction, (Boston: Houghton Mifflin Company:
2006) , h. 56.
36
dilakukan oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil
berdasarkan pertimbangan situasi tertentu.24
Dari beberapa definisi kebijakan publik, definisi yang diberikan oleh
Anderson dianggap sebagai definisi yang paling tepat untuk menjelaskan
permasalahan yang peneliti angkat dalam karya ilmiah ini.
Dalam studi kebijakan publik sering ditemui dan memberi perhatian yang
kecil terhadap sifat masalah-masalah publik. Secara formal masalah dapat
didefinisikan sebagai sebuah kondisi atau situasi yang menimbulkan kebutuhan
atau ketidakpuasan pada sebagian orang yang menginginkan pertolongan atau
perbaikan. Suatu masalah akan menjadi masalah publik bila ada orang atau
kelompok yang menggerakkan ke arah tindakan guna mengatasi masalah
tersebut. Dengan demikian masalah publik adalah masalah-masalah yang
mempunyai dampak yang luas dan mencakup konsekuensi-konsekuensi bagi
orang-orang yang tidak secara langsung terlibat.
Berdasarkan berbagai definisi para ahli kebijakan publik, kebijakan publik
adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat
kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam
penyusunannya melalui berbagai tahapan.
1. Penyusunan agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam
realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai
24
Riant Nugroho D, Understanding Public Policy ( Yogyakarta: Media Presindo, 2004),
h. 3.
37
apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik
dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah
publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu
publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy
issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan biasanya muncul karena
telah terjadi silang pendapat diantara para actor mengenai arah tindakan yang
telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter
permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan
produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian,
penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu
bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda
publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk
dapat masuk kedalam agenda kebijakan. Padaa khirnya, beberapa masalah masuk
keagenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah
mugkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan
menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan- alasan tertentu
ditunda untuk waktu yang lama.
2. Formulasi kebijakan
Masalah yang telah masuk keagenda kebijakan kemudian dibahas oleh
para pembuat kebijakan. Masalah- masalah tadi di definisikan untuk kemudian
38
dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari
berbagai alternative atau pilihan kebijakan yang ada. Samahalnya dengan
perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, pada tahap
perumusan kebijakan masing- masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih
sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini,
masing- masing actor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah
terbaik.
3. Adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternative kebijakan yang ditawarkan oleh para
perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut
diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur
lembaga atau keputusan peradilan.
4. Implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite, jika
program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program
kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus
diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun
agen-agen pemerintah ditingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil
dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya
finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan
saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para
pelaksana(implementators), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang
oleh para pelaksana.
39
5. Evaluasi Kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi,
untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan
masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang
diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh
karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar
untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang iinginkan.
Selain itu terdapat masalah-masalah publik dapat dikenali dengan jelas
melalui sifat-sifatnya, seperti yang dikemukakan William Dunn, setidaknya ada
empat ciri pokok masalah kebijakan, yakni:
1. Saling ketergantungan. Masalah-masalah kebijakan dalam satu bidang
dapat mempengaruhi masalah-masalah kebijakan dalam bidang lain.
2. Subyektivitas. Kondisi eksternal yang menimbulkan suatu permasalahan
didefinisikan, diklasifikasikan, dijelaskan dan dievaluasi secara selektif.
Masalah kebijakan merupakan suatu hasil pemikiran yang dibuat pada
situasi dan lingkungan tertentu dan merupakan elemen dari suatu situasi
yang diabtraksikan dari situasi tersebut oleh analis.
3. Sifat buatan. Masalah-masalah kebijakan hanya mungkin ketika manusia
membuat penilaian mengenai keinginannya untuk mengubah beberapa
situasi masalah. Masalah kebijakan merupakan hasil penilaian subyektif
manusia; masalah kebijakan itu juga bisa diterima sebagai definisi-
definisi yang sah dari kondisi sosial obyektif, dan karenanya masalah
kebijakan dipahami, dipertahankan dan diubah secara sosial.
40
4. Dinamika masalah kebijakan. Ada banyak solusi yang bisa ditawarkan
untuk memecahkan suatu masalah sebagaimana terdapat banyak definisi
terhadap masalah-masalah tersebut.
41
Bab III
SEJARAH MILITER INDONESIA DAN KONDISI POLITIK DI ERA
ABDURRAHMAN WAHID
A. Latar Belakang Sejarah Militer Indonesia
Menurut Finer tujuan pokok militer dalam suatu negara adalah adalah untuk
bertempur dan memenangkan pertempuran guna mempertahankan dan memelihara
eksistensi negara1. Di Indonesia cikal bakal militer sudah ada sejak jaman
penjajahan. Tetapi diresmikan secara sah sebagai Tentara Nasional Indonesia, pada
saat setelah Indonesia merdeka. Pada tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi
kemerdekaan Indonesia di kumandangkan ke seluruh pelosok Indonesia dan
menyebar ke seluruh dunia bahwa telah lahirnya bangsa Indonesia sebagai negara
yang merdeka. Sehari setelah kemerdekaan bangsa Indonesia, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia mulai mengadakan sidang yang berkaitan dengan berdirinya
bangsa Indonesia. Sidang tersebut dilakukan sebanyak tiga kali. yaitu
1. Sidang pada 18 Agustus 1945, dalam sidang ini medapat keputusan
berupa pengesahan UUD 1945 dan mengangkat Presiden Ir. Soekarno dan
Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta masing-masing secara aklamasi.
2. Pada 19 Agustus 1945 diadakan sidang ke dua, dalam sidang ini
mendapatkan hasil berupa membentuk kabinet sebagai badan eksekutif
dengan dua belas departemen yang masing-masing dikepalai oleh menteri
1 S.E, Finer, The Man On Hoerseback: The Role o the Military in Politics (New York, N. Y.:
Fedrick A. Praeger, 1962), h. 7.
42
dan pada hari itu pula ditunjuk beberapa menteri kecuali menteri
pertahanan.
3. Pada tanggal 22 Agustus 1945 diadakan sidang ke tiga, pada sidang ini
mendapatkan hasil berupa terbentuknya Komite Nasional Indonesia (KNI)
dengan Mr Kasman Singodimedjo sebagai ketuanya. KNI mempunyai
tugas sebagai pemberi nasehat kepada Presiden beserta anggota
kabinetnya. Dalam hal ini Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) melebur kedalam KNI Pusat. KNI dibentuk sampai ke daerah-
daerah. Hasil berikutnya dalam sidang ini adalah dibentuknya Badan
Penolong Keluarga Korban Perang, yang salah satu bagiannya bernama
“Badan Keamanan Rakyat” (BKR) yang berada dibawah KNI. BKR
dibentuk dari pusat sampai ke daerah. Dalam sidang ini juga telah diambil
keputusan bahwa telah diambil ketetapan pembentukan satu partai tunggal
yang bersifat nasional guna menyalurkan aspirasi dari rakyat.2
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa negara yang baru lahir dari situasi yang
mencekam dan rawan ancaman dari luar, tidak memiliki tentara nasional sebagai
pelindung negara. Hal ini menyebabkan beberapa kalangan pemuda dan pejuang
beranggapan bahwa suatu kelambatan dan kesalahan besar yang dilakukan pemimpin
kemerdekaan, karena tidak serta diikuti dengan dekrit yang menjadikan bekas-bekas
2Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966
(Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2002), h. 22.
43
Heiho dan PETA sebagai tentara nasional yang merupakan angkatan perang yang
mempunyai fungsi vital dalam menentukan tegak atau rubuhnya negara.3
Saat dibentuk pada tanggal 22 Agustus 1945, BKR bukanlah merupakan
organisasi kemiliteran yang resmi. BKR masih bersifat kerakyatan bukan bersiat
kemiliteran dan masih di bawah KNI, tidak dibawah presiden baik sebagai Panglima
tertinggi angkatan perang4, bahkan BKR tidak dibawah kordinasi kementrian
Pertahanan karena jabatan sebagai mentri pertahanan sempat kosong beberapa waktu.
Tetapi Soekarno-hatta bermaksud menjadikan BKR sebagai pemelihara keamanan
dan ketentraman setempat saja, dengan strategi politik Soekarno yang menitik
beratkan pada segi diplomasi (perundingan). Lagi-lagi hal ini membuat para pejuang
tidak puas karena tidak menitik beratkan BKR sebagai kekuatan bersenjata.
Sementara itu, walau ada sedikit ketidakpuasan para pemuda tetap dalam
semangat perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan, para pemuda yang
tergabung maupun yang tida tergabung dalam BKR segera melucuti Jepang untuk
mempersenjatai dirinya. Hal ini menimbulkan bentrokan-bentrokan yang tidak dapat
dihindari, sebab disamping Jepang mengkhawatirkan akan pemberontakan terhadap
dirinya, melalui Marsekal Terauchi telah diperintahkan oleh Jenderal MacArthur
untuk mempertahankan status quo. didaerah bekas pendudukannya. Status quo
merupakan keadaan tetap sebagaimana keadaan sekarang atau sebagaimana keadaan
3 A.H Nasution, Sedjarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersendjata (Djakarta: Mega
Bookstore, 1966), h. 69. 4 UUD 1945 pasal 10
44
sebelumnya.5 Serta pada tanggal 16 September 1945, Angkatan perang Inggis yang
tegabung dalam South East Asian Command (SEAC) dibawah Laksamana Muda
Lord Louis Mountbatten mendarat di Jakarta untuk tetap mempertahankan status quo,
dengan hal ini Indonesia masih dianggap sebagai daerah jajahan. Serta Jepang yang
melawan pada saat menentang pelucutan senjata yang dilakukan oleh pemuda
Indonesia. Pada tanggal 29 September 1945 tentara Inggris yang dipimpin oleh
Letnan Jenderal Sir Philip Christison, Panglima Allied orces Netherlands East Indies
(AFNEI) dengan membawa pasukan Belanda di dalam Netherland Indie Civil
Administration (NICA). Hal ini menimbulkan perlawanan yang semakin sengit yang
dilakukan oleh pejuang Indonesia terhadap para penjajah yang masih ingin menguasai
Indonesia. Pertempuran meluas ke berbagai daerah. Melihat dari segi potensi dan
kekuatan yang dimiliki Indonesia, Inggris segera melakukan politik yang ditentang
oleh Belanda, dengan memberikan de facto kepada Indonesia.6
Melihat situasi yang semakin membahayakan negara, para pemimpin negara
menyadari bahwa sangat sulit dan hampir tidak mungkin mempertahankan suatu
negara tanpa adanya angkatan perang. Pada saat genting seperti ini, saatnya
pemerintah Indonesia dalam mengambil tindakan, Pemerintah memanggil Mayor
KNIL, Urip Sumohardjo yang merupakan bekas dari tentara KNIL. Dia ditugaskan
sebagai Kepala Staff dan membentuk tentara kebangsaan yang dipimpin olehnya
5 Artikel diakses pada 15 Juli 2016 di
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/608 6 Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, h. 25.
45
sendiri. Pada tanggal 5 Oktober 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang
terbentuknya organisasi militer yang bernama “Tentara Keamanan Rakyat” (TKR).7
Sehari kemudian pemerintah mengeluarkan maklumat tetang pengangkatan Suprijadi
yang merupakan bekas Komandan Pleton PETA sebagai Menteri Keamanan Rakyat.8
Pembentukan TKR ini diikuti oleh perintah dari KNIP untuk memobilisasi TKR
sebagai organisasi yang membawahi BKR dan pada tanggal 9 Oktober 1945
menyatukan PETA, KNIL, Heiho, Laskar-laskar, serta barisan lainnya untuk melebur
mempertahankan Republik Indonesia. Pada tanggal 6 Desember 1945 markas besar
BKR mengeluarkan maklumat memperbolehkan laskar-laskar untuk menggunakan
senjata selain tentara. Sebab mempertahankan negara bukan semata tugas dari
tentara.9
Pada tanggal 20 Oktober 1945 pemerintah Indonesia melakukan beberapa
pengangkatan dilingkungan kementerian Kemanan Rakyat. Bekas komandan
Batalyon tentara PETA Muhammad Sulyoadikusumo diangkat sebagai Pemimpin
Tertinggi TKR dan Urip Sumohardjo sebagai kepala Staf Umum TKR.10
7 A.H Nasution, T.N.I, jilid 1, Cetakan kedua (Djakarta: Ganeco, 1968), h. 120.
8 Nasution, T.N.I, h. 120.
9 A.H Nasution, Sedjarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersendjata (Djakarta: Mega
Bookstore, 1966). h. 202. 10
Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 25.
46
Sebulan kemudian Urip Sumohardjo yang telah diangkat menjadi Letnan
Jenderal membentuk Markas tetinggi TKR yang berkedudukan di Yogyakarta, telah
membagi TKR dalam 10 divisi di Jawa dan Madura, dan 6 divisi di Sumatera.
Pada tanggal 1 Januari 1946, pemerintah Indonesia mengluarkan penetapan No.
2/S.D 1946 berisi tentang merubah nama Tentara Kemanan Rakyat menjadi Tentara
Keselamatan Rakyat dan Kementerian Keamanan Rakyat Menjadi Kementerian
Pertahanan. Belum berjalan sebulan, pemerintah mengeluarkan maklumat pada
tanggal 26 Januari 1946 yang berisi pergantian nama dari tentara Keselamatan Rakyat
menjadi Tentara Republik Indonesia(TRI).11
Dalam maklumat tersebut dikatakan
bahwa TRI bersifat kebangsaan dan organisasi militer resmi Indonesia. Meskipun
tidak menjelaskan organisasi bersenjata lain di luar TRI seperti laskar-laskar, tetapi
Markas tertinggi TKR mengakui eksistensinya.
Pada awal tahun 1946 terbentuk sub markas TKR seperti TKR-TKR Laut yang
merupakan perwujudan kekuatan Laut Indonesia dan akhirnya pada tanggal 19 Juli
1946 dibentuk Angkatan Laut Republik Indonesia(ALRI). Kemudan pada 9 April
1946, melalui surat Penetapan Pemerintah Indonesia, No. 6/S.0 TRI bagian
perhubungan Udara diganti nama dan perubahan struktur menjadi Tentara Republik
Indonesia Angkatan Udara yang lebih dikenal dengan nama Angkatan Udara
Republik Indonesia(AURI), dengan menangkat R. Suriadi Surjadarma menjadi
Kepala Staf dengan Pangkat Komodor Udara (Mayor Jenderal).
11
A.H Nasution, T.N.I, jilid 1, Cetakan kedua (Djakarta: Ganeco, 1968), h. 245.
47
Demi terwujudnya suatu kesatuan militer, pada tanggal 26 Juni 1946,
pemerintah Indonesia mengangkat Jenderal R. Sudirman resmi sebagai Panglima
Besar TKR dan pada November, diadakan konferensi di Yogyakarta dengan
keputusan mengangkat Jenderal R. Sudirman sebagai Panglima Besar Angkatan
Perang Republik Indonesia yang meliputi Angkatan Darat, laut, dan Udara.12
Masih dalam situasi paska kemerdekaan Indonesia, dimana Belanda masih
melancarkan serangannya guna merebut kembali Indonesia dalam genggamannya
menyebabkan eksistensi Indonesia semakin terancam. Perbedaan pendapat antara
pihak militer dengan pemerintah juga merupakan masalah internal di dalam
Indonesia, dimana pihak militer menginginkan Indonesia melawan kekuatan Belanda
dengan kekuatan Militer yang Indonesia punya saat itu, tetapi pemerintah
berpendapat lain, pemerintah menginginkan penyelesaian masalah dengan diplomasi,
itu dikarenakan para pendiri bangsa ingin menunjukkan kepada dunia bahwa
Indonesia sebagai negara yang baru merdeka adalah negara sivil society bukan negara
yang menganut sistem fasisme ataupun militeristik.
Disatu sisi terdapat permasalahan di dalam barisan bersenjata, itu disebabkan
selain dari TKR terdapat juga laskar-laskar rakyat yang meskipun mereka diakui oleh
TKR akan tetapi para laskar tersebut dibawah oleh partai-partai atau kubu-kubu yang
berideologi masing-masing. Hal ini yang menyebabkan mereka tidak selalu searah
12
A.H Nasution, T.N.I, jilid 1, Cetakan kedua (Djakarta: Ganeco, 1968), h. 285.
48
dengan strategi militer yang akan di terapkan oleh militer. Hal ini menimbulkan
masalah yang cukup merepotkan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden
mengeluarkan dekrit yang isinya tentang membentuk panitia yang dipimpin Presiden
sendiri. Panitia ini disebut “Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional
Indonesia” . Panitia ini beranggotakan 21 orang yang diambil dari pemimpin pasukan
bersenjata termasuk beberapa laskar yang paling berpengaruh. Setelah organisasi
tersebut bekerja tiga puluh hari lebih semenjak dibentuk, akhirnya pada tanggal 7
Juni 1947 keluarlah penetapan Presiden untuk membentuk organisasi militer yang
bernama “Tentara Nasional Indonesia” atau bisa disebut TNI, adalah langkah dalam
penyempurnaan dari TRI. Dalam penetapan tersebut pada tanggal 3 Juni 1947
diresmikan juga sebagai hari berdirinya TNI. Komposisi dari TNI terdiri dari seluruh
angkatan perang dan dari laskar-laskar bersenjata.13
Dilihat dari sejak berlangsung Proklamasi dan terbentuknya BKR hingga
terbentuknya TNI, dapat disimpulkan bahwa TNI terbentuk dari 3 unsur utama yang
masing-masing mempunyai latar belakang yang berbeda. Yaitu:
13
A.H. Nasution, T.N.I., dijilid 2, cetakan pertama (Djakarta: Seruling Masa, 1968), h. 87.
49
Bekas Tentara KNIL
Koninklijke Nederlands Indische Leger atau bisa disebut KNIL, merupakan
pasukan militer yang didirikan oleh Pemerintah Belanda. Hanya beberapa orang
pribumi yang diizinkan bergabung. Ada sejumlah para petinggi militer Indonesia ada
sebagian dari KNIL, seperti Panglima TKR Mayor Urip Sumoharjo, Jenderal A.H
nasution, Mayor Jenderal T.B Simatupang dan Mayor Jenderal gatot Subroto dan
lain-lainnya.14
Bekas Prajurit PETA
Pada detik-detik kekalahan Jepang oleh sekutu, Pemerintah Militer Jepang
membentuk pasukan sukarela yang dinamakan Pembela Tanah Air (PETA) pada
tahun 1943, atau “Booi Gijugun”. Militer Jepang membuka kesempatan selebar-
lebanrya bagi yang ingin bergabung, tidak halnya seperti KNIL yang membatasi
pribumi untuk bergabung. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Kaisar Jepang
mengeluarkan dekrit untuk membubarkan PETA, tanggal 19 Agustus Jenderal
Nagano sebagai Pemimpin PETA resmi membubarkan PETA. Beberapa tentara
PETA yang sekarang menjadi Perwira TNI yaitu Jenderal Soeharto bekas Komandan
Kompi PETA, Jenderal Ahmad Yani bekas Komandan Pleton PETA, kemudian
Letnan Jenderal Sudirman, Letnan Jenderal Sarbini, Mayor Jenderal Bambang
Sugeng, merupakan pemuda Indonesia yang sempat menjabat sebagai Komandan
14
Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 31.
50
Batalyon PETA. Namun karena alasan politik, kebanyakan mereka disingkirkan oleh
Jepang, hanya beberapa yang dapat menjabat di TNI.15
Bekas-bekas Laskar
Selain KNIL buatan Pemerintah Belanda dan PETA buatan Jepang, tedapat
unsur utama berikutnya dalam pembentukan TNI, yaitu Laskar. Laskar terdiri dari
pemuda Indonesia yang diberi pelatihan militer oleh Jepang. Laskar bertujuan
membantu tentara Jepang dalam melawan sekutu. Nama lain dari dari laskar seperti
“Barisan Pelopor”, “Barisan Berani Mati” (Jibaku-tai), “Hisbullah” (Kaiko Seinen
Teisyintai), dan “Barisan Pelajar”. Setelah Proklamasi, Pemerintah Indonesia
mengeluarkan maklumat pada tanggal 3 Nopember 1945 yang mendorong untuk
melahirkan Partai Politik. Dari sini dapat dikatakan awal mengapa para laskar
bergabung dengan partai politik yang sesuai dengan ideologi mereka. Seperti Pemuda
Sosialis Indonesia yang bergabung dengan Partai Sosialis, Barisan Banteng dengan
induknya PNI, barisan Hisbullah yang bergerak dibawah Partai Masyumi, dan Laskar
Rakyat yang mengaitkan diri dengan Partai Komunis. Para laskar sangat berarti bagi
bangsa Indonesia dalam melawan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.
Walau para Laskar mempunyai peran yang sangat besar, tentu saja membuat TKR
sulit dalam membuat strategi dalam kordinasi pertahanan dengan para laskar.
15
Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 33.
51
Akhirnya pada tanggal 7 Juni 1947 semua organisasi melebur menjadi satu kesatuan
militer Indonesia yanti Tentara Nasional Indonesia yang disingkat TNI.16
B. Kondisi Politik dan Militer Pasca Orde Baru
Jatuhnya Presiden Soeharto terjadi karena kisis politik dan krisis ekonomi pada
pertengahan juli 1997. Fenomena krisis ekonomi bermula ketika jatuhnya nilai mata
uang Rupiah terhadap Dollar AS, yang mengakibatkan lumpuhnya sendi-sendi
perekonomian orde baru lumpuh. Krisis ekonomi di Indonesia merupakan peristiwa
yang mengejutkan, di tengah beragam pujian atas prestasi perkembangan ekonomi
yang dialami. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7,5% dan target 8%
merupakan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Ada beberapa yang membuat krisis di Indonesia dinilai lebih parah daripada
krisis ekonomi di Negara lainnya. Pertama, sistem perekonomian Indonesia tidak
memiliki fondasi yang kuat. Lemahnya dasar-dasar ekonomi Indonesia tersebut
ditunjukkan oleh tidak jelasnya sirkulasi perekonomian. Akibatnya timbul dan
berkembang praktik KKN sebagai bukti ketidakjelasan arah ekonomi Indonesia.
Sebagai contoh Anjloknya nilai tukar Rupiah sampai pada angka di atas Rp10.000
per Dollar AS memang sudah diperkirakan pada bulan bulan sebelumnya menyusul
rentetan krisis moneter semenjak Juli 1997. Sulit dimengerti ketika Januari 1998
Presiden Soeharto membacakan pidato tahunan dalam sidang membahas RAPBN
16
Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 34.
52
1998-1999 adalah Rp 4.000,- per Dollar AS. Kedua, krisis di Indonesia pada fase
berikutnya melahirkan krisis politik. Dengan demikian, integrasi antara krisis
ekonomi sekaligus politik pada waktu bersamaan merupakan faktor utama yang
mempersulit Indonesia untuk keluar dari krisis nasional. Ketiga, bahwa krisis yang
terjadi merupakan kesalahan dari arah perekonomian Indonesia di masa Orde baru
yang hanya menekankan pada aspek petumbuhan ekonomi semata, di mana
pembagaian “kue pembangunan” hanya dinikmati oleh sekelompok elit tertentu.17
Pada tahun 1999, dapat dikatakan bahwa Indonesia melakukan pemilu dengan
demokratis setelah era orde baru. Walau masih terdapat kekurangan karena
perlengkapan yang kurang siap. Walaupun terdapat 27 partai yang tidak setuju
dengan hasil pemilu karena dianggap belum adil, presiden Habibie tetap menganggap
ini sah karena para pelapor tidak menyertakan bukti tertulis.
Dengan terjadinya krisis ekonomi yang mengakibatkan krisis politik,
mengakibatkan pergolakan di masyarakat. Golongan yang pertama memberikan suara
keras untuk memberikan tuntutan terhadap pemerintah adalah mahasiswa, lalu diikuti
oleh aktivis LSM, Cendekiawan dan masyarakat umum. Dilihat dari kronologis, aksi
mahasiswa sudah di mulai sejak tahun 1997 pada saat pemilu.
Yang memuncak pada Mei 1998 pada saat pendudukan gedung DPR oleh
masyarakat. Gerakan mahasiswa begitu kuat bukan hanya terjadi di Jakarta, tetapi di
daerah-daerah juga mempunya semangat reformasi yang kuat agar tercapainya
17 Haramain, A Malik. Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta:LkiS, 2004), h. 1.
53
reformasi. Pemerintah tidak diam begitu saja melihat hal ini. Dengan sisa-sisa cara
dan kekuatan, Pemerintah mengajak mahasiswa dan menjadikan Nur Kholis Madjid
sebagai Ketua Komisi Reformasi. Namun hal itu di tolak oleh mahasiswa dan Nur
Kholis madjid.
Selain itu Soeharto juga melakukan reshuffle kabinet pembangunan VII yang
baru saja dilantik sekaligus membentuk komite Reformasi yang tidak berjalan efektif
karena kental dengan nuansa KKN.Tuntutan mereka secara umum adalah satu suara,
yaitu reformasi politik yang di dalamnya adalah reformasi kepemimpinan nasional
dan reformasi ekonomi yang di dalamnya adalah pemulihan kondisi masyarakat yang
terhimpit masalah ekonomi. Tujuan utama dari tuntutan itu adalah agar segera digelar
Sidang Istimewa MPR dan pengunduran Soeharto dari jabatan sebagai Presiden
Republik Indonesia.
Akibat opini publik tentang reformasi yang tertuju pada penolakan terhadap
Soeharto tidak dapat dibendung lagi. Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32
tahun bukanlah suatu hal yang menakutkan lagi oleh mahasiswa seperti sebelumnya.
Ditinggalnya Soeharto oleh para menterinya, desakan dari DPR dan masyarakat agar
Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 20 Mei 1998 di dalam pidatonya, dan
mengangkat B.J Habibie sebagai Presiden yang didasarkan pada Pasal 8 UUD 1945.
Turunnya Soeharto bukan semata-mata dari luar pemerintah, melainkan dari
dalam. Salah satu kekuatan pendukung yang menjadi kekuatan utama Soeharto
54
adalah Militer. Sebagai pendukung utama kekuatan Orde baru dan di akhir kekuasaan
Soeharto terjadi desakan yang luar biasa terhadap reformasi politik yang menjadikan
militer mengambil sikap mendua. Militer tidak hanya menentang mahasiswa dalam
demonstrasi, tetapi juga mendesak agar Soeharto mengundurkan diri atau mengambil
tindakan pengaman lainnya. Sikap ini bisa dikatakan menguntungkan posisi militer
untuk menghindari kekerasan dengan masyarakat, di lain sisi sikap seperti ini
dianggap militer hanya mengamankan posisi di tengah keadaan yang tidak
menguntungkan.
Dalam menghadapi unjuk rasa mahasiswa, dengan ketat para personil militer
menjaga agar mereka tidak keluar kampus. Pengawasan ketat dilakukan ABRI yang
represif tidak menyulutkan semangat mahasiswa untuk keluar kampus. Mahasiswa
terlihat berani mengambil sikap konfrontasi dengan militer, itu dilakukan agar suara
mereka terdengar ke dunia luar.
Karena sikap militer yang seperti ini, akhirnya militer terkena dampaknya.
Terjadi sebuah kejadian yang bernama “Insiden Trisakti Berdarah” pada tanggal 12
Mei 1998. Setelah pemanasan di dalam kampus akhirnya para mahasiswa mulai
menerobos keluar kampus. Mereka menuju DPR/MPR dengan menerobos barikade
aparat. Mahasiswa melakukan negosiasi dengan aparat tetapi negosiasi terjadi
kebuntuan akhirnya bentrokan tidak dapat terelakan. Tewasnya mahasiswa Trisakti
yakni Elang Mulya, Haidin Royan, Hendriawan Lesamana, dan Hendri Heryanto.
55
Setelah itu pihak militer mendakwa dua orang polisi sebagai pelaku, tetapi
pihak polisi membantah, akhirnya Panglima Jendral Wiranto mencopot jabatan
KAPOLRI dari Dibyo Widodo. Banyak yang menuduh kejadian itu dilakukan oleh
seseorang dengan keterampilan khusus yaitu dari satuan kopasus, sebab tentara biasa
sulit melakukan itu, yang dipimpin oleh Letjen Prabowo Subianto.
Sekitar satu minggu sebelum Soeharto turun, terjadi kerusuhan yang luar biasa
di Jakarta atau dikenal sebagai Mei kelabu. Masa mengamuk dengan warga keturunan
Tionghoa dikarenakan pada saat itu ekonomi dikuasai oleh keturunan etnis Tionghoa.
Terjadi penjarahan dan pemerkosaan.
Kecaman dialamatkan ke militer, dengan beberapa alasan, yaitu pertama, karena
militer dianggap tidak bisa mengendalikan kerusuhan yang terjadi. Kedua, karena
militer dianggap terlibat dalam merekayasa kerusuhan Mei 98. Jika faktor pertama
tidak secara langsung dijawab, maka faktor yang kedua menjadi problematik.
Kepercayaan masyarakat bahwa militer adalah pelindung dan pengayom, seketika itu
lenyap. masyarakat lebih banyak bersikap antipasti terhadap militer baik institusi
maupun secara personal.
Di dalam militer terdapat isu perpecahan antara Panglima ABRI Jenderal TNI
Wiranto dengan Letjen Prabowo Subianto sebagai Pangkostrad. Sering terjadi
kesalahpahaman terhadap perintah komando. Secara hirarki Wiranto lebih tinggi,
tetapi Wiranto tidak dapat sepenuhnya mengendalikan. Salah satu dugaan kuat bahwa
56
kerusuhan 98 adalah jika Negara keadaan darurat atau SOB, maka pilihan utamanya
adalah menyerahkan kekuasaan kepada militer. Dari sini muncul rivalitas antara
Wiranto dengan Prabowo, dinilai Wiranto tidak dapat mengamankan, makan
Prabowo yang akan menggantikannya. Menurut Saurip Kadi, persoalan terdapat di
semua pemimpin TNI yang melakukan tindakan atas perintah Soeharto.18
Konflik yang meruncing di tubuh militer mengakibatkan terbagi duanya kubu
militer, yaitu ABRI Hijau dan ABRI merah putih. Sikap Wiranto berseberangan
denganb Prabowo salah satunya pada saat wawancara Wiranto berkata, Prabowo
mempunyai kepentingan untuk membuat suasana tidak terkendali. Wiranto menuduh
bahwa prabowo memberi sejumlah uang untuk membuat kerusuhan. Dengan
kekacauan yang menuduh Wiranto sebagai pimpinan tertinggi TNI, Prabowo dinilai
mengambil simpati masyarakat.
Habibie dan Militer
Perbedaan mendasar antara peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, dan
Soeharto menuju Habibie adalah problem integrasi politik. Jika peralihan yang
pertama ditandai dengan konsolidasi dan koordinasi yang kukuh di antara masing-
masing elemen masyarakat (mahasiswa, militer, birokrat dan kekuatan-kekuatan anti
komunis), peralihan kedua justru ditandai dengan kerapuhan sendi-sendi politik di
sekitar Habibie.
18
A. Malik Haramain. Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2004)., h. 100.
57
Perbedaan peralihan dari dua rezim yang berbeda adalah banyak terjadi
pergolakan politik dan hukum serta parahnya bangunan ekonomi Indonesia saat itu
melampaui apa yang terjadi di tahun 1966-1969. Jika dalam periode itu, bubarnya
PKI segera disusul dengan loncatan ekonomi yang luar biasa, terutama koalisi efektif
antara ABRI dan kekuatan-kekuatan anti komunis lainnya maka dalam periode 1998
secara nyata tidak disusul dengan bubar dan hancurnya Golkar sebagai kekuatan
utama penopang utama rezim Orde baru.19
Gerakan mahasiswa yang semula bersatu dalam mengusung agenda politik dan
reformasi yang sama, dalam rangka menyambut naiknya Habibie ke kursi presiden
ternyata menciptakan perbedaan pendapat yang cukup tajam. Itu dikarenakan Habibie
dianggap sebagai utusan dari Soeharto yang masih berafiliasi dengan orde baru. Dan
didukung dengan beberapa kegagalan seperti salah satunya dalam hal disintegrasi
yaitu lepasnya Timor-timur dari NKRI. Dan kurangnya kordinasi dengan militer.
Menjelang pertengahan September 1998 mahasiswa kembali berdemonstrasi
menutut Habibie mundur karena dianggap tidak dapat mengatasi keadaan. Di tubuh
militer juga terdapat konsolidasi besar-besaran. Mayjen TNI Syamsul Maarif sebagai
Kapuspen Hankam ABRI mengatakan mutas itu merupakan hal yang biasa, namun
sudah diduga terjadi beberapa kepentingan politik yang memanas pada saat itu.
Mutasi itu diantaranya pergantian Kasum ABRI. Dari Letjen TNI fachrul Razi
diganti Letjen TNI Sugiono. Posisi Letjen Sugiono sendiri diisi Letjen TNI Johny
19 A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2004)., h. 110.
58
Lumintang digantikan Mayjen TNI Agus Widjaja yang sebelumnya menjabat sebagai
Asisten Perencanaan umum (Asrenum). Pangab Asrenum kemudian dijabat oleh
mayjen TNI Agus Wirahadikusumah yang sebelumnya menjabat sebagai komandan
Sesko TNI AD. Selain, posisi kepala Badan Intelejen ABRI yang sebelumnya dijabat
Mayjen TNI Tyasno Sudarto, yang sebelumnya menjabat Pangdam IV Diponegoro.20
Terdapat beberapa kekacauan antara kubu militer dengan Habibie, diantaranya
adalah lepasnya Timur-timor pada tanggal 27 Januari 1990. Dimana pada saat itu TNI
militer sudah susah payah dalam mempertahankan wilayah NKRI sampai terjadinya
konfrontasi tetapi Habibie melakukan hal sebaliknya yaitu melakukan referendum
yang hasilnya mengecewakan pihak militer. Habibie beranggapan dengan melakukan
Referendum citra Indonesia akan baik di mata dunia dengan lebel sebagai Negara
demokratis demi melepas sebutan otoriter.
Selain itu dihapuskannya paket undang-undang politik tentang mengebiri
aspirasi rakyat, sehingga terjadinya pemilu multipartai yang mengakibatkan
kekalahan Golkar dan suara terbanyak didominasi oleh PDI Perjuangan. Pemilu ini
tercatat pemilu paling demokrasi di Indonesia sejak tahun 1955, karena pemilu di
rezim orde baru penuh dengan rekayasa.
Salah satu kebijakan yang direalisasikan militer di masa pemerintahan Habibie
adalah perubahan nama ABRI menjadi TNI pada bulan April 1999. Perubahan nama
ABRI menjadi TNI diusulkan oleh Jenderal Wiranto kepada BJ Habibie yang
20 A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 111.
59
dimaksudkan sebagai upaya untuk memperbaiki citra militer di tengah masyarakat
yang anti terhadap militer.21
C. Supremasi Sipil di era Abdurrahman Wahid
Abdurrahman wahid merupakan seorang tokoh yang terjun kedalam politik
sebagai oposisi karena pada saat itu melihat kegelisahan bangsa ini di dalam
kekuasaan rezim yang di pengang oleh Soeharto bertangan besi dan sangat
membebani sipil. Semua yang tidak sejalan dengan rezim tersebut akan di libas habis.
Presiden Abdurrahman Wahid mempunyai pandangan bahwa di dalam negara
demokrasi kekuasaan tertinggi harus ditangan sipil. Bukan di tangan militer sebagai
pucuk kekuasaan.
Pada saat rezim orde baru runtuh lalu digantikan oleh B.J Habibie yang pada saat
itu adalah wakil presiden dari Soeharto, lalu setelah B.J Habibie mengudurkan diri
dari jabatan Presiden, naiklah presiden Abdurrahman Wahid sebagai presiden
Indonesia yang ke 4.
Pada saat Abdurrahman Wahid memimpin sebagai presiden Republik Indonesia,
Abdurrahman Wahid banyak mereformasi institusi-institusi pemerintahan. Itu di
karenakan untuk menghilangkan yang berkaitan dengan orde baru, karena hampir
semua insitusi di pegang oleh seseorang yang berlatar belakang militer, sehingga
21
A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 117.
60
institusi harus di pegang oleh sipil. Institusi utama yang menjadi sorotan pada saat era
reformasi adalah Institusi Militer.
Alasan Presiden Abdurrahman Wahid menjadikan institusi militer sebagai
institusi pertama yang harus di reformasi agar Indonesia sebagai negara civilization,
itu disebabkan isntitusi militer adalah alat utama di dalam rezim orde baru sebagai
alat legitimasi kekuasaan, dan sebagai perpanjangan tangan dari Presiden sebelum-
sebelumnya yaitu Soeharto yang memang mempunyai latar belakang Militer, yaitu
menjabat sebagai Panglima TNI pada saat sebelum pergantian presiden dari Soekarno
lalu digantikan oleh Soeharto. Karena hal ini sehingga dengan mudah Soeharto
menjadikan Militer sebagai alat dalam melanggengkan kekuasaannya. Dan
mendominasi pemerintahan dengan militer.
Yang petama dengan melakukan supremasi sipil, yaitu pemisahan TNI dan
POLRI ke dalam ranah pemerintahan. Menurut Abdurrahman Wahid, Pemerintahan
demokrasi yang baik adalah pemerintahan yang di kuasai oleh sipil. Abdurrahman
Wahid merupakan seorang yang visioner, dia sudah memikirkan untuk hal
kedepannya dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Bisa dibayangkang jika TNI
dan POLRI tidak dipisahkan dari ranah pemerintah salah satu akibatnya adalah setiap
masalah dan konflik di Negara ini akan selalu melibatkan militer sebagai
penyelesaian masalah. supremasi sipil yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahmah
Wahid dilakukan sampai ke daerah-daerah, yaitu dengan cara tidak ada kepala daerah
yang dipegang oleh militer.
61
Atas dukungan dari semua golongan terutama golongan sipil, walaupun
sentimental terhadap militer sangat tinggi, tetapi Presiden Abdurrahman Wahid
berani mengambil keputusan untuk melakukan reformasi di militer.
Ada beberapa hal didalam militer yang di reformasi oleh Presiden Abdurrahman
Wahid selain supremasi sipil, membebaskan sipil dalam membentuk partai politik,
pada era orde baru hanya ada tiga partai yang boleh mengikuti pemilu. Partai-patai
sebelumnya yang ada di era orde lama harus bergabung diantara tiga partai yang ada
yaitu Golkar (Golongan Karya), PDI (Partai Demokrasi Indonesia), dan PPP (Partai
Persatuan Pembangunan). Di era Presiden Abdurrahman Wahid, partai politik tidak
terbatas hanya pada tiga partai utama, para partai politik yang sebelumnya bersatu
dengan partai-partai utama mereka mulai bermanuver dengan cara memisahkan dari
partai utama dan membuat partai sendiri.
D. Militer di era reformasi
Secara garis besar, militer di era reformasi tidak lagi menyatakan terlibat lagi
di dalam politik praktis dan tida akan mencampuri urusan politik, melalui reformasi
internal TNI, militer rmenunjukan bahwam mereka telah bersungguh-sungguh dalam
menarik diri dari politik.22
Dalam masa peralihan Presiden Soeharto ke Presiden B.J
Habibie, terdapat banyak perubahan dalam hal kebijakan di dalam kedudukan kubu
militer.
22
Yudhi Chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia
(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 93.
62
Berhentinya Soeharto sebagai Presiden Indonesia yang menjabat selama
kurang lebih 33 tahun yang dipandang masyarakat sebagai simbol dari kekuasaan
militer. Dengan pergantian rezim kekuasaan, masyarakat semakin berani membuka
suara kritikan terhadap pemerintah, dalam hal urusan politik maupun militer, yang
tidak bisa masyarakat lakukan pada saat orde baru.
Militer dituntut tidak berpihak kepada kekuasaan politik manapun termasuk
Golkar yang merupakan kendaraan politik pada masa sebelum reformasi. Militer
dituntut untuk tidak mencampuri urusan politik pemerintahan sipil dan tidak terlibat
lagi dengan persoalan yang tidak ada hubungannya dengan keamanan dan petahanan.
Serta tuntutan dari kalangan kepolisian untuk memisahkan diri dari ABRI dengan
tujuan ABRI tidak lagi perlu menangani tugas keamanan yang merupakan tugas dari
polisi.23
Pergantian dari pemerintahan BJ Habibie menuju pemerintahan Abdurrahman
Wahid berjalan dengan demokratis. Pada tanggal 20 Oktober 1999 perolehan suara
menyatakan 373 suara untuk Abdurrahman Wahid dan 313 untuk Megawati. Dengan
begitu Megawati terpilih sebagai wakil Presiden. Dalam pandangan militer
memastikan militer tidak mengarahkan kepada wakil-wakilnya di parlemen karena
tidak ada komando.
23
Yudhi Chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia
(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 94.
63
Era baru kepresidenan Abdurrahman Wahid, menunjukkan kedekatannya
dengan militer dengan mengangkat beberapa perwira tinggi seperti Letjen Susilo
Bambang Yudhoyono, Letjen Agum Gumelar, Letjen Luhut Panjaitan, dan Letjen
Suryadi Sudirja kedalam kabinet.24
Selain itu terjadi beberapa keregangan dengan militer ketika Abdurrahman
Wahid melakukan Pengangkatan terhadap beberapa perwira tinggi di lingkungan
Mabes ABRI dan Mabes Angkata Darat yang dianggap militer tidak sesuai prosedur
Dewan Jabatan Kepangkatan Tinggi. Beberapa kebijakan yang dianggap
kontroversial salah satunya pencopotan Jenderal Wiranto dari Menkopolkam yang
menjadikan militer semakin kecewa. Alasan Presiden Abdurrahman Wahid mencopot
Wiranto adalah terkait kasus HAM di Timur- Timor.
Militer melihat bahwa hal itu merupakan kekalahan pengaruh militer atas
tekanan pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid, walau
begitu TNI menerima karena TNI sudah berkomitmen untuk melakukan reformasi
TNI secara total. Keputusan komando militer terletak pada Panglima sebagai pucuk
kekuasaan tertinggi dalam mengkordinasi internal secara menyeluruh. Pada saat
pemerintahan Abdurrahman Wahid terjadi sebuah gebrakan yaitu Pengangkatan
Panglima yang berasal dari matra selain Angkatan Darat, hal ini merupakan
24
Yudhi Chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia,
(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 104.
64
perubahan tradisi di kubu TNI yang sebelumnya selalu di kuasai oleh Angkatan Darat
bahkan jabatan-jabatan strategis juga di dominasi oleh Angkatan Darat.
Salah satu indikator yang bisa dipakai untuk mengukur kontrol sipil atas militer
adalah dengan melihat persoalan pergeseran mutasi di tubuh militer. Kebijakan
Presiden Abdurrahman Wahid merupakan langkah awal dalam mereformasi kubu
militer demi terciptanya kesetaraan kekuasaan di Angkatan.25
Tabel III.D.1 Daftar Panglima Sejak Awal Militer Militer di Indonesia
Terbentuk
No Foto Nama Dari Sampai Angkatan Keterangan
Kepala Staf Tentara Keamanan Rakyat
1
Letnan
Jenderal
Urip
Sumohardjo
5
Oktober
1945
Novembe
r
1948
TNI
Angkatan
Darat
Kepala Staf
Umum TKR
(1945-1946)
Kepala Staf
MBT (1946-
1948)
25
Yudhi Chrisnandi, Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia,
(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), h. 238.
65
Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
2
Jenderal
Soedirman
12
November
1945
29
Januari
1950
TNI
Angkatan
Darat
Kepala Staf Angkatan Perang/Angkatan Bersenjata
3
Jenderal
Major
TB
Simatupang
29
Januari
1950
4
November
1953
TNI
Angkatan
Darat
Kepala Staf
Angkatan
Perang (1950-
1953)
Kepala Angkatan Bersenjata
4
Jenderal TNI
Abdul Haris
Nasution
Juni
1962
Februari
1966
TNI
Angkatan
Darat
Kepala Staf
Angkatan
Bersenjata
(1962-1966)
66
Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)
5
Jenderal TNI
Soeharto
Juni
1968
Maret
1973
TNI
Angkatan
Darat
Merangkap
Presiden RI,
Menhankam
6
Jenderal TNI
Maraden
Panggabean
28
Maret
1973
17
April
1978
TNI
Angkatan
Darat
Merangkap
Menhankam
7
Jenderal TNI
M. Yusuf
17
April
1978
28
Maret
1983
TNI
Angkatan
Darat
Merangkap
Menhankam
67
8
Jenderal TNI
L.B.
Moerdani
28
Maret 198
3
27
Februari
1988
TNI
Angkatan
Darat
Merangkap Pan
gkopkamtib
9
Jenderal TNI
Try Sutrisno
27
Februari
1988
19
Februari
1993
TNI
Angkatan
Darat
10
Jenderal TNI
Edi Sudradjat
19
Februari
1993
21 Mei
1993
TNI
Angkatan
Darat
Merangkap
KSAD dan
Menhankam
11
Jenderal TNI
Feisal
Tanjung
21
Mei 1993
12
Februari
1998
TNI
Angkatan
Darat
68
12
Jenderal TNI
Wiranto
16
Februari
1998
26
Oktober
1999
TNI
Angkatan
Darat
Merangkap
Menhankam
Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI)
13
Laksamana
TNI
Widodo Adi
Sutjipto
26
Oktober
1999
7
Juni
2002
TNI
Angkatan
Laut
Sumber : Sumber: http://news.okezone.com/read/2014/10/07/337/1048928/panglima-
tni-jejak-soedirman-hingga-moeldoko
68
BAB IV
REFORMASI DI MILITER: STUDI PENGANGKATAN PANGLIMA TNI
PADA MASA PEMERINTAHAN ABDURRAHMAN WAHID (1999-2002)
A. Reformasi di Tubuh TNI
Reformasi berasal dari kata Reformation yang berakar pada kata reform yang
mempunyai arti pembaharuan, perbaikan, memperbaiki dan menjadi lebih baik.
Reformasi dalam hal ini lebih mengarah kepada pembaharuan menuju arah yang
positif. Reformasi lebih mengarah menuju perubahan yang terbatas dan mengikuti
jaman dalam laju kepemimpinan, kebijakan dan pranata politik.1
Dapat digaris bawahi reformasi merupakan perubahan secara damai kearah
positif, maka dalam pelaksanaan reformasi yang perlu ditekankan adalah kinerja
sistem politik yang berlangsung. Dalam hal ini yang berperanan didalam peta
perpolitikan adalah kaum pendukung reformasi berbenturan dengan kekuatan
pendukung yang masih ingin menggunakan sistem lama, yang merupakan
perimbangan kekuatan dan strategi pendukung keduanya. Reformasi merupakan
negosiasi antar kekuatan politik.2
Berfokus pada pengertian refomasi tersebut, jika dihubungkan dengan apa
yang terjadi setelah tersungkurnya Orde Baru Soeharto yang menghasilkan
perubahan yang baru di sistem politik Indonesia. Perubahan ini juga berdampak
pada institusi militer di Indonesia. TNI sebagai institusi militer di Indonesia,
1A Chaidar, Reformasi Premalur, (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 160.
2Ibid., 161.
69
kemudian menggagas reformasi internal dan mendesain paradigma baru TNI
sesuai dengan perubahan yang terjadi di Indonesia. Reformasi internal TNI
sedikitnya didasarkan atas tiga motivasi utama. Pertama, keinginan meningkatkan
kemampuan bangsa untuk menghadapi persaingan dalam era globalisasi. Kedua,
untuk mendapatkan jaminan kepastian kewenangan bagi prajurit TNI ketika
bertugas di lapangan, agar tidak mudah dituduh melanggar hukum dan hak asasi
manusia. Ketiga, komitmen TNI untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa dan
negara.3
TNI di era reformasi melakukan tugas dengan sepenuhnya yaitu tidak
melakukan tugas yang lain, hanya melakukan tugas utama sebagai Pelindung
kedaulatan NKRI dari ancaman luar negeri. Hal ini sesuai dengan teori reformasi
menurut Samuel Huntington, adalah suatu perubahan yang terbatas dalam hal
cakupan moderat, dalam laju kepemimpinan, kebijakan, dan pranata-pranata
politik.4 Pengertian refomarsi seperti yang dijelaskan oleh Samuel P. Hungtinton
sesuai dengan reformasi internal yang terjadi di dalam TNI. Reformasi internal
TNI yang ditemukan oleh penelti dilatarbelakangi oleh beberapa hal pokok, antara
Iain:5
3 Yusuf Fadly, “Militer dan Politik: Suatu Tinjauan Atas Reformasi Internal TNI dan
Implikasinya terhadap Transisi Demokrasi di Indonesia 1999-2004,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008), h. 65. 4Samuel P. Huntington, TertibPolitik di dalam masyarakat yang sedang berubah,(Jakarta:
CV. Rajawali, 1983), h. 531. 5 Yuddy Chrisnandi, Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan
Profesionalisme TNI (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005). h, 109.
70
a. Perubahan sedemikian cepat menjadikan dunia berubah, terrnasuk
keadaan di dalam negeri. Untuk itu TNI juga harus melakukan perubahan.
b. Prediksi tantangan militer di abad ke-21 sangat besar, kompleks dan
multidimensional. Atas dasar itu militer harus segera menyesuaikan diri.
c. Militer harus senantiasa mau dan mampu mendengar dan merespon aspirasi
rakyat.
d. Militer mengakui secara jujur, jernih, dan objektif, sebagaimana komponen
bangsa yang lainnya bahwa ada kekurangan dan distorsi di masa lalu
sebagai konsekuensi logis dari format politik Orde Baru.
1. Profesionalisme TNI
Memasuki era reformasi, militer memiliki kesempatan untuk introspeksi diri
atas apa yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Dalam hal ini militer
merumuskan paradigma baru dan melakukan reformasi internal yang disertai
dengan serangkaian konsep redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi perannya dalam
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan untuk menatap masa depan. Apa yang
dilakukan, pada hakikatnya merupakan usaha memperbaiki dan meningkatkan
image serta prestasi militer.
Pertimbangan utama yang menjadi latar belakang reformasi internal TNI ialah
menyesuaikan TNI dengan perubahan dunia yang begitu cepat berubah,
71
menyesuaikan tantangan TNI di abad ke-21 yang begitu besar, kompleks, dan
multidimensional, ini memungkinkan TNI senantiasa harus mau dan mampu
mendengar dan merespons aspirasi rakyat; mengakui secara jujur bahwa di masa
lalu, ada kekurangan dan penyimpangan sebagai akibat logis dari format Orde
Baru.6 Latar belakang reformasi internal TNI sangat sesuai dengan ciri militer
profesional. Militer yang profesional menurut Erick A. Nodlinger terkait juga
dengan kemampuan seorang prajurit menjalankan tugasnya mempertahankan
ketertiban nasional dalam menghadapi ancaman, menggunakan senjata dalam
pertempuran, serta tidak melibatkan diri dari urusan non militer.7
Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, militer terus berbenah diri untuk
menciptakan image yang baik di mata rakyat Indonesia, salah satunya adalah
dengan mewujudkan reformasi internal militer. Tujuan dari reformasi internal
militer tersebut adalah agar terciptanya profesionalisme militer. Adapun bentuk
nyata yang harus dilakukan militer agar menjadi militer yang profesional pasca
Orde Baru adalah sebagai berikut; militer harus kembali ke barak, tidak berpolitik
praktis, pemisahan TNI POLRI, tidak berbisnis, serta refungsionalisasi dan
restrukturisasi teritorial. Ini mengacu pada pendapat Huntington mengenai ciri
profesionalisme militer, yaitu; Ahli dan mahir dalam melaksanakan tugas
pertahanan negara atau perang melawan ancaman dari musuh negara, bersikap
netral dan tidak melibatkan diri dalam politik praktis, menghargai pihak berkuasa
6 Mabes TNI 1999, TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi,(Jakarta:Mabes TNI, 1999 ) h. 16.
7 Erick A. Nordlinger, Militer Dalam Politik;(Jakarta: Rhineka Cipta, 1990), h. 69.
72
atau supremasi sipil, memiliki moral dan etika keprajuritan yang tinggi,
menghargai dan membela rakyat secara proporsional, dan memiliki disiplin,
menaati hukum, serta memiliki esprit de corps (jiwa korsa) yang tinggi dan
sehat.8
2. Kembali Ke Barak
Militer di Indonesia lahir dari proses perjuangan kemerdekaan bangsa atau
dari revolusi nasional, yang pada asal mulanya adalah dari perlawanan rakyat
dengan diawali dari pembebasan nasional dan kemudian beralih menjadi gerakan
perlawanan bersenjata. Tujuannya adalah untuk merebut kemerdekaan dari tangan
penjajah.9
Bidang fungsi dan profesi yang tidak sesuai dengan keahlian dan tugasnya,
maka dalam menciptakan profesionalismenya, militer harus ditarik kembali ke
barak. Memasuki era reformasi, militer harus kembali ke barak untuk introspeksi
diri atas apa yang telah dilakukan pada masa sebelumnya. Menyadari
kesalahannya, dan menyikapi permasalahan yang kompleks dengan berusaha
untuk membentuk militer yang profesional. Mengembalikan tugas dan fungsi
awal militer yaitu sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.
8 Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,
(Yogyakarta: LKIS.2005), h. 245. 9 Soemitro, Suksesi Militer dan Mahasiswa, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997), h. 59.
73
Sebenarnya tugas TNI sebagai alat pertahanan negara sudah menjadi prinsip
ketika TNI mula-mula berdiri. Hal itu tercermin dalam amanat Panglima Besar
Tentara Keamanan Rakyat Letnan Jenderal Soedirman pada Konfrensi TKR di
Yogyakarta, 12 November 1945. Ia menyatakan: Tentara hanya mempunyai
kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga
keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi
pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh.10
Fungsi pertahanan pada hakikatnya merupakan fungsi untuk menghadapi
ancaman baik dari luar maupun dari dalam, yang mengancam kedaulatan dan
integritas negara serta melindungi bangsa dan negara dengan kekuatan bersenjata.
Oleh karena itu, untuk menjalankan fungsinya itu militer harus kembali ke barak,
dengan tujuan menumpukan pembinaan pada profesionalisme, disiplin, dan
kesadaran hukum. Artinya peningkatan profesionalisme sebagai tentara yang
berfungsi sebagai alat pertahanan negara harus dilakukan dengan sungguh-
sungguh, disiplin, dan menaati hukum.
Jadi tujuan militer agar kembali ke barak adalah pertama, supaya militer
kembali kepada fungsi awalnya sebagai alat pertahanan negara sehingga tidak ada
fungsi lain yang dimiliki militer selain fungsi utamanya sebagai alat pertahanan
negara. Kedua, untuk menciptakan keahlian prajurit sehingga mahir dalam
menggunakan senjata. Ketiga, supaya militer dapat menumpukan tugasnya pada
10
Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara h. 206
74
penciptaan profesionalisme, dimana selama Orde Baru militer selalu berada di
luar barak yang mengakibatkan lemahnya profesionalisme militer. Dalam rangka
mewujudkan reformasi internal militer, maka militer mengatur kembali tugas dan
fungsinya sebagai alat pertahanan negara yang telah dikukuhkan dengan
ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 serta
Undang-Undang No. 34 Tahun 2004. Dengan itu, militer tidak melakukan banyak
fungsi lagi dan tidak akan terlibat dalam politik praktis. Dengan kata lain, ini
menjadi pedoman dan kewajiban bagi militer untuk kembali ke barak, agar militer
dapat menginstrospeksi diri serta memperbaiki tugas dan fungsinya.
3. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
Penghapusan dwi fungsi ABRI merupakan salah satu agenda dari
Proesionalisme militer pada era Reformasi yang merupakan tugas-tugas pokok
TNI yang harus dilakukan sebagaimananya. Desakan agar militer segera
melepaskan diri dari persoalan politik yang semarak pada akhir tahun 1997 dapat
dilihat sebagai tahap awal dari surutnya peran politik militer atau depolitisasi.
Tuduhan masyarakat bahwa surutnya gerakan demokrasi, terpuruknya kehidupan
politik, suburnya Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dan diskriminasi penegakan
hukum muncul karena keterlibatan militer yang terlalu jauh masuk dalam
kehidupan sosial politik di bawah rezim kekuasaan Presiden Soeharto. Militer
dianggap turut bertanggung jawab atas terjadinya krisis multidimensi yang
berlangsung sejak pertengahan tahun 1997. Tuntutan reformasi yang memasukan
75
agenda pencabutan Dwifungsi ABRI dapat dilihat sebagai pembuka jalan
keluarnya militer dari politik.11
Sebagian besar perwira menganggap bahwa keterlibatan ABRI dalam
kehidupan sosial politik sebagai sesuatu yang wajar mengingat peranan prajurit
ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator pembangunan masih diperlukan
masyarakat. Militer dengan spirit kebangsaan yang yang kuat, memandang
kalangan sipil mudah terpecah-belah karena perbedaan latar belakang, suku
bangsa, agama, ras dan ideologi politiknya, yang merupakan potensi ancaman
bagi persatuan bangsa. Kehadiran para prajurit di tengah masyarakat sebagai
perekat paham kebangsaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Tampilnya Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto yang
menumpukan kekuatan pada militer dengan mendasarkan pada dwifungsi
ABRI/TNI. Dwifungsi ABRI dijadikan alasan ikut sertanya ABRI ke dalam
semua aspek kehidupan bernegara. Untuk menguatkan sentralisasi kekuasaannya,
Soeharto menggunakan tentara untuk mendominasi jabatan-jabatan politik
strategis dan membenarkan campur tangan tentara dalam politik. Keterlibatan
militer dalam politik pada awal Orde Baru tampak pada banyaknya ABRI yang
dikaryakan. Hal itu terlihat dari 27 anggota kabinet yang diangkat Soeharto pada
Juli 1966, terdapat 12 menteri yang merupakan ABRI, yakni 6 menteri berasal
11
Yudhy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia,
(Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005) h. 136.
76
dari Angkatan Darat. Dan yang menduduki posisi strategis pada saat itu di tingkat
pusat misalnya, dari 20 departemen yang berurusan dengan sipil terdapat 11
anggota ABRI yang menduduki jabatan Sekretaris Jendral. Pada awalnya ABRI
hanya beberapa saja yang menduduki jabatan sipil, namun pada tahun 1968
jumlah itu meningkat menjadi 68%. Pada awal tahun 1970 meningkat menjadi
92%. Jabatan Bupati yang dipegang perwira ABRI pada tahun 1968 sebanyak
59%. Pada awal 1970 jumlahnya menjadi 84% di Jawa Timur.
Jumlah anggota ABRI yang duduk di dalam kabinet tahun 1973 sebanyak 13
orang. Anggota kabinet yang seharusnya wakil partai saat itu banyak diisi oleh
kaum teknokrat. Sementara itu anggota ABRI yang dikaryakan ditingkat pusat
pada tahun 1973 mencapai 400 oarang. Sedangkan untuk jabatan Gubernur ABRI
menempatkan anggotanya sebanyak 22 orang dari 26 propinsi.12
Keterlibatan militer dalam politik ditingkatkan melalui partai politik Golkar dan
perwakilan politik di MPR, DPR, DPRD I, dan DPRD II. Militer juga meningkatkan
keterlibatan dalam politik melalui badan keamanan atau Kopkamtib/Bakornas. Ini
karena pada setiap pemilu Golkar selalu menang, yang didukung oleh PNS dan
anggota ABRI.13
Upaya untuk memantapkan keterlibatan militer dalam politik juga dilakukan
melalui jalur yuridis. Maka munculah landasan konstitusional dalam bentuk
12
Andria Samego, Bila ABRI Berbisnis, (Bandung: Mizan, 1998), h. 106. 13
A. M. Fatwa, DEMI SEBUAH REZIM: Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 164.
77
ketetapan MPR maupun perundang-undangan. Dwifungsi ABRI dimasukkan dalam
GBHN, ABRI menjadi modal dasar pembangunan bersama bentuk perundang-
undangan lainnya, seperti UU No. 20/1982 tentang pokokpokok Hankam negara yang
kemudian disempurnakan dalam UU No. 1/1989 dan UU No. 2/1988 tentang pokok-
pokok keprajuritan. Asas legalitas ini merupakan pelengkap atau penyempurna
legalitas sejarah dan perjuangan bangsa. Sementara itu, untuk menciptakan militer
yang profesional, militer harus bersikap netral, tidak memihak partai apapun juga
militer dilarang terlibat dalam politik praktis. Edy Prasetyono, peneliti senior CSIS
menyebutkan: “UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI tegas menyatakan, TNI dilarang
terlibat politik praktis. Karena langkah ini akan merusak TNI hingga tidak mampu
melaksanakan fungsi pertahanan negara secara profesional”.
Masyarakat militer secara langsung tunduk di bawah kekuasaan Negara atau
pemerintah, bukan kepada segelintir orang. Ini karena negaralah yang memenuhi
kebutuhan primer anggota, seperti makanan, rumah, pakaian, uang, pengajaran,
pelatihan, dan perlindungan kesehatan. Selain itu, negara juga menyediakan fasilitas
dan sarana materil perang dan sipil.14
14
Imad Abdurrahim Az-Zaghul, Psikologi Militer, Edisi Indonesia, (Jakarta: Khalifa,
2004), h. 32.
78
4. Dewirantonisasi
Dewirantonisasi merupakan salah satu langkah yang dilakukan oleh presiden
Abdurrahman Wahid dalam semangat reformasi yaitu memecat Wiranto serta
mengganti semua pejabat-pejabat militer yang berkaitan dengan orde baru yang
pada saat itu merupakan bawahan dari Wiranto selaku panglima TNI sebelumnya
yang sangat erat kaitannya dengan Orde Baru.
Alasan pemecatan Wiranto ada dua hal utama, yaitu terkaitnya Wiranto
dengan kasus HAM di Timor- Timur serta kasus pergolakan yang terjadi pada
tahun 1998 terhadap mahasiswa dan beberapa aktivis dan yang ke dua
memutuskan hubungan dengan kekuatan orde baru.
Wiranto pada saat orde baru menjabat sebagai Panglima ABRI sekagus
menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan melakukan pengamanan
terhadap orde baru dan bertanggung jawab selaku Panglima tertinggi terhadap
kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya.
Alasan ke dua yaitu mereposisi jabatan-jabatan yang di isi oleh orang-orang
yang dinilai dekat dengan Wiranto. Salah satu contohnya adalah pergantian
posisi Pangkostrad secara mendadak dari Letjen TNI Djaja Suparman kepada
Mayjen TNI Agus Wirahadi Kusuma yang dinilai lebih reformis. Mayjen TNI
79
Agus Wirahadi Kusuma dinilai oleh Presiden Abdurrahman Wahid memiliki
pandangan yang mutlak terhadap tugas dari TNI yang sesungguhnya.15
B. Profil Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto
Widodo Adi Sutjipto lahir di Boyolali pada selasa 1 Agustus 1944 merupakan
anak ke empat, dari pasangan Adi Sutjipto dan Siti Fatonah. Adi Sutjipto ayah dari
Widodo, pernah menginjak pendidikan di sekolah binaan Belanda yang bernama
Kweek School, merupakan lembaga pendidikan calon guru pribumi yang lulus pada
tahun 1930, dan di tugaskan di Probolinggo. Waktu mengajar di Probolinggo itulah
Adi Sutjipto menemukan pasangan hidupnya, Siti Fatonah. Setahun setelah bertemu,
mereka melangsungkan pernikahan. Dikarenakan tugas sebagai seorang guru, ayah
Widodo sering dipindah tugas ke daerah-daerah. Ini yang menyebabkan Widodo Adi
Sutjipto di besarkan di Solo.
Ragam kehidupan kota Solo yang tenang, banyak membentuk kepribadian
Widodo yang pediam. Kelak kepribadian ini memberikan semacam kekuatan bagi
dirinya dalam memimpin Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Widodo mengenyam pendidikan di SMP II Solo dan lulus pada tahun 1959,
setelah itu Widodo melanjutkan di SMA favorit. Widodo A.S menamatkan
pendidikannya di SD tahun 1956 kemudian SMP tahun 1959 dan SMA tahun 1963.
Setamat SMA, Widodo diterima di Fakultas Tehnik Mesin Universitas Gadjah Mada,
15
A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004).,
h. 250.
80
Yogyakarta, tanpa perlu mengikuti ujian masuk karena nilai-nilainya rata-rata di atas
8. Namun karena merasa kasihan dengan beban orangtuanya yang juga harus
membiayai kuliah kedua kakaknya serta terinspirasi oleh kakaknya, Iskandar, yang
telah menjadi perwira TNI AD, akhirnya Widodo mendaftarkan diri ke Akademi
Angkatan Laut (AAL) di Surabaya dan Akademi Angkatan Udara AAU di
Yogyakarta.16
Seolah nasib Widodo telah ditakdirkan untuk berkarier di TNI AL, AAL justru
yang pertama kali memanggilnya. Saat Widodo diterima menjadi Kadet AAL tahun
1964. Pada saat menjalani kehidupan sebagai Kadet AAL Angkatan XIV, terjadi
peristiwa kelam di lingkungan TNI AL, yaitu munculnya Gerakan Perwira Progresif
Revolusioner (GPPR) yang merasa kecewa dengan kondisi di lingkungan TNI AL
saat itu. Sebagai ekses dari gerakan tersebut, akhirnya seluruh Angkatan XIV
dijauhkan pengaruh kadet-kadet seniornya dengan melakukan kegiatan di luar
akademi sebanyak mungkin. Dinamika lainnya dialami Angkatan XIV, adalah
perubahan nama dari Kadet menjadi Taruna Laut pada tanggal 29 Maret 1965.
Widodo A.S bersama rekan-rekan seangkatannya dilantik menjadi perwira
remaja berpangkat Letnan Muda pada tanggal 10 Desember 1968 di Dermaga Ujung,
Surabaya, bersama-sama dengan alumnus AMN, AAU dan Akpol. Para perwira
remaja tersebut merupakan alumnus pertama Akademi Angkatan Bersenjata RI
16
Usamah Hisyam. Widodo AS Nahkoda diantara Tiga Presiden, (Surabaya: Dharmapena
Multimedia, 2003), h. 22.
81
(Akabri), sebagai wadah pendidikan perwira yang sejalan dengan program integrasi
ABRI tahun 1965, yang menempatkan pendidikan akademi dalam satu institusi.
Letnan Muda Widodo A.S mengawali kariernya di TNI AL sebagai Perwira
Senjata di Divisi Meriam Serbaguna di RI Irian terhitung mulai tanggal 1 Januari
1969. RI Irian merupakan kapal penjelajah Kelas Sverdlov buatan Uni Soviet yang
memperkuat TNI AL sejak tahun 1962. Kemudian pada tanggal 24 Oktober 1970,
Letnan Widodo mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Sri Murniati. Pasangan
Widodo A.S – Sri Murniati dikaruniai 3 orang anak (1 puteri dan 2 putera) dan
selanjutnya 3 orang cucu. Tugas-tugas berikutnya Widodo A.S lebih banyak di
daratan, yang diawali sebagai Komandan Peleton Kompi Protokol Denma Armada (1
Desember 1971), Perwira Urusan Dalam Lanal Semarang (3 Maret 1972), Kepala
Seksi Operasi Keamanan Laut Lanal Semarang (1 Januari 1974), Kabag Penerangan
dan Protokol Siaga PAL Surabaya (15 November 1975), Paban Muda Operasi Sops
Kowilhan-IV / Hankam (1 Januari 1981) dan Paban Perencanaan dan Evaluasi
Operasi Kowilhan-IV / Hankam (1 Juni 1981).
Setelah lama berdinas di darat, akhirnya Widodo A.S yang kini telah
menyandang pangkat Letnan Kolonel Laut, kembali berdinas laut, yaitu terhitung
tanggal 25 Juli 1985 sebagai Palaksa KRI Samadikun-341, kapal perang jenis fregat
buatan Amerika Serikat Kelas Claud Jones. Kemudian mulai tanggal 1 Juli 1986
menjabat sebagai Komandan KRI Monginsidi-343, kapal fregat sekelas
dengan Samadikun. Setelah itu, mulai tanggal 1 Februari 1988 Letkol Widodo A.S
82
pindah tugas sebagai Komandan KRI Ki Hadjar Dewantara-364, kapal perang jenis
korvet buatan Yugoslavia yang juga berfungsi sebagai kapal latih lanjut Taruna
Akabri Bagian Laut. Setahun kemudian tepatnya tanggal 28 Juni 1989, Letkol
Widodo dipercaya sebagai Kepala Proyek Pengadaan Kapal “Van Speijk”. Saat
bertugas di Belanda tersebut, Widodo A.S dinaikkan pangkatnya menjadi Kolonel
Laut. Selesai bertugas di Belanda, terhitung tanggal 1 November 1989 Kolonel
Widodo bertugas sebagai Komandan KRI Abdul Halim Pedanakusuma-355, kapal
perang jenis fregat buatan Belanda dari Kelas Van Speijk.
Kemudian terhitung mulai 15 Maret 1991, Kolonel Widodo menjabat sebagai
Asisten Operasi Komandan Gugus Tempur Laut Armada Timur. Pada saat Kol.
Widodo menjabat Asops Danguspurlatim, terjadi sebuah peristiwa penting di wilayah
Timor-Timur (Tim-Tim) yang kala itu masih menjadi bagian dari NKRI. Tahun 1991
terjadi kerusuhan berdarah di Kota Dili yang memancing reaksi negatif dari
masyarakat internasional. Sekelompok aktifis HAM, LSM, media massa dan
pendukung kemerdekaan Tim-Tim bermaksud melakukan aksi propaganda anti
Indonesia dengan menggunakan sebuah kapal feri tua Portugal bernama Lusitania
Expresso yang akan berlayar dari Portugal menuju Dili, Tim-Tim. Guna mencegah
sekaligus menghalau kapal propaganda tersebut, Guspurlatim menggelar Operasi Aru
Jaya di perairan antara Tim-Tim dengan Australia. Tindakan tegas Indonesia tersebut,
akhirnya berhasil mengusir kapal Lusitania Expresso untuk meninggalkan perairan
teritorial NKRI pada tanggal 11 Maret 1992.
83
Berkat prestasi Kolonel Widodo yang menjadi lulusan terbaik saat mengikuti
Seskogab Angkatan XVIII tahun 1991-1992, Mabes ABRI menugaskannya untuk
menjadi salah satu Guru Militer Sesko ABRI di Bandung. Selain menjadi Guru
Militer, Kol. Widodo juga merangkap jabatan sebagai Perwira Pembantu (Paban) I
Strategi dan Operasi pada Direktorat Kajian dan Pengembangan Sesko ABRI
terhitung mulai 1 Oktober 1992. Pada saat menjadi Guru Militer, tahun 1993 Widodo
mengikuti Kursus Reguler Angkatan (KRA) XXVI Lemhanas dan lulus dengan
predikat terbaik. Setelah mengikuti Lemhanas, Kolonel Widodo diangkat menjadi
Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Barat (Guskamlabar) terhitung tanggal 15
Juli 1993, yang tak lama kemudian mulai 1 Oktober 1993 pangkatnya dinaikkan
menjadi Laksamana Pertama TNI.
Selanjutnya setahun kemudian, tepatnya mulai 1 April 1994, Laksma Widodo
diangkat menjadi Kepala Staf Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar).
Setahun kemudian, Widodo A.S diangkat menjadi Panglima Komando Armada RI
Kawasan Barat mulai tanggal 1 Februari 1995. Seiring dengan kenaikan jabatan
tersebut, pangkat Laksma Widodo A.S pun turut dinaikkan menjadi Laksamana Muda
TNI mulai tanggal 1 Maret 1995. Kemudian mulai tanggal 1 Maret 1996 Laksda
Widodo diangkat menjadi Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) Kasal.
Selepas menjabat sebagai Asrena, Widodo diangkat menjadi Wakil Kepala Staf TNI
AL (Wakasal) terhitung mulai tanggal 15 Juli 1997 dan mulai 1 Agustus pangkatnya
dinaikkan menjadi Laksamana Madya TNI.
84
Pada tahun 1997 Indonesia diguncang krisis moneter yang berujung pada krisis
multidimensi sehingga meletupkan gelombang aksi demonstrasi besar-besaran dari
berbagai elemen masyarakat. Aksi demonstrasi massal tersebut berujung terjadinya
kerusuhan sosial yang terjadi antara 13 hingga 15 Mei 1998. Guna mencegah kian
berlarutnya aksi massa, akhirnya Presiden Soeharto mengundurkan diri dan
digantikan oleh wakilnya, B.J. Habibie. Setelah resmi menjabat sebagai Presiden RI
ketiga, B.J. Habibie kemudian menunjuk Laksdya Widodo sebagai Kasal untuk
menggantikan Laksamana TNI Arief Kushariadi mulai tanggal 26 Juni 1998. Seiring
hal tersebut, terhitung tanggal 1 Februari 1999 pangkat Widodo A.S dinaikkan
menjadi Laksamana TNI.
Laksamana TNI Widodo A.S tidak lama menjabat sebagai Kasal, karena
kemudian Presiden Habibie mengangkatnya menjadi Wakil Panglima TNI mulai
tanggal 17 Juli 1999. Ternyata Widodo A.S hanya 3 bulan menjabat sebagai Wakil
Panglima TNI, karena Presiden RI berikutnya sesuai hasil Sidang Umum MPR 1999,
yaitu Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mengangkatnya menjadi Panglima TNI
menggantikan Jenderal TNI Wiranto.
Widodo A.S menjabat Panglima mulai tanggal 26 Oktober 1999. Selama
Laksamana Widodo A.S menjabat sebagai Panglima TNI, kembali terjadi peristiwa
genting yang nyaris membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu ketika
terjadi perselisihan antara Presiden Gus Dur dengan MPR yang meminta pertanggung
85
jawaban presiden atas terjadinya berbagai krisis politik hingga buruknya kinerja
pemerintah.
Presiden Gus Dur bereaksi dengan ancaman hendak mengeluarkan Dekrit
Presiden yang membubarkan MPR/DPR. Akibatnya, MPR melalui Sidang Istimewa
2001 memberhentikan Gus Dur sebagai presiden keempat dan mengangkat Wapres
Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI kelima. Pada situasi yang kritis
tersebut, Widodo berhasil mempertahankan profesionalitas dan netralitas TNI serta
menjaga kekompakan TNI, dengan tidak memihak kepada salah satu pihak walaupun
peluang itu terbuka luas. Laksamana Widodo A.S berhasil menjadi nahkoda yang
tangguh dan profesional diantara 3 Presiden RI, yaitu B.J. Habibie, Gus Dur dan
Megawati Soekarnoputri.
Laksamana Widodo mengakhiri masa jabatannya sebagai Panglima TNI pada
tanggal 18 Juni 2002 dan menyerahkan estafet kepemimpinan TNI kepada
penggantinya Jenderal TNI Endriartono Sutarto. Meskipun sudah tidak lagi menjabat
sebagai Panglima TNI dan bersiap memasuki masa pensiun, tidaklah berarti Widodo
A.S dapat “duduk tenang”, karena negara masih membutuhkan pengabdian dan
keahliannya. Antara tahun 2002-2003, muncul Krisis Irak-Amerika Serikat yang
berujung pada meletusnya perang terbuka, sehingga akibatnya memberi ekses negatif
pada Warga Negara Indonesia yang bermukim di Irak.
86
Berkaitan dengan hal tersebut, Presiden Megawati mengangkat Widodo sebagai
Ketua Tim Nasional Penanggulangan Dampak Situasi Irak (TNPDSI) yang
bertanggung jawab terhadap keseluruhan proses evakuasi WNI dari Irak. Kemudian
setelah bertugas sebagai Ketua TNPDSI, Laksamana Widodo A.S diangkat oleh
Presiden RI keenam, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi Menteri
Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan RI (Menkopolhukam) menggantikan
Hari Sabarno, yang dijabatnya antara tanggal 21 Oktober 2004 sampai 22 Oktober
2009. Selama menjabat sebagai Menkopolhukam, Widodo A.S juga merangkap
sebagai Menteri Dalam Negeri ad-interim (2 April-29 Agustus 2007). Setelah selesai
menjabat sebagai Menkopolhukam, Widodo A.S diangkat menjadi Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara ad-interim antara 1 Oktober sampai 22 Oktober
2009 dan selanjutnya mulai 25 Januari 2010 hingga saat ini diangkat sebagai anggota
Dewan Pertimbangan Presiden.
C. Pengangkatan Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI
Dalam suatu pembagian jabatan di dalam dunia militer pembagian kekuasaan
kepada tiga angkatan bersenjata yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan
Udara merupakan hal yang lumrah. Tetapi tidak untuk Indonesia, dalam sejarah
militer di Indonesia terdapat salah satu angkatan yang seolah-olah dianggap sebagai
saudara tua karena berjasa bagi kemerdekaan bangsa.17
17
A. Malik Haramain, Gus Dur Militer dan Politik, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2004), h.
238.
87
Rezim silih berganti, Orde Lama berganti dengan Orde Baru, Presiden Soekarno
turun dan digantikan oleh Presiden Soeharto yang berasal dari latar belakang militer
terutama Angkatan Darat. Dengan naiknya Soeharto menjadi presiden, menjadikan
Angkatan Darat memperoleh prioritas dibandingkan dengan Angkatan Lainnya
dengan mendapatkan jabatan-jabatan strategis di Departemen Pertahanan yang selalu
didominasi oleh Angkatan ini dan Angkatan Darat dijadikan sebagai alat legitimasi
oleh Soeharto. Kekuasaan panglima tertinggi selalu berada atau dikuasai oleh satu
Angkatan di dalam angkatan bersenjata Indonesia yaitu Angkatan Darat.
Berbeda di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid yang mempunyai
latar belakang seorang sipil tetapi mampu melakukan kontrol sipil terhadap militer,
adalah dengan cara melakukan pergeseran posisi (mutasi) di tubuh militer. Kebijakan
Presiden Abdurrahman Wahid menempatkan Laksamana Widodo AS sebagai
Panglima TNI dianggap menciptakan sebuah tradisi dalam militer dengan merotasi
jabatan panglima untuk Angkatan-Angkatan lain.
Perubahan ini juga akhirnya membuat hubungan sipil-militer ikut mengalami
perubahan yang menciptakan kontrol sipil pada militer. Gagasan konsep ini seperti
ytang dikemukan oleh Samuel P. Hungtington dalam menjelaskan tentang konsep
hubungan sipil-militer. Menurut Samuel P. Hungtinton mengenai hubungan sipil–
militer, ia memaparkan bahwa adanya dua konsep yang menjelaskan bagaimana
kontrol sipil itu di lakukan. Yaitu Subjective Civilian Control (Maximizing Civilian
Control) yaitu memaksimalkan kekuasaan sipil. Dapat di artikan bahwa model ini bisa
88
diartikan sebagai upaya meminimalisasi kekuasaan militer dan memaksimalkan
kekuasaan kelompok–kelompok sipil. Kedua, Objective Civilian Control (
Maximizing Military Professionalism) yaitu memaksimalkan proesionalisme militer
dan menunjukkan bahwa adanya pembagian kekuasaan politik antara kelompok
militer dan kelompok sipil yang kondusif menuju perilaku professional.
Dua konsep Huntington ini menuju pada arah non–politikal professional
military yang menempatkan aktor militer sebagai abdi negara yang di tugaskan untuk
mempertahankan negara tanpa berupaya untuk mengembangkan sejarah ideologi dan
landasan moral dari evolusi negara. Abdi negara ini lalu mengembangkan misi teknis
operasional berupa penggunaan kekuatan bersenjata untuk mempertahankan
kedaulatan politik dan territorial Negara di bawah kendali otoritas politik sipil yang
sah.18
Berfokus pada konsep tersebut, dapat dikatakan setiap tindakan atau kebijakan
yang dilakukan oleh presiden Abdurrahman Wahid mengutamakan kontrol sipil
terhadap militer dan membuat militer untuk profesonal, yang diartikan bahwa militer
tak ikut campur di dalam urusan politik. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan dalam
menyusun kabinet dan pengangkatan panglima TNI yang dilakukan oleh Presiden
Abdurrahman Wahid. Pada pengangkatan panglima TNI Presiden Abdurrahman
18
Samuel P.Huntington, Prajurit dan Negara, Teori politik Hubungan Militer dan Sipil,.
(Massachussets : Harvard University Press, 1959), h. 80.
89
Wahid, benar-benar mengambil kebijakan yang beresiko salah satunya menaikkan
Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI.
Terdapat banyak faktor yang menjadikan Laksama TNI. Dalam pengangkatan
Laksamana Widodo Adi Sutjipto, peneliti menemukan tiga hal utama yang
mempengaruhi pengangkatan Laksamana Widodo Adi Sutjipto menjadi Panglima
TNI, yaitu: politik, agenda kemaritiman, dan rotasi.
1. Politik:
Di era reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid membuat suatu
perubahan posisi-posisi pimpinan di lembaga-lembaga pemerintahan. Di
antara lain pada institusi militer yang merupakan sektor penting dalam
mengiringi transisi dari Orde Baru menuju era Reformasi, karena institusi
militer di Indonesia dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan orde baru
yang diktator dalam menjalankan pemerintahan Indonesia seperti
penggunaan cara-cara represif dalam meredam kelompok-kelompok yang
sangat berseberangan, kritis, dan bertentangan dengan kebijakan-
kebijakan rezim pada saat itu. Mempertimbangkan hal tersebut, cara yang
dilakukan oleh Orde Baru dianggap bertentangan dengan ideologi negara
Indonesia yang demokratis.19
19
Wawancara Pribadi dengan Salim Said, Jakarta 16 Juli 2016.
90
Bagian ini menjadi agenda setting di dalam kebijakan yang diambil
oleh presiden Abdurahman Wahid dalam melakukan pengangkatan
Panglima TNI. Agenda setting adalah bagian dari lima langkah di dalam
melakukan sebuah proses kebijakan publik. Agenda setting dalam kasus
ini adalah reformasi politik yang telah terjadi di Indonesia juga harus
menyebar di dalam institusi politik lainnya yang sangat penting. Institusi
itu tidak lain adalah lembaga militer yang dikenal sebagai TNI. Di dalam
tubuh TNI sejak awal Orde Baru sampai berakhirnya telah diketahui
bahwa TNI dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan politik sehingga
masuknya era reformasi di Indonesia juga menuntut untuk ada perubahan
di dalam tubuh TNI itu sendiri. Diantara perubahan itu adalah penggantian
Panglima TNI yang dari awal dikuasai oleh Angkatan Darat dan saat era
Reformasi kedudukan itu diberikan kepada Angkatan Laut.
Para pejabat militer yang mempunyai kedekatan dengan orde baru
dicopot dari jabatannya dan diganti dengan orang-orang yang dinilai
mempunyai tujuan yang sama dengan Presiden Abdurrahman Wahid.
Terutama dalam kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan refomasi,
profesionalisme, serta komitmen TNI dalam menjaga stabilitas pertahanan
dan keamana NKRI. Alasan itu sangat sesuai dengan penjelasan tentang
penyusunan agenda yang berubah agenda setting dalam kebijakan publik.
Menurut mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie
Massardi, Untuk mereformasi TNI maka harus mengganti pucuk
91
pimpinannya, TNI menganut sistem komando yang mempunyai arti jika
suatu pangkat struktural yang lebih tinggi kedudukannya memberi sebuah
perintah dan instruksi maka struktur pangkat di bawahnya akan mengikuti
perintah dan instruksi dari garis komando yang sudah ditetapkan.
Selanjutnya Adhie Massardi mengemukakan, terdapat unsur politik dalam
pengangkatan Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto yaitu
menghindari manuver politisi mendorong Jenderal- Jenderal
memperebutkan kursi jabatan Panglima TNI.20
Unsur politik itu adalah bagian dari formulasi kebijakan publik.
Formulasi kebijakan adalah masalah yang telah masuk keagenda
kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-
masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah
terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau
pilihan kebijakan yang ada. Sama seperti perjuangan suatu masalah untuk
masuk ke dalam agenda kebijakan, pada tahap perumusan kebijakan
masing- masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan
yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing
aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
Penjelasan tersebut memberikan sebuah gambaran tentang formulasi
kebijakan publik dan jika dikaitan dengan penjelasan menurut mantan
Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie Massardi sebelumnya
20
Wawancara Pribadi dengan Adhie massardi, Jakarta 16 Juli 2016.
92
daapat disimpulkan bahwa yang menjadi formulasi kebijakan di dalam
pengangkatan Laksamana Widodo sebagai Panglima TNI adalah unsur
politik yang telah dijelaskan sebelumnya. Penjelasan itu secara garis besar
menjelaskan bahwa jika menginginkan perubahan di dalam militer
haruslah mengganti pemimpin tertingginya, dan itu adalah Panglima TNI.
Hal ini adalah alternatif-alternatif pemecahan masalah di dalam formulasi
kebijakan.
Untuk membuat sebuah keselarasan antara pemerintah dengan TNI,
maka Panglima TNI diganti oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Panglima
TNI sebelumnya berasal dari Angkatan Darat yaitu Jenderal Wiranto
digantikan dengan Laksamana Widodo Adi Sutjipto yang merupakan
Panglima TNI pertama yang berasal dari Angkatan Laut, tidak pernah ada
Panglima TNI di Indonesia sejak zaman Orde Baru sampai dengan awal
pemerintahan Abdurrahman Wahid yang berasal dari golongan selain
Angkatan Darat.
Pengangkatan Laksamana Widodo Adi Sutjipto pada 4 November
1999 merupakan sebuah gebrakan awal reformasi di militer yang
dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan ini diharapkan TNI
dapat mencapai optimalisasi dalam menjaga keamanan dan stabilitas
nasional.
93
2. Agenda Kemaritiman
Dalam agenda reformasi Presiden Abdurrahman Wahid, salah satunya
mengenai kemaritiman Indonesia. Indonesia merupakan Negara kepulauan
memiliki 17.508 pulau yang mempunyai kekayaan laut yang melimpah
dan wilayah laut yang cukup luas dengan garis pantai 81.000 km.21
Agenda reformasi yang berkaitan dengan kemaritiman jika dihubungkan
dengan tahap kebijakan publik maka agenda kemaritima ini berhubungan
dengan adopsi kebijakan dalam tahapan kebijakan publik. Adopsi
kebijakan adalah dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan
oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif
kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif,
konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan. Agenda
kemaritiman ditempatkan sebagai adopsi kebijakan hal ini dikarenakan
berhubungan dengan kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid tentang
kemaritiman yang akan diuraikan lebih jelas selanjutnya.
Di era pemerintahan Gus Dur 2 (dua) tahun sebelumnya mengeluarkan
kebijakan membentuk kementerian baru yakni Departemen Eksplorasi
Laut dengan Keputusan Presiden No.355/M Tahun 1999 tanggal 26
Oktober 1999. Dalam perjalanannya, namanya berubah-ubah dan akhirnya
saat ini menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan berdasarkan
21
94
Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009. Pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid juga dibentuk Dewan Maritim Indonesia (DMI)
yang bertugas untuk mengkoordinasikan dan mensinergikan program
pembangunan kelautan di Indonesia.
Demi menjaga dan mengoptimalisasi kekayaan laut Indonesia,
Presiden Abdurrahman Wahid membuat kementerian khusus yang
menangani Kelautan Indonesia, yaitu Departemen Eksplorasi Kelautan
yang dipimpin oleh Sarwono Kusumaatmaja. Agar dapat optimal dalam
mengelola kekayaan laut Indonesia, Angkatan Laut juga berperan dalam
menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dari sisi kelautan.22
Presiden Abdurrahman Wahid ingin memperkuat Laut Indonesia
antara lain dengan cara mengangkat Panglima TNI dari Angkatan Laut
yaitu Laksamana Widodo Adi Sutjipto. Diharapkan dengan kemampuan
yang dimiliki Laksamana Widodo Adi Sutjipto dalam hal menjaga
keamanan di sektor laut Indonesia. Penejalsan ini sangat berhubungan
dengan adopsi kebijakan, sehingga hal ini menjadikan keyakinan peneliti
meletakan agenda kemaritiman menjadi adopsi kebijakan publik dalam
pengangkatan Laksamana Widodo sebagai Panglima TNI di masa
presiden Abdurrahman Wahid.
22
Wawancara pribadi dengan Salim Said, Jakarta, 16 Juli 2016
95
Disamping itu Angkatan Laut merupakan Angkatan terbesar ke dua di
Indonesia berdasarkan jumlah personil anggota saat ini diantaranya:
Angkatan Darat 273.693 personil, Angkatan Laut 68.180 presonil dan
Angkatan Udara 27.590 personil. Ini salah satu pertimbangan Presiden
Abdurrahman Wahid mengangkat Laksamana Widodo Adi Sutjipto yang
berasal dari Angkatan Laut.23
3. Rotasi
Dalam Pengangkatan Panglima TNI merupakan hak prerogratif dari
seorang Presiden, tetapi secara struktur seakan-akan telah dipersiapkan
oleh Wiranto yang menunjuk Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai
Wakil Panglima TNI pada saat itu. Secara struktur terdapat syarat secara
tidak langsung mengenai pengangkatan Panglima Widodo Adi Sutjipto24
.
Abdurrahman Wahid Ingin merotasi Panglima TNI yang sebelumnya
didominasi oleh Angkatan Darat, sehingga seluruh Angkatan
mendapatkan hak yang sama dalam menjabat Panglima TNI.
Penjelasan tersebut sangat berkaitan dengan tahap keempat di dalam
kebijakan publik, yaitu implemitasi/pelaksanaan kebijakan. Suatu program
kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut
tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan
yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus
23
Wawancara dengan Adhie Massardi, Jakarta, 21 Januari 2016 24
Ibid.,
96
diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi
maupun agen-agen pemerintah ditingkat bawah dalam hal ini adalah
segala kesatuan yang ada di dalam tubuh TNI yaitu Angkatan Darat, Laut,
dan Udura. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit
administrasi yang memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia.
Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing.
Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana
(implementators), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh
para pelaksana.
Terakhir dari tahapan kebijakan publik adalah evalusia kebijakan.
Pada bagian evalusi kebijakan akan diuaraikan dan dijelaskan melalaui
proses reformasi di tubuh TNI dan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
laksaman Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI. Hal ini sangat
berhubungan dengan pengangkatan dan program yang akan
dilaksanakannya sebagai Panglima TNI.
D. Kebijakan Widodo
Keputusan Panglima Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI di
era Pemerintahan Abdurrahman Wahid, mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
berkaitan dengan reformasi. Selama mencermati dua bulan pertama masa
97
kepemimpinannya, Panglima TNI Laksamana Widodo AS merumuskan enam pokok
tugas-tugas TNI berikut:25
a. Melanjutkan reformasi internal TNI, meliputi aspek struktural dan
kultural.
b. Meningkatkan profesionalisme dengan menaati program latihan secara
bertahap, bertingkat, dan berkelanjutan, serta menaati kembali
program-program pendidikan di dalam dan di luar negeri.
c. Memperbaiki citra TNI secara bersungguh-sungguh dengan
membenahi penampilan institusi prajurit TNI, serta selalu taat asas
melaksanakan tugas pokok dan fungsi TNI selaku komponen utama
pertahanan.
d. Membantu pemerintah daerah dan Polri, terutama dalam mengatasi
keadaan di daerah-daerah rawan keamanan.
e. Memelihara kesiapsiagaan seluruh jajaran untuk penugasan setiap saat.
f. Melanjutkan tugas luar negeri dalam rangka perdamaian dunia.
25
Hisyam, Usamah . Widodo AS Nahkoda diantara Tiga Presiden, (Surabaya:
Dharmapena Multimedia, 2003.)
99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengangkatan
Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto di era Presiden Abdurrahman wahid
merupakan suatu kebijakan yang sangat momentum dan sangat tepat dalam
mengawali era Reformasi, karena Panglima pertama di Indonesia yang berasal dari
matra Angkatan Laut. Dari awal kemerdekaan yang dipimpin oleh Ir. Soekarno
hingga Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, semua panglima berasal dari matra
Angkatan Darat, tetapi pada saat era Reformasi yang di pimpin oleh Presiden
Abdurrahman Wahid yang merupakan symbol dari supremasi sipil yang merupakan
sebuah keharusan yang diterapkan di dalam Negara Indonesia yang menganut sistem
demokrasi.
Pengangkatan Widodo Adi Sutjipto sebagai Panglima TNI di era Kepresidenan
Abdurrahman Wahid tidak terjadi secara kebetulan. Dalam kenyataannya terdapat
beberapaalasan yang ditemukan oleh peneliti. Dalam pengangkatan Laksamana
Widodo Adi Sutjipto menjadi Panglima TNI, peneliti menemukan tiga hal utama
yang mempengaruhi, yaitu: pertama politik, kedua agenda kemaritiman, dan ketiga
rotasi.
100
Alasan pertama pengangkatan Laksamana Widodo Adi Sutjipto sebagai
Panglima TNI merupakan politik, Menurut mantan Juru Bicara Presiden
Abdurrahman Wahid, Adhie Massardi, Presiden Abdurrahman Wahid memilih
karena untuk menghindari manuver antar Jenderal yang inginmenjadiPanglima TNI
yang merupakan kroni-kroni dari Orde Baru. Presiden Abdurrahman Wahid ingin
mereshuffle semua oknum yang terkait Orde Baru, alasan tersebut dikemukakan agar
terdapat keselarasan dengan semua perangkat Negara dalam menjalankan roda
pemerintahan. Laksamana Widodo Adi Sutjipto dinilai oleh Presiden Abdurrahman
Wahid sebagai sosok yang dapat menjalankan tugas sebagai Panglima TNI selaras
dengan Pemerintah.
Alasan kedua yaitu kemaritiman, Presiden Abdurrahman Wahid mulai
meningkatkan kembali poros kemaritiman karena Indonesia merupakan Negara
kepulauan terbesar di dunia dengan sumber daya kelautan yang melimpah, oleh
karena itu diangkatnya Panglima TNI yang berasal dari Angkatan Laut diharapkan
dapat secara optimal menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia terutama dari sektor kelautan, dan memperkuat alusista Angkatan Laut.
Alasan ketiga yaitu rotasi, dalam pengangkatan Panglima TNI di dalam
Undang- Undang merupakan hak Prerogratif dari seorang Presiden akan tetapi dalam
semangat Reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid ingin melakukan suatu
perubahan dimana Panglima TNI tidak harus berasal dari Angkatan Darat. Presiden
Abdurrahman Wahid berpendapat bahwa setiap Angkatan mempunyai hak yang sama
101
untuk menjadi Panglima TNI. Selain itu Presiden Abdurrahman Wahid ingin
membuat tradisi baru, yaitu pengangkatan Panglima TNI secara bergantian dia wali
oleh Angkatan Laut, karena Angkatan Laut sebagai Angkatan Perang terbesar di
Indonesia setelah Angkatan Darat.
Dalam menjalankan reformasi secara utuh, TNI mereformasi diri dengan
menjalankan fungsi TNI dengan seharusnya. Reformasi TNI dikomando oleh
Panglima TNI Laksamana Widodo Adi Sutjipto yang mengeluarkan kebijakan –
kebijakan dan memperbaiki TNI dengan mengutamakan Reformasi di dalam TNI
dengan Profesionalisme TNI menjalankan fungsi militer dengan sesungguhnya yaitu
menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengikuti perdamaian
dunia.
102
B. Saran
Saran ditujukan untuk instansi TNI dan Presiden, Dengan adanya Reformasi
militer Indonesia dalam hal pengangkatan Panglima TNI, diharapkan sistem
pergantian panglima dengan rotasi antar Angkatan tetap dijalankan demi
menghilangkan dominasi salah satu Angkatan sehingga tercipta stabilitas di dalam
TNI dan selalu bersinergi dengan Pemerintahan yang sedang berkuasa. Selain itu
Supremasil Sipil selalu dilakukan di dalam pemerintahan Indonesia agar terciptanya
Negara yang demokrasi.
103
Daftar Pustaka
Az-Zaghul, Imad Abdurrahim. Psikologi Militer. Jakarta: Khalifa, 2004.
Budiharjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Chaidar, Al. Reformasi Prematur. Jakarta: Darul Falah, 1998.
Chrisnandi, Yuddy. Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan
Profesionalisme TNI. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005.
Chrisnandi, Yuddy. Reformasi TNI Prespektif Baru Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005.
Dwiyanto, Agus. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Dwiyanto, Agus. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
E. Mc Grath, Alister. Sejarah Pemikiran Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2002.
Fatah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara Pasang Surut Politik Militer 1945-2004.
Yogyakarta: LKIS, 2005.
FX, Bambang Irawan. Supremasi Sipil? Agenda Politik Militer Gus Dur. Yogyakarta:
eLst Reba, 2000.
Gulo, W. Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo, 2013.
Haramain, A Malik. Gus Dur Militer dan Politik. Yogyakarta: LkiS, 2004.
Hisyam, Usamah. Widodo AS Nahkoda diantara Tiga Presiden. Surabaya:
Dharmapena Multimedia, 2003.
Huntington, Samuel P. Tertib Politik di dalam Masyarakat yang Telah Berubah.
Jakarta: CV Rajawali, 1983.
Huntington, Samuel P. Prajurit dan Negara, Teori politik Hubungan Militer dan
Sipil. Cambridge Maas: The Belknap Press of Howard University Press, 1959.
Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan
Kuantitatif. Jakarta: Erlangga, 2009.
104
Lan, Liem Siok . Mengutamakan Rakyat-Wawancara Mayor Jenderal TNI Saurip
Kadi oleh Liem Siok Lan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Matanasi, Petrik. Pribumi Jadi Letnan KNIL. Yogyakarta: Trompet, 2011.
Mietzner, Marcus. The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia: Elite
Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance. Washington: East-West
Center, 2006.
Muhaimin, Yahya A. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.
Nasution, A.H. Sedjarah Perjuangan Nasional di BidangBersendjata. Djakarta:
Mega Bookstore, 1966.
Nasution, A.H. T.N.I Jilid I, 2nd
ed. Djakarta: Ganeco, 1968.
ParlMutter, Amos. Militer dan Politik. Jakarta: Rajawali Pers, 2000.
Raco, Jozef. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis Karakteristik dan Keunggulan.
Jakarta: Grasindo, 2012.
Salim, Agus. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 2001.
Samego, Andria. Bila ABRI Berbisnis. Bandung: Mizan, 1998.
Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2010.
Soebijono. dkk. Dwifungsi abri perkembangan dan peranan dalam kehidupan poliyik
di indonesia. Yogyakarta: Ugm press, 1997.
Soemitro. Suksesi Militer dan Mahasiswa. Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997.
Sugiyono, Frans. Mencintai liturgi. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Sukadis, Beni. Almanak Reformasi Sektor Keamanan Indonesia. DCAF &
LESPRESI, 2007.
Wild, Colin dan Peter Carey, ed. Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi
Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1986.
105
Arsip
Fadly, Yusuf. “Militer dan Politik: Suatu Tinjauan Atas Reformasi Internal TNI dan
Implikasinya terhadap Transisi Demokrasi di Indonesia 1999-2004.” Skripsi
S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008.
Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (Mabes TNI). TNI Abad XXI: Redefinisi
Reposisi.. Jakarta: Mabes TNI, 1999.
UUD 1945
Media Elektronik
Agenda Kemaritiman, Artikel diakses pada 22 Agustus 2016 melalui www.kkp.go.id
BiografiLaksamanaWidodoAdiSutjipto, Artikel diakses pada tanggal 10 September
2016 dari
http://www.tnial.mil.id/Aboutus/Sejarah/Biografi/tabid/116/articleType/Articl
eView/articleId/5454/LAKSAMANA-TNI-WIDODO-AS.aspx
Daftar Panglima TNI, artikel diakses pada 1 Juli 2016 dari
http://news.okezone.com/read/2014/10/07/337/1048928/panglima-tni-jejak-
soedirman-hingga-moeldoko
Panglima TNI, artikel diakses pada 1 Juli 2016 dari
http://www.kamusbesar.com/55719/panglima-tni
Wawancara
Wawancara dengan Adhie Massardi, juru bicara Kepresidenan Era Pemerintahan
Presiden Abdurrahman Wahid
Wawancara dengan Salim Said, pengamat militer.
Recommended