View
51
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
rh
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rheumatic Heart Disease (RHD) merupakan komplikasi yang
membahayakan dari demam reumatik. Proses perjalanan penyakit yang dimulai
dengan infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus β
hemoliticus tipe A yang bisa menyebabkan demam reumatik. Kurang lebih 39 %
pasien dengan demam reumatik akut bisa terjadi kelainan pada jantung mulai dari
insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. Dengan penyakit
jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi stenosis katup dengan
derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium, aritmia dan disfungsi
ventrikel. Rheumatic Heart Disease masih menjadi penyebab stenosis katup mitral
dan penggantian katup pada orang dewasa di Amerika Serikat.1 Menurut Hudak
dan Gallo (1997), adanya malfungsi katup dapat menimbulkan kegagalan pompa
baik oleh kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa
ruang , seperti stenosis katup aortik atau stenosis pulmonal), atau dengan
kelebihan beban volume yang menunjukan peningkatan volume darah ke ventrikel
kiri sehingga sebagai produk akhir dari malfungsi katup akibat penyakit jantung
reumatik adalah gagal jantung kongestif.2
Menurut laporan WHO Expert Consultation Geneva 29 Oktober-1
november 2001 yang diterbitkan tahun 2004 menyebutkan, sekitar 7,6/100.000
penduduk di Asia Tenggara, 8,2/100.000 penduduk di negara berkembang dan
0,5/100.000 penduduk di negara maju menderita rheumatic heart disease.3 RHD
lebih sering terjadi pada penderita yang menderita keterlibatan jantung yang berat
pada serangan DR akut. RHD kronik dapat ditemukan tanpa adanya riwayat DR
akut. Hal ini terutama didapatkan pada penderita dewasa dengan ditemukannya
kelainan katup. Kemungkinan sebelumnya penderita tersebut mengalami serangan
karditis rematik subklinis, sehingga tidak berobat dan tidak didiagnosis pada
1
stadium akut. Kelainan katup yang paling sering ditemukan adalah pada katup
mitral, kira-kira tiga kali lebih banyak daripada katup aorta.
Stenosis mitral merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran
darah pada tingkat katup mitral oleh karena adanya perubahan pada struktur mitral
leaflets, yang menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan
pengisian ventrikel kiri saat diastol.1,2,3
Stenosis mitral merupakan penyebab utama terjadinya Rheumatic Heart
Disease di negara-negara berkembang.3,4 Di Amerika Serikat, prevalensi dari
stenosis mitral telah menurun seiring dengan penurunan insidensi demam rematik.
Pemberian antibiotik seperti penisilin pada streptococcal pharyngitis turut
berperan pada penurunan insidensi ini.3 Berdasarkan penelitian yang dilakukan
diberbagai tempat di Indonesia, penyakit jantung valvular menduduki urutan ke-2
setelah penyakit jantung koroner dari seluruh jenis penyebab penyakit jantung.2
Dari pola etiologi penyakit jantung di poliklinik Rumah Sakit Mohammad Hoesin
Palembang selama 5 tahun (1990-1994) didapatkan angka 13,94% dengan
penyakit katup jantung.1
Suatu faktor penting yang mempengaruhi insidens Rheumatic Heart
Disease adalah ketepatan diagnosis dan pelaporan penyakit. Sampai sekarang
belum tersedia uji spesifik yang tepat untuk menegakkan diagnosis Rheumatic
Heart Disease. Terdapat kesan terdapatnya overdiagnosis Rheumatic Heart
Disease, sehingga diharapkan dengan kriteria diagnosis yang tepat, pengertian dan
kemampuan untuk mengenal penyakit ini serta kesadaran para dokter untuk
menanggulanginya merupakan hal yang sangat penting dalam menurunkan
insidens penyakit ini.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah:
2
1. Untuk mengetahui anatomi jantung
2. Untuk mengetahui definisi, etiologi, faktor risiko, patogensis dan cara
mendiagnosis rheumatic heart disease dengan stenosis mitral
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan rheumatic heart disease dengan
stenosis mitral
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. RHEUMATIC HEART DISEASE (RHD)
1. Definisi
Menurut WHO, Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah cacat
jantung akibat karditis rematik. Menurut Afif. A (2008), RHD adalah
penyakit jantung sebagai akibat adanya gejala sisa (sekuele) dari Demam
Rematik (DR), yang ditandai dengan terjadinya cacat katup jantung. RHD
adalah hasil dari DR, yang merupakan suatu kondisi yang dapat terjadi 2-3
minggu setelah infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A pada
saluran napas bagian atas.18
Demam reumatik (DR) adalah sindrom klinik akibat infeksi kuman
streptococcus beta hemolytikus grup A, dengan satu atau lebih gejala
mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea minor, nodul
subkutan atau eritema marginatum. Demam reumatik akut (DRA) adalah
istilah untuk penderita demam rematik yang terbukti dengan tanda radang
akut. Demam reumatik inaktif adalah istilah untuk penderita dengan
riwayat demam rematik tetapi tanpa terbukti tanda radang akut. Rheumatic
Heart Disease (RHD) adalah kelainan jantung yang ditemukan pada DRA
atau kelainan jantung yang merupakan gejala sisa ( sekuele) dari DR.
2. Anatomi dan Fisiologi Jantung
1. ANATOMI JANTUNG
Jantung (cor) berbentuk conus dengan basis terletak di
dorsocraniodexter dan apex di ventrocaudosinister. Jantung memiliki 3
facies, yaitu facies sternocostalis, facies diaphragmatica dan facies
pulmonalis. Bagian dalam jantung terdiri atas 4 ruang yaitu atrium
3
cordis dextrum dan sinistrum serta ventriculus cordis dexter dan
sinister. Antara atrium cordis dextrum dan sinistrum dibatasi septum
interatriale. Padanya terdapat fossa ovalis yang merupakan obliterasi
(sisa) dari foramen ovale pada waktu janin. Antara ventriculus cordis
dexter dan sinister dibatasi oleh septum interventriculare yang terdiri
dari pars membranacea dan pars muscularis. Antara atrium dan
ventriculus cordis dexter maupun sinister dibatasi oleh ostium
atrioventriculare dexter dan sinister. Padanya terdapat valvula (klep)
yang memisahkan kedua ruangan, yaitu valvula trikuspidalis di sisi
kanan dan valvula mitralis/bicuspidalis di sisi kiri. (Budianto, 2003).
4
Pada permukaan tubuh manusia, batas-batas jantung dapat
diproyeksikan sebagai berikut:
Sinister (kiri): mulai dari SIC V 1 jari sebelah medial linea
medioclavicularis ke cranial (atas) sampai SIC II sinister
pada linea parasternalis.
Cranial (atas): SIC II sinister pada linea parasternalis ke
kanan sampai tepi atas costa III dexter kurang lebih 2 cm
dari linea sternalis.
Dexter (kanan): tepi cranial (atas) costa III dexter, kurang
lebih 2 cm dari linea sternalis terus ke tepi caudal costa V
dexter.
Caudal (bawah): dari costa V dexter sampai SIC V linea
medioclavicularis. (Asisten Anatomi FK UNS 1999-2000,
2003)
Sedangkan proyeksi valve (katup) yang menghubungkan
ruangan di dalam jantung adalah sebagai berikut:
Valva tricuspidalis: SIC V dan cartilago costalis V dexter
Valva bicuspidalis: SIC III dan cartilago costalis IV sinister
Valva semilunaris aorta: cartilago costalis III dexter, pada
sternum sebelah linea mediana
5
Valva semilunaris pulmonalis: cartilago costalis III sinister,
sternum sebelah kiri dari linea mediana. (Asisten Anatomi
FK UNS 1999-2000, 2003)
Proyeksi-proyeksi tersebut memiliki peranan penting untuk
melakukan pemeriksaan fisik jantung, terutama untuk pemeriksaan
auskultasi.
2. HISTOLOGI JANTUNG
Dinding jantung terutama terdiri dari serat-serat otot jantung
yang tersusun secara spiral dan saling berhubungan melalui diskus
interkalatus. (Sherwood, 2001). Dinding jantung terdiri dari 3 lapisan
berbeda, yaitu:
Endokardium, adalah lapisan tipis endothelium, suatu
jaringan epitel unik yang melapisi bagian dalam seluruh
sistem sirkulasi, di sebelah dalam.
Miokardium, yaitu lapisan tengah yang terdiri dari otot
jantung, membentuk sebagian besar dinding jantung.
Perikardium adalah suatu membran tipis di bagian luar yang
membungkus jantung. (Sherwood, 2001)
Miokardium terdiri dari berkas-berkas serat otot jantung yang
saling menjalin dan tersusun melingkari jantung. Tiap-tiap sel otot
jantung saling berhubungan untuk membentuk serat yang bercabang-
cabang, dengan sel-sel yang berdekatan dihubungkan ujung ke ujung
pada struktur khusus yang dikenal sebagai diskus interkalatus
(intercalated disc). Di dalam sebuah diskus interkalatus terdapat dua
jenis pertautan membran: desmosom dan gap junction. Desmosom,
sejenis taut lekat yang secara mekanis menyatukan sel-sel, banyak
dijumpai di jaringan yang sering mendapat tekanan mekanis, misalnya
jantung. Pada interval tertentu di sepanjang diskus interkalatus, kedua
membran yang berhadapan saling mendekat untuk membentuk gap 6
junction, yaitu daerah-daerah dengan resistensi listrik yang rendah dan
memungkinkan potensial aksi menyebar dari satu sel jantung ke sel di
dekatnya. (Sherwood, 2001)
Tidak terdapat gap junction di antara sel-sel kontraktil atrium
dan ventrikel dan kedua massa otot itu dipisahkan oleh annulus
fibrosus, yaitu rangka fibrosa yang mengelilingi katup dan tidak dapat
menghantarkan listrik. Namun, terdapat suatu sistem penghantar
khusus untuk mempermudah koordinasi transmisi eksitasi listrik dari
atrium ke ventrikel agar pemompaan atrium dari ventrikel berjalan
sinkron. (Sherwood, 2001)
3. FISIOLOGI JANTUNG
AKTIVITAS LISTRIK JANTUNG
Kontraksi sel otot jantung untuk mendorong darah dicetuskan
oleh potensial aksi yang menyebar melalui membrane sel-sel otot.
Jantung berkontraksi atau berdenyut secara berirama akibat potensial
aksi yang ditimbulkannya sendiri, suatu sifat yang dikenal sebagai
otoritmisitas. (Sherwood, 2001)
Ada beberapa macam pembagian jenis otot jantung. Menurut
Sherwood (2001), terdapat dua jenis khusus sel otot jantung yaitu: sel
kontraktil yang menyusun 99% otot jantung dan sel otoritmik. Sel
kontraktil adalah sel otot yang melakukan kerja mekanis yaitu
memompa dan pada keadaan normal tidak menghasilkan sendiri
potensial aksi. Sebaliknya, sel otoritmik tidak berkontraksi tapi
mengkhususkan diri mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi
yang bertanggung jawab untuk kontraksi sel-sel kontraktil. (Sherwood,
2001)
Guyton dan Hall (2008) membagi otot jantung menjadi tiga
tipe utama yakni: otot atrium, otot ventrikel, dan serabut otot
eksitatorik dan konduksi khusus. Tipe otot atrium dan ventrikel
berkontraksi dengan cara yang sama seperti otot rangka, hanya saja
7
durasi kontraksi otot-otot tersebut lebih lama. Sebaliknya, serabut-
serabut khusus eksitatorik dan konduksi justru memperlihatkan
pelepasan muatan listrik berirama yang otomatis dalam bentuk
potensial aksi atau konduksi potensial aksi yang melalui jantung, yang
bekerja sebagai suatu sistem eksitatorik yang mengatur denyut jantung
yang berirama. (Guyton dan Hall, 2008)
Kedua pembagian tersebut memperlihatkan suatu kesamaan
pola, yakni terdapat dua jenis otot jantung, yakni otot yang berfungsi
secara mekanis untuk kontraksi dan otot yang berfungsi pada sistem
konduksi khusus.
Menurut Sherwood (2001), sel-sel otot jantung yang mampuu
mengalami otoritmisasi ditemukan di lokasi-lokasi sebagai berikut:
Nodus Sinoatrium (nodus SA), daerah kecil khusus di dinding
atrium kanan dekat muara vena cava superior
Nodus Atrioventrikel (nodus AV), sebuah berkas kecil sel-sel otot
jantung khusus di dasar atrium kanan dekat septum, tepat di atas
pertautan atrium dan ventrikel.
Berkas His (berkas atrioventrikel), suatu jaras sel-sel khusus yang
berasal dari nodus AV dan masuk ke septum interventrikel,
kemudian bercabang membentuk berkas kanan dan kiri yang
berjalan ke bawah melalui septum, melingkari ujung bilik ventrikel
dan kembali ke atrium di sepanjang dinding luar.
Serat Purkinje, serat-serat terminal halus yang berjalan dari berkas
His dan menyebar ke seluruh miokardium ventrikel.
Sel-sel otoritmik jantung tidak memiliki potensial istirahat. Sel-
sel tersebut memperlihatkan aktivitas pemacu (pacemaker activity),
yaitu membran secara perlahan mengalami depolarisasi, atau bergeser,
antara potensial-potensial aksi sampai ambang tercapai, pada saat
membran mengalami potensial aksi. Melalui siklus pergeseran dan
pembentukan potensial aksi yang berulang-ulang tersebut, sel-sel
8
otoritmis ini secara siklis mencetuskan potensial aksi, yang kemudian
menyebar ke seluruh jantung untuk mencetuskan denyut secara
berirama tanpa perangsangan saraf apapun (Sherwood, 2001).
3. Etiologi
Infeksi Streptococcus hemolyticus grup A pada tenggorokan
selalu mendahului terjadinya demam rematik, baik pada serangan pertama
maupun serangan ulang. Telah diketahui bahwa dalam hal terjadi demam
rematik terdapat beberapa predisposisi antara lain :
1. Terdapat riwayat demam rematik dalam keluarga
2. Umur
DR sering terjadi antara umur 5 – 15 tahun dan jarang pada umur kurang
dari 2 tahun.
3. Keadaan sosial
Sering terjadi pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi kurang,
perumahan buruk dengan penghuni yang padat serta udara yang lembab,
dan gizi serta kesehatan yang kurang baik.
4. Musim
Di Negara-negara dengan 4 musim, terdapat insiden yang tinggi pada
akhir musim dingin dan permulaan semi (Maret-Mei) sedangkan insiden
paling rendah pada bulan Agustus – September.
5. Serangan demam rematik sebelumnya.
Serangan ulang DR sesudah adanya reinfeksi dgn Streptococcus beta
hemolyticus grup A adalah sering pada anak yang sebelumnya pernah
mendapat DR.
9
4. Patogenesis
Meskipun pengetahuan serta penelitian sudah berkembang pesat,
namun mekanisme terjadinya rheumatic heart disease yang pasti belum diketahui.
Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam reumatik termasuk dalam
penyakit autoimun.3,4,5 Ada penelitian yang mendapatkan bahwa demam rematik
yang mengakibatkan penyakit jantung rematik terjadi akibat sensitisasi dari
antigen Streptokokus sesudah satu sampai empat minggu infeksi Streptokokus di
faring. Terjadi reaksi imun yang abnormal oleh tubuh terhadap antigen
Streptococcus Beta Hemoliticus Grup A yang dapat immunological cross reaction
antara membrane sel streptococcus dan sarcolemma miokard.
Lebih kurang 95% pasien menunjukkan peninggian titer antistreptoksisn O
(ASTO), antideoksiribonukleat B (anti DNA-ase B) yang merupakan dua macam
tes yang biasa dilakukan untuk infeksi kuman Streptokokus grup A. Beberapa
faktor yang diduga menjadi komplikasi pasca Streptokokus ini kemungkinan
utama adalah pertama Virulensi dan Antigenisitas Streptokokus dan kedua
besarnya respons umum dari host dan persistensi organisme yang menginfeksi
faring. Dan tidak diketemukannya faktor predisposisi dari kelainan genetik.
Diperkirakan terdapat suatu kemiripan antara antigen bakteri dengan sel jantung
pada manusia (antigenic mimicry). Pada penyelidikan ditemukan dua hal 2:
1. Adanya persamaan antara kabohidrat dari streptococcus grup A dengan
glycoprotein dari katup jantung.
2. Terdapat persamaan molekuler yaitu: streptococcal M. Protein dengan
sarcolema sel miocard pada manusia.
Dua teori dasar lainnya untuk menjelaskan terjadinya ARF dan jaringan parut di
target organ terdiri dari 1:
1. Efek toksik yang dihasilkan oleh ektrasellular toksin dari Streptococcus
Betta Hemolyticus Grup A di target organ seperti myocardium, valves,
synovium, and brain.
10
2. Respon imunitas yang abnormal untuk komponen Streptococcus Betta
Hemolyticus Grup A. Molecular mimicry dimana respon imun gagal
membedakan epitop (gen) dari strep. Grup A dengan jaringan tertentu dari
penderita (jaringan ikat).
Infeksi dari Streptokokus ini pada awalnya akan
mengaktifkan sistem imun. Seberapa besar sistem imun yang aktif
ini sangat dipengaruhi oleh faktor virulensi dari kuman itu sendiri
yaitu kejadian terjadinaya bakteriemia. Beberapa protein yang
cukup penting dalam faktor antigenisitas antara lain adalah protein
M dan N asetil glukosamin pada dinding sel bakteri terserbut.
Kedua faktor antigen terserbut akan dipenetrasikan oleh makrofag
ke sel CD4+naif. Selanjutnya sel CD4 akan menyebabkan
poliferasi dari sel T helper 1 dan Thelper 2 melalui berbagai sitokin
antara lain interleukin 2, 12, dll. Thelper 1 akan menghasilkan
interferon yang berfungsi untuk merekrut makrofag lain datang ke
tempat terjadinya infeksi terserbut. Dan juga keberadaan IL 4 dan
IL 10 juga menjadi salah satu faktor perekrutan makrofag ke
tempat lesi terserbut. Selain itu T helper juga akan mengaktifasi sel
plasma menjadi sel B yang merupakan sel memori dengan
memprodukksi IL4. Keberadaan sel memori ini lah yang
memungkinkan terjadinya autoimun ulang apabila terjadi pajanan
terhadap streptokokus lagi. Setelah sel B aktif akan menghasilkan
IgG dan IgE. Apabila terpajan kembali dengan bakteri penyebab
teserbut akan terjadi pengaktifan jalur komplemen yang
menyebabkan kerusakan jaringan dan pemanggilan makrofag
melalui interferon.
Pada penderita jantung reumatik, sel B, IgG dan IgE akan
memiliki raksi silang dengan beberapa protein yang terdapat di
dalam tubuh. Hal ini disebabkan M protein dan N asetil
glukosamin pada bakteri mirip dengan protein miosin dan
tropomiosin pada jantung, laminin pada katup jantung, vimentin
11
pada sinovial, keratin pada kulit, dan lysogangliosida pada
subtalamikus dan caudate nuclei di otak. Reaksi imun yang terjadi
akan menyebabkan pajanan sel terus menerus dengan makrofag.
Kejadian ini akan meningkatkan sitoplasma dan organel dari
makrofag sehingga mirip seperti sel epitel. Sel epitel tersebut
disebut dengan sel epiteloid, penggabungan dari granuloma ini
disebut dengan aschoff body. Sedangkan jaringan yang lisis atau
rusak karena reaksi autoimun baik yang disebabkan oleh karena
reaksi komplemen atau fagositosis oleh makrofag akan digantikan
dengan jaringan fibrosa atau scar. Terbentuknya scar ini lah yang
dapat menyebabkan stenosis ataupun insufisiensi dari katup-katup
pada jantung.
seluler
IL2 IF γ
12
SBHA
Monosit
Makrofag
APC Limfosit T
TH 1
TH 2
Makrofag
Limfosit B
Sel plasma
Antibodi
IL 4
Respon imun Humoral
Pembuluh darah
.
Perjalanan Penyakit
Masa laten infeksi Streptococcus dengan munculnya DR akut cukup
singkat bila ada artritis dan eritema marginatum. Dan akan lebih lama jika gejala
klinisnya disertai korea, sedangkan karditis dan nodul subkutan diantaranya.
Lamanya DR akut jarang melebihi 3 bulan. Tetapi bila ada karditis yang berat
biasanya klinis DR akut akan berlangsung 6 bulan atau lebih. (Taranta, 1964.
Majeed, 1992: gejala karditis akan ditemukan pada tiga bulan pertama dari 93 %
pasien DR akut.( McIntosh dkk,1935. Rosentha, 1968)
Perjalanan alamiah D.R. :
• Fase infeksi : S.B.H group A pd nasopharynx
• Fase laten : ( 1 – 4 minggu sesudah infeksi )
demam menurun manifestasi klinis lain menurun , biakan SBH (-).
13
Sel jaringan (katup jantung)
ANTIBODI
SBHAANTIBODI
• Fase rematik akut :
Manifestasi klinis bervariasi :
– Carditis ringan
– Carditis berat dng gagal jantung 2 – 3 bulan.
– Polyarthritis migrans
• Fase akhir :
Fase tenang atau inaktif (semua tanda-tanda aktif menurun)
5. Manifestasi klinis
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium:
Stadium I
Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular seringkali membesar. Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan3.
Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari sebelum manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik3.
Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian3.
14
Stadium III
Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut dapat digolongkan dalam gejala peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi spesifik (gejala mayor) demam reumatik/penyakit jantung reumatik3.
Manifestasi Klinis Mayor
1. Karditis
Karditis pada demam reumatik akut ditemukan pada sekitar 50% pasien, yang cenderung meningkat dengan tajam pada pengamatan mutakhir1,2. Dua laporan yang paling baru, dari Florida dan Utah, melaporkan karditis pada 75% pasien demam reumatik akut. Angka ini didasarkan kepada diagnosis yang ditegakkan hanya dengan auskultasi, dan bahkan lebih tinggi bila alat ekokardiografi Doppler 91% pasien menunjukkan keterlibatan jantung1. Pada literatur lain menyebutkan yaitu sekitar 40-80% dari demam reumatik akan berkembang menjadi pankarditis5,7.
Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam reumatik akut, dan menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. Bahkan sesudah fase akut, cedera sisa pada katup dapat menyebabkan gagal jantung yang tidak mudah ditangani, dan seringkali memerlukan intervensi bedah. Selanjutnya mortalitas dapat terjadi akibat komplikasi bedah atau dari infeksi berikut yang menyebabkan endokarditis bakteri1.
Banyak dokter memandang karditis sebagai manifestasi demam reumatik yang paling khas. Karditis dengan insufisiensi mitral diketahui dapat berkaitan dengan infeksi virus, riketsia, dan mikoplasma. Namun demam reumatik tetap merupakan penyebab utama insufisiensi mitral didapat pada anak dan dewasa muda. Meskipun laporan dari negara berkembang mengambarkan insidens penyakit jantung reumatik yang tinggi pada anak muda, demam reumatik dan karditis reumatik jarang ditemukan pada anak umur di bawah 5 tahun. Penyakit ini terkait dengan gejala nonspesifik meliputi mudah lelah, anoreksia, dan kulit pucat kekuningan. Mungkin terdapat demam ringan dan mengeluh bernapas pendek, nyeri dada, dan artralgia. Pemeriksaan jantung mungkin menunjukkan keterlibatan jantung, dan pada sebagian pasien dapat terjadi gagal jantung.
15
Karditis dapat merupakan manifestasi tunggal atau terjadi bersamaan dengan satu atau lebih manifestasi lain. Kadang artritis dapat mendahului karditis; pada kasus demikian tanda karditis biasanya akan muncul dalam 1 atau 2 minggu; jarang terjadi keterlibatan jantung yang jelas di luar interval ini.
Seperti manifestasi yang lain, derajat keterlibatan jantung sangat bervariasi. Karditis dapat sangat tidak kentara, seperti pada pasien dengan korea, tanda insufisiensi mitral dapat sangat ringan dan bersifat sementara, sehingga mudah terlewatkan pada auskultasi. Karditis yang secara klinis ’mulainya lambat’ mungkin sebenarnya mengambarkan progresivitas karditis ringan yang semula tidak dideteksi. Pasien yang datang dengan manifestasi lain harus diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan adanya karditis. Pemeriksaan dasar, termasuk elektrokardiografi dan ekokardiografi, harus selalu dilakukan. Pasien yang ada pada pemeriksaan awal tidak menunjukkan keterlibatan jantung harus terus dipantau dengan ketat untuk mendeteksi adanya karditis sampai tiga minggu berikutnya. Jikalau karditis tidak muncul dalam 2 sampai 3 minggu pascaserangan, maka selanjutnya ia jarang muncul.
Takikardia merupakan salah satu tanda klinis awal miokarditis. Pengukuran frekuensi jantung paling dapat dipercaya apabila pasien tidur. Demam dan gagal jantung menaikkan frekuensi jantung; sehingga mengurangi nilai diagnostik takikardia. Apabila tidak terdapat demam atau gagal jantung, frekuensi jantung saat pasien tidur merupakan tanda yang terpercaya untuk memantau perjalanan karditis.
Miokarditis dapat menimbulkan disritmia sementara; blok atrioventrikular total biasanya tidak ditemukan pada karditis reumatik. Miokarditis kadang sukar untuk dicatat secara klinis, terutama pada anak muda yang tidak terdengar bising yang berarti. Pada umumnya, tanda klinis karditis reumatik meliputi bising patologis, terutama insufisiensi mitral, adanya kardiomegali secara radiologis yang makin lama makin membesar, adanya gagal jantung dan tanda perikarditis.
Terdapatnya gagal jantung kongestif, yaitu tekanan vena leher yang meninggi, muka sembab, hepatomegali, ronki paru, urin sedikit dan bahkan edema pitting, semuanya dapat dipandang sebagai bukti karditis. Hampir merupakan aksioma, setiap anak dengan penyakit jantung reumatik yang datang dengan gagal jantung pasti menderita karditis aktif. Hal ini berbeda dengan orang tua, padanya gagal jantung kongestif dapat terjadi sebagai akibat stres mekanik pada jantung karena keterlibatan katup reumatik. Pada anak dengan demam reumatik, gagal jantung kanan, terutama yang disertai dengan edema muka, mungkin terjadi
16
sekunder akibat gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri pada anak reumatik relatif jarang ditemukan.
Endokarditis, radang daun katup mitral dan aorta serta kordae katup mitral, merupakan komponen yang paling spesifik pada karditis reumatik. Katup-katup pulmonal dan trikuspid jarang terlibat. Insufisiensi mitral paling sering terjadi pada karditis reumatik, yang ditandai oleh adanya bising holosistolik (pansistolik) halus, dengan nada tinggi. Bising ini paling baik terdengar apabila pasien tidur miring ke kiri. Pungtum maksimum bising adalah di apeks, dengan penjalaran ke daerah aksila kiri. Apabila terdapat insufisiensi mitral yang bermakna, dapat pula terdengar bising stenosis mitral relatif yaitu bising mid-diastolik sampai akhir diastolik yang bernada rendah. Bising ini disebut bising Carey-Coombs, terjadi karena sejumlah besar darah didorong melalui lubang katup ke dalam ventrikel kiri selama fase pengisian, menghasilkan turbulensi yang bermanifestasi sebagai bising aliran (flow murmur).
Insufisiensi aorta terjadi pada sekitar 20% pasien dengan karditis reumatik. Insufisiensi ini dapat merupakan kelainan katup tunggal tetapi biasanya bersama dengan infusiensi mitral. Infisiensi aorta ini ditandai oleh bising diastolik dini dekresendo yang mulai dari komponen aorta bunyi jantung kedua. Bising ini bernada sangat tinggi, sehinggga paling baik didengar dengan stetoskop membran (diafragma) pada sela iga ketiga kiri dengan pasien pada posisi tegak, terutama jika pasien membungkuk ke depan dan menahan napasnya selama ekspirasi. Bising ini mungkin lemah, dan karenanya sering gagal dikenali oleh pemeriksa yang tidak terlatih. Pada infusiensi aorta yang berat, bising terdengar keras dan mungkin disertai getaran bising diastolik. Pada kasus ini tekanan nadi yang naik karena lesi aorta yang besar digambarkan sebagai nadi perifer yang melompat-lompat (water-hammer pulse). Keterlibatan katup pulmonal dan trikuspid jarang terjadi; ia ditemukan pada pasien dengan penyakit jantung reumatik yang kronik dan berat. Pemeriksaan ekokardiografi-Doppler menunjukkan bahwa kelainan pada katup trikuspid dan pasien demam reumatik pulmonoal ini lebih banyak daripada yang dipekirakan sebelumnya.
Miokarditis atau insufisiensi katup yang berat dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung. Gagal jantung yang jelas terjadi pada sekitar 5% pasien demam reumatik akut, terutama pada anak yang lebih muda. Di Yogyakarta pasien yang datang dengan gagal jantung jelas dapat mencapai 65% karena kasus yang dapat berobat ke rumah sakit terdiri atas pasien demam reumatik akut serangan pertama dan demam reumatik akut serangan ulang. Lagipula pasien di Yogyakarta baru berobat apabila telah timbul gejala dan tanda gagal jantung.
17
Manifestasi gagal jantung meliputi batuk, nyeri dada, dispne, ortopne, dan anoreksia. Pada pemeriksaan terdapat takikardia, kardiomegali, dan hepatomegali dengan hepar yang lunak. Edema paru terjadi pada gagal jantung sangat bervariasi.
Pembesaran jantung terjadi bila perubahan hemodinamik yang berat terjadi akibat penyakit katup. Pembesaran jantung yang progresif dapat terjadi akibat pankarditis, yaitu karena dilatasi jantung akibat miokarditis ditambah dengan akumulsi cairan perikardium parietale dan viserale. Penggesekan permukaan yang meradang menimbulkan suara gesekan yang dapat didengar. Bising gesek ini terdengar paling baik di midprekordium pada pasien dalam posisi tegak, sebagai suara gesekan permukaan. Bising gesek dapat didengar pada sistole atau diastole tergantung pada apakah pergeseran timbul oleh kontraksi maupun relaksasi ventrikel. Pengumpulan cairan yang banyak menyebabkan terjadinya pergeseran perikardium, sehingga dapat mengakibatkan menghilangnya bising gesek. Bising gesek pada pasien parditis reumatik hampir selalu merupakan petunjuk adanya pankarditis. Perikarditis yang tidak disertai dengan endokarditis dan miokarditis biasanya bukan disebabkan demam reumatik.
Irama derap yang mungkin terdengar biasanya berupa derap protodiastolik, akibat aksentuasi suara jantung ketiga. Derap presistolik agak jarang terjadi, akibat pengerasan suara jantung keempat yang biasanya tidak terdengar, atau derap kombinasi, yaitu kombinasi dari dua derap (summation gallop).
2. Artritis
Artritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik. Walaupun merupakan manifestasi mayor yang paling sering, artritis ini paling tidak spesifik dan sering menyesatkan diagnosis. Insidens artritis yang rendah dilaporkan pada penjangkitan demam reumatik akhir-akhir ini di Amerika Serikat, mungkin akibat pedekatan diagnosis yang berbeda. Kebanyakan laporan menunjukkan artritis sebagai manifestasi reumatik yang paling sering, tetapi bukan yang paling serius, seperti kata Lasegue, ’demam reumatik menjilat sendi namun menggigi jantung1.
Artritis menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif sendi, ditandai oleh nyeri yang hebat, bengkak, eritema, dan demam. Meskipun tidak semua manifestasi ada, tetapi nyeri pada saat istirahat yang menghebat pada gerakan aktif atau pasif biasanya merupakan tanda yang mencolok. Intensitas
18
nyeri dapat menghambat pergerakan sendi hingga mungkin seperti pseudoparalisis1.
Artritis harus dibedakan dari artralgi, karena pada artralgia hanya terjadi nyeri ringan tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi besar paling sering terkena, yang terutama adalah sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi perifer yang kecil jarang terlibat. Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis migrans). Proses radang pada satu sendi dapat sembuh secara spontan sesudah beberapa jam serangan, kemudian muncul artritis pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien, artritis sembuh dalam 1 minggu, dan biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu. Artritis demam reumatik berespons dengan cepat terhadap salisilat bahkan pada dosis rendah, sehingga perjalanan artritis dapat diperpendek dengan nyata dengan pemberian aspirin1.
Pemeriksaan radiologis sendi tidak menunjukkan kelainan kecuali efusi. Meskipun tidak berbahaya, artritis tidak boleh diabaikan; ia harus benar-benar diperhatikan, baik yang berat maupun yang ringan. Sebelum terburu-buru ke laboratorium untuk memikirkan ’skrining kolagen’ yang lain, ia harus diperiksa dengan anamnesis yang rinci serta pemeriksaan fisis yang cermat1.
Korea Sydenham
Korea Sydenham, korea minor, atau St. Vitus dance, mengenai sekitar 15% pasien demam reumatik1,2. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan sistem saraf pusat, terutama ganglia basal dan nuklei kaudati, oleh proses radang. Hubungan korea Sydenham dengan demam reumatik tetap tidak jelas untuk waktu yang lama. Hubungan tersebut tampak pada pasien dengan manifestasi reumatik, terutama insufisiensi mitral, yang semula datang hanya dengan korea Sydenham. Sekarang jelas bahwa periode laten antara infeksi streptokokus dan awal korea lebih lama daripada periode laten untuk artritis atau karditis. Periode laten manifestasi klinis artritis atu karditis adalah sekitar 3 minggu, sedangkan manifestasi klinis korea dapat mencapai 3 bulan atau lebih1.
Pasien dengan korea datang dengan gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini lebih nyata apabila pasien dalam keadaan stres. Gerakan abnormal ini dapat ditekan sementara atau sebagian oleh pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot terkena, tetapi yang mencolok adalah otot wajah dan ekstremitas. Pasien tampak gugup dan menyeringai. Lidah dapat terjulur keluar dan masuk
19
mulut dengan cepat dan menyerupai ’kantong cacing’. Pasien korea biasanya tidak dapat mempertahankan kestabilan tonus dalam waktu yang pendek1.
Biasanya pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak. Ekstensi lengan di atas kepala menyebabkan pronasi satu atau kedua tangan (tanda pronator). Kontraksi otot tangan yang tidak teratur tampak jelas bila pasien menggenggam jari pemeriksa (pegangan pemerah susu). Apabila tangan diekstensikan ke depan, maka jari-jari berada dalam keadaan hiperekstensi (tanda sendok atau pinggan). Koordinasi otot halus sukar. Tulisan tangannya buruk, yang ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap1,5. Bila disuruh membuka dan menutup kancing baju, pasien menunjukkan inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah kecewa. Kelabilan emosinya khas, pasien sangat mudah menangis, dan menunjukkan reaksi yang tidak sesuai1,2,5. Orangtua sering cemas oleh kecanggungan pasien yang reaksi yang mendadak. Guru memperhatikan bahwa pasien kehilangan perhatian, gelisah, dan tidak koperatif. Sebagai pasien mungkin disalahtafsirkan sebagai menderita kelainan tingkah laku. Meskipun tanpa pengobatan sebagian besar korea minor akan menghilang dalam waktu 1-2 minggu. Pada kasus yang berat, meskipun dengan pengobatan, korea minor dapat menetap selama 3-4 bulan, bahkan dapat sampai 2 tahun1.
Insidens korea pada pasien demam reumatik sangat bervariasi dan cenderung menurun, tetapi pada epidemi mutakhir di Utah korea terjadi pada 31% kasus. Korea tidak biasa terjadi sesudah pubertas dan tidak terjadi pada dewasa, kecuali jarang pada wanita hamil (’korea gravidarum’). Korea ini merupakan satu-satunya manifestasi yang memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak wanita dibanding pada lelaki. Sesudah pubertas perbedaan jenis kelamin ini bertambah1.
Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan pada penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk dalam manifestasi mayor. Data kepustakaan menunjukkan bahwa eritema marginatum ini hanya terjadi pada lebih-kurang 5% pasien1. Pada literatur lain menyebutkan eritema ini ditemukan pada kurang dari 10% kasus2. Ruam ini tidak gatal, maskular, dengan tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke bagian lain mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, dan tidak melibatkan wajah1,2,5. Pemasangan handuk hangat atau mandi air hangat dapat memperjelas ruam. Eritema sukar ditemukan
20
pada pasien berkulit gelap. Ia biasanya timbul pada stadium awal penyakit, kadang menetap atau kembali lagi, bahkan setelah semua manifestasi klinis lain hilang. Eritema biasanya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis, seperti halnya nodul subkutan1. Menurut literatur lain, eritema ini sering ditemukan pada wanita dengan karditis kronis5.
Nodulus Subkutan
Frekuensi manifestasi ini telah menurun sejak beberapa dekade terakhir, saat ini jarang ditemukan, kecuali pada penyakit jantung reumatik kronik. Penelitian mutakhir melaporkan frekuensi nodul subkutan kurang dari 5%. Namun pada laporan mutakhir dari Utah nodul subkutan ditemukan pada sekitar 10% pasien. Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut dan persendian kaki. Kadang nodulus ditemukan pada kulit kepala dan di atas kolumna vetrebralis. Ukurannya bervariasi dari 0,5-2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Nodul subkutan pada pasien demam reumatik akut biasanya lebih kecil dan lebih cepat menghilang daripada nodul pada reumatoid artritis. Kulit yang menutupinya tidak menunjukkan tanda radang atau pucat. Nodul ini biasanya muncul sesudah beberapa minggu sakit dan pada umumnya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis1.
MANIFESTASI MINOR
Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik; ia sering ada pada karditis yang tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis demamnya adalah remiten, tanpa variasi diurnal yang lebar, gejala khas biasanya kembali normal atau hampir normal dalam waktu 2/3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda objektif pada sendi. Artralgia biasanya melibatkan sendi besar. Kadang nyerinya terasa sangat berat sehingga pasien tidak mampu lagi menggerakkan tungkainya1.
Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji laboratorium. Reaktan fase akut seperti LED atau C-reactive protein mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik untuk masa waktu yang lama (berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada elektrokardiogram juga termasuk kriteria minor5.
21
Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan gagal jantung oleh karena distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada pada demam reumatik tanpa gagal jantung dan ada sebelum manifestasi spesifik yang lain muncul. Pada kasus ini nyeri mungkin terasa berat sekali pada daerah sekitar umbilikus, dan kadang dapat disalahtafsirkan sebagai apendistis sehingga dilakukan operasi1.
Anoreksia, nausea, dan muntah seringkali ada, tetapi kebanyakan akibat gagal jantung kongestif atau akibat keracunan salisilat. Epitaksis berat mungkin dapat terjadi. Kelelahan merupakan gejala yang tidak jelas dan jarang, kecuali pada gagal jantung. Nyeri abdomen dan epitaksis, meskipun sering ditemukan pada demam reumatik, tidak dianggap sebagai kriteria diagnosis1.
Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa3.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya3.
6. Diagnosis
Diagnosis demam rematik lazim didasarkan pada suatu kriteria yang untuk
pertama kali diajukan oleh T. Duchett Jones dan, oleh karena itu kemudian
dikenal sebagai kriteria Jones. Kriteria Jones memuat kelompok kriteria
mayor dan minor yang pada dasarnya merupakan manifestasi klinik dan
laboratorik demam rematik. Pada perkembangan selanjutnya, kriteria ini
kemudian diperbaiki oleh American Heart Association dengan
menambahkan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya (Tabel 1).
Apabila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriterium mayor dan 2 kriteria
minor, ditambah dengan bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya,
kemungkinan besar menandakan adanya demam rematik. Tanpa didukung 22
bukti adanya infeksi streptokokus, maka diagnosis demam rematik harus
selalu diragukan, kecuali pada kasus demam rematik dengan manifestasi
mayor tunggal berupa korea Syndenham atau karditis derajat ringan, yang
biasanya terjadi jika demam rernatik baru muncul setelah masa laten yang
lama dan infeksi streptococcus.
Perlu diingat bahwa kriteria Jones tidak bersifat mutlak, tetapi hanya
sebagai suatu pedoman dalam menentukan diagnosis demam rematik.
Kriteria ini bermanfaat untuk memperkecil kemungkinan terjadinya
kesalahan diagnosis, baik berupa overdiagnosis maupun underdiagnosis.
Tabel.1. Kriteria Jones (update 1992)
Kriteria Mayor Kriteria Minor
Karditis
Poliartritis migrans
Korea sydenham
Eritema marginatum
Nodul subkutan
Klinis :
Riwayat demam rematik atau penyakit jantung
rematik sebelumnya
Artralgia
Demam
Laboratorium :
Peningkatan kadar reaktan fase akut (protein C
reaktif, laju endap darah, leukositosis)
Interval P-R yang memanjang
Ditambah
Disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya berupa kultur apus
tenggorok yang positip atau tes antigen streptokokus yang cepat atau titer ASTO
23
yang meningkat.
7. Diagnosis Banding
Arthritis RheumatoidPoliartritis pada anak-anak dibawah 3 tahun atau lebih sering pada artritis reumatoid, biasanya terjadi secara bersamaan pada sendi-sendi, simetris, tidak bermigrasi, kurang berespon terhadap preparat salisil dibandingkan dengan artritis pada DR. Apabila sakit bertahan lebih dari 1 minggu meskipun sudah diberi salisil + reumatoid faktor (+) diagnosis ke arah artritis reumatoid.
Sickel cell Anemia/ leukemiaTerjadi pada anak dibawah 6 bulan. Adanya penurunan Hb yang significant (< 7 g/dL). Leukositosis tanpa adanya tanda-tanda radang. Peradangan pada metatarsal dan metakarpal. Splenomegali. Pada perjalanan yang kronis kardiomegali. Diperlukan pemeriksaan pada sumsum tulang.
Artritis et causa infeksiMemerlukan kultur dan gram dari cairan sendi.
Karditis et causa virusTerutama disebabkan oleh coxakie B dengan arbovirus dapat menyebabkan miokarditis dengan tanda-tanda kardiomegali, aritmia dan gagal jantung. Kardiomegali bising sistolik (MI). Tidak terdapat murmur. Perikarditis akibat virus harus dibedakan dengan DR karena pada virus disertai dengan valvulitis.
Keadaan mirip choreaMultiple tics merupakan kebiasaan, berupa gerakan-gerakan repetitif.Cerbral palsy gerakannya lebih pelan dan lebih ritmik. Anamnesa: kelumpuhan motorik yang sudah dapat terlihat semenjak awal bulan. Keterlambatan perkembangan.Post ensefalitis perlu pemeriksaan lab lebih lanjut, etiologi yang bermacam-macam. Gejala klinis berupa: kaku kuduk, letargi, sakit kepala, muntah-muntah, photofobia, gangguan bicara, kejang, dll.
Kelainan kongenitalKelaninan kongenital yang tersering pada anak-anak ialah VSD (ventrikel septum defect) dan ASD (atrium septum defect). Gambaran klinis yang mendasari:- Adanya kesamaan pada pemeriksaan fisik dimana didapatkan bising
pansistolik murmur dengan punctum maksimum disela iga III-IV parasternal kiri.
- Adanya keluhan sesak napas akibat gagal jantung
24
Untuk menyingkirkan diagnosis banding ini diperlukan anamnesis yang teliti terhadap tumbuh kembang anak. Biasanya berat badan anak menurun (pada kasus berat) dan terdeteksi dini anak lebih kecil ( < 1 thn).
Demam reumatik Artritis reumatoid Lupus eritomatosus
sistemik
Umur 5-15 tahun 5 tahun 10 tahun
Rasio kelamin Sama Wanita 1,5:1 Wanita 5:1
Kelainan sendi
Sakit
Bengkak
Kelainan Ro
Hebat
Non spesifik
Tidak ada
sedang
Non spesifik
Sering (lanjut)
Biasanya ringan
Non spesifik
Kadang-kadang
Kelainan kulit Eritema marginatum Makular Lesi kupu-kupu
Karditis Ya Jarang Lanjut
Laboratorium
Lateks
Aglutinasi sel domba
Sediaa sel LE
-
-
± 10%
± 10%
± 5%
Kadang-kadang
Respon terhadap
salisilat
Cepat Biasanya lambat Lambat / -
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah
LED tinggi sekali
Lekositosis
Nilai hemoglobin dapat rendah
b. Pemeriksaan bakteriologi
25
Biakan hapus tenggorokan untuk membuktikan adanya streptococcus.
Pemeriksaan serologi. Diukur titer ASTO, astistreptokinase, anti
hyaluronidase.
c. Pemeriksaan radiologi
Elektrokardoigrafi dan ekokardiografi untuk menilai adanya kelainan
jantung.
9. Penatalaksanaan
a. Pengobatan
1) Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A
Pengobatan yang adekuat terhadap infeksi Streptococcus harus segera dilaksanakan
setelah diagnosis ditegakkan. Cara pemusnahan streptococcus dari tonsil dan faring sama
dengan cara untuk pengobatan faringitis streptococcus yakni pemberian penisilin benzatin
intramuskular dengan dosis 1,2 juta unit untuk pasien dengan berat badan > 30 kg atau
600 000-900 000 unit untuk pasien dengan berat badan < 30 kg. Penisilin oral, 400 000
unit (250 mg) diberikan empat kali sehari selama 10 hari dapat digunakan sebagai
alternatif. Eritromisin, 50 mg/kg BB sehari dibagi dalam 4 dosis yang sama dengan
maximum 250 mg 4 kali sehari selama 10 hari dianjurkan untuk pasien yang alergi
penisilin. Obat lain seperti sefalosporin yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari juga
efektif untuk pengobatan faringitis streptokokus. Penisilin benzatin yang berdaya lama
lebih disukai dokter karena reliabilitasnya serta efektifitasnya untuk profilaksis infeksi
streptokokus1,3.
2. Obat analgesik dan anti-inflamasi
Pengobatan anti-radang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam
reumatik, sedemikian baiknya sehingga respons yang cepat dari artritis terhadap salisitas
dapat membantu diagnosis1.
Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam dosis total 100
mg/kgBB/ hari, maximum 6 g per hari dosis terbagi selama 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/
26
hari selama 2-6 minggu berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih besar. Harus
diingatkan kemungkinan keracunan salisilat, yang ditandai dengan tinitus dan
hiperpne1,2,3.
Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal jantung aspirin seringkali
tidak cukup untuk mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardia, kecuali
dengan dosis toksik atau mendekati toksik. Pasien ini harus ditangani dengan steroid;
prednison adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan dosis
terbagi, maximum 80 mg per hari. Pada kasus yang sangat akut dan parah, terapi harus
dimulai dengan metilprednisolon intravena (10-40 mg), diikuti dengan prednison oral.
Sesudah 2-3 minggu prednison dapat dikurangi terhadap dengan pengurangan dosis
harian sebanyak 5 mg setiap 2-3 hari. Bila penurunan ini dimulai, aspirin dengan dosis 75
mg/kgBB/hari harus ditambahkan dan dilanjutkan selama 6 minggu setelah prednison
dihentikan. Terapi ’tumpang tindih’ ini dapat mengurangi insidens rebound klinis
pascaterapi, yaitu munculnya kembali manifestasi klinis segera sesudah terapi dihentikan,
atau sementara prednison diturunkan, tanpa infeksi streptokokus baru. Steroid dianjurkan
untuk pasien dengan karditis karena kesan klinis bahwa pasien berespons lebih baik,
demikian pula gagal jantung pun berespons lebih cepat daripada dengan salisilat1,2.
Pada sekitar 5-10% pasien demam reumatik, kenaikan LED bertahan selama berbulan-
bulan sesudah penghentian terapi. Keadaan ini tidak berat, tidak dapat dijelaskan
sebabnya, dan tidak perlu mengubah tata laksana medik. Sebaliknya kadar PCR yang
tetap tinggi menandakan perjalanan penyakit yang berlarut-larut; pasien tersebut harus
diamati dengan seksama. Apabila demam reumatik inaktif dan tetap tenang lebih dari dua
bulan setelah penghentian antiradang, maka demam reumatik tidak akan timbul lagi
kecuali apabila terjadi infeksi streptokokus baru.
TABEL 3. OBAT ANTI INFLAMASI YANG DIANJURKAN PADA
DEMAM REUMATIK2,3
27
MANIFESTASI KLINIS PENGOBATAN
Artralgia
Hanya analgesik (misal asetaminofen).
Artritis Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu,
dan 75 mg/kgBB/hari selama 4 minggu
berikutnya
Artritis + karditis tanpa kardiomegali Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu,
dan 75 mg/kgBB/hari selama 4 minggu
berikutnya
Artritis + karditis + kardiomegali Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu dan
diturunkan sedikit demi sedikit (tapering off) 2
minggu; salisilat 75 mg/kgBB/hari mulai awal
minggu ke 3 selama 6 minggu
3. Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian besar
kasus cukup diberikan makanan biasa, cukup kalori dan protein. Tambahan vitamin dapat
dibenarkan. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet untuk gagal jantung
yaitu cairan dan garam sebaiknya dibatasi3,9.
4. Tirah Baring dan mobilisasi
Semua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah sakit.
Pasien harus diperiksa tiap hari untuk menemukan valvulitis dan untuk mulai pengobatan
28
dini bila terdapat gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak
dari awal serangan, hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut.
Sesudah itu lama dan tingkat tirah baring bervariasi. Tabel 4 merupakan pedoman umum;
tidak ada penelitian acak terkendali untuk mendukung rekomendasi ini. Hal penting
adalah bahwa tata laksana harus disesuaikan dengan manifestasi penyakit, sedang
pembatasan aktivitas fisis yang lama harus dihindari1.
Selama terdapat tanda-tanda radang akut, penderita harus istirahat di tempat tidur. Untuk
artritis cukup dalam waktu lebih kurang 2 minggu, sedangkan untuk karditis berat dengan
gagal jantung dapat sampai 6 bulan. Mobilisasi dilakukan secara bertahap3.
Istirahat mutlak yang berkepanjangan tidak diperlukan mengingat efek psikologis serta
keperluan sekolah. Penderita demam reumatik tanpa karditis atau penderita karditis tanpa
gejala sisa atau penderita karditis dengan gejala sisa kelainan katup tanpa kardiomegali,
setelah sembuh tidak perlu pembatasan aktivitas. Penderita dengan demam kardiomegali
menetap perlu dibatasi aktivitasnya dan tidak diperkenankan melakukan olahraga yang
bersifat kompetisi fisis3.
TABEL 4. PEDOMAN ISTIRAHAT DAN MOBILISASI PENDERITA DEMAM
REUMATIK/PENYAKIT JANTUNG REUMATIK AKUT
(Markowitz dan Gordis, 1972)3
Artritis Karditis
minimal
Karditis tanpa
kardiomegali
Karditis +
kardiomegali
Tirah baring 2 minggu 3 minggu 6 minggu 3-6 bulan
Mobilisasi
bertahap di
ruangan
2 minggu 3 minggu 6 minggu 3 bulan
Mobilisasi
bertahap di luar
ruangan
3 minggu 4 minggu 3 bulan 3 bulan atau lebih
29
Semua kegiatan Sesudah 6-8
minggu
Sesudah 10
minggu
Sesudah 6 bulan bervariasi
b. Pencegahan sekunder
Cara pencegahan sekunder yang diajukan The American Heart Association dan
WHO tertera pada tabel 5. Pemberian suntikan penisilin berdaya lama setiap bulan adalah
cara yang paling dapat dipercaya. Pada keadaan-keadaan khusus, atau pada pasien dengan
resiko tinggi, suntikan diberikan setiap 3 minggu. Meskipun nyeri suntikan dapat
berlangsung lama, pasien yang lebih tua lebih suka cara ini karena dapat dengan mudah
teratur melakukanya satu kali setiap 3 atau 4 minggu, dibanding dengan tablet penisilin
oral yang harus setiap hari. Preparat sulfa yang tidak efektif untuk pencegahan primer
(terapi faringitis), terbukti lebih efektif daripada penisilin oral untuk pencegahan
sekunder. Sulfadiazin juga jauh lebih murah daripada eritromisin.
Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada
berbagaii faktor, termasuk waktu serangan atau serangan ulang, umur pasien, dan
keadaan lingkungan. Makin muda saat serangan makin besar kemungkinan kumat;
setelah pubertas kemungkinan kumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi
dalam 5 tahun pertama sesudah serangan terakhir. Pasien dengan karditis lebih mungkin
kumat daripada pasien tanpa karditis.
B. STENOSIS MITRAL (MS)
1. Definisi
Stenosis mitral merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah
pada tingkat katup mitral oleh karena adanya perubahan pada struktur mitral
leaflets, yang menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan
pengisian ventrikel kiri saat diastol.
30
2. Etiologi
Penyebab tersering dari stenosis mitral adalah endokarditis reumatik,
akibat reaksi yang progresif dari demam rematik oleh infeksi streptokokkus.1,2,3,4
Diperkirakan 90% stenosis mitral didasarkan atas penyakit jantung rematik.2,5
Penyebab lainnya walaupun jarang yaitu stenosis mitral kongenital, vegetasi dari
systemic lupus eritematosus (SLE), deposit amiloid, mucopolysaccharhidosis,
rheumatoid arthritis (RA), Wipple’s disease, Fabry disease, akibat obat
fenfluramin/phentermin, serta kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia
lanjut akibat proses degeneratif.1,2,3
Terdapat beberapa keadaan yang dapat menyebabkan stenosi mitral,
yakni :
Penyakit jantung reumatik oleh karena autoimun.
Stenosis mitral fungsional oleh kalsifikasi yang berat pada katup mitral.
Kongenital, miksoma, thrombus, lesi endokarditis yang besar
Valvulitis atau inifltrasi
Demam reumatik merupakan penyebab tersering timbulnya stenosis
mitral. Penyebab lainnya jarang ditemukan terutama kelainan congenital.
Penyebab Kongenital sangat jarang ditemukan sebagai suatu etiologi dari stenosis
mitral dan biasanya hanya didapatkan pada bayi. (18,22)
3. Derajat Stenosis Mitral
Derajat berat ringannya stenosis mitral, selain berdasarkan gradien transmitral,
dapat juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta hubungan antara lamanya
waktu antara penutupan katup aorta dan kejadian opening snap. Berdasarkan luasnya area
katup mitral derajat stenosis mitral sebagai berikut:
Minimal : bila area >2,5 cm2
Ringan : bila area 1,4-2,5 cm2
Sedang : bila area 1-1,4 cm2
31
Berat : bila area <1,0 cm2
Reaktif : bila area <1,0 cm2
Keluhan dan gejala stenosis mitral akan mulai muncul bila luas area katup mitral
menurun sampai seperdua dari normal (<2-2,5 cm2). Hubungan antara gradien dan
luasnya area katup serta waktu pembukaan katup mitral dapat dilihat pada tabel
berikut:
Derajat stenosis A2-OS interval Area Gradien
Ringan >110 msec >1,5 cm2 <5 mmHg
Sedang 80-110 msec >1 cm2-1,5 cm2 5-10 mmHg
Berat <80 msec <1 cm2 >10 mmHg
A2-OS: Waktu antara penutupan katup aorta dengan pembukaan katup mitral
Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan atrium kiri akan
meningkat bersamaan dengan progresi keluhan. Apabila area mitral <1 cm2 yang berupa
stenosis mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam aktifitas.
4. Patofisiologi
Pada keadaan normal katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm2, bila area
orifisium katup berkurang sampai 2 cm2, maka diperlukan upaya aktif atrium kiri berupa
peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang normal dapat terjadi.
Stenosis mitral kritis terjadi bila pembukaan katup berkurang hingga menjadi 1 cm2.1,4
Pada tahap ini diperlukan suatu tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg untuk
mempertahankan cardiac output yang normal.1 Peningkatan tekanan atrium kiri akan
meningkatkan tekanan pada vena pulmonalis dan kapiler, sehingga bermanifestasi
32
sebagai exertional dyspneu.4 seiring dengan perkembangan penyakit, peningkatan tekanan
atrium kiri kronik akan menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal, yang selanjutnya
akan menyebabkan kenaikan tekanan dan volume akhir diatol, regurgitasi trikuspidal dan
pulmonal sekunder dan seterusnya sebagai gagal jantung kanan dan kongesti sistemik.1,4
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada stenosis
mitral. Pada awalnya hipertensi pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan
atrium kiri, terjadi perubahan pada vaskular paru berupa vasokonstriksi akibat bahan
neurohormonal seperti endotelin atau perubahan anatomi yaitu remodel akibat hipertrofi
tunika media dan penebalan intima (reactive hypertension).1
Pelebaran progresif dari atrium kiri akan memicu dua komplikasi lanjut, yaitu
pembentukan trombus mural yang terjadi pada sekitar 20% penderita, dan terjadinya
atrial fibrilasi yang terjadi pada sekitar 40% penderita.4
5. Manifestasi klinis
Kebanyakan penderita mitral stenosis bebas keluhan dan biasanya keluhan utama berupa
sesak napas dan dapat juga berupa fatigue. Pada stenosis mitral yang bermakna dapat
mengalami sesak pada aktifitas sehari-hari, paroksismal nokturnal dispnea, ortopnea atau
oedema paru.1,2,3,4,5,6
Aritmia atrial berupa fibrilasi atrium juga merupakan kejadian yang sering terjadi
pada stenosis mitral, yaitu 30-40%. Sering terjadi pada usia yang lebih lanjut atau distensi
atrium yang akan merubah sifat elektrofisiologi dari atrium kiri, dan hal ini tidak
berhubungan dengan derajat stenosis.1
33
Manifestasi klinis dapat juga berupa komplikasi stenosis mitral seperti
tromboemboli, infektif endokarditis atau simtomatis karena kompresi akibat besarnya
atrium kiri seperti disfagia dan suara serak.1
6. Diagnosis
Diagnosis dari mitral stenosis ditegakkan dari riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks,
elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi. Dari riwayat penyakit biasanya
didapat :
Riwayat demam rematik sebelumnya
Dyspneu d’effort
Paroksismal nokturnal dispnea
Aktifitas yang memicu kelelahan
Hemoptisis
Nyeri dada
Palpitasi
Sedangkan dari pemeriksaan fisik didapatkan :
Inspeksi
Tampak pulsasi ictus cordis
Malar flush, perubahan warna kebiruan pada atas pipi karena saturasi
oksigen berkurang
Sianosis perifer
34
Distensi vena jugularis, menonjol karena hipertensi pulmonal dan stenosis trikuspid
Digital clubbing
Respiratory distres
Tanda-tanda kegagalan jantung kanan seperti asites, hepatomegali dan
oedem perifer
Palpasi
Diastolik thrill teraba getaran pada puncak jantung (ictus cordis teraba),
terutama dengan pasien dalam posisi ke arah lateral kiri.
Atrial fibrilasi, pulsa tidak teratur dan terjadinya pulse defisit antara heart
rate dengan nadi lebih dari 12x/menit.
Auskultasi
Murmur diastole yang ditandai dengan M1 yang berbunyi lebih keras
karena peningkatan usaha katub mitral untuk menutup . Berikut gambaran
skematis mur-mur sistole
35
7. Diagnosis Banding
a. Miksoma Atrium
Gejala dan tanda serupa dapat ditemukan pada miksoma atrium,
yaitu suata tumor jinak. Miksoma atrium ini biasanya ditemukan pada
atrium kiri yang melekat ke septum interatrial yang tumbuh cukup
besar untuk menghambat aliran darah diastolic di katup mitral. Tumor
ini menyebabkan sesak nafas episodic atau progresif dan kadang-
kadang demam, penurunan berat badan dan peningkatan laju endap
darah. Diagnosis ditegakkan dengan ultrasonografi jantung. Biasanya
sembuh dengan tindakan bedah segara. (2)
b. Regurgitasi Mitral
36
Regurgitasi mitral yang signifikan mungkin disertai dengan adanya
bising diastolik yang menonjol pada apeks, akan tetapi bising ini
mulai agak lambat dibandingkan pada pasien dengan stenosis mitral,
seringkali terdapat tanda pasti pembesaran ventrikel kiri pada
pemeriksaan fisis, roentgenograi, dan elektrokardiografi. Selain itu,
bising pansistolik apical paling tidak dengan dugaan regurgitasi yang
signifikan. (7)
c. Regurgitasi Aorta
Bising middiastolik apikal yang menyertai regurgitasi aorta
mungkin akan dikelirukan dengan stenosis mitral. Akan tetapi, pada
pasien dengan regurgitasi aorta, tidak adanya opening snap atau
penekanan presistolik jika terdapat irama sinus menunjukkan tidak
adanya stenosis mitral. (7)
d. Defek Septum Atrium
Defek septum atrium juga mungkin dikelirukan dengan stenosis
mitral. Pada kedua kondisi seringkali terdapat tanda klinis,
elektrokardiografi, dan roentgenografik pembesaran ventrikel kanan
dan penekanan vaskularitas paru. S2 yang terpisa dan melebar pada
defek septum atrium mungkin dibingungkan dengan opening snap
mitral, dan bising aliran diastolic melalui katup tricuspid mungkin
dikelirukan dengan bising diastolic mitral. Akan teapi, tidak adanya
pembesaran pada atrium kiri serta tidak adanya garis Kerley B dan
didapati terpecahnya S2 yang menetap akan lebih mendukung terhadap
adanya suatu defek septum atrial daripada stenosis mitral. (7)
e. Kor Triatrium
Kor triatrium adalah malformasi congenital yang jarang yang
terdiri dari cincin fibrosa dalam atrium kiri. Hal ini mengakibatkan
elevasi tekanan vena pulmonali, kapiler, dan arteri pulmonalis.
Lesi ini dapat diketahui segera dengan cara angiografi atrium kiri. (7)
8. Pemeriksaan Penunjang37
Dari pemeriksaan penunjang :
Foto thoraks, didapatkan pembesaran atrium kiri serta pembesaran arteri
pulmonalis, penonjolan vena pulmonalis dan tanda-tanda bendungan pada
lapangan paru.
EKG dapat terlihat adanya gelombang P mitral berupa takik pada gelombang P
dengan gambaran QRS kompleks yang normal. Pada tahap lebih lanjut dapat
terlihat perubahan aksis frontal yang bergeser ke kanan dan kemudian akan
terlihat gambaran RS pada hantaran prekordial kanan.
Echocardiografi akan memperlihatkan :
o E-F slope mengecil dari anterior leaflets katup mitral, dengan menghilangnya
gelombang a berkurangnya permukaan katup mitral
o Berubahnya pergerakan katup posterior
o Penebalan katup akibat fibrosis dan multiple mitral valve echo akibat
kalsifikasi.
9. Penatalaksanaan
Stenosis mitral merupakan kelainan mekanis, oleh karena itu obat-obatan hanya
bersifat suportif atau simtomatis terhadap gangguan fungsional jantung, atau pencegahan
terhadap infeksi. Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan penisilin, eritromisin,
sefalosporin sering digunakan untuk demam rematik atau pencegahan endokardirtis.
Obat-obatan inotropik negatif seperti ß-blocker atau Ca-blocker, dapat memberi manfaat
pada pasien dengan irama sinus yang memberi keluhan pada saat frekuensi jantung
meningkat seperti pada latihan.1,4
Fibrilasi atrium pada stenosis mitral muncul akibat hemodinamik yang bermakna
akibat hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel serta frekuensi ventrikel
yang cepat. Pada keadaan ini pemakaian digitalis merupakan indikasi, dapat
dikombinasikan dengan penyekat beta atau antagonis kalsium.1,4
38
Antikoagulan warfarin sebaiknya digunakan pada stenosis mitral dengan fibrilasi
atrium atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan trombus untuk mencegah
fenomena tromboemboli.1
Valvotomi mitral perkutan dengan balon, pertama kali diperkenalkan oleh Inoue
pada tahun 1984 dan pada tahun 1994 diterima sebagai prosedur klinik. Mulanya
dilakukan dengan dua balon, tetapi akhir-akhir ini dengan perkembangan dalam teknik
pembuatan balon, prosedur valvotomi cukup memuaskan dengan prosedur satu balon.1
Intervensi bedah, reparasi atau ganti katup (komisurotomi) pertama kali diajukan
oleh Brunton pada tahun 1902 dan berhasil pertama kali pada tahun 1920. Akhir-akhir ini
komisurotomi bedah dilakukan secara terbuka karena adanya mesin jantung-paru. Dengan
cara ini katup terlihat jelas antara pemisahan komisura, atau korda, otot papilaris, serta
pembersihan kalsifikasi dapat dilakukan dengan lebih baik. Juga dapat ditentukan
tindakan yang akan diambil apakah itu reparasi atau penggantian katup mitral dengan
protesa.1
Indikasi untuk dilakukannya operasi adalah sebagai berikut:2
Stenosis sedang sampai berat, dilihat dari beratnya stenosis (<1,7 cm2) dan keluhan,
Stenosis mitral dengan hipertensi pulmonal,
Stenosis mitral dengan resiko tinggi terhadap timbulnya emboli, seperti:
Usia tua dengan fibrilasi atrium,
Pernah mengalami emboli sistemik,
Pembesaran yang nyata dari appendage atrium kiri.
10. Komplikasi
a. Fibrilasi Atrium
39
Fibrilasi atrium ditemukan antara 40-50% pada kasus stenosis
mitral yang simtomatis, walaupun ternyata hanya sedikit hubungannya
antara fibrilasi atrium dengan beratnya suatu stenosis mitral.
Mekanisme timbulnya suatu fibrilasi atrium saat ini belum diketahui
secara jelas. Adanya peningkatan tekanan pada atrium kiri yang lama
akan cenderung menimbulkan suatu hipertrofi serta dialtasi atrium kiri
yang kemudian perubahan struktur ini diduga dapat merubah keadaan
elektrofisiologi yang terdapat pada atrium kiri yang merupakan suatu
faktror predisposisi untuk menimbulkan adanya suatu aritmia atrium. (20)
b. Emboli Sistemik
Emboli sistemik merupakan komplikasi yan gserius pada
stenosis mitral. Lebih 90% emboli sistemik berat berasal dari jantung
dan penyakit jantung reumatik. Pasien penyakit jantung reumatik yang
mengalami embolisasi terutama terjadi pada pasien dengan kerusakan
katup mitral dan stenosis mitral. Diduga 9-20 % pasien penyakit
jantung reumatik yang menyerang katup mitral mengalami embolisasi.
Sekitar dua pertiga pasien stenosis mitral dengan komplikasi emboli.
Mortalitas akibat adanya suatu emboli serebri sekitar 50%, sedangkan
mortalitas dari keseluruhan diduga sekitar 15%. (20)
c. Hipertensi Pulmonal dan Dekompensasi Jantung.
Hiperensi pulmonal dan dekompensasi jantung merupakan
keadaan lanjut akibat perubahan hemodinamik yang timbul karena
stenosis mitral, dimana mekanisme adaptasi fisiologis sudah
dilampaui. (20)
d. Endokarditis.
Endokarditis sangat jarang erjadi pada stenosis mitral murni. Kelainan ini
cenderung lebih sering timbul pada stenosis mitral ringan dibandingkan
dengan stenosis mitral berat. (20
11. Prognosis
40
Prognosisnya bervariasi. Kelainan yang terjadi mungkin ringan,
tanpa gejala, atau mungkin lebih parah dan akhirnya membatasi
aktivitas sehari-hari. Komplikasi bisa berat atau mengancam
kehidupan. Stenosis mitral biasanya dikontrol dengan pengobatan
dan ditingkatkan dengan valvuloplasty atau operasi.(11)
C. HUBUNGAN RHEUMATIC HEART DISEASE DENGAN STENOSIS
MITRAL
Dengan penyakit jantung reumatik yang kronik, pada pasien bisa terjadi
stenosis katup dengan derajat regurgitasi yang berbeda-beda, dilatasi atrium,
aritmia dan disfungsi ventrikel. Penyakit jantung reumatik masih menjadi
penyebab stenosis katup mitral dan penggantian katup pada orang dewasa di
Amerika Serikat.1 Menurut Hudak dan Gallo (1997), adanya malfungsi katup
dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh kelebihan beban tekanan
(obstruksi pada pengaliran keluar dari pompa ruang , seperti stenosis katup aortik
atau stenosis pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang menunjukan
peningkatan volume darah ke ventrikel kiri sehingga sebagai produk akhir dari
malfungsi katup akibat penyakit jantung reumatik adalah gagal jantung kongestif.8
Stenosis mitral merupakan lesi yang paling sering ditemukan pada
penderita dengan riwayat PJR kronik. Pada keadaan ini terjadi pembukaan katup
mitral yang tidak sempurna menyebabkan terjadinya stenosis darah dari ventrikel
kiri ke atrium kiri selama fase diastole. Pada kelainan ringan tidak terdapat
kardiomegali, karena beban volume maupun kerja jantung kiri tidak bertambah
secara bermakna.
Penyakit reumatik atau infeksi oleh coccus, menimbulkan parut yang dapat
menyempitkan orifisium katup mitral. Penyempitan yang berat dengan diameter 1
cm atau kurang, menyebabkan hambatan bagi darah yang mengalir dari paru
melalui vena-vena pulmonalis. Vena-vena ini melebar karena bertambah isinya
dan tampak pada foto sebagai pembuluh darah lebar dan pendek di atas hilus
dengan arah ke atas. Selain bertambahnya isi vena-vena ini, tekanan atrium kiri
41
dan vena pulmonalis juga bertambah tinggi sehingga menyebabkan tekanan di
dalam sirkularis paru juga bertambah tinggi. Keadaan ini disebut hipertensi
pulmonal yang disebabkan oleh bendungan pada vena. (17)
Selain menyebabkan hambatan bagi darah yang mengalir dari paru melalui
vena-vena, stenosis mitralis juga menghalangi aliran darah dari atrium kiri ke
ventrikel kiri selama fase diastolik ventrikel. Untuk mengisi ventrikel dengan
adekuat dan mempertahankan curah jantung, atrium kiri harus menghasilkan
tekanan yang lebih besar untuk mendorong darah melampaui katup yang
menyempit. Oleh karena itu, terjadi peningkatan perbedaan tekanan antara kedua
ruang tersebut. Dalam keadaan normal perbedaan tekanan tersebut minimal. (16)
Pada orang dewasa normal orifisium katup mitral adalah 4 sampai 6 cm2 .
dengan adanya obstruksi yang signifikan, misalnya, jika orifisium kurang lebih
kurang dari 2 cm2 , darah dapat mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri hanya
jika didorong oleh gradient tekanan atrioventrikel kiri yang meningkat secara
abnormal, tanda hemodinamik stenosis mitralis. Jika lubang katup mitral
berkurang sampai 1 cm2 , tekanan atrium kiri kurang lebih 25 mmHg diperlukan
untuk mempertahankan curah jantung yang mormal. Tekanan atrium kiri yang
meningkat, selanjutnya meningkatkan tekanan vena dan kapiler pulmonalis, yang
mengurangi daya kembang paru dan menyebabkan dispnea pada waktru
pengerahan tenaga. Serangan pertama dispnea biasanya dicetuskan oleh kejadian
klinis yang meningkatkan kecepatan aliran darah melalui orifisium mitral, yang
selanjutnya meningkatkan kecepatan aliran arah melalui orifisium mitral, yang
selanjutnya mengakibatkan elevasi tekanan atrium kiri. Dengan tujuan untuk
menilai beratnya obstruksi, penting untuk mengukur gradient tekanan
transvalvuler maupun kecepatan aliran. Yang terakhir tergantung tidak hanya pada
curah jantung tapi juga denyut jantung. Kenaikan denyut jantung memperpendek
diastolic secara proporsional lebih daripada sistolik dan mengurangi waktu yang
tersedia untuk aliran yang melalui katup mitral.oleh karena itu, pada setiap tingkat
curah jantung tertentu, takikardia menambah tekanan gradient transvalvuler dan
selanjutnya meningkatkan tekanan atrium kiri. (7)
42
Stenosis mitral juga dapat mengakibatkan pekerjaan ventrikel kanan
menjadi bertambah berat oleh karena adanya hipertensi pulmonal. Hipertensi
pulmonal akan memberikan beban kerja yang lebih daripada beban kerja
normalnya. Otot ventrikel kanan kemudian akan mengalami hipertrofi. Kemudian
Lama-kelamaan hipertrofi ini akan diikuti oleh dilatasi dari ventrikel kanan.
Dilatasi ventrikel kanan ini akan tampak pada foto jantung pada posisi lateral dan
pada posisi PA. Vaskular paru, baik yang arterial ataupun yang venous tampak
bertambah melebar. Pembesaran ventrikel kanan ini lama kelamaan akan dapat
mempengaruhi fungsi dari katup tricuspid. Katup ini kemudian akan mengalami
insufisiensi. Kalau ventrikel kanan mengalami kegagalan, maka darah yang
mengalir ke paru berkurang. Dialtasi ventrikel kanan akan bertambah, sehingga
kemungkinan terjadinya insufisiensi katup tricuspid semakin besar pula. (17)
Ventrikel kiri biasanya tidak mengalami banyak perubahan. Pada keadaan
stenosis mitral yang berat, ventrikel kiri dapat menjadi kecil, begitu pula aorta,
karena kekurangan volum darah. Pembuluh darah paru bertambah terutama di
daerah supreahilar kanan. Vena-vena tampak sebagai pembuluh darah yang
pendek, lebar, di hilus kanan-kiri bagian atas. (17)
43
BAB III
KESIMPULAN
Rheumatoid Heart Disease merupakan
Penyebab utama terbanyak yaitu stenosis mitral
Penegakan diagnosis peritonitis menggunakan triple diagnosis yaitu:
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dengan foto polos
abdomen 3 posisi.
Penggantian cairan, koloid dan elektrolit adalah fokus utama dari
penatalaksanaan medis. Pilihan pengobatan antara lain : antibiotik, analgesik
diberikan untuk mengatasi nyeri. Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk
mual dan muntah. Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan
memperbaiki penyebab.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Alpers C.E., Anthony D.C., Aster J.C. et al. 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins dan Cotran, Ed. 7. Jakarta: EGC pp. 633-43.
2. Faiz, Omar dan Moffat, David. 2004. At a Glance Anatomi. Jakarta: Erlangga
3. Lumley, John. 2002. Surface Anatomy the Anatomical Basis of Clinical Examination. Philadelphia: Elsevier.
4. Snell, Richard. 1993. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC.
5. Agur, Anne dan Keith L.M. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates.
6. Sabiston, David. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC
7. Cotran R.S., Kumar V., Robbins S.L., 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7.Volume 1. Jakarta: EGC
8. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam KapitaSelekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI,Jakarta.
9. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999, Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik, p 256-257, Gaya Baru, jakarta.
10. Sjaifoelloh N, 1996, Demam tifoid, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; Jilid1;Ed:3;p 435-442.5.Sulton, David,1995, Gastroenterologi, dalam Buku ajar Radiologi untuk MahasiswaKedokteran, Ed:5,p 34-38, Hipokrates, Jakarta.
11. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 2004, Dinding Perut, dalam Buku ajar Ilmu Bedah;696, EGC, Jakarta.
12. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College of Medicine,third edition,1997, Toronto.9.Schwartz, Shires, Spencer, Principles of Surgery, sixth edition,198910.Balley and Love’s, Short Practice of Surgery, edisi 20, ELBS, 1988, England
13. Budianto (ed). 2003. Guidance to Anatomy II Edisi Pertama (Revisi). Surakarta: Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS
14. Guyton AC dan Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.
15. Hermawan AG. 2006. “Sepsis” in Sudoyo A.W (ed) et.al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
22
16. Lindseth GN. 2006. ”Gangguan Lambung dan Duodenum” in Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2006 Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. alih bahasa Bhram U. Pendit et.al, editor edisi bahasa Indonesia Huriawati Hartanto et.al. Jakarta: EGC
17. Sherwood, Lauralee. 2001. Human Physiology : From Cells to System. Alih bahasa: Brahm U. Pendit. Jakarta: EGC. Peritonitis,http://www.medikastore.com/med/peritonitis_pyk.php?dktg=7& UID200705.2. Buku-ajar ilmu bedah/editor, R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. -Ed.2.- Jakarta: EGC, 2004.
18. Carol Matson Porth, Structure and Function of the Gastrointestinal Tract, Essential of Pathophisiology, Lippincott Williams & Wilkins, Wiskonsin: 2004, Acute Peritonitis, http://www..ecureme.com/lib/inet.asp?keyword=acute+peritonitis&category=gi.
19. Genuit T & Napolitano, Peritonitis, http://health.allrefer.com/health/peritonitis-symptoms.html.
20. Price Wilson, Peritonitis, patofisiologi saluran cerna, PATOFISIOLOGI (Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit), Jilid 1, ed: 8. Alih Bahasa: Peter Anugrah, EGC, Jakarta: 1995
21. Iwan Ekayuda (editor), Kelainan Saluran cerna Bagian Distal, Radiologi Diagnostik, ed: 2. Divisi Radiologi Diagnostik, Departemen Radiologi FK – UI, Jakarta: 2005
22. Cabnera C, Peritonitis-also listed as: Abdominal wall inflammation, http://www.umm.edu/altmed/articles/peritonitis-00127.htm
23. Arif Mansjoer,dkk, Bedah Digestif-Trauma Tembus Abdomen, Kapita Selekta Kedokteran, ed:3 Jilid 2, Media Eusculapius FK – UI, Jakarta: 2000
24. Rosalyn Carson-De Witt MD, Peritonitis Health Article, http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css
25. University of Virginia Health System, Digestive Disorders, http://ww.UVAHealth/adult_digest/wdc-bin/tools.ctm?toolName=dwemail
26. J.A.Lee, Division Of Surgery, San Francisco, Peritonitis – secondary, http://www.medlineplus/ency/encyclopedia-Ah-Ap/peritonitis-secondary-00312.htm
27. Haskin – Teplick, disease of the digestive system, Roentgenologic Diagnosis, W.B. Saunders Company, United States of America
23
28. Evans LT, Kim WR, Poterucha JJ, Kamath PS. Spontaneous bacterial peritonitis in asymptomatic outpatient with chirrotic ascites. Hepatology 2003;37:897-901.
29. Gines P, Cardenas A, Arroyo V, Rodes J. Management of Chirrosis and Ascites. N Engl JMed 2004;350:1646-54.
30. PPHI. Diagnosis dan terapi peritonitis bakteri spontan pada sirosis hati. Konsensus Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. 2001.
24
Recommended