View
49
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
BAB VI
Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan Arbiterase Asing di Indonesia
A. Praktek Pelaksanaan Putusan Pengadilan Asing di Indonesia
Ketentuan–ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing
(Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Aturannya terdapat dalam
Bab VI pasal 65 sampai dengan pasal 69. Ketentuan–ketentuan tersebut pada
dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase asing (internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York
1958.
Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 menetapkan bahwa yang berwenang menangani
masalah pengakuan dari pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Selanjutnya pasal 66 mengatur hal–hal sebagai berikut: Putusan arbitrase
internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik
Indonesia, apabila memenuhi syarat–syarat sebagai berikut:
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di
suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional.
b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas
pada putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan.
c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya
dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan
dengan ketertiban umum.
d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yagn
menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa,
hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Selanjutnya pasal 67 menetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
Walaupun telah terdapat pengaturan yang cukup jelas dan tegas mengenai
pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dalam UU No. 30 Tahun 1999,
dibandingkan dengan masa ketika belum adanya pengaturan yang jelas mengenai
hal tersebut (yaitu sebelum adanya UU No. 30 Tahun 1999), Indonesia masih
sering menuai kritik dari dunia internasional mengenai pelaksanaan putusan
arbtirase internasional.
Kesan umum di dunia internasional adalah bahwa Indonesia masih merupakan “an
arbitration unfriendly country”, dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan
arbitrase internasional. Karena mengantisipasi hal demikian itu, maka tidaklah
heran jika Karahabodas sebagai pihak yang menang perkara arbitrase
internasional mengajukan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional di
negara lain dimana terdapat kekayaan Pertamina.
Masalah utama yang sering dipersoalkan oleh dunia internasional bahwa
pengadilan Indonesia enggan untuk melaksanakan putusan arbitrase atau menolak
pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dengan alasan bahwa putusan
yang bertentangan dengan public policy atau ketertiban umum. Seperti diketahui,
walaupun public policy dirumuskan sebagai ketentuan dan sendi-sendi pokok
hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa, dalam hal ini Indonesia, namun
penerapan kriteria tersebut secara konkret tidak selalu jelas, sehingga keadaan
demikian dilihat oleh dunia internasional sebagai suatu ketidakpastian hukum.
Adalah menarik untuk mencatat bahwa UU No. 30 Tahun 1999 hanya
mencantumkan public policy sebagai alasan bagi penolakan putusan arbitrase
asing (internasional), padahal Konvensi New York dalam pasal 5 mencantumkan
pula sejumlah ketentuan-ketentuan lainnya yang dapat merupakan alasan bagi
penolakan putusan arbitrase asing (internasional), yang menyangkut hal-hal yang
menyangkut due prosess of law dapat dipertanyakan walaupun ketentuan-
ketentuan lainnya tersebut tidak dicantumkan dalam peraturan perundang-
undangan Indonesia (UU No. 30 Tahun 1999) apakah hakim pengadilan Indonesia
tidak terikat pada ketentuan-ketentuan tersebut, sedangkan Indonesia adalah
anggota Konvensi New York.
Pelaksanaan eksekusi apabila eksekuatur telah diperoleh masih sering menyisakan
berbagai permasalahan dilapangan, apabila terjadi perlawanan terhadap
pelaksanaan eksekusi yang bersangkutan dengan alasan apapun. Seperti diketahui,
prosedur pelaksanaan eksekusi menurut hukum acara perdata diselenggarakan
sesuai dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan hal mana berarti dapat
berlangsung dalam jangka waktu panjang. Tentu saja keadaan demikian
menimbulkan perasaan ketidakpastian hukum pada pihak-pihak yang
bersangkutan.
Masalah lain yang juga menimbulkan ketidakjelasan dalam hukum arbitrase di
Indonesia adalah mengenai pengertian arbitrase internasional itu sendiri. Seperti
diketahui, pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 merumuskan putusan arbitrase
internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbtirase atau
arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu
lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum
Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbtirase internasional.
Dengan adanya rumusan seperti demikian dapat diartikan bahwa putusan arbitrase
yang dijatuhkan di dalam wilayah hukum Indonesai adalah bukan putusan
arbitrase asing (internasional), atau putusan arbitrase domestik (nasional).
Hal ini menjadi masalah mengingat Konvensi New York 1958 dalam kaitannya
dengan masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase adalah menyangkut
putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara yang berbeda daripada negara dimana
dimintakan pengakuan dan pelaksanannya mengenai sengketa secara fisik atau
hukum yang timbul antara mereka yang bersengketa.
Ditegaskan pula bahwa Konvensi New York juga berlaku atas putusan yang oleh
Negara dimana putusan tersebut diakui dan akan dilaksanakan tidak dianggap
sebagai putusan arbitrase domestik.
Seperti diketahui UU No. 30 Tahun 1999 hanya mengatur tentang pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase International di Indonesia, tetapi tidak mengatur
sama sekali tentang penyelenggaraan arbitrase international di Indonesia. Dengan
mudah orang menafsirkan bahwa setiap arbitrase yang diselenggarakan dan
diputus di dalam wilayah Indonesia adalah arbitrase domestik (nasional). Seperti
diketahui mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang diselenggarakan di
Indonesia dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) terdapat
perbedaan dalam prosedur dan jangka waktu pendaftaran, dan sebagainya.
Sedangkan UNCITRAL Model Law dalam pasal 1 secara gamblang menegaskan
bahwa arbitrase adalah internasional apabila :
a. para pihak dalam perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian yang
bersangkutan, mempunyai kedudukan bisnis di negara yang berbeda;
b. tempat berarbitrase, tempat pelaksanaan kontrak atau tempat objek yang
dipersengketakan terletak di negara yang berbeda dari tempat kedudukan bisnis
para pihak yang bersengketa atau apabila para pihak secara tegas bersepakat
bahwa hal yang terkait dengan perjanjian arbitrase yang bersangkutan
menyangkut lebih dari suatu negara.
Dengan kata lain pada arbitrase dalam praktek di Indonesia pun (antara lain di
Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI) diselenggarakan arbitrase yang
menyangkut unsur–unsur asing (para pihak berbeda kebangsaan/negara), dimana
persidangan putusan arbitrase yang bersangkutan dijatuhkan sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia (pasal
59 dan pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999). Namun apabila dilihat dari
kacamata Konvensi New York, putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan
arbitrase internasional, sehingga dapat dilaksanakan eksekusinya di negara-negara
lain yang merupakan anngota Konvensi New York.
Kenyataan lain yang juga terjadi dan dapat menimbulkan masalah adalah apabila
suatu lembaga arbitrase asing (internasional), misalnya I.C.C menyelenggarakan
sidang juga dan atau menjatuhkan putusannya di Indonesia. Pertanyaan dapat
timbul apakah putusan arbitrase lembaga tersebut oleh pengadilan Indonesia
dianggap sebagai putusan arbitrase domestik dengan segala akibat-akibatnya yang
menyangkut prosedur pelaksanaan.
Kasus seperti ini terjadi belum selang berapa lama ini, yang sampai sekarang
menimbulkan masalah yang berlarut-larut.
Masalah seperti dikemukakan di atas terjadi karena berbeda dengan negara-
negara lain pada umumnya (antara lain Singapura), peraturan perundang-
undangan Indonesia yang menyangkut arbitrase asing (internasional) tidak
mengantisipasi ketentuan UNCITRAL Model Law. Sehingga peraturan
perundang-undangan arbitrase Indonesian dianggap terlalu bersifat nasional, yang
tercermin antara lain dalam ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan bahasa
Indonesia dalam sidang dan putusan yang harus mencantumkan irah-irah ‘Demi
Keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Ini sulit untuk dipahami oleh pihak
luar.
Untuk menyesuaikan dengan sifat internasional dan universal dari arbitrase
sebagai suatu konsep penyelesaian sengketa dan dalam rangka harmonisasi
peraturan perundang-undangan Indonesia dengan negara-negara lain yang ternyata
memiliki kondisi lebih kondusif bagi penyelesaian sengketa-sengketa hukum
internasional, seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia,
dalam hal ini UU No. 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk disesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku di dunia internasional, termasuk UNCITRAL
Model Law
Disamping itu diharapkan bahwa hakim-hakim pengadilan negeri Indonesia serta
semua pihak–pihak yang berkepentingan benar-benar memahami makna dan
hakekat arbitrase sebab suatu konsep penyelesaian sengketa di luar pengadilan
yang bersifat praktis, non-konfrontatif, efisien dan efektif.
a.1 Pengertian dan jenis-jenis Putusan
Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 macam yaitu
putusan, penetapan, dan akta perdamaian :
(1) Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
(2) Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari
pemeriksaan perkara permohonan (voluntair), Sedangkan
(3) Akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil
musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan
berlaku sebagai putusan.
Dari segi fungsinya, putusan Pengadilan dalam mengakhiri perkara adalah sebagai
berikut :
1. Putusan Akhir
- adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui
semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan
pemeriksaan
- Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan,
tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu :
a. putusan gugur
b. putusan verstek yang tidak diajukan verzet
c. putusan tidak menerima
d. putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa
- Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang-undang
menentukan lain
2. Putusan Sela
- adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan
tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan
- putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap
arah dan jalannya pemeriksaan
- putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah,
melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja
- Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda
tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turt bersidang
- Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan
akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir
- Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat merubahnya sesuai
dengan keyakinannya
- Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan
putusan akhir.
- Para pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sh dari putusan
itu dengan biaya sendiri
Dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, maka
putusan Pengadilan dibagi beberapa jenis :
1. Putusan gugur
- adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena
penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan
tergugat hadir dan mohon putusan
- putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan
pembacaan gugatan/permohonan
- putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat :
a. penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang
hari itu
b. penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula
mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu
halangan yang sah
c. Tergugat/termohon hadir dalam sidang
d.Tergugat/termohon mohon keputusan
- dalam hal penggugat/pemohon lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka
dapat pula diputus gugur
- dalam putusan gugur, penggugat/pemohon dihukum membayar biaya perkara
- tahapan putusan ini dapat dimintakan banding atau diajukan perkara baru lagi
2. Putusan Verstek
- adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir
meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon
putusan
- Verstek artinya tergugat tidak hadir
- Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya,
sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat,
sepanjang tergugat/para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal
telah dipanggil dengan resmi dan patut
- Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat :
a. Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu
b. Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan
orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang
sah
c. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan
d. Penggugat hadir dalam sidang
e. Penggugat mohon keputusan
- dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula
diputus verstek.
- Putusan verstek hanya bernilai secara formil surat gugatan dan belummenilai
secara materiil kebenaran dalil-dalil tergugat
- Apabila gugatan itu beralasam dan tidak melawan hak maka putusan verstek
berupa mengabulkan gugatan penggugat, sedang mengenai dalil-dalil gugat, oleh
karena dibantah maka harus dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan kecuali
dalam perkara perceraian
- Apabila gugatan itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka putusan verstek
dapat berupa tidak menerima gugatan penggugat dengan verstek
- Terhadap putusan verstek ini maka tergugat dapat melakukan perlawanan
(verzet)
- Tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum ia menggunakan hak
verzetnya lebih dahulu, kecuali jika penggugat yang banding
- Terhadap putusan verstek maka penggugat dapat mengajukan banding
- Apabila penggugat mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan
verzet, melainkan ia berhak pula mengajukan banding
- Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu
kebenaran dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan
putusan verstek
- Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan
pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya
- Perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat)
- Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil
pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan membatalkan putusan
verstek dan menolak gugatan penggugat
- Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir
akan menguatkan verstek
- Terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding
- Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding,
dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah mempero;eh kekuatan hukum
tetap
3. Putusan kontradiktoir
- adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak
dihadiri salah satu atau para pihak
- dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat
maupun tergugat pernah hadir dalam sidang
- terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding
Dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai
berikut:
1. Putusan tidak menerima :
Putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan
penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain gugatan
penggugat/pemohonan pemohon tidak diterima karena gugatan/permohonan tidak
memenuhi syarat hukum baik secara formail maupun materiil
- Dalam hal terjadi eksepsi yang dibenarkan oleh hakim, maka hakim selalu
menjatuhkan putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak
menerima gugatan penggugat
- Meskipun tidak ada eksepsi, maka hakim karena jabatannya dapat memutuskan
gugatan penggugat tidak diterima jika ternyata tidak memenuhi syarat hukum
tersebut, atau terdapat hal-hal yang dijadikan alasan eksepsi
- Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban, kecuali dalam
hal verstekyang gugatannya ternyata tidak beralasan dan atau melawan hak
sehingga dapat dijatuhkan sebelum tahap jawaban
- Putusan tidak menerima belum menilai pokok perkara (dalil gugat) melainkan
baru menilai syarat-syarat gugatan saja. Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka
gugatan pokok (dalil gugat) tidak dapat diperiksa.
- Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir
- Terhadap putusan ini, tergugat dapat mengajukan banding atau mengajukan
perkara baru. Demikian pula pihak tergugat
- Putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang mengadili suatu
perkara merupakan suatu putusan akhir
2. Putusan menolak gugatan penggugat
- yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap
pemeriksaan dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti
- Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih
dahulu memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok gugatan
dapat diperiksa dan diadili
3. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak
menerima selebihnya
- Putusan ini merupakan putusan akhir
- Dalam kasus ini, dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti
atau tidak memenuhi syarat sehingga :
• Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan
• Dalil gugat yang tidak terbukti maka tuntutannya ditolak
• Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus dengan tidak diterima
4. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya
- putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh
dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti
- Untuk mengabulkan suatu petitum harus didukung dalil gugat. Satu petitum
mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara dalil-dalil gugat itu
ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk
dibuktikan, meskipun mungkin dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti
- Prinsipnya, setiap petitum harus didukung oleh dalil gugat
Dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan
dibagi sebagai berikut :
1. Putusan Diklatoir
- yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan
yang resmi menurut hukum
- semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan diklatoir dalam bentuk
penetapan atau besciking
- putusan diklatoir biasanya berbunyi menyatakan
- putusan diklatoir tidak memerlukan eksekusi
- putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan
hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada
2. Putusan Konstitutif
- Yaitu suatu pitusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru,
berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya.
- Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau
hubungan keperdataan satu sama lain
- Putusan konstitutif tidak memerlukan eksekusi
- Putusan konstitutif diterangkan dalam bentuk putusan
- Putusan konstitutif biasanya berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain
bersifat aktif dan bertalian langsug dengan pokok perkara, misalnya memutuskan
perkawinan, dan sebagainya
- Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan
huum tetap
3. Putusan Kondemnatoir
- Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk
melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk
memenuhi prestasi
- Putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius
- Putusab kondemnatoir sekaku berbunyi “menghukum” dan memerlukan
eksekusi
- Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela,
maka atas permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh
pengadilan yang memutusnya
- Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
dalam hal vitvoer baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih
dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta)
- Putusan kondemnatoir dapat berupa pengukuman untuk
1. menyerahkan suatu barang
2. membayar sejumlah uang
3. melakukan suatu perbuatan tertentu
4. menghentikan suatu perbuatan/keadaan
5. mengosongkan tanah/rumah
a.2 Pengakuan dan pelaksanaan putusan
Perkembangan sistem hukum di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem
hukum Civil Law atau sistem Eropa Kontinental. Hal ini disebabkan karena
Indonesia terlalu lama dijajah oleh Belanda yang kemudian menerapkan sistem
hukum Eropa dengan asas konkordansi di Hindia Belanda sebagai Negara jajahan
nya. ,masih banyak ketentuan hukum peninggalan Belanda yang masih digunakan
sebagai hukum positif. Sebagai contoh KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) dan HIR (Het Herziene Inlands Reglement atau Hukum Acara Perdata)
yang banyak dipengaruhi oleh sistem hukum civil Law,yaitu mengutamakan
kodifikasi hukum dan Undang-undang / hukum .Namun praktek seiring dengan
perjalanan waktu, terutama setelah adanya pengaruh globalisasi di segala bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara, nampaknya penerapan sistem hukum
CivilLaw di Indonesia mulai mengalami pergeseran. Terlebih setelah adanya
akademisi maupun praktisi hukum dari Indonesia yang belajar hukum di nagara-
negara yang menganut sistem CommonLaw seperti Inggris dan Amerika. Dari sini
timbul kesadaran akan pentingnya mempelajari perbandingan sistem hukum untuk
memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang sistem hukum yang ada di
dunia secara global guna memperoleh manfaat internal yaitu mengadopsi hal-hal
positif guna pembangunan hukum nasional.Maupun manfaat eksternal yaitu dapat
mengambil sikap yang tepat dalam melakukan hubungan hukum dengan negara
lain yang berbeda system hukumnya. Pergeseran itu antara lain mulai diakuinya
sumber hukum Jurisprudensi, yaitu putusan hakim (judge madelaw) yang telah
berkekuatan hukum tetap oleh Hakim-hakim di Indonesia. Padahal menurut
sistem Civil Law sumber hokum utama adalah Undang-undang dan Hakim tidak
terikat oleh putusan hakim sebelumnya meskipun dalam perkara yang sama.
Contoh terbaru adalah diikutinya jurisprudensi putusan Mahkamah Agung tentang
diperbolehkannya Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali dalam
kasus JokoS. Candra. Sedangkan UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP secara
tegas menyatakan upaya hukum PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli
warisnya.Sistem peradilan disuatu negara masing-masing dipengaruhi oleh sistem
hukum yang dianut oleh negara tersebut. Menurut Eric L. Richard,sistem hukum
utama di dunia adalah sebagai berikut:
1.Civil Law, hukum sipil berdasarkan kode sipil yang terkodifikasi. Sistem ini
berasal dari hukum Romawi (Roman Law) yang dipraktekkan oleh negara-negara
Eropa Kontinental, termasuk bekas jajahannya.
2.Common Law, hukum yang berdasarkan custom. Kebiasaaan berdasarkan
preseden atau judge madelaw.Sistem ini dipraktekkan dinegara-negara Anglo
Saxon,seeprti Inggris dan Amerika Serikat.
3.Islamic Law, hukum yang berdasarkan syariah Islam yang bersumber dari
AlQur‟an dan Hadits.
4.Socialist Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara-negara sosialis.
5.Sub-Saharan Africa Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara Afrika
yang berada di sebelah selatan Gunung Sahara.
6.Far Fast Law, sistem hukum Timur jauh–merupakan sistem hukum uang
kompleks yang merupakan perpaduan antara sistem Civil Law, Common Law,dan
Hukum Islam sebagai basis fundamental masyarakat.
a.3 Perbandingan Praktek di Negara Lain
Dalam kaitannya dengan sengketa internasional, ada baiknya kita melihat pada definisi sengketa internasional terlebih dahulu. Mahkamah Internasional (International Court of Justice) berpendapat bahwa sengketa internasional adalah suatu situasi di mana dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang
terdapat dalam perjanjian (Huala Adolf, “Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional”.
Secara sederhana sengketa internasional adalah sengketa yang melibatkan subyek-subyek hukum internasional. Subyek-subyek hukum internasional berdasarkan berbagai konvensi internasional antara lain:
- Negara;- Tahta Suci Vatikan.
- Organisasi Internasional;
- Palang Merah Internasional;
- Kelompok Pemberontak;
- Perusahaan Multinasional;
- Individu;
Negara (dalam hal ini Indonesia) sebagai subyek utama hukum internasional
mempunyai kedaulatan. Sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Boer Mauna dalam
bukunya “Hukum Internasional, bahwa:
1. Kedaulatan dapat berarti bahwa negara tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan
hukum internasional yang mempunyai status yang lebih tinggi.
2. Kedaulatan berarti bahwa negara tidak tunduk pada kekuasaan apapun dan dari
manapun datangnya tanpa persetujuan negara yang bersangkutan.
Hal-hal di atas dikemukakan oleh Boer sebagai pengertian negatif dari kedaulatan.
Mengenai peradilan internasional, Boer berpendapat bahwa peradilan
internasional adalah bersifat fakultatif. Menurutnya, bila suatu negara ingin
mengajukan suatu perkara ke peradilan internasional, maka persetujuan semua
pihak yang bersengketa merupakan suatu keharusan. Dengan demikian,
penyelesaian sengketa antarnegara melalui peradilan internasional adalah juga
berarti pengurangan kedaulatan negara-negara yang bersengketa. Sehingga,
setelah dikeluarkan putusan oleh peradilan internasional, setiap negara pihak yang
bersengketa wajib melaksanakan putusan tersebut. Demikian pendapat Boer yang
kami sarikan dari buku “Hukum Internasional”
Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa negara berhak
menentukan sikap apakah akan mengakui dan melaksanakan putusan pengadilan
asing atau tidak. Putusan pengadilan asing adalah putusan pengadilan di luar
pengadilan nasional. Apabila sengketa terjadi dalam ranah perdata, salah satu
alternatif penyelesaian sengketa adalah melalui badan arbitrase (baik nasional
maupun internasional). Sebagaimana ditegaskan oleh M. Yahya Harahap dalam
bukunya yang berjudul “Hukum Acara Perdata”bahwa putusan pengadilan asing
(dalam kaitannya dengan sengketa perdata internasional yang diselesaikan melalui
arbitrase internasional) tidak dapat dieksekusi di wilayah Republik Indonesia
kecuali undang-undang mengatur sebaliknya. Yahya Harahap mengacu pada
ketentuan Pasal 436 Reglement op de Burgerlijke rechtvordering (“Rv”).
Mengenai bagaimana melaksanakan putusan pengadilan/arbitrase asing di
Indonesia lebih lanjut dijelaskan oleh Yahya Harahap mengutip dari Pasal 436
ayat (2) Rv bahwa satu-satunya cara untuk mengeksekusi putusan
pengadilan/arbitrase asing di Indonesia adalah dengan menjadikan putusan
tersebut sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru di pengadilan
Indonesia. Kemudian, putusan pengadilan/arbitrase asing tersebut oleh pengadilan
Indonesia dapat dijadikan sebagai alat bukti tulisan dengan daya kekuatan
mengikatnya secara kasuistik, yaitu:
1. bisa bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna dan mengikat; atau
2. hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan
pertimbangan hakim.
B. Praktek pelaksanaan putusan arbiterase asing di Indonesia
Pelaksanaan putusan arbitrase dibedakan menjadi dua yaitu putusan arbitrase
nasional dan putusan arbitrase asing (internasional). Putusan arbitrase nasional
adalah putusan arbitrase baik ad-hoc maupun institusional, yang diputuskan di
wilayah Republik Indonesia. Sedangkan, putusan arbitrase asing adalah putusan
arbitrase yang diputuskan di luar negeri.
1. Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun
1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar
putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus
diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan
mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase
nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30
(tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional
bersifat mandiri, final dan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan
yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak
diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional
tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas
pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan
oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999
sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu
apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase
internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak
permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
2. Putusan Arbitrase Asing (Internasional)
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada
ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara
peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah
Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention
on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah
mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober
1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah
Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing
sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma
tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya
bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam
eksekusi putusan arbitrase asing.
b.1 Pengertian arbiterase asing
Yang dimaksud dengan arbitrase asing adalah lembaga arbitrase internasional yang
dipilih oleh para pihak yang berbeda kewarganegaraan yang bersengketa untuk
menyelesaikan sengketa
Contoh Arbitrase Asing
Beberapa contoh arbitrase asing diantaranya :
- Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC), yakni
arbitrase tertua yang menjadi alternative penyelesaian sengketa perdagangan
internasional;
- The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang
sering disebut dengan Center, yang khusus untuk menyelesaikan persengketaan
“joint venture” atau penanaman modal suatu negara dengan warga negara lain;
- UNCITRAL Arbitration Rules (United Nations Commission on International
Trade Law) yang disebut juga UAR.
b.2 Pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing
Cara pelaksanaan putusan arbitrase asing berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999
Pada dasarnya, putusan arbitrase asing harus dimintakan pengakuan keabsahannya,
dan pelaksanaan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 65).
Pengakuan dan pelaksanaan eksekusi inilah yang disebut dengan asas executorial
kracht. Terkait dengan hal tersebut, putusan arbitrase asing yang dapat dilaksanakan
eksekusinya di Indonesia adalah putusan arbitrase yang :
- Dijatuhkan oleh lembaga arbitrase yang terikat dengan negara Indonesia melalui
perjanjian (bilateral-multilateral), atau terikat dengan negara Indonesia dalam suatu
ikatan konvensi Internasional, dan keterikatan tersebut mengakui tentang eksekusi
putusan arbitrase (asas resiprositas) ;
- Putusan arbitrase internasional yang terbatas pada ruang lingkup hukum
perdagangan di Indonesia;
- Putusan arbitrase internasional yang telah memperoleh eksekuatur dari Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan;
- Putusan arbitrase internasional yang menyangkut pihak Negara Republik Indonesia
sebagai salah satu pihak, setelah mendapatkan eksukuatur dari Mahkamah Agung
yang selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Adapun tata caranya sebagai berikut (Pasal 67):
a. Permohonan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional dilakukan setelah
putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
paniter pengadilan negeri Jakarta Pusat (ayat (1));
b. Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan putusan tersebut harus dilengkapi
dengan persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2);
c. Pada putusan arbitrase internasional, berlaku ketentuan bahwa (Pasal 68):
* Putusan arbitrase internasional yang memperoleh eksekuatur dari ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, tidak dapat dilakukan upaya banding atau kasasi;
* Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak untuk mengakui
dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi;
* Terhadap putusan Mahkamah Agung tentang permohonan eksekuatur putusan
arbitrase internasional di mana Negara RI sebagai salah satu pihak yang
bersengketa, maka tidak dapat diajukan upaya perlawanan
d. Perintah eksekusi diberikan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kemudian
pelaksanaannya dilimpahkan kepada ketua Pengadilan Negeri berdasarkan
kewenangan relative, dengan ketentuan :
* Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon
eksekusi;
* Tata cara pelaksanaan putusan harus mengikuti tata cara yang diatur di dalam
hukum acara perdata.
Recommended