View
305
Download
7
Category
Preview:
Citation preview
KASUS KELOMPOK
SUBARACHNOID HEMORRHAGE
Oleh:
Febriendo Vanni DJ (201020401011119)
Didik Darmaji (201020401011130)
Inggrit Pratiwi (201020401011139)
Vina Satya Sugiarto (201020401011145)
Pembimbing:
dr. Irawan, Sp.S.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2012
DAFTAR ISI
Halaman Judul .................................................................................................1
Daftar Isi...........................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................3
BAB II LAPORAN KASUS............................................................................5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................14
BAB IV PENUTUP..........................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................38
2
BAB I
PENDAHULUAN
Subarachnoid hemorrhage (SAH) atau perdarahan subarachnoid (PSA)
menyiratkan adanya darah didalam ruang subarachnoid akibat beberapa proses
patologis. Penggunaan istilah medis umum SAH merujuk kepada tipe perdarahan
non-traumatik, biasanya berasal dari ruptur aneurisma Berry atau arteriovenous
malformation (AVM)/malformasi arteriovenosa (MAV).
Perdarahan subaraknoid (PSA) menduduki 7-15% dari seluruh kasus
GPDO. Insiden PSA di negara maju sebesar 10-15 kasus setiap 100.000
penduduk. 62% timbul pertama kali pada usia 40-60 tahun, kejadian mati
mendadak karena PSA sebesar 2% dari seluruh kasus, sebagian besar (9%) terjadi
pada umur dibawah 45 tahun. Pada AVM (Atrio Vena Malformasi) laki-laki lebih
banyak dari perempuan (Iskandar, 2001 dan Harsono, 2000).
Sebanyak 46% pasien yang bertahan terhadap perdarahan subaraknoid
menderita gangguan kognitif jangka panjang yang mempengaruhi fungsi dan
kualitas hidup pasien. Perdarahan subaraknoid memiliki karakter demografi,
faktor resiko dan terapi yang berbeda-beda. Perdarahan ini menyumbangkan 2-5%
kasus stroke baru dan mempengaruhi 21.000 s/d 33.000 orang setiap tahunnya di
Amerika Serikat. Insidensi perdarahan subaraknoid ini tetap stabil selama 30
tahun terakhir dan meskipun bervariasi antar daerah, insidensi di dunia secara
keseluruhan adalah sekitar 10,5 kasus per 100.000 orang per tahun. Insidensi
meningkat dalam hal usia, yaitu rata-rata muncul pada usia 55 tahun. Resiko
3
terjadi pada perempuan 1,6 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan resiko
untuk orang kulit hitam 2,1 kali lebih banyak dibandingkan orang kulit putih.
Rata-rata case fatality rate (CFR) atau tingkat kematian perdarahan subaraknoid
adalah 51% dengan setidaknya ⅓ pasien yang bertahan hidup memerlukan
perawatan seumur hidup. Kebanyakan kematian terjadi dalam 2 minggu setelah
iktus dengan 10% terjadi sebelum pasien mendapat pengobatan medis dan 25%
dalam 24 jam setelahnya. Secara keseluruhan, perdarahan subaraknoid
menyumbang 5% kematian akibat stroke tetapi 27% dari tahun-tahun pasca-stroke
berpotensi adanya kematian sebelum usia 65 tahun (Jose, 2006).
4
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Karsiti
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 38 Tahun
Nomor RM : 036585
Suku Bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Keyongan, RT. 6 RW. 2, Keyongan, Babat, lamongan
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 18 Juli 2012
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Nyeri kepala
RPS: Nyeri kepala dirasakan sejak kemarin malam, terasa cekot-cekot. Sejak 1
tahun yang lalu pasien sering nyeri kepala dan kumat-kumatan. Saat nyeri
semalam pasien muntah 3 kali. 2 jam SMRS pasien tidak sadarkan diri, saat
di rumah sakit pasien sadarkan diri.
RPD: Hipertensi tidak terkontrol dan DM disangkal.
RPK: Hipertensi, DM, dan stroke disangkal.
5
2.3 Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : cukup
Kesadaran : delirium
GCS : 456
Tekanan darah : 185/131 mmHg
Nadi : 83x/menit
Frekuensi nafas : 21x/menit
Temperatur : 36 0c
Kepala dan leher : anemi (-), ikterik (-), sesak (-), sianosis (-)
Thorax : simetris (+), retraksi (-)
Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, Rhonki -/-
Jantung : S1S2 normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : flat, supel, nyeri tekaan (-), hepar dan lien tidak teraba,
timpani, bising usus dalam batas normal
Ekstremitas : hangat,kering, merah, edem (-)
2.4 Status Psikologis
Afek : baik
Proses berfikir : baik
Kecerdasan : baik
Penyerapan :baik
Kemauan : baik
Psikomotor :baik
6
2.5 Status Neurologis
2.5.1 Kepala
Posisi : simetris
Penonjolan : (-)
Bentuk dan ukuran : normal
Auskultasi : TDE
2.5.2 Nervus kranialis
Nervus I (olfakorius): penghidu normal/normal
Nervus II (optikus)
Visus: >2/60 ODS
Lapang pandang: baik
Funduskopi: TDE
Nervus III, IV, VI
Celah kelopak mata
Ptosis: -/-
Exsoftalmus: -/-
Pergerakan bola mata: normal/normal
Pupil
ukuran: 3mm/3mm
bentuk: bulat/bulat
Reflek cahaya langsung: +/+
Reflek cahaya tidak langsung: +/+
Nistagmus: -/-
7
Nervus IV (Tokhlearis)
Posisi bola mata: medial/medial
Pergerakan bola mata: normal/normal
Nervus VI (Abdusens)
Pergerakan bola mata: normal/normal
Nervus V (Trigeminus)
Motorik
Inspeksi: simetris
Palpasi: normal/normal
Mengunyah: normal/normal
Menggigit: normal/normal
Sensibilitas
N. V 1: normal/normal
N. V 2: normal/normal
N. V 3: normal/normal
Refleks kornea: +/+
Refleks dagu/ maseter: +/+
Nervus VII (fasialis)
Motorik
M. Frontalis: normal/normal
M. Oblik okuli:normal/normal
M. Oblik oris: normal/normal
Sensorik
Pengecapan 2/3 depan lidah :dbn dbn
8
Nervus VIII (oktavus)
Detik arloji: baik/baik
Suara berbisik: baik/baik
Tes weber: TDE
Tes rinne: TDE
Nervus IX (glossofaringeus)
Reflek muntah: (+)
Pengecapan 1/3 belakang: (+)
Nervus X (Vagus)
Posisi arkus faring: normal
Reflek telan: +
Nervus XI (aksesorius)
Mengangkat bahu: normal/normal
Memalingkan wajah: normal/normal
Nervus XII (Hipoglossus)
Deviasi lidah: (-)
Fasikulasi: (-)
Tremor: (-)
Atrofi: (-)
Ataksia: (-)
2.5.3 Leher
Tanda-tanda perangsangan selaput otak
Kaku kuduk: (+)
Kernig’s sign: (-)
9
Kelenjar limfe: normal
Arteri karotis: normal
Kelenjar gondok: normal
2.5.4 Abdomen
Reflek kulit dinding perut:
2.5.5 Kolumna vertebralis
Inspeksi: normal
Palpasi: normal
Pergerakan: normal
Perkusi: TDE
2.5.6 Ekstremitas superior:
2.5.7 Tonus otot: (+)
2.5.8 Refleks fisiologis
BPR: menurun/menurun
TPR: menurun/menurun
KPR: menurun/menurun
APR: menurun/menurun
2.5.9 Refleks patologis
Hoffman/ Trommer: -/-
Babinski: -/-
Gordon: -/-
Chaddock: -/-
10
5 55 5
Schaefer: -/-
Oppenhein: -/-
Rossolimo: TDE
Mendel B: TDE
2.5.10 Trofi: (-)
2.5.11 sensibilitas
Eksteroseptif
Nyeri: (+)
Suhu: TDE
Raba: (+)
Propioseptif
Sikap: (+)
Nyeri dalam: TDE
Fungsi kortikal
Rasa diskriminasi: normal
Stereognosis: nornal
Barognosia: TDE
2.5.12 Pergerakan abnormla spontan: (-)
2.5.13 Gangguan koordinasi
Tes jari hidung: normal
Tes pronasi supinasi: normal
Tes tumit lutut: TDE
2.5.14 Gait: SDE
2.5.15 Pemeriksaan fungsi luhur
11
Afek/emosi: baik
Kemampuan bahasa: baik
Memori: baik
Visuospasial: baik
Intelegensia:baik
2.6 Pemeriksaan laboratorium
DL: diffcount 1/0/94/2/3
Hct 44,7%
Hb 15,0
Lekosit 19.000
Trombosit 433.000
Serum elektrolit: Clorida 101 mol/l
Kalium 3,1 mmol/l
Natrium 134 mmol/l
GDA: 144
2.7 Pemeriksaan radiologis
Foto thorax
CT scan kepala
2.8 Ringkasan
Wanita, 38 tahun, nyeri kepala, hiperensi, kaku kuduk positif
2.9 Diagnosis
Klinis: headache, kaku kuduk (+)
Topis: subarachnoid
Etiologi: CVA bleeding SAH
12
2.10 Therapy
- O2 nasal 3-4 lpm
- IVFD RA 1500 cc/ 24 jam
- analgesik
- Ca channel blocker
- Neuroprotektan
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Perdarahan subaracnoid adalah keadaan yang akut, karena terjadi
perdarahan ke dalam ruangan subarachnoid. Biasanya disebabkan oleh
aneurisma yang pecah (50%), pecahnya malformasi arteriovena (5%), asalnya
primer dari perdarahan intraserebral (20%) dan cedera kepala (Poerwadi, 2006;
Ahmar, 2010; dan Harsono, 2005)
Gambar 3.1Stoke Hemoragik
14
Gambar 3.2Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subaraknoid non-trauma adalah masalah neurologik darurat
akibat ekstravasasi darah ke ruang yang menutupi sistem saraf pusat yang terisi
oleh cairan serebrospinal. Penyebab utama perdarahan subaraknoid non-trauma ini
adalah rupturnya aneurisma intrakranial yang merupakan 80% kasus dan memiliki
tingkat kematian dan komplikasi yang tinggi. Perdarahan subaraknoid non-
aneurismal, termasuk perdarahan subaraknoid perimesensefali terisolasi, terjadi
sekitar 20% kasus dan memiliki prognosis baik dengan komplikasi neurologik
yang tidak umum (Jose, 2006).
3.2 Epidemiologi
Sebanyak 46% pasien yang bertahan terhadap perdarahan subaraknoid
menderita gangguan kognitif jangka panjang yang mempengaruhi fungsi dan
kualitas hidup pasien. Perdarahan subaraknoid memiliki karakter demografi,
faktor resiko dan terapi yang berbeda-beda. Perdarahan ini menyumbangkan 2-5%
kasus stroke baru dan mempengaruhi 21.000 s/d 33.000 orang setiap tahunnya di
Amerika Serikat. Insidensi perdarahan subaraknoid ini tetap stabil selama 30
15
tahun terakhir dan meskipun bervariasi antar daerah, insidensi di dunia secara
keseluruhan adalah sekitar 10,5 kasus per 100.000 orang per tahun. Insidensi
meningkat dalam hal usia, yaitu rata-rata muncul pada usia 55 tahun. Resiko
terjadi pada perempuan 1,6 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan resiko
untuk orang kulit hitam 2,1 kali lebih banyak dibandingkan orang kulit putih.
Rata-rata case fatality rate (CFR) atau tingkat kematian perdarahan subaraknoid
adalah 51% dengan setidaknya ⅓ pasien yang bertahan hidup memerlukan
perawatan seumur hidup. Kebanyakan kematian terjadi dalam 2 minggu setelah
iktus dengan 10% terjadi sebelum pasien mendapat pengobatan medis dan 25%
dalam 24 jam setelahnya. Secara keseluruhan, perdarahan subaraknoid
menyumbang 5% kematian akibat stroke tetapi 27% dari tahun-tahun pasca-stroke
berpotensi adanya kematian sebelum usia 65 tahun (Jose, 2006).
3.3 Etiologi
Penyebab dari perdarahan subarachnoid (Gilroy, 2000):
1. Common causes
a. Traumatic subarachnoid hemorrhage
b. Spontaneous subarachnoid hemorrhage
- Intracerebral hemorrhage with rupture into the subarachnoid space
- Primary subarachnoid hemorrhage
Ruptured saccular aneurysm
Bleeding AVM
Ruptured myotic aneurysm
16
2. Rare causes
a. Developmental devects, including pseudoxanthoma elasticum, ehlers-
Danlos syndrome, Marfan’s syndrome, sturge- weber disease, hereditary
hemorrhagic telangectasia pontis, autosomal dominant polycystic kidney
disease.
b. Herpes simplex encephalitis, acute hemorrhagic leukoencephalitis, brain
abses, tuberculous meningitis, symphilitic vasculitis
c. Neoplasm, primary or metastatic brain tumor, hemangioblastoma of the
cerebellum or brainstem
d. Blood dyscrasias, leukemia, Hodgkin disease, thrombosytopenia, sickle cell
anemia, hemophilia, apalstic anemia, pernicious anemia, anticoagulant
therapy,congenital defisiensi of factor VII
e. Hypertension
f. Vasculitis, polyarteritis nodosa, anaphylactic purpura, wegener’s
granulomatosis, primary angitis of the CNS
g. Atherosclerosis with rupture of an arteriosclerotic vessel
h. Rupture of a dissecting aneurysm of the carotid or vertebral/ posterior
cerebral arteries
i. Subdural hematoma with rupture into the subarachnoid space
j. Endometriosis of the spinal canal
3.4 Patofisiologi
Aneurisma Hampir selalu terletak dipercabangan arteri, aneurisma itu
manifestasi akibat suatu gangguan perkembangan emrional, sehingga dinamakan
juga aneurisma sakular (berbentuk seperti saku) kongenital. Aneurisma
17
berkembang dari dinding arteri yang mempunyai kelemahan pada tunika
medianya. Tempat ini merupakan tempat dengan daya ketahanan yang lemah
(lokus minoris resaistensiae), yang karena beban tekanan darah tinggi dapat
menggembung dan terbentuklah aneurisma. Aneurismna dapat juga berkembang
akibat trauma, yang biasanya langsung bersambung dengan vena, sehingga
membentuk ”shunt” arterivenous (Mardjono, 1989 dan Ngorah, 1990).
Apabila oleh lonjakan tekanan darah atau karena lonjakan intraabdominal,
aneurisma intraserebral itu pecah, maka terjadilah perdarahan yang menimbulkan
gambaran penyakit yang menyerupai perdarahan intraserebral akibat pecahnya
aneurisma Charcot-Bouchard. Pada umumnya faktur presipitasi tidak jelas, oleh
karena tidak teringat oleh penderita (Mardjono, 1989 dan Ngorah, 1990).
Gambar 3.3
lokasi aneurisma
18
Gambar 3.4AVM
3.5 Gejala klinis
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada perdarahan subaracnoid yaitu
(Poerwadi, 2006; Harsono, 2005; dan Israr, 2008):
1. Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis,
berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit. Kurang lebih 25% penderita
didahului nyeri kepala hebat.
2. Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah
dan kejang.
3. Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa
menit sampai beberapa jam.
4. Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
5. Fundus Okuli : 10% penderita mengalami edema papil beberapa jam setelah
perdrahan. Perdarahan retina berupa perdarahan subhialoid (10%), merupakan
19
gejala karakteristik perdarahan subarakhnoid karena pecahnya aneurisma pada
arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna.
6. Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau
hipertensi, banyak
7. keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan
Gambar 3.4
20
Gejala Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subaraknoid harus selalu dicurigai pada pasien-pasien dengan
gambaran tipikal termasuk onset tiba-tiba sakit kepala berat (seringkali diakui
pasien sebagai “sakit kepala terburuk yang pernah dirasakan”) disertai mual,
muntah, nyeri leher, fotofobia dan hilang kesadaran. Pemeriksaan fisik dapat
menunjukkan adanya perdarahan retinal, meningismus, kesadaran menurun dan
tanda neurologik terlokalisir. Penemuan berikutnya biasanya berupa kelumpuhan
nervus III (aneurisma komunikans posterior), kelumpuhan nervus VI (peningkatan
tekanan intrakranial), kelemahan ekstremitas bawah bilateral atau abulia
(aneurisma komunikans anterior) serta kombinasi hemiparesis dan afasia atau
visuospatial neglect (aneurisma arteri serebri intermedia). Perdarahan retinal harus
dibedakan dengan perdarahan pre-retinal pada sindroma Terson yang
mengindikasikan atas adanya peningkatan drastis tekanan intrakranial dan hal ini
dapat meningkatkan mortalitas (Jose, 2006).
Tanpa adanya keluhan dan tanda klinis klasik, perdarahan subaraknoid
dapat salah didiagnosis (misdiagnosis). Frekuensi misdiagnosis dapat sampai 50%
dari pasien-pasien yang datang pertama kali ke dokter. Kesalahan diagnosis yang
umum terjadi adalah migrain dan tension-type headache. Kegagalan pengambilan
foto radiologik yang benar menyumbangkan 73% kasus salah diagnosis dan
kegagalan melakukan interpretasi yang benar atas hasil punksi lumbal
menyumbangkan 23%-nya. Pasien yang salah didiagnosis cenderung tampak sakit
ringan dan memiliki hasil pemeriksaan neurologik yang normal. Namun
demikian, dalam kasus tersebut, dapat terjadi komplikasi neurologik sebanyak
50% pasien dan pasien-pasien ini dihubungkan dengan resiko yang lebih tinggi
21
terhadap kematian dan kecacatan. Sakit kepala mungkin hanya mewakili 40%
keluhan pasien dan dapat hilang dalam beberapa menit atau jam, hal ini disebut
sentinel headache atau thunderclap headache atau “warning leaks” (peringatan
kemungkinan kebocoran pembuluh darah) (Jose, 2006).
Evaluasi darurat atas sentinel headache diperlukan karena pasien mungkin
telah memiliki perdarahan subaraknoid dalam 3 minggu. Dalam praktiknya, tidak
ada gambaran klinis yang reliabel untuk membedakan sentinel headache dari
benign headache. Beberapa pasien mungkin tidak memiliki sakit kepala berat,
bahkan keluhan lain seperti kejang atau kebingungan mungkin lebih menonjol.
Setiap pasien dengan sakit kepala berat atau pertama kali harus diduga akan
adanya perdarahan subaraknoid dan perlu direncanakan CT-scan kepala (Jose,
2006).
22
3.6 Grading
23
3.7 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis perdarahan subarachnoid dapat digunakan
cara pemeriksaan sebagai berikut (Poerwadi, 2006; Harsono, 2005; dan Israr,
2008):
1. Anamnesis (mulainya) akut, nyeri kepala hebat satu sisi, mual, muntah dapat
disusul gangguan kesadaran dan kejang.
24
2. Pemeriksaan klinis neurologis
3. Pemeriksaan tambahan
a. Funduskopi : cari subhyaloid bleeding
b. CT scan kepala : aneurisma dengan ukuran 7 mm tidak terlihat, dengan
menggunakan kontras , dapat terlihat aneurisma maupun MAV.
Gambar 3.5CT Scan perdarahan Subarachnoid
c. Lumbal punksi : dilakukan dalam waktu 12 jam bilamana CT Scan kepala
tidak dapat dikerjakan atau gambaran CT scan kepala normal, sedangkan
klinis sangat mencurigakan suatu perdarahan subaraknoid dan tidak ada
kontraindikasi lumbal punksi.
d. MRI tidak dapat dilakukan untuk mendiagnosis SAH
25
Gambar 3.6MRI Aneurisma
e. Angiongrafi sebagai periapan operasi
Gambar 3.6Magnetic Resonance Angiogram dan Angiography
26
4. Likuor : hampir 100% berdarah, dengan eritrosit 150.000/mm3. Warna
xantokrom timbul dalam 4 jam hingga 20-30 hari. Eritrosit lisis dalam 7
hari,kcuali adanya perdarahan baru.
27
Alg
orit
me
Dia
gnos
tik
un
tuk
Per
dar
ahan
Su
bar
akn
oid
.
28
CT-scan kepala harus dilakukan pertama kali pada setiap pasien dengan
suspek perdarahan subaraknoid. Karakteristik tampilan darah yang ekstravasasi
adalah hiperdens. Karena darah dalam jumlah kecil dapat saja terlewat, setiap scan
harus dilakukan dengan irisan tipis melalui basis otak. Kualitas CT-scan kepala
yang baik dapat memperlihatkan perdarahan subaraknoid pada 100% kasus dalam
12 jam setelah onset keluhan dan pada 93% kasus dalam 24 jam (Jose, 2006).
CT-scan kepala juga dapat memperlihatkan adanya hematom
intraparenkimal, hidrosefalus dan edem serebri serta dapat membantu
memprediksikan sisi ruptur aneurisma, terutama pada pasien dengan aneurisma
pada arteri serebri anterior atau arteri komunikans anterior. CT-scan kepala juga
tes paling reliabel untuk memprediksi vasospasme serebral dan hasil pengobatan
yang buruk. Karena pembersihan cepat oleh darah, CT-scan yang tertunda dapat
normal meskipun terdapat riwayat yang mendukung dan sensitifitasnya jatuh
menjadi 50% setelah tujuh hari (jose, 2006).
Punksi lumbal harus dilakukan pada setiap pasien dengan suspek
perdarahan subaraknoid dan hasil negatif atau equivocal pada CT-scan kepala.
Cairan serebrospinal harus dikumpulkan di dalam 4 tabung konsekutif, hitung
eritrosit ditentukan dari tabung 1 dan 4. Penemuan yang konsisten dengan
perdarahan subaraknoid termasuk elevated opening pressure, peningkatan hitung
eritrosit yang tidak berkurang dari tabung 1 dan 4 serta xanthochromia (dideteksi
dengan spektrofotometri) yang memerlukan lebih dari 12 jam untuk berkembang.
Pada pasien dengan punksi lumbal diagnostik atau equivocal, foto radiologik,
seperti CT angiografi pada kepala atau angiografi serebral, harus dilakukan.
Digital- subtraction cerebral angiography merupakan gold standard untuk
29
deteksi aneurisma serebral tetapi CT angiografi lebih populer dan sering
digunakan karena non-invasif serta sensitifitas dan spesifisitas dapat dibandingkan
dengan yang menggunakan angiografi serebral (Jose, 2006).
Dalam praktik, evaluasi yang teliti terhadap seluruh pembuluh darah harus
dilakukan karena sekitar 15% pasien akan memiliki aneurisma multipel. Pasien
dengan foto radiologik negatif harus dilakukan pengulangan 7-14 hari setelah
kemunculan gejala yang pertama. Jika evaluasi kedua tidak memperlihatkan
aneurisma, magnetic resonance imaging (MRI) harus dilakukan untuk menutup
kemungkinan malformasi vaskular pada otak, batang otak atau batang spinal.
Teknik rediologik lainnya yang dapat digunakan termasuk MRI kepada untuk
menentukan ukuran aneurisma (terutama pada kasus trombosis parsial aneurisma)
dan three-dimensional digital-subtraction cerebral angiography (yang membantu
melihat morfologi aneurisma) (Gambar 2C). Selain itu, perkembangan terbaru
pada three-dimensional CT angiography dapat mengurangi kebutuhan akan
angiografi serebral yang invasif dan mengurangi resiko karenanya (Jose, 2006).
3.8 Penatalaksanaan
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Guideline Stroke 2007:
1. Pedoman Tatalaksana
a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):
Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk
untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Bed rest
total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan dengan
30
lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan O2 2-3
L/menit.
Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.
Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-
kelainan neurologi yang timbul.
b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih
intensif:
Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di
ruang gawat darurat.
Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin
jalang nafas yang adekuat.
Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.
Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan
penilaian status neurologi.
2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA
a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan
antihipertensi saja tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan
ulang setelah terjadi PSA, namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam
pengobatan pasien dengan PSA.
b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan
pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk
terjadinya vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada
operasi yang ditunda.
c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.
31
d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.
3. Operasi pada aneurisma yang rupture
a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan
ulang setelah rupture aneurisma pada PSA.
b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang
setelah PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan
hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda. Operasi yang
segera dianjurkan pada pasien dengan grade yang lebih baik serta lokasi
aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang
segera atau ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik
khusus.
c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi
untuk perdarahan ulang.
4. Tatalaksana pencegahan vasospasme
a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3
atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin
oral terbukti memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh
vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau
intravena tidak bermakna.
b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H
yaitu hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan
mempertahankan “cerebral perfusion pressure” sehingga dapat
mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme. Hati-hati
32
terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak
dilakukan embolisasi atau clipping.
c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu
bermakna.
d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada
pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional.
e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
Pencegahan vasospasme:
Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
Jaga keseimbangan cairan.
Delayed vasospasm:
Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge
pressure 12-14 mmHg.
Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.
5. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang
sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau
tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari.
6. Antihipertensi
33
a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah
sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90
mmHg (sebelum tindakan operasi aneurisma clipping).
b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan
TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2
mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse
dosisnya 50-200 mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan
karena menyebabkan vasodilatasi dan memberikan efek takikardi.
d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan
vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra
yang mungkin terjadi akibat vasospasme.
7. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu
diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi
0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama. Ada yang
menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau 0,4 mg dalam
200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya dihindari karena
menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan untuk pengobatan
hiponatremi.
8. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan
tidak direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien
yang mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma
34
arteri serebri media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk
menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti
konvulsan sebagai profilaksis. Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20
mg/kgBB/hari oral atau IV. Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis
maintenance 300-400 mg/oral/hari dengan dosis terbagi. Benzodiazepine dapat
dipakai hanya untuk menghentikan kejang. Penggunaan antikonvulsan jangka
lama tidak rutin dianjurkan pada penderita yang tidak kejang dan harus
dipertimbangkan hanya diberikan pada penderita yang mempunyai faktor-faktor
risiko seperti kejang sebelumnya, hematom, infark, atau aneurisma pada arteri
serebri media.
9. Hidrosefalus
a. Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama.
Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi
(atau drainase eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya
dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.
b. Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara
temporer atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.
10. Terapi Tambahan
a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular.
Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau
pneumatic compression devices.
b. Analgesik:
35
Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
Tylanol dengan kodein.
Hindari asetosal.
Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.
Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
Propofol 3-10 mg/kg/jam.
Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:
Antagonis H2
Antasida
Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali
sehari.
Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.
36
BAB IV
PENUTUP
Perdarahan subaracnoid adalah keadaan yang akut, karena terjadi
perdarahan ke dalam ruangan subarachnoid. Biasanya disebabkan oleh
aneurisma yang pecah (50%), pecahnya malformasi arteriovena (5%), asalnya
primer dari perdarahan intraserebral (20%) dan cedera kepala. Penyebab utama
perdarahan subaraknoid non-trauma ini adalah rupturnya aneurisma intrakranial
yang merupakan 80% kasus dan memiliki tingkat kematian dan komplikasi yang
tinggi. Sebanyak 46% pasien yang bertahan terhadap perdarahan subaraknoid
menderita gangguan kognitif jangka panjang yang mempengaruhi fungsi dan
kualitas hidup pasien. Perdarahan ini juga sering dihubungkan dengan pusat
pelayanan kesehatan karena umumnya pasien masuk rumah sakit. Perdarahan
subaraknoid memiliki karakter demografi, faktor resiko dan terapi yang berbeda-
beda. Perdarahan ini menyumbangkan 2-5% kasus stroke baru dan
mempengaruhi 21.000 s/d 33.000 orang setiap tahunnya di Amerika Serikat.
Faktor-faktor mayor yang dihubungkan dengan hasil akhir pengobatan yang buruk
tergantung pada tingkat kesadaran saat masuk rumah sakit, usia dan jumlah darah
yang terlihatpada computed tomography scan (CT-scan) kepala saat itu.
37
DAFTAR PUSTAKA
Chandra B. Neurology Klinik. Surabaya. Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK UNAIR,
1994;28 – 45
Aliah A, Kuswara FF, Limoa RA, Wuysang G. Gambaran Umum Tentang
Gangguan Peredaran Darah Otak. Dalam: Harsono, ed. Kapita Selekta
Neurologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press, 2003; 79 – 103
Sidharta P. Neurologi Klinik Dalam Praktek Umum. Jakarta. Dian Rakyat, 2005;
260 – 294
Mardjono M, Sidharta P. Neourologi Klinis Dasar. Jakarta. Dian Rakyat, 2003;
269 – 292
Harsono ed. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta. Gadjah Mada University
Press, 2005; 59 – 107
Poerwadi T,et al. Pedoman Diagnosis dan Terapi Edisi III. Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Saraf FK UNAIR,2006; 33-35
Ahmar .Stroke (0nline), diakses tanggal 14 Mei 2010 http//www.google.com),
2006
Harsono ed. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University
Press, 2005; 97-99
Jose I.S, Robert W. T.,Warren R.S. Current Concepts Aneurysmal Subarachnoid
Hemorrhage. N Eng J Med 2006;354:387-96
Israr, YA.Stroke. Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas
Riau, 2008.
Sarrafzadeh AS, Haux D, Lüdemann L et al. Cerebral Ischemia in Aneurysmal
Subarachnoid Hemorrhage A Correlative Microdialysis-PET Study. Stroke
2004;35:638-643
Junaidi Iskandar. 2001. Panduan Praktis Pencegahan dan Pengobatan Stroke. PT
Bhuana Ilmu Populer kelompok Gramedia. Jakarta.
Harsono. 2000. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
38
Mardjono M, Sidharta P. 1989. Neurologi Klinis Dasar, ed 5. PT. Dian Rakyat.
Jakarta.
Ngorah I. G. N. 1990. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Penerbit dan Percetakan
Universitas Air Langga.
Gilroy John. 2000. Basic Neurology, ed 3. The McGraw-Hill Companies, Inc.
USA.
Adams and Victor’s. 2005. Principles of Neurology, ed. 8.
Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline
Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia:
Jakarta, 2007.
39
Recommended