View
4
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
HAK EKSLUSIF FILM BENYAMIN BIANG KEROK
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA
ANALISIS PUTUSAN NOMOR 53/PDT.SUS-HKI/CIPTA/2018/PN NIAGA JKT.PST
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
FADIL HIKMANUL HAKIEM
NIM : 11150480000191
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
HAK EKSLUSIF FILM BENYAMIN BIANG KEROK
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA
ANALISIS PUTUSAN NOMOR 53/PDT.SUS-HKI/CIPTA/2018/PN NIAGA JKT.PST
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
FADIL HIKMANUL HAKIEM
NIM : 11150480000191
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2020 M
i
iii
ABSTRAK
FADIL HIKMANUL HAKIEM, NIM. 1110480000191. HAK EKSLUSIF FILM
BENYAMIN BIANG KEROK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA (Analisis Putusan Nomor 53/Pdt.Sus-
HKI/CIPTA/2018/PN Niaga Jkt.Pst). Progam Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi
Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dasar pertimbangan dan putusan
hakim pada perkara pemegang hak cipta dalam film Benyamin Biang Kerok
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Sebagaimana diketahui bahwa Film tersebut merupakan hasil produksi ulang PT.
Falcon Pictures, PT. Max Kreatif International dan PT. Layar Cipta Karyamas.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan
perundangan-undangan (Statute Approach) dan kasus (Case Approach). Selanjutnya,
penelitian ini diperoleh dari studi kepustakaan (Library Research) dengan melakukan
pengkajian terhadap sumber data yang terdiri dari bahan hukum primer yaitu putusan
pengadilan niaga dalam perkara nomor 53/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst,
KUH-Perdata, dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta
sumber data sekunder yang didapat dari literatur-literatur hukum yang terkait dengan
objek penelitian yakni buku, jurnal dan artikel.
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa hakim Pengadilan Niaga pada putusannya
menolak seluruh gugatan Penggugat, dengan pertimbangan hakim yang menyatakan
bahwa Penggugat bukanlah sebagai pemegang hak cipta melainkan hanya sebagai
pencipta (pemegang hak moral). Hal ini dibuktikan dengan adanya pelimpahan hak
cipta yang dilakukan oleh Tergugat I dengan Tergugat III sebagaimana telah
dicatatkan pada Menteri Hukum dan HAM Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.
Dengan dasar pertimbangan tersebut, hakim yang memutus perkara sengketa hak cipta
film Benyamin Biang Kerok telah sesuai dengan ketentuan yang dilihat secara yuridis
dalam aspek hukum Perdata pasal 1320 KUH Perdata, Pasal 16 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, serta filosofis dalam teori
perlindungan hukum.
Kata Kunci : Hak cipta, film dan putusan pengadilan
Pembimbing Skripsi : Dr. Khamami Zada, S.H., M.A., M.D.C.
Daftar Pustaka : Tahun 1990 Sampai Tahun 2019
v
Assalamualaikum Wr.Wb
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
karunia-Nya dan telah memberikan kemudahan sehingga peneliti mampu
menyelesaikan skripsi yang berjudul “HAK EKSLUSIF FILM BENYAMIN BIANG
KEROK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG
HAK CIPTA (Analisis Putusan Nomor 53/Pdt.SUS-HKI/Cipta/2018/PN Niaga
Jkt.Pst)”. Shalawat dan salam tak lupa peneliti curahkan kepada Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga, dan para sahabatnya.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam
penulisan skripsi ini dapat diselesaikan tentunya berkat bimbingan, arahan, dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini peneliti ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H.,M.H.,M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H.,M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs.
Abu Tamrin, S.H.,M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Khamami Zada, S.H., M.A., M.D.C. Pembimbing Skripsi yang telah bersedia
dengan sabar meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan, dukungan
dan masukan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H.,M.H. Penasehat Akademik yang selalu
menasehati dan membimbing Peneliti.
5. Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Pimpinan Pusat Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi
kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
vi
6. Pihak-pihak yang pernah terlibat dalam proses akademis dan non-akademis
dengan peneliti selama menempuh jenjang strata 1 di Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca serta
pihak-pihak yang memerlukannya.
Wassalamu’alaikum, Wr.Wb
Ciputat, 14 Maret 2020
Fadil Hikmanul Hakiem
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................iii
ABSTRAK ...........................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ..........................................................................................v
DAFTAR ISI ........................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ....................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................7
D. Metode Penelitian .......................................................................8
E. Sistematika Pembahasan ...........................................................11
BAB II TINJAUAN HUKUM HAK CIPTA
A. Kerangka Konseptual .................................................................1
1. Hak Kekayaan Intelektual .......................................................1
2. Hak Cipta ................................................................................3
3. Hak Eksklusif ..........................................................................5
4. Film Sebagai Bagian Hak Cipta ............................................12
B. Kerangka Teori .........................................................................16
1. Teori Perlindungan Hukum ..................................................16
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ........................................18
BAB III DESKRIPSI PERKARA DALAM PUTUSAN NOMOR
53/PDT.SUS-HKI/CIPTA/2018/PN NIAGA JKT.PST
A. Duduk Perkara ............................................................................1
ix
B. Petitum Penggugat ......................................................................5
BAB IV PERKARA HAK EKSKLUSIF FILM BENYAMIN BIANG
KEROK
A. Putusan dan Pertimbangan Hakim dalam Sengketa Film
Benyamin Biang Kerok Pada Putusan Nomor 53/Pdt.Sus-
HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst.............................................1
1. Putusan Hakim Terhadap Gugatan Penggugat......................1
2. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan....................................2
B. Analisis Putusan Hakim dan Dasar Pertimbangan Hakim Pada
Putusan Nomor 53/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2018/PN Niaga
Jkt.Pst.........................................................................................4
1. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Pengakuan Hak
Moral Penggugat...................................................................4
2. Analisis Putusan Pengadilan Memberikan Hak ekonomi
Kepada Tergugat.................................................................14
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................1
B. Rekomendasi ..............................................................................2
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................63
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada hakekatnya manusia dilahirkan dengan dianugrahi cipta, rasa,
dan karsa. Ketiga hal tersebut melahirkan sesuatu yang disebut dengan
karya intelektual. Kemampuan intelektual manusia di bidang tertentu
diarahkan pada suatu kegiatan intelektual untuk menghasilkan dan
memperoleh sesuatu yang disebut karya atau temuan (invensi). Karya-
karya intelektual semacam itu terdapat di berbagai bidang, seperti ilmu
pengetahuan, teknologi, seni dan sastra.1 Karya intelektual tersebut
dihasilkan dengan sejumlah pengorbanan yang dilakukan oleh penciptanya
sehingga menjadikannya bernilai. Apalagi dengan manfaat ekonomi yang
dapat dinikmati, maka nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsep
kekayaan (property) terhadap karya intelektual tersebut bagi dunia usaha
dan dikatakan sebagai aset perusahaan.2 Berdasarkan hal tersebut, maka
sudah sewajarnya apabila diberikan perlindungan hukum terhadap setiap
karya intelektual.
Hak cipta adalah bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan Hak
atas Kekayaan Intelektual (HKI) yang pengaturannya terdapat dalam ilmu
hukum dan dinamakan Hukum HKI. Hak Kekayaan Intelektual ini,
meliputi suatu bidang hukum yang membidangi hak-hak yuridis dari
karya-karya atau ciptaan-ciptaan hasil olah pikir manusia bertautan dengan
kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi dan moral.3 Bidang yang
dicakup dalam hak-hak atas kekayaan intelektual sangat luas, karena
1 Adami Chazawi, Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), (Malang :
Bayumedia Publishing, 2007) h. 2. 2 Suyud Margono, Aspek Hukum komersialisasi Aset Intelektual, (Bandung : Nuansa
Aulia, 2010) h. 3. 3 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung: Alumni, 2003) h. 8.
1
2
termasuk di dalamnya semua kekayaan intelektual yang dapat terdiri atas :
ciptaan sastra, seni dan ilmu pengetahuan.
L.J. Taylor dalam bukunya Copyright for Librarians menyatakan
bahwa yang dilindungi hak cipta adalah ekspresinya dari sebuah ide, jadi
bukan melindungi idenya itu sendiri. Artinya, yang dilindungi hak cipta
adalah sudah dalam bentuk nyata sebagai sebuah ciptaan, bukan masih
merupakan gagasan.4 Sebagaimana tertulis dalam Pasal 41 Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Berdasarkan ketentuan
konvensi internasional dibidang hak cipta, digunakan asas deklaratif
(Declarative Principal) yaitu perlindungan terhadap suatu ciptaan timbul
secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam bentuk nyata.
Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk mendapatkan
hak cipta.
Namun demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang
mendaftarkan ciptaannya akan mendapat surat pendaftaran ciptaan yang
dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul
sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan tersebut. Perlindungan hak
cipta tidak diberikan kepada ide atau gagasan, karena karya cipta harus
memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian
sebagai ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan, kreatifitas atau
keahlian, sehingga ciptaan itu dapat dilihat, dibaca atau didengar.
Suatu bentuk ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta akan
mendapat beberapa hak yang melekat, sebagaimana diterangkan dalam
Pasal 4 Undang-Undang hak cipta yaitu “hak eksklusif yang terdiri atas
hak moral dan hak ekonomi.” Pasal 5 ayat (1) UUHC menyebutkan “Hak
moral adalah hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta.” Hak
moral tidak dapat dihilangkan atau dihapus dengan alasan apapun, antara
pencipta dan ciptaannya ada sifat kemanunggalan atau dengan kata lain
ada hubungan integral diantara keduanya. Sesuai dengan sifat hak cipta
4 Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual: Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia, (Bandung: PT Alumni, 2003) h. 121.
3
dengan penciptanya, dari segi moral seseorang atau badan hukum tidak
diperkenankan untuk melakukan perubahan terhadap sesuatu hasil karya
cipta, baik itu mengenai judul, isi, apalagi penciptanya. Hal demikian
dapat dilakukan apabila mendapat izin dari pencipta atau ahli warisnya
jika pencipta meninggal dunia.
Dengan demikian, pencipta atau ahli warisnya saja yang
mempunyai hak untuk mengadakan perubahan pada ciptaan-ciptaannya
untuk disesuaikan dengan perkembangan. Meskipun demikian, jika
pencipta tidak dapat melaksanakan sendiri penyesuaian karya ciptanya
dengan perkembangan. Hal itu dapat dialihkan dengan izin penciptanya
untuk melaksanakan pengerjaannya. Berkaitan dengan hak moral
dikonstatir bahwa ada tiga basis hak moral:5 pertama, pencipta atau
pengaranglah yang berhak memutuskan apakah dan dimanakah karyanya
akan dipublikasi. Kedua, berkaitan dengan penerbitan suatu karya, yang
bisa dibagi menjadi tiga hak, yaitu: hak untuk menuntut pencantuman
nama pencipta atau pengarang pada semua hasil perbanyakan karya untuk
selamanya, hak mencegah orang lain menyebut dirinya sebagai pencipta
karya, dan hak mencegah penggunaan atau pencantuman namanya pada
sebuah karya orang lain. Ketiga, hak pencipta atau pengarang mengubah
karyanya atau melarang orang lain untuk memodifikasi karyanya.
Pasal 8 UUHC menyebutkan hak ekonomi merupakan hak
eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat
ekonomi atas ciptaannya. Hak ekonomi pada ciptaan atau karya boleh
disebut baru muncul belakangan setelah hak moral.
Masalahnya, kegiatan mencipta pada masa lalu belum dipandang
sebagai suatu pekerjaan. Jadi, jika terjadi misalnya peniru ciptaan adalah
lebih dianggap sebagai pelanggaran etika atau moral dibanding
pelanggaran yang mengakibatkan kerugian ekonomis. Pemikiran yang
berkembang kemudian, bahwa kegiatan mencipta dipandang sama dengan
bidang pekerjaan lain, yang menghasilkan materi. Jadi, jika hak moral
5 Otto Hasibuan, Hak Cipta Di Indonesia, (Bandung : PT. Alumni, 2008) h. 70.
4
merupakan refleksi kepribadian pencipta , hak ekonomi boleh jadi
merupakan refleksi kebutuhan pencipta, baik kebutuhan rohani maupun
jasmani.6
Dalam hak cipta (copyright), terkandung hak-hak yang berupa hak
ekonomi (economy right) dan hak moral (moral right) yang melekat pada
diri pencipta atau pemegang hak cipta atas ciptaannya tersebut.
Berdasarkan hak-hak ekonomi yang dipunyai, memungkinkan seorang
pencipta mengeksploitasi suatu karya cipta sedemikian rupa untuk
memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomi, sehingga perlu dilindungi
secara memadai. Terkandung di dalam suatu karya cipta yang memiliki
nilai-nilai ekonomis. Oleh karena itu, suatu ciptaan jika tidak dikelola
secara tertib berdasarkan seperangkat kaidah-kaidah hukum, dapat
menimbulkan sengketa antara pemilik hak cipta dengan pengelola
(pemegang) hak cipta atau pihak lain yang melanggarnya. Untuk
pengaturannya diperlukan seperangkat ketentuan-ketentuan hukum yang
efektif dari segala kemungkinan pelanggaran oleh mereka yang tidak
berhak atas hak cipta yang dimiliki seseorang.7
Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta disebutkan bahwa,
adapun ciptaan-ciptaan yang dilindungi dalam bidang ilmu pengetahuan,
seni, dan sastra salah satunya adalah karya sinematografi. Dari karya
sinematografi, terciptalah film. Film adalah karya seni budaya yang
merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat
berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat
dipertujukkan. Film juga dikenal sebagai media penyimpan dari karya
sinematografi tersebut.8
Salah satu karya cipta yang sering dinikmati oleh masyarakat
kekinian adalah karya cipta berbentuk film atau perfilman. Terbentuknya
suatu film merupakan gabungan dari ide cerita penulis kemudian di
6 Otto Hasibuan, Hak Cipta Di Indonesia,… h. 71. 7 Suyud Margono, Hukum Hak Cipta Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) h. 4-5. 8 M. Faruq Fahrezha, Skripsi: “Tinjauan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Pada
Pengguna Aplikasi Media Saosial Bigo Live”(Makassar : Unhas, 2017) h. 2.
5
representasikan atau diperankan oleh aktris yang diberi arahan oleh
sutradara, serta dikembangkan oleh pemilik modal atau produser sehingga
terbentuklah suatu karya seni berupa film yang dapat masyarakat nikmati
dengan membayar sejumlah uang untuk tiket menonton pertunjukan film
tersebut.
Suatu film tidak mungkin bisa terbentuk tanpa adanya cerita atau
naskah cerita dari penulis. Naskah cerita atau ide cerita bisa dibuat oleh
penulis tetap suatu lembaga film tersebut namun bisa juga diangkat atau
terinspirasi dari suatu cerita yang sudah ditulis dalam Novel. Suatu karya
film yang mengangkat cerita dari novel biasanya memerlukan izin atau
lisensi dari penulis novel tersebut apakah mengizinkan ide ceritanya di
kembangkan menjadi sebuah film atau tidak. Jika penulis tidak
mengizinkan, maka sutradara maupun produser tidak dapat
mengembangkan ide cerita tersebut menjadi sebuah film, karena ide cerita
tersebut sudah dilindungi oleh pemegang hak cipta atau pemilik hak cipta.
Pun juga dalam hal memperbarui cerita yang sudah ada memerlukan izin
dari pemegang hak cipta yang lama, seperti film Warkop DKI, Keluarga
Cemara, Pengabdi Setan, Benyamin Biang Kerok, dan lain sebagainya.
Pembaruan karya film lama akan berjalan dengan lancar dan dapat
dinikmati oleh masyarakat jika karya tersebut legal dan telah mendapatkan
izin dari pembuat sebelumnya dan terdapat pembagian royalti atas hasil
pembaruan film tersebut. Pasal 40 huruf m Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengatur mengenai ciptaan yang
diberikan perlindungan sebagai hak cipta yaitu karya sinematografi.
Dalam menciptakan suatu karya sinematografi, dapat dilakukan dengan
cara proses penggandaan atau reproduksi suatu karya sinematografi yang
ada lebih dahulu menjadi karya yang baru berdasarkan film aslinya atau
yang terdahulu.
Namun beberapa waktu lalu, perfilman Indonesia diwarnai oleh
kisruh masalah hak cipta film Benyamin Biang Kerok versi terbaru yang
tayang pada 1 Maret 2018 lalu. Syamsul Fuad, penulis naskah asli film
6
Benyamin Biang Kerok (1972) dan Biang Kerok Beruntung, menuding
dua rumah dan dua produser film Benyamin Biang Kerok versi baru telah
melanggar hak cipta. Syamsul Fuad melalui tim kuasa hukumnya
mengajukan gugatan ke pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap Falcon
Pictures dan Max Pictures. Tak hanya itu, pemilik Falcon Pictures, HB
Naveen dan produser film tersebut Ody Mulya Hidayat juga ikut menjadi
pihak tergugat. Dalam gugatannya, Syamsul Fuad menuding empat
tergugat itu telah melakukan pelanggaran hak cipta atas cerita Benyamin
Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung yang ia tulis pada tahun 1972.
Namun hasil putusan sidang nomor 53/Pdt.Sus-
HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst dari gugatan penggugat tersebut ditolak
oleh majelis hakim. Oleh karena itu untuk penelitian skripsi ini peneliti
mengambil judul “HAK EKSLUSIF FILM BENYAMIN BIANG
KEROK MENURUT UNDANG-UNDANG HAK CIPTA (Analisis
Putusan Nomor 53/Pdt.Sus-HKI/CIPTA/2018/PN Niaga Jkt.Pst)”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Terdapat beberapa hal yang dijadikan identifikasi permasalahan
dalam penelitian yang dilakukan, diantaranya:
a. Mekanisme perjanjian lisensi dan royalti dalam hak cipta
b. Pertimbangan hakim dalam memutus sengketa hak cipta
c. Sengketa yang timbul akibat ketidakjelasan perjanjian hak cipta
d. Implikasi hukum terhadap film yang telah ditayangkan namun
memiliki masalah hukum
e. Perlindungan hukum atas hak moral terhadap pencipta film
2. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari adanya perbedaan penafsiran dan meluasnya
penelitian ini, perlu kiranya peneliti membuat pembatasan mengenai
masalah demi mencapai hasil yang diharapkan dan lebih terarahnya
7
penulisan. Maka pembahasan ini berfokus pada satu titik permasalahan
yaitu, peneliti ingin memfokuskan pada analisis isi putusan dan
pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Nomor 53/Pdt.Sus-
HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst khususnya dalam aspek hak moral
dan hak ekonomi.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
masalah utama dalam penelitian ini adalah Putusan Nomor 53/Pdt.Sus-
HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst yang menolak seluruh gugatan dari
Syamsul Fuad selaku penulis skenario Film Benyamin Biang Kerok.
Dari permasalahan utama tersebut lahirlah pertanyaan penelitian ini,
yaitu:
a. Bagaimana putusan dan dasar pertimbangan hakim dalam sengketa
film Benyamin Biang Kerok pada Putusan Nomor 53/Pdt.Sus-
HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst ?
b. Bagaimanakah kesesuaian putusan hakim dalam sengketa film
Benyamin Biang Kerok pada Putusan Nomor 53/Pdt.Sus-
HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst terhadap hukum nasional?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Terdapat beberapa hal yang dijadikan tujuan dalam penelitian yang
dilakukan, antara lain :
a. Untuk mengetahui analisis dasar pertimbangan dan putusan Hakim
dalam sengketa film Benyamin Biang Kerok pada putusan nomor
53/Pdt.Sus-HKI/CIPTA/2018/PN Niaga Jkt.Pst.
b. Untuk mengetahui kesesuaian putusan hakim dalam sengketa film
Benyamin Biang Kerok pada Putusan Nomor 53/Pdt.Sus-
HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst terhadap hukum nasional.
8
2. Manfaat Penelitian
Terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan manfaat dalam
penelitian yang dilakukan, antara lain:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai informasi bagi
masyarakat serta dapat dijadikan pedoman sebagai dasar penelitian
yang sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini memberikan informasi kepada masyarakat
luas agar mengetahui pentingnya pengetahuan tentang hak kekayaan
intelektual pada umumnya dan tentang perlindungan hak cipta pada
khususnya dan memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya
penyelesaian sengketa yang timbul dari pelanggaran Hak Cipta.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum yuridis normatif.
Yaitu, penelitian yang meneliti hukum dari perspektif internal dengan
objek penelitiannya adalah norma hukum.9 Penelitian hukum ini dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan
dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap
peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti.10
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum ini peneliti menggunakan pendekatan
Undang-Undang (Statute Approach), yaitu pendekatan dengan
9I Made Pesek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2017), h. 12. 10Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (suatu tinjauan
singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001) h.13-14.
9
memandang hukum sebagai sebuah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga negara yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. Jika demikian, pendekatan peraturan
perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi
dan regulasi.11
Pendekatan penelitian ini juga menggunakan pendekatan kasus (Case
Approach) yang memberikan penerapan-penerapan dari norma atau kaidah
hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Dalam menggunakan
pendekatan kasus, peneliti melakukan analisis pada ratio decidendi, yaitu
alasan-alasan hukum hakim yang digunakan oleh hakim untuk sampai
pada putusannya.12
3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh dari studi
kepustakaan (Library Research). Bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara umum (perundang-undangan). Peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan masalah yang dikaji, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
3) Putusan Pengadilan Nomor 53/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2018/PN Niaga
Jkt.Pst
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari studi
kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
masalah yang diajukan.13 Dokumen yang dimaksud ialah, buku-buku
karangan ilmiah dan jurnal hukum.
11 Peter Mahmud marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005) h. 137. 12 Peter Mahmud marzuki, Penelitian Hukum, …h. 158. 13Soedjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986) h.51.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang diperoleh baik dari
bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder, yaitu kamus hukum, kamus bahasa
Indonesia, ensiklopedia, artikel-artikel pada majalah, Koran, internet
dan sebagainya.
4. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data yang digunakan dalam penelitian hukum
ini adalah studi (Library Research), yaitu mencari landasan teoritis dari
permasalahan penelitian dengan cara membaca buku dan mempelajari
literatur yang berhubungan dengan penelitian hukum ini, juga penulisan
ilmiah, peraturan perundang-undangan dan sebagainya yang selanjutnya
diolah dan dirumuskan secara sistematis.14 Dalam penelitian hukum
untuk keperluan akademik, bahan hukum primer yang pertama kali
dikumpulkan adalah peraturan perundang-undangan berkaitan dengan isu
hukum yang akan dipecahkan. Kemudian, pada pendekatan konseptual,
pengumpulan-pengumpulan buku atau literatur-literatur tersebut banyak
mengandung konsep hukum yang berhubungan dengan isu yang akan
dibahas sehingga nantinya dapat menjawab isu hukum yang ada.
5. Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yakni dengan cara
penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasarkan pada
data-data yang ada, lalu dianalisa lebih lanjut untuk kemudian diambil
sebuah kesimpulan. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
dianalisis dengan teknik analisis kualitatif untuk memberikan solusi
terhadap rumusan masalah atau menginterprestasikan bahan hukum ke
dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis sehingga diberikan
penafsiran dan gambaran yang jelas sesuai dengan rumusan masalah
untuk kemudian ditarik kesimpulan. Dalam penelitian ini, peneliti
14 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta:
Gressindo,1999), h. 45.
menjadikan isi putusan pengadilan nomor 53/Pdt.Sus-
HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst sebagai data yang kemudian diolah
dan dianalisis secara deduktif, yang selanjutnya dikaitkan dengan norma-
norma hukum, doktrin-doktrin hukum dan teori ilmu hukum yang ada.
6. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.
E. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah penulisan dalam penelitian ini maka peneliti
akan menguraikan metode penulisan yang terdiri dari 5 (lima) bab sebagai
berikut:
BAB I Dalam bab pendahuluan ini dimuat latar belakang masalah,
dilanjutkan dengan identifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II Dalam bab ini dibahas mengenai kerangka konseptual,
kerangka teori, tinjauan hukum hak cipta dan tinjauan (review)
kajian terdahulu.
BAB III Dalam bab ini disajikan data-data penelitian seperti deskripsi
perkara Film Benyamin Biang Kerok, duduk perkara dan
petitum Penggugat
BAB IV Bab ini memuat pertimbangan hakim dan putusan pengadilan
nomor 53/Pdt.Sus-Hki/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst, serta
analisisnya menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta.
BAB V Dalam bab penutup ini peneliti menarik beberapa kesimpulan dari
hasil penelitian dan memberikan beberapa rekomendasi.
BAB II
TINJAUAN HUKUM HAK CIPTA
A. Kerangka Konseptual
1. Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
a. Pengertian Hak Kekayaan Intelektual
Hak Kekayaan Intelektual merupakan suatu hak milik dari hasil
pemikiran, yang bersifat tetap dan eksklusif dan melekat pada
pemiliknya. HKI pada dasarnya adalah hak hukum dimana dengan hak
hukum tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum
terhadap hasil kreasi dan karya intelektual manusia dalam bidang
industri, ilmu pengetahuan, literatur dan artistik.1
Hak kekayaan intelektual adalah hak kebendaan, hak atas
sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak dan hasil kerja
rasio. Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai
intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut
sebagai orang yang terpelajar, mampu menggunkan rasio, mampu
berpikir secara rasional dengan menggunakan logika, karena itu hasil
pemikirannya disebut rasional dan logis.2
Hak milik intelektual (intellectual property rights) merupakan
suatu hak kebendaan yang sah dan diakui oleh hukum atas benda tidak
berwujud berupa kekayaan atau kreasi intelektual. Berbicara mengenai
intellectual property rights, makna dari istilah tersebut yaitu, hak,
kekayaan, dan intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat
dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Adapun kekayaan
intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan
1Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 2007), h.9. 2 H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Rajawali Press,
2010), h.9-10.
13
14
daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu,
karya tulis, dan lain-lain.3
Pada umumnya hak kekayaan intelektual digunakan untuk
menyebut semua hal yang berasal dari penggunaan otak manusia,
seperi gagasan, invensi, puisi, desain, dan lain-lain. Berbicara
mengenai tentang kekayaan intelektual juga berbicara tentang hak-hak
dan perlindungannya, seperti hak cipta, paten, merek, dan lain-lain.
Terlihat bahwa hak-hak ini terutama memberikan pemiliknya
menguasai dan menikmati manfaat-manfaat dari karyanya tersebut
dalam periode atau batas waktu tertentu. Hukum memberikan hak
kepada pemilik kekayaan intelektual agar dapat menarik manfaat dari
waktu dan biaya yang telah dikeluarkannya dalam memproduksi
sesuatu itu.4
b. Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual
Hak kekayaan intelektual merupakan bagian dari benda yang
tidak berwujud (benda immateril). Benda dalam hukum perdata dapat
diklasifikasikan kedalam berbagai kategori. Salah satu di antara
kategori itu ialah pengelompokan benda ke dalam klasifikasi benda
berwujud dan benda tidak berwujud. Untuk hal ini dapatlah dilihat
batasan benda yang terdapat pada Pasal 499 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Untuk pasal ini, kemudian Mahadi mengungkapkan,
seandainya dikehendaki rumusan lain dari pasal ini dapat diturunkan
kalimat, yaitu: yang dapat menjadi objek hak milik adalah benda dan
benda itu terdiri dari barang dan hak. Barang yang dimaksudkan oleh
Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut adalah
benda materil (stoffelijk voorwerp), sedangkan hak adalah benda
immateril. Uraian ini sejalan dengan klasifikasi benda berdasarkan
h.208.
335.
3 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011),
4 Arthur Lewis, Dasar-Dasar Hukum Bisnis, (Bandung: Nusa Media, 2014), h.
15
Pasal 503 Kitab Uundang-Undang Hukum Perdata, yaitu
penggolongan benda ke dalam kelompok benda berwujud (bertubuh)
dan benda tidak berwujud (tidak bertubuh).5
Konsekuensi lebih lanjut dari batasan hak kekayaan intelektual
adalah terpisahnya antara hak kekayaan intelektual itu dengan hasil
material yang menjadi bentuk jelmaannya atau biasa disebut benda
berwujud (benda materil). Suatu contoh dapat dikemukakan misalnya
hak cipta dalam bidang karya sinematografi (berupa hak kekayaan
intelektual) dan hasil materil yang menjadi bentuk film. Jadi yang
dilindungi dalam kerangka hak kekayaan intelektual adalah haknya
bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi
oleh hukum, benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).6
Pengelompokan hak kekayaan intelektual itu lebih lanjut dapat
dikategorikan dalam kelompok hak cipta (copy rights) dan hak
kekayaan industri (industrial property rights). Hak cipta sebenarnya
dapat lagi diklasifikasikan kedalam dua bagian, yaitu: 7 hak cipta dan
hak terkait (dengan hak cipta) (neighbouring rights). Selanjutnya, hak
kekayaan perindustrian dapat diklasifikasikan lagi menjadi:8 paten,
paten sederhana, desain industry, merek dagang dan nama dagang,
sumber asal atau sebutan asal.
2. Hak Cipta
a. Pengertian Hak cipta
Istilah hak cipta pertama kali diusulkan oleh St. Moh. Syah,
pada Kongres Kebudayaan di Bandung tahun 1951 sebagai
pengganti istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan
pengertiannya. Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan
5 H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,..., h. 11. 6 H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,…,h. 13. 7 H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,…,h. 16 . 8 H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,…,h. 17.
16
terjemahan dari istilah bahasa Belanda Auteurs Recht.9 Dinyatakan
“kurang luas” karena istilah hak pengarang itu memberikan kesan
“penyempitan” artinya, seolah-olah yang dicakup oleh hak
pengarang itu hanyalah hak dari para pengarang saja, yang ada
sangkut pautnya dengan karang mengarang, sedangkan istilah hak
cipta itu lebih luas, dan isitilah itu juga mencakup tentang karang
mengarang.10 Lebih jelas batasan pengertian ini dapat dilihat dalam
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014
yang mengatur: “Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang
timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu
ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi
pembatasan sesuai kententuan peraturan perundang-undangan.”
Dalam bukunya, H. OK. Saidin memberikan perbandingan
terhadap pengertian hak cipta yaitu; pertama, berdasarkan Pasal 1
dalam Auteurswet 1912 diatur, “hak cipta adalah hak tunggal dari
pencipta, atau hak dari yang mendapatkan hak tersebut, atas hasil
ciptaanya dalam lapangan kesusasteraan, pengetauan dan kesenian,
untuk mengumumkan dan memperbanyak dengan mengingat
pembatasan-pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Kedua, berdasarkan Universal Copyright Convention. Dalam Pasal
V Universal Copyright Convention, diatur bahwa: “hak cipta
meliputi hak tunggal si pencipta untuk membuat, menerbitkan dan
memberi kuasa untuk membuat terjemahan dari karya yang
dilindungi perjanjian ini.”11
Dari penjelasan batasan pengertian yang diberikan di atas,
maka hampir dapat disimpulkan bahwa ketiganya memberikan
pengertian yang sama, yakni hak cipta merupakan hak khusus atau
hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta. Hak eksklusif adalah
9 Ajip Rosidi, 1984, Undang-Undang Hak Cipta Pandangan Seorang Awam, (Jakarta:
Djambatan, 1982), h.3. 10 H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,…, h. 199. 11 BPHN, Seminar Hak Cipta, (1976) h.44-45.
17
bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang melaksanakan hak cipta
tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak
cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta. Konsep
tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif
pemegang hak cipta termasuk “menerjemahkan, mengadaptasi,
aransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan,
meminjamkan, mengimpor, memamerkan, dan mengomunikasikan
ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun”.12
3. Hak Eksklusif (Hak Moral dan Hak Ekonomi)
Menurut Hutauruk, ada dua unsur penting yang harus
terkandung atau termuat dalam rumusan atau terminologi hak cipta
yaitu:13 yang pertama, hak moral yang dalam keadaan
bagaimanapun, dan dengan jalan apa pun tidak dapat ditinggalkan
dari padanya. Kedua, hak yang dapat dipindahkan atau dialihkan
kepada pihak yang lain (hak ekonomi).
Dalam hak cipta terdapat juga dua hak bermakna sama yang
biasa disebut dengan hak moral dan hak ekonomi. sebagaimana
diungkapkan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta, yaitu:
“Hak cipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a
merupakan hak eksklusif yang terdiri dari Hak Moral dan Hak
Ekonomi.”
a. Hak Moral
Konsep dasar lahirnya hak cipta akan memberikan
perlindungan hukum terhadap suatu karya cipta yang memiliki
bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan
seseorang atas dasar kemampuan dan kreativitasnya yang bersifat
12 www.cekkembali.com/hak-cipta dikutip pada 16 Juli 2019 pukul 14.26. 13 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual …, h.200.
18
pribadi.14 Sifat pribadi yang terkandung di dalam hak cipta
melahirkan konsepsi hak moral bagi si pencipta atau ahli
warisnya. Hak moral tersebut dianggap sebagai hak pribadi yang
dimiliki oleh seorang pencipta untuk mencegah terjadinya
penyimpangan atas karya ciptanya dan untuk mendapatkan
penghormatan atau penghargaan atas karyanya tersebut. Hak
moral tersebut merupakan perwujudan dari hubungan yang terus
berlangsung antara si pencipta dengan hasil karya ciptanya
walaupun si penciptanya telah kehilangan atau telah
memindahkan hak ciptanya kepada orang lain, sehingga apabila
pemegang hak menghilangkan nama pencipta, maka pencipta atau
ahli warisnya berhak menuntut kepada pemegang hak cipta
supaya nama pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya.
Hak moral dalam terminologi Bern Convention
menggunakan istilah moral rights, yakni hak yang dilekatkan
pada diri pencipta. Dilekatkan, bermakna bahwa hak itu tidak
dapat dihapuskan walaupun hak cipta itu telah berakhir jangka
waktu kepemilikan. Hak moral dibedakan dengan hak ekonomi,
jika hak ekonomi mengandung nilai ekonomis, maka hak moral
sama sekali tidak memiliki nilai ekonomis. Kata “moral”
menunjukkan hak yang tersembunyi dibalik ekonomis itu. Namun
demikian, ada kalanya nilai hak moral itu justru memengaruhi
nilai ekonomis.15
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta diatur bahwa hak moral sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri
pencipta. Dalam hal ini pemegang hak moral mempunyai hak
14 S.M. Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya dalam Pembangunan,
(Jakarta: Akademika Pressindo, 2002), h.333. 15 H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual …, h.250.
19
untuk tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya
pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk
umum, menggunakan nama aliasnya atau samarannya, mengubah
ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat, mengubah
judul dan anak judul ciptaan, dan mempertahankan haknya dalam
hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan,
atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau
reputasinya.
Hak moral adalah hak yang melindungi kepentingan pribadi
atau reputasi pencipta. Hak moral melekat pada pribadi pencipta
atau penemu. Apabila hak ekonomi dapat dialihkan kepada pihak
lain, maka hak moral tidak dapat dipisahkan dari pencipta atau
penemu karena bersifat pribadi dan kekal. Sifat abadi
menunjukkan ciri khas yang berkenaan dengan nama baik,
kemampuan dan integritas yang hanya dimiliki oleh pencipta atau
penemu. Kekal artinya melekat pada pencipta atau penemu selama
hidup bahkan setelah meninggal. Termasuk dalam hak moral
adalah hak-hak yang berikut ini: 16 (a)Hak untuk menuntut kepada
pemegang hak cipta atau paten supaya nama pencipta atau
penemu tetap dicantumkan pada ciptaan dan penemuannya, (b)
Hak untuk tidak untuk melakukan perubahan pada ciptaan atau
penemuan tanpa persetujuan pencipta, penemu, atau ahli
warisnya, (c)Hak pencipta atau penemu untuk mengadakan
perubahan pada ciptaan atau penemuan sesuai dengan tuntutan
perkembangan dan kepatutan dalam masyarakat.
b. Hak Ekonomi
Hak cipta juga berhubungan dengan kepentingan-
kepentingan yang bersifat ekonomi (economic rights). Adanya
16 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan
Intelektual,..., h. 22.
20
kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomi di dalam hak
cipta tersebut, merupakan suatu perwujudan dari sifat hak cipta itu
sendiri. Yaitu, bahwa ciptaan-ciptaan yang merupakan produk
olah pikir manusia itu mempunyai nilai, karena ciptaan-ciptaan
tersebut merupakan suatu bentuk kekayaan, walaupun bentujnya
tidak berwujud.17
Dalam terminologi hukum perdata, hak cipta adalah hak
privat, hak keperdataan. Dalam hak keperdataan itu terdapat nilai
yang dapat diukur sacara ekonomi, yaitu berupa hak kebendaan.
Hak yang dapat dialihkan atau dipindahkan itu sekaligus
memberikan jawaban atas kedudukan hak cipta dalam sistem
hukum benda, yang meletakkan hak cipta sebagai hak kebendaan
immateriil (benda tak berwujud).18 Dalam Undang-Undang No.
28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, hak itu disebut hak ekonomi
atau economy rigts. Hak ekonomi merupakan hak eksklusif
Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat
ekonomi atas Ciptaan. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-
Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta diatur bahwa:
“Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi
untuk melakukan: penerbitan ciptaan, penggandaan ciptaan
dalam segala bentuknya, penerjemahan ciptaan, pengadaptasian,
pengaransemenan, atau pentranformasian ciptaan,
pendistribusian ciptaan atau salinannya, pertunjukan ciptaan,
pengumuman ciptaan, komunikasi ciptaan; dan penyewaan
ciptaan.”
b. Pencipta dan Pemegang Hak Cipta
Secara definisi, menurut Pasal 1 angka (2) Undang-Undang
Hak Cipta, yang dimaksud pencipta adalah seseorang atau beberapa
orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan
h.336.
200.
17 S.M. Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya dalam Pembangunan,…,
18 S.M. Hutagalung, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya dalam Pembangunan,…, h.
21
suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Pada Pasal 1 angka (4)
berbunyi, Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik hak
cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari pencipta,
atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang
menerima hak tersebut secara sah.
Pemegang hak cipta berdasarkan perjanjian lisensi,
memperoleh hak untuk melakukan sebagian atau keseluruhan dari
tindakan yang dilarang, misalnya memperbanyak ciptaan sejumlah
yang ditentukan dalam suatu jangka waktu tertentu. Setelah
waktunya selesai, hak-hak ekonomi yang dieksploitasi olehnya harus
dikembalikan kepada pencipta.19
Menurut ketentuan dalam Undang-undang Hak Cipta, yang
menjadi pemegang hak cipta adalah kecuali terbukti sebaliknya,
yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang namanya
terdaftar dalam daftar umum ciptaan dan pengumuman resmi
tentang pendaftaran pada Departemen Kehakiman, seperti yang
dimaksud dalam Pasal 39 UUHC dan orang yang namanya disebut
dalam ciptaan atau diumumkan sebagai penciptanya. Kecuali
terbukti sebaliknya, pada ceramah yang tidak tertulis dan tidak ada
pemberitahuan siapa penciptanya, maka orang yang berceramah lah
yang dianggap sebagai penciptanya.
Suatu ciptaan yang terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang
diciptakan dua orang atau lebih, yang dianggap sebagai pencipta
adalah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh
ciptaan itu, atau jika tidak ada orang itu, orang yang
menghimpunnya dengan tidak mengurangi hak cipta masing-masing
atas bagian ciptaannya. Jika suatu ciptaan dirancang seseorang,
diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain dibawah pimpinan dan
19 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta, (Bandung : PT. Alumni, 2002), h. 123.
22
pengawasan orang yang merancang ciptaan, maka penciptanya
adalah orang yang merancang ciptaan itu.
Suatu ciptaan yang dibuat dalam hubungan dinas dengan pihak
lain dalam lingkungan pekerjaannya, pihak yang untuk dan dalam
dinasnya ciptaan itu dikerjakan adalah pemegang hak cipta, kecuali
ada perjanjian lain antara kedua belah pihak dengan tidak
mengurangi hak si pembuat sebagai penciptanya apabila
penggunaan ciptaan itu dipeluas ke luar hubungan dinas. Sedangkan,
ketika suatu ciptaan dibuat dalam hubungan atau berdasarkan
pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu sebagai pencipta dan
pemegang hak cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua
pihak,
Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa ciptaan tersebut
berasal dari padanya dengan tidak menyebut seseorang sebagai
penciptanya. Maka, badan hukum tersebut dianggap sebagai
penciptanya kecuali jika dibuktikan sebaliknya.
Negara memegang hak cipta atas ciptaan hasil budaya rakyat
yang menjadi milik bersama, bila berhubungan dengan pihak luar
negeri. Apabila suatu ciptaan tidak diketahui penciptanya dan
ciptaan itu belum diterbitkan, Negara memegang hak cipta atas
ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya.
Ketika suatu ciptaan tidak diketahui penciptanya atau pada
ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran pencipta dan ciptaan itu
sudah diterbitkan, maka penerbit adalah pemegang hak cipta atas
ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya. Apabila suatu
ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui penciptanya, Negara
memegang hak cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan
penciptanya
23
c. Ciptaan
Dalam lampiran Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Hak
Cipta Nomor 28 Tahun 2014, dijelaskan bahwa ciptaan adalah setiap
hasil karya cipta dibidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang
dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, cekatan,
keterampilan atau keahlian yang di ekspresikan dalam bentuk nyata.
Dengan demikian, suatu karya cipta merupakan hasil dari kreatifitas
penciptanya itu sendiri dan bukan tiruan, serta karya cipta tersebut
harus diwujudkan dalam bentuk nyata dan tidak berupa gagasan.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
juga telah menguraikan berbagai jenis Ciptaan yang dilindungi.
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 40 angka (1) sebagai berikut;
“Buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan
semua hasil karya tulis lainnya, ceramah, kuliah, pidato, dan
ciptaan sejenis lainnya, alat peraga yang dibuat untuk
kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu dan atau
musik dengan atau tanpa teks, drama, drama musikal, tari,
koreografi, pewayangan, dan pantomime, karya seni rupa
dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran,
kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase, karya seni terapan,
karya arsitektur, peta, karya seni batik atau seni motif lain,
karya fotografi, potret, karya sinematografi, terjemahan, tafsir,
saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen,
modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi, terjemahan,
adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi
budaya tradisional, kompilasi ciptaan atau data, baik dalam
format yang dapat dibaca dengan program komputer maupun
media lainnya, kompilasi ekspresi budaya tradisional selama
kompilasi tersebut merupakan karya yang asli, permainan
video dan program komputer.”
Dengan demikian, tidak semua jenis ciptaan di bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra yang mendapat perlindungan hukum,
tapi terbatas pada ciptaan yang dapat dilihat, dibaca atau didengar
saja. Dalam artian ciptaan yang dilindungi hanyalah ciptaan yang
memiliki bentuk yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan
keaslian sebagai ciptaan yang lahir berdasarkan kemampuan,
24
kreatifitas, dan keahlian seseorang yang diwujudkan dalam bentuk
nyata.
Adapun didalam Undang-Undang Hak Cipta disebutkan
tentang hasil karya yang tidak dilindungi hak ciptanya. Sebagaimana
tertuang pada Pasal 41 Undang-Undang Hak Cipta yang meliputi
Hasil karya yang belum diwujudkan dalam bentuk nyata, Setiap ide,
prosedur, sistem, metode, konsep, prinsip, temuan atau data
walaupun telah diungkapkan, dinyatakan, digambarkan, dijelaskan,
atau digabungkan dalam sebuah ciptaan, alat, benda, atau produk
yang diciptakan hanya untuk menyelesaikan masalah teknis atau
yang bentuknya hanya ditujukan untuk kebutuhan fungsional.
4. Film Sebagai Bagian Hak Cipta
a. Definisi Film
Berdasarkan kata, film (cinema) asalnya dari kata
cinematographie yang memiliki arti cinema (gerak), tho atau phytos
(cahaya) dan graphie atau grhap (tulisan, gambar, citra). Maka
dapat diartikan film merupakan mewujudkan gerak dengan cahaya.
Mewujudkan atau Melukis gerak dengan cahaya tersebut
menggunakan alat khusus. Seringkali alat yang digunakan adalah
kamera.
Definisi lain dari film yakni, hasil cipta karya seni yang
memiliki kelengkapan dari beberapa unsur seni untuk melengkapi
kebutuhan yang sifatnya spiritual. Unsur seni yang ada dan
menujang sebuah film antara lain seni rupa, seni fotografi, seni
arsitektur, seni tari, seni puisi sastra, seni teater, seni musik, seni
pantonim dan juga novel.20
20 https://www.seputarpengetahuan.co.id/2017/10/pengertian-film-sejarah-fungsi-jenis-
jenis-unsur.html, artikel diakses pada hari selasa, tanggal 19 November 2019, pkl 18.30 WIB.
25
Pengertian lain tentang film yaitu selaput tipis yang dibuat
dari saluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat poster)
atau untuk tempat gambar positif (yang dimainkan di bioskop).
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009
tentang Perfilman (selanjutnya disebut Undang-undang Perfilman),
film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan
media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah
sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.
Undang-undang Perfilman memberikan definisi perfilman
adalah berbagai hal yang berhubungan dengan film. Undang-
Undang Perfilman mendukung kebebasan berkarya yang
bertanggungjawab atas pembuatan film. Kebebasan berdasarkan
kemampuan imajinasi, daya cipta, rasa ataupun karsa, baik dalam
bentuk, makna ataupun caranya.21
b. Unsur-unsur Film
Film merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif.
Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja
sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam
proses pembuatan film antara lain: produser, sutradara, penulis
skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata
musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang
film).22
1. Produser
Unsur paling utama (tertinggi) dalam suatu tim kerja
produksi atau pembuatan film adalah produser. Karena produserlah
yang menyandang atau mempersiapkan dana yang dipergunakan
untuk pembiayaan produksi film. Produser merupakan pihak yang
21 M. Ramli, Fathurrahman, Film Independen Dalam Perspektif Hukum Hak Cipta dan
Hukum Perfilman Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h.34. 22 https://www.kajianpustaka.com/2012/10/pengertian-sejarah-dan-unsur-unsur-film.html,
artikel diakses pada hari selasa, tanggal 19 November 2019, pkl 20.30 WIB.
26
bertanggungjawab terhadap berbagai hal yang diperlukan dalam
proses pembuatan film. Selain dana, ide atau gagasan, produser
juga harus menyediakan naskah yang akan difilmkan, serta
sejumlah hal lainnya yang diperlukan dalam kaitan proses produksi
film.
2. Sutradara
Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling
bertanggungjawab terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal
yang berkaitan dengan dana dan properti lainnya. Karena itu
biasanya sutradara menempati posisi sebagai “orang penting
kedua” di dalam suatu tim kerja produksi film. Di dalam proses
pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur dan
proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah skenario
ke dalam aktivitas produksi.
3. Penulis Skenario
Skenario film adalah naskah cerita film yang ditulis dengan
berpegang pada standar atau aturan-aturan tertentu. Skenario atau
naskah cerita film itu ditulis dengan tekanan yang lebih
mengutamakan visualisasi dari sebuah situasi atau peristiwa
melalui adegan demi adegan yang jelas pengungkapannya. Jadi,
penulis skenario film adalah seseorang yang menulis naskah cerita
yang akan difilmkan. Naskah skenario yang ditulis penulis
skenario itulah yang kemudian digarap atau diwujudkan sutradara
menjadi sebuah karya film.
4. Penata Kamera (Kameramen)
Penata kamera atau popular juga dengan sebutan
kameramen adalah seseorang yang bertanggungjawab dalam proses
perekaman (pengambilan) gambar di dalam kerja pembuatan film.
Karena itu, seorang penata kamera atau kameramen dituntut untuk
mampu menghadirkan cerita yang menarik, mempesona dan
menyentuh emosi penonton melalui gambar demi gambar yang
27
direkamnya di dalam kamera. Di dalam tim kerja produksi film,
penata kemera memimpin departemen kamera.
5. Penata Artistik
Penata artistik (art director) adalah seseorang yang
bertugas untuk menampilkan cita rasa artistik pada sebuah film
yang diproduksi. Sebelum suatu cerita divisualisasikan ke dalam
film, penata artistik setelah terlebih dulu mendapat penjelasan dari
sutradara untuk membuat gambaran kasar adegan demi adegan di
dalam sketsa, baik secara hitam putih maupun berwarna. Tugas
seorang penata artistik di antaranya menyediakan sejumlah sarana
seperti lingkungan kejadian, tata rias, tata pakaian, perlengkapan-
perlengkapan yang akan digunakan para pelaku (pemeran) film dan
lainnya.
6. Penata Musik
Penata musik adalah seseorang yang bertugas atau
bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pengisian suara musik
tersebut. Seorang penata musik dituntut tidak hanya sekadar
menguasai musik, tetapi juga harus memiliki kemampuan atau
kepekaan dalam mencerna cerita atau pesan yang disampaikan oleh
film.
7. Editor
Baik atau tidaknya sebuah film yang diproduksi akhirnya
akan ditentukan pula oleh seorang editor yang bertugas mengedit
gambar demi gambar dalam film tersebut. Jadi, editor adalah
seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab dalam proses
pengeditan gambar.
8. Pengisi dan Penata Suara
Pengisi suara adalah seseorang yang bertugas mengisi suara
pemeran atau pemain film. Jadi, tidak semua pemeran film
menggunakan suaranya sendiri dalam berdialog di film. Penata
suara adalah seseorang atau pihak yang bertanggungjawab dalam
28
menentukan baik atau tidaknya hasil suara yang terekam dalam
sebuah film. Di dalam tim kerja produksi film, penata suara
bertanggungjawab memimpin departemen suara.
9. Bintang Film (Pemeran)
Bintang film atau pemeran film dan biasa juga disebut aktor
dan aktris adalah mereka yang memerankan atau membintangi
sebuah film yang diproduksi dengan memerankan tokoh-tokoh
yang ada di dalam cerita film tersebut sesuai skenario yang ada.
Keberhasilan sebuah film tidak bisa lepas dari keberhasilan para
aktor dan aktris dalam memerankan tokoh-tokoh yang diperankan
sesuai dengan tuntutan skenario (cerita film), terutama dalam
menampilkan watak dan karakter tokoh-tokohnya. Pemeran dalam
sebuah film terbagi atas dua, yaitu pemeran utama (tokoh utama)
dan pemeran pembantu (piguran).
B. Kerangka Teori
1. Teori Perlindungan Hukum
Pada hakikatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari
hukum, sebab tanpa adanya perlindungan hukum maka seluruh hak warga
negara akan rentan mengalami pelanggaran hak asasi baik dari kalangan
sesama masyarakat hingga pemerintah. Perlindungan hukum merupakan
gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan hukum
yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Satjipto Rahardjo
berpendapat bahwa, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.23
Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum bahwa hukum
bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan
23 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53.
29
dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan,
perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan
cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.24 Kepentingan hukum
adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum
memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang
perlu diatur dan dilindungi.
Perlindungan hukum terhadap hak cipta dimaksudkan untuk
mendorong individu-individu di dalam masyarakat yang memiliki
kemampuan intelektual dan kreativitas agar lebih bersemangat
menciptakan sebanyak mungkin karya cipta yang berguna bagi kemajuan
bangsa.25 Menurut David Bainbridge, justifikasi perlindungan HKI dapat
digambarkan dengan ungkapan sederhana. Intinya, setiap orang harus
diakui dan berhak memiliki apa yang dihasilkannya. Bila hak itu diambil
darinya, ia tak lebih dari seorang budak. Ungkapan ini menjadi semakin
penting mengingat dalam perspektif HKI, apa yang dihasilkan sepenuhnya
berasal dari otak atau kemampuan intelektual manusia. Selanjutnya perlu
pula dicatat rasionalitas lain yang lebih bersifat pragmatik. Rasionalitas ini
bertumpu pada prinsip bahwa perlindungan diperlukan untuk menjaga
tatanan perekonomian pada khususnya dan kehidupan sosial pada
umumnya.26
Pentingnya perlindungan hukum bagi kaum lemah, juga ditemukan
dalam pemikiran Grotius, Thomas Hobbes, Spinoza, dan John Locke.
Mereka adalah ahli-ahli yang muncul di era kebangkitan teori hukum alam
abad XVII. Grotius mengatakan bahwa hukum itu ada karena adanya suatu
perjanjian atau kontrak. Perjanjian ini terjadi semata-mata karena manusia
itu adalah makhluk sosial, sehingga selalu ada keinginan untuk hidup
24 Fajar Alamsyah Akbar, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Menurut Pasal 12
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Di Indonesia,JOM Fakultas Hukum
Volume III Nomor 2, Oktober 2016, h. 4. 25 Iswi Hariyani, Prosedur Mengurus HAKI yang Benar,(Yogyakarta : Pustaka Yustisia,
2010), h. 46. 26 Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), h. 21-
22.
30
bermasyarakat. Hukum dan negara bertujuan untuk ketertiban dan
keamanan.27 Karena pada dasarnya setiap orang, tanpa diskriminasi,
berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan,
pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun
administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak
memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang
obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang
adil dan benar.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Lagu dan Musik di Media
Internet (Analisa Putusan Mahkamah Agung Nomor 385 K/Pdt.Sus/2009).
Skripsi ini membahas mengenai permasalahan maraknya pelanggaran hak
cipta lagu dan musik di media internet yang menjadi hal lazim di kalangan
masyarakat. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan dan sanksi
terhadap pelanggaran hak cipta atas lagu dan musik di media internet pada
dasarnya telah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta dan Undang-
Undang Informasi Transaksi Elektronik. Lalu terdapat dua sarana hukum
yang dapat digunakan untuk menindak pelaku pelanggaran hak cipta di
media internet, yaitu melalui instrumen hukum pidana dan perdata.28
2. Perlindungan Hukum Hak Cipta Sinematografi Terhadap Kegiatan
Download Dan Upload (Telaah Penerapan Undang-undang Nomor 28
Tahun 2014). Skripsi ini membahas persoalan mengenai bentuk
perlindungan pencipta terhadap pembajakan karya sinematografi dalam
aktifitas online. Penelitian ini menemukan bahwa penutupan atau
pemblokiran situs website penyedia layanan Download secara ilegal hanya
menjadi jawaban sementara atas permasalahan yang terjadi akan tetapi
27 Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum Dari Kontruksi Sampai
Implementasi, (Jakarta : PT RajaGrafindo, 2001), h. 11. 28 Skripsi ditulis oleh Raviantha Putra, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Lagu
dan Musik di Media Internet (Analisa Putusan Mahkamah Agung Nomor 385 K/Pdt.Sus/2009),
Tahun 2014, Progam Studi Ilmu Hukum UIN Jakarta.
31
sifatnya hanya jangka pendek. Dalam melindungi hak cipta dalam aktifitas
online, penegak hukum dan pencipta atau pemegang hak cipta dapat saling
berkerjasama untuk menaggulangi atas segala bentuk pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi.29
3. Perlindungan Hukum Bagi Pencipta Karya Cipta Sinematografi Dalam Film
Soekarno (Analisa Putusan Nomor 305 K/Pdt.Sus-HKI/2014). Penelitian ini
membahas mengenai upaya penyelesaikan apa yang dilakukan pencipta
apabila terjadi sengketa kepemilikan karya cipta sinematografi. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa perlindungan Hak Cipta atas karya sinematografi
dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara. Pertama, dengan cara preventif yang
perlindungannya diberikan pemerintah dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya pelanggaran dengan melakukan pendaftaran Hak Cipta ke
Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual (DJKI). Kedua, dengan cara
represif yaitu perlindungan yang diberikan pemerintah dengan tujuan untuk
menyelesaikan sengketa apabila terjadi pelanggaran terhadap Hak Cipta atas
karya Sinematografi dengan cara mengajukan gugatan ke Pengadilan
Niaga.30
4. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Menurut Pasal 12 Undang-
undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Di Indonesia. Penelitian
ini membahas mengenai upaya yang dilakukan pemegang hak cipta potret,
ketika hak ciptanya diambil oleh pelaku pelanggaran. Penelitian ini
menjelaskan bahwa pelaksanaan perlindungan hak cipta terhadap potret
yang digunakan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemilik atau
pemegang hak cipta dilakukan dengan jalur non litigasi atau secara
29 Skripsi ditulis oleh Ahmad Syahroni Fadhil, Perlindungan Hukum Hak Cipta
Sinematografi Terhadap Kegiatan Download Dan Upload (Telaah Penerapan Undang-undang
Nomor 28 Tahun 2014), Tahun 2018, Program Studi Ilmu Hukum UIN Jakarta. 30 Skripsi ditulis oleh Arizki Dwi Wicaksono, Perlindungan Hukum Bagi Pencipta Karya
Cipta Sinematografi Dalam Film Soekarno (Analisa Putusan Nomor 305 K/Pdt.Sus-HKI/2014),
Tahun 2015, Progam Studi Ilmu Hukum, Universitas Jember.
32
musyawarah dengan membuat kesepakatan atau perjanjian tertulis di atas
materai, disertai dengan ganti rugi.31
Dari semua penelitian yang disebutkan di atas secara tidak langsung
berhubungan dengan skripsi yang diangkat oleh peneliti. Di dalamnya
dibahas perlindungan hukum terhadap hak cipta yang menjadi sengketa
dalam pengadilan. Namun, yang menjadi perbedaan antara skripsi peneliti
dengan skripsi-skripsi di atas adalah objek permasalahannya, yaitu peneliti
fokus membahas kesesuaian isi putusan nomor 53/Pdt.Sus-
HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst, dan pertimbangan hakim dalam sengketa
film Benyamin Kerok terhadap ketentuan hukum nasional yang berlaku di
Indonesia.
31 Jurnal ini ditulis oleh Fajar Alamsyah Akbar, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta
Menurut Pasal 12 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Di Indonesia, Tahun 2016,
JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2.
BAB III
DESKRIPSI PERKARA DALAM PUTUSAN NO 53/Pdt.Sus-
HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst
A. Duduk Perkara
Gugatan Hak Cipta dengan nomor 53/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2018/PN Niaga
Jkt.Pst di Kepaniteraan Pengadilan Niaga dibawah register perkara nomor
53/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst yang telah didaftarkan pada
tanggal 3 november 2018. Gugatan tersebut diajukan oleh Syamsul Fuad
sebagai Penggugat, yang menggugat PT. Falcon Pictures, PT. Max Kreatif
International dan PT. Layar Cipta Karyamas sebagai tergugat I, II, III, serta
Edwar, S.H., Notaris & Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai turut tergugat.
Gugatan ini merupakan gugatan atas dugaan pelanggaran hak cipta, dan tujuan
dari gugatan ini adalah untuk menentukan dan membuktikan apakah terdapat
pelanggaran atas hak cipta yang dimiliki oleh seseorang serta tuntutan ganti
kerugian apabila terbukti terdapat pelanggaran hak cipta.
Gugatan yang diajukan Penggugat di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
sesuai berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta yang termuat dalam Pasal 95
ayat (2) dan ayat (3) menyebutkan bahwa pengadilan yang berwenang
menangani penyelesaian sengketa hak cipta adalah Pengadilan Niaga.
Pengadilan lainnya selain Pengadilan Niaga tidak berwenang menangani
penyelesaian sengketa hak cipta.
R. Soeroso membagi kewenangan mengadili dibagi dalam kekuasaan
kehakiman atribusi, dan kekuasaan kehakiman distribusi. Atribusi kekuasaan
kehakiman adalah kewenangan mutlak, atau juga disebut kompetensi absolut.
Yakni kewenangan badan pengadilan di dalam memeriksa jenis perkara
tertentu dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan lain.1
Oleh karena itu Pengadilan Niaga merupakan bagian dari wewenang absolute
1 R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata, Tata Cara dan Proses Persidangan,
(Jakarta; Sinar Grafika, 2001), h. 7.
33
34
pengadilan dalam memeriksa dan memutus sengketa hak cipta, sesuai
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Hak Cipta.
Distribusi kekuasaan Pengadilan atau apa yang dinamakan kompetensi
relatif, atau kewenangan nisbi ialah bahwa Pengadilan Negeri ditempat
tergugat tinggal (berdomisili) yang berwenang memeriksa gugatan atau
tuntutan hak.2 Kewenangan relatif Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berdasarkan
Pasal 5 Keppres RI No. 97 Tahun 1997 menyatakan bahwa daerah hukum
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Sumatra Selatan, Lampung dan Kalimantan
Barat. Dengan demikian dikarenakan Tergugat berdomisili pada wilayah
hukum DKI Jakarta, maka pengadilan Niaga Jakarta Pusat berwenang
mengadili perkara sengketa hak cipta film Benyamin Biang Kerok.
PT. Falcon Pictures yang posisinya dalam perkara ini sebagai tergugat I
merupakan perusahaan film di Indonesia yang didirikan pada 1 februari 2010
oleh HB Naveen dan Frederica. Saat ini PT. Falcon Pictures menggeluti
produksi film layar lebar, Falcon juga mengambil alih distribusi film dan
membeli hak cipta serta merestorasi film-film lama. Saat ini sudah lebih dari
tiga ratus film menjadi milik perusahaan tersebut, yang meliputi film-film dari
Warkop DKI, Rhoma Irama dan beberapa film legendaris Indonesia lainnya.
PT. Falcon juga memiliki anak perusahaan yaitu PT. Max Pictures yang
posisinya dalam perkara ini sebagai tergugat II.
Dalam gugatannya, Penggugat menjelaskan posisinya dalam pembuatan
ciptaan film bahwa dia adalah sebagai seorang penulis cerita, penulis skenario,
asisten sutradara dan sutradara film layar lebar dengan pemeran utama yang
diperankan oleh alm. H. Benyamin Suaeb. Adapun cerita film yang ditulis oleh
Penggugat di antaranya adalah Benyamin Biang Kerok (1972) dan Biang
Kerok Beruntung pada tahun 1973. Penggugat merasa hak-haknya tidak
terpenuhi, khususnya hak atas ekonominya atas produksi ulang film Benyamin
Biang Kerok yang dirilis pada tanggal 1 Maret 2018 dan Biang Kerok
2 R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata, Tata Cara dan Proses Persidangan, ..., h. 7
35
Beruntung yang dirilis pada bulan Desember 2018 yang dilakukan oleh
Tergugat I dan Tergugat II.
Penggugat sebelumnya tidak pernah diberitahu dan/atau dimintai ijin oleh
tergugat I dan tergugat II mengenai niat atau rencana untuk membuat Film
Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung. Adapun informasi
mengenai dibuatnya film tersebut baru diketahui oleh penggugat dari teman-
temannya sesama wartawan sekitar bulan november 2017. Oleh sebab itu
Penggugat merasa kecewa terkait pembuatan Film Benyamin Biang Kerok dan
Biang Kerok Beruntung dikarenakan adanya hak-hak Penggugat yang
dilanggar dalam proses pembuatan film tersebut.
Adapun mengenai hak Penggugat yang dilanggar dengan adanya perbuatan
hukum oleh para Tergugat dapat dijadikan sebagai dasar pengajuan gugatan
(legal standing) ke Pengadilan. Karena pada prinsipnya istilah standing dapat
diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan atau kelompok/organisasi di
pengadilan sebagai pihak penggugat. Secara konvensional hak gugat hanya
bersumber pada prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (point
d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud
di sini adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan
(propietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami
secara langsung (injury in fact).3
Pada tanggal 23 November 2017 tergugat II mengirimkan surat nomor
413/F.04/XI/2017 perihal Film Benyamin Biang Kerok sebagai tindak lanjut
pertemuan bapak Syamsul Fuad dengan bapak Ody Mulya. Surat tersebut
berisi pesan sebagai berikut: “film berjudul Benyamin Biang Kerok dan Biang
Kerok Beruntung telah beralih kepemilikannya kepada PT. Falcon Pictures
sejak tanggal 21 Oktober 2010. Tergugat telah memperoleh izin dari keluarga
Alm. Benyamin Suaeb untuk melakukan produksi film layar lebar Benyamin.
Tergugat menyiapkan penulisan skenario baru untuk produksi film Benyamin
tersebut. Atas perkenaan Penggugat, sebagai apresiasi Tergugat akan
3 Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 7, Hak Organisasi Lingkungan
(Environmental Legal Standing), (Cetakan I, ICEL: Jakarta, 1997), h. 3-4.
36
mencantumkan nama Penggugat dalam credit title film produksi Max Pictures
dan Falcon Film, yaitu Syamsul Fuad selaku penulis film Benyamin Biang
kerok (1972) dan Biang Kerok Beruntung (1973).”
Sebagai balasan atas surat di atas, Penggugat telah mengirimkan surat pada
tanggal 11 Desember 2017 perihal teguran, tanggapan dan keberatan atas
pembuatan ulang film Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung
produksi tergugat I dan tergugat II. Surat balasan tersebut berisikan pesan
bahwa “Penggugat telah menjelaskan ke bapak Ody, bahwa Penggugat adalah
penulis dan pencipta film Benyamin Biang Kerok (1972) dan Biang Kerok
Beruntung (1973), dan Penggugat mempertegas bahwa tidak pernah menjual
atau menyerahkan hak cipta film-film dimaksud kepada siapapun. Aktor yang
dipilih dan diminta untuk bermain pada kedua film tersebut adalah adalah Alm.
Benyamin Suaeb, dan bukan pemegang hak cipta. Klaim tergugat I dan
tergugat II kepada Penggugat membuatnya merasa terkejut dan kecewa, karena
tidak berdasar Tergugat I dan Tergugat II menyatakan telah membeli kedua
film yang saya ciptakan tersebut kepada keluarga Benyamin Suaeb pada tahun
2010. Sebagai pencipta yang masih hidup Penggugat tidak pernah ditanya
ataupun diberitahukan perihal tersebut. Karenanya, pembelian antara Tergugat
I dan Tergugat II dengan keluarga Alm. Benyamin Suaeb membuat Penggugat
merasa keberatan atas sikap Tergugat I dan Tergugat II tersebut. Hal ini telah
disampaikan oleh Penggugat dalam pertemuan dan pembicaraan dengan bapak
Ody Mulya, bahwa seharusnya dalam membeli kedua film tersebut Tergugat I
dan Tergugat II membelinya dari Penggugat, Sampai sejauh ini komunikasi
saya dengan Tergugat I dan Tergugat II melalui bapak Ody sepertinya tidak
terlalu berjalan dengan baik. Karenanya, apa yang dituntut oleh Penggugat
sebagaimana hak-hak yang dilindungi oleh Undang-Undang, yakni hak moral
dan hak ekonomi sebagai pencipta tidak semuanya terjawab atau ditanggapi
dengan baik oleh para Tergugat justru terkesan mengabaikan hak-hak yang
diminta oleh Penggugat khususnya mengenai hak ekonomi.”
Namun tergugat I dan terugat II tidak memberikan respon sama sekali atas
balasan surat yang berisi tuntutan atau permintaan penggugat, maka dari itu
37
penggugat mengirimkan surat teguran yang kedua dengan nomor
002/SF/XII/2017 tanggal 20 Desember 2017. Surat tersebut ditujukan kepada
tergugat I dan tergugat II yang isinya menyatakan bahwa “Sampai hari ini
tertanggal 20 Desember 2017, tergugat I dan tergugat II tidak menanggapi surat
terdahulu. Hal ini menunjukkan sikap kurang responsif dan terkesan
menyepelekan diri penggugat. Penggugat menyampaikan teguran kedua kepada
tergugat I dan tergugat II agar dalam waktu 7 (tujuh) hari semenjak
diterimanya surat teguran tersebut. Dengan dasar agar dapat menanggapinya
terdahulu serta dapat memenuhi hak penggugat selaku penulis dan pencipta
film Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung khususnya dalam hak
ekonomi terkait pembuatan ulang film dengan judul yang sama yang sedang
tergugat I dan tergugat II buat. Bila ternyata tergugat I dan tergugat II tetap
tidak bergeming dengan teguran ini, maka selaku penulis dan pencipta film asli
Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung penggugat akan
memperjuangkan haknya sesuai hukum yang berlaku.”
Pada tanggal 24 Februari 2018 dalam acara Gala Premiere Benyamin
Biang Kerok di CGV, penggugat mengetahui film Biang kerok Beruntung akan
ditayangkan pada bulan Desember 2018 sebagai cerita lanjutan/ sekuel film
Benyamin Biang Kerok. Hal ini terlihat dengan adanya cuplikan adegan cerita
film Biang Kerok Beruntung setelah film Benyamin Biang Kerok habis.
B. Petitum Penggugat
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka pada tanggal 3
November 2018, Penggugat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat dengan nomor register 53/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2018/PN Niaga
Jkt.Pst. Dengan poin petitum diantaranya adalah menyatakan penggugat adalah
pencipta dan/atau pemegang hak cipta atas cerita film Benyamin Biang Kerok
dan Biang Kerok Beruntung, menyatakan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III,
dan Turut Tergugat telah melakukan pelanggaran hak cipta atas cerita film
Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung. Syarat-syarat yang dapat
dikatakan melanggar hukum tersebut ialah harus ada perbuatan. Yang
38
dimaksud dengan perbuatan ini, baik yang bersifat positif maupun yang
bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat.syarat
selanjutnya yaitu bahwa Perbuatan itu harus melawan hukum, adanya kerugian
adanya adanya hubungan hukum akibat perbuatan melawan hukum tersebut
dengan kerugian.
Petitum Penggugat selanjutnya adalah menyatakan batal perjanjian jual
beli dan pengalihan hak atas film antara tergugat I dan tergugat III pada tanggal
21 Oktober 2010 sepanjang yang terkait dengan film Benyamin Biang Kerok
dan Biang Kerok Beruntung. Petitum Penggugat menyatakan batal Akta yang
dibuat oleh turut tergugat yaitu akta nomor 16 tanggal 21 September 2015.
Penuntutan pembatalan perjanjian yang diajukan Penggugat dilakukan
melalui pengadilan sehingga yang membatalkan perjanjian adalah melalui
putusan hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 KUHPer. Menurut Subekti,
pembatalan perjanjian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara aktif,
yaitu langsung dengan menuntut pembatalan di muka hakim atau dengan cara
pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi
perjanjian dan baru mengajukan alasan mengenai kekurangan perjanjian itu.4
Syarat perjanjian mengenai subjektifitas seperti kecakapan dan dan
kesepakatan semua pihak dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai
subyek yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat subyektif tidak dipenuhi
maka perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang
tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Hak untuk
meminta pembatalan ini dibatasi dalam waktu 5 tahun (1454 BW).
Pada poin petitum selanjutnya, Penggugat meminta Majelis Hakim
menghukum terugat I, tergugat II, tergugat III, dan turut tergugat untuk
membayar ganti rugi materil secara tanggung renteng kepada penggugat
sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) untuk harga penjualan hak
cipta atas cerita film Benyamin Biang Kerok yang diinginkan penggugat
sebagai pencipta dan atau pemegang hak-cipta. Serta Rp. 1.000.000.000,- (satu
4 P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Djambatan: Jakarta,
2007), h. 347.
39
milyar rupiah) untuk harga penjualan hak cipta atas cerita film Biang Kerok
Beruntung yang diinginkan penggugat sebagai pencipta dan/ atau pemegang
hak cipta.
Petitum dari Penggugat yang meminta ganti kerugian tersebut berkaitan
dengan dalil atau posita Penggugat yang menyatakan terdapat pelanggaran hak
cipta terhadap pengalihan hak cipta yang telah dilakukan oleh para Tergugat.
Dalil yang digunakan Penggugat adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa : "Tiap perbuatan melanggar
hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena kesalahan menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut"
Penggugat dalam petitum setidaknya memberikan kalkulasi atas kerugian
yang diderita selama reproduksi film oleh para Tergugat sampai dengan
publikasi film secara massal yang telah diputarkan di banyak bioskop. Pada
intinya Penggugat menginginkan Majelis Hakim untuk menetapkan bahwa
Penggugat berhak atas royalti penjualan tiket film Benyamin Biang Kerok dan
Biang Kerok Beruntung yang diproduksi oleh Tegugat I dan Tergugat II
sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah) per tiket, memerintahkan tergugat I dan
tergugat II untuk memberikan laporan pemasukan tiket atas penayangan film
Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung kepada Penggugat
dihitung pemasukan tiket sejak hari pertama penayangan sampai dengan hari
terakhir penayangan di bioskop.
Pada akhir petitum, penggugat meminta kepada Majelis Hakim untuk
menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, dan Turut Tergugat
membayar ganti rugi immateril secara tanggung renteng kepada Penggugat.
Ganti rugi yang di inginkan penggugat sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh
milyar rupiah) yang mencakup kerugian akan hak moral sebagai pencipta
dan/atau pemegang hak cipta yang seharusnya dihargai hasil ciptaannya oleh
tergugat I, tergugat II, tergugat III, dan turut tergugat.
Petitum dari Penggugat yang meminta ganti kerugian tersebut berkaitan
dengan dalil atau posita Penggugat yang menyatakan terdapat pelanggaran hak
cipta terhadap pengalihan hak cipta yang telah dilakukan oleh para Tergugat.
40
Dalil yang digunakan Penggugat adalah Pasal 1365 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa : "Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan
menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut"
BAB IV
HAK CIPTA FILM BENYAMIN BIANG KEROK
A. Putusan dan Pertimbangan Hakim dalam Sengketa Film Benyamin
Biang Kerok Pada Putusan Nomor 53/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2018/PN
Niaga Jkt.Pst
1. Putusan Hakim Terhadap Gugatan Penggugat
Untuk memberikan putusan yang memenuhi rasa keadilan, Hakim
dalam membuat putusan tidak hanya melihat kepada hukum (system
denken) tetapi juga harus bertanya pada hati nurani dengan cara
memperhatikan keadilan dan kemanfaatan ketika putusan itu telah
dijatuhkan.1 Pada sengketa hak cipta film Benyamin Biang Kerok hakim
memiliki pertimbangan hukum yang harus memenuhi rasa keadilan
untuk memutus perkara tersebut.
Dalam sidang musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada hari Jumat tanggal 29 Maret 2019
oleh, Robert,S.H, M.Hum., sebagai Hakim Ketua, Endah Detty Pertiwi,
S.H, M.H., dan Tafsir Sembiring Meliala S.H.,M.Hum., masing-masing
sebagai Hakim Anggota menetapkan dan membacakan hasil putusan
dalam persidangan terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh Kuasa
Hukum Penggugat dan Kuasa Hukum Para Tergugat, tanpa dihadiri oleh
Turut Tergugat. Dikarenakan Turut Tergugat bukanlah pemegang objek
yang menjadi sengketa, ketikhadiran Turut Tergugat tidak menjadi
penghalang dalam memutuskan suatu perkara, karenan nantinya Turut
Tergugat hanya melaksanakan isi dari putusan hakim.
Berdasarkan berbagai pertimbangan hukum dan bukti-bukti yang
dipaparkan dalam persidangan, maka Majelis Hakim memutuskan
menolak eksepsi Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III serta Turut
Tergugat seluruhnya. Dalam pokok perkara Majelis Hakim memutuskan
1 HM. Soerya Respationo, Putusan Hakim: Menuju Rasionalitas Hukum Refleksi dalam
Penegakan Hukum Jurnal Hukum Yustisia. No.86 Th. XXII Mei-Agustus 2013, (Surakarta:
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta), h. 43.
41
42
menolak gugatan Penggugat Syamsul Fuad untuk seluruhnya, serta
menghukum Penggugat dalam Konpensi/ Tergugat dalam Rekonpensi
untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 3.116.000,00 (Tiga juta
seratus enam belas ribu rupiah). Dari hasil putusan tersebut maka pihak
yang dinyatakan kalah adalah pihak Syamsul Fuad sebagai Penggugat
dalam Konpensi/ Tergugat dalam Rekonpensi dalam persidangan
sengketa film Benyamin Biang Kerok antara melawan PT. Falcon
Pictures, PT. Max Kreatif International (Max Pictures) dan PT. Layar
Cipta Karya Mas Film sebagai pihak Tergugat dalam konpensi/
Penggugat dalam Rekonpensi.
Dengan putusan tersebut, majelis hakim hanya mengakui dan
mempetahankan hak moral yang melekat pada diri Penggugat sebagai
penulis cerita film. Dengan arti lain akta jual beli atau pengalihan hak
cipta tersebut dinyatakan sah berdasarkan hukum di mana Tergugat I lah
sebagai pemegang hak cipta dari kedua film tersebut.
2. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan
Secara yuridis Majelis Hakim dalam pertimbangannya
menyebutkan pasal 1 butir 2 Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Cipta yang berbunyi, pencipta adalah seorang atau beberapa
orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu
ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Majelis Hakim juga dalam
pertimbangannya menyebutkan pengertian pemegang hak cipta
berdasarkan pasal 1 butir 4 Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2014
adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, pihak yang menerima hak
tersebut secara sah dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih
lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.
Secara sosiologis, pada pertimbangannya hakim mendalilkan
Penggugat sebagai penulis cerita film pada tahun 1972 terhadap film
Benyamin Biang Kerok dan tahun 1973 terhadap film Biang Kerok
Beruntung. Akan tetapi PT. Harapan Film Corp dan PT. Bandung Permai
Film Production adalah pemegang hak cipta atas kedua film tersebut.
43
Majelis Hakim dalam pertimbangannya mendalilkan penggugat
adalah penulis cerita asli film Benyamin Biang Kerok, namun pemegang
hak ciptanya berada pada PT Harapan Film Corp dan PT Bandung
Permai Film Production sebagai pihak yang memproduksi dan
membiayai kedua film tersebut. Atas dasar pertimbangan Majelis Hakim
terhadap Penulis, maka Penggugat adalah Pencipta yang merupakan
pemegang hak moral sebagaimana dimaksud pada pasal 5 butir a
Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Para
Tergugat tetap mencantumkan namanya dalam tayangan kedua film
tersebut sebagai penulis cerita kedua film tersebut, sedangkan hak
ekonominya berada di tangan PT. Harapan Film Corp dan PT. Bandung
Permai Film Production sebagai pihak yang membiayai dan
memproduksi film-film tersebut.
Dengan dinyatakan di dalam pertimbangan hakim, kedua
perusahaan tersebut adalah pemegang hak ekonomi sehingga berdasarkan
bukti surat yang disuguhkan oleh Tergugat dalam persidangan yaitu
adanya pelimpahan hak, akta penyimpanan kepada pihak lain yang
dilakukan Tergugat I kepada Tergugat III adalah sesuai dengan unsur-
unsur perjanjian yang diakui menurut KUHPerdata. Oleh karena itu,
Tergugat I merupakan pemegang hak ekonomi terhadap kedua film
tersebut sebagaimana telah ditegaskan dan dicatatkan pada menteri
Hukum dan HAM Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual yang
diumumkan pada tanggal 1 Juni 1973 dan 20 April 1972, nomor dan
tanggal pendaftaran masing-masing yaitu EC00201800553 tertanggal 17
Januari 2018 terhadap judul Benyamin Biang Kerok dan
EC00201800547 tertanggal 17 Januari 2018 terhadap judul ciptaan Biang
Kerok Beruntung yang menyebutkan pemegang hak cipta berada pada
Tergugat 1 yaitu PT. Falcon Pictures.
44
B. Analisis Putusan Hakim dan Dasar Pertimbangan Hakim Pada Putusan
Nomor 53/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst
1. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Pengakuan Hak Moral
Penggugat
Hak cipta secara otomatis wajib diakui dan dilindungi setelah ciptaan
tersebut telah diwujudkan dalam bentuk nyata dan dipublikasikan. Atas
dasar konsep pengakuan hak cipta tersebut secara deklaratif, bukan berarti
mengurangi dan menghalangi hak seseorang untuk mendaftarkan ciptaan
tersebut. Meski pendaftaran atas ciptaan bukanlah suatu kewajiban, namun
hal tersebut dapat berguna bagi pencipta karena dapat digunakan sebagai
bukti apabila timbul sengketa dengan pihak ketiga.
Berdasarkan pertimbangan hakim dalam putusannya, hakim
mengakui Penggugat sebagai penulis cerita berdasarkan bukti dan dalam
kesaksiannya yang menyatakan bahwa Penggugat terlibat dalam
pembuatan film sebagai penulis cerita, penulis skenario, sekaligus asisten
sutrada dalam film Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung
pada tahun 1972 dan 1973. Pertimbangan hakim tersebut semakin
meyakinkan karena pengakuan Penggugat sebagai pnulis cerita film tidak
dibantah oleh para pihak Tergugat, maka berdasarkan pengakuan dari
Tergugat tersebut, hakim dalam pertimbangannya mengakui Penggugat
sebagi Pencipta dari kedua film tersebut.
Dalam pertimbangan hakim lainnya hakim mendalilkan bahwa
dengan Penggugat sebagai penulis cerita kedua film tersebut maka
Penggugat memiliki hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
butir a Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Dengan begitu mewajibkan Tergugat yang memproduksi ulang film
tersebut untuk mencantumkan nama Pencipta dalam film tersebut.
Pertimbangan hakim tersebut sudah sesuai dengan konsep
pengakuan atas hak-hak yang berhak didapat oleh Pencipta khususnya
dalam konteks hak moral. Berkaitan dengan hak moral, dapat dikonstatir
45
bahwa ada tiga basis hak moral:2(1) The right of publication; is the right to
decide wether the work is to be made public. Hak ini menjelaskan bahwa
hanya pencipta yang berhak menentukan dalam bentuk apa dan dimanakah
karyanya akan dipublikasikan, (2) The right of paternity; is the right of the
author to safeguard his reputation by preserving the integrity of the work.
Hak ini berkaitan dengan penerbitan suatu ciptaan atau karya, yang dapat
dibagi kembali menjadi tiga hak yaitu, hak menuntut pencantuman nama
pencipta pada hasil perbanyakan karya untuk selamanya, hak mencegah
orang lain menyebut dirinya sebagai pencipta, dan hak mencegah
pengunaan atau pencantuman namanya pada karya orang lain, (3) the right
of integrity, hak pencipta untuk mengubah karyanya dan melarang orang
lain untuk memodifikasi karyanya. Dengan kata lain, hak ini mencegah
orang lain untuk melakukan pendistorsian terhadap karya si pencipta.
Berkenaan dengan hak moral dalam konfigurasi hukum mencakup
dua hal besar, yaitu hak paterniti (right of paternity) yang esensinya
mewajibkan nama pencipta disebut atau dicantumkan dalam ciptaan. Hak
ini juga berlaku sebaliknya, yaitu meminta untuk tidak dicantumkan
namanya atau dipertahankan penggunaan nama samarannya. Hak lainnya
dikenal dengan right of integrity, yang menyangkut segala bentuk sikap
dan perlakuan yang terkait dengan integritas atau martabat Pencipta.
Dalam pelaksanaanya hak tersebut diekspresikan dalam bentuk larangan
untuk mengubah, mengurangi atau merusak ciptaannya yang dapat
menghancurkan integritasnya.3 Maka dari itu pertimbangan dan putusan
hakim dalam menjamin hak moral Penggugat telah sesuai dengan konsep
perlindungan hak cipta.
Jika ditinjau dari segi pertimbangan Hakim yang memberikan
Penggugat sebagai pemegang hak moral pun sebenarnya telah
dicantumkan dalam kedua film yang disengketakan tersebut sebagai
bentuk apresiasi atas karyanya sebagai penulis cerita dari kedua film
2Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia (Bandung, PT.Alumni, 2008), h.70 3 H. OK. Saidin 2, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,…, h. 252.
46
tersebut. Dalam Pasal 31 UUHC diatur ketentuan lebih lanjut mengenai
Pencipta. Berdasarkan Pasal tersebut menyatakan, kecuali terbukti
sebaliknya, yang dianggap sebagai pencipta, yaitu orang yang namanya
disebut dalam ciptaan, dinyataan pencipta dalam suatu ciptaan, disebutkan
dalam surat pencatatan ciptaan, dan/atau, tercantum dalam daftar umum
ciptaan sebagai pencipta. Dengan demikian, pencantuman nama Penggugat
dalam film tersebut telah merefleksikan bahwa Penggugat diakui sebagai
pencipta atas kedua film tersebut.
Berdasarkan Pasal 57 ayat (1) UUHC, jangka waktu perlindungan
hak moral yang berhubungan dengan hak atribusi seperti pencantuman
nama atau nama samaran pada ciptaannya, mempertahankan haknya dalam
hal terjadi distorsi ciptaan ̧mutilasi ciptaan, atau hal lain yang merugikan
reputasinya berlaku tanpa batas waktu. Sedangkan untuk hak moral yang
berkaitan dengan hak integritas seperti mengubah ciptaan sesuai dengan
kepatutan di masyarakat atau mengubah judul berlaku selama
berlangsungnya jangka waktu hak cipta atas ciptaan yang bersangkutan
berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Berdasarkan pasal
tersebut, maka hakim wajib memberikan perlindungan hak moral dalam
putusannya.
Undang-Undang pun memberikan perlindungan kepada pencipta
yang mana hak moral yang melekat pada dirinya tidak dapat dialihkan
sesuai yang ditegaskan dalam pasal 4 ayat (2) UUHC menyatakan:
“Hak Moral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
dialihkan selama Pencipta masih hidup, tetapi pelaksanaan hak
tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan setelah Pencipta meninggal
dunia.”
Dalam pertimbangan hakim selanjutnya, hakim memberikan
penjelasan atau definisi yang dimaksud dengan pencipta dan pemegang
hak cipta berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pertimbangan hakim secara yuridis tersebut berkaitan dengan definisi
pencipta dan pemegang hak cipta berdasarkan undang-undang serta
47
berlandaskan pada fakta atau hubungan hukum antara kedua belah pihak
yang bersengketa.
Jika diteliti secara yuridis, terdapat perbedaan dalam upaya untuk
mengklasifikasikan seseorang dapat dikatakan sebagai pencipta atau
pemegang hak cipta. Terdapat pengecualian dan syarat-syarat untuk
menentukan seseorang dapat dikategorikan sebagai pencipta yang dimuat
dan dirumuskan dalam UUHC. Berdasarkan penafsiran rumusan pasal
dalam UUHC, Pencipta belum tentu sebagai pemegang hak cipta, namun
pemegang hak cipta bisa juga merupakan sebagai Pencipta.
Hakim dalam pertimbangannya menyatakan Penggugat merupakan
sebagai pencipta yang memiliki hak moral atas film yang diproduksi.
Namun dalam konteks pembuatan film, produser yang berasal dari rumah
produksilah yang cenderung lebih kuat kedudukannya sebagai pencipta,
walaupun dalam hukum kebiasaan di Indonesia mengenai proses produksi
film tidak menghilangkan hak penulis cerita sebagai pencipta atas suatu
film.
Ketentuan yang menguatkan pernyataan di atas terdapat dalam Pasal
34 UUHC yang menyatakan bahwa:
“Dalam hal ciptaan dirancang oleh seseorang dan diwujudkan serta
dikerjakan oleh orang di bawah pimpinan dan pengawasan orang
yang merancang, yang dianggap pencipta adalah orang yang
merancang ciptaan.”
Merancang ciptaan yang dimaksud adalah seseorang yang
merancang dan menyelesaikan suatu ciptaan dari bagian film seperti
mencari ide cerita, rancangan pemasaran film, sampai dengan bertanggung
jawab terhadap para pemeran film, dan proses lainnya. Merefleksi dari
rumusan pasal di atas, dalam hal ini produser film merupakan orang yang
bertugas menuangkan ide cerita, memimpin dan mengawasi segala hal
yang berkaitan dengan jalannya proses pembuatan film sehingga ia disebut
sebagai perancang ciptaan.
Berkaitan dengan peran produser, pada umum produser film
(production house) memiliki tugas dan tanggung jawab sedikitnya untuk
48
mencari dan mendapatkan ide cerita untuk produksi, membuat proposal
produksi berdasarkan ide atau skenario film, menyusun rancangan
produksi, menyusun rencana pemasaran, mengupayakan anggaran-dana
untuk produksi. Selain itu, produser juga mempunyai tugas untuk
mengawasi pelaksanaan produksi melalui laporan yang diterima dari
semua departemen, bertanggung jawab atas kontrak kerja secara hukum
dengan berbagai pihak dalam produksi yang dikelola, dan Bertanggung
jawab atas seluruh produksi.
Jika berdasarkan ketentuan dalam Pasal 34 UUHC, dalam hal ini
menurut hakim, Penggugat dikategorikan bukan sebagai pencipta utama,
namun ia hanya membuat cerita yang merupakan salah satu bagian dari
keseluruhan aktivitas produksi film dan peran Penggugat hanya sebatas
mengerjakan dan mewujudkan rancangan film yang dirancang oleh
produser di bawah pimpinan dan pengawasan produser. Peran Penggugat
bukan sebagai pencipta tunggal, namun ia ditugaskan oleh produser dalam
satu hubungan kerja untuk menulis cerita. Atas dasar tersebut produser
film dari rumah produksi (production house) dikategorikan sebagai
pencipta.
Dalam pertimbangan hakim lainnya, hakim memberikan definisi
pencipta berdasarkan undang-undang hak cipta yang mana ditegaskan
bahwa Pencipta adalah secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
menghasilkan suatu ciptaan yang khas atau pribadi. Mengacu pada
pertimbangan hakim tersebut telah sesuai jika dikaitkan dengan Pasal 33
ayat (1) UUHC yang menyatakan bahwa dalam hal ciptaan terdiri atas
beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang
dianggap sebagai pencipta ialah orang yang memimpin dan mengawasi
penyelesaian seluruh ciptaan. Dalam ayat (2) nya ditegaskan apabila yang
memimpin dan mengawasi seluruh ciptaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak ada, maka yang dianggap sebagai pencipta adalah orang
yang menghimpun ciptaan dengan tidak mengurangi hak cipta masing-
masing atas bagian ciptaannya. Dengan begitu rumusan dalam Pasal 33
49
ayat (1) lebih tepat untuk digunakan dalam menentukan siapa yang disebut
sebagai pencipta jika dikaitkan dengan pembuatan suatu film. Pasal
tersebut menggambarkan kondisi dan posisi beberapa pencipta yang
terlibat di dalamnya. Dalam pembuatan film ada posisi produser sebagai
orang yang memimpin dan mengawasi setiap proses pembuatan film,
namun tidak mengurangi atau menghilangkan hak cipta masing-masing
yang dimiliki oleh peran lain seperti sutradara, penulis cerita dan lain
sebagainya.
Menurut peneliti dalam pertimbangan hakim yang menyangkut hak
moral bukan hanya Penggugat yang memiliki hak tersebut, pelaku
pertunjukan pun memiliki hak moral yang melekat walaupun film tersebut
telah dialihkan. Dalam hal ini pihak Tergugat telah melakukan tindakan
yang tepat dengan telah meminta izin kepada keluarga alm. Benyamin
(surat nomor 413/F.04/XI/2017/ tanggal 23 November 2017).
Sebagaimana diketahui kala itu alm. Benyamin Suhaib dipilih menjadi
aktor dalam film Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung.
Permintaan izin yang dilakukan oleh pihak tergugat kepada ahli waris
Benyamin untuk mengubah skenario dalam produksi film layar lebar yang
terbaru.
Dalam pertimbangan hakim yang mendalilkan bahwa film tersebut
telah dialihkan kepemilikannya oleh pemegang hak cipta yang lama (PT.
Karyacipta Mas) kepada pemegang hak cipta yang baru (Falcon Pictures)
berdasarkan pada perjanjian hukum. Perjanjian tersebut memang diakui
sah secara hukum dan lazim digunakan dalam industri perfilman. Mengacu
pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 menegaskan hak
cipta dapat beralih atau dialihkan kepada pemegang hak cipta dengan cara
pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis atau sebab lain yang
dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Cara pengalihan hak cipta yang paling sering digunakan adalah
melalui perjanjian tertulis. Ada dua cara pengalihan hak cipta khususnya
hak ekonomi melalui perjanjian tertulis yang dikenal dalam praktik, yang
50
pertama adalah pengalihan hak cipta dari pencipta kepada pemegang hak
cipta dalam bentuk assignment (overdracht) atau dapat diartikan dengan
istilah penyerahan yang menyebabkan kepemilikan hak cipta berpindah
seluruhnya dan selama-lamanya kepada pihak yang mendapat penyerahan
tersebut. Sedangkan cara kedua adalah dengan memberikan izin atau
lisensi berdasarkan suatu perjanjian yang mencantumkan hak-hak
pemegang hak cipta dalam jangka waktu tertentu untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tertentu dalam kerangka eksploitasi ciptaan yang hak
ciptanya tetap dimiliki oleh pencipta.4
Gugatan yang ditolak oleh majelis hakim, membuat Penggugat
hanya mempunyai hak moral atas ciptaan film tersebut. Hak moral adalah
hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta. Menurut konsep
kontinental, hak pengarang (droit d’aueteur, author rights) terbagi menjadi
hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi
seperti uang, dan hak moral yang menyangkut perlindungan atas reputasi
si Pencipta.5
Dalam putusannya, hakim memutuskan untuk menolak seluruhnya
gugatan dari penggugat. Dalam pertimbangannya, hakim beranggapan
berdasarkan atas pengakuan Penggugat yang mengatakan bahwa
Penggugat adalah sebagai penulis cerita, penulis skenario, dan asisten
sutradara, dan diakui oleh pihak lawan (Tergugat), maka dari itu
penggugat memiliki status sebagai Pencipta atas ciptaannya masing-
masing dari kedua film tersebut dan dalam hal ini Penggugat memiliki hak
moral atas kedua film tersebut.
Terhadap pelanggaran hak moral, sekalipun hak cipta itu telah
dialihkan seluruhnya kepada pihak lain hal itu tidak mengurangi hak
pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat setiap orang setiap orang
yang dengan sengaja dan tanpa hak dan tanpa persetujuan pencipta yang
melanggar hak moral pencipta. Perihal mengenai pencantuman nama
4 Eddy Damian, Hukum Hak Cipta (Bandung, PT. Alumni, 2009) h. 113. 5 Etty Susilowati, Hak Kekayaan Intelektual dan Lisensi pada HKI, (2013, Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro), h. 53.
51
pencipta meskipun haknya sudah diserahkan atau dialihkan kepada pihak
lain atau telah berakhir masa berlakunya hak tersebut, namun nama
pencipta harus tetap dicantumkan dalam karyanya. Hak moral pelaku
pertunjukan meliputi hak untuk namanya dicantumkan sebagai pelaku
pertunjukan, kecuali disetujui sebaliknya; dan tidak dilakukannya distorsi
ciptaan, mutilasi ciptaan, atau hal-hal yang bersifat merugikan kehormatan
diri atau reputasinya kecuali disetujui sebaliknya.
Secara filosofis, meskipun hak ekonomi atas ciptaannya telah
hilang karena telah dialihkan oleh pemegang hak cipta, namun hak moral
atas ciptaannya tetap perlu dilindungi. Robert M. Sherwood
mengemukakan adanya teori penghargaan (reward theory) yang
menjelaskan bahwa pengakuan terhadap karya intelektual yang telah
dihasilkan oleh seseorang, sehingga kepada Pencipta harus diberikan
penghargaan sebagai imbangan atas upaya kreativitasnya dalam
menciptakan karya intelektual tersebut.6 Teori penghargaan sejalan
dengan prinsip yang menyatakan bahwa Pencipta yang telah
mengeluarkan waktu, biaya, serta tenaga dalam menghasilkan karya
intelektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya
tersebut yang dikenal dengan teori perbaikan (recovery theory).
Pada pertimbangannya hakim memberikan perlindungan hak moral
atas ciptaan film kepada penggugat adalah sebagai bentuk penghormatan
dan jaminan oleh Negara terhadap kekayaan intelektual. Suyud Margono
mengemukakan bahwa hal yang paling mendasar bagi perlindungan hak
atas kekayaan intelektual adalah bahwa seseorang yang telah
mencurahkan usahanya untuk menciptakan/menemukan sesuatu
selanjutnya mempunyai hak alamiah/dasar untuk memiliki dan
mengontrol apa-apa yang telah diciptakannya. Pemahaman ini
menyiratkan kewajaran dan keadilan, maka akan tampak tidak wajar dan
6 Muhammad Syaifuddin dan Sri Handayani, Relasi Hukum, Moral, dan Hak Kekayaan
Intelektual (Analisis Kontroversi Hukum dan Moral Rekayasa Genetika Makhluk Hidup di
Indonesia) Jurnal Dinamika Hukum, Volume 14, No. 1, Januari 2011, h.5.
52
tidak adil apabila mencuri usaha seseorang tanpa meminta izin terlebih
dahulu.7
Dengan pertimbangan hakim yang diakuinya Penggugat sebagai
pencipta yang memiliki hak moral merupakan refleksitas atas hak yang
timbul secara otomatis atas ciptaannya dan sebagai bentuk hak alamiah
yang secara intrinsik (inheren) yang ada sejak manusia lahir, sehingga
hak kekayaan intelektual dalam hal ini hak moral yang dimiliki
Penggugat merupakan bagian dari hak asasi manusia (human rights).
Begitupun dengan doktrin hukum kodrat yang dikemukakan John Locke
mampu melahirkan hak moral yaitu hak pribadi yang dimiliki oleh
seseorang pencipta ataupun penemu untuk mencegah terjadinya
penyimpangan atas karya ciptanya ataupun temuannya dan untuk
mendapatkan penghormatan atau penghargaan atas karya tersebut.
Hak Cipta yang telah memberikan perlindungan hak cipta kepada
setiap pencipta dalam bentuk hak eksklusif yang berlaku selama jangka
waktu tertentu untuk memperbanyak dan atau mengumumkan ciptaannya.
Hukum mengatur demikian karena negara berpandangan bahwa setiap
pencipta telah memberikan kontribusi kepada masyarakat melalui karya-
karya mereka di bidang seni, sastra atau ilmu pengetahuan sehingga
mereka layak mendapatkan penghargaan berupa hak eksklusif tadi.
Berdasarkan pertimbangan dan putusan hakim yang memutuskan
untuk mempertahankan hak moral kepada Penggugat sebagai pencipta
selaras dengan 4 (empat) prinsip kekayaan intelektual di antaranya
adalah8 pertama, prinsip keadilan (the principle of natural justice)
berdasarkan prinsip ini, hukum memberikan perlindungan kepada
pencipta berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka
kepentingan yang disebut hak. Pencipta yang menghasilkan suatu karya
7 Suyud Margono dan Longginus Hadi, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek,
Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2002, hlm.4. 8 Fajrin Falakhi Ardin, Tinjauan Yuridis Hak-Hak Pengarang Dalam Penerbitan Buku
Berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ( Studi Kasus Surat
Perjanjian Penerbitan No.02/AI-LEGAL/II/2018 Di CV. Aneka Ilmu Kabupaten Demak),
Semarang:Skripsi,UNS,2016,h.16-17.
53
berdasarkan kemampuan intelektualnya wajar jika diakui hasil karyanya.
Kedua, prinsip ekonomi (the economic argument) berdasarkan prinsip
ini, kekayaan intelektual memiliki manfaat dan nilai ekonomi serta
berguna bagi kehidupan manusia. Nilai ekonomi pada kekayaan
intelektual merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Pencipta
mendapatkan keuntungan dari kepemilikan terhadap karyanya seperti
dalam bentuk pembayaran royalti terhadap hasil ciptaannya. Ketiga,
prinsip kebudayaan (the cultural argument) berdasarkan prinsip ini,
pengakuan atas kreasi karya sastra dari hasil ciptaan manusia diharapkan
mampu membangkitkan semangat dan minat untuk melahirkan ciptaan
baru. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra sangat berguna bagi peningkatan taraf
kehidupan, peradaban dan martabat manusia. Selain itu, kekayaan
intelektual juga akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, bangsa,
dan Negara. Keempat, prinsip sosial (the social argument) berdasarkan
prinsip ini, sistem kekayaan intelektual memberikan perlindungan kepada
pencipta tidak hanya untuk memenuhi kepentingan individu dan
masyarakat. Bentuk keseimbangan ini dapat dilihat pada ketentuan fungsi
sosial dan lisensi wajib dalam Undang-Undang Hak Cipta.
Atas dasar pertimbangan hakim yang hanya menetapkan hak moral
dari Penggugat atas ciptaan film, maka perlindungan Hak Cipta sangat
dibutuhkan dalam rangka untuk memberikan insentif dan meningkatkan
penghargaan terhadap karya cipta bagi pencipta untuk lebih termotivasi
dalam menghasilkan karya-karya ciptanya. Dengan adanya gairah untuk
mencipta maka diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dan juga guna memberikan persaingan dalam menyalurkan ide kreatif
yang diciptakan oleh masyarakat dan juga agar masyarakat merasa
tenang dan terjamin karyanya dapat dilindungi dan mendapatkan hak
ekonomi dan/atau hak moral.
Dengan adanya pengakuan hak moral Pencipta sebagai bentuk
pencegahan timbulnya eksploitasi secara ekonomi dari suatu ciptaan
54
dengan maraknya penjiplakan serta pengubahan karya oleh orang yang
tidak bertanggungjawab tanpa seizin pencipta. Fungsi sosial hak cipta
juga memberi kesempatan atau pengecualian kepada masyarakat luas
untuk memanfaatkan ciptaan itu guna kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan, bahan pemecahan masalah, pembelaan perkara di
pengadilan, bahan ceramah dengan menyebutkan sumbernya secara
lengkap. Pembatasan penggunaan hak cipta tersebut adalah sebagai
upaya keseimbangan hak antara pencipta dengan kepentingan
masyarakat. Artinya, penggunaan hak cipta oleh pencipta diharapkan
akan mewujudkan pula keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Menurut peneliti atas dasar fakta hukum, peristiwa hukum atau
posisi Penggugat sebagai penulis cerita, maka pertimbangan hakim
hakikatnya selaras dengan apa yang diatur pada Pasal 5 Undang-Undang
Hak Cipta yang mewajibkan untuk melindungi hak-hak yang dimiliki
pencipta seperti hak untuk tetap dicantumkan namanya dalam ciptaan
film tersebut, berhak untuk mengubah ciptaannya maupun
mempertahankan ciptaannya manakala terdapat distorsi atau
pemutarbalikkan isi cerita sebenarnya dan lain sebagainya.
2. Analisis Putusan Pengadilan Memberikan Hak Ekonomi Kepada
Tergugat
Film sebagai karya seni merupakan objek hak cipta yang wajib
dilindungi oleh negara dengan diatur dalam undang-undang. Dalam hal
produksi film, rumah produksi film selaku pemegang hak cipta atas karya
film mempunyai hak eksklusif yaitu hak untuk memonopoli atas karya
ciptaanya dalam rangka melindungi karya ciptanya dari pihak lain seperti
hak untuk mengumumkan dan memperbanyak karya ciptannya atau
memberikan izin kepada orang lain untuk mendapat keuntungan secara
ekonomis yang sering disebut dengan hak ekonomi.
Pada dasarnya hak eksklusif pada hak cipta timbul secara otomatis
terhitung sejak suatu ciptaan tersebut dilahirkan atau berwujud. Suatu
ciptaan dikatakan telah dilahirkan atau berwujud jika ciptaan tersebut telah
55
dapat dilihat secara kasat mata atau dapat didengar. Sejak saat itu
penciptaatau pemegang hak telah memiliki hak eksklusif atas ciptaanya
tanpamemerlukan pendaftaranhak secara formal.9
Hak ekonomi dapat juga diberi istilah dengan financial right adalah
hak yang dimiliki oleh seorang pencipta untuk mendapatkan keuntungan
atas ciptaannya. Hak ekonomi ini pada setiap Undang-Undang Hak Cipta
selalu berbeda, baik terminologinya, jenis hak yang meliputinya, maupun
ruang lingkup dari tiap jenis hak ekonomi tersebut. Secara umum setiap
negara minimal mengenal dan mengatur hak ekonomi tersebut meliputi
jenis hak,10 yaitu hak reproduksi atau penggandaan (reproduction right),
hak adaptasi (adaptation right), hak distribusi (distribution right), hak
pertunjukan (public performance right), hak penyiaran (broadcasting
right), hak program kabel (cablesting right), dan hak pinjam masyarakat.
Film tidak dimaknai sebagai hanya sebagai ekspresi seni pencipta,
tetapi melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen-
elemen pendukung proses produksi, distribusi, maupun eksibisnya. Bahkan
perspektif ini mengasumsikan interaksi antara film dengan ideologi
kebudayaan di mana film diproduksi dan dikonsumsi. Sehingga film
menjadi objek perlindungan hak cipta yang oleh karena itu pihak-pihak
yang terlibat dalam film dilindungi hak-haknya dalam Undang-Undang
Hak Cipta.
Alasan mendasar perlindungan terhadap hak cipta adalah untuk
mengakui pemberian hak terhadap hak cipta yang berasal dari kemampuan
intelektual seseorang atas perwujudan alter-ego nya (refleksi
kepribadiannya), atau perwujudan kualitas rasa, karsa, dan daya nalarnya.
Semakin banyak dan berkualitas ciptaan yang didapatkan oleh seseorang
akan memberi nilai tambah terhadap martabat (dignity) dan keuntungan
ekonomi bagi dirinya.
9Ras Elyta Ginting, Hukum Hak Cipta Indonesia (Analisis Teori dan Praktik), (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2012), h. 64. 10Muhammad Djumhana dan Djubaedillah, Hak Milik Intelektual, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2014), h.79 .
56
Pemilikan (ownership) merupakan suatu lembaga sosial dan hukum
yang selalu terikat dengan dua hal, yaitu pemilik (owner) dan suatu benda
yang dimiliki (something owned). Apabila konsep hak milik dan kekayaan
dikaitkan dengan konsep tentang hak, maka dalam hukum dikenal hak
yang menyangkut kepemilikan dan hak yang menyangkut perbendaan.
Pada dasarnya hak perbendaan meliputi juga hak kepemilikan, karena
pemilikan tidak bisa lain kecuali selalu menunjukkan suatu benda
tertentu.11 Hak cipta merupakan hak kebendaan, sehingga berkaitan
dengan beberapa teori yang menjelaskan tentang benda yang dimiliki atau
disebut juga dengan kekayaan (property).
Pengakuan secara universal terhadap perlindungan HKI, diatur pula
dalam Pasal 27 Declaration of Human Rights. Ketentuan pasal tersebut
menegaskan setiap manusia mempunyai hak untuk mendapat perlindungan
secara moral dan materil atas ciptaan ilmiah, kesasteraan atau artistik
sebagai pencipta. Hal ini berarti ada hak yang bersifat alamiah sebagai
hasil intelektualnya, karena itu harus diakui kepemilikannya. Apabila dasar
pemikiran tersebut secara analogi diterapkan pada hak cipta, maka teori
tersebut merupakan landasan pokok dalam menghasilkan karya
intelektualnya.
Karya film merupakan termasuk salah satu objek hak cipta yang
dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Film sebagai karya seni merupakan objek hak cipta yang wajib dilindungi
oleh undang-undang, maka pembuat film selaku pemilik hak cipta atas
karya film mempunyai hak eksklusif yaitu hak untuk memonopoli atas
karya ciptaanya dalam rangka melindungi karya ciptanya dari pihak lain
seperti hak untuk mengumumkan dan memperbanyak karya ciptannya atau
memberikan izin kepada orang lain untuk mendapat keuntungan secara
ekonomis yang sering disebut dengan hak ekonomi.12
11 Oentoeng Soeropati, Hukum Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi, (Salatiga:
Fakultas Hukum Satya Wacana, 1999), h. 9. 12 Isnaini Yusran, Buku Pintar HAKI Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 9 .
57
Pada bagian pertimbangan hakim, hakim beranggapan walaupun
para Tergugat telah mengakui Penggugat sebagai penulis cerita kedua film
tersebut (Pencipta), namun dikarenakan dalam proses produksinya secara
menyeluruh dilaksanakan oleh PT. Bandung Permai Film Production,
dengan demikian pemegang hak cipta atas kedua film tersebut berdasarkan
pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasan-kebiasaan
yang diakui dalam produksi film, PT. Bandung Permai Film merupakan
pemegang hak cipta yang pertama atas suatu karya film. Ditambah dengan
fakta hukum yang diungkapkan oleh Tergugat I, bahwa film berjudul
Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung telah beralih
kepemiliikannya kepada PT. Falcon Pictures sejak tanggal 21 Oktober
2010. Maka dari itu Tergugat sebagai pemegang hak cipta yang sah atas
kedua film tersebut (film Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok
Beruntung) sebagaimana telah dicatatkan pada Menteri Hukum dan HAM
DJKI yang dibuktikan di pengadilan.
Dalam persidangan para pihak bersepakat menghadirkan ahli
Belinda Rosalina S.H.,M.H, salah satu keterangan ahli dalam menjelaskan
kedudukan Penggugat sekaligus sebagai bahan pertimbangan hakim. Ahli
tersebut mengatakan bahwa hak skrip yang sudah dibayar, maka hak
ekonominya sudah beralih pada orang yang membayar atau membelinya.
Sesuai dengan yang telah dipaparkan dalam penelitian ini pada bagian
sebelumnya mengenai hak moral Penggugat, bahwa penggugat bukanlah
pencipta kesuluruhan film melainkan hanya mengerjakan rancangan film
dengan menulis cerita atau sebagai penulis cerita film yang dibayar dan
dipekerjakan oleh rumah produksi. Dengan begitu pemegang hak cipta
film Benyamin Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung pada waktu itu
adalah rumah produksi yang dalam pengerjaan film tersebut diwakili oleh
produser kala itu. Sesuai dengan ketentuan mengenai hak cipta dalam
Pasal 1 ayat (4) pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak
cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari pencipta, atau
58
pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak
tersebut secara sah.
Ketika film tersebut telah dialihkan berdasarkan dalam satu
perjanjian, seluruh pihak yang dahulu turut andil atau berperan dalam film
Benyamin Biang Kerok maupun Biang Kerok Beruntung mulai dari
sutradara, pemeran film, penata lampu, penata musik hingga penulis
skenario/cerita sekalipun hak ekonominya atas suatu film akan hilang.
Karena hak ekonominya hanya akan diterima oleh Rumah Produksi film
dalam hal ini PT.Harapan Film Corp dan PT. Bandung Permai Film
sebagai pemegang hak cipta yang pertama dan PT. Falcon Pictures sebagai
pemegang hak cipta yang terbaru sesuai dengan perjanjian hak cipta yang
disepakati.
Tergugat I (Falcon Pictures) memiliki hak untuk mempublikasikan
(mendistribusikan) maupun mempertunjukan atas kedua film (Benyamin
Biang Kerok dan Biang Kerok Beruntung) karena film tersebut telah
beralih kepada pihak Tergugat I berdasarkan perjanjian pengalihan
pemegang hak cipta. Hal tersebut telah sesuai secara yuridis karena
Undang-Undang telah mengaturnya berdasarkan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Pengalihan hak ekonomi diatur dalam
Pasal 16 ayat (1) menegaskan bahwa hak cipta merupakan benda bergerak
tidak berwujud, dan dalam ayat (2) menegaskan bahwa hak cipta dapat
beralih atau dialihkan, baik seluruh maupun sebagian karena pewarisan,
hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis atau sebab lain yang dibenarkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk membuat suatu perjanjian yang sah menurut hukum maka
perjanjian tersebut wajib memperhatikan dan memenuhi beberapa syarat
yang ditetapkan Pasal 1320 KUH.Perdata yaitu kata sepakat, kecakapan,
hal tertentu, sebab yang halal. Keempat syarat tersebut wajib dipenuhi oleh
kedua belah pihak dalam hal ini perjanjian pengalihan hak cipta atas film.
Untuk syarat pertama tentang kata sepakat adalah suatu keadaan
yang menunjukkan adanya kehendak dari kedua pihak yang berjanji untuk
59
saling menerima satu sama lain. Kedua belah pihak sama-sama tidak
menolak apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak. Dengan adanya
kata sepakat maka perjajian itu telah terjadi atau terwujud. Sejak saat itu
pula perjanjian itu menjadi mengikat kedua belah pihak dan dapat
dilaksanakan. Kekuatan mengikat perjanjian sangat kuat sekali karena
perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali terdapat
pengecualian yang dibolehkan oleh undang-undang. Karena Tergugat III
merupakan pemegang hak cipta sebelumnya, maka perjanjian tersebut
telah tepat karena tidak kurang pihak dan tidak ada pihak yang dirugikan
secara hukum atas perjanjian tersebut.
Syarat yang kedua mengenai kecekapan, yang dimaksudkan adalah
kemampuan para pihak yang melakukan perjanjian. Pada prinsipnya semua
orang dipadan memiliki kecakapan membuat perjanjian, karena mereka
bebas menetukan bentuk dan isi perjanjian. Sesuai dengan asas
konsensualisme. Meskipun demikian seorang dikatakan cakap
menurut hukum dapat dilihat dari segi usia dan kesehatan jiwanya.13
Meskipun usianya telah dewasa harus di ikuti dengan keadaan jiwa yang
sehat. Apabila seorang jiwanya tidak sehat seperti orang menderita sakit
ingatan melakukan perjanjian maka ia tidak dapat dituntut melakukan
kewajibannya karena perbutan orang yang demikian tidak dapat di
pertanggung jawabkan menurut hukum. Orang-orang yang dibahwa
pengampuan (kuratele) dapat bertidak melakukan perbuatan hukum
dengan diwakili oleh pengampunya.
Dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa Tergugat I (PT.
Falcon Pictures) merupakan pemegang hak cipta atas kedua film tersebut.
Hal tersebut didasarkan atas pelimpahan hak yang telah
didaftarkan/dicatatkan pada Menteri Hukum dan HAM Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan bukti surat T-I, T-II, T-III/PR I, PR
II - 12A, 12B masing-masing diumumkan pada tanggal 1 Juni 1973 dan 20
13 Gatot Supramono, Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya, (Jakarta: Rineka Cipta,
2010), h. 47.
60
April 1972. Nomor dan tanggal pendaftaran masing-masing:
EC00201800553 pada tanggal 17 Januari 2018 terhadap judul Benyamin
Biang Kerok EC00201800547 pada tanggal 17 Januari 2018 terhadap
judul Biang Kerok Beruntung. Dari kedua akta pencatatan tersebut
disebutkan dan ditegaskan bahwa pemegang hak cipta atas kedua ciptaan
film tersebut adalah Tergugat I (PT. Falcon Pictures). Hal ini sudah sesuai
dengan pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta yang menegaskan
bahwa menteri Hukum dan HAM Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan pencatatan
dan penghapusan ciptaan dan produk terkait.
Pertimbangan hakim yang digunakan di atas berdasarkan
pencatatan yang disahkan oleh Direktorat Jenderal HKI memberikan
implikasi hukum yakni sebagai bentuk kepastian hukum yang dijamin oleh
negara atas suatu karya cipta yang wajib untuk dilindungi, dihormati, dan
dipenuhi. Selaras dengan konsep kepastian hukum, berdasarkan teori
kepastian hukum sebagaimana dinyatakan Lili Rasjidi, bahwa nilai
kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan
perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kesewenang-wenangan.
Nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum positif dan
peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum positif. Dalam
hal ini kepastian hukum berkedudukan sebagai nilai yang harus ada dalam
setiap hukum yang dibuat dan diterapkan. Oleh karena itu, hukum itu
dapat memberikan rasa keadilan dan dapat mewujudkan adanya ketertiban
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.14
Abdul Bari Azed dalam Hariyani menjelaskan bahwa bidang hak
cipta mengenal sistem deklaratif, yaitu negara melindungi ciptaan secara
otomatis setelah terlahir suatu ciptaan tanpa harus didahului pendaftaran
atau pencatatan. Meskipun demikian dengan pertimbangan hakim yang
menjadikan akta pencatatan hak cipta tersebut sebagai dasar pertimbangan
14 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, (Bandung: Remaja Roesdakarya
Offset, 1994), h. 27.
61
hakim dalam memperkuat putusannya, hal tersebut setidaknya
memberikan dampak positif dan kemajuan terhadap perlindungan hukum
hak cipta di Indonesia, karena dari pencatatan tersebut memberikan
penjelasan detil mengenai status ciptaan tersebut sebagai bagian dari bukti
hukum dan kepastian hukum. Namun yang perlu diperhatikan lebih lanjut
adalah mengenai mempersatukan kesepahaman yang sama dalam
merumuskan dan menentukan siapa yang dapat disebut sebagai pencipta
maupun pemegang hak cipta.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan oleh peneliti maka kesimpulan
yang dapat diambil adalah:
1. Pengadilan Niaga dalam perkara sengketa hak cipta film Benyamin Biang
Kerok menolak seluruh gugatan penggugat, dengan pertimbangan bahwa
penggugat bukanlah sebagai pemegang hak cipta melainkan hanya sebagai
pencipta (pemegang hak moral), sedangkan pemegang hak cipta dalam
putusan pengadilan berada di tangan tergugat. Hal ini dibuktikan dengan
adanya pelimpahan hak cipta yang dilakukan oleh tergugat I dengan tergugat
III. Dasar pertimbangan hakim secara sosiologis menyatakan pelimpahan
hak yang dibuktikan dalam perkara adalah berdasar, karena Tergugat I
merupakan pemegang hak ekonomi terhadap film tersebut sebagaimana telah
dicatatkan pada Menteri Hukum dan HAM Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual.
2. Dasar pertimbangan hakim yang memutus dalam Putusan Pengadilan Niaga
Nomor 53/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2018/PN Niaga Jkt.Pst atas perkara sengketa
hak cipta film Benyamin Biang Kerok telah sesuai dengan ketentuan yang
dilihat secara yuridis dalam aspek hukum Perdata, Undang-Undang Hak
Cipta, dan filosofis dalam teori perlindungan hukum dan kepastian hukum.
Secara yuridis dalam aspek hukum perdata Perjanjian yang sah memenuhi
beberapa syarat yang telah ditetapkan dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu
kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang halal. Kemudian dalam
Undang-Undang Hak Cipta juga termuat ketentuan yang mengatur
pengalihan Hak ekonomi dalam pasal 16 ayat (1) Hak Cipta merupakan
62
63
benda bergerak tidak berwujud. (2) Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan,
baik seluruh maupun sebagian karena perjanjian tertulis dan sebab lain yang
dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang peneliti uraikan diatas maka rekomendasi
yang dapat diberikan oleh peneliti diantaranya, sebagai berikut:
1. Pencipta dan Pemegang Hak Cipta
Hak cipta secara otomatis telah diakui dan dilindungi apabila ciptaan
tersebut telah diwujudkan dalam bentuk nyata bukan berdasarkan
pendaftaran atas ciptaan tersebut. Konsep tersebut berasal atau diadopsi
dari ketentuan Konvensi Bern yang tidak mengutamakan pendaftaran
sebagai legalitas perlindungan hak cipta. Namun hal tersebut tidak
menghalangi atau menghilangkan hak dari setiap orang untuk
mendaftarkan ciptaannya.
Atas dasar pernyataan di atas disarankan kepada pihak yang membuat
suatu ciptaan untuk segera mendaftarkan ciptaannya, karena hal tersebut
berguna bagi pihak yang memiliki hak atas ciptaan tersebut untuk dijadikan
sebagai alat bukti apabila timbul sengketa dengan pihak ketiga. Karena
suatu ciptaan memiliki unsur hak moral dan hak ekonomi, dimana hak
moral adalah hak atas perlindungan ciptaannya terhadap originalitas
ciptaannya agar tidak diubah dan dirusak oleh orang lain serta pengakuan
sebagai pencipta atas ciptaannya dan hak ekonomi adalah hak atas
perlindungan nilai ekonomi atas ciptaannya.
Dalam Undang-Undang Hak Cipta diatur dan ditegaskan bahwa setiap
pencipta berhak untuk mendapatkan dokumen terkait hak cipta, namun
dalam kenyataannya ternyata Penggugat baru mengetahui film ciptaannya
telah direproduksi tanpa permintaan izin. Hal ini seharusnya menjadi
64
pembelajaran bagaimana pentingnya untuk menjalin komunikasi apalagi
terdapat pengalihan hak cipta yang tidak diketahui sehingga
memungkinkan terciptanya sengketa karena masing-masing pihak memiliki
kepentingannya masing-masing terkait hak eksklusif yang melekat
padanya.
2. Pemerintah dan Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan
Dengan adanya beberapa kompleksitas yang timbul dalam pembuatan
suatu karya film, maka dipandang perlu adanya pembaharuan undang-
undang untuk mewadahi persoalan yang muncul dari proses pembuatan
film sampai dengan film tersebut dipublikasikan, khususnya terkait
pengertian pencipta yang masih luas artinya dalam hal ini belum spesifik.
Permasalahan-permasalahan yang perlu dikonstatir seperti permasalahan
siapa yang disebut pencipta dan pemegang hak cipta dalam ciptaan suatu
film, lalu status film dokumenter dari tokoh nasional apakah dianggap
sebagai ciptaan orisinalitas atau ciptaan turunan (derivative works), dan
tugas serta fungsi setiap pelaksana film dari produser, sutradara, penulis
cerita, pemeran film dan lain sebagainya
65
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arinanto, Satya dan Ninuk Triyanti, 2001, Memahami Hukum Dari Kontruksi
Sampai Implementasi, Jakarta : PT RajaGrafindo.
Chazawi, Adami, 2007, Tindak Pidana Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI),
Malang: Bayumedia Publishing.
Damian, Eddy, 2003, Hukum Hak Cipta, Bandung: Alumni.
Djumhana, Muhammad dan Djubaedillah, 2014, Hak Milik Intelektual, Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Elyta, Ras Ginting, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia (Analisis Teori dan
Praktik), Bandung: Citra Aditya Bakti.
Fuady, Munir, 2011, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hariyani, Iswi, 2010, Prosedur Mengurus HAKI yang Benar, Yogyakarta :
Pustaka Yustisia.
Hasibuan, Otto, 2008, Hak Cipta Di Indonesia, Bandung : PT. Alumni.
Hutagalung, S.M, 2002, Hak Cipta Kedudukan dan Peranannya dalam
Pembangunan, Jakarta: Akademika Pressindo.
Lewis, Arthur, 2014, Dasar-Dasar Hukum Bisnis,Bandung: Nusa Media.
Mahmud, Peter marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.
Margono, Suyud, dan Longginus Hadi, 2002, Pembaharuan Perlindungan
Hukum Merek, Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri.
Margono, Suyud, 2010, Hukum Hak Cipta Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia.
Margono, Suyud, 2010, Aspek Hukum komersialisasi Aset Intelektual,
Bandung : Nuansa Aulia.
Muhammad, Abdulkadir, 2007, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan
Intelektual, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Pesek, I Made Diantha, 2017, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam
Justifikasi Teori Hukum, Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri.
66
Raharjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Ramli, M. dan Fathurrahman, 2005, Film Independen Dalam Perspektif Hukum
Hak Cipta dan Hukum Perfilman Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia.
Rasjidi, Lili, 1994, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Bandung: Remaja
Roesdakarya, Offset.
Rosidi, Ajip, 1984, Undang-Undang Hak Cipta Pandangan Seorang Awam,
Jakarta: Djambatan.
Saidin, H. OK. 2, 2010, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta:
Rajawali Press.
Soekanto, Soedjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.
Soekanto, Soejono dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, (suatu
tinjauan singkat), Jakarta: Rajawali Pers.
Soelistyo, Henry, 2011, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, Jakarta : Rajawali Pers.
Soeropati, Oentoeng, 1999, Hukum Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi,
Salatiga: Fakultas Hukum Satya Wacana.
Susilowati, Etty, 2013, Hak Kekayaan Intelektual dan Lisensi pada HKI,
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Supramono, Gatot, 2011, Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya, Jakarta:
Rineka Cipta.
Usman, Rachmadi, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual:
Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung: PT Alumni.
Yusran, Isnaini, 2010, Buku Pintar HAKI Tanya Jawab Seputar Hak
Kekayaan Intelektual, Bogor: Ghalia Indonesia.
B. Jurnal
Alamsyah, Fajar Akbar, 2016 Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta Menurut
Pasal 12 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak
Cipta Di Indonesia, JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2.
Ardin, Fajrin Falakhi, 2016, Tinjauan Yuridis Hak-Hak Pengarang Dalam
Penerbitan Buku Berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta ( Studi Kasus Surat Perjanjian Penerbitan No.02/AI-
LEGAL/II/2018 Di CV. Aneka Ilmu Kabupaten Demak), Semarang: Skripsi,
UNS.
67
Fahrezha M. Faruq, Skripsi: “Tinjauan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Cipta
Pada Pengguna Aplikasi Media Saosial Bigo Live”Makassar : Unhas,
2017.
Paserangi, Hasbir, 2011, Perlindungan Hukum Hak Cipta Software Program
Komputer di Indonesia, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Fakultas Hukum
UII, Vol. 18.
Syaifuddin, Muhammad, dan Sri Handayani, 2011, Relasi Hukum, Moral, dan Hak
Kekayaan Intelektual (Analisis Kontroversi Hukum dan Moral Rekayasa
Genetika Makhluk Hidup du Indonesia) Jurnal Dinamika Hukum, Volume
14, No. 1.
C. Internet
https://www.kajianpustaka.com/2012/10/pengertian-sejarah-dan-unsur-unsur-
film.html, artikel diakses pada hari selasa, tanggal 19 November 2019,
pkl 20.30 WIB.
https://www.seputarpengetahuan.co.id/2017/10/pengertian-film-sejarah-fungsi-
jenis-jenis-unsur.html, artikel diakses pada hari selasa, tanggal
19 November 2019, pkl 18.30 WIB.
www.cekkembali.com/hak-cipta dikutip pada 16 Juli 2019 pukul 14.26
Recommended