View
229
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK
SAHNYA AKAD NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN
MENGAKHIRKAN IJAB
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Jurusan Ahwal Asy-Syakhsiyah (AS)
Disusun Oleh:
AHMAD ISYBAH NURHIKAM
072111044
JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
5
DEKLARASI
Dengan kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau
diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran
orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan
sebagai rujukan.
Semarang, 10 Juni 2012
Deklarator,
AHMAD ISYBAH NURHIKAM
NIM. 072111044
6
MOTTO
رواه ( 1هلل.ات قوا اهلل ف النساء فانكم اخذ توىن بأمانة اهلل واستحللتم ف روجهن بكلمة ا
)مسلمArtinya: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu ambil
mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka
dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)
1 Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Semarang: Toha Putra, t.th, hlm.593.
7
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati skripsi ini penulis persembahkan kepada :
Kedua orang tua tercinta Bapak Drs. H. Abdul Basyir, M.Ag. dan Ibu Hj. Siti Aisyah
yang dengan penuh cinta, kasih dan sayang selalu mengarahkan penulis kepada jalan
yang benar.
kakakku mba Isy Basyiroh Putri Yulianti dan adik-adikku Muhamad Nurtamamun Niam,
Nia Utamiatul Fatimah, Nail Mukmila Hiyar Mazaya.
Seorang terkasih dan tersayang Yuli Wirisliani.
Keluarga besar PP Al-Ma‟rufiyyah khususnya Abah Yai Abbas Masrukhin dan keluarga,
para ustadz khusunya Bpk Nadzir yang tanpa pamrih selalu memberikan ilmu-ilmu dan
nasehat sirrinya, kawan-kawan senasib seperjuangan; kang Huda, kang Ghofur, kang
Qomar, kang Zudin, kang Yusro, kang Haryanto, kang Sukron, kang Majid, kang
Musthofa, mba Hani, mba Eka, mba Anis, mba Nia, mba Dian dan semuanya yang tak
mungkin disebutkan satu per satu.
Sahabat KKN (Um Supri, Bunda Zum, Satria, Ihwan, Shidqie, mbah Basith, Himma,
Heni, Nyai Fatma).
Para Bapak dan Ibu dosen IAIN Walisongo yang membimbing penulis hingga menjadi
mahasiswa yang berkarakter.
8
ABSTRAK
Pernikahan dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syarat pernikahan.diantara rukun
perkawinan adalah adanya Ijab dan Qabul. Berdasarkan hukum asalnya, Ijab itu datangnya
dari pengantin wanita, sedangkan Qabul dari pengantin laki-laki. Seluruh ulama sependapat,
akan tetapi andaikata Qabul didahulukan atas Ijab, timbul pertanyaan: apakah akad tersebut
sah atau tidak? Mayoritas ulama menyatakan sah. Dan Ibnu Qudamah adalah salah satu
ulama yang tidak mengesahkan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab dalam akad
nikah.
Penulis tertarik untuk meneliti Mengapa Ibnu Qudamah menyatakan tidak sah
terhadap akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab? Dan bagaimana
bagaimana istinbath hukum yang digunakan Ibnu Qudamah dalam menentukan tidak sahnya
akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab?.
Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu
metode penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang-
orang atau perilaku yang diamati. Dan jenis penelitian ini adalah Library Research, yaitu
memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitian. penulis
mengumpulkan data umum dan informasi dari buku-buku ataupun dokumen-dokumen yang
menjelaskan pendapat Ibnu Qudamah tentang tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan
Ijab dan mengakhirkan Qabul.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Ibnu Qudamah mengenai akad nikah
dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab tidaklah sah. Karena sesungguhnya
adanya Qabul sebab adanya Ijab. Maka syaratnya mengakhirkan Qabul dari Ijab. Sesuai
dengan isi dari dari Ijab Qabul itu sendiri mengandung serah terima dari pihak wali kepada
suami agar bertanggung jawab atas hak-haknya sebagai suami terhadap isterinya. Posisi
suami dalam akad nikah sebagai orang yang di beri beban tanggung jawab maka harus ada
penyerahan dari pihak wali karena wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri. Adapun
dasar hukum yang digunakan yaitu Al-Qur‟an dan Hadits, dengan istinbath hukum
menggunakan Istishhab, yaitu hukum-hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap
berlaku untuk zaman sekarang dan yang akan datang, selama tidak ada dalil lain yang
mengubah hukum itu.
9
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur atas segala kasih sayang-Nya yang telah
melimpahkan karunia yang sangat besar, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam penulis sanjungkan kepada beliau Baginda Nabi Muhammad SAW,
semoga diakui sebagai umatnya yang setia hingga hari akhir nanti.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis mendapat bantuan, petunjuk dan
bimbingan dari berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2. Bapak Dr. H. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo
Semarang yang telah memberi izin penulis untuk membahas dan mengkaji permasalahan
ini.
3. Ibu Dra. Hj. Siti Amanah, M.Ag. dan Bapak Muhammad Shoim, S.Ag., MH. selaku
pembimbing I dan II yang telah banyak membantu, dengan meluangkan waktu dan
tenaganya yang sangat berharga semata-mata demi mengarahkan dan membimbing
penulis selama penyusunan skripsi ini.
4. Ketua Jurusan, Sekretaris Jurusan Hukum Perdata Islam serta Stafnya kami sampaikan
terima kasih.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari‟ah khusunya Bapak Drs. H.
Muhyidin, M.Ag. selaku dosen wali dan karyawan dan karyawati di lingkungan Fakultas
Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang yang telah mengajarkan ilmunya dengan ikhlas
kepada penulis selama belajar di Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.
10
6. Kedua orangtua penulis, Bapak Drs. H. Abdul Basyir, M.Ag. dan Ibu Hj. Siti Aisyah
yang dengan tulus dan sabar memberikan dukungan dan do‟a restu, hingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.
7. Pengasuh PP Al-Ma‟rufiyyah, KH. Abbas Masrukhin beserta keluarga dan segenap
dewan Asatidz PP Al-Ma‟rufiyyah.
8. Dan semua pihak yang tak bisa penulis sebut satu-persatu yang telah membantu
terselesaikannya skripsi ini sesuai dengan kemampuan mereka.
Atas semua kebaikan yang telah diberikan, penulis tiada dapat membalas jasa kalian,
hanya mampu berharap dengan do‟a, semoga Allah SWT menerima sebagai amal kebaikan
dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri semoga skripsi ini dapat
menambah khazanah keilmuan dan semoga dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
pembaca pada umumnya.
Semarang, 10 Juni 2012
Penulis,
Ahmad Isybah Nurhikam
NIM. 072111044
11
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ iv
HALAMAN DEKLARASI.................................................................................... v
HALAMAN MOTTO............................................................................................ vi
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................... vii
HALAMAN ABSTRAK..................................................................................... viii
HALAMAN KATA PENGANTAR..................................................................... ix
HALAMAN DAFTAR ISI................................................................................... xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah permasalahan........................................... 5
C. Tujuan Penelitian................................................................... 5
D. Telaah Pustaka....................................................................... 6
E. Metode Penelitian................................................................. 9
F. Sistematika Penulisan.......................................................... 12
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD NIKAH
A. Pengertian dan Dasar Hukum Akad Nikah.......................... 14
1. Pengertian Akad Nikah..................................................14
2. Dasar Hukum Akad Nikah.............................................21
B. Rukun dan Syarat Akad Nikah............................................. 23
1. Rukun-Rukun Dalam Akad Nikah.................................25
2. Syarat-Syarat Dalam Akad Nikah..................................29
3. Akad Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam................34
C. Konsep Akad Nikah Menurut Ulama Empat Madzhab....... 36
BAB III : PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK SAHNYA AKAD
NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN MENGAKHIRKAN IJAB
A. Sekilas Biografi Ibnu Qudamah........................................... 39
12
B. Pendapat Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya Akad Nikah Dengan
Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan
Ijab....................................................................................... 44
C. Istinbath Hukum Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya Akad Nikah
Dengan Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan
Ijab....................................................................................... 47
BAB IV : ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK
SAHNYA AKAD NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN
MENGAKHIRKAN IJAB
A. Analisis Pendapat Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya Akad Nikah
Dengan Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan
Ijab .............................................................. 51
B. Analisis Istinbath Hukum Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya Akad
Nikah Dengan Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan
Ijab............................................................... 58
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan.......................................................................... 65
B. Saran-Saran.......................................................................... 66
C. Penutup ................................................................................ 67
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................68
LAMPIRAN-LAMPIRAN
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Perkawinan adalah salah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk
Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Sebagaimana firman Allah
SWT.:
Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah.3 (QS. Adz-Dzariat: 49)
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua
kata, yaitu nikah (نكاح) dan zawaj (زواج). Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan
sehari-hari orang arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran dan Hadis Nabi.4 Kata na-ka-ha
banyak terdapat dalam Al-Quran dengan arti kawin, seperti dalam surat An-Nisa‟ ayat 3:
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
2 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 7.
3 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Atlas,
1998, hlm. 862. 4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana Predana Media Group,
2009, hlm.35.
14
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.5 (QS. An-Nisa‟: 3)
Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Quran dalam arti kawin,
seperti dalam surat Al-Ahzab ayat 37:
Artinya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya),
kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin
untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka.6 (QS. Al-Ahzab: 37)
Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin,
akad perkawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan si suami, dua orang saksi
yang akan menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan itu. Berdasarkan pendapat ini
rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai berikut:7
a. Calon mempelai laki-laki.
b. Calon mempelai perempuan.
c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan.
d. Dua orang saksi.
e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan Qabul yang dilakukan oleh suami.
UU perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan. UU
perkawinan hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan, yang mana syarat-syarat tersebut
lebih banyak perkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan. KHI secara jelas
membicarakan rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14, yang
keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh Syafi‟i dengan tidak memasukkan mahar dalam
rukun.8
Perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam
bentuk Ijab dan Qabul disebut akad nikah. Ijab adalah penyerahan dari pihak
pertama,sedangkan Qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si
5 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, loc.cit., hlm. 115. 6 Ibid, hlm. 673.
7 Amir Syarifuddin, loc.cit., hlm. 61. 8 Ibid.
15
perempuan dengan ucapannya: “Saya kawinkan anak saya yang bernama si A kepadamu
dengan mahar sebuah kitab Al-Qur‟an”. Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan
ucapannya: “Saya terima mengawini anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah
kitab Al-Qur‟an”.
Dalam hukum Islam sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh akad perkawinan itu
bukanlah sekedar perjanjian yang bersifat keperdataan. Ia dinyatakan sebagai perjanjian yang
kuat yang disebut dalam Al-Qur‟an dengan ungkapan Mitsaqon Ghalizhan yang mana
perjanjian itu bukan hanya disaksikan oleh orang banyak yang hadir pada waktu
berlangsungnya akad perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT.
Para ulama fiqh telah sepakat bahwa Ijab dan Qabul merupakan rukun nikah. Tanpa
Ijab dan Qabul tidaklah sah pernikahan antara seseorang perempuan dengan laki-laki.9 Untuk
sahnya suatu akad perkawinan disyaratkan beberapa syarat. Diantara syarat tersebut ada yang
disepakati ulama dan diantaranya diperselisihkan oleh ulama.
Berdasarkan hukum asalnya, Ijab itu datangnya dari pengantin wanita, sedangkan
Qabul dari pengantin laki-laki. Wali mengatakan, “saya nikahkan anak perempuanku
kepadamu”. Lalu pengantin laki-laki menjawab, “saya terima nikah dengannya”. Andaikata
Qabul didahulukan, dimana pengantin laki-laki mengatakan kepada wali, ”nikahkan saya
dengan dia”, lalu wali berkata, ”saya nikahkan kamu dengannya”, timbul pertanyaan: apakah
akad tersebut sah atau tidak? Imamiyah dan tiga madzhab lainnya mengatakan sah,
sedangkan Hambali mengatakan tidak sah.10
Penulis tertarik untuk meneliti pendapat Ibnu Qudamah, salah satu pengikut
Madzhab Hanbali. Dalam kitabnya yang berjudul “Al-Kafie Fi Fiqh Al-Iman Ahmad Bin
Hanbal”, beliau berpendapat dalam masalah Ijab dan Qabul sebagai berikut:
9 M. Idris Ramulyo, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Jakarta:
IND-HILL, CO, 1985, hlm. 178. 10
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera Basritama, Cet 2, 1996,
hlm. 313.
16
دم القبول على اإلجياب ، مل يصح ، ألن القبول إمنا ىو باإلجياب ، فيشرتط تأخره وان تق 11عنو.
Artinya: jika mendahulukan Qabul atas Ijab, maka tidaklah sah, karena sesungguhnya adanya
Qabul sebab adanya Ijab, maka syaratnya mengakhirkan Qabul dari Ijab.
Berdasar pada latar belakang diatas, penulis ingin mengangkatnya dalam skripsi
dengan judul: “STUDI ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK
SAHNYA AKAD NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN
MENGAKHIRKAN IJAB”.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, ada beberapa hal yang menjadi
pokok permasalahan dalam skripsi , yaitu:
1. Mengapa Ibnu Qudamah menyatakan tidak sah terhadap akad nikah dengan
mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab?
2. Bagaimana Istinbath hukum yang digunakan Ibnu Qudamah dalam menentukan tidak
sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang mendasari penulis dalam menulis skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pendapat Ibnu Qudamah tentang tidak sahnya
akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan Mengakhirkan Ijab.
b. Untuk mengetahui Istinbath hukum yang digunakan Ibnu Qudamah dalam menentukan
tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab.
11
Syaikh al-Islam Abi Muhammad Muwaffaq ad-Dien Abdullah bin Qudamah al-Maqdisiy, al-Kafie fi
Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal juz III, Beirut: Darul Fikr, 1992, hlm. 20-21.
17
D. Telaah Pustaka
Telaah atau kajian pustaka secara garis besar merupakan proses yang dilalui guna
untuk mendapatkan teori. Telaah pustaka dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang
hubungan pembahasan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya,
sehingga dengan upaya ini tidak terjadi pengulangan yang tidak perlu.
Bertitik tolak pada permasalahan di atas, sepanjang pengetahuan penulis
permasalahan tentang pendapat Ibnu Qudamah tentang tidak sahnya akad nikah dengan
mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab secara spesifik berbeda dengan penelitian karya
ilmiah terdahulu. Namun penulis menemukan beberapa tulisan mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan masalah tersebut, di antaranya yaitu :
Di dalam buku Fiqh Perbandingan dijelaskan tentang Ijab dan Qabul. Ijab ialah lafadz
yang diucapkan oleh wali atau wakilnya. Qabul ialah lafadz yang diucapkan oleh calon suami
atau wakilnya.12
Menurut Syafi‟i Ijab itu harus dari pihak perempuan atau wakilnya, dan Qabul harus
dari pihak laki-laki, calon suami atau wakilnya.13
Dalam Fiqih Sunnah juga menjelaskan
tentang Ijab-Qabul yaitu pernyataan pertama yang menunjukkan kemauan untuk membentuk
hubungan suami-isteri disebut “Ijab” dan pernyataan kedua yang dinyatakan oleh pihak yang
mengadakan akad berikutnya untuk menyatakan rasa ridha dan setujunya disebut “Qabul”.14
Skripsi Ali Luthvi yang berjudul Studi Analisis Pendapat Ibnu Abidin Tentang
Dibolehkannya Ijab Oleh Pihak Laki-Laki Dan Qabul Oleh Pihak Perempuan Dalam Akad
Nikah. Di kalangan Ulama fiqh terdapat polemik mengenai sah atau tidak akad nikah
andaikata Qabul diucapkan terlebih dahulu, kemudian disusul Ijab. Dalam skripsi tersebut
dijelaskan bahwa Ijab tidak harus dilaksanakan oleh pihak perempuan dan Qabul tidak harus
12
Ibrahim Husen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah-Thalaq-Ruju‟ dan Hukum Kewarisan,
Jilid 1, Jakarta: Balai Penerbitan dan Kepustakaan Islam Yayasan Ihya‟ Ulumudin Indonesia, 1971, hlm. 96. 13
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, Cet. Ke-10, 1983,
hlm. 15. 14
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 6, Bandung: PT. al-Ma‟arif, 1990, hlm. 49.
18
dari pihak laki-laki. Jadi, sah hukumnya ketika ijab dilaksanakan oleh pihak laki-laki dan
Qabul oleh pihak perempuan. Yang terpenting adalah tercapainya maksud yang dikehendaki.
Dalam hal ini, Istinbath hukum yang digunakan oleh Ibnu Abidin dalam masalah Ijab oleh pihak
laki-laki dan Qabul oleh pihak perempuan adalah hadits riwayat Imam Muslim dan
memahaminya dengan melihat zhahirnya dalil dan dalalah sunah yang shahih. Dan Dalam
menganalisis permasalahan Ijab dan Qabul ini menggunakan istihsan.
Skripsi Nurul Laeliyah yang berjudul Akad Nikah di depan Mayat dan Implikasinya
(Studi atas adat istiadat di desa Kewedusan Kecamatan Kebumen Kabupaten Kebumen).
Dalam masyarakat desa Kawedusaan terdapat adat istiadat akad nikah di depan mayat. Akad
nikah di depan mayat dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan mereka kepada para leluhur
mereka dengan cara mematuhi dan melaksanakannya dan adat tersebut merupakan salah satu
bentuk sinkretisme ajaran Islam dan Hindu yang diwariskan secara turun-temurun oleh nenek
moyang mereka. Akad nikah yang berlangsung tetap sah, sebab jenazah dalam pelaksanaan
akad nikah tidak memiliki peran sama sekali, baik sebagai wali maupun saksi. Karena
dengan bersandar pada kaidah fiqh, bahwa hal tersebut merupakan salah satu bagian „Urf
Shahih dan tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Skripsi Nur Shihah Ulya yang berjudul Praktek Perwakilan Perwalian Dalam Akad
Pernikahan Di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak. Dalam skripsi tersebut dijelaskan
mengenai praktek perwakilan perwalian pada saat prosesi akad nikah. Dalam pandangan
hukum Islam boleh, selama dia tidak menjadi saksi. Akan tetapi bila ia menjabat sebagai
saksi maka akad nikah tersebut tidak sah. Alasan yang mendasari praktek perwakilan
perwalian tersebut adalah kemampuan dan tingkat keilmuan yang dimiliki oleh wali tersebut
serta alasan lain yakni ingin mendapatkan barokah dari orang yang diundang khusus untuk
mewakili akad nikah seperti kiai atau ulama yang berpengaruh.
19
Skripsi Sofi Hidayati yang berjudul Studi Pemikiran Ibnu Qudamah Tentang Hukum
Menikah Dengan Niat Cerai. Dalam sistem perundang-undangan perkawinan di Indonesia
sebuah perceraian haruslah diikuti dengan beberapa sebab. Seandainya pendapat Ibnu
Qudamah dipakai, maka seorang suami ketika mau menceraikan istrinya tanpa sebab yang
dapat memberatkan adanya sebuah perceraian, secara otomatis perceraian tersebut ditolak
oleh pengadilan. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-
Mughni berpendapat bahwa menikah dengan niat cerai adalah boleh dan sah-sah saja
dilakukan. Karena menurutnya pernikahan model ini bukanlah nikah mut‟ah atau nikah tahlil
sebagaimana yang telah jelas dilarang oleh agama Islam.
Berdasarkan telaah pustaka di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian
sebelumnya tidak membahas tentang prosedur akad nikah yang dilaksanakan wali dari pihak
perempuan dan calon suami dan dari skripsi yang ditulis oleh Ali Luthfi hanya membahas
masalah proses akad nikah sah dengan mendahulukan Qabul atas Ijab. Sedangkan penelitian
ini hendak mengungkapkan pendapat Ibnu Qudamah tentang tidak sahnya akad nikah dengan
mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab. Sehingga fokus pembahasan dalam skripsi ini
merupakan karya yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, sehingga masih penting
mengangkat tema ini ke dalam karya ilmiah.
E. Metode Penelitian
Dalam rangka menjawab pertanyaan yang telah dirumuskan diatas, maka guna
menghasilkan kesimpulan dari analisa yang tepat dan bertanggungjawab, penulis
menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu
memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitian.
20
Dalam hal ini penulis meneliti pendapat Ibnu Qudamah tentang tidak syahnya
akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab dalam kitab Al-Kafie fi
Fiqh Al-Iman Ahmad Bin Hanbal.15
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Sumber Primer
Sumber data primer adalah sumber data utama atau pokok yang menjadi bahan
penelitian atau kajian dalam penelitian ini. Data ini disebut data langsung atau asli.
Dalam hal ini yang menjadi sumber data primer adalah pemikiran Ibnu Qudamah
yang tertuang dalam karyanya yaitu kitab Al-Kafi fi Fiqhi ‟Al- Imam Ahmad Bin
Hambal.
b. Sumber data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang menjadi bahan penunjang dan
pelengkap atau kajian dalam penulisan skripsi ini. Yaitu sumber data yang
memberikan informasi dan data yang telah disalin, diterjemahkan atau dikumpulkan
dari sumber-sumber aslinya. Sumber data sekunder ini berupa kitab-kitab fiqih, hadits,
tafsir karya para ulama serta literatur lainnya yang membahas tentang akad nikah.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam skripsi ini dilakukan dengan metode
kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan membaca
sumber-sumber tertulis seperti buku-buku dan kitab-kitab yang berkaitan dengan
masalah yang dikemukakan.
15
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, hlm. 1-2.
21
Dalam penulisan ini, penulis mengumpulkan data umum dan informasi dari buku-
buku ataupun dokumen-dokumen yang menjelaskan pendapat Ibnu Qudamah tentang
tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Ijab dan mengakhirkan Qabul.
4. Metode Analisis Data
Analisis Data Sebagai tindak lanjut dari pengumpulan data maka metode analisis
data menjadi signifikan untuk menuju sempurnanya penelitian ini. Untuk analisis
penelitian dilakukan dengan metode Content Analysis. Yaitu teknik apapun yang
digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan
dilakukan secara obyektif dan sistematis.16
Content Analysis mengindikasikan beberapa
ciri, pertama, teks perlu diproses dengan aturan dan prosedur yang telah dirancangkan.
Kedua, teks diproses secara sistematis, mana yang termasuk dalam suatu kategori, dan
mana yang tidak termasuk ditetapkan berdasarkan aturan yang sudah ditetapkan. Ketiga,
proses menganalisis teks tersebut haruslah mengarah ke pemberian sumbangan pada
teori, ada relevansi teoritiknya. Keempat, proses analisis tersebut mendasarkan pada
deskripsi yang dimanifestasikan.17
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif analisis yakni
menggambarkan dan menganalisis data yang seteliti mungkin, tentang manusia, keadaan,
atau gejala-gejala lainnya.18
Dengan demikian penulis akan menggambarkan pemikiran
Ibnu Qudamah tentang tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan
mengakhirkan Ijab.
Untuk menganalisis data yang ada, penulis juga menggunakan metode
komparatif, yaitu menganalisis data-data tertentu yang berkaitan dengan situasi atau
16
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. IV, 1993,
hlm. 163. 17
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, cet. VII, Yogyakarta: RakeSarasin,
1996, hlm. 51. 18
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 6, Yogjakarta: Gajah Mada University Press,
1993, hlm. 63.
22
faktor-faktor yang diselidiki, kemudian faktor-faktor tersebut dibandingkan satu dengan
yang lainnya.19
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing
menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang saling mendukung
dan melengkapi.
BAB I PENDAHULUAN. dalam bab ini merupakan gambaran umum secara global
namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah, permasalahan, tujuan
penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD NIKAH. Dalam bab ini pembahasan
meliputi pengertian dan dasar hukum akad nikah, rukun akad nikah, syarat akad nikah,
konsep akad nikah menurut ulama empat madzhab.
BAB III PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK SAHNYA AKAD
NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN MENGAKHIRKAN IJAB. Dalam
bab ini meliputi penjabaran tentang sekilas biografi Ibnu Qudamah, pendapat Ibnu Qudamah
tentang tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab,
metode Istinbath hukum Ibnu Qudamah tentang tidak sahnya akad nikah dengan
mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab.
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK SAHNYA
AKAD NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN MENGAKHIRKAN IJAB.
Dalam bab empat ini meliputi analisis pendapat dan metode Istinbath hukum Ibnu Qudamah
tentang tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab.
BAB V PENUTUP. Meliputi kesimpulan, saran-saran, dan penutup.
19 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 2001, hlm. 9.
23
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG AKAD NIKAH
A. Pengertian dan Dasar Hukum Akad Nikah
1. Pengertian Akad Nikah
Pernikahan merupakan ikatan yang kokoh, mengikatkan hati, dan
melembutkannya, mencampurkan nasab, menumbuhkan hubungan kemasyarakatan,
menjadikan kemaslahatan, sehingga manusia dapat menjaga hubungan antar
individu dan golongan. Dengan demikian, menjadi luas hubungan kemasyarakatan.
Sungguh Allah SWT telah menjadikan hubungan semenda (hubungan kekeluargaan
karena perkawinan) menjadi dasar nasab,20
Allah berfirman:
Artinya: Dan dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia
itu (punya) keturunan dan mushaharah21
dan adalah Tuhanmu Maha
Kuasa.22
(QS. Al-Furqan: 54)
Dari sudut keinginan dan kepentingan ini dibentuk pernikahan. Oleh karena
itu, Allah Yang Maha Bijaksana meliputinya dengan ikatan-ikatan, aturan-aturan,
dan hukum-hukum yang terperinci sejak permulaan pemikiran peminang hingga
kesempurnaannya. Kemudian meliputi juga dengan setiap tanggungan-tanggungan
yang bersifat materi dan maknawi sejak pelaksanaannya sehingga berakhirnya
pernikahan sebab kematian atau yang lainnya untuk menjaga hak-hak semua pihak.23
20
Nur Khozin, Fiqh Keluarga, Jakarta: AMZAH, 2010, hlm. 98-99. 21
Mushaharah artinya hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti menantu,
ipar, mertua dan sebagainya. 22
Yayasan penyelenggara penterjemah Al-Qur‟an, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: CV.
ATLAS, 1998, hlm. 567. 23
Nur Khozin, loc.cit.,
24
Pengertian akad nikah berasal dari dua kata, yaitu akad dan nikah. Akad
sendiri artinya ialah “perjanjian”, “pernyataan” sedang nikah adalah “perkawinan”,
“perjodohan”.24
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk Ijab dan Qabul. 25
Akad nikah adalah wujud nyata perikatan antara seorang pria yang menjadi
suami dengan seorang yang menjadi istri, dilakukan di depan dua orang saksi paling
sedikit, dengan menggunakan sighat Ijab dan Qabul.26
Ijab merupakan pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu
pihak, yang mengandung keinginan secara pasti untuk mengikat diri. Adapun Qabul
adalah pernyataan pihak lain yang mengetahui dirinya menerima pernyataan ijab
tersebut.27
Al-Qur‟an telah menggambarkan sifat yang lahir bagi ikatan yang dijalin
oleh dua orang insan berbeda jenis yakni ikatan perkawinan dengan gambaran yang
dikemukakan melalui beberapa ayat. Sebagaimana firman Allah:
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat.28
(Q.S An-Nisa‟: 21)
24
Achmad Kuzari, Nikah sebagai Perikatan, Cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 34. 25
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, cet. 2, Jakarta: PRENADA MEDIA, hlm.
61 26
Achmad Kuzari, op.cit., 27
Dahlan Aziz (Ed), Ensiklopedi Hukum Islami, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeke, hlm. 1331. 28
Yayasan penyelenggara penterjemah Al-Qur‟an, loc.cit., hlm. 120.
25
Dalam ayat tersebut ikatan perkawinan dinamakan dengan ungkapan kata
Mitsaqan Ghalizhan atau suatu ikatan yang kokoh.29
Di antara fuqaha
mengemukakan tentang definisi akad nikah, misalnya al-Malkari di dalam kitabnya
Liarah Al-Thahbin adalah sebagai berikut:
30تزويج أو إنكاح بلفظ وطئ إباحة يتضمن عقدArtinya : “Akad yang mengandung kebolehan persetubuhan dengan kata Nikah atau
Tazwij.”
Dari definisi tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa al-Malkari
hanya melihat kebolehan hukumnya saja, dalam hal ini hukum halalnya hubungan
seorang lelaki dengan seorang perempuan yang semula haram.
Hal tersebut juga telah dimuat dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 yang berbunyi:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”31
Jelas kiranya bahwa nilai yang termuat dalam akad nikah tidak hanya dari
segi hukum formal, tapi sampai kepada maksud tujuan bersifat sosial keagamaan.
Dengan disebut halnya “membentuk keluarga” dan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.32
Sedangkan definisi akad nikah dalam kompilasi hukum Islam telah termuat
dalam Bab I pasal 1 (c) yang berbunyi sebagai berikut “Akad nikah adalah rangkaian
29
Achmad Kuzari, loc.cit. 30
Muhammad Syafa, al-Dimyati I‟anch al-Thalibin, dan Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz III, Beirut,
223. 31
Undang-undang Perkawinan, Cet. 2, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1997, hlm. 7. 32
Achmad Kuzari, op.cit., hlm. 12.
26
Ijab yang diucapkan oleh wali dan Qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau
wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.33
Para ulama mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika
dilakukan dengan akad, yang mencakup Ijab dan Qabul antara wanita yang dilamar
dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti
wakil dan wali dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama
suka tanpa adanya akad.34
Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang sahnya akad nikah yang tidak
menggunakan redaksi fiil madhi (yang menunjukkan telah) atau menggunakan lafal
yang bahan bentuknya dari kata النكاح dan الزواج , seperti akar kata hibah (pemberian,
.penjualan), dan yang sejenisnya الب يع
Madzhab Hanafi berpendapat; akad boleh dilakukan dengan redaksi yang
menunjukkan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafad Al-Tamlik
(pemilihan), Al-Hibah (penyerahan), Al-Bay‟ (penjualan), Al-„Atha (pemberian), Al-
Ibahah (perbolehan), dan Al-Ihlal (penghalalan), sepanjang akad nikah tersebut
disertai dengan Qarinah (kaitan) yang menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad
tidak sah jika dilakukan dengan lafal Al-Ijarah (upah) atau al-Ariyah (pinjam), sebab
kedua kata tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas.
Akan tetapi boleh dilakukan dengan lafal yang bukan bentuk madhi, dan
tidak pula boleh menggunakan lafal selain Al-Zawaj dan Al-Nikah. Sebab, karena
lafal inilah yang menunjukkan maksud pernikahan pada mulanya, sedangkan bentuk
33
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo Edisi Pertama,
1995, hlm. 113. 34
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2005, hlm. 309.
27
madli memberi arti kepastian. Ketentuan ini dinyatakan oleh ayat al Qur‟an berikut
ini:35
Artinya : “Maka taatlah zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap isterinya
(menceraikan terhadap isterinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu
dengan dia.”36
(QS. al-Ahzab: 37)
Seluruh madzhab sependapat bahwa akad yang menggunakan bahasa non
Arab adalah sah bila yang bersangkutan tidak bisa melakukannya dalam bahasa
Arab. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat bila ia mampu melakukannya.
Tetapi, Maliki, dan Hanbali menyatakan sah, sedangkan Syafii memandangnya tidak
sah (Abu Zahra, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, hal. 27).37
Dalam Islam telah ditetapkan aspek-aspek yang berkaitan dengan akad
pernikahan dengan segala akibatnya,38
yaitu:
a. Cara-cara mengadakan akad nikah meliputi aqad nikah, karena nikah, atau syarat-
syaratnya.
b. Cara-cara pemutusan akad juga telah ditetapkan secara pasti seperti, thalak,
fasakh, nuyuz, syigat dan sebagainya.
c. Akibat adanya ikatan/aqad itu, laki-laki dan perempuan (suami isteri) punya hak
dan kewajiban masing-masing.
Sedangkan akad nikah menurut terminologi, ada beberapa pengertian antara
lain:
a. Najmuddin Amin al-Kurah memberikan pengertian nikah sebagai berikut:
ن اباحة وطء بلفظ عقد ي ت 39انكاح اوت زويج اوت رجتو ضم
35
Ibid., hal. 311. 36
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Atlas,
1998, hlm. 673. 37
Ibid., 38
Sudarson, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hlm. 209
28
“Akad yang menjamin bolehnya bersetubuh dengan lafad Inkah atau Tajwij atau
terjemahnya.”
b. Taqiyyuddin Abi Bakar memberikan pengertian nikah sebagai berikut:
شهور المشتمل على الركان والمشروط
40العقد امل “Akad yang terkenal yang mengandung beberapa rukun dan syarat”.
c. Dan Abdul al-Wahab asy-Sya‟rani memberikan pengertian sebagai berikut:
رعية المس رع ان النكاح من العقود الش 41ن ونة باصل الش “Nikah termasuk akad syar‟i yang disunnahkan dari asal syara‟.”
Kemudian Shighat Al-Aqadi ialah Ijab dan Qabul, Ijab ialah permulaan
penjelasan yang kelar dari salah seorang dari salah seorang yang berakad sebagai
gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad, sedangkan Qabul ialah perkataan
yang keluar dari pihak berakad pula, yang diucapkan setelah adanya Ijab.42
Pengertian Ijab dan Qabul dalam pengalaman dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu
dengan yang lain.
Apabila kita analisis pengertian nikah di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pengertian nikah hanya melihat dari satu segi saja yaitu kebolehan dalam
hukum dalam hubungan antara laki-laki dengan wanita yang semula hukum dalam
hubungan antara laki-laki dengan wanita itu mempunyai tujuan sekaligus
hukumnya.43
39
Najmuddin Amin al-Kurah, Tanwir al-Kutub, Beirut Libanon: Daar al-Fikr, T.th., hlm. 338. 40
Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-Husain al_hisan Addimasqy asy-Syafi‟i, loc.cit. 41
Abd al-Wabah asy-Sya‟rani, Kitab al-Mizan, Juz 2, Mesir: Matba‟ah al-Taqadim al- Ilmiah, Cet. 1,
1321 H, hlm.108. 42
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Grafindo persada, 2002, hal. 47. 43
Dirjen Bimbaga Islam, Depag, Ilmu Fiqih, jilid 2, Jakarta: Proyek pembinaanPrasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama, 1983, Cet. 2, hal. 48.
29
Tegasnya pernikahan yang dalam bahas Indonesia dikenal dengan
pernikahan ialah “suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin
antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
berkeluarga yang diliputi ketenteraman serta kasih sayang dengan cara diridhai
Allah SWT.44
Dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 dijelaskan bahwasanya
“perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan pengertian perkawinan tersebut
dipertegas dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam bahwa perkawinan menuru
hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqon
Ghalidhon untuk manfaat perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.45
Dengan demikian pernikahan merupakan salah satu Sunnatullah. Segala
sesuatu yang dikitabkan kepada manusia pasti ada tujuan dan manfaatnya, baik yang
berupa larangan maupun perintah atau anjuran karena terbatasnya akan dan
kemampuan berpikir manusia, maka tidak semua manfaat tersebut dapat
diketahuinya.
2. Dasar Hukum Akad Nikah
Al-Qur‟an telah menggambarkan sifat yang lahir bagi ikatan yang dijalin
oleh dua orang insan berbeda jenis yakni ikatan perkawinan dengan gambaran yang
dikemukakan melalui beberapa ayat. Sebagaimana firman Allah:
44
Depag RI Perwakilan Jawa Tengah, UU Perkawinan, Semarang: CV. Al Alawiyah, 1974, hlm. 5 45
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1992, hlm. 13
30
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat.46
(Q.S An-Nisa‟ : 21)
Kemudian mengenai akad nikah dalam sabda Rasulullah SAW.,
diantaranya:
ف روجهن بكلمة ات قوا اهلل ف النساء فانكم اخذ توىن بأمانة اهلل واستحللتم 47)رواه مسلم(اهلل.
Artinya: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu
ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan
kehormatan mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)
Adapun sebuah hadits yang menunjukkan bahwa Ijab itu hak perempuan
dan Qabul kewajiban laki-laki:
ا امرأة مل ي نكحها ال ولم فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل أيملطان ولم من ل ها فإن اشتجروا فالسم فإن أصاب ها ف لها مهرىا با أصاب من
48ول لو Artinya: “Wanita manapun yang tidak dinikahkan oleh walinya maka pernikahannya
tidak sah, beliau mengucapkannya tiga kali. Jika telah melakukan
hubungan badan, maka wanita itu tetap berhak menerima mahar
(maskawin) karena hubungan badannya itu. Jika mereka berselisih maka
pemerintah adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (H.R.
Ahmad)
46
Yayasan penyelenggara penterjemah Al-Qur‟an, loc.cit., hlm. 120. 47
Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Semarang, Toha Putra, t.th, hlm.593. 48
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Bab La Nikah Illa Biwaliy, Juz V, Aplikasi Maktabah
Syamilah, hlm. 486.
31
B. Rukun dan Syarat Akad Nikah
Rukun perkawinan menurut hukum Islam, akan dijelaskan berikut. Syarat-syarat
perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, seperti dikemukakan Kholil Rahman49
:
a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:
1) Beragama Islam
2) Laki-laki
3) Jelas orangnya
4) Dapat memberikan persetujuan
5) Tidak terdapat halangan perkawinan
b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:
1) Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani
2) Perempuan
3) Jelas orangnya
4) Dapat dimintai persetujuannya
5) Tidak terdapat halangan perkawinan
c. Wali nikah, syarat-syaratnya:
1) Laki-laki
2) Dewasa
3) Mempunyai hak perwalian
4) Tidak terdapat halangan perwaliannya
d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:
1) Minimal dua orang laki-laki
2) Hadir dalam Ijab Qabul
3) Dapat mengerti maksud akad
4) Islam
5) Dewasa
e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
3) Memakai kata-kata Nikah, Tazwij atau terjemahan dari kata Nikah atau
Tazwij
4) Antara Ijab da Qabul bersambungan
5) Antara Ijab dan Qabul jelas maksudnya
6) Orang yang berkait dengan Ijab Qabul tidak sedang dalam ihram haji/umrah
49
Kholil Rahman, Hukum Perkawinan Islam, (Diktat tidak diterbitkan), Semarang: IAIN Walisongo, tt,
hlm. 31-32.
32
7) Majelis Ijab dan Qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon
mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau wakilnya, dan
dua orang saksi.50
Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut diatas wajib dipenuhi, apabila
tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Disebutkan dalam Kitab
Al-Fiqh „Ala Al-Mazahib Al-Arba‟ah: “Nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi
syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunnya.
Dan hukum, nikah fasid dan batil adalah sama, yaitu tidak sah”.51
Kompilasi Hukum
Islam menjelaskan rukun nikah dalam pasal 14, yaitu: a) Calon suami, b) Calon istri, c)
Wali nikah, d) Dua orang saksi, dan e) Ijab dan Qabul.52
1. Rukun-Rukun Dalam Akad Nikah
Rukun adalah bagian dari hakikat sesuatu. Rukun masuk didalam
substansinya. Adanya sesuatu itu karena adanya rukun dan tidak adanya karena tidak
ada rukun. Berbeda dengan syarat, ia tidak masuk ke dalam substansi dan hakikat
sesuatu, sekalipun itu tetap ada tanpa syarat, namun eksistensinya tidak
diperhitungkan. Akad nikah mempunyai beberapa rukun yang berdiri dan menyatu
dengan substansinya. 53
Akad nikah tidak dapat diadakan, kecuali setelah memenuhi beberapa rukun
berikut ini :54
50
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995, hlm. 71-72. 51
Abdurrahman Al-Jaziry, kitab al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Maktabah al-Tijariyah kubra juz
IV, hlm. 118 52
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, loc.cit., hlm. 17 53
Abdul Majid Khon, Fiqh Munakahat, Jakarta: AMZAH, 2009, hlm. 59. 54
Syaikh Kamil Muhammad, „Uwaidah, Al Jami‟ Fii Fiqhi An-Nisa‟, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1998, hlm. 402 – 404.
33
a. Kedua belah pihak (calon mempelai) telah mencapai usia akil baligh. Jika salah
seorang dari keduanya hilang ingatan atau masih kecil, maka berarti belum
mencapai usia baligh, sehingga akad nikah tidak dapat dilaksanakan.
b. Menyatukan tempat pelaksanaan Ijab Qabul. Dengan pengertian, tidak boleh
memisahkan antara Ijab dan Qabul dengan pembicaraan atau hal-hal lainnya
selain. Tidak disyaratkan, pelaksanaan Qabul dilakukan langsung setelah Ijab.
Meski pertemuan pelaksanaan Ijab Qabul itu berlangsung cukup lama dan qabul
dilakukan dengan adanya selang waktu dari ijab serta tidak ada hal-hal yang
menunjukkan penolakan dari kedua belah pihak, maka pelaksanaan Ijab Qabul
tersebut tetap satu. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh para ulama
penganut madzhab Hanafi dan Hanbali.
Dalam kitab Al-Mughni disebutkan, “bila ada tenggang waktu antara Ijab
dan Qabul, maka hukumnya tetap sah, selagi dalam satu majelis yang tidak
diselingi sesuatu yang mengganggu. Karena dipandang satu majelis selama
terjadinya ucapan akad nikah, dengan alasan sama dengan penerimaan tunai,
sedangkan bagi barang yang tidak disyaratkan tunai penerimaannya, barulah
dibenarkannya hak Khiyar (tetap jadi pembeli atau membatalkan)”.55
Jika sebelum dilakukan Qabul salah seorang calon pengantin
memutuskan untuk tidak jadi menikah, maka Ijabnya batal. Karena makna Ijab
disini telah hilang. Sebab, menghalangi bisa dilakukan oleh pihak laki-laki
dengan jalan memutuskan untuk membatalkan niat menikah sehingga dengan
demikian tidak terlaksana Qabulnya. Begitu pula kalau kedua-duanya sibuk
55
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007, hlm. 515-516.
34
dengan sesuatu yang mengakibatkan terputusnya Ijab Qabul, maka Ijabnya
batal lantaran upacara Qabulnya terhalangi.56
Lebih lanjut dikatakan: “Karena hukum yang berlaku dalam majelis
sama seperti yang berlaku pada pelaksanaan akad. Adapun dalil yang dijadikan
sebagai landasan dalam hal ini adalah disyaratkannya serah terima dan juga hak
pilih dalam berbagai perjanjian jual beli. Sehingga dengan demikian, jika kedua
mempelai tersebut terpisah tempat, maka Ijab yang dimaksudkan menjadi batal
dan tidak berarti.”57
Demikian pula jika masing-masing dari keduanya sibuk dengan sesuatu
hal yang lain sehingga mengakibatkan terputusnya waktu akad. Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad mengenai seorang laki-laki yang didatangi sekumpulan
orang yang mengatakan kepadanya: “Nikahilah si fulan”, orang itu menjawab:
“Baiklah, aku menikahinya dengan mahar seribu dinar”. Kemudian mereka
kembali mendatangi si fulan dan memberitahukannya. Maka ia pun menjawab:
Aku terima. Lalu ditanyakan kepadanya (Imam Ahmad): Apakah yang demikian
itu merupakan sebuah pernikahan? “Ya”, jawabnya. Sedangkan para ulama
penganut Madzhab Syafi‟i memberi tahu syarat terhadap pernikahan semacam
itu, yaitu tindakan segera.
Lebih lanjut mereka berpendapat, bahwa apabila dilakukannya
pemisahan antara Ijab dan Qabul itu dengan kata pendahuluan, misalnya si wali
mengatakan: “Aku nikahkan kamu”. Pihak pengantin laki menjawab: “Dengan
nama Allah, segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa
terlimpahkan kepada Rasulullah, aku terima nikahnya”. Maka mengenai hal ini
terdapat dua pendapat: Pertama, pendapat Syaikh Abu Hamid Al-Isfirayaini.
56
Ibid, hlm. 516. 57
Syaikh Kamil Muhammad, loc.cit.
35
Bahwa pernikahan semacam itu tetap sah, Karena kata pendahuluan
diperintahkan dalam pelaksanaan akad pernikahan, sehingga tidak membatalkan
pernikahan, seperti halnya tayamum antara dua shalat jama‟. Kedua, pendapat
yang menyatakan, bahwa pernikahan semacam itu tidak dapat dibenarkan.
Karena kata-kata tersebut telah memisahkan antara Ijab dan Qabul,
sebagaimana jika keduanya dipisahkan oleh selain kata pendahuluan. Berbeda
dengan tayamum yang diperintahkan melakukannya di antara dua shalat, maka
khutbah pernikahan diperintahkan sebelum berlangsungnya akad pernikahan.58
Adapun Imam Malik membolehkan waktu senggang yang sebentar
antara ucapan Ijab dan Qabul. sebab perbedaan pendapat ini adalah masalah
waktu pelaksanaan Ijab dan Qabul dalam akad nikah, apakah disyaratkan
melaksanakannya secara bersamaan atau tidak.59
c. Agar lafadz (penyampaian) Qabul tidak bertentangan dengan Ijab kecuali
pertentangannya itu lebih baik dari yang seharusnya. Yaitu, jika pihak wali
mengatakan: Aku nikahkah kamu dengan puteriku, si fulan dengan mahar
seratus junaihah. Lalu si mempelai menjawab : Aku terima nikahnya dengan
mahar dua ratus junaihah. Maka dengan demikian, pernikahan itu telah sah,
karena mencukupi dari yang seharusnya.
d. Kedua belah pihak saling mendengar satu dengan lainnya dan memahami,
bahwa maksudnya adalah pelaksanaan nikah. Meskipun salah atu dari keduanya
tidak memahami kata per kata dari kalimat yang diucapkan (dalam bahasa lain).
Karena, yang terpenting adalah tujuan dan niat.
2. Syarat-Syarat Dalam Akad Nikah
58
Ibid., 59
Sayyid Sabiq, loc.cit.
36
Tidak semua akad nikah yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan itu dapat dianggap benar menurut hukum perkawinan Islam.
Akad nikah baru bisa dianggap benar dan sah jika memenuhi syarat dan rukun yang
telah ditentukan oleh syariat Islam, dan sebaliknya suatu akad nikah dihukumkan
batal jika tidak memenuhi syarat dan rukunnya.60
Dimaksudkan dengan syarat akad perkawinan ialah hal-hal yang harus ada
sebelum akad perkawinan itu dilaksanakan. Termasuk dalam syarat-syarat akad
nikah tersebut ialah :
a. Adanya calon istri (perempuan) dan calon suami (laki-laki) yang masing-masing
atas dasar kerelaan dan saling cinta mencintai antara keduanya, bukan atas dasar
paksaan dan terpaksa, masing-masing telah ada kesungguhan untuk berkawin.
Tidak sah akad nikah jika dilakukan atas dasar paksa dan terpaksa.
b. Antara calon istri dan calon suami yang akan melakukan akad nikah, masing-
masing bukan termasuk Mawani‟un nikah, yaitu orang-orang yang terlarang
melaksanakan perkawinan.
c. Antara calon istri dan calon suami hendaknya orang-orang sejodoh (sekufu) atau
“Kafa‟ah” dalam istilah fiqh. Kafa‟ah menurut bahasa artinya ialah “sama”,
“serupa”, “seimbang”, atau “serasi”. Dan dimaksudkan dengan Kafa‟ah dalam
hal ini adalah keseimbangan atau keserasian antara calon suami dan istri hingga
karenanya pihak-pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu tidak
merasa berkeberatan terhadap kelangsungan perkawinan yang telah
dilaksanakan.61
Akad tidak akan berakhir kecuali bila terjadi perceraian atau salah satu
pihak meninggal. Karena maksud disyari‟atkannya perkawinan adalah sebagai
60 Hady Mukaat Ahmad, Fiqh Munakahat, Semarang: Duta Grafika, 1942, hlm. 102 61
Ibid.,
37
ikatan kekeluargaan yang abadi untuk mendidik anak, melaksanakan kehidupan
rumah tangga, semuanya itu tidak terwujud tanpa melaksanakan akad itu.62
Inilah yang dimaksudkan bahwa berlangsungnya perkawinan terhimpun
dalam satu syarat-syarat yaitu bahwa tidak seorang pun suami atau istri berhak
merasakan akadnya setelah akadnya berlangsung dan berlaku secara sah, karena
salah satu pihak berhak membatalkan berarti akadnya tidak berlaku dan sia-sia
menurut pandangan syara‟.
Yang dimaksud persyaratan dalam akad nikah ialah syarat-syarat yang
dibuat dan diucapkan di dalam rangkaian akad nikah, atau dengan kata lain akad
(Ijab Qabul) yang disertai dengan syarat-syarat. Persyaratan yang dibuat dalam akad
nikah ada tiga kemungkinan:
a. Syarat yang sifatnya bertentangan dengan tujuan akad nikah. Dalam hal ini
terdapat dua bentuk:
1) Tidak sampai merusak tujuan pokok akad nikah. Misalnya suami berkata
dalam Sighat Qabulnya: “Aku terima nikahnya dengan syarat tanpa mas
kawin”.63
Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang batalnya syarat-
syarat tersebut, sedangkan akad nikahnya sendiri tetap sah, karena akad
nikah itu sendiri telah menetapkan kewajiban suami memberi nafkah dan
membayar mahar menurut jumlah yang telah ditentukan dalam akad nikah
atau berupa mahar Mitsil (setelah Dukhul) jika syarat-syarat untuk
menggugurkan kewajiban tersebut di dalam suatu akad berarti menetapkan
tidak wajibnya hal-hal tersebut. Dapat dikatakan, dengan menyebutkan
62
Al-Hamdani, Risalah Nikah, Pekalongan: Raja Murah, 1980, hlm. 41 – 42. 63
Chuzaimah T. Yanggo, A. Hafiz Anshary, (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer (1),
Jakarta: PT. Pusaka Firdaus, cet.2, 1996, hlm. 50.
38
syarat-syarat tersebut hanya sia-sia saja, dan tidak wajib untuk dipenuhi.64
Oleh karena itu walaupun di dalam akad nikah disebutkan syarat tanpa mas
kawin atau tanpa nafkah, kewajiban membayar mas kawin dan nafkah itu
tetap.65
2) Merusak tujuan pokok akad nikah. Misalnya: pihak istri membuat syarat
agar ia tidak disetubuhi, atau istrinya yang harus memberikan nafkah.
Hukum membuat syarat seperti ini sama dengan apa yang telah diuraikan
pada huruf (a) di atas, yaitu syarat-syaratnya batal, karena akad nikah itu
sendiri telah memberikan hak kepada suami untuk menyetubuhi istrinya.
b. Syarat-syarat yang tidak bertentangan dengan tujuan akad nikah. Dalam hal ini
terdapat juga dua bentuk:
1) Merugikan pihak ketiga secara langsung. Contoh: istri mensyaratkan
kepada calon suami (yang sudah punya istri) supaya menjatuhkan talak
istrinya itu. Syarat seperti ini dianggap tidak ada, karena jelas bertentangan
dengan larangan agama, dengan nash yang jelas.66
2) Manfaat syarat-syarat itu kembali kepada wanita. Misalnya: calon istri
mensyaratkan agar ia tidak dimadukan. Mengenai syarat seperti ini, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan fuqaha‟.67
a) Pendapat pertama yang memandang bahwa syarat seperti itu hukumnya
batal, sedang akad nikahnya tetap sah.
Beristri lebih dari satu orang diizinkan agama. Syarat-syarat
yang sifatnya melarang sesuatu yang dibolehkan agama adalah batal
hukumnya, karena hal itu tidak patut. Selain dari itu perlu pula
64
Ibid., hlm. 51. 65
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993, hlm. 28. 66
Chuzamah T. Yanggo, A. Hafiz Anshary, op.cit., hlm. 52. 67
Djamaan Nur, op.cit.,
39
difahami, bahwa Imam Syafi‟i dan Abu Hanifah sependapat bahwa
syarat-syarat tidak merusak akad nikah, tapi merusak mahar Musamma,
karena itu kembali kepada mahar Mitsil.68
b) Pendapat kedua memandang syarat seperti itu hukumnya sah dan wajib
dipenuhi dan jika tidak dipenuhi maka pihak wanita tidak berhak
memfasakhkan akad nikahnya. Allah berfirman:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu
(janji-janji itu).69
(QS. Al-Ma‟idah : 1)
Rasulullah SAW bersabda :
ث نا اب و الوليد ىشام بن ع ث نا ليث حد عن يزيد بن اب بد الملك حديعن عقبة عن النب صل اهلل عليو وسلم قال: ىحبيب عن اب ال
روط ان ت وف وا بو ما استحللتم بو الفروج احقم ما اوف يتم من 70الشم }رواه البخارى{
Artinya : “Diceritakan kepada kami dari Abu al-Walid Hisyam bin
Abdi al-Malik, dari Lais, dari Yazid bin Abi Habib, dari Abi
al-Khoir, dari Uqbah, dari Nabi SAW. Beliau bersabda:
“Syarat yang paling utama untuk dipenuhi adalah sesuatu
yang dengannya kamu pandang halal hubungan kelamin.”
(HR. Bukhori)
c. Syarat yang sejalan dengan tujuan akad nikah, dan tidak mengandung hal-hal
yang menyalahi hukum Allah dan Rasul. Contoh : pihak wanita mensyaratkan
harus diberi belanja, dipergauli dengan baik, tidak mencemarkan nama
68
Ibid., hlm. 53. 69
Yayasan penyelenggara penterjemah Al-Qur‟an, loc.cit., hlm. 156. 70
Al-Bukhori, Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shohih Bukhari, Juz I, Beirut: Daar wa
Matabi al-Sya‟bi, hlm. 26.
40
suaminya, dan sebagainya. Dalam hal ini wajib dipenuhi karena sesuai dengan
tujuan nikah.71
3. Akad Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam
Istilah perkawinan sebagai istilah Indonesia untuk pernikahan melalui
kompilasi sudah dibakukan dalam hukum Islam Indonesia. Akan tetapi istilah wali
nikah, saksi nikah atau akad nikah masih dipergunakan. Walaupun kita sudah paham
bahwa dalam hal ini tidak ada perbedaan antara “nikah” dan “kawin”.
Dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perkawinan
menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
Mitsaqon Ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.72
Di dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam telah diatur tentang rukun dan
syarat perkawinan sekalipun tidak tegas pembedaannya satu dengan lain. Pada pasal
14 menyebutkan apa yang biasa dalam kitab fikih disebut dengan rukun nikah.
Dikatakan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon suami;
b. Calon istri;
c. Wali Nikah;
d. Dua orang saksi, dan
e. Ijab dan Qabul.73
Pengertian tentang akad nikah disebutkan dalam pasal 1 huruf c ialah “akad
nikah rangkaian Ijab yang diucapkan oleh wali dan Qabul yang diucapkan oleh
mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi”.74
Dan tentang
pelaksanaan akad nikah diatur secara khusus dalam pasal 27, 28 dan 29.
71
Chuzamah T. Yanggo, A. Hafiz Anshary, Op. Cit., hlm. 55. 72
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademik Presindo, 1992, hlm. 21 73
Ibid., 74
Ibid.,
41
Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam berbunyi :
“Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntung dan
tidak berselang waktu”.
Pasal 28:
“Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.”
Pasal 29:
1) Yang berhak mengucapkan Qabul ialah calon mempelai pria secara Pribadi
2) Dalam hal-hal tertentu ucapan Qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain
dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis
bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.75
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, dalam hal pelaksanaan akad nikah tidak
diberikan pengaturan tentang kemungkinan dilakukannya Ijab Qabul pada tempat
yang berbeda. Namun di sini yang lebih ditekankan bahwa calon mempelai dapat
menyatakannya melalui orang yang dikuasakan secara khusus.
Dengan pengaturan yang masih baku ini maka hakim dituntut untuk lebih
berperan aktif dalam memutuskan suatu perkara, karena keberadaan KHI itu sendiri
tidak dimaksudkan untuk memandulkan kreativitas dan penalaran serta bukan untuk
menutup pintu dalam melakukan terobosan dan pembaharuan hukum ke arah yang
lebih aktual. Misalnya saja tenang masalah pernikahan via telepon atau masalah-
masalah kontemporer lainnya yang erat kaitannya sebagai dampak dari
perkembangan zaman.
Lahirnya Kompilasi Hukum Islam dimaksudkan agar ke simpangsiuran
keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan Agama dan sebab-sebab khilaf yang
75
Departemen Agama R.I., Instruksi Presiden R.I. Nomor 1Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam Di
Indonesia, Jakarta, 2001, hlm23-24.
42
disebabkan oleh masalah fikih akan dapat diakhiri. Sehingga bahasa dan nilai-nilai
hukum yang dipertarungkan di forum Peradilan Agama oleh masyarakat pencari
keadilan, sama kaidah dan rumusannya dengan apa yang mesti diterapkan oleh para
hakim di seluruh nusantara.76
C. Konsep Akad Nikah Menurut Ulama Empat Madzhab
Para ulama madzhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika
dilakukan dengan akad, yang mencakup Ijab dan Qabul antara wanita yang dilamar
dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil
dan wali, dan dianggap tidak sah semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya
akad.
Para ulama madzhab juga sepakat bahwa nikah itu sah bila dilakukan dengan
menggunakan redaksi زوجت (aku mengawinkan) atau انكحت (aku menikahkan) dari pihak
yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan redaksi Qabiltu (aku terima) atau Raditu
(aku setuju) dari pihak yang melamar atau orang yang mewakilinya.77
Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang sahnya akad nikah yang tidak
menggunakan redaksi Fi‟il Madli (yang menunjukkan telah), atau menggunakan lafal
yang bukan bentukan dari akar kata النكاح dan الزواج , seperti akar kata hibah
(pemberian), الب يع (penjualan), dan yang sejenisnya.
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa akad boleh dilakukan dengan segala
redaksi yang menunjukkan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafal Al-Tamlik
(pemilikan), Al-Hibah (penyerahan), Al-Bay‟ (penjualan), Al-„Atha‟ (pemberian), Al-
76 Ibid.,
77 Muhammad Jawad Mughniyah, loc.cit, hlm. 313.
43
Ibahah (pembolehan), dan Al-Ihlal (penghalalan), sepanjang akad tersebut disertai
dengan Qarinah (kaitan) yang menunjukkan arti nikah. Akan tetapi akad tidak sah jika
dilakukan dengan lafal Al-Ijarah (sewa) atau al-„Ariyah (pinjaman), sebab kedua kata
tersebut tidak memberi arti kelestarian atau kontinuitas.
Maliki dan Hanbali berpendapat: Akad nikah dianggap sah jika menggunakan
lafal Al-Nikah dan Al-Zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Juga dianggap sah dengan
lafal-lafal Al-Hibah, dengan syarat harus disertai penyebutan mas kawin, selain kata-kata
tersebut di atas tidak dianggap sah.
Sementara itu, madzhab Syafi‟i berpendapat bahwa, redaksi akad harus
merupakan kata bentukan dari lafal Al-Tazwij dan Al-Nikah saja, selain itu tidak sah.
Berdasarkan hukum asalnya, Ijab itu datangnya dari pengantin wanita,
sedangkan Qabul dari pengantin laki-laki. Wali mengatakan , “Saya nikahkan anak
perempuanku kepadamu,” lalu pengantin laki-laki menjawab, “saya terima nikah
denganmu”. Andaikata Qabul didahulukan, dimana pengantin laki-laki mengatakan
kepada wali, “Nikahkan saya dengan dia”, lalu wali berkata, “Saya nikahkan kamu
dengannya”, timbul pertanyaan: apakah akad tersebut sah atau tidak?
Imamiyah dan tiga madzhab lainnya mengatakan sah, sedangkan HaNbali
mengatakan tidak sah.78
78
Ibid., hlm. 313
44
BAB III
PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK SAHNYA AKAD NIKAH
DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN MENGAKHIRKAN IJAB
A. Sekilas Biografi Ibnu Qudamah
Ibnu Qudamah adalah salah seorang pemikir dari mazhab Hanbali dan bahkan ia
merupakan ulama besar dari mazhab tersebut. Nama lengkapnya adalah Muwaffaqudin Abu
Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah. Ia terlahir di kota Jamail,
Yerussalem, Syakban 541 H atau Januari – Februari 1147 M. dan ia meninggal di kota
Damaskus, 6 Jumadil Akhir 620 H atau 6-7 Juli 1233 M. Ibnu Qudamah adalah sosok ulama
besar serta penulis kitab-kitab fiqh dari Mazhab Hanbali.79
Menurut para sejarawan, Ibnu Qudamah adalah keturunan Umar bin Khattab melalui
jalur Abdullah bin Umar bin Khattab. Ia hidup ketika perang salib sedang berlangsung,
khususnya di daerah Syam atau Syuriah sekarang. Dari akibat perang salib tersebut
keluarganya mengasingkan diri ke Yerussalem pada tahun 551 H dan bermukim di sana
selama dua tahun. Kemudian keluarga ini pindah ke Jabal Qasiyun, yaitu sebuah desa di
Lebanon. Di desa inilah Ibnu Qudamah memulai pendidikannya dengan mempelajari Al-
Quran dari ayahnya dan Syaikh lain.80
Pada usia dua puluh tahun, Ibnu Qudamah mulai mengembara untuk menimba ilmu,
khususnya di bidang fiqh. Dan pada tahun 561 H, dengan ditemani pamannya, ia berangkat ke
Iraq untuk belajar dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani selama empat tahun. Ia kembali ke
Damaskus untuk melanjutkan kembali pelajarannya. Pada tahun 578 H, ia pergi ke Mekkah
79
Hasan Muarif Ambari, et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1966, hlm. 212.
80 Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996. Hlm. 619.
45
Al-Mukarrahmah dan belajar dari Syaikh Al-Mubarak bin Ali bin Husain bin Abdullah bin
Muhammad at-Tabbakh Al-Bagdadi, seorang ulama besar mazhab Hanbali di bidang fiqh dan
ushul fiqh. Kemudian ia kembali ke Baghdad lagi dan berguru pada Ibnu Manni selama
setahun. Ibnu Manni juga termasuk salah satu ahli fiqh dan ushul fiqh dari mazhab Hanbali.
Kemudian setelah itu, ia kembali ke Damaskus untuk mengembangkan ilmu yang didapatnya
dengan mengajar dan menulis buku. Murid-muridnya yang menonjol antara lain adalah dua
orang anak dari saudaranya sendiri, yakni Abu Al-Fajr Abdurrahman bin Muhammad bin
Qudamah (seorang ketua Mahkamah Agung di Damaskus) dan Al-Imad Ibrahim bin Abdul
Wahid bin Ali bin Surur al Mugdisi al-Dimisqi (pada akhirnya ia juga ulama besar mazhab
Hanbali). Sejak saat itulah Ibnu Qudamah tidak pernah lagi keluar Damaskus. Selain
mengajar dan menulis buku, sisa hidupnya juga diabdikan untuk menghadapi perang salib
melalui pidatonya yang tajam dan membakar semangat umat Islam.81
Pada tahun 561 H, dengan ditemani pamannya, Ibnu Qudamah berangkat ke Irak
untuk menimba ilmu, khususnya di bidang fiqih. Ia menimba ilmu di Irak selama 4 tahun dari
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani (ahli fiqih, 470 H/1077 M-561 H/1166 M) dan beberapa syaikh
lain. Kemudian Ia kembali ke Damaskus untuk menimba ilmu lagi dari beberapa orang
ulamabesar Damaskus. Pada tahun 578 H, Ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji,
sekaligus menimba ilmu dari Syaikh al-Mubarak bin Ali bin al-Husain bin Abdillah bin
Muhammad at-Tabbakh al-Baghdadi (w. 575 H), seorang ulama besar Madzhab Hanbali di
bidang fiqh dan ushul fiqh. Kemudian Ia kembali ke Baghdad dan berguru selama satu
tahunkepada Ibnu al-Manni, yang juga seorang ulama besar Madzhab Hanbali di bidang fiqih
dan ushul fiqih. Setelah itu, Ia kembali ke Damaskus untuk menyumbangkan ilmunya dengan
mengajar dan menulis buku. Murid-muridnya yang menoonjol antara lain adalah dua orang
anak saudaranya sendiri, yakni Abu al-Fajr Abdurrahman bin Muhammad bin Qudamah
81 Hasan Muarif Ambari, et.al., loc.cit., hlm. 213.
46
(ketika itu ketua Mahkamah Agung Damaskus) dan al-Imad Ibrahim bin Abdul Wahid bin
Ali bin Surur al-Maqdisi ad-Dimasyqi (di kemudian hari menjadi seorang ulama besar di
kalangan Madzhab Hanbali).82
Ibnu Qudamah dikenal oleh Ulama sezamannya sebagai seorang Ulama besar yang
sarat dengan berbagai ilmu. Ia menguasai berbagai ilmu sehingga gurunya sendiri, Ibnu
Manni dari Bagdad, mengakui keunggulan dan kecerdasan Ibnu Qudamah. Ketika Ibnu
Qudamah akan meninggalkan Iraq, Ibnu Manni berkata “Tingallah di Iraq ini, karena jika
engkau berangkat tidak ada lagi Ulama yang sebanding dengan engkau di Iraq”. Dan tidak
hanya itu saja, seorang Ulama dan pemikir Islam, Ibnu Taimiyah, mengakui “Setelah Al
Auzai (seorang pengumpul hadis pertama di Syam), Ulama besar di Syuriah adalah Ibnu
Qudamah.83
Dari hasil pemikirannya dalam berbagai keilmuannya itu, ia meninggalkan beberapa
karya besarnya yang hingga saat ini masih menjadi standar sekaligus sebagai rujukan oleh
generasi di bawahnya dalam mazhab Hanbali. Menurut penelitian Abdul Aziz Abdurrahman
Al Said, seorang tokoh fiqh Saudi Arabia yang menulis tesis dengan judul Ibnu Qudamah Wa
Asaruh al-Ushuliyyah (Ibnu Qudamah dan Pengaruh Usulnya), karya Ibnu Qudamah
seluruhnya dalam berbagai bidang ilmu berjumlah tiga puluh satu buah dalam ukuran besar
dan kecil.84
Karya-karya besar Ibnu Qudamah antara lain adalah: (1) Al Mughni, terdiri atas
sepuluh jilid; memuat seluruh permasalahan fiqh, mulai dari ibadah, muamalat dengan segala
aspeknya, sampai kepada masalah perang dan kitab ini telah dicetak beberapa kali dan
beredar di berbagai belahan dunia Islam, (2) Al- Kafi, terdiri atas tiga jilid besar; merupakan
ringkasan Bab Fiqh, (3) Al-Muqni, kitab fiqh yang terdiri atas tiga jilid besar, tetapi tidak
82
Abdul Aziz, loc.cit., hlm. 619. 83 Hasan Muarif Ambari, et.al., loc.cit., hlm. 213. 84 Ibid.
47
selengkap Al-Mughni, (4) Al „Umdah fi al-Fiqh, yaitu tiga kitab fiqh kecil yang disusun
untuk para pemula dengan mengemukakan argumentasi dari Al-Quran dan Sunnah, (5)
Raudah An- Nazir fi Usul al-Fiqh, membahas persoalan usul fiqh dan merupakan kitab usul
fiqh dan kitab ini merupakan kitab ushul fiqh yang tertua dalam Mazhab Hanbali. Pada
ahirnya kitab ini diringkas oleh Najmuddin Al-Tufi, (6) Mukhtasar Ila Al Hadits, kitab ini
mengupas tentang cacat-cacat hadis, (7) Mukhtasar fi Garib Al- Hadis, menerangkan tentang
hadis-hadis gharib, (8) Al Burhan fi Masaili AQuran, kitab ini membahas tentang ilmu-ilmu
Al-Quran, (9) Kitab Al Qadr, terdiri atas dua jilid; yang menerangkan tentang Kadar, (10)
Fadhail Al-Sahabah, menerangkan tentang kelebihan-kelebihan para sahabat, (11) Kitab Al-
Tawwabin fi Al-Hadis, terdiri atas dua jilid; membahas tentang tobat dalam hadis, (12) Al
Mutahabbin fi Allah, kitab tasawuf, (13) Al-Istitsar fi Nasb Al-Ansar, membahas tentang
keturunan orang-orang Anshor, (14) Manasik AL-Haji, membahas tentang tata cara haji dan
(15) Zamm Al-Ta‟wil, membahas tentang persoalan ta‟wil.85
Dari sekian banyak karya-karya Iman Ibnu Qudamah, dua kitabnya yakni Al-Mughni
dan Raudah al-Nazir, menjadi rujukan para Ulama. Al Mughni merupakan kitab fiqh standar
dalam mazhab Hanbali, keistemewaan kitab ini adalah bahwa pendapat kalangan mazhab
Hanbali mengenai satu masalah senantiasa dibandingkan dengan pendapat dari mazhab
lainnya. Jika pendapat mazhab Hanbali berbeda dengan pendapat lainnya, selalu diberikan
alasan dari ayat atau hadis terhadap pendapat kalangan mazhab Hanbali, sehingga banyak
sekali dijumpai ungkapan “ walana Hadits Rasulillah…” (alasan kami adalah hadis
Rasulillah). Dalam kitab ini terlihat jelas keterikatan Ibnu Qudamah kepada teks ayat atau
hadits, sesuai dengan prinsip mazhab Hanbali. Karena itu jarang sekali beliau menggunakan
argumentasi akal.86
85 Ibid, hlm. 213. 86 Hasan Mu’arif, et.al., Ibid, hlm 213.
48
Demikian halnya dengan kitab Raudah-nya, dibidang usul fiqh, ia sejalan dengan
prinsip ushul fiqh dalam Mazhab Hanbali dan dianggap sebagai kitab ushul standar dalam
mazhab tersebut. Dalam kitab ini, Ibnu Qudamah membahas berbagai persoalan ushul fiqh,
dengan membuat perbandingan teori ushul Mazhab lainnya. Ia belum berhenti membahas
suatu masalah sebelum setiap pendapat didiskusikan dari berbagai aspek pembahasan,
kemudian ditutup dengan pendapatnya atau pendapat mazhab Hanbali.87
B. Pendapat Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya Akad Nikah Dengan Mendahulukan
Qabul Dan Mengakhirkan Ijab
Dalam kitab Al-Kafie fi Fiqh Al-Iman Ahmad bin Hanbal, Ibnu Qudamah
berpendapat dalam masalah Ijab dan Qabul, sebagai berikut:
الشرط الامس من شروط النكاح : الجياب والقبول. ول يصح الجياب ال بلفظ النكاح، ، فيقول: قبلت ىذا النكاح. وان اقتصر على قبلت، صح، لن او تزويج. واما القبول
وان تقدم القبول على اإلجياب ، مل يصح القبول يرجع اىل ما او جبو الوىل، كما يف البيع. 88.، ألن القبول إمنا ىو باإلجياب ، فيشرتط تأخره عنو
Artinya: Syarat yang kelima dari syarat nikah adalah Ijab dan Qabul. dan tidak sah suatu
Ijab kecuali dengan lafadz Nikah atau Tazwij. Dan adapun qabul maka ucapannya
adalah saya terima pernikahan ini. Dan apabila hanya diucapkan Qabiltu, sah,
karena sesungguhnya ucapan Qabul ada karena Ijab atau jawaban dari wali, seperti
dalam jual-beli. Sesungguhnya mendahulukan Qabul atas Ijab, tidaklah sah, karena
sesungguhnya adanya Qabul sebab adanya Ijab, maka syaratnya mengakhirkan
Qabul dari Ijab.
Ketika Qabul mendahului Ijab hukumnya tidak sah. Baik menggunakan kata-kata
Madli, seperti ”telah aku peristri anak perempuanmu”, kemudian dijawab: “ya, telah aku
jodohkan anakku denganmu”. Atau dengan lafal Thalab (permohonan), seperti kata-kata:
87 Ibid, hlm. 213. 88
Syaikh al-Islam Abi Muhammad Muwaffaq ad-Dien Abdullah bin Qudamah al-Maqdisiy, al-Kafie fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal juz III, Beirut: Darul Fikr, 1992, hlm. 20-21.
49
“jodohkan aku dengan anak perempuanmu”, kemudian menjawab: “ya, telah aku jodohkan
kamu dengan putriku”.
Adapun Hanafi, Malik, Syafi‟i mengesahkan adanya Qabul sebelum Ijab baik
menggunakan kata-kata Madli atau Thalab. Sebab terkadang ditemui juga adanya Ijab dan
Qabul seperti itu. Maka sah hukumnya seperti ketika Ijab mendahului Qabul. Dan bagi kami
(Imam Hanbali) bahwa sesungguhnya Qabul tidak akan ada kecuali adanya Ijab. Maka bila
mana ditemukan Qabul sebelum Ijab maka tidak bisa disebut Qabul karena tidak ada artinya,
maka tidak sah.89
Adapun ungkapan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab adalah:
1. Contoh pertama
Pihak mempelai laki-laki lebih dahulu mengucapkan Qabul.
قبلت نكاح فلنة.....Saya terima nikahnya.....
Kemudian wali mengucapkan:
انكحتكها.....Saya nikahkan.....
2. Contoh kedua
Pihak mempelai laki-laki lebih dahulu mengucapkan Qabul:
.....زوجت اب نتك Telah aku peristri putrimu.....
kemudian wali mengucapkan:
جتك.....زو Telah aku jodohkan putriku denganmu....
89 Syaikh al-Islam Abi Muhammad Muwaffaq ad-Dien Abdullah bin Qudamah al-Maqdisiy, Al-Mughni,
Beirut: Darul Kutub, 1996, hlm.430-431.
50
3. Contoh ketiga
Pihak mempelai laki-laki lebih dahulu mengucapkan Qabul:
زوجن اب نتك.....Jodohkanlah denganku anak perempuanmu.....
kemudian wali mengucapkan:
زوجتكها.....Telah aku jodohkan kamu dengan putriku.....
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, pendapat Ibnu Qudamah tentang
Ijab oleh pihak laki-laki lebih dahulu lalu disusul Qabul oleh pihak perempuan dalam akad
nikah hukumnya tidak sah.
C. Metode Istinbath Hukum Yang Digunakan Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya
Akad Nikah Dengan Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan Ijab
Istinbath merupakan sistem atau metode para mujtahid guna menemukan atau
menetapkan suatu hukum. Istinbath erat kaitannya dengan ushul fiqh, karena ushul fiqh
dengan segala kaitannya tidak lain merupakan hasil ijtihad para mujtahidin dalam
menemukan hukum dari sumbernya (al-Qur‟an dan as-sunnah).
Ibnu Qudamah dalam melakukan istinbath hukum tentang tidak sahnya akad nikah
dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab menggunakan langkah sebagai berikut:
1. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an adalah Kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui perantaraan
malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafaz yang
51
berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, menjadi undang-undang bagi manusia
yang mengikuti petunjuknya.90
Dalam al-Qur‟an tidak ada yang membahas secara khusus dan rinci tentang
masalah ijab dan qabul dalam akad nikah, akan tetapi beberapa ayat Al Qur‟an bisa
dijadikan rujukan (dalil). Dalam al-Qur‟an mengenai akad nikah diungkapkan dengan
Mitsaqon Ghalizhan yang artinya perjanjian yang kuat. Di antaranya Firman Allah
SWT.:
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-
isteriermu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.91
(QS. An-Nisa:
21)
2. Sunnah
Sunnah Nabi adalah ucapan, perbuatan serta ketetapan-ketetapan Nabi
Muhammad SAW. Dengan demikian sunnah dilihat dari segi materi dan esensinya
terbagi menjadi tiga macam:
a. Sunnah Qauliyah (ucapan)
b. Sunnah Fi‟liyah (perbuatan)
c. Sunnah Taqririyah (ketetapan)92
Dalam masalah Ijab penulis lebih melihat pada dalil yang secara umum, yaitu:
رواه (جهن بكلمة اهلل. ات قوا اهلل ف النساء فانكم اخذ توىن بأمانة اهلل واستحللتم ف رو 93)مسلم
90 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 18. 91 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Atlas,
1998, hlm. 120.
92 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus 1994, hlm. 149. 93 Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Semarang, Toha Putra, t.th, hlm.593.
52
Artinya: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu ambil
mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka
dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)
Adapun sebuah hadits yang menunjukkan bahwa Ijab itu hak perempuan dan
Qabul kewajiban laki-laki:
ا امرأة مل ي نكحها الولم فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل ف إن أيملطان ولم من ل ول لو ها فإن اشتجروا فالسم 94أصاب ها ف لها مهرىا با أصاب من
Artinya: “Wanita manapun yang tidak dinikahkan oleh wali maka pernikahannya tidak
sah, beliau mengucapkannya tiga kali. Jika telah melakukan hubungan badan,
maka wanita itu tetap berhak menerima mahar (maskawin) karena hubungan
badannya itu. Jika mereka berselisih maka pemerintah adalah wali bagi orang
yang tidak memiliki wali.” (H.R. Ahmad)
3. Aqwalus Sahabat
Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulallah SAW, yang langsung
menerima risalahnya, dan mendengar langsung penjelesan syari‟at dari beliau sendiri.
Oleh karena itu Jumhur Fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat
dijadikan Hujjah setelah dalil-dalil Nash.
Dalam menetapkan fatwa-fatwa sahabat sebagai Hujjah, Jumhur Fuqaha
mengemukakan beberapa argumentasi, baik dengan dalil Aqli maupun Naqli.95
4. Qiyas
Secara bahasa (Arab) Qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu,
membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain.96
94
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Bab La Nikah Illa Biwaliy, Juz V, Aplikasi Maktabah
Syamilah, hlm. 486.
95 Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 328. 96 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1996, hlm. 62.
53
Menurut Ulama ushul fiqh, Qiyas berarti menyamakan sesuatu kejadian yang
tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash hukum yang telah
menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua kejadian itu dalam illat (sebab
terjadinya) hukum.97
5. Istishhab
Ibnu Qudamah dalam menggali hukum tentang tidak sahnya akad nikah dengan
mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab adalah berdasarkan Al-Quran, dan Sunnah.
Kemudian metode yang beliau gunakan dalam melakukan ijtihad adalah dengan metode
Istishhab, meskipun tidak secara tegas menyebutkan istilah tersebut, akan tetapi hal ini
dapat dipahami dari pendapat dan langkah-langkah cara berpikir beliau dalam
menetapkan sebuah hukum.
Ditinjau dari segi bahasa, Istishhab berarti: persahabatan dan kelanggengan
persahabatan98
. Dalam literatur lain Istishhab berarti pengakuan terhadap hubungan
pernikahan99
, atau membandingkan sesuatu dan membandingkannya100
.
Secara terminologi ada beberapa definisi Istishhab yang dikemukakan para ahli
ushul fiqh. Imam Al-Ghozali,101
mendefinisikan Istishhab dengan: “berpegang pada dalil
akal atau syara‟, bukan didasarkan karena tidak mengetahui adanya dalil, tetapi setelah
dilakukan pembahasan dan penelitian cermat, diketahui tidak ada dalil yang mengubah
hukum yang telah ada.” Maksudnya, apabila dalam suatu kasus telah ada hukumnya dan
tidak diketahui dalil lain yang mengubah hukum tersebut, maka hukum yang telah ada di
masa lampau itu tetap berlaku sebagaimana adanya.
97 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, cet. Ke-7, Bandung: Gema
Risalah Press, 1996, Hlm. 92-93. 98 Muhamad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 450. 99 Abdul Wahab Khalaf, loc.cit., hlm. 152. 100
Nasrun Haroen, loc.cit., hlm. 128. 101 Abu Hamid Al-Ghazali, Syifa Al-Ghalil Fi Bayan Al-Syabah Wa Al-Mukhil Wa Masalik Al-Ta’lil, tahqiq
Ahmad Al-Kabisi, jilid I, Baghdad: Mathba’ah Al-Irsyad, 1971, hlm. 128, dan Dr. H. Nasrun Haroen M.A., op.cit.
54
Ibn Hazm,102
mendefinisikan Istishhab dengan: “berlakunya hukum asal yang
ditetapkan berdasarkan nash (ayat dan hadits) sampai ada dalil lain yang menunjukkan
perubahan hukum tersebut.”
Kedua definisi ini, pada dasarnya, mengandung pengertian bahwa hukum-
hukum yang sudah ada pada masa lampau tetap berlaku untuk zaman sekarang dan yang
akan datang, selama tidak ada dalil lain yang mengubah hukum itu.103
Ibnu Qudamah berpendapat tentang tidak sahnya akad nikah dengan
mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab karena menurut beliau, berdasarkan nash
dan sunnah di atas, hukum asal Ijab adalah dari pihak wali si perempuan (penyerahan),
dan Qabul adalah dari pihak calon suami (penerimaan), maka syaratnya Qabul harus
diakhirkan karena adanya Qabul itu timbul karena adanya Ijab. Dengan kata lain, Ijab
dan Qabul harus tertib berurutan. Dan ketika ditemukan Qabul sebelum Ijab maka tidak
bisa disebut Qabul karena tidak ada artinya, maka tidak sah.
102
Ibn Hazm Al-Andalusi, Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, jilid V, Beirut: Dar Al-Fikr, hlm. 590, dan Muhammad Abu Zahrah, Ibn Hazm Al-Andalusi, Mesir: Dar Al-Fikr Al-‘Arabi, t.t., hlm. 373.
103 Nasrun Haroen, loc.cit., hlm. 128-129.
55
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG TIDAK SAHNYA AKAD
NIKAH DENGAN MENDAHULUKAN QABUL DAN MENGAKHIRKAN IJAB
A. Analisis Pendapat Ibnu Qudamah Tentang Tidak Sahnya Akad Nikah Dengan
Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan Ijab
Pernikahan dalam Islam merupakan suatu perikatan yang sangat agung
(Aghladhu Al-Mawatsiq) dan suci antara seorang lelaki dan wanita guna menciptakan
keluarga bahagia yang diridhai oleh Allah SWT. Hal ini disebabkan karena perikatan
merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak
dan mengembang biakkan keturunan. Oleh karena itu disyaratkan agar masing-masing
pihak agar siap baik secara lahir maupun batin untuk dapat melaksanakan perannya
dengan positif dalam rangka mewujudkan suatu tujuan pernikahan.104
Salah satu syarat pernikahan adalah Ijab dan Qabul. Di kalangan masyarakat
pada umumnya saat terjadi pernikahan, diadakan Walimatul ‟Urs. Saat bahagia bagi
kedua calon mempelai, dimana mereka akan melangkah pada keputusan untuk menjalani
hidup baru dengan calon mempelai masing-masing. Saat mendebarkan dan puncak acara
adalah ketika pelaksanaan akad nikah. Ijab diutarakan oleh wali calon mempelai
perempuan, dan Qabul oleh mempelai laki-laki. Serta disaksikan oleh dua orang saksi.
Seperti itulah adanya.
Akan tetapi ketika penulis menggali lebih dalam dari dasar hukumnya, penulis
temukan kejanggalan yang aneh. Karena dari yang berkembang di masyarakat,
pelaksanaan akad nikah tidak memungkinkan adanya mendahulukan Qabul dan
mengakhirkan Ijab. Meskipun mayoritas mengaku bermadzhab Syafi‟i, tidak terelakkan
104
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj,, Moh Thalib, juz 6, Bandung: Al-Ma‟arif, 1997, hlm 9.
56
bahwa Imam Syafi‟i sendiri berpendapat tentang akad nikah dengan mendahulukan
Qabul dan mengakhirkan Ijab adalah sah, yang terpenting adalah pencapaian maksud
dari dilaksanakannya akad tersebut. Pendapat ini didukung pula oleh Madzhab lainnya,
yaitu Hanafi, Maliki. Hal inilah yang memicu penulis untuk menggali lebih dalam
tentang tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab.
Ulama fiqh sepakat tentang redaksi dari Ijab dan Qabul memiliki persamaan
yaitu sah ketika dilakukan dengan menggunakan redaksi زوجت (aku mengawinkan) atau
dari pihak yang dilamar atau orang yang mewakilinya dan (aku menikahkan)انكحت
redaksi Qabiltu (aku terima) atau Raditu (aku setuju) dari pihak yang melamar atau
orang yang mewakilinya.
Namun ketika pelaksanaan akad nikah mendahulukan Qabul dan mengakhirkan
Ijab terjadi perbedaan pendapat. Imam hanafi, Imam Malik, Imam Syafi‟i mengesahkan.
Adapun alasan ketiga Imam Madzhab lainnya adalah yang terpenting maksud tujuan
akad nikah tersebut tercapai.
Sebagaimana yang telah penulis uraikan dalam bab III, menurut Ibnu Qudamah
bahwa tidak sah akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab,
dengan alasan adanya Qabul sebab adanya Ijab, maka syaratnya mengakhirkan Qabul
dari Ijab. Baik menggunakan kata-kata Madli, Thalab, maupun Istifham. Jadi, Qabul
tidak akan ada kecuali adanya Ijab. Bila mana ditemukan Qabul sebelum Ijab maka tidak
bisa disebut Qabul karena tidak ada artinya, sehingga tidak sah. Sebagaimana tertulis
dengan jelas dalam kitab beliau Al-Kafie Fi Fiqh Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, beliau
berpendapat:
57
فيشرتط ، باإلجياب ىو إمنا القبول ألن ، يصح مل ، باإلجيا على القبول تقدم نوإ 105.عنو تأخره
Artinya: jika mendahulukan Qabul atas Ijab, maka tidaklah sah, karena sesungguhnya
adanya Qabul sebab adanya Ijab, maka syaratnya mengakhirkan Qabul dari
Ijab.
Namun menurut penulis penggunaan lafadz Thalab tidak menjadi permasalahan
ketiha Qabul didahulukan dari Ijab. Karena tidak bertentangan dengan pendapat Ibnu
Qudamah yang menentukan berdasarkan hukum asalnya. Justru sangat relevan untuk
diterapkan pada zaman sekarang dan dapat dijadikan inovasi baru pengungkapan Ijab
Qabul sebagai penyetaraan perkembangan persamaan gender dan tidak dapat dipungkuri
laki-laki banyak tergila-gila oleh kaum hawa. Jadi pelaksanaannya dari pihak mempelai
laki-laki mengajukan permohonan kepada pihak mempelai perempuan (wali) untuk
disetujui menjalin rumah tangga dengannya. seperti contoh:
Pihak mempelai laki-laki lebih dahulu mengucapkan Qabul:
زوجن اب نتك.....Jodohkanlah denganku anak perempuanmu.....
kemudian wali mengucapkan:
زوجتكها.....Telah aku jodohkan kamu dengan putriku.....
Adapun sebuah hadits yang menunjukkan bahwa Ijab itu hak perempuan dan
Qabul kewajiban laki-laki:
105
Syaikh al-Islam Abi Muhammad Muwaffaq ad-Dien Abdullah bin Qudamah al-Maqdisiy, al-Kafie
fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal juz III, Beirut: Darul Fikr, 1992, hlm. 20-21.
58
ا امرأة مل ي نكحها الولم فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن أيمه لطان ولم من ل ول أصاب ها ف لها مهرىا با أصاب من ا فإن اشتجروا فالسم
106لو Artinya: “Wanita manapun yang tidak dinikahkan oleh wali maka pernikahannya tidak
sah, maka pernikahannya tidak sah, maka pernikahannya tidak sah. Jika telah
melakukan hubungan badan, maka wanita itu tetap berhak menerima mahar
(maskawin) karena hubungan badannya itu. Jika mereka berselisih maka
pemerintah adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (H.R. Ahmad)
Dari pemikiran Ibnu Qudamah tersebut, dapat diartikan bahwa yang disebut
akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan
perkawinan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak wali si
perempuan, dan Qabul adalah penerimaan dari pihak calon suami. Lebih lanjut dalam
persoalan Ijab beliau mensyaratkan bahwa Ijab dan Qabul itu haruslah dari kata-kata
yang tersebut dalam al-Qur‟an, yaitu Lafadz Nikah dan Tazwij atau terjemahannya
seperti kawin dan nikah.
Berdasarkan hukum asalnya, Ijab itu datangnya dari pihak wali si perempuan,
dan Qabul dari pihak calon suami.107
Dalam hal ini, seluruh Ulama sepakat; Namun
ketika dihadapkan dengan kemungkinan bila terjadi dalam suatu akad nikah, dimana
Qabul didahulukan dari Ijab, terdapat perbedaan pendapat. Yang mengesahkan
berpendapat yang terpenting adalah tercapainya maksud diadakannya akad nikah. Di sini penulis melihat bahwa apa yang diungkapkan Ibnu Qudamah dalam
masalah Qabul didahulukan dan Ijab diakhirkan di dalam akad nikah, melihat praktek
yang ada bahwa Ijab dilakukan dari pihak perempuan (wali), dan mempelai laki-laki
106
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Bab La Nikah Illa Biwaliy, Juz V, Aplikasi Maktabah
Syamilah, hlm. 486.
107 Muhammad Jawad Mughniyyah, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Beirut: Darul „Ilmi Lilmalayin, 1964,
hlm. 11.
59
secara urut/tertib yaitu Ijab dulu oleh pihak wali kemudian disusul Qabul dari pihak
mempelai laki-laki.
Dari keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa, pendapat Ibnu
Qudamah sangat relevan dalam konteks pada masa zaman sekarang, karena melihat Ijab
dan Qabul pada umumnya dimulai dari wali dan calon suami, sesuai dengan bentuk
urutannya. Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam pasal pasal
27, 28 dan 29.
Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam berbunyi :
“Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan
tidak berselang waktu”.
Pasal 28:
“Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain.”
Pasal 29:
1) Yang berhak mengucapkan Qabul ialah calon mempelai pria secara Pribadi
2) Dalam hal-hal tertentu ucapan Qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain
dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis
bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria
diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.108
Jadi, Ijab Qabul itu harus tertib yaitu Ijab dulu dari pihak perempuan, baru
kemudian Qabul dari pihak mempelai laki-laki. Sesuai dengan isi dari dari Ijab Qabul itu
sendiri mengandung serah terima dari pihak wali kepada suami agar bertanggung jawab
atas hak-haknya sebagai suami terhadap isterinya. Posisi suami dalam akad nikah sebagai
108
Departemen Agama R.I., Instruksi Presiden R.I. Nomor 1Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam Di
Indonesia, Jakarta, 2001, hlm23-24.
60
orang yang diberi beban tanggung jawab maka harus ada penyerahan dari pihak wali
karena wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri.
B. Analisis Metode Istinbath Hukum Yang Digunakan Ibnu Qudamah Tentang Tidak
Sahnya Akad Nikah Dengan Mendahulukan Qabul Dan Mengakhirkan Ijab
Setiap ketetapan hukum mempunyai sumber pengambilan dalam ilmu Fiqh di
kenal istilah istinbath hukum, setiap istinbath (pengambilan hukum) dalam syariat Islam
harus berpijak atas Al-Qur‟an da As-Sunnah.
Istinbath merupakan sistem atau metode para mujtahid guna menemukan atau
menetapkan suatu hukum. Istinbath erat kaitannya dengan ushul fiqh, karena ushul fiqh
dengan segala kaitannya tidak lain merupakan hasil ijtihad para mujtahidin dalam
menemukan hukum dari sumbernya (Al-Qur‟an dan As-Sunnah).
Nash yang menjadi dalil hukum Islam baik Al-Qur‟an sebagai sumber hukum
pertama maupun Sunnah Nabi SAW. Sebagai sumber kedua adalah berbahasa Arab.
Untuk memahaminya dengan baik membutuhkan kemampuan memahami bahasa dan
ilmu bahasa Arab dengan baik pula. Seseorang harus mengerti betul kehalusan dan
kedalaman yang dimaksud oleh bahasa itu (dalalah-nya). Begitu pula harus dipahami
tentang cara mengutarakan sesuatu, apakah dengan bentuk hakikat ataukah dengan
bentuk majaz (kiasan).
Menurut analisis penulis, Ibnu Qudamah dalam beristinbath tentang tidak
sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab menggunakan
metode Istishhab, dan dasar beliau menggunakan Al-Qur‟an dan Hadits.
Ibnu Qudamah secara tersirat mendefinisikan Ijab dan Qabul yaitu: Ijab adalah
penyerahan dari pihak pertama yaitu wali dari calon mempelai perempuan, Qabul adalah
penerimaan dari pihak kedua yaitu calon mempelai laki-laki.
61
Dari pengamatan penulis, jelas terlihat bahwasanya Ibnu Qudamah mengangkat
pendapat berdasarkan makna tekstual yang ada. Beliau mempunyai pemikiran yang luas
terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat Islam, baik itu yang telah
terjadi, maupun yang belum pernah terjadi, karena kehati-hatiannya dalam menentukan
hukum. Pendapat beliau sesuai dengan firma Allah SWT.:
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah
bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-
isteriermu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.109
(QS. An-
Nisa: 21)
Dari ayat di tersebut, akad nikah bukanlah sekedar perjanjian yang yang bersifat
keperdataan. Akad nikah dinyatakan sebagai perjanjian yang kuat yang disebut dalam
Al-Qur‟an dengan ungkapan: ميثاقا غليظا yang mana perjanjian itu bukan hanya disaksikan
oleh dua orang saksi yang ditentukan atau orang banyak yang hadir pada waktu
berlangsungnya akad perkawinan, tetapi juga disaksikan oleh Allah SWT.
Dalam masalah Ijab penulis lebih melihat pada dalil yang secara umum, yaitu:
رواه (انكم اخذ توىن بأمانة اهلل واستحللتم ف روجهن بكلمة اهلل. ات قوا اهلل ف النساء ف 110)مسلم
Artinya: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu ambil
mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka
dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)
Adapun sebuah hadits yang menunjukkan bahwa Ijab itu hak perempuan dan
Qabul kewajiban laki-laki:
109
Yayasan penyelenggara penterjemah Al-Qur‟an, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: CV. ATLAS,
1998, hlm. 120. 110
Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Semarang:Toha Putra, t.th, hlm.593.
62
ا امرأة مل ي نكحها الولم فن كاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن أيملطان ولم من ل ول ها فإن اشتجروا فالسم أصاب ها ف لها مهرىا با أصاب من
111لو Artinya: “Wanita manapun yang tidak dinikahkan oleh wali maka pernikahannya tidak
sah, beliau mengucapkannya tiga kali. Jika telah melakukan hubungan badan,
maka wanita itu tetap berhak menerima mahar (maskawin) karena hubungan
badannya itu. Jika mereka berselisih maka pemerintah adalah wali bagi orang
yang tidak memiliki wali.” (H.R. Ahmad)
Kedua hadits tersebut memperkuat pendapat Ibnu Qudamah mengenai Ijab dan
Qabul. Bahwa Ijab adalah penyerahan dari pihak wali si perempuan, dan Qabul adalah
penerimaan dari pihak calon suami.
Dan mengenai tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan
mengakhirkan Ijab tentunya tidaklah sah, mengingat bahwa akad nikah adalah perjanjian
yang kuat, yang mana tidak hanya disaksikan oleh banyak orang tetapi langsung
disaksikan Allah SWT. Jadi penentuan tata cara pelaksanaannya harus dipastikan. Dalam
hal ini, Ibnu Qudamah mengharuskan untuk tertib berurutan yaitu Ijab diucapkan terlebih
dahulu oleh wali mempelai perempuan, kemudian disusul Qabul oleh calon mempelai
suami. Mengingat sebuah hadits Rasulullah SAW.:
ىن جد , وىزلن جد : النكاح والطلق والرجعة 112ثلث جدمArtinya: Tiga perkara yang apabila bersungguh-sungguh dan bermain maka akan terjadi,
yaitu talak, nikah, dan rujuk.
Sudah jelas kiranya, bahwa Ijab haruslah dari pihak wali mempelai perempuan
atau yang mewakilkan, dan Qabul harus pula dari pihak mempelai laki-laki atau yang
111
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Bab La Nikah Illa Biwaliy, Juz V, Aplikasi Maktabah
Syamilah, hlm. 486.
112 Imam Baihaqi, Ma‟rifah As-Sunan Wal-Atsar Lilbaihaqi, bab Talaq Al-Makruh, juz 12, aplikasi
Maktabah Syamilah, hlm. 231.
63
mewakilkan. Hal ini sepatutnya dijadikan dasar, sebagaimana tertuang dalam kaidah
fiqh:
ك اليقي لي زال بالشArtinya: Sesuatu yang sudah keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu
keraguan
ة م الصل ب رائة الذArtinya: Hukum dasar adalah kebebasan seseorang dari tanggung jawab.
Dari kaidah tersebut, dapat disimpulkan bahwa, pada hakikatnya manusia
dilahirkan bebas dari segala hutang, kewajiban ataupun pertanggungjawaban.
Adanya suatu kewajiban pertanggungjawaban itu adalah karena adanya hak-hak
yang telah dimiliki, yang datangnya tiada lain karena adanya sebab-sebab yang timbul
setelah manusia lahir.113
Hubungannya dengan tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul
dan mengakhirkan Ijab adalah dalam hal ini mengenai hak dan kewajiban
pertanggungjawaban. Karena Ijab pada dasarnya adalah hak wali calon mempelai
perempuan. Selama Qabul belum ada maka calon mempelai perempuan masih dalam
kewajiban pertanggungjawaban walinya.
Jadi tidak rasional lagi ketika Qabul didahulukan atas Ijab. Dan dalam hal ini,
maka Qabul tidak ada artinya, dan tidak sah suatu akad nikah dengan mendahulukan
Qabul dan mengakhirkan Ijab. Dengan kata lain, Ijab dan Qabul dalam pelaksanaannya
harus tertib berurutan. Sesuai dengan isi dari dari Ijab Qabul itu sendiri mengandung
serah terima dari pihak wali kepada suami agar bertanggung jawab atas hak-haknya
sebagai suami terhadap isterinya. Posisi suami dalam akad nikah sebagai orang yang di
113
Tolchah Mansur, Usul Fiqh, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi
Agama/IAIN, 1986, hlm. 196.
64
beri beban tanggung jawab maka harus ada penyerahan dari pihak wali karena wanita
tidak bisa menikahkan dirinya sendiri.
Menurut penulis, sangat baik ketika suatu akad, tentunya dalam akad nikah yang
banyak disebutkan dalam Al-Qur‟an dengan ungkapan Mitsaqon Ghalizhan (perjanjian
yang kuat) dipastikan bagaimana tata caranya dan diharuskan tertib. Diantara hikmah
yang dapat diambil dengan tidak mengesahkan mendahulukan Qabul atas Ijab, menurut
penulis sebagai berikut:
d. Menegaskan siapa yang seharusnya lebih berhak atas Ijab dan siapa yang lebih
berhak atas Qabul.
e. Memelihara adab yang baik, karena dapat kita lihat perbedaan yang mencolok antara
menertibkan Ijab Qabul dan mendahulukan Qabul atas Ijab. Ketika menertibkan
Ijab Qabul maka keadaannya adalah wali, menyerahkah dan calon mempelai suami
menerima/menyetujui. Sedangkan ketika mendahulukan Qabul atas Ijab maka
keadaannya menerima permintaan calon mempelai suami, dan calon mempelai
suami meminta untuk dinikahkan. Jadi terjaga wibawa dari wali dan calon mempelai
suami.
Namun apabila kita melihat realita yang ada diantara umat Islam di seluruh
penjuru dunia, dengan segala perbedaan sudut pandang perorangan, adat pelaksanaan
pernikahan yang berbeda-beda di suatu daerah atau negara, tentunya pendapat ini tidak
memberikan kemaslahatan, didukung tidak adanya dalil Nash maupun As-Sunnah yang
jelas dan tegas tentang mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab. Karena pada
hakikatnya suatu akad nikah sah ketika adanya Ijab dan Qabul dari wali mempelai
perempuan dan calon mempelai suami, entah tertib maupun dengan mendahulukan
Qabul atas Ijab. Yang terpenting maksud tujuannya tercapai yaitu untuk menghalalkan
65
yang sebelumnya haram (pernikahan). Dalam kaidah fiqh disebutkan pula sebagai
berikut:
يع العقود ب الت راضي يف ج 114جيArtinya: Wajib saling ridlo dalam semua akad.
114
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami,
Purwodadi: Pustaka Al-Furqan, 2009, Hlm. 277.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang telah penulis lakukan mengenai tidak sahnya akad nikah
dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab. Akhirnya penulis menghasilkan
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Mengenai pendapat Ibnu Qudamah yang tidak mengesahkan akad nikah dengan
mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab adalah berdasarkan Al-Qur‟an, Sunnah,
dan Istishhab. Ibnu Qudamah meyakini bahwa mendahulukan Qabul atas Ijab
tidaklah sah karena secara tekstual akad nikah itu sendiri adalah mengenai perjanjian
yang berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam bentuk
Ijab dan Qabul. Ijab adalah penyerahan dari pihak wali si perempuan, dan Qabul
adalah penerimaan dari pihak calon suami. Adapun alasan tidak mengesahkan karena
adanya Qabul itu karena adanya Ijab. Jadi sebagai syaratnya, Ijab harus didahulukan
dari Qabul. Dan ketika terjadi Qabul terlebih dahulu, maka Qabul tidak ada artinya,
sehingga akad nikah tidak sah.
2. Istinbath hukum yang digunakan Imam Ibnu Qudamah dalam pendapatnya tentang
tidak sahnya akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab adalah
dengan menggunakan Istishhab, dikarenakan melihat dari hukum asal Ijab adalah
penyerahan dari pihak wali mempelai perempuan dan Qabul adalah penerimaan dari
pihak suami. Sesuai dengan isi dari dari Ijab Qabul itu sendiri mengandung serah
terima dari pihak wali kepada suami agar bertanggung jawab atas hak-haknya sebagai
suami terhadap isterinya. Posisi suami dalam akad nikah sebagai orang yang di beri
67
beban tanggung jawab maka harus ada penyerahan dari pihak wali karena wanita
tidak bisa menikahkan dirinya sendiri.
B. Saran-Saran
Masalah akad nikah dengan mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab, masuk
dalam katagori ikhtilaf ulama, artinya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama.
Saran penulis adalah:
1. Akad nikah dalam Al-Qur‟an disebutkan dengan ungkapan Mitsaqan Ghalizhan,
merupakan perjanjian yang kuat yang tidak hanya disaksikan oleh dua orang saksi,
bahkan orang banyak dalam proses berlangsungnya akad nikah. Akan tetapi juga
disaksikan Allah SWT. Maka tunaikanlah syarat dan rukun sesuai syara‟ untuk meraih
ridlo-NYA.
2. Pendapat siapapun di antara ulama empat madzhab tidak ada salahnya, karena dari
pendapat ulama empat madzhab mempunyai dasar hukum yang kuat. Sejalan dengan itu,
sebagai warga negara tentunya kita terikat pada peraturan yang telah terkodifikasikan
baik dalam Undang-Undang maupun Kompilasi Hukum Islam. Dimana pengambilannya
tidak pula bertentangan dengan syariat Islam, namun justru memiliki dasar yang lebih
kuat dalam pembentukannya yang dipadukan dengan adat istiadat atau „Urf.
C. Penutup
Alhamdulillah Wa Syukrulillah, dengan rahmat dan ridlo-Nya tulisan ini dapat
diangkat dalam bentuk skripsi dan dapat penulis selesaikan. Penulis menyadari terdapat
kekeliruan dan kekurangan, baik dalam teori maupun analisisnya. Dengan sangat
menyadari kekurangan tersebut, maka kritik dan saran menjadi harapan penulis. Sebagai
puncak dari penutup ini tiada kata indah yang dapat penulis rangkai melainkan hanya
68
satu kalimat yaitu kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan manusia hanya bisa
berusaha. Semoga Allah SWT meridloi.
Demikian tulisan ini penulis buat, semoga bermanfaat untuk pembaca pada
umumnya dan penulis pada khususnya.
69
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademik Presindo, 1992.
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994.
Al-Andalusi, Ibn Hazm , Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam, jilid V, Beirut: Dar Al-Fikr, t.t.
Al-Ghazali, Abu Hamid, Syifa Al-Ghalil Fi Bayan Al-Syabah Wa Al-Mukhil Wa Masalik Al-
Ta‟lil, tahqiq Ahmad Al-Kabisi, jilid I, Baghdad: Mathba‟ah Al-Irsyad, 1971.
Al-Jaziry, Abdurrahman, kitab al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Arba‟ah, Maktabah al-Tijariyah
kubra juz IV
Al-Kurah, Najmuddin Amin, Tanwir al-Kutub, Beirut Libanon: Daar al-Fikr, T.th
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Asy-Sya‟rani, Abd al-Wabah, Kitab al-Mizan, Juz 2, Mesir: Matba‟ah al-Taqadim al- Ilmiah,
Cet. 1, 1321 H.
Aziz, Abdul, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.
Baihaqi, Imam, Ma‟rifah As-Sunan Wal-Atsar Lilbaihaqi, bab Talaq Al-Makruh, juz 12,
aplikasi Maktabah Syamilah.
Bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Ahmad Sabiq, Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih
Islami, Purwodadi: Pustaka Al-Furqan, 2009
Dirjen Bimbaga Islam, Depag, Ilmu Fiqih, jilid 2, Jakarta: Proyek pembinaanPrasarana dan
Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1983.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta: Andi Offset, 2001.
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1996.
Husen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah-Thalaq-Ruju‟ dan Hukum
Kewarisan, Jilid 1, Jakarta: Balai Penerbitan dan Kepustakaan Islam Yayasan Ihya‟
Ulumudin Indonesia, 1971.
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushulul Fiqh, alih bahasa Prof. Drs. K.H. Masdar Helmy, cet.
Ke-7, Bandung: Gema Risalah Press, 1996.
Khon, Abdul Majid, Fiqh Munakahat, Jakarta: AMZAH, 2009.
Majah, Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Bab La Nikah Illa Biwaliy, Juz V, Aplikasi Maktabah
Syamilah.
Mansur, Tolchah, Usul Fiqh, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan
Tinggi Agama/IAIN, 1986.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. IV,
1993.
70
Muarif Ambari, Hasan, et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1966
Mughniyyah, Muhammad Jawad, Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah, Beirut: Darul „Ilmi Lilmalayin,
1964.
___________________________, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera Basritama, Cet 2,
1996.
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, cet. VIII, Yogyakarta:
RakeSarasin, 1996.
Muhammad, Syaikh Kamil, „Uwaidah, Al Jami‟ Fii Fiqhi An-Nisa‟, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 1998.
Muslim, Shahih Muslim, Juz I, Semarang:Toha Putra, t.th, hlm.593.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 6, Yogjakarta: Gajah Mada
University Press, 1993.
Nur, Djamaan, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993.
Proyek Penyuluhan Hukum Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
Jakarta: Proyek Penyuluhan Hukum Agama, 1996.
Qudamah, Ibnu, al-Kafie fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, juz III, Beirut: Darul Fikr,
1992.
_____________, Al-Mughni, Beirut: Darul Kutub, 1996.
Ramulyo, M. Idris, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam,
Jakarta: IND-HILL CO, 1985.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah 6, Bandung: PT. al-Ma‟arif, 1990.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Grafindo persada, 2002.
Sudarson, Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana Predana Media
Group, 2009.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta: CV.
Atlas, 1998.
Yunus, Mahmud, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, Cet. Ke-
10, 1983.
Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia, Surabaya: Arkola, tth.
72
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Ahmad Isybah Nurhikam
Tempat &tanggal Lahir : Sanggau (Kal-Bar), 9 Januari 1989
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat Asal : Dukuh Bandar RT. 02 RW. 09 Kel.
Pakijangan Kec. Bulakamba Kab.
Brebes.
Telpon : 085642888251
Email : a.isybahnurhikam@gmail.com
Website (blog) : satriabajahikam.blogspot.com
Jenjang Pendidikan:
1. SD Negeri Pakijangan IV Bulakamba Brebes : Tahun 1995-2001
2. SLTP Negeri 3 Brebes : Tahun 2001-2004
3. SMA Negeri 5 Kediri : Tahun 2004-2007
4. Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang : Tahun 2007-2012
Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenarnya dan semoga dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, 10 Juni 2012
Tertanda,
Ahmad Isybah Nurhikam
NIM. 072111044
Recommended