24

Click here to load reader

tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

  • Upload
    dolien

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

REINTERPRETASI TERHADAP HADITS TANTANG ZAKAT HASIL BUMI

MELALUI PENALARAN BAYANI

Oleh : M. Nawawi

ABSTRAK : Ibnu Umar menuturkan pernyataan Nabi saw bahwa produksi pertanian yang menggunakan siraman air hujan atau air sumber secara alami dikenakan pungutan zakat sebesar 10% , sedangkan yang menggunakan pengairan melalui tenaga / biaya dikenai pungutan zakat 5 %. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami pernyataan Nabi saw ini. Sebagian memahaminya secara umum, sehingga mencakup semua jenis hasil pertanian dan perkebunan, namun sebagian yang lain memahaminya secara husus, sehingga hanya berlaku bagi sebagian produk pertanian tertentu. Melalui pendekatan pola penalaran bayani , pernyataan Nabi saw tersebut dapat diperluas mencakup pendanaan dan biaya produksi pertanian secara umum. Demikian pula bentuk pungutan zakatnya dapat diperluas bukan hanya dalam bentuk materi yang sama dengan komoditas pertanian yang dizakati.

Kata Kunci : Zakat, Produk Pertanian , Penalaran Bayani

A. Pendahuluan

Dalam kitab Shahih Bukhori bab Zakat terdapat penuturan hadist sebagai

berikut :1

Drs.M. Nawawi, M.Ag, adalah dosen pada Fakultas Tarbiyah IAIN Surabaya dan STAI Qomaruddin Bungah Gresik

1Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. Matan al-Bukhary, ( Bandung: Syirkah al-Ma’arif, tth), juz I, h. 259. Lihat pula pada Mausu’at al-Hadits al-Syarif, Versi Sakhr, bab Zakat, nomor 1388

1

Page 2: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

قال وهب بن عبدالله حدثنا مريم أبي بن سعيد حدثنا عبدالله بن سالم عن الزهري عن يزيد بن يونس أخبرني

عليه اللهم صلى النبي عن عنهم اللهم رضي أبيه عن العشر عثريا كان أو والعيون السماء سقت فيما قال وسلم

العشر نصف بالنضح سقي وماArtinya : Telah bercerita kepada kami Sa’id bin Abi Maryam, bercerita kepada kami

Abdullah bin Wahab, telah memberi kabar kepadaku Yunus bin Yazid, dari

al-Zuhri, dari Salim bin Abdullah dari ayahnya (Abdullah bin Umar bin al-

Khattab), semoga Allah meridloi mereka, dari Nabi saw bersabda ; “Hasil

pertanian yang diproses siraman air hujan dan air sumber (yang mengalir

dengan sendirinya), atau air yang telah tersedia pada lahan pertanian

tersebut, dikenai pungutan zakat sepuluh persen. Sedangkan hasil

pertanian yang disirami dengan menggunakan tenaga dikenai pungutan

zakat lima persen”.

Hadist  riwayat Ibnu Umar di atas , jika dilihat dari keumuman maknanya

secara lahir menjelaskan dua hal.

Pertama,   bahwa kewajiban membayar zakat hasil bumi tidak  disyaratkan  harus

terlebih dahulu  mencapai nisab.2 Kedua. bahwa kewajiban dimaksud mencakup

semua semua jenis  tanaman ;  10 % bagi tanaman yang diairi oleh curah hujan,  dan

5%  bagi tanaman yang diairi dengan menggunakan  bantuan tenaga.

Apabila kandungan makna hadits tersebut, kita pahami sebagaimana

kesimpulan  di  atas, maka hasil  bumi  yang dikenai wajib zakat akan mencakup

2 Lafadz “ ma “ dalam kalimat hadits “ Fima saqat al-Sama’u”, adalah termasuk lafadz Am yang mencakup semua jenis tanaman. Lihat pada Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid fi Nihayat al-Muqtashid ( Indonesia : Dar ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tth), juz I, h. 185

2

Page 3: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

semua jenis  tanaman, tidak pandang bulu, apakah tanaman itu di budi-dayakan atau

tumbuh dengan sendirinya, dan tidak hanya  terbatas pada jenis tanaman yang

menjadi qut al-balad saja. Sementara itu terdapat penjelasan dari keterangan hadits

lain yang menyatakan bahwa hasil pertanian itu akan dikenai pungutan zakat, jika

telah memenuhi beberapa persyaratan, seperti telah mencapai batas nisab dan

sebagainya.

Makalah ini ditulis sebagai pengantar untuk mendiskusikan bagaimana

seharusnya hadits di atas mesti dipahami , hususnya jika dikaitkan dengan hadits-

hadits lainnya, dan tentu saja dalam bingkai al-Qur’an sebagai sumber utamanya,

dengan melalui penalaran bayani 3 .

B. Pendapat Para Ulama

Jumhur ulama berpendapat bahwa yang dikehendaki oleh kandungan makna

hadits riwayat Ibnu Umar tersebut, hanya dimaksudkan sebagai penjelasan adanya

perbedaan kadar yang mesti  dikeluarkan  antara  hasil bumi  yang  diproduksi dengan

tampa biaya pengairan dan hasil bumi yang diproduksi  dengan bantuan pengairan

yang memerlukan biaya.4  

Jadi  Hadist  tersebut tidak bisa  disimpulkan hanya berdasar keumuman

dilalahnya saja. bahkan menurut pendapat jumhur  ulama  tersebut,  hadits ini  pada

3 Penalaran bayani pada dasarnya adalah penalaran yang bertumpu pada kaidah-kaidah kebahasaan (semantik). Dalam term Ushul Fiqh biasanya disebut dengan istilah Qawa’id al-lughawiyah, Lihat al-Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fiqih Madzhab,( Yogyakarta: Desertasi, IAIN Sunan Kalijaga,1989) h. 14-15

4 Bandingkan dengan penjelasan Ibnu Hajar al-Atsqalany, Fath al-Bary bi Syarhi al-Bukhary, (Bairit : Dar al-Fikr, tth), juz IV, h. 115. Lihat pula pada Al-Shan’any, Muhammad bin Isma’l, Subul al-Salam.( Indonesia: Dahlan, tth), juz II, h. 132

3

Page 4: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

suatu sisinya berfungsi  sebagai bayan atas ketentuan hadits yang lain, dan pada

sisinya yang lain, ia memerlukan penjelasan hadits yang lain lagi.

Dalam  konteks ini terdapat  suatu  riwayat  dari Rasulullah  yang  dituturkan

Abu Sa'id  al-Khudlri, bahwa hasil  bumi  yang kurang dari lima  wasaq,  tidak

dikenai beban  zakat5.  Dengan begitu, maka keumuman  hadist Ibnu Umar  di  atas

bisa di tahsis dengan  hadits riwayat Abu Sa'id ini.

Terhadap  kesimpulan yang disepakati jumhur  ulama' di atas, dapat diajukan

satu pertanyaan; bagaimana seandainya jika terdapat lahan pertanian yang diairi

dengan  menggunakan  dua  macam cara (cara  campuran, misalnya  lahan dimaksud

diairi dari air sungai secara langsung dan  juga menggunakan  alat  bantu diesel).

Terhadap Pertanyaan ini al-Baihaqi menyatakan bahwa menurut kesepakatan

para ahli, apabila kadar kedua macam siraman tersebut sama, maka wajib

mengeluarkan zakat sebanyak  3/40  ( العشر ارباع ثالثة ) dari  hasil

produksi yang diperoleh.6  Sebaliknya,  apabila kadar  siraman tersebut tidak sama,

maka menurut al-Tsawri, Abu Hanifah dan salah satu  pendapat  al-Syafi'i, kadar

zakat yang harus dikeluarkan adalah mengikuti cara pengairan (penyiraman) yang

paling  dominan7; artinya apabila yang lebih banyak adalah penyiraman tanpa biaya,

maka zakatnya 10%. Sebaliknya apabila yang lebih banyak adalah pengairan dengan

biaya,  maka zakat yang harus dikeluarkan adalah 5%.  Akan tetapi menurut pandapat

al-Syafi'i yang  kedua, kadar zakatnya harus diperhitungkan secara lebih adil; artinya

5 Al- Bukhari, loc. cit6 Wahbah al-Zuhaily, Zakat, Kajian Berbagai Madzhab, ( Bandung : Remaja Rosda

Karya,1995, h. 197-1987Lihat pada al-Syaukany, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Awthar Syarh

Muntaqa al-Akhbar,( Bairut : Dar al-Fikr, tth), juz III, h. 189

4

Page 5: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

bila memungkinkan untuk dilakukan perhitungan secara rinci prosentase cara

penyiramannya, maka kadar zakatnya adalah sesuai dengan perhitungan yang lebih

adil itu.

Sedangkan menurut pendapat Ibnu al-Qasim (rekan Imam Malik), kadar zakat

yang harus dikeluarkan adalah berpedoman kepada cara pengairan yang paling

signifikan; artinya, apabila  penyiraman  dengan menggunakan  biaya,  merupakan

penyiraman  yang  paling menentukan  terhadap  pertumbuhan tanaman,  maka kadar

zakatnya ialah 5%.  Sebaliknya jika  penyiraman tanpa biaya yang lebih signifikan,

maka zakat yang harus dikeluarkan adalah 10% 8

Ungkapan ( سقت فيما ) dalam hadits riwayat Ibnu Umar di atas

adalah  lafadl 'Am, yang mencakup hasil bumi  (pertanian) yang telah mencapai batas

nisab dan hasil bumi yang  belum mencapai  nisab.  Akan tetapi terdapat  hadits  lain

yang diriwayatkan Abu sa'id al-Khudlri:" اوسق خمسة دون فيما ليس

قة صد “ ,

yang  kandungan maknanya  dinyatakan  sebagai  ketentuan  khas; Artinya hasil bumi

yang belum mencapai nisab tidak dikenai pungutan zakat.

Menanggapi  kedua hadits tersebut, para  ulama tidak memiliki kata sepakat.

Menurut sebagian ulama Hanafi, suatu lafadz bisa dinyatakan sebagai tahsis, apabila

penjelasan yang diberikan cocok dengan yang dijelaskan; artinya tidak menambah

dan tidak mengurangi makna yang dijelaskan. Atas pendirian  pendapatnya  ini

ulama' Hanafi menganggap kedua hadist  tersebut (hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu

8 Ibid, h. 190

5

Page 6: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

Sa'id) tidak berkedudukan sebagai lafdz yang saling menjelaskan. Oleh  karena itu

bagi mereka, kedua hadist tersebut dapat diamalkan keduanya dalam konteks yang

berbeda. Hasil Bumi yang  dapat  ditakar - sebagai mana diisyaratakan  hadits riwayat

Abu Sa'id - pungutan zakatnya berdasarkan nisab. Sedangkan  hasil bumi/ pertanian

yang tidak dapat  ditakar bisa menggunakan dasar ke-umuman hadits Ibnu Umar9.

Jadi  pungutan zakatnya tidak disyaratka menunggu batas nisab.

Berbeda  dengan  pendapat sebagian ulama  Hanafi  di atas, Jumhur Ulama

menyatakan bahwa yang dapat dipedomani adalah hadits riwayat Abu Sa'id.10

Alasannya, karena terdapat hadits riwayat Daraquthni dari jalur Ali bin Abi Thalib,

Thalhah dan Mu'adz, yang menyatakan  bahwa  sayur-mayur tidak  dikenai  pungutan

zakat.11

Tambahan  lagi  terdapat pernyataan Imam Malik dan al-Syafi’i, bahwa  hasil

bumi yang dikenai zakat hanyalah  janis  yang  dapat dijadikan makanan pokok dan

dapat  ditimbang12. Atas  dasar  dua riwayat yang tersebut terahir  ini,  maka hadits

riwayat Abu Sa'id di atas tidak hanya untuk  hasil bumi yang ditakar saja, tetapi

berlaku juga untuk jenis tanaman (produk pertanian ) yang lain.

Berbeda  dengan riwayat yang tersebut  terakhir , Imam Ahmad menuturkan

( dan  ini juga pendapat  Abu Yusuf ) bahwa hasil pertanian  yang dikenai pungutan

zakat tidak disyaratkan sebagai  makanan pokok.13 Sementara  itu  pada saat yang

sama,  ketika mengomentari riwayat Ibnu Mundzir, bahwa hasil bumi yang belum

9 ? Ibnu Hajar al-Atsqalany, op-cit, h. 116 1010 Bandingkan dengan penjelasan al-Syawkani, ibid, h. 19011 Lihat Wahbah al-Zahaily, op-cit, h. 189-19012 Ibnu Hajar al-Atsqalany, loc-cit.13Bandingkan dengan penjelasan Drs Saichul Hadi Permono dalam Tafsir al-Qur’an Tentang

Sumber-Sumber Penggalian Zakat, ( Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 1980), h. 50

6

Page 7: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

mencapai lima wasaq tidak dikenai pungutan zakat, Imam Abu Hanifah menyatakan

bahwa semua hasil pertanian (yang diupayakan sebagai pengembangan  nilai tanah)

wajib dikenai  pungutan  zakat, kecuali kayu bakar, rumput dan tanaman non

produktif.14

Selanjutnya  masih  dalam konteks  ini,  Qadli Iyadl menceritakan bahwa

setiap hasil bumi yang dapat ditimbang, terdapat ketentuan batas nisab. Sedangkan

hasil bumi  yang tidak  dapat ditimbang, maka sedikit ataupun banyak  tetap dikenai

pungutan zakat.15

Demikian  pendapat  dan penjelasan para  ulama dalam rangka memahami dan

memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu  Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu Arabi,

pendapat  yang paling kuat  adalah pendapat Abu Hanifah yang berpegang pada  ke-

umuman  hadits Ibnu Umar. Sementara Al-Juwaini menganggap bahwa  hadits Ibnu

Umar tersebut dimaksudkan hanya  untuk membedakan  kadar zakat antara hasil

bumi yang biaya  prodoksinya murah/rendah dan hasil bumi yang dikelola dengan

biaya produksi  cukup  tinggi 16. Atau dengan ungkapan  lain,  bila produksi pertanian

jauh labih kecil dibanding hasil  yang dicapai,  maka zakatnya 10%,  sebaliknya

apabila biaya produksi tidak efisien dibanding hasil yang dicapai,  maka zakat yang

harus dikeluarkan adalah 5 %.

C. Analisis dalam Perspektif Penalaran Bayani

Melalui penalaran Bayani, kandungan makna hadist Ibnu Umar di atas, akan

dianalisis dengan menggunakan pendekatan  kaidah kebahasaan yang berlaku 14 Ibnu Hajara al-Atysqalany, loc-cit.15 Lihat pada al-Syawkany, op-cit, h. 19116 Ibnu Jahar al-Atsqalany, loc-cit.

7

Page 8: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

dikalangan ahli  usul, yaitu  mengungkapkan makna lafadz yang dipergunakan  dari

aspek-aspek berikut:17

a. Dari  aspek  cakupan isinya. akan  diketahui apakah  apakah lafadz yang

dipergunakan  oleh  redaksi hadits riwayat Ibnu Umar  tersebut  sebagai 'lafadh

Am, Khas,  Mutlaq  atau Muqaiyad.18

b. Dari  segi hakikat tidaknya. akan  diketahui apakah lafadz yang dipergunakan

sebagai ungkapan hakiki atau majazi.

c. Dari  segi  jelas tidaknya. akan  diketahui apakah lafadz yang digunakan oleh

redaksi hadits tersebut merupakan kalimat yang sharih atau tidak.

d. Dari  segi cara memahaminya. akan  diketahui apakah kandungan (dalalah)

maknanya merupakan dalalah nash,  dalalah  ibarah, dalalah isyarah,  atau

dalalah iqtidla’.19

Secara  umum  penjelasan yang telah  diberikan  oleh para  ulama tersebut di

atas cukup memadai.  Mereka telah mengungkapkan  kandungan  maknanya sesuai

dengan kaidah-kaidah kebahasaan. Telah dijelaskan bahwa kandungan lafadz "ما

“ adalah 'Am yang maknanya  mencakup semua hasil  bumi,  baik yang telah

mencapai  batas nisab atau belum. Bahkan diungkapkan pula pelbagai pandangan

17 Dr. al-Yasa Abu Bakar, Ushul Fiqh, II, ( Banda Aceh : IAIN Ar-Raniri, 1993), h. 3618 Lafadz Am adalah yang menunjuk kepada semua satuan yang menjadi isi dari sutu lafadz,

sedangkan lafadz Khas merupakan lafadz yang menunjuk kepada makna tertentu yang jelas dan terbatas. Termasuk lafadz Am antara lain seperti isim mufrad yang dima’rifatkan dengan AL al-jinsiyah dan isim mausshul. Adapun lafadz muthlaq menunjuk kepada makna yang isinya tidak dibatasi dengan sifat atau keterangan tertentu, sedangkan lafadz Muqayyad menunjuk kepada makna yang isinya telah dibatasi oleh sifat atau keterangan tertentu. Lihat pada misalnya Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islami, ( Kairo : Dar al-Ma’arif, tth), h. 224, 233

19 Dilalah Ibarat adalah kandungan makna tersurat dari suatu teks, sedangkan Dilalah Isyarat adalah makna perluasan dari makna tersurat. Adapun Dilalah Iqtidla’ pemahaman terhadap nash dengan cara menyelipkan kata lain agar nash tersebut bisa dipahami dengan baik.. Lihat misanya pada penjelasan Dr. Al-Yasa Abubakar, Ushul Fiqih II, op-cit, , h. 76-80 atau pada Ali Hasaballah, op-cit, h. 272- 278

8

Page 9: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

sebagai tambahan  wawasan. Demikian pula telah diungkapkan  bahwa atas ke-

umuman redaksi " السماع سقت فيما " mencakup  seluruh jenis  hasil

bumi yang diproduksi.

Dalam kaitannya  dengan pemahaman  ini  para  ulama telah  menyampaikan

berbagai pandangan  yang tidak seragam dengan  berbagai  alasannya, baik yang

berpegang pada ke-umuman redaksi hadits, ataupun alasan mereka yang berpegang

pada qarinah yang mentahsis.

Dalam pada itu mereka juga telah memaparkan kandungan maknanya dari

aspek dilalatul 'ibarat hadist bersangkutan. Hanya  saja  masih terdapat kemusykilan

berkaitan  dengan banyaknya  hadist-hadits yang bervariasi, yang  dinyatakan sebagai

tabyin (penjelas) hadits riwayat Ibnu Umar. Di samping hadits Abi Sa'id, penjelasan

tahsis hadits Ibnu  Umar ini juga terdapat penjelasan lagi  dari  hadits riwayat  Imam

Daraquthni melalui jalur Ali,  Thalhah  dan Mu'adz,  yang menyatakan bahwa hasil

bumi  jenis  sayuran tidak dikenai kewajiban zakat. Demikian pula riwayat  Imam

Turmudzi dari jalur Musa bin Thalhah yang menyatakan bahwa jenis hasil bumi yang

dikenai zakat, hanyalah jenis  tanaman  yang dapat dijadikan makanan pokok dan

dapat  ditimbang.

Sebagaimana  telah  dipaparkan dalam  penjelasan dan pandangan  para ulama

didepan, dapat di  simpulkan bahwa komentar  mereka  yang paling  dominan adalah

menyangkut pemaknaan  redaksi " سقت فيما ". Agaknya mereka hanya

menjawab  sekitar pertanyaan : "Apa saja hasil  bumi yang wajib  dikenai pungutan

zakat, kemudian apakah  dalam hal ini diperlukan persyaratan nisab atau tidak. Jika

9

Page 10: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

diperlukan persyaratan nisab,  apakah  untuk semua  jenis hasil  bumi  (mesti

diperlukan nisab),  atau hanya berlaku pada sebagian jenis  saja". Di samping itu

mereka juga berusaha menjawab berapa besarnya kadar  pungutan  yang mesti

dikeluarkan  dengan ketentuan sebagaimana  dijelaskan hadits Ibnu Umar ( 10 %

bagi yang diairi dengan tanpa biaya, dan 5 % bagi hasil bumi yang di airi dengan

menggunakan biaya ). Akan tetapi dalam memberikan  jawaban pertanyaan yang

terakhir ini, mereka  belum menyinggung  apakah  kadar  pungutan 5 - 10%  itu harus

dibayar berupa  jenis yang sama dengan jenis  hasil  bumi yang  dizakati, atau bisa di

bayar berupa  jenis  (bentuk) lain yang senilai.

Menurut  penulis, kata " العشر " adalah lafadz  yang umum. Oleh

karena itu bentuk pembayaran pungutan 5-10 % bisa  dibayarkan dalam wujuad apa

saja yang nilainya  sama dan  memberikan manfaat. Berangkat dari pemahaman

seperti ini, maka dasar pengambilan kandungan maknanya,  dilakuakn melalui

pendekatan dalalatul iqtidla', yaitu dengan menambahkan  lafadz "qimah"

sebelum lafadz " usyur atau  nisful usyur".

Kata  " حالنض  " oleh para  ulama diperluas  artinya mencakup  bentuk

pengairan yang memerlukan biaya,  seperti dengan menggunakan diesel dan lainnya.

Bagi penulis lafadz tersebut  termasuk kategori lafadz yang khafi,20 sebab  perluasan

20 Secara harfiyah Khafi artinya adalah tersembunyi, sedangkan makna istilahnya adalah suatu lafadz yang sebenarnya bisa dipahami dengan mudah, tetapi karena ada sebab-sebab lain, maka terdapat kesulitan untuk mengidentifikasi apakah beberapa hal lain itu termasuk di dalamnya atau tidak. Misalnya dalam surat al-Maidah 38 dinyatakan bahwa Al-Sariq dan, Sariqah, , pencuri itu harus dipotong tangannya. Pada tingkat pertama pemahamannya tidak terdapat kesulitan , tetapi pada pemahaman tingkat selanjutnya terdapat kesulitan; apakah koruptor atau pencopet itu merupakan kejahatan yang sama persis dengan pencuri atau tidak. Cotoh lainnya adalah istilah Abawaini dalam surat al-Nisa’ 11. Pada tingkat pertama istilah orang tua adalah cukup jelas, yaitu bapak dan ibu. Pesoalannya lkemudian apakah kakek dan nenek itu termasuk dalam kategori term Abawaini atau tidak.

10

Page 11: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

arti lafadz " النضح ", dari makna asalnya  yang  berarti tempat (alat) yang

dipergunakan memberi  minum  binatang, kepada makna penyiraman dengan

menggunakan tenaga / biaya21,  adalah sangat relatif. Kenyataan yang terjadi di

lapangan menunjukkan bahwa perbedaan biaya pengairan  memiliki  tingkat

perbedaan  yang sangat tinggi antara suatu lahan tertentu dengan  lahan  yang lain.

Bahkan  sekarang telah  terjadi perubahan yang amat besar dalam tehnologi

pengolahan tanah pertanian;  di  samping diairi dengan  menggunakan biaya, juga

harus ditaburi dengan pupuk, yang  harganya relatif mahal, dan pada saat yang sama

harga hasil produksi pertanian  (hasil  bumi) relatif  murah. Pertanyaannya  adalah

sampai sejauh mana cakupan dari makna “ لنضحا “. Apakah kandungan

maknanya hanya mencakup biaya pengairan saja atau bisa  diprluas  kepada biaya

produksi secara keseluruhan. Dalam konteks makna hadits yang diriwayatkan Ibnu

Umar  ini penulis  (pemakalah) sepakat dengan al-Juwaini bahwa yang dimaksud

dengan  " بالنضح سقي ما "  adalah usaha pertanian  yang dikelola dengan

biaya tinggi, sedangkan yang  dimaksud dengan " السماء سقت ما

adalah usaha pertanian dengan  menggunakan biaya yang relatif " والعيون

rendah.

Berdasarkan  pemahaman di atas, maka  dilalat al- nash hadits  riwayat Ibnu

Umar di atas, harus ditakwil sedemikian rupa, supaya tetap zamani (aktual) dan dapat

mengakomodir perkembangan tehnologi pertanian (olah tani modern).

21 Lihat pada al-Shan’any, loc-cit. Lihat pula pada al-Syawkani, loc-cit.

11

Page 12: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

Sebagai  konsekuensi dari pemahaman tersebut,  maka makna سقت ما

والعيون السماء " juga harus ditakwil, sehingga makna السماء " bukan

hanya sebagai air hujan, air sungai, atau pengairan tanpa biaya, tetapi lebih luas dari

itu semua, dan mencakup  seluruh pengertian yang dikandung oleh istilah "  produksi

pertanian biaya rendah". Sungguhpun demikian, pemaknaan ini masih menimbulkan

pertanyaan yang tidak sederhana,  sebab istilah biaya rendah itupun  sangat  relatif;

berapa ukuran  biaya rendah atau  tingi  yang dimaksud. Untuk itu sekali lagi, bahwa

kandungan makna lafadz " السماء " dan " النضح  " dalam hadits riwayat

Ibnu Umar di atas, bagi penulis adalah termasuk kategori  lafadz yang khafi, dan

karena itu perlu perenungan secara seksama dan ekstra hati-hati.

Kemudian  kapan pungutan zakat hasil bumi  itu harus dibayarkan.  Dalam hal

ini  al-Qur'an  telah menjelaskan sebagai mana tercantum pada ayat 141 al-An'am,

bahwa waktu pembayaran zakat produksi pertanian adalah pada saat memanen

(waktu panen).

والزرع والنخل معروشات وغير معروشات جنات أنشأ الذي وهو ثمره من كلوا متشابه وغير متشابها والرمان والزيتون أكله مختلفا

المسرفين يحب ال إنه تسرفوا وال حصاده يوم حقه وءاتوا أثمر إذاArtinya : “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang

tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

12

Page 13: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

D. Kesimpulan

Dari  penjelasan di atas, maka kandungan makna hadist  riwayat  Ibnu UUmar

tersebut dapat disimpulkan sebagai  berikut:

1. Dari  segi mantuqnya (dilalah ibarat) hadits  tersebut menjelaskan  perbedaan

pungutan zakat hasil bumi; 10  % bagi  produk pertanian yang  pengairannya

mengandalkan air  hujan, air sungan dan sejenisnya  yang  disalurkan secara alami,

dan 5 % bagi produk pertanian yang diairi dengan menggunakan alat penyiraman.

Bagi yang berpedoman pada ke umuman teks, hadits tersebut dipahami   sebagai

penjelasan   bahwa    hasil pertanian / bumi yang bisa dikenai pungutan zakat,

bukan jenis makanan pokok saja, atau jenis makanan yang hanya bisa

ditakar.Tetapi cakupannya sangat luas,  mencakup seluruh  jenis produksi

pertanian dan perkebunan.  Sedangkan  bagi orang yang berpegang pada  kaidah

“setiap lafadz 'am pasti ada takhsisnya”, maka produk  pertanian yang  bisa

dikenai pungutan zakat, hanya terbatas  pada jenis tertentu.

2. Dari  segi  mafhumnya (dilalah nash),  perbedaan  kadar pungutan  zakat,  bukan

hanya  terjadi  karena  faktor penyiraman  saja, tetapi dapat diperluas kepada

faktor pendanaan  (perbedaan biaya produksi).  Artinya  produk pertanian  yang

diproses dengan biaya tinggi  dikenakan pungutan  zakat 5  %, sedang produk

pertanian biaya  rendak dikenai pungutan zakat 10 %.

3. Dari segi dilalah iqtidla', pungutan zakat 5-10 % dapat diperluas  bukan  hanya

berupa jenis yang  sama dengan produk  yang  dizakati, tetapi dapat  dibayarkan

13

Page 14: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

dalam bentuk yang lain, dengan catatan nilainya sama dan lebih memberikan nilai

manfaat.

Wallahu A'lam bisshawab

14

Page 15: tukarpendapat.files.wordpress.com · Web viewDemikian pendapat dan penjelasan para ulama dalam rangka memahami dan memadukan hadits riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa'id. Tetapi Bagi Ibnu

DAFTAR PUSTAKA

- Al-Atsqalany, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fath al-Bary bi Syarhi Shahih al-Bukhary, ( Bairut : Dar- al-Fikr, tth.)

-- Al-Bukhary, Muhammad bin Isma’il, Matn al-Bukhary, (Bandung: al-Ma’arif,

tth)-- Al-Syawkani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Nail al-Awthar Syarh

Muntaqa al-Akhbar, ( Bairut: Dar al-Fikr, tth)-- Al- Shan’any, Muhammad bin Isma’il, Subul al-Salam, ( Bandung : Dakhlan, tth)-- Ali Hasaballah, Ushul al-Tasyri’ al-Islamy, ( Kairo, Dal-al-Ma’arif, tth)-- Al-Yasa Abubakar,Dr, Ushul Fuqih II, ( Banda Aceh : IAIN Ar-Raniry, 1993)-- ----------------- , Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian Perbandingan Terhadap

Penalaran Hazairin Dan Penalaran Fiqih Madzhab,( Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijogo, Disertasi, 1989)

-- Saichul Hadi Permono,Drs, Tafsir al-Qur’an Tentang Sumber-Sumber

Penggalian Dan Pendayagunaan Zakat Masa Kini, ( Surabaya : IAIN Sunan Ampel, 1980)

-- Ibnu Rusyd, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad, Bidayat al-Mujtahid Wa

Nihayat al-Muqtashid, (Indonesia : Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, tth)-- Wahbah Al-Zuhaily, Zakat, Kajian Berbagai Madzhab, (Bandung : Rosdakarya,

1995)

15