View
4
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
2
Tentang Komite Nasional Keuangan Syariah
KNKS merupakan lembaga pemerintah non-struktural yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 91 Tahun 2016 tentang Komite Nasional Keuangan Syariah dan mulai aktif
beroperasi pada tanggal 03 Januari 2019. Lembaga ini bertugas mempercepat, memperluas,
dan memajukan pengembangan ekonomi Syariah dalam rangka mendukung pembangunan
ekonomi nasional. Dalam menjalankan tugasnya, KNKS berperan aktif dalam memberikan
rekomendasi arah kebijakan, mengoordinasikan para pemangku kepentingan, serta melakukan
evaluasi pelaksanaan kebijakan.
Sesuai dengan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia, KNKS berupaya membangun ekosistem
ekonomi Syariah yang meliputi industri halal, keuangan Syariah baik komersial maupun sosial,
serta infrastruktur pendukung lainnya seperti pembangunan sumber daya manusia, sistem
informasi, dan digitalisasi ekonomi. Dalam melakukan implementasi program strategis, KNKS
mengutamakan kerjasama dan sinergi dengan kementerian/lembaga, regulator, akademisi,
peneliti, praktisi, organisasi masyarakat. Serta pemangku kepentingan terkait lainnya. Informasi
lebih lanjut terkait KNKS dapat diperoleh melalui www.knks.go.id.
3
Tim Penyusun Kajian Konversi, Merger, Holding, dan Pembentukan Bank BUMN Syariah
Komite Nasional Keuangan Syariah
Ronald Rulindo, Ph.D.Direktur Inovasi Produk, Pendalaman Pasar, dan Pengembangan Infrastruktur Sistem Keuangan Syariah
Luqyan Tamanni, Ph.D.Kepala Divisi Pengembangan Infrastruktur Sistem KeuanganSyariah
Cindhi Cintokowati, M.Sc. Analis Kebijakan Divisi Inovasi Produk Keuangan Syariah
Ziyan Muhammad Farhan, S.E. Staf Analis Divisi Inovasi Produk Keuangan Syariah
Ringkasan Eksekutif
Rendahnya penetrasi perbankan syariah di Indonesia
menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pemangku
kepentingan industri ini di dalam negri. Meskipun
industri perbankan syariah telah memiliki hampir
semua prasyarat untuk berkembang pesat di Indonesia
seperti mayoritas penduduk Muslim, layanan
perbankan syariah terjangkau luas, dan pemahaman
yang sudah semakin baik di masyarakat, pangsa pasar
perbankan syariah masih berkutat di angka 5%, itu pun
setelah konversi dua Bank Pembangunan Daerah
menjadi Bank Syariah.
Apabila pengembangan perbankan syariah dapat
dilakukan dengan zero intervention atau business as
usual, dengan proyeksi pertumbuhan yang mengacu
pada data historis industri tahun-tahun sebelumnya
e.g CAGR 15%, dalam 5 tahun kedepan total aset
perbankan syariah hanya berkisar diangka Rp1.000
trilliun, dengan kenaikan pangsa pasar terhadap
industri perbankan keseluruhan yang tidak begitu
besar. Akan tetapi, jika terdapat intervensi penuh dari
pemerintah (full intervention) terdapat kemungkinan
total aset perbankan syariah dapat meningkat secara
lebih moderat (27%) atau agresif (36%), sehingga total
aset perbankan syariah dapat mencapai Rp2.000
trilliun atau Rp3.000 trilliun.
Meskipun demikian, ketiga skenario intervensi ini tidak
akan serta merta meningkatkan pangsa pasar
perbankan syariah secara signifikan mengingat
pertumbuhan perbankan konvensional masih cukup
tinggi. Hal ini disebabkan pasar perbankan nasional
masih cukup luas, terutama segmen yang selama ini
belum masuk dalam sistem perbankan (unbanked
population). Program inklusi keuangan yang secara
gencar dilaksanakan oleh regulator dan lembaga
keuangan perlahan mulai membuahkan hasil dimana
inklusi keuangan tahun 2016 sudah mencapai 63% dari
target 75% pada akhir 2019.
Oleh karena itu, tetap diperlukan bank syariah skala
besar yang dapat meningkatkan efektivitas perbankan
syariah. Adapun kehadiran bank syaria skala besar ini
dapat melalui beberapa opsi:
a. Konversi bank konvensional milik BUMN atau
swasta.
b. Merger bank syariah milik BUMN (4 BUS dan 1
UUS).
c. Holding bank syariah milik BUMN.
d. Pembentukan bank BUMN Syariah, dengan
pilihan:
i. Pendirian bank BUMN Syariah baru;
ii. Penguatan salah satu bank syariah milik
BUMN existing.
Setelah melakukan serangkaian kajian dan diskusi,
pilihan terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan
menjadikan salah satu Bank Umum Syariah (BUS) yang
ada sebagai bank BUMN Syariah skala besar (BUKU IV).
BUS tersebut kemudian dapat dibesarkan melalui
serangkaian kegiatan merger and aqcuisition (M&A)
dengan mengambil alih saham bank lain.
4
5
1.1
1.2
1.3
7
9
9
10
11
11
12
15
17
21
22
24
6
27
30
34
37
39
40
43
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam
pengembangan keuangan syariah, salah satunya
melalui industri perbankan syariah yang sudah hadir
sejak tahun 1992. Perkembangan bank syariah
didukung oleh Undang-Undang No 21 Tahun 2008
tentang perbankan syariah (UU Perbankan Syariah)
sebagai landasan hukum mampu mengakomodasi
peraturan dan perkembangan industri perbankan
syariah pada saat itu. Pertumbuhan industri
perbankan syariah terus meningkat tercermin dari
jumlah lembaga keuangan syariah yang terus
bertambah. Sampai dengan akhir 2018, Indonesia
telah memiliki 14 Bank Umum Syariah (BUS) dan 20
Unit Usaha Syariah (UUS) dengan jaringan kantor dan
layanan yang tersebar luas di seluruh Indonesia.
Setelah terbitnya UU Perbankan Syariah, Industri
perbankan syariah mengalami masa keemasan pada
periode 2007-2012 dengan pertumbuhan aset dua
digit (CAGR ±40%). Meski dalam beberapa tahun
terakhir terjadi pelambatan, total aset perbankan
syariah secara akumulatif masih menunjukkan
peningkatan. Namun disisi lain, pangsa pasar bank
syariah Indonesia masih terjebak pada angka
psikologis 5% hingga tahun 2018. Pangsa pasar ini
dinilai sangat rendah jika dibandingkan dengan
beberapa negara muslim lainnya yang memiliki
jumlah populasi dan skala ekonomi lebih kecil.
7
Diantara tantangan yang dihadapi dalam
pengembangan perbankan syariah di Indonesia adalah
keterbatasan modal. Terbatasnya modal bank syariah
membatasi kedalaman serta fasilitas layanan
perbankan syariah untuk bersaing dengan bank
konvensional. Selain itu, terbatasnya aspek
permodalan ini juga berimbas pada keterbatasan
ruang gerak, skala bisnis, serta segmen usaha yang
dapat dilayani oleh perbankan syariah Indonesia.
Penambahan sumber daya manusia yang lebih
kompeten juga terhambat karena modal yang
terbatas.
Keterbatasan skala usaha perbankan syariah
menyebabkan bank syariah kurang kompetitif dan
cenderung inefisien dalam mengelola sumber daya.
Komponen biaya modal yang dikeluarkan oleh bank
syariah dalam rangka memperoleh pendapatan masih
belum ideal sehingga pembiayaan yang ditawarkan
belum kompetitif dibandingkan dengan perbankan
konvensional. Di sisi lain, skala ekonomi yang terbatas
mengakibatkan inefisiensi dalam kegiatan operasional
bank syariah. Oleh karena itu, hasil dari pengelolaan
sumber daya menjadi kurang optimal untuk menarik
nasabah simpanan dan/atau investor.
Dengan kondisi sebagaimana dijelaskan diatas,
diperlukan intervensi secara signifikan agar perbankan
syariah bukan hanya tumbuh secara organik, namun
juga anorganik. Oleh karena itu, Komite Nasional
Keuangan Syariah (KNKS) mengambil inisiatif untuk
mengkaji strategi atau pilihan intervensi unorganik
yang dapat dilakukan untuk menciptakan quantum
leap bagi perbankan syariah nasional.
Dalam Road Map Perbankan Syariah Indonesia 2015-
20191, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan
beberapa perubahan mendasar yang sedang terjadi,
baik makro maupun mikro, dalam sektor perbankan.
Menurut OJK, dalam lima atau sepuluh tahun ke
depan, perubahan industri perbankan secara global
akan lebih drastis dan fundamental dibandingkan
dengan yang sudah pernah atau yang sedang terjadi,
dan akan sangat memengaruhi industri perbankan
syariah Indonesia. Diantara situasi yang akan
memengaruhi kinerja perbankan syariah ke depan
adalah sebagai berikut:
a. Adopsi standar dan komitmen internasional
setelah Indonesia menjadi anggota G20.
b. Integrasi sektor keuangan dalam kerangka
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2020.
c. Bonus demografis Indonesia mulai dari 2015
sampai 2035.
d. Rasio kredit/GDP Indonesia yang masih dibawah
50% sehingga terbuka potensi pertumbuhan
pembiayaan yang sangat besar.
e. Rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat
Indonesia yaitu sebesar 22%.
Sebagai upaya antisipisasi atas perubahan mendasar
ini, OJK sebagai regulator menyusun Road Map
Pengembangan Perbankan Syariah dari tahun 2015-
2019 yang dirangkum dalam visi ‘mewujudkan
perbankan syariah yang berkontribusi signifikan bagi
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, pemerataan
pembangunan dan stabilitas sistem keuangan serta
berdaya saing tinggi’. Dalam rangka mencapai visi
tersebut, OJK mencanangkan tujuh arah kebijakan
yaitu:
81Otoritas Jasa Keuangan (2015). Roadmap Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019, Jakarta.
1. Memperkuat sinergi kebijakan antara otoritas
dengan pemerintah dan stakeholder lain;
2. Memperkuat permodalan dan skala usaha bank
syariah, disertai perbaikan efisiensi;
3. Memperbaiki struktur dana untuk memperluas
segmen pembiayaan;
4. Memperbaiki kualitas layanan dan keragaman
produk;
5. Memperbaiki kuantitas dan kualitas SDM &
Teknologi Informasi (TI);
6. Meningkatkan literasi dan preferensi masyarakat;
dan
7. Memperkuat serta harmonisasi pengaturan dan
pengawasan.
Sejalan dengan arah kebijakan yang kedua,
memperkuat permodalan dan skala usaha bank
syariah, terdapat aspirasi agar ada bank syariah
dengan skala besar. Untuk mewujudkan hal tersebut,
terdapat beberapa opsi akselerasi pengembangan
perbankan syariah untuk menghasilkan bank syariah
skala besar tersebut, antara lain: (a) konversi, (b)
merger, (c) holding, dan (d) pembentukan bank BUMN
syariah baru. Intervensi tersebut diharapkan dapat
menghadirkan bank syariah dengan skala besar di
Indonesia sehingga mampu melakukan ekspansi secara
kuat dan berkesinambungan, termasuk dalam
membiayai proyek besar oleh pemerintah maupun
swasta.
9
Kajian ini bertujuan untuk menyediakan analisis yang
komprehensif untuk mengidentifikasi berbagai
intervensi kebijakan dalam rangka meningkatkan aset
industri perbankan syariah secara anorganik dan
menciptakan pertumbuhan secara eksponensial bagi
industri. Beberapa intervensi kebijakan yang dapat
dilakukan antara lain:
a. Konversi bank konvensional milik BUMN dan/atau
swasta.
b. Menyatukan (merger) tiga bank syariah dan satu
unit usaha syariah milik BUMN.
c. Menciptakan holding bank syariah milik BUMN.
d. Pembentukan bank BUMN Syariah, dengan cara:
i. Pendirian bank BUMN Syariah baru.
ii. Penguatan salah satu bank syariah milik
BUMN existing.
1.1 Tujuan
1.2 Ruang Lingkup
Lingkup kegiatan meliputi kajian analisis pembentukan
Bank BUMN Syariah yang mencakup:
a. Melakukan desk study dalam rangka analisis
informasi dan data terkait pembentukan bank
BUMN Syariah.
b. Melakukan pemetaan pada metode pembentukan
bank Syariah.
c. Melakukan indepth interview dalam rangka
mendapatkan analisis bersama pemangku
kepentingan terkait.
d. Melakukan analisis data primer dan sekunder
termasuk hasil indepth interview untuk
menghasilkan kajian analisis dalam pilihan metode
pembentukan perbankan BUMN Syariah.
e. Pelaporan hasil akhir kajian analisis metode
pembentukan Bank BUMN Syariah.
10
Keluaran (deliverables) yang diharapkan dari kegiatan
ini adalah laporan akhir yang berisi kajian konversi,
merger, holding, dan pembentukan bank BUMN
Syariah yang mencakup:
a. Analisis pro dan kontra dari masing-masing pilihan
pembentukan bank BUMN Syariah.
b. Rekomendasi pendekatan terbaik sebagai strategi
penguatan perbankan syariah.
1.3 Deliverables
Perekonomian dunia sedang berada dalam fase
penting setelah mengalami pelambatan yang cukup
panjang sejak krisis tahun 2008/2009. Bank Dunia
menyebut periode 2016/2017 sebagai fase
pemulihan ekonomi global yang rapuh atau ‘fragile
recovery’.2
Hal ini dikarenakan proses pemulihan yang sudah
berjalan dari tahun 2009 terhambat oleh resesi
ekonomi yang terjadi pada tahun 2010. Bahkan,
setelah ekonomi dunia kembali pulih pada tahun
2012, pertumbuhan cenderung datar sehingga
lembaga global A.T. Kearney menyebutnya sebagai
‘delicate recovery’.3
11
2.1 Kondisi Perekonomian Global
2 Lihat: The World Bank, 2017. Global Economic Prospects: A Fragile Recovery. Washington D.C.3 Lihat: https://www.atkearney.com/web/global-business-policy-council/article?/a/global-economic-outlook-2017-2021-the-all-too-visible-hand
Meskipun masih rapuh dan datar, dari data yang
terangkum dalam Gambar 1, proses pemulihan
ekonomi dunia terus berlangsung dan momentum
pertumbuhan masih terus berlanjut. Oleh karena itu,
indikator yang cukup positif ini dapat memberikan
sedikit keyakinan bahwa ekonomi nasional dan
regional masih akan terus membaik lima tahun ke
depan.
Dapat disimpulkan bahwa kondisi perekonomian
secara makro cukup kondusif untuk beberapa tahun ke
depan sehingga memungkinkan bagi pelaku bisnis
untuk merencanakan perluasan usaha, merger,
konversi, akusisi, atau aksi korporasi lainnya. Sebagai
catatan, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia
relatif lebih baik dibandingkan negara maju dan rata-
rata negara berkembang lainnya sehingga dapat
menjadi insentif bagi pelaku usaha.
12
2.2 Kondisi Perekonomian Nasional
Seiring dengan meningkatnya integrasi perekonomian
dunia, ekonomi Indonesia mengalami situasi yang
serupa dengan perekonomian global sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 1 diatas. Namun, dalam
krisis tahun 2008 – 2009, perekonomian Indonesia
relatif lebih stabil dibandingkan negara-negara Eropa
dan Amerika Serikat, atau sebagian kecil negara
berkembang yang terimbas. Hal ini terbukti dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih
positif selama periode krisis tersebut.
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi Dunia (%)
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 20162017(
p)2018(
p)2019(
p)
N. Maju 2,51 0,07 -3,51 2,89 1,60 1,10 1,29 1,86 2,11 1,68 1,92 1,85 1,69
N. Berkembang 8,29 5,76 1,79 7,29 6,40 4,87 4,87 4,30 3,56 3,46 4,09 4,47 4,68
Dunia 4,24 1,84 -1,80 4,36 3,25 2,43 2,59 2,76 2,65 2,36 2,75 2,87 2,87
Indonesia 6,35 6,01 4,70 6,38 6,17 6,03 5,56 5,01 4,88 5,02 5,16 5,26 5,38
-6,00
-4,00
-2,00
0,00
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
Sumber: Diolah dari data The World Bank, www.worldbank.org
Dari proyeksi yang dilakukan oleh Bank Dunia (WB) dan
Dana Moneter Internasional (IMF), pertumbuhan
ekonomi Indonesia selama tiga sampai dengan lima
tahun terakhir masih sekitar 5%. Pertumbuhan yang
cukup tinggi ini dipicu oleh tingkat kepercayaan
konsumen yang masih tinggi atau pada level ‘optimis’,
misalnya mencapai 113,3 pada Agustus 2016 dan terus
meningkat menjadi 121,9 pada Agustus 2017.
Consumer Confidence Index cukup penting bagi
perekonomian Indonesia mengingat kontribusi sektor
konsumsi secara makro masih menjadi motor
penggerak pertumbuhan PDB nasional untuk lima
tahun kedepan.
Dengan tingkat keyakinan konsumen yang tinggi, maka
diperkirakan ekonomi nasional akan tetap mengalami
pertumbuhan yang positif.
Bahkan ketika dibandingkan dengan negara maju,
misalnya yang tergabung dalam OECD, Consumer
Confidence Index Indonesia dalam tiga tahun terakhir
hampir sama. Salah satu faktor pendukung tingginya
indeks tersebut adalah stabilitas perekonomian, baik
dari kondisi politik maupun kebijakan moneter yang
relatif bisa diprediksi dengan rezim bunga rendah.
13
Aspek kestabilan ini juga tercermin dalam berbagai
indikator makro ekonomi seperti laju inflasi, tingkat
suku bunga kredit, dan nilai tukar rupiah dengan mata
uang asing. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan
ekonomi Indonesia cenderung stabil dengan tren
menurun yang disebabkan oleh pelambatan ekonomi
dunia. Faktor ketidakpastian ekonomi dunia dan
lemahnya volume perdagangan dunia sepanjang
periode ini turut memberikan pengaruh pada ekonomi
Indonesia, termasuk realisasi pertumbuhan ekonomi.
94
95
96
97
98
99
100
101
102
2007-02
2007-06
2007-10
2008-02
2008-06
2008-10
2009-02
2009-06
2009-10
2010-02
2010-06
2010-10
2011-02
2011-06
2011-10
2012-02
2012-06
2012-10
2013-02
2013-06
2013-10
2014-02
2014-06
2014-10
2015-02
2015-06
2015-10
2016-02
2016-06
2016-10
2017-02
2017-06
OECD Indonesia
Gambar 2. Consumer Confidence Index
Sumber: OECD (www.oecd.org)
Meskipun demikian, tingginya permintaan rumah
tangga yang ditandai dengan kestabilan konsumsi
masyarakat turut mendukung momentum pemulihan
sektor perdagangan internasional serta kinerja sektor
penting lainnya.Perkembangan ini meningkatkan
optimisme terhadap asumsi pertumbuhan ekonomi
dalam APBN.
Sepanjang tahun 2018, tren perbaikan harga
komoditas ekspor nasional diperkirakan akan kembali
dan menjadi faktor pendukung peningkatan kinerja
pertumbuhan ekspor beberapa kuartal ke depan.
14
Bagi industri perbankan, terdapat beberapa kondisi
yang menyebabkan peningkatan pembiayaan ke
berbagai sektor perekonomian. Pertama, konsumsi
rumah tangga yang merupakan pendorong utama
pertumbuhan memberikan peluang bagi industri
perbankan untuk meningkatkan pembiayaan
konsumer dengan pertumbuhan yang diperkirakan
stabil. Kedua, berlanjutnya berbagai proyek
infrastruktur nasional yang memerlukan pembiayaan
perbankan dalam jumlah yang cukup signifikan.
Partisipasi bank syariah dalam sindikasi pembiayaan
infrastruktur menunjukkan tren meningkat dan terjadi
perluasan partisipasi jumlah bank syariah, termasuk
Unit Usaha Syariah bank daerah.
Di sisi lain, perekonomian nasional masih dibayangi
oleh lesunya sektor riil dan belum pulihnya sektor
manufaktur. Meski pertumbuhan ekonomi masih
relatif tinggi di kisaran 5,1% sampai 5,4% pada tahun
20184, namun sumber pertumbuhan masih menjadi
domain sektor konsumsi rumah tangga yaitu sebesar
56% pada tahun 2018.5 Sementara laju inflasi
diperkirakan stabil di kisaran 4,1 - 4,2% selama dua
tahun ke depan.
Secara historis, laju pertumbuhan ekonomi nasional
mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2012
sampai akhir 2016 yaitu dari 6,2% menjadi 5,2%.
Pelambatan ini dipicu oleh menurunnya harga
komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia
seperti batu bara dan crude palm oil (CPO) di pasar
internasional. Hal yang sama terjadi dengan nilai tukar
Rp yang melemah dari Rp9.400/USD menjadi lebih dari
Rp13.000/USD. Indikator lain seperti laju inflasi dan
suku bunga sempat memburuk selama beberapa
tahun, namun kembali membaik pada tahun 2017 dan
2018.
4Asumsi pertumbuhan Bank Indonesia, Statistik Triwulan, www.bi.go.id5Badan Pusat Statistik, www.bps.go.id .
Keterangan 2016 2017 2018 2019(p) 2020(p) 2021(p)
Pertumbuhan
PDB/GDP
4,9 5,3 5,4 5,8 6,0 6,0
Inflasi 4,3 4,5 3,13 4,3 4,1 4,0
Current Account
Balance
(% GDP)
-2,6 -2,8 -3,0 -3,0 -3,0 -3,0
BI-Rate 4,75 4,25 6 4-6 4-6 4-6
Tabel 1. Tren dan Proyeksi Indikator Kunci
Sumber: Diolah dari World Economic Outlook IMF; Bank Indonesiat
Dalam beberapa tahun ke depan, tingkat
pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan
stabil di kisaran 5,1 sampai 5,4% dan laju inflasi terjaga
dibawah 4,2%. Tingkat suku bunga masih akan
mengikuti irama yang dimainkan oleh Federal Reserve
(The Fed) mengingat potensi peningkatan suku bunga
The Fed masih tinggi.
Selama periode 2018-2022, secara umum beberapa
lembaga seperti Bank Dunia melansir laporan yang
optimistik terhadap indikator kunci perekonomian
Indonesia.
15
2.3 Industri Perbankan Syariah Nasional
Secara umum, pertumbuhan perbankan syariah
selama tiga tahun terakhir mengalami rebound yang
cukup signifikan dibandingkan tahun 2015 yaitu dari
8,78% menjadi diatas 12,00%. Tahun 2015 dapat
dikatakan sebagai titik terendah pertumbuhan
perbankan syariah selama sepuluh tahun terakhir
dimana pertumbuhan perbankan konvensional hampir
sama dengan perbankan syariah yaitu 8,55% dan
8,78% seperti pada Gambar 3. Data OJK menunjukkan
bahwa aset perbankan syariah terus meningkat
dengan pertumbuhan kembali mendekati angka
20,00%. Hal ini merupakan pertanda awal bahwa
perbankan syariah sudah mulai pulih.
Namun, perlu dicatat bahwa pertumbuhan tersebut
merupakan hasil dari konversi Bank Aceh dan Bank
NTB, bukan hasil dari pertumbuhan organik BUS yang
ada. . Dengan demikian, rencana beberapa bank
daerah yang sedang melakukan kajian untuk konversi
patut didorong sehingga diharapkan akan menjaga
momentum pertumbuhan perbankan syariah agar
tetap tinggi. Dengan dipicu adanya konversi dan
kewajiban pemisahan (spin-off) 22 Unit Usaha Syariah
sebelum 2023, diharapkan bisa menjaga momentum
pertumbuhan industri agar dapat mendekati level ideal
sepenuhnya yaitu pada kisaran 20-30%.
Keterangan 2014 2015 2016 2017 2018
Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,50 5,70 5,20 5,07 5,18
Inflasi (%) y-o-y 8,36 3,35 3,02 3,61 3,13
Kurs (Rp/U$$1) 11.60
0
12.50
0
13.50
0
13,38
4
14,48
1
Suku Bunga SPN 3 Bulan (%) 6,0 6,2 5,5 5,0 5,2
Harga Minyak Mentah Indonesia
(USD/Barel)
105,0 60,0 40,0 50,0 67,5
Tabel 2. Data Historis Ekonomi Makro Indonesia
Sumber: Dari berbagai sumber; diolah.
16
Pertumbuhan total aset perbankan syariah mengalami
tren peningkatan sejak tahun 2005 hingga 2018
seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Namun,
pertumbuhan total aset dengan CAGR 15% ini belum
mampu memperbesar pangsa pasar perbankan syariah
secara signifikan. Dari tahun 2005 hingga 2016, pangsa
pasar perbankan syariah masih bertengger dibawah
5%.
Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan total aset
secara organik di kisaran 15-20% tersebut belum
mampu mengejar pertumbuhan industri perbankan
secara keseluruhan. Dengan demikian, diperlukan
strategi atau intervensi lain yang mampu mendorong
pertumbuhan industri perbankan syariah secara
eksponensial.
52,06 49,82
94,37 91,47
37,28
27,98 23,55
50,09
33,37
47,55 49,17
34,06
19,54 16,82
8,78
20,33 18,98
12,53
5,68
1,02
8,79 4,25
15,28
15,06
17,18
15,74
9,16
17,96 20,47 15,97 16,07
13,16 8,55 9,89 9,26 9,01 -
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018
Gro
wth
To
tal A
set
(Dal
am P
erse
nta
se)
Growth Total Aset Perbankan Syariah (%) Growth Total Aset Perbankan Konvensional (%)
Gambar 3. Pertumbuhan Perbankan Syariah vs Total Perbankan
Sumber: Diolah dari data Statistik Perbankan Syariah 2018, OJK
Gambar 4. Tren Pertumbuhan Aset, DPK, Pembiayaan Syariah, dan Market Share
0,00%
1,00%
2,00%
3,00%
4,00%
5,00%
6,00%
7,00%
0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
400000
450000
500000
Per
tum
bu
han
Mili
ar
Total Aset BUS dan UUS DPK Pembiayaan Market Share
Sumber: Diolah dari data SPS, OJK
Gambar 5 berikut menggambarkan secara jelas kondisi
stagnasi pertumbuhan industri perbankan syariah
selama tiga tahun berturut-turut dari tahun 2013
sampai 2015. Hanya pada tahun 2016, market share
perbankan syariah dapat bergeser melampaui 5%
setelah PT Bank Aceh dikonversi menjadi PT Bank Aceh
Syariah.
17
Peta persaingan industri perbankan syariah dapat
dijelaskan, diantaranya dengan menggunakan Five
Forces model dari Michael Porter.6 Menurut Porter,
potensi bisnis suatu industri ditentukan oleh intensitas
persaingan dalam industri tersebut; dan persaingan ini
dipetakan dengan lima kekuatan yang memengaruhi
sebuah bisnis yaitu (a) ancaman dari pesaing baru,
misalnya bank baru atau lembaga non bank, (b)
bargaining power dari pelanggan/nasabah, (c)
bargaining power dari pemasok yaitu penyedia dana
untuk bank, (d) ancaman dari produk/layanan
alternatif atau subsitusi, dan (e) pergulatan di antara
sesama pesaing existing, dalam hal ini bank-bank
syariah yang ada.
6Michael Porter (1997). The Competitive Strategy
2.4 Peta Persaingan: Five Forces
Gambar 5. Perkembangan Pangsa Pasar Perbankan Syariah
92% 93% 94% 95% 96% 97% 98% 99% 100%
2005
2007
2009
2011
2013
2015
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Asset 1.469.827 1.693.850 1.986.501 2.310.557 2.534.106 3.008.853 3.652.832 4.262.587 4.954.467 5.615.150 6.095.908 6.729.799
Asset iB 20.707 26.722 36.538 49.555 66.090 97.519 145.467 195.018 242.276 272.344 296.262 356.504
Sumber: Diolah dari data SPS, OJK
18
A. Ancaman Pesaing Baru (New Entrants)
Bagi perbankan syariah, ancaman pendatang baru
dalam industri perbankan syariah relatif moderat
mengingat syarat permodalan untuk mendirikan bank
baru cukup besar yaitu Rp1 triliun untuk bank syariah7
dan Rp3 triliun untuk bank konvensional.8 Selain
modal, sebuah bank juga harus menyediakan dana
untuk sarana prasarana, SDM, dan modal bisnis awal
sehingga hambatan untuk memasuki industri
perbankan cukup tinggi. Dengan demikian, rivalitas
dalam industri perbankan bisa dikatakan tidak terlalu
besar. Seiring dengan tren industri perbankan baik
nasional maupun global, peluang munculnya bank
syariah baru relatif kecil. Di sisi lain, tren merger dan
akuisisi (M&A) diperkirakan akan sangat tinggi di tahun
2019 ini. Namun, perkembangan teknologi informasi
dapat membawa pesaing baru bagi bank syariah dalam
bentuk financial technology (fintech) yang
menawarkan produk atau jasa keuangan yang serupa
dengan perbankan syariah. Meski fintech masih dalam
tahap perkembangan dan belum diatur seketat
perbankan, namun biaya pengembangannya relatif
kecil sehingga hambatan masuknya menjadi cukup
rendah. Oleh karena itu, fintech bisa menjadi ancaman
serius pada waktu mendatang.
B. Bargaining Power of Customers
Secara umum, nasabah pembiayaan bank syariah
memiliki daya tawar sedang atau moderat, bahkan
dapat dikatakan cukup rendah untuk segmen nasabah
sektor pemerintahan (bagi bank syariah daerah/BPD)
atau segmen emosional. Bank cenderung lebih
dominan atas nasabah yang sebagian besar
merupakan pegawai tetap swasta dan Aparat Sipil
Negara (ASN) dimana mayoritas mengajukan
pembiayaan konsumtif dengan pelunasan melalui
pemotongan gaji setiap bulannya.
Adapun nasabah dalam segmen yang lebih luas, baik
individu maupun korporasi, bank syariah menghadapi
kondisi yang berbeda. Daya tawar nasabah
pembiayaan produktif cenderung lebih tinggi, terlebih
nasabah bisa dengan mudah membandingkan pricing
bank, dan jika berkehendak bisa pindah bank dengan
mudah. Oleh karena itu, perbankan syariah harus
mempersiapkan diri dengan bargaining power
customers yang secara keseluruhan akan semakin
tinggi, terutama ketika komposisi nasabah berubah
secara signifikan dengan semakin banyaknya nasabah
diluar segmen captive seperti pemerintahan atau
emosional.
7PBI No. 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum Syariah8PBI No. 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum
5. Existing competitors
1. New Entrants
2. Customers
3. Substitutes
4. Suppliers
Menangani nasabah pembiayaan komersial dengan
karakter rasional akan menjadi tantangan tersendiri
bagi bank syariah.
C. Bargaining Power of Suppliers
Dalam laporan ini, pemasok yang dimaksud adalah
pihak-pihak penyedia berbagai sumber dana dan
layanan, khususnya pemilik dana baik Dana Pihak
Ketiga (DPK) maupun dana Non-DPK seperti likuiditas
antar bank. Secara umum, daya tawar penyedia dana
bank syariah cukup tinggi dimana nasabah institusi dan
korporasi besar lazimnya meminta rate khusus untuk
bersedia menempatkan dananya di bank syariah.
Sebagai contoh, Badan Pengelola Keuangan Haji
(BPKH) yang secara perundangan mempunyai kriteria
khusus untuk tingkat return penempatan dana di
lembaga keuangan syariah. Selain itu, nasabah
korporasi juga mensyaratkan special rate yang
menyebabkan struktur dana bank syariah kurang ideal
sehingga berdampak pada biaya dana (cost of funds)
yang tinggi. Secara umum, portofolio pendanaan dari
instansi pemerintah dan korporasi yang tinggi akan
semakin memperbesar bargaining power suppliers.
Namun jika ketergantungan terhadap dana jangka
panjang dari lembaga-lembaga tersebut bisa dkurangi
dan porsi dana murah (tabungan dan giro/ CASA) bisa
ditingkatkan, maka daya tawar pemilik dana dapat
berkurang.
D. Substitusi
Ancaman dari produk substitusi perbankan syariah
cukup tinggi, terutama dari lembaga keuangan yang
menawarkan biaya lebih rendah dan/atau proses yang
lebih mudah, sederhana dan cepat. Kemudahan proses
berpindah dan rendahnya biaya switching juga
menjadi ancaman yang cukup serius bagi perbankan
syariah. Lembaga yang berpotensi menjadi substitusi
bagi perbankan syariah diantaranya Bank BUMN
konvensional yang memiliki keunggulan jaringan dan
layanan, BPR/BPRS, koperasi simpan pinjam dan
lembaga pembiayaan konsumer (multifinance).
Namun, ancaman terbesar datang dari layanan
keuangan berbasis teknologi atau financial technology
(fintech/tekfin). Produk peer-to-peer (P2P) lending
menikmati pertumbuhan tiga digit dalam dua tahun
terakhir, yang menjadikan P2P lenders sebagai
ancaman terbesar perbankan, termasuk perbankan
syariah. Meskipun saat ini masih banyak P2P yang
bermasalah dan terindikasi melakukan predatory
lending, namun seiring diperkenalkannya aturan dan
regulasi yang lebih jelas dan ketat, industri fintech
secara keseluruhan akan semakin mapan dan bisa
menjadi pesaing kuat bagi lembaga keuangan pada
umumnya.
E. Kondisi Persaingan (Existing competitors)
Kondisi persaingan antar bank syariah sangat tinggi
mengingat jumlah jaringan yang dimiliki, potensi pasar
captive yang terbatas, serta inovasi produk yang
dilakukan pesaing. Adapun pelaku utama dalam
industri perbankan syariah antara lain Bank Umum
Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Secara bisnis dan
pangsa pasar, saat ini persaingan yang ketat hanya
terjadi antara 5-6 bank, baik BUS maupun UUS, yang
secara kolektif menguasai lebih dari 60% pangsa pasar
perbankan syariah nasional. Bank-bank syariah ini
umumnya memiliki kapitalisasi yang besar dan
mempunyai jaringan kantor atau layanan syariah yang
sangat luas.
19
Berdasarkan analisis lima aspek five forces diatas, maka tabel dibawah menyajikan ringkasan atas ancaman atau
tekanan yang dihadapi oleh perbankan syariah.
20
Berdasarkan Tabel 3 diatas, dapat disimpulkan bahwa
tingkat persaingan dan ancaman yang dihadapi oleh
perbankan syariah adalah moderat sampai dengan
tinggi. Oleh itu, perbankan syariah dapat merespon
melalui:
1. Diferensiasi dan inovasi produk,
yaitu memperkuat basis nasabah yang sudah ada
dengan diversifikasi ke segmen potensial yang selama
ini belum optimal dimanfaatkan seperti pembiayaan
komersial, korporasi, atau mikro. Bagi perbankan
syariah, inovasi produk juga sangat mungkin dilakukan
dengan ketersediaan berbagai skema, akad, dan
produk perbankan syariah beserta fatwa dan kompilasi
produknya. Keunggulan produk syariah perlu
menonjolkan keunikan prinsip dan nilai syariah
sehingga dapat menjadi ‘pembeda’ dengan produk
keuangan konvensionaL.
2. Orientasi pada kualitas layanan,
yaitu metode pengembangan jaringan dan layanan
kepada nasabah yang mengutamakan kemudahan
akses dan layanan terbaik. Peningkatan kualitas
layanan merupakan prasyarat untuk bisa
meningkatkan portofolio bisnis di luar segmen captive
konsumer, mengingat karakter nasabah segmen
produktif komersial atau korporasi sangat berbeda
dengan nasabah retail konsumtif.
3. Fokus pada pengembangan bisnis,
yaitu pengembangan bisnis yang mampu melayani
kebutuhan nasabah yang dinamis, dilengkapi sistem
pendukung seperti teknologi informasi dan sumber
daya insani (SDI) yang modern dan efisien.
4. Penguatan institusi,
baik permodalan yang kuat maupun sistem tata kelola
yang sesuai dengan standar Good Corporate
Governance (GCG) yang berlaku.
No. Five Forces Bentuk AncamanTingkat
Ancaman
1 Ancaman pesaing baru Modal > Rp1 triliun Sedang
2 Daya tawar konsumenTingkat imbal hasil bersaing; Porsi
nasabah rasional Sedang
3 Daya tawar pemasok Special rate; Dana korporasi Tinggi
4 Ancaman produk substitusi Konvensional; Fintech Tinggi
5 Kondisi persaingan saat ini BUS, UUS, BPRS Tinggi
Tabel 3. Analisis Five Forces
21
Dari hasil survei yang dilakukan oleh Bank NTB di
Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2017, terdapat hal
yang cukup menarik mengenai tingkat kepuasan
nasabah terhadap empat BUS terbesar yaitu Bank
Syariah Mandiri, Bank Muamalat, Bank BNI Syariah,
dan Bank BRI Syariah. Keempat BUS tersebut
merupakan pelaku utama perbankan syariah di
Indonesia yang bersaing ketat baik secara nasional
maupun provinsi. Hasil survei internal Bank NTB, yang
dilakukan oleh MarkPlus Inc. ini, menunjukkan bahwa
performa ke empat BUS hampir sama khususnya
dalam hal penerapan konsep syariah dan fitur produk
yang ditawarkan. Sementara untuk aspek
lokasi/fasilitas, layanan, loyalty program, dan
penggunaan teknologi relatif berbeda.
Meskipun demikian, hasil survei mengungkapkan
bahwa kepuasan pelanggan keempat BUS tersebut
masih rendah dalam hal lokasi, fasilitas dan program
loyalitas.
Berdasarkan hasil diatas, dapat disimpulkan bahwa
pola persaingan bank syariah masih berkutat pada
aspek layanan, fitur produk, dan lokasi. Sedangkan
program loyalitas pelanggan dan kualitas teknologi
informasi (TI) masih menjadi titik lemah sebagian BUS
ini. Belajar dari hal tersebut, bank syariah yang akan
dibentuk nanti harus lebih fokus untuk memperbaiki
aspek layanan yang masih lemah seperti loyalitas
nasabah dan TI.
2.5 Peluang dari survei tingkat kepuasan pelangganBUS pesaing
Dalam kajian ini, salah satu komponen penting yang
perlu diperhatikan adalah keterlibatan dan dukungan
para pemangku kepentingan kunci terhadap rencana
pengembangan perbankan syariah. Peran dan
keberpihakan masing-masing stakeholders berbeda-
beda, namun semuanya merupakan para pihak yang
harus diperhatikan dan diperlukan dukungannya.
Adapun profil tingkat dukungan dan pengaruh
stakeholders ini bagi industri perbankan syariah
adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah Republik Indonesia, khususnya
Kementerian Keuangan (i.e. Dirjen Pajak, BKF)
dan Menteri BUMN.
2. Otoriras Jasa Keuangan (OJK).
3. Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI).
4. Potensial pemegang saham atau pesaing, yaitu
Bank Mandiri/Bank Syariah Mandiri, Bank
BNI/BNI Syariah, Bank Rakyat
Indonesia/BRIsyariah, dan Bank Tabungan
Negara/UUS BTN Syariah.
5. Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS).
6. Asosiasi Bank Pemerintah (Himbara).
7. Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia
(Asbisindo).
22
23
Gambar 7. mengilustrasikan posisi beberapa
stakeholders kunci terkait kepentingan (interest)
masing-masing dalam pengembangan perbankan
syariah, serta tingkat pengaruh yang dimiliki terhadap
efektivitas intervensi yang mungkin akan dilakukan.
Dalam kuadran high interest-high influence yang
merupakan aspek kritikal, stakeholders utama adalah
otoritas (OJK), pemegang saham (Menteri BUMN dan
Bank BUMN), Direktorat Jenderal Perpajakan, dan
KNKS. Khusus untuk stakeholders tersebut, perlu
dilakukan pendekatan pada level manajemen tertinggi
oleh KNKS untuk memastikan dukungan dan komitmen
stakeholder terkait terhadap intervensi yang diusulkan.
Sementara stakeholders dalam kuadran yang lain tetap
perlu diperhatikan dan diminta dukungannya, baik
secara langsung, misalnya dalam proses pembentukan
Bank BUMN Syariah, maupun tidak langsung, seperti
dalam hal memastikan perbankan syariah dapat
tumbuh secara signifikan dalam lima tahun ke depan
dengan total aset mencapai Rp2.000 triliun.
Gambar 7. Stakeholders Map
Himbara
Kementrian
BUMN
OJK
Bappenas
Dirjen
Pajak
Asbisindo
Kementrian
Keuangan
Bank
BUMN
(induk)
DSN-
MUI
BI
LPS
BPKH
BPK
BPJS
Sumber: Diolah
Berdasarkan hasil focus group discussion (FGD)
bersama empat bank Syariah milik Bank BUMN,
terdapat beberapa permasalahan utama yang
dihadapi oleh perlaku perbankan Syariah di
Indonesia. Permasalahan tersebut antara lain
keterbatasan modal, tingginya biaya dana (cost of
fund) dan kondisi perbankan syariah yang umumnya
mengalami kelebihan likuiditas. Ketiga permasalahan
tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain dan
berdampak pada kurang kompetitifnya perbankan
syariah secara umum.
Keterbatasan modal yang dimiliki bank Syariah
menjadi salah satu permasalahan pokok dalam
mengembangkan industri perbankan syariah. Selaras
dengan Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah
Indonesia (MAKSI) dan Masterplan Ekonomi Syariah
Indonesia (MEKSI) 2019 – 2024, isu permodalan ini
patut mendapat perhatian khusus karena dampaknya
yang cukup signifikan dalam kegiatan usaha bank.
Modal yang terbatas menjadi kendala ketika bank
Syariah akan melakukan ekspansi bisnis khususnya ke
sektor korporasi, institusi, atau pembiayaan proyek
pemerintah yang membutuhkan dana besar. Selain
itu, bank Syariah dengan ijin usaha devisa juga perlu
menjaga rasio Posisi Devisa Neto (PDN) yang
dikaitkan dengan modal bank. Dalam kerangka
perbankan yang diatur berdasarkan aspek risiko,
kekuatan modal menjadi salah satu kunci
keberhasilan usaha.
24
25
Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 8, perbankan
konvensional memiliki jumlah modal hingga 8,5 kali
lebih besar dibandingkan modal perbankan Syariah
pada tahun 2018. Modal yang kuat ini tercermin dalam
rasio kecukupan modal bank konvensional yang selalu
diatas 20% selama periode 2015 – 2018.
Meskipun demikian, pertumbuhan modal bank Syariah
memiliki tren positif yang tercermin pula pada rasio
kecukupan modal yang semakin membaik setiap
tahunnya hingga mencapai 20,39% pada tahun 2018.
Rasio modal bank juga dipengaruhi oleh tingkat non-
performing financing (NPF); dimana penyebab NPF
sendiri dapat bervariasi. Salah satu faktor yang
berpengaruh adalah penerapan prinsip kehati-hatian
dalam penyaluran dana, termasuk pemilihan nasabah
dengan kualitas dan kinerja yang baik (prime
customer). Sesuai dengan profil risiko nasabah yang
rendah, prime customer biasanya akan memiliki
bargaining power tinggi sehingga meminta kompensasi
rate yang lebih menarik. Disinilah permasalahan kedua
muncul yaitu biaya dana perbankan syariah yang
relative lebih mahal sehingga kurang kompetitif dalam
menarik nasabah prima.
Struktur DPK perbankan Syariah yang didominasi oleh
deposito mengakibatkan biaya dana menjadi lebih
tinggi dibandingkan industri perbankan konvensional
sehingga pricing pembiayaan yang disalurkan pun
menjadi kurang kompetitif. Gambar 9 menunjukan
bahwa selama periode 2015 – 2018, rata-rata rasio
tabungan dan giro (CASA) bank konvensional selalu
berada diatas angka 54%; sebaliknya, bank Syariah
selalu berada dibawah 45%. Namun, angka tersebut
terus mengalami perbaikan meski masih terpaut jauh
dari bank konvensional.
12,41 14,49 16,05 21,93
152,22 162,2180,22 187,37
0
50
100
150
200
2015 2016 2017 2018
Modal Disetor (Triliun Rupiah)
Modal Disetor (Triliun Rupiah) PerbankanKonvensional
15,0216,63
17,91
20,39
21,3922,93 23,18 22,97
10
15
20
25
2015 2016 2017 2018
Capital Adequacy Ratio (%)
CAR (%) Perbankan Konvensional
Gambar 8. Perbandingan Aspek Permodalan antara Bank Syariah dan Bank Konvensional
26
Apabila dilihat dari motivasi nasabah menempatkan
dananya pada instrumen dana murah seperti tabungan
dan giro yang bersifat transaksional, maka
permasalahan struktur DPK ini erat kaitannya dengan
kualitas layanan bank Syariah; baik secara riil maupun
persepsi nasabah. Oleh karena itu, perbankan Syariah
perlu meningkatkan kualitas layanan serta berusaha
memberikan solusi keuangan yang terintegrasi kepada
nasabah baik individu maupun institusi. Selain itu,
perbankan syariah perlu menggencarkan upaya
promosi dan engagement untuk memperbaiki persepsi
masyarakat terhadap bank syariah.
Permasalahan selanjutnya berkaitan dengan financing
to deposit ratio (FDR) bank syariah yang berada
dibawah batas minimum yaitu 80%. Salah satu faktor
penyebabnya adalah pricing pembiayaan bank syariah
yang kurang menarik apabila dibandingkan dengan
pesaing. Penyaluran pembiayaan yang kurang optimal
memiliki berbagai konsekuensi bagi perbankan syariah
seperti (1) terjadinya kelebihan likuiditas karena DPK
tidak terserap secara optimal, (2) terkena disinsentif
penambahan Giro Wajib Minimum bagi bank dengan
FDR dibawah 80% dan (3) performa atau produktivitas
perbankan menjadi kurang optimal sehingga return
yang diberikan kepada deposan/ pemilik dana menjadi
berkurang.
Sebagaimana terlihat pada Gambar 10, FDR bank
syariah selalu berada dibawah bank konvensional
selama periode tiga tahun terakhir; serta mengalami
tren penurunan dari 88,03% pada tahun 2015 menjadi
78,53% di tahun 2018. Kondisi ini diperburuk dengan
terbatasnya instrumen keuangan jangka pendek
syariah sebagai upaya optimalisasi pengelolaan
likuiditas perbankan syariah.
38,87 40,51 41,41 42,5
54,01 55,33 55,48 55,77
35
40
45
50
55
60
2015 2016 2017 2018
Current Account Saving Account (%) Perbankan Syariah
CASA (%) Perbankan Indonesia
Gambar 9. Perbandingan Rasio CASA Bank Syariah dan Industri Perbankan Nasional
Gambar 10. Perbandingan FDR Bank Syariah dan Konvensional
88,0385,99
79,61 78,53
92,11 90,7 90,04
94,78
70
75
80
85
90
95
100
2015 2016 2017 2018
Financing to Deposit Ratio (%) Loan to Deposit Ratio (%) Perbankan Konvensional
Latar belakang utama perlunya kajian ini adalah
masih rendahnya penetrasi perbankan syariah di
Indonesia, meskipun industri ini telah memiliki semua
prasyarat untuk berkembang pesat di Indonesia
antara lain mayoritas penduduk Muslim, layanan
perbankan syariah sudah terjangkau luas, dan
pemahaman yang sudah semakin baik di masyarakat.
Secara kuantitatif, alasan dan urgensi bank syariah
skala besar dapat dilihat dari data yang telah
disampaikan pada bagian awal laporan ini.
Namun secara kualitiatif, raison d’etre atau alasan
perlunya eksistensi bank syariah skala besar dapat
dievaluasi dari Laporan Master Plan Ekonomi Syariah,
dimana disajikan analisis SWOT perbankan syariah
sebagai berikut:
27
28
Tabel 4. Analisis SWOT Perbankan Syariah
Sumber: Masterplan Ekonomi Syariah (2018)
Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weaknesses)
a. Sumber pendaanan berasal dari masyarakat
muslim loyalis syariah maupun non-muslim
yang percaya sistem syariah, atau dari
lembaga-lembaga bisnis dengan asas
operasional Syariah.
b. Kelimpahan dana setoran haji yang cukup
besar dan alokasi dari BPKH.
c. Regulasi dalam berbagai aktivitas
operasional Bank sudah jelas dari BI, OJK
dan lembaga lain yang terkait.
d. UUS dapat memanfaatkan semua fasilitas
bank induk dalam operasionalnya sehingga
dapat menekan biaya operasional yang
menimbulkan potensi peningkatan
keuntungan.
e. Kinerja (ROA, BOPO, NPF, NOM) beberapa
UUS lebih baik dibanding BUS.
a. Pendanaan masih didominasi oleh simpanan
berbiaya mahal (Deposito Berjangka) dan
jangka pendek sehingga tidak tepat jika
disalurkan ke pembiayaan jangka panjang;
serta pembiayaan mahal.
b. SDM baik dalam jumlah maupun kualitas
belum memadai.
c. Efek dari kebijakan spin-off terdapat BUS
yang masih terkendala permodalan dan
perluasan usaha karena membutuhkan
investasi tinggi.
d. Masih sedikitnya tenaga ahli yang dimiliki
Bank Syariah dengan pengalaman yang
cukup.
e. Kualitas SDI dalam manajemen risiko
pembiayaan dan analisis pembiayaan masih
kalah berpengalaman dibandingkan Bank
Konvensional.
f. Belum dapat mengalokasikan pembiayaan
secara maksimal karena terkendala
permodalan yang masih terbatas dan
adanya aturan CAR.
Peluang (Opportunities) Ancaman (Threats)
a. Perkembangan industri halal.
b. Perkembangan UMKM.
c. Potensi masyarakat yang belum memiliki
akun bank syariah masih tinggi
d. Pangsa pasar masih rendah sehingga
terdapat potensi pendanaan besar yang
belum terealisasi.
e. Dukungan pemerintah untuk
pengembangan ekonomi syariah sudah
mulai terlihat dengan kebijakan tentang
dana BPKH.
f. Perkembangan pengelolaan dana ZISWAF
dan berkembangnya instrumen sukuk.
g. Digital Banking dapat dimanfaatkan bank
syariah dalam mempermudah layanan
kepada nasabah/masyarakat.
h. Dana sosial lain yang belum sepenuhnya
dikelola melalui bank syariah.
a. Kuatnya eksistensi bank konvensional untuk
menarik konsumen skala besar.
b. Kualitas dan kuantitas SDM yang paham
tentang syariah masih rendah.
c. Permodalan yang sulit meningkat.
d. Skala Ekonomi yang masih rendah.
e. Masih kekurangan SDM yang paham syariah
maupun ilmu ekonomi sekaligus.
f. Sistem teknologi informasi yang dimiliki
masih belum secanggih Bank Konvensional.
g. Edukasi dan literasi perbankan syariah yang
masih rendah.
h. Ekonomi digital dapat merupakan ancaman
bagi bank syariah dalam upaya
meningkatkan segmen pembiayaan retail.
29
Hasil analisis SWOT diatas memberikan gambaran
masih banyaknya peluang perbankan syariah yang
belum dimanfaatkan oleh industri, terutama karena
keterbatasan permodalan dan kapasitas bank syariah
yang ada. Secara singkat, kebutuhan akan bank
syariah skala besar didorong oleh beberapa hal
berikut:
1. Aspek permodalan
Banyak peluang ekspansi bisnis akan hilang sekiranya
pembiayaan yang dibutuhkan pelaku usaha tidak
ditangani oleh bank syariah. Bahkan dunia usaha bisa
saja mencari alternatif lain diluar perbankan syariah,
baik itu bank konvensional, institusi keuangan non-
bank, atau layanan teknologi finansial seperti P2P
atau crowd funding.
Oleh karena itu, peningkatan kapasitas industri
perbankan syariah merupakan kebutuhan yang
sangat mendesak, baik dengan pengembangan
beberapa bank inti secara organik maupun anorganik
seperti melalui aksi merger. Selain itu, pendirian bank
syariah baru yang mempunyai skala bisnis besar
minimal BUKU III juga patut dipertimbangkan. Berikut
merupakan beberapa peluang ekspansi bisnis bank
syariah yang seringkali terkendala oleh keterbatasan
modal.
No Peluang Bisnis Isu yang Dihadapi
1 Pembiayaan produktif
untuk sektor korporasi
atau infrastruktur
pemerintah
Terkait dengan peraturan Batas Maksimum Penyaluran Dana (BMPD)
dimana permodalan bank syariah yang jauh lebih kecil dibandingkan
perbankan konvensional menyebabkan maksimum penyaluran dana
kepada pihak ketiga juga terbatas sehingga tidak mampu mencukupi
kebutuhan dana dengan skala besar. Salah satu solusinya yaitu melalui
pembiayaan sindikasi bank syariah, tetapi sangat mungkin prosesnya akan
menjadi lebih rumit, lama dan biaya pembiayaan yang lebih tinggi.
2 Pembiayaan produktif
dalam valuta asing,
termasuk trade finance
Selain terkait peraturan BMPD, ketika bank syariah menyalurkan
pembiayaan dalam mata uang asing, maka perlu diperhatikan pula
ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN) yang tidak boleh melebihi 20% dari
modal bank. Artinya, dana yang disalurkan pun menjadi terbatas.
3 Remittance dan penjualan
banknotes
Terkait dengan peraturan PDN. Hal ini juga menjadi isu pada saat musim
haji dimana Kementerian Agama melakukan lelang mata uang USD dan
SAR baik untuk kegiatan operasional maupun uang saku jemaah haji.
Umumnya, harga yang ditawarkan oleh bank syariah kurang kompetitif
dibandingkan bank konvensional karena persediaan valuta asing dan/atau
banknotes yang terbatas.
4 Bank syariah sebagai Bank
Operasional I (BO I)
Pemerintah
Terkait dengan peraturan yang mewajibkan BO I merupakan bank BUKU III
30
2. Mayoritas pendanaan bank syariah bersifat
jangka pendek
Kondisi pendanaan bank syariah yang masih dominan
jangka pendek menyebabkan terjadinya risiko
likuiditas akibat short-term mismatch. Saat ini,
likuiditas perbankan syariah masih dominan DPK
jangka pendek, sedangkan produk pembiayaan
unggulan seperti musyarakah dan mudharabah
merupakan skema jangka panjang.
Bahkan, akad yang dominan digunakan seperti
murabaha pun minimal berjangka waktu satu tahun.
Kondisi ini juga menjadi hambatan bagi perbankan
syariah untuk meningkatkan portofolio pembiayaan
komersial atau korporasi. Tanpa pembiayaan
komersial yang signifikan dan berkualitas, akan sulit
bagi perbankan syariah untuk berkembang.
5.1 Target Pengembangan Industri PerbankanSyariah
Rencana pengembangan perbankan syariah dapat
dilakukan dengan zero intervention atau business as
usual dengan proyeksi pertumbuhan yang mengacu
pada data historis industri tahun-tahun sebelumnya
misalnya CAGR 15%, atau dengan full intervention
secara moderat (25%) atau agresif (37,5%). Simulasi
dalam Gambar 11 menunjukan bahwa aset industri
perbankan syariah akan bertambah menjadi Rp1.000
triliun jika tanpa intervensi, serta akan berkembang
dua atau tiga kali lipatnya dengan intervensi yang
dilakukan secara moderat atau agresif.
Namun, ketiga skenario intervensi ini tidak akan serta
merta menjadikan pangsa pasar perbankan syariah
bertambah secara signifikan mengingat pertumbuhan
perbankan konvensional masih cukup tinggi. Hal ini
disebabkan pasar perbankan nasional masih cukup
luas, terutama segmen yang selama ini belum masuk
dalam sistem perbankan (unbanked population).
Program inklusi keuangan yang secara gencar
dilaksanakan oleh regulator dan lembaga keuangan
perlahan mulai membuahkan hasil dimana inklusi
keuangan tahun 2016 sudah mencapai 63% dari
target 75% pada akhir 2019.
No Peluang Bisnis Isu yang Dihadapi
5 Hubungan BUKU bank
dengan tingkat imbal hasil
yang diharapkan oleh
nasabah pemilik dana
Umumnya, semakin tinggi BUKU suatu bank, maka akan diasumsikan lebih
aman sehingga pemilik dana berkenan untuk menempatkan dananya
dengan rate yang lebih rendah. Sedangkan bank dengan BUKU kecil, pada
umumnya, memberikan insentif lebih agar pemilik dana menempatkan
dananya di bank tersebut.
31
Dengan demikian, target pertumbuhan perbankan
syariah diharapkan tidak hanya pada angka ‘business
as usual’, tetapi harus lebih tinggi dari pertumbuhan
perbankan konvensional baik skenario moderat atau
agresif. Dalam rangka mencapai pangsa pasar sebesar
10-15% pada tahun 2024, salah satu cara yang harus
dilakukan adalah pendekatan top-down yang selama
ini telah menjadi modus operandi regulator di negara
lain seperti Malaysia. Pendekatan buttom-up yang
selama ini menjadi pendekatan pilihan sebaiknya
ditinjau ulang atau minimal diimbangi dengan
intervensi dan keperpihakan dari sisi kebijakan.
Selain itu, intervensi yang dijalankan sebaiknya bukan
saja untuk meningkatkan pasar perbankan syariah,
tetapi juga harus bisa mendorong sistem perbankan
secara keseluruhan.
Dengan menggunakan skenario tanpa intervensi atau
business as usual, pangsa pasar perbankan syariah
pada tahun 2024 diproyeksikan mencapai 7,58%
dengan asumsi CAGR perbankan konvensional
sebesar 10%. Adapun dengan skenario intervensi
moderat dan agresif, pangsa pasar perbankan syariah
diproyeksikan mencapai 12,95% dan 18,33% seperti
pada Gambar 12.
Gambar 11. Target Aset Perbankan Syariah: Skenario business as usual vs intervensi
2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Organik(CAGR: 15%)
424 477 549 631 725 834 959 1103
Intervensi Moderat(CAGR: 27%)
424 477 606 769 977 1241 1576 2001
Intervensi Agresif(CAGR: 36%)
424 477 649 882 1200 1632 2219 3018
424 477 549 631 725834
9591103
424 477606
769977
1241
1576
2001
424 477649
882
1200
1632
2219
3018
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Tota
l Ase
t P
erb
anka
n S
yari
ah(D
alam
Tri
liun
Ru
pia
h)
Sumber: diolah dari Statistik Perbankan Syariah, www.ojk.go.id
32
Dari tabel 5, terlihat bahwa belum terdapat bank
syariah yang masuk ke dalam daftar sepuluh bank
terbesar berdasarkan total aset pada tahun 2018.
Adapun bank syariah milik BUMN dengan aset
tertinggi, yaitu Bank Syariah Mandiri, masih
membutuhkan penambahan aset sebesar Rp65,28
triliun agar sejajar dengan bank peringkat ke sepuluh.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan intervensi yang
bersifat moderat atau agresif agar pertumbuhan aset
bank syariah lebih pesat. Dengan demikian, efisiensi
melalui peningkatan skala ekonomis dapat tercapai.
Gambar 12. Proyeksi Market Share Perbankan Syariah pada Tahun 2024
549 631 725 834 959 1.103
8.350 9.185 10.104 11.114 12.225 13.448
0%
20%
40%
60%
80%
100%
2019 2020 2021 2022 2023 2024
Mar
ket
Shar
e
Proyeksi Market Share Perbankan Syariah (CAGR 15%)7,58% pada tahun 2024. 12,95% CAGR 27%. 18,33% CAGR 36%
Organic BUS UUS (CAGR: 15%) Organic Perbankan Konvensional (CAGR 10%)
No. Nama Bank Total Aset
(Triliun Rp)
No. Nama Bank Total Aset
(Triliun Rp)
1 Bank BRI 1.234,20 1. Bank Syariah Mandiri 98,58
2 Bank Mandiri 1.038,71 2. Bank BNI Syariah 41,05
3 Bank BCA 808,64 3. Bank BRI Syariah 38,48
4 Bank BNI 754,58 4. Bank BTN Syariah 27,98
5 Bank BTN 272,30
6 Bank CIMB Niaga 265,06
7 Bank Panin 189,24
8 Bank OCBC NISP 173,58
9 Bank MUFG 166,16
10 Bank Maybank
Indonesia
163,86
Tabel 5. Bank dengan Aset Terbesar (2018) Tabel 6. Bank Syariah Milik BUMN (2018)
33
Apabila industri perbankan syariah dibiarkan tumbuh
secara organik dengan CAGR 15% dan asumsi CAGR
konvensional 10%, maka proyeksi total aset sepuluh
bank terbesar dapat dilihat pada tabel 7. Dengan
demikian, target total aset yang harus dilampaui oleh
bank syariah adalah Rp290,29 triliun supaya
menempati posisi sepuluh besar perbankan nasional.
Hal ini dengan asumsi bahwa pertumbuhan
perbankan konvensional tidak mengalami akselerasi
dan cenderung stagnan. Dari simulasi yang telah
dilakukan pada Tabel 7, setidaknya pemerintah perlu
melakukan intervensi yang bersifat moderat agar
salah satu bank syariah dapat masuk ke dalam top ten
bank secara nasional dengan proyeksi total aset Rp
413,64 triliun pada tahun 2024.
Intervensi yang dilakukan tentu tidak hanya
berpengaruh kepada BSM sebagai bank syariah
terbesar, tetapi juga meningkatkan jumlah aset
perbankan syariah secara agregat sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 13.
Dengan jumlah agregat yang besar, empat bank
Syariah milik BUMN dapat dijadikan sebagai acuan
dalam upaya penguatan perbankan Syariah nasional.
No. Nama BankTotal Aset
(Triliun Rp)
1. Bank BRI 2186,46
2. Bank Mandiri 1840,13
3. Bank BCA 1432,55
4. Bank BNI 1336,78
5. Bank BTN 482,40
6. Bank CIMB Niaga 469,58
7. Bank Panin 335,24
8. Bank OCBC NISP 307,51
9. Bank MUFG 294,37
10. Bank Maybank
Indonesia
290,29
Tabel 7. Bank dengan Total Aset Terbesar (Proyeksi 2024)
34
Dalam penyusunan laporan ini, penyusun telah
melakukan indepth interview dengan beberapa
responden terdiri dari Divisi Perencanaan dari tiga
BUS dan satu UUS anak usaha empat bank BUMN.
Responden terdiri dari tim perencanaan Bank Syariah
Mandiri, Bank BNI Syariah, Bank BRIsyariah, UUS
Bank BTN.
Selain bank syariah yang dimiliki oleh Bank BUMN,
penyusun dan tim KNKS juga mewawancarai Bank
BUMN terkait pengelolaan kredit program dan
penyaluran dana pemerintah melalui bank-bank ini.
Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui peluang
dan hambatan yang akan dihadapi oleh Bank Syariah
ketika menjadi salah satu bank yang diberi mandat
pengelolaan program pemerintah sebagai salah satu
usulan intervensi yang dapat dipertimbangkan.
Dari hasil wawancara didapatkan informasi bahwa
bank-bank dibawah Bank BUMN sangat mendukung
intervensi strategis yang akan dilakukan dengan
koordinasi KNKS. BUS dan UUS ini juga menyatakan
sudah menyiapkan berbagai sarana prasarana untuk
menerima tambahan bisnis dan nasabah sebagai hasil
dari intervensi yang nantinya akan diterapkan.
5.2 Pengumpulan Data: in-depth interviews
Gambar 13. Proyeksi Total Aset 4 Bank Syariah Milik BUMN (2019-2024)
206,09 231,52 260,48293,55
331,35374,65
424,31
206,09261,75
332,42
422,18
536,16
680,93
864,78
206,09280,30
381,21
518,44
705,08
958,91
1304,11
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024
Tota
l Ase
t 4
Ban
k Sy
aria
h M
ilik
BU
MN
(Dal
am T
riliu
n R
up
iah
)
CAGR INDIVIDU BANK CAGR: 27% CAGR: 36%
35
Namun demikian, terkait usulan merger diantara
semua BUS/UUS ini, pandangan yang diterima cukup
bervariasi. Tidak didapat kesatuan pandangan baik
mendukung atau sebaliknya. Namun, kesan yang kuat
adalah adanya ketidaksiapan dan kekhawatiran kalau
merger ini akan berakibat hilangnya fokus dan
orientasi bisnis selama proses merger berlangsung.
Bahkan, terdapat kekhawatiran jika proses merger
dapat menyebabkan pelambatan dalam pencapaian
rencana bisnis sekurangnya selama dua tahun.
Sementara terkait kesiapan bank syariah anak usaha
BUMN sebagai bank pengelolaan kredit program dan
bantuan langsung pemerintah, masih terdapat
beberapa hambatan yang mungkin dihadapi. Salah
satunya adalah biaya pengelolaan program yang
cukup signifikan, dimana bagi Bank BUMN pelaksana
sekarang masih dirasakan cukup berat terutama
terkait wilayah yang harus dijangkau. Bank BRI
diuntungkan dengan jaringannya yang sudah sangat
luas dan menjangkau pelosok terluar Republik
Indonesia, khususnya jaringan Teras BRI dan mobile
unit yang tersambung dengan satelit BRI. Sedangkan
Bank Mandiri dan Bank BNI juga masih bisa
menangani program pemerintah dengan jaringannya
yang cukup luas, terutama untuk Pulau Jawa,
Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.
Berikut beberapa salinan pernyataan dan concern
dari hasil interview dengan pihak Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha Syariah yang merupakan subsidiari
bank BUMN:
• “Konversi bank kecil, tidak (akan) dampak besar.
Kita butuh rumah besar, yang merangkum semua
BUS BUMN”
• “BTN dikonversi menjadi misalnya ‘Bank Syariah
Indonesia’, kemudian ketiga BUS digabungkan
dalam entitas baru ini.”
• “Bank Syariah Indonesia ini sebagai holding, dan
mempunyai SBU-SBU.”
• “Merger BUS/UUS anak usaha Bank BUMN tidak
ada nilai tambah. Akan ada delay selama dua
tahun”
• “Lebih bagus konversi Bank BTN, dan kemudian
mengakuisisi BSM, BNIS, BRIS”
• “Kompetensi ‘banking’ sudah ada di BTN (bank
BUMN yang ada), sehingga mudah untuk
berkembang. Sementara Islamic finance masih
baru”
Selain pandangan mengenai alternatif
pengembangan industri dan pembentukan bank
syariah BUMN, responden juga ditanyakan mengenai
format dan bentuk intervensi yang mereka anggap
perlu dalam rangka pengembangan industri
perbankan syariah, serta kesiapan keempat bank
syariah ini dalam menghadapi penambahan bisnis
yang signifikan pasca intervensi. Berikut adalah
ringkasan respon bank-bank syariah ini.
36
Intervensi yang diharapkan Strategi alokasi pembiayaan
Keberpihakan dari pemerintah kepada
Perbankan syariah, dengan memberikan ‘Hak’
untuk mendapatkan layanan syariah, i.e. PNS
dimudahkan ke syariah
Peningkatan komposisi segmen korporasi &
komersial.
Tidak diperlukan insentif khusus pembiayaan,
karena bank syariah sudah bisa bersaing
Sinergi dengan Bank induk untuk penetrasi
segmen korporasi & komersial
Alokasi penggunaan jasa bank syariah untuk
transaksi APBN secara bertahap
Peningkatan kompetensi SDM dengan sinergi
(training, magang) dengan Bank induk.
Fokus pada pengelolaan anggaran BO2, dan
potensi payroll PNS (30.000 / 1,3 Juta)
Tabel 7. Respon BUS 1
Intervensi yang diharapkan Strategi alokasi pembiayaan
Membuka akses supaya BUMN tier-1 juga ke
Perbankan syariah
Pembiayaan sektor pendidikan Islam (Perguruan
Tinggi, Pesantren)
Insentif fiskal kepada nasabah (BUMN, halal
value chain) yang menggunakan layanan
perbankan syariah
Fokus pada pembiayaan sektor Halal dengan
target 10% dari potensi pembiayaan
Penghapusan PPN terhadap inventory
perbankan syariah (produk murabahah)
Penghapusan pajak atas asset inbreng, dari
penyertaan modal induk ke BUS
Sosialisasi bersama secara masif dalam bentuk
‘Shariah Day’
Tabel 8. Respon BUS 2
Intervensi yang diharapkan Strategi alokasi pembiayaan
Layanan syariah supaya diperluas, bukan hanya
funding tapi juga untuk financing
Fokus pada perguruan tinggi agama Islam negeri
(PTAIN) dibawah Kemenag - 58 lembaga
Insentif fiskal untuk nasabah misal pajak atas
imbal hasil deposito lebih rendah
Optimalisasi peluang yang sudah terbuka sebagai
Bank Operasional 2 (BO2)
Regulasi supaya memberikan perlakuan yang
berpihak kepada Perbankan syariah
(preferential treatment)
Sektor Halal, dengan fokus pada halal ecosystem.
Target BUS 3 mencapai 25% market share dari
sektor halal (food, fashion, travel)
Tabel 9. Respon BUS 3
37
Intervensi yang diharapkan Strategi alokasi pembiayaan
Perbaikan regulasi penilaian kesehatan bank
supaya tidak mengunci pertumbuhan
perbankan syariah
Penguatan core business i.e. pembiayaan
properti, termasuk KPR subsidi 1 juta rumah
Lembaga pendidikan dan keagamaan Islam
supaya didorong/diharuskan untuk ‘masuk’ ke
Perbankan syariah
Peluang pembiayaan konstruksi bangunan
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), termasuk
asrama
Aturan syariah mengenai sekuritisasi asset
pembiayaan berbasis murabahah
Industri halal
Tabel 10. Respon UUS 1
Peningkatan aset perbankan syariah tidak saja
diperlukan untuk melayani kebutuhan masyarakat
yang semakin besar, tetapi juga selaras dengan
rencana induk (masterplan) pengembangan
perbankan syariah dan juga ekonomi syariah pada
umumnya. Selain itu, intervensi kebijakan yang akan
diambil selayaknya juga bisa memberikan manfaat
yang lebih luas bagi perekonomian nasional. Meski
kontribusi makro perbankan syariah masih relatif
kecil, dampak ekonomi perbankan syariah perlu
diukur sebagai acuan atau setidaknya sebagai
baseline mengingat sebelum ini belum pernah ada
kajian serupa dari regulator atau pemangku
kepentingan lain.
Impact analysis dalam laporan kajian ini masih
terbatas cakupannya dan metode yang digunakan
relatif sederhana. Analisis dibuat berdasarkan basis
data tahun 2018 untuk jumlah nasabah, jumlah
rekening, total aset, dan pembiayaan.
Dari data ini kemudian diekstrapolasi dampak
masing-masing indikator terhadap dua sasaran
impact yaitu nilai tambah (value added) terhadap
perekonomian dan kemampuan perbankan syariah
dalam menciptakan lapangan kerja (job creation/
employment).
Perhitungan dampak ini dilakukan dengan mengacu
pada dua framework, yaitu analisis dampak dari
beberapa aktivitas intervensi yang akan dilaksanakan
oleh KNKS atau Pemerintah Republik Indonesia.
Logical Framework sebagaimana dalam Tabel 11
menyajikan secara lengkap alur dampak intervensi
menjadi output, outcome dan impact. Logical
Framework ini mengacu pada model monitoring &
evaluation yang digunakan oleh lembaga keuangan
multilateral seperti Bank Dunia (WB) dan Bank
Pembangunan Asia (ADB).
5.3 Impact Analysis
38
Tabel1
1 Lo
gica
l Fram
ewo
kIn
tervensiP
erb
ankan
Syariah
GO
AL: M
en
ingkatkan
aset p
erb
anka
n syariah
me
njad
i Rp
20
00
triliun
pa
da
tahu
n 2
02
4
AC
TIVITIES:
EXP
ECTED
OU
TPU
TS:
OU
TPU
T
IND
ICA
TOR
S:
EXP
ECTED
OU
TCO
MES:
OU
TCO
ME
IND
ICA
TOR
S:
EXP
ECTED
IMP
AC
T:
IMP
AC
T
IND
ICA
TOR
S:
Wh
at a
re we a
ctua
lly
do
ing
?
Wh
at a
re the im
med
iate resu
lts of o
ur
actio
n?
Wh
at sh
ou
ld b
e imp
lemen
ted?
Wh
ere it sho
uld
brin
g u
s at th
e
very en
d?
Ob
jective 1: M
end
irikan
Ba
nk B
UM
N Sya
riah
Ko
nversi salah
satu B
ank
BU
MN
Ban
k syariah skala
besar
Ban
k Syariah B
UK
U
III bertam
bah
(2),
atau B
ank syariah
pertam
a BU
KU
IV
Ban
k Syariah
mam
pu
men
angan
i
pem
biayaan
skala
besar
Po
rtfolio
pem
biayaan
korp
orasi
>4
0%
Perb
ankan
syariah
men
ciptakan
lapan
gan kerja
baru
Men
du
kun
g
pen
ciptaan
valu
e ad
ded
sektor in
du
stri
halal
5,4
juta
lapan
gan kerja
tercipta sam
pai
20
24
tahu
n
Rp
1,2
triliun
valu
e ad
ded
dari sekto
r
halal
bertam
bah
Merger B
US &
UU
S anak
usah
a Ban
k BU
MN
Ban
k Syariah skala
besar
Ban
k Syariah B
UK
U
III den
gan jarin
gan
luas
Ban
k Syariah
mam
pu
men
jangkau
segmen
nasab
ah
yang leb
ih lu
as
Pem
biayaan
men
ingkat d
i
semu
a lini
bisn
is
Dalam rangka mencapai sasaran sebagaimana hasil
simulasi dalam bagian 5.1, perlu diidentifikasi
sumber-sumber pertumbuhan bisnis bagi perbankan
syariah. Hasil sementara dari indepth interviews,
sumber pertumbuhan tersebut akan diperoleh dari
beberapa alternatif yang disajikan dalam Tabel
berikut:
39
No. Sumber Pertumbuhan Penambahan Aset Feasibility (Y/N)
1 Konversi Bank BNI 750 T Y/N
2 Konversi Bank BTN 300 T Y/N
3 Konversi aset bank konvensional di Aceh (3 th) 25-30 T Y
Tabel 12. Simulasi awal sumber penambahan aset perbankan syariah
Sumber: Diolah.
40
Berdasarkan penjelasan beberapa kondisi eksisting
dan aspirasi terhadap pengembangan perbankan
syariah yang luar biasa, maka diperlukan strategi
utama yang akan menjadi pendorong pengembangan
skala bisnis dan jangkauan perbankan syariah
nasional.Berikut beberapa alternatif metode
pendirian Bank BUMN Syariah, beserta analisis pro-
con untuk masing-masing alternatif.
6.1 Alternatif Pilihan Metode Pengembangan: Pro-con Analysis
No Alternatif Metode Pro Con
1 Menjadikan BUS terbesar
sebagai kandidat Bank BUMN
Syariah
Kandidat utama: Bank Syariah
Mandiri
− Kandidat bank sudah
membangun kapasitas
dengan menjadi satu-satunya
BUS BUKU III
− Kapasitas internal (SDM, TI,
jaringan) sudah memadai
− Portofolio pembiayaan
bervariasi
− Resistensi induk karena
kehilangan salah satu
penyumbang laba konsolidasi
yang besar
− Kandidat bank akan melewati
lompatan besar (leap) dan ini
berisiko lamanya proses
transformasi, termasuk risiko
gagal
2 Konversi bank BUMN yang ada
Kandidat bank: Bank BTN, BNI
Biaya: Jasa konsultasi, legal,
dll. Rp10-20 miliar
− Pengambilan keputusan satu
tahap (Kementrian BUMN)
− Hanya melibatkan satu bank
sehingga proses konversi
cukup singkat (12-18 bulan)
− Bank sudah memiliki aset
yang besar (300-750 T)
sehingga dampaknya
signifikan
− Satu bank Syariah yang besar
di Indonesia menjadi image
yang baik pada dunia
keuangan internasional
− Potensi resistensi nasabah
dengan jumlah akun yang
sangat banyak
− Potensi resistensi
manajemen bank
− Kehilangan fokus saat pasar
sedang baik karena waktu
tersita untuk proses konversi
aset/ liabilitas
− Persetujuan pemilik saham
publik, bank yang sudah Tbk
butuh waktu
− Konsolidasi grup bisnis dan
anak usaha butuh waktu
3 Menyatukan 3 bank syariah
dan 1 unit usaha syariah
(merger)
Kandidat bank: BSM, BRIS,
BNIS, UUS BTN
Biaya: Jasa konsultasi, legal,
dll. Rp10-15 miliar
Merger
− Efisiensi arah kebijakan
strategis perbankan Syariah di
masa mendatang
− Solusi meningkatkan
permodalan sehingga dapat
mengakses transaksi dan
pembiayaan yang lebih besar
− Proses inklusi perbankan
Syariah dapat lebih terfokus
Merger
− Menimbulkan delay bisnis
karena proses adaptasi nilai,
budaya, struktural, dan
sistem
− Tidak memberikan nilai
tambah bagi perbankan
Syariah (Tetap BUKU III)
− Bank Induk tidak ingin
melepas anak usahanya
Tabel 11. Beberapa opsi metode pendirian Bank BUMN Syariah
41
No Alternatif Metode Pro Con
Holding
− Merupakan jalan tengah
bagi regulator, bank induk,
dan bank BUMN Syariah
− Kebijakan strategis tetap
bisa dikontrol secara
terpusat dan tidak
mengganggu stabilitas
perbankan Syariah seperti
halnya merger
Holding
− Menunggu proses holding
bank BUMN yang belum
terealisasi
− Tidak menyelesaikan
permasalahan
permodalan perbankan
syariah
4 Mendirikan bank syariah
baru
Biaya:
Setoran modal: Rp1 triliun
Bangunan, SDM, IT, dll: +/-
Rp200-500 miliar
− Fresh start, format yang
dinginkan bisa diterapkan
dalam entitas baru
− Perizinan mendukung (ada
kemudahan)
− Biaya yang relatif tinggi
− Bank akan mulai dengan
skala kecil dengan brand
belum dikenal
− Rekrutmen perlu waktu
− Tidak menyelesaikan
permasalahan
permodalan
5 Membeli bank swasta
syariah yang sudah ada
Kandidat bank: Bank
Muamalat
Biaya: Akuisisi Rp3-4 triliun;
jasa konsultan legal &
keuangan/due diligence
Rp30-50 miliar
− Bank yang tersedia
dijual tersedia i.e. BMI
− Brand telah dikenal dan
bank telah beroperasi
(SDM, TI, dsb tidak
perlu setting dari awal)
− Tidak memerlukan
proses koversi aset-
liabilitas
− Persoalan legacy bank
yang diakuisi: reputasi
& pembiayaan
bermasalah
− Aset lebih kecil
dibandingkan growth
target (< Rp.100 triliun)
− Perlu injeksi modal
(untuk penyehatan &
pertumbuhan aset)
− Tidak memberikan nilai
tambah pada industri
perbankan syariah
6 Mengkonversi bank swasta
konvensional menjadi
syariah
Kandidat bank: Bank
Permata, Bank BPD
(gabungan), dll.
Biaya: Akuisisi (tergantung
size bank); Jasa konsultasi,
legal, dll. Rp8-10 miliar
− Bisa membeli bank
dengan skala yang
diinginkan, atau skala
kecil untuk kemudian di
recapitalised
− Customer base bisa
disesuaikan dengan
bank target
− Biaya akuisisi besar
− Proses konversi
operasional/ legal
cukup lama diatas 18
bulan
− Potensi resistensi
nasabah dan karyawan
untuk konversi
42
Berdasarkan analisis pro-con diatas, serta hasil
indepth interview dan beberapa FGD dengan bank-
bank terkait, dapat disimpulkan bahwa rencana
pengembangan perbankan syariah secara agresif
dapat dilakukan dengan strategi utama berupa
mendirikan atau membentuk bank syariah skala besar
kemudian dilengkapi dengan berbagai kegiatan
afirmasi atau intervensi dalam kerangka preferential
treatment.
Pembentukan bank syariah skala besar yang idealnya
dimiliki langsung oleh negara sebagai Bank BUMN
merupakan strategi utama. Dengan menjadi bank
BUMN, bank syariah yang dibentuk akan mampu
menjalankan dan menerima manfaat yang optimal
dari berbagai intervensi yang akan dilakukan. Oleh
karena itu, skenario pertumbuhan yang optimis
berupa aset perbankan syariah mendekati Rp3.000
triliun akan terwujud pada 2024, sekiranya bank
syariah BUMN skala besar bisa dibentuk dalam 2-3
tahun ke depan.
Sebagai perbandingan dengan kondisi sekarang,
apabila BSM, BNIS, BRIS dan UUS BTN digabung,
maka bank hasil gabungan ini akan memiliki aset
lebih dari Rp200 triliun dengan distribusi kontribusi
masing-masing bank sebagai berikut.
Gambar 12. Skenario Aset BUS anak usaha Bank BUMN setelah merger
BTN Syariah13%
BRI Syariah19%
BNI Syariah20%
Bank Syariah Mandiri
48%
BTN Syariah BRI Syariah BNI Syariah Bank Syariah Mandiri
Kajian Studi Kelayakan Pembentukan Bank BUMN
Syariah merupakan langkah awal untuk
meningkatkan aset serta peran signifikan perbankan
syariah di Indonesia sesuai dengan potensinya yang
sangat besar. Beberapa alternatif telah dikaji dan
didiskusikan dengan stakeholders utama sehingga
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
a. Merger BUS anak usaha BUMN adalah alternatif
yang banyak didiskusikan dalam berbagai
pertemuan (FGD) yang dilakukan KNKS. Namun,
hal ini bukanlah pilihan utama yang disepakati
oleh para stakeholders. Alternatif metode ini
diharapkan akan menjadi strategi jangka
menengah setelah anchor Bank Syariah BUMN
yang cukup besar tersedia.
b. Alternatif yang akan berdampak signifikan,
namun sulit direalisasikan dalam jangka waktu
lima tahun kedepan adalah konversi salah satu
Bank BUMN menjadi BUS. Bank BTN adalah bank
yang saat ini paling memungkinkan dan relatif
lebih mudah untuk dikonversi – dari segi ukuran,
jenis aset (mayoritas kredit properti) dan ‘sudah
ada ekspektasi’ publik. Namun, Bank BNI juga
patut dipertimbangkan mengingat Bank BNI
tidak memiliki mandat khusus dari pemerintah
sebagaimana BRI yang mempunyai mandat
kredit program dan mikro, Bank Mandiri fokus
pada korporasi/komersial, serta BTN fokus pada
perumahan.
43
44
c. Alternatif yang cukup agresif dan relatif mudah
untuk direalisasikan adalah mengembangkan
salah satu BUS milik bank BUMN sebagai bank
syariah skala besar. Selain itu, bank ini juga patut
dipertimbangkan untuk menjadi Bank BUMN
penuh (bank BUMN ke-5). Salah satu kandidat
kuat adalah BUS terbesar saat ini Bank Syariah
Mandiri (BSM). BSM secara infrastruktur sudah
siap untuk dikembangkan menjadi anchor bank
untuk perbankan syariah.
d. Selain mendirikan bank syariah BUMN skala
besar (BUKU IV), sumber pertumbuhan dari
sektor industri halal dan sektor institusi
pendidikan Islam perlu dioptimalkan melalui
intervensi kebijakan yang terarah dan strategis.
Dengan hasil tersebut, maka pilihan yang
direkomendasikan untuk memperkuat industri
perbankan syariah adalah menjadikan BUS yang ada
sebagai bank syariah BUMN skala besar (BUKU IV)
dan diimbangi dengan beberapa kebijakan intervensi
berupa preferential treatment untuk perbankan
syariah.
Adapun langkah-langkah yang diusulkan untuk
dipersiapkan adalah sebagai berikut:
1. Melakukan pembahasan lanjutan dengan
pemegang saham bank terkait sesuai
rekomendasi kajian ini, seperti Bank BUMN
pemilik, Kementerian BUMN serta Direksi bank
terkait. Jika diperlukan, kajian khusus
transformasi bank dapat dilakukan untuk
mengetahui langkah-langkah yang perlu diambil
dalam mewujudkan Bank Syariah BUMN dalam
jangka waktu lima tahun ke depan. Pilihan
mengenai model bisnis bank syariah skala besar
ini juga perlu dilakukan, serta kajian lebih detil
mengenai impact analysis untuk memperkuat
argumentasi kepada pemegang saham
pengendali dan pemegang saham publik.
2. Perlu dipersiapkan Policy Memo atau Policy
Recommendation kepada Kementerian
Keuangan, Kementerian Agama, serta
Kementerian dan Lembaga lainnya terkait
dengan intervensi yang dibutuhkan bagi
pengembangan perbankan syariah. Pendekatan
langsung dengan Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri juga perlu dipertimbangkan, terutama
melalui asosiasi perbankan syariah yang ada.
3. Komite Nasional Keuangan Syariah merupakan
‘lead arranger’ dalam mewujudkan rencana
pendirian Bank Syariah BUMN, untuk itu seluruh
proses yang akan dilakukan harus
dikoordinasikan dengan baik pada level tertinggi
dari KNKS, sehingga proses transformasi yang
akan diberlakukan untuk satu bank BUMN besar
dapat berjalan dengan baik.
Recommended