View
15
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
TIPE KEPRIBADIAN SEBAGAI PREDIKTOR PERILAKU ALTRUISME
PADA RELAWAN DAERAH BENCANA
DIAJUKAN OLEH:
DWI SUKMA
4516091003
SKRIPSI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR
2020
ii
TIPE KEPRIBADIAN SEBAGAI PREDIKTOR PERILAKU
ALTRUISME PADA RELAWAN DAERAH BENCANA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Bosowa Sebagai
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Oleh:
DWI SUKMA
4516091060
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSAR
2020
ii
ii
iii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini asli dibuat sendiri oleh peneliti
yang bersangkutan. Adapun seluruh referensi telah dikutip langsung dari
sumbernya dengan cara yang sesuai dengan kaidah ilmiah. Begitupun dengan
data-data penelitian yang diambil merupakan data asli dari responden tanpa
direkayasa.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, saya bertanggung
jawab secara moril sebagai insan akademik atas skripsi ini.
Makassar, September 2020
Yang menyatakan,
Dwi Sukma 4516091060
iv
PERSEMBAHAN
Dengan mengucapkan alhamdilillahi robbil alamin
Maha suci, maha pemurah lagi maha penyayang Allah SWT atas segala nikmat
ilmu, kesehatan dan keberkahan-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan
karya ilmiah ini dengan baik.
Saya persembahkan karya ini untuk:
kedua orang tuaku dan kakakku yang tersayang.
Serta seluruh orang-orang yang saya sayang dan menyayangi saya
Atas segala hal yang sudah dilimpahkan kepada penulis baik dukungan moral
dan moril yang tidak bisa saya tuliskan satu per satu. Untuk banyaknya
semangat dan kasih sayang yang diberikan.
Untuk banyak hal lain lagi yang tidak bisa penulis ungkapkan dengan banyak
kata-kata
Bapak/ibu dosen fakultas Psikologi Universitas Bosowa yang telah memberikan
ilmu yang bermanfaat serta pelajaran hidup yang didapatkan selama proses
perkuliahan yang akan menjadi bekal dan pembelajaran yang sangat berarti
untuk masa yang akan datang.
Serta rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan banyak kenangan dan
pengalaman berharga selama peneliti menjalani proses kuliah
v
MOTTO
“Usaha, Usaha dan Usaha, jangan lupa berikan doa disetiap spasinya”
“Apa yang sudah kau mulai, selesaikan dengan baik.
Dan apa yang sudah kau selesaikan, jadikan pengalaman dan
pembelajaran yang terbaik”
vi
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena segala
limpahan rahmat dan inayah-Nya proposal penelitian yang berjudul “Tipe
Kepribadian Sebagai Prediktor Perilaku Altruisme Pada Relawan Daerah
Bencana” dapat diselesaikan dengan usaha maksimal. Shalawat dan salam tidak
lupa peneliti panjatkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW yang telah
membawa manusia dari alam kegelapan dan kebodohan menuju alam yang
cerah benderang dan kepintaran.
Adapun dalam mengerjakan skripsi ini peneliti menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari kata sempurna, untuk itu segala saran dan kritik membangun
peneliti terima dengan senang hati. Selain itu, penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari berbagai bimbingan, bantuan, saran dan dukungan dari berbagai pihak.
Untuk itu, peneliti menuliskan terima kasih kepada:
1. Orang tuaku tercinta Bapak Ismail, SH dan Mama yang hebat Rasnah yang
senantiasa memberikan dukungan, semangat dan menjadi penguat untuk
mengerjakan skripsi ini sampai akhir serta kakakku yang begitu
menjengkelkan tetapi perhatian, Soeparman Ismail terima kasih juga karena
sudah menjadi kakak versi terhebat untuk saya.
2. Terima kasih kepada diriku sendiri karena sudah mau bertahan dan bekerja
sama melalui perjuangan melelahkan ini sampai akhir.
3. Kepada dekan fakultas Psikologi bapak Musawwir, S.Psi, M.Pd dan para
dosen fakultas psikologi yang senantiasa memberikan ilmunya
4. Pembimbing akademik Bapak Budhy Rakhmat, M,Psi., Psikolog yang
memberikan nasehat dan saran-saran membangun selama menjalani kuliah
vii
5. Ibu Hasniar A. Radde, S.Psi., M.Si selaku pembimbing pertama yang
memberikan kesediaan waktu, tenaga, pikiran serta saran untuk
memaksimalkan penelitian ini. Terima kasih banyak bu, sudah memberikan
banyak sekali ilmu selama di camp skripsi
6. Ibu Titin Florentina P., S.Psi., M.Psi., Psikolog selaku pembimbing dua yang
senantiasa memberikan bimbingan, semangat dan motivasi dalam
menyelesaikan skripsi ini, yang membimbing dengan sabar.
7. Ibu Irawati, Ibu Jerni dan kak Wulan yang membantu administrasi selama
perkuliahan sehingga dapat berjalan lancar
8. Kepada Psysixtion’16 yang saling menyemangati dan membantu satu sama
lain
9. Class Psychology B yang sudah menemani perjuangan saya selama empat
tahun terakhir ini
10. Team skripsi camp kak Ramadhan, kak Miftah, kak Nana, Kak Widya, Kak
Fachrul dan Pasukan Berani Mati Puri, Rahma, Danti, Zainab, Kia, Anna,
Syahriana, Dewi Inra, Rahmayani, Naifah, Astiwi, Aina yang sudah
menemani berjuang dalam mengerjakan skripsi.
11. Kepada CHIS Grace Ansela, Rezky Ramadhanti, Sri Wahyuni, Sasa
Marwah, Mariana yang selalu mendengarkan keluhan dan memberikan
semangat untuk bisa menyelesaikan perkuliahan.
12. Terima kasih kepada kakak Ika yang senantiasa membantu saya disetiap
keadaan dan menjadi teman cerita apapun.
13. Terima kasih kepada angkatan Diklat 27 Adviana Palimbong, Restu
Hapriani, Mayang Yustika dan Ikbal yang selalu setia menjadi teman cerita
apapun.
viii
14. Seluruh senior-senior KSR PMI Unit 105 Universitas Bosowa yang telah
memberikan banyak asupan ilmu, bimbingan, nasehat dan pengalaman
berharga selama saya kuliah.
15. Kepada kak Haryanto Robby P yang telah memberikan dukungan moril dan
membantu saya selama perkuliahan.
16. Kepada kak Syahid yang telah membantu pengambilan data dan seluruh
pihak-pihak yang secara sukarela membantu saya dalam pengambilan data.
17. Seluruh pihak yang membantu saya secara langsung maupun tidak
langsung, membantu saya dalam bentuk moril dan materil selama kuliah di
fakultas Psikologi, saya haturkan terima kasih yang tidak terhingga, karena
berkat bantuan orang lain saya bisa menyelesaikan kuliah saya.
Makassar, September 2020
Peneliti
ix
ABSTRAK
Tipe Kepribadian Sebagai Prediktor Perilaku Altruisme Pada Relawan Daerah Bencana
Dwi Sukma 4516091060
Fakultas Psikologi Universitas Bosowa Dwisukma488@gmail.com
Latar belakang penelitian ini didasari oleh fenomena dimana bencana dapat terjadi dimana saja namun terlihat adanya keterbatasan sukarelawan yang membantu sehingga semakin menunjukkan bahwa adanya indikasi mengenai berbedanya tingkat menolong individu terhadap sesama manusia yang diprediksi karena adanya perbedaan kepribadian masing-masing orang. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh tipe kepribadian Big Five Personality terhadap
perilaku altruisme pada relawan daerah bencana. Penelitian ini dilakukan pada 242 relawan bencana di Sulawesi Selatan. Pengumpulan data dilakukan menggunakan skala Self-Report Altruisme Scale oleh Rushton (1981) dan International Personality Item Pool (IPIP) oleh Goldberg (1992). Sebelum digunakan, validitas skala diuji dengan Subject Matter Expert (SME) untuk melihat validitas isi dan Confirmatory Factor Analysis (CFA) untuk melihat validitas konstruk. Sedangkan reliabilitas diuji dengan teknik Cronbach Alpha dimana reliabilitas Openness To Experience sebesar 0.607, Conscientiousness sebesar 0.726, Extraversion sebesar 0.712, Agreeableness sebesar 0.627 dan Neuroticism sebesar 0.663. Adapun uji hipotesis menggunakan teknik regresi berganda yang menghasilkan bahwa 1) Big Five Personality berkontribusi sebesar 22,6% terhadap altruisme (p=0.000, p<0.005. Selanjutnya, masing-masing tipologi Big Five Personality berkontribusi terhadap altruisme menghasilkan 2) Openness To Experience berkontribusi secara positif
terhadap altruisme sebesar 1,5% (p=0,032, p<0,05) sehingga semakin tinggi Openness To Experience maka semakin tinggi pula altruisme pada relawan bencana. 3) Conscientiousness berkontribusi secara positif terhadap altruisme sebesar 8,3% (p=0,00, p<0,05) sehingga semakin tinggi Conscientiousness maka semakin tinggi pula altruisme pada relawan bencana. 4) Extraversion berkontribusi secara positif terhadap altruisme sebesar 4,1% (p=0,02, p<0,05) sehingga semakin tinggi Extraversion maka semakin tinggi pula altruisme pada relawan bencana. 5) Agreeableness berkontribusi secara negatif terhadap altruisme sebesar 8,4% (p=0,00, p<0,05) sehingga semakin tinggi Agreeableness maka semakin rendah altruisme pada relawan bencana. 6) Neuroticism tidak dapat menjadi prediktor terhadap altruisme (p=0,287, p>0,05). Kata Kunci : Big Five Personality, Altruisme, Relawan Bencana
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN ...............................................................................................iii
PERSEMBAHAN ........................................................................................................ iv
MOTTO ........................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ................................................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ........................................................................................................xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 12
1. Manfaat Teoritis .................................................................................. 12
2. Manfaat Praktis ................................................................................... 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 14
A. Altruisme .................................................................................................. 14
1. Teori-Teori Menolong ......................................................................... 14
2. Pengertian Altruisme ......................................................................... 22
xi
3. Aspek Altruisme .................................................................................. 30
4. Faktor-Faktor Altruisme ..................................................................... 37
5. Dampak altruisme ............................................................................... 42
6. Pengukuran Altruisme ........................................................................ 45
B. Tipe Kepribadian Big Five Personality .................................................... 47
1. Definisi Kepribadian ............................................................................ 47
2. Dasar-Dasar Teori Kepribadian .......................................................... 49
3. Tipe Kepribadian Big Five Personality ............................................... 51
4. Tipologi Kepribadian Big Five Personality .......................................... 52
5. Faktor-faktor yang Memengaruhi Big Five Personality ...................... 59
6. Pengukuran Big Five Personality ....................................................... 61
C. Relawan ................................................................................................... 63
1. Pengertian Relawan ........................................................................... 63
2. Faktor Penyebab Menjadi Relawan ................................................... 65
3. Ciri-ciri Relawan .................................................................................. 67
D. Tipe Kepribadian Sebagai Prediktor Perilaku Altruisme ......................... 68
E. Kerangka Penelitian ................................................................................. 70
F. Hipotesis ................................................................................................... 72
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................................ 74
A. Pendekatan Penelitian ............................................................................. 74
B. Variabel Penelitian ................................................................................... 75
C. Definisi Variabel ....................................................................................... 76
1. Definisi Konseptual ............................................................................. 76
xii
2. Definisi Operasional ............................................................................ 77
D. Populasi dan Sampel ............................................................................... 78
1. Populasi .............................................................................................. 78
2. Sampel ................................................................................................ 79
3. Teknik Sampling ................................................................................ 80
E. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 80
1. Skala Altruisme ................................................................................... 80
2. Skala Big Five Personality .................................................................. 82
F. Uji Instrumen ............................................................................................ 83
1. Proses Adaptasi Skala ........................................................................ 83
2. Uji Validitas .......................................................................................... 85
3. Uji Reliabilitas ...................................................................................... 90
G. Teknik Analisis Data ................................................................................ 91
1. Analisis Deskriptif................................................................................ 92
2. Uji Asumsi ........................................................................................... 92
3. Uji Hipotesis ........................................................................................ 94
H. Prosedur Penelitian ................................................................................. 96
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 98
A. Deskripsi Demografi Responden ............................................................. 98
1. Deskriptif Altruisme Pada Relawan Bencana................................... 103
2. Deskriptif Big Five Personality .......................................................... 104
B. Deskriptif Variabel Berdasarkan Demografi .......................................... 112
1. Deskriptif Altruisme Berdasarkan Demografi ................................... 112
xiii
2. Deskriptif Big Five Personality Berdasarkan Demografi .................. 122
C. Uji Asumsi .............................................................................................. 173
1. Uji Normalitas .................................................................................... 173
2. Uji Linearitas ..................................................................................... 174
3. Uji Multikolinearitas ........................................................................... 175
4. Uji Heterokedastisitas ....................................................................... 175
D. Uji Hipotesis ........................................................................................... 177
E. Pembahasan .......................................................................................... 186
1. Gambaran Altruisme Pada Relawan Bencana ................................ 186
2. Analisis Dimensi Big Five Personality Sebagai Prediktor
Altruisme Pada Relawan Bencana ................................................... 190
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 212
A. Kesimpulan ............................................................................................ 212
B. Saran ...................................................................................................... 213
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 216
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blueprint skala altruisme ................................................................. ......... 82
Tabel 3.2 Blueprint skala Big Five Personality ................................................ ......... 84
Tabel 3.3 Blueprint Altruisme Setelah Uji Coba .............................................. ......... 90
Tabel 3.4 Blueprint Skala Big Five Personality Setelah Uji Coba ................... ......... 90
Tabel 3.5 Kategori Reliabilitas ......................................................................... ......... 91
Tabel 3.6 Reliabilitas Altruisme ....................................................................... ......... 91
Tabel 3.7 Reliabilitas Big Five Personality ...................................................... ......... 92
Tabel 4.1 Kategorisasi Skor .................................................................................... 105
Tabel 4.2 Hasil Analisis Altruisme .......................................................................... 106
Tabel 4.3 Hasil Kategorisasi Altruisme ................................................................... 106
Tabel 4.4 Hasil Analisis Dimensi Extraversion ....................................................... 107
Tabel 4.5 Hasil Kategorisasi Extraversion ............................................................. 108
Tabel 4.6 Hasil Analisis Dimensi Agreeableness ................................................... 109
Tabel 4.7 Hasil Kategorisasi Agreeableness .......................................................... 109
Tabel 4.8 Hasil Analisis Dimensi Conscientiousness ........................................ 110
Tabel 4.9 Hasil Kategorisasi Conscientiousness ............................................... 111
Tabel 4.10 Hasil Analisis Dimensi Neuroticism ...................................................... 112
Tabel 4.11 Hasil Kategorisasi Neuroticism ............................................................. 113
Tabel 4.12 Hasil Analisis Dimensi Openness To Experience ................................ 114
Tabel 4.13 Hasil Kategorisasi Openness To Experience ....................................... 114
Tabel 4.14 Hasil Analisis Uji Normalitas ................................................................ 180
Tabel 4.15 Hasil Analisis Uji Linearitas ................................................................. 181
x
Tabel 4.16 Hasil Analisis Uji Multikolinearitas ........................................................ 183
Tabel 4.17 Hasil Analisis Kontribusi Big Five Personality Terhadap Altruisme ..... 186
Tabel 4.18 Hasil Analisis Kontribusi Extraversion Terhadap Altruisme ................. 187
Tabel 4.19 Hasil Analisis Kontribusi Agreeableness Terhadap Altruisme ........... 188
Tabel 4.20 Hasil Analisis Kontribusi Conscientiousness Terhadap Altruisme ..... 189
Tabel 4.21 Hasil Analisis Kontribusi Neuroticism Terhadap Altruisme .................. 190
Tabel 4.22 Hasil Analisis Kontribusi Openness To Experience Terhadap Altruisme .............................................................................. 191
Tabel 4.23 Hasil Analisis koefisien pengaruh Big Five Personality ...................... 192
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Pikir..................................................................................... 71
Gambar 4.1 Diagram Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ..................................... 100
Gambar 4.2 Diagram Subjek Berdasarkan Usia .................................................... 101
Gambar 4.3 Diagram Subjek Berdasarkan Domisili ............................................... 102
Gambar 4.5 Diagram Subjek Berdasarkan Suku ................................................... 102
Gambar 4.6 Diagram Subjek Berdasarkan Pekerjaan ........................................... 103
Gambar 4.7 Diagram Subjek Berdasarkan Tahun Menjadi Relawan .................... 104
Gambar 4.8 Diagram Subjek Berdasarkan Berapa Kali Menjadi Relawan .......... 105
Gambar 4.9 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Jenis Kelamin ................ 115
Gambar 4.10 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Usia ............................. 116
Gambar 4.11 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Domisili ....................... 118
Gambar 4.12 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Suku ............................ 119
Gambar 4.13 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Pekerjaan ................... 121
Gambar 4.14 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Tahun Menjadi Relawan ................................................................... 122
Gambar 4.15 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Berapa Kali Menjadi Relawan ....................................................................... 124
Gambar 4.16 Diagram Deskripsi Extraversion Berdasarkan Jenis Kelamin ........ 126
Gambar 4.17 Diagram Deskripsi Extraversion Berdasarkan Usia ........................ 127
Gambar 4.18 Diagram Deskripsi Extraversion Berdasarkan Domisili .................. 128
Gambar 4.19 Diagram Deskripsi Extraversion Berdasarkan Suku ....................... 129
Gambar 4.20 Diagram Deskripsi Extraversion Berdasarkan Pekerjaan ............... 131
xii
Gambar 4.21 Diagram Deskripsi Extraversion Berdasarkan Tahun Menjadi Relawan .................................................................. 133
Gambar 4.22 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Berapa Kali Menjadi Relawan ...................................................................... 135
Gambar 4.23 Diagram Deskripsi Agreeableness Berdasarkan Jenis Kelamin .... 137
Gambar 4.24 Diagram Deskripsi Agreeableness Berdasarkan Usia .................... 138
Gambar 4.25 Diagram Deskripsi Agreeableness Berdasarkan Domisili .............. 139
Gambar 4.26 Diagram Deskripsi Agreeableness Berdasarkan Suku ................... 140
Gambar 4.27 Diagram Deskripsi Agreeableness Berdasarkan Pekerjaan........... 142
Gambar 4.28 Diagram Deskripsi Agreeableness Berdasarkan Tahun Menjadi Relawan .................................................................. 143
Gambar 4.29 Diagram Deskriptif Agreeableness Berdasarkan Berapa Kali Menjadi Relawan ...................................................................... 145
Gambar 4.30 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan
Jenis Kelamin .................................................................................. 147
Gambar 4.31 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan Usia ............. 148
Gambar 4.32 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan Domisili ........ 150
Gambar 4.33 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan Suku ............ 151
Gambar 4.34 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan Pekerjaan .... 153
Gambar 4.35 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan Tahun Menjadi Relawan .................................................................. 154
Gambar 4.36 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan Berapa Kali Menjadi Relawan ..................................................................... 156
Gambar 4.37 Diagram Deskripsi Neuroticism Berdasarkan Jenis Kelamin ....... 158
Gambar 4.38 Diagram Deskripsi Neuroticism Berdasarkan Usia ....................... 159
Gambar 4.39 Diagram Deskripsi Neuroticism Berdasarkan Domisili ................. 160
Gambar 4.40 Diagram Deskripsi Neuroticism Berdasarkan Suku ...................... 161
xiii
Gambar 4.41 Diagram Deskripsi Neuroticism Berdasarkan Pekerjaan ................ 163
Gambar 4.42 Diagram Deskripsi Neuroticism Berdasarkan Tahun
Menjadi Relawan ............................................................................. 165
Gambar 4.43 Diagram Deskripsi Neuroticism Berdasarkan Berapa Kali Menjadi Relawan ......................................................... 167
Gambar 4.44 Diagram Deskripsi Openness To Experience Berdasarkan Jenis Kelamin .................................................................................. 169
Gambar 4.45 Diagram Deskripsi Openness To Experience Berdasarkan Usia ... 170
Gambar 4.46 Diagram Deskripsi Openness To Experience Berdasarkan Domisili ............................................................................................ 171
Gambar 4.47 Diagram Deskripsi Openness To Experience Berdasarkan Suku . 172
Gambar 4.48 Diagram Deskripsi Openness To Experience Berdasarkan
Pekerjaan ......................................................................................... 174
Gambar 4.49 Diagram Deskripsi Openness To Experience Berdasarkan Tahun Menjadi Relawan ............................................................................. 176
Gambar 4.50 Diagram Deskripsi Openness To Experience Berdasarkan Berapa Kali Menjadi Relawan ......................................................... 178
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia pada umumnya memiliki dua peran penting yakni sebagai makhluk
individu sekaligus sebagai makhluk sosial, dua peran ini mengartikan bahwa
selain sebagai makhluk individu yang memiliki unsur jasmani, rohani, fisik, psikis,
jiwa dan raga sebagai manusia juga sudah seyogyanya memperhatikan
perannya sebagai makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinterkasi
dengan orang lain. Dalam kehidupan yang melibatkan hubungan atau interaksi
dengan orang lain maka diperlukan peranan norma untuk membantu manusia
dalam melakukan interaksi dengan orang lain di lingkungan sosialnya dengan
baik.
Perilaku menolong dapat diterapkan melalui upaya sederhana seperti
membantu orang yang sedang kesusahan, menawarkan pertolongan dan
melakukan sesuatu yang dapat meringankan musibah yang dialami oleh orang
lain. Penerapan perilaku menolong juga dapat diaktualisasikan dalam bentuk
yang lebih mengarah pada meringankan beban orang lain dan dinilai dapat
memberikan manfaat kepada orang lain.
Menolong juga dapat meningkatkan kesejahteraan bagi orang lain secara
tidak langsung. Menolong dapat diaktualisasikan dengan hal sederhana seperti
seperti menolong keluarga, teman, kerabat maupun orang lain. Perilaku
menolong ini dinilai juga dapat memberikan dampak positif yang lebih besar
1
2
yakni dapat menciptakan keharmonisan dalam lingkungan sosial sehingga
menjadi lebih damai. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara, menolong dapat
memberikan kesejahteraan bagi orang lain maupun diri sendiri melalui perasaan
bahagia dan bernilai karena mampu menolong orang lain.
Adapun perilaku menolong dengan ikhlas tanpa pamrih dalam Psikologi
lebih dikenal dengan istilah altruisme. Gula, (2009) menjelaskan bahwa altruisme
merupakan watak dalam diri seseorang yang muncul dengan semangat murah
hati dimana seseorang memiliki kemampuan dan keutamaan untuk bertindak
secara inklusif dalam memberikan bantuan kepada orang lain. Selain itu,
dijelaskan pula bahwa altruisme merupakan sifat dan watak yang ditunjukkan
oleh seseorang dalam memperhatikan dan mengutamakan orang lain. Dalam hal
ini, perilaku altruisme menganggap bahwa kepentingan diri sendiri lebih rendah
kapasitasnya daripada kepentingan orang lain yang lebih membutuhkan.
Bertens (2000) juga menjelaskan altruisme sebagai suatu sikap dalam
memperhatikan dan mengutamakan orang lain di atas kepentingan diri sendiri.
Adapun perilaku altruistik yang ditampakkan oleh seseorang dapat
diaktualisasikan dalam kebervasiariasian tingkat perilaku altruisme itu sendiri.
Hal ini nampak pada hasil penelitian deskriptif yang dikemukakan oleh Dewanti,
D.A (2019) di Yogyakarta dimana 57,6% dari 225 pelajar memiliki altruisme yang
tinggi dan 42,4% berada dalam tingkat altruisme yang sedang dan tidak terdapat
altruisme yang rendah; di Padang sebanyak 26,67% dari 240 pelajar yang
memiliki altruisme sangat tinggi, 60,83% tinggi, 12,50% rendah dan tidak
didapatkan adanya tingkat altruisme sangat rendah, (Neli, U.S & Sukmawati,
3
2019); di Bandung sebanyak 31,7% dari 202 mahasiswa FIP-UPI memiliki
tingkat altruisme tinggi, sedang 68,3% dan tidak terdapat mahasiswa yang
memiliki perilaku altruisme rendah, (Reza, M, 2017); di Bandung sebanyak
44,6% dari 325 mahasiswa yang memiliki tingkat altruisme tinggi dan 55,4%
memiliki altruisme yang rendah, (Nursanti, I., Victoria, E., & Cakrangdinata,
2014); Sedangkan, di Banjarmasin sebanyak 91,6% dari 5 siswa menunjukkan
altruisme sangat baik dan 9,4% memperoleh altruisme baik, (Umiati, M 2019).
Selain hasil penelitian tersebut, peneliti juga menemukan literatur yang
menunjukkan tingkat perilaku altruistik yang cenderung tinggi pada kelompok-
kelompok profesi tertentu, diantaranya di Sumatera Selatan sebanyak 72,50%
dari 80 relawan Walhi memiliki tingkat altruisme tinggi, 27,50% sedang dan tidak
terdapat altruisme yang rendah (Mardhiyah S.A., & Putri, J.D, 2019); di Salatiga
sebanyak 65,71% dari 105 perawat RSUD memiliki altruisme yang tinggi dan
32,38% rendah, (Hidayati, F & Dewi, S.R, 2017); di Yogyakarta sebanyak 36,7%
dari 74 konselor memiliki altruisme yang tinggi, 34,04% sedang dan 27,79%
rendah, (Yandri, H., Fikri, M.K., & Juliawati, D, 2019); Sedangkan, di
Tulungagung sebanyak 14% dari 35 relawan memiliki altruisme tinggi, 60%
sedang dan 26% rendah, (Sulawati, 2017).
Berdasarkan penelitian deskriptif tersebut nampaknya relawan termasuk ke
dalam kelompok yang cenderung memiliki tingkat altruisme yang relatif tinggi.
Karena dapat diketahui bahwa perilaku menolong orang lain tanpa pamrih
tersebut telah tercermin dalam diri seorang relawan. Dimana relawan
merupakan suatu upaya individu yang secara sukarela menyumbangkan tenaga,
4
jasa, kemampuan dan waktunya tanpa mengharapkan upah secara finansial
atau keuntungan materi dan organisasi dari tindakan yang dilakukan individu
tersebut kepada orang lain atau kelompok, (Schroeder, 1995).
Relawan sendiri dapat ditemui melalui kegiatan sosial ataupun pada saat
situasi bencana. Perilaku menolong yang diterapkan oleh relawan pada kegiatan
sosial dapat berupa penggalangan dana atau aksi sosial lainnya. Selain itu,
peranan relawan juga terlihat jelas pada saat menghadapi situasi bencana,
relawan mulai mengerahkan kemampuan yang dimilikinya untuk membantu
orang lain. Perlu diketahui bahwa relawan yang menangani situasi bencana
menjadikannya berada pada situasi yang tidak normal seperti pada umumnya
yang tentunya hal tersebut menjadi sebuah tantangan yang memiliki risiko
tersendiri
Memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan memanglah suatu
perbuatan yang mulia akan tetapi tidak menutup kemungkinan ada risiko yang
harus dihadapi relawan di bencana. Berdasarkan pernyataan responden yang
telah diwawancarai, mereka pernah mengalami musibah pada saat menolong
seperti terjebak dikubangan lumpur, terjatuh dan mengalami luka, patah tulang,
tenggelam, dimarahi masyarakat, meninggalkan kepentingan lain dan bahkan
ada yang sampai mengalami trauma karena melihat situasi bencana yang
sangat jauh berbeda dari biasanya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2007) sendiri juga menjelaskan
bahwa situasi bencana memang merupakan peristiwa yang dapat mengancam
atau mengganggu kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam
5
dan/atau faktor non alam maupun faktor yang disebabkan oleh manusia
sehingga dapat mengakibatkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda maupun dapat berdampak pada kondisi psikologis seseorang yang
terkena bencana.
Berdasarkan hal di atas maka dilakukan wawancara awal kepada 15
relawan dari berbagai latar belakang baik dari relawan PMI, relawan Badan Sar
Nasional, Potensi Sar, relawan Ners, serta Relawan yang bersifat independen
untuk menggali fakta yang terjadi dilapangan. Adapun hasil yang didapatkan
peneliti bahwa nampaknya relawan mampu memiliki altruisme yang tinggi
diantara banyaknya kelompok-kelompok profesi yang ada. Hal tersebut didukung
oleh hasil wawancara dimana sebagian besar responden mengatakan bahwa
tidak ada alasan yang mendorong dirinya untuk membantu orang lain dan tidak
ada paksaan dari orang lain selain daripada keinginan diri sendiri. Adapun
imbalan yang diperoleh dari perilaku menolong yang dilakukan hanya sebatas
perasaan puas dan merasa berarti karena mampu menyalurkan bantuan kepada
orang yang membutuhkan.
Adapun penelitian yang membuktikan bahwa perilaku menolong
memberikan banyak dampak positif ialah penelitian yang dilakukan oleh
Sasmita, A., & Wibowo (2019) yang menunjukkan bahwa altruisme memberikan
kontribusi sebesar 83,3% dalam meningkatkan extra-role behavior pada relawan
Tagana di Banyumas; Permatahati (2016) mendapati altruisme dapat
memberikan kontribusi sebesar 26,1 % dalam meningkatkan Subjective Well-
Being pada 20 relawan di Tulungagung. Adapun penelitian yang menunjukkan
6
perilaku lain yang dipengaruhi oleh tingginya perilaku altruisme yaitu,
meningkatkan kinerja kinerja guru di Rokan Hilir sebesar 67,70% , (Asjoni, S.A.,
& Natuna, D.A, 2019); memengaruhi kinerja perawat RSKM di Jombang sebesar
56,4%%, (Murwani, S, 2018).
Menolong orang yang membutuhkan memang baik. Akan tetapi apabila
tingkat altruisme yang dimiliki cenderung terlalu tinggi sesuai penelitian di atas
maka juga akan memberikan dampak negatif bagi diri relawan itu sendiri. Seperti
yang diketahui dari hasil wawancara bahwa relawan yang terlalu sering terlibat
dalam menolong di medan bencana mengakibatkan tugas wajib sebagai pelajar
ditinggalkan sehingga nilai akademik menurun dan harus menambah kredit
semester. Ada pula yang mengatakan bahwa, sejak aktif menjadi relawan dirinya
kehilangan kesempatan bekerja kembali di instansi pemerintahan. Selain itu, ada
juga relawan yang mengatakan bahwa karena keaktifannya sebagai relawan,
menyebabkan dia mengorbankan waktu bersama keluarga dan tanggung
sebagai kepala rumah tangga menjadi berkurang.
Melihat hal diatas, apabila perilaku altruisme tidak dapat dikontrol dengan
baik dan tidak dilakukan dengan berhati-hati maka dapat memberikan dampak
yang negatif untuk diri individu yang bisa mengakibatkan trauma, cacat bahkan
kematian. Hal tersebut diperkuat oleh berita yang didapatkan dari Kompas.com
(2018) bahwa terdapat seorang relawan meninggal akibat kelelahan saat
menyuplai air bersih kepada korban bencana daerah lombok; BBC News (2018)
juga melansir berita duka dari relawan yang meninggal dunia akibat kecelakaan
tenggelam pada saat bertugas mengevakuasi korban Lion-air-jt-610; di Malang,
7
dua relawan meninggal karena tersengat listrik pasca melakukan evakuasi di
letusan gunung Kelud, (Dikutip dari CNN Indonesia, 2018); relawan gugur akibat
kehabisan oksigen saat kebakaran gunung Andong, Semarang pada tahun
2018, (dilansir dari MuriaNews.com, 2018); empat relawan Tagana gugur karena
tertimbun lahar panas Wedhus Gembel pada tahun 2010, (DetikNews.com,
2010); 150 tenaga kesehatan positif terinfeksi virus dan 31 diantaranya telah
gugur akibat tertular covid-19 sepanjang april 2020, (Kompas.com, 2020).
Peristiwa di atas didukung oleh pernyataan Sutopo (dalam Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, 2007) yang menegaskan bahwa potensi bencana
tsunami di Indonesia memang menempati peringkat pertama dari 265 negara di
dunia. Hal tersebut berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh PBB.
Sehingga berdasarkan data UNISDR diperkirakan ada 5.402.239 jiwa orang
Indonesia dapat berpotensi terkena dampak bencana, sehingga wilayah
Indonesia sering mengalami bencana alam dan ditengah penduduk yang padat
maka memungkinkan akan banyak yang terdampak sehingga diperlukan banyak
relawan yang mampu menanamkan perilaku altruisme.
Perilaku altruisme sendiri dapat dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya;
memengaruhi lingkungan keluarga dan status sosioekonomi pada 80 remaja di
Jakarta, (P.D., & Nursetiawati, 2019); Pola asuh demokratif, (Mubtadin, 2016);
Bimbingan kelompok pada 8 siswa di Kendari, (Mesa, N.M., & Rudin, A, 2020);
memengaruhi kematangan emosi yang meliputi kemampuan beradaptasi,
kemampuan menguasai amarah dan pola asuh otoriter-permisif pada 250
mahasiswa di Jakarta, (Zahra. S 2015); empati pada 70 siswa di Bekasi,
8
(Pujiyanti, 2019); empati pada 96 siswa di Semarang, (Setiawan, M.B., &
Sugiarto, L.N, 2019); kecerdasan, religiusitas dan jenis kelamin pada 290
relawan aksi cepat tanggap di Jakarta, (Fitria, 2019); peran emosi pada 175
mahasiswa kedokteran di Malang, (Robbitha, R.A., & Herani, 2018); Jenis
kelamin pada 40 relawan di Malang, Harjo, I.L (2018); kepribadian pada 71 siswa
di Malang, (Ningrum, D.K, 2019);
Berdasarkan seluruh uraian jawaban hasil wawancara yang dilakukan
terhadap beberapa relawan dan penelitian-penelitian yang ada maka ditemukan
hasil yang beragam yang memengaruhi perilaku menolong. Keberagaman yang
didapatkan tersebut diduga karena disebabkan oleh cara bersikap, cara berpikir
dan cara beradaptasi maupun cara pengambilan keputusan relawan yang
beragam. Keberagaman tersebut juga semakin mengindikasikan bahwa
kepribadian yang dimiliki relawan juga berbeda-beda.
Parkinson (2004) sendiri menjelaskan bahwa kepribadian seseorang dapat
meliputi cara bersikap, cara berpikir, cara berkomunikasi, kepercayaan diri dan
cara beradaptasi. Kepribadian menjadi salah satu alasan relawan untuk mampu
menanamkan jiwa-jiwa altruistik. Seperti yang dijelaskan oleh Pevlin (2005)
bahwa kepribadian didefinisikan sebagai suatu karakteristik yang dimiliki
seseorang dan cenderung konsisten mengenai pikiran, perasaan dan perilaku
seseorang, untuk mengidentifikasi kecenderungan kepribadian yang dimiliki
relawan maka dapat dianalisis menggunakan tipologi kepribadian Big Five
Personality. Tipologi kepribadian tersebut digunakan berdasarkan Feist dan Feist
(2009) yang mengatakan bahwa Big Five Personality merupakan salah satu
9
kepribadian yang dapat dengan baik memprediksi dan menjelaskan perilaku
seseorang seperti mengungkapkan kepribadian yang dimiliki seseorang yang
menerapkan perilaku altruisme. Senada dengan Barrick & Mount (dalam Tama &
Hardiningtyas, 2017) yang juga memaparkan bahwa lima dimensi utama
kepribadian Big Five Personality telah mencakup keseluruhan kepribadian
manusia yang beragam dan model kepribadian ini juga mampu menjadi prediktor
untuk dapat menjelaskan perilaku seseorang sesuai dengan situasi sebenarnya.
Tama & Hardiningtyas( 2017) menjelaskan bahwa kepribadian Big Five
Personality merupakan suatu model kepribadian yang terdiri dari lima dimensi
utama yang mencakup beragamnya kepribadian manusia. Lima dimensi tersebut
diantaranya; Openness to experience yang meliputi ketertarikan individu
terhadap hal baru, kreativitas, dan keingintahuan seseorang; Conscientiousness
adalah kecenderungan seseorang dalam mengorganisir tugas-tugas dan
berkaitan dengan kehandalan serta tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas-
tugas tersebut; Extraversion; yakni kecenderungan seseorang dalam
berperilaku di lingkungan sosialnya; Agreeableness merupakan perilaku
seseorang yang tampak dalam menghormati dan berinteraksi dengan orang lain;
Neuroticism adalah salah satu Big Five Personality yang meliputi kemampuan
seseorang dalam mengelola emosinya dalam menghadapi stress, (Tama &
Hardiningtyas, 2017).
Kepribadian Big Five Personality juga dipercaya dapat memengaruhi
berbagai hal diantaranya memengaruhi altruisme 120 relawan Swadaya di
Malang, (Widianingrum, 2016); pembentukan resiliensi 20 tuna daksa di
10
Bandung (Ilham & Mubarak, 2018); mampu memediasi kinerja dan sifat
kepemimpinan pada 119 karyawan di Jimbaran, (Dewi & Mujiati 2015);
memengaruhi multitasking pada 60 karyawan di Jakarta, (Widyahastuti, 2019);
Subjective Well-Being pada 437 pengguna Twitter di Indonesia (Novitasari,
2005); perilaku prososial pada 159 mahasiswa di Malang, (Nugrahini, 2016);
prokrastinasi pada 127 pegawai universitas di Yogyakarta, (Fauziah & Sarira,
2019); Organizational Citizenship Behavior pada 100 dosen Universitas Thailand
(Leephaijaroen, 2018) dan Organizational Citizenship Behavior pada 54 perawat
di Madiun, (Soepono & Srimulyani, 2019); Adaptabilitas karir pada 120
mahasiswa di Aceh, (Raisunnisa & Megawati, 2019); maupun kreativitas pada 60
karyawan di Jakarta, (Surur & Handoyo, 2018).
Melihat beberapa penelitian yang berkaitan dengan kepribadian
menggunakan dimensi Big Five Personality, maka diduga kepribadian ini juga
dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai altruisme pada relawan. Diperkuat oleh
observasi yang dilakukan dilapangan dan hasil wawancara yang didapatkan.
Sehingga berdasarkan hal tersebut maka peneliti tertarik dan merasa perlu untuk
meneliti lebih lanjut mengenai mengenai altruisme dan kepribadian Big Five
Personality yang memfokuskan penelitian ini dengan judul “Tipe Kepribadian Big
Five Personality Sebagai Prediktor Perilaku Altruisme Pada Relawan Bencana”.
11
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dituliskan rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah tipe kepribadian Big Five Personality dapat menjadi prediktor
terhadap altruisme pada relawan daerah bencana?
2. Apakah kepribadian Openness to Experience pada tipe kepribadian Big Five
Personality dapat menjadi prediktor terhadap altruisme relawan daerah
bencana?
3. Apakah kepribadian Conscientiousness pada tipe kepribadian Big Five
Personality dapat menjadi prediktor terhadap altruisme relawan daerah
bencana?
4. Apakah kepribadian Extraversion pada tipe kepribadian Big Five Personality
dapat menjadi prediktor terhadap altruisme relawan daerah bencana?
5. Apakah kepribadian Agreeableness pada tipe kepribadian Big Five
Personality dapat menjadi prediktor terhadap altruisme relawan daerah
bencana?
6. Apakah kepribadian Neuroticism pada tipe kepribadian Big Five Personality
dapat menjadi prediktor terhadap altruisme relawan daerah bencana?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui gambaran perilaku altruisme pada relawan bencana
2. Untuk mengetahui gambaran tipe kepribadian Big Five Personality pada
relawan daerah bencana
12
3. Untuk mengetahui gambaran masing-masing tipe kepribadian Big Five
Personality pada relawan daerah bencana
4. Untuk mengetahui kemampuan tipe kepribadian Big Five Personality dalam
menjadi prediktor terhadap altruisme pada relawan daerah bencana
5. Untuk mengetahui kemampuan masing-masing tipe kepribadian Big Five
Personality dalam menjadi prediktor terhadap altruisme pada relawan daerah
bencana
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih terhadap ilmu
pengetahuan di bidang psikologi dan menambah wawasan terkait dengan
kepribadian Big Five Personality memengaruhi perilaku altruisme relawan
daerah bencana
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya
mengenai penerapan perilaku altruistik
2. Manfaat praktis
a. Bagi Relawan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan memberikan
manfaat untuk dijadikan sebagai sumber pengetahuan dalam
mengembangkan dan meningkatkan aspek-aspek yang dapat
meningkatkan perilaku altruisme dalam diri relawan.
13
b. Bagi masyarakat umum
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada
masyarakat awam mengenai gambaran tipe kepribadian Big Five
Personality dalam menjadi prediktor perilaku altruisme relawan bencana
c. Bagi peneliti
Dapat menjadi pembaharuan informasi dan ilmu pengetahuan baru
utamanya mengenai tipe kepribadian dalam menjadi prediktor perilaku
altruisme pada masyarakat, mahasiswa maupun pada relawan.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Altruisme
1. Teori-Teori Perilaku Menolong
Perilaku menolong pada umumnya dijelaskan di cabang ilmu
pengetahuan psikologi sosial dimana Brehm dan Kassin (dalam Suryanto,
et.al, 2012) mengungkapkan bahwa social psychology is the scientific study
of the way individuals think, feel, desire and act in sosial situations yang
dimana dapat diartikan bahwa psikologi sosial merupakan studi ilmiah yang
menjelaskan bagaimana cara individu dalam berpikir, merasa, berkeinginan
dan bertindak ketika berada dalam situasi sosial.
Perilaku menolong yang dikaji dalam psikologi sosial juga dijelaskan lebih
lanjut oleh Kenrick dkk (dalam Suryanto, et.al, 2012) bahwa “Social
psychology is the scientific study of how people’s thoughts feeling and
behavior are influenced by other people” yang mengartikan bahwa psikologi
sosial merupakan suatu studi ilmiah yang menjelaskan mengenai bagaimana
seseorang berpikir, berperasaan dan bertindak dipengaruhi oleh orang lain.
Sehingga kedua ahli yang mengemukakan mengenai psikologi sosial dapat
disimpulkan bahwa Brehm dan Kassin menekankan psikologi sosial kepada
situasi sosial yang mengatur perilaku yang terjadi sedangkan Kenrick
menjelaskan bahwa psikologi sosial lebih menekankan orang lain sebagai
faktor yang memengaruhi individu. Dalam hal ini, psikologi sosial yang
14
15
membahas motif perilaku menolong secara khusus dijelaskan dalam
beberapa konsep diantantaranya;
a. Social Exchange
Social Exchange Theory merupakan teori pertukaran sosial yang
menekankan pada model ekonomi dari perilaku manusia yang dimana
menganggap bahwa seseorang akan cenderung memaksimalkan
keuntungan yang didapatkan dan dirasakan dan meminimalkan harga
yang harus dibayar dalam sebuah hubungan. Adapun dasar dari adanya
teori pertukaran sosial ini (Social Exchange) mencakup tentang sebuah
hubungan dengan orang lain yang memberikan lebih banyak
penghargaan dengan membayar harga yang murah akan cenderung
memuaskan dan bertahan lama, (Suryanto, Putra, Herdiana, & Alvian,
2012).
Salah satu bentuk penghargaan yang dapat diterima dari adanya
pertukaran sosial dapat berupa pertemanan, cinta, penghibur disaat
sedih, perasaan bahagia. Sedangkan, harga yang harus dibayar dalam
sebuah hubungan dengan orang lain dapat berupa menjaga hubungan
sekitar agar tetap harmonis, membuat sebuah kompromi dengan orang
lain, merasa menderita saat terjadi suatu konflik dan memberikan suatu
kesempatan untuk melanjutkan sebuah rencana, (Suryanto, Putra,
Herdiana, & Alvian, 2012).
Teori pertukaran sosial juga menjelaskan bahwa konsep dasar dari
teori ini menekankan pada kerugian dan penghargaan dimana perilaku
16
seseorang yang dilakukan secara berulang biasanya memberikan
sebuah penghargaan dan menghindari perilaku yang membuat
seseorang rugi. Selain itu, teori pertukaran sosial juga dibangun atas
dasar beberapa asumsi mengenai sifat dasar manusia dan sifat dasar
hubungan fimsns berfokus pada sifat dasar individu-individu dan satu lagi
lainnya mendeskripsikan hubungan antar dua orang. Asumsi-asumsi
terkait teori pertukaran sosial mengenai sifat dasar manusia diantaranya;
manusia cenderung mencari penghargaan dan menghindari hukuman,
manusia adalah makhluk yang rasional, standar yang digunakan manusia
untuk mengevaluasi pengorbanan dan penghargaan bervariasi seiring
berjalannya waktu dan dari satu ke orang lainnya, (West & Turner, 2008).
Teori pertukaran sosial (Sosial Exchange) yang diimplikasikan
dalam perilaku menolong yaitu individu akan melakukan segala upaya
yang mampu dilakukan untuk mendapat sebuah penghargaan yakni
berupa perasaan setelah menolong dan cenderung melakukan
pengorbanan terlebih dahulu baik berupa tenaga yang dimiliki,
kemampuan yang dimiliki maupun berkorban secara materi dan
nonmateril kepada orang lain, (West & Turner, 2008).
b. Social Norm
Norma sosial menekankan pada asumsi untuk menengahi posisi
seseorang dalam bermasyarakat dengan meyakini bahwa manusia
adalah pembuat pilihan. Selain itu, norma sosial juga menjelaskan bahwa
orang tidak memandang perilaku orang lain sebagai sesuatu yang acak
17
melainkan sebaliknya, bahwa mereka memiliki berbagai harapan
bagaimana seseorang seharusnya dapat berpikir dan berperilaku dalam
konteks sosial. Levine (dalam Jones, Bradbury, & Boutillier, 2016)
menjelaskan bahwa harapan merupakan hasil dari norma-norma sosial,
stereotip, rumor dan simaudio sinkratik dari komunikator.
Sosial Norm juga menjelaskan bahwa manusia selalu hidup
bersama dalam suatu sistem masyarakat. Hal tersebut disebabkan
karena adanya kebutuhan yang hanya akan terpenuhi apabila manusia
dapat hidup berdampingan dengan yang lainnya. Namun, ketika manusia
hidup dengan manusia lainnya untuk kehidupan bermasyarakat maka
dapat menimbulkan suatu konflik dikarenakan manusia sama-sama ingin
kebutuhan dan kepentingannya dapat terpenuhi, oleh karena itu
terbentuklah sebuah norma-norma yang mengikat dalam kehidupan
bermasyarakat sebagai pedoman dalam bertingkah laku yang biasa
dikenal sebagai norma sosial, (Jones, Bradbury, & Boutillier, 2016).
Manusia dalam masyarakat yang terikat dengan norma dapat
ditinjau dengan dua aspek yakni manusia sebagai makhluk individu dan
manusia sebagai individu yang memiliki kaitan hubungan dengan
manusia lainnya. Adapun manusia sebagai makhluk individu terikat
norma agama dan norma kesusilaan. Sedangkan manusia sebagai
makhluk sosial terikat dalam beberapa norma termasuk norma
kesopanan dan norma hukum. Norma sosial ini merupakan pedoman
bertingkah laku baik untuk diri sendiri maupun dalam situasi sosial untuk
18
membentuk suatu tatanan sosial yang lebih baik, (Jones, Bradbury, &
Boutillier, 2016).
Rice dan Grusec (dalam Suryanto, et.al, 2012) menjelaskan lebih
lanjut bahwa aturan berperilaku yang dibuat oleh masyarakat juga dapat
disebut dengan norma sosial. Norma ini ada berdasarkan apa yang orang
lain katakan maupun yang kebanyakan orang lakukan. Dalam hal ini,
terdapat dua norma terkait perilaku menolong yakni norma yang berdasar
pada kejujuran dimana norma resiprositas sosial akan memunculkan
transaksi balas jasa sebagai suatu standar yang telah disetujui. Konsep
norma ini menjelaskan bahwa seseorang yang memberikan sesuatu pada
kita haruslah dibalas kembali sehingga pada biasanya seseorang akan
menolong orang yang telah menolong mereka dan biasanya dilakukan
secara sukarela,
Gross dan Latene (dalam Suryanto, et.al, 2012) menjelaskan norma
kedua terkait menolong yaitu norma keseimbangan (ekuitas) dimana
konsep ini menekankan bahwa seseorang yang memiliki banyak
keuntungan harus menolong orang lain yang kekurangan. Sehingga hasil
tolong menolong inilah yang akan mengembalikan keseimbangan yang
ada. Selain itu, terdapat pula norma mengenai tanggung jawab sosial
dimana norma ini mengharuskan seseorang menolong orang lain yang
membutuhkan. Norma ini memunculkan rasa tanggung jawab dan
kewajiban secara tidak langsung kepada orang-orang untuk memberikan
pertolongan lebih banyak pada orang yang lebih membutuhkan. Norma
19
sosial apabila diaplikasikan dalam perilaku menolong maka hal tersebut
mengenai nilai-nilai yang dipercayai oleh individu dan upayanya dalam
memberikan sumbangsih dalam kehidupan bermasyarakat.
c. Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial dipelopori oleh Bandura yang menjelaskan bahwa
teori belajar sosial merupakan kajian mengenai tingkah laku manusia dari
segi interaksi timbal-balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif,
tingkah laku dan faktor lingkungan. Dalam proses timbal-balik ini manusia
memiliki kesempatan untuk memengaruhi nasib dan batas-batas
kemampuan untuk diri sendiri. Selain itu, konsep teori belajar sosial ini
menekankan bahwa orang-orang merupakan objek yang tak berdaya
yang dikontrol oleh pengaruh lingkungan. Bandura mengatakan bahwa
manusia dan lingkungan merupakan suatu faktor yang saling
memengaruhi dan menentukan secara timbal balik, (Hall & Lindzey,
1993)
Teori belajar sosial yang diperkenalkan oleh Bandura ini juga
menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan
evaluasi seseorang. Bandura mengatakan bahwa orang dapat belajar
melalui pengalaman langsung atau pengamatan (mencontoh suatu
model). Selain itu seseorang dapat belajar dari apa yang ia baca, dengar,
dan lihat dari media dan juga dari orang lain dan lingkungannya. Teori
belajar sosial ini membahas mengenai bagaimana seseorang berperilaku
dipengaruhi oleh lingkungannya melalui penguat dan observasi,
20
mempelajari mengenai cara pandang dan cara pikir yang dimiliki
seseorang dalam menerima informasi dan bagaimana perilaku seseorang
dapat memengaruhi lingkungan dan menciptakan penguat dan
observational opportunity, (Rahmat, 2019).
Teori belajar sosial juga menekankan pada observational learning
sebagai suatu proses pembelajaran dimana bentuk pembelajarannya
yaitu dengan mempelajari tingkah laku dengan cara mengamati secara
sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain
dengan melalui empat tahap pengamatan diantaranya; atensi yakni
memberikan perhatian terhadap model, retensi merupakan mengingat
kembali perilaku yang ditampilkan oleh model, reproduksi adalah
mencoba menirukan atau mempraktekkan yang dilakukan oleh model
dan motivasional yakni seseorang harus memiliki motivasi untuk belajar
dari model, (Rahmat, 2019).
Bandura (dalam Hall & Lindzey, 1993) menjelaskan dalam teori
belajar sosial bahwa tingkah laku manusia merupakan hasil proses
belajar terhadap lingkungan. Adapun implikasinya dalam tingkah laku
menolong disebabkan karena adanya proses belajar yang dilakukan
seseorang melalui observasi terhadap model yang dilakukan orang lain.
Berdasarkan prinsip belajar bahwa suatu tingkah laku dapat diperkuat
apabila mendapatkan konsekuensi positif dari tingkah laku tersebut. Teori
belajar sosial juga menjelaskan bahwa seorang yang altruis atau
menolong tanpa pamrih sejujurnya memiliki sebuah kepentingan pribadi
21
yang terselubung, misalkan adanya ganjaran perasaan yang lebih baik
setelah memberikan pertolongan atau adanya perasaan berharga karena
mampu menolong orang lain.
d. Teori Perkembangan Kognitif
Teori perkembangan kognitif dipelopori oleh Jean Piaget yang
memberikan konsep utama mengenai psikologi perkembangan yang
berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan. Teori ini
muncul karena adanya skema-skema tentang bagaimana seseorang
dapat mempersepsikan lingkungannya. Selain itu, teori ini juga
menggambarkan kemampuan seseorang dalam membangun
kemampuan kognitifnya melalui tindakan yang termotivasi dengan
sendirinya terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini Piaget
membagi skema yang digunakan seorang anak dalam memahami
dunianya dalam empat periode yakni tahapan sensorimotor (0-2 tahun),
tahapan praoperasional ( 2-7 tahun), tahapan operasional konkrit (7-11
tahun) dan tahapan operasional formal (usia 11 tahun sampai dewasa),
(Jahja, 2011).
Tingkatan perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget
(dalam Jahja, 2011) memiliki pengaruh terhadap perilaku menolong.
Pada anak-anak perilaku menolong lebih menekankan pada hasil. Selain
itu, diketahui bahwa semakin dewasa seorang anak maka akan semakin
tinggi kemampuannya untuk dapat berpikir abstrak sehingga seorang
anak akan semakin mampu untuk mempertimbangkan usaha yang
22
dilakukannya terkait hal apa yang harus dikorbankan untuk dapat
menerapkan perilaku menolong.
Tahap operasional formal yang merupakan tahap akhir dari
perkembangan kognitif Piaget. Pada tahap perkembangan ini, seorang
anak dapat memaksimalkan penerapan perilaku menolongnya
disebabkan karena pada tahap ini usia anak sudah mampu untuk berpikir
secara abstrak, menalar secara logis dan menarik informasi yang
tersedia. Pada tahap ini juga seseorang sudah dapat memahami hal-hal
seperti cinta, bukti logis dan nilai. Berdasarkan faktor biologis tahapan ini
mulai muncul pada saat anak mengalami pubertas dimana hal ini
menandai masuknya dunia dewasa secara fisiologis kognitif, penalaran
moral, perkembangan psikoseksual dan perkembangan sosial, (Jahja,
2011).
2. Pengertian Altruisme
Istilah altruisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte
pada tahun 1969 dalam bukunya System de Politique. Pada buku tersebut
Comte mengatakan bahwa altruisme berasal dari bahasa Prancis yakni
Autrui yang memiliki arti “orang lain” dimana Comte meyakini bahwa setiap
individu mempunyai kewajiban moral untuk dapat berkhidmat dengan
kepentingan orang lain. Kemudian berikutnya, Myers pada tahun 1987 ikut
mengemukakan pendapatnya mengenai altruisme. Ia menjelaskan bahwa
Altruisme merupakan hasrat yang dimiliki seseorang untuk menolong orang
lain tanpa memikirkan kepentingan individu itu sendiri.
23
George H. Lewis dalam (Scott & Jonathan, 2007) memperkenalkan
istilah altruisme pertama kali ke Inggris pada tahun 1907. Lewis menjelaskan
bahwa altruisme merupakan nilai moral yang dimiliki seseorang dalam
menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi. Setelah
Comte mempelopori istilah tersebut dan Myers ikut serta mengemukakan
pendapatnya. Kemudian bermunculan beberapa ahli yang mengemukakan
hal yang sama.
Sears, Freedman dan Peplau (1994) juga mengemukakan pendapat
bahwa altruisme altruisme sebagai suatu tindakan secara sukarela yang
dilakukan seseorang atau kelompok dalam upaya menolong orang lain tanpa
mengharapkan imbalan apapun terkecuali perasaan yang didapatkan
seseorang setelah melakukan kebaikan terhadap orang lain.
Baron & Byrne (1996) juga menjelaskan altruisme adalah bentuk
penyesuaian perilaku terhadap orang lain yang ditujukan demi kepentingan
orang lain tersebut dan biasanya merugikan diri sendiri dan termotivasi untuk
meningkatkan kesejaheraan orang lain tanpa mengharapkan balasan
apapun. Dilanjutkan beberapa tokoh ahli, yakni John W. Santrock pada tahun
2003 mengemukakan pengertian altruisme sebagai minat yang dimiliki
seseorang yang tidak mementingkan diri sendiri dalam menolong orang lain.
Scott & Jonathan (2007) menjelaskan bahwa altruisme merupakan
sesuatu penghargaan kepada semua orang yang maknanya disepakati
secara universal. Secara umum, altruisme artinya suatu upaya untuk
mempromosikan kepentingan orang lain. Istilah altruisme sendiri pertama kali
24
dikemukakan oleh Auguste Comte dalam bukunya yang berjudul System de
Politique Positive pada tahun 1969. Altruisme sendiri merupakan kombinasi
dari bahasa Latin Alter dengan Ui dan Literary yang secara keseluruhan
memiliki arti “ini untuk orang lain”.
Post, et.al (2002) dalam bukunya Altruisme and Altruistic Life: Science,
Philosophy and Religion in Dialogue menuliskan hal yang senada dengan
pengertian sebelumnya bahwa altruisme berakar dari bahasa Latin yakni
Alter yang artinya dalam bahasa Inggris “Other” atau “Lainnya” yang
mengenai hal moral utamanya ketika orang lain sedang membutuhkan.
Seorang altruis akan bertindak untuk kepentingan orang lain sebagai tujuan
bukan sebagai sarana pengakuan publik atau kesejahteraan internal,
meskipun sebenarnya manfaat untuk diri sendiri tidak perlu ditolak. Dalam
altruisme, solipisme berpandangan bahwa Solus artinya sendiri dan Ipse
artinya diri. Dimana hal ini berarti diri tidak lagi dianggap satu-satunya nilai
dan tidak hanya menghargai orang lain dari sejauh mana interaksi egoistik
seseorang berlaku melainkan seorang altruis akan menyadari kemerdekaan
orang lain.
George H. Lewes dalam Scott & Jonathan (2007) memperkenalkan istilah
altruisme pertama kali ke Inggris pada tahun 1907, George sendiri
merupakan pelopor karya dari Auguste Comte. Altruisme sendiri
dimaksudkan sebagai nilai moral yang menjadi pusat penggunaan dari istilah
altruisme itu sendiri. Dijelaskan bahwa altruisme merupakan nilai moral yang
dimiliki seseorang dalam menempatkan kepentingan orang lain di atas
25
kepentingan pribadi. Artinya bahwa yang dilakukan tersebut semata-mata
untuk orang lain.
Altruisme dijelaskan melalui fenomena umum yang didapatkan bahwa
hal tersebut merupakan suatu upaya pengambilan kepentingan orang lain
untuk dijadikan sebagai urusan atau miliknya. Hal tersebut yakni altruisme
sendiri diidentifikasi dengan istilah Golden Rule (aturan emas) dimana aturan
ini dapat dijumpai pada banyak tradisi, agama dan etika sosial yang berlaku
secara universal. Aturan emas mengidentifikasi bahwa altruisme merupakan
suatu moralitas yang dimiliki seseorang. Oleh karena itu, Hobbes dalam
(Scott & Jonathan, 2007) mendukung aturan emas namun menafsirkan
altruisme sendiri merupakan sesuatu yang egois. Meskipun demikian Hobbes
menjelaskan bahwa altruisme layaknya memperlakukan orang lain
sebagaimana seseorang ingin diperlakukan.
Comte dalam (Scott & Jonathan, 2007) menjelaskan bahwa manusia
memiliki wawasan rasional dalam melakukan negosiasi sosial, dimana
pemikiran rasional tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Dengan sendirinya kecerdasan dan rasionalitas yang dimiliki seseorang
mengarah pada kesombongan. Meskipun demikian, upaya tersebut diketahui
dapat memahami kebutuhan manusia dalam hal ini meliputi konteks sosial,
intelektual yang dimiliki seseorang digunakan untuk melayani kebutuhan
manusia dan pelayanan tersebut diterapkan melalui praktik yang dinamakan
dengan altruisme.
26
Herbert Spencer (dalam Scott & Jonathan, 2007) mengungkapkan
pemikiran serupa mengenai altruisme yang diungkapkan oleh Comte melalui
pandangan teori evolusi Darwin mengatakan bahwa peningkatan ketertarikan
seseorang tidak terlepas dari seleksi alam. Spencer berpandangan bahwa
seleksi alam sebagai cara dimana proses evolusi juga secara tidak langsung
melibatkan perbaikan moral manusia melalui perkembangan istilah altruisme.
Altruisme juga didefinisikan sebagai suatu tindakan secara sukarela
yang dilakukan seseorang atau kelompok dalam upaya menolong orang lain
tanpa mengharapkan imbalan apapun terkecuali perasaan yang didapatkan
seseorang setelah melakukan kebaikan terhadap orang lain. Konsep ini
diyakini sebagai upaya pengingat terhadap dua unsur manusia yakni sebagai
makhluk individualis dan makhluk sosial yang diterapkan dalam upaya yang
disebut dalam istilah psikologi yakni altruisme, (Sears, Freedman, & Peplau,
1994).
Perilaku tolong menolong tanpa pamrih atau altruisme juga
dikemukakan oleh Myers (2012) dalam buku yang telah diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia yakni Psikologi Sosial Jilid 2 bahwa lawan dari kata
altruisme adalah egoisme dimana seorang altruis merupakan orang yang
peduli terhadap orang lain dan tetap membantu meskipun tidak mendapatkan
keuntungan. Selain itu, seorang altruis juga tidak mengharapkan imbalan
atau harapan atas apa yang dilakukannya terhadap orang lain sebagai hasil
dari usahanya.
27
Altruisme juga dapat diartikan sebagai sikap yang diperlihatkan dalam
memperhatikan dan mengutamakan orang lain di atas kepentingan diri
sendiri. Namun dijelaskan juga bahwa tidak terdapat sebuah bentuk
perlawanan antara egoisme dan altruisme itu sendiri. Seperti yang diketahui
bahwa Adam Smith pernah mengatakan bahwa bukan kemurahan dan
kebaikan hati yang ditunjukkan oleh pembuat roti atau tukang daging,
melainkan karena adanya perhatian terhadap kepentingan kita untuk dirinya
sendiri. Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa, tidak semua hal yang
berhubungan dengan kebaikan tidak dapat diklaim memiliki sifat altruistik.
Seseorang harus terlebih dahulu mengetahui apa-apa yang menjadi ciri
suatu perbuatan dari altruisme itu sendiri. (Bertens, 2000).
Pernyataan terkait altruisme pun senada dengan yang diungkapkan
oleh Baron & Byrne (2004) bahwa altruisme merupakan suatu tindakan yang
penuh kasih sayang dan dalam bahasa Yunani disebut agape yakni tindakan
yang mengasihi orang lain untuk kebaikan orang lain tersebut tanpa ada
kepentingan dari orang yang mengasihi. Berdasarkan pernyataan Baron &
Byrne (2004) bahwa altruisme merupakan bentuk khusus yang dimiliki
seseorang dalam mengasihi dan menyesuaikan perilaku yang ditujukan demi
kepentingan orang lain namun cenderung merugikan diri sendiri. Sikap ini
didorong oleh hasrat untuk dapat meningkatkan kesejahteraan orang lain
agar lebih baik tanpa mengharapkan imbalan apapun dari orang lain
tersebut.
28
Glasman (dalam Arifin B. S., 2015) juga mendefinisikan bahwa
altruisme merupakan konsep perilaku tolong menolong dalam diri seseorang
yang didasarkan pada keuntungan atau manfaat yang dirasakan setelah
memberikan pertolongan di kemudian hari dan dibandingkan dengan
pengorbanan yang telah dilakukan saat orang tersebut menolong. Adapun
dijelaskan oleh Glasman bahwa manfaat yang diterima setelah menolong
lebih besar manfaat yang dirasakan dibandingkan dengan pengorbanan yang
dilakukan untuk menolong orang lain yang sedang dalam kesusahan
tersebut.
Greaves & Pummer (2019) sebelumnya juga menjelaskan mengenai
definisi altruisme secara efektif melalui proses demokrasi yang dilakukan
oleh tujuh belas orang yang terlibat pada suatu organisasi dan definisi
tersebut dikemukakan pada 3 Desember 2011 ke dalam beberapa
pengertian seperti, altruisme merupakan usaha yang dilakukan sebanyak
mungkin untuk kebaikan dengan setiap dollar dan setiap jam yang kita miliki.
Selain itu, altruisme juga dijelaskan bahwa sesuatu terbaik dalam diri kita
untuk dapat diterima dan menjalani kehidupan etis dan bertujuan untuk
membuat dunia menjadi lebih baik serta menjalani kehidupan dengan
melakukan segala sesuatu terbaik yang kita bisa.
Greaves & Pummer (2019) dalam bukunya yang berjudul Effective
Altruisme juga menjelaskan bahwa altruisme merupakan sebuah penelitian
dengan menggunakan bukti dan alasan hati untuk mencari tahu bagaimana
orang lain dapat membantu sebanyak mungkin. Selain itu, hampir senada
29
dengan pernyataan sebelumnya bahwa altruisme juga merupakan suatu
gerakan sosial yang menggunakan bukti dan alasan yang kuat untuk
seseorang dapat menemukan cara yang paling efektif dalam menawarkan
bantuan sebanyak mungkin kepada orang lain. Berdasarkan hasil demokrasi
yang dilakukan oleh tujuh belas orang dan menghasilkan definisi altruisme
yang telah terpapar meskipun tidak ada definisi yang pas untuk
menggambarkan altruisme itu sendiri, maka dapat diketahui bahwa altruisme
sendiri mengarah pada “perbuatan baik” dan “membantu orang lain”.
3. Aspek Altruisme
Rushton, Chrisjohn & Fekken (1981) menjelaskan bahwa terdapat
beberapa aspek altruisme dapat dianalisis melalui perilaku yang tampak dan
dirasakan melalui panca indra, yakni:
a. Situasional
Rushton, Chrisjohn & Fekken (1981) mengungkapkan bahwa aspek
situasional merupakan suatu keadaan yang memengaruhi seseorang
dalam menerapkan perilaku altruisme. Seseorang akan lebih suka
menolong orang lain yang disukai atau memiliki kesamaan dengan
dirinya dan membutuhkan pertolongan. Selain itu, aspek situasional
menekankan pada kemampuan penolong dalam menolong orang lain.
Sehingga, individu akan merasakan bahwa keberadaannya dalam suatu
kondisi mendorong rasa tanggung jawab yang ada dalam dirinya untuk
menolong orang lain. Artinya bahwa, aspek situasional ini erat kaitannya
30
dengan jumlah pengamat atau kondisi orang lain yang memunculkan
perasaan individu untuk menolong orang lain tanpa pamrih.
Lacey (dalam Widyarini, 2009) menjelaskan bahwa aspek situasional
menjadi salah satu hal yang dapat menjadi hal yang memicu individu
dalam mengatasi permasalahan yang dialami oleh orang lain. Selain itu,
aspek situasional mendorong seseorang untuk tidak selalu berfokus pada
pikiran dan perasaan diri sendiri melainkan juga berfokus pada orang
lain. Aspek situasional berfokus yang pada orang lain bukan berarti harus
menyetujui pendapat atau keyakinan orang lain, melainkan tujuan adanya
aspek situasional ini untuk memahami kondisi yang dialami oleh orang
lain. Individu akan memberikan perhatian utuh serta mendengar pihak
secara efektif. Membangun pola pikir dan rasa tanggung jawab terhadap
apa yang dialami orang lain dapat memberikan potensi yang jauh lebih
luhur dalam menolong orang lain, karena aspek situasional
menyebabkan individu dapat melihat penderitaan yang dialami oleh
orang lain, (Widyarini, 2009).
Batson (2013) mengemukakan bahwa apabila seseorang mampu
peka terhadap situasi dan kondisi yang dialami orang lain maka individu
akan cenderung tinggi untuk mengarahkan individu dapat melakukan
perilaku altruisme, bahkan untuk situasi yang sulit. Kepedulian
seseorang muncul ketika seseorang menyadari dan melihat bahwa orang
lain membutuhkan bantuan atau pertolongan, sehingga seseorang akan
31
terdorong untuk melakukan sesuatu dalam menolong orang lain yang
terkena musibah.
Adapun indikator keberlakuan dalam hal ini situasional yang dapat
diketahui adalah sebagai berikut:
1) Kemampuan individu dalam melihat kondisi dan penderitaan orang
lain merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang terhadap orang
lain yang menyebabkan munculnya rasa tanggung jawab terhadap
apa yang dialami seseorang ketika menghadapi suatu peristiwa.
2) Situasional akan memunculkan perasaan mengenai sejauh apa peran
individu dalam membantu orang lain. Keberadaan individu dalam
melihat suatu kondisi dan situasi yang menjadi pada orang lain.
Secara tidak langsung, semakin keterlibatan individu dalam menolong
orang lain disebabkan karena individu mampu memahami peranan
yang mendorong dirinya untuk menolong orang lain. Selain itu,
individu yang mampu menganalisis situasi akan mempertimbangkan
konsekuensi maupun risiko terhadap situasi yang dialami orang lain.
b. Bukan Berdasarkan Kepentingan Pribadi
Seseorang dapat dikatakan memiliki altruisme atau perilaku
menolong tanpa pamrih yang baik apabila memenuhi aspek bahwa apa
yang telah dilakukan terhadap orang lain tidak berdasarkan kepentingan
pribadi. Untuk dapat mengetahui suatu hal dapat dikatakan altruis atau
tidak maka harus disertai dengan suatu tindakan yang nyata. Adapun
tindakan yang diberikan kepada orang lain tersebut tidak berdasarkan
32
kepentingan orang lain dan tidak mengambil keuntungan atas kondisi
yang dialami orang lain, (Robert, 2013).
Perilaku altruisme yang membuat seseorang mampu menolong
tanpa pamrih dan menolong tanpa mempedulikan ganjaran yang akan
diperoleh menjadikan dasar setiap perilaku orang altruis untuk tidak
melakukan tindakan menolong orang lain karena adanya reward atau
ganjaran yang diperoleh. Melainkan individu menolong karena adanya
keinginan yang dilakukan sendiri tanpa paksaan dari orang lain dan tidak
didasari pada kepentingan pribadi yang ingin dipenuhi melalui
penderitaan yang dialami oleh orang lain.
Adapun indikator keberlakuan dari altruisme yang bukan
berdasarkan kepentingan pribadi yakni:
1) Tidak memanfaatkan kondisi yang dialami oleh orang lain. Artinya
bahwa hal-hal yang dilakukan terhadap orang lain tidak ada maksud
terselubung. Seseorang menolong orang lain karena keinginannya
yang memang hendak menolong bukan karena ada maksud lain
untuk memanfaatkan apa yang dialami orang lain untuk kepentingan
diri sendiri.
2) Tidak meraup keuntungan atas apa yang diberikan terhadap orang
lain. Maksudnya ialah seseorang menampilkan perilaku menolong
orang lain tidak memiliki maksud untuk mendapatkan keuntungan
yang lebih atas penderitaan yang dialami orang lain.
33
c. Sukarela
Sukarela ialah suatu tindakan yang dilakukan oleh individu terhadap
orang lain tanpa mengharapkan imbalan atas apa yang dilakukan
tersebut. Misalkan, orang yang memberikan makan kepada orang yang
sedang kelaparan tanpa mengenal orang tersebut dengan maksud
tindakan yang dilakukan untuk mensejahterakan orang lain. Huizinga
(dalam Soetjiningsih, 2012) menjelaskan bahwa perilaku yang dilakukan
secara sukarela sesuai dengan tujuan yang ada dalam dirinya dapat
memberikan perasaan tegang dan senang dalam setiap upaya untuk
membantu orang lain.
Fischer (dalam Ahmad, 2019) mendeskripsikan bahwa upaya
sukarela yang dilakukan oleh seseorang dapat menjadi proses seseorang
dalam mencari pengetahuan secara terus menerus melalui upaya
menolong yang didorong oleh motivasi dalam diri seseorang. Kegiatan
sukarela yang dilakukan oleh seseorang dapat dilakukan melalui hal kecil
hingga kegiatan sukarela yang tergabung dalam beberapa komunitas
atau kelompok untuk mengembangkan kegiatan sukarela. Upaya ini
dapat menjadikan seseorang melakukan hal sederhana dalam
membentuk tatanan lingkungan sosial yang lebih baik. Adapun indikator
keberlakuan aspek sukarela dapat diketahui melalui hal berikut:
1) Tidak mengharapkan imbalan
Tidak member imbalan mengartikan bahwa apa yang dilakukan
seseorang terhadap orang lain tidak ada kepentingan pribadi yang
34
sifatnya hanya menguntungkan diri sendiri. Seperti dengan tidak
membantu orang lain karena ingin mendapatkan pujian dari sekitar.
Tidak mengharapkan imbalan merupakan suatu hal yang terdapat
dalam upaya melakukan kegiatan yang bersifat sukarela.
Kepentingan orang lain. Individu memberikan bantuan kepada orang
lain berdasarkan keinginan sendiri tanpa ada paksaan apalagi
memanfaatkan keadaan orang lain.
2) Rela berkorban demi orang lain
Rela berkorban maksudnya ialah individu menerapkan nilai-nilai
dalam dirinya untuk membantu orang lain. Individu membantu
berdasarkan nilai kebaikan dalam dirinya dengan mengesampingkan
hal apa yang telah dikorbankan tersebut untuk membantu orang lain.
Seseorang membantu orang lain dikarenakan keinginan diri sendiri
yang biasanya cenderung mengorbankan apa yang dimilikinya.
d. Keinginan Memberi
Perilaku ini sifatnya menguntungkan orang lain yang hendak
diberikan pertolongan. Dimana aspek untuk ingin memberi kepada orang
lain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan orang lain.
Misalnya, seseorang memberikan barang yang dimilikinya kepada orang
lain dengan menganggap bahwa orang lain lebih membutuhkan atau
menginginkan hal tersebut. Selain dari keinginan memberi maka dapat
diterapkan pula keinginan untuk memberikan upaya memberikan waktu
35
dan tenaga. Untuk melihat lebih jauh aspek keinginan memberi maka
dapat dilihat melalui indikator keberlakuan diantaranya:
1) Memberikan bantuan kepada orang lain
Memberikan bantuan kepada orang lain yang dimaksudkan ialah
individu mendedikasikan kemampuan yang dimilikinya untuk dapat
mensejahterakan orang lain disekitarnya. Memberikan bantuan
kepada orang lain ini erat kaitannya terhadap kemampuan yang
dimiliki seseorang dalam membantu orang lain. Seseorang yang
merasa memiliki kemampuan dalam upaya membantu orang lain ini
dapat membentuk perilaku menolong seseorang demi terciptanya
lingkungan yang harmonis.
2) Memberikan bantuan berupa waktu atau materi
Dijelaskan bahwa seseorang yang bertindak berdasarkan
kemauan diri sendiri untuk menolong orang lain juga dapat
diaplikasikan dengan memberikan waktu yang dimiliki untuk dapat
memperhatikan dan menolong orang yang membutuhkan bantuan
serta memberikan bantuan berupa materil jika memang hal tersebut
dianggap perlu dan penting dilakukan tanpa mengharapkan imbalan
atas waktu dan materil yang dikorbankan.
Memberikan bantuan kepada orang lain dalam bentuk materi,
waktu dan tenaga untuk membantu orang lain juga diterapkan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Asmarany, A.A., & Laila, K.N (2015)
yang meneliti tentang altruisme relawan perempuan yang mengajar
36
anak berkebutuhan khusus dengan ikhlas dan meluangkan waktu dan
mengerahkan segala upaya dalam membantu anak-anak yang
berkebutuhan khusus. Penelitian tersebut membuktikan adanya
seseorang yang tetap ingin meluangkan waktu dan memberikan
tenaga dan materi yang dimilikinya.
4. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Altruisme
Myers (2012) menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang
memengaruhi altruisme yakni faktor internal, faktor situasional dan faktor
personal.
a. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor-faktor yang berasal dari dalam diri
individu seperti imbalan yang diterima dan perasaan empati.
1) Imbalan
Imbalan atau (reward) dijadikan salah satu faktor seseorang
untuk bisa menolong orang lain, dimana kecenderungan seseorang
menolong sesuatu yang menarik bagi dirinya sendiri. Krebs (dalam,
Myers 2012) menjelaskan bahwa Imbalan sendiri terbagi menjadi
dua,yakni imbalan yang bersifat eksternal dan yang bersifat internal.
Imbalan yang bersifat eksternal yaitu seseorang memberikan bantuan
untuk mendapatkan sesuatu baik berupa barang maupun uang.
Sedangkan imbalan yang bersifat internal yaitu ketika seseorang
memberikan pertolongan kepada orang lain maka seseorang akan
37
merasakan bahwa dirinya berharga atau merasa berarti karena
mampu melakukan kebaikan untuk orang lain.
Dapat disimpulkan bahwa faktor internal yang meliputi imbalan
ialah pertolongan yang diberikan kepada orang lain akan mendapat
timbal balik baik yang bersifat internal seperti merasa puas dan
merasa berharga serta timbal balik pertolongan yang diberikan yang
bersifat eksternal yaitu seperti adanya pujian yang diberikan dari
orang lain atau mendapatkan timbal balik berupa barang.
2) Empati
Empati merupakan suatu pengalaman atau perasaan yang
dialami seseorang seolah orang tersebut berada di kondisi orang lain
yang membutuhkan pertolongan. Faktor internal yang ada dalam diri
individu melibatkan perasaan empati, dapat dijelaskan lebih lanjut
bahwa empati merupakan kemampuan seseorang untuk mampu
merasakan apa yang dialami oleh orang lain.
Smither (dalam Soetjiningsih, 2012) menjelaskan bahwa seseorang
menolong orang lain dikarenakan adanya dorongan perasaan empati
dimana seseorang cenderung untuk memahami kondisi dan keadaan
yang dialami oleh orang lain. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Royani, P.R., & Suhana (2008) mengenai Hubungan Antara
Empati Dan Perilaku Altruisme Pada Relawan Peduli Anak Panti
Asuhan Di Komunitas Beruang Matahari Di Bandung menemukan
38
korelasi positif dimana semakin tinggi empati yang dimiliki seseorang
maka semakin tinggi pula perilaku altruisme, begitupun sebaliknya.
Piaget dan Kohlberg (dalam Gunarsah, S., & Gunarsah, Y. S.
2008) menegaskan bahwa empati sebagai unsur utama dalam
perkembangan moral seseorang. Empati merupakan kemampuan
seseorang untuk turut dapat merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain. Gunarsah, S., dan Gunarsah, Y. S (2008) juga
menjelaskan bahwa empati banyak dipengaruhi oleh derajat
kematangan seseorang yang mengartikan bahwa usia tidak menjamin
kematangan seseorang. Bisa saja, seseorang yang usianya lebih
muda mempunyai kematangan yang lebih tinggi daripada orang yang
usianya lebih tua, sehingga mungkin saja seseorang yang lebih muda
lebih mampu berempati dari orang yang lebih tua. Empati juga
memengaruhi daya nalar seseorang, semakin mampu seseorang
untuk berempati, maka makin mampu pula seseorang menalar situasi
yang berkaitan dengan perilaku moral.
b. Faktor situasional
1) Jumlah pengamat
Jumlah pengamat Laten dan Darley (dalam Myers, 2012) jelaskan
bahwa semakin banyak orang yang terlibat melihat suatu peristiwa
yang membutuhkan pertolongan maka kecenderungan rasa tanggung
jawab untuk mengambil tindakan juga akan lebih kecil. Artinya bahwa,
ketika seseorang diperhadapkan pada situasi yang membuat orang
39
lain membutuhkan pertolongannya maka tanggung jawab akan hal
untuk membantu orang tersebut akan semakin besar apabila yang
melihat situasi tersebut hanya sedikit, semakin banyak seseorang
yang berada pada kondisi untuk menolong maka semakin banyak
pula yang akan ikut membantu dan semakin minim tanggung jawab
akan hal tersebut.
2) Membantu ketika orang lain juga membantu
Penjelasan tersebut artinya bahwa salah seseorang cenderung
akan memberikan bantuan apabila telah mendapat pengalaman atau
melakukan observasi dimana orang tersebut juga melihat orang lain
memberikan pertolongan.
3) Tekanan waktu
Tekanan waktu dimaksudkan ialah orang yang menolong
setidaknya mempunyai waktu yang luang untuk benar-benar
memberikan pertolongan dan tidak sedang dalam keadaan terburu-
buru. Artinya bahwa seseorang bersedia untuk saling membantu satu
sama lain, seseorang harus mengorbankan waktu untuk bersedia
membantu ketika melihat orang lain mengalami musibah.
4) Adanya kesamaan
Myers menjelaskan bahwa orang akan cenderung menolong
orang yang memiliki kesamaan atau mirip dengan kita baik dipandang
dari dalam maupun luar diri individu. Seseorang akan cenderung
saling membantu satu sama lain terlebih memiliki adanya kesamaan
40
seperti persamaan gender seseorang membantu dikarenakan adanya
persamaan gender misalkan seseorang saling membantu karena
merasa sama-sama perempuan atau sama-sama laki-laki. Selain itu,
nilai-nilai agama yang dianut menjadikan faktor seseorang melakukan
perilaku altruisme, begitupun budaya, suku, status sosial dan lainnya.
c. Faktor Personal
1) Kepribadian
Myers (2012) menjelaskan bahwa kepribadian berpengaruh
sebagai faktor yang mendukung seseorang dalam melakukan
perilaku tolong menolong. Kepribadian mampu membuat seseorang
bereaksi pada saat-saat tertentu.
2) Jenis kelamin
Myers (2012) menjelaskan bahwa pada situasi yang menimbulkan
bahaya pria lebih sering menawarkan bantuan. Sedangkan pada
situasi yang lebih aman, wanita cenderung memberikan bantuan.
3) Religiusitas
Beberapa agama yang ada di dunia mengajarkan tentang kasih
sayang dan menjadikan altruisme sebagai sesuatu yang lebih utama.
Sears, Freedman, & Peplau (1994) juga menjelaskan bahwa
altruisme dipengaruhi oleh enam faktor yakni empati, faktor personal
dan situasional artinya bahwa orang lebih suka menolong untuk hal
yang disukainya dan memiliki kesamaan dengan dirinya, nilai-nilai
moral meliputi agama dan penghayatan pada nilai-nilai kehidupan,
41
tanggung jawab sosial norma yakni seseorang memiliki tanggung
jawab terhadap orang lain tanpa memperdulikan timbal balik dari hal
tersebut, suasana hati maksudnya orang lebih terdorong untuk
memberikan bantuan jika mereka berada dalam suasana hati yang
lebih baik dan norma timbal balik dimana orang yang telah menolong
kita maka kita harus membalas pertolongannya bukan dengan
kejahatan.
5. Dampak Altruisme
a. Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis
Dayakinsi, Tri, & Hudaniah (2009) menjelaskan bahwa menolong
orang lain dapat meningkatkan well being atau kesejahteraan psikologis
seseorang. Selain itu, altruisme juga dapat meningkatkan harga diri
menjadi lebih tinggi, kompetensi yang tinggi, locus of control, rendah
dalam meminta persetujuan. Hal tersebut disebabkan karena seorang
yang altruis akan melihat keadaan dan mengulurkan bantuan langsung
jika individu menganggap itu perlu. Selain itu, seorang yang altruis akan
berdampak pada proses perkembangan moral yang cenderung lebih
tinggi sehingga orang yang altruis memiliki kemampuan untuk melakukan
kegiatan prososial daripada orang yang tidak memiliki sifat altruisme.
b. Meningkatkan Perasaan Bersalah
Dampak lain yang dirasakan dari altruisme itu sendiri yakni merasa
bersalah apabila tidak mampu menolong orang lain sehingga untuk itu
individu akan cenderung melupakan kesejahteraan dirinya dan
42
mengutamakan kesejahteraan orang lain. Selain itu pula apabila orang
terlalu altruis maka dapat meningkatkan konsekuensi negatif berupa luka,
kerugian materi, materil dan lain halnya karena orang lain, (Arifin B. S.,
2015).
c. Memiliki Tanggung Jawab Sosial
Perilaku altruisme merupakan suatu bentuk tanggung jawab sosial
yang dimiliki seseorang terhadap lingkungannya. Hal ini berdampak
bahwa perilaku yang ditampakkan merupakan hasil dari adanya upaya
timbal balik yang dirasakan yang cenderung seseorang akan menolong
orang yang pernah menolong dirinya sebelumnya. Sehingga, melalui
proses seperti ini maka norma dan tanggung jawab sosial dapat
dirasakan manfaatnya melalui perilaku prososial yang lebih khusus
mengarah pada perilaku altruistik yang membawa kebaikan dan
keuntungan dimasa mendatang.
d. Mengembangkan Proses Kognitif Seseorang
Perilaku altruisme sendiri juga berdampak pada proses kognitif
seseorang dimana hal tersebut dapat meliputi persepsi terhadap sesuatu,
penalaran terhadap suatu peristiwa, pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan dalam bertindak. Melalui perilaku altruisme,
sebelumnya apabila orang melihat suatu peristiwa darurat tentunya
diperlukan informasi yang harus diproses dengan cepat sebelum
memutuskan apakah seseorang perlu melakukan pertolongan atau tidak.
Setelah itu, individu akan mempertimbangkan besarnya tanggung jawab
43
sebelum bertindak dengan mengevaluasi imbalan dan biaya yang
diterima setelah menolong.
Berdasarkan hal diatas, dapat diketahui bahwa perilaku altruisme
sangat berdampak terhadap proses kognitif yang dialami seseorang.
Artinya bahwa sebelum menolong, banyak hal-hal atau proses yang
dilalui individu sebelum bertindak yang menyebabkan adanya proses
perkembangan kognisi sosial yang terjadi ketika orang melakukan
tindakan altruistik. Perkembangan proses kognisi seseorang ini berfokus
pada bagaimana orang dapat memahami kebutuhan orang lain sehingga
dapat bertindak untuk dapat membantu hal tersebut.
e. Mengurangi Perasaan Negatif
Dampak lain yang dapat dirasakan dari perilaku altruisme adalah
mampu mengurangi perasaan negatif dimana seseorang selalu berusaha
untuk mendapatkan perasaan positif. Sehingga apabila individu melihat
orang lain menderita atau membutuhkan pertolongan maka akan
memunculkan perasaan tidak nyaman bagi orang yang melihatnya
sehingga untuk mengurangi hal tersebut maka seseorang akan
cenderung menolong untuk mengurangi perasaan negatif akibat melihat
penderitaan orang lain.
f. Memupuk Proses Afektif
Perilaku altruismedapat memupuk proses afektif seseorang, dimana
proses afektif sendiri memiliki komponen yaitu dapat merasakan apa
yang orang lain rasakan. Sehingga, pada saat seseorang melihat
44
penderitaan orang lain maka hal tersebut dapat memunculkan proses
afektif dalam diri seseorang yang memunculkan perasaan empati
sehingga orang tersebut dapat menolong orang lain. Selain itu, proses
afektif yang dialami tersebut dapat menjadi motivasi seseorang dalam
melakukan perilaku altruistik yang memunculkan rasa puas tersendiri
ketika dapat menolong orang lain.
6. Pengukuran Altruisme
a. Skala Adhim
Pengukuran altruisme dapat dilakukan dengan berbagai jenis skala
yang dapat digunakan. Rain (2005) dalam penelitiannya mengenai
hubungan kecerdasan ruhaniah dengan altruisme mahasiswa
menggunakan skala yang dikembangkan oleh Adhim dan mengacu pada
skala Primaston yang disusun berdasarkan teori Cohen yang mengukur
aspek keinginan memberi, empati dan sukarela dimana skala ini
terdistribusi dalam 40 item yang terdiri dari 24 item favorable dan 26 item
unfavorable dengan reliabilitas item 0.658 menggunakan skala Likert.
b. Skala Altruisme Eisenberg dan Mussen
Pengukuran altruisme juga dapat dilakukan dengan menggunakan
skala kecenderungan perilaku altruisme yang disusun berdasarkan
komponen perilaku altruisme berdasarkan Eisenberg dan Mussen (2003)
yang diuji cobakan pada penelitian yang berjudul hubungan antara
nurturance dengan kecenderungan perilaku altruis pada calon pendeta di
45
Yogyakarta, dimana hasil uji coba tersebut memiliki nilai koefisien Alpha
Cronbach sebesar 0.890 dengan total item sebanyak 40 butir item.
c. Self Report Altruisme
Pengukuran altruisme yang dikenal dengan Self Report Altruisme
Scale (SRA Scale) merupakan skala yang disusun oleh Rushton pada
tahun 1981. Skala ini mengukur tentang bagaimana seseorang
berperilaku secara sukarela, memberi dan merasakan penderitaan orang
lain. Pada skala altruisme menggunakan Self-Report Altruisme (SRA
Scale) didapatkan jumlah pernyataan sebanyak 20 item. Skala Self-
Report Altruisme ini memiliki validitas dengan menghubungkan korelasi
antara skala SRA dan altruisme dengan r (86)=0,35 (P < 0,001) dan r
(86) = 0,21 (P < 0,05). Sedangkan hasil reliabilitas interrater signifikan
dari r (78)= +0,51. Selain itu ditemukan konsistensi internal yang sangat
tinggi yakni ~=0,89, N=416.
d. Skala Altruisme Myers
Skala Myers merupakan skala yang disusun berdasarkan aspek
sukarela, keinginan memberi dan kemampuan merasakan yang dialami
orang lain. Skala ini disusun pada tahun 1998. Skala ini terdiri dari 30
item yang telah diuji cobakan dalam penelitian Rosyadi (2017) dalam
penelitiannya yang berjudul “Empati dengan Perilaku Altruisme
Mahasiswa” sehingga mendapatkan nilai koefisien Alpha Cronbach
sebesar 0.921. Skala Myers (1998) ini menggunakan alternatif pilihan
46
jawaban skala Likert yakni sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju dan
sangat tidak setuju.
B. Tipe Kepribadian Big Five Personality
1. Definisi Kepribadian
Kepribadian dijelaskan bahwa berasal dari bahasa Inggris yakni
“Personality” yang diambil dari bahasa Latin “Persona” yang memiliki arti
topeng. Seiring berjalannya waktu, kata tersebut berubah menjadi sebuah
istilah untuk menggambarkan sosial atau peran tertentu dalam diri individu.
Kata kepribadian sendiri sering dikaitkan dengan hal atau ciri-ciri tertentu yang
dimiliki oleh seorang individu yang menjadi ciri khas individu tersebut dalam
menjalani kehidupan sehari-harinya, (Sunaryo, 2002).
Kepribadian memiliki banyak arti yang disebabkan oleh berbeda sudut
pandang yang dikemukakan oleh para ahli yang dilihat berdasarkan cara
pengukuran maupun teori yang dikemukakan. Meskipun demikian, sampai
saat ini para ahli belum mencapai kesepakatan mengenai definisi kepribadian
yang mutlak. Allport sendiri telah menemukan terdapat hampir 50 definisi
kepribadian yang digolongkan ke dalam beberapa kategori. Namun,
berdasarkan temuan tersebut, beberapa diantaranya dapat dikemukakan
berdasarkan para ahli yang berbeda dari tahun ke tahun, (Sunaryo, 2002).
Berdasarkan definisi yang diungkapkan oleh Koswara dalam Sunaryo
(2002) bahwa kepribadian merupakan sesuatu mengenai bagaimana individu
menampilkan dan menampakkan kesan kepada individu lain. Sedangkan
47
Allport sendiri menjelaskan bahwa kepribadian merupakan suatu organisasi
yang dinamis didalam individu yang menentukan penyesuaian dirinya
terhadap lingkungannya. Senada dengan Allport (1937), Maramis juga
menjelaskan bahwa kepribadian merupakan keseluruhan pola pikiran,
perasaan, dan perilaku yang sering ditampilkan oleh seseorang untuk dapat
beradaptasi secara terus menerus terhadap hidup individu.
Para ahli lain juga menjelaskan mengenai pengertian kepribadian, salah
satunya yakni penggagas psikoanalisis, Freud (1991) mengemukakan bahwa
kepribadian merupakan suatu struktur yang meliputi tiga sistem yakni id
adalah aspek biologis yang berkaitan dengan jasmani seseorang, ego
merupakan aspek psikologis kepribadian yang timbul karena adanya
kebutuhan individu untuk dapat berhubungan dengan dunia nyata atau
realitasnya dan superego yakni aspek sosiologis dan moral kepribadian
seseorang karena mengejar kesempurnaan bukan kesenangan dan
bercermin pada sesuatu yang ideal bukan yang nyata, (Sunaryo, 2002).
Carl Gustav Jung (dalam Sunaryo, 2002) menjelaskan bahwa
kepribadian atau psyche terdiri dari sejumlah sistem yang berbeda namun
saling berinteraksi satu sama lain. Sistem yang terpenting adalah ego,
ketidaksadaran pribadi dan kompleksnya, ketidaksadaran kolektif beserta
archetypus, pesona, bayang-bayang, anima dan animus. Di dalam psyche
atau jiwa terdapat sistem yang berinteraksi yang meliputi sikap, fungsi pikiran,
perasaan, pengindraan dan intuisi individu. Sedangkan Kurt Lewin (1890)
yang dikenal sebagai Bapak Psikologi Medan menjelaskan bahwa struktur
48
kepribadian terdiri dari pribadi yakni istilah yang digunakan untuk
menunjukkan sifat individu dalam bereaksi, lingkungan psikologis, diferensiasi
ruang hidup dan dimensi ruang hidup.
Berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli
maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian merupakan sistem yang
terorganisasi dalam diri individu yang cenderung stabil dan permanen yang
menjadikan individu tersebut memiliki tingkah laku, pikiran, dan perasaan
yang mampu membedakan individu yang satu dengan individu lainnya.
2. Dasar-Dasar Teori Kepribadian
Berbagai ahli telah mendefinisikan mengenai kepribadian, Namun
dalam bidang psikologi terdapat berbagai pendekatan yang digunakan untuk
menjelaskan kepribadian itu sendiri, diantaranya:
a. Paradigma Aliran Psikoanalisis
Aliran psikoanalisis pertama kali dipelopori oleh Sigmund Freud ia
mengembangkan psikoanalisis sebagai kerangka teoritis dan
metode untuk memahami dunia dalam jiwa manusia hingga jadi sebuah
teori psikologi umum yang menjadi kerangka pikir untuk menjelaskan
tingkah laku. Psikoanalisis Freud mengambil pandangan biologisme
dengan asumsi manusia sebagai makhluk yang digerakkan naluri-naluri
dasar. Naluri-naluri itu terkandung dalam id sebagai unsur asli psikis
manusia. Freud juga menjelaskan tiga dimensi yang mendasari struktur
jiwa seseorang diantaranya; Pertama, Id dimana inti dari suatu
kepribadian berada pada wilayah psikis yang disebut dengan Id yaitu
49
seseorang akan berusaha untuk mereduksi tegangan melalui hasrat-
hasrat dasar yang menyenangkan . Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan.
Struktur jiwa berdasarkan pandangan Freud kedua yaitu ego yakni
wilayah jiwa yang terhubung dengan realitas. Ego berkembang dari id
agar orang mampu menangani realita sehingga ego beroperasi mengikuti
prinsip realita (reality principle) usaha memperoleh kepuasan yang
dituntut id dengan mencegah terjadinya tegangan baru atau menunda
kenikmatan sampai ditemukan objek yang nyata dapat memuaskan
kebutuhan.
Struktur ketiga yaitu superego dimana ini merupakan kekuatan
moral dan etik dari kepribadian, yang beroperasi memakai prinsip
idealistik (idealistic principle) sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan
prinsip realistik dari ego. Superego berkembang dari ego, dan seperti
ego, ia tak punya sumber energinya sendiri. Akan tetapi, superego
berbeda dari ego dalam satu hal penting dimana superego tak punya
kontak dengan dunia luar sehingga tuntutan superego akan
kesempurnaan pun menjadi tidak realistis. Prinsip idealistik mempunyai
dua sub prinsip yakni suara hati (conscience) dan ego ideal.
Aliran psikoanalisis Freud juga menjelaskan mengenai tahap
perkembangan psikoseksual diantaranya tahap oral (0-1 tahun) Konflik
utama pada tahap ini adalah proses penyapihan yakni ketergantungan,
kelekatan dan memasukkan zat-zat menarik ke dalam mulut. Tahap anal
50
(1-3 tahun) Freud percaya bahwa kepribadian anak dapat berkembang
dengan baik apabila individu tersebut ketat, tertib, kaku dan obsesif.
Tahap falik (3-6tahun), pada masa ini terjadi perkembangan berbagai
aspek psikologis, terutama yang terkait dengan iklim kehidupan sosio
psikologis ,anak masih bersikap “selfish” sikap mementingkan diri sendiri,
belum berorientasi keluar, atau memperhatikan orang lain.
3. Tipe Kepribadian Big Five Personality
Berdasarkan yang dikemukakan oleh Parkinson (2004) bahwa terdapat
lebih dari 20.000 kata yang dapat mewakili sifat yang dimiliki seseorang.
Oleh karena itu, beberapa penelitian merancang beberapa konstruk yang
mengukur beberapa aspek kepribadian yakni 3 hingga 30 lebih aspek
kepribadian yang dimiliki. Namun berdasarkan beberapa hasil pengukuran
yang dibuat terdapat beberapa sifat yang dapat mewakili satu sama lain,
sehingga dalam hal ini dipusatkan beberapa tipe kepribadian menjadi lima
dimensi yang saat ini dikenal dengan tipe kepribadian The Big Five
Personality atau model lima faktor.
Awalnya, bidang psikologi banyak menjelaskan mengenai beberapa
kepribadian, salah satu yang dijelaskan ialah teori yang disebut dengan Big
Five Personality Personality yang diawali oleh penelitian yang dilakukan oleh
Norman pada tahun 1963 dengan berdasarkan riset yang dilakukan dan
dikemukakan oleh Allport, Cattel dan lainnya sehingga terbentuk konsep
Model Lima Faktor. Berdasarkan hal tersebut Lewis Goldberg dibantu
dengan Paul T Costa dan Robert R McCrae dengan sumbangsih
51
menambahkan trait Agreeableness dan Conscientiousness kemudian
mengembangkan ke dalam riset yang kemudian dikenal sebagai Big Five
Personality Personality yang sering disingkat dengan OCEAN (Openness To
Experience, Conscientiousness, Extraversion, Agreeableness, Neuroticism),
(Pervin, et.al, 2010).
Kepribadian manusia pada dasarnya cukup banyak. Namun,
kepribadian tersebut diklasifikasikan ke dalam beberapa dimensi kepribadian
yang kemudian dikembangkan oleh Goldberg (1981) menjadi The Big Five
Personality Personality Trait yang meliputi openness to experience,
conscientiousness, extraversion, agreeableness dan neuroticism.
Pembagian lima klasifikasi kepribadian yang berbeda tersebut didasarkan
pada cara seseorang dalam menanggapi situasi dan tugas yang meliputi
cara bersikap, cara berpikir, cara berkomunikasi, rasa percaya diri dan
bagaimana individu mengatur tindakannya atau dengan kata lain bagaimana
cara individu beradaptasi (Parkinson, 2004).
4. Tipologi Kepribadian Big Five Personality
Tipe kepribadian yang dikemukakan oleh Goldberg (1981) yakni The Big
Five Personality Personality Trait yang meliputi openness to experience,
conscientiousness, extraversion, agreeableness dan neuroticism memiliki
pengertian masing-masing yang dijelaskan sebagai berikut:
a. Openness to Experiences (Terbuka Terhadap Pengalaman Baru)
Individu yang memiliki karakteristik mampu terbuka dengan hal-hal
baru cenderung suka mencoba dan melakukan hal-hal baru. Selain itu,
52
individu ini juga memiliki imajinasi dan penuh dengan ide. Selain itu, pada
umumnya orang yang cenderung tinggi pada dimensi ini menjadikan
pengalaman yang dimiliki sebagai sesuatu yang mendalam dan luas
untuk mengeksplorasi hal baru sehingga orang yang memiliki
kecenderungan openness ini akan lebih kreatif dan mampu
menyenangkan orang lain serta lebih artistik.
Ivancevich, Konopaske & Matteson (2016) menjelaskan bahwa
openness to experiences merupakan dimensi yang merefleksikan sejauh
mana individu memiliki minat yang besar dan bersedia mengambil risiko
terhadap sesuatu hal. Sikap spesifik individu yang memiliki karakteristik
Openness to experiences mencakup rasa ingin tahu yang tinggi, memiliki
pemikiran yang terbuka, kreatif. Dalam bidang industri, individu yang
memiliki kecenderungan memiliki karakteristik openness to experiences
yang tinggi maka cenderung akan berhasil dalam pekerjaannya dimana
perubahan akan terjadi secara terus menerus dan menjadikan inovasi
bagian penting dalam bekerja.
Pervin, dkk (2010) menjelaskan bahwa openness to experiences
yaitu karakteristik sifat yang dapat diukur melalui perilaku individu dalam
hal mencari dan menghargai pengalaman baru yang didapatkan, akan
merasa senang apabila mampu mengetahui sesuatu yang tidak familiar.
Adapun individu dengan kecenderungan openness to experiences tinggi
maka akan cenderung memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, memiliki
ketertarikan dengan dunia luar, kreatif, original dan tidak ketinggalan
53
zaman. Sedangkan individu yang memiliki karakteristik openness to
experiences yang rendah maka cenderung hanya tertarik pada satu hal,
tidak memiliki jiwa seni dan kurang analitis.
b. Conscientiousness
Conscientiousness atau biasa juga disebut dengan lac of impulsivity.
Dimensi kepribadian ini menjelaskan perilaku yang cenderung
berorientasi pada tugas-tugas, tujuan dan kontrol secara sosial. Individu
yang memiliki kecenderungan pada kepribadian ini biasanya memiliki
sifat yang kompeten pada tugas dan pekerjaan yang dilakukan, patuh
terhadap peraturan dan kewajiban yang ada, penuh dengan perencanaan
yang terstruktur, dan memiliki sifat yang disiplin tinggi sehingga
menjadikan orang yang memiliki kepribadian ini cenderung berhati-hati
dalam melakukan sesuatu dan mengambil keputusan. Namun dapat
diandalkan dan bertanggung jawab terhadap tugas yang dihadapinya.
Conscientiousness ditunjukkan oleh individu yang memiliki gambaran
perilaku yakni seseorang yang dapat diandalkan, terorganisir,
menyeluruh dan bertanggung jawab. Selain itu conscientiousness juga
melihat bagaimana tingkat keteraturan seseorang, ketahanan dan melihat
bagaimana motivasi seseorang dalam mencapai suatu tujuan.
Sedangkan berlawanan dengan hal tersebut, maka kecenderungan
perilaku yang ditampilkan ialah menjadi lemah dan malas.
Individu yang memiliki conscientiousness yang tinggi juga akan
cenderung bekerja keras, tekun, dan senang apabila telah
54
menyelesaikan berbagai hal. Selain itu, karakteristik dengan skor tinggi
pada conscientiousness akan menunjukkan sifat yang pekerja keras,
tepat waktu, rapi dan ambisius. Sedangkan individu yang memiliki
karakteristik rendah pada dimensi ini akan menampilkan perilaku yang
seolah tidak memiliki tujuan, tidak dapat dipercaya, malas, kurang
perhatian, sembrono dan suka bersenang-senang.
c. Extraversion
Ekstraversi merupakan karakteristik yang dimiliki seseorang yang
ditandai dengan sifat yang ramah dengan orang lain, rasa ingin tahu
yang tinggi dan mampu mengungkapkan sesuatu dengan baik (asertif).
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa orang yang memiliki
sikap ekstrovert cenderung suka bergaul dengan orang lain dan mampu
memberikan perhatian kepada orang lain. Adapun kebalikan dari orang
yang ekstrovert biasanya disebut dengan introvert, dimana orang yang
memiliki karakteristik tersebut cenderung mawas diri dan lebih menyukai
mengerjakan pekerjaan sendiri sehingga orang yang memiliki
karakteristik seperti ini dapat bekerja dengan tenang tanpa banyak
berbicara.
Pada umumnya tipe kepribadian ini lebih dikenal dengan ekstrovert
dan introvert. Dimana extraversion sendiri mengarahkan pada
kecenderungan berperilaku hangat, ramah dan aktif dalam kelompok.
Sedangkan introvert sendiri merupakan perilaku yang cenderung penakut
55
dan suka menyendiri. Dengan kata lain, introvert merupakan kebalikan
dari perilaku ekstrovert dalam tipologi kepribadian extraversion.
Extraversion merupakan suatu karakteristik yang mengukur
mengenai sejauh mana kuantitas dan intensitas individu dalam
melakukan interaksi intrapersonal dengan orang lain. Selain itu,
extraversion juga melihat kepribadian individu melalui level aktivitas yang
dilakukan sehari-hari, kebutuhan stimuli individu, dan melihat bagaimana
kapasitas kesenangan individu tersebut. adapun individu yang
karakteristik tinggi pada dimensi extraversion maka cenderung mudah
bergaul, aktif, optimis, menyenangkan dan bersahabat.
Individu yang memiliki karakteristik extraversion yang cenderung
rendah maka akan mengalami atau menampilkan sebuah perilaku yang
tidak ramah, murung, menyukai kesendirian, pemalu dan biasanya orang
yang memiliki karakteristik rendah pada dimensi ini maka hanya akan
berorientasi pada tugas apabila bekerja atau mengerjakan sesuatu
utamanya individu yang bekerja di perusahaan.
d. Agreeableness
Individu yang memiliki kecenderungan agreeableness akan mudah
beradaptasi di lingkungan sosialnya. agreeableness sendiri merupakan
sifat yang dimiliki seseorang yang biasanya mengindikasikan individu
yang ramah, selalu mengalah dan cenderung lebih memilih untuk
menghindari konflik. Biasanya orang yang memiliki agreeableness yang
tinggi akan cenderung mudah memaafkan, suka membantu orang lain
56
dan penyayang. Adapun seseorang yang memiliki agreeableness yang
rendah maka akan cenderung lebih agresif dan tidak kooperatif dalam
mengerjakan suatu hal.
Agreeableness mencerminkan perilaku yang hormat, pemberi maaf,
toleran, percaya dan berhati lunak. Apabila agreeableness
diaktualisasikan dalam bidang pekerjaan maka individu yang memiliki
karakteristik ini digambarkan bahwa mudah setuju dengan orang lain.
Selain itu, agreeableness dijelaskan bahwa karakteristik ini melihat
kualitas orientasi personal seseorang yang dinilai dan dilihat berdasarkan
rasa kasihan individu terhadap orang lain sampai bagaimana individu
menunjukkan sikap permusuhan kepada orang lain baik melalui pikiran
maupun tindakan yang dilakukan.
Individu dengan karakteristik agreeableness yang tinggi maka akan
cenderung bersikap lemah lembut, suka menolong orang lain, dapat
menjadi orang yang dipercaya, mudah memaafkan dan berterus terang.
Sedangkan dalam bidang pekerjaan, individu yang memiliki
agreeableness tinggi maka efektif menjadi anggota tim untuk
mempertahankan hubungan interpersonal yang baik. Selain itu, individu
ini juga mudah mengembangkan dan mempertahankan prestasi yang
dimilikinya. Karakteristik agreeableness yang tinggi cocok dengan
pekerjaan atau profesi penjualan, audit, perawatan, pengajaran dan
sebagai pekerja sosial. Individu dengan karakteristik agreeableness yang
rendah dalam bidang pekerjaan maka akan cenderung digambarkan
57
sebagai pribadi yang kasar, dingin, tidak peduli dan simpati pada orang
lain dan antagonis. Selain itu, agreeableness rendah juga akan
menunjukkan perilaku yang sinis, kasar, tidak mau bekerja sama dan
manipulatif, (Pervin, dkk, 2010).
e. Neuroticism
Individu yang memiliki karakteristik neurotik tinggi maka akan
cenderung mudah merasa panik, takut, tersinggung, iri dan benci serta
peka terhadap kritik dan mudah merasa sedih. Pada dasarnya, emosi
negatif dalam tipologi kepribadian ini sering disebut dengan kestabilan
emosi yang dialami seseorang. Sisi negatif yang dialami individu juga
cenderung berperilaku kasar cemas dan mudah depresi. Namun, dalam
perspektif positif hal ini sering disebut dengan reaksi alami yang
ditampilkan seseorang atau biasa juga disebut dengan natural reactions.
Neuroticism juga dinilai mampu mengukur penyesuaian versus
kestabilan emosi yang meliputi kecenderungan individu untuk merasakan
distress psikologi akibat faktor dari luar maupun dalam diri individu.
Selain itu, individu ini juga memiliki ide-ide yang tidak realistis atau
cenderung memiliki keinginan yang berlebihan dan terkadang memiliki
coping stress yang kurang tepat. Adapun individu yang memiliki
karakteristik tinggi dalam neuroticism maka akan mengalami cemas,
emosional dan kurang mampu menyesuaikan diri dan kesedihan yang
tidak beralasan.
58
Individu dengan karakteristik neuroticism yang rendah maka akan
cenderung mudah untuk merasa tenang, santai, tidak emosional, tabah
dan puas terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, neuroticism dalam
karakteristik positif sering disebut stabilitas emosi karena individu mampu
tenang menghadapi masalah dan Ada pula yang menyebut bahwa
reaksi-reaksi yang ditampilkan individu dalam berperilaku merupakan
ekspresi natural atau reaksi alami.
5. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Kepribadian Big Five Personality
Misbach (2010) menjelaskan karakter atau atau tabiat seseorang
merupakan sebuah sistem mengenai keyakinan dan kebiasaan yang
mengarahkan tindakan seseorang. Akan tetapi perlu diketahui bersama
bahwa tipe kepribadian dipengaruhi oleh beberapa faktor yang biasanya
diklasifikasikan menjadi faktor bawaan dan faktor lingkungan
a. Faktor Bawaan (Nurture)
Gunarsa & Gunarsa (2008) menjelaskan bahwa faktor bawaan atau
biasa juga disebut dengan Nurture merupakan warisan biologis yang
dimiliki seseorang yang berasal dari garis keturunan dan DNA yang
diturunkan oleh keluarganya. Hal ini merupakan diluar dari lingkungan
yang mengendalikannya. Faktor bawaan ini juga memengaruhi
bagaimana terbentuknya kepribadian dalam diri seseorang. Kepribadian
manusia dipengaruhi oleh faktor genetis yang berkaitan dengan struktur
DNA yang sifatnya menurun, jadi setiap individu mewarisi DNA yang
diwariskan oleh orang tuanya. Meskipun demikian, karakteristik yang
59
muncul setiap individu tetaplah berbeda disebabkan karena cara kerja
struktur biologis individu memiliki kekhasannya masing-masing.
Apabila tercipta suatu individu baru maka terjadi penggabungan
antara kromosom dari pihak ayah dan ibu. Pada kromosom terdapat
banyak sekali faktor keturunan (gen) yang diturunkan, diperkirakan
terdapat kurang lebih 20.000 faktor gen yang turun kepada seseorang.
Faktor keturunan tersebut mengikuti hukum tertentu yang menampilkan
ciri khusus, baik terlihat dari segi fisik maupun dari karakter logisnya
(kepribadian).
b. Faktor Lingkungan (Nurture)
Beberapa faktor yang memengaruhi kepribadian seseorang ialah
salah satunya faktor lingkungan atau biasa juga disebut dengan nurture.
Faktor ini mewakili pengalaman yang diperoleh individu sepanjang
hidupnya sehingga dapat membentuk suatu kepribadian. Faktor biologis
tidak dapat dipisahkan dengan faktor lingkungkungan yang ikut menyertai
pembentukan perilaku.
Pembentukan kepribadian dijelaskan bahwa sebelum individu
dilahirkan, mereka mewarisi faktor-faktor yang disebut dengan genotip
yang diperkirakan jumlahnya mencapai 70 triliun. Oleh karena itu, tidak
ada manusia yang memiliki genotip yang sama. Genotip merupakan
sesuatu yang dimiliki individu sejak dari awal kelahiran yang akan
membentuk rangka dan menciptakan individu yang sekarang.
60
Dalam lingkungan tertentu, genotip akan menjadi sesuatu yang
terlihat dari luar oleh yang disebut fenotip. Artinya bahwa kemunculan
fenotip dari genotip bergantung pada lingkungan yang memengaruhinya.
Dengan demikian apa yang diperoleh individu ketika terjadi konsepsi dari
stimulus yang terjadi di lingkungan merupakan suatu kerangka yang
memberikan kemungkinan atau potensi yang bisa berkembang menjadi
ciri kepribadian. Hal tersebut bergantung pada lingkungan dimana
individu berkembang, (Gunarsah & Gunarsah, 2008).
6. Pengukuran Big Five Personality Personality
Perkembangan alat ukur Big Five Personality personality di Indonesia
masih sedikit. Hanya terdapat beberapa alat ukur kepribadian yang dapat
digunakan. Meskipun terlihat banyak aspek yang diprediksi dapat
menggambarkan tipe kepribadian Big Five Personality Factor. Namun
perkembangan alat ukurnya masih sedikit. Goldberg (1999) mengatakan
bahwa progres pengembangan inventori kepribadian sangat lambat, hal
tersebut disebabkan karena instrumen yang berkembang merupakan hak
milik. seperti NEO PI-R (Neuroticism, Extraversion, Openness, personality
Inventory-Revised) dan CPI (California Psychological Inventory) kurang
dikembangkan karena membutuhkan izin dan biaya dalam penggunaan
kuesionernya.
61
a. NEO PI-R (Neuroticism, Extraversion, Openness, Personality Inventory-
Revised)
Alat ukur kepribadian Big Five Personality yang digunakan untuk Big
Five Personality biasanya menggunakan NEO PI-R (Neuroticism,
Extraversion, Openees, Personality Inventory-Revised) yang
dikonstruksikan pada tahun 1992 oleh Costa dan McCrae yang terdiri dari
240 item pernyataan pendek berupa self-report dengan rentan korelasi
0,70-0,82 dan diterapkan pada orang dewasa. Kemudian pada tahun
1996 Goldberg mengusulkan untuk melakukan kolaborasi internasional
untuk mengembangkan inventori kepribadian yang mudah dan tersedia
dengan luas. Item-item pengukuran tersebut kemudian dikembangkan
dan disajikan pada website internet yang dikenal dengan International
Personality Item Pool (IPIP) dengan berbagai pilihan bahasa yang ada.
Alat ukur NEO-PI-R menggunakan skala Likert dalam 5 alternatif
jawaban yakni dari sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju dan sangat
tidak setuju. Pada penelitian yang dilakukan oleh Wicaksana, S (2019)
yang melakukan uji coba pada sampel sebanyak 520 orang dengan latar
belakang pekerjaan yang berbeda menggunakan skala NEO-PI-R
mendapatkan hasil bahwa, untuk koefisien reliabilitas Neuroticism
sebesar 0,83, dimensi extraversion sebesar 0,81, dimensi Openness to
experience sebesar 0,58, dimensi agreeableness sebesar 0,62, dan
dimensi conscientiousness. Sedangkan pada uji validitas item dari 240
62
keseluruhan item yang ada terdapat 84 item yang gugur dikarenakan nilai
total skor kurang dari 0,2 dan terdapat 156 item yang valid.
b. Personality Item Pool (IPIP)
Pengukuran mengenai lima model kepribadian dengan
mengadaptasi alat ukur International Personality Item Pool (IPIP) yang
dirancang oleh Lewis R. Goldberg. Pada pengukuran ini terdapat 50 item
yang terbagi dalam masing-masing 10 item untuk neuroticism,
extraversion, openness to experience, conscientiousness, agreeableness
pengukuran yang sering kali digunakan untuk mengukur dalam hal ini
kepribadian Big Five Personality ialah yang dikembangkan berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Costa dan McCrae. Adapun skala
International Personality Item Pool (IPIP) yang dikembangkan tersebut
telah dimodifikasi ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
kepentingan penelitian yang ada. Salah satu penelitian yang
menggunakan skala yang dikembangkan Goldberg telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia ialah penelitian yang dilakukan oleh Ingirianti
(2014) mengenai Hubungan Antara Kepribadian Big Five Personality
Personality dengan Organizational Citizenship Behavior Pada Karyawan
mendapatkan hasil yang signifikan.
Berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan oleh Akhtar pada 502
dewasa awal yang dimuat dalam situs resmi International Personality
Item Pool (IPIP) yakni https://ipip.ori.org ditemukan bahwa terdapat 26
item favorable dan 24 item unfavorable dengan masing-masing koefisien
63
reliabilitas dimensi Extraversion sebesar 0,839, Agreeableness sebesar
0,762, Conscientiousness sebesar 0,811, Emotional Stability sebesar
0,862, Intellect sebesar 0,768.
C. Relawan
1. Pengertian Relawan
Heryanto (2019) menjelaskan bahwa relawan atau sering kali disebut
dengan kata volunteer telah berkembang sejak tahun 1995 oleh seorang
warga Perancis bernama M. Fr Voluntaire. Pada saat itu ia memberikan
pelayanan kepada tentara yang sedang berperang dengan ikhlas dalam
kegiatan altruistik untuk mendorong orang lain agar dapat memperbaiki dan
meningkatkan kualitas kehidupan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Istilah relawan sendiri diambil dari bahasa Jerman yakni “aktivismus” yang
dikenal pada akhir perang dunia pertama.
Relawan merupakan individu atau kelompok orang yang
mendedikasikan diri mereka untuk melayani masyarakat yang didasari pada
keinginan pribadi dan kesadaran individu atau kelompok dengan tujuan
menciptakan lingkungan masyarakat yang lebih baik. Selain itu relawan
adalah pihak yang memberikan sumbangan melalui pikiran, pengetahuan,
tenaga dan keahlian yang dimilikinya kepada pihak lain untuk mencapai
tujuan yang baik. Kemudian, relawan juga merupakan suatu cara untuk dapat
menyalurkan kecenderungan individu melakukan kebaikan melalui aksi nyata
yang memberikan manfaat bagi orang lain, (Heryanto, 2019).
64
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016) relawan atau
sukarelawan merupakan individu atau kelompok yang melakukan sesuatu hal
dengan sukarela. Arti dari sukarela ialah melakukan sesuatu tidak karena
diwajibkan atau dipaksakan melainkan dengan keinginan sendiri yang
dilakukan dengan sukarela. Selain itu, Peraturan Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 17 Tahun 2011 mengenai pedoman
relawan penanggulangan bencana menjelaskan bahwa relawan
penanggulangan bencana atau disebut juga sebagai relawan merupakan
orang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian
untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya bencana, (BNPB,
2014).
Relawan juga dapat diartikan sebagai seseorang yang secara ikhlas
dan berdasarkan panggilan murni hati seseorang untuk memberikan apa
yang dimilikinya baik berupa pikiran, tenaga, waktu dan lain sebagainya
kepada masyarakat sebagai suatu bentuk perwujudan tanggung jawab sosial
dengan tidak mengharapkan imbalan berupa upah, kedudukan, kekuasaan
ataupun kepentingan lainnya. Adapun yang dilakukan relawan bencana ialah
melakukan penyelamatan maupun evakuasi korban, pelayanan kebutuhan
sandan dan pangan, pelayanan kesehatan dan pemulihan sosial psikologis
serta melakukan pendataan.
2. Faktor Penyebab Menjadi Relawan
Clary, et., al (2000) menjelaskan bahwa beberapa motif seseorang ingin
menjadi relawan yakni dijelaskan sebagai berikut:
65
a. Berdasarkan Nilai-Nilai Dalam Diri Individu
Berdasarkan nilai yang dimiliki dalam diri individu mengartikan bahwa
seseorang yang menanamkan nilai-nilai yang penuh perhatian dan kasih
sayang kepada orang lain akan mendorong seseorang untuk menolong
orang, kelompok atau komunitas tertentu yang kurang beruntung atau
mendapatkan musibah. Hal ini sangat berkaitan dengan nilai-nilai religius
seseorang dalam menanggapi suatu peristiwa yang membutuhkan
bantuan.
b. Mencari Makna Hidup
Beberapa relawan bekerja secara nyata untuk masyarakat
mendapatkan pemahaman yang mendalam untuk mempelajari peristiwa
sosial yang terjadi sehingga dapat mengeksplorasi kekuatan personal dan
dapat belajar dari keadilan sosial yang ada disekitar individu tersebut.
Selain itu, pengalaman yang didapatkan di lingkungan daerah bencana
memberikan pembelajaran tersendiri bagi seseorang dalam proses
mencari makna hidupnya
c. Motif Sosial
Tidak dapat dipungkiri salah satu faktor menjadi seorang relawan
dalam kegiatan sukarela ialah dapat merefleksikan diri untuk memperluas
pertemanan dan untuk melakukan aktivitas yang memiliki nilai positif yang
secara tidak langsung individu mendapatkan penerimaan sosial dari
sekitarnya. Hal ini juga dapat dimaksudkan sebagai orang yang
melibatkan diri menjadi seorang relawan maka relasi yang dimiliki juga
66
semakin luas karena pada umumnya daerah bencana memiliki relawan
yang datang dari berbagai kalangan sehingga berawal dari hal tersebut
maka dapat menambah pertemanan.
d. Proteksi Diri
Proteksi diri yang dimaksudkan yakni seseorang melakukan aktivitas
secara sukarela membantu orang lain untuk terlepas dari kesulitan agar
tidak merasa kesepian dan lebih pentingnya adalah mereduksi perasaan
bersalah individu seseorang apabila dapat membantu orang lain. Oleh
karena itu, perilaku menolong dapat memberikan kepuasan tersendiri bagi
yang melakukan hal tersebut. terlepas dari imbalan yang ditawarkan,
perasaan puas dan memiliki perasaan bahwa diri mampu membantu
orang lain merupakan hal yang menjadi alasan seseorang dalam
menolong dan menjadi seorang relawan.
e. Pengembangan Karir
Menjadi relawan yang melakukan kegiatan sukarela dapat membantu
seseorang dalam mengeksplorasi karir dan mengembangkan aktivitas
yang bernilai sosial dalam pekerjaan individu. Ketika seseorang
mengabdikan diri menjadi seorang relawan maka bertambah pula
pengalaman yang didapatkan. Sehingga beberapa lainnya menjadikan hal
ini sebagai suatu nilai tambah dalam bidang pekerjaaan.
3. Ciri-ciri Relawan
Omoto & Snyder (dalam Misgiyanti, 1997) menjelaskan bahwa untuk
menjadi seorang relawan maka cenderung memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
67
a. Mencari Kesempatan Untuk Membantu
Mampu melihat situasi dan mencari kesempatan untuk menolong
menandakan bahwa seorang relawan mencari seseorang atau kelompok
untuk diberikan pertolongan tidak dengan menunggu untuk dimintai
pertolongan. Seorang relawan akan melakukan sesuatu dan akan
merasa terpanggil dengan sendirinya apabila melihat dan memiliki
kesempatan untuk dapat membantu orang lain semaksimal mungkin.
b. Memiliki Personal Cost Yang Tinggi
Ciri menjadi relawan salah satunya adalah memiliki personal cost
yang tinggi maksudnya adalah seorang relawan dapat mendedikasikan
dirinya melalui waktu, tenaga maupun pikirannya kepada orang yang
hendak diberikan pertolongan. Seseorang yang menjadi relawan mampu
menempatkan dirinya sesuai potensi apa yang dimiliki untuk dapat
membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan.
c. Tidak Mengenal Siapa Yang Hendak Dibantu
Tidak pandang bulu dalam menolong mengartikan bahwa orang
yang mendedikasikan diri sebagai relawan tidak akan melihat dan
memandang seseorang dengan agama, ras, budaya dan lain halnya
untuk membantu seseorang dalam kebaikan dan tidak memilih siapa
yang ingin dibantu sesuka hati. Seorang relawan tidak melihat apakah
orang tersebut adalah keluarga, kerabat, teman, sahabat atau bahkan
orang asing sekalipun apabila hendak menolong.
68
d. Menolong Bukan Keharusan
Perlu digaris bawahi bahwa, bagi relawan menolong bukanlah suatu
keharusan atau kewajiban melainkan seorang relawan menjadikan
perilaku menolong sebagai suatu yang tanpa ada paksaan dan relawan
yang menolong tidak menjadikan pertolongan yang diberikan sebagai
beban selama menolong melainkan atas kemauan dan keinginan yang
dimiliki untuk memberikan pertolongan secara sadar dan tanpa ada
paksaan dari orang lain.
e. Komitmen
Komitmen merupakan ciri yang dimiliki seorang relawan dimana
komitmen sendiri merupakan keterikatan yang berasal dari diri sendiri
yang dimiliki seseorang dalam melakukan aktivitas sebagai relawan.
sehingga upaya yang dilakukan sebagai seorang relawan memiliki sifat
setia dimana perilaku menolong tersebut menjadi suatu perilaku yang
berkelanjutan. Seseorang tidak dapat dikatakan sebagai relawan apabila
hanya melakukan upaya pertolongan sekali dan tidak melibatkan
kesejahteraan banyak orang. Seorang dapat dikatakan relawan apabila
memiliki komitmen dalam melakukan perilaku menolong.
D. Tipe Kepribadian Sebagai Prediktor Perilaku Altruisme
Setiap orang memiliki karakter yang berbeda yang membedakan individu
satu dengan yang lainnya. Berdasarkan perbedaan tersebut tidak menutup
kemungkinan menjadi salah satu faktor seseorang untuk menentukan pilihan
69
dalam menolong atau tidak menolong orang lain yang sedang mengalami
kesulitan. Oleh karena itu, kepribadian sangat menentukan seseorang dalam
bersikap dan mengambil keputusan utamanya pada saat memutuskan menolong
orang lain. Artinya bahwa, tidak semua orang mampu menanamkan sikap
menolong. Akan tetapi, bukan berarti tidak ada orang yang memiliki kepribadian
yang suka menolong. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa
salah satu faktor seseorang dalam mengambil keputusan untuk menolong orang
lain dipengaruhi oleh kepribadian yang dimiliki seseorang.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widianingrum (2016)
mengenai didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan
antara religiusitas dan kepribadian Big Five Personality personality secara
bersama-sama dengan altruisme pada relawan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) di Yogyakarta. Besaran sumbangan secara bersamaan efektif sebesar
45,6% sedangkan sumbangsih masing-masing variabel adalah 35,8% untuk
religiusitas dan 24,5% untuk kepribadian Big Five Personality personality sisanya
dipengaruhi oleh faktor lain. Artinya bahwa semakin tinggi tingkat religiusitas
relawan dan kepribadian Big Five Personality maka semakin tinggi pula sifat
altruisme yang dimilikinya. Adapun kepribadian Big Five Personality yang
signifikan terhadap altruisme hanya dimensi conscientiousness. Sedangkan
dimensi extraversion, agreeableness, Neuroticism, Openness to experience tidak
menunjukkan hubungan positif dengan altruisme pada relawan LSM di
Yogyakarta.
70
Hasil yang ditemukan di atas senada dengan pernyataan yang
dikemukakan oleh Goldberg (1981) bahwa Big Five Personality merupakan
tipologi pengukuran yang baik digunakan untuk melihat kepribadian seseorang.
big five personality terdapat dimensi conscientiousness yakni individu yang dapat
diandalkan dan memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi terhadap tugas yang
dihadapinya. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap lima
relawan menjawab bahwa perilaku menolong yang dilakukannya merupakan
inisiatif dan bawaan dari dirinya secara alami untuk menolong orang lain tanpa
ada paksaan dari manapun.
E. Kerangka Penelitian
Kerangka berpikir merupakan suatu model konseptual tentang bagaimana
teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi oleh peneliti
menjadi sebuah masalah yang penting. Kerangka penelitian dijelaskan lebih
lanjut mengenai dua variabel atau lebih. Dalam penelitian ini, peneliti hendak
meneliti variabel kepribadian big five personality sebagai prediktor perilaku
altruisme pada relawan bencana.
Kerangka penelitian ini memaparkan mengenai adanya kesenjangan
antara das sein dan das sollen dikarenakan beberapa faktor yang memengaruhi,
yakni tipe kepribadian salah satunya. Setelah itu, dipaparkan bagaimana faktor
tipe kepribadian tersebut dapat memengaruhi perilaku altruisme seorang relawan
dalam situasi bencana. Adapun alur penelitian lebih lanjut dijelaskan melalui
bagan berikut:
71
Fenomena: Adanya sekelompok orang yang disebut relawan yang menunjukkan perilaku altruisme
Diduga perilaku altruistik pada relawan terkait
dengan tipe kepribadian
Big Five Altruisme
- Openness To Experience
- Conscientiousness
- Extraversion
- Agreeableness
- Neuroticism
- Situasional
- Bukan berdasarkan
kepentingan pribadi
- Sukarela
- Keinginan memberi
Keterangan:
: Pendekatan
: Wilayah Penelitian
Das Sollen Idealnya untuk mencapai suatu kesejahteraan dan ketentraman bersama maka hendaklah seseorang saling menolong satu sama lain utamanya ketika mengetahui orang lain mengalami musibah dan mampu mendedikasikan diri sebagai relawan yang cepat tanggap apabila mengetahui orang lain mengalami suatu kesulitan sehingga koflik atau permasalahan ketika bencana dapat segera diatasi apabila banyak orang yang memiliki
jiwa penolong tanpa pamrih.
Das Sein Melihat dan mengamati berbagai peristiwa bencana alam dan dan kesulitan-kesulitan yang dialami oleh orang lain banyak sekali risiko yang mengintai apabila seseorang melibatkan diri sebagai penolong untuk orang lain yang mengalami musibah. Kurangnya tenaga relawan menyebabkan bantuan lambat tersampaikan bahkan tidak jarang menimbulkan korban jiwa bahkan dari pihak relawan itu sendiri yang harus siap kelelahan bahkan berisiko mengalami kecacatan fisik, kerugian materil hingga kematian ketika memutuskan menjadi relawan yang menolong tanpa pamrih
Masalah
72
F. Hipotesis
1. H0 : Tipe kepribadian Big Five Personality tidak dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme.
H1 : Tipe kepribadian Big Five Personality dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme.
2. H0 : Tipe kepribadian Openness To Experience tidak dapat menjadi
prediktor terhadap perilaku altruisme
H1 : Tipe kepribadian Openness To Experience dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme.
3. H0 : Tipe kepribadian Conscientiousness tidak dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme
H1 : Tipe kepribadian Conscientiousness dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme.
4. H0 : Tipe kepribadian Extraversion tidak dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme
H1 : Tipe kepribadian Extraversion dapat menjadi prediktor terhadap
perilaku altruisme.
5. H0 : Tipe kepribadian Agreeableness tidak dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme
H1 : Tipe kepribadian Agreeableness dapat menjadi prediktor terhadap
perilaku altruisme.
73
6. H0 : Tipe kepribadian Neuroticism tidak dapat menjadi prediktor terhadap
perilaku altruisme
H1 : Tipe kepribadian Neuroticism dapat menjadi prediktor terhadap
perilaku altruisme.
74
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Suryani & Hendryadi(2016) pendekatan yang digunakan peneliti dalam hal
ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Adapun yang dapat diketahui bahwa
penelitian kuantitatif merupakan metode analisis data yang berbentuk numerik.
Penelitian dengan pendekatan kuantitatif banyak menggunakan logika hipotetik
verifikatif yang dimulai dengan berpikir kemudian muncul sebuah hipotesis lalu
melakukan pengujian di lapangan. Kesimpulan atau hipotesis yang diperoleh
merupakan hasil yang diperoleh berdasarkan data empiris.
Sugiyono (2013) mengatakan bahwa penelitian kuantitatif merupakan
metode penelitian dimana hal tersebut digunakan untuk mengetahui nilai variabel
mandiri, baik satu maupun dua variabel yang akan diteliti dengan variabel yang
lain. Berdasarkan teori tersebut, penelitian kuantitatif, merupakan data yang
diperoleh dari sampel populasi penelitian dianalisis sesuai dengan metode
statistik yang digunakan. Berdasarkan metode penelitian yang digunakan maka
dapat dijelaskan bahwa dalam hal ini pendekatan kuantitatif digunakan untuk
menganalisis tipe kepribadian Big Five Personality apa yang signifikan terhadap
perilaku altruisme.
74
75
B. Variabel Penelitian
Sugiyono (2013) menjelaskan bahwa variabel merupakan segala sesuatu
yang dapat berbentuk apa saja dan telah ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut. Sedangkan dalam pendapat
lain mengatakan bahwa secara teoritis definisi variabel merupakan atribut
peneliti atau objek yang memiliki variasi antara satu dengan yang lainnya atau
objek satu dengan objek lainnya.
Variabel penelitian kuantitatif terbagi menjadi dua bagian, yakni variabel
independen dimana sering juga disebut dengan variabel bebas merupakan
variabel yang memengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya
variabel dependen. Sedangkan variabel dependen atau disebut pula variabel
terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena
adanya variabel bebas, (Sugiyono, 2013).
1. Variabel Dependen (X) : Tipe kepribadian Big Five Personality
X1 : Openness to experience
X2 : Conscientiousness
X3 : Extraversion
X4 : Agreeableness
X5 : Neuroticism
2. Variabel Independen (Y) : Altruisme
76
C. Definisi Variabel
1. Definisi Konseptual
a. Altruisme
Rushton (1980) menjelaskan bahwa perilaku altruisme merupakan
upaya prososial yang dilakukan seseorang dalam menolong orang lain
namun tindakan menolong yang dilakukan tersebut tanpa pamrih dan tidak
ada upaya untuk mencari keuntungan di dalamnya.
b. Tipe kepribadian Big Five Personality
Tipe kepribadian Big Five Personality berdasarkan Goldberg (1981)
merupakan pengklasifikasian jenis kepribadian menjadi 5 dimensi yakni:
1) Openness to experience merupakan karakteristik kepribadian yang
dimana individu memiliki kecenderungan sifat yang terbuka terhadap
hal baru
2) Conscientiousness yakni dimensi kepribadian yang menjelaskan
perilaku seseorang yang berorientasi pada tugas dan kontrol sosial.
Openness to experience
Perilaku
Altruisme
Conscientiousness
Neuroticism
Extraversion
Agreeablenes
77
3) Extraversion adalah karakteristik yang dimiliki seseorang yang ditandai
dengan sifat ramah dengan orang lain dengan sisi lain disebut dengan
introvert
4) Agreeableness merupakan kecenderungan sifat individu yang ramah
dan selalu mengalah untuk menghindari konflik.
5) Neuroticism dimana kepribadian ini memiliki karakteristik individu yang
mudah panik dan peka terhadap kritik namun terkadang sering disebut
pula dengan kestabilan emosi
2. Definisi Operasional
a. Altruisme
Altruisme merupakan perilaku menolong yang dilakukan oleh individu
atau kelompok untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan
apapun dan dilakukan secara sadar dan sukarela. Altruisme juga
merupakan suatu tindakan yang dilakukan seseorang dalam menolong
orang lain dengan tidak mengharapkan apapun terkecuali perasaan yang
didapatkan setelah menolong.
b. Tipe kepribadian Big Five Personality
Tipe kepribadian big five personality merupakan suatu
pengelompokkan lima sifat (traits) yang dimiliki manusia secara umum
yang dimana setiap individu memiliki kecenderungan lebih tinggi diantara
lima trait tersebut yang dapat membentuk kepribadian yang khas dalam
diri setiap individu. Pengelompokan kepribadian openness to experience,
conscientiousness, extraversion,agreeableness, neuroticism ini
78
menjadikan landasan bagaimana orang mempersepsikan, merasakan,
memikirkan dan bertindak terhadap suatu hal.
1) Openness to Experience yakni individu yang memiliki karakteristik yang
kreatif dan menyukai tantangan serta suka mencoba hal-hal baru
2) Conscientiousness merupakan individu yang cenderung pada orientasi
tugas-tugas sehingga cenderung berkompeten dalam bekerja serta
tekun dan disiplin.
3) Extraversion adalah kecenderungan seseorang untuk mudah bergaul
dan ramah terhadap orang baru
4) Agreeableness adalah karakter yang dapat diandalkan dan
bertanggung jawab terhadap hal-hal yang dihadapinya.
5) Neuroticism merupakan pengelompokan sifat yang individu cenderung
memiliki sifat yang peka terhadap hal sekitar, ramah, emosional dan
mudah tersinggung
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Sugiyono (dalam Anggara, 2015) mengatakan bahwa populasi merupakan
suatu wilayah yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas
dan karakteristik tertentu yang sebelumnya telah ditentukan oleh peneliti
untuk dipelajari dan dapat ditarik kesimpulannya. Selain itu, populasi juga
dapat diartikan sebagai keseluruhan wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek maupun subjek penelitian yang memiliki karakteristik yang telah
79
ditentukan sebelumnya. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
relawan bencana di Makassar.
2. Sampel
Sugiyono (dalam Anggara, 2015) mengatakan bahwa sampel merupakan
bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki pada populasi yang telah
ditentukan. Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini yaitu:
a. Relawan bencana baik laki-laki maupun perempuan
b. Berusia antara 18 tahun sampai 65 tahun
c. Pernah terlibat sebagai relawan di medan bencana minimal 2 kali
Dalam penelitian ini tidak diketahui secara akurat mengenai jumlah
keseluruhan relawan bencana yang aktif hingga saat ini. Oleh karena itu,
dalam penentuan jumlah sampel maka digunakan persamaan n 1
2 dimana
nilai = 0,05 merupakan taraf kesalahan minimum yang dapat ditolerir dalam
sebuah penelitian sehingga diperoleh hasil 400. Berdasarkan dari hasil
tersebut maka dapat ditentukan bahwa sampel yang digunakan dalam
penelitian ini minimal 400 responden, (Abdullah & Sutanto, 2015).
Dikarenakan kriteria responden dalam penelitian ini jumlahnya terbatas
maka sampel yang berhasil ditemukan sebanyak 242 relawan. Hal ini juga
disebabkan karena bencana yang terjadi tidak dapat diprediksi dan jikapun
bencana terjadi maka relawan yang cenderung turun ialah orang yang sama
dan diketahui bahwa relawan yang turun di medan bencana lebih terorganisir.
80
3. Teknik Sampling
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Non
probability sampling. Pendekatan tersebut digunakan karena besarnya
peluang anggota populasi untuk menjadi sampel penelitian tidak diketahui.
Hal tersebut disebabkan karena data populasi tentang relawan yang diperoleh
tidak akurat. Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
Purposive Sampling dimana teknik pengambilan sampel ini merupakan teknik
yang digunakan untuk menentukan sampel berdasarkan pertimbangan atau
tujuan dan nilai guna individu.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengukur variabel
penelitian adalah dengan memberikan kuesioner berupa skala psikologi non
kognitif kepada semua sampel dalam penelitian. Kuesioner merupakan daftar
pernyataan yang sudah tersusun baik berdasarkan tujuan penelitian dimana
responden hanya memberikan jawaban dengan memberikan tanda tertentu pada
tempat pilihan jawaban yang disediakan atau kuesioner juga dapat disebut
sebagai daftar pernyataan yang peneliti berikan kepada responden
(Notoatmodjo, 2005). Pada penelitian ini terdapat dua skala yang digunakan
yakni skala altruisme dan skala Big Five Personality personality.
1. Skala Altruisme
Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang
dirancang oleh P.C Rushton (1981) yang disebut dengan The Personality
81
and The Self-Report Altruisme Scale atau lebih umum dikenal sebagai Self-
Report Altruisme (SRA Scale). Skala ini terdiri dari 20 item yang mudah
dikelola dimana responden diminta untuk menilai frekuensi mereka ketika
terlibat dalam suatu perilaku altruistik dengan alternatif jawaban Tidak
Pernah (Never), Sekali (Once), Lebih dari Sekali (More Than Once), Sering
(Often), dan Sangat Sering (Very Often).
Penilaian menggunakan skala frekuensi dimana pada alternatif jawaban
favorable diberi nilai untuk 1=Tidak Pernah (Never), 2=Sekali (Once),
3=Lebih dari Sekali (More Than Once), 4=Sering (Often), dan 5=Sangat
Sering (Very Often). Sebaliknya, untuk penilaian unfavorable menggunakan
penilaian 5=Tidak Pernah (Never), 4=Sekali (Once), 3=Lebih dari Sekali
(More Than Once), 2=Sering (Often), dan 1=Sangat Sering (Very Often).
Tabel 3.1 Blue Print Skala Altruisme
Komponen Indikator Nomor Aitem
Jumlah
Situasional
Mampu melihat kondisi yang dialami orang lain
3,12,13
3
Memunculkan peran mengenai keberadaan individu dalam melihat kondisi orang lain
10,16
2
Bukan Kepentingan Pribadi
Tidak memanfaatkan kondisi yang dialami orang lain
2,5,10 3
Tidak meraup keuntungan atas musibah yang dialami orang lain
11,17,19
3
Sukarela Tidak mengharapkan imbalan 7,9 2
Rela berkorban untuk orang lain 15,18 2
Keinginan Membantu
Memberikan bantuan kepada orang lain 1,4,6 3
Memberikan bantuan materi dan waktu kepada orang lain
8,14,20 3
Total 20
82
2. Skala Big Five Personality
Pengukuran mengenai lima model kepribadian dengan mengadaptasi
alat ukur International Personality Item Pool (IPIP) yang dirancang oleh
Lewis R. Goldberg. Pada pengukuran ini terdapat 50 item yang terbagi
dalam masing-masing 10 item untuk Neuroticism, extraversion, Openness to
experience, conscientiousness, agreeableness pengukuran yang sering kali
digunakan untuk mengukur dalam hal ini kepribadian Big Five Personality
ialah yang dikembangkan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Costa
dan McCrae. Adapun skala yang dikembangkan tersebut berjumlah 50 item
yang telah dimodifikasi ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
kepentingan penelitian yang ada.
Kuesioner dalam penelitian ini terdiri atas item-item pernyataan
favorable dan unfavorable dengan lima alternatif jawaban yakni pada item
favorable untuk alternatif jawaban Sangat Akurat diberi nilai 5, Moderat
Akurat diberi nilai 4, Netral diberi nilai 3, Tidak Akurat diberi nilai 2 dan
Sangat Tidak Akurat diberi nilai 1. Sedangkan pada item unfavorable Sangat
Akurat diberi nilai 1, Moderat Akurat diberi nilai 2, Netral diberi nilai 3, Tidak
Akurat diberi nilai 4 dan Sangat Tidak Akurat diberi nilai 5.
Adapun ukur International Personality Item Pool (IPIP) yang digunakan
merupakan hasil adaptasi dari Hanif Akhtar dimana property psikometrinya
menggunakan 502 responden dengan proses adaptasi dimana melibatkan
dua penerjemah professional dengan latar belakang pendidikan psikologi
untuk menerjemahkan bahasa asli ke bahasa Indonesia. Adapun hasil
83
reliabilitas dan validitas untuk dimensi Extraversion Alpha=0.839, Corrected
Item-Total Correlations Ranged From 0.419-0.677, Agreeableness
Alpha=0.762, Corrected Item-Total Correlations ranged from 0.292 - 0.596,
Conscientiousness Alpha=0.811, Corrected Item-Total Correlations ranged
from 0.432 - 0.571, Emotional Stability, Alpha=0.862, Corrected Item-Total
Correlations ranged from 0.395 - 0.662, Openness To Experience,
Alpha=0.768, Corrected Item-Total Correlations ranged from 0.269 - 0.645.
Tabel 3.2 Blueprint skala Big Five Personality
Aspek
No soal Jumlah soal Favorable Unfavorable
Openness To Experience 5,15,25,35,45 10,20,30,40,50 10
Conscientiousness 3.13,23,33,43 8,18,28,38,48 10
Extraversion 1,11.21,31,41 6,16,26,36,46 10
Agreeableness 2,12,22,32,42 7,17,27,37,47 10
Neuroticism 4.14,24,34,44 9,19,29,39,49 10
TOTAL 25 25 50
F. Uji Instrumen
1. Proses Adaptasi Skala
Pada skala altruisme dan skala big five personality terdapat aitem-aitem
yang akan melewati proses adaptasi sebagai berikut
a. Skala Asli Diterjemahkan Ke Bahasa Indonesia
Skala yang digunakan oleh peneliti yakni skala altruisme dari Rushton
(1998) sebanyak 20 item dan skala big five personality dari Goldberg
(1981) sebanyak 50 item keduanya merupakan skala asli dimana item-
itemnya menggunakan bahasa Inggris. Oleh karena itu, peneliti terlebih
84
dahulu menerjemahkan skala asli dalam bentuk bahasa Inggris tersebut
menjadi skala berbahasa Indonesia oleh dua orang ahli dibidang bahasa
inggris. Pada skala big five personality diterjemahkan berdasarkan web
oleh Hanif Akhtar yang merupakan dosen psikologi. Sedangkan skala Self
Report Altruisme diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Suseno
yang merupakan mahasiswa jurusan bahasa Inggris di Universitas Negeri
Jakarta.
b. Skala Bahasa Indonesia – Bahasa Inggris (Back Translation)
Setelah skala asli diterjemah ke bahasa Indonesia maka selanjutnya
peneliti melakukan penerjemahan kembali ke dalam bahasa Inggris
(bahasa asli) dengan meminta bantuan penerjemah lain yang ahli
dibidangnya. Kemudian, penerjemah kedua yaitu Ibu Ayuni Arista, S.Pd
lulusan jurusan bahasa Inggris Universitas Manado dengan skor Toefl
500.
c. Proses Membandingkan Skala Asli Dan Skala hasil (Back Translation)
Proses selanjutnya setelah menerjemahkan kembali maka peneliti
membandingkannya dengan skala asli. Setelah membandingkan, peneliti
melihat bahwa item yang dibandingkan relatif sama dan tidak terdapat
perbedaan yang substansial dari kedua skala yang telah diterjemahkan
tersebut sehingga lebih lanjut peneliti dapat melakukan uji instrument.
2. Uji Validitas
Validitas merupakan sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu
instrumen alat ukur yang digunakan dalam melakukan fungsinya. Suatu alat
85
ukur dapat dikatakan valid apabila alat ukur tersebut mampu mencapai
tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Uji validitas ini dilakukan
untuk mengetahui apakah skala yang digunakan mampu menghasilkan data
yang akurat dan sesuai dengan tujuan ukurnya. Adapun uji validitas dalam
penelitian ini adalah validitas isi dan validitas konstruk, (Azwar, 2016).
a. Validitas Isi
Azwar (2016) menjelaskan bahwa validitas isi merupakan suatu alat
ukur yang penilaiannya berdasarkan muatan isi. Suatu alat ukur dapat
dikatakan memiliki validitas isi yang baik apabila isi, materi, atau bahan
alat ukur yang digunakan tersebut benar-benar representatif terhadap
tujuan penelitian. Adapun validitas isi dalam penelitian ini yakni:
1) Validitas logis
Validitas logis merupakan sejauh mana isi tes yang ada dapat
mewakili variabel yang hendak diukur, (Azwar, 2018). Adapun
prosedur validitas logis dalam penelitian ini menggunakan statistik
CVR (Content Validity Ratio) yang dikemukakan oleh Lawshe. Dalam
hal ini, peneliti mencari dan menentukan Expert Judgment kemudian
memberikan skala yang diterjemahkan kepada SME (Subject Matter
Expert) dimana merupakan sekelompok panel ahli yang diminta untuk
menilai suatu alat ukur apakah item tersebut esensial untuk
mendukung tujuan alat tes yang hendak diukur. Angka CVR berada
diantara -1.00 sampai dengan +1.00. apabila CVR > 0.00 maka 50%
SME menyatakan item tersebut esensial dan oleh sebab itu dapat
86
dinyatakan valid. Semakin besar CVR dari angka 0 maka semakin
esensial dan semakin tinggi pula tingkat validitas isinya, (Azwar,
2017).
Adapun yang menjadi SME (Subject Matter Expert) dalam
penelitian ini yaitu Ibu Hasniar S.Psi., M.Si., Ibu Titin Florentina,
S.Psi., M.Psi., Psikolog, Bapak Syahrul Alim, S.Psi, M,A. Keseluruhan
SME (Subject Matter Expert) merupakan dosen Psikologi di
Universitas Bosowa yang merevisi redaksi kalimat pada setiap item
skala yang digunakan agar mudah dipahami oleh orang awam
Hasil SME pertama yaitu menyarankan untuk menggunakan
skala Big Five Personality terjemahan langsung karena skala tersebut
bersifat umum. Selain itu, SME pertama juga menyebutkan bahwa
terdapat beberapa item yang bahasanya perlu diperbaiki, yakni pada
kata “mobil” diganti menjadi “kendaraan”. Selain itu, item 1 terdapat
kata “acara” diperbaiki menjadi kata “kegiatan” dan beberapa.
SME kedua mengoreksi bahwa dari kedua skala yang
digunakan item yang digunakan cukup baik. Sehingga SME kedua
hanya memperbaiki kata “Anda” diganti menjadi “Saudara”.
Sedangkan SME ketiga memperbaiki redaksi skala altruisme pada
item 1 yakni mengganti kata “orang asing” menjadi “korban bencana”,
memperbaiki redaksi kalimat item 3, memperbaiki item no 4 dan item
5 karena item identik sehingga harus dibedakan. Selain itu SME
ketiga juga menyarankan redaksi kata pada item 12 yakni “saya tidak
87
mengambil uang kembalian saat belanja untuk korban bencana” dan
item 15 menjadi “Saya membeli barang yang ditawarkan untuk
kepentingan donasi bencana dan memperbaiki redaksi kata pada
item 17,18 dan 19.
2) Validitas Tampang
Azwar (2017) menjelaskan bahwa validitas tampang atau face
validity merupakan suatu validity yang bertujuan untuk melihat dan
menilai relevansi ataupun keselarasan item dengan tujuan alat ukur
skala. Dalam hal ini peneliti memberikan format validitas tampang
kepada beberapa reviewer yang memiliki kriteria yang sama dengan
calon responden untuk menilai beberapa aspek dalam skala seperti
bentuk skala, pengantar, font yang digunakan, model pencetakan
skala, instruksi pengisian skala dan lain-lain. Sehingga mendapatkan
hasil penilaian yang secara keseluruhan dapat membuat partisipan
mudah memahami item yang disajikan dan memiliki tampilan yang
menarik.
Dalam penelitian ini peneliti meminta 3 orang relawan bencana
untuk melakukan uji validitas tampang guna memberikan penilaian
berupa saran mengenai layout alat ukur yang digunakan dan bahasa
yang digunakan sebelum menyebarkan alat ukur yang digunakan
kepada calon responden.
Adapun hasil dari ketiga relawan bencana yang diminta peneliti
untuk melakukan validitas tampang ialah relawan bencana pertama
88
mengoreksi mengenai adanya item yang sama yakni pada item
nomor 6 dan nomor 26. Selain itu, reviewer juga mengatakan bahwa
terdapat kata yang kurang dimengerti yakni pada kata “abstrak”. Akan
tetapi, secara keseluruhan reviewer mengatakan tidak terdapat
kekeliruan yang substansif pada skala yang disebarkan sehingga
peneliti hanya memperbaiki beberapa tampilan berdasarkan saran
dari reviewer.
b. Validitas Konstruk
Azwar (2017) menjelaskan bahwa validitas konstruk merupakan
suatu bentuk validitas yang dilakukan untuk mengukur sejauh mana hasil
tes yang diperoleh mampu mengungkap suatu trait atau sesuai dengan
konstruk teoritik yang ingin diukur peneliti. Adapun untuk menganalisis
validitas konstruk maka dapat menggunakan Lisrel dimana valid tidaknya
suatu item ditentukan dengan melihat faktor loading positif dan nilai t-
value > 1.96 dan nilai RMSEA <0.05 serta tidak memiliki banyak korelasi
dengan item lain. Adapun validitas konstruk dalam penelitian ini
menggunakan uji coba terpakai dimana menguji validitas konstruk
menggunakan teknik analisis CFA (confirmatory Factor Analysis) dengan
bantuan aplikasi Lisrel 8.70.
Peneliti melakukan uji validitas konstruk untuk kedua skala yang
digunakan dan ditemukan item yang tidak valid pada skala Big Five
Personality dan seluruh item pada skala Self-Report Altruisme valid.
Berikut hasil blueprint setelah dilakukan proses analisis.
89
Tabel 3.3 Blueprint Altruisme Setelah Uji Coba
Komponen Indikator Nomor Aitem
Jumlah
Situasional
Mampu melihat kondisi yang dialami orang lain
3,12,13 3
Memunculkan peran mengenai keberadaan individu dalam melihat kondisi orang lain
10,16 2
Bukan Kepentingan Pribadi
Tidak memanfaatkan kondisi yang dialami orang lain
2,5,10 3
Tidak meraup keuntungan atas musibah yang dialami orang lain
11,17,19 3
Sukarela Tidak mengharapkan imbalan 7,9 2
Rela berkorban untuk orang lain 15,18 2
Keinginan Membantu
Memberikan bantuan kepada orang lain
1,4,6 3
Memberikan bantuan materi dan waktu kepada orang lain
8,14,20 3
Total 20
Pada hasil uji validitas konstruk terdapat 9 item yang gugur yakni
item 20,29,39,40,42,48,49,50 pada analisis CFA dan item 45 juga
digugurkan pada tahap reliabilitas karena responden tidak konsisten
dalam memberikan jawaban pada item tersebut. Berikut dilampirkan
blueprint skala Big Five Personality setelah uji coba:
Tabel 3.4 Blueprint Skala Big Five Personality Setelah Uji Coba
Aspek No soal Jumlah soal Favorable Unfavorable
Openness To Experience 5,15,25,35 10,30 6
Conscientiousness 3.13,23,33,43 8,18,28,38 9
Extraversion 1,11.21,31,41 6,16,26,36,46 10
Agreeableness 2,12,22,32 7,17,27,37,47 9
Neuroticism 4.14,24,34,44 9,19 7
TOTAL 25 25 41
90
3. Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah suatu keajegan atau konsistensi dari alat ukur yang
pada prinsip menunjukkan hasil-hasil yang tidak berbeda apabila dilakukan
pengukuran kembali terhadap subjek yang sama. Selain itu, reliabilitas juga
diartikan sebagai kepercayaan, kestabilan dan konsistensi. Meskipun banyak
konsep yang menjelaskan mengenai reliabilitas akan tetapi ide dasar yang
terdapat dalam reliabilitas adalah tingkat kepercayaan dari hasil pengukuran
(Azwar, 2007).
Azwar (2016) mengemukakan bahwa pengukuran reliabilitas dapat
menggunakan uji statistic Cronbach Alpha. Reliabilitas sendiri dapat
dinyatakan oleh nilai koefisien antara 0-1. Artinya bahwa semakin tinggi nilai
koefisien maka semakin mendekati angka 1 dan hal tersebut menunjukkan
semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya, semakin rendah koefisien
reliabilitas yang mendekati angka 0 maka hal tersebut menunjukkan bahwa
semakin rendah reliabilitas pengukuran.
a. Skala Altruisme Tabel 3.5 Reliabilitas Altruisme
Cronbach’s Alpha N Of Items
0.888 20
Berdasarkan hasil analisis menggunakan SPSS 20 for windows
dengan melihat tabel Cronbach’s Alpha maka dapat diketahui bahwa
nilai reliabilitas yang diperoleh sebesar 0.888 dan nilai tersebut
menunjukkan reliabilitas yang sangat tinggi.
91
b. Skala Big Five Personality Tabel 3.6 Reliabilitas Big Five Personality
Big Five Personality Nilai Cronbach Alpha N Of Item
Openness To Experience 0.607 6 Conscientiousness 0.726 9
Extraversion 0.712 10
Agreeableness 0.627 9
Neuroticism 0.663 7
Berdasarkan hasil analisis menggunakan SPSS 20 for windows
dengan melihat tabel Cronbach’s Alpha maka dapat diketahui bahwa
nilai reliabilitas yang diperoleh dimensi extraversion sebesar 0.712
dengan item sebanyak 10 nilai tersebut menunjukkan reliabilitas yang
tinggi. Pada dimensi agreeableness memiliki reliabilitas sebesar 0,627
dari 9 item, nilai tersebut menunjukkan reliabilitas yang tinggi. Pada
dimensi conscientiousness memiliki reliabilitas yang tinggi disebabkan
memiliki nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0.726 dari 9 item yang ada.
Sedangkan pada dimensi neuroticism terdapat 7 item dengan reliabilitas
sebesar 0.667, nilai tersebut termasuk ke dalam kategori reliabilitas yang
tinggi. Terakhir pada dimensi openness to experience memiliki 6 item
tersisa dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0.607 nilai tersebut
menunjukkan reliabilitas yang tinggi.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan yang dilakukan peneliti setelah
mengumpulkan data dari keseluruhan responden atau sumber lain yang
mendukung penelitian. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam analisis data
yaitu mengelompokkan data berdasarkan variabel penelitian dan jenis
92
responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, uji asumsi dan menguji
hipotesis yang diajukan peneliti, (Sugiyono, 2017).
1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif adalah metode analisis yang dilakukan untuk
mendeskripsikan atau menjelaskan sesuatu berdasarkan hal yang
didapatkan dan bersifat apa adanya, (Baroroh, 2008). Analisis deskriptif
dalam penelitian ini adalah gambaran demografi subjek, gambaran tingkat
altruisme dan gambaran tipe kepribadian yang meliputi Openness to
experience, conscientiousness, extraversion, agreeableness, Neuroticism
pada relawan bencana.
2. Uji Asumsi
Purwanto (2013) menjelaskan bahwa uji asumsi merupakan suatu
langkah yang dilakukan peneliti sebelum melakukan penentuan teknik uji
hipotesis yang akan digunakan dalam menganalisis data penelitian yang
diperoleh. Berdasarkan hasil uji asumsi yang dilakukan maka akan
didapatkan dasar untuk menentukan pengujian hipotesis apa yang hendak
digunakan dalam hal ini statistik parametrik atau non parametrik. Adapun uji
asumsi dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa tahap yakni uji
normalitas, uji linearitas, uji multikolinearitas dan uji heteroskedasitas yang
masing-masing menggunakan bantuan SPSS 20.0.
a. Uji Normalitas
Teknik analisis data yang pertama kali digunakan ialah uji normalitas
dimana teknik ini bertujuan untuk mengetahui apakah data yang
93
dihasilkan terdistribusi secara normal atau tidak. Uji normalitas ini
menggunakan Kolmogorov Smirnov dan untuk mengetahui apakah data
yang diperoleh terdistribusi normal atau tidak maka dapat melihat nilai
signifikansi Kolmogorov Smirnov. Apabila nilai signifikansi Kolmogorov
Smirnov lebih besar dari taraf signifkansi 0,05 maka data tersebut
terdistribusi dengan normal. Sebaliknya, apabila nilai signifikansi
Kolmogorov Smirnov yang diperoleh lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05
maka data yang diperoleh tidak dapat terdistribusi normal, (Sutopo &
Slamet, 2017).
b. Uji Linearitas
Uji linearitas merupakan tahap yang dilakukan peneliti untuk
mengetahui apakah antar variabel penelitian memiliki hubungan yang
linear. Uji linearitas ini dapat menggambarkan antar variabel akan
membentuk garis yang linear atau tidak. Adapun untuk menentukan
apakah data yang diuji terdistribusi linear atau tidak maka peneliti dapat
menggunakan Tes For Linearity pada SPSS for Windows dengan melihat
nilai signifikansi linearity. Apabila nilai signifikansi linearity yang diperoleh
lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 maka data yang diuji dapat dikatakan
terdistribusi secara linear dan sebaliknya jika nilai signifikansi linearity
yang diperoleh lebih besar dari taraf signifikansi 0,05 maka data yang
diujikan dapat dikatakan bahwa antar variabel penelitian tidak mempunyai
hubungan yang linear.
94
c. Uji Multikolinearitas
Widhiarso (2011) menjelaskan bahwa uji multikolinearitas merupakan
uji yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antar variabel independen,
apabila antara variabel saling memiliki korelasi yang tinggi maka dapat
terjadi overlap sehingga analisis yang dilakukan menjadi tidak efektif. Uji
multikolinearitas dapat diketahui dengan melihat nilai variance inflation
factor (VIF). Apabila nilai VIF lebih kecil dari 10 (VIF < 10 ), maka dapat
dikatakan bahwa antar variabel independen yang diujikan tidak terjadi
multikolinearitas dan begitupun sebaliknya.
d. Uji Heteroskedastistas
Uji Heteroskedastistas merupakan analisis yang dilakukan untuk
mengetahui apakah hubungan antar prediksi dan residu membentuk
sebuah pola. Adapun residu dapat diartikan sebagai variabel yang tidak
diketahui sehingga diasumsikan bersifat acak. Suatu penelitian tidak akan
terjadi heteroskedasitas apabila nilai signifikansi yang diperoleh lebih
besar dari taraf signifikansi 0,05 (sig > 0,05) analisis uji
heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan bantuan program SPSS 20.
3. Uji Hipotesis
Hadi (2016) menjelaskan bahwa uji hipotesis dilakukan untuk
mengetahui gambaran mengenai seberapa besar pengaruh penerapan
variabel independen terhadap variabel dependen. Adapun untuk mengetahui
hal tersebut maka digunakan analisis regresi berganda atau multiple
regression untuk melihat nilai dari variabel terikat apabila variabel bebas
95
ditingkatkan atau diturunkan. Adapun hipotesis yang hendak diuji dalam
penelitian ini ialah apakah terdapat pengaruh neuroticism, extraversion,
openness to experience, conscientiousness, agreeableness terhadap
perilaku altruisme pada relawan bencana. Hal-hal yang akan dilaporkan
dalam hasil uji hipotesis menggunakan uji regresi berganda diantaranya:
a. Nilai koefisien determinan atau R Square (R2) big five personality secara
bersama-sama terhadap perilaku altruisme relawan bencana
b. Nilai kontribusi tipe kepribadian Big Five Personality secara bersama-
sama terhadap perilaku altruisme relawan bencana
c. Nilai F dan signifikansi nilai F big five personality, apabila nilai F pada
penelitian lebih kecil dari 0,005 (sig F < 0,05) maka hasil penelitian
dianggap signifikan dan sebaliknya
d. Nilai koefisien determinan atau R Square (R2) Neuroticism, Extraversion,
Openness To Experience, Conscientiousness dan Agreeableness
terhadap perilaku altruisme relawan bencana
e. Nilai kontribusi Neuroticism, Extraversion, Openness To Experience,
Conscientiousness dan Agreeableness terhadap perilaku altruisme
relawan bencana
f. Nilai F dan signifikansi nilai F Neuroticism, Extraversion, Openness To
Experience, Conscientiousness dan Agreeableness terhadap perilaku
altruisme pada relawan bencana. Apabila signifikansi nilai F pada
penelitian lebih kecil dari 0,005 (sig F < 0,05) maka hasil penelitian
dianggap signifikan dan sebaliknya.
96
g. Nilai koefisien pengaruh (b)
h. Nilai t dan nilai signifikansi t apabila didapatkan signifikansi nilai t pada
penelitian lebih kecil 0,005 (sig t < 0,05) maka hasil penelitian dianggap
signifikan dan sebaliknya.
i. Nilai konstanta (a)
j. Persamaan regresi berganda: Y=a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 b5X5
H. Prosedur Penelitian
Pada penelitian ini peneliti melakukan beberapa langkah-langkah untuk
menunjang kelancaran penelitian ini hingga akhir. Adapun langkah yang
dilakukan yakni:
1. Persiapan Penelitian
Pada tahap ini, peneliti melakukan pengambilan data awal mengenai
das sollen dan dan das sein terkait penelitian yang akan dilakukan. Setelah
itu, peneliti melakukan wawancara kepada beberapa relawan bencana dan
mengumpulkan literatur untuk memperkuat hasil fenomena penelitian.
Setelah itu, peneliti mulai menyusun literatur dan data lapangan yang telah
diperoleh.
Proses selanjutnya yaitu peneliti mulai menyusun bab satu yang di
dalamnya terdapat latar belakang penelitian, rumusan masalah dan tujuan
serta manfaat penelitian yang akan dilaksanakan berdasarkan temuan-
temuan data lapangan dan literatur yang diperoleh. Setelah itu, peneliti
melanjutkan mengerjakan bab dua yang di dalamnya terdapat tinjauan
97
pustaka mengenai teori-teori terkait variabel penelitian. Kemudian, peneliti
mengerjakan bab tiga yang di dalamnya terdapat metode penelitian yang
akan digunakan selama penelitian.
2. Tahap Penelitian (Pengumpulan Data)
Pada tahap ini, peneliti telah selesai melakukan seminar proposal
sehingga langkah selanjutnya peneliti mulai mempersiapkan alat ukur yang
akan digunakan dalam pengambilan data penelitian. Sebelum itu, peneliti
melakukan adaptasi alat ukur yang kemudian melakukan uji validitas isi
sebelum alat ukur yang dilakukan disebar kepada calon responden yakni
relawan daerah bencana. Setelah itu, peneliti peneliti menyebarkan alat ukur
yang telah diperbaiki menggunakan google form dan mendapatkan sekitar
277 calon responden. Kemudian, dari pengumpulan data yang dilakukan
peneliti melakukan uji validitas konstruk kepada 214 responden.
3. Tahap Pengolahan Data
Peneliti mengolah data responden yang telah diterima yakni sebanyak
242 relawan. Peneliti melakukan uji asumsi menggunakan bantuan SPSS 20
for windows yang dilaksanakan pada awal agustus. Uji asumsi yang
dilakukan peneliti untuk mengetahui hasil data yang diperoleh. Hasil analisis
data yang telah dilakukan merupakan langkah awal yang dilakukan dalam
menyusun bab empat dan lima. Peneliti memerlukan waktu selama delapan
bulan yakni dimulai pada bulan Februari hingga September melalui
bimbingan intensif.
98
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Demografi Responden
Subjek dalam penelitian ini merupakan relawan bencana baik laki-laki
maupun perempuan di Sulawesi Selatan yang minimal telah berkontribusi dalam
medan bencana sebanyak dua kali. Adapun total responden dalam penelitian ini
sebanyak 242 relawan bencana yang dipaparkan gambaran secara umum
subjek penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Kelamin
Subjek dalam penelitian ini terdiri dari beberapa laki-laki dan perempuan.
Adapun hasil yang didapatkan ialah sebanyak 170 (70,2%) relawan berjenis
kelamin laki-laki dan sebanyak 72 (29,8%) relawan bencana berjenis kelamin
perempuan dari 242 total responden yang ada.
Gambar 4.1 Diagram Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
2. Usia
Subjek dalam penelitian ini memiliki usia yang berbeda-beda mulai dari
18 tahun hingga usia yang lebih dari 33 tahun. Adapun keseluruhan subjek
yang memiliki usia antara 18 sampai dengan 22 tahun sebanyak 103 orang
170
72
Laki-Laki Perempuan
98
99
(42,4%), subjek yang memiliki usia antara 23 hingga 27 tahun sebanyak 89
orang (36,8%), usia dari 28 sampai dengan 32 tahun sebanyak 25 orang
(10,3%) dan subjek yang usianya sama atau di atas dari 33 tahun sebanyak
25 orang (10,3%).
Gambar 4.2 Diagram Subjek Berdasarkan Usia
3. Domisili
Subjek dalam penelitian ini menetap dari berbagai daerah di Sulawesi
Selatan, sehingga dikelompokkan menjadi dua yakni subjek yang menetap di
Makassar dan di luar Makassar. Adapun hasil yang ditemukan ialah
sebanyak 78 (32,2%) subjek yang tinggal di daerah Makassar dan sebanyak
164 (67,8%) responden yang menetap diluar Makassar.
Gambar 4.3 Diagram Subjek Berdasarkan Domisili
103 89
25 25
18-22 Tahun 23-27 Tahun 28-32 Tahun >33 Tahun
78
162
Makassar Luar Makassar
100
4. Suku
Subjek dalam penelitian ini terdiri dari beberapa suku. Adapun dari suku
Makassar sebanyak 49 subjek (20,2%), suku Bugis terdiri dari 112 subjek
(46,3%), suku Mandar sebanyak 4 subjek (1,7%), suku Toraja 24 orang
(9,9%) dan suku lainnya (3 Massenrempulu, 8 Jawa, 3 Gorontalo, 4 Ternate,
1 Kabana, 1 Rahampu, 5 Maluku, 4 Wotu, 3 Ambon, 1 Melayu, 1 Pamona, 2
NTT, 1 Aceh, 2 Bima, 1 Saluan, 1 Kaili, 1 Duri, 1 Kalabahi, 4 Wajo, 1
Minangkabau, 2 Buton, 2 Flores, 1 Kei) diluar dari keempat suku yang ada
dan turut berkontribusi dalam penelitian ini sebanyak 53 orang (21,9%)
Gambar 4.5 Diagram Subjek Berdasarkan Suku
5. Pekerjaan
Subjek dalam penelitian ini memiliki latar pekerjaan yang berbeda.
Adapun hasil yang diperoleh ialah sebanyak 119 (49.2%) subjek berlatar
belakang sebagai mahasiswa, 25 (10,3%) subjek bekerja sebagai
wiraswasta, 23(9,5%) subjek yang memiliki latar belakang sebagai karyawan.
Pada responden yang memiliki pekerjaan yang lain (3 IRT, 7 Honorer, 4
Staff, 6 PNS, 8 Freelance, 2 petani, 3 Surveyor, 5 Relawan, 3 Dosen, 2
Buruh, 1 Pelindo, 1 Pemadam 1 Kebakaran, 4 Pekerja Serabutan, 1 Dokter,
4 Perawat, 2 Konsultan, 5 Guru, 9 tidak ada, 4 pelajar ) diluar dari ketiga jenis
49
112
4
24
53
Makassar Bugis Mandar Toraja Lainnya
101
pekerjaan di atas sebanyak 75 orang (31%). Berikut digambarkan hasil yang
didapatkan dalam bentuk diagram.
Gambar 4.6 Diagram Subjek Berdasarkan Pekerjaan
6. Tahun Menjadi Relawan
Subjek dalam penelitian ini menjadi relawan sejak beberapa waktu yang
lalu. Adapun hasil yang didapatkan bahwa subjek yang menjadi relawan dari
2016-2020 sebanyak 137 orang (56,6%), subjek yang menjadi relawan sejak
20011-2015 sebanyak 62 orang (25,6%), subjek yang menjadi relawan sejak
2006-2010 sebanyak 26 orang (10,7%), 11 subjek (4,5%) yang telah menjadi
relawan semenjak tahun 2001-2005 dan terdapat 6 subjek (2,5%) yang telah
menjadi relawan dari tahun 2000 an. Adapun hasil yang didapatkan tersebut
telah dijabarkan dalam bentuk diagram berikut.
Gambar 4.7 Diagram Subjek Berdasarkan Tahun Menjadi Relawan
119
25 23
75
Mahasiswa Wiraswasta Karyawan Lainnya
137
62 26 11 6
2020-2016 2015-2011 2010-2006 2005-2001 <2000
102
7. Berapa Kali Menjadi Relawan
Subjek dalam penelitian ini merupakan relawan yang telah beberapa kali
berkontribusi dalam medan bencana. Sesuai dari hasil yang didapatkan dari
242 responden yang diperoleh sebanyak 175 (72,3,%) relawan yang telah
berkontribusi sebanyak 2 sampai 5 kali dalam medan bencana, 40 (16,5%)
subjek yang telah menjadi relawan di medan bencana sebanyak 6 sampai 10
kali, 4 (1,4%%) relawan yang telah berkontribusi sebanyak 11 sampai 15 kali
dalam medan bencana, 4 (1,4%) relawan yang telah berkontribusi sebanyak
16 sampai 20 kali dalam medan bencana dan sebanyak 19 (7,9%) relawan
yang telah berkontribusi lebih dari 21 kali dalam medan bencana, Berikut
hasil yang diperoleh dijabarkan dalam bentuk diagram.
Gambar 4.8 Diagram Subjek Berdasarkan Berapa Kali Menjadi Relawan
B. Hasil Analisis Deskriptif Variabel Penelitian
Hasil analisis deskriptif variabel penelitian ini diolah dengan menggunakan
bantuan aplikasi SPSS 20 for Windows. Analisis ini dilakukan untuk
mendeskripsikan hasil data penelitian yang diperoleh. Adapun pengkategorian
yang digunakan dalam menganalisis data terdiri dari lima kategori yakni sangat
175
40 4 4 19
2-5 kali 6-10 kali 11-15 kali 16-20 kali >21 kali
103
tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Berikut tabel untuk
menentukan kategorisasi skor.
Tabel 4.1 Kategorisasi Skor
Kategorisasi Penormaan Rumus Kategorisasi
Sangat Tinggi X > ( ̅ + 1.5 SD)
Tinggi ( ̅ + 0.5 SD) < ≤ ( ̅ + 1.5 SD)
Sedang ( ̅ – 0.5 SD) < ≤ ( ̅ + 0.5 SD)
Rendah ( ̅ – 1.5 SD ) < ≤ ( ̅ – 0.5 SD)
Sangat Rendah ( ̅ – 1.5 SD ) > X
1. Deskriptif Altruisme Pada Relawan Bencana
Hasil analisis deskriptif yang diperoleh melalui program SPSS 20.
Tabel 4.2 Hasil Analisis Altruisme
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Altruisme 242 26 98 62.47 13.162
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa variabel altruisme
dengan jumlah responden sebanyak 242 ini memiliki nilai minimum atau nilai
skor yang paling rendah didapatkan ialah sebesar 26 dan nilai maximum
atau nilai skor yang paling tinggi didapatkan ialah sebesar 98. Adapun nilai
mean yang diperoleh ialah 62.47 dan standar deviasi yakni 13.162. Pada
analisis data ini peneliti menggunakan 5 kategorisasi yakni sangat tinggi,
tinggi,sedang, rendah dan sangat rendah dengan rumus sebagai berikut:
Tabel 4.3 Hasil Kategorisasi Altruisme
Kategorisasi Penormaan
Rumus Kategorisasi Hasil
Kategorisasi Frekuensi
Sangat Tinggi X > ( ̅ + 1.5 SD) X > 82.21 22
Tinggi ( ̅ + 0.5 SD) < ≤ ( ̅ + 1.5 SD) 69.05 < ≤ 82.21 44
Sedang ( ̅ – 0.5 SD) < ≤ ( ̅ + 0.5 SD) 55.89 < ≤ 69.05 97
Rendah ( ̅ – 1.5 SD ) < ≤ ( ̅ – 0.5 SD) 42.73 < ≤ 55.89 79
Sangat Rendah ( ̅ – 1.5 SD ) > X 42.73 > X 0
Ket: x̅ = mean ; sd = standar deviasi
104
Hasil analisis menggunakan rumus di atas diketahui bahwa pada
variabel dari 242 responden terdapat 22 responden yang memiliki skor
sangat tinggi dengan persentase 9.1%%, terdapat 44 responden yang
termasuk dalam kategori tinggi dengan persentase sebesar 18.2%. Selain
itu, dapat pula dilihat bahwa terdapat 97 responden dengan kategori
sedang sehingga memiliki persentase sebesar 40.1%. kemudian dapat
diketahui pula sebanyak 79 responden dengan kategori rendah dengan
persentase sebesar 32.6% dan tidak didapatkan responden yang memiliki
kategori sangat rendah. Berdasarkan hasil data yang telah dilakukan maka
dapat diketahui bahwa kebanyakan responden memperoleh kategori
sedang untuk variabel altruisme.
Gambar 4.9.Diagram berdasarkan tingkat skor altruisme
2. Deskriptif Big Five Personality
Analisis data untuk Big Five Personality dilakukan dengan
menjabarkan deskriptif masing-masing dimensi diantaranya:
a. Deskriptif Big Five Personality Dimensi Extraversion
Berikut hasil analisis deskriptif yang diperoleh melalui program SPSS 20
for Windows.
22
44
97
79
0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah SangatRendah
105
Tabel 4.4 Hasil Analisis Dimensi Extraversion
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Extraversion 242 10 46 31.72 4.890
Berdasarkan tabel 4.3 dapat diketahui bahwa variabel Big Five
Personality dimensi Extraversion dengan jumlah responden sebanyak
242 ini memiliki nilai minimum atau nilai skor yang paling rendah
sebesar 10 dan nilai maximum atau nilai skor yang paling tinggi yang
didapatkan ialah sebesar 46. Adapun nilai mean yang diperoleh ialah
31.72 dan standar deviasi yakni 4.890.
Tabel 4.5 Hasil Kategorisasi Extraversion
Kategorisasi Penormaan
Rumus Kategorisasi Hasil
Kategorisasi Frekuensi
Sangat Tinggi X > ( ̅ + 1.5 SD) X > 39.06 10
Tinggi ( ̅ + 0.5 SD) < ≤ ( ̅ + 1.5 SD) 34.17 < ≤ 39.06 61
Sedang ( ̅ – 0.5 SD) < ≤ ( ̅ + 0.5 SD) 29.27 < ≤ 34.17 100
Rendah ( ̅ – 1.5 SD ) < ≤ ( ̅ – 0.5 SD) 24.38 < ≤ 29.27 71
Sangat Rendah ( ̅ – 1.5 SD ) > X 24.38 > X 0
Ket: x̅ = mean ; sd = standar deviasi
Hasil analisis menggunakan rumus di atas diketahui bahwa pada
variabel Big Five Personality dimensi Extraversion dari 242 responden
terdapat 10 responden yang memiliki skor tinggi dengan persentase
4.1%%, terdapat 61 responden yang termasuk dalam kategori tinggi
dengan persentase sebesar 25.2%. Selain itu, dapat pula dilihat bahwa
terdapat 100 responden dengan kategori sedang sehingga memiliki
persentase sebesar 41.3%. Kemudian dapat diketahui pula sebanyak
71 responden dengan kategori rendah dengan persentase sebesar 29.3%
dan tidak didapatkan responden yang memiliki kategori sangat rendah
106
pada dimensi ini. Sehingga berdasarkan hasil data yang telah diperoleh
maka dapat diketahui bahwa kebanyakan responden memperoleh
kategori sedang untuk variabel Big Five Personality dimensi
Extraversion.
b. Deskriptif Big Five Personality Dimensi Agreeableness
Berikut hasil analisis deskriptif yang diperoleh melalui program
SPSS 20 for Windows.
Tabel 4.6 Hasil Analisis Dimensi Agreeableness
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Agreeableness 242 9 29 20.02 3.646
Berdasarkan tabel 4.4 dapat diketahui bahwa variabel Big Five
Personality dimensi Agreeableness dengan jumlah responden sebanyak
242 ini memiliki nilai minimum atau nilai skor yang paling rendah
sebesar 9 dan nilai maximum atau nilai skor yang paling tinggi yang
didapatkan ialah sebesar 29. Adapun nilai mean yang diperoleh ialah
20.02 dan standar deviasi yakni 3.646. Pada analisis data ini peneliti
menggunakan 5 kategorisasi yakni sangat tinggi, tinggi,sedang, rendah
dan sangat rendah dengan rumus sebagai berikut:
Tabel 4.7 Hasil Kategorisasi Agreeableness
Kategorisasi Penormaan
Rumus Kategorisasi Hasil
Kategorisasi Frekuensi
Sangat Tinggi X > ( ̅ + 1.5 SD) X > 22.5 15
Tinggi ( ̅ + 0.5 SD) < ≤ ( ̅ +1.5 SD) 21.83 < ≤ 22.5 73
Sedang ( ̅ – 0.5 SD) < ≤ ( ̅ +0.5 SD) 18.19< X≤ 21.83 77
Rendah ( ̅ –1.5 SD )< ≤ ( ̅ –0.5 SD) 14.54< ≤18.19 60
Sangat Rendah ( ̅ –1.5 SD )>X 14.54 > X 17
Ket: x̅ = mean ; sd = standar deviasi
107
Hasil analisis menggunakan rumus di atas diperoleh hasil bahwa
pada variabel Big Five Personality dimensi Agreeableness dari 242
responden terdapat 15 responden yang memiliki skor sangat tinggi
dengan persentase 6.2%%, terdapat 73 responden yang termasuk
dalam kategori tinggi dengan persentase sebesar 30.2%. Selain itu,
dapat pula dilihat bahwa terdapat 77 responden dengan kategori
sedang sehingga memiliki persentase sebesar 31.8%. Kemudian dapat
diketahui pula sebanyak 60 responden dengan kategori rendah dengan
persentase sebesar 24.8% dan terdapat 17 responden yang memiliki
kategori sangat rendah dengan persentase sebesar 7%. Sehingga,
berdasarkan hasil data yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa
kebanyakan responden memperoleh kategori tinggi untuk variabel Big
Five Personality dimensi Agreeableness.
c. Deskriptif Big Five Personality Dimensi Conscientiousness
Tabel 4.8 Hasil Analisis Dimensi Conscientiousness
N Minimum Maximum Mean Std.
Deviation
Conscientiousness 242 23 45 32.74 4.467
Berdasarkan tabel 4.8 diketahui variabel Big Five Personality
dimensi Conscientiousness dengan jumlah responden sebanyak 242 ini
memiliki nilai minimum sebesar 23 dan nilai maximum sebesar 45.
Adapun nilai mean yang diperoleh ialah 32.74 dan standar deviasi yakni
4.467. Pada analisis data peneliti menggunakan 5 kategorisasi yakni
sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah
108
Tabel 4.9 Hasil Kategorisasi Conscientiousness
Kategorisasi Penormaan
Rumus Kategorisasi Hasil
Kategorisasi Frekuensi
Sangat Tinggi X > ( ̅ + 1.5 SD) X > 39.45 19
Tinggi ( ̅ +0.5 SD)< ≤ ( ̅ +1.5 SD) 34.98 < ≤ 39.45 134
Sedang ( ̅ –0.5 SD)< ≤ ( ̅ +0.5 SD) 30.5 < ≤ 34.98 74
Rendah ( ̅ – 1.5 SD) < ≤ ( ̅ –0.5 SD) 26.03 < ≤ 30.5 0
Sangat Rendah ( ̅ – 1.5 SD ) > X 26.03 > X 15
Ket: x̅ = mean ; sd = standar deviasi
Hasil analisis menggunakan rumus di atas diperoleh hasil bahwa
pada variabel Big Five Personality dimensi Conscientiousness dari 242
responden terdapat 19 responden yang memiliki skor sangat tinggi
dengan persentase 7.9%, terdapat 134 responden yang termasuk
dalam kategori tinggi dengan persentase sebesar 55.4%. Selain itu,
dapat pula dilihat bahwa terdapat 74 responden dengan kategori
sedang sehingga memiliki persentase sebesar 30.6%. Kemudian dapat
diketahui bahwa tidak terdapat responden dengan kategori rendah dan
terdapat 15 responden yang memiliki kategori sangat rendah dengan
persentase sebesar 6.2%. Sehingga, berdasarkan hasil data yang telah
diperoleh dapat diketahui bahwa kebanyakan responden memperoleh
kategori tinggi untuk variabel Big Five Personality dimensi
Conscientiousness
d. Deskriptif Big Five Personality Dimensi Neuroticism
Berikut hasil analisis deskriptif yang diperoleh melalui program SPSS 20
Tabel 4.10 Hasil Analisis Dimensi Neuroticism
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Neuroticism 242 7 34 20.74 3.623
109
Berdasarkan tabel 4.10 dapat diketahui bahwa variabel Big Five
Personality dimensi Neuroticism dengan jumlah responden sebanyak
242 ini memiliki nilai minimum atau nilai skor yang paling rendah
sebesar 7 dan nilai maximum atau nilai skor yang paling tinggi yang
didapatkan ialah sebesar 34. Adapun nilai mean yang diperoleh ialah
20.74 dan standar deviasi yakni 3.623. Pada analisis data ini peneliti
menggunakan 5 kategorisasi yakni sangat tinggi, tinggi,sedang, rendah
dan sangat rendah dengan rumus sebagai berikut:
Tabel 4.11 Hasil Kategorisasi Neuroticism
Kategorisasi Penormaan
Rumus Kategorisasi Hasil
Kategorisasi Frekuensi
Sangat Tinggi X > ( ̅ + 1.5 SD) X > 26.17 7
Tinggi ( ̅ +0.5 SD) < ≤ ( ̅ +1.5 SD) 22.55 < ≤ 26.17 64
Sedang ( ̅ –0.5 SD) < ≤ ( ̅+ 0.5 SD) 18.93 < ≤ 22.5 109
Rendah ( ̅ –1.5 SD) < ≤ ( ̅ –0.5 SD) 15.31 < ≤ 18.93 48
Sangat Rendah ( ̅ – 1.5 SD ) > X 15.31 > X 14
Ket: x̅ = mean ; sd = standar deviasi
Hasil analisis menggunakan rumus di atas diperoleh hasil bahwa
pada variabel Big Five Personality dimensi Neuroticism dari 242
responden terdapat 7 responden yang memiliki skor sangat tinggi
dengan persentase 2.9%, terdapat 64 responden yang termasuk dalam
kategori tinggi dengan persentase sebesar 26.4%. Selain itu, dapat pula
dilihat bahwa terdapat 109 responden dengan kategori sedang sehingga
memiliki persentase sebesar 45%. Kemudian dapat diketahui pula
sebanyak 48 responden dengan kategori rendah dengan persentase
sebesar 19.8% dan terdapat 14 responden yang memiliki kategori
sangat rendah dengan persentase sebesar 5.8%. Sehingga,
110
berdasarkan hasil data yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa
kebanyakan responden memperoleh kategori sedang untuk variabel Big
Five Personality dimensi Neuroticisms.
e. Deskriptif Big Five Personality Dimensi Openness To Experience
Berikut hasil analisis deskriptif yang diperoleh melalui program SPSS 20
for Windows.
Tabel 4.12 Hasil Analisis Dimensi Openness To Experience
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Openness To Experience
242 12 30 20.20 2.729
Berdasarkan tabel 4.12 dapat diketahui bahwa variabel Big Five
Personality dimensi Openness To Experience dengan jumlah responden
sebanyak 242 ini memiliki nilai minimum atau nilai skor yang paling
rendah sebesar 12 dan nilai maximum atau nilai skor yang paling tinggi
yang didapatkan ialah sebesar 30. Adapun nilai mean yang diperoleh
ialah 20.20 dan standar deviasi yakni 2.729. Pada analisis data ini
peneliti menggunakan 5 kategorisasi yakni sangat tinggi, tinggi,sedang,
rendah dan sangat rendah dengan rumus sebagai berikut:
Tabel 4.13 Hasil Kategorisasi Openness To Experience
Kategorisasi Penormaan
Rumus Kategorisasi Hasil
Kategorisasi Frek
Uensi
Sangat Tinggi X > ( ̅ + 1.5 SD) X > 24.3 16
Tinggi ( ̅ +0.5 SD) < ≤ ( ̅ +1.5 SD) 21.57 < ≤ 24.3 115
Sedang ( ̅ –0.5 SD)< ≤ ( ̅ +0.5 SD) 18.83 < ≤ 21.57 97
Rendah ( ̅ –1.5 SD) < ≤ ( ̅–0.5 SD) 16.11 < ≤ 18.83 0
Sangat Rendah ( ̅ – 1.5 SD ) > X 16.11 > X 14
Ket: x̅ = mean ; sd = standar deviasi
111
Hasil analisis menggunakan rumus di atas diperoleh hasil bahwa
pada variabel Big Five Personality dimensi Openness To Experience
dari 242 responden terdapat 16 responden yang memiliki skor sangat
tinggi dengan persentase 6.6%, terdapat 115 responden yang termasuk
dalam kategori tinggi dengan persentase sebesar 47.5%. Selain itu,
dapat pula dilihat bahwa terdapat 97 responden dengan kategori
sedang sehingga memiliki persentase sebesar 40.1%. Kemudian dapat
diketahui pula tidak terdapat responden yang memiliki kategori rendah
dan terdapat 14 responden yang memiliki kategori sangat rendah
dengan persentase sebesar 5.8%. Sehingga, berdasarkan hasil data
yang telah diperoleh dapat diketahui bahwa kebanyakan responden
memperoleh kategori tinggi untuk variabel Big Five Personality dimensi
Openness To Experience.
B. Deskriptif Variabel Berdasarkan Demografi
1. Deskriptif Altruisme Berdasarkan Demografi
Gambar 4.9 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan diagram pada bagian di atas maka dapat diketahui bahwa
laki-laki yang memperoleh nilai sangat tinggi sebanyak 16 responden, 27
16 27
72 55
0 6 17 25 24
0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Laki-Laki Perempuan
112
responden laki-laki yang memperoleh nilai tinggi, 72 responden yang
memperoleh nilai sedang. Selain itu, dapat diketahui pula bahwa pada
kategori rendah sebanyak 55 responden laki-laki dan tidak terdapat
responden laki-laki yang mendapatkan kategori sangat rendah
Berdasarkan diagram pada bagian di atas maka dapat diketahui bahwa
perempuan yang memperoleh nilai sangat tinggi sebanyak 6 responden, 17
responden perempuan yang memperoleh nilai tinggi, 15 responden yang
memperoleh nilai sedang. Selain itu, dapat diketahui pula bahwa pada
kategori rendah sebanyak 24 responden dan tidak terdapat responden
perempuan yang mendapatkan kategori sangat rendah
Gambar 4.10 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Usia
Hasil analisis total skor Altruisme berdasarkan usia pada diagram di
atas dapat diketahui bahwa pada rentan usia 18-22 tahun terdapat 8
responden yang memperoleh skor yang sangat tinggi, terdapat 18
responden yang memperoleh skor tinggi, 41 responden yang berada pada
kategori sedang. Sedangkan, terdapat 36 responden yang memperoleh nilai
rendah dan tidak terdapat responden yang memperoleh skor sangat rendah.
Jadi, dapat diketahui bahwa pada usia 18-22 responden paling banyak
memperoleh skor sedang.
8 18
41 36
0 9
16
37 27
0 3 4 12
6 0 2 6 7 10
0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
18-22 Tahun 23-27 Tahun 28-32 Tahun >33 Tahun
113
Pada usia 23-27 tahun terdapat 9 responden yang memperoleh skor
sangat tinggi, 16 responden memiliki skor tinggi, 37 responden dengan
kategori sedang, 27 responden dengan skor rendah dan tidak terdapat
responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat diketahui
bahwa pada usia 23-27 responden paling banyak memperoleh skor sedang.
Hasil uraian diagram batang di atas menunjukkan deskripsi skor pada
usia 28-32 dapat diketahui bahwa terdapat 3 responden yang memperoleh
skor sangat tinggi, 4 responden dengan skor tinggi, 12 responden dengan
kategori sedang, 6 responden dengan skor rendah serta tidak terdapat
responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat diketahui
bahwa pada usia 28-32 responden paling banyak memperoleh skor sedang
Altruisme berdasarkan usia pada diagram di atas dapat diketahui bahwa
pada usia di atas 33 tahun terdapat 2 responden yang memperoleh skor
yang sangat tinggi, terdapat 6 responden yang memperoleh skor tinggi, 7
responden yang berada pada kategori sedang. Sedangkan, terdapat 10
responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat responden
yang memperoleh skor sangat rendah. Jadi, dapat diketahui bahwa pada
usia di atas 33 tahun responden paling banyak memperoleh skor rendah.
Gambar 4.11 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Domisili
9 16
29 24
0 13
28
68 55
0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat RendahMakassar Luar Makassar
114
Berdasarkan hasil analisis diagram yang diperoleh terkait altruisme
berdasarkan domisili di Makassar maka didapatkan hasil bahwa terdapat 9
responden yang memperoleh kategori skor sangat tinggi, 16 responden
tinggi, 29 responden sedang, 24 responden yang memperoleh nilai yang
rendah dan tidak terdapat responden yang memiliki skor kategori sangat
rendah yang berdomisili di Makassar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
responden paling banyak memiliki kategori sedang.
Berdasarkan hasil analisis diagram yang diperoleh terkait altruisme
berdasarkan responden yang berdomisili di luar Makassar maka didapatkan
hasil bahwa terdapat 13 responden yang memperoleh kategori skor sangat
tinggi, 28 responden dengan kategori tinggi, 68 responden dengan kategori
sedang, 55 responden yang memperoleh nilai yang rendah dan tidak
terdapat responden yang memiliki skor kategori sangat rendah yang
berdomisili di luar Makassar. . Sehingga dapat disimpulkan bahwa
responden paling banyak memiliki kategori sedang.
Gambar 4.12 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Suku
Pada hasil diagram batang altruisme berdasarkan suku maka dapat
diketahui bahwa pada suku Makassar terdapat 3 responden yang
3 8
24 14
0
13 20
41 38
0 0 1 1 2 0 3 6 10 5
0 3 9
21 20
0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Makassar Bugis Mandar Toraja Lainnya
115
memperoleh skor sangat tinggi, 8 responden yang memperoleh skor tinggi,
24 responden dengan kategori sedang, 14 responden dengan kategori
rendah dan tidak terdapat responden dengan kategori sangat rendah.
Sehingga dapat diketahui bahwa pada suku Makassar paling banyak
responden memperoleh skor sedang.
Pada suku Bugis terdapat 13 responden yang memiliki skor sangat
tinggi, 20 responden dengan skor tinggi, 41 responden dengan skor sedang,
38 responden yang memperoleh skor rendah dan tidak terdapat responden
yang berasal dari suku Bugis yang memperoleh skor sangat rendah. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa pada suku Bugis responden paling banyak
memperoleh skor sedang.
Pada hasil analisis altruisme berdasarkan suku Mandar dapat diketahui
bahwa tidak terdapat responden yang termasuk dalam kategori sangat tinggi,
1 responden dengan kategori tinggi, 1 responden dengan kategori sedang, 2
responden dengan kategori rendah dan tidak terdapat responden yang
bersuku Mandar memiliki kategori sangat rendah
Hasil diagram batang Toraja menunjukkan hasil bahwa 3 responden
yang memperoleh skor sangat tinggi, 6 responden yang memperoleh kategori
tinggi, 10 responden yang memperoleh nilai sedang, 5 responden yang
memiliki kategori rendah dan tidak terdapat responden yang memiliki kategori
sangat rendah berasal dari Toraja. Dengan demikian, diperoleh hasil bahwa
responden berdasarkan suku toraja paling banyak memperoleh skor sedang.
116
Hasil dari suku lainnya (3 Massenrempulu, 8 Jawa, 3 Gorontalo, 4
Ternate, 1 Kabana, 1 Rahampu, 5 Maluku, 4 Wotu, 3 Ambon, 1 Melayu, 1
Pamona, 2 NTT, 1 Aceh, 2 Bima, 1 Saluan, 1 Kaili, 1 Duri, 1 Kalabahi, 4
Wajo, 1 Minangkabau, 2 Buton, 2 Flores, 1 Kei) memperoleh hasil bahwa
terdapat 3 responden yang memperoleh skor sangat tinggi, 9 responden
dengan kategori tinggi, 21 responden memperoleh skor sedang, 20
responden memperoleh skor rendah dan tidak terdapat responden
memperoleh skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
suku lainnya responden paling banyak memperoleh skor sedang.
Gambar 4.13 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan hasil diagram batang mengenai altruisme terkait
pekerjaan sebagai mahasiswa menjelaskan bahwa terdapat 8 mahasiswa
dengan kategori sangat tinggi, 20 responden dengan skor tinggi, 44
responden memperoleh skor sedang, 47 responden dengan skor rendah dan
tidak terdapat responden dengan kategori sangat rendah. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa altruisme berdasarkan pekerjaan sebagai
mahasiswa responden paling banyak mendapatkan skor rendah.
8
20
44 47
0 1 7 9 8
0 2 2
11 8
0
11 15
33
16
0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Mahasiswa Wirswasta Karyawan Lainnya
117
Berdasarkan hasil analisis diagram batang yang diperoleh maka dapat
diketahui bahwa altruisme berdasarkan pekerjaan wiraswasta terdapat 1
responden yang memiliki skor sangat tinggi, 7 responden dengan kategori
tinggi, 9 responden dengan kategori sedang, 8 responden dengan skor
rendah dan tidak terdapat responden yang memiliki skor sangat rendah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa responden paling banyak
memiliki skor sedang pada altruisme terkait pekerjaan sebagai wiraswasta.
Pada hasil altruisme berkaitan dengan pekerjaan sebagai karyawan
diketahui bahwa 2 responden yang memiliki skor sangat tinggi. 2 responden
dengan skor tinggi, 11 responden memiliki kategori sedang dan 11
responden dengan kategori rendah serta tidak terdapat responden yang
memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa altruisme
berdasarkan jenis pekerjaan sebagai karyawan responden paling banyak
memperoleh skor sedang.
Pada hasil lainnya (3 IRT, 7 Honorer, 4 Staff, 6 PNS, 8 Freelance, 2
petani, 3 Surveyor, 5 Relawan, 3 Dosen, 2 Buruh, 1 Pelindo, 1 Pemadam 1
Kebakaran, 4 Pekerja Serabutan, 1 Dokter, 4 Perawat, 2 Konsultan, 5 Guru,
9 tidak ada, 4 pelajar) menjelaskan bahwa terdapat 11 responden
memperoleh nilai skor sangat tinggi, 15 responden memiliki skor tinggi, 33
responden sedang, 16 responden rendah dan tidak terdapat responden yang
memiliki skor yang sangat rendah. Sehingga dapat diketahui bahwa pada
altruisme berdasarkan pekerjaan lainnya responden paling banyak
mendapatkan skor rendah.
118
Gambar 4.14 Diagram Deskriptif Altruisme Berdasarkan Tahun Relawan
Hasil uraian altruisme berdasarkan tahun menjadi relawan sejak
2016-2020 diketahui bahwa terdapat 10 responden yang memiliki skor
sangat tinggi, 18 responden dengan kategori tinggi, 59 responden yang
memiliki skor sedang dan 50 skor yang memiliki nilai rendah serta tidak
terdapat responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa relawan sejak 2016-2020 responden paling banyak
memiliki skor sedang.
Relawan pada tahun 2011-2015 diketahui bahwa 6 responden dengan
skor sangat tinggi, 15 responden memperoleh nilai tinggi, 22 responden
dengan kategori sedang, 19 responden dengan skor rendah dan tidak
terdapat responden dengan skor sangat rendah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada uraian altruisme berdasarkan tahun menjadi
relawan sejak 2011-2015 responden paling banyak memiliki skor sedang.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan pada tahun 2010-2006 menjelaskan
bahwa sebanyak 5 responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 7
responden dengan skor tinggi, 8 responden yang memperoleh kategori
10 18
59 50
0 6 15
22 19
0 5 7 8 6 0 1 2 4 4 0 0 2 4 0 0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
2020-2016 2015-2011 2010-2006 2005-2001 >2000
119
sedang, 6 responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan pada tahun 2005-2001 menjelaskan
bahwa sebanyak 1 responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 2
responden dengan skor tinggi, 4 responden yang memperoleh kategori
sedang, 4 responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah. Berdasarkan hal tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa altruisme berdasarkan tahun menjadi
relawan sejak 2005-2001 responden paling banyak memperoleh skor sedang
dan rendah.
Altruisme berdasarkan relawan sejak tahun >2000 diketahui bahwa
tidak ada responden dengan skor sangat tinggi, 2 responden nilai tinggi, 4
responden dengan kategori sedang, tidak ada responden dengan skor
rendah dan tidak terdapat responden dengan skor sangat rendah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada uraian altruisme berdasarkan tahun menjadi
relawan sejak >2000 responden paling banyak memiliki skor sedang.
Gambar 4.15 diagram deskriptif altruisme berdasarkan berapa kali menjadi relawan
12
28
67 68
0 6 8
19 7
0 0 0 2 2 0 1 1 2 0 0 3 7 7 2 0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
2-5 6-10 11-15 16-20 >21
120
Hasil uraian altruisme berdasarkan 2-5 kali menjadi relawan
diketahui bahwa terdapat 12 responden yang memiliki skor sangat tinggi, 28
responden dengan kategori tinggi, 67 responden yang memiliki skor sedang
dan 68 skor yang memiliki nilai rendah serta tidak terdapat responden yang
memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa responden
yang pernah 2-5 kali menjadi relawan paling banyak memiliki skor rendah.
Uraian altruisme berdasarkan 6-10 kali relawan diketahui bahwa 6
responden dengan skor sangat tinggi, 8 responden memperoleh nilai tinggi,
19 responden dengan kategori sedang, 7 responden dengan skor rendah dan
tidak terdapat responden dengan skor sangat rendah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada uraian altruisme berdasarkan 6-10 kali menjadi
relawan responden paling banyak memiliki skor sedang.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan sebanyak 11-15 kali menjelaskan bahwa
tidak terdapat responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, tidak ada
responden dengan skor tinggi, 2 responden yang memperoleh kategori
sedang, 2 responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan sebanyak 16-20 kali menjelaskan bahwa
sebanyak 1 responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 1 responden
dengan skor tinggi, 2 responden yang memperoleh kategori sedang, tidak
ada responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat responden
121
yang memiliki nilai skor sangat rendah. Berdasarkan hal tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa altruisme berdasarkan tahun menjadi relawan
sejak 2005-2001 responden paling banyak memperoleh skor sedang.
Altruisme berdasarkan responden lebih dari 21 kali menjadi relawan
diketahui bahwa 3 responden dengan skor sangat tinggi, 7 responden
memperoleh nilai tinggi, 7 responden dengan kategori sedang, 2 responden
dengan skor rendah dan tidak terdapat responden dengan skor sangat
rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada uraian altruisme
berdasarkan lebih dari 21 kali menjadi relawan responden paling banyak
memiliki skor tinggi dan sedang.
2. Deskripsi Big Five Personality Berdasarkan Demografi
a. Deskripsi Big Five Personality : Extraversion
Gambar 4.16 Diagram Deskripsi Extraversion Berdasarkan Jenis Kelamin
Hasil diagram mengenai extraversion berdasarkan jenis kelamin dapat
diketahui bahwa laki-laki yang memperoleh nilai sangat tinggi sebanyak 6
responden, 41 responden laki-laki yang memperoleh nilai tinggi, 75
responden yang memperoleh nilai sedang. Selain itu, dapat diketahui pula
bahwa pada kategori rendah sebanyak 46 responden laki-laki dan tidak
terdapat responden laki-laki yang mendapatkan kategori sangat rendah
8
41
75
46
0 2 20 25 25
0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Laki-Laki Perempuan
122
Berdasarkan diagram pada bagian di atas maka dapat diketahui bahwa
perempuan yang memperoleh nilai sangat tinggi sebanyak 2 responden, 20
responden perempuan yang memperoleh nilai tinggi, 25 responden yang
memperoleh nilai sedang. Selain itu, dapat diketahui pula bahwa pada
kategori rendah sebanyak 25 responden dan tidak terdapat responden
perempuan yang mendapatkan kategori sangat rendah
Gambar 4.17 Diagram Deskripsi Extraversion Berdasarkan Usia
Hasil analisis total skor extraversion berdasarkan usia pada diagram di
atas dapat diketahui bahwa pada rentan usia 18-22 tahun terdapat 3
responden yang memperoleh skor yang sangat tinggi, terdapat 26
responden yang memperoleh skor tinggi, 44 responden yang berada pada
kategori sedang. Sedangkan, terdapat 30 responden yang memperoleh nilai
rendah dan tidak terdapat responden yang memperoleh skor sangat rendah.
Jadi, dapat diketahui bahwa pada usia 18-22 responden paling banyak
memperoleh skor sedang.
Pada usia 23-27 tahun terdapat 6 responden yang memperoleh skor
sangat tinggi, 22 responden memiliki skor tinggi, 37 responden dengan
kategori sedang, 24 responden dengan skor rendah dan tidak terdapat
3
26
44
30
0 6
22
37
24
0 0 6 9 10
0 1 7 10 7
0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
18-22 Tahun 23-27 Tahun 28-32 Tahun >33 Tahun
123
responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat diketahui
bahwa pada usia 23-27 responden paling banyak memperoleh skor sedang.
Hasil uraian diagram batang di atas menunjukkan deskripsi skor pada
usia 28-32 dapat diketahui bahwa tidak terdapat responden yang
memperoleh skor sangat tinggi, 6 responden dengan skor tinggi, 9 responden
dengan kategori sedang, 10 responden dengan skor rendah serta tidak
terdapat responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat
diketahui bahwa pada usia 28-32 responden paling banyak memperoleh skor
rendah
Extraversion berdasarkan usia pada diagram di atas dapat diketahui
bahwa pada usia di atas 33 tahun terdapat 1 responden yang memperoleh
skor yang sangat tinggi, terdapat 7 responden yang memperoleh skor tinggi,
10 responden yang berada pada kategori sedang. Sedangkan, terdapat 7
responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat responden
yang memperoleh skor sangat rendah. Jadi, dapat diketahui bahwa pada
usia di atas 33 tahun responden paling banyak memperoleh skor sedang.
Gambar 4.18 Diagram Deskripsi Extraversion Berdasarkan Domisili
Berdasarkan hasil analisis diagram yang diperoleh terkait.
extraversion berdasarkan domisili di Makassar maka didapatkan hasil bahwa
5 21 25 27
0 5
40
75
44
0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Makassar Luar Makassar
124
terdapat 5 responden yang memperoleh kategori skor sangat tinggi, 21
responden tinggi, 25 responden sedang, 27 responden yang memperoleh
nilai yang rendah dan tidak terdapat responden yang memiliki skor kategori
sangat rendah yang berdomisili di Makassar. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa responden paling banyak memiliki kategori sedang.
Berdasarkan hasil analisis diagram yang diperoleh terkait.
Extraversion berdasarkan responden yang berdomisili di luar Makassar
maka didapatkan hasil bahwa terdapat 5 responden yang memperoleh
kategori skor sangat tinggi, 40 responden dengan kategori tinggi, 75
responden dengan kategori sedang, 44 responden yang memperoleh nilai
yang rendah dan tidak terdapat responden yang memiliki skor kategori
sangat rendah yang berdomisili di luar Makassar. . Sehingga dapat
disimpulkan bahwa responden paling banyak memiliki kategori sedang.
Gambar 4.19 Diagram Deskripsi Extraversion Berdasarkan Suku
Pada hasil diagram batang Extraversion berdasarkan suku maka dapat
diketahui bahwa pada suku Makassar terdapat 2 responden yang
memperoleh skor sangat tinggi, 11 responden yang memperoleh skor tinggi,
21 responden dengan kategori sedang, 15 responden dengan kategori
2
11
21 15
0 7
27
51
27
0 0 1 1 2 0 0 6 9 9
0 1
16 18 18
0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Makassar Bugis Mandar Toraja Lainnya
125
rendah dan tidak terdapat responden dengan kategori sangat rendah.
Sehingga dapat diketahui bahwa pada suku Makassar paling banyak
responden memperoleh skor sedang.
Pada suku Bugis terdapat 7 responden yang memiliki skor sangat
tinggi, 27 responden dengan skor tinggi, 51 responden dengan skor sedang,
27 responden yang memperoleh skor rendah dan tidak terdapat responden
yang berasal dari suku Bugis yang memperoleh skor sangat rendah. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa pada suku Bugis responden paling banyak
memperoleh skor sedang.
Pada hasil analisis extraversion berdasarkan suku Mandar dapat
diketahui bahwa tidak terdapat responden yang termasuk dalam kategori
sangat tinggi, 1 responden dengan kategori tinggi, 1 responden dengan
kategori sedang, 2 responden dengan kategori rendah dan tidak terdapat
responden yang bersuku Mandar memiliki kategori sangat rendah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada suku Mandar responden paling banyak
memiliki kategori extraversion yang rendah
Hasil diagram batang Toraja menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat
responden yang memperoleh skor sangat tinggi, 6 responden yang
memperoleh kategori tinggi, 9 responden yang memperoleh nilai sedang, 9
responden yang memiliki kategori rendah dan tidak terdapat responden yang
memiliki kategori sangat rendah berasal dari Toraja. Dengan demikian,
diperoleh hasil bahwa responden berdasarkan suku toraja paling banyak
memperoleh skor sedang dan rendah pada dimensi extraversion.
126
Hasil dari suku lainnya (terdiri dari 3 Massenrempulu, 8 Jawa, 3
Gorontalo, 4 Ternate, 1 Kabana, 1 Rahampu, 5 Maluku, 4 Wotu, 3 Ambon, 1
Melayu, 1 Pamona, 2 NTT, 1 Aceh, 2 Bima, 1 Saluan, 1 Kaili, 1 Duri, 1
Kalabahi, 4 Wajo, 1 Minangkabau, 2 Buton, 2 Flores, 1 Kei) memperoleh
hasil bahwa terdapat 1 responden yang memperoleh skor sangat tinggi, 16
responden dengan kategori tinggi, 18 responden memperoleh skor sedang,
18 responden memperoleh skor rendah dan tidak terdapat responden
memperoleh skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
suku lainnya responden paling banyak memperoleh skor sedang dan rendah
pada dimensi extraversion.
Gambar 4.20 Diagram Deskripsi Extraversion Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan hasil diagram batang mengenai Extraversion terkait
pekerjaan sebagai mahasiswa menjelaskan bahwa terdapat 2 mahasiswa
dengan kategori sangat tinggi, 27 responden dengan skor tinggi, 59
responden memperoleh skor sedang, 31 responden dengan skor rendah dan
tidak terdapat responden dengan kategori sangat rendah. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa Extraversion berdasarkan pekerjaan sebagai
mahasiswa responden paling banyak mendapatkan skor sedang.
2
27
59
31
0 2 3 11 9
0 0
11 8 4 0 6
20 22 27
0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat RendahMahasiswa Wirswasta Karyawan Lainnya
127
Berdasarkan hasil analisis diagram batang yang diperoleh maka dapat
diketahui bahwa extraversion berdasarkan pekerjaan wiraswasta terdapat 2
responden yang memiliki skor sangat tinggi, 3 responden dengan kategori
tinggi, 11 responden dengan kategori sedang, 9 responden dengan skor
rendah dan tidak terdapat responden yang memiliki skor sangat rendah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa responden paling banyak
memiliki skor sedang pada extraversion terkait pekerjaan sebagai
wiraswasta.
Pada hasil extraversion berkaitan dengan pekerjaan sebagai karyawan
diketahui bahwa tidak ada responden yang memiliki skor sangat tinggi. 11
responden dengan skor tinggi, 8 responden memiliki kategori sedang dan 4
responden dengan kategori rendah serta tidak terdapat responden yang
memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
extraversion berdasarkan jenis pekerjaan sebagai karyawan responden
paling banyak memperoleh skor tinggi.
Pada hasil lainnya (3 IRT, 7 Honorer, 4 Staff, 6 PNS, 8 Freelance, 2
petani, 3 Surveyor, 5 Relawan, 3 Dosen, 2 Buruh, 1 Pelindo, 1 Pemadam 1
Kebakaran, 4 Pekerja Serabutan, 1 Dokter, 4 Perawat, 2 Konsultan, 5 Guru,
9 tidak ada dan 4 pelajar) menjelaskan bahwa terdapat 6 responden
memperoleh nilai skor sangat tinggi, 20 responden memiliki skor tinggi, 22
responden sedang, 27 responden rendah dan tidak terdapat responden yang
memiliki skor yang sangat rendah. Sehingga dapat diketahui bahwa pada
128
Extraversion berdasarkan pekerjaan lainnya responden paling banyak
mendapatkan skor rendah.
Gambar 4.21 Diagram Deskripsi Extraversion Berdasarkan Tahun Menjadi
Relawan
Hasil uraian Extraversion berdasarkan tahun menjadi relawan sejak
2016-2020 diketahui bahwa terdapat 5 responden yang memiliki skor sangat
tinggi, 27 responden dengan kategori tinggi, 61 responden yang memiliki skor
sedang dan 44 skor yang memiliki nilai rendah serta tidak terdapat
responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa relawan sejak 2016-2020 responden paling banyak memiliki skor
sedang.
Relawan pada tahun 2011-2015 diketahui bahwa 3 responden dengan
skor sangat tinggi, 19 responden memperoleh nilai tinggi, 24 responden
dengan kategori sedang, 16 responden dengan skor rendah dan tidak
terdapat responden dengan skor sangat rendah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada uraian extraversion berdasarkan tahun menjadi
relawan sejak 2011-2015 responden paling banyak memiliki skor sedang.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan pada tahun 2010-2006 menjelaskan
5
27
61
44
0 3
19 24
16
0 1 8 11
6 0 0
5 2 4 0 1 2 2 1 0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
2020-2016 2015-2011 2010-2006 2005-2001 >2000
129
bahwa sebanyak 1 responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 8
responden dengan skor tinggi, 11 responden yang memperoleh kategori
sedang, 6 responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan pada tahun 2005-2001 menjelaskan
bahwa tidak ada responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 5
responden dengan skor tinggi, 2 responden yang memperoleh kategori
sedang, 4 responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah. Berdasarkan hal tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa Extraversion berdasarkan tahun menjadi
relawan sejak 2005-2001 responden paling banyak memperoleh skor tinggi.
Extraversion berdasarkan relawan sejak tahun >2000 diketahui bahwa
ada 1 responden dengan skor sangat tinggi, 2 responden memperoleh nilai
tinggi, 2 responden dengan kategori sedang, 1 responden dengan skor
rendah dan tidak terdapat responden dengan skor sangat rendah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada uraian Extraversion berdasarkan tahun
menjadi relawan sejak > 2000 responden paling banyak memiliki skor tinggi
dan sedang.
130
Gambar 4.22 Diagram Deskripsi Extraversion Berdasarkan Berapa Kali
Menjadi Relawan
Hasil uraian extraversion berdasarkan 2-5 kali menjadi relawan
diketahui bahwa terdapat 9 responden yang memiliki skor sangat tinggi, 46
responden dengan kategori tinggi, 73 responden yang memiliki skor sedang
dan 47 skor yang memiliki nilai rendah serta tidak terdapat responden yang
memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa responden
yang pernah 2-5 kali menjadi relawan paling banyak memiliki skor sedang.
Uraian extraversion berdasarkan 6-10 kali relawan diketahui bahwa 1
responden dengan skor sangat tinggi, 8 responden memperoleh nilai tinggi,
17 responden dengan kategori sedang, 14 responden dengan skor rendah
dan tidak terdapat responden dengan skor sangat rendah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada uraian Extraversion berdasarkan 6-10 kali menjadi
relawan responden paling banyak memiliki skor sedang.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan sebanyak 11-15 kali menjelaskan bahwa
tidak terdapat responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, tidak ada
responden dengan skor tinggi, 1 responden yang memperoleh kategori
9
46
73
47
0 1 8
17 14
0 0 0 1 3 0 0 1 2 1 0 0 6 7 6
0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
2-5 6-10 11-15 16-20 >21
131
sedang, 3 responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan sebanyak 16-20 kali menjelaskan bahwa
tidak ada responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 1 responden
dengan skor tinggi, 2 responden yang memperoleh kategori sedang, 1
responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat responden yang
memiliki nilai skor sangat rendah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa Extraversion berdasarkan menjadi relawan sebanyak 16-
20 kali responden paling banyak memperoleh skor sedang.
Extraversion berdasarkan responden lebih dari 21 kali menjadi relawan
diketahui bahwa tidak ada responden dengan skor sangat tinggi, 6
responden memperoleh nilai tinggi, 7 responden dengan kategori sedang, 6
responden dengan skor rendah dan tidak terdapat responden dengan skor
sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada uraian
Extraversion berdasarkan lebih dari 21 kali menjadi relawan responden
paling banyak memiliki skor tinggi dan sedang.
b. Deskripsi Big Five Personality Berdasarkan Agreeableness
Gambar 4.23 Diagram Deskripsi Agreeableness Berdasarkan
Jenis Kelamin
9
55 52 45
9 6 18 25 15 8
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Laki-Laki Perempuan
132
Hasil analisis diagram mengenai agreeableness berdasarkan jenis
kelamin dapat diketahui bahwa laki-laki yang memperoleh nilai sangat tinggi
sebanyak 9 responden, 55 responden laki-laki yang memperoleh nilai tinggi,
52 responden yang memperoleh nilai sedang. Selain itu, dapat diketahui pula
bahwa pada kategori rendah sebanyak 44 responden laki-laki dan terdapat 9
responden laki-laki yang mendapatkan kategori sangat rendah
Hasil analisis diagram mengenai agreeableness berdasarkan jenis
kelamin dapat diketahui bahwa perempuan yang memperoleh nilai sangat
tinggi sebanyak 6 responden, 18 responden perempuan yang memperoleh
nilai tinggi, 25 responden yang memperoleh nilai sedang. Selain itu, dapat
diketahui pula bahwa pada kategori rendah sebanyak 15 responden dan
terdapat 8 responden perempuan yang mendapatkan kategori sangat
rendah.
Gambar 4.24 Diagram Deskripsi Agreeableness Berdasarkan Usia
Hasil analisis total skor Agreeableness berdasarkan usia pada diagram
di atas dapat diketahui bahwa pada rentan usia 18-22 tahun terdapat 9
responden yang memperoleh skor yang sangat tinggi, terdapat 31
responden yang memperoleh skor tinggi, 28 responden yang berada pada
kategori sedang. Sedangkan, terdapat 28 responden yang memperoleh nilai
9
31 28 28
7 4
31 28
19
7 0
4
12 9
0 2 7 9
4 3
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
18-22 Tahun 23-27 Tahun 28-32 Tahun >33 Tahun
133
rendah dan 7 responden yang memperoleh skor sangat rendah. Jadi, dapat
diketahui bahwa pada usia 18-22 responden paling banyak memperoleh
skor sedang.
Pada usia 23-27 tahun terdapat 4 responden yang memperoleh skor
sangat tinggi, 31 responden memiliki skor tinggi, 28 responden dengan
kategori sedang, 19 responden dengan skor rendah dan terdapat 7
responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat diketahui
bahwa pada usia 23-27 responden paling banyak memperoleh skor tinggi.
Hasil uraian diagram batang di atas menunjukkan deskripsi skor pada
usia 28-32 dapat diketahui bahwa tidak terdapat responden yang
memperoleh skor sangat tinggi, 4 responden dengan skor tinggi, 12
responden dengan kategori sedang, 9 responden dengan skor rendah serta
tidak terdapat responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat
diketahui bahwa pada usia 28-32 responden paling banyak memperoleh skor
sedang.
Agreeableness berdasarkan usia pada diagram di atas dapat diketahui
bahwa pada usia di atas 33 tahun terdapat 2 responden yang memperoleh
skor yang sangat tinggi, terdapat 7 responden yang memperoleh skor tinggi,
9 responden yang berada pada kategori sedang. Sedangkan, terdapat 4
responden yang memperoleh nilai rendah dan 3 responden yang
memperoleh skor sangat rendah. Jadi, dapat diketahui bahwa pada usia di
atas 33 tahun responden paling banyak memperoleh skor sedang.
134
Gambar 4.25 Diagram Deskripsi Agreeableness Berdasarkan Domisili
Berdasarkan hasil analisis diagram yang diperoleh terkait
Agreeableness berdasarkan domisili di Makassar maka didapatkan hasil
bahwa terdapat 5 responden yang memperoleh kategori skor sangat tinggi,
21 responden tinggi, 25 responden sedang, 27 responden yang memperoleh
nilai yang rendah dan tidak terdapat responden yang memiliki skor kategori
sangat rendah yang berdomisili di Makassar. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa responden paling banyak memiliki kategori sedang.
Berdasarkan hasil analisis diagram yang diperoleh terkait
agreeableness berdasarkan responden yang berdomisili di luar Makassar
maka didapatkan hasil bahwa terdapat 5 responden yang memperoleh
kategori skor sangat tinggi, 40 responden dengan kategori tinggi, 75
responden dengan kategori sedang, 44 responden yang memperoleh nilai
yang rendah dan tidak terdapat responden yang memiliki skor kategori
sangat rendah yang berdomisili di luar Makassar. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa responden paling banyak memiliki kategori sedang.
5 29 19 16 9 10
44 58
44
8
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Makassar Luar Makassar
135
Gambar 4.26 Diagram Deskripsi Agreeableness Berdasarkan Suku
Pada hasil diagram batang Agreeableness berdasarkan suku maka
dapat diketahui bahwa pada suku Makassar terdapat 5 responden yang
memperoleh skor sangat tinggi, 19 responden yang memperoleh skor tinggi,
13 responden dengan kategori sedang, 7 responden dengan kategori rendah
dan 7 responden dengan kategori sangat rendah. Sehingga dapat diketahui
bahwa pada suku Makassar paling banyak responden memperoleh skor
tinggi pada dimensi agreeableness.
Pada suku Bugis terdapat 8 responden yang memiliki skor sangat
tinggi, 25 responden dengan skor tinggi, 37 responden dengan skor sedang,
33 responden yang memperoleh skor rendah dan 9 responden yang berasal
dari suku Bugis yang memperoleh skor sangat rendah. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pada suku Bugis responden paling banyak memperoleh
skor sedang pada dimensi agreeableness.
Pada hasil analisis Agreeableness berdasarkan suku Mandar dapat
diketahui bahwa tidak terdapat responden yang termasuk dalam kategori
sangat tinggi, 2 responden dengan kategori tinggi, 1 responden dengan
kategori sedang, 1 responden dengan kategori rendah dan tidak terdapat
5
19 13
7 5 8
25
37 33
9
0 2 1 1 0 1 5
12 6
0 1
22
14 13
3
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Makassar Bugis Mandar Toraja Lainnya
136
responden yang bersuku Mandar memiliki kategori sangat rendah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada suku Mandar responden paling banyak
memiliki kategori agreeableness yang tinggi.
Hasil diagram batang Toraja menunjukkan hasil bahwa 1 responden
yang memperoleh skor sangat tinggi, 5 responden yang memperoleh kategori
tinggi, 12 responden yang memperoleh nilai sedang, 6 responden yang
memiliki kategori rendah dan tidak terdapat responden yang memiliki kategori
sangat rendah berasal dari Toraja. Dengan demikian, diperoleh hasil bahwa
responden berdasarkan suku toraja paling banyak memperoleh skor tinggi
pada dimensi agreeableness.
Hasil dari suku lainnya (3 Massenrempulu, 8 Jawa, 3 Gorontalo, 4
Ternate, 1 Kabana, 1 Rahampu, 5 Maluku, 4 Wotu, 3 Ambon, 1 Melayu, 1
Pamona, 2 NTT, 1 Aceh, 2 Bima, 1 Saluan, 1 Kaili, 1 Duri, 1 Kalabahi, 4
Wajo, 1 Minangkabau, 2 Buton, 2 Flores, 1 Kei) memperoleh hasil bahwa
terdapat 1 responden yang memperoleh skor sangat tinggi, 22 responden
dengan kategori tinggi, 14 responden memperoleh skor sedang, 13
responden memperoleh skor rendah dan terdapat 3 responden memperoleh
skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada suku lainnya
responden paling banyak memperoleh skor tinggi pada dimensi
agreeableness.
137
Gambar 4.27 Diagram Deskripsi Agreeableness Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan hasil diagram batang mengenai agreeableness terkait
pekerjaan sebagai mahasiswa menjelaskan bahwa terdapat 11 mahasiswa
dengan kategori sangat tinggi, 37 responden dengan skor tinggi, 34
responden memperoleh skor sedang, 29 responden dengan skor rendah dan
8 responden dengan kategori sangat rendah. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa agreeableness berdasarkan pekerjaan sebagai
mahasiswa responden paling banyak mendapatkan skor tinggi.
Berdasarkan hasil analisis diagram batang yang diperoleh maka dapat
diketahui bahwa agreeableness berdasarkan pekerjaan wiraswasta terdapat
1 responden yang memiliki skor sangat tinggi, 6 responden dengan kategori
tinggi, 9 responden dengan kategori sedang, 8 responden dengan skor
rendah dan terdapat 1 responden yang memiliki skor sangat rendah. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa responden paling banyak memiliki skor
sedang pada Agreeableness terkait pekerjaan sebagai wiraswasta.
Pada hasil agreeableness berkaitan dengan pekerjaan sebagai
karyawan diketahui bahwa 2 responden yang memiliki skor sangat tinggi 7
responden dengan skor tinggi, 9 responden memiliki kategori sedang dan 4
11
37 34
29
8
1 6
9 8
1 2 7 9
4 1 1
23 25 19
7
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Mahasiswa Wirswasta Karyawan Lainnya
138
responden dengan kategori rendah serta terdapat 1 responden yang memiliki
skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Agreeableness
berdasarkan jenis pekerjaan sebagai karyawan responden paling banyak
memperoleh skor sedang.
Pada hasil lainnya (3 IRT, 7 Honorer, 4 Staff, 6 PNS, 8 Freelance, 2
petani, 3 Surveyor, 5 Relawan, 3 Dosen, 2 Buruh, 1 Pelindo, 1 Pemadam 1
Kebakaran, 4 Pekerja Serabutan, 1 Dokter, 4 Perawat, 2 Konsultan, 5 Guru,
9 tidak ada, 4 pelajar) menjelaskan bahwa terdapat 1 responden memperoleh
nilai skor sangat tinggi, 23 responden memiliki skor tinggi, 25 responden
sedang, 19 responden rendah dan terdapat 7 responden yang memiliki skor
yang sangat rendah. Sehingga dapat diketahui bahwa pada Agreeableness
berdasarkan pekerjaan lainnya responden paling banyak mendapatkan skor
sedang.
Gambar 4.28 Diagram Deskripsi Agreeableness Berdasarkan Tahun
Menjadi Relawan
Hasil uraian Agreeableness berdasarkan tahun menjadi relawan
sejak 2016-2020 diketahui bahwa terdapat 11 responden yang memiliki skor
sangat tinggi, 42 responden dengan kategori tinggi, 41 responden yang
memiliki skor sedang dan 32 skor yang memiliki nilai rendah serta 11
11
42 41
32
11
2
21 19 18
2 2 3 11 8
2 0 6 3 2 0 0 1 3 0 2
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
2020-2016 2015-2011 2010-2006 2005-2001 >2000
139
responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa relawan sejak 2016-2020 responden paling banyak memiliki skor
tinggi.
Relawan pada tahun 2011-2015 diketahui bahwa 2 responden dengan
skor sangat tinggi, 21 responden memperoleh nilai tinggi, 19 responden
dengan kategori sedang, 18 responden dengan skor rendah dan 2 responden
dengan skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada uraian
agreeableness berdasarkan tahun menjadi relawan sejak 2011-2015
responden paling banyak memiliki skor tinggi.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan pada tahun 2010-2006 menjelaskan
bahwa sebanyak 2 responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 3
responden dengan skor tinggi, 11 responden yang memperoleh kategori
sedang, 8 responden yang memperoleh nilai rendah dan terdapat 2
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan pada tahun 2005-2001 menjelaskan
bahwa tidak ada responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 6
responden dengan skor tinggi, 3 responden yang memperoleh kategori
sedang, 3 responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah. Berdasarkan hal tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa agreeableness berdasarkan tahun menjadi
relawan sejak 2005-2001 responden paling banyak memperoleh skor tinggi.
140
Agreeableness berdasarkan relawan sejak tahun >2000 diketahui
bahwa tidak ada responden dengan skor sangat tinggi, 1 responden
memperoleh nilai tinggi, 3 responden dengan kategori sedang, tidak ada
responden dengan skor rendah dan terdapat 2 responden dengan skor
sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada uraian
Agreeableness berdasarkan tahun menjadi relawan sejak >2000 responden
paling banyak memiliki skor sedang.
Gambar 4.29 Diagram Deskripsi Agreeableness Berdasarkan Berapa Kali Menjadi Relawan
Hasil uraian agreeableness berdasarkan 2-5 kali menjadi relawan
diketahui bahwa terdapat 10 responden yang memiliki skor sangat tinggi, 62
responden dengan kategori tinggi, 43 responden yang memiliki skor sedang
dan 47 skor yang memiliki nilai rendah serta terdapat 13 responden yang
memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa responden
yang pernah 2-5 kali menjadi relawan paling banyak memiliki skor tinggi.
Uraian agreeableness berdasarkan 6-10 kali relawan diketahui bahwa 4
responden dengan skor sangat tinggi, 4 responden memperoleh nilai tinggi,
20 responden dengan kategori sedang, 9 responden dengan skor rendah dan
terdapat 3 responden dengan skor sangat rendah. Sehingga dapat
10
62
43 47
13 4 4
20 9 3 0 2 1 1 0 0 1 2 1 0 1 4
11 2 1
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
2-5 6-10 11-15 16-20 >21
141
disimpulkan bahwa pada uraian agreeableness berdasarkan 6-10 kali
menjadi relawan responden paling banyak memiliki skor sedang.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan sebanyak 11-15 kali menjelaskan bahwa
tidak terdapat responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, ada 2
responden dengan skor tinggi, 1 responden yang memperoleh kategori
sedang, 1 responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan sebanyak 16-20 kali menjelaskan bahwa
tidak ada responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 1 responden
dengan skor tinggi, 2 responden yang memperoleh kategori sedang, ada 1
responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat responden yang
memiliki nilai skor sangat rendah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa Agreeableness berdasarkan tahun menjadi relawan sejak
2005-2001 responden paling banyak memperoleh skor sedang.
Agreeableness berdasarkan responden lebih dari 21 kali menjadi
relawan diketahui bahwa 1 responden dengan skor sangat tinggi, 4
responden memperoleh nilai tinggi, 11 responden dengan kategori sedang,
2 responden dengan skor rendah dan terdapat 1 responden dengan skor
sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada uraian
Agreeableness berdasarkan lebih dari 21 kali menjadi relawan responden
paling banyak memiliki skor tinggi dan sedang
142
c. Deskripsi Big Five Personality Berdasarkan Conscientiousness
Gambar 4.30 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan Jenis Kelamin
Hasil analisis diagram mengenai conscientiousness berdasarkan jenis
kelamin dapat diketahui bahwa laki-laki yang memperoleh nilai sangat tinggi
sebanyak 16 responden, 91 responden laki-laki yang memperoleh nilai tinggi,
52 responden yang memperoleh nilai sedang. Selain itu, dapat diketahui pula
bahwa tidak terdapat responden laki-laki yang memiliki kategori rendah dan
terdapat 11 responden laki-laki yang mendapatkan kategori sangat rendah
Hasil analisis diagram mengenai conscientiousness berdasarkan jenis
kelamin dapat diketahui bahwa perempuan yang memperoleh nilai sangat
tinggi sebanyak 6 responden, 18 responden perempuan yang memperoleh
nilai tinggi, 25 responden yang memperoleh nilai sedang. Selain itu, dapat
diketahui pula bahwa tidak terdapat responden yang memiliki kategori rendah
dan terdapat 4 responden perempuan yang mendapatkan kategori sangat
rendah.
16
91
52
0 11 6
18 25
0 4
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat RendahLaki-Laki Perempuan
143
Gambar 4.31 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan Usia
Hasil analisis total skor conscientiousness berdasarkan usia pada
diagram di atas dapat diketahui bahwa pada rentan usia 18-22 tahun
terdapat 8 responden yang memperoleh skor yang sangat tinggi, terdapat 56
responden yang memperoleh skor tinggi, 31 responden yang berada pada
kategori sedang. Sedangkan, terdapat tidak terdapat responden yang
memperoleh nilai rendah dan 8 responden yang memperoleh skor sangat
rendah. Jadi, dapat diketahui bahwa pada usia 18-22 responden paling
banyak memperoleh skor tinggi.
Pada usia 23-27 tahun terdapat 7 responden yang memperoleh skor
sangat tinggi, 47 responden memiliki skor tinggi, 29 responden dengan
kategori sedang, tidak terdapat responden dengan skor rendah dan 6
responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat diketahui
bahwa pada usia 23-27 responden paling banyak memperoleh skor tinggi.
Hasil uraian diagram batang di atas menunjukkan deskripsi skor pada
usia 28-32 dapat diketahui bahwa terdapat 2 responden yang memperoleh
skor sangat tinggi, 16 responden dengan skor tinggi, 6 responden dengan
kategori sedang, tidak ada responden dengan skor rendah serta terdapat 1
8
56
31
0 8 7
47
29
0 6 2
16 6
0 1 2
15 8
0 0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
18-22 Tahun 23-27 Tahun 28-32 Tahun >33 Tahun
144
responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat diketahui
bahwa pada usia 28-32 responden paling banyak memperoleh skor tinggi.
Conscientiousness berdasarkan usia pada diagram di atas dapat
diketahui bahwa pada usia di atas 33 tahun terdapat 2 responden yang
memperoleh skor yang sangat tinggi, terdapat 16 responden yang
memperoleh skor tinggi, 6 responden yang berada pada kategori sedang.
Sedangkan, terdapat tidak responden yang memperoleh nilai rendah dan
sangat rendah. Jadi, dapat diketahui bahwa pada usia di atas 33 tahun
keatas responden paling banyak memperoleh skor tinggi.
Gambar 4.32 Diagram Deskripsi Conscientiousnes Berdasarkan Domisili
Berdasarkan hasil analisis diagram yang diperoleh terkait
conscientiousness berdasarkan domisili di Makassar maka didapatkan hasil
bahwa terdapat 6 responden yang memperoleh kategori skor sangat tinggi,
42 responden tinggi, 26 responden sedang, tidak terdapat responden yang
memperoleh nilai yang rendah dan terdapat 4 responden yang memiliki skor
kategori sangat rendah yang berdomisili di Makassar. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa responden paling banyak memiliki kategori tinggi.
6
42 26
0 4 13
92
48
0 11
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Makassar Luar Makassar
145
Berdasarkan hasil analisis diagram yang diperoleh terkait
conscientiousness berdasarkan responden yang berdomisili di luar
Makassar maka didapatkan hasil bahwa terdapat 13 responden yang
memperoleh kategori skor sangat tinggi, 92 responden dengan kategori
tinggi, 48 responden dengan kategori sedang, tidak terdapat responden
yang memperoleh nilai yang rendah dan 11 responden yang memiliki skor
kategori sangat rendah yang berdomisili di luar Makassar. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa responden paling banyak memiliki kategori tinggi.
Gambar 4.33 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan Suku
Pada hasil diagram batang conscientiousness berdasarkan suku maka
dapat diketahui bahwa pada suku Makassar terdapat 3 responden yang
memperoleh skor sangat tinggi, 22 responden yang memperoleh skor tinggi,
20 responden dengan kategori sedang, tidak terdapat responden dengan
kategori rendah dan 4 responden dengan kategori sangat rendah. Sehingga
dapat diketahui bahwa pada suku Makassar paling banyak responden
memperoleh skor tinggi pada dimensi conscientiousness.
Pada suku Bugis terdapat 12 responden yang memiliki skor sangat
tinggi, 63 responden dengan skor tinggi, 32 responden dengan skor sedang,
3
22 20
0 4 12
63
32
0 5 0 3 1 0 0 2 14
6 0 2 2
32
15
0 4
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Makassar Bugis Mandar Toraja Lainnya
146
tidak terdapat responden yang memperoleh skor rendah dan 5 responden
yang berasal dari suku Bugis yang memperoleh skor sangat rendah. Jadi,
dapat disimpulkan bahwa pada suku Bugis responden paling banyak
memperoleh skor tinggi pada dimensi conscientiousness. .
Pada hasil analisis conscientiousness berdasarkan suku Mandar dapat
diketahui bahwa tidak terdapat responden yang termasuk dalam kategori
sangat tinggi, 3 responden dengan kategori tinggi, 1 responden dengan
kategori sedang, tidak terdapat responden dengan kategori rendah dan tidak
terdapat responden yang bersuku Mandar memiliki kategori sangat rendah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada suku Mandar responden paling
banyak memiliki kategori conscientiousness yang tinggi.
Hasil diagram batang Toraja menunjukkan hasil bahwa 2 responden
yang memperoleh skor sangat tinggi, 14 responden yang memperoleh
kategori tinggi, 6 responden yang memperoleh nilai sedang, tidak ada
responden yang memiliki kategori rendah dan terdapat 2 responden yang
memiliki kategori sangat rendah berasal dari Toraja. Dengan demikian,
diperoleh hasil bahwa responden berdasarkan suku toraja paling banyak
memperoleh skor tinggi pada dimensi conscientiousness..
Hasil dari suku lainnya (3 Massenrempulu, 8 Jawa, 3 Gorontalo, 4
Ternate, 1 Kabana, 1 Rahampu, 5 Maluku, 4 Wotu, 3 Ambon, 1 Melayu, 1
Pamona, 2 NTT, 1 Aceh, 2 Bima, 1 Saluan, 1 Kaili, 1 Duri, 1 Kalabahi, 4
Wajo, 1 Minangkabau, 2 Buton, 2 Flores, 1 Kei) memperoleh hasil bahwa
terdapat 2 responden yang memperoleh skor sangat tinggi, 32 responden
147
dengan kategori tinggi, 15 responden memperoleh skor sedang, tidak ada
responden memperoleh skor rendah dan terdapat 4 responden memperoleh
skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada suku lainnya
responden paling banyak memperoleh skor tinggi pada dimensi
conscientiousness.
Gambar 4.34 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan hasil diagram batang mengenai conscientiousness
terkait pekerjaan sebagai mahasiswa menjelaskan bahwa terdapat 7
mahasiswa dengan kategori sangat tinggi, 62 responden dengan skor tinggi,
40 responden memperoleh skor sedang, tidak ada responden dengan skor
rendah dan 10 responden dengan kategori sangat rendah. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa conscientiousness berdasarkan pekerjaan sebagai
mahasiswa responden paling banyak mendapatkan skor tinggi.
Berdasarkan hasil analisis diagram batang yang diperoleh maka dapat
diketahui bahwa conscientiousness berdasarkan pekerjaan wiraswasta
terdapat 2 responden yang memiliki skor sangat tinggi, 17 responden dengan
kategori tinggi, 5 responden dengan kategori sedang, tidak ada responden
dengan skor rendah dan terdapat 1 responden yang memiliki skor sangat
7
62
40
0 10
2 17
5 0 1 3 9 10 0 1 7
46
19
0 3
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Mahasiswa Wirswasta Karyawan Lainnya
148
rendah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa responden paling
banyak memiliki skor tinggi pada conscientiousness terkait pekerjaan sebagai
wiraswasta.
Pada hasil conscientiousness berkaitan dengan pekerjaan sebagai
karyawan diketahui bahwa 3 responden yang memiliki skor sangat tinggi 9
responden dengan skor tinggi, 10 responden memiliki kategori sedang dan
tidak ada responden dengan kategori rendah serta terdapat 1 responden
yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Conscientiousness berdasarkan jenis pekerjaan sebagai karyawan
responden paling banyak memperoleh skor sedang.
Pada hasil lainnya menjelaskan bahwa terdapat 7 responden
memperoleh nilai skor sangat tinggi, 46 responden memiliki skor tinggi, 19
responden sedang, tidak ada responden rendah dan terdapat 3 responden
yang memiliki skor yang sangat rendah. Sehingga dapat diketahui bahwa
pada Conscientiousness berdasarkan pekerjaan lainnya responden paling
banyak mendapatkan skor tinggi.
Gambar 4.35 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan Tahun
Menjadi Relawan
9
68
48
0 12 6
41
13 0 2 2
15 8
0 1 0 7 4 0 0 2 3 1 0 0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
2020-2016 2015-2011 2010-2006 2005-2001 >2000
149
Hasil uraian conscientiousness berdasarkan tahun menjadi relawan
sejak 2016-2020 diketahui bahwa terdapat 9 responden yang memiliki skor
sangat tinggi, 68 responden dengan kategori tinggi, 48 responden yang
memiliki skor sedang tidak ada responden yang memiliki nilai rendah serta
terdapat 12 responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa relawan sejak 2016-2020 responden paling banyak
memiliki skor tinggi.
Conscientiousness berdasarkan relawan pada tahun 2011-2015
diketahui bahwa 6 responden dengan skor sangat tinggi, 41 responden
memperoleh nilai tinggi, 13 responden dengan kategori sedang, tidak ada
responden dengan skor rendah dan terdapat 2 responden dengan skor
sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada uraian
conscientiousness berdasarkan tahun menjadi relawan sejak 2011-2015
responden paling banyak memiliki skor tinggi.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan pada tahun 2010-2006 menjelaskan
bahwa sebanyak 2 responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 15
responden dengan skor tinggi, 8 responden yang memperoleh kategori
sedang, tidak ada responden yang memperoleh nilai rendah dan terdapat 1
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan pada tahun 2005-2001 menjelaskan
bahwa tidak ada responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 7
150
responden dengan skor tinggi, 4 responden yang memperoleh kategori
sedang, tidak responden yang memperoleh nilai rendah dan skor sangat
rendah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
Conscientiousness berdasarkan tahun menjadi relawan sejak 2005-2001
responden paling banyak memperoleh skor tinggi.
Conscientiousness berdasarkan relawan sejak tahun >2000 diketahui
bahwa 2 responden dengan skor sangat tinggi, 3 responden memperoleh
nilai tinggi, 1 responden dengan kategori sedang, tidak ada responden
dengan skor rendah dan tidak terdapat responden dengan skor sangat
rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada uraian conscientiousness
berdasarkan tahun menjadi relawan sejak >2000 responden paling banyak
memiliki skor tinggi.
Gambar 4.36 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan Berapa Kali Menjadi Relawan
Hasil uraian Conscientiousness berdasarkan 2-5 kali menjadi relawan
diketahui bahwa terdapat 14 responden yang memiliki skor sangat tinggi, 98
responden dengan kategori tinggi, 52 responden yang memiliki skor sedang
dan tidak ada responden yang memiliki nilai rendah serta terdapat 11
responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan
14
98
52
0 11 4 20 13
0 3 0 1 3 0 0 0 3 1 0 0 1 12 5 0 1
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
2-5 6-10 11-15 16-20 >21
151
bahwa responden yang pernah 2-5 kali menjadi relawan paling banyak
memiliki skor tinggi.
Uraian conscientiousness berdasarkan 6-10 kali relawan diketahui
bahwa 4 responden dengan skor sangat tinggi, 20 responden memperoleh
nilai tinggi, 13 responden dengan kategori sedang, tidak ada responden
dengan skor rendah dan 3 responden dengan skor sangat rendah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada uraian conscientiousness berdasarkan 6-10
kali menjadi relawan responden paling banyak memiliki skor tinggi.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan sebanyak 11-15 kali menjelaskan bahwa
tidak terdapat responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, ada 1
responden dengan skor tinggi, 3 responden yang memperoleh kategori
sedang, tidak ada responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak
terdapat responden yang memiliki nilai skor sangat rendah.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan sebanyak 16-20 kali menjelaskan bahwa
tidak ada responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 3 responden
dengan skor tinggi, 1 responden yang memperoleh kategori sedang, tidak
ada responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat responden
yang memiliki nilai skor sangat rendah. Berdasarkan hal tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa Conscientiousness berdasarkan menjadi relawan
sebanyak 16-20 kali responden paling banyak memperoleh skor sedang.
152
Conscientiousness berdasarkan responden lebih dari 21 kali menjadi
relawan diketahui bahwa 1 responden dengan skor sangat tinggi, 12
responden memperoleh nilai tinggi, 5 responden dengan kategori sedang,
tidak ada responden dengan skor rendah dan terdapat 1 responden dengan
skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada uraian
conscientiousness berdasarkan lebih dari 21 kali menjadi relawan
responden paling banyak memiliki skor tinggi.
d. Deskripsi Big Five Personality Berdasarkan Neuroticism
Gambar 4.37 Diagram Deskripsi Neuroticism Berdasarkan Jenis Kelamin
Hasil analisis diagram mengenai neuroticism berdasarkan jenis kelamin
dapat diketahui bahwa laki-laki yang memperoleh nilai sangat tinggi
sebanyak 3 responden, 36 responden laki-laki yang memperoleh nilai tinggi,
78 responden yang memperoleh nilai sedang. Selain itu, dapat diketahui pula
bahwa terdapat 41 responden laki-laki yang memiliki kategori rendah dan 12
responden laki-laki yang mendapatkan kategori sangat rendah.
Hasil analisis diagram mengenai neuroticism berdasarkan jenis kelamin
dapat diketahui bahwa perempuan yang memperoleh nilai sangat tinggi
sebanyak 4 responden, 28 responden perempuan yang memperoleh nilai
tinggi, 31 responden yang memperoleh nilai sedang. Selain itu, dapat
3
36
78
41
12 4
28 31
7 2
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Laki-Laki Perempuan
153
diketahui pula bahwa terdapat 7 responden yang memiliki kategori rendah
dan 2 responden perempuan yang mendapatkan kategori sangat rendah.
Gambar 4.38 Diagram Deskripsi Neuroticism Berdasarkan Usia
Hasil analisis total skor neuroticism berdasarkan usia pada diagram di
atas dapat diketahui bahwa pada rentan usia 18-22 tahun terdapat 2
responden yang memperoleh skor yang sangat tinggi, terdapat 30
responden yang memperoleh skor tinggi, 48 responden yang berada pada
kategori sedang. Sedangkan, terdapat terdapat 17 responden yang
memperoleh nilai rendah dan 6 responden yang memperoleh skor sangat
rendah. Jadi, dapat diketahui bahwa pada usia 18-22 responden paling
banyak memperoleh skor sedang.
Pada usia 23-27 tahun terdapat 5 responden yang memperoleh skor
sangat tinggi, 25 responden memiliki skor tinggi, 41 responden dengan
kategori sedang, terdapat 13 responden dengan skor rendah dan 5
responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat diketahui
bahwa pada usia 23-27 responden paling banyak memperoleh skor sedang.
Hasil uraian diagram batang di atas menunjukkan deskripsi skor pada
usia 28-32 dapat diketahui bahwa tidak terdapat responden yang
memperoleh skor sangat tinggi, 3 responden dengan skor tinggi, 11
2
30
48
17 6 5
25
41
13 5 0
6 9 8 2 0 3
11 10 1
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
18-22 Tahun 23-27 Tahun 28-32 Tahun >33 Tahun
154
responden dengan kategori sedang, 10 responden dengan skor rendah serta
terdapat 1 responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat
diketahui bahwa pada usia 28-32 responden paling banyak memperoleh skor
sedang.
Neuroticism berdasarkan usia pada diagram di atas dapat diketahui
bahwa pada usia di atas 33 tahun tidak terdapat responden yang
memperoleh skor yang sangat tinggi, terdapat 3 responden yang
memperoleh skor tinggi, 11 responden yang berada pada kategori sedang.
Sedangkan, terdapat terdapat 10 responden yang memperoleh nilai rendah
dan 1 responden dengan kategori sangat rendah. Jadi, dapat diketahui
bahwa pada usia di atas 33 tahun keatas responden paling banyak
memperoleh skor rendah.
Gambar 4.39 Diagram Deskripsi Neuroticism Berdasarkan Domisili
Berdasarkan hasil analisis diagram yang diperoleh terkait
Neuroticism berdasarkan domisili di Makassar maka didapatkan hasil
bahwa terdapat 2 responden yang memperoleh kategori skor sangat tinggi,
20 responden tinggi, 37 responden kategori sedang, 15 responden yang
2
20
37
15 4 5
44
72
33
10
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat RendahMakassar Luar Makassar
155
memperoleh nilai yang rendah dan terdapat 4 responden yang memiliki skor
kategori sangat rendah yang berdomisili di Makassar. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa responden paling banyak memiliki kategori sedang.
Berdasarkan hasil analisis diagram yang diperoleh terkait Neuroticism
berdasarkan responden yang berdomisili di luar Makassar maka didapatkan
hasil bahwa terdapat 5 responden yang memperoleh kategori skor sangat
tinggi, 44 responden dengan kategori tinggi, 72 responden dengan kategori
sedang, 33 responden yang memperoleh nilai yang rendah dan 10
responden yang memiliki skor kategori sangat rendah yang berdomisili di
luar Makassar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa responden paling
banyak memiliki kategori sedang.
Gambar 4.40 Diagram Deskripsi Neuroticism Berdasarkan Suku
Pada hasil diagram batang neuroticism berdasarkan suku maka dapat
diketahui bahwa pada suku Makassar terdapat 1 responden yang
memperoleh skor sangat tinggi, 13 responden yang memperoleh skor tinggi,
20 responden dengan kategori sedang, terdapat 12 responden dengan
kategori rendah dan 3 responden dengan kategori sangat rendah. Sehingga
1
13 20
12 3 4
25
49
26
8 0 1 3 0 0 0
9 10 4 1 2
16
27
6 2
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Makassar Bugis Mandar Toraja Lainnya
156
dapat diketahui bahwa pada suku Makassar paling banyak responden
memperoleh skor sedang pada dimensi neuroticism .
Pada suku Bugis terdapat 4 responden yang memiliki skor sangat
tinggi, 25 responden dengan skor tinggi, 49 responden dengan skor sedang,
terdapat 26 responden yang memperoleh skor rendah dan 8 responden yang
berasal dari suku Bugis yang memperoleh skor sangat rendah. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pada suku Bugis responden paling banyak memperoleh
skor sedang pada dimensi Neuroticism .
Pada hasil analisis neuroticism berdasarkan suku Mandar dapat
diketahui bahwa tidak terdapat responden yang termasuk dalam kategori
sangat tinggi, 1 responden dengan kategori tinggi, 3 responden dengan
kategori sedang, tidak terdapat responden dengan kategori rendah dan tidak
terdapat responden yang bersuku Mandar memiliki kategori sangat rendah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada suku Mandar responden paling
banyak memiliki kategori neuroticism yang sedang.
Hasil diagram batang Toraja menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat
responden yang memperoleh skor sangat tinggi, 9 responden yang
memperoleh kategori tinggi, 10 responden yang memperoleh nilai sedang, 4
responden yang memiliki kategori rendah dan terdapat 1 responden yang
memiliki kategori sangat rendah berasal dari Toraja. Dengan demikian,
diperoleh hasil bahwa responden berdasarkan suku toraja paling banyak
memperoleh skor sedang pada dimensi Neuroticism .
157
Hasil dari suku lainnya(3 Massenrempulu, 8 Jawa, 3 Gorontalo, 4
Ternate, 1 Kabana, 1 Rahampu, 5 Maluku, 4 Wotu, 3 Ambon, 1 Melayu, 1
Pamona, 2 NTT, 1 Aceh, 2 Bima, 1 Saluan, 1 Kaili, 1 Duri, 1 Kalabahi, 4
Wajo, 1 Minangkabau, 2 Buton, 2 Flores, 1 Kei) memperoleh hasil bahwa
terdapat 2 responden yang memperoleh skor sangat tinggi, 16 responden
dengan kategori tinggi, 27 responden memperoleh skor sedang, 6 responden
memperoleh skor rendah dan terdapat 2 responden memperoleh skor sangat
rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada suku lainnya responden
paling banyak memperoleh skor sedang pada dimensi neuroticism .
Gambar 4.41 Diagram Deskripsi Neuroticism Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan hasil diagram batang mengenai neuroticism terkait
pekerjaan sebagai mahasiswa menjelaskan bahwa terdapat 2 mahasiswa
dengan kategori sangat tinggi, 35 responden dengan skor tinggi, 58
responden memperoleh skor sedang, 19 responden dengan skor rendah dan
5 responden dengan kategori sangat rendah. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa neuroticism berdasarkan pekerjaan sebagai mahasiswa
responden paling banyak mendapatkan skor sedang.
2
35
58
19
5 1 5 12
4 3 0 3 11 7 2 4
21 28
18
4
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Mahasiswa Wirswasta Karyawan Lainnya
158
Berdasarkan hasil analisis diagram batang yang diperoleh maka dapat
diketahui bahwa neuroticism berdasarkan pekerjaan wiraswasta terdapat 1
responden yang memiliki skor sangat tinggi, 5 responden dengan kategori
tinggi, 12 responden dengan kategori sedang, 4 responden dengan skor
rendah dan terdapat 3 responden yang memiliki skor sangat rendah. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa responden paling banyak memiliki skor
sedang pada Neuroticism terkait pekerjaan sebagai wiraswasta.
Pada hasil neuroticism berkaitan dengan pekerjaan sebagai karyawan
diketahui bahwa tidak ada responden yang memiliki skor sangat tinggi 3
responden dengan skor tinggi, 11 responden memiliki kategori sedang dan 7
responden dengan kategori rendah serta terdapat 2 responden yang memiliki
skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Neuroticism
berdasarkan jenis pekerjaan sebagai karyawan responden paling banyak
memperoleh skor sedang.
Pada hasil lainnya (3 IRT, 7 Honorer, 4 Staff, 6 PNS, 8 Freelance, 2
petani, 3 Surveyor, 5 Relawan, 3 Dosen, 2 Buruh, 1 Pelindo, 1 Pemadam 1
Kebakaran, 4 Pekerja Serabutan, 1 Dokter, 4 Perawat, 2 Konsultan, 5 Guru,
9 tidak ada, 4 pelajar) menjelaskan bahwa terdapat 4 responden memperoleh
nilai skor sangat tinggi, 21 responden memiliki skor tinggi, 28 responden
sedang, ada 18 responden rendah dan terdapat 4 responden yang memiliki
skor yang sangat rendah. Sehingga dapat diketahui bahwa pada neuroticism
`berdasarkan pekerjaan lainnya responden paling banyak mendapatkan skor
sedang.
159
Gambar 4.42 Diagram Deskripsi Neuroticism Berdasarkan Tahun Menjadi Relawan
Hasil uraian Neuroticism berdasarkan tahun menjadi relawan sejak
2016-2020 diketahui bahwa terdapat 5 responden yang memiliki skor sangat
tinggi, 42 responden dengan kategori tinggi, 67 responden yang memiliki skor
sedang dan 15 skor yang memiliki nilai rendah serta terdapat 8 responden
yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
relawan sejak 2016-2020 responden paling banyak memiliki skor sedang.
Relawan pada tahun 2011-2015 diketahui bahwa 2 responden dengan
skor sangat tinggi, 16 responden memperoleh nilai tinggi, 28 responden
dengan kategori sedang, 14 responden dengan skor rendah dan terdapat 2
responden dengan skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pada uraian Neuroticism berdasarkan tahun menjadi relawan sejak 2011-
2015 responden paling banyak memiliki skor sedang.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan pada tahun 2010-2006 menjelaskan
bahwa tidak ada responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 2
responden dengan skor tinggi, 11 responden yang memperoleh kategori
5
42
67
15 8
2
16 28
14 2 0 2
11 10 3 0 3 2 6
0 0 1 1 3 1
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah2020-2016 2015-2011 2010-2006 2005-2001 >2000
160
sedang, 10 responden yang memperoleh nilai rendah dan terdapat 3
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan pada tahun 2005-2001 menjelaskan
bahwa tidak ada responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 3
responden dengan skor tinggi, 2 responden yang memperoleh kategori
sedang, 6 responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah. Berdasarkan hal tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa neuroticism berdasarkan tahun menjadi
relawan sejak 2005-2001 responden paling banyak memperoleh skor rendah.
Neuroticism berdasarkan relawan sejak tahun >2000 diketahui bahwa
tidak ada responden dengan skor sangat tinggi, 1 responden memperoleh
nilai tinggi, 1 responden dengan kategori sedang, 3 responden dengan skor
rendah dan terdapat 1 responden dengan skor sangat rendah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada uraian neuroticism berdasarkan tahun
menjadi relawan sejak >2000 responden paling banyak memiliki skor
rendah.
Gambar 4.43 Diagram Deskripsi Conscientiousness Berdasarkan
Berapa Kali Menjadi Relawan
7
48
79
30
11 0
7 21
11 1 0 2 2 0 0 0 1 1 2 0 0 6 6 5 2
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
2-5 6-10 11-15 16-20 >21
161
Hasil uraian Neuroticism berdasarkan 2-5 kali menjadi relawan
diketahui bahwa terdapat 7 responden yang memiliki skor sangat tinggi, 48
responden dengan kategori tinggi, 79 responden yang memiliki skor sedang
dan 30 responden yang memiliki nilai rendah serta terdapat 11 responden
yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
responden yang pernah 2-5 kali menjadi relawan paling banyak memiliki skor
sedang.
Uraian neuroticism berdasarkan 6-10 kali relawan diketahui bahwa tidak
ada responden dengan skor sangat tinggi, 7 responden memperoleh nilai
tinggi, 21 responden dengan kategori sedang, 11 responden dengan skor
rendah dan terdapat 1 responden dengan skor sangat rendah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada uraian neuroticism berdasarkan 6-10 kali
menjadi relawan responden paling banyak memiliki skor sedang.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan sebanyak 11-15 kali menjelaskan bahwa
tidak terdapat responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, ada 2
responden dengan skor tinggi, 2 responden yang memperoleh kategori
sedang, tidak ada responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak
terdapat responden yang memiliki nilai skor sangat rendah.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan sebanyak 16-20 kali menjelaskan bahwa
tidak ada responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 1 responden
dengan skor tinggi, 1 responden yang memperoleh kategori sedang, 2
162
responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat responden yang
memiliki nilai skor sangat rendah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa Neuroticism berdasarkan tahun menjadi relawan sejak
2005-2001 responden paling banyak memperoleh skor tinggi dan sedang.
Neuroticism berdasarkan responden lebih dari 21 kali menjadi relawan
diketahui bahwa tidak ada responden dengan skor sangat tinggi, 6
responden memperoleh nilai tinggi, 6 responden dengan kategori sedang, 5
responden dengan skor rendah dan terdapat 2 responden dengan skor
sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada uraian
Neuroticism berdasarkan lebih dari 21 kali menjadi relawan responden
paling banyak memiliki skor tinggi dan sedang.
e. Deskripsi Big Five Personality Berdasarkan Openness To Experience
Gambar 4.44 Diagram Deskripsi Openness To Experience Berdasarkan
Jenis Kelamin
Hasil analisis diagram mengenai openness to experience berdasarkan
jenis kelamin dapat diketahui bahwa laki-laki yang memperoleh nilai sangat
tinggi sebanyak 15 responden, 81 responden laki-laki yang memperoleh
nilai tinggi, 64 responden yang memperoleh nilai sedang. Selain itu, dapat
diketahui pula bahwa tidak terdapat responden laki-laki yang memiliki
15
81 64
0 10
1
34 33
0 4
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Laki-Laki Perempuan
163
kategori rendah dan 10 responden laki-laki yang mendapatkan kategori
sangat rendah
Hasil analisis diagram mengena openness to experience berdasarkan
jenis kelamin dapat diketahui bahwa perempuan yang memperoleh nilai
sangat tinggi sebanyak 1 responden, 34 responden perempuan yang
memperoleh nilai tinggi, 33 responden yang memperoleh nilai sedang.
Selain itu, dapat diketahui pula bahwa tidak terdapat responden yang
memiliki kategori rendah dan 4 responden perempuan yang mendapatkan
kategori sangat rendah.
Gambar 4.45 Diagram Deskripsi Openness To Experience Berdasarkan Umur
Hasil analisis total skor Openness To Experience berdasarkan usia
pada diagram di atas dapat diketahui bahwa pada rentan usia 18-22 tahun
terdapat 5 responden yang memperoleh skor yang sangat tinggi, terdapat 49
responden yang memperoleh skor tinggi, 44 responden yang berada pada
kategori sedang. Sedangkan, tidak terdapat responden yang memperoleh
nilai rendah dan 5 responden yang memperoleh skor sangat rendah. Jadi,
dapat diketahui bahwa pada usia 18-22 responden paling banyak
memperoleh skor tinggi.
5
49 44
0 5 5
42 37
0 5 3
10 10 0 2 3
14 6
0 2
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
18-22 Tahun 23-27 Tahun 28-32 Tahun >33 Tahun
164
Pada usia 23-27 tahun terdapat 5 responden yang memperoleh skor
sangat tinggi, 42 responden memiliki skor tinggi, 37 responden dengan
kategori sedang, tidak terdapat responden dengan skor rendah dan 5
responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat diketahui
bahwa pada usia 23-27 responden paling banyak memperoleh skor tinggi.
Hasil uraian diagram batang di atas menunjukkan deskripsi skor pada
usia 28-32 dapat diketahui bahwa terdapat 3 responden yang memperoleh
skor sangat tinggi, 10 responden dengan skor tinggi, 10 responden dengan
kategori sedang, tidak terdapat responden dengan skor rendah serta terdapat
2 responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat diketahui
bahwa pada usia 28-32 responden paling banyak memperoleh skor sedang
dan tinggi.
Openness To Experience berdasarkan usia pada diagram di atas dapat
diketahui bahwa pada usia di atas 33 tahun terdapat 3 responden yang
memperoleh skor yang sangat tinggi, terdapat 14 responden yang
memperoleh skor tinggi, 6 responden yang berada pada kategori sedang.
Sedangkan, tidak terdapat responden yang memperoleh nilai rendah dan 2
responden dengan kategori sangat rendah. Jadi, dapat diketahui bahwa
pada usia di atas 33 tahun keatas responden paling banyak memperoleh
skor tinggi.
165
Gambar 4.46 Diagram Deskripsi Openness To Experience Berdasarkan Domisili
Berdasarkan hasil analisis diagram yang diperoleh terkait openness to
experience berdasarkan domisili di Makassar maka didapatkan hasil bahwa
terdapat 10 responden yang memperoleh kategori skor sangat tinggi, 42
responden tinggi, 22 responden kategori sedang, tidak terdapat responden
yang memperoleh nilai yang rendah dan sebanyak 4 responden yang
memiliki skor kategori sangat rendah yang berdomisili di Makassar.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa responden paling banyak memiliki
kategori tinggi.
Berdasarkan hasil analisis diagram yang diperoleh terkait Openness
To Experience berdasarkan responden yang berdomisili di luar Makassar
maka didapatkan hasil bahwa terdapat 6 responden yang memperoleh
kategori skor sangat tinggi, 73 responden dengan kategori tinggi, 75
responden dengan kategori sedang, tidak terdapat responden yang
memperoleh nilai yang rendah dan 10 responden yang memiliki skor
kategori sangat rendah yang berdomisili di luar Makassar. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa responden paling banyak memiliki kategori tinggi.
10
42
22
0 4 6
73 75
0 10
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Makassar Luar Makassar
166
Gambar 4.47 Diagram Deskripsi Openness To Experiece Berdasarkan Suku
Pada hasil diagram batang openness to experience berdasarkan suku
maka dapat diketahui bahwa pada suku Makassar terdapat 2 responden
yang memperoleh skor sangat tinggi, 26 responden yang memperoleh skor
tinggi, 19 responden dengan kategori sedang, tidak terdapat responden
dengan kategori rendah dan 2 responden dengan kategori sangat rendah.
Sehingga dapat diketahui bahwa pada suku Makassar paling banyak
responden memperoleh skor tinggi pada dimensi openness to experience.
Pada suku Bugis terdapat 8 responden yang memiliki skor sangat tinggi,
49 responden dengan skor tinggi, 49 responden dengan skor sedang, tidak
terdapat responden yang memperoleh skor rendah dan 6 responden yang
berasal dari suku Bugis yang memperoleh skor sangat rendah. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pada suku Bugis responden paling banyak memperoleh
skor tinggi dan sedang pada dimensi openness to experience.
Pada hasil analisis openness to experience berdasarkan suku Mandar
dapat diketahui bahwa tidak terdapat responden yang termasuk dalam
kategori sangat tinggi, 1 responden dengan kategori tinggi, 3 responden
dengan kategori sedang, tidak terdapat responden dengan kategori rendah
2
26 19
0 2 8
49 49
0 6
0 1 3 0 0 2
14 7
0 1 4
25 19
0 5
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Makassar Bugis Mandar Toraja Lainnya
167
dan tidak terdapat responden yang bersuku Mandar memiliki kategori sangat
rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada suku Mandar responden
paling banyak memiliki kategori openness to experience yang sedang.
Hasil diagram batang Toraja menunjukkan hasil bahwa terdapat 2
responden yang memperoleh skor sangat tinggi, 14 responden yang
memperoleh kategori tinggi, 7 responden yang memperoleh nilai sedang,
tidak ada responden yang memiliki kategori rendah dan terdapat 1 responden
yang memiliki kategori sangat rendah berasal dari Toraja. Dengan demikian,
diperoleh hasil bahwa responden berdasarkan suku toraja paling banyak
memperoleh skor tinggi pada dimensi openness to experience.
Hasil dari suku lainnya (3 Massenrempulu, 8 Jawa, 3 Gorontalo, 4
Ternate, 1 Kabana, 1 Rahampu, 5 Maluku, 4 Wotu, 3 Ambon, 1 Melayu, 1
Pamona, 2 NTT, 1 Aceh, 2 Bima, 1 Saluan, 1 Kaili, 1 Duri, 1 Kalabahi, 4
Wajo, 1 Minangkabau, 2 Buton, 2 Flores dan 1 Kei) memperoleh hasil bahwa
terdapat 4 responden yang memperoleh skor sangat tinggi, 25 responden
dengan kategori tinggi, 19 responden memperoleh skor sedang, tidak ada
responden memperoleh skor rendah dan terdapat 5 responden memperoleh
skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada suku lainnya
responden paling banyak memperoleh skor tinggi pada dimensi Openness To
Experience.
168
Gambar 4.48 Diagram Deskripsi Openness To Experience Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan hasil diagram batang mengenai openness to experience
terkait pekerjaan sebagai mahasiswa menjelaskan bahwa terdapat 5
mahasiswa dengan kategori sangat tinggi, 53 responden dengan skor tinggi,
57 responden memperoleh skor sedang, tidak ada responden dengan skor
rendah dan 4 responden dengan kategori sangat rendah. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa openness to experience berdasarkan pekerjaan
sebagai mahasiswa responden paling banyak mendapatkan skor sedang.
Berdasarkan hasil analisis diagram batang yang diperoleh maka dapat
diketahui bahwa openness to experience berdasarkan pekerjaan wiraswasta
terdapat 1 responden yang memiliki skor sangat tinggi, 17 responden dengan
kategori tinggi, 4 responden dengan kategori sedang, 4 tidak ada responden
dengan skor rendah dan terdapat 3 responden yang memiliki skor sangat
rendah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa responden paling
banyak memiliki skor tinggi pada openness to experience terkait pekerjaan
sebagai wiraswasta.
Pada hasil openness to experience berkaitan dengan pekerjaan
sebagai karyawan diketahui bahwa 2 responden yang memiliki skor sangat
5
53 57
0 4 1
17
4 0 3 2 11 9
0 1 8
34 27
0 6
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
Mahasiswa Wirswasta Karyawan Lainnya
169
tinggi 11 responden dengan skor tinggi, 9 responden memiliki kategori
sedang dan tidak ada responden dengan kategori rendah serta terdapat 1
responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa openness to experience berdasarkan jenis pekerjaan sebagai
karyawan responden paling banyak memperoleh skor tinggi.
Pada hasil lainnya (3 IRT, 7 Honorer, 4 Staff, 6 PNS, 8 Freelance, 2
petani, 3 Surveyor, 5 Relawan, 3 Dosen, 2 Buruh, 1 Pelindo, 1 Pemadam 1
Kebakaran, 4 Pekerja Serabutan, 1 Dokter, 4 Perawat, 2 Konsultan, 5 Guru,
9 tidak ada, 4 pelajar) menjelaskan bahwa terdapat 8 responden memperoleh
nilai skor sangat tinggi, 34 responden memiliki skor tinggi, 37 responden
sedang, tidak ada responden rendah dan terdapat 6 responden yang memiliki
skor yang sangat rendah. Sehingga dapat diketahui bahwa pada openness to
experience berdasarkan pekerjaan lainnya responden paling banyak
mendapatkan skor tinggi.
Gambar 4.49 Diagram Deskripsi Openness To Experience Berdasarkan
Tahun Menjadi Relawan
Hasil uraian openness to experience berdasarkan tahun menjadi relawan
sejak 2016-2020 diketahui bahwa terdapat 6 responden yang memiliki skor
sangat tinggi, 62 responden dengan kategori tinggi, 60 responden yang
6
62 60
0 9 4
33 24
0 1 4 12 8
0 2 1 4 4 0 2 1 4 1 0 0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
2020-2016 2015-2011 2010-2006 2005-2001 >2000
170
memiliki skor sedang dan tidak ada responden yang memiliki nilai rendah
serta terdapat 9 responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa relawan sejak 2016-2020 responden paling banyak
memiliki skor tinggi.
Relawan pada tahun 2011-2015 diketahui bahwa 4 responden dengan
skor sangat tinggi, 33 responden memperoleh nilai tinggi, 24 responden
dengan kategori sedang, tidak ada responden dengan skor rendah dan
terdapat 1 responden dengan skor sangat rendah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada uraian Openness To Experience berdasarkan
tahun menjadi relawan sejak 2011-2015 responden paling banyak memiliki
skor tinggi.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan pada tahun 2010-2006 menjelaskan
bahwa sebanyak 4 responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 12
responden dengan skor tinggi, 8 responden yang memperoleh kategori
sedang, tidak ada responden yang memperoleh nilai rendah dan terdapat 2
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan pada tahun 2005-2001 menjelaskan
bahwa sebanyak 1 responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 4
responden dengan skor tinggi, 4 responden yang memperoleh kategori
sedang, tidak ada responden yang memperoleh nilai rendah dan terdapat 2
responden yang memiliki nilai skor sangat rendah. Berdasarkan hal tersebut
171
maka dapat disimpulkan bahwa openness to experience berdasarkan tahun
menjadi relawan sejak 2005-2001 responden paling banyak memperoleh
skor sedang dan tinggi.
Openness To Experience berdasarkan relawan sejak tahun >2000
diketahui bahwa terdapat 1 responden dengan skor sangat tinggi, 4
responden memperoleh nilai tinggi, 1 responden dengan kategori sedang,
tidak ada responden dengan skor rendah dan tidak terdapat responden
dengan skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
uraian openness to experience berdasarkan tahun menjadi relawan sejak
>2000 responden paling banyak memiliki skor tinggi.
Gambar 4.50 Diagram Deskripsi Openness To Experience Berdasarkan
Berapa Kali Menjadi Relawan
Hasil uraian Openness To Experience berdasarkan 2-5 kali menjadi
relawan diketahui bahwa terdapat 12 responden yang memiliki skor sangat
tinggi, 80 responden dengan kategori tinggi, 73 responden yang memiliki skor
sedang dan tidak ada responden yang memiliki nilai rendah serta terdapat 10
responden yang memiliki skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa responden yang pernah 2-5 kali menjadi relawan paling banyak
memiliki skor tinggi.
12
80 73
0 10 3
19 15 0 3 0 2 1 0 1 0 2 2 0 0 1
12 6 0 0
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
2-5 6-10 11-15 16-20 >21
172
Uraian openness to experience berdasarkan 6-10 kali relawan diketahui
bahwa 3 responden dengan skor sangat tinggi, 19 responden memperoleh
nilai tinggi, 15 responden dengan kategori sedang, tidak ada responden
dengan skor rendah dan 3 responden dengan skor sangat rendah. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada uraian openness to experience berdasarkan
6-10 kali menjadi relawan responden paling banyak memiliki skor tinggi.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan sebanyak 11-15 kali menjelaskan bahwa
tidak terdapat responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 2 responden
dengan skor tinggi, 1 responden yang memperoleh kategori sedang, tidak
ada responden yang memperoleh nilai rendah dan 1 responden yang
memiliki nilai skor sangat rendah.
Berdasarkan uraian diagram batang di atas menjelaskan bahwa
responden yang menjadi relawan sebanyak 16-20 kali menjelaskan bahwa
tidak ada responden yang memperoleh nilai sangat tinggi, 2 responden
dengan skor tinggi, 2 responden yang memperoleh kategori sedang, tidak
ada responden yang memperoleh nilai rendah dan tidak terdapat responden
yang memiliki nilai skor sangat rendah. Berdasarkan hal tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa Openness To Experience berdasarkan tahun
menjadi relawan sejak 2005-2001 responden paling banyak memperoleh
skor tinggi dan sedang.
Openness To Experience berdasarkan responden lebih dari 21 kali
menjadi relawan diketahui bahwa 1 responden dengan skor sangat tinggi,
173
12 responden memperoleh nilai tinggi, 6 responden dengan kategori
sedang, tidak ada responden dengan skor rendah dan tidak terdapat
responden dengan skor sangat rendah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pada uraian openness to experience berdasarkan lebih dari 21 kali menjadi
relawan responden paling banyak memiliki skor tinggi.
C. Uji Asumsi
Pada penelitian ini uji asumsi yang dilakukan ialah uji normalitas, uji
linearitas, uji multikolinearitas dan uji heteroskedastisitas. Berikut dijabarkan
hasil uji asumsi yang diperoleh peneliti:
1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui hasil data yang diperoleh
dapat terdistribusi secara normal atau tidak dengan menggunakan aplikasi
SPSS 20.0 for windows dengan melihat nilai one sample Kolmogorov
Smirnov. Untuk mengetahui apakah data terdistribusi normal atau tidak
maka menggunakan syarat apabila nilai signifikansi yang diperoleh > 0.05
maka data yang didapatkan terdistribusi normal. Sebaliknya apabila nilai
signifikansi < 0.05 maka data yang diperoleh tidak terdistribusi normal,
(Santoso, 2010).
Tabel 4.14 Hasil Analisis Uji Normalitas
Variabel *Kolmogorov **Sig Keterangan
Big Five Personality
terhadap Altruisme 0.242 0.200 Terdistribusi normal
Keterangan: *Kolmogorov = Nilai signifikansi uji normalitas kolmogorov smirnov **Sig = Nilai signifikansi P>0.05
174
Tabel analisis di atas menunjukkan hasil uji normalitas pada penelitian ini
pada data Big Five Personality dan altuisme yang dapat diketahui bahwa
hasil analisis data tersebut menunjukkan nilai Kolmogorov-smirnov sebesar
0.242 dengan nilai signifikansi sebesar 0.200. Nilai Kolmogorov-smirnov
yang diperoleh tersebut lebih besar dari taraf signifikansi 0.05 (sig > 0.045)
dengan demikian data dalam penelitian ini terdistribusi normal.
2. Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel
dependen dengan variabel independen atau untuk mengetahui apakah garis
antara X dan Y membentuk garis linear atau tidak. Uji linearitas dapat
dilakukan dengan bantuan aplikasi SPSS 20.0 for windows. Data dapat
dikatakan memiliki korelasi signifikan apabila hasil analisis yang diperoleh
memiliki nilai signifikansi deviation from linearity lebih besar dari taraf
signifikansi 0.05. Sebaliknya, data dikatakan tidak memiliki korelasi yang
signifikan apabila diperoleh nilai signifikansi deviation from linearity lebih
kecil dari taraf signifikansi 0.05. Hasil analisis yang didapatkan ialah:
Tabel 4.15 Hasil Analisis Uji Linearitas
Variabel Linearity
Keterangan *F **Sig F
Altruisme dan Openness To Experience
22.361 0.000 Linear
Altruisme dan Conscientiousness 42.329 0.000 Linear
Altruisme dan Extraversion 10.499 0.001 Linear
Altruisme dan Agreeableness 27.697 0.000 Linear
Altruisme dan Neuroticism 9.615 0.002 Linear *F = Nilai koefisien linearity **Sig.F = Nilai signifikansi P < 0..05
175
Berdasarkan analisis data diatas, maka dapat diketahui bahwa tabel
diatas merupakan hasil uji linearitas dimana hasil yang berdasarkan data
altruisme dan Openness To Experience memiliki nilai F sebesar 22.361
dengan taraf signifikansi F sebesar 0.000. Nilai signifikansi F tersebut lebih
kecil dari taraf signifikansi 0.05 (0.000<0.005) yang berarti bahwa kedua
variable tersebut linear. Pada hasil analisis data altruisme dan
Conscientiousness memiliki nilai F sebesar 42.329 dengan signifikansi nilai
F sebesar 0.000. Nilai tersebut lebih lebih kecil dari taraf signifikansi 0.05
(0.000<0.05) yang menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut linear.
Kemudian, pada data Altruisme dan Extraversion memiliki nilai F sebesar
10.499 dengan signifikansi nilai F sebesar 0.001. Nilai tersebut lebih lebih
kecil dari taraf signifikansi 0.05 (0.001<0.05) yang dengan kata lain kedua
variabel tersebut linear. Pada data altruisme dan Agreeableness diketahui
bahwa nilai F sebesar 27.697dengan signifikansi nilai F sebesar 0.000. Nilai
tersebut lebih lebih kecil dari taraf signifikansi 0.05 (0.000<0.05) yang
dengan kata lain kedua variabel tersebut linear. Sedangkan pada data
altruisme dan Neuroticism diketahui memiliki nilai F sebesar 9.615 dengan
signifikansi nilai F sebesar 0.001. Nilai tersebut lebih lebih kecil dari taraf
signifikansi 0.05 (0.001<0.05) yang menunjukkan bahwa kedua variabel
tersebut linear.
3. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas dilakukan untuk melihat nilai korelasi antar
variabel independen dalam model regresi berganda, (Sugiyono, 2014). Jika
176
variabel independen yang diteliti memiliki nilai korelasi yang tinggi maka
hubungan antara variabel dependen dan variabel independen akan
terganggu. Untuk mengetahui apakah dalam hasil data yang diperoleh
terjadi multikolinearitas atau tidak maka peneliti menggunakan aplikasi
SPSS 20.0 for windows dengan melihat nilai Tolerance dan nilai VIF
(Variance Inflation Factor). Apabila nilai Tolerance mendekati angka 1 dan
nilai VIF disekitar angka 1 serta tidak lebih dari 10 , maka dapat dikatakan
tidak terjadi multikolinearitas.
Tabel 4.16 Hasil Analisis Uji Multikolinearitas
Variabel Collinearity Statistic
Keterangan Tolerance* Nilai VIF**
Openness To Experience 0.762 1.313 Tidak terjadi multikolinearitas
Conscientiousness 0.656 1.524 Tidak terjadi multikolinearitas
Extraversion 0.847 1.181 Tidak terjadi multikolinearitas
Agreeableness 0.668 1.497 Tidak terjadi multikolinearitas
Neuroticism 0.802 1.247 Tidak terjadi multikolinearitas
Keterangan: * Tolerance = Nilai tolerance>0.10 **VIF = Nilai variance inflation factor <10.00
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh di atas dapat diketahui bahwa
seluruh dimensi big five personality yang meliputi openness to experience,
conscientiousness, extraversion, agreeableness, neuroticism tidak terjadi
multikolinearitas hal tersebut dibuktikan dengan nilai Tolerance mendekati
angka 1 dan nilai VIF disekitar angka 1 serta tidak lebih dari 10.
4. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui apakah hubungan
antara prediksi dan residu bersifat acak atau tidak. Suatu model regresi yang
baik apabila tidak terdapat korelasi antar variabel prediktor. Selain itu, uji
177
heteroskedastisitas juga dilakukan untuk menguji apakah terdapat
kesamaan varians dari satu pengamatan ke pengamatan lainnya dengan
menggunakan melihat scatterplot dengan memplotkan ZPRED (nilai
prediksi) dengan pola ZRESID (nilai residual) menggunakan bantuan
program SPSS 20.0 for windows. Hasil output akan terlihat membentuk pola
tertentu atau tidak. Suatu output yang baik apabila tidak terjadi
heteroskedastisitas dan output yang dihasilkan tidak membentuk pola
tertentu.
4.51 Hasil Uji Heteriskedastistas Menggunakan Scatterplot
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan oleh peneliti maka
tabel diatas menunjukkan bahwa Scatterplot menyebar secara acak dan
tidak membentuk suatu pola tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa dalam penelitian ini tidak terjadi heteroskedastistas.
178
D. Uji Hipotesis
Apabila telah dilakukan uji prasyarat dan telah memenuhi syarat uji
normalitas, uji linearitas, uji multikolinearitas dan uji heteroskedastisitas. Maka
selanjutnya akan dilakukan analisis regresi berganda untuk uji hipotesis dan
untuk mengetahui sumbangan efektif bersama maupun masing-masing tipologi
kepribadian Big Five Personality terhadap altruisme. Berikut hipotesis dalam
penelitian ini yakni:
1. H0 : Tipe kepribadian big five personality tidak dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme.
H1 : Tipe kepribadian big five personality dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme.
2. H0 : Tipe kepribadian openness to experience tidak dapat menjadi
prediktor terhadap perilaku altruisme
H1 : Tipe kepribadian openness to experience dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme.
3. H0 : Tipe kepribadian conscientiousness tidak dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme
H1 : Tipe kepribadian conscientiousness dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme.
4. H0 : Tipe kepribadian extraversion tidak dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme
H1 : Tipe kepribadian extraversion dapat menjadi prediktor terhadap
perilaku altruisme.
179
5. H0 : Tipe kepribadian agreeableness tidak dapat menjadi prediktor
terhadap perilaku altruisme
H1 : Tipe kepribadian agreeableness dapat menjadi prediktor terhadap
perilaku altruisme.
6. H0 : Tipe kepribadian neuroticism tidak dapat menjadi prediktor terhadap
perilaku altruisme
H1 : Tipe kepribadian neuroticism dapat menjadi prediktor terhadap
perilaku altruisme.
Berikut merupakan hasil analisis terhadap hipotesis-hipotesis penelitian:
a. Kontribusi Big Five Personality Terhadap Altruisme
Kontribusi Big Five Personality secara bersama terhadap altruisme
dapat diketahui melalui uraian tabel berikut:
Tabel 4.17 Hasil Analisis Kontribusi Big Five Personality Terhadap Altruisme
Variabel R Square* Kontribusi F** Sig*** Keterangan
Big Five Personality Terhadap Altruisme
0.226 22,6% 13.820 0.00 Signifikan
Keterangan: *R Square : Koefisien determinan **Nilai F : Nilai uji koefisien regresi stimulant *** Sig : nilai signifikansi F, p < 0.05
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan maka didapatkan hasil
bahwa nilai R Square yang diperoleh yakni sebesar 0.226 dari nilai tersebut
diketahui kontribusi big five personality terhadap perilaku altruisme pada
relawan bencana sebesar 22.6% adapun 77,4% lainnya merupakan
sumbangsih dari variabel lain di luar dari variabel penelitian yang diteliti.
180
Adapun nilai F yang diperoleh yakni sebesar 13.820 dan nilai
signifikansi F sebesar 0.00 dimana nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari
taraf signifikansi 5% (p = 0.00 ; p < 0.05). Sehingga hipotesis nihil yang
menyatakan bahwa big five personality tidak dapat menjadi prediktor
terhadap altruisme relawan daerah bencana, ditolak dan hipotesis penelitan
yang menyatakan bahwa big five personality dapat menjadi prediktor
terhadap altruisme relawan daerah bencana, diterima. Dengan demikian,
dapat katakan bahwa big five personality dapat menjadi prediktor terhadap
perilaku altruisme pada relawan daerah bencana.
b. Kontribusi Extraversion Terhadap Altruisme
Kontribusi extraversion terhadap altruisme dapat diketahui melalui
uraian tabel berikut:
Tabel 4.18 Hasil Analisis Kontribusi Extraversion Terhadap Altruisme
Variabel *R Square Kontribusi **F ***Sig Keterangan
Extraversion Terhadap Altruisme
0.041
4,1 % 10.149 0.02 Signifikan
Keterangan: *R Square : Koefisien determinan **Nilai F : Nilai uji koefisien regresi stimulant *** Sig : nilai signifikansi F, p < 0.05
Berdasarkan hasil analisis regresi yang telah dilakukan maka diketahui
nilai R Square yang diperoleh yakni sebesar 0.041 dari nilai tersebut
diketahui kontribusi extraversion sebagai prediktor perilaku altruisme pada
relawan bencana sebesar 4,1%. Adapun nilai F yang diperoleh yakni
sebesar 10.146 dan nilai signifikansi F sebesar 0.02 dimana nilai signifikansi
tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (p = 0.02 ; p < 0.05). Sehingga
hipotesis nihil yang menyatakan bahwa extraversion tidak dapat menjadi
181
prediktor terhadap altruisme relawan daerah bencana, ditolak dan hipotesis
penelitian yang menyatakan bahwa extraversion dapat menjadi prediktor
terhadap altruisme relawan daerah bencana, diterima. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa extraversion mampu menjadi predikor terhadap
altruisme pada relawan daerah bencana.
c. Kontribusi Agreeableness Terhadap Altruisme
Kontribusi agreeableness terhadap altruisme dapat diketahui melalui
uraian tabel berikut:
Tabel 4.19 Hasil Analisis Kontribusi Agreeableness Terhadap Altruisme
Variabel *R Square Kontribusi **F ***Sig Keterangan
Agreeableness
Terhadap Altruisme
.084
8,4% 22.998 0.00 Signifikan
Keterangan: *R Square Change : Koefisien determinan **Nilai F : Nilai uji koefisien regresi stimulant *** Sig : nilai signifikansi F, p < 0.05
Berdasarkan hasil analisis regresi yang telah dilakukan maka
didapatkan hasil bahwa nilai R Square sebesar 0.084, dari nilai tersebut
dapat diketahui kontribusi agreeableness sebagai prediktor perilaku
altruisme pada relawan bencana sebesar 8,4%. Adapun nilai F yang
diperoleh yakni sebesar 22.998 dan nilai signifikansi F sebesar 0.00 dimana
nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (p = 0.00 ; p <
0.05). Sehingga hipotesis nihil yang menyatakan bahwa agreeableness tidak
dapat menjadi prediktor terhadap altruisme relawan daerah bencana, ditolak
dan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa agreeableness dapat
menjadi prediktor terhadap altruisme relawan daerah bencana, diterima.
182
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agreeableness mampu menjadi
prediktor terhadap altruisme pada relawan daerah bencana.
d. Kontribusi Conscientiousness Terhadap Altruisme
Kontribusi conscientiousness terhadap altruisme dapat diketahui melalui
uraian tabel berikut:
Tabel 4.20 Hasil Analisis Kontribusi Conscientiousness Terhadap Altruisme
Variabel R Square Kontribusi F Sig Keterangan
Conscientiousness Terhadap Altruisme
.083 8,3% 24.846 0.00 Signifikan
Keterangan: *R Square : Koefisien determinan **Nilai F : Nilai uji koefisien regresi stimulant *** Sig : nilai signifikansi F, p < 0.05
Berdasarkan hasil analisis regresi yang telah dilakukan maka
didapatkan hasil bahwa nilai R Square sebesar 0.083, dari nilai tersebut
dapat diketahui kontribusi conscientiousness sebagai prediktor perilaku
altruisme pada relawan bencana sebesar 8,3%. Adapun nilai F yang
diperoleh yakni sebesar 24.846 dan nilai signifikansi F sebesar 0.00 dimana
nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (p = 0.00 ; p <
0.05). Dengan demikian, hipotesis nihil yang menyatakan bahwa
conscientiousness tidak dapat menjadi prediktor terhadap altruisme relawan
daerah bencana, ditolak dan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa
conscientiousness dapat menjadi prediktor terhadap altruisme relawan
daerah bencana, diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
conscientiousness mampu menjadi prediktor terhadap perilaku altruisme
pada relawan daerah bencana.
183
e. Kontribusi Neuroticism Terhadap Altruisme
Kontribusi neuroticism terhadap altruism diketahui melalui uraian berikut:
Tabel 4.21 Hasil Analisis Kontribusi Neuroticism Terhadap Altruisme
Variabel R Square* F* Sig*** Keterangan
Neuroticism Terhadap Altruisme
.004 1.140 0.287 Tidak
Signifikan Keterangan: *R Square : Koefisien determinan **Nilai F : Nilai uji koefisien regresi stimulant *** Sig : nilai signifikansi F, p < 0.05
Berdasarkan hasil analisis regresi yang telah dilakukan maka
didapatkan hasil bahwa nilai R Square sebesar 0.083, dari nilai tersebut
dapat diketahui kontribusi neuroticism sebagai prediktor perilaku altruisme
pada relawan bencana sebesar 0,4%. Adapun nilai F yang diperoleh yakni
sebesar 1.140 nilai signifikansi F sebesar 0.287 dimana nilai signifikansi
tersebut lebih besar dari taraf signifikansi 5% (p = 0.287 ; p > 0.05). Dengan
demikian, hipotesis nihil yang menyatakan bahwa neuroticism tidak dapat
menjadi prediktor terhadap altruisme relawan daerah bencana, diterima dan
hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa neuroticism dapat menjadi
prediktor terhadap altruisme relawan daerah bencana, ditolak. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa neuroticism tidak dapat menjadi
prediktor terhadap perilaku altruisme pada relawan daerah bencana.
184
f. Kontribusi Openness To Experience Terhadap Altruisme
Kontribusi openness to experience terhadap altruisme dapat diketahui
melalui uraian tabel berikut:
Tabel 4.22 Hasil Analisis Kontribusi Openness To Experience Terhadap
Altruisme
Variabel R Square* Kontribusi F** Sig*** Keterangan
Openness To Experience Terhadap Altruisme
0.015 1,5% 4.628 0.032 Signifikan
Keterangan: *R Square : Koefisien determinan **Nilai F : Nilai uji koefisien regresi stimulant *** Sig : nilai signifikansi F, p < 0.05
Berdasarkan hasil analisis regresi yang telah dilakukan maka
didapatkan hasil bahwa nilai R Square sebesar 0,226 dari nilai tersebut
dapat diketahui kontribusi openness to experience sebagai prediktor perilaku
altruisme pada relawan bencana sebesar 1,5%. Adapun nilai F yang
diperoleh yakni sebesar 4.628 dan nilai signifikansi F sebesar 0.032 dimana
nilai signifikansi tersebut lebih kecil dari taraf signifikansi 5% (p = 0.032 ; p <
0.05). Sehingga hipotesis nihil yang menyatakan bahwa openness to
experience tidak dapat menjadi prediktor terhadap altruisme relawan daerah
bencana, ditolak dan hipotesis yang menyatakan bahwa openness to
experience dapat menjadi prediktor terhadap altruisme relawan daerah
bencana, diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa openness to
experience mampu menjadi prediktor terhadap perilaku altruisme pada
relawan daerah bencana.
185
Selanjutnya, peneliti akan menentukan koefisien pengaruh dari dimensi
big five personality terhadap altruisme yang dapat diketahui melalui hasil
analisis yang telah dilakukan sebelumnya, yakni sebagai berikut:
Tabel 4.23 Hasil Analisis koefisien pengaruh Big Five Personality
Dimensi Big Five Personality Constant* B** Nilai t
Extraversion terhadap altruisme
26.594
0.205 1.225
Agreeableness terhadap altruisme
-0.333 -1.318
Conscientiousness terhadap altruisme
0.835 4.012
Neuroticism terhadap altruisme -0.244 -1.049
Openness To Experience terhadap altruisme
0.681 2.151
Keterangan: *Constant = Nilai Kostanta **B = Koefisien Pengaruh ***Sig t = Nilai Signifikansi t, p < 0,05
Berdasarkan tabel hasil analisis di atas maka diketahui bahwa nilai
konstanta sebesar 26.594. Adapun nilai koefisien pengaruh dimensi
extraversion terhadap altruisme yakni sebesar 0.205 dengan arah pengaruh
yang positif, yang berarti semakin tinggi extraversion maka semakin tinggi
pula altruisme. Untuk agreeableness, diperoleh koefesien pengaruh
sebesar 0.333, dengan arah negatif, yang berarti semakin tinggi
agreeeableness maka semakin rendah altruisme. Pada conscientiousness
diperoleh koefisien pengaruh sebesar 0.835 dengan arah pengaruh positif,
berarti semakin tinggi conscientiousness maka semakin tinggi pula
altruisme. Sedangkan pada neuroticism diperoleh nilai koefisien pengaruh
sebesar 0.244 dan untuk openness to experience diperoleh nilai koefisien
186
pengaruh sebesar 0.681 dengan arah pengaruh positif, yang berarti semakin
tinggi openness to experience maka semakin tinggi pula altruisme.
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh maka dapat dibuat
persamaan sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2+ b3X3 + b4X4+ b5X5
Altruisme = 26.594 + 0.205 (Extraversion) -0.33 (Agreeableness) + 0.835
(Conscientiousnes) - 0.244 (Neuroticism) + 0.681 (Openness To
Experience).
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan didapatkan dimensi yang
tidak signifikan yakni pada dimensi Neuroticism yang tidak signifikan
terhadap altruisme, maka besar nilai kontribusinya diabaikan sehingga tidak
dimasukkan ke dalam persamaan garis regresi linear. Dengan demikian
persamaan regresi yang diperoleh yakni:
Y = a + b1X1 + b2X2+ b3X3 + b4X4
Altruisme = 26.594 + 0.205 (Extraversion) - 0.33 (Agreeableness) + 0.835
(Conscientiousness ) + 0.681 (Openness To Experience).
E. Pembahasan
1. Gambaran Altruisme Pada Relawan Bencana
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh peneliti maka didapatkan
bahwa tingkat altruisme yang dimiliki relawan bencana berbeda-beda. Hal
tersebut dapat diketahui melalui hasil analisis deskriptif yang diperoleh
dimana dari 242 relawan bencana yang diteliti terdapat 22 relawan bencana
187
atau 9.1% yang memiliki altruisme sangat tinggi, 44 (18.2%) relawan
bencana dengan kategori tinggi, 97(40.1%) relawan bencana dengan
kategori sedang, 79 (32,6%) memiliki altruisme yang rendah dan tidak
terdapat relawan bencana yang memiliki altruisme sangat rendah.
Kebervariasian altruisme juga didapatkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Sulawati (2017) yang juga menemukan adanya
kebervariasian altruisme pada 25 Relawan Organisasi AbdA Ditinjau dari
Tingkat EQ dan SQ. Pada penelitian tersebut didapatkan tingkat perilaku
altruisme relawan AbdA yang berbeda-beda yakni relawan dengan
altruisme tinggi sebanyak 5 relawan (14%), 21 (60%) lainnya memiliki tingkat
altruis sedang, dan 9 relawan (26%) sisanya memiliki sifat altruis yang
rendah.
Pada penelitian lain juga didapatkan kebervarisian pada altruisme
dimana Putri, J.D., & Mardhiyah, S.A (2018) yang meneliti tentang Peran
Religiusitas Terhadap Altruisme 80 Relawan Walhi Sulsel menemukan hasil
bahwa kategorisasi altruisme pada penelitian ini didominasi oleh frekuensi
kategori tinggi sebanyak 58 orang (72,50%) dan 22 orang (27,50%) berada
pada kategori sedang dan tidak terdapat relawan Walhi dengan kategori
rendah. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Nursanti, I.,
Victoria, E., & Cakrangadinata (2014) mengenai studi deskriptif altruisme
pada mahasiswa Psikologi Universitas “ ” Bandung pada 325 mahasiswa
didapatkan hasil sebanyak 145 mahasiswa yang memiliki skor tinggi atau
44,5% dan 180 mahasiswa memiliki skor rendah atau sebanyak 55,4%.
188
Penelitian yang dilakukan oleh Neli, U.S & Sukmawati (2019) mengenai
Altruistic Behavior of Students in SMA N 1 Kampung Dalam Padang
Pariaman Regency and The Implication in Guidance and Counseling pada
240 siswa di Padang juga memiliki kebervariasian tingkat altruisme dimana
terdapat 64 siswa (26,67%) kategori sangat tinggi, tinggi sebanyak 146
siswa dengan persentase( 60,83%), sedang 30 siswa (12,30%) dan tidak
terdapat siswa di SMA N 1 Padang yang memiliki altruisme sangat rendah.
Kebervariasian yang ditemukan pada penelitian ini diprediksi karena
dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam altruisme misalkan faktor empati
yang dimiliki seseorang. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pujiyanti, A
(2018) mengenai Kontribusi Empati Terhadap Perilaku Altruisme Pada
Siswa Siswi Sma Negeri 1 Setu Bekasi pada 70 orang siswa menemukan
hasil bahwa empati mampu memberikan kontribusi terhadap altruisme
sebesar 50,4 % sedangkan sisanya sebesar 49,6 %. Penelitian Fatmawati,
A (2014) mengenai hubungan antara empati dan perilaku altruistic pada 65
Karang Taruna di desa Pakang yang menemukan hasil bahwa empati
mampu memberikan kontribusi sebesar 34,1% pada altruisme Karang
Taruna desa Pakang. Penelitian lain terkait empati mampu memengaruhi
altruisme juga dilakukan oleh Ramadhan, S.R (2019) mengenai pengaruh
empati terhadap tingkat altruisme pada 121 mahasiswa fakultas Psikologi di
Gresik dan menemukan bahwa empati mampu memengaruhi altruisme
dengan kontribusi pengaruh sebesar 55,8% pada mahasiswa fakultas
Psikologi di Gresik.
189
Empati yang memengaruhi altruisme juga sejalan dengan teori yang
dikemukakan oleh Piaget dan Kohlberg (dalam Gunarsah, S., & Gunarsah,
Y. S. 2008) yang menegaskan bahwa empati sebagai unsur utama dalam
perkembangan moral seseorang. Empati merupakan kemampuan
seseorang untuk turut dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Empati sangat erat kaitannya dalam memengaruhi altruisme karena untuk
menerapkan perilaku menolong terhadap orang lain tanpa pamrih maka
diperlukan kepekaan yang baik untuk bisa merasakan apa yang dialami oleh
orang lain.
Faktor lain yang diduga juga dapat memengaruhi altruisme yakni
religiusitas dimana diperkuat melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh
Putri, J.D., & Mardhiyah, S.A (2018) yang meneliti tentang Peran Religiusitas
Terhadap Altruisme 80 Relawan Walhi Sulsel yang menemukan hasil bahwa
religiusitas mampu memengaruhi altruisme sebesar 28% pada relawan walhi
Sulsel. Penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa religiusitas juga
memengaruhi altruisme yakni pada penelitian yang dilakukan oleh Gatot, I
(2015) mengenai hubungan tingkat religiusitas dengan perilaku altruistic
pada 75 santri di Ponpes Futuhiyyah di Demak menemukan bahwa terdapat
hubungan positif antara religiusitas dan altruisme dimana semakin tinggi
religiusitas seseorang maka semakin tinggi pula altruisme yang dimilikinya
begitupun sebaliknya. Senada dengan penelitian Salsabila, N.G (2017)
mengenai hubungan antara religiusitas dengan altruisme pada 70 relawan
gerakan inspirasi di Bandung, pada penelitian tersebut ditemukan hasil
190
bahwa religiusitas mampu memberikan pengaruh terhadap altruisme dengan
kontribusi sebesar 26,5%.
Pada altruisme relawan bencana ditemui beberapa relawan dengan titik
ekstrim karena memiliki altruisme sangat tinggi, hal tersebut dapat terjadi
karena sesuaikan dengan aspek altruisme yang di dalamnya terdapat
keinginan membantu. Titik ekstrim sangat tinggi yang dimiliki responden
dapat disebabkan karena besarnya keinginan membantu orang lain dalam
diri seorang relawan yang dimana keinginan membantu merupakan konstruk
yang membangun perilaku altruisme. Titik ekstrim relawan yang memiliki
altruisme sangat tinggi juga diprediksi dapat disebabkan karena tingginya
perasaan sukarela dalam menolong orang lain. Selain itu, sangat tingginya
altruisme relawan juga dapat dipicu karena setiap melakukan suatu hal
relawan tidak bekerja berdasarkan kepentingan pribadi melainkan karena
kepentingan orang lain yang hendak ditolong jauh lebih besar daripada
kepentingan pribadi relawan itu sendiri sehingga menyebabkan perilaku
menolong sebagian relawan cenderung sangat tinggi.
2. Analisis Dimensi Big Five Personality Sebagai Prediktor Altruisme
Pada Relawan Bencana.
a. Openness To Experience Sebagai Prediktor Perilaku Altruisme Pada
Relawan Bencana
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka diketahui bahwa
openness to experience memiliki hasil yang signifikan karena nilai
signifikan pada taraf signifikansi 5% (0.032 < 0.05), sehingga dapat
191
dikatakan bahwa openness to experience dapat memengaruhi altruisme
pada relawan bencana. Besarnya pengaruh atau kontribusi dimensi
openness to experience terhadap altruisme sebesar 22,6% sedangkan
87,4% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam
penelitian ini.
Goldberg (1981) menjelaskan bahwa openness to experience
merupakan kemampuan individu untuk terbuka terhadap hal-hal baru
dan penuh dengan ide. Individu yang memiliki kecenderungan openness
to experience yang tinggi maka akan cenderung menjadikan
pengalaman sebagai sesuatu yang mendalam dan akan lebih kreatif.
Selain itu, individu yang memiliki kecenderungan openness to
experience tinggi juga sangat menghargai pengalaman baru yang
diperoleh sehingga akan merasa senang ketika mengetahui sesuatu
yang baru. Sedangkan individu yang memiliki openness to experience
yang rendah cenderung hanya tertarik pada satu hal dan tidak memiliki
jiwa seni.
Adapun hal yang menyebabkan openness to experience
berpengaruh terhadap altruisme pada relawan daerah bencana
diprediksi karena apabila relawan diperhadapkan pada situasi bencana
atau musibah orang lain maka akan memunculkan reaksi emosi dimana
individu mampu berpandangan terbuka terhadap situsi yang terjadi
sehingga distress yang dirasakan dapat dikelola dengan baik. Apabila
distress mampu dikelolah dengan baik maka pengambilan keputusan
192
untuk bertindak sebagai penolong jauh lebih stabil dan ganjaran yang
diperoleh dapat bernilai positif bagi individu. Selain itu, pengaruh ini juga
disebabkan oleh tipe kepribadian openness to experience yang tinggi
maka menyebabkan kreativitas pada seseorang juga meningkat. Dengan
demikian, apabila kreativitas meningkat maka akan memunculkan
beragam cara dalam mengambil keputusan terbaik dalam memecahkan
suatu masalah termasuk dalam menolong. Apabila dalam pengambilan
keputusan dalam bertindak memberikan ganjaran atau konsekuensi
yang baik ketika menolong, maka akan menyebabkan altruisme atau
perilaku menolong tanpa pamrih juga akan meningkat. Sebaliknya
apabila relawan memiliki kecenderungan openness to experience yang
rendah maka relawan akan kurang mampu melihat segala sesuatu yang
terjadi lebih luas sehingga pengambilan keputusan dalam menolong juga
dirasa tidak maksimal karena hanya cenderung pada satu hal,
cenderung cuek dan tidak mampu berpikir secara kreatif untuk bisa
menolong orang lain sehingga dapat menurunkan perilaku altruisme.
Temuan demografi hasil penelitian menunjukkan bahwa relawan
laki-laki menunjukkan openness to experience lebih tinggi daripada
perempuan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Nurmitasari & Astuti, R ( 2017) mengenai tingkat berpikir kreatif pada 3
siswa laki-laki dan 3 siswa perempuan pada bangun datar ditinjau
berdasarkan jenis kelamin, dimana ditemukan bahwa laki-laki lebih
kreatif daripada perempuan dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
193
Temuan ini juga didukung oleh hasil penelitian Handayani dan Sugiarti
(2002) mengenai konsep dan teknik penelitian gender pada mahasiswa
di Malang menemukan bahwa laki-laki cenderung logis dan tidak
emosional daripada perempuan yang cenderung emosional, subjektif
dan tidak agresif dalam menangani suatu hal. Sedangkan dalam
penelitian Lin et.al (2012) menemukan bahwa laki-laki memiliki
kemampuan pemecahan masalah lebih baik daripada perempuan.
Temuan hasil demografi dimana menunjukkan suku etnis Bugis
yang berdomisili di daerah Makassar memiliki kecenderungan openness
to experience lebih tinggi daripada suku lainnya yang berada diluar
Makassar, hal ini sejalan dengan penelitian Putra, A.M., Bahtiar., & Upe,
A (2018) yang menjelaskan mengenai falsafah hidup orang bugis yaitu
“Rebba sipatokkong, mali siparappe, sirui menre tessurui nok, malilu
sipakainge maingepi mupaja” yang artinya rebah saling menegakkan,
hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling
menekan kebawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau
tertolong barulah berhenti. Filosofi tersebut memberi pesan agar orang
selalu berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi
kehidupan. Saling tolong-menolong ketika menghadapi rintangan dan
saling mengingatkan untuk menuju jalan yang benar. Pedoman hidup
seperti itulah yang dipegang teguh beberapa masyarakat suku Bugis di
Makassar sehingga menerapkan perilaku menolong baik ketika
194
mendapati orang lain yang memiliki identitas yang sama dengannya
maupun yang berbeda.
Temuan demografi berdasarkan usia juga sejalan pada penelitian ini
dimana ditemukan bahwa semakin bertambah usia maka Openness To
Experience juga akan semakin meningkat begitupun dengan temuan
hasil dimana semakin lama dan semakin sering relawan menolong di
daerah bencana maka Openness To Experience juga semakin tinggi.
Hal ini diprediksi karena pada tahap perkembangan kognitif seseorang
ketika dewasa awal hingga dewasa menengah sudah mampu berpikir
secara konkret dan formal, pengalaman-pengalaman yang didapatkan
sebelumnya dijadikan sebagai proses belajar sehingga pemecahan
masalah pun semakin beragam dan pengambilan keputusan semakin
tegas, (Jahja, Y,2011). Hal ini juga sejalan dengan teori yang
diungkapkan oleh Sears, D.O., Freedman, J.L., & Peplau (1999) bahwa
salah satu perspektif menolong ialah menekankan pada proses belajar.
Proses belajar tersebut dapat dipelajari melalui norma masyarakat
tentang tindakan menolong. Proses belajar sendiri berkaitan dengan
teori belajar sosial dimana Bandura (dalam Hall & Lindzey, 1993)
menjelaskan bahwa dalam teori ini tingkah laku manusia merupakan
hasil dari proses belajar dari lingkungan. Tingkah laku dalam hal ini
merupakan perilaku menolong tanpa pamrih disebabkan karena adanya
proses belajar melalui observasi terhadap model yang dilakukan oleh
orang lain dan diperkuat oleh konsekuensi positif yang diperoleh.
195
Dijelaskan lebih lanjut bahwa individu mampu mempelajari cara
menolong karena adanya penguatan atau peneguhan dimana Skinner
(dalam Wade,C., & Tavris, C) juga menjelaskan bahwa reinforcement
positif (penguatan atau peneguhan) merupakan proses dimana
konsekuensi menyenangkan membuat sebuah respons perilaku untuk
dapat muncul kembali. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
hasil penelitian dan literatur yang mendukung openness to experience
memengaruhi altruisme relawan daerah bencana disebabkan karena
konstruksi dari hasil belajar dan pengalaman-pengalaman yang
diperoleh yang mematangan pengambilan keputusan dan pemecahan
masalah relawan yang dalam hal ini adalah membantu orang lain di
daerah bencana tanpa pamrih.
b. Conscientiousness Sebagai Prediktor Perilaku Altruisme Pada
Relawan Bencana
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan maka dapat
diuraikan bahwa conscientiousness memiliki hasil yang signifikan dan
positif terhadap altruisme relawan bencana, sehingga dapat dikatakan
bahwa semakin tinggi conscientiousness yang dimiliki maka semakin
tinggi pula altruisme pada relawan bencana, begitupun sebaliknya.
Besarnya pengaruh atau kontribusi dimensi conscientiousness
terhadap altruisme sebesar 8,3% sedangkan 91,7% lainnya dipengaruhi
oleh faktor lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini. Goldberg
(1981) menjelaskan bahwa conscientiousness merupakan salah satu
196
dari lima dimensi yang ada dalam big five personality yang menekankan
perilaku individu yang berorientasi pada tugas-tugas, tujuan dan kontrol
sosial yang dimana apabila individu memiliki conscientiousness tinggi
maka akan cenderung bekerja keras, bertanggung jawab, tekun, dan
senang apabila telah menyelesaikan berbagai hal. Sebaliknya, apabila
individu conscientiousness rendah maka akan kurang perhatian. Oleh
karena itu, conscientiousness memiliki pengaruh terhadap altruisme
karena individu dengan kecenderungan conscientiousness biasanya
pekerja keras dan bertanggung jawab terhadap tugas maupun hal-hal
yang dialami oleh orang lain.
Dengan demikian, hasil penelitian yang diperoleh disebabkan
karena dinamika altruisme yang dilalui seseorang berbeda-beda
misalkan saja dalam penelitian yang dikemukakan oleh Purwanto, A.S
(2012) bahwa situasi dan kondisi mengantarkan seseorang ke dalam
suatu reaksi emosi dan distress diri yang dimana hal tersebut melibatkan
kepribadian yang memengaruhinya. Seperti yang diketahui bahwa
kepribadian selalu mengacu pada pola pemikiran, emosi dan perilaku
sehingga dengan demikian kepribadian conscientiousness sering
dikaitkan dengan besarnya rasa tanggung jawab dalam diri seseorang,
mampu bersikap kooperatif dan mampu bekerja sama sehingga hal
tersebut mampu menghantarkan relawan pada pola kepribadian yang
akurat sehingga dan menghasilkan keputusan yang kuat serta tindakan
yang tepat dalam penanganan cepat tanggap relawan pada saat
197
menghadapi situasi bencana. Dari hal tersebut, relawan mampu
menerima ganjaran positif dimana seperti hasil wawancara yang
diperoleh bahwa ganjaran menolong korban bencana salah satunya
adalah adanya pengalaman dan perasaan puas yang diperoleh yang
menyebabkan perilaku menolong pada relawan dapat berulang dan
pada akhirnya meningkatkan altruisme. Hal inilah yang menyebabkan
apabila conscientiousness tinggi maka altruisme relawan juga akan
meningkat, karena adanya proses pengambilan keputusan yang kuat
dan akurat dalam upaya cepat tanggap relawan dalam bertindak dengan
tepat menolong orang lain. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Sweikert, R., dkk (2014) mengenai
Conscientiousness Moderates The Influence Of A Help-Eliciting Prime
On Prososial Behavior yang menemukan bahwa Conscientiousness
mampu menjadi moderator dalam memengaruhi pikiran-pikiran yang
dapat menimbulkan perilaku menolong. Hal ini disebabkan karena
individu yang memiliki conscientiousness tinggi merupakan individu yang
dapat menepati janji, suka membantu dan memiliki rasa tanggung jawab
yang kuat sehingga memunculkan kecenderungan untuk membantu
orang lain dengan mengorbankan dirinya. Hal ini memiliki
berkesinambungan antara aspek altruisme mengenai situasional dimana
individu merasa memiliki peran untuk membantu orang lain disekitarnya.
Temuan ini apabila ditinjau berdasarkan temuan hasil demografi
juga menunjukkan hal yang sejalan dengan hasil penelitian yang
198
diperoleh, dimana pada temuan ini diketahui laki-laki memiliki
conscientiousness lebih tinggi daripada perempuan. Temuan ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan Swargini & Puspita, D.P (2012)
yang menemukan bahwa laki-laki dengan kecenderungan
conscientiousness tinggi maka akan lebih mampu bertanggung jawab
mengenai tugas-tugas yang mengacu pada adrenalin dan tugas-tugas
heroik. Sedangkan perempuan lebih dominan pada tugas pengasuhan
dan perawatan. Seperti yang diketahui bahwa menolong di daerah
bencana merupakan hal yang berisiko yang dapat memicu adrenalin
relawan untuk menolong sehingga hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil yang diperoleh.
Apabila hasil penelitian ini juga ditinjau berdasarkan demografi
umur maka juga ditemukan bahwa semakin bertambah usia maka
kecenderungan conscientiousnes juga akan semakin tinggi begitupun
dengan demografi usia yang ditemukan berdasarkan variabel altruisme
dimana ditemukan bahwa semakin bertambah usia dan semakin sering
menjadi relawan maka altruisme relawan bencana juga semakin tinggi.
Hal ini dikarenakan pada teori perkembangan kognitif pada usia dewasa
awal hingga dewasa akhir dinilai telah mampu berpikir formal yang
melibatkan kombinasi antara logika, emosi dan pengalaman untuk
menyelesaikan suatu masalah. Dengan demikian, relawan yang dalam
penelitian ini terdiri dari usia 18 hingga 65 tahun secara teoritis
mengenai perkembangan kognitif dianggap telah memiliki rasa tanggung
199
jawab dan mampu mengambil keputusan dalam mengambil langkah
untuk menolong orang lain, (Jahja, 2011). Lacey (dalam Widyarini, 2009)
juga menjelaskan bahwa membangun pola pikir dan rasa tanggung
jawab terhadap apa yang dialami orang lain dapat memberikan potensi
yang jauh lebih luhur dalam menolong orang lain, karena aspek
situasional mampu menyebabkan individu dapat melihat penderitaan
yang dialami oleh orang lain. conscientiousness yang signifikan terhadap
altruisme ini juga sejalan dengan teori social responsibility norm yang
diungkapkan oleh Baron, Byrne & Branscombe (2006) dimana individu
merasa bertanggung jawab untuk menolong orang lain yang
membutuhkan dan mengerahkan segala upaya terbaik yang dimilikinya.
Hal ini dapat disebut dengan social responsibility norm atau tanggung
jawab sosial. Seperti yang diketahui bahwa kepribadian
conscientiousness juga meliputi rasa tanggung jawab terhadap apa yang
dialami sehingga menyebabkan adanya kesesuaian kepribadian
conscientiousness terhadap altruisme karena relawan bencana merasa
memiliki peran dan tanggung jawab terhadap kondisi yang dialami oleh
orang lain sehingga berangkat dari perasaan tersebut relawan dapat
membantu orang lain.
c. Extraversion Sebagai Prediktor Perilaku Altruisme Pada Relawan
Bencana
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan maka diperoleh
hasil yang signifikan dan positif pada penelitian ini, sehingga dapat
200
disimpulkan bahwa dimensi extraversion dapat memengaruhi altruisme
pada relawan bencana yang dimana semakin tinggi extraversion relawan
maka semakin tinggi pula altruisme pada relawan daerah bencana.
Adapun kontribusi dimensi Extraversion terhadap altruisme sebesar
4,1%. Pengaruh ini didasari pada dinamika pembentukan altruisme pada
relawan yang dimana melibatkan reaksi emosi yang mengakibatkan
distress diri sehingga memerlukan pengambilan keputusan untuk segera
bertindak dalam menangani situasi bencana. Proses tersebut melibatkan
faktor kepribadian, salah satunya adalah kepribadian ekstraversion.
Goldberg (1981) menjelaskan bahwa extraversion merupakan suatu
kemampuan individu berperilaku dalam suatu kelompok yang dimana
apabila relawan memiliki extraversion yang tinggi maka akan
mengarahkan individu menjadi ramah, hangat, mudah bergaul dan
bersahabat dengan lingkungan. Pun sebaliknya, apabila extraversion
yang dimiliki seseorang rendah maka akan menyebabkan individu
cenderung menampilkan perilaku yang tidak ramah, menyukai
kesendirian dan pemalu, (Goldberg, 1981).
Penelitian Ariffin (2005) mendukung hasil yang ditemukan bahwa
individu yang memiliki altruisme tinggi akan memberikan respon positif
feeling berupa kasih sayang, empati dan memiliki motivasi menolong
orang lain. Sedangkan individu yang memiliki altruisme rendah
cenderung hanya mementingkan kepentingan diri sendiri. Berdasarkan
hal tersebut maka dapat diketahui bahwa relawan yang memiliki
201
kecenderungan Extraversion tinggi juga akan memiliki altruisme yang
tinggi, hal ini disebabkan karena orang yang memiliki extraversion tinggi
memiliki emosi positif seperti percaya diri, bersikap optimis, rasional dan
mampu mengatasi masalah dalam pengambilan keputusan. Sehingga
apabila diperhadapkan pada situasi dan kondisi bencana, relawan
dengan kecenderungan extraversion mudah untuk mempertimbangkan
dan mengambil keputusan secara matang untuk menolong orang lain.
Hal tersebutlah yang dapat mencerminkan indikator-indikator dalam
altruisme yakni menolong tanpa pamrih. Sedangkan apabila relawan
memiliki kecenderungan extraversion rendah maka altruismenya juga
rendah. Hal ini disebabkan karena individu dengan kecenderungan ini
akan mudah tertekan dan tertutup, (Goldberg, 1981) sehingga sulit
membuat keputusan dalam bertindak utamanya dalam menolong orang
lain karena reaksi emosi dan distress diri yang tidak mampu untuk
diungkapkan, (Bekker, Van & Dollard, 2002). Hal ini juga sejalan dengan
penelitian Carlo dkk (2005) mengenai The interplay of traits and motives
on volunteering : agreeableness, extraversion and prososial value
motivation yang melakukan penelitian terhadap 796 relawan di Lincoln
menemukan bahwa tipe kepribadian extraversion signifikan terhadap
nilai prososial dimana motivasi individu didorong oleh orang lain untuk
terlibat dalam tindakan membantu orang lain dan memiliki motivasi
dalam menanggapi kebutuhan orang lain.
202
Extraversion memengaruhi altruisme secara signifikan juga
didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugrahini, R (2016)
mengenai pengaruh tipe kepribadian dengan perilaku prososial pada 159
remaja di Malang yang dimana pada penelitian tersebut menemukan
bahwa semakin tinggi extraversion yang dimiliki seseorang maka
semakin tinggi pula perilaku prososialnya, dengan kontribusi sebesar
13,3 dan juga didukung penelitian lain yang dilakukan oleh Hadori, M
(2014) mengenai perilaku prososial terhadap telaah konseptual
mengenai altruisme dalam perspektif psikologi dimana ditemukan bahwa
perilaku altruisme merupakan konstruk dari prososial sehingga kedua
penelitian tersebut saling mendukung hasil penelitian yang telah
didapatkan dimana extraversion memengaruhi altruisme secara
signifikan karena apabila extraversion tinggi maka prososial juga tinggi
hal itu disebabkan karena individu dengan kecenderungan extraversion
akan mudah bersahabat dengan dirinya maupun dengan lingkungannya
sehingga individu memiliki prososial yang tinggi karena adanya perilaku
altruisme.
Hasil penelitian yang ditemukan juga sejalan dengan hasil demografi
yang didapatkan dimana terdapat perbedaan tingkat altruisme pada laki-
laki dan perempuan berdasarkan kecenderungan kepribadian
extraversion dimana ditemukan bahwa perempuan cenderung lebih
tinggi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Amini &
Saripa (2016) yang menemukan bahwa pelajar perempuan lebih mampu
203
menunjukkan perilaku menolong daripada laki-laki.Hal ini dikarenakan
perempuan cenderung memiliki perasaan peka, suka berbagi dan
memiliki kebersamaan yang tinggi daripada laki-laki. Hal ini juga sejalan
dengan teori perkembangan kognitif dimana Miller (dalam Santrock,
2012) yang menemukan bahwa wanita sepanjang hidupnya mampu
berpartisipasi aktif dalam mengembangkan dan menolong orang lain
daripada laki-laki. Hasil analisis yang ditemukan juga memiliki
keterkaitan dengan teori pertukaran sosial dalam penerapannya
terhadap orang lain. West & Turner (2008) menjelaskan bahwa salah
satu dampak yang diterima dari adanya pertukaran sosial yang dilakukan
oleh seseorang terhadap orang lain adalah adanya timbal balik yang
diperoleh berupa pertemanan, cinta dan perasaan bahagia. Hal ini
sejalan dengan hasil wawancara yang diperoleh bahwa relawan yang
menolong korban bencana cenderung merasakan perasaan puas karena
merasa memiliki kemampuan untuk menolong orang lain. Selain itu,
relawan juga mengatakan bahwa ketika dirinya mengalami kesulitan
maka ada saja yang menolongnya dari sesama relawan.
d. Agreeableness Sebagai Prediktor Perilaku Altruisme Pada Relawan
Bencana
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dilakukan maka
diperoleh hasil yang signifikan dan negatif pada penelitian ini, sehingga
dapat diketahui bahwa dimensi agreeableness dapat memengaruhi
altruisme pada relawan bencana. Dimana semakin tinggi agreeableness
204
maka semakin rendah altruisme relawan bencana, begitupun sebaliknya.
Adapun kontribusi dimensi agreeableness terhadap altruisme sebesar
8,4%. agreeableness merupakan kualitas orientasi personal yang
dimiliki seseorang terhadap orang lain Berdasarkan rasa kasih yang
dimiliki sampai dengan bagaimana seseorang menunjukkan sikap tidak
menyenangkan pada orang lain baik melalui pikiran maupun tindakan
yang dilakukan, Apabila seseorang dengan agreeableness yang tinggi
maka individu akan cenderung mudah untuk memaafkan, suka untuk
membantu orang lain dan penyayang. Pun sebaliknya, apabila
seseorang memiliki agreeableness yang rendah maka individu akan
cenderung lebih agresif dalam bertindak,(Goldberg,1981).
Hasil yang diperoleh diprediksi karena dinamika perilaku altruisme
dan kepribadian relawan yang dimana apabila relawan memiliki
kecenderungan agreeableness tinggi maka akan cenderung menerima
semua informasi-informasi terkait medan bencana termasuk informasi-
informasi yang bersifat negatif seperti situasi kehilangan keluarga, harta
benda dan ketidak berdardayaan korban yang dapat menyebabkan
relawan mengalami distress diri berupa cemas, ragu-ragu dalam
menolong bahkan perasaan takut mendapatkan dampak dari bencana.
Informasi-informasi demikian yang menyebabkan pengambilan
keputusan yang tidak efektif sehingga tindakan menolong orang lain
yang dilakukan memperoleh ganjaran yang dirasa tidak maksimal
sehingga nilai-nilai altruisme menjadi berkurang. Adapun hasil penelitian
205
yang diperoleh dimana semakin tinggi tingkat agreeableness seseorang
maka semakin rendah perilaku altruisme pada relawan daerah bencana
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Utami, S.A., &
Novika (2018) mengenai tipe kepribadian berdasarkan big five
personality dimana ditemukan bahwa tipe kepribadian agreeableness
yang tinggi cenderung mudah percaya dan menerima semua informasi
sehingga mudah mengalami kebimbangan karir. Hal ini juga sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Adiyono, Purnomo, R., &
Adawiyah, W.R (2017) bahwa agreeableness berpengaruh negatif
terhadap kesuksesan karir begitupun dengan penelitian yang dilakukan
oleh Seibert & Kraimer (2001) yang juga menemukan Agreeableness
berpengaruh negatif terhadap kepuasan karir, hal ini dikarenakan
individu dengan agreeableness tinggi cenderung relatif memperoleh
kepuasan karir yang rendah karena karakteristik yang melekat pada
individu yang cenderung patuh atau penurut, menerima, mengalah dan
menghindari konflik
Adapun hasil temuan demografi mengenai jenis kelamin yang juga
diprediksi turut memengaruhi tingkat altruisme pada relawan yakni
bahwa laki-laki lebih tinggi tingkat agreeableness daripada perempuan,
hasil ini didukung oleh temuan penelitian yang dilakukan oleh Susanto,
E.M., & Liang D. Myang (2012) yang mendapati bahwa perempuan lebih
berorientasi pada hubungan sosial dan mudah memaafkan daripada laki-
laki dalam suatu bidang pekerjaan. Hal ini apabila ditinjau lebih lanjut
206
maka akan memberikan dampak negatif dalam bidang pekerjaan karena
orang lain akan kurang berhati-hati dan menyepelekan suatu kesalahan
karena kata maaf mudah didapatkan dan orang lain akan menjadi
semena-mena dalam bertindak dan menjauhkannya dari perilaku altruis.
Sedangkan apabila ditinjau dari etnis budaya Makassar yang menganut
ideology “Sipakatau” yang dimaknai bahwa seseorang dikelilingi oleh
orang lain baik status sosialnya tinggi atau rendah tetap harus
menunjukan rasa hormat. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Yusuf A.M (2017) mengenai hegemoni
budaya dalam praktik politik dan kekuasaan di Belawa yang
mengemukakan bahwa etnis Bugis menampilkan tindakan-tindakan yang
apabila dilihat sepintas seperti getaran emosional yang kecil namun bisa
menjadi sebuah ledakan emosi yang besar. Dari hal tersebut maka
dapat diketahui bahwa meskipun etnis suku Makassar saling
menghormati satu sama lain, namun sangat sensitif dalam menanggapi
segala sesuatu termasuk dalam hal menolong sehingga terkadang
semakin tinggi rasa hormat seseorang maka kepatuhannya juga akan
meningkat sehingga mengakibatkan individu mudah menuruti ajakan
yang bersifat negatif, seperti mematuhi idiom yang mengatakan bahwa
menolong hanya akan membuat individu bermasalah karena telah ikut
campur dalam permasalahan orang lain.
207
e. Neuroticism Sebagai Prediktor Perilaku Altruisme Pada Relawan
Bencana
Berdasarkan hasil analisis terhadap dimensi neuroticism yang telah
dilakukan maka didapatkan hasil yang tidak signifikan Neuroticism
terhadap altruisme relawan bencana karena nilai signifikan pada taraf
signifikansi 5% ( 0.287 > 0.05) dan nilai R Square yang diperoleh
sebesar 0.04. Hasil tersebut menunjukkan bahwa neuroticism tidak
memiliki pengaruh terhadap altruisme sehingga hipotesis yang
menyatakan bahwa terdapat pengaruh neuroticism terhadap perilaku
altruisme relawan ditolak dengan kata lain neuroticism tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap altruisme relawan bencana.
Goldberg (1981) menjelaskan bahwa neuroticism sering dikaitkan
dengan kestabilan emosi dimana apabila neuroticism yang dimiliki
seseorang tinggi maka individu akan mudah merasa tersinggung, panic,
cemas atau sedih berlebihan. Sedangkan, individu yang memiliki
neuroticism rendah akan cenderung berperilaku kasar, cemas dan
mudah depresi berlebihan. neuroticism tidak memiliki pengaruh
terhadap altruisme relawan bencana disebabkan karena apabila reaksi
emosi neuroticism terlalu tinggi maka akan menyebabkan distress
berupa mudah merasa tersinggung, panic, cemas atau sedih berlebihan
dan apabila reaksi emosi terhadap situasi bencana memiliki
kecenderungan neuroticism yang rendah maka dapat menyebabkan
distress berupa kasar, cemas dan mudah depresi berlebihan hal inilah
208
yang menyebabkan relawan ketika mengambil suatu keputusan menjadi
tidak stabil dalam bertindak menolong orang lain di medan bencana,
(Goldberg, 1981). Tinggi dan rendahnya kecenderungan altruisme tetap
tidak mencerminkan sifat altruisme karena penjelasan di atas merupakan
emosi negatif. Namun, perlu diketahui bahwa Feist & Feist (1990)
mengemukakan bahwa individu dengan neuroticism sangat tinggi
maupun sangat rendah bukan berarti tidak pernah menolong hanya saja
perlu diketahui bahwa menolong itu terdapat dua motif yakni altruisme
dan egois. Hal tersebutlah yang membuktikan bahwa meskipun orang
yang dengan kecenderungan neuroticism tinggi atau rendah itu
menolong namun motif atau dorongan untuk menolong berbeda dengan
motif individu yang altruis, sehingga menyebabkan neuroticism tidak
berpengaruh altruisme pada relawan bencana.
Hasil temuan yang diperoleh juga didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Magalhaes, E., Costa, M.J., & Costa, P (2012) yang
menemukan bahwa tidak terdapat asosiasi antara neuroticism dan
empati karena pada individu yang memiliki kecenderungan neuroticism
sering dikaitkan dengan sifat-sifat kecemasan , ketidakamanan dalam
hubungan dan kesulitan terhubung dengan dunia luar. Sedangkan pada
penelitian Hapsari (2016) mengenai empati terhadap motivasi kerja pada
81 guru di Jakarta menemukan bahwa individu yang memiliki rasa
empati yang tinggi akan mampu berperilaku altruisme dalam
kesehariannya karena individu mampu merasakan keadaan orang lain.
209
Hasil dari kedua penelitian tersebut dapat diketahui bahwa prediksi
neuroticism tidak signifikan terhadap altruisme disebabkan karena
individu tidak mampu untuk terhubung dengan dunia luar sedangkan
untuk memupuk altruisme individu diharapkan mampu merasakan
keadaan orang lain melalui perasaan empati.
Hasil penelitian yang didapatkan juga senada dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Nugrahini, R (2016) mengenai pengaruh
tipe kepribadian dengan perilaku prososial pada 159 remaja di Malang,
yang menemukan bahwa individu dengan tipe kepribadian neuroticism
menunjukkan hasil yang tidak signifikan terhadap perilaku prososial
dikarenakan trait pada neuroticism menyebabkan individu cenderung
menarik diri dan enggan berbagi dengan orang lain. Sementara pada
penelitian Hadori, M (2014) mengenai perilaku prososial terhadap telaah
konseptual mengenai altruisme dalam perspektif psikologi menemukan
bahwa tindakan altruistic merupakan salah satu bentuk konkret dari
prososial sehingga dari hal tersebut dapat diketahui bahwa apabila
seseorang berkepribadian neuroticism maka individu akan kesulitan
berbagi kepada orang lain dan juga akan kesulitan mengaktualisasikan
perilaku altruistic yang dimana perilaku altruistic sendiri merupakan
bentuk konkret dari prososial.
Berdasarkan temuan demografi mengenai etnis suku Makassar
terkait dengan kecenderungan neuroticism juga sejalan dengan temuan
penelitian Warda (2010) mengenai representasi identitas budaya
210
Makassar dalam pemberitaan situs panyingkul Makassar dimana
menemukan hasil bahwa suku etnis Makassar seringkali dipersepsikan
sebagai orang yang emosional, kasar dan cepat marah atau lebih
dikenal dengan idiom “Pa’bambangan Na Tolo”. Hal tersebut
menggambarkan kesensitifan beberapa individu dari suku etnis
Makassar dalam menanggapi suatu hal yang dimana hal tersebut
sejalan dengan trait neuroticism yang dimana menjelaskan mengenai
kestabilan emosi negatif sehingga sifat-sifat seperti ini sulit
menggambarkan perilaku altruisme. Sedangkan apabila ditinjau dari
temuan hasil demografi terkait usia maka ditemukan bahwa rentan umur
21-25 memiliki kecenderungan neuroticism yang tinggi. Hal ini apabila
ditinjau dari teori perkembangan kognitif menjelaskan bahwa, pada
tahap ini individu sudah mulai mampu menemukan kebervariasian
pemecahan masalah dan bentuk pengambilan keputusan yang beragam,
bahkan mampu menentukan cara bersikap dalam kelompoknya dalam
hal ini suku Makassar, entah individu bersikap baik maupun memilih
untuk bersikap kasar dalam menanggapi segala sesuatu untuk diterima
dalam suatu kelompok. Apabila seluruh temuan ini dikaitkan dengan
dengan kepribadian neuroticism terhadap perilaku menolong maka dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa hal yang menyebabkan neuroticism
tidak berpengaruh terhadap altruisme karena salah satu dinamika
perilaku altruisme melibatkan adanya pengambilan keputusan yang
dimana individu dengan kecenderungan Neuroticism tinggi atau rendah
211
akan mengambil keputusan dalam keadaan cemas, gugup kasar atau
adanya motif lain yang memengaruhi keadaan individu dalam menolong
orang lain ketika situasi bencana. Sehingga dengan demikian hal
tersebutlah yang menyebabkan Neuroticism tidak berpengaruh terhadap
perilaku altruisme pada relawan daerah bencana.
b. Limitasi Penelitian
Penelitian yang dilakukan tidak terlepas dari keterbatasan dan kelemahan
yang dirasakan peneliti. Adapun keterbatasan-keterbatasan yang dimaksudkan
dalam penelitian ini yaitu persebaran data demografi yang diperoleh tidak
merata, seperti data laki-laki dan perempuan tidak seimbang karena jumlah data
laki-laki yang diperoleh jauh lebih banyak daripada jumlah data perempuan
sehingga diprediksi menyebabkan hasil analisis data menjadi berpengaruh.
Kebanyakan dalam penelitian ini menggunakan sampel relawan laki-laki
sehingga nampaknya pada penelitian ini lebih menggambarkan big five
personality terhadap altruisme relawan laki-laki sehingga diperlukan elaborasi
lebih lanjut terhadap relawan perempuan.
212
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa skor
altruisme pada relawan daerah bencana berada dalam kategori sedang. Hasil
analisis juga disimpulkan bahwa:
1. Big Five Personality mampu menjadi prediktor terhadap perilaku altruisme
pada relawan daerah bencana dengan kontribusi sebesar 22,6%
2. Openness To Experience dapat menjadi prediktor dan berkontribusi secara
positif terhadap perilaku altruisme pada relawan bencana dengan kontribusi
sebesar 1,5% dimana semakin tinggi openness to experience maka semakin
tinggi pula altruisme pada relawan bencana.
3. Conscientiousness mampu menjadi prediktor dan berkontribusi secara positif
terhadap perilaku altruisme pada relawan bencana dengan kontribusi
sebesar 8,3%, dimana semakin tinggi conscientiousness maka semakin
tinggi pula altruisme pada relawan bencana.
4. Extraversion mampu menjadi prediktor dan berkontribusi secara positif
terhadap perilaku altruisme pada relawan bencana dengan kontribusi
sebesar 4,1% dimana semakin tinggi extraversion maka semakin tinggi pula
altruisme pada relawan daerah bencana.
5. Agreeableness mampu menjadi prediktor dan berkontribusi secara negatif
terhadap perilaku altruisme pada relawan bencana dengan kontribusi
213
213
sebesar 8,4%, sehingga semakin tinggi agreeableness maka semakin
rendah altruisme pada relawan daerah bencana.
6. Neuroticism tidak mampu menjadi prediktor terhadap perilaku altruisme
pada relawan daerah bencana
B. Saran
Temuan dari penelitian ini yakni big five personality dapat memprediksi
altruisme pada relawan daerah bencana, dimana openness to experience,
conscientiousness, extraversion berpengaruh positif terhadap altruisme.
agreeableness berpengaruh negatif terhadap altruisme, sedangkan neuroticism
tidak berpengaruh terhadap altruisme. Lalu berdasarkan temuan tersebut
peneliti menyarankan beberapa hal, yakni:
1. Bagi Relawan Daerah bencana
a. Adanya perbedaan tipologi kepribadian yang memengaruhi altruisme
relawan hendaknya di sikapi dengan kemampuan untuk saling
menyesuaikan satu sama lain sesama relawan daerah bencana. Agar
para relawan dengan tipe kepribadian yang berbeda tersebut, dapat
saling bekerjasama dalam melakukan aksi kemanusiaan di daerah
bencana.
b. Adanya perbedaan kepribadian masing-masing relawan yang ditemukan
dalam hasil penelitian ini yang dapat memicu perbedaan pendapat,
pikiran, perasaan dan tindakan maka disarankan kepada relawan untuk
saling menoleransi perbedaan tersebut agar mampu meminimanisir
214
segala bentuk konflik yang dapat terjadi ketika membantu dalam daerah
bencana.
2. Bagi Organisasi Relawan
a. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi kelompok
organisasi yang menaungi relawan apabila hendak melakukan
perekrutan relawan yang berjiwa altruisme, disarankan untuk
mempertimbangkan tipe-tipe kepribadian dalam tipologi kepribadian big
five yang mampu memengaruhi perilaku altruisme relawan. Dalam hal ini
sekiranya organisasi relawan lebih mempertimbangkan relawan dengan
kecenderungan kepribadian openness to experience, conscientiousness,
extraversion dan agreeableness.
b. Pada hasil penelitian ini ditemukan bahwa adanya keberagaman
kepribadiaan relawan yang altruis. Oleh karena itu, disarankan kepada
organisasi relawan yang menaungi beberapa relawan untuk
mengelompokkan relawan berdasarkan kepribadiannya sehingga dapat
melakukan pengelolaan relawan untuk mengoptimalkan fungsi dan
tugas relawan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
3. Bagi Masyarakat
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa medan bencana tidak
terlepas dari adanya masyarakat yang ikut terdampak atau terlibat apabila
terjadi bencana, sehingga dalam hal ini relawan pun akan bersentuhan
langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu disarankan agar masyarakat
dapat memberikan dukungan kepada relawan yang terlibat dalam medan
215
bencana baik dukungan moril maupun materil, agar relawan dapat
berkontribusi maksimal menjalankan fungsi kerelawanannya sesuai dengan
karakter tipe kepribadiannya masing-masing.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Adapun saran untuk peneliti yang memiliki ketertarikan untuk meneliti hal
ini lebih lanjut yaitu:
a. Dalam penelitian ini, peneliti lebih cenderung menggunakan relawan laki-
laki lebih dominan daripada relawan perempuan. Oleh karena itu, peneliti
selanjutnya diharapkan dapat mengelaborasi kedua jenis kelamin
tersebut agar jumlah keduanya bisa relatif seimbang atau melakukan
penelitian lebih lanjut terhadap relawan perempuan.
b. Penelitian ini hanya dilakukan dalam ruang lingkup daerah Sulawesi
Selatan. Untuk dapat melihat bagaimana big five personality
memengaruhi altruisme relawan pada daerah lain tidak diteliti lebih lanjut
dalam penelitian ini. Oleh karena itu, peneliti selanjutnya dapat
melakukan penelitian ini pada wilayah selain daripada daerah Sulawesi
Selatan.
c. Penelitian ini mengenai altruisme yang dikaitkan dengan tipe kepribadian
big five personality. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat mengelaborasi
lebih jauh mengenai altruisme dengan mengaitkannya pada variabel
selain big five personality.
216
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S., & Sutanto, T. E. (2015). Statistika Tanpa Stres. Jakarta: Trans Media
Pustaka. Ahmad, J. (2018). Altruistik Tanggung Jawab Sosial Koorporate Dalam Organisasi.
Malaysia: Penerbit VSM Akhzalini, H.A. (2016). Kontribusi Agreeableness Dan Empati Bagi Sikap Prososial.
Psychology Forum UMM. 19 (20), 176-182.
Arifin, B. S. (2015). Psikologi Sosial. Bandung: CV Pustaka Setia.
Azwar, S. (2015). Dasar-Dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. (2016). Konstruksi Tes Kemampuan Kognitif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baron, R. A., & Byrne, D. R. (2004). Psikologi Sosial Edisi Kesepuluh. Jakarta:
Erlangga.
Baron, Robert, A., & Byrne. (2005). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Baroroh, A. (2008). Trik-Trik Analisis Statistik Dengan SPSS 15. Jakarta: PT Alex Media Komputindo.
BBC, N. (2019, Desember). BBC News Indonesia. Retrieved Januari 2020, from Tsunami Aceh, 15 Tahun Kemudian: Saya Yakin Putra Saya Masih Hidup dan Usianya Sekarang 21 Tahun".
Bertens, K. (2000). Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius.
Bir. (2018, 3 11). Satu Penyelam Penyelamat Lion Air JT-610 Meninggal Dunia . Dipetik 4 2020, 23, dari CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181103111015-20-343684/satu-penyelam-penyelamat-lion-air-jt-610-meninggal-dunia
BNPB. (2014). Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Indonesia.
BNPB. (2017). http://bnpb.cloud/dibi/tabel1b. Retrieved Oktober 31, 2019, from Badan Penanggulangan Bencana.
BNPB. (2019). Rencana Strategis Tahun 2018-2023 Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Makassar.
216
217
Caprara, G.V., Eisenberg, N., & Alessandri, G (2011). Prososiality: The Contribution Of Traits, Values And Self- Efficacy. Journal of Personality And Sosial Psychology. 15(6), 1289-1303.
Carlo, G., Okun M.A., George, K., & Guzman, M.R. (2005). The Interplay of traits
and motives on volunteering : agreeableness, extraversion and prososial value motivation. University Of Nebraka, 38(2), 1294-1305.
Claudia, L., & Prasetiyo, W. (2018, Februari). Kumparan. Retrieved January 2020, from 5 Banjir Bandang Terparah yang Terjadi di Indonesia.
Daftar Relawan. (2019). Dipetik Februari 23, 2020, dari Indorelawan: indorelawan.org
Damanik, C. (2018). Kompas.com. Retrieved Januari 06, 2020, from Afni, Relawan yang Meninggal Sehari-hari Bertugas Antar Air Bersih ke Korban Gempa Lombok.
Dariyo, A. (2005). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta: Grasindo.
Dayakinsi, Tri, & Hudaniah. (2009). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
Dewanti, D. A. (2019). Studi Deskriptif Tentang Perilaku Altruisme Berdasarkan Tipe Kepribadian Pada Peserta Didik Smp Negeri 2 Berbah. Jurnal Lumbung Pustaka , 2 (1), 20-34.
Dewi, D. S., & Mujiati, N. W. (2015). Pengaruh The Big Five Personality Personality Dan Kepemimpinan Transformasional Terhadap Kinerja Karyawan di Karma Jimbaran Villa. E-Jurnal Manajemen , 4 (4), 1028-1046.
Dewi, S. R., & Hidayati, F. (2015). Self-Compassion Dan Altruisme Pada Perawat Rawat Inap RSUD Kota Salatiga. Jurnal Empati , 4 (1), 168-172.
Don. (2019, Februari 23). Sindo News. Retrieved Januari 06, 2020, from Ini Yang Dilakukan Organisasi dan Komunitas Peduli Bencana.
Effendi, T. (2019, September 25). Setiap 40 Detik, Satu Orang Bunuh Diri. Retrieved Oktober 31, 2019, from Kompasiana.
Fajri, I. (2018). Statistika Untuk Penelitian Pendidikan dan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Prenamedia Group.
Fakriyah, F., & Aulia, P. (2019). Hubungan Kecerdasan Emosional Dengan Altruisme Siswa Sma Yang Mengikuti Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka. Jurnal Psikologi Universitas Negeri Padang , 3 (11), 1-12.
Feist, J., & Feist, G. J. (2009). Theories Of Personality. New York: McGraw-Hill.
223
218
Fitria, F. (2019). Pengaruh Kecerdasan Emosi, Religiusitas dan Jenis Kelamin Terhadap Altruisme Pada Relawan Sosial Muda. Journal Psikologi UIN Syarif Hidayatullah , 1 (2), 1-13.
Fuad. (2020). Relawan Terkini. Dipetik Februari 23, 2020, dari Masyarakat Relawan Indonesia: Relawan.id
Greaves, H., & Pummer, T. (2019). Effective Altruisme: Philosophical Issues. United Kingdom: Oxford University Press.
Gula, R. M. (2009). Etika Pastoral Dilengkapi dengan Kode Etik. In R. M. Gula, Altruisme (W. Chang, Trans., p. 84). Yogyakarta, Indonesia: Kanisius.
Gunarsah, S., & Gunarsah, Y. S. (2008). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Hadori, M. (2014). Perilaku Prososial; Telaah Konseptual Tentang Altruisme Dalam
Perspektif Psikologi. Jurnal Pengembangan Pemikiran dan Kebudayaan, 8(1), 7-18.
Harjo, I. L. (2018). Perbedaan Altruisme Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Relawan
di Sanggar Alang-Alang Surabaya. Jurnal Penelitian Psikologi , 5 (2), 1-17.
Heryanto, G. (2019). Literasi Politik: Dinamika Konsolidasi Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ilham, R. M., & Mubarak, A. (2018). Kontribusi Trait Kepribadian Big Five Personality Personality Terhadap Resiliensi Pada Atlet Tuna Daksa Non Bawaan di NPCI kota Bandung. Prosiding Psikologi , 4 (1), 117-132.
Isjoni, S., & Natuna, D. (2019). Kontribusi Altruisme Dan Iklim Organisasi Terhadap Kinerja Guru SMA Kecamatan Rokan Hilir. Jurnal Pendidikan , 2 (2), 122-127.
Istiawan. (14, 3 7). Dua Relawan Kelud di Ngantang Meninggal saat Bertugas. Dipetik 4 23, 2020, dari Okezone.com: https://news.okezone.com/read/2014/03/07/520/951535/dua-relawan-kelud-di-ngantang-meninggal-saat-bertugas
Iswara, A. J. (2019 , Januari 05). Jumlah Relawan Indonesia Tertinggi di Dunia. Dipetik Februari 2, 2020, dari Good News From Indonesia: Goodnewsfromindonesia.id
Ivancevich, J. M., Konopaske, R., & Matteson, M. (2016). Perilaku Dan Manajemen Organisasi, Edisi 7 Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
219
Joshua, D. P., & Nursetiawati, S. (2019). Socioeconomic Status And Family Environment in Adolescent Altruistic Behavior South Jakarta. Jurnal Magister Psikologi , 11 (1), 1-11.
Karaag, J. F. (2009). Berbagi Nyawa. Banjar: Pustaka Marwa.
Laila, K. N., & Asmarany, A. I. (2015). Altruisme Pada Relawan Perempuan Yang Mengajar Anak Berkebutuhan Khusus di Yayasan Jalanan Bina Insan. Jurnal Psikologi, 8 (1), 1-7.
Leephaijaroen. (2015). Effect of the Big-Five Personality Traits and Organizational Commitments on Organizational Citizenship Behavior of Support Staff at Ubon Ratchathani Rajabhat University, Thailand. Kasetsart Journal of Sosial Sciences , 1 (8), 1-9.
Magalhaes, E., Costa, M.J., & Costa, P. (2012). Empathy Of Medical Students And
Personality: Evidence From The Five-Factor.University Of Minho,1 (8), 1-6.
Martawijaya, A. (2016). Model Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal. Makassar:
Masagena.
Mesa, N. M., Aspin, & Rudin, A. (2020). Pengaruh Layanan Bimbingan Kelompok Terhadap Perilaku Altruisme Siswa. Jurnal Bening , 4 (1), 36-44.
Misbach, I. H. (2010). Dahsyatnya Sidik Jari: Menguak Bakat & Potensi Untuk Merancang Masa Depan Melalui Fingerprint Analysis. Jakarta: Visi Media.
Morison. (2020, 04 10). 161 Tenaga Medis di DKI Positif Covid-19, 2 Orang Meninggal. Dipetik 03 17, 2020, dari Kompas.com: https://megapolitan.kompas.com/read/2020/04/10/19365291/update-161-tenaga-medis-di-dki-positif-covid-19-2-orang-meninggal
Mubtadin, A. (2016). Pengaruh Pola Asuh Demokratis Terhadap Perilaku Altruisme Pada Prodi Keperawatan SMK NU Sunan Ampel Poncokusumo Kab. Malang. Jurnal Psikologi Malang , 1 (2), 120-138.
Murwani, S. (2019). Pengaruh Personal Value, Kompetensi Dan Altruisme Terhadap Peningkatan Kinerja Perawat Di Rumah Sakit Kristen Mojowarno. Jurnal Pengembangan Sumber Daya Manusia Airlangga , 4 (2), 107-121.
Myers, D. G. (2012). Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika.
Neli, U. S., & Sukmawati, I. (2019). Altruistic Behavior of Students in SMA N 1 Kampung Dalam Padang Pariaman Regency and The Implication in Guidance and Counseling. Jurnal Neo Konseling , 1 (4), 1-8.
220
Novitasari, E. P. (2005). Pengaruh Big Five Personality Personality Terhadap Subjective Well-Being Pada Remaja Yang Menggunakan Twitter. Jurnal Psikologi , 4 (4), 1-23.
Nugrahini, R. (2016). Pengaruh Tipe Kepribadian Big Five Personality dengan Perilaku Prososial Pada Remaja. Jurnal Psikologi, 1 (8), 1-14.
Nurdin, I., & Hartati, S. (2019). Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Media Sahabat Cendekia.
Nursanti, I., & Cakrangidinata. (2014). Studi Deskriptif Mengenai Altruisme Pada Mahasiswa Psikologi Universitas “ ” Bandung. Jurnal Psikologi Bandung , 3 (2), 129-135.
Perianto, J. (2015). Validitas Alat Ukur Psikologi: Aplikasi Praktis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Permadi, A. (2018, Februari 15). Tanjakan Emen: Mengapa Banyak Orang Hanya Menonton, Tidak Menolong Korban Kecelakaan. Retrieved Oktober 31, 2019, from BBC Indonesia.
Permatahati, I. S. (2016). Pengaruh Altruistic Behavior Terhadap Psychological Well Being Pada. Jurnal Psikologi Forum UMM , 19 (20), 586-591.
Pervin, A. L., Cervone, Daniel, & John, O. P. (2010). Psikologi Kepribadian: Teori dan Penelitian Edisi Keenam. Jakarta: Kencana.
Pevlin, L. (2005). Personality: Theory and Research. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Post, S. G., Underwood, L., Schloss, J. P., & Hurlbut, W. B. (2002). Altruisme And Altruistic Love: Science, Philosophy, Religion In Dialogue. New York: Oxford
University Press.
Pujiyanti, A. (2019). Kontribusi Empati Terhadap Perilaku Altruisme Pada Siswa Siswi Sma Negeri 1 Setu Bekasi. Jurnal Psikologi , 1 (4), 1-18.
Putri, J. D., & Mardhiyah, S. A. (2018). Peran Religiusitas Terhadap Altruisme Relawan Walhi Sumsel. Jurnal Insight Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember , 14 (2), 185-199.
Putri, J. D., & Mardhiyah, S. A. (2018). Peran Religiusitas Terhadap Altruisme Relawan Walhi Sumsel. Jurnal Insight Fakultas Psikologi, 14 (2), 186-199.
Ramadhani, Y. (2018, Oktober 09). Palu, Sigi dan Donggala Masih Butuh Banyak Relawan. Retrieved Oktober 31, 2019, from Tirta.Id.
221
Reza, M. (2017). Perilaku Altruisme Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Berdasarkan Masa Studi. Jurnal Psikologi , 2 (4), 1-15.
Robbitha, R. A., & Herani, I. (2018). Peran Emosi Positif Dan Emosi Negatif Terhadap Altruisme Donor Organ Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Di Kota Malang. Jurnal Psikovidya , 22 (2), 126-134.
Salsabila, N.G (2017). Hubungan Antara Religiusitas Dan Altruisme Para Relawan
Dalam Gerakan Kelas Inspirasi. Pustakawan Satu Unissula, 23 (2), 1-14. Santrock, J.W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja Edisi Keenam. Jakarta:
Erlangga.
Sarwono, S. W., & Meinarno, E. A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Sasmita, A., & Wibowo, U. B, (2019). Pengaruh Altruisme Terhadap Extra-Role Behavior Pada Taruna Siaga Bencana (Tagana) Di Kabupaten Banyumas. Jurnal Psycho Idea , 17 (3), 77-86.
Schroeder, D. A. (1995). The Psychology is Kelping And Altruisme Problems And Puzzles. USA: Mc Graw Hill.
Scott, N., & Jonathan. (2007). Altruisme. New York: Open University Press.
Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. (1994). Psikologi Sosial Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Setiawan, M. B., & Sugiarti, L. R. (2019). Altruisme Ditinjau Dari Empati Siswa SMK. Jurnal Psikologi Semarang , 2 (1), 39-49.
Soetjiningsih, C. H. (2012). Seri Psikologi Perkembangan Anak Sejak Pembuahan
Sampai Dengan Kanak-Kanak Akhir. Jakarta: Kencana
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kombinasi. Bandung: Alfabeta.
Sukandarrumidi. (2010). Bencana Alam & Bencana Anthropogene. Yogyakarta:
Kanisius.
Sukandarrumidi. (2010). Bencana Alam & Bencana Anthropogene. Yogyakarta: Kanisius.
Sulawati, S. T. (2017). Perilaku Altruis Relawan Organisasi AbdA di Tinjau dari Tingkat EQ dan SQ. Jurnal Psikologi Integratif , 5 (2), 142-156.
222
Suryani, & Hendryadi. (2016). Metode Riset Kuantitatif: Teori dan Aplikasi Pada Penelitian Bidang Ekonomi dan Manajemen Islam. Jakarta: Prenada media Group.
Sutopo, Y., & Slamet, A. (2017). Statistika Inferensial. Yogyakarta: ANDI.
Sweikert, R., Dkk. (2014). Conscientiousness Moderates The Influence Of A Help-
Eliciting Prime On Prososial Behavior. Authors And Scientific Research Publishing Inc, 5 (2), 1954-1961.
Tama, I. P., & Hardiningtyas, D. (2017). Psikologi Industri: Dalam Perspektif Sistem Industri. Malang: UB Press.
Thalib, S. B. (2010). Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif.
Jakarta, Kencana.
Umiati, M. (2019). A Descriptive Of Altruisme Of The Eight Student Of SMP Negeri 5 Banjarmasin. Jurnal Pelayanan Bimbingan Dan Konseling , 2 (2), 51-59.
Widianingrum, E. (2016). Hubungan Antara Religiusitas Dan Kepribadian Big Five Personality Dengan Altruisme Pada Relawan Lembaga Swadaya Masyarakat HIV & AIDS di Provinsi D.I Yogyakarta. Institutional Repository, 7 (2), 112-135.
Widyahastuti, R. (2016). Pengaruh Kepribadian (Big Five Personality Personality) Terhadap Multitasking. Jurnal Psikologi , 2 (1), 1-21.
Widyarini, N. (2009). Psikologi Populer: Kenali Perkembangan Diri. Jakarta: PT. Alex
Komputindo
Yandri, H., Fikri, M. K., & Juliawati, D. (2019). Penerapan Perilaku Altruistik Dalam Pelayanan Konseling Individu Oleh Guru Bimbingan Konseling Di Sekolah. Jurnal Ilmu Pendidikan , 15 (01), 53-64.
Zahra, S. A. (2015). Pengaruh Kematangan Emosi dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Altruisme Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Makassar. Jurnal Psikologi , 2 (5), 15-26.
Zhao, L. (2012). Exploring Religiosity’s Effects On Altruistic Behaviour. Sosial Research Report, 1 (2), 1-14
223
LAMPIRAN-LAMPIRAN
224
LAMPIRAN 1: CONTOH SKALA PENELITIAN
225
1. Copy Writing
2. Pengantar Skala
226
SKALA I
227
SKALA II
228
LAMPIRAN 2: CONTOH INPUT DATA
229
Responden Jenis
Kelamin Usia
Asal Domisili
Suku Agama Pekerjaan Sejak Kapan Menjadi
Relawan? Berapa Kali Sebagai Relawan Bencana
1 1 2 2 5 2 1 2 2
2 1 3 2 2 1 2 3 3
3 1 2 2 5 1 1 2 1
4 2 1 1 1 1 1 1 1
5 2 2 1 1 2 3 2 1
6 1 3 1 1 1 4 2 1
7 1 3 2 2 1 1 1 2
8 2 1 1 5 2 1 1 1
9 2 2 2 2 1 1 2 1
10 2 2 1 5 1 1 2 1
11 1 4 2 2 1 4 5 2
12 2 2 2 2 1 4 2 2
13 1 4 2 5 1 4 3 2
14 2 2 2 5 1 1 3 1
15 1 1 2 2 1 1 2 1
16 2 2 2 2 1 1 2 1
17 2 1 2 2 1 1 1 1
18 2 1 2 2 1 1 1 1
19 1 1 2 2 2 1 1 1
20 1 1 2 1 1 1 1 1
21 1 2 2 2 1 1 2 2
22 1 2 2 2 1 4 2 1
23 1 4 1 1 1 3 4 2
230
LAMPIRAN 3 HASIL UJI RELIABILITAS DAN UJI VALIDITAS
231
Uji Reliabilitas 1. Altruisme
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.888 20
2. Big Five Personality
a. Extraversion Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.712 10
b. Agreeableness
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.627 9
c. Conscientiousness
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.726 9
d. Neuroticism
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.663 7
e. Openness To Experience
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.607 6
232
Uji Validitas Logis Identitas SME
1. SME 1
Nama : Hasniar AR, S.Psi., M.Si
Pekerjaan : Dosen Universitas Bosowa
2. SME 2
Nama : Titin Florentina, S.Psi., M.Psi, Psikolog
Pekerjaan : Dosen Universitas Bosowa
3. SME 3
Nama : Syahrul Alim, S.Psi., M.A
Pekerjaan : Dosen Universitas Bosowa
SkalaSelf-Report Altruisme
No. Item
Hasil SME Review Item Menurut Saran SME Keterangan
1. Jangan menggunakan “orang asing” tapi
“korban bencana”
Tidak bermasalah bagi saya untuk membantu
mendorong mobil orang asing yang sedang
mogok
Revisi
233
2. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
3. “perubahan” diganti menjadi “menghibur” Saya mampu membuat perubahan meskipun
pada orang yang baru saya temui
Revisi
4. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
5. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
6. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
7. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
8. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
9. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
10. Orang asing diganti menjadi “yang tidak saya
lihat”
Saya menunda lift dan membuka pintu untuk
orang yang tidak saya lihat
Revisi
11. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
12. Kata “mobil” diganti menjadi “kendaraan
saya”
Saya member tumpangan kepada orang asing
di kendaraan saya
Revisi
13. Saya tidak mengambil uang kembalian saat
belanja untuk disumbangkan kepada korban
Saya tidak mengambil uang kembalian saat
belanja untuk disumbangkan kepada korban
Revisi
234
bencana bencana
14. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
15. Saya membeli barang yang ditawarkan untuk
kepentingan donasi korban bencana
Saya membeli barang yang ditawarkan untuk
kepentingan donasi korban bencana
Revisi
16. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
17. Kata tetangga diganti menjadi “menjadi”,
hilangkan kata “tanpa dibayar” karena
sukarela sudah mencerminkan
Saya secara sukarela merawat hewan
peliharaan dan menjaga anak-anak
Revisi
18. Tambahkan kata “anak kecil” Saya memberikan bantuan kepada orang
cacat/orang tua/anak kecil yang akan
menyebrang jalan
Revisi
19. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
20. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
235
Skala IPIP
No. Item
Hasil SME Review Item Menurut Saran SME Keterangan
1. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
2. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
3. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
4. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
5. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
6. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
7. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
8. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
9. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
10. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
11. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
12. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
13. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
14. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
236
15. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
16. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
17. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
18. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
19. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
20. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
21. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
22. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
23. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
24. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
25. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
26. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
27. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
28. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
29. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
30. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
237
31. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
32. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
33. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
34. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
35. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
36. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
37. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
38. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
39. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
40. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
41. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
42. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
43. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
44. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
45. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
46. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
238
47. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
48. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
49. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
50. Sudah Bagus Sudah Bagus Baik
Uji Validitas Tampang
a. Review umum
Reviewer
Hasil Review
Layout/tata letak Jenis & Ukuran huruf Bentuk skala
Putra Baik Baik Bagus
Ardiansyah Baik Baik Bagus
Anto Baik baik Bagus
b. Review Khusus
Review Hasil Review
Konten Bahasa
Putra bagus Kurang mengerti kata “abstrak”, selebihnya sudah jelas
Ardiansyah Baik Jelas
Anto bagus Jelas
239
Uji Validitas Konstruk A. Altruisme
No. Aitem Factor Loading Error T-Value Keterangan
1. 1 0.35 0.08 4.37 Valid
2. 4 0.35 0.09 4.17 Valid
3. 5 0.86 0.12 7.27 Valid
4. 6 0.57 0.09 6.03 Valid
5. 8 0.21 0.08 2.71 Valid
No. Aitem Factor Loading Error T-Value Keterangan
1. 2 0.63 0.07 9.56 Valid
2. 3 0.55 0.07 8.12 Valid
3. 10 0.26 0.07 3.58 Valid
4. 19 0.86 0.06 13.97 Valid
5. 20 0.83 0.06 13.32 Valid
240
No. Aitem Factor Loading Error T-Value Keterangan
1. 7 0.54 0.07 7.37 Valid
2. 9 0.60 0.07 8.26 Valid
3. 16 0.79 0.07 11.23 Valid
4. 17 0.50 0.07 6.85 Valid
5. 18 0.69 0.07 9.79 Valid
No. Aitem Factor Loading Error T-Value Keterangan
1. 11 0.59 0.07 8.61 Valid
2. 12 0.72 0.07 10.13 Valid
3. 13 0.58 0.07 8.41 Valid
4. 14 0.72 0.07 10.85 Valid
5. 15 0.73 0.07 10.32 Valid 2. Big Five Personality
241
No. Aitem Factor Loading Error T-Value Keterangan
1. 1 0.67 0.07 9.55 Valid
2. 6 0.48 0.07 6.57 Valid
3. 11 0.59 0.07 8.58 Valid
4. 16 0.20 0.08 2.71 Valid
5. 21 0.68 0.07 10.26 Valid
6. 26 0.36 0.07 4.85 Valid
7. 31 0.50 0.07 6.81 Valid
8. 36 0.36 0.07 4.93 Valid
9. 41 0.48 0.07 6.85 Valid
10. 46 0.57 0.07 7.75 Valid
242
No. Aitem Factor Loading Error T-Value Keterangan
11. 2 0.24 0.07 3.26 Valid
12. 7 0.42 0.07 5.74 Valid
13. 12 0.29 0.08 3.81 Valid
14. 17 0.44 0.08 5.76 Valid
15. 22 0.17 0.08 2.27 Valid
16. 27 0.52 0.07 7.45 Valid
17. 32 0.22 0.08 2.85 Valid
18. 37 0.61 0.07 8.79 Valid
19. 42 -0.72 0.07 -10.81 Tidak Valid
20. 47 0.73 0.07 10.70 Valid
243
No. Aitem Factor Loading Error T-Value Keterangan
21. 3 0.38 0.07 5.26 Valid
22. 8 0.34 0.07 4.60 Valid
23. 13 0.51 0.08 7.36 Valid
24. 18 0.35 0.08 4.77 Valid
25. 23 0.65 0.08 9.80 Valid
26. 28 0.27 0.07 3.65 Valid
27. 33 0.68 0.08 10.04 Valid
28. 38 0.50 0.07 6.82 Valid
29. 43 0.74 0.07 11.28 Valid
30. 48 -0.59 0.07 -8.42 Tidak Valid
244
No. Aitem Factor Loading Error T-Value Keterangan
31. 4 0.46 0.07 6.78 Valid
32. 9 0.30 0.07 4.25 Valid
33. 14 0.34 0.07 4.80 Valid
34. 19 0.10 0.07 1.30 Valid
35. 24 0.56 0.07 8.37 Valid
36. 29 -0.86 0.06 -14.58 Tidak Valid
37. 34 0.62 0.08 9.51 Valid
38. 39 -0.51 0.07 -7.51 Tidak Valid
39. 44 0.84 0.06 14.17 Valid
40. 49 -0.56 0.07 -8.42 Tidak Valid
245
No. Aitem Factor Loading Error T-Value Keterangan
41. 5 0.18 0.07 6.78 Valid
42. 10 0.34 0.07 4.25 Valid
43. 15 0.55 0.06 4.80 Valid
44. 20 -0.01 0.07 1.30 Tidak Valid
45. 25 0.75 0.06 8.37 Valid
46. 30 0.26 0.07 -14.58 Valid
47. 35 0.58 0.06 9.51 Valid
48. 40 0.02 0.07 -7.51 Tidak Valid
49. 45 0.34 0.07 14.17 Valid
50. 50 -0.98 0.06 -8.42 Tidak Valid
246
LAMPIRAN 4 : HASIL UJI ASUMSI
247
1. Hasil Analisis Uji Normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Unstandardized Residual
.052 242 .200* .991 242 .129
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
2. Hasil Analisis Uji Linearitas
ANOVA Table
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
ALTRUISME * EKSTRAVESTION
Between Groups
(Combined) 6902.080 25 276.083 1.711 .023
Linearity 1693.925 1 1693.925 10.499 .001
Deviation from Linearity
5208.155 24 217.006 1.345 .138
Within Groups 34850.156 216 161.343
Total 41752.236 241
248
ANOVA Table
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
ALTRUISME * AGREEABLENESS
Between Groups
(Combined) 6627.377 16 414.211 2.653 .001
Linearity 4323.750 1 4323.750 27.697 .000
Deviation from Linearity
2303.627 15 153.575 .984 .473
Within Groups 35124.859 225 156.110
Total 41752.236 241
ANOVA Table
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
ALTRUISME * CONSCIENTIOUSNESS
Between Groups
(Combined) 10160.694 20 508.035 3.554 .000
Linearity 6050.786 1 6050.786 42.329 .000
Deviation from Linearity
4109.908 19 216.311 1.513 .082
Within Groups 31591.541 221 142.948
Total 41752.236 241
249
ANOVA Table
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
ALTRUISME * NEUROTICISM
Between Groups
(Combined) 4825.544 14 344.682 2.119 .012
Linearity 1564.132 1 1564.132 9.615 .002
Deviation from Linearity
3261.413 13 250.878 1.542 .104
Within Groups 36926.691 227 162.673
Total 41752.236 241
ANOVA Table
Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
ALTRUISME * OPENNESS
Between Groups
(Combined) 5409.903 17 318.230 1.961 .015
Linearity 3627.841 1 3627.841 22.361 .000
Deviation from Linearity
1782.062 16 111.379 .686 .806
Within Groups 36342.333 224 162.243
Total 41752.236 241
250
3. Hasil Analisis Multikolinearitas
Coefficientsa
Model Collinearity Statistics
Tolerance VIF
1
(Constant)
Extraversion .847 1.181
Agreeableness .668 1.497
Consciustousness .656 1.524
Neuroticism .802 1.247
Opennesss .762 1.313
a. Dependent Variable: Altruisme
4. Hasil Analisis Uji Heteroskedastisitas
251
LAMPIRAN 5 : HASIL UJI HIPOTESIS
252
Tipe Kepribadian Sebagai Prediktor Perilaku Altruisme Pada Relawan Daerah Bencana
Variables Entered/Removeda
Model Variables Entered
Variables Removed
Method
1
Opennesss, Neuroticism, Extraversion, Agreeableness , Conscientiousness b
. Enter
a. Dependent Variable: Altruisme b. All requested variables entered.
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1 .476a .226 .210 11.698
a. Predictors: (Constant), Opennesss, Neuroticism, Extraversion, Agreeableness , Conscientiousness
ANOVAa
Model Sum of Squares
df Mean Square
F Sig.
1
Regression 9456.082 5 1891.216 13.820 .000b
Residual 32296.154 236 136.848
Total 41752.236 241
a. Dependent Variable: Altruisme b. Predictors: (Constant), Opennesss, Neuroticism, Extraversion, Agreeableness , Conscientiousness
253
Coefficientsa
Model Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
T Sig.
B Std. Error Beta
1
(Constant) 26.594 14.550 1.828 .069
Extraversion .205 .167 .076 1.225 .222
Agreeableness -.333 .253 -.092 -1.318 .189
Conscientiousness
.835 .208 .284 4.012 .000
Neuroticism -.244 .232 -.067 -1.049 .295
Opennesss .681 .316 .141 2.151 .032
a. Dependent Variable: Altruisme
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
Change Statistics
R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change
1 .201a .041 .037 12.919 .041 10.149 1 240 .002 2 .353b .125 .117 12.365 .084 22.998 1 239 .000 3 .456c .208 .198 11.791 .083 24.846 1 238 .000 4 .460d .211 .198 11.787 .004 1.140 1 237 .287 5 .476e .226 .210 11.698 .015 4.628 1 236 .032
a. Predictors: (Constant), Extraversion b. Predictors: (Constant), Extraversion, Agreeableness c. Predictors: (Constant), Extraversion, Agreeableness , Conscientiousness d. Predictors: (Constant), Extraversion, Agreeableness , Conscientiousness , Neuroticism e. Predictors: (Constant), Extraversion, Agreeableness , Conscientiousness , Neuroticism, Opennesss
254
LAMPIRAN 6 : PENERJEMAH
255
256
Recommended