View
386
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mata merupakan salah satu organ penting bagi manusia. Organ mata merupakan salah
satu alat komunikasi manusia terhadap dunia luar. Fungsi mata sebagai salah satu panca
indera menerima rangsang sensoris cahaya yang kemudian akan divisualisasikan oleh
otak kita sehingga kita dapat memahami keadaan di sekitar kita. Mata merupakan panca
indera yang halus yang memerlukan perlindungan terhadap faktor – faktor luar yang
berbahaya. (Sidarta Ilyas, masalah kesehatan mata anda)
Sebagai sebuah organ, mata mempunyai kaitan yang sangat erat antara satu bagian
dengan bagian lainnya. Seperti sebuah rangkain listrik yang akan menyala sebuah lampu
bolham, diperlukan beberapa komponen mulai dari sumber energi (listrik/batere), kabel
penghubung dan lampu. Apabila salah satu komponen tersebut rusak maka lampu
bolham tidak akan menyala. Begitu pula dengan organ mata kita, tidak cukup dengan
adanya mata yang sehat namun jaras nervus optikus serta fungsi otak yang baik akan
menghasilkan satu kerja yang baik.
Begitu banyak kelainan pada mata, hal yang paling sering dilihat adalah mata merah.
Mulai dari iritasi ringan sampai perdarahan karena trauma akan memberikan tampilan
klinis mata merah. Terkadang mata merah yang terjadi secara tiba – tiba akan
memberikan kekhawatiran bagi pasien. Seperti pada perdarahan subkonjungtiva
misalnya. Perdarahan subkonjungtiva secara klinis memberikan penampakan mata merah
terang hingga gelap pada mata. Secara umum bekuan darah akibat perdarahan
subkonjungtiva dapat hilang dengan sendirinya dikarenakan diabsorpsi oleh tubuh.
Namun begitu mata merah juga tidak boleh dianggap sebagai hal yang biasa karena
teriritasi oleh debu atau benda tertentu. Pasien dengan hipertensi diyakini sebagia faktor
resiko tersendiri terjadinya perdarahan pada subkonjungtiva. Pada keadaan tertentu
seperti perdarahan subkonjungtiva yang disertai adanya gangguan visus, sering kambuh
atau bahkan menetap maka harus segera dikonsultasikan ke dokter spesialis mata. Untuk
itu, diperlukan pengetahuan yang cukup untuk mengetahui bagaimana perdarahan
subkonjungtiva beserta faktor resiko dan penanganannya.
1.2 Keyword
Mata merah
Perdarahan subkonjungtiva
Perdarahan Subkonjungtiva 1
Hipertensi
Faktor resiko
BAB II ISI
2.1 Anatomi Mata dan Konjungtiva
Mata sebuah organ yang kompleks yang memiliki lebih dari satu sistem anatomi yang
mendukung fungsi mata itu sendiri. Secara umum ada beberapa sistem anatomi yang
mendukung fungsi organ mata, yaitu :
1. Anatomi kelopak mata
Kelopak mata memiliki peranan proteksi terhadap bola mata dari benda asing yang
menbahayakan mata. Kelopak atau palpebra mempunyai fungsi melindungi bola
mata, serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata di depan
kornea. Pada kelopak terdapat bagian – bagian seperti kelanjar sebasea, kelenjar Moll,
kelenjar Zeis dan kelenjar Meibom. Sementara pergerakan kelopak mata dilakukan
oleh M. Levator palpebra yang dipersarafi oleh N. Fasialis.
2. Anatomi sistem lakrimal
Sistem lakrimal terdiri atas 2 bagian, yaitu :
Sistem produksi ata glandula lakrimal. Sistem sekresi air mata atau lakrimal
terletak di daerah temporal bola mata.
Sistem ekskresi mulai pada pungtum lakrimal, kanalikuli lakrimal, sakus lakrimal,
duktus nasolakrimal, meatus inferior.
3. Anatomi konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakang. Bermacam – macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin
bersifat membasahi bola mata terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
Konjungitva tarsal ayng menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan
dari tarsus.
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya.
Perdarahan Subkonjungtiva 2
Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan
konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar denga jaringan di
bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.
4. Anatomi bola mata
Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola mata di bagian
depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang lebih tajam sehingga terdapat bentuk
dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapis jaringan,
yaitu :
Sklera, merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan
sklera disebut kornea yang bersifat transparan yangmemudahkan sinar masuk ke
dalam bola mata.
Jaringan uvea merupakan jaringan vaskular. Jaringan sklera dan uvea dibatasi oleh
ruang yang potensial mudah dimasuki darah apabila terjadi perdarahan pada ruda
paksa yang disebut perdarahan suprakoroid. Jaringan uvea terdiri atas iris, badan
siliar dan koroid. Badan siliar menghasilkan cairan bilik mata (akuos humor).
Lapis ketiga bola mata adalah retina yang terletak paling dalam dan mempunyai
susunan lapis sebanyak 10 lapisyang merupakan lapis membran neurosensoris
yang akan merubah sinar menjadi rngsangan pada saraf optik dan diteruskan ke
otak.
5. Anatomi rongga orbita
Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang
membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar orbita
yang terutama terdiri atas tulang maksila, bersama – sama tulang palatinum dan
zigomatikus.
Secara garis besar anatomi mata terdiri dari (luar – ke dalam) :
Kornea
Kamera okuli anterior
Iris
Lensa
Perdarahan Subkonjungtiva 3
Kamera okuli posterior (vitreus body)
Retina
Nervus optikus
Gambar 1. Anatomi mata (Schlote, Pocket Atlas of Ophthalmology)
2.2 Fisiologi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukus yang transparan yang membentang di
permukaan dalam kelopak mata dan permukaan bola mata sejauh dari limbus. Ini
memiliki suplay limfatik yang tebal dan sel imunokompeten yang berlimpah. Mukus dari
sel goblet dan sekresi dari kelenjar aksesoris lakrimal merupakan komponen penting
pada air mata. Konjungitva merupakan barier pertahanan dari adanya infeksi. Aliran
limfatik berasal dari nodus preaurikuler dan submandibula, yang berkoresponden dengan
aliran di kelopak mata.
Konjungtiva terdiri atas 3 bagian, yaitu :
Konjungtiva palpebra dimulai dari hubungan mukokutaneus pada tepi kelopak dan
bergabung ke lapis tarsal posterior.(Sidarta). Konjungtiva palpebralis melapisi
permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan
inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior)
Perdarahan Subkonjungtiva 4
dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.(vaughan,
oftalmologi umum)
Konjungtiva forniks merupakan konjungtiva peralihan konjungtiva palpebra dan
bulbi
Konjungtiva bulbi yang menutupi sklera anterior dan bersambung dengan epitel
kornea pada limbus. Punggungan limbus yang melingkar membentuk palisade Vogt.
Stroma beralih menjadi kapsula Tenon kecuali pada limbus dimana dua lapisan
menyatu.(sidarta ilyas, ilmu penyakit mata) konjungtiva bulbaris melekat longgar ke
septum orbitale di forniks dan melipat berkali – kali. Pelipatan ini memungkinkan
bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (duktus –
duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior). Kecuali di
limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva
bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya. Lipatan
konjungtiva bulbaris tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terletak di
kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang.
Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke
bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung
elemen kulit dan membran mukosa. (vaughan, oftalmologi umum)
Gambar 2. Anatomi Konjungtiva (Lang, K Gerhard. Ophthalmology A short textbook)
Pasokan darah, limfe dan persarafan
Perdarahan Subkonjungtiva 5
Arteri – arteri konjugntiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis.
Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena
konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring – jaring
vaskuler konjungtiva yang banyak sekali.
Pembuluh limfe konjungtiva terusun dalam lapisan superfisial dan lapisan
profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga
membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persarafan dari
percabangan (oftalmik) pertama nervus V. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai
serat nyeri. (vaughan, oftalmologi umum)
Histologi konjungtiva :
Epitel konjungtiva merupakan jenis yang non-keratinisasi dan tebalnya sekitar 5
sel. Sel basal kuboid menyusun sel polihedral yang mendatar sebelum sel
tersebut terlepas dari permukaan. Sel goblet terdapat di dalam sel epitelnya. Sel
goblet kebanyakan terdapat di inferoir dari nasal dan di konjungtiva forniks,
dimana jumlahnya sekitar 5 – 10% jumlah sel basal.(sidarta). Lapisan epitel
konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat,
superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas
karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata
terdiri dari sel – sel epitel skuamosa. Sel – sel epitel basal berwarna lebih pekat
daripada sel – sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.
(vaughan, oftalmologi umum)
Stroma (substansia propria) terdiri atas jaringan ikat yang banyak kehilangan
pembuluh darah . (Kanski, Clinical Ophtalmology page 216). Stroma
konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan
fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur
2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada
neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi
folikuler.
2.3 Perdarahan Subkonjungtiva
Perdarahan Subkonjungtiva 6
Definisi
Sesuai dengan namanya, perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat
rapuhnya pembuluh darah konjungtiva. (Sidarta) Darah terdapat di antara konjungtiva
bulbi dan sklera. Sehingga mata akan mendadak terlihat merah dan biasanya
mengkhawatirkan bagi pasien. (vaughan,emedicine.medscape.com)
Gambar 3. Perdarahan subkonjungtiva
(http//www.emedicine-medscape.com/subconjuntival hemorrage)
Sinonim
Beberapa istilah lain untuk perdarahan subkonjungtiva adalah :
(www.emedicinehealth.com)
1. bleeding in the eye
2. eye injury
3. ruptured blood vessels
4. blood in the eye
5. bleeding under the conjunctiva
6. bloodshot eye,
7. pinkeye,
8. conjunctivitis, karena memiliki gejala yang sama yaitu mata merah.
Manifestasi klinis perdarahan subkonjungtiva
Perdarahan Subkonjungtiva 7
Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan perdarahan
subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera.
Sangat jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan subkonjungtiva pada
permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa penuh dibawah
konjungtiva palpebre. Ketika hematoma menjadi larut akan mengalami iritasi
mata sedang.
Perdarahan subkonjungtiva sendiri akan jelas terlihat, permukaannya berwarna
merah terang dan halus disekitar sklera bahkan seluruh permukaan sklera dapat
terisi darah.
Pada perdarahan subkonjungtiva spontan (idiopatik), tidak ada darah yang akan
keluar dari mata. Jika mengusapkan tisu ke bola mata maka tidak akan didapati
darah di tisu tersebut.
Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu kemudian akan
berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi.
(http//americanacademyophtalmology.com)
Epidemiologi
Sebuah studi epidemiologi yang dilakukan oleh Kaimbo wa kaimbo mengenai
epidemiologi perdarahan subkonjungtiva di Kongo pada tahun 1999 – 2004,
didapatkan kesimpulan sebagai berikut (http//pubmed.com) :
Frekuensi terjadinya perdarahan subkonjungtiva adalah sebesar 0.8% (58
pasien/61 mata) dari jumlah keseluruhan pasien penyakit mata (6843 pasien).
Jenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami perdarahan subkonjungtiva
dibandingkan laki – laki (pr=58,6%, lk= 41.4%).
Dari 58 pasien, 30 pasien (51.7%) mengalami perdarahan subkonjungtiva jenis
trauma kepala dan 28 pasien (48.3%) mengalami perdarahan subkonjungtiva
spontan
Dari segi usia, perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi di semua kelompok
umur, namun hal ini dapat meningkat kejadiannya sesuai dengan pertambahan
umur. (emedicinehealth.com). penelitian epidemiologi di Kongo rata – rata
usia yang mengalami perdarahan subkonjungtiva adalah usia 30.7 tahun
(kaimbo wa kaimbo)
Perdarahan subkonjungtiva sebagian besar terjadi unilateral (90%).
Perdarahan Subkonjungtiva 8
Gambar.4 Perdarahan subkonjungtiva unilateral (Artur et all, Color
atlas of ophthalmology)
Pada perdarahan subkonjungtiva tipe spontan tidak ditemukan hubungan yang
jelas dengan suatu kondisi keadaan tertentu (64.3%). Kondisi hipertensi
memiliki hubungan yang cukup tinggi dengan angka terjadinya perdarahan
subkonjungtiva (14.3%). Kondisi lainnya namun jarang adalah muntah, bersin,
malaria, hipoglikemia, penyakit sickle cell dan melahirkan.
Pada kasus melahirkan, telah dilakukan penelitian oleh oleh Stolp W dkk pada
354 pasien postpartum dengan perdarahan subkonjungtiva. Bahwa kehamilan
dan proses persalinan dapat mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva. (Stolp
W et all, Eye diseases and control of labor. Studies of changes in the eye in
labor exemplified by subconjunctival hemorrhage (hyposphagmas))
Patomekanisme
Secara kasat mata kita akan melihat bahwa konjungtiva pada keadaan normal
berwarna bening. Apabila menggunakan alat pembesar maka kita akan menemukan
pembuluh – pembuluh darah yang kecil. Ketika pembuluh – pembuluh darah ini rapuh
atau pecah karena ruda paksa tertentu maka darah akan keluar mengisi ruangan
diantara konjungtiva bulbi dan sklera. Selaput yang tadinya bening kemudian akan
menjadi merah. Warna merah pada konjungtiva pasien memberikan rasa was – was
sehingga pasien akan segera minta pertolongan pada dokter. (Sidarta Ilyas, )
Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan yang datar,
berwarna merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga
menyebabkan kemotik kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak
mata.
Perdarahan Subkonjungtiva 9
Karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus di
jaringan ikat subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus, yang biasanya memiliki
intensitas yang sama dan menyembunyikan pembuluh darah. Konjungtiva yang lebih
rendah lebih sering terkena daripada bagian atas. Pendarahan berkembang secara akut,
dan biasanya menyebabkan kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak berbahaya.
Apabila tidak ada kondisi trauma mata terkait, ketajaman visual tidak berubah karena
perdarahan terjadi murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa sakit.
(http://emedicine.medscape.com).
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Mimura T dkk yang berjudul lokasi dan
luasnya perdarahan subkonjungtiva di univeritas tokyo. Pada penelitian ini bertujuan
untuk mencari area mana dari konjungtiva yang sering mengalami perdarahan,
sebelumnya area konjungtiva dibagi menjadi 8 area yaitu superior, nasal superior,
nasal, inferior nasal, inferior, inferior temporal, temporal dan temporal superior. Hasil
penelitian ini menyimpulkan perdarahan subkonjungtiva memperlihatkan adanya
hubungan antara usia dan peningkatan luas dan predominan perdarahan
subkonjungtiva di area inferior, sedangkan untuk perdarahan subkonjungtiva
traumatik biasalnya dideteksi perdarahan di area temporal. (Mimura et all, Location
and extent subconjuntival haemorrhage)
Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan
Sesuai namanya perdarahan subkonjungtiva ini adalah terjadi secara tiba – tiba
(spontan). Perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya fungsi endotel
sehingga pembuluh darah rapuh dan mudah pecah. Keadaan yang dapat
menyebabkan pembuluh darah menjadi rapuh adalah umur, hipertensi,
arterisklerosis, konjungtivitis hemoragik, anemia, pemakaian antikoagulan dan
batuk rejan. (sidarta ilyas, 118)
Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi unilateral. Namun
pada keadaan tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh kembali; untuk kasus
seperti ini kemungkinan diskrasia darah (gangguan hemolitik) harus disingkirkan
terlebih dahulu. (vaughan, 124)
2. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatik
Perdarahan Subkonjungtiva 10
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien sebelumnya mengalami trauma di mata
langsung atau tidak langsung yang mengenai kepala daerah orbita. Perdarahan
yang terjadi kadang – kadang menutupi perforasi jaringan bola mata yang terjadi.
Pada fraktur basis kranii akan terlihat hematoma kaca mata karena berbentuk
kacamata yang berwarna biru pada kedua mata (racoon eyes). (Sidarta ilyas, 118)
Trauma tumpul yang mengenai konjungtiva dapat menyebabkan dua hal, yaitu :
1. Edema konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik pada
setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul. Bila kelopak terpajan
ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat
mengedip, maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema konjungtiva.
Kemosis adalah nama yang diberikan untuk edema atau pembengkakan pada
konjungtiva. Pembuluh darah konjungtiva membesar karena kompresi vena
orbital dan dalam kasus yang parah konjungtiva dapat menjadi edema
sehingga terbentuk sebuah kantong berisi cairan menggantung di bawah
kelopak mata. Hal ini terjadi terutama dengan peradangan tetapi juga dapat
terjadi secara terpisah, misalnya karena abnormalitas aliran orbita atau obat-
obatan tertentu.
Selain itu kemosis konjungtiva mungkin terjadi karena alergi, meskipun agen
penyebabnya seringkali tidak dapat ditemukan. Pengeringan (xerosis) dari
konjungtiva ditandai oleh permukaan konjungtiva yang tumpul yang sedikit
bersinar atau tidak sama sekali. Selanjutnya keratinisasi dari sel epitel dapat
terjadi. Xerosis biasanya berkembang sebagai akibat dari paparan jangka
panjang (lagoftalmos) atau defisisensi air mata mayor. Kekurangan vitamin A
jarang terjadi, tetapi biasanya khas untuk xerosis, yang sering ditekankan di
regio fisura palpebra atau Bitot’s spot (Chern, K. C. 2002. Emergency
Ophthalmology)
Perdarahan Subkonjungtiva 11
Gambar 5. Kemosis konjungtiva (Lang, Ophthalmology, 76)
Kemotik konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup
sehingga bertambah rangsangan terhadap konjungtiva. Pada edema
konjungtiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan
cairan di dalam selaput lendir konjungtiva. Sedangkan jika telah terjadi
kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan diinsisi sehingga cairan
konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut.(Sidarta ilyas, 261)
Selain karena trauma tumpul kemosis konjungtiva juga dapat diakibatkan oleh
konjungtivitis alergika. (Vaughan, Oftalmologi umum 102)
Penyebab kemosis konjungtiva adalah sebagai berikut:
Gangguan infeksi: Mukormikosis, rhinocerebral/phycomyco's, gonokok atau
meningokok dan terutama konjungtivitis adenovirus
Peradangan: iritasi, benda asing
Alergi, gangguan autoimun: conjunctival contact allergy, skleritis/episkleritis,
konjungtivitis alergi, konjungtivitis vernal
Gangguan vaskuler dan vena, arteriosklerosis: trombosis sinus kavernosus,
angioedema
Gangguan vegetatif, autonomik, endokrin: peningkatan tekanan intrakranial,
oftalmopati tirotoksis
Perdarahan Subkonjungtiva 12
Trauma: trauma kimia, trauma tumpul
Obat-obatan: antibiotik, ACE inhibitor, analgetik
2. Hematoma subkonjungtiva
Bila perdarahan ini timbul sebagai akibat trauma tumpul maka perlu dipastikan
bahwa tidak terdapat robekan di di bawah jaringan konjungtiva atau sklera.
Kadang – kadang hematoma subkonjungtiva menutupi keadaan mata yang lebih
buruk seperti perforasi bola mata. Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada
setiap penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma.
Apabila tekanan bola mata rendah dengan pupil lonjong disertai tajam penglihatan
menurun dan hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan eksplorasi
bola mata untuk mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli. (Sidarta ilyas,
261)
Etiologi
1. Idiopatik, suatu penelitian oleh Parmeggiani F dkk di Universitas Ferara Itali
mengenai kaitan genetik polimorfisme faktor XIII Val34Leu dengan terjadinya
perrdarahan subkonjungtiva didapatkan kesimpulan baik homozigot maupun
heterozigot faktor XIII Val34Leu merupakan faktor predisposisi dari perdarahan
subkonjungtiva spontan, alel Leu34 diturunkan secara genetik sebagai faktor resiko
perdarahan subkonjungtiva terutama pada kasus yang sering mengalami kekambuhan.
(Parmeggiani F et all, Prevalence of factor XIII Val34Leu..). Mutasi pada faktor XIII
Val34Leu mungkin sangat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya episode
perdarahan subkonjungtiva. (Incorvaia C et all, Recurrent episodes of spontaneous
SCH in patients with factor XIII Val34Leu mutation)
2. Manuver Valsalva (seperti batuk, tegang, muntah – muntah, bersin)
3. Traumatik (terpisah atau berhubungan dengan perdarahan retrobulbar atau ruptur bola
mata)
4. Hipertensi, penelitian yang dilakukan oleh Pitts JF dkk mengenai hubungan hipertensi
dan perdarahan subkonjungtiva pada 78 sampel (SCH dan hipertensi) dan 78 kontrol
(kelainan mata lainnya dan hipertensi) disimpulkan bahwa pada kelompok pasien
Perdarahan Subkonjungtiva 13
SCH didapat rerata tekanan darah 149mmHg(SD 27)/89 mmHg (SD 15) sementara
kontrol 142 mmHg (SD 25)/81mmHg (SD 12). (Pitts JF et all, Spontaneous
subconjunctival haemorrhage--a sign of hypertension?)
5. Gangguan perdarahan (jika terjadi berulang pada pasien usia muda tanpa adanya
riwayat trauma atau infeksi), termasuk penyakit hati atau hematologik, diabetes, SLE,
parasit dan defisisensi vitamin C.
6. Berbagai antibiotik, obat / kimia( kauadin, NSAID), steroid, kontrasepsi dan vitamin
A dan D yang telah mempunyai hubungan dengan terjadinya perdarahan
subkonjungtiva, penggunaan warfarin. (Lekir LL et all,Risk factor and complication
of SCH in pateints taking warfarin)
7. Sequele normal pada operasi mata sekalipun tidak terdapat insisi pada konjungtiva.
8. Beberapa infeksi sistemik febril dapat menyebabkan perdarahan subkonjungtiva,
termasuk septikemia meningokok, demam scarlet, demam tifoid, kolera, riketsia,
malaria, dan virus (influenza, smallpox, measles, yellow fever, sandfly fever).
9. Perdarahan subkonjungtiva telah dilaporkan merupakan akibat emboli dari patahan
tulang panjang, kompresi dada, angiografi jantung, operasi bedah jantung.
10. Penggunaan lensa kontak, faktor resiko mayor perdarahan subkonjungtiva yang
diinduksi oleh penggunaan lensa kontak adalah konjungtivakhalasis dan pinguecula.
(Mimura T et all, Contact lens induced subconjuntival hemorrhage).
11. Konjungtivokhalasis merupakan salah satu faktor resiko yang memainkan peranan
penting pada patomekanisme terjadinya perdarahan subkonjungtiva. (Mimura T et all,
Subconjunctival hemorrhage and conjunctivochalasis)
Diagnosis dan pemeriksaan
Diagnosis dibuat secara klinis dan anamnesis tentang riwayat dapat membantu
penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut. Ketika ditemukan adanya trauma, trauma
dari bola mata atau orbita harus disingkirkan. Apabila perdarahan subkonjungtiva
idiopatik terjadi untuk pertama kalinya, langkah-langkah diagnostik lebih lanjut
biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian kekambuhan, hipertensi arteri dan kelainan
koagulasi harus disingkirkan.
Perdarahan Subkonjungtiva 14
Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata proparacaine (topikal
anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena sakit; dan curiga etiologi lain
jika nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia. (Chern, K. C. 2002. Emergency
Ophthalmology).
Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan, terutama pada perdarahan
subkonjungtiva traumatik. Salah satu studi mengenai perdarahan subkonjungtiva
traumatik dan hubungannya dengan luka / injuri lainnya oleh Lima dan Morales di
rumah sakit Juarez Meksiko tahun 1996 – 2000 menyimpulkan bahwa sejumlah
pasien dengan perdarahan subkonjungtiva disertai dengan trauma lainnya 9selain pada
konjungtiva), ketajaman visus < 6/6 meningkat dengan adanya kerusakan pada selain
konjugtiva. Maka dari itu pemeriksaan ketajaman visus merupakan hal yang wajib
pada setiap trauma di mata sekalipun hanya didapat perdarahan subkonjungtiva tanpa
ada trauma organ mata lainnya. (http//pubmed.com)
Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek pupil, bila perlu,
lakukan pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata jika perdarahan
subkonjungtiva terjadi penuh pada 360°. Jika pasien memiliki riwayat perdarahan
subkonjungtiva berulang, pertimbangkan untuk memeriksa waktu pendarahan, waktu
prothrombin, parsial tromboplastin, dan hitung darah lengkap dengan jumlah
trombosit, serta protein C dan S. (Chern, K. C. 2002. Emergency Ophthalmology)
Penanganan
Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pengobatan dini
pada perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres hangat. Perdarahan
subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1- 2 minggu tanpa diobatai (Sidarta
ilyas, 261).
Pada bentuk-bentuk berat yang menyebabkan kelainan dari kornea, dapat dilakukan
sayatan dari konjungtiva untuk drainase dari perdarahan. Pemberian air mata buatan
juga dapat membantu pada pasien yang simtomatis. Dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik, dicari penyebab utamanya, kemudian terapi dilakukan sesuai dengan
penyebabnya.
Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke spesialis mata jika ditemukan
kondisi berikut ini :
1. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan.
Perdarahan Subkonjungtiva 15
2. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitan untuk
melihat)
3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan
4. Riwayat hipertensi
5. Riwayat trauma pada mata.
Diagnosis banding
1. Konjungtivitis, hal ini dikarenakan memiliki kesamaan pada klinisnya yaitu
mata merah.
2. Konjungtivitis hemoragik akut
3. Sarcoma kaposi (Robert Graham, subconjuntival haemorrage)
Komplikasi
Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh dalam waktu 1 – 2
minggu, sehingga tidak ada komplikasi serius yang terjadi. Namun adanya perdarahan
subkonjungtiva harus segera dirujuk ke dokter spesialis mata jika ditemui berbagai hal
seperti yang telah disebutkan diatas. (Sidarta Ilyas, 261)
Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau berulang (kambuhan)
harus dipikirkan keadaan lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hicks D dan Mick A
mengenai perdarahan subkonjungtiva yang menetap atau mengalami kekambuhan
didapatkan kesimpulan bahwa perdarahan subkonjungtiva yang menetap merupakan
gejala awal dari limfoma adneksa okuler. (http//pubmed.com)
Prognosis
Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah baik. Karena sifatnya
yang dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh. Namun untuk keadaan tertentu seperti sering
mengalami kekambuhan, persisten atau disertai gangguan pandangan maka
dianjurkan untuk dievaluasi lebih lanjut lagi. (Sidarta Ilyas 261, Robert graham
http//pubmed.com)
Perdarahan Subkonjungtiva 16
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konjungtiva bulbi merupakan salah satu jaringan konjungtiva pada mata yang kaya
akan pembuluh darah, pada keadaan normal pembuluh darah ini secara kasat mata
terlihat warna sklera yaitu putih.
Perdarahan subkonjungtiva merupakan perdarahan pada pembuluh darah konjungtiva
bulbi dimana darah akan keluar mengisi daerah diantara kunjungtiva bulbi dan sklera.
Berdasarkan patomekanismenya perdarahan subkonjungtiva dibedakan menjadi
perdarahan subkonjungtiva spontan dan perdarahan subkonjungtiva traumatik
Perdarahan subkonjungtiva spontan diakibatkan oleh rapuhnya pembuluh darah
konjungtiva, hal ini dipengaruhi oleh adanya faktor resiko seperti arteriosklerosis dan
hipertensi
Secara umum perdarahan subkonjungtiva tidak memerlukan pengobatan karena
hematomnya akan diabsorpsi sendiri dalam waktu 1 – 2 minggu. Namun pada
keadaan adanya gangguan penglihatan, sering kambuh atau bahkan menetap maka
harus segera dikonsultasikan ke dokter spesialis mata.
3.2 Saran
Menjaga kesehatan mata melalui perlindungan dari debu seperti menggunakan
helm full face / kacamata ketika berkendaraan motor.
Jangan menganggap mata merah sebagai hal biasa, jika disertai nyeri,
gangguan penglihatan, sering kambuh atau bahkan menetap segera konsultasi
ke dokter spesialis mata.
Perdarahan Subkonjungtiva 17
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. 2008. FK UI. Jakarta;
2. Vaughan, Daniel G. Oftalmologi Umum,2000. Widia Meka. Jakarta;
3. Ilyas, Sidarta. Masalah Kesehatan Anda. 2005. FK UI. Jakarta;
4. K Lang, Gerhard. Ophthalmology A Short Textbook.2000. Thieme Stuttgart. New
York;
5. Lim Artur. Color Athlas Of Ophthalmology. 3rd Edition. World Science.
6. Chern, K. C. Emergency Ophthalmology: A Rapid Treatment Guide. 1st ed. 2002.
McGraw-Hill, Massachusetts.
7. Schlote, Pocket Atlas of Ophthalmology © 2006 Thieme
8. Graham, R. K. Subconjuntival Hemorrhage. 1st Edition. 2009. Medscape’s
Continually Updated Clinical Reference. Diakses tanggal 15 September 2010, dari
http://emedicine.medscape.com/article/1192122-overview
9. http://webmd.com/article/Subconjuntival hemorrhage cause. Diakses pada tanggal
15 September 2010.
10. D Hicks, A Mick. Recurrent subconjunctival hemorrhages leading to the
discovery of ocular adnexal lymphoma.California. Diakses tanggal 15 September
2010, dari http//pubmed.com/article.
11. Kaimbo D, Kaimbo Wa. Epidemiology of traumatic and spontaneous
subconjunctival haemorrhages in Congo. Congo. 2008. Diakses pada tanggal 15
September 2010, dari http//pubmed.com
12. Limo, Gomez. Traumatic subconjuntival hemorrhage. Presentation and associated
injuries. Meksiko. Diakses pada tanggal 15 September 2010, dari
http//pubmed.com/article.
13. Mimura T, Yamagami S et all. Contanc lens-Induced Subconjuntival Hemorrhage.
2010. Tokyo, japan. Diakses pada tanggal 15 September 2010, dari
http//pubmed.com
Perdarahan Subkonjungtiva 18
14. Mimura T, Yamagami S et all. Subconjuntival Hemorrhage and
Conjuntivochalasis. 2010. Tokyo, japan. Diakses pada tanggal 15 September
2010, dari http//pubmed.com
15. Mimura T, Yamagami S et all. Location and Extent of Subconjuntival
Hemorrhage. Tokyo, japan. Diakses pada tanggal 15 September 2010, dari
http//pubmed.com
16. Leiker LL, Mehta BH, Pruchnicki MC, Rodis JL. Risk factors and complications
of subconjunctival hemorrhages in patients taking warfarin. Kansan. USA.
Diakses pada tanggal 15 September 2010, dari http//pubmed.com.
17. Incorvaia C et all. Recurrent episodes of spontaneous subconjunctival
hemorrhage in patients with factor XIII Val34Leu mutation. Ferrara, Itali. Diakses
pada tanggal 15 September 2010, dari http//pubmed.com.
18. Parmeggiani F et all. Prevalence of factor XIII Val34Leu polymorphism in
patients affected by spontaneous subconjunctival hemorrhage. Ferrara, Itali.
Diakses pada tanggal 15 September 2010, dari http//pubmed.com.
19. Pitts JF, Jardine AG, Murray SB, Barker NH. Spontaneous subconjunctival
haemorrhage--a sign of hypertension?. Western Infirmary, Glasgow. Diakses pada
tanggal 15 September 2010, dari http//pubmed.com.
20. Stolp W, Kamin W, Liedtke M, Borgmann H. [Eye diseases and control of labor.
Studies of changes in the eye in labor exemplified by subconjunctival hemorrhage
(hyposphagmas)] . Johanniter-Krankenhauses Bonn. Jerman. Diakses pada tanggal
15 September 2010, dari http//pubmed.com.
Perdarahan Subkonjungtiva 19
ADNEKSA
[Recurrent subconjunctival hemorrhages leading to the discovery of ocular adnexal lymphoma]
Hicks D, Mick A.
Veterans Affairs Palo Alto Health Care System, Palo Alto, California 94304, USA. davehicks.OD@gmail.com
AbstractBACKGROUND: Subconjunctival hemorrhages commonly occur idiopathically or from causes including ocular surgery, trauma, anticoagulation medications, or a Valsalva maneuver. When a hemorrhage persists or recurs, a more extensive list of differential diagnoses must be considered. This report details a case in which persistent subconjunctival hemorrhages led to the discovery of ocular adnexal lymphoma.
CASE REPORT: A 68-year-old white man presented with a 7- to 8-month history of a recurrent red left eye. There was no associated pain, discharge, or change in vision over that time. The right eye was never involved. An ocular examination of the left eye found a mild nasal subconjunctival hemorrhage and a salmon-pink-colored lesion involving the superior conjunctiva. Clinical findings, photos, magnetic resonance images, and histopathology results are presented and reviewed. The signs, symptoms, incidence, pathophysiology, treatment, and prognosis of ocular adnexal lymphoma are also discussed.
CONCLUSION: Lymphomas can occur in a variety of sites in the body. It is well documented that primary tumors can originate in the ocular adnexa. Although not typical, the first sign in this case was a recurrent subconjunctival hemorrhage. The importance of a thorough ocular examination is paramount for a patient's ocular health and possibly the patient's life.
PMID: 20705524 [PubMed - in process]
[Epidemiology of traumatic and spontaneous subconjunctival haemorrhages in Congo]
Kaimbo Wa Kaimbo D.
Department of Ophthalmology, University of Kinshasa, DR Congo. dieudonne_kaimbo@yahoo.com
AbstractPURPOSE: To determine frequency and associated conditions of subconjunctival haemorrhage
Perdarahan Subkonjungtiva 20
METHODS: A descriptive and cross-sectional study of all consecutive patients with traumatic and spontaneous subconjunctival haemorrhage (SCH) examined between 1999 and 2004 in a general practice of ophthalmology.
RESULTS: There were 58 (0.8%) patients with SCH (61 eyes) among 6843 consulting patients. They consisted of 34 (58.6%) women and 24 (41.4%) men, with a mean age (SD) of 30.7 years (16). Among the 58 patients with SCH, 30 (51.7%) had traumatic SCH and 28 (48.3%) had spontaneous SCH. In both populations of patients, females outnumbered males. The mean age was 35.5 and 26.4 years for patients with spontaneous and traumatic SCH, respectively (P = 0.04). Patients with spontaneous SCH presented earlier (< or = 3 days, P = 0.006) and complained of a red eye at a greater extent than patients with traumatic SCH (P = 0.02). There were no statistically significant differences between the patients with spontaneous and traumatic SCH with respect to gender (P = 0.75), eye involvement (P = 0.69), location of SCH (P = 0.23) and occupation of patients (P = 0.50). The condition was unilateral in 90% of eyes. Location of SCH was most found to be temporal (36.1%) or nasal (26.2%). In spontaneous SCH, no apparent associated condition was found in 64.3%. Hypertension (14.3%) was the most frequent associated condition. Other associated conditions were rare and included vomiting, sneezing, malaria, hypoglycaemia, sickle cell disease and delivery. In traumatic SCH, 67% injuries occurred at home.
CONCLUSION: SCHs were seen in 0.8% of patients and occurred more frequently in women than in men in this study.
[Traumatic subconjuntival hemorrhage. Presentation and associated injuries]
Lima-Gómez V, Morales-Ortiz N.
Servicio de Oftalmología, Hospital Juárez de México. vlimag@terra.com.mx
AbstractBACKGROUND: Subconjunctival hemorrhage is frequent in ocular trauma and is traditionally left untreated, awaiting spontaneous resolution unless associated with open globe injury. A study was performed to identify characteristics of eyes with subconjunctival hemorrhage, rate of coexisting additional injuries, and whether visual acuity might allow detection of the latter.
MATERIAL AND METHODS: Patients evaluated for ocular trauma at our service between 1996 and 2000 with subconjunctival hemorrhage were included; eyes without visual acuity record were eliminated. Each eye was re-qualified according to standardized classification of ocular trauma. Presence of additional ocular injuries in eyes with different grade (visual acuity) was recorded. Rate of additional injuries by grade was compared with chi-square and odds ratio (OR).
RESULTS: A total of 178 eyes of 168 patients aged 1 to 84 years (average 27.63 years, standard deviation (SD) 17.3) were evaluated; grade (visual acuity) was 1 in 107 eyes (60.1%), 2 in 35 (19.7%), 3 in 22 (12.3%), 4 in 11 (6.2%) and 5 in three (1.7%) eyes. Seventy six eyes had additional injuries (42.7%, 95% confidence interval [CI 95%] 35.5-49.9%). A higher proportion of additional injuries was found in patients with grade < 1 (66.2%) than in those with grade 1 (27.1%, p < 0.001 OR 5.27, 95% CI 2.72-10.68).
Perdarahan Subkonjungtiva 21
DISCUSSION: A high rate of patients with subconjunctival hemorrhage presented additional injuries. Visual acuity < 1 increased probability of having additional damage. It is suggested that visual acuity be evaluated in every injured eye, even when diagnosis of subconjunctival hemorrhage is evident and data of open globe absent, to help detect eyes that require specialized evaluation.
PMID: 19764134 [PubMed - indexed for MEDLINE]
[Contact Lens-Induced Subconjunctival Hemorrhage]
Mimura T, Yamagami S, Mori M, Funatsu H, Usui T, Noma H, Amano S.
Department of Ophthalmology, Toranomon Hospital, Tokyo, Japan; Okinaka Memorial Institute for Medical Research, Tokyo, Japan; Department of Ophthalmology, University of Tokyo Graduate School of Medicine, Tokyo, Japan.
AbstractPURPOSE: To present the first detailed assessment of the clinical features of CL-induced subconjunctival hemorrhage and associated risk factors.
DESIGN: Cross-sectional and case-control study of age-matched randomized groups.
METHODS: A total of 45 CL wearers with subconjunctival hemorrhage aged 18 to 45 years (CL-Hemorrhage group), 200 age-matched healthy control subjects (non-CL group), and 200 age-matched CL wearers (CL group) were enrolled. The conjunctiva was divided into the following 8 equal areas: superior, superior/nasal, nasal, inferior/nasal, inferior, inferior/temporal, temporal, and superior/temporal. The site of hemorrhage, the grade, and other parameters of conjunctivochalasis at 3 locations (nasal, middle, and temporal), and the grade of pinguecula on the nasal or temporal conjunctiva were determined in all subjects.
RESULTS: Typically, subconjunctival hemorrhage affected 1 or 2 regions of the temporal conjunctiva. The grade of conjunctivochalasis and pinguecula was higher in both the affected and unaffected eyes of the CL-Hemorrhage group than the non-CL and CL groups (all P < .00001). The effect of downward gaze or digital pressure on the extent of conjunctivochalasis was more marked in the CL-Hemorrhage group and superficial punctate keratitis was more common (all P < .00001). Multivariate logistic regression analysis of variables revealed that the presence of conjunctivochalasis and pinguecula were associated with an increased risk of CL-induced subconjunctival hemorrhage (all P < .05).
CONCLUSIONS: These results suggest that the major risk factors for CL-induced subconjunctival hemorrhage are conjunctivochalasis and pinguecula.
[Subconjunctival hemorrhage and conjunctivochalasis]
Mimura T, Usui T, Yamagami S, Funatsu H, Noma H, Honda N, Fukuoka S, Shirakawa R, Hotta H, Amano S.
Department of Ophthalmology, University of Tokyo Graduate School of Medicine, Tokyo, Japan.
Comment in:
Perdarahan Subkonjungtiva 22
Ophthalmology. 2010 Jun;117(6):1276-7; author reply 1277.
AbstractOBJECTIVE: Subconjunctival hemorrhage (SCH) is a relatively common disease, but there have been no reports concerning the relationship between SCH and conjunctivochalasis (CCh). We compared the grade of CCh between patients with SCH and control patients.
DESIGN: Prospective, nonrandomized study.
PARTICIPANTS: A total of 104 patients with SCH aged 41 to 94 years and 120 age- and gender-matched controls aged 41 to 94 years were enrolled.
METHODS: The conjunctiva was divided into the following 8 equal areas: superior, superior/nasal, nasal, inferior/nasal, inferior, inferior/temporal, temporal, and superior/temporal. The age, gender, medical history, ocular history, site of hemorrhage, grade of CCh at 3 locations (nasal, middle, and temporal), and other parameters of CCh were determined in all subjects.
MAIN OUTCOME MEASURES: Grade of each CCh parameter and location of SCH.
RESULTS: The mean grade of CCh was higher in patients with SCH than in control patients at the nasal (P<0.00001), middle (P<0.00001), and temporal areas (P<0.00001). The downward gaze- or digital pressure-dependent changes of CCh and the frequency of superficial punctate keratitis were all increased in SCH patients compared with control patients (P<0.00001, P<0.00001, and P = 0.00106, respectively). The number of areas involved by SCH and the presence of SCH in each area were positively correlated with the grade of each CCh-related parameter (P<0.05).
CONCLUSIONS: This was the first assessment of the grade of CCh in a large series of consecutive patients with SCH. Our results strongly suggest that CCh may have an important role in the pathogenesis of SCH.
PMID: 19596440 [PubMed - indexed for MEDLINE]
[Location and extent of subconjunctival hemorrhage]
Mimura T, Yamagami S, Usui T, Funatsu H, Noma H, Honda N, Fukuoka S, Hotta H, Amano S.
Department of Ophthalmology, University of Tokyo Graduate School of Medicine, Tokyo, Japan. mimurat-tky@umin.ac.jp
AbstractPURPOSE: Subconjunctival hemorrhage (SCH) is a relatively frequent disease; however, there have been no reports about its location and extent. We examined its location and extent.
METHODS: A total of 151 patients with SCH aged 2-94 years were studied. The conjunctiva was divided into 8 equal areas. The age, gender, medical history, ocular history and site of hemorrhage were determined for all subjects.
RESULTS: The number of areas involved by SCH showed an age-related increase. Traumatic SCH had a smaller extent compared with SCH related to hypertension, diabetes
Perdarahan Subkonjungtiva 23
and hyperlipidemia, or idiopathic SCH. Overall, SCH was significantly more common in the inferior areas than the superior areas (55.3% vs. 25.0%, p < 0.000001). In patients with SCH secondary to trauma or diabetes, however, the temporal areas were affected more often than the nasal areas (61.5% vs. 30.8% and 73.3% vs. 20.0%, respectively).
CONCLUSION: SCH showed an age-related increase in extent and was predominant in the inferior areas. However, traumatic SCH was usually detected as localized hemorrhage in the temporal areas.
[Risk factors and complications of subconjunctival hemorrhages in patients taking warfarin]
Leiker LL, Mehta BH, Pruchnicki MC, Rodis JL.
Colmery-O'Neil Veterans Affairs Medical Center, Topeka, Kansas, USA.
AbstractOBJECTIVES: The aim of this study was to identify patients with subconjunctival hemorrhage (SCH) on warfarin therapy, to describe risk factors that may contribute to SCH development, and to identify complications related to SCH.
METHODS: A retrospective chart review was conducted including patients treated at a university anticoagulation clinic over 2 years (4,334 patient visits). Data collection included patient demographics; international normalized ratios (INRs) before, at time of, and after SCH; risk factors for increased risk of bleeding; patient-reported complications related to SCH; recent changes in medication use; and warfarin dosage adjustments made in response to the event. The data were summarized using descriptive statistics and frequencies described as percentages.
RESULTS: Fifteen SCH events were identified at an event rate of 0.35%. Two were excluded because of related surgeries near the time of SCH events. The average patient age was 67.3 years (range, 51 to 82). A total of 76.9% (n = 10) of patients had INRs within the goal range at the appointment before reporting the SCH. A total of 46.2% (n = 6) of patients reported alterations in medication regimens during the month preceding SCH. Various patient conditions were documented that may increase the risk of SCH development. No ophthalmic complications were associated with SCHs.
CONCLUSIONS: An SCH event rate of 0.35% was identified. Many factors may have precipitated SCH; however, ophthalmic complications were uncommon.
PMID: 19410227 [PubMed - indexed for MEDLINE]
[Prevalence of factor XIII Val34Leu polymorphism in patients affected by spontaneous subconjunctival hemorrhage]
Parmeggiani F, Costagliola C, Incorvaia C, Gemmati D, D'Angelo S, Tognazzo S, Scapoli GL, Sebastiani A.
Department of Ophthalmology, University of Ferrara, Corso Giovecca 203, 44100 Ferrara, Italy. f.parmeggiani@tiscali.it
Perdarahan Subkonjungtiva 24
AbstractPURPOSE: To verify the prevalence of Val34Leu polymorphism in factor XIII A-chain gene (FXIII Val34Leu) in patients with spontaneous subconjunctival hemorrhage (SCH).
DESIGN: Nonrandomized case-control study.
METHODS: One hundred seven white patients suffering from one or more episodes of idiopathic SCH and 107 healthy subjects were matched for age and gender, and genotyped for FXIII Val34Leu. Anamnestic, ophthalmologic, cardiovascular, and serologic examinations were performed.
RESULTS: Frequency of FXIII mutated allele (Leu34) was significantly higher in SCH patients than in controls. Computing together heterozygotes (Val/Leu) and homozygotes (Leu/Leu), genotype distribution was statistically different. In a conditional logistic regression model, the comparison of the three separated genotypes, performed among 25 patients with recurrent idiopathic SCHs and controls, gave significant differences for both Val/Leu and Leu/Leu variables.
CONCLUSION: Both homozygosity and heterozygosity for FXIII Val34Leu predispose to idiopathic SCH, emphasizing the role of Leu34 allele as inherited risk factor for spontaneous, especially recurrent, SCHs.
PMID: 15364237 [PubMed - indexed for MEDLINE]
[Recurrent episodes of spontaneous subconjunctival hemorrhage in patients with factor XIII Val34Leu mutation]
Incorvaia C, Costagliola C, Parmeggiani F, Gemmati D, Scapoli GL, Sebastiani A.
Department of Ophthalmology, University of Ferrara, Ferrara, Italy. sbd@dns.unife.it
AbstractPURPOSE: To report on the occurrence of frequent episodes of spontaneous subconjunctival hemorrhage (SCH) in patients with the Leu 34 allele of the coagulation factor XIII (FXIII), known to be associated with high hemorrhagic risk.
DESIGN: Observational case series.
METHODS: Five young adults who had suffered from recurrent idiopathic SCH not associated with any recognized ocular and systemic hemorrhagic risk factor were investigated. Accurate anamnestic, ophthalmologic, hematologic, and serologic examinations were performed, together with blood pressure measurements, electrocardiogram (ECG), and 24-hour Holter ECG recordings. FXIII Val34Leu polymorphism was studied by DNA chain polymerase reaction.
RESULTS: DNA analyses showed that the hemorrhagic mutated Leu34 allele was present in four of our selected patients: two mutated homozygotes (Leu/Leu) and two heterozygotes (Val/Leu). In the last subject this polymorphism was not detected. All the other clinical evaluations did not disclose any significant abnormality.
CONCLUSIONS: The FXIII Val34Leu mutation may be associated with an increased risk for spontaneous episodes of SCH.
Perdarahan Subkonjungtiva 25
[Spontaneous subconjunctival haemorrhage--a sign of hypertension?]
Pitts JF, Jardine AG, Murray SB, Barker NH.
Tennent Institute of Ophthalmology, Western Infirmary, Glasgow.
AbstractThe relationship between the condition of spontaneous subconjunctival haemorrhage (SCH) and hypertension was investigated. Seventy eight patients with SCH and 78 controls with unrelated ophthalmic conditions were compared. Blood pressure (BP) was significantly higher at presentation in the group with SCH at 149 (SD 27)/89 (SD 15) versus 142 (SD 25)/81 (SD 12). The proportion of hypertensives by WHO criteria (systolic blood pressure > 160 and/or diastolic blood pressure >95) was 46% on presentation compared with 23% of the control group. The morphology of the lesion did not influence the association with hypertension although there was a suggestion that the group with raised haemorrhages had a tendency to higher systolic blood pressure. It is recommended that all patients with SCH have their BP checked; this will result in the diagnosis of a significant number of new hypertensives.
[Eye diseases and control of labor. Studies of changes in the eye in labor exemplified by subconjunctival hemorrhage (hyposphagmas)]
Stolp W, Kamin W, Liedtke M, Borgmann H. (Gyn.-Geburtsh, Abteilung, Johanniter-Krankenhauses Bonn)
AbstractThe possible significance of subconjunctival bleedings (hyposphagmas) as a symptom for other pathological changes of the eye was studied in a group of 354 postpartum patients. They were found in 10.5% of the cases. A relatively higher frequency occurred in primiparas. No other maternal factors than parity were detected as of statistically significant influence. A slightly higher percentage in mothers with large newborn (above average cranial circumference) indicates a relationship to the necessary bearing-down effort. In a second study, 49 postpartum women with subconjunctival bleeding were examined by an ophthalmologist. Neither any intraocular or retrobulbar bleeding nor any other grievous damage to the eye were found. In accordance with the literature we recommend, that highly myopic pregnant women (even with a previous history of retinal detachment, but ophthalmologically sufficiently treated) should undergo induced delivery. However, the approach to pregnant women with retinal detachment occurring and treated during pregnancy, or to glaucoma-patients with risk to a small remaining visual field, should be more careful. In those cases, a vaginal operative delivery procedure (forceps, vacuum-extraction) is recommended. Nevertheless, one should consider individual wishes of the mother, when striving to diminish the risk to the foetus. The same applies to irrational fears related to previously damaged (and possibly only functional) eye.
Perdarahan Subkonjungtiva 26
Recommended