View
475
Download
5
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
Menurut Undang-undang pasal 9 (1), UU 23/2002 menyebutkan
bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan
minat dan bakatnya. Selain itu pula dalam konverensi PBB yang telah
ditetapkan pada tahun 1989 mengatakan bahwa anak memiliki sepuluh hak
yang paling utama yaitu, hak untuk bermain, hak untuk pendidikan, hak
untuk perlindungan, hak untuk mendapatkan nama, hak untuk mendapatkan
status kebangsaan, hak untuk mendapatkan makanan, hak untuk
mendapatkan akes kesehatan, hak untuk mendapatkan rekreasi, hak untuk
kesamaan, dan hak memiliki peran dalam pembangunan.
Anak merupakan aset dan generasi penerus bagi keluarga,
masyarakat maupun suatu bangsa. Bagaimana kondisi anak pada saat ini,
sangat menentukan kondisi keluarga, masyarakat dan bangsa di masa
depan. Dengan demikian, apabila anak hidup serba berkecukupan, baik
secara fisik-organis maupun psiko-sosialnya, maka SDM di masa depan
1
2
dapat dipastikan cukup berkualitas. Manusia yang berkualitas, antara lain
memiliki kriteria : cerdas, kreatif, mandiri, berakhlak mulia dan setia kawan.
Hanya dengan SDM yang demikian itu suatu bangsa akan mampu bersaing
dengan bangsa lain dalam era kehidupan global.
Anak akan tumbuh dan berkembang menjadi SDM yang berkualitas,
apabila berbagai kebutuhannya dapat dipenuhi dengan wajar, baik
kebutuhan fisik, emosional maupun sosial. Singgih D. Gunarso (1992)
membagi jenis kebutuhan dasar anak menjadi dua, yaitu kebutuhan
fisiologis-organis dan kebutuhan psikis dan sosial. Kebutuhan fisiologis-
organis adalah kebutuhan pokok, karena terkait langsung dengan
pertumbuhan fisik dan kelangsungan hidup anak. Termasuk ke dalam jenis
kebutuhan ini adalah makan, pakaian, tempat tinggal dan kesehatan. Apabila
kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi, maka akan menyebabkan terjadinya
gangguan pada kondisi fisik dan kesehatan anak. Menurut S.C. Utami
Munandar (1995), perkembangan kecerdasan, kreativitas dan kemandirian
berkaitan erat dan saling menguatkan, yang akan menentukan kualitas
manusia pembangunan di masa depan. Dengan demikian, dampak dari tidak
terpenuhinya kebutuhan fisiologis-organis anak ditandai dengan buruknya
kualitas SDM masa depan, baik secara fisik maupun tingkat kecerdasannya.
Kemudian psikis dan sosial adalah jenis kebutuhan yang berkaitan dengan
perkembangan emosional dan kepribadian anak. Termasuk ke dalam
kebutuhan psikis dan social adalah kebutuhan kasih sayang, rasa aman,
perlindungan, jauh dari perasaan takut, kecemasan, kebebasan menyatakan
3
diri, mengadakan hubungan dengan sesama teman, pergaulan dan harga
diri.
Hal inilah yang terjadi pada anak-anak Indonesia yang orang tuanya
bekerja sebagai buruh kelapa sawit di Sabah, Malaysia Timur. Mereka
melakukan migrasi dari daerah tertinggal yang ada di Indonesia ke wilayah
timur Malaysia hanya untuk mendapatkan penghasilan yang lebih baik agar
mereka dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dengan layak. Pekerjaan
apapun akan mereka ambil demi mencari sesuap nasi. Salah satunya adalah
dengan menjadi buruh kelapa sawit itu. Pekerja kelapa sawit yang
notabenenya diupah dengan gaji yang sedikit dan terikat kontrak antara
sepuluh tahun hingga dua puluh tahun menjadikan imigran tersebut tidak
memiliki pilihan selain tinggal di Negara migrasi selama berpuluh-puluh tahun
dan otomatis mereka berkeluarga hingga memiliki berbagai generasi, hal
inilah yang menyebabkan anak imigran tidak memiliki warga Negara yang
sah, yang mereka tahu hanyalah mereka sebagian dari warga Negara
Malaysia keturunan Indonesia, inilah yang terjadi di Sabah Malaysia Timur,
seperti yang dituturkan oleh Dadang Hermawan selaku Kepala Sekolah
Indonesia Kota Kinabalu.
Pengaruh latar belakang pendidikan orang tua TKI-lah yang
menyebabkan anak kurang dapat mengenyam pendidikan yang selayaknya
dibutuhkan bagi anak Indonesia. Dari sekitar 380 anak yang berada di SIKK,
hampir 90% berasal dari keluarga ekonomi kebawah, dan rata-rata orang tua
mereka bekerja sebagai buruh kelapa sawit. Dadang Hermawan
4
menyebutkan bahwa rata-rata orang tua mereka memang berasal dari etnis
bugis dan flores, dan uniknya lagi mereka berasal dari daerah yang sangat
pelosok sehingga orang tua mereka pun tidak melek akan pendidikan seperti
layaknya orang yang ada di daerah maju. Rata-rata dari orang tua yang ada
di SIKK bernasib sama dengan anak-anaknya, yaitu mereka belum pernah
mengenyam pendidikan, atau bahkan tidak sama sekali mampu membaca
dan menulis. Hal inilah yang menjadi bukti akan kesadaran pentingnya
pendidikan sangat minim sekali, mereka lebih senang jika menyuruh anak
mereka untuk bekerja membantu keluarganya untuk dapat menyambung
hidup sekeluarga.
Faktanya, ada 5 juta TKI Indonesia, baik legal maupun ilegal yang
mengadu nasib di sana. Ironisnya, tak semua anak-anak TKI tersebut punya
kesempatan menimba ilmu di sekolah. Padahal, sebagai generasi penerus
bangsa, anak-anak itu wajib menuntut ilmu setinggi-tingginya. Saat ini,
sekitar 24.199 anak usia sekolah jenjang pendidikan dasar yang terlunta-
lunta. Banyak anak-anak TKI yang berusia sekitar 13 tahun hingga saat ini
tidak dapat membaca (http://ruleerico.blogspot.com/2009/12/24200-anak-tki-
di-malaysia-perlu_2244.html, diakes tanggal 1 Maret 2010).
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Berry (2007)
menyebutkan bahwa masalah yang dialami oleh anak imigran adalah masih
kentalnya budaya dan norma-norma yang dianut oleh imigran dari negara
asalnya, selain itu juga proses akulturasi budaya Negara tujuan
5
menyebabkan anak imigran menemukan banyak kesulitan untuk bisa
bertahan hidup di Negara tujuannya tersebut.
Keberhasilan anak imigran di bidang aka demik juga didukung oleh
adanya kehadiran orang tua, anak imigran yang sukses di sekolah pasti
memiliki orang tua yang bertanggung jawab dalam migrasi keluarga mereka
ke Negara tujuan. Selain itu keahlian, motivasi, dan stimulasi dari orang tua
juga merupakan kunci keberhasilan mengembangkan kesuksesan anak di
Negara tujuan (Card, 2205; Chiswick & DebBurman, 2004; Feliciano, 2001).
Hambatan yang mereka temui yang dapat menyebabkan lemahnya
anak imigran untuk dapat berprestasi di Negara tujuannya yaitu rendahnya
penghasilan yang diterima oleh orangtuanya, kurang mengerti dengan gaya
pengasuhan dari Negara tujuannya, buruknya penguasaan bahasa Negara
migrasi tersebut, dan kurang perhatiannya orang tua pada program
pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah anaknya tersebut (Coll &
Magnuson, 1997).
Anak imigran mungkin akan menghadapi hambatan yang
berhubungan dengan kemiskinan, walaupun beberapa orang tua akan
meminta bantuan kepada saudara terdekat yang memiliki akademis yang
tinggi sebagai factor pendorong dalam kesempatan untuk pendidikan anak-
anak mereka. Untuk orang tua imigran lainnya, pendidikan bertaraf rendah
akan menjadikan factor resiko bagi prestasi anak mereka. Struktur dalam
keluarga akan menambah tingkat kesulitan dengan taraf yang lebih tinggi
6
dari kedua orang tua yang imigran daripada keluarga yang bukan imigran
(Fernandez, 2004).
Menurut perarturan Malaysia tentang ketenaga kerjaan asing,
Malaysia melarang anak tenaga kerja asing illegal bersekolah di sekolah
kebangsaan atau sekolah yang dimiliki pemerintah. Hal ini menyebabkan
seluruh anak buruh yang ada di seluruh Malaysia terancam tidak bisa
mengecap pendidikan. Oleh karena itu banyak sekali dijumpai khususnya di
daerah Sabah anak yang tidak mengenal membaca dan menulis atau buta
aksara. Namun semenjak 17 Maret 2009, pemerintah Indonesia bekerja
sama dengan pemerintah Malaysia menandatangani Joint Statement
mengenai kerja sama antara kedua belah pihak di bidang pendidikan,
dimana Malaysia menyetujui adanya pengadaan lembaga pendidikan resmi
baik formal maupun non-formal di wilayah Sabah, Malaysia Timur.
Dari perjanjian di atas maka pemerintah Indonesia membuka Sekolah
Indonesia Kota Kinabalu yang difokuskan memberikan pelayanan pendidikan
untuk anak Tenaga Kerja Indonesia yang berada di kawasan Sabah.
Berdasarkan SK Mendiknas Tahun 2008 SIKK didirikan dalam rangka
memberikan akses pendidikan terhadap anak-anak Indonesia yang tinggal di
Sabah baik melalui pendidikan Formal maupun Non-Formal. Hal ini
didasarkan data dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia Kota Kinabalu
bahwa anak-anak Indonesia yang berada pada usia sekolah berkisar 24.199
anak. Dari jumlah tersebut sekitar 9.000 telah ditangani melalui NGO
International HUMANA dan unsur-unsur masyarakat yang berada di Sabah-
7
Malaysia (http://www.sikk.edu.my/?page_id=21, diakses pada tanggal 1
Maret 2010).
Namun kendala banyak ditemui ketika sekolah Indonesia kota
kinabalu itu mulai dirintis menurut Dadang Hermawan selaku kepala sekolah
SIKK, salah satunya adalah hampir sekitar 8% dari jumlah keseluruhan siswa
kelas 1 hingga kelas 6 SD mengalami kesulitan dalam membaca, hal ini
sangat berpengaruh terhadap prestasi mereka di sekolah. Dan rata-rata anak
yang kesulitan membaca ini sudah berumur lebih dari 12 tahun atau bahkan
ada yang 15 tahun namun belum bisa merangkai kata dengan benar. Dari
data yang diperoleh kesulitan membaca yang dialami anak SIKK terbagi
menjad dua klasifiasi, yaitu anak yang benar-benar tidak bisa membaca
sama sekali dan anak yang sudah mengenal huruf tapi belum bisa
memahami arti dari bacaan tersebut. Rentang kelasnya sangat bervariasi
sekali antara kelas 3 SD hingga kelas 6 SD.
Faktor social ekonomi keluarga termasuk pemasukan rumah tangga,
pendidikan non-formal, dan struktur keluarga adalah kunci indicator dari
ekonomi dan sumber psikologi sering dihubungkan dengan pendidikan anak
(Foster, 2002; Fotruba-Dr Zal,2006;Yung, Linver dan Brooks- gunn, 2002) ,
selain itu factor social ekonomi keluarga menjadi bagian dari rasa atau etnis
dalam mendapatkan prestasi akademik (Conger et al., 2002; G. Duncan dan
Brooks Gunn, 1997; G. Duncan & Magnuson, 2005; Jeencks & Philips,
1998).
8
Bayangkan saja anak-anak TKI yang berada di perkebunan sawit
membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk dapat sampai ke sekolah
Indonesia, selain itu karena terbatasnya sarana dan prasarana rata-rata
siswa-siswa Sekolah Indonesia tersebut belum mampu membaca ataupun
menulis dengan lancar padahal mereka sudah duduk di bangku kelas 3 SD
(http://www.sikk.edu.my, diakses tanggal 11 Februari 2009). Hal inilah yang
menjadi pokok permasalahan dari siswa siswi yang berada di daerah
terpencil.
Membaca adalah kemampuan yang mutlak dimiliki oleh setiap
manusia. Dengan membaca kita bisa tahu beragam informasi dan wawasan
dari buku, surat kabar, atau media lainnya. Membaca bukanlah sekadar
tentang pengenalan huruf dan kata. Dennison menyebutkan dalam bukunya
Brain Gym in Me (2008), Dennison juga mendefinisikan bahwa membaca
adalah penulisan kembali teks secara aktif dimana pembaca secara
bersamaan menguraikan kata-kata dan mendengarkan dirinya sendiri
bercerita. Membaca adalah satu permainan tebak-tebakan secara terpelajar
dimana pikiran mengantisipasi apa yang akan terjadi, namu menunggu untuk
melihat apakah tebakannya betul. Jika mata, telinga, gerakan dan rasa
sentuhan si pembaca semakin relaks dan terkoordinasi, dia akan semakin
mampu meneliti informasinya untuk mendukung tebakannya. Perhatian
adalah kemampuan pembaca untuk mengetahui kemana ia akan pergi,
sehingga akal sehatnya dapat mendukung perjalanannya dan bukannya
malah menjauhkannya.
9
Dalam risetnya yang dilakukan oleh Dennison (2008), ia
mengemukakan bahwa proses membaca seseorang –bagaimana dia
mempertautkan tubuh, mata, dan telinganya dengan halaman buku- dapat
memengaruhi tidak hanya tingkat stress visualnya, tetapi juga
kemampuannya untuk berkonsentrasi, berpikir, dan mengingat,
mengorganisasikan informasi, atau berkomunikasi dengan orang lain. Lebih
jauh lagi Dennison (2008) menyimpulkan bahwa orang yang tidak
mempunyai keterampilan fisik tertentu dalam membaca dapat mengalami
ketegangan-ketegangan otot –misalnya di leher, bahu, atau pinggul- yang
dapat memengaruhi tingkat gula darah, sistem autoimun, dan bukan
kesehatannya selama hidup.
Secara umum sebab-sebab kurang lancarnya membaca dapat
berasal dari beberapa faktor. Djamarah (2002:201) mengelompokkannya ke
dalam dua kategori, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
adalah faktor penyebab yang berasal dari dalam diri siswa itu sendiri.
Penyebab yang muncul dari dalam diri antara lain bisa bersifat:
1. kognitif (ranah cipta), seperti: rendahnya kapasitas intelektual/
inteligensi siswa,
2. afektif (ranah rasa), seperti: labilnya emosi dan sikap, dan
3. psikomotor (ranah karsa), seperti: terganggunya alat-alat indra
penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga)
10
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar, yang meliputi
semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas
belajar siswa. Faktor lingkungan ini meliputi:
1. lingkungan keluarga, contohnya: kurangnya ketersediaan
waktu orang tua dalam mengarahkan anak untuk dapat belajar
membaca.
2. lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya: jarak
antara rumah dengan sekolah yang jauh dan terbatasnya
fasilitas untuk belajar mengajar.
3. lingkungan sekolah, contohnya: kurangnya guru-guru yang
berkompeten dalam proses belajar mengajar.
Seiring ungkapan yang dikemukakan oleh Peter Kline, penulis The
Everyday Genius bahwa “Learning is most effective when it’s fun” (Dryden &
Jeannette, 2001), maka penelitian ini mencoba memperkenalkan suatu teknik
yang dapat membantu kreativitas guru dalam menciptakan suasana belajar
yang menyenangkan. Menyenangkan dalam hal ini berarti anak berada
dalam keadaan yang sangat rileks, tidak ada sama sekali ketegangan yang
mengancam dirinya baik fisik maupun non fisik. Keadaan tersebut akan
memberikan kenyamanan tersendiri bagi siswa dalam belajar dan akan
melapangkan jalan bagi siswa dalam mendayagunakan seluruh potensi yang
dimilikinya. Dalam kondisi tersebut, situasi belajar akan menjadi kondusif,
siswa akan kerasan tinggal di kelas dan motivasi belajar akan meningkat.
Oleh karena itu dirasa program Brain Gym sangat diperlukan, karena Brain
11
Gym adalah suatu kegiatan yang terdiri dari berbagai macam gerakan
menyenangkan untuk meningkatkan kemampuan belajar seseorang dengan
menggunakan keseluruhan otak. Rangkaian gerakan pada keseluruhan
senam otak dibuat untuk merangsang seluruh bagian otak, baik otak kanan,
otak kiri, otak depan maupun otak belakang secara sinergis
(http://kikil.com/health-center/t-optimalkan-kecerdasan-dengan-brain-gym-
16594.htm).
Senam otak (Brain Gym) ditemukan oleh Paul E.Dennison, Ph.D dan
istrinya Gail E. Dennison sebagai bagian dari Educational-Kinesiology.
Senam otak adalah bagian dari Edu-K yang menekankan gerakan tubuh
untuk menyelaraskan fusngi dan penggunaan otak. Rangkaian gerakan-
gerakan dalam senam otak bisa mengordinasikan tubuh dan otak. Senam
otak terdiri dari beberapa gerakan sederhana yang dapat memudahkan
kegiatan belajar dan mengatasi gangguan-gangguan belajar pada anak.
Gerakan-gerakan dalam senam otak dilakukan dengan intensitas yang cepat
dan menarik sehingga dapat meningkatkan semangat anak setelah
melakukan rangkaian gerakan senam otak ini (Gunadi, 2009).
Kerja sama antara otak kanan dan otak kiri mutlak diperlukan oleh
anak agar potensi dan tumbuh kembang otaknya menjadi optimal.
Menyeimbangkan kinerja belahan otak bukanlah hal yang mustahil. Bila kerja
sama antara otak kiri dan otak kanan kurang baik, gerakan seseorang
cenderung kaku dan terkadang yang mereka katakan berbeda dengan yang
12
mereka maksudkan. Kerja sama otak yang buruk juga dapat menjadi salah
satu penyebab anak mengalami kesulitan membaca dan menulis.
Membaca merupakan salah satu fungsi tertinggi otak manusia.
Secara teoritis, membaca adalah suatu proses rumit yang melibatkan
aktivitas auditif (pendengaran) dan visual (penglihatan), untuk memperoleh
makna dari simbol berupa huruf atau kata. Aktivitas membaca meliputi 2
proses, yaitu proses membaca teknis dan proses memahami bacaan. Proses
memahami bacaan merupakan kemampuan anak untuk menangkap makna
kata yang tercetak. Pada waktu melihat tulisan “adik minum”, anak tahu
bahwa yang minum bukan ayah, atau adik dalam tulisan itu tidak sedang
makan. Penguasaan kosakata sangat penting dalam memahami kata-kata
dalam bacaan (Grainger, 2003). Dalam buku yang dikarang oleh Denisson
mengenai Brain Gym, ia menyampaikan bahwa ada beberapa gerakan yang
memang ditujukan untuk membaca yaitu pompa betis, lambaian kaki, dan
pasang kuda-kuda, hal ini bertujuan untuk memusatkan perhatian melibatkan
antisipasi dan internalisasi bahasa.
Upaya-upaya dalam menuntaskan buta huruf pada anak yang
bermasalah ini sudah sering dilakukan. Salah satunya adalah dengan cara
pengayaan yang dilakukan oleh guru-guru setelah jam pelajaran berakhir,
namun tetap saja ada kendala yang berarti. Yang menjadi penyebab adalah
phoneme yang dipakai di Malaysia mengacu pada bahasa Inggris, seperti
abjad A mereka sebut Ai, B mereka sebut Bi, dan sebagainya. Mereka
terbiasa memakai phoneme Negara mereka tinggal sebagai bahasa sehari-
13
hari mereka. Dan ini sangat menyulitkan murid-murid untuk dapat belajar
membaca. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah gerakan-
gerakan Brain Gym ini dapat memengaruhi pemahaman anak dalam
membaca.
Berdasarkan dari uraian di atas, maka rumusan masalah yang peneliti
ajukan adalah apakah ada pengaruh antara pelatihan Brain Gym dengan
pemahaman membaca pada murid Sekolah Indonesia Kota Kinabalu. Oleh
karena itu maka pnelitian ini berjudul “Pengaruh Pelatihan Brain Gym
terhadap pemahaman membaca pada anak kelas 4 hingga 6 SD Sekolah
Indonesia Kota Kinabalu”.
B. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh pelatihan Brain Gym terhadap
pemahaman membaca pada anak kelas 4 hingga 6 SD Sekolah Indonesia
Kota Kinabalu.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis :
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pengetahuan pada umumnya, dan
pengembangan pengetahuan yang sejenis khususnya
14
yang berhubungan dengan psikologi perkembangan dan
psikologi pendidikan.
b. Dapat memberikan sumbangan pengetahuan untuk
berbagai macam jenis upaya-upaya terapi dalam
mengatasi kesulitan membaca.
2. Manfaat Praktis :
a. Bagi orang tua, sebagai panduan untuk memberikan
latihan senam otak yang dapat mengoptimalkan
kecerdasan anak yang dapat diaplikasikan di rumah.
b. Bagi pendidik, sebagai bantuan atau alternative dalam
mengatasi masalah kesulitan membaca yang sering
dialami oleh sekolah-sekolah terpencil.
c. Bagi masyarakat, sebagai informasi untuk
menyeimbangkan antara otak kanan dengan otak kiri.
D. Keaslian Penelitian
Penelitian BrainGym yang menunjang kemampuan akademik telah
banyak dilakukan, seperti kemampuan berhitung, A Study on Brain
Gym® and Its Effects on Mathematics : “Creating a Win-Win Situation in
a Canadian Grade School.” Liz Jones Twomey, Ontario, Canada.
[Between 1997 and 2000, mathematics scores went from 33 percent to
92 percent.] From Brain Gym® Journal, Nov. 2002, Volume XVI, No. 3.
Karena proses belajar selalu melibatkan proses kognitif, maka penelitian
15
Brain Gym® juga telah dilakukan untuk meningkatkan daya ingat.
Penelitian tentang “Pengaruh BrainGym® untuk Meningkatkan Daya
Ingat Siswa Taman Kanak-kanak” Pratiwi, 2008, telah memberikan hasil
adanya peningkatan perhatian dan respon yang lebih cepat serta
peningkatan kemampuan untuk menangani kompleksitas aktivitas belajar.
Penelitian mengenai Pengaruh Brain gym® terhadap pemahaman
membaca pernah dilakukan di Luar Negeri, yaitu salah satunya yang
diteliti oleh Stacey P. Bundens (2000) dengan judul brain gym and its
effect on the reading comprehension of third grade students with learning
disabilities, dengan 14 subjek yang mengalami kesulitan belajar, dan
hasilnya ditemukan bahwa ada pengaruh antara pemberian gerakan
brain gym terhadap pemahaman membaca pada anak yang mengalami
gangguan belajar.
Selain itu di dalam negeri sendiri pernah diteliti mengenai
pengaruh Brain Gym terhadap kecakapan Berhitung pada anak Sekolah
Dasar yang diteliti oleh Prihastuti (2006), dan hasilnya ditemukan bahwa
efek pemberian perlakuan Brain Gym pada siswa Kelas 3 SD Percobaan
2 Depok Kabupaten Sleman Yogyakarta cukup efektif.
1. Keaslian topik
Sebelumnya pernah dilakukan penelitian mengenai
pemahaman dalam membaca yang pernah dilakukan oleh
P. Bundens yang dilakukan pada tahun 2002, dengan
judul brain gym and its effect on the reading
16
comprehension of third grade students with learning
disabilities. Jadi topic penelitian yang penulis lakukan
adalah replikasi dari penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya.
2. Keaslian teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini berbeda dengan
penelitian yang ada sebelumnya, dimana disini penulis
menggunakan teori pemahaman membaca dari Allyn dan
Bacon. Jadi teori penelitian ini dapat dikatakan asli.
3. Keaslian alat ukur
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur pemahaman
membaca adalah dengan menggunakan tes kemampuan
membaca pemahaman. Alat ukur ini merupakan alat ukur
yang bersifat modifikasi, dimana tes terdahulunya pernah
diuji cobakan oleh Eva Agustina pada anak kelas VI SD
Kudus.
4. Keaslian subjek penelitian
Karakteristik subjek dalam penilitian ini belum pernah di
teliti sebelumnya, karena pada penelitian ini mengambil
subjek murid kelas 4 hingga 6 SD yang mengalami
gangguan dalam memahami bacaan yang berada di SIKK
Malaysia, maka dapat dikatakan subjek dalam penelitian
ini adalah asli.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PEMAHAMAN MEMBACA
I. Definisi Pemahaman Membaca
Berkembangnya beraneka ragam pengertian membaca
dilatarbelakangi oleh dua hal yaitu suatu kenyataan bahwa membaca adalah
sesuatu yang rumit dan faktor teori atau pendekatan yang digunakan (Oka,
1983:13). Sedangkan penganut teori persepsi menganggap membaca
sebagai mempersepsi yaitu memberikan respon bermakna kepada simbol-
simbol grafis yang telah dikenal. Pendapat dari sisi linguistik juga
menjelaskan bahwa membaca adalah suatu proses penyandian kembali dan
pembacaan sandi (a recording dan decoding process). Pembacaan sandi
(decoding) adalah menghubungkan kata-kata tulis (written word) dengan
makna bahasa lisan (oral language meaning) yang mencakup pengubahan
tulisan atau cetakan menjadi bunyi yang bermakna (Anderson dan Tarigan,
1994:7).
Membaca pun dapat diartikan suatu metode yang dipergunakan untuk
berkomunikasi dengan diri sendiri dan kadang-kadang dengan orang lain,
1
18
yaitu mengkomunikasikan makna yang terkandung atau tersirat pada
lambanglambang tertulis. Kemampuan untuk melihat lambang-lambang
tertulis dan mengubahnya adalah melalui fonik agar membaca lisan phonics-
suatu metode pengajaran membaca, ucapan ejaan berdasarkan interpretasi
fonetik terhadap ejaan biasa) ( Anderson dan Tarigan, 1994:8).
Membaca pada hakikatnya adalah suatu yang rumit yang melibatkan
banyak hal, tidak hanya sekedar melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan
aktivitas visual, berpikir, psikolinguistik, dan metakognitif. Sebagai proses
visual membaca merupakan proses menerjemahkan symbol tulis (huruf) ke
dalam kata-kata lisan. Sebagai suatu proses berpikir, membaca mencakup
aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis,
dan pemahaman kreatif. Pengenalan kata bisa berupa aktivtas membaca
kata-kata dengan menggunakan kamus (Crawley dan Mountain, 1995).
Membaca (reading) adalah kemampuan untuk memahami diskursus
tertulis. Membaca membutuhkan penguasaan aturan dasar dalam fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantic. Anak yang kemampuan tata bahasanya
buruk, baik dalam konteks bicara atau mendengar dan tidak memahami apa
maksud dari ucapan “mobil itu diseruduk oleh truk”, maka ia juga tidak akan
memahami maknanya ketika pernyataan itu dalam bentuk tulisan. Apabila
anak tidak bisa menentukan kepada siapa acuan dari suatu kata ganti, maka
ia tak akan mampu memperoleh pemahaman dari membaca (Santrock,
2004).
19
Tiga istilah sering digunakan untuk memberikan komponen dasar dari
proses membaca, yaitu recording, decoding, dan meaning. Recording
merujuk pada kata-kata dan kalimat, kemudian mengasosiasikannya dengan
bunyi-bunyinya sesuai dengan sistem tulisan yang digunakan, sedangkan
proses decoding (penyandian) merujuk pada proses penerjemahan
rangkaian grafis ke dalam kata-kata. Proses recording dan decoding
biasanya berlangsung pada kelas-kelas awal, yaitu SD kelas (I, II, dan III)
yang dikenal dengan istilah membaca permulaan. Penekanan membaca
pada tahap ini ialah proses perceptual, yaitu pengenalan korespondensi
rangkaian huruf dengan bunyi-bunyi bahasa. Sementara itu proses
memahami makana (meaning) lebih ditekankan di kelas-kelas tinggi SD
(Syafi`ie, 1999).
Di samping keterampilan decoding, pembaca juga harus memiliki
keterampilan memahami makna (meaning). Pemahaman makna berlangsung
melalui berbagai tingkat, mulai dari tingkat pemahaman literal sampai kepada
pemahaman interpretative, kreatif, dan evaluative. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa membaca merupakan gabungan proses perseptual dan
kognitif, seperti dikemukakan oleh Crawley dan Mountain (1995).
Menurut pandangan tersebut, membaca sebagai proses visual
merupakan proses menerjemahkan symbol tulis ke dalam bunyi. Sebagai
suatu proses berpikir, membaca mencakup pengenalan kata, pemahaman
literal, interpretasi, membaca kritis (critical reading), dan membaca kreatif
(creative reading). Membaca sebagai proses linguistic, schemata pembaca
20
membantunya membangun makna, sedangkan fonologis, semantic, dan fitur
sintaksis membantunya mengkomunikasikan dan menginterpretasikan
pesan-pesan. Proses metakognitif melibatkan perencanaan, pembetulan
suatu strategi, pemonitoran, dan pengevaluasian. Pembaca pada tahap ini
mengidentifikasi tugas membaca untuk membentuk strategi membaca yang
sesuai, memonitor pemahamannya, dan menilai hasilnya.
Sedangkan Klein, dkk. (1996) mengemukakan bahwa definisi
membaca mencakup (1) membaca merupakan suatu proses, (2) membaca
adalah strategis, dan (3) membaca merupakan interaktif. Membaca
merupakan suatu proses dimaksudkan informasi dari teks dan pengetahuan
yang dimiliki oleh pembaca mempunyai peranan yang utama dalam
membentuk makna.
Membaca juga merupakan suatu strategis. Pembaca yang efektif
menggunakan berbagai strategi membaca yang sesuai dengan teks dan
konteks dalam rangka mengkonstruk makna ketika membaca. Strategi ini
bervariasi sesuai dengan jenis teks dan tujuan membaca.
Membaca adalah interaktif. Keterlibatan pembaca dengan teks
tergantung pada konteks. Orang yang senang membaca suatu teks yang
bermanfaat, akan menemui beberapa tujuan yang ingin dicapainya, teks
yang dibaca seseorang harus mudah dipahami (readable) sehingga terjadi
interaksi antara pembaca dan teks.
Membaca dapat pula dianggap sebagai suatu proses untuk
memahami yang tersirat dari yang tersurat, melihat pikiran yang terkandung
21
dalam kata-kata yang tertulis. Tingkatan hubungan antara makna yang
hendak dikemukakan oleh penulis demgan interpretasi pembaca turut
menentukan kecepatan membaca pula. Makna bacaan tidak terletak pada
halaman tertulis tetapi berada pada pikiran pembaca (Tarigan, 1994:8).
Membaca pemahaman adalah merupakan sejenis membaca yang
bertujuan untuk memahami menurut cara dalam Wiryodijoyo (1989 : 1),
membaca pemahaman adalah 2 tingkat proses penerjemahan dan
pemahaman, pengarang menulis kode dan pembaca mengartikan kode.
Sedangkan menurut Zints dalam Wiryodijoyo (1989 : 11) adalah
kemampuan menerjemahkan kata-kata penulis sehingga menimbulkan
pikiran pikiran atau ide-ide yang berguna bagi pembaca, seperti yang
terkandung dalam bacaan.
Pada bagian terdahulu telah disebutkan bahwa ada banyak definisi
membaca. Namun untuk pembahasan selanjutnya, pengertian membaca dan
pemahaman membaca akan dibahas dari sudut pandang sistem pengolahan
kognitif. Berdasarkan sudut pandang ini, proses membaca dijabarkan
sebagai usaha untuk memperoleh makna bacaan yang diarahkan oleh: (a)
pengetahuan seseorang yang telah disimpan dalam ingatan jangka
panjangnya, dan (b) informasi yang didapat dari bacaan.
Menurut RAND, institusi non-profit yang membantu dalam penelitian-
penelitian ilmiah di Amerika menyebutkan bahwa, pemahaman membaca
atau reading comprehension adalah proses stimulant dimana terjadi
22
penambahan dan pembentukan arti melalui interaksi dan keterlibatan pada
bahasa tulisan (Snow, 2002, p. 11).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa membaca pemahaman
adalah suatu proses membaca yang bertujuan untuk memahami ide-ide
bacaan. Jadi dalam kegiatan ini pembaca tidak hanya dituntut untuk tahu isi
bacaan namun memahami isi bacaan, memahami artinya mengerti, mampu
menafsirkan, menganalisis, mengartikan dan meramalkan atau
mengevaluasi.
II. Aspek-aspek Pemahaman Membaca
Keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehension skills) yang
dapat dianggap berada pada urutan yang lebih tinggi (high order). Aspek ini
mencakup :
1. Memahami pengertian sederhana (leksikal, gramatikal,
retorikal);
2. Memahami signifikansi atau makna ( a. l. maksud dari
tujuan pengarang, relevansi/keadaan kebudayaan, dan
reaksi pembaca).
3. Evaluasi atau penilaian (isi, bentuk);
4. Kecepatan membaca yang fleksibel, yang mudah
disesuaikan dengan keadaan (Broughton dalam Tarigan,
1994).
23
Ada dua aspek penting dalam membaca pemahaman, yaitu aspek
struktural dan aspek fungsional. Aspek struktural akan diperkuat bila
seseorang memiliki pengetahuan awal (prior knowledge) yang berkaitan erat
dengan topik bacaan. Misal seorang penggemar dan pemain sepak bola
akan mudah sekali memahami bacaan mengenai olahraga sepak bola.
Aspek fungsional akan diperkuat bila seseorang memiliki sasaran dalam
membaca dan trampil menggunakan aneka variasi strategi membaca. Aspek
struktural dan fungsional akan meningkat dengan bertambahnya usia anak.
Anak yang lebih tua akan lebih baik pemahaman bacaannya sebab mereka
memiliki pengetahuan awal yang lebih sistematis, kerangka pikir jenis bacaan
yang beraneka ragam dan pengetahuan strategi membaca yang lebih
lengkap (Allyn & Bacon, 2002).
Pada dasarnya kegiatan membaca terdiri atas dua bagian, yaitu
proses dan produk (Syafie`ie, 1993, Burns dkk., 1996). Proses membaca
mencakup sembilan aspek untuk menghasilkan produk.
a. Proses Membaca
Membaca merupakan proses yang kompleks. Proses ini
melibatkan jumlah kegiatan fisik dan mental. Menurut Burns
dkk. (1977:7), proses membaca terdiri dari sembilan aspek
yaitu sensori, perseptual, urutan, pengalaman, pikiran,
pembelajaran, asosiasi, sikap, dan gagasan.
24
1) Proses membaca dimulai dengan sensori visual
yang diperoleh melalui ungkapan simbol-simbol
grafis melalui indra penglihatan.
2) Kegiatan berikutnya adalah tindakan perseptual,
yaitu aktivitas mengenal suatu kata sampai pada
suatu makna berdasarkan pengalaman yang lalu.
Kegiatan persepsi melibatkan kesan sensori yang
masuk ke otak, ketika seseorang membaca otak
menerima gambaran kata-kata, kemudian
mengungkapkannya dari halaman cetak
berdasarkan pengalaman pembaca sebelumnya.
3) Aspek urutan dalam proses membaca merupakan
kegiatan mengikuti rangkaian tulisan yang tersusun
secara linear, yang umumnya tampil pada satu
halaman dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah
(Burns dkk., 1996).
4) Pengalaman merupakan aspek penting dalam
proses membaca. Anak-anak yang mempunyai
pengalaman yang banyak akan mempunyai
kesempatan yang lebih luas dalam mengembangkan
pemahaman kosa kata dan konsep yang mereka
hadapi dalam membaca dibandingkan dengan anak-
anak yang mempunyai pengalaman terbatas.
25
5) Membaca merupakan proses berpikir. Untuk dapat
memahami bacaan, pembaca terlebih dahulu harus
memahami kata-kata dan kalimat yang dihadapinya
melalui proses asosiasi dan eksperimental
sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
6) Mengenal hubungan antara simbol dengan bunyi
bahasa dan makna merupakan aspek asosiasi
dalam membaca. Anak-anak belajar
menghubungkan simbol-simbol grafis dengan bunyi
bahasa dan makna.
7) Aspek afektif merupakan proses membaca yang
berkenaan dengan kegiatan memusatkan perhatian,
membangkitkan kegemaran membaca, dan
menumbuhkan motivasi membaca ketika sedang
membaca (Burns dkk., 1996).
8) Aspek pembelajaran hendaknya dapat dilakukan
oleh guru dengan cara membimbing siswanya
dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
memungkinkan mereka bisa meningkatkan
kemampuan berpikirnya.
9) Aspek kesembilan adalah aspek pemberian
gagasan. Aspek gagasan dimulai dengan
penggunaan sensori dan perseptual dengan latar
26
belakang pengalaman dan tanggapan afektif serta
membangun makna teks yang dibacanya secara
pribadi. Makna dibangun berdasarkan pada teks
yang dibacanya, tetapi tidak seluruhnya ditemui
dalam teks.
b. Produk Membaca
Produk membaca merupakan komunikasi dari pemikiran dan
emosi antara penulis dan pembaca. Komunikasi juga bisa
terjadi dari konstruksi pembaca melalui intergasi pengetahuan
yang telah dimiliki pembaca dengan informasi yang disajikan
dalam teks.
Lebih lanjut Burns, dkk. (1996) mengemukakan bahwa strategi
pengenalan kata, sebagian bagian dari aspek asosiasi dalam
proses membaca merupakan sesuatu yang esensial.
Pemahaman membaca tidak hanya berupa aktivitas menyadi
(decoding) simbol-simbol ke dalam bunyi bahasa, tetapi juga
membangun (construct) makna ketika berinteraksi dengan
halaman cetak.
Di samping kemampuan yang dituntut dalam melaksanakan
kegiatan, berbagai aspek proses membaca pun harus dipenuhi
oleh pembaca. Aspek kesembilan akan diperoleh apabila
aspek-aspek proses membaca yang lain telah bekerja secara
harmonis.
27
III. Faktor-faktor yang mempengaruhi Pemahaman Membaca
Banyak faktor yang memengaruhi kemampuan membaca, baik
membaca permulaan maupun membaca lanjut (membaca pemahaman).
Faktor-faktor yang memengaruhi membaca permulaan menurut Lamb dan
Arnold (1976) ialah faktor fisiologis, intelektual, lingkungan dan psikologis.
a. Faktor fisiologis
Faktor fisiologis mencakup kesehatan fisik, pertimbangan
neurologis, dan jenis kelamin. Kelelahan juga merupakan
kondisi yang tidak menguntungkan bagi anak untuk
belajar, khususnya belajar membaca. Beberapa ahli
mengemukakan bahwa keterbatasan neurologis dan
kekurang matangan secara fisik merupakan salah satu
faktor yang dapat menyebabkan anak gagal dalam
meningkatkan kemampuan membaca pemahaman
mereka. dalam hal ini jika penulis melakukan observasi
pada tahap awal, kondisi fisik subjek tidak begitu menjadi
masalah, mereka terlihat normal dan tidak ada gangguan
yang berarti dari segi fisiologis.
Walaupun tidak mempunyai gangguan pada alat
penglihatannya, beberapa anak mengalami kesukaran
belajar membaca. Hal itu dapat terjadi karena belum
berkembangnya kemampuan mereka dalam membedakan
28
symbol-simbol cetakan, seperti huruf-huruf, angka, dan
kata-kata.
b. Faktor intelektual
Istilah inteligensi didefinisikan oleh Heinz sebagai suatu
kegiatan berpikir yang terdiri dari pemahaman yang
esensial tentang situasi yang dberikan dan meresponnya
secara tepat (Page, dkk., 1980).
Penelitian Ehansky (1963) dan Muehl dan Forell (1973)
yang dikutip oleh Harris dan Sipay (1980) menunjukkan
bahwa secara umum ada hubungan positif antara
kecerdasan yang diindikasikan oleh IQ dengan rata-rata
peningkatan remedial membaca.
c. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga memengaruhi kemajuan
kemampuan membaca siswa. Faktor lingkungan itu
mencakup (1) latar belakang dan pengalaman siswa di
rumah, dan (2) social ekonomi keluarga siswa.
Lingkungan dapat membentuk pribadi, sikap, nilai dan
kemampuan bahasa anak. Kondisi di rumah memengaruhi
pribadi dan penyesuaian diri anak dalam masyarakat.
Kondisi itu pada gilirannya dapat membantu anak, dan
dapat juga menghalangi anak belajar membaca. Dalam
kaitannya dengan subjek pada penelitian ini, kurangnya
29
perhatian orang tua terhadap anaknya mengakibatkan
anak kurang mendapat stimulasi pendidikan yang
mempengaruhi hidup subjek selanjutnya selain itu latar
belakang tempat tinggal mereka yang jauh dari pusat kota
menjadi penghambat mereka dalam mendapatkan
pendidikan. Oleh karena itu, tak heran 9 orang dalam
subjek ini sudah berumur 15 tahun tetapi belum bisa
memahami arti dari suatu bacaan.
d. Faktor psikologis
Motivasi siswa, minat membaca, dan kematangan social,
emosi, dan penyesuaian diri menjadi faktor penting dalam
memengaruhi kemajuan kemampuan membaca atau
memahami bacaan anak.
Pemahaman kita terhadap apa yang dibaca bergantung kepada
sejumlah kemampuan, kemampuan yang dimaksud adalah (Sternberg, 2006)
a. Kemampuan dalam mengakses makna kata-kata, entah
dari memori atau berdasarkan konteks.
b. Kemampuan dalam mengambil makna ide kunci dari apa
yang kita baca.
c. Kemampuan dalam pembentukan model-model mental
yang mensimulasikan situasi-situasi tertentu yang kita
baca.
30
d. Kemampuan dalam melakukan penyaringan informasi
kunci dari teks, berdasarkan konteks yang kita baca dan
mengenai cara-cara yang ingin digunakan dari apa yang
kita baca.
III. Perkembangan Membaca pada Anak
Ada enam tingkatan-tingkatan kemampuan membaca anak berdasarkan usia
dan pengalaman pendidikannya, yaitu:
1. Tingkatan 0: Pre-Reading dan pseudo-reading (usia < 6 tahun)
Biasanya pada tingkatan ini anak-anak sering dibacakan buku
cerita oleh orang tuanya, sehingga anak terbiasa mengenali
huruf-huruf.
Mampu memahami buku yang berisi cerita bergambar yang
sangat sederhana, tetapi belum memahami apa yang
dibacanya.
2. Tingkatan 1: Membaca awal (initial reading) dan decoding (usia 6-
7 tahun)
Dapat menghubungkan antara suara dengan huruf.
Sudah bisa membaca buku dengan teks yang sederhana da
pendek.
3. Tingkatan 2: Konfirmasi dan kelancaran (usia 7-8 tahun)
Peningkatan perbendaharaan kata
31
Membaca buku dengan kompleksitas yang lebih tinggi dari
sebelumnya
4. Tingkatan 3: Membaca untuk belajar (9-14 tahun)
Pemahaman melalui pendengaran lebih bagus daripada
pemahaman lewat membaca
Lebih senang membaca sesuai dengan minat dan hobi anak
5. Tingkatan 4: Kompleksitas (usia 14-17 tahun)
Mampu membaca buku yang lebih kompleks dalam sudut
pandang dan bentuk yang beragam.
Kemampuan dalam membaca meningkat
6. Tingkatan 5: Konstruksi dan rekonstruksi (usia 18 tahun ke atas)
Mampu mengembangkan membacanya untuk tujuan mereka
sendiri.
Mengembangkan kemampuan membaca dengan membuat
tulisan, esai, bahkan buku sendiri.
B. BRAIN GYM®
I. Metode Brain Gym®
Brain Gym® adalah serangkaian gerak sederhana yang
menyenangkan dan digunakan para murid di Educational Kinesiology
(Edu-K) untuk meningkatkan kemampuan belajar mereka dengan
menggunakan keseluruhan otak (Paul & Gail, 2004:3). Gerakan-
gerakan ini membuat ini membuat segala macam pelajaran menjadi
32
lebih mudah, dan terutama sangan bermanfaat bagi kemampuan
akademik. Kata Education berasal dari kata Latin educare, yang
berarti “menarik keluar.” Kinesiology dikutip dari Bahasa Yunani
KinesisI, berarti gerakan” dan nerupakan pelajaran gerakan tubuh
manusia. Edu-K adalah suatu sistem yang memberdayakan semua
orang yang belajar, tanpa batas umur, dengan menggunakan aktivitas
gerakan-gerakan untuk menarik keluar seluruh potensi seseorang.
Biasanya pendidik mengatasi kegagalan dengan membuat
program untuk lebih memotivasi, menekankan, mengulang-ulang, dan
“memaksa” belajar. Program ini berhasil sampai tingkat tertentu.
Tetapi mengapa beberapa pelajar bisa melakukan dengan baik
sementara yang lainnya tidak? Orang mencoba terlalu keras dan
mematikan (“switch off”) mekanisme integrasi otak yang diperlikan
untuk menyerap pelajaran secara keseluruhan. Informasi diterima
oleh otak bagian belakang sebagai pesan (impress), tetapi tidak
dapat diungkapkan oleh otak bagian depan (express).
Ketidakmampuan untuk menerangkan apa yang sudah dipelajari
menyebabkan pelajar terperangkap dalam sindrom kegagalan.
Jalan keluarnya adalah belajar dengan seluruh otak, melalui
pembaruan pola bergerak dan kegiatan Brain Gym® sehingga pelajat
dapat menguasai juga bagian-bagian otak yang sebelimnya
terhambat. Perubahan belajar dan perilaku kadang-kadanf amat
cepat dan mendalam, karena para pelajar menemukan cara untuk
33
menerima informasi dan pada saat yang sama dapat mengungkapkan
diri.
Olahraga adalah kegiatan nyata. Kita tidak akan menjadi
sehat dengan membaca buku saja- walaupun itu dapat membantu
kita secara teori. Buzan dalam (Gordon dan Jeannette, 2003:231)
menyarankan, “Pastikan bahwa nak-anak sedini mungkin
mendapatkan latihan sebanyak yang mereka inginkan, yang
mengandung sebanyak mungkin aktivitas fisik: tangan, kaki,
merangkak dan memanjat. Biarkan ia membuat kesal;ahannya
sehignga ia belajar dengan cara coba-coba.
Anak-anak belajar paling cepat dari pengalaman indrawi.
Olahraga sederhana dapat menumbuhkan semangat belajar pada
anak (Gordon dan Jeannette, 2003:226). Palmer mantan presiden
Masyarakat Pembelajaran Dan Pengajaran Cepat dalam (Gordon dan
Jeannette, 2003:237) menyarankan memberikan aktifitas-aktifitas
stimulasi yang didesain untuk mengaktifkan bagian-bagian otak yang
akan meningkatkan indra penglihatan, perasa, pendengaran- sebaik
kemampuan mereka menyerap pengatahuan.
II. Hakikat Brain Gym®
BrainGym dikenal sebagai pendekatan unik dalam bidang
pendidikan yang pertama kali diciptakan oleh Paul E. Dennison, Ph.D.
BrainGym adalah serangkaian gerak sederhana yang menyenangkan
dan digunakan oleh para murid di Educational Kinesiologi (Edu-K)
34
untuk meningkatkan kemampuan belajar mereka dengan
menggunakan keseluruhan otak. BrainGym bermanfaat pula untuk
melatih fungsi keseimbangan dengan merangsang beberapa bagian
otak yang mengaturnya. Seperti dijelaskan Paul E. Dennison, Ph.D,
otak manusia, seperti halogram, terdiri dari tiga dimensi dengan
bagian-bagian yang saling berhubungan sebagai satu kesatuan. Akan
tetapi, otak manusia juga spesifik tugasnya di mana ketiga dimensi
tersebut dalam aplikasi gerakan BrainGym disebut dengan istilah
dimensi Lateralitas, dimensi Pemfokusan serta dimensi Pemusatan.
Fungsi gerakan BrainGym yang terkait dengan 3 dimensi otak
tersebut adalah untuk (1) menstimulasi dimensi lateralitas; (2)
meringankan dimensi pemfokusan; dan (3) merelaksasikan dimensi
Pemusatan (Dennison and Dennison, 2005).
Dimensi lateralitas terkait belahan otak kiri dan kanan.
Dimensi lateralitas akan menjelaskan kegiatan yang berhubungan
dengan komunikasi. Mengingat otak sebagai pusat kegiatan tubuh
yang akan mengaktifkan seluruh organ dan sistem tubuh melalui
pesan-pesan yang disampaikan melewati serabut syaraf secara sadar
maupun tidak sadar (Demuth, 2005), maka dalam hal ini belahan otak
kiri akan aktif jika sisi kanan tubuh digerakkan dan belahan otak
kanan akan aktif apabila sisi kiri tubuh digerakkan. Sifat ini
memungkinkan munculnya dominasi salah satu sisi.
35
Upaya untuk mengintegrasikan kedua sisi tubuh (bilateral
integration) perlu selalu diupayakan agar kedua belahan otak bisa
bekerjasama dengan baik. Dalam upaya ini, program BrainGym®
mengenalkan keterampilan yang berupa gerakan-gerakan yang dapat
menstimulasi koordinasi kedua belahan otak & mengintegrasikan dua
sisi tubuh bekerjasama dengan baik. Serangkaian gerakan tersebut
dikenal sebagai gerakan “menyeberang garis tengah”. Keterampilan
melakukan gerakan ini akan merupakan kemampuan dasar
kesuksesan akademik & sebaliknya ketidakmampuan untuk
melakukan gerakan ini akan mengakibatkan apa yang disebut
“ketidakmampuan belajar” (learning disabled) atau “disleksia”.
Dimensi Pemfokusan terkait dengan bagian belakang otak (batang
otak atau brainstem) dan bagian depan otak (frontal lobes). Dimensi
pemfokusan akan menjelaskan kegiatan yang terkait dengan
pemahaman. Hambatan yang terjadi pada bagian ini akan
menghasilkan seseorang mengalami ketidakmampuan
mengekspresikan diri dengan mudah dan ketidakmampuan ikut aktif
dalam proses belajar. Anak-anak yang mengalami underfocused akan
mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian, sehingga sering
dikenal dengan sebutan “kurang perhatian”:“kurang pengertian”;
“terlambat bicara” atau “hiperaktif”. Sementara, anakanak yang
“overfocused” akan mengalami fokus-berlebihan & berusaha terlalu
keras. Gerakan-gerakan yang membantu melepaskan hambatan
36
fokus dikenal sebagai gerakan “meregangkan otot”. Dimensi
Pemusatan terkait dengan sistem limbis (midbrain) dan otak besar
(cerebral cortex).
Dimensi ini menjelaskan kegiatan yang berhubungan dengan
pengorganisasian dan pengaturan. Jika terjadi hambatan pada
dimensi ini, orang akan mengalami kurang dapat konsentrasi, kurang
percaya diri, penakut, mengabaikan perasaan. Gerakan yang dapat
membantu mengatasi hambatan ini adalah gerakan-gerakan
“meningkatkan energi”. Dengan melakukan gerakan-gerakan
meningkatkan energi maka hubungan elektrik dapat diaktifkan
sehingga jaringan jalur syaraf yang memberikan informasi dari badan
ke otak atau sebaliknya dapat berfungsi baik. Juga hubungan otak
bagian bawah (sistem limbis untuk informasi emosional dengan otak
besar (cerebral cortex) tempat berpikir abstrak dapat diaktifkan.
C. Pengaruh Brain Gym® Terhadap Pemahaman Membaca
Otak memegang peranan yang sangat penting bagi kelangsungan
hidup manusia. Karena, organ yang beratnya 1400 gram dan memiliki
volume sekitar 230 cm3 ini merupakan pusat pengendali berbagai aktivitas
fisik maupun mental. Boleh dibilang, sistem kerja organ yang satu ini
memang begitu kompleks.
Otak itu sendiri merupakan kumpulan jaringan syaraf yang terlindungi
di dalam tengkorak. Jaringan syaraf yang tersusun dari bermilyar-milyar
37
neuron (sel syaraf) ini terbagi menjadi dua, yakni otak besar (serebrum)
yang terdiri dari belahan otak kanan dan kiri dan otak kecil (serebelum).
Otak juga memiliki sistem komunikasi yang dapat bereaksi cepat
dalam mengorganisasikan dan merencanakan respons terhadap informasi
atau rangsangan yang masuk. Ketika informasi masuk, neuron (kesatuan
syaraf) akan "menelepon" neuron lainnya, "temannya". Mula-mula pesan
akan diterima oleh dendrit (serabut pada neuron). Lalu, impuls pesan
tersebut disalurkan melalui "kabel telepon", yakni sepanjang akson (bagian
dari neuron yang menyerupai batang). Selanjutnya, akson akan meneruskan
impuls ke sinaps, yakni serabut yang merupakan tempat pertemuan antar-
neuron yang hendak menyampaikan impuls pada neuron lain. Dari sinaps,
pesan berpindah ke dendrit yang terdapat pada neuron lain. Proses
penyampaian pesan seperti ini akan membentuk respons, ingatan atau
pikiran seseorang.
Masalahnya, seringkali informasi yang diterima otak tidak dapat
diekspresikan kembali secara utuh. Ketidakmampuan untuk mengungkapkan
apa yang telah dipelajari akan menimbulkan perasaan gagal dan stres,
sehingga semangat belajar anak didik pun berkurang. Bila ia kurang belajar,
tentu prestasinya akan kian merosot dan perasaan gagal akan terus
mendera. Karena itulah, otak anak didik perlu juga diajak bersenam.
Senam otak bertujuan untuk mengaktifkan potensi belahan otak
(hemisfer) kanan dan kiri, sehingga pada akhirnya terjadi integrasi atau kerja
sama antar keduanya. Secara garis besar, hemisfer kiri digunakan untuk
38
berpikir logis dan rasional, menganalisa, bicara, serta berorientasi pada
waktu dan hal-hal yang terinci. Sementara hemisfer kanan digunakan untuk
hal-hal yang intuitif, merasakan, bermusik, menari, kreatif, dan sebagainya.
Selain itu hemisfer kiri akan mengatur badan, mata dan telinga kanan, serta
hemisfer kanan akan mengontrol badan, mata dan telinga kiri. Nah, kedua
hemisfer ini "disambung" dengan corpus callosum, yakni simpul saraf
kompleks dimana terjadi transmisi informasi antar-belahan otak. Bila sirkuit-
sirkuit informasi dari kedua belahan otak cepat menyilang, maka
kemampuan belajar anak bisa "dibangkitkan". Untuk membaca dengan
lancar, menulis dengan benar, mendengarkan dan berpikir pada saat yang
sama, kita memang harus mampu "menyeberang garis tengah" yang
menghubungkan otak bagian kiri dan kanan. Itu sebabnya, anak yang
disleksia (kesulitan membaca), disgrafia (kesulitan menulis), tidak percaya
diri, cenderung menarik diri dari pergaulan, atau hiperaktif terlalu aktif),
dapat juga "diaktifkan" melalui senam otak ini.
Penelitian BrainGym yang menunjang kemampuan akademik telah
banyak dilakukan, seperti kemampuan berhitung, A Study on Brain Gym®
and Its Effects on Mathematics : “Creating a Win-Win Situation in a Canadian
Grade School.” Liz Jones Twomey, Ontario, Canada. [Between 1997 and
2000, mathematics scores went from 33 percent to 92 percent.] From Brain
Gym® Journal, Nov. 2002, Volume XVI, No. 3. Karena proses belajar selalu
melibatkan proses kognitif, maka penelitian Brain Gym® juga telah dilakukan
untuk meningkatkan daya ingat. Penelitian tentang “Pengaruh BrainGym®
39
untuk Meningkatkan Daya Ingat Siswa Taman Kanak-kanak” Pratiwi, 2008,
telah memberikan hasil adanya peningkatan perhatian dan respon yang lebih
cepat serta peningkatan kemampuan untuk menangani kompleksitas
aktivitas belajar.
Demikian pula pengaruhnya pada keterampilan membaca, “The effect
of BrainGym® on Reading Abilities.” Cecilia K. Freeman (2000). Penelitian ini
menggunakan kelompok eksperimen (kelompok yang diberi perlakuan
BrainGym) dan kelompok kontrol. Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak
dalam kelompok eksperimen mengalami perbaikan dua kali dalam
kemampuan membaca, seperti yang diukur dengan tes standar, daripada
kelompok control (Dennison, Dennison, & Teplitz, 2004). Dalam penelitian
gerakan-gerakan yang dipakai oleh peneliti, yaitu gerakan- gerakan yang
berfungsi untuk mengaktifkan otak dalam meningkatkan pemahaman
seseorang dalam membaca. Gerakan-gerakan tersebut adalah gerakan yang
dapat menunjang proses decoding (penguraian) dan pemahaman kata.
Pemahaman membaca lebih mudah diterima siswa yang memiliki pengertian
tentang konteks bahasa, phonemic awareness, dan working memory.
Gerakan-gerakannya mencakup lambaian kaki (footflex), pasang kuda-kuda
(The Grounder), pompa betis (calf pump), luncuran gravitasi (gravity glider),
(Dennison and Dennison, 2005).
Bagi kebanyakan orang, hemisfer otak sebelah kiri sangat vital bagi
ujaran. Hemisfer ini mempengaruhi banyak aspek sintaksis dan beberapa
aspek semantic dari pemrosesan linguistik. Sementara hemisfer otak sebelah
40
kanan menangani jumlah fungsi linguistik yang lebih terbatas wilayah
jangkauannya. Mereka mencakup pemahaman auditoris informasi semantik,
selain pemahaman dan pengekspresian beberapa aspek non-harfiah dari
penggunaan bahasa, aspek ini melibatkan infleksi vocal, gerak tubuh,
metafora, sarkasme, ironi, dan humor atau gurauan.
Pendekatan kognitif untuk membaca lebih menekankan pada
decoding dan pemahaman kata, penyusunan makna, dan pengembangan
strategi pembaca ahli. Berkenaan dengan keotomatisan pemrosesan
informasi, ketika pengenalan kata terjadi dengan cepat, maka pemahaman
akan makna juga akan terjadi dengan cepat (Stanovich, 1994). Banyak
pembaca pemula atau pembaca yang buruk tidak mengenali suatu kata
secara otomatis. Kapasitas pemrosesan mereka lebih banyak dipakai untuk
mengenali kata, sehingga mereka kekurangan kapasitas untuk memahami
kalimat. Pada gerakan pompa betis (calf pump), gerakan ini dapat
mengaktifkan otak belakang dan otak depan, menigkatkan kemampuan
berkomunikasi dan memberikan tanggapan serta meningkatkan kemampuan
menuntaskan suatu tugas.
Salah satu faktor yang membatasi pemahaman membaca anak
adalah jumlah informasi yang dapat mereka simpan dalam “memori kerja”
(working memory) pada satu waktu (Bjorklund, 2001). Adalah penting untuk
mempertahankan informasi dalam working memory ini selama mungkin
sehingga setiap kata baru dalam suatu bagian bisa diinterpretasikan dengan
kata dan konsep yang mendahuluinya. Anak-anak yang kompeten dalam
41
membaca memiliki kapasitas working memory yang besar ketimbang anak
yang mengalami masalah dalam membaca. Gerakan lambaian kaki (footflex)
dapat mengaktifkan memory sehingga membantu menyampaikan apa yang
diketahui terhadap informasi-informasi yang ada di otak, gerakan ini juga
bermanfaat untu membuka otak bahasa yaitu yang berada di hemisfer kiri.
Gerakan Pasang Kuda-Kuda adalah kegiatan gerakan meregangkan
otot yang membuat rileks kelompok otot ileopsoas. Otot-otot ini menegang
karena duduk lama atau stres di daerah pelvis; yang membatasi gerakan dan
kelenturan. Ketegangan ini pada pinggul menimbulkan kekauan sacrum,
memperpendek bernapas, dan mengganggu gerakan tulang kepala.
Kelompok otot ileopsoas merupakan salah satu bagian terpenting tubuh
karena berfungsi menstabilkan dan merupakan kelompok otot dasar bagi
tubuh; kelenturannya penting bagi keseimbangan koordinasi seluruh tubuh,
dan fokus tubuh. Gerakan Pasang Kuda-Kuda adalah menyebrangi garis
tengah partisipasi, pemusatan dan pasang kuda-kuda, pengaturan,
pernapasan yang lebih baik, kesadaran ruang gerak, merelaksasi seluruh
tubuh dan penglihatan rileks (Paul & Gail, 2004:41)
Dalam pendekatan kognitif, teks mengandung makna yang harus
dipahami atau dikonstruksi oleh pembaca, bukan sekadar diuraikan.
Pembaca secara aktif mengkonstruksi makna ini dengan menggunakan
pengetahuan yang sudah mereka punya dan dengan pengetahuan tentang
kata dan bagaimana kata-kata itu dihubungkan (Heilman, Blair, & Rupley,
2002). Oleh karena itu, gerakan yang cocok untuk koordinasi pengetahuan
42
dengan kata-kata adalah luncuran gravitasi atau gravity glider, dimana dalam
gerakan luncuran gravitasi ini akan mengaktifkan otak untuk meningkatkan
keseimbangan, koordinasi dan penglihatan. Gerakan ini juga akan
menunjang kemampuan akademik untuk pemikiran abstrak, berhitung
dengan mencongak, serta memudahkan pemahaman waktu membaca.
Mendasarkan pada pemikiran bahwa untuk melakukan aktivitas
belajar, perlu adanya suatu persiapan, maka menurut Dennison, Paul E
(2008) para siswa perlu dipersiapkan dengan PACE. PACE dalam arti kata
Positif, Aktif, Clear dan Energetik, merupakan empat keadaan yang
diperlukan untuk belajar mandiri dengan menggunakan keseluruhan otak.
Setiap orang memiliki irama kecepatan belajar yang unik PACE untuk belajar
secara optimal. Empat gerakan BrainGym® yang menunjang penemuan
irama belajar PACE adalah sebagai berikut. a.
a. Positif: Kait Rileks (hook-ups) Gerakan kait rileks akan
memilihkan keseimbangan setelah mengalami
ketegangan dan stres emosional atau stres berasal
dari lingkungan. Gerakan ini akan membantu siswa
untuk meningkatkan konsentrasi dan berpikir positif.
Gerakan ini akan menghubungkan semua energi
dalam badan dan merangsang pengaliran energi yang
terhambat.
b. Aktif: Gerakan Silang (cross crawl) Gerakan silang
mengaktifkan bagian otak kiri dan kanan bersamaan.
43
Gerakan ini sangat menunjang kegiatan belajar siswa,
di mana aktivitas belajar akan menjadi mudah dan
siswa akan mudah menerima hal-hal baru. Aktivitas
belajar akan menjadi mudah karena gerakan silang
akan mengaktifkan dua belahan otak dapat bekerja
sama, sehingga siswa akan belajar dengan
menggunakan keseluruhan otak. Belajar dengan
menggunakan keseluruhan otak akan memungkinkan
hasil yang optimal.
c. Clear : Saklar Otak (brain buttons) Gerakan sekelar
otak meningkatkan peredaran darah yang kaya
oksigen ke otak. Gerakan ini dilakukan untuk
mempersiapkan siswa agar bisa berpikir jernih dan
tenang, karena gerakan sakelar otak akan membantu
meningkatkan aliran peredaran darah ke otak,
meningkatkan koordinasi dua belahan otak dan
meningkatkan keseimbangan badan. Gerakan mata
yang sebelumnya terhambat diaktifkan.
d. Energetis : Air (water) “Minum air” merupakan gerakan
untuk mengawali kegiatan belajar. Gerakan ini
dilakukan karena air sebagai media penghantar yang
meningkatkan potensi listrik melalui membran sel dan
44
yang paling dibutuhkan untuk menjamin fungsi jaringan
syaraf.
Dengan minum air, para siswa cukup berenergi untuk belajar,
mengingat semua aktivitas tubuh memerlukan air. Jika kebutuhan air dalam
tubuh cukup, maka akan membantu pengaliran energi ke otak sehingga otak
akan menjalankan fungsinya secara optimal dan tidak akan terjadi dehidrasi.
Semakin murni air yang diminum semakin mudah pembakaran terjadi,
semakin mudah racun dikeluarkan dari badan.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, peneliti ingin
mengetahui pengaruh BrainGym® terhadap pemahaman membaca pada
anak kelas 4 hingga 6 SD di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu. Oleh karena
itu, hipotesis dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Ada perbedaan skor pemahaman membaca (reading
comprehension) siswa kelas 3 SD hingga 6 SD
Sekolah Indonesia Kota Kinabali Malaysia sebelum
diberi perlakuan dan setelah diberi perlakuan
BrainGym®;
b. Rata-rata skor pemahaman membaca (reading
comprehension) siswa kelas 3 SD hingga 6 SD
Sekolah Indonesia Kota Kinabalu Malaysia setelah
diberi perlakuan BrainGym® lebih tinggi daripada
sebelum diberI perlakuan BrainGym®;
45
c. Bagaimanakah penilaian siswa terhadap manfaat
gerakan BrainGym®?
D. Hipotesis Penelitian
Ada pengaruh yang positif antara intensitas pelatihan Brain Gym®
dengan pemahaman membaca, semakin sering siswa diberikan pelatihan
Brain Gym® maka semakin tinggi pula skor dalam pemahaman membaca,
begitu pula sebaliknya, semakin jarang siswa diberikan pelatihan Brain
Gym® maka semakin rendah pula skor dalam pemahaman membaca.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian
1. Pemahaman Membaca
Menurut RAND, institusi non-profit yang membantu dalam penelitian-
penelitian ilmiah di Amerika menyebutkan bahwa, pemahaman membaca
atau reading comprehension adalah proses stimulant dimana terjadi
penambahan dan pembentukan arti melalui interaksi dan keterlibatan pada
bahasa tulisan (Snow, 2002).
2. Brain Gym
Brain Gym adalah serangkaian gerak sederhana yang
menyenangkan dan digunakan para murid di Educational Kinesiology (Edu-
K) untuk meningkatkan kemampuan belajar mereka dengan menggunakan
keseluruhan otak (Paul & Gail, 2004:3).
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Pemahaman Membaca
Menurut RAND, institusi non-profit yang membantu dalam penelitian-
penelitian ilmiah di Amerika menyebutkan bahwa, pemahaman membaca
atau reading comprehension adalah proses stimulant dimana terjadi
1
47
penambahan dan pembentukan arti melalui interaksi dan keterlibatan pada
bahasa tulisan (Snow, 2002).
Secara garis besarnya terdapat dua aspek penting dalam membaca :
1. Keterampilan yang bersifat mekanis yang dianggap berada pada urutan
yang lebih rendah. Aspek ini mencakup empat hal :
a. Pengenalan bentuk huruf .
b. Pengenalan unsur-unsur linguistik (fonem, kata, frase, pola
klausa, kalimat dan lain-lain).
c. Pengenalan hubungan atau korespondensi pola ejaan dan
bunyi (kemampuan menyuarakan bahan tertulis).
d. Kecepatan membaca bertaraf lambat.
2. Keterampilan yang bersifat pemahaman yang dapat dianggap berada
pada urutan yang lebih tinggi. Ada empat aspek yang perlu diperhatikan,
yaitu:
a. Memahami pengertian sederhana (leksikal, gramatikal,
retorikal).
b. Memahami signifikan atau makna (antara lain maksud dan
tujuan pengarang relevansi atau keadaan kebudayaan,
reaksi pembaca).
c. Evaluasi atau penilaian (isi dan bentuk).
d. Kecepatan membaca yang fleksibel, yang mudah
disesuaikan dengan keadaan (Broughton dalam Tarigan,
1994:12).
48
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur pemahaman membaca
adalah dengan menggunakan tes kemampuan membaca pemahaman. Alat
ukur ini merupakan alat ukur yang bersifat modifikasi, dimana tes
terdahulunya pernah diuji cobakan oleh Eva Agustina pada anak kelas VI SD
Kudus. Alat ukur ini nantinya menunjukkan semakin tinggi skor yang
diperoleh maka semakin tinggi pula tingkat kemampuan pemahaman
membaca.
2. Brain Gym
Brain Gym® adalah serangkaian gerak sederhana yang
menyenangkan dan digunakan para murid di Educational Kinesiology (Edu-
K) untuk meningkatkan kemampuan belajar mereka dengan menggunakan
keseluruhan otak (Paul & Gail, 2004:3).
Brain Gym® terdiri dari gerakan- gerakan yang berfungsi untuk
mengaktifkan otak dalam meningkatkan pemahaman seseorang dalam
membaca. Gerakan-gerakan tersebut adalah gerakan yang dapat menunjang
proses decoding (penguraian) dan pemahaman kata. Pemahaman membaca
lebih mudah diterima siswa yang memiliki pengertian tentang konteks
bahasa, phonemic awareness, dan working memory. Gerakan-gerakannya
mencakup lambaian kaki (footflex), pasang kuda-kuda (The Grounder),
pompa betis (calf pump), luncuran gravitasi (gravity glider), (Dennison and
Dennison, 2005).
49
Untuk memperoleh informasi tentang manfaat gerakan BrainGym®
para siswa setelah mendapatkan pengalaman belajar digunakan instrument
dalam bentuk checklist.
C. Subjek Penelitian
Yang akan menjadi subyek penelitian ini adalah orang-orang yang
memiliki karakteristik sebagai berikut, berumur lebih dari 12 tahun, duduk di
kelas 4 hingga 6 SD, baik itu laki-laki maupun perempuan, dapat mengenal
huruf, mengalami kesusahan dalam memahami bacaan, mampu
memusatkan perhatian, mampu mengerjakan tugas dalam rentang waktu
yang lama, dan tidak tremor.
D. Metode Pengumpulan Data
Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan Pre-
Experimental Research Designs, yaitu jenis penelitian eksperimental yang
tidak menggunakan kelompok kontrol, hanya menggunakan satu populasi
dan pada populasi itulah perlakuan diberikan.
Sehubungan dengan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik tes. Tes dimaksud adalah tes kemampuan membaca
pemahaman dan tes keterampilan berbicara.
1. Tes Kemampuan membaca pemahaman.
50
Instrumen pengumpul data kemampuan membaca
pemahaman dalam penelitian ini adalah berupa tes. Siswa
diberi teks bacaan untuk dipahami atau dibaca dengan teliti,
kemudian siswa mengerjakan soal pemahaman terhadap isi
bacaan yang telah dibaca siswa. Soal pemahaman terhadap
isi bacaan berbentuk objektif pilihan ganda, yang berjumlah
30 butir soal.
Indikator uji kemampuan membaca pemahaman
berdasarkan pendapat Nurgiyantoro (1994:257) bahwa
pokok uji pengajaran membaca pemahaman adalah sebagai
berikut.
a. Memahami isi bacaan.
b. Kemampuan memahami pokok pikiran.
c. Kemampuan menyimpulkan isi bacaan
Tiap soal mempunyai empat pilihan jawaban. Peneliti
menggunakan soal objektif pilihan ganda dengan alasan:
a. objektifitas hasil penelitian sangat tinggi. Artinya
siapapun yang memberikan jawaban yang benar akan
mendapat angka yang sama.
b. Dapat menjaring lingkup uji yang luas, karena waktu
penyelesaian tiap item soal relatif singkat.
c. Skornya mudah dan sangat cepat
2. Alat Ukur Brain Gym®
51
Untuk memperoleh informasi tentang manfaat gerakan
BrainGym® para siswa setelah mendapatkan pengalaman
belajar digunakan instrument dalam bentuk checklist.
Penelitian dilakukan melalui dua tahap, yaitu (1) tahap pertama,
memberikan pelatihan pada guru; (2) tahap kedua, guru mempraktekkan
hasil pelatihan kepada siswa didampingi fasilitator. Prosedur penelitian
dilakukan dengan cara memberikan rangkaian gerak Brain Gym® selama
satu bulan dengan durasi 30 menit kepada para siswa sebelum proses
belajar dimulai. Adapun rangkaian gerak Brain Gym® dipilih sesuai dengan
tujuan, yaitu gerakan-gerakan yang dapat mempengaruhi pemahaman
membaca. Gerakan gerakan tersebut meliputi lambaian kaki (footflex),
pasang kuda-kuda (The Grounder), pompa betis (calf pump), luncuran
gravitasi (gravity glider), (Dennison and Dennison, 2005).
E. Metode Analisis Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode pre-test
& post-test. Indikator keberhasilan diukur dengan adanya perubahan skor
hasil tes pemahaman membaca sebelum dan sesudah diberi perlakuan.
Analisis data untuk mengetahui pengaruh Brain Gym® terhadap pemahaman
membaca didasarkan pada uji perbedaan nilai rata-rata hasil pretest &
postest. Teknik analisis statistik yang digunakan adalah “paired-samples t-
test”. Penghitungan dilakukan dengan bantuan program SPSS 16.0 for
Windows. Indikator keberhasilan diukur dengan adanya perubahan skor hasil
52
pretest & postest. Untuk mempertajam analisis dilakukan analisis deskriptif
tentang perubahan kondisi yang dirasakan siswa sesuai dengan manfaat
setiap gerakan Brain Gym®.
Sehubungan dengan rumusan masalah yang harus dijawab sekaligus
untuk menguji hipotesis penelitian, maka suatu peneltian perlu dilakukan
analisis data. Adapun analisis data yang penulis lakukan adalah sebagai
berikut :
1. Pengujian normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh
berdistribusi normal atau tidak.
2. Uji homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk membandingkan kesamaan pada data
sebelum treatment dan sesudah treatment.
Recommended