View
224
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Validasi Metode Analisis Glukosamin Hidroklorida dengan
Derivatisasi Phenyl Isothiocyanate (PITC) dan Aplikasinya
pada Penetapan Glukosamin dalam Dispersi Nanopartikel
Kitosan secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
SKRIPSI
RIFA ARIFAH RAHMAH
1112102000052
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
Oktober 2016
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Validasi Metode Analisis Glukosamin Hidroklorida dengan
Derivatisasi Phenyl Isothiocyanate (PITC) dan Aplikasinya
pada Penetapan Glukosamin dalam Dispersi Nanopartikel
Kitosan secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
SKRIPSI
(Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi)
RIFA ARIFAH RAHMAH
1112102000052
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
Oktober 2016
v UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRAK
Nama :Rifa Arifah Rahmah
Program Studi :Farmasi
Judul :Validasi Metode Analisis Glukosamin Hidroklorida dengan
.Derivatisasi Phenyl Isothiocyanate (PITC) dan Aplikasinya pada
.Penetapan Glukosamin dalam Dispersi Nanopartikel Kitosan
.secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Glukosamin hidroklorida (Glukosamin HCl) yang telah banyak digunakan sebagai
obat untuk osteoartritis memiliki ketersediaan hayati yang rendah sehingga
dikembangkan glukosamin dalam dispersi nanopartikel kitosan. Penetapan
glukosamin dalam dispersi nanopartikel kitosan dapat dilakukan jika metode yang
digunakan telah tervalidasi. Pada penelitian ini akan dilakukan validasi metode
untuk menganalisis glukosamin HCl yang diderivatisasi menggunakan fenil
isotiosianat (PITC) secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan
detektor DAD, kolom ODS/C18 5 μm (4,6 x 250 mm), menggunakan fase gerak:
Metanol-aquabidest-asam asetat (10,00 : 89,96 : 0,04) dengan kecepatan alir 1,0
mL/menit dan dideteksi pada panjang gelombang 245 nm. Hasil derivatisasi
glukosamin HCl terdeteksi pada waktu retensi 14,752 menit. Parameter validasi
yang dilakukan adalah rentang linieritas, LOD, LOQ, akurasi, presisi, dan
stabilitas. Respon detektor linier pada kisaran konsentrasi 4-20 ppm dengan
persamaan kurva kalibrasi y = 0,298 x + 0,016 (r = 0,999). Nilai LOD = 0,5419
ppm dan nilai LOQ = 1,8065 ppm. Uji presisi (%RSD) dan akurasi (%diff) intra
dan inter-day selama 2 hari yang tidak melampaui 2%. Nanopartikel kitosan
yang mengandung glukosamin HCl dapat dianalisis menggunakan metode analisis
tidak langsung dengan kondisi analisis yang telah tervalidasi. Data yang diperoleh
dapat digunakan untuk menghitung efisiensi penjerapan glukosamin HCl dalam
dispersi nanopartikel kitosan.
Kata Kunci : DAD, Efisiensi Penjerapan, Fenil Isotiosianat (PITC),
Glukosamin HCl, KCKT, Nanopartikel Kitosan,
vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name :Rifa Arifah Rahmah
Program Study :Pharmacy
Tittle :Validation of Analytical Method for Glucosamine
.Hydrochloride with Derivatisation Phenyl Isothiocyanate
.(PITC) and Its Application to Determinted Glukosamin
.in the Dispersion of Chitosan Nanoparticles by High
.Performance Liquid Chromatography
Glucosamine hydrochloride (Glucosamine HCl) which has been widely used as a
drug for osteoarthritis have low bioavailability, therefore that was development in
glucosamine in the dispersion of chitosan nanoparticles. Determination of
glucosamine in the dispersion of chitosan nanoparticles can be done if the method
used has been validated. This research will be conducted validation methods for
analyzing glucosamine HCl which is being derivatized using phenyl
isothiocyanate (PITC) in High Performance Liquid Chromatography (HPLC) with
DAD detector, an ODS/C18 5 μm (4.6 x 250 mm) column, using a mobile phase:
Methanol-aquabidest-acetic acid (10.00 : 89.96 : 0.04) with a flow rate 1.0
mL/min and detected at 245 nm. The results of glucosamine HCl derivatization
was detected at a retention time 14.752 minutes. Parameter validation that done in
this research are linearity, LOD, LOQ, accuracy, precision, and stability. Linear
detector response at a concentration range of 4-20 ppm calibration curve with the
equation y = 0.298 x + 0.016 (r = 0.999). Value LOD = 0.5419 ppm and value
LOQ = 1.8065 ppm. Test precision (%RSD) and accuracy (% diff) intra- and
inter-day for 2 days did not exceed 2%. Chitosan nanoparticles containing
glucosamine HCl can be analyzed using indirect analytical methods with the
analysis conditions that have been validated. The data obtained can be used to
calculate the entrapment efficiency of glucosamine HCl in chitosan nanoparticle
dispersion.
Key Word : Chitosan Nanoparticles, Diode Array Detector (DAD),
Entrapment Efficiency, Glucosamine HCl, HPLC, Phenyl Isothiocyanate (PITC),
vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha
Mengetahui segalanya, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang diajukan sebagai salah satu
syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skripsi ini ada banyak hambatan yang penulis hadapi,
tetapi dengan adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak maka hambatan-
hambatan tersebut dapat diatasi dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan rasa terima kasih kepada:
1. Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. Selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Supandi, M.Si., Apt. selaku Pembimbing I dan Yuni Anggraeni, M. Farm.,
Apt.selaku Pembimbing II, yang telah menyediakan waktunya dan dengan
sabar serta tulus mengarahkan, memberikan nasehat, bantuan, semangat, dan
perhatian dari mulai penyusunan proposal, proses penelitian hingga
tersusunnya skripsi ini.
3. Prof. Dr. Atiek Soemiati selaku dosen penasehat akademik kelas Farmasi B
2012 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak dan Ibu dosen pengajar Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Rani Hestiningrum, A.Ma. selaku laboran di Laboratorium Farmakognosi dan
Fitokimia atas saran, bantuan, bimbingan, semangat, dan terlebih perhatian
yang diberikan kepada penulis selama penelitian.
6. Mamah, Bapa, Adan, Teh Ina, yang tidak putus memberikan dukungan moril
maupun materil, kekuatan, semangat, dan do’a untuk penulis selama penelitian
berlangsung sampai selesainya skripsi ini.
7. Teman-teman seperjuangan Farmasi Angkatan 2012, terutama teman-teman
Tulip atas waktu dan kesediaannya mendengarkan keluhan, memberikan
viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bantuan, saran dan menyemangati penulis dari masa perkuliahan sampai
penelitian berlangsung dan tersusunnya skripsi ini.
8. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang telah
membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas
segala kebaikan dari semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca dalam
menambah wawasan.
Ciputat, Oktober 2016
Penulis,
Rifa Arifah Rahmah
x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
ABSTRACT ................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH .............................. ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 LatarBelakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian......................................................................... 4
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA ......................................................................... 5
2.1 Glukosamin HCl ............................................................................ 5
2.1.1 Monografi ............................................................................ 5
2.1.2 Farmakologi ........................................................................ 6
2.1.3 Farmakokinetik .................................................................... 6
2.2 Nanopartikel Kitosan..................................................................... 7
2.3 Pereaksi Fenil Isotiosianat (PITC) ................................................ 8
2.3.1 Monografi ............................................................................ 8
2.3.2 Reaksi Derivatisasi .............................................................. 8
2.4 Derivatisasi Zat ............................................................................. 9
2.5 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi................................................. 10
2.5.1 Instrumentasi ....................................................................... 11
2.5.2 Fase Gerak ........................................................................... 14
2.5.3 waktu Retensi ...................................................................... 14
2.5.4 Efisiensi Kolom ................................................................... 15
2.5.5 Analisis Kuantitatif ............................................................. 15
2.6 Validasi Metode Analisis .............................................................. 15
2.6.1 Akurasi ................................................................................ 16
2.6.2 Presisi .................................................................................. 16
2.6.3 Linieritas dan Kisaran ......................................................... 16
2.6.4 LOD dan LOQ ..................................................................... 17
2.6.5 Kesesuaian Sistem ............................................................... 17
2.7 Metode Analisis Glukosamin HCl ................................................ 17
xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODE PENELITIAN ................................................................. 21
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 21
3.2 Alat ................................................................................................. 21
3.3 Bahan .............................................................................................. 21
3.4 Pembuatan Bahan ........................................................................... 21
3.4.1 Pembuatan Larutan Induk Glukosamin HCl ....................... 21
3.4.2 Pembuatan Larutan Dapar Fosfat o,3 M pH 8,0 ................. 22
3.4.3 Pembutan Larutan Fenil Isotiosianat 1% ............................ 22
3.5 Optimasi Kondisi Analisis ............................................................. 22
3.5.1 Penentuan Panjang Gelombang Analisis ............................. 22
3.5.2 Pemilihan Laju Alir Fase Gerak untuk Analisis ................. 22
3.6 Uji Kesesuaian Sistem .................................................................... 23
3.7 Validasi Metode Analisis ............................................................... 23
3.7.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Linieritas ......................... 23
3.7.2 Uji Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantifikasi ............... 24
3.7.3 Uji Presisi dan Uji Akurasi .................................................. 24
3.7.4 Uji Stabilitas Glukosamin Hasil Derivatisasi ...................... 24
3.8 Uji AnalisisGlukosamin dalam Kitosan Nanopaartikel ................ 25
3.8.1 Penyiapan Sampel Glukosamin dari Dispersi Nanopartikel 25
3.8.2 Analisis Glukosamin dari Dispersi Nanopartikel ................. 25
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 26
4.1 Optimasi Kondisi Analisis ............................................................ 26
4.2 Uji Kesesuaian Sistem .................................................................. 27
4.3 Validasi Metode Analisis .............................................................. 28
4.3.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Linieritas ......................... 28
4.3.2 Uji Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantifikasi ............... 29
4.3.3 Uji Presisi dan Uji Akurasi .................................................. 29
4.3.4 Uji Stabilitas Glukosamin Hasil Derivatisasi ...................... 30
4.4 Uji Analisis Glukosamin dalam Kitosan Nanopaartikel ................ 31
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 33
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 33
5.2 Saran .............................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 34
xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Struktur Glukosamin HCl ........................................................... 5
Gambar 2.2 Struktur Kitosan .......................................................................... 7
Gambar 2.3 Struktur Fenil Isotiosianat (PITC) ............................................... 8
Gambar 2.4 Reaksi Derivatisasi Glukosamin HCl oleh PITC ........................ 9
Gambar 4.1 Kromatogram Glukosamin HCl laju alir (a) 1,0 mL/menit (b) 1,5
.mL/menit ...................................................................................... 27
Gambar 4.2 Kurva Kalibrasi glukosamin Hidroklorida ................................... 29
Gambar 4.3 Kromatogram Glukosamin HCl (a) 0 jam (b) 24 jam kering (c)
24.jam + fase gerak ...................................................................... 31
Gambar 4.4 Kromatogram Glukosamin HCl dari sampel cairan nanopartikel
.kitosan .......................................................................................... 32
xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Hubungan antara waktu retensi, jumlah lempeng teoritis,
efisiensi kolom, resolusi, dan faktor ikutan kromatogram PTC-
Glukosamin terhadap laju alir.......................................................... 27
Tabel 4.2 Data Uji Kesesuaian Sistem ............................................................. 28
Tabel 4.3 Data Kurva Kalibrasi ...................................................................... 29
Tabel 4.4 Data Akurasi dan Presisi ................................................................. 30
Tabel 4.5 Data Analisis Sampel Glukosamin dalam Nanopartikel Kitosan .... 31
xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Kromatogram 3D Derivatisasi Glukosamin HCl ......................... 37
Lampiran 2 Data Uji Kesesuaian Sistem ........................................................ 38
Lampiran 3 Data Kurva Kalibrasi Glukosamin Hidroklorida ......................... 39
Lampiran 4 Perhitungan nilai LOD dan LOQ.................................................. 40
Lampiran 5 Perhitungan %RSD dan Perhitungan %diff .................................. 41
Lampiran 6 Data Uji Stabilitas ........................................................................ 42
Lampiran 7 Perhitungan Efisiensi Penjerapan ................................................. 43
1 UIN Syarif Hidayatullah jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Glukosamin (2-amino-2-deoxy-β-D-glucopyranose) adalah suatu gula
amino dan termasuk ke dalam komponen glikosaminoglikan dan proteoglikan
dari matriks tulang rawan yang menutupi ujung tulang dan asam hialuronat
yang termasuk bagian dari cairan sinovial di dalam sendi (Fox dan Stephens,
2007). Seiring bertambahnya usia, produksi glukosamin berkurang sehingga
tidak memenuhi kebutuhan tubuh dan dapat menyebabkan penyakit
osteoarthritis (OA). Osteoarthritis merupakan hasil dari penurunan produksi
dan peningkatan degradasi matriks tulang rawan (Barclay, Tsourounis, dan
McCart, 1998). Bila hal itu terjadi, maka diperlukan tambahan glukosamin
dari luar (makanan atau suplemen).
Glukosamin dari luar dapat mempengaruhi jalur metabolik sintesis
glikosaminoglikan dan dapat menstimulasi prosuksi proteoglikan.
Glukosamin peroral diabsorpsi di saluran pencernaan kemudian mengalami
metabolisme lintas pertama yang signifikan dalam hati dan menghasilkan
bioavailabilitas (BA) 26% (Barclay, Tsourounis, dan McCart, 1998).
Rendahnya nilai BA dapat mengindikasikan juga rendahnya konsentrasi obat
pada sendi. Oleh karena itu, dilakukan pengembangan obat dengan sistem
penghantaran obat transdermal.
Glukosamin baik dalam bentuk garam sulfat atau hidroklorida bersifat
hidrofil yang menyebabkan kemampuan penetrasinya ke kulit cukup rendah.
Salah satu cara untuk meningkatkan penetrasi obat ke kulit dapat dilakukan
dengan memanfaatkan teknologi nanopartikel. Sistem penghantaran
nanopartikel membutuhkan suatu polimer, salah satu diantaranya adalah
kitosan yang sangat berpotensi menghasilkan penghantaran nanopartikel.
Nanopartikel kitosan dapat dibuat dengan metode gelasi ionik, di mana
larutan kitosan disambung silang dengan penyambung silang polianion
seperti natrium tripolifosfat (NaTPP).
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Salah satu evaluasi obat dengan teknologi nanopartikel adalah uji
efisiensi penjerapan zat aktif dalam nanopartikel, dalam hal ini untuk
mengetahui jumlah glukosamin yang terjerap dalam nanopartikel. Ada dua
macam metode untuk menganalisis zat aktif dalam sistem nanopartikel, yaitu
langsung (direct) dan tidak langsung (indirect). Metode analisis langsung
menganalisis dalam bentuk nanopartikelnya, sedangkan metode analisis tidak
langsung menganalisis zat aktif yang tidak berhasil terjerap oleh sistem
nanopartikel tersebut. Salah satu kelebihan dari metode analisis tidak
langsung terletak pada proses preparasi sampel yang akan dianalisis yang
prosesnya relatif lebih mudah dibandingkan metode analisis langsung. Pada
metode tidak langsung, preparasi sampel dilakukan dengan melakukan
sentrifugasi pada nanopartikel dan analisis dilakukan pada zat aktif yang
berada pada bagian supernatan. Pada metode langsung, preparasi sampel
dilakukan dengan memisahkan nanopartikel kemudian zat aktif diekstraksi
dari nanopartikelnya.
Dalam menganalisis nanopartikel kitosan yang mengandung
glukosamin perlu dilakukan pemisahan terlebih dahulu antara glukosamin dan
kitosannya. Analisis dapat dilakukan dengan menggunakan Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan detektor diode array (DAD). Cara ini
dipilih karena memiliki beberapa kelebihan, diantaranya: mampu
memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran, mudah
melaksanakannya, analisisnya cepat, dan memiliki kepekaan yang tinggi.
Glukosamin merupakan salah satu monomer dari kitosan. Tetapi, hal tersebut
tidak akan mengganggu analisis karena untuk memecah kitosan menjadi
monomernya dibutuhkan hidrolisis dengan larutan asam pada suhu tinggi
selama 6-10 jam atau dengan pemambahan α-amylase.
Glukosamin tidak memiliki gugus kromofor sehingga tidak menyerap
sinar pada daerah UV/Vis. Oleh karena itu, perlu dilakukan derivatisasi
sehingga menjadi senyawa berkromofor dan dapat dideteksi pada daerah UV.
Pereaksi yang dapat digunakan untuk derivatisasi glukosamin dengan
detektor UV, diantaranya: phenyl isothiocyanate (PITC) (Liang, Leslie,
Adebowale, Ashraf, dan Eddington, 1999), N-(9-fluorenyl-
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
methoxycarbonyloxy) succinimide (FMOC-Su) (Zhou, Waszkuc, and
Mohammed, 2005; Yan, Evenocheck, 2011); dan 1,2-naphthoquinone-4-
sulphonic acid sodium salt (NQS) (Hadad, Abdel-Salam, dan Emara, 2011).
Pereaksi FMOC-Su sudah tidak ada lagi di pasaran, sedangkan NQS memiliki
harga yang relatif lebih mahal daripada PITC, sehingga akan lebih efisien bila
penelitian ini menggunakan PITC.
Analisis dapat dilakukan jika metode yang digunakan telah divalidasi.
Validasi metode analisis dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis
akurat, spesifik, reproducible, dan tahan terhadap analit yang akan dianalisis
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Berdasarkan latar belakang tersebut, akan dilakukan penelitian
mengenai validasi metode analisis glukosamin hidroklorida dengan
derivatisasi phenyl isothicyanate (PITC) dan aplikasinya pada dispersi
nanopartikel kitosan secara KCKT. Penelitian ini akan menggunakan metode
analisis nanopartikel tidak langsung dengan kondisi analisis mengikuti
metode penelitian optimasi proses derivatisasi glukosamin hidroklorida
dengan mengguanakan PITC yang dilakukan Tekko, I. A, dkk pada tahun
2006.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana metode yang tervalidasi untuk analisis glukosamin
hidroklorida?
b. Apakah metode tersebut dapat diaplikasikan pada penentuan glukosamin
dalam dispersi nanopartikel kitosan secara kromatografi cair kinerja
tinggi?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh metode yang tervalidasi
untuk analisis glukosamin hidroklorida dan aplikasinya pada penentuan
glukosamin dalam dispersi nanopartikel kitosan secara kromatografi cair
kinerja tinggi.
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai
metode yang tervalidasi untuk analisis glukosamin hidroklorida dan
aplikasinya pada penentuan glukosamin dalam dispersi nanopartikel kitosan
secara kromatografi cair kinerja tinggi.
5 UIN Syarif Hidayatullah jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Glukosamin Hidroklorida (Glukosamin HCl)
Glukosamin adalah gula amino dan merupakan bagian dari struktur
polisakarida kitosan dan kitin, yang membentuk eksoskeleton Crustasea dan
arthropoda lainnya. Glukosamin dapat diproduksi secara komersial dengan
hidrolisis exoskeletons Crustacea atau dengan fermentasi jagung atau
gandum.
2.1.1 Monografi (Menurut Purwadi dalam Andriani, 2012)
Gambar 2.1 Struktur glukosamin hidroklorida
[Sumber: Han. In Hee., et al. Arch Pharm Res Vol 33, No 2, 293-299, 2010]
Glukosamin HCl memiliki rumus kimia C16H14NClO5, dengan
nama kimia 2-amino-2-deoxy-β-D-glucopyranose hidrocloride. Nama
lain dari glukosamin HCl adalah chitosamine hydrochloride;
glucosamine, chlorhydrate de; glucosamini hydrochloridum;
glukozaminy hchlorowodorek; hidrocloruro de glucosamina.
Glukosamin berbentuk serbuk kristal putih dengan rasa agak manis dan
bau tidak spesifik dengan berat molekul 215,62. Memiliki kelarutan 1
bagian dalam 10 bagian air dengan pH 3,0 – 5,0 (dalam air).
Glukosamin harus disimpan dalam wadah kedap udara dan terlindung
dari cahaya.
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.1.2 Farmakologi
Glukosamin banyak digunakan baik di Eropa maupun di Amerika
Serikat (AS) dalam upaya untuk meringankan rasa sakit dan kecacatan
akibat osteoarthritis (OA). Selain itu, glukosamin juga merupakan
komponen dari sejumlah besar suplemen makanan di AS (Block,
Oegema, Sandy, dan Plaas, 2010). Ketertarikan pada glukosamin
berawal dari laporan mengenai manfaatnya pada hewan dan manusia,
dan fakta bahwa glukosamin dapat merangsang sintesis proteoglikan
dari artikular kartilago secara invitro dan memiliki profil keamanan
yang sangat baik (dipiro ed. 6, 2005). Terbukti pada penelitian preklinis
pada hewan percobaan bahwa glukosamin memiliki efek antiinflamasi
melalui pengurangan faktor nuklear kappa beta yang diinduksi oleh
Interleukin-1 (IL-1). Beberapa penelitian pada manusia juga telah
menunjukkan bahwa glukosamin HCl mengurangi produksi IL-1 yang
merangsang enzim katabolik dan penanda inflamasi seperti
prostaglandin E2 dengan sel kondrosit dan sinovial dari pasien dengan
OA (Fox dan Stephens, 2007).
2.1.3 Farmakokinetika
Sekitar 87% dari dosis oral glukosamin diserap pada saluran
pencernaan. Glukosamin mengalami metabolisme lintas pertama dalam
hati dan menghasilkan bioavailabilitas oral pada manusia 26%
sedangkan bioavailabilitas intramuskularnya adalah sekitar 96%.
Glukosamin didistribusikan ke banyak jaringan dengan konsentrasi
tertinggi ditemukan di hati, ginjal, dan tulang rawan artikular.
Glukosamin diekskresi terutama dalam urin dan diekskresi pada feses
pada persentasi kecil (pada pemberian intravena dan intramuskular).
Glukosamin juga dimetabolisme menjadi karbon dioksida dan
diekskresikan melalui paru-paru.
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.2 Nanopartikel Kitosan
Nanopartikel polimer (PNPs) adalah struktur dengan diameter mulai
dari 10-100 nm. PNPs dapat diperoleh dari polimer sintetis, seperti poli--
caprolactone, poliakrilamida dan poliakrilat, atau dari polimer alami,
misalnya, albumin, DNA, kitosan, dan gelatin. Berdasarkan sifat invivonya,
PNPs dapat diklasifikasikan sebagai biodegradable, seperti poli-(L-laktida)
(PLA), poliglikolida (PGA), dan non-biodegradable, misalnya, poliuretan
(Wilczewska, Niemirowicz, Markiewicz,dan Car, 2012).
Gambar 2.2 Struktur kitosan
[Sumber: Rodrigues, Susana et al. J. Funct. Biomater 3, 615-641, 2012]
Kitosan adalah derivat N-deasetilasi kitin, bersifat biodegradable,
berupa polimer kationik yang terdiri dari unit -(1-4)-D-glucosamine (unit
deasetilasi) dan N-acetyl-glucosamine (unit terasetilasi) yang terdistribusi
sercara acak. Kitosan telah banyak digunakan dalam bidang biomedik,
pengembangan sistem penghantaran obat, dan dapat diaplikasikan dalam
berbagai sediaan, diantaranya: gel, film, microsphare, tablet, dan lapisan
untuk liposom. Kitosan berbentuk serbuk atau serpihan, tidak berbau,
berwarna krem-putih dengan densitas 1,35-1,40 g/cm3. Memiliki kelarutan
yang sedikit larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol (95%), pelarut
organik lainnya dan larutan netral atau alkali dengan pH diatas 6,5. Kitosan
larut dengan cepat dalam asam organik seperti asam formiat, asam sitrat dan
asam asetat. Serbuk kitosan merupakan bahan yang stabil dalam suhu ruang
dan dapat disimpan dalam wadah tertutup baik ditempat yang kering dan
sejuk. Kitosan memiliki nilai pH 4.0-6.0 (pada 1% w/v larutan air). Pada pH
fisiologis,gugus amina primer kitosan terprotonasi, dan bermuatan positif
8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sehingga dapat membentuk nanopartikel dalam larutan melalui cross-linking
dengan polianion.
2.3 Fenil isotiosianat (Phenyl Isothiocyanate, PITC)
2.3.1 Monografi
Gambar 2.3 Struktur fenil isotiosianat (PITC)
[Sumber: www.biosynth.com/en/products/organic-synthesis/basic-
intermediates/products/J-802269.html, 2016]
Fenil isotiosianat memiliki rumus kimia C7H5NS, dengan nama
lain benzene, isothiocyanato-; benzene-1-isothiocyanate;
fenylisothiokyanat; iso thiocyanatobenaene; isothiocyanatobenzen;
isothiocyanatobenzene; isothiocyanato benzene; phenyl thiocyanate.
PITC berbentuk cairan tidak berwana sampai berwarna kuning pucat
dengan bau menusuk dengan berat molekul 135,19 dan berat jenis
1,132 g/mL pada 20˚C. Tidak larut dalam air dengan kemurnial 98%,
titik leleh -21˚C dan titik didih 218˚C. PITC merupakan senyawa yang
stabil, mudah terbakar, inkompatibel dengan agen pengoksidasi kuat
dan asam kuat. Sebaiknya PITC disimpan pada suhu 2-8˚C.
2.3.2 Reaksi
Fenil isotiosianat digunakan sebagai pereaksi derivatisasi untuk
amina primer dan sekunder. Reaksi PITC dengan gula amino alkohol
(seperti glukosamin) menghasilkan senyawa yang dapat dideteksi oleh
spektrofotomrter UV/Vis pada panjang gelombang 245 nm dengan hasil
derivatisasi berupa phenylthiocarbamyl (PTC)-gula amino alkohol
(PITC-Glukosamin) yang stabil pada keadaan kering namun menjadi
kurang stabil pada keadaan asam.
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2.4 Reaksi derivatisasi glukosamin oleh PITC
[Sumber: Anumula dan Taylor, 1991, Telah diolah kembali]
2.4 Derivatisasi Zat (Gandjar dan Rohman, 2007; Nollet dan Toldrá, 2012)
Derivatisasi zat dilakukan untuk menghasilkan senyawa yang tadinya
tidak bisa dideteksi menjadi bisa dideteksi pada daerah UV atau
meningkatkan daya deteksinya sehingga dapat dideteksi dengan fluorometri.
Beberapa syarat dari suatu reaksi derivatisasi yang baik, diantaranya: produk
yang dihasilkan harus mampu menyerap sinar ultraviolet atau sinar tampak
atau dapat membentuk senyawa berfluorosensi sehingga dapat dideteksi
dengan spektrofluorometri, proses derivatisasi cepat dan menghasilkan
persentase produk sebesar mungkin, produk hasil derivatisasi stabil selama
proses derivatisasi dan deteksi, dan sisa pereaski tidak mengganggu
pemisahan kromatografi. Derivatisasi pada KCKT dapat dilakukan sebelum
zat masuk ke dalam kolom (pre-column derivatization), atau setelah kolom
(post-column derivatization).
Pada derivatisasi sebelum kolom, analit diderivatisasi lebih dulu
sebelum diinjeksikan kedalam kromatografi. Pereaksi derivatisasi yang umum
digunakan untuk deteksi dengan spektrofotometri UV-Vis diantaranya phenyl
isothiocyanate (PITC), butylisothiocyanate (BITC), dan diethyl
ethoxymethylenemalonate.
Pada derivatisasi setelah kolom, analit diinjeksikan dahulu ke dalam
kolom lalu diderivatisasi setelah keluar dari kolom (sebelum mencapai
detektor). Keuntungan dari pendekatan ini adalah sifat kromatografis zat
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dapat digunakan untuk pemisahan dan menghindari adanya gangguan dari zat
penderivat, sedangkan kerugian utamanya adalah terjadinya sejumlah
pelebaran pita, dan kemungkinan zat dirusak oleh proses oksidasi, reduksi,
dan lain-lain. Untuk melakukan derivatisasi setelah kolom, sistem KCKT
harus dimodifikasi dengan penambahan sistem penghantaran cairan sekunder.
Sistem reaksi derivatisasi setelah kolom adalah dengan mencampur aliran
eluen dari kolom KCKT dengan aliran larutan pereaksi kemudian campuran
mengalir melalui reaktor selama waktu tertentu untuk reaksi kimia. Reaktor
dapat dipanaskan, jika diperlukan, untuk mempercepat reaksi derivatisasi.
Campuran aliran selanjutnya dilewatkan melalui detektor. Pereaksi yang biasa
digunakan untuk derivatisasi post-column diantaranya ninhidrin,
fluorescamine, dan o-phthalaldehyde (OPA).
2.5 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Harmita; Gandjar dan Rohman, 2007)
Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran berdasarkan pada
perbedaan distribusi dari komponen penyusun campuran tersebut diantara
fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase).
Berdasarkan polaritas fase diam dan fase geraknya, kromatografi
dibedakan menjadi: fase normal (kolom atau fase diam bersifat polar, seperti
silika dan fase gerak bersifat nonpolar, seperti heksan) dan fase terbalik
(kolom atau fase diam bersifat nonpolar, seperti rantai karbon panjang C8 atau
C18 dan fase gerak bersifat polar, seperti air dan alkohol). Berdasarkan pada
mekanisme pemisahannya, kromatografi dibedakan menjadi: kromatografi
absorpsi, kromatografi partisi, kromatografi pasangan ion, kromatografi
penukar ion, kromatografi eksklusi ukuran, dan kromatografi afinitas.
Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dibedakan atas
kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi cair kinerja tinggi
(KCKT), dan kromatografi gas.
KCKT merupakan metode yang tidak destruktif, dapat memisahkan
komponen-komponen tidak mudah menguap, dan dapat digunakan untuk
analisis kualitatif dan kuantitatif. KCKT banyak digunakan untuk
menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asam amino, asam
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
nukleat, dan protein dalam cairan fisiologis; menentukan kadar senyawa aktif
obat, produk hasil samping proses sintesis, atau produk degradasi dalam
sediaan farmasi; memonitor sampel yang berasal dari lingkungan;
memurnikan senyawa dalam suatu campuran; memisahkan polimer dan
menentukan distribusi berat molekulnya dalam campuran; kontrol kualitas;
dan mengikuti jalannya reaksi sintesis.
Kekurangan dari metode KCKT ada pada kemampuannya dalam
identifikasi senyawa, kecuali jika KCKT dihubungkan dengan spektrometer
massa dan jika sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik sulit
diperoleh. Sedangkan keuntungan dari metode KCKT diantaranya: waktu
analisis cepat, memiliki daya pisah yang baik, pemilihan kolom dan eluen
sangat bervariasi, kolom dapat digunakan kembali, dan dapat digunakan
untuk molekul besar maupun kecil.
2.5.1 Instrumentasi
a. Wadah fase gerak
Dapat digunakan wadah pelarut kosong atau labu laboratorium
dengan kondisi wadah yang bersih dan lembam (inert).
b. Pompa
Tujuan penggunaan pompa adalah untuk menjamin proses
penghantaran fase gerak berlangsung secara cepat, reproducible,
konstan, dan bebas dari gangguan. Pompa yang digunakan harus
inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa
adalah gelas, baja tahan karat, teflon, atau batu nilam. Ada dua jenis
pompa, yaitu pompa dengan tekanan konstan dan pompa dengan
aliran fase gerak yang konstan. Pompa yang digunakan sebaiknya
mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu
mengalirkan fase gerak dengan kecepatan 3 mL/menit.
c. Injektor
Injektor berfungsi untuk memasukkan sampel ke dalam kolom.
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d. Kolom
Kolom adalah bagian paling penting dalam kromatografi karena di
sinilah proses pemisahan berlangsung. Berhasil atau gagalnya suatu
analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan
yang digunakan. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kolom analitik (diameter dalam 2-6 mm dengan panjang kolom
tergantung pada jenis material pengisi kolom) dan kolom preparatif
(umumnya memiliki diameter 6 mm atau lebih dan panjang kolom
25-100 cm). Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan
biasanya dioperasikan pada temperatur kamar, atau temperatur yang
lebih tinggi, terutama untuk kromatografi penukar ion dan
kromatografi eksklusi. Oktadesil silika (ODS atau C18) merupakan
fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu
memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran rendah, sedang,
maupun tinggi.
e. Detektor
Detektor digunakan untuk mendeteksi analit yang telah dipisahkan.
Detektor dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu: detektor
universal (mendeteksi analit secara umum, tidak spesifik, tidak
selektif) dan detektor spesifik (mendeteksi senyawa secara spesifik
dan selektif). Karakteristik detektor yang ideal adalah mempunyai
respon terhadap solut yang cepat dan reproducible, mempunyai
sensitifitas yang tinggi, stabil dalam pengoperasian, mempunyai sel
volume yang kecil sehingga mampu meminimalkan pelebaran pita,
sinyal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solut
pada kisaran yang luas, dan tidak peka terhadap perubahan suhu dan
kecepatan alir fase gerak. Beberapa detektor yang sering digunakan
pada KCKT:
1) Detektor Spektrofotometri UV/Vis
Detektor ini didasarkan pada adanya penyerapan radiasi UV (190-
380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) oleh analit yang yang
memiliki struktur atau gugus kromoforik. Detektor
13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
spektrofotometri UV/Vis dapat berupa detektor dengan panjang
gelombang tetap dan detektor dengan panjang gelombang
bervariasi.
2) Detektor Photodiode-Artay (PDA)
Detektor PDA merupakan detektor UV/Vis dengan beberapa
keistimewaan. Detektor ini mampu memberikan kumpulan
kromatogram secara simultan pada panjang gelombang yang
berbeda dalam sekali proses (single run). Spektrum dan
kromatogram yang dihasilkan dapat ditampilkan sebagai plot 3
dimensi absorbansi, panjang gelombang, dan waktu kemudian
dibandingkan dengan data 3 dimensi dari perpustakaan data yang
ada di komputer sehingga bisa digunakan untuk tujuan identifiksi.
3) Detektor Fluoresensi
Fluoresensi merupakan fenomena luminisensi yang terjadi ketika
suatu senyawa menyerap sinar UV atau visible lalu
mengemisikannya pada panjang gelombang yang lebih besar.
Kelemahan detektor ini adalah rentang linieritasnya yang sempit
sedangkan keunggulannya adalah memiliki sensitifitas dan
selektifitas yang tinggi.
4) Detektor Indeks Bias
Detektor Indeks Bias termasuk dalam detektor universal yang
mampu memberikan respon (signal) pada setiap zat terlarut.
Indeks bias pada kedua sel (sampel dan pembanding) harus sama
persis agar didapat garis dasar yang stabil, sehingga tidak
dianjurkan untuk elusi bergradien.
5) Detektor Elektrokimia
Banyak senyawa organik (termasuk obat) dapat dioksidasi atau
direduksi secara elektrokimia pada elektroda yang cocok.
Kepekaan detektor elektrokimia umumnya tinggi. Fase gerak
yang digunakan ketika menggunakan detektor ini harus
menggunakan elektrolit pendukung sehingga fase geraknya harus
yang bersifat polar.
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
f. Komputer, Integrator, atau Rekorder
Alat pengumpul data seperti komputer, integrator, atau rekorder
dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal
elektronik yang dihasilkan oleh detektor lalu memplotkannya
menjadi suatu kromatogram yang selanjutnya dievaluasi.
2.5.2 Fase Gerak
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri dari campuran pelarut yang
dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam elusi dan
resolusi yang ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas
fase diam, dan sifat komponen analit. Untuk fase normal, kemampuan
elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut, sedangkan
untuk fase terbalik, kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya
polaritas pelarut.
Sebelum digunakan fase gerak harus dilakukan degassing
(penghilangan gas) sebab adanya gas dapat mengacaukan analisis. Perlu
digunakan pelarut, dapar, dan reagen dengan kemurnian tinggi (atau
HPLC grade). Adanya pengotor dalam reagen dapat menyebabkan
gangguan pada sistem kromatografi. Adanya partikel kecil dapat
terkumpul dalam kolom atau dalam tabung yang sempit, sehinga dapat
mengakibatkan suatu kekosongan pada kolom atau tabung tersebut.
Elusi dapat dilakukan dengan cara isokratik (komposisi fase gerak
tetap selama elusi) atau dengan cara gradien (komposisi fase gerak
berubah-ubah selama elusi). Elusi dengan gradien terutama digunakan
untuk meningkatkan resolusi campuran yang kompleks terutama jika
sampel mempunyai kisaran polaritas yang luas.
2.5.3 Waktu Retensi
Waktu retensi (tR) merupakan lamanya waktu yang dibutuhkan
solut untuk melewati kolom menuju detektor sedangkan waktu mati (t0
atau tM) merupakan waktu yang dibutuhkan oleh solut yang tidak
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tertahan oleh kolom dan bermigrasi dengan kecepatan yang sama
dengan fase gerak (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.5.4 Efisiensi Kolom
Parameter efisiensi kolom pada kromatografi yang biasanya
digunakan adalah jumlah lempeng atau plate number teoritis (N) dan
tinggi setara pelat teori atau height equivalent theorotical plate (HETP).
HETP adalah panjang kolom kromatografi (mm) yang diperlukan
sampai terjadinya keseimbangan molekul solut dalam fase gerak dan
fase diam. Kolom yang memberikan jumlah lempeng (N) yang besar
dan nilai HETP yang kecil akan mampu memisahkan komponen-
komponen dalam dalam suatu campuaran dengan baik yang berarti
bahwa efisiensi kolom besar (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.5.5 Analisis Kuantitatif
Dasar perhitungan kuantitatif untuk suatu komponen zat yang
dianalisis adalah dengan mengukur luas area atau tinggi area yang akan
berbanding langsung dengan banyaknya solut yang dikromatografi jika
dilakukan pada detektor yang linier. Tinggi puncak diukur sebagai jarak
dari garis dasar ke puncak maksimum sedangkan luas area diukur
sebagai hasil kali tinggi puncak dan lebar pada setengah tinggi.
Integrator akan mengukur luas area dan mengubahnya dalam bentuk
angka (Gandjar dan Rohman, 2007).
2.6 Validasi Metode Analisis
Validasi metode analisis adalah suatu tindakan penilaian terhadap
parameter tertentu, berdasarkan percobaan laboratorium, untuk membuktikan
bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya.
Beberapa parameter dalam validasi metode analisis:
16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.6.1 Akurasi (accuracy) (Harmita, 2004)
Kecermatan merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan
antara hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan
dapat dinyatakan sebagai persen differential (%diff). Persen differential
dinyatakan sebagai perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan
hasil yang sebenarnya. Rentang %diff yang diijinkan adalah 2%.
2.5.1 Presisi (precision) (Harmita, 2004)
Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil
individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada
sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen.
Keseksamaan dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability)
atau ketertiruan (reproducibility). Keterulangan adalah keseksamaan
metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi
sama dan dalam interval waktu yang pendek. Ketertiruan adalah
keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda.
Biasanya analisis dilakukan dalam laboratorium-laboratorium yang
berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut, dan analis yang
berbeda pula. Presisi mencakup: SD (standar deviasi) dan %RSD
(persen standar deviasi relatif). Semakin kecil nilai SD dan %RSD dari
serangkaian pengukuran, maka metode yang diguanakan semakin tepat.
Percobaan keseksamaan dilakukan terhadap paling sedikit enam
sampel yang diambil dari campuran sampel dengan matriks yang
homogen. Secara umum, kriteria seksama dapat diberikan jika metode
memberikan %RSD atau KV 2% atau kurang.
2.5.2 Linieritas dan Kisaran (range) (Harmita, 2004)
Linearitas adalah kemampuan metode analisis untuk memperoleh
hasil uji yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi
matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam
sampel. Rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi
17
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan,
keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima. Digunakan satu seri
larutan yang berbeda konsentrasinya antara 50–150% kadar analit
dalam sampel. Jumlah sampel yang dianalisis sekurang-kurangnya
delapan buah sampel blanko.
Koefisien korelasi (r) pada analisis regresi linier Y = a + bX
digunakan sebagai parameter adanya hubungan linier. Hubungan linier
yang ideal dicapai jika nilai b = 0 dan r = +1 atau –1, sedangkan nilai a
menunjukkan kepekaan analisis.
2.5.3 Batas deteksi (LOD) dan Batas Kuantifikasi (LOQ) (Harmita,
2004)
Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang
dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan
dibandingkan dengan blangko namun tidak selalu diukur, sedangkan
batas kuantitasi diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel
yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama.
2.5.4 Kesesuaian Sistem (Gandjar dan Rohman, 2007)
Kesesuaian sistem didefinisikan sebagai serangkaian uji untuk
menjamin bahwa metode tersebut dapat menghasilkan data yang dapat
diterima. Dari validasi metode yang dilakukan dapat diketahui apakah
suatu metode analisis (dalam hal ini kromatografi) dapat dipakai pada
suatu kondisi tertentu.
2.7 Metode Analisi Glukosamin HCl
Beberapa studi yang berkaitan dengan metode analisis derivatisasi
glukosamin HCl yang telah dipublikasikan:
a. Optimasi kromatografi cair kinerja tinggi fase terbalik untuk mengevaluasi
penyerapan glukosamin hidroklorida perkutan (Tekko, Ismaiel A, Michael
C. Bonner, Adrian C. Williams, 2006)
Kondisi:
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Metode KCKT berdasarkan reaksi dari phenylisothiocyanate (PITC)
dengan glukosamin (GL) dalam media basa untuk menentukan glukosamin
hidroklorida yang berpenetrasi melalui kulit manusia secara in vitro.Reaksi
menghasilkan feniltiokarbamil-glukosamin (PTC-GL) yang dipisahkan
pada kolom fase-balik (RP) 5μm ODS (C18) menggunakan detektor diode
array (DAD) pada 245 nm. Fase geraknya adalah metanol-air- asam asetat
glasial (10,00 : 89,96 : 0,04 v/v/v, pH 3,5) pada laju alir 1 ml/min dan suhu
kolom pada 30°C. Reaksi derivatisasi terjadi pada kondisi suhu 80˚C, 30
min dan 1% v/v. Galactosamine hidroklorida (Gal-HCl) digunakan sebagai
standar internal. PTC-Gal dan GL terelusi pada 8,9 dan 9,7 menit. Respon
detektor linier pada kisaran konsentrasi 0-1000 ug/ml. Pengujian
robustness dengan presisi intra dan inter-day (% standar relatif deviasi,%
R.S.D.) <12. Akurasi intra dan inter-day (% kesalahan relatif,% RE)
adalah ≤-5.60 dan ≤-8,00.
b. Penetapan kadar glukosamin hidroklorida dalam bahan baku, bentuk
sediaan, dan plasma menggunakan derivatisasi pra-kolom secara KCKT
dengan detektor ultraviolet (Liang, Zhongming, James Leslie, Abimbola
Adebowale, Ashraf Mohammed, Eddington, Natalie D. 1999)
Kondisi:
Analisis sampel dengan KCKT detektor UV/Vis pada panjang gelombang
254 nm, menggunakan kolom C18, dan fase gerak metanol:air:asam asetat
(10,00 : 89,96 : 0,04 v/v/v) dengan kecepatan alir 1,2 mL/menit dan
diderivatisasi dengan fenilisotiosianat (PITC). Didapatkan rentang
linieritas pada kurva kalibrasi sebesar 0,99 dengan konsentrasi 6,65-16,63
μg/mL, presisi 5% pada semua konsentrasi, dan akurasi intra-day dan
inter-day 2,54-2,70%.
c. Penentuan glukosamin sulfat dan kitosan dalam bahan mentah dan bentuk
sediaan dengan KCKT ( El-Saharty, Yasser dan Bary, Ahmed Abdel,
2002)
Kondisi:
Analisis glukosamin dan (-1-4)-polymeric dari kitosan dengan KCKT
detektor indeks refraktif, menggunakan kolom aminophase, dan fase gerak
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
asetonitril:air:asam asam asetat (50 : 50 : 0,02) pH 4,0 dengan volume
injeksi 20 μL. Didapatkan rentang linieritas pada kurva kalibrasi sebesar
0,99 dengan konsentrasi 20-1000 μg/mL, presisi pada sampel bentuk
sediaan tidak kurang dari 3% pada semua konsentrasi.
d. Penentuan glukosamin pada bahan mentah dan suplement makanan
mengandung glukosamin sulfat dan/atau glukosamin hidroklorida secara
KCKT dengan derivatisasi FMOC-Su: sebuah studi kolaboratif (Zhou,
Joseph Ziqi, Ted Waszkuc dan Felicia Mohammed, 2005)
Kondisi:
Analisis sampel dengan KCKT detektor UV/Vis pada panjang gelombang
265 nm, menggunakan kolom ODS (C18), dan fase gerak bergradien
selama 15 menit dengan fase gerak A =0,05% TFA (0,5 mL TFA dan 1L
air) dan fase gerak B = asetonitril 100%, kecepatan alir 0,8 mL/menit dan
diderivatisasi dengan N-(9-fluorenyl-methoxycarbonyloxy) succinimide
(FMOC-Su). Didapatkan perolehan kembali pada puncak spike 100%
adalah 99,0% dengan %RSD 2,1% dan puncak spike 150% adalah 101%
dengan %RSD 2,3%. Hasil tes antar laboratorium menunjukan nilai
ketertiruan (reproducible) 4,0% dan keterulangan (repeatable) 0,7%.
e. Analisis kitosan menggunakan hidrolisis asam dan KCKT/UV (Yan, Xun
dan Heidii M. Evenocheck, 2012)
Kondisi:
Analisis sampel dengan KCKT detektor UV/Vis pada panjang gelombang
265 nm, menggunakan kolom ODS (C18), dan fase gerak bergradien
dengan fase gerak A =70% dari 0,05% TFA dalam air dan fase gerak B =
30% asetonitril dimana setelah 6 menit diganti menjadi 100% asetonitril,
dengan kecepatan alir 0,8 mL/menit, volume injeksi 10 μL, dan
diderivatisasi dengan N-(9-fluorenyl-methoxycarbonyloxy) succinimide
(FMOC-Su). Kitosan dapat dihidrolisis dengan asam secara kuatitatif
menjadi glukosamin dengan 10 M HCl pada suhu 105˚C atau 12 M HCl
pada suhu 90˚C selama 6 jam. Metode selanjutnya divalidasi untuk
linieritas, presisi, dan akurasi pada kitosan dan formulasi suplement yang
mengandung kitosan.
20
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
f. Penentuan glukosamin dan carisoprodol pada sediaan farmasi secara
kromatografi cair dengan derivatisasi sebelum kolom dan deteksi
ultraviolet (Hadad, Ghada M., Randa A. Abdel Salam dan Samy Emara,
2012)
Kondisi:
Analisis glukosamin dengan atau tanpa kombinasi carisoprodol dengan
KCKT detektor UV/Vis pada panjang gelombang 280 nm, menggunakan
kolom ODS (C18), dan fase gerak asetonitril:air (10 : 90) pH 7,3 yang
disesuaikan oleh NaOH 0,1 M, kecepatan alir 1,0 mL/menit dan
diderivatisasi dengan 1,2-naphtoquinone-4-sulphonic acid sodium (NQS)
dan dapar borat dan volume injeksi 20 μL. Derivatisasi dilakukan dalam
kondisi optimum NQS 100 ppm, dapar borat 0,1 M, pH 8,5 selama 20
menit pada suhu 70˚C .
21 UIN Syarif Hidayatullah jakarta
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, selama tiga bulan dimulai dari bulan
Juni samapi dengan September 2016.
3.2 Alat
Kromatografi cair kinerja tinggi (JBIC Loan IP – 530 OGAWA SEIKI
DIONEX), kolom ODS/C18 5 μm (4,6 x 250 mm), dan pengolah data pada
komputer, syringe, sonikator (Elmasonic), pH meter, timbangan analitik,
sentrifugator, tabung sentrifugasi, vortex, magnetic stirer, buret, pipet mikro,
mikrotip kuning dan biru, pipet tetes, alat alat gelas, turbo evaporator
(TurboVap® LV), lemari pendingin (Sanyo Medicool), dan oven (Memmert).
4.3 Bahan
Glukosamin hidroklorida, phenyl isotiosianat (PITC) (Sigma-Aldrich),
aquabidest (Otsuka), metanol pro HPLC (Merck), natrium dihidrogen fosfat
(Na2HPO4) (Merck), asam fosfat 85%, asam asetat glasial (Merck), kitosan,
natrium tripolifosfat (Na-TPP), dan aquadest.
4.4 Pembuatan Bahan
4.4.1 Pembuatan Larutan Induk Glukosamin HCl
Ditimbang secara seksama 25,5 mg glukosamin HCl, dilarutkan
dengan aquabidest, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 25,0 mL,
dan ditambahkan sampai tanda batas sehingga diperoleh larutan
glukosamin HCl dengan konsentrasi 1,02 mg/mL (1020 ppm).
Dilakukan pengenceran untuk mendapatkan larutan dengan konsentrasi
tertentu.
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.4.2 Pembuatan Larutan Dapar Fosfat 0,3 M pH 8,0
Ditimbang 2,1293 gram dinatrium hidrogen fosfat (Na2HPO4),
kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, dilarutkan dengan
aquabidest, dan ditambahkan aquabidest sampai tanda batas. Periksa pH
larutan, kemudian disesuaikan hingga mencapai pH 8,0 dengan asam
fosfat 85%.
4.4.3 Pembuatan Larutan PITC 1%
Diambil 50 μL PITC, dilarutkan dengan metanol, kemudian
dimasukkan ke dalam labu ukur 5,0 mL, dan ditambahkan sampai tanda
batas.
4.5 Optimasi Kondisi Analisis
4.5.1 Penentuan Panjang Gelombang Analisis
Larutan standar glukosamin HCl diderivatisasi dengan cara
konsentrasi 204 ppm diambil sebanyak 400 μL dimasukkan ke dalam
tabung reaksi, kemudian ditambahkan 250 μL 0,3 M dapar fosfat pH
8,0 dan 200 μL metanol. Campuran tersebut dikocok dan dibiarkan
selama 15 menit, kemudian ditambahkan 250 μL larutan PITC 1%.
Sampel divortex selama 15 detik, kemudian ditempatkan di oven pada
suhu 80˚C selama 30 menit. Sampel kemudian dievaporasi dalam alat
turbo evaporator sampai kering pada suhu 50˚C di bawah gas nitrogen.
Setelah kering, residu dilarutkan dalam 4 mL fase gerak KCKT
sehingga konsentrasi akhir yang dihasilakan adalah 20,4 ppm. Larutan
diambil sebanyak 20 μL kemudian disuntikkan ke dalam KCKT dengan
komposisi fase gerak: metanol-aquabidest-asam asetat (10,00 : 89,96 :
0,04) dengan kecepatan alir 1,0 mL/menit dengan metode 3D. Dicatat
panjang gelombang analisisnya dari kromatogram 3D.
4.5.2 Pemilihan Laju Alir Fase Gerak untuk Analisis
Larutan standar glukosamin HCl konsentrasi 204 ppm
diderivatisasi dengan cara yang sama seperti poin sebelumnya. Setelah
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kering, residu dilarutkan dalam 4 mL fase gerak KCKT sehingga
konsentrasi akhir yang dihasilkan adalah 20,4 ppm. Larutan diambil
sebanyak 20 μL kemudian disuntikkan ke dalam KCKT dengan
komposisi fase gerak: metanol-aquabidest-asam asetat (10,00 : 89,96 :
0,04) dengan kecepatan alir 1,0 mL/menit dan 1,5 mL/menit. Kemudian
dicatat waktu retensi (tR), dihitung faktor ikutan (Tf), jumlah lempeng
teoritis (N), HETP, dan %RSD.
4.6 Uji Kesesuaian Sistem
Larutan standar glukosamin HCl konsentrasi 204 ppm diderivatisasi
dengan cara yang sama seperti poin sebelumnya. Setelah kering, residu
dilarutkan dalam 4 mL fase gerak KCKT sehingga konsentrasi akhir yang
dihasilkan adalah 20,4 ppm. Larutan diambil sebanyak 20 μL kemudian
disuntikkan ke dalam KCKT dengan kondisi analisis terpilih. Prosedur ini
diulang sebanyak lima kali. Kemudian dicatat waktu retensi (tR), dihitung
faktor ikutan (Tf), jumlah lempeng teoritis (N), HETP, dan %RSD.
4.7 Validasi Metode Glukosamin HCl
4.7.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Uji Linieritas
Larutan standar glukosamin HCl dengan konsentrasi 40,8; 81,6;
122,4; 163,2; dan 204 ppm diderivatisasi dengan cara yang sama seperti
poin sebelumnya. Setelah kering, residu dilarutkan dalam 4 mL fase
gerak KCKT sehingga konsentrasi akhir yang dihasilakan adalah 4,08;
8,16; 12,24; 16,32; dan 20,4 ppm. Larutan diambil sebanyak 20 μL
kemudian disuntikkan ke dalam KCKT dengan kondisi analisis terpilih.
Dari data pengukuran dibuat kurva kalibrasi dengan menggunakan
persamaan garis regresi linear (y=a+bx), dimana x adalah konsentrasi
glukosamin HCl dan y adalah luas area glukosamin HCl. Dari
persamaan garis regresi linear kemudian diperoleh koefisien korelasi (r)
yang menunjukan linieritasnya.
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.7.2 Uji Batas Deteksi (LOD) dan Batas Kuantitasi (LOQ)
Batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) dihitung secara
statistik pada garis linier dari kurva kalibrasi.
4.7.3 Uji Presisi dan Uji Akurasi
Larutan standar glukosamin HCl dengan tiga konsentrasi (3 kali
nilai LOQ, 50% dan 90% dari konsentrasi tertinggi kurva kalibrasi)
diderivatisasi dengan cara yang sama seperti poin sebelumnya. Setelah
kering, residu dilarutkan dalam 4 mL fase gerak KCKT. Larutan
diambil sebanyak 20 μL kemudian disuntikkan ke dalam KCKT dengan
kondisi analisis terpilih. Prosedur diulang sebanyak tiga kali pada
masing-masing konsentrasi untuk menilai presisi secara intra-day dan
prosedur diulang pada dua hari berturut-turut untuk menilai presisi
secara inter-day. Dari data yang diperoleh, dihitung nilai %RSD pada
masing-masing konsentrasi untuk uji presisi dan %diff untuk uji
akurasi.
4.7.4 Uji Stabilitas Hasil Derivatisasi
Larutan standar glukosamin HCl konsentrasi 204 ppm
diderivatisasi dengan cara yang sama seperti poin sebelumnya. Setelah
kering, residu dilarutkan dalam 4 mL fase gerak KCKT sehingga
konsentrasi akhir yang dihasilakan adalah 20,4 ppm. Sampel pertama
langsung dilarutkan dalam fase gerak (konsentrasi akhir yang
dihasilakan adalah 20,4 ppm) dan langsung disuntikkan. Sampel kedua
disimpan selama rentang waktu 24 jam, kemudian sampel dilarutkan
dalam fase gerak (konsentrasi akhir yang dihasilakan adalah 20,4 ppm)
dan disuntikkan ke KCKT dengan kondisi kromatografi terpilih.
Sampel ketiga disimpan dengan fase gerak selama 24 jam dan
disuntikkan ke KCKT dengan kondisi kromatografi terpilih. Gejala
ketidakstabilan zat dapat diamati dengan mengamati luas area
kromatogram dan bentuk kromatogram.
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.8 Uji Analisis pada Sampel Glukosamin dalam Kitosan Nanopartikel
4.8.1 Penyiapan Sampel Glukosamin dari Dispersi Nanopartikel
Nanopartikel Kitosan yang mengandung glukosamin HCl dibuat
dengan cara melarutkan 1 gram glukosamin HCl ke dalam 40 ml larutan
kitosan 1% dalam asam asetat 1%. Sebanyak 10 ml larutan Na-TPP
0,2%, ditambahkan ke dalam larutan kitosan untuk dilakukan sambung
silang sambil diaduk menggunakan bantuan pengaduk magnetik hingga
terbentuk dispersi nanopartikel. Konsentrasi akhir glukosamin HCl
dalam cairan nanopartikel adalah 1 gram/50 mL atau 20000 ppm.
4.8.2 Analisis Glukosamin dari Dispersi Nanopartikel
Dispersi nanopartikel diambil, dimasukkan ke dalam tube
sentrifuge berukuran 2 mL dan disentrifugasi pada 13000 rpm selama
20 menit pada suhu ruang. Supernatan yang terbentuk diambil untuk
diderivatisasi dan dianalisis pada kondisi kromatografi terpilih dengan
pengenceran 600 kali.
26 UIN Syarif Hidayatullah jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Optimasi Kondisi Analisis
4.1.1 Penentuan Panjang Gelombang Analisis
Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini mengikuti
metode penelitian yang dilakukan Tekko, dkk (2006) mengenai
optimasi proses derivatisasi glukosamin HCl dengan menggunakan
fenil isotiosianat (PITC). Berdasarkan metode tersebut, panjang
gelombang yang digunakan adalah 245 nm. Pada penelitian ini, untuk
membuktikan bahwa hasil derivatisasi glukosamin dengan PITC
dianalisis pada panjang gelombang tersebut maka dilakukan dengan
menganalisis standar glukosamin yang telah diderivatisasi dan dibuat
kromatogram 3D-nya pada kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
dengan menggunakan detektor dioda array (DAD). Dari hasil
kromatogram 3D tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil derivatisasi
glukosamin dan PITC dianalisis pada panjang gelombang 245 nm.
4.1.2 Pemilihan Laju Alir Fase Gerak untuk Analisis
Pada tahap pemilihan komposisi fase gerak digunakan larutan
glukosamin standar. Kondisi awal analisis adalah metanol-air-asam
asetat glasial (10,00 : 89,96 : 0,04) dengan laju alir 1,0 mL/menit. Pada
kondisi ini glukosamin terpisah dengan waktu retensi 14,752 menit.
Pada kondisi fase gerak tersebut waktu retensi yang dihasilkan terlalu
lama. Oleh karena itu, dilakukan percobaan dengan menggunakan laju
alir 1,5 mL/menit dengan komposisi fase gerak yang sama. Pada laju
alir 1,5 mL/menit, puncak yang dihasilkan menjadi dua dengan waktu
retensi 11,007 menit tetapi memiliki jumlah lempeng teoritis (N),
HETP, faktor ikutan (Tf) dan resolusi yang lebih buruk, sehingga laju
alir yang digunakan adalah 1,0 mL/menit.
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
a. b.
Gambar 4.1 Kromatogram glukosamin HCl dengan (a) laju alir 1,0 mL/menit (b)
laju alir 1,5 mL/menit
Tabel 4.1. Hubungan antara waktu retensi, jumlah lempeng teoritis, resolusi,
dan faktor ikutan kromatogram glukosamin terhadap laju alir
Laju alir
(mL/menit)
Waktu
retensi
(menit)
Jumlah
lempeng
teoritis.(N)
HETP Faktor ikutan
(asimetrisitas)
Resolusi
1,0 14,752 6819 0,036 1,70 2,03
1,5 11,007 1590 0,157 1,08 n.a
Persyaratan > 2500 Semakin
kecil,
maka
efisiensi
kolom
semakin
baik
< 2 ≥ 1,5
4.2 Uji Kesesuaian Sistem
Secara normal terdapat variasi dalam peralatan dan teknik analisis
sehingga uji kesesuaian sistem perlu dilakukan. Uji kesesuaiaan sistem perlu
dilakukan sebelum metode analisis terpilih dilaksanakan untuk memastikan
sistem operasional akhir adalah efektif dan memberikan jaminan bahwa
sistem kromatografi yang digunakan akan bekerja dengan baik selama
analisis berlangsung. Dari hasil 5 kali penyuntikan, dihitung %RSD luas area
dan waktu retensi, jumlah lempeng teoritis (N), HETP, faktor ikutan
(asimetrisitas) dan resolusi. Dari data tersebut dapat terlihat persyaratan untuk
uji kesesuaian sistem telah terpenuhi.
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.2. Data uji kesesuaian sistem
Waktu
retensi
(menit)
Luas area
(mAU)
Jumlah
lempeng
teoritis (N)
HETP Faktor ikutan
(asimetrisitas) Resolusi
Rata-rata
14,752
Rata-rata
6,033
Rata-rata
4138,4
Rata-rata
0,06411 Rata-rata 1,524
Rata-
rata
3,212
%RSD =
0,278 %
Persyaratan
2,0 %
%RSD =
1,255 %
Persyaratan
2,0 %
Persyaratan
2500
Semakin
kecil,
maka
efisiensi
kolom
semakin
baik
Persyaratan 2
Per-
syaratan
≥1,5
4.3 Validasi Metode Analisis
4.3.1 Pembuatan Kurva Kalibrasi dan Linieritas
Kurva kalibrasi dibuat pada rentang konsentrasi 4,08-20,4 ppm,
yaitu 4,08; 8,16; 12,24; 16,32; dan 20,4 ppm. Berdasarkan metode
dalam jurnal Tekko, dkk (2006) hasil derivatisasi glukosamin HCl
dilarutkan dalam 400 μL fase gerak dari sistem kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT). Volume tersebut tidak mencukupi untuk
dilakukan penyaringan, sehingga derivatisasi dilakukan pada
konsentrasi 10 kalinya. Konsentrasi glukosamin HCl yang dibutuhkan
untuk mencapai konsentrasi akhir 20,4 ppm digunakan konsentrasi
glukosamin HCl 204 ppm, kemudian dilarutkan dalam 4000 μL (4mL)
fase gerak sistem KCKT.
Berdasarkan hasil perhitungan statistik regresi linier diperoleh
garis kurva kalibrasi y = 0,298 x + 0,016, dimana x adalah konsentrasi
dan y adalah Luas area dari hasil derivatisasi glukosamin dengan PITC.
Koefisien korelasi yang didapat adalah r = 0,999 dan telah memenuhi
kriteria uji linieritas untuk suatu metode analisis yang valid.
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tabel 4.3. Data kurva kalibrasi
Konsentrasi (ppm) Luas area (mAU)* RSD (%)
4,08 1,215 1,185
8,16 2,411 1,252
12,24 3,718 1,712
16,32 4,900 0,534
20,40 6,037 0,596 Keterangan : * Rata-rata dari 3 kali ulangan
Gambar 4.2 Kurva kalibrasi glukosamin hidroklorida
4.3.2 Uji Batas Deteksi dan Uji Batas Kuantifikasi
Batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ) dihitung secara
statistik pada garis linier dari kurva kalibrasi. Nilai LOD yang didapat
adalah 0,5419 ppm dan nilai LOQ yang didapat adalah 1,805 ppm.
Perhitungan nilai LOD dan LOQ dapat dilihat pada Lampiran 4.
4.3.3 Uji Presisi dan Uji Akurasi
Data uji presisi menunjukkan derajat kesesuaian atau kedekatan
antara hasil pengujian yang satu dengan yang lainnya. Pada penelitian
ini, uji presisi dilakukan sebanyak 3 kali pengukuran yang dilakukan
selama sehari (intraday) dan selama 2 hari (interday). Digunakan 3
konsentrasi yang digunakan pada uji presisi, yaitu konsentrasi rendah,
sedang, dan tinggi. Konsentrasi rendah merupakan tiga kali dari nilai
LOQ. Konsentrasi sedang merupakan 50% dari konsentrasi analit
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tertinggi pada kurva kalibrasi. Konsentrasi tinggi merupakan 90% dari
konsentrasi analit tertinggi pada kurva kalibrasi. Maka didapat
konsentrasi rendah 6,12 ppm, konsentrasi sedang 10,2 ppm, dan
konsentrasi tinggi 18,36 ppm.
Uji presisi menggunakan data %RSD untuk menunjukan
tervalidasi suatu metode. Data %RSD semua konsentrasi pada hari ke-1
dan ke-2 dapat dilihat pada Tabel 5.4. Dari hasil percobaan uji presisi
yang telah dilakukan, semua data sudah memenuhi kriteria yang
dipersyaratkan. Persyaratan yang ditetapkan untuk uji presisi adalah
<2%. Perhitungan %RSD uji presisi dapat dilihat pada Lampiran 5.
Uji akurasi menggunakan data %diff untuk menunjukan
tervalidasi suatu metode. Data %diff semua konsentrasi pada hari ke-1
dan ke-2 dapat dilihat pada Tabel 5.4. Dari hasil percobaan uji akurasi
yang telah dilakukan, semua data sudah memenuhi kriteria yang
dipersyaratkan. Persyaratan yang ditetapkan untuk uji presisi adalah
<2%. Perhitungan %diff uji presisi dapat dilihat pada Lampiran 5.
Tabel 4.4. Data uji presisi dan uji akurasi
Konsentrasi
(ppm)
Hari ke-1 Hari ke-2
6,12 10,2 18,36 6,12 10,2 18,36
Luas area
(mAU)
1,8873 3,0461 5,509 1,893 3,0216 5,5063
1,8549 3,0867 5,4549 1,7667 3,0748 5,3093
1,8438 3,1031 5,4907 1,8183 3,0579 5,4527
%RSD 1,2139 0,9531 0,5017 1,0455 0,2669 1,8783
% diff 1,2195 0,7578 -0,0441 -0,7545 -0,1371 -1,1791
4.3.5 Uji Stabilitas Hasil Derivatisasi Glukosamin HCl
Sampel yang disimpan selama 24 jam tidak menunjukan
perubahan yang signifikan pada kromatogram dibandingkan dengan
sampel yang disiapkan sesaat sebelum disuntikkan, sedangkan sampel
yang telah dilarutkan dengan 4 mL fase gerak dan disimpan selama 24
jam dianalisis, hasilnya menunjukan adanya perubahan pada bentuk
kromatogram dan luas area yang dihasilkan. Luas area pada sampel jam
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ke-0 adalah 5,956 mAU, sampel 24 jam kering adalah 6,158 mAU, dan
sampel 24 jam dan fase gerak adalah 3,332 mAU. Terdapat perbedaan
yang cukup besar pada luas area antara sampel yang disimpan 24 jam
dengan fase gerak dengan sampel jam ke-0. Dianjurkan untuk
melarutkan hasil derivatisasi dengan fase gerak sesaat sebelum
dianalisis.
a. b. c.
Gambar 4.3 Kromatogram glukosamin HCl (a) 0 jam
(b) 24 jam kering (c) 24 jam + fase gerak
4.4 Uji Analisis pada Sampel Kitosan Nanopartikel
Efisiensi penjerapan sampel yang dianalisis menggunakan metode
analisis tidak langsung dilakukan dengan perhitungan dengan rumus:
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑧𝑎𝑡 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑓 −𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑧𝑎𝑡 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑓 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑢𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎𝑡𝑎𝑛
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑧𝑎𝑡 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑓 x 100%
Data yang diperoleh dari percobaan ini dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Perhitungan efisiensi penjerapan dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 4.5. Data uji analisis glukosamin pada dispersi nanopartikel kitosan
Pengulangan Luas Area
(mAU)
Konsentrasi setelah
dikali faktor
pengenceran
% Efisiensi
penjerapan
1 2,478 4957,05 75,21
2 2,490 4981,21 75,09
3 2,489 4980,40 75,10
% RSD 0,274
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 4.4 Kromatogram glukosamin HCl dari sampel dispersi nanopartikel
kitosan
33 UIN Syarif Hidayatullah jakarta
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
a. Metode analisis glukosamin HCl telah tervalidasi dengan menggunakan
KCKT dengan detektor DAD, kolom ODS/C18 (250 mm), menggunakan
fase gerak: metanol-aquabidest-asam asetat (10,00 : 89,96 : 0,04) dengan
kecepatan alir 1,0 mL/menit dan dideteksi pada panjang gelombang 245
nm. Hasil derivatisasi glukosamin HCl terdeteksi pada waktu retensi
14,752 menit. Respon detektor linier pada kisaran konsentrasi 4-20 ppm
dengan persamaan kurva kalibrasi y = 0,298 x + 0,016 (r = 0,999). Nilai
LOD = 0,5419 ppm dan nilai LOQ = 1,8065 ppm. Uji presisi (%RSD) dan
akurasi (%diff) intra dan inter-day selama 2 hari yang tidak melampaui
2%.
b. Nanopartikel kitosan yang mengandung glukosamin HCl dapat dianalisis
mengguanakan metode analisis tidak langsung dan kondisi analisis yang
telah divalidasi. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk menghitung
efisiensi penjerapan glukosamin HCl dalam dispersi nanopartikel kitosan.
5.2 Saran
a. Untuk penelitian selanjutnya, dapat dilakukan validasi metode untuk
menganalisis nanopartikel kitosan yang mengandung glukosamin HCl
dengan mengguanakan metode analisis langsung.
34 UIN Syarif Hidayatullah jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Allen, L. V. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients. Sixth Edition. Rowe
R. C., Sheskey, P. J., Queen, M. E., (Editor). London. Pharmaceutical
Press and American Pharmacists Assosiation, pp. 159-160.
Andriani, Shintia. 2012. Skripsi: Optimasi Derivatisasi Glukosamin HCl dengan
9-Fluorenilmetoksikarbonil Klorida (FMOC-Cl) secara KCKT-
Fluorescensi. Universitas Indonesia.
Anumula, Kaylan rao dan paul B. Taylor. 1991. Quantitative Determination of
Phenyl Isothiocyanate-derivatized Amino Sugars and Amino Sugar
Alcohols by High-Performance Liquid Chromatography. Analytical
Biochemistry 197, 113-120.
Barclay, T.S., Tsourounis, C., McCart, G.M., 1998. Glucosamine. Ann
Pharmacotherapy 32, 574–579.
Biosynth. 2016. Phenyl isothiocyanate. Diakses dari
www.biosynth.com/en/products/organic-synthesis/basic-
intermediates/products/J-802269.html pada tanggal 27-09-2016 pada jam
19.30 WIB
Block, J. A., T. R. Oegema, J. D. Sandy and A. Plaas. 2010. Review the effects of
oral glucosamine on joint health: is a change in research approach
needed?. Osteoarthritis Research Society International. 18. 8. 5-11.
doi:10.1016/j.joca.2009.07.005.
Brigger, Irene, Catherine Dubernet, Patrick Couvreur. 2002. Nanoparticles in
cancer therapy and diagnosis. Advanced Drug Delivery Reviews 54
(2002): 631-651.
Chemical book. 2016. Phenyl isothiocyanate (103-72-0). Diakses dari
http://www.chemicalbook.com/ProductChemicalPropertiesCB5733806_
EN.htm pada tanggal 03-02-2016 pada jam 15.24 WIB.
El-Saharty, Yasser S. dan Ahmed Abdel Bary. 2002. High-performance liquid
chromatographic determination of neutraceuticals, glucosamine sulphate
and chitosan, in raw materials and dosage forms. Analytica Chimica Acta
462 125–131.
Fox, Beth Anne dan Mary M Stephens. 2007. Review: Glucosamine hydroclorida
for the treatment of osteoarthritis symptoms. Clinical Interventions in
Aging 2007:2(4) 599–604.
35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Habashi, Ali Aghazadeh, Saeed Sattari, Franco Pasutto and Fakhreddin Jamali.
2002. High Performance Liquid Chromatographic Determination of
Glucosamine in Rat Plasma. J Pharm Pharmaceut Sci
(www.ualberta.ca/~csps) 5(2):176-180.
Hadad, Ghada M., Randa A. Abdel-Salam, and Samy Emara. 2011.
Determination of Glucosamine and Carisoprodol in Pharmaceutical
Formulations by LC with Pre-Column Derivatization and UV Detection.
Journal of Chromatographic Science 2012;50:307–315
doi:10.1093/chromsci/bms008.
Han, In Hee., et al. 2010. Identification and Assessment of Permeability
Enhancing Vehicles for Transdermal Delivery of Glucosamine
Hydrochloride. Arch. Pharm. Res. Vol 33, No 2, 293-299, 2010. DOI
10.1007/s12272-010-0215-4.
Hansen, Karen E., Elliott, Mary Elizabeth. 2005. Osteoarthritis, dalam Dipiro,
Joseph T., Talbert, Robert L. ., Yee, Gary C., Matzke, Gary R., Wells,
Barbara G. Posey, L. Michael. (Eds), Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach, Sixth Edition. The McGraw-Hill
Companies, Inc. United States of America, pp. 1685,1698.
Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya.
Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. I, No. 3, 117-135.
Kealey, D dan Haines P.J. 2002. Instant Notes: Analytical Chemistry. New York,
BIOS Scientific Publisher Limited.
Liang, Zhongming, James Leslie, Abimbola Adebowale, Mohammed Ashraf, dan
Natalie D. Eddington. 1999. Determination of the nutraceutical,
glucosamine hydrochloride, in raw materials, dosage forms and plasma
using pre-column derivatization with ultraviolet HPLC. Journal of
Pharmaceutical and Biomedical Analysis, 20 (1999) 807–814.
Nollet, Leo M.L. dan Fidel Toldrá. 2012. Food Analysis by HPLC third edition.
New York, Taylor & Francis Group, LLC. pp 40-44.
Rangari, Amol T. dan Padmini Ravikumar. 2015. Polymeric Nanoparticles Based
Topical Drug Delivery: An Overview. Asian Journal of Biomedical and
Pharmaceutical Sciences. doi: 10.15272/ajbps.v5i47.718
Rodrigues, Susana., et al. 2012. Biocompatibility of Chitosan Carriers with
Application in drug Delivery. J. Funct. Biomater 3, 615-641. doi:
10.3390/jfb3030615.
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tekko, Ismaiel A, Michael c. Bonner, dan Adrian C. Williams. 2006. An
optimized reverse-phase high performance liquid chromatographic
method for evaluating percutaneous absorption of glucosamine
hydroclorida. Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis 41
(2006) 385-392. doi: 10.1016/j.jpba.2005.11.044.
Wilczewska, Agnieszka Z., Katarzyna Niemirowicz, Karolina H. Markiewicz,
Halina Car. 2012. Review: Nanoparticles as drug delivery systems.
Pharmacological Reports. 64, 1020-1-37. ISSN 1734-1140.
Yan, Xun, Heidi M. Evenocheck. 2012. Chitosan analysis using acid hydrolysis
and HPLC/UV. Elsevier Carbohydrate Polymers 87 (2012) 1774–1778
doi:10.1016/j.carbpol.2011.09.091.
Zhou, Joseph Ziqi, Ted Waszkuc, and Felicia Mohammed.2005. Determination
of Glucosamine in Raw Materials and Dietary Supplements Containing
Glucosamine Sulfate and/or Glucosamine Hydrochloride by High-
Performance Liquid Chromatography with FMOC-Su Derivatization:
Collaborative Study. Journal of AOAC International Vol. 88, No. 4.
37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Kromatogram 3D Derivatisasi Glukosamin HCl
38
UIN Syarif Hidayatullah Jakrta
Lampiran 2. Data Uji Kesesuaian Sistem
Waktu
Retensi
(menit)
Luas Area
(mAU)
Jumlah
Lempeng
Teoritis (N)
HETP Resolusi Faktor Ikutan
(asimetrisita)
14,793 5,9480 3953 0,0632 4,07 1,63
14,717 6,0919 3783 0,0661 1,51 1,27
14,700 6,1066 2966 0,0843 1,38 1,40
14,770 6,0621 3171 0,0788 3,57 1,62
14,780 5,9558 6819 0,0367 5,53 1,70
Rata-rata
14,752
%RSD
0,2778
Rata-rata
6,0329
%RSD
1,2546
Rata-rata
4138,4
Rata-rata
0,0658
Rata-rata
3,212 Rata-rata 1,524
Persyaratan
2,0 %
Persyaratan
2,0 %
Persyaratan
2500
Semakin
kecil,
maka
efisiensi
kolom
semakin
baik
Persyaratan
2
Persyaratan
≥1,5
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakrta
Lampiran 3. Data Kurva Kalibrasi
Pengulangan Konsentrasi (ppm)
20,40 16,32 12,24 8,16 4,08
1 6,0919 4,844 3,6654 2,4192 1,2084
2 5,9558 4,9668 3,789 2,401 1,2227
3 6,0621 4,9076 3,7008 2,4115 1,2136
Rata-rata 6,0366 4,906133 3,7184 2,410567 1,2149
%RSD 1,185164 1,251762 1,711807919 0,533872 0,595777
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakrta
Lampiran 4. Perhitungan nilai LOD dan LOQ
Rumus:
Keterangan :
Yi = luas area hasil pengukuran
Ῡ = luas area hasil perhitungan
Sy/x = simpangan baku residual
b = slope
LOQ = batas kuantifikasi (limit of quantification)
LOD = batas deteksi (limit of detection)
xi yi Ῡ Ῡ-yi^2
4,08 1,215 1,23184 0,000283586
8,16 2,411 2,44768 0,001345422
12,24 3,718 3,66352 0,00296807
16,32 4,906 4,87936 0,00070969
20,4 6,037 6,0952 0,00338724
Jumlah 0,008694008
Sy/x 0,0538331
LOD = 3 x 𝑠𝑦/𝑥
𝑏 = 3 x
0,0538
0,298 = 0,5419
LOQ = 10 x 𝑠𝑦/𝑥
𝑏 = 10 x
0,0538
0,298 = 1,8065
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakrta
Lampiran 5. Perhitungan %RSD dan Perhitungan %diff
Rumus perhitungan %RSD :
SD = √(∑(𝑥−𝑥′)2)
𝑛−1 RSD =
𝑆𝐷
𝑥′ x 100% %diff =
𝐵−𝐴
𝐴 𝑥 100%
Keterangan:
SD = Standart Deviation
x = konsentrasi dari perhitungan
x’ = konsentrasi rata-rata (mean)
n = jumlah data
RSD = Relative Standart Deviation
A = Konsentrasi sesungguhnya
B = Konsentrasi terukur rata-rata
Contoh perhitungan untuk presisis dan akurasi konsentrasi 6,12 ppm hari pertama
y x
1,8873 6,2795
1,8549 6,1708
1,8438 6,1336
Rata – rata (x’) atau (B) 6,1946
a. Presisi (%RSD)
SD = √∑(𝑥−𝑥′)2
𝑛−1 = √
(6,2795−6,1946)2+ (6,1708−6,1946)2+ (6,1336−6,1946)2
2 = 0,0758
RSD = 0,0758
6,1946 𝑥 100% = 1,2236 %
b. Akurasi (%diff)
%diff = 6,1946−6,12
6,12 𝑥 100% = 1,219 %
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakrta
Lampiran 6. Data Uji Stabilitas
Parameter 0 jam 24 jam kering 24 jam + fase gerak
Waktu retensi
(menit) 14,793 15,067 15,267
Jumlah Lempeng
(N) 6819 7642 2580
HETP 0,044 0,039 0,116
Faktor ikutan
(asimetrisitas) 1,70 1,36 n.a
Resolusi (R) 5,53 4,34 2,40
Luas Area
(mAU) 5,956 6,158 3,332
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakrta
Lampiran 7. Perhitungan Efisiensi Penjerapan
Rumus perhitungan efisiensi penjerapan :
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑧𝑎𝑡 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑓 −𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑧𝑎𝑡 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑓 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑠𝑢𝑝𝑒𝑟𝑛𝑎𝑡𝑎𝑛
𝑘𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑧𝑎𝑡 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑓 x 100%
Konsentrasi akhir glukosamin HCl dalam cairan nanopartikel adalah 1 gr/50 mL
atau 20000 ppm.
Luas Area (mAU) Konsentrasi setelah dikali faktor
pengenceran (ppm) % efisien
2,4780 4957,04698 75,21477
2,4900 4981,20805 75,09396
2,4896 4980,40269 75,09799
Pengulangan 1
Konsentrasi setelah dikali faktor pengenceran = 4957,05 ppm
% Efisiensi penjerapan = 20000−4957,05
20000 x 100% = 75,21%
Pengulangan 2
Konsentrasi setelah dikali faktor pengenceran = 4981,21 ppm
% Efisiensi penjerapan = 20000−4981,21
20000 x 100% = 75,09%
Pengulangan 3
Konsentrasi setelah dikali faktor pengenceran = 4980,40 ppm
% Efisiensi penjerapan = 20000−4980,40
20000 x 100% = 75,10%
Recommended