View
229
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
KEANGGOTAAN CINA DALAM WTO DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PENERAPAN SISTEM
EKONOMI PASAR SOSIALIS DI CINA (1994-2005)
SKRIPSI
Diajukan sebagai pemenuhan atas salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Humaniora
ARIF SUSILIYAWATI
0806354661
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI CINA
DEPOK
JULI 2012
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
iv
KATA PENGANTAR
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
v
KATA PENGANTAR
千 里 之 行,始 于 足 下
Qiān lĭ zhī xíng, shĭ yú zú xià
“The journey of a thousand miles begins with the first step”
Ungkapan Cina di atas kiranya menjadi salah satu penyulut harapan
penulis dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini. Keyakinan bahwa kerja
keras akan berujung pada keberhasilan menjadi penyemangat penulis untuk
melewati setiap rangkaian proses penulisan skripsi ini secara ulet dan sabar.
Berbagai kesibukan, seperti aktivitas kampus dan non-kampus, kompetisi, serta
pekerjaan yang penulis lakukan di semester kedelapan ini, tidak memupuskan
target penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi tepat waktu, sebagaimana
penulis impikan sejak memulai studi di Universitas Indonesia. Oleh karena itu,
penulis menganggap penulisan skripsi ini merupakan salah satu prestasi dan
pengalaman belajar yang sangat berharga. Prestasi ini tentulah bukan didapatkan
semata-mata karena hasil kerja keras penulis, melainkan karena dukungan, doa,
dan dorongan semangat dari berbagai pihak yang tak pernah putus. Karenanya,
saya ingin menghaturkan rasa syukur dan terima kasih saya kepada:
1) Allah SWT Yang Maha Kuasa (القادر) dan Yang Maha Penolong (الناصر).
Tanpa izin dan pertolongan-Nya, penulis tidak akan mampu menyelesaikan
skripsi ini;
2) Bapak Dr. Priyanto Wibowo M.Hum selaku pembimbing skripsi sekaligus
dosen Program Studi Cina UI yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan
pikiran untuk membimbing saya selama penulisan skripsi ini serta
memberikan kepercayaan dan semangat kepada penulis;
3) Bapak Dr. Adrianus L.G. Waworuntu, M.A. dan Bapak Iwan Fridolin,
M.Hum. selaku pembaca skripsi atas saran maupun kritik konstruktif yang
sangat berharga dalam perbaikan skripsi ini dan mengembangkan
kemampuan penulis secara umum di masa mendatang;
4) Semua dosen-dosen Program Studi Cina FIB UI, khususnya dosen pengajar
mata kuliah Sejarah Cina yang telah membimbing penulis selama empat
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
vi
tahun ini dengan sabar dan membagi ilmu yang sangat berharga dan
bermanfaat bagi studi penulis;
5) Ayah tercinta yang senantiasa membangun kepercayaan diri penulis dan
memberikan dukungan sepenuh hati secara material dan moral, serta Ibu
tersayang yang juga datang dari Kalimantan Selatan ke Jakarta untuk
menemani dan mendukung penulis selama penulisan skripsi;
6) Ukhti Annisa Fauziah atas nasihat-nasihat bijak dan sugesti positif yang
diberikan terus-menerus kepada penulis. Terima kasih karena selalu
mengingatkan penulis untuk mendekatkan diri pada Allah dan yakin akan
akan kuasa dan kemurahan hati-Nya dalam melancarkan proses penyusunan
dan pengujian skripsi ini;
7) Rekan-rekan seaqidah, khususnya anggota Forum Remaja Masjid UI, yang
selalu mengingatkan untuk meluruskan niat dan bertawakal dalam penulisan
skripsi ini;
8) Dua rekan seperjuangan dalam menulis skripsi, Ni’matun Nasim dan Hayati
Nufus yang selalu saling memberikan semangat;
9) Tika Mutia Zahra, Nabila Raisya, Oryza Septi Ayu yang telah sengaja
meluangkan waktu untuk menghadiri sidang skripsi;
10) Rekan-rekan sejurusan Program Studi Cina yang juga senantiasa
menyemangati dan memberikan dukungan;
11) Berbagai pihak yang telah memberikan dukungan langsung maupun tidak
langsung sehingga membantu penyelesaian skripsi ini.
Akhir kata, saya berharap skripsi ini bisa mendapat respon positif dari
pembaca, baik berupa saran maupun kritik konstruktif yang dapat membantu
pengembangannya dan pengalaman akademis penulis, khususnya di bidang
penulisan ilmiah dan pengkajian sejarah Cina.
Depok, 13 Juli 2012
Penulis
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
vii
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
viii
ABSTRAK
Nama : Arif Susiliyawati
Program Studi : Cina
Judul : Keanggotaan Cina dalam WTO dan Pengaruhnya terhadap
Penerapan Sistem Ekonomi Pasar Sosialis di Cina (1994-2005)
Skripsi ini membahas pengaruh keanggotaan Cina dalam WTO terhadap
penerapan sistem ekonomi pasar sosialis di Cina pada periode 1994-2005. Sebagai
organisasi perdagangan multilateral, WTO memiliki seperangkat peraturan yang
mengikat bagi seluruh negara anggotanya, termasuk Cina. Skripsi ini bertujuan
membahas dan menganalisis pengaruh keanggotaan WTO terhadap prinsip-
prinsip sistem ekonomi pasar sosialis yang diadopsi dan diterapkan di Cina.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitis dalam penyajiannya
dengan didukung studi pustaka yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa keanggotaan WTO tidak memberikan tantangan berarti terhadap penerapan
sistem ekonomi pasar sosialis. Di samping itu, keanggotaan Cina dalam WTO
juga memberikan pengaruh suportif terhadap pencapaian reformasi Cina yang
terangkum dalam sistem ekonomi pasar sosialis walaupun terdapat sejumlah efek
samping yang menjadi hambatan bagi pembangunan Cina sekaligus tanggungan
bagi agenda reformasi selanjutnya.
Kata kunci:
WTO, reformasi, ekonomi pasar sosialis
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
ix
ABSTRACT
Name : Arif Susiliyawati
Study Program : Chinese
Title : China’s WTO Accession and Its Impacts to The Implementation of
Socialist Market Economic System in China (1994-2005)
The focus of this study is about the impacts of China’s WTO Accession toward the
implementation of socialist market economic system in China 1994-2004. As a
multilateral trade organization, WTO has a series of binding regulation which
demands total compliance from all of its nation members. The objective of this study
is to discuss and analyse about the impacts of China’s WTO accession towards the
implementation of socialist market economic system in China. This research uses
analytical descriptive method which is supported by relevant literature studies. The
research concludes that China’s WTO membership does not pose any significant
challenge toward the fundamental principles of socialist market economy system.
Besides, the membership also gives supportive influence for the achievement of
China reformation programmes which are embodied within the principles of socialist
market economy system though some side effects of it could still be found and pose
as other challenges for China’s development as well as workload for the future
reformation.
Key words:
WTO, reformation, socialist market economy
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ··································································· i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ······························· ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ······································ iii
LEMBAR PENGESAHAN ···························································· iv
KATA PENGANTAR ·································································· v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ···················· vii
ABSTRAK ················································································ viii
DAFTAR ISI ············································································· x
DAFTAR TABEL ······································································· xii
DAFTAR GRAFIK ······································································ xiii
1. PENDAHULUAN ····································································· 1
1.1 Latar Belakang dan Masalah ······················································ 1
1.2 Perumusan Masalah ································································ 7
1.3 Tujuan Penelitian ··································································· 8
1.4 Metode Penelitian dan Metode Pengumpulan Data ··························· 8
1.5 Sistematika Penulisan ······························································ 9
2. SISTEM EKONOMI PASAR SOSIALIS (社会主义市场经济体制)
DI CINA ················································································· 10
2.1 Faktor-Faktor Pemicu Pengadopsian Sistem Ekonomi
Pasar Sosialis ······································································· 10
2.1.1 Keberhasilan Sistem Pasar dan Keterbukaan dalam
Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Cina (1978-1992) ················ 11
2.1.2 Kebutuhan akan Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan
: Reformasi yang Belum Selesai ·········································· 19
2.2 Konsep Sistem Ekonomi Pasar Sosialis (社会主义市场经济体制) Cina · 23
2.2.1 Sitem Ekonomi Pasar Sosialis; Hasil Sinifikasi Sistem
Pasar oleh Intelektual Cina ················································· 23
2.2.2 Konsep Sistem Ekonomi Pasar Sosialis Berdasarkan Kongres
PKC XIV Tahun 1992-1993 ··············································· 25
2.2.3 Strategi Sistem Ekonomi Pasar Sosialis ·································· 29
2.3 Implementasi Sistem Ekonomi Pasar Sosialis
(1994-2001)—Pra Keanggotaan WTO ·········································· 32
2.3.1 Reformasi Valuta Asing ···················································· 32
2.3.2 Refirmasi Fiskal dan Pajak ················································· 33
2.3.3 Reformasi Moneter dan Finansial ········································· 35
2.3.4 Reformasi Perusahaan Negara ············································· 36
2.3.5 Pembentukan Sistem Jaminan Sosial ····································· 38
3. KEANGGOTAAN CINA DI WTO DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PENERAPAN SISTEM EKONOMI PASAR SOSIALIS DI CINA ······· 40
3.1 Sekilas Mengenai WTO sebagai Promotor dan Regulator
Liberalisasi Perdagangan Global ················································ 40
3.1.1 Prinsip Sistem Perdagangan WTO ······································· 40
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
xi
3.1.2 Proses Keanggotaan WTO ················································· 42
3.2 Faktor-Faktor Pemicu Cina untuk Mendapatkan Keanggotaan WTO ····· 43
3.2.1 Faktor Pendorong Ekonomi ··············································· 44
3.2.2 Faktor Pendorong Politik ·················································· 46
3.3 Proses Keanggotaan Cina dalam WTO dan Hambatannya ·················· 46
3.4 Hak dan Kewajiban Cina sebagai Anggota WTO ···························· 50
3.4.1 Hak Cina Sebagai Anggota WTO ········································ 50
3.4.2 Kewajiban Cina Sebagai Anggota WTO ································ 51
3.5 Analisis Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Penerapan Sistem
Ekonomi Pasar Sosialis di Cina (1994-2005) ································· 54
3.5.1 Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Penerapan Sistem
Pasar di Cina ································································· 54
3.5.1.1 Liberalisasi Harga ················································· 54
3.5.1.2 Kepemilikan Sektor Swasta ······································ 56
3.5.1.3 Perubahan Institusional ··········································· 57
3.5.2 Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Upaya Reformasi BUMN ·· 60
3.5.3 Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Komitmen Adopsi
Empat Prinsip Utama ······················································· 64
4. KESIMPULAN ········································································ 69
DAFTAR REFERENSI ································································· 75
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Pertumbuhan Perusahaan Swasta (1989-1993) .................................... 16
Tabel 2.2. Jumlah Perusahaan dan Total Nilai Output Bruto Berdasarkan
Kepemilikan (1991-1993)..................................................................... 16
Tabel 2.3. Total Nilai Ekspor dan Impor (1978-1993) ......................................... 17
Tabel 2.4. Persentase Pendapatan Pemerintah terhadap PDB............................... 34
Tabel 3.1. Cina dan Taiwan Bergabung dalam WTO: Peristiwa Penting
Utama ................................................................................................... 49
Tabel 3.2. Proporsi Transaksi dengan Harga Pasar (persentase volume
transaksi) ............................................................................................... 55
Tabel 3.3. Rangkuman Analisis Tarif MFN Cina (2001-2005) ........................... 56
Tabel 3.4. Performa BUMN 2001-2004 ............................................................... 62
Tabel 3.5. Jumlah dan Persentase Perekkrutan Kerja Kembali Pegawai
BUMN .................................................................................................. 66
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
xiii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 2.1. Nilai Produk Bruto Pertanian 1978-1993 ........................................... 12
Grafik 2.2. Aliran FDI Tahunan Cina 1980-1993 ................................................. 19
Grafik 2.3. Tingkat Inflasi dan PDB Cina .................................................................. 22
Grafik 2.4. Jumlah Perusahaan Negara Cina dan Pegawainya (1978-2002) ........ 36
Grafik 3. Persentase Penyediaan Lapangan Kerja oleh BUMN ........................... 63
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Sidang Pleno III Komite Sentral PKC XI bulan Desember 1978 dapat
dikatakan sebagai salah satu momen terpenting dan paling monumental dalam
sejarah Cina. Hal ini tidak hanya karena pada momen itu Deng Xiaoping didaulat
secara resmi sebagai pemimpin tertinggi Cina setelah sebelumnya menjadi korban
kampanye anti-borjuis pada Revolusi Kebudayaan, tetapi juga karena
dicanangkannya kebijakan yang menandai transformasi orientasi pembangunan
Cina, yakni kebijakan “Reformasi dan Keterbukaan” (改革开放 Gaige Kaifang).
Sebagaimana namanya, kebijakan ini menetapkan dua target utama dari rencana
pembangunan Cina, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi dan keterbukaan
Cina pada dunia luar Cina. Melalui akselerasi pertumbuhan ekonomi, Deng
Xiaoping menargetkan Produk Nasional Bruto (PNB)1 Cina dapat mencapai $1
trilyun pada tahun 2000 dengan pendapatan per kapita sebesar $800, empat kali
lipat dari Produk Nasional Bruto (PNB) Cina pada tahun 1979 (Deng, 1993: 64).
Untuk mendukung pencapaian tujuan ini, Deng juga menetapkan bahwa Cina
akan membuka diri pada dunia luar guna meningkatkan perdagangan luar negeri
dan mengundang investasi asing demi mendapat transfer modal, teknologi, dan
kemampuan managerial (Hsü, 1990:169). Jelaslah bahwa modernisasi ekonomi
dan pembangunan kekuatan produksi menjadi prioritas utama bagi kalangan
pemimpin Cina.
Perubahan haluan kebijakan pembangunan Cina yang tidak memiliki
preseden dalam sejarah RRC ini terang saja mematik kontroversi. Pasalnya,
orientasi pembangunan Cina kini berubah total dari periode kekuasaan
sebelumnya yang menjadikan revolusi dalam rangka percepatan pembentukan
masyarakat sosialis-komunis sebagai agenda utama. Kebijakan politik Mao
Zedong berorientasi pada perjuangan revolusioner melawan kaum borjuis dan
ideologi mereka melalui mobilisasi massa yang dipimpin oleh kaum proletar
(http://www.marxists.org). Hal inilah yang menjadi latar belakang pencetusan
1 Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP) merupakan nilai dari
output (barang dan jasa) yang dihasilkan oleh suatu Negara ditambah pendapatan netto yang
diperoleh dari luar negeri.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
2
Universitas Indonesia
berbagai kebijakan pada masa pemerintahannya, seperti Gerakan Seratus Bunga
(百花运动 Baihua Yundong, 1956-1957), Gerakan Lompat Ke Depan (大跃进
Dayuejin, 1958) Gerakan Anti-Kanan (反右派运动 Fan Youpai Yundong, 1957-
1960), dan Revolusi Kebudayaan (文化大革命 Wenhua Dageming, 1966-1976)
yang pada akhirnya juga menimbulkan pada instabilitas politik domestik berupa
pergolakan dan demonstrasi. Masalah ini menciptakan kondisi yang tidak
kondusif bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejak tahun 1949 hingga akhir
tahun 1970-an standar kesejahteraan rakyat tidak mengalami peningkatan
signifikan (Saich, 2004:241). Bahkan, gaji rata-rata pegawai industri lebih rendah
5,5% daripada gaji pegawai industri tahun 1957. Segala turbulensi yang menimpa
Cina ini mengancam legitimasi PKC sebagai pemegang kekuasaan tunggal di
Cina. Karenanya, PKC di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping mulai
mengupayakan sejumlah langkah restorasi, termasuk melalui peningkatan
performa ekonomi, untuk mengembalikan stabilitas dalam negeri dan sekaligus
memulihkan kepercayaan dan dukungan publik rakyat terhadap kepemimpinan
PKC (Saich, 2004:242; Hsü, 1990:x)
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, upaya reformasi Deng
Xiaoping ini tidak serta merta mendapatkan persetujuan dari kalangan intelektual
dan pemimpin Cina. Kebijakan ini dianggap menyimpang dari sosialisme karena
keterbukaan akan investasi dan pebisnis luar serta kebolehan atas kepemilikan
non-publik dikhawatirkan menjadi ladang berkembangnya kapitalisme di Cina.
Deng menepis anggapan ini dengan kembali menegaskan bahwa Cina akan tetap
berpegang teguh pada prinsip Marxisme dan Sosialisme karena hanya prinsip
inilah yang dapat menjamin distribusi kesejahteraan yang merata bagi segenap
rakyat Cina (Deng, 1993: 63-64). Pernyataan Deng ini kemudian diperkuat
kembali dengan dicanangkannya konsep politik “Sosialisme Berkarakteristik
Cina” (中国特色社会主义 Zhongguo Tese Shehuizhuyi) sebagai hasil sinifikasi
pemikiran Marxisme-Leninisme yang telah dikombinasikan dengan karakter Cina
dan disesuaikan dengan kondisi Cina. Konsep ini berisi sembilan poin utama,
yakni: (1) Dalam proses pencapaian sosialisme: harus menapaki jalan sendiri
dengan berpedoman pada Marxisme, namun tetap bertindak dengan mengamati
fakta; (2) Dalam tahap pencapaian sosialisme: RRC berada di tahap awal
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
3
Universitas Indonesia
sosialisme dan menekankan segala kebijakan harus ditetapkan berdasarkan fakta
ini; (3) Dalam hal tugas mendasar sosialisme: membebaskan dan mengembangkan
kekuatan produksi serta mencapai kesejahteraan umum yang harus ditopang oleh
kemajuan IPTEK dan peningkatan kualitas SDM; (4) Dalam hal penggerak
sosialisme: reformasi juga merupakan bentuk revolusi untuk membebaskan
kekuatan produksi sekaligus jalan yang harus dilalui Cina untuk dapat mencapai
target modernisasi; (5) Dalam hal kondisi eksternal terkait pencapaian sosialisme,
keterbukaan adalah faktor esensial bagi reformasi dan modernisasi, harus
mengikuti kebijakan luar negeri independen dan lingkungan internasional yang
mendukung modernisasi Cina; (6) Dalam hal jaminan politis terkait konstruksi
sosialis, harus berlandaskan pada empat prinsip utama: jalan sosialis (社会主义道
路 Shehuizhuyi Daolu), kediktatoran demokrasi rakyat (人民民主专政 Renmin
Minzhu Zhuanzheng), kepemimpinan PKC (共产党的领导 Gongchandang de
Lingdao), dan Marxisme-Leninisme-Pemikiran Mao (马列注意、毛泽东思想
Maliezhuyi, Maozedong Sixiang); (7) Tahap modernisasi dalam proses pencapaian
sosialisme dilaksanakan dalam tiga tahap; (8) PKC merupakan pemimpin utama
dari barisan penggerak modernisasi (working class) menuju pencapaian sosialisme;
(9) Sistem ‘satu negara dua sistem’ diterapkan dalam rangka reunifikasi Cina
dengan Hongkong, Makau, dan Taiwan secara damai (http://news.xinhuanet.com).
Posisi Cina yang masih berada pada tahap awal sosialisme membuat
aspek-aspek ekonomi—meliputi kekuatan pasar, teknik kapitalistik, dan
kemampuan managerial serta ekonomi campuran dengan sistem
multikepemilikan—boleh diterapkan di Cina (Hsü, 1990:230). Kesembilan poin di
atas secara umum juga memberikan landasan bagi adopsi sistem kekuatan pasar
kapitalis di Cina. Deng juga menambahkan bahwa tanpa sistem keterbukaan, Cina
hanya akan mengulang kesalahan rezim pemerintahan sebelumnya yang seklusif
dari dunia luar sehingga berakibat pada terhambatnya pembangunan (1993: 64-
65).
Deng menyadari bahwa Cina membutuhkan impor pengetahuan dan sains
asing, teknologi, modal, dan kemampuan managerial agar mampu mencapai target
modernisasinya (Hsü, 1990:188). Karenanya, pemerintah mengadopsi sistem
kekuatan pasar dan multikepemilikan yang diyakini mampu menjadi jalan keluar
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
4
Universitas Indonesia
atas masalah Cina tersebut. Adopsi tersebut tampak jelas pada sejumlah kebijakan
ekonomi terbuka Cina. Pada tahun 1979 pemerintah membuka empat Zona
Ekonomi Khusus di Shenzhen, Zhuhai, Shantou, dan Xiamen yang difungsikan
sebagai area eksperimen terbatas dalam penerapan sistem keterbukaan. Begitu
pula dengan pembukaan empatbelas daerah pesisir dan Pulau Hainan pada tahun
1984 dengan tujuan mendapatkan investasi asing yang dibutuhkan untuk
mendukung rencana pembangunan Cina. Selain itu, Cina juga berupaya
memasifkan partisipasinya dalam perdagangan luar negeri demi memperoleh
valuta asing yang cukup untuk membantu pembiayaan program pembangunan dan
modernisasi (Hsü, 1990:189). Tahun 1983 Jepang, Hong Kong, Amerika Serikat,
dan Jerman Barat tercatat sebagai partner dagang Cina yang terbesar. Walaupun
demikian, semua kebijakan itu tetap berlangsung di bawah pengawasan dan
kontrol ketat dari pemerintah atas sejumlah aspek, seperti valuta asing, ekspansi
ekspor, dan pengendalian impor.
Upaya Cina untuk memperoleh status keanggotaan dalam World Trade
Organization (WTO) tentulah juga merupakan bagian dari strategi Cina untuk
mencapai target peningkatan valuta asing dan perluasan ekspor. Cina menyadari
bahwa keanggotaan WTO dapat memberikan sejumlah hak istimewa yang dapat
berpengaruh positif terhadap upaya Cina melebarkan sayapnya di perdagangan
global. Hak istimewa itu antara lain, hak pengambilan keputusan terkait penetapan
standar perdagangan dan tarif bea cukai baru atau hak untuk berpartisipasi dalam
proses penyelesaian sengketa dagang antarnegara (Cass, 2003:2). Keanggotaan
WTO dianggap dapat menjadi katalisator bagi upaya modernisasi Cina karena
dengannya Cina memperoleh pasar baru nan luas bagi ekspornya. Namun,
sebagaimana dikatakan oleh Pascal Lamy selaku direktur WTO pada pidato
pembukaan Beijing Round Table 2012, keanggotaan WTO bukanlah proses yang
mudah. Proses keanggotaan WTO menuntut perombakan dan reformasi kebijakan
ekonomi dan hukum domestik secara totalitas dan penuh konsistensi agar sesuai
dengan standar WTO (http://www.wto.org). Sejak tahun 1986 Cina telah
berupaya memperbarui statusnya sebagai salah satu pemain dalam sistem
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
5
Universitas Indonesia
perdagangan multilateral setelah lebih dari 40 tahun ‘terkucilkan’ darinya2. Upaya
Cina untuk menjadi salah satu founding father WTO pada tahun 1995 pun tidak
menuai hasil3. Di sisi lain, prinsip ekonomi pasar dan kebijakan pro-kompetisi dan
non-diskriminasi yang dianut oleh WTO tak dinafikan lagi menjadi tantangan bagi
kebijakan intervensi pemerintah Cina. Intervensi Pemerintah di berbagai ranah
yang merupakan salah satu karakteristik ekonomi sosialis harus dipersempit
karena WTO menuntut perekonomian yang berjalan sepenuhnya sesuai
mekanisme pasar. Sekalipun demikian, Cina tetap berusaha untuk mendapatkan
status keanggotaan WTO dengan berbagai cara, diantaranya mengadakan
perjanjian bilateral dengan 44 negara untuk memperluas jaringan akses pasar dan
melakukan negosiasi multilateral dengan asistensi GATT Working Party dan WTO
Working Party on China’s Accession (Cass, 2003: 2).
Sejalan dengan proses keanggotaan Cina dalam WTO, di dalam negeri
Cina berlangsung proses formulasi atau perumusan sistem ekonomi pasar sosialis
yang akan memberikan cetak biru yang jelas dan definit bagi praktik sistem
ekonomi Cina. Praktik sistem ekonomi terbuka terbukti membawa peningkatan
ekonomi bagi masyarakat Cina. Pasca insiden Tiananmen tahun 1989 kalangan
pimpinan Cina mengalihkan perhatiannya pada kontrol politik, bahkan dari
mereka yang mulai mempertanyakan kelanjutan reformasi ekonomi (Wong,
2001:4). Akhirnya tahun 1992 Deng melakukan ‘Perjalanan ke Selatan’ (南巡
Nanxun) dan dengan gamblang menyerang kebijakan ekonomi konservatif dan
menyerukan reformasi ekonomi dan keterbukaan yang lebih radikal sekaligus
menggalang dukungan terhadap langkah reformasi tersebut (Qian, 2003: 36).
Poin-poin penting yang disampaikan Deng selama nanxun inilah yang
dikembangkan dalam penyusunan konsep reformasi ekonomi Cina selanjutnya.
2 RRC pada masa pemerintahan Jiang Jieshi merupakan salah satu dari 23 penandatangan
General Agreement on Tariff and Trade (GATT) pada tahun 1947. Namun, pasca kekalahan
Kuomintang (KMT) pada perang saudara melawan PKC, tahun 1949 pemerintahan Kuomintang
mengungsi ke Taiwan dan menyatakan bahwa Cina keluar dari sistem GATT. Sejak saat inilah
status keanggotaan Cina dalam GATT dianulir.
3 GATT dibubarkan pada tahun 1993 dan digantikan oleh WTO yang secara resmi terbentuk
pada 1 Januari 1995. Pasal-pasal dalam dokumen perjanjian GATT ditinjau ulang guna
merumuskan finalisasi UU WTO yang mengatur aspek perdagangan internasional secara
komprehensif, seperti hak kekayaan intelektual, perdagangan jasa, investasi dan perdagangan,
penyelesaian sengketa, dan mekanisme tinjauan kebijakan perdagangan setiap negara. Dokumen
GATT tetap menjadi pakta yang memayungi kebijakan perdagangan WTO. Cina memulai upaya
pembaruan keanggotaan WTO sejak tahun 1986 dan baru menuai hasil pada tahun 2001.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
6
Universitas Indonesia
Rumusan konsep reformasi ekonomi Cina ini akhirnya diajukan pada Kongres
PKC XIV pada September 1992 yang untuk pertama kalinya menetapkan
“ekonomi pasar sosialis (社会主义市场经济 Shehuizhuyi Shichang Jingji)”
sebagai tujuan dari reformasi Cina. Sejak saat itu, Grup Pimpinan Finansial dan
Ekonomi PKC yang dikepalai oleh Jiang Zemin mempersiapkan dan
mematangkan kerangka dan strategi bagi transisi ekonomi Cina menuju sistem
pasar. Sejumlah tim riset ad hoc pun dibentuk dengan misi melakukan studi
terkait beragam aspek terkait proses transisi tersebut, mulai dari perpajakan,
sistem fiskal, sistem finansial, bentuk badan usaha, hingga perdagangan luar
negeri (Qian, 2003:36). Akhirnya pada 17 November 1993, Pleno III Kongres
PKC XIV mengadopsi “Keputusan untuk Isu Terkait Pembentukan Struktur
Ekonomi Pasar Sosialis (中共中央关于建立社会主义市场经济体制若干问题的
决定 Zhonggong Zhongyan guanyu Jianli Shehuizhuyi Shichang Jingji Tizhi
Ruogan Wenti de Jueding) ”. Keputusan ini merupakan salah satu dokumen
monumental yang memiliki signifikansi dalam perekonomian Cina. Keputusan ini
menjadi penanda bahwa Cina menapaki jalur sistem ekonomi baru yang berbeda
dari sebelumnya. Pada limabelas tahun pertama masa reformasi, konsep sistem
ekonomi yang diaplikasikan adalah “menggabungkan sistem perencanaan dan
pasar”. Namun, dengan pencanangan keputusan November 1993 ini, Cina
menyatakan komitmennya untuk menyempurnakan penerapan sistem pasar
modern dengan mengintegrasikan praktik institusi internasional ke dalam sistem
ekonominya—yang berarti menghapuskan fitur-fitur sistem sentralisasi ekonomi
terencana secara total (Qian, 2003: 32).
Selanjutnya, seiring dengan tahap awal penerapan sistem ekonomi pasar
sosialis, Cina terus mengupayakan keanggotaannya dalam WTO. Walaupun
proses negosiasi sempat terhambat karena terusiknya hubungan diplomasi Cina-
Amerika Serikat tahun 1999 dan terjadinya tragedi 9/11, permohonan
keanggotaan WTO oleh Cina akhirnya disetujui pada pertemuan menteri
perdagangan tahunan di Doha, Qatar pada 10 November 2001. Pada 11 Desember
2001 Cina secara resmi terdaftar sebagai anggota WTO ke-143. Keanggotaan
WTO oleh Cina—pra-keanggotaan maupun selama keanggotaan—tentulah dapat
memberikan pengaruh terhadap penerapapan sistem ekonomi pasar sosialis. Hal
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
7
Universitas Indonesia
ini tidak hanya disebabkan karena keduanya berlangsung secara simultan pada
periode yang sama, tetapi juga karena keanggotaan WTO sendiri merupakan
bagian dari agenda reformasi ekonomi Cina yang bertujuan melanjutkan
pembangunan ekonomi Cina. Selain itu, WTO dapat diklasifikasikan sebagai
salah satu dari institusi internasional yang perlu diintegrasikan dalam penerapan
sistem ekonomi di Cina karena dianggap sebagai best practice, sebagaimana
termaktub dalam keputusan November 1993. Pengaruh apa yang ditimbulkan oleh
keanggotaan Cina dalam WTO terhadap penerapan sistem ekonomi pasar sosialis
serta signifikansinya merupakan ruang lingkup pembahasan utama yang akan
dibahas dalam skripsi ini. Adapun ruang lingkup analisis adalah periode 1994-
2005 dengan alasan tahun 1994 merupakan awal implementasi konsep konkret
sistem ekonomi pasar sosialis yang dilengkapi dengan pembahasan lebih detil
terkait perangkat dan institusi ekonomi yang dibutuhkannya, sedangkan tahun
2005 merupakan deadline bagi Cina untuk merealisasikan komitmen keanggotaan
WTO yang berarti Cina harus menyelesaikan segala proses penyesuaian sistem
dalam negeri yang menjadi syarat keanggotaan WTO. Berdasarkan uraian di atas,
penulis mengadakan penelitian dengan judul:
Keanggotaan Cina dalam WTO dan Pengaruhnya terhadap Penerapan
Sistem Ekonomi Pasar Sosialis di Cina (1994-2005)
1.2 Perumusan Masalah
Ruang lingkup pembahasan dari skripsi ini adalah pengaruh keanggotaan
Cina dalam WTO terhadap penerapan sistem ekonomi pasar sosialis di Cina pada
periode 1994-2005. Fokus masalah ini akan disajikan melalui pembahasan
pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Faktor-faktor apa sajakah yang memicu transformasi sistem ekonomi Cina
menjadi sistem ekonomi pasar sosialis (社会主义市场经济体制)?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang membuat Cina berkeinginan mendapatkan
status keanggotaan WTO?
3. Bagaimanakah pengaruh keanggotaan WTO terhadap penerapan sistem pasar
sosialis di Cina sejak tahun 1994 hingga 2005?
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
8
Universitas Indonesia
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah
di atas adalah menjelaskan pengaruh keanggotaan Cina dalam WTO terhadap
penerapan sistem ekonomi pasar sosialis di Cina pada tahun 1994 hingga 2005.
Skripsi ini akan menganalisis apa sajakah pengaruh dari keanggotaan Cina dalam
WTO terhadap aspek-aspek penerapan sistem ekonomi sosialis dan signifikansi
pengaruh tersebut terhadap penerapan sistem ekonomi pasar sosialis.
1.4 Metode Penelitian dan Metode Pengumpulan Data
Skripsi ini merupakan bentuk penelitian sejarah. Penyusunannya
menggunakan metode penelitian deskriptif-analitis. Metode ini berguna untuk
membuat penguraian secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat, dan hubungan antarfenomena yang diteliti. Melalui penggunaan metode
ini, hubungan kausalitas dan hubungan antarfaktor terkait suatu objek penelitian
dapat ditelusuri (Nazir, 1988:64). Penulis memberikan uraian deskriptif mengenai
keanggotaan Cina dalam WTO dan juga penerapan sistem ekonomi pasar sosialis
di Cina serta memberikan analisis terkait aspek-aspek yang terkait dengan
keduanya, seperti faktor pemicu terjadinya dua fenomena monumental tersebut,
proses kejadian, dan pengaruh yang ditimbulkannya. Pemilihan metode ini
diharapkan dapat menjelaskan dan menyimpulkan hubungan antara keanggotaan
Cina dalam WTO dengan penerapan sistem ekonomi pasar sosialis di Cina pada
periode 1994-2005, khususnya mengenai pengaruh keanggotaan tersebut terhadap
penerapan sistem ekonomi Cina.
Adapun pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode studi
kepustakaan (library study), yakni dengan menggunakan referensi ilmiah untuk
menggali, menelaah, membandingkan, dan menarik kesimpulan dari pendapat
berbagai pakar yang relevan dengan masalah yang diteliti (Ruslijanto, 1999:78)
Sumber kepustakaan yang dipergunakan terdiri atas sumber primer dan sekunder.
Sumber primer berupa buku, jurnal, laporan, artikel berita, dan situs berbahasa
Cina yang membahas tentang perekonomian Cina, khususnya sistem ekonomi
pasar sosialis dan keanggotaan Cina di WTO, sedangkan sumber sekunder berupa
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
9
Universitas Indonesia
buku, jurnal, laporan, artikel berita, dan situs berbahasa Inggris ataupun Indonesia
yang relevan dengan topik penelitian.
1.5 Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun secara sistematis dan ditulis dalam 4 bab dengan
perincian sebagai berikut. Bab I adalah pendahuluan yang menjelaskan latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II memaparkan tentang sistem ekonomi pasar sosialis di Cina,
meliputi faktor pemicu pengadopsian sistem ekonomi tersebut, konsep sistem
ekonomi pasar sosialis, dan gambaran implementasi sistem ekonomi tersebut pada
periode prakeanggotaan Cina di WTO (1994-2001).
Bab III berisi tentang uraian mengenai keanggotaan Cina di WTO yang
mencakup faktor pemicu Cina memasuki WTO, proses keanggotaan Cina di WTO,
hak dan kewajiban Cina sebagai anggota, serta analisis terkait pengaruh
keanggotaan Cina di WTO terhadap penerapan sistem ekonomi pasar sosialis.
Bab IV merupakan kesimpulan mengenai pengaruh keanggotaan Cina di
WTO terhadap penerapan sistem ekonomi pasar sosialis di Cina pada periode
1994-2005. Di akhir skripsi, daftar referensi dan lampiran juga disertakan.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
10
BAB II
SISTEM EKONOMI PASAR SOSIALIS (社会主义市场经济体制)
DI CINA
2.1 Faktor-Faktor Pemicu Pengadopsian Sistem Ekonomi Pasar Sosialis
Sistem ekonomi pasar sosialis merupakan pengembangan dari adopsi
sistem pasar yang telah diadopsi Cina sejak 1978. Dalam hal ini Cina
memutuskan untuk melakukan liberalisasi ekonomi secara lebih komprehensif
(Qian, 2003:32). Sama halnya dengan keputusan tahun 1978 untuk mengadopsi
sistem pasar, pragmatisme masih menjadi semangat di balik langkah transformatif
ini. Menurut Qian Yingyi dan Wu Jianglian, sikap ini turut dipupuk oleh sejumlah
peristiwa politik dan kondisi geopolitik Cina kala itu (2003:38-39). Kalangan
pimpinan PKC tentulah belajar dari pengalaman pada masa Mao Zedong bahwa
tanpa pembangunan ekonomi, bibit keraguan dan kebencian rakyat terhadap PKC
dapat tumbuh subur. Ditambah lagi pasca insiden Lapangan Tiananmen tahun
1989, stabilitas politik dalam negeri Cina tengah goyah sehingga ‘iming-iming’
pembangunan ekonomi menjadi metode PKC untuk membangun kembali
kepercayaan rakyat. Jajaran pimpinan Cina menganggap bahwa memperdalam
reformasi demi menopang pertumbuhan ekonomi Cina, merupakan hal yang urgen.
Anggapan bahwa ekonomi pasar tidak hanya ada pada kapitalisme, melainkan
juga ada dan dapat dibangun di bawah sistem sosialisme (Deng, 1983: 236)
dikemukakan sebagai landasan.
Cina juga mendapat tekanan dari kondisi geopolitik kala itu, yakni dengan
munculnya fenomena “East Asian Miracle“1 dan runtuhnya Uni Sovyet pada
tahun 1991. Peristiwa di atas menimbulkan rasa was-was di kalangan pemimpin
Cina karena dua hal, yakni pertama, negara-negara maju tersebut merupakan
contoh negara tetangga sekawasan yang telah mengadopsi sistem pasar dan
keterbukaan akan investasi asing. Kedua, keruntuhan Uni Sovyet disertai dengan
transisi negara-negara pecahan Uni Sovyet dan Eropa Timur ke sistem pasar. Hal
1 East Asian Miracle merupakan istilah yang merujuk pada fenomena pesatnya pertumbuhan
ekonomi dari sejumlah negara kawasan Asia bagian Timur, seperti Hong Kong, Jepang, Republik
Korea, Taiwan, Malaysia, Singapura, Thailand. Kedelapan negara tersebut dikategorikan oleh para
ekonom sebagai High Performing Asian Economies (HPAEs) karena memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan sejak tahun 1960 hingga 1990.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
11
Universitas Indonesia
ini membuat PKC was-was bahwa kekuatan mereka akan diremehkan jika negara
demokrasi transisional tersebut mampu mengejar kemajuan ekonomi Cina.
Kondisi tersebut kian memicu Pemerintah untuk mengambil kebijakan akselerasi
pembangunan ekonomi melalui reformasi radikal menuju sistem pasar modern.
Di samping adanya kemauan politis dari kepemimpinan Cina, terdapat
sejumlah faktor lain yang secara spesifik memicu ditetapkannya ekonomi pasar
sosialis sebagai tujuan reformasi pada September 1992.
2.1.1 Keberhasilan Sistem Pasar dan Keterbukaan dalam Peningkatan
Kesejahteraan Rakyat Cina (1978-1993)
Kebijakan modernisasi ekonomi dan keterbukaan yang mengadopsi sistem
pasar direalisasikan dalam program-program reformasi di berbagai bidang.
Bentuk keberhasilan Cina dalam setiap program reformasi di antaranya sebagai
berikut.
a) Reformasi Pertanian
“Sistem Tanggung Jawab Produksi Rumah tangga” (包干到户 Baogan
Dao Hu) secara resmi diadopsi pada Pleno IV Komite Pusat XI PKC
September 1979 sebagai arah reformasi pertanian Cina. Sistem ini merupakan
adopsi sistem yang pernah berlaku sejak periode akhir rezim Mao Zedong pada
tahun 1960-an, menggantikan sistem kolektivisasi yang gagal memajukan
pertanian Cina. Hal ini dapat terlihat dari fakta bahwa selama 20 tahun (1958-
1978) pertumbuhan tahunan produk gandum hanya 2,6% sehingga
mengakibatkan Cina harus menjadi importir gandum (Hsü, 1990: 171). Sistem
tanggung jawab ini memiliki karakteristik pertanian swasta dalam sistem
ekonomi pasar (Chow, 2002: 48). Dalam sistem ini, para petani diberikan
insentif materi yang lebih besar dan juga otoritas penuh dalam proses
pengelolaan dan produksi pertanian. Namun, setiap petani memiliki kontrak
yang akan menentukan jenis tanaman yang akan mereka budidayakan dan
besar kuota hasil panen yang harus mereka setorkan. Surplus produksi dapat
dikonsumsi sendiri ataupun dijual untuk menambah perolehan laba. Pemerintah
juga mengizinkan bahkan mendorong para petani agar mengembangkan
“rumah tangga terspesialisasi” (专业户 Zhuanye Hu) “rumah tangga utama”
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
12
Universitas Indonesia
(重点户 Zhongdian Hu) seperti kehutanan, perikanan, dan peternakan, yang
dilarang selama Revolusi Kebudayaan.
Strategi reformasi di atas terbukti membawa sejumlah keberhasilan. Hingga
tahun 1987 telah tercatat peningkatan hasil dan produktivitas secara drastis;
hasil panen padi dan gandum meningkat 50% dari hasil yang dicapai selama
penerapan sistem komune. Tingkat pertumbuhan dari produksi tahunan
gandum pun meningkat menjadi 4,9% selama periode 1979-1987 dari hanya
2,1% selama periode 1957-78. Total produksi pertanian dan peternakan
meningkat 49% antara periode 1978-1994. Peningkatan ini akhirnya berhasil
mengangkat Cina sebagai eksporter gandum, kedelai, dan kapas. Neraca
perdagangan Cina periode 1980-1984 juga mengalami surplus senilai US$4
milyar dari produk pertanian. Para petani pun secara otomatis terkena imbas
positif dari hal tersebut. Tingkat kesejahteraan mereka meningkat dengan
penghasilan per kapita yang terus meningkat sepanjang tahun, yakni dari
CN¥134 pada tahun 1978 menjadi CN¥ 310 pada tahun 1983 dan mencapai
CN¥ 463 pada tahun 1987 (Hsü, 1990: 174).
Grafik 2.1. Nilai produk bruto pertanian 1978-1993
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
13
Universitas Indonesia
Keterangan: Nilai dalam CN¥100 milyar.
Sumber: China Statistical Yearbook 2002 http://www.stats.gov.cn/english/statisticaldata
/yearlydata/YB2002e/htm/l1206e.htm diakses pada tanggal 16 Juni 2012 pukul 01.40 WIB.
Telah diolah kembali.
b) Reformasi Industri
Industrialisasi Cina pada era Mao Zedong berjalan di bawah kontrol
perencanaan pusat dengan beberapa karakteristik, antara lain: (1) Terfokus
pada industri berat, (2) Seluruh proses produksi direncanakan, ditentukan, dan
dibiayai oleh pemerintah, (3) Seluruh faktor produksi (tanah, tanaman,
peralatan, bahan mentah, modal kerja, manager) disediakan oleh pemerintah, (4)
Pemerintah menentukan dan mengontrol harga jual dari produk jadi industri
serta tanpa mempedulikan biaya produksi dan kualitas, (5) masa kerja pegawai
yang “abadi“ karena pemecatan tidak diperkenankan. Sistem ini
mengakibatkan tingkat efisiensi, produktivitas, dan insentif kerja yang
diberikan tidak maksimal (Hsü, 1990:177-8).
Reformasi industri pada masa Deng dilakukan dengan sedikitnya enam
langkah strategis. Pertama, penerapan sistem tanggung jawab industri (利润包
干 Lirun Baogan). Sistem ini bertujuan mengembalikan entusiasme kerja
dengan memberikan insentif ekonomi. Industri terkait terikat kontak yang
diwajibkan menyetorkan hasil laba sebanyak kuota yang telah ditetapkan,
sedangkan surplus laba dapat dinikmati oleh industri yang bersangkutan. Pada
akhir tahun 1982 semua industri telah terlibat dalam kontrak semacam ini dan
mereka bertanggung jawab penuh atas seluruh keputusan ekonomi mereka.
Selain itu, dibuat pula keputusan tentang adanya proportionalitas antara
kualitas dan kuantitas kerja dengan upah yang diterima.
Kedua, pemberlakuan tarif pajak penghasilan baru. Dengan kebijakan ini,
perusahaan diwajibkan membayar sekian persen dari penghasilannya kepada
negara sebagai pajak. BUMN skala besar dan menegah diwajibkan membayar
pajak sebanyak 55% dari total laba mereka, sedangkan BUMN skala kecil
membayar pajak secara progresif dalam delapan tingkat yang meningkat dari
7% hingga 55%. Terdapat tiga jenis pajak lain yang juga diberlakukan
pemerintah secara bertahap: (1) Pajak produk sebesar 40% dari total laba, (2)
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
14
Universitas Indonesia
Pajak penghasilan sebesar 33% dari total laba, dan (3) Pajak penyesuaian atau
tambahan bagi daerah pesisir yang lebih maju sebesar 12% dari total profit.
Adapun langkah yang ketiga adalah mendorong tumbuhnya bisnis swasta
dan pasar bebas. Pemerintah Cina memperbolehkan kemunculan dan
berkembangnya perusahaan swasta berdampingan dengan perusahaan milik
negara, diawali dengan kemunculan bisnis rumah tangga (个体户 Geti Hu).
Tahun 1981 pemerintah mengklasifikasikan perusahaan swasta ke dalam dua
tipe, yakni bisnis individu dan bisnis swasta. Pada tahun 1988 pemerintah
mengesahkan dokumen “Ketentuan Tentatif mengenai Perusahaan Swasta” (中
华人民共和国私营企业暂行条例 Zhonghua Renmin Gongheguo Siying Qiye
Zhanxing Tiaoli) yang mengatur registrasi dan manajemen perusahaan swasta.
Berdasarkan dokumen ini, terdapat tiga model perusahaan swasta: kepemilikan
tunggal (独资企业 Duzi Qiye), partnership (合伙企业 Hehuo Qiye), limited
liability incorporation (有限责任公司 Youxian Zeren Gongsi). Pada periode
1978-88 serangkaian regulasi lokal dan nasional mengenai perizinan dan
kontrol bisnis swasta, perpajakan, standar kualitas dan higienitas produk, serta
pasar bebas disahkan sehingga turut mendukung proliferasi sektor swasta.
Langkah keempat yang dilakukan Pemerintah adalah reformasi penetapan
harga. Kebijakan ini bertujuan meringankan beban negara yang harus
menyediakan subsidi bagi barang konsumsi sekaligus sebagai salah satu
persyaratan agar sistem pasar dapat berjalan yang mengharuskan harga
ditentukan berdasarkan prinsip supply-demand. Pemerintah memulai gerakan
reformasi ini dengan kebijakan yang dikenal dengan sebutan mekanisme “dual-
track price system (价格双轨制 Jiage Shuangguizhi)” dengan harapan tidak
terjadi inflasi besar-besaran yang mengancam daya beli masyarakat (Chow,
2002: 51). Dengan mekanisme ini, terdapat dua jenis harga, yakni harga pasar
dan harga terencana yang diberlakukan pemerintah atas sejumlah komoditas.
Eliminasi kontrol atas harga diberlakukan secara bertahap pada beberapa jenis
barang, seperti batu bara, bijih besi, rokok, dan minuman keras (1979-1982).
Pada tahun 1983 terjadi kenaikan harga pada 100 ribu jenis produk termasuk
produk kimia sebesar 20-50%, transportasi muatan kereta mencapai 20%, dan
perangkat elektronik semacam TV dan kipas listrik yang mencapai 8-17%.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
15
Universitas Indonesia
Reformasi ini disosialisasikan besar-besaran pada awal tahun 1990 dan hingga
akhir tahun 1993 terdapat lebih dari 90% harga komoditas (nilai hasil industri)
yang ditentukan oleh pasar (Qian, 2003: 34).
Kelima, Pemerintah juga melaksanakan pembangunan Perusahaan Kota
dan Desa (乡镇企业 Xiangzhen Qiye). Perusahaan Kota dan Desa dibentuk
dari bekas tim produksi komune pada masa Mao Zedong. Perusahaan jenis ini
memiliki otonomi penuh dan fleksibilitas dalam menjalankan aktivitas
perekonomiannya dan berkecimpung dalam konteks kompetisi pasar.
Perusahaan ini dimiliki oleh pemerintah lokal di daerah serta memiliki
sejumlah ’hak istimewa’ seperti tarif pajak yang lebih rendah dan kesempatan
negosiasi dengan pemerintah setempat (Rosser, 2004: 418, 434).
Langkah reformasi industri lain yang juga sangat penting adalah reformasi
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pasca penandatanganan persetujuan
kembalinya Hong Kong ke Cina, Perdana Menteri Zhao Ziyang menyatakan
bahwa reformasi urban terhambat karena terdapat intervensi pemerintah
terhadap institusi ekonomi, dan karenanya harus ditanggulangi. Reformasi
BUMN dilakukan dengan melonggarkan kontrol negara atas BUMN skala
besar dan menengah, yakni dengan memberikan hak pengelolaan (manajemen)
kepada perusahaan, mulai dari soal penjualan, kepegawaian, pembayaran gaji,
pemanfaatan modal, hingga penentuan harga. Selain itu, pemerintah juga mulai
menerapkan sistem multi kepemilikan pada BUMN dengan menyewakan
BUMN skala kecil dan menengah pada pengusaha swasta (Hsü, 1990:183-4).
Serangkaian langkah reformasi ini secara umum membawa perbaikan dan
kemajuan di sejumlah aspek. Insentif materi bukan lagi menjadi masalah
karena perusahaan kini dimungkinkan menikmati laba yang diperolehnya
sehingga mampu mengembangkan perusahaannya serta memberikan bonus
kerja terhadap pegawainya. Terdapat pula peningkatan hasil bruto produk
industri sebesar 10% setiap tahunnya pada periode (1978-1986) yang akhirnya
berimbas pada peningkatan pendapatan negara sebesar 8,7% setiap tahun.
Tabel-tabel di bawah ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah perusahaan
swasta dan jumlah nilai produksi bruto dari sektor industri berdasarkan tipe
kepemilikannya.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
16
Universitas Indonesia
Tabel 2.1. Pertumbuhan perusahaan swasta (1989-1993)
Sumber: Liu Yingqiu, “Development of Private Entrepreneurship in China:
Process, Problems and Countermeasures”, 2003, hal 2 Presented at the Global Forum –
Entrepreneurship in Asia: 4th U.S.-Japan Dialogue. April 16, 2003.
http://www.mansfieldfdn.org/backup/programs/program_pdfs/ent_china.pdf diakses pada
tanggal 16 Juni 2012 pukul 03.32 WIB. Telah diolah kembali.
Tabel 2.2. Jumlah perusahaan dan total nilai output bruto
berdasarkan kepemilikan (1991-1993)
Item 1991 1992 1993
Number of Enterprises (10 000) 807.96 861.21 991.16
State-Owned Enterprises 10.47 10.33 10.47
Collective-Owned Enterprises 157.72 164.06 180.36
#Township Enterprises 22.96 22.95 20.98
Village Enterprises 67.52 70.97 77.73
Joint Enterprises 51.35 54.64 64.42
Individual-Owned Enterprises in Urban and
Rural Areas
638.67 685.40 797.12
Other Ownership Enterprises 1.08 1.42 3.21
Gross Output Value of Industry
(100 000000 yuan) 26625 34599 48402
State-Owned Enterprises 14955 17824 22725
Collective-Owned Enterprises 8783 12135 16464
#Township Enterprises 2401 3534 5374
Village Enterprises 2347 3632 5163
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
17
Universitas Indonesia
(sambungan)
Joint Enterprises 569 870 1322
Individual-Owned Enterprises in Urban and
Rural Areas
1287 2006 3861
Other Ownership Enterprises 1631 2688 5174
Sumber: 中华人民共和国统计局 National Bureau of Statistics of China. http://www.stats.
gov.cn/ english/ statisticaldata/yearlydata/YB1996e/L12-1e.htm. Diakses pada tanggal 16
Juni 2012 pukul 00.42 WIB.
c) Kebijakan “Pintu Terbuka”
Tujuan utama dari penerapan kebijakan ini adalah memicu perkembangan
perdagangan luar negeri dan investasi asing di Cina. Keduanya merupakan
metode untuk mengumpulkan cadangan valuta asing, sekaligus mengimpor
IPTEK, modal, dan kemampuan manajerial yang dibutuhkan untuk
menyukseskan program modernisasi (Hsü, 1990:188-189). Untuk
meningkatkan pangsa pasar dan daya saingnya di perdagangan luar negeri,
Cina melakukan diversifikasi produk, meningkatkan kontrol kualitas,
mendevaluasi mata uang yuan, dan mempelajari praktik bisnis internasional.
Ketika mengimpor, senantiasa mempertimbangkan tiga kriteria utama: harga,
kualitas yang baik, dan pengaturan pembiayaan sesuai kesepakatan.
Tabel 2.3. Total nilai ekspor dan impor (1978-1993)
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
18
Universitas Indonesia
Sumber: 中华人民共和国统计局 National Bureau of Statistics of China. http://www.
stats.gov.cn/english/statisticaldata/yearlydata/YB2002e/htm/q1703e.htm Diakses pada
tanggal 16 Juni 2012 pukul 23.29 WIB.
Pemerintah Cina juga melakukan sejumlah langkah dalam rangka
membangun lingkungan dan iklim investasi yang kondusif, di antaranya: (1)
Tahun 1979 empat Zona Ekonomi Khusus (经济特区 Jingji Tequ) dibuka,
masing-masing terletak di Shenzhen, Zhuhai, Shantou, dan Xiamen yang
diperuntukkan khusus bagi pihak asing untuk berinvestasi; (2) Membuka empat
belas “kota pembangunan pesisir (沿海开放城市 Yanhai Kaifang Chengshi)”
dan juga Pulau Hainan pada tahun 1984 juga untuk investasi asing; (3) Menjadi
tuan rumah bagi konferensi internasional untuk mengiklankan proyek yang
membutuhkan saran, modal, peralatan, managemen, dan pemasaran asing; (4)
Memberikan otonomi kepada pemerintah daerah untuk mengatur perihal
investasi di daerah setempat; (5) Mengesahkan sejumlah regulasi tentang
perpajakan, pertanggungjawaban, proteksi hak paten, dan merek dagang asing;
(6) Penjelasan tentang prosedur arbitrasi, kompensasi buruh, dan repatriasi laba
asing dari Cina (Hsü, 1990: 191).
Tahun 1992-1993 merupakan periode puncak penerimaan Foreign Direct
Investment (FDI) di Cina. Tingkat penerimaan FDI pada tahun 1992
mengalami peningkatan sebesar 385% dengan total nilai US$58,1 milyar. Total
FDI ini meningkat kembali pada tahun 1993 hingga mencapai US$110,9
milyar. Serangkaian regulasi mengenai operasi pasar yang diberlakukan sejak
tahun 1992-1993 menjadi salah satu faktor yang memicu kemajuan ini.
Regulasi tersebut adalah Undang-Undang Persatuan Dagang (1992), Undang-
Undang Perusahaan (1993), dan Ketetapan tentang pajak pertambahan nilai,
pajak konsumsi, dan pajak bisnis serta pajak penghasilan perusahaan (1993)
(Dang, 2002: 16).
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
19
Universitas Indonesia
Grafik 2.2. Aliran FDI tahunan cina 1980-1993
Keterangan: Nilai dalam satuan milyar Dolar AS.
Sumber: Dang, Xiaobang. “Foreign Direct Investment in China“. 2008, hal 3. Laporan
sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar Master of Arts Department of Economics
College of Arts and Sciences Kansas State University, Manhattan. Telah diolah kembali.
2.1.2 Kebutuhan akan Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan:
Reformasi yang Belum Selesai
Pada Kongres PKC XIV tahun 1992, dalam pidatonya yang berjudul
“Percepat Reformasi dan Keterbukaan terhadap Dunia Luar, dan Pemicu
Modernisasi Agar Mencapai Kesuksesan yang Lebih Besar dalam Membangun
Sosialisme Berkaraktersitik Cina“ (加快改革开放和现代化建设步伐,夺取有
中国特色社会主义事业的更大胜利), Jiang Zemin menegaskan bahwa PKC
akan tetap mengikuti garis utama partai. Garis utama partai itu adalah “satu tugas
pokok, dua poin dasar”, yakni pembangunan ekonomi (tugas pokok) dan
kepatuhan terhadap Empat Prinsip Utama dan implementasi reformasi (poin
dasar).
改革开放十多年来,市场范围逐步扩大,大多数商品的价格已经放开,计划直接管理的领域显著缩小,市场对经济活动调节的作用大大增强。实践表明,市场作用发挥比较充分的地方,经济活力就比较强,发展态势也比较好。我国经济要优化结构,提高效益,加快发展,参与国际竞争,就必须继续强化市场机制的作用。实践的发展和认识的深化,要求我们明确提出,我国经济体制改革的目标是建立社会主义市场经济体制,以利于进一步解放和发展生产力。
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
20
Universitas Indonesia
(Setelah reformasi dan keterbukaan berlangsung selama lebih dari
sepuluh tahun, ruang lingkup pasar berkembang dengan sangat signifikan.
Sebagian besar harga komoditas telah diliberalisasi, perencanaan. Bidang
yang direncanakan dan dikelola langsung juga dipersempit. Pengaruh
pasar terhadap pengaturan aktivitas perekonomian kian menguat. Hasil
mplementasi menunjukkan bahwa pengaruh pasar berperan di area yang
lumayan komprehensif, kekuatan pasar pun lumayan kuat, tendensi
pembangunan juga lumayan baik. Ekonomi Cina harus mengoptimalkan
konstruksinya, meningkatkan profit, mengakselerasikan pembangunan,
berpartisipasi dalam persaingan global, dan harus melanjutkan penguatan
pengaruh mekanisme pasar. Pengembangan implementasi dan pendalaman
pengetahuan menuntut kita untuk menyatakan secara eksplisit bahwa
sistem tujuan dari reformasi sistem ekonomi Cina adalah membangun
sistem ekonomi pasar sosialis, dalam rangka meliberalisasi dan
mengembangkan kekuatan produksi.)2
Jiang juga menyebutkan bahwa dalam 14 tahun masa reformasi yang telah
berjalan, kekuatan pasar telah berfungsi secara ekstensif di Cina. Oleh karena itu,
Cina harus terus mengintensifkan kekuatan pasar karena itulah yang membuat
perekonomian Cina maju pesat. Dapat disimpulkan bahwa agenda reformasi
ekonomi masih menjadi prioritas utama pemerintah. Jiang juga menyatakan secara
eksplisit bahwa tujuan reformasi struktur ekonomi adalah membangun ekonomi
pasar sosialis demi membebaskan dan memperluas kekuatan produksi3 lebih jauh
lagi (http://cpc.people.com.cn; Wang, 2005:7). Hal ini juga merupakan indikasi
bahwa Cina melihat adanya kebutuhan untuk melanjutkan reformasi demi
memperkuat kekuatan produksi yang dibutuhkan dalam konstruksi sosialisme.
Terlebih lagi, pada kenyataannya reformasi yang berlangsung di dalam negeri
Cina masih menyisakan ‘pekerjaan rumah’ dan juga menghadapi sejumlah
hambatan yang harus diatasi agar program reformasi dapat berjalan optimal.
Adapun beberapa proyek reformasi yang masih membutuhkan penyelesaian,
antara lain (Song, 2000: 86-89; Qian, 2003: 39-40):
2 “江泽民在中国共产党第十四次全国代表大会上的报告(1992年10月12日)”
(Laporan Jiang Zemin pada Kongres PKC XIV 12 Oktober 1992 )
http://cpc.people.com.cn/GB/64162/64168/64567 /65446/4526311.html diakses pada tanggal 02
Juni 2012 pukul 13.04
3 Teori Kekuatan Produksi atau Determinisme Kekuatan Produksi adalah konsep kunci dalam
Marxisme yang menekankan pentingnya kemajuan perangkat teknis dan kekuatan produksi utnuk
mampu mencapai Sosialisme dan selanjutnya Komunisme yang hakiki. Kekuatan produksi
mengacu pada kombinasi alat-alat produksi—meliputi peralatan, mesin, tanah, infrastruktur—dan
kekuatan buruh manusia. Marx menyebutkan bahwa alat-alat produksi atau alat-alat buruh akan
berkurang nilainya jika tidak dioperasikan oleh buruh manusia.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
21
Universitas Indonesia
a) Reformasi perusahaan Negara (BUMN)
Terlepas dari berbagai upaya revitalisasi BUMN yang telah
diluncurkan pemerintah, tingkat efisiensi perusahaan negara tidak
menunjukkan perbaikan yang diharapkan. Hal ini ditunjukkan oleh total laba
dan pajak BUMN yang menurun dari 24,2% pada tahun 1978 menjadi <10%
pada tahun 1993. Kerugian yang diderita BUMN pun meningkat secara
drastis setiap tahunnya. Masalah ini akhirnya berimbas pula pada sektor lain,
yakni perbankan mengingat BUMN mengandalkan pinjaman bank sebagai
modal. Inefisiensi BUMN mengakibatkan akumulasi non-performing loan4
hingga mencapai >20% dari total utang yang belum terlunaskan. Salah satu
faktor yang menyebabkan buruknya kinerja BUMN adalah karena
ketergantungan BUMN kepada negara dalam menjual produk mereka,
intervensi berkelanjutan dari pemerintah, dan struktur produk dan industri
yang tidak efisien (Parker: 9).
Sebagai konsekuensi dari masuknya Cina dalam WTO, Pemerintah
akan memberikan keleluasaan bagi perusahaan asing untuk beroperasi di Cina.
Hal ini berarti menambah pesaing bagi BUMN yang diharapkan dapat
memberikan motivasi bagi penyelesaian reformasi BUMN ini. Keanggotaan
Cina di WTO diharapkan dapat mendukung upaya Pemerintah untuk
menangani sejumlah isu kunci dari reformasi BUMN yang belum
terselesaikan, seperti hak properti, kepemilikan, dan kekuasaan badan hukum.
b) Reformasi Sektor Finansial
Sektor finansial pun terkena imbas dari buruknya kinerja BUMN.
Hal ini dikarenakan BUMN menyerap sebagian besar kredit dari bank
sentral. Selain itu, sistem lama tidak akan cukup untuk mengelola
desentralisasi ekonomi yang telah dilakukan Cina sejak 1978. Sistem pasar
membutuhkan seperangkat aturan hukum yang lebih komprehensif yang
menjamin mekanisme ekonomi pasar dapat berjalan dengan baik.
Perangkat aturan tersebut akan menjadi alat manajemen makroekonomi
yang dibutuhkan Cina untuk mengontrol volatilitas dan fluktualitas
ekonomi.
4 Non-Performing Loan adalah pinjaman bank yang tidak kunjung dibayar cicilan dan
bunganya oleh kreditor hingga 90 hari.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
22
Universitas Indonesia
Grafik 2.3. Tingkat inflasi dan PDB cina
Sumber: Macroeconomic Policy, Inequality and Poverty Reduction in India and China, C.
P. Chandrasekhar and Jayati Ghosh, hal 29. Telah diolah kembali.
c) Minimalisasi Kesenjangan Sosial dan Pembentukan Sistem Kesejahteraan
Sosial
Kebijakan Pintu Terbuka dilakukan secara bertahap dan
eksperimental di daerah-daerah tertentu. Hal ini memberikan kelebihan
bagi daerah penerima FDI karena menjadi penerima transfer modal, sains,
dan teknologi dari luar. Tak ayal lagi, tingkat kesejahteraan hidup
penduduk di deaerah khusus, seperti Zona Ekonomi Khusus atau kota
pesisir, jauh lebih baik dibandingkan penduduk di daerah Cina sebelah
Barat. Pendapatan penduduk perkotaan dua kali lipat lebih tinggi daripada
penduduk di Cina bagian Barat Laut dan 60% lebih tinggi daripada
penduduk di Cina bagian Barat Laut (Saich, 2002: 8).
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
23
Universitas Indonesia
d) Korupsi yang Merajalela
Implementasi sistem pasar secara parsial menjadi salah satu
penyebab maraknya kasus korupsi (Qian, 2003: 40). Campuran sistem
pasar dan perencanaan memberikan celah bagi petinggi atau birokrat yang
menguasai sektor ekonomi untuk menyalahgunakan kekuasaannya.
Penyalahgunaan tersebut dapat berupa meminta uang sogok sebagai syarat
pemrosesan birokrasi, menghindari pajak, dan lain-lain.
2.2 Konsep Sistem Ekonomi Pasar Sosialis (社会主义市场经济体制) Cina
2.2.1 Sistem Ekonomi Pasar Sosialis: Hasil Sinifikasi Sistem Pasar oleh
Intelektual Cina
Sistem ekonomi pasar sosialis (社会主义市场经济体制 ) merupakan
“kategori baru dari Marxisme yang telah diintegrasikan dengan kondisi
Cina“ (Yang, 245). Kemunculannya pertama kali dilandasi oleh istilah sistem
ekonomi komoditas sosialis yang dikemukakan oleh Zhuo Jiong5. Istilah ekonomi
pasar sosialis sudah dipergunakan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1979 dalam
pidatonya dengan berlandaskan pada prinsip Sosialisme Berkarakteristik Cina
(Wang, 2005:2). Konsep ini merupakan hasil pemikiran para intelektual Cina. Hal
ini berbeda dengan transisi sistem pasar di sebagian besar negara pecahan Uni
Sovyet dan Eropa Timur yang bergantung pada penasehat ekonomi asing dalam
merumuskan sistem pasarnya. Walau demikian, tidak dapat dinafikan bahwa
pengetahuan dan teori ekonomi Barat menjadi salah satu inspirasi dalam formulasi
sistem ekonomi pasar ini.
Pengetahuan dan teori ekonomi Barat ini masuk ke Cina melalui pertukaran
akademis dengan negara Barat dan Eropa Timur yang terjadi sepanjang tahun
1980-an. Pada periode yang sama juga berlangsung perdebatan di kalangan
intelektual mengenai langkah-langkah strategi reformasi. Perdebatan tersebut
terjadi untuk menyikapi masalah reformasi BUMN yang stagnan dan kekacauan
makroekonomi. Para pemimpin di ranah ekonomi beserta para pakar ekonomi
5 Zhuo Jiong (桌炯) , 1908-1987, merupakan salah satu pakar ekonomi ternama di Cina. Zhuo
Jiong meneliti tentang adopsi dan implementasi ekonomi pasar terhadap perekonomian Cina
hingga akhirnya berhasil mengembangkan dan mengajukan teori ekonomi komoditas sosialis pada
tahun 1961. Teori ini baru diaplikasikan pada periode kepemimpinan Deng Xiaoping.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
24
Universitas Indonesia
terbagi menjadi dua kubu utama, yakni golongan pemimpin dan ekonom yang
mengadvokasi dan mempertahankan perencanaan sebagai langkah reformasi, dan
golongan pemimpin dan ekonom yang merekomendasikan reformasi berorientasi
pasar. Golongan pertama menganggap bahwa masalah yang dihadapai Cina kala
itu adalah akibat dari ketidaktepatan orientasi reformasi Cina ke arah pasar,
sedangkan golongan kedua berpendapat bahwa masalah terjadi akibat
implementasi sistem pasar yang tidak ideal dan parsial. Xue Muqiao6 mengajukan
reformasi pada sistem kontrol harga dan jalur sirkulasi dalam rangka menghapus
sistem kontrol harga secara bertahap dan mengkontruksi pasar komoditas dan
finansial. Namun, gagasan golongan kedua belum dapat diterima sepenuhnya saat
itu dan perdebatan berakhir dengan hasil negosiasi dan kompromi politik yang
menetapkan ekonomi terencana sebagai pilar utama dan mekanisme pasar sebagai
suplemen (Wu, 2005:26). Walaupun demikian, gagasan yang dikembangkan pada
masa ini berkontribusi dan mempengaruhi perumusan sistem ekonomi pasar
sosialis pada tahun 1992-1993 (Qian, 2003:41).
Sejumlah ide utama yang dibahas pada perdebatan intelektual, antara lain (1)
Pembentukan institusi pendukung pasar, seperti sistem perpajakan dan finansial,
serta liberalisasi harga (2) Reformasi hak properti, kepemilikan dan saham. Pada
tahun 1990-an dilakukan studi komprehensif mengenai aspek-aspek sistem
ekonomi pasar, termasuk kedua hal tersebut. Sebuah tim peneliti pada tahun
1990—ketika reformasi Cina terpuruk pasca insiden Lapangan Tiananmen
1989—mulai merancang desain terintegrasi dari reformasi ekonomi. Tim peneliti
ini menggunakan konsep ekonomi institusional baru dan ekonomi neoklasik
untuk mempelajari berbagai aspek reformasi ekonomi guna mencari ‘jalan
tengah‘ dan mampu merumuskan sistem ekonomi yang sesuai dengan kondisi
Cina sekaligus mengakomodir kepentingan Cina, yakni adopsi sistem pasar
sekaligus kepatuhan terhadap unsur ekonomi sosialis7. Adapun aspek reformasi
6 Xue Muqiao ( 薛暮桥 ), 1904-2005, adalah salah satu pakar ekonomi Cina. Dalam
transformasi ekonomi Cina, Xue memberikan kontribusinya dengan mengembangkan teori
ekonomi berbasis pasar di Cina. Xue juga memegang sejumlah jabatan kenegaraan penting, seperti
Sekretaris Jenderal Komisi Ekonomi dan Finansial di Dewan Administrasi Pemerintah, Direktur
Jenderal Biro Statistik Nasional, dan konsultan untuk Kantor Dewan Negara untuk Restrukturisasi
Sistem Ekonomi.
7 Ekonomi Neoklasik merupakan konsep ekonomi yang menekankan bahwa mekanisme pasar
persaingan bebas tanpa intervensi pemerintah, dengan asumsi-asumsi tertentu, selalu menuju
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
25
Universitas Indonesia
ekonomi yang dipelajari mencakup sistem moneter dan fiskal baru, kebijakan
moneter pada periode transisi, konvertabilitas mata uang, reformasi BUMN, dan
lain-lain8
. Tidak hanya berbasis teori, para intelektual juga belajar dari
pengalaman negara Eropa Timur dalam sistem ekonomi pasar. Pengalaman
reformasi ekonomi selama lebih dari 10 tahun juga membuat Cina lebih familiar
dengan konsep dan praktik sistem pasar. Kombinasi pengetahuan ekonomi Barat,
pengalaman praktik ekonomi pasar, serta konsep ekonomi sosialis inilah yang
menjadi bahan baku bagi para ekonom Cina untuk memformulasikan konsep
sistem ekonomi pasar sosialis (Qian, 2003: 40-42). Formula ekonomi pasar
sosialis ini kemudian dikemukakan oleh Jiang Zemin pada Kongres PKC XIV
1992-1993.
2.2.2 Konsep Sistem Ekonomi Pasar Sosialis Berdasarkan Kongres PKC
XIV Tahun 1992-1993
Dalam laporan pada Kongres PKC XIV tanggal 12 November 1992 di Beijing,
Jiang Zemin mengemukakan bahwa sistem ekonomi pasar sosialis harus menjadi
pedoman bagi rencana pembangunan dan reformasi Cina ke depan.
我们要建立的社会主义市场经济体制,就是要使市场在社会主义国家宏观调控下对资源配置起基础性作用,使经济活动遵循价值规律的要求,适应供求关系的变化;通过价格杠杆和竞争机制的功能,把资源配置到效益较好的环节中去,并给企业以压力和动力,实现优胜劣汰;运用市场对各种经济信号反应比较灵敏的优点,促进生产和需求的及时协调。同时也要看到市场有其自身的弱点和消极方面,必须加强和改善国家对经济的宏观调控。我们要大力发展全国的统一市场,进一步扩大市场的作用,并依据客观规律的要求,运用好经济政策、经济法规、计划指导和必要的行政管理,引导市场健康发展。
keseimbangan dan efisiensi serta membawa kesejahteraan optimal yang bagi semua orang.
Ekonomi Neoklasik memiliki tiga asumsi dasar utama, yakni ‘kelangkaan’, ‘kompetisi’, dan
‘rasionalitas instrumental’. Adapun Ekonomi Institusional Baru atau Ekonomi Kelembagaan Baru
(EKB) adalah konsep ekonomi yang menggagas pentingnya eksistensi organisasi ekonomi untuk
mengatur perekonomian. EKB menerima asumsi dasar ekonomi neoklasik mengenai ‘kelangkaan’
dan ‘kompetisi’, namun menolak asumsi mengenai ‘rasionalitas instrumental’ yang membuat
ekonomi neoklasik menjadi teori nirkelembagaan (institusion-theory). EKB menggagas
kelembagaan non-pasar (hak kepemilikan, kontrak, partai revolusioner, dan lain-lain) untuk
mengompensasi kegagalan pasar akibat kehadiran informasi yang tidak sempurna, eksternalitas
produksi , dan barang-barang publik.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
26
Universitas Indonesia
(Sistem ekonomi pasar sosialis yang harus kita bangun menjadikan pasar di
bawah kontrol makroekonomi negara sebagai fungsi fundamental dalam
alokasi sumber daya, menjadikan aktivitas perekonomian mengikuti
tuntutan aturan pasar sebagai hukum harga, menyesuaikan diri terhada
perubahan relasi pasokan dan permintaan; melalui dampak pengungkit
harga dan mekanisme kompetisi, membawa pengalokasian sumber daya ke
arah sektor efisiensi yang baik, dan juga memberikan tekanan sekaligus
otoritas gerak, mewujudkan mekanisme ‘keberlangsungan hidup bagi pihak
yang terkuat’; menggunakan pasar yang memiliki kelebihan dapat
merespon dengan peka terhadap berbagai sinyal ekonomi, memajukan
koordinasi yang sigap antara produksi dan permintaan. Pada saat yang
bersamaan, juga harus menyadari bahwa sistem pasar memiliki sisi
kekurangan dan negatifnya tersendiri, karenanya kita harus memperkuat dan
meningkatkan kontrol makroekonomi negara terhadap ekonomi. Kita harus
sekuat tenaga mengembangkan pasar terpadu nasional, memperluas
pengaruh pasar lebih lanjut, sejalan dengan tuntutan regulasi yang objektif,
menggunakan kebijakan ekonomi yang baik, perundang-undangan ekonomi,
pedoman perencanaan dan administrasi yang diperlukan, demi memandu
pengembangan pasar yang sehat.)
Dalam pembahasan “Sepuluh tugas utama pembangunan ekonomi dan
reformasi pada tahun 1990-an”, pembangunan sistem ekonomi pasar sosialis
menjadi hal yang pertama kali disebutkan oleh Jiang. Tujuan utama sistem sistem
ekonomi pasar sosialis adalah memantapkan sistem pasar yang berlaku pada
perekonomian Cina, atau dalam redaksi Jiang disebutkan “menjadikan kekuatan
pasar—di bawah kontrol makroekonomi9 (宏观调控 Hongguan Tiaokong) oleh
negara—sebagai metode utama dalam mengatur alokasi sumber daya dan
menjalankan aktivitas ekonomi berdasarkan hukum nilai serta responsif terhadap
relasi dinamis antara suplai dan permintaan.” Dari pernyataan tersebut dapat
dikatakan bahwa sekalipun pemerintah Cina berniat menguatkan kekuatan pasar,
ia masih berusaha mempertahankan kontrol atas ekonomi pasar yang berlaku di
Cina (Wang, 2005: 7). Hal ini mencerminkan aspek sosialis dari sistem ekonomi
tersebut.
9 Makroekonomi merupakan cabang ilmu ekonomi yang membahas mengenai mengenai
interelasi antara total kegiatan ekonomi dengan masalah pertumbuhan ekonomi, inflasi,
pengangguran, dan kebijakan nasional ekonomi pemerintah (kebijakan finansial maupun moneter).
Adapun mikroekonomi adalah cabang ilmu ekonomi lain yang mempelajari perihal pengambilan
keputusan oleh individu, rumah tangga, dan organisasi dalam mengatur distribusi sumber daya
yang terbatas di pasar
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
27
Universitas Indonesia
Yang Cheng Xun dalam “Answers to Several Questions about Socialist Market
Economy”menyebutkan sejumlah kriteria dari ekonomi pasar sosialis. Pertama,
perusahaan negara (BUMN) merupakan basis utama dari ekonomi pasar sosialis.
BUMN dibarengi dengan perusahaan swasta bersama-sama bersaing di pasar.
Deng Xiaoping menyatakan bahwa ekonomi pasar bukanlah fitur yang dimiliki
kapitalisme secara eksklusif. Ekonomi pasar bukan pula hanya dapat diterjuni
oleh perusahaan swasta saja. Hal ini berarti ekonomi pasar pun dapat diterapkan
di masyarakat sosialisme. Hal ini berarti pula bahwa perusahaan negara dan
perusahaan swasta dapat berpartisipasi dalam persaingan pasar dengan sistem
ekonomi pasar sosialis mengatur interrelasi antarkeduanya. Jiang dalam pidato
Kongres XIV juga menekankan bahwa perusahaan kolektif milik rakyat (BUMN)
tetap berperan utama dan harus menjadi pemain utama ketika berkompetisi
dengan perusahaan lain dalam pijakan yang sama. Dalam hal ini, superioritas
perusahaan negara dijadikan indikator lain bagi bertahannya karakteristik
sosialisme.
Kedua, pensosialisan atau proses mengintegrasikan unsur sosialis, merupakan
pengikat antara unsur sosialis dan ekonomi pasar dalam sistem ekonomi pasar
sosialis. Pensosialisan ini meliputi dua hal, yakni kekuatan produksi dan relasi
produksi. Makna dari pensosialisan produksi ini adalah proses perubahan proses
produksi skala kecil di masa lampau menjadi sebuah proses sosial yang
produknya diperuntukkan demi memenuhi kebutuhan masyarakat. Pensosialisan
produksi terdiri atas dua bagian: (1) “Divisi” atau pengalokasian, yang berarti
pengalokasian lebih baik ke dalam buruh sosial yang professional, bentuk yang
mendasar berupa rangkaian sirkulasi-pertukaran produk (komoditas) yang terjadi
melalui pasar sebagai medium; (2) “Koneksi“, yang berarti hubungan sosial yang
kian dekat. Dengan eksistensi keduanya, hubungan antarprodusen kian dekat dan
karenanya terbentuklah kekuatan produksi baru yang komprehensif berbasis
kepercayaan (reliability). Kedua hal tersebut tidak hanya dimiliki oleh perusahaan
swasta, melainkan juga dimiliki oleh perusahaan negara. Perusahaan negara
mampu menghasilkan produk yang terjangkau dan berkualitas baik sehingga
dapat menyesuaikan diri, mengeksplor dan menguasai pasar. Dalam pasar
ekonomi sosialis, sektor ekonomi milik negara (BUMN) memiliki kekuatan hidup
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
28
Universitas Indonesia
yang besar dan memegang tanggung jawab yang lebih besar sehingga
memerlukan biaya reformasi yang lebih besar di Cina.
Ketiga, ekonomi pasar sosialis berkembang dengan berpedomankan pada
“Empat Prinsip Utama (四项基本原则 Si Xiang Jiben Yuanze)“, yakni jalan
sosialis (社会主义道路 Shehuizhuyi Daolu), kediktatoran demokrasi rakyat (人民
民主专政 Renmin Minzhu Zhuanzheng), kepemimpinan PKC (共产党的领导
Gongchandang de Lingdao), dan Marxisme-Leninisme-Pemikiran Mao (马列注
意、毛泽东思想 Maliezhuyi, Maozedong Sixiang). Ekonomi pasar sosialis
dijalankan dengan tetap memperhatikan kepatuhan terhadap keempat prinsip
tersebut. Secara spesifik, ekonomi pasar sosialis dan ekonomi pasar kapitalis
berbeda dalam lima aspek, yakni: (1) Basis ekonomi, (2) Lingkungan dan
kondisi—ekonomi pasar sosialis dipengaruhi oleh kekuatan negara, hukum,
budaya yang merefleksikan kepentingan kaum borjuis, sedangkan ekonomi pasar
sosialis dipandu oleh kekuatan rakyat di bawah kepemimpinan PKC yang berarti
dipengaruhi oleh peradaban sosialis, menekankan pendidikan sosialisme, dan
dikontrol oleh sistem hukum sosialis, (3) Tingkat kontrol makro—ekonomi pasar
kapitalis bergantung pada pasar sepenuhnya dalam mengalokasikan sumber daya
sehingga menyebabkan lemahnya kontrol makro dan mengalihkan perhatian atas
fluktuasi ekonomi periodik semacam krisis. Ekonomi pasar sosialis
memanfaatkan pasar untuk mengalokasikan sumber daya dan di waktu yang sama
menerapkan kontrol makro sehingga dapat mencegah fluktuasi yang menyebar
luas dan mengumpulkan kekuatan demi melaksanakan proyek besar. Inilah yang
dimaksud oleh Deng Xiaoping “perencanaan dan pasar sama-sama diperlukan“. (4)
Tujuan pelayanan—Ekonomi pasar kapitalis melindungi kaum borjuis sehingga
perangkat regulasinya pun bertujuan mengakomodir kaum borjuis untuk
memperkaya diri, seperti ekspansi bisnis ke luar negeri. Sebaliknya, ekonomi
pasar sosialis bertujuan membangun kekuatan produksi dan meningkatkan
kesejahteraan umum. Untuk mencegah polarisasi kekayaan, strategi “meminta
mereka yang kaya untuk membantu yang tidak berada” pun dilakukan. Proteksi
dan bantuan untuk pengentasan kemiskinan pun menjadi prioritas. (5) Sifat
kontradiksi sosial—Dalam ekonomi pasar, setiap pihak bersaing dengan ketat
untuk memenangkan kepentingannya masing-masing sehingga memunculkan
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
29
Universitas Indonesia
kontradiksi. Kontradikasi dalam ekonomi pasar kapitalis bersifat ”antagonis” dan
“tak dapat diselesaikan sendiri”, sedangkan dalam ekonomi pasar sosialis,
kontradiksi terjadi di antara rakyat karena ekonomi sosialis berbasis kepemilikan
umum dan merepresentasikan kepentingan rakyat.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan secara umum bahwa ekonomi pasar
sosialis merupakan bentuk adopsi sistem pasar secara lebih komprehensif dan
terarah dengan sistem kontrol makro oleh pemerintah sebagai pengawasnya.
Ekonomi pasar sosialis bertujuan untuk memperkuat daya saing perusahaan
kolektif milik umum agar dapat menunjukkan superioritas sistem sosialis (Yang,
250).
2.2.3 Strategi Sistem Ekonomi Pasar Sosialis
Selanjutnya, Jiang memaparkan pula beberapa langkah yang harus dilakukan
dalam rangka membangun sistem ekonomi pasar sosialis, meliputi:
a) Meningkatkan Vitalitas dan Efisiensi Kerja Perusahaan Negara
Hal ini dapat tercapai dengan membuat definisi yang jelas antara hubungan
kepemilikan dan managemen perusahaan. Selain itu, diperlukan adanya
pemisahan antara fungsi pemerintah dan perusahaan melalui penyerahan
otonomi kepada perusahaan negara—khususnya tingkat besar dan menegah—
agar mereka dapat menjadi entitas legal yang bertanggung jawab penuh atas
keputusan yang dibuat, baik terkait operasi perusahaan, ekspansi perusahaan,
maupun profit dan kerugian yang mereka dapatkan. Pemisahan ini ditempuh
melalui sistem pemegang saham perusahaan.
b) Mempercepat Implementasi Sistem Pasar secara Komprehensif
Pembangunan pasar komoditas harus dipercepat, khususnya untuk barang
modal. Pasar finansial juga harus segera disempurnakan, termasuk pasar surat
obligasi, saham, dan jaminan lain yang dapat dinegosiasikan. Selain itu, pasar
teknologi, buruh, informasi, dan real estate juga harus turut dimatangkan
sehingga terbentuklah sistem pasar nasional terintegrasi yang terbuka untuk
semua. Regulasi dan aturan pasar harus diperkuat, membongkar batas
antardaerah, melarang embargo, dan mencegah terjadinya monopoli demi
mendorong kompetisi pada pijakan yang sama.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
30
Universitas Indonesia
c) Memantapkan Sistem Distribusi Sosial dan Sistem Jaminan Sosial
Sistem ini meliputi 3 hal, yakni: (1) Perpajakan—perusahaan membayar pajak
plus sekian persen dari profit, pendapatan pajak berbagi antara pimpinan pusat
dan daerah; (2) Pembayaran Gaji—memperkenalkan secara bertahap beberapa
sistem berbeda yang cocok bagi setiap organ perusahaan, institusi, dan
pemerintahan, sekaligus memperkenalkan mekanisme kenaikan gaji yang
normal; (3) Jaminan Sosial—berupa jaminan bagi pengangguran dan manula,
jaminan kesehatan, serta perumahan di perkotaan dan pedesaan.
d) Mempercepat Transformasi Fungsi dan Peran Pemerintah dalam
Perekonomian
Hal ini dilakukan dengan mengeliminasi segala bentuk intervensi pemerintah
pada area yang menjadi otoritas perusahaan. Adapun fungsi pemerintah adalah
untuk membuat rencana umum, mengawasi seluruh kebijakan
diimplementasikan dengan baik, menawarkan panduan dengan mensuplai
informasi, mengorganisir dan mengkoordinasikan, menyediakan pelayanan dan
menginspeksi. Supervisi dilakukan pemerintah melalui sistem dan metode
manajemen makro dan pembagian tanggung jawab secara rasional kepada
pemerintah daerah di bawah kontrol pemerintah pusat.
Selain dari keempat langkah di atas, pembangunan sistem ekonomi pasar
sosialis turut didukung dengan agenda reformasi lain. Agenda reformasi ini
merupakan bagian dari “Sepuluh Tanggung Jawab Reformasi Ekonomi dan
Pembangunan pada Tahun 1990-an” (九十年代改革和建设的主要任务) yang
dicetuskan Jiang Zemin. Adapun kesepuluh tanggung jawab tersebut sebagai
berikut.
1. Mempercepat reformasi ekonomi sembari membangun ekonomi pasar sosialis
(围绕社会主义市场经济体制的建立,加快经济改革步伐),
2. Lebih membuka diri pada dunia luar dan memanfaatkan dana asing, sumber
daya, teknologi, dan keahlian managemen secara lebih baik (进一步扩大对
外开放,更多更好地利用国外资金、资源、技术和管理经验),
3. Menyesuaikan dan mengoptimalkan struktur produksi, mengerahkan diri pada
pembangunan pertanian, dan mempercepat pembangunan industri dasar,
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
31
Universitas Indonesia
fasilitas infrastruktural, dan industri tersier (调整和优化产业结构,高度重
视农业,加快发展基础工业、基础设施和第三产业),
4. Mempercepat kemajuan di bidang sains dan teknologi serta melakukan upaya
khusus untuk mengembangkan pendidikan dan memberi ruang gerak bagi
kemampuan para intelektual (加速科技进步,大力发展教育,充分发挥知
识分子的作用).
5. Mengeksploitasi kelebihan khusus dari masing-masing daerah, mempercepat
perkembangan ekonominya, dan merasionalkan distribusi geografis untuk
berbagai sektor pada ekonomi (充分发挥各地优势,加快地区经济发展,促进全
国经济布局合理化),
6. Mendorong reformasi struktur politik dan memajukan demokrasi sosisalis dan
sistem legal (积极推进政治体制改革,使社会主义民主和法制建设有一个较大的
发展),
7. Mereformasi sistem administrasi dan struktur organisasi PKC dan pemerintah
agar membawa perubahan pada fungsinya, meluruskan hubungan di
antaranya, dan meningkatkan efisiensi (下决心进行行政管理体制和机构改革,
切实做到转变职能、理顺关系、精兵简政、提高效率),
8. Terus memupuk kemajuan materi dan budaya serta ideologi yang masing-
masing memiliki tingkat kepentingan yang setara (坚持两手抓,两手都要硬,
把社会主义精神文明建设提高到新水平),
9. Melanjutkan peningkatan standar hidup rakyat dan mengontrol pertumbuhan
populasi secara ketat serta memperkuat preservasi lingkungan (不断改善人民
生活,严格控制人口增长,加强环境保护), dan
10. Memperkuat kekuatan tentara dan meningkatkan kemampuan pertahanan
demi menjamin reformasi, politik pintu terbuka, dan pembangunan ekonomi
berjalan dengan lancar (加强军队建设,增强国防实力,保障改革开放和经济建
设顺利进行).
Selain tugas pertama, program reformasi lain pun turut mendukung
pembentukan struktur ekonomi pasar sosialis. Sebagai contoh tugas kedua: “Lebih
membuka diri pada dunia luar dan memanfaatkan dana asing, sumber daya,
teknologi, dan keahlian managemen secara lebih baik“, berarti Cina akan
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
32
Universitas Indonesia
membuka lebih banyak daerah sebagai target penerima investasi asing dan
transaksi ekonomi yang berbasis teknologi dan manajemen yang profesional.
Selain itu, Cina juga menargetkan peningkatan perdagangan luar negeri melalui
diversifikasi produk dan partner dagang, peningkatan kualitas komoditas ekspor,
serta melakukan impor untuk mendapatkan akses kurs asing dan teknologi
canggih.
2.3 Implementasi Sistem Ekonomi Pasar Sosialis (1994-2001) dan hasil
Reformasi—Pra Keanggotaan WTO
Sesuai dengan hasil perumusan sistem ekonomi pasar sosialis, di awal tahun
1994 mulai diterapkan sejumlah langkah reformasi dalam rangka
menyempurnakan peran pasar dalam perekonomian Cina. Adapun langkah-
langkah tersebut mencakup lima area, yakni (1) Reformasi valuta asing, (2)
Reformasi fiskal dan pajak, (3) Reformasi finansial, (4) Reformasi perusahaan
negara, (5) Pembentukan sistem jaminan sosial (Qian, 2003: 42). Pada bagian ini
akan dipaparkan bagaimana implementasi program-program tersebut pada periode
tahun 1994-2001 sebelum Cina memperoleh keanggotaan di WTO.
2.3.1 Reformasi Valuta Asing
Sebelum tahun 1994, pasar valuta asing diliberalisasi secara parsial dengan
menerapkan sistem harga dualistis. Valuta asing dijual dengan dua harga berbeda,
yakni harga pasar dan harga pemerintah. Pada 1 Januari 1994, dualisme harga ini
dihapuskan dan pemerintah memberlakukan harga pasar. Pemerintah
menyediakan subsidi tahunan dalam mata uang Yuan bagi organisasi yang
sebelumnya membeli valuta asing dengan harga murah selama tiga tahun. Subsidi
ini berfungsi sebagai kompensasi pemerintah atas kerugian yang mungkin mereka
derita akibat kenaikan harga valuta asing. Pada tahun 1996, pemerintah
meningkatkan konvertibilitas Yuan dengan mengizinkan transaksi valuta asing
terhadap mata uang Yuan. Hal ini berarti Yuan menjadi jauh lebih mudah diakses
dan ditukarkan sehingga memberi kemudahan pada berlangsungnya transaksi
perdagangan global10
. Pada periode 1994-1998 nilai tukar tergolong stabil dan
10
Sejak kebijakan Reformasi dan Keterbukaan dijalankan tahun 1978, sistem dual-track
currency diadopsi. Yuan hanya dapat dipergunakan secara domestik, sedangkan orang asing
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
33
Universitas Indonesia
bahkan mengalami apresiasi atas Dollar hingga mencapai CN¥8,3 untuk US$1.
Selain itu, cadangan mata uang asing Cina meningkat pada periode ini dari US$21
milyar hingga mencapai US$ 145milyar. Hal ini tentulah berdampak suportif
terhadap upaya Cina dalam melakukan perdagangan global, khususnya impor.
Nilai cadangan valuta asing yang besar juga membantu menjaga stabilitas dan
kekuatan nilai tukar Yuan di pasar valuta asing.
2.3.2 Reformasi Fiskal dan Pajak
Pada 1 januari 1994, pemerintah memberlakukan sistem fiskal dan pajak
sesuai praktik internasional. Dalam reformasi perpajakan, pajak pemerintah lokal
dan pusat dibedakan. Pembedaan ini direalisasikan dalam dua hal utama, yakni
pertama, pemerintah mendirikan biro pajak nasional dan biro pajak lokal yang
masing-masing bertanggung jawab pada pemungutan pajak di area kerjanya
masing-masing; kedua, pemerintah menetapkan regulasi terkait proporsi
pembagian pendapatan pajak yang tetap antara pemerintah pusat dan lokal.
Pengesahan “Undang-Undang Anggaran“ baru pada tahun 1995
merupakan bentuk terobosan di bidang reformasi fiskal. Undang-undang ini
secara tegas mengatur perilaku pemerintah dalam hal pemanfaatan anggaran, baik
pemasukan maupun pengeluaran. Pemerintah pusat dilarang untuk meminjam
dana dari bank sentral dan juga mendefisitkan rekening. Jika pemerintah pusat
membutuhkan modal, pemerintah harus menggadaikan surat obligasi pemerintah
sebagai jaminan atas tindakan mendefisitkan rekening pemerintah. Hal yang sama
berlaku bagi pemerintah lokal. Pemerintah lokal dibatasi dalam mengajukan
pinjaman pada pasar finansial dan pengeluaran surat obligasinya. Pemerintah
daerah di semua tingkat diwajibkan menjaga agar pengeluarannya sama dengan
pemasukan, atau dengan kata lain memiliki anggaran berimbang. Demi menjamin
penerapan undang-undang tersebut Lembaga Audit Negara dibentuk pada tahun
1996.
Sejumlah langkah reformasi ini membawa dampak rehabilitatif terhadap
masalah menurunnya persentase pendapatan anggaran pemerintah dari total PDB.
diharuskan memiliki sertifikat valuta asing. Barulah pada akhir 1980-an dan 1990-an Cina
berupaya meningkatkan konvertabilitas Yuan dengan menetapkan nilai tukar mata uang yang
realistis dan menghapuskan sistem dual-track currency.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
34
Universitas Indonesia
Pada tahun 1995, tercatat bahwa porsi pendapatan pemerintah adalah sebesar
10,7% APBN dari 11,2% APBN pada tahun 1994. Namun, akhirnya meningkat
secara konsisten hingga pada tahun 2001 mencapai 17,1% dari total PDB.
Tabel 2.4. Persentase pendapatan pemerintah terhadap PDB
Catatan: Utang domestik dan luar negeri tidak termasuk dalam tabel ini
Sumber: 中 华 人 民 共 和 国 统 计 局 National Bureau of Statistics of China.
http://www.stats.gov.cn/english/statisticaldata/yearlydata/YB2002e/htm/h0802e.htm Diakses pada
tanggal 14 Juni 2012 pukul 23.45 WIB.
Sekalipun demikian, Qian Yingyi dan Wu Jinglian mengevaluasi bahwa
pada reformasi fiskal dan pajak masih terdapat sejumlah masalah yang belum
terselesaikan, seperti masalah transfer pendapatan antara pemerintah pusat dan
lokal dan sistem fiskal dan pajak sub-provinsi yang bermasalah. Masalah lain
adalah adanya biaya-biaya off-budgetary dan extra-budgetary yang menimbulkan
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
35
Universitas Indonesia
resiko fiskal serta menyebabkan ketidakakuratan rencana fiskal yang telah dibuat
pemerintah sebelumnya11
(Qian, 2003: 43).
2.3.3 Reformasi Moneter dan Finansial
Reformasi pada sektor finansial dimulai dengan sentralisasi operasi bank
sentral negara pada tahun 1993. Sejak saat ini, bank sentral memiliki wewenang
untuk mengawasi bank-bank lokal, menggantikan pemerintah daerah tempat bank
lokal tersebut berada. Langkah selanjutnya adalah pengesahan “Undang-Undang
Bank Sentral” pada tahun 1995 yang menetapkan bahwa pemerintah lokal tidak
lagi berwewenang mencampuri kebijakan moneter. Bank Sentral lah satu-satunya
pihak yang dapat terlibat dalam pembuatan kebijakan moneter. Berikutnya, Bank
Sentral membentuk 9 bank cabang regional lintas provinsi sebagai pengganti dari
30 bank provinsi. Kesembilan bank tersebut berlokasi di Shenyang, Tianjin,
Shanghai, Wuhan, Xi’an, Nanjing, Jinan, Chengdu, Guangzhou.
Empat bank terbesar di Cina—Bank Komersil Cina, Bank Pertanian Cina,
Bank Cina, dan Bank Pembangunan Cina—menjadi sasaran utama program
reformasi finansial. Sejumlah upaya komersialisasi dilaksanakan terhadap
keempat bank tersebut. Setelah “Undang-Undang Perbankan Komersil” disahkan
pada tahun 1995, keempat bank tersebut mengadopsi standar akuntansi
internasional untuk penghitungan aset bank dan manajemen resiko. Pada tahun
1998, pemerintah memperluas wewenang bank-bank tersebut untuk
mengalokasikan kredit dengan tetap mempertimbangkan persyaratan cadangan
standar, manajemen pertanggungjawaban aset, dan regulasi tingkat bunga.
Sebagai bank komersil, bank-bank tersebut tidak diperbolehkan memegang saham
di suatu perusahaan.
Namun, terlepas dari berbagai langkah reformasi yang telah dilakukan,
reformasi di bidang finansial belum menuai hasil yang diharapkan. Hal ini
disebabkan terhambatnya reformasi di bidang lain yang terkait dengan reformasi
finansial, yakni badan usaha milik negara dan bank milik negara. Keduanya sama-
sama kepemilikan kolektif yang akan terus menyita sumber daya dan bahkan
11 Off-budgetary adalah pengeluaran pemerintah yang perhitungannya tidak dimasukkan atau
dihitung dalam anggaran negara. Pengeluaran semacam ini pada umumnya didanai dari sumber
dana lain. Extra-budgetary merupakan pengerluaran pemerintah yang tidak direncanakan dalam
anggaran negara.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
36
Universitas Indonesia
menghambat akses sumber daya bagi perusahaan lain jika program reformasinya
tidak kunjung berhasil (Qian, 2003: 45).
2.3.4 Reformasi Perusahaan Negara
Slogan “tangkap yang besar, lepaskan yang kecil“ (抓大放小 Zhua Da
Fang Xiao) mendampingi pelaksanaan privatisasi BUMN skala kecil dan
menengah besar-besaran pada tahun 1995. Walaupun sempat surut pada tahun
1998 akibat krisis finansial Asia tahun 199712
, arus privatisasi melaju kembali
pada tahun 1999. Pemecatan pegawai perusahaan negara secara masif hingga
lebih dari 10 juta pekerja juga terjadi antara periode tahun 1996 hingga 1998. Hal
ini diharapkan menciptakan kompetisi di kalangan para pekerja sekaligus demi
efisiensi sumber daya perusahaan. Terdapat peningkatan dalam bidang ini. Setelah
tahun 1995, terdapat penurunan pada jumlah pekerja di perusahaan negara yang
berarti masalah kelebihan tenaga kerja teratasi selama program reformasi BUMN
berjalan.
Grafik 2.4. Jumlah perusahaan negara Cina dan pegawainya (1978-2002)
12 Tahun 1997 krisis finansial melanda negara-negara di kawasan Asia, seperti Thailand, Korea
Selatan, Indonesia, Hong Kong, Malaysia, dan Filipina akibat anjloknya (devaluasi) nilai mata
uang negara-negara tersebut. Hal ini akhirnya juga berimbas pada pasar saham dan harga aset yang
menurun dan pembengkakan utang konsumen (consumer debt). Cina merupakan salah satu negara
yang tidak secara signifikan terpengaruh krisis ini walaupun akhirnya mengalami penurunan
permintaan dan kepercayaan dunia bisnis di areanya.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
37
Universitas Indonesia
Sumber: Yoshihiro Hashiguchi, “China’s Reform of State-Owned Enterprises and Their Speed of
Employment Adjustment”, hal 2. Graduate School of International Cooperation Studies (GSICS)
Working Paper Series No. 10 Oktober 2006 Kobe University.
Kemajuan di bidang efisiensi SDM di atas, tidak terjadi pada bagian lain
reformasi BUMN. Sejumlah langkah yang dilakukan demi mereformasi bidang
kepemilikan dan corporate governance13
mengalami kegagalan dan terhambat
oleh masalah lain. Pertama, belum adanya diversifikasi kepemilikan perusahaan
negara. Pada tahun 1997, dilakukan eksperimen yang melibatkan 100 perusahaan
negara yang bertujuan menawarkan sebagian saham perusahaan tersebut kepada
para investor. Bentuk diversifikasi kepemilikan perusahaan tersebut berupa
mendaftarkan saham BUMN skala besar pada pasar saham domestik dan
internasional, dan menjual saham kepada orang dalam atau dengan kata lain
manajeman dan pegawai untuk BUMN skala kecil-menengah (Tenev dan Zhang,
2002: 1). Namun, pada akhirnya >80% dari perusahaan tersebut masih di bawah
kepemilikan negara. Kedua, konflik antara “Tiga Komite Lama” dan “Tiga
Komite Baru” menghambat kinerja perusahaan. “Tiga Komite Lama“ meliputi
komite PKC, komite perwakilan pegawai, dan persatuan buruh, sedangkan “Tiga
Komite Baru” adalah rapat pemegang saham, rapat jajaran direktur, dan rapat
komite pengawas. Reformasi BUMN juga bertujuan untuk melakukan
‘korporatisasi‘ perusahaan negara, menjadikan perusahaan negara beroperasi
layaknya sebuah badan usaha berbadan hukum yang memiliki otonomi dan
tanggung jawab atas kinerjanya. Untuk mencapai hal ini, selama proses reformasi
dibentuklah “Tiga Komite Baru” bersamaan dengan eksistensi “Tiga Komite
Lama”. Banyaknya badan representastif semacam ini pada praktiknya hanyalah
formalitas dan akhirnya perusahaan dijalankan dengan metode tradisional.
Walaupun regulasi terkait corporate governance telah secara resmi diadopsi,
profesionalisme dewan direktur pun bermasalah (Tenev dan Zhang, 2002: 43-44).
Fungsi komite yang mirip (overlapped) membuat konflik kepentingan antara
13 Corporate Governance merujuk pada seperangkat prinsip yang menjadi pedoman bagi suatu
perusahaan dalam beroperasi agar mampu mencapai targetnya dan memuaskan semua pihak yang
berkepentingan (stakeholder), meliputi dewan direktur, pemegang saham, konsumen, pegawai, dan
masyarakat. Prinsip-prinsip itu di antaranya transparansi dalam bertransaksi dan membuat
keputusan, bertanggung jawab atas komitmen terhadap pemenuhan hak-hak stakeholders, serta
berbisnis dengan integritas. Corporate governance adalah satu satu paramenter bagi investor asing
untuk menentukan perusahaan penerima investasi mereka.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
38
Universitas Indonesia
“Tiga Komite Lama” dan “Tiga Komite Baru” tidak dapat dihindarkan sehingga
mempengaruhi efisiensi pengambilan keputusan dan eksekusinya, serta
menghambat kinerja perusahaan secara umum. Ketiga, pemerintah mengutus
ratusan “inspektur khusus“ ekternal (稽查特派员 Jicha Tepaiyuan) BUMN skala
besar untuk mengawasi kinerja perusahaan tersebut. Namun, pihak ini tidak bisa
memberikan kontribusi signifikan terhadap penyelesaian corporate governance
ini karena sebagian besar dari mereka adalah pensiunan petingggi birokrat yang
tidak menguasai akuntansi finansial dan bisnis. Keempat, pemerintah Cina
membentuk “Komite Kerja Perusahaan Besar“ (大企业工委 Daqiye Gongwei)
sebagai bagian dari Komite Sentral PKC menggantikan “inspektur khusus“.
Komite ini bertugas untuk menentukan manajer utama dari BUMN skala besar
(Qian, 2003: 45) .
2.3.5 Pembentukan Sistem Jaminan Sosial
Deng Xiaoping menyatakan bahwa kelebihan utama sistem sosialisme adalah
mencegah polarisasi kekayaan atau berarti menjamin kesejahteraan umum bagi
seluruh rakyat Cina. Oleh karena itu, pembentukan sistem jaminan sosial ini
merupakan salah satu instrumen penting bagi Cina guna merealisasikan hal
tersebut. Selain itu, jaminan sosial juga membantu memperlancar reformasi
BUMN, mengurangi beban negara, sekaligus menghindari ketidakstabilan sosial
yang dipicu masalah kesenjangan sosial (Qian, 2003: 46; Cook, 2000: 17).
Reformasi jaminan sosial di Cina utamanya ditujukan bagi penduduk urban.
Jaminan sosial ini dikemas dalam tiga program (Cook, 2000: 13-14), yakni:
(1) Asuransi Sosial—mencakup biaya pensiun, perawatan kesehatan dan asuransi
tuna karya. Dana untuk asuransi sosial ini berasal dari kontribusi pegawai dan
perusahaan yang mempekerjakannya serta dikelola oleh Kementrian Buruh
dan Jaminan Sosial Cina.
(2) Bantuan bagi Pegawai yang Diberhentikan (下岗 Xiagang)—meliputi biaya
kebutuhan hidup standar dan biaya pembayaran asuransi kesehatan, tuna
karya, dan pensiun yang dikelola oleh Pusat Pelayanan Pasca-Cuti (再就业服
务中心 Zaijiye Fuwu Zhongxin) yang dibentuk oleh perusahaan. Bentuk
bantuan ini merupakan langkah transisional selama periode restukturisasi
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
39
Universitas Indonesia
yang kritis (1998-2001). Program ini juga dikelola oleh Kementrian Buruh
dan Jaminan Sosial Cina.
(3) Kontribusi sosial bagi Pihak Tidak mampu (means-tested social
contribution)—meliputi uang kebutuhan hidup standar yang diperuntukkan
bagi mereka yang pendapatan per kapita nya lebih rendah dari standar hidup
minimum (最低生活保障线 Zuidi Shenghuo Baozhangxian). Program ini
pertama kali diluncurkan pada tahun 1993 di Shanghai dan mulai
diberlakukan secara nasional pada tahun 1996. Pembiayaan berasal dari
anggaran pemerintah lokal dan sebagian dari pemerintah pusat yang diberikan
menurut skala prioritas bagi daerah yang kurang maju.
Tujuan umum pembentukan sistem jaminan sosial menurut keputusan
November 1993 adalah bertransformasi dari sistem pensiun berbasis perusahaan
di bawah sistem terencana terpusat, menjadi sistem yang menggabungkan
“tanggung jawab sosial” dan “rekening individu”. Terjadi perdebatan mengenai
proporsi tanggung jawab pembiayaan jaminan sosial ini. Pada tahun 1997, Dewan
Negara mengesahkan kerangka pembiayaan jaminan sosial: biaya wajib sebesar
11% dari total gaji pegawai harus masuk ke rekening jaminan sosial dengan
rincian 8% dibayarkan oleh pegawai, 3% dari total gaji dibayarkan oleh
perusahaan. Adapun jumlah dana tanggung jawab sosial yang harus dibayar oleh
pemerintah daerah ditetapkan oleh pemerintah sendiri dan berkisar 17% dari total
gaji pegawai tersebut. Namun, proporsi ini pun bermasalah dalam dua hal: (1)
Biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk buruh membengkak mengingat
harus memperhitungkan kewajiban membayar pajak dana pensiun yang sangat
tinggi sebesar 28% dari total gaji; (2) Masalah kompensasi jaminan sosial bagi
pegawai tua belum dapat terselesaikan. Proposal untuk menggunakan surat
obligasi pemerintah atau aset negara sebagai kompensasi tidak terlaksana.
Akibatnya, sebagian dari rekening pribadi pegawai baru harus ‘dikorbankan’
terlebih dulu karena dana jaminan sosial yang mereka bayarkan dipergunakan
terlebih dahulu untuk membayar jaminan sosial bagi pegawai tua yang telah
keluar dari perusahaan (Qian, 2003: 47). Selain itu, konsistensi implementasi dan
pemerataan distribusi menjadi masalah lain yang menghambat pencapaian
reformasi jaminan sosial ini.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
40
BAB III
KEANGGOTAAN CINA DI WTO DAN PENGARUHNYA TERHADAP
PENERAPAN SISTEM EKONOMI PASAR SOSIALIS DI CINA
3.1 Sekilas Mengenai WTO sebagai Promotor dan Regulator Liberalisasi
Perdagangan Global
World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi tingkat global
yang memiliki misi utama melakukan liberalisasi perdagangan dunia. Organisasi
ini memiliki seperangkat regulasi terkait transaksi perdagangan internasional yang
berlangsung antara sesama negara anggota WTO. Organisasi ini dibentuk pada 1
Januari 1995 sebagai hasil pertemuan Uruguay Round pada tahun 1994 menandai
memprakarsai hasil transformasi organisasi perdagangan dunia General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sekaligus memprakarsai pendirian WTO.
WTO juga merupakan forum negosiasi bagi negara anggotanya untuk
menyelesaikan permasalahan menyangkut hambatan perdagangan bebas atau
konflik kepentingan antarnegara dalam hal perdagangan internasional
(www.wto.org).
3.1.1 Prinsip Sistem Perdagangan WTO
Sebagai organisasi perdagangan dunia, WTO menyusun seperangkat
regulasi yang komprehensif dan kompleks demi dapat menjamin terlaksananya
perdagangan internasional yang bebas dan adil. Regulasi tersebut mencakup aspek
pertanian, tekstil dan konveksi, perbankan, telekomunikasi, belanja negara,
standar produksi dan keamanan produk, regulasi sanitasi makanan, hak intelektual,
dan lain-lain. Dalam Understanding WTO (WTO, 2008: 10-13) disebutkan bahwa
secara umum WTO menetapkan lima prinsip perdagangan fundamental, yaitu:
a) Perdagangan tanpa diskriminasi
Sebagai anggota WTO, setiap negara tidak boleh mendiskriminasikan
partner dagang tertentu. Semua kemudahan transaksi perdagangan luar negeri
yang berlaku bagi satu negara partner dagang—seperti pajak bea cukai yang
rendah untuk barang atau jasa tertentu—harus diberikan pula kepada partner
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
41
Universitas Indonesia
dagang yang lain. Dengan kata lain, setiap negara anggota WTO harus
memberlakukan seluruh partner dagang sebagai Most-favored-nation (MFN).
Selain istilah Most-favored-nation, istilah lain yang terkait perilaku non-
diskriminatif dalam perdagangan adalah national treatment. Istilah ini
mengandung makna bahwa setiap negara harus memperlakukan komoditas
asing sama dengan komoditas dalam negeri (treating foreigners and locals
equally). Hal ini harus berlaku pula bagi layanan jasa, merek dagang, hak
cipta, dan hak paten, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
b) Perdagangan yang Lebih Bebas: Secara Bertahap, Melalui Negosiasi
Langkah WTO dalam menciptakan sistem perdagangan yang lebih bebas
adalah dengan menghilangkan hambatan perdagangan (trade barriers), di
antaranya berupa tarif bea cukai utnuk barang impor, proteksionisme berupa
larangan impor atau penetapan kuota impor untuk komoditas tertentu. Hal
tersebut bertujuan menciptakan pasar yang lebih terbuka. Perjanjian WTO
memberikan waktu penyesuaian kepada negara anggotanya untuk
menerapkan sistem ini secara bertahap (progressive liberalization). Negara-
negara berkembang biasanya diberikan waktu lebih panjang untuk memenuhi
tanggung jawab pada aspek ini.
c) Prediktabilitas: Melalui Pengikatan Komitmen dan Transparansi
Langkah WTO yang lain dalam memicu proliferasi perdagangan bebas
adalah melalui peningkatan prediktabilitas dan transparansi transaksi. Untuk
meningkatkan prediktabilitas dalam perdagangan, WTO mengikat komitmen
anggotanya untuk tidak menaikkan tarif dan bahkan menurunkan tarif impor.
Maksud dari pengikatan komitmen adalah ketika satu negara bersedia
membuka pasar, komitmennya ini ditunjukkan secara konkret melalui
kebijakan tertentu. Sebagai contoh, pemerintah menetapkan batas maksimum
tarif bea cukai untuk impor barang. Besar tarif dapat berubah selama telah
disepakati kedua belah pihak, negara importir dan eksportir. Kepastian besar
tarif inilah yang menjamin stabilitas dan prediktabilitas dalam perdagangan.
Adanya stabilitas dan prediktabilitas ini menjadi salah satu daya tarik bagi
investor di suatu negara. Peningkatan investasi dan perdagangan dapat
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
42
Universitas Indonesia
menciptakan lapangan pekerjaan serta menguntungkan konsumen dengan
tersedianya beragam pilihan barang dengan harga yang murah akibat
persaingan antarperusahaan. Meningkatkan predikatabilitas dapat pula
dilakukan dengan melarang pembatasan kuota impor. Selain itu, segala
peraturan mengenai kebijakan perdagangan nasional harus disosialisasikan
secara luas dan jelas. WTO melalui Trade Policy Review Mechanism
memonitor hal ini demi menjamin transparansi praktik perdagangan domestik
maupun internasional.
d) Promosi Kompetisi yang Adil
Misi utama WTO adalah menjamin kondisi yang adil bagi berlangsung
perdagangan bebas. Peraturan mengenai sikap non-diskriminatif terhadap
partner dagang atau larangan dumping merupakan contoh bentuk upaya WTO
merealisasikan misinya tersebut.
e) Dukungan atas Pembangunan dan Reformasi Ekonomi
Perdagangan bebas yang diusung oleh WTO diyakini dapat menstimulus
pertumbuhan ekonomi dengan menaikkan pendapatan negara. Partisipasi
dalam WTO memberikan akses pada anggotanya untuk mendapatkan bantuan
teknis demi mempercepat proses transisi menuju sistem pasar dan komitmen
WTO lainnya, seperti seminar, pelatihan, dan lokakarya mengenai kebijakan
perdagangan yang relevan. Bagi negara yang kurang berkembang, WTO
memberikan fleksibilitas dalam menerapkan semua prinsip WTO. Pada waktu
yang bersamaan, mereka juga diberikan kesempatan mengakses pasar yang
jauh lebih luas bagi komoditas domestik.
3.1.2 Proses Keanggotaan WTO
Setiap negara yang ingin bergabung dengan WTO harus melaui empat
tahap dari proses keanggotaan WTO. Adapun tahapan dan deskripsi masing-
masing tahap sebagai berikut (WTO, 2008: 105).
a) Tell us about yourself—Tahap pertama adalah pemerintah negara yang
mendaftar harus menyampaikan segala aspek terkait kebijakan ekonomi dan
perdagangan dalam bentuk memeorandum. Memorandum ini akan diperiksa
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
43
Universitas Indonesia
oleh tim kerja yang ditugaskan khusus untuk meproses pendaftaran negara
yang bersangkutan.
b) Work out with us individually what you have to offer—Tahap kedua
merupakan tahap negosiasi bilateral antara calon anggota baru WTO dengan
masing-masing negara. Proses negosiasi bilateral ini berperan penting demi
menjamin diberikannya status keanggotaan WTO karena keberhasilan
negosiasi berarti dukungan bagi proposal keanggotaan negara bersangkutan.
Negosiasi ini membicarakan nilai tarif dan komitmen kemudahan akses atas
pasar tertentu, serta kebijakan-kebijakan lain mengenai barang dan jasa, yang
dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Hasil negosiasi
berlaku bagi semua anggota WTO lainnya walaupun tidak semuanya
diikutsertakan dalam negosiasi bilateral.
c) Let’s draft membership terms—Tahap ketiga ditempuh ketika negosiasi
bilateral tuntas dan tim kerja telah selesai memeriksa memorandum kebijakan
ekonomi negara calon anggota WTO. Tim kerja akan menyusun persyaratan
keanggotaan dalam dokumen tertulis berupa konsep pakta keanggotaan
(protocol of accession) dan daftar komitmen calon anggota.
d) The decision—Laporan tim kerja, protokol, dan daftar komitmen diajukan
kepada WTO General Council atau Konferensi Menteri. Jika 2/3 dari anggota
WTO menyetujui pemberian keanggotaan pada calon negara anggota, negara
tersebut akan secara resmi menjadi anggota WTO yang baru dengan
penandatanganan protokol keanggotaan.
3.2 Faktor-Faktor Pemicu Cina untuk Mendapatkan Keanggotaan WTO
Keanggotaan Cina dalam WTO merupakan salah satu peristiwa
monumental sepanjang sejarah Cina karena ia menandai kembalinya Cina sebagai
salah satu pemain dalam dunia perdagangan internasional dengan disertai
pengakuan dari banyak negara lain sebagai partner dagang yang setara. Upaya
Cina yang kontinu selama limabelas tahun demi mendapatkan status keanggotaan
WTO tentulah mencerminkan hasrat kuat dari Cina untuk bergabung di
dalamnya.Cina tetap mengupayakan bergabung dalam WTO sekalipun Cina harus
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
44
Universitas Indonesia
menerima konsekuensi berupa tuntutan perubahan kebijakan-kebijakan Cina,
seperti kebijakan terkait sistem hukum, sistem ekonomi dalam negeri, dan sistem
perdagangan luar negeri. Kenyataannya, terdapat sejumlah faktor yang
mendorong Cina bergabung dalam institusi perdagangan internasional ini. Adapun
faktor-faktor pendorong itu sebagai berikut.
3.2.1 Faktor Pendorong Ekonomi
Adapun motivasi ekonomi yang melatarbelakangi keanggotaan Cina dalam WTO
sebagai berikut.
a) Motivasi Penyelesaian Reformasi—Sebagaimana telah dipaparkan pada bab
II, reformasi BUMN Cina menghadapi banyak kendala sehingga belum
mencapai hasil yang diharapkan. Efisiensi perusahaan pun tidak membaik
walaupun pemerintah telah mengupayakan sejumlah kebijakan domestik
untuk mereformasi BUMN. Akhirnya pemerintah merasa faktor eksternal lain
diperlukan sebagai insentif alternatif yang mampu mendorong reformasi yang
lebih radikal dan sukses. Keanggotaan WTO dianggap dapat mengakomodir
kebutuhan tersebut. WTO dengan segala peraturannya dipercaya dapat
memberikan tekanan yang mendorong BUMN untuk bersegera mereformasi
diri agar mampu bersaing dengan perusahaan lain dalam kompetisi di pasar
(Chu, 2004:11-12). Dengan makin leluasanya perusahaan asing beroperasi di
Cina pascakeanggotaan WTO, BUMN dipaksa berkompetisi demi
mempertahankan eksistensinya dan menunjukkan keunggulannya sebagai
representasi fitur ekonomi sosialis. Keberadaan perusahaan swasta asing juga
menjadi model konkret dari jenis perusahaan ideal dalam ekonomi pasar. Hal
ini berarti mereka dapat menajdi contoh bagi praktik perusahaan modern
sebagaimana Cina harapkan. Di samping itu, WTO mensyaratkan Cina
mereformasi berbagai sistem dan peraturan sesuai standar WTO untuk
mempersiapkan lingkungan yang kondusif bagi liberalisasi perdagangan.
Dengan demikian, keanggotaan Cina dalam WTO juga menjadi pemicu ekstra
bagi Cina untuk mempercepat penyelesaian reformasi menuju sistem pasar
(Prime, 2002:5).
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
45
Universitas Indonesia
b) Ekspansi Pasar Tujuan Ekspor Cina—Hal ini selaras dengan tujuan
kebijakan Pintu Terbuka yang tetap dilaksanakan pada masa pemerintahan
Jiang Zemin. Cina berniat menyandarkan ekonominya pada aktivitas ekspor
(export-oriented economy) (http://cpc.people.com.cn). Tak pelak lagi, Cina
membutuhkan akses pasar yang luas agar mampu meningkatkan ekspornya.
Dengan bergabung WTO, Cina memiliki akses ke lebih dari 100 negara
sebagai calon konsumen. Ditambah lagi dengan comparative advantage yang
dimiliki produk Cina—harga yang bersaing, diversifikasi produk, dan kualitas
yang memadai—peluang peningkatan ekspor Cina pun kian besar. Semakin
lancar bisnis ekspor Cina, semakin besar pula kesempatan Cina mengumpulkan
cadangan kurs asing sebagai modal pembangunan dalam negeri. Tersedianya
akses pasar yang luas ini juga dapat memfasilitasi upaya ekspansi bisnis
perusahaan Cina, baik milik negara maupun milik swasta. Pemerintah
mendukung agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat memperluas bisnis dan
menanamkan investasinya di luar negeri.
c) Impor ‘Bahan Baku’ Reformasi dan Pembangunan—Ekspansi
perdagangan asing yang dapat dicapai melalui WTO memberikan kesempatan
yang sama pada 140 negara anggota WTO lainnya. Hal ini berarti Cina juga
menjadi juga menjadi target pasar menggiurkan bagi komoditas ekspor negara
lain mengingat populasi Cina yang mencapai >1 milyar jiwa pada tahun 2001.
Namun, Cina pun diuntungkan dengan kehadiran komoditas dan pebisnis asing
di tanah mereka. Cina mendapatkan akses atas produk mereka, seperti
teknologi. Pebisnis asing yang memiliki saham di perusahaan Cina ataupun
yang mendirikan perusahaannya di Cina, juga menguntungkan Cina dalam hal
memperbanyak investasi asing di Cina. Hal ini berarti melanjutkan proses
transfer kemampuan bisnis (business skills) dan IPTEK. Tak ketinggalan,
kehadiran perusahaan asing juga membantu upaya pemerintah Cina dalam
mengentaskan pengangguran memalui perekrutan pegawai oleh perusahaan
yang bersangkutan (Saich, 2002:5).
Dapat disimpulkan bahwa pemicu Cina untuk menjadi anggota WTO tidak
lain demi mendukung pencapaian pembangunan ekonomi Cina. Keanggotaan
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
46
Universitas Indonesia
WTO dianggap sebagai katalisator dalam mencapai target reformasi ekonomi
Cina.
3.2.2 Faktor Pendorong Politik
a) Keinginan Cina untuk Mendapatkan Pengaruh Politik yang Lebih
Besar Demi Proteksi atas Kepentingan Nasional
Dengan memperoleh keanggotaan WTO, Cina memiliki hak untuk
menyampaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam perdagangan
internasional. Cina dapat terlibat langsung dalam proses pengambilan
keputusan dan penetapan regulasi perdagangan multilateral sehingga dapat
turut memastikan bahwa tidak ada item yang akan membahayakan
perdagangan Cina secara khusus ataupun kepentingan nasional Cina secara
umum (Prime, 2002: 6). Cina juga ingin memastikan bahwa Taiwan tidak
bergabung lebih dulu dari Cina. Kedudukan Cina sebagai anggota WTO
membuat Cina dapat turut menentukan status permohonan keanggotaan
WTO oleh Taiwan.
b) Tindakan Antisipasi dan Pencegahan Embargo Ekonomi atas Cina—
Peningkatan ekspor Cina menjadi salah satu tulang punggung
perekonomian Cina. Oleh karena itu, menjamin aktivitas ekspor dapat
terus berjalan menjadi prioritas pemerintah Cina. Keanggotaan WTO
diyakini dapat memberikan proteksi kepada Cina terhadap tindakan
pembatasan kuota sejumlah komoditas ekspor Cina yang dilakukan Barat,
seperti tekstil. Hal ini karena sesama anggota WTO harus memperlakukan
satu sama lain sebagai Most-favored-nation.
3.3 Proses Keanggotaan Cina dalam WTO dan Hambatannya
Upaya Cina untuk memperoleh status keanggotaan WTO tidak semulus
yang Cina harapkan. Ketika pertama kali berusaha memperbarui status sebagai
founding member GATT pada tahun 1955, pemerintah Cina mengajukan tiga
argumen untuk mendukung proposalnya (Porath, 2004:11), yakni pertama, Cina
masih berhak menjadi founding member WTO yang merupakan pengganti
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
47
Universitas Indonesia
institusional GATT mengingat Cina tidak pernah mengundurkan diri secara resmi
dari GATT; kedua, Cina hanya bersedia menegosiasikan kebijakan terkait
persetujuan tarif sebagai syarat pembaruan status keanggotaan Cina. Cina
menganggap kekhasan sistem ekonomi yang diadopsi Cina tidak ada relevansi
dengan negosiasi. Ketiga, Cina mengklaim diri sebagai negara berkembang
sehingga berhak mendapat perlakuan khusus yang diberikan WTO khusus kepada
negara berkembang. Namun, ketiga argumen tersebut ternyata tidak serta merta
memuluskan proses keanggotaan Cina dalam WTO. Bahkan, dua dari tiga
argumen Cina tersebut dipermasalahkan. Tim kerja WTO menilai bahwa Cina
tidak dapat diklasifikasikan sebagai negara berkembang mengingat pertumbuhan
ekspornya yang pesat. Sejak tahun 1990, kecuali tahun 1993, neraca perdagangan
Cina selalu surplus. Selain itu, seiring dengan adanya perkembangan pertemuan
Uruguay Round, kesepakatan tidak hanya menyangkut tarif, melainkan juga
mencakup perdagangan jasa, pertanian, hak intelektual, dan aspek dari FDI.
Proses negosiasi ini akhirnya baru membuahkan hasil lima belas tahun
kemudian, tepatnya pada Desember 2001, bertepatan dengan diakuinya Cina
sebagai anggota WTO ke-143 secara resmi. Cina sebagaimana calon anggota
WTO sebelumnya, harus menempuh empat tahap proses keanggotaan. Empat
tahap keanggotaan ini telah disinggung pada bagian sebelumnya. Namun, terdapat
sejumlah faktor internal dan eksternal yang menghambat keberhasilan negosiasi
Cina dalam hal ini.
Tragedi Lapangan Tiananmen tahun 1989 berdampak pada dikenakannya
sanksi ekonomi pada Cina oleh masyarakat global. Peristiwa ini juga
mempengaruhi proses negosiasi Cina terkait keanggotaan GATT (Porath,
2004:12). Tim kerja yang dibentuk khusus tidak menindaklanjuti permohonan
keanggotaan Cina. Awal tahun 1992 barulah tim kerja ini bergerak kembali.
Selain masalah ini, kurangnya dukungan politik dalam negeri atas
keanggotaan Cina dalam WTO juga menjadi faktor penghambat lain (Porath,
2004: 14-15). Munculnya protes dalam negeri sebenarnya dipicu oleh masalah
yang terjadi antara Amerika Serikat dan Cina. Masalah pertama adalah United
States Trade Representative (USTR) mempublikasikan hasil pertemuan AS-Cina
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
48
Universitas Indonesia
pada 7 April 1999, tanpa seizin pemerintah Cina. Situs USTR memaparkan
sejumlah proposal Cina yang ditawarkan selama proses negosiasi dengan AS. Hal
ini mengundang protes dari kalangan menteri, industri domestik, masyarakat yang
tidak mengetahui isi detil dari proposal tersebut. Masalah kedua yang memicu
kemarahan rakyat Cina adalah pengeboman kantor kedutaan besar Cina di
Belgrade, Serbia oleh tentara AS. Peristiwa ini diklaim oleh AS sebagai
kecelakaan, tetapi pemerintah Cina tidak melakukan apa-apa untuk meredakan
protes publik yang menolak peristiwa tersebut sebagai pengeboman. Masalah-
masalah ini tidak hanya membuat surutnya dukungan dalam negeri akan kebijakan
pembaruan keanggotaan dalam WTO, tetapi juga menghambat proses negosiasi
bilateral antara AS-Cina. Pembicaraan tentang keanggotaan Cina dalam WTO
dilanjutkan pada bulan Agustus 1999.
Keruntuhan Uni Sovyet tahun 1991 ternyata juga membuat pihak GATT
berpikir lebih lama mengenai tindak lanjut terhadap permohonan keanggotaan
Cina. Pasalnya, negara-negara pecahan Uni Sovyet merupakan negara yang juga
dalam proses transisi politik dan ekonomi. GATT memperkirakan bahwa dalam
periode yang tidak lama banyak negara akan mengajukan permohonan
keanggotaan dalam WTO untuk mendampingi proses transisi ekonomi mereka
sekaligus mendukung rencana pembangunan ekonomi. Proses keanggotaan Cina
akan menjadi referensi bagi GATT untuk menentukan permohonan keanggotaan
dari negara-negara baru tersebut, jika mereka mengajukan. Inilah salah satu alasan
GATT berhati-hati dalam mempertimbangkan permohonan keanggotaan Cina.
Selain itu, pada periode yang sama Council for Mutual Economic Assistance
(COMECON)—organisasi ekonomi di bawah pimpinan Uni Sovyet yang
beranggotakan negara-negara sosialis dan Blok Timur—pun turut runtuh (Porath,
2004:12-13).
Faktor eksternal lain yang memperlambat proses negosiasi keanggotaan
Cina adalah lamanya negosiasi bilateral dengan negara anggota WTO.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, proses negosiasi bilateral ini
merupakan tahap kedua dari proses keanggotaan WTO. Cina harus bernegosiasi
dengan 37 negara anggota WTO lain untuk menetapkan bentuk sistem ekonomi
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
49
Universitas Indonesia
yang kondusif bagi transaksi antarnegara sehingga dapat menguntungkan kedua
belah pihak. Banyak negara khawatir akan keanggotaan Cina dalam WTO
diakibatkan oleh sejumlah kebijakan proteksionisme Cina yang dianggap tidak
adil dalam perdagangan internasional, seperti hambatan tarif sebesar 35%,
kurangnya transparansi, dan keseragaman regulasi perdagangan, subsidi bagi
BUMN dalam jumlah besar, tingkat konvertibilitas mata uang Yuan yang
dipersulit, serta juga penegakan hukum hak intelektual yang tidak berjalan (Porath,
2004:15-16).
Rangkuman proses keanggotaan Cina dalam WTO dapat dilihat pada table
di bawah ini.
Tabel 3.1. Cina dan Taiwan Bergabung dalam WTO: Peristiwa Penting Utama
1947 Republik Cina merupakan salah satu anggota awal dari General
Agreement on Trade & Tariffs (GATT)
1949 Republik Rakyat Cina berdiri di Daratan Cina, sedangkan
Republik China berpindah ke Taiwan
1950 Republik Cina keluar dari GATT; Republik Rakyat Cina
mencela GATT karena alasan ideologis
1986 Republik Rakyat Cina mendaftarkan diri untuk memperbarui
status keanggotaan di GATT; Hong Kong bergabung sebagai
area cukai
1990 Taiwan mendaftarkan diri untuk bergabung sebagai area cukai
1992 Taiwan memperoleh status sebagai pengamat (observer) dan
kesepakatan informal pun disetujui bahwa Taiwan akan
bergabung setelah Cina
1995 GATT digantikan dengan World Trade Organization (WTO)
15 November 1999 Amerika Serikat dan Cina mengumumkan perjanjian bilateral
19 May 2000 Uni Eropa dan Cina menyelesaikan perjanjian
24 May 2000 Parlemen AS memungut suara 237 : 27 untuk memberikan Hak
Dagang Normal (Permanen Permanent Normal Trading Rights,
PNTR) kepada Cina
19 September 2000 Senat AS mengambil suara 83:15 setuju atas PNTR untuk Cina
10 September 2001 Sesuai dengan hukum AS, Presiden Bush menandatangani
penjanjian WTO bilateral AS-Cina
14 September 2001 Anggota WTO menyelesaikan perjanjian untuk keanggotaan
Cina
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
50
Universitas Indonesia
11 November 2001 Para menteri WTO menerima Cina secara resmi sebaagi
anggota, diikuti dengan Taiwan pada hari berikutnya
11 December 2001 Republik Rakyat Cina secara resmi menjadi anggota WTO
yang ke-143
1 January 2002 Taiwan sebagai “Separate Customs Territory of Taiwan,
Penghu, Kinmen and Matsu (TPKM)” secara resmi menjadi
anggota WTO yang ke-144
Sumber: Prime, Penelope B., “China joins the WTO: How, Why and What Now? “ diterbitkan
pada Business Economics, vol. XXXVII, No. 2 (April, 2002), hal. 7.
3.4 Hak dan Kewajiban Cina sebagai Anggota WTO
3.4.1 Hak Cina sebagai Anggota WTO
Sebagai anggota WTO, Cina juga dapat menikmati hak yang sama
sebagaimananegara anggota lainnya. Adapun hak-hak fundamental sebagai
anggota WTO sebagai berikut (http://www.globaltimes.cn).
a. Cina kini diakui secara permanen sebagai partner dagang setara (Most-
favored-nation) dan anggota WTO yang sah. Semua produk, layanan jasa,
dan hak intelektual Cina dapat secara bebas diperdagangkan antaranggota
WTO tanpa kendala apapun,
b. Produk ekspor dan produk setengah jadi Cina mendapat perlakuan
Generalized System of Preference (GSP). GSP merupakan program yang
dirancang untuk memicu pertumbuhan ekonomi bagi negara berkembang
dengan memberikan jalur masuk istimewa yang bebas bea cukai di negara
maju,
c. Mayoritas negara berkembang menikmati ketentuan keanggotaan istimewa
yang disediakan WTO, seperti waktu ekstra untuk memenuhi komitmen
keanggotaan WTO atau kesempatan mengakses pasar yang lebih besar
dengan bantuan WTO,
d. Cina dapat membuka atau memperluas akses pasar produk dan jasanya;
e. Cina dapat memanfaatkan mekanisme resolusi konflik WTO dalam
menyelesaikan konflik ekonomi dan perdagangan dengan negara lain.
Mekanisme ini dipercaya sebagai solusi yang objektif dan adil serta dapat
menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pembangunan ekonomi,
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
51
Universitas Indonesia
f. Cina berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan
penetapan peraturan dagang dalam sistem perdagangan multilateral,
g. Cina memiliki bargaining position dan political leverage yang dijamin oleh
regulasi umum WTO sehingga memiliki hak untuk mengajukan langkah-
langkah yang kontributif terhadap pembangunan ekonomi dan perdagangan
Cina sendiri.
3.4.2 Kewajiban Cina sebagai Anggota WTO
Berdasarkan Protocol on The Accession of The People's Republic of China
WTO tertanggal 23 November 2001, Bagian I tentang Ketentuan Umum pasal 2
menyebutkan:
2. The WTO Agreement to which China accedes shall be the WTO Agreement as
rectified, amended or otherwise modified by such legal instruments as may have
entered into force before the date of accession. This Protocol, which shall include
the commitments referred to in paragraph 342 of the Working Party Report, shall be
an integral part of the WTO Agreement.
Kewajiban atau komitmen Cina sebagai anggota WTO mengacu pada
paragraf 342 Bagian VIII Kesimpulan pada Report of The Working Party on The
Accession of China. Melalui hasil pengamatan dan negosiasi dengan representasi
pemerintah Cina, ditetapkan bahwa terdapat sejumlah peraturan dan kebijakan
Cina yang harus diubah sebagai kompensasi perolehan status keanggotaan WTO.
342. The Working Party took note of the explanations and statements of China
concerning its foreign trade regime, as reflected in this Report. The Working Party
took note of the commitments given by China in relation to certain specific matters
which are reproduced in paragraphs 18-19, 22-23, 35-36, 40, 42, 46-47, 49, 60, 62,
64, 68, 70, 73, 75, 78-79, 83-84, 86, 91-93, 96, 100-103, 107, 111, 115-117, 119-120,
122-123, 126-132, 136, 138, 140, 143, 145, 146, 148, 152, 154, 157, 162, 165,
167-168, 170-174, 177-178, 180, 182, 184-185, 187, 190-197, 199-200, 203-207,
210, 212-213, 215, 217, 222-223, 225, 227-228, 231-235, 238-242, 252, 256, 259,
263, 265, 270, 275, 284, 286, 288, 291, 292, 296, 299, 302, 304-305, 307-310,
312-318, 320, 322, 331-334, 336, 339 and 341 of this Report and noted that these
commitments are incorporated in paragraph 1.2 of the Draft Protocol.
Berdasarkan paragraf 342 di atas, terdapat 149 komitmen yang harus
dipenuhi Cina sebagai anggota WTO. Secara umum komitmen Cina adalah
sebagai berikut (www.wto.org).
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
52
Universitas Indonesia
a) Cina harus memberikan perlakuan non-diskriminatif kepada semua anggota
WTO. Cina harus mengakui hak dagang dan memberikan akses pasar kepada
perusahaan maupun pebisnis asing sama seperti memperlakukan perusahaan
atau pebisnis lokal,
b) Cina akan menghapuskan praktik pemberlakuan harga dualis dan juga
pembedaan produk yang ditujukan untuk keperluan ekspor dan konsumsi
dalam negeri,
c) Kontrol harga tidak boleh dilakukan untuk melakukan proteksi atas industri
dan penyedia jasa domestik,
d) Perjanjian WTO akan diimplementasikan oleh Cina dalam cara yang seragam
dan efektif dengan merevisi regulasi domestik dan mengesahkan regulasi baru
dengan tidak menyalahi prinsip-prinsip yang terkandung dalam perjanjian
WTO,
e) Pada tiga tahun pertama masa keanggotaan, semua perusahaan memiliki hak
untuk mengimpor dan mengekspor semua produknya dan
memperdagangkannya di wilayah dengan beberapa pengecualian,
f) Cina tidak akan memberlakukan subsidi ekspor pada produk pertanian. Pada
tahap awal, Cina akan mengurangi besanya subsidi menjadi 8,5% dari total
hasil pertanian,
g) Cina berkewajiban menerapkan perjanjian TRIPS (Trade-related Aspects of
Intellectual Property Rights) secara total pada waktu yang disepakati,
h) Meningkatkan transparansi terkait kebijakan ekonomi dan regulasi
perdagangan, dan
i) Berkewajiban membayar iuran keanggotaan yang sifatnya proporsional
dengan nilai ekspor.
Hasil negosiasi lain mengenai komitmen Cina di antaranya adalah Cina akan
mengeliminasi hambatan dagang dan memperluas akses pasar Cina bagi
perusahaan atau pebisnis asing. Cina telah mengikat tarif dagang untuk tiap jenis
barang impor yang berkisar antara 0-65%, seperti produk pertanian 15%, 65%
khusus untuk produk sereal. Untuk produk industri, besar tarif mengalami
penurunan sebesar 8,9% dengan kisaran antara 0-47%. Tarif sebesar 47% berlaku
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
53
Universitas Indonesia
untuk produk impor berupa film fotografis dan otomotif serta produk lain yang
terkait. Tarif-tarif tersebut dihapuskan secara gradual maupun tidak, dengan batas
maksimal eliminasi tarif selesai pada tahun 2010.
Dengan berkomitmen pada WTO, Cina juga secara otomatis harus
berkomitmen pada Agreement on Textiles and Clothing yang secara khusus
mengatur perdagangan konveksi dan tekstil. Kuota atas produk tekstil berakhir
pada tahun 2004, namun tetap ada mekanisme proteksi hingga tahun 2008 agar
negara anggota WTO dapat menyesuaikan diri dengan masuknya Cina sebagai
pesaing eksporter tekstil.
Di bidang perdagangan jasa telekomunikasi, Cina harus memberikan izin
pendirian perusahaan joint venture kepada supplier jasa asing sekaligus
menyediakan layanan jasa di beberapa kota. Investasi asing dalam perusahaan
patungan ini tidak boleh lebih dari 25%. Langkah ini akan terus ditingkatkan
secara bertahap. Setelah satu tahun masa keanggotaan, wilayah operasi bisnis
dapat diperluas ke kota lain dan jumlah investasi asing menjadi maksimal 35%.
Setelah tiga tahun masa keanggotaan, batas maksimal jumlah investasi meningkat
menjadi 49% dan setelah lima tahun keanggotaan perusahaan yang bersangkutan
bebas berbisnis di seluruh Cina, tanpa ada batasan geografis.
Di bidang perbankan, institusi perbankan asing diizinkan menyediakan jasa
perbankan di Cina tanpa ada batasan klien dalam transaksi mata uang asing.
Setelah dua tahun keanggotaan, institusi perbankan asing juga diperbolehkan
melayani perusahaan Cina dan selanjutnya dapat menyediakan layanan perbankan
bagi seluruh klien Cina.
Selain itu, Cina juga harus mengizinkan perusahaan asuransi non-jiwa asing
utnuk beroperasi membuka cabang atau perusahaan patungan di Cina dengan
kepemilikan hingga 51%. Dalam dua tahun masa keanggotaan, perusahaan
asuransi asing tersebut dapat mendirikan anak perusahaannya sendiri. Khusus bagi
asuransi dengan resiko komersial berskala besar seperti, asuransi transportasi,
penerbangan dan kelautan internasional, diizinkan memiliki maksimal 50% dari
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
54
Universitas Indonesia
saham perusahaan patungan yang dibentuknya di Cina. Setelah tiga tahun,
kepemilikan dapat ditingkatkan menjadi 51%, sedangkan anak perusahaan
asuransi diizinkan berdiri setelah lima tahun masa keanggotaan (www.wto.org).
3.5 Analisis Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Penerapan Sistem
Ekonomi Pasar Sosialis di Cina (2001-2005)
Kesimpulan mengenai pengaruh yang diberikan keanggotan WTO terhadap
sistem ekonomi pasar sosialis dapat diperoleh melalui analisis mengenai dampak
keanggotaan WTO secara khusus terhadap prinsip dan tujuan utama adopsi sistem
ekonomi pasar sosialis itu sendiri. Untuk melakukan analisis, dapat dimulai
dengan meninjau kembali pembahasan Konsep danStrategi Sistem Ekonomi Pasar
Sosialis pada Bab II. Tujuan utama sistem ekonomi pasar sosialis adalah.
memantapkan sistem pasar yang berlaku pada perekonomian Cina di bawah
kontrol makroekonomi (宏观调控 Hongguan Tiaokong) oleh negara. Adapun
prinsip utama dari sistem ekonomi ini, yaitu: (1) Memanfaatkan kekuatan pasar,
(2) BUMN sebagai basis utama ekonomi pasar ekonomi sosialis, dan (3) Empat
Prinsip Utama sebagai pedoman.
3.5.1 Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Penerapan Sistem Pasar di
Cina
Bagaimanakah pengaruh keanggotaan Cina terhadap upaya adopsi sistem
pasar yang lebih komprehensif di Cina? Sistem pasar ditopang oleh tiga variabel
utama, yakni liberalisasi harga, kepemilikan sektor swasta, dan ketetapan
institusional (Lopez, 2005: 5-13).
3.5.1.1 Liberalisasi Harga
Dalam hal liberalisasi harga, pemerintah Cina telah melakukan sejumlah
langkah demi mencapai tujuan tersebut, yaitu penghapusan sistem kontrol harga,
pengurangan besar tarif bea cukai, dan penghapusan kuota impor dan pembatasan
hak dagang. Sejak tahun 2000 mekanisme kontrol harga dihapuskan secara efektif
(OECD 2005). Kontrol harga hanya berlaku bagi produk tertentu secara terbatas,
seperti tembakau dan farmasi—komoditas yang pengelolaannya dikontrol oleh
pemerintah. Pada tahun 2003 tercatat bahwa hampir 100% transaksi dagang yang
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
55
Universitas Indonesia
terjadi telah menggunakan harga pasar. Tabel di bawah ini menunjukkan
persentase transaksi dengan harga pasar.
Tabel 3.2. Proporsi transaksi dengan harga pasar (persentase volume
transaksi)
Sumber: OECD, 2005. OECD Economic Surveys – China, Volume 2005/12, OECD, Paris.
Salah satu komitmen Cina sebagai anggota WTO adalah pengurangan tarif
bea cukai bagi barang impor. Sejak menjadi anggota WTO, telah terdapat
penurunan tarif bea cukai dari 15,6% (2001) menjadi 9,7% (2005). Tarif bea cukai
untuk produk pertanian menjadi 15,3% pada tahun 2005, sedangkan untuk produk
non-pertanian sebesar 8,8%.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
56
Universitas Indonesia
Tabel 3.3. Rangkuman analisis tarif MFN Cina (2001-2005)
Sumber: WTO Trade Policy Review, Laporan oleh Secretariat – People’s Republic of China,
WT/TPR/S/161/Rev.1 (26 Juni 2006). WTO.
Selain kedua langkah tersebut, Cina juga telah menghapuskan kebijakan
kuota impor dan pembatasan hak dagang suatu negara tertentu untuk beroperasi di
Cina. Hal ini tentulah hal utama yang WTO tuntut dari Cina karena bertentangan
dengan prinsip utama perdagangan bebas WTO, yakni non-diskriminasi. Cina
menghapuskan kuota impor pada tahun 2004. Larangan impor komoditas tertentu
masih berlangsung di Cina hingga tahun 2005, namun kuantitasnya telah
berkurang dari tahun-tahun sebelumnya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa keanggotaan WTO dalam Cina
mendukung upaya Cina dalam menerapkan sistem pasar secara lebih
komprehensif. Hal ini dapat terlihat dari kemajuan pada aspek liberalisasi harga,
pengurangan tarif bea cukai, dan juga penghapusan kebijakan kuota impor dan
pembatasan hak dagang. Namun, menurut laporan USTR pada tahun 2005 Cina
belum memenuhi komitmennya untuk memberikan hak ekspor produk farmasi
kepada perusahaan asing. Selain produk farmasi, Cina juga membatasi impor
buku, koran, jurnal, publikasi elektronik, dan produk audio dan video.
3.5.1.2 Kepemilikan Sektor Swasta
Signifikansi peran sektor swasta dalam perekonomian menjadi indikator
penerapan sistem pasar. Pada sistem ekonomi terencana sosialis, kewirausahawan
dan kepemilikan usaha pribadi dianggap sebagai upaya memperkaya diri yang
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
57
Universitas Indonesia
individualis dan bertentangan dengan spirit masyarakat sosialisme. Tidak
mengherankan jika pada masa Mao Zedong sektor swasta tidak berkembang.
Setelah Cina melakukan reformasi tahun 1978 sektor swasta mengalami
peningkatan. Hal ini telah dibicarakan pada Bab II. Setelah Cina mendapatkan
keanggotaan di WTO, peningkatan sektor swasta kian signifikan. Hal ini kiranya
disebabkan oleh kewajiban Cina untuk menerapkan perlakuan non-diskriminatif,
termasuk terhadap pengusaha swasta dalam negeri. Pada periode sebelumnya
negara memprioritaskan pembangunan BUMN sehingga alokasi sumber daya pun
banyak diberikan pada perusahaan milik negara tersebut. Setelah keanggotaan
WTO, Cina berkomitmen mengurangi subsidi yang diberikan pada BUMN.
Sejalan dengan reformasi di bidang perbankan, kredit pun diberikan dengan
mempertimbangkan aspek kemampuan pertanggungjawaban pihak kreditor. Hal
ini berarti pengusaha swasta dapat berkompetisi secara adil untuk mengakses
sumber daya, seperti kredit. Tahun 2005 pemerintah menghapus peraturan yang
melarang sektor swasta merambah bidang esensial, seperti infrastruktur dan
layanan finansial (OECD, 2005).
Dalam Laporan TPR WTO 2006, Pemerintah Cina melaporkan bahwa
hingga akhir September 2005, jumlah bisnis rumah tangga dan individu mencapai
angka 24.662.000, sedangkan perusahaan swasta tercatat mencapai angka
4.191.000. Dalam periode 1992-2004 jumlah perusahaan swasta mengalami
peningkatan setiap tahun sebanyak rata-rata 31,9%.
3.5.1.3 Perubahan Institusional
Sistem pasar membutuhkan sistem regulasi yang baik dan transparan agar
dapat berjalan. Dilaporkan bahwa sejak sebelum dan setelah keanggotaan Cina di
WTO diakui, pemeintah pusat telah meninjau ulang 2300 undang-undang,
regulasi administratif serta peraturan kedepartemenan. Akhirnya pemerintah
merevisi 325 regulasi dan menghapus 830 regulasi lain yang kontradiktif dengan
sistem pasar agar sesuai dengan prinsip sistem perdagangan WTO (Long, 2006).
Rangkaian peraturan tersebut mencakup berbagai hal, seperti perdagangan barang
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
58
Universitas Indonesia
dan jasa, proteksi hak intelektual yang terkait dengan perdagangan, transparansi,
serta implementasi aktivitas perdagangan yang seragam.
Dalam laporan Trade Policy Review, Pemerintah Cina menyatakan
“Undang-undang Dasar RRC“ telah mengalami amandemen pada bulan Maret
1999 dan Maret 2004. Pasal 11 dari UUD menetapkan bahwa sektor ekonomi
non-publik merupakan komponen penting dalam ekonomi pasar sosialis dan
karenanya negara berkewajiban melindungi kepentingan dan hak dari sektor
ekonomi non-publik. Hal ini menandai komitmen Cina untuk mengembangkan
sektor non-publik sebagai bagian dari sistem pasar itu sendiri. Pada Februari 2005
Dewan Negara mencanangkan “Pendapat dalam hal menganjurkan, mendukung,
dan mengarahkan pembangunan sektor ekonomi non-publik seperti sektor
individu dan swasta“. “Pendapat“ ini menyatakan bahwa semua rintangan akses
pasar yang mempengaruhi sektor non-publik harus dihilangkan, sektor non-publik
juga didorong untuk turut mendukung proses transformasi dan restrukturisasi
BUMN melalui penggabungan perusahaan, dan pembagian serta kontrol saham
(WTO/TPR 2006).
Untuk menjamin transparansi sistem ekonomi dan perdagangan,
Pemerintah Cina hingga tahun 2005 juga telah menempuh sejumlah langkah,
yakni pertama, mengesahkan UU Pembuatan Undang-undang (Legislation Law)
dan Peraturan Formulasi Peraturan Administratif (Regulations on Procedures for
the Formulation of Administrative Regulations) serta UU lain yang menyediakan
kerangkan prinsip dasar yang dirujuk dalam proses penyusunan undang-undang.
Peraturan tersebut menekankan bahwa dalam menyusun suatu UU, opini publik,
terutama pihak yang terkait dengan isu yang dibahas dalam UU (stakeholder),
harus diintegrasikan sebagai bahan pertimbangan. Selain itu, publik juga
diberikan kesempatan untuk menyampaikan opininya terkait rancangan UU yang
dibahas melalui forum, seminar, atau media komunikasi tertulis, seperti internet
dan media berita (WTO TPR 2006).
Kedua, pada tahun 2003 pemerintah mengadopsi UU Izin Administratif
yang baru. UU ini menetapkan parameter transparansi yang lebih eksplisit dan
ketat mengenai perilaku pemerintah. Upaya peningkatan transparansi perilaku
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
59
Universitas Indonesia
administratif pemerintah dimanifestasikan dalam bentuk peluncuran situs resmi
pemerintah pusat dan daerah. Situs resmi pemerintah pusat Cina www.gov.cn siap
diakses pertama kali pada 1 Januari 2006 dan 96% struktur pemerintahan di
berbagai level melakukan hal serupa.
Pada tahun 2004 UU Perdagangan Luar Negeri direvisi. Bahkan, sebelum
Cina mendapatkan keanggotaan WTO, masalah tarif telah diatur dan tercakup
dalam hasil amandemen UU Bea Cukai tahun 2000. Amandemen terhadap
Peraturan tentang Tarif Ekspor dan Impor dilakukan pada tahun 2002.
Amandemen ini bertujuan membuat sistem manajemen sertifikasi dengan standar
yang sama, baik bagi komoditas dalam negeri maupun luar negeri. Penyeragaman
standar ini merupakan salah satu komitmen Cina dalam protokol keanggotaan
WTO dalam rangka menerapkan prinsip non-diskriminatif
(http://www.china.org.cn).
Amendemen terhadap peraturan terkait hak kekayaan intelektual perlu
dilakukan demi menjamin kelancaran arus penerimaan FDI dan proses transfer
teknologi maju. Oleh karena itu, pemerintah Cina melakukan amandemen
terhadap beberapa UU yang mengatur perihal tersebut, seperti UU Hak Paten
(2000), UU Merek Dagang (2000), UU Hak Cipta (2001), peraturan proteksi
software komputer, varietas tanaman baru, dan desain IC (2001). Dalam
laporannya, pemerintah Cina menyatakan bahwa pihaknya masih berupaya
meningkatkan penegakan hukum terkait kekayaan intelektual. Penegakan hukum
atas kekayaan intelektual ini diatur oleh badan administratif di tingkat pusat oleh
Dewan Negara dan daerah oleh pemerintah daerah. Badan administratif di bawah
Dewan Negara bertanggung jawab untuk memeriksa dan mendaftarkan hak
kekayaan intelektual, sementara badan administratif di bawah pemerintah lokal
bertugas mengatur dan melindungi hak kekayaan intelektual di daerahnya.
Kinerja badan ini memiliki kemajuan dan dapat dilihat dari tingkat kesigapan
dalam menangani kasus pelanggaran merek dagang. Selama tahun 2005 terdapat
49.412 kasus yang diinvestigasi. Dari kasus-kasus tersebut, 39,107 kasus
merupakan pelanggaran merek dagang dan barang palsu, sedangkan 6.607 kasus
lainnya adalah kasus yang berkaitan dengan pihak asing (WTO TPR 2006).
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
60
Universitas Indonesia
Departemen Manajemen Administratif Hak Cipta juga menunjukkan progress
kinerjanya. Pada tahun 2005 terdapat 8.060 kasus pelanggaran hak cipta, baik
berupa pembajakan dan komersialisasi hasil pembajakan. Sistem peradilan Cina
pun ditingkatkan untuk menangani kasus pelanggaran hak kekayaan intelektual .
Sepanjang tahun 2005, 3,567 kasus kriminal telah terdaftar di pengadilan. Jumlah
kasus ini meningkat sebesar 27,9% dari tahun sebelumnya. Sementara itu, 13.424
kasus merupakan contoh kasus sipil yang pertama.
Namun demikian, dalam laporan TPR oleh Sekretariat WTO disebutkan
beberapa permasalahan mendasar dari kurang optimalnya upaya proteksi Cina atas
hak kekayaan intelektual dan penanganan kasus pelanggaran hak tersebut.
Masalah tersebut meliputi kurangnya koordinasi di antara agen-agen penegak
hukum utama, korupsi dan proteksionisme lokal, ketidakefektifan hukuman yang
diberikan, dan kurangnya kemampuan dan pembekalan bagi para aparat penegak
hukum. WTO tidak hanya menuntut perubahan regulasi, melainkan juga adanya
transparansi kebijakan dan sistem hukum. Oleh karena itu, langkah selanjutnya
yang juga dilakukan pemerintah adalah mendirikan Departemen Urusan WTO
(Pusat Informasi dan Pemberitahuan WTO Cina 中国政府世界贸易组织通报)
sebagai bagian dari Kementrian Perdagangan. Departemen ini memiliki beberapa
deskripsi kerja utama, antara lain menjalankan dan mengatur negosiasi bilateral
dan multilateral di bawah kerangka WTO, menangani urusan dengan sistem
resolusi konflik WTO, bertanggung jawab meninjau, pemberitahuan dan
konsultasi kebijakan perdagangan dan investasi dalam WTO, serta membuat
standardisasi ekspor dan impor (http://sms.mofcom.gov.cn).Seluruh informasi
terkait UU perdagangan dapat diakses dengan bebas melalui China Foreign Trade
and Economic Cooperation Gazette yang juga tersedia dalam bentuk digital di
situs Kementrian Perdagangan Cina (www.mofcom.gov.cn).
3.5.2 Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Upaya Reformasi BUMN
Reformasi BUMN dalam rangka meningkatkan efisiensi performanya
merupakan agenda reformasi yang esensial dalam konstruksi ekonomi pasar
sosialis. Pasalnya, eksistensi BUMN yang kuat dan kompetitif sebagai arus utama
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
61
Universitas Indonesia
menjadi salah satu karakteristik ekonomi pasar sosialis. Karena upaya-upaya
reformasi BUMN sebagaimana dipaparkan pada Bab II belum menuai hasil
optimal, pemerintah Cina menjadikan WTO sebagai faktor eksternal untuk
mendorong reformasi BUMN yang lebih fundamental. Perubahan yang
diharapkan setelah bergabung dengan WTO adalah terselesaikannya masalah
ketergantungan BUMN atas subsidi dan pinjaman modal dari pemerintah atau
institusi lainnya dan diversifikasi kepemilikan perusahaan negara.
Kontribusi BUMN pada hasil produksi menurun setiap tahunnya. Namun
demikian, BUMN mendapatkan prioritas aliran dana investasi. Sebagai contoh,
pada tahun 1999 BUMN hanya menghasilkan 28% dari total produksi industri,
tetapi menerima 50% total investasi. Sekalipun subsidi langsung dari pemerintah
diturunkan menjadi hanya 1% dari total produksi pada tahun 1998, bank negara
tetap memberikan kredit berbunga rendah kepada BUMN yang nilainya mencapai
40% PDB. Tingginya nilai non performing loan ini menimbulkan masalah pada
stabilitas finansial Cina. Dalam protokol keanggotan WTO, Bagian I tentang
Subsidi menyebutkan tentang Agreement on Subsidies and Countervailing
Measures (SCM), bahwa Cina harus melaporkan segala bentuk subsidi secara
spesifik dan lengkap sesuai dengan kriteria subsidi yang terdapat pada SCM
Agreement. SCM Agreement juga menyebutkan bahwa subsidi bagi BUMN
dikategorikan sebagai subsidi yang khusus karena BUMN menerima dana subsidi
secara tidak proporsional jika dibandingkan sektor lain. Oleh karena itu, setelah
masuk ke WTO, Cina harus menghapuskan subsidi BUMN untuk BUMN yang
merugi. Selain itu, WTO juga menuntut reformasi finansial yang membuat bank-
bank menjadi berorientasi pada profit sehingga lebih selektif dan ketat dalam
memberikan kredit, termasuk pada BUMN. Hal ini menyebabkan aliran dana
untuk BUMN berkurang secara signifikan. Satu-satunya sumber dana yang
tersedia adalah kredit bank. Namun, untuk dapat mendapatkannya BUMN harus
berkompetisi dengan perusahaan lain dan meningkatkan performa kerjanya agar
dapat dinilai pihak debitor sebagai perusahaan berprospek baik. Dorongan
semacam inilah yang diharapkan mampu meningkatkan efisiensi BUMN (Chu,
2004:7).
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
62
Universitas Indonesia
Berdasarkan WTO Trade Policy Review 2006, Pemerintah Cina telah
merealisasikan komitmennya terkait penghapusan subsidi bagi BUMN yang
merugi (2006, 61). Kebijakan ini seiring dengan reformasi di bidang finansial
membuat BUMN yang bangkrut keluar dari arena kompetisi pasar sehingga
tercatat pengurangan jumlah BUMN. Penurunan ini menandai berkurangnya
kontribusi BUMN dalam perkonomian dan semakin meningkatnya peran sektor
swasta, baik dari segi jumlah perusahaan, total produksi maupun penyediaan
lapangan kerja.
Tabel 3.4. Performa BUMN 2001-2004
2001 2002 2003 2004
Number of SOEs 173,504 158,712 149,988 137,753
Employment
(million)a
48.2 44.6 42.3 39.8
(Y billion)
Profits realized 281.1 378.6 495.1 752.5
Value of assetsb
(% of total
assets)
8,790.2
(64.9%)
8,909.5
(60.9%)
9,452.0
(56%)
..
Value added
(% of total
value-added)
1,465.2
(51.7%)
1,593.5
(48.3%)
1.883.8
(44.9%)
..
Sumber: WTO Trade Policy Review 2006 WT/TPR/S/161, hal 131.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
63
Universitas Indonesia
,
Grafik 3. Persentase penyediaan lapangan kerja oleh BUMN
Sumber: http://www.clb.org.hk/en/files/share/File/statistics/SOE/Percentage_of_ SOE_workers_in
_all_ employment_1994-2007.pdf diakses pada tanggal 20 Juni 2012 07.50 WIB
Untuk menangani masalah kedua, yakni diversifikasi kepemilikan
perusahaan negara. Hal ini bertujuan meningkatkan kinerja BUMN agar mencapai
standar corporate governance perusahaan modern. Tahun 2002 lebih dari 50%
dari total 159.000 BUMN telah meningkatkan praktik corporate governance
mereka; 442 BUMN telah terdaftar di pasar saham antara tahun 1998-2002 ; dan
sekitar 80% BUMN di daerah pedesaan dan 60% di kota administratif telah dijual
oleh negara (WTO TPR 2006, 133). Tahun 2003 pemerintah Cina membentuk
State-owned Asset Supervision and Administration Commission (SASAC). Komisi
ini dibentuk dengan tujuan memisahkan administrasi dan kepemilikan pemerintah
dari urusan manajemen perusahaan. SASAC tidak diperbolehkan mengintervensi
kegiatan operasional dan produksi BUMN. Komisi ini hanya dapat menjalankan
tanggung jawabnya sebagai investor untuk mengambil keputusan terkait hal
penting dan memilih manajer produksi.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa keanggotaan WTO
berfungsi sebagaimana yang diharapkan pemerintah Cina, yakni menjadi stimulus
bagi pencapaian reformasi BUMN yang belum tuntas. Adapun kemajuan yang
telah dicapai mencakup tiga hal: pertama, adanya diversifikasi kepemilikan
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
64
Universitas Indonesia
BUMN; kedua, berkurangnya ketergantungan BUMN kepada negara dalam aspek
finansial sehingga memicu kompetisi yang adil dengan sektor swasta. Ketiga,
seiring dengan diversifikasi kepemilikan perusahaan, terdapat peningkatan kinerja
corporate governance. Hal ini ditandai dengan adanya pemisahan deskripsi tugas
yang jelas antara investor dan operator.
Namun, di sisi lain terdapat ‘efek samping’ dari langkah-langkah reformasi
di atas yang menjadi tanggungan ekstra bagi pemerintah Cina. Jika dilihat dari
aspek kontribusi terhadap PDB, total nilai produksi, maupun total penyediaan
lapangan kerja, jelas tampak bahwa BUMN bukanlah lagi pemain utama
sebagaimana prinsip sistem ekonomi pasar sosialis. Sektor non-publik jauh lebih
berkembang pada aspek-aspek tersebut. Walaupun demikian, peran BUMN
sebagai pondasi ekonomi pasar sosialis dapat terlihat dari dipertahankannya
eksistensi BUMN walaupun dalam bentuk mixed-enterprises
(http://www.fdi.gov.cn). Pemerintah tidak menjual atau menyerahkan secara
penuh kepemilikan BUMN berskala besar kepada pihak swasta.
3.5.3 Pengaruh Keanggotaan WTO terhadap Komitmen Adopsi Empat
Prinsip Utama
Salah satu prinsip utama ekonomi pasar sosialis yang membedakannya
dengan ekonomi pasar kapitalis adalah komitmen Cina yang berpedoman pada
Empat Prinsip Utama. Empat prinsip tersebut, yakni jalan sosialis, kediktatoran
proletar, kepemimpinan PKC, dan Marxisme-Leninisme-Maoisme. Manifestasi
keempat prinsip tersebut dalam konteks perekonomian kiranya dapat dilihat pada
dua hal, yakni pertama, adanya jaminan kesejahteraan umum bagi segenap rakyat
Cina dan kedua, kepemimpinan PKC melalui sistem kontrol makroekonomi.
Walaupun keanggotaan WTO turut mendukung pencapaian kemajuan
program reformasi di beberapa bidang—khususnya bidang pembentukan sistem
pasar—secara umum keanggotaan ini ternyata juga memberikan beberapa
tantangan terhadap pencapaian target ekonomi pasar sosialis. Adapun tantangan
tersebut utamanya adalah masalah pengangguran dan kesenjangan sosial.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
65
Universitas Indonesia
Salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya angka pengangguran
adalah reformasi BUMN. Pada sistem ekonomi terencana dijamin pekerjaannya
dengan bekerja di BUMN. Namun, selaras dengan program reformasi BUMN
yang bertujuan meningkatkan efisiensi kerja dan mengadakan diversifikasi
kepemilikan perusahaan negara, banyak pegawai yang akhirnya harus
dibebastugaskan. Kebijakan ini sudah berjalan sebelum Cina mendapatkan
keanggotaan WTO sejak 1996. Namun, secara tidak langsung keanggotaan WTO
semakin mendukung hal ini. Jika pemerintah tetap mempertahankan masalah
kelebihan tenaga kerja, BUMN tetap akan terlilit oleh masalah efisiensi sumber
daya, negara tetap terbebani dengan harus membayar kompensasi gaji pegawai
karena BUMN telah bangkrut kala itu. Jika ini dipertahankan, BUMN tidak akan
mampu bersaing di pasar dengan perusahaan lain yang sudah menerapkan prinsip
kompetisi di kalangan SDM mereka. Hal ini dilakukan demi menangani masalah
kelebihan tenaga kerja yang membebani anggaran pemerintah. Pemerintah
berupaya meminimalisir dampaknya melalui beberapa cara, seperti bernegosiasi
dengan pembeli BUMN untuk tetap mempekerjakan pegawai lama dengan
kompensasi potongan harga, menggunakan anggaran Negara untuk membayar
kompensasi kepada pegawai, dan lain-lain. Namun, berbagai upaya ini belum
berhasil menyerap kembali SDM hingga 100%. Pada periode 2001-2005
pencapaian tertinggi adalah dapat mempekerjakan kembali 65% dari total pegawai
BUMN yang diberhentikan pada 2001, sedangkan pada 2005 hanya mencapai
32% (www.clb.org.hk).
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
66
Universitas Indonesia
Tabel 3.5. Jumlah dan Persentase Perekkrutan Kerja Kembali Pegawai BUMN
Sumber: data berasal dari China Labour Statistical Yearbook 2006, dikutip dari
http://www.clb.org.hk/en/files/share/File/statistics/SOE/laid-off_decrease_1999-2005.pdf
diakses pada 20 Juni 2012 10.24 WIB
Masalah lain yang dihadapi Cina adalah kesenjangan sosial yang kian tinggi.
Sistem ekonomi pasar memang memberikan peningkatan penghasilan bagi rakyat.
Semakin tinggi penerimaan investasi asing Cina juga berarti peningkatan
lapangan kerja di perusahan-perusahaan gabungan Cina dan asing. Namun, di sisi
lain hal tersebut menyebabkan kesenjangan sosial, tidak hanya antarpenduduk
kota, melainkan juga antara penduduk kota dan desa (Song, 2000: 89).
Konsentrasi FDI terfokus pada kota di daerah pesisir. Pada tahun 1998 Kota
Guangdong menerima 26,5% FDI, sedangkan sembilan provinsi dan satu kota
administratif di Cina bagian Barat hanya menerima 3% dari total penerimaan FDI.
Hal ini tentulah menyebabkan perbedaan pendapatan penduduk desa dan kota.
Kota-kota pesisir yang sudah terlebih dahulu mendapat transfer sains dan
teknologi memiliki kelebihan dalam segi kualitas buruh sehingga ketika
perusahaan asing masuk ke Cina pasca keanggotaan WTO, daerah pesisir
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
67
Universitas Indonesia
memiliki comparative advantage yang lebih besar sebagai daerah penerima FDI
(Saich, 2000: 7).
Terkait manifestasi Empat Prinsip Utama yang kedua, reformasi Cina masih
dipimpin oleh kepemimpinan PKC. Dengan diadopsinya sistem pasar dan
keanggotaan WTO, ruang lingkup intervensi pemerintah dalam ekonomi pasar
benar-benar jelas dibatasi. Namun, Cina menerapkan sistem kontrol
makroekonomi sebagai bentuk ‘intervensi‘ tidak langsung pemerintah dalam
memonitor aktivitas perekonomian agar tetap tercipta kondisi sosial ekonomi
yang stabil dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Pada pertemuan Komite
Sentral PKC Juni 1993, ditetapkan enambelas strategi meningkatkan kontrol
makroekonomi. Keenambelas strategi tersebut mencakup kontrol ketat atas
pengeluaran mata uang; konfirmasi perihal peminjaman yang melanggar peraturan;
larangan penimbunan uang untuk alasan yang tidak dibenarkan; percepatan
reformasi finansial dan penguatan kontrol makro bank sentral terhadap aktivitas
finansial; integrasi reformasi struktural finansial dan investasi; peningkatan
manajemen keamanan dan regulasi pasar; peningkatan kontrol pertukaran valuta
asing; memperkuat administrasi pasar real-estate secara menyeluruh; memperkuat
administrasi dan pemungutan pajak serta mencegah adanya pembebasan pajak
(china.org.cn).
Keanggotaan Cina dalam WTO mendukung manajemen makroekonomi
Cina dalam beberapa hal. Sejak 1997 Cina menghadapi masalah deflasi. Deflasi
menurut konsep ekonomi Keynes, disebabkan oleh fenomena ‘jebakan
likuiditas‘ dan ‘paradoks penghematan‘. Jebakan likuiditas merupakan kondisi
tidak bekerjanya kebijakan moneter dengan merendahkan suku bunga dalam
meningkatkan jumlah kredit. Adapun paradoks penghematan adalah kondisi
rendahnya permintaan dana karena suku bunga simpanan tinggi sehingga tidak
ada likuiditas dana. Fenomena jebakan likuiditas terjadi karena keengganan bank
sentral dalam mengucurkan dana atau kredit. Sebelum reformasi finansial,
nasabah utama bank sentral adalah BUMN yang kala itu sudah menumpuk non-
performing loan. Bank Sentral ragu mengeluarkan kredit lebih kepada BUMN
karena menambah non-performing loan dapat berakibat pada buruknya kinerja
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
68
Universitas Indonesia
manajer bank yang dapat terancam dipecat. Di sisi lain, bank sentral juga ragu
mengeluarkan kredit kepada pihak non-publik. Dalam hal ini, satu-satunya solusi
adalah dengan menghilangkan diskriminasi terhadap sektor swasta. Komitmen
Cina dalam WTO mengharuskan hal tersebut dan terbukti terlaksana dari
peningkatan pesat sektor swasta di Cina pasca keanggotaan WTO (Woo, 2003:
16-17).
Masalah paradoks penghematan dapat diselesaikan dengan keberadaan bank
asing. Untuk dapat meningkatkan permintaan dalam negeri, perlu diciptakan
mekanisme untuk menyalurkan tabungan pribadi ke bentuk investasi swasta.
Keberadaan bank asing akan menciptakan iklim persaingan antarbank, terutama di
daerah kota pesisir sehingga memicu bank milik negara untuk membuka cabang
dan mengoptimalkan operasi di daerah Cina lain yang tidak tersentuh oleh bank
asing. Keberadaan bank cabang ini berperan penting sebagai perantara finansial
yang dapat menyelesaikan masalah paradoks penghematan ini (Woo, 2003: 18-19)
Hal yang tidak kalah penting dalam manajemen makroekonomi adalah
kontrol atas jumlah tuna karya. Keanggotaan WTO dapat pula menguntungkan
dalam aspek ini karena dapat meningkatkan akses pasar bagi eksportir Cina
hingga ke Amerika Serikat dan Eropa Barat. Hal ini juga berarti menciptakan
lapangan pekerjaan baru (Woo, 2003: 20).
Secara umum dapat dikatakan bahwa keanggotaan WTO Cina menimbulkan
dampak ganda dalam konteks peningkatan kesejahteraan rakyat Cina. Di satu sisi,
keanggotaan WTO memberikan akses pasar luas dan sehingga dapat memasifkan
perdagangan luar negeri Cina sekaligus membuka lebar Cina untuk investasi asing
yang mampu menyerap tenaga kerja. Namun, di sisi lain keanggotaan ini juga
memberikan tantangan baru dalam hal distribusi kekayaan itu sendiri. Hal ini
dapat dilihat dari peningkatan jumlah pengangguran sebagai salah satu dampak
reformasi BUMN dan juga tidak meratanya pembangunan antara kota dan desa,
maupun antarkota. Menyikapi hal ini Pemerintah Cina melaksanakan beberapa
program dalm rangka meminimalisir dampaknya. Pada konteks kontrol ekonomi,
keanggotaan WTO dapat berperan positif dalam menjaga stabilitas ekonomi,
khususya di bidang makroekonomi.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
69
BAB IV
KESIMPULAN
Transformasi ekonomi Cina memasuki babak baru tatkala Sidang Pleno III
Komite Sentral PKC XI bulan Desember 1978 menetapkan target dan tujuan baru
untuk program pembangunan Cina. Adopsi kebijakan “Reformasi dan
Keterbukaan” mengakhiri preseden kebijakan seklusi ekonomi Cina. Kebijakan
yang diusung dengan panji “Sosialisme Berkarakteristik Cina” ini mengawali
implementasi kebijakan ekonomi yang adaptif dan pragmatis berupa adopsi sistem
pasar dalam perekonomian Cina. Sejak saat ini pulalah Cina mengedepankan
pencapaian pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas utama. Faktor inilah juga
yang menjadi stimulus bagi Cina untuk memperdalam transformasi sistem
ekonomi ke arah sistem pasar modern hingga mencapai pencetusan sistem
ekonomi pasar sosialis (社会主义市场经济体制) pada tahun 1992.
Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya dapat diketahui bahwa terdapat
sejumlah faktor yang melatarbelakangi dan memicu Cina melakukan transformasi
ekonomi menuju pasar yang lebih komprehensif. Kesejahteraan ekonomi
diupayakan guna memperbarui kepercayaan rakyat Cina kepada PKC yang mulai
goyah akibat kegagalan rezim penguasa sebelumnya. Selain itu, sikap pragmatis
juga ditempuh oleh Cina akibat tekanan kondisi geopolitis yang kian memicu
Cina untuk mempercepat pertumbuhan ekonominya. Fenomena kemajuan
ekonomi yang sangat pesat dari delapan negara berkembang—Hong Kong,
Indonesia, Jepang, Republik Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Thailand—
atau yang dikenal dengan East Asian Miracle memicu Cina untuk menikmati
kemajuan yang sama. Transisi negara-negara pecahan Uni Sovyet ke arah sistem
pasar juga turut menuntut Cina untuk melakukan akselerasi pertumbuhan ekonomi
demi menjaga prestise di hadapan negara-negara transisional tersebut.
Di samping adanya tekanan dari kondisi geopolitis, dua faktor utama lain
yang memicu Cina untuk melakukan transformasi sistem ekonomi adalah (1)
Keberhasilan sistem pasar dan keterbukaan dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi Cina, dan (2) Kebutuhan akan pembangunan ekonomi yang
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
70
Universitas Indonesia
berkelanjutan. Skripsi ini telah memaparkan bahwa adopsi sistem pasar secara
parsial yang telah dimulai Cina sejak 1978 membawa sejumlah kemajuan
ekonomi bagi Cina pada beberapa bidang prekonomian. Reformasi di bidang
pertanian berhasil meningkatkan hasil produksi bruto produk pertanian sehingga
mampu mengangkat status Cina dari importir menjadi eksportir untuk sejumlah
produk, seperti gandum, kedelai, dan kapas. Reformasi industri tidak hanya
berhasil mengatasi masalah pemberian insentif materi demi meningkatkan
efisiensi dan produktivitas kerja, melainkan juga berhasil meningkatkan hasil
produksi bruto industri. Kebijakan pintu terbuka berhasil meningkatkan nilai
surplus neraca perdagangan Cina akibat tingginya ekspor luar negeri Cina. Selain
itu, penerimaan investasi asing juga senantiasa meningkat setiap tahunnya hingga
mencapai puncaknya pada periode tahun 1992-1993. Hal ini disebabkan rangkaian
kebijakan yang bertujuan membuka Cina terhadap dunia luar, seperti membuka
zona khusus sebagai wadah penerimaan investasi asing. Berdasarkan pemaparan
terkait ketiga tindakan reformasi di atas, dapat dikatakan bahwa seluruh kebijakan
reformasi di berbagai bidang ini mencerminkan upaya Cina untuk menyesuaikan
praktik-praktik perekonomian agar sesuai dengan prinsip ekonomi pasar dan
terbukti bahwa adopsi prinsip-prinsip sistem pasar memberikan dampak positif
terhadap pertumbuhan ekonomi Cina.
Faktor lain yang memicu Cina untuk melakukan transformasi total ke arah
sistem pasar modern adalah adanya kebutuhan akan pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan. Dengan kata lain masih terdapat reformasi yang belum selesai
sehingga membutuhkan aplikasi sistem pasar secara lebih komprehensif demi
mencapai penyelesaiannya. Reformasi yang belum selesai ini ditandai dengan
masih adanya sejumlah masalah yang menjadi penghambat bagi program
reformasi ekonomi Cina secara umum, antara lain masalah efisiensi performa
perusahaan negara yang belum memuaskan, stagnansi performa sektor finansial
akibat banyaknya non-performing loan yang diserap oleh perusahaan negara, serta
belum meratanya distribusi ekonomi yang ditunjukkan dengan adanya masalah
kesenjangan sosial. Pemerintah Cina memandang adopsi sistem pasar yang lebih
radikal mampu menjadi pendorong reformasi demi pencapaian hasil reformasi
yang lebih optimal.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
71
Universitas Indonesia
Selama periode penerapan sistem ekonomi pasar sejak 1978, Cina ternyata
juga melalui proses pembaruan status keanggotaan WTO sejak tahun 1986 (kala
itu masih bernama GATT). WTO merupakan organisasi perdagangan multilateral
yang bertujuan utama melakukan liberalisasi perdagangan dunia. Misi utama
WTO ini memiliki common interest yang mirip dengan tujuan Cina untuk
menerapkan sistem pasar yang lebih komprehensif sehingga dapat dikatakan
bahwa keanggotaan Cina dalam WTO merupakan salah satu strategi untuk
menyukseskan reformasinya, sebagaimana diusung dalam sistem ekonomi pasar
sosialis. Namun, mengingat WTO merupakan organisasi yang memiliki
seperangkat aturan tersendiri mengenai perdagangan dan instrumen pasar,
keanggotaan Cina dalam WTO mengandung konsekuensi bahwa Cina harus
bersedia melakukan sejumlah penyesuaian pada kebijakan ekonomi maupun
sistem regulasi agar sesuai dengan standar WTO. Skripsi ini menyimpulkan
bahwa terdapat faktor pendorong ekonomi maupun politik yang mendorong Cina
bersedia melakukan ‘kompromi‘ dan mengikuti standar WTO. Faktor ekonomi
tersebut di antaranya adalah keinginan menyelesaikan reformasi, melakukan
ekspansi pasar tujuan ekspor Cina, dan mendapatkan akses ‘bahan
baku‘ reformasi dan pembangunan dari luar Cina. Sistem regulasi WTO yang
mengatur perihal sistem pasar dan perdagangan mengemban prinsip utama, yakni
perdagangan bebas yang adil tanpa diskriminasi. Hal ini dipercaya oleh Cina
mampu menjadi pemicu bagi pencapaian program reformasi Cina yang belum
selesai. Dengan mengadopsi regulasi WTO, Cina diwajibkan menyambut
perusahaan maupun pebisnis asing yang ingin beroperasi di Cina. Hal ini berarti
akan tercipta iklim kompetisi antara perusahaan dan pebisnis Cina dengan
perusahaan dan pebisnis asing yang dianggap dapat menjadi pemicu ekstra bagi
Cina untuk mempercepat reformasi. Ini juga berarti sumber daya asing dapat
diakses sebanyak mungkin oleh Cina, seperti IPTEK, teknologi, dan kemampuan
managerial. Di sisi lain, Cina dapat menyukseskan kebijakan keterbukaannya
karena mampu mengakses pasar luar negeri yang lebih luas sebagai tujuan
ekspornya.
Adapun faktor politik yang turut memantapkan Cina untuk mendapatkan
atau memperbarui kembali status keanggotaan WTO adalah pertama, keinginan
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
72
Universitas Indonesia
Cina untuk mendapatkan pengaruh politik yang lebih besar demi proteksi atas
kepentingan nasional. Kedua, Cina ingin mengantisipasi dan mencegah embargo
ekonomi atas Cina. Dengan memperoleh keanggotaan WTO, Cina memiliki hak
suara dan andil dalam pengambilan keputusan yang dibuat WTO. Cina dapat
mengupayakan agar segala keputusan yang dihasilkan tidak membahayakan
kepentingan nasional Cina. Keanggotaan Cina dalam WTO juga memberikan
proteksi atas hak ekonomi Cina agar tidak menghadapi embargo oleh negara lain.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, keanggotaan WTO mengharuskan
Cina mengharuskan Cina berkomitmen untuk melakukan sejumlah penyesuaian
terhadap kebijakan ekonomi dan regulasi Cina yang berarti pula berdampak pada
sistem ekonomi pasar sosialis. Skripsi ini menyimpulkan bahwa keanggotaan Cina
dalam WTO memberikan sejumlah pengaruh terhadap sistem ekonomi pasar
sosialis. Pengaruh ini dapat dilihat pada tiga aspek, yakni penerapan sistem pasar
modern yang lebih radikal, keberhasilan reformasi perusahaan negara (BUMN),
dan konsistensi penerapan Empat Prinsip Utama sebagai pedoman sistem
ekonomi pasar. Ketiga aspek ini secara umum merangkum prinsip utama sistem
ekonomi pasar sosialis yang bertujuan memantapkan sistem ekonomi pasar yang
berlaku pada perekonomian Cina di bawah kontrol makroekonomi (宏观调控)
oleh negara.
Dalam aspek penerapan sistem pasar yang lebih radikal, keanggotaan Cina
dalam WTO memberikan pengaruh suportif. WTO dengan seperangkat
peraturannya berperan sebagai pemicu ekstra bagi Cina untuk menyegerakan
perubahan di tiga aspek utama dalam rangka menciptakan sistem pasar yang
kondusif bagi perdagangan dunia. Ketiga aspek tersebut adalah liberalisasi harga,
kepemilikan swasta, reformasi institusional. Pemerintah Cina menghapuskan
kebijakan kontrol harga, pembatasan hak dagangan bagi negara lain, dan
penetapan kuota impor. Sebaliknya, harga sepenuhnya ditentukan oleh pasar, tarif
bea cukai dikurangi, dan negara lain bebas bertransaksi dan beroperasi di Cina.
Sektor swasta juga mengalami peningkatan yang signifikan. Pemerintah juga
melakukan revisi dan penghapusan atas ribuan undang-undang demi
menyesuaikannya dengan standar WTO.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
73
Universitas Indonesia
Adapun pada aspek reformasi BUMN, keanggotaan WTO turut membantu
Cina untuk mentransformasi perusahaan negara menjadi perusahaan modern
dalam sistem pasar. Hal ini ditunjukkan dalam tiga hal, yakni pertama, adanya
diversifikasi kepemilikan BUMN; kedua, berkurangnya ketergantungan BUMN
kepada negara dalam aspek finansial sehingga memicu kompetisi yang adil
dengan sektor swasta, dan ketiga, adanya peningkatan kinerja corporate
governance yang ditandai dengan adanya pemisahan deskripsi kerja yang jelas
antara investor dan operator.
Pada aspek konsistensi Cina untuk berpedoman pada Empat Prinsip Utama,
keanggotaan Cina dalam WTO juga tidak memberikan tantangan ideologis yang
berarti walaupun ditemukan sejumlah ‘efek samping’ yang menjadi hambatan
atau tanggungan reformasi ekonomi Cina ke depannya. Dapat dikatakan
keanggotaan WTO juga memberikan dampak suportif terhadap manifestasi Empat
Prinsip Utama dalam hal ekonomi. Manifestasi Empat Prinsip Utama dapat dilihat
pada dua hal utama, yakni jaminan kesejahteraan umum bagi rakyat Cina sebagai
ciri sosialis dalam sistem ekonomi Cina, dan kepemimpinan PKC melalui sistem
kontrol makroekonomi. Cina menikmati sejumlah manfaat ekonomis dari
keanggotaannya dalam WTO yang berimbas pada peningkatan ekonomi Cina
secara umum. Peningkatan perdagangan luar negeri yang signifikan serta
penerimaan investasi asing membuka lapangan kerja yang tidak sedikit. Namun,
di sisi lain peningkatan kesejahteraan ekonomi ini belum diikuti oleh distribusi
ekonomi yang merata bagi segenap rakyat Cina. Di antaranya disebabkan
pembangunan yang tidak merata, daerah penerimaan investasi pun juga tidak
merata. Di sisi lain, reformasi BUMN juga menimbulkan masalah pengangguran
akibat pengurangan SDM yang selama ini dianggap membebani BUMN. Hal ini
merupakan ‘efek samping‘ dari pengaruh keanggotaan WTO terhadap sistem
ekonomi pasar sosialis. ‘Efek samping’ ini menjadi hambatan bagi pencapaian
salah satu tujuan sistem ekonomi pasar sosialis, yakni kesejahteraan umum.
Namun, sebagaimana prinsip pragmatisme yang pernah diusung Deng Xiaoping,
sistem ekonomi Cina yang baru ‘memperbolehkan sebagai daerah atau sebagian
orang kaya terlebih dahulu’ sehingga dapat dikatakan ‘efek samping’ keanggotaan
WTO ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya mengancam atau menyimpang dari
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
74
Universitas Indonesia
sistem ekonomi pasar sosialis. Namun, ‘efek samping’ ini merupakan tantangan
atau tanggungan reformasi Cina selanjutnya.
Keanggotaan Cina dalam WTO juga tidak menggantikan posisi PKC
sebagai pemimpin reformasi ekonomi Cina. Segala keputusan terkait kebijakan
ekonomi masih berada di tangan jajaran pimpinan PKC yang menjadi salah satu
ciri pemerintahan sosialis Cina. Keanggotaan WTO tidak menghalangi
pemerintah Cina dalam mengontrol aktivitas perekonomian Cina walaupun
setelah masuk ke dalam WTO kontrol ini menjadi terbatas dalam bentuk kontrol
makroekonomi. Keanggotaan WTO juga memberikan pengaruh suportif terhadap
beberapa aspek kebijakan kontrol makroekonomi Pemerintah Cina, khususnya
yang bersangkutan dengan aspek finansial. Reformasi finansial yang dituntut
WTO atas Cina mengharuskan pemerintah mengizinkan bank komersial asing
beroperasi di Cina. Bank-bank asing ini dapat berperan suportif dalam upaya Cina
menjaga stabilitas ekonomi Cina, khususnya dalam menghadapi masalah deflasi.
Meninjau pada periode sebelum Cina mendapatkan status keanggotaan
dalam WTO atau periode Cina mengupayakan keanggotaan WTO, dapat
disimpulkan pula bahwa di dalam negeri Cina telah terjadi sejumlah upaya
penyesuaian dalam rangka memperlancar proses aplikasi Cina dalam WTO
sekaligus mempersiapkan kondisi dalam negeri secara bertahap sebelum
memasuki era pasar bebas WTO. Kebijakan-kebijakan seperti reformasi BUMN
menuju perusahaan modern, liberalisasi harga, proliferasi sektor swasta sudah
berlangsung sejak pencetusan sistem ekonomi pasar sosialis, sebelum Cina
menjadi anggota WTO.
Demikianlah kesimpulan dari pembahasan “Keanggotaan Cina dalam
WTO dan Pengaruhnya terhadap Penerapan Sistem Ekonomi Pasar Sosialis di
Cina (1994-2005).” Keanggotaan WTO tidak memberikan tantangan berarti
secara ideologis terhadap prinsip maupun penerapan sistem ekonomi pasar
sosialis. Sebaliknya, keanggotaan WTO memberikan sejumlah pengaruh suportif
terhadap pencapaian target-target reformasi Cina menuju sistem pasar modern
walaupun masih ditemukan sejumlah ‘efek samping’ yang menjadi hambatan bagi
pembangunan Cina sekaligus tanggungan reformasi Cina selanjutnya.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
75
DAFTAR REFERENSI
BUKU DAN JURNAL ILMIAH
Cass, Deborah Z., Brett G. Williams, dan George Barker. China and The World
Trading System: Entering the New Millenium. United Kingdon: Cambridge
University Press, 2003.
Chandrasekhar, C. P., Jayati Ghosh. “Macroeconomic Policy, Inequality and
Poverty Reduction in India and China.” The IDEAs Working Paper Series
Paper no. 05/2006.
Chow, Gregory C. China’s Economic Transformation.United Kingdom:
Blackwell Publishers Inc., 2002.
Chu, Tianshu, Claustre Bajona. “China’s WTO Accession and Its Effect on State-
Owned Enterprises”. East-West Centre Working Paper: Economic Series No.
70, April 2004.
Dang, Xiaobao. “Foreign Direct Investment in China”. Laporan sebagai salah satu
persyaratan memperoleh gelar Master of Arts Department of Economics
College of Arts and Sciences Kansas State University, Manhattan ,2008.
Deng, Xiaoping. 邓小平文选: 第二卷 (Karya Pilihan Deng Xiaoping Volume II).
Beijing: 人民出版社 (Renmin Chubanshe), 1983.
Deng, Xiaoping. 邓小平文选: 第三卷 (Karya Pilihan Deng Xiaoping Volume III).
Beijing: 人民出版社 (Renmin Chubanshe), 1993.
Hsü, Immanuel C.Y.China without Mao. New York: Oxford University Press,
1990.
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia, 1988.
Organisation For Economic Co-Operation And Development (OECD).”OECD
Economic Surveys – China.” Volume 2005/12, OECD, Paris.
Parker, Elliott. “Prospects for The State-Owned Enterprise in China's Socialist
Market Economy.” Asian Perspective 19(1) 1995: 7-35.
Porath, Lois C. Impacts of China’s WTO Accession. Kanada: Institut québécois
des hautes études internationales (HEI), Université Laval, 2004.
Prime, Penelope B., “China joins the WTO: How, Why and What
Now?“ Business Economics, vol. XXXVII, No. 2 (April, 2002).
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
76
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Qian, Yingyi, Jinglian Wu. “China's Transition to a Market Economy: How Far
Across the River.” How Far Across the River: Chinese Policy Reform at the
Millennium. Ed. Nicholas C. Hope, Dennis Tao Yang, and Mu Yang Li.
Stanford University Press, 2003. 31-63.
Rosser, John Barkley, Marina V. Rosser. Comparative Economics in a
Transforming World Economy. United States of America: Massachusetts
Institute of Technology, 2004.
Ruslijanto, Hartono, Datu Mulyono. “Penyusunan Karya Ilmiah Berdasarkan
Jenisnya”. Metode Penulisan dan Penyajian Karya Ilmiah. Ed. Haryanto A.G.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999.
Saich, Tony. Governance and Politics of China. New York: Palgrave Macmillan,
2004.
----------------.“China as a Member of the WTO: Some Political and Social
Questions” Article prepared for Harvard Asia Pacific Review January 2002.
Song, Ligang. “The State of The Chinese Economy.” China and The World
Trading System: Entering the New Millenium. Ed. Deborah Z. Cass, Brett G.
Williams, dan George. United Kingdon: Cambridge University Press, 2003.
83-92.
Tenev, Stoyan, Chunlin Zhang, dan Loup Brefort. Corporate Governance and
Enterprise Reform in China: Building the Institutions of Modern Markets.
Washington: World Bank Publications, 2002.
Wang, Yiwu. 市场经济学—中国市场经济引论 (Ilmu Ekonomi Pasar—
Pengantar Ekonomi Pasar Cina). Beijing: Tsinghua University Press (清华大
学出版社), 2005.
Woo, Wing Thye. “The Structural Obstacles to Macroeconomic Control in
China.” Economics Department, University of California, 13 November 2004.
WTO. Understanding The WTO. Geneva: World Trade Organization, 2008.
WTO Trade Policy Review, Laporan oleh Secretariat – People’s Republic of
China, WT/TPR/S/161/Rev.1 (26 Juni 2006). WTO.
Wu, Jinglian. China’s Long March Toward a Market Economy. San Fransisco:
Long River Press, 2005.
Yoshihiro, Hashiguchi. “China’s Reform of State-Owned Enterprises and Their
Speed of Employment Adjustment.” Graduate School of International
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
77
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Cooperation Studies (GSICS) Working Paper Series No. 10 Oktober 2006
Kobe University.
.
PUBLIKASI ELEKTRONIK
“16 Measures to Strengthen Macroeconomic Control (Jun. 1993)” <http://
www.china.org.cn/china/CPC_90_anniversary/2011-06/28/content_2288617
1.htm> diakses pada tanggal 28 Juni 2012 pukul 17.28.
“China's fundamental rights and duties as a WTO member”. Xinhua.26 Agustus
2011.<http://www.globaltimes.cn/NEWS/tabid/99/ID/672817/Chinas-
fundamental-rights-and-duties-as-a-WTO-member.aspx > diakses pada tanggal
05 Juni 2012 pukul 09.15.
“China Statistical Yearbook”. 中华人民共和国统计局 (National Bureau of
Statistics of China). http://www.stats.gov.cn/english/statisticaldata/ yearlydata
Cook, Sarah. “After the Iron Rice Bowl: Extending The Safety Net in China.”
Institute of Development Studies (IDS) Discussion Paper 377. <www.ids.ac.uk
/files/Dp377.pdf>
“ 建 设 有 中 国 特 色 社 会 主 义 的 理 论 ” (Membangun Teori Sosialisme
Berkarakteristik Cina). Xinhuanet. 01 Juni 2012 pukul 12.35. <http://news.
xinhuanet.com/ziliao/2003-01/21/content_699500.htm>
“江泽民在中国共产党第十四次全国代表大会上的报告(1992年10月
12日)” (Laporan Jiang Zemin pada Kongres PKC XIV 12 Oktober 1992 ).
02 Juni 2012 pukul 13.04. <http://cpc.people.com.cn/GB/64162/64168/64567
/65446/4526311.html>
Liu, Yingqiu, “Development of Private Entrepreneurship in China: Process,
Problems and Countermeasures.” Presented at the Global Forum –
Entrepreneurship in Asia: 4th U.S.-Japan Dialogue, April, 16th
2003.
<http://www.mansfieldfdn.org/backup/programs/program_pdfs/ent_china.pdf
diakses pada tanggal 16 Juni 2012 pukul 03.32 WIB.
Long, G. 2006. “China’s Accession to the WTO: Experience and Lessons.” 2006.
<www.siteresources.worldbank.org/INTRANETTRADE/Resources/WBITrain
ing/China_Accession_To_WTO_LGuoqiang_eng.ppt>
Lopez, Gregore Pio. “The WTO’s Role in China’s Transition Towards a Market
Economy”. Australian National University. <http://anu.academia.edu/
GregoreLopez/Papers/1133431/The_WTOs_role_in_Chinas_transition_toward
s_a_market_economy>
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
78
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Ministry of Commerce P.P.China. “System of Socialist Market Economy.”
<http://www.fdi.gov.cn/pub/FDI_EN/Economy/Investment%20Environment/E
conomic%20System/System%20of%20Socialist%20Market%20Economy/defa
ult.htm>
National Bureau of Statistic China 中华人民共和国国家统计局 . Annual
Statistical Data.< http://www.stats.gov.cn/english/statisticaldata/yearlydata/>
“State Capitalism”. Binns, Peter. REDS – Die Roten. 02 Juni 2012 pukul 13.10
<http://www.marxists.de/statecap/binns/statecap.htm>
World Trade Organization. 26 Years of Accession Experience and Best Practices.
Oleh DG Pascal Lamy. 29 Mei 2012. 31 Mei 2012. <http://www.wto.org/
english/news_e/sppl_e/sppl231_e.htm>
-------------------------------. “WTO successfully concludes negotiations on China's
entry“ 17 September 2001. < http://www.wto.org/english/news_e/pres01_e/pr
243_e.htm>
-------------------------------. “Protocol on The Accession of The People's Republic
of China WT/L/432 23 November 2001.” < http://www.wto.org/english
/thewto_e/acc_e/completeacc_e.htm>
---------------------------------.” Report of The Working Party on The Accession of
China WT/ACC/CHN/49 01 October 2001.” < http://www.wto.org/english/
thewto _e/acc_e/completeacc_e.htm >
Yang, Cheng Xun. “Answers to Several Questions about Socialist Market
Economy”<http://www.wrpe.org/WAPE/WAPE%20Papers%202006/Yang_C
heng _Xun.pdf> diakses pada tanggal 31 Mei 2012 pukul 12.22.
Keanggotaan Cina..., Arif Susiliyawati, FIBUI, 2012
Recommended